bahan belajar 1

25
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah usia lanjut dan osteoporosis semakin menjadi perhatian dunia, termasuk Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh meningkatnya usia harapan hidup. Keadaan ini menyebabkan peningkatan penyakit menua yang menyertainya, antara lain osteoporosis. Osteoporosis merupakan satu penyakit metabolic tulang yang ditandai oleh menurunnya massa tulang,oleh karena berkurangnya massa matriks dan mineral tulang disertai dengan kerusakan mikro arsitektur dari jaringan tulang, dengan akibat menurunnya kekuatan tulang, sehingga terjadi kecendrungan tulang patah (Kawiyana, 2009) Pengobatan osteoporosis yang sudah lanjut dengan komplikasi patah tulang merupakan hal yang sangat sulit dan memerlukan waktu lama serta biaya yang cukup besar. Di Amerika dari 300.000 kasus fraktur osteoporosis pada tahun 1991 dibutuhkan dana $5 milyar. Dan diperkirakan akan membutuhkan dana mencapai $30-40 milyar pada tahun 2020. Di Indonesia tahun 2000 dengan 227.850 fraktur osteoporosis dibutuhkan dana $2,7 milyar dan perkiraan pada tahun 2020 dengan 426.300 fraktur osteoporosis dibutuhkan dana $3,8 milyar. Dapat dibayangkan biaya pada tahun 2050 (FK UI). Jadi osteoporosis lebih-lebih yang sudah terjadi komplikasi menimbulkan morbiditas dan mortalitas yang cukup serius.

Upload: lusiyana-ika-priambudi

Post on 21-Jan-2016

77 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: bahan belajar 1

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah usia lanjut dan osteoporosis semakin menjadi perhatian dunia, termasuk Indonesia. Hal

ini dilatarbelakangi oleh meningkatnya usia harapan hidup. Keadaan ini menyebabkan peningkatan

penyakit menua yang menyertainya, antara lain osteoporosis.

Osteoporosis merupakan satu penyakit metabolic tulang yang ditandai oleh menurunnya massa

tulang,oleh karena berkurangnya massa matriks dan mineral tulang disertai dengan kerusakan mikro

arsitektur dari jaringan tulang, dengan akibat menurunnya kekuatan tulang, sehingga terjadi

kecendrungan tulang patah (Kawiyana, 2009)

Pengobatan osteoporosis yang sudah lanjut dengan komplikasi patah tulang merupakan hal yang

sangat sulit dan memerlukan waktu lama serta biaya yang cukup besar. Di Amerika dari 300.000

kasus fraktur osteoporosis pada tahun 1991 dibutuhkan dana $5 milyar. Dan diperkirakan akan

membutuhkan dana mencapai $30-40 milyar pada tahun 2020. Di Indonesia tahun 2000 dengan

227.850 fraktur osteoporosis dibutuhkan dana $2,7 milyar dan perkiraan pada tahun 2020 dengan

426.300 fraktur osteoporosis dibutuhkan dana $3,8 milyar. Dapat dibayangkan biaya pada tahun 2050

(FK UI). Jadi osteoporosis lebih-lebih yang sudah terjadi komplikasi menimbulkan morbiditas dan

mortalitas yang cukup serius.

Page 2: bahan belajar 1

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi

Osteoporosis dapat menyerang pria maupun wanita. Berdasarkan penelitian dari American College of

Reumatologi Communications and Marketing Committee, mengemukakan bahwa osteoporosis lebih

umum terjadi pada lansia dan orang berkulit puih. Dalam hal ini pria memiliki resiko yang sama dengan

wanita. Osteoporosis juga dapat terjadi pada semua usia dan pada semua suku. Usia di atas 50 tahun

memiliki lebih tinggi terkena osteoporosis. Pada kelompok usis tersebut satu dari dua wanita dan satu dari

enam pria sering menderita fraktr terkait osteoporosis. Orang berkulit putih dan orang Asia memiliki

resiko yang lebih besar menderita osteoporosis dan fraktur terkait osteoporosis. Orang berkulit hitam juga

dapat terkena osteoporosis tetapi memiliki resiko lebih rendah dibandingkan dengan penduduk Asia dan

orang berkulit putih (Tandra, 2009)

Catatan dari International Osteoporosis Foundation adalah tiap wanita mempunyai resiko fraktur

akibat osteoporosis sebesar 40% dalam hidupnya dan bagi pria angka resikonya adalah 30%. Angka lain

yang mengejutkan adalah sekitar 20 persen orang usia lanjut mengalami patah tulang akan meninggal

dunia tiap tahun. Ramalan di tahun 2020 adalah setengan dari orang berusia 50 tahun di Amerika Serikat

akan beresiko mengalami patah tulang karena osteoporosis. Setelah tahun 2050, diperkirakan aka nada

6,3 juta patah tulang panggul setiap tahun di seluruh dunia, dimana lebih dari setengahnya terdapat di

Asia (Tandra, 2009).

Berdasarkan hasil analisa data yang dilakukan Puslitbang Gizi Depkes RI tahun 2004 pada 14 provinsi

menunjukkan bahwa masalah osteoporosis di Indonesia telah mencapai tingkat yang perlu diwaspadai

yaitu 19,7%. Tingkat kecenderungan ini 6 kali lebih besar dibandingkan Belanda. Lima provinsi dengaan

resiko osteoporosis lebih tinggi yakni Sumatera Selatan (27,7%), Jawa Tengah (24,02%), DI Yogyakarta

(23,5%), Sumatera Utara (22,8%), Jawa Timur (21,42%), dan Kalimantan Timur (10,5%) (Depkes RI,

2004).

Hasil analisa data resiko osteoporosis pada tahun 2005 dengan jumlah sampel 65.727 orang (22.799

laki-laki dan 42.928 orang perempuan) yang dilakukan oleh Puslitbang Gizi Depkes RI dan sebuah

perusahaan nutrisi pada 16 wilayah di Indonesia secara selected people (Sumatera Utara & NAD,

Sumatera Barat, Riau, Kep.Riau, Jambi, Sumatera Selatan & Bangka Belitung & Bengkulu, Lampung,

DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali & NTB & NTT,

Kalimantan, Sulawesi & Maluku & Papua) dengan metode pemeriksaan DMT (Densitas Massa Tulang)

menggunakan alat diagnostic clinical bone sonometer, menunjukkan angka prevalensi osteopenia

(osteoporosis dini) sebesar 41,7% dan prevalensi osteoporosis sebesar 10,3%. Ini berarti 2 dari 5

penduduk Indonesia memiliki resiko untuk terkena osteoporosis usia <5 tahun pada pria cenderung lebih

tinggi disbanding wanita, sedangkan >55 tahun peningkatan osteopenia pada wanita enam kali lebih besar

dari pria dan peningkatan osteoporosis pada wanita dua kali lebih besar dari pria (Depkes RI, 2008)

Page 3: bahan belajar 1

3

Sekarang bahwa osteoporosis merupakan penyakit endemik manusia usia lanjut. Dinyatakan dari

tahun 1990 sampai 2025 terjadi kenaikan jumlah penduduk Indonesia yang osteoporosis mencapai 41.4%

yang mengancam terjadi patah tulang (14,7-20%) pertahun dan kecacatan dalam kehidupan. Diperkirakan

angka fraktur tulang panggul di dunia meningkat dari 1,7 juta/tahun 1990 menjadi 6,3 juta/tahun pada

tahun 2025 (Suryati, 2009).

2.2 Patofisiologi

1. Definisi

Osteoporosis berasal dari kata osteo dan porous, osteo artinya tulang, dan porous berarti

berlubang-lubang atau keropos. Jadi, osteoporosis adalah tulang yang keropos, yaitu penyakit yang

mempunyai sifat khas berupa massa tulangnya rendah atau berkurang, disertai gangguan mikro-

arsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang, yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang

(Tandra, 2009).

Menurut WHO pada International Consensus Development Conference, di Roma, Itali, 1992

Osteoporosis adalah penyakit dengan sifat-sifat khas berupa massa tulang yang rendah, disertai

perubahan mikroarsitektur tulang, dan penurunan kualitas jaringan tulang, yang pada akhirnya

menimbulkan akibat meningkatnya kerapuhan tulang dengan risiko terjadinya patah tulang (Suryati,

2006).

