blok 27 - genetika klinik & gizi masyarakat_jenni
DESCRIPTION
pbl blok 27TRANSCRIPT
Tinjauan Pustaka
Penatalaksanaan Neonatus dengan Defisiensi Glukosa-6-Fosfat Dehidrogenase
Jennifer
10.2012.023 / D2
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
Email: j [email protected]
Tutor : dr. Elly Ingkiriwang
Pendahuluan (G6PD) merupakan enzim pengkatalisis reaksi pertama jalur pentose fosfat dan memberikan efek
reduksi pada semua sel dalam bentuk NADPH (bentuk tereduksi nicotinamide adenine
dinucleotide phosphate). Senyawa NADPH memungkinkan sel-sel bertahan dari stress oksidatif
yang dapat dipicu oleh beberapa bahan oksidan dan menyediakan glutathione dalam bentuk
tereduksi. Eritrosit tidak memiliki mitokondria sehingga jalur pentosa fosfat merupakan satu-
satunya sumber NADPH, sehingga pertahanan terhadap kerusakan oksidatif tergantung pada
G6PD.1
Defisiensi G6PD merupakan enzimopati yang paling umum diderita manusia dan terkait dengan
kromosom X. Gen pengkode enzim ini terletak di lengan panjang kromosom X (Xq28).
Kebanyakan pasien defisiensi G6PD tidak menunjukkan gejala hingga terpapar obat-obatan
pengoksidasi, infeksi, dan makan kacang fava. Pengobatan terpenting adalah dengan menghindari
bahan pengoksidasi yang dapat menginduksi anemia hemolitik. Skrining neonatus dan eduasi
kesehatan berperan penting dalam mengurangi manifestasi klinis defisiensi G6PD.1,2
Melalui tinjauan pustaka saya mencoba untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya defisiensi G6PD pada bayi tersebut dimana bayi tersebut tampak kuning dengan
peningkatan bilirubin dan diduga akibat aktivitas pemecahan eritrosit yang berlebihan,sehingga
perlu penangganan yang baik dan tepat terhadap defisiensi G6PD. Semoga bermanfaat.
Skenario 4
Seorang bayi baru lahir, perempuan, dirawat di Rumah Sakit karena icterus. Bayi lahir aterm, berat
badan 2850 gram. Waktu dilahirkan , sampai pulang dari Rumah Sakit, bayi baik-baik saja. Setelah
2 hari di rumah, bayi mengalami kuning dan mulai kejang. Bayi dibawa ke UGD dan dilakukan
pemeriksaan, dan didapatkan kadar bilirubin yang tinggi. Dugaan sementara adalah aktivitas
pemecahan eritrosit yang berlebihan.
AnamnesisDalam praktik ilmu kesehatan anak, tidak mungkin membuat diagnosis atau perencanaan program
perawatan yang memadai tanpa data mengenai anak, umur, ukuran tubuh, kemampuan, dan
kepribadiannya. Lebih lanjut, seorang anak adalah bagian dari sebuah keluarga. Maka untuk
memahami anak, kita harus tahu tentang keluarganya, orang tuanya, gaya hidupnya, kehidupan
keluarganya, kemampuan keluarga memelihara anak, terutama hubungan keluarga dengan pasien
kita serta sikap keluarga terhadap penyakitnya.3
Setiap dokter mengembangkan caranya sendiri dalam mengumpulkan informasi. Kita sebaiknya
memulai anamnesis dengan menanyakan keluhan utama pasien. Jika terdapat banyak masalah,
maka kita perlu menyusun suatu daftar masalah singkat yang dapat mempermudah kita. Kemudian
kita harus mengembangkan dan menetapkan setiap masalah, serta menanyakan masalah-masalah
yang berhubungan. Penyelidikan yang obsesif mengenai seluruh fungsi tubuh biasanya tidak selalu
diperlukan karena hal tersebut membuang waktu dan dapat mengganggu jalannya anamnesis.
Namun, informasi tertentu tentang latar belakang penyakit merupakan hal yang penting pada
sebagian besar malasah kesehatan dan juga pada setiap anak yang dirawat di rumah sakit. Pertama,
kita harus menanyakan informasi tentang kehidupan anak. Apakah kehamilan, persalinan dan
kelahirannya normal? Berapa berat lahirnya? Bagaimana keadaan anak pada hari-hari pertama
kehidupannya? Mungkin kita juga perlu menayakan apakah anak mendapat ASI atau susu formula
dan kapan anak itu disapih. Apakah anak pernah mengalami infeksi yang sering ditemukan pada
masa kanak-kanak? Apakah sudah diimunisasi? Apakah pernah dirawat di rumah sakit? Bila
pernah, kapan, di mana, dan untuk apa?3
Riwayat Neonatus
Riwayat neonatus harus mendeteksi penyakit yang menimbulkan kecacatan dengan tindakan
pencegahan segera atau pengobatan (misalnya asfiksia); mengantisipasi keadaan-keadaan yang
nantinya mungkin penting (misalnya konjungtivitis gonokokus); dan menemukan kemungkinan
faktor penyebab yang dapat menjelaskan keadaan patologis, tanpa memandang apakah keadaan itu
segera ‘bearti’ pada saat ini atau baru pada kemudian hari (misalnya skrining kesalahan
metabolisme bawaan).4
Riwayat Penyakit SekarangMulailah dari sini karena inilah yang ingin mereka sampaikan pada anda. Biarkan mereka
menceritakan dengan caranya sendiri; kemudian berikan pertanyaan spesifik untuk mendapatkan
detail yang penting. Interupsi yang terlalu sering atau mendapat kronologis cerita akan
menghalangi pembicaraan yang terbuka. Untuk mengukur tingkat keparahan, cari tahu bagaimana
penyakitnya mempengaruhi kehidupan anak. Apakah akut atau tidak. Tanyakan tentang pola
makan, tidur dan aktivitasnya. Jika tidak terjadi perubahan kebiasaan, kecil kemungkinan adanya
penyakit yang serius. Penurunan selera makan atau aktivitas, atau meningkatnya kebutuhan tidur
menandakan penyakit yang serius.5
Tanyakan pendapat orang tua sendiri tentang apa yang menjadi masalah pada anaknya. Sesekali
hal tersebut akan memungkinkan anda untu meredakan kegelisahan orang tua yang berlebihan;
kadangkala hal itu juga akan membawa pada diagnosis tepat yang mungkin sebelumnya belum
terpikirkan. Dibandingkan orang lain, ibu lebih baik dalam memahami tangisan bayinya, dan riset
menunjukkan bahwa bayi dapat ‘berbicara’. Mereka memiliki tangisan yang berbeda untuk lapar,
sakit, dan lain-lain. Ibu biasanya akan memahami jika tangisan bayi tersebut tidak biasa dan
seringkali mengetahui sebabnya.5
Riwayat Penyakit DuluBerikut adalah yang ditanyakan mengenai riwayat penyakit dulu:5
Kesakitan, operasi, atau perawatan rumah sakit
Alergi atau sentiitas pada obat
Riwayat Imunisasi: mungkin dapat menolong untuk menyingkirkan suatu kondisi yang
mencurigakan, dan hal itu menunjukkan perlunya memberikan imunisasi lebih lanjut
kepada keluarga tersebut.
