bisnis dalam perspektif iman kristen
TRANSCRIPT
Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 86
Bisnis dalam Perspektif Iman Kristen
Sundoro Tanuwidjaja1, I Putu Ayub Darmawan2 1Sekolah Tinggi Teologi Johanes Calvin, Bali 2Sekolah Tinggi Teologi Simpson, Ungaran, Jawa Tengah [email protected], [email protected]
Abstract: It is a challenge for Christians today in responding to economic developments that continue
to grow and increasingly depress in human life. The author analyzes some literatures by looking at
some relevancy that related to the topic. The author believe that the Bible provides a theological base
for business practice. God himself is a person who is a model of work. When running a business, the
main attention of all effort is to glorify God. In this case, Christians are not controlled by mammon
but rather do business as part of God's mandate.
Keywords: business; Christian faith; theology of work
Abstrak: Tantangan bagi orang Kristen masa kini adalah menyikapi perkembangan ekonomi yang
kemudian terkait dengan isu bisnis. Penulis melakukan analisis pustaka dengan mencermati beberapa
literatur relevan yang terkait topik bahasan. Penulis mencermati bahwa Alkitab memberikan landasan
teologis untuk berbisnis. Allah sendiri adalah pribadi yang menjadi model dalam bekerja. Hanya
dalam menjalankan bisnis, fokus perhatiannya adalah seluruh pekerjaan dilaksanakan sebagai upaya
memuliakan Allah. Dalam hal ini, orang Kristen tidak dikuasai oleh mammon melainkan menjalankan
bisnis sebagai bagian dalam mandat Allah
Kata kunci: bisnis; iman Kristen; teologi kerja
PENDAHULUAN
Tantangan bagi orang Kristen pada masa kini adalah menyikapi perkembangan ekonomi dan
dampaknya terhadap gereja serta masyarakat. Namun perlu dicatat bahwa persoalan ini bukan
hal yang baru terjadi pada abad ini; melainkan sudah menjadi persoalan gereja pada jaman-
jaman yang sebelumnya. Persoalan ini menjadi pembicaraan atau isu yang utama, ketika
dirasakan terjadi suatu ketidakseimbangan ekonomi, di luar atau dalam gereja. Isu kehidupan
ekonomi, mendapat beberapa tanggapan dari beberapa bentuk gereja yang ada. Ada gereja
yang menganggap bahwa ini merupakan bagian dari persoalan gereja, dengan demikian
gereja harus ikut andil di dalamnya sebagai bagian kehidupan umat. Namun ada juga
kelompok gereja yang Injili, yang menganggap bahwa persoalan ini kurang rohani dan tidak
perlu mendapatkan perhatian yang berlebihan. Kelompok ini juga memiliki sudut pandang
ekskatologi yang membangun pengharapan hidup yang kurang memperdulikan kehidupan
yang saat ini. Tanggapan dari beberapa rohaniawan atau pun para pelaku usaha, juga
berbeda-beda, sekalipun sama memiliki dasar panggilan mereka yang dari Tuhan. Dari
pengalaman penulis, ada cukup banyak orang yang berpredikat sebagai Pengusaha
(businessman), namun berbagian cukup besar pada penatalayanan dalam gereja. Tidak sedikit
pula, dapat ditemukan seorang Hamba Tuhan (Pendeta) tapi mereka memiliki berbagai
Jurnal Teologi Kristen
Volume 1, No 2, Mei 2020 (86-98) Available at: http://e-journal.bmptkki.org/index.php/thronos
S. Tanuwidjaja, I P. A. Darmawan: Bisnis dalam Perspektif Iman Kristen
Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 87
bidang usaha sambil tetap melakukan kegiatan pelayanan pastoralnya. Ironisnya, tidak sedikit
seorang Hamba Tuhan saat ini, identik dengan kelimpahan harta yang begitu luar biasa,
dengan dalih merupakan berkat yang Tuhan curahkan atasnya.
Penting bagi orang percaya untuk belajar dari apa yang diajarkan oleh Alkitab,
dengan demikian dapat mulai meletakan dasar kehidupan ekonomi pada pemahaman serta
pengertian yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan dari Alkitab. Dari apa yang penulis
pelajari serta amati paling tidak ada lima gejala yang sedang terjadi di dalam wadah gereja
yaitu: Pertama, persoalan penggangguran. Hal ini juga melanda umat Allah dan menjadi
suatu persoalan yang paling utama hampir di seluruh belahan dunia ini, apakah itu negara
yang sudah maju ataupun yang berkembang; bahkan cenderung meningkat. Sehingga
persoalan ini tidak bisa diabaikan begitu saja, dan beberapa gereja, bahkan berbagian dalam
mendorong jemaat nya untuk menjadi ‘pengusaha’ supaya tercipta lapangan pekerjaan, dalam
hal ini minimal mampu menggurangi persoalan ini. Banyak pemimpin-pemimpin negara
yang mengucurkan dana bermiliaran dolar untuk mengatasi isu ini, namun selama bertahun-
tahun angka ini juga tidak kunjung berkurang tetapi lebih cenderung berfluktuasi yang cukup
signifikan.1 Isu ini dialami oleh warga gereja, dan secara tidak langsung, hal ini cukup
memberikan pengaruh yang cukup signifikan kepada gereja dalam konteks ekonomi. Hal ini
semakin tampak ketika situasi pandemi covid 19 mempengaruhi ekonomi seluruh dunia dan
banyak Negara yang mencoba mencari dukungan keuangan untuk menghadapi persoalan
yang sedang terjadi, baik pada dampak ekonomi maupun mencari dukungan dana kesehatan.2
Kedua, persoalan etos kerja umat Allah. Jika pada awal abad modern, Webber,
menyatakan bahwa kebangkitan perekonomian dunia cukup banyak dipengaruhi oleh negara-
negara yang dipengaruhi oleh Alkitab, yaitu Etos Kerja Protestant.3 Setiap profesi dan
pekerjaan harus dilakukan untuk kemuliaan Allah, uang harus digunakan dengan arif dan
hutang dihindari.4 Namun cukup disayangkan bahwa pada hari ini diberitaksn bahwa para
pelaku kejahatan dalam dunia usaha cukup banyak dari mereka yang menggunakan nama-
nama dan berlatar belakang kekristenan. Tidak banyak gereja yang menekankan pada
pengajaran Mandat Budaya kepada jemaat, sehingga tidak sedikit jemaat yang memiliki
pekerjaan tetap tidak menunjukkan suatu bentuk prestasi yang dibanggakan. Penekanan
makna kerja dengan kehidupan sehari-hari serta kaitannya dengan hidup yang kekal, hampir
tidak banyak disinggung serta diajarkan kepada jemaat.