Menurut National Institute of Health (NIH), 2001 Osteoporosis adalah kelainan kerangka,

ditandai dengan kekuatan tulang yang mengkhawatirkan dan dipengaruhi oleh meningkatnya risiko

patah tulang. Sedangkan kekuatan tulang merefleksikan gabungan dari dua faktor, yaitu densitas

tulang dan kualitas tulang. Dimana keadaan tersebut tidak memberikan keluhan klinis, kecuali

apabila terjadi fraktur (thief in the night) (Junaidi, 2007).

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1142/Menkes/SK/VII/2008, osteoporosis adalah

suatu penyakit yang ditandai berkurangnya massa tulang dan adanya perubahan mikro-arsitektur

jaringan tulang yang berakibat menurunnya kekuatan tulang dan meningkatnya kerapuhan tulang,

sehingga tulang mudah patah. Definisi lain, osteoporosis adalah kondisi dimana tulang menjdai tipis,

rapuh, keropos dan mudah patah akibat berkurangnya masssa tulang yang terjadi dalam waktu lama.

Secara statistic, osteoporosis didefinisikan sebagai keadaan dimana Densitas Mineral Tulang (DMT)

berada di bawah nilai rujukan menurut umur atau standar deviasi berada di bawah nilai rata-rata

rujukan pada usia dewasa muda.

Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik. Dan fraktur osteoporosis dapat terjadi pada tiap

tempat. Meskipun fraktur yang berhubungan dengan kelainan ini meliputi thorak dan tulang

belakang (lumbal), radius distal dan femur proksimal. Definisi tersebut tidak berarti bahwa

semua fraktur pada tempat yang berhubungan dengan osteoporosis disebabkan oleh kelainan ini.

Interaksi antara geometri tulang dan dinamika terjatuh atau kecelakaan (trauma), keadaan

lingkungan sekitar, juga merupakan faktor penting yang menyebabkan fraktur. Ini semua dapat

Page 4: bahan belajar 1

4

berdiri sendiri atau berhubungan dengan rendahnya densitas tulang.6 (Scottish Intercolligiate

Guideline Network, 2003)

Osteoporosis merupakan suatu penyakit yang tergolong silent-disease atau tidak memiliki gejala

yang tampak sehingga untuk deteksi kondisi pasien harus dilakukan diagnosis laboratorium. Kondisi

patologis tersebut biasanya baru diketahui setelah seseorang mengalami kejadian patah tulang atau

terjadi kelainan struktur tulang sehingga penanganan dini sulit dilakukan. Penanganan dini sangat

penting dilakukan untuk mencegah resiko yang lebih buruk. Sebelum terjadinya patah tulang ataupun

perubahan struktur tulang, kondisi pasien masih dapat kembali seperti semula atau kembali normal.

2. Etiologi

Osteoporosis dibagi menjadi dua golongan besar menurut penyebabnya, yaitu:

a. Osteoporosis primer yaitu osteoporosis yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit (proses

alamiah). Osteoporosis primer berhubungan dengan berkurangnya massa tulang dan atau

terhentinya produksi hormon (khusus perempuan yaitu estrogen) disamping bertambahnya

usia (DepKes RI,2008). Dapat terjadi pada berbagai usia, dihubungkan dengan faktor resiko

meliputi, merokok, aktifitas, berat badan, alkohol, ras putih kulit Asia,riwayat keluarga,

postur tubuh dan asupan kalsium yang rendah.

Osteoporosis primer terdiri dari:

- Osteoporosis primer tipe I. sering disebut dengan istilah osteoporosis pasca menopause

yang terjadi pada wanita usia 50-65 tahun, fraktur biasanya pada vertebra (ruas tulang

belakang), iga atau tulang radius.

- Osteoporosis tipe II. Sering disebut dengan istilah osteoporosis senile, yang terjadi pada

usia lanjut. Hal ini kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang

berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan antara kecepatan hancurnya tulang

(osteoklas) dan pembentukan tulang baru (osteoblas) (Junaidi,2007). Pasien biasanya

berusia ≥70 tahun, pria dan wanita mempunyai kemungkinan yang sama terserang,

fraktur biasanya pada tulang paha. Selain fraktur maka gejala yang pelu diwaspadai

adalah kifosis dorsalis, makin pendek dan nyeri tulang berkepanjangan.

b. Osteoporosis sekunder yaitu osteoporosis yang disebabkan oleh berbagai kondisi

klinis/penyakit, seperti infeksi tulang tumor tulang pemakaian obat-obatan tertentu dan

immobilitas yang lama. Merupakan osteoporosis yang disebabkan oleh penyakit atau

penggunaan obat tertentu. Penyebab paling umum osteoporosis sekunder adalah defisiensi

vitamin D dan terapi glukokortikoid (Dipiro et al, 2005). Defisiensi vitamin D akan

menyebabkan penurunan absorpsi kalsium di usus, sehingga kalsium dalam darah akan turun,

sehingga untuk memenuhi kalsium darah akan diambil kalsium dari tulang yang dapat

menyebabkan kerapuhan tulang.

Page 5: bahan belajar 1

5

Mekanisme obat yang dapat memicu osteoporosis dapat digolongkan menjadi 3 kelompok

besar yakni aktivasi osteolklast dan meningkatkan pergantian tulang. Kedua, menekan

aktivitas osteoblast dan yang ketiga menghambat mineralisasi tulang. Beberapa obat yang

memicu osteoporosis:

1. Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid jangka panjang menjadi penyebab sekunder yang paling

banyak ditemui, khususnya penggunaan sistemik. Pemberian lebih dari 7,5 mg prednison

selama 2-3 bulan dapat menyebabkan terjadinya kehilangan massa tulang yang cukup berarti

(Mike, 2000). Glukokortikoid banyak digunakan dan efektif dalam mengobati penyakit paru,

rematoid, gangguan saluran cerna, kondisi dermatologi, dan autoimun. Resiko kehilangan

tulang yang terbesar terjadi dalam enam hingga 12 bulan pertama terapi jangka panjang. Pada

tahap inisiasi penggunaan terapi steroid tersebut penurunan massa tulang mencapai 12%. Hal

ini terjadi sejalan dengan meningkatnya dosis, tetapi biasanya terjadi pada dosis harian yang

normal. Banyak penelitian telah mengevaluasi komorbiditas terkait dengan steroid yang

memicu osteoporosis, sekitar 30% hingga 50% pasien yang memakai secara sistemik dalam

jangka waktu panjang, akhirnya mengalami fracture (Hulisz, 2006).

2. Obat-obat antikonvulsi

Antikonvulsant tertentu dapat menyebabkan kehilangan tulang. Obat yang paling sering

dikaitkan dengan osteoporosis yakni fenitoin, fenobarbital, karbamazepin, dan primidone.

Obat antiepilepsi (AED) semua ampuh menginduksi isoenzim CYP-450. Dalam salah satu

penelitian terhadap masyarakat dengan populasi wanita lanjut usia, keropos tulang hampir dua

kali lipat pada mereka yang menggunakan AED dibandingkan dengan yang tidak

menggunakan.

Mekanisme yang terjadi pada penggunaan AED yang menyebabkan osteoporosis yakni

dengan adanya penginduksian enzim hati CYP-450, yang menyebabkan metabolisme yang

cepat vitamin D, dan mungkin estrogen. AED juga terkait dengan penurunan penyerapan

kalsium, hiperparatiroid sekunder, dan meningkatnya pergantian tulang. Pada tingkat terapetik,

fenitoin dan karbamazepin telah menunjukkan efek langsung pada penghambatan sel osteoblas

tulang. Mekanisme yang mungkin terkait dengan fenitoin adalah penghambatan sekresi

osteocalcin –hormon yang mengatur kalsium pada tulang. AED mungkin menunjukkan

kombinasi dari efek ini, dan dampaknya terhadap kehilangan tulang dapat menjadi aditif jika

diberikan kombinasi (Hulisz, 2006).

