blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/all-materi.doc · web viewalat-alat yang...
TRANSCRIPT
PRINSIP DASAR TEKNOLOGI KLONING PADA
TANAMAN
TUJUAN INSTRUKSIONAL
Setelah membaca bab I mahasiswa diharapkan dapat :
1. Mengetahui tentang prinsip dasar teknologi kloning tanaman
2. Mengetahui macam tipe kultur
3. Mengetahui tentang regenerasi tanaman
Prinsip Dasar Kloning Pada Tanaman
Kloning adalah suatu istilah yang berarti memperbanyak suatu jaringan
hidup menjadi suatu tanaman lengkap yang secara genetik serupa dengan
induknya. Teknik perbanyakan vegetatif secara konvensional atau (klonal) pada kondisi
in vivo menghasilkan kelompok tanaman yang disebut klon. Sedangkan teknik
perbanyakan vegetatif secara inkonvensional pada kondisi in vitro disebut dengan kultur
jaringan atau lebih spesifik mikropropagasi. Dalam pembahasan selanjutnya digunakan
istilah kultur jaringan. Teknologi kloning pada tanaman identik dengan teknologi kultur
jaringan atau perbanyakan secara mikro (micropropagation). Saat ini kultur jaringan
sudah merupakan teknologi baku bagi banyak jenis tanaman, tidak terkecuali pada
tanaman anggrek. Teknologi kultur jaringan mampu memperbanyak tanaman secara
vegetatif dalam jumlah banyak. Susunan genetik tanaman hasil kultur jaringan akan
serupa dengan tanaman induknya. Sehingga pada tanaman anggrek teknologi ini
digunakan untuk perbanyakan pada hibrida unggul atau spesies yang dilindungi dan
langka.
Prinsip dasar pertumbuhan dan perkembangan kultur jaringan secara in vitro
dimulai ketika Schwann dan Schleiden (1838, dalam Zulkarnain, 2009) mengemukakan
teori totipotensi yang menyatakan bahwa sel-sel bersifat otonom, dan pada prinsipnya
mampu beregenerasi menjadi tanaman lengkap.
Kultur jaringan adalah istilah umum yang ditujukan pada budidaya secara in vitro
terhadap berbagai bagian tanaman yang meliputi batang, daun, akar, bunga, kalus, sel,
protoplas dan embrio. Bagian-bagian yang diistilahkan sebagai eksplan, diisolasi dari
kondisi in vivo dan dikultur pada medium buatan yang steril sehingga dapat beregenerasi
dan berdiferensiasi menjadi tanaman yang lengkap (Street, 1973).
Kultur jaringan tanaman adalah suatu teknik isolasi bagian-bagian
tanaman, seperti jaringan, organ, ataupun embrio, kemudian dikultur pada
medium buatan yang steril sehingga bagian-bagian tanaman tersebut mampu
beregenerasi dan berdiferensiasi menjadi tanaman lengkap (Winata, 1987).
Dua konsep, yang merupakan hal utama untuk dapat memahami tentang kultur sel
dan regenerasi yaitu plastisitas dan totipotensi (Adrian Slater et.al., 2003). Banyak dari
proses yang terlibat dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman telah beradaptasi
dengan kondisi lingkungan. Plastisitas ini memungkinkan tanaman untuk dapat merubah
metabolisme, pertumbuhan dan perkembangannya agar bisa cocok dengan lingkungan
dimana ia tumbuh. Aspek penting dari adaptasi ini, dalam kaitannya dengan kultur
jaringan dan regenerasi, adalah kemampuan untuk inisiasi pembelahan seldari
hampir semua jaringan tanaman dan meregenerasi organ hilang atau melakukan
alur perkembangan yang berbeda dalam responnya terhadap stimulus
tertentu.Pada saat sel-sel dan jaringan tanaman di kultur secara in vitro umumnya
mereka memperlihatkan suatu plastisitas dengan tingkat sangat tinggi, yang
memungkinkan satu tipe dari jaringan atau organ di inisiasi dari tipe lainnya. Dengan cara
ini, suatu tanaman lengkap akhirnya dapat diregenerasi. Regenerasi dari suatu organisme
lengkap, tergantung pada konsep bahwa semua sel-sel tanaman dapat, apabila diberikan
stimulus yang tepat, akan dapat mengekrpresikan total potensi genetik dari tanaman
induknya. Pemeliharaan dari potensi genetik disebut sebagai ‘totipotensi’ (Adrian Slater
et.al., 2003). Kultur sel tanaman dan regenerasi, pada kenyataannya, menghasilkan bukti
yang paling nyata tentang totipotensi. Meskipun secara praktek masih terdapat banyak
kendala dalam hal mengidentifikasi kondisi kultur dan stimulus yang dibutuhkan untuk
memanifestasikan totipotensi tersebut.
Regenerasi in vitro telah merubah skenario pertanian terutama dalam
pengendalian pertumbuhan dan perkembangan tanaman dalam hal pertumbuhan
vegetatif, perkembangan generatif dan perbanyakan klonal (Altman, 2002). Pengendalian
tersebut sebagian besar disebabkan oleh beberapa penemuan utama seperti antara lain :
totipotensi dan kemampuan regenerasi dari sel dan jaringan tanaman, sebagaimana
terungkap pada kultur sel dan mikropropagasi (Altman, 2002)
Kultur jaringan mendasarkan atas konsep totipotency dari sel. Secara teoritis
artinya tiap-tiap sel dari tanaman memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi suatu
tanaman yang lengkap kalau ditumbuhkan pada lingkungan yang sesuai. Hasil kultur
jaringan disebut ‘mericlone’ Sukses kultur jaringan terletak dalam perbanyakan vegetatif
secara massal terhadap tanaman unggul.
Kultur jaringan tanaman adalah suatu metode atau teknik mengisolasi
bagian tanaman (protoplasma, sel, jaringan dan organ) dan menumbuhkannya
pada media buatan dalam kondisi aseptik di dalam ruang yang terkontrol sehingga
bagian-bagian tanaman tersebut dapat tumbuh dan berkembang menjadi tanaman
lengkap.
Menurut Street (1977), metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu
memperbanyak tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara
generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan,
antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam
jumlah yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan tempat yang luas, mampu
menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat, kesehatan dan mutu
bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan
perbanyakan konvensional. Seiring dengan perkembangan pemahaman dan kemajuan
kultur jaringan, maka dewasa ini teknik-teknik kultur jaringan telah digunakan untuk
berbagai tujuan tidak hanya untuk industri bibit tanaman tetapi juga untuk pemuliaan
berbagai tanaman yang memiliki nilai ekonomi (Zulkarnain, 2009).
Kultur pada umumnya diinisiasi dari potongan steril dari suatu tanaman lengkap.
Potongan ini disebut sebagai ‘eksplan’, dapat terdiri dari potongan organ seperti : daun,
akar, polen, endosperm. Berdasarkan macam bahan yang digunakan, dikenal sejumlah
tipe kultur seperti kultur organ (termasuk biji, meristem, nodus tunggal, potongan daun,
akar, serta tunas), kultur kalus, kultur sel, dan kultur protoplas. Pada dasarnya semakin
muda jaringan akan berkembang lebih cepat sehingga jaringan pada stadium awal
perkembangan adalah yang paling efektif.
Macam tipe kultur (Adrian Slater et.al., 2003) :
Kalus
Eksplan, bila dikulturkan pada medium yang sesuai. Biasanaya dengan auksin dan
sitokinin, dapat tumbuh dan membelah menjadi suatu massa sel yang tidak
terorganisasi.Diduga bahwa setiap jarinagan tanaman dapat digunakan sebagai eksplan,
jika ditemukan suatu kondisi yang tepat.
Kultur kalus seringkali dilakukan pada kondisi gelap, karena cahaya dapat
menimbulkan diferensiasi pada kalus.
Kultur suspensi-sel
Kultur kalus ada dua kategori : kompak atau friable. Pada kalus kompak sel-sel
beragregasi memadat, sedangkan pada kalus friable sel-sel tidak terlalu terikat satu
dengan lainnya dan kalus nya lunak sehingga dapat sangat mudah terpisah antara satu dan
lainnya. Kalus friable merupakan inokulum untuk membentuk kultur suspensi sel.
Protoplas
Protoplas adalah sel tanaman yang dinding sel nya telah dibuang. Umumnya
protoplas diisolasi dari sel-sel mesofil daun atau suspensi sel, walaupun sumber-sumber
lainnya juga dapat digunakan. Cara untuk membuang dinding sel tanpa merusak
protoplas ada dua yaitu : isolasi secara mekanik atau isolasi secara ensimatik.
Isolasi secara mekanis, meskipun mungkin dilaksanakan, seringkali hasilnya
sendikit, kualitas jelek dan penampilan pada kultur tidak baik. Hal mana disebabkan oleh
bahan-bahan yang keluar dari sel-sel yang rusak.
Isolasi secara ensimatik, biasanya dilakukan dalam larutan garam sederhana yang
memiliki osmotikum tinggi, ditambah dengan ensim-ensim penghancur dinding
sel.Biasanya digunakan campuran dari ensim selulase dan pektinase yang berkualitas
tinggi dan kadar kemurnian tinggi. Protoplas sangat mudah rusak, oleh karena itu harus di
kultur secara hati-hati.
Kultur akar
Kultur akar bisa dilakukan secara in vitro dari eksplanberasal dari ujung akar atau
dari akar primer atau akar lateraldan bisa dikulturkan pada media sederhana.
Pertumbuhan akar secara in vitro potensial tidak terbatas, karena akar merupakan organ
indeterminate.
Kultur Pucuk Tunas dan Meristem
Ujung-ujung tunas (yang mengandung meristem apikal tunas) bisa dikultur secara
in vitro, menghasilkan sekelompok tunas-tunas baik berasal dari kuncup aksiler atau
adventif.
Metoda ini dapat digunakan untuk perbanyakan secara klonal.
Kultur meristem tunas merupakan alternatif potensial terutama untuk tanaman
serealia, karena tidak terlalu tergantung pada genotipa dan lebih efisien (kecambah dapat
dipakai sebagai bahan donor).
Kultur embrio
Embrio bisa dipakai sebagai eksplan untuk meregenerasi kultur kalus atau embrio
somatik. Baik embrio ‘immature’ atau’ mature’ dapat dipakai sebagai eksplan. Immature,
embryo-derived embryonic callus merupakan metoda paling populer untuk regenerasi
tanaman monokotil.
Kultur Mikrospora
Jaringan haploid dapat dikultur secara in vitro dengan menggunakan polen atau
anterasebagai eksplan. Polen mengandung gametofit jantan, yang disebut ‘mikrospora’
Baik kalus dan embrio dapat dihasilkan dari polen. Terdapat dua pendekatan untuk
menghasilkan kultur in vitro dari jaringan haploid.
Metoda pertama, tergantung pada penggunaan antera sebagai eksplan. Antera
( jaringan somatik yang mengelilingi dan mengandung polen) dapat dikulturkan pada
medium padat (tidak perlu menggunakan ‘agar’ untuk memadatkan medium karena
mengandung bahan inhibitor).
Regenerasi Tanaman
Setelah mengetahui tipe-tipe utama dari kultur tanaman yang dapat dilakukan
secara in vitro, maka berikutnya adalah mengetahui bagaimana suatu tanaman lengkap
dapat diregenerasi dari kultur tersebut.
Pada umumnya, terdapat dua metoda yang sering digunakan yaitu embriogenesis
somatik dan organogenesis.
Embriogenesis Somatik
Pada embriogenesis somatik (aseksual), struktur embryo-like, yang dapat
berkembang menjadi suatu tanaman lengkap analog dengan embrio sigotik, terbentuk
dari jaringan somatik. Melalui tahapan berikut : single cell – group of cells – globular
embrio – heart shape embrio – torpedo-stage embrio.
Embrio somatik dapat berkembang dari sel-sel tunggal atau dari suatu kelompok
kecil sel-sel. Pembelahan sel yang berulang akan menuju produksi suatu kelompok sel-sel
yang akan berkembang menjadi struktur terorganisir disebut ‘embrio taha—globular’.
Perkembangan selanjutnya menghasilkan embrio tahap hati dan torpedo, darimana
tanaman akan berregenerasi. Embrio sigotik juga melalui perkembangan fundamental
yang sama lewat tahap globular (yang terbentuk setelah tahap sel-16), hati dan torpedo.
Polaritas terbentuk pada awal perkembangan embrio. Sinyal diferensiasi jaringan akan
tampak pada tahap globular dan meristem apikal akan tampak pada embrio tahap-hati.
Organogenesis
Embriogenesis somatik mengandalkan regenerasi tanaman melalui proses analog
dengan perkecambahan embrio sigotik. Sedangkan organogenesis mengandalkan pada
produksi dari organ-organ, baik langsung dari eksplan atau dari suatu kultur kalus
Terdapat tiga metoda regenerasi tanaman melalui organogenesis (Adrian Slater
et.al., 2003) : Dua metoda pertama tergantung pada organ adventif yang muncul dari
kultur kalus atau langsung dari eksplan. Sebagai alternatif, pembentukan dan
pertumbuhan tunas aksiler juga dapat digunakan untuk meregenerasi keseluruhan
tanaman dari beberapa tipe kultur jaringan.
Organogenesis tergantung pada plastisitas ‘inherent’ dari jaringan tanaman, dan
diregulasi dengan merubah komponen medium. Secara khusus, perbandingan antara
auksin dan sitokinin pada medium yang menentukan jalur perkembanagan mana yang
akan diambil oleh jaringan yang berregenerasi tersebut. Untuk menginduksi pembentukan
tunas biasanya dengan meningkatkan ratio sitokinin terhadap auksin pada medium kultur.
Kemudian tunas tersebut akan dapat diakarkan secara relatif mudah.
Kultur suspensi protoplas
Kalus Somatik embriogenesis
Organogenesis
eksplan
Organogenesis langsung
Somatik embriogenesis
Gambar 1.1. Skema sederhana regenerasi eksplan secara embriogenesis atau
organogenesis (Diolah dari Adrian Slater, et.al, 2003).
Suatu eksplan dapat berasal dari berbagai jaringan, tergantung pada spesies
tanaman tertentu yang dikulturkan. Eksplan dapat digunakan untuk menginisiasi berbagai
tipe kultur, tergantung pada eksplan yang digunakan.Regenerasi secara organogenesis
atau embriogenesisakan menghasilkan suatu tanaman lengkap (Adrian Slater et.al.,
2003).
Dalam metode perbanyakan kultur in vitro, pertumbuhan dan perkembangan
eksplan sangat dipengaruhi oleh jenis media dasar dan zat pengatur tumbuh. Media
Murashige and Skoog (MS) ialah media dasar yang umumnya digunakan untuk
perbanyakan maupun berbagai penelitian tanaman anggrek dalam skala laboratorium.
Media dasar tersebut kaya akan mineral dan memberikan hasil yang baik. Walaupun
demikian, pada beberapa spesies tanaman pemakaian media dengan kandungan garam
mineral yang kaya dapat menghambat pertumbuhan kultur. Modifikasi kadar makro dan
mikro dapat lebih menguntungkan (Hutami dan Purnamaningsih, 2003). Dengan
demikian, banyak media dasar yang mempunyai kandungan hara total yang lebih rendah
daripada media MS, misalnya media Vacint and Went (VW) yang mengandung NH4+
lebih rendah. Selain itu, media Vacint and Went (VW) adalah media dasar yang
umumnya dipakai oleh para praktisi dalam perbanyakan anggrek karena lebih efisien.
FAKTOR-FATOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN KULTUR JARINGAN
ANGGREK
TUJUAN INSTRUKSIONAL
Setelah membaca bab III mahasiswa diharapkan dapat :
1. Mengetahui faktor-faktor yang mempengeruhi keberhasilan kultur jaringan
anggrek Dendrobium
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengeruhi keberhasilan kultur jaringan
anggrek Phalaenopsis
Terdapat beberapa faktor yang menentukan keberhasilan awal dalam kultur
jaringan anggrek. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan tersebut antara lain :
keterampilan teknisi, genotipa eksplant, tipe eksplant, kesesuaian medium kultur,
lingkungan tumbuh. Apabila kendala-kendala tersebut dapat diatasi maka perbanyakan
tanaman anggrek secara massal dalam skala komersial dapat tercapai.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Kultur Jaringan Anggrek
Dendrobium
1. Genotip Tanaman
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis
eksplan dalam kultur in-vitro ialah genotip tanaman asal eksplan diisolasi. Pengaruh
genotip ini umumnya berhubungan erat dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi
pertumbuhan eksplan, seperti kebutuhan nutrisi, zat pengatur tumbuh, lingkungan kultur,
dan lain-lain. Perbedaan respon genotip tanaman tersebut dapat diamati pada perbedaan
eksplan masing-masing varietas untuk tumbuh dan beregenerasi. Masing-masing varietas
tanaman berbeda kemampuannya dalam merangsang pertumbuhan tunas aksilar, baik
jumlah tunas maupun kecepatan pertumbuhan tunas aksilarnya. Hal serupa juga terjadi
pada pembentukan kalus, laju pertumbuhan kalus serta regenerasi kalus menjadi tanaman
lengkap baik melalui pembentukan organ-organ adventif maupun embrio somatik.
Regenerasi dan perkembangan organ adventif dan somatic embrio juga sangat ditentukan
oleh varietas tanaman induk. Perbedaan pengaruh genetik ini disebabkan karena
perbedaan kontrol genetik dari masing-masing varietas serta jenis kelamin tanaman induk
(Anon, 2008b).
2. Media Kultur
Menurut Gunawan (1990), perbedaan komposisi media, komposisi zat pengatur
tumbuh dan jenis media yang digunakan akan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan
regenerasi eksplan yang dikulturkan
a. Komposisi media
Perbedaan komposisi media, seperti jenis dan komposisi garam-garam anorganik,
senyawa organik sangat mempengaruhi respon eksplan saat dikulturkan. Nitrogen, fosfor,
kalium, kalsium, magnesium dan sulfur merupakan komponen makro garam mineral
yang dibutuhkan dalam media kultur jaringan. Di samping unsur-unsur mikro, sel-sel
tanaman juga membutuhkan unsur-unsur mikro tertentu. Unsur hara mikro yang biasa
ditambahkan antara lain iodium, asam borat, mangan, seng, molibdenum, tembaga,
kobalt dan besi. Media juga mengandung sumber karbon dan energi yang umumnya
bersumber dari sukrosa atau glukosa sebanyak 2-3% atau 20-30 g/l media (Nayak et al.,
1997; Meesawat dan Kanchanapoom, 2002; Puchooa, 2004, Utami et.al., 2007).
Suplemen organik biasa ditambahkan ke dalam media untuk memacu pertumbuhan
eksplan, seperti air kelapa, bubur pisang, jus tomat, madu, ekstrak daging (Aktar et al.,
2008).
b. Komposisi hormon pertumbuhan
Hormon pertumbuhan atau zat pengatur tumbuh (ZPT) berperan merangsang dan
meningkatkan pertumbuhan serta perkembangan sel, jaringan dan organ tanaman menuju
arah diferensiasi tertentu. ZPT yang sering digunakan dalam kultur in-vitro ialah
golongan auksin dan sitokinin. Auksin yang umum dipakai ialah IAA (Indole Acetic
Acid), IBA (Indole Butyric Acid), NAA (Naphtalena Acetic Acid) dan 2,4-D (2,4-
dichlorophenoxy Acetic Acid). Sitokinin yang paling banyak digunakan ialah kinetin BA
(Benzil Adenin), BAP (Benzil Adenin Phosphat) dan zeatin (Zulkarnain, 2009). Hasil
penelitian pada Dendrobium candidum menunjukkan bahwa BA paling efektif dalam
menginduksi kalus dari eksplan dibandingkan NAA, kinetin dan 2,4-D. Induksi kalus
mengalami kenaikan pada konsentrasi 0-8,8μM dan menurun pada konsentrasi di atas
8,8-22,2 μM (Zhao et al., 2008).
c. Keadaan fisik media
Dalam kultur jaringan, media yang digunakan dapat berupa media padat, media
semi padat dan media cair. Media yang umum digunakan ialah media padat dan media
cair. Pada anggrek, media cair biasa digunakan untuk induksi PLB, di mana botol-botol
berisi media cair dan eksplan digojog dengan shaker atau penggojog dengan putaran 60-
120 rpm (Soeryowinoto dan Soeryowinoto, 1984). Media padat, selain untuk induksi akar
dan tunas (Soeryowinoto dan Soeryowinoto, 1984), juga dapat digunakan untuk induksi
kalus dan PLB pada anggrek (Aktar et al., 2008; Utami, 2007; Meesawat dan
Kanchanapoom, 2002; Zhao et al, 2008), Nayak et al., 1997).
3. Lingkungan tumbuh
Lingkungan kultur merupakan hasil interaksi antara bahan tanaman, wadah kultur
dan lingkungan eksternal ruang kultur yang memiliki pengaruh besar terhadap suatu
sistem kultur jaringan.
a. Suhu
Peranan suhu lebih kritis pada kultur in vitro disbandingkan kultur in vivo. Hal itu
dikarenakan sifat jaringan yang peka dan kurangnya mekanisme perlindungan terhadap
jaringan tersebut (Zulkarnain, 2009). Pada sebagian besar laboratorium, suhu yang
digunakan ialah konstan, yaitu 25°C (kisaran suhu 17 - 32°C). Tanaman tropis umumnya
dikulturkan pada suhu yang sedikit lebih tinggi dari tanaman empat musim, yaitu 27°C
(kisaran suhu 24 - 32°C). Meskipun hampir semua tanaman dapat tumbuh pada kisaran
suhu tersebut, namun kebutuhan suhu untuk masing-masing jenis tanaman umumnya
berbeda-beda. Tanaman dapat tumbuh dengan baik pada suhu optimumnya. Pada suhu
ruang kultur dibawah optimum, pertumbuhan eksplan lebih lambat, namun pada suhu
diatas optimum pertumbuhan tanaman juga terhambat abibat tingginya laju respirasi
eksplan. Untuk anggrek suhu optimum yang biasa digunakan pada kultur in vitro ialah 25
(Untari et al., 2006; Ishii et al., 1998), 25±1°C (Aktar et al., 2008; Nayak et al., 1997),
25±2°C (Meesawat dan Kanchanapoom, 2002; Zhao et al., 2008), dan 26±2°C (Puchooa,
2004).
b. Kelembaban relatif
Kelembaban merupakan factor penting yang sangat menentukan keberhasilan
kultur in vitro. Kelembaban relatif dalam ruang kultur sekitar 70% (Anon, 2008b;
Zulkarnain, 2009), namun kebutuhan kelembaban di dalam wadah kultur mendekati 90%.
George dan Sherrington (1984) menyatakan bahwa embrioid Daucus carota tumbuh
sangat baik pada kelembaban 80-90% dan akan mati bila kelembaban di bawah 60%.
Kelembaban relative yang biasa digunakan pada kultur in vitro anggrek ialah 55-60%
(Nayak et al., 1997), 70% (Untari et al., 2006).
c. Cahaya
Pada perbanyakan tanaman secara in-vitro, kultur umumnya diinkubasikan pada
ruang penyimpanan dengan penyinaran. Tunas-tunas umumnya dirangsang
pertumbuhannya dengan penyinaran, kecuali pada teknik perbanyakan yang diawali
dengan pertumbuhan kalus. Sumber cahaya pada ruang kultur ini umumnya ialah lampu
flourescent (TL). Hal ini disebabkan karena lampu TL menghasilkan cahaya warna putih,
selain itu sinar lampu TL tidak meningkatkan suhu ruang kultur secara drastis (hanya
meningkat sedikit). Lama penyinaran umumnya diatur sesuai dengan kebutuhan tanaman
sesuai dengan kondisi alamiahnya. Periode terang dan gelap umumnya diatur pada
kisaran 8 - 16 jam terang dan 16 - 8 jam gelap tergantung varietas tanaman dan eksplan
yang dikulturkan (Rahardja, 1994). Kultur in vitro anggrek menggunakan iluminasi
bervariasi sebesar 2000-3000 lux (Aktar et al., 2008), 3000 lux (Utami et.al., 2007),
20μmol/m2/s (Meesawat dan Kanchanapoom, 2002), 30-34 μmol/m2/s (Zhao et al, 2008),
Nayak et al., 1997) dan 50 μmol/m2/s (Puchooa, 2004) dengan periode terang 16 jam
(Aktar et al., 2008; Nayak et al., 1997; Meesawat dan Kanchanapoom, 2002; Puchooa,
2004).
4. Kondisi eksplan
Semakin tua organ tanaman eksplan yang diambil, proses pembelahan dan
regenerasi sel cenderung untuk turun. Umumnya eksplan yang berasal dari jaringan
tanaman yang masih muda (juvenil) lebih mudah tumbuh dan beregenerasi dibandingkan
dengan jaringan yang telah terdiferensiasi lanjut. Ukuran eksplan juga mempengaruhi
laju keberhasilan kultur jaringan. Eksplan dengan ukuran kecil lebih mudah disterilisasi
dan kemungkinan terjadinya kontaminasi kecil, namun kemampuannya untuk
beregenerasi juga lebih kecil sehingga dibutuhkan media yang lebih kompleks untuk
pertumbuhan dan regenerasinya (Zulkarnain, 2009).
5. Alat
Laboratorium yang digunakan untuk proses kultur jaringan harus memenuhi
standar kelengkapan laboratorium seperti ruangan rak yang digunakan untuk proses
pembuatan media dan penyimpanan gelas kimia yang steril. Laboratorium kultur jaringan
membutuhkan gelas kimia, tabung Erlenmeyer, gelas medium, test tube, petri dishes,
gelas ukur, beckerglass, pippet yang benar-benar terpilih dan disterilkan.
6. Sterilisasi peralatan, media dan bahan tanam
Media kultur jaringan umumnya membutuhkan media dan nutrisi yang cocok bagi
pertumbuhan sel tanaman, juga bebas dari bakteri dan jamur. Karena itu perlu adanya
sterilisasi media, seperti cawan kultur, peralatan dan bahan yang tidak terkontaminasi.
Peralatan dan media yang akan digunakan disterilkan dalam autoclave bersuhu
121°C selama 15-20 menit (Aktar et al., 2008; Meesawat dan Kanchanapoom, 2002;
Zhao et al, 2008; Nayak et al., 1997; Puchooa, 2004). Sterilisasi bahan tanam
dilakukan melalui pencucian dengan deterjen dan perendaman dalam bahan sterilisasi
seperti natrium hipoklorit, kalsium hipoklorit, alkohol, betadine dan benlate. Kepekatan
bahan sterilan dan lamanya perendaman menentukan keberhasilan strerilisasi. Bahan
strerilan pun dapat meracuni jaringan, karena itu tingkat konsentrasi dan lama
perendaman harus benar-benar diperhatikan (Zulkarnain, 2009).
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan kultur jaringan anggrek
Phalaenopsis
1. Media tanam
Media tanam dalam kultur jaringan ialah tempat untuk tumbuh eksplan. Menurut
Wetter dan Constabel (1991), keberhasilan dalam teknologi serta penggunaan metode in
vitro terutama disebabkan oleh pengetahuan yang baik tentang kebutuhan hara sel dan
jaringan yang dikulturkan. Hara terdiri dari komponen utama dan komponen tambahan.
Komponen utama meliputi garam mineral, sumber karbon (gula), vitamin dan pengatur
tumbuh. Komponen lain seperti senyawa nitrogen organik, berbagai asam organik,
metabolit dan ekstrak tambahan tidak mutlak, tetapi dapat menguntungkan ketahanan sel
dan perbanyakannya.
Media tanam harus berisi semua zat yang diperlukan untuk menjamin
pertumbuhan eksplan (Hendaryono dan Wijayani, 2002). Campuran media yang satu
mungkin cocok untuk jenis-jenis tanaman tertentu, tetapi tidak cocok untuk jenis-jenis
tanaman yang lainnya. Menurut Zulkarnain (2009), kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan
kultur in vitro yang optimal bervariasi antar spesies ataupun antar varietas. Bahkan,
jaringan yang berasal dari bagian tanaman yang berbeda pun akan berbeda kebutuhan
nutrisinya. Media dasar yang sering digunakan untuk kultur jaringan anggrek
Phalaenopsis ialah media Vacint and Went (Lin, 1986; Lin, 1987; Ishi et al., 1998),
Murashige and Skoog (Park, Murthy dan Paek, 2002; Wang et al., 2004; Nhut et al.,
2006), ½ Murashige and Skoog (Chen dan Chang, 2004; Kuo et al., 2005), New
Phalaenopsis (Islam dan Ichihashi, 1999; Utami et al., 2007) dan New Dogashima
Medium (Tokuhara dan Mii, 2001).
Dalam metode perbanyakan melalui kultur in vitro pertumbuhan dan
perkembangan eksplan sangat dipengaruhi oleh jenis media dasar dan zat pengatur
tumbuh. Media MS merupakan media dasar yang umumnya digunakan untuk
perbanyakan sejumlah besar spesies tanaman. Media dasar tersebut kaya akan mineral
yang merangsang terjadinya organogenesis. Walaupun demikian, pada beberapa spesies
tanaman pemakaian media dengan kandungan garam mineral yang kaya dapat
menghambat pertumbuhan kultur. Modifikasi kadar makro dan mikro dapat lebih
menguntungkan (Hutami dan Purnamaningsih, 2003). Dengan demikian, banyak media
dasar yang mempunyai kandungan hara total yang lebih rendah dari pada media MS lebih
efektif dalam memacu proses diferensiasi, misalnya media Vacint and Went yang
mengandung NH4+ lebih rendah.
2. Seleksi bahan eksplan
Seleksi bahan eksplan yang cocok ialah faktor penting yang menentukan
keberhasilan program kultur jaringan (Zulkarnain, 2009). Pierik (1997) mengemukakan
tiga aspek utama yang harus diperhatikan dalam seleksi bahan tanam eksplan, yaitu
genotip, umur dan kondisi fisiologis bahan tersebut. Kemampuan regenerasi setiap
genotip juga sangat berbeda. Kondisi fisiologis eksplan memiliki peranan penting bagi
keberhasilan teknik kultur jaringan (Zulkarnain, 2009). Penggunaan eksplan yang bersifat
meristematik umumnya memberikan keberhasilan pembentukan embrio somatik yang
lebih tinggi (Purnamaningsih, 2002).
Faktor lain yang mempengaruhi laju keberhasilan kultur jaringan, namun bukan
merupakan faktor utama ialah ukuran eksplan yang digunakan (Zulkarnain, 2009).
George dan Sherington (1984) menyatakan bahwa semakin kecil ukuran eksplan, akan
semakin kecil pula kemungkinan terjadinya kontaminasi, baik secara internal maupun
eksternal, namun laju kehidupan pun akan rendah. Sebaliknya, semakin besar ukuran
eksplan, akan semakin besar pula kemungkinan untuk berhasilnya proliferasi, namun
kemungkinan untuk terjadinya kontaminasi mikroorganisme akan semakin besar.
Pierik (1987) menyatakan bahwa bagian tangkai bunga dapat digunakan sebagai
eksplan pada anggrek Phalaenopsis yaitu pada pucuk yang dorman. Sebab tunas
terbentuk dari calon tunas bunga yang muda atau tunas yang merupakan dasar bagian
vegetatif yang belum aktif. Selain tangkai bunga, eksplan yang bisa digunakan dalam
kultur jaringan anggrek Phalaenopsis ialah protocorm like bodies (plb) yang berasal dari
biji (Chen dan Chang, 2004), plb dari potongan daun in vitro yang berasal dari biji (Ishi
et al., 1998; Utami et al., 2007) dan daun yang berasal dari kultur in vitro tangkai bunga
(Park et al., 2002; Kuo et al., 2005).
3. Sterilisasi bahan eksplan
Zulkarnain (2009) mengemukakan beberapa sumber kontaminasi mikroorganisme
pada sistem kultur jaringan sebagai berikut:
1. Medium sebagai akibat proses sterilisasi yang tidak sempurna.
2. Lingkungan kerja dan pelaksanaan penanaman yang kurang hati-hati dan kurang
teliti.
3. Eksplan. Kontaminasi eksplan dapat terjadi secara internal (kontaminan terbawa
dalam jaringan) maupun secara eksternal (kontaminan berada di permukaan eks-
plan) akibat prosedur sterilisasi yang kurang sempurna.
4. Dari serangga atau hewan kecil yang berhasil masuk kedalam botol kultur setelah
diletakkan di dalam ruang kultur ataupun ruang stok.
Menurut Zulkarnain (2009), dari semua sumber kontaminasi, yang paling sulit
diatasi ialah yang berasal dari eksplan. Oleh karena itu, dalam memilih suatu metode
sterilisasi haruslah selektif, kita hanya mengeliminasi jamur atau bakteri yang tidak
diinginkan dengan gangguan seminimal mungkin terhadap bahan eksplan.
4. Zat Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh ialah salah satu faktor yang menentukan keberhasilan kultur
in vitro, seperti auksin (Tokuhara dan Mii, 2001) dan sitokinin (Kuo et al., 2005; Park et
al., 2003). Penambahan zat pengatur tumbuh tanaman pada media kultur jaringan
dimaksudkan untuk pembelahan sel (Wetter dan Constabel, 1991). Apabila ZPT tidak
ditambahkan kedalam medium maka pertumbuhan eksplan atau plantlet akan terhambat
bahkan mungkin tidak tumbuh sama sekali (Hendaryono dan Wijayani, 2002).
a. Auksin
Auksin ialah sekelompok senyawa yang fungsinya merangsang pemanjangan sel-
sel pucuk yang spektrum aktivitasnya menyerupai IAA (indole-3-acetic acid)
(Zulkarnain, 2009). Pengaruh rangsangan auksin terhadap jaringan berbeda-beda. Pada
kadar yang tinggi, auksin lebih bersifat menghambat daripada merangsang pertumbuhan
(Hendaryono dan Wijayani, 2002). Pierik (1997) menyatakan bahwa pada umumnya
auksin meningkatkan pemanjangan sel, pembelahan sel dan pembentukan akar adventif.
Auksin berpengaruh pula untuk menghambat pertumbuhan tunas adventif dan tunas
aksilar, namun kehadirannya dalam medium kultur dibutuhkan untuk meningkatkan
embriogenesis somatik pada kultur suspensi sel.
Auksin yang paling banyak digunakan dalam kultur in vitro anggrek Phalaenopsis
ialah α-naphtaleneacetic acid (NAA) (Tokuhara and Mii, 2001; Park et al., 2002; Wang et
al., 2004; Utami et al., 2007) dan 2,4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) (Ishii et al.,
1998). Berdasarkan penelitian Utami et al. (2007), konsentrasi NAA yang optimal untuk
induksi pembentukan kalus embriogenik dan inisiasi embrio somatik pada anggrek bulan
adalah 2 mg/l.
b. Sitokinin
Sitokinin ialah senyawa yang dapat meningkatkan pembelahan sel pada jaringan
tanaman serta mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Zulkarnain, 2009).
Pengaruh sitokinin didalam kultur jaringan antara lain berhubungan dengan proses
pembelahan sel, proliferasi tunas ketiak, penghambat pertumbuhan akar. Pada kultur
jaringan tanaman jika eksplan merupakan tunas pucuk atau stek maka sitokinin dapat
mendorong proliferasi tunas.
Baik auksin maupun sitokinin, keduanya seringkali diberikan secara bersamaan
pada medium kultur untuk menginduksi pola morfogenesis tertentu, walupun rasio yang
dibutuhkan untuk induksi perakaran maupun pucuk tidak selalu sama (Zulkarnain, 2009).
Berdasarkan penelitian Tokuhara and Mii (2001), pemberian 0,5 µM NAA, 4,4 µM BA
dan 29,2 mM sukrosa pada media New Dogashima Medium (NDM) dapat menginduksi
kalus embriogenik sebesar 73% pada eksplan tangkai bunga Phalaenopsis. Sedangkan
pada penelitian Wang et al. (2004), penambahan 3 mg/l BA yang dikombinasikan dengan
0,1 mg/l NAA pada media MS menghasilkan 80% protocorm like bodies tanpa
penambahan bahan organik. Park et al. (2002) menggunakan 88,8 µM BA dan 5,4 µM
NAA pada media MS untuk menghasilkan rata-rata 10-13 protocorm like bodies setelah
12 minggu.
5. Lingkungan tumbuh kultur jaringan anggrek Phalaenopsis
a. Suhu
Read (1990) menyatakan bahwa faktor suhu berpengaruh secara langsung
terhadap perkembangan sel dan jaringan, pembentukan organ tanaman dan berkaitan erat
dengan siklus perkembangan tanaman yang berada di bawah pengaruh enzim. Peranan
suhu lebih kritis pada kultur in vitro dibandingkan kultur in vivo. Hal itu dikarenakan
sifat jaringan yang peka dan kurangnya mekanisme perlindungan terhadap jaringan
tersebut.
Suhu optimum untuk terjadinya morfogenesis tidak selalu sama untuk setiap
spesies tanaman (Zulkarnain, 2009). Menurut George dan Sherrington (1984), rata-rata
suhu yang dibutuhkan pada kultur jaringan adalah 3-40C lebih tinggi daripada kultur in
vivo. Karena suhu di dalam wadah kultur biasanya 3-40C lebih tinggi daripada suhu
ruang kultur maka suhu di dalam ruang kultur dapat diatur, mengacu pada suhu optimum
pertumbuhan tanaman secara in vivo. Suhu yang dibutuhkan untuk dapat terjadi
pertumbuhan yang optimum umumnya berkisar antara 20-300C (Hendaryono dan
Wijayani, 2002). Kisaran suhu yang sering digunakan dalam kultur jaringan anggrek
Phalaenopsis ialah 23±10C (Tokuhara dan Mii, 2001; Utami et al., 2007), 24±10C (Kosir
et al., 2004), 250C (Ishii et al., 1998), 25±10C (Park et al., 2003), 25±20C (Wang et al.,
2004; Nhut et al., 2006) dan 26±10C (Chen dan Chang, 2004; Kuo et al., 2005).
b. Cahaya
Menurut Hendaryono dan Wijayani (2002), intensitas cahaya yang rendah
mempertinggi embriogenesis dan organogenesis. Cahaya ultraviolet dapat mendorong
pertumbuhan dan pembentukan tunas dari kalus tembakau pada intensitas yang rendah.
Sebaliknya, pada intensitas yang tinggi proses ini akan terhambat. Pembentukan kalus
maksimum sering terjadi di tempat yang lebih gelap. Menurut George dan Sherrington
(1984), pertumbuhan in vitro jaringan tanaman yang telah terorganisasi pada umumnya
tidak mengalami hambatan karena cahaya, bahkan cahaya seringkali dibutuhkan untuk
mendapatkan hasil yang optimal. Sebaliknya, inisiasi pembelahan sel pada eksplan dan
pertumbuhan jaringan kalus kadang-kadang mengalami hambatan dengan adanya cahaya.
Dalam hal ini, terdapat perbedaan yang jelas antarjaringan berbagai spesies tanaman
dalam kaitannya dengan respon jaringan tersebut terhadap cahaya.
Selain intensitas cahaya, lama penyinaran atau fotoperiodisitas juga
mempengaruhi pertumbuhan eksplan yang dikulturkan. Lama penyinaran umumnya
diatur sesuai dengan kebutuhan tanaman yaitu sesuai dengan kondisi alamiahnya. Periode
terang dan gelap umumnya diatur pada kisaran 8-16 jam terang dan 16-8 jam gelap
tergantung varietas tanaman dan eksplan yang dikulturkan (Wardiyati, 1998).
c. Kelembaban
Kelembaban ialah faktor penting yang sangat menentukan keberhasilan kultur in
vitro berbagai spesies tanaman (Zulkarnain, 2009). Kelembaban relatif didalam ruang
kultur sekitar 70%, namun kebutuhan kelembaban didalam wadah kultur mendekati 90%.
Kelembaban relatif dalam botol kultur dengan mulut botol yang ditutup umumnya cukup
tinggi, yaitu berkisar antara 80-99%. Jika mulut botol ditutup agak longgar maka
kelembaban relatif dalam botol kultur dapat lebih rendah dari 80%.
METODA KULTUR IN VITRO
TUJUAN INSTRUKSIONAL
Setelah membaca bab V mahasiswa diharapkan dapat :
1. Mengerti tentang tahapan kultur jaringan
2. Pelaksanaan kultur jaringan pada anggrek Dendrobium
3. Pelaksanaan kultur jaringan pada anggrek Phalaenopsis
Tahapan Kultur Jaringan
Menurut Street (1977), tahapan yang dilakukan dalam perbanyakan tanaman
dengan teknik kultur jaringan ialah:
1. Pembuatan media
Media merupakan salah satu faktor penentu penting dalam perbanyakan dengan
kultur jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang
akan diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin,
dan hormon. Selain itu, diperlukan juga bahan tambahan seperti agar, gula, dan lain-lain.
Zat pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya maupun
jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur jaringan yang dilakukan. Media yang
sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol gelas. Media yang digunakan
juga harus disterilkan dengan cara memanaskannya dalam autoklaf.
Unsur-unsur penting dalam media kultur in vitro dapat dibagi dalam tiga kategori
berikut :
1. Unsur makro (nutrisi makro)
2. Unsur mikro (nutrisi mikro
3. Sumber ‘iron’
Medium kultur sel tanaman biasanya dibuat dengan cara mengkombinasikan beberepa
komponen yang berbeda, seperti tersaji dalam tabel berikut.
Tabel 5.1. Beberapa unsur penting untuk nutrisi tanaman pada penanaman secara in
vitro dan fungsi fisiologi nya (Adrian Slater, et.al., 2003)
Unsur Fungsi
Nitrogen Komponene protein, asam nukleat dan beberapa koensim. Unsur
ini dibutuhkan dalam jumlah banyak
Potassium Regulasi potensial osmotik, sebagai kation anorganik utama
Calcium Sintesa dinding sel, fungsi membran, signal untuk sel
Magnesium Kofaktor ensim, komponen kloropil
Phosphorus Komponen asam nukleat, transfer energi, komponen intermediate
pada respirasi dan fotosintesis
Sulphur Komponen dari beberapa asam-asam amino ( metionin, sistin)
dan beberapa kofaktor
Chlorine Diperlukan untuk fotosintesis
Iron Transfer elektron sebagai komponen dari sitokrom
Manganese Kofaktor ensim
Cobalt Komponen dari beberapa vitamin
Copper Kofaktor ensim, reaksi transfer-eleketron
Zinc Kofaktor ensim, biosintesis kloropil
Molybdenum Kofaktor ensim, komponen dari nitrat reduktase
Tabel 5.2. Komposisi Media Murashige and Skoog (MS)
Senyawa mg/l
NH4NO3 1650,000KNO3 1900,000CaCl2.2H2O 440,000MgSO4.7H2O 370,000KH2PO4 170,000KI 0,830H3BO3 6,200MnSO4.4H2O 22,300ZnSO4.7H2O 8,600Na2MoO4.2H2O 0,250CuSO4.5H2O 0,025CoCl2.6H2O 0,025Na2EDTA 37,300FeSO4.7H2O 27,800Sukrosa 30.000,000Agar 7.000,000pH 5,6-5,8
Sumber : (Adrian Slater, et.al., 2003)
Tabel 5.3. Komposisi Media Vacint and Went (VW)
Senyawa mg/lNH4NO3 500,000KNO3 525,000KH2PO4 250,000KI 0,830H3BO3 6,200MgSO4.7H2O 250,000MnSO4.4H2O 7,000(Ca2)3PO4 250,000Na2EDTA 37,300FeSO4.7H2O 27,800Sukrosa 20.000,000Agar 7.000,000pH 5,3Air kelapa 150 ml
Sumber : (Piluek dan Bunchai, 2008)
2. Inisiasi
Inisiasi ialah pengambilan eksplan dari bagian tanaman yang akan dikulturkan.
Bagian tanaman yang sering digunakan untuk kegiatan kultur jaringan ialah tunas.
3. Sterilisasi
Semua kegiatan dalam kultur jaringan harus dilakukan di tempat yang steril yaitu
di laminar flow atau enkas dan menggunakan alat-alat yang juga steril. Sterilisasi juga
dilakukan terhadap peralatan, yaitu menggunakan etanol yang disemprotkan secara
merata pada peralatan yang digunakan. Teknisi yang melakukan kultur jaringan dan
eksplan yang akan digunakan juga harus steril.
4. Multiplikasi
Multiplikasi ialah kegiatan memperbanyak calon tanaman dengan menanam
eksplan pada media. Kegiatan ini dilakukan di laminar flow untuk menghindari adanya
kontaminasi yang menyebabkan gagalnya pertumbuhan eksplan. Tabung reaksi yang
telah ditanami ekplan diletakkan pada rak-rak dan ditempatkan di tempat yang steril
dengan suhu kamar.
5. Pengakaran
Pengakaran ialah fase dimana eksplan akan menunjukkan adanya pertumbuhan
akar yang menandai bahwa proses kultur jaringan yang dilakukan mulai berjalan dengan
baik. Pengamatan harus dilakukan setiap hari untuk melihat pertumbuhan dan
perkembangan akar serta untuk melihat adanya kontaminasi oleh bakteri ataupun jamur.
Eksplan yang terkontaminasi akan menunjukkan gejala seperti berwarna putih kuning,
hijau ataupun biru. Kontaminasi umumnya diakibatkan oleh mikroorganisme cendawan
atau bakteri yang mengakibatkan eksplan busuk dan akhirnya mati.
6. Aklimatisasi
Aklimatisasi ialah kegiatan memindahkan eksplan keluar dari ruangan aseptic ke
bedeng. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan memberikan
sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama
penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan hama penyakit
dan udara luar. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara
bertahap sungkup dilepaskan dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama
dengan pemeliharaan bibit generatif.
5.1. Dendrobium
Induksi Mata Tunas dan Kalus dengan Eksplan Tunas
1. Pembuatan larutan stok media
Masing-masing senyawa untuk tiap media serta BA dan NAA dibuat larutan
stoknya. Pembuatan larutan stok bertujuan untuk menghemat waktu dan memudahkan
pekerjaan menimbang berulang-ulang untuk setiap kali pembuatan media.
Untuk senyawa makro, BA, dan NAA, dibuat larutan stok dengan kepekatan 10
kali. Untuk senyawa mikro dan stok Fe-EDTA, masing-masing dibuat dengan kepekatan
100 kali.
Untuk menghitung jumlah senyawa yang diperlukan digunakan rumus sebagai
berikut : Kepekatan larutan stok x berat senyawa per liter media
1 liter /volume larutan stok
Senyawa yang telah ditimbang, dilarutkan dengan aquades sampai volume yang
diinginkan. Kemudian wadah larutan stok diberi label, ditutup rapat dan disimpan dalam
lemari pendingin.
2. Pembuatan media tanam
Langkah pertama dalam pembuatan media ialah mempersiapkan peralatan yang
akan digunakan, larutan stok senyawa makro, stok senyawa mikro, stok Fe-EDTA, stok
BA, dan stok NAA, air kelapa, agar-agar, sukrosa (gula pasir) dan aquades (air steril).
Larutan stok memiliki kepekatan yang lebih besar dari kepekatan media, jadi untuk
mendapatkan media dengan konsentrasi yang yang sesuai harus dilakukan pengenceran
larutan stok. Volume larutan stok yang harus diambil untuk dilarutkan dihitung
menggunakan rumus :
Konsentrasi media yang ingin dibuat x volume media yang ingin dibuat
Kepekatan larutan stok x volume larutan stok
Masing-masing larutan stok yang sudah diukur, dicampur menjadi satu dengan
sukrosa (gula pasir), ditambahkan aquades sampai volume yang diinginkan. Untuk media
VW, ditambah 150 ml air kelapa muda sebelum ditambah aquades. Kemudian larutan
tersebut diaduk dan diukur pH-nya. pH untuk media ½ MS sebesar 5,8 dan untuk VW
sebesar 5,3. Jika pH terlalu rendah maka ditambah larutan NaOH dan jika pH terlalu
tinggi ditambah HCl. Kemudian ditambahkan agar dan dipanaskan sampai mendidih.
Larutan media dimasukkan ke dalam botol yang telah disterilisasi sebanyak 25 ml
per botol dan ditutup dengan penyumbat karet. Media dan alat-alat untuk inisiasi eksplan
disterilisasi dengan autoklaf. Media yang telah steril dimasukkan ke dalam ruang kultur.
3. Inisiasi, Sterilisasi Alat dan Bahan
Untuk bahan tanam berupa tunas adventif, dipilih tunas yang masih muda dan
sehat dengan panjang ±10 cm. Tunas dipisahkan dari induknya kemudian dicuci dengan
perlahan dengan air mengalir, kemudian digojog dalam larutan deterjen cair (Teepol).
Setelah tunas bersih, dilakukan sterilisasi permukaan. Sterilisasi dilakukan dua kali,
sterilisasi luar dan sterilisasi di dalam enkas. Sterilisasi pertama, dengan mengocok tunas
dalam cairan Clorox 12 % + 1 tetes Teepol selama 15 menit. Kemudian bagian pucuk dan
pangkal tunas dipotong sedikit, disemprot dengan alcohol 70 % dan dimasukkan ke
dalam enkas. Sterilisasi kedua dengan mengocok eksplan pada larutan Clorox 6 % + 1
tetes Teepol selama 10 menit kemudian dibilas dengan air steril sebanyak tiga kali.
Setelah 40 hari, mata tunas dipotong-potong (Meesawat dan Kanchanapoom, 2002) dan
disubkultur pada media VW, VW + BA 1mg/l + NAA 0,1mg/l, ½ MS dan ½ MS+ BA
1mg/l + NAA 0,1mg/l untuk induksi kalus.
Gambar 5.1. Tunas Dendrobium spectabile
4. Inokulasi eksplan
Inokulasi eksplan dilakukan dalam entkas yang steril. Alat-alat yang akan
digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi sebagai
berikut :
Setelah alat-alat disterilkan dengan membakar diatas api Bunsen, seludang yang
menutup tunas dibuka satu per satu mulai dari bagian bawah sampai terlihat mata tunas.
Seludang harus dibuka dengan hati-hati tanpa melukai mata tunas. Tunas dipotong sekitar
3 mm diatas dan dibawah mata tunas. Masing-masing eksplan memiliki satu mata tunas.
Eksplan ditanam pada botol kultur dan dimasukkan ke dalam ruang kultur. Kebutuhan
cahaya dipenuhi dengan menggunakan lampu TL 40 watt dengan periode terang selama
16 jam dan periode gelap selama 8 jam dan suhu 25±2°C.
Induksi Kalus, PLB, dan Tunas dengan Eksplan PLB
Setelah 40 hari, mata tunas dipotong-potong (Meesawat dan Kanchanapoom, 2002)
dan disubkultur pada media VW, VW + BA 1mg/l + NAA 0,1mg/l, ½ MS dan ½ MS+
BA 1mg/l + NAA 0,1mg/l untuk induksi kalus. Eksplan ditanam pada botol kultur dan
dimasukkan ke dalam ruang kultur. Kebutuhan cahaya dipenuhi dengan menggunakan
lampu TL 40 watt dengan periode terang selama 16 jam dan periode gelap selama 8 jam
dan suhu 25±2°C.
Gambar 5.2. Plb Dendrobium spectabile pada 1/2MS+BA
Untuk bahan tanam berupa PLBs tidak diperlukan sterilisasi eksplan, akan tetapi
botol yang berisi PLBs harus dibersihkan dan disemprot dengan alcohol 70% terlebih
dahulu sebelum dimasukkan ke dalam enkas. PLB diambil dari dalam botol, dicuci
dengan air steril untuk menghilangkan sisa-sisa agar. Eksplan dipotong menjadi dua
secara membujur kemudian ditanam dalam botol kultur. Masing-masing botol berisi
sepuluh eksplan. Botol-botol kultur kemudian dikulturkan dalam keadan gelap (Zhao et
al., 2008) selama 40 hari. Keadaan gelap dilakukan dengan memasukkan botol kultur ke
dalam kardus yang sudah disterilkan terlebih dahulu.
Setelah 40 hari, eksplan yang berasal dari percobaan 2 tahap 1 dikeluarkan dari
botol sebelumnya menggunakan pipet panjang, kemudian disubkultur pada media VW,
VW + BA 8,8µM, ½ MS dan ½ MS+BA 8,8µM selama 40 hari. Eksplan dikulturkan
pada media yang berkesesuaian dengan media pada tahap 1. Eksplan yang sebelumnya
ditanam pada media tanpa tambahan BA dikulturkan kembali pada media tanpa BA dan
eksplan yang sebelumnya ditanam pada media dengan tambahan BA dikulturkan kembali
pada media dengan BA. Konsentrasi BA lebih tinggi, yaitu sebesar 8,8 mM.L-1 atau
setara dengan 2 mg.L-1 BA.
5.2. Phalaenopsis
Interaksi eksplan tangkai bunga dengan media kultur dalam menginduksi tunas
1. Pembuatan larutan stok media
Pembuatan larutan stok bertujuan untuk menghemat waktu dan memudahkan
pekerjaan menimbang bahan yang berulang-ulang untuk setiap kali pembuatan media,
karena bahan yang ditimbang jumlahnya sangat kecil. Media yang digunakan ada dua
macam, yaitu media MS dan VW. Cara pembuatan larutan stok MS sebagai berikut:
- Senyawa makro dan mikro (lampiran) masing-masing dipekatkan 10 kali dan 100
kali kemudian ditimbang.
- Tiap-tiap senyawa makro dilarutkan dengan aquadest kemudian dicampur dan
ditambahkan aquadest hingga volume 500 ml. Begitu juga dengan senyawa mikro
dan Fe-EDTA, namun volume stok yang dibuat masing-masing 100 ml.
Sedangkan cara pembuatan larutan stok VW sebagai berikut:
- Masing-masing senyawa ditimbang dengan kepekatan 100 kali untuk 500 ml
larutan stok.
- Tiap-tiap senyawa dilarutkan dengan aquadest hingga 500 ml dan disimpan dalam
botol.
2. Pembuatan media
a. Media ½ MS
Langkah pertama pembuatan media tanam ialah mempersiapkan larutan stok
dan peralatan yang digunakan. Larutan stok makro, mikro, Fe-EDTA dan zat
pengatur tumbuh. Dari masing-masing larutan stok diambil sesuai dengan volume
yang dibutuhkan dengan rumus pengenceran:
Larutan yang akan diambil (ml) =
Untuk menghitung kebutuhan larutan ZPT pada media biakan dengan rumus:
Larutan yang akan diambil=
Larutan stok yang telah diambil dicampur menjadi satu kemudian
ditambahkan aquadest hingga volume media yang diinginkan. Setelah itu
ditambahkan sukrosa 30 g dan agar 7 g kemudian dipanaskan hingga larut. Larutan
tersebut diukur pHnya hingga 5,8. Apabila pH terlalu rendah ditambahkan NaOH 1 N
untuk meningkatkan pH dan apabila pH terlalu tinggi maka diturunkan dengan
menambahkan HCl 1 N. Dalam keadaan panas, media dimasukkan kedalam botol
kultur sebanyak 25 ml dan ditutup dengan penutup karet. Botol dan media disterilisasi
menggunakan autoklaf pada suhu 1210C, tekanan 1,5 atm selama 20 menit. Setelah
keluar dari autoklaf botol media disimpan dalam rak kultur dan diberi label.
b. Media VW
Larutan stok yang diambil menggunakan rumus yang sama dengan media ½
MS ditambah dengan air kelapa 150 ml/l. Sukrosa yang ditambahkan 20 g dan agar 7
g. Cara pembuatan sama dengan media ½ MS, namun pH yang digunakan ialah 5,3.
3. Sterilisasi eksplan
Bahan yang akan digunakan sebagai eksplan (tangkai bunga) dicuci dengan air
mengalir selama 5 menit. Tangkai bunga disemprot dengan alkohol 70%. Setelah itu
tangkai bunga dipotong kurang lebih 2-3 cm di atas dan di bawah mata tunas. Sterilisasi
luar dilakukan dengan memasukkan eksplan ke dalam larutan Clorox 12% yang ditambah
dengan 1-2 tetes Teepol kemudian digojog selama 15 menit, dengan interval 2 menit
digojog 3 menit berhenti. Setelah itu eksplan dimasukkan dalam entkas. Sebelum
dilakukan sterilisasi dalam, eksplan dipotong hingga 1-2 cm di atas dan di bawah mata
tunas. Sterilisasi dalam entkas dilakukan dengan memasukkan eksplan kedalam Clorox
5% yang ditambah dengan 1-2 tetes Teepol dan digojog selama 10 menit. Eksplan
kemudian dibilas dengan aquadest 3 kali. Sedangkan untuk eksplan plb, cukup dibilas
dengan air steril hingga bersih dari sisa-sisa agar pada media sebelumnya.
4. Inokulasi eksplan
Inokulasi eksplan dilakukan dalam entkas yang steril. Alat-alat yang akan
digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi sebagai
berikut:
Bahan tanam diletakkan di atas petri dish kemudian seludang pembungkus mata
tunas (bract) dihilangkan. Setelah itu eksplan dipotong 3-5 mm di atas dan dibawah mata
tunas. Eksplan ditanam kedalam media kemudian ditutup dengan penutup karet. Setelah
itu diletakkan pada ruang inkubasi dengan cahaya 35-40 mmol.m-2s-1 dan fotoperiode
terang/gelap 16/8 dengan suhu 22±10C selama 60 hari.
Gambar 5.3. Bahan eksplan Phalaenopsis
Gambar 5.4. Persiapan eksplan tunas Gambar 5.5. Eksplan tunas dimasukkan
dalam botol kultur
Setelah dua bulan, tunas yang tumbuh dari eksplan tangkai bunga dipisahkan
kemudian dipotong 0,5-1 cm dan diinokulasikan dalam media. Eksplan diletakkan pada
ruang inkubasi dengan cahaya 35-40 mmol.m-2.s-1 dan fotoperiode terang/gelap 16/8
dengan suhu 22±10C selama 30 hari.
Interaksi eksplan tunas tangkai bunga dengan media kultur pada multiplikasi tunas
Eksplan (plb) yang berumur 3-6 bulan diambil dari botol dan diletakkan di atas
petri dish. Setelah itu eksplan dibilas dengan aquadest untuk menghilangkan sisa-sisa
agar. Eksplan dibelah menjadi dua bagian yang sama dengan scalpel kemudian
diinokulasi kedalam media. Satu botol diisi 10 potongan plb. Botol kemudian ditutup
dengan penutup karet. Botol diletakkan dalam ruang inkubasi tanpa cahaya (dimasukkan
dalam kardus) selama 40 hari pada suhu 22±10C.
Eksplan yang berasal dari percobaan sebelumnya dikeluarkan dari botol
menggunakan pipet panjang. Eksplan tersebut diinokulasi pada media yang ditambah
dengan 2 mg/l BA (8,8 µM BA). Setelah itu disimpan dalam ruang inkubasi dan diberi
cahaya dengan fotoperiode terang/gelap 12/12 pada suhu 22±10C selama 40 hari.
5. Sub kultur
Kegiatan sub kultur dilakukan untuk menghindari terjadinya browning. Untuk
eksplan tangkai bunga subkultur dilakukan tiap 1 bulan dengan media yang sama.
Gambar 5.6. Plb Phalaenopsis pada media 1/2MS
Gambar 5.7. Botol kultur disusun pada rak
KULTUR JARINGAN DAN PELESTARIAN TANAMAN ANGGREK
TUJUAN INSTRUKSIONAL
Setelah membaca bab VI mahasiswa diharapkan :
1. Mengetahui peran kultur jaringan dalam pelestarian tanaman anggrek
2. Mengetahui bagaiamana menghadapi kendala-kendala teknik kloning dan
pelestarian eks situ pada berbagai jenis anggrek
Kultur jaringan in vitro dan pelestarian tanaman anggrek eks situ
Kultur jaringan in vitro penting digunakan untuk mendukung program pelestarian
eks situ tanaman anggrek yang berada pada status dilindungi terutama bagi yang hampir
punah. Karena dengan perbanyakan secara kultur jaringan in vitro memungkinkan untuk
dapat menghasilkan benih dalam jumlah besar dan berkualitas. Penelitian ini
membuktikan bahwa berbagai macam eksplan dan media diperlukan secara spesifik
untuk jenis anggrek tertentu.
Tanaman hasil kultur jaringan in vitro, nantinya dapat digunakan untuk
reintroduksi ke habitat asalnya atau untuk pelestarian tanaman anggrek secara eks situ.
Dendrobium
6.1. Induksi Mata Tunas dan Kalus dengan Eksplan Tunas
Pada percobaan ini, digunakan eksplan tunas aksilar untuk menginduksi mata
tunas. Kemudian mata tunas ini dipotong-potong dan dikulturkan kembali untuk
menginduksi kalus. Pada tahap awal, tidak semua mata tunas dapat tumbuh dan
berkembang. Sebagian eksplan mengalami perubahan warna dari hijau pada awal
inokulasi, menjadi berwarna kuning atau coklat dan akhirnya menjadi putih atau coklat
kehitaman. Eksplan yang demikian dapat dikatakan mengalami mati fisiologis (Rosita et
al., 2008). Menurut Rosita et al. (2008), pencokelatan disebabkan oleh dua faktor, yaitu
eksplan yang mengeluarkan senyawa fenol atau faktor teknis saat penanaman, yaitu
scalpel dan pinset yang masih panas. Sedangkan menurut Santoso dan Nursandi (2004),
mati fisiologis dapat disebabkan oleh bahan tanaman yang tidak meristematik atau
jaringan dewasa, tindakan sterilisasi yang berlebihan, media yang tidak cocok atau
lingkungan yang tidak mendukung.
Pertumbuhan dan perkembangan mata tunas pun berbeda-beda. Sampai akhir
pengamatan, sebagian mata tunas hanya membengkak, sebagian telah menonjol keluar,
dan seagian lagi mulai berdiferensiasi menjadi tunas vegetatif, yang ditandai dengan
bentukan menyerupai calon daun. Seperti yang dinyatakan oleh Arditti dan Ernst (1992),
bahwa tunas lateral (aksilar) yang dikulturkan akan membentuk pola pertumbuhan yang
berbeda, yaitu tumbuh secara vegetatif, tumbuh secara generative, dan tunas yang tetap
dorman.
Eksplan yang mengalami mati fisiologis merupakan salah satu permasalahan yang
menghambat keberhasilan kultur jaringan. Eksplan pada tahap kedua pun banyak yang
mengalami mati fisiologis yang diawali dengan pencokelatan (browning). Browning
merupakan suatu karakter munculnya warna cokelat atau hitam yang seringkali membuat
pertumbuhan dan perkembangan eksplan terhambat dan mengakibatkan kematian pada
jaringan.
Pada tahap II, eksplan yang dikulturkan pada media VW + BA 1 mg.L-1 + NAA
0,5 mg.L-1 dapat membentuk PLB atau tunas, sedangkan pada media lainnya tidak
terbentuk apapun. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya auksin (NAA) dan sitokinin
(BA) di dalam media tersebut. Auksin ialah salah satu hormon tanaman yang dapat
meregulasi banyak proses fisiologi, seperti pertumbuhan, pembelahan dan diferensiasi sel
serta sintesis protein (Miryam et al., 2008). Menurut Abidin (1993), auksin berperan
dalam menaikkan tekanan osmotik, meningkatkan permiabilitas sel terhadap air,
menyebabkan pengurangan tekanan pada dinding sel, meningkatkan sintesis protein serta
meningkatkan plastisitas dan pengembangan dinding sel sehingga membantu dalam
proses penyerapan nutrisi yang berada dalam media kultur in vitro. Peran fisiologis dan
sitokinin adalah mendorong pembelahan sel, pembentukan morfogenesis tanaman,
pembentukan tunas serta menghambat senescence dan absisi (Wattimena, 1987;
Gunawan, 1988). Ditambahkan pula oleh Wiendi et al. (1991) bahwa proliferasi tunas
dapat terdorong jika diberikan konsentrasi sitokinin dalam jumlah yang tinggi.
Selain itu, pada media VW ditambahkan air kelapa yang juga berfungsi sebagai
ZPT alami, sehingga eksplan dapat membentuk tunas baru. Menurut Hendaryono dan
Wijayani (1994), dalam air kelapa terkandung dhipenil urea yang mempunyai aktivitas
seperti sitokinin. Penambahan air kelapa kedalam media kultur diharapkan dapat
menggantikan ZPT sintetik golongan sitokinin sehingga biaya untuk perbanyakan
tanaman secara kultur jaringan akan lebih ekonomis. Disamping itu, kandungan unsur
hara dalam air kelapa dapat meningkatkan kandungan hara dalam media untuk
mendukung pertumbuhan eksplan.
Pertumbuhan dan perkembangan eksplan pada percobaan 1 yang paling baik ialah
D. strebloceras, baik pada induksi mata tunas maupun induksi kalus. Spesies lainnya
tidak menunjukkan perkembangan sebaik D. strebloceras. Perbedaan tersebut
memberikan gambaran bahwa masing-masing spesies yang diuji memiliki variasi
karakter genotipe. Variasi genotipe tersebut akan mempengaruhi kandungan hormon
endogen sehingga respon terhadap perlakuan media akan bervariasi pula dalam inisiasi
tunas maupun panjang tunas. Alasan ini dilandasi oleh pendapat Pierik (1987) yang
menyatakan bahwa setiap genotipe tanaman akan memberikan tanggapan pertumbuhan in
vitro yang berbeda.
Menurut Gunawan (1988), interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh
yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen akan
menentukan arah perkembangan suatu kultur. Penambahan auksin atau sitokinin eksogen,
mengubah level zat pengatur tumbuh endogen sel. Interaksi antara masing-masing zat
pengatur tumbuh (auksin dan sitokinin) tergantung dari jenis eksplan, genotipe, kondisi
kultur serta jenis auksin dan sitokinin yang digunakan (Wiendi et al., 1991). Banyaknya
auksin yang terdapat dalam berbagai jaringan dan organ berbeda-beda. Perbedaan
konsentrasi auksin menimbulkan respon fisiologis yang berbeda, disamping itu terdapat
pula kandungan sitokinin dan zat lain dalam tumbuhan, sehingga tumbuhan akan
memberikan respon yang berbeda pula dalam proses fisiologisnya (Heddy, 1996).
6.2. Induksi Kalus, PLB, dan Tunas dengan Eksplan PLB
Tujuan awal percobaan ini ialah untuk menginduksi kalus di ruang kultur yang
gelap (tanpa cahaya) sesuai dengan penelitian Zhao et al. (2008). Kalus ialah sekelompok
sel yang berproliferasi dan tidak terorganisir, berkembang dan memperbanyak diri secara
terus-menerus. Kalus yang terbentuk ditandai dengan pembesaran eksplan dari ukuran
semula. Hal ini terjadi akibat proses penyerapan air dan hara kedalam sel. Menurut
Santoso dan Nursandi (2004), terjadinya kalus disebabkan karena sel-sel yang kontak
dengan media terdorong menjadi meristematik dan selanjutnya aktif mengadakan
pembelahan seperti jaringan penutup luka.
Metode ruang gelap ini telah digunakan untuk menginduksi kalus pada eksplan
kopi arabika (Riyadi dan Tirtoboma, 2004), kentang (Zulkarnain et al., 2005) dan
Dendrobium candidum (Zhao et al., 2008). Menurut George dan Sherrington (1984),
inisiasi pembelahan sel pada eksplan dan pertumbuhan jaringan kalus kadang-kadang
mengalami hambatan dengan adanya cahaya. Ditambahkan pula oleh Hendaryono dan
Wijayani (1994) bahwa pembentukan kalus maksimum sering terjadi di tempat yang
lebih gelap. Pentingnya periode gelap pada masa inisiasi kultur diperkirakan sebagai
manifestasi dari modus kerja zat pengatur tumbuh, terutama auksin, yang aktif dalam
keadaan tanpa cahaya (Salisbury dan Ross, 1992). Selain itu, dalam keadaan tanpa
cahaya, aktivitas senyawa fenol yang dikeluarkan oleh permukaan jaringan yang luka
mengalami hambatan, sehingga mengurangi atau bahkan mengeliminir pengaruh
meracuni. Dengan demikian, inkubasi kultur dalam keadaan gelap pada tahap iniasi akan
memberikan kesempatan kepada jaringan untuk tumbuh dan berkembang secara lebih
baik (Zulkarnain et al., 2005).
Setelah 40 hari dalam ruang gelap, eksplan dikulturkan kembali dengan tambahan
cahaya. Dari pengamatan terlihat bahwa eksplan yang dapat membentuk kalus hanya D.
spectabile yang ditanam pada media VW, ½ MS dan ½ MS + BA 0,5 mg.L -1. Eksplan
yang dapat membentuk kalus pun sangat sedikit, tidak sampai 5%. Berdasarkan hasil
analisis ragam, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan
pada persentase eksplan membentuk kalus. Hasil ini lebih rendah dibandingkan hasil
yang didapat oleh Zhao et al. (2008), di mana eksplan PLB Dendrobium candidum yang
diinokuiasi pada media ½ MS yang ditambah dengan 2,2 mM BA atau setara dengan 0,5
mg.L-1 BA menghasilkan kalus hingga 20%, sedangkan eksplan yang diinokulasi pada
media ½ MS tanpa tambahan BA, hanya menghasilkan kalus kurang dari 5%.
Pada perkembangannya terdapat eksplan berwarna putih dengan struktur agak
kasar, awalny eksplan sedikit menggembung namun tidak mengalami pertambahan
volume sampai akhir pengamatan. Kalus yang demikian menurut Devy et al. (2007)
merupakan kalus yang sudah berkembang namun tidak dapat berkembang menjadi kalus
embriogenik dan mati. Kalus yang berkembang dengan normal ditunjukkan dengan
bertambahnya volume maupun bentuk fisik kalus.
Hasil percobaan 2, menunjukkan bahwa perlakuan spesies berbeda nyata, di mana
D. spectabile tumbuh lebih baik dibanding D. ascipilanense. Menurut Damayanti et al.
(2007), setiap genotipe tanaman memiliki respon pertumbuhan yang berbeda meskipun
ditumbuhkan pada media kultur yang sama. Anggraini et al. (2007) menambahkan bahwa
hasil kultur yang didapat sangat beragam karena eksplan yang digunakan memiliki
tingkat kepekaan sel yang berbeda terhadap rangsangan zat pengatur tumbuh dan
mekanisme kerja zat pengatur tumbuh tidak konstan didalam jaringan eksplan sehingga
menghasilkan respon yang tidak pasti pada eksplan. Bahkan, menurut Utami et al.
(2007), sel yang identik dapat memberikan respon yang berbeda terhadap rangsang yang
sama.
Eksplan tidak hanya membentuk kalus atau PLB, namun ada pula yang langsung
membentuk tunas. Ini menunjukkan bahwa pada tahap ini juga terjadi proses
organogenesis dengan terbentuknya tunas (daun). Organogenesis dari eksplan diawali
dengan terbentuknya kelompok sel-sel meristem yang bereaksi terhadap faktor didalam
jaringan sel membentuk primordia dan faktor yang mempengaruhi terbentuknya akar atau
tunas. Faktor yang mempengaruhi terbentuknya tunas diantaranya ialah spesies tanaman
dan zat pengatur tumbuh dalam media yang akan menentukan apakah eksplan akan
membentuk tunas atau akar (George dan Sherington, 1984).
Phalaenopsis
6.3. Interaksi eksplan tangkai bunga dengan media kultur dalam menginduksi
tunas
Tunas lateral yang terdapat pada nodus tangkai bunga yang diinokulasikan pada
media menunjukkan pola pertumbuhan yang berbeda. Menurut Arditti dan Ernst (1992),
tunas lateral yang dikulturkan akan membentuk pola pertumbuhan yang berbeda, yaitu
tumbuh secara vegetatif, tumbuh secara generatif dan tunas yang tetap dorman. Dari hasil
penelitian didapatkan bahwa beberapa tunas tumbuh secara vegetatif dan sebagian lagi
tumbuh secara generatif dalam waktu 2 minggu. Tunas dikatakan tumbuh secara vegetatif
apabila tunas yang tumbuh membentuk organ daun. Sedangkan tunas yang tumbuh secara
generatif membentuk tangkai bunga sekunder. Hal ini juga sesuai dengan metode yang
dikemukakan Piluek dan Bunchai (2008).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan saat inisiasi tunas dan
panjang tunas pada Phalaenopsis spesies dan hibrida. P. amabilis, P. amboinensis, dan P.
tetraspis memiliki saat inisiasi lebih awal dibandingkan P. Taisuco Kochdian dan P.
Sogo Smith. Perbedaan juga terdapat antar Phalaenopsis spesies maupun antar hibrida. P.
amabilis memiliki saat inisiasi lebih lama dibandingkan Phalaenopsis spesies lainnya.
Begitu pula saat inisiasi P. Taisuco Kochdian lebih awal dibandingkan P. Sogo Smith.
Perbedaan tersebut memberikan gambaran bahwa masing-masing spesies yang diuji
memiliki variasi karakter genotipe. Variasi genotipe tersebut akan mempengaruhi
kandungan hormon endogen sehingga respon terhadap perlakuan media akan bervariasi
pula dalam inisiasi tunas maupun panjang tunas. Alasan ini dilandasi oleh pendapat
Pierik (1987) yang menyatakan bahwa setiap genotipe tanaman akan memberikan
tanggapan pertumbuhan in vitro yang berbeda.
Panjang tunas Phalaenopsis spesies lebih pendek dibandingkan Phalaenopsis
hibrida. Namun diantara Phalaenopsis spesies, P. amabilis memiliki panjang tunas yang
lebih panjang dibandingkan spesies lainnya. Hal ini diduga karena kemampuan setiap
genotipe tidak sama dalam pembentukan tunas. Apabila dilihat dari morfologi
tanamannya secara in vivo, Phalaenopsis spesies memiliki ukuran tanaman yang lebih
kecil dibandingkan Phalaenopsis hibrida, sehingga dalam kultur in vitro pun morfologi
tunas Phalaenopsis hibrida lebih panjang dibandingkan Phalaenopsis spesies.
Saat inisiasi tunas maupun panjang tunas pada percobaan ini tidak dipengaruhi
oleh media. Semua media dapat digunakan untuk induksi tunas. Penambahan zat
pengatur tumbuh sitokinin (BA) yang digunakan pada percobaan ini juga tidak
memberikan pengaruh yang nyata pada saat inisiasi maupun panjang tunas. Tunas dapat
tumbuh walaupun pada media yang tidak ditambah dengan BA. Hal ini diduga
kandungan hormon endogen yang ada dalam jaringan tanaman cukup untuk membentuk
tunas, sehingga tidak diperlukan lagi tambahan hormon eksogen. Selain itu, kemungkinan
penambahan 0,5 mg.L-1 BA pada media belum mampu memberikan saat inisiasi tunas
yang lebih cepat serta tunas yang lebih panjang dibandingkan media tanpa ZPT. Hal ini
diduga penambahan BA dengan dosis 0,5 mg.L-1 tergolong rendah sehingga respon
eksplan terhadap saat inisiasi tunas maupun panjang tunas kurang terlihat. Pendapat ini
sejalan dengan Marveldani et al. (2007) yang menyatakan bila eksplan mengandung
sitokinin endogen yang cukup, maka tidak ada respon terhadap pemberian sitokinin.
Apabila konsentrasi BA lebih tinggi kemungkinan inisiasi tunas terjadi lebih awal dan
tunas yang terbentuk lebih panjang. Hoesen (1998) menyatakan bahwa inisiasi tunas
dapat terjadi lebih awal terutama pada kultur yang diberi tambahan sitokinin.
Pada beberapa eksplan terutama P. amboinensis, P. tetraspis dan P. Sogo Smith,
tunas tidak dapat tumbuh pada beberapa media hingga akhir pengamatan tahap induksi
tunas. Eksplan tersebut awalnya berwarna hijau ketika diinokulasi, namun beberapa hari
sejak inokulasi eksplan berubah warna menjadi cokelat kehitaman dan mati.
Menurut Rosita et al. (2008), eksplan yang demikian mengalami mati fisiologis.
Eksplan yang mengalami mati fisiologis merupakan salah satu permasalahan yang
menghambat keberhasilan kultur jaringan. Eksplan yang mengalami mati fisiologis
diawali dengan pencokelatan (browning). Browning merupakan suatu karakter
munculnya warna cokelat atau hitam yang seringkali membuat pertumbuhan dan
perkembangan eksplan terhambat dan mengakibatkan kematian pada jaringan. Pada
percobaan induksi tunas ini persentase eksplan yang mengalami mati fisiologis mencapai
32,14%. Hal ini terjadi diduga karena faktor teknis pada saat penanaman, yaitu scalpel
dan pinset yang digunakan masih panas, sehingga melukai jaringan eksplan dan
menyebabkan eksplan mati sebelum bisa beradaptasi di lingkungan kultur. Menurut
Rosita et al. (2008), pencokelatan disebabkan oleh dua faktor, yaitu dari eksplan yang
mengeluarkan senyawa fenol dan dari faktor teknis saat penanaman, yaitu scalpel dan
pinset yang masih panas. Sedangkan menurut Santoso dan Nursandi (2004), mati
fisiologis dapat disebabkan oleh bahan tanaman yang tidak meristematik atau jaringan
dewasa, tindakan sterilisasi yang berlebihan, media yang tidak cocok atau lingkungan
yang tidak mendukung.
Selain karena mati fisiologis, beberapa eksplan tidak tumbuh tunas karena
terkontaminasi. Teknik sterilisasi permukaan yang digunakan belum mampu menghindari
kontaminasi hingga 100%. Pada percobaan 1 tahap 1, persentase eksplan yang mati
karena kontaminasi sebesar 21,42%. Kontaminasi terjadi karena beberapa faktor, antara
lain eksplan. Kontaminasi tersebut disebabkan oleh jamur dan bakteri. Pada P.
amboinensis dan P. tetraspis misalnya, kontaminasi disebabkan oleh jamur yang awalnya
terlihat pada eksplan kemudian menjalar pada media. Eksplan dan media diselimuti oleh
spora berbentuk kapas berwarna putih. Kontaminasi jamur pada P. amboinensis dan P.
tetraspis berasal dari eksplan, kemungkinan jamur sudah masuk kedalam jaringan
tanaman dan ketika dikulturkan dalam media, jamur tersebut dengan mudah berkembang
biak. Hal ini diduga karena tanaman induk yang digunakan sebagai eksplan berasal
langsung dari hutan yang kemungkinan lingkungannya lebih rentan terhadap jamur
dibandingkan pada lingkungan budidaya anggrek. Sedangkan pada P. Sogo Smith
kontaminasi juga disebabkan oleh jamur dan bakteri yang berasal dari eksplan. Pada
media dan eksplan terdapat lendir berwarna kuning. Jamur dan bakteri ini diduga sudah
masuk kedalam jaringan tanaman sehingga jamur dan bakteri tidak mati walaupun sudah
dilakukan sterilisasi permukaan menggunakan Clorox dan Teepol. Menurut Zulkarnain
(2009), dari semua sumber kontaminasi, yang paling sulit diatasi adalah yang berasal dari
eksplan. Dari penelitian ini diketahui bahwa eksplan tunas lebih besar peluangnya untuk
terjadinya kontaminasi. Eksplan dari anggrek Phalaenopsis spesies juga ternyata lebih
sulit beregenerasi dibandingkan hibrida.
6.4. Interaksi eksplan tunas tangkai bunga dengan media kultur pada multiplikasi
tunas
Dari hasil pengamatan diketahui bahwa P. amabilis dapat membentuk tunas baru
pada semua media kecuali media ½ MS. Hal ini karena tunas yang tumbuh pada tahap
sebelumnya berukuran sangat kecil (0,2 cm) dan mengalami nekrosis pada ujung
tunasnya. Nekrosis merupakan salah satu masalah utama pada kultur in vitro (Zulkarnain,
2009). Salisbury dan Ross (1992) menyatakan bahwa nekrosis dicirikan oleh matinya
jaringan pada tepi daun dan pucuk. Pada penelitian ini nekrosis menyebabkan tunas
berwarna hitam dan mati.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa media tidak memberikan pengaruh yang
nyata pada saat inisiasi tunas P. amabilis, walaupun dari rerata didapatkan bahwa media
VW + 2 mg.L-1 BAP + 0,5 mg.L-1 NAA memberikan saat inisiasi lebih cepat
dibandingkan media lainnya. Namun setelah pengamatan terakhir, media VW dan VW +
2 mg.L-1 BAP + 0,5 mg.L-1 NAA memberikan jumlah tunas yang lebih banyak
dibandingkan media ½ MS+2 mg.L BAP. Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa media
VW merupakan media yang lebih efisien dibandingkan media VW + 2 mg.L -1 BAP + 0,5
mg.L-1 NAA karena pada media tersebut tunas dapat tumbuh lebih cepat dan jumlah tunas
yang sama banyaknya (tidak berbeda nyata) dengan VW+2 mg.L BAP. Tunas dapat
tumbuh dan bermultiplikasi walaupun diinokulasi pada media tanpa auksin dan sitokinin.
Diduga, kandungan hormon sitokinin dan auksin endogen yang ada dalam jaringan
tanaman cukup untuk menginduksi dan multiplikasi tunas, sehingga tidak diperlukan lagi
tambahan hormon eksogen.
Eksplan P. amboinensis yang dikultur dalam media ½ MS tidak dapat membentuk
tunas. Begitu juga dengan P. tetraspis yang dikultur pada media ½ MS dan media ½
MS+2 mg.L-1 BAP+0,5 mg.L-1 NAA. Eksplan tersebut belum memberikan respon apapun
dan tetap berwarna hijau muda hingga akhir pengamatan. Hal ini diduga disebabkan oleh
lambatnya pertumbuhan tunas pada tahap sebelumnya. Hal ini bisa terlihat dari bentuk
tunas yang tumbuh pada eksplan nodus tangkai bunga, dalam waktu 2 bulan tunas belum
berdiferensiasi membentuk pola pertumbuhan vegetatif atau generatif. Tunas yang
tumbuh belum membentuk nodus seperti spesies lainnya, sehingga ketika tunas tersebut
dipotong kemudian diinokulasikan lagi ke media yang baru, tidak dapat tumbuh tunas
karena kemungkinan tidak ada mata tunas.
Eksplan P. Taisuco Kochdian dapat menghasilkan tunas pada semua media,
kecuali pada media ½ MS. Hal ini karena tunas yang digunakan sebagai eksplan belum
membentuk tunas vegetatif maupun generatif. Selain itu, tunasnya kecil dan berwarna
kecokelatan, sehingga tidak menunjukkan respon hingga akhir pengamatan. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa media ½ MS+2 mg.L-1 BAP+0,5 mg.L-1 NAA
merupakan media yang paling sesuai untuk multiplikasi tunas, meskipun pada media
tersebut tunas yang tumbuh lebih lambat dibandingkan media lainnya. Hal ini diduga
pada media ½ MS+2 mg.L-1 BAP+0,5 mg.L-1 NAA mengandung unsur hara yang lebih
banyak dibandingkan media VW, terutama kandungan nitrogennya. Hal ini disebabkan
nitrogen merupakan komponen protein, asam nukleat dan substansi lainnya yang
diperlukan untuk pembentukan protoplasma dan berfungsi memperbaiki pertumbuhan
vegetatif (Widiastoety dan Kartikaningrum, 2003). Disamping itu, pada media tersebut
ditambah dengan zat pengatut tumbuh sitokinin (BAP) dan auksin (NAA), sehingga
interaksi antara kedua hormon tersebut memacu pertumbuhan dan perkembangan sel.
Pendapat ini didukung oleh Wattimena (1992) yang menyatakan bahwa zat pengatur
tumbuh umumnya digunakan secara kombinasi dan morfogenesis dari eksplan selalu
tergantung dari interaksi antara auksin dan sitokinin yang seimbang.
Auksin ialah salah satu hormon tanaman yang dapat meregulasi banyak proses
fisiologi, seperti pertumbuhan, pembelahan dan diferensiasi sel serta sintesis protein
(Miryam et al., 2008). Menurut Abidin (1993), auksin berperan dalam menaikkan
tekanan osmotik, meningkatkan permiabilitas sel terhadap air, menyebabkan
pengurangan tekanan pada dinding sel, meningkatkan sintesis protein serta meningkatkan
plastisitas dan pengembangan dinding sel sehingga membantu dalam proses penyerapan
nutrisi yang berada dalam media kultur in vitro. Banyaknya auksin yang terdapat dalam
berbagai jaringan dan organ berbeda-beda. Perbedaan konsentrasi auksin menimbulkan
respon fisiologis yang berbeda, disamping itu terdapat pula kandungan sitokinin dan zat
lain dalam tumbuhan, sehingga tumbuhan akan memberikan respon yang berbeda pula
dalam proses fisiologisnya (Heddy, 1996). Peran fisiologis dari sitokinin adalah
mendorong pembelahan sel, pembentukan morfogenesis tanaman, pembentukan tunas
serta menghambat senescence dan absisi (Wattimena, 1987; Gunawan, 1988).
Ditambahkan pula oleh Wiendi et al. (1991) bahwa proliferasi tunas dapat terdorong jika
diberikan konsentrasi sitokinin dalam jumlah yang tinggi.
Dalam kultur jaringan tanaman, morfogenesis tanaman sangat ditentukan oleh
kombinasi zat pengatur tumbuh. Dengan adanya penambahan auksin dan sitokinin
kedalam media ½ MS, maka tingkat multiplikasi tunas dapat ditingkatkan. Menurut
Gunawan (1988), interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan
dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen akan menentukan arah
perkembangan suatu kultur. Penambahan auksin atau sitokinin eksogen, mengubah level
zat pengatur tumbuh endogen sel. Interaksi antara masing-masing zat pengatur tumbuh
(auksin dan sitokinin) tergantung dari jenis eksplan, genotipe, kondisi kultur serta jenis
auksin dan sitokinin yang digunakan (Wiendi et al., 1991).
Multiplikasi tunas dapat ditingkatkan pada penelitian tahap ini, dengan jumlah
tunas 2,80 per eksplan yang didapat dari P. Taisuco Kochdian pada media ½ MS+2 mg.L-
1 BAP+0,5 mg.L-1 NAA. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan penelitian Talukder et al.
(2003) yang menggunakan eksplan tunas Dendrobium, dimana proliferasi tunas
terbanyak diperoleh pada perlakuan media MS yang ditambah 2,5 mg.L -1 BAP dan 0,5
mg.L-1 NAA, dengan jumlah tunas 1,90 per eksplan. Namun, jumlah tunas yang diperoleh
pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan pada penelitian Kosir at al. (2004) yang
juga menggunakan 2 mg.L-1 BAP dan 0,5 mg.L-1 NAA pada media P6793, dimana pada
media tersebut tiap eksplan nodus tangkai bunga Phalaenopsis hibrida membentuk 8,35
tunas. Hal ini diduga karena genotipe dan media yang digunakan berbeda, sehingga hasil
yang diperoleh juga berbeda.
Tunas P. Sogo Smith hanya ditanam pada media VW. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa potongan tunas P. Sogo Smith dapat membentuk tunas baru
walaupun diinokulasi pada media VW tanpa penambahan BAP mapun NAA. Dari 3
potongan tunas yang ditanam, terdapat 2 potongan tunas yang membentuk tunas baru
dengan rerata jumlah tunas 1,00. Meskipun media VW tidak diberi ZPT sintetik, namun
pada media VW ditambahkan air kelapa yang juga berfungsi sebagai ZPT alami,
sehingga eksplan dapat membentuk tunas baru. Menurut Hendaryono dan Wijayani
(1994), dalam air kelapa terkandung dhipenil urea yang mempunyai aktivitas seperti
sitokinin. Penambahan air kelapa kedalam media kultur diharapkan dapat menggantikan
ZPT sintetik golongan sitokinin sehingga biaya untuk perbanyakan tanaman secara kultur
jaringan akan lebih ekonomis. Disamping itu, kandungan unsur hara dalam air kelapa
dapat meningkatkan kandungan hara dalam media untuk mendukung pertumbuhan
eksplan.
6.5. Interaksi eksplan PLB dengan media kultur dalam induksi kalus
Pertumbuhan eksplan pada kultur in vitro dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu
genotipe tanaman, media tanam, lingkungan tumbuh dan kondisi eksplan. Perbedaan
komposisi media, komposisi zat pengatur tumbuh dan jenis media yang digunakan akan
sangat mempengaruhi pertumbuhan dan regenerasi eksplan yang dikulturkan. Tujuan
awal percobaan ini ialah untuk menginduksi kalus sesuai dengan penelitian Zhao et al.
(2008). Kalus ialah sekelompok sel yang berproliferasi dan tidak terorganisir,
berkembang dan memperbanyak diri secara terus-menerus. Kalus yang terbentuk ditandai
dengan pembesaran eksplan dari ukuran semula. Hal ini terjadi akibat proses penyerapan
air dan hara kedalam sel. Menurut Santoso dan Nursandi (2004), terjadinya kalus
disebabkan karena sel-sel yang kontak dengan media terdorong menjadi meristematik dan
selanjutnya aktif mengadakan pembelahan seperti jaringan penutup luka.
Dalam penelitian ini, botol kultur diletakkan dalam keadaan gelap yang bertujuan
untuk menginduksi kalus. Metode ini telah digunakan untuk menginduksi kalus pada
eksplan kopi arabika (Riyadi dan Tirtoboma, 2004), kentang (Zulkarnain et al., 2005)
dan Dendrobium candidum (Zhao et al, 2008). Menurut George dan Sherrington (1984),
inisiasi pembelahan sel pada eksplan dan pertumbuhan jaringan kalus kadang-kadang
mengalami hambatan dengan adanya cahaya. Ditambahkan pula oleh Menurut
Hendaryono dan Wijayani (1994) bahwa pembentukan kalus maksimum sering terjadi di
tempat yang lebih gelap. Pentingnya periode gelap pada masa inisiasi kultur diperkirakan
sebagai manifestasi dari modus kerja zat pengatur tumbuh, terutama auksin, yang aktif
dalam keadaan tanpa cahaya (Salisburry dan Ross, 1992). Selain itu, dalam keadaan
tanpa cahaya, aktivitas senyawa fenol yang dikeluarkan oleh permukaan jaringan yang
luka mengalami hambatan, sehingga mengurangi atau bahkan mengeliminir pengaruh
meracuni. Dengan demikian, inkubasi kultur dalam keadaan gelap pada tahap iniasi akan
memberikan kesempatan kepada jaringan untuk tumbuh dan berkembang secara lebih
baik (Zulkarnain et al., 2005).
Berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui bahwa selama masa kultur, terjadi
embriogenesis somatik baik secara langsung maupun tidak langsung. Embriogenesis
somatik ialah proses dimana sel somatik berkembang membentuk tanaman baru melalui
tahap perkembangan embrio tanpa melalui fusi gamet. Sel somatik yang digunakan dalam
penelitian ini ialah PLB yang berasal dari biji. Eksplan PLB yang dikultur langsung
membentuk embrio (PLB) tanpa pembentukan kalus, kemudian embrio tersebut
berkembang menjadi planlet, sehingga disebut dengan embryogenesis somatik langsung
(Sutanto dan Aziz, 2006; George et al., 2008). Sedangkan eksplan PLB yang mengalami
embriogenesis somatik secara tidak langsung dicirikan dengan terbentuknya kalus
terlebih dahulu (Vasil et al., 1984; Franz, 1998; Sutanto dan Azis, 2006; Utami et al.,
2007; George et al., 2008).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel saat inisiasi kalus dan persentase
eksplan membentuk kalus dipengaruhi oleh spesies, sedangkan perlakuan media maupun
interaksi antara keduanya tidak memberikan pengaruh yang nyata. Hasil uji lanjutan
menunjukkan bahwa saat inisiasi dan persentase eksplan membentuk kalus antara P.
hieroglypicha dan kedua Phalaenopsis hibrida berbeda nyata. Hal ini karena kalus hanya
terbentuk pada P. Taisuco Kochdian dan P. Sogo Smith, sedangkan P. hieroglypicha
tidak terbentuk kalus. Saat inisiasi kalus P. Sogo Smith lebih cepat 5 hari dibandingkan
P. Taisuco Kochdian, namun antara keduanya tidak ada perbedaan yang nyata. Penelitian
ini menunjukkan bahwa kemampuan eksplan dalam membentuk kalus berbeda antara
spesies liar dan spesies hibrida. Menurut Damayanti et al. (2007), setiap genotipe
tanaman memiliki respon pertumbuhan yang berbeda meskipun ditumbuhkan pada media
kultur yang sama.
Warna kalus yang terbentuk pada awalnya rata-rata sama, yaitu berwarna hijau
kekuningan. Namun pada akhir pengamatan warnanya menjadi lebih pucat. Kisaran
warna kalus menurut kartu standar warna (RHS colour chart) rata-rata masih
menunjukkan warna hijau kekuningan. Warna kalus ini hampir sama dengan warna kalus
pada penelitian Zhao et al. (2008) pada kondisi gelap. Tekstur kalus yang terbentuk pada
awalnya halus, namun berangsur-angsur menjadi kasar, kompak dan mengkilat, terutama
pada kalus P. Sogo Smith yang diinokulasi pada media VW + 0,5 mg.L-1 BA. Kalus yang
demikian berpotensi untuk berkembang menjadi kalus embriogenik. Hal ini sesuai
dengan pendapat Quiroz-Figueroa et al. (2002) dan Devy et al. (2007) bahwa kalus
embriogenik umumnya ditandai dengan perkembangan kalus yang halus menjadi kompak
dan berbentuk nodular. Sedangkan kalus yang terbentuk dari eksplan P. Taisuco
Kochdian rata-rata bertekstur halus dan remah.
Persentase eksplan membentuk PLB dan jumlah PLB per eksplan dipengaruhi
oleh perlakuan spesies. P. hieroglypicha memiliki persentase dan jumlah PLB yang lebih
kecil dibandingkan Phalaenopsis hibrida. Sedangkan persentase eksplan membentuk
PLB pada P. Taisuco Kochdian lebih tinggi dibandingkan P. Sogo Smith. Meskipun
persentase eksplan membentuk PLB pada P. Taisuco Kochdian lebih tinggi, namun
jumlah PLB per eksplannya lebih sedikit bila dibandingkan dengan P. Sogo Smith.
Perbedaan ini diduga karena kemampuan genetik antara keduanya dalam membentuk
PLB per eksplan berbeda.
Persentase eksplan membentuk tunas pada tahap 2 mengalami peningkatan
dibandingkan tahap 1, kecuali pada media VW + 2 mg.L-1BA. Hal ini karena PLB yang
telah tumbuh pada kondisi gelap berkecambah membentuk tunas pada kondisi terang.
Hasil uji orthogonal kontras menunjukkan bahwa perbedaan persentase eksplan
membentuk tunas disebabkan oleh perbedaan genetik antara ketiga spesies yang diuji.
Perbedaan persentase yang disebabkan perbedaan media juga terlihat pada P. Taisuco
Kochdian. Media ½ MS tanpa BA justru memacu eksplan membentuk tunas. Dari hasil
pengamatan juga diketahui bahwa media tanpa BA memberikan persentase eksplan
bertunas lebih banyak dibandingkan media yang diberi BA, meskipun tidak berbeda
nyata dengan media lainnya.
Interaksi antara perlakuan spesies dan media terdapat pada variabel jumlah tunas
per eksplan. Perbedaan jumlah tunas tunas per eksplan disebabkan oleh perbedaan
genetik diantara ketiga spesies. Selain itu, perbedaan jumlah tunas per eksplan juga
disebabkan oleh perbedaan jenis media. Hal ini terlihat pada P. Taisuco Kochdian. Media
jenis VW menghasilkan jumlah tunas lebih banyak dibandingkan media jenis MS.