bisnis dalam perspektif iman kristen

13
Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 86 Bisnis dalam Perspektif Iman Kristen Sundoro Tanuwidjaja 1 , I Putu Ayub Darmawan 2 1 Sekolah Tinggi Teologi Johanes Calvin, Bali 2 Sekolah Tinggi Teologi Simpson, Ungaran, Jawa Tengah 1 [email protected], 2 [email protected] Abstract: It is a challenge for Christians today in responding to economic developments that continue to grow and increasingly depress in human life. The author analyzes some literatures by looking at some relevancy that related to the topic. The author believe that the Bible provides a theological base for business practice. God himself is a person who is a model of work. When running a business, the main attention of all effort is to glorify God. In this case, Christians are not controlled by mammon but rather do business as part of God's mandate. Keywords: business; Christian faith; theology of work Abstrak: Tantangan bagi orang Kristen masa kini adalah menyikapi perkembangan ekonomi yang kemudian terkait dengan isu bisnis. Penulis melakukan analisis pustaka dengan mencermati beberapa literatur relevan yang terkait topik bahasan. Penulis mencermati bahwa Alkitab memberikan landasan teologis untuk berbisnis. Allah sendiri adalah pribadi yang menjadi model dalam bekerja. Hanya dalam menjalankan bisnis, fokus perhatiannya adalah seluruh pekerjaan dilaksanakan sebagai upaya memuliakan Allah. Dalam hal ini, orang Kristen tidak dikuasai oleh mammon melainkan menjalankan bisnis sebagai bagian dalam mandat Allah Kata kunci: bisnis; iman Kristen; teologi kerja PENDAHULUAN Tantangan bagi orang Kristen pada masa kini adalah menyikapi perkembangan ekonomi dan dampaknya terhadap gereja serta masyarakat. Namun perlu dicatat bahwa persoalan ini bukan hal yang baru terjadi pada abad ini; melainkan sudah menjadi persoalan gereja pada jaman- jaman yang sebelumnya. Persoalan ini menjadi pembicaraan atau isu yang utama, ketika dirasakan terjadi suatu ketidakseimbangan ekonomi, di luar atau dalam gereja. Isu kehidupan ekonomi, mendapat beberapa tanggapan dari beberapa bentuk gereja yang ada. Ada gereja yang menganggap bahwa ini merupakan bagian dari persoalan gereja, dengan demikian gereja harus ikut andil di dalamnya sebagai bagian kehidupan umat. Namun ada juga kelompok gereja yang Injili, yang menganggap bahwa persoalan ini kurang rohani dan tidak perlu mendapatkan perhatian yang berlebihan. Kelompok ini juga memiliki sudut pandang ekskatologi yang membangun pengharapan hidup yang kurang memperdulikan kehidupan yang saat ini. Tanggapan dari beberapa rohaniawan atau pun para pelaku usaha, juga berbeda-beda, sekalipun sama memiliki dasar panggilan mereka yang dari Tuhan. Dari pengalaman penulis, ada cukup banyak orang yang berpredikat sebagai Pengusaha (businessman), namun berbagian cukup besar pada penatalayanan dalam gereja. Tidak sedikit pula, dapat ditemukan seorang Hamba Tuhan (Pendeta) tapi mereka memiliki berbagai Jurnal Teologi Kristen Volume 1, No 2, Mei 2020 (86-98) Available at: http://e-journal.bmptkki.org/index.php/thronos

Upload: others

Post on 30-Nov-2021

17 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bisnis dalam Perspektif Iman Kristen

Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 86

Bisnis dalam Perspektif Iman Kristen

Sundoro Tanuwidjaja1, I Putu Ayub Darmawan2 1Sekolah Tinggi Teologi Johanes Calvin, Bali 2Sekolah Tinggi Teologi Simpson, Ungaran, Jawa Tengah [email protected], [email protected]

Abstract: It is a challenge for Christians today in responding to economic developments that continue

to grow and increasingly depress in human life. The author analyzes some literatures by looking at

some relevancy that related to the topic. The author believe that the Bible provides a theological base

for business practice. God himself is a person who is a model of work. When running a business, the

main attention of all effort is to glorify God. In this case, Christians are not controlled by mammon

but rather do business as part of God's mandate.

Keywords: business; Christian faith; theology of work

Abstrak: Tantangan bagi orang Kristen masa kini adalah menyikapi perkembangan ekonomi yang

kemudian terkait dengan isu bisnis. Penulis melakukan analisis pustaka dengan mencermati beberapa

literatur relevan yang terkait topik bahasan. Penulis mencermati bahwa Alkitab memberikan landasan

teologis untuk berbisnis. Allah sendiri adalah pribadi yang menjadi model dalam bekerja. Hanya

dalam menjalankan bisnis, fokus perhatiannya adalah seluruh pekerjaan dilaksanakan sebagai upaya

memuliakan Allah. Dalam hal ini, orang Kristen tidak dikuasai oleh mammon melainkan menjalankan

bisnis sebagai bagian dalam mandat Allah

Kata kunci: bisnis; iman Kristen; teologi kerja

PENDAHULUAN

Tantangan bagi orang Kristen pada masa kini adalah menyikapi perkembangan ekonomi dan

dampaknya terhadap gereja serta masyarakat. Namun perlu dicatat bahwa persoalan ini bukan

hal yang baru terjadi pada abad ini; melainkan sudah menjadi persoalan gereja pada jaman-

jaman yang sebelumnya. Persoalan ini menjadi pembicaraan atau isu yang utama, ketika

dirasakan terjadi suatu ketidakseimbangan ekonomi, di luar atau dalam gereja. Isu kehidupan

ekonomi, mendapat beberapa tanggapan dari beberapa bentuk gereja yang ada. Ada gereja

yang menganggap bahwa ini merupakan bagian dari persoalan gereja, dengan demikian

gereja harus ikut andil di dalamnya sebagai bagian kehidupan umat. Namun ada juga

kelompok gereja yang Injili, yang menganggap bahwa persoalan ini kurang rohani dan tidak

perlu mendapatkan perhatian yang berlebihan. Kelompok ini juga memiliki sudut pandang

ekskatologi yang membangun pengharapan hidup yang kurang memperdulikan kehidupan

yang saat ini. Tanggapan dari beberapa rohaniawan atau pun para pelaku usaha, juga

berbeda-beda, sekalipun sama memiliki dasar panggilan mereka yang dari Tuhan. Dari

pengalaman penulis, ada cukup banyak orang yang berpredikat sebagai Pengusaha

(businessman), namun berbagian cukup besar pada penatalayanan dalam gereja. Tidak sedikit

pula, dapat ditemukan seorang Hamba Tuhan (Pendeta) tapi mereka memiliki berbagai

Jurnal Teologi Kristen

Volume 1, No 2, Mei 2020 (86-98) Available at: http://e-journal.bmptkki.org/index.php/thronos

Page 2: Bisnis dalam Perspektif Iman Kristen

S. Tanuwidjaja, I P. A. Darmawan: Bisnis dalam Perspektif Iman Kristen

Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 87

bidang usaha sambil tetap melakukan kegiatan pelayanan pastoralnya. Ironisnya, tidak sedikit

seorang Hamba Tuhan saat ini, identik dengan kelimpahan harta yang begitu luar biasa,

dengan dalih merupakan berkat yang Tuhan curahkan atasnya.

