bentuk culture shock dan strategi adaptasi orang …
TRANSCRIPT
BENTUK CULTURE SHOCK DAN STRATEGI
ADAPTASI ORANG JEPANG
(STUDI KASUS LIMA ORANG JEPANG YANG
BEKERJA DI CIKARANG SELATAN)
oleh
MUTIA GAYATRI PANGESTU
014201505018
Skripsi ini dipersembahkan untuk
Fakultas Bisnis President University sebagai
salah satu persyaratan untuk mendapatkan
gelar Sarjana pada Jurusan Manajemen
Februari 2018
ii
iii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
Yang bertanda tangan dibawah ini saya, Mutia Gayatri Pangestu,
menyatakan bahwa skripsi dengan judul “BENTUK CULTURE
SHOCK DAN STRATEGI ADAPTASI ORANG JEPANG
(STUDI KASUS LIMA ORANG JEPANG YANG BEKERJA DI
CIKARANG SELATAN)” adalah benar hasil karya saya sendiri dan
belum pernah dipublikasikan siapapun sebelumnya untuk memperoleh
gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, kecuali yang secara
tertulis dalam naskah ini disebutkan dalam referensi.
Cikarang, 08 Februari 2018
Mutia Gayatri Pangestu
014201505018
iv
ABSTRAK
Masyarakat Jepang yang tinggal dan bekerja di Cikarang Selatan mungkin akan
mengalami culture shock karena adanya perbedaan budaya yang sangat dominan
antara Jepang dan Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk
culture shock yang dialami oleh orang Jepang yang tinggal dan bekerja di
Cikarang dan bagaimana strategi adaptasi yang dilakukannya untuk dapat
bertahan di lingkungan yang baru.Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif –
kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus. Obyek dari penelitian ini
adalah lima orang Jepang yang bekerja di kawasan Cikarang Selatan. Proses
pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan wawancara mendalam. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa bentukculture shock yang dialami orang Jepang
disebabkan adanya faktor internal dan eksternal. Pada faktor internal disebabkan
oleh faktor psikologis dankarakter dari individu, sedangkan pada faktor eksternal
diketahui bahwa agama, makanan, keadaan geografis, kebiasaan / adat istiadat,
dan bahasa menjadi penyebab terjadinya orang Jepang mengalami culture shock.
Kemudian pada pembahasan strategi adaptasi, peneliti menemukanbahwa orang-
orang Jepang melakukan cara untuk dapat beradaptasi dengan membuka dirinya
untuk menerima perbedaan budaya yang ada, lebih berpikir luas tentang
perbedaan tersebut (open minded) dan bergabung bersama budaya dan orang-
orang Indonesia. Bagi orang Jepang yang akan berpindah ke suatu negara dalam
kurun waktu yang cukup lama sebaiknya mencari tahu terlebih dahulu bagaimana
keadaan lingkungan dan budaya di daerah tersebut melalui internet ataupun buku-
buku yang ada agar tidak mengalami culture shock yang berkepanjangan dan
dapat mengatur strategi untuk dapat beradaptasi.
Kata Kunci :Culture Shock, Adaptasi, Masyarakat Jepang.
v
ABSTRACT
The Japanese who live and work in South Cikarang might be experience culture
shock because of the dominant cultural differences between Japan and Indonesia.
This research aims to determine the form of culture shock experienced by
Japanese who live and work in South Cikarang and how adaptation strategies
undertaken to survive in the new environment. This is a descriptive - qualitative
research who using case study method. The object of this research are five
Japanese who work in South Cikarang area. The process of collecting data is done
through observation and in-depth interviews. It can be concluded from the
research that culture shock occurs due to internal and external factors. In the
internal factors caused by psychological and character of the individual, while on
external factors it is known that religion, food, geographical conditions, habbit,
and language become the cause of the Japanese people experiencing culture
shock. Then on the discussion of adaptation strategies, the researchers concluded
that Japanese people open themselves to accept cultural differences, more open
minded and join the culture with Indonesia people.For the Japanese people who
will move to a country in a long time period should find out first how the
environment and culture in the area through the internet or books that exist so will
not to experience a prolonged culture shock and can set a strategy to be able to
adapt
Keywords: Culture Shock, Adaptation, Japanese people.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat, hidayah, karunia dan
kehendakNya-lah laporan skripsi ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Skripsi ini berjudul “Bentuk Culture Shock dan Strategi Adaptasi Orang Jepang
(Studi Kasus Lima Orang Jepang yang bekerja di Cikarang Selatan)”
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan
Strata 1Jurusan Manajemen, Fakultas Bisnis, President University.Dalam
menyelesaikan laporan skripsi,penulis banyak mengalami kesulitan, tetapi pada
akhirnya laporan skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Penulis
menyadari bahwa laporan ini masih banyak kekurangan karena keterbatasannya
waktu, maka dari itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang
sifatnyamembangun agar penulis dapat lebih baik dalam penulisan selanjutnya.
Akhir kata dengan segala kerendahan hati, semoga laporan ini dapat diterima
dengan baik dan dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.
Cikarang, Februari 2018
Penulis
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyadari laporan ini banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak,
berupa sumbangan pikiran, bimbingan, arahan, dukungan, serta bantuan lainnya
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini dengan baik. Oleh karena itu
pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Kedua orang tua dan adik tercinta yang telah senantiasa mendoakan,
menasihati, memberikan dukungan kepada penulis secara moril maupun
materil, semangat, serta doa yang terus mengalir hingga skripsi ini bisa
terselesaikan. Dengan segala kerendahan hati dan ridha Allah SWT,
penulis persembahkan karya ini.
2. Dr. H. Dedi Rianto Rahadi, MM., selaku pembimbing Skripsi yang telah
meluangkan waktu, pikiran, dan tenaganya untuk membimmbing dan
membantu penulis selama penyusunan skripsi ini, serta senantiasa
memberikan dorongan, semangat, dan saran untuk membangun yang tiada
henti.
3. Dr. Dra.Genoveva Claudia, MM., selaku ketua program studi Manajemen
Fakultas Bisnis President University.
4. Seluruh dosen dan civitas akademika President University yang telah
banyak membantu dan membimbing penulis selama di perkuliahan.
5. Teman-teman seperjuangan mahasiswi konversi 2015 yang telah
senantiasa membantu dan memberi semangat serta dukungan kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi. Terima kasih untuk dua tahun cerita
kita tentang suka dan dukanya kuliah di President Universiry.
6. Sahabat-sahabat terkasih dan rekan-rekan di kampus yang selalu
memberikan dorongan semangat untuk penulis dalam menyelesaikan
skripsi.
viii
7. Teman-teman kelompok bimbingan Skripsi. Terima kasih untuk kerja
sama dan semangatnya dari awal menyusun sampai akhir menyelesaikan
laporan Skripsi.
8. Seluruh pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan
satu persatu.
Semoga rahmat dan karunia Allah SWT dapat dicurahkan kepada seluruh
pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan laporan ini. Akhir kata
semoga Tugas Akhir ini dapat memberikan manfaat baik bagi penulis secara
pribadi maupun bagi pembaca pada umumnya.
Cikarang, Februari 2018
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Hal.
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN DEWAN PENGUJI ...................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... iii
ABSTRAK ..................................................................................................... iv
ABSTRACT ................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................ vii
DAFTAR ISI .................................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xv
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 6
1.4 Ruang Lingkup dan Batasan Masalah ....................................................... 6
1.5 Manfaat Penelitian .................................................................................... 7
1.5 Sistematika Penulisan ............................................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 9
2.1 Culture Shock .......................................................................................... 9
2.2 Penyebab Culture Shock . ........................................................................ 10
2.3 Gejala-gelaja dan Reaksi Culture Shock ................................................ 12
2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Culture Shock ................................. 14
2.5 Ekspatriat ................................................................................................. 15
x
2.6 Warga Negara Jepang ............................................................................. 16
2.7 Adaptasi Ekspatriat ................................................................................. 17
2.8 Adaptasi Budaya ..................................................................................... 17
2.9 Faktor Pendukung Adaptasi .................................................................... 20
2.10 Penelitian Terdahulu ............................................................................... 23
2.11 Kerangka Berfikir .................................................................................... 25
BAB III METODE PENELITIAN .............................................................. 28
3.1 Lokasi Penelitian ....................................................................................... 28
3.2 Waktu Penelitian ....................................................................................... 28
3.3 Metode Penelitian ...................................................................................... 28
3.4 Sumber Data Penelitian ............................................................................. 32
3.4.1 Sumber Data Primer ........................................................................ 32
3.4.2 Sumber Data Sekunder .................................................................... 32
3.5 Strategi Penelitian ..................................................................................... 33
3.6 Subjek Penelitian ....................................................................................... 33
3.6.1 Metode Pemilihan Informan ........................................................... 33
3.6.2 Karakteristik Informan .................................................................... 34
3.7 Teknik Pengumpulan Data ........................................................................ 36
3.7.1 Pengumpulan Data dengan Observasi ............................................. 36
3.7.2 Pengumpulan Data dengan Wawancara .......................................... 37
3.7.3 Pengumpulan Data dengan Dokumentasi ....................................... 37
3.8 Instrumen Penelitian .................................................................................. 38
3.9 Kriteria Kualitas Penelitian ....................................................................... 39
3.10 Validitas Data .......................................................................................... 40
3.11 Teknik Analisis Data ............................................................................... 41
3.12 Keterbatasan Penlitian ............................................................................. 44
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... 46
4.1 Hasil Penelitian ......................................................................................... 46
4.2 Profil Informan .......................................................................................... 46
4.2.1 Informan Pertama (AK) ................................................................ 46
xi
4.2.2 Informan Kedua (TK) ................................................................... 48
4.2.3 Informan Ketiga (SO) ................................................................... 50
4.2.4 Informan Keempat (SF) ................................................................. 51
4.2.5 Informan Kelima (HK) ................................................................... 51
4.3 Bentuk Culture Shock Ekspatriat Jepang .................................................. 52
4.3.1 Penyebab Internal ........................................................................... 52
4.3.2 Penyebab Eksternal ........................................................................ 55
4. 4 Tahapan yang Dilalui Berdasarkan Konsep Budaya Adaptasi ................ 62
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 67
5.1 Kesimpulan ............................................................................................... 67
5.2 Saran .......................................................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 69
LAMPIRAN
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Jumlah Tenaga Kerja Asing per November 2016 ..................... 1
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran .................................................................. 26
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Jumlah TKA per Januari 2017 – Oktober 2017 ............................ 3
Tabel 2.1 Gejala dan Reaksi Culture Shock ................................................... 13
Tabel 3.1 Data Informan ................................................................................ 36
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A Formulir Bimbingan Skripsi
LAMPIRAN B Surat Permohonan Data Populasi Ekspatriat 2017
LAMPIRAN C Surat Keterangan Observasi
LAMPIRAN D Pedoman Wawancara
LAMPIRAN E Transkrip Wawancara
LAMPIRAN F Tabel Koding
LAMPIRAN G Turnity
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Arus globalisasi dunia sejak dulu berkembang semakin pesat sehingga batas-
batas negara dapat dengan mudah ditembus, begitupun dengan orang-orang
yang ingin tinggal di luar negeri. Ketika seseorang tinggal di suatu daerah
yang baru untuk beberapa waktu tentunya ia akan merasakan hal-hal yang
berbeda, seperti bentuk komunikasi, bahasa, waktu, makanan, dan adat
istiadat. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan budaya.
Budaya secara umum dapat diartikan sebagai suatu nilai, rasa, dan kebiasaan
dalam suatu daerah atau sekelompok masyarakat yang sudah disepakati
sebagai aturan dan norma yang memberikan ciri khusus dari daerah tersebut.
Orang-orang di dalam daerah tersebut kemudian selalu berprilaku dan
melekatkan apa yang menjadi kebiasaannya di daerahnya sehingga kebiasaan
tersebut dapat mencerminkan budayanya sendiri dimanapun ia akan berada
nantinya. Hal itu lah yang menyebabkan seseorang ketika pergi meninggalkan
daerah asalnya, budayanya pun akan ikut melekat. Budaya setiap daerah
bahkan antara negera yang satu dengan negara yang lainnya tentunya berbeda-
beda karena budaya dapat menjadi identitas yang melekat pada seseorang
(Parrillo, 2008).
Salah satu alasan seseorang memutuskan tinggal di luar negeri adalah karena
pekerjaan. Di Indonesia, tidak sedikit perusahaan yang berdiri atas kerjasama
permodalan asing. Saat seseorang melakukan kontak dengan budaya lain,
dimana orang tersebut disebut “expatriate”, maka akan banyak penyesuaian-
penyesuaian baru yang dilakukan antar psikologis individu dengan nilai-nilai
2
yang berlaku dalam masyarakat tempat tinggal baru. Ketika seseorang
memutuskan untuk bekerja di luar negeri, tentunya banyak tantangan-
tantangan yang harus dihadapi. Salah satu tantangan yang paling sering akan
dirasakan oleh tenaga kerja asing adalah adanya perbedaan-perbedaan
kebudayaan yang akan mengakibatkan terjadinya gegar budaya (culture
shock) yang merupakan penyakit bila seseorang memasuki budaya asing
(Oberg dalam Mulyana, 2009:174). Hal tersebut dapat terjadi karena adanya
perbedaan waktu, kebiasaan sehari-hari, agama, bahasa, dan budaya dalam
berinteraksi di lingkungan tempat bekerja. Untuk menghadapi hal tersebut
perlu adanya adaptasi diri agar dapat tetap bertahan dan ikut berkontribusi
dalam menunjukkan performance yang baik saat bekerja.
Jumlah tenaga kerja asing di Indonesia sejak tahun 2011-2016 termasuk flat
(rata). Berdasarkan data Kemenakertrans, rincian jumlah pekerja asing adalah
sebanyak 77.307 (pada tahun 2011), 72.427 (2012), 68.957 (2013), 68.762
(2014), 69.025 (2015), dan hingga satu semester di tahun 2016 ini (per-30
Juni) sebanyak 43.816 pekerja. Menteri ketenagakerjaan, Muhammad Hanif
Dhakiri mengatakan saat ini ada 74.000 tenaga kerja asing di Indonesia
(www.jateng.tribunnews.com).
Gambar 1.1 Jumlah Tenaga Kerja Asing per November 2016
Sumber : http://katadata.co.id/
3
Dari gambar 1.1 dapat terlihat bahwa tenaga kerja asing paling banyak yang
ada di Indonesia sampai pada bulan November tahun 2016 adalah warga
negara Jepang. Jumlah orang asing yang tinggal di Indonesia setiap tahunnya
mengalami peningkatan terutama untuk orang-orang Jepang, mengingat
banyaknya perusahaan-perusahaan di Indonesia yang melakukan permodalan
asing dengan Jepang. Perbedaan budaya, cuaca, waktu, dan beberapa
kebiasaan lainnya dari negara Jepang dan Indonesia cukup banyak sekali. Hal
tersebut membuat beberapa orang Jepang yang baru tinggal di Indonesia akan
merasakan culture shock (gegar budaya), terlebih lagi jika mereka tinggal
untuk menetap dalam waktu yang cukup lama.
Salah satu daerah yang banyak mempekerjakan tenaga kerja asing adalah
Cikarang. Cikarang adalah sebuah kota di Kabupaten Bekasi yang terletak 34
km sebelah timur Jakarta. Cikarang yang dikenal sebagai kota industri
terbesar di Asia Tenggara membuka peluang bagi investor untuk berlomba-
lomba menanamkan modalnya disana. Saat ini Cikarang telah menjadi salah
satu pusat industri nasional yang nilai ekspornya mampu bersaing dengan
Batam. Kawasan Industri di Cikarang merupakan kawasan industri yang
potensial mengingat sekitar 2.125 unit pabrik 25 negara berlokasi di kawasan
tersebut (www.finance.detik.com). Dengan banyaknya perusahaan PMA yang
berdiri di Cikarang membuat banyak tenaga kerja asing bekerja dan tinggal di
Cikarang.
Tabel 1.1 Jumlah TKA per Januari 2017 – Oktober 2017
Kewarganegaraan Jumlah TKA
Amerika Serikat 5
Australia 2
Belanda 1
4
Belgia 1
China 121
Filipina 16
Hongkong 2
India 34
Inggris 4
Jepang 1023
Jerman 6
Korea Selatan 448
Malaysia 91
Mexico 1
New Zeland 1
Norwegia 1
Perancis 2
Portugal 5
Portugis 1
Perancis 1
Selandia Baru 1
Singapore 12
Spanyol 1
Taiwan 84
Thailand 7
Turki 1
Vietnam 1
Sumber : Disnaker, 2017
Berdasarkan tabel 1.1 ada sebanyak 1023 warga negara asal Jepang yang
bekerja di wilayah Cikarang. Tenaga kerja asal Jepang menduduki peringkat
5
teratas terbanyak diikuti dengan pekerja asal Korea Selatan, China, Malaysia,
Taiwan, dan India.
Hasil pra-survey peneliti dengan beberapa orang yang bekerja di perusahaan
asing terhitung selama satu minggu sejak 25-29 September 2017, ditemukan
bahwa ada beberapa warga negara asing yang memutuskan untuk keluar dari
pekerjaan saat usia kerja yang masih dini di perusahaan tersebut. Beberapa
kondisinya sebagai berikut :
1. Salah satu karyawan yang sudah bekerja selama hampi 4 tahun di
perusahaan tempat ia bekerja, yakni perusahaan start up yang terletak
di kawasan Lippo Cikarang. Ia mengatakan dalam dua tahun terakhir
ini ada sebanyak 5 dari 13 orang asing yang memutuskan untuk
memutuskan hubungan kerjanya dengan perusahaan tersebut.
2. Salah satu karyawan yang sudah bekerja di selama 8 tahun di
perusahaan asing yang terletak di kawasan EJIP mengatakan bahwa
ada sebanyak 2 dari 3 orang asing yang bekerja di perusahaan tersebut
kembali ke negara asalnya ketika masa kerjanya masih masih sangat
sebentar.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti akan mencari penyebab dari bentuk culture
shock yang dihadapi oleh orang Jepang dan bagaimana cara mereka
melakukan strategi adaptasi diri untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Dalam penelitian ini, peneliti menspesifikasikan ruang lingkup hanya pada
orang Jepang yang bekerja di Cikarang Selatan agar hasil dari penelitian ini
dapat mewakili. Judul dari penelitian ini adalah “Bentuk Culture Shock dan
Cara Adaptasi Orang Jepang (Studi Kasus Lima Orang Jepang Yang Bekerja
di Cikarang Selatan)”.
6
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk culture shock yang dialami orang Jepang yang
bekerja di Cikarang Selatan?
2. Bagaimana cara adaptasi yang dilakukan orang Jepang yang bekerja di
Cikarang Selatan untuk mengatasi permasalahan tersebut?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, tujuan penulisan khusus dari
penelitian ini adalah mengetahui bentuk culture shock yang dialami oleh
orang-orang Jepang yang bekerja di Cikarang Selatan dan bagaimana cara
orang Jepang melakukan adaptasi diri untuk mengatasi culture shock yang
dialaminya selama bekerja di daerah Cikarang Selatan.
Sedangkan secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
permasalahan lingkungan kerja yang dialami oleh orang Jepang yang bekerja
di daerah Cikarang Selatan dari segi sikap dan prilaku sebagai pemahaman
interkultural bagi pembaca secara umum.
