bph (1) agam

60
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Definisi Benign Prostate Hypertrofia (BPH) sebenarnya adalah suatu keadaan dimana kelenjar periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah. 1,2 II.2 Anatomi Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul fibromuskuler,yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi bagian proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior rektum. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram, dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan tebal 2,5 cm. 12

Upload: namira-syafitri

Post on 25-Jul-2015

344 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: BPH (1) agam

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi

Benign Prostate Hypertrofia (BPH) sebenarnya adalah suatu keadaan dimana kelenjar

periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke

perifer dan menjadi simpai bedah. 1,2

II.2 Anatomi

Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul

fibromuskuler,yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi bagian proksimal

uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior rektum. Bentuknya sebesar buah

kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram, dengan jarak basis ke apex

kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan tebal 2,5 cm.12

Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus :

1. lobus medius

Page 2: BPH (1) agam

2. lobus lateralis (2 lobus)

3. lobus anterior

4. lobus posterior 8,12

Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus posterior akan menjadi

satu dan disebut lobus medius saja. Pada penampang, lobus medius kadang-kadang tak tampak

karena terlalu kecil dan lobus lain tampak homogen berwarna abu-abu, dengan kista kecil berisi

cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat.8

Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain adalah: zona

perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan zona periuretral.

Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional yang letaknya proximal dari

spincter externus di kedua sisi dari verumontanum dan di zona periuretral. Kedua zona tersebut

hanya merupakan 2% dari seluruh volume prostat. Sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat

berasal dari zona perifer.7,11

Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara dikanan dari verumontanum

dibagian posterior dari uretra pars prostatika. Disebelah depan didapatkan ligamentum pubo

prostatika, disebelah bawah ligamentum triangulare inferior dan disebelah belakang didapatkan

fascia denonvilliers.

Fascia denonvilliers terdiri dari 2 lembar, lembar depan melekat erat dengan prostat dan

vesika seminalis, sedangkan lembar belakang melekat secara longgar dengan fascia pelvis dan

memisahkan prostat dengan rektum.

Antara fascia endopelvic dan kapsul sebenarnya dari prostat didapatkan jaringan peri

prostat yang berisi pleksus prostatovesikal.8

Pada potongan melintang kelenjar prostat terdiri dari :

1. Kapsul anatomi

Page 3: BPH (1) agam

2. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler

3. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian,

a. Bagian luar disebut kelenjar prostat sebenarnya.

b. Bagian tengah disebut kelenjar submukosa, lapisan ini disebut juga sebagai

adenomatous zone

c. Disekitar uretra disebut periurethral gland 12

Pada BPH kapsul pada prostat terdiri dari 3 lapis :

1. kapsul anatomis

2. kapsul chirurgicum, ini terjadi akibat terjepitnya kelenjar prostat yang sebenarnya

(outer zone) sehingga terbentuk kapsul

3. kapsul yang terbentuk dari jaringan fibromuskuler antara bagian dalam (inner

zone) dan bagian luar (outer zone) dari kelenjar prostat.12

BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung banyak

jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada bagian posterior daripada lobus

medius (lobus posterior) yang merupakan bagian tersering terjadinya perkembangan suatu

keganasan prostat. Sedangkan lobus anterior kurang mengalami hiperplasi karena sedikit

mengandung jaringan kelenjar.8,12

II.3 Epidemiologi

Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan sebelum

usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir

sampai pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran, yang kontinyu sampai usia

akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan hiperplasi.4

Page 4: BPH (1) agam

Prevalensi yang pasti di Indonesia belum diketahui tetapi berdasarkan kepustakaan luar

negeri diperkirakan semenjak umur 50 tahun 20%-30% penderita akan memerlukan pengobatan

untuk prostat hiperplasia. Yang jelas prevalensi sangat tergantung pada golongan umur.

Sebenarnya perubahan-perubahan kearah terjadinya pembesaran prostat sudah dimulai sejak dini,

dimulai pada perubahan-perubahan mikroskopoik yang kemudian bermanifestasi menjadi

kelainan makroskopik (kelenjar membesar) dan kemudian baru manifes dengan gejala klinik.7

Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat ditemukan

pada usia 30 – 40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan terjadi

perubahan patologi anatomi. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada

usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas akan menyebabkan gejala dan

tanda klinik.1

II.4 Etiologi

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia

prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan

peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).11

Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia

prostat adalah:

1. Teori Hormonal

Teori ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi maka tidak terjadi BPH,

juga terjadinya regresi BPH bila dilakukan kastrasi. Selain androgen (testosteron/DHT),

estrogen juga berperan untuk terjadinya BPH. Dengan bertambahnya usia akan terjadi

perubahan keseimbangan hormonal, yaitu antara hormon testosteron dan hormon estrogen,

karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen

pada jaringan adiposa di perifer dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat

estrogen ini akan merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan

bahwa testosteron diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian

estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan

Page 5: BPH (1) agam

konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan potensiasi

faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran prostat.

Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis dapat diperoleh kesimpulan, bahwa dalam

keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan produksi hormon

androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin bertambahnya

usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis) yang akan

menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini mengakibatkan

hormon gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormon estrogen oleh sel sertoli.

Dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua bagian yaitu sentral sekitar uretra

yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen.

2. Teori Growth Factor (faktor pertumbuhan)

Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar prostat.

Terdapat empat peptic growth factor yaitu; basic transforming growth factor,

transforming growth factor 1, transforming growth factor 2, dan epidermal growth

factor.

3. Teori Peningkatan Lama Hidup Sel-sel Prostat karena Berkuramgnya Sel yang Mati

4. Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)

Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang dewasa

berada dalam keadaan keseimbangan “steady state”, antara pertumbuhan sel dan sel

yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron tertentu dalam

jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat berproliferasi. Pada

keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih

cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi atau

proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar periuretral prostat menjadi berlebihan.

5. Teori Dihydro Testosteron (DHT)

Page 6: BPH (1) agam

Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari kelenjar

adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh globulin

menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam keadaan

testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam “target cell” yaitu

sel prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam sitoplasma, di dalam sel,

testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha reductase menjadi 5 dyhidro testosteron yang

kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma menjadi “hormone receptor complex”.

Kemudian “hormone receptor complex” ini mengalami transformasi reseptor, menjadi

“nuclear receptor” yang masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada chromatin

dan menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintese protein

menyebabkan terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat.

6. Teori Reawakening

Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran stroma pada

kelenjar periuretral (zone transisi) melainkan suatu mekanisme “glandular budding”

kemudian bercabang yang menyebabkan timbulnya alveoli pada zona preprostatik.

Persamaan epiteleal budding dan “glandular morphogenesis” yang terjadi pada embrio

dengan perkembangan prostat ini, menimbulkan perkiraan adanya “reawakening” yaitu

jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologik, sehingga

jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya, sehingga teori ini

terkenal dengan nama teori reawakening of embryonic induction potential of prostatic

stroma during adult hood.

Selain teori-teori di atas masih banyak lagi teori yang menerangkan tentang penyebab

terjadinya BPH seperti; teori tumor jinak, teori rasial dan faktor sosial, teori infeksi dari

zat-zat yang belum diketahui, teori yang berhubungan dengan aktifitas hubungan seks,

teori peningkatan kolesterol, dan Zn yang kesemuanya tersebut masih belum jelas

hubungan sebab-akibatnya.3,7,8,12

II.5 Patofisiologi

Page 7: BPH (1) agam

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan akan

menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk

dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu.

Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa

hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase

penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi.

Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran

kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan

gejala-gejala prostatismus.

Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase

dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.

Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak

terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan

aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika

berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh

ke dalam gagal ginjal.2,11

Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu

komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan dengan

adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika sehingga

terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi

tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi

pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan

tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung

dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik.8

II.6 Gambaran Klinis

II.6.1 Gejala

Page 8: BPH (1) agam

Gejala hiperplasia prostat menurut Boyarsky dkk pada tahun 1977 dibagi atas gejala

obstruktif dan gejala iritatif.

Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika karena

didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat

dan atau cukup lama saehingga kontraksi terputus-putus. Gejalanya ialah :

1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)

2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)

3. Miksi terputus (Intermittency)

4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)

5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying).2,3

Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung

tiga faktor yaitu :

1. Volume kelenjar periuretral

2. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat

3. Kekuatan kontraksi otot detrusor

Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi, sehingga

meskipun volume kelenjar periuretal sudah membesar dan elastisitas leher vesika, otot polos

prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi dengan kenaikan daya

kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan.7

Pemeriksaan derajat beratnya obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara

mengukur :

Page 9: BPH (1) agam

a. Residual urine yaitu jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan. Sisa urin ini dapat

dihitung dengan pengukuran langsung yaitu dengan cara melakukan kateterisasi setelah

miksi spontan atau ditentukan dengan pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi, dapat

pula dilakukan dengan membuat foto post voiding pada waktu membuat IVP. Pada

orang normal sisa urin biasanya kosong, sedang pada retensi urin total sisa urin dapat

melebihi kapasitas normal vesika. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai

batas indikasi untuk melakukan intervensi pada penderita prostat hipertrofi.

b. Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan menghitung

jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat

uroflowmetri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin. Untuk dapat melakukan

pemeriksaan uroflow dengan baik diperlukan jumlah urin minimal di dalam vesika 125

sampai 150 ml. Angka normal untuk flow rata-rata (average flow rate) 10 sampai 12

ml/detik dan flow maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan flow rate

dapat menurun sampai average flow antara 6-8 ml/detik, sedang maksimal flow

menjadi 15 mm/detik atau kurang. Dengan pengukuran flow rate tidak dapat dibedakan

antara kelemahan detrusor dengan obstruksi infravesikal.

Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga mengganggu faal

ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan urolithiasis. Tindakan untuk menentukan

diagnosis penyebab obstruksi maupun menentukan kemungkinan penyulit harus dilakukan secara

teratur.1,3,11

Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak sempurna

pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran

prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun

belum penuh., gejalanya ialah :

1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)

2. Nokturia

3. Miksi sulit ditahan (Urgency)

Page 10: BPH (1) agam

4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi) (P/UI)

Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus. Secara klinis derajat

berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi :

Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing < 50 ml

Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml

Grade III : Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih bagian atas + sisa urin >

150 ml 7

Derajat berat gejala klinik prostat hiperplasia ini dipakai untuk menentukan derajat berat

keluhan subyektif, yang ternyata tidak selalu sesuai dengan besarnya volume prostat. Gejala

iritatif yang sering dijumpai ialah bertambahnya frekuensi miksi yang biasanya lebih dirasakan

pada malam hari. Sering miksi pada malam hari disebut nocturia, hal ini disebabkan oleh

menurunnya hambatan kortikal selama tidur dan juga menurunnya tonus spingter dan uretra.

Simptom obstruksi biasanya lebih disebabkan oleh karena prostat dengan volume besar. Apabila

vesica menjadi dekompensasi maka akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih

ditemukan sisa urin didalam vesica, hal ini menyebabkan rasa tidak bebas pada akhir miksi. Jika

keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak

mampu lagi miksi. Oleh karena produksi urin akan terus terjadi maka pada suatu saat vesica

tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesica akan naik terus dan apabila

tekanan vesica menjadi lebih tinggi daripada tekanan spingter akan terjadi inkontinensia

paradoks (over flow incontinence). Retensi kronik dapat menyebabkan terjadinya refluk vesico

uretra dan meyebabkan dilatasi ureter dan sistem pelviokalises ginjal dan akibat tekanan

intravesical yang diteruskam ke ureter dari ginjal maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal.

Proses kerusakan ginjal dapat dipercepat bila ada infeksi. Disamping kerusakan tractus urinarius

bagian atas akibat dari obstruksi kronik penderita harus selalu mengedan pada waktu miksi,

maka tekanan intra abdomen dapat menjadi meningkat dan lama kelamaan akan menyebabkan

terjadinya hernia, hemoroid. Oleh karena selalu terdapat sisa urin dalam vesica maka dapat

terbentuk batu endapan didalam vesica dan batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan

menimbulkan hematuri. Disamping pembentukan batu, retensi kronik dapat pula menyebabkan

Page 11: BPH (1) agam

terjadinya infeksi sehingga terjadi systitis dan apabila terjadi refluk dapat terjadi juga

pielonefritis.3

Keluhan-keluhan diatas biasanya disusun dalam bentuk skor simtom. Terdapat beberapa

jenis klasifikasi yang dapat digunakan untuk membantu diagnosis dan menentukan tingkat

beratnya penyakit, diantaranya adalah skor internasional gejala-gajala prostat WHO

(International Prostate Symptom Score, IPSS) dan skor Madsen Iversen.

Tabel 1. Skor Madsen Iversen dalam bahasa Indonesia

Pertanyaan 1 2 3 4 5

Pancaran Normal Berubah-ubah Lemah Menetes

Mengedan pada saat berkemih

Tidak Ya

Harus menunggu pada saat akan kencing

Tidak Ya

Buang air kecil terputus-putus

Tidak Ya

Kencing tidak lampias

Tidak tahu

Berubah-ubah Tidak lampias

1 kali retensi

>1 kali retensi

Inkontinensia Ya

Kencing sulit ditunda

Tidak ada Ringan Sedang Berat

Kencing malam hari

0-1 2 3-4 >4

Kencing siang hari

>3 jam sekali

Setiap 2-3 jam sekali

Setiap 1-2 jam sekali

<1 jam sekali

Tabel 2. Skor internasional gejala-gejala prostat WHO (International Prostate Symptom

Score, IPSS)

Pertanyaan

Keluhan pada bulan terakhir

Tidak sama sekali

<1 sampai 5 kali

>5 sampai 15 kali

15 kali > 15 kali Hampir selalu

Adakah anda merasa 0

Page 12: BPH (1) agam

buli-buli tidak kosong setelah buang air kecil

Berapa kali anda hendak buang air kecil lagi dalam waktu 2 jam setelah buang air kecil

0 1 2 3 4 5

Berapa kali terjadi air kencing berhenti sewaktu buang air kecil

0 1 2 3 4 5

Berapa kali anda tidak dapat menahan keinginan buang air kecil

0 1 2 3 4 5

Berapa kali arus air seni lemah sekali sewaktu buang kecil

0 1 2 3 4 5

Berapa kali terjadi anda mengalami kesulitan memulai buang air kecil (harus mengejan)

0 1 2 3 4 5

Berapa kali anda bangun untuk buang air kacil di waktu malam

0 1 2 3 4 5

Andaikata hal yang anda alami sekarang akan tetap berlangsung seumur hidup, bagaimana perasaan anda

Sangat senang

Cukup senag

Biasa saja Agak tidak senang

Tidak menyenangkan

Sangat tidak menyenangkan

Jumlah nilai :

0 = baik sekali

1 = baik

2 = kurang baik

3 = kurang

4 = buruk

5 = buruk sekali

II.6.2 Tanda

a. Pemeriksaan fisik

Page 13: BPH (1) agam

Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE) sangat penting.

Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter

ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan pada

di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan :

a. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)

b. Adakah asimetris

c. Adakah nodul pada prostate

d. Apakah batas atas dapat diraba

e. Sulcus medianus prostate

f. Adakah krepitasi

Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti

meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul. Sedangkan pada

carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat

tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi.

Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas

kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis akan disertai sakit

pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi

retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia.

Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang

dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis

daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus.

Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan teraba

masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat nyeri tekan supra

simfisis.

Page 14: BPH (1) agam

2. Pemeriksaan laboratorium

a. Darah : - Ureum dan Kreatinin

- Elektrolit

- Blood urea nitrogen

- Prostate Specific Antigen (PSA)

- Gula darah

b. Urin : - Kultur urin + sensitifitas test

- Urinalisis dan pemeriksaan mikroskopik

- Sedimen

3. Pemeriksaan pencitraan

a. Foto polos abdomen (BNO)

Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya batu saluran

kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih juga dapat untuk menghetahui

adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat.

b. Pielografi Intravena (IVP)

- pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras (filling defect/indentasi

prostat) pada dasar kandung kemih atau ujung distal ureter membelok keatas

berbentuk seperti mata kail (hooked fish).

- mengetahui adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter ataupun

hidronefrosis serta penyulit yang terjadi pada buli – buli yaitu adanya trabekulasi,

divertikel atau sakulasi buli – buli.

Page 15: BPH (1) agam

- foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin

c. Sistogram retrograd

Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin, maka sistogram

retrograd dapat pula memberi gambaran indentasi.

d. Transrektal Ultrasonografi (TRUS)

- deteksi pembesaran prostat

- mengukur volume residu urin

e. MRI atau CT jarang dilakukan

Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam – macam potongan.

4. Pemeriksaan lain

a. Uroflowmetri

Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran urin ditentukan oleh :

- daya kontraksi otot detrusor

- tekanan intravesica

- resistensi uretra

Angka normal laju pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju pancaran

mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 – 8

ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 – 15 ml/detik. Semakin berat derajat obstruksi

semakin lemah pancaran urin yang dihasilkan.

a. Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)

Page 16: BPH (1) agam

Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri tidak dapat

membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi otot detrusor

yang melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan pemeriksaan tekanan

pancaran dengan menggunakan Abrams-Griffiths Nomogram. Dengan cara ini maka

sekaligus tekanan intravesica dan laju pancaran urin dapat diukur.

a. Pemeriksaan Volume Residu Urin

Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat sederhana

dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin yang masih tinggal.

Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa (meskipun kurang akurat) dengan membuat

foto post voiding atau USG.1,2,3,7,8

II.7 Diagnosis

Diagnosis hiperplasia prostat dapat ditegakkan melalui :

1. Anamnesis : gejala obstruktif dan gejala iritatif

2. Pemeriksaan fisik : terutama colok dubur ; hiperplasia prostat teraba sebagai prostat yang

membesar, konsistensi kenyal, permukaan rata, asimetri dan menonjol ke dalam

rektum. Semakin berat derajat hiperplasia prostat batas atas semakin sulit untuk diraba.

3. Pemeriksaan laboratorium : berperan dalam menentukan ada tidaknya komplikasi.

4. Pemeriksaan pencitraan :

Pada pielografi intravena terlihat adanya lesi defek isian kontras pada dasar kandung

kemih atau ujung distal ureter membelok ke atas berbentuk seperti mata kail. Dengan

trans rectal ultra sonography (TRUS), dapat terlihat prostat yang membesar.

5. Uroflowmetri : tampak laju pancaran urin berkurang.

Page 17: BPH (1) agam

6. Mengukur volume residu urin : Pada hiperplasi prostat terdapat volume residu urin yang

meningkat sesuai dengan beratnya obstruksi (lebih dari 150 ml dianggap sebagai batas

indikasi untuk melakukan intervensi).2

II.8 Diagnosis Banding

1. Kelemahan detrusor kandung kemih

a. kelainan medula spinalis

b. neuropatia diabetes mellitus

c. pasca bedah radikal di pelvis

d. farmakologik

2. Kandung kemih neuropati, disebabkan oleh :

a. kelainan neurologik

b. neuropati perifer

c. diabetes mellitus

d. alkoholisme

e. farmakologik (obat penenang, penghambat alfa dan parasimpatolitik)

3. Obstruksi fungsional :

a. dis-sinergi detrusor-sfingter terganggunya koordinasi antara kontraksi detrusor

dengan relaksasi sfingter

b. ketidakstabilan detrusor

4. Kekakuan leher kandung kemih :

Page 18: BPH (1) agam

a. fibrosis

5. Resistensi uretra yang meningkat disebabkan oleh :

a. hiperplasia prostat jinak atau ganas

b. kelainan yang menyumbatkan uretra

c. uretralitiasis

d. uretritis akut atau kronik

e. striktur uretra

6. Prostatitis akut atau kronis 1,2

II.9 Kriteria Pembesaran Prostat

Untuk menentukan kriteria prostat yang membesar dapat dilakukan dengan beberapa

cara, diantaranya adalah :

1. Rektal grading

Berdasarkan penonjolan prostat ke dalam rektum :

- derajat 1 : penonjolan 0-1 cm ke dalam rektum

- derajat 2 : penonjolan 1-2 cm ke dalam rektum

- derajat 3 : penonjolan 2-3 cm ke dalam rektum

- derajat 4 : penonjolan > 3 cm ke dalam rektum

2. Berdasarkan jumlah residual urine

- derajat 1 : < 50 ml

Page 19: BPH (1) agam

- derajat 2 : 50-100 ml

- derajat 3 : >100 ml

- derajat 4 : retensi urin total

3. Intra vesikal grading

- derajat 1 : prostat menonjol pada bladder inlet

- derajat 2 : prostat menonjol diantara bladder inlet dengan muara ureter

- derajat 3 : prostat menonjol sampai muara ureter

- derajat 4 : prostat menonjol melewati muara ureter

4. Berdasarkan pembesaran kedua lobus lateralis yang terlihat pada uretroskopi :

- derajat 1 : kissing 1 cm

- derajat 2 : kissing 2 cm

- derajat 3 : kissing 3 cm

- derajat 4 : kissing >3 cm 8

II.10 Komplikasi

Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat

menimbulkan komplikasi sebagai berikut :

1. Inkontinensia Paradoks

2. Batu Kandung Kemih

3. Hematuria

Page 20: BPH (1) agam

4. Sistitis

5. Pielonefritis

6. Retensi Urin Akut Atau Kronik

7. Refluks Vesiko-Ureter

8. Hidroureter

9. Hidronefrosis

10. Gagal Ginjal 2

II.11 Penatalaksanaan

Hiperplasi prostat yang telah memberikan keluhan klinik biasanya akan menyebabkan

penderita datang kepada dokter. Derajat berat gejala klinik dibagi menjadi empat gradasi

berdasarkan penemuan pada colok dubur dan sisa volume urin. Derajat satu, apabila ditemukan

keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah diraba

dan sisa urin kurang dari 50 ml. Derajat dua, apabila ditemukan tanda dan gejala sama seperti

pada derajat satu, prostat lebih menonjol, batas atas masih dapat teraba dan sisa urin lebih dari 50

ml tetapi kurang dari 100 ml. Derajat tiga, seperti derajat dua, hanya batas atas prostat tidak

teraba lagi dan sisa urin lebih dari 100 ml, sedangkan derajat empat, apabila sudah terjadi retensi

urin total. Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat

gangguan miksi yang disebut WHO PSS (WHO prostate symptom score). Skor ini berdasarkan

jawaban penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi. Terapi non bedah dianjurkan bila

WHO PSS tetap dibawah 15. Untuk itu dianjurkan melakukan kontrol dengan menentukan WHO

PSS. Terapi bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul obstruksi.1,2

Di dalam praktek pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV digunakan

untuk menentukan cara penanganan. Pada penderita dengan derajat satu biasanya belum

memerlukan tindakan operatif, melainkan dapat diberikan pengobatan secara konservatif. Pada

penderita dengan derajat dua sebenarnya sudah ada indikasi untuk melakukan intervensi operatif,