1Dody Nur Andriyan, Hukum Tata Negara dan Sistem Politik: Kombinasi Presidensial dengan
Multipartai di Indonesia (Yogyakarta: Deepublish, 2016), 128. 2Koran Tempo, “Negara Kaya Siapkan Miliaran Dolar Hadapi Covid-19 - Internasional -
koran.tempo.co,” Tempo, March 19, 2020, sec. internasional, accessed May 25, 2020, https://koran.tempo.co/read/451124/negara-kaya-siapkan-miliaran-dolar-hadapi-covid-19; “Selandia Baru Alokasikan 30 Miliar Dolar Dana Pemulihan Ekonomi,” VOA Indonesia, n.d., accessed May 25, 2020, https://www.voaindonesia.com/a/selandia-baru-alokasikan-30-miliar-dolar-dana-pemulihan-ekonomi/5420964.html.
3Max Webber, Teori Dasar Analisis Kebudayaan (Yogyakarta: IRCiSoD, 2013). 4Jansen Sinamo, Teologi Kerja Modern Dan Etos Kerja Kristiani (Bandung: Bina Media Informasi,
2012), 15.
THRONOS: Jurnal Teologi Kristen, Vol 1, No 2, Mei 2020
Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 88
Ketiga, trend “kebangkitan” kaum awam dalam penatalayanan, khususnya, di
kalangan masyarakat perkotaan.5 Dengan berdasarkan pengalaman di tempat kerjanya serta
relasi usaha yang pernah dibangun, beberapa dari mereka ‘menanggapi’ panggilan mereka
meninggalkan karir dan pekerjaannya dan menjadi seorang Hamba Tuhan yang fultimer.
Persoalannya adalah: 1) biasanya mereka mengandalkan kemampuan (usaha) diri mereka
sendiri yang kemudian diterapkan dalam pelayanan. Padahal kemampuan (usaha) diri dan
pelayanan adalah dua hal yang sangat berbeda sekali. Harus diingat bahwa pelayanan itu
bukan sekedar panggilan, tetapi sebuah peperangan rohani. Manajemen gereja tidak sama
dengan manajemen perusahaan atau organisasi; 2) biasanya mereka tidak memberikan cukup
waktu untuk mempelajari doktrin-doktrin penting iman Kristen, sehingga secara tidak
disadari mereka menggeser pengajaran doktrinal dengan pengalaman dan pikirannya sendiri.
Dasar pengajaran iman Kristen yang sifatnya doktrinal kurang dikuasai sehingga bisa
memberikan efek ketidakkonsistenan dalam pengajarannya; 3) biasanya mereka cenderung
berorientasi apa yang jemaat senangi, darimana memberikan pelajaran kepada jemaat untuk
lebih memahami apa yang Tuhan senang; 4) biasanya mereka memiliki kemampuan dana
yang sudah cukup mapan, sehingga kerap kali kurang menghargai akan kebutuhan maupun
kuasa doa dalam pergumulannya. Kebutuhan pelayanan hanya didukung oleh satu atau dua
orang saja, tanpa melibatkan jemaat; 5) biasanya mereka kurang memperhatikan peraturan-
peraturan Gereja (sinode), dengan berdiri di balik kemandirian Gereja, padahal mereka
sebenarnya tidak mau (suka) kalau ada yang memberikan peraturan; sebaliknya mereka
cenderung mengatur; 6) biasanya mereka terjebak dengan pemikiran kepemilikan Gereja,
sehingga cenderung subyektif pada sang ahli waris; dibandingkan dengan mencari pimpinan
dan kehendak Tuhan secara sungguh-sungguh. Membangun Gereja tidak sama dengan
membangun dinasti. Kalau pun ada mempersiapkan “suksesor”-nya hampir bisa dipastikan
akan tidak obyektif, sebab akan muncul usaha untuk membangun suatu opini di jemaat.
Keempat, gap antara si kaya dengan miskin dalam kalangan Penatalayan. Terjadi
layaknya seperti di dunia sekuler di mana jurang ini kadang sangat memprihatinkan. Ada
beberapa hamba Tuhan yang memiliki ‘kecerdikan’ tersendiri sehingga dia melihat setiap
kesempatan pelayanan sebagai potensi usaha yang bisa dikembangkan; tidak lagi mempe-
dulikan pimpinan dan perkenanan hati Tuhan. Orang-orang yang berada di kelompok ini,
memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) suka minta-mimta dan seringkali tidak lagi merasa
sungkan; 2) membangun kesan agar jemaat timbul belas kasihan kepada yang bersangkutan;
3) tidak suka diuji kalaupun dipertanyakan biasanya gampang tersinggung; 4) tidak ada
pertanggungjawaban yang jelas, cenderung menggampangkan dan marah ketika diperta-
nyakan; 5) cenderung memikirkan kepentingan diri sendiri daripada orang lain yang jauh
membutuhkan. Apakah berarti bahwa seorang Hamba Tuhan tidak boleh (berhak) memiliki
kekayaan? Ini bukan persoalan boleh atau tidak, berhak atau tidak; tetapi ini persoalan
orientasi hati dan potensi kebahayaannya.
5Risnawaty Sinulingga, “Gereja Dan Pelayanan Mahasiswa Kristen : Sebuah Studi Pertumbuhan Gereja
Mula-Mula Dan Implikasinya Bagi Pelayanan Mahasiswa Kristen Di Universitas Sumatra Utara,” Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan 8, no. 2 (2007): 282.
S. Tanuwidjaja, I P. A. Darmawan: Bisnis dalam Perspektif Iman Kristen
Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 89
Kelima, kecemburuan sosial di lingkungan masyarakat terhadap warga gereja.
Dengan berdirinya gedung-gedung gereja yang serba ‘mega’ (mega church). Masyarakat
masih relatif lebih banyak yang berada di bawah taraf yang seharusnya, kemudian gereja
muncul dan berada di tengah-tengahnya tanpa memperdulikan efek psikologis ke masyarakat.
Memang sebuah fakta di bumi Indonesia ini, bahwa masih terjadi diskriminasi terhadap
pembangunan gedung Gereja apabila dibandingkan dengan tempat ibadah lainnya, tetapi hal
ini justru menjadi suatu kontrol agar lebih peka terhadap lingkungan.6 Contoh: Membangun
Gereja, tidak memikirkan tempat parkir dan tidak memikirkan arus lalu lintas, tidak
mempertimbangkan sound efek. Namun persoalan ini, bukan menjadi fokus dari pembahasan
materi ini.