Tanyakan pada orang tua tentang catatan kesehatan pada anak mereka (pujilah mereka jika
mereka membawa dan memilikinya). Catatan mencakup berat badan sebelum imunisasi
dan berbagai peristiwa kesehatan yang pernah dialami.
Riwayat KeluargaBerikut adalah yang ditanyakan mengenai riwayat keluarga:5
Usia saudara kandung dan orang tua
Apakah ada anggota keluarga lain yang pernah, atau sedang, mengalami kondisi yang sama
dengan anak tersebut; apakah anak itu mendapatkan infeksi yang sama, apakah anak
mewarisi sifat yang sama dalam keluarga.
Apa saja penyakit yang pernah diderita oleh orang tua atau saudara dekat, dengan tujuan
untuk menenangkan kekhawatiran yang berlebihan. Orang tua mungkin cemas bahwa sakit
perut anaknya disebabkan kanker, karena ada kerabat yang baru saja meninggal karena
kanker.
Pertanyaan yang berkaitan dengan famili atau kekerabatan pda adat tertentu. Hal ini
penting, karena penyakit genetik yang langka menjadi lebih besar kemungkinannya jika
kedua orang tua memiliki hubungan kekerabatan.
Riwayat SosialSesudah membina hubungan dengan orang tua, berbicaralah dengan mereka tentang kehidupan
mereka, rumah merekam pekerjaan mereka pekerjaan si ayah (digunakan sebagai petunjuk
keadaan keuangan), dan teliti lebih lanjut bagaimana pekerjaan si ayah, apakah pekerjaannya bisa
dikerjakan di rumah atau menuntut si ayah bekerja jauh dari rumah dalam jangka waktu lama.
Apakah si ibu bekerja di luar rumah, jika ya, siapa yang menjaga anaknya? Tapi bila ia seorang ibu
rumah tangga apakah pekerjaan si ibu sebelumnya? Bila ia seorang perawat misalnya, tentunya ia
memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda dan membutuhkan informasi yang berbeda pula. Ada
3 faktor yang harus diteliti, karena pengaruhnya yang langsung terhadap perkembangan anak:5
Komposisi keluarga: apakah ayah dan ibu tinggal bersama? Jika ya, harmonis atau tidak?
Apakah keluarga tersebut hanya punya orang tua tunggal?
Kondisi keuangan: apakha keuangan keluarga sudah mandiri atau masih mengandalkan
bantuan pihak lain?
Kondisi perumahan: apakah mereka punya rumah sendiri? Jika ya, seperti apa wujudnya?
Apakah mereka tinggal degan kerabat atau di tempat sewaan? Perumahan yang baik
seharusnya ada pasokan air hangat dan sanitasi ruangan yang bagus, serta dalam satu kamar
tidak lebih dari 1,5 orang.
Dari anamnesis didapatkan: bayi mulai kuning sejak 2 hari di rumah. Tidak diperoleh riwayat
yang bermakna sehubungan dengan penyebab kondisi icterus dan kejangnya. Waktu bayi diganti
bajunya oleh ibunya di UGD, nampak baju-baju yang ada berbau kamfer yang cukup kuat.
Pemeriksaan FisikPemeriksaan awal pada bayi baru lahir harus dilakukan sesegera mungkin sesudah persalinan
untuk mendeteksi kelainan-kelainan dan menegakkan dasar untuk pemeriksaan selanjutnya. Nadi
(normal 120-160 denyut/menit), frekuensi pernapasan (normal 30-60 pernapasan/menit), suhu,
berat badan, panjang badan, lingkar kepala, dan ukuran-ukuran terhadap sesuatu yang dapat dilihat
atau kelainan structural yang dapat diraba harus dicatat. Tekanan darah diukur jika neonatus
tampak sakit.4
Pemeriksaan Nilai APGARSkor APGAR merupakan metode praktis yang secara sistematis digunakan untuk menilai bayi baru
lahir segera sesudah lahir, untuk membantu mengidentifikasi bayi yang memerlukan resusitasi
akibat asidosis hipoksik (Tabel 1). Skor yang rendah tidak selalu bearti janin mengalami hipoksia-
asidosis; faktor-faktor tambahan dapat mengurangi skor (Tabel 2). Skor APGAR juga tidak
meramalkan mortalitas neonatus atau palsi serebral selanjutnya. Sebenarnya, kebanyakan penderita
yang selanjutnya berkembang menjadi palsi serebral, skor APGARnya normal; sedangkan insidens
palsi serebral sangat rendah pada bayi yang skor APGAR 0-3 pada menit-5. APGAR skor menit-1
mengisyaratkan perlunya tindakan resusitasi segera; dan skor menit-5, -10, -15, dan -20
menunjukkan kemungkinan keberhasilan dalam melakukan resusitasi bayi. Skor APGAR 0-3 pada
menit -20 meramalkan tingginya mortalitas dan morbiditas.Bayi dengan prolapse tali pusat atau
persalinan lama dan adanya bukti asfiksia intrauteri harus mendapat resusitasi segera, dan
selanjutnya, pengamatan yang ketat. Lambung bayi-bayi yang dilahirkan dengan seksio sesaria
dapat berisi cairan lebih banyak daripada bayi-bayi yang dilahirkan per vaginam. Lambung bayi-
bayi itu harus dikosongkan dengan pipa gastrik untuk mencegah aspirasi isi lambung.4
Tabel 1. Evaluasi APGAR pada Bayi Baru Lahir.4
Tanda 0 1 2
Frekuensi jantung Tidak ada < 100 > 100
Upaya pernapasan Tidak ada Lambat, tidak teratur Baik, menangis
Tonus otot Lemah Beberapa fleksi tungkai Gerakan aktif
Respons terhadap kateter
dalam lubang hidung
Tidak ada respons Menyeringai Batuk atau bersin
Warna Biru, pucat Tubuh merah muda,
tungkai biru
Seluruhnya merah
muda
Tabel 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Skor APGAR.4
Positif-Palsu (Tidak ada asidosis/hipoksia
janin; APGAR rendah)
Negatif-Palsu (Asidosis; APGAR normal)
Imaturitas Dari ibu yang asidosis
Analgesik, narkotik, sedative Kadar katekolamn janin tinggi
Magnesium sulfat Beberapa bayi cukup-bulan
Trauma serebral akut
Persalinan yang sangat cepat
Neuropati kongenital
Anomali SSP
Miopati kongenital
Trauma medulla spinalis
Anomali paru (hernia diafragmatika)
Obstruksi jalan napas (atresia koana)
Pneumonia kongenital
Episode sebelum asfiksia janin (sembuh)
Kesan Umum
Pemeriksaan biasa akan dilakukan dari ujung kepala hingga ujung kaki untuk mendeteksi kelainan-
kelaianan yang mungkin terjadi. Dilanjutkan dengan memperhatikan aktivitas fisik bayi yang
mungkin tidak dijumpai selama fase relaksasi tidur normal, atau berkurang karena sakit atau