1.4 Ruang Lingkup dan Batasan Masalah
Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah orang Jepang
yang bekerja di daerah Cikarang Selatan. Data yang digunakan adalah hasil
observasi dan wawancara yang dilakukan kepada lima informan. Spesifik data
yang diambil adalah seluruh informasi dari informan yang bekerja di Cikarang
Selatan kurang lebih selama dua tahun. Karena tidak ada spesifik lamanya
7
waktu yang dapat dipastikan untuk seseorang dapat beradaptasi di suatu
daerah yang baru, maka penulis melakukan pilot test. Berdasarkan hasil pilot
test tentang lamanya waktu untuk beradaptasi di lingkungan yang baru, 8 dari
10 responden yang pernah tinggal dan menetap di suatu daerah yang baru
selama 5 tahun mengatakan butuh waktu 2 tahun untuk melakukan proses
adaptasi dengan lingkungan yang baru. Hal tersebut sangat wajar dikarenakan
perbedaan-perbedaan yang ditemui setiap pribadi orang tidaklah sedikit.
Peneliti berharap dapat menggali lebih banyak informasi dan dapat dipastikan
informan sudah menyesuaikan diri dengan kehidupan lingkungan kerja di
kawasan Cikarang Selatan. Oleh karena itu studi kasus dalam penelitian ini
adalah lima orang Jepang yang bekerja di Cikarang Selatan.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Kepustakaan
Sebagai bahan masukan, tambahan referensi dan pertimbangan bagi
pihak-pihak yang berkepentingan terhadap penelitian serupa terkait
culture shock dan cara adaptasi khususnya studi kasus pada warga
negara Jepang.
b. Penulis
Dapat mengaplikasikan ilmu yang didapat selama masa
perkuliahan, khususnya pada mata kuliah perilaku organisasi
dan bisnis internasional sekaligus membandingkan sejauh
mana teori tersebut dapat diterapkan dalam kasus penelitian
ini.
Menambah ilmu pengetahuan dan wawasan berpikir baik
secara teori maupun praktik.
8
1.6 Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, dengan uraian sebagai berikut
1. BAB I PENDAHULUAN
Pada bab I ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, ruang lingkup dan batasan masalah dan
sistematika penulisan skripsi.
2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Beberapa uraian yang dimuat dalam bab tinjuan pustaka ini adalah
teori-teori yang menunjang dan sesuai dengan permasalahan yang
diangkat dalam penulisan skripsi. Adapun teori-teori ini bersumber
dari buku-buku dan juga informasi dari internet.
3. BAB III METODE PENELITIAN
Pada bab ini terdapat uraian mengenai langkah-langkah dan
metodologi dalam penyelesaian masalah yang dihadapi disertai cara
penyelesaian berdasarkan rumusan masalah yang dijelaskan pada bab
I.
4. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini terdapat gambaran umum tentang informan dan
pembahasan teroritis hasil dari proses analisis bentuk culture shock
yang dihadapi oleh orang Jepang yang bekerja di Cikarang Selatan dan
bagaimana cara adaptasi yang dilakukan dalam menghadapi
permasalahan tersebut.
5. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan dari pembahasan yang telah diuraikan pada
bab sebelumnya, serta saran yang diajukan berdasarkan permasalahan
yang telah dibahas sebelumnya.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Culture Shock
Ketika individu yang hidup dalam lingkungan sosial telah terbiasa dengan
budaya yang ada di lingkungannya harus bertemu dengan budaya dan
lingkungan yang baru, maka kemungkinan yang akan terjadi individu
tersebut akan mengalami gegar budaya atau culture shock. Orang yang
mengalami culture shock cenderung akan bingung untuk bertindak karena
merasa tidak tahu mana yang sesuai atau tidak sesuai untuk dilakukan di
lingkungan yang baru. Mereka menganggap budaya atau kebiasaan yang
berbeda-beda dapat memberikan arti yang berbeda pula, baik negatif atau
positif. Rasa cemas dan ketakutan biasanya akan muncul ketika individu
tidak dapat beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Lingkungan
sangat berpengaruh besar untuk menyesuaikan diri di lingkungan yang
baru. Istilah Culture Shock pertama kali diperkenalkan oleh seorang
antropolog kebudayaan America yang tinggal di Brazil bernama Kalervo
Oberg pada tahun 1960. Kalervo Oberg menjelaskan bahwa culture shock
adalah suatu penyakit mental yang diderita oleh individu secara tiba-tiba
diman individu tersebut harus berpindah dan tinggal di lingkungan yang
baru. Culture shock timbul karena adanya rasa kecemasan yang berasal
dari hilangnya suatu hal yang menjadi kebiasaan di lingkungannya yang
dulu, Oberg (1960). Menurut Oberg ada 6 karakteristik culture shock :
1. Ketegangan dalam penyesuaian psikologis
2. Merasa kehilangan teman, status, peran sosial, dan posisi personal
3. Merasa takut oleh kebudayaan baru
4. Bingung dalam peran, peran yang diharapkan, nilai, perasaan, dan
identitas diri
5. Terkejut, cemas, bahkan jijik setelah menyadari perbedaan
kebudayaan
10
6. Merasa impotens akibat ketidak mampuan untuk beradaptasi
dengan kebudayaan baru.
Chandra (2004) menjelaskan bahwa culture shock disebabkan oleh
kegelisahan yang timbul akibat hilangnya ciri-ciri keakraban dan simbol-
simbol dari hubungan sosial, baik saat kehidupan sosial individu
berlangsung maupun saat bekerja dilingkungan budaya yang berbeda.
Ditinjau dari sisi psikologis, culture shock merupakan gejala gangguan
jiwa yang dihubungkan dengan konflik-konflik akibat budaya. Culture
shock juga dapat diartikan sebagai ketidaknyaman fisik dan emosional
yang di alami ekspatriat ketika datang dan tinggal di negara lain atau
disuatu tempat yang berbeda dari tempat asal (Ivancevich dan Soo Hoon,
2002).
Dari hasil beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa culture
shockadalah ketidaknyamanan fisik dan emosional yang terjadi ketika
seseorang pindah ke suatu tempat yang bener-bener baru, misalnya pindah
ke luar negeri. Individu harus melakukan adaptasai yang besar pada
budaya yang baru. Individu juga dapat mengalami kecemasan karena
kehilangan arah untuk melakukan sesuatu karena ketidaktahuannya
dengan budaya di tempat yang baru. Selain itu individu harus menerima
kebiasaan dan nilai-nilai yang berbeda meskipun itu adalah pengalaman
yang tidak menyenangkan. Dalam hal tersebut, individu harus dapat dan
mau mempelajari hal yang mendukung proses adaptasinya seperti cara
berinteraksi dengan orang, mempelajari budaya yang baru dan bahasa
yang baru juga.
2.2 Penyebab Culture Shock
Melalui konsep culture shock yang diperkenalkan oleh Oberg (1960),
manusia memiliki insting dalam mempertahankan dirinya demi
11
kelangsungan hidup individu itu sendiri. Dayakisni (2012:265) menuliskan
permasalahan yang timbul dari culture shock :
1. Kehilangan cues atau tanda-tanda yang dikenalnya. Cues adalah
sesuatu yang menjadi bagian yang ada pada kehidupan sehari-hari
seperti tanda-tanda, gerakan bagian-bagian tubuh (gestures),
ekspresi wajah ataupunkebiasaan-kebiasaan lain yang dapat
membuat orang lain mengerti bagaimana sebaiknya ia bertindak
dalam situasi-situasi tertentu.
2. Terputusnya komunikasi antar individu yang menyebabkan
kecemasan atau kepada hal yang mengarah kepada frustasi bagi
individu. Dalam hal ini bahasa jelas menjadi penyebab dari
gangguan ini.
3. Krisis identitas. Individu yang pergi keluar dari daerah asalnya
akan membuat dirinya kembali mengevaluasi bagaimana keadaan
dirinya disaat ini.
Culture shock dapat terjadi pada suatu lingkungan yang berbeda, baik
pada individu yang mengalami perpindahan dari suatu daerah ke daerah
lainnya dalam negerinya sendiri (intra-national) dan individu yang
berpindah ke negeri lain untuk periode waktu tertentu dalam kurun waktu
yang cukup lama (Dayakisni, 2012:266)
Dalam pembahasan yang lebih lanjut, Oberg menjelaskan bahwa hal-hal
tersebut benar dipicu oleh kecemasan yang timbul yang disebabkan
hilangnya tanda dan lambang hubungan sosial yang selama ini sudah
dikenalnya dalam interaksi sosial, seperti petunjuk-petunjuk dalam bentuk
kata-kata, isyarat-isyarat, ekspresi wajah, kebiasaan-kebiasaan atau norma-
norma yang diperoleh individu sepanjang perjalanan hidup sejak ia lahir
(Mulyana, 2006:175)
Ketika seorang perantau memasuki lingkungan yang baru dengan budaya
yang baru pula, ia akan merasakan terasingkan karena perbedaan yang ada.
12
Meskipun individu tersebut berpikiran luas dan beritikad baik, ia tetap
akan merasakan kehilangan pegangan dan kemudian mengalami frustasi
dengan gejala maupun raksi yang hampir sama diderita oleh individu lain
yang mengalami (culture shock). Pertama-tama individu akan melakukan
penolakan diri pada lingkungan yang menyebabkan ketidaknyamanan
hingga berujung penyesalan diri. Individu akan merasa bahwa lingkungan
dan suasana dari asalanya sangatlah penting karena ia mulai merasakan
ketidaknyamanan dari daerah tempat tinggalnya sekarang yang banyak
memiliki perbedaan. Semua masalah dan kesulitan yang dihadapi menjadi
suatu tekanan bagi individu dan hanya hal-hal yang menyenangkan di
negara asalnya lah yang menjadi sangat dirindukan. Bagi individu, pulang
ke negara asalnya saja yang dapat membawa mereka kembali kepada
realitas.
2.3 Gejala-Gejala dan Reaksi Culture Shock (Gegar Budaya)
Secara umum, banyak definisi awal memfokuskan gegar budaya sebagai
sindrom, keadaan rekatif dari patologi atau defisit spesifik: individu
pindah ke lingkungan baru yang asing, kemudian mengembangkan gejala
psikologis negatif dan beberapa gejala gegar budaya ini adalah buang air
kecil, minum, makan serta tidur yang berlebih-lebihan; perasaan tidak
berdaya lalu keinginan untuk terus bergantung pada individu-individu
sebudayanya; marah/ mudah tersinggung karena hal-hal sepele; reaksi
yang berlebih-lebihan terhadap penyakit-penyakit sepele; hingga akhirnya,
keinginan yang memuncak untuk pulang ke kampung halaman (Mulyana,
2006:175).
Culture shock banyak menyebabkan ganguan-ganguan emosional,
seperti depresi dan kecemasan yang dialami oleh perantau. Pada
tahap awal penyesuaian diri dengan kebudayaan yang baru,
individu akan merasakan terombang-ambing antara rasa marah dan
depresi. Culture shock dianggap sebagai pengalaman belajar dalam
13
proses penyesuaian diri dengan budaya yang baru karena
mencakup akuisisi dan pengembangan keteramppilan, aturan, dan
peran yang dibutuhkan dalam suatu setting yang baru. Culture
shock juga dapat membuat seseorang kehilangan kontrol ketika
berinteraksi dengan orang lain yang memiliki kultur berbeda
dengan dirinya. Hal tersebut menyebabkankan kesulitan
penyesuaian bagi individu, tetapi hal tersebut tidak selalu pula
merupakan gangguan psikologis (Mulyana, 2006:176).
Seorang psikolog terkenal, Harry Triandis juga memandang culture shock
sebagai hilangnya kontrol seseorang saat ia berinteraksi dengan orang lain
dengan kultur yang berbeda. Kehilangan kendali atau kontrol diri pada
umumnya memang menyebabkan kesulitan penyesuaian tetapi tidak selalu
merupakan gangguan psikologis (Shiraev dan Levy, 2012:443).
“Pedersen mengemukakan dalam salah satu teori gegar budaya
melihat gegar ini sebagai penyesuaian awal ketika datang ke
lingkungan yang baru atau asing yang diasosiasikan dengan
perkembangan individu, pendidikan, dan bahkan pertumbuhan
personal. Secara singkat bahwa segala bentuk stress mental
maupun fisik yang dialami individu perantau selama berada di
lokasi asing disebut sebagai gejala culture shock, akan tetapi gejala
culture shock yang terjadi pada setiap individu memiliki tingkatan
atau kadar yang berbeda mengenai sejauh mana culture shock
mempengaruhi kehidupannya. Ada beberapa gejala dan reaksi yang
biasanya ditunjukkan individu saat mengalami culture shock. Hal
tersebut dapat dilihat dari tabel berikut (Shiraev dan Levy,
2012:444)” :
Tabel 2.1 Gejalan dan reaksi cultre shock
Gejala Gegar Budaya Deskripsi Reaksi Gegar
Budaya
Gegar budaya sebagai nostalgia Orang merasa rindu keluarga,
kawan, dan pengalaman lain
yang familiar.
Gegar budaya sebagai
disorientasi dan hilangnya
Hilangnya hal-hal yang
dianggap familiar. Disorientasi
14
kendali menimbukan kecemasan,
depresi, dan merasa putus asa.
Gegar budaya sebagai
ketidakpuasan atas hambatan
bahasa
Kurangnya komunikasi atau
sulitnya berkomunikasi dapat
menimbulkan frustasi dan
perasaan terasingkan.
Gegar budaya sebagai hilangnya
kebiasaan dan gaya hidup.
Individu tidak mampu
melakukan aktivitas yang
sebelumnya ia nikamti. Hal ini
menyebabkan kecemasan dan
perasaan kehilangan.
Gegar budaya seabgai anggapan
adanya perbedaan.
Perbedaan antara budaya yang
baru dengan budaya negara asal
biasanya akan dilebih-lebihkan
dan sulit diterima.
Gegar budaya sebagai anggapan
adanya perbedaan nilai
Perbedaan ini biasanya dilebih-
lebihakan : nilai yang baru
tampaknya sedikit sulit
diterima.
Sumber : Pedersen dikutip dari Shiraev dan Levy, 2012 : 244
2.4 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Culture Shock
Menurut Parrillo (2008:46) ada beberapa faktor yang mempengaruhi
culture shock yaitu:
1. Faktor intrapersonal, termasuk keterampilan (komunikasi),
pengalaman sebelumnya (dalam lintas budaya), trait personal
(mandiri atau toleransi), dan akses ke sumber daya. Karakteristik
fisik seperti penampilan, umur, kesehatan, kemampuan sosial juga
mempengaruhi. Penelitian menunjukkan umur dan jenis kelamin
berhubungan dengan culture shock. Individu yang lebih muda
cenderung mengalami culture shock yang lebih tinggi daripada
15
individu yang lebih tua dan wanita lebih mengalami culture shock
daripada pria (Kazanzis dalam Pederson, 1995).
2. Variasi budaya mempengaruhi transisi dari satu budaya ke budaya
yang lain. Culture shock dapat lebih cepat terjadi jika budaya
tersebut semakin berbeda, hal ini meliputi faktor sosial, perilaku,
adat istiadat, agama, pendidikan, norma dalam masyarakat, dan
bahasa. Bochner (2003) menyatakan bahwa semakin berbeda
kebudayaan antar dua individu yang berinteraksi, semakin sulit
kedua individu tersebut membangun dan memelihara hubungan yang
harmonis. Sedangkan Pedersen (1995) menyatakan bahwa semakin
berbeda kedua budaya, maka interaksi sosial dengan mahasiswa
lokal akan semakin rendah.
3. Manifestasi sosial politik juga mempengaruhi culture shock. Sikap
dari masyarakat setempat dapat menimbulkan prasangka, seteriotip
dan intimidasi.
2.5 Ekspatriat
Berry, dkk (1987) menyamakan istilah ekspatriat dengan perantau dan
digunakan untuk menjelaskan pendatang yang tinggal sementara di luar
negeri (migran temporer). Ditinjau dari makna harfiah, istilah “expatriate”
diambil dari bahasa latin ‘ex’ (di luar) dan ‘patria’ (negara). Dalam bahasa
Inggris sering sekali berubah menjadi ‘ex-patriot’ atau ‘x-pat’. Bahasa
Inggris sendiri menggunakan istilah expatriate yang berasal dari kata
‘expate’ untuk memaknai seseorang yang tinggal untuk sementara ataupun
permanen di negara lain dengan lingkungan dan budaya yang berbeda dari
negara asalnya.
Berdasarkan penjelasan diatas, penulis menyimpulkan bahwa ekspatriat
adalah orang yang tinggal sementara waktu atau pun menetap di negara
lain karena suatu kepentingan.
16
2.6 Warga Negara Jepang
Jepang adalah sebuah negara kepulauan yang terletak di wilayah paling
timur benua Asia. Jepang adalah sebuah Negara kecil di Asia namun
jepang juga termasuk kedalam Negara yang maju dan mandiri dalam
bidang teknologi dan pendidikan. Jika kita hidup di Jepang ataupun hidup
dengan orang Jepang, secara tidak langsungnya kita juga dapat merasakan
dan melihat sikap, sifat dan perilaku orang Jepang pada umumnya.
Mengenai bagaimana mental dan moral orang Jepang dalam menyikapi
hidupnya sehari-hari (http://www.abraham-maslow.com/).
Menurut data tahun 2014, penduduk Jepang berjumlah sekitar 125 juta
jiwa. Jepang adalah negara berpenduduk paling banyak ke-10 di dunia.
Banyak kota yang terletak di sisi Samudra Pasifik yang memiliki iklim
hangat seperti Tokyo, Osaka, dan Nagoya. Separuh dari seluruh penduduk
Jepang berkumpul di wilayah tiga kota besar ini dan sekitarnya. Jepang
memiliki gambaran sebagai negara yang gerah pada musim panas dan
turun salju pada musim dingin. Tetapi Jepang adalah negara yang
memanjang dari utara ke selatan sehingga memiliki perbedaan iklim yang
besar berdasarkan daerahnya. Bila pulau Hokkaidou di utara adalah daerah
dingin, sebaliknya pulau Okinawa di selatan adalah daerah tropis. Selain
itu, meskipun sesama pulau Honshuu, cuaca di sisi Samudra Pasifik dan
Laut Jepang berbeda sama sekali. Namun, perbedaan iklim inilah yang
membuat Jepang kaya akan keberagaman budaya. Orang-orang Jepang
dikenal dengan sifat rajin dan tepat waktu. Di Jepang terdapat istilah
"Bergerak 5 menit sebelumnya". Ini merupakan semangat untuk
membiasakan diri bersiap-siap 5 menit sebelumnya agar dapat langsung
bergerak pada waktunya. Banyak orang Jepang yang sangat ketat dengan
waktu. Apabila Anda memiliki janji bertemu orang Jepang dengan waktu
yang telah ditentukan, jangan sampai Anda datang terlambat
(https://livejapan.com/).
17
2.7 Adaptasi Ekspatriat
Adaptasi yang dilakukan oleh ekspatriat di negera tujuan atau negara
dimana ia akan tinggal dan menetap dalam kurun waktu tertentu dapat
dilakukan dengan banyak cara. Gudykunst dan Kim (dalam Liliweri,
2004) mengartikan adaptasi sebagai perubahan diri dari suatu masyarakat
atau sub masyarakan kepada masyarakat menyangkut perbedaan
kebudayaan yang disebabkan oleh perpindahan seseorang orang dari suatu
budaya menuju budaya yang lain. Adaptasi dilakukan oleh ekspatriat
secara individu terhadap pekerjaan, budaya organisasi, dan sosialisasi
terhadap hal-hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan sekalipun.