3. Heparin

Unfractionated Heparin (UFH) atau heparin alami juga merupakan obat pemicu

osteoporosis. Komplikasi ini biasanya terlihat pada penggunaan terapi jangka panjang dengan

dosis tinggi. Telah diperkirakan bahwa keropos tulang terjadi setelah enam bulan terapi

heparin dengan dosis harian lebih besar dari 15.000 unit.

Page 6: bahan belajar 1

6

Mekanisme seluler yang tepat dimana heparin menyebabkan keropos tulang, belum

sepenuhnya dipahami. Heparin menyebabkan resorpsi tulang dengan merangsang peningkatan

osteoklas dan menekan fungsi osteoblas, yang menyebabkan massa tulang menurun.

Mekanisme lainnya yakni menipisnya sel mast dalam sumsum tulang dan peningkatan fungsi

hormon paratiroid (PTH), suatu regulator penting dari kalsium dalam tubuh. PTH

meningkatkan pelepasan kalsium dan fosfor dari tulang ke dalam darah (Hulisz, 2006).

4. Progestin

Salah satu obat yang terkait dengan osteoporosis adalah progestin. Progestin adalah jenis

hormon yang biasa digunakan dalam berbagai bentuk kontrasepsi, serta dalam produk sulih

hormon, dan digunakan pada wanita dari berbagai usia. Progestin paling sering dikaitkan

dengan keropos tulang yakni medroksiprogesteron asetat (MPA). Ini adalah bentuk injeksi

kontrol kelahiran yang dikenal sebagai Depo-Provera dan juga merupakan bagian dari

kombinasi hormon pengganti yang dikenal sebagai Premphase, dan Prempro. Resiko

terjadinya keropos tulang setelah dua tahun penggunaan berkelanjutan. Sejak Depo-Provera

umumnya digunakan pada anak perempuan remaja. Pada remaja, MPA dapat digunakan

selama dua tahun jika tidak ada pilihan lain yang sesuai. Namun, jika mungkin dianjurkan

untuk menggunakan bentuk lain atau sebaiknya digunakan dengan kombinasi pil kontrasepsi

oral.

5. Hormon tiroid

Kondisi hipertiroid maupun terapi menggunakan hormon tiroid sangat berpengaruh

terhadap kecepatan penurunan massa tulang. Pada anak-anak, jumlah hormon tiroid yang

tinggi dapat memicu pertumbuhan karena hormon tiroid juga berperan dalam produksi energi

tubuh. Akan tetapi, kelebihan asupan hormon tiroid pada orang dewasa dapat menyebabkan

hipertiroid yang mengakibatkan hilangnya massa tulang. Pada kondisi hipertiroid, tubuh

memberikan feedback negatif agar konsentrasi TSH menjadi menurun. Akibat dari kondisi ini

adalah semakin cepatnya proses pemodelan kembali tulang dan massa tulang semakin

menurun. Hal ini terjadi karena reseptor TSH juga terdapat pada sel prekursor osteoblas dan

osteoklas. Pada kondisi dengan konsentrasi TSH terlalu kecil, resorpsi tulang berjalan lebih

cepat sehingga terjadi pengeroposan tulang.

6. Obat lainnya

Ada beberapa obat lain yang dapat menginduksi osteoporosis diantaranya; metotrexate,

antasida yang mengandung aluminium, fluoride, furosemid, litium, siklosporin, dan vitamin A.

Umumnya resiko terjadi osteoporosis karena pemberian dalam dosis tinggi. Misalnya

penggunaan methotrexate pada pasien onkologi. Mekanismenya masih belum sepenuhnya

dipahami, tetapi diduga melibatkan ketidakseimbangan reseorpsi dan formasi tulang.

Antasida yang mengandung aluminium dapat menyebabkan osteoporosis karena dapat

menghambat aktivitas dari osteoblas serta menghambat penyerapan mineral lain dari saluran

cerna. Fluoride juga dapat menyebabkan osteoporosis karena menghambat penyerapan kalsium

Page 7: bahan belajar 1

7

dari saluran cerna. Fluoride sendiri bersifat mengikat kalsium sehingga sering ditambahkan

dalam pasta gigi. Kalsium yang terikat dengan fluoride tidak dapat diabsorpsi dari saluran

cerna sehingga lama kelamaan konsentrasi kalsium dalam darah menurun dan massa tulang

menjadi menurun.

Litium menginduksi osteoporosis dengan meningkatkan konsentrasi paratiroid hormon

dalam darah. Paratiroid hormon berperan dalam resorpsi tulang sehingga konsentrasi kalsium

dalam darah meningkat. Furosemid merupakan suatu obat diuretikum, akibatnya eksresi

kalsium melalui urin menjadi lebih tinggi dan konsentrasi kalsium dalam darah menjadi

rendah. Konsentrasi kalsium yang rendah ini akan menginduksi pelepasan paratiroid hormon

sehingga proses resorpsi tulang terjadi. Siklosporin diduga menyebabkan osteoporosis dengan

meningkatkan aktivitas bone turnover. Konsumsi vitamin A yang berlebihan juga dapat

memicu aktivitas osteoklas yang berlebihan sehingga proses resorpsi tulang semakin

meningkat.

Selain penggolongan diatas, terdapat juga penyebab osteoporosis yang penyebabnya

tidak diketahui (osteoporosis juvenile idiopatik). Hal ini terjadi pada anak-anak dan

dewasa muda yang memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang

normal dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang (Junaidi, 2007).

3. Patogenesis

Terjadinya osteoporosis secara seluler disebabkan oleh karena jumlah dan aktivitas sel

osteoklas melebihi dari jumlah dan aktivitas sel osteoblas. Keadaan ini mengakibatkan penurunan

massa tulang (Kawiyana, 2009). Osteoklas adalah sel multinuklear yang mengerosi dan meresorpsi

tulang yang sebelumnya terbentuk. Osteoklas sekarang dianggap berasal dari stem sel hemopoitik

melalui monosit. Mereka tampak memfagositosis tulang, mencernakannya dalam sitoplasmanya;

itulah sebabnya mengapa tulang sekitar osteoklas aktif mempunyai sifat berkerut atau pinggir yang

seperti terkunyah (Ganong, 1983). Sel osteoklas adalah sel tulang yang bertanggung jawab terhadap

proses resorpsi tulang, berasal dari sel hematopoitik/fagosit mononuclear. Osteoblast adalah sel

pembentuk tulang yang mengsekresi kolagen, membentuk matriks sekitar mereka sendiri yang

kemudian mengalami kalsifikasi (Ganong, 1983).

Tulang adalah jaringan hidup. Tulang melindungi sumsum tulang belakang, organ tubuh

paling aktif yang bertugas memproduksi darah. Tulang terus menerus mengalami proses

peremajaan yang disebut pembentukan tulang kembali (bone remodelling), yang melibatkan sel

yang ada pada sumsum tulang belakang. Kekuatan tulang berasal dari dua sumber bagian luar

yang padat yang beratnya 80% dari massa tulang dan bagian dalam yang halus seperti spons

yang disebut trabekular (20% dari massa tulang) dan jaringan dasar tulang mengandung sel-sel

Page 8: bahan belajar 1

8

tulang (osteosit) yang terdiri dari osteoklas (penghancur) dan osteoblas (pembentuk) (Gomez,

2006).

Pada wanita menopause tingkat oksigen turun sehingga siklus remodeling tulang berubah dan

pengurangan jaringan tulang dimulai karena salah satu fungsi estrogen adalah mempertahankan

tingkat remodeling tulang yang normal, sehingga ketika tingkat estrogen turun, tingkat resorbsi

tulang menjadi lebih tinggi daripada formasi tulang yang mengakibatkan berkurangnya massa

tulang (Lane, 2001).

Ada pendapat yang menyatakan, pembentukan kembali tulang terjadi setelah tulang menjadi

tua atau lemah atau mengalami keretakan yang mengurangi kekuatan tulang tersebut. Sepotong

tulang yang mengalami kerusakan kecil ini dilarutkan atau diserap kembali oleh sel bernama

osteoklas, yang didatangkan ke area tersebut oleh zat penarik tertentu yang dihasilkan oleh sel

bernama osteosit yang dapat mengidentifikasi kerusakan tulang. Setelah melarutkan potongan

tulang yang rusak, osteoklas menghilang dan sel pembentuk tulang (osteoblas) yang terbuat dari

precursor di sumsum tulang belakang. Osteoblas membentuk tulang baru untuk menggantikan

tulang yang dilarutkan oleh osteoklas ( Cosman, 2009).

