bergerak bersama kolaborasi nusantara - bekraf.go.id · 9/10/2018 · mata. produk kerajinan bambu...

20
Vol. 10. September 2018 Yohanes Arya Duta Gali Potensi Keramik Singkawang Jadi Produk Dekoratif Sugeng Untung Mengubah Kesan Old Pada Produk Lokal Menjadi Kekinian Ika Yulianti Tingkatkan Branding Lewat Desain Grafis Nancy Margried Kehebatan Batik Fractal Bergerak Bersama Kolaborasi Nusantara Pelaku Ekonomi Kreatif dengan Potensi Kreatif Lokal. RETAS-Sept2018rev2.indd 1 8/31/18 5:08 PM

Upload: lydung

Post on 23-Jul-2019

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Vol. 10. September 2018

Yohanes Arya DutaGali Potensi Keramik Singkawang

Jadi Produk Dekoratif

Sugeng UntungMengubah Kesan Old Pada Produk Lokal

Menjadi Kekinian

Ika YuliantiTingkatkan Branding Lewat Desain Grafi s

Nancy Margried Kehebatan Batik Fractal

Bergerak Bersama Kolaborasi Nusantara Pelaku Ekonomi Kreatif dengan Potensi Kreatif Lokal.

RETAS-Sept2018rev2.indd 1 8/31/18 5:08 PM

Vol. 10. September 2018

Yohanes Arya DutaGali Potensi Keramik Singkawang

Jadi Produk Dekoratif

Sugeng UntungMengubah Kesan Old Pada Produk Lokal

Menjadi Kekinian

Ika YuliantiTingkatkan Branding Lewat Desain Grafi s

Nancy Margried Kehebatan Batik Fractal

Bergerak Bersama Kolaborasi Nusantara Pelaku Ekonomi Kreatif dengan Potensi Kreatif Lokal.

10-11 | P R O F I L

tingkatkan Branding lewat Desain grafis Lewat karya desainnya, Ika Yulianti yang pernah mewakili Indonesia mengikuti pameran di Singapura, ingin meningkatkan branding produk lokal sehingga memiliki nilai jual yang lebih tinggi.

08-09 | P R O F I L

SUGENG UNTUNGMengubah kesan OLd ProDuk lokal MenjaDi kekinian

04-07 | W A C A N A

ikkon, MeMoles Potensi lokal lewat kolaborasi kerja tahunanIndonesia tak pernah kekurangan energi kreatif. Mulai dari karya seni rupa, pernak-pernik fesyen, perhiasan, sampai barang dekorasi rumah. Untuk mendukung pertumbuhan kreasi produk-produk kreatif yang juga memiliki nilai tawar dari segi ekonomi, Bekraf meluncurkan program pendampingan bernama IKKON (Inovasi dan Kolaborasi Kreatif Nusantara) yang saat ini sudah memasuki tahun ketiga.

12-13 | P R O F I L

YOHANES ARYA DUTAkeraMik singkawang jaDi ProDuk Dekoratif

18-19 | G A L E R I F O T O

Dok

umen

tasi

Prib

adi

Dok

umen

tasi

Prib

adi

Dok

umen

tasi

Prib

adi

14-15 | P R O F I L

NANCY MARGRIEDMeMaDukan batik Dengan teknologi Berbekal pengalaman mengangkat Batik Fractal ke internasional, Nancy Margried terpanggil untuk ikut serta mengembangkan produk lokal lewat IKKON.

16-17 | P R O F I L

LIA CHANDRAYang “Cantik Dan Manis” Dari inDonesia tiMur

C O V E R S T O R Y

Membuat Keramik

Foto: Fadhlan Makareem

d a f t a r i S i0302

RETAS-Sept2018rev2.indd 2 8/31/18 5:08 PM

Badan Ekonomi Kreatif adalah Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang bertanggungjawab di bidang ekonomi kreatif dengan enam belas subsektor.

Kantor

Gedung Kementerian BUMN, Lt 15, 17, 18Jl. Merdeka Selatan No. 13, Jakarta Pusat - 10110.

Email

[email protected]

Twitter

@bekrafid

Konsultan

www.bekraf.go.id

Triawan MunafKepala Badan Ekonomi Kreatif Indonesia

IKKON, Mengangkat Budaya Lokal Menjadi Industri Kreatif

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki beragam suku bangsa. Masing-masing suku bangsa memiliki potensi budaya lokal yang bisa digali sebagai industri kreatif. Program IKKON (Inovasi dan Kolaborasi Kreatif Nusantara) merupakan sarana sumber penciptaan produk yang berbasis pada budaya setempat. Berbekal kekayaan budaya lokal, para pelaku ekonomi kreatif dapat memposisikan hasil karyanya berbeda dari yang lain. Variasi budaya itulah yang juga menjadi keunggulan sekaligus membedakan produk lokal dibandingkan produk impor.

Kerja sama antara perajin lokal dengan seniman profesional pada program IKKON bertujuan agar potensi budaya lokal mengalami inovasi, berdampak ekonomi, dan berorientasi pada pasar komersil. Dengan begitu, kerja sama ini dapat menciptakan kesejahteraan bagi para perajin dan pelaku kreatif, juga memberi dampak pada peningkatan ekonomi daerah. Konsep live-in juga akan meningkatkan interaksi dengan masyarakat lokal agar potensi daerah lebih tergali. Kolaborasi antara seniman profesional, perajin, dan juga stakeholder lokal diharapkan akan menghasilkan inovasi yang dapat menjadi ikon baru produk kreatif daerah tersebut.

Sejak diluncurkan pada tahun 2016, program IKKON telah menjangkau 51 desa binaan dari 15 kabupaten/kota yang dikunjungi. Di masa mendatang, kami berharap IKKON dapat meningkatkan tumbuh kembang perekonomian pada lebih banyak lagi daerah pedesaan di tanah air.

Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki potensi budaya yang bisa digali sebagai industri kreatif.

E d i t o r i a L

RETAS-Sept2018rev2.indd 3 8/31/18 5:08 PM

Indonesia tak pernah kekurangan energi kreatif. Dari berbagai penjuru negeri, kita bisa menemukan buah kreativitas dalam bentuk aneka jenis produk yang mampu menuai decak kagum, baik dalam skala lokal maupun mancanegara. Mulai dari karya seni rupa, pernak-pernik fesyen, perhiasan, sampai barang dekorasi rumah.

Untuk mendukung pertumbuhan kreasi produk-produk kreatif yang juga memiliki nilai tawar dari segi ekonomi, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) meluncurkan program

pendampingan bernama IKKON (Inovasi dan Kolaborasi Kreatif Nusantara) yang saat ini sudah memasuki tahun ketiga.

