bu let in 1101010413
TRANSCRIPT
-
HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
BULETIN ISSN : 1693 - 3265Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Keterkaitan Posisi Bank Indonesia Sebagai Lembaga Negara Dengan Pengisian Jabatan Dewan Gubernur
Bank Indonesia Yang Memerlukan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
Outlook Pengawasan Perbankan Pasca Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan
Kajian Hukum Terhadap Penyelesaiaan Likuidasi Bank Yang Dicabut Izin Usahanya Sebelum Berlakunya
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan
Perlindungan Privasi Dan Data Pribadi: Suatu Telaahan Awal
Perspektif Yuridis Pengawasan Keuangan Daerah
Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari - April 2013
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari - April 2013
-
Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALANDepartemen Hukum Bank Indonesia
PelindungDeputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia
Penanggung JawabSiddha Karya, Wahyudi Santoso, Libraliana Badilangoe, Rosalia Suci
Pemimpin RedaksiLibraliana Badilangoe
Sekretaris RedaksiDyah Pratiwi
Dewan RedaksiImam Subarkah, Agus Susanto Pratomo, Amsal C. Appy, Hari Sugeng Raharjo,
Endang R. Budi Astuti, Pulih Widayaningrum
Redaksi PelaksanaEllia Syahrini, Kuwat Wijayanto, Chandra Herwibowo, Veri Dyatmika Adhiraharja
Mitra BestariProf. Dr. Erman Radjagukguk, SH., LLM
Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH., LLMProf. Dr. Huala Adolf, SH., LLMDr. Inosentius Samsul, SH., LLMDr. Lastuti Abubakar, SH., MH
Penanggung Jawab Pelaksana dan DistribusiTim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,
Departemen Hukum Bank Indonesia
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitiandalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.
Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember.Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletinditerbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi DepartemenStatistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email: [email protected]
Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukumperbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,Departemen Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 9 Jl. M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan.
Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan
publikasi, kemudian pilih publikasi
-
Halaman ini sengaja dikosongkan
-
Pembaca Buletin Yang Berbahagia, di tahun 2013 Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume
11 Nomor 1, Edisi Januari April 2013 kembali hadir dan menyapa pembaca sekalian, dengan berbagai artikel.
Dalam rangka mempersiapkan bahan-bahan amandemen UU Bank Indonesia pasca UU Otoritas Jasa Keuangan,
Bank Indonesia melakukan penelitian dengan fakultas hukum. Dalam edisi ini secara khusus Buletin menampilkan hasil
penelitian kerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta (UNS), yaitu mengenai
Keterkaitan Posisi Bank Indonesia Sebagai Lembaga Negara Dengan Pengisian Jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia
Yang Memerlukan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum;
Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum; Djatmiko Anom Husodo, S.H., M.H; Munawar Kholil, S.H., M.Hum., disarikan menjadi
artikel yang dimuat dalam buletin edisi kali ini.
Selain itu, masih terkait Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Buletin juga menurunkan artikel mengenai Outlook
Pengawasan Perbankan Pasca Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan, yang ditulis oleh Sdr. Rio Fafen Ciptaswara, S.H.,
MH; Kajian Hukum Terhadap Penyelesaiaan Likuidasi Bank Yang Dicabut Izin Usahanya Sebelum Berlakunya Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan, oleh Sdr. Alex Kurniawan S.H., M.H; Perlindungan
Privasi Dan Data Pribadi: Suatu Telaahan Awal, oleh: Sdr. Josua Sitompul, S.H., IMM; serta artikel mengenai Perspektif
Yuridis Pengawasan Keuangan Daerah, oleh Sdr. Dayanto, S.H.,M.H.
Harapannya, artikel yang dimuat dalam Buletin tersebut akan memperkaya wacana dan kajian dalam rangka
pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum perbankan dan kebanksentralan.
Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, Buletin ini akan
memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan Januari sampai
dengan April 2013, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin
mempermudah pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
Selamat membaca.
Jakarta, April 2013
Redaksi
i
DARI MEJA REDAKSI
-
Halaman ini sengaja dikosongkan
-
Halaman
Dari Meja Redaksi................................................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................................................. iii
Keterkaitan Posisi Bank Indonesia Sebagai Lembaga Negara Dengan Pengisian Jabatan
Dewan Gubernur Bank Indonesia Yang Memerlukan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat....................1 - 18
Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum; Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum; Djatmiko Anom Husodo, S.H., M.H;
Munawar Kholil, S.H., M.Hum.
Outlook Pengawasan Perbankan Pasca Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan..........................................19 - 38
Rio Fafen Ciptaswara, S.H., M.H.
Kajian Hukum Terhadap Penyelesaiaan Likuidasi Bank Yang Dicabut Izin Usahanya Sebelum Berlakunya
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan.......................................39 - 69
Alex Kurniawan S.H., M.H.
Perlindungan Privasi Dan Data Pribadi: Suatu Telaahan Awal....................................................................71 - 94
Josua Sitompul, S.H., IMM.
Perspektif Yuridis Pengawasan Keuangan Daerah....................................................................................95 - 105
Dayanto, S.H., M.H.
Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari - April 2013..........................107 - 110
Tim Informasi Hukum (Departemen Hukum Bank Indonesia)
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari - April 2013....................111 - 137
Tim Informasi Hukum (Departemen Hukum Bank Indonesia)
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
VOLUME 11, NOMOR 1, JANUARI APRIL 2013
iii
-
Halaman ini sengaja dikosongkan
-
A. Pendahuluan
Keberadaan Bank Sentral berikut atribut yang
berkaitan dengan posisi kelembagaan dan
independensinya amat dipengaruhi oleh theory of
delegation monetery. Dalam hal ini, para politisi
menyerahkan urusan-urusan pengelolaan sumber
daya keuangan yang bersifat teknokratik kepada
organ khusus yang dibentuk untuk itu. Dengan
mekanisme kelembagaan itu, maka akan berpengaruh
kepada decetion making role of governing bodies
dari Bank Sentral. Dalam pola pembagian kekuasaan
negara sampai dengan abad ke-18, masalah-masalah
perekonomian dipandang sebagai fenomena pasar
1
KETERKAITAN POSISI BANK INDONESIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA DENGAN PENGISIAN JABATAN
DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA YANG MEMERLUKAN PERSETUJUAN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT1
Oleh :
Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum; Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum; Djatmiko Anom Husodo, S.H., M.H;
Munawar Kholil, S.H., M.Hum2
Abstrak
Adanya sejumlah faktor yang mempengaruhi struktur kelembagaan Bank Sentral menunjukkan tidak adanya
gejala tunggal, khususnya berhubungan dengan pembagian kekuasaan, tetapi pola-pola kelembagaan yang saling
berpengaruh satu sama lain. Pandangan ini dapat disebut sebagai theory of combines process intitutionalized (teori
kombinasi proses kelembagaan). Dalam hal ini, perubahan kelembagaan terjadi di dalam prinsip regulasi dan organisasi,
perilaku, dan pola-pola interaksi. Arah perubahan tersebut biasanya menuju ke peningkatan perbedaan prinsip-prinsip
dan pola-pola umum di dalam kelembagaan yang saling berhubungan. Sementara itu, pada waktu yang bersamaan
terdapat peningkatan kebutuhan untuk melakukan integrasi di dalam sistem yang kompleks. Perbedaan tersebut dapat
berarti juga memperluas mata rantai saling ketergantungan yang menuntut adanya integrasi. Tentu saja, perubahan
kelembagaan itu mendorong kepada perubahan-perubahan kondisi yang kemudian membuat penyesuaian baru yang
diperlukan. Tujuan utama dari perubahan kelembagaan itu adalah menciptakan keseimbangan baru. Mengingat
independensi Bank Indonesia, pengisian jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia yang memerlukan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat memiliki rasionalitas yang amat terkait dengan status kelembagaan bank sentral. Hanya saja ke depan
nampaknya perlu dilakukan perubahan mekanisme itu guna menghindari politicking yang berlebihan.
Kata kunci: Bank Indonesia, lembaga negara, pengisian jabatan, dewan gubernur BI, persetujuan, dpr.
1 Sebagian Analisis Penelitian Formulasi Pengaturan Kedudukan Bank Indonesia Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Peneliti FH UNS: Isharyanto, S.H., M.Hum; Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum; Djatmiko Anom Husodo, S.H., M.H; Munawar Kholil, S.H., M.Hum, 2012
2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta
-
(market) yang berkembang dalam dinamika
masyarakat sendiri, sehingga tidak memerlukan
pengaturan yang ketat oleh negara. Cara pandang
demikian ini juga mempengaruhi penyusunan
konstitusi. Meskipun sejak disahkannya konstitusi
Amerika Serikat pada tahun 1789, negara-negara
yang menganut paham demikian, kecuali Inggris,
selalui memiliki naskah konstitusi tertulis, tetapi
konstitusinya tidak memuat ketentuan mengenai
ekonomi sama sekali.
Konstitusi Amerika Serikat, yang acapkali disebut
sebagai konstitusi modern yang pertama kali, tidak
ada satu pasal pun yang berkaitan dengan soal-soal
perekonomian. Sampai sekarang konstitusi tersebut
sudah mengalami perubahan sebanyak 27 kali.
Perubahan I sampai dengan Perubahan X dilakukan
secara serentak dan sering dikenal sebagai Bill of
Rights karena isinya menyangkut hak asasi.
Sementara itu, 17 perubahan lainnya dlakukan secara
terpisah. Pendek kata, dalam keseluruhan teks
konstitusi Amerika Serikat tidak diketemukan satu
pasal atau ayat pun yang mengatur mengenai
persoalan hak-hak ekonomi, apalagi mengenai sistem
perekonomian seperti yang lazim diatur dalam
konstitusi negara-negara sosialis komunis. Kalaupun
ada ketentuan yang berkaitan dengan perekonomian
dan keuangan, hanya yang berhubungan dengan
kebijaksanaan administrasi negara di bidang keuangan,
perpajakan, dan anggaran. Meskipun demikian,
ketentutan-ketentuan tersebut tentu pada waktunya
mempengaruhi dinamika perekonomian yang terjadi
di dalam masyarakat. Akan tetapi, ketentuan-
ketentuan mengenai moneter, perpajakan, dan
anggaran itu lebih berkaitan dengan administrasi
negara dibandingkan misalnya dengan peran pasar
dengan negara dalam pengelolaan hak milik dan
dalam manajemen kekayaan alam yang secara
langsung berkaitan dengan ciri-ciri liberalisme atau
sosialisme.
