bahan bacaan jurnal

Upload: senoadji-pratama

Post on 04-Oct-2015

236 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

bjb mnbhj

TRANSCRIPT

MANAJEMEN TERBARU FARINGITIS AKUT PADA ANAK

Marta Regoli, Elena Chiappini, Francesca Bonsignori, Luisa Galli,Maurizio de Martino.Departemen Studi Kesehatan Wanita dan Anak, University of Floerence, Floerence ItalyItalian Journal of Pediatrics 2011,37:10.www.biomedcentral.comAbstrakFaringitis streptokokus adalah penyakit yang sangat umum menyerang usia anak-anak di seluruh dunia. Namun walaupun begitu, tidak ada kesepakatan bersama tentang penanganan penyakit ini. Beberapa penulis menyarankan untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi apabila diduga terjadi karena bakteri sehingga dilakukan pemeriksaan mikrobiologi sebagai konfirmasi, maka diberikan antibiotic untuk mencegah komplikasi supuratif dan demam rheuma akut. Berbeda, dengan penulis lainnya yang menganggap faringitis akibat streptokokus adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri. Sehingga mereka tidak melakukan pemeriksaan mikrobiologi secara rutin, dan mereka akan memberikan antibiotik hanya pada kasus-kasus tertentu saja. Telah diketahui bahwa jumlah pasien yang yang membutuhkan terapi pencegahan terhadap salah satu komplikasi dari infeksi saluran pernafasan atas (termasuk radang tenggorokan), adalah lebih dari 4000. Bahkan penggunaan skor Centor, dalam rangka untuk mengevaluasi risiko infeksi streptokokus, masih dalam perdebatan dan interpretasi hasil tes yang didapat bervariasi. Penisilin dianggap seluruh dunia sebagai lini pertama pengobatan, namun amoksisilin oral pun dapat diterima karena memiliki palatability yang cukup baik. Makrolida harus diberikan untuk kasus yang terbukti memiliki alergi terhadap antibiotic golongan beta laktam. Sefalosporin dapat digunakan pada pasien yang memiliki alergi terhadap penisilin (kecuali reaksi hypersensitifitas tipe I) dan juga telah disarankan untuk mengobati keadaan yang relaps.

PendahuluanFaringitis akut didefinisikan sebagai infeksi faring dan / atau tonsil. Faringitis akut pada umumnya penyakit yang sering kali menyerang kalangan anak-anak dan remaja. Walaupun penyebab paling sering faringitis akut adalah virus , bakteri streptococcus group A (GABHS) menyebabkan 37% kasus faringitis akut pada anak-anak lebih dari 5 tahun. Penyebab bakteri lainnya faringitis adalah streptococcus group C (5% dari total kasus), C.pneumoniae (1%), M.pneumoniae(1%) dan bakteri anaerob lainnya (1%). Diantara virus-virus penyebab faringitis, Rhinovirus, Coronavirus, dan Adenovirus menyumbang 30% dari total kasus, Epstein Barr virus 1%, Influenza dan Parainfluenza virus sekitar 4%.Insidensi faringitis streptokokus paling tinggi pada usia awal sekolah dan jarang terjadi sebelum usia 3 tahun. Penyakit ini paling sering terjadi pada musim dingin dan musim semi. Penularan penyakit ini ditularkan melalui droplet atau inhalasi dan memiliki masa inkubasi 2-5 hari. Penularan paling tinggi terjadi selama fase akut dan pasien yang tidak diobati, namun penularannya menurun bertahap selama seminggu saat periode itu dan 24 jam setelah pemberian antibiotik.Manifestasi klinik yang terjadi berupa sakit tenggorokan dan demam yang timbul mendadak, hiperemis pada faring, pembesaran tonsil yang tertutupi selaput kuning atau eksudat berwarna kemerahan. Mungkin terdapat ptekie di daerah palatum (langit-langit) dan faring posterior. Tampak adanya pembesaran kelenjar servikal anterior. Sakit kepala dan gejala gastrointestinal ( mual dan nyeri perut) sering juga terjadi. Tabel 1 memperlihatkan tanda dan gejala dari faringitis streptococcus group A dan tingkat sensitive serta spesifisitas untuk menegakkan diagnosis.

