bu let in 1101010413

Download Bu Let in 1101010413

If you can't read please download the document

Upload: dimot2001

Post on 26-Oct-2015

42 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN

    BULETIN ISSN : 1693 - 3265Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

    Keterkaitan Posisi Bank Indonesia Sebagai Lembaga Negara Dengan Pengisian Jabatan Dewan Gubernur

    Bank Indonesia Yang Memerlukan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat

    Outlook Pengawasan Perbankan Pasca Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan

    Kajian Hukum Terhadap Penyelesaiaan Likuidasi Bank Yang Dicabut Izin Usahanya Sebelum Berlakunya

    Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan

    Perlindungan Privasi Dan Data Pribadi: Suatu Telaahan Awal

    Perspektif Yuridis Pengawasan Keuangan Daerah

    Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari - April 2013

    Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari - April 2013

  • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

    BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALANDepartemen Hukum Bank Indonesia

    PelindungDeputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia

    Penanggung JawabSiddha Karya, Wahyudi Santoso, Libraliana Badilangoe, Rosalia Suci

    Pemimpin RedaksiLibraliana Badilangoe

    Sekretaris RedaksiDyah Pratiwi

    Dewan RedaksiImam Subarkah, Agus Susanto Pratomo, Amsal C. Appy, Hari Sugeng Raharjo,

    Endang R. Budi Astuti, Pulih Widayaningrum

    Redaksi PelaksanaEllia Syahrini, Kuwat Wijayanto, Chandra Herwibowo, Veri Dyatmika Adhiraharja

    Mitra BestariProf. Dr. Erman Radjagukguk, SH., LLM

    Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH., LLMProf. Dr. Huala Adolf, SH., LLMDr. Inosentius Samsul, SH., LLMDr. Lastuti Abubakar, SH., MH

    Penanggung Jawab Pelaksana dan DistribusiTim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,

    Departemen Hukum Bank Indonesia

    Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitiandalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.

    Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember.Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletinditerbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi DepartemenStatistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email: [email protected]

    Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukumperbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,Departemen Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 9 Jl. M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan.

    Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan

    publikasi, kemudian pilih publikasi

  • Halaman ini sengaja dikosongkan

  • Pembaca Buletin Yang Berbahagia, di tahun 2013 Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume

    11 Nomor 1, Edisi Januari April 2013 kembali hadir dan menyapa pembaca sekalian, dengan berbagai artikel.

    Dalam rangka mempersiapkan bahan-bahan amandemen UU Bank Indonesia pasca UU Otoritas Jasa Keuangan,

    Bank Indonesia melakukan penelitian dengan fakultas hukum. Dalam edisi ini secara khusus Buletin menampilkan hasil

    penelitian kerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta (UNS), yaitu mengenai

    Keterkaitan Posisi Bank Indonesia Sebagai Lembaga Negara Dengan Pengisian Jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia

    Yang Memerlukan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum;

    Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum; Djatmiko Anom Husodo, S.H., M.H; Munawar Kholil, S.H., M.Hum., disarikan menjadi

    artikel yang dimuat dalam buletin edisi kali ini.

    Selain itu, masih terkait Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Buletin juga menurunkan artikel mengenai Outlook

    Pengawasan Perbankan Pasca Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan, yang ditulis oleh Sdr. Rio Fafen Ciptaswara, S.H.,

    MH; Kajian Hukum Terhadap Penyelesaiaan Likuidasi Bank Yang Dicabut Izin Usahanya Sebelum Berlakunya Undang-

    Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan, oleh Sdr. Alex Kurniawan S.H., M.H; Perlindungan

    Privasi Dan Data Pribadi: Suatu Telaahan Awal, oleh: Sdr. Josua Sitompul, S.H., IMM; serta artikel mengenai Perspektif

    Yuridis Pengawasan Keuangan Daerah, oleh Sdr. Dayanto, S.H.,M.H.

    Harapannya, artikel yang dimuat dalam Buletin tersebut akan memperkaya wacana dan kajian dalam rangka

    pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum perbankan dan kebanksentralan.

    Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, Buletin ini akan

    memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan Januari sampai

    dengan April 2013, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin

    mempermudah pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.

    Selamat membaca.

    Jakarta, April 2013

    Redaksi

    i

    DARI MEJA REDAKSI

  • Halaman ini sengaja dikosongkan

  • Halaman

    Dari Meja Redaksi................................................................................................................................... i

    Daftar Isi................................................................................................................................................. iii

    Keterkaitan Posisi Bank Indonesia Sebagai Lembaga Negara Dengan Pengisian Jabatan

    Dewan Gubernur Bank Indonesia Yang Memerlukan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat....................1 - 18

    Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum; Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum; Djatmiko Anom Husodo, S.H., M.H;

    Munawar Kholil, S.H., M.Hum.

    Outlook Pengawasan Perbankan Pasca Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan..........................................19 - 38

    Rio Fafen Ciptaswara, S.H., M.H.

    Kajian Hukum Terhadap Penyelesaiaan Likuidasi Bank Yang Dicabut Izin Usahanya Sebelum Berlakunya

    Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan.......................................39 - 69

    Alex Kurniawan S.H., M.H.

    Perlindungan Privasi Dan Data Pribadi: Suatu Telaahan Awal....................................................................71 - 94

    Josua Sitompul, S.H., IMM.

    Perspektif Yuridis Pengawasan Keuangan Daerah....................................................................................95 - 105

    Dayanto, S.H., M.H.

    Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari - April 2013..........................107 - 110

    Tim Informasi Hukum (Departemen Hukum Bank Indonesia)

    Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari - April 2013....................111 - 137

    Tim Informasi Hukum (Departemen Hukum Bank Indonesia)

    BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN

    VOLUME 11, NOMOR 1, JANUARI APRIL 2013

    iii

  • Halaman ini sengaja dikosongkan

  • A. Pendahuluan

    Keberadaan Bank Sentral berikut atribut yang

    berkaitan dengan posisi kelembagaan dan

    independensinya amat dipengaruhi oleh theory of

    delegation monetery. Dalam hal ini, para politisi

    menyerahkan urusan-urusan pengelolaan sumber

    daya keuangan yang bersifat teknokratik kepada

    organ khusus yang dibentuk untuk itu. Dengan

    mekanisme kelembagaan itu, maka akan berpengaruh

    kepada decetion making role of governing bodies

    dari Bank Sentral. Dalam pola pembagian kekuasaan

    negara sampai dengan abad ke-18, masalah-masalah

    perekonomian dipandang sebagai fenomena pasar

    1

    KETERKAITAN POSISI BANK INDONESIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA DENGAN PENGISIAN JABATAN

    DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA YANG MEMERLUKAN PERSETUJUAN

    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT1

    Oleh :

    Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum; Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum; Djatmiko Anom Husodo, S.H., M.H;

    Munawar Kholil, S.H., M.Hum2

    Abstrak

    Adanya sejumlah faktor yang mempengaruhi struktur kelembagaan Bank Sentral menunjukkan tidak adanya

    gejala tunggal, khususnya berhubungan dengan pembagian kekuasaan, tetapi pola-pola kelembagaan yang saling

    berpengaruh satu sama lain. Pandangan ini dapat disebut sebagai theory of combines process intitutionalized (teori

    kombinasi proses kelembagaan). Dalam hal ini, perubahan kelembagaan terjadi di dalam prinsip regulasi dan organisasi,

    perilaku, dan pola-pola interaksi. Arah perubahan tersebut biasanya menuju ke peningkatan perbedaan prinsip-prinsip

    dan pola-pola umum di dalam kelembagaan yang saling berhubungan. Sementara itu, pada waktu yang bersamaan

    terdapat peningkatan kebutuhan untuk melakukan integrasi di dalam sistem yang kompleks. Perbedaan tersebut dapat

    berarti juga memperluas mata rantai saling ketergantungan yang menuntut adanya integrasi. Tentu saja, perubahan

    kelembagaan itu mendorong kepada perubahan-perubahan kondisi yang kemudian membuat penyesuaian baru yang

    diperlukan. Tujuan utama dari perubahan kelembagaan itu adalah menciptakan keseimbangan baru. Mengingat

    independensi Bank Indonesia, pengisian jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia yang memerlukan persetujuan Dewan

    Perwakilan Rakyat memiliki rasionalitas yang amat terkait dengan status kelembagaan bank sentral. Hanya saja ke depan

    nampaknya perlu dilakukan perubahan mekanisme itu guna menghindari politicking yang berlebihan.

    Kata kunci: Bank Indonesia, lembaga negara, pengisian jabatan, dewan gubernur BI, persetujuan, dpr.

    1 Sebagian Analisis Penelitian Formulasi Pengaturan Kedudukan Bank Indonesia Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Peneliti FH UNS: Isharyanto, S.H., M.Hum; Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum; Djatmiko Anom Husodo, S.H., M.H; Munawar Kholil, S.H., M.Hum, 2012

    2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta

  • (market) yang berkembang dalam dinamika

    masyarakat sendiri, sehingga tidak memerlukan

    pengaturan yang ketat oleh negara. Cara pandang

    demikian ini juga mempengaruhi penyusunan

    konstitusi. Meskipun sejak disahkannya konstitusi

    Amerika Serikat pada tahun 1789, negara-negara

    yang menganut paham demikian, kecuali Inggris,

    selalui memiliki naskah konstitusi tertulis, tetapi

    konstitusinya tidak memuat ketentuan mengenai

    ekonomi sama sekali.

    Konstitusi Amerika Serikat, yang acapkali disebut

    sebagai konstitusi modern yang pertama kali, tidak

    ada satu pasal pun yang berkaitan dengan soal-soal

    perekonomian. Sampai sekarang konstitusi tersebut

    sudah mengalami perubahan sebanyak 27 kali.

    Perubahan I sampai dengan Perubahan X dilakukan

    secara serentak dan sering dikenal sebagai Bill of

    Rights karena isinya menyangkut hak asasi.

    Sementara itu, 17 perubahan lainnya dlakukan secara

    terpisah. Pendek kata, dalam keseluruhan teks

    konstitusi Amerika Serikat tidak diketemukan satu

    pasal atau ayat pun yang mengatur mengenai

    persoalan hak-hak ekonomi, apalagi mengenai sistem

    perekonomian seperti yang lazim diatur dalam

    konstitusi negara-negara sosialis komunis. Kalaupun

    ada ketentuan yang berkaitan dengan perekonomian

    dan keuangan, hanya yang berhubungan dengan

    kebijaksanaan administrasi negara di bidang keuangan,

    perpajakan, dan anggaran. Meskipun demikian,

    ketentutan-ketentuan tersebut tentu pada waktunya

    mempengaruhi dinamika perekonomian yang terjadi

    di dalam masyarakat. Akan tetapi, ketentuan-

    ketentuan mengenai moneter, perpajakan, dan

    anggaran itu lebih berkaitan dengan administrasi

    negara dibandingkan misalnya dengan peran pasar

    dengan negara dalam pengelolaan hak milik dan

    dalam manajemen kekayaan alam yang secara

    langsung berkaitan dengan ciri-ciri liberalisme atau

    sosialisme.