IKKON merupakan program tahunan yang menempatkan sekelompok pelaku kreatif ke sebuah wilayah rural di Indonesia, dengan tujuan meningkatkan potensi ekonomi kreatif di daerah yang dikunjungi. Dengan fokus mengembangkan produk kreatif di berbagai daerah, diharapkan cita-cita ekonomi kreatif menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia akan lekas terwujud

Program IKKON sebenarnya menyerupai program live-in alias Kuliah Kerja Nyata (KKN). Bedanya, jika peserta KKN adalah para mahasiswa yang ingin mendapatkan pengalaman bekerja, peserta IKKON justru terdiri atas para profesional

Setiap tahun, sebuah tim yang terdiri atas para pelaku kreatif dari berbagai bidang terjun ke daerah untuk menghasilkan produk unggulan bersama para perajin lokal.

MeMoles Potensi lokal lewat kolaborasi kerja tahunan

0504 w a c a N a

RETAS-Sept2018rev2.indd 4 8/31/18 5:08 PM

berdasarkan mekanisme seleksi. Siapa saja yang berminat bisa mengajukan portofolio ke alamat Bekraf. Di antara sekian banyak pelamar, akan dilakukan seleksi berdasarkan portofolio, rekam jejak, review kurator, wawancara, dan tes tertentu.

Agar komunitas perajin bisa mendapatkan banyak masukan dan sudut pandang yang lebih kaya, anggota tim IKKON yang terjun ke daerah terdiri atas pelaku kreatif dari berbagai bidang, mulai dari antropolog, desainer dari berbagai disiplin ilmu, fotografer, hingga videografer.

Setiap program IKKON di setiap daerah memang dirancang secara kustom, sesuai dengan karakteristik produk dan daerah masing-masing. “Jadi program ini sifatnya bottom-up, diterapkan berdasarkan masukan dan hasil diskusi dengan para pelaku kreatif setempat. Bukan top-down,” jelas Ricky.

Selanjutnya, program IKKON dilakukan dalam 4 tahap pemberangkatan, yang setiap tahapnya memiliki rentang waktu live-in sekitar 1-2 minggu. Selama rentang waktu tersebut, tim IKKON yang merupakan fasilitator mesti tinggal di daerah yang ditentukan dan melakukan aktivitas sehari-hari bersama komunitas perajin.

Tahap pertama adalah masa observasi dan diskusi dengan pelaku kreatif setempat, mengenai produk apa saja yang bisa dilahirkan dari potensi lokal. Tahap kedua adalah pembuatan program kegiatan dan rancangan produk, tahap ketiga fase produksi, dan tahap keempat adalah pameran produk hasil kolaborasi.

Potensi daerah yang dikunjungi terkadang baru tampak ketika peserta IKKON berinteraksi dengan masyarakat setempat. Ambil contoh pengalaman Sugeng

yang sudah berpengalaman di bidangnya masing-masing.

Meski program serupa sudah ada sejak zaman Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (sebelum bertransformasi menjadi Bekraf), IKKON sendiri baru mulai diluncurkan Bekraf pada tahun 2016. “Dibandingkan program sejenis di masa lalu, program IKKON lebih ekstensif dan luas jangkauannya,” jelas Ricky Joseph Pesik, Wakil Kepala Bekraf.

Program IKKON memang diproyeksikan mampu mewadahi aneka kegiatan kreatif lintas disiplin, baik untuk para seniman seni rupa, desainer, musisi, pegiat seni pertunjukan, perajin, dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar dalam pengembangan ke depan, program IKKON bisa mengakomodir kegiatan kreatif dari berbagai bidang dan sub sektor ekonomi kreatif.

“Dalam pelaksanaannya, diharapkan para peserta IKKON dan masyarakat lokal dapat saling berbagi, berinteraksi, bereksplorasi dan berkolaborasi sehingga masing-masing pihak dapat saling memperoleh manfaat secara etis dan berkelanjutan,” jelas Poppy Savitri, Direktur Edukasi Ekonomi Kreatif pada Deputi Riset, Edukasi dan Pengembangan-Bekraf.

Selama program IKKON, produk-produk lokal yang masih bersifat tradisional dikembangkan menjadi produk yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini. Tujuannya adalah untuk menciptakan produk IKKON yang mempunyai daya saing tinggi, berkualitas premium, dan bisa diterima oleh pasar, namun tetap mempertahankan teknik tradisional sehingga kekayaan keragaman kriya tradisional Indonesia tetap terpelihara.

Pada tahun pertama, IKKON menyasar lima daerah, yaitu

Brebes (Jawa Tengah), Rembang (Jawa Tengah), Ngada (NTT), Pesawaran (Lampung), dan Sawahlunto (Sumatera Barat). Tahun berikutnya, kegiatan IKKON berfokus di Banyuwangi (Jawa Timur), Bojonegoro (Jawa Timur), Banjarmasin (Kalimantan Selatan), Belu (NTT), dan Toraja Utara (Sulawesi Selatan).

Sedangkan untuk IKKON tahun 2018 yang sedang berlangsung saat ini, tim terjun ke Belitung (Kepulauan Bangka Belitung), Dompu (NTB), Siak (Riau), Singkawang (Kalimantan Barat), dan Wakatobi (Sulawesi Tenggara).

Pemilihan daerah didasari oleh dua parameter, yaitu keinginan daerah tersebut serta kecocokan karakteristik daerah dengan profil yang ditentukan Bekraf. Pada 2018 ini ada 18 pemerintah daerah yang mengajukan diri untuk mengikuti IKKON. Tapi berhubung kuotanya hanya ada lima, proses seleksi pun dilakukan.

“Di antara banyak peminat, Bekraf memilih daerah yang potensi ekonomi kreatifnya sudah kelihatan ada, namun belum banyak mendapatkan dukungan dari sektor swasta. Karya kerajinan di sana belum banyak terdengar dan belum memiliki kanal untuk pemasaran,” jelas Ricky.

Bukan hanya lokasi yang dikunjungi, anggota tim IKKON pun dipilih

Program IKKON sifatnya bottom-up, diterapkan berdasarkan

masukan dan hasil diskusi dengan para pelaku kreatif setempat.

Bukan top-down.

—ricky Pesik (Wakil Kepala Bekraf)

Foto

Dok

. Ret

as/A

fri P

rase

tyo

RETAS-Sept2018rev2.indd 5 8/31/18 5:08 PM

Sebagai kelanjutan dari program IKKON, Bekraf memfasilitasi berdirinya Koperasi Karya Ikkon Bersama (KOPIKKON). Wadah ini merupakan mitra Bekraf dalam melanjutkan keberlangsungan kolaborasi dan pemberdayaan yang telah dilakukan oleh desainer dan perajin alumni IKKON, untuk mengeksplorasi lebih lanjut poin-poin kreatif yang muncul selama mengikuti proses IKKON, dan kemudian menyalurkannya ke pasar.

