biopsi & pemeriksaan histopatologis-ulang.docx
DESCRIPTION
OnkologiTRANSCRIPT
BIOPSI DAN PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI
Oleh:
Patar Freddy Baringbing
Pembimbing :
Dr. Dimyati Achmad, dr., SpB(K)-Onk
SUB BAGIAN BEDAH ONKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN
BANDUNG
2013
BIOPSI DAN PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI
Pendahuluan
Asal mula kata biopsi berasal dari bahasa Yunani yang artinya bio adalah
kehidupan dan opsis adalah penglihatan. Pengertian dari biopsi yaitu tindakan
pengambilan dan pemeriksaan dari jaringan tubuh yang hidup, yang dilakukan untuk
menegakkan diagnosis pasti. Peran dari biopsi antara lain sebagai sarana diagnostik
yang bisa menentukan histologi tumor dan gradasi serta membantu perencanaan terapi
definitif.
Pada prakteknya, hasil dari pemeriksaan sitologi yang umumnya dilaporkan
adalah:3
1. Sel-sel peradangan
2. Tumor jinak
3. Sel-sel atipikal
4. Kecurigaan ke arah keganasan
5. Positif untuk keganasan
Sampai saat ini beberapa tehnik biopsi yang digunakan oleh klinisi antara lain:
biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration Biospy), biopsi core-needle, biopsi
insisi, dan biopsi eksisi. Untuk lesi di kulit dapat dipakai tehnik shave biopsy,
saucerization biopsy, dan punch biopsy. Kalau lesi mukosa biasanya dilakukan secara
endoskopi (contoh via kolonoskop, bronkoskop, sistoskop). Lesi yang mudah dipalpasi,
seperti lesi di kulit, dapat dieksisi atau dilakukan punch biopsi. Lesi yang lebih dalam
dapat dilokalisasi dengan CT atau ultrasonografi untuk biopsi. Untuk menentukan
pilihan biopsi yang akan dilakukan tergantung dari ukuran dan lokasi massa dan
pengalaman patologis.
1
JENIS-JENIS BIOPSI
1. Biopsi Aspirasi Jarum Halus (Fine-Needle Aspiration Biopsy / FNAB)
Biopsi aspirasi dengan jarum halus merupakan metode pengambilan materi
diagnostik untuk pemeriksaan sitologi (sel) dan histologi (jaringan) yang hanya
menyebabkan trauma minimal pada pasien.3 Aspirasi dapat diambil dari hampir semua
bagian tubuh, termasuk mulut, payudara, hepar, saluran kemih, saluran respirasi, urin,
cairan serebrospinal dan tiroid. FNAB mudah, atraumatik, dan relatif aman. Nilai
normal berarti tidak ada sel-sel atau jaringan abnormal dalam aspirasi.
Untuk tumor yang dalam dapat dilakukan dengan panduan CT. Kekurangan
teknik ini antara lain tidak memberikan informasi mengenai arsitektur jaringan. Sebagai
contoh, biopsi jarum halus pada massa payudara dapat mendiagnosis keganasan, tetapi
tidak dapat mendiferensiasi antara tumor yang invasif atau tidak invasif. FNA juga
memerlukan sitopatologis yang terlatih untuk interpretasi spesimen. Sensitivitas FNA
bervariasi dari 80% sampai 95% dan aspirat positif palsu terlihat kurang dari 1% kasus,
dan hasil negative palsu terlihat pada 4% sampai 10% kasus tumor payudara.
FNA menggunakan jarum halus (21-25 gauge) tanpa stylet dan syringe kecil.
Tidak digunakan anestesi. Idealnya, spesimen dipertahankan di dalam jarum. Isi jarum
kemudian disebarkan di atas gelas obyek. Gelas obyek kemudian difiksasi dengan
alkohol spray 95% dan/atau dikeringkan, tergantung dari prosedur laboratorium yang
digunakan..
Indikasi dilakukan FNA meliputi: pada pasien dengan tumor jenis kistik
terutama dengan kelainan fibrokistik, tumor solid yang lebih besar dari 1cm (tergantung
lokasi), pada tumor (karsinoma) yang inoperable (konfirmasi diagnosis), dugaan adanya
metastasis dan kekambuhan.
2
Gambar 1. Fine-needle aspiration biopsy (FNAB)
2. Large needle aspiration biopsy
Tehnik ini menggunakan jarum 18 gauge dengan stilet dan syringe yang besar.