Timbulnya onset faringitis virus muncul secara bertahap dan gejala yang sering terjadi rinore, batuk, diare, suara serak. Beberapa skor klinis yang diajukan untuk membantu dokter dalam menegakkan diagnosis tabel 2.

Bagaimanapun juga presentasi klinis faringitis streptococcus group A dan virus sering terlihat tumpang tindih dan tidak ada satupun baik itu berupa riwayat pasien atau pemeriksaan fisik yang dapat dipercaya(diandalkan) untuk mengkonfirmasi faringitis streptococcus atau bukan.Komplikasi dari penyakit infeksi ini dapat dibedakan menjadi supuratif dan nonsupuratif. Komplikasi supuratif, akibat dari penyebaran GABHS ke jaringan sekitar seperti limfadenitis, abses peritonsil, abses retrofaring, otitis media, mastoiditis dan sinusitis. Penggunaan antibiotik mengurangi insidensi terjadinya komplikasi, dan menjadi nyata apabila penyakit primer yang tidak diketahui atau tidak diterapi.Komplikasi non supurativ, berupa gejala sisa berupa terbentuknya kompleks imun seperti demam rheuma Akut, glomerulonefritis akut pasca streptokokus, korea sydenham, artritis reaktif, dan Paediatric Autoimmune Neuropsychiatric Disorders Associated dengan Streptococcus pyogenes.Berdasarkan WHO , kurang lebih 15,6 juta orang menderita Rheumatic hearth disease, dan 233.000 meninggal setiap tahunnya akibat demam rheuma akut. Dikarenakan keterbatasan laporan yang berkaitan dengan sumber daya terbatas dinegara-negara berkembang maka prevalensi kejadian demam rheuma akut sering tidak dihiraukan.Prevalensi rheumatic hearth disease (RHD) pada anak-anak umur 5-14 tahun paling tinggi di daerah Saharan Afrika (5,7 per 1000), Australia dan Selandia baru (3,5 per 1000), dan Asia Tengah (2,2 per 1000) dan paling rendah pada negara-negara maju (0,5 per 1000). Sebuah tinjauan sistematis dari 10 studi berbasis populasi, dari 10 negara seluruh benua, kecuali Afrika, yang diterbitkan tahun 1967-1996, menggambarkan tentang kejadian demam reuma akut di seluruh dunia. Tingkat kejadian rata-rata keseluruhan serangan pertama demam rheuma akut adalah 5-51 / 100.000 penduduk (rata-rata 19 / 100.000; 95% CI 9-30 / 100.000). Tingkat insidensi lebih rendah dari 10 / 100.000 per tahun ditemukan di Amerika dan Barat Eropa, sementara insiden yang lebih tinggi (> 10 / 100.000) adalah Eropa Timur, Timur Tengah (tertinggi), Asia dan Australia. Di Amerika Serikat, jumlah kasus demam rheuma akut turun secara drastis selama setengah abad terakhir. Sebuah studi nasional yang dilakukan pada tahun 2000, mengumpulkan data dari karakteristik pasien anak Amerika dengan demam rheuma akut terjadi 14,8 kasus per 100.000 anak-anak rawat inap di rumah sakit. Diagnosis faringitis streptokokus group A hanya dapat dilakukan dengan swab kultur tenggorokan atau RADT (Rapid Antigen Detection Test). Swab kultur adalah gold standar diagnosis faringitis streptokokus group A, namun membutuhkan 18-24 jam inkubasi pada suhu 37 C, sehingga hal ini menyebabkan keterlambatan mengidentifikasi streptococcus group A. Keterlambatan dalam mendiagnosis, sering menyebabkan dokter memberikan terapi terlebih dahulu tanpa mengetahui etiologi penyakitnya, hal ini menyebabkan antibiotik terlalu sering digunakan sehingga meningkatkan resistensi bakteri. RADT mengidentifikasi bakteri streptokokus melalui swab tenggorokan dalam beberapa menit. Strategi pemeriksaan ini cukup memberikan dampak yang signifikan mengurangi peresepan antibiotic. Pemeriksaan ini berdasarkan reaksi karbohidrat antigen group A yang diperoleh dari swab tenggorokan dengan asam nitrat. Tingkat spesifisitas RADTs umumnya tinggi sementara sensitivitasnya bervariasi. Rapid test memberikan akurasi cukup baik untuk digunakan sebagai metode diagnostik, namun, dalam beberapa keadaan, tes ini harus dilengkapi dengan kultur mikrobiologi, karena kemungkinan hasil negatif palsu. Tanz et al dalam sebuah penelitian dari 1.848 anak-anak berumur 3-18 tahun dievaluasi untuk faringitis akut pada 6 komunitas anak kantor menunjukkan bahwa RADT memiliki sensitivitas 70%. Sensitivitas kultur swab tenggorok secara signifikan lebih besar yaitu 81%. Uji spesifisitas RADT adalah 98%, dan spesifisitas kultur swab tenggorok adalah 97%.Pada hasil uji spesifisitas tidak memiliki perbedaan yang signifikan secara statistic