Cara yang ditempuh tersebut dilakukan untuk menghasilkan derajat
adaptasi yang sesuai dengan keinginan ekspatriat secara perorangan
ataupun organisasi. Young Yun Kim (dalam Mulyana 2006)
mengemukakanya setiap individu pendatang untuk jangka waktu pendek
ataupun panjang harus beradaptasi dengan tuan rumah.
Ekspatriat akan mengalami kesulitan akibat dari perbedaan budaya
tersebut. Masalah juga akan muncul dari rekan kerja, dimana terjadi
kesalahpahaman yang akan menyebabkan frustasi, serta ekspatriat akan
menerima perilaku yang tidak baik. Jika ekspatriat sadar sebelumnya
dengan adanya berbagai variasi budaya, serta merubah perilaku mereka
dalam berinteraksi, maka ekspatriat dapat terhindar dari kesalahpahaman
dan dapat menjalankan tugas dengan baik (Black and Porter 1990).
Sebab adaptasi budaya adalah suatu proses kognitif sosial yang mana
mengurangi ketidakpastian dan suatu proses afektif yang mengurangi
kecemasan: hasil adaptasi budaya termasuk kesejahteraan psikologi dan
kepuasan serta kompetensi sosial (Gao and Gudy Kunst.,1990).
18
2.8 Adaptasi Budaya
Pada awalnya, kajian tentang ini didasari oleh pekerja-pekerja imigran dan
mahasiwa yang belajar lintas negara di Eropa. Kajian ini dirasa penting
untuk menyambut interaksi global yang saat ini sudah menjadi kebiasaan
dan semakin banyak terjadi (Judith N.M. dan Thomas K.N, 2003). Para
peneliti kemudian berusaha memaparkan dan menjelaskan gejala-gejala
sosial serta permasalahan- permasalahan dalam aspek komunikasi yang
secara jelas terjadi pada masyarakat global ini, hingga nantinya ditemukan
sebuah model solusi yang bisa menyelesaikan atau setidaknya
memperkecil aspek-aspek negatif yang bisa tercipta dari komunikasi
interkultural.
Ketika seseorang jauh dari daerah asal, jauh dari rumah atau tempat yang
selama ini dianggap sebagai “rumah”, jauh dari lingkungan tempat ia
tumbuh besar, dan jauh dari kebiasaan-kebiasaan yang selalu dilakukan
maka individu tersebut mau tidak mau akan memperlajari hal-hal yang
baru untuk dapat bertahan hidup. Ketika seseorang berada jauh dari zona
nyaman untuk waktu yang lama seperti contohnya bekerja, maka akan
terjadi transfer-transfer nilai yang dapat disebut dengan adaptasi budaya
(Ruben dan Stewart. 2006 : 340)
Samovar menyatakan bahwa individu biasanya akan melewati empat
tingkat proses beradaptasi. Keempat tingkatan ini dapat digambarkan
dalam bentuk kurva U sehingga disebut U – Curve.
1. Fase optimistik
Fase pertama yang digambarkan berada pada bagian kiri atas dari
kurva U. Fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan dan
euforia sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru.
2. Masalah kultural
Pada fase kedua ini individu mulai mengalami masalah dengan
lingkungan yang baru, misalnya karena kesulitan bahasa yang
19
berbeda, sistem lalu lintas yang baru, dan hal-hal lain yang
dianggap berbeda dari budaya atau keadaan dari asal negara setiap
individu. Fase ini bisasanya ditandai dengan rasa kecewa dan
ketidakpuasan karena sesuatu terjadi tidak sesuai dengan
harapannya. Ini adalah periode krisis dalam culture shock. Individu
menjadi bingung dan tercengang dengan sekitarnya sehingga dapat
membuat individu menjadi frustasi, mudah tersinggung, mudah
marah, tidak sabaran, dan bahkan menjadi tidak kompeten.
3. Fase recovery
Pada fase ketiga ini individu mulai mengerti akan budaya barunya.
Individu secara bertahap membuat penyesuaian dan perubahan
dalam caranya menanggulangi budaya barunya. Orang-orang dan
peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan tidak
terlalu menekan.
4. Fase penyesuaian
Pada fase terakhir ini individu telah mengerti elemen kunci dari
budaya barunya seperti nilali-nilai, pola komunikasi, keyanikan
dan hal-hal lainnya (Samovar, Richard dan Edwin, 2010 : 169).
Para expatriat dengan notabennya telah terbiasa menjalankan dan
mengembangkan budayanya dalam kehidupan sehari-hari di negara
asalnya, kemudian hidup dan menetap di negara yang baru dalam kurun
waktu yang lama tentunya akan merasakan satu keanehan ketika ia
mengalami atau merasakan sesuatu yang belum pernah dirasakan
sebelumnya, seperti nilai-nilai, kepercayaan, standar estetika, ekspresi,
bahasa, pola pikir, nilai norma, tata prilaku dan gaya komunikasi.
Dengan seiring berjalannya waktu, mereka berinteraksi secara terus-
menerus dengan orang-orang yang mayoritas memiliki kebudayaan yang
sama, sehingga para expatriat akhirnya menyadari akan perlunya
keterbukaan untuk menerima budaya yang baru.
20
2.9 Faktor Pendukung Adaptasi
Dalam proses adaptasi ada beberapa faktor yang mendorong ekspatriat
untuk melakukan adaptasi, berikut ini adalah sebuah model yang
dikembangkan oleh black dan mendenhall (dalam hodgetts dan Luthans,
2000) yang mengulas faktor-faktor pendukung adaptasi yang dilakukan
ekspatriat:
2.9.1 Individual
Pengaruh individu mempunyai peran yang penting dalam
menentukan proses beradaptasi. Dorongan dari diri sendiri akan
menentukan bagaimana individu dapat menentukan pilihan.
Self efficiacy merupakan kemampuan dan kemauan individu
untuk melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan. Ekspatriat
dapat melakukan pencarian informasi melalui literature, kursus,
mencari keterangan dari orang-orang setempat, dan lain-lain.
Relatian skill yang merupakan kemampuan untuk membangun
hubungan atau relasi dengan seseorang.
Perception skill merupakan kemampuan ekspatriat untuk
membentuk cara pandangannya yang baru.
2.9.2 Organization socialization
Organisasi atau perusahaan dapat membantu proses adaptasi
dengan melakukan sosialisasi dengan orang dan lingkungan
ekspatriat yang baru. Lewat proses yang terus menerus, seorang
ekspatriat akan dapat menyesuaikan diri terhadap organisasinya
sehingga mampu mengerti dan menerima nilai-nilai, norma-norma
dan kepercayaan yang dilakukan oleh orang lain dalam perusahaan.
Adapun hal-hal yang perlu untuk diperhatikan sebagai berikut :
Socialization tactics adalah bagaimana cara yang ditempuh
oleh organisasi atau perusahaan dalam melakukan
organisasi.
21
Socialization content adalah isi dari sosialisasi yang mana
mencakup seluruh informasi yang dibutuhkan oleh
ekspatriat untuk melakukan penyesuaian.
2.9.3 Job
Adaptasi dengan pekerjaan, lalu berinteraksi dengan rekan kerja
dan keseluruhan di lingkungan kerja sangat perlu dilakukan. Dalam
faktor ini mencakup :
Role clarity (kejelasan tugas)
Kejelasan tugas sehingga pekerjaan dapat melakukan
tugasnya dengan baik apabila mengetahui dengan pasti
tugas dan tanggungjawabnya. Hal ini dapat diantisipasi oleh
ekspatriat apabila mempunyai description yang jelas.
Role discretion (keleluasaan kerja).
Keleluasaan kerja yang diberikan kepada pekerjaan
khussnya dalam hal ini untuk mengerjakan tugas dan
tanggungjawab dengan bebas sesuai dengan kebijaksanaan.
Role novelty
Pemberian tugas-tugas baru kepada para ekspatriat,
sehingga dapat mempelajari dan beradaptasi dengan
pekerjaan baru dan lingkungan kerja yang baru
Role conflict
kspatriat diberikan peran atau tugas yang berbeda dengan
peran atau tugas sebelumnya. Biasanya para tenaga kerja
harus menghadapi peran dan tanggungjawab yang lebih
besar dari peran dan tanggungjawab sebelumnya.
2.9.4 Organization culture
Setiap organisasi mempunyai budaya yang berbeda-beda. Oleh
karena itu ekspatriat pun dituntut untuk dapat beradaptasi dengan
budaya organisasi atau perusahaan dimana ekspatriat bekerja. Hal
22
ini tentunya sangat berpengaruh pada hasil kerja dari seseorang
ekspatriat. Faktor dari organization culture ini mencakup.
Organization culture novelty, memperkenalkan budaya
organisasi yang baru kepada para ekspatriat. Dengan begitu
maka para ekspatriat akan dapat mengetahui dan
memahami cara kerja, perilaku kerja apa yang diharapkan
dan apa yang tidak harapkan dalam cara kerja dari
organisasi atau perusahaan tersebut.
Social support, mencankup bantuan yang diberikan oleh
perusahaan dengan mendukung ekspatriat secara sosial
seperti dengan memperkenalkan beserta keluarga yang
menyertainya (jika ada).
Logistical help, mencakup penyediaan kebutuhan logistik
dari ekspatriat yang dapat dilakukan hanya pada saat awal
kedatangan ekspatriat. Dengan kata lain ekspatriat tersebut
telah mengetahui dimana dan bagaimana memperoleh
kebutuhan logistiknya.
2.9.5 Nonwork
Dengan didukung oleh faktor-faktor yang mendorong proses
adaptasi yakni, adaptasi dengan budaya yang baru dan adaptasi
keluarga dan pasangan ekspatriat, maka ekspatriat tidak akan
merasa terasingkan dalam lingkungan baru.
2.9.6 Mode of Adjustment
Untuk membantu proses adaptasi maka ekspatriat dapat melakukan
2 macam cara yaitu:
Melalui bantuan yang diberikan perusahan dan luar atau
rekan orang disekitar lingkungan tersebut
Secara otodidak atau belajar sendiri hal in dapat ditempuh
bila ada motivasi dari ekspatriat untuk melakukan
23
pengenalan dari situasi, karateristik dan kondisi dari
lingkungan yang baru.
2.9.7 Degree of adjustment
Setelah ekspatriat melakukan adaptasi, diharapka dari proses
tersebut dari hasil sebagai berikut :
Work adjustment, setelah ekspatriat dapat beradaptasi
dengan lingkungan kerja tugas dan tanggungjawab,
diharapkan ekspatriat dapat bekerja secara efektif dan
efisien, serta dapat meningkatkan kemampuan dalam
bekerja
Interaction adjustment, diharapkan para ekspatriat dapat
berhubungan dan berinteraksi secara timbal balik dengan
orang-orang sekitar ekspatriat.
General adjustment, diharapkan agar adaptasi ekspatriat
berhasil secara menyeluruh baik adaptasi dengan pekerjaan,
budaya perilaku hidup, sehingga ekspatriat dapat hidup
secara normal.
2.10 Penelitian Terdahulu
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa referensi yang
menjadi pembanding dari penelitian yang sejenis yang dilakukan oleh
peneliti.
1. Penelitian kualitatif yang pernah dilakukan oleh Muhammad Hyqal
Kevinzky dari Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia
pada tahun 2011 dalam penelitiannya yang berjudul “Proses Dan
Dinamika Komunikasi Dalam Menghadapi Culture Shock Pada
Adaptasi Mahasiswa Perantauan (Kasus Adaptasi Mahasiswa di
Unpad Bandung)”. Penelitian ini bertujuan untuk melihat proses
dan dinamika mahasiswa perantau di Unpad, Bandung dalam
menghadapi culture shock saat melakukan adaptasi komunikasi
24
dengan subyek penelitiannya adalah mahasiswa perantau yang
berkuliah di UNPAD. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
terdapat 3 hal yang paling berpengaruh dan saling mempengaruhi
dalam keputusan adaptasi seseorang yaitu (1) Stereotipe yang
dibawa ketika merantau (2) Lingkungan yagn dia tinggali dan (3)
Motivasi yang dia miliki untuk beradaptasi dan bertahan di
perantauan. Ketika seseorang merantau, tentu dia membawa nilai-
nilai atau strereotipe sendiri dalam memandang kebudayaan yang
dia tuju sebagai tempat sementara. Entah itu stereoripe yang baik
atau buruk.
2. Penelitian deskriptif kualitatif dengan metode studi kasus yang
dilakukan oleh Rahaditya Puspa Kirana dari Jurusan Sastra Jepang
Universitas Airlangga yang berjudul “Strategi Adaptasi Pekerja
Jepang Terhadap Culture Shock: Studi Kasus Terhadap Pekerja
Jepang di Instansi Pemerintah di Surabaya”. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui bentuk culture shock yang dialami
orang Jepang yang bekerja di instansi pemerinta di Surabaya dan
mengetahui strategi adaptasi yang mereka lakukan untuk mengatasi
culture shock. Subyek penelitiannya adalah empat orang Jepang
yang bekerja di instansi pemerintah di Surabaya.Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa culture shock yang dialami oleh pekerja
Jepang di instansi pemerintah di Surabaya adalah stres yang
mereka rasakan yang membuat mereka tidak bisa tidur di malam
hari, marah yang membuat mereka ingin pulang ke Jepang, dan
tidak tahu apa yang harus dilakukan di tempat kerja. Penyebab dari
culture shock adalah kurangnya rasa kesadaran waktu, dan etos
kerja dari rekan kerja mereka. Strategi adaptasi dilakukan orang
Jepang adalah melakukan beberapa persiapan sebelum pergi ke
Indonesia, melakukan hobi mereka, berpikiran terbuka kepada
25
orang-orang dalam pwekerjaan dan teman, dan bergabung bersama
budaya Indonesia.
3. Penelitian deskriptif kualitatif dilakukan oleh Ladycia Sundayra
dari Program Studi sastra Jepang Universitas Gajah Mada dengan
judul “Bentuk Culture Shock Dan Strategi Adaptasi Orang Jepang
yang Bekerja di Bali Terhadap Etos Kerja Orang Bali (Studi Kasus
Empat Orang Jepang yang Bekerja di Bali)”. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui bentuk culture shock dan strategi
adaptasi orang Jepang yang bekerja di Bali terhadap etos kerja
orang Bali. Subyek dari penelitian ini adalah empat orang Jepang
yang bekerja di Bali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
dua bentuk culture shock terkait etos kerja orang Bali yang dialami
orang Jepang yang bekerja di Bali, yaitu orang Bali yang
memprioritaskan upacara agama diatas pekerjaan. Dan orang Bali
yang sering datang terlambat saat bekerja, pulang lebih awal saat
selesai bekerja dikarenakan ada upacara agama. Kemudian strategi
adaptasi yang dilakukan oleh orang Jepang yang bekerja di Bali
adalah dengan cara mencari tahu tentang upacara agama di Bali
melalui komunikasi dengan orang Bali dan menjunjung rasa
toleransi.
Dari penelitian terdahulu dijadikan sebagai bahan pembanding sekaligus
referensi bagi penelitian yang akan peneliti lakukan dengan fokus
penelitian yang sama yaitu tentang culture shock.
2.11 Kerangka Berfikir
Kerangka pikir dibuat untuk mempermudah proses penelitian karena
mencakup tujuan dari penelitian itu sendiri. Tujuan dari penelitian ini
adalah mengetahui bentuk culture shock dan strategi adapatasi orang
Jepang yang bekerja di daerah Lippo Cikarang. Salah satu daerah di
26
kabupaten Bekasi adalah Lippo Cikarang. Di kawasan Lippo Cikarang
banyak terdapat orang Jepang yang tinggal dan menetap mengingat
perusahaan yang mendominasi adalah PMA Jepang. Perbedaan yang
sangat menonjol antara budaya Jepang dan Indonesia membuat seluruh
orang Jepang yang tinggal di kawasan Lippo Cikarang mengalami culture
shock saat awal menetap.
Gambar 2.1 Kerangka Pemikirian Sumber : Data olahan, 2017
Dari gambar 2.1 dapat terlihat ketika orang-orang Jepang bertemu dengan
lingkungan dan kebiasaan yang baru menimbulkan terjadinya culture
shock. Culture shock disebabkan karena adanya dua faktor yaitu internal
dan eksternal, dimana pribadi psikologis dari individu dan keadaan sekitar
membuat culture shock terjadi. Bentuk culture shock yang dialami oleh
setiap individu harus dapat segera diatasi dengan cara melakukan adaptasi
diri. Dalam segala proses untuk dapat beradaptasi, orang-orang Jepang
Internal Eksternal
1. Honeymoon 2. Culture shock 3. Recovery 4. Adaptation
Expatriate Jepang
Adaptation Strategy Culture Shock
Internal Eksternal
1. Honeymoon 2. Culture shock 3. Recovery 4. Adaptation
Lingkungan Cikarang
dan Kebiasaan Baru
27
melewati beberapa tahapan hingga akhirnya dapat terbuka dan menerima
budaya yang baru. Masing-masing individu memerlukan cara atau strategi
untuk dapat bertahan untuk dapat membuat nyaman dirinya, kerena hal
tersebut dapat mempengaruhi karir yang dijalaninya di Cikarang.
28
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
Peneliti melakukan penelitian berdasarkan observasi dan wawancara
langsung dengan informan. Dalam proses observasi, peneliti
memperhatikan gerak-gerik yang dilakukan oleh informan secara
langsung. Penelitian tentang “Bentuk Culture Shock dan Cara Adaptasi
Orang Jepang (Studi Kasus Lima Orang Jepang yang Bekerja di Cikarang
Selatan) dilaksanakan di Cikarang Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui penyebab yang melatarbelakangi terjadinya bentuk culture
shock dan bagaimana strategi adaptasi yang dilakukan oleh orang Jepang
yang bekerja di Cikarang Selatan.
3.2 Waktu Penelitian
Proses penelitian dilakukan dalam kurun waktu kurang lebih empat bulan,
yakni dari bulan September 2017 – Desember 2017. Hal tersebut terhitung
sejak pemilihan judul kemudian pelaksanaan penelitian dan sampai pada
penyusunan hasil penelitian.
3.3 Metode Penelitian
Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
kualitatif. Menurut Sugiyono (2008) metode penelitian kualitatif adalah
metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi yang
alamiah. Penelitian kualitatif bermaksud untuk memahami fenomena
tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian, misalnya perilaku,
presepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara konteks khusus alamiah
dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2007:6).
29
Bogdan dan Biklen yang dikutip oleh Sugiyono, (2008:9) juga
menjelaskan bahwa penelitian kualitatif lebih bersifat deskriptif, data yang
terkumpul berbentuk kata-kata atau gambar sehingga tidak menekankan
pada angka. Nazir (2011:54) menjelaskan bahwa metode deskriptif adalah
suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek,
suatu kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada
masa sekarang dan tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat
deskripsi gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang
diselidiki. Neuman (2006:35) juga menjelaskan bahwa penelitian
desktiptif bertujuan untuk membuat suatu gambaran dengan menggunakan
kata-kata atau angka dan bertujuan menampilkan profil, klasifikasi atas
tipe-tipe dan atau suatu kerangka atas langkah-langkah dalam menjawab
pertanyaan siapa, kapan, dimana, dan bagaimana. Jadi dengan metode
deskriptif penelitian ini akan mendeskripsikan mengenai variabel yang
diteliti secara mandiri.
Peneliti bermaksud untuk membahas suatu realitas permasalahan yang
terjadi di dalam masyarakat, yaitu culture shock yang dialami oleh orang-
orang Jepang yang tinggal di lingkungan yang baru dan bagaimana strategi
adaptasi yang dilakukan dalam menyikapi culture shock tersebut.