Page 21: BPH (1) agam

dan yang sampai sekarang masih dianggap sebagai cara terpilih ialah trans uretral resection

(TUR). Kadang-kadang derajat dua penderita masih belum mau dilakukan operasi, dalam

keadaan seperti ini masih bisa dicoba dengan pengobatan konservatif. Pada derajat tiga, TUR

masih dapat dikerjakan oleh ahli urologi yang cukup berpengalaman melakukan TUR oleh

karena biasanya pada derajat tiga ini besar prostat sudah lebih dari 60 gram. Apabila

diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga reseksi tidak akan selesai dalam satu jam maka

sebaiknya dilakukan operasi terbuka. Pada hiperplasia prostat derajat empat tindakan pertama

yang harus segera dikerjakan ialah membebaskan penderita dari retensi urin total, dengan jalan

memasang kateter atau memasang sistostomi setelah itu baru dilakukan pemeriksaan lebih lanjut

untuk melengkapi diagnostik, kemudian terapi definitif dapat dengan TUR P atau operasi

terbuka.1,2

Terapi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk mengurangi gejala, meningkatkan

kualitas hidup dan menghindari komplikasi akibat obstruksi yang berkepanjangan. Tindakan

bedah masih merupakan terapi utama untuk hiperplasia prostat (lebih dari 90% kasus). Meskipun

demikian pada dekade terakhir dikembangkan pula beberapa terapi non-bedah yang mempunyai

keunggulan kurang invasif dibandingkan dengan terapi bedah. Mengingat gejala klinik

hiperplasia prostat disebabkan oleh 3 faktor yaitu pembesaran kelenjar periuretral, menurunnya

elastisitas leher vesika, dan berkurangnya kekuatan detrusor, maka pengobatan gejala klinik

ditujukan untuk :

1. Menghilangkan atau mengurangi volume prostat2. Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat

3. Melebarkan uretra pars prostatika, menambah kekuatan detrusor 2,7

Terdapat beberapa pilihan tindakan terapi didalam penatalaksanaan hiperplasia prostat

benigna yang dapat dibagi kedalam 4 macam golongan tindakan, yaitu :

1. Observasi (Watchful waiting)2. Medikamentosa

a. Penghambat adrenergik

b. Fitoterapi

Page 22: BPH (1) agam

c. Hormonal

1. Operatif

a. Prostatektomi terbuka

- Retropubic infravesika (Terence millin)

- Suprapubic transvesica/TVP (Freyer)

- Transperineal

b. Endourologi

- Trans urethral resection (TUR)

- Trans urethral incision of prostate (TUIP)

- Pembedahan dengan laser (Laser Prostatectomy)

Trans urethral ultrasound guided laser induced prostatectomy (TULIP)

Trans urethral evaporation of prostate (TUEP)

Teknik koagulasi

1. Invasif minimal

- Trans urethral microwave thermotherapy (TUMT)

- Trans urethral ballon dilatation (TUBD)

- Trans urethral needle ablation (TUNA)

- Stent urethra dengan prostacath 11

Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah menghilangkan obstruksi pada

leher buli-buli. Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa, pembedahan, atau tindakan

Page 23: BPH (1) agam

endourologi yang kurang invasif. Mengenai penatalaksanaan konservatif non operatif akan

dibahas pada bab tersendiri, pada bab ini hanya akan dibahas tentang penatalaksanaan secara

operatif saja yang terbagi dalam prostatektomi terbuka dan prostatektomi endourologi.

1. Prostatektomi terbuka

a. Retropubic infravesica (Terence Millin)

Keuntungan :

- Tidak ada indikasi absolut, baik untuk adenoma yang besar pada subservikal

- Mortaliti rate rendah

- Langsung melihat fossa prostat

- Dapat untuk memperbaiki segala jenis obstruksi leher buli

- Perdarahan lebih mudah dirawat

- Tanpa membuka vesika sehingga pemasangan kateter tidak perlu selama bila

membuka vesika

Kerugian :

- Dapat memotong pleksus santorini

- Mudah berdarah

- Dapat terjadi osteitis pubis

- Tidak bisa untuk BPH dengan penyulit intravesikal

- Tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus dikerjakan dari dalam

vesika

Komplikasi :

Page 24: BPH (1) agam

- Perdarahan

- Infeksi

- Osteitis pubis

- Trombosis

b. Suprapubic Transvesica/TVP (Freeyer)

Keuntungan :

- Baik untuk kelenjar besar

- Banyak dikerjakan untuk semua jenis pembesaran prostat

- Operasi banyak dipergunakan pada hiperplasia prostat dengan penyulit :

1. Batu buli

2. Batu ureter distal

3. Divertikel

4. Uretrokel

5. Adanya sistsostomi

6. Retropubik sulit karena kelainan os pubis

- Kerusakan spingter eksterna minimal

Kerugian :

- Memerlukan pemakain kateter lebih lama sampai luka pada dinding vesica sembuh

- Sulit pada orang gemuk

Page 25: BPH (1) agam

- Sulit untuk kontrol perdarahan

- Merusak mukosa kulit

- Mortality rate 1 -5 %

Komplikasi :

- Striktura post operasi (uretra anterior 2 – 5 %, bladder neck stenosis 4%)

- Inkontinensia (<1%)

- Perdarahan

- Epididimo orchitis

- Recurent (10 – 20%)

- Carcinoma

- Ejakulasi retrograde

- Impotensi

- Fimosis

- Deep venous trombosis

c. Transperineal

Keuntungan :

- Dapat langssung pada fossa prostat

- Pembuluh darah tampak lebih jelas

- Mudah untuk pinggul sempit

Page 26: BPH (1) agam

- Langsung biopsi untuk karsinoma

Kerugian :

- Impotensi

- Inkontinensia

- Bisa terkena rektum

- Perdarahan hebat

- Merusak diagframa urogenital

2 Prostatektomi Endourologi

a. Trans urethral resection (TUR)

Yaitu reseksi endoskopik malalui uretra. Jaringan yang direseksi hampir seluruhnya

terdiri dari jaringan kelenjar sentralis. Jaringan perifer ditinggalkan bersama

kapsulnya. Metode ini cukup aman, efektif dan berhasil guna, bisa terjadi ejakulasi

retrograd dan pada sebagaian kecil dapat mengalami impotensi. Hasil terbaik

diperoleh pasien yang sungguh membutuhkan tindakan bedah. Untuk keperluan

tersebut, evaluasi urodinamik sangat berguna untuk membedakan pasien dengan

obstruksi dari pasien non-obstruksi. Evaluasi ini berperan selektif dalam penentuan

perlu tidaknya dilakukan TUR. Suatu penelitian menyebutkan bahwa hasil obyektif

TUR meningkat dari 72% menjadi 88% dengan mengikutsertakan evaluasi

urodinamik pada penilaian pra-bedah dari 152 pasien. Mortalitas TUR sekitar 1% dan

morbiditas sekitar 8%.

Saat ini tindakan TUR P merupakan tindakan operasi paling banyak dikerjakan di

seluruh dunia. Reseksi kelenjar prostat dilakukan trans-uretra dengan

mempergunakan cairan irigan (pembilas) agar supaya daerah yang akan direseksi

tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa

Page 27: BPH (1) agam

larutan non ionik, yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat

operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah adalah H2O steril

(aquades).

Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga cairan ini

dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang terbuka pada

saat reseksi. Kelebihan air dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia relatif atau

gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma TUR P. Sindroma ini ditandai

dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah meningkat,

dan terdapat bradikardi.

Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh

dalam keadaan koma dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TUR P ini adalah

sebesar 0,99%. Karena itu untuk mengurangi timbulnya sindroma TUR P dipakai

cairan non ionik yang lain tetapi harganya lebih mahal daripada aquades, antara lain

adalah cairan glisin , membatasi jangka waktu operasi tidak melebihi 1 jam, dan

memasang sistostomi suprapubik untuk mengurangi tekanan air pada buli-buli selama

reseksi prostat.