Menurut Carr R. Sunstein, ada 4 (empat) hal yang
menyebabkan konstitusi Amerika Serikat sampai
sekarang tidak pernah mengatur mengenai
perekonomian. Pertama, ditinjau dari kronologi
penyusunannya, sampai dengan abad ke-18, masalah
tersebut tidak pernah menjadi pemikiran penyusunan
konstitusi. Kedua, ditinjau dari kelembagaan,
ketentuan mengenai perekonomian bukanlah
merupakan aspirasi atau tujuan pembentukan
konstitusi, akan tetapi merupakan instrumen pragmatis
dalam rangka penegakan hak melalui mekanisme
pengadilan (judicial enforcement). Ketiga, kenyataan
American exeptionalism, yang terwujud dalam
absennya gerakan sosial yang mempengaruhi
konstitusioanlisme. Keempat, ditinjau dari segi realitas,
dalam kurun waktu 1960-an dan 1970, Mahkamah
Agung mempunyai pandangan yang sempit mengenai
bagaimanakah pemenuhan hak-hak yang
berhubungan dengan perekonomian tersebut.3
Dengan mengambil kenyataan ini, maka rintisan
pendirian Bank Sentral tidak berhubungan dengan
pengelolaan sumber daya perekonomian dan
pemenuhan hak-hak asasi di bidang sosial dan
ekonomi, tetapi lebih menekankan kepada kebutuhan
pencarian sumber pembiayaan dari Pemerintah.
B. Mencari Keseimbangan: Dari Theory of
Delegation Monetery menuju Theory of
Combines Process Intitutionalized
Dalam perkembangan selanjutnya, relasi pemisahan
kekuasaan negara dalam konteks theory of delegation
monetary tidak mencukupi untuk menjelaskan
bagaimanakah struktur Bank Sentral. Sebagai suatu
kenyataan dinamis, utamanya relasi Bank Sentral
dengan Parlemen tidak diposisikan dalam pembicaraan
pembagian kekuasaan, akan tetapi ditentukan oleh
6 (enam) faktor. Pertama, tujuan pembangunan
ekonomi mempengaruhi aktivitas dan formulasi
kelembagaan Bank Sentral. Pembangunan, terutama
di negara-negara yang berpendapatan rendah,
menyebabkan aktivitas Bank Sentral mengarah juga
2
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
3 Cass R. Sunstein, Why Does the American Constitution Lack Social and Economic Guarantees?,Chicago Law and Legal Theory Working Paper, No. 36, Januari, 2003, hlm. 4.
-
kepada sektor quasi fiskal.4 Bahkan di negara-negara
berkembang, Bank Sentral mengarah kepada
instrumen moneter dengan campur tangan politik
yang kuat dalam melaksanakan tujuan-tujuannya.
Kedua, faktor sejarah, kebiasaan, dan tradisi. Amat
jarang Undang-Undang mengatur Bank Sentral secara
komprehensif. Oleh sebab itu, dalam praktik seringkali
diwarnai dengan perubahan-perubahan ketentuan
yang bersifat parsial. Ketiga, faktor politik. Faktor ini
menyebabkan desain Bank Sentral bervariasi dalam
derajat otonomi dan akuntabilitasnya. Politik diakui
perannya, akan tetapi dalam beberapa hal pada saat
politik menciptakan lingkungan negara yang lemah
akan memberikan dorongan yang besar untuk
menciptakan independensi tinggi kepada Bank Sentral.
Perlindungan terhadap pemecatan atas pejabat Bank
Sentral menjadi bagian yang penting. Akhirnya,
struktur Bank Sentralrelasi dengan Parlemen, kepala
negara, kabinet, atau kementerianakan ditentukan
oleh sistem politik. Keempat, tradisi legal yang dianut.
Mayoritas Bank Sentral merupakan badan hukum,
sepenuhnya dimiliki negara, dan diatur oleh Undang-
Undang, akan tetapi sangat sedikit Bank Sentral yang
merupakan perusahaan terbuka dan ada kepemilikan
saham pribadi. Struktur pemerintahan akan
menentukan hukum korporasi yang berlaku. Dalam
tradisi Anglo Saxon misalnya, perusahaan hanya
mempunyai satu organ, sementara di negara Eropa
perusahaan mempunyai struktur organ pelaksana
dan organ pengawas.5 Kelima, faktor konstitusi.
Umumnya negara-negara demokrasi lama tidak
mengatur soal Bank Sentral dalam konstitusi. Hanya
sedikit negara, antara lain Afrika Selatan, yang
menetapkan tugas Bank Sentral dalam konstitusi.
Sejumlah negara di kawasan Amerika Latin usai krisis
tahun 1980-an mengubah konstitusi, termasuk
mengatur rinci mengenai Bank Sentral dan larangan
peminjaman kredit kepada Pemerintah.6 Konstitusi
di negara-negara yang mengalami transisi biasanya
mengatur pula ketentuan mengenai nominasi dan
rekrutmen pejabat Bank Sentral. Keenam, kontinuitas.