Penting bagi orang percaya untuk belajar dari apa yang diajarkan oleh Alkitab,

dengan demikian dapat mulai meletakan dasar kehidupan ekonomi pada pemahaman serta

pengertian yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan dari Alkitab. Dari apa yang penulis

pelajari serta amati paling tidak ada lima gejala yang sedang terjadi di dalam wadah gereja

yaitu: Pertama, persoalan penggangguran. Hal ini juga melanda umat Allah dan menjadi

suatu persoalan yang paling utama hampir di seluruh belahan dunia ini, apakah itu negara

yang sudah maju ataupun yang berkembang; bahkan cenderung meningkat. Sehingga

persoalan ini tidak bisa diabaikan begitu saja, dan beberapa gereja, bahkan berbagian dalam

mendorong jemaat nya untuk menjadi ‘pengusaha’ supaya tercipta lapangan pekerjaan, dalam

hal ini minimal mampu menggurangi persoalan ini. Banyak pemimpin-pemimpin negara

yang mengucurkan dana bermiliaran dolar untuk mengatasi isu ini, namun selama bertahun-

tahun angka ini juga tidak kunjung berkurang tetapi lebih cenderung berfluktuasi yang cukup

signifikan.1 Isu ini dialami oleh warga gereja, dan secara tidak langsung, hal ini cukup

memberikan pengaruh yang cukup signifikan kepada gereja dalam konteks ekonomi. Hal ini

semakin tampak ketika situasi pandemi covid 19 mempengaruhi ekonomi seluruh dunia dan

banyak Negara yang mencoba mencari dukungan keuangan untuk menghadapi persoalan

yang sedang terjadi, baik pada dampak ekonomi maupun mencari dukungan dana kesehatan.2

Kedua, persoalan etos kerja umat Allah. Jika pada awal abad modern, Webber,

menyatakan bahwa kebangkitan perekonomian dunia cukup banyak dipengaruhi oleh negara-

negara yang dipengaruhi oleh Alkitab, yaitu Etos Kerja Protestant.3 Setiap profesi dan

pekerjaan harus dilakukan untuk kemuliaan Allah, uang harus digunakan dengan arif dan

hutang dihindari.4 Namun cukup disayangkan bahwa pada hari ini diberitaksn bahwa para

pelaku kejahatan dalam dunia usaha cukup banyak dari mereka yang menggunakan nama-

nama dan berlatar belakang kekristenan. Tidak banyak gereja yang menekankan pada

pengajaran Mandat Budaya kepada jemaat, sehingga tidak sedikit jemaat yang memiliki

pekerjaan tetap tidak menunjukkan suatu bentuk prestasi yang dibanggakan. Penekanan

makna kerja dengan kehidupan sehari-hari serta kaitannya dengan hidup yang kekal, hampir

tidak banyak disinggung serta diajarkan kepada jemaat.

1Dody Nur Andriyan, Hukum Tata Negara dan Sistem Politik: Kombinasi Presidensial dengan

Multipartai di Indonesia (Yogyakarta: Deepublish, 2016), 128. 2Koran Tempo, “Negara Kaya Siapkan Miliaran Dolar Hadapi Covid-19 - Internasional -

koran.tempo.co,” Tempo, March 19, 2020, sec. internasional, accessed May 25, 2020, https://koran.tempo.co/read/451124/negara-kaya-siapkan-miliaran-dolar-hadapi-covid-19; “Selandia Baru Alokasikan 30 Miliar Dolar Dana Pemulihan Ekonomi,” VOA Indonesia, n.d., accessed May 25, 2020, https://www.voaindonesia.com/a/selandia-baru-alokasikan-30-miliar-dolar-dana-pemulihan-ekonomi/5420964.html.

3Max Webber, Teori Dasar Analisis Kebudayaan (Yogyakarta: IRCiSoD, 2013). 4Jansen Sinamo, Teologi Kerja Modern Dan Etos Kerja Kristiani (Bandung: Bina Media Informasi,

2012), 15.

Page 3: Bisnis dalam Perspektif Iman Kristen

THRONOS: Jurnal Teologi Kristen, Vol 1, No 2, Mei 2020

Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 88

Ketiga, trend “kebangkitan” kaum awam dalam penatalayanan, khususnya, di

kalangan masyarakat perkotaan.5 Dengan berdasarkan pengalaman di tempat kerjanya serta

relasi usaha yang pernah dibangun, beberapa dari mereka ‘menanggapi’ panggilan mereka

meninggalkan karir dan pekerjaannya dan menjadi seorang Hamba Tuhan yang fultimer.

Persoalannya adalah: 1) biasanya mereka mengandalkan kemampuan (usaha) diri mereka

sendiri yang kemudian diterapkan dalam pelayanan. Padahal kemampuan (usaha) diri dan

pelayanan adalah dua hal yang sangat berbeda sekali. Harus diingat bahwa pelayanan itu

bukan sekedar panggilan, tetapi sebuah peperangan rohani. Manajemen gereja tidak sama

dengan manajemen perusahaan atau organisasi; 2) biasanya mereka tidak memberikan cukup

waktu untuk mempelajari doktrin-doktrin penting iman Kristen, sehingga secara tidak

disadari mereka menggeser pengajaran doktrinal dengan pengalaman dan pikirannya sendiri.

Dasar pengajaran iman Kristen yang sifatnya doktrinal kurang dikuasai sehingga bisa

memberikan efek ketidakkonsistenan dalam pengajarannya; 3) biasanya mereka cenderung

berorientasi apa yang jemaat senangi, darimana memberikan pelajaran kepada jemaat untuk

lebih memahami apa yang Tuhan senang; 4) biasanya mereka memiliki kemampuan dana

yang sudah cukup mapan, sehingga kerap kali kurang menghargai akan kebutuhan maupun

kuasa doa dalam pergumulannya. Kebutuhan pelayanan hanya didukung oleh satu atau dua

orang saja, tanpa melibatkan jemaat; 5) biasanya mereka kurang memperhatikan peraturan-

peraturan Gereja (sinode), dengan berdiri di balik kemandirian Gereja, padahal mereka

sebenarnya tidak mau (suka) kalau ada yang memberikan peraturan; sebaliknya mereka

cenderung mengatur; 6) biasanya mereka terjebak dengan pemikiran kepemilikan Gereja,

sehingga cenderung subyektif pada sang ahli waris; dibandingkan dengan mencari pimpinan

dan kehendak Tuhan secara sungguh-sungguh. Membangun Gereja tidak sama dengan

membangun dinasti. Kalau pun ada mempersiapkan “suksesor”-nya hampir bisa dipastikan

akan tidak obyektif, sebab akan muncul usaha untuk membangun suatu opini di jemaat.