    Menurut Carr R. Sunstein, ada 4 (empat) hal yang

    menyebabkan konstitusi Amerika Serikat sampai

    sekarang tidak pernah mengatur mengenai

    perekonomian. Pertama, ditinjau dari kronologi

    penyusunannya, sampai dengan abad ke-18, masalah

    tersebut tidak pernah menjadi pemikiran penyusunan

    konstitusi. Kedua, ditinjau dari kelembagaan,

    ketentuan mengenai perekonomian bukanlah

    merupakan aspirasi atau tujuan pembentukan

    konstitusi, akan tetapi merupakan instrumen pragmatis

    dalam rangka penegakan hak melalui mekanisme

    pengadilan (judicial enforcement). Ketiga, kenyataan

    American exeptionalism, yang terwujud dalam

    absennya gerakan sosial yang mempengaruhi

    konstitusioanlisme. Keempat, ditinjau dari segi realitas,

    dalam kurun waktu 1960-an dan 1970, Mahkamah

    Agung mempunyai pandangan yang sempit mengenai

    bagaimanakah pemenuhan hak-hak yang

    berhubungan dengan perekonomian tersebut.3

    Dengan mengambil kenyataan ini, maka rintisan

    pendirian Bank Sentral tidak berhubungan dengan

    pengelolaan sumber daya perekonomian dan

    pemenuhan hak-hak asasi di bidang sosial dan

    ekonomi, tetapi lebih menekankan kepada kebutuhan

    pencarian sumber pembiayaan dari Pemerintah.

    B. Mencari Keseimbangan: Dari Theory of

    Delegation Monetery menuju Theory of

    Combines Process Intitutionalized

    Dalam perkembangan selanjutnya, relasi pemisahan

    kekuasaan negara dalam konteks theory of delegation

    monetary tidak mencukupi untuk menjelaskan

    bagaimanakah struktur Bank Sentral. Sebagai suatu

    kenyataan dinamis, utamanya relasi Bank Sentral

    dengan Parlemen tidak diposisikan dalam pembicaraan

    pembagian kekuasaan, akan tetapi ditentukan oleh

    6 (enam) faktor. Pertama, tujuan pembangunan

    ekonomi mempengaruhi aktivitas dan formulasi

    kelembagaan Bank Sentral. Pembangunan, terutama

    di negara-negara yang berpendapatan rendah,

    menyebabkan aktivitas Bank Sentral mengarah juga

    2

    Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

    3 Cass R. Sunstein, Why Does the American Constitution Lack Social and Economic Guarantees?,Chicago Law and Legal Theory Working Paper, No. 36, Januari, 2003, hlm. 4.

  • kepada sektor quasi fiskal.4 Bahkan di negara-negara

    berkembang, Bank Sentral mengarah kepada

    instrumen moneter dengan campur tangan politik

    yang kuat dalam melaksanakan tujuan-tujuannya.

    Kedua, faktor sejarah, kebiasaan, dan tradisi. Amat

    jarang Undang-Undang mengatur Bank Sentral secara

    komprehensif. Oleh sebab itu, dalam praktik seringkali

    diwarnai dengan perubahan-perubahan ketentuan

    yang bersifat parsial. Ketiga, faktor politik. Faktor ini

    menyebabkan desain Bank Sentral bervariasi dalam

    derajat otonomi dan akuntabilitasnya. Politik diakui

    perannya, akan tetapi dalam beberapa hal pada saat

    politik menciptakan lingkungan negara yang lemah

    akan memberikan dorongan yang besar untuk

    menciptakan independensi tinggi kepada Bank Sentral.

    Perlindungan terhadap pemecatan atas pejabat Bank

    Sentral menjadi bagian yang penting. Akhirnya,

    struktur Bank Sentralrelasi dengan Parlemen, kepala

    negara, kabinet, atau kementerianakan ditentukan

    oleh sistem politik. Keempat, tradisi legal yang dianut.

    Mayoritas Bank Sentral merupakan badan hukum,

    sepenuhnya dimiliki negara, dan diatur oleh Undang-

    Undang, akan tetapi sangat sedikit Bank Sentral yang

    merupakan perusahaan terbuka dan ada kepemilikan

    saham pribadi. Struktur pemerintahan akan

    menentukan hukum korporasi yang berlaku. Dalam

    tradisi Anglo Saxon misalnya, perusahaan hanya

    mempunyai satu organ, sementara di negara Eropa

    perusahaan mempunyai struktur organ pelaksana

    dan organ pengawas.5 Kelima, faktor konstitusi.

    Umumnya negara-negara demokrasi lama tidak

    mengatur soal Bank Sentral dalam konstitusi. Hanya

    sedikit negara, antara lain Afrika Selatan, yang

    menetapkan tugas Bank Sentral dalam konstitusi.

    Sejumlah negara di kawasan Amerika Latin usai krisis

    tahun 1980-an mengubah konstitusi, termasuk

    mengatur rinci mengenai Bank Sentral dan larangan

    peminjaman kredit kepada Pemerintah.6 Konstitusi

    di negara-negara yang mengalami transisi biasanya

    mengatur pula ketentuan mengenai nominasi dan

    rekrutmen pejabat Bank Sentral. Keenam, kontinuitas.

    Faktor ini ditentukan oleh seberapa sering ketentuan

    Undang-Undang Bank Sentral diubah dan tingkat

    detail pengaturannya. Undang-Undang mengenai

    The Federal Reserve System di Amerika Serikat

    termasuk kategori Undang-Undang yang mempunyai

    ketegori rinci, sementara di negara lain tidak dijumpai

    ketentuan semacam itu. Di negara lain, Undang-

    Undang diubah beberapa kali dalam kurun waktu

    tertentu. Di Khazaztan, Undang-Undang Bank Sentral

    1995 telah diubah sebanyak 16 kali sampai tahun

    2003. Undang-Undang di Denmark sejak ditetapkan

    tahun 1936, hanya 4 (empat) kali mengalami

    perubahan kecil (1938, 1939, 1967, dan 1969).7

    Adanya sejumlah faktor yang mempengaruhi struktur

    kelembagaan Bank Sentral menunjukkan tidak adanya

    gejala tunggal, khususnya berhubungan dengan

    pembagian kekuasaan, tetapi pola-pola kelembagaan

    yang saling berpengaruh satu sama lain. Pandangan

    ini dapat disebut sebagai theory of combines process

    intitutionalized (teori kombinasi proses kelembagaan).

    Dalam hal ini, perubahan kelembagaan terjadi di

    dalam prinsip regulasi dan organisasi, perilaku, dan

    pola-pola interaksi. Arah perubahan tersebut biasanya

    menuju ke peningkatan perbedaan prinsip-prinsip

    dan pola-pola umum di dalam kelembagaan yang

    saling berhubungan. Sementara itu, pada waktu yang

    bersamaan terdapat peningkatan kebutuhan untuk

    melakukan integrasi di dalam sistem yang kompleks.

    Perbedaan tersebut dapat berarti juga memperluas

    mata rantai saling ketergantungan yang menuntut

    adanya integrasi. Tentu saja, perubahan kelembagaan

    itu mendorong kepada perubahan-perubahan kondisi

    3

    Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

    4 Diskusi selengkapnya: Snoh Unakul dan Supachai Panitchpakdi, 1987, Role of Central Banks in Economic Development, paper prepared for the Twelfth SEANZA Central Banking Course, Bank of Thailand (Bangkok).

    5 Lihat dalam: Douglas Branson, Douglas, The Very Uncertain Prospect of Global Convergence in Corporate Governance, Cornell International Law Journal, 2001, Vol. 34, No, 2, hlm. 321362.

    6 Lihat: Eva Gutirrez, Inflation Performance and Constitutional Central Bank Independence: Evidence from Latin America and the Caribbean, IMF Working Paper No. 03/53 (Washington: International Monetary Fund).

    7 Pembahasan selengkapnya, periksa: Peter Moser, Checks and Balances, and the Supply of Central Bank Independence, European Economic Review, 1999, Vol. 43, hlm. 15691593.

  • yang kemudian membuat penyesuaian baru yang

    diperlukan. Tujuan utama dari perubahan kelembagaan

    itu adalah emnciptakan keseimbangan baru.

    Berdasarkan argumen menurut theory of combines

    process intitutionalized, maka relasi antara parlemen

    dengan Bank Sentral adalah untuk menciptakan

    keseimbangan baru diantara keduanya di hadapan

    Pemerintah. Khususnya berkaitan dengan isu pengisian

    jabatan Dewan Gubernur Bank Sentral, keseimbangan

    itu menjadi penting untuk ditekankan. Terutama pada

    negara-negara berkembang, pola keseimbangan itu

    tercipta ke dalam 3 (tiga) pola sebagai berikut.

    Pertama, Pemerintah terlibat langsung dalam pengisian

    jabatan board dan masa jabatan Dewan Gubernur

    lebih pendek. Kedua, Pemerintah pada umumnya

    terwakili dalam Dewan Gubernur.Ketiga, Bank Sentral

    menikmati sedikit proteksi legal, terutama ketika

    berselisih dengan Pemerintah.

    Dalam pengisian jabatan Dewan Gubernur itu dapat

    berlangsung dalam salah satu atau variasi diantara 5

    (lima) prosedur berikut ini. Pertama, Gubernur direkrut

    tanpa campur tangan Pemerintah. Pola ini diterapkan

    di negara Bulgaria, Kroasia, Republik Ceko, Estonia,

    Latvia, Lithuania, Malaysia, Pakistan, Polandia,

    Romania, Slovakia, Slovenia, dan Turki. Kedua,

    Gubernur mempunyai masa jabatan lebih dari 5 (lima)

    tahun. Hal ini antara lain dipraktikkan di Argentina8,

    Brazil9, Bulgaria10, China11, Kroasia12, Republik Ceko13,

    Hongaria14, Latvia15, Filipina16, Polandia17, Slovenia18,

    Thailand, dan Venezuela19. Ketiga, Dewan Gubenur

    direktur tanpa campur tangan Pemerintah seperti

    antara lain di Bulgaria20, Kroasia21, Republik Ceko22,

    Estonia23, Hungaria24, Latvia25, Lithuania26, Polandia27,

    Romania28, Rusia29, dan Turki30. Keempat, Dewan

    Gubernur mempunyai masa jabatan lebih dari 5 (lima)

    tahun seperti antara lain di Argentina31, Brazil32,

    4

    8 Charter of the Central Bank of the Argentine Republic, Law 24,144 of September 23, 1992, diubah terakhir pada September 2003 (Law 25, 780).

    9 Central Bank Law of Brazil, Law No. 4595/64 of December 31, 1964, terakhir diubah 31 Mei 2000.

    10 Law on the Bulgarian National Bank Tahun 2002.

    11 Law on the Peoples Republic of China on the Peoples Bank of China of March 18, 1995.

    12 Law on the Croatian National Bank, 5 April, 2001.

    13 Czech National Council Act No. 6/1993 Coll of 17 December 1992 on The Czech National Bank, terakhir diubah 1 Mei 2002.

    14 Act LVIII of 2001 on the National Bank of Hungary.

    15 Law "On the Bank of Latvia" of May 19, 1992, terakhir diubah 12 Juli 2002.

    16 The New Central Bank Act of the Republic of Philippines Juli, 1992.

    17 Law of August 29, 1997 on the National Bank of Poland, terakhir diubah 1 Januari 2003.

    18 Bank of Slovenia Act of July 2002.

    19 Law on the Central Bank of Venezuela", terakhir diubah 4 September 2001.

    20 Law on the Bulgarian National Bank Tahun 2002.

    21 Law on the Croatian National Bank, 5 April, 2001.

    22 Czech National Council Act No. 6/1993 Coll of 17 December 1992 on The Czech National Bank, terakhir diubah 1 Mei 2002.