Selama masih muda, banyaknya tulang yang diserap kembali seimbang dengan banyaknya

tulang yang dibentuk. Keseimbangan ini terganggu saat tua khususnya saat menopause dan

bertambahnya usia. Sel yang memecah tulang (osteoklas) dengan cepat melubangi tulang.

Osteoblas tidak bisa mengimbanginya dan di setiap unit mikroskopis pembentukan kembali akan

ada sedikit tulang yang keropos. Selanjutnya, saat terus menggali lubang yang dalam ini,

osteoklas dapat benar-benar melubangi sebagian keeping tulang yang memiliki struktur saling

berhubungan (trabekula). Akibat lubang kecil ini, seluruh struktur mikroskopis tulang terganggu

(Cosman, 2009).

Pada semua tipe osteoporosis, awalnya terjadi perubahan yang menyolok pada tulang

spongiosa, dimana jaringan pengapuran yang normal menjadi tipis dan renggang. Cortex tulang

menjadi tipis dan keropos akhirnya pada beberapa individu tulang menjdai lunak pada

osteomalasia, menjadi fragile, menjadi mengecil yang mudah menjadi fraktur patologik.

4. Prognosis

Prognosisnya baik dalam pencegahan osteoporosis setelah menopause jika terapi farmakologi

dengan estrogen atau raloxifen dimulai sedini mungkin dan bila terapi dipertahankan dengan

baik dalam jangka waktu yang panjang (bertahun-tahun). Penggunaan bifosfonat dapat

memperbaiki keadaan osteoporosis pada penderita, serta mampu mengurangi risiko terjadinya

patah tulang.

Patah pada tulang pinggul dapat mengakibatkan menurunnya mobilitas pada pasien. Pada

penelitian Hannan et al (2001) dilaporkan bahwa nilai mortalitas pada subjek penelitian (571

Page 9: bahan belajar 1

9

orang dengan usia 50 tahun atau lebih) dalam 6 bulan setelah mengalami patah pada tulang

pinggul adalah sekitar 13.5% dan sejumlah penderita membutuhkan bantuan secara sepenuhnya

dalam mobilitas mereka setelah mengalami patah tulang pinggul.

Patah tulang belakang memiliki pengaruh lebih rendah terhadap mortalitas, serta dapat

mengakibatkan nyeri kronis yang berat dan sulit untuk dikontrol. Meskipun jarang terjadi, patah

tulang belakang yang parah dapat mengakibatkan bungkuk (kyphosis) yang kemudian dapat

menekan organ dalam tubuh dan mengganggu sistem pernafasan dari penderita.

Walaupun penderita osteoporosis mempunyai kadar mortalitas yang meninggi karena adanya

komplikasi fraktur, jarang fatal. Fraktur tulang pinggul bisa menyebabkan penurunan mobilitas

dan tambahan dari resiko komplikasi multiple. Kadar mortalitas sampai 6 bulan setelah fraktur

tulang pinggul adalah sebanyak 13,5% dan proporsi yang hampir sama pada penderitan yang

mengalami fraktur tulang pinggul yang memerlukan bantuan untuk mobilisasi. Namun fraktur

tulang vertebra yang multiple bisa menyebabkan kiposis. Selain dari resiko kematian dan

komplikasi yang lain, fraktur soteporotic bisa menyebabkan pengurangan kualitas hidup

(Hannan, 2001).

2.3 Presentasi Klinis

1. Gejala dan Tanda

Osteoporosis dikenal sebagai silent disease karena pengeroposan tulang terjadi secara progresif

selama beberapa tahun tanpa disertai dengan adanya gejala. Beberapa gejala yang terjadi umumnya

baru muncul setelah mencapai tahap osteoporosis lanjut. Gejala-gejala umum yang terjadi pada

kondisi osteoporosis adalah : fraktur tulang, postur yang bungkuk (Toraks kifosis atau Dowager's

hump), berkurangnya tinggi badan, nyeri pada punggung, nyeri leher dan nyeri tulang (Setyohadi,

2007)

Fraktur yang terjadi pada leher femur dapat mengakibatkan hilangnya kemampuan mobilitas

penderita baik yang bersifat sementara maupun menetap. Fraktur pada distal radius akan menimbulkan

rasa nyeri dan terdapat penurunan kekuatan genggaman, sehingga akan menurunkan kemampuan

fungsi gerak.Sedangkan tanda dan gejala fraktur vertebra adalah nyeri punggung, penurunan gerak

spinal dan spasme otot di daerah fraktur. Semua keadaan di atas menyebabkan adanya keterbatasan

dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari (Setyohadi, 2007).

Pada awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala, bahkan sampai puluhan tahun tanpa

keluhan. Jika kepadatan tulang sangat berkurang sehingga tulang menjadi kolaps atau hancur, akan

timbul nyeri dan perubahan bentuk tulang. Jadi, seseorang dengan osteoporosis biasanya akan

memberikan keluhan atau gejala sebagai berikut:

Gejala:

1. Nyeri

2. Immobilitas

Page 10: bahan belajar 1

10

3. Depresi, ketakutan dan rasa rendah diri karena keterbatasan fisik.

Tanda:

1. Pemendekan tinggi badan, kifosis atau lordosis

2. Fraktur tulang punggung, panggul dan pergelangan tangan

3. Kepadatan tulang rendah pada pemeriksaan radiografi

(Hannan, 2001)

2. Diagnosa :

Hingga saat ini deteksi osteoporosis merupakan hal yang sangat sulit dilakukan. Osteoporosis

merupakan penyakit yang hening (silent), kadang-kadang tidak memberikan tanda-tanda atau

gejala sebelum patah tulang terjadi. Diagnose penyakit osteoporosis kadangkadang baru diketahui

setelah terjadinya patah tulang punggung, tulang pinggul, tulang pergelangan tangan atau patah

tulang lainnya pada orang tua, baik pria atau wanita. Biasanya dari waktu ke waktu massa

tulangnya terus berkurang, dan terjadi secara luas dan tidak dapat diubah kembali.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. No.1142/Menkes/SK/VII/2008, pelaksanaan

diagnosis adalah sebagai berikut:

1. Anamnesis

Beberapa tanda dan gejala yang perlu diwaspadai kemungkinan osteoporosis ialah:

a. Adanya faktor resiko (factor prediposisi)

b. Terjadi patah tulanh secara tiba-tiba karena trauma yang ringan atau tanpa trauma

c. Timbul rasa nyeri yang hebat sehingga pasien tidak dapat melakukan pergerakan

d. Tunbuh makin pendek dan bongkok (kifosis dorsal bertambah)

Anamnesis dapat dilengkapi dengan menggunakan formulir test semenit resiko osteoporosis

yang dikeluarkan oleh IOF (International Osteoporosis Foundation)

2. Pemeriksaan Fisik

Dilakukan dengan mengamati penurunan tinggi badan dan postur tubuh.

3. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

Kadar serum puasa kalsium, fosfat fosfatase alkali.

Bila ada indikasi dianjurkan juga untuk melakukan pemeriksaan fungsi tiroid, hati dan

ginjal.

Pengukuran ekskresi kalsium urin 24 jam berguna untuk menentukan pasien malabsorpsi

kalsium (total ekskresi 24 jam <100 mg) dan untuk pasien yang jumlah ekskresi kalsium

sangat tinggi (>250 mg/24 jam) yang bila diberi suplemen kalsium atau vitamin D atau

metabolismenya mungkin berbahaya.