Keempat, gap antara si kaya dengan miskin dalam kalangan Penatalayan. Terjadi

layaknya seperti di dunia sekuler di mana jurang ini kadang sangat memprihatinkan. Ada

beberapa hamba Tuhan yang memiliki ‘kecerdikan’ tersendiri sehingga dia melihat setiap

kesempatan pelayanan sebagai potensi usaha yang bisa dikembangkan; tidak lagi mempe-

dulikan pimpinan dan perkenanan hati Tuhan. Orang-orang yang berada di kelompok ini,

memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) suka minta-mimta dan seringkali tidak lagi merasa

sungkan; 2) membangun kesan agar jemaat timbul belas kasihan kepada yang bersangkutan;

3) tidak suka diuji kalaupun dipertanyakan biasanya gampang tersinggung; 4) tidak ada

pertanggungjawaban yang jelas, cenderung menggampangkan dan marah ketika diperta-

nyakan; 5) cenderung memikirkan kepentingan diri sendiri daripada orang lain yang jauh

membutuhkan. Apakah berarti bahwa seorang Hamba Tuhan tidak boleh (berhak) memiliki

kekayaan? Ini bukan persoalan boleh atau tidak, berhak atau tidak; tetapi ini persoalan

orientasi hati dan potensi kebahayaannya.

5Risnawaty Sinulingga, “Gereja Dan Pelayanan Mahasiswa Kristen : Sebuah Studi Pertumbuhan Gereja

Mula-Mula Dan Implikasinya Bagi Pelayanan Mahasiswa Kristen Di Universitas Sumatra Utara,” Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan 8, no. 2 (2007): 282.

Page 4: Bisnis dalam Perspektif Iman Kristen

S. Tanuwidjaja, I P. A. Darmawan: Bisnis dalam Perspektif Iman Kristen

Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 89

Kelima, kecemburuan sosial di lingkungan masyarakat terhadap warga gereja.

Dengan berdirinya gedung-gedung gereja yang serba ‘mega’ (mega church). Masyarakat

masih relatif lebih banyak yang berada di bawah taraf yang seharusnya, kemudian gereja

muncul dan berada di tengah-tengahnya tanpa memperdulikan efek psikologis ke masyarakat.

Memang sebuah fakta di bumi Indonesia ini, bahwa masih terjadi diskriminasi terhadap

pembangunan gedung Gereja apabila dibandingkan dengan tempat ibadah lainnya, tetapi hal

ini justru menjadi suatu kontrol agar lebih peka terhadap lingkungan.6 Contoh: Membangun

Gereja, tidak memikirkan tempat parkir dan tidak memikirkan arus lalu lintas, tidak

mempertimbangkan sound efek. Namun persoalan ini, bukan menjadi fokus dari pembahasan

materi ini.

Dari permasalahan di atas, tampak bahwa bisnis merupakan bagian dari kehidupan

orang Kristen. Penulis memandang perlu dikaji tentang bisnis dari perspektif kekristenan

sehingga dapat memberikan kontribusi pemikiran yang kemudian dapat menjadi landasan

dalam hal praktis. Oleh sebab itu, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana

pandangan iman Kristen tentang bisnis? Tujuan penelitian ini adalah untuk memaparkan

pandangan iman Kristen tentang bisnis.

METODE

Penulis menggunakan pendekatan analisis pustaka untuk membahas topik ini. Penulis

mencermati beberapa teks Alkitab yang terkait dengan topik bahasan sehingga memperoleh

gambaran padangan Alkitab tentang bisnis. Penulis juga menggunakan sumber-sumber

pustaka dari jurnal ilmiah dan buku-buku yang terkait teks Alkitab. Hasil analisis kemudian

disajikan secara deskriptif tematis. Pendekatan ini dapat digunakan dalam penelitian teologis

sehingga dapat diperoleh makna dari topik yang diteliti.7

PEMBAHASAN

Tekanan yang Memanipulasi Diri

Ketika seseorang masih kanak-kanak, beberapa kali kali terlintas suatu keinginan agar selalu

cepat-cepat bertumbuh dan ingin menjadi remaja; namun di usia remaja ia kemudian

merindukan agar sesegera mungkin beranjak ke pemuda. Ketika di usia yang muda manusia

sangat rindu akan kedewasaan yang terpikir lebih stabil dan tenang. Tetapi ketika sudah

dewasa, mulailah memikirkan bagaimana menikmati masa pensiun itu; celakanya ketika

sudah beranjak di usia pensiun, tidak sedikit orang yang merindukan masa kekanak-

kanakannya terulang kembali. Dalam keberdosaannya, manusia setiap harinya telah terjebak

dengan berbagai macam tekanan hidup yang memanipulasi diri, yaitu antara lain: 1) Tekanan

prestasi dan pekerjaan, dimana setiap harinya manusia seolah-olah secara otomatis selalu

terpikir apa yang harus dikerjakan hari ini di tempat kerja, bagaimana harus mengerjakannya,

6Albert Steven, Aprilo Gerald Gumansalangi, and Yusiana Eka Prasetiyawati, “Urgensi Pembaharuan

Regulasi Pendirian Rumah Ibadah,” Sapientia Et Virtus 2, no. 1 (2015): 15–25; Zakaria J. Ngelow, “Turut Membina Indonesia Sebagai Rumah Bersama - Peran Gereja Dalam Politik Di Indonesia,” Jurnal Jaffray 12, no. 2 (October 2, 2014): 213–234.

7Sonny Eli Zaluchu, “Strategi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Di Dalam Penelitian Agama,” Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat 4, no. 1 (2020): 28–38.

Page 5: Bisnis dalam Perspektif Iman Kristen

THRONOS: Jurnal Teologi Kristen, Vol 1, No 2, Mei 2020

Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 90

siapa yang harus dihubungi, bagaimana menyelesaikan yang tertunda hari sebelumnya, apa

yang harus disampaikan sebagai laporan hari ini, dan seterusnya.

Kesemuanya ini bila ditarik ujung persoalannya adalah sebuah tekanan yang

menyangkut bagaimana menampilkan diri dalam pencapaian prestasi diri dalam pekerjaan; 2)

Tekanan Teknologi, dimana setiap saat sudah dipengaruhi oleh dunia yang serba berteknologi

tinggi sehingga sulit dilepaskan dari kehidupan sehari-harinya. Mulai dari membuka mata di

pagi hari sampai dengan menutup mata pada waktu tidur, akan terus menerus dipengaruhi

dengan lancar atau tidaknya teknologi yang ada disekitar8; 3) Tekanan hubungan dan

komunikasi. Kehidupan manusia saat ini terkait dengan gaya hidup on-line yang setiap saat

selalu seakan menjadi suatu “Keharusan” (baca: gangguan), dan sedikit banyak berakhir

menjadi suatu bentuk tekanan dalam kehidupan. Relasi bisa menjadi suatu hambatan namun

juga bisa menjadi ‘jembatan’ bagi seseorang dalam mengatasi kesulitannya dalam hal

mencari pekerjaan9; 4) Tekanan keluarga, persoalan ini (baik yang masih bujang/menikah)

dialami oleh semua orang dan secara tidak disadari menjadi beban dalam kehidupan; 5)

Tekanan komunitas masyarakat. Secara tidak disadari manusia bisa hidup dari apa yang

dikata oleh orang disekitarnya dan kondisi masyarakat juga membentuk pola pikir dan

karakter hidup sehingga hal ini bisa menjadi bentuk tekanan dalam kehidupan.