Keuntungan :

- Luka incisi tidak ada

- Lama perawatan lebih pendek

- Morbiditas dan mortalitas rendah

- Prostat fibrous mudah diangkat

- Perdarahan mudah dilihat dan dikontrol

Kerugian :

- Tehnik sulit

Page 28: BPH (1) agam

- Resiko merusak uretra

- Intoksikasi cairan

- Trauma spingter eksterna dan trigonum

- Tidak dianjurkan untuk BPH yang besar

- Alat mahal

- Ketrampilan khusus

b. Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP)

Metode ini di indikasikan untuk pasien dengan gejala obstruktif, tetapi ukuran

prostatnya mendekati normal. Pada hiperplasia prostat yang tidak begitu besar dan

pada pasien yang umurnya masih muda umumnya dilakukan metode tersebut atau

incisi leher buli-buli atau bladder neck incision (BNI) pada jam 5 dan 7. Terapi ini

juga dilakukan secara endoskopik yaitu dengan menyayat memakai alat seperti yangg

dipakai pada TUR P tetapi memakai alat pemotong yang menyerupai alat penggaruk,

sayatan dimulai dari dekat muara ureter sampai dekat ke verumontanum dan harus

cukup dalam sampai tampak kapsul prostat. Kelebihan dari metode ini adalah lebih

cepat daripada TUR dan menurunnya kejadian ejakulasi retrograde dibandingkan

dengan cara TUR.

c. Pembedahan dengan laser (Laser prostatectomy)

Oleh karena cara operatif (operasi terbuka atau TUR P) untuk mengangkat prostat

yang membesar merupakan operasi yang berdarah, sedang pengobatan dengan TUMT

dan TURF belum dapat memberikan hasil yang sebaik dengan operasi maka dicoba

cara operasi yang dapat dilakukan hampir tanpa perdarahan.

Penggunaan laser untuk operasi prostat pertamakali diusulkan oleh Sander (1984).

Untuk mengobati ca prostat yang masih lokal dengan memakai Nd YAG

Page 29: BPH (1) agam

(Neodymium, Yttrium Aluminium Garnet) Solid state Nd YAG ini pertamakali

diperkenalkan tahun 1964 tapi baru tahun 1975 baru dicoba dibidang urologi untuk

mengablasi tumor buli superficial (Hoffstetter). Pc Phee menulis mengenai

penggunaan YAG laser untuk photo irradiasi segmental pada mukosa buli.

YAG laser ini mempunyai panjang gelombang yang cocok untuk pengobatan prostat

oleh karena mempunyai daya penetrasi yang cukup dalam. Mula-mula laser untuk

prostat ini hanya dipakai untuk pengobatan tambahan setelah TUR P pada ca prostat,

yang biasanya diberikan 3 minggu setelah TUR P (Shanberg 1985, Mc Nicholas

1990).

Kemudian Shenberg mengajukan pemakaian Nd YAG ini untuk melaser prostat pada

penderita yang tidak dapat mentoleransi perdarahan apabila dilakukan TUR. Roth dan

Aretz (1991) menjadi pelopor penggunaan laser Transuretral Ultrasound Guided

Laser Induced Prostatectomy (TULIP), yang dibimbing dengan pemakaian USG

untuk dapat menembak prostat yang disempurnakan dengan menggunakan alat

pembelok (deflektor) sinar laser dengan sudut 90 derajat sehingga sinar laser dapat

diarahkan ke arah kelenjar prostat yang membesar.

Nd YAG mempunyai panjang gelombang 1064 nm sehingga gelombang ini tidak

banyak diserap oleh air seperti laser CO2 dan mempunyai sifat divergensi tetapi

masih mempunyai daya penetrasi yang cukup dalam. Apabila laser Nd YAG ini

mengenai jaringan prostat energinya akan berubah menjadi energi termal yang dapat

menguapkan jaringan dengan Nd YAG tanpa kontak dengan jaringan mempunyai

efek laser maksimal pada kedalaman 3mm dibawa mukosa dan efek termal dapat

mencapai 100C sehingga pada kekuatan 40 – 60 watts akan menyebabkan koagulasi

pada kedalaman 3mm sehingga akan terjadi letusan kecil yang disebut “pop corn

effect”. Nd YAG ini aman untuk pengobatan prostat oleh karena pembuluh darah

yang agak besar dan pembuluh darah pada kapsul prostat akan menjadi penahan

panas (heat sink) sehingga tidak akan terjadi penjalaran panas keluar dari prostat.

Page 30: BPH (1) agam

Tahun 1989 Johnson menemukan alat pembelok Nd YAG sehingga sinar laser

tersebut dapat dibelokkan 90 dengan menggunakan pembelok dari emas yang

ditempelkan diujung serat laser, sehingga sinar laser dapat diarahkan ke jaringan

prostat dari dalam uretra. Dengan alat pembelok ini 92% dari energi laser masih dapat

mencapai jaringan preostat. Costello (1992) mempelopori penggunaan laser ini utnuk

ablasi pembesaran prostat jinak menggunakan laser yang dibelokkan 90 melalui

sistoskopi.

Waktu yang diperlukan untuk melaser prostat biasanya sekitar 2-4 menit untuk

masing-masing lobus prostat (lobus lateralis kanan, kiri dan medius). Pada waktu

ablasi akan ditemukan pop corn effect sehingga tampak melalui sistoskop terjadi

ablasi pada permukaan prostat, sehingga uretra pars prostatika akan segera akan

menjadi lebih lebar, yang kemudian masih akan diikuti efek ablasi ikutan yang kan

menyebabkan “laser nekrosis” lebih dalam setelah 4-24 minggu sehingga hasil akhir

nanti akan terjadi rongga didalam prostat menyerupai rongga yang terjadi sehabis

TUR.

Keuntungan bedah laser ialah :

a.1. Tidak menyebabkan perdarahan sehingga tidak mungkin terjadi retensi akibat

bekuan darah dan tidak memerlukan transfusi

2. Teknik lebih sederhana

3. Waktu operasi lebih cepat

4. Lama tinggal di rumah sakit lebih singkat

5. Tidak memerlukan terapi antikoagulan

6. Resiko impotensi tidak ada

7. Resiko ejakulasi retrograd minimal

Kerugian :

Penggunaan laser ini masih memerlukan anestesi (regional) 1,2,3,7,8,11

Page 31: BPH (1) agam

BAB III

TERAPI KONSERVATIF NON OPERATIF

Sampai dengan tahun 1980-an kasus-kasus BPH selalu diatasi dengan operasi. Didorong

oleh faktor biaya dan morbiditas post operatif yang tidak nyaman maka terus dicari pendekatan

yang lebih aman, nyaman dan bahkan lebih ekonomis. Di dalam penatalaksanaan terapi

hiperplasia prostat ini terdapat istilah terapi konservatif yang merupakan terapi non operatif.

Untuk penderita yang oleh karena keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan operasi

dapat diusahakan pengobatan konservatif.3,9

Terapi konservatif ini masih terbagi lagi ke dalam berbagai kelompok, yaitu :

1. Observasi (Watchful waiting)

Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik. Kadang-kadang

mereka yang mengeluh pada saluran kemih bagian bawah (LUTS) ringan dapat sembuh

sendiri dengan observasi ketat tanpa mendapatkan terapi apapun. Tetapi diantara mereka

akhirnya ada yang membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain

karena keluhannya semakin parah.11

1. Medikamentosa

a. Penghambat adrenergik

Seperti kita ketahui persyarafan trigonum leher vesika, otot polos prostat dan kapsul

prostat terutama oleh serabut-serabut saraf simpatis, terutama mengandung reseptor

alpha, jadi dengan pemberian obat golongan alpha adrenergik bloker, terutama alpha

1 adrenergik bloker maka tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat

akan berkurang, sehingga sehingga menghasilkan peningkatan laju pancaran urin dan

memperbaiki gejala miksi. Bila serangan prostatismus memuncak menjurus kepada

retensio urin ini adalah pertanda bahwa tonus otot polos prostat meningkat atau

berkontraksi sehingga pemberian obat ini adalah sangat rasional. Episode serangan

biasanya cepat teratasi.

