bonorowo wetlands | vol. 3 | no. 2 | december 2013 | issn

82
| Bonorowo Wetlands | vol. 3 | no. 2 | December 2013 | ISSN: 2088-110X | E-ISSN: 2088-2475| Nusantara Institute of Biodiversity Sebelas Maret University

Upload: others

Post on 22-Nov-2021

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

| Bonorowo Wetlands | vol. 3 | no. 2 | December 2013 | ISSN: 2088-110X | E-ISSN: 2088-2475|

Nusantara Institute of BiodiversitySebelas Maret University

| Bonorowo Wetlands | vol. 3 | no. 2 | December 2013 | ISSN 2088-110X | E-ISSN 2088-2475|

The Bonorowo Wetlands publishes original papers and reviews on all aspect of the wetlandssciences, including: physical aspects, biogeochemistry, biodiversity, conservation andmanagements, as well as related fields such as horticulture and ethnobiology, with emphasis ofthe Islands of Southeast Asian or Nusantara region.

Ahmad D. SetyawanDepartment of Biology,Faculty of Mathematics and Natural SciencesSebelas Maret UniversitySurakarta, Central Java(Editor)

Udhi E. HernawanResearch Center for OceanographyIndonesian Institute of Sciences,Tual, Southeast Maluku(Associate Editor)

Alfin WidiastutiDevelopment Agency for Seed QualityTesting of Food and Horticulture CropsCimanggis, Depok, West Java(Business Manager)

Editorial Advisory Board

Professor Cecep KusmanaFaculty of ForestryBogor Agricultural UniversityBogor, West Java([email protected])

Professor Mohammed S.A. AmmarMarine Invertebrates/Coral ReefsNational Institute of OceanographySuez, Egypt([email protected])

Professor SudarmadjiDepartment of Biology,Faculty of Mathematics and Natural SciencesState University of Jember,Jember, East Java([email protected])

Dr. Achmad RizalFaculty of FisheriesTadulako UniversityPalu, Central Sulawesi([email protected])

Dr. Muhammad A. Rifa’iFaculty of FisheriesLambung Mangkurat UniversityBanjarbaru, South Kalimantan([email protected])

Dr. SunartoDepartment of Biology,Faculty of Mathematics and Natural SciencesSebelas Maret UniversitySurakarta, Central Java([email protected])

Dr. Gadis S. HandayaniResearch Center for LimnologyIndonesian Institute of SciencesCibinong-Bogor, West Java([email protected])

Dr. DarmawanDepartment of AgrotechnologyFaculty of AgricultureAndalas UniversityPadang (West Sumatra)([email protected])

Dr. Am A. TaurusmanFaculty of Fisheries and Marine ScienceBogor Agricultural UniversityBogor, West Java([email protected])

The Bonorowo Wetlands is a peer-reviewed journal published twice yearly, in June and December, by the the tandem publisher namelyNusantara Institute of Biodiversity (Society for Indonesian Biodiversity) and Sebelas Maret University Surakarta.

Authors currently opt for two samples journal off prints and/or a pdf reproduction of their contribution (gratis).

ADDRESS:Nusantara Institute of Biodiversity

Jl. Raya Dieng Km 01, Kp. Tanggung, Kel. Kejiwan, Wonosobo 56311, Jawa Tengah, IndonesiaTel. +62-286-5821222, Email: [email protected], [email protected], Online:biosains.mipa.uns.ac.id/W/index.htm

Bonorowo Wetlands 3 (2): 55-72, December 2013 ISSN: 2088-110X, E-ISSN: 2088-2475DOI: 10.13057/bonorowo/w030201

Karakteristik habitat dan potensi kepiting bakau (Scylla serrata,S.transquaberica, dan S. olivacea) di Hutan Mangrove Cibako,

Kabupaten Garut, Jawa Barat

Habitat characteristics and potency of mud crabs Scylla serrata, S. transquaberica, and S.olivacea in Cibako Mangrove Forest, Garut District, West Java

IRVAN AVIANTO, SULISTIONO, ISDRAJAD SETYOBUDIANDIProgram Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor 16680, Jawa Barat

Manuskrip diterima: 21 Agustus 2013. Revisi disetujui: 11 November 2013.

Abstract. Avianto, Sulistiono, Setyobudiandi I. 2013. Habitat characteristics and potency of mud crabs Scylla serrata, S. transquaberica,and S. olivacea in Cibako Mangrove Forest, Garut District, West Java. Bonorowo Wetlands 3: 55-72. The research was conducted onAugust-November 2011 in Cibako Mangrove Forest of Leuweung Sancang Nature Reserve, Garut District, West Java. The site containssix stations, each station in three zones. Station 1 and 2 was placed in zona A where zone A in the front area of mangrove forest. Station3 and 4 was placed in zone B that location in the middle of mangrove forests. Station 5 and 6 were placed in zone B where location inbehind the mangrove forest. This study aims to obtain data and information on the habitat characteristics and potency of mud crab basedon the existence of species, abundance, and size distribution. The method used was a survey. Observations of habitat characteristicsperformed in-situ by the method of a sampling transect line plot. Cluster evaluation of habitat characteristic used cluster analysis.Analysis of habitat characteristics with potency of mud crab used correspondence analysis. The results showed that the parameters ofhabitat 1 and 2 had been similarity, and this was classified as groups of zone A. The similarity of parameters in station 3 and 4 wereclassified as group of Zone B, and the similarity of parameters in stations 5 and 6 were classified as group of zone C. S. serratadominated in zona A where the substrate was mud with range of salinity between 24-30 ppt, total 73 ind. S. transquaberica dominated inzone B where the substrate were mud with range of salinity between 22-25 ppt, totaled 94 ind. S. olivacea dominated in zone C wherethe substrate were clay with range of salinity between 18-23 ppt, totaled 45 ind. The abundance of mud crabs were in dark moon, wheretotaled zona A was 57 ind, zone B was 68 ind, and zone C was 32 ind. Mud crabs had possess of negative phototactic, because the habitof mud crab often refuges and hiding on a substrate that was not exposed to light directly. The high density of mangroves was found inzona A and B. which Third of mud crabs associated with mangrove that had density so higher. The average of litter weight as source offood for macrozoobenthos, each which of was 200.72 g and 204.83 g. The average of macrozoobenthos abundance, each which of was13 ind/m2 dan 17 ind/m2

. Therefore, mud crabs would interest to settle in zone that had abundance of macrozoobenthos as source offood.

Keywords: Mud crabs, abundance, mangrove density, litter, macrozoobenthos

PENDAHULUAN

Perairan pantai Sancang berada di wilayah pesisirSamudera Hindia yang merupakan bagian wilayahKabupaten Garut, Jawa Barat. Secara geografis pantaiSancang terletak antara 7°42' 32.15"-7°45' 32.15" LintangSelatan dan 107°49'34.15"-107°52'18.10" Bujur Timur.Kawasan pesisir tersebut memiliki hutan mangrove denganluas sebesar 144,1 ha (BKSDA 2008). Kondisi kawasanmangrove di pesisir Sancang ini relatif masih utuh, karenabelum ada intervensi dari luar akibat pengalihan fungsikawasan mangrove dan penebangan liar. Ekosistem hutanmangrove memiliki peranan dan fungsi yang sangatpenting sebagai penyangga kehidupan, termasuk kehidupanmasyarakat setempat. Secara langsung dan tidak langsungmanfaat ini telah dirasakan oleh masyarakat sebagaisumber mata pencaharian dalam menangkap ikan, udangdan kepiting. Disamping itu ekosistem mangrovemerupakan salah satu sumberdaya wilayah pesisir yang

berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencarimakanan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran(nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground)bagi berbagai organisme (Bengen 2001). Salah satuorganisme yang memiliki hubungan ekologi pada kawasanmangrove adalah kepiting bakau.

Estampador (1949) membagi kepiting bakau, genusScylla, atas tiga jenis dan satu varietas, yaitu: S. serrata(Forskal), S. oceanic (Dana), S. tranqueberica (Fabricius)dan S. serrata var. paramamosain (Estampador).Sementara itu, berdasarkan mtDNA, Keenan et al. (1988)menyatakan bahwa kepiting bakau terdiri atas empat jenis,yaitu: S. serrata, S. tranquebarica, S. paramamosain, danS. olivacea.

Kepiting bakau dewasa merupakan penghuni tetapperairan zona intertidal dan sering membenamkan diridalam substrat lumpur atau menggali lubang pada substratyang lunak (Quensland Department of Primary Industries1989; Hutching and Seanger 1987), sedangkan

Bonorowo Wetlands 3 (2): 55-72, December 201356

Pagcatipunan (1972) melaporkan bahwa kepiting bakausebelum melakukan pergantian kulit (moulting) akanmasuk ke dalam lubang hingga karapasnya mengeras.Perairan disekitar hutan mangrove sangat cocok untukkehidupan kepiting bakau karena sumber makanannyaseperti bentos dan serasah cukup tersedia. Pendapat inididukung oleh Snedaker and Getter (1985) serta Moosa etal. (1985) yang menyatakan bahwa kepiting bakaumerupakan organisme bentik pemakan serasah dimanahabitatnya adalah perairan intertidal yang bersubstratlumpur.

Kepiting bakau merupakan salah satu hasil perikananekonomis penting yang dikonsumsi sebagai sumbermakanan hewani yang berkualitas dan dijadikan komoditasekspor, sehingga kepiting bakau ditempatkan sebagai jenismakanan laut ekslusif dengan harga yang cukup mahal.

Penangkapan kepiting bakau di kawasan mangroveCibako, Sancang terus dilaksanakan oleh nelayan sebagaisumber mata pencaharian guna memenuhi kebutuhankonsumsi keluarga maupun penjualan ke pasar lokalmaupun luar dari wilayah Garut. Hingga kini usahapenangkapan kepiting bakau di kawasan hutan mangroveSancang terus dilakukan, namun pemanfaatan sumberdayahayati species tersebut sampai saat ini belum dikelola. Olehkarena itu agar sumberdaya kepiting di masa yang akandatang tidak terjadi degradasi populasi akibatmeningkatnya penangkapan diperlukan upaya pengelolaan.Pengelolaan ini tidak akan berhasil baik tanpa didasari

ketersediaan data akurat tentang karakteristik habitat danpotensi kepiting bakau (Scylla spp.) di hutan mangrovemangrove Cibako, Sancang yang sampai saat ini informasitersebut belum diketahui secara lengkap.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data daninformasi tentang karakteristik habitat dan kaitannyadengan keberadaan kepiting bakau berdasarkan jumlah,jenis, dan ukuran di hutan bakau Cibako, Sancang.

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan waktu penelitianPenelitian dilaksanakan di kawasan hutan mangrove

Cibako, Cagar Alam Leuweung Sancang, Desa SancangKabupaten Garut, Jawa Barat, yang terletak antara posisi7°42' 32.15"-7°45' 32.15" LS dan 107°42'34.15"-107°52'18.10" Bujur Timur, dimana secara administrasikawasan ini merupakan bagian pengelolaan BadanKonservesai Sumber Daya Alam (BKSDA) Wilayah VJawa Barat (Gambar 1-2). Di hutan mangrove ini terdapatsungai Cibako yang terhubung dengan Samudera Indonesiadan memiliki estuari, sehingga perairan tersebut sangatdipengaruhi oleh gerakan pasang surut SamuderaIndonesia. Penelitian ini berlangsung selama empat bulandengan frekuensi pengambilan contoh sebanyak 16 kali.

Gambar 1. Lokasi Penelitian di kawasan hutan mangrove Cibako, Cagar Alam Leuweung Sancang, Desa Sancang, Kabupaten Garut,Jawa Barat (BKSDA 2008)

Cagar AlamLeuweung Sancang

AVIANTO et al. – Habitat dan potensi kepiting bakau di Hutan Mangrove Cibako, Garut 57

A B C

Gambar 2. Lokasi stasiun penelitian. A. Zona depan hutan mangrove Cibako (stasiun 1 dan 2), B. Zona tengah hutan mangrove Cibako(stasiun 3 dan 4), C. Zona belakang hutan mangrove (stasiun 5 dan 6)

Gambar 3. Skema metode pengumpulan data lapangan

Gambar 4. Alat tangkap bubu

Metode dan desain penelitianMetode penelitian yang digunakan adalah metode

survey. Lokasi/ stasiun penelitian terdiri dari 6 (enam)stasiun (Gambar 2). Pada seluruh stasiun ini dilakukanpengukuran kualitas air, karakteristik habitat, dan distribusiukuran, jenis, dan jumlah kepiting bakau. Pengukuran danPengambilan sampel dilakukan sebanyak 16 kali dalamwaktu 4 bulan dengan survey dalam petak pengamatanberukuran 20 x 20 m dengan metode line plots transect(Gambar 3)(Bengen 1997). Pengambilan sampel kepitingdilakukan pada masing-masing stasiun penelitian denganmenggunakan alat tangkap bubu lipat (Gambar 4) sebanyak8 unit, sehingga jumlah keseluruhan alat tangkap yangdibutuhkan sebanyak 48 unit.

Bonorowo Wetlands 3 (2): 55-72, December 201358

Penentuan stasiun penelitian dibagi atas tiga zonapengamatan yang terdiri dari: (i) Zona A, terletak di depanhutan mangrove, tepatnya di estuari Cisanggiri. Padawilayah ini dipengaruhi oleh limpasan pasang air laut.Wilayah ini memiliki tingkat salinitas yang tinggi,kecerahan tinggi, substrat lumpur dan berpasir. Pada zonaini ditempatkan stasiun 1 yang berada di sebealah kirisungai dan stasiun 2 di sebalah kanan sungai. (ii) Zona B,terletak di wilayah tengah hutan mangrove. Penenetuanlokasi di zona ini, karena Wilayah ini memiliki tingkatsalinitas yang tinggi apabila terlewati gerakan pasang airlaut, kecerahan rendah, substrat berlumpur, dansedimentasi tinggi. Pada zona ini ditempatkan stasiun 3yang berada di sebelah kiri sungai dan stasiun 4 berada disebelah kanan sungai. (iii) Zona C, terletak di wilayahbagian belakang dari hutan mangrove yang berbatasandengan wilayah darat. Wilayah ini memiliki kecerahanrendah, substrat berlumpur, dan sedimentasi tinggi. Padazona ini ditempatkan stasiun 5, berada di sebealah kirisungai dan stasiun 6, berada di sebelah kanan sungai.

AlatPeralatan yang digunakan yaitu alat tangkap, alat ukur

kualitas air, alat ukur dimensi yang menunjukkan ketilitianalat, dokumentasi, dan wadah penyimpanan sampel.

BahanBahan yang digunakan yaitu sampel kepiting,

makrozoobentos, dan serasah untuk dilakukan pengamatanjenis dan kelimpahannya serta bahan pengawet untukmengawetkan organisme yang diteliti pada selang waktubeberapa hari berikutnya.

Cara kerjaVegetasi mangrove

Data vegetasi mangrove dikelompokan pada masing-masing stasiun dalam petak pengamatanberukuran 10 x 10m2 untuk kategori pohon (diameter >10 m), 5 x 5 m2 untukkategori anakan/belta (diameter = 2-10 cm),dan 1 x 1 m2

untuk kategori semai (diameter < 2 cm). Vegetasimangrove pada tiap petak pengamatan diidentifikasi,diukur diameter batangnya dan kemudian dihitung jumlahindividunya untuk tiap kategori.

SubstratPengambilan substrat dilakukan dengan menggunakan

pipa paralon berdiameter 5 cm dengan tinggi 15 cm padamasing-masing stasiun dalam petak pengamatan 1 x 1 m2.Selanjutnya sampel substrat di analisis di laboratoriumuntuk dihitung persentase fraksi kategori pasir, liat, danlumpur sesuai dengan kategorinya.

Makanan alami serasahPengumpulan serasah dilakukan dengan menempatkan

dua buah jala penampung serasah ditempatkan pada petakpengamatan 10 x 10 m2, masing-masing pada tegakanmangrove yang ada di tiap stasiun, selanjutnya Serasah dianalisis di laboratorium untuk dihitung bobot keringnya.

MakrozoobentosPengumpulan makrozoobentos dilakukan dengan

penggalian substrat sedalam 15 cm pada petak pengamatan1 x 1 m2. Sampel dimasukan kedalam kantung plastik dandituangkan larutan formalin 4%. Sampel substrat dibawa kelaboratorium untuk disaring dan dianalsisis klasifikasi jenisdan dihitung jumlahnya. Sampel yang telah diamati,selanjutnya diawetkan dalam larutan formalin 4% untukdikoleksi.

Kualitas airPengukuran parameter suhu, pH, salinitas dilaksanakan

di lapangan (in situ) dengan menggunakan water qualitychecker, sedangkan kedalaman air diukur denganmenggunakan meteran. Pengukuran dilakukan pada petakpengamatan 20 m x 20 m.

Pengumpulan contoh kepiting bakauPengambilan contoh dilakukan dengan Penangkapan

kepiting bakau Digunakan bubu lipat berukuran 70 x 50 x30 cm3 yang ditempatkan pada masing-masing stasiunsebanyak 8 unit. Penangkapan dilakukan pada malam hari.Sebelum penangkapan dilaksanakan, alat tangkapan diberiumpan berupa potongan ikan kembung, selar atau cucut.Penangkapan kepiting bakau dilakukan pada petakpengamatan 20 x 20 m2 (Gambar 3).

Parameter yang diukur adalah panjang dan lebarkarapas. Panjang karapas (carapace length/ CL) merupakanpanjang yang diukur secara vertikal dari puncak frontsampai tepi coxa, sedangkan lebar karapas diukur secarahorizontal dari kedua sisi antero lateral karapas (Warner1977).

Analisis dataPengelompokkan karakteristik habitat

Pengelompokkan kemiripan antar stasiun digunakancluster analysis. Proses pengelompokkan karakteristiklingkungan antar stasiun digunakan analisis Averagelinkage clusteringdengan bantuan software Excel Stat Ver.2012. Analisis ini digunakan apabila jarak antara kelompokterdapat kemiripan objek yang merupakan jarak terdekatdari objek kelompok pertama dengan kelompok lainnya(Hair et al. 1998).

Ketersediaan makanan alamiUntuk menganalisis rata-rata produksi serasah pada

setiap stasiun digunakan rumus:

Keterangan:Xi = Rata-rata produksi pada setiap transek (g/ m2)Xj = Bobot serasah plot ke-i pada selang waktu tertentu

(g)Sedangkan untuk menganalisis kelimpahan

makrozoobentos digunakan rumus:

AVIANTO et al. – Habitat dan potensi kepiting bakau di Hutan Mangrove Cibako, Garut 59

Keterangan:Ni = Kelimpahan makroozobentos jenis-i (ind/ m2)∑Ni = Jumlah individu makrozoobentos jenis-i (ind)A = Luasan Areal pengambilan contoh (m)

Kerapatan jenis mangroveKerapatan Jenis mangrove diukur dengan menggunakan

rumus sebagai berikut:

Ki = Kerapatan mangrove jenis-i (ind/ ha)∑ni = Jumlah individu jenis-i (ind)A = Luasan Areal pengambilan contoh (ha)

Distribusi individu kepiting bakau parameter kualitas airantar stasiun dan antar bulan

Distribusi individu kepiting bakau dan Parameterhabitat diuji dengan menggunakan analisis varians (anova)atau uji F dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK)dengan bantuan SPSS versi 12. Selanjutnya dilakukan ujilanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) untuk membandingkannilai beda absolut dari dua perlakuan lebih besar dari nilaiBNT maka dapat disimpulkan bahwa kedua perlakuan ituberbeda nyata pada taraf nyata α.

Distribusi ukuran kepiting bakau masing-masing jenisantar umur bulan

Distribusi Jumlah rata-rata untuk jenis kepiting bakau(Scylla serrata, S. transquaberica, dan S. olivacea) antarumur bulan dilakukan uji analisis varian (anova) atau uji Fdalam RAK dengan bantuan aplikasi SPSS versi 12. Untukmelihat perbedaan penyebarannya dilakukan uji lanjut BNT.

Hubungan sebaran jenis kepiting bakau masing-masingkelas ukuran antar bulan pada setiap stasiun

Sebaran kelas ukuran masing-masing jenis kepitingbakau antar stasiun dan antar bulan dilakukan analisisfaktorial koresponden (correspondence analysis).Berdasarkan hasil penelitian Nazar (2002) bahwa sebaranukuran kepiting bakau di wilayah hutan mangrove SegaraAnakan, dianalisis menggunakan faktorial korespondenpada ketiga jenis kepiting bakau, yaitu yang terbagi atas 3kelompok kelas ukuran, yaitu: S. serrata berukuran kecil <70 mm (SSk), ukuran sedang antara 70-100 mm (SSs),ukuran besar >100 mm (SSb). S. tranquebarica berukurankecil <60 mm (STk), ukuran sedang antara 60-80 mm (STs),ukuran besar > 80 mm (STb). S. olivacea berukuran kecil <55 mm (SOk), ukuran sedang antara 55-65 mm (SOs), danukuran besar > 65 mm (SOb).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik habitat derah penelitian vegetasimangrove

Secara administrasi hutan mangrove Cibako merupakanbagian dari kawasan pesisir Samudera Indonesia, terletak di

wilayah Sancang, Kabupaten Garut. Luas hutan mangroveCibako kurang lebih 65,4 ha yang ditumbuhi vegetasimangrove Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata,Avicenia marina, Sonetaria alba, Aegiceras corniculatum,Ceriops tagal, Bruguiera gymnorrhiza, dan Nypa fruticans.Daratan Sancang sangat dipengaruhi oleh angin laut.Curahhujan rata-rata 1.695-2.570 mm pertahun dengan jumlahhari hujan 124-178 hari (BKSDA Wilayah V Jawa Barat2008).Keberadaan mangrove di wilayah pantai Cibako inihampir memiliki kesamaan vegatasi mangrove di SegaraAnakan yang juga merupakan kawasan perairan pantaiselatan Jawa. Hal ini berdasarkan hasil penelitian Murni(1995) yang menemukan 11 jenis vegetasi mangrove diSegara Anakan, diantaranya Sonneratia alba, Nypafructicans, Rhizophora sp., Ceriops tagal, Aegicerascorniculatum, Avicennia sp., Hibiscus tiliaceus, Wideliabiforia, Sarcolabus globsus,Acanthus illicifolius.

Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwavegetasi mangrove jenis R. apiculata, R. mucronata, A.marina, dan S. alba ditemukandi kawasan terdepan hutanmangrove. B. gymnorrhiza dan A. corniculatumditemukandi wilayah bagian tengah dan belakang hutanmangrove. C. tagal ditemukan di kawasan tengah hutanmangrove.

Pada stasiun 1 dan 2 dominan ditumbuhi oleh jenis R.apiculata dengan kerapatan 370 ind/ha dan 520 ind/ha danR. mucronata dengan kerapatan 290 ind/ha dan 330ind/ha.Jenis vegetasi mangrove lainnya yang ditemukan distasiun 1 dan 2 adalah S. alba dengan kerapatan 120 ind/hadan 180 ind/ha dan A. marina dengan kerpatan 130 ind/hadan 150 ind/ha. Total kerapatan mangrove di stasiun 1 dan2 yang berada di depan hutan mangrove adalah 910 ind/hadan 1180 ind/ha (Tabel 1). Menurut Pramudji dan Purnomo(2003) mengungkapkan bahwa Famili Rhizophoraceaeberada di kawasan muara yang berjarak 10-75 m dari garispantai yang merupakan zonasi terdepan setalah vegetasi A.marina dan S. alba, dimana habitatnya hidup pada Substratyang masih berupa lumpur lunak dengan kadar salinitasyang agak rendah.Mangrove pada zona ini masih tergenangpada saat air pasang. Hal lain juga senada dengan Noor(1999) mengungkapkan bahwa jenis R. apiculata biasanyaditemukan pada daerah bersubstrat lumpur halus dandalam, tergenang pada saat pasang normal, tidak menyukaisubstrat lebih keras yang bercampur pasir. Biasanya tingkatdominansi dapat mencapai 90% dari vegetasi yangtumbuhdisuatu lokasi, menyukai juga perairan surut yang memilikipengaruh masukan air tawar secara permanen. KeberadaanJenis S.alba dan A. marina yang berasosiasi denganRhizophora sp di stasiun 1 dan 2, diduga karena jenistersebut masih toleran dengan habitat substrat yangberlumpur yang bercampur pasir dan tidak toleran denganair tawar. Hal ini sejalan dengan pendapat Pramudji danPurnomo (2003) bahwa vegetasi S. alba dan A. albaterletak paling luar dari hutan yang berhadapan langsungdengan laut yang hidup di substrat lumpur lembek dankadar salinitas tinggi. Jenis mangrove tersebut memillikiperakaran yang kuat untuk menahan pukulan gelombang,serta mampu membantu dalam proses penimbunansedimen.

Bonorowo Wetlands 3 (2): 55-72, December 201360

Pada stasiun 3 dan 4 dominan ditumbuhi B.gymnorrhiza dengan kerapatan 230 ind/ha dan 280 ind/ha.Jenis vegetasi lainnya yang tumbuh di stasiun 3 dan 4adalah C. tagal dengankerapatan 90 ind/ha dan 150 ind/hadan A. corniculatum yang merupakan jenis mangrovetambahan dengan kerapatan 180 ind/ha dan 240 ind/ha.Total kerapatan mangrove di stasiun 3 dan 4 yang berada diwilayah tengah hutan mangrove adalah 500 ind/ha dan 670ind/ha (Tabel 1). B. gymnorrhiza biasanya hidup padasubstrat lumpur, pasir, dan liat yang banyak ditemukan didaerah pinggir sungai yang kurang terpengaruh air laut.Jenis mangrove tersebut mampu hidup di berbagai kondisisalinitas dari yang rendah dan tinggi hingga air laut, denganberbagai tingkat penggenangan hutan bakau. Noor (1999)menyatakan bahwa B. gymnorrhiza dominan pada hutanmangrove yang berbatasan dengan daratan.Jenis tersebuttumbuh diareal dengan salinitas rendah dan kering, dengantanah yang memiliki aerasi yang baik. Selain ituB.gymnorrhiza toleran terhadap daerah terlindung ataupunyang mendapat sinar matahari langsung dan dapat tumbuhpada daerah pinggir hutan mangrove, sepanjang tambakserta sungai pasang surut dan payau.Substrat terdiri darilumpur, pasir, dan gambut berwarna hitam. Terkadangditemukan juga pada daerah pinggir sungai yang kurangterpengaruh air laut. C. tagal hidup pada substrat yangberpasir dan berlumpur yang membentuk gundukan-gundukan akibat sistem perakaran vegetasi yang khas(Siahainenia 2000). A. corniculatum memlliki toleransitinggi terhadap salinitas, tanah, dan cahaya yang beragam.Biasanya jenis ini tumbuh di tepi daratan hutan mangroveyang tergenang oleh pasang naik yang normal,sertadibagian tepi dari jalur air yang bersifat payau secaramusiman.

Pada stasiun 5 dan 6 dominan ditumbuhi olehB.gymnorrhiza dengan kerapatan 190 ind/ha dan 210 ind/hadan A. corniculatum derngan kerapatan 110 ind/ha dan 170ind/ha. Total kerapatan mangrove di stasiun 5 dan 6 yangberada di wilayah belakang hutan mangrove adalah 300ind/ha dan 380 ind/ha (Tabel 1).

Produksi serasahHasil analisis rata-rata produksi serasah antar stasiun

memperlihatkan bahwa rata-rata produksi serasah tertinggiditemukan di stasiun 2 adalah 206,18 g dan terendahditemukan pada stasiun 6 sebesar 184,79 g (Tabel 2).

Nilai rata-rata produksi serasah tertinggi pada di staisun2 adalah 206.18 g, diduga karena tingkat kerapatanmangrove lebih tinggi, dimana frekuensi jatuhnya daunmangrove akan lebih besar yang tertangkap oleh jala. DaunR.apiculata dan R.mucronata lebih banyak tertangkap olehjala dibandingkan dengan A. marina dan Sonneratia alba.Berdasarkan hasil penelitian Pramudji Purnomo (2003)menunjukkan bahwa pada tegakan Rhizophora, jumlahjatuhan serasah meningkat secara nyata sesuai denganpertambahan umur dan jumlah maksimumnya pada usia 10tahun. Tegakan usia diatas 10 tahun tidak menghasilkanperbedaan nyata, selain itu jarak tumbuh dari garis pantaisecara langsung mempengaruhi jumlah serasah yang jatuh.

Tabel 1. Kerapatan individu jenis mangrove di stasiun penelitian(ind/ha)

JenisKerapatan individu jenis mangrove

tiap stasiun (ind/ha)1 2 3 4 5 6

R. apiculata 370 520 - - - -R. mucronata 290 330 - - - -A. marina 130 150 - - - -S. alba 120 180 - - - -C. tagal - - 90 150 - -B. gymnorrhiza - - 230 280 190 210A. corniculatum - - 180 240 110 170Jumlah 910 1180 500 670 300 380

Tabel 2. Rata-rata produksi serasah selama penelitian (g) danhasil uji BNT antar stasiun dan bulan pengamatan

Stasiun Bulan pengamatan Rata-rata SD NAgu Sep Okt Nop

1 198.35 192.75 182.74 202.36 194.05b 8.51 162 209.47 208.84 198.89 207.54 206.18b 4.93 163 202.47 205.24 201.3 207.86 204.21b 2.94 164 216.2 213.11 205.16 218.48 213.23b 5.82 165 134.35 148.75 175.28 192.33 162.67a26.04 166 169.8 153.81 126.64 184.79 158.76a24.87 16Rata-rata

188.44ab 187.08ab 181.66a 202.22b 194.05b

SD 30.92 28.60 29.34 12.05N 24 24 24 24Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikutioleh huruf yang sama atau berbeda menunjukkan tidak berbedanyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)

Selanjutnya analisis rata-rata produksi serasah antarbulan memperlihatkan bahwa rata-rata produksi serasahtertinggi ditemukan pada bulan November adalah 202,22 gdan terendah ditemukan pada bulan oktober adalah 181,66g (Tabel 4). Keadaan ini diduga karena pada bulanNovember terjadi perubahan pergerakan angin dari Baratke Timur yang cenderung lebih besar menyebabkan daun-daun mangrove banyak yang jatuh.

Serasah adalah sisa organik dari tanaman dan hewan,yang ditemukan di permukaan tanah atau di dalam mineraltanah. Serasah terdiri atas guguran cabang, batang utama,daun dan buah yang menumpuk pada permukaan tanah(Spur dan Barness 1980). Menurut Waring and Schlesinger(1985) mengungkapkan bahwa kehilangan tahunan daridaun, bunga, buah, ranting, dan serpihan kulit kayumerupakan bagian utama dari guguran serasah padaekosistem hutan mangrove. Serasah daun merupakan 70%dari total serasah di permukaan tanah.

Hasil analisis produksi serasah menunjukkan bahwa,produksi serasah berbanding lurus dengan kerapatanvegetasi mangrove. Hal ini berarti semakin tinggi tingkatkerapatan mangrove pada suatu wilayah, semakin tinggipula nilai produksi serasah pada wilayah tersebut. Hasilanalisis produksi serasah di stasiun 2 menunjukkankerapatan mangrove yang tinggi, memiliki produksisersasah yang tinggi pula. Sebaliknya ditemukan padastasiun 5 yang memiliki kerapatan vegetasi mangrove yangrendah, memiliki produksi serasah yang rendah pula.

AVIANTO et al. – Habitat dan potensi kepiting bakau di Hutan Mangrove Cibako, Garut 61

Fraksi substratBerdasarkan Hasil analisis fraksi substrat dasar

memberikan gambaran bahwa substrat dasar pada keenamstasiun penelitian, didominasi oleh lumpur, diikuti liat, danpasir (Tabel 3).

Fraksi substrat di stasiun 1 dan 2 didominasi olehlumpur. Hal ini diduga karena perakaran mangrove jenisRhizophora yang rapat dapat menyangga partikel substratdan berkumpul menjadi lumpur di sekitar perakaranmangrove tersebut. Namun demikian substrat lumpur distasiun ini masih banyak bercampur dengan pasir,karenakawasan ini cukup kuat dipengaruhi oleh aliran airlaut yang membawa partikel pasir di saat pasang.

Fraksi substrat di stasiun 3 dan 4 didominasi olehlumpur. Kawasan ini memiliki persentase lumpur tertinggidibandingkan dengan stasiun 1 dan 2 maupun stasiun 5 dan6. Hal ini diduga karena gerakan air tawar yang lambat,menyebabkan partikel substrat halus cenderung mengendapdan berkumpul didasar dan menjadi kumpulan lumpur,disamping itu perakaran mangrove yang cukup rapat darijenis B.gymnorrhiza, A. corniculatum, dan C. tagal dapatmenyangga partikel substrat halus dan berkumpul menjadilumpur.

Fraksi substrat di stasiun 5 dan 6 didominasi oleh liat.Hal ini disebakan wilayah ini berbatasan dengan daratanyang jarang digenangi oleh air.Keadaan ini menyebabkantanah selalu basah membentuk liat. Disampingdidugakarena perakaran mangrove kurang dapatmenyangga gerakan air,sehingga partikel substrathaluscenderung kurang mengendap di dasar perairan.

Menurut Arriola (1940), substrat dasar berlumpur danberpasir merupakan salah satu habitat yang disenangi olehkepiting bakau. Snadaker and Getter (1985) serta Moosa etal. (1985) menyatakan bahwa habitat ideal kepiting bakauadalah daerah intertidal bersubstrat lumpur.

Nybakken (1992) mengungkapkan bahwa kebanyakanestuari didominasi oleh fraksi lumpur yang sangat lunak.Substrat ini berasal dari sedimen yang dibawa ke estuari,baik oleh air laut mapun air tawar. Sungai yang merupakansumber air tawar mengikat partikel lumpur dalam bentuksuspensi. Ketika partikel tersuspensi tersebut bercampurdengan air laut di estuari, maka ion yang berasal dari airlaut, akan menyebabkan partikel lumpur menggumpal,membentuk partikel yang lebih berat dan besar, kemudianmengendap dam membentuk dasar lumpur yang khas. Airlaut juga mengandung materi tersuspensi yang cukupbanyak. Ketika air laut masuk ke estuari, kondisi yangterlindung dan tenang akan mengurangi gerakan arus, yangberperan mempertahankan berbagai partikel dalam bentuksuspense. Akibatnya partikel akan mengendap danmembentuk substrat lumpur dan pasir.

Kelimpahan makrozoobentosBerdasarkan hasil pengamatan terhadap

makrozoobentos ditemukan sebanyak 13 jenismakrozoobentos di 6 stasiun penelitian. Jenis-jenis tersebutdikelompokan atas 4 kelas, yaitu: gastropda, bivalvia,Polychaeata, dan Malacostraca. Hasil analisis kelimpahanindividu antar stasiun selama bulan pengamatanmenunjukkan bahwa jumlah kelimpahan makrozoobentos

tertinggi ditemukan pada stasiun 4 adalah 18 individu (ind),diikuti oleh stasiun 3 adalah 16 ind, stasiun 2 adalah 14 ind,stasiun 1 adalah 11 ind, stasiun 6 adalah 8 ind, dan stasiun5 adalah 6 ind (Tabel 4). Hasil analisis jumlah kelimpahanindividu kelas makrozoobentos antar stasiun penelitianmenunjukkan bahwa jumlah individu tertinggi sampaiterendah secara berturut-turut dimiliki kelas gastropoda,bivalvia, polychaeta, dan malacostraca. Hasil analisiskelimpahan individu antar stasiun pada kelas gastropodadimiliki oleh Melanoides tuberculata, sebaliknya terendahdimiliki oleh jenis Littorina scabra. Nilai kelimpahanindividu kelas bivalviia tertinggi dimiliki oleh jenisCodacia sp, sebaliknya terendah dimiliki oleh jenis Tellinacarpenter. Nilai kelimpahan individu kelas polychaetatertinggi dimiliki oleh jenis Sigambra parva, sebaliknyaterendah dimiliki oleh jenis Annelida sp. Nilai kelimpahanindividu kelas malacostraca tertinggi dimiliki oleh jenisOstrea sp., sebaliknya terendah dimiliki oleh jenisCoenobita violascens.

Tabel 3. Rata-rata fraksi substrat selama penelitian antar stasiun(%)

StasiunFraksi Substrat (%)

Pasir Lumpur Liat1 21.65 47.08 31.282 21.83 47.20 30.983 10.77 70.33 18.914 11.65 71.58 16.775 2.93 41.75 55.336 2.41 41.26 56.34

Tabel 4. Rata-rata jumlah makrozoobentos selama penelitianantar stasiun (ind/m2)

Kelas Species Stasiun

Gastropoda 1 2 3 4 5 6Terebralia sulcata 1 2 2 - - 1Brotia baccata 2 3 - 2 2 2Cerithidea quadrata - 1 3 2 - -cypraea annulus - - 2 1 1 -Littorina scabra 2 1 2 3 - -Melanoides tuberculata 2 - 1 2 1 1Sub jumlah 7 7 10 10 4 4

Bivalvia Codacia sp. 2 2 - 2 - -Tellina carpenteri - - 1 2 1 2Geloina sp. 1 1 2 - - -Sub jumlah 3 3 3 4 1 2

Polychaeta Sigambra parva - 2 - 2 - 1Annelida sp. 1 - 2 1 1 -Sub jumlah 1 2 2 3 1 1

Malacostraca Coenobita violascens - 2 - 1 - -Ostrea sp. - - 1 - - 1Sub jumlah 0 2 1 1 0 1Total makrozoobentos 11 14 16 18 6 8

Bonorowo Wetlands 3 (2): 55-72, December 201362

Hasil analisis kelimpahan makrozoobentos antar stasiunmenunjukkan bahwa kelimpahan tertinggi umumnyadijumpai pada stasiun dengan tingkat kerapatan vegetasimangrove yang relatif tinggi, sebaliknya kelimpahanterendah ditemukan pada stasiun dengan tingkat kerapatanvegetasi mangrove yang rendah. Hal ini disebabkan karenabeberapa jenis makrozoobentos sangat bergantunghidupnya pada bagian-bagian vegetasi mangrove. Littorinascabra hidup pada hamper semua zona di hutan mangrove,kecuali zona belakang hutan mangrove yang berbatasandengan hutan darat dan jauh dari laut. Rangan (1996)mengungkapkan bahwa genus Littorina hidup di batang,cabang, akar, dan daun mangrove, merayap naik danmenggantung hanya dengan bantuan lendirnya yang kental,dijumpai pada sebagian besar vegetasi mangrove. Selain itubeberapa jenis Telebralia sp. yang ditemukan pada hampersemua zona dalam wilayah perairan mangrove Cibako,Sancang yang bersubstrat liat lumpur.

Secara umum, distribusi jenis-jenis makrozoobentosdalam suatu wilayah perairan mangrove sangat dipengaruhioleh tingkat produksi serasah, karena tingginya produksiserasah, diikuti oleh tingginya tingkat produktivitasperairan. Kesuburan perairan merupakan salah satu faktorpendukung distribusi dan kelimpahan makrozoobentos.Dengan demikian kelimpahan distribusi makrozoobentosturut ditentukan oleh tingkat kerapatan vegetasi mangrove.

Distribusi jenis organisme makrozoobentos, berbedaantar zona dalam wilayah perairan mangrove. Hynes(1961) menyatakan bahwa distribusi jenis dan ukuranpopulasi makrozoobentos diperairan sangat ditentukan olehkecepatan arus, temperatur, tipe substrat, kekeruhan, zatmakanan, dan kompetisi antar spesies. Tingginyakelimpahan kelas gastropoda pada wilayah perairanmangrove Cibako menunjukkan bahwa kelas gastropodamemiliki sebaran yang sangat luas pada zona-zona dalamwilayah hutan mangrove. Hal ini mendukung pernyataanRangan (1996), bahwa distribusi gastropoda pada hutanmangrove sangat luas, yakni menyebar pada daun, akar danbatang mangrove,serta pada substrat lumpur, liat maupunpasir diperairan hutan mangrove. Nazar (2002) menyatakanbahwa kelas Gastropoda di pulau Tirang Malang, SegaraAnakan, memiliki persentase kelimpahan tertinggi,dibandingkan dengan kelas-kelas makrozoobentos lainnya.Melanoides tuberculata mendominasi organismemakrozoobentos dari kelas gastropoda pada wilayahperairan mangrove Cibako, yang mengindikasikan bahwajenis tersebut memiliki tingkat adaptasi yang baik terhadapperbedaan parameter lingkungan. Sebaliknya jenisorganisme makrozoobentos yang mendominasi kelasmalacostraca terlihat berbeda antar stasiun.Hal ini didugadisebabkan karena adanya perbedaan kondisi parameterbiofisik dan kimia lingkungan.

Jenis Codacia sp. mendominasi kelimpahanmakrozoobentos dari kelas bivalvia pada wilayah perairanmangrove Cibako. Jenis Codacia sp. umumnya senanghidup pada substrat dasar berlumpur. Jenis substrat inimenyebar luas pada wilayah perairan mangrove Cibako,karena dibentuk oleh sistem perakaran mangrove. Jenistersebut banyak ditemukan pada perakaran mangroveRhizophora yang banyak memiliki substrat lumpur.

Dari penjelasan tersebut diatas, dapat dikatakan bahwakelimpahan dan distribusi makrozoobentos pada wilayahperairan mangrove Cibako sangat terkait dengan produksiserasah dan jenis substrat dasar, yang dipengaruhi olehkerapatan vegetasi mangrove.

Kepiting bakau merupakan hewan pemakan bangkai(scavenger) (Queensland Department of Primary Indistries1989), bahkan pemakan segala bangkai (omnivorousscavengers) (Ariola 1940). Kepiting dewasa jugamerupakan organisme pemakan bentos atau organism yangbergerak lambat seperti bivalvia, jenis klomang (hermitcrab), cacing serta jenis-jenis gastropoda dan krustasea(Hutching and Seanger 1987). Dengan demikian kehadirankepiting bakau pada suatu wilayah perairan turutdipengaruhi oleh distribusi dan kelimpahanmakrozoobentos pada wilayah perairan tersebut.

Kualitas air suhuBerdasarkan hasil pengukuran suhu selama bulan

pengamatan bahwarata-rata suhu di stasiun 1 dan 2 lebihtinggi dibandingkan dengan stasiun 3, 4, 5, dan 6 (Tabel 5).Hal ini disebabkan stasiun tersebut menerima masukan airlaut yang berlimpah pada saat pasang, dimana suhu air lautlebih meningkat karena pengaruh penetrasi cahaya yanglebih merata, sedangkan suhu di stasiun 3, 4, 5, 6 lebihrendah diduga karena di stasiun tersebutmengalamipencampuran air laut dan tawar, dimana suhu air tawarlebih rendah dibandingkan dengan suhu air laut, disampingitu karena di stasiun tersebut banyak tertutup oleh naunganmangrove, sehingga suhu air tidak meningkat daripengaruh penetrasi cahaya secara langsung terserap keperairan.

Rata-rata suhu pada bulan Agustus, Oktober, danNovember lebih tinggi dibandingkan dengan bulanSeptember (Tabel 5). Hal ini diduga keadaan cuaca dibulan Agustus, Oktober, dan November cukup cerah danjarang mengalami turun hujan, dimana rata-rata suhu air >28ºC. Namun keadaan cuaca di bulan September seringmengalami turun hujan dan masukan air tawar melimpahyang bersuhu rendah, menyebabkan suhu air cenderungmenurun <28ºC.

Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yangmempengaruhi kelangsungan hidup kepiting bakau (Karsy1996). Menurut Hill (1982, 1989); Queensland Departmentof Primary Industries (1989) bahwa kepiting bakaubertoleransi pada perairan dengan kisarana suhu 12-35ºCdan tumbuh cepat pada kisaran suhu 23-32ºC. MenurutBaliao (1983) menyatakan bahwa suhu perairan didugaberperan terhadap efisiensi pemanfaatan makanan danpeningkatan kelulus hidupan larva kepiting bakau.Dikatakan juga bahwa kepiting bakau tumbuh lebih cepatpada perairan dengan kisaran suhu 23-32ºC. Di perairanhutan mangrove Muara Dua Segara Anakan, kepitingbakau ditemukan pada perairan dengan kisaran suhu 28,8-36,0ºC (Wahyuni and Sunaryo 1981), sedangkan diperairan Laguna Segara Anakan, kepiting bakau ditemukanpada kisaran 13-40ºC (Soelistiono et al. 1994).

AVIANTO et al. – Habitat dan potensi kepiting bakau di Hutan Mangrove Cibako, Garut 63

SalinitasBerdasarkan hasil pengukuran salinitas selama bulan

pengamatan menunjukkan bahwarata-rata salinitas distasiun 1 dan 2 lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun 3,4, 5, dan 6 (Tabel 6). Hal ini disebabkan bahwa stasiun 1dan 2 menerima masukan air laut yang lebih besardibandingkan dengan air tawar, sehingga salinitas perairanlebih tinggi, sedangkan rata-rata salinitas di stasiun 3 dan 4menurun akibat terjadinya pencampuran dengan air tawar,dimana masukan air laut disaat pasang berkurangdibandingkan dengan masukan air tawar. Rata-rata salinitasdi stasiun 5 dan 6 lebih rendah dibandingkan denganstasiun lainnya. Hal ini disebabkan stasiun tersebutmenerima masukan air laut yang kecil disaat pasang,mengingat jangkauan pasang air laut jarang melewatiwilayah perairan ini, karena jarak stasiun tersebut daripantai cukup jauh.

Analisis Uji BNT antar bulan terlihat bahwa salinitasbulan Agustus, Oktober, dan November berbeda nyatadengan bulan September (Tabel 6). Rata-rata salinitasbulan Agustus, Oktober, dan November lebih tinggi diduga karena masukan air laut berlimpah pada saat pasangyang dapat melampui beberapa stasiun penelitian,disamping itu keadaan cuaca cukup cerah, jarang turunhujan, dan masukan air tawar ke wilayah mangroveberkurang, sehingga salinitas cenderung meningkat.Sebaliknya rata-rata salinitas di bulan Septembercenderung menurun, disebabkan masukan air tawarberlimpah dan sering mengalami turun hujan.

Hill (1989) menyatakan bahwa salinitas perairanberpengaruh terhadap tiap fase kehidupan kepiting bakau,terutama pada saat berganti kulit. Walapun demikianmenurut Queensland of Department of Primary Industries(1989), kisaran yang ideal untuk pertumbuhan kepitingbakau belum dapat ditentukan, akan tetapi kepiting bakaupada tingkat zoea sangat sensitive terhadap perairanbersalinitas rendah. sebaliknya kepiting bakau dewasakawin dan mematangkan telurnya pada perairan dengansalinitas 16-20% dan kemudian beruaya ke perairan lautdalam untuk memijah (Karsy 1996).

Karsy (1996), melaporkan bahwa kepiting bakau dapathidup pada kisaran salinitas yang lebih kecil dari 15 pptsampai lebih besar dari 30 ppt. Di Queensland, kepitingbakau dapat hidup pada kisaran salinitas 2-50 ppt,walaupun belum diketahui pengaruh nilai salinitas tersebutterhadap pertumbuhannya.

pHHasil Pengukuran pH selama bulan pengamatan

menunjukkan rata-rata pHnetral di seluruh stasiunpenelitian. Berdasarkan Analisis Uji BNT antar stasiunmenunjukkan pH di stasiun 1 dan 2 lebih tinggidibandingkan stasiun lainnya (Tabel 7). Hal ini disebabkanstasiun 1 tersebut cenderung lebih banyak menerimamasukan air laut yang memiliki pH > 7. Rata-rata pH distasiun 3 dan 4 cenderung menurun, Hal ini didugapadastasiun tersebut mengalami pencampuran air laut denganair tawar yang memiliki pH < 7. Namun demikian pHperairan di wilayah tersebut masih dalam kondisi netral.Rata-rata pH < 7 di jumpai di stasiun 5 dan 6. Hal ini

diduga karena masukan air tawar ke wilayah tersebutberlimpah yang memiliki suhu < 7, disamping itu didugaadanya pelapukan dan dekomposisi dari batang-batangkayu dan daun mangrove yang memiliki nilai pH yangcederung asam.