Alasan mengapa hal-hal di atas dikatakan sebagai tindakan memanipulasi adalah,

karena sebagian besar manusia selalu melakukan usaha-usaha yang menutupi tekanan-

tekanan tersebut dari luar kehidupan yang sebenarnya mungkinnya sendiri ingin menjerit,

terlepas, membebaskan diri atau terpisah dari tuntutan-tuntutan tersebut.10 Ekstrimnya, ada

orang yang tidak bisa bertahan untuk bertumbuh dalam mengatasi hal ini, lalu bunuh diri.

Ada beberapa tindakan yang dilakukan sehingga menimbulkan tekanan, antara lain: 1) Ada

orang yang dengan memacu dirinya sebagai modal untuk memotivasi dirinya,; 2) Ada yang

dengan mengambil kursus ini/itu atau mengikuti seminar/pelatihan sini/sana; 3) Ada yang

dengan melakukan aktivitas spiritual, semedi, meditasi dan retreat, dsb; 4) Ada yang dengan

menunjukkan gaya hidup yang berfoya-foya, serba mahal, tebar pesona sana/sini; 5) Ada

yang dengan membius diri, dengan mabuk, dengan narkoba, dengan berselingkuh, dsb. Hal

itu dapat menyebabkan kehilangan atau sedang mengalam suatu krisis identitas diri, ketika

melakukan tindakan-tindakan yang manipulatif itu agar bisa terus ‘tampil’ seperti yang

sebagaimana adanya.

Timbullah suatu pertanyaan yang besar yaitu apakah tujuan hidup ini? Mengapa saya

ini ada? Untuk apa saya hidup? Kemana setelah saya pergi dibalik kematian itu? Hasrat untuk

mengenali Diri, akan sangat terkait dengan pengenalan akan ‘Siapa Allah’ karena manusia

tidak akan pernah mampu mengenali dirinya sendiri tanpa pengetahuan akan Allah. Begitu

juga manusia tidak akan pernah bisa mengenal Allah tanpa mengenali dirinya sendiri.

‘Siapakah saya?’ adalah pertanyaan awal yang harus dituntaskan terlebih dahulu sebelum

8Daniel Ronda, “Kepemimpinan Kristen Di Era Disrupsi Teknologi,” Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan

Pembinaan Warga Jemaat 3, no. 1 (2019): 1–8. 9Ruat Diana, “Peran Komunikator Kristen Dalam Strategi Pekabaran Injil Di Era Revolusi Industri 4.0,”

Integritas: Jurnal Teologi 1, no. 1 (June 26, 2019): 66–73. 10M. Mulyaningsih and Tinneke Hermina, Etika Bisnis (Bandung: KIMFA MANDIRI, 2017), 32.

Page 6: Bisnis dalam Perspektif Iman Kristen

S. Tanuwidjaja, I P. A. Darmawan: Bisnis dalam Perspektif Iman Kristen

Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 91

bisa menjawab ‘Siapakah Allah?’ seperti yang dikatakan oleh John Calvin, bahwa ada

keterkaitan erat antara pengetahuan diri dengan pengetahuan akan Allah.11 Pengenalan Diri

jangan dilihat secara antroposentris, seperti yang saat ini lagi ngetrend, yaitu “Be Yourself.”

Persoalannya, bagaimana be yourself itu? Hal ini perlu dilihat secara teosentris, karena

manusia ini dicipta serupa dan segambar dengan Allah, dan manusia dicipta sebagai makhluk

yang dependensi bukan yang independen dan mandiri. Itu sebabnya manusia akan selalu

mencari panutan, contoh, teladan itu sama artinya bahwa ada kebergantungan kepada yang

lain [makhluk sosial]. Dengan demikian sebenarnya manusia harus kembali kepada rupa dan

gambar Allah, sumber dari segala sesuatu, itu merupakan realitas yang paling valid, yaitu

bergantung pada Allah.12

Istilah be yourself, juga seringkali menjadi suatu ketakutan dan usaha untuk menjadi

beda dari yang lain; padahal tampil yang berbeda dari yang biasa (abnormal) bisa menjadi

bentuk pertumbuhan yang tidak baik. Menjadi ‘biasa’ justru diperlukan keberanian yang

tersendiri daripada yang ‘luar biasa’. Banyak orang yang terobsesi menjadi yang ‘luar biasa’

sehingga terus menerus mengejar ‘sukses’ – maka mereka yang seperti ini seringkali juga

frustrasi karena ‘sukses’ itu tidak pernah mereka capai bak fatamorgana saja. ‘sukses’,

‘bahagia’ atau ‘keberhasilan’ seharusnya bukan ditempatkan sebagai tujuan, tetapi itu

merupakan progres atau proses yang terus-menerus sampai akhir hayat. Pada saat

menempatkan diri sebagai orang yang ‘Luar Biasa’, maka manusia akan terus menerus

dipacu untuk mengeksploitasi diri habis-habisan, sehingga secara tidak sadar manusia telah

menggantinya dengan waktu dan makna hidup itu sendiri. Contohnya: kerja keras, melebihi

batas waktu sehingga kehilangan waktu kebersamaan dengan keluarga dan masyarakat, dan

juga dengan diri sendiri.

Pandangan Alkitab

Bisnis atau melakukan praktek usaha itu sendiri bukan suatu tindakan yang salah dan bukan

suatu tindakan yang tidak disukai oleh Allah. Alkitab memberikan bukti bahwa konsekuensi

manusia diciptakan oleh Allah serupa dan segambar dengan Diri-Nya sendiri (Kej. 1:26-27),

maka manusia merupakan makhluk yang selalu berkarya. Perlu dilihat beberapan pandangan

yang Alkitab ajarkan landasan yang paling pokok berkaitan dengan hal ini.13 Manusia adalah

makhluk ciptaan, ini berarti bahwa manusia dicipta, sehingga membawa pengertian yang

lebih mendalam bahwa Sang Pencipta itu ada dan manusia bukanlah Sang Pencipta.

Penciptaan itu adalah suatu realitas logis dan prinsip dasar ini harus menjadi ladasan yang

pasti bagi setiap pertumbuhan, baik secara pribadi/institusi.

Dasar pemikiran itu sangat jelas ditemukan dari pembacaan Alkitab, selain dari itu

bisa ditemukan ada beberapa hal yang penting yaitu: 1) Keberadaan Diri (self existence),

yaitu pribadi yang diciptakan serupa dan segambar dengan Allah sendiri, ini menunjukkan

11Daniel Lucas Lukito, “500 Tahun Yohanes Calvin : Pengetahuan Tentang Allah Adalah Testing Ground

Untuk Mengenal Manusia,” Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan 10, no. 1 (2009). 12David W. Hall and Matthew D. Burton, Calvin Dan Perdagangan: Kuasa Tranformasi Calvinisme

Dalam Ekonomi Pasar, Cetakan pertama, September 2015., Seri Calvin 500 (Surabaya: Momentum, 2015). 13Sinamo, Teologi Kerja Modern Dan Etos Kerja Kristiani, 15; Hall and Burton, Calvin Dan

Perdagangan, 11–15; Herman J. Selderhuis, Buku Pegangan Calvin (Surabaya: Momentum, 2017), 298–299.