“Target produk KOPIKKON tentu sejalan dengan target Bekraf, yaitu meningkatkan PDB (Produk Domestik Bruto) di suatu daerah, menambah lapangan kerja, dan menggenjot keran ekspor. Produk-produk yang dihasilkan melalui intervensi desain dalam program IKKON tidak hanya menyasar pasar lokal, tetapi juga global,” jelas Sylvie Arizkiany Salim, Ketua KOPIKKON yang juga seorang desainer interior, desainer produk, sekaligus desainer grafis. Sylvie juga merupakan alumni dan ketua tim IKKON Brebes 2016.

KOPIKKON berdiri dengan mengusung lima nilai kunci, yaitu kolaborasi, pemberdayaan, perdagangan yang adil (fair trade), adanya kandungan material bernilai lokal (local content & local value), serta desain yang berkualitas.

Untung, desainer furnitur yang menjadi ketua tim IKKON 2016 di Sawahlunto, Sumatera Barat. Dikenal sebagai kota tambang yang sudah mati, Sawahlunto memiliki potensi tenun Silungkang. Setelah ditelusuri, ternyata selain tenun, Sawahlunto juga punya potensi kreatif lain seperti rotan dan batu bara.

Dengan memanfaatkan potensi lokal, kami membuat inovasi menggabungkan tenun dan rotan untuk dijadikan produk seperti pelapis sofa dan bahan tas. Kami juga menggunakan batu bara sebagai pewarna untuk membuat kaos motif tie dye,” jelas Sugeng.

Setelah selesai dibuat, produk hasil kolaborasi IKKON dipamerkan di daerah setempat, untuk memperkenalkan masyarakat pada hasil karya daerahnya sendiri. Selanjutnya, dengan bantuan Deputi Pemasaran Bekraf, produk-produk tersebut akan dipromosikan melalui berbagai kesempatan pameran maupun penjualan, baik di dalam maupun luar negeri. Di dalam negeri, Bekraf memfasilitasi produk ini untuk mengikuti ajang penjualan skala nasional seperti Inacraft, Trend Expo, dan lain-lain.

Di luar negeri, “lulusan” program IKKON juga mencetak prestasi yang tak bisa dipandang sebelah mata. Produk kerajinan bambu dari IKKON angkatan pertama berhasil meraih penghargaan The Best Show di Chiang Mai Design Week 2016, Thailand. Ada pula kreasi batik yang lolos kurasi pameran Salone del Mobile Milano 2017 di Italia. Yang terbaru adalah keikutsertaan peserta IKKON dalam ajang eksibisi bergengsi New York Now 2018 di Amerika Serikat.

Memasarkan produk kreatif ke mancanegara memang seringkali tantangannya lebih berat ketimbang memasarkan produk di dalam

negeri. Salah satu poin yang menjadi kelemahan para pelaku kreatif dalam tahap pemasaran adalah kemampuan untuk menciptakan sekaligus mengkomunikasikan nilai tambah berupa cerita tentang proses kreatif di balik terciptanya sebuah produk.

Padahal, menurut Joshua Puji Mulia Simandjuntak, Deputi Pemasaran Bekraf, penuturan cerita ini justru merupakan salah satu elemen dalam marketing tool yang amat penting. “Banyak pelaku kreatif yang berkutat pada fungsi, penampilan, dan lain-lain, sehingga lupa pada story telling. Padahal pasar, terutama pasar di luar negeri, ingin mendengar kisah di balik penciptaan sebuah produk kreatif. Mengapa produk ini dibuat, mengapa bentuknya begini, mengapa pakai material ini, siapa sosok yang membuat, dan sebagainya,” jelas Joshua.

Tantangan lain dalam memasarkan produk lokal ke luar negeri adalah kemampuan untuk memenuhi standar sertifikasi. Misalnya sertifikat SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) untuk produk kerajinan dari kayu. Sertifikat tersebut diperlukan untuk meyakinkan pembeli bahwa bahan baku kayu yang digunakan diperoleh secara legal, bukan hasil pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal.

Dok

umen

tasi

Prib

adi

Foto

Dok

. Ret

as/A

fri P

rase

tyo

0706 w a c a N a

RETAS-Sept2018rev2.indd 6 8/31/18 5:08 PM

Dengan nilai-nilai ini, perajin lokal sebagai pencipta ditempatkan pada posisi yang sejajar dengan desainer atau tim IKKON profesional lainnya.

Sejauh ini, KOPIKKON telah menandatangani MOU dengan Kopinkra (Koperasi Kerajinan Rakyat Silungkang) di Sawahlunto, Sumatera Barat, untuk berkolaborasi dalam mengembangkan produk ekonomi kreatif di sana.

Sekarang ini KOPIKKON sudah menghimpun produk-produk premium dari berbagai daerah hasil kolaborasi antara perajin setempat dengan peserta IKKON. Beberapa di antaranya adalah brand Rising Salem (Brebes), A Journey (Lampung), Coal Jewelry (Sawahlunto), Side by Side dan Tenun Berotan (Sawahlunto). Ada pula brand USing (Banyuwangi) yang lahir dari kolaborasi KOPIKKON dan Bank Indonesia (BI) dalam membina dan mengembangkan produk perajin BI.

Dalam rangka mempromosikan produk kreatif yang berada di bawah naungannya, bulan Maret lalu KOPIKKON mempersembahkan gelaran “Archipelago X” pada Signature Runway Indonesia Fashion Week 2018. Konsep Archipelago X berangkat dari makna kepulauan

Banyak pelaku kreatif

yang berkutat pada fungsi, penampilan, dan lain-lain, sehingga lupa pada story

telling. Padahal pasar, terutama pasar di luar

negeri, ingin mendengar kisah di balik penciptaan

sebuah produk kreatif.

—Joshua Simandjuntak (Deputi Pemasaran Bekraf)

pada kata “archipelago” dan makna kolaborasi di 10 wilayah binaan IKKON 2016 dan 2017, yang dicerminkan dengan huruf “x”.

Gelaran Archipelago X ini mendapatkan apresiasi tinggi karena mampu menghadirkan busana modern dalam balutan wastra dari berbagai pelosok tanah air. Meski tampil dengan rancangan bergaya “kekinian”, namun nilai-nilai kearifan lokal dan kekayaan kriya nusantara tetap terwujud dalam proses pembuatan serta corak dan ragam motifnya.

Uniknya, proses pembauran tersebut juga muncul dalam bentuk asimilasi antara nilai-nilai lokal yang dipegang oleh perajin setempat

Dok

umen

tasi

Prib

adi

dengan nilai-nilai pribadi para peserta IKKON.

“Sebelum mengikuti IKKON, sebagai desainer, saya sangat idealis. Tetapi pasca IKKON, saya belajar menurunkan ego dan sama-sama bekerja dalam satu tim. Program live-in ini mengajarkan semua pihak yang terlibat untuk mengembangkan sikap kolaboratif, inovatif dan kreatif. Bagi saya, bekerja sama dengan perajin lokal memberikan kebanggaan akan lokal konten Indonesia yang beragam,” jelas Ika Yulianti, desainer grafis yang ditempatkan di Ngada pada 2016.