Tabel 5. Rata-rata suhu selama penelitian (ºC) dan hasil uji BNTantar stasiun dan bulan pengamatan

Stasiun Bulan pengamatan Rata-rata SD NAgu Sep Okt Nop

1 28.8 27.24 29.87 28.66 28.64c 1.07 162 28.75 27.16 29.71 28.8 28.6c 1.05 163 28.15 26.92 28.44 28.18 27.92b .68 164 28.11 26.87 28.39 28.16 27.88b .86 165 27.4 26.16 28.17 27.76 27.29a .87 166 27.15 26.13 28.12 27.78 27.37a .95 16

Rerata 28.04b 26.74a 28.78c 28.22b

SD .67 .48 .79 .43N 24 24 24 24Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikutioleh huruf yang sama atau berbeda menunjukkan tidak berbedanyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Tabel 6. Rata-rata salinitas selama penelitian (ppt) dan hasil ujiBNT antar stasiun dan bulan pengamatan

StasiunBulan pengamatan Rata-

rata SD NAgu Sep Okt Nop1 28.42 25.83 27.29 27.72 27.31c 1.09 162 28.38 25.81 27.31 27.68 27.29c 1.08 163 25.18 23.11 25.07 24.18 24.38b 0.96 164 25.2 23.13 25.03 24.23 24.39b 0.94 165 23.14 21.17 23.26 22.19 22.44a 0.97 166 23.17 21.13 23.28 22.16 22.43a 1 16

Rerata 25.58c 23.36a 25.20c 24.69b

SD 2.36 2.09 1.8 2.5N 24 24 24 24Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikutioleh huruf yang sama atau berbeda menunjukkan tidak berbedanyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Tabel 7. Rata-rata pH selama penelitian dan hasil uji BNT antarstasiun dan bulan pengamatan

StasiunBulan pengamatan Rata-

rata SD NAgu Sep Okt Nop

1 7.82 7.25 7.42 7.76 7.56c 0.27 162 7.79 7.24 7.44 7.73 7.55c 0.26 163 7.27 6.87 7.09 7.36 7.15b 0.22 164 7.24 6.82 7.11 7.39 7.14b 0.24 165 7.11 6.51 6.82 7.14 6.90a 0.29 166 7.14 6.53 6.85 7.11 6.91a 0.28 16

Rerata 7.40c 6.87a 7.12b 7.42c

SD 0.33 0.31 0.26 0.26N 24 24 24 24Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikutioleh huruf yang sama atau berbeda menunjukkan tidak berbedanyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Bonorowo Wetlands 3 (2): 55-72, December 201364

Hasil analisis Uji BNT antar stasiun menunjukkanbahwa rata-rata pH di bulan Agustus, Oktober, danNopember cenderung merata > 7 (Tabel 7). Hal ini didugapada bulan tersebut masukan air laut pada saat pasangcukup besar masuk ke wilayah perairan mangrove yangmemiliki pH > 7. Pada bulan September rata-rata pHcenderung menurun < 7. Hal ini disebabkan masukan airtawar cukup berlimpah ke wilayah perairan yang memilikipH < 7 karena debit air dari aliran sungai cukup besarkarena seringnya terjadi turun hujan.

Wahyuni and Sunaryo (1981) menambahkan padaperairan mangrove Segara Anakan Cilacap, kepiting bakaudijumpai pada kisaran pH 6.16-7.50, sedangkandipertambakan Muara Kamal,kepiting bakau dijumpai padakisaran pH 7.0-8.0 (Retnowati 1991). Menurut Hutasoit(1991), di Laguna Talanca Cikaso Sukabumi, kepitingbakau dijumpai pada kisaran pH 6.21-8.50. Selain itu,penelitian lain melaporkan bahwa kepiting bakau hiduppada kondisi perairan asam, yaitu pada daerah bersubstratlumpur dengan pH rata-rata 6.16 (Toro 1987); kisaran nilaipH 6.5-7.0 (Walsh 1967); dan pada perairan dengan pHrata-rata 6.5 (Wahyuni and Ismail 1987).

Siahainenia (2008) menyatakan bahwa perairan yangkisaran pH-nya 6,50-7,50 di kategorikan perairan yangcukup baik, sedangkan perairan dengan kisaran pH 7,50-8,50 dikategorikan sangat baik.

Kedalaman airKedalaman air di stasiun 1, 2, 3, dan 4 lebih tinggi

dibandingkan dengan stasiun 5 dan 6 (Tabel 8). Padastasiun 1 dan 2 memiliki rata-rata kedalaman dari dasarperairan ke permukaan tanah sekitar 140 cm. Substrat dasarperairan di stasiun tersebut didominasi oleh lumpurberpasir, sehingga diduga sering mengalami pendangkalan.Namun demikian ketinggian air sangat dipengaruhi olehpasang air laut dan masukanair laut ke stasiun tersebutRata-rata ketinggian air di stasiun 1 dan 2 adalah 108,82cm dan 106,67 cm. Pada stasiun 3 dan 4 memiliki rata-ratakedalaman dari dasar perairan ke permukaan sekitar 125cm. Pencampuran air tawar dan air laut disaat pasang kestasiun tersebut cukup besar dan aliran air mulai melambatdan tergenang. Substrat dasar perairan di stasiun tersebutdidominasi oleh lumpur, sehingga kedalaman air cenderungdangkal apabila sedimentasi meningkat. Wilayah tersebutmemiliki tofografi dasar perairan yang landai, namunterdapat cekungan ke bagian tengah jalur sungai. Rata-ratakedalaman air di stasiun tersebut adalah 104,89 cm dan103,67 cm. Ketinggian airdi stasiun 5 dan 6 memiliki rata-rata kedalaman dari dasar perairan ke permukaan sekitar105 cm.substrat dasar perairan di stasiun tersebutdidominasi oleh liat. wilayah tersebut memiliki tofografidasar perairan yang miring, dimana pergerakan air cukupcepat sehingga dasar perairan jarang mengalamipendangkalan. Rata-rata kedalaman air di stasiun 5 dan 6adalah 83,57 cm dan 81,58 cm.

Analisis Uji BNT antar bulan terlihat bahwa kedalamanair bulan September berbeda nyata terhadap kedalaman airdi bulan Agustus, Oktober dan November (Tabel 8). Padabulan September sering mengalami turun hujan danmasukan air tawar dari sungai lebih berlimpah. Disamping

itu dipengaruhi oleh peristiwa pasang tinggi yang seringterjadi dibulan tersebut,sehingga kedalaman perairan diseluruh stasiun cukup tinggi.

Kedalaman air dipengaruhi oleh peristiwa pasang surutdan masukan air tawar. Moosa et al. (1985) menyatakanbahwa sebaran kepiting bakau dilihat dari kedalaman,terbatas pada paparan benua dengan kisaran 0-32 m. Darihasil penelitian Wahyuni and Ismail (1987) bahwa kepitingbakau didapatkan pada kedalaman 30-79 cm diperairandekat hutan mangrove dan 30-125 cm dimuara sungai.

Hill (1989) menyatakan bahwa pada siang hari kepitingbakau terlihat menuju perairan yang dangkal, sedangkanPirrene (1978) menyatakan bahwa di pulau-pulau Carolinebagian timur, kepiting bakau jenis S. serrata tertangkap disekitar hutan mangrove ketika air laut surut. Larva kepitingbakau yang berasal dari laut dan banyak dijumpai di sekitarestuaria dan hutan mangrove karena terbawa arus dan airpasang, akan menempel pada akar-akar mangrove untukberlindung. Hutching and Seanger (1987) menyatakanbahwa kepiting bakau pada stadia juvenile (first crab)mengikuti pasang tertinggi di zona intertidal untuk mencarimakanan, kemudian kembali ke zona subtidal pada saat airsurut. Sedangkan kepiting bakau dewasa merupakanpenghuni tetap zona intertidal, dan sering membenamkandiri dalam substrat lumpur atau menggali lubang padasubstrat lunak. Pagcatipunan (1972) menyatakan bahwakepiting bakau sebelum moulting (premoult),memmbenamkan diri dalam lumpur atau masuk kedalamlubang sampai karapasnya mengeras.

Pengelompokan stasiun berdasarkan karakteristiklingkungan

Setelah dilakukan analisis setiap parameter-parameterhabitat antar stasiun dan bulan. Selanjutnya dilakukanpengelompokkan seluruh parameter habitat antar stasiun.

Pada Tabel 9 menunjukkan bahwa parameter substrat,suhu, salinitas, dan pH antara stasiun 1 dan 2, 3 dan 4, serta5 dan 6 ditemukan kemiripan nilai parameter terdekat.selanjutnya dilanjutkan dengan uji cluster analysis untukmengetahui kemiripan karaketeristik habitat antar stasiun(Gambar 5).

Tabel 8. Rata-rata suhu selama penelitian (ºC) dan hasil uji BNTantar stasiun dan bulan pengamatan

StasiunBulan pengamatan Rata-

rata SD NAgu Sep Okt Nop1 98.28 114.88 104.90 103.20 105.32b6.97 162 96.73 111.13 107.65 101.18 104.17b6.45 163 81.85 123.41 97.15 93.15 98.89b 17.58164 85.18 121.20 91.17 90.13 96.92b 16.40165 72.13 92.83 72.75 78.58 79.07a 9.62 166 70.38 95.15 64.34 72.45 75.58a 13.4916

Rerata 84.09a 109.77b 89.66a 89.78a

SD 11.82 13.00 17.56 12.23N 24 24 24 24Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikutioleh huruf yang sama atau berbeda menunjukkan tidak berbedanyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)

AVIANTO et al. – Habitat dan potensi kepiting bakau di Hutan Mangrove Cibako, Garut 65

Pada Gambar 5 bahwa karakteristik lingkungan stasiun1 dan 2 terdapat jarak kemiripannya tidak terlalu dekat. Halini disebabkan selisih jumlah individu mangrove cukupbesar, sedangkan parameter yang lain telah menunjukkannilai jarak terdekat. Begiu pula hal yang sama ditemukanpada stasiun 3 dan 4, namun selisih individu mangroveantar stasiun tersebut tidak terlalu besar, sehingga jarakkemiripan antar stasiun lebih rendah dibandingkan jarakkemiripan antara stasiun 1 dan 2. Sebaliknya pada stasiun 5dan 6 ditemukan kemiripan yang dekat, dimanakeseluruhan parameter habitat memiliki nilai jarak terdekat.

Kemiripan antar stasiun 1 dan 2, selanjutnyadikelompokkan menjadi kelompok zona A yang berada dikawasan depan hutan mangrove, kemiripan stasiun 3 dan 4dikelompokkan menjadi kelompok zona B yang berada dikawasan tengah hutan mangrove, dan kemiripan stasiun 5dan 6 dikelompokkan menjadi kelompok zona C yangberada di belakang hutan mangrove (Gambar 6).

Jenis kepiting bakau di Hutan Mangrove CibakoHasil tangkapan kepiting bakau yang diperoleh selama

melaksanakan penilitian adalah jenis S. serrata,S.tranquebarica, dan S. olivacea. Ketiga jenis kepitingbakau ini memiliki ciri-ciri morfologis yang berbeda dilihatbagian-bagian bentuk tubuhnya, apabila dilihat secaralangsung dari warna, bentuk duri pada dahi karapas, ruaspropondus, dan carpus cheliped (Tabel 10).

Jumlah individu kepiting bakauJumlah individu kepiting bakau yang tertangkap di

seluruh zona penelitian selama pengambilan sampelkepiting adalah 441 individu (ind), dimana jumlah S.serrata adalah 151 ind, S. tranquaberica adalah 193 ind,dan S. olivacea adalah 97 ind. Jumlah individu yangtertangkap dikelompokkan berdasarkan jenis kepitingbakau. Selanjutnya dilakukan analisis varian (anova) danUji BNT rata-rata jumlah sampel kepiting bakau antar zona(Tabel 11) dan antar bulan pengambilan sampel (Tabel 12).

Gambar 5. Dendogram kemiripan karakteristik habitat antarstasiun

Gambar 6. Peta pengelompokkan berdasarkan kemiripan habitatantar stasiun 1 dan 2, 3 dan 4, serta 5 dan 6

Tabel 9. Hasil Uji BNT rata-rata nilai parameter habitat antar stasiun dalam bulan pengamatan.

St.Kerapatanmangrove(ind/ha)

Tekstur Substrat (%) KepadatanBenthos(ind/m2)

Kualitas airKedalaman (m)Serasah (g) Pasir Lumpur Liat Suhu Salinitas

(ppt) pH

1 910 194.05b 21.65 47.08 31.28 11 28.64c 27.31c 7.56c 105.32b

2 1180 206.18b 21.83 47.20 30.98 14 28.6c 27.29c 7.55c 104.17b

3 500 204.21b 10.77 70.33 18.91 16 27.92b 24.38b 7.15b 98.89b

4 670 213.23b 11.65 71.58 16.77 18 27.88b 24.39b 7.14b 96.92b

5 300 162.67a 2.93 41.75 55.33 6 27.29a 22.44c 6.90a 79.07a

6 380 158.76a 2.41 41.26 56.34 8 27.37a 22.43c 6.91a 75.58a

Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama atau berbeda menunjukkan tidak berbeda nyatapada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Bonorowo Wetlands 3 (2): 55-72, December 201366

Tabel 10. Ciri-ciri morfologis kepiting Bakau yang tertangkap di Mangrove Cibako, Sancang, Kabupaten Garut, Jawa Barat

Jenis Warna dan pola poligonal Duri pada ruas Propondorus dancarpus cheliped

Duri pada bagian dahikarapas

S. serrata

Bervariasi dari ungu sampai hijau dancoklat kehitaman. Pola poligonalterlihat jelas pada semua bagian tubuh

Dua duri yang tajam pada propondorusdan dua duri tajam pada carpus

Duri lebar, tinggi dan agaktumpul, berbentuk segitiga.Empat duri tengah berukuranpanjang hampir sama,sehingga lebih rata

S. tranquebarica

Warna hijau tua kehitaman, polapoligonal terlihat melimpah pada duapasang kaki jalan terakhir dan sedikitatau tidak ada sama sekali pada bagiantubuh lainnya

Terdapat pada duri yang tajam padaduri propondorus dan dua duri tajampada carpus

Duri agaktinggi, membulat dantumpul

S. olivacea

Variasi hijau kemerahan, orangesampai coklat kehitaman, tidaknampak, pola poligonal pada bagiantubuh manapun

Kedua duri pada propondorusmengalami reduksi sedangkan hanyaterdapat satu duri tumpulpada carpus

Duri pendek dan tumpul

Tabel 11. Hasil uji BNT rata-rata jumlah individu jenis kepitingbakau antar zona penelitian pengambilan sampel

Zona Kepiting bakauSs* St** So***

A Rata-rata 16.75b 17b 7.5aJumlah 73 66 18SD 3 4 3

B Rata-rata 11.75b 17.50b 7.25aJumlah 51 94 34SD 3 5 2

C Rata-rata 9.25a 13.75a 9.5bJumlah 27 33 45SD 5 4 3

Total Jumlah 151 193 97Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikutioleh huruf yang sama atau berbeda menunjukkan tidak berbedanyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). *) S.serrata, **) S. tranquaberica, dan ***) S. olivacea

Tabel 12. Hasil uji BNT rata-rata jumlah individu jenis kepitingbakau antar antar bulan pengambilan sampel

Bulan Kepiting bakauSs St So

Agustus Rata-rata 12a 14.33a 8.33aJumlah 37 43 25SD 6 5 3

September Rata-rata 11a 15.33a 7.33aJumlah 33 46 22

SD 3 4 4

Oktober Rata-rata 13.66a 16.66a 7.66aJumlah 41 50 23SD 5 5 2

November Rata-rata 13.33a 18b 9aJumlah 40 54 27SD 4 6 4

151 193 97Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikutioleh huruf yang sama atau berbeda menunjukkan tidak berbedanyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). *) S.serrata, **) S. tranquaberica, dan ***) S. olivacea

AVIANTO et al. – Habitat dan potensi kepiting bakau di Hutan Mangrove Cibako, Garut 67

Tabel 13. Hasil uji BNT sebaran rata-rata jumlah individu kelasukuran kepiting bakau antar umur bulan

Umurbulan

Kelas ukuran kepting bakau

S. serrataS.

tranquabericaS. olivacea

SSk SSs SSb STk STs STb SOk SOs SOb

Gelap Mean 5b 5.75b 3.5b 6b 5a 6b 2.5a 3.75b 1.75a

N 20 23 14 24 20 24 10 15 7SD 1 2 1 1 2 1 1 1 2

SeperempatMean 3.5a 2.75a2.5ab 3a 4.5a 3.5a 1.75a 3.5ab 1.25a

N 14 11 10 12 18 14 7 14 5SD 1 1 1 2 1 1 1 1 1

Purnama Mean 1.25a1.75a 1.5a 3.5a 2.5a 2.75a 1.5a 1a 1aN 5 7 6 14 10 11 6 4 4SD 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Tiga Mean 4.5ab 3.5a 2.25a2.75a4.75a 4ab 2.25a2.25ab1.75a

18 14 9 11 19 16 9 9 7SD 2 1 1 1 2 2 1 2 1

Berdasarkan hasil uji BNT rata-rata jumlah jenismasing-masing jenis kepiting bakau antar zona penelitiandiperoleh jenis S. serrata dan S. tranquaberica dominanberada di zona penelitian A dan B. Jumlah individu S.serrata tertinggi ditemukan di zona penelitian A adalah 73ind, diikuti di zona penelitian B adalah 51 ind, dan di zonapenelitian C adalah 27 ind (Tabel 11-12). Hal ini senadadengan hasil penelitian Siahaninea (2008) bahwa S. serratamelimpah di zona depan hutan mangrove dan zona laut diperairan Desa Blanakan, Tanjung Laut, Mayangan. Jumlahindividu S. tranquaberica tertinggi ditemukan di Zonapenelitian B adalah 94 ind, diikuti zona A adalah 66 ind,dan di zona penelitian C adalah 33 ind. MenurutSiahainenia (2000) bahwa kepiting bakau jenis S.tranquebarica untuk semua kelas ukuran (besar maupunkecil) ter1ihat menyebar dengan baik pada habitatmangrove Teluk Pelita Jaya, Seram Barat Maluku, artinyajenis tersebut memiliki toleransi yang besar terhadapperubahan salinitas perairan sehingga dapat hidup diwilayah yang luas, sedangkan menurut Wahyuni andSunaryo (1981) mengungkapkan bahwa populasi S.olivacea dan S. tranquaberica banyak ditemukan di bagianbelakang hutan Muara Dua, Segara Anakan, dimanawilayah tersebut bersalinitas rendah dan ketersediaanmakanan alami yang rendah.

Hasil Uji BNT Rata-rata jumlah individu S. olivaceadominan di zona penelitian C. Jumah individu S. olivaceadi zona penelitian C adalah 45 ind, diukuti zona penelitianB adalah 34 ind, dan di zona penelitian A adalah 18 ind.

Selanjutnya hasil uji BNT rata-rata jumlah individumasing-masing jenis kepiting bakau antar bulan tidakditemukan tidak berbeda nyata (p<0,05). Hal ini didugasetiap jenis kepiting bakau menyebar dengan jumlah yangcenderung merata di setiap bulannya dan menempatiwilayah perairan hutan mangrove Cibako.

Distribusi kepiting bakau berdasarkan umur bulanBerdasarkan Tabel 13, hasil uji BNT jumlah rata-rata

kelas ukuran S. serrata (SSk, SSs, SSb), S. tranquaberica(STk dan STb) dan S. olivacea (SOs) pada umur bulan gelaplebih banyak dibandingkan dengan umur bulan lainnya,sedangkan S. tranquaberica (STs) dan S. olivacea (SOs danSOb) menunjukkan tidak berbeda nyata antar bulan. Hal iniini diduga bahwa jumlah rata-rata kelasukuran tersebutberasal dari masa penetasan telur yang sama antar bulandan menyebar secara bergerombol pada saat zoeamemasuki wilayah mangrove Cibako.

Bulan gelap cukup berpengaruh terhadap keberadaankepiting bakau di wilayah mangove Cibako. Kepitingbakau termasuk organisme yang bersifat nocturnal, yaitumempunyai sifat aktif bergerak pada malam hari untukmencari makanan. Pada malam hari biasanya kepitingbakau akan menuju perairan di sekitar wialah mangrovedan bahkan ke perairan pantai di wilayah subtidal (Moosaet al. 1985). Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Pirrene(1978), bahwa kepiting bakau meninggalkan lubang padasubstrat lumpur untuk mencari makan di sekitar mangroveatau wilayah intertidal. Sedangkan pada siang hari, kepitingbakau malas bergerak dan tidak tahan terhadap sinarmatahari. Oleh karena itu, kepiting bakau banyakditemukan di substrat lumpur dan disekitar perakranmangrove yang terdapat dalam substrat lumpur yang tidakterkena matahari secara langsung. Jadi dapat disimpulkankepiting bakau bersifat fototaksis negatif.

Pada saat bulan bulan gelap kepiting bakau, akanbergerak bebas dan beraktivitas di perairan mangrove,karena kepiting bakau merupakan organisme yang bersifatfototaksis negatif. Pada fase bulan purnama kepiting bakauakan bergerak ke arah yang lebih dalam sampai kedalamanlebih dari 20 meter, atau membenamkan diri dalamsubstrat. Namun demikian kepiting bakau yang berukuranbesar > 100 mm yang telah matang gonad akan keluar daritempat persembunyianya disaat bulan purnama berada didekat perairan pantai untuk berenang memasuki perairandalam untuk memijah (Opnai 1986). Diperairan Pallime,Sulawesi Selatan, pada saat bulan pumama, panjangkarapas kepiting bakau (Scylla spp.) yang didapatkan lebihkecil. Hal ini berbeda dengan saat bulan gelap, padaperiode ini panjang karapas kepiting yang didapatkan lebihbesar (Gunarto et al. 1999). Hal ini diduga berhubungandengan siklus reproduksi kepiting bakau sendiri di alam,yang memijah pada saat bulan purnama. Kemungkinanyang dapat dijelaskan adalah bahwa kepiting ukuran kecilyang tertangkap pada saat bulan purnama diduga berasaldari proses pemijahan satu bulan sebelumnya (bulanpurnama).

Menurut Hamasaki (2003) me,ngungkapkan bahwalarva kepiting bakau pada saat zoea berifat fototaksispositif. Larva kepiting yang awalnya berada didasarperairan, selanjutnya naik secara vertikal dan bergerombolsampai ke permukaan air untuk kebutuhan makan padafitoplankton. Zoea kepiting bakau bersifat planktonik yanghidupnya sangat dipengaruhi oleh gerakan arus air yangterkena matahari secara langsung, pada saat itu zoeamenyebar mengikuti pergerakan arus air sampai ke pantaidan mencari tempat tinggal di sekitar hutan mangrove. Hal

Bonorowo Wetlands 3 (2): 55-72, December 201368

ini senada dengan pendapat Sudiarta (1988) bahwakelimpahan burayak kepiting bakau diTeluk Hurun,Lampung sebanyak 32,6 individu/m3 zoea 1(79,4%).Puncak kelimpahan burayak yaitu pada saat bulan purnamadan bulan baru. Puncak kelimpahan megalopa adalah 17hari setelah puncak kelimpahan zoea 1. Kelimpahan,persentase, dan frekuensi zoea 1 tertinggi terdapat di mulutteluk, dan akan semakin turun arah ke muara sungai. Untukzoea 2 sebaliknya, terendah di mulut teluk dan semakintinggi arah ke muara sungai. Untuk zoea 3 sebarannyamerata di dalam teluk.

Menurut Warner (1977) dalam penelitiannyamengungkapkan bahwa kepiting pemanjat mangroveAratuspisonii menyesuaikan pembiakan dan migrasinyakelaut dengan siklus bulan. Telur berkembang dan melekatpada pleopod betina, dan penetasannya disesuaikan denganbulan baru atau bulan purnama dan pasang pada musimsemi. Bila telur menetas, kepiting betina beruaya ke lautmenjauhi pantai untuk memijah. Setelah telur menetas,muncul larva tingkat 1 (zoea1) yang akan terusbergantikulit dan terbawaarus ke perairan pantai hinggamencapai Tingkat kepiting muda. Proses dari zoea 1 kekepiting muda ini membutuhkan waktu lebih kurang satubulan. Hal ini mungkin dapat menjelaskan fenomenakenapa pada saat bulan purnama panjang karapas kepitingyang ditemukan lebih rendah daripada dibulan lainnya.

Peranan arus pasang surut (umur bulan) danhubungannya dengan aktivitas perikanan diungkapkan jugaoleh Wasilun (1989), yang menyatakan bahwa adaperbedaan yang berarti antara aktivitas perikanan disekitarbulan baru dan bulan purnama dengan bulan peralihanantar keduanya di Segara Anakan. Aktivitas perikanancenderung meningkat disekitar bulan baru dan bulanpurnama, periode ini dikenal sebagai perio dengangkat,pada saatini ketinggian air rmaksimum. Sebaliknya padaperiode peralihan (bulang gelap), dengan ketinnggian airminimum dan arus lemah, aktivitas perikanan menurun,dikenal dengan periode ngember.

Pasang surutnya air laut karena pengaruh bulan secaratidak langsung berpengaruh terhadap pola kebiasaankepiting. Hal ini karena pada saat pasang, arus menujupantai, sebaliknya saat surut biasanya menujuke laut lepaspantai. Saat pasang ini biasanya kepiting akan mencari

makan, dan pada saat surut biasanya berdiam diri ataubersembunyi.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sara (1994) yangmengungkapkan bahwa jumlah kepiting yang tertangkappada saat pasang lebih banyak karena pada saat pasang,makanan terbawa oleh aliran air, diduga kepiting mengikutisebaran makanan tersebut. Sebaliknya saat surut, dimanakedalaman air dangkal dan sebaran makanan tidak merata,sehingga pada saat surut jumlah kepiting yang tertangkaplebih sedikit.

Hubungan potensi kepiting bakau dengan karakteristikhabitat

Jumlah individu S. serrata, S.tranquebarica, dan S.olivacea di setiap zona penelitian berdasarkan karakteristikhabitat yang mempengaruhinya (Tabel 14).

Berdasarkan hasil pengumpulan sampel kepitingbakaudi setiap zona penelitian, ditemukan berbagai ukuranpanjang dan lebar karapas. Selanjutnya dilakukanpengelompokkan kelas ukuran setiap jenis kepiting bakauyang berukuran kecil, sedang, dan besar antar zonapenelitian dan bulan pengambilan sampel (Gambar 7).

Grafik distribusi kelimpahan kepiting bakau menurutklasifikasi ukuran antar stasiun dan bulan pengambilansampel menunjukkan bahwa S. serrata, S. tranquaberica,dan S. olivacea diduga menyebar secara berkelompokdengan jumlah individu yang berbeda di seluruh zonapenelitian sepanjang bulan pengambilan sampel untukmencari makanan dan tempat tinggal guna kebutuhankelangsungan hidupnya.

Gambar 7. Distribusi kelimpahan kepiting bakau menurutklasifikasi ukuran antar stasiun dan bulan pengambilan sampel.Keterangan Zona A, B, dan C dalam bulan pengambilan sampel(8 = Agustus 9 = September, 10 = Oktober, 11 = November)

Tabel 14. Kelimpahan kepiting bakau berdasarkan karakteristik habitat di zona penelitian

ZonaKerapatanmangrove(ind/ha)

Tekstur substrat (%) Kualitas air Jumlah kepiting bakau(ind)

Serasah(g) Pasir Lumpur Liat

Kepadatanbenthos(ind/m2)

Suhu(0C)

Salinitas(ppt) pH Kedalaman

(m) Ss St So

A 850 200.15 21.74 47.14 31.13 13 28.62 27.3 7.6 104.7 73 66 18B 740 208.72 11.21 70.95 17.84 17 27.9 24.38 7.1 97.9 53 94 34C 340 160.71 2.67 41.50 55.83 7 27.33 22.43 6.9 77.3 27 33 45Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama atau berbeda menunjukkan tidak berbeda nyatapada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). Ss = S. serrata, St = S. tranquaberica, dan So = S. olivacea

AVIANTO et al. – Habitat dan potensi kepiting bakau di Hutan Mangrove Cibako, Garut 69

Gambar 8. Analisis faktorial koresponden antara kelas ukurankepiting bakau dengan zona A, B, C dan bulan pengamatan(8=Agustus, 9 = September, 10 = Oktober, 11 = November)

Analisis sebaran kelas ukuran masing-masing jeniskepiting bakau antar stasiun dan antar bulan yangdihubungkan dengan karakteristik habitat masing-masingzona penelitian digunakan correspondence analysis.Berdasarkan hasil analisis metode tersebut bahwa informasipenyebaran kepiting bakau pada karakteristik habitat antarzona penelitian dan bulan terpusat pada 2 sumbu utama (F1dan F2), dimana masing-masing sumbu utama menjelaskanakurasi 75,38% dan 16,72% dari ragam total (Gambar 8).

Karakteristik habitat kepiting bakau dalah cirri-cirikhusus dari suatu habitat yang memepengaruhi distribusikepiting bakau pada habitat tersebut. Data penelitianmenunjukkan bahwa kepiting bakau S. serrata, S.tranquaberica, dan S. olivacea pada ketiga zona penelitiantersebut umumnya berdistribusi pada masing-masing wilayahperaira depan, tengah, dan belakang hutan mangrove.

Jumlah individu tertinggi seluruh kelas ukuran S.serrata ditemukan di zona penelitian A adalah 73 ind,diikuti zona penelitian B adalah 51 ind, dan zona penelitianC adalah 27 ind.Jumlah Individu tertinggi seluruh kelasukuran S. tranquaberica ditemukan di zona penelitian Badalah 94 ind, diikuti zona penelitian A adalah 66 ind, danzona penelitian C adalah 33 ind. Jumlah Individu tertinggiseluruh kelas ukuran S. olivacea ditemukan di zonapenelitian C adalah 45 ind, diikuti zona penelitian B adalah34 ind, dan zona penelitian A adalah 18 ind.

Kelompok kelas ukuran kepiting bakau yangmenggambarkan keterkaitan yang erat dengan habitat danbulan pengambilan sampel di wilayah zona penelitian Aadalah S. serrata, dimana jumlah individu tertinggi SSk

berasosiasi dengan bulan November adalah 9 ind, SSs

berasosiasi dengan bulan Oktober adalah 7 ind, sedangkanSSb berasosiasi dengan bulan Agustus dan November,masing-masing adalah 9 dan 8 ind.

Scylla serrata diduga mendominasi di wilayah zonapenelitian A yang merupakan kawasan depan hutanmangrove. Jenis tersebut toleran pada salinitas 24-30 ppt.Hal ini dapat diduga bahwa kelimpahahan individu jenistersebut tertinggi berada di zona penelitian A, dimanasalinitas di zona tersebut relatif lebih tinggi dibandingkan

zona penelitian lainnya adalah 27.30ºC. Menurut Nazar(2002) mengungkapkan bahwa S. serratabanyak ditemukandi wilayah muara Karang Anyar yang bersalinitas >26 ppt.Pendapat diatas sejalan dengan hasil penelitian Keenan etal. (1988) tentang distribusi kepiting bakau pada tingkatlarva dan juvenile, menyatakan bahwa S. serrata dominanpada perairan dengan salinitas diatas 34 ppt dan padaperairan mangrove dengan salinitas tinggi sepanjang tahun.

Kelompok kelas ukuran kepiting bakau yangmenggambarkan keterkaitan yang erat dengan habitat danbulan pengambilan sampel di wilayah zona penelitian Badalah S. tranquaberica, dimana jumlah individu tertinggiSTk berasosiasi dengan bulan Oktober adalah 10 ind, STS

berasosiasi dengan bulan Agustus adalah 8 ind, sedangkanSTb berasosiasi dengan bulan September dan Novemberadalah 9 ind dan 11 Ind.

Scylla tranquaberica diduga mendomiansi di zonapenelitian B yang merupakan kawasan tengah hutanmangrove . Jenis tersebut diduga toleran pada salinitas 22-25 ppt. Kepiting bakau jenis S. tranquebarica untuk semuakelas ukuran ter1ihat menyebar pada wilayah bagiantengah dan belakang hutan mangrove. Artinya jenis inimempunyai toleransi yang besar terhadap perubahansalinitas perairan sehingga dapat hidup di wilayah yangluas. Menurut Siahainenia (2008) mengungkapkan bahwaS. tranquaberica memiliki preferensi pada zona tengahhutan mangrove pada salinitas < 28 ppt dengan substratberlumpur. Pendapat tersebut sejalan dengan hasilpenelitian Keenan et al. (1988) menyatakan bahwa S.tranquaberica, S. olivacea, dan S.paramamosain melimpahpada perairan yang secara umum dibawah 33 ppt, sertamampu berkoloni pada habitat estuari dengan periodesalinitas musiman yang rendah.

Kelompok kelas ukuran kepiting bakau yangmenggambarkan keterkaitan yang erat dengan habitat danbulan pengambilan sampel di wilayah zona penelitian Cadalah S. olivacea, dimana Jumlah individu tertinggi SOk

berasosiasi dengan bulan Oktober adalah 5 ind, SOs

berasosiasi dengan bulan Agustus dan November, masing-masing adalah 6 ind, sedangkan SOb berasosiasi denganbulan September dan November, masing-masing adalah 5 ind.

Scylla olivacea diduga dominan menempati zonapenelitian C yang merupakan wilayah belakang hutanmangrove.jenis tersebut diduga toleran pada salinitas 18-23ppt. .Menurut Nazar (2002) bahwa S. olivacea banyakditemukan di substrat liat yang berada di belakang hutanmangrove Karanganyar, Segara Anakan, dimana wilayahtersebut bersalinitas < 22 ppt.

Keberadaan kepiting bakau dipengaruhi oleh kerapatanmangrove. Kerapatan mangrove yang tinggi dapatmeningkatkan rata-rata bobot serasah. kelimpahan serasahini akan mengundang kehadiran makrozoobentos untukmengkonsumsi serasah, sehingga kepiting bakau akantertarik untuk tinggal di zona yang memiliki kelimpahanserasah dan makrozoobentos sebagai sumber makanannya.Berdasarkan hasil analisis correspondence analysis bahwainformasi penyebaran kepiting bakau terhadap kerapatanmangrove, bobot serasah, dan kepadatan makrozoobentosantar zona penelitian dapoat terlihat pada Gambar 9.

Bonorowo Wetlands 3 (2): 55-72, December 201370

Gambar 9. Analisis faktorial koresponden antara kepiting bakauterhadap kerapatan mangrove, bobot serasah, dan kepadatanmangrove dalam zona penelitian

Pada Gambar 9 terlihat bahwa ketiga jenis kepitingberasosiasi dengan mangrove yang memiliki kerapatantinggi. Rata kerapatan mangrove tertinggi dijumpai padazona A adalah 850 ind/ha dan diikuti oleh zona B adalah740 ind/ha. Kerarapan mangrove yang tinggi akanberpengaruh terhadap peningkatan bobot serasah,dikarenakan intensitas jatuhan mangrove lebih besar. Rata-rata produksi serasah sebagai sumber makanan bagimakrozoobentos di zona A dan B, masing-masing adalah200.15 g dan 208.72 g . Rata-rata kelimpahan individumakrozobentos yang menjadi sumber makanan kepitingbakau di zona A dan B, masing-masing adalah 13 ind/m2

dan 17 ind/m2 yang didominasi oleh kelas Gastropoda danBivalvia. Menurut Pagctipunan (1972); Hill (1976);Hutching and Seanger (1987) bahwa kepiting bakaudewasa juga merupakan pemakan organisme bentos atauorganisme yang bergerak lambat seperti bivalvia, kepitingkecil, kumang, cacing, jenis-jenis gastropda dan krustase.Sedangkan menurut Siahainenia (2008) mengungkapkanbahwa Kelas gastropoda di wilayah perairan mangroveDesa Blanakan, Tanjung Laut, dan Mayanganmenunjukkan bahwa kelas gastropoda memiliki sebaranyang sangat luas pada zona-zona wilayah hutan mangrove.

Keberadaan substrat di zona penelitian tersebutdidominasi oleh lumpur, dimana persentase fraksi substratzona A dan B, masing-masing adalah 47.14 % dan 70.95 %. Tekstur substrat tersebut disenangi oleh kepiting bakau.Hal ini sejalan dengan pendapat Moosa et al. (1985) bahwahabitat ideal kepiting bakau adalah daerah intertidalbersubstrat lumpur. Substrat lumpur yang halus banyakmengandung serasah dan bahan organik yang dihasilkandari daun-daun mangrove yang jatuh ke lumpur sekitarpohon mangrove. Produksi serasah yang dihasilkan darijatuhan daun mangrove adalah. Menurut Opnai (1986)Serasah yang terdapat pada substrat sangat mendukungbagi makanan organisme tertentu, yaitu organismepemakan detritus dari kelompok Gastropoda (Ellobiidaedan Potamididae).

Selanjutnya pada zona C, ketiga jenis kepiting bakaukurang berasosiasi, karena kerapatan mangrove cukuprendah adalah 340 ind/ha, sehingga ketersediaan makananalami makrozoobentos sebagai sumber makanan alami bagikepiting bakau berkurang, Rata-rata kelimpahanmacrozoobentos adalah 7 ind/m2 dan produksi serasahsebagai sumber makanan makrozoobentos adalah 160.71 g.

Snedaker dan Getter (1985), menyatakan bahwa habitatkepiting bakau adalah perairan intertidal, atau daerah dekathutan mangrove yang bersubstrat lumpur. Sistem perakaranmangrove yang khas dan kompleks menjadi penjebaklumpur sehingga membentukk fraksi substrat dasar yanghalus. Menurut Nybakken (1992), gerakan air yang lambatpada daerah hutan mangrove ngkatkan oleh mangrovesendiri. Akar penyangga yang khas, memanjang bawah daribatang dan dahan mangrove, sangar banyak, padat, dankusut, hingga mengurangi gerakan air. Kondisi inimenyebabkan partikel substrat dasar yang halus akanmengendap di sekelilingi akar mangrove, membentukkumpulan lapisan sedimen lunak dan sangat sulit dialirkanke luar. Kepiting bakau memiliki tingkah laku menggalifobang dan membenamkan diri dalam lumpur untukberlindung, terutama pada saat moulting. Nybakken (1992),menyatakan bahwa lubang-lubang itu juga bergunauntuk komunikasi antar vegetasi mangrove (mangal), yaitudengan cara melewatkan oksigen agar masuk dalamsubstrat yang lebih dalam, sehingga dapat anoksik,mengingat substrat dasar hutan mangrove dicirikan olehkadar oksigen yanng rendah. Selain itu kanopi pohonmangrove menciptakan naungan yang sangat baik,sehingga dapat menjadi peredam sinar matahari untukmencegah peningkatan suhu perairan. Dengan demikianhutan mangrove menjadi daerah perlindungan yang idealbagi kepiting bakau.; Kerapatan vegetasi mangrove yangtinggi juga menjadikan hutan mangrove sebagai daerahasuhan dan mencari makan bagi kepiting bakau padatingkat megalopa dan kepiting muda (juvenil), yang setelahmelewati stadia zoea akan kembali memasuki hutanmangrove. Gunarto et al. (1999), menyatakan bahwasetelah menetas, megalopa dan kepiting muda akan terbawaarus ke pantai atau muara sungai untuk mencari makan danberlindung. kerapatan vegetasi mangrove yang tinggi, jugamenjadi sumber makanan alami bagi berbagai organismeyang berasosiasi di dalamnya termasuk kepiting bakau.Watching and Saenger (1987), menyatakan bahwa kepitingbakau hidup di sekitar hutan mangrove dan memakan akar-akar (pneumatophore). Hill (1976) menyatakan bahwaperairan di sekitar hutan mangrove sangat cocok untukkehidupan kepiting bakau karena sumber makannya,sepertiserasah dan bentos cukup tersedia. Sedangkan Moosa et al.(1985) menyatakan bahwa kepiting bakau merupakanorganisme bentik pemakan serasah yang hidup padaperairan intertidal bersubstrat dasar lumpur. Tingginyakerapatan vegetasi mangrove secara otomatis menyebabkantingginya produksi serasah yang berasal dari guguranbagian-bagian tanaman mangrove. Waring and Schlesinger(1985) menyatakan bahwa kehilangan tahunan dari daun,bunga, buah, ranting dan batang kayu merupakan bagianutama dari guguran serasah pada ekosistem hutan

AVIANTO et al. – Habitat dan potensi kepiting bakau di Hutan Mangrove Cibako, Garut 71

mangrove, dan serasah daun merupakan 70% dari totalserasah di permukaan tanah.

Keberadaan vegetasi mangrove dengan sistemperakaran yang khas sebagai perangkap sedimen danmeminimalkan gerakan air sekitarnya, sehinggamenyebabkan tingginya bahan organik yang dihaslikanoleh proses pembusukan serasah mangrove yangterperangkap disitu. Kesuburan akibat tingginya bahanorganik akan menyebabkan tingginya kelimpahanorganisme penghuni dasar hutan mangrove, termasukmakrozoobentos yang merupakan makanan alami kepitingbakau.

Pengelolaan sumberdaya kepiting bakauJumlah individu kepiting bakau di wilayah hutan

mangrove Cibako tertinggi berada pada zona penelitian B,merupakan kawasan tengah hutan mangrove, yang banyakdihuni oleh jenis S. tranquaberica, dikuti oleh S. serrata,dan S. olivacea. Pengelolaan kepiting bakau di hutanmangrove Cibako, perlu dilakukan agar keseimbanganstruktur populasi dapat terjaga, sehingga populasi kepitingbakau tidak terdagradasi akibat tekananan eksploitasi yangterus menerus dilakukan. Hal yang perlu dilakukan dalampengelolaan ini adalah pembatasan penangkapan kepitingbakau di bulan November dan Oktober di zona penelitian Adan B untuk jenis S. serrata dan S. tranquaberica danbulan Oktober di zona penelitian C pada jenis S. olivacea,karena diduga pada zona tersebut banyak dihuni olehkepiting bakau berukuran kecil. Oleh karena itu diperlukanupaya pengelolaan dalam upaya pembatasan penggunaanalat tangkap dan intensitas penangkapan agarsumberdayakepiting bakau dapat terjaga struktur populasinya.penerapan regulasi penangkapan pada waktu dan daerahpenangkapan,upaya penangkapan yang tidak berlebih,penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan, sertapelarangan menangkap kepiting yang matang gonad dansiap memijah harus diberlakukan kepada nelayan yangmelakukan penangkapan di hutan mangrove Cibako agarpotensi sumberdaya kepiting bakau dapat lestari danberkelanjutan .Selain itu penerapan larangan penebanganliar terhadap vegetasi mangrove dan perubahan tata gunalahan di perairan mangrove.

KESIMPULAN

Scylla serrata dominan berada di zona A yangbersubstrat lumpur dengan kisaran salinitas antara 24-30ppt, berjumlah 73 ind. S. transquaberica dominan berada dizona B yang bersubstrat lumpur dengan kisaran salinitasantara 22-25 ppt, berjumlah 94 ind. S. olivacea dominanberada di zona C yang bersubstrat liat dengan kisaransalinitas antara 18-23 ppt, berjumlah 45 ind. Kelimpahankepiting bakau dijumpai pada bulan gelap, dimanakelimpahan di zona A adalah 57 ind, zona B adalah 68 ind,and zona C adalah 32 ind. Kepiting bakau memiliki sifatfototaksis negatif, karena kebiasaannya berdiam danbersembunyi pada substrat yang tidak terkena cahayasecara langsung. Kerapatan mangrove yang tinggi dijumpaidi zona A dan B, dimana ketiga jenis kepiting berasosiasi

dengan mangrove yang memiliki kerapatan tinggi, dimanarata-rata bobot serasah sebagai sumber makanan bagimakrozoobentos masing-masing adalah 200.15 g dan208.72 g . Rata-rata kelimpahan individu makrozobentosyang menjadi sumber makanan kepiting bakau masing-masing adalah 13 ind/m2 dan 17 ind/m2. Oleh karena itukepiting bakau akan tertarik menempati di zona yangmemiliki kelimpahan serasah dan makrozoobentos sebagaisumber makanannya.

DAFTAR PUSTAKA

Arriola FJ. 1940. A priminary study of the life history of S. serrata(Forskal). Philip J Sci 73-437-456.

Baliao DD. 1983. Mud crab “Alimango” production in brackishwaterpond with milkfish. SEAFDEC Aquaculture Department.

Bengen DG. 1997. Pedoman lapangan dan pengenalan vegetasi mangrove(contoh mangrove Segara Anakan, Cilacap). Pusat KajianSumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB, Bogor.

Bengen DG. 2001. Pedoman teknis pengenalan dan pengelolaan ekosistemmangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB, Bogor.

BKSDA [Badan Konservasi Sumberdaya Alam Wilayah V Jawa Barat].2008. Makalah konservasi hutan mangrove di wilayah Sancang,Kecamatan Cibalong, Garut.

Estampador EP. 1949. Studies of S. (Crustacea: Portunidae). I. Revision ofThe Genus. Phillipp J Sci 78: 108-353.

Gunarto, Daud RO, Usman. 1999. Kecenderungan Penurunan PopulasiKepiting Bakau di Perairan Muara Sungai Cenranae, Sulawesi SelatanDitinjau dari Analisis Parameter Sumber Daya. Jurnal PenelitianPerikanan Indonesia 5 (3): 30-37.

Hair JF, Anderson RE, Tatham RL, Black WC. 1998. Multivariate dataanalysis with reading. Edisi ke-5. Prentice-Hall International, NewJersey.

Hamasaki K. 2003. Effects of temperature on the egg incubation period,survival anddevelopmental period of larvae of the mud crab Scyllaserrata (Forskal) (Brachyura: Portunidae) reared in the laboratory.Aquaculture 219 (1-4): 561-572.

Hill BJ. 1976. Natural Food, Foregut clarance rate and activity of the crab,S. serrata in a Estuary. Mar Biol 47: 135-141.

Hill BJ. 1982. Effects of temperature on feeding and activity in mud crabS. serrata. Mar Biol 59: 189-192.

Hill BJ. 1989. The queensland mud crab fishery. Queensland Departmentof Primary Industry. Series FI 8210. Brisbane, Queensland.

Hutasoit B. 1991. Telaah segi-segi kepiting bakau (Tesis). FakultasPerikanan. IPB. Bogor.

Hutching B, Seanger P. 1987. Ecology of mangrove. University ofQueensland Press. St. Lucia, New York.

Hynes HBN. 1961. The effect of water level fl uctuations on littoral fauna.– Verh. Internat. Verein. Limnol 14: 652-656

Kasry A. 1996. Budidaya kepiting bakau dan biologi ringkas. Penerbit PT.Bhratara Niaga Medan, Jakarta.

Keenan CP, Davie PJF, Mann DL. 1988. A Revision of the genus ScyllaDe Haan. 1983 (Crustacea: Decapoda: Brachyura: Portunidae).Raffles Bull Zool 46 (1): 217-245.

Moosa MK, Aswandy I, Karsy A. 1985. Kepiting bakau (S. serrataForskal) di perairan Indonesia. Proyek Studi Potensi SumberdayaAlam Indonesia. Lembaga Oseanologi Nasional, Lembaga IlmuPengatahuan Indonesia, Jakarta.

Murni HNC. 1995.Pengembangan peranserta masyarakat dalampengelolaan hutan mangrove di Segara Anakan. Program PascaSarjana, PPSML-LP Universitas Indonesia, Depok.

Nazar F. 2002. Karakteristik habitat dan kaitannya dengan keberadaan tigajenis kepiting bakau (S. olivacea, S.Tranquebarica,dan S. serrata) diperairan Karang Anyar,Segara Anakan, Cilacap Jawa Tengah. [Tesis].Program Pasca sarjana lnstitut Pertanian Bogor, Bogor.

Noor YS, Khazali M, Suryadiputra.1999. Panduan pengenalan ekosistemmangrove di Indonesia.Wetland Indonesia, Bogor.

Nybakken J. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologi. Penerbit PT.Gramedia, Jakarta.

Opnai LJ. 1986. Some aspect of phisiology and ecology of mud crab. S.serrata (Crustacea: Decapoda) in the mangrove system of the Pruari

Bonorowo Wetlands 3 (2): 55-72, December 201372

and the Arid Deltas. 117-124. In Rep. Of the Workshop on MangroveEcosystem of Asia and Hosted by the University of Papua NewGuinea. Port Moresby

Pagcatipunan P. 1972. Observation on the culture of Alimango.S. serrataat Camarines Norte (Philippines). In: Pillay TRV (ed). CoastalAquaculture in the Indo Pacific Region. Fishing News (Books).Manila

Pirrene D. 1978. The Mangrove crab, Scylla serrata on Ponape (Ponape;East Caroline Island). Marine Resources Division. Trust Territory ofthe Pacific.

Pramudji LH, Purnomo. 2003. Mangrove sebagai tanaman penghijauanpantai. Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI, Jakarta.

Queensland Departement of Primary Industries. 1989. Life cycle ofmudcrab (S. serrata ). QDPI Leaflet, Brisbane.

Rangan JK. 1996. Struktur dan tipologi komunitas gastropoda pada zonabulan mangrove di perairan Kulu. Kab. Minahasa, Sulawesi Utara.[Tesis]. Pascasarjana IPB, Bogor.

Retnowati T. 1991. Menentukan kematangan gonad kepiting bakau (S.serrata)Forskal, secara morfologis dan kaitannya denganperkembangan gamet. [Skripsi]. Fakultas Perikanan, IPB, Bogor.