pengaruh obat-obatan; bayi mungkin berbaring dengan tungkai yang tidak bergerak untuk
menghemat energy dalam upaya mengatasi pernapasan yang sukar, atau menangis keras bersama-
sama dengan aktivitas lengan dan kaki. Tonus otot yang aktif maupun pasif dan setiap postur yang
tidak biasa harus dicatat. Gerakan kasar, tremor, dengan pergelangan kaki atau rahang yang
mioklonus adalah lazim dan kurang bearti pada bayi baru lahir daripada bila terjadi pada umur-
umur lainnya. Gerakan demikian cenderung terjadi ketika bayi aktif, sedangkan gerakan konvulsif
berkejat-kejat biasanya terjadi pada keadaan diam. Cekungan (pitting) sesudah penekanan bisa ada
atau tidak ada, tetapi kulit pada jari-jari tangan dan kaki akan kehilangan kerutan halus normalnya
bila kulit itu dikembungkan dengan cairan. Edema pada kelopak mata biasanya akibat iritasi yang
disebabkan oleh pemberian perak nitrat. Edema menyeluruh dapat terjadi pada prematuritas,
hipoproteinemia akibat eritroblastosis fetalis berat, hydrops non-imun, nefrosis kongenital,
sindrom Hurler, atau penyebab yang belum diketahui. Edema local memberi kesan malformasi
kongenital system limfe; jika terbatas pada satu atau lebih ekstremitas bayi wanita, edema ini
mugkin merupakan tanda sindrom Turner.4
Pemeriksaan Penunjang
Uji Fluoresen SpotUji ini direkomendasikan oleh International Committee for Standardization in Hematology,
merupakan uji semikuantitatif yang mudah, murah dan cepat. Glukosa-6-fosfat (G6P) dan NADP
ditambahkan pada tetesan darah pada kertas saring kemudian dieksitasi pada panjang gelombang
340 nm. Prinsip uji ini adalah NADPH berfluoresen secara intens ketika teraktivasi dengan
gelombang panjang ultraviolet, sehingga fluoresensi mengindikasikan adanya aktivitas G6PD.
Kelemahan uji ini adalah cut off point yang rendah 2,1 U/gr Hg, sehingga dapat mendeteksi
defisiensi berat, tetapi tidak dapat mendeteksi penderita dengan sisa aktivitas enzim 20–60% dan
perempuan heterozigot. Sensitivitas uji ini dalam mendeteksi perempuan defisiensi heterozigot
sebesar 32% dan spesisfisitasnya 99%. 6,7
Analisis Spektrofotometri
Hemolisat ditambahkan ke dalam campuran yang mengandung G6PD dan NADP, kecepatan
pembentukan NADPH dapat diukur dengan spektrofotometri pada panjang gelombang 340 nm
pada suhu 300. Nilai normal bervariasi pada neonatus. Sebuah penelitian di Afrika menunjukkan
pada nonpenderita G6PD, aktivitas enzim 14,5–33,8 U/grHb (rata-rata 21,8±2,2 U/grHb), di Israel
nilai normal berkisar 9,3–26,2 U/grHb (rata-rata 14,5±3,0 U/grHb). Perempuan heterozigot
merupakan tantangan dalam penegakan diagnosis, karena analisis spektrofotometri kuantitatif dan
fluoresen spot bisa menunjukkan hasil normal. Uji ini dapat dipercaya pada deteksi laki-laki
hemizigot dan perempuan homozigot. Deteksi perempuan heterozigot sulit, karena populasi
eritrosit normal menghasilkan NADPH. Sensitivitas uji ini dalam mendeteksi perempuan
heterozigot adalah 11% dan spesifisitasnya 99%. 6,7
Analisis Pewarnaan SitokimiawiUji ini pertama kali ditemukan oleh Fairbanks dan Lampe. Uji ini mendeteksi NADPH secara tidak
langsung. Aktivitas G6PD menyebabkan pewarnaan eritrosit melalui penambahan G6P dan NADP
eksogen. Eritrosit terwarnai oleh cresyl blue. Eritrosit yang mengalami defisiensi G6PD akan
sedikit terwarnai dan dapat diidentifikasikan secara mikroskopis. Persentase eritrosit yang
terwarnai dan tidak dihitung.6,7
Van Noorden telah mengembangkan prosedur baru untuk evaluasi eritrosit dengan aktivitas G6PD
normal dan defisiensi G6PD dengan menggunakan analisis flowsitometri. Prinsipnya adalah
reduksi cairan larut air tetranitro blue tetrazolium di dalam cairan tidak larut air berwarna gelap,
formazan oleh NADPH. Kristal formazan yang terdapat di dalam eritrosit menekan otofloresensi
eritrosit. Eritrosit dengan defisiensi G6PD tidak mengandung kristal formazan, sehingga
menunjukkan otofloresensi kuat. Atas dasar inilah, persentase eritrosit yang terwarnai dan tidak
terwarnai dapat ditentukan secara obyektif. Analisis ini dapat mendeteksi semua bentuk defisiensi
G6PD. Akan tetapi membutuhkan waktu 3 jam dan banyak langkah kimiawi.6
Uji ini reliabel untuk deteksi penderita defisiensi G6PD hemizigot, homozigot dan heterozigot
karena menunjukkan aktivitas G6PD pada setiap eritrosit. Perbandingan sensitivitas dan
spesisfisitas ketiga uji di atas dalam menetukan aktivitas G6PD pada laki-laki hemizigot,
perempuan homozigot dan perempuan heterozigot dapat dilihat pada tabel 3 di bawah.6,7
Tabel 3. Sensitivitas dan Spesifisitas Uji Fluoresen Spot, Analisis Spektrofotometer, dan Sitokimiawi Untuk Mendeteksi Laki-laki Hemizigot, Perempuan Homozigot, dan
Perempuan Heterozigot.6
Sensitivitas (%) Spesifisitas (%)
Homo/hemizigot Heterozigot Homo/hemizigot Heterozigot
Uji fluoresen spot 100 32 99 99
Analisis spektrofotometri 100 11 99 99
Analisis sitokimiawi Tidak dapat dtentukan
85 Tidak dapat ditentukan
100
Analisis DNAAnalisis DNA merupakan metode molekuler, yaitu dengan teknologi PCR, metode ini tidak
dipengaruhi oleh proses hemolitik. Keuntungan uji ini adalah kemampuan mengidentifikasi
populasi subgroup, jenis mutasi, perempuan heterozigot, sampel berupa darah kering pada kertas
saring, dan tahan terhadap pemanasan. Kelemahannya adalah metode molekuler ini rumit,
membutuhkan peralatan dan sumber daya manusia yang sangat tinggi, mahal, dan hasilnya baru
diketahui dalam 1 minggu. Teknik ini tidak direkomendasikan sebagai metode skrining. Tabel 4 di
bawah ini menunjukkan perbandingan antara metode kualitatif dan kuantitatif (biokimiawi) dengan
molekuler.6,7