Dari permasalahan di atas, tampak bahwa bisnis merupakan bagian dari kehidupan
orang Kristen. Penulis memandang perlu dikaji tentang bisnis dari perspektif kekristenan
sehingga dapat memberikan kontribusi pemikiran yang kemudian dapat menjadi landasan
dalam hal praktis. Oleh sebab itu, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana
pandangan iman Kristen tentang bisnis? Tujuan penelitian ini adalah untuk memaparkan
pandangan iman Kristen tentang bisnis.
METODE
Penulis menggunakan pendekatan analisis pustaka untuk membahas topik ini. Penulis
mencermati beberapa teks Alkitab yang terkait dengan topik bahasan sehingga memperoleh
gambaran padangan Alkitab tentang bisnis. Penulis juga menggunakan sumber-sumber
pustaka dari jurnal ilmiah dan buku-buku yang terkait teks Alkitab. Hasil analisis kemudian
disajikan secara deskriptif tematis. Pendekatan ini dapat digunakan dalam penelitian teologis
sehingga dapat diperoleh makna dari topik yang diteliti.7
PEMBAHASAN
Tekanan yang Memanipulasi Diri
Ketika seseorang masih kanak-kanak, beberapa kali kali terlintas suatu keinginan agar selalu
cepat-cepat bertumbuh dan ingin menjadi remaja; namun di usia remaja ia kemudian
merindukan agar sesegera mungkin beranjak ke pemuda. Ketika di usia yang muda manusia
sangat rindu akan kedewasaan yang terpikir lebih stabil dan tenang. Tetapi ketika sudah
dewasa, mulailah memikirkan bagaimana menikmati masa pensiun itu; celakanya ketika
sudah beranjak di usia pensiun, tidak sedikit orang yang merindukan masa kekanak-
kanakannya terulang kembali. Dalam keberdosaannya, manusia setiap harinya telah terjebak
dengan berbagai macam tekanan hidup yang memanipulasi diri, yaitu antara lain: 1) Tekanan
prestasi dan pekerjaan, dimana setiap harinya manusia seolah-olah secara otomatis selalu
terpikir apa yang harus dikerjakan hari ini di tempat kerja, bagaimana harus mengerjakannya,
6Albert Steven, Aprilo Gerald Gumansalangi, and Yusiana Eka Prasetiyawati, “Urgensi Pembaharuan
Regulasi Pendirian Rumah Ibadah,” Sapientia Et Virtus 2, no. 1 (2015): 15–25; Zakaria J. Ngelow, “Turut Membina Indonesia Sebagai Rumah Bersama - Peran Gereja Dalam Politik Di Indonesia,” Jurnal Jaffray 12, no. 2 (October 2, 2014): 213–234.
7Sonny Eli Zaluchu, “Strategi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Di Dalam Penelitian Agama,” Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat 4, no. 1 (2020): 28–38.
THRONOS: Jurnal Teologi Kristen, Vol 1, No 2, Mei 2020
Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 90
siapa yang harus dihubungi, bagaimana menyelesaikan yang tertunda hari sebelumnya, apa
yang harus disampaikan sebagai laporan hari ini, dan seterusnya.
Kesemuanya ini bila ditarik ujung persoalannya adalah sebuah tekanan yang
menyangkut bagaimana menampilkan diri dalam pencapaian prestasi diri dalam pekerjaan; 2)
Tekanan Teknologi, dimana setiap saat sudah dipengaruhi oleh dunia yang serba berteknologi
tinggi sehingga sulit dilepaskan dari kehidupan sehari-harinya. Mulai dari membuka mata di
pagi hari sampai dengan menutup mata pada waktu tidur, akan terus menerus dipengaruhi
dengan lancar atau tidaknya teknologi yang ada disekitar8; 3) Tekanan hubungan dan
komunikasi. Kehidupan manusia saat ini terkait dengan gaya hidup on-line yang setiap saat
selalu seakan menjadi suatu “Keharusan” (baca: gangguan), dan sedikit banyak berakhir
menjadi suatu bentuk tekanan dalam kehidupan. Relasi bisa menjadi suatu hambatan namun
juga bisa menjadi ‘jembatan’ bagi seseorang dalam mengatasi kesulitannya dalam hal
mencari pekerjaan9; 4) Tekanan keluarga, persoalan ini (baik yang masih bujang/menikah)
dialami oleh semua orang dan secara tidak disadari menjadi beban dalam kehidupan; 5)
Tekanan komunitas masyarakat. Secara tidak disadari manusia bisa hidup dari apa yang
dikata oleh orang disekitarnya dan kondisi masyarakat juga membentuk pola pikir dan
karakter hidup sehingga hal ini bisa menjadi bentuk tekanan dalam kehidupan.
Alasan mengapa hal-hal di atas dikatakan sebagai tindakan memanipulasi adalah,
karena sebagian besar manusia selalu melakukan usaha-usaha yang menutupi tekanan-
tekanan tersebut dari luar kehidupan yang sebenarnya mungkinnya sendiri ingin menjerit,
terlepas, membebaskan diri atau terpisah dari tuntutan-tuntutan tersebut.10 Ekstrimnya, ada
orang yang tidak bisa bertahan untuk bertumbuh dalam mengatasi hal ini, lalu bunuh diri.
Ada beberapa tindakan yang dilakukan sehingga menimbulkan tekanan, antara lain: 1) Ada
orang yang dengan memacu dirinya sebagai modal untuk memotivasi dirinya,; 2) Ada yang
dengan mengambil kursus ini/itu atau mengikuti seminar/pelatihan sini/sana; 3) Ada yang
dengan melakukan aktivitas spiritual, semedi, meditasi dan retreat, dsb; 4) Ada yang dengan
menunjukkan gaya hidup yang berfoya-foya, serba mahal, tebar pesona sana/sini; 5) Ada
yang dengan membius diri, dengan mabuk, dengan narkoba, dengan berselingkuh, dsb. Hal
itu dapat menyebabkan kehilangan atau sedang mengalam suatu krisis identitas diri, ketika
melakukan tindakan-tindakan yang manipulatif itu agar bisa terus ‘tampil’ seperti yang
sebagaimana adanya.
Timbullah suatu pertanyaan yang besar yaitu apakah tujuan hidup ini? Mengapa saya
ini ada? Untuk apa saya hidup? Kemana setelah saya pergi dibalik kematian itu? Hasrat untuk
mengenali Diri, akan sangat terkait dengan pengenalan akan ‘Siapa Allah’ karena manusia
tidak akan pernah mampu mengenali dirinya sendiri tanpa pengetahuan akan Allah. Begitu
juga manusia tidak akan pernah bisa mengenal Allah tanpa mengenali dirinya sendiri.