Pendekatan kualitatif dapat menghasilkan data desktiptif yang bertujuan
untuk menggambarkan secara tepat bentuk-bentuk culture shock yang
dialami oleh orang Jepang dan untuk memahami tingkah laku dari subjek
penelitian dalam hubungannya dengan strategi adaptasi orang Jepang
terhadap culture shock di lingkungan yang baru.
Pendekatan kualitatif sangat tepat digunakan dalam penelitian ini karena
peneliti dapat mendapatkan informasi dari informan secara rinci.
Pendekatan ini percaya bahwa fenomena sosial itu berbeda-beda
tergantung dari konteks, latar belakang, dan kondisi pribadi individu.
Metode penelitian kualitatif ini sering disebut metode penelitian
30
naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah
(natural setting) dimana peneliti mendapatkan informasi dengan
berkomunikasi langsung dengan informan sehingga setiap penjelasan yang
diberikan akan terjadi secara apa adanya (Sugiyono. 2007:1)
Poerwandari menyebutkan ciri-ciri penelitian kualitatif dalam bukunya
yang berjudul Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia
(Poerwandari, 2009: 43-56) sebagai berikut :
Mendasarkan diri pada kekuatan narasi
Elaborasi naratif dalam peneitian kualitatif digunakan untuk
memungkinkan pembaca memahami kedalaman, makna, dan
interpretasi terhadap keutuhan fenomena.
Studi dalam situasi ilmiah
Peneliti tidak berusaha untuk memanipulasi setting penelitian,
teteapi melakukan studi terhadap suatu fenomena di tempat
fenomena tersebut terjadi.
Analisis induktif
Penenliti tidak membatasi penelitian untuk menerima atau menolak
berbagai dugaan, tetapi mencoba memahami situasi sesuai dengan
kenyataan
Kontak personal langsung
Adanya kedekatan dengan obyek penelitian sangat diperlukan
untuk memahami kondisi nyata kehidupan sehari-hari.
Perspektif holistik
Keseluruhan fenomena perlu dimengerti sebagai isistem yang
kompleks, ini adalah hal yang lebih bermakna daripada
membentuknya menjadi bagian-bagian.
Perspektif dinamis, perspektif perkembangan
Perubahan dalam peneiltian merupakan sesuatu yang wajar, sudah
diduga sebelumnya, dan tidak bisa dihindari.
31
Orientasi pada kasus unik
Kasus-kasus yang unik dan kecil dapat memberi contoh yang tepat
tentang fenomena yang dipelajari.
Bersandar pada netralitas-empatis
Penelitian kualitatif menilai bahwa tidak ada objektivitas murni.
Karena dari itu penelitian kualitatif merupakan penelitian
netralistik-empatis. Netralitas mengacu pada sikap peneliti
menghadapi hasil temuan penelitian. Empatis mengacu pada sikap
peneliti terhadap subyek yang diteliti.
Ada fleksibilitas desain
Fleksibilitas desain ini berhubungan dengan jumlah sampel yang
diambil untuk penelitian. Jumlah sampel sangat bergantung pada
apa yang ingin diketahui, tujuan penelitan, konteks, apa yang
dianggap bermanfaat dan bisa dilakukan dengan waktu dan sumber
daya yang tersedia.
Sirkuler
Penelitian kualitatif tidak selalu mengikuti tahap-tahap kaku
terstruktur seperti pada penelitian kuantitatif.
Peneliti adalah instrumen kunci
Peran besar peneliti dalam penelitian kualitatif dimulai dari
pemilihan topik, pendekatan terhadap topik, mengumpulkan data
hingga menganalis dan menginterpretasi data.
Tujuan penelitian deskriptif menurut Neuman (2006:22) adalah sebagai
berikut :
Menghasilkan gambaran yang detail dan akurat
Mencipatakan rangkaian kategori atau mengklasifikasikan tipe
Memberikan data baru yang berbeda dari data sebelumnya
Menjelaskan tahapan-tahapan atau tatanan
Melaporkan latar belakang atau konteks situasi
Mendokumentasikan mekanisme proses kausal
32
3.4 Sumber Data Penelitian
Sumber utama dari penelitian kualitatif adalah berbentuk rangkaian kata-
kata, bahasa dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan yang
mendukung seperti dokumen, foto dan lain-lain (Moleong, 2007:157).
Dalam penelitian ini menggunakan tiga maca instrumen untuk membantu
proses pengumpulan data, yakni menggunakan pedoman wawancara, alat
perekam atau recorder, dan internet. Data dari informan yang didapatkan
oleh peneliti dari dua sumber data sebagai berikut :
3.4.1 Sumber Data Primer
Data primer diperoleh langsung dari subjek penelitian yang
diambil dengan maksud menggali informasi secara lengkap dan
jelas. Sumber data primer didapatkan dengan cara melakukan
wawancara mendalam dengan beberapa informan sampai data
yang didapatkan dirasa cukup oleh peneliti dan observarsi
langsung dengan beberapa informan. Wawancara merupakan
percakapan yang dimaksudkan untuk mendapatkan informasi
secara jelas mengenai orang, kejadian, oraganisasi, perasaan,
motivasi, tuntutan, kepedulian, dan lain-lain. Percakapan
dilakukan oleh dua pihak yaitu peneliti mengajukan beberapa
pertanyaan yang sudah dibuat sebelumnya dan informan atau
narasumber yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang
telah diajukan oleh penliti.
3.4.2 Sumber Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang didapatkan secara tidak
langsung dari sumbernya, dalam artian sumber data yang
didapatkan dapat dalam berbentuk media lain dan bukan
langsung dari informan. Sumber data sekunder biasanya
diperoleh dari mengumpulkan referensi dan kajian kepustakaan
dan dokumen dari kegiatan objek penlitian yang sedang
dilaksanakan. Data sekunder dari penelitian ini berasal dari
33
sumber tertulis, surat kabar, jurnal, internet dan hasil penelitian
yang relevan.
Data sekunder yang kedua adalah studi literatur dimana data ini
dibutuhkan untuk menjelaskan konsep-konsep yang digunakan
dan ditemukan dalam penelitian. Data ini diperoleh dari
berbagai sumber tertulis baik cetak maupun online.
3.5 Strategi Penelitian
Strategi penelitian dari penelitian ini adalah case study, yaitu kasus bentuk
culture shock dan cara adaptasi yang di lingkungan yang heterogen.
Bentuk sebuah kasus yang diteliti dapat dalam bentuk individu, kelompok,
organisasi, pergerakan, kegiatan atau unit geografis (Neuman, 2006:40).
Dalam penelitian ini diharapkan peneliti dapat memberikan gambaran
bentuk-bentuk culture shock yang dihadapi dan proses adaptasi di
lingkungan yang heterogen dilihat dari berbagai macam segi. Kasus ini
tentu akan menjadi berbeda dari adaptasi yang dilakukan di lingkungan
yang homogen. Oleh karena itu peneliti memilih studi kasus sebagai
strateginya.
3.6 Subjek Penelitian
3.6.1 Metode Pemilihan Informan
Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bersifat subjektif
karena metode pemilihan informan dalam penelitian kualitatif
memberikan kebebasan bagi peneliti untuk menentukan siapa
informannya. Pada penelitian ini, pemilihan informan dilakukan
secara purposive. Purposive sampling difokuskan berdasarkan tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian. Pada umumnya informan
berjumlah kecil, tapi dengan metode ini sebanyak mungkin
34
menjaring informasi untuk tujuan penelitian dan tetap dalam batasan
masalah penelitian.
Purposive sampling adalah teknik pengumpulan subjek berdasarkan
ciri-ciri atau sifat tertentu yang diperkirakan mempunyai hubungan
erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat yang ada dalam populasi yang
sudah diketahui sebelumnya. Pengambilan subyek bukan didasarkan
atas strata, random atau daerah, tetapi didasarkan atas adanya tujuan
tertentu. Teknik ini biasanya didasarkan pada pertimbangan atas
keterbatasan waktu, tenaga dan dana sehingga tidak dapat
mengambil sampel yang besar dan jauh (Sugiyono, 2016).
Menurut Arikunto (2010:128) syarat-syarat yang harus dipenuhi
dalam menggunakan purposive sampling sebagai berikut :
1. Pengambilan sampel harus didasarkan atas ciri-ciri, sifat-sifat
atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri-ciri pokok
yang sesuai dengan tujuan penelitian.
2. Subyek yang dipilih sebagai sampel adalalah subyek yang
paling banyak memiliki kecocokan.
3. Penenetuan karakteristik populasi dilakukan dengan cermat
di dalam studi pendahuluan.
3.6.2 Karakteristik informan
Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah expatriate Jepang.
Berry, dkk (1987) menyamakan istilah ekspatriat dengan perantau
dan digunakan untuk menjelaskan pendatang yang tinggal sementara
di luar negeri (migran temporer). Adapun pendapat lain yang
mengungkapkan bahwa ekspatriat adalah non warga negara dimana
mereka sedang bekerja (Desler, 2002). Jadi dapat disimpulkan
bahwa ekspatriat adalah seorang pekerja yang bekerja diluar dari
negara asalnya.
35
Pengambilan sampel ini dilakukan berdasarkan adanya tujuan
tertentu yang ingin dicapai oleh peneliti. Subjek yang diambil
merupapakan subjek yang memiliki banyak kecocokan atau ciri
umum dari karakteristik responden. Agar lebih spesifik dan mudah
dalam pemilihan informan, peneliti menentukan kriteria sebagai
berikut :
Expatriat yang berasal dari Jepang (Native Japanese)
Expatriate Jepang yang tinggal dan bekerja di kawasan Cikarang
Selatan
Belum pernah memiliki pengalaman menetap di Indonesia,
khususnya di Cikarang Selatan.
Kemudian masing-masing informan akan dibedakan dengan
beberapa karakteristik demografis seperti sebagai berikut :
Durasi lamanya tingga di daerah Cikarang Selatan
Level pekerjaan
Dalam proses pemilihan informan, peneliti melakukan wawancara
kepada beberapa orang Jepang kemudian disesuaikan kembali mana
jawaban yang terjawab dengan jujur dengan cara melihat
willingness yang informan tunjukkan kepada peneliti. Dari empat
informan yang peneliti wawancarai ternyata hanya tiga yang dirasa
cukup mewakili dari jawaban-jawaban yang diberikan. Kemudian
untuk memperkuat hasil penelitian, peneliti meminta bantuan rekan
yang dapat berkomunikasi bahasa Jepang untuk membantu
melakukan wawancara ulang kepada informan yang sudah terpilih
oleh peneliti menggunakan bahasa Jepang. Sealain itu peneliti
menambahkan dua informan yang dibantu dari rekan peneliti
sebagai peneliti kedua dalam proses penelitian ini. Semua hal
tersebut dilakukan untuk meminimalisir adanya bias.
36
Tabel 3.1 Data Informan
Inisial Nama Durasi lamanya tinggal
(Tahun) Posisi
AK 3 Sales Executive
TK 4 Electrical Engineer
SO 2 Sales Executive
SF 5 Engineer Manager
HK 5 Architec
Sumber : Data Olahan Penulis, 2017
3.7 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulang data yang digunakan dalam penelitian harus tepat
dan mempunyai dasar yang beralasan, artinya dapat mengumpulkan data
sesuai dengan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini, pengumpulan data
memfokuskan pada tiga metode sebagai berikut :
3.7.1 Pengumpulan Data dengan Observasi
Observasi merupakan aktivitas penelitian dalam rangka
mengumpulkan data yang berkaitan dengan masalah penelitian
melalui proses pengamatan langsung di lapangan. Peneliti berada
ditempat itu, untuk mendapatkan bukti-bukti yang valid dalam
laporan yang akan diajukan. Menurut Sanafiah Faisal (dikutip dari
Sugiyono, 2007:266) mengklasifikasikan observasi menjadi
beberapa bagian yaitu, observasi partisipasi (participant
observation), observasi secara terang-terangan dan tersamar (overt
observation and covert observation) dan observasi yang tak
terstruktur (unstructured observation).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan observasi secara terang-
terangan dan tersamar. Peneliti melakukan pengamatan dari
lingkungan tempat informan bekerja dan bentuk interaksi dengan
orang lain. Hal yang diamati adalah tanda-tanda non-verbal dari
informan selama kesehariannya.
37
3.7.2 Pengumpulan Data dengan Wawancara
Menurut Moleong (2007:190-191), wawancara adalah proses
memperoleh keterangan secara deskriptif untuk tujuan penelitian
dengan cara tanya jawab. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan
teknik wawancara semi terstruktur dan tidak terstruktur. Wawancara
semi terstruktur memiliki pedoman wawancara namun apabila sudah
terjun ke lapangan akan berkembang sesuai dengan kondisi di
lapangan. Sedangkan wawancara tidak terstruktur, yaitu peneliti
tidak terikat waktu dengan informan seperti pelaksanaannya
mengalir seperti percakapan sehari-hari. Ardianto juga menjelaskan
bahwa wawancara mendalam adalah suatu teknik pengumpulan data
(wawancara) dengan bertatap muka langsung dan dilakukan dengan
frekuensi pertemuan yang tinggi dan intensif (2010:178).
Wawancara merupakan cara utama untuk mendapatkan informasi
atau keterangan secara jelas dan lengkap karena bentuk komunikasi
yang dilakukan adalah secara langsung. Sebelum melakukan
wawancara, peneliti membuat pedoman wawancara yang berisi
pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan permasalah yang akan
dibahas. Pedoman wawancara yang digunakan harus ditanyakan dan
direspon oleh responden. Isi dari pertanyaan tersbut biasanya
meliputi fakta, realita, data, konsep, pendapat, dan hal-hal lain yang
berkenaan dengan permasalahan yang sedang dikaji oleh peneliti.
3.7.3 Pengumpulan Data dengan Dokumentasi
Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data dengan
menghimpun data dan menganalisis dokumen-dokumen, baik
dokumen tertulis, dokumen visual berupa foto dan gambar, maupun
data yang terdapat dalam media elektronik. Sebagai sesuatu yang
tertulis, tercetak atau terekam yang dapat dijadikan bukti atau
keterangan. Dokumentasi yang dilakukan dalam penelitian yakni
dengan mengambil gambar secara langsung pada saat wawancara
38
berlangsung dan mencari dokumen yang berhubungan dengan data
fisik yang peneliti peroleh dari Disnaker kabupaten Bekasi mengenai
jumlah orang asing yang bekerja di Cikarang dari bulan Januari 2017
– Oktober 2017.
3.8 Instrumen Penelitian
Sugioyono (2012:148) berpendapat bahwa instrumen penelitian adalah
suatu alat yang digunakan untuk mengukur fenomena alam maupun sosial
yang diamati. Secara spesifik semua fenomena ini disebut sebagai variabel
penelitain. Dalam suatu penelitian, instruemen yang digunakan harus dapat
memenuhi syarat reliabilitas dan validitas. Dalam penelitian ini
menggunakan tiga macam instrumen untuk membantu proses
pengumpulan data, yakni menggunakan pedoman wawancara, alat
perekam atau recorder, dan internet.
Pedoman wawancara merupakan daftar pertanyaan yang disusun oleh
peneliti berdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian. Pedoman
wawancara membantu peneliti untuk tetap berada di jalur penelitian
sehingga dapat tetap fokus dan tidak bias. Hasil jawaban dari pertanyaan-
pertanyaan itu kemudian akan dikembangkan menjadi sebuah pernyataan
yang jelas dengan didukung teori-teori yang ada.
Instrumen yang kedua adalah alat perekam atau recorder. Alat perekam
merupakan instrumen yang berguna untuk mengumpulkan data dari
wawancara yang telah dilakukan. Hal ini dapat memudahkan peneliti
dalam proses pembuatan transkrip wawancara karena dengan alat
perekam, peneliti dapat mengulangi hasil wawancara berkali-kali.
Sedangkan instrumen yang ketiga adalah internet. Internet digunakan
untuk melakukan kontak dengan informan yang sulit ditemui.
39
3.9 Kriteria Kualitas Penelitian
Dalam sebuah penelitian, diperlukan teknik pemeriksaan untuk
menetapkan kualitas atau keabsahan data. Oleh sebab itu, keabsahan data
dalam penelitian ini dijelaskan melalui empat hal (Sugiyono, 2016:121) :
Credibility
Untuk menjamin kredibilitas penelitian ini, peneliti memilih
informan berdasarkan kritertia-kriteria yang ditentukan oleh
peneliti sehingga tidak keluar dari ketentuan penelitian. Selain itu
melakukan triangulasi dengan berbagai sumber dan diperiksa
berulang-ulang sebelum hasil penelitian disimpukan.
Transferability
Keteralihan data penelitian dapat dicapai dengan “menguji”
kesimpulan di tempat lain yang serupa dengan konteks penelitian.
Jika kesimpulan juga berlaku di konteks lain, maka tecapailaj
transferability (keteralihan)dalam penelitian. Dalam penelitian
ini, segala macam informasi yang didapat akan digambarkan
sedetil mungkin dengan memperbanyak kutipan wawancara
alsinya sehingga dapat memenuhi kriteria ini.
Dependability
Kebergantungan data penelitian dapat tercapai jika penelitan yang
sama dilakukan beberapa kali dan tetap menghasilkan kesimpulan
yang sama. Dalam penelitian kualitatif konsep ini setara dengan
reabilitas, dalam penelitian ini dependability berusaha dicapai
dengan mengumpulkan berbagai informasi dari sekian banyak
narasumber sehingga didapat informasi dari berbagai variasi.
Confirmability
Kepastian data penelitian dapat tercapai jika peneliti dapat
menyakinkan pembaca atau penelitian bahwa data yang ia
kumpulkan adalah “objektif” seperti apa adanya di lapangan.
Objektif yang dimaksud adalah penekanan pada ciri-ciri data
faktual dan dapat dipastikan kebenaran dan validitasnya. Demi
40
mencapai derajat kepastian, maka dalam penelitian ini peneliti
bersedia mengungkapkan secara terbuka proses dan elemen-
elemen penelitian yang dilakukan, sehinga memungkinkan pihak
lain untuk dapat melakukan penelitian yang sama atau sejenis.
Dalam hal ini peneliti mengungkapkan apa yang menjadi temuan
pada pembimbing. Selain itu, peneliti melampirkan apa yang
menjadi temuan dalam transkrip wawancara dan hasil survey
dalam bentuk tabel frekuensi.
3.10 Validitas Data
Validitas data atau keabsahan data pada penelitian kualitatif adalah suatu
pemeriksaan terhadap keabsahan data yang digunakan untuk memperkuat
hasil penelitian kualitatif. Validitas data kualitatif ini diperiksa dengan
metode triangulasi yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk kepentingan
pengecekan data atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong,
2007).
Sugiyono (2016:127) menjelaskan triangulasi dibagi menjadi 4 (empat),
yaitu :
1. Triangulasi Sumber, yaitu membandingkan dan mengecek balik
derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui
waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Data yang
diperoleh berupa wawancara yang dilakukan lebih dari satu kali
dalam periode waktu tertentu.
2. Triangulasi Metode, yaitu dengan menggunakan dua strategi; (a)
pengecekan terhadap derajat kepercayaan penemuan hasil
penelitian dengan beberapa teknik pengumpulan data, (b)
pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber dengan metode
yang sama.
41
3. Triangulasi Peneliti, yakni dengan memanfaatkan peneliti atau
pengamat lainnya untuk keperluan pengecekan kembali derajat
kepercayaan. Pengambilan data dilakukan oleh beberapa orang.
4. Triangulasi Teori, yakni melakukan penelitian tentang topik yang
sama dan datanya dianalisa dengan menggunakan beberapa
perspektif teori yang berberda.