Tabel 4. Perbandingan Skrining Metode Kualitatif dan Kuantitatif dengan Molekuler.7
Kategori Skrining biokimiawi Skrining molekuler
Laki-laki Mudah diidentifikasi Mudah diidentifikasi
Perempuan Dapat mengidentifikasi homozigot dan sebagian heterozigot
Dapat mengdentifikasi individu normal, homozigot dan semua heterozigot
Peralatan Sederhana Rumit
Pelatihan tim kerja Sederhana Rumit
Hasil Singkat Lama
Efek hemolisis Dapat memberikan hasil normal palsu Tidak dipengaruhi oleh hemolisis
Tes Fenotip
Tes fenotip aktivitas enzimatik G6PD pada darah vena segar merupakan metode diagnostic yang
paling umum. Tes fenotip dapat dibagi menjadi 4 kategori:
a. Tes direk yang langsung menilai aktivitas enzimatik G6PD. Standar perhitungan adalah
berdasarkan spektrofotometer. Tes spot fluorescent Beutler’s merupakan tes skrining
popular yang menginkubasi hemolisat dengan substrat reaksi G6PD, ditempatkan di kertas
filter dan disinari UV (450 nm). Fluoresensi menunjukkan aktivitas G6PD. Tes ini paling
mudah meskipun jauh dari ideal.8
b. Tes indirek yang mencakup tes reduksi methemoglobin. Sel eritrosit direaksikan dengan
nitrit dan substrat glukosa kemudian tingkat NADPH-dependent methaemoglobin reduction
dinilai dengan katalis redoks. Derajat NADPH-dependent methaemoglobin reduction
berkolerasi dengan aktivitas G6PD. Metode indirek lain menggunakan kromofor seperti
brillian cresil blue, resazurin, formazan untuk memantau produksi NADPH.8
c. Tes sitokimia yang menilai status G6PD eritrotsit, dapat digunakan untuk deteksi laki-laki
defisiensi homozigot, perempuan defisiensi homozigot dan heterozigot. Tes sitokimia
mencakup methaemoglobin elution test dengan melabel eritrosit berdasarkan jumlah relatif
methemoglobinnya sesuai metode indirek dengan tes reduksi methe-moglobin. Metode
terbaru sitofluorometrik mendeteksi autofluoresens terinduksi glutaral-dehid dengan
formazan yang menggunakan teknik flowsitometri.8
d. Tes cepat dengan point of care tests (POCT).8
Differential Diagnosis
Anemia HemolitikAnemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh proses hemolysis, yaitu pemecahan
eritrosit dalam pembuluh darah sebelum waktunya. Anemia ini merupakan anemia yang tidak
terlalu sering dijumpai, tetapi bila dijumpai memerlukan pendekatan diagnostic yang tepat.
Anemia hemolitik dapat disebabkan antara lain oleh anemia sel sabit, malaria, penyakit hemolitik
pada bayi baru lahir, dan reaksi transfuse. Pada dasarnya anemia hemolitik dapat dibagi menjadi
dua golongan besar sebagai berikut.9
1. Anemia hemolitik karena faktor di dalam eritrosit sendiri (intrakorpuskular), yang sebagian
besar bersifat herediter-familiar.
2. Anemia hemolitik karena faktor di luar eritrosit (ekstrakorpuskular), yang sebagian besar
bersifat didapatkan.
Ikterus NeonatorumIkterus neonatorum sering terjadi pada bayi aterm dan dapat dirisaukan keluarga karena
kekurangan pengertian. Keadaan tersebut dapat merupakan gambaran fisiologi neonatus. Selalu
terjadi pemecahan eritrosit dalam jumlah yang cukup besar setiap saat, sebagai upaya untuk
menggantikan eritrosit yang sudah tua. Bilirubin yang merupakan hasil pemecahan eritrosit akan
masuk dalam sirkulasi darah dalam bentuk bebas dan berikatan dengan alumin. Ikatan bilirubin –
albumin akan masuk ke dalam liver dan akan mengadakan ikatan kembali dengan asam glukoranat
dengan bantuan glucuronyltransferase menjadi bilirubin asam glukoranat yang larut dalam air.
Hasil ini akan dialirkan menuju kantong empedu serta meneruskannya menuju usus halus. Dalam
usus, bilirubin terkonjugasi akan dipecah menjadi bilirubin bebas dan berikatan. Bilirubin bebas
akan diresorbsi kembali oleh liver untuk mengikuti entrohepatic sirkulasi. Konsentrasi bilirubin
dalam darah bervariasi antara 2-13 mg/dl. Setelah mencapai sekitar 20 mg/dl dapat menimbulkan
icterus.10
Working Diagnosis
Defisiensi G6PDDefisiensi G6PD merupakan defek enzim herediter dari eritrosit manusia yang paling sering
ditemukan. Enzim G6PD bekerja pada jalur fosfat pentose metabolism karbohidrat. Diwariskan
secara X-linked, oleh karena itu mutase pada gen G6PD, ditemukan lebih banyak pada laki-laki
daripada perempuan.11
Defisiensi ini paling banyak dilaporkan dari Afrika, Eropa, Timur Tengah dan Asia Tenggara.
Manifestasi klinis yang paling sering pada defisiensi G6PD adalah penyakit kuning neonatal, dan
anemia hemolitik akut, yang biasanya dipicu oleh agen eksogen. Beberapa varian G6PD
menyebabkan hemolisis kronis, anemia hemolitik bawaan non-spherocytic. Manajemen yang
paling efektif pada defisiensi G6PD adalah mencegah hemolysis dengan menghindari stress
oksidatif.1
Tabel 5. Pembagian Kelas Defisiensi G6PD.11
Manifestasi Klinis Sebagian besar penderita defisiensi G6PD tidak bergejala dan tidak mengeahui kondisinya.
Penyakit ini muncul apabila eritrosit mengalami stress oksidatif dipicu obat, infeksi, maupun
konsumsi kacang fava. Defisiensi G6PD biasanya bermanifestasi sebagai anemia hemolitik akut
yang diinduksi obat maupun infeksi, favisme, icterus neonatorum maupun anemia hemolitik non-
sferosis kronis. Beberapa kondisi seperti diabetes, infark miokard, latihan fisik berat telah
dilaporkan menginduksi hemolysis pada penderita defisiensi G6PD. Hemolisis akut pada penderita
defisiensi G6PD biasanya ditandai dengan rasa lemah, nyeri punggung, anemia dan icterus. Terjadi
peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi, laktat dehydrogenase dan retikulosis.1,2
Etiop atogenesis
Struktur dan Fungsi Enzim G6PDPada sel eritrosit terjadi metabolisme glukosa untuk menghasilkan energy (ATP), yang digunakan
untuk kerja pompa ionic dalam rangka mempertahankan milieu ionic yang cocok bagi eritrosit.