ManajemenTidak ada kesepakatan bersama untuk manajemen klinis faringotonsilitis. Rekomendasi para ahli dan pedoman pun berbeda tentang bagaimana membuat diagnosis dan terapi. Terdapat dua pendapat yang berkembang mengenai hal ini. Pendapat pertama diikuti oleh Negara Amerika, Perancis, dan Finlandia menyimpulkan bahwa faringitis streptococcus group A merupakan infeksi yang perlu mendapat perhatian dan perlu terapi untuk mencegah komplikasi, salah satunya adalah demam rheuma akut. Berdasarkan opini pertama, pernyataan ini mengikuti pedoman Italia yang telah dikembangkan dari Emilia Romagna. Pada pendapat lain, yang diikuti oleh Negara Inggris, Jerman, Skotlandia dan Belgia mengatakan bahwa faringitis yang terjadi akibat streptococcus group A merupakan penyakit self limiting disease ( dapat sembuh sendiri), serta terapi diberikan pada komplikasi supuratif yang rendah dan komplikasi demam rheuma akut yang sering terjadi pada sejumlah negara berkembang. Pendapat kedua ini berkebalikan dengan pendapat pertama,dimana pengobatan antibiotik diperlukan pada kasus-kasus tertentu saja sehingga diharapkan antibiotic digunakan secara bijak untuk mencegah berkembangnya resistensi kuman.Pada pendapat kedua ini,dilakukan studi kohort retrospektif oleh Petersen et al di unit pelayanan kesehatan primer Inggris, dari jumlah 3,36 juta pasien yang menderita episode infeksi saluran napas, didapatkan beberapa pasien saja membutuhkan pengobatan untuk mencegah komplikasi infeksi saluran napas atas (batuk kering dan otitis media) . Dari studi ini disimpulkan bahwa penggunaan antibiotic tidak dibenarkan untuk mengurangi resiko komplikasi yang serius infeksi saluran napas atas, batuk kering, atau otitis media.

Diagnosis dan indikasi terapiMengenai diagnosis faringitis streptokokus group A, sampai saat ini masih dalam perdebatan tentang penggunaan tes mikrobilogi berupa (kultur dari swab tenggorok atau RADT). Oleh karena itu Centor mengajukan sistem skoring klinik untuk memudahkan para klinisi dalam membuat diagnosis. Sistem skoring ini didasarkan dari tanda dan gejala yang mengarahkan pada faringitis streptokokus.