Faktor ini ditentukan oleh seberapa sering ketentuan
Undang-Undang Bank Sentral diubah dan tingkat
detail pengaturannya. Undang-Undang mengenai
The Federal Reserve System di Amerika Serikat
termasuk kategori Undang-Undang yang mempunyai
ketegori rinci, sementara di negara lain tidak dijumpai
ketentuan semacam itu. Di negara lain, Undang-
Undang diubah beberapa kali dalam kurun waktu
tertentu. Di Khazaztan, Undang-Undang Bank Sentral
1995 telah diubah sebanyak 16 kali sampai tahun
2003. Undang-Undang di Denmark sejak ditetapkan
tahun 1936, hanya 4 (empat) kali mengalami
perubahan kecil (1938, 1939, 1967, dan 1969).7
Adanya sejumlah faktor yang mempengaruhi struktur
kelembagaan Bank Sentral menunjukkan tidak adanya
gejala tunggal, khususnya berhubungan dengan
pembagian kekuasaan, tetapi pola-pola kelembagaan
yang saling berpengaruh satu sama lain. Pandangan
ini dapat disebut sebagai theory of combines process
intitutionalized (teori kombinasi proses kelembagaan).
Dalam hal ini, perubahan kelembagaan terjadi di
dalam prinsip regulasi dan organisasi, perilaku, dan
pola-pola interaksi. Arah perubahan tersebut biasanya
menuju ke peningkatan perbedaan prinsip-prinsip
dan pola-pola umum di dalam kelembagaan yang
saling berhubungan. Sementara itu, pada waktu yang
bersamaan terdapat peningkatan kebutuhan untuk
melakukan integrasi di dalam sistem yang kompleks.
Perbedaan tersebut dapat berarti juga memperluas
mata rantai saling ketergantungan yang menuntut
adanya integrasi. Tentu saja, perubahan kelembagaan
itu mendorong kepada perubahan-perubahan kondisi
3
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
4 Diskusi selengkapnya: Snoh Unakul dan Supachai Panitchpakdi, 1987, Role of Central Banks in Economic Development, paper prepared for the Twelfth SEANZA Central Banking Course, Bank of Thailand (Bangkok).
5 Lihat dalam: Douglas Branson, Douglas, The Very Uncertain Prospect of Global Convergence in Corporate Governance, Cornell International Law Journal, 2001, Vol. 34, No, 2, hlm. 321362.
6 Lihat: Eva Gutirrez, Inflation Performance and Constitutional Central Bank Independence: Evidence from Latin America and the Caribbean, IMF Working Paper No. 03/53 (Washington: International Monetary Fund).
7 Pembahasan selengkapnya, periksa: Peter Moser, Checks and Balances, and the Supply of Central Bank Independence, European Economic Review, 1999, Vol. 43, hlm. 15691593.
-
yang kemudian membuat penyesuaian baru yang
diperlukan. Tujuan utama dari perubahan kelembagaan
itu adalah emnciptakan keseimbangan baru.
Berdasarkan argumen menurut theory of combines
process intitutionalized, maka relasi antara parlemen
dengan Bank Sentral adalah untuk menciptakan
keseimbangan baru diantara keduanya di hadapan
Pemerintah. Khususnya berkaitan dengan isu pengisian
jabatan Dewan Gubernur Bank Sentral, keseimbangan
itu menjadi penting untuk ditekankan. Terutama pada
negara-negara berkembang, pola keseimbangan itu
tercipta ke dalam 3 (tiga) pola sebagai berikut.
Pertama, Pemerintah terlibat langsung dalam pengisian
jabatan board dan masa jabatan Dewan Gubernur
lebih pendek. Kedua, Pemerintah pada umumnya
terwakili dalam Dewan Gubernur.Ketiga, Bank Sentral
menikmati sedikit proteksi legal, terutama ketika
berselisih dengan Pemerintah.
Dalam pengisian jabatan Dewan Gubernur itu dapat
berlangsung dalam salah satu atau variasi diantara 5
(lima) prosedur berikut ini. Pertama, Gubernur direkrut
tanpa campur tangan Pemerintah. Pola ini diterapkan
di negara Bulgaria, Kroasia, Republik Ceko, Estonia,
Latvia, Lithuania, Malaysia, Pakistan, Polandia,
Romania, Slovakia, Slovenia, dan Turki. Kedua,
Gubernur mempunyai masa jabatan lebih dari 5 (lima)
tahun. Hal ini antara lain dipraktikkan di Argentina8,
Brazil9, Bulgaria10, China11, Kroasia12, Republik Ceko13,
Hongaria14, Latvia15, Filipina16, Polandia17, Slovenia18,
Thailand, dan Venezuela19. Ketiga, Dewan Gubenur
direktur tanpa campur tangan Pemerintah seperti
antara lain di Bulgaria20, Kroasia21, Republik Ceko22,
Estonia23, Hungaria24, Latvia25, Lithuania26, Polandia27,
Romania28, Rusia29, dan Turki30. Keempat, Dewan
Gubernur mempunyai masa jabatan lebih dari 5 (lima)
tahun seperti antara lain di Argentina31, Brazil32,
4
8 Charter of the Central Bank of the Argentine Republic, Law 24,144 of September 23, 1992, diubah terakhir pada September 2003 (Law 25, 780).
9 Central Bank Law of Brazil, Law No. 4595/64 of December 31, 1964, terakhir diubah 31 Mei 2000.
10 Law on the Bulgarian National Bank Tahun 2002.
11 Law on the Peoples Republic of China on the Peoples Bank of China of March 18, 1995.
12 Law on the Croatian National Bank, 5 April, 2001.
13 Czech National Council Act No. 6/1993 Coll of 17 December 1992 on The Czech National Bank, terakhir diubah 1 Mei 2002.