Page 7: Bisnis dalam Perspektif Iman Kristen

THRONOS: Jurnal Teologi Kristen, Vol 1, No 2, Mei 2020

Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 92

bahwa Manusia adalah makhluk yang paling mulia dibandingkan dengan ciptaan yang

lainnya;14 2) Keberadaan pernikahan (marriage existence), lembaga keluarga merupakan

inisiatif dari Allah maka hal ini merupakan hal yang baik di mata Allah. Keluarga merupakan

komponen yang paling inti dalam sebuah komunitas, Allah sangat menaruh perhatian-Nya

kepada lembaga ini. Maka sudah sepatutnyalah orang Kristen pun juga menaruh rasa hormat

atas lembaga ini. Tetapi setelah kejatuhan manusia dalam dosa, lembaga ini akhirnya menjadi

suatu ‘neraka’ kecil yang membawa manusia semakin dekat dengan neraka yang aslinya15; 3)

Keberadaan kerja (work existence), termasuk dalam bisnis dan ekonomi, bekerja bukan

sekedar bertujuan untuk melangsungkan kehidupan ini saja tetapi juga menjadi suatu

identitas diri dari manusia itu sendiri; 4) Keberadaan kekuasaan (power existence), perintah

untuk berkuasa juga harus dibarengi dengan pengelolaan [manajemen] yang baik, tidak

sekedar eksploitasi besar-besaran demi kepentingan diri; 5) Keberadaan waktu atau sejarah

(time existence), untuk enam hari Allah melakukan karya-Nya dan semuanya itu dilihat-Nya

sungguh sanggat baik maka diberkatilah pada hari ketujuh semua ciptaan-Nya itu, waktu

disini adalah kesementaraan maka secara paradok hal ini termasuk di dalamnya tentang

kekekalan; 6) Keberadaan Allah Sang Pencipta (creator exixtence), keberadaan yang mutlak

harus ada dan sulit untuk disangkali bahwa Dia memang ada; yang merupakan sumber dari

segala sesuatu yang ada ini.16

Dalam perjalanan hidup manusia secara faktual merupakan suatu upaya untuk

mencari arti dan tujuan hidupnya, sehingga kesuksesan menjadi suatu ukuran menggantikan

segala sesuatu. Maka tidak heran banyak manusia yang belajar bagaimana untuk mencapai

kesuksesan itu dan dengan segenap hidupnya itu dibayarkan, tetapi ketika apa yang dianggap

sukses itu didapatkan betapa kecewanya, karena akhirnya dia kehilangan moment-moment

yang jauh lebih berharga bagi makna hidupnya itu sendiri.

Alasan Teologis untuk Berbisnis

Argumen teologis berkaitan tentang bekerja adalah: Pertama, Natur Allah sendiri adalah

Allah yang bekerja (Kej 1:1, 27; 2:2-3).17 Ketika teliti lebih jauh, Alkitab mengajarkan bahwa

Allah seringkali digambarkan sebagai Gembala, Penjunan, Ahli Bangunan, Petani, Penenun,

Pemusik. Hal ini menunjukkan bahwa natur Allah adalah Allah yang bekerja. Kedua,

Manusia dicipta (dilahirkan) bekerja untuk melakukan pekerjaan bersama dengan Allah, ini

merupakan sebuah implikasi dari dicipta serupa dan segambar dengan Allah yaitu bagaimana

manusia seharusnya menyatakan serta mencerminkan Pribadi Allah melalui dalam dirinya,

termasuk dalam wilayah bekerja. Kenyataan ini adalah diberikan manusia sebuah mandat

untuk berkuasa atas segala ciptaan Allah di dalam taman Eden itu, bahkan manusialah yang

memberikan nama atas binatang-binatang pada waktu itu.18

14Hall and Burton, Calvin Dan Perdagangan, 11–15; Sinamo, Teologi Kerja Modern Dan Etos Kerja

Kristiani, 15. 15Selderhuis, Buku Pegangan Calvin, 365. 16Hall and Burton, Calvin Dan Perdagangan, 11–17. 17Matthew Henry, Kitab Kejadian (Surabaya: Momentum, 2014), 41–42. 18Hall and Burton, Calvin Dan Perdagangan, 20; Sinamo, Teologi Kerja Modern Dan Etos Kerja

Kristiani, 15.

Page 8: Bisnis dalam Perspektif Iman Kristen

S. Tanuwidjaja, I P. A. Darmawan: Bisnis dalam Perspektif Iman Kristen

Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 93

Ketiga, Kerusakan akibat peristiwa kejatuhan, sehingga manusia harus bersusah

payah untuk mencari rejekinya dan telah merusak empat hubungan, yaitu: 1) hubungan

dengan Allah, yang mana sebelumnya begitu intim kerja sama antara manusia dengan Allah

Tritunggal; maka inilah perpisahan yang pertama antara dunia sekuler dengan rohani; 2)

hubungan dengan diri sendiri, yaitu suatu perasaan keterasingan/ketidaknyamanan yang ada

di dalam diri sehingga sejak itulah manusia terus berusaha agar bagaimana caranya untuk

bisa selalu bisa ‘fit’ (penerimaan diri) dalam segala bidang; 3) hubungan dengan sesamanya,

bahkan dengan pribadi yang terdekat sekalipun terjadi saling lempar tanggungjawab; 4)

hubungan dengan alam, telah terjadi ketidakseimbangan, yang mana seharusnya manusia

mengolah dan mengatur alam, namun sekarang terjadi perusakkan dan eksploitasi yang

besar-besaran terhadap alam.19 Keempat, Allah tetap masih bekerja (Yoh 5:17), karena

melaluinya dunia ini tetap ditopang agar tetap berjalan dan tidak hancur (Ibr. 1:3; Ayub

34:14-15) sampai pada hari anak-anak Allah dinyatakan. Kelima, Karya penebusan Allah

melalui kematian Anak-Nya, Yesus Kristus, orang percaya yang dulu telah jauh kini

diperdamaikan kembali dan melaluinya orang percaya diperbaharui menjadi ciptaan yang

baru di hadapan Allah (Kol 1:15-22).20

Dengan pengertian di atas ini, maka tampak signifikansi kerja bagi orang percaya

adalah terletak pada bagaimana manusia membedakan cara-cara yang mampu

mengekspresikan penatalayanan, pelayanan, kreativitas, kesaksian, menyatakan kebenaran,

pemeliharaan, pemberdayaan dan pembangunan komunitas, keadilan dan kedamaian. Hal ini

tidak berarti bahwa dalam perjalanannya orang Kristen tidak mengalami kesulitan apapun,

namun lebih kepada bagaimana orang Kristen bisa menjadi pengharapan serta dorongan bagi

yang lainnya.