Namun disayangkan, secara klinis penyebab faringitis akibat streptococcus group A dan virus sering menimbulkan tumpang tindih dan tidak ada satupun baik riwayat pasien atau pemeriksaan fisik yang menunjukkan faringitis akibat streptokokus atau bukan. Oleh karena itu, maka dibenarkan untuk menggunakan skor Centor saja atau digunakan bersama tes mikrobiologi yang secara luas digunakan diseluruh dunia.Para ahli di Inggris dalam NICE( National Institute for Health and Clinical Excellence ) Guidelines mengatakan tergantung dari seberapa beratnya penyakit yang didasarkan pada penilaian klinis. Pasien dengan faringitis akut perlu pertimbangan segera mungkin ketika memberikan resep antibiotik ( tidak diberikan sama sekali atau menunda pemberian antibiotik), jika jumlah skor Centor memenuhi tiga atau lebih kriteria. Disisi lain jika skor Centor 2 kriteria, tidak membutuhkan investigasi atau terapi lebih lanjut. Guideline ini juga mengatakan penggunaan antibiotik diberikan segera mungkin pada pasien yang disertai penyakit sistemik baik dari gejala atau tanda yang memperburuk penyakit atau komplikasi supurativ atau komorbiditas ( jantung, paru, ginjal, hati atau penyakit neuromuscular, immunosupresi, fibrosis kistik dan pada bayi yang lahir premature). Hal ini tidak berbeda jauh dengan Skotlandia. Para ahli Skotlandia pun masih mempertimbangkan jika pencegahan komplikasi supuratif dan demam rheuma akut adalah indikasi yang tidak spesifik apabila antibiotic diberikan sebagai terapi faringitis.

Penelitian di Amerika oleh Bisno et al, dalam IDSA ( Infectious Disease Society of America) Guideline menyatakan bahwa pasien yang menderita faringitis streptokokus group A perlu dipertimbangkan dari segi klinis dan epidemiologi. Dari segi klinis dan epidemiologi saja sudah dapat mengarahkan kemungkinan terjadinya infeksi streptococcus, ditambahkan dengan tes laboratorium (kultur atau RADT) sehingga semakin jelas memberikan hasil positif dan terapi antibiotik dapat segera diberikan kepada pasien.

Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Snow et al di Amerika, berdasarkan ACP ( American College of Physicians) Guideline menyarankan penggunaan skoring Centor untuk mengidentifikasi pasien faringitis streptokokus group A. Jika skoring Centor lebih dari 2, maka pemeriksaan mikrobiologi harus dilakukan. Pasien dewasa dengan skoring Centor 4 seharusnya langsung diberikan terapi tanpa menunggu konfirmasi dari pemeriksaan mikrobiologi.