Sara L. 1994. Hubungan kelimpahan kepiting bakau, Scylla spp dengankualitas habitat di perairan Segara Anakan, Cilacap.Tesis. ProgramPascasarjana Institut Pertanian Bogar, Bogor.

Siahainenia L. 2000. Distribusi kelimpahan kepiting bakau (Scyllaserrata, S. oceanic dan S.tranquebarica) dan hubungannya dengankarakteristik habitat pada kawasan hutan mangrove Teluk Pelita Jaya,Seram Barat-Maluku. [Tesis]. Program Pascasarjana lnstitut PertanianBogor, Bogor.

Siahainenia L. 2008. Bioekologi kepiting bakau (Scylla spp) di ekosistemmangrove Kabupaten Subang Jawa Barat. [Disertasi]. ProgramPascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Snadaker SC, Getter CD. 1985. Coastal resources ManagementGuidelines. Research Planning Institute, Inc. Colombia.

Soelistiono S, Watanabe S, Tsuchida. 1994. Biology and fisheries of crabsin Segara Anakan Lagoon. In: Takashima F, Soewardi K (eds.).Ecological Assessment for Management Planning of Segara AnakanLagoon, Cilacap, Central Java. NODAI Center for InternasionalProgram, Tokyo University of Agriculture. JSPS-DGHE Program,Tokyo.

Sudiarta IK. 1988. Studi kelimpahan dan penyebaran burayak, kepitingbakau (S. serrata ) di perairan Teluk Hurun, Lampung. FakultasPerikanan, IPB, Bogor.

Sutowo. 1984. Studitentang pengaruh hari bulan terhadap penangkapanikan dengan payang lampara di Eretan Wetan, Indramayu. FakultasPerikanan, lnstitut Pertanian Bogar, Bogor.

Toro AV. 1987. Ekologi kepiting bakau niaga, S. serrata (Forskal) diperairan mangrove Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. Dalam:Soerianegara I, Adisoemarto S, Soemodihardjo S, Hardjowigeno S,Sudomo M, Ongsongo SR (ed.). Seminar III Ekos.Mangrove. ProgMAB-LIPI, Jakarta.

Wahyuni IS, Ismail W. 1987. Beberapa kondisi lingkungan perairankepiting bakau (S. serrata,Forskal) di perairan Tanjung Pasir,Tangerang. J Penelitian Perikanan Laut. 38: 59-68.

Wahyuni IS, Sunaryo. 1981. Beberapa catatan tentang S. serrata (Forskal)di daerah Muara Dua, Segara Anakam Cilacap. Makalah padaKongres Nasional Biologi V di Semarang, 26-28 Juni 1981.

Waring RH, Schlesinger WH. 1985. Forest ecosystem: concept andmanagement. Academic Press, Ltd., London.

Warner GF. 1977. The Biologi of crab. Elek Science London, England.Wasilun.1989. Kegiatan perikanan hubungannya dengan pola pasang surut

di Segara Anakan, Cilacap, Dengan Kegiatan Nelayan Apung SebagaiBahan Studinya. Seminar Ekologi Laut dan Pesisir. Jakarta.

Bonorowo Wetlands 3 (2): 73-100, December 2013 ISSN: 2088-110X, E-ISSN: 2088-2475 DOI: 10.13057/bonorowo/w030202

Pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat dalam upaya konservasi Daerah Aliran Sungai: Studi Kasus Desa Keseneng, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah

Community-based natural resource management in conservation efforts of the Watershed: Case study of Keseneng Village, Sumowono Subdistrict, Semarang District, Central Java

FRANSISCA EMILIA, BOEDI HENDRARTO, TUKIMAN TARUNA Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro. Semarang 50275, Jawa Tengah.

Manuskrip diterima: 10 Mei 2013. Revisi disetujui: 4 Agustus 2013.

Abstract. Emilia F, Hendrarto B, Taruna T. 2013. Community-based natural resource management in conservation efforts of the Watershed: Case study of Keseneng Village, Sumowono Subdistrict, Semarang District, Central Java. Bonorowo Wetlands 3: 73-100. The implementation of top-down model and centralized management are believed as the main reasons for the failure of watershed management (Daerah Aliran Sungai/DAS) in Indonesia. The failure has prompted the watershed management to the new paradigm in participatory natural resource management namely community-based natural resources management (CBNRM) in the village level. This study aimed to evaluate the function/activities of management and also to analyze several aspects of CBNRM in Keseneng village. The required data is needed for this study consist of primary data and secondary data. Primary data was collected through in-depth interviews of villagers, Semarang District, and a NGO (Komunitas Salunding). Data analysis was conducted by qualitatively descriptive approach of the function/activity management, as well as several aspects of CBNRM. The results showed that four management activities performed by the villagers themselves are good and also in participatory ways. At the same time, Semarang District-Local government and a NGO (Komunitas Salunding) work as the facilitators in Watershed Management. The result of research also shows that the management also success in the community-based aspects, which consist of five aspects, namely equity, empowerment, conflict resolution, knowledge and awareness, and biodiversity protection of biodiversity, but there is a failure in the aspect in the sustainable utilization.Based on these results, the recommendations can be presented are the need for policymakers to support villagers initiatives based on community natural resource management, the need to conduct a conceptual model CBNRM replication, and also Keseneng Village should work in partnership with neighboring villages to support the success of the six aspects of CBNRM.

Keywords: CBNRM, management, natural resources, watershed

PENDAHULUAN

Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) dilakukan untuk mengatur hubungan timbal balik antara sumber daya alam dalam DAS dan manusia agar terwujud kelestarian ekosistem serta menjamin keberlanjutan manfaat sumber daya alam tersebut bagi manusia. Jaminan keberlanjutan DAS dapat tercapai apabila setiap aktivitas pengelolaan dijalankan berdasarkan prinsip kelestarian yang memadukan keseimbangan antara produktivitas dan konservas. Adapun tujuan pengelolaan DAS sebagai berikut: (i) meningkatkan stabilitas tata air, (ii) meningkatkan stabilitas tanah, termasuk mengendalikan proses degradasi lahan, (iii) meningkatkan pendapatan petani, dan (iv) meningkatkan perilaku masyarakat ke arah kegiatan konservasi yang mengendalikan aliran permukaan dan banjir (Wulandari 2007).

Secara garis besar, sistem DAS dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu bagian hulu, tengah, dan hilir. Ekosistem DAS hulu sangat penting dalam sistem DAS sebab berfungsi sebagai perlindungan sistem tata air DAS secara keseluruhan. Soemarwoto (1982) menerangkan bahwa daerah hulu dicirikan sebagai ekosistem pedesaan dengan

empat komponen utama, yaitu: desa, sawah/ladang, sungai, dan hutan. Dengan demikian, pengelolaan DAS hulu bukan hanya untuk menjaga fungsi tata air DAS, melainkan juga harus mampu memperbaiki mata pencaharian dan meningkatkan perekonomian masyarakat lokal secara berkelanjutan. Zoebisch et al (2005) menegaskan bahwa keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal dan kelestarian sumber daya alam, menjadi syarat tercapainya tujuan pengelolaan DAS yang berkelanjutan.

Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, sedikitnya 30 % dari kawasan DAS seharusnya merupakan kawasan hutan dengan sebaran yang proporsional. Daerah hulu yang berfungsi untuk memberikan perlindungan kawasan di bawahnya dan daerah sempadan sungai seharusnya merupakan kawasan hutan (Keppres No. 32 Tahun 1990). Namun pada kenyataannya, di kawasan DAS di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, lahan di daerah hulu dan sempadan sungai sudah menjadi hak milik pribadi dan menjadi lahan pertanian.

Pengelolaan DAS di Indonesia belum mampu memenuhi tujuan pengelolaan DAS berkelanjutan. Dari tahun ke tahun jumlah DAS yang mengalami degradasi

Bonorowo Wetlands 3 (2): 73-100, December 2013

74

lingkungan dan sumber daya alam semakin meningkat. Sanders (1992) mengungkapkan bahwa kerusakan dan degradasi lingkungan DAS terutama disebabkan oleh: (i) perencanaan dan praktek penggunaan lahan yang tidak sesuai, (ii) pertambahan penduduk yang tinggi, (iii) kemiskinan dan kemerosotan ekonomi, (iv) kebijakan yang kurang mendukung, (v) kebijakan perlindungan dan peraturan tidak membatasi kepemilikan dan penggunaan lahan, serta (vi) ketidakpastian penggunaan hak atas tanah pada lahan hutan.

Degradasi DAS dipicu pengelolaan konvensional yang bersifat sektoral, tidak terpadu dari hulu ke hilir serta top down yang menekankan command and control, baik pada tataran kebijakan, operasional, maupun pelaksanaan (Nugroho 2003). Kegagalan pengelolaan DAS dengan pendekatan konvensional tersebut mendorong pemerintah untuk menggunakan pendekatan baru yang menekankan keseimbangan sosial ekonomi dan lingkungan. Pergeseran paradigma tersebut mengedepankan pengelolaan DAS terpadu yang lebih partisipatif dengan melibatkan masyarakat dalam proses pengelolaan DAS. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai sudah memuat peranserta dan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan DAS. Namun, peran masyarakat yang diamanatkan dalam peraturan tersebut masih pada tahap memberikan masukan dan aspirasi, saran dan pertimbangan, serta mengawasi pengelolaan DAS. Masyarakat belum dipandang sebagai subjek yang mampu mengelola sumber daya alam untuk mendukung pengelolaan DAS berkelanjutan dan tidak memiliki wewenang dalam pengambilan keputusan.

Pendekatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS adalah pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat atau community based natural resources management (CBNRM). Pendekatan ini mulai berkembang sejak akhir 1990-an seiring bergulirnya era desentralisasi dan demokrasi. Keberhasilan pendekatan CBNRM dalam mendukung pengelolaan pada skala yang lebih besar membutuhkan beberapa prasyarat seperti didukung legalitas yang kuat, organisasi yang sudah berkembang, dan pendanaan yang mendukung infrastruktur (Keller et al. 2000). Prasyarat tersebut ditegaskan lebih rinci oleh Armitage (2005) bahwa keberhasilan CBNRM dipengaruhi oleh faktor eksogenus dan indigenus yaitu: (i) fokus terhadap tujuan dan arah CBNRM; (ii) kompetensi, keahlian, dan kapasitas teknis lainnya pada pelaksana dan partisipan CBNRM, terutama organisasi pelaksananya; dan (iii) pendirian dan komitmen yang sungguh- sungguh terhadap CBNRM. Pelaksanaan CBNRM tanpa terpenuhinya prasyarat-prasyarat tersebut umumnya hanya berhasil pada aspek sosial dan ekonomi (Keller et al. 2000) atau bahkan gagal sama sekali (Isyaku 2011). Kegagalan tersebut justru menyebabkan kerusakan lingkungan yang lebih parah.

Salah satu DAS yang mengalami degradasi lingkungan adalah DAS Bodri yang terletak di Jawa Tengah. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No: SK.328/Menhut-II/2009 tentang Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas Dalam Rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2010-2014, DAS tersebut merupakan salah satu DAS

prioritas; yakni: DAS mengalami kerusakan sumber daya alam dan lingkungan, sehingga menjadi prioritas kegiatan perbaikan kualitas DAS. Perbaikan tersebut meliputi manajemen serta rehabilitasi hutan dan lahan. Daerah aliran sungai seluas 94.028,013 ha ini terbagi atas lima sub DAS. Berdasar pengamatan citra satelit, diketahui telah terjadi perubahan tata guna lahan di daerah hulu DAS Bodri. Kawasan lindung yang berfungsi sebagai daerah resapan, sudah berubah menjadi daerah pertanian dan permukiman. Dari laporan BPDAS Pemali Jratun diketahui bahwa erosi yang terjadi di wilayah DAS Bodri mencapai 4.870.185,96 ton/tahun. Kerusakan lahan di daerah hulu juga mengakibatkan banjir di Kabupaten Kendal yang merupakan DAS bagian tengah dan hilir (BPDAS Pemali Jratun 2010).

Perubahan tata guna lahan di daerah hulu DAS Bodri dipicu oleh peningkatan jumlah penduduk, sementara jumlah lahan terbatas. Di lain sisi, penduduk yang pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani, tidak memiliki keterampilan lain dan kesempatan untuk bekerja pada sektor lain. Tekanan terhadap lahan semakin lama semakin besar, kepemilikan lahan semakin sempit, dan pendapatan petani semakin kecil. Untuk meningkatkan pendapatan, penduduk memperluas lahan pertanian dengan merambah hutan di lahan-lahan yang tidak layak sebagai lahan pertanian karena secara topografi sangat curam. Tekanan penduduk pada wilayah DAS Bodri sudah mencapai angka 1,70-3,61 (BPDAS Pemali Jratun 2010).

Kondisi tersebut akan semakin parah apabila tidak ada upaya-upaya untuk menyelamatkan daerah hulu. Upaya yang dilakukan sebaiknya bukan hanya domain pemerintah, melainkan melibatkan masyarakat setempat sebagai pihak yang paling memahami kondisi wilayahnya. Salah satu inisiatif penyelamatan DAS skala mikro sudah dilakukan oleh masyarakat Desa Keseneng melalui pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat atau CBNRM.

Desa Keseneng merupakan salah satu desa yang terletak di wilayah hulu DAS Bodri, tepatnya pada sub DAS Blorong di lereng Gunung Ungaran, Kabupaten Semarang. Sejak 2010, desa ini berupaya mengelola sumber daya alam berbasis masyarakat dengan fokus desa wisata. Mereka memanfaatkan potensi sumber daya alam dan menempat-kan Curug Tujuh Bidadari sebagai produk utama.

Tujuan penelitian ini adalah (i) Mengetahui aktivitas/fungsi pengelolaan sumber daya alam di Desa Keseneng, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang dan peranan pihak luar dalam pengelolaan tersebut. (ii) Menganalisis aspek-aspek pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat di desa tersebut. (iii) Menggambarkan model konseptual CBNRM di desa tersebut dan (iv) Menyusun model implementasi CBNRM dalam mendukung konservasi DAS.

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Keseneng, Kecamatan

Sumowono, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Desa

EMILIA et al. – Pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat dalam konservasi DAS

75

tersebut merupakan salah satu desa yang terletak di hulu DAS Bodri yang wilayahnya meliputi empat kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Temanggung, Kabupaten Kendal, Kabupaten Semarang, dan Kota Semarang. Desa tersebut dipilih karena berlokasi di DAS Bodri hulu yang merupakan salah satu DAS prioritas. Pada sisi lain desa tersebut mengembangkan pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat dengan fokus pariwisata. Peta lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 1. Adapun penelitian ini dilakukan selama enam bulan mulai bulan Mei sampai bulan Oktober 2012.

Jenis dan sumber data Penelitian ini menggunakan data primer yang diperoleh

secara langsung dilapangan dan data sekunder sebagai data pendukung untuk melengkapi hasil peneitian.

Data primer dikumpulkan dari masyarakat Desa Keseneng yang terlibat atau mengetahui pengelolaan sumber daya alam serta pihak luar yang terkait, yaitu Dinas Pariwisata Kabupaten Semarang dan LSM Komunitas Salunding sebagai pendamping.

Data sekunder pada penelitian ini berupa data yang menyangkut dokumen terkait dengan kelembagaan, desa, kecamatan, kabupaten, organisasi pengelolaan desa wisata,

peta lokasi, peta DAS, monografi desa, dan profil desa. Data tersebut dikumpulkan melalui perpustakaan, internet, kantor Desa Keseneng, Dinas Pariwisata Kabupaten Semarang, dan BPDAS Pemali Jratun. Keterangan jenis dan sumber data penelitian ditunjukkan pada Tabel 1.

Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang digunakan pada

penelitian ini meliputi studi literatur, observasi, dan wawancara mendalam.

Studi literatur Sebelum mengumpulkan data di lapangan, peneliti

melakukan studi literatur untuk memperoleh gambaran umum desa berupa peta administratif, peta DAS Bodri, dan kondisi geografis maupun potensi desa. Studi literatur juga dilakukan untuk memperoleh informasi-informasi yang terkait pengelolaan sumber daya alam berupa peraturan-peraturan maupun kebijakan. Studi literatur untuk memperoleh data data tersebut dilakukan dengan penelusuran pustaka, pencarian melalui internet dan mendatangi instansi yang memiliki data terkait.

Gambar 1. Lokasi penelitian di Desa Keseneng, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah

Bonorowo Wetlands 3 (2): 73-100, December 2013

76

Tabel 1. Jenis dan sumber data penelitian Fenomena Data yang dibutuhkan Metode Jenis data Sumber data Kondisi umum Kondisi geografis

Tata guna lahan Potensi SDA Potensi SDM

Studi literatur, observasi Primer Sekunder Desa, BPDAS Pemali Jratun, dokumen desa

Perencanaan Kapan Bagaimana Siapa saja Tahapan

Wawancara, studi literatur, Primer, sekunder Narasumber, dokumen desa

Pengorganisasian Kepemimpinan Bentuk organisasi Cara pengorganisasian

Wawancara, observasi, studi literatur

Primer, sekunder Narasumber, desa, dokumen desa

Pelaksanaan Bagaimana Pembiayaan Pendapatan Manfaat sosial, ekonomi, lingkungan

Wawancara, observasi Primer Narasumber, desa

Pengendalian Mekanisme Siapa

Wawancara Primer Narasumber

Peran pihak luar Siapa Bagaimana

Wawancara Primer Narasumber

Keadilan Penerima manfaat Bagi hasil

Wawancara, observasi Primer Narasumber, desa

Pemberdayaan Pendelegasian wewenang Pendampingan Pelatihan

Wawancara Primer Narasumber

Resolusi konflik Konflik apa saja mekanisme

Wawancara Primer Narasumber

Pengetahuan dan kesadaran

kearifan lokal pengetahuan ekologi

Wawancara Primer Narasumber

Perlindungan keanekaragaman hayati

Apa saja Bagaimana

Wawancara, observasi Primer Narasumber, desa

Pemanfaatan berkelanjutan

Bagaimana Wawancara Primer Narasumber

Observasi

Peneliti melakukan observasi untuk berkenalan dengan warga Desa Keseneng. Dalam observasi peneliti berusaha untuk dapat diterima dan menjadi bagian dari warga desa sehingga tidak ada kecurigaan warga terhadap kehadiran peneliti. Pada tahap ini, peneliti melakukan pengamatan lapangan secara langsung untuk mengetahui potensi sumber daya alam dan tata guna lahan Desa Keseneng. Pengamatan juga dilakukan terhadap aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam. Hasil pengamatan didokumentasikan dengan kamera.

Wawancara Wawancara dilakukan untuk mengetahui secara detail

mengenai pengelolaan sumber daya alam di Desa Keseneng. Penggalian informasi dari narasumber dilakukan dengan teknik wawancara mendalam dimana peneliti menggali informasi sebanyak mungkin dari narasumber dalam suasana santai dan rileks. Pertanyaan-pertanyaan disampaikan dengan bahasa sehari-hari yang sederhana dan mudah dimengerti dengan tetap mengacu panduan wawancara yang sudah disiapkan sebelumnya. Melalui obrolan santai yang dilakukan di rumah narasumber

maupun di lokasi narasumber beraktifitas, narasumber menjadi lebih terbuka dalam menceritakan pengalamannya.

Pemilihan narasumber yang diwawancarai menggunakan teknik purposive (bertujuan) dan snowball (bola salju). Peneliti mewawancari kepala desa sebagai keyperson (narasumber kunci), kemudian kepala desa menginformasikan narasumber berikutnya yang memahami permasalahan, yaitu ketua organisasi pengelola. Selanjutnya, narasumber kedua tersebut juga menunjukkan narasumber-narasumber lain yang memahami permasalahan. Demikian seterusnya sampai tidak ada informasi baru yang diperoleh.

Jumlah narasumber penelitian ini sebanyak 12 orang yang terdiri atas perangkat desa, pengurus organisasi pengelola, pekerja harian, masyarakat pemilik lahan terkena zonasi, pedagang, pamong budaya Disporabudpar Kabupaten Semarang, dan aktivis LSM Komunitas Salunding. Keterangan lengkap tentang narasumber tersebut ditunjukkan pada Tabel 2.

Analisis data Penelitian ini menggunakan analisis data deskriptif

kualitatif. Secara garis besar analisis dibagi dalam tiga kegiatan yang dilakukan secara bersamaan, yaitu reduksi

EMILIA et al. – Pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat dalam konservasi DAS

77

data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Miles dan Huberman 1992). Analisis data dilakukan secara terus-menerus mulai saat penyusunan konseptual penelitian, saat pengumpulan data di lapangan dan sesudahnya.

Dalam penelitian ini dikumpulkan data sebanyak-banyaknya terkait sumber daya alam dan pengelolaannya di Desa Keseneng. Selanjutnya dalam tahap reduksi data dipilah-pilah sesuai aspek yang diteliti, dan data yang tidak perlu dibuang. Selanjutnya, data yang telah dipilah-pilah tersebut disajikan dalam bentuk deskriptif, bagan, tabel, matrik, dan sebagainya. Kemudian pada tahap verifikasi, data yang diperoleh tersebut dianalisis dengan teori-teori yang berkaitan untuk kemudian dilakukan penarikan kesimpulan.

Tabel 2. Identitas narasumber Nama Usia

(tahun) Keterangan

Maskuri 33 Kepala desa, penasehat organisasi pengelola Curug Tujuh Bidadari

Nur Kholimah 27 Pedagang, pernah menjadi pengurus organisasi sebagai penjaga loket

Rohadi 55 Perawat tanaman, petugas kebersihan

Ngadi Dul Wahab

61 Juru kunci Kedung Wali

Amin Sobirin 51 Kepala Dusun Keseseh Margianto 24 Petugas SAR Mursalim 32 Sekretaris organisasi pengelola,

tokoh pemuda Sri Umiyati 47 Pedagang Mbah Sabar - Pengurus organisasi, mantan kepala

desa, pemilik lahan terkena zonasi Basuki - Ketua organisasi, kepala dusuniTri Subekso - Pamong budaya Disporabudpar

Kabupaten Semarang, anggota tim pendamping CBNRM

Mohamad Annas

35 Aktivis LSM Komunitas Salunding

Analisis data dilakukan dengan mendeskripsikan

aktivitas-aktivitas atau fungsi pengelolaan sumber daya alam di Desa Keseneng yang meliputi perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating), dan pengendalian (controlling) serta peran pihak luar dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut. Selanjutnya dilakukan analisis aspek-aspek community based dalam pengelolaan sumber daya alam, meliputi: equity (keadilan), empowerment (pemberdayaan), conflict resolution (resolusi konflik), knowledge and awarrenes (pengetahuan dan kesadaran), biodiversity protection (perlindungan keanekaragaman hayati), dan sustainable utilization (pemanfaatan berkelanjutan). Setelah menganalisis aktivitas-aktivitas atau fungsi pengelolaan dan aspek community based, selanjutnya digambarkan model konseptual CBNRM di Desa Keseneng dan disusun model CBNRM dalam mendukung upaya konservasi DAS.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran umum lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Keseneng yang

merupakan salah satu desa yang terletak pada DAS Bodri hulu, tepatnya Sub-DAS Blorong. Desa yang terletak di lereng Gunung Ungaran, Kabupaten Semarang ini telah melakukan pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat dengan fokus Desa Wisata.

DAS Bodri DAS Bodri merupakan salah satu DAS di Provinsi Jawa

Tengah yang termasuk DAS Prioritas Nasional dalam RPJM 2010-2014. Secara Geografis, DAS Bodri terletak pada 7° 23” 00’- 7° 54” 8’ LS dan 109° 52” 01’ – 110° 08” 06’. Wilayah seluas 94.028,013 ha tersebut dibagi dalam lima sub DAS, yaitu Sub DAS Lutut (18.913,973 ha), Sub DAS Logung (8.629,016 ha), Sub DAS Blorong (25.958,865 ha), Sub DAS Putih (11.900,655 ha), dan Sub DAS Bodri hilir (28.625,504 ha) (BPDAS Pemali Jratun 2006).

Secara administratif DAS Bodri meliputi empat Kabupaten dan kota, yaitu Kabupaten Temanggung, Kabupaten Kendal, Kota Semarang, dan Kabupaten Semarang. Wilayah Kabupaten Temanggung terdiri atas 7 kecamatan dan 19 desa, Kabupaten Kendal 17 kecamatan dan 186 desa, Kabupaten Semarang 1 kecamatan dan 3 desa, serta Kota Semarang 1 kecamatan 4 desa (BPDAS Pemali Jratun 2006).

Kondisi topografi wilayah DAS Bodri beragam mulai dari datar, berombak, bergelombang, berbukit hingga bergunung. Dengan kondisi topografi seperti itu, penggunaan lahan pun cukup beragam, yaitu berupa kawasan hutan, tegalan, kebun campur, perkebunan, permukiman, sawah, rawa, dan kebun rakyat. Penggunaan lahan terbesar adalah tegalan seluas 26.578,931 ha atau 28,27 % dari keseluruhan luas DAS. Adapun hutan seluas 20.069,931 ha atau 21,43% (BPDAS Pemali Jratun. 2006)(Gambar 2).

Daerah aliran sungai yang melintasi empat kabupaten dan kota ini memiliki curah hujan rata rata sebesar 2.553 mm/tahun. Nilai KRS (Koefisien Regim Sungai) yang merupakan perbandingan antara debit maksimum dan minimum sungai sebesar 143 (>120) yang artinya masuk dalam klasifikasi jelek. Nilai IPA (Indek Penggunaan Air) yang merupakan rasio antara persediaan dan penggunaan air rata-rata sebesar 1,99 di bawah nilai ideal sebesar 3.

Desa Keseneng Desa Keseneng, Kecamatan Sumowono, Kabupaten

Semarang merupakan salah satu desa yang termasuk bagian dari DAS Bodri, tepatnya di Sub-DAS Blorong. Secara geografis, Keseneng merupakan desa yang jauh dari pusat pemerintahan Kabupaten Semarang. Jarak dari pusat pemerintahan kabupaten mencapai 48 km, sementara dari Kota Semarang (provinsi) hingga 58 km. Pusat pemerintahan yang terdekat adalah Kantor Kecamatan Sumowono, yakni 6,5 km.

Bonorowo Wetlands 3 (2): 73-100, December 2013

78

Gambar 2. Peta penutupan lahan DAS Bodri (atas) dan peta lahan kritis DAS Bodri (bawah)

EMILIA et al. – Pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat dalam konservasi DAS

79

Tabel 3. Tata guna lahan Desa Keseneng, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah Jenis lahan Luas dalam hektare (Ha) Sawah irigasi teknis 36 Sawah irigasi sederhana 25 Tadah hujan 11 Pekarangan dan bangunan 19 Tegalan/Hutan rakyat 173,252 Luas Keseluruhan 228,252 Sumber: RPJMDes Keseneng 2010-2015

Desa Keseneng merupakan desa yang berbatasan

langsung dengan Kabupaten Kendal. Sebelah utara desa tersebut adalah Desa Gondang, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal. Begitu juga dengan sebelah barat desa, yakni berbatasan dengan Desa Peron, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal. Sementara itu, sebelah selatan Keseneng adalah Desa Pledokan, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang, dan sebelah timur Desa Piyanggang juga di Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang. Kondisi wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan, membuat Desa Keseneng yang terdiri atas tiga dusun, yakni Keseneng, Tlawah, dan Keseseh menjadi kurang dalam sarana dan prasarana umum, baik bidang kesehatan, pendidikan, maupun pemasaran atau pusat ekonomi. Kondisi tersebut terungkap dalam wawancara dengan Mbah Sabar:

“Dulu orang tua enggan menyekolahkan anak ke jenjang yang lebih tinggi, seperti SMP dan SMA karena letaknya jauh dan sarana transportasi minim. Selain itu, pendapatan warga juga pas-pasan..” (kom. pri 2012)

Desa memiliki luas wilayah 228,252 ha, yang terdiri atas sawah dengan irigasi teknis, sawah irigasi sederhana, sawah tadah hujan, lahan kering/tegalan, dan permukiman. Lahan kering yang terbagi dalam tegalan dan hutan rakyat, merupakan lahan paling luas di Desa Keseneng, yakni mencapai 173,252 ha. Keseluruhan lahan yang ada di Desa keseneng merupakan milik warga dan pemerintahan desa. Komposisi tata guna lahan ditunjukkan pada Tabel 3 dan peta pada Gambar 3.

Keseneng merupakan desa di daerah pegunungan, dengan tinggi dari permukaan air laut mencapai 700 meter. Kondisi iklim Keseneng sebagaimana desa pegunungan di Jawa, memiliki curah hujan cukup tinggi hingga 2.300 mm/tahun, dengan suhu rata-rata cukup sejuk, yakni 27-30 derajat celcius.

Kondisi topografi desa berbukit-bukit dengan banyak lembah, mata air, sungai, dan hutan. Kawasan perbukitan tersebut oleh masyarakat setempat disebut gunung. Sebagai contoh Gunung Tugel di Dusun Keseneng dan Gunung Getas di Dusun Tlawah. Kondisi perbukitan tersebut sangat menarik atau memiliki panorama alam yang indah. Perbukitan di Keseneng, dapat digunakan untuk lintas alam karena memiliki jalur-jalur alternatif yang menyajikan panorama alam yang menarik. Para pendaki dapat menyaksikan matahari terbit dari puncak perbukitan serta melihat pemandangan laut Kota Semarang dan Kendal, terutama dari puncak Bukit Getas.

Perbukitan di Desa Keseneng juga kaya akan deposit bebatuan. Ada dua kawasan yang memiliki deposit tinggi, yaitu Bukit Watu Bantal di Dusun Keseseh dan Watu Kenong di Dusun Keseneng. Batu-batu besar sebagai sumber kekayaan alam desa juga tersebar di aliran-aliran sungai. Batu-batu tersebut digunakan warga sebagai salah satu modal pembangunan desa, seperti membuat rumah, jalan, serta sarana dan prasarana umum.

Sebagai bagian dari DAS Bodri, Sub DAS Blorong, Desa Keseneng memiliki banyak sungai yang tersebar di tiga dusun. Dusun Tlawah mempunyai dua sungai, yaitu Sungai Mandingan dan Sungai Wetan. Tiga sungai lainnya berada di Dusun Keseneng, yaitu Sungai Ringin, Sungai Doh, dan Sungai Banteng. Satu sungai lagi berada di Dusun Keseseh, yaitu Sungai Gongso. Dari keenam sungai ini, hanya Sungai Ringin yang dimanfaatkan untuk irigasi. Selain sungai, juga terdapat sembilan air terjun dengan karakter yang berbeda-beda di dua dusun. Dua air terjun di Dusun Keseseh, yaitu Air Terjun Paleburgongso dan Air Terjun Setro. Tujuh air terjun di Dusun Keseneng, yaitu Air Terjun Tujuh Bidadari, Kerincing, Kali Doh, Tampok/Bakoan, Precet, Kedungmuning, dan Getas. Dari banyak air terjun tersebut, hanya satu yang telah dikelola untuk atraksi wisata, yaitu Curug Tujuh Bidadari. Satu air terjun dalam proses penataan untuk dibuka bagi kepentingan wisata desa, yakni Curug Paleburgongso.

Meskipun memiliki banyak sungai dan perbukitan, Desa Keseneng minim mata air yang dapat digunakan untuk menopang kebutuhan warga sehari-hari. Mata air-mata air itu berada di bawah permukiman, dan debitnya tidak mencukupi untuk kebutuhan warga. Ada empat mata air di Desa Keseneng, tiga di antaranya ada di Dusun Keseneng, yaitu Kedung Wali, Sendang Tuk, dan Sendang Boto. Satu mata air lainnya berada di Dusun Keseseh, yaitu Sendang Kendi. Kini pemanfaatan mata air masih sebatas untuk cadangan air bersih. Untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, warga telah membuat sistem instalasi air bersih hingga ke rumah-rumah melalui program Pamsimas. Namun sumber yang digunakan justru dari luar desa yang posisinya lebih tinggi secara geografis. Sumber-sumber tersebut antara lain dari daerah Trayu, Kemawi, Getas, Mentor, dan Ngaglik.

Pada Gambar 4 ditunjukkan dua sumber daya alam yang sudah dikelola sebagai objek wisata, yaitu Curug Tujuh Bidadari dan Mata Air Kedung Wali yang berada di atas curug. Curug Tujuh Bidadari merupakan air terjun yang berada di Kali Ringin dan terdiri dari tujuh air terjun yang berdekatan. Mata Air Kedung Wali yang dipercaya sebagai air bertuah berada tidak jauh dari air terjun paling atas. Mata air tersebut muncul pada sebuah batu berlubang yang membentuk sumur kecil berdiameter sekitar 1 m.

Sumber daya alam lain yang juga dimiliki Keseneng adalah hutan rakyat yang menutupi kawasan perbukitan. Tanaman-tanaman penyusunnya terdiri atas aren, sengon, jabon, kopi, kelapa, bambu, dan albasia. Hutan rakyat tersebut mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan berfungsi untuk menjaga keseimbangan ekosistem Desa Keseneng. Di dalamnya masih terdapat banyak satwa unik dan khas seperti macan tutul, kijang, monyet, ikan sili tilam merah, ikan sili tilam totol, dan elang.

Bonorowo Wetlands 3 (2): 73-100, December 2013

80

Gambar 3. Peta tata guna lahan Desa Keseneng, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah

Selain satwa, ada berbagai jenis rempah-rempah yang dapat dijadikan sumber perekonomian warga, yaitu cengkih, lada hitam, jahe, kayu manis, dan kapulogo. Sementara untuk tanaman perkebunan yang dibudidayakan di Desa Keseneng, adalah kopi, jengkol, kakao, petai, bambu, aren, ketela pohon, ubi jalar, dan kelapa.

Kekayaan sumber daya alam Desa Keseneng tersebut sudah dipetakan secara detail seperti pada Gambar 5. Masyarakat memetakan kekayaan alam yang dimiliki sebagai bahan perencanaan pengelolaan sumber daya alam. Dengan adanya peta tersebut, rencana pengelolaan dan pembangunan dapat dilakukan pada lokasi yang paling tepat.

Desa dengan sumber daya alam yang melimpah tersebut didiami oleh 381 keluarga dengan jumlah penduduk 1.522 jiwa, yang terdiri atas 649 laki-laki dan 873 perempuan. Tingkat pendidikan warga Desa Keseneng masih rendah, sebagian besar warga hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat sekolah dasar (SD). Meskipun ada beberapa orang yang sudah menempuh pendidikan sampai tingkat SLTA dan perguruan tinggi, namun jumlahnya masih sangat sedikit. Sebagian besar dari warga yang memiliki pendidikan lebih baik tersebut, juga enggan untuk tinggal di desa. Lulusan SMA/sederajat dan perguruan tinggi tersebut lebih suka bekerja di kota. Dari 1.522 jiwa, jumlah lulusan perguruan tinggi hanya 13 orang dan lulusan SMA 82 orang (Tabel 4).

EMILIA et al. – Pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat dalam konservasi DAS

81

A B

C D

E F

G H

I J

Bonorowo Wetlands 3 (2): 73-100, December 2013

82

Gambar 4. Sumber daya alam Desa Keseneng, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. A. Pintu masuk Curug Tujuh Bidadari, B. Curug Tujuh Bidadari, C-D. Kali Bodri, E. Potensi Galian C (batu), F. Mata Air Kedung Wali, G. Potensi tumbuhan aren, H. Ijuk aren, I. Pengolahan gula aren, J. Gula aren

Gambar 5. Sumber daya alam di Desa Keseneng, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah (RPJMDes Desa Keseneng 2011-2015)

Kondisi lingkungan alam dan tingkat pendidikan sangat memengaruhi pilihan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari 381 keluarga, hampir 70% di antaranya bermata pencaharian sebagai petani atau buruh tani. Hanya sebagian kecil warga yang bekerja di sektor lain, baik bidang jasa, swasta, maupun pegawai negeri sipil/TNI. Mereka bekerja sebagai pedagang, jasa transportasi, buruh bangunan, pekerja pabrik atau merantau keluar kota untuk menjadi sales/pekerjaan lainnya.

“Anak-anak muda lebih memilih kerja di luar desa, seperti jadi sales hingga Sumatra, kerja di proyek galian kabel, atau jadi karyawan pabrik. Petani sudah mulai ditinggalkan…,” (Maskuri, kom.pri. 2012)

Sebagian kecil warga yang menetap ada yang memilih pekerjaan lain seperti pedagang, membuka usaha, atau bekerja di sektor transportasi desa. Usaha dagang yang

ditekuni berupa jual beli hasil bumi atau membuka warung kelontong untuk pemenuhan kebutuhan hidup warga sehari-hari. Profesi yang masih sangat dibutuhkan dan hingga kini belum terpenuhi adalah guru. Ketiga dusun di Desa Keseneng, yakni Keseneng, Keseseh, dan Tlawah masih kekurangan tenaga pengajar untuk menunjang perkembangan pendidikan (Tabel 5).

Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan kemampuan warga untuk memenuhi kebutuhan juga terbatas. Rata-rata, warga yang menetap memilih sektor pertanian, dengan pola dan pengetahuan yang terbatas. Mereka menanam komoditas pertanian yang merupakan kebutuhan pokok sehari-hari, seperti padi dan jagung. Tanaman pangan dianggap lebih menguntungkan karena bisa dikonsumsi, dan tanaman lain belum banyak ditanam karena minimnya informasi dan pengetahuan warga.

EMILIA et al. – Pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat dalam konservasi DAS

83

Tabel 4. Penduduk berdasarkan pendidikan No Tingkat pendidikan Jumlah (jiwa) 1 Tamat Akademik/Perguruan Tinggi 13 2 Tamat SLTA 82 3 Tamat SLTP 142 4 Tamat SD 523 5 Belum tamat SD 186 6 Tidak Sekolah 74 7 Belum Sekolah 502 Jumlah 1.522 Sumber: Monografi Desa Keseneng 2010 Tabel 5. Penduduk berdasarkan mata pencaharian Tingkat pendidikan Jumlah dalam jiwa Petani 387 Buruh tani 209 Buruh pabrik 9 Pengusaha 3 Buruh bangunan 67 Transportasi 6 PNS/TNI 6 Pensiunan 1 Pedagang 9 Lain-lain 139 Jumlah 838 Sumber: RPJMDes 2010-2015

Tabel 6. Keluarga miskin Desa Keseneng, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah Dusun Keluarga miskin Jumlah keluarga Keseneng 145 169 Keseseh 47 56 Tlawah 141 156 Jumlah 333 381 Sumber: RPJMDes Keseneng 2010-2015

Kelemahan lain dari komoditas pertanian adalah

ketergantungan warga pada tengkulak dalam hal pemasaran. Untuk memasarkan langsung ke pusat-pusat penjualan, warga merugi karena terbebani biaya transportasi yang tidak murah. Ketergantungan terhadap tengkulak tersebut berujung pada harga komoditas pertanian desa hanya dapat dijual murah, dibawah harga pasaran pada umumnya. Selisih harga yang sangat besar antara tengkulak dan pedagang besar pengepul, membuat petani selalu dirugikan. Alur panjang pemasaran komoditas pertanian tersebut ditunjukkan pada Gambar 6. Pada gambar tersebut terlihat bahwa komoditas pertanian dari Desa Keseneng harus melalui rantai pedagang yang panjang sebelum sampai ke pasar yang menjual komoditas tersebut kepada konsumen. Akibatnya, harga jual di tingkat petani sangat rendah dibandingkan harga jual di pasar.

Kondisi tersebut diperparah dengan kepemilikan lahan yang tidak merata. Beberapa warga memiliki lahan yang sangat luas, sementara sebagian besar hanya memiliki lahan sempit yang diwariskan secara turun temurun. Pendapatan dari hasil pertanian di lahan yang sempit tersebut tidak seberapa, bahkan seringkali hanya cukup

untuk konsumsi sendiri. Akibatnya, hasil pertanian tidak dapat membuat warga sejahtera.

Sementara itu, lahan yang paling luas berupa hutan rakyat dengan keanekaragaman potensi, belum dimanfaatkan secara maksimal. Tanaman keras yang tumbuh di hutan rakyat tersebut umumnya merupakan tanaman yang tumbuh secara alami, tidak dibudidayakan. Waktu panen yang lama dibandingkan komoditas pangan menyebabkan mereka enggan untuk membudidayakan tanaman keras. Sebagian besar petani di Desa Keseneng hanya menganggapnya sebagai penghasilan sampingan saja dan dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri seperti bahan bangunan dan kayu bakar.

Selain tanaman keras, di bawah tegakan banyak pula rempah- rempah yang dapat tumbuh di Desa Keseneng, yaitu lada hitam, jahe, kayu manis, kapulogo, dan empon-empon. Tanaman tersebut masih tumbuh liar di tanah-tanah kosong dan belum dibudidayakan. Masyarakat belum menganggapnya sebagai komoditas yang menjanjikan untuk meningkatkan kesejahteraan.

Sebagian besar masyarakat desa belum berupaya mengelola hutan rakyat yang dimiliki secara maksimal. Mereka lebih suka membuka hutan tersebut untuk ditanami tanaman semusim seperti ketela pohon atau jagung. Hanya beberapa orang yang telah mengusahakan penanaman berbagai komoditas di hutan rakyat, seperti aren, kopi, cengkih, kakao, jengkol, petai, dan kelapa. Mereka umumnya adalah warga yang mempunyai akses keluar desa dan mendapat pengetahuan dari luar desa.

Berbagai kelemahan warga seperti tingkat pendidikan rendah, kepemilikan lahan pertanian/sawah tidak merata, keterbatasan pilihan mata pencaharian, dan pengelolaan sumber daya alam yang kurang maksimal, bermuara pada tingkat kesejahteraan warga yang masih rendah. Dari 381 keluarga yang ada di Desa Keseneng, 333 keluarga atau 87% di antaranya termasuk kategori miskin (BPS 2009 dalam Desa Keseneng 2010). Komposisi keluarga miskin pada tiap dusun ditunjukkan pada Tabel 6.

Sejarah pengelolaan sumber daya alam di Desa Keseneng

Perkembangan pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat atau CBNRM di Desa Keseneng mengalami pasang surut dalam pelaksanaannya. Meskipun demikian, CBNRM dapat berjalan dan berkembang dengan baik karena ada dukungan kebijakan dan peraturan, warga menjadi pelaku utama sejak proses perencanaan, ada kesepakatan bersama yang dijalankan, dan ada keinginan kuat warga untuk selalu berkembang. Faktor-faktor tersebut membuat kepercayaan dan dukungan dari pihak luar semakin kuat sehingga turut mendukung perkembangan CBNRM di Desa Keseneng.

Keinginan warga untuk dapat mengelola kekayaan sumber daya alam, terutama air terjun menjadi objek wisata yang dapat memberikan keuntungan bagi desa, telah digagas sejak tahun 1980-an. Namun keinginan tersebut tidak terwujud karena kondisi pemerintahan masih sangat sentralistik dan top down, dimana partisipasi masyarakat kurang mendapat tempat. Pemerintah Desa Keseneng beberapa kali telah mengusulkan pembukaan objek wisata

Bonorowo Wetlands 3 (2): 73-100, December 2013

84

Curug Paleburgongso ke Pemerintah Kabupaten Semarang. Namun usulan tersebut tidak mendapat tanggapan. Lambat laun, keinginan Pemerintahan Desa untuk maju, terkubur dalam perjalanan waktu.

“Tak kurang-kurangnya kami meminta Pemerintah Kabupaten mendukung dan membuka objek wisata di desa kami. Pendahulu saya sudah mengusulkan, bahkan ketika saya masih menjabat. Namun pemerintah kabupaten tak juga memberikan tanggapan…,” (Mbah Sabar, kom. pri. 2012)

Sejak era Reformasi, terjadi perubahan besar terhadap wewenang pemerintahan desa. Kebijakan desentralisasi juga menguat. Hal ini membawa babak baru bagi pengembangan CBNRM di Desa Keseneng. Upaya agar dapat hidup lebih baik, terutama lepas dari kemiskinan yang selama ini membelit warga, mendorong desa untuk bergerak. Hidup nyaman, mudah, dengan ketersediaan sarana-prasarana penunjang menjadi tekad bersama warga Desa Keseneng. Karena itu, warga bersama-sama berusaha untuk mewujudkannya.

Ada beberapa sarana yang sangat vital bagi warga, yakni jalan, balai desa, sarana pengairan, baik untuk pertanian maupun pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, serta masjid sebagai sarana ibadah yang perlu segera dibenahi. Pembangunan atau perbaikan sarana-sarana vital tersebut membutuhkan modal yang sangat besar.

Di sisi lain, kemampuan keuangan Desa Keseneng tidak mencukupi untuk menutup seluruh biaya pembangunan desa. Dukungan dana pembangunan dari pemerintah di atasnya, mulai dari pusat hingga daerah, seperti alokasi dana desa (ADD) atau PNPM Mandiri Pedesaan, dan

APBD kabupaten, jumlahnya sangat terbatas. Terlebih selain ADD, dana-dana tersebut diperebutkan oleh ribuan desa se-Indonesia. Bila pembangunan desa hanya mengandalkan dana-dana tersebut, akan berjalan sangat lambat karena harus dilakukan secara bertahap sesuai ketersediaan dana. Bahkan, dana pembangunan yang dikucurkan pemerintah seringkali tidak sesuai kebutuhan atau prioritas desa.

Berbagai keterbatasan dan tuntutan percepatan pembangunan desa tersebut menuntut pemerintah desa dan warganya untuk mencari solusi kreatif. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah desa untuk memaksimalkan pendapatan desa adalah dengan menyewakan tanah kas desa dalam jangka waktu tertentu. Selain itu, warga desa berpartisipasi dalam bentuk iuran untuk memenuhi kebutuhan dana pembangunan desa.

Dalam berbagai rembuk antara pemerintah desa dan warga, disepakati bahwa iuran wajib bagi warga untuk mendukung pembangunan desa tersebut berupa hasil penambangan batu. Setiap keluarga di desa, wajib menyerahkan hasil tambang batu 0,5 m3/setiap orang dan dana Rp 500.000-Rp 1000.000/keluarga. Batu-batu yang terkumpul tersebut dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama digunakan sebagai bahan pembangunan sarana-prasarana yang tengah dikerjakan. Sebagian lainnya dijual untuk membeli bahan bangunan lain seperti bambu dan kayu milik warga maupun bahan yang tidak bisa diproduksi desa seperti semen dan besi. Dana yang terkumpul juga digunakan untuk membayar tukang yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak bisa dikerjakan oleh warga secara gotong-royong.

Gambar 6. Alur pemasaran hasil pertanian Desa Keseneng, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah

EMILIA et al. – Pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat dalam konservasi DAS

85

“Warga iuran Rp 500.000-1.000.000 setiap keluarga dan iuran batu 0,5 m3 setiap orang. Misal satu keluarga empat orang, ya berarti 2 m3/keluarga. Setiap dukuh juga wajib mengirim warga untuk kerja bakti bergilir…” (Rohadi, kom. pri. 2012)

Upaya mengumpulkan dana pembangunan lewat iuaran wajib berupa batu tersebut, ternyata menimbulkan permasalahan-permasalahan baru. Pertama, kondisi lingkungan Desa Keseneng, baik alam maupun infrastruktur jalan, terancam rusak akibat penambangan batu. Kedua, angkutan batu yang hilir mudik melewati jalan-jalan penghubung antardesa juga menuai kecaman dari desa-desa lain. Warga desa lain khawatir jalan penghubung antar desa cepat rusak. Sementara dari dalam desa, muncul keberatan warga atas beban berat yang harus mereka tanggung. Sebab selain kerja bakti wajib, warga juga masih harus menyerahkan iuran dana dan batu. Akibatnya, banyak waktu warga yang tersita untuk kepentingan desa. Faktor lain, tidak semua warga mampu menambang batu sehingga harus mengganti kewajibannya dengan iuran dana senilai setoran batu yang diwajibkan tersebut.

Permasalahan-permasalahan tersebut memaksa Pemerintah Desa Keseneng berpikir keras mencari alternatif pendanaan yang mampu meringankan beban warga sekaligus mencegah kerusakan lingkungan. Saat itulah, gagasan lama untuk menghidupkan berbagai potensi yang dimiliki, seperti Curug Paleburgongso muncul kembali. Desa Keseneng juga masih memiliki delapan air terjun lainnya yang dapat dikembangkan untuk atraksi wisata. Potensi lain, terdapat makam Kiai Mandung dan Mata Air Kedungwali yang telah menjadi tujuan para peziarah lokal dari sekitar Desa Keseneng. Keinginan pemerintah desa dan warga semakin kuat tatkala objek-objek wisata di dekat desa, yakni kawasan Bandungan dan Candi Gedungsongo telah berkembang pesat.