Pembentukan ATP ini berlangsung melalui jalur Embden Meyerhof yang melibatkan sejumlah
enzim seperti glukosa fosfat isomerase dan piruvat kinase, sebagian kecil glukosa mengalami
metabolisme dalam eritrosit melalui jalur heksosa monofosfat dengan bantuan enzim G6PD untuk
menghasilkan glutation yang penting untuk melindungi hemoglobin dan membrane eritrosit dari
oksidan. Defisiensi enzim piruvat kinase, glukosa fosfat isomerase dan G6PD dapat mempermudah
dan mempercepat hemolisis. Yang paling sering mengalami defisiensi adalah G6PD.12
G6PD adalah enzim "housekeeping" yang melakukan fungsi-fungsi vital di seluruh sel tubuh.
Namun, dalam eritrosit yang tidak memiliki nukleus, mitokondria, organel lainnya, ada hambatan
tertentu pada metabolisme dan enzim ini memiliki peran penting. G6PD mengkatalisis langkah
pertama dari jalur fosfat pentosa (jalur heksosa monofosfat), sejumlah reaksi sampingan dari jalur
utama glikolisis dalam eritrosit dan dalam semua sel tubuh.13
Metabolisme glukosa melalui jalur heksosa monofosfat meningkat beberapa kali ketika eritrosit
terpapar dengan obat-obatan atau toksin yang membentuk radikal bebas (Rinaldi,2009). G6PD
menginisiasi jalur ini dengan menjadi katalis oksidasi glukosa-6-fosfat menjadi 6-
phosphogluconolactone oleh ko-enzim nikotinamida adenin-dinucleotidephosphate (NADP), yang
dikurangi menjadi NADPH. 6-phosphogluconolactone menghidrolisis secara spontan untuk 6-
phosphogluconate. Ini berfungsi sebagai substrat untuk 6-phosphogluconate dehidrogenase dan
NADP. Langkah kedua dalam jalur enzimatik ini juga berhubungan dengan pengurangan NADP+
untuk NADPH. NADPH dihasilkan sebagai akibat dari reaksi mengurangi glutation teroksidasi
(GSSG) untuk mengurangi glutation (GSH) dalam reaksi dikatalisis oleh glutation reduktase. GSH
kemudian mengurangi hidrogen peroksida, oksidan kuat yang dihasilkan dalam metabolisme sel
dan sebagai konsekuensi dari respon inflamasi, dan oksidan endogen dan eksogen lainnya, pada
reaksi katalis oleh glutathione peroksidase (gambar 1).13
Fungsi utama dari jalur fosfat pentosa adalah menghasilkan kapasitas pengurangan melalui
produksi NADPH dan akhirnya GSH. Hanya ini mekanisme yang tersedia bagi eritrosit untuk
menghasilkan kapasitas pengurangan dan sehingga penting untuk kelangsungan hidup sel,
sedangkan pada sel lain dari tubuh berarti produksi NADPH tetap ada dan jalur pentosa fosfat
hanya untuk 60% dari produksi NADPH.13
GSH dihasilkan melalui jalur fosfat pentosa, seperti diuraikan di atas, melindungi hanya terhadap
stres oksidan dalam eritrosit. Dalam eritrosit yang normal tanpa tekanan G6PD, aktivitas G6PD
hanya sekitar 2% dari total kapasitas. Ini meningkatkan kemungkinan terhadap tantangan dari stres
oksidan dan GSH dipertahankan pada tingkat stabil. Namun, eritrosit defisiensi G6PD telah sangat
mengurangi aktivitas G6PD (10 sampai 20% dari normal pada G6PD A (-) dan 0 sampai 10% dari
normal pada G6PD Mediteranian dan varian serupa). Peningkatan stress oksidan dapat
menyebabkan penipisan GSH ditandai sebagai kemampuan dari defisiensi G6PD untuk
menghasilkan NADPH terlampaui oleh tingginya tingkat kehilangan GSH.13
Stres oksidan tidak terkompensasi dalam eritrosit normal (atau lebih mudah dalam eritrosit
defisiensi G6PD) menghasilkan oksidasi hemoglobin menjadi methem-globin, pembentukan Heinz
body, dan kerusakan membran. Jika terjadi sangat berat akan mengakibatkan hemolisis, sementara
bila terjadi lebih ringan tetapi stres oksidan tidak terkompensasi akan mengurangi kemampuan
eritrosit dan meningkatkan kemungkinan bahwa eritrosit akan dikeluarkan dari sirkulasi ke sistem
retikuloendotelial. Akibat hilangnya eritrosit , hematopoiesis ditingkatkan karena tubuh berusaha
untuk mempertahankan fungsi normal vaskular, dan ada banyak retikulosit yang dikeluarkan
(eritrosit muda dilepaskan dari sumsum tulang). Retikulosit biasanya mencapai kurang dari 1%
eritrosit total, tapi berikut hemolisis dapat terdiri sampai 15% dari eritrosit.13
Enzim G6PD monomer terdiri dari 515 asam amino dengan berat molekul 59 kDa. Model 3
dimensi G6PD ditunjukkan pada Gambar 2. Enzim ini aktif dalam bentuk tetramer atau dimer.
Setiap monomer terdiri dari 2 domain: N terminal dan β + α domain, kedua domain tersebut
dihubungkan oleh α helix.1
Enzim G6PD ditemukan pada semua sel dengan kadar bervariasi di jaringan yang berbeda. Pada
eritrosit normal, enzim ini bekerja pada 1-2% potensi maksimalnya. Hingga saat ini lebih dari 140
mutasi gen G6PD telah ditemukan dan dihubungkan dengan defisiensi G6PD.1,2
Gambar 1. Jalur Pentosa Fosfat.1
Gambar 2. Bentuk 3 Dimensi G6PD Dimer yang Aktif.1
Struktur Genetika G6PDG6PD dikode oleh gen Xq28. Mutasi pada gen ini menyebabkan defisiensi G6PD. Laki-laki hanya
memiliki satu kromosom X, sehingga defisiensi G6PD tergantung pada apakah kromosom X
tersebut membawa gen G6PD abnormal. Perempuan memiliki dua kromosom X, sehingga
perempuan bisa saja homozigot normal, homozigot defisiensi G6PD, dan heterozigot defisiensi
G6PD. Fenotip heterozigot disebut juga dengan intermediate. Tabel 6 di bawah ini menunjukkan
kemungkinan genotip dan fenotip G6PD.7
Tabel 6. Genetika G6PD.7
Jenis kelamin Genotip G6PD
Fenotip G6PD Aktivitas G6PD
Laki-laki XnlY Hemizigot normal Normal
Xdef Y Hemizigot defisiensi Defisiensi
Perempuan Xnl Xnl Homozigot normal Normal
Xnl Xdef Heterozigot Intermediate, dapat menjadi normal maupun defisiensi
Xdef Xdef Homozigot defisiensi Defisiensi
nl: normal, def: defisiensi
Pewarisan Resesif Terkait-X
Perwarisan ini menunjukkan bahwa hanya anak laki-laki yang terkena secara klinis; bahwa laki-
laki yang terkena terkait melalui pengidap wanita; sehingga semua anak wanita dari orang tua laki-
laki terkena merupakan pengidap gen mutan; dan bahwa orang laki-laki yang terkena tidak
mempunyai anak laki-laki yang terkena namun dapat mempunyai cucu laki-laki terkena yang
dilahirkan wanita pengidap. Pengidap wanita mempunyai peluang 50% memberikan
kromosomnya yang membawa gen mutan untuk setiap anaknya. Dengan kata lain, setiap anak
wanita dari pengidap memiliki peluang 50% menjadi pengidap, dan setiap anak laki-laki memiliki
peluang 50% mewariskan gen mutannya dan menderita penyakit yang disebabkan gen mutan.