Prinsip Ajaran Tuhan Yesus

Bagian ini menyajikan lebih spesifik dan mendetil dari apa yang Tuhan Yesus ajarkan

berkaitan dengan topik penelitian ini, serta memikirkan bagaimana merefleksikan persoalan-

persoalan dan hubungan antara Iman Kristen dan Bisnis. Salah satu pokok pikiran yang

Tuhan nyatakan sendiri ketika berkotbah di atas bukit (Mat 6:19-24), yaitu tentang

pengumpulan harta ketika masih hidup di Bumi ini. Dari pengajaran Tuhan Yesus inilah bisa

menemukan prinsip-prinsip penting yang bisa menjadi ‘Golden Rules’ dalam menjalankan

hidup usaha kerja.21

Persoalan mengumpulkan harta tidak dilarang, namun di tempat yang salah atau benar

(Mat. 6:19-20). Karena dari poin ini tampak ada dua macam harta dan dua macam tempat

untuk menyimpan (mengumpulkan)-nya.22 Tentu kedua harta dan tempat tersebut memiliki

19Manintiro Uling, “Reafirmasi Monoteisme Trinitarian Terhadap Konsep Henoteisme Dikalangan

Orang Kristen,” Missio Ecclesiae 9, no. 1 (2020): 20–39; Hall and Burton, Calvin Dan Perdagangan, 55–57. 20John Piper, “Yesus Kristus Sebagai Denoument Dari Teater Allah: Calvin Dan Supremasi Kristus Atas

Segala Sesuatu,” in Bersama Calvin Di Dalam Teater Allah, ed. John Piper and David Mathis (Surabaya: Momentum, 2018), 159; Hall and Burton, Calvin Dan Perdagangan, 192–193.

21Yohanes Enci Patandean and Bambang Wiku Hermanto, “Tema-Tema Theologis Khotbah Yesus Di Bukit Dalam Injil Matius 5:1-7:29,” Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat 3, no. 2 (2019): 123–135.

22Ibid.

Page 9: Bisnis dalam Perspektif Iman Kristen

THRONOS: Jurnal Teologi Kristen, Vol 1, No 2, Mei 2020

Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 94

perbedaan karakter yang sangat signifikan, sehingga memberikan terkait harta yang di bumi

atau yang di surga, jadi kemana harus mengumpulkan harta. Dalam keseharian manusia

menabung uang tentunya tidak ditaruhkan pada sembarangan Bank, demikian juga dalam

hidup kerohanian (iman) manusia.

Persoalan utamanya bukan mengumpulkan harta, namun kecenderungan pada sikap

hati dan arah hidup manusia (Mat. 6:21-23). Karena poin ini mengajarkan bukan sekedar

persoalan tempat dimana harta dikumpulkan, tetapi ini mengingatkan bahwa ada dua

kecenderungan sikap hati dan arah hidup manusia. Pertanyaannya adalah apakah manusia

mengarahkan atau memusatkan seluruh kehidupan pada kegelapan atau terang surgawi?

Ketika seseorang salah menilai dalam hal mempertimbangkan keuntungan dimana ia

menyimpan harta, maka ini bisa mencerminkan apakah ia ada di dalam terang atau

kegelapan. Harus diingat dalam kekristenan manusia telah dipindahkan dari gelap ke terang-

Nya yang ajaib melalui kematian Kristus Yesus, oleh sebab itu cara manusia menilai

seharusnya juga diterangi oleh panggilan surgawi, bukan berpusat pada yang sementara

(duniawi).23 Kristus tidak bertujuan untuk merampas harta manusia, melainkan untuk

mengarahkan manusia dalam menentukan pilihan atas hartanya.

Hasil akhir bukan pada berapa banyak harta yang bisa dikumpulkan, tetapi kepada

siapa manusia sebenarnya mengabdikan diri (Mat. 6:24). Disaat memiliki hasil usaha, maka

akan tampak manusia melakukan bentuk usaha-usaha yang mencerminkan kepada siapa ia

mengabdikan diri. Terlalu banyak orang terjebak dalam penilaian yang salah, sehingga

mereka sebenarnya telah melayani Mamon bukan kepada Allah. Ada beberapa organisasi

Kristen yang mempercayai bahwa ia mampu melayani Allah dan Mamon, itu tergantung

bagaimana mengaturnya. Tetapi perkataan Tuhan Yesus sendiri (sampai dua kali ditekankan),

“tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan... Kamu tidak dapat mengabdi... ” Mamon

dari bahasa Aram, yang berarti ‘keuntungan,’ sesuatu hal yang berpusat pada keuntungan,

kenyamanan, kepuasan pada diri sendiri.

Ketegangan dan Pergeseran Hidup

Dalam keberdosaannya manusia telah sengaja menolak dan menindas kebenaran Allah

dengan tidak mau menerima prinsip-prinsip yang Alkitab ajarkan sehingga menemukan

ketegangan-ketegangan yang muncul dalam hidup manusia, yaitu: Pertama, pembangunan

lumbung yang aman dan cukup besar (Luk. 12:17-21). Terjadi suatu ketegangan akan

pencarian tempat yang aman, yang cukup besar, yang bisa menjadi jaminan yang berjangka

panjang. Padahal tidak kaya di hadapan Allah, adalah suatu kesia-siaan belaka. Muncullah

ketamakan, yang tidak pernah merasa cukup dengan pemeliharaan Allah. Tugas dan

panggilan orang Kristen adalah mencari jiwa-jiwa yang terhilang akibat dosa, dan

memberitakan Kebenaran Allah melalui Injil Yesus Kristus, supaya setiap yang percaya

beroleh hidup yang kekal; bukan pembangunan lumbung.

Kedua, kesalahan menilai dan memaknai hidup yang telah Tuhan anugerahkan,

sehingga terjadi ketegangan (kekuatiran) tentang persoalan yang diperlukan di dalam

kesehariannya. Manusia telah terjebak serta terjerumus dengan penyakit yang sulit untuk

23 Sinamo, Teologi Kerja Modern Dan Etos Kerja Kristiani, 165.

Page 10: Bisnis dalam Perspektif Iman Kristen

S. Tanuwidjaja, I P. A. Darmawan: Bisnis dalam Perspektif Iman Kristen

Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 95

ditawarkan sepanjang umur hidupnya, kekuatiran. Rasa kuatir bagi sebagian orang pada satu

masa tertentu, bisa diterima sebagai bentuk kewajaran; namun realitanya manusia sulit untuk

melepaskan dari ikatan kekuatiran yang menyangkut dengan yang dimakan, diminum,

dipakai (Luk. 12:25-32). Itu semua yang dicari oleh bangsa-bangsa yang tidak mengenal

Allah. Ketegangan antara yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Hidup orang Kristen

dalam melaksanakan tugas dan panggilan surgawi itu harus dijalankan dengan iman (Rm.

1:17), karena tanpa iman manusia berdosa (Rm. 14:23), karena tanpa iman tidak mungkin

manusia berkenan di hadapan Allah (Ibr. 11:6), karena tanpa iman manusia belum dibenarkan

dan diperdamaikan dengan Allah (Rm. 3:28), bukan karena usahanya.24 Karena imanlah

gunung dipindahkan, bukan karena kekuatiran manusia.