Pada awal tahun 2010, salah satu curug, yakni Paleburgongso akan dikembangkan oleh warga Desa Keseneng. Namun rencana desa mengembangkan curug di perbatasan antara Desa Keseneng, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang dan Desa Gondang, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal tidak berjalan lancar. Warga Desa Gondang lebih dulu membuka akses ke Curug Paleburgongso. Hal tersebut memicu konflik antara Desa Keseneng dengan Desa Gondang karena air terjun berada di perbatasan, tetapi Goa Paleburgongso telah masuk wilayah dan berada di lahan milik warga Dusun Keseseh, Desa Keseneng. Pihak Desa Gondang juga tidak berkoordinasi dengan Desa Keseneng, padahal warga Desa Keseneng telah melakukan berbagai persiapan, baik lewat rembuk di tingkat dusun maupun desa untuk membuka objek wisata tersebut. Puncak konflik terjadi saat akses Curug Paleburgongso arah Desa Gondang, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal akan diresmikan oleh Bupati Kendal, terjadi amuk warga Desa Keseneng. Warga menutup Curug Paleburgongso dengan tebangan rumpun bambu. Akibatnya, Bupati Kendal dan rombongan tidak dapat melihat Curug dan Goa Paleburgongso.

“Kami akui saat itu kami marah karena pihak Gondang tidak berkoordinasi dengan warga Desa Keseneng.

Akhirnya, kami memotong rumpun-rumpun bambu dan memasukkanya ke curug. Sehingga, saat akan diresmikan, Bupati Kendal dan rombongan tidak bisa melihat curug tersebut…,” (Amin Sobirin, kom. pri. 2012)

Kejadian tersebut menimbulkan masalah yang cukup pelik. Bupati Kendal Siti Nurmarkesi melayangkan surat protes kepada Bupati Semarang Siti Ambar Fathonah. Untuk meredam konflik, Bupati Semarang menugaskan Dinas Pemuda Olahraga Budaya dan Pariwisata (Disporabudpar) untuk menyelesaikan masalah tersebut. Foto Goa dan Curug Paleburgongso yang disengketakan ditunjukkan pada Gambar 7.

Disporabudpar Pariwisata Kabupaten Semarang menindaklanjuti dengan mengirim tim ke Desa Keseneng, Kecamatan Somowono. Tim tersebut melakukan observasi dan survey bersama warga desa untuk melihat potensi pengembangan pariwisata. Dalam pertemuan tersebut muncul dua opsi, yaitu tetap mengembangkan Curug Paleburgongso meskipun ada konflik dengan Desa Gondang atau mencari objek lain di desa tersebut untuk dikembangkan. Pada survei tanggal 2 Februari 2010, masyarakat Desa Keseneng didampingi Dinas Pariwisata Kabupaten Semarang akhirnya memutuskan opsi kedua yaitu mengembangkan kawasan wisata Curug Tujuh Bidadari. Kawasan wisata tersebut mengandalkan tiga objek utama, yaitu Curug Tujuh Bidadari, Curug Kemuning, dan Mata Air Kedungwali yang dipercaya bertuah. Disporabudpar berjanji akan mendatangkan Bupati Kabupaten Semarang untuk meresmikan kawasan wisata tersebut dengan syarat pihak desa sudah melakukan penataan kawasan.

Pihak Desa Keseneng semakin bersemangat untuk mengembangkan potensi sumber daya alamnya karena mendapat dukungan dari Pemerintah Kabupaten Semarang yang telah ditunggu sejak lama. Pada Tanggal 2 Mei 2010, warga Desa Keseneng menggelar rapat yang dihadiri tokoh masyarakat, perangkat desa, tokoh pemuda, dan wakil organisasi lainnya. Dalam rapat tersebut dibentuk organisasi pengelola atau disebut panitia curug yang bertugas mengelola dan mengembangkan kawasan wisata yang kini dikenal dengan sebutan objek wisata Curug Tujuh Bidadari.

Sejak saat itu, pengelola di bawah komando Kadus Keseneng Basuki bersama warga mulai melakukan pembenahan di kawasan tersebut. Mereka membuat sarana prasarana seperti gasebo nonpermanen dengan bambu untuk tempat istirahat, jembatan, toilet, mushala, dan deretan kios yang menjajakan berbagai kebutuhan pengunjung. Selain itu, jalan-jalan menuju objek-objek di dalam maupun menuju kawasan juga dibenahi untuk memudahkan pengunjung sampai objek wisata.

Pada tanggal 20 Mei 2010, objek wisata Curug Tujuh Bidadari diresmikan oleh Plt. Bupati Kabupaten Semarang Hj. Siti Ambar Fathonah. Curug Tujuh Bidadari mulai dipublikasikan sebagai objek wisata, baik oleh Pemkab Semarang maupun dukungan publikasi media massa. Curug Tujuh Bidadari mulai dikenal dan mendapat sambutan baik dari masyarakat. Wisatawan mulai ramai berkunjung ke Curug Tujuh Bidadari.

Bonorowo Wetlands 3 (2): 73-100, December 2013

86

Gambar 7. Goa dan Curug Paleburgongso yang disengketakan dua desa

Pada awal-awal pembukaan curug, jumlah rata-rata wisatawan yang berkunjung mencapai 8.000 orang/bulan. Oleh karena itu, Desa Keseneng pada enam bulan pertama bisa membukukan pendapatan Rp 160 juta meskipun tiket masuk sangat murah, hanya Rp 5.000 untuk dua orang dengan satu motor. Pendapatan tersebut belum termasuk uang dari kotak toilet dan Kedungwali. Dana dari dua item tersebut langsung disetorkan kepada panitia pembangunan masjid. Sebagian besar pendapatan objek wisata digunakan untuk pengembangan kawasan wisata dan mengembalikan dana swadaya yang terkumpul dari panitia. Sebagian lagi digunakan untuk biaya operasional dan gaji pekerja harian di kawasan wisata.

Masyarakat desa mulai merasakan manfaat pengelolaan sumber daya alam lewat pariwisata. Salah satunya adalah warga dibebaskan dari kewajiban menambang batu sebanyak 0,5 m3/orang. Dana pembangunan desa dapat dipenuhi dari pendapatan wisata.

“Pendapatan curug pada tahap awal lebih banyak untuk mengembalikan dana-dana iuran pengurus dan menambah objek wisata yang ada. Saat itu fasilitas curug hanya seadanya…” (Basuki, kom. pri. 2012)

Keberhasilan membukukan pendapatan yang besar memberikan manfaat positif bagi warga, namun di sisi lain justru menimbulkan konflik. Sebagian warga mencurigai pengurus menggunakan dana yang diperoleh untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Selain itu, warga desa yang jauh dari objek wisata, yaitu warga Dusun Keseseh dan Telawah merasa cemburu dan menganggap manfaat objek wisata tersebut hanya dinikmati warga Dusun Keseneng. Perpecahan semakin meruncing, bahkan sebagian besar warga ingin menutup objek wisata tersebut.

Untuk meredam konflik dan menghindari perpecahan warga, Pemerintah Desa Keseneng menyelenggarakan perencanaan desa dengan didampingi LSM Komunitas Salunding. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada tanggal 20 November 2010 dengan melibatkan seluruh komponen warga. Perencanaan desa tersebut diikuti oleh lebih dari seratus orang warga yang terdiri atas perwakilan dusun, RT, RW, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, perwakilan

organisasi kemasyarakatan, pemilik lahan di sekitar objek wisata, dan warga yang berminat turut mengembangkan pariwisata di Desa Keseneng. Dalam kegiatan tersebut, semua peserta berpartisipasi dalam mengurai permasalahan yang membelit dan mencari solusi bersama.

Perencanaan desa tersebut menghasilkan dokumen Rencana Pengelolaan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) 2011-2015 yang menjadi panduan pembangunan desa selama lima tahun serta Raperdes Wisata yang mencakup aturan pengelolaan dan rencana pengembangan pariwisata desa. Dengan dokumen tersebut, dukungan dari pihak luar mulai masuk ke desa, baik dari pemerintah daerah, akademisi, maupun Pemerintah Pusat. Dukungan paling utama adalah pemberian kewenangan bagi masyarakat desa untuk melanjutkan pengelolaan sumber daya alam melalui pariwisata. Selain itu, izin penambangan batu di Desa Keseneng dihilangkan dalam RTRW Kabupaten Semarang dan Kecamatan Sumowono ditetapkan sebagai kawasan wisata berbasis budaya, alam, dan agrowisata.

Sementara itu, meskipun Raperdes Wisata Keseneng belum disahkan menjadi perdes karena masih membutuhkan penyusunan RTRW Desa dan detail engineering design, peraturan terkait bagi hasil dan penggunaan penghasilan desa telah diterapkan. Dampak dari pelaksanaan sistem bagi hasil tersebut adalah konflik mereda dan warga kembali mendukung pengelolaan pariwisata. Sumber daya alam lain di luar kawasan Curug Tujuh Bidadari juga mulai dikembangkan sebagai objek wisata baru.

”Semula di antara warga timbul ketidaksenangan terhadap pengurus wisata karena menganggap hasil wisata hanya dinikmati pengurus. di tingkat desa, dua dusun lain yakni Telawah dan Keseseh menganggap manfaat Curug C7B hanya untuk Dusun Keseneng. Akibatnya, dusun enggan mengirim warga untuk kerja bakti di tingkat desa. Namun setelah perencanaan desa ada kesepakatan bagi hasil. Meski belum dijadikan perdes, kesepakatan tersebut dijalankan. Ada bagi hasil yang jelas seperti persentase untuk pembangunan di dusun-dusun, pemilik lahan, untuk kegiatan organisasi sosial, upacara adat, serta dana sosial

EMILIA et al. – Pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat dalam konservasi DAS

87

yang langsung dirasakan warga, hubungan ditingkat desa dan warga kembali membaik. Konflik dan kecurigaan hilang. Semua juga tercatat dengan baik dan dilaporkan secara berkala kepada warga…” (Mursalim, kom. pri. 2012)

Desa Wisata Keseneng terus berbenah mengembangkan desanya. Pengembangan yang dilakukan tidak hanya pada objek wisatanya, namun sumber daya alam lain yang mendukung juga dikembangkan, misalnya pengembangan tanaman aren serta penataan tata guna lahan dan zonasi kawasan desa. Aspek-aspek lain yang mendukung perkembangan CBNRM seperti sumber daya manusia dan sarana-prasarana desa juga terus dikembangkan. Beberapa kekurangan dan kelemahan yang mewarnai pelaksanaan CBNRM di Desa Keseneng dijadikan modal bagi masyarakat untuk berkembang menjadi lebih baik.

Fungsi/aktivitas pengelolaan sumber daya alam di Desa Keseneng Perencanaan (Planning)

Masyarakat Desa Keseneng sudah melakukan perencanaan partisipatif dalam mengelola potensi sumber daya yang dimiliki. Perencanaan awal pengelolaan sumber daya alam di Desa Keseneng dilakukan pada tanggal 2 Mei 2010 dalam rapat desa yang dihadiri oleh perangkat desa, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda. Pada tahap ini perencanaan hanya dilakukan untuk mengelola Curug Tujuh Bidadari sebagai tujuan wisata sehingga yang dilakukan baru sebatas membentuk pengurus pengelola Curug Tujuh Bidadari.

Adapun strategi-strategi untuk mencapai tujuan pengelolaan belum ditentukan sehingga kegiatan yang dilakukan masih bersifat spontanitas sesuai arahan kepala desa. Peran kepala desa sangat dominan dalam menentukan langkah-langkah pengembangan. “Tahap awal pembentukan panitia pengelola curug memang hanya pemerintahan desa dan perwakilan organisasi, seperti pemuda. Ketika itu kami belum memiliki rencana matang, hanya ingin segera menbentuk oengurus agar dapat secepatnya mempersiapkan tempat wisata. Dalam pertemuan durembug pengelola, tetapi semua bergantung keputusan kepala desa, seperti pemilihan ketua dan pengurus lain. Terlebih, pengelolaan ini masih tahap awal dan belum tentu berhasil. Intinya, desa ingin agar dapat mengelola C7B untuk meredam konflik dengan warga Gondang…” (Margianto, kom. pri. 2012)

Sebagai tindak lanjut perancanaan awal, Desa Keseneng melakukan perencanaan detail pengelolaan sumber daya alam dalam perencanaan desa. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada bulan November 2010 dengan difasilitasi LSM Komunitas Salunding. Warga desa berkumpul mengadakan rembug warga dan menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes). Rembug warga dilakukan oleh perwakilan unsur-unsur masyarakat yang terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, perempuan, perangkat desa, dan Dewan Perwakilan Desa.

Perencanaan yang dilakukan desa, mencakup analisis mengenai daya dukung lingkungan, model pemanfatan ekonomi maksimal yang dapat mempertahankan daya

dukung lingkungan, tahapan-tahapan aksi yang jelas berdasar modal yang dimiliki, dan model monitoring dan evaluasi yang tegas. Perencanaan tersebut juga mencakup peran para pihak, beserta tugas serta hak dan kewajiban yang menyertainya. Karena itu, perencanaan tersebut wajib dipahami dengan benar oleh pihak yang akan melaksanakannya, dalam hal ini semua stakeholder yang ada di desa.

Kegiatan perencanaan desa tersebut dilakukan melalui tahapan- tahapan sebagai berikut: (i) membangun impian atau visi desa; (ii) mengdentifikasi dan memetakan potensi desa, baik sumber daya alam, sumber daya sosial, sumber daya manusia, dan sarana prasarana yang sudah ada; (iii) mengidentifikasi dan menganalisis masalah yang menjadi kendala pengembangan desa; (iv) menyusun alternatif program untuk memecahkan masalah menggunakan potensi yang dimiliki;(v) menyusun kebijakan pembangunan yang terdiri dari kerangka logis pengembangan desa dan kerangka logis pengembangan Desa Wisata Keseneng.

Dari kegiatan perencanaan desa tersebut disepakati untuk mengembangkan Desa Keseneng sebagai desa wisata dengan visi “ Menuju Desa Wisata Keseneng yang makmur dan mandiri”. Adapun visinya adalah; (i) Meningkatkan sarana dan prasarana bidang wisata; (ii) Meningkatkan kualitas SDM untuk mengelola sektor wisata dan pertanian secara mandiri; (iii) Membangun aparat desa yang terampil; (iv) Membangun desa wisata terpadu dan berkelanjutan; (v) Membuka keterlibatan masyarakat dalam segala aktivitas pemerintah; dan (vi) Membuka lapangan pekerjaan bagi warga desa (Desa Keseneng 2011). Suasana kegiatan perencanaan desa terlihat pada Gambar 8.

Kegiatan perencanaan desa tersebut merupakan bagian dari pemahaman desa secara partisipatif atau Partisipatory Rural Apraisal (PRA) dimana pihak luar lebih berperan sebagai katalis dan fasilitator yang memungkinkan masyarakat desa melakukan analisis tentang mereka sendiri, serta melakukan perencanaan dan mengambil tindakan yang paling sesuai untuk mereka (Chambers, 1992).

Model perencanaan tersebut dapat dikategorikan sebagai perencanaan model baru dan memenuhi karakteristik yang diajukan oleh Friedman (1993), yaitu bersifat normatif, inovatif, bersifat politik, transaktif, dan berdasar pada pembelajaran sosial. Perencananya adalah masyarakat desa sendiri dan mereka memegang teguh norma-norma dan nilai ideal yang paling sesuai dengan karakteristik mereka. Dengan demikian Perencanaan yang dilakukan memberikan solusi kreatif dan fleksibel atas permasalahan yang sudah dialami selama berpuluh-puluh tahun. Kepemimpinan yang kuat juga mendukung keberanian untuk merencanakan tindakan baru yang dianggap mampu memberikan solusi terbaik dan bersedia untuk belajar dari kesalahan.

Pengorganisasian (Organizing) Pengorganisasian dalam pengelolaan sumber daya alam

di Desa Keseneng dilakukan sesuai kebutuhan pada awal perencanaan dan secara fleksibel berubah sesuai

Bonorowo Wetlands 3 (2): 73-100, December 2013

88

perkembangan kebutuhan. Kepala desa memegang peranan penting dalam pengorganisasian tersebut.

Kepemimpinan merupakan salah satu faktor penting dalam pengorganisasian pengelolaan sumber daya alam di Desa Keseneng. Posisi vital pemimpin sangat menentukan keberhasilan CBNRM karena pemimpin merupakan figur yang menjadi panutan dan akan diikuti oleh warganya. Pemimpin juga menjadi hakim yang akan memutuskan berbagai aspek yang menyangkut tindakan dalam sebuah pengelolaan. Setelah melalui berbagai rembuk dengan usulan-usulan dan rumusan dari bawah, perlu sosok yang dapat dijadikan juri yang adil dan dapat mengakomodasi keinginan masyarakat.

Kepemimpinan di tingkat desa tidak bisa lepas dari figur pemimpin itu sendiri karena ketergantungan masyarakat pada pemimpin sangat tinggi. Sebuah isu kecil pun menjadi sangat sensitif dan cepat membesar, mengingat masyarakat sangat homogen dengan pengetahuan yang belum begitu tinggi. Meskipun demikian, ketergantungan terhadap sosok individu pemimpin, dalam hal ini kepala desa, sangat riskan karena keputusan seseorang belum tentu tepat dalam menghadapi begitu banyak permasalahan.

Untuk mencegah ketergantungan tersebut, diperlukan kearifan seorang pemimpin lokal yang mau membagi tugas dengan mendistribusikan kewenangannya kepada beberapa level kepemimpinan yang ada di bawahnya. Hal inilah yang dimiliki Kepala Desa Keseneng, dalam pengelolaan sumber daya alam dengan fokus pariwisata. Dia mampu mendistribusikan wewenangnya pada beberapa level dan memilih sosok-sosok yang tepat dalam menjalankan pengelolaan wisata. Pemilihan ketua pengelola yang memiliki sosok tegas dalam melaksanakan kebijakan desa yang telah disepakati dan menjadi mandat dari pemimpin desa, pengelola administrasi yang rapi, dan kedisiplinan dalam pengelolaan keuangan, menciptakan kepemimpinan berbasis sistem.

“Setiap tugas, saya serahkan kepada orang yang benar-banar dianggap atau sudah terbukti mampu di bidangnya, seperti penempatan Pak Bas sebagai ketua, Mursalim yang saat itu bendahara merangkap sekretaris dan pembukuan. Untuk Marget yang berpengalaman menjadi SAR. Saya mempercayai para petugas dan hanya melakukan pengawasan dan memberi masukan bila dimintai pendapat. Saya juga mengajak diskusi pengurus curug dan mendengar masukan mereka. Salah satunya, mengangkat bendahara tersendiri di luar sekretaris, karena beban kerja Mursalim begitu berat. Dampaknya, roda organisasi dapat berjalan lancar…” (Maskuri, kom. pri. 2012)

Dengan demikian, kepala desa benar-benar memegang peran kebijakan umum, fungsi kontrol, dan melakukan pertanggungjawaban kerja tim yang dibentuk, langsung pada lembaga-lembaga di desa dan warga. Selain itu, kemampuan pemimpin untuk merangkul berbagai pihak, seperti pemimpin terdahulu, tokoh lain di desa yang memiliki pengaruh luas, dan mau menerima pendapat dari pihak luar yang memiliki keahlian khusus dan lebih, membuat arah kepemimpinan yang terbentuk semakin kuat.

Pengorganisasian pengelolaan sumber daya alam di Desa Keseneng direncanakan berbentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang membawahi berbagai unit usaha. Namun, hingga saat ini masih menggunakan organisasi pelaksana yang dibentuk pada awal dikembangkannya wisata Curug Tujuh Bidadari, yaitu Pokdarwis C7B yang merupakan binaan Disporabudpar Kabupaten Semarang. Adapun struktur organisasinya seperti pada Gambar 9, sedangkan tugas dan tanggung jawabnya ditunjukkan pada Tabel 7.

Organisasi pengelola yang oleh warga sering disebut sebagai panitia tersebut pemilihan personelnya tidak melalui pemilihan secara demokratis, namun ditunjuk oleh kepala desa yang bertindak sebagai penasehat. Adapun anggotanya terdiri dari perangkat desa dan beberapa tokoh pemuda. Alasan penunjukan tersebut adalah karena pengembangan wisata baru dirintis dan belum menunjukkan hasilnya sehingga dipilih perangkat desa yang bersedia bekerja tanpa dibayar, bahkan sebaliknya harus mengeluarkan dana untuk mendukung pengembangan wisata.

“Sebagai antisipasi jika pengelolaan wisata nantinya gagal, kami memang memilih pengurus dari perangkat serta orang yang benar- benar mau berkorban. Sebab, modal awal kami nol rupiah sehingga pengelola awal C7B adalah orang yang mau bekerja tanpa dibayar, bahkan mau bekorban menyisihkan dananya untuk pengembangan wisata. Perangkat dipilih karena sudah punya gaji dan memang berkewajiban memikirkan serta mengupayakan kemajuan desa…” (Basuki, kom. pri. 2012)

Proses pengorganisasian yang tidak demokratis tersebut pada awalnya tidak menimbulkan masalah, namun setelah wisata berkembang muncul kecemburuan dari sebagian warga yang tidak terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam. Meskipun demikian, dengan kepemimpinan kepala desa dan ketua pengelola yang kuat, masalah tersebut dapat diatasi. Pergantian beberapa personel organisasi yang mengundurkan diri diumumkan secara terbuka sehingga memberikan peluang yang sama bagi warga masyarakat yang lain untuk turut terlibat.

Gambar 9. Struktur organisasi pengelola Curug Tujuh Bidadari, Desa Keseneng

EMILIA et al. – Pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat dalam konservasi DAS

89

Tabel 7. Tugas dan tanggugjawab pengelola Curug Tujuh Bidadari, Desa Keseneng Jabatan Tugas dan tanggung jawab Ketua dan wakil ketua

Memimpin, mengarahkan, serta memonitor seluruh aktivitas kerja anggota, baik sekretaris, bendahara, maupun seksi-seksi teknis Wakil ketua bertugas untuk membantu dan atau menggantikan bila ketua berhalangan Menandatangani surat keluar bersama sekretaris Memimpin rapat umum pengelolaan Curug Tujuh Bidadari Bertanggung jawab kepada Kepala Desa Keseneng dan bersama dengan sekretaris dan bendahara membuat laporan secara tertulis

Bendahara Bersama ketua dan sekretaris menyusun dan menetapkan anggaran kepanitiaan Mengelola keuangan panitia Mengeluarkan uang dengan sepengetahuan ketua dan sekretaris Memonitor dan mengontrol usaha-usaha pencarian dana baik dari tiket, retribusi parkir, toilet, homestay, maupun usaha lainnya Menyusun laporan keuangan yang dibacakan pada rapat bulanan panitia Mengelola bidang keuangan yang meliputi penerimaan, penyusutan, pengeluaran kebutuhan yang telah disepakati pengurus/dan mendapat persetujuan ketua

Sekretaris Bersama dengan ketua memimpin, mengarahkan, mengordinir, serta memonitor seluruh aktivitas pengelola Curug Tujuh Bidadari Membuat dan menandatangani surat keluar Mempersiapkan rapat-rapat panitia Bersama dengan ketua dan bendahara menyusun dan menetapkan anggaran kepanitiaan Bersama ketua mewakili panitia undangan keluar Bersama ketua dan bendahara membuat laporan pertanggungjawaban secara tertulis kepada Kepala Desa Keseneng Mencatat atau mendokumentasikan segala surat menyurat dan aktivitas pengelola Curug Tujuh Bidadari, baik dari seksi-seksi teknis ataupun lainnya Merancang dan menyusun jadwal kerja sesuai hasil rapat pengurus Curug Tujuh Bidadari

Sie Perlengkapan

Menyiapkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh pengunjung Mencatat dan melakukan perawatan secara berkala setiap sarana dan prasarana yang dimiliki Unit Usaha Curug Tujuh Bidadari Melakukan perbaikan sarana dan prasarana yang rusak. Bersama anggota unit usaha yang lain membangun fasilitas/sarana prasarana yang baru dan dirasa dibutuhkan untuk pengembangan Unit Usaha Curug Tujuh Bidadari. Mencatat, menjadwalkan, dan mengoordinasi penggunaan jasa/penyewaan sarana-prasarana seperti gazebo, lokasi pemotretan prewedding. Menyediakan dan menyewakan alat-alat keselamatan bagi pengunjung seperti baju pelampung dan pakaian renang yang pantas di lokasi pemandian curug. Mencatat dan melaporkan segala aktivitas dan pemasukan yang diperoleh dari pengunjung atas penyedian jasa-jasa tersebut dan melaporkannya pada ketua melalui sekretaris Menyetorkan hasil penyewaan jasa sarana-prasarana kepada bendahara .

Sie Pemasaran Mempromosikan potensi Curug Tujuh Bidadari, melalui berbagai sarana baik media, internet, ataupun sarana lain yang dirasa dapat meningkatkan kunjungan ke Curug Tujuh Bidadari. Menjalin hubungan dengan berbagai pihak yang dapat mendatangkan atau meningkatkan kunjungan ke Curug Tujuh Bidadari. Contohnya pihak hotel, pemandu wisata luar, organisasi atau lembaga lain dalam rangka mempromosikan Curug Tujuh Bidadari. Merancang dan menyelenggarakan event-event yang dapat meningkatkan kunjungan dan pendapatan Unit Usaha Curug Tujuh Bidadari. Merancang wahana baru berupa paket-paket perjalanan yang bertujuan meningkatkan jumlah kunjungan dan lama tinggal wisatawan ke Curug Tujuh Bidadari. Mendorong perkembangan sektor usaha lain seperti kerajinan,kesenian, dan atraksi lain sebagai penunjang kunjungan wisatawan. Mencatat setiap perkembangan pemasaran dan melaporkannya kepada ketua melalui sekretaris Menyetorkan segala pendapatan dari berbagai event wisata kepada bendahara.

Sie Keamanan Menjaga keamanan kawasan wisata Curug Tujuh Bidadari. Berkoordinasi dengan seksi-seksi untuk meningkatkan keamanan kawasan Curug Tujuh Bidadari, seperti seksi parkir, seksi tiket, dan seksi perlengkapan dari gangguan orang- orang/pengunjung yang tidak bertanggung jawab. Mengawasi aturan yang diberlakukan di Curug Tujuh Bidadari. Contohnya, mencegah pengunjung yang membawa minuman keras. Meredam kerusuhan atau gangguan keamanan di Curug Tujuh Bidadari.

Bonorowo Wetlands 3 (2): 73-100, December 2013

90

Merancang sistem pengamanan untuk mengantisipasi jumlah kunjungan dan event yang diselenggarakan seksi lainnya. Berkoordinasi dengan pihak-pihak yang berwajib menyangkut pelanggaran hukum di kawasan Curug. Menertibkan pelanggaran-pelanggaran kawasan yang dilakukan oleh setiap pihak yang dapat menggangu keberlangsungan Wisata Curug Tujuh Bidadari. Termasuk, pelanggaran tata ruang.

Sie Tiket Melayani pengunjung yang memerlukan tiket masuk dan parkir di lokasi Curug Tujuh Bidadari Dalam menjalankan tugas, petugas piket wajib bersikap ramah dalam menerima pengunjung serta memberi keterangan/informasi yang diminta pengunjung Mencatat segala pemasukan dari tiket masuk dan memberikan laporan berkala ketua melalui sekretaris Menjalankan tugas secara jujur dan menghindari penyimpangan Menyetorkan hasil penjualan tiket kepada bendahara, setiap hari setelah objek wisata Curug Tujuh Bidadari tutup pukul 16.30 Memberikan informasi yang baik dengan tidak lagi menerima pengunjung ke objek wisata Curug Tujuh Bidadari setelah waktu berkunjung habis. Pengecualian untuk pengunjung yang berencana kemah atau menginap di homestay yang telah disediakan pengelola

Sie Parkir Mengatur dan mengarahkan pengunjung yang akan parkir di kawasan Curug Tujuh Bidadari agar tempat parkir menjadi rapi dan baik Mengawasi dan menjaga keamanan di lokasi parkir baik sepeda motor/mobil sampai dengan pengunjung selesai dengan penuh rasa tanggung jawab Menyediakan layanan jasa penitipan barang seperti helm atau barang-barang tertentu dari pengunjung Melakukan pengecekan terhadap mobil dan kendaraan pengunjung yang akan meninggalkan lokasi parkir. Pengecekan tersebut berupa tiket parkir atau surat kendaraan/identitas pengunjung yang kehilangan tiket Dengan tegas menahan kendaraan atau mobil yang dianggap mencurigakan dan pengendara tidak dapat menunjukkan surat- surat baik tiket parkir/STNK/identitas diri. Melakukan pelayanan yang baik kepada pengunjung sehingga pengunjung dapat keluar lokasi parkir dengan tertib. Segera berkoordinasi dengan pengelola yang lain hingga direktur dan pihak yang berwajib jika terjadi kehilangan kendaraan, mobil, ataupun barang lain yang dianggap dapat merugikan pengunjung

Sie SAR Melakukan pengawasan terhadap pengunjung dengan tujuan menjaga keselamatan pengunjung. Mempersiapkan segala sarana-prasarana memadai yang dibutuhkan untuk melakukan pertolongan pada pengunjung. Contohnya peralatan P3K, perlengkapan keselamatan, seperti pelampung, ban penolong dilokasi curug, tandu, dan tali untuk tujuan penyelamatan. Menetapkan zona-zona berbahaya yang tidak boleh didatangi pengunjung. Memperingatkan pengunjung untuk mematuhi aturan-atauran keselamatan yang ditetapkan Unit Usaha Curug Tujuh Bidadari. Berkoordinasi dengan pihak lain ketika terjadi kejadian luar biasa sehingga jatuh korban. Meningkatkan kapsitas diri dibidang penyelamatan. Berkoordinasi dengan pihak-pihak luar yang berkait tugas-tugas penyelamatan, misal ambulans, pemadam kebakaran, SAR lain, dan rumah sakit.

Sie Kebersihan Bertugas dan bertanggung jawab menjaga kebersihan lingkungan objek wisata. Mengingatkan pengunjung untuk turut menjaga kebersihan lingkungan Curug. Bersama seksi perlengkapan mengadaan sarana-sarana kebersihan seperti tempat sampah di lokasi-loksi tertentu di kawasan Curug Tujuh Bidadari yang dianggap membutuhkan. Bersama seksi perlengkapan membuat ornamen-ornamen seperti taman untuk mempercantik kawasan-kawasan tertentu di Curug Tujuh Bidadari Merawat dan menjaga alat-alat kebersihan yang dimiliki sebagai bagian terpenting dari aset Unit Usaha Tujuh Bidadari.

“Sekarang saat C7B mulai menghasilkan dan bisa memberikan pendapatan bagi pengurus, walaupun tidak besar, pemilihan pengurus selalu diumumkan secara terbuka di desa. Dengan demikian, warga benar-benar merasa mendapat hak yang sama untuk bisa menjadi pengurus. Yang terakhir, ketika butuh tim SAR, pengurus mengumumkan dan meminta warga yang berminat untuk mendaftar…” (Margianto, kom. pri. 2012)

Pengorganisasian pengelolaan sumber daya alam di Desa Keseneng merupakan tahapan untuk mengatur sumber daya yang dimiliki desa agar dapat berfungsi optimal untuk mencapai tujuan bersama. Sebagaimana

dijelaskan oleh Tripathi & Reddy (2008), pengorganisasian tidak hanya dilakukan untuk menata sumber daya manusia ke dalam divisi-divisi dalam struktur organisasi, namun juga menata prasarana, peralatan, dan modal untuk mencapai tujuan pengelolaan sumber daya alam.

Sumber daya manusia yang dimiliki desa sedapat mungkin ditempatkan pada posisi yang sesuai dengan kapasitas masing-masing sehingga dapat bekerja optimal untuk mencapai tujuan bersama. Demikian pula dengan sarana, prasarana, peralatan, dan modal yang diperoleh dimanfaatkan sedemikian rupa sesuai kesepakatan bersama untuk mengembangkan desa.

EMILIA et al. – Pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat dalam konservasi DAS

91

Pelaksanaan (Actuating) Pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat

melalui desa wisata dilaksanakan bersama-sama oleh semua warga Desa Keseneng. Pelaksanaannya tidak dapat dilepaskan dari partisipasi aktif masyarakat. Ketika pembukaan objek wisata tersebut telah disepakati dalam rapat- rapat di desa, dan pada 2 Mei 2010 ditunjuk pengurus yang bertanggung jawab untuk mewujudkannya, dana belum tersedia. Padahal, untuk membuka objek wisata dibutuhkan dana yang cukup besar meskipun hanya untuk membangun sarana-prasarana sederhana.

Pada awal pengembangan objek, paling tidak dibutuhkan sarana parkir, loket, gasebo, bangku-bangku untuk istirahat, kamar mandi, jembatan, mushala, dan deretan kios. Dengan demikian, kebutuhan dasar wisatawan akan terpenuhi. Untuk mengatasi masalah pendanaan, warga yang terpilih menjadi pengurus mengumpulkan dana dari iuran dari kantong pribadi, dan terkumpul dana sebesar 20 juta rupiah. Dana tersebut hanya cukup untuk membeli bahan material yang terbatas, sedangkan untuk biaya tukang belum cukup.

Keterbatasan tersebut diatasi dengan sistem kerja bakti seperti yang terlihat pada Gambar 10. Warga tiap dusun secara bergilir melakukan kerja bakti membenahi kawasan Curug Tujuh Bidadari hingga siap dibuka. Sarana dan prasarana yang dibangun masih sangat sederhana, hanya asal tersedia tanpa mempertimbangkan segi estetika. Hal itu terjadi karena sarana dan prasarana dikerjakan secara gotong royong, tanpa tenaga ahli bidang wisata. Meski demikian, ada nilai sangat positif dari gotong royong tersebut. Warga yang selalu terlibat aktif menaruh harapan besar bahwa kawasan wisata tersebut dapat berkembang dan merasa memilikinya.

“Pada awal-awal pembukaan curug, fasilitas yang ada sangat terbatas. Contohnya belum ada gapura masuk dan tempat lokat. Saya yang bertugas sebagai penjual tiket hanya menggunakan meja kecil di pinggir jalan menuju curug. Ketika panas atau hujan, saya hanya berbekal payung. Ya ketika itu benar-banar bermodal semangat agar wisata curug berhasil karena ini usaha bersama warga desa. Begitu juga warga yang terlibat langsung dalam kerja bakti membenahi curug. Harapannya, wisata maju dan terbuka peluang usaha yang bisa menambah penghasilan warga. Kami tidak ingin wisata terhenti, apalagi seluruh warga telah bersusah payah untuk membukanya..” (Nur Kholimah, kom. pri. 2012)

Pelaksanaan CBNRM di Desa Keseneng menempatkan masyarakat sebagai tokoh utama dalam pengelolaan sumber daya alam. Seluruh warga desa berpartisipasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Masyarakat memperoleh manfaat finansial dari pengelolaan sumber daya alam, dan memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan kesejahteraan desa. Pada tahun 2011, Desa Keseneng membukukan pemasukan sebesar Rp. 307.883.000. Pendapatan sebesar itu diperoleh dari sumber-sumber seperti tiket masuk, parkir, dan retribusi warung seperti rincian pada Tabel 8. Selain pendapatan tersebut, masyarakat yang terlibat dan memperoleh manfaat ekonomi secara langsung adalah pekerja harian, pemilik warung, pemilik

homestay, dan masyarakat yang lahannya masuk dalam zonasi wisata. Tabel 8. Pendapatan CBNRM Desa Keseneng, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah Tahun 2011 Sumber Pendapatan Tiket 252.119.000 Parkir 47.003.000 Retribusi warung 3.045.000 Sewa Gazebo 1.155.000 Toilet 3.650.000 Penitipan helm 486.000 Bagi hasil home stay 100.000 Pre wedding 325.000 Jumlah 307.883.000

Penerima manfaat ekonomi secara tidak langsung

adalah seluruh warga desa melalui sistem bagi hasil dengan Persentase yang disepakati bersama pada saat perencanaan. Persentase terbesar dimanfaatkan untuk pengembangan wisata, terutama pembangunan infrastruktur. Penerima bagi hasil lainnya adalah untuk pembangunan masjid, kas desa, dan kas dusun yang semuanya dimanfaatkan untuk pembangunan sarana dan prasarana desa sehingga dapat dinikmati oleh seluruh warga desa.

Pengelolaan sumber daya alam di Desa Keseneng tidak hanya memberikan manfaat ekonomi, namun juga memberikan manfaat bagi perbaikan lingkungan. Untuk mendanai pembangunan Masjid, semula masyarakat menambang batu di bukit batu dan sungai. Kemudian disepakati untuk menghentikan penambangan, bahkan meminta pencabutan izin tambang yang sudah diberikan oleh bupati.

“Semula saya mengajukan izin ke Pemkab agar diperbolehkan membuka pertambangan batu di Desa Keseneng, melihat banyak potensi termasuk bukit-bukit warga yang sulit ditanami karena kaya akan batuan, Bisa dikatakan batu tidak habis ditambang untuk tujuh turunan. Bahkan surat izin penambangan sudah turun ke desa. Namun dengan pertimbangan bahwa penambangan batu akan merusak alam yang menjadi modal utama wisata desa, saya bersama pendamping dari Salunding, melakukan lobi ke Dinas untuk membatalkan izin tersebut. Terlebih dalam Raperda RTRW Kabupaten Semarang, izin pertambangan batu Keseneng masuk di dalamnya. Kepala Dinas Pariwisata waktu itu, Pak Agus menyambut baik dan meneruskan perjuangan kami ke insatansi terkait lainnya, seperti Bappeda dan Bidang SDA. Akhirnya, izin penambangan dibatalkan. Bahkan penambangan di larang se- Kecamatan Sumowono…” (Maskuri, kom. pri. 2012)

Untuk menjaga kelestarian sumber daya alam yang dikelola untuk wisata tersebut, masyarakat sepakat untuk membagi zonasi desa kedalam zona inti yang berfungsi sebagai kawasan lindung, zona pemanfaatan tradisional, dan zona pemanfaatan ekonomi. Kesepakatan tersebut tertuang dalam Perdes Pengembangan Desa Wisata Keseneng yang hingga saat ini masih berupa draf namun sudah mulai diimplementasikan. Masyarakat juga sepakat untuk menghentikan pengambilan ikan disungai dengan cara menyetrum atau meracun. Pengambilan ikan yang

Bonorowo Wetlands 3 (2): 73-100, December 2013

92

diijinkan hanya denngan cara memancing atau menjaring sehingga ikan-ikan berukuran kecil tetap hidup dan berkembang biak.

Pengelolaan sumber daya alam dengan pendekatan community based di Desa Keseneng membuka peluang terhadap akses dana maupun pembangunan sarana prasarana untuk menunjang kemajuan desa. Desa yang pada awalnya merupakan desa tertinggal dan tidak mendapat perhatian pemerintah, kini mulai berbenah dan tersentuh proyek-proyek pembangunan maupun aliran dana pemerintah, diantaranya adalah dana PNPM pariwisata pada tahun 2011 dan 2012, pengaspalan jalan dan pemavingan, serta pelatihan-pelatihan pengembangan kapasitas pengelolaan sumber daya alam.

Pengendalian (Controlling) Mekanisme pengendalian dalam pengelolaan sumber

daya alam di Desa Keseneng bersifat intern dan melibatkan seluruh warga secara bertahap. Setiap bulan, pengurus mengadakan rapat evaluasi yang hanya melibatkan pengurus. Dalam rapat tersebut dilakukan evaluasi untuk melihat pencapaian-pencapaian maupun kendala yang dihadapi selama satu bulan. Selanjutnya mereka merencanakan target dan tindakan-tindakan yang perlu dilakukan untuk bulan berikutnya. Selain itu, rapat juga mengevaluasi pendapatan dan rencana penggunaan anggaran. Tahap berikutnya, ketua pengurus bersama sekretaris memberikan laporan hasil evaluasi kepada kepala desa. Kepala desa memberikan masukan-masukan terkait hasil evaluasi. Selanjutnya laporan tersebut disampaikan kepada warga dalam rapat desa. Laporan yang disampaikan dalam rapat desa tersebut adalah laporan keuangan yang bertujuan menjaga transparansi cost and benefit pengelolaan sumber daya alam melalui desa wisata. Peserta rapat desa memberikan masukan-masukan dan membahas rencana pemanfaatan pendapatan wisata tersebut.

Rambu-rambu pengelolaan sumber daya alam di Desa Keseneng sebenarnya sudah tertuang dalam rancangan peraturan desa wisata. Namun setelah satu tahun penyusunannya, perdes tersebut masih berupa draf. Pemerintah desa enggan mengesahkan perdes tersebut menunggu terealisasikannya maket pengembangan desa yang terkendala pendanaan. Akibatnya, kepala desa yang berkedudukan sebagai penasehat dan pengurus organisasi pengelola memegang peranan penting dalam pengendalian dan tergantung pada niat baik mereka. Warga desa belum memiliki akses untuk melakukan pengawasan secara langsung karena belum ada sistem yang mengatur.

Peran pihak luar dalam CBNRM di Desa Keseneng Keberhasilan sebuah program, terutama di desa

memang bergantung pada keinginan kuat dan tekad masyarakat yang mendiami kawasan tersebut. Meski demikian, peranan pihak luar juga tak kalah penting dalam ikut mendukung keberhasilanya. Demikian juga CBNRM di Desa Keseneng tidak terlepas dari peran pihak luar sebagai agen perubahan (external change agent). Pihak luar tersebut perperan sebagai fasilitator yang membantu mendefinisikan masalah, memberikan saran- saran independen, ide-ide baru, keahlian teknis, memberikan

pelatihan dan bantuan teknis, memandu pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, serta membantu mengembangkan rencana pengelolaan (Pomeroy 2001). Beberapa pihak luar yang turut membantu pengembangan CBNRM di Desa Keseneng adalah Pemerintah Kabupaten Semarang, LSM, dan media massa. Setiap pihak memberikan sumbangsih, sesuai peran dan bidang masing-masing.

Pemerintah Kabupaten Semarang Peran Pemerintah Kabupaten, dalam hal ini Dinas

Pemuda, Olahraga, Budaya, dan Pariwisata (Disporabudpar) Kabupaten Semarang sangat vital bagi keberlangsungan CBNRM di Desa Keseneng. Pada awal pengembangan wisata di Desa Keseneng, Disporabudpar memberi dorongan dan dukungan moral agar warga mau bergerak dan merintis pembukaan objek wisata Curug Tujuh Bidadari.

Disporabudpar juga memfalitasi desa untuk mempengaruhi kebijakan dinas/instansi lain, termasuk DPRD untuk mendukung CBNRM dengan pendekatan wisata di Desa Keseneng. Banyak program dinas lain di Kabupaten Semarang yang berhasil disinergikan untuk mendorong CBNRM dari berbagai sisi. Disporabudpar juga ikut memfasilitasi perjuangan Desa Keseneng hingga memperoleh dukungan Pemerintah Pusat, dalam hal ini program PNPM Mandiri Pedesaan sektor wisata oleh Kementerian Ekonomi Kreatif Indonesia.

Salah satu langkah Disporabudpar paling vital dalam keberlangsungan CBNRM adalah mendorong penghapusan izin penambangan batu di Keseneng dalam Raperda RTRW Kabupaten Semarang. Peran Disporabudpar juga semakin jelas ketika dalam struktur pengelola Curug Tujuh Bidadari menjadi pelindung organisasi. Untuk memperlancar langkah pengelola, Disporabudpar juga mendorong legalitas organisasi pengelola wisata tersebut.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pendamping Semangat dan tekad yang kuat tetapi tanpa konsep yang

jelas, justru akan mendatangkan kegagalan dan perpecahan. Hal itulah yang terjadi di Desa Keseneng pada awal-awal pelaksanaan CBNRM. Banyak persoalan yang muncul, terutama saat CBNRM di Desa Keseneng telah menghasilkan/mendatangkan keuntungan bagi desa. Alokasi penggunaan dana, rencana pengembangan wisata, dan masalah-masalah lain yang menyertainya, nyaris menciptakan kegagalan dan perpecahan di masyarakat.

Pada tahap inilah pendamping desa, yaitu LSM Komunitas Salunding mengisi perannya. LSM tersebut mendorong kemandirian desa dan memberi masukan dalam penataan konsep. Hal itu menjadi fondasi dan modal dasar bagi desa untuk melangkah. Fondasi tersebut lebih terfokus pembentukan pola pikir dan penguatan kesadaran untuk mengutamakan kepentingan yang lebih besar, yakni kemajuan desa.

Komunitas Salunding memfasilitasi penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMdes 2011-1015) dan Raperdes Wisata. Dua pegangan ini menjadi kesepakatan bersama dan dijalankan Pemerintah Desa Keseneng dan pengelola wisata untuk menentukan

EMILIA et al. – Pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat dalam konservasi DAS

93

langkah-langkah advokasi, resolusi konflik, dan pegembangan ke depan. Konsep-konsep dasar dalam RPJMdes dan Raperdes Wisata yang dijalankan membuat CBNRM di Desa Keseneng tetap berjalan. CBNRM pun terus berkembang setahap demi setahap dengan berbagai kekurangan dan kelebihannya.

Media massa Keberhasilan CBNRM di Desa Keseneng dengan

pendekatan wisata, tentu tak lepas dari peran media massa. Sebab, penghasilan utama dengan pendekatan ini bergantung pada jumlah kunjungan wisatawan. Faktor ini sangat dipengaruhi oleh dikenal atau tidaknya objek tersebut oleh khalayak luas.

Hal ini dirasakan oleh Desa Keseneng. Objek dan atraksi wisata yang ditawarkan oleh Curug Tujuh BIdadari sebagai objek utama usaha desa, bisa dikatakan tidak lebih menarik jika dibanding dengan objek wisata alam daerah lain. Terlebih jika dibandingkan dengan objek wisata alam yang dikelola swasta. Namun keberpihakan media pada usaha kemandirian Desa Keseneng yang tidak semata-mata mencari keuntungan tetapi juga mengutamakan aspek penyelamatan lingkungan, menjadi kekuatan tersendiri.

Isu-isu yang dipoles, terutama kemampuan desa untuk memberdayakan diri dan lingkungannya, mampu menarik minat wisatawan untuk berkunjung. Tidak hanya wisatawan yang ingin menkmati atraksi alam, tetapi juga yang ingin mengetahui model pengelolaan yang dilakukan desa, baik lewat studi banding maupun penelitian. Gempuran pemberitaan berbagai media massa, baik cetak, eletronik, maupun cybernews, membuat kunjungan wisatawan tetap stabil dan meningkat. Dengan demikian, pundi-pundi penghasilan bagi desa juga meningkat.

Selain sebagai sarana promosi, posisi pemberitaan media juga menjadi sarana advokasi bagi Desa Keseneng untuk mendapatkan dukungan dari pihak-pihak lain. Terlebih, media massa menjadi salah satu sarana yang kuat untuk memengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu. Hubungan harmonis dengan media massa tersebut menjadi salah satu kunci keberhasilan CBNRM.

Aspek-aspek community based dalam pengelolaan sumber daya alam di Desa Keseneng keadilan (equity)

Pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat melalui desa wisata di Desa Keseneng memberikan manfaat sosial ekonomi yang lebih adil bagi masyarakat desa. Manfaat ekonomi yang diperoleh dari kegiatan pengelolaan baik secara langsung maupun tidak langsung dinikmati oleh masyarakat desa. Kegiatan pengelolaan tersebut membuka lapangan pekerjaan maupun tambahan penghasilan untuk mendukung kehidupan masyarakat.

Manfaat ekonomi secara langsung dari pendapatan wisata diterima oleh pekerja harian yang terlibat di lapangan, yaitu penjaga tiket, petugas kebersihan, juru parkir, petugas SAR, dan petugas keamanan. Mereka mendapat bagi hasil dari pendapatan tiket selama hari senin sampai sabtu. Pada hari minggu dan hari-hari libur nasional saat ramai pengunjung, semua pengurus turut bekerja di lapangan dan mereka memperoleh bagi hasil dari pendapatan pada hari tersebut.

“Saya dan pengurus yang bertugas, setiap hari mendapat upah yang berasal dari 20% dari tiket parkir pada hari itu. Terus, sebeluan sekali atau sesai kesepakatan, 20% dari seluruh pendapatan akan diberikan kepada pengurus sebagai gaji setiap minggu. Tapi itu selain dana dari kedungwali/makam kiai manduk dan kotak infak mushala, karena dananya untuk pembangunan masjid…” (Rohadi, kom. pri. 2012)

Penerima manfaat langsung dari CBNRM di Desa Keseneng adalah masyarakat desa yang membuka warung di lokasi wisata, pemilik homestay, pemilik lahan yang dimanfaatkan sebagai camping ground, dan pemilik lahan yang tanahnya masuk dalam zonasi wisata. Beberapa penerima manfaat langsung dari pendapatan wisata dan CBNRM ditunjukkan pada Gambar 11.