Karenanya, pada setiap kehamilan pengidap wanita memiliki peluang 25% mempunyai anak laki-
laki yang terkena.4
Pada mulanya kedua kromosom X dari zigot wanita adalah aktif. Inaktifasi secara acak bagian dari
satu X pada setiap sel berlangsung pada awal perkembangan janin. Kromosom X yang
diinaktifasi, yang bereplikasi lebih kemudian daripada kromosom X yang aktif, merupakan massa
kromatin seks atau benda Barr yang dapat diamati pada nucleus sel dekat membrane nucleus.
Inaktifasi secara acak ini, disebut juga lionisasi, melindungi pengidap wanita dari pengaruh gen
mutan resesif terkait-X, karena banyak juga peluang bahwa kromosom X yang membawa gen
mutan akan diinaktifkan seperti gen mutan kromosom X yang lain. Karenanya, pengidap
mengekspresikan pengaruh gen mutan pada sekitar 50% selnya.4
EpidemiologiDefisiensi G6PD diperkirakan diderita 400 juta orang di seluruh dunia. Prevalensi tertinggi
ditemukan di negara-negara Sub-Sahara Afrika terutama di daerah-daerah dengan edemisitas
malaria tinggi. Prevalensi tinggi ditemukan di Afrika, Mediterania, Asia Tenggara dan Amerika
Latin (Gambar 3). Di Amerika Serikat, defisiensi G6PD terutama diderita keturunan Afrika dan
Mediterania. Di Indonesia, prevalensi defisiensi G6PD berkisar 2,7% - 14,2%. Prevalensi
defisiensi G6PD yang tinggi di daerah endemis malaria dikaitkan dengan resistensi terhadap
infeksi malaria.14
Gambar 3. Rerata Prevalensi G6PD di Dunia.14
PenatalaksanaanStrategi penatalaksanaan defisiensi G6PD yang paling efektif untuk mencegah hemolysis adalah
mencegah stress oksidatif (misalnya akibat obat-obatan dan kacang fava). Konsumsi kacang fava
dapat menyebabkan hemolysis dan kondisi ini disebut favisme. Kandungan toksik dari kacang fava
seperti divicine, isouramil, dan convicine diperkirakan meningkatkan aktivitas hexose
monophosphate shunt, sehingga menyebabkan hemolysis pada penderita G6PD. Pendekatan ini
memerlukan pemahaman pasien dan bisa tercapai jika ada program skrining defisiensi G6PD
biasanya tidak lama dan tidak memerlukan terapi spesifik. Pada kasus jarang biasanya anak-anak
dapat terjadi anemia berat yang memerlukan transfuse darah.1,2
Ikterus neonatorum akibat defisiensi G6PD diterapi seperti icterus neonatorum kausa lain. Jika
kadar bilirubin tidak terkonjugasi melebihi 150 nmol/L diberi fototerapi untuk mencegah
kerusakan saraf. Jika kadarnya > 300 nmol/L, trasnfusi darah mungkin diperlukan. Pasien anemia
hemolitik non-sferosis kongenital terkadang mengalami anemia terkompensasi yang tidak
memerlukan transufi darah kecuali jika ada eksaserbasi akibat stress oksidatif yang dapat
memperburuk anemianya. Pasien anemia hemolitik non-sferosis kongenital biasanya mengalami
splenomegaly tetapi tindakan splenektomi jarang memberi keuntungan. Batu empedu juga
merupakan komplikasi akibat hemolysis karena defisiensi G6PD.1,2
Gambar 4. Obat-obat yang Mencetuskan G6PD.15
Preventif
Konseling GenetikPenyediaan informasi yang akurat kepada keluarga memerlukan (1) menelusuri riwayat keluarga
dengan cermat dan menyusun suatu pedigree (silsilah keluarga) yang mendaftar kerabat penderita
(termasuk aborsi, lahir mati, dan individu-individu yang mati) beserta jenis kelamin, umur dan
status kesehatannya; (2) menggabungkan informasi dari catatan medic rumah sakit mengenai
individu yang terkena (dan pada beberapa kasus, anggota keluarga yang lain); (3)
mendokumentasikan riwayat prenatal, kehamilan, dan persalinan; (4) meninjau lagi informasi yang
tersedia mengenai gangguannya; (5) pemeriksaan fisik secara cermat (dengan pengambilan foto
dan pengukurannya) individu yang terkena dan individu yang nampaknya tidak terkena; (6)
menegakkan atau menguatkan diagnosis dengan uji diagnostic yang tersedia; (7) memberikan
informasi keluarga mengenai kelompok-kelompok yang mendukung; (8) memberikan informasi
baru pada keluarga ketika tersedia hal yang baru.4
Gambar 5. Silsilah Keluarga 3 Generasi dengan Defisinesi G6PD.16
Agar memberikan manfaat yang optimal, pemberian nasehat harus memasukkan beberapa
informasi tertentu.4
Informasi Diagnosis Kondisi Tertentu. Meskipun tidak selalu mungkin untuk membuat suatu
diagnosis yang tepat, mempunyai diagnosis seakurat mungkin adalah penting. Penaksiran risiko
berulang pada berbagai anggota keluarga tergantung pada diagnosis yang akurat. Bila diagnosis
spesifik tidak dapat dibuat (seperti pada banyak kasus anomaly kongenital multiple), berbagai
diagnosis banding harus didiskusikan dengan keluarga dan informasi pengalaman yang diberikan.