14 Act LVIII of 2001 on the National Bank of Hungary.
15 Law "On the Bank of Latvia" of May 19, 1992, terakhir diubah 12 Juli 2002.
16 The New Central Bank Act of the Republic of Philippines Juli, 1992.
17 Law of August 29, 1997 on the National Bank of Poland, terakhir diubah 1 Januari 2003.
18 Bank of Slovenia Act of July 2002.
19 Law on the Central Bank of Venezuela", terakhir diubah 4 September 2001.
20 Law on the Bulgarian National Bank Tahun 2002.
21 Law on the Croatian National Bank, 5 April, 2001.
22 Czech National Council Act No. 6/1993 Coll of 17 December 1992 on The Czech National Bank, terakhir diubah 1 Mei 2002.
23 Law on the Central Bank of the Republic of Estonia of 18 May 1993, last amendmentRT I 1999,16, 271.
24 Act LVIII of 2001 on the National Bank of Hungary.
25 Law "On the Bank of Latvia" of May 19, 1992, terakhir diubah 12 Juli 2002.
26 Law on the Bank of Lithuania, Law No. I-678 of December 1, 1994, terakhir diubah 13 Maret 2001.
27 Law of August 29, 1997 on the National Bank of Poland, terakhir diubah 1 Januari 2003.
28 Law on the Statute of the National Bank of Romania of May 26, 1998, terakhir diubah dengan Law No. 156 of October 12, 1999.
29 Federal Law No. 86-FZ on the Central Bank of the Russian Federation (The Bank of Russia) of June 27, 2002.
30 The Law on the Central Bank of the Republic of Turkey (Law No. 1211), terakhir diubah 25 April 2001.
31 Charter of the Central Bank of the Argentine Republic, Law 24,144 of September 23, 1992, terakhir diubah 21 September 2003 (Law 25,780).
32 Central Bank Law of Brazil, Law No. 4595/64 of December 31, 1964, terakhir diubah 31 Mei 2000.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
-
Bulgaria33, Chile34, China35, Kroasia36, Republik Ceko37,
Hongaria38, Latvia39, Lithuania40, dan Filipina.41 Kelima,
tidak ada perwakilan Pemerintah dalam Dewan
Gubernur seperti di Afrika Selatan42, Peru43, dan
Thailand.44
Selanjutnya, relasi keseimbangan baru antara
Pemerintah, Parlemen, dan Bank Sentral sekurang-
kurangnya akan berpengaruh kepada 3 (tiga) hal
penting. Pertama, derajat campur tangan Pemerintah
dalam menentukan kebijaksanaan moneter. Di negara
berkembang, kecenderungan campur tangan
Pemerintah tidak ada dalam memformulasikan
kebijaksanaan moneter, kecuali di negara seperti
Bahamas, Bangladesh, Barbados, Benin, Burkina Faso,
Cte dIvoire, Guine Bissau, Mali, Niger, Senegal
danTogo.Kedua, penentuan stabilitas moneter sebagai
salah satu fungsi Bank Sentral. Nyaris semua negara
menganut ketentuan ini kecuali negara seperti
Comoros, Iran, dan Sudan. Ketiga, proteksi legal
Bank Sentral di hadapan Pemerintah. Pada kebanyakan
negara berkembang, proteksi Bank Sentral lebih besar
ketika terjadi perselisihan dengan Pemerintah, kecuali
di negara seperti Angola, Bahamas, Bangladesh,
Kolumbia, Haiti, Iran, dan Vietnam. Untuk hal yang
ketiga ini dalam praktiknya undang-undang akan
menentukan secara berbeda-beda. Misalnya, (i)
Pemerintah akan mematuhi keputusan Bank Sentral
dan akan menunda kebijaksanaannya dalam waktu
tertentu seperti di Chile; (ii) Parlemen akan melakukan
intervensi atau sekurang-kurangnya melakukan dengar
pendapat seperti Australia, Kanada, Inggris, dan
Norwegia; dan (iii) Pemerintah mengajukan perdebatan
umum di Parlemen seperti di Selandia Baru.
Format pengisian jabatan Dewan Gubernur45
mencakup isu komposisi, kualifikasi, serta masalah
pengusulan, pengangkatan, dan pemberhentian. Di
bawah ini akan diuraikan secara singkat masing-
masing isu tersebut.
Kebanyakan undang-undang di sejumlah negara
menetapkan jumlah anggota Dewan Gubernur adalah
antara 7-9 orang.Banyak studi yang mengatakan
bahwa jumlah yang ideal adalah antara 5-9 orang,
sekalipun diantara praktik tersebut jumlah yang kecil
dan yang besar tetap saja mampu melakukan
pekerjaan dengan baik. Bank Sentral Swiss hanya
mempunyai 3 (tiga) anggota, sementara The Federal
Reserve System mempunyai 19 anggota (walaupun
hanya 12 yang mempunyai hak suara) dan Bank
Sentral Eropa mempunyai 22 anggota.46 Dalam
komposisi ini dalam praktik kebanyakan Gubernur
(Governor) secara otomatis merupakan Ketua
(Chairman).47 Pada Bank of Japan terdiri atas seorang
Gubernur, dua Deputi Gubernur, dan 6 (enam)
anggota Policy Board. Bundesbank di Jerman memiliki
seorang Presiden, seorang wakil, dan 6 (enam)
anggota Executive Board. Di Finlandia meliputi seorang
5
33 Law on the Bulgarian National Bank, amended as of 2002.
34 Law 18,840, Basic Constitutional Act of the Central Bank of Chile, terakhir diubah 31 Mei 2002.
35 Law on the Peoples Republic of China on the Peoples Bank of China of March 18, 1995.
36 Law on the Croatian National Bank, new law enacted on April 5, 2001.
37 Czech National Council Act No. 6/1993 Coll of 17 December 1992 on The Czech National Bank, terakhir diubah pada 1 Mei 2002.