Page 32: BPH (1) agam

Contoh obatnya adalah Phenoxy benzanmine (Dibenyline) dosis 2×10 mg/hari.

Sekarang telah tersedia obat yang lebih selektif untuk alpha 1 adrenergik bloker yaitu

Prazosine, dosisnya adalah 1-5 mg/hari, obat lain selain itu adalah Terazosin dosis 1

mg/hari, Tamzulosin dan Doxazosin. Pengobatan dengan penghambat alpha ini

pertama kali dilakukan oleh Caine dan kawan-kawan yang dilaporkan pada tahun

1976. Dengan pengobatan secara ini ditemukan perbaikan sekitar 30-70% pada

symptom skore dan kira-kira 50% pada flow rate. Tetapi kelompok obat ini tidak

dapat digunakan berkepanjangan karena efek samping obat ini berupa hipotensi

ortostatik, palpitasi, astenia vertigo dan lain-lain yang sangat mengganggu kualitas

hidup kecuali bagi penderita hipertensi.

Penelitian terakhir di Amerika Serikat menyebutkan bahwa Doxazosin terbukti efektif

dalam pengobatan hiperplasia prostat jangka panjang pada pasien hipertensi dan

normotensi. Prazosine diketahui lebih selektif sebagai alpha 1 adrenergik bloker,

sedang phenoxy benzanmine meskipun lebih kuat tetapi tidak selektif untuk reseptor

alpha 1 dan alpha 2, dan sekarang ditakutkan phenoxy benzanmine bersifat

karsinogenik. Jadi kelompok obat penghambat adrenoreseptor alpha ini hanya dapat

digunakan untuk jangka pendek dan akan lebih fungsional pada terapi tahap awal,

obat ini mempunyai efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi

proses hiperplasia prostat sedikitpun. Bila respon dari pengobatan ini baik maka ini

merupakan indikator untuk masuk kedalam tahap perawatan “Watch and

wait”.2,3,5,6,7,8,9

b. Fitoterapi

Kelompok kemoterapi pada umumnya telah mempunyai informasi farmakokinetik

dan farmakodinamik terstandar secara konvensional dan universal. Kelompok obat ini

juga disebut dengan “obat modern”. Tidak semua penyakit dapat diobati secara tuntas

dengan kemoterapi ini. Banyak penyakit kronis, degeneratif, gangguan metabolisme,

dan penuaan yang belum ada obatnya seperti: kanker, hepatitis, HIV, demensia, dll.

Banyak pula yang belum bisa dituntaskan pengobatannya. Termasuk ini adalah: BPH,

DM, hipertensi, rematik, dll. Sehingga diperlukan terapi komplementer atau alternatif.

Page 33: BPH (1) agam

Kelompok terapi ini disebut Fitoterapi. Disebut demikian karena berasal dari

tumbuhan. Bahan aktifnya belum diketahui dengan pasti, masih memerlukan

penelitian yang panjang.

Namun secara empirik, manfaat sudah lama tercatat dan semakin diakui. Diantara

sekian banyak fitoterapi yang sudah masuk pasaran, diantaranya yang terkenal adalah

Serenoa repens atau Saw Palmetto dan Pumpkin seeds yang digunakan untuk

pengobatan BPH. Keduanya, terutama Serenoa repens semakin diterima

pemakaiannya dalam upaya pengendalian prosatisme BPH dalam kontek “watchfull

waiting strategy”. Di Jerman 90% kasus BPH di terapi dengan Serenoa repens

tunggal atau kombinasi, dan di negara-negara Eropa dan Amerika pemakaiannya

terus meningkat dengan cepat.

a. Saw Palmetto Berry (SPB) yang disebut juga Serenoa repens adalah suatu obat

tradisional Indian. Catatan empiriknya tentang manfaat tumbuhan ini untuk

gangguan urologis sudah ada sejak tahun 1900. Isu back to nature memberikan

iklim yang kondusif bagi pemakaian obat ini.

Bukti-bukti empirik lapangan dan empirik uji klinik semakin banyak mencatat

efektifitas dan keamanannya. Dalam Current Medical Diagnosis and Treatment

(2001) dinyatakan bahwa Saw Palmetto Berry (SPB) ini didalam 18 RCT

(Randomized Clinical Trial) dengan 2939 subyek adalah superior terhadap

placebo dan efektifitasnya sama dengan finasteride. Efek samping obat berupa

disfungsi ereksi = 1,1% sedangkan finasteride = 4,9%. Dalam Life Extension

Update dimuat, dari sebanyak 32 publikasi studi terdapat catatan bahwa extract

dari SPB ini secara signifikan menunjukan perbaikan klinis dalam hal :

a) Frekuensi nokturia berkurang

b) Aliran kencing bertambah lancar

c) Volume residu dikandung kencing berkurang

Page 34: BPH (1) agam

d) Gejala kurang enak dalam mekanisme urinoir berkurang

Mekanisme kerja obat ini belum dapat dipastikan tetapi diduga kuat ia :

a) Menghambat aktifitas enzim 5 alpha reduktase dan memblokir reseptor

androgen

b) Bersifat anti inflamasi dan anti udem dengan cara menghambat aktifitas

enzim cycloxygenase dan 5 lipoxygenase.

b. Pumpkin seeds (Cucurbitae peponis semen)

Testimoni empirik tradisional bahan ini telah digunakan di Jerman dan Austria

sejak abad 16 untuk gangguan “urinoir” dan belakangan ini ekstraknya dipakai

untuk mengatasi gejala yang berhubungan dengan BPH didalam konteks

farmakoterapi maupun uji klinis kombinasi dengan ekstraks serenoa repens.

Penelitian di Jerman melakukan studi terhadap preparat yang mengandung

komponen utama beta-sitosterol dengan sedikit campuran campesterot dan

stigmasterol untuk mengobati hiperplasia prostat. Hasilnya, terjadi perbaikan

seperti halnya terapi menggunakan penghambat reseptor alpha dan 5-alpha

reduktase, tetapi dengan efek samping yang lebih minimal. Walaupun mekanisme

kerja dari preparat campuran fitosterol ini belum dapat dibuktikan, penelitian

terus dikembangkan untuk keperluan di masa depan.9,10

c. Hormonal

Pada tingkat supra hypofisis dengan obat-obat LH-RH (super) agonist yaitu obat

yang menjadi kompetitor LH-RH mempunyai afinitas yang lebih besar dengan

reseptor bagi LH-RH, sehingga obat ini akan “menghabiskan” reseptor dengan

membentuk LH-RH super agonist reseptor kompleks. Sehingga mula-mula oleh

karena banyaknya LH-RH super agonist yang menangkap reseptor, pada

permulaan justru akan terjadi kenaikan produksi LH oleh hypofisis. Tetapi setelah

reseptor “habis”maka LH-RH tidak dapat lagi mencari reseptor , maka LH akan

Page 35: BPH (1) agam

menurun. Contoh obat adalah Buserelin, dengan dosis minggu I 3dd 500 g s.c. (7

hari) dan minggu II intra nasal spray 200 g, 3 kali sehari.

Pemberian obat-obat anti androgen yang dapat mulai pada tingkat hipofisis

misalnya dengan pemberian Gn-RH analogue sehingga menekan produksi LH,

yang menyebabkan produksi testosteron oleh sel leydig berkurang. Cara ini tentu

saja menyebabkan penurunan libido oleh karena penurunan kadar testosteron

darah.