‘Siapakah saya?’ adalah pertanyaan awal yang harus dituntaskan terlebih dahulu sebelum
8Daniel Ronda, “Kepemimpinan Kristen Di Era Disrupsi Teknologi,” Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan
Pembinaan Warga Jemaat 3, no. 1 (2019): 1–8. 9Ruat Diana, “Peran Komunikator Kristen Dalam Strategi Pekabaran Injil Di Era Revolusi Industri 4.0,”
Integritas: Jurnal Teologi 1, no. 1 (June 26, 2019): 66–73. 10M. Mulyaningsih and Tinneke Hermina, Etika Bisnis (Bandung: KIMFA MANDIRI, 2017), 32.
S. Tanuwidjaja, I P. A. Darmawan: Bisnis dalam Perspektif Iman Kristen
Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 91
bisa menjawab ‘Siapakah Allah?’ seperti yang dikatakan oleh John Calvin, bahwa ada
keterkaitan erat antara pengetahuan diri dengan pengetahuan akan Allah.11 Pengenalan Diri
jangan dilihat secara antroposentris, seperti yang saat ini lagi ngetrend, yaitu “Be Yourself.”
Persoalannya, bagaimana be yourself itu? Hal ini perlu dilihat secara teosentris, karena
manusia ini dicipta serupa dan segambar dengan Allah, dan manusia dicipta sebagai makhluk
yang dependensi bukan yang independen dan mandiri. Itu sebabnya manusia akan selalu
mencari panutan, contoh, teladan itu sama artinya bahwa ada kebergantungan kepada yang
lain [makhluk sosial]. Dengan demikian sebenarnya manusia harus kembali kepada rupa dan
gambar Allah, sumber dari segala sesuatu, itu merupakan realitas yang paling valid, yaitu
bergantung pada Allah.12
Istilah be yourself, juga seringkali menjadi suatu ketakutan dan usaha untuk menjadi
beda dari yang lain; padahal tampil yang berbeda dari yang biasa (abnormal) bisa menjadi
bentuk pertumbuhan yang tidak baik. Menjadi ‘biasa’ justru diperlukan keberanian yang
tersendiri daripada yang ‘luar biasa’. Banyak orang yang terobsesi menjadi yang ‘luar biasa’
sehingga terus menerus mengejar ‘sukses’ – maka mereka yang seperti ini seringkali juga
frustrasi karena ‘sukses’ itu tidak pernah mereka capai bak fatamorgana saja. ‘sukses’,
‘bahagia’ atau ‘keberhasilan’ seharusnya bukan ditempatkan sebagai tujuan, tetapi itu
merupakan progres atau proses yang terus-menerus sampai akhir hayat. Pada saat
menempatkan diri sebagai orang yang ‘Luar Biasa’, maka manusia akan terus menerus
dipacu untuk mengeksploitasi diri habis-habisan, sehingga secara tidak sadar manusia telah
menggantinya dengan waktu dan makna hidup itu sendiri. Contohnya: kerja keras, melebihi
batas waktu sehingga kehilangan waktu kebersamaan dengan keluarga dan masyarakat, dan
juga dengan diri sendiri.
Pandangan Alkitab
Bisnis atau melakukan praktek usaha itu sendiri bukan suatu tindakan yang salah dan bukan
suatu tindakan yang tidak disukai oleh Allah. Alkitab memberikan bukti bahwa konsekuensi
manusia diciptakan oleh Allah serupa dan segambar dengan Diri-Nya sendiri (Kej. 1:26-27),
maka manusia merupakan makhluk yang selalu berkarya. Perlu dilihat beberapan pandangan
yang Alkitab ajarkan landasan yang paling pokok berkaitan dengan hal ini.13 Manusia adalah
makhluk ciptaan, ini berarti bahwa manusia dicipta, sehingga membawa pengertian yang
lebih mendalam bahwa Sang Pencipta itu ada dan manusia bukanlah Sang Pencipta.
Penciptaan itu adalah suatu realitas logis dan prinsip dasar ini harus menjadi ladasan yang
pasti bagi setiap pertumbuhan, baik secara pribadi/institusi.
Dasar pemikiran itu sangat jelas ditemukan dari pembacaan Alkitab, selain dari itu
bisa ditemukan ada beberapa hal yang penting yaitu: 1) Keberadaan Diri (self existence),
yaitu pribadi yang diciptakan serupa dan segambar dengan Allah sendiri, ini menunjukkan
11Daniel Lucas Lukito, “500 Tahun Yohanes Calvin : Pengetahuan Tentang Allah Adalah Testing Ground
Untuk Mengenal Manusia,” Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan 10, no. 1 (2009). 12David W. Hall and Matthew D. Burton, Calvin Dan Perdagangan: Kuasa Tranformasi Calvinisme
Dalam Ekonomi Pasar, Cetakan pertama, September 2015., Seri Calvin 500 (Surabaya: Momentum, 2015). 13Sinamo, Teologi Kerja Modern Dan Etos Kerja Kristiani, 15; Hall and Burton, Calvin Dan
Perdagangan, 11–15; Herman J. Selderhuis, Buku Pegangan Calvin (Surabaya: Momentum, 2017), 298–299.
THRONOS: Jurnal Teologi Kristen, Vol 1, No 2, Mei 2020
Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 92
bahwa Manusia adalah makhluk yang paling mulia dibandingkan dengan ciptaan yang
lainnya;14 2) Keberadaan pernikahan (marriage existence), lembaga keluarga merupakan
inisiatif dari Allah maka hal ini merupakan hal yang baik di mata Allah. Keluarga merupakan
komponen yang paling inti dalam sebuah komunitas, Allah sangat menaruh perhatian-Nya
kepada lembaga ini. Maka sudah sepatutnyalah orang Kristen pun juga menaruh rasa hormat
atas lembaga ini. Tetapi setelah kejatuhan manusia dalam dosa, lembaga ini akhirnya menjadi
suatu ‘neraka’ kecil yang membawa manusia semakin dekat dengan neraka yang aslinya15; 3)
Keberadaan kerja (work existence), termasuk dalam bisnis dan ekonomi, bekerja bukan
sekedar bertujuan untuk melangsungkan kehidupan ini saja tetapi juga menjadi suatu
identitas diri dari manusia itu sendiri; 4) Keberadaan kekuasaan (power existence), perintah
untuk berkuasa juga harus dibarengi dengan pengelolaan [manajemen] yang baik, tidak
sekedar eksploitasi besar-besaran demi kepentingan diri; 5) Keberadaan waktu atau sejarah
(time existence), untuk enam hari Allah melakukan karya-Nya dan semuanya itu dilihat-Nya
sungguh sanggat baik maka diberkatilah pada hari ketujuh semua ciptaan-Nya itu, waktu
disini adalah kesementaraan maka secara paradok hal ini termasuk di dalamnya tentang
kekekalan; 6) Keberadaan Allah Sang Pencipta (creator exixtence), keberadaan yang mutlak
harus ada dan sulit untuk disangkali bahwa Dia memang ada; yang merupakan sumber dari
segala sesuatu yang ada ini.16
Dalam perjalanan hidup manusia secara faktual merupakan suatu upaya untuk
mencari arti dan tujuan hidupnya, sehingga kesuksesan menjadi suatu ukuran menggantikan
segala sesuatu. Maka tidak heran banyak manusia yang belajar bagaimana untuk mencapai
kesuksesan itu dan dengan segenap hidupnya itu dibayarkan, tetapi ketika apa yang dianggap
sukses itu didapatkan betapa kecewanya, karena akhirnya dia kehilangan moment-moment
yang jauh lebih berharga bagi makna hidupnya itu sendiri.
