biogas dengan kotoran kuda dengan campuran serasah daun jati
TRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pada lambung sapi terjadi proses pembusukan dan peragian.
Dalam rumen terjadi pencernaan protein, polisakarida, dan fermentasi selulosa oleh
enzim selulase yang dihasilkan oleh bakteri dan jenis protozoa tertentu. Sedangkan
hewan seperti kuda, tidak mempunyai struktur lambung seperti pada sapi untuk
fermentasi seluIosa. Proses fermentasi atau pembusukan terjadi pada sekum yang
banyak mengandung bakteri. Proses fermentasi pada sekum tidak seefektif fermentasi
yang terjadi di lambung. Akibatnya kotoran kuda menjadi lebih kasar karena proses
pencernaan selulosa hanya terjadi satu kali, yakni pada sekum. Sedangkan pada sapi
proses pencernaan terjadi dua kali, yakni pada lambung dan sekum yang kedua-
duanya dilakukan oleh bakteri dan protozoa tertentu (Nugraha, 2007).
Pada feses sapi mengandung hemisellulosa sebesar 18,6%, sellulosa 25,2%,
lignin 20,2%, nitrogen 1,67%, fosfat 1,11% dan kalium sebesar 0,56%. Sedangkan
feses kuda mengandung hemisellulosa sebesar 23,5%, sellulosa 27,5%, lignin 14,2%,
nitrogen 2,29%, fosfat 1,25% dan kalium sebesar 1,38% (Sihotang, 2010). Menurut
Suriawiria dan Sastramihardja (1980), kotoran kuda mempuyai kandungan C/N ratio
25% lebih tinggi daripada C/N ratio kotoran sapi yang mempunyai nilai C/N ratio
18%. Selain itu kotoran kuda juga mempunyai kadar nitrogen (N) sebesar 2,8%, lebih
tinggi daripada kadar N dalam kotoran sapi. Produksi gas metan sangat tergantung
oleh rasio C/N dari substrat, untuk itu perlu ditambahkan sumber karbon untuk
meningkatkan rasio C/N substrat. Menurut Hartono (2009) rentang rasio C/N antara
20-30 merupakan rentang optimum untuk proses penguraian anaerob. Jika rasio
C/N terlalu tinggi, maka nitrogen akan terkonsumsi sangat cepat oleh bakteri-
bakteri metanogen untuk memenuhi kebutuhan protein dan tidak akan lagi
bereaksi dengan sisa karbonnya. Sebagai hasilnya produksi gas akan rendah. Di lain
pihak, jika rasio C/N sangat rendah, nitrogen akan dibebaskan dan terkumpul
dalam bentuk NH4OH.
1
Guguran daun jati (Tectona Grandis L) yang lebar yang menutupi tanah
melapuk secara lambat, sehingga menyulitkan tumbuhan lain berkembang. Guguran
daun jati dapat memicu kebakaran hutan kecil yang justru mengakibatkan proses
pemurnian tegakan jati terdorong untuk berkecambah, pada saat jenis-jenis pohon lain
mati. Namun demikian, jika tumpukan serasah dalam jumlah besar dapat
mengakibatkan kebakaran hutan yang besar dan mematikan vegetasi dalam hutan
(Perum Perhutani, 2000).
Menurut Musyafa (2004), secara umum daun kering yang termasuk sampah
coklat kaya akan karbon (C) yang menjadi sumber energi atau makanan untuk
mikrobia. Tanda sampah daun biasanya kering, kasar, berserat dan berwarna coklat
(sampah coklat).
Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah peternakan sering
menjadi banyak sorotan di lingkungan masyarakat. Perlunya pengolahan limbah
peternakan tersebut mendorong terciptanya teknologi tepat guna untuk memanfaatkan
limbah tersebut menjadi sesuatu yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Selain
itu, pengembangan industri di suatu daerah sudah saatnya dilakukan usaha untuk
memanfaatkan limbahnya, mengingat sebagian besar senyawa dari alam bersifat
biodegradable artinya dapat diuraikan secara biologis. Sebagian besar senyawa
tersebut adalah karbohidrat, lemak, dan protein (Hvelplund, 1991).