Dilakukan anestesi lokal dalam jumlah kecil. Pisau no. 11 digunakan untuk menusuk
kulit. Jarum kemudian dimasukkan melalui luka ke dalam massa, dengan jari telunjuk
memegang stylet. Tujuan luka tusuk dan stylet adalah untuk memfasilitasi insersi yang
mudah dan mencegah pengambilan sel dari kulit dan jaringan sekitarnya. Jarum
kemudian digerakkan beberapa millimeter dari tempat tusukkan, kemudian dilakukan
aspirasi. Aspirat kemudian disebarkan di atas gelas obyek, difiksasi dan/atau
dikeringkan untuk dilakukan pemeriksaan histopatologis.
Gambar 2. Large needle aspiration biopsy
3
3. Core needle biopsy
Core biopsy seperti aspirasi jarum halus, relatif aman dan dapat dilakukan
dengan palpasi langsung (contoh, massa payudara atau massa jaringan lunak) atau dapat
dipandu dengan pencitraan (contoh stereotactic core biopsy of the breast). Core biopsy
seperti aspirasi jarum halus, memiliki kekurangan sampling error. Core needle biopsy
menghasilkan jaringan tipis (kurang lebih 1x10 mm). Ukuran sampel yang kecil dapat
menyulitkan patologis untuk mendiagnosis tumor secara akurat, atau jaringan mungkin
tidak representatif untuk seluruh tumor, menyebabkan kesulitan dalam gradasi tumor.
Biopsi ini memakai jarum yang dirancang khusus seperti True-cut, Core-cut, dan
lain-lain. Pada sumbu jarum terdapat kait terbalik, setelah sumbu masuk ke dalam
jaringan barulah sarung jarum dimasukkan, lalu sumbu dan sarung dikeluarkan secara
bersamaan, sehingga diperoleh suatu pita kecil jaringan untuk pemeriksaan patologi,
maka disebut juga biopsy potong. Karena tabung jarum lebih besar, kemungkinan
terjadi implantasi tumor sepanjang jalur jarum lebih besar dibandingkan aspirasi jarum
halus.
Gambar 3. Core needle biopsy
4
Adapun indikasi dilakukan core needle biopsy meliputi: jika diperkirakan hasil
sampel jaringan tidak representative bila dilakukan FNAB, adanya hasil FNAB yang
berbeda dari beberapa sampel dari lesi yang sama, hasil sitologi FNAB yang tidak
sesuai/representative, rencana dilakukan kemoterapi neoadjuvant pada kasus locally
advance breast cancer yang sebelumnya belum dilakukan operasi, tumor yang dekat
dengan kulit yang berbatas tegas, teraba dan ukuran tumornya tidak lebih kecil dari 2
cm.
4. Shave biopsy
Shave biopsy dilakukan pada lesi kulit yang menonjol seperti BCC nodular,
SCC, atau tumor yang berasal dari folikel. Dilakukan tindakan antiseptik, lalu dilakukan
anestesi lokal di bawah lesi. Dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari, kulit
diregang agar stabil. Lalu, gunakan ujung scalpel no. 15 untuk membatasi batas lesi.
Dengan perut scalpel parallel dengan kulit, lakukan shave biopsy. Gunakan forceps atau
ujung jarum untuk mengambil lesi. Untuk hemostasis dapat dilakukan kauterisasi
elektrik atau kimia. Perawatan post operasi mudah. Luka harus dicuci satu sampai dua
kali sehari dengan sabun ringan dan dibiarkan lembab dengan mengoleskan petroleum
jelly pada balutan sampai menyembuh.
Gambar 4. Shave biopsy
5
5. Saucerization biopsy
Saucerization biopsy merupakan biopsi cukur yang lebih dalam,
direkomendasikan untuk SCC, nevi atipik, dan melanoma. Dengan menggunakan jari
telunjuk dan ibu jari, pegang pisau cukur dengan gerakan konkav sesuai dengan
kedalaman yang diinginkan. Hemostasis dilakukan sama dengan pada shave biopsy
.