Page 11: bahan belajar 1

11

Bila dari hasil klinis, darah dan urin diduga adanya hiperparatiroidisme,maka perlu

diperiksa kadar hormone paratiroid (PHT). Bila ada dugaan k earah malabsorpsi maka

perlu diperiksa kadar 25 OH D.

b. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi umumnya terlihat jelas apabila telah terjadi osteoporosis lanjut atau

jika hasil BMD yang diperoleh dari hasil pemeriksaan dengan menggunakan alat

densitometer menunjukkan positif tinggi.

c. Pemeriksaan densitometer (ultrasound)

Pemeriksaaan densitometer untuk mengukur kepadatan tulang (BMD) berdasarkan standar

deviasi (SD) yang terbaca oleh alat tersebut . densitometer merupakan alat test terbaik

untuk mendiagnosis seseorang penderita osteopeni atau osteoporosis, namun tes ini tidak

dapat menentukan cepatnya proses kehilangan massa tulang. Jika densitometer ultrasound

menunjukkan nilai rendah (T-score dibawah -2,5) sebaiknya disarankan menggunakan

densitometer X-ray. Penilaian osteoporosis dengan densitometer:

- Normal: nilai densitas atau kandungan mineral tulang tidak lebih dari 1 selisih pokok

di bawah rata-rata orang dewasa, atau kira-kira 10% di bawah rata-rata orang dewasa

atau lebih tinggi (T-score lebih besar atau sama dengan -1 SD).

- Osteopenia (massa tulang rendah): nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih

dari 1 selisih pokok di bawah rata-rata orang dewasa, tapi tidak lebih dari 2,5 selisih

pokok di bawah rata-rata orang dewasa, (T-score antara -1 SD sampai -2,5 SD).

- Osteoporosis: nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari 2,5 selisih pokok

di bawah nilai ratarata orang dewasa, atau 25% di bawah rata-rata atau kurang (T-

score di bawah -2,5 SD).

- Osteoporosis lanjut: nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari 2,5 selisih

pokok di bawah rata-rata orang dewasa, atau 25% di bawah rata-rata ini atau lebih,

dan disertai adanya satu atau lebih patah tulang osteoporosis (T-score di bawah -2,5

SD dengan adanya satu atau lebih patah tulang osteoporosis).

c. Diagnosa Banding

1. Osteomalasia

Osteomalasia adalah penyakit metabolisme tulang yang ditandai oleh kurangnya mineral

dari tulang pada orang dewasa, berlangsung kronis dan dapat terjadi deformitas skeletal yang

disebabkan oleh defisiensi vitamin D. penurunan densitas tulang secara umum (pseudofraktur)

merupakan pita translusen yang sempit, pada tepi kortikal dan merupakan tanda diagnostic

untuk osteomalasia.

Page 12: bahan belajar 1

12

2. Penyakit Cushing

Steroid menghambat sintesis kolagen tulang, dan mencegah transfomasi sel-sel precursor

menjadi osteoblast. Disamping itu steroid jugA sangat mereduksi sintesis protein. Gambaran

histomorfometrik akan menunjukkan penurunan tingkat aposisi mineral dan penipisan dinding

tulang yang diduga karena umur osteoblast yang semakin pendek.

3. Multiple myeloma

Multiple myeloma merupakan tumor ganas pada sumsum tulang,dimana terjadi infiltrasi pada

daerah yang memproduksi sumsum tulang ddan proliferasi sel-sel plasma yang ganas. Tulang

tengkorak, tulang belakang,pelvis, iga, scapula dan tulang aksial proksimal merupakan yang

terkena secara primer dan mengalami destruksi sumsum. Saat timbul gejala sekitar 80-90%

diantaranya telah mengalami kelainan tulang.

4. Hiperparatiroidisme

Hiperparatiroidisme terdapat dalam bentuk primer dan sekunder. Bentuk primer adalah karena

fungsi yang berlebihan dari kelenjar paratiroid. Namun sejak dikenalnya hemodialis,

penyebab yang lebih umum untuk hiperparatiroidisme adalah bentuk sekundernya yaitu

karena penyakit ginjal kronis. Penyakit tulang yang terlihat pada pasien ini biasanya disebut

osteodystrophy ginjal.

(Wirakusumah, 2007).

2.4 Sasaran dan strategi terapi

Sasaran pengobatan simptomatis adalah mengurangi rasa nyeri dan berusaha untuk menghambat

proses resorspsi tulang dan meningkatkan proses formasi tulang untuk meningkatkan kekuatan tulang

serta meningkatkan sampai di atas ambang fraktur (MenKes RI, 2008)

Sasaran terapi osteoporosis bagi individu dengan kategori usia hingga 20-30 tahun adalah

mencapai kepadatan tulang yang optimal. Sedangkan untuk individu dengan kategori usia diatas 30

tahun, sasarannya adalah mempertahankan kepadatan mineral tulang (bone mineral density / BMD)

dan meminimalkan keropos pada tulang yang diakibatkan karena pertambahan usia (age-related) atau

karena keadaan post-menopause.

Pencegahan terjadinya osteoporosis penting dilakukan pada individu dengan keadaan osteopenia

(keadaan dimana kepadatan mineral tulang dibawah nilai normal), karena individu yang telah

mengalami osteopenia dapat memiliki kemungkinan berlanjut menjadi osteoporosis bila tak ditangani

sedini mungkin. Sedangkan untuk penderita osteoporosis dengan risiko patah tulang, sasaran

terapinya adalah meningkatkan kepadatan mineral tulang, menghindari terjadinya keropos tulang

lebih lanjut dan menjaga agar tidak sampai terjadi patah tulang atau menghindari kegiatan-kegiatan

yang memiliki risiko tinggi menyebabkan patah tulang, contohnya olahraga berat.

Page 13: bahan belajar 1

13

Bagi individu yang mengalami patah tulang berkaitan dengan osteoporosis, sasaran terapi adalah

untuk mengontrol rasa nyeri, memaksimalkan proses rehabilitasi untuk mengembalikan kualitas

hidup dan kemandirian pasien, serta mencegah terjadinya patah tulang kembali atau bahkan kematian

(Wells, 2006).

Terapi farmakologi dan non farmakologi osteoporosis memiliki tujuan :

1. mencegah terjadinya fraktur dan komplikasi

2. pemeliharaan dan meningkatkan densitas mineral tulang

3. mencegah pengeroposan tulang

4. mengurangi morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan osteoporosis

(Chisholm-burns et al, 2008)

2.5 Tata laksana terapi

Berdasarkan Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. No.1142/Menkes/SK/VII/2008, secara

umum penatalaksanaan Osteoporosis dapat dilihat pada bagan berikut:

Page 14: bahan belajar 1

14

1. Terapi Non Farmakologi / Non-medikamentosa

a. Nutrisi

Pasien osteoporosis sebaiknya mendapatkan nutrisi yang cukup dan pemeliharaan berat

badan yang ideal. Diet kalsium penting untuk memelihara densitas tulang. Nutrisi tersebut

dapat berupa vitamin D yang bisa didapatkan dari brokoli, kacang-kacangan, ikan teri, ikan

salmon, susu, kuning telur, hati dan sardine serta paparan sinar matahari (Gomez, 2009).

b. Olahraga

Olahraga seperti berjalan, jogging, menari dan panjat tebing dapat bermanfaat dalam

mencegah kerapuhan dan fraktur tulang. Hal tersebut dapat memelihara kekuatan tulang

(Chisholm-burns et.al , 2008). Prinsip latihan fisik untuk kesehatan tulang adalah latihan

pembebanan, gerakan dinamis dan ritmis, serta latihan daya tahan (endurans) dalam bentuk

aerobic low impact. Senam osteoporosis untuk mencegah dan mengobati terjadinya

pengeroposan tulang. Daerah yang rawan osteoporosis adalah area tulang punggung, pangkal

paha dan pergelangan tangan (Anonim, 2011).

2. Terapi Farmakologi

A. Terapi medis

Biasanya pada tahap patah tulang terjadi rasa sakit yang hebat, bila tidak dapat digunakan

pereda sakit biasa maka dapat diberikan suntikan hormone kalsitonin. Bila rasa sakit mulai

mereda, tablet pereda sakit seperti paracetamol atau codein atau kombinasi keduanya seperti co-

dydramol, co-codramol atau co-proxamol cukup memadai bagi banyak pasien sehingga bisa

melakukan aktivitas sehari-hari (Wirakusumah, 2007).

B. Terapi Hormon

1) Estrogen (Hormon Replacement Therapy/HRT)

Mekanisme kerja

Estrogen menurunkan aktivitas osteoklas, menghambat PTH secara periferal, meningkatkan

konsentrasi kalsitriol dan absorpsi kalsium di usus, dan menurunkan ekskresi kalsium oleh

ginjal. Penggunaan estrogen dalam jangka waktu lama tanpa diimbangi progesteron

meningkatkan risiko kanker endometrium pada wanita yang uterusnya utuh.