Jika uji diagnostic spesifik tersedia, uji ini harus didiskusikan.4
Riwayat Alamiah Keadaan. Mendiskusikan riwayat alamiah gangguan genetic spesifik dalam
keluarga merupakan hal yang penting. Individu yang terkena beserta keluarganya akan
melontarkan pertanyaan sehubungan dengan prognosis dan kemungkinan terapi yang hanya dapat
dijawab dengan informasi riwayat alamiah. Jika ada kemungkinan diagnosis banding lain, riwayat
alamiahnya dapat juga didiskusikan. Jika gangguan ini dikaitkan dengan spectrum hasil akhr
(outcome) atau komplikasi klinis, skenario terbaik dan terburuk, juga penanganan dan rujukan ke
spesialis yang tepat harus diberikan.4
Segi Genetik Keadaan dan Risiko Berulang. Ini merupakan informasi yang penting bagi
keluarga karena anggota keluarga perlu mewaspadai pilihan reproduktifnya. Genetika gangguan
dapat dijelaskan dengan bantuan visual (yaitu gambar kromosom, dll). Adalah penting
memberikan dengan tepat risiko terjadinya atau berulangnya pada berbagaii anggota keluarga,
termasuk yang tidak terkena, sepupu, bibi, dan lain-lain. Dalam kasus dimana diagnosis yang tepat
tidak dapat dibuat, akan perlu menggunakan risiko berulang menurut pengalaman. Nasehat harus
memberikan individu informasi yang diperlukan untuk memahami berbagai pilihan dalam
mengambil keputusan sendiri berkenaan dengan kehamilan, adopsi, inseminasi buatan, diagnosis
prenatal, skrining, deteksi pengidap atau pengakhiran kehamilan. Agar menyelesaikan proses
pendidikann, mungkin perlu dilakukan nasehat lebih dari satu kali.4
Diagnosis Prenatal dan Pencegahannya. Ada berbagai metode diagnosis prenatal yang tersedia
tergantung pada gangguan genetic spesifik. Penggunaan ultrasound memungkinkan diagnosis
prenatal kelainan anatomi seperti cacat pipa saraf. Amniosentesis dan pengambilan sampel villus
korionik digunakan untuk mendapatkan jaringan janin untuk analisis kelainan kromosom,
gangguan biokimiawi, dan studi DNA. Pengambilan sampel darah atau serum ibu digunakan pada
beberapa tipe skrining.4
Terapi dan Rujukan. Ada sejumlah gangguan genetic yang memerlukan perawatan spesialis.
Misalnya, individu dengan sindrom Turner biasanya perlu dievaluasi oleh ahli endokrinologi.
Pencegahan komplikasi yang diketahui merupakan prioritas. Penyesuaian diri secara psikologis
keluarga mungkin memerlukan intervensi spesifik.4
Kelompok-kelompok Pendukung. Selama beberapa tahun terakhir ini sejumlah besar kelompok
pendukung biasa telah dibentuk untuk menyediakan informasi dan pendanaan riset pada kondisi
genetic dan non-genetik spesifik. Bagian penting dari nasehat genetic adalah untuk memberikan
informasi mengenai kelompok-kelompok ini pada individu dan dapat menyarankan orang kontak
untuk keluarga.4
Pemantauan. Keluarga harus didorong untuk terus menanyakan pertanyaan dan melanjutkan
informasi baru mengenai gangguan spesifik. Perkembangan baru seringkali mempengaruhi
diagnosis dan terapi gangguan genetic spesifik. Kelompok-kelompok biasa merupakan sumber
informasi baru yang baik.4
Program Skrining Neonatus Beberapa laporan telah menyebutkan adanya perbaikan prognosis pada neonatus dengan defisiensi
G6PD segera setelah lahir. Skrining defisiensi G6PD tentu saja tidak mencegah peningkatan
bilirubin, tetapi meningkatkan kewaspadaan orang tua dan petugas kesehatan, pengenalan dini
terhadap kondisi ikterus, dan rujukan yang tepat dan cepat.7
Skrining defisiensi G6PD digunakan sebagai program pencegahan dengan tujuan sebagai berikut:17
Identifikasi laki-laki hemizigot dan perempuan homozigot maupun heterozigot untuk
pencegahan krisis hemolitik akut
Identifikasi perempuan heterozigot, minimal pada keluarga yang berisiko, dan evaluasi
NH pada anak laki-laki mereka
Konseling genetik pada keluarga
Skrining darah donor untuk mencegah transfuse ertirosit dengan defisiensi G6PD
Skrining defisiensi G6PD belum diimplementasikan secara luas. WHO merekomendasikan
skrining neonatal defisiensi G6PD pada populasi dimana insiden defisiensi G6PD pada laki-laki
melebihi 3–5%. Sebagian penderita defisiensi G6PD akan tetap sehat dan hidup normal, tidak ada
terapi segera yang dibutuhkan, dan hanya sebagian kecil yang akan menjadi hiperbilirubinemia
berat. Sebagian alasan inilah yang yang menjadi alasan skrining G6PD nasional tidak
diimplementasikan secara luas.7
Pemilihan metode skrining defisiensi G6PD memerlukan pertimbangan pada beberapa faktor yaitu
dana, jumlah neonatus yang harus diperiksa setiap harinya, ketersediaan laboratorium dan
peralatan. Kriteria suatu skrining neonatal dapat dilakukan adalah:18
1. Terapi tersedia
2. Terapi awal sebelum gejala muncul telah menunjukkan bukti pengurangan keparahan
penyakit
3. Observasi rutin dan pemeriksaan fisik tidak dapat menunjukkan kelainan sehingga uji ini
dibutuhkan
4. Kejadian penyakit sering dan skrining dapat mengurangi beban biaya akibat penyakit ini
5. Tersedia tempat untuk menginformasikan kepada orang tua pasien dan konselingnya
Skrining defisiensi G6PD memenuhi sebagian kriteria tersebut di atas. Pengobatan belum tersedia
pada kondisi ini, tetapi kernikterus dapat dihindari dengan penghindaran pemicu dan pencarian
sumber infeksi.18
Singapura telah menangkap konsep ini dan menyelenggarakan suatu program skrining defisiensi
G6PD neonatus pada tahun 1965. Neonatus dengan defisiensi G6PD diidentifikasi saat lahir
dengan mengukur aktivitas G6PD darah umbilikus, kemudian dirawat di rumah sakit sampai dua
minggu pertama kehidupan. Orang tua penderita ini dikonseling tentang bahan pencetus krisis
hemolisis yang mungkin terdapat di rumah. Melalui pencegahan ini, insidensi kernikterus telah
jauh berkurang dalam 20 tahun terakhir. Pemerintah Singapura mensubsidi 40–60% biaya skrining
ini. Malaysia memasukkan skrining defisiensi G6PD ke dalam skrining rutin neonatus pada tahun
1980. Yunani melaporkan penurunan insidensi NH dan kernikterus dengan adanya program
skrining defisiensi G6PD dan konseling orang tua.19-21
Metode skrining defisiensi G6PD yang direkomendasikan dan banyak dipakai adalah metode
fluoresen spot, karena mudah, murah, dan cepat. Sejumlah besar sampel dapat diambil dengan
mudah pada kertas saring. Metode ini tidak bisa mendeteksi perempuan heterozigot, sehingga
metode ini tidak berguna dalam dalam penegakan diagnosis atau pencegahan komplikasi penyakit
ini pada perempuan heterozigot. Pengambilan sampel dapat dilakukan dalam 24 sampai 72 jam.28
Saat ini telah ditemukan rapid kit yang lebih sensitif dibandingkan dengan uji fluoresen spot.