6. Punch biopsy
Punch biopsy cocok untuk mengambil sampel pada lesi yang datar dan lebar,
dan efektif untuk meraih sampel subkutan, dan mendapatkan informasi mengenai
kedalaman invasi tumor. Biopsi ini menggunakan anestesi lokal dan trephine. Operator
membuat insisi sirkular sampai tingkat lemak superfisial, menggunakan trephine yang
berputar. Traksi yang dilakukan tegak lurus terhadap garis kulit yang relaks
meminimalisir redundansi saat penutupan. Spesimen diambil dengan forceps atau
jarum. Hemostasis dilakukan dengan jahitan nonabsorbable yang dapat diangkat 7-14
hari. Luka harus dicuci satu sampai dua kali sehari dengan sabun ringan dan dibiarkan
lembab dengan mengoleskan petroleum jelly pada balutan sampai menyembuh.
Gambar 5. Punch biopsy
6
7. Incisional Biopsy (Biopsi Insisi)
Biopsi insisi adalah pengambilan sebagian kecil jaringan dari massa tumor
(misalnya payudara, hepar, otot, kulit, paru-paru, prostat, kandung kemih). Biopsi insisi
sering diperlukan untuk diagnosis massa yang lebih besar yang memerlukan prosedur
bedah.
Instrumen yang diperlukan antara lain scalpel no. 15, forceps Adson, hak kulit,
gunting, benang jahit, dan kassa. Scalpel dipegang tegak lurus dengan permukaan kulit.
Insisi fusiform dilakukan pada pertengahan lesi. Spesimen diambil untuk diperiksa, lalu
luka dijahit.
Gambar 6. Biopsi Insisi
Komplikasi biopsi insisi antara lain adalah infeksi luka, dehisensi, dan
pembentukan jaringan parut, serta hematom. Terdapat beberapa faktor penting yang
harus diperhatikan pada biopsy insisi. Untuk lesi di ekstremitas, insisi dilakukan
7
sepanjang aksis panjang ekstremitas. Untuk lesi di batang tubuh, insisi dilakukan
sedemikian rupa sehingga dapat terambil bersamaan dengan seluruh tumor yang akan
diangkat. Letak biopsi harus tepat pada tumor, pada titik dimana lesi dekat dengan kulit,
dan tidak boleh ada lipatan yang meninggi atau yang mengganggu di superfisial
terhadap tumor. Sebelum penutupan luka, hemostasis harus diperhatikan untuk
meminimalisir hematoma. Drainase tidak rutin dikerjakan, tetapi bila diperlukan, maka
drain harus ditempatkan melalui atau dekat dengan insisi biopsy. Bila didiagnosis
dengan keganasan, jalur drain harus tereksisi bersamaan dengan massa tumor.
8. Excisional Biopsy (Biopsi eksisi)
Biopsi eksisi adalah eksisi seluruh jaringan tumor dengan sedikit atau tanpa
batas jaringan normal disekitarnya. Biopsi eksisi dilakukan untuk kuratif, dengan
mencakup jaringan yang adekuat di sekitar lesi untuk menjamin batas operasi yang
negatif sel tumor. Penandaan batas dengan jahitan atau klip oleh pembedah atau
mewarnai batas spesimen oleh patologis memudahkan penentuan batas bedah dan
menuntun diperlukannya reeksisi bedah bila salah satu atau lebih batas masih
mengandung sel tumor. Biopsi eksisi atau “shellout” dilakukan untuk lesi yang
berdiameter kurang dari 3-5 cm atau untu lesi yang sangat superfisial, dimana
kemungkinan keganasan rendah.
Gambar 7. Biopsi eksisi
8
Sebelum anestesi dan eksisi, operator menandai batas lesi. Kemudian dilakukan
eksisi berbentuk fusiform dengan sudut 30o atau lebih sirkular. Disarankan untuk
melakukan jahitan pada posisi jam 12 pada spesimen sebagai penanda untuk patologis.
Komplikasi biopsy eksisi antara lain adalah infeksi luka, dehisensi, dan pembentukan
jaringan parut, serta hematom.
Prinsip-Prinsip Prosedur Biopsi
Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan oleh operator pada prosedur biopsi
diantaranya:
1. Jalur jarum atau jaringan parut harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga dapat
terambil pada prosedur bedah selanjutnya. Penempatan insisi biopsi sangat penting,
dan kesalahan penempatan dapat mempengaruhi perawatan selanjutnya. Biopsi
insisi harus ditandai untuk memudahkan eksisi skar biopsi bila operasi lanjutan
diperlukan. Lebih lanjut, biopsi insisi harus dilakukan pada area yang akan dibuang,
bukannya pada sisi lainnya, yang berisiko mengkontaminasi lapangan yang lebih
luas. Insisi pada ekstremitas harus longitudinal agar pengangkatan jaringan dan
penutupan yang akan dilakukan selanjutnya lebih mudah.