Kontraindikasi

Estrogen ini kontraindikasi dengan wanita hamil dan menyusui, kanker estrogen-independent

(Anonim, 2008).

HRT atau terapi hormone pengganti menggunakan hormone estrogen atau kombinasi

dengan estrogen dengan progesterone. Selama menopause produksi hormone ini di indung

telur menurun sehingga perlu terapi tambahan. Efek sampingnya terjadi kemungkinan kanker

Page 15: bahan belajar 1

15

endmetrium karena hormone tersebut dapat merangsang pertumbuhan dinding sel rahim yang

bila terlalu pesat dapat berkembang menjadi kanker ganas. Karena itu, maka sering

dikombinasi dengan progesterone. Efek samping lain adalah pembesaran payudara, kembung,

retensi cairan, mual, muntah, sakit kepala, gangguan pencernaan dan gangguan emosi

(Wirakusumah, 2007).

Syarat pemeberian obat hormone estrogen hanya pada keadaan ini:

a. Diberikan dalam dosis kecil, misalnya estrogen 0,3-0,625 mg

b. Dikombinasikan dengan progesterone

c. Lebih baik untuk wanita muda yang mengalami menopause dini karena rahimnya sudah

diangkat (Tandra, 2009)

Efek samping dari penggunaan hormone estrogen adalah:

a. Mual, sebah

b. Sakit kepala

c. Payudara terasa kencang atau mengeras

d. Nafsu seks berubah

e. Berat badan meningkat

f. Varises, bisa menyebabkan nyeri otot tungkai dan kaki

g. Gangguan fungsi hati (Tandra, 2009)

Beberapa prinsip pemberian estrogen yang dapat dijadikan patokan:

a. Mulailah selalu dengan estrogen lemah (estriol) dengan dosis rendah yang efektif

b. Pemberian estrogen dilakukan secara siklik

c. Usahan selalu pemberian estrogen dikombinasi dengan progesterone

d. Perlunya diberikan pengawasan ketat selama pemberian (6-12 bulan)

e. Apabila selama pemberian estrogen tersebut terjadi perdarahan atopik, maka perlu

dilakukan dilatasi dan kuretase.

f. Dilakukan kerjasama dengan bagian Penyakit Dalam apabila dalam masa pengobatan atau

sebelum masa pengobatan ditemukan adanya keluhan nyeri dada, hipertensi kronik,

hiperlidemia, dan diabetes mellitus atau peningkatan kadar gula darah (Gomez, 2009).

2) Kalsitonin

Mekanisme kerja

Bersama dengan hormon paratiroid, kalsitonin berperan dalam mengatur homeostasis Ca

dan metabolisme Ca tulang. Kalsitonin dilepaskan dari kelenjar tiroid ketika terjadi

peningkatan kadar kalsium serum.

Page 16: bahan belajar 1

16

Efek samping

Efek samping yang terjadi ketika mengkonsumsi kalsitonin yaitu mual, muntah, flushing

(Anonim, 2008).

Kalsitonin turut menjaga kestabilan struktur tulang dengan mengakibatkan kerja sel

osteoblast dan menekan kinerja sel osteoklas. Kalsitonin juga membantu mengurangi rasa

sakit yang mungkin timbul pada keadaan patah tulang. Kalsitonin dapat diberikan dalam

bentuk suntikan setiap dua hari sekali selama dua atau tiga minggu. Hormone ini dapat

menimbulkan efek samping rasa mual dan muka merah, mungkin pula diare dan muntah

(Wirakusumah, 2007) Kalsitonin diberikan sebagai terapi alternatif pada wanita yang tidak

dapat atau tidak merespon terhadap estrogen

3) SERM / Selective Estrogen Receptor Modulator (Raloxifen)

Raloxifene merupakan agonis estrogen pada jaringan tulang tetapi merupakan antagonis

pada payudara dan uterus. Raloxifen meningkatkan BMD tulang belakang dan pinggul sebesar

2-3% dan menurunkan fraktur tulang belakang. Fraktur non-vertebral tidak dapat dicegah

dengan raloxifene.

Mekanisme kerja

Raloxifene merupakan reseptor estrogen selektif yang mengurangi resorpsi tulang dan

menurunkan pembengkokan tulang.

Data farmakokinetik

1. Absorpsi

Raloxifene diabsorpsi secara cepat setelah pemberian oral dengan sekitar 60% dosis oral

absorpsi.

2. Distribusi

Volume distribusi nyata sebesar 2348L/kg dan tidak tergantung dosis. sekitar 95%

raloxifene dan konjugat monoglukoronid terikat pada protein plasma.

3. Metabolisme

Raloxifene mengalami metabolisme lintas pertama menjadi konjugat glukoronid dan

tidak dimetabolisme melalui jalur sitokrom P450.

4. Ekskresi

Raloxifene terutama diekskresikan pada feses dan urin.

Kontraindikasi

Wanita menyusui, wanita yang sedang hamil atau akan hamil, wanita dengan kejadian aktif

atau memiliki sejarah tromboembelik vena, termasuk thrombosis vena dalam (Sukandar,

2009).

Page 17: bahan belajar 1

17

4) Testosteron

Penurunan konsentrasi testosteron tampak pada penyakit gonad, gangguan pencernaan dan

terapi glukokortikoid. Berdasarkan penelitian terapi testosteron ini dapat meningkatkan BMD

dan mengurangi hilangnya massa tulang pada pasien osteoporosis laki-laki (Dipiro et.al ,

2005).

Testosteron merupakan hormone yang dihasilkan pria. Penggunaan hormon testosterone

pada wanita dengan osteoporosis pasca-menopause mampu menghambat kehilangan massa

tulang. Efek samping dapat berupa penambahan rambut berlebih pada dada, kaki dan tangan.

Timbulnya jerawat, muka dan perbesaran suara seperti pria (Wirakusumah, 2007).

5) Hormon paratiroid (Teriparatide)

Terapi anabolik ini hanya untuk terapi menjaga dan memelihara bentuk tulang.

Teriparatide merupakan produk rekombinan yang mewakili 34 asam amino pertama dalam

PTH manusia. Teriparatide meningkatkan formasi tulang, perubahan bentuk tulang dan jumlah

osteoblast beserta aktivitasnya sehingga massa tulang akan meningkat. Teriparatide disarankan

oleh FDA kepada wanita postmenopouse dan laki-laki yang memiliki resiko tinggi terjadi

fraktur. Efikasi dari teriparatide ini dapat meningkatkan BMD. PTH analog sangat penting

dalam pengelolaan pasien osteoporosis yang memiliki risiko tinggi patah tulang karena PTH

merangsang pembentukan tulang baru. Kontraindikasi teriparatide ini yaitu pada pasien

hiperkalsemia, penyakit metabolik tulang lainnya dan kanker otot (Dipiro et.al , 2005).

Hasil penelitian terbaru membuktikan bahwa obat teriparatide berperan lebih baik

dibanding alendronate dalam meningkatkan kepadatan tulang dan mengurangi patah tulang

belakang pada pasien dengan osteoporosis yang diinduksi glukokortikoid (glucocorticoid-

induced osteoporosis) (Anonim, 2010)

Oleh karena pertimbangan efek samping dan biaya, teriparatide disediakan untuk pasien

dengan resiko tinggi fraktur terkait osteoporosis yang tidak dapat atau tidak akan dapat atau

gagal menjalani terapi bifosfonate (Sukandar, 2009).

C. Terapi Non-hormonal

1) Bifosfonat

Mekanisme kerja obat

Biofosfonat bekerja terutama pada tulang. Kerja farmakologi utamanya adalah inhibisi

resorpsi tulang normal dan abnormal. Tidak ada bukti bahwa biofosfonat dimetabolisme.

Biofosfonat utnuk menoptimalkan manfaat klinis harus dengan dosis yang tepat dan

meminimalkan resiko efeksamping terhadap saluran pencernaan. Semua bifosfonat sedikit

diabsorpsi (bioavaibilitas 1-5%).