Pada tingkat infra hipofisis pemberian estrogen dapat memberikan umpan balik

dengan menekan produksi FSH dan LH, sehingga produksi testosteron juga

menurun. Contoh preparatnya ialah Diaethyl Stilbestrol (DES) dosis satu kali 1-5

mg sehari.

Pada tingkat testikular, orchiectomi untuk pengobatan pembesaran prostat jinak

hanya dikenal pada sejarah, sekarang cara pengobatan ini untuk hiperplasia

prostat telah ditinggalkan. Untuk karsinoma prostat tentu saja orchiectomi masih

dikerjakan oleh karena pertimbangan kemungkinan penyebaran ca prostat dan

juga biasanya penderita telah tua.

Pada tingkat yang lebih rendah dapat pula diberikan obat anti androgen yang

mekanisme kerjanya mencegah hidrolise testosteron menjadi DHT dengan cara

menghambat 5 alpha reduktase, suatu enzim yang diperlukan untuk mengubah

testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT), suatu hormon androgen yang

mempengaruhi pertumbuhan kelenjar prostat, sehingga jumlah DHT berkurang

tetapi jumlah testosteron tidak berkurang, sehingga libido juga tidak menurun.

Penurunan kadar zat aktif dehidrotestosteron ini menyebabkan mengecilnya

ukuran prostat. Contoh obat tersebut ialah Finesteride, Proscar dengan dosis 5

mg/hari dalam jangka waktu lebih dari 3 bulan, Finasteride mengurangi volume

prostat sampai 30%. Penelitian lain di Kanada menyatakan bahwa Finasteride

mengurangi volume prostat pada 613 pria dengan angka rata-rata 21%,

Page 36: BPH (1) agam

mengurangi gejala dan memperbaiki laju pancaran urin sampai 12%. Obat ini

mempunyai toleransi baik dan tidak mempunyai efek samping yang bermakna.

Obat anti androgen lain yang juga bekerja pada tingkat prostat ialah obat yang

mempunyai mekanisme kerja sebagai inhibitor kompetitif terhadap reseptor DHT

sehingga DHT tidak dapat membentuk kompleks DHT-Reseptor. Contoh obatnya

ialah : Cyproterone acetate 100 mg 2 kali/hari, Flutamide, medrogestone 15 mg2

kali/hari dan Anandron. Obat ini juga tidak menurunkan kadar testosteron pada

darah, sehingga libido tidak menurun. Golongan gestagen dan ketokonazole, obat-

obat ini mempunyai khasiat : mengurangi enzim dehidrogenase dan isomerase

yang berguna untuk metabolisme steroid, menekan LH dan FSH, menjadi saingan

testosteron untuk 5 alpha reduktase sehingga DHT tidak terbentuk. Contoh

obatnya adalah Megestrol acetat 160 mg empat kali sehari dan MPA 300-500

mg/hari. Kesulitan pengobatan konservatif ini adalah menentukan berapa lama

obat harus diberikan dan efek samping dari obat.2,3,7,8

3. Invasif Minimal

a. Trans Urethral Microwave Thermotherapy (TUMT)

Cara memanaskan prostat sampai 44,5C – 47C ini mulai diperkenalkan dalam tiga

tahun terakhir ini. Dikatakan dengan memanaskan kelenjar periuretral yang

membesar ini dengan gelombang mikro (microwave) yaitu dengan gelombang

ultarasonik atau gelombang radio kapasitif akan terjadi vakuolisasi dan nekrosis

jaringan prostat, selain itu juga akan menurunkan tonus otot polos dan kapsul

prostat sehingga tekanan uretra menurun sehingga obstruksi berkurang. Prinsip cara

ini ialah memasang kateter semacam Foley dimana proximal dari balon dipasang

antene pemanas yang baru dipanaskan dengan gelombang mikro melalui kabel kecil

yang berada didalam kateter. Pemanasan dilakukan antara 1-3 jam. Dengan cara

pengobatan ini dengan mempergunakan alat THERMEX II diperoleh hasil

perbaikan kira-kira 70-80% pada symptom obyektif dan kira-kira 50-60% perbaikan

pada flow rate maksimal. Mekanisme yang pasti mengenai efek pemanasan prostat

Page 37: BPH (1) agam

ini belum semuanya jelas, salah satu teori yang masih harus dibuktikan ialah bahwa

dengan pemanasan akan terjadi perusakan pada reseptor alpha yang berada pada

leher vesika dan prostat.

Di Jakarta telah tersedia dua macam alat yaitu Prostatron yang menggunakan

gelombang mikro dan dipanaskan selama satu jam. Cara ini disebut dengan Trans

Urethral Microwave Treatment (TUMT). Sedangkan alat yang lain menggunakan

radio capacitive frequency yang dapat memanaskan prostat sampai 44,5C – 47C

selama 3 jam (TURF). Pengobatan di RS. Pondok Indah pada 112 kasus yang

diobati dengan cara ini didapatkan hasil : perbaikan “symptom score” pada 79

penderita (75%) dan perbaikan pada sisa kencing pada 62 penderita (60%) tetapi

perbaikan pada maximal flow rate hanya ditemukan pada 55 penderita (50%).

Cara pengobatan hypertermia ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut

mengenai cara kerja dasar klinikal, efektifitasnya serta side efek yang mungkin

timbul.

Cara kerja TUMT ialah antene yang berada pada kateter dapat memancarkan

microwave kedalam jaringan prostat. Oleh karena temperatur pada antene akan

tinggi maka perlu dilengkapi dengan surface costing agar tidak merusak mucosa

ureter. Dengan proses pendindingan ini memang mucosa tidak rusak tetapi penetrasi

juga berkurang.

Cara TURF (trans Uretral Radio Capacitive Frequency) memancarkan gelombang

“radio frequency” yang panjang gelombangnya lebih besar daripada tebalnya

prostat juga arah dari gelombang radio frequency dapat diarahkan oleh elektrode

yang ditempel diluar (pada pangkal paha) sehingga efek panasnya dapat menetrasi

sampai lapisan yang dalam. Keuntungan lain oleh karena kateter yang ada alat

pemanasnya mempunyai lumen sehingga pemanasan bisa lebih lama, dan selama

pemanasan urine tetap dapat mengalir keluar.2,7,8

b. Trans Urethral Ballon Dilatation (TUBD)

Page 38: BPH (1) agam

Dilatasi uretra pars prostatika dengan balon ini mula-mula dikerjakan dengan jalan

melakukan commisurotomi prostat pada jam 12.00 dengan jalan melalui operasi

terbuka (transvesikal). Pertama kali dikerjakan oleh Hollingworth 1910 dan Franck

1930. Kemudian Deisting 1956 melakukan dengan dilator transuretral. Tetapi

sebenarnya pelopor penggunaan balon adalah H.Joachus Burhenne yang mula-mula

mencoba pada anjing dan cadaver, akhirnya dicoba di klinik.