    23 Law on the Central Bank of the Republic of Estonia of 18 May 1993, last amendmentRT I 1999,16, 271.

    24 Act LVIII of 2001 on the National Bank of Hungary.

    25 Law "On the Bank of Latvia" of May 19, 1992, terakhir diubah 12 Juli 2002.

    26 Law on the Bank of Lithuania, Law No. I-678 of December 1, 1994, terakhir diubah 13 Maret 2001.

    27 Law of August 29, 1997 on the National Bank of Poland, terakhir diubah 1 Januari 2003.

    28 Law on the Statute of the National Bank of Romania of May 26, 1998, terakhir diubah dengan Law No. 156 of October 12, 1999.

    29 Federal Law No. 86-FZ on the Central Bank of the Russian Federation (The Bank of Russia) of June 27, 2002.

    30 The Law on the Central Bank of the Republic of Turkey (Law No. 1211), terakhir diubah 25 April 2001.

    31 Charter of the Central Bank of the Argentine Republic, Law 24,144 of September 23, 1992, terakhir diubah 21 September 2003 (Law 25,780).

    32 Central Bank Law of Brazil, Law No. 4595/64 of December 31, 1964, terakhir diubah 31 Mei 2000.

    Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

  • Bulgaria33, Chile34, China35, Kroasia36, Republik Ceko37,

    Hongaria38, Latvia39, Lithuania40, dan Filipina.41 Kelima,

    tidak ada perwakilan Pemerintah dalam Dewan

    Gubernur seperti di Afrika Selatan42, Peru43, dan

    Thailand.44

    Selanjutnya, relasi keseimbangan baru antara

    Pemerintah, Parlemen, dan Bank Sentral sekurang-

    kurangnya akan berpengaruh kepada 3 (tiga) hal

    penting. Pertama, derajat campur tangan Pemerintah

    dalam menentukan kebijaksanaan moneter. Di negara

    berkembang, kecenderungan campur tangan

    Pemerintah tidak ada dalam memformulasikan

    kebijaksanaan moneter, kecuali di negara seperti

    Bahamas, Bangladesh, Barbados, Benin, Burkina Faso,

    Cte dIvoire, Guine Bissau, Mali, Niger, Senegal

    danTogo.Kedua, penentuan stabilitas moneter sebagai

    salah satu fungsi Bank Sentral. Nyaris semua negara

    menganut ketentuan ini kecuali negara seperti

    Comoros, Iran, dan Sudan. Ketiga, proteksi legal

    Bank Sentral di hadapan Pemerintah. Pada kebanyakan

    negara berkembang, proteksi Bank Sentral lebih besar

    ketika terjadi perselisihan dengan Pemerintah, kecuali

    di negara seperti Angola, Bahamas, Bangladesh,

    Kolumbia, Haiti, Iran, dan Vietnam. Untuk hal yang

    ketiga ini dalam praktiknya undang-undang akan

    menentukan secara berbeda-beda. Misalnya, (i)

    Pemerintah akan mematuhi keputusan Bank Sentral

    dan akan menunda kebijaksanaannya dalam waktu

    tertentu seperti di Chile; (ii) Parlemen akan melakukan

    intervensi atau sekurang-kurangnya melakukan dengar

    pendapat seperti Australia, Kanada, Inggris, dan

    Norwegia; dan (iii) Pemerintah mengajukan perdebatan

    umum di Parlemen seperti di Selandia Baru.

    Format pengisian jabatan Dewan Gubernur45

    mencakup isu komposisi, kualifikasi, serta masalah

    pengusulan, pengangkatan, dan pemberhentian. Di

    bawah ini akan diuraikan secara singkat masing-

    masing isu tersebut.

    Kebanyakan undang-undang di sejumlah negara

    menetapkan jumlah anggota Dewan Gubernur adalah

    antara 7-9 orang.Banyak studi yang mengatakan

    bahwa jumlah yang ideal adalah antara 5-9 orang,

    sekalipun diantara praktik tersebut jumlah yang kecil

    dan yang besar tetap saja mampu melakukan

    pekerjaan dengan baik. Bank Sentral Swiss hanya

    mempunyai 3 (tiga) anggota, sementara The Federal

    Reserve System mempunyai 19 anggota (walaupun

    hanya 12 yang mempunyai hak suara) dan Bank

    Sentral Eropa mempunyai 22 anggota.46 Dalam

    komposisi ini dalam praktik kebanyakan Gubernur

    (Governor) secara otomatis merupakan Ketua

    (Chairman).47 Pada Bank of Japan terdiri atas seorang

    Gubernur, dua Deputi Gubernur, dan 6 (enam)

    anggota Policy Board. Bundesbank di Jerman memiliki

    seorang Presiden, seorang wakil, dan 6 (enam)

    anggota Executive Board. Di Finlandia meliputi seorang

    5

    33 Law on the Bulgarian National Bank, amended as of 2002.

    34 Law 18,840, Basic Constitutional Act of the Central Bank of Chile, terakhir diubah 31 Mei 2002.

    35 Law on the Peoples Republic of China on the Peoples Bank of China of March 18, 1995.

    36 Law on the Croatian National Bank, new law enacted on April 5, 2001.

    37 Czech National Council Act No. 6/1993 Coll of 17 December 1992 on The Czech National Bank, terakhir diubah pada 1 Mei 2002.

    38 Act LVIII of 2001 on the National Bank of Hungary.

    39 Law "On the Bank of Latvia" of May 19, 1992, terakhir diubah 12 Juli 2002.

    40 Law on the Bank of Lithuania, Law No. I-678 of December 1, 1994, terakhir diubah 13 Maret 2001.

    41 The New Central Bank Act of the Republic of Philippines of July, 1992.

    42 South African Reserve Bank Act of August 1, 1989, terakhir diubah tahun 2000.

    43 Central Reserve Bank of Peru Organic Law, Decree-Law No. 26123 of January 1, 1993.

    44 Bank of Thailand Act 2485.

    45 Selain Dewan Gubernur, istilah lain yang acapkali dipakai adalah Executive Board, Policy Board, atau lainnya.

    46 Berger et al (2006)

    47 Istilah lain adalah Presiden.

    Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

  • Chairman dan maksimum 5 (lima) anggota. Kanada

    menetapkan Dewan Gubernur meliputi seorang

    Gubernur, seorang Deputi Gubernur, dan 12 anggota

    Boards of Director. Di Ghana, The Board of Director

    meliputi seorang Gubernur, 2 (dua) Deputi Gubernur,

    dan 8 (delapan) directors, dan 1 (satu) orang yang

    mewakili Menteri Keuangan.

    Aturan Dewan Gubernur juga mencakup ketentuan-

    ketentuan yang berhubungan dengan kualifikasi atau

    syarat-syarat untuk menduduki jabatan tersebut. Ada

    syarat yang merujuk kepada kapasitas profesional,

    misalnya pengalaman dalam sektor perbankan,

    keuangan, ekonomi, dan hukum; serta lapangan lain

    seperti akuntansi, auditor, dan perdagangan

    internasional seperti persyaratan di Kolumbia.

    Di negara yang mengalami transisi ekonomi, untuk

    Gubernur dan Deputi Gubernur lazim dipersyaratkan

    harus sudah pernah menjabat dalam kedudukan

    serupa untuk jangka waktu tertentu. Beberapa negara

    menetapkan batas usia tertentu bagi Gubernur dan

    Deputi Gubernur. Di Cape Verde mengatur bahwa

    Dewan Gubernur minimal mempunyai pengalaman

    8 (delapan) tahun di sektor perbankan. Di Venezuela,

    calon harus berumur minimal 30 tahun. Filipina

    menetapkan batas usia minimal 35 tahun dan untuk

    keanggotaan Dewan Moneter sekurang-kurangnya

    40 tahun. Di Namibia, calon harus berumur serendah-

    rendahnya 21 tahun dan maksimal 65 tahun saat

    dilantik. Pada Bank Sentral Belgia, Dewan Gubernur

    berhenti saat mencapi usia 67 tahun, yang atas

    rekomendasi Menteri Keuangan dapat terus bertugas

    sampai usia 70 tahun. Papua Nugini mensyaratkan

    berhentinya Dewan Gubernur saat usia 70 tahun.

    Di negara yang lain, jika dipersyaratkan bahwa Dewan

    Gubernur merupakan pejabat karir birokrasi,

    ketentuan batras usia tunduk pada ketentuan yang

    diatur dalam Undang-Undang.

    Syarat kewarganegaraan acapkali juga menjadi salah

    satu persyaratan.Tetapi salah satu contoh menarik di

    Bosnia Herzegovina. Mengingat situasi yang sulit pada

    waktu itu, Undang-Undang mengatur bahwa untuk

    pertama kalinya Dewan Gubernur tidak merupakan

    warganegara yang bersangkutan, yang ditetapkan

    oleh International Monetery Fund dan diambil dari

    negara tetangga. Pada akhir masa jabatan, otoritas

    setempat memberikan kewargenaraan dan mereka

    dicalonkan kembali.

    Syarat kapasitas profesional diuji dalam mekanisme

    fit and proper test untuk tercapai standar moralitas

    tertentu seperti di Bank Sentral Eropa, berperikelakuan

    tidak tercela (Filipina), atau integritas yang tidak

    meragukan (Filipina). Syarat tidak pernah menjalani

    hukuman pidana, kecuali denda, juga lazim

    diperlakukan seperti di Bostwana. Syarat lain misalnya

    tidak pailit, tetapi di sejumlah negara memperkenankan

    dalam lampau waktu tertentu. Di Peru misalnya, syarat

    itu mencakup ketidakmampuan pajak atau tidak

    terdaftar sebagai wajib pajak.Bolivia melarang calon

    yang memiliki kepemilikan saham di institusi keuangan.

    Sementara itu, masa jabatan dan kemungkinan

    pengangkatan kembali Dewan Gubernur antara Bank

    Sentral yang satu dengan yang lain tidak selalu sama.

    Sebagai contoh di The Federal Reserve System

    mempunyai masa jabatan 14 tahun dan tidak dapat

    dicalonkan kembali. Dua dari anggota Dewan

    Gubernur dipilih sebagai Chairman dan wakil untuk

    masa jabatan 4 (empat) tahun dan diangkat kembali

    selama masih dalam jangka jabatan 14 tahun. Semua

    anggota Executive Board (termasuk Presiden dan

    wakilnya) di Bank Sentral Eropa mempunyai masa

    jabatan 8 (delapan) tahun dan tidak dapat dipilih

    kembali. Finlandia mengatur bahwa masa jabatan

    Gubernur adalah 7 tahun dan dalam keanggotaan

    Dewan Gubernur dapat dipilih sampai 3 (tiga) kali

    masa jabatan, kecuali untuk menjabat Gubernur

    maksimal 2 (dua) periode masa jabatan.

    Masalah pengusulan, pengangkatan, dan

    pemberhentian anggota Dewan Gubenur masing-

    masing berbeda-beda. Sebagai contoh, pada The

    Federal Reserve System diusulkan oleh Presiden untuk

    nendapat persetujuan Senat. Sedangkan Chairman

    dan wakilnya ditunjuk dari anggota Dewan Gubernur

    oleh Presiden dan dikonfirmasi oleh Senat. Di Albania,

    6

    Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

  • Gubernur dicalonkan oleh Presiden atas usul Bank

    Sentral, sementara untuk anggota masing-masing

    dicalonkan oleh Parlemen (3 orang), Presiden (1

    orang); serta Kabinet, Dewan Gubernur, Menteri

    Keuangan, dan Gubernur Bank Sentral masing-masing

    1 (satu) orang. Di Armenia, Gubernur dan Deputi

    Gubernur diangkat oleh Presiden dengan persetujuan

    Parlemen, sementara sebanyak 5 (lima) anggota yang

    lain diangkat oleh Presiden. Di Belarusia, Gubernur

    diangkat oleh Presiden atas persetujuan Parlemen,

    sementara Parlemen dan Kabinet berhak mengusulkan

    masing-masing 1 (satu) anggota Dewan Gubernur.