Page 18: bahan belajar 1

18

Efek samping

Efek samping yang terjadi ketika mengkonsumsi biofosfonat yaitu mual, nyeri abdomen dan

dyspepsia (Anonim, 2008).

Bifosfonat merupakan golongan obat sintesis yang saat ini sangat dikenal pada pengobatan

osteoporosis. Efek utama obat ini adalah menonaktifkan sel-sel penghancur tulang (osteoklast)

sehingga penurunan massa tulang dapat dihindari. Obat ini bekerja sebagai anti resorpsi

tulang, menghambat pemecahan tulang oleh osteoklas. Dalam satu tahun pemakaian bifosfonat

didaptkan penambahan kepadatan tulang sampai 5% da kecendrungan patah tulang menurun

sampai 50%. Teapi bifosfonat diperlukan bila:

a. Hasil pemeriksaan BMD ditemukan T-score kurang dari -2,5

b. Mengalami patah tulang

c. Ada resiko terjadi osteoporosis, misalnya sangat kurus atau minum obat kortikosteroid

d. Wanita sudah menopause

Generasi bifosfonate adalah sebagai berikut:

a. Generasi I : Etidronat, Klodronat

b. Generasi II : Tiludronat, Pamidronat, Alendronat

c. Generasi III : Risedronat, Ibandronat, Zoledronat (Kawiyana, 2009)

2) Kalsium

Mekanisme kerja obat

Kalsium berfungsi sebagai integritas sistem saraf dan otot, untuk kontraktilitas jantung normal

dan koagulasi darah. Kalsium berfungsi sebagai kofaktor enzim dan mempengaruhi aktivitas

sekresi kelenjar endokrin dan eksokrin

Data farmakokinetik

1. Absorpsi

Absorpsi kalsium dari saluran pencernaan dengan difusi pasif dan transpor aktif.

Kalsium harus dalam bentuk larut dan terionisasi agar bisa diabsorpsi. Vitamin D

diperlukan untuk absorpsi lasium dan meningkatkan mekanisme absorpsi. Absorpsi

meningkat dengan adanya makanan. Ketersediaan oral pada orang dewasa berkisar dari

25% hingga 35% jika diberikan dengan sarapan standar. Absorpsi dari susu sekitar 29%

dalam kondisi yang sama.

2. Distribusi

Kalsium secara cepat didistribusikan ke jaringan skelet. Kalsium menembus plasenta

dan mencapai kosentrasi yang lebih tinggi pada darah fetah dibanding darah ibu. Kalsium

juga didistribusikan dalam susu.

Page 19: bahan belajar 1

19

3. Ekskresi

Kalsium dieksresikan melalui feses, urin dan keringat.

Kontraindikasi

Kalsium dikontraindikasikan pada pasien dengan hiperkalsemia dan fibrilasi ventrikuler

Efek samping

Efek samping yang terjadi ketika mengkonsumsi kalsium yaitu gangguan gastrointestinal

ringan, bradikardia, aritmia, dan iritasi pada injeksi intravena (Anonim, 2008).

3) Vitamin D

Mekanisme kerja obat

Vitamin D merupakan vitamin larut lemak yang diperoleh dari sumber alami (minyak hati

ikan) atau dari konversi provitamin D (7-dehidrokolesterol dan ergosterol). Pada manusia,

suplai alami vitamin D tergantung pada sinar ultraviolet untuk konversi 7-dehidrokolesterol

menjadi vitamin D3 atau ergosterol menjadi vitamin D2. Setelah pemaparan terhadap sinar uv

, vitamin D3 kemudian diubah menjadi bentuk aktif vitamin D (Kalsitriol) oleh hati dan ginjal.

Vitamin D dihidroksilasi oleh enzim mikrosomal hati menjadi 25-hidroksi-vitamin D3 (25-

[OH]- D3 atau kalsifediol). Kalsifediol dihidroksilasi terutama di ginjal menjadi 1,25-

dihidroksi-vitamin D (1,25-[OH]2-D3 atau kalsitriol) dan 24,25-dihidroksikolekalsiferol.

Kalsitriol dipercaya merupakan bentuk vitamin D3 yang paling aktif dalam menstimulasi

transport kalsium usus dan fosfat.

Kontraindikasi

Vitamin D dikontraindikasikan dengan hiperkalsemia, bukti adanya toksistas vitamin D,

sindrom malabsorpsi, hipervitaminosis D, sensitivitas abnormal terhadap efek vitamin D,

penurunan fungsi ginjal.

Efek samping

Efek samping yang terjadi ketika mengkonsumsi vitamin D ini yaitu sakit kepala, mual,

muntah, mulut kering dan konstipasi.

(Sukandar, 2009)

4) Fitosteron

Isoflavonoid (protein kedelai) dan lignan (flaxseed) merupakan bentuk estrogen dimana

efeknya terhadap tulang dapat disebabkan aktivitas agonis reseptor estrogen tulang atau efek

terhadap osteoblas dan osteoklas. beberapa studi isoflavon menggunakan dosis yang lebih

besar dilaporkan dapat menurunkan penanda resorpsi tulang dan sedikit meningkatkan

densitas (Anonim, 2008).

Page 20: bahan belajar 1

20

5) Tiazid

Diuretik tiazid meningkatkan reabsorbsi kalsium. Berdasarkan penelitian pasien yang

mengkonsumsi diuretik tiazid memiliki massa tulang lebih besar dan fraktur yang lebih

sedikit. Diuretik tiazid ini diberikan ketika pasien osteoporosis dengan glukokortikoid yang

lebih besar dari 300mg dari jumlah kalsium yang dikeluarkan dalam urin selama lebih dari 24

jam (Dipiro et.al , 2005).

D. Terapi Herbal

Hasil penelitian di Inggris yang dilaporkan dalam American Journal of Clininal Nutrition

edisi April 2000 menyimpulkan bahwa wanita yang mengkonsumsi the ternyata memiliki ukuran

kerapatan mineral tulang (BMD) lebih tinggi dibanding mereka yang tidak minum teh secara

berkala. Senyawa aktif yang terkandung di dalam teh berperan menyerupai hormone estrogen

yang membantu melindungi tulang terhadap kerapuhan tulang (Maharani, 2010)

Beberapa resep herbal yaitu dengan kedelai bermutu baik, seledri, buah adas, biji bunga

matahari,kacang panjang.

2.6 Evaluasi dan pemilihan produk obat terkait yang ada di pasaran

Pengobatan simptomatis untuk rasa nyeri yang mungkin timbul saat terjadinya fraktur

perlu pemberian turunan morfin (analgetik narkotik) untuk menangani rasa sakit yang kuat.

Namun rasa sakitnya tidak tertahankan, dapat diberikan tambahan kalsitonin dalam bentuk

parenteral. Kalsitonin yang normalnya diproduksi kelenjar tiroid, memiliki sifat meredakan rasa

sakit yang cukup ampuh. Bila rasa sakit telah berkurang dapat dilakukan pemberian parasetamol

ataupun kombinasinya dengan kodein (Wirakusumah, 2007)

- Sediaan analgetik narkotik : Morphin HCl, Kodein Fosfat, Fentanil, Tramadol.

- Sediaan analgetik perifer (parasetamol) : Parasetamol, Faragesic, Tramol, Afidol, dll.