Distribusi keuntungan dari CBNRM Desa Keseneng tidak hanya diterima oleh masyarakat yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan, namun diperoleh juga oleh seluruh warga desa secara tidak langsung. Bagi hasil pendapatan CBNRM yang diterima oleh seluruh warga adalah bagi hasil untuk pembangunan masjid desa, kas desa dan kas dusun yang dimanfaatkan untuk pembangunan sarana dan prasarana, serta dana sosial yang diberikan pada warga yang mengalami musibah seperti sakit atau meninggal dunia. Persentase bagi hasil pendapatan PSABM Desa Keseneng seperti pada Tabel 9.

Dari Tabel 9 tersebut terlihat bahwa hasil pengelolaan sumber daya alam dinikmati oleh masyarakat desa secara lebih adil. Masing-masing, baik pengurus, pekerja, dan seluruh warga desa menerima bagiannya sesuai dengan porsi dan perannya dalam pelaksanaan CBNRM. Kondisi tersebut sesuai dengan penjelasan Keller et al. (2000) bahwa pergeseran paradigma pengelolaan sumber daya alam oleh pemerintah daerah ke pengelolaan berbasis masyarakat membantu kaum yang terpinggirkan dan terlupakan meningkatkan peran mereka dan memperoleh pendapatan dari pengelolaan sumber daya alam.

Aspek keadilan dalam CBNRM di Desa Keseneng tidak hanya pada manfaat ekonomi, namun juga mencakup wewenang dan tanggung jawab masyarakat. Wewenang untuk mengambil keputusan dan mengontrol sumber daya alam yang berada di kawasan desa sepenuhnya menjadi tanggung jawab masyarakat melalui organisasi pengelola. Masyarakat berpartisipasi penuh dalam kegiatan pengelolaan, bukan hanya menjadi penonton sebagaimana bila sumber daya alam dikelola oleh pemerintah daerah atau investor. Meskipun demikian, Desa Keseneng tetap membuka kesempatan bagi investor yang tertarik untuk berinvestasi pada kegiatan yang sesuai dengan rencana pengembangan desa wisata melalui skema bagi hasil.

Pemberdayaan (Empowerment) Pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat di

Desa Keseneng membuat masyarakat menjadi lebih berdaya baik secara politik maupun ekonomi. Pergeseran strategi pengelolaan sumber daya alam yang bersifat top down dimana pemerintah daerah memegang peranan penuh menjadi pengelolaan berbasis masyarakat merupakan upaya pemberdayaan masyarakat dan institusi lokal. Dengan demikian, masyarakat lokal pada tingkat desa

Bonorowo Wetlands 3 (2): 73-100, December 2013

94

mempunyai wewenang yang sah untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan pengawasan.

Pemerintah daerah dalam hal ini Disporabudpar Kabupaten Semarang mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada masyarakat desa (Conger & Kanungo, 1988) untuk mengelola sumber daya alam. Pemda mengambil peran sebagai fasilitator yang mendorong dan mendampingi masyarakat berpartisipasi penuh dalam pengelolaan sumber daya alam. Namun, pemda tidak memiliki cukup sumber daya manusia untuk mengawal proses-proses CBNRM di Desa Keseneng.

Untuk mengatasi keterbatasan tersebut, pemda menggandeng LSM Komunitas Salunding untuk mendampingi dan mengawal proses. Dengan dampingan Komunitas Salunding, masyarakat desa diajak untuk menata kembali pengelolaan sumber daya alam melalui perencanaan desa. Masyarakat menggali potensi yang dimiliki dan menyusun kembali rencana dan strategi pengelolaan sumber daya alam.

“Saya selaku pamong budaya di Kecamatan Sumowono ingin masyarakat tidak bergantung kepada Pemkab. Karena itu saya mengajak rekan-rekan Salunding yang menguasai berbagai metode dan sudah memiliki pengalaman untuk mendampingi Desa Keseneng. Tujuannya, meningkatkan kemandirian desa dan kemampuan manajemen dalam mengelola wisata alam di desa…” (Tri Subekso, kom. pri. 2012)

Masyarakat Desa Keseneng menjadi lebih berdaya, dalam artian memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk mengelola sumber daya alam serta wewenang untuk mengambil keputusan. Kondisi tersebut selaras dengan pernyataan Budiati (2012) yang mendefinisikan pemberdayaan sebagai perolehan kekuatan dan akses terhadap sumber daya untuk mencari nafkah, termasuk dalam perspektif politik sebagai kekuatan dan kemampuan untuk mempengaruhi orang lain.

CBNRM memberikan akses untuk mencari nafkah dari pengelolaan sumber daya bagi sebagian warga, terutama pekerja harian dan pedagang. Mereka umumnya berprofesi sebagai petani dan buruh tani yang berpenghasilan kecil. Mereka menjadi lebih berdaya secara ekonomi sehingga memberikan efek domino positif untuk lebih meningkatkan sumber daya manusia dan lebih berdaya secara politik. Tabel 9. Bagi hasil CBNRM Desa Keseneng, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah Persentase(%)

Penerima Keterangan

35 Pengembangan wisata

Dimanfaatkan sesuai keperluan

20 Upah pekerja Dibayarkan setiap minggu 10 Kas desa Dimanfaatkan sesuai keperluan 8 Masjid Setiap bulan, ditambah pendapatan

kotak infak mushola dan makam Kyai Mandung

8 Dana sosial Dimanfaatkan sesuai keperluan 5 Kesenian Dimanfaatkan sesuai keperluan 5 Zonasi Dibayarkan setahun sekali 5 Kesehatan/asuransi Sesuai keperluan 3 Kas dusun Dibayarkan setahun sekali 1 Keamanan/Muspika Sesuai keperluan

Gambar 8. Perencanaan desa

Gambar 10. Kerja bakti mempersiapkan lokasi wisata

Gambar 11. Pedagang menerima manfaat langsung pengelolaan sumber daya alam

EMILIA et al. – Pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat dalam konservasi DAS

95

Gambar 12. Hasil pelatihan kerajinan bambu

Untuk mendukung keberhasilan pengelolaan sumber daya alam diperlukan sumber daya manusia yang mumpuni, karena itu berbagai pelatihan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat dilakukan. Beberapa pelatihan yang sudah dilakukan adalah pelatihan manajemen organisasi, guiding, pembuatan kerajinan bambu, pembuatan gula semut, dan pengemasan gula aren. Berbagai pelatihan tersebut meningkatkan kemampuan dan keberdayaan warga dalam mengelola sumber daya alam yang dimilikinya. Salah satu upaya pemberdayaan dengan meningkatkan nilai guna sumber daya alam seperti pada Gambar 12.

Resolusi konflik (Conflict resolution) Pengelolaan sumber daya alam dengan fokus wisata di

Desa Keseneng tak lepas dari konflik, namun dapat dikelola dengan baik melalui skema CBNRM yang dijalankan. Bahkan konflik yang muncul mengancam keberlangsungan pengelolaan tersebut. Karena itu, resolusi konflik merupakan bagian erat yang tak terpisahkan dari pengelolaan Desa Wisata Keseneng. Ada beberapa konflik yang muncul dalam perjalanan Desa Wisata Keseneng. Konflik-konflik tersebut muncul baik dengan pihak luar desa maupun konflik internal desa.

Konflik eksternal yang muncul adalah perebutan pengelolaan Curug Paleburgongso dengan Desa Gondang, kecemburuan desa-desa tetangga karena dilewati wisatawan yang akan mengunjungi Curug Tujuh BIdadari, dan ketidakkonsistenan dukungan pemerintah di atasnya yang mengancam keberlangsungan Desa Wisata Keseneng.

Sementara itu, konflik internal berupa penolakan para pemilik lahan di kawasan wisata dan sekitarnya untuk menjaga kelestarian, ketidakpercayaan warga terhadap pengelolaan hasil wisata, serta kecemburuan warga yang tidak mendapat manfaat langsung dari desa wisata. Konflik itu sudah mencapai tahap ketidakpercayaan warga terhadap pengurus dan wacana penutupan area wisata Curug Tujuh Bidadari.

Terkait berbagai permasalahan tersebut, pemerintah desa melakukan berbagai bentuk tindakan dalam rangka resolusi konflik. Salah satunya adalah lobi untuk

menyelesaikan sengketa pengelolaan Curug Paleburgongso. Sengketa yang semula mengarah pada perusakan lingkungan oleh warga Dusun Keseseh Desa Keseneng untuk memboikot upaya pembukaan kawasan tersebut oleh Desa Gondang Kecamatan Limbangan, dapat diselesaikan dengan baik. Lobi ke Desa Gondang menghasilkan kesepakatan bersama pengelolaan kawasan lewat persaingan yang sehat.

Desa Gondang membenahi dan membangun fasilitas wisata dari arah wilayahnya. Sebaliknya, pihak Desa Keseneng akan mengembangkan berbagai sarana dan fasilitas untuk menarik wisatawan dari arah wilayahnya. Keberhasilan lobi tersebut berhasil meredam konflik dan kedua belah pihak sama-sama menjaga kondisi kawasan tersebut demi tujuan bersama, yakni usaha berbasis wisata alam.

Lobi juga dilakukan untuk memperkuat dukungan Pemerintah Kabupaten. Salah satu kebijakan kabupaten yang saat itu mengancam adalah tahap penyusunan Raperda RTRW akhir 2010, di mana Desa Keseneng termasuk wilayah yang diperbolehkan untuk penambangan batu. Kondisi ini tentu mengancam keberlangsungan pembanguan berkelanjutan berbasis wisata alam. Karena itu, Pemerintah Desa Keseneg melakukan lobi ke berbagai pihak untuk menghapuskan izin penambangan batu tersebut dari draf Raperda RTRW. Lobi untuk memperoleh dukungan tersebut membuahkan hasil. Hingga akhirnya dalam Perda RTRW Kabupaten yang disahkan pada tahun 2011, tidak terdapat lagi penambangan batu, bahkan Kecamatan Sumowono secara keseluruhan tertutup bagi penambangan.

“Dalam Perda RTRW, pengembangan wisata sumowono diarahkan menjadi wisat aterbatas berbasis masyarakat. Pendirian hotel, losmen, dan tempat hiburan lain seperti karaoke tidak diperbolehkan. Penginapan yang beleh dibuka hanya home stay dan wisata desa. Tujuannya agar atraksi wisata benar-benar dapat menyejahterakan warga. Kami tidak ingin hal yang terjadi seperti di Bandungan juga terjadi di Sumowono, yakni objek dikuasai orang luar yang bermodal besar, sementara warga hanya menjadi buruh di daerah sendiri…” (Tri Subekso, kom. pri. 2012)

Langkah resolusi konflik yang kedua adalah lewat penyaluran bagi hasil, baik untuk mengatasi permasalahan eksternal dengan desa-desa tetangga, terutama yang dilalui wisatawan saat menuju kawasan wisata maupun dengan warga desa.

Ketika banyak wisatawan datang ke Desa Keseneng, kecemburuan tidak bisa dihindari. Desa-desa tetangga yang dilewati mulai mengeluhkan arus lalu lintas wisatawan yang tidak memberikan kontribusi pada desa mereka. Karena itu, sering ada penutupan jalan karena kegiatan desa dan dilakukan pengalihan arus. Namun wisatawan yang lewat dijalur alternatif tersebut dipungut biaya. Hal ini tentu membuat wisatawan kurang nyaman.

Mengatasi kondisi tersebut Pemerintah Desa Keseneng melakukan pendekatan dengan memberikan bagi hasil dari pendapatan wisata. Meskipun tidak besar nilainya, hal itu membawa perubahan yang signifikan. Ketika ada acara di desa tetangga dan terpaksa dilakukan penutupan jalur

Bonorowo Wetlands 3 (2): 73-100, December 2013

96

utama, desa tetangga menyediakan jalur alternatif tanpa ada pungutan. Bahkan, desa tak segan memberikan tanda/petunjuk menuju Curug Tujuh Bidadari.

“Salah satu lobi yang kami lakukan terhadap desa tetangga, terutama yang jalurnya dilalui wisatawan yang akan ke Desa Keseneng adalah memberi kontribusi dana sosial yang disisihkan dari penghasilan wisata C7B. Dengan demikian, warga desa lain yang dilalui wisatawan justru mendukung pengembangan C7B…” (Maskuri, kom. pri. 2012)

Bagi hasil juga mengatasi konflik yang muncul internal desa, yakni antara pengelola wisata dengan pemilik lahan yang terkena zonasi wisata. Para pemilik lahan merasa dirugikan karena diwajibkan menjaga kelestarian lahan masing-masing agar tempat wisata tetap indah. Bahkan banyak di antara mereka yang akan memboikot aturan tersebut dengan cara mengubah kondisi lahan, misalnya menebangi pohon yang ada. Hal itu terjadi karena mereka belum mendapat manfaat dari penghasilan curug. Untuk meredam konflik tersebut, pengelola dan pemerintahan desa mengalokasikan dana bagi hasil bagi para pemilik lahan. Dana tersebut diberikan setahun sekali. Setelah bagi hasil ini dijalankan, konflik mereda.

Bagi hasil juga diterapkan untuk meredam konflik antardusun. Sebab, warga dua dusun, yakni Keseseh dan Telawah, merasa dianaktirikan. Menurut warga, manfaat kawasan wisata hanya untuk warga Dusun Keseneng. Hubungan antarwarga pun menjadi renggang. Hal ini menghambat program pengelolaan alam untuk atraksi wisata, mengingat lahan-lahan warga Telawah berada di perbukitan yang menyangga kawasan Curug Tujuh Bidadari. Ada juga lahan-lahan di sekitar kawasan yang menjadi milik warga Keseseh. Karena itu, bagi hasil juga dialokasikan untuk tingkat dusun, di mana dana tersebut dapat digunakan untuk pembangunan dusun.

“Sekarang kami di Dusun Telawah tengah memperbaiki jalan utama dusun. Karena itu, kami diperbolehkan oleh Kepala Desa mengambil dana bagi hasil C7B sebelum akhir tahun. Sebab, dana tersebut mendesak untuk menambah dana alokasi desa yang tidak cukup untuk memperbaiki seluruh ruas jalan utama tersebut…” (Mbah Sabar, kom.pri. 2012)

Resolusi konflik yang tak kalah penting adalah tranparansi pemerintahan desa dan pengelola objek wisata. Transparansi lewat administrasi yang baik dan pelaporan berkala tentang pendapatan dan penggunaan dana hasil wisata, memperkuat akuntabilitas, kredibilitas, dan dukungan warga terhadap pengelola wisata desa. Isu ketidakpercayaan dan wacana penutupan objek wisata oleh warga desa, menjadi pupus setelah transparansi pelaporan pengelolaan desa, dirasa sesuai dengan kenyataan yang warga temui sehari-hari. Warga juga sudah merasakan manfaat pengelolaan sumber daya alam secara langsung maupun tidak langsung.

Upaya resolusi konflik lainnya menyentuh level individu per individu warga desa. Untuk meredam ketidakpuasan dan tudingan soal monopoli pengelolaan wisata oleh segelintir warga, masyarakat memperoleh kesempatan terlibat aktif mengelola dan memanfaatkan peluang yang timbul setelah wisatawan ramai berkunjung.

Caranya, pemerintah desa mendorong pengembangan usaha-usaha lain yang dikelola oleh warga di luar pengurus wisata. Usaha itu berupa pengelolaan warung yang diserahkan kepada unit tersendiri dengan keanggotaan yang bersifat terbuka. Artinya, warga yang berminat bisa membuka kios di objek wisata dengan modal sendiri. Pengelola dan pihak desa menyediakan lahan dan rancangan bentuk kios agar seragam. Kemudian, didorong pembukaan- pembukaan homestay di rumah-rumah warga Dusun Keseneng. Bahkan untuk menjangkau warga di dua dusun lain, didorong pengembangan usaha penunjang, seperti industri gula aren di Telawah dan kerajinan bambu di Keseseh. Pemerintah desa dengan dukungan pihak luar, membantu pendanaan dan pelatihan. Bahkan untuk Dusun Keseseh didorong mengembangkan objek wisata, yakni mulai merintis pembukaan Curug Paleburgongso dari jalur Desa Keseneng.

“Kami mulai melebarkan jalan menuju Curug Paleburgongso yang semula lebar setengah meter menjadi tiga meter. Kami juga tengah mempersiapkan berbagai fasilitas wisata dari arah Dusun Keseseh agar wisatawan yang akan berkunjung ke Paleburgongso mau melalui dusun kami. Saya dan beberapa warga juga sudah berlatih dan mulai bisa membuat kerajinan bambu untuk suvenir wisata. Harapannya, wisata di Keseseh juga dapat berkembang seperti di C7B dan banyak warga yang mendapat manfaat langsung. Warga bahkan banyak yang sudah berencana membuka warung untuk wisatawan. (Amin Sobirin, kom. pri. 2012 )

Dengan demikian, semakin banyak warga yang terlibat dan warga memperoleh kesempatan yang sama. Selain itu, pergantian personel atau kebutuhan tenaga tambahan di organisasi inti pengelola kawasan wisata Curug Tujuh Bidadari juga mulai diumumkan secara terbuka.

Berdasar uraian tersebut, CBNRM di Desa Keseneng memberikan kontribusi positif dalam resolusi konflik pengelolaan sumber daya alam. Sebagaimana dijelaskan oleh Keller et al. (2000), penanganan perselisihan antara masyarakat lokal maupun kepentingan atas sumber daya alam yang lebih besar baik pada tingkat lokal, daerah, bahkan nasional merupakan salah satu aspek yang dapat dibidik melalui pengelolaan dengan pendekatan community based.

Pengetahuan dan kesadaran (Knowledge and awareness) CBNRM membuka peluang-peluang ekonomi baru

yang tidak merusak lingkungan, sebaliknya mendukung pelestarian lingkungan. Kearifan lokal yang sudah ada dipadukan dengan pengetahuan ekologi dan manajemen modern untuk mengelola potensi sumber daya alam yang dimiliki.

Masyarakat Desa Keseneng secara turun-temurun sudah mengelola sumber daya yang dimiliki secara arif, terutama pada tata guna lahan. Sebagian besar lahan berbukit-bukit dengan kelerengan tinggi merupakan hutan rakyat dengan berbagai tanaman keras dan tanaman lain seperti bambu dan aren. Sawah dan tegalan hanya pada lahan-lahan yang datar atau dengan kelerengan rendah seperti pada Gambar 13.

EMILIA et al. – Pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat dalam konservasi DAS

97

Gambar 13. Tata guna lahan Desa Keseneng, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah

Tata guna lahan semacam itu menjauhkan Desa Keseneng dari bahaya banjir dan kelestarian lingkungan tetap terjaga. Namun, pada sisi lain perekonomian tidak berkembang dan tingkat kemiskinan tinggi. Karena desakan perekonomian tersebut, masyarakat mulai membuka lahan dengan kelerengan tinggi untuk ditanami tanaman pertanian. Kearifan lokal yang diwarisi secara turun-temurun tidak diterapkan lagi karena dikalahkan oleh kepentingan ekonomi.

Lahan-lahan dengan kelerengan tinggi berubah menjadi sawah tadah hujan atau tegalan. Meskipun demikian, konversi hutan rakyat untuk ditanami tanaman pangan tetap tidak mampu menyejahterakan masyarakat desa. Sebaliknya, Desa Keseneng justru menuai bencana. Erosi lahan meningkat dan beberapa kali terjadi banjir serta tanah longsor. Melalui CBNRM, mereka menyadari bahwa peningkatan kesejahteraan tidak harus mengorbankan lingkungan. Sebaliknya, masyarakat memperoleh manfaat ekonomi dengan melestarikan lingkungan dan sumber daya alam yang dimiliki. Mereka memadukan kearifan lokal yang sudah diwariskan turun-temurun dengan pengetahuan modern yang diperoleh melalui interaksi dengan pihak lain maupun belajar dari praktek pengelolaan yang dijalankan. Masyarakat desa juga menyadari bahwa keberlanjutan lingkungan desanya terkait erat dengan desa-desa tetangganya dalam satu ekosistem sehingga mereka juga berusaha membangun kerja sama untuk melestarikan lingkungan.

Perlindungan keanekaragaman hayati (Biodiversity protection)

Perlindungan keanekaragaman hayati menjadi salah satu capaian CBNRM di Desa Keseneng. Pemanfaatan sumber daya alam sebagai tujuan wisata mendorong masyarakat untuk mengelola lingkungan dan melindungi keanekaragaman hayati beserta habitatnya. Beberapa kegiatan yang dilakukan adalah penghentian tambang batu, pelarangan mengambil ikan dengan racun dan listrik, penghijauan, dan zonasi desa.

Desa Keseneng kaya akan batuan, baik batu sungai maupun batu gunung. Selain batu-batu yang berada pada

aliran sungai, di desa tersebut terdapat banyak bukit batu. Melihat potensi tersebut, masyarakat banyak yang menambang batu untuk keperluan pribadi maupun komersial. Bahkan beberapa orang sudah mengantongi izin tambang dari kepala daerah.

Sejak CBNRM dilaksanakan, mereka menyadari bahwa tambang batu dalam skala besar akan merusak lingkungan desa dan sungai. Hilangnya batuan dari sungai dan perbukitan akan mempertinggi laju erosi yang berakibat pada kerusakan lingkungan. Pengangkutan batu keluar desa juga membuat sarana jalan yang ada lebih cepat rusak. Selain itu, tambang batu juga berisiko mengancam keselamatan pekerjanya. Karena itu, masyarakat desa menghentikan kegiatan tambang komersial, bahkan meminta bupati untuk mencabut izin yang sudah dikeluarkan. Penambangan hanya boleh dilakukan dalam skala kecil untuk keperluan pribadi atau pembangunan sarana-prasarana desa.

“Sekarang warga hanya menambang untuk keperluan sendiri seperti membangun rumah. Itu pun hanya boleh mengambil batu besar yang ada di permukaan tanah, tidak boleh melakukan penggalian.” (Rohadi, kom. pri. 2012)

Sungai-sungai yang mengalir di Keseneng selain penuh dengan batuan, juga menjadi habitat berbagai jenis ikan yang menjadi salah satu sumber pemenuhan gizi masyarakat desa. Awalnya, masyarakat boleh mengambil ikan-ikan di sungai dengan cara apapun, baik memancing, menjala, meracun, maupun menyetrum. Umumnya pencari ikan memilih cara cepat dan praktis, yaitu dengan racun atau listrik. Akibatnya, ikan- ikan kecil yang belum layak konsumsi ikut mati sehingga populasi ikan di sungai semakin menurun.

CBNRM mendorong masyarakat untuk menghentikan praktik pemanfaatan sumber daya alam yang tidak ramah lingkungan tersebut. Pelarangan mengambil ikan dengan racun dan listrik diberlakukan di Desa Keseneng. Untuk memulihkan populasinya, benih-benih ikan ditebar di sungai. Masyarakat desa mengambil ikan hanya dengan memancing atau menjala sehingga kelestarian ikan-ikan tetap terjaga.

Perlindungan terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistemnya didorong dengan kesepakatan untuk melestarikan daerah kiri kanan sungai dan sekitar mata air . Kesepakan tersebut tertuang dalam draf peraturan desa (perdes). Meskipun perdes tersebut belum ditetapkan, daerah kanan kiri sungai di sekitar Curug Tujuh Bidadari sudah menjadi daerah lindung. Pemilik lahan tidak diperkenankan mengalihfungsikan menjadi lahan pertanian. Sebagai kompensasinya, pajak tanah dibayar dari pendapatan wisata dan pemilik lahan memperoleh bagi hasil pada akhir tahun.

CBNRM terus dikembangkan pada sektor lain yang mendukung desa wisata dan konservasi lahan. Peningkatan nilai ekonomi gula aren dan kerajinan bambu mendorong masyarakat untuk tidak mengalihfungsikan hutan rakyat yang masih ada. Sebab, dengan menjaga dan memanfaatkan hutan rakyat, justru masyarakat mendapat hasil yang lebih besar. Beberapa tempat dengan kelerengan tinggi yang sudah telanjur dibuka untuk ditanami tanaman pangan mulai dihijaukan kembali melalui program

Bonorowo Wetlands 3 (2): 73-100, December 2013

98

penghijauan dari pemerintah. Gambaran lahan yang dihijaukan dan kebun bibit ditunjukkan pada Gambar 14.

“Kini warga mulai sadar untuk menghijaukan kembali lahan-lahan yang gundul. Lewat kelompok tani dan mendapat dukungan pemerintah, saat ini desa menyiapkan 60.000 bibit tanaman jabon dan sengon laut untuk ditanam di seluruh desa..” (Mursalim, kom. pri. 2012)

CBNRM banyak mendapat kritik sebagai retorika belaka dan lebih banyak gagal dari pada sukses (Keller et al. 2000; Blaikie 2006; Isyaku 2011). Tujuan sosial ekonomi umumnya lebih diprioritaskan dan lebih mudah dicapai sehingga meminggirkan tujuan konservasi (Keller et al. 2000). Meskipun demikian, di beberapa tempat, CBNRM berhasil dilakukan dan mampu menyeimbangkan pencapaian tujuan sosial, ekonomi, maupun konservasi (Keller et al. 2000 ; Blaikie 2006).

Pada kasus di Desa Keseneng, pencapaian CBNRM pada aspek sosial dan ekonomi mampu mendorong perlindungan lingkungan dan keanekaragaman hayati beserta habitatnya.

Pemanfaatan berkelanjutan (Sustainable utilization) Desa Keseneng belum melakukan kerjasama dengan

desa-desa lain dalam kawasan DAS Bodri hulu, terutama desa-desa yang lebih tinggi dan menjadi hulu dari sungai-sungai yang mengalir melalui desa tersebut untuk menjamin pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan.

CBNRM dengan pendekatan desa wisata di Keseneng memberikan manfaat ekonomi yang cukup besar bagi masyarakat desa. Selain memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat juga berkontribusi terhadap pembangunan desa. Keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam tersebut terkait erat dengan perlindungan keanekaragaman hayati (biodiversity protection).

Berbagai upaya perlindungan keanekaragaman hayati dilakukan warga Keseneng untuk menjamin keberlanjutan manfaat ekonomi yang diperoleh. Meskipun demikian, karena sumber daya alam yang dikelola merupakan bagian kecil dari daerah aliran sungai dan bukan dibatasi oleh batas administrasi desa, perlindungan yang dilakukan seharusnya termasuk daerah-daerah diatasnya. Kondisi sungai dan air terjun yang merupakan unggulan desa wisata dipengaruhi oleh kondisi lingkungan daerah-daerah tersebut.

Untuk menjamin keberlanjutan manfaat ekonomi tersebut, kondisi lingkungan dan keanekaragaman hayati harus tetap dijaga. Kerusakan lingkungan dan keanekaragaman hayati merupakan penghalang utama pembangunan ekonomi (Munasinghe, 1993). Tujuan ekonomi dan sosial hanya akan tercapai sesaat bila lingkungan rusak. Sebaliknya, lingkungan dan sumber daya alam yang lestari akan mendukung pembangunan ekonomi dan sosial.

Model implementasi CBNRM dalam Konservasi DAS CBNRM berkembang sejak tahun 1980-an dan sangat

populer pada dekade berikutnya karena menjadi fokus hampir semua lembaga donor internasional. Meskipun demikian, CBNRM mendapat banyak kritikan dan sebagian besar dianggap gagal ( Keller et al. 2000; Blaikie 2006). Pada umumnya, CBNRM tidak dapat memberikan manfaat

yang diharapkan bagi masyarakat, yakni pemberdayaan masyarakat, kesejahteraan, dan kelangsungan lingkungan agar dapat menjadi modal pembangunan berkelanjutan.

Gambar 14. Penghijauan dilakukan pada lahan dengan kelerengan tinggi yang telanjur dikonversi menjadi lahan tanaman pangan.

Kegagalan dipicu sisi kepentingan peningkatan kesejahteraan. Biasanya, usaha berbasis pemanfaatan sumber daya alam yang berhasil, menumbuhkan keinginan para pelakunya untuk mendapat hasil lebih. Namun hal itu tanpa kesadaran bahwa daya dukung lingkungan terbatas.

Kedua, CBNRM gagal karena persiapan yang kurang matang, terutama perencanaan di level pengelola atau masyarakat yang melaksanakan program tersebut. Faktor ketiga, inisiatif program CBNRM tidak dari masyarakat, tetapi dari luar tanpa proses tranfer kesadaran di tingkat lokal. Akibatnya, tidak muncul inisiasi dan kesadaran dalam proses pengelolaan. Semua faktor tersebut menimbulkan berbagai penyimpangan, dengan muara pemanfaatan sumber daya alam yang melebihi daya dukungnya sehingga CBNRM akhirnya gagal.

Pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat di Desa Keseneng mampu mengatasi ketiga faktor penyebab kegagalan tersebut. Persiapan yang matang pada tingkat masyarakat melalui community building mampu membangun masyarakat yang berdaya serta memiliki pengetahuan dan kesadaran ekologi. Mereka berkeinginan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik untuk meningkatkan kesejahteraan dengan tetap memperhatikan daya dukung lingkungan, bahkan berupaya meningkatkan daya dukungnya.

Inisiatif program berasal dari masyarakat desa dan menjadi cita-cita bersama sehingga ada keinginan untuk mewujudkannya bersama-sama. Aktifitas-aktifitas pengelolaan dilakukan secara partisipatif dengan proses yang melibatkan seluruh komponen anggota, yaitu warga desa. Komitmen yang kuat untuk menjalankan CBNRM mendorong warga desa untuk aktif berperan serta baik dengan menyumbangkan tenaga, pemikiran, maupun pendanaan pada awal program.

EMILIA et al. – Pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat dalam konservasi DAS

99

Pihak luar berfungsi sebagai fasilitator dan katalisator yang mendorong dan memfasilitasi aspek-aspek yang belum dimiliki masyarakat desa. Fasilitator membantu memandu proses-proses di desa, terutama pada tahap perencanaan sehingga dapat memadukan pengetahuan lokal dengan manajemen modern dalam pengelolaan sumber daya alam.

Penerapan CBNRM di Desa Keseneng merupakan program pengelolaan sumber daya alam yang berhasil memenuhi aspek-aspek manajemen yang baik, yaitu planning, organizing, actuating dan controlling (George, 1953 dalam Tripathi dan Reddy 2008). Antara satu aspek dengan aspek lainnya saling mendukung dan memengaruhi.

Dalam proses manajemen tersebut, pengelolaan sumber daya alam di Desa Keseneng juga berhasil memberikan kontribusi positif pada aspek-aspek community based dalam bidang ekonomi, sosial, maupun lingkungan, yaitu equity, empowerment, conflict resolution, knowledge and awareness, serta biodiversity protection (Keller et al. 2000). CBNRM di Desa Keseneng mampu menyeimbangkan dua kepentingan yang sering dipertentangkan, yaitu masyarakat dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan (Blaikie 2006). Berdasarkan fungsi-fungsi atau aktifitas pengelolaan dan analisis aspek-aspek CBNRM, model konseptual CBNRM di Desa Keseneng tersebut ditunjukkan pada Gambar 15.

Kontribusi positif CBNRM di Desa Keseneng pada aspek lingkungan tidak hanya berpengaruh pada tingkat lokal desa, namun lebih jauh memberikan pengaruh positif pada konservasi DAS Bodri hulu dimana Desa Keseneng berada. Sebagaimana dijelaskan oleh Uphoff (1998), bahwa ekosistem lokal terhubung secara signifikan dengan ekosistem yang lebih besar. Karena itu, konservasi pada bagian sumber daya alam tertentu tidak hanya baik secara lokal, namun baik untuk semua komunitas yang terhubung dengannya.

Keberhasilan pengelolaan lingkungan dengan CBNRM di Desa Keseneng sekaligus memenuhi tujuan pengelolaan DAS sebagaimana dijelaskan oleh Wulandari (2007), yaitu: (i) dengan dipertahankannya hutan rakyat di Desa Keseneng maka stabilitas tata air di wilayah tersebut dapat ditingkatkan (ii) selanjutnya stabilitas tanah turut meningkat karena tutupan hutan di atasnya sehingga proses degradasi lahan dapat dikendalikan; (iii) Pendapatan petani meningkat baik secara individu maupun komunal dengan adanya alternatif pendapatan dari CBNRM; (iv) perilaku masyarakat untuk melakukan konservasi yang mengendalikan aliran permukaan dan banjir meningkat.

Meskipun demikian, pengelolaan lingkungan di Desa Keseneng tidak dapat berdiri sendiri dan tidak dapat menjamin pemanfaatan berkelanjutan (sustainable utilization) bila hanya dilakukan sendiri tanpa didukung desa-desa tetangganya di kawasan DAS Bodri hulu, terutama desa-desa yang menjadi hulu sungai-sungai yang mengalir di Keseneng. Desa-desa tersebut antara lain yang termasuk Kabupaten Semarang Desa Pledokan, Piyanggang, Kemawi, Sumowono, Banyukuning, dan Desa Gondang Kabupaten Kendal.

Gambar 15. Model konseptual CBNRM di Desa Keseneng

Pada kawasan DAS Bodri, bagian hulu sebagian besar berada di Kabupaten Temanggung, dan sebagian kecil berada di Kabupaten Semarang dan Kota Semarang. Ekosistem desa-desa penyusun DAS Bodri hulu tersebut saling tergantung satu sama lain sehingga perubahan atau kerusakan lingkungan pada salah satu desa akan berpengaruh pada desa lainnya dan DAS Bodri secara keseluruhan.

Kondisi ekologis pada bagian hulu akan membawa ekternalitas bagi daerah yang berada di hilirnya. Karena itu program konservasi kawasan DAS Bodri memerlukan manajemen pada tingkat kawasan DAS. Sistem yang lebih besar tersusun atas sistem-sistem kecil. Sebaliknya, sistem- sistem kecil tergantung pada sistem yang lebih besar untuk bertahan. Jadi tingkat yang berbeda saling membutuhkan satu sama lain.

CBNRM dapat dipandang sebagai penghubung sistem mikro pengelolaan sumber daya alam pada tingat desa dengan sistem makro tingkat kawasan daerah aliran sungai. Hutan, tanah, air, dan sumber daya biologi pada setiap desa merupakan lingkungan mikro yang menopang sistem yang lebih besar, yaitu lanskap dan daerah aliran sungai, bahkan pada tingkat regional, nasional, dan internasional (Uphoff, 1998).

Terpenuhinya tujuan pengelolaan sumber daya alam melalui CBNRM baik secara ekonomi, sosial, maupun lingkungan merupakan jaminan terpenuhinya pembangunan berkelanjutan. Melalui CBNRM, sumber daya alam dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dalam jangka waktu yang lama sehingga dapat memberikan manfaat bagi generasi-generasi mendatang. Model implementasi CBNRM dalam konservasi DAS yang diusulkan ditunjukkan pada Gambar 16.

Bonorowo Wetlands 3 (2): 73-100, December 2013

100

Gambar 16. Model Implementasi CBNRM dalam mendukung konservasi DAS

KESIMPULAN

Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: (i) Desa Keseneng sudah melakukan fungsi-fungsi/aktifitas pengelolaan sumber daya alam yang meliputi perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating), dan pengendalian (controlling) dengan baik. Masyarakat mampu mengelola sumber daya alam secara partisipatif dan mandiri. Adapun pihak luar yang turut berperan adalah Pemkab Semarang, LSM Komunitas Salunding dan media massa. Pemkab Semarang memberikan dukungan moral dan kebijakan, Komunitas salunding memfasilitasi perencanaan dan mendampingi proses-proses di desa, serta media massa membantu publikasi dan advokasi. (ii) CBNRM di Desa Keseneng mampu menyeimbangkan tujuan pemberdayaan masyarakat dan konservasi sumber daya alam pada lima dari enam aspek CBNRM, yaitu keadilan (equity), pemberdayaan (empowerment), resolusi konflik (conflict resolution), pengetahuan dan kesadaran (knowledge and awareness), serta perlindungan keanekaragaman hayati (biodiversity protection). Sedangkan pada aspek pemanfaatan sumberdaya alam berkelanjutan (sustainable utilization) belum berhasil karena keberlanjutan sumber daya alam tidak dibatasi oleh batas-batas administratif melainkan batas ekologis DAS, serta dipengaruhi oleh faktor ekternalitas, terutama pengelolaan DAS hulu. (iii) Model konseptual CBNRM di Desa Keseneng sebagaimana digambarkan pada Gambar 15 merupakan penghubung sistem mikro pengelolaan sumber daya alam tingkat desa dengan sistem makro kawasan DAS. Untuk mendukung konservasi DAS diusulkan replikasi model tersebut pada

desa-desa di DAS hulu dan kerjasama antardesa dalam kawasan sebagaimana digambarkan pada Gambar 16.

DAFTAR PUSTAKA

Armitage D. 2005. Adaptive capacity and community-based natural resources management. Environ Manag 35 (3): 703-715.

Blaikie P. 2006. Is Small Really Beautiful? Community Based Natural Resources Management in Malawi and Bostwana. World Development 34 (11): 1942-1957.

BPDAS Pemali Jratun. 2010. Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Jragung Tuntang, Semarang.

Budiati L. 2012. Good Governance dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ghalia Indonesia, Bogor.

Chambers R. 1992. Rural Appraisal: Rapid, Relaxed and Participatory. Institute of Development Studies.

Conger JA, Kanungo RN. 1988. The Empowerement Process: Integrating Theory and Practice. Acad Manag Rev 13 (3): 471-482.

Friedmann J. 1993. Toward a Non Euclidian Mode of Planning. J Amer Plan Assoc 59 (4): 482-485.

Isyaku U, Chindo M, Ibrahim M. 2011. Assesing community-based natural resources management at Lake Naivasha, Kenya. Environ Nat Resour Res 1 (1): 106-116.

Keller SR, Mehta JN, Ebbin SA, Lichtenfeld LL. 2000. Community Natural Resources Management: Promise, Rhetoric, and Reality. Soc Natr Resour 13: 705-715.

Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor; SK.328/Menhut-II/2009 Tentang Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas dalam Rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2010-2014.

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.

Miles MB, Huberman AM. 1992. Analisis Data Kualitatif. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Monografi Desa Keseneng. 2010. Monografi Desa Keseneng. Pemerintah Desa Keseneng, Semarang

Munasinghe M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. The World Bank, Washington DC.

Nugroho SP. 2003. Pergeseran kebijakan dan paradigma baru dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Indonesia. Jurnal Teknologi Lingkungan 4 (3): 136-142.

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Sanders D. 1992. Soil Conservation Asia: An Interpretation Perspective. Austr J Soil Water Conser 5 (3): 45-60.

Soemarwoto O. 1989. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan, Jakarta.

Tripathi PC, Reddy PN. 2008. Principles of Management. 4 ed. Tata McGraw-Hill Publ Co Ltd, New Delhi.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang.

Undang-Undang Republik Indonesia No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Uphoff N. 1998. Community Based Natural Resource Management: Conecting Micro and Macro Processes, and People with Their Environments’, Plenary Presentation International CBNRM Workshop, Washington DC, 10-14 May 1998.

Wulandari C. 2007. Penguatan Forum DAS sebagai Sarana Pengelolaan DAS secara Terpadu dan Multipihak. Prosiding Lokakarya Sistem Informasi Pengelolaan DAS: Inisiatif Pengembangan Infrastruktur Data. IPB dan CIFOR, Bogor.

Zoebisch M, Cho KM, Hein S, Mowla R. (eds.) 2005. Integrated Watershed Management (Studi and Experiences from Asia). Asian Institute of Technology, Pathumthani, Thailand.

Bonorowo Wetlands 3 (2): 101-113, December 2013 ISSN: 2088-110X, E-ISSN: 2088-2475DOI: 10.13057/bonorowo/w030203

1

Populasi dan habitat monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) diKawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo, Surabaya

Population and habitat of long-tailed macaque (Macaca fascicularis) in Wonorejo MangroveEcotourism, Surabaya

INDIRA WAHYU SEPTA ANGGRAENI, DONES RINALDI, ANI MARDIASTUTIDepartemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor 16680, Jawa Barat

Manuskrip diterima: 7 Agustus 2013. Revisi disetujui: 30 Oktober 2013.

Abstract. Anggraeni IWS, Rinaldi D, Mardiastuti A. 2013. Population and habitat of long-tailed macaque (Macaca fascicularis) inWonorejo Mangrove Ecotourism, Surabaya. Bonorowo Wetlands 3: 101-113. Long-tailed macaque is a diurnal nonhuman primate andcan be found in various types of vegetation including mangrove forests to mountain forests. The purpose of this research is to identifythe population and habitat of Long-tailed macaque (Macaca fascicularis) in the Wonorejo Mangrove Ecotourism and surrounding areas,Surabaya. Method of observation population is concentration count and then method of habitat analysis is based on vegetation analysis.The minimum estimation of population size of Long-tailed macaque in the areas was 148 individuals. Sex-ratio of adult macaque wasestimated to be 1: 2. Macaque population densities was 0,55 individuals/hectare. The Long-tailed macaque’s eats are mangrove forestvegetations and animal. There was 9 kind of food, which 7 species of plants and the others species was animals. The macaque hashighest tendency for using area in their daily life above the ground (40,54%) and only 29,73% individuals spend the day in bottom of thecanopy.

Keywords: Habitat, long-tailed macaque, mangrove, population

PENDAHULUAN

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis mordaxRaffles 1821) merupakan primata yang sering dijumpaikarena persebarannya yang relatif merata di pulau Jawa.Populasinya yang masih tergolong banyak sehingga belumdikategorikan sebagai satwa yang dilindungi dalam PP No.7 tahun 1999. Monyet ekor panjang adalah satwa primatayang aktif di siang hari (diurnal) dan dapat ditemukan padaberbagai tipe vegetasi dari hutan pantai sampai hutanrimba.

Kedekatan genetik monyet ekor panjang denganmanusia menyebabkan spesies ini dijadikan uji cobapemberian obat-obatan. Monyet ekor panjang jugadigunakan sebagai satwa hiburan oleh masyarakat dengansebutan “Topeng Monyet”. Monyet ekor panjang yangdipertahankan sisi liarnya dapat menjadi daya tariktersendiri dalam suatu kawasan wisata contohnya padakawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo, Surabaya.

Kawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo merupakankawasan yang memiliki habitat alami hutan mangrove sertadilintasi oleh sungai Wonorejo dan Wonokromo yangbermuara ke laut Jawa. Mangrove adalah salah satuekosistem yang paling produktif di dunia. Ekosistemtersebut menyediakan shelter dan tempat mencari makanberbagai jenis satwa (Mann 1982).

Kawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo merupakanbagian dari kawasan Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya).Penetapan kawasan Pamurbaya sebagai kawasan lindungdengan total luasan ± 2.503,9 ha berdasarkan Peraturan

Daerah/Perda Kota Surabaya No. 3 Tahun 2007 tentangRTRW Kota Surabaya. Sebelum itu, pada tanggal 7 Mei1999 melalui UU No. 22 Tahun 1999 tentang PemerintahDaerah, Pemerintah Indonesia memberikan motivasi bagipenduduk di Kelurahan Wonorejo yang peduli terhadaplingkungan untuk dapat mengelola wilayah hutanmangrove dengan benar, karena kerusakan hutan mangroveyang terparah berada di wilayah Wonorejo. UU No. 22Tahun 1999 inilah yang merupakan pendorong dan dasarberdirinya Ekowisata Mangrove Wonorejo yang beradadalam kawasan lindung Pamurbaya (Fauziah 2011).

Sejak tahun 2008, kawasan mangrove Wonorejo mulaidiresmikan menjadi kawasan ekowisata. KawasanEkowisata Mangrove Wonorejo merupakan salah satuhabitat monyet ekor panjang yang sampai saat ini populasimonyet ekor panjang masih belum diketahui secara pastidan belum ada penelitian tentang hal tersebut. Oleh karenaitu, perlu dilakukan penelitian mengenai populasi danhabitat monyet ekor panjang di kawasan EkowisataMangrove Wonorejo dan sekitarnya sehingga pengelolaanlebih lanjut terhadap satwa ini dapat berjalan dengan baik.

Tujuan dari penelitian adalah: (i) Mengidentifikasiukuran kelompok monyet ekor panjang, (ii)Mengidentifikasi struktur umur dan sex ratio kelompokmonyet ekor panjang, (iii) Mengidentifikasi strukturvegetasi dan jenis pakan yang digunakan sebagai habitatmonyet ekor panjang.

Bonorowo Wetlands 3 (2): 101-113, December 2013102

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan waktu penelitianPenelitian dilakukan di kawasan Ekowisata Mangrove

Wonorejo dan sekitarnya dengan luasan areal kurang lebih266,70 ha (Gambar 1). Penelitian dilaksanakan pada bulanJuli sampai Oktober 2012.

ObyekObyek yang diteliti dalam penelitian adalah monyet

ekor panjang (Macaca fascicularis mordax) yang ada dikawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo, Surabaya.

AlatAlat yang digunakan berupa tally sheet, binokuler,

kamera digital, stop watch, alat tulis, meteran jahit,kompas, tambang, walking stick, GPS, kantong plastik dantali rafia.

Metode pengumpulan data populasiData populasi didapatkan dengan melakukan

inventarisasi satwa melalui sensus menggunakan metodeconcentration count dan eksplorasi. Menurut Alikodra(1990), metode concentration count merupakan metodeyang efektif digunakan untuk mengetahui populasisatwaliar yang mempunyai pola hidup berkelompok.Beberapa prinsip terkait dengan metode concentrationcount diantaranya yaitu: (i) Diperlukan informasi akurattentang pola penggunaan ruang dan waktu oleh satwa yangakan dihitung. Informasi ini diperoleh melalui wawancaradan observasi lapang. Berdasarkan informasi ini harus

dapat ditentukan tempat-tempat dan saat satwa berkumpul.(ii) Pengamat melakukan penghitungan satwa pada tempat-tempat dan saat satwa berkumpul. Parameter yangdikumpulkan setiap perjumpaan yang perlu dicatat yakniwaktu perjumpaan, jumlah individu, jenis kelamin, kelasumur dan posisi spatial satwa. (iii) Pencatatan data populasidilakukan menggunakan metode eksplorasi yaitu denganmenyusuri sepanjang Sungai Wonorejo menggunakanperahu dan berjalan kaki di sekitar tambak. Posisi monyetyang teramati pada saat pengamatan dicatat denganmenggunakan GPS. Selain itu dilakukan pula pencatatanwaktu perjumpaan, jumlah individu, sex-ratio, strukturumur serta ukuran kelompok yang teramati selamapengamatan. Hal tersebut dilakukan selama satwa masihdapat teramati yakni pada pukul 05.00-17.30 WIB.

Data habitatAnalisis vegetasi

Kegiatan analisis vegetasi dilakukan menggunakanmetode jalur berpetak. Analisis vegetasi hutan mangrovemenggunakan lebar petak 10 m (Gambar 2). Lokasi analisisvegetasi dikelompokkan menjadi satu tipe habitat yaknihabitat hutan mangrove dengan panjang jalur rintisan 10 x50 m x 3 dan 10 x 20 m x 3. Data yang dikumpulkanmeliputi nama spesies, jumlah individu setiap spesies untuktingkat pertumbuhan semai, pancang dan tumbuhan bawah.Tingkat pohon yang dicatat nama spesies, jumlah individu,dan diameter batang.

Ukuran permudaan dan lebar petak tiap-tiap permudaanyang digunakan dalam kegiatan analisis hutan mangrovedapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 1. Kawasan ekowisata mangrove wonorejo dan sekitarnya. : Batas kawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo; :Batas area penelitian

ANGGRAENI et al. – Populasi dan habitat monyet ekor panjang 103

Gambar 2. Petak contoh analisis vegetasi

Gambar 3. Pembagian ruang tajuk pohon

Semai: Permudaan mulai dari kecambah sampai anakansetinggi kurang dari 1,5 m dengan ukuran petak 2 m x 2 m.

Pancang: Permudaan dengan tinggi 1,5 m sampaianakan berdiameter kurang dari 10 cm dengan ukuranpetak 5m x 5m.

Pohon: Pohon berdiameter 10 cm atau lebih denganukuran petak 10m x 10m.

Tumbuhan bawah: Tumbuhan selain permudaan pohon,misal rumput, herba dan semak belukar dalam ukuran petak2m x 2m.

Data diagram profil pohonDiagram profil pohon digunakan untuk menunjukkan

profil habitat yang digunakan oleh monyet ekor panjangmeliputi ketinggian, kerapatan tajuk, dan lebar tajuk pohon.Diagram profil pohon yang dibuat adalah profil pohon dihabitat hutan mangrove yang heterogen dengan panjangjalur rintisan 10 x 50 m dan hutan mangrove yang homogendengan panjang jalur rintisan 10 x 20 m.

Data jenis pakanMengidentifikasi jenis-jenis pohon yang menjadi

sumber pakan bagi monyet ekor panjang berdasarkan hasilpengamatan di lapangan. Jenis tumbuhan dan bagian-bagian tumbuhan yang dimakan monyet merupakan obyekyang diamati.