Selain Indonesia Fashion Week, beberapa event nasional yang pernah digunakan untuk menampilkan dan mempromosikan karya peserta KOPIKKON antara lain adalah Gelar Batik Nasional 2017, Inacraft 2017, Bekraf Festival 2017, MayBank Fair 2018, Indonesia Fashion Week 2018, Adiwastra 2018, Inacraft 2018, dan Karya Kreatif Indonesia (KKI) 2018.

Rencana ke depannya, menurut Ricky, adalah membuat modul tata laksana, atau semacam “buku putih” yang berisi panduan pelaksanaan program IKKON. Dengan demikian, kegiatan ini juga bisa dilakukan oleh pihak swasta yang berminat menjadi sponsor.

“Kami menyambut secara terbuka pihak swasta yang ingin turut serta mengembangkan potensi lokal di Indonesia. Pasalnya, masih ada banyak sekali wilayah Indonesia yang belum tergarap program IKKON, akibat keterbatasan sumber daya serta anggaran. Jika ada banyak pihak lain yang bersedia berkolaborasi melaksanakan program ini, akan semakin cepat pula kita bisa membangkitkan kekuatan ekonomi kreatif di berbagai penjuru tanah air,” tutup Ricky. ■

RETAS-Sept2018rev2.indd 7 8/31/18 5:08 PM

P r o f i L0908

Tak hanya sukses mengubah kesan rotan yang old menjadi kekinian, inovasinya juga membuat produk lokal naik kelas.

Sugeng Untung

MENGUBAH KESAN OLD PRODUK LOKAL MENJADI KEKINIAN

Sugeng Untung merupakan satu dari sekian banyak tim profesional yang terlibat dalam program IKKON yang digagas Bekraf. IKKON adalah program pembinaan bagi para perajin lokal untuk mengembangkan potensi daerahnya. Pada 2016, Sugeng menjadi ketua tim IKKON Sawahlunto. Lewat interaksi yang intensif dengan para perajin tenun di beberapa desa penghasil tenun, di antaranya Desa Silungkang, Desa Lunto, dan Pasar Kubang. Lahirlah produk rotan yang dikombinasikan dengan tenun. Karyanya ini cukup menarik perhatian dalam ajang Inacraft , JCC 2017.

Sugeng memiliki minat yang besar pada produk berbahan rotan. Karenanya sejak 2012, ia menekuni desain rotan. Ia ingin mengubah

citra kursi rotan yang old dan membosankan menjadi muda dan modern. Terlebih lagi ia melihat potensi rotan yang sangat besar di Indonesia. Hampir 80 persen kebutuhan rotan dunia disuplai dari Indonesia. Potensi yang melimpah ini tentu sayang bila tidak dimanfaatkan.

Ketertarikan Sugeng pada rotan juga lantaran karakteristik material ini yang unik, selain bentuknya yang bulat, rotan juga bisa dilengkungkan, namun tantangannya, kelenturan rotan membuatnya mudah kembali ke bentuk semula. Lekukan terlalu ekstrem juga bisa membuatnya retak. Untuk hal ini, Sugeng menyiasati dengan membuat simpul-simpul yang saling menguatkan.

Dok

umen

tasi

Prib

adi

RETAS-Sept2018rev2.indd 8 8/31/18 5:08 PM

Salah satu karya Sugeng yang menarik perhatian adalah bencherfl y, yaitu bangku tanpa sandaran berbentuk simpel dengan kerangka dari rotan yang membentuk siluet kupu-kupu.

Keterlibatan Sugeng pada program IKKON berawal dari keikutsertaannya pada salah satu kompetisi yang diadakan oleh Menparekraf (sebelum menjadi Bekraf). Sejak saat itu ia kerap diundang untuk berpartisipasi dalam setiap program Bekraf, termasuk IKKON.

“Saat itu saya diturunkan di Sawahlunto, Sumatera Barat. Saya mengunjungi Sawahlunto bersama dengan 9 desainer dari terapan desain yang berbeda. Ada arsitek, desainer fesyen, desainer grafi s, desainer produk, desainer interior, desainer tekstil, multimedia, fotografer, videografer, dan antropolog. Kami turun ke Sawahlunto kurang lebih selama 4 bulan,” cerita Sugeng.

Pada pemberangkatan pertama, Sugeng dan tim melakukan observasi untuk mencari tahu apa yang menjadi potensi daerah tersebut. Dari hasil observasi dan diskusi bersama perajin lokal dan pemerintah setempat, mereka mulai memetakan potensi daerah tersebut untuk kemudian dimatangkan konsepnya di Jakarta. Pada bulan berikutnya, Sugeng mulai mendesain bersama perajin dan menjalankan proses prototyping. Setelah itu, produk tersebut dipamerkan untuk melihat respons masyarakat setempat.

Ketika pertama kali diterjunkan di Sawahlunto, Sugeng mengaku terkesan dengan kota ini. Dikenal sebagai kota tambang yang sudah mati, Sawahlunto memiliki potensi tenun Silungkang. Namun, jika semua daerah mengerjakan tenun, persaingan harga menjadi tidak

“Kami yakin bisa melakukan sesuatu yang lebih pada batu bara, karena itu kami mencoba mengkreasi ulang perhiasan batu bara dengan menggabungkan bahan lain yang lebih mahal seperti perak,” kata Sugeng.

Masih dengan bahan batu bara, Sugeng dan tim membuat kaos dengan teknik tie dye, dengan menggunakan pewarna dari bahan batu bara. Ketika dipamerkan, produk ini laris, dipesan sebanyak 500 buah untuk event tenun Silungkang internasional yang berlangsung di sana.

Berbekal pengalaman dari IKKON, bulan lalu Sugeng baru saja menyelesaikan program CREATE 2018. Ia bertindak sebagai mentor untuk mahasiswa pascasarjana FSRD ITB yang melakukan pendampingan pada para perajin dan memberi bimbingan teknis.

“Program yang ini tidak sebesar IKKON tetapi misi dan visinya mirip, mencoba memperbaiki kualitas produk dan kemasan. Kali ini, Bekraf bekerja sama dengan FSRD ITB di mana salah satu mata kuliahnya adalah ekonomi kreatif,” ujar Sugeng.

Pada program ini, ada beberapa tenaga ahli yang mendampingi mahasiswa. Mereka dibantu untuk mengeksplorasi material, produk unggulan, dan potensi daerah bersama perajin. “Proses pengerjaannya dari awal lagi, kami mengubah semua, sampai akhirnya menghasilkan produk baru dan lebih baik dari produk-produk sebelumnya,” tutup Sugeng. ■

Orientasi kami pada saat

itu adalah membuat oleh-oleh yang berkesan dari Sawahlunto, mencoba menjadikan daerah ini

sebagai kota wisata tambang yang berbudaya.