Ketiga, pengabdian yang keliru terjadi pada bentuk penyembahan dalam hidup

manusia, yaitu antara kepada Allah yang menciptakan atau kepada mamon yang ciptaan.

Sehingga orang Kristen tidak lagi mampu melihat bagaimana pemeliharaan Allah atas

ciptaan-Nya, namun cenderung melakukan usaha untuk memelihara diri sendiri, alam dan

ilah (ciptaan). Kekuatiran membawa manusia masuk dalam ketegangan dan pergeseran

adalah: 1) Kekuatiran menggeser posisi Allah, meragukan kemampuan Allah, atau bimbang

dengan kuasa pemeliharaan Allah. Allah memelihara umat-Nya dan hamba-hamba-Nya;

maka dengan sikap yang senantiasa sadar akan pemeliharaan Allah, akan nyata kelimpahan

serta kekayaan kuasa-Nya. Ada banyak bentuk usaha yang berdiri di balik pelayanan, namun

sejatinya adalah pemberhalaan yang bukan Allah (Mat. 7:21-23); 2) Kekuatiran adalah

pemborosan akan anugerah Allah ketika apa yang dikuatirkan tidak terjadi, padahal sudah

cukup lama untuk merenungkan dan memikirkan apa yang sedang dikuatirkan sebelumnya.

Apabila manusia secara jujur mau mengakui bahwa banyak apa yang mereka kuatirkan tidak

menjadi suatu kenyataan seperti yang mereka kuatirkan sebelumnya. Dalam keseharian,

banyak hal yang sebelumnya manusia perlukan, namun setelah milikinya baru kemudian

menyadari bahwa sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan; 3) Kekuatiran adalah cerminan bangsa

yang tidak mengenal Allah, sedangkan orang percaya adalah umat pilihan-Nya. Orang

percaya dijadikan anak-anak-Nya, dan Bapa yang di surga tahu apa yang manusia perlukan.

Bangsa yang tidak mengenal Allah merasa kuatir sebab mereka tidak memiliki jaminan

kepastian untuk hidup yang masa mendatang; sebaliknya mereka hanya mendambakan hal-

hal yang saat ini saja.

Pandangan Paulus

Ada empat hal penting yang dapat diperhatikan dari pandangan Paulus dalam 1 Korintus

7:17-40. Pertama, hidup sesuai dengan panggilannya (1 Kor. 7:17, 20, 24). Dalam konteks

ayat (1 Kor. 7:17-40) ini ada dua persoalan utama, yaitu tanda-tanda keagamaan

(sunat/tidak), dan status sosial (seorang hamba/bebas, menikah/bujang), di sinilah Paulus

ingin menekankan bahwa itu semua tidak terlalu penting, kecuali bagaimana hubungan

dengan Kristus. George menjelaskan bahwa Luther mengungkapkan setiap pekerjaan adalah

panggilan, dunia ini adalah biaranya, maka dari sini dapat dipelajari bahwa apapun status

24Gidion Gidion, “Kecakapan Lulusan Pendidikan Tinggi Teologi Menghadapi Kebutuhan Pelayanan

Gereja Dan Dunia Pendidikan Kristen,” KURIOS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen) 6, no. 1 (2020): 73–86.

Page 11: Bisnis dalam Perspektif Iman Kristen

THRONOS: Jurnal Teologi Kristen, Vol 1, No 2, Mei 2020

Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 96

sosial harus merupakan panggilan Tuhan dan biarlah setiap manusia masing-masing jujur dan

setia dengan panggilannya masing-masing.25 Setiap panggilan harus dilandasi semangat

inkarnasi (bagi yang di atas) dan tidak perlu minder karena karya Kristus dalam hidup orang

percaya. Kekayaan seseorang bukan terletak pada harta kekayaan atau materi yang dimiliki,

tetapi hidup yang terus mengalirkan berkat Allah bagi orang lain, yaitu kelimpahan dalam

kasih karunia-Nya.

Kedua, adanya kesadaran eskatologis (I Kor. 7:25-29). Dibutuhkan suatu kepekaan

atau kemampuan untuk menilai jaman dan membedakan mana yang berkenan kepada Tuhan

atau tidak. Alkitab menunjukkan bahwa Allah yang murka dan berdaulat, sehingga

kesempatan untuk melayani tidak selamanya akan terus menerus diberikan kepada manusia.

Konteks ayat tersebut berbicara tentang persoalan mereka yang bujang/menikah,

menangis/bersuka, memiliki/tidak, bukan menjadi persoalan utamanya. Karena waktu yang

begitu jahat, begitu singkat; maka pengertian ini harus mendorong untuk bekerja segiat-

giatnya bagi Kerajaan Allah. Pemahaman kesadaran eskatologis, tidak hanya hanya dipahami

akan kedatangan Kristus yang kedua kalinya, tetapi harus juga dipandang sebagai

keterbatasan sebagai manusia, yang juga akan menghadap kepada Tuhan untuk

mempertanggungjawabkan semuanya.

Ketiga, Hidup yang berpusat kepada Tuhan (I Kor. 7:29-34), bukan kepada hal-hal

yang bersifat sementara. Pengertian ini akan menolong untuk lebih memahami apa itu sense

of urgency, suatu kepekaan terhadap sebuah prioritas. Konteksnya mereka yang menikah

terjebak dengan menyenangkan pasangannya, dan berpusat pada apa yang dimiliki/tidak.

Pergeseran ini seharusnya tidak terjadi bagi orang Kristen yang dewasa rohani, dimana pusat

hidupnya tidak lain adalah menyenangkan Tuhan. Hidup yang berpusat pada Tuhan, adalah

kebebasan yang sejati, sekalipun masih ada dalam keterikatan dalam hidup di dunia ini, tetapi

orang Kristen tidak terikat dengan perkara-perkara yang duniawi. Sitompul mengungkapkan

bahwa hidup yang berpusat pada Kristus dimulai dari pengenalan yang benar kepada

Tuhan.26 Itu artinya bahwa, orang percaya akan terus hidup berkarya dengan sukacita karena

mengenal Allah yang memberi mandat bekerja. Manusia muncul sense of urgency-nya itu

ketika: 1) dikejar oleh date-line sehingga tidak lagi menghiraukan yang lainnya, asal bisa

pada waktunya; tapi sebelumnya santai-santai saja; 2) dalam keadaan kritis atau darurat,

sehingga dia hanya fokus pada ‘hidup’ dirinya sendiri ketika terjadi kebakaran. R. Paulus

menasihati dengan “seolah-olah....” Tidak berarti hidup dalam kondisi yang manipulatif;

melainkan pusat hidup yang berfokus pada Tuhan, sehingga mampu mengguasai atas emosi,

kepemilikan materi maupun yang paling pribadi (istri/suami) sekalipun ( I Kor. 7:29-31).

Hidup yang berpusat pada Tuhan melampaui ini semua.