Pada proses pengolahan limbah secara anaerob terjadi proses methanogenesis
yang dapat membentuk asam lemak rantai pendek menjadi H2, CO2, dan asetat. Asetat
akan mengalami dekarboksilasi dan reduksi CO2, kemudian bersama-sama dengan
H2 dan CO2 menghasilkan produk akhir, yaitu metan (CH4) dan karbondioksida
(CO2) (Hvelplund, 1991).
Berdasarkan tinjauan di atas dimana kotoran sapi dan kuda menjadi suatu
masalah dalam pencemaran lingkungan di peternakan, serta guguran daun jati yang
lama-kelamaan dapat menimbulkan kebakaran hutan, dibutuhkan pengolahan secara
biologis. Dengan demikian, potensi kandungan bahan organik dalam kotoran ternak
dan serasah daun jati dapat dimanfaatkan dalam pembuatan biogas. Untuk itu, perlu
2
adanya penelitian mengenai optimasi dan efisiensi penggunaan kotoran sapi dan kuda
dengan penambahan daun jati (Tectona Grandis L) sebagai substrat dalam pembuatan
biogas, sehingga akan diketahui proses fermentasi methanogenik dan produksi gas
metan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan kotoran sapi
dan kuda sebagai substrat dengan penambahan serasah daun jati (Tectona grandis)
terhadap proses fermentasi methanogenik yang meliputi aktivitas enzim, kandungan
volatile fatty acid (VFA) dan produksi gas metan.
Manfaat penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memanfaatkan kotoran sapi dan kuda sebagai substrat pembuatan biogas
sebagai upaya penanggulangan pencemaran lingkungan di kawasan yang
mempunyai potensi peternakan tersebut.
2. Memanfaatkan serasah daun jati (Tectona grandis) sebagai bahan tambahan
pembuatan biogas sebagai upaya penanggulangan kebakaran hutan.
3. Menciptakan sumber energi alternatif.
Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah:
1. Terdapat interaksi antara pengaruh penggunaan jenis kotoran ternak sebagai
substrat dengan proses fermentasi methanogenik.
2. Penambahan serasah daun jati (Tectona grandis) pada level yang berbeda
sebagai sumber carbon dapat meningkatkan produksi gas methan dalam
proses fermentasi methanogenik.
3
MATERI DAN METODE
Materi
Bahan-bahan:
Kotoran sapi. Kotoran sapi yang digunakan adalah kotoran sapi segar yang
diperoleh dari kandang ternak potong Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.
Kotoran Kuda. Kotoran kuda yang digunakan adalah kotoran kuda segar
yang diperoleh dari kandang ternak potong Fakultas Peternakan Universitas Gadjah
Mada.
Serasah Daun Jati (Tectona grandis). Serasah Daun Jati (Tectona grandis)
diambil dari hutan jati di Piyungan, Bantul.
Alat Percobaan: Alat yang digunakan dalam penelitian adalah 15 unit
biodigester, termometer, higrometer, kertas indikator universal pH 0-14 Merck untuk
mengukur pH substrat, alat pengukur volume gasbio.
Skema rangkaian alat yang digunakan dalam penelitian disajikan dalam
gambar 1
Gambar 1. Rangkaian reactor anaerobic batch I
Metode
Penelitian dilkasanakan selama 5 bulan mulai dari bulan Juni sampai dengan
November 2010. Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap yaitu: 1) persiapan awal,
meliputi persiapan peralatan dan bahan; 2) penelitian, dan 3) pengolahan data (hasil
4
penelitian) dan pembuatan laporan. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Hasil
Ikutan dan Lingkungan, Bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan,
Universitas Gadjah Mada.
Substrat dicampur dengan air dengan perbandingan 1:2. Sebelum
dimasukkan ke dalam fermentor campuran substrat dengan air dihomogenisasikan
dengan cara dicampur air kemudian diaduk. Perubahan suhu, volume dan pH diamati
setiap 10 hari sekali.