—Sugeng Untung

sehat. Karenanya, setelah tim antropologi selesai mengidentifi kasi, keluarlah program one product one village.

“Biarkan daerah yang melakukan tenun, konsentrasi pada tenun. Sedangkan di desa lain, konsentrasi pada yang lain seperti anyaman bambu. Kami membuat satu inovasi menggabungkan tenun dan rotan sehingga menjadi bahan yang bisa diterapkan di beberapa produk seperti pelapis sofa dan bahan tas,” jelas Sugeng.

Selain tenun, Sugeng dan tim desainer juga melihat potensi batu bara, yang sejauh itu hanya digunakan untuk membuat patung dan plakat sederhana.

Dok

. Prib

adi

Dok

. Prib

adi

RETAS-Sept2018rev2.indd 9 8/31/18 5:08 PM

Ika Yulianti

tingkatkan Branding lewat Desain grafis

Di dunia desain grafis, Ika Yulianti bukanlah nama yang asing. Perempuan kelahiran 22 Februari 1987 ini memiliki pengalaman yang cukup panjang, salah satunya pernah mewakili Indonesia mengikuti kegiatan dan pameran di Singapura. Saat ini ia menjalankan profesi sebagai dosen di kampus seni dan multimedia di Yogyakarta. Ia juga banyak mengikuti beberapa asosiasi untuk membuka networking. Melalui AIDIA, salah satu asosiasi yang ia ikuti, ia mengetahui ada program IKKON yang digagas oleh Bekraf. Pada tahun 2016, ia ditempatkan di Ngada, Flores bersama desainer produk, desainer interior, desainer fesyen, desainer grafis, antropolog, fotografer, videografer, dan mentor yang sangat profesional.

Kabupaten Ngada mungkin terdengar asing di telinga. Ngada memang tidak seterkenal Pulau Komodo, namun keindahannya sangat memukau siapa saja yang menginjakkan kaki di sini, tak terkecuali Ika. Dengan luas 1.621 km² dan jumlah penduduk 142.254 jiwa, Ngada memiliki keunikan yang jarang ditemui di tempat lain, seperti terdapat kampung peninggalan zaman Megalitikum dan wisata taman laut 17 pulau.

Ngada memiliki potensi kreatif yang cukup besar. Setidaknya, ada tiga desa di Ngada yaitu Bena, Bela

dan Tololela, dengan potensi kreatif yang berbeda, dari tenun hingga anyaman  bambu.

Salah satu andalan Ngada adalah tenun ikat yang dikenal juga dengan sebutan tenun Ngada. Dinamakan tenun ikat karena dalam proses pembuatan motif, ada bagian benang yang diikat agar tidak terkena pewarna saat proses pewarnaan.

Proses pengerjaan untuk setiap helai tenun ikat membutuhkan waktu yang cukup lama, bisa berminggu-minggu bahkan sebulan. Namun, harga jualnya tidak sebanding dengan usahanya. Hal ini juga terjadi pada sejumlah produk lokal. Kondisi ini menjadi keprihatinan Ika dan tim yang diterjunkan di Ngada. Sebagai desainer grafis, ia dan tim ingin meningkatkan value dari potensi masing-masing daerah melalui experience journey.

Lewat karya desainnya, Ika Yulianti ingin meningkatkan branding produk lokal sehingga memiliki nilai jual yang lebih tinggi.

Di mana ketika wisatawan datang, bisa merasakan nuansa lokal sesungguhnya yang berdampak pada perubahan, peningkatan, serta pengembangan value produk masyarakat setempat. Dampak sosial dan ekonomilah yang akan dirasakan masyarakat setempat.

“Di dalam tim, kontribusi saya adalah servis desain sebagai bagian dari branding. Saya mendesain berbagai ilustrasi seperti logo. Hasil visual juga direalisasikan dalam bentuk merchandise—salah satunya adalah packaging untuk tenun Ngada dan produk bambu. Selain itu, bisa juga dalam bentuk buku panduan bagi warga setempat yang ingin menjadi guide para turis yang berkunjung ke Ngada,” jelas Ika.

Alasan mengapa Ika tertarik dengan IKKON karena program ini membuka kesempatan baginya untuk berkolaborasi dengan

Dok

. Prib

adi

P r o f i L1110

RETAS-Sept2018rev2.indd 10 8/31/18 5:08 PM

desainer lain sekaligus berkontribusi langsung kepada masyarakat.

“Sebagai desainer kadang kami memiliki idealisme yang tinggi. Proses berkolaborasi itulah yang paling penting buat saya sebagai proses pembelajaran dan pekerjaan kami bisa memberi manfaat bagi banyak orang,” ujar Ika.

Tentang kendala, ia mengatakan bahwa kendala terbesar saat terjun ke daerah, adalah keterbatasan sarana. Ia mengaku sulit untuk mencetak hasil ilustrasi atau visual. Sepintas mungkin terlihat sederhana, tetapi tetap harus dicari jalan keluarnya.

“Mencari tempat print di sana masih susah. Padahal, saya ingin mencetak kemasan yang cantik. Kopi misalnya, banyak dicari turis yang datang ke Ngada, karena itu saya ingin membuat kemasan yang cantik

agar harga produk lokal juga naik. Begitu juga bila ingin mencetak kaos merchandise, susah juga mencari tempat sablon.

Dari keterbatasan itu, maka saya banyak memanfaatkan bahan lokal yang ada dan bekerja sama dengan perajin. Salah satu contohnya adalah membuat packaging kain tenun dari kain blacu yang dijahit sendiri oleh mama-mama di daerah Bela, kemudian mewarnai hasil jahitan di Bena, dan membuat pahatan-pahatan bersama bapak-bapak di Bena yang ahli pahat untuk menghias kain packaging tersebut dengan cap.

Pemanfaatan warna alam dan pengembangan potensi SDM yang ada adalah solusi dari keterbatasan itu. Selain memanfaatkan kekayaan lokal yang ada, pekerjaan packaging ini membuat hubungan antar desa menjadi lebih dekat, karena harus estafet antar desa dan berbeda orang

dalam proses pembuatannya,” ungkap Ika.

Sedangkan tantangannya selama bekerja sama dengan para perajin lokal adalah bagaimana ia bisa mengangkat produk daerah bisa memiliki nilai jual yang lebih tinggi dan bisa bersaing dengan yang lain.

“Saya lihat juga dengan kehadiran kami, ada perubahan perilaku dari para penduduk setempat. Dampaknya tidak hanya secara ekonomi dan sosial saja.”

Untuk sekarang ini, produk Ngada yang dikerjakan tim Ika bersama perajin sudah diikutkan dalam beberapa pameran di dalam dan luar negeri. “Saya berharap produk-produk tersebut bisa terus dikembangkan bersama Bekraf,” ujarnya.