2. Harus diperhatikan untuk mencegah kontaminasi jaringan lain saat biopsi. Adanya
hematom besar setelah biopsi dapat menyebabakan penyebaran tumor dan membuat
follow up pemeriksaan fisik lebih sulit. Untuk biopsi pada ekstermitas, penggunaan
tourniquet dapat membantu mengontrol perdarahan. Instrument yang digunakan
pada prosedur biopsi merupakan sumber kontaminasi potensial lainnya pada
jaringan sekitarnya. Tidak biasa dilakukan mengambila biopsi dari beberapa lesi
tersangka pada satu waktu. Kontak instrumen yang telah mengenai jaringan tumor
dengan jaringan normal harus dihindari.
3. Drainase tidak rutin dikerjakan, tetapi bila diperlukan, maka drain harus
ditempatkan melalui atau dekat dengan insisi biopsi. Bila didiagnosis dengan
keganasan, jalur drain harus tereksisi bersamaan dengan massa tumor.
4. Sampel jaringan yang adekuat harus diambil untuk memenuhi kebutuhan patologis.
Untuk mendiagnosis tumor, mikroskop electron, kultur jaringan, atau teknik lain
9
diperlukan. Jaringan yang cukup harus diambil untuk mengantisipasi kesulitan
diagnostik tersebut.
5. Penting untuk menandai area tumor tententu untuk menjadi penanda spesimen oleh
patologist. Fiksatif tertentu baik untuk digunakan pada jenis dan ukuran tumor
tententu.
6. Penempatan klip radioopak saat biopsi dan prosedur staging terkadang penting
untuk menandai area tumor dan memandu terapi radiasi pada area ini.
Spesimen yang telah diambil dari pasien harus ditempatkan pada kontainer
spesimen dengan label dan stiker yang jelas. Menurut U.S. Occupational Safety and
Health Administration (OSHA) menyaratkan bahwa semua spesimen harus ditempatkan
pada kontainer sekunder sebelum diantar ke laboratorium, misalnya kantung plastik
biohazard.3
Metode Diagnosis Patologi Tumor
Metode-metode diagnosis patologi tumor adalah sebagai berikut:3
1. Potongan blok parafin ( paraffin-embedded tissue section )
Metodenya adalah jaringan sampel didehidrasi kemudian ditanam dalam parafin
padat, lalu dipotong, diwarnai (hematosilineosin/ H-E) diperiksa dibawah mikroskop
untuk dibuat diagnosis.
2. Potongan Beku ( frozen section / vriescope )
Caranya adalah mengambil sekeping kecil jaringan segar, tidak perlu difiksasi,
dibawa kebagian patologi untuk dicetak beku secara cepat, diwarnai dan diagnosis.
Umumnya proses membutuhkan waktu 30 menit.
Kegunaan potong beku adalah (1) bilamana diagnosis belum dapat dipastikan
sebelum operasi. Saat operasi perlu mengetahui sifat lesi untuk menentukan teknik
terapinya, (2) saat operasi perlu mengetahui secara pasti luas infiltrasi lesi, untuk
menetapkan batas operasi, (3) untuk mengetahui apakah suatu lesi diluar tumor
termasuk metastase tumor (4) untuk memastikan ada tidaknya rudapaksa, terhadap
jaringan normal (misalnya terhadap ureter dan lain-lain) atau memastikan biopsi terlah
mendapatkan jaringan tumor.
10
Karena potongan beku waktunya mendesak, jaringan belum sempat difiksasi.
Desikasi, dan tahapan awal lain. Hingga pewarnaan sedian kurang baik dan lain-lain.
Maka ketepatan diagnosis lebih rendah dari potongan blok parafin. Potongan beku tidak
boleh menggantikan diagnosis dari potongan blok parafin. Biopsi spesimen kecil tidak
sesuai dibuat potongan beku. Tulang dan jaringan kalsifikasi juga tidak sesuai untuk
potongan beku karena terlalu keras tidak dapat dipotong.