Alasan Teologis untuk Berbisnis
Argumen teologis berkaitan tentang bekerja adalah: Pertama, Natur Allah sendiri adalah
Allah yang bekerja (Kej 1:1, 27; 2:2-3).17 Ketika teliti lebih jauh, Alkitab mengajarkan bahwa
Allah seringkali digambarkan sebagai Gembala, Penjunan, Ahli Bangunan, Petani, Penenun,
Pemusik. Hal ini menunjukkan bahwa natur Allah adalah Allah yang bekerja. Kedua,
Manusia dicipta (dilahirkan) bekerja untuk melakukan pekerjaan bersama dengan Allah, ini
merupakan sebuah implikasi dari dicipta serupa dan segambar dengan Allah yaitu bagaimana
manusia seharusnya menyatakan serta mencerminkan Pribadi Allah melalui dalam dirinya,
termasuk dalam wilayah bekerja. Kenyataan ini adalah diberikan manusia sebuah mandat
untuk berkuasa atas segala ciptaan Allah di dalam taman Eden itu, bahkan manusialah yang
memberikan nama atas binatang-binatang pada waktu itu.18
14Hall and Burton, Calvin Dan Perdagangan, 11–15; Sinamo, Teologi Kerja Modern Dan Etos Kerja
Kristiani, 15. 15Selderhuis, Buku Pegangan Calvin, 365. 16Hall and Burton, Calvin Dan Perdagangan, 11–17. 17Matthew Henry, Kitab Kejadian (Surabaya: Momentum, 2014), 41–42. 18Hall and Burton, Calvin Dan Perdagangan, 20; Sinamo, Teologi Kerja Modern Dan Etos Kerja
Kristiani, 15.
S. Tanuwidjaja, I P. A. Darmawan: Bisnis dalam Perspektif Iman Kristen
Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 93
Ketiga, Kerusakan akibat peristiwa kejatuhan, sehingga manusia harus bersusah
payah untuk mencari rejekinya dan telah merusak empat hubungan, yaitu: 1) hubungan
dengan Allah, yang mana sebelumnya begitu intim kerja sama antara manusia dengan Allah
Tritunggal; maka inilah perpisahan yang pertama antara dunia sekuler dengan rohani; 2)
hubungan dengan diri sendiri, yaitu suatu perasaan keterasingan/ketidaknyamanan yang ada
di dalam diri sehingga sejak itulah manusia terus berusaha agar bagaimana caranya untuk
bisa selalu bisa ‘fit’ (penerimaan diri) dalam segala bidang; 3) hubungan dengan sesamanya,
bahkan dengan pribadi yang terdekat sekalipun terjadi saling lempar tanggungjawab; 4)
hubungan dengan alam, telah terjadi ketidakseimbangan, yang mana seharusnya manusia
mengolah dan mengatur alam, namun sekarang terjadi perusakkan dan eksploitasi yang
besar-besaran terhadap alam.19 Keempat, Allah tetap masih bekerja (Yoh 5:17), karena
melaluinya dunia ini tetap ditopang agar tetap berjalan dan tidak hancur (Ibr. 1:3; Ayub
34:14-15) sampai pada hari anak-anak Allah dinyatakan. Kelima, Karya penebusan Allah
melalui kematian Anak-Nya, Yesus Kristus, orang percaya yang dulu telah jauh kini
diperdamaikan kembali dan melaluinya orang percaya diperbaharui menjadi ciptaan yang
baru di hadapan Allah (Kol 1:15-22).20
Dengan pengertian di atas ini, maka tampak signifikansi kerja bagi orang percaya
adalah terletak pada bagaimana manusia membedakan cara-cara yang mampu
mengekspresikan penatalayanan, pelayanan, kreativitas, kesaksian, menyatakan kebenaran,
pemeliharaan, pemberdayaan dan pembangunan komunitas, keadilan dan kedamaian. Hal ini
tidak berarti bahwa dalam perjalanannya orang Kristen tidak mengalami kesulitan apapun,
namun lebih kepada bagaimana orang Kristen bisa menjadi pengharapan serta dorongan bagi
yang lainnya.
Prinsip Ajaran Tuhan Yesus
Bagian ini menyajikan lebih spesifik dan mendetil dari apa yang Tuhan Yesus ajarkan
berkaitan dengan topik penelitian ini, serta memikirkan bagaimana merefleksikan persoalan-
persoalan dan hubungan antara Iman Kristen dan Bisnis. Salah satu pokok pikiran yang
Tuhan nyatakan sendiri ketika berkotbah di atas bukit (Mat 6:19-24), yaitu tentang
pengumpulan harta ketika masih hidup di Bumi ini. Dari pengajaran Tuhan Yesus inilah bisa
menemukan prinsip-prinsip penting yang bisa menjadi ‘Golden Rules’ dalam menjalankan
hidup usaha kerja.21
Persoalan mengumpulkan harta tidak dilarang, namun di tempat yang salah atau benar
(Mat. 6:19-20). Karena dari poin ini tampak ada dua macam harta dan dua macam tempat
untuk menyimpan (mengumpulkan)-nya.22 Tentu kedua harta dan tempat tersebut memiliki
19Manintiro Uling, “Reafirmasi Monoteisme Trinitarian Terhadap Konsep Henoteisme Dikalangan
Orang Kristen,” Missio Ecclesiae 9, no. 1 (2020): 20–39; Hall and Burton, Calvin Dan Perdagangan, 55–57. 20John Piper, “Yesus Kristus Sebagai Denoument Dari Teater Allah: Calvin Dan Supremasi Kristus Atas
Segala Sesuatu,” in Bersama Calvin Di Dalam Teater Allah, ed. John Piper and David Mathis (Surabaya: Momentum, 2018), 159; Hall and Burton, Calvin Dan Perdagangan, 192–193.