    Di Rusia Gubernur diangkat oleh Presiden dengan

    persetujuan Parlemen, sementara 13 anggota lainnya

    diangkat oleh Presiden dengan memperhatikan saran

    Gubernur.Sementara pengangkatan seluruh anggota

    Dewan Gubernur atas kehendak Presiden sepenuhnya

    terjadi di Republik Ceko, sedangkan di Bulgaria,

    Kroasia, dan Ukraina sepenuhnya di bawah kendali

    Parlemen.

    Suatu penelitian yang dilakukan oleh Tonny Lybek

    dan Jo Anne Morrist48 terhadap 100 Bank Sentral

    menyimpulkan bahwa mekanisme pengusulan Dewan

    Gubernur dilakukan dengan kategori sebagai berikut:

    (i) diusulkan oleh Kepala Negara/Presiden sebanyak

    31 negara; (ii) diusulkan oleh Parlemen sebanyak 12

    negara; (iii) diusulkan oleh Menteri Keuangan sebanyak

    17 negara; (iv) diusulkan oleh Perdana Menteri

    sebanyak 5 negara; (v) diusulkan oleh Kabinet sebanyak

    12 negara dan (vi) diusulkan dengan variasi yang

    menggabungkan sejumlah pihak sebanyak 23 negara.

    Penelitian yang sama mengungkapkan bahwa

    mekanisme pengangkatan meliputi variasi-variasi

    sebagai berikut: (i) memerlukan persetujuan

    Presiden/Kepala Negara sebanyak 51 negara; (ii)

    memerlukan persetujuan Parlemen sebanyak 23

    negara; (iii) memerlukan persetujuan Perdana Menteri

    sebanyak 3 negara; (iv) memerlukan persetujuan

    Kabinet sebanyak 8 negara; (v) memerlukan persetujuan

    Menteri Keuangan sebanyak 5 negara, dan (vi)

    memerlukan persetujuan yang menggabungkan

    sejumlah pihak sebanyak 10 negara.49

    Jika ditelaah, maka mekanisme pengusulan,

    pengangkatan, dan pemberhentian Dewan Gubernur

    pada Bank Sentral akan meliputi tipe sebagai berikut:

    (i) mekanisme oleh Bank Sentral sendiri; (ii) mekanisme

    dengan campur tangan (usul) Bank Sentral; (iii)

    mekanisme yang melibatkan Pemerintah dan

    Parlemen; (iv) mekansime yang melibatkan Pemerintah

    secara kolektif; dan mekanisme atas kehendak

    Pemerintah atau Parlemen secara pribadi. Dengan

    demikian, tafsiran keseimbangan antara Pemerintah

    dan Parlemen berhadapan dengan Bank Sentral

    diterjemahkan secara berbeda-beda di setiap negara.

    Sedangkan alasan-alasan untuk melakukan

    pemberhentian (dismissal) diatur secara tidak sama

    diantara banyak negara, yang pada garis besarnya

    mencakup 3 (tiga) bentuk. Pertama, bersifat non-

    politik seperti Albania, Armenia, Republik Ceko,

    Estonia, Hongaria, dan Rusia.Kedua, kegagalan

    menjalankan kewajiban perbankan seperti di Bulgaria.

    Ketiga, perselisihan kebijaksanaan moneter antara

    Bank Sentral dengan Pemerintah dan/atau Parlemen

    seperti di Georgia.Keempat, tidak terikat syarat dan

    kondisi tertentu seperti di Rumania.

    C. Praksis di Indonesia

    Sehubungan dengan Dewan Gubernur Bank

    Indonesia, ketentuan UU No. 13 Tahun 1968 Pasal

    15 mengatakan bahwa Gubernur dan Direktur

    diangkat oleh Presiden atas usul Dewan Moneter

    untuk masa 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali.

    Komposisi Dewan Gubernur meliputi Direksi yang

    terdiri atas satu orang Gubernur dan minimal 5 atau

    7 orang Direktur.Pasal 16 menyebutkan bahwa Direksi

    7

    49 Ibid.

    48 Tonny Lybek and JoAnne Morrist, Central Bank Governance: A Survey of Board and Management, IMF Working Paper, Desember 2004, hlm. 33.

    Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

  • bertanggung jawab kepada Pemerintah. Pasal 17

    menyebutkan bahwa Presiden dapat memberhentikan

    Gubernur dan Direktur, meskipun masa jabatannya

    belum berakhir. Sebagai tambahan, anggota Direksi

    tidak boleh merangkap jabatan pada lembaga lain,

    kecuali karena kedudukannya (Pasal 18). Sementara

    itu, Pasal 22 menyebutkan bahwa Komisaris

    Pemerintah mengawasi pengurusan Bank Indonesia

    sebagai perusahaan dan boleh hadir dalam Rapat

    Direksi. Pengambilan keputusan dilakukan atas dasar

    musywarah untuk mencapai mufakat (kolektif).Dengan

    ketentuan ini, Bank Indonesia memiliki political

    independence terbatas.

    Pada masa berlakunya UU No. 13 Tahun 1968,

    rekrutmen Dewan Gubernur menunjukkan

    mekanisme sebagai berikut: (i) Pengangkatan

    dilakukan oleh Presiden secara pribadi50 seperti yang

    berlaku di Republik Ceko; (ii) Pengusulan jabatan

    dilakukan oleh Presiden secara pribadi; (iii)

    pengangkatan dilakukan dengan beberapa kualifikasi;

    (iv) Masa jabatan adalah 5 tahun; (v) Pemberhentian

    dilakukan oleh Presiden secara pribadi51; (vi) terdapat

    ketentuan untuk memungkinkan pengangkatan

    kembali dalam masa jabatan untuk satu periode; dan

    (vii) terdapat ketentuan rangkap jabatan, kecuali

    karena kedudukannya.

    Political independence bagi Bank Indonesia meningkat

    cukup tajam dengan berlakunya UU No. 23 Thn.

    1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004. Komposisi Dewan

    Gubernur meliputi seorang Gubernur, seorang Deputi

    Gubernur Senior dan 7 sampai 9 orang Deputi.

    Dalam Pasal 40 UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3

    Thn. 2004 diatur syarat-syarat calon anggota Dewan

    Gubernur, selain (i) harus warganegara Indonesia,

    juga (ii) harus memiliki integritas akhlak dan moral

    yang tinggi; dan (iii) memiliki keahlian dan pengalaman

    di bidang ekonomi, keuangan, perbankan, atau

    hukum. Pada bagian Penjelasan Pasal 40, dikatakan

    bahwa syarat keahlian berdasarkan pendidikan dan

    keilmuan, sedangkan yang berhubungan dengan

    pengalaman terutama berhubungan dengan karier

    calon dalam salah satu bidang, yaitu ekonomi,

    keuangan, perbankan, atau hukum, khususnya yang

    berkaitan dengan tugas-tugas Bank Sentral. Dalam

    hal ini, syarat jabatan Dewan Gubernur tidak

    mencakup persyaratan umur baik dalam kualifikasi

    minimal ataupun maksimal.Persyaratan lebih

    mengarah kepada kualifikasi profesional.Tidak ada

    ketentuan bahwa calon harus berasal dari pejabat

    karir di Bank Sentral.

    Mengenai mekanisme pengusulan, pencalonan, dan

    pengangkatan diatur dalam Pasal 41 UU No. 23 Thn.

    1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004.Pengusulan, pencalonan,

    dan pengangkatan oleh Presiden setelah mendapat

    persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.

    Pencalonan Gubernur dan Deputi Gubernur Senior

    merupakan wewenang penuh dari Presiden,

    sedangkan calon Deputi Gubernur diusulkan oleh

    Presiden berdasarkan usul Gubernur untuk sebanyak-

    banyak 3 (tiga) orang calon. Jika calon Gubernur,

    Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur ditolak

    oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden wajib

    mengajukan calon baru. Jika para calon baru itu

    tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden

    wajib mengangkat kembali Gubernur, Deputi

    Gubernur Senior, atau Deputi Gubernur untuk jabatan

    yang sama atau Deputi Gubenur Senior atau Deputi

    Gubernur untuk jabatan yang lebih tinggi dengan

    persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Lamanya

    masa jabatan anggota Dewan Gubernur adalah 5

    (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu

    kali masa jabatan.

    8

    50 Berturut-turut Gubernur Bank Indonesia adalah Radius Prawiro (1967-1973), Rachmat Saleh (1973-1983), Adrianur Mooy (1983-1988), Arifin M. Siregar (1988-1993), dan Soedrajat Djiwandono (1993-1998).

    51 Ketika krisis ekonomi mulai melanda Indonesia, Presiden Soeharto (1967-1998) waktu itu bisa secara mendadak mencopot Soedrajat Djiwandono dari posisi Gubernur, karena yang bersangkutan menolak penerapan kebijakan Currency Board System (CBS) untuk mengendalikan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Dalam sistem waktu itu, memang Gubernur BI merupakan pejabat negara setingkat menteri dalam Kabinet Pembangunan VI, suatu tradisi yang menjadi kebijakan Orde Baru semenjak tahun 1967.

    Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

  • Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

    Adapun masalah pemberhentian Dewan Gubernur

    diatur dan ditentukan oleh Pasal 48 ayat (1) UU No.

    23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004. Pada pokoknya,

    Dewan Gubernur tidak dapat diberhentikan dalam

    masa jabatan, kecuali mengundurkan diri, terbukti

    melakukan tindak pidana kejahatan, dan inipun

    menurut putusan pengadilan yang telah berkekuatan

    hukum tetap; tidak dapat hadir secara fisik untuk

    waktu selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa

    alasan yang bisa dipertanggungjawabkan; dinyatakan

    pailit atau tidak mampu memenuhi kewajiban kepada

    kreditur berdasarkan putusan pengadilan yang telah

    berkekuatan hukum tetap; atau berhalangan tetap

    yaitu meninggal dunia, mengalami cacat fisik atau

    cacat mental sehingga tidak mampu melaksanakan

    tugas dengan baik; atau karena kehilangan

    kewarganegaraan Indonesia. Pemberhentian terhadap

    anggota Dewan Gubernur ini harus dilakukan dengan

    Keputusan Presiden.Selain itu, anggota Dewan

    Gubernur tidak dapat dihukum karena telah

    mengambil keputusan atau kebijakan sesuai dengan

    tugas dan kewenangannya (Pasal 45). Sebagai

    tambahan, anggota Dewan Gubernur tidak boleh

    merangkap jabatan pada lembaga lain, kecuali karena

    kedudukannya (Pasal 47). Sementara itu, Pasal 43

    mengatur bahwa wakil Pemerintah boleh hadir dalam

    Rapat Dewan Gubernur dengan hak bicara tanpa

    hak suara atau veto.

    Pelaksanaan UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn.