Dengan berbagai tantangan yang dihadapi selama terjun ke Ngada, banyak manfaat yang didapat Ika. Ia merasa bisa menjadi desainer yang lebih terbuka wawasannya.

Ika mengakui, sebelum mengikuti IKKON, ia bisa dibilang sangat idealis. Tetapi, setelah mengikuti program ini, ia belajar menurunkan ego dan sama-sama bekerja dalam satu tim. ■

Dok

umen

tasi

Prib

adi

Dok

. Prib

adi

“Program IKKON ini mengajarkan semua yang terlibat untuk kolaboratif, inovatif dan kreatif.

Sebagai desainer, bekerja sama dengan perajin lokal memberikan kebanggaan akan lokal

konten Indonesia yang beragam.”

—ika Yulianti

Dok

. Prib

adi

RETAS-Sept2018rev2.indd 11 8/31/18 5:09 PM

Desainer produk yang bekerja di sebuah perusahaan keramik di Bali ini memiliki minat yang besar terhadap kerajinan lokal. Cita-citanya mengangkat kerajinan lokal ke level yang lebih tinggi, berusaha ia wujudkan dengan mengikuti IKKON. Meski telah tertarik untuk mengikuti program ini sejak tiga tahun lalu, namun pria yang sempat kuliah desain produk di ITB angkatan 2011 ini, baru mendapatkan kesempatan di tahun ini. Bersama tim, ia diterjunkan di Singkawang untuk menggarap potensi kreatif masyarakat setempat.

Sebagai desainer produk, Yohanes yang akrab disapa Arya ini, tentunya memiliki segudang ide kreatif di kepala. Namun, hal ini

Yohanes Arya Duta

keraMik singkawang jaDi ProDuk Dekoratif

Ingin mengangkat citra keramik Singkawang, Yohanes Arya Duta mengolah keramik menjadi barang pecah belah dan produk dekoratif yang bernilai jual tinggi.

Fadh

lan

Mak

aree

m

tidak bisa begitu saja ia terapkan di Singkawang, karena fokusnya adalah mengembangkan potensi lokal. Karena itu yang ia lakukan pertama kali di kota ini adalah mengeksplorasi kota dan melakukan pemetaan potensi ekonomi kreatifnya, termasuk Pemda dan komunitas. Kemudian, ia dan tim mencoba untuk mengembangkan produk dan servisnya. “Setelah itu, kami mencoba membuat simulasi beberapa desain yang dapat mengangkat ekonomi kreatif di sini dengan menggunakan SDA, SDM, dan kemungkinan pasar yang ada,” katanya.

Dalam program ini, Arya banyak bekerja dengan perajin keramik yang membuat tempayan dan guci

mengeksplorasi kota dan melakukan

Dok

. Prib

adi

Dok

. Prib

adi

Fadh

lan

Mak

aree

m

1312 P r o f i L

RETAS-Sept2018rev2.indd 12 8/31/18 5:09 PM

mereka walau program IKKON berakhir. “Kemungkinan besar saya akan melanjutkan kolaborasi dengan beberapa perajin, seperti perajin manik-manik, ukir, dan kayu. Selain saya melihat potensi untuk mengembangkan bersama, perusahaan di tempat saya bekerja juga berkeinginan bekerja sama dengan berbagai perajin lokal di seluruh Indonesia. Jadi, ini kesempatan juga bagi perajin di Singkawang membuka pasar baru,” ujarnya optimis.

Keikutsertaannya di IKKON memberikan banyak pengalaman berharga. “Banyak pengalaman lucu selama mengikuti IKKON. Salah satunya adalah saat kami sedang bekerja sama dengan perajin yang memiliki kebiasaan datang ke pabrik setiap pukul 8 pagi. Beliau pun mengharuskan kami sebagai tim, datang setiap hari pukul 8 pagi. Kalau kami terlambat, meski pun itu hanya telat 5 menit, mood bekerja langsung kelihatan beda. Awal-awalnya sulit menyesuaikan diri tapi lama kelamaan kami juga jadi belajar untuk disiplin,” kisahnya.

Menurut Arya, secara keseluruhan, program IKKON cukup komprehensif karena melibatkan berbagai pihak. “Saat di lapangan, kami bekerja sama tidak hanya dengan pelaku kreatif tetapi juga dengan beberapa stakeholders, pelaku bisnis, pemerintah daerah, dan komunitas.

Arya merasa banyak daerah di Indonesia membutuhkan program-program seperti ini. Indonesia kaya dengan berbagai macam kerajinan dan juga hasil produk yang beragam. Ke depan, ia berharap tim yang diterjunkan bisa lebih banyak sehingga lebih banyak daerah di Indonesia yang bisa digarap potensinya. ■

Dengan adanya kegiatan

seperti ini, peluang potensi daerah bisa digarap secara maksimal dan terarahkan

lebih tinggi. Terutama dengan adanya peran anggota tim

yang berpengalaman di bidang ekonomi kreatif.

Dengan begitu, harapannya, produk-produk yang

dihasilkan dapat langsung diserap pasar dan komunitas kreatif daerah juga semakin

berkembang.

—Yohanes arya duta

Generasi mudanya kebanyakan merantau ke luar. Jadi, sulit untuk mempertahankan keberlangsungan di masa depan.

“Banyak anak mudanya yang pintar tetapi mereka memilih merantau dan tidak mau meneruskan usaha keluarga. Itu yang sedang kami usahakan tidak terjadi. Kami mencoba mengajak generasi muda agar tertarik dengan bidang kerajinan ini,” ujar Arya.

Menyadari besarnya potensi perajin di Singkawang, ia berniat akan terus berkolaborasi dengan

naga karena Singkawang memang terkenal dengan hal ini. “Sayangnya, peminat guci dan tempayan semakin berkurang. Market-nya niche,” keluhnya.

Ia pun mencari ide-ide kreatif dalam menggarap kerajinan ini, agar bisa diterima di kota-kota besar dan dipasarkan lebih luas lagi. “Muncullah ide mengubah keramik menjadi tableware dan barang dekoratif yang bentuknya lebih kecil seperti suvenir atau cinderamata. Kami coba mengemasnya dengan lebih bagus dan memiliki cerita dari Singkawang,” ungkap Arya.

Sampai saat ini, tim sudah memasuki tahap prototyping dimana mereka membuat sampel dan menawarkannya kepada Pemda dan beberapa hotel yang ada di Singkawang. Tim juga menciptakan paket-paket promosi produk dan kegiatan workshop untuk membuat barang kerajinan tersebut, juga kombinasi dengan produk kuliner Singkawang, dengan harapan produk bisa lebih cepat dipasarkan.

Selama bekerja dengan para perajin lokal, Arya mengaku menemukan banyak tantangan. Kebanyakan perajin di Singkawang berangkat dari bisnis keluarga. Bisnis keluarga seperti ini tidak memiliki asosiasi atau komunitas pendukung. Regenerasi juga sedikit.