Posisi individu dalam ruang tajuk pohonPosisi individu dalam ruang tajuk pohon digunakan

untuk mengetahui individu-individu kelompokterkonsentrasi di bagian mana pada pohon pada saatteramati. Hal tersebut juga dapat menunjukkan jenis pakanyang dimakan serta pengaruh tutupan tajuk terhadapkeberadaan monyet ekor panjang. Posisi tersebut dibagi

berdasarkan posisi vertikal. Ruang tajuk pohon tersebutmasing-masing dibagi menjadi lima kategori. Kategoripembagian ruang yakni A pada posisi atas tajuk (6,87-8,62m), B pada posisi tengah tajuk (5,12-6,87 m), C pada posisitajuk bagian bawah (3,37-5,12 m), D pada posisi akar (0-0,3 m), dan E di permukaan air atau tanah (0 m).Pembagian tajuk pohon dapat dilihat sebagai berikut padaGambar 3.

Metode analisis data analisis populasi dan sebaranAnalisis populasi digunakan untuk menjelaskan jumlah

monyet yang dijumpai pada saat pengamatan. Analisispopulasi menggunakan analisis kuantitatif dengan tabel dangambar, analisis sebaran menggunakan analisis deskriptif.Jumlah populasi yang digunakan yaitu jumlah individuterbayak pada saat teramati.

Analisis data habitatAnalisis data habitat dari monyet ekor panjang (M. f.

mordax) menggunakan analisis vegetasi dan gambardiagram profil untuk menjelaskan data yang diperoleh dilapangan.

Analisis vegetasiAnalisa data vegetasi dilakukan secara kuantitatif dan

kualitatif dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Kerapatan (batang/ha) =

Kerapatan Relatif (%) =

Dominansi (m2/ha) =

Dominansi Relatif (%) =

Frekuensi =

Frekuensi Relatif =

Indeks Nilai Penting = KR + FR + DR (Pohon)

Indeks Nilai Penting = KR + FR

Luas Bidang dasar suatu jenis = ¼ л d2

Keterangan:d = DiameterKR = Kerapatan RelatifDR = Diameter RelatifFR = Frekuensi Relatif

Total Indeks Nilai Penting (INP) untuk setiap tingkatpohon, semai, pancang, dan tumbuhan bawah, dihitunguntuk setiap tipe habitat atau petak. Nilai INP setiap tipehabitat menggambarkan kondisi vegetasi.

Diagram profil pohonAnalisis data diagram profil menggunakan analisis

kuantitatif. Data diagram profil pohon berupa penampakan

Bonorowo Wetlands 3 (2): 101-113, December 2013104

pohon yang menunjukkan ketinggian, kerapatan tajuk, danlebar tajuk dari pohon yang digunakan oleh monyet ekorpanjang selama pengamatan.

Analisis jenis pakanAnalisis jenis pakan dilakukan menggunakan analisis

kuantitatif dan deskriptif dengan tabel dan gambar. Datajenis pakan yang dianalisis meliputi jenis dan bagiantumbuhan yang dimakan oleh monyet ekor panjang.

Analisis posisi individu dalam ruang tajukAnalisis penggunakan tajuk ini menggunakan analisis

kuantitatif dengan tabel untuk menjelaskan data yangdiperoleh. Analisis tersebut digunakan untuk mengetahuitingkat konsentrasi keberadaan satwa di suatu pohon padasaat teramati.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi umum lokasi penelitianKawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo, Surabaya,

Jawa Timur dan sekitarnya ini memiliki luas areal kuranglebih 266,70 ha dengan batas wilayah: Sebelah utara:Sungai Wonokromo, Sebelah selatan: Sungai Wonorejo,Sebelah timur: Laut Jawa, Sebelah barat: Tambak danperumahan penduduk Wonorejo. Area penelitian dibagimenjadi tiga kategori area yaitu area hutan, tambak dansungai yang dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 4.

Area hutan berada di pinggiran sungai, di sekitartambak serta di bagian timur kawasan yang berbatasandengan laut Jawa. Area hutan tersebut memiliki satu tipehabitat yakni habitat hutan mangrove. Area tambak milikpenduduk terletak di bagian tengah kawasan. Pematang

tambak menjadi jalan yang dilintasi oleh masyarakat danrata-rata lebarnya 1 m. Area sungai yang termasuk sebagailokasi penelitian merupakan bagian dari SungaiWonokromo yang berada di bagian utara dan SungaiWonorejo yang berada di bagian selatan.

Populasi monyet ekor panjangPopulasi monyet ekor panjang yang ada di lokasi

penelitian terbagi dalam enam kelompok yang diketahuiberdasarkan pengamatan langsung dan hasil wawancaradengan penduduk dan pengelola. Enam kelompok tersebutmenempati lokasi yang berbeda-beda sesuai daerahteritorinya (Tabel 4). Kelompok monyet tersebut masing-masing memiliki wilayah yang saling terpisah dankebanyakan dari kelompok tersebut menempati wilayahpinggiran sungai (Gambar 5).

Ukuran populasi monyet ekor panjang di lokasipenelitian secara keseluruhan berdasarkan data hasilpengamatan langsung sebanyak 58 ekor sedangkanberdasarkan hasil wawancara diketahui sebanyak 148 ekoryang terbagi ke dalam 6 kelompok yang berbeda (Tabel 5).Ukuran kelompok terbanyak yaitu pada Kelompok IIdengan jumlah 43 individu dan ukuran kelompok yangpaling sedikit yaitu Kelompok I dengan jumlah 9 individu.Total individu monyet mencapai 148 individu dengankepadatan populasi sebesar 0,55 ind/ha (Gambar 6).

Tabel 3. Kategori area penelitian

Area Luasan (ha)Sungai 9,95Hutan 67,05Tambak 189,70Total 266,70

A B C

Gambar 4. Kondisi umum kawasan: A. Sungai, B. Hutan, C. Tambak

Tabel 4. Kelompok monyet di lokasi penelitian

KelompokMonyet

Koordinat letak Lokasi Perolehan data

I 7°19′04.65″S 112°50′04.27″E Utara muara Sungai Wonorejo Pengamatan langsung dan wawancaraII 7°19′19.62″S 112°50′12.99″E Selatan muara Sungai Wonorejo Pengamatan langsung dan wawancaraIII 7°18′35.28″S 112°50′08.41″E Timur Dermaga Bosem Pengamatan langsung dan wawancaraIV 7°18′24.42″S 112°49′28.30″E Utara Dermaga Bosem Pengamatan langsung dan wawancaraV 7°18′26.07″S 112°49′21.06″E Barat Dermaga Bosem Pengamatan langsung dan wawancaraVI 7°18′34.63″S 112°50′23.16″E Utara dan timur sungai Wonokromo Pengamatan langsung dan wawancara

ANGGRAENI et al. – Populasi dan habitat monyet ekor panjang 105

Gambar 5. Lokasi penelitian dan lokasi pengamatan monyet ekor panjang di Kawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo, Surabaya.Keterangan: :Batas lokasi penelitian, : Batas EMW, : Hutan Mangrove, 1. Utara muara Sungai Wonorejo, 2. Selatanmuara Sungai Wonorejo, 3. Timur Dermaga Bosem, 4. Utara Dermaga Bosem, 5. Barat Dermaga Bosem, 6. Utara dan timur sungaiWonokromo

Tabel 5. Ukuran kelompok monyet

Kelompok monyet Ukuran kelompok (individu)I 9II 43III 18IV 15V 30VI 33Total 148

Tidak hanya ukuran populasi monyet, di setiapkelompok tersebut diketahui pula struktur umur dan jeniskelamin monyet (Tabel 6). Secara keseluruhan individumonyet didominasi oleh struktur umur remaja yangberjenis kelamin jantan sebanyak 25 individu dan yangpaling sedikit adalah anakan dengan jenis kelamin betinasebanyak dua individu. Struktur umur dan jenis kelaminkelompok monyet yang diketahui secara keseluruan yaitupada Kelompok I.

Tabel 6. Struktur umur dan jenis kelamin monyet yang diketahui

Kelompokmonyet

Dewasa Remaja Anakan JumlahJantanBetinaJantanBetinaJantanBetina

I 1 2 3 1 2 0 9II 0 0 5 2 0 0 7III 1 3 4 1 3 0 12IV 1 1 4 0 0 0 6V 1 2 4 2 1 1 11VI 1 2 5 2 2 1 13Total 5 10 25 8 8 2 58

Perjumpaan dengan kelompok monyet digolongkanmenjadi tiga waktu utama yaitu pagi, siang dan sore (Tabel7). Waktu perjumpaan monyet ekor panjang yang palingsering yaitu pada pagi hari antara jam 05.00-11.00 denganjumlah perjumpaan sebesar 41,67%. Aktivitas yang seringterlihat berdasarkan ketiga waktu perjumpaan tersebut yaituaktivitas berpindah dan makan.

Perkiraan luasan Kelompok I diketahui berdasarkanditemukannya anggota Kelompok I pada suatu area. Titikditemukannya anggota Kelompok I dideliniasi dan menjadi

11

Bonorowo Wetlands 3 (2): 101-113, December 2013106

suatu luasan yang diduga merupakan wilayah dari monyetKelompok I. Luasan tersebut diketahui seluas 12,43 ha(Gambar 7).

Habitat monyet ekor panjangAnalisis vegetasi

Analisis habitat monyet ekor panjang melalui analisisvegetasi dilakukan pada dua kondisi habitat mangroveyakni habitat mangrove homogen dan habitat mangroveheterogen. Analisis vegetasi dilakukan pada satu tipehabitat yakni habitat hutan mangrove yang terdiri darienam titik lokasi habitat kelompok monyet (Tabel 8) dangambaran masing-masing lokasi tersebut dapat dilihat padaGambar 4.

Tabel 7. Waktu perjumpaan monyet

Waktu Keterangan Jumlahperjumpaan

Persentase(%)

Aktivitasteramati

Pagi 05.00-11.00 10 41,67 Makan, bermain,berpindah

Siang 11.00-14.30 8 33,33 Istirahat, minumdi sungai,berpindah

Sore 14.30-17.30 6 25,00 Makan,berpindah

Total 24 100

A B C

Gambar 6. Monyet ekor panjang di lokasi penelitian. A. Jantan dewasa; B. Betina dewasa dengan menggendong anaknya; C. Remaja(jantan)

Gambar 7. Luasan wilayah kelompok I

ANGGRAENI et al. – Populasi dan habitat monyet ekor panjang 107

Hasil analisis vegetasi di masing-masing lokasikelompok monyet diperoleh nilai INP tertinggi (Tabel 9).Jenis yang memiliki INP tertinggi pada tingkat pohonadalah Buta-buta (Excoecaria agallocha) dengan INP300,00%, pada tingkat pancang dan semai adalah Buta-buta(Excoecaria agallocha) dengan masing-masing INP200,00% dan pada tingkat tumbuhan bawah/palem adalahjeruju dengan INP 200,00%. Jumlah jenis tumbuhan padamasing-masing tingkat pertumbuhan yaitu pada tingkatpohon terdiri dari empat jenis, pada tingkat pancang terdiridari empat jenis, pada tingkat semai terdiri dari tiga jenisdan pada tingkat tumbuhan bawah/palem terdiri dari duajenis.

Profil pohonDiagram profil pohon dibuat di dua kondisi habitat

mangrove yakni pada kondisi habitat yang homogen danheterogen. Gambaran umum lokasi tempat pengambilandata profil pohon dapat dilihat pada Gambar 8 dan hasildiagram profil pohon dapat dilihat pada Gambar 9 dan 10.

Posisi individu dalam ruang tajukPosisi individu monyet dicatat berdasarkan klasifikasi

ruang tajuk (Tabel 10). Posisi individu monyet yang palingsering teramati yaitu pada bagian E (tanah dan permukaanair) dengan persentase sebesar 40,54% dan bagian C (tajukbawah) pada ketinggian 3,37-5,12 m dengan persentasesebesar 29,73%.

Tabel 10. Posisi individu monyet dalam ruang tajuk pohon

Posisiruangtajuk

Keterangan Jumlahperjumpaan

Persentase(%)

A Tajuk atas (6,87-8,62 m) 2 5,41B Tajuk tengah (5,12-6,87 m) 4 10,81C Tajuk bawah (3,37-5,12 m) 11 29,73D Batang dan akar pohon (0-3,37 m) 5 13,51E Tanah dan permukaan air (0 m) 15 40,54

Total perjumpaan 37 100

Tabel 8. Titik analisis vegetasi pada lokasi habitat kelompok monyet

Lokasi Kondisi Titik koordinat

1 Heterogen 7°19′04.65″S 112°50′04.27″E-7°19′06.07″S 112°50′03.82″E2 Heterogen 7°19′19.62″S 112°50′12.99″E-7°19′21.14″S 112°50′12.40″E3 Homogen 7°18′35.28″S 112°50′08.41″E-7°18′36.42″S 112°50′08.07″E4 Heterogen 7°18′24.78″S 112°49′18.02″E-7°18′24.42″S 112°49′17.35″E5 Heterogen 7°18′35.83″S 112°50′21.63″E-7°18′35.58″S 112°50′21.50″E6 Heterogen 7°18′24.39″S 112°49′21.50″E-7°18′24.01″S 112°49′21.62″E

Tabel 9. Nilai INP tertinggi di masing-masing lokasi kelompok monyet

Tingkat Lokasi Nama lokal Nama ilmiah Famili INP (%)

Pohon 1 Api-api Avicennia alba Avicenniaceae 210,922 Bogem Sonneratia alba Sonneratiaceae 210,923 Buta-buta Excoecaria agallocha Euphorbiaceae 300,004 Bogem Sonneratia alba Sonneratiaceae 210,735 Xylocarpus Xylocarpus mollocensis Meliaceae 191,006 Bogem Sonneratia alba Sonneratiaceae 243,00

Pancang 1 Api-api Avicennia alba Avicenniaceae 133,932 Api-api Avicennia alba Avicenniaceae 133,933 Buta-buta Excoecaria agallocha Euphorbiaceae 200,004 Api-api Avicennia alba Avicenniaceae 200,005 Waru Hibiscus tiliaceus Malvaceae 58,336 Bogem Sonneratia alba Sonneratiaceae 147,00

Semai 1 Api-api Avicennia alba Avicenniaceae 127,022 Api-api Avicennia alba Avicenniaceae 200,003 Buta-buta Excoecaria agallocha Euphorbiaceae 200,004 Api-api Avicennia alba Avicenniaceae 133,935 Bogem Sonneratia alba Sonneratiaceae 131,006 Bogem Sonneratia alba Sonneratiaceae 129,50

Tumbuhan bawah/palem 1 Jeruju Acanthus ilicifolius Acanthaceae 200,003 Jeruju Acanthus ilicifolius Acanthaceae 200,004 Buyuk Nypa fruticans Arecaceae 39,585 Jeruju Acanthus ilicifolius Acanthaceae 200,006 Jeruju Acanthus ilicifolius Acanthaceae 200,00

Bonorowo Wetlands 3 (2): 101-113, December 2013108

A B

Gambar 8. Lokasi pengambilan data profil pohon. A. Habitat heterogen, B. Habitat homogen

Gambar 9. Diagram profil habitat mangrove homogen.Keterangan: = Buta-buta (Excoecaria agallocha)

PakanTerdapat sembilan jenis pakan monyet ekor panjang

(Tabel 11), yakni tujuh jenis tumbuhan dan dua jenishewan (Gambar 11). Tujuh jenis tumbuhan tersebut empatdiantaranya merupakan vegetasi mangrove yaitu Bogem(Sonneratia alba), Api-api(Avicennia alba dan Avicenniaofficinalis), Buta-buta (Excoecaria agallocha) dan Putut(Bruguiera gymnorrhiza). Tiga jenis tumbuhan lainnyamerupakan tumbuhan yang biasa ditemukan di sekitarvegetasi mangrove yaitu Buyuk (Nypa fruticans), Bidara(Ziziphus mauritiana) dan Ciplukan (Physalis angulata).Bagian-bagian tumbuhan yang paling sering dimanfaatkansebagai pakan yaitu bagian buah. Sumber pakan lainnya

adalah hewan laut yaitu Kepiting (Scylla serrata) dan Mimi(Carcinoscorpius rotundicauda) yang didapatkan daripinggir sungai atau laut. Monyet sering terlihat mencarimakan di pinggir sungai atau laut hanya pada saat airsedang surut yakni di pagi hari yang terjadi antara pukul06.00-7.30 dan pada siang hari pada pukul 13.00-14.30.

PembahasanPopulasi dan habitat monyet ekor panjang

Ukuran populasi monyet ekor panjang di lokasipenelitian secara keseluruhan berdasarkan data pengamatanlangsung dan wawancara berjumlah 148 individu. Jumlahindividu terbanyak yaitu pada kelompok II dan jugamerupakan kelompok yang diketahui struktur umur danjenis kelaminnya yang paling sedikit. Hal tersebutdipengaruhi oleh sebagian besar anggota Kelompok IIlainnya berada di luar batas jarak pengamatan dan didugaselama waktu pengamatan Kelompok II sudah berpindahke bagian hutan yang masuk ke kecamatan Gunung Anyaryang bukan bagian dari lokasi pengamatan.

Tabel 11. Jenis pakan dan bagian yang dimanfaatkan

Namalokal Famili Nama ilmiah Bagian

Buyuk Arecaceae Nypa fruticans BuahApi-api Avicenniaceae Avicennia alba Daun muda

dan buahButa-buta Euphorbiaceae Excoecaria agallocha Daun mudaBidara Rhamnaceae Ziziphus mauritiana BuahPutut Rhizophoraceae Bruguiera gymnorrhiza BuahCiplukan Solanaceae Physalis angulata BuahBogem Sonneratiaceae Sonneratia alba BuahMimi Limulidae Carcinoscorpius

rotundicaudaDaging

Kepiting Portunidae Scylla serrata Daging

ANGGRAENI et al. – Populasi dan habitat monyet ekor panjang 109

Gambar 10. Diagram profil habitat mangrove heterogen. Keterangan: = Pohon Api-api (Avicennia alba), = Buyuk (Nypafruticans), = Pohon Xylocarpus (Xylocarpus mollocensis), = Waru (Hibiscus tiliaceus), = Pohon Api-api (Avicennia officinalis)

Kepadatan populasi monyet ekor panjang di lokasipenelitian adalah 0,55 individu/hektar dan kepadatanpopulasi perluasan hutan adalah 2,21 individu/Ha. Jumlahkepadatan tersebut diduga dipengaruhi oleh kondisi habitathutan mangrove yang terganggu ekosistemnya. Arisandi(1998) menyebutkan bahwa luasan hutan mangrovekawasan pantai timur Surabaya pada tahun 1998 mencapai3.129 ha sedangkan pada tahun 2005, luasan hutannyamenurun hingga 1.325 ha. Hal tersebut diduga masih terusmenurun sampai saat ini yang disebabkan oleh masihadanya pembukaan lahan untuk tambak dan perumahan.Faktor lain yang mempengaruhi kepadatan populasi adalahadanya predator alami dari monyet ekor panjang yaitubuaya. Selain itu terdapat pula jerat jebakan biawak yangdibuat oleh masyarakat untuk menangkap biawak yangdapat melukai monyet hingga menimbulkan kematian bagimonyet. Pernah terjadi sebelumnya yaitu satu ekor monyetjantan dewasa mati terjerat jebakan biawak. Suprihandini(1993) menambahkan bahwa biawak dan ular piton(Phyton reticulatus) juga berpotensi sebagai predator alamiyang dapat memakan bayi monyet ekor panjang.

Struktur umur dari populasi monyet ekor panjang yangdiketahui didominasi oleh kelompok remaja (56,89%).Struktur umur tersebut diduga didominasi oleh remaja yangmembentuk piramida bentuk kendi dengan pengertianbahwa persentase yang rendah untuk individu-individumuda dan proporsi besar pada fase mendekati reproduksi(Tarumingkeng 1994). Hal tersebut menunjukkan bahwapopulasi dapat berkembang dengan cepat yang didukungpula dengan adanya kelahiran individu-individu baru yaitupada Kelompok I terdapat 2 individu yang lahir danKelompok III terdapat 3 individu yang lahir pada saatdilakukannya penelitian.

Jenis kelamin populasi monyet yang diketahui terdiridari 38 individu jantan dan 20 individu betina. Hal inimenjadi kelemahan dalam penelitian ini yaitu jenis kelamin

monyet hanya diketahui 58 dari 148 individu sehinggabelum dapat memprediksi jumlah populasi yang akandatang. Hasil tersebut dipengaruhi oleh kondisi lapangandan perilaku dari monyet ekor panjang. Kondisi hutanmangrove yang rimbun dan berlumpur menyulitkan penelitiuntuk mengikuti pergerakan monyet yang berpindah-pindah dengan cepat.

Ukuran masing-masing kelompok monyet (Tabel 5)sesuai dengan pernyataan Medway (1977) bahwa dalamsatu kelompok monyet ekor panjang terdiri dari 8 sampai40 individu atau lebih termasuk beberapa betina.Pernyataan tersebut didukung pula oleh pernyataanLekagul dan McNeely (1977) yang menyebutkan bahwasuatu kelompok monyet ekor panjang dapat terdiri lebihdari 100 individu dan betina yang sedang menyusui dapathamil kembali. Ukuran kelompok tersebut dapatdipengaruhi oleh kondisi habitat, adanya predator dankondisi lainnya.

Perbandingan jenis kelamin monyet dewasa yangproduktif pada Kelompok I adalah 1: 2. Napier dan Napier(1985) menyebutkan bahwa rasio perbandingan normaljumlah jantan dan betina dalam satu grup lebih kurang 1: 2.Hasil penelitian sesuai dengan Mulyati (2008) yangmenyatakan bahwa perbandingan jumlah jantan dan betinadewasa yang produktif adalah 1: 1,7 atau setara dengan 1: 2dalam satu kelompok. Perbandingan tersebut merupakanperbandingan yang normal karena hampir semua monyetyang termasuk famili Cercopithecidae adalah monyet yangsistem perkawinannya poligami yaitu lebih banyak jeniskelamin betina daripada jenis kelamin jantan (Prasetyo1992). Dilihat dari segi jumlah dan komposisi monyet didalam kelompoknya menurut Chalmers (1979), makaKelompok I dapat digolongkan dalam kelompok sosialmonyet yang di dalamnya hanya ada satu ekor jantandewasa.

Utara

Bonorowo Wetlands 3 (2): 101-113, December 2013110

Gambar 11 Jenis pakan monyet ekor panjang. A. Bogem, B. Api-api, C. Buta-buta, D. Buyuk, E. Putut, F. Bidara, G. Ciplukan, H.Kepiting, I. Mimi

Waktu aktif monyet tertinggi adalah pada pagi harisebesar 41,67% dengan aktivitas yang teramati adalahaktivitas makan, bermain dan berpindah. Hal ini sesuaidengan Suprihandini (1993) bahwa monyet ekor panjanglebih aktif pada pagi hari dan aktivitas makan seringteramati pada pagi hari yang diikuti aktivitas berpindah.Waktu aktif monyet teramati juga dapat dipengaruhi olehcuaca, sebagaimana diketahui bahwa pada saatdilakukannya pengamatan dengan cuaca mendung makamonyet tidak muncul di tempat satwa tersebut biasamencari makan atau melakukan aktivitas lainnya.

Titik perjumpaan monyet anggota Kelompok Idideliniasi membentuk luasan area dan diduga sebagaidaerah jelajah seluas 12,43 ha. Luasan tersebut lebih luasdari penelitian yang dilakukan Priatna (1990) yang

menyatakan daerah jelajah monyet seluas 3-4 ha perkelompok. Hal tersebut diduga dipengaruhi oleh kondisihabitat serta luasan areal penelitian yang dilakukan olehPriatna (1990) yakni di Muara Angke (50 Ha) lebih kecildari lokasi kawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo dansekitarnya (266,70 Ha). Semakin luas habitat dari populasisecara keseluruhan maka semakin luas pula daerah teritoridari masing-masing kelompok monyet ekor panjang dilokasi tersebut. Masing-masing kelompok monyetterkonsentrasi di sekitar tepian sungai dan pantaisebagaimana disebutkan oleh Crockett dan Wilson (1980)bahwa Macaca fascicularis lebih menyukai habitat-habitatsekunder, khususnya habitat riparian (tepi danau, tepisungai, atau sepanjang pantai) dan hutan-hutan sekunderyang berdekatan dengan pertanian.

A B C

D E F

G H I

ANGGRAENI et al. – Populasi dan habitat monyet ekor panjang 111

Jenis tumbuhan yang memiliki INP tertinggi padatingkat pohon, pancang dan semai adalah Buta-buta(Excoecaria agallocha). Hal tersebut disebabkan oleh salahsatu lokasi pengambilan data analisis vegetasi memilikikondisi habitat yang homogen yang terdiri dari satu jenisyakni buta-buta. Jenis tumbuhan yang memiliki INPtertinggi secara keseluruhan area pengamatan adalah jenisApi-api (Avicennia alba). Hal tersebut menunjukkan bahwajenis Api-api mendominasi tegakan di seluruh arealkawasan penelitian. Dominasi jenis Api-api dapatdipengaruhi oleh buah atau biji Api-api yang mudahtersebar dikarenakan oleh ukuran buahnya yang kecil.Selain itu, biji Api-api mudah tumbuh seperti halnya yangdiketahui bahwa jenis Api-api merupakan tegakanmangrove terdepan atau yang paling terpengaruh olehpasang surut air laut maka jenis Api-api mempunyaiketahanan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim.

Tumbuhan mangrove yang berada di sekitar tambakhanya ditemukan satu sampai dua pohon saja yang berdiridi masing-masing lokasi sebaran sehingga lokasi tersebuttidak dijadikan plot analisis vegetasi. Jenis yang berada disekitar tambak terdiri dari jenis Putut (Bruguieragymnorrhiza), Waru (Hibiscus tiliaceus), Bakau(Rhizophora apiculata dan Rhizophora stylosa) dan Bidara(Ziziphus mauritiana).

Berdasarkan gambar profil pohon untuk lokasi habitatyang heterogen (Gambar 10) menunjukkan bahwa kondisitegakan pohonnya rapat yang terdiri dari lima jenistumbuhan. Jenis-jenis tumbuhan tersebut merupakan jenistegakan komunitas mangrove dan vegetasi pantai. Monyetekor panjang sering memanfaatkan jenis-jenis tumbuhantersebut terutama bagian tajuknya untuk melakukanaktivitas serta sebagai sumber pakan. Bagian tajuk yangdimanfaatkan monyet yaitu pada tajuk bagian bawahdengan rata-rata ketinggian antara 3,37-5,12 m. Faktortersebut dipengaruhi oleh rata-rata tinggi pohon padavegetasi mangrove yang ada di area penelitian yaitu 8,62m. Ketinggian tersebut lebih rendah jika dibandingkandengan vegetasi hutan hujan tropis yang dapat mencapaitinggi rata-rata 20 m.

Berdasarkan gambar profil pohon untuk lokasi habitathomogen (Gambar 9) menunjukkan bahwa kondisi tegakanpohonnya rapat dan homogen yang terdiri dari satu jenistumbuhan yaitu Buta-buta (Excoecaria agallocha).Pemanfaatan ketinggian posisi individu monyet ekorpanjang yang teramati yaitu di atas permukaan tanah (0 m).Hal tersebut berdasarkan pengamatan bahwa monyetsedang mencari makan di sekitar pematang tambak.

Lokasi di daratan banyak didominasi oleh tambak dankurang terdapat tutupan vegetasi mangrove. Kondisitersebut diperbaiki dengan adanya upaya penghijauankembali lahan dengan penanaman bibit mangrove. Bibit-bibit yang baru ditanam terdiri dari jenis Rhizopora spp.Penghijauan dilakukan oleh pihak pengelola yangbekerjasama dengan penduduk sekitar dan dengan berbagailembaga pendidikan seperti dari beberapa perguruan tinggidi Surabaya serta dengan beberapa lembaga asing dariJepang (JICA) dan Amerika.

Penanaman dilakukan di seluruh areal kawasanekowisata mangrove terutama pada bagian lahan yang

masih relatif terbuka. Lokasi dilakukan penanaman yaknidi bagian timur serta di bagian selatan Sungai Wonokromo.Penanaman dilakukan pada bulan-bulan tertentu yakni padabulan Mei dan April. Hal ini untuk menghindari ekstrimnyamasa pasang surut air laut yang dapat merusak ataumenghanyutkan bibit yang baru ditanam.

Selain penanaman, dilakukan pula upaya penjagaanterhadap kondisi vegetasi yang telah ada. Patroli rutindilakukan oleh pengelola bekerjasama dengan masyarakatyang membentuk kelompok tani. Hal tersebut untukmenjaga vegetasi hutan dari pencurian atau pembalakanliar. Pemerintah menerapkan sistem reward bagimasyarakat sekitar atau siapa saja yang melaporkan apabilaterjadi pembalakan liar di sekitar kawasan konservasimangrove. Pemerintah juga merekrut orang-orang yangdulunya pernah melakukan pembalakan liar sebagaianggota volunteer untuk menjaga kawasan agar tidakterjadi hal yang sama. Jika terdapat pembalak liar, makabarang atau kayu hasil pembalakan tidak diijinkan keluardari kawasan dan pelaku akan dijatuhi hukuman penjarapaling lama dua tahun serta dikenai denda berdasarkan UUNo. 22 tahun 1999.

Kondisi habitat monyet ekor panjang di sekitar lokasipenelitian tidak hanya terdiri dari tegakan vegetasi, namunjuga terdapat tambak dan sungai. Hal tersebutmempengaruhi keberadaan atau posisi individu monyetpada saat diamati. Posisi individu monyet pada saatperjumpaan (Tabel 10) diketahui paling sering terlihat padaposisi di atas tanah dan permukaan air, disusul denganposisi di tajuk bawah pohon. Hal tersebut didukung olehpernyataan Napier dan Napier (1967) yang menyebutkanbahwa aktivitas monyet ekor panjang di hutan mangrovelebih banyak dilakukan di tanah (terrestrial) daripada dipohon (arboreal).

Aktivitas di tanah lebih banyak dilakukan untukmencari makan ke tepi sungai, mengingat bahwa monyetekor panjang adalah satwa frugivora (makanan utamabuah-buahan) sampai omnivora yang juga memakankepiting dan Mimi (Tabel 11) yang ada di tepi sungai.Sumber pakan lainnya bagi monyet di lokasi penelitianseperti yang dapat dilihat pada Tabel 11 terdiri dari jenisvegetasi mangrove dan vegetasi bukan mangrove yangbiasa berada di sekitar habitat mangrove. Sumber pakantersebut lebih kurang sama dengan data IAR-Indonesia(2012) yang menyebutkan bahwa sumber pakan alami darimonyet di Muara Angke juga berasal dari buah Pidada(Sonneratia alba) dan Nipah (Nypa fruticans). Beberapajenis pakan monyet tersebut merupakan jenis yangmendominasi tegakan yang berada di lokasi penelitianseperti jenis Bogem (Sonneratia alba) dan Api-api(Avicennia alba).

Bagian-bagian tumbuhan yang dimanfaatkan sebagaipakan didominasi oleh buah. Hal tersebut didukung olehpenelitian yang dilakukan oleh Hill (1997) yangmenyebutkan bahwa buah dan biji dari tumbuhanmangrove api-api (Avicennia spp.) merupakan tumbuhanpakan bagi monyet ekor panjang. Selain buah, monyet jugamemakan bagian pucuk daun yang masih muda. Hal itudipengaruhi oleh bahwa monyet ekor panjang memiliki alatpencernaan yang hanya mampu mencerna makanan yang

Bonorowo Wetlands 3 (2): 101-113, December 2013112

mudah dicerna seperti buah-buahan, pucuk-pucuk daunatau daun muda dan tidak bisa makan daun-daun yang telahtua (MacKinnon dan MacKinnon 1980).

Penelitian dilakukan bertepatan dengan musim kemaraupanjang dan pohon-pohon Bogem (Sonneratia alba) yangada sedang tidak berbuah atau buahnya masih sangat mudadan belum dapat dimakan, sehingga ketersediaan pakanuntuk monyet ekor panjang sangat terbatas di alam.Tumbuhan hutan ada yang berbuah sepanjang tahunadapula yang musiman. Kuantitas dan kualitas makanan dihutan berkaitan erat dengan siklus terjadinya bunga, buahdan tunas. Faktor-faktor ini dapat mengatur siklusreproduksi satwaliar, termasuk kepadatan dan struktursosialnya (Alikodra 1989). Keterbatasan pakan di alammendorong monyet ekor panjang untuk mencari pakankeluar vegetasi hutan yakni di sekitar atau menghampirigubuk para petani tambak. Petani tambak sering memberimakan monyet berupa nasi dan ubi.

Meskipun demikian, menurut keterangan pendudukmonyet tidak memakan hasil tambak. Hal tersebutdikuatkan dengan monyet yang tidak memakan pemberianpenduduk berupa nasi yang dicampur ikan, sehingga dapatdiketahui bahwa ikan bukan sumber pakan yang dipilihatau disukai oleh monyet.

Implikasi terhadap pengelolaanPengelolaan terhadap populasi dan habitat monyet ekor

panjang belum pernah dilakukan oleh pihak EkowisataMangrove Wonorejo maupun Dinas Pertanian atauKehutanan setempat. Hal tersebut perlu mendapat perhatianterkait kelestarian monyet ekor panjang yang merupakanbagian dari konservasi sumberdaya alam di kawasanEkowisata Mangrove Wonorejo. Selain itu, monyet ekorpanjang dapat menjadi daya tarik tersendiri bagipengunjung kawasan.

Pengelolaan yang dapat dilakukan untuk kepentinganekologi satwa yakni dengan monitoring jumlah populasimonyet dan pengelolaan habitat. Disisi lain, pengelolaanjuga dapat dilakukan untuk mendukung kegiatan ekowisatadengan melakukan pemasangan papan interpretasi satwa,pembuatan jalur pengamatan satwa monyet ekor panjangbagi pengunjung dan pemasangan papan peraturan kawasanbagi pengunjung mengenai pelarangan pemberian pakanbagi satwa tersebut. Bentuk pengelolaan tersebut dapatdilakukan oleh pengelola dan dapat pula melibatkanmasyarakat setempat.

Monitoring. Monitoring dilakukan untuk mengetahuiperkembangan jumlah populasi, keberadaan kelompok dansebaran monyet yang ada di kawasan Ekowisata MangroveWonorejo. Monitoring dapat dilakukan setiap bulan ataudapat dilakukan bersamaan dengan patroli rutin yangdilakukan oleh pihak pengelola. Data hasil monitoringtersebut dapat menjadi dasar pengelolaan selanjutnya,sebagai contoh untuk mengidentifikasi penyebab turunnyajumlah populasi monyet. Identifikasi tersebut dapatdilakukan dengan memantau ketersediaan sumber pakandan dari mana pakan berasal.

Pengelolaan habitat. Pengelolaan habitat dapatdilakukan bersamaan dengan perawatan kondisi mangroveyang rutin dilakukan oleh pengelola. Pengelolaan dapat

dilakukan dengan menjaga hutan yang ada dari upayapembalakan liar seperti yang banyak dilakukan beberapatahun sebelumnya. Selain itu, dapat dilakukan pulaperawatan terhadap individu-individu tegakan muda darijenis Api-api (Avicennia officinalis) dan Xylocarpus(Xylocarpus mollocensis) karena berdasarkan Tabel 9kedua jenis tersebut jumlah permudaannya masih di bawahjenis Api-api (Avicennia alba) yang mana kedua jenistersebut termasuk bagian dari habitat monyet ekor panjangdi lokasi penelitian.

Pemasangan papan interpretasi. Pemasangan papaninterpretasi dilakukan untuk memudahkan pengunjungmengetahui semua jenis satwa yang ada di sana terutamajenis mamalia ataupun primata yang juga menempatikawasan tersebut. Pemasangan papan interpretasi dapatdilakukan di lokasi dimana monyet sering terlihat atau yangmenjadi habitat dari monyet ekor panjang tersebut.

Pembuatan jalur pengamatan monyet ekor panjang.Pembuatan jalur pengamatan monyet ekor panjangdilakukan untuk memudahkan pengunjung mencapai lokasipengamatan satwa tersebut. Pembuatan jalur ini dapat pulamenjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung kawasanEkowisata Mangrove Wonorejo. Jalur tersebut dapatmenghubungkan akses jalan utama menuju lokasipengamatan satwa monyet ekor panjang. Jalur tersebutdapat dibuat di atas pematang tambak yang kemudiandiberi petunjuk arah yang menuju lokasi-lokasi seringterlihatnya monyet ekor panjang.

Pemasangan papan peraturan kawasan. Pemasanganpapan peraturan kawasan mengenai pelarangan pemberianpakan bagi satwa monyet ekor panjang yang merupakansatwa liar perlu ditekankan bagi pengunjung kawasanmaupun bagi pengelola. Mengingat bahwa monyet ekorpanjang merupakan satwa yang mampu beradaptasi baikdengan kondisi lingkungan disekitarnya, dikhawatirkanakan terjadi ketergantungan antara satwa denganpengunjung terkait dengan pakan. Selain itu dilakukan pulapembatasan jumlah dan tingkat intensitas pengunjungmengunjungi lokasi pengamatan monyet ekor panjang. Halitu untuk mengantisipasi terganggunya populasi monyetakibat keberadaan manusia dan mengantisipasi terdesaknyapopulasi monyet sehingga melakukan perpindahan ketempat lain. Hal tersebut dapat terjadi karena monyet ekorpanjang di kawasan Ekowisata Mangrove Wonorejomerupakan satwa yang masih liar dan diharapkan masihtetap terjaga sifat liarnya yaitu masih takut dengankeberadaan manusia dan masih menggantungkan sumberpakan yang berasal dari alam.

KESIMPULAN

Ukuran populasi kelompok monyet diketahuiberdasarkan pengamatan langsung dan wawancaraberjumlah 148 individu. Kepadatan populasi monyet dilokasi penelitian sebesar 0,55 individu/hektar. Strukturumur dari populasi monyet ekor panjang yang ada dikawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo secarakeseluruhan diketahui terdiri dari 15 ekor dewasa, 33 ekorremaja dan 10 ekor anakan. Komposisi jenis kelamin

ANGGRAENI et al. – Populasi dan habitat monyet ekor panjang 113

populasi monyet ekor panjang secara keseluruhan yangdiketahui, yaitu terdiri dari 38 ekor jantan dan 20 ekorbetina. Habitat yang dihuni oleh monyet ekor panjangmerupakan habitat hutan mangrove yang dikelilingi olehtambak dan sungai. Posisi individu monyet yang palingsering teramati yaitu pada bagian E (tanah dan permukaanair) dengan persentase sebesar 40,54% dan bagian C (tajukbawah) dengan persentase sebesar 29,73%. Sumber pakanmonyet di lokasi penelitian diketahui terdiri dari sembilanjenis, tujuh diantaranya berasal dari tumbuhan yakniBogem (S. alba), Api-api (A. alba), Buta-buta (E.agallocha) dan Putut (B. gymnorrhiza), Buyuk (N.fruticans), Bidara (Z. mauritiana) dan Ciplukan (P.angulata). Bagian tumbuhan yang dimanfaatkan yaitubagian buah dan pucuk daun muda. Sumber pakan lainnyaberasal dari hewan yaitu Kepiting (S. serrata) dan Mimi(C. rotundicauda).

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra HS. 1989. Pengelolaan Satwaliar. PAU-LSI Institut PertanianBogor, Bogor.

Alikodra HS. 1990. Pedoman Pengelolaan Satwa Liar. Pusat AntarUniversitas, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Arisandi P. 1998. Panduan pengenalan mangrove pantai timur Surabayamangrove sang pelindung. Ecoton. Surabaya.

Chalmers N. 1979. Social Behaviour in Primates. Arnold, London.Crockett CM, Wilson WL. 1980. The ecological separation of Macaca

nemestrina and M. fascicularis in Sumatra. In: Lindburg DG, editor.The Macaques: Studies in Ecology, Behavior and Evolution. VanNostrand Reinhold, New York.

Fauziah A. 2011. Kajian perubahan fungsi lahan dari kawasan konservasimenjadi kawasan ekowisata di Kelurahan Wonorejo Surabaya[Skripsi]. Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya.Surabaya.

Hill DA. 1997. Seasonal variation in the feeding behaviour and diet ofJapanese macaques (Macaca fuscata yakui) in lowland forest ofYakushima. Amer J Primatol 43: 305-322.

IAR-Indonesia. 2012. Keberadaan monyet ekor panjang Macacafascicularis di Hutan Angke Kapuk Jakarta. Yayasan IAR, Bogor.

Lekagul B, McNeely JA. 1977. Mammals of Thailand. KurusaphaLadprao Press, Sahakarnbhat Co, Bangkok.

MacKinnon JR, MacKinnon KS. 1980. Niche differentiation in primatecommunication. In: Chivers DJ (ed.). Malayan Forest Primates.Plenum Press. New York.

Mann K. 1982. Ecologi of Coastal Waters: A System Approach.University of California. Verkeley.

Medway L. 1977. Mammals of Borneo: Field Keys and AnnotatedChecklist. Percetakan Sdn. Bhd. Kuala Lumpur

Mulyati L. 2008. Perilaku seksual monyet ekor panjang (Macacafascicularis) di bumi perkemahan pramuka cibubur, jakarta [skripsi].Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut PertanianBogor. Bogor.

Napier JR, Napier PH. 1967. A Handbook of Living Primates. AcademicPress. London.

Napier JR, Napier PH. 1985. The Natural History of the Primates. TheBritish Museum (Natural History). Cromwell, London.

Prasetyo A. 1992. Studi penggunaan habitat monyet ekor panjang(Macaca fascicularis Raffles, 1821) di Pulau Tinjil, Pandeglang, JawaBarat [Skripsi]. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Priatna H. 1990. Habitat dan pergerakan monyet ekor panjang (Macacafascicularis Raffles, 1821) di Cagar Alam Muara Angke, Jakarta[Skripsi]. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Suprihandini W. 1993. Studi variasi ritme aktivitas populasi monyet ekorpanjang (Macaca fascicularis Raffles, 1821) menurut jenis kelamindan kelas umur di Pulau Tinjil kabupaten Pandeglang Jawa Barat[Skripsi]. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Tarumingkeng RC. 1994. Dinamika Populasi: Kajian Ekologi Kuantitatif.Pustaka Sinar Harapan dan Universitas Kristen Krida Wacana,Jakarta.

Bonorowo Wetlands 3 (2): 114-131, December 2013 ISSN: 2088-110X, E-ISSN: 2088-2475DOI: 10.13057/bonorowo/w030204

Pengelolaan ekosistem mangrove berbasis co-management di DesaPasarbanggi, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah

Co-management mangrove ecosystem in the Pasarbanggi Village, Rembang District,Central Java

AHMAD MUQORROBIN, FREDINAN YULIANDA, TARYONO KODIRANDepartemen Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680, Jawa Barat

Manuskrip diterima: 26 Februari 2013. Revisi disetujui: 6 Juni 2013.

Abstract. Muqorrobin A, Yulianda F, Taryono Kodiran T. 2013. Co-management mangrove ecosystem in the Pasarbanggi Village,Rembang District, Central Java. Bonorowo Wetlands 3: 114-131. Mangrove is one of coastal’s important ecosystems that havebenefits and it is utilized by many stakeholder. This particular study aimed to (i) identify and analyze condition of mangroveresources and host of users, (ii) analyze the role and function of each stakeholders, and (iii) identify and analyze the forms of co-management of the mangrove ecosystems management in Pasarbanggi village, Rembang district. Mangrove vegetation data wasperformed using a quadratic transect method and data collection was done with purposive sampling interviews. Data obtainedfrom the mangrove vegetation cover density, frequency, cover, and importance value index of mangroves. Stakeholders wereanalyzed using matrix of interests and influence determined by criteria and indicators of interest and influence. The resultsshowed that five species of mangrove that exist in the area are Avicennia marina, Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata,Rhizophora stylosa and Sonneratia alba. This spesies are recommended to mangrove rehabilitation of the site. Whereas based onstakeholder analysis, there are 16 stakeholders which are classified into 4 group i.e. subject, key players, crowd, dan by standers.According to co-management spectrum, mangove management pattern of Pasarbanggi village is still in a consultative level.Therefore, it’s required to improve management pattern to be cooperative level.

Keywords: Co-management, mangrove, stakeholder

PENDAHULUAN

Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisiryang terdiri dari kumpulan tanaman darat yang mampuhidup pada salinitas air laut. Ekosistem mangrovememiliki fungsi ekologis maupun fungsi ekonomis.Pengelolaan dan pemanfaatan terhadap ekosistemmangrove akan berdampak pada kelestarian ekosistemtersebut. Apabila dalam memanfaatkan ekosistem tanpadiiringi dengan etika pemanfaatan ekosistem yanglestari, maka akan merusak ekosistem mangrove itusendiri.

Saat ini banyak ekosistem mangrove yang telahdikonversi untuk kepentingan manusia. Luas mangrovedi Indonesia pada tahun 2005 hanya mencapai 3.062.300ha. Berdasarkan data FAO (2007) luas mangrove diIndonesia telah berkurang sekitar 120.000 ha dari tahun1980 sampai 2005 karena alasan perubahan penggunaanlahan. Sedangkan Paena et al. (2010) menyatakan padatahun 2006 luas mangrove di Indonesia menjadi 2,59juta hektar.

Adapun bentuk-bentuk konversi yang dilakukanmanusia pada ekosistem mangrove seperti pembuatantambak, bangunan rumah, industri, maupun persawahan.Berkurangnya ekosistem mangrove akan berdampakpula pada kondisi pesisir baik pada ekologi maupunekonomi penduduk pesisir seperti yang terjadi di

wilayah pesisir Kabupaten Tanjung Jabung Timur Jambiyang menunjukkan hasil tangkapan udang laut nelayansemakin turun dengan semakin berkurangnya hutanmangrove di sekitar ekosistem tersebut (Huda 2008).

Berbagai pemangku kepentingan terhadap ekosistemmangrove memiliki kepentingan masing-masingterhadap ekosistem mangrove sehingga pengawasan dankontrol terhadap penggunaan lahan mangrove seringmenjadi lemah. Hal ini menjadi kendala utama dalampengelolaan ekosistem mangrove. Selain itu,permasalahan yang sering dihadapi dalam pengelolaanadalah lemahnya koordinasi antar pemangkukepentingan karena memiliki kepentingan masing-masing terhadap sumber daya yang ada. Oleh karena itudalam penelitian ini bentuk interaksi dan kepentinganyang dilakukan oleh masing masing pemangkukepentingan terutama masyarakat yang berada di sekitarekosistem mangrove Desa Pasarbanggi akan dibahas.

Bentuk pengelolaan terhadap suatu ekosistemsumber daya harus ditentukan agar dalam melakukanpengelolaan ekosistem dapat berjalan maksimal. Adapunbentuk-bentuk pengelolaan terhadap suatu sumber dayadapat berdasarkan state/goverment based, communitybased, maupun collaborative based. Ketiga bentukpengelolaan tersebut memiliki kelemahan dan kelebihanmasing-masing. Jika dilihat berdasarkan keterlibatannyaberbagai pemangku kepentingan dalam pengelolaan

MUQORROBIN et al. – Pengelolaan ekosistem mangrove berbasis co-management 115

sumber daya maka opsi yang terbaik untuk pengelolaansumber daya adalah bentuk Collaborative Based(Pengelolaan Bersama/Co-management).

Daerah ekosistem mangrove di Kabupaten Rembangdipilih karena daerah ini memiliki potensi akan hutanmangroven yang masih dapat dikembangkan.Banyaknya daerah pesisir berlumpur yang khas sebagaitempat hidup dari mangrove menjadi potensi tersendiridalam pengembangan hutan mangrove di wilayahKabupaten Rembang.

Penelitian ini bertujuan untuk: (i) Mengetahui danmenganalisis kondisi sumber daya mangrove danmasyarakat pemanfaat mangrove Desa Pasarbanggi,Kabupaten Rembang. (ii) Menganalisis peran dan fungsidari masing-masing pemangku kepentingan. (iii)Mengetahui dan menganalisis bentuk co-managementterhadap pengelolaan ekosistem mangrove DesaPasarbanggi, Kabupaten Rembang.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan tempat penelitianKegiatan penelitian dibagi dalam dua tahap, yaitu

pertama, kegiatan pengambilan sampel vegetasi

mangrove. Kedua, pengambilan sampel wawancara tiapperwakilan pemangku kepentingan yang telahditentukan. Masing-masing kegiatan tersebut dilakukandi lapang pada tanggal 26 April-10 Juni 2012. Penelitianini dilakukan di Desa Pasarbanggi, KabupatenRembang, Jawa Tengah dengan alasan desa tersebutmemiliki mangrove yang cukup baik.