21Yohanes Enci Patandean and Bambang Wiku Hermanto, “Tema-Tema Theologis Khotbah Yesus Di Bukit Dalam Injil Matius 5:1-7:29,” Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat 3, no. 2 (2019): 123–135.
22Ibid.
THRONOS: Jurnal Teologi Kristen, Vol 1, No 2, Mei 2020
Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 94
perbedaan karakter yang sangat signifikan, sehingga memberikan terkait harta yang di bumi
atau yang di surga, jadi kemana harus mengumpulkan harta. Dalam keseharian manusia
menabung uang tentunya tidak ditaruhkan pada sembarangan Bank, demikian juga dalam
hidup kerohanian (iman) manusia.
Persoalan utamanya bukan mengumpulkan harta, namun kecenderungan pada sikap
hati dan arah hidup manusia (Mat. 6:21-23). Karena poin ini mengajarkan bukan sekedar
persoalan tempat dimana harta dikumpulkan, tetapi ini mengingatkan bahwa ada dua
kecenderungan sikap hati dan arah hidup manusia. Pertanyaannya adalah apakah manusia
mengarahkan atau memusatkan seluruh kehidupan pada kegelapan atau terang surgawi?
Ketika seseorang salah menilai dalam hal mempertimbangkan keuntungan dimana ia
menyimpan harta, maka ini bisa mencerminkan apakah ia ada di dalam terang atau
kegelapan. Harus diingat dalam kekristenan manusia telah dipindahkan dari gelap ke terang-
Nya yang ajaib melalui kematian Kristus Yesus, oleh sebab itu cara manusia menilai
seharusnya juga diterangi oleh panggilan surgawi, bukan berpusat pada yang sementara
(duniawi).23 Kristus tidak bertujuan untuk merampas harta manusia, melainkan untuk
mengarahkan manusia dalam menentukan pilihan atas hartanya.
Hasil akhir bukan pada berapa banyak harta yang bisa dikumpulkan, tetapi kepada
siapa manusia sebenarnya mengabdikan diri (Mat. 6:24). Disaat memiliki hasil usaha, maka
akan tampak manusia melakukan bentuk usaha-usaha yang mencerminkan kepada siapa ia
mengabdikan diri. Terlalu banyak orang terjebak dalam penilaian yang salah, sehingga
mereka sebenarnya telah melayani Mamon bukan kepada Allah. Ada beberapa organisasi
Kristen yang mempercayai bahwa ia mampu melayani Allah dan Mamon, itu tergantung
bagaimana mengaturnya. Tetapi perkataan Tuhan Yesus sendiri (sampai dua kali ditekankan),
“tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan... Kamu tidak dapat mengabdi... ” Mamon
dari bahasa Aram, yang berarti ‘keuntungan,’ sesuatu hal yang berpusat pada keuntungan,
kenyamanan, kepuasan pada diri sendiri.
Ketegangan dan Pergeseran Hidup
Dalam keberdosaannya manusia telah sengaja menolak dan menindas kebenaran Allah
dengan tidak mau menerima prinsip-prinsip yang Alkitab ajarkan sehingga menemukan
ketegangan-ketegangan yang muncul dalam hidup manusia, yaitu: Pertama, pembangunan
lumbung yang aman dan cukup besar (Luk. 12:17-21). Terjadi suatu ketegangan akan
pencarian tempat yang aman, yang cukup besar, yang bisa menjadi jaminan yang berjangka
panjang. Padahal tidak kaya di hadapan Allah, adalah suatu kesia-siaan belaka. Muncullah
ketamakan, yang tidak pernah merasa cukup dengan pemeliharaan Allah. Tugas dan
panggilan orang Kristen adalah mencari jiwa-jiwa yang terhilang akibat dosa, dan
memberitakan Kebenaran Allah melalui Injil Yesus Kristus, supaya setiap yang percaya
beroleh hidup yang kekal; bukan pembangunan lumbung.
Kedua, kesalahan menilai dan memaknai hidup yang telah Tuhan anugerahkan,
sehingga terjadi ketegangan (kekuatiran) tentang persoalan yang diperlukan di dalam
kesehariannya. Manusia telah terjebak serta terjerumus dengan penyakit yang sulit untuk
23 Sinamo, Teologi Kerja Modern Dan Etos Kerja Kristiani, 165.
S. Tanuwidjaja, I P. A. Darmawan: Bisnis dalam Perspektif Iman Kristen
Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 95
ditawarkan sepanjang umur hidupnya, kekuatiran. Rasa kuatir bagi sebagian orang pada satu
masa tertentu, bisa diterima sebagai bentuk kewajaran; namun realitanya manusia sulit untuk
melepaskan dari ikatan kekuatiran yang menyangkut dengan yang dimakan, diminum,
dipakai (Luk. 12:25-32). Itu semua yang dicari oleh bangsa-bangsa yang tidak mengenal
Allah. Ketegangan antara yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Hidup orang Kristen
dalam melaksanakan tugas dan panggilan surgawi itu harus dijalankan dengan iman (Rm.
1:17), karena tanpa iman manusia berdosa (Rm. 14:23), karena tanpa iman tidak mungkin
manusia berkenan di hadapan Allah (Ibr. 11:6), karena tanpa iman manusia belum dibenarkan
dan diperdamaikan dengan Allah (Rm. 3:28), bukan karena usahanya.24 Karena imanlah
gunung dipindahkan, bukan karena kekuatiran manusia.
Ketiga, pengabdian yang keliru terjadi pada bentuk penyembahan dalam hidup
manusia, yaitu antara kepada Allah yang menciptakan atau kepada mamon yang ciptaan.
Sehingga orang Kristen tidak lagi mampu melihat bagaimana pemeliharaan Allah atas
ciptaan-Nya, namun cenderung melakukan usaha untuk memelihara diri sendiri, alam dan
ilah (ciptaan). Kekuatiran membawa manusia masuk dalam ketegangan dan pergeseran
adalah: 1) Kekuatiran menggeser posisi Allah, meragukan kemampuan Allah, atau bimbang
dengan kuasa pemeliharaan Allah. Allah memelihara umat-Nya dan hamba-hamba-Nya;
maka dengan sikap yang senantiasa sadar akan pemeliharaan Allah, akan nyata kelimpahan
serta kekayaan kuasa-Nya. Ada banyak bentuk usaha yang berdiri di balik pelayanan, namun
sejatinya adalah pemberhalaan yang bukan Allah (Mat. 7:21-23); 2) Kekuatiran adalah
pemborosan akan anugerah Allah ketika apa yang dikuatirkan tidak terjadi, padahal sudah
cukup lama untuk merenungkan dan memikirkan apa yang sedang dikuatirkan sebelumnya.