Fadh

lan

Mak

aree

m

RETAS-Sept2018rev2.indd 13 8/31/18 5:09 PM

Semangat membangun negeri bisa dilakukan dengan cara apapun. Menilik dari pengalaman Nancy yang bergelut di industri kreatif, ia melakukannya dengan mengikuti IKKON. “Saya tertarik untuk ikut IKKON, pertama karena saya ingin memperluas wawasan dan jaringan di bidang pelaku kreatif di Indonesia,” jelas Nancy, CEO Piksel Indonesia, yang inovasinya memadukan batik dengan teknologi, membawa batik ke level yang baru.

Dok

umen

tasi

Prib

adi

Berbekal pengalaman mengangkat Batik Fractal ke internasional, Nancy Margried terpanggil untuk ikut serta mengembangkan produk lokal lewat IKKON.

Nancy Margried

MeMaDukan batik Dengan teknologi

Tidak bisa dipungkiri, industri ekonomi kreatif di Indonesia beberapa tahun belakangan mengalami pertumbuhan yang cukup menggembirakan. Sektor industri kreatif menyerap sekitar 16,91 juta jiwa dan didominasi oleh generasi milenial. Tingginya minat anak muda bergelut di industri kreatif, kemungkinan besar karena jenis usaha ini mengedepankan inovasi atau pembaruan terhadap bisnis yang sama sebelumnya.

Menurut Nancy sifat pelaku kreatif saat ini berbeda dengan generasi lalu. Generasi sekarang memiliki selera baru, kreativitas baru, dan yang menarik, mereka memiliki keinginan kuat untuk berkarya membangun negeri. “Melalui keikutsertaaan saya di IKKON, saya ingin memiliki jaringan tersebut untuk tetap membuka wawasan dan membuat diri saya tetap relevan di industri ini,” tambahnya.

Bagi penyandang master di University College London ini, IKKON merupakan salah satu dari sedikit program yang diinisiasi pemerintah, yang benar-benar fokus pada sektor kreatif. Program yang menempatkan berbagai ahli dalam satu kelompok di suatu daerah untuk mengangkat potensi kreatif daerah tersebut ini, memungkinkan munculnya produk-produk kreatif yang berkelas internasional.

1514 P r o f i L

RETAS-Sept2018rev2.indd 14 8/31/18 5:09 PM

Dok

umen

tasi

Prib

adi

arahan pada 11 anggota kelompok yang tadinya tak saling kenal. Menyatukan persepsi dan ide dari anggota tim yang berasal dari profesi dan latar yang berbeda, tentunya juga menjadi tantangan tersendiri bagi Nancy.

“Namun saya sangat bersyukur, semua anggota tim Belitung sangat kompak, sangat ahli di bidangnya, sehingga tiap orang belajar banyak satu sama lain. Saya belajar banyak dari teman-teman grup saya, menambah wawasan saya terhadap berbagai bidang subsektor kreatif

Dengan keleluasaan yang diberikan program IKKON, kami

para pelaku industri kreatif merasa sangat terwadahi dalam

berkarya, bisa memberikan solusi-solusi langsung kepada

pelaku kreatif di daerah.

—Nancy Margried

Berkolaborasi dengan pelaku kreatif di daerah tentunya bukan hal mudah, banyak tantangan yang ia temui. Bagi Nancy yang berkarya melalui IKKON di Belitung, salah satu tantangan yang ia hadapi adalah skill yang masih terbatas karena memang perajin di sana baru bisa mengerjakan produk-produk sederhana.

“Jadi sebagai desainer, kami harus memberikan transfer knowledge dari segi teknis juga untuk produk-produk yang dikerjakan,” jelas Nancy. Selain itu, mahalnya harga material juga membuat kreativitas sedikit terhambat karena perajin harus menyediakan modal yang besar untuk bereksperimen dengan material lain.

Namun, tantangan tersebut tak membuatnya surut langkah. Bagi Nancy, tantangan menjadi modal pembelajaran dan pengalaman yang berharga. Tak hanya dari luar, tantangan juga datang dari dalam tim. Didapuk sebagai mentor, Nancy harus memberikan dukungan dan

lainnya dan memacu semangat saya untuk berinovasi dalam perusahaan saya sendiri,” akunya.

Walau kolaborasi dengan perajin di daerah bukan hal baru baginya mengingat bisnis Batik Fractal yang digelutinya didasari kolaborasi dengan perajin batik di seluruh Indonesia, namun berkarya melalui IKKON membuat Nancy selalu menemukan hal baru yang menginspirasi. Apalagi, IKKON yang diinisiasi Bekraf tentunya sangat berdampak bagi pengembangan para perajin lokal.

“Bekraf telah menjadi satu-satunya wadah di Indonesia dalam memajukan industri kreatif. Walaupun umur Bekraf masih muda, namun dengan semangat untuk terus memperbaiki kondisi ekonomi kreatif di Indonesia dan semangat untuk merevolusi lembaga Bekraf sendiri, saya yakin Bekraf akan menjadi lembaga yang bisa menjadi wadah penghasil inovator kelas dunia,” pungkasnya. ■

RETAS-Sept2018rev2.indd 15 8/31/18 5:09 PM

Bumi Atambua yang merupakan ibukota Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, belum lama ini menjadi sorotan karena aksi heroik Joni, pelajar Sekolah Menengah Pertama yang memanjat tiang bendera setinggi 23 meter untuk memperbaiki tali yang putus.

Selain Joni yang pemberani, Belu juga punya kekayaan lain yang tak kalah berharga, yakni kerajinan tenun, anyaman, dan ukiran yang dikerjakan masyarakat secara turun-temurun. Potensi ini membuat Lia Chandra, desainer yang singgah ke Belu bersama tim IKKON 2017, terinspirasi merancang aneka produk yang mampu bersaing dari segi desain maupun kualitas.

Masa-masa mengikuti program IKKON di Belu merupakan pengalaman berharga bagi Lia.

Lia Chandra

Yang “Cantik Dan Manis”

Dari inDonesia tiMur

Di balik kondisi alamnya yang gersang, Belu menyimpan

kekayaan potensi budaya dan kerajinan tangan yang bisa diolah

menjadi kreasi bernilai tinggi.

meningkatkan kesejahteraan masyarakat Belu.

Kolaborasi yang kompak dengan para perajin lokal di Belu membuat tim IKKON sukses menghasilkan sekitar 30 prototipe produk yang terdiri atas produk fesyen, interior, dan juga trip wisata. Semua produk yang dihasilkan oleh tim tersebut diimplementasikan dalam suatu brand yang bernama ‘Leloq’.

“Leloq adalah nama panggilan, sapaan dari laki-laki kepada perempuan. Dalam bahasa suku Bunaq, leloq itu kurang lebih artinya cantik dan manis,” jelas perempuan kelahiran Malang ini.