Penentuan stasiun-stasiun pengamatan didasarkanatas keterwakilan zonasi mangrove. Pada penelitian initerdapat 3 stasiun yaitu stasiun I di tepi pantai dengantitik koordinat 6o42’10.02”LS dan 111o22’49.0”BT,stasiun II berada di sekitar tambak penduduk dengantitik koordinat 6o41’56.4”LS dan 111o23’10.0”BT, danstasiun III berada di muara sungai Kaliuntu dengan titikkoordinat 6o41’56.1”LS dan 111o23’19.9”BT (Gambar1).

Alat dan bahanAlat yang digunakan dalam penelitian secara insitu

untuk mengetahui vegetasi mangrove antara lainkamera, termometer, refraktometer, pH stik, GPS,meteran, tali dan data sheet (Tabel 3). Sedangkan alatyang digunakan secara eksitu adalah buku identifikasimangrove FAO (2007).

Gambar 1. Lokasi penelitian di Desa Pasarbanggi, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah dan vegetasi dominan dalam setiap stasiun

Stasiun 3

Stasiun 2

Stasiun 1

Bonorowo Wetlands 3 (2): 114-131, December 2013116

Tabel 3. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian

Alat Parameter yang dilihat Unit MetodeKamera Dokumentasi lokasi In situTermometer Pengukuran suhu ºC In situRefraktometer Pengukuran salinitas permil In situpH stik Pengukuran pH In situGPS dan peta Menentukan posisi sampling derajat In situMeteran Lingkar batang cm In situTali Membuat transek meter In situData sheet Pencatatan In situBukuidentifikasi

Identifikasi jenis mangrove Eks situ

Kuisioner Wawancara Orang In situ

Tabel 4. Pengambilan responden wawancara

Responden Jumlah(orang)

Keterangan

Kelurahan DesaPasarbanggi

1 Kepala Desa

Kelompok Tani Mangrove“Sidodadi Maju”

12 Ketua dan pengurus

Kelompok Nelayan “SidoMulyo”

14 Pengurus dan anggota

Pemanfaat kayu bangunan 2 PemanfaatPetambak 9 Anggota kelompok taniPencari tiram 6 PemanfaatPencari kepiting 3 PemanfaatPencari kayu bakar 2 PemanfaatLSM 1 PengurusDinas Kelautan danPerikanan

1 Kepala Seksi PerlindunganSDP2K

Dinas Kehutanan 1 Kepala Seksi PenghutananSosial

Kantor Lingkungan Hidup 1 Bagian KSDA pesisir danpulau pulau kecil

Bappeda 1 Kepala Sub Bidang SDAdan LH

Jumlah 53

Pengumpulan dataData primer

Pengumpulan data primer dilakukan melaluipengamatan langsung (observasi) di lapangan, denganmelakukan pengukuran vegetasi mangrove, wawancaralangsung dengan masyarakat lokal dan instansi terkait.

Metode pengamatan ekosistem mangrove. Lokasiyang ditentukan untuk pengamatan vegetasi mangroveharus dapat mewakili setiap zona mangrove yangterdapat di wilayah kajian (Bengen 2002). Data vegetasimangrove yang diambil berupa data primer. Penentuanlokasi stasiun pengamatan mangrove dilakukan denganmenentukan perwakilan dari setiap zonasi yang bisadilihat pada peta google tahun 2012.

Pada setiap lokasi pengamatan, letakkan petak-petakcontoh (plot) berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10x 10 m untuk tingkat pohon (diameter batang > 4 cm), 5x 5 m untuk tingkat pancang (diameter < 4 cm, tinggi >1 m), 1 x 1 m untuk semai dan tumbuhan bawah (tinggi< 1 m). Data yang diambil pada pengamatan ekosistem

mangrove adalah pengukuran diameter setiap pohonsetinggi dada (1,30 m) yang berada di dalam.

Metode pengambilan data instansi. Datadikumpulkan secara langsung di kantor instansi melaluiwawancara secara terstruktur dengan responden(pedoman dengan kuisioner) dengan jumlah respondenmasing masing setiap instansi pemerintahan diwakilioleh seorang yang berkutat pada bidangnya khususnyamangrove (Tabel 4). Data yang dikumpulkan meliputitupoksi masing masing instansi terkait kebijakanterhadap ekosistem mangrove dan keterlibatan instansi

Metode pengambilan data persepsi masyarakat.Data dikumpulkan secara langsung di lokasi penelitianmelalui wawancara secara terstruktur dengan responden(pedoman dengan kuisioner) dengan jumlah 48 orang.Metode pengambilan sampel/responden yang digunakanadalah purposive sampling, yaitu metode pengambilansampel tidak secara acak melainkan berdasarkanpertimbangan tertentu atau disengaja. Adapun tujuandari pengambilan secara purposive sampling adalahuntuk mencari pengetahuan dan informasi sebesar-besarnya dari narasumber mengenai permasalahan yangdiajukan. Dalam hal ini yang menjadi pertimbanganadalah responden (masyarakat) yang memanfaatkanekosistem mangrove dan bersedia untuk diwawancarai(Tabel 4). Data yang dikumpulkan meliputi (i) datakarakteristik responden (umur, pendidikan, pekerjaan,pendapatan), (ii) kegiatan pemanfaatan ekosistemmangrove oleh masyarakat, (iii) pemahaman ataupersepsi masyarakat tentang mangrove, dan (iv)keterlibatan masyarakat.

Data sekunderData sekunder dikumpulkan dari berbagai studi

pustaka, buku laporan, jurnal, hasil penelitian,perundang-undangan dan data pendukung lainnya yangberhubungan dengan penelitian yang sedang dilakukan.

Analisis dataAnalisis kondisi ekosistem mangrove

Data yang dikumpulkan meliputi data mengenai jenisspesies, jumlah individu dan diameter pohon. Datadiolah dan dianalisis potensi ekosistem mangrovenya,meliputi:

Kerapatan Jenis (Di)Kerapatan jenis (Di) merupakan jumlah tegakan jenis

ke-i dalam suatu unit area (Bengen 2000). Penentuankerapatan jenis melalui rumus:

Keterangan:Di = Kerapatan spesies ke-ini = Jumlah total tegakan spesies ke-iA = Luas total area pengambilan contoh (m2)

MUQORROBIN et al. – Pengelolaan ekosistem mangrove berbasis co-management 117

Kerapatan Relatif (RDi)Kerapatan Relatif (RDi) merupakan perbandingan

antara kerapatan spesies ke-i dengan total kerapatanseluruh spesies (Kusmana dan Istomo 1995 in Supardjo2008). Penentuan Kerapatan Relatif (RDi):

Keterangan:RDi = Kerapatan RelatifDi = Kerapatan spesies ke-iΣDi = Jumlah total kerapatan seluruh spesies

Frekuensi Spesies (Fi)Frekuensi spesies (Fi) adalah peluang ditemukan

suatu spesies ke-i dalam semua petak contoh dibandingdengan jumlah total petak contoh yang dibuat (Bengen2000). Untuk menghitung frekuensi spesies (Fi)digunakan rumus:

Keterangan:Fi = Frekuensi spesies ke-iPi = Jumlah petak contoh tempat ditemukannya

spesies ke-iΣPi = Jumlah total plot yang diamati

Frekuensi Relatif (RFi)Frekuensi relatif (RFi) adalah perbandingan antara

frekuensi spesies ke-i dengan jumlah frekuensi seluruhspesies (Bengen 2000). Untuk menghitung frekuensirelatif menggunakan rumus:

Keterangan:RFi = Frekuensi relatif spesiesFi = Frekuensi spesies ke-iΣF = Jumlah frekuensi untuk seluruh spesies

Penutupan Spesies (Ci)Penutupan spesies (Ci) adalah luas penutupan spesies

ke-i dalam suatu unit area tertentu (Bengen 2000).

Keterangan:Ci = Penutupan spesiesΣBA = (d = diameter batang setinggi dada, = 3,14)A = Luas total area pengambilan contoh (m2)

Penutupan Relatif (RCi)Penutupun relatif (RCi) yaitu perbandingan antara

penutupan spesies ke-i dengan luas total penutupanuntuk seluruh spesies (Bengen 2000). Untuk menghitungRCi, maka digunakan rumus:

Keterangan:RCi = Penutupan relatifCi = Penutupan spesies ke-iΣCi = Jumlah total untuk seluruh spesies

Indeks Nilai Penting (INP)Melalui nilai Indeks Nilai Penting dapat menduga

keadaan atau karakteristik suatu ekosistem mangrove.Indeks Nilai Penting didapat dari penjumlahan nilairelatif (Rdi), frekuensi relatif (RFi), dan penutupanrelatif (RCi) dari mangrove (Bengen 2000).

Keterangan:INP = Indeks Nilai PentingRDi = Kerapatan Jenis RelatifRFi = Frekuensi Jenis RelatifRCi = Penutupan Jenis Relatif

Analisis pemangku kepentinganAnalisis pemangku kepentingan dilakukan melalui

pemetaan tiap pemangku kepentingan ke dalam matriksanalisis pemangku kepentingan berdasarkan tingkatkepentingan dan pengaruh. Jawaban kuisioner dariinforman yang diperoleh ditranformasikan menjadi datakuantitatif (skoring) dengan membuat penilaiankuantitatif tingkat kepentingan dan pengaruh pemangkukepentingan (Tabel 5 dan Tabel 6).

Penetapan kriteria dan indikator pemangkukepentingan menggunakan pertanyaan untuk mengukurtingkat kepentingan dan pengaruh pemangkukepentingan adalah modifikasi dari model yangdikembangkan oleh Abbas (2005) yaitu pengukuran databerjenjang lima (Tabel 7). Nilai pada tabel kriteria danindikator kepentingan dan pengaruh pemangkukepentingan merupakan akumulasi dari penilaian tingkatkepentingan maupun penilaian tingkat pengaruh.

Hasil skoring terhadap tingkat kepentingan danpengaruh masing-masing pemangku kepentingandikelompokkan menurut jenis indikatornya dankemudian disandingkan sehingga membentuk koordinat/matrik (Gambar 4). Melalui pembagian kuadran darimatrik dapat diketahui informasi mengenai potensiperan pemangku kepentingan dalam proses konstruksilembaga pengelolaan ekosistem. Kuadran 1 bertindaksebagai subjek, kuadran 2 bertindak sebagai pemain(Key players), kuadran 3 bertindak sebagai pengikut(Crowd) dan kuadran 4 bertindak sebagai contex seter.

Bonorowo Wetlands 3 (2): 114-131, December 2013118

Tabel 5. Penilaian kuantitatif tingkat kepentingan (Abbas 2005)

Variabel Indikator SkorKeterlibatan Terlibat seluruh proses 5

Terlibat 3 proses 4Terlibat 2 proses 3Terlibat 1 proses 2Tidak terlibat 1

Manfaat Pengelolaan Mendapat 4 manfaat 5Mendapat 3 manfaat 4Mendapat 2 manfaat 3Mendapat 1 manfaat 2Tidak Mendapat manfaat 1

Prioritas pengelolaan Sangat menjadi prioritas 5Prioritas 4Cukup 3Kurang 2Tidak menjadi prioritas 1

Ketergantungan terhadapsumber daya

81%-100% bergantung 561%-80% bergantung 441%-60% bergantung 321%-40% bergantung 2≤ 20% bergantung 1

Tabel 6. Penilaian kuantitatif tingkat pengaruh (Abbas 2005)

Variabel Indikator Skor

Aturan/kebijakanpengelolaan

Terlibat seluruh proses 5Terlibat 3 proses 4Terlibat 2 proses 3Terlibat 1 proses 2Tidak terlibat 1

Peran dan partisipasi Berkonstribusi pada semua point 5Berkonstribusi dalam 3 point 4Berkonstribusi dalam 2 point 3Berkonstribusi dalam 31 point 2Tidak berkonstribusi 1

Kewenangan dalampengelolaan

Kewenangan dalam semua proses 5Kewenangan dalam 3 proses 4Kewenangan dalam 2 proses 3Kewenangan dalam 1 proses 2Tidak memiliki kewenangan 1

Kapasitas sumber dayayang disediakan

Semua sumber daya 53 sumber daya 42 sumber daya 31 sumber daya 2Tidak menyediakan apapun 1

Tabel 7. Kriteria dan indikator tingkat kepentingan danpengaruh pemangku kepentingan (Abbas 2005)

Kepentingan pemangku kepentinganSkor Kriteria Nilai Keterangan9 Sangat

tinggi17-20 Sangat bergantung pada keberadaan

mangrove7 Tinggi 13-16 Bergantung pada mangrove5 Sedang 9-12 Cukup bergantung pada mangrove3 Cukup

tinggi5-8 Kurang bergantung pada keberadaan

mangrove1 Rendah 1-4 Tidak bergantung keberadaan

mangrove

Kepentingan tinggi Kelompok pemangkukepentingan yangpenting namun perlupemberdayaan(kuadran I-subject)

Kelompok pemangkukepentingan yang paling kritisdan penting dalamperumusankebijakan(kuadran II-Keyplayer)

Kepentingan rendah Kelompok pemangkukepentingan yangpaling rendahkepentingan (kuadranIII-Crowd)

Kelompok pemangkukepentingan yang bermanfaatbagi perumusan ataumenjelaskan keputusan danopini (kuadran IV contexseter)

Pengaruh rendah Pengaruh tinggi

Gambar 4. Matrik analisis kepentingan dan pengaruhpemangku kepentingan (sumber: Adrianto et al.2009)

Masing-masing kuadran memiliki opsi yang berbedauntuk meningkatkan partisipasi dalam pengelolaansumber daya (Reed et al. 2009). Pada kuadran 1(Subject) pemangku kepentingan yang ada memilikikepentingan yang tinggi terhadap sumber dayamangrove namun pengaruhnya rendah dalampengelolaan. Sehingga kelompok pemangkukepentingan pada kuadran ini termasuk pemangkukepentingan yang penting namun perlu pemberdayaan.Pada kuadran 2 (Key players) merupakan kelompokyang paling kritis karena memiliki pengaruh dankepentingan yang sama-sama tinggi. Pemangkukepentingan pada kuadran II ini harus salingmembangun hubungan kerja yang baik sehingga dapatmemastikan keefektifan dan dukungan koalisi tiappemangku kepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya. Pemangku kepentingan pada kuadran ini dapatmenentukan perumusan kebijakan dalam pengelolaansumber daya. Pada kuadran 3 (Crowd) merupakankelompok pemangku kepentingan yang memilikikepentingan dan pengaruh rendah terhadap sumber daya.Pemangku kepentingan pada kuadran ini ini tidakterlibat secara langsung dengan pengelolaan namunsangat diperlukan dalam pengawasan dan evaluasiterkait pengelolaan sumber daya. Pada kuadran 4(Contex seter) merupakan kelompok pemangkukepentingan yang memiliki karena memiliki pengaruhyang tinggi dan kepentingan rendah. Pemangkukepentingan pada kuadran akan memberikan kemajuanmaupun gangguan yang signifikan terhadappengelolaan. Sehingga dalam suatu pengelolaan,pemangku kepentingan jenis ini harus selaludiberdayakan agar besarmya pengaruh dapat membantudalam pengelolaan baik sebagai fasilitator maupunsebagai perumusan keputusan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan umum wilayahKeadaan geografis

Desa Pasarbanggi merupakan salah satu desa pesisirdi Kecamatan Rembang yang memiliki ekosistemmangrove. Desa Pasarbanggi terletak di pesisir sekitar 5

MUQORROBIN et al. – Pengelolaan ekosistem mangrove berbasis co-management 119

Km dari ibukota Kabupaten kearah timur dengan luaswilayah desa 413 Ha dan panjang pantai ± 3 Km.Ketinggian Desa Pasarbanggi dari permukaan air lautsekitar 2 m DPL dengan jenis tanah dominan gromosolberpasir (BPMP-KB Pemkab Rembang 2011). Adapunbatas-batas wilayah desa meliputi; sebelah utaraberbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatanberbatasan dengan Desa Padaran, sebelah timurberbatasan dengan Desa Tritunggal, sebelah baratberbatasan dengan Desa Tireman.

Pesisir utara Kabupaten Rembang secarageomorfologi terbagi dalam dua bentangan yang sangatberbeda. Pada wilayah Kabupaten Rembang, khususnyaKecamatan Lasem bagian timur merupakan pantaiberkarang sehingga terbentuk pantai-pantai berpasir,termasuk pantai pasir putih akibat pelapukan koral dilaut. Sebaliknya di Kabupaten Rembang, khususnyaKecamatan Lasem sebelah barat merupakan dataranlumpur (tidal flat) akibat sedimentasi dari beberapasungai yang ada di sekitarnya. Pada musim hujan,beberapa sungai di Kabupaten Rembang bagian baratmeluap dan membawa sedimen-sedimen dari darat kearah laut. Oleh karena itu, ekosistem mangrove hanyaterkonsentrasi di sisi barat Kabupaten Rembang yangmencakup wilayah Kecamatan Kaliori, KecamatanRembang, dan Kecamatan Lasem.

Pasang surut air laut secara umum rata-rata memilikitipe tunggal dengan tinggi rata-rata harian (MSL)sebesar 122,13 cm dan muka air laut tertinggi (HHWL)sebesar 198,75 cm (Bappeda 2012). Karakteristikgelombang air laut di Kabupaten Rembang sangatditentukan oleh kencangnya tiupan angin yangdipengaruhi oleh musim. Angin timur menimbulkangelombang yang cukup tinggi di perairan KabupatenRembang. Angin timur ini berlangsung pada bulan Junihingga Agustus dengan tinggi gelombang mencapai 0,7-1,1 meter. Hal ini menjadi acuan oleh masyarakat untuktidak melakukan penanaman mangrove pada musimangin timur dimana gelombang laut sedang besar-besarnya.

Keadaan sosial demografiJumlah penduduk Desa Pasarbanggi pada tahun 2011

mencapai 2.945 orang dengan total kepala keluarga 855KK. Pembagian usia produktif penduduk 20-59 tahunsekitar 1.745 jiwa atau 59,25% dari total penduduk DesaPasarbanggi. Jumlah laki-laki dan perempuan relatifhampir sama yaitu 1.474 orang laki-laki dan 1.471 orangperempuan (Tabel 8).

Kualitas usia produktif masyarakat Desa Pasarbanggiberdasarkan tingkat pendidikan masih dominan tamattingkat SD. Masih rendahnya tingkat pendidikan di DesaPasarbanggi dikarenakan mindset dari masyarakat desauntuk dapat bekerja lebih cepat agar tidak membebaniorang tua (Tabel 9).

Mata pencaharian masyarakat yang dominan pertamaadalah nelayan sebanyak 730 orang, urutan kedua adalahburuh swasta sebanyak 265 orang, dan dominan ketigaadalah petani dan buruh tani dengan total keduanya 151orang. Mata pencaharian lain masyarakat Desa

Pasarbanggi antara lain pedagang 30 orang, bakul ikan30 orang, tukang kayu/tukang batu 22 orang, PNS 8orang, dan montir 2 orang (Tabel 10).

Nelayan menjadi mata pencaharian yang dominandiantara masyarakat Desa Pasarbanggi karena tekaitkeberadaan desa yang berada di ekosistem pesisir.Nelayan juga menjadi pekerjaan turun-temurun bagibeberapa warga di desa tersebut. Nelayan di DesaPasarbanggi umumnya merupakn nelayan harian dimanamereka berangkat pada satu hari dan pulang pada hariitu pula. Rata-rata kapal yang dimiliki warga berukuran10 GT yang jarak tempuh biasanya kurang dari 80 kmperhari dari daratan. Namun terkadang ada pula nelayanyang tetap berlayar sampai perairan Pulau Sumateradengan menggunakan kapal ukuran 10 GT tersebut.Tidak sedikit dari penduduk Desa Pasarbanggi yangmemilih untuk menjadi buruh swasta dan bekerja dipabrik. Beberapa alasan dari yang menjadi buruh pabrikadalah dikarenakan melihat hasil tangkapan nelayanyang semakin berkurang dari tahun ke tahun. Selain itualasan keamanan bekerja di pabrik lebih terjamindaripada di laut yang penuh tantangan bahaya menjadipilihan anak muda di Desa Pasarbanggi. Masih luasnyalahan tambak dan sawah di Desa Pasarbanggi sehinggamasih banyak penduduk desa yang bekerja sebagaipetani ataupunburuh tani.

Tabel 8. Jumlah penduduk Desa Pasarbanggi, KabupatenRembang, Jawa Tengah berdasarkan kelompok umur

Umur (tahun) Laki-laki(orang)

Perempuan(orang)

Jumlah penduduk(orang)

0-4 94 88 1825-9 115 128 24310-14 107 118 22515-19 130 129 25920-24 128 127 25525-29 137 128 26530-34 151 146 29735-39 119 115 23440-44 101 97 19845-49 125 80 20550-54 83 81 16455-59 68 59 12760-64 47 46 9365+ 106 92 198Jumlah 1511 1434 2.945Sumber: Profil Desa Pasarbanggi Tahun 2011 (BPMP-KBPemkab Rembang 2011)

Tabel 9. Kualitas usia produktif masyarakat desa berdasarkantingkat pendidikan Desa Pasarbanggi, Kabupaten Rembang,Jawa Tengah tahun 2011

Kualitas usia produktif Laki-laki(orang)

Perempuan(orang)

Penduduk usia 18-56 tahun, tidak tamat SD 21 17Penduduk usia 18-56 tahun, tamat SD 1.220 1.236Penduduk usia 18-56 tahun, tamat SLTP 91 110Penduduk usia 18-56 tahun, tamat SLTA 65 56Penduduk usia 18-56 tahun, tamat PT 9 9

Bonorowo Wetlands 3 (2): 114-131, December 2013120

Sumber: Profil Desa Pasarbanggi Tahun 2011 (BPMP-KBPemkab Rembang 2011)Tabel 10. Daftar mata pencaharian masyarakat DesaPasarbanggi, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah

Mata Pencaharian Jumlah (orang)

Petani 76Buruh Swasta 265Buruh Tani 75PNS 8Pedagang 30Nelayan 730Montir 2Tukang kayu/Tukang batu 22Bakul Ikan 30

Dari segi kelembagaan Desa Pasarbanggi memilikikelembagaan yang cukup baik dari segi perangkat desa,perekonomian maupun perangkat pengembanganmasyarakat. Kelembagaan yang terdapat di DesaPasarbanggi antara lain perangkat desa, BPD (BadanPerwakilan Desa), LPMD, Karang Taruna, PKK,BKD/UKM Desa, Kelompok Nelayan Sidomulyo, danKelompok Wanita Nelayan Margo Utomo, danKelompok tani mangrove Sidodadi Maju. KelompokTani Mangrove Sidodadi Maju merupakan kelompokyang berperan dalam mengelola mangrove di Pasarbanggi.

Sarana prasarana di Desa Pasarbanggi cukup bagusdilihat dari kondisi desa yang ada saat penelitian. Jalandesa umumnya sudah memakai aspal dan rata-rata rumahpenduduk sudah menggunakan dinding tembok. Namun,berdasarkan data Kecamatan Rembang tahun 2009terdata bahwa dari 679 jumlah rumah yang ada di desaPasarbanggi terdapat sekitar 354 rumah penduduk tidakmenggunakan jamban dirumahnya sehingga masihbanyak penduduk yang membuang air besar di sekitarpantai. Hal ini membuat pemandangan di sekitar tepipantai terlihat kotor. Selain itu, kurangnya fasilitastempat pembuangan sampah/tong sampah terkadangmembuat beberapa pemandangan di sudut desa terlihatkumuh. Adanya balai pertemuan di Desa Pasarbanggimenjadi fasilitas masyarakat untuk mengadakanpertemuan desa. Pengadaan balai pertemuan untukkelompok tani mangrove Sidodadi Maju sedang dalamtahap pembangunan ketika penelitian ini dilaksanakan.

Peran serta masyarakat Desa Pasarbanggi dalampembangunan desa dan semangat kegotongroyonganpenduduk cukup tinggi. Hal ini terbukti daripembangunan beberapa fasilitas umum desa yangmelibatkan para penduduk desa serta beberapa kegiatankegotongroyongan antar penduduk seperti sambatandalam pengolahan tanah, pembangunan rumah,pemeliharaan fasilitas umum dan kerja bakti yangdilakukan setiap bulan. Beberapa upacara adat istiadattrdisional juga masih melekat dalam kehidupanmasyarakat Desa Pasarbanggi seperti upacara ”sedekahbumi”dan upacara ”sedekah laut”.

Kondisi ekosistem mangroveEkosistem mangrove merupakan sekumpulan

vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapaspesies pohon mangrove yang mampu tumbuh danberkembang pada daerah pasang surut. Ekosistemmangrove banyak ditemukan pada pantai-pantai yangdangkal, daerah estuaria, teluk, delta dan daerah pantaiyang terlindung. Ekosistem mangrove di DesaPasarbanggi terdapat di daerah sekitar delta muarasungai Kaliuntu. Akibat pembukaan lahan tambak udangmaupun bandeng yang semakin meningkat pada tahun1970 luas hutan mangrove di Desa Pasarbanggi hanyatinggal sekitar 3 Ha. Seiring dengan kesadaranmasyarakat yang semakin meningkat akan pentingnyamangrove, saat ini kondisi mangrove di DesaPasarbanggi kembali semakin baik dan luasnya saat inimencapai 60 Ha. Secara umum mangrove di DesaPasarbanggi hidup pada salinitas 34-35 permil. Suhurata-rata di ekosistem mangrove berkisar antara 29-30oC. Nilai pH rata-rata yang didapat pengukuran pada 3stasiun berkisar dari 6,8-7,45. Keadaan ini secara umummendukung untuk pertumbuhan mangrove.

Vegetasi ekosistem mangrove di Desa Pasarbanggidiperoleh 5 jenis mangrove sejati antar lain Avicenniamarina, Rhizophora stylosa, Rhizophora mucronata,Rhizophora apiculata, dan Sonneratia alba (Tabel 11).Berdasarkan hasil pengamatan, di luar transekpengamatan dan informasi dari masyarakat diketahuipula terdapat jenis A. marina yang merupakan hasilpenanaman oleh masyarakat (Gambar 1a). Namunpertumbuhan jenis A. marina tersebut terlihat kurangmaksimal karena kondisi tanah yang digunakan tidaksesuai untuk penanaman jenis tersebut. Kusmana (2005)menyebutkan bahwa salah satu yang menentukankeberhasilan dalam usaha penanaman mangrove kembalipada suatu wilayah adalah penentuan jenis mangroveharus sesuai dengan jenis dan kondisi tanah di wilayahtersebut.

Ekosistem mangrove di Desa Pasarbanggimerupakan satu dari beberapa ekosistem mangrove yangada di Kabupaten Rembang yang masih relatif baikkondisinya sehingga menjadi alasan untuk dijadikansebagai lokasi penelitian. Rata-rata lokasi mangrove diDesa Pasarbanggi berada disekitar lahan tambakpenduduk. Mangrove di Desa Pasarbanggi adalahmangrove hasil restorasi yang dilakukan selama lebihdari 30 tahun, sehingga perkembangannya sekarang inihampir menyerupai ekosistem mangrove asli (Kusmana2005).

Lokasi stasiun 1, terletak di tepi pantai denganpengambilan titik koordinat 6o42’10.02”LS dan111o22’49.0”BT. Mangrove pada stasiun satudidominasi jenis R. stylosa, jenis paling banyak keduaadalah R. apiculata dan paling sedikit adalah jenis S.alba.

Lokasi stasiun 2, terletak di sekitar tambak pendudukpada koordinat 6o41’56.4”LS dan 111o23’10.0”BT.Lokasi stasiun dua didominasi jenis R. stylosa dan R.mucronata. Pada stasiun ini jenis R. apiculata dan S.alba jumlahnya hanya sedikit.

MUQORROBIN et al. – Pengelolaan ekosistem mangrove berbasis co-management 121

Lokasi stasiun 3, terletak di muara sungai padakoordinat 6o41’56.1”LS dan 111o23’19.9”BT. Jenismangrove yang dominan pada stasiun tiga secaraberturut turut adalah R. stylosa, R. apiculata dan S. alba.Sebelah utara stasiun tiga terdapat endapan lumpur yangcukup luas sehingga daerah ini berpotensi untukdilakukan penanaman guna memperluas ekosistemmangrove di Desa Pasarbanggi. Banyaknya endapanlumpur di sekitar stasiun tiga ini dikarenakan disekitarstasiun tiga terdapat muara sungai Kaliuntu yang seringmembawa endapan lumpur dari daratan.

Nilai Indeks Nilai Penting (INP) merupakan nilaiyang digunakan untuk mengetahui apakah suatu jenismangrove mempunyai pengaruh atau peranan yang besarterhadap ekosistem mangrove tersebut. Nilai INPdiperoleh dari total penjumlahan kerapatan relatif,penutupan relatif dan frekuensi relatif. Menurut Bengen(2002) nilai penting suatu jenis berkisar antara 0% dan300%.

Spesies R. stylosa mempunyai pengaruh yang palingbesar karena memiliki penyebaran paling luas diekosistem mangrove Desa Pasarbanggi (Tabel 12). JenisRhizophora sp. banyak mendominasi ekosistemmangrove di Desa Pasarbanggi dikarenakan adanyafaktor substrat lumpur berpasir, dimana jenisRhizophora sp. dapat tumbuh dan berkembang denganbaik pada jenis substrat ini (Bengen 2002; Gunarto2004; Setyawan dan Winarno 2006). Pada dasarnyajenis Rhizophora sp. sering kali berkembang padadaerah intertidal yang luas, memiliki tingkat penyebaranyang luas dan mudah tumbuh.

Mangrove sejati yang tumbuh dengan baik di DesaPasarbanggi adalah dari jenis R. stylosa, R. apiculata, R.mucronata, S. alba, dan A. marina. Dari kelima jenistersebut, jenis R. stylosa mempunyai nilai INP palingtinggi dan memiliki pengaruh yang paling besarterhadap ekosistem mangrove di Desa Pasarbanggi.Dengan demikian Desa Pasarbanggi memilikikarakteristik habitat Rhizophora sp. Hal ini dapatmenjadi acuan pemilihan jenis bibit ketika melakukankebijakan dalam proses rehabilitasi dan perluasanekosistem mangrove Desa Pasarbanggi. Prosesrehabilitasi mangrove di Desa Pasarbanggi denganmemilih jenis Rhizophora sp diharapkan bibit mangrovebaru dapat tumbuh dengan baik dan proses rehabilitasidapat berhasil. Hal ini dikarenakan jenis yang digunakansesuai dengan kondisi umum perairan serta strukturtanah mendukung bibit mangrove untuk tumbuh.

Melalui perhitungan tingkat kerapatan relatif,frekuensi relatif, dan penutupan spesies dapat dijadikansebagai acuan mengetahui kondisi perkembangan dariekosistem mangrove. Jika pengukuran ini dilakukansetiap tahun pada ekosistem mangrove DesaPasarbanggi maka akan diketahui bagaimana tingkatperkembangan ekosistem mangrove di desa tersebutsetiap tahunnya apakah mengalami penurunan atauperluasan.

Tabel 11. Komposisi jenis mangrove yang didapatkan

Nama spesies StasiunTepi pantai

1Tambak

2Muara sungai

3Rhizophora stylosa √ √ √Rhizophora apiculata √ √ √Rhizophora mucronata - √ -Sonneratia alba √ √ √Avicennia marina* - - -Keterangan: √ = ditemukan;-= Tidak ditemukan; * = ditemukan diluar transek (Data primer diolah tahun 2012)

Tabel 12. Indeks Nilai Penting pohon mangrove di tiga stasiun

StasiunSpesies

Nilai

KerapatanRelatif(Rdi)

FrekuensiRelatif(RFi)

PenutupanRelatif(Rci)

IndeksNilaiPenting(INP)

1 R. stylosa 76.47 50.00 38.91 165.38R. apiculata 19.61 33.33 32.37 85.31S. alba 3.92 16.67 28.71 49.30

2 R. stylosa 83.33 33.33 31.08 147.74R. apiculata 3.33 15.14 15.14 33.61R. mucronata 8.33 11.11 15.14 34.58S. alba 5.00 33.33 32.74 71.07

3 R. stylosa 86. 67 42.86 32.48 162.01R. apiculata 13.33 40.95 40.95 95.23S. alba 1.67 14.29 26.57 42.53

Perbedaan kerapatan relatif, frekuensi relatif danpenutupan jenis pada tiap stasiun dapat menjadiindikator jenis mangrove yang sebaiknya ditanam untukproses perluasan ekosistem mangrove selain dilihat darikondisi umum perairan dan substrat pada tiap stasiun.Semakin rapat mangrove maka akan semakin sulit dalammelakukan perluasan mangrove karena sempitnya lahanuntuk dilakukan penanaman.

Tingkat kerusakan dan ancaman mangroveKerusakan ekosistem mangrove yang terjadi di

Kabupaten Rembang secara umum disebabkan karenabeberapa faktor seperti perluasan tambak, penebanganmangrove untuk kayu bakar/bangunan, reklamasi,pencemaran lingkungan dan kegiatan antropologi lainseperti menggunakan pohon mangrove sebagai tambatankapal nelayan serta kegiatan mencari tambelo/obengdibawah akar-akar mangrove. Pada tahun 1970 luashutan mangrove di Desa Pasarbanggi hanya tinggalsekitar 3 Ha akibat pembukaan lahan untuk tambakgaram maupun tambak ikan oleh penduduk sekitar.

Konversi ekosistem mangrove menjadi lahan tambakmerupakan ancaman utama kerusakan ekosistemmangrove di Kabupaten Rembang. Ekosistem tambak diKabupaten Rembang dapat ditemukan di sepanjangpesisir pantai. Hampir sebagian besar daratan pesisirpantai Kabupaten Rembang dimanfaatkan olehmasyarakat yang bermukim di dekat pantai sebagai

Bonorowo Wetlands 3 (2): 114-131, December 2013122

lahan tambak. Dari data yang disusun BappedaKabupaten Rembang, luas tambak di KabupatenRembang semakin meningkat. Pada tahun 2007 luastambak 1.069 Ha dan pada tahun 2011 luasnya menjadidua kali lipat yaitu 2.386 Ha. Hal ini dapat menjadiindikator bahwa semakin banyak ekosistem mangroveyang dikonversi menjadi wilayahb pertambakan baiktambak ikan, udang, maupun garam.

Kerusakan karena penebangan mangrove terjadiakibat pencurian kayu untuk bahan bangunan maupunsebagai bahan bakar menjadi ancaman kerusakan keduasetelah konversi tambak. Masyarakat pesisir KabupatenRembang masih banyak yang menganggap bahwaekosistem pesisir termasuk mangrove merupakanekosistem sumber daya milik bersama (commonproperty) dan dapat dimanfaatkan sebesar-besarnyauntuk kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itupandangan masyarakat mengenai hal ini dapat menjadikendala dalam pelestarian mangrove

Kegiatan reklamasi pantai menjadi pelabuhanmaupun industri yang tidak jauh dari ekosistemmangrove dapat berdampak terhadap ekosistemmangrove di Kabupaten Rembang. Perencanaan yangbelum matang dalam pembuatan pelabuhan danpembangunan industri di sekitar pantai KabupatenRembang yang tidak mengacu pada sistem AMDALdapat mengancam keberadaan ekosistem mangrovesecara jangka panjang.

Di pesisir Pantai Rembang pencemaran lingkunganyang umum dijumpai di ekosistem mangrove adalahsampah domestik, seperti lembaran plastik, kantungplastik, sisa-sisa tali dan jaring, botol, kaleng dan lain-lain. Secara khas di pesisir pantai Desa Pasarbanggi,terdapat Ulva (semacam ganggang) yang dapatmengapung dan menutupi bibit mangrove sehinggamengganggu upaya restorasi. Selain itu masih adanyanelayan yang menggunakan pohon mangrove menjaditali pengait perahu juga menjadi ancaman bagikelestarian mangrove di Desa Pasarbanggi.

Saat ini ekosistem mangrove di Desa Pasarbanggimencapai 60 Ha dan kondisinya semakin baik. Padatahun 2005, Setyawan dan Winarno (2006) jugamenyebutkan bahwa kondisi mangrove di DesaPasarbanggi relatif lebih baik dibandingkan ekosistemlainnya di Kabupten Rembang. Nilai penting tertinggididominasi jenis Rhizophora sp. sebesar 83%,sedangkan nilai penting dari Sonneratia sp. danAvicennia sp. masing-masing 6% dan 9%.

Ekosistem mangrove di Kabupaten Rembangkhususnya di Desa Pasarbanggi sekarang merupakanekosistem mangrove buatan hasil restorasi. Walaupundemikian secara berangsur-angsur kondisi mangrove diDesa Pasarbanggi sudah menyerupai ekosistemmangrove alami karena proses restorasi dan kemampuanhomeostatis dari ekosistem mangrove tersebut selamalebih dari 20 tahun (Kusmana 2005).

Karakteristik masyarakat pemanfaat mangroveMasyarakat yang menjadi responden adalah

perwakilan dan bagian dari masyarakat yang terkait

dengan pengelolaan dan pemanfaatan mangrove diKabupaten Rembang khususnya Desa Pasarbanggi.Adapun tipologi berdasarkan jenis pemanfaatannya darimasyarakat pemanfaat ekosistem mangrove di DesaPasarbanggi yang menjadi responden antara lainkelompok tani mangrove, petambak, kelompok nelayan,pencari kepiting, pencari tiram, pencari kayu bakar, danpemanfaat kayu bangunan (Gambar 6).

Masyarakat pemanfaat sebagian besar memiliki usiayang berkisar antara 30-39 tahun dan 40-49 tahundengan persentase 31% dan 34% dari total seluruhmasyarakat pemanfaat. Kisaran masyarakat pemanfaatusia 20-29 adalah 4%, 50-59 tahun sekitar 21%.Sedangkan masyarakat yang berusia 60-69 tahun sekitar8%, dan masyarakat yang berusia lebih dari 69 tahunada 2% (Gambar 7).

Masyarakat pemanfaat sebagian besar memilikipendidikan akhir SD dan SMP dengan persentasesebanyak 42% dan 35%, masyarakat yang memilikipendidikan akhir tingkat SMA/sederajat sebanyak 17%,sedangkan yang memiliki tingkat pendidikan sampai S1hanya 6% (Gambar 8). Kelompok nelayan, pencaritiram, pencari kayu bakar, pencari kepiting danpetambak merupakan kelompok pemanfaat yangmemiliki anggota sebagian besar hanya lulusan SD danSMP, hanya sedikit dari masyarakat pemanfaat dari darieklompok kelompok tersebut yang memiliki pendidikanSMA. Sedangkan dalam kelompok tani mangrovetingkat pendidikan dari anggotanya relatif bervariasi dariSMP hingga S1.

Masyarakat pemanfaat terutama dari kelompoknelayan dan petambak saat ini semakin sadar akan artipendidikan. Hal ini terlihat dari data profil desa yangmenyatakan bahwa jumlah siswa SMA/sederajat padatahun 2011 sebanyak 523 orang. Secara tidak langsunghal ini dapat menjadi indikasi bahwa tingkat pendidikanmasyarakat semakin tinggi. Selain itu, lain itubanyaknya lapangan pekerjaan yang mencari pegawaiminimal memiliki pendidikan akhir SMA menjadi acuanmereka bahwa untuk mencari pekerjaan swasta minimalharus berpendidikan SMA.

Tingkat pendapatan dari masyarakat pemanfaattergolong rendah setiap bulannya. Sekitar 54% repondenmemiliki pendapatan < 500 ribu, 38% pendapatanperbulannya 500 ribu-1 juta. Tingkat pendapatanmasyarakat yang memiliki pendapatan 1 juta-1,5 jutadan > 1,5 juta memiliki persentase sama yaitu 4%.Rendahnya pendapatan masyarakat terlihat padamasyarakat yang memiliki profesi sebagai nelayan,petambak, serta pencari tiram dan kepiting (Gambar 9).Hal ini dikarenakan usaha sebagai nelayan maupunpetambak sebagian besar dilakukan secara tradisional.

Teknologi yang diterapkan oleh nelayan danpetambak rata-rata masih sederhana, sehingga hasilnyayang didapatkan dari kegiatan melaut maupun di tambakjuga rendah. Nelayan di Desa Pasarbanggi terkadangharus melaut dengan kapal yang sederhana sampai keperairan pulau Sumatera untuk mendapatkan hasiltangkapan yang cukup. Sistem pertambakan di DesaPasarbanggi bersifat intensif yaitu dengan

MUQORROBIN et al. – Pengelolaan ekosistem mangrove berbasis co-management 123

memanfaatkan tambak pada musim penghujan sebagaitambak bandeng maupun udang, sedangkan pada musimkemarau petambak memanfaatkan lahan sebagai tambakgaram.

Masyarakat pemanfaat yang berasal dari kelompoktani mangrove, kelompok nelayan, petambak, pencarikepiting menyatakan 90% kondisi mangrove di DesaPasarbanggi masih relatif baik. Sedangkan sebagian darikelompok pencari tiram dan pencari kayu bakarmenganggap sedang kondisi mangrove di DesaPasarbanggi (10%) (Gambar 10). Penilaian kondisimangrove berdasarkan kondisi yang ada danperbandingan dengan ekosistem mangrove lain yang adadi Kabupaten Rembang.

Saat dilaksanakan penelitian, terlihat kondisiekosistem mangrove di Desa Pasarbanggi memangrelatif lebih baik dari pada mangrove pada wilayahKabupaten Rembang lainnya. Hal ini didukung denganterlihatnya kawanan berbagai jenis burung laut, larvaudang, kepiting dan sekumpulan ikan ikan kecil ketikamelakukan pengamatan di lapangan. Secara umumsemua kelompok masyarakat pemanfaat berpendapatekosistem mangrove di Desa Pasarbanggi kondisinyarelatif bagus, bahkan cenderung semakin meningkatluasnya dari tahun ke tahun. Namun beberapamasyarakat pemanfaat dari kelompok pencari tirammenganggap kondisi mangrove di Desa Pasarbanggitergolong sedang.

Secara umum masyarakat pemanfaat mengetahuitentang hutan mangrove baik jenis, fungsi ekonomimaupun fungsi ekologis dari mangrove. Sebanyak 90%memiliki pengetahuan yang bagus mengenai mangrovedan hanya 10% yang memiliki persepsi sedangmengenai mangrove (Gambar 11). Selain itu, 73%masyarakat memiliki pemahaman yang baik tentangkonservasi, 19% memiliki pemahaman sedang,dansisanya 8% memiliki pemahaman yang buruk mengenaikonservasi (Gambar 12).

Tingkat pemahaman mengenai mangrove dankonservasi dari kelompok tani mangrove dan petambakpaling bagus diantara kelompok masyarakat pemanfaatlainnya. Sedangkan tingkat pemahaman buruk berasaldari pemanfaat kayu bakar dan beberapa pencari tiram.Sudah cukup bagusnya pengetahuan dan pemahamanmengenai mangrove oleh sebagian besar masyarakatpemanfaat mangrove di Desa Pasarbanggi karenaadanya kegiatan sosialisasi dari kelompok tanimangrove, kelompok nelayan dan peran akademisiterhadap masyarakat setempat. Namun, tidak meratanyasosialisasi kepada seluruh masyarakat sehingga masihterdapat masyarakat yang kurang memahami artikonservasi terhadap mangrove. Terbatasnya dana daripemerintah daerah membuat pihak instansi daerah yangterkait dengan pengelolaan mangrove masih jarangmengadakan pelatihan dan sosialisasi.

Sosialisasi dan pelatihan terhadap masyarakat pesisirsangat penting dilakukan terkait dengan pengembanganekosistem mangrove. Masyarakat di sekitar ekosistemmangrove perlu mendapat perhatian melalui bentuk-bentuk sosialisasi dan pelatihan mengenai pentingnya

ekosistem mangrove terutama bagi masyarakat pesisir.Masyarakat menganggap bahwa selama ini pemerintahkurang dalam melakukan sosialisasi dan pelatihanterhadap pengembangan ekosistem mangrove (56%),sedangkan sebanyak 21% dan 23% menganggappemerintah sering dan sedang dalam melakukansosialisasi (Gambar 13).

Masih kurangnya kegiatan sosialisasi terkaitminimnya dana mengenai pengadaan kegiatan sosialisasidan pelatihan mengenai mangrove oleh instansi yangberhubungan dengan mangrove seperti DKP dan DinasKehutanan. Sebagian besar masyarakat pemanfaat baikdari kelompok tani, kelompok nelayan, pencari kepiting,tiram, petambak, pencari kayu bakar, pemanfaat kayubangunan dan masyarakat sekitar berpendapat bahwakegiatan sosialisasi dan pelatihan hanya diberikan padapihak tertentu saja dan tidak langsung pada masyarakat.

Masyarakat pemanfaat memandang pemerintahmemiliki peran penting dalam pengelolaan danpengembangan ekosistem mangrove. Hal ini terlihat dari92% masyarakat yang memandang pemerintah memilikiperan penting dalam pengelolaan ekosistem mangrove(Gambar 14). Menurut masyarakat pemanfaat, denganadanya pihak pemerintah yang ikut mengelola danmengembangkan ekosistem mangrove maka potensimangrove di Desa Pasarbanggi akan dapatdikembangkan secara maksimal. Selama ini masyarakatmasih menganggap peran pemerintah dalampenyelenggaraan pengelolaan masih sangat kurang. Halini berkebalikan dengan pernyataan dari instansipemerintah bahwa pihak instansi dari pemerintah telahmelakukan secara maksimal segala hal yangberhubungan dengan pengelolaan mangrove.

Adanya perbedaan pendapat ini dimungkinkankarena komunikasi dan koordinasi tidak/lama terjadibaik dari pemerintah ke masyarakat dan juga sebaliknya,karena belum adanya lembaga pengelola mangrove yangmenaungi semua pemangku kepentingan. Hal ini dapatmenyebabkan perbedaan persepsi diantara kedua belahpihak. Perbedaan persepsi ini dapat menjadi bahanevaluasi dalam pelaksanaan pengelolaan dengan melibat-kan masyarakat pemanfaat dalam perencanaan danpelaksanaan program pengelolaan ekosistem mangrove.

Partisipasi atau keterlibatan masyarakat merupakantingkat kesadaran masyarakat terhadap pengelolaanekosistem mangrove tanpa ada tekanan dan paksaan daripihak manapun. Terkait dengan permasalahanlingkungan pantai, masyarakat diharapkan tidak hanyamenjadi obyek melainkan dapat menjadi subyek dalamprogram-program pengelolaan ekosistem. Dengandemikian akan tumbuh perasaan memiliki dan dengansukarela akan menjaga dan mengelola lingkungandengan baik. Bentuk partisipasi dalam mengelolalingkungan dapat dilakukan mulai dari prosesperencanaan sampai operasional mengelola ekosistempesisir pantai. Partisipasi masyarakat tersebut dalammengelola merupakan suatu aset sumber daya manusiayang harus dimanfaatkan secara maksimal olehpemerintah dalam upaya melestarikan hutan mangrovedi DesaPasarbanggi.

Bonorowo Wetlands 3 (2): 114-131, December 2013124

Gambar 6. Tipologi masyarakat pemanfaat mangrove

Gambar 7. Karakteristik usia masyarakat pemanfaat

Gambar 8. Karakteristik pendidikan masyarakat pemanfaat

Gambar 9. Pendapatan masyarakat pemanfaat

Gambar 10. Persepsi masyarakat pemanfaat terhadap kondisimangrove

Gambar 11. Pemahaman masyarakat pemanfaat tentangmangrove

Gambar 12. Pemahaman masyarakat pemanfaat tentangkonservasi

Gambar 13. Persepsi masyarakat pemanfaat mengenaisosialisasi pemerintah

MUQORROBIN et al. – Pengelolaan ekosistem mangrove berbasis co-management 125

Gambar 14. Persepsi masyarakat pemanfaat mengenai peranpemerintah

Gambar 15. Persepsi masyarakat mengenai keinginan terlibat

Tingkat minat masyarakat pemanfaat dalammengelola ekosistem mangrove cukup tinggi yaitusebanyak 88% dan sebesar 6% untuk yang memilikiminat sedang (Gambar 15). Minat sedang dalam hal iniberarti jika dalam pelaksanaan pelatihan atau sosialisasidari pihak instansi mengganggu pekerjaan daripenduduk maka ia tidak ikut terlibat dalam kegiatantersebut. Minat rendah dalam keterlibatan sebesar 6%.Dengan demikian sangatlah penting dalammenumbuhkan kesadaran masyarakat melaluipelibatannya dalam program-program pengelolaanekosistem mangrove di Desa Pasarbanggi.

Berdasarkan persepsi minat dari masing-masingmasyarakat pemanfaat yang memiliki minat palingtinggi untuk ikut terlibat dalam pengelolaan ekosistemmangrove adalah kelompok tani mangrove danpetambak. Meskipun demikian setiap kelompokmasyarakat pemanfaat memiliki persepsi dan motif yangberbeda untuk terlibat dalam kegiatan pengelolaanekosistem mangrove. Berikut adalah persepsi dan minatdari masing-masing kelompok pemanfaat.