    2004 mengalami dinamika sendiri.Ketika Bank

    Indonesia (BI) dilanda mendung keresahan akibat

    ditetapkannya Gubernur BI Burhanuddin Abdullah

    sebagai tersangka52 dalam kasus aliran dana Yayasan

    Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) oleh

    Komisi Pemberantasan Korupsi53, maka bersamaan

    itu juga masa jabatan gubernur bank sentral mendekati

    akhir periode.54 Untuk mengisi jabatan Gubernur BI,

    Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajukan 2

    (dua) orang calonAgus Martowardoyo55 dan Raden

    Pardede56--untuk mendapatkan persetujuan Dewan

    Perwakilan Rakyat (DPR). Pengajuan itu dilakukan

    pada 17 Februari dan setelah melalui serangkaian fit

    and proper test, pada 18 Maret 2008 DPR menyatakan

    menolak terhadap calon-calon yang diajukan oleh

    Presiden tersebut. Bukanlah aspek legal yang memang

    sudah diatur di dalam peraturan perundang-undangan

    yang kemudian memancing perdebatan seru di balik

    drama pengisian Gubernur BI itu. Namun memang

    penolakan DPR itu mengisyaratkan bacaan sebagai

    upaya politis untuk mempengaruhi independensi

    BI sebagai bank sentral. Lagi-lagi di sini menunjukkan

    kontur kenegaraan kita yang menonjolkan kekuatan

    dalam hubungan antarlembaga negara.

    Debat soal independensi BI terkait dengan pengisian

    jabatan Gubernur BI pernah terjadi pada masa

    pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (1999-

    9

    52 Ketika Burhanuddin Abdullah ditetapkan sebagai tersangka, US$ 5,1 miliar atau sekitar Rp47 triliun harus digelontorkan ke pasar uang untuk meredam gejolak rupiah. Hal ini karena bagi BI, kasus ini merupakan pertaruhan besar. Lihat, Tempo, 24 Februari 2008, hlm. 121.

    53 YPPI diduga mengalirkan dana gelap sebesar Rp127,75 miliar di mana sebesar Rp96,25 miliar diberikan kepada aparat penegak hukum dalam upaya penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang

    menjerat 5 pejabat BI pada kurun 1997-2003. Adapun sebanyak Rp31,5 miliar diberikan kepada anggota DPR yang membahas amandemen UU BI. Lihat, ibid. Adapun YPPI sendiri sebenarnya didirikan oleh BI untuk tujuan melatih tenaga-tenaga perbankan dan yayasan ini semula bernama Yayasan Pendidikan Kader Bank, kemudian menjadi Yayasan Akademi Bank pada 1958. Pada 30 April 1970, namanya diubah menjadi YPPI. Pada 1977 yayasan ini dibubarkan dan sebagai gantinya didirikan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI). Seiring dengan adanya UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yang antara lain mewajibkan yayasan berbentuk badan hukum, maka pada 2003 BI mencatatkan lembaga ini ke Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, dan namanya kembali menjadi YPPI.

    54 Sebenarnya Burhanuddin Abdullah ingin menjadi gubernur bank sentral kembali. Berbekal predikat Gubernur Bank Sentral terbaik 2007 versi Global Finance dan penghargaan Bintang Mahaputra dari pemerintah pada tahun yang sama, semula jalan untuk kembali memimpin BI kian melempang. Lihat, Tempo, 24 Februari 2008, hlm. 126.

    55 Sejak Mei 2005, ia menjadi Direktur Utama Bank Mandiri, setelah sebelum berkiprah menjadi pucuk pimpinan Bank Permata. Ia dinobatkan menjadi bankir Indonesia terbaik oleh Majalah Asia Money pada 2006.

    56 Pardede adalah doctor ekonomi lulusan Boston University dan pendiri lembaga kajian ekonomi terpandang Danareksa Research Institute. Ia pernah menjadi konsultan Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, staf khusus Menteri Koordinator Perekonomian, Wakil Tim Asistensi Menteri Keuangan, Ketua Forum Stabilisasi Sektor Keuangan, Komisaris Independen BCA, dan sekarang Wakil Direktur Utama PT Perusahaan Pengelola Aset.

  • Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

    2001). Waktu itu sang presiden ingin Prijadi

    Praptosuhardjo, kelak menteri keuangan, menjadi

    Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI).

    Ternyata tidak mungkin, karena menurut aturan yang

    berlaku, Prijadi tidak lulus fit and proper test yang

    diselenggarakan oleh BI. Presiden marah dan minta

    agar Gubernur BI waktu itu, Syahril Sabirin, untuk

    mengundurkan diri atau dikriminalkan atas dasar

    indikasi terlibat skandal Bank Bali. Syahril menolak

    dan akhirnya memang dia memang dikriminalkan

    dan ditahan oleh Jaksa Agung. Momentum itu

    dijadikan wahana bagi pemerintah untuk melakukan

    perubahan terhadap undang-undang bank sentral

    yang pada intinya memungkinkan Presiden mencopot

    Gubernur BI pada masa jabatan jika dinilai tidak

    mempunyai kinerja yang baik. Tetapi, seperti ditulis

    oleh Kwik Kian Gie57, proses perubahan undang-

    undang itu berlarut-larut sehingga tidak pernah

    mencapai keberhasilan.

    Ketika krisis ekonomi mulai melanda Indonesia,

    Presiden Soeharto (1967-1998) waktu itu bisa secara

    mendadak mencopot Soedrajat Djiwandono dari

    posisi Gubernur BI, karena yang bersangkutan menolak

    penerapan kebijakan Currency Board System (CBS)

    untuk mengendalikan kurs rupiah terhadap dolar

    Amerika Serikat. Dalam sistem waktu itu, memang

    Gubernur BI merupakan pejabat negara setingkat

    menteri dalam Kabinet Pembangunan VI, suatu tradisi

    yang menjadi kebijakan Orde Baru semenjak tahun

    1967.58 Barangkali Presiden Megawati Soekarnoputri

    (2001-2004) yang beruntung karena pada masa

    jabatannya pergantian gubernur bank sentral tidak

    mengalami kegoncangan ketika ia mencalokan

    Burhanuddin Abdullah sebagai calon tunggal ke DPR.

    Jika ditelaah, sehubungan dengan pengusulan,

    pencalonan, dan pengangkatan Dewan Gubernur

    menurut UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn.

    2004 dapat dianalisis sebagai berikut. Dalam hal

    pengisian jabatan Gubernur, maka mengandung

    norma-norma: (i) pengangkatan dilakukan oleh

    Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat; (ii)

    pengusulan dilakukan secara pribadi oleh Presiden;

    (iii) terdapat ketentuan mengenai kualifikasi atau

    persyaratan jabatan tertentu; (iv) masa jabatan adalah

    5 tahun; (v) ada keamanan penuh terkait dengan

    masa jabatan yaitu tidak dapat diberhentikan dalam

    masa jabatan kecuali menurut syarat ketentuan

    undang-undang; (vi) dapat diangkat kembali dalam

    masa jabatan berikutnya; dan (vii) terdapat larangan

    untuk merangkap jabatan tertentu, kecuali karena

    kedudukannya. Selanjutnya untuk Deputi Gubernur

    Senior berlaku norma-norma sebagai berikut: (i)

    pengangkatan dilakukan oleh Presiden dan Dewan

    Perwakilan Rakyat; (ii) pengusulan dilakukan oleh

    Presiden secara pribadi; (iii) terdapat ketentuan

    mengenai kualifikasi atau persyaratan jabatan

    tertentu; (iv) masa jabatan adalah 5 tahun; (vi) ada

    keamanan penuh terkait dengan masa jabatan yaitu

    tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatan kecuali

    menurut syarat ketentuan undang-undang; (vi) dapat

    diangkat kembali dalam masa jabatan berikutnya;

    (vii) terdapat larangan rangkap jabatan kecuali karena

    kedudukannya; dan (viii) pengangkatan dilakukan

    secara berkala.

    Untuk tingkat Deputi Gubernur, ketentuan UU No.

    23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004 mengandung

    norma-norma sebagai berikut: (i) pengusulan dilakukan

    Bank Sentral kepada Presiden; (iii) terdapat ketentuan

    mengenai kualifikasi atau persyaratan jabatan tertentu;

    (iv) masa jabatan adalah 5 tahun; (v) ada keamanan

    penuh terkait dengan masa jabatan yaitu tidak dapat

    diberhentikan dalam masa jabatan kecuali menurut

    syarat ketentuan undang-undang; (vi) dapat diangkat

    kembali dalam masa jabatan berikutnya; (vii) terdapat

    10

    57 Kwik Kian Gie, 2006, Pikiran yang Terkorupsi, Jakarta: Kompas, hlm. 81.

    58 Berturut-turut Gubernur BI adalah Radius Prawiro (1967-1973), Rachmat Saleh (1973-1983), Adrianur Mooy (1983-1988), Arifin M. Siregar (1988-1993), Soedrajat Djiwandono (1993-1998), dan Syahril Sabirin (1998-2003). Kecuali Syahril Sabirin, semua gubernur bank sentral tadi diangkat menurut UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Sementara itu, Syahril Sabirin yang berprestasi karena memegang jabatan untuk 4 orang presiden selama 1998-2003 dan yang bersangkutan termasuk yang membidani kelahiran UU No. 23 Tahun 1999 yang menempatkan posisi BI dalam kedudukannya yang paling independen semenjak berdirinya republik ini.

  • larangan untuk merangkap jabatan tertentu, kecuali

    karena kedudukannya; (viii) terdapat pengangkatan

    jabatan secara bertahap; dan (ix) tidak ada wakil

    Pemerintah dalam Dewan Gubernur.

    Diantara mekanisme pengisian jabatan Dewan

    Gubernur menurut UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No.

    3 Thn. 2004 terdapat hal yang perlu mendapatkan

    perhatian secara khusus. Jika diperhatikan, ketentuan

    Pasal 40 UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn.

    2004 mengenai syarat rekrutmen bersifat sangat

    umum yaitu hanya mencakup: (i) harus warganegara

    Indonesia; (ii) harus memiliki integritas, akhlak, dan

    moral yang tinggi; serta (iii) harus memiliki keahlian

    dan pengalaman dalam bidang ekonomi, keuangan,

    perbankan, atau hukum. Selain syarat warganegara,

    kedua syarat yang terakhir dapat dipilah menjadi 2

    (dua) kategori yaitu kategori kompetensi moralitas

    dan kompetensi profesional. Untuk kompetensi

    moralitas pengujiannya menjadi lebih abstrak

    dibandingkan dengan kompetensi profesional. Oleh

    sebab itu, jika kedua persyaratan tersebut masuk

    dalam kualifikasi persetujuan Dewan Perwakilan

    Rakyat akan menimbulkan kompleksitas tersendiri.

    Apalagi persetujuan tidak semata-mata kata akhir,

    akan tetapi juga mekanisme semenjak awal sampai

    pengambilan keputusan di Dewan Perwakilan Rakyat.

    Dapat saja terjadi bahwa seorang calon mempunyai

    kapasitas profesional, akan tetapi bagaimanakah jika

    proses pengujian kompetensi moralitas itu diwarnai

    dengan tindakan-tindakan tercela seperti penyuapan

    atau korupsi, akankah hal tersebut berpengaruh

    kepada legitimasi calon? Sebaliknya, jika kompetensi

    moralitas tidak menimbulkan persoalan, apakah

    klausula undang-undang mengenai mempunyai

    keahlian dan pengalaman utnuk kompetensi

    profesional dapat diuji oleh Dewan Perwakilan Rakyat

    sebagai lembaga politik?