Gerber et al dari AHA (American Hearth Association) menyarankan pasien diskrining berdasarkan kriteria klinik dan epidemiologi yang mengarah pada faringitis streptokokus group A serta dilakukan pemeriksaan RADT atau swab kultur pada seluruh pasien yang beresiko.Perlu diperhatikan terutama pada bidang pediatri, AAP (American Academy of Pediatrics) merekomendasikan pemeriksaan laboratorium untuk mengonfirmasi streptokokus group A. Hal ini dipertegas dengan pemeriksaan mikrobiologi berupa swab tenggorokan, umur lebih dari 3 tahun, tanda dan gejala klinis faringitis, musim, lingkungan seperti kontak dengan penderita faringitis streptokokus group A dalam keluarga atau riwayat demam rheuma akut atau glomerulonefritis akut pasca streptokokus. Anak-anak dengan tanda atau gejala yang mengarah kepada infeksi virus (coryza, konjungtivitis, suara serak, batuk, stomatitis dan diare tidak perlu dikonfirmasi kembali.Diperlukan konfirmasi kembali jika RADT (Rapid Antigen - Detection Test) menghasilkan hasil negatif, Snow dan Bisno menyarankan melakukan swab kultur pada anak-anak, namun hal ini tidak dilakukan pada pasien dewasa. Berbeda dengan Gerber et al, jika RADT menghasilkan hasil negatif, maka pemeriksaan swab kultur wajib dilakukan baik pada dewasa maupun anak-anak ,dimana hal ini disarankan juga oleh AAP (American Academy of Pediatrics).Namun,dikarenakan RADT memiliki spesifisitas tinggi, apabila diperoleh hasil positif maka tidak diperlukan konfirmasi dengan pemeriksaan swab kultur.Di Negara Italia berdasarkan Guideline Emilia Morgagna memiliki pertimbangan lain mengenai pemeriksaan RADT dilakukan apabila skor Centor 2. Jika RADT positif maka dilanjutkan dengan memulai pemberian antibiotik; jika RADT negatif dan secara klinis mengarah kepada faringitis streptokokus group A lebih besar maka dilanjutkan dengan pemeriksaan swab kultur. Pada saat skor Centor sama dengan 5 maka dokter harus menentukan apakah harus memulai terapi atau melakukan pemeriksaan mikrobiologi terlebih dahulu.

PenatalaksanaanSeperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pemberian antibiotik tidak selalu dianjurkan, karena pada umumnya etiologi faringitis terjadi akibat virus. Oleh karena itu, saat antibiotik diberikan sesuai dengan indikasi, penting diperhatikan memilih antibiotik yang sesuai.Semua penulis dan guidelines telah sepakat menyatakan bahwa penicillin merupakan drug of choice atau pengobatan lini pertama pertama pada pengobatan faringitis streptokokus. Walaupun penisillin V merupakan drug of choice, ampisillin atau amoksisillin memiliki efektifitas yang sama dan aman penggunaannya pada terutama anak-anak.Gerber et al menyatakan bahwa penisilin memiliki onset of action yang cepat dan memperpendek perjalanan klinis dari faringitis streptococcus, menurunkan insidensi komplikasi supuratif, menurunkan resiko penularan dan mencegah terjadinya demam rheuma akut sejak saat diberikan sampai 9 hari setelah onset sakit. Berikut adalah pilihan terapi dan lama pemberian antibiotic yang dianjurkan oleh AAP ( American Academy of Pediatrics) :