38 Act LVIII of 2001 on the National Bank of Hungary.
39 Law "On the Bank of Latvia" of May 19, 1992, terakhir diubah 12 Juli 2002.
40 Law on the Bank of Lithuania, Law No. I-678 of December 1, 1994, terakhir diubah 13 Maret 2001.
41 The New Central Bank Act of the Republic of Philippines of July, 1992.
42 South African Reserve Bank Act of August 1, 1989, terakhir diubah tahun 2000.
43 Central Reserve Bank of Peru Organic Law, Decree-Law No. 26123 of January 1, 1993.
44 Bank of Thailand Act 2485.
45 Selain Dewan Gubernur, istilah lain yang acapkali dipakai adalah Executive Board, Policy Board, atau lainnya.
46 Berger et al (2006)
47 Istilah lain adalah Presiden.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
-
Chairman dan maksimum 5 (lima) anggota. Kanada
menetapkan Dewan Gubernur meliputi seorang
Gubernur, seorang Deputi Gubernur, dan 12 anggota
Boards of Director. Di Ghana, The Board of Director
meliputi seorang Gubernur, 2 (dua) Deputi Gubernur,
dan 8 (delapan) directors, dan 1 (satu) orang yang
mewakili Menteri Keuangan.
Aturan Dewan Gubernur juga mencakup ketentuan-
ketentuan yang berhubungan dengan kualifikasi atau
syarat-syarat untuk menduduki jabatan tersebut. Ada
syarat yang merujuk kepada kapasitas profesional,
misalnya pengalaman dalam sektor perbankan,
keuangan, ekonomi, dan hukum; serta lapangan lain
seperti akuntansi, auditor, dan perdagangan
internasional seperti persyaratan di Kolumbia.
Di negara yang mengalami transisi ekonomi, untuk
Gubernur dan Deputi Gubernur lazim dipersyaratkan
harus sudah pernah menjabat dalam kedudukan
serupa untuk jangka waktu tertentu. Beberapa negara
menetapkan batas usia tertentu bagi Gubernur dan
Deputi Gubernur. Di Cape Verde mengatur bahwa
Dewan Gubernur minimal mempunyai pengalaman
8 (delapan) tahun di sektor perbankan. Di Venezuela,
calon harus berumur minimal 30 tahun. Filipina
menetapkan batas usia minimal 35 tahun dan untuk
keanggotaan Dewan Moneter sekurang-kurangnya
40 tahun. Di Namibia, calon harus berumur serendah-
rendahnya 21 tahun dan maksimal 65 tahun saat
dilantik. Pada Bank Sentral Belgia, Dewan Gubernur
berhenti saat mencapi usia 67 tahun, yang atas
rekomendasi Menteri Keuangan dapat terus bertugas
sampai usia 70 tahun. Papua Nugini mensyaratkan
berhentinya Dewan Gubernur saat usia 70 tahun.
Di negara yang lain, jika dipersyaratkan bahwa Dewan
Gubernur merupakan pejabat karir birokrasi,
ketentuan batras usia tunduk pada ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang.
Syarat kewarganegaraan acapkali juga menjadi salah
satu persyaratan.Tetapi salah satu contoh menarik di
Bosnia Herzegovina. Mengingat situasi yang sulit pada
waktu itu, Undang-Undang mengatur bahwa untuk
pertama kalinya Dewan Gubernur tidak merupakan
warganegara yang bersangkutan, yang ditetapkan
oleh International Monetery Fund dan diambil dari
negara tetangga. Pada akhir masa jabatan, otoritas
setempat memberikan kewargenaraan dan mereka
dicalonkan kembali.
Syarat kapasitas profesional diuji dalam mekanisme
fit and proper test untuk tercapai standar moralitas
tertentu seperti di Bank Sentral Eropa, berperikelakuan
tidak tercela (Filipina), atau integritas yang tidak
meragukan (Filipina). Syarat tidak pernah menjalani
hukuman pidana, kecuali denda, juga lazim
diperlakukan seperti di Bostwana. Syarat lain misalnya
tidak pailit, tetapi di sejumlah negara memperkenankan
dalam lampau waktu tertentu. Di Peru misalnya, syarat
itu mencakup ketidakmampuan pajak atau tidak
terdaftar sebagai wajib pajak.Bolivia melarang calon
yang memiliki kepemilikan saham di institusi keuangan.
Sementara itu, masa jabatan dan kemungkinan
pengangkatan kembali Dewan Gubernur antara Bank
Sentral yang satu dengan yang lain tidak selalu sama.