    Dalam pengisian jabatan tersebut, kategori yang

    hendak dicari adalah the values an individualplaces

    on the benefits of a central bank position. Seperti

    dikatakan oleh Watson dan Dwaning, dalam kategori

    ini maka, This is a series of decisions that takes into

    account the effects switching jobs might have on

    both his personal and professional lives.59 Dengan

    adanya persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka

    akan timbul suatu penilaian bahwa Rational

    candidates seeking to maximize their electoral

    prospects must go hunting where the ducks are,

    tailoring their appeal to those prospective voters who

    are both likely to turn out and susceptible to

    conversion.60 Selanjutnya, The important question

    here is whether the candidates know where there

    are ducks and, having found them, if they can

    distinguish the live birds from the decoys. More

    specifically, if a potential candidate does not think

    that there are enough voters in the area where he

    lives who will support his candidacy, he will likely

    choose not to run for office.61

    Di dalam praktik, persetujuan Dewan Perwakilan

    Rakyat menjalankan mekanisme fit and proper test

    untuk mempertimbangkan calon Dewan Gubernur

    yang diajukan oleh Presiden. Mekansime itu sendiri

    tidak diatur dalam UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No.

    3 Thn. 2004. Sementara dalam praktik, pelaksanaannya

    merujuk kepada Peraturan Tata Tertib Dewan

    Perwakilan Rakyat. Pelaksanaan fit and proper test

    itu sebagai berikut: (i) Presiden menyampaikan surat

    resmi yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan

    Rakyat yang berisi daftar nama calon anggota Dewan

    Gubernur sejumlah 2 (dua) calon untuk masing-

    masing jabatan; (ii) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat

    menerima surat tersebut dan kemudian menetapkan

    secara resmi penerimaan pengusulan calon tersebut;

    (iii) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat menindaklanjuti

    dengan pemberitahuan kepada alat kelengkapan

    terkait untuk melaksanakan fit and proper test dan

    ditembuskan kepada tiap-tiap fraksi; (iv) Alat

    kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat terkait

    11

    59 Lihat dalam: Watson, Richard A. and Rondal G. Downing, 2009, The Politics of the Bench and the Bar: Judicial Selection Under the Missouri Nonpartisan Court Plan. New York, John Wiley and Sons, Inc.

    60 Ibid.

    61 Ibid.

    Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

  • kemudian melaksanakan kegiatan fit and proper

    test yang biasanya terbuka untuk umum; (v) Alat

    kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat terkait

    kemudian menetapkan keputusan untuk menerima

    atau menolak calon yang diusulkan oleh Presiden,

    yang biasanya dengan pemungutan suara; (vi) Alat

    kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat terkait

    kemudian menyampaikan secara resmi keputusan fit

    and proper test kepada Ketua Dewan Perwakilan

    Rakyat dengan tembusan kepada alat kelengkapan

    yang merencanakan kegiatan Dewan (Badan

    Permusyawaratan); (vii) Ketua Dewan Perwakilan

    Rakyat kemudian menyampaikan hasil keputusan

    pencalonan tersebut dalam rapat paripurna menurut

    Peraturan Tata Tertib untuk dimintakan persetujuan

    kepada seluruh anggota Dewan, yang lazimnya

    mengikuti apa yang sudah diputuskan alat kelengkapan

    terkait; dan (viii) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat

    menyampaikan keputusan Dewan kepada Presiden.

    Selain perdebatan dari sisi legitimasi hukum mengenai

    mekanisme dan pelaksanaan fit and proper test

    persoalan juga mencakup isu batasan dan sifat

    pengujian yang tidak tegas apakah mencakup

    kompetensi moralitas atau kompetensi profesional

    calon. Sebuah fit and proper test yang menilai

    calon yang sudah memenuhi persyaratan Undang-

    Undang untuk jabatan tertentu seperti anggota

    Dewan Gubernur tentu lebih tepat apabila menguji

    kompetensi moralitas guna menemukan calon yang

    mempunyai kepribadian dan kecakapan yang tidak

    tercela seperti di Filipina. Menurut Moh. Nadjib

    Immanullah, pengujian itu mendekati mekanisme

    hearing di Senat Amerika Serikat dalam menentukan

    calon anggota The Federal Reserve System.62 Tidak

    pada tempatnya, jika argumentasi ini diikuti, bahwa

    fit and proper test oleh lembaga politik semacam

    Dewan Perwakilan Rakyat merambah pengujian

    terhadap penilaian komptensi profesional calon.

    Akan tetapi, Hari Purwadi menolak jika sifat politik

    kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat menjadi

    dasar pendapat untuk menyatakan validitas fit and

    proper test. Sebagai sebuah realitas politik yang

    kemudian menjadi ketentuan Undang-Undang proses

    semacam itu tidak perlu dinilai berlebihan terhadap

    Dewan Perwakilan Rakyat. Banyak pengisian jabatan

    di Indonesia yang memerlukan persetujuan parlemen,

    akan tetapi persoalan yang sangat penting di

    Indonesia adalah keterputusan bias ideology antara

    calon yang diputuskan dengan kinerja. Hampir

    persoalan itu tidak pernah muncul. Ideology resmi

    partai nyaris tidak menjadi dasar untuk menguji

    kapasitas calon yang nantinya akan tercermin dalam

    putusan-putusan yang ditetapkan oleh calon.63

    Ketentuan UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn.

    2004 sendiri tidak memberikan penjelasan terhadap

    makna persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat itu

    sendiri. Sebagai perbandingan, ketentuan UU No. 3

    Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara dan UU No.

    34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.64

    Sejak pelaksanaan Undang-Undang Kepolisian

    pertama kali pada masa pemerintahan Presiden

    Megawati Soekarnoputri (2002), calon yang diajukan

    kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjadi

    Kepala Kepolisian Republik Indonesia hanya satu

    orang dan diikuti kemudian pada masa pemerintahan

    Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika melakukan

    pengisian jabatan pada tahun 2005, 2007, dan 2009.65

    Sementara itu, Undang-Undang Tentara Nasional

    Indonesia pertama kali dipraktikkan pada masa

    pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

    untuk mengisi jabatan Panglima Tentara Nasional

    12

    62 Pendapat dalam Focus Group Discussion dalam rangka penelitian ini di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jumat, 23 Desember 2011.

    63 Pendapat Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum.,Focus Group Discussion dalam rangka penelitian ini di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jumat, 23 Desember 2011.

    64 Kedua undang-undang ini menindaklanjuti Ketetapan MPR No.VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

    65 Untuk pertama kali, Presiden Megawati Soekarnoputri mengajukan Jenderal (Pol) DaI Bachtiar sebagai satu-satunya calon dan preseden ini diikuti oleh Presiden Yudhoyono ketika mencalonkan Jenderal (Pol) Soetanto (2005), Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Dhanuri (2007), dan Jenderal (Pol) Timur Pradopo (2010).

    Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

  • Indonesia pada tahun 2005 dan kemudian pada tahun

    2008 dan 2010.66 Sekalipun pada awalnya dikritik

    oleh Dewan Perwakilan Rakyat karena hanya satu

    calon, tetapi proses pemberian persetujuan selama

    ini tidak pernah mengalami hambatan sama sekali.

    Artinya persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat

    menjadi bermakna operaisonal ketika calon yang

    diajukan oleh Presiden hanya satu.

    Pengalaman sebelumnya berbeda dalam pengisian

    jabatan Gubernur Bank Indonesia. Untuk mengisi

    jabatan Gubernur BI, Presiden Susilo Bambang

    Yudhoyono mengajukan 2 (dua) orang calonAgus

    Martowardoyo dan Raden Pardede--untuk

    mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat

    (DPR). Pengajuan itu dilakukan pada 17 Februari dan

    setelah melalui serangkaian fit and proper test, pada

    18 Maret 2008 DPR menyatakan menolak terhadap

    calon-calon yang diajukan oleh Presiden tersebut.

    Kemudian Presiden mengajukan Boediono (Menteri

    Koordinator Perekonomian) sebagai calon Gubernur

    Bank Indonesia. Seperti sudah diramalkan oleh banyak

    pihak, pencalonan Menteri Koordinator Perekonomian

    Boediono untuk posisi Gubernur Bank Indonesia

    berjalan mulus. Pada 8 April 2008 yang lalu, Dewan

    Perwakilan Rakyat (DPR) memberikan persetujuan

    bagi profesor ekonomi Universitas Gadjah Mada itu

    untuk menduduki posisi di lembaga yang berperan

    penting sebagai otoritas moneter di republik ini. Atas

    dasar pengalaman itu, maka ketika Boediono menjadi

    Wakil Presiden (2009), untuk mengisi jabatan

    Gubernur Bank Indonesia, Presiden mengajukan

    Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Darmin

    Nasution sebagai satu-satunya calon pada Oktober

    2010 yang lalu dan memperoleh persetujuan Dewan

    Perwakilan Rakyat. Ada kemungkinan bahwa praktik

    pengisian jabatan dengan mengajukan satu calon

    akan menjadi konvensi ketatanegaraan.

    Persoalan pengisian jabatan Gubernur Bank Indonesia

    dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat amat

    erat dengan sifat independensi bank sentral. Dalam

    kasus Indonesia, independensi itu harus dipahami

    yang dapat saja menunjukkan ketidakmutlakan

    independensi itusekurang-kurangnya terhadap 3

    (tiga) aspek. Pertama, walaupun terdapat keterkaitan

    antara indendensi dan rendahnya laju inflasi, tidak

    berarti bahwa semakin independen suatu bank sentral,

    inflasi yang rendah dapat dicapai. Kedua, kebijakan

    moneter merupakan bagian dari kebijakan ekonomi

    secara keseluruhan, meskipun terpisah namun

    kebijaksanaan fiskal, moneter, ketenagakerjaan,

    perdagangan, atau kebijaksanaan lainnya harus tetap

    saling mendukung. Ketiga, dengan terpilihnya pejabat

    Bank Sentral dalam mekanisme politik yang demokratis,

    maka keputusan mengenai suku bunga, nilai tukar,

    inflasi, dan hal-hal moneter lainnya akan mewakili

    kepentingan masyarakat pada umumnya.

    Mengingat independensi Bank Indonesia, pengisian

    jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia yang

    memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat

    memiliki rasionalitas yang amat terkait dengan status

    kelembagaan bank sentral. Hanya saja ke depan

    nampaknya perlu dilakukan perubahan mekanisme

    itu guna menghindari politicking yang berlebihan.

    Untuk posisi Gubernur dan Deputi Gubernur Senior,

    hendaknya dapat dilaksanakan dalam satu paket

    pemilihan. Presiden dapat menetapkan sendiri

    mekanisme untuk pengusulan jabatan tersebut dan

    masing-masing hanya satu calon untuk kemudian

    dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

    Sementara itu, untuk anggota Dewan Gubernur,

    dalam hal ini Deputi Gubernur dilakukan pengisian

    jabatan secara berkala dan tidak perlu memerlukan

    persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pengusulan

    calon dilakukan oleh Gubernur Bank Indonesia kepada

    Presiden dan kemudian ditetapkan oleh Presiden.

    Pemisahan mekanisme yang berlaku untuk Gubernur

    dan Deputi Gubernur Senior dengan anggota Dewan

    Gubernur dilakukan minimal dengan 3 (tiga) alasan.

    Pertama, mengingat kelembagaan Bank Indonesia

    13

    66 Presiden Yudhoyono mengajukan Marsekal Djoko Suyanto sebagai satu-satunya calon Panglima Tentara Nasional Indonesia (2005), lalu Jenderal Djoko Santoso (2008), dan Laksamana Agus Suhartono (2010).

    Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

  • sebagai organ konstitusi dengan status yang

    independen, maka tugas dan wewenang Gubernur

    dan Deputi Gubernur amat strategis karena mengelola

    sumber daya ekonomi dan politik sebagai otoritas

    moneter menurut ketentuan Undang-Undang.