Percobaan dilakukan dengan menggunakan feses sapi dan kuda, yang masing-
masing perlakuan ditambahkan dengan remahan daun jati sebanyak 0%, 5% dan 10%.
Setiap level dilakukan 3 kali ulangan. Evaluasi data penelitian dilakukan setiap 10
hari sekali pada hari ke-10, ke-20, ke-30 dan ke-40 untuk pengukuran aktivitas enzim,
kandungan volatile fatty acid dan kadar gas metan.
Aktivitas enzim. Digunakan sampel yang diambil disentrifuge pada 3000 G,
kemudian disenrtifuge kembali pada 10.000 G (Sunaryanto, 2004).
Konsentrasi gas metan diukur dengan menggunakan Gas Chromatography.
Pengambilan gas dilakukan dengan cara injeksi dengan jarum suntik, kemudian
dipindahkan ke dalam tabung vacuumtainer (Kashani, 2009).
Asam lemak volatile dianalisis dengan menggunakan metode gas
Chromatography (Bachrudin, 1996). Dimana tiap titik pengambilan sampel
dianalisiskan kadar asam lemak volatilnya. Dengan menggunakan mikropipet diambil
2µl dan diinjeksikan ke dalam kolom pada alat gas Chromatography. Asam lemak
yang diukur kadarnya adalah asam asetat, asam propionate dan asam butirat
Analisis Data
Pengolahan data penelitian ini menggunakan perhitungan analisis split-plot
untuk pengamatan pengukuran volume gas bio, aktivitas enzim dan kadar gas metan.
5
Hasil dan Pembahasan
Serasah daun jati (Tectona grandis) merupakan salah satu sumber carbon (C)
yang dapat digunakan untuk menjadi sumber energi atau makanan untuk mikrobia.
Untuk mengetahui kandungan yang terdapat pada daun jati dilakukan analisis kimia
dengan menggunakan metode analisis proksimat. Hasil analisis kimia yang diperoleh
tertera dalam tabel 1.
Tabel 1. Hasil analisis kandungan kimia daun jati (Tectona grandis)
No Analisa bahan Persentase berdasar BK (%)1. BK (bahan kering) 93,922. Abu 24,343. Kadar air 6,084. Protein kasar (PK) 5,825. Lemak kasar (LK) 6,636. Serat kasar 22,907. Carbon (C) 46,09
Dari data tersebut dapat dilihat jika kandungan C-organik dalam serasah daun
jati mempunyai kandungan C-organik yang rendah jika dibandingkan dengan
kandungan C-organik pada seresah jenis kayu putih (Melaleuca cajuputi) yang
mempunyai kadar C/N dan lignin yang tinggi (Supriyo, 2009), namun selain itu daun
jati ternyata mempunyai kandungan tannin yang cukup tinggi, hal ini dapat
menghambat pertumbuhan mikrobia didalam proses fermentasi methanogenesis.
Berikut data produksi gas methan yang dihasilkan. tertera dalam tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh jenis kotoran ternak, konsentrasi substrat dan waktu terhadap produksi rata-rata produksi gas metan (CH4) dalam proses fermentasi methanogenik dalam persen (%)
Hari keFeses Konsentras
i10 20 30 40 Rerata
Sapi 0% 20,69 24,78 36,50 54,77 34,21c
5% 16,16 27,37 38,39 51,55 33,37c
10% 16,20 24,38 36,28 57,63 33,62c
Kuda 0% 18,25 36,35 46,69 63,19 41,12a
5% 17,70 21,37 43,09 64,99 36,78b
10% 12,22 25,18 40,31 50,71 32,11c
6
Hasil diatas menunjukkan bahwa produksi gas methan berbeda tidak nyata.