Sebagai contoh di The Federal Reserve System
mempunyai masa jabatan 14 tahun dan tidak dapat
dicalonkan kembali. Dua dari anggota Dewan
Gubernur dipilih sebagai Chairman dan wakil untuk
masa jabatan 4 (empat) tahun dan diangkat kembali
selama masih dalam jangka jabatan 14 tahun. Semua
anggota Executive Board (termasuk Presiden dan
wakilnya) di Bank Sentral Eropa mempunyai masa
jabatan 8 (delapan) tahun dan tidak dapat dipilih
kembali. Finlandia mengatur bahwa masa jabatan
Gubernur adalah 7 tahun dan dalam keanggotaan
Dewan Gubernur dapat dipilih sampai 3 (tiga) kali
masa jabatan, kecuali untuk menjabat Gubernur
maksimal 2 (dua) periode masa jabatan.
Masalah pengusulan, pengangkatan, dan
pemberhentian anggota Dewan Gubenur masing-
masing berbeda-beda. Sebagai contoh, pada The
Federal Reserve System diusulkan oleh Presiden untuk
nendapat persetujuan Senat. Sedangkan Chairman
dan wakilnya ditunjuk dari anggota Dewan Gubernur
oleh Presiden dan dikonfirmasi oleh Senat. Di Albania,
6
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
-
Gubernur dicalonkan oleh Presiden atas usul Bank
Sentral, sementara untuk anggota masing-masing
dicalonkan oleh Parlemen (3 orang), Presiden (1
orang); serta Kabinet, Dewan Gubernur, Menteri
Keuangan, dan Gubernur Bank Sentral masing-masing
1 (satu) orang. Di Armenia, Gubernur dan Deputi
Gubernur diangkat oleh Presiden dengan persetujuan
Parlemen, sementara sebanyak 5 (lima) anggota yang
lain diangkat oleh Presiden. Di Belarusia, Gubernur
diangkat oleh Presiden atas persetujuan Parlemen,
sementara Parlemen dan Kabinet berhak mengusulkan
masing-masing 1 (satu) anggota Dewan Gubernur.
Di Rusia Gubernur diangkat oleh Presiden dengan
persetujuan Parlemen, sementara 13 anggota lainnya
diangkat oleh Presiden dengan memperhatikan saran
Gubernur.Sementara pengangkatan seluruh anggota
Dewan Gubernur atas kehendak Presiden sepenuhnya
terjadi di Republik Ceko, sedangkan di Bulgaria,
Kroasia, dan Ukraina sepenuhnya di bawah kendali
Parlemen.
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Tonny Lybek
dan Jo Anne Morrist48 terhadap 100 Bank Sentral
menyimpulkan bahwa mekanisme pengusulan Dewan
Gubernur dilakukan dengan kategori sebagai berikut:
(i) diusulkan oleh Kepala Negara/Presiden sebanyak
31 negara; (ii) diusulkan oleh Parlemen sebanyak 12
negara; (iii) diusulkan oleh Menteri Keuangan sebanyak
17 negara; (iv) diusulkan oleh Perdana Menteri
sebanyak 5 negara; (v) diusulkan oleh Kabinet sebanyak
12 negara dan (vi) diusulkan dengan variasi yang
menggabungkan sejumlah pihak sebanyak 23 negara.
Penelitian yang sama mengungkapkan bahwa
mekanisme pengangkatan meliputi variasi-variasi
sebagai berikut: (i) memerlukan persetujuan
Presiden/Kepala Negara sebanyak 51 negara; (ii)
memerlukan persetujuan Parlemen sebanyak 23
negara; (iii) memerlukan persetujuan Perdana Menteri
sebanyak 3 negara; (iv) memerlukan persetujuan
Kabinet sebanyak 8 negara; (v) memerlukan persetujuan
Menteri Keuangan sebanyak 5 negara, dan (vi)
memerlukan persetujuan yang menggabungkan
sejumlah pihak sebanyak 10 negara.49
Jika ditelaah, maka mekanisme pengusulan,
pengangkatan, dan pemberhentian Dewan Gubernur
pada Bank Sentral akan meliputi tipe sebagai berikut:
(i) mekanisme oleh Bank Sentral sendiri; (ii) mekanisme
dengan campur tangan (usul) Bank Sentral; (iii)
mekanisme yang melibatkan Pemerintah dan
Parlemen; (iv) mekansime yang melibatkan Pemerintah
secara kolektif; dan mekanisme atas kehendak
Pemerintah atau Parlemen secara pribadi. Dengan
demikian, tafsiran keseimbangan antara Pemerintah
dan Parlemen berhadapan dengan Bank Sentral
diterjemahkan secara berbeda-beda di setiap negara.
Sedangkan alasan-alasan untuk melakukan
pemberhentian (dismissal) diatur secara tidak sama
diantara banyak negara, yang pada garis besarnya
mencakup 3 (tiga) bentuk. Pertama, bersifat non-
politik seperti Albania, Armenia, Republik Ceko,
Estonia, Hongaria, dan Rusia.Kedua, kegagalan
menjalankan kewajiban perbankan seperti di Bulgaria.
Ketiga, perselisihan kebijaksanaan moneter antara
Bank Sentral dengan Pemerintah dan/atau Parlemen
seperti di Georgia.Keempat, tidak terikat syarat dan
kondisi tertentu seperti di Rumania.
C. Praksis di Indonesia
Sehubungan dengan Dewan Gubernur Bank
Indonesia, ketentuan UU No. 13 Tahun 1968 Pasal
15 mengatakan bahwa Gubernur dan Direktur
diangkat oleh Presiden atas usul Dewan Moneter
untuk masa 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali.