Apabila manusia secara jujur mau mengakui bahwa banyak apa yang mereka kuatirkan tidak
menjadi suatu kenyataan seperti yang mereka kuatirkan sebelumnya. Dalam keseharian,
banyak hal yang sebelumnya manusia perlukan, namun setelah milikinya baru kemudian
menyadari bahwa sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan; 3) Kekuatiran adalah cerminan bangsa
yang tidak mengenal Allah, sedangkan orang percaya adalah umat pilihan-Nya. Orang
percaya dijadikan anak-anak-Nya, dan Bapa yang di surga tahu apa yang manusia perlukan.
Bangsa yang tidak mengenal Allah merasa kuatir sebab mereka tidak memiliki jaminan
kepastian untuk hidup yang masa mendatang; sebaliknya mereka hanya mendambakan hal-
hal yang saat ini saja.
Pandangan Paulus
Ada empat hal penting yang dapat diperhatikan dari pandangan Paulus dalam 1 Korintus
7:17-40. Pertama, hidup sesuai dengan panggilannya (1 Kor. 7:17, 20, 24). Dalam konteks
ayat (1 Kor. 7:17-40) ini ada dua persoalan utama, yaitu tanda-tanda keagamaan
(sunat/tidak), dan status sosial (seorang hamba/bebas, menikah/bujang), di sinilah Paulus
ingin menekankan bahwa itu semua tidak terlalu penting, kecuali bagaimana hubungan
dengan Kristus. George menjelaskan bahwa Luther mengungkapkan setiap pekerjaan adalah
panggilan, dunia ini adalah biaranya, maka dari sini dapat dipelajari bahwa apapun status
24Gidion Gidion, “Kecakapan Lulusan Pendidikan Tinggi Teologi Menghadapi Kebutuhan Pelayanan
Gereja Dan Dunia Pendidikan Kristen,” KURIOS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen) 6, no. 1 (2020): 73–86.
THRONOS: Jurnal Teologi Kristen, Vol 1, No 2, Mei 2020
Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 96
sosial harus merupakan panggilan Tuhan dan biarlah setiap manusia masing-masing jujur dan
setia dengan panggilannya masing-masing.25 Setiap panggilan harus dilandasi semangat
inkarnasi (bagi yang di atas) dan tidak perlu minder karena karya Kristus dalam hidup orang
percaya. Kekayaan seseorang bukan terletak pada harta kekayaan atau materi yang dimiliki,
tetapi hidup yang terus mengalirkan berkat Allah bagi orang lain, yaitu kelimpahan dalam
kasih karunia-Nya.
Kedua, adanya kesadaran eskatologis (I Kor. 7:25-29). Dibutuhkan suatu kepekaan
atau kemampuan untuk menilai jaman dan membedakan mana yang berkenan kepada Tuhan
atau tidak. Alkitab menunjukkan bahwa Allah yang murka dan berdaulat, sehingga
kesempatan untuk melayani tidak selamanya akan terus menerus diberikan kepada manusia.
Konteks ayat tersebut berbicara tentang persoalan mereka yang bujang/menikah,
menangis/bersuka, memiliki/tidak, bukan menjadi persoalan utamanya. Karena waktu yang
begitu jahat, begitu singkat; maka pengertian ini harus mendorong untuk bekerja segiat-
giatnya bagi Kerajaan Allah. Pemahaman kesadaran eskatologis, tidak hanya hanya dipahami
akan kedatangan Kristus yang kedua kalinya, tetapi harus juga dipandang sebagai
keterbatasan sebagai manusia, yang juga akan menghadap kepada Tuhan untuk
mempertanggungjawabkan semuanya.
Ketiga, Hidup yang berpusat kepada Tuhan (I Kor. 7:29-34), bukan kepada hal-hal
yang bersifat sementara. Pengertian ini akan menolong untuk lebih memahami apa itu sense
of urgency, suatu kepekaan terhadap sebuah prioritas. Konteksnya mereka yang menikah
terjebak dengan menyenangkan pasangannya, dan berpusat pada apa yang dimiliki/tidak.
Pergeseran ini seharusnya tidak terjadi bagi orang Kristen yang dewasa rohani, dimana pusat
hidupnya tidak lain adalah menyenangkan Tuhan. Hidup yang berpusat pada Tuhan, adalah
kebebasan yang sejati, sekalipun masih ada dalam keterikatan dalam hidup di dunia ini, tetapi
orang Kristen tidak terikat dengan perkara-perkara yang duniawi. Sitompul mengungkapkan
bahwa hidup yang berpusat pada Kristus dimulai dari pengenalan yang benar kepada
Tuhan.26 Itu artinya bahwa, orang percaya akan terus hidup berkarya dengan sukacita karena
mengenal Allah yang memberi mandat bekerja. Manusia muncul sense of urgency-nya itu
ketika: 1) dikejar oleh date-line sehingga tidak lagi menghiraukan yang lainnya, asal bisa
pada waktunya; tapi sebelumnya santai-santai saja; 2) dalam keadaan kritis atau darurat,
sehingga dia hanya fokus pada ‘hidup’ dirinya sendiri ketika terjadi kebakaran. R. Paulus
menasihati dengan “seolah-olah....” Tidak berarti hidup dalam kondisi yang manipulatif;
melainkan pusat hidup yang berfokus pada Tuhan, sehingga mampu mengguasai atas emosi,
kepemilikan materi maupun yang paling pribadi (istri/suami) sekalipun ( I Kor. 7:29-31).
Hidup yang berpusat pada Tuhan melampaui ini semua.
Keempat, Dalam wadah kesementaraan merupakan bentuk kesempatan untuk
menyatakan kehendak Allah serta bagaimana mencerminkan rupa dan gamba Allah, sehingga
hal-hal yang ada di dunia saat ini tidak menjadi halangan, gangguan dan ikatan untuk
25Timothy George, Teologi Para Reformator, Revisi. (Surabaya: Momentum, 2013), 73–75. 26Romianna Magdalena Sitompul, “Makna Perkataan Paulus Tentang Hidup Adalah Kristus Dan Mati
Adalah Keuntungan Berdasarkan Filipi 1:12-26,” Jurnal Jaffray 15, no. 2 (2017): 153–176.