3. Diagnostik sitologi
Ini adalah metode mengambil sel dari jaringan tumor, dibuat pulasan diwarna
(PAS atau H-E) kemudian diperiksa morfologinya untuk membuat diagnosis. Menurut
cara pengambilan sampel dapat dibagi menjadi sitologi eksfoliatif untuk tumor
dipermukaan tubuh, rongga tubuh, atau di dalam saluran yang berhubungan dengan
permukaan tubuh; dan sitologi pungsi untuk tumor padat.
4. Tehnik Histokimia
Ini adalah metode menggunakan afinitas terhadap berbagai zat warna kimiawi
yang berbeda dari berbagai sel dan produknya. Dengan tehnik reaksi kimiawi dapat
diperlihatkan komponen atau produk kimiawi spesifik didalam sel untuk membantu
diagnosis dan klasifikasi terhadap suatu kelainan, tehnik pewarnaan histokimia terdapat
lebih edari 100 macam, yang sering dipakai adalah (1) pewarnaan retikulin; (2)
pewarnaan fibrin;(3) pewarnaan otot lurik;(4) pewarnaan glikogen; (5) pewarnaan
musin; (6) pewarnaan lipid (7) pewarnaan melanin;(8) pewarnaan tahan asam, dan lain
lain.
5. Tehnik imunohistokimia (IHC)
Prinsip IHC adalah reaksi antigen-antibodi, yaitu menggunakan reaksi antibodi
yang sudah diketahui bereaksi dengan antigen targer dalam jaringan yang akan
diperiksa. Hingga terbentuk komplek antigen-antibodi. Dengan membuat komplek itu
menampilkan warna, maka dapat dibuktikan keberadaan antigen target itu. Peranan IHC
dalam diagnosis dan terapi tumor adalah sebagai berikut:
a. Diagnosis dan diagnosis banding tumor karena adanya heterogenitas pada tumor
yang sama dan adanya banyak kemiripan pada tumor yang berbed, banyak tumor
11
terutama yang berdeferensiasi buruk sulit ditentukan arah deferensiasinya secara
morfologi. Misalnya tumor jenis sel kecil (dapat berupa karsinoma sel kecil,
berbagai sarkoma sel kecil. Limfoma maligna, melanoma maligna, dan lain-
lain). Tumor sel peomorfik atau sel spindel sulit sekali diagnosisnya. Dengan
tehnik IHC. Diagnosis dan klasifikasi tumor demikian dapat menjadi lebih jelas,
misalnya saluran pencernaan mempunyai berbagai jenis tumor sel spindel.
Dengan antibodi CD117, CD34, S-100, desmin, dapat dibedakan tumor stroma
gastrointestinal (GIST) yang mengekspresikan CD 117, CD 34,
leiomioma/arkoma yang mngekspresikan desmin, neurilemoma/neurilemoma
maligna yang mengekspresikan protein S-100 .
b. Menentukan lokasi primer kanker matastatik: tumor matastatik kelenjar limfe
atau bagian lainnya kadangkala hanya mengandalkan morfologi. Dibawah
mikroskop suara cahaya sulit ditentukan lokasi primernya . IHC dapat
membantu menentukan asal sebagian tumor tersebut, misalnya tiroglobulin
(TG), antigen spesifik prostat (PSA), alfafetoprotein (AFP) fosfatase alkali
plasenta (PLAP) dan lain-lain. Memastikan matastasis dari karsinoma tiroid,
karsinoma prostat, hepatoma atau tumor sel germinal. Antigen spesifik jaringan
seperti ini masih sedikit jumlahnya.
c. Diagnosis dan klasifikasi limfoma maligna: kecuali limfoma hodgkin dan
limfoma folikular yang bentuknya sangat tipikal, dalam hal diagnosis dan
klasifikasi limfoma maligna terutama limfoma non hodgkin nyaris tidak dapat
meninggalkan IHC. Metode klasifikasi paling umum dewasa ini adalah metode
klasifikasi menurut WHO tahun 2000. Berdasarkan klasifikasi Lukes yang
megklasifikasikan tumor jaringan hematolimfoid berdasarkan gabungan
perubahan morfologi, manifestasi imunitas, kelainan genetik, manifestasi klinis
dan prognosis. Diantaranya, limfoma non hodgkin dapat diklasifikasikan
menjadi limfoma pra-sel B dan sel T. Limfoma sel B matur. Limfoma sel T
matur dan sel NK. Dan limfoma histiositik dan sel dendritik yang lebih jarang
ditemukan. Limfoma hodgkin diklasifikasikan menjadi dua golongan besar,
yaitu tipe predominan limfosit nodular dan tipe klasik (termasuk tipe
nodulosklerosis, tipe sel campuran, tipe predominan limfosit, tipe deplesi
12
limfosit). Sudah tersedia 100 lebih jenis antibodi seri CD dan antibodi lain yang
tepat yang dapat dipakai untuk diagnosis dan klasifikasi limfoma.