Penting untuk diketahui bahwa golongan antibiotik makrolid tidak diindikasikan pada pengobatan faringitis,disebabkan tingginya tingkat resistensi streptokokus terhadap eritomisin di Amerika dan Eropa. Indikasi pemberian makrolid pada faringitis adalah pada pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap antibiotic golongan beta laktam. Adanya alergi sebelumnya harus dibuktikan melalui tes laboratorium. Jika pasien memiliki hipersentivitas penicillin bukan tipe I, maka sefalosforin dapat dipertimbangkan sebagai pilihan terapi yang baik.Gerber et al dan sebagian besar di Amerika mengindikasikan penggunaan amoksisilin diberikan satu hari sekali, walaupun tidak secara umum menerima pendapat ini. Pemberian amoksisilin satu hari sekali tidak diterima oleh FDA (Food and Drug Administration) dan EMEA (European Medicines Agency) sebagai profilaksis pada demam rheuma akut.Standar lama pemberian antibiotic adalah selama 10 hari, atau dapat diberikan sekitar 3 sampai 6 hari bahkan dapat ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan. Penulis mencoba mambandingkan pemberian antibiotic oral antara rentang waktu 3 sampai 6 hari sesuai standar lama pemberian. Kami menemukan bahwa dengan pemberian antibiotik yang singkat, menunjukkan resiko rendah terjadinya kegagalan pemberian terapi di awal dan tidak berbeda secara signifikan antara kegagalan terapi awal melawan bakteri atau terjadinya rekurensi. Maka dari itu, resiko terjadinya rekurensi dapat diperburuk dengan semakin singkatnya lama pemberian antibiotic.Pada faringitis rekuren bisa jadi disebabkan karena relaps atau mendapat infeksi baru. Dalam kasus relaps, sefalosforin dapat disarankan untuk diberikan karena lebih efektif dari pada penicillin.Beberapa penulis telah menyarankan bahwa sefalosporin memiliki keunggulan dari pada penisilin dalam mengobati faringitis streptokokus. Dalam studi meta-analisis dari 9 RCT, yang melibatkan 2113 pasien dewasa dengan faringitis streptokokus group A, Casey dan Pichichero mengemukakan bahwa kemungkinan memiliki kesembuhan klinis yang lebih tinggi secara signifikan pada penderita orang dewasa tonsillopharyngitis streptokokus group A setelah 10 hari diberikan sefalosporin oral dibandingkan dengan penisilin oral.Mereka melaporkan bahwa terdapat perbedaan yang jelas dalam tingkat kegagalan mengeradikasi bakteri antara sefalosporin dan penisilin adalah 5,4% . Mereka juga melakukan meta-analisis RCT tentang sefalosporin dibandingkan dengan pengobatan penisilin faringitis streptokokus pada anak-anak. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan kegagalan bakteriologis dan klinis secara signifikan cukup rendah jika diberikan sefalosporin oral dibandingkan dengan penisilin oral.Pada intinya perlu dicatat bahwa tidak ada pedoman yang merekomendasikan sefalosporin sebagai obat pilihan pertama pengobatan faringitis streptokokus group A karena selain harganya lebih mahal daripada penisilin dan risiko terjadinya resistensi. Rekomendasi kami dalam guideline ini terbatas pada pasien dengan hipersensitivitas beta laktam bukan tipe I.

KesimpulanDiagnosis yang benar dan pengobatan faringitis streptococcus adalah kunci untuk menggunakan antibiotik secara bijak serta pencegahan terhadap komplikasi supuratif dan non supuratif. Dengan demikian, perlu berhati-hati bahwa dokter anak harus melakukan setidaknya satu tes mikrobiologi (RADT atau swab kultur tenggorokan )pada faringitis yang diduga etiologinya berasal streptokokus dalam membuat diagnosis yang benar. Pada kebanyakan RADTs dapat memberikan hasil dalam beberapa menit dan umumnya memiliki sensitivitas yang tinggi. Secara praktis, kami sarankan bahwa RADT negative harus dikonfirmasi oleh swab kultur tenggorokan apabila terdapat kecurigaan mengarah pada klinis faringitis sterptococcus tinggi. Pada faringitis yang terbukti etiologi penyebabnya berasal dari bakteri maka harus diberikan antibiotik sebagai pengobatannya. Penisilin V merupakan drug of choice atau obat pilihan pertama, namun sediaan oral tidak tersedia di Italia, sehingga pemberian amoksisillin dapat digunakan sebagai lini pertama karena memiliki efektifitas yang yang sama dan menunjukkan palatability yang lebih tinggi. Golongan antibiotic makrolida tidak ada indikasi dalam mengobati faringitis streptokokus kecuali diberikan pada pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap penisilin sudah terbukti dengan konfirmasi laboratorium. Penggunaan sefalosporin cukup baik diberikan sebagai alternative terhadap pasien yang memiliki reaksi hipersensitifitas kecuali tipe I karena penisillin . Penggunaan golongan makrolid pada faringitis streptokokus yang tidak tepat merupakan penyebab utama banyaknya bakteri yang resisten di negara-negara barat. Penting untuk digarisbawahi bahwa lama pemberian pengobatan harus tuntas sampai 10 hari. Sehingga Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, maka dokter harus menjelaskan pentingnya pengobatan selama 10 hari bertujuan untuk mengeradikasi bakteri walaupun secara klinis menunjukkan peningkatan terjadi pada 4-5 hari pertama pengobatan.