    Oleh sebab itu, sebagai mekanisme keseimbangan

    baru berdasarkan theory of combines process

    intitutionalized, penting untuk dilakukan prosedur

    pemilihan yang mengikuti proses demokrasi politik

    terhadap kedua jabatan itu. Kedua, guna

    menyeimbangkan antara kebutuhan organisasi dan

    political appointee, dapat saja diatur bahwa calon

    Gubernur diusulkan oleh Presiden, sedangkan kriteria

    Deputi Gubernur Senior diusulkan oleh Presiden

    dengan memperhatikan persyaratan bahwa calon

    yang bersangkutan telah pernah atau sedangkan

    menduduki jabatan sebagai Deputi Gubernur atau

    jabatan tertentu di lingkungan Bank Indonesia yang

    disetarakan dengan eselon I pada Kementerian/

    Lembaga. Kedua, Deputi Gubernur amat dekat dengan

    fungsi teknokratis bank sentral, sehingga pengisian

    jabatan menggunakan pendekatan prinsip karir

    dibandingkan political appointee. Oleh sebab itu,

    penting untuk dipertimbangkan bahwa calon berasal

    dari lingkungan jabatan Bank Indonesia yang

    memenuhi syarat. Ketentuan-ketentuan tersebut

    mensyaratkan peninjauan kembali terhadap ketentuan

    Pasal 40 UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn.

    2004.

    D. Kesimpulan

    Pengisian jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia

    yang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan

    Rakyat memiliki rasionalitas yang amat terkait dengan

    status kelembagaan bank sentral yang di Indonesia

    harus dipahami menurut 3 (tiga) aspek, yaitu pertama,

    walaupun terdapat keterkaitan antara indendensi dan

    rendahnya laju inflasi, tidak berarti bahwa semakin

    independen suatu bank sentral, inflasi yang rendah

    dapat dicapai. Kedua, kebijakan moneter merupakan

    bagian dari kebijakan ekonomi secara keseluruhan

    sehingga tidak artinya memisahkan kebijaksanaan

    fiskal, moneter, ketenagakerjaan, perdagangan, atau

    kebijaksanaan lainnya. Ketiga, dengan terpilihnya

    pejabat Bank Sentral dalam mekanisme politik yang

    demokratis, maka keputusan mengenai suku bunga,

    nilai tukar, inflasi, dan hal-hal moneter lainnya akan

    mewakili kepentingan masyarakat pada umumnya.

    14

    Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

  • Abner S. Greene, Checks andBalances in an Era of Presidential Lawmaking, 1994, University Chicago Law Review Vol.

    61.

    Adam N. Steinman, A Constitution for Judicial Lawmaking, University of Pitsburgh Law Review, 2004, Vol. 64.

    Adam Posen, Why Central Bank Independence Does Not Cause Low Ination: There is No Institutional Fix for Politics,

    dalam Finance and the International Economy 7: The Amex Bank Review Prize Essays, Oxford: Oxford University

    Press, 2003.

    Amy J. Weisman, Separation of Powers in Post-Communist Government: A Constitutional Case Study of the Russian

    Federation, American University Journal of International Law and Policy, 1995, Vol. 10.

    Alison Marston Danner, Navigating Law and Politics: The Prosecutor of the International Criminal Court and the

    Independent Counsel, Stanford Law Review, 2003, Vol. 20, No. 55.

    Andrews Heywood, 2002, Politics, New York, Palgrave.

    Abdulkadir Besar, 2002, Perubahan UUD 1945 Tanpa Paradigma, Jakarta, Penerbit Pusat Studi Pancasila.

    Ahmad Syahrizal, 2006, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi Tentang Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian

    Sengkera Normatif, Jakarta, Penerbit Pradnya Paramita.

    Allan Drazen, Central Bank Independence, Democracy, and Dollarization, Journal of Applied Economics, Vol. V, No.

    1, May 2002.

    Arifin Firmansyah, et. al., , sebagaimana dikutip oleh Rizky Argama, 2007, Kedudukan Lembaga Negara Bantu Dalam

    Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia: Analisis Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga

    Negara Bantu, Skripsi. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

    Bernard Schwartz, Curiouser and Curiouser: The Supreme Courts Separation of Powers Wonderland, Notre Dame Law

    Review, 1990, Vol. 65.

    Bill Orr, Are the IMF and the World Bank on the right tack?, ABA Banking Journal, Marc 1990.

    Bordo Michael D. dan Kydland Finn E., The Gold Standard As a Rule: An Essay in Exploration, Explorations, Economic

    History, 2005, Vol. 32, No. 4.

    Brian Z. Tamanaha, 2001, A General Jurisprudence of Law and Society, Oxford, OxfordUniversity Press.

    DAFTAR PUSTAKA

    15

  • Brian Z. Tamanaha, 2004, On The Rule of Law: History, Politics, Theory, Cambridge, Cambridge University Press.

    Brucke Ackerman, The New Separation of Power, Harvard Law Review, No. 3 Vol. 113, Januari 2000.

    B.S. Bernanke and F.S. Mishkin, Inflation targeting: A new framework for monetary policy?,The Journal of Economic

    Perspectives, Vol.11, No. 2 1997.

    Calvin Jillson dan Rick K. Wilson, 1994, Congressional Dynamics: Structure, Coordination, and Choice in the First American

    Congress, 17741789, Stanford, Stanford University Press.

    Carl Levin, The Independent Counsel Statute: A Matter of Public Confidence and Constitutional Balance, 1987, Hofstra

    Law Review, No. 16.

    C.D. Romer, Is the Stabilization of the Postwar Economy a Figment of the Data?, The American Economic Review, 2006,

    Vol. 76, No. 3.

    Christopher A. Ford, The Indigenization of Constitutionalism in the Japanese Experience, Case West of Journal

    International Law, 1996, Vol. 28 No. 3.

    Clive B. Briault, et.al., Independence and Accountability, Bank of England Working Papers Series, No. 49.

    Cukierman, 1992, Central Bank Strategy, Credibility, and Independence, Cambridge: MIT Press.

    Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta, Penerbit Konstitusi Press.

    Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta, Penerbit Konstitusi

    Press.

    John D. Huber and Charles R. Shipan, Deliberate Discretion? The Institutional Foundationsof Bureaucratic Autonomy,

    New York, Cambridge University Press, New York, 2002.

    John Ferejohn and Charles Shipan, Congressional Inuence on Bureaucracy, Journal of Law, Economics, and Organization,

    1990, Vol. 6.

    John Ferejohn, Judicializing Politics, Politicizing Law, Law & Contemporer Problems, 2002, Vol. 65.

    Maqdir Ismail, Independensi Bank Sentral dalam UU dan Praktik di Indonesia, Jurnal Legislasi, Vol. 3, No. 3, September

    2006.

    Marc Flandreau, The French Crime of 1873: An Essay on the Emergence of the International Gold Standard, 1870-

    1880, The Journal of Economic History, 1996, Vol. 56, No. 04.

    M. Dawam Rahardjo et.al., 2001, Independensi BI dalam Kemelut Politik, Jakarta, Cidesindo.

    16

    Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

  • Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-Dasar Pembentukannya Jilid 1, Jogjakarta,

    Penerbit Kanisius.

    Martin A. Rogoff, The French (R)evolution of 19581998, Columbia Journal of Europe, Vol. 3.

    Martin S. Flaherty, The Most Dangerous Branch, 1988, Yale Law Journal No. 105.

    P. L. Siklos, 2002, The Changing Face of Central Banking, Cambridge: Cambridge University Press.

    R. Bade dan M. Parkin, 1984, Central Bank Laws and Monetary Policy, Department of Economics, University of Western

    Ontario, Canada.

    R.B. Barsky, The Fisher Hypothesis and the Forecastability and Persistence of Inflation, Journal of Monetary Economics,

    2007, Vol. 19, No. 1.

    R.J. Barro dan Gordon D. B. Gordon, A Positive Theory of Monetary Policy in a Natural-Rate Model, Journal of Political

    Economy, 2003, Vol. 91.

    Rett R. Ludwikowski, Mixed Constitutions Product of an East-Central European Constitutional Melting Pot, Birmigham

    International Law Journal, 1998, Vol. 1 No. 16.

    Robert Elgie, Democratic Accountabilyt and Central Bank Independence, Wets European Politics, 1998, Vol. 21, No.3.

    Rubert Unger, 1976, Law and Modern Society, New York, Free Press.

    Roberto Unger, 1983, The Criritcal Legal Studies Movement, Cambridge, Masssachusetts and London, Englan: Harvard

    University Press.

    Stanley Fisher, Central Bank Independence Revisited, AEA Paper and Proceeding, 1995, Vol. 85, No. 2.

    Stephen G Cecchetti, Making Monetary Policy: Objectives and Rules, Oxford Review of Economic Policy, 2000, Vol.16,

    No. 4.

    Thomas Hart Benton, 1990, Abridgment of the Debates of Congress, from 1789 to 1856, D. Appleton and Company,

    New York.

    Sain Gailmard dan John W. Patty, Separation of Power, Information, and Beuracratic Structure, Working Paper Series

    September 2008.

    Skully Ahsan & Wickramanayake, Determinants of Central Bank Independence and Governance: Problems and Policy

    Implications, JOAAG, Vol. 1. No. 1, 2006.

    Soebagijo, 1980, Jusuf Wibisono: Karang di Tengah Gelombang, Jakarta, Penerbit Gunung Agung.

    17

    Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

  • Stanley Elkins dan Eric McKittrick, 1993, The Age of Federalism: The Early American Republic: 1788-1800, New York,

    Oxford University Press.

    Stephen L. Carter, The Independent Counsel Mess, Harvard Law Review, Vol. 102, 1988.

    Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung, Penerbit Alumni.

    Sudarwan Darwin, 2002, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung, Pustaka Setia.

    Suri Ratnapala et al., 2007, Australian Constitutional Law: Commentary and Cases, Melbourne, Oxford University Press.

    Thomas M. Cooley, 1998, The General Principles of Constitutional Law, Boston, LittleBrown.

    Thomas W. Merrill, The Constitution and the Cathedral: Prohibiting, Purchasing, and Possibly Condemning Tobacco

    Advertising, New York University Law Review, Vol. 93, 1999.

    Thomas O. Sargentich, The Contemporary Debate about Legislative-Executive Separation of Powers, Cornell Law

    Review, 1997, Vol. 72.

    T.J. Jordan, Disinflation Costs, Accelerating Inflation Gains, and Central Bank Independence, Weltwirschaftliches Archive

    Vol 133.

    Ubdaibir S. Das, et.al., Financial Regulators, A Quartley Magazine of the IMF, 2002.

    V.D. Grilli Masciandaro dan G. Tabellini , Institutions and Policies, Economic Policy , 1991, Vol. 6.

    V. Grilli, D. Masciandaro, dan G. Tabellini, Political and Monetary Institutions and Public Financial Policies in the Industrial

    Countries, Economic Policy, 1991, Vol. 6.

    Wahyudi Djafar, Menegaskan Kembali Komitmen Negara Hukum: Sebuah Catatan Atas Kecenderungan Defisit Negara

    Hukum di Indonesia, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 5, Oktober 2010.

    William B. Gwyn, The Indeterminacy of Separation of Powers, George Washington Law Review, 1999.

    William Poole, Central Bank Transparancy: Why and How?, The Philadelphia Fed Policy Forum Federal Reserve Bank

    of Philadelphia, 2001, No. 30.