Rerata tertinggi produksi gas methan dihasilkan oleh biogas dengan feses kuda 100%
(P4) hal ini dikarenakan kotoran kuda mempuyai kandungan C/N ratio 25% lebih
tinggi daripada C/N ratio kotoran sapi yang mempunyai nilai C/N ratio 18%, selain
itu kotoran kuda juga mempunyai kadar nitrogen (N) sebesar 2,8%, lebih tinggi
daripada kadar N dalam kotoran sapi (Suriawiria dan Sastramihardja, 1980). Selain
itu feses kuda mengandung hemisellulosa sebesar 23,5%, sellulosa 27,5%, lignin
14,2%, nitrogen 2,29%, fosfat 1,25% dan kalium sebesar 1,38% lebih tinggi nilainya
jika dibanding dengan feses sapi yang mengandung hemisellulosa sebesar 18,6%,
sellulosa 25,2%, lignin 20,2%, nitrogen 1,67%, fosfat 1,11% dan kalium sebesar
0,56% (Sihotang, 2010).
Namun demikian pada biogas dengan feses sapi 100% (P1) juga mempunyai
produksi gas methan yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan biogas dengan
campuran feses sapi dan serasah daun jati sebanyak 5 dan 10%. Kandungan tannin
pada daun jati sebesar 16,25% adalah salah satu faktor yang dapat menyebabkan
turunnya produksi gas methan pada biogas yang mendapat perlakuan penambahan
serasah daun jati sebanyak 5 dan 10%. Menurut Cheeke (1999), disamping bersifat
anti-protozoa, tannin bersifat anti-bakteri terutama terhadap bakteri Gram-positif.
Sementara itu Moss (1993) menyatakan bahwa bakteri penghasil CH4 (metanogen)
seperti Methanobrevibacter ruminantium dan Methanosarcina bakteri termasuk
dalam klasifikasi bakteri Gram-positif. Oleh sebab itu penurunan CH4 yang sejalan
dengan peningkatan konsentrasi penambahan persentase serasah daun jati (Tectona
grandis) diduga berhubungan dengan penurunan populasi metanogen. Disamping itu
menurut Patra et al. (2006), tanin mempunyai aktivitas antimetanogenik.
7
Untuk mengetahui proses terjadinya fermentasi methanogenesis lebih lanjut,
akan ditampilkan hasil analisis VFA (volatile fatty acid) dalam tabel dibawah ini.
Tabel 3. Pengaruh jenis kotoran ternak, konsentrasi substrat dan waktu terhadap produksi rata-rata asam asetat dalam proses fermentasi methanogenik (ml Mol)
Hari keFeses Konsentras
i10 20 30 40 Rerata
Sapi 0% 32,75 29,82 17,92 2,75 20,81a
5% 21,55 18,37 12,98 7,57 15,11b
10% 29,03 15,37 10,77 6,47 15,41b
Kuda 0% 19,88 11,50 4,30 1,76 9,36c
5% 16,59 14,07 7,88 3,84 10,59c
10% 19,88 11,45 7,48 3,65 10,61c
Tabel 4. Pengaruh jenis kotoran ternak, konsentrasi substrat dan waktu terhadap produksi rata-rata asam propionat dalam proses fermentasi methanogenik (ml Mol)
Hari keFeses Konsentras
i10 20 30 40 Rerata
Sapi 0% 10,67 7,96 6,18 3,61 7,10ab
5% 8,69 6,45 4,35 3,96 5,86ab
10% 11,86 7,24 6,74 4,44 7,57a
Kuda 0% 10,06 6,08 3,44 1,32 5,22ab
5% 7,80 5,07 3,50 1,41 4,44b
10% 8,19 5,85 4,05 1,72 4,95b
Tabel 5. Pengaruh jenis kotoran ternak, konsentrasi substrat dan waktu terhadap produksi rata-rata asam butirat dalam proses fermentasi methanogenik (ml Mol)
Hari keFeses Konsentras
i 10 20 30 40 Rerata
Sapi 0% 7,16 5,27 3,44 1,44 4,33ab
5% 5,47 4,80 3,16 1,83 3,82bc
10% 9,42 7,20 5,35 2,77 6,18a
Kuda 0% 4,00 2,94 1,90 0,08 2,23bc
5% 3,28 3,22 2,88 0,67 2,51bc
10% 2,74 2,02 1,36 0,24 1,59c
Bahan organik di fermentasi menjadi VFA, protein mikroba dan gas. Produksi
gas tergantung pada produksi VFA terutama komposisi dan berhubungan erat dengan
degradasi bahan organik. Penurunan konsentrasi VFA secara parsial diduga
8
berhubungan dengan penurunan degradasi bahan organik yang terdapat dalam isian
biodigester. Dari hasil penelitian, dapat dilihat bahwa kandungan VFA yang meliputi
asam asetat, asam propionate dan asam butirat tertinggi adalah perlakuan P1 yaitu
biogas dengan isian 100% feses sapi, hal ini dikarenakan oleh ternak ruminansia
mempunyai sistem pencernaan khusus yang menggunakan mikroorganisme dalam
sistem pencernaannya yang berfungsi untuk mencerna selulosa dan lignin dari rumput
atau hijauan berserat tinggi. Oleh karena itu pada tinja ternak ruminansia, khususnya
sapi mempunyai kandungan selulosa yang cukup tinggi (Kustiawan, 2009).