Dalam penelitian ini variasi teknik yang digunakan adalah triangulasi
sumber. Hal ini dilakukan karena pengambilan data dalam penelitian ini
membandingkan data observasi, dokumentasi, dan hasil wawancara
terhadap informan. Kemudian membandingkan perspektif subjek yang
satu dengan yang lainnya menjadi sumber data pendukung. Teknik
triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik
derajat kepercayaan informasi untuk menguji keabsahan data yang
diperoleh, diharapkan data yang terkumpul dalam seluruh rangkaian
proses pengumpulan data merupakan data-data yang valid dan dapat
dianalisa dengan baik.
Teknik triangulasi dalam penelitian ini dilakkan dengan membandingkan
informasi yang peneliti peroleh dari masing-masing sampel. Peneliti
memeriksa keabsahan data dengan cara melakukan kembali wawancara
kepada informan lain yang mengalami hal sejenis hingga mendapatkan
data jenuh. Wawancara dengan informan lain ini dilakukan tanpa
sepengetahuan informan sebelumnya. Kemudian untuk memperkuat
validitas data yaitu dengan cara membandingkan data berupa informasi
yang berasal dari dokumentasi, gambar dan sumber internet.
3.11 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data adalah proses pengumpulan data secara sistematis
untuk mempermudah peneliti dalam memperoleh kesimpulan. Dalam hasil
penelitian ini menggunakan teknik analisis data dari khusus ke umum,
42
dimana data yang didapatkan dari hasil wawancara dengan kelima
informan menunjukan hal-hal yang spesifik kemudian ditarik kesimpulan
untuk digeneralisasikian. Analisis data menurut Bodgan (dalam Sugiyono,
2009) yaitu proses mencari dan menyusun secara sistematik data yang
diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain
sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan
kepada orang lain.
1. Pengumpulan data
Data yang diperoleh hasil observasi, wawancara dan dokumentasi
yang kemudian dituliskan dalam catatan lapangan yang berisi
tentang apa yang dilihat, didengar, disaksikan, dialami dan juga
temuan tentang apa yang dijumpai selama penelitian yang
kemudian ditulis dalam catatan lapangan dengan memanfaatkan
dokumen pribadi, gambar, foto dan lain sebagainya.
Penelitian tentang culture shock pada orang Jepang yang tinggal di
Cikarang Selatan dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu tahap
wawancara kepada lima orang Jepang yang bekerja dan tinggal di
Cikarang Selatan yang kemudian dicatat serta diambil bagian-
bagian yang dianggap relevan dengan pokok permasalahan. Tahap
kedua adalah melakukan browsing untuk mencari informasi umum
tentang culture shock pada tenaga kerja asing yang merantau.
Tahap berikutnya dilakukan dokumentasi data berupa foto.
2. Reduksi data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi
data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.
Reduksi data atau proses transformasi ini berlanjut terus sampai
akhir laporan lengkap tersusun. Reduksi data bertujuan untuk
memberi gambaran dan mempertajam hasil dari pengamatan yang
sekaligus untuk mempermudah kembali pencarian data yang
43
diperoleh. Hal ini dilakukan dengan melakukan vebratim dari hasil
wawancara dengan informan agar dapat mudah menggambarkan
keadaan yang sebenarnya.
3. Penyajian data
Setelah data direduksi, langkah berikutnya adalah penyajian data.
Penyajian data cenderung mengarah pada penyederhanaan data
kompleks kedalam kesatuan bentuk yang sederhana dan selektif
sehingga mudah dipahami. Penyajian data merupakan rangkaian
kalimat yang disusun secara logis dan sistematis sehingga mudah
dipahami.
Kemampuan manusia sangat terbatas dalam mengahadapi catatan
lapangan yang bias, oleh karena itu diperlukan sajian data yang
jelas dan sistematis dalam membantu peneliti menyelesaikan
pekerjaannya. Dalam tujuan untuk meminimalisir bias, peneliti
sudah mencoba meminta bantuan seorang intrepreter untuk
membantu peneliti menerjemahkan apa yang akan diungkapkan
oleh orang Jepang, tetapi karena kesibukkan pekerjaan dari kedua
belah pihak sehingga sangat sulit untuk mendapatkan waktu yang
cocok. Pada akhirnya peneliti tetap melakukan wawancara dengan
tiga orang informan menggunakan bahasa Inggris dan dua orang
informan lainnya menggunakan bahasa Jepang dibantu oleh rekan
peneliti sebagai peneliti kedua. Pada proses pengumpulan data ini
mungkin peneliti akan lebih banyak mendapatkan informasi yang
lebih lengkap apabila dapat melakukan proses wawancara
menggunakan bahasa Jepang, sehingga peneliti melakukan
wawancara ulang kepada salah satu informan dengan bantuan
rekan yang dapat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa
Jepang untuk mendapatkan hasil jawaban yang akurat dan
menambahkan dua informan baru yang bersumber dari peneliti
kedua. Peneliti sebetulnya melihat masih banyak hal yang ingin
44
dijelaskan dari informan, tetapi karena keterbatasan bahasa
membuat para informan hanya menjelaskan kepada hal yang secara
umum saja. Penyajian data dibatasi sebagai sekumpulan informasi
yang tersusun dan memberikan kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan. Langkah yang ketiga ini,
peneliti menyusun informasi-informasi tentang orang Jepang yang
bekerja dan tinggal di Cikarang Selatan dengan memberikan
kemungkinan penarikan kesimpulan tentang fenomena culture
shock di Cikarang Selatan. Penyajian data dalam penelitian ini
mengacu pada rumusan masalah yang ada pada BAB I.
4. Penarikan kesimpulan
Penarikan kesimpulan merupakan proses untuk merangkum data-
data yang telah direduksi ataupun telah disajikan peneliti dalam
menyimpulkan data hasil penelitian, serta menganalisis data dan
membuat kesimpulan. Kesimpulan yang ditarik segera di cek ulang
dengan cara melihat dan mempertanyakan pemahaman yang lebih
tepat dengan cara mendiskusikannya. Hal tersebut dilakukan agar
data yang diperoleh dan penafsiran terhadap data tersebut memiliki
validitas sehingga kesimpulan yang ditarik menjadi kokoh.
Kesimpulan dalam penelitian ini berupa deskripsi dari objek yang
pada awalnya belum jelas, sehingga terlihat hubungan sebab akibat
yang terkait dengan penelitian atau jawaban dari masalah penelitian
ini yaitu tentang fenomena culture shock pada lima orang Jepang.
Dalam penarikan kesimpulan peneliti sudah merasa terpenuhi akan
data yang sesuai dengan permasalahan yang sedang diteliti sebagai
langkah akhir dalam pembuatan suatu laporan.
3.12 Keterbatasan Penelitian
Dalam proses berlangsungnya penelitian ini tidak lepas dari sejumlah
keterbatasan. Keterbatasan-keterbatasan tersebut antara lain:
45
Peneliti tidak mengindahkan sejumlah unsur dalam pembentukan
karakter individu yang tentunya mungkin memiliki andil dalam
menentukan bagaimana individu bersikap dalam adaptasi yang
dialami, seperti faktor keturunan, faktor psikologi, sejarah dan
masa lalu, dan lain-lain.
Penelitian ini menyamaratakan nilai-nilai yang dimiliki suatu
budaya dalam memandang budaya lainnya (stereotipe).
46
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini membahas tentang culture shock dan strategi adaptasi
orang Jepang. Peneliti menanyakan 14 pertanyaan yang sama kepada
masing-masing informan. Pada bagian ini peneliti akan menjabarkan
temuan-temuan yang didapatkan dari hasil wawancara langsung dengan
orang Jepang. Proses wawancara diawali dengan perkenalan, isi, dan
penutup. Pada saat perkenalan peneliti memperkenalkan diri dan
menanyakan terkait profil umum informan dan menjelaskan tujuan dari
penelitian ini. Kemudian pada bagian isi, peneliti menanyakan pokok-pokok
pertanyaan yang mewakili tujuan dari penelitian ini yakni terkait culture
shock dan strategi adaptasi. Pada bagian terakhir, yaitu bagian penutup,
peneliti menyimpulkan hasil jawaban-jawaban yang telah ditanyakan
kepada informan dan mengucapkan terima kasih banyak.
4.2 Profil Informan
4.2.1 Informan Pertama (AK)
AK adalah warga negara asal Kobe-shi, Hyogo, Jepang yang sudah
bekerja di Indonesia tepatnya di Lippo Cikarang kurang lebih selama
3 tahun. Wawancara dilakukan setelah waktu pulang kerja. Peneliti
memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud dan tujuan dari
penelitian yang dilakukan. Sebaliknya, AK memperkenalkan dirinya
dengan menyebutkan nama lengkap dan pekerjaannya sebagai sales
executive di salah satu perusahaan PMA Jepang yang berlokasi di
kawasan Lippo Cikarang dan bergerak dibidang jasa. Proses interview
dilakukan kurang lebih selama dua jam dan berlangsung dengan
kondusif karena dilakukan setelah jam kantor.
47
Selama proses wawancara berlangsung, peneliti menemukan beberapa
poin penting yang menjadi penyebab AK mengalami culture shock
yakni terkait dengan cuaca, makanan, perbedaan kebiasaan dan
keadaan intrapersonal AK. Hal ini diperkuat dengan pertanyaan yang
peneliti ajukan,
M : Did you have problem with Indonesian culture?
A : Little.
Hal yang menyebabkan terjadinya culture shock diungkapkan oleh
AK karena perilaku yang sering ditemui (kebiasaan), makanan, dan
keadaan geografis.
M :What kind of that problem?
A : I don’t know this is Indonesian culture or not. Mostly Indonesian
people are shy at the first introduction, hehe1. Hmmm. Its like
dicipline time. Mostly Indonesian people are not on time2. The
taste of Japaness food in Indonesia really different3. Cikarang
panas bangeeetttt. Capek bangettttt. Macet bangettttt. So
sleepy4. Language still be my problem because many of my
friends not understand my english5.
M : You don’t feel like homesick right now? You don’t feel like you
miss your home town?
A : No, I have to do something in here. (laugh)
M : You have been passed the process of adaptation from culture
shock. What your strategy to make you comfort stay here?
A : Hmmm hanging out with my friends. Not only Japanese people,
but also Indonesian people. This is my choice to work in
overseas. I want to get new experience. Overall, I will not give
up. Keep learning and being happy.
Terlihat selama proses wawancara berlangsung, AK menunjukkan
pribadi yang aktif, ceria, dan humoris. AK banyak menceritakan
tentang pengalaman dia saat pertama kali ke Indonesia. Sebelumnya
AK adalah fresh graduate dari Konan University(甲南大学). AK
mengungkapkan bahwa tidak membutuhkan waktu lama untuk dapat
beradaptasi dengan lingkungan yang baru hanya sekitar 9 bulan. Hal
48
tersebut karena pribadinya yang ceria dan dapat mendekatkan diri
dengan siapa saja, meskipun pada saat kedatangannya AK merasa
tidak mengenal dan mempunyai siapa-siapa, tetapi hal itu tidak
berlangsung lama. AK mendapatkan dukungan dari rekan-rekan di
tempat kerjanya sehingga mempermudah AK untuk beradaptasi.
Pribadinya yang lucu dan mudah bergaul membuat proses wawancara
berlangsung menyenangkan dan tidak terlalu kaku, hanya saja peneliti
agak sedikit sulit memahami jawaban yang diberikan karena AK tidak
terlalu lancar dalam menggunakan bahasa Inggris. Pronouncation
yang diucapkan membuat peneliti merasa kurang jelas dalam
mendengarkannya, sehingga peneliti beberapa kali meminta AK
untuk menjelaskan ulang jawabannya. Dalam membantu
penyampaiannya, AK juga menggunakan alat bantu google picture
untuk menunjukkan sesuatu yang dimaksudkan.
4.2.2 Informan Kedua (TK)
TK adalah informan kedua yang berasal dari Kawasaki, Kanagawa,
Jepang. Pada proses awal wawancara TK memperkenalkan diri
dengan menyebutkan namanya dan posisi pekerjaan sebagai engineer
di salah satu perusahaan Jepang yang bergerak di bidang konstruksi.
Proses wawancara dilakukan di Starbucks Citywalk Lippo Cikarang
selama kurang lebih tiga jam. Sebelumnya sangat sulit menentukan
waktu yang sesuai untuk melakukan wawancara dengan TK karena
kesibukan waktu kerjanya, sehingga TK pernah memberikan opsi
untuk mengirimkan pertanyaan-pertanyaan terkait wawancara ini
melalui email. Akhirnya kami sesuaikan kembali hingga didapatkan
waktu yang sesuai.
Beberapa poin penting terkait penyebab culture shock seperti agama,
cuaca dan bahasa didapatkan dari hasil wawancara. TK juga
mengalami culture shock meskipun ini bukan pengalaman pertamanya
49
ke luar negeri. TK sebaliknya, pengalaman tinggal di Indonesia dalam
kurun waktu yang cukup lama memberikan kesan tersendiri
sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan. Hal ini terlihat dari
jawaban TK ketika ditanya perihal tersebut,
M : Ok, did you feel culture shock when you came to Indonesia?
T : Yes.
M : What kind of culture shock that you felt?
T : Saya datang di Indonesia and see different culture ya with
Japanese. Like Muslim1. Cikarang tidak ada train and macet2.
Panas ya. Cikarang so hot and Indonesia just have 2 season. I
want winter, but I can not get here3.
M : You so enjoy working in Indonesia?
T : Ya, I’m enjoy in Indonesia.
M : How you can adapt the culture of Indonesia?
T : The important thing for me is how I can be kind to everyone. I
know moeslem are good. Everyone who have trust and pray to
God are good. I try to accepted the differences. I also welcome
with people who want to know me. Although, I’m bad in
English, I will try to be brave to have lot friends. In the first, I
just try to contact Japanese people if I want to tell something or
want to go out. I think, I felt closed when I’m with them, either
I don’t know who she/he before.
TK mengungkapkan bahwa pada akhirnya ia enjoy bekerja di
Cikarang dan ingin menetap disini. TK mengalami proses adapatasi
yang cukup lama sekitar 12 bulan dikarenakan masalah utamanya ada
bahasa. TK mengakui bahwa dia tidak aktif menggunakan bahasa
Inggris, oleh sebab itu TK hanya dekat dengan orang Jepang. TK
menganggap bahwa orang yang berasal dari negara yang sama akan
lebih mengerti bagaimana keadaannya, sehingga TK menemukan
kecocokan hanya dengan orang Jepang pula.
TK memiliki kepribadian yang pemalu, TK cenderung kurang aktif
dalam berkomunikasi sehingga peneliti yang harus lebih aktif
menggali informasi dari pertanyaan-pertanyaan yang detail. Selain itu,
50
kemampuan bahasa Inggris yang dimilikinya kurang lancar sehingga
sedikit menyulitkan proses wawancara. Selama proses wawancara,
beberapa jawaban dari pertanyaan yang diberikan peneliti, TK
menjawab dengan menggunakan bantuan google translate. Suasana
pada saat interview berjalan kurang kondusif karena pada saat itu
keadaan di lokasi lebih ramai dari biasanya, kemudian memakan
waktu lebih lama dibandingkan dengan informan lainnya karena
keterbatasan bahasa antara informan dan peneliti.
4.2.3 Informan Ketiga (SO)
SO adalah informan ketiga yang berasal dari Tokyo, Jepang dan
lulusan Universitas Gakushuin, Toshima, Tokyo. Pada saat
perkenalan SO menjelaskan sedikit tentang dirinya, SO bekerja di
salah satu perusahaan Jepang di kawasan Lippo Cikarang sebagai
sales executive dan sudah 2 tahun tinggal disini. Pada saat proses
wawancara berlangsung SO cukup tanggap dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diberikan. Wawancara dilakukan di
kantor setelah jam pulang kerja.
M : Ok, did you feel culture shock when you came to Indonesia?
S : Yes, for several month
M : What kind of culture shock that you felt?
S :I miss Japaness food so muchhhhhh.1 Actually, I dont’t like
Cikarang weather. So panas ya.2One of Japanese culture is ojigi
(mempraktekkan dengan maksud untuk menjelaskan pengertian
dari ojigi).3
M : Are you enjoy here? Did you miss your family and all the things
in Japan?
S : I’m enjoy here. Of course yes, I miss my family and all the things
in Japan. But, I’m happy to stay here. I want to explore my skill
with the big challange.
M : How can you enjoy for stay and working here?
S : All my new friends are kind. I also try to learn all the new things
from them. They are so cheerful, so I am happy here.
51
M : How about your environment? Is it still being your problem?
Like wheater, food, etc.
S : Every country have their own characteristic. Every country has
differences. Now, I realized that Japan and Indonesia are
different. It is not my problem anymore. Maybe at the first time,
I eat for dinner or go to somewhere on the weekend only with
Japaness people, but currently I am happy to build my good
relationship with my friends; Indonesian people.
Pribadinya supel, tidak terlalu aktif ataupun pasif. SO memberikan
informasi sesuai dengan apa adanya dengan gerakan tubuh yang
natural. Kendala yang sama ditemukan juga pada informan ketiga ini,
yakni bahasa. Bahasa Inggris yang digunakan agak sedikit
membingungkan karena dalam lingkungan kerjanya, SO banyak
berkomunikasi langsung dengan orang Jepang jadi selama ini SO
lebih sering menggunakan bahasa Jepang. Jadi masih terbawa logat
bahasa Jepang. Tetapi SO mengatakan bahwa sekarang ia suka
bergaul dan pergi bersama rekan-rekannya kerjanya orang Indonesia
yang ia kenal di tempat kerjanya.
4.2.4 Informan Keempat (SF)
Informan keempat ini adalah informan tambahan yang dilakukan
dengan meminta bantuan orang lain yang mampu berkomunikasi
dengan Bahasa Jepang sebagai peneliti kedua. SF san adalah salah
satu Engineer Manager di salah satu perusahaan Jepang yang terletak
di kawasan EJIP Cikarang.
4.2.5 Informan Kelima (HK)
Sama hal nya dengan informan keempat, informan kelima ini adalah
informan tambahan dengan bantuan orang lain yang mampu
berkomunikasi dalam Bahasa Jepang. Hal tersebut dimaksudkan agar
meminimalisir terjadinya bias dalam hasil wawancara. Informan
kelima ini adalah HK san. HK san adalah seorang perempuan asal
Jepang yang bekerja di Cikarang, tepatnya di salah satu perusahaan
Jepang disini sebagai Arsitek.
52
4.3 Bentuk Culture Shock yang Dialami Expatiat Jepang
Berdasarkan hasil dari wawancara dengan empat orang informan expatriat
Jepang, maka peneliti menemukan penyebab atau bentuk culture shock yang
dihadapi oleh expatriat Jepang sebagai berikut:
4.3.1 Penyebab Internal
Psikologis yang menunjukkan kemampuan intrapsikis untuk
menghadapi lingkungan baru yang di kehendaki. Hal ini di kehendaki
oleh pusat kendali internal (Dayakisni, 2012: 270). Adanya pengaruh
intrapersonal dalam diri individu, diantaranya keterampilan
berkomunikasi, pengalaman dalam setting lintas budaya, kemampuan
bersosialisasi dan ciri karakter individu (toleransi atau kemandirian
berada jauh dari keluarga sebagai orang-orang penting dalam
hidupnya yang berperan dalam sistem dukungan dan pengawasan).