Komposisi Dewan Gubernur meliputi Direksi yang
terdiri atas satu orang Gubernur dan minimal 5 atau
7 orang Direktur.Pasal 16 menyebutkan bahwa Direksi
7
49 Ibid.
48 Tonny Lybek and JoAnne Morrist, Central Bank Governance: A Survey of Board and Management, IMF Working Paper, Desember 2004, hlm. 33.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
-
bertanggung jawab kepada Pemerintah. Pasal 17
menyebutkan bahwa Presiden dapat memberhentikan
Gubernur dan Direktur, meskipun masa jabatannya
belum berakhir. Sebagai tambahan, anggota Direksi
tidak boleh merangkap jabatan pada lembaga lain,
kecuali karena kedudukannya (Pasal 18). Sementara
itu, Pasal 22 menyebutkan bahwa Komisaris
Pemerintah mengawasi pengurusan Bank Indonesia
sebagai perusahaan dan boleh hadir dalam Rapat
Direksi. Pengambilan keputusan dilakukan atas dasar
musywarah untuk mencapai mufakat (kolektif).Dengan
ketentuan ini, Bank Indonesia memiliki political
independence terbatas.
Pada masa berlakunya UU No. 13 Tahun 1968,
rekrutmen Dewan Gubernur menunjukkan
mekanisme sebagai berikut: (i) Pengangkatan
dilakukan oleh Presiden secara pribadi50 seperti yang
berlaku di Republik Ceko; (ii) Pengusulan jabatan
dilakukan oleh Presiden secara pribadi; (iii)
pengangkatan dilakukan dengan beberapa kualifikasi;
(iv) Masa jabatan adalah 5 tahun; (v) Pemberhentian
dilakukan oleh Presiden secara pribadi51; (vi) terdapat
ketentuan untuk memungkinkan pengangkatan
kembali dalam masa jabatan untuk satu periode; dan
(vii) terdapat ketentuan rangkap jabatan, kecuali
karena kedudukannya.
Political independence bagi Bank Indonesia meningkat
cukup tajam dengan berlakunya UU No. 23 Thn.
1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004. Komposisi Dewan
Gubernur meliputi seorang Gubernur, seorang Deputi
Gubernur Senior dan 7 sampai 9 orang Deputi.
Dalam Pasal 40 UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3
Thn. 2004 diatur syarat-syarat calon anggota Dewan
Gubernur, selain (i) harus warganegara Indonesia,
juga (ii) harus memiliki integritas akhlak dan moral
yang tinggi; dan (iii) memiliki keahlian dan pengalaman
di bidang ekonomi, keuangan, perbankan, atau
hukum. Pada bagian Penjelasan Pasal 40, dikatakan
bahwa syarat keahlian berdasarkan pendidikan dan
keilmuan, sedangkan yang berhubungan dengan
pengalaman terutama berhubungan dengan karier
calon dalam salah satu bidang, yaitu ekonomi,
keuangan, perbankan, atau hukum, khususnya yang
berkaitan dengan tugas-tugas Bank Sentral. Dalam
hal ini, syarat jabatan Dewan Gubernur tidak
mencakup persyaratan umur baik dalam kualifikasi
minimal ataupun maksimal.Persyaratan lebih
mengarah kepada kualifikasi profesional.Tidak ada
ketentuan bahwa calon harus berasal dari pejabat
karir di Bank Sentral.
Mengenai mekanisme pengusulan, pencalonan, dan
pengangkatan diatur dalam Pasal 41 UU No. 23 Thn.
1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004.Pengusulan, pencalonan,
dan pengangkatan oleh Presiden setelah mendapat
persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Pencalonan Gubernur dan Deputi Gubernur Senior
merupakan wewenang penuh dari Presiden,
sedangkan calon Deputi Gubernur diusulkan oleh
Presiden berdasarkan usul Gubernur untuk sebanyak-
banyak 3 (tiga) orang calon. Jika calon Gubernur,
Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur ditolak
oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden wajib
mengajukan calon baru. Jika para calon baru itu
tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden
wajib mengangkat kembali Gubernur, Deputi
Gubernur Senior, atau Deputi Gubernur untuk jabatan
yang sama atau Deputi Gubenur Senior atau Deputi
Gubernur untuk jabatan yang lebih tinggi dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Lamanya
masa jabatan anggota Dewan Gubernur adalah 5
(lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu
kali masa jabatan.
8
50 Berturut-turut Gubernur Bank Indonesia adalah Radius Prawiro (1967-1973), Rachmat Saleh (1973-1983), Adrianur Mooy (1983-1988), Arifin M. Siregar (1988-1993), dan Soedrajat Djiwandono (1993-1998).
51 Ketika krisis ekonomi mulai melanda Indonesia, Presiden Soeharto (1967-1998) waktu itu bisa secara mendadak mencopot Soedrajat Djiwandono dari posisi Gubernur, karena yang bersangkutan menolak penerapan kebijakan Currency Board System (CBS) untuk mengendalikan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Dalam sistem waktu itu, memang Gubernur BI merupakan pejabat negara setingkat menteri dalam Kabinet Pembangunan VI, suatu tradisi yang menjadi kebijakan Orde Baru semenjak tahun 1967.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
-
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Adapun masalah pemberhentian Dewan Gubernur
diatur dan ditentukan oleh Pasal 48 