Bakteri dalam biogas mengubah asam organik menjadi VFA disertai dengan
terbentuknya gas (Orskov dan Ryle, 1990). Laju produksi gas semakin tinggi dan
potensi terbentuknya gas juga semakin meningkat. Tingginya produksi gas
merupakan indikator terbentuknya VFA terutama asam asetat dan propionat (Menke
et al., 1979). Hal ini sejalan dengan produksi gas methan yang terbentuk, walaupun
agak sedikit berbeda bahwa produksi gas methan tertinggi dihasilkan oleh P4 atau
biogas dengan isian 100% feses kuda, namun ditunjukkan diatas bahwa P1 juga
mempunyai produksi gas methan yang cukup tinggi.
Dari hasil penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa produksi asam asetat
adalah produksi tertinggi dari kandungan VFA yang lain yaitu asam propionate dan
asam butirat. Hal ini menurut Prihartini (2007) jumlah kandungan serat yang
semakin tinggi akan meningkatkan proporsi asetat dan semakin tinggi fraksi serat
yang larut akan meningkatkan aktivitas amilolitik sehingga menurunkan jenis
mikroba selulolitik sehingga menurunkan degradasi serat.
Rata-rata temperatur sludge pada tiap digester dengan beda perlakuan dan
pengamatan setiap 10 hari sekali tertera dalam tabel 4 dibawah ini.
Tabel 6. Rata-rata temperatur sludge (oC) pada biogasHari ke
Feses Konsentrasi
10 20 30 40 Rerata
Sapi 0% 27,50 27,17 26,83 26,17 26,92a
5% 27,33 27,50 26,00 26,33 26,79ab
10% 26,83 27,17 25,50 26,00 26,38c
9
Kuda 0% 27,17 26,17 26,00 25,83 26,29c
5% 27,67 26,83 25,67 26,33 26,63abc
10% 27,33 26,00 26,17 26,33 26,46bc
Temperatur sludge tersebut lebih rendah apabila dibandingkan dengan
temperatur kerja optimum untuk proses produksi biogas. Menurut Kirby (1983)
bahwa temperature optimum untuk perkembangan bakteri pada proses pencernaan
tinja di dalam digester berkisar 30-35oC. Produksi gas bio yang terbentuk sangat
tergantung pada suhu tangki pencerna. Gas bio terbentuk pada hari ke-7 dengan suhu
tangki pencerna 28oC dan produksi gas yang kecil.
Menurut Hadiwiyoto (1983), bahwa proses perombakan bahan organik pada
suasana anaerob akan dihasilkan tenaga panas, karena digester diletakkan ditempat
terbuka, maka pada malam hari pada saat udara berada di bawah temperatur sludge,
energi panas yang dihasilakan selama proses fermentasi di dalam digester akan
terserap oleh udara secara konduksi. Sebaliknya pada waktu siang hari pada saat
temperature sludge lebih rendah dari temperature udara, maka tenaga panas sinar
matahari akan diserap secara radiasi dan konduksi. Situasi tersebut tidak banyak
membantu untuk meningkatkan temperature sludge mencapai temperature optimal.