Pengobatan utama dahulu banyak digunakan adalah dengan estrogen. Estrogen pada

banyak wanita menopause dinyatakan mempertahankan kekuatan tulang. Namun karena

penggunaan estrogen dapat mengakibatkan berbagai efek samping, maka wanita

mengkhawatirkan efek samping tersebut sehingga pengobatan lebih diprioritaskan pada

bifosfonat. Terapi dengan estrogen kebanyakan menggunakan tablet harian. Namun bagi yang

mempunyai penyakit hati empedu dapat digunaka estrogen bentuk koyo. Bagi yang telah

mengalami operasi pengangkatan rahim dapat diberikan estrogen dalam bentuk implant (Gomez,

2009)

Pengobatan osteoporosis berdasarkan Algoritma terapi menurut Dipiro (2005), dibagi

menjadi dua yaitu:

Page 21: bahan belajar 1

21

1. Pengobatan tanpa pengukuran BMD (Bone Mineral Density)

Pertimbangan terapi tanpa pengukuran BMD :

Pria dan wanita dengan peningkatan risiko kerapuhan tulang

Pria dan wanita yang menggunakan glukokortikoid dalam jangka waktu lama

Terapi dapat dilakukan dengan Biphosphonate, jika intoleransi dengan Biphosphonate pilihan

terapi obat lainnya adalah Raloxifene, kalsitonin nasal, teriparatide, bifosfonat parenteral. Jika

kerapuhan tetap berlanjut setelah pemakaian Biphosphonate, maka pilihan terapi lainnya adalah

teriparatide

2. Pengobatan dengan pengukuran BMD (Bone Mineral Density)

Dari hasil pengukuran BMD, jika T-score >-1, maka nilai BMD termasuk normal, tetapi

tetap diperlukan monitoring DXA setiap 1-5 tahun. Dan jika diperlukan pengobatan, maka

pilihan pengobatannya adalah Biphosponate, Raloxifene, Calcitonin (Dipiro et.al , 2005).

Jika T-score -1 s/d -2,5, maka termasuk dalam osteopenia. Dapat dilakukan monitoring

DXA setiap 1-5 tahun. Dan jika diperlukan pengobatan, maka pilihan pengobatannya adalah

Biphosponate, Raloxifene, Calcitonin

Jika T-score <-2,0 dilakukan pemeriksaan lanjut untuk osteoporosis sekunder, yaitu

dengan pengukuran PTH, TSH, 25-OH vitamin D, CBC, panel kimia, tes kondisi spesifik.

Kemudian dilakukan terapi berdasarkan penyebab, bila ada, yaitu dengan Biphosphonate, jika

intoleransi dengan Biphosphonate maka pilihan pengobatannya adalah Biphosphonate

parenteral, Teriparatide, Raloxifene dan Kalsitonin.

Dari hasil pengukuran Osteoporosis dengan skor T < -2,5, terapi dapat dilakukan dengan

Biphosphonate, jika intoleransi dengan Biphosphonate pilihan terapi obat lainnya adalah

Raloxifene, kalsitonin nasal, teriparatide, bifosfonat parenteral. Jika kerapuhan tetap berlanjut

setelah pemakaian Biphosphonate, maka pilihan terapi lainnya adalah teriparatide.

Bifosfonat yang digunakan secara oral sulit diserap oleh usus , sehingga untuk hasil

optimal harus digunakan dalam keadaan lambung kosong dan tidak makan atau minum apapun

dalam waktu satu jam. Karena hal ini, maka tersedia bentuk parenteral berupa injeksi yang

memungkinkan penyerapan yang lebih baik (Gomez, 2009).

Kalsitonin yang berupa salkatonin (sintetik dari kalsitonin salmon) tidak dapat diminum

secara oral, hanya ada dalam bentuk suntikan dan semprotan hidung (nasal spray). Pasien

biasanya lebih memilih suntikan subkutan dibanding dengan nasal spray yang harus digunakan

tiap hari (Gomez, 2009).

Adapun pilihan obat terkait osteoporosis yang beredar di pasaran adalah:

Page 22: bahan belajar 1

22

1. Kalsium

Oral : Kalsium gluconate, kalsium laktat, kalsium d-redoxon, kalsium Sandoz, Peppermint,

Parenteral : Kalsium glukonat injeksi

2. Bifosfonat

Oral : Alendronate (Fosamax), Risendronate (Actonel, Osteonate), Ibandronate ( Bonviva)

Parenteral : Pamidronate (Aredia), Zoledronate (Zometa)

3. Kalsitonin

Injeksi : Calsynar, Miacalic

Nasal : Calsynar Nasal Spray, Miacalcic Nasal Spray

4. Estrogen

Oral : Esthero, Kliogest, Ogen

5. Testosterone

Oral : Andriol

6. SERM

Oral : Raloxifene, Evista.

7. Hormon paratiroid

Oral : teriparatide

8. Vitamin D

Oral : Calcit,Calporosis D 500, Ecatrol, Oscal

Page 23: bahan belajar 1

23

BAB III

KESIMPULAN

1. Osteoporosis adalah tulang yang keropos, yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas berupa massa

tulangnya rendah atau berkurang, disertai gangguan mikro-arsitektur tulang dan penurunan kualitas

jaringan tulang, yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang.

2. Osteoporosis berdasarkan penyebabnya adalah osteoporosis primer, osteoporosis sekunder dan

osteoporosis idiopatik.

3. Osteoporosis pada awalnya tidak menimbulkan gejala, bahkan sampai puluhan tahun tanpa keluhan.

Gejala akan timbul setelah terjadi kolaps atau hancur sehingga akan timbul nyeri dan perubahan

bentuk tulang.

4. Diagnosa pada osteoprorosis meliputi:

a. Anamnesis

b. Pemeriksaan fisik

c. Pemeriksaan penunjang : pemeriksaaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan

densitometer.

5. Pelaksanaan terapi osteoporosis meliputi:

a. Terapi non farmakologi

b. Terapi farmakologi : terapi medis, terapi hormonal, terapi non-hormonal.

Page 24: bahan belajar 1

24

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, Edisi 8 2008/2009. Info Master:Jakarta.

Anonim. 2009. ISO Farmakoterapi.Ikatan Sarjana FAmasi Indonesia. PT ISFI Penerbitan : Jakarta.

Anonim. 2010. Teriparatide Padatkan Tulang Lebih Baik . Majalah Farmacia Edisi Januari 2010 Vol.9

No.6, http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=1540

Chisholm-burns et all. 2008. Pharmacotherapy principles and practice. McGraw-Hill Companies, Inc :

USA

Cosman, F. 2005. Osteoporosis. B-First : Yogyakarta.

Depkes. 2004. Kecendrungan Osteoporosis di Indonesia 6 kali lebih Tinggi Dibanding Negeri Belanda.

http://www.depkes.go.id

Dipiro, et all. 2005. Pharmacotheraphy a Pathophysiologic Approach 1 Fifth Edition. McGraw-Hill

Companies, Inc : USA

Ganong W.F. 1983. Fisiologi kedokteran. Edisi kesepuluh. EGC Penerbit Buku Kedokteran : Jakarta

Gomez, J. 2006. Awas Pengeroposan Tulang! : Bagaimana Menghindari dan Menghadapinya. Arcan :

Jakarta.

Hannan, et all. 2001. Fracture: risk factors and risk-adjusted hospital outcomes. JAMA.

Hulisz,H. 2006. Drug Induced Osteoporosis,Effect of Medications on Bone Density. Associate Proffesor

of Family Medicin : New York.

Junaidi, I. 2007. Osteoporosis. PT. Bhuana Insan Popular : Jakarta.

Kawiyana, I Ketut Siki. 2009. Osteoporosis: Patogenesis, Diagnosis dan Penanganan Terkini. FK UNUD

: Denpasar.

Lane. 2011. Lebih Lengkap Tentang Osteoporosis : Petunjuk untuk Penderita dan Langkah-langkah

Penggunaan bagi Keluarga. Raja Grafindo Persada : Jakarta.

Maharani, S. 2010. Herbal sebagai Obat Bagi Penderita Penyakit Mematikan. A+ book: Jogjakarta.

Menteri Keseharan Republik Indonesia. 2008. Keputusan Menteri Kesehatan RI No.

No.1142/Menkes/SK/VII/2008 tentang Pedoman Pengendalian Osteoporosis. Jakarta.

Mike, Mass. 2000. Corticosteroid-Induced Osteoporosis. Jacksonville Medicine

Setyohadi, B. 2007. Osteoporosis, dalam Buku Ajar Penyakit Dalam. FKUI : Jakarta.

Suryati, N. 2006. Faktor Spesifik Penyebab Osteoporosis pada Sekelompok Wanita di RSIJ. Jurnal

Kedokteran dan Kesehatan Vol.2

Tandra, H. 2009. Segala Sesuatu yang Harus Anda Ketahui Tentang Osteoporosis. PT. Gramedia Pustaka

: Jakarta.

Wirakusumah, E.S. 2007. Mencegah Osteoporosis. Penebar Plus : Jakarta.

Page 25: bahan belajar 1

25