S. Tanuwidjaja, I P. A. Darmawan: Bisnis dalam Perspektif Iman Kristen
Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 97
melakukan itu.27 Kondisi-kondisi yang sementara, susah atau senang, sehat atau sakit, kaya
dan miskin, bujang dan menikah, jangan menjadi penghalang karena Allah mengetahui apa
yang diperlukan dan Dia memelihara umat-Nya. Sebagai seorang Pebisnis atau Penatalayan,
yang paling utama dalam kehidupan yang sementara ini adalah menjalankan kehendak Bapa
di surga, sebab bukan mereka yang menyebut Aku, Tuhan, Tuhan itu yang masuk dalam
Kerajaan Bapa, melainkan mereka yang menjalankan.
KESIMPULAN
Alkitab menunjukkan bahwa pekerjaan adalah bagian dari kehidupan manusia. Allah adalah
teladan dalam bekerja dan Ia terus bekerja memelihara ciptaannya. Itu artinya setiap manusia
harus bekerja, karena sejak diciptakan manusia telah diberi mandate untuk bekerja. Terkait
dengan bisnis, pada prinsipnya bisnis dapat dijalankan tetapi bagi orang Kristen, bisnis tidak
boleh menjadikan manusia mengalihkan penyembahannya pada mammon. Bisnis dijalankan
dengan sukacita karena mandat Allah dan untuk memuliakan Allah. Tantangan dalam
berbisnis juga tidak boleh menyebabkan orang percaya mengalihkan perhatian dan
ketaatannya dari Allah, kepada kekuatiran yang timbul dari berbisnis.
REFERENSI
Andriyan, Dody Nur. Hukum Tata Negara dan Sistem Politik: Kombinasi Presidensial
dengan Multipartai di Indonesia. Yogyakarta: Deepublish, 2016.
Diana, Ruat. “Peran Komunikator Kristen Dalam Strategi Pekabaran Injil Di Era Revolusi
Industri 4.0.” Integritas: Jurnal Teologi 1, no. 1 (June 26, 2019): 66–73.
George, Timothy. Teologi Para Reformator. Revisi. Surabaya: Momentum, 2013.
Gidion, Gidion. “Kecakapan Lulusan Pendidikan Tinggi Teologi Menghadapi Kebutuhan
Pelayanan Gereja Dan Dunia Pendidikan Kristen.” KURIOS (Jurnal Teologi dan
Pendidikan Agama Kristen) 6, no. 1 (2020): 73–86.
Hall, David W., and Matthew D. Burton. Calvin Dan Perdagangan : Kuasa Tranformasi
Calvinisme Dalam Ekonomi Pasar. Cetakan pertama, September 2015. Seri Calvin
500. Surabaya: Momentum, 2015.
Henry, Matthew. Kitab Kejadian. Surabaya: Momentum, 2014.
Lukito, Daniel Lucas. “500 Tahun Yohanes Calvin : Pengetahuan Tentang Allah Adalah
Testing Ground Untuk Mengenal Manusia.” Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan
10, no. 1 (2009).
Mulyaningsih, M., and Tinneke Hermina. Etika Bisnis. Bandung: KIMFA MANDIRI, 2017.
Ngelow, Zakaria J. “Turut Membina Indonesia Sebagai Rumah Bersama - Peran Gereja
Dalam Politik Di Indonesia.” Jurnal Jaffray 12, no. 2 (October 2, 2014): 213–234.
Patandean, Yohanes Enci, and Bambang Wiku Hermanto. “Tema-Tema Theologis Khotbah
Yesus Di Bukit Dalam Injil Matius 5:1-7:29.” Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan
Pembinaan Warga Jemaat 3, no. 2 (2019): 123–135.
Piper, John. “Yesus Kristus Sebagai Denoument Dari Teater Allah: Calvin Dan Supremasi
Kristus Atas Segala Sesuatu.” In Bersama Calvin Di Dalam Teater Allah, edited by
John Piper and David Mathis. Surabaya: Momentum, 2018.
Ronda, Daniel. “Kepemimpinan Kristen Di Era Disrupsi Teknologi.” Evangelikal: Jurnal
Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat 3, no. 1 (2019): 1–8.
Selderhuis, Herman J. Buku Pegangan Calvin. Surabaya: Momentum, 2017.
27 Selderhuis, Buku Pegangan Calvin, 361–362.
THRONOS: Jurnal Teologi Kristen, Vol 1, No 2, Mei 2020
Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 98
Sinamo, Jansen. Teologi Kerja Modern Dan Etos Kerja Kristiani. Bandung: Bina Media
Informasi, 2012.
Sinulingga, Risnawaty. “Gereja Dan Pelayanan Mahasiswa Kristen : Sebuah Studi
Pertumbuhan Gereja Mula-Mula Dan Implikasinya Bagi Pelayanan Mahasiswa
Kristen Di Universitas Sumatra Utara.” Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan 8, no.
2 (2007): 277–288.
Sitompul, Romianna Magdalena. “Makna Perkataan Paulus Tentang Hidup Adalah Kristus
Dan Mati Adalah Keuntungan Berdasarkan Filipi 1:12-26.” Jurnal Jaffray 15, no. 2
(2017): 153–176.
Steven, Albert, Aprilo Gerald Gumansalangi, and Yusiana Eka Prasetiyawati. “Urgensi
Pembaharuan Regulasi Pendirian Rumah Ibadah.” Sapientia Et Virtus 2, no. 1 (2015):
15–25.
Tempo, Koran. “Negara Kaya Siapkan Miliaran Dolar Hadapi Covid-19 - Internasional -
koran.tempo.co.” Tempo, March 19, 2020, sec. internasional. Accessed May 25, 2020.
https://koran.tempo.co/read/451124/negara-kaya-siapkan-miliaran-dolar-hadapi-
covid-19.
Uling, Manintiro. “Reafirmasi Monoteisme Trinitarian Terhadap Konsep Henoteisme
Dikalangan Orang Kristen.” Missio Ecclesiae 9, no. 1 (2020): 20–39.
Webber, Max. Teori Dasar Analisis Kebudayaan. Yogyakarta: IRCiSoD, 2013.
Zaluchu, Sonny Eli. “Strategi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Di Dalam Penelitian
Agama.” Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat 4, no. 1
(2020): 28–38.
“Selandia Baru Alokasikan 30 Miliar Dolar Dana Pemulihan Ekonomi.” VOA Indonesia, n.d.
Accessed May 25, 2020. https://www.voaindonesia.com/a/selandia-baru-alokasikan-
30-miliar-dolar-dana-pemulihan-ekonomi/5420964.html.