d. Memperkirakan tabiat biologis tumor dan memberikan dasar bagi penentuan
terapi secara klinis: misalnya pemeriksaan terhadap ekskresi berbagai onkogen,
gen resisten obat multiple (MDR) dan gen reseptor hormon.
Pembacaan Gambaran Makroskopis
Dengan penglihatan mata biasa diperhatikan jaringan tumor tersebut.
Bagaimana bentuk dan morfologi tumor, warna, adanya nekrotik, adanya perdarahan.
Secara makroskopik juga dapat ditentukan ada tidaknya sampai tumor, adanya
pertumbuhan yang infiltratif, konsistensinya, apakan jaringan tumor rapuh atau tidak,
dan ukuran tumor.
Pembacaan Gambaran Mikroskopis
Perbedaan mikroskopis khas antara tumor jinak dan ganas dapat dilihat pada
tabel berikut:
Gambaran morfologi Jinak Ganas
Jaringan Tersusun Tidak tersusun
Arsitektur Mirip jaringan asal Kurang atau sama sekali
tidak mirip dengan
jaringan asal
Perubahan sekunder Jarang atau tidak ada Nekrosis, perdarahan
Sel Berdeferensiasi baik Berdeferensiasi buruk
Ukuran, bentuk Seragam Pleomorfik
Inti Serupa dengan normal Atipik
Ukuran, bentuk Reguler Ireguler
Kromatin Tersebar merata
Nukleolus Tidak jelas Menonjol, banyak
Mitosis Sedikit Banyak, ireguler
13
Dengan mikroskop elektron, sel-sel tumor jinak memiliki sitoplasma yang
berkembang baik dan mengandung organel-organel yang biasa ditemukan pada jaringan
normal yang sesuai. Tumor ganas terdiri dari sel-sel yang hanya sedikit mirip dengan sel
normal inti sel-sel ini pleomorfik dan bervariasi dalam ukuran, bentuk, dan distribusi
kromatinnya. Sitoplasma sel tumor maligna biasanya mengandung lebih sedikit organel
dari sitoplasma sel normal.
Sebuah metode dasar untuk mengklasifikasikan kanker berdasarkan karakteristik
histologis atau selular nya adalah dengan klasifikasi Broder’s:3
1. Grade I: tumor menunjukkan kecenderungan untuk berdiferensiasi; ≥ 75% sel-sel berdiferensiasi.
2. Grade II: 75%-50% sel-sel berdiferensiasi, displasia ringan hingga sedang dan metaplasia.
3. Grade III: 50%-25% sel-sel berdiferensiasi, displasia berat, atipikal, dan kanker in situ.
4. Grade IV: 25%-0% sel-sel berdiferensiasi
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Brunicardi FC, Andersen DK, Biliar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE.
Oncology, in Schwartz’s Principles of Surgery. 8th ed, Philadelphia. The McGraw-Hill
Companies. 2007
2. Townsend, Beauchamp, Evers, Mattox. Section V-Surgical Oncology; Sabiston
Textbook of Surgery. 18th ed. California. Saunders, An Imprint of Elsevier. 2007
3. Fischbach F, Dunning MB. A Manual of Laboratory and Diagnostic Tests. 8th ed.
Philladelphia. Lippincott William & Wilkins. 2009
4. Robin R, Roberts F, MacDuff E. Pathology Illustrated. Pathology Illustrated. 7th ed.
Elsevier: Churchill Livingstone. 2011
5. De Vita V.T. Jr. Hellman S, Rosenberg A.A.: Cancer principles and practice of
oncology, vol 1. 8th ed, Philladelphia. Lippincott Raven Publisher. 2008
6. Ddesen W, Japaries W. Onkologi Klinis, Edisi 2. Jakarta, FK-UI. 2008
7. Pant VSM CS. Atlas of Breast Imaging With Mammography, Ultrasound & MRI
Correlation. Jaypee, New Delhi, 2011.
15