Kelompok tani mangrove. Kelompok ini memilikiminat yang tinggi untuk ikut dalam pengelolaanmangrove jika pemerintah melaksanakan kegiatan yangterkait dengan ekosistem mangrove. Selain itu, merekatelah mengetahui tentang mangrove dan segalafungsinya sehingga mereka memiliki motifasi yang besaruntuk mengembangkan ekosistem mangrove.

Petambak. Kelompok masyarakat pemanfaat inimemiliki minat yang tinggi karena beberapa motifseperti dengan ikut terlibat dalam pengelolaan mangrovemaka secara tidak langsung tambak mereka akan terjagadari bahaya abrasi yang mengancam tambak mereka.

Kelompok nelayan. Dalam kelompok ini sebagianbesar memiliki minat yang tinggi, namun ada beberapayang memiliki minat sedang dan rendah untuk ikutdalam pengelolaan ekosistem mangrove. Mereka yangmemiliki minat tinggi untuk terlibat dalam pengelolaankarena mereka sadar bahwa secara tidak langsungbanyak sedikitnya ikan di sekitar wilayah tangkapanmereka dipengaruhi oleh keberadaan ekosistemmangrove. Adapun yang memiliki minat sedang untukterlibat dalam pengelolaan karena mereka berpendapatbahwa jika kegiatan pengelolaan mengganggu kegiatannelayan mereka maka tidak akan ikut dalam kegiatan

pengelolaan. Sedangkan yang memiliki keinginanterlibat rendah dalam pengelolaan karena menganggapusia mereka yang sudah tua sehingga tidak perlu ikutdalam pengelolaan ekosistem.

Pencari kepiting. Kelompok masyarakat pemanfaatini memiliki minat yang tinggi untuk terlibat kegiatanpengelolaan ekosistem mangrove karena merekamenganggap bahwa mangrove sangat penting bagimereka untuk dapat menangkap kepiting secara kontinusehingga mereka ingin terlibat dalam kegiatanpengelolaan ekosistem mangrove.

Pencari tiram. Kelompok masyarakat pemanfaat inisebagian besar memiliki keinginan terlibat tinggi, namunterdapat beberapa yang memiliki minat sedang untukterlibat dalam pengelolaan ekosistem mangrove.Persepsi mereka untuk terlibat pengelolaan mangrovekarena didorong oleh keinginan meningkatkan hasiltangkapan tiram mereka.

Pencari kayu bakar. Jenis kelompok masyarakatpemanfaat ini hanya memiliki minat rendah untukterlibat dalam pengelolaan. Hal ini karena pemanfaatjenis ini berpendapat bahwa mereka hanya mengambilkayu yang sudah kering dan rata-rata masyarakatpemanfaat jenis ini berusia sudah lanjut.

Pemanfaat kayu bangunan. Pemanfaat jenis inimemiliki motivasi yang tinggi untuk terlibat dalamkegiatan pengelolaan ekosistem mangrove. Dalamwawancara dengan pelaku pemanfaat jenis ini diketahuibahwa minat mereka untuk terlibat menjaga danmengelola ekosistem mangrove karena perasaanbersalah pernah merusak ekosistem mangrove untukbahan bangunan.

Pola pemanfaatan ekosistem mangroveAnalisis pemangku kepentingan dan perannya

Hasil identifikasi terhadap pemangku kepentinganterkait pengelolaan mangrove di Desa Pasarbanggiterdapat enam belas, antara lain kelompok tanimangrove “Sidodadi Maju”, kelompok nelayan,petambak, Pemerintahan Desa Pasarbanggi, DinasKelautan dan Perikanan Kabupaten Rembang, DinasKehutanan Kabupaten Rembang, Kantor LingkunganHidup Kabupaten Rembang, Dinas Kelautan danPerikanan Provinsi Jawa Tengah, Bappeda KabupatenRembang, Kepolisian/Kodim, LSM, akademisi, pencari

Bonorowo Wetlands 3 (2): 114-131, December 2013126

kepiting, pencari tiram, pencari kayu bakar, pemanfaatkayu bangunan dan masyarakat sekitar. Keenambelaspemangku kepentingan tersebut memiliki kepentingandan pengaruh berbeda terhadap pengelolaan ekosistemmangrove (Gambar 16).

Pemetaan pemangku kepentingan pada kuadran Iditempati oleh pencari kepiting, pencari tiram, pencarikayu bakar, pemanfaat kayu bangunan dan akademisi.Kelompok kuadran ini memiliki tingkat kepentingantinggi terhadap ekosistem mangrove namun kurangberpengaruh dalam pengelolaan mangrove di DesaPasarbanggi. ketergantungan tinggi terhadap ekosistemmangrove terkait kepentingan ekonomi ataupengetahuan terkait keberadaan ekosistem mangrovetersebut. Tingkat kepentingan dari pencari kepiting,tiram dan kayu bakar lebih tinggi dari akademisi karenamereka lebih banyak memanfaatkan mangrove danbanyak bergantung dari keberadaan mangrove sepertiperlindungan daerah mereka dari abrasi pantai sertamenciptakan tambahan ekonomi masyarakat. Pihakakademisi menggunakan mangrove sebagai sarana untukmengadakan penelitian. Kelompok pemangkukepentingan ini perlu dilibatkan lebih jauh dalampengelolaan ekosistem mangrove terutama menjagaekosistem mangrove dari pelaku pengrusakan mangrove.

Pada kuadran II menggambarkan pemangkukepentingan yang memiliki kepentingan dan pengaruhtinggi terhadap pengelolaan ekosistem mangrove.Adapun pemangku kepentingan yang berada padakuadran II adalah pemangku kepentingan yang dianggappaling kritis dalam pengelolaan mangrove. Anggotakuadran II ini meliputi Kelompok tani mangrove“Sidodadi Maju”, Kelompok Nelayan “Sidomulyo”,Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rembang,Dinas Kehutanan Kabupaten Rembang, KantorLingkungan Hidup Kabupaten Rembang, Dinas Kelautandan Perikanan Provinsi Jawa Tengah, LSM, Petambak.Kelompok pemangku kepentingan pada kuadran II iniharus saling membangun hubungan kerja yang baikantar pemangku kepentingan sehingga dapatmemastikan keefektifan dan dukungan koalisi tiappemangku kepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya. Hal ini sangat diperlukan karena kelompokkuadran ini memiliki posisi penting dalam merumuskanberbagai kebijakan terkait pengelolaan mangrove diDesa Pasarbanggi sehingga diperlukan dukungan koalisidan hubungan kerja yang baik antar pemangkukepentingan dalam upaya pengelolaan ekosistemmangrove.

Kelompok tani mangrove “Sidodadi Maju”danpetambak merupakan keyplayer paling utama dalampengelolaan ekosistem mangrove di Desa Pasarbanggi.Kelompok tani mangrove “Sidodadi Maju”memilikibeberapa tugas dan agenda tahunan terkait pengelolaanekosistem mangrove Desa Pasarbanggi. Adapun agendarutin yang dilakukan kelompok tani mangrove antaralain: (i) Pembibitan swadaya mangrove. (ii) Pembuatanaturan adat pemanfaatan mangrove, (iii) “KerjaBakti”pada ekosistem mangrove pada bulan bulantertentu. (iv) Penentuan tempat dan waktu penanaman

mangrove. (v) Mengelola keuangan hibah daripemerintah dengan membuat arisan kelompokmangrove. (vi) Melayani pemesanan bibit mangrove daripihak lain. (vii) Menjaga ekosistem mangrove dankeragaman hayati lain di ekosistem mangrove darikerusakan, (viii) Mengajak warga/masyarakat lain untukikut melindungi ekosistem mangrove.

Dilihat dari tugas pokok fungsi, instansi pemerintahkabupaten Rembang yang berhubungan denganpengelolaan mangrove yaitu DKP Kabupaten Rembang,Dinas Kehutanan, dan KLH. Ketiga instansi ini memilikiwewenang terhadap pengelolaan mangrove sepertitertera dalam Perda nomor 8 tahun 2007. DKP ProvinsiJawa Tengah hanya memberikan instruksi dan fasilitaskepada DKP Kabupaten Rembang dalam halpengelolaan ekosistem mangrove. LSM berperanmenjadi penghubung antara masyarakat dengan pihakpemerintah; sedangkan kelompok nelayan secara tidaklangsung mendapatkan manfaat dari mangrove danberperan dalam mengawasi keberadaan mangrove.

Anggota kuadran III merupakan kelompokpemangku kepentingan yang memiliki tingkatkepentingan dan pengaruh rendah (crowd) dalampengelolaan ekosistem mangrove di Desa Pasarbanggi.Kelompok kudran III ini diisi oleh Kepolisian/Kodimdan masyarakat sekitar. Keberadaan anggota padakuadran III ini sebenarnya tidak terlalu berpengaruhkeberadaannya dalam pengelolaan ekosistem mangrovedi Desa Pasarbanggi. Walaupun anggota kuadran IIIkurang berpengaruh untuk pengelolaan, namunkeberadaanya sangat diperlukan untuk kelestarianekosistem mangrove karena terlibat dalam partisipasipengawasan ekosistem mangrove dan menegakkantindakan hukum terhadap pelanggaran penggunaankawasan mangrove.

Gambar 16. Matriks analisis pemangku kepentingan

MUQORROBIN et al. – Pengelolaan ekosistem mangrove berbasis co-management 127

Kuadran IV diisi oleh kelompok pemangkukepentingan yang memiliki tingkat kepentingan rendahdan pengaruh tinggi. Kelompok kuadran IV ini berisikanPemerintah Desa Pasarbanggi dan Bappeda KabupatenRembang. Kelompok pemangku kepentingan padakuadran IV ini merupakan pemangku kepentingan yangbermanfaat bagi perumusan keputusan dan fasilitatorpenghubung antar pemangku kepentingan pengelolaan.Bappeda merupakan penghubung dari semua pemangkukepantingan terhadap mangrove dan dapat merumuskankeputusan terhadap kebijakan pengembangan ekosistemmangrove; sedangkan pemerintah Desa Pasarbanggimerupakan penghubung informasi dari pihak pemerintahkepada masayarakat Desa Pasarbanggi.

Interaksi masyarakat Desa Pasarbanggi terhadapmangrove

Mangrove merupakan habitat yang paling disukaioleh sebagian ikan laut sebagai tempat memijah ataupunbertelur dikarenakan ekosistem mangrove menyediakanmakanan bagi anak-anak ikan tersebut. Sebagian besarsiklus hidup udang juga terdapat pada ekosistemmangrove. Adanya alasan tersebut diatas sehinggaekosistem mangrove dianggap masyarakat Pasarbanggisebagai ekosistem yang penting bagi keberlanjutanperikanan di sekitar perairan Pasarbanggi. Selain itusebagian besar masyarakat di Dukuh Kaliuntuberpendapat dengan adanya ekosistem mangrovemenjadikan tambak mereka aman dari bahaya abrasipantai.

Banyak masyarakat dari Dukuh Kaliuntu yangmemanfaatkan ekosistem mangrove untuk mencari tiramdan kepiting ketika air laut surut. Pemanfaatan inidigunakan untuk menambah penghasilan keluarga.Secara ekonomi, harga tiram dijual perkilo adalah Rp.14.000,00 sampai Rp. 16.000,00, sedangkan hargakepiting bakau perkilo sekitar Rp. 45.000,00. Kegiatanmencari kepiting dan tiram dalam ekosistem mangrovedi Desa Pasarbanggi tidak dilarang karena tidak merusakpohon-pohon mangrove yang ada di sana. Beberapabentuk pemanfaatan yang dilarang di ekosistemmangrove bagi warga desa adalah larangan dalammencari ”obeng”yaitu semacam cacing laut yanghidupnya menempel pada akar akar mangrove terutamaRhizophora sp. dikarenakan dalam mencari jenis cacingini biasanya harus merusak akar-akar pohon mangrovesehingga dapat menyebabkan kematian pada pohonmangrove tersebut. Larangan lain yang tidak bolehdilakukan dalam ekosistem mangrove oleh warga desamenembak burung-burung yang terdapat pada ekosistemmangrove serta dilarang mengambil telur burung yangbertelur diekosistem mangrove tersebut. Selain itumenurut informasi dari warga Desa Pasarbanggi terdapatpemanfaatan yang merusak fungsi mangrove itu sendiridalam keberlanjutan perikanan yaitu menempatkanjaring dengan mata jaring yang sangat kecil untukmenghalangi ikan ikan kecil kembali laut. Pemanfaatandengan cara seperti ini tentu sangat merugikan bagikeberlanjutan perikanan sehingga diperlukan adanyasosialisasi dan pengawasan dari pihak pemerintah dalam

pemanfaatan ekosistem mangrove oleh warga desasetempat.

Terdapatnya beberapa aturan dan norma-norma adatdi masyarakat Desa Pasarbanggi mengenai pemeliharaanekosistem mangrove sehingga berhubungan dengansanksi yang akan diperoleh bagi pelanggar aturanmasyarakat tersebut. Sanksi yang ada dapat berupasanksi formal berupa kurungan penjara atau dendasesuai dengan Peraturan Daerah nomor 8 tahun 2007tentang pengelolaan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil di Kabupaten Rembang. Peraturan Daerahtersebut merupakan turunan dari Undang-Undang nomor27 tahun 2007. Sanksi informal dijatuhkan padamasyarakat yang menyalahgunakan ekosistem mangrovedengan pemanfaatan yang merusak dan merugikan,maka mereka akan langsung dihakimi oleh masyarakatdesa setempat dan diusir dari Desa Pasarbanggi. Namunsebelum dilakukan sanksi terhadap pelaku pemanfaatyang merusak, masyarakat melaporkan kepada pihakperangkat desa terlebih dahulu untuk menyelesaikansecara kekeluargaan. Selain itu sanksi adat lain apabilasecara sengaja menebang/merusak pohon mangrovemaka seorang pelaku pengrusakan tersebut harusmengganti 1 pohon mangrove yang rusak denganmenanam mangrove baru sebanyak 200 bibit pohonmangrove.

Keberadaan Kelompok Tani Mangrove “SidodadiMaju” sangat mendukung kelestarian ekosistemmangrove. Kelompok ini memiliki keterlibatan yangsangat tinggi dalam upaya pelestarian mangrove.Kelompok tani mangrove ini memiliki agendapenanaman mangrove dan “Kerja Bakti”setiap tahunpada waktu bulan-bulan tertentu. Bentuk kerja baktiyang dilakukan oleh kelompok ini dengan melakukanpembibitan secara swadaya oleh masyarakat danpembersihan area mangrove dari sampah sampahdisekitar mangrove. Kelompok mangrove inimemanfaatkan keberadaan ekosistem mangrove untukmelakukan pembibitan mangrove pada daerah disekitarmangrove yang mengalami pasang surut denganmengambil propagul yang jatuh dari pohon dan ditanamdengan polybag. Menurut masyarakat, dalam pembuatanbibit mangrove lebih mudah dan lebih cepat tumbuhpada ekosistem mangrove yang terendam oleh pasangsurut air laut. Pembibitan yang dilakukan oleh kelompokmasyarakat ini digunakan untuk penanaman swadayamaupun untuk melayani pemesanan bibit mangrove daridaerah lain.

Pemanfaatan lain mangrove bagi masyarakat disekitar mangrove saat ini yaitu memanfaatkan kayumangrove dengan mengambilnya sebagai kayu bakar.Pengambilan manfaat sebagai kayu bakar dilakukan olehmasyarakat hanya mengambil pohon dan ranting-rantingyang kering. Hal ini terkait dengan peraturan adatmengenai larangan merusak mangrove.

Pengelolaan ekosistem mangrove secara co-management

Status tanah timbul dimana mangrove tumbuh diDesa Pasarbanggi adalah tanah negara setelah ditetapkan

Bonorowo Wetlands 3 (2): 114-131, December 2013128

oleh Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 2007 tentangpengelolaan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecildi Kabupaten Rembang. Sesuai dengan Pasal 5 ayat 2Perda nomor 8 tahun 2007 tersebut, maka pengelolaanwilayah pesisir termasuk ekosistem mangrovedilaksanakan secara terpadu oleh instansi pemerintahyang sesuai dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing, masyarakat dan pemangku kepentingan laindengan memperhatikan keterpaduan perencanaan danpelaksanaan kebijaksanaan Pemerintah Daerah.

Keberadaan ekosistem mangrove di DesaPasarbanggi sangat dirasakan manfaatnya olehpenduduk sekitar. Terdapat beberapa motif masyarakatdalam memanfaatkan dan menjaga ekosistem mangrovedi Desa Pasarbanggi. Masyarakat petambak rata-ratamemanfaatkan mangrove sebagai penahan ombak ataupelindung areal tambak oleh terjangan ombak dari LautJawa. Bagi masyarakat nelayan, fungsi mengrovesebagai tempat asuh yang dapat menyuburkan perairandi sekitar daerah tangkapan nelayan Desa Pasarbanggi;sedangkan mangrove bagi sebagian besar pendudukDesa Pasarbaggi, terutama Dukuh Kaliuntu, mangrovedigunakan sebagai penambah penghasilan bagimasyarakat dengan jalan mencari tiram atau kepiting,dan menanam bibit mangrove secara swadaya. Melaluikegiatan mencari tiram dan kepiting tersebut rata-ratamasyarakat dapat memiliki tambahan penghasilansampai Rp. 200.000,- per bulan. Sedangkan dari hasilpanen penanaman bibit secara swadaya dapat menambahpenghasilan dari warga sebesar Rp 500.000,-Rp 1 juta.

Ancaman langsung yang paling serius terhadapmangrove pada umumnya di wilayah KabupatenRembang adalah akibat pembukaan mangrove untukpembangunan tambak ikan dan udang. Walaupunperaturan daerah sudah menetapkan bahwa ekosistemmangrove dilindungi, ternyata masih terdapat pendudukyang membuka lahan mangrove untuk membuat arealtambak. Mangrove di Desa Pasarbanggi dikelola olehkelompok tani mangrove “Sidodadi Maju”sehinggakondisi mangrove dapat dikontrol secara langsung.

Terdapat hukum adat yang diterapkan dalammenjaga kelestarian mangrove di Desa Pasarbanggi.Bagi masyaakat yang merusak satu pohon mangrovewajib mengganti dengan menanam 200 bibit mangrovebaru. Selain itu, pelaku pengrusakan harus membuat danmenandatangani surat pernyataan diataas materai takakan mengulangi lagi perbuatan itu. Hukum dan aturantersebut berlaku pula bagi para penembak burung disekitar hutan mangrove. Hutan mangrove di DesaPasarbanggi telah menjadi tempat tinggal atau singgahkawanan burung, seperti burung blekok, kuntul,derkuku, dan jalak. Namun, dalam penerapan menjagakelestarian burung masih kurang tegas karena peraturantersebut hanya berlaku bagi masyarakat dari luar DesaPasarbanggi. Kelemahan ini dapat menjadi celah bagimasyarakat Desa Pasarbanggi untuk berburu burung-burung di sekitar mangrove.

Kurangnya pengawasan terhadap ekosistemmangrove sehingga masih ada nelayan yang mengguna-kan batang mangrove sebagai pengait tali kapal yang

berlabuh di tepi pantai. Hal ini dapat berpotensi merusakpohon mangrove yang sudah tumbuh dengan baik didesa tersebut. Selain itu masih banyaknya pendudukyang membuang sampah dapat menyebabkanterganggunya ekosistem mangrove terlebih pada bibitmangrove yang baru ditanam. Kebijakan pemerintahdengan membuat aturan terhadap pengelolaanlingkungan terutama di sekitar mangrove, dimaksudkanagar menghambat terjadinya kerusakan lingkunganmangrove. Pada kenyataannya aturan-aturan yangdikeluarkan oleh pemerintah tanpa disertai olehpengawasan di lapangan dan kesadaran masyarakatuntuk menjalankannya akan menjadi sia-sia.

Menurut Pomeroy dan Rivera-Gueib (2006)menyatakan bahwa dalam upaya pengelolaan suatusumber daya alangkah baiknya jika masyarakat ikutdilibatkan dalam pengelolaan karena masyarakatmerupakan user utama. Hal ini sesuai prinsip prosespengelolaaan secara co-management, dimanamasyarakat diberi ruang oleh pemerintah dalam halpengelolaan ekosistem sumber daya tersebut. Keadaansosial ekonomi dan adat istiadat masyarakat dapatmenjadi kunci keberhasilan dalam pelaksanaan sistempengelolaan suatu ekosistem.

Berdasarkan spektrum co-management yang disusunoleh Adrianto (2007) dalam pengelolaan sumber daya,saat ini pengelolaan mangrove di Desa Pasarbanggiberada pada tahap konsultatif. Pada tahap ini pemerintahmulai banyak melakukan dialog dan diskusi dengan parapelaku kepentingan terhadap sumber daya mangrove.Namun dalam kegiatan penyusunan perencanaan,pengorganisasian, pengawasan dan evaluasi darimasing-masing pemangku kepentingan terbatas hanyapada pemerintah dan pelaksanaan program belummenyeluruh kepada para pemangku kepentingan (Tabel13). Dalam pelaksanaan program masih berjalan sendiri-sendiri dan kurang kerjasama antar instansi yangberkepentingan maupun dengan pemangku kepentinganlain. Pertukaran informasi masih bersifat sepihak karenakomunikasi dan koordinasi antara pemerintah denganpemangku kepentingan lain masih kurang.

Pemerintah selaku penentu kebijakan utama tidakdapat mengabaikan keterlibatan kelompok pemangkukepentingan dalam penyusunan rencana pengelolaan.Pemangku kepentingan terutama dari masyarakat sangatdibutuhkan perannya sebagai informan mengenaisumber daya mangrove. Selain itu, masyarakatmerupakan pihak yang paling mendapatkan manfaat daripengelolaan mangrove sehingga masyarakat perludilibatkan dalam penyusunan rencana pengelolaan.Banyaknya pemangku kepentingan yang memanfaatkanmangrove sehingga diperlukan strategi manajemendengan mengidentifikasi terhadap para pemangkukepentingan terhadap mangrove sehingga prosespenyusunan rencana pengelolaan dapat melibatkan parapemangku kepentingan tersebut. Adapun indikator darikeberhasilan dapat terlihat dari perencanaan pengelolaanmangrove yang dapat mengakomodir kepentingan daritiap pemangku kepentingan dengan tetapmemperhatikan kelestarian mangrove.

MUQORROBIN et al. – Pengelolaan ekosistem mangrove berbasis co-management 129

Tabel 13. Kajian pengelolaan mangrove di Desa Pasarbanggi

Kriteria Kondisi di lapangan Kondisi idealyang diharapkan

Strategi manajemen

Penyusunan rencanapengelolaan mangrove

Hanya dari pihak pemerintah dan tidaksemua pemangku kepentingan dari pihakmasyarakat dilibatkan dalam menyusunperencanaan

Melibatkan semuapemangku kepentingan

Mengidentifikasi seluruh pemangkukepentingan

Pelaksanaan program Kerjasama hanya melibatkan sebagianmasyarakat dan tidak menyeluruh pada tiappemangku kepentingan

Kerjasama antarapemerintah danmasyarakat

Membuat sebuah kesepakatan sesuaidengan kapabilitas masing-masingpemangku kepentingan

Pengorganisasian Komunikasi dan koordinasi tidak/lamaterjadi baik dari pemerintah ke masyarakatdan juga sebaliknya, karena belum adanyalembaga pengelola mangrove yangmenaungi semua pemangku kepentingan

Terjadi komunikasi dankoordinasi antarpemangku kepentingansecara kontinu

Membuat lembaga pengelola khususmangrove yang terdiri dari berbagaipemangku kepentingan

Pengawasan program danevaluasi

Hanya dari pihak pemerintah dan tidaksemua pemangku kepentingan dilibatkandalam kegiatan pengawasandan evaluasi

Melibatkan semuapemangku kepentingan

Menetapkan forum pertemuan rutinbagi semua pemangku kepentinganterkait pengawasan dan evaluasi

Pelaksanaan program yang masih melibatkansebagian masyarakat membuat banyak para pemangkukepentingan yang merasa belum diikutkan dalamkegiatan pengelolaan mangrove. Keterlibatan semuapemangku kepentingan dapat membantu pelaksanaanprogram pengelolaan sesuai dengan kapabilitas masing-masing pemangku kepentingan. Hal ini dapat dibuatsuatu bentuk kesepakatan tertulis sesuai dengankapabilitas masing-masing pemangku kepentingan baikdari pemerintah maupun masyarakat sehingga dapatdiketahui peran dari masing-masing pemangkukepentingan dalam pengelolaan mangrove. Indikatordari keberhasilan dapat dilihat dari pelaksanaan perandari masing-masing pemangku kepentingan.

Masih lemahnya koordinasi dan komunikasi antarpemangku kepentingan baik dari pemerintah kemasyarakat maupun sebaliknya membuat koordinasiantar pemangku kepentingan masih kacau dan seringterjadi tumpang tindih kebijakan. Peristiwa tumpangtindih kebijakan dan kurang terkoordinasinya kegiatanpelaksanaan dalam pengelolaan mangrove sudah seringterjadi. Sebagai contoh, Saat DKP melakukan kegiatanpelebaran sungai dengan jalan menebang pohon-pohonmangrove di sekitar sungai kurang melakukan sosialisasiterlebih dahulu dan tidak melakukan koordinasi denganinstansi pemerintah lain yang terkait dengan pengelolaanmangrove. Selain kegiatan tersebut, seringkali diadakanmasing-masing instansi melakukan kegiatan penanamanmangrove pada daerah tertentu secara sendiri-sendiri.Strategi dengan membuat lembaga pengelola khususmangrove yang terdiri dari para pemangku kepentingaterhadap mangrove diharapkan dapat meminimalkantumpang tindih kebijakan antar pemangku kepentingan.Selain itu dengan adanya lembaga pengelola, informasi,kegiatan, dan kerjasama antar pemangku kepentingandapat dikontrol dan dipantau satu sama lain.

Belum adanya suatu lembaga pengelola yang terdiripara pelaku kepentingan menjadi kendala dalampengelolaan mangrove di Kabupaten Rembang,khususnya mangrove Desa Pasarbanggi. Nobel (2005)menyatakan bahwa dalam pendirian sebuah institusipengelolaan suatu ekosistem sumber daya harusmemiliki 6 kriteria khusus agar terlaksana sesuai denganprinsip co-management. Enam (6) prinsip dalammembentuk dan menilai institusi baru guna mengelolamangrove secara co-management antara lain organisasiyang interaktif, kontrol lokal, dukungan masyarakat,proses yang terencana, keragaman anggota, prinsipholism (pengkajian semua aspek). Semua prinsipmemiliki keterikatan dan mendukung satusama lain.

Pembentukan lembaga pengelola tersebut bersifatformal diantara para pemangku kepentingan namundalam bekerjarnya dapat bersifat non-formal. Di dalamlembaga pengelola tersebut terdapat semua pemangkukepentingan baik pemerintah, swasta, dan masyarakatyang dilibatkan dalam pengelolaan ekosistem mangrovesehingga semua pemangku kepentingan dapat memilikiinformasi dan berpartisipasi dalam pengelolaanekosistem mangrove.

Dalam pembentukan lembaga pengelola diperlukanketerlibatan pemerintah daerah yang dalam hal ini diwakili oleh BAPPEDA dalam lembaga pengelolatersebut karena terkait pemangku kebijakan danpenengah dalam perencanaan ekosistem sesuai dengankonsep kriteria institusi co-management yang disusunoleh (White (1994).

Adanya lembaga pengelola, kontrol peran darimasing-masing pemangku kepentingan dapat lebihmudah dilakukan serta berjalannya saling tukarinformasi mengenai sumberdaya mangrove dari parapemangku kepentingan (Tabel 14).

Bonorowo Wetlands 3 (2): 114-131, December 2013130

Tabel 14. Peran pemangku kepentingan dalam lembaga pengelola (Adrianto et al. 2009)

Instansi Kuadran Peran dan tanggung jawab yang diharapkan dalam lembaga pengelola

Dinas Kehutanan 2 Memfasilitasi rehabilitasi ekosistem mangrovePengembangan program pengelolaan hutan lestari dan penyusunan aturan adat mengenai mangrove

DKPKabupaten

2 Membuat peraturan dan kebijakan mengenai pemanfaatan lestari hutan mangroveMelindungi ekosistem pesisir yang rawan erosi/abrasi dan bencana alamMemperkuat kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove

DKPProvinsi

2 Menentukan kebijakan dalam pengelolaan ekosistem mangroveMembantu pihak DKP Kabupaten dalam konservasi, sosialisasi, memfasilitasi pemanfaatan ekosistem

KLH 2 Memperkuat lembaga pengelola mangrove derah sebagai wadah komunikasi dan koordinasi pengelolaanekosistem mangroveMendorong kegiatan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan tentang pengelolaan ekosistem mangrove

Bappeda 4 Mengkoordinasikan forum lokal kemitraan pemangku kepentingan dalam lembaga pengelolaResolusi konflik antar pemangku kepentinganMenyusun petunjuk teknis terkait pengelolaan ekosistem mangrove sesuai kondisi wilayah

Akademisi 1 Melakukan kajian-kajian keilmuan dalam rangka mendukung pengelolaan ekosistem mangroveMemberikan sharing pengetahuan, data yang terkait dalam pengelolaan ekosistem mangrove

LSM 2 Sebagai mitra pemerintah dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan ekosistem mangrovePengorganisasian masyarakat dalam inisiasi maupun implementasi pengelolaanMemberikan masukan,data,informasi dalam pelaksanaan pengelolaan ekosistem mangrove

Pemerintah DesaPasarbanggi

4 Menyediakan dan mengkoordinasikan forum lokal dengan pemerintah dalam pengelolaan bersamaMenengahi konflik sosial masyarakat dalam hal pemanfaatan mangroveMenyampaikan informasi dari masyarakat ke lembaga dan sebaliknya

Kelompok tanimangrove“Sidodadi Maju”

2 Kebijakan pengawasan dalam menjaga kelestarian ekosistem mangrove dari pengrusakanPerencanaan dan implementasi kegiatanMemberikan masukan,data,informasi terhadap pelaksanaan pengelolaan ekosistem mangrove

KelompokNelayan

2 Kebijakan pengawasan dalam menjaga kelestarian ekosistem mangrove daripengrusakan dan pemanfaatan sebagai nursery ground

Petambak 2 Menjaga ekosistem mangroveMelapor apabila terjadi kerusakan ekosistem mangrove

Masyarakat sekitar 3 Menjaga ekosistem mangroveMenjaga sanitasi dan kebersihan lingkungan

Pencari kepiting 1 Menjaga ekosistem mangroveMelapor apabila terjadi kerusakan ekosistem mangrove

Pencari tiram 1 Menjaga ekosistem mangroveMelapor apabila terjadi kerusakan ekosistem mangrove

Pencari kayu bakar 1 Menjaga ekosistem mangroveMelapor apabila terjadi kerusakan ekosistem mangrove

Kepolisian/ Kodim 3 Pengaman peraturan/hukum

Proses pengawasan dan evaluasi yang hanyadilakukan oleh pemerintah dan tidak melibatkan semuapara pemangku kepentingan membuat informasimengenai perkembangan kondisi ekosistem mangrovesaat ini hanya dimiliki sepihak dan kurang efektif dalampengelolaan. Sehingga melalui adanya lembagapengelola mangrove yang dibuat, dapat dilaksanakanforum pertemuan rutin bagi para pemangku kepentinganterkait perkembangan kegiatan pengawasan dan evaluasiterhadap sumberdaya.

Proses pengawasan dapat dilakukan oleh para pelakupemanfaat seperti petambak, kelompok tani, pencaritiram, pencari kepiting, dan pencari kayu bakar sambilmemanfaatkan ekosistem mangrove tanpa merusakekosistem. Nelayan mencari ikan di laut dan jikaterdapat permasalahan dalam penyalahgunaan mangrovemaka nelayan dapat melaporkan kepada ketua kelompokatau perangkat desa sehingga akan bersama-samamengontrol ekosistem mangrove. Pihak akademisi yangmelakukan penelitian di ekosistem mangrove dapat

melaporkan hasil penelitiannya sehingga dapat menjadilandasan dalam mengembangkan ekosistem mangrovetersebut. Jika pemerintah memiliki rencanapengembangan untuk mangrove maka semua pemangkukepentingan terhadap mangrove akan saling merapatuntuk bersama-sama dalam menghijaukan danmelestarikan ekosistem mangrove.

Pemerintah daerah melalui Bappeda dapat menjadifasilitator dalam proses evaluasi terkait kewenangannyadalam mengkoordinasikan forum lokal kemitraanpemangku kepentingan dengan mengumpulkan parapelaku kepentingan. Pertemuan dalam forum pemangkukepentingan ini dapat diagendakan secara rutin dalamlembaga pengelola dengan kesepakatan semuapemangku kepentingan. Indikator keberhasilan dariberjalannya pengawasan dan evaluasi dengan baik yaituterlaksananya kegiatan pengawasan mangrove oleh parapelaku pemanfaat dan terlaksananya forum pertemuanrutin diantara para pemangku kepentingan dalamlembaga pengelola mangrove.

MUQORROBIN et al. – Pengelolaan ekosistem mangrove berbasis co-management 131

Adanya model pengelolaan ekosistem co-management tidak hanya bertujuan meningkatkan danmemelihara keberadaan mangrove, namun jugabertujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakatdan khususnya peningkatan kesejahteraan masyarakatdengan keberadaan mangrove. Dengan model co-management peran, tanggung jawab dan pemanfaatandari tiap pemangku kepentingan dapat diakomodirdengan tetap memperhatikan kelestarian ekosistemmangrove.

Berdasarkan spektrum co-management yang disusunoleh Adrianto (2007) bentuk pengelolaan co-management di Desa Pasarbanggi saat ini masih beradapada tahap konsultatif yaitu pemerintah mulaimempertimbangkan pandangan lokal sebelum membuatkeputusan. Namun hal ini belum efektif karena dalamkegiatan lain seperti penyusunan rencana pengelolaan,pelaksanaan program, pengorganisasian, pengawasandan evaluasi masih belum melibatkan seluruh pemangkukepentingan dari pihak masyarakat. Oleh karena itu,masyarakat pemanfaat dan seluruh pemangkukepentingan lain harus dapat lebih ditingkatkanpartisipasinya dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan,pengorganisasian, pengawasan dan evaluasi dalampengelolaan ekosistem mangrove.

KESIMPULAN

Di pesisir Desa Pasarbanggi, Kabupaten Rembangterdapat 5 spesies mangrove sejati yaitu R. stylosa, R.apiculata, R. mucronata, S. alba, dan A. marina. R.stylosa mendominasi jenis mangrove dengan nilai INPtertinggi. Dengan demikian Desa Pasarbanggi memilikikarakteristik habitat Rhizophora sp karena kondisiumum perairan dan substrat yang cocok untukpertumbuhan jenis tersebut. Adapun masyarakatpemanfaat dari mengrove di Desa Psarbanggi antara lainkelompok tani mangrove, kelompok nelayan, petambak,pencari tiram, pencari kepiting, pencari kayu bakar,danpemanfaat kayu bangunan.

Masing-masing pemangku kepentingan memilikijenis pemanfaatan dan tingkat kepentingan berbedaterhadap ekosistem mangrove Desa Pasarbanggi.Pemangku kepentingan dari pihak pemerintah yangterdiri dari Dinas Kehutanan, Dinas Kelautan danPerikanan, Kantor Lingkungan Hidup, dan BappedaKabupaten Rembang memiliki peran penting dalamkebijakan dan fasilitator dalam pengelolaan ekosistemmangrove. Pemangku kepentingan lain yang terdiri darikelompok pemanfaat mangrove seperti akademisi,petambak, nelayan, pencari kepiting, pencari tiram danpencari kayu bakar bertugas menjaga kelestarianekosistem mangrove dari bahaya kerusakan selainhanya memanfaatkan keberadaan ekosistem mangrovetersebut. Pemerintah Desa dan LSM berperan sebagaipihak penghubung antara pemerintah dan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas R. 2005. Mekanisme Perencanaan Partisipasi Pemangkukepentingan Taman Nasional Gunung Rinjani. [Disertasi].Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Adrianto L. 2007. Pengantar Kepada Ko-Manajemen Perikanan. PusatKajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor.Bogor

Adrianto L, Hartoto DI, Kalikoski D, & Yunanda T. 2009. Buildingcapacity for mainstreaming fisheries co-management in Indonesia.Course book. FAO Rome, DKP, Jakarta.

Aguilera RV, John CD, Zeynep YY. 2006. Institutions andOrganizational Socialization: Integrating Employees inCross−Border Mergers and Acquisitions. Emerging ResearchFrontiers in International Business Studies, Volume 2.[http://www.business.illinois.edu/working_papers/papers/ 06-0112.pdf]

Bappeda [Badan Perencanaan Pembangunan Daerah]. 2012. ValuasiEkonomi Sumber Daya Pesisir Kabupaten Rembang 2012.Bappeda Kabupaten Rembang. Rembang.

Bengen DG. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir.Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut PertanianBogor. Bogor.

Bengen DG. 2002. Pedoman Teknis Pengenalan dan PengelolaanEkosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir danLautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

BPMP-KB Pemkab Rembang [Badan Pemberdayaan MasyarakatPerempuan dan Keluarga Berencana. Pemerintah KabupatenRembang]. 2011. Buku Profil Desa Pasarbanggi Tahun 2011.Badan Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan KeluargaBerencana. Pemerintah Kabupaten Rembang, Rembang.

FAO [Food and Agriculture Organization]. 2007. The World’sMangroves 1980-2005.www.fao.org/forestry/site/mangrove/statistics.

Gunarto. 2004. Konservasi mangrove sebagai pendukung sumber hayatiperikanan pantai. Balai riset perikanan budidaya air payau.Sulawesi Selatan. Jurnal Litbang Pertanian 23 (1): 15-21.

Huda N. 2008. Strategi Kebijakan Pengelolaan MangroveBerkelanjutan Di Wilayah Pesisir Kabupaten Tanjung JabungTimur Jambi. [Tesis]. Program Pascasarjana UniversitasDiponegoro, Semarang. Indonesia.

Kusmana C. 2005. Rencana Rehabilitasi Hutan Mangrove dan HutanPantai Pasca Tsunami di NAD dan Nias. Makalah dalamLokakarya Hutan Mangrove Pasca Tsunami, April 2005, Medan.Indonesia.

Paena M, Hasnawi, Mustafa A. 2010. Kerapatan Huatan MangroveSebagai Dasar Rehabilitasi Dan Restocking Kepiting Bakau DiKabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat. Prosiding ForumInovasi Teknologi Akuakultur.

Peraturan Daerah No. 8 tahun 2007 tentang Pengelolaan WilayahPesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Rembang.

Peraturan Pemerintah No.60 Tahun 2007 tentang Konservasi SumberDaya Ikan

Pomeroy RS, Rivera-Guieb R. 2006. Fishery Co-Management aPractical Handbook. International Development Research Centre.Ottawa. Canada.

Reed M, Graves A, Dandy N, Posthumus H, Hubacek K, Morris J,Prell C, Quinn CH, Stringer LC. 2009. Who’s nad why? ATypology of stakeholder analysis methods for natural resourcemanagement. J Environ Manage 90 (5): 1933-1949.

Setyawan AD, Winarno K. 2006. Permasalahan Konservasi EkosistemMangrove di Pesisir Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Jurnal.Biodiversitas 7 (2): 159-163.

Supardjo MN. 2008. Identifikasi Vegetasi Mangrove di Segoro AnakSelatan, Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur.Jurnal Saintek Perikanan 3 (2): 9-15.

Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber DayaAlam Hayati dan Ekosistemnya

Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan WilayahPesisir Dan Pulau-Pulau Kecil.

White AT, Hale LZ, Renard Y, Cortesi L. 1994. Lessons to be learnedfrom experience. In: Collaborative and Communty BasedManagement of Coral Reefs. Kumarian Press, Connecticut.

THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK

GUIDANCE FOR AUTHORS

The Bonorowo Wetlands is a peer reviewed journal publishing originalpapers and review in all wetlands sciences, including: physical aspects,biogeochemistry, biodiversity, conservation and management. The journal isissued twice yearly, in July and December, by the The Nusantara Institute ofBiodiversity (an organ of The Society for Indonesian Biodiversity).

The only articles written in English (U.S. English) and Bahasa Indonesia areaccepted for publication. Prior to submission, authors whose first language isnot English or Bahasa Indonesia are advised to have their manuscriptschecked by someone fluent or proficient in that language. The acceptedmanuscript in Bahasa Indonesia will be translated into English by themanagement. Final manuscript is published in English. Contributions mustnot have been published or be under consideration elsewhere.

Cover letter, submission and copyright. Ensure your cover letter statesclearly that you are submitting your manuscript (state title) for publication inThe Bonorowo Wetlands. By submitting the manuscript(s), the authors agreethat upon acceptance, copyright of the entire work becomes the property ofThe Nusantara Institute of Biodiversity/The Society for IndonesianBiodiversity. Authors must ensure all required permission has been obtainedin writing to publish any material presented in their work, and the Editor mayrequire proof of such permission.

Manuscripts may be submitted in electronic form (.odt or .doc/docx ispreferred for text and .jpeg for figures), and typed at paper size of A4(210x297 mm2), in a single column, double line spacing, 12-point TimesNew Roman font, with 2 cm distance step aside in all side. Number all pagesserially including the title and abstract on the first. Smaller letter size andspace can be applied in presenting table. Additional word processingsoftware can be used; however, it must be PC compatible. Manuscript oforiginal research should be written in no more than 25 pages (includingtables and figures), each page contain 700-800 word, or proportional witharticle in this publication issue. Invited review articles will be accommodated.

Title and authorship: The title should give a concise description of thecontents of the article. If a scientific name is used in the title, it is normallyincluded without authority, but the family name would be provided. Authors’names and affiliations must be stated below the title. If more than one author,indicate Corresponding author (email address) below the relevant author’sinstitutional address. Avoid footnotes. Title of article should be written incompact, clear, and informative sentence preferably not more than 20 words(generally 135 characters including spaces). Name of author(s) should becompletely written. Name and institution address should be also completelywritten with street name and number (location), zip code, telephone number,facsimile number, and e-mail address.

Short running title: Suggest up to five words should also be provided,reflecting the idea of the manuscript.

Abstract: An abstract of 100-300 words at most should be provided. Itshould concisely indicate the contents of the article without summarizing it,but mentioning if novelties and name changes are included.

Keywords: Suggest at most five keywords, covering scientific and localname (if any), research theme, and special methods, in alphabetical order.

Introduction is about 400-600 words, covering background and aims of theresearch. Materials and Methods should emphasize on the procedures anddata analysis. Results and Discussion should be written as a series ofconnecting sentences, however, for manuscript with long discussion shouldbe divided into sub titles. Thorough discussion represents the causal effectmainly explains for why and how the results of the research were takenplace, and do not only re-express the mentioned results in the form ofsentences. Conclusion should preferably be given at the end of thediscussion. Acknowledgments list and funding sources are expressed in abrief. Dedications are rarely allowed.

Scientific names: Genus and species names of organisms must be italicizedand followed by the authority (with family name indicated in parentheses)when first mentioned in the main text. Standard abbreviations and acronymsmay be used in the text, but the full term should be given on first mention.Dates should be cited as: 1 Jan 2010. SI (metric) units of measurementshould be used and spelled out except when preceded by a numeral, whenthey should be abbreviated in standard form: g, mL, km, etc. and notfollowed by full stops (periods). Equation of mathematics can be writtenseparately. Number one to ten are expressed with words, except if it relatesto measurement, while values above them written in number, except in earlysentence. Fraction should be expressed in decimal. In text, it should be used“%” rather than “gratuity”. Biochemical and chemical nomenclature shouldfollow the order of IUPAC-IUB, while its translation to Indonesian-Englishrefers to Glossarium Istilah Asing-Indonesia (2006). For DNA sequence, it isbetter used Courier New font.

Tables: All tables should be numbered in arabic numerals in the order theyare first mentioned in the text and carry an indicative legend at the head.

Figures: All drawings, maps, graphs and photographic images are to benumbered in arabic numerals in the order they are first mentioned in the text,as Figure 1, Figure 2, etc. Where relevant, scale bars should be used toindicate magnification. Color reproductions will only be considered whenthey add significantly to information content. High resolution digital imagesmay also be submitted as separate files (line drawings in black and white at600 dpi, photographs at 300 dpi) sent electronically with the manuscript.Author could consign any picture or photo for front cover, although it doesnot print in the manuscript.

There is no appendix, all data or data analysis are incorporated into Resultsand Discussions. For broad data, it can be displayed in website asSupplement.

References in the text: Citation in the text should take the form: Saharjo andNurhayati (2006) or (Boonkerd 2003a, b, c; Sugiyarto 2004; El-Bana andNijs 2005; Balagadde et al. 2008; Webb et al. 2008). Extent citation asshown with word “cit” should be avoided, and suggested to refer an originalreference.

References listed at the end: Under References, works mentioned in the textare listed alphabetically. APA style in double space is used in the reference.Only published or in-press papers and books may be cited in the referencelist. Unpublished abstracts of papers presented at meetings or references to"data not shown" are not permitted. All authors should be named in thecitation (unless there are more than five). If there are more than five, list thefirst fifth author's name followed by et al. Include the full title for each citedarticle. Authors must translate foreign language titles into English, with anotation of the original language (except for Spanish, France, and Germany).For manuscript in Bahasa Indonesia, translation of Indonesian title in toEnglish is not necessary. For correct abbreviations of journal titles, referto Chemical Abstracts Service Source Index (CASSI). Provide inclusivevolume and page ranges for journal articles, but not for book or bookchapters.

Journal:Saharjo BH, Nurhayati AD. 2006. Domination and compositionstructure change at hemic peat natural regeneration following burning; acase study in Pelalawan, Riau Province. Biodiversitas 7: 154-158.

Book:Rai MK, Carpinella C. 2006. Naturally occurring bioactive compounds.Elsevier, Amsterdam.

Chapter in book:Webb CO, Cannon CH, Davies SJ. 2008. Ecological organization,biogeography, and the phylogenetic structure of rainforest treecommunities. In: Carson W, Schnitzer S (eds) Tropical forestcommunity ecology. Wiley-Blackwell, New York.

Abstract:Assaeed AM. 2007. Seed production and dispersal of Rhazya stricta.50th annual symposium of the International Association for VegetationScience, Swansea, UK, 23-27 July 2007.

Proceeding:Alikodra HS. 2000. Biodiversity for development of local autonomousgovernment. In: Setyawan AD, Sutarno (eds) Toward mount Lawunational park; proceeding of national seminary and workshop onbiodiversity conservation to protect and save germplasm in Java island.Sebelas Maret University, Surakarta, 17-20 July 2000. [Indonesia]

Thesis, Dissertation:Sugiyarto. 2004. Soil macro-invertebrates diversity and inter-croppingplants productivity in agroforestry system based on sengon.[Dissertation]. Brawijaya University, Malang. [Indonesia]

Information from internet:Balagadde FK, Song H, Ozaki J, Collins CH, Barnet M, Arnold FH,Quake SR, You L. 2008. A synthetic Escherichia coli predator-preyecosystem. Mol Syst Biol 4: 187. www.molecularsystemsbiology.com

Progress of manuscript. Notification of manuscript whether it is accepted orrefused will be notified in about two to three months since the manuscriptreceived. Manuscript is refused if the content does not in line with thejournal mission, low quality, inappropriate format, complicated languagestyle, dishonesty of authenticity, or no answer of correspondence in a certainperiod. Author or first authors at a group manuscript will get one originalcopy of journal containing manuscript submitted not more than a month afterpublication. Offprint or reprint is only available with special request.

Address for sending manuscript is The Editor <[email protected]>.

NOTIFICATION: All communications are strongly recommended to be undertaken through email.

| Bonorowo Wetlands | vol. 3 | no. 2 | pp. 55-131 | December 2013 | ISSN 2088-110X | E-ISSN 2088-2475 |

Karakteristik habitat dan potensi kepiting bakau (Scylla serrata, S.transquaberica, dan S.olivacea) di Hutan Mangrove Cibako, Kabupaten Garut, Jawa BaratIrvan Avianto, Sulistiono, Isdrajad Setyobudiandi

55-72

Pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat dalam upaya konservasi Daerah AliranSungai: Studi Kasus Desa Keseneng, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang, JawaTengahFransisca Emilia, Boedi Hendrarto, Tukiman Taruna

73-100

Populasi dan habitat monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di Kawasan EkowisataMangrove Wonorejo, SurabayaIndira Wahyu Septa Anggraeni, Dones Rinaldi, Ani Mardiastuti

101-113

Pengelolaan ekosistem mangrove berbasis co-management di Desa Pasarbanggi,Kabupaten Rembang, Jawa TengahAhmad Muqorrobin, Fredinan Yulianda, Taryono Kodiran

114-131

Front cover: Scylla serrata, by Vengolis

PRINTED IN INDONESIAPublished semiannually on June and December