Keempat, Dalam wadah kesementaraan merupakan bentuk kesempatan untuk

menyatakan kehendak Allah serta bagaimana mencerminkan rupa dan gamba Allah, sehingga

hal-hal yang ada di dunia saat ini tidak menjadi halangan, gangguan dan ikatan untuk

25Timothy George, Teologi Para Reformator, Revisi. (Surabaya: Momentum, 2013), 73–75. 26Romianna Magdalena Sitompul, “Makna Perkataan Paulus Tentang Hidup Adalah Kristus Dan Mati

Adalah Keuntungan Berdasarkan Filipi 1:12-26,” Jurnal Jaffray 15, no. 2 (2017): 153–176.

Page 12: Bisnis dalam Perspektif Iman Kristen

S. Tanuwidjaja, I P. A. Darmawan: Bisnis dalam Perspektif Iman Kristen

Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 97

melakukan itu.27 Kondisi-kondisi yang sementara, susah atau senang, sehat atau sakit, kaya

dan miskin, bujang dan menikah, jangan menjadi penghalang karena Allah mengetahui apa

yang diperlukan dan Dia memelihara umat-Nya. Sebagai seorang Pebisnis atau Penatalayan,

yang paling utama dalam kehidupan yang sementara ini adalah menjalankan kehendak Bapa

di surga, sebab bukan mereka yang menyebut Aku, Tuhan, Tuhan itu yang masuk dalam

Kerajaan Bapa, melainkan mereka yang menjalankan.

KESIMPULAN

Alkitab menunjukkan bahwa pekerjaan adalah bagian dari kehidupan manusia. Allah adalah

teladan dalam bekerja dan Ia terus bekerja memelihara ciptaannya. Itu artinya setiap manusia

harus bekerja, karena sejak diciptakan manusia telah diberi mandate untuk bekerja. Terkait

dengan bisnis, pada prinsipnya bisnis dapat dijalankan tetapi bagi orang Kristen, bisnis tidak

boleh menjadikan manusia mengalihkan penyembahannya pada mammon. Bisnis dijalankan

dengan sukacita karena mandat Allah dan untuk memuliakan Allah. Tantangan dalam

berbisnis juga tidak boleh menyebabkan orang percaya mengalihkan perhatian dan

ketaatannya dari Allah, kepada kekuatiran yang timbul dari berbisnis.

REFERENSI

Andriyan, Dody Nur. Hukum Tata Negara dan Sistem Politik: Kombinasi Presidensial

dengan Multipartai di Indonesia. Yogyakarta: Deepublish, 2016.

Diana, Ruat. “Peran Komunikator Kristen Dalam Strategi Pekabaran Injil Di Era Revolusi

Industri 4.0.” Integritas: Jurnal Teologi 1, no. 1 (June 26, 2019): 66–73.

George, Timothy. Teologi Para Reformator. Revisi. Surabaya: Momentum, 2013.

Gidion, Gidion. “Kecakapan Lulusan Pendidikan Tinggi Teologi Menghadapi Kebutuhan

Pelayanan Gereja Dan Dunia Pendidikan Kristen.” KURIOS (Jurnal Teologi dan

Pendidikan Agama Kristen) 6, no. 1 (2020): 73–86.

Hall, David W., and Matthew D. Burton. Calvin Dan Perdagangan : Kuasa Tranformasi

Calvinisme Dalam Ekonomi Pasar. Cetakan pertama, September 2015. Seri Calvin

500. Surabaya: Momentum, 2015.

Henry, Matthew. Kitab Kejadian. Surabaya: Momentum, 2014.

Lukito, Daniel Lucas. “500 Tahun Yohanes Calvin : Pengetahuan Tentang Allah Adalah

Testing Ground Untuk Mengenal Manusia.” Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan

10, no. 1 (2009).

Mulyaningsih, M., and Tinneke Hermina. Etika Bisnis. Bandung: KIMFA MANDIRI, 2017.

Ngelow, Zakaria J. “Turut Membina Indonesia Sebagai Rumah Bersama - Peran Gereja

Dalam Politik Di Indonesia.” Jurnal Jaffray 12, no. 2 (October 2, 2014): 213–234.

Patandean, Yohanes Enci, and Bambang Wiku Hermanto. “Tema-Tema Theologis Khotbah

Yesus Di Bukit Dalam Injil Matius 5:1-7:29.” Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan

Pembinaan Warga Jemaat 3, no. 2 (2019): 123–135.

Piper, John. “Yesus Kristus Sebagai Denoument Dari Teater Allah: Calvin Dan Supremasi

Kristus Atas Segala Sesuatu.” In Bersama Calvin Di Dalam Teater Allah, edited by

John Piper and David Mathis. Surabaya: Momentum, 2018.

Ronda, Daniel. “Kepemimpinan Kristen Di Era Disrupsi Teknologi.” Evangelikal: Jurnal

Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat 3, no. 1 (2019): 1–8.

Selderhuis, Herman J. Buku Pegangan Calvin. Surabaya: Momentum, 2017.

27 Selderhuis, Buku Pegangan Calvin, 361–362.

Page 13: Bisnis dalam Perspektif Iman Kristen

THRONOS: Jurnal Teologi Kristen, Vol 1, No 2, Mei 2020

Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 98

Sinamo, Jansen. Teologi Kerja Modern Dan Etos Kerja Kristiani. Bandung: Bina Media

Informasi, 2012.

Sinulingga, Risnawaty. “Gereja Dan Pelayanan Mahasiswa Kristen : Sebuah Studi

Pertumbuhan Gereja Mula-Mula Dan Implikasinya Bagi Pelayanan Mahasiswa

Kristen Di Universitas Sumatra Utara.” Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan 8, no.

2 (2007): 277–288.

Sitompul, Romianna Magdalena. “Makna Perkataan Paulus Tentang Hidup Adalah Kristus

Dan Mati Adalah Keuntungan Berdasarkan Filipi 1:12-26.” Jurnal Jaffray 15, no. 2

(2017): 153–176.

Steven, Albert, Aprilo Gerald Gumansalangi, and Yusiana Eka Prasetiyawati. “Urgensi

Pembaharuan Regulasi Pendirian Rumah Ibadah.” Sapientia Et Virtus 2, no. 1 (2015):

15–25.

Tempo, Koran. “Negara Kaya Siapkan Miliaran Dolar Hadapi Covid-19 - Internasional -

koran.tempo.co.” Tempo, March 19, 2020, sec. internasional. Accessed May 25, 2020.

https://koran.tempo.co/read/451124/negara-kaya-siapkan-miliaran-dolar-hadapi-

covid-19.

Uling, Manintiro. “Reafirmasi Monoteisme Trinitarian Terhadap Konsep Henoteisme

Dikalangan Orang Kristen.” Missio Ecclesiae 9, no. 1 (2020): 20–39.

Webber, Max. Teori Dasar Analisis Kebudayaan. Yogyakarta: IRCiSoD, 2013.

Zaluchu, Sonny Eli. “Strategi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Di Dalam Penelitian

Agama.” Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat 4, no. 1

(2020): 28–38.

“Selandia Baru Alokasikan 30 Miliar Dolar Dana Pemulihan Ekonomi.” VOA Indonesia, n.d.

Accessed May 25, 2020. https://www.voaindonesia.com/a/selandia-baru-alokasikan-

30-miliar-dolar-dana-pemulihan-ekonomi/5420964.html.