Castaneda bersama-sama Reddy dan Hulbert kemudian menyempurnakan tehnik

Burhenne tersebut. Konsep dilatasi dengan balon ini ialah mengusahakan agar uretra

pars prostatika menjadi lebar melalui mekanisme:

1. Prostat di tekan menjadi dehidrasi sehingga lumen uretra melebar

2. Kapsul prostat diregangkan

3. Tonus otot polos prostat dihilangkan dengan penekanan tersebut

4. Reseptor alpha adrenergic pada leher vesika dan uretra pars prostatika dirusak

Prosedur ini meskipun bisa dilakukan dengan anestesi topikal, sebaiknya dilakukan

dengan narkose. Balon mempunyai diameter 30 mm kemudian dengan alat

dikembangkan sampai 4 atm yang sama dengan 58,8 psi atau 3040 mmHg dan kaliber

uretra menjadi 30 mm atau 90 F. Kemudian setelah balon dikempeskan kembali kateter

dilepaskan dengan menggunakan guide wire dan kateter dilepas memutar kebalikan

dari arah jarum jam sementara dapat dipasang cystostomi dengan trocard. TUBD ini

biasanya memberikan perbaikan yang bersifat sementara.2,7,8

c. Trans Urethral Needle Ablation (TUNA)

Yaitu dengan menggunakan gelombang radio frekuensi tinggi untuk menghasilkan

ablasi termal pada prostat. Cara ini mempunyai prospek yang baik guna mencapai

tujuan untuk menghasilkan prosedur dengan perdarahan minimal, tidak invasif dan

mekanisme ejakulasi dapat dipertahankan.2,7,8

Page 39: BPH (1) agam

d. Stent Urethra

Pada hakekatnya cara ini sama dengan memasang kateter uretra, hanya saja kateter

tersebut dipasang pada uretra pars prostatika. Bentuk stent ada yang spiral dibuat dari

logam bercampur emas yang dipasang diujung kateter (Prostacath). Stents ini

digunakan sebagai protesis indwelling permanen yang ditempatkan dengan bantuan

endoskopi atau bimbingan pencitraan. Untuk memasangnya, panjang uretra pars

prostatika diukur dengan USG dan kemudian dipilih alat yang panjangnya sesuai, lalu

alat tersebut dimasukkan dengan kateter pendorong dan bila letak sudah benar di uretra

pars prostatika maka spiral tersebut dapat dilepas dari kateter pendorong. Pemasangan

stent ini merupakan cara mengatasi obstruksi infravesikal yang juga kurang invasif,

yang merupakan alternatif sementara apabila kondisi penderita belum memungkinkan

untuk mendapatkan terapi yang lebih invasif. Akhir-akhir ini dikembangkan juga stent

yang dapat dipertahankan lebih lama, misalnya Porges Urospiral (Parker dkk.) atau

Wallstent (Nording, A.L. Paulsen).

Bentuk lain ialah adanya mesh dari logam yang juga dipasang di uretra pars prostatika

dengan kateter pendorong dan kemudian didilatasi dengan balon sampai mesh logam

tersebut melekat pada dinding uretra.2,7,8,11

BAB IV

KESIMPULAN

1. Benign Prostate Hypertrofia sebenarnya merupakan suatu hiperplasia kelenjar periuretral.

2. Hiperplasia prostat mempunyai angka kejadian yang bermakna pada populasi pria lanjut usia.

3. Etiologi dari hiperplasia prostat hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti, beberapa

teori menyebutkan hal ini berkaitan dengan meningkatnya kadar DHT dan karena proses

aging (menjadi tua).

4. Hiperplasia prostat menyebabkan gejala obstruksi dan iritasi saluran kemih.

Page 40: BPH (1) agam

5. Tanda-tanda obyektif hiperplasia prostat adalah pembesaran prostat, pengurangan laju

pancaran urin, dan volume residu urin yang besar.

6. Derajat beratnya obstruksi pada hiperplasia prostat tidak bergantung pada ukuran besar prostat

melainkan ditentukan oleh volume residu urin dan laju pancaran urin waktu miksi.

7. Guna menentukan derajat pembesaran prostat dapat dilakukan dengan beberapa cara , seperti

rektal grading, berdasarkan jumlah residual urin, intra vesikal grading dan berdasarkan

pembesaran kedua lobus lateralis yang terlihat pada uretroskopi.

8. Derajat berat gejala klinik hiperplasia prostat dibagi menjadi empat gradasi berdasarkan

penemuan pada pemeriksaan colok dubur dan sisa volume urin yang digunakan untuk

menentukan cara penanganan atau penatalaksanaannya.

9. Klasifikasi lain untuk menentukan berat gangguan miksi yaitu dengan menggunakan skor

WHO PSS, dimana skor dibawah 15 dianjurkan untuk terapi non bedah atau terapi

konservatif, sedangkan skor 25 lebih atau bila timbul obstruksi dianjurkan terapi bedah.

10. Penatalaksanaan terapi pada hiperplasia prostat dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu :

a. Observasi (Watchful waiting)b. Medikamentosa

c. Operatif

d. Invasif minimal

11. Tindakan bedah baik itu prostatektomi terbuka maupun prostatektomi endourologi masih

merupakan terapi utama untuk hiperplasia prostat (>90%) meskipun akhir-akhir ini

dikembangkan beberapa terapi non-bedah yang kurang invasif.

12. Trans Urethral Resection (TUR) masih merupakan prosrdur bedah yang lebih disukai untuk

penanganan hiperplasia prostat.

13. Yang termasuk di dalam terapi konservatif non operatif yaitu :

a. Observasi (Watchful waiting)

Page 41: BPH (1) agam

b. Medikamentosa

- Penghambat adrenergik alpha

- Fitoterapi

- Hormonal

a. Invasif minimal

- Trans Urethral Microwave Thermotherapy (TUMT)

- Trans Urethral Ballon Dilatation (TUBD)

- Trans Urethral Needle Ablation (TUNA)

- Stent Urethra

14. Selain pada kelompok hiperplasia prostat derajat 1 dan mungkin juga pada derajat 2, tindakan

terapi konservatif non bedah ini dapat dilakukan jika keadaan umum penderita tidak

memungkinkan untuk dilakukan tindakan operasi.

15. Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah menghilangkan obstruksi pada leher

buli-buli.

DAFTAR PUSTAKA

Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi revisi, Jakarta : EGC, 1997.

Tenggara T. Gambaran Klinis dan Penatalaksanaan Hipertrofi Prostat, Majalah Kedokteran

Indonesia volume: 48, Jakarta : IDI, 1998.

Reksoprodjo S. Prostat Hipertrofi, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah cetakan pertama, Jakarta :

Binarupa Aksara, 1995.

Sabiston, David C. Hipertrofi Prostat Benigna, Buku Ajar Bedah bagian 2, Jakarta : EGC, 1994.

Page 42: BPH (1) agam

Katzung, Bertram G. Farmakologi Dasar dan Klinik edisi VI, Jakarta : EGC, 1997.

Rahardja K, Tan Hoan Tjay. Obat – Obat Penting; Khasiat, Penggunaan, dan Efek – Efek

Sampingnya edisi V, Jakarta : Gramedia, 2002.

Rahardjo D. Pembesaran Prostat Jinak; Beberapa Perkembangan Cara Pengobatan, Jakarta :

Kuliah Staf Subbagian Urologi Bagian Bedah FK UI R.S. Dr. Cipto Mangunkusumo, 1993.

Priyanto J.E. Benigna Prostat Hiperplasi, Semarang : Sub Bagian Bedah Urologi FK UNDIP.

Nasution I. Pendekatan Farmakologis Pada Benign Prostatic Hyperplasia (BPH), Semarang :

Bagian Farmakologi dan Terapeutik FK UNDIP.

Soebadi D.M. Fitoterapi Dalam Pengobatan BPH, Surabaya : SMF/Lab. Urologi RSUD Dr.

Soetomo-FK Universitas Airlangga, 2002.

Purnomo B.P. Buku Kuliah Dasar – Dasar Urologi, Jakarta : CV.Sagung Seto, 2000.

Anonim. Kumpilan Kuliah Ilmu Bedah Khusus, Jakarta : Aksara Medisina, 1997.

Hugh. A.F. Dudley. Hamilton Bailey’s Emergency Surgery 11th edition, Gadjah Mada University

Press, 1992.

Mansjuoer Akan, Suprohaita, Wardhani W.I, Setiowulan W., Kapita Selekta Kedokteran, 3 rd

edition,Jakarta : Media Aesculapius FK-UI, 2000