    18

    Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

  • A. Pendahuluan

    Krisis ekonomi yang terjadi baik dalam skala nasional

    maupun internasional, kerap melahirkan krisis multi

    dimensi, baik dari sektor perbankan, keuangan,

    maupun terhadap biaya sosial yang timbul dan

    berimbas pada kepercayaan masyarakat terhadap

    perbankan nasional. Krisis ekonomi yang menghantam

    Asia di tahun 1997-1998 misalnya, dimana krisis ini

    dipicu oleh jatuhnya nilai mata uang Bath di Thailand

    yang kemudian berimbas pada penambahan beban

    perekonomian Indonesia sebesar 50% dari Produk

    Domestik Bruto (PDB) dan pertumbuhan ekonomi

    minus 13%. Sementara dari segi sosial, diperlukan

    waktu yang tidak singkat untuk mengembalikan

    perekonomian dan kepercayaan masyarakat terhadap

    perbankan ke kondisi sebelum krisis.3

    Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 2008, kembali

    terjadi krisis ekonomi dunia yang merupakan domino

    effect dari krisis kredit perumahan di Amerika Serikat

    yang menggelembung (bubble) dan mengakibatkan

    kesulitan solvabilitas serta berdampak pada

    dilikuidasinya berbagai lembaga keuangan di negara-

    negara besar yang ada di dunia, yang antara lain

    menyebabkan kebangkrutan ratusan bank, perusahaan

    sekuritas, reksadana, dana pensiun dan asuransi. Krisis

    kemudian merambat ke belahan Asia terutama negara-

    negara seperti Jepang, Korea, China, Singapura,

    Hongkong, Malaysia, Thailand termasuk Indonesia.4

    3 Tim FE UI dan FEB UGM, 2010, Alternatif Struktur OJK yang Optimum: Kajian Akademik, Draft III, Jakarta, hal. 1.

    4 Tim Asistensi Sosialisasi Kebijakan, 2010, Buku Putih : Upaya Pemerintah Dalam Pencegahan dan Penanganan Krisis, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Jakarta, Hal. 12.

    19

    OUTLOOK PENGAWASAN PERBANKAN PASCA TERBENTUKNYA OTORITAS JASA KEUANGAN1

    Oleh :

    Rio Fafen Ciptaswara, S.H., M.H.2

    Abstrak

    Blurry effect di perbankan dapat menghasilkan potensi tidak terdeksinya risiko finansial yang dapat terjadi di

    dalam grey area grup konglomerasi tersebut apabila pengawasan yang dilakukan masih bersifat sub sektoral, dan oleh

    karenanya dapat membahayakan tingkat kesehatan sistem keuangan nasional di kemudian hari.Dengan adanya blurry

    effect ini, maka diperlukan suatu bentuk pengawasan yang terintegrasi antara perbankan, pasar modal dan asuransi

    serta lembaga keuangan non bank lainnya untuk meminimalisir risiko dari fenomena tersebut. Kunci keberhasilan Otoritas

    Jasa Keuangan adalah adanya mekanisme koordinasi yang baik antar lembaga terkait. Selain itu, untuk mencapai sasaran

    dalam mencegah dan menyelesaikan krisis, sharing information antar otoritas sangat diperlukan baik dalam kondisisi

    normal maupuan kondisi krisis.

    Kata kunci: pasca OJK, pengawasan perbankan.

    1 Resume dari Penulisan Hukum milik Penulis yang berjudul Potensi Terjadinya Konflik antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank Indonesia dalam Pengaturan dan Pengawasan Perbankan Indonesia, pada Agusutus 2012.

    2 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

  • Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

    Kedua krisis tersebut menyadarkan pemerintah bahwa

    salah satu penyebab runtuhnya perekonomian

    Indonesia saat itu adalah karena dengan sejumlah

    tugas yang dimiliki Bank Indonesia khususnya di

    bidang moneter, mengakibatkan terpecahnya fokus

    Bank Indonesia antara kebijakan moneter, kestabilan

    nilai rupiah dan pengawasan perbankan, sehingga

    kinerja Bank Indonesia tidak menjadi optimal ketika

    menangani krisis. Hal ini seperti inilah yang kemudian

    menjadi alasan dirumuskannya suatu konsep

    pemisahan tugas pengawasan perbankan nasional

    dari Bank Indonesia selaku Bank Sentral kepada suatu

    Lembaga Pengawas Jasa Keuangan5, dengan tujuan

    agar Bank Indonesia dapat fokus untuk melakukan

    tugasnya dalam pengaturan kebijakan moneter.

    Disisi lain, pesatnya pertumbuhan dan kemajuan di

    bidang teknologi informasi dan inovasi finansial, telah

    menciptakan kompleksitas kegiatan jasa keuangan

    yang dinamis dan saling terkait antar masing masing

    subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun

    kelembagaan, sehingga mendorong pertumbuhan

    entitas bisnis menjadi suatu bentuk konglomerasi

    yang menawarkan berbagai produk keuangan di lini

    bisnis perbankan, pasar modal, asuransi maupun

    lembaga pembiayaan non bank lainnya secara

    sekaligus. Hal seperti ini kemudian menimbulkan

    suatu blurry effect di dunia bisnis perbankan sehingga

    dapat menghasilkan potensi tidak terdeksinya risiko

    finansial yang dapat terjadi di dalam grey area grup

    konglomerasi tersebut apabila pengawasan yang

    dilakukan masih bersifat sub sektoral, dan oleh

    karenanya dapat membahayakan tingkat kesehatan

    sistem keuangan nasional di kemudian hari6.

    Sejalan dengan hal tersebut, Prof. Donato Masciandaro

    mengatakan bahwa The blurring effect causes two

    interdependent phenomena: (1) the emergence of

    financial conglomerates, which is likely to produce

    important changes in the nature and dimensions of

    the individual intermediaries, as well as in the degree

    of consolidation of the banking and financial industri;

    and (2) growing securitization of the traditional forms

    of banking activity and the proliferation of sophisticated

    ways of bundling, repackaging, and trading risks,

    which weaken the classic distinction between equity,

    debt, and loans, bringing changes in the nature and

    dimensions of the financial markets7. Dengan adanya

    blurry effect ini, maka diperlukan suatu bentuk

    pengawasan yang terintegrasi antara perbankan,

    pasar modal dan asuransi serta lembaga keuangan

    non bank lainnya untuk meminimalisir risiko dari

    fenomena tersebut.

    Selanjutnya Prof. Donato Masciandro juga

    mengungkapkan bahwa dengan diperlukannya suatu

    pengawasan yang terintegerasi, maka muncul suatu

    perdebatan terkait bentuk lembaga pengawasnya,

    yakni berupa Multi Financial Authorites ataukah

    Single Financial Authority, dan menurut beliau, apabila

    melihat kesuksesan beberapa negara Eropa dan Asia,

    maka bentuk Single Financial Authority merupakan

    solusi yang terbaik.8

    Sehubungan dengan hal tersebut, di Indonesia sendiri

    pembentukan Financial Authority di amanatkan dalam

    Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun

    1999 jo. Undang-undang Nomor 3 tahun 2004,

    dimana dikatakan bahwa; Tugas mengawasi Bank

    akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor

    jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan

    Undang-undang, yakni Undang-undang Nomor 21

    Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

    Namun urgensi dan eksistensi Otoritas Jasa Keuangan

    ini kemudian menjadi dipertanyakan, mulai dari segi

    20

    7 DonatoMasciandaro, 2005, Financial Supervision Architectures And The Role Of Central, McGeorge School of Law, University of the Pacific, San Fransisco, hal. 1.

    8 Ibid, hal. 2

    5 Vide Pasal 34 UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.

    6 Tim Panitia Antar Departemen RUU tentang OJK, 2010, Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan, Jakarta, hal. 9.

  • legalitas Otoritas Jasa Keuangan (yang seharusnya

    terbentuk selambat-lambatnya 31 Desember 20109

    namun pada praktiknya baru terbentuk pada 22

    November 2011), hingga manfaat atas dibentuknya

    lembaga ini.

    Beberapa pakar ekonomi dan perbankan menyatakan

    bahwa pembentukan Otoritas Jasa Keuangan tidaklah

    memberikan manfaat yang signifikan, salah satunya

    adalah karena pembentukan Otoritas Jasa Keuangan

    tentunya akan berpotensi menimbulkan konflik

    dengan Bank Indonesia selaku Bank Sentral. Hal

    tersebut tercermin dalam Undang-undang Otoritas

    Jasa Keuangan yang memisahkan antara kewenangan

    microprudential dan macroprudential.

    Bank merupakan lembaga keuangan yang sangat

    dominan dalam transmisi kebijakan moneter, sehingga

    Bank Sentral dalam menjalankan fungsi moneternya,

    haruslah memiliki informasi yang cukup atas

    pertumbuhan dan pergerakan bank di negaranya.

    Apabila Bank Sentral tidak mendapatkan cukup

    informasi, maka ketika terjadi krisis, respon yang

    dikeluarkan oleh Bank Sentral pun akan menjadi

    lambat, sementara Otoritas Jasa Keuangan pun pasti

    tidak dapat berbuat banyak karena fungsi Lender of

    Last Resort berada di tangan Bank Sentral. Alhasil,

    dengan pemisahan kewenangan seperti itu, maka

    dikhawatirkan kinerja kedua lembaga tersebut tidak

    akan optimal.

    Selain itu, Mahiro Kawai dan Michael Pomerleano

    mengemukakan bahwa The Central Bank of 48

    Countries (57% of total) have the authority of banking

    supervison and of these 48 countries, 39 (81%)

    are developing and emerging economies.10

    Dari pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa bentuk

    pengawasan yang paling banyak dipilih oleh negara

    negara berkembang adalah fungsi pengawasan

    yang tetap berada di bawah Bank Sentral.

    Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan karakteristik

    struktur finansial antara negara berkembang dengan

    negara maju seperti adanya penggunaan sistem

    perbankan, dimana pada negara maju seperti Eropa

    dan Jepang, menggunakan Universal Banking System

    sehingga memerlukan suatu bentuk pengawas yang

    terintegerasi. Sementara di negara-negara berkembang

    seperti di ASEAN, lebih mengandalkan Commercial

    Banking System sehingga tidak diperlukan lembaga

    pengawas yang mengawasi jasa keuangan secara

    terintegerasi.

    Disisi lain, Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan

    juga menimbulkan suatu masalah tersendiri. Hal ini

    dapat dilihat di dalam Pasal 37 ayat (1) dan (2) yang

    pada pokoknya mengatur adanya kewajiban pelaku

    kegiatan di sektor keuangan (salah satunya adalah

    bank) untuk membayar pungutan kepada Otoritas

    Jasa Keuangan selaku pengatur dan pengawas jasa

    keuangan. Adanya kewajiban ini menjadi suatu

    permasalahan tersendiri, karena bagaimana mungkin

    pengawasan perbankan dapat menjadi efektif apabila

    Otoritas Jasa Keuangan selaku pengawas memungut

    bayaran dari obyek yang diawasi, hal ini sangat

    berpotensi menimbulkan terjadinya moral hazard

    antara Otoritas Jasa Keuangan dan bank, sehingga

    sangat dikhawatirkan nantinya pengawasan yang

    dilakukan akan berupa pengawasan yang tebang

    pilih dan tidak Independen. Alhasil, pengawasan

    yang semula ditujukan untuk meringankan tugas Bank

    Indonesia, hanya akan menjadi suatu permasalahan