Parrillo (2008:46) juga menjelaskan salah satu faktor yang
mempengaruhi culture shock adalah faktor intrapersonal. Seperti
hasil wawancara dengan dengan AK, ia mengatakan :
“The first time when I came to Indonesia, I’m happy but I
also got stress. This is my first experience to go to overseas
and I must be stay for long time because of work assigment.
I do not know what should I do except work. Even thought I
meet another Japanese in this company, but I never know
who they are before. Like I said in the first, I just like
stranger.
AK mengatakan bahwa ia merasakan stres ketika pertama kali
datang ke Indonesia karena sebelumnya ia belum pernah keluar
negeri untuk tinggal dan menetap dalam waktu yang cukup lama.
Tetapi ini adalah keputusan dan keinginannya sendiri untuk bisa
bekerja di luar negeri. Dia ingin merasakan tinggal dan menetap di
negara lain. AK tidak pernah pernah tau bagaimana Indonesia, ia
hanya mengetahui Indonesia adalah salah satu negara yang ada di
Asia. Saat pertama kali datang, ia merasakan seperti kehilangan arah
dan tidak tau apa yang harus dilakukan selain bekerja. Di tempat AK
53
bekerja, ia juga bertemu dengan orang Jepang lainnya tetapi tidak
ada seorang pun yang ia kenal sebelumnya. Hal itu lah yang yang
menjadi kendala saat AK datang ke Indonesia. Tapi hal itu tidak
berlangsug lama karena sifatnya yang mudah bergaul dan humoris,
AK dapat langsung menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Perasaan kehilangan relasi, status, profesi dan posisi terjadi ketika
individu harus berpisah dengan keluarga, teman, dan hal-hal lain
yang ada di Jepang. AK juga menjelaskan hal tersebut saat awal
datang dan bertemu dengan lingkungan kerjanya seperti ini :
“Yes, I’m just alone here. Some of my friends have to work
in overseas, but no one have to work in Indonesia. Just me.
This is my new and big experience in my life”
Berbeda dengan TK yang sebelumnya sudah pernah ke beberapa
negara, tetapi di Indonesia ini lah untuk pertama kalinya ia tinggal
dan menetap dalam kurun waktu yang cukup lama. TK
mengungkapkan sedikit rindu karena memang kemana pun ia pergi,
keluarga dan teman dekatnya selalu teringat.
“This is not my first time to go to overseas. I ever worked in
other country. But the longest experience time period to work
ya in Indonesia. Ano... choto rindu. Wherever I stay, I will
always miss my best (family and friend)”
Sedangkan SO mengungkapkan dirinya merasa senang tinggal disini
tetapi ada kerinduan juga denga keluarga tentunya.
“I’m enjoy here. Of course yes, I miss my family and all the
things in Japan
Seluruh informan merasakan kerinduan terutama pada keluarga dan
teman dekatnya. Keberadaan keluarga dan teman-teman di tempat
asalnya dirasakan memiliki arti penting bagi beberapa informan.
Keluarga yang biasa selalu ada menemani, menjadi tempat
berlindung, kini tidak adala lagi mendampingi informan sejak
54
kepergiannya ke Indonesia. Hal ini terlihat dirasakan sekali oleh
informan AK dimana sumber dukungan sosial sangat penting untuk
membuat ia merasa kuat menjalani stres akan semua masalah yang
dialaminya. Keadaan akan terasa berat ketika subyek berada dalam
situasi dimana kapasitas individualnya tidak cukup untuk
memecahkan persoalan yang ada. Ketidakadaan jaringan sosial ini
menuntut informan untuk dapat memecahkan permasalahan yang
dihadapinya seorang diri. Hal tersebut tentu akan memicu stres.
Mencari pengganti sumber dukungan sosial dirasa sulit bagi
informan karena banyaknya perbedaan dan hanya sedikit orang yang
mampu memahami mereka.
“I feel lonely. Just like no one cares (menunjukkan muka
sedih sambil tertawa kecil)”
Di awal-awal bulan pertama para informan memilih untuk hang out
atau berbagi cerita dengan orang Jepang juga karena dirasa memiliki
kesamaan asal daerah yang dapat membuat nyaman dengan cara
pandang yang sama. Saat pertama kali TK ke Indonesia, ia tidak
bergaul selain di tempat kerjanya. Tapi TK menceritakan kalau ia
bergabung grup WhatsApp yang berisi orang-orang Jepang
didalamnya, jadi kalau di luar kantor atau di hari weekend, TK
cenderung bermain dengan orang-orang Jepang juga. TK
mengatakan :
“I join whatsapp group. All member are japaness people. So,
I hang out with them. Mostly.”
Hal serupa pun diutarakan oleh SO :
“..... eat for dinner or go to somewhere on the weekend only
with Japaness people.”
55
Namun hal tersebut sudah tak lagi berlaku bagi kelima informan.
Saat ini kelima informan sudah dapat bergaul dan hang out dengan
rekan orang-orang Indonesia juga. Bahkan ketika mereka berpergian
dengan orang Indonesia sebagai mayoritasnya, bukan menjadi
masalah baginya.
Dari hasil wawancara yang dilakukan menunjukkan bahwa
pengaruh intrapersonal dalam diri individu, seperti keterampilan
berkomunikasi, pengalaman dan setting lintas budaya, kemampuan
bersosialisasi dan ciri karakter individu (toleransi atau kemandirian
berada jauh dari keluarga yang memiliki peran penting dalam
hidupnya sebagai sistem dukungan dan pengawasan) benar
berpengaruh terhadap besar kecilnya penyebab culture shock pada
diri individu.
Peneliti menyimpulkan bahwa pada umumnya individu yang belum
pernah melakukan pengalaman lintas budaya dan kurangnya
informasi faktual tentang lingkungan dan lokasi tempat rantauan
akan lebih mudah mengalami culture shock yang dikarenakan
individu tersebut belum merasa siap dalam mempersiapkan strategi
terhadap semua perbedaan yang menyebabkan ketidaknyamanan.
4.3.2 Penyebab Eksternal
Adanya variasi sosiokultural yaitu kemampuan yang berhubungan
dengan tingkat perbedaan budaya yang mempengaruhi tinggi
rendahnya trasisi antara budaya asal ke budaya yang baru (Dayakisni,
2012 : 270). Cultue shock lebih cepat terjadi jika budaya tersebut
semakin berbeda, hal ini meliputi perbedaan sosial budaya, adat
istiadat, agama, rasa makanan, bahasa, gerak tubuh / ekspresi, cara
berpakaian / gaya hidup, teknologi, pendidikan, aturan-aturan dan
norma sosial dalam masyarakat serta perbedaan perilaku warga tuan
rumah (Parrillo, 2008:46).
56
Seperti pada hasil wawancara dari empat orang informan mahasiswa
perantauan yang menunjukkan penyebab eksternal pembentuknya
culture shock yaitu sebagai berikut :
1. Agama
Perbedaan agama menjadi satu hal yang membuat informan merasa
aneh dan terkejut. Bagi mereka agama adalah salah satu hal yang
tidak terlalu sakral di negara asalnya, sehingga hal ini menjadi
salah satu penghambat dalam usahanya menyesuaikan diri di
tempat tinggal yang baru meskipun kadar permasalahannya tidak
terlalu besar karena cenderung informan memendamnya dalam diri
terkait perbedaan agama, tetapi menimbulkan culture shock bagi
beberapa dari individu. Ketika membahas tentang budaya, TK
langsung mengatakan “Muslim”.
”..... So many Indonesian people wearing like you (sambil
menggerakakan tangannya membentuk lingkaran di wajah).
Why everyone trust to God? Why you have pray to Allah?”
TK merasa penasaran dan ingin tahu banyak mengapa banyak orang
beragama dan salah satunya orang muslim yang identic dengan
menggunakan kerudung. Dari rasa penasarannya sebetulnya TK
menaruh rasa kagum terhadap orang-orang yang memiliki rasa
percaya kepada agamanya masing-masing.
2. Makanan
Makanan menjadi salah satu hal yang sangat mempengaruhi
terjadinya culture shock. Perbedaan cita rasa menjadi faktor utama
penyebabnya. AK menceritakan bahwa ia tidak terlalu suka
makanan Indonesia. Makanan Jepang adalah hal yang sangat
dirindukannya, tetapi AK tidak bisa mengobati rasa rindunya
menskipun sudah membeli makanan di restaurant Jepang. AK
mengatakan :
57
“The taste of Japaness food in Indonesia really different.
Althought I bought it in Japaness restaurant, the taste not
like in Japan. Beda bangetttt. Like Salmon. But I like nasi
padang. Enak.”
SO juga mengungkapkan :
“I miss Japaness food so muchhhhhh”
Makanan Jepang lebih cenderung mendominasi rasa hambar dari
pada makanan Indonesia yang lebih menekankan suatu makanan
pada rasa seperti manis, asin, dan pedas. Ketiga informan lainnya
mengatakan awalnya memiliki masalah dengan makanan yang ada
disini, tetapi dengan rasa keingintahuannya yang tinggi, mereka
mencoba makanan-makanan yang direkomendasikan oleh rekan-
rekan kerjanya. Pada akhirnya ketiga informan dapat menyukai
makanan Indonesia dan beberapa makanan khas daerah. TK
mengungkapkan :
“Indonesian food is delicious. I don’t have problem with the
food. Ano.... sekarang saya suka Javaness food like soto
ayam. Also bakso suka.”
Begitupun dengan HK, ia juga menyukai makanan Indonesia.
Bahkan HK sempat membawa sambal sebagai oleh-oleh saat
pulang ke Jepang :
“Saya suka makanan disini karena seperti makana rumah
bahkan ketika kembali ke Jepang, saya bawa oleh-oleh
sambal. Tapi tetep sering beli makanan di restaurant
Jepang.”
HK merasa bahwa makanan di Indonesia sama seperti makanan di
rumah jadi hal tersebut dapat sedikit mengobati rasa rindunya
dengan suasana rumah ketika makan.
58
3. Geografis
Keadaan georafis yang terjadi di kawasan Cikarang Selatan
membuat kelima informan merasakan ketidaknyamanan. Hal ini
sangat berbeda jauh dengan daerah asal mereka yang memiliki 4
musim, sedangkan Indonesia hanya memiliki 2 musim saja.
Terlebih lagi keadaan Cikarang yang kemarau lebih mendominasi
daripada musim hujan. TK mengungkapkan bahwa satu satunya
yang ia rindukan adalah hanya musim winter,
“Cikarang so hot and Indonesia just have 2 season. I want
winter, but I can not get here. Winter. I love winter. It is the
only thing that I missed from Japan.”
“Cikarang tidak ada train and macet”
Ternyata hal serupa terkait keadaan cuaca menjadi masalah bagi
informan yang lain. AK seperti mengungkapkan kekecewaannya
ketika menyampaikan keadaan cuaca dengan menggunakan kata
“banget”, hal tersebut seperti menunjukkan sesuatu yang diluar
harapannya,
“Cikarang panas bangeeetttt. Capek bangettttt. Macet
bangettttt. So sleepy. We have 4 season and I love summer”
HK pun mengungkapkan hal sama bahwa keadaanya Cikarang
macet sampai tidak bisa jalan ketika mengendarai mobil dan sangat
berdebu,
“Sebetulnya karena disini berdebu sekali. Mungkin
disebabkan karena panas terus sehingga berdebu. Hal
tersebut membuat banyak sepatu saya cepet rusak. Lalu
disini sering macet sampai mobil tidak dapat jalan, saya
disini mengendarai mobil sendiri dan tidak suka naik
kendaraan umum jadi membuat stress ketika menghadapi
macet.”
59
Informan SO pun tidak suka dengan keadaan cuaca Cikarang yang
sangat panas dan mendominasi,
“Actually, I dont’t like Cikarang weather. So panas ya.”
Uniknya seluruh informan merindukan empat musim yang ada di
Jepang. Musim yang ada di Indonesia menjadi sedikit masalah bagi
para informan karena hanya ada dua musim yaitu panas dan hujan,
terlebih ketika mereka lebih sering merasakan panasnya kota
Cikarang dari pada musim hujan. Subyek AK sering mengeluhkan
cuaca dan keadaan Cikarang dengan menambahkan kata “banget”
di setiap akhir katanya yang menunjukkan ketidaknyamanan
dengan Cikarang. TK juga megnungkapnya hal yang paling
dirindukan dari seluruh yang ada di Jepang adalah musim winter.
Selain itu, keluhan mereka dengan keadaan Cikarang yang macet
membuat mereka merasakan sekali perbedaannya dengan negara
Jepang. Di Jepang untuk akses transportasi lebih sering
menggunakan kereta sehingga tidak merasakan macet.
4. Kebiasaan / Adat Istiadat
Kebiasaan atau adat istiadat adalah hal atau sifat yang dilakukan
secara terus-menerus dan diikuti oleh orang-orang yang lain secara
turun-temurun yang membentuk sebuah karakter atau ke-khas-an.
Hal tersebut menjadi salah satu penyebab terjadinya culture shock
bagi orang Jepang, seperti yang diungkapkan oleh AK,
“..... Indonesian people so different with japanese
people.Its like dicipline time. Mostly Indonesian people are
not on time.”
Dalam keadaan yang berbanding terbalik dengan budaya Jepang,
AK mengungkapkan bahwa orang Indonesia sangat berbeda
dengan orang Jepang. Terlihat dari segi waktu, orang-orang
Indonesia selalu tidak tepat waktu bahkan ketika sudah berjanji.
60
Hal ini pun disadari oleh peneliti yang bekerja juga di salah satu
perusahaan Jepang dengan melihat keadaan langsung bagaimana
orang Indonesia bekerja dan orang Jepang bekerja dalam segi
penggunaan dan ketepatan waktu. Orang Jepang sangat betul-betul
menghargai waktu, sehinnga selalu menggunakan waktu dengan
efektif dan efiesien. Sedangkan orang Indonesia yang dalam hal ini
dapat diungkapkan sebagai salah satu kebiasaan, kurang
menghargai waktu terlihat dengan lebih banyak orang Indonesia
yang datang terlambat ke kantor dari pada orang Jepang yang tidak
pernah terlambat datang ke kantor.
Dalam hal lain, SO pun menjelaskan yang dirasa sebagai suatu
perbedaan yang kebiasaaan dalam budayanya,
“One of Japanese culture is ojigi (mempraktekkan dengan
maksud untuk menjelaskan pengertian dari ojigi)”
Jadi yang dimaksudkan dari ojigi adalah cara menghormat dengan
membungkukkan badan. Hal tersebut diutarakannya dilakukan
seperti saat mengucapkan terima kasih dan permintaan maaf.
Orang Jepang dengan mudah mengucapkan ”sumimasen” yang
berarti “maaf” ketika melakukan suatu kesalahan sekecil apapun
itu. Begitupun sebaliknya, mereka mudah mengucapkan
“onegaishimasu”yang berarti “terima kasih” ketika mereka merasa
tertolong sekecil apapun itu.
SF merasa banyaknya orang Indonesia di lingkungan Cikarang
Selatan yang berkendara dengan tidak hati-hati seperti tidak
mentaati rambu-rambu lalu lintas dan tidak memakai helm. Hal
tersebut dinilai oleh SF adalah salah satu kebiasaan orang
Indonesia karena seringnya ia melihat kejadian hal seperti itu.
“Kebiasaan berkendara orang Indonesia yang tidak teratur.
Sampai saat ini, hal tersebut masih menjadi masalah dalam
61
kehidupan saya setiap hari karena saya dituntut untuk
berkendara sendiri dengan sim international.”
“Kenapa ya masih sering ada kendaraan yang melanggar
terutama kendaraan roda dua, seperti berkendara tidak
menggunakan helm sama sekali, apakah itu boleh?”
5. Bahasa
Bahasa menjadi salah satu penyebab terjadinya culture shock
karena antara bahasa Indonesia ataupun bahasa Jepang bukan
menjadi salah satu bahasa asing yang wajib dipelajari di negara
masing-masing. Untuk memudahkan komunikasi bahasa yang
digunakan adalah bahasa Inggris, tetapi beberapa dari mereka dan
sebagian besar orang-orang Jepang tidak faseh dalam berbahasa
Inggris terlihat dari pronouncation, logat orang Jepang yang masih
kuat dengan imbuhan-imbuhan kata dan jeda waktu berpikir yang
lumayan cukup lama. Seperti yang diungkapkan oleh TK ketika
peneliti meminta TK menjadi responden peneliti. TK sempat
mengatakan bahwa kemampuan bahasa Inggrisnya sangat kurang.
“..... because I’m bad in english”
Hal tersebut juga mempengaruhi kehidupan lingkungannya,
terutama untuk berkomunikasi dengan orang lain selain orang
Jepang. TK mengungkapkan hal tersebut menghambat dirinya
untuk berintereaksi, sehingga TK sering menggunakan alat bantu
untuk berkomunikasi bahkan saat berkomunikasi dengan rekan
kerjanya secara langsung.
Hal serupa diungkapkan pula oleh AK,
“..... Language still be my problem because many of my
friends not understand my english, but I try to learn day by
day. Bahasa also easy. Just connect word by word to create
sentence but hard to me to remember the words of bahasa.”
62
Seluruh informan sudah dapat mengerti beberapa kata bahasa
Indonesia yang cukup familiar, meskipun hanya per kata dan
menggabungkannya dengan bahasa Inggris ataupun bahasa Jepang
seperti “terima kasih”, “capek banget”, “choto rindu”, “semangat
ya” dan “tidak bagus ya”.
Uniknya hampir seluruh orang Jepang suka menambahkan kata
“ya” diakhir kalimatnya, terlihat dalam kesehariannya apabila
sedang berbicara dengan orang Indonesia dan pada saat wawancara
berlangsung.
HK dan SF juga mengalami hal yang sama tetapi karena posisinya
kedua informan ini mendapatkan support dengan diberikan
seorang interpreter untuk memudahkan proses pekerjaannya.
4.4 Tahapan yang Dilalui Berdasarkan Konsep Adaptasi Budaya
Bentuk-bentuk permasalahan di atas merupakan kondisi seseorang yang
mengalami culture shock ketika berpindah ke lingkungan yang baru dengan
budaya yang baru. Seorang individu perantau mungkin mengalami lebih
dari satu masalah yang menyebabkan terjadinya culture shock tersebut atau
bahkan mungkin mengalami semua bentuk permasalahan diatas. Dalam
proses adaptasi diterangkan bahwa ketika seseorang akan beradaptasi, ada
beberapa fase yang akan dilalui (Samovar, Richard dan Edwin, 2010:169) :
1. Faseoptimistik (fase pertama)
Fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euforia sebagai
antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru. Ketika pertama
datang ke Indonesia, mereka merasakan senang memasuki dunia yang
baru. Karena beberapa dari mereka memang mengatakan ingin bisa
bekerja di luar negeri.
Pada fase ini kelima informan mulai memiliki rasa keingintahuan
dengan lingkungan di daerah tinggalnya yang baru. Hal tersebut terjadi
63
karena adanya suatu pengharapan dari lingkungan yang baru. Sehingga
mereka merasakan perasaan yang excited ketika pindah ke tempat yang
baru.
2. Masalah kultural (fase kedua)
Pada fase ini ke empat orang informan mengalami masa perasaan
terisolasi dari budayanya yang lama dalam kurun waktu tertentu. Hal ini
terjadi pada awal-awal bulan pertama sejak mereka tinggal dan menetap
di kawasan Lippo Cikarang. Proses disintegrasi terjadi saat individu
semakin sadar adanya berbagai perbedaan antara budaya lama dan
budaya baru yang diikuti dengan penolakan terhadap budaya baru.
Pada fase kedua ini adalah masa dimana seorang individu merasakan
terjadinya culture shock yang dalam konotasinya selalu kepada dampak
yang negatif seperti membentuk suatu stereotip (pencitraan yang buruk)
terhadap kebudayaan baru sehingga timbulnya paham etnosentrisme
pada diri individu perantau dengan memandang rendah budaya tuan
rumah di tempat perantauannya. Hal ini menimbulkan rasa
ketidaknyamanan bagi masing-masing informan karena keadaan budaya
di daerah barunya yang dianggap asing, sehingga para informan
mencoba mengantisipasinya dengan berkumpul dan dekat kepada
rekan-rekan yang berasal dari Jepang juga yang mereka anggap akan
lebih familiar dan memberikan kenyamanan ketika berkomunikasi
dengan cara pandang yang sama.
3. Fase recovery (fase ketiga)
Pada fase ini seluruh informan lebih membuka diri dan mau menerima
segala perbedaan yang muncul setelah dapat menilai mana hal dirasa
baik untuknya. Segala bentuk stres karena perbedaan yang ada dan rasa
terasingkan mulai memudar. Usaha adaptasi yang dilakukan sudah
mulai tampak hasilnya.
64
4. Penyesuaian (fase terakhir)
Pada fase terakhir ini seluruh informan sudah mulai menyadari bahwa
suatu budaya baru yang mereka temui di tempat yang baru tidak lebih
baik ataupun lebih buruk. Setiap budaya dapat dipandang subjektif,
tetapi pada akhirnya seluruh informan menyadari suatu budaya tidak
dapat dianggap salah atau benar; baik atau buruk. Pada dasarnya budaya
terbentuk dari suatu hal atau kebiasaan yang dilakukan secara terus-
menerus dan ikuti oleh orang-orang di dalam suatu tempat tersebut.
Seluruh informan mulai menyikapi hal tersebut karena menyadari
bahwa setiap budaya memiliki ciri yang berbeda, maka dalam
menangani setiap masalah yang terjadi karena perbedaan tersebut pun
seluruh informan mengungkapkan rasa keterbukaan akan suatu hal baru
(open minded) dan sikap toleransi.
Hal tersebut menjadi salah satu strategi yang dilakukan agar dapat
bertahan dalam proses adaptasi. Pada tahap ini juga akan terjadi proses
integrasi dari hal-hal baru yang telah dipelajarinya dari budaya yang
mereka temui dan rasakan disini, sehingga akan muncul perasaan
menentukan, memiliki dan menetapkan sebagai suatu tahap dalam
proses pencarian jati diri dalam diri informan. Pada saat seperti inilah
biasanya individu telah matang dalam pengalaman lintas budayanya dan
memiliki kemampuan untuk hidup dalam budaya barunya yang jelas
berbeda dengan budaya asal negaranya. Hal inilah yang menjadi
dampak positif dari culture shock karena para informan merasa budaya
baru yang mereka pahami dan pelajari sudah menjadi bagian dari dirinya
sehingga para informan dapat merasa akrab dan percaya diri saat
berhubungan dengan orang Indonesia. Seperti pada hasil wawancara
dengan dengan seluruh informan yang merasa telah melewati masa
culture shock, AK mengatakan:
“Hmmm hanging out with my friends. Not only Japanese people, but
also Indonesian people. If I hangout with my friends, then some of
65
them invite their friends it is my chance to get another friends, hehe.
This is my choice to work in overseas. I want to get new experience.
Language still be my problem because many of my friends not
understand my english, but I try to learn day by day. Bahasa also
easy. Just connect word by word to create sentence but hard to me
to remember the words of bahasa. Overall, I will not give up. Keep
learning and being happy. Ah ya, btw I like Indonesian food for now.
If I rememmber when the first time I came here, I can not eat
anything hehe nasi padang only. I’m looking for Japanese food but
the taste not same. Hehe”
TK juga menceritakan bagaimana dirinya sekarang dapat merasa enjoy
untuk bekerja di Cikarang dan tidak merasakan masalah dengan keadaan
atau budaya disini,
“The important thing for me how I can be kind to everyone. I’m
know moeslem are good. Everyone who have trust and pray to God
are good. Welcome to everyone who want to know me. Although, I’m
bad in English, I will try to be brave to have lot friends. In the first,
I just try to contact Japanese people if I want to tell something or
want to go out. I think, I felt closed when I’m with them, either I
don’t know who she/he before.”
Dalam melakukan strategi adaptasinya, HK mengungkapkan untuk belajar
membiasakan diri dengan keadaan disini karena disinilah ia tinggal
sekarang.
“Dengan seiring berjalannya waktu, semua terbiasa. Mungkin
karena saya juga sudah lama tinggal disini. Ketika bekerja disini
juga behubungan dengan orang-orang Indonesia yang memahami
dan terbiasa dengan budaya Jepang jadi tidak terlalu merasa
kesulitan. Tetapi kalau seperti keadaan lingkungan dan cuaca, saya
coba menikmatinya saja meskipun kadang-kadang membuat sedikit
stress hehe.”
Hal serupa juga ditujukkan oleh SF yang belajar membiasakan diri dengan
cukup mengetahui mana yang buruk dan mengikuti mana hal yang baik
disini.
66
“…..namun saya setiap hari terus membiasakan diri untuk hal
tersebut. Jadi memaklumi dan cukup tau saja itu tidak baik.”
SO juga menunjukkan sikap bahwa dirinya sudah dapat beradaptasi dengan
lingkungannya yang baru dengan cara :
“.....Every country have their own characteristic. Every country has
differences. Now, I realized that Japan and Indonesia are different.
It is not my problem anymore. Maybe at the first time, I eat for dinner
or go to somewhere on the weekend only with Japaness people, but
currently I am happy to build my good relationship with my friends;
Indonesian people.”
67
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari hasil wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti kepada lima orang
informan asal Jepang yang bekerja di kawasan Cikarang Selatan saat ini,
menunjukkan bahwa masa culture shock yang dialami oleh kelima informan
tersebut telah dilaluinya. Masa culture shock terjadi pada bulan-bulan awal
kedatangan para informan ke tempat yang baru dan dirasakan selama kurang
lebih setahun untuk dapat menyesuaikan diri. Dari hasil penelitian, culture
shock yang dialami kelima informan tidak menimbulkan rasa putus asa
permanen dalam menjalani tanggung jawabnya disini. Keseluruhan informan
pada akhirnya mampu menerima dan terbuka akan perbedaan yang ada
dengan tetap bertahan dan menerima setiap hal-hal baru hingga dicapai rasa
nyaman untuk tinggal dan menetap disini. Masing-masing dari mereka mulai
menyadari bahwa menerima suatu budaya yang baru bukanlah satu hal yang
baik atau pun buruk. Tapi dalam hal ini para informan menganggap budaya
yang diterima adalah sebagai pengetahuan dan ilmu yang membuat dirinya
lebih terbuka dengan lingkungan sekitar yang ada di tempat yang baru. Hal
tersebut juga dirasakan seluruh informan untuk dapat mengakrabkan diri
dengan orang Indonesia.
1. Bentuk-bentuk culture shock yang dialami oleh kelima informan adalah
agama, makanan, keadaan geografis, kebiasaan atau adat istiadat, dan
bahasa.
2. Strategi adaptasi yang dilakukan oleh kelima orang Jepang tersebut dilihat
melalui empat tahapan yakni fase optimistik, masalah kultur, fase
recovery, dan penyesuaian. Dapat disimpulkan bahwa seluruh informan
68
sudah tidak merasakan masalah-masalah internal dan eksternal yang
sempat membuat keadaan dari masing-masing informan tidak nyaman
atau bahkan terasingkan. Cenderung seluruh informan sudah dapat bergaul
dan hang out dengan rekan-rekan orang Indonesia. Menyukai makanan
Indonesia, bahkan ingin mencicipi semuanya karena makanan Indonesia
yang cenderung memiliki rasa dominan di setiap makanannya. Sikap open
minded dan toleransi yang dilakukan oleh kelima informan membuat
mereka semakin mudah melalui masa culture shock dan merasakan enjoy
bekerja disini.
5.2 Saran
1. Bagi orang asing yang akan perpindah ke suatu daerah baik dalam
maupun luar negeri dan akan menetap dalam kurun waktu yang cukup
lama, hendaknya mempelajari sedikit terlebih dahulu bagaimana
keadaan atau budaya di tempat barunya nanti melalui buku-buku
ataupun internet. Karena tidak semua orang mampu menyesuaikan diri
dengan cepat, maka masing-masing individu perlu mempersiapkan
strategi untuk dapat beradaptasi di lingkungannya yang baru.
2. Bagi penelitian lain yang ingin melakukan penelitian dengan
karakteristik yang sama, peneliti menyarankan untuk melakukan
penelitian lebih spesifik dalam mengambil kasus satu budaya,
mengingat keheterogenan budaya yang ada di Indonesia. Serta mencari
kajian literatur yang berfokus pada penelitian serupa karena mengingat
buku teks atau kajian teori terkait culture shock dan yang membawahi
adaptasi masih sangat jarang dan sebagian besar adalah tahun-tahun
lama yang relevansinya harus dipastikan kembali dengan keadaan
individu dan lingkungan saat ini.
69
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ardianto, Elvinaro. (2010). Metode Penelitian Untuk Public Relatios Kuantitatif Dan
Kualitatif. Bandung: Simbiosa Rekatama Media
Arikunto, Suharsimi. (2010). Proses Penelitian Suatu Pendekatan Praktikan. Jakarta:
Rineka Cipta
Berry, John W., Uichol Kim, Thomas Minde, & Dori Mok. (1987). MComparative
Study of Acculturative Stress. International Migration Review, 21: 491- 511.
Dayakisni, Tri. (2012). Psikologi Lintas Budaya. Malang : UMM Press
Black, Porter. (1990). Managerial Behaviors and Job Performance: A successful
manager in Los Angeles may not succeed in Hong Kong
Chandra. (2004). Cross Cultural Studies “I’m a Stranger Here Myself” Winter 2004-
Carleton College
Desler, Gary. (2002). Human Resouce Management, International Edition, 8th Ed.
Prentice Hall, Inc., Upper Saddle River, New Jersey.
Hodgetts, R.M and Luthans, F. (2000). International
Ivancevich, Jhon M dan Lee Soo Hoon. (2002). Human Resources Management in
Asia. New York: International Ed, McGraw Hill.
Samovar, Larry A., Porter, Richard. L & Mcdaniel, Edwin. R. (2010). Komunikasi
Lintas Budaya. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika
Lexy. J. Moleong. (2007). Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Liliweri, Alo. (2004). Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Martin, Judith N. and Thomas K. Nakayama. (2003). Intercultural Communication in
Contexts., United States: The McGraw-Hill Companies
70
Mulyana, Deddy dan Rakhmat, Jalaluddin. (2009). Komunikasi Antarbudaya.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mulyana, D, Rahman, J. (2006). Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi
dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. 7th Ed. Bandung: RosdaKarya
Nazir, Moh. (2011). Metode Penelitian. Cetakkan Ketujuh. Bogor: Ghalia Indonesia.
Neuman, W. L. (2006). Social Research Methods, Qualitative and Quantitative
Approaches – 6 ed. USA: Pearson Education Inc.
Parrillo, V. N. (2008). Strangers to These Shores : Race and Ethnic Relations in the
United States (9th ed.). New Jearsy : Prentice Hall.
Poerwandari, E. Kristi. (2009). Pendekatan Kualitatif. Cetakan ketiga. Depok:
Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi
Fakultas Psikologi UI
Ruben, Brent D. & Stewart, Lea P. (2006). Communication and Human Behaviour.
USA: Alyn and Bacon.
Shiraev. Eric B, David A. Levy. (2012). Psikologi Lintas Kultural Pemikiran Kritis
dan Terapan Modern (Edisi Keempat). Jakarta: Prenada Media Group
Stephen W. Littlejohn and Karen A. Foss. (2012). Teori Komunikasi Edisi 9. Jakarta:
Penerbit Salemba Humanika
Sugiyono, (2008). Metode Penelitian Kunatitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
_______. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Cetakkan
Keenam. Bandung: CV Alfabeta.
_______. (2012). Metode Penelitian Bisnis. Cetakkan Keenam Belas. Bandung: CV
Alfabeta.
_______. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed
Methods). Cetakan Kedua. Bandung: CV Alfabeta.
_______. (2016). Memahami Penelitian Kualitatif. Cetakan Keduabelas. Bandung:
CV Alfabeta.
71
JURNAL dan SKRIPSI
Berry, John W., Uichol Kim, Thomas Minde, & Dori Mok. (1987). MComparative
Study of Acculturative Stress. International Migration Review, 21: 491- 511.
Gao, Ge & William B. Gudykust. (1990). Uncertainty, Anxiety, and adaptation.
International Journal of Intercultural relations, 14: 301-317
Jatiningtyas, Thiwuk. (2013). Strategi Adaptasi Mahasiswa yang Memperoleh
Beasiswa Belajar di Jepang dalam Menghadapi Gegar Budaya (Skripsi).
Jurusan Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
Sundayra, Ladycia. (2015). Bentuk Culture Shock Dan Strategi Adaptasi Orang
Jepang Yang Bekerja Di Bali Terhadap Etos Kerja Orang Bali (Studi Kasus
Empat Orang Jepang Yang Bekerja Di Bali) (Skripsi). Program Studi Sastra
Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
Kevinzky, Muhammad Hyqal. (2011). Proses dan Dinamika Komunikasi Dalam
Menghadapi Culture Shock Pada Adaptasi Mahasiswa Perantauan (Kasus
Adaptasi Mahasiswa Perantauan di UNPAD Bandung) (Skripsi). Jurusan Ilmu
Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Marshellena Devinta. (2015). Fenomena Culture Shock (Gegar Budaya) Pada
Mahasiswa Perantauan Di Yogyakarta (Skripsi). Jurusan Pendidikan Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.
Oberg, K. (1960). Cultural Shock: Adjustment to New Cultural Enviroments’
Practical Antropology, vol.7. Pp. 177-182
Oriza, Vysca Derma., Nuraeni, Reni., Imran, Ayub Ilfandy. Agustus 2016. Proses
Adaptasi Dalam Menghadapi Komunikasi Antar Budaya Mahasiswa Rantau
Di Universitas Telkom. e-Proceeding of Management : Vol.3, No.2
Rahaditya Puspa Kirana. Strategi Adaptasi Pekerja Jepang Terhadap Culture Shock:
Studi Kasus Terhadap Pekerja Jepang Di Instansi Pemerintah Di Surabaya.
WEBSITE
http://katadata.co.id/berita/2016/12/28/isu-serbuan-10-juta-pekerja-cina-ini-datanya
diakses 22 September 2017
72
https://finance.detik.com/advertorial-news-block/3619600/kawasan-industri-
cikarang-terbesar-di-asia-tenggara diakses 23 September 2017
http://jateng.tribunnews.com/2017/01/29/menteri-ketenagakerjaan-jumlah-tenaga-
kerja-asing-di-indonesia-74000-orang diakses 24 September 2017
https://www.merdeka.com/peristiwa/jumlah-tenaga-kerja-asing-di-indonesia-per-
tahun-cuma-70-ribu-orang.html diakses 25 September 2017
https://id.wikipedia.org/wiki/Jepang diakses 30 September 2017
http://www.abraham-maslow.com/pengetahuan/mengenai-moral-orang-jepang-
dalam-kehidupan-sehari-hari/ diakses 10 Oktober 2017
https://livejapan.com/id/article-a0000188/ diakses 18 Oktober 2017
https://livejapan.com/id/article-a0000190/ diakses 18 Oktober 2017
LAMPIRAN
Oleh Mutia Gayatri Pangestu
Wawancara dilakukan Kamis, 9 November 2017 di kantorpada pukul 18.20
Nama : AK
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Sales Executive
M : Hi, AK san. Thank you for your time. I have been explain to you about my
thesis. Let me know abou yourself please...
A : Ok okay hehe. My Name is AK, 24 years, come from Kobe-shi, Hyogo,
Japan.
M : How long time you stay here?
A : I stay here since 3 years ago.
M : Are you enjoy working here?
A : Hmmm. Ah yes, recently!
M : So previously is not enjoy, right? Why ya?
A : Hmmm. Not really. But choto not enjoy because of stress. My job make
me stressed. But, its not my problem anymore.
M : So, are you feel that you want to go back to Japan?
A : Kosong.
M : Hah? Kosong? Zero des?
A : Ya zero des. Never.
M : You don’t feel like home sick right now? You don’t feel like you miss your
home town?
A : No, I have to do something in here. (laugh)
M : So, how about the first time when you came here? Do you miss your family
in Japan?
A : For the first time yes. Its like something big in my life is gone. I can not
see my family everyday, tell something to them, and it is because of
distance. Then I also miss my friend hehe. No one of my school who
working in Indonesia. I’m just like stranger.
M : You just alone here?
A : Yes, I’m just alone here. Some of my friends have to work in overseas, but
no one have to work in Indonesia. Just me. This is my new and big
experience in my life.
M : Ah oke. Btw let’s I ask for the first focus question. What do you think
about culture? What is culture from your perspective?
A : Culture? It is like something unique. Habbit. Traditional. Yaa some like
that.
M : What do you think about Indonesian culture?
A : Hmmm good.
M : Haha, I mean the kind of Indonesian culture. Maybe their habbit or
anything. Did you have problem with Indonesian culture?
A : Little. But I’m glad to know Indonesian people; to know how their
personality.
M : What kind of that problem?
A : I don’t know this is Indonesian culture or not. Mostly Indonesian people
are shy at the first introduction, hehe.
M : Ahaha really?
A : Mostly.
M : So anything else?
A : Hmmmm... Actually, I’m not really know and understand about Indonesian
culture because the most of my time using for working, hehe. I worked
from Monday until Friday, but on the weekend I choose to work one day
on Saturday. I sleep at late night and on Sunday, I’d prefer to take a rest.
If you asked me about the difference Japanese and Indonesian culture, I
think the differences is on people behavior. Indonesian people so different
with japanese people.
M : Can you explain to me what the purpose of it?
A : Hmmm. Its like dicipline time. Mostly Indonesian people are not on time
M : Ok, I see.
A : So, how about you. Are you on time?
M : If I already range schedule or appointment with someone, I will on time.
So, there is any other except dicipline time?
A : Actually Indonesian people are good. They have kind heart and very
welcome to me.
M : Hehe thank you. Then, did you ever hear culture shock? What do you
think?
A : When we come in the new place; new situation; then meet with all strangers
and everything out of expectation.
M : Hahaha, did you feel culture shock when you come here?
A : Ahaha ya.
M : What kind of culture shock that you felt?
A : Food. The taste of Japaness food in Indonesia really different. Althought I
bought it in Japaness restaurant, the taste not like in Japan. Beda bangetttt.
Like salmon (use google picture)
M : E? Ooo salmon. You miss Japaness food who cooked in Japan?
A : Ya, yaaa.
M : So how about Indonesian food? What do you like?
A : Nasi padang. Enak.
M : haha I like it, too. Then, what else except food?
A : Cikarang panas bangeeetttt. Capek bangettttt. Macet bangettttt. So sleepy.
M : In Japan tidak panas ya?
A : Panas ada. We have 4 season.
M : What the most of season you loved?
A : Summer.
M : You should go to matsuri festival in orange county.
A : Yayaya, I always go there. Keren.
M : Haha iya. Can you tell me your first experience came to Indonesia? What
do you feel?
A : The first time when I came to Indonesia, I’m happy but I also got stress.
This is my first experience to go to overseas and I must be stay for long
time because of work assigment. I do not know what should I do except
work. Even thought I meet another Japanese in this company, but I never
know who they are before. Like I said in the first, I just like stranger.
M : Is there still being your problem to live here?
A : No. I’m enjoy now.
M : How long you make yourself comfort to stay here?
A : Hmm. about one year hehe
M : What do you think of adaptation?
A : The process to enjoy here
M : Ah ya, hehe. So how do you feel when you know that you will move and
stay in other country?
A : Happy, because I want this. I want to create new experience in my life
M : Did you have plan or what you expectation when you move to Indonesia?
A : I want to go to Bali, hahahaa
M : Ah you know Bali ya. Bagus banget ya?
A : Yes, I went to Bali about last year when I have working in Indonesia almost
one year.
M : Sugoi. You should go to another place. So many beautiful place in
Indonesia, like Bandung, raja ampat, karimun jawa, etc.
A : Ah ya next mont I will go to Bandung.
M : E? Enjoy ya. By the way, is there any something wrong who make you not
enjoy stay here for now?
A : Tidak ada. I’m enjoy for now. I have begun to understand how the
environment here and how about Indonesian people.
M : You have been passed the process of adaptation from culture shock. What
your strategy to make you comfort stay here?
A : Hmmm hanging out with my friends. Not only Japanese people, but also
Indonesian people. If I hangout with my friends, then some of them invite
their friends it is my chance to get another friends, hehe. This is my choice
to work in overseas. I want to get new experience. Language still be my
problem because many of my friends not understand my english, but I try
to learn day by day. Bahasa also easy. Just connect word by word to create
sentence but hard to me to remember the words of bahasa. Overall, I will
not give up. Keep learning and being happy. Ah ya, btw I like Indonesian
food for now. If I rememmber when the first time I came here, I can not
eat anything hehe nasi padang only. I looking for Japanese food but the
taste not same. Hehe
M : Ah okay. I think its all done, hehe. Thank you AK san for help me.
Arigataou ghozaimasu.
A : Ha’i.
Oleh Mutia Gayatri Pangestu
Wawancara dilakukan Jumat, 1Desember 2017 di starbuckspada pukul 19.05
Nama : TK
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Engineer
M : Hi TK san! Thank you for coming. I have been explain to you about my
thesis. Let me know abou yourself please... Can we start the interview?
T : Ah oke oke.
M : Sorry I record your voice. I am afraid if I forget the detail of our
conversation.
T : Ok, no problem.
M : For the first. Could you introduce yourself?
T : My name is TK. I have been working in Indonesia around 4 years. I lives
in Trivum apartment.
M : Where do you work?
T : In Deltamas.
M : E? Jauh ya? So far away from here.
T : Tidak, 20 menit saja by car.
M : Lumayan ya.
M : TK tidak kembali ke Jepang?
T : Tidak kembali.
M : You so enjoy working in Indonesia?
T : Ya, I’m enjoy in Indonesia.
M : What do you think about Indonesian people?
T : Very kind semua
M : Did you miss your family or your friends when you stay here for the first?
T : This is not my first time to go to overseas. I ever worked in other country
for several years. But my first time stay for long time in Indonesia. Ano...
choto rindu. Wherever I stay, I will always miss my best (family and
friend).
M : Oh I see, If I ask you about culture, what do you think of it?
T : Culture? Apa ya? Tidak tau.
M : TK san tidak tau culture? (I give him my phone to see translation from
culture by Google translate)
T : Oooo about moeslem.
M : No. Can you explain the meaning of culture from your perspective?
General culture.
T : Culture is the spesific of something ano... different from other.
M : So what did you know about Indonesian culture?
T : Moeslem. So many Indonesian people wearing like you (sambil
menggerakkan tangannya membentuk lingkaran di wajah)
M : Ah ya, majority of Indonesian people are moeslem.Then what do you think
abou culture shock?
T : Culture shock? Like Japan and Indonesian culture shock. Different culture.
M : So, is that mean culture shock when someone stay in different place?
T : Yes, something new happen.
M : Ok, did you feel culture shock when you came to Indonesia?
T : Yes.
M : What kind of culture shock that you felt?
T : Saya datang di Indonesia and see different culture ya with Japanese. Like
Muslim.
M : You are shock when the most Indonesian people are moeslem? That is
differen with the most of Japanese people, right?
T : Yes. Japanese people not trust to God. Japanese people are not religous.
M : Oh ok, so what do you think about that?
T : Hmmmm.....
M : Its ok, no problem. You can answer and tell anything to me. Its ok for me.
T : I think tidak ada Allah.
M : Oh. You think that Allah is nothing.
T : Yes, nothing. Why everyone trust to God? Why you have pray to Allah?
M : As you know the people who live in this world have to trust their own
religion. Actually this is hard to explain.
T : Ah its ok, I see it is good culture. Tapi why kah?
M : I also hard to explain why because when I was born, I have religion. Then
my family teach me anything based on my religion.
T : Maybe susah to explain why kah?
M : Iya hahahaha. Btw, anything else except religion? Hehe
T : Apa yaaa? Cikarang tidak ada train and macet.
M : E? Ada ya, but far from Lippo.
T : E? Ada? Dimana?
M : Hmm about 10 km from here. Near SGC.
T : Tidak tau ya.
M : Hahaha you should got there by maps.
T : Oke oke.
M : Oh ya, how about wheather here? Its ok kah?
T : Panas ya. Cikarang so hot and Indonesia just have 2 season. I want winter,
but I can not get here.
M : Iya, Cikarang so panas banget ya. So what the most of the thing you missed
from Japan?
T : Winter. I love winter. It is the only thingthat I missed from Japan.
M : Wow, winter. Btw, do you have problem with the taste of food here?
T : Indonesian food is delicious. I don’t have problem with the food. Ano....
sekarang saya suka Javaness food like soto ayam. Also bakso suka.
M : In Cikarang so many Japaness food, right? So how about the taste? The
taste of Japaness food in Cikarang is same with Japaness food who served
in Japan? Or better in Japan?
T : Oooh choto beda, tapi ok. Almost same.
M : Oh ok. So that is no problem anymore, isn’t right?
T : No problem. I really like Indonesian food. I want to try all the kind of
Indonesian food, hehe.
M : How do you feel when you know that you will move and stay in
Indonesia?
T : So-so but happy haha
M : Sorry, can you explain it to me?
T : Ya, I already say at the first. This is not my first time to stay aboard. But
the longest in Indonesia. So I felt so-so work in another country, but I’m
happy to stay here currently.
M : What your expectation when you know that you will move in Indonesia?
T : I will explore and find a new experience here.
M : Ok, then do you know adaption? What do you think about adaptation?
T : Adaptation is the effort that I should do to make me comfort.
M : How you can adapt the culture of Indonesia?
T : The important thing for me how I can be kind to everyone. I’m know
moeslem are good. Everyone who have trust and pray to God are good.
Welcome to everyone who want to know me. Although, I’m bad in
English, I will try to be brave to have lot friends. In the first, I just try to
contact Japanese people if I want to tell something or want to go out. I
think, I felt closed when I’m with them, either I don’t know who she/he
before.
M : Wow, sugoi hehe. Keep happy and enjoy ya to work here.
T : Of course. Thank you.
Oleh Mutia Gayatri Pangestu
Wawancara dilakukan Rabu, 20 Desember 2017 di Kantor pada pukul 18.30
Nama : SO
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Sales Executive
M : Hi SO san. Can we start the interview? It does not take long time.
S : Ok, ok no problem.
M : For the first, could you introduce yourself?
S : Nama SO san from Japan. Stay here around 2 years.
M : You have been stay here for 2 years. Did you miss your family and all the
things in Japan?
S : Of course yes, I miss my family and all the things in Japan. But, I’m happy
to stay here. I want to explore my skill with the big challange.
M : Hmm do you want to go back to Japan?
S : I don’t know. But, currently I want to stay here.
M : Are you enjoy here?
S : I’m enjoy here.
M : How can you enjoy for stay and working here?
S : All my new friends are kind. I also try to learn all the new things from
them. They are so cheerful, so I am happy here.
M : SO san, what do you think about culture?
S : Culture is culture hehe. Hmm the characteristic of country, like different
and unique. Because every country have their own culture and I think it
will be different with other.
M : What do you know about Indonesian culture?
S : Apa ya?
M : Then, what do you think of culture shock? Did you feel culture shock when
you came to Indonesia?
S : Yes, for several month. I think culture shock is happen when my condition
not yet ready for anything different.
M : What kind of culture shock that you felt?
S : Hmmm so many. I can not sleep well at the night.
M : Why?
S : Maybe jet lag hehe.
M : What else?
S : When the first time I came, I got stress. Actually, I dont’t like Cikarang
weather. So panas ya.
M : Haha iya, Cikarang panas. Is it still your problem? Japaness have four
season and Indonesia only two.
S : Not really. But sometime I miss winter hehe
M : Haha you can not found here. Btw what the most Indonesian food that you
like?
S : Nasi goreng. I like it.
M : Nasi goreng only kah? Did you have problem with Indonesian food?
S : The most is nasi goreng. But I also like nasi padang and bakso.
M : Hmm I often see you when the lunch time you eat Japaness food in
Japaness restaurant. Do miss Japanese food?
S : Ah yes, I miss Japaness food so muchhhhhh. I prefer to eat Japanese food
but Indonesian food is also enak.
M : What the differences of Janapess people and Indonesian people?
S : Hmm. Dicipline time and the spirit to work. Then, one of Japanese culture
is ojigi (mempraktekkan dengan maksud untuk menjelaskan pengertian
dari ojigi).
M : Yes I see. Can you give me the case of dicipline time and spirit to work?
Hehe
S : So many Indonesian people come late to office. Then did not come to office
just because flu or cough. I hope they can fix it well.
M : Did you think that your friend (Japaness people) also felt the kind of culture
shock like what you felt?
S : Yes, because we ever discuss this hehe
M : Ahaha oke oke. What do you think of adaptation?
S : Adaptation is process to get ready with something new or different from
that situation.
M : Are you feel that you able to adapt with this environtment? Or all thing
thing different with Japan.
S : Yes, I think, I already passed it.
M : So how about the wheater, food, etc? Is it still being your problem?
S : No. Every country have their own characteristic. Every country has
differences. Now, I realized that Japan and Indonesia are different. It is not
my problem anymore. Maybe at the first time, I eat for dinner or go to
somewhere on the weekend only with Japaness people, but currently I am
happy to build my good relationship with my friends; Indonesian people.
M : Ah ok SO san. I think that’s all enough. Thank you for sharing.
S : Your welcome.
Wawancara tambahan yang dilakukan dengan bantuan interpreter.
Nama : SF
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Manager Engineering
M : Bagaimana ketika pertama kali dating ke Indonesia? Apakah banyak
mengalami perbedaan seperti culture shock?
Sf : Iya mengalami, tapi tidak tau ini termasuk budaya atau bukan.
M : Bisa tolong dijelaskan, hal yang seperti apa?
Sf : Kebiasaan berkendara orang Indonesia yang tidak teratur. Sampai saat ini,
hal tersebut masih menjadi masalah dalam kehidupan saya setiap hari
karena saya dituntut untuk berkendara sendiri dengan sim international.
M : Bagaimana contoh hal yang pernah dialami ketika berkendara disini?
Sf : Sebetulnya sampai saat ini saya masih tidak tau timing kapan saya harus
melaju ketika di perempatan yang tidak ada lampu merahnya dan ketika
lampu merah yang tidak di jaga oleh polisi. Kenapa ya masih sering ada
kendaraan yang melanggar terutama kendaraan roda dua, seperti
berkendara tidak menggunakan helm sama sekali, apakah itu boleh?
M : Sebetulnya jelas tidak boleh tetapi memang banyak orang yang nekat
melakukan hal tersebut dengan berabagai alasan. Lalu bagaimana anda
menyesuaikan diri dengan perbedaan orang-orang disini dalam
berkendara?
Sf : Saya sangat kaget dan sampai saat ini saya masih merasa heran, namun
saya setiap hari terus membiasakan diri untuk hal tersebut. Jadi
memaklumi dan cukup tau saja itu tidak baik.
M : Apakah ada hal lain yang membuat anda merasakan perbedaan yang saat
menonjol?
Sf : Rasanya tidak ada sih. Itu saja yang paling terasa.
M : Baik, terima kasih SF san.
Sf : Sama-sama.
Wawancara tambahan yang dilakukan dengan bantuan interpreter.
Nama : HK
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Architect
M : HK san bagaimana rasanya tinggal disini?
HK : Senang, orang-orang disini semuanya baik.
M : Adakah hal yang membuat HK san kurang merasa nyaman atau aneh
tinggal disini?
HK : Sebetulnya saya kurang suka keadaan cuaca disini.
M : Kenapa? Panas ya disini?
HK : Sebetulnya karena disini berdebu sekali. Mungkin disebabkan karena
panas terus sehingga berdebu. Hal tersebut membuat banyak sepatu saya
cepet rusak. Lalu disini sering macet sampai mobil tidak dapat jalan, saya
disini mengendarai mobil sendiri dan tidak suka naik kendaraan umum jadi
membuat stress ketika menghadapi macet.
M : Selain itu agaimana dengan makanan yang ada disini?
HK : Saya suka makanan disini karena seperti makana rumah bahkan ketika
kembali ke Jepang, saya bawa oleh-oleh sambal. Tapi tetep sering beli
makanan di restaurant Jepang.
M : Bagaimana cara HK san beradaptasi dengan segala perbedaan yang ada?
HK : Dengan seiring berjalannya waktu, semua terbiasa. Mungkin karena saya
juga sudah lama tinggal disini. Ketika bekerja disini juga behubungan
dengan orang-orang Indonesia yang memahami dan terbiasa dengan
budaya Jepang jadi tidak terlalu merasa kesulitan. Tetapi kalau seperti
keadaan lingkungan dan cuaca, saya coba menikmatinya saja meskipun
kadang-kadang membuat sedikit stress hehe.
M : Semoga terus betah untuk tinggal disini ya HK san.
HK : Terima kasih.
Tabel Koding
Agama
Name Statement 1 Statement 2 Statement 3 Statement 4 Statement 5
AK
TK ”..... So many Indonesian
people wearing like you
(sambil menggerakakan
tangannya membentuk
lingkaran di wajah). Why
everyone trust to God?
Why you have pray to
Allah
SO
SF
HK
Makanan
Name Statement 1 Statement 2 Statement 3 Statement 4 Statement 5
AK The taste of Japaness food
in Indonesia really
different. Althought I
bought it in Japaness
restaurant, the taste not
like in Japan. Beda
bangetttt. Like Salmon.
But I like nasi padang.
Enak
TK Indonesian food is
delicious. I don’t have
problem with the food.
Ano.... sekarang saya suka
Javaness food like soto
ayam. Also bakso suka
SO I miss Japaness food so
muchhhhhh
SF
HK Saya suka makanan disini
karena seperti makana
rumah bahkan ketika kembali
ke Jepang, saya bawa oleh-
oleh sambal. Tapi tetep sering
beli makanan di restaurant
Jepang.
Geografis
Name Statement 1 Statement 2 Statement 3 Statement 4 Statement 5
AK Cikarang panas
bangeeetttt. Capek
bangettttt. Macet
bangettttt. So sleepy. We
have 4 season and I love
summer
TK Cikarang so hot and
Indonesia just have 2
season. I want winter, but
I can not get here. Winter.
I love winter. It is the only
thing that I missed from
Japan. Cikarang tidak ada
train and macet.
SO Actually, I dont’t like
Cikarang weather. So
panas ya.
SF
HK Sebetulnya karena disini
berdebu sekali. Mungkin
disebabkan karena panas
terus sehingga berdebu. Hal
tersebut membuat banyak
sepatu saya cepet rusak. Lalu
disini sering macet sampai
mobil tidak dapat jalan, saya
disini mengendarai mobil
sendiri dan tidak suka naik
kendaraan umum jadi
membuat stress ketika
menghadapi macet.
Adat Istiadat / Kebiasaan
Name Statement 1 Statement 2 Statement 3 Statement 4 Statement 5
AK ..... Indonesian people so
different with japanese
people.Its like dicipline
time. Mostly Indonesian
people are not on time.
TK .
SO One of Japanese culture
is ojigi
(mempraktekkan
dengan maksud untuk
menjelaskan
pengertian dari ojigi)
SF Kebiasaan berkendara
orang Indonesia yang
tidak teratur. Sampai saat
ini, hal tersebut masih
menjadi masalah dalam
kehidupan saya setiap
hari karena saya dituntut
untuk berkendara sendiri
dengan sim international.
Kenapa ya masih sering
ada kendaraan yang
melanggar terutama
kendaraan roda dua,
seperti berkendara tidak
menggunakan helm sama
sekali, apakah itu boleh?
HK
Bahasa
Name Statement 1 Statement 2 Statement 3 Statement 4 Statement 5
AK ..... Language still be my
problem because many of
my friends not understand
my english, but I try to
learn day by day. Bahasa
also easy. Just connect
word by word to create
sentence but hard to me to
remember the words of
bahasa
TK ..... because I’m bad in
english
SO
SF
HK
1. Penyebab dan bentuk culture shock berupa gejala hingga reaksi yang
terjadi pada orang Jepang yang bekerja di Cikarang
Kode Keterangan Penjelasan
Intrnl Internal Penyebab internal yang melatarbelakangi
terjadinya culture shock pada lima orang
Jepang yang bekerja di Cikarang
Ekstrnl Eksternal Penyebab eksternal yang melatarbelakangi
terjadinya culture shock pada lima orang
Jepang yang bekerja di Cikarang
Gjl&Rea Gejala & Reaksi Gejala hingga reaksi yang terjadi pada lima
orang Jepang yang bekerja di Cikarang
2. Dampak dari culture shock pada orang Jepang yang bekerja di Cikarang
Kode Keterangan Penjelasan
Hsl Adpts Hasil Adaptasi Hasil adaptasi dari dampak culture shock
yang dialami lima orang Jepang yang bekerja
di Ciakarang
PEDOMAN WAWANCARA
Perkenalan / tee up Saya mahasiswa management di President University sedang
melakukan penelitian tentang bentuk-bentuk culture shock dan
strategi adaptasi orang jepang yang bekerja di area Cikarang.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami
bentuk culture shock yang dialami dan strategi adaptasi yang
dilakukanoleh orang Jepang yang merantau.
Budaya 1. Menurut anda apa itu budaya?
2. Apa yang anda rasakan dengan budaya Indonesia?
3. Apakah anda mempunyai masalah dengan budaya
disini?
Culture Shock 4. Menurut anda apa itu culture shock?
5. Bentuk culture shock seperti apa yang anda alami?
Strategi adaptasi 6. Apa yang anda fikirkan mendengar kata adaptasi?
7. Bagaimana cara anda beradaptasi dengan keadaan
disini?
Pengalaman 8. Bagaimana pengalaman anda ketika pertama kali dating
ke Indonesia khususnya ke Lippo Cikarang untuk
bekerja?
9. Apa saja kendala-kendala yang membuat anda tidak
nyaman tinggal disini?
10. Menurut sepengetahuan anda, apakah rekan-rekan yang
lain merasakan kendala yang sama dengan anda atau
berbeda?
Tahapan adaptasi
budaya
11. Bagaimana perasaan anda ketika tahu akan bekerja di
luar negeri yakni di Indonesia?
12. Bayangan kesenangan apa saja yang anda pikir akan
anda dapatkan ketika pindah ke Cikarang?
13. Ada atau tidakkah hal-hal yang membuat anda tidak
cocok tinggal atau bekerja di kawasan Cikarang?
14. Apa saja yang anda lakukan untuk mengatasi hal-hal
yang tidak disukai tersebut?