Produk-produk yang dihasilkan di bawah brand Leloq antara lain tas berbahan kombinasi antara tenun, anyaman daun lontar, dan

16 P r o f i L

Selama sekitar 4 bulan bekerja dan berinteraksi dengan warga Belu dan anggota tim IKKON lainnya, ia menyadari besarnya potensi budaya masyarakat setempat yang selama ini belum diolah secara optimal.

“Awalnya, saya tidak pernah membayangkan bahwa di suatu daerah yang gersang dan sulit air seperti di Kabupaten Belu, terdapat kekayaan budaya tenun yang sangat bagus. Selain tenun, ada juga ukiran-ukiran dengan motif yang sangat cantik,” ujar desainer yang menyandang gelar sarjana dari Jurusan Kriya Tekstil ini.

Bersama anggota tim IKKON lain yang diberangkatkan ke Belu, Lia mengemban tugas mengembangkan potensi budaya lokal menjadi aneka produk yang unik dan memiliki nilai ekonomi, sehingga mampu

Bagu

s Pra

dono

17

RETAS-Sept2018rev2.indd 16 8/31/18 5:09 PM

Meski ada tuntutan kuantitas produksi, kita

juga harus bisa menghargai budaya setempat karena

proses pembuatan barang kerajinan, seperti tenun misalnya, memerlukan

suatu prosesi khusus yang diatur berdasarkan adat

setempat.

—Lia chandra

daun pandan. Ada juga peralatan makan dan pernik interior berbahan bambu yang dipadukan dengan tenun, anyaman, atau pun kulit hewan. Inspirasi dalam mendesain diperoleh dari banyak sumber, salah satunya dari bentuk rumah adat yang ada di Belu.

Bukan hanya bersifat temporer, pengembangan produk Leloq terus berlangsung hingga kini. Bersama timnya, saat ini Lia sedang fokus mengembangkan varian produk berbasis tenun yang lebih beragam dari segi warna, model, dan ornamen yang dipakai, terutama untuk dijadikan tas perempuan.

Leloq yang tergabung di dalam KOPIKKON juga rajin berpartisipasi dalam pameran produk kreatif, seperti Inacraft dan CASA Indonesia. Difasilitasi oleh Bekraf, Leloq juga pernah mengikuti ajang eksibisi berskala internasional, seperti Chiang Mai Design Week 2017 dan hadir di Indonesia Pavillion di Chami Bar, Promenade 83, 7270 Davoz Platz, Swiss, awal tahun ini.

Untuk saat ini, aneka produk Leloq bisa dibeli dengan sistem pre-order melalui akun media sosial Instagram dengan alamat @ leloqbelu.

“Ke depannya, kami akan mengembangkan sistem pemasaran offline, yaitu bekerjasama dengan beberapa butik yang menjual produk fesyen untuk segmen menengah ke atas,” papar Lia.

Meski telah berhasil mengembangkan produk lokal yang memiliki cita rasa modern dan mampu menarik minat konsumen, perjalanan Lia bukannya selalu berlangsung mulus tanpa kendala. Tantangan terbesar adalah menjaga kestabilan supply chain barang produksi Leloq. Pasalnya, pembuatan tenun dan barang-barang kerajinan lain secara tradisional memerlukan waktu yang terbilang lama sehingga selama ini belum mampu memenuhi target produksi. Lantas, apa solusinya?

“Mau tak mau, dalam berkolaborasi dengan perajin lokal, kita harus bisa menempatkan perspektif secara proporsional. Meski ada tuntutan kuantitas produksi, kita juga harus bisa menghargai budaya setempat karena proses pembuatan barang kerajinan, seperti tenun misalnya, memerlukan suatu prosesi khusus yang diatur berdasarkan adat setempat,” jelasnya.

Hingga kini, Lia mengaku masih berupaya mencari cara untuk menyiasati kendala dari segi produksi. Salah satunya adalah dengan menempatkan Leloq sebagai produk kreatif untuk segmen premium yang memang hanya bisa diproduksi dalam jumlah terbatas. Di masa mendatang, ia berharap bisa mempertemukan permintaan pasar dengan kemampuan produksi, agar potensi Belu yang kaya tetap bisa mendapat tempat di hati masyarakat luas. ■

Dok

. Prib

adi

RETAS-Sept2018rev2.indd 17 8/31/18 5:09 PM

Beragam Kegiatan Bekraf dalam Membangkitkan Ekonomi Kreatif Indonesia

^ Opening ceremony Asian Games 2018 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta pada 18 Agustus 2018, menampilkan kekayaan alam dan keanekaragaman budaya Indonesia yang dikemas secara apik dan spektakuler.

> Kepala Bekraf Triawan Munaf membawa obor

Asian Games di Bandung.

^ Paviliun Bekraf, Identities, yang menampilkan 17 brand lokal Indonesia, di pameran dagang internasional New York 2018, pada 12-15 Agustus 2018.

^ Bekraf bekerjasama dengan PT Kolaborasi Ide Kreatif (Kolla Space) menyelenggarakan kegiatan Coding Mum di Kota Jayapura (15/8/2018).

G a L E r i f o t o1918

RETAS-Sept2018rev2.indd 18 8/31/18 5:09 PM

Foto

-foto

Dok

umen

tasi

Bekr

af

^ Kepala Bekraf, Triawan Munaf meresmikan pembukaan Art Jakarta 2018 di The Ritz Carlton Jakarta Pacific Place, Rabu (2/8/2018) lalu.

^ Kepala Bekraf Triawan Munaf menerima kunjungan Bupati Halmahera Barat, Danny Missy, di Gedung Kementerian BUMN pada Senin (20/8/2018) lalu.

^ Bekraf mempertemukan pelaku ekonomi kreatif subsektor fesyen muslim dengan sumber pembiayaan perbankan dan non perbankan pada Bekraf Financial Club (BFC) di Hotel Millenium Jakarta, 21 Agustus 2018.

^ Kepala Bekraf, Triawan Munaf (tengah) dan Bupati Tanah Datar, Irdinansyah Tarmizi (lima dari kanan ) usai menandatangani MoU tentang komitmen kembangkan ekosistem ekraf di Tanah Datar pada Senin (6/8/2018) lalu.

^ Andreas Sanjaya, CEO iGrow, pengusaha rintisan (startup) bidang aplikasi menjadi narasumber pada Bekraf Financial Club di Malang, Selasa (14/8/2018).

^ Bekraf hadir di Asian Festival 2018 untuk mempromosikan karya kreatif anak bangsa di ajang Asian Games. Pada kesempatan ini Bekraf mengenalkan cita rasa Nusantara dan fesyen Indonesia kepada dunia.

Foto

Dok

. Ret

as/A

fri P

rase

tyo

RETAS-Sept2018rev2.indd 19 8/31/18 5:09 PM

RETAS-Sept2018rev2.indd 20 8/31/18 5:09 PM