Temperature merupakan cerminan dari aktivitas mikroorganisme di dalam
sludge, semakin tinggi temperaturnya maka aktivitas mikroorganisme juga semakin
meningkat. Menurut Kaparaju (2006), pada temperature 55oC mikroorganisme seperti
Methanosarcinaceae pada permukaan sludge mencapai 70-100% lebih banyak dari
pada di lapisan bawah atau di lapisan tengah.
Rata-rata derajat keasaman (pH) sludge pada tiap digester dengan beda
perlakuan dan pengamatan setiap 10 hari sekali, tertera dalam tabel dibawah ini.
Tabel 7. Rata-rata derajat keasaman (pH) sludge pada biogas
Hari keFeses Konsentras
i10 20 30 40 Rerata
Sapi 0% 6,83 7,33 7,00 7,17 7,08a
5% 7,17 7,00 7,50 7,00 7,17a
10% 6,83 7,33 7,33 6,83 7,08a
10
Kuda 0% 7,33 7,33 7,50 7,00 7,29a
5% 7,50 7,00 7,33 7,17 7,25a
10% 7,00 7,33 7,17 7,00 7,13a
Derajat keasaman (pH) pada digester yang diamati setiap 10 hari sekali berada
pada kisaran ph netral 7,0. Aktivitas bakteri fermentative mencapai optimal pada
Susana pH netral yaitu 7,0 (Kirby, 1983). pH optimal untuk proses fermentasi
berkisar antara 7,0-8,0. Proses tersebut akan terhambat apabila pH berada pada 6,5
dan terhenti sama sekali pada ph 5,5 (Taiganides, 1980).
Menurut Wahyuni (2008), pH dalam digester merupakan fungsi waktu di
dalam digester tersebut. Tahap awal proses fermentasi, asam organik dalam jumlah
besar diproduksi oleh bakteri pembentuk asam, pH dalam digester dapat mencapai di
bawah 5. Keadaan ini cenderung menghentikan proses pencernaan (fermentasi).
Bakteri-bakteri metanogenik sangat peka terhadap pH dan tidak bertahan hidup
dibawah pH 6,5. Kemudian proses fermentasi berlangsung, NH4 bertambah dan dapat
meningkatkan nilai pH diatas 7.
11
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa:
1. Semakin besar level penambahan serasah daun jati (Tectona grandis) tidak
berbeda nyata terhadap proses fermentasi methanogenik.
2. Penggunaan jenis kotoran ternak sebagai substrat berbeda tidak nyata terhadap
proses fermentasi methanogenik.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai level penambahan serasah
daun jati (Tectona grandis) sebagai sumber carbon sehingga dapat diketahui titik
optimal yang dapat ditambahkan sebagai sumber carbon.
12
DAFTAR PUSTAKA
Bachrudin, Z. 1996. Aplikasi enzim dalam Bioteknologi Pertanian. Buletin Peternakan.Edisi Khusus; 221-223. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Cheeke, P.R. 1999. Actual and potential applications of Yucca schidigera and Quillaja saponaria saponins in human and animal nutrition. Proc. Am. Soc. Anim. Sci., 1-10. Crowder, L.V. & H.R. Chheda. 1982. Tropical Grassland Husbandry. Longman Group Limited, New York, USA.
Hadiwiyoto, S. 1983. Penanganan dan Pemanfaatan Sampah. Yayasan Idayu. Jakarta.
Hartono, R. 2009. Produksi Biogas dari Jerami Padi dengan Penambahan Kotoran Kerbau. Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia – SNTKI 2009 ISBN 978-979-98300-1-2. Bandung, 19-20 Oktober 2009.
Hvelplund, T. 1991. Volatile fatty acids and protein production in the ruminants In : J.P. Jouany (Ed.) Rumen Microbial Metabolism and Ruminant Digestion. INRA. Paris. pp. 165 – 178.
Kashani, A. 2009. Application of Various Pretreatment Methods to Enhace Biogas Potential of Waste Chicken Feathers. This thesis comprises 30 ECTS credits and is a compulsory part in the Master of Science with a Major in Environmental Engineering, 120 ECTS credits No. 8/2009.University of Boras.
Kaparaju, P. 2006. Effect of Temperature and Active Biogas Process on Passive Separation of Digested Manure. Journal Bioresources Technology. Volume 97 (2006): 113-125
Kirby, K.D. 1983. Anaerobic Digester and Their Apllication to Agriculture Residue Utilization. Australian Government Publishing Service. Canbera.
Kustiawan, L. 2009. Parameter Fermentasi Rumen Pada Kerbau Yang Diberi Pakan Tunggal Glirisidia, Jerami Jagung dan Kaliandra. Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan – Semarang, 20 Mei 2009. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang
Musyafa. 2004. Peranan Makrofauna Tanah dalam Proses Dekomposisi Serasah Acacia mangium Willd. ISSN: 1412-033X. Nomor 1 Januari 2005. Biodiversitas Volume 6, Nomor 1 Halaman: 63-65
13
Menke, K.H. & H. Steingass. 1988. Estimation of the energetic feed value obtained from chemichal analysis and in vitro gas production using rumen fluid. Anim. Res. Develop.28:7-55.
Moss, A.R. 1993. Methane Global Warming and Production by Animals. Chalcombe Publications, Canterbury. p.105.
Nugraha, Bayu. 2007. Sistem Pencernaan Ruminansia. Avalaible at netfarm.blogsome.com/.../sistem-pencernaan-ruminansia/ 29 November 2010.
Patra, A.K., D.N. Kamra & N. Agarwal. 2006. Effect of plant extracts on in vitro methanogenesis, enzyme activities and fermentation of feed in rumen liquor of buffalo. Anim. Feed Sci. and Technol. 128:276-291.
Perum Perhutani. 2000. “Marketing and Trade Policy of Perum Perhutani”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
Prihartini, I., 2007. Parameter Fermentasi Rumen dan Produksi Gas In Vitro Jerami Padi Hasil Fermentasi Inokulum Lignochloritik. Laporan Penelitian. UMM. Malang.
Ørskov, E.R., And Ryle., 1990. Energi Nutrition In Ruminats. Elsevier Applied Science. London And New York.
Sarjadi. S. 2009. Nusa Tenggara Barat. Avalaible at jurnalisme-makassar.blogspot.com/.../useful-link-from-indopubs-penerbitan-di.html. 14 Februari 2010.
Sihotang, Benikditus. 2010. Kandungan Senyawa Kimia Pada Pupuk Kandang Berdasarkan Jenis Binatangnya. Avaliable at r.yuwie.com/blog/entry.29 November 2010.
Sunaryanto, R. 2004. Pengaruh kombinasi media sumber karbon (dedak : Tapioka) dan sumber nitrogen pada kultivasi media Padat produksi enzim glukoamilase. Prosiding Seminar nasional rekayasa kimia dan proses 2004 Issn : 1411 – 4216
14
Supriyo, H. 2009. Kandungan C-organik dan N-total pada seresah dan tanah pada 3 tipe fisiognomi (Studi Kasus di Wanagama, Gunung kidul, DIY). Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 9 No. 1 (2009) p: 49-57
Suriawiria dan Sastramihardja. 1980. Faktor Lingkungan Biotis dan Abiotis Didalam Proses Pembentukan Biogas serta Kemungkinan Penggunaan Starter Efektif Didalamnya. Lokakarya Pengembangan Energi Non-Konvensional. Direktorat Jendral Ketenagaan Departemen Pertambangan dan Enenrgi, Jakarta.
Soerawidjaja, Tatang H. 2006. Potensi Sumber Daya Hayati Indonesia dalam Penyediaan Berbagai Bentuk Energi. Lokakarya Pengembangan Energi Non-Konvensional. Direktorat Jendral Ketenagaan Departemen Pertambangan dan Energi, Jakarta.
Taiganides, E.P. 1980. Bio Engeneering Properties of Feedlot Waste Animal. Applied Science Publishers Ltd, London.
Wahyuni, S. 2008. Biogas. Penerbit PT Media Inovasi Transfer dan Penebar Swadaya. Jakarta.
15