Kemungkinan negatif palsu pada kasus lionisasi ekstrim, hemizigot dengan varian kelas III dan
varian G6PD dengan aktivitas enzim normal. Alat ini dipakai sebagai alat penilaian epidemiologi
cepat di daerah endemis malaria. 7,22,23
Skrining defisiensi G6PD di Indonesia masih belum merupakan program skrining neonatus.
Skrining neonatus yang tersedia di Indonesia sampai saat ini adalah hipotiroid kongenital,
walaupun belum diterapkan pada semua populasi neonatus.24
KesimpulanDefisiensi G6PD merupakan enzimopati yang paling umum diderita manusia dan terkait dengan
kromosom X. Gen pengkode enzim ini terletak di lengan panjang kromosom X (Xq28).
Kebanyakan pasien defisiensi G6PD tidak menunjukkan gejala hingga terpapar obat-obatan
pengoksidasi, infeksi, dan makan kacang fava. Pemeriksaan awal pada bayi baru lahir harus
dilakukan sesegera mungkin sesudah persalinan untuk mendeteksi kelainan-kelainan dan
menegakkan dasar untuk pemeriksaan selanjutnya. Tes spot fluorescent Beutler’s merupakan tes
skrining popular yang menginkubasi hemolisat dengan substrat reaksi G6PD, ditempatkan di
kertas filter dan disinari UV (450 nm). Fluoresensi menunjukkan aktivitas G6PD. Tes ini paling
mudah meskipun jauh dari ideal.Defisiensi G6PD biasanya bermanifestasi sebagai anemia
hemolitik akut yang diinduksi obat maupun infeksi, favisme, icterus neonatorum maupun anemia
hemolitik non-sferosis kronis.Strategi penatalaksanaan defisiensi G6PD yang paling efektif untuk
mencegah hemolysis adalah mencegah stress oksidatif (misalnya akibat obat-obatan dan kacang
fava). Konseling genetic dan pemeriksaan skrining terhadap neonatus merupakan salah satu
pencegahan terhadap terjadinya defisiensi G6PD secara genetic, walaupun skrining G6PD terhadap
neonatus masih belum dilakukan di Indonesia.
Daftar Pustaka1. Cappelini MD, Fiorelli G. Glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency. Lancet.
2008;371:64-74.
2. Farhud DD, Yazdanpanah L. Glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) deficiency.
Iranian J Publ Health. 2008;37(4):1-18.
3. Hull D, Johnston DI. Dasar-dasar pediatri. Jakarta: EGC; 2008.h. 1-7.
4. Kliegman RM. Dalam: Berhman, Kliegman, Arvin. Nelson ilmu kesehatan anak. Edisi 15.
Vol. 1. Jakarta: EGC; 2012.h. 406-7, 535-41.
5. Meadow SR, Newell SJ. Lecture notes on pediatrics. 7th ed. Jakarta: Erlangga; 2009
6. Peters AL, Noorden CJV. Glucose-6-phosphate Dehydrogenase Deficiency and Malaria:
Cytochemical Detection of Heterozygous G6PD Deficiency in Women. J Histochem
Cytochem. 2009;57(11):1003-11.
7. Kaplan M, Hammerman C. Neonatal screening for glucose-6-phosphate dehydrogenase
deficiency: biochemical versus genetic technologies. Semin Perinatol. 2011;35:155-61.
8. Seldlein LV, Auburn S, Espino F, Shanks D, Cheng Q, McCarthy J, et al. Review of key
knowledge gaps in glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency detection with regard to
the safe clinical deployment of 8-aminoquinoline treatment regimens: a workshop report.
Malaria J. 2013. Dol:10.1186/1475-2875-12-112.
9. Handayani W, Haribowo AS. Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan system
hematologi. Jakarta: Penerbit Salemba Medika; 2008.h. 59-60.
10. Manuaba IBG, Manuaba C, Manuaba IBG F. Pengantar kuliah obstetric. Jakarta: EGC;
2007.h. 348.
11. WHO Working Group. Glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency. Bull WHO.
1989;67:601-11.
12. Rinaldi,I. dan Sudoyo,A.W., 2009, Anemia Hemolitik Non Imun,Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi V: 1157-59
13.Greene,L.S.,1993, G6PD Deficiency as Protection Against falciparumMalaria: An
Epidemiologic Critique of Population andExperimental Studies, Yearbook Of Physical
Anthropology 36:153—178.
14. Nkhoma ET, Poole C, Vannappagari V, Hall SA, Beutler E. The global prevalence of
glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency: a systematic review and meta-analysis.
Blood cells molecules and diseases. 2009;42:267-8.
15. MIMS. Drugs to avoid in G6PD deficiency. 2006.
16. Epsein O, Perkin GD, Cookson J, Watt IS, Rakhit R, et al. Clinical examination. 4th ed.
Phhiladelphia: Mosby Elsevier; 2008.p. 319.
17. Minucci A, Giardina B, Zuppi C, Capuluongo E. Glucose-6-phosphat dehydrogenase
assay:how, when, and why? IUBMB Life. 2009;61(1):27-34.
18. Leong A. Is there a need for neonatal screening of glucose-6-phosphate dehydrogenase
deficiency in Canada? MJM. 2007;10(1):31-4.
19. Joseph R, Ho L, Gomez J, Rajdurai V, Sivasankaran S, Yip Y. Mass newborn screening for
glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency in Singapore. Southeast Asian J Trop Med
Public Health. 1999;30(Suppl2):70-1.
20. Padilla CD, Therrell BL. Newborn screening in the Asia Pacific region. J Inherit Metab
Dis. 2007;30:490-506.
21. Missiou-Tsagaraki S. Screening for glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency as a
preventive measure: prevalence among 1.286.000 Greek newborn infants. J Pediatr.
1991;119(2):293-9.
22. Sahai I, Marsden D. Glucose-6-phosphate dehydrogenase laboratory assay: how, when, and
why? Critical Reviews in Clinical Laboratory Sciences. 2009;46(2):55-82.
23. Jalloh A, Tantular I, Pusarawati S, Kawilarang A, Kerong H, Lin K, et al. Rapid
epidemiologic assesment of glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency in malaria-
endemic areas in Southeast Asia using a novel diagnostic kit. Trop Med Int Health.
2004;9(5):615-23.
24. Padilla CD, Therrell BL. Newborn screening in the Asia Pacific region. J Inherit Metab
Dis. 2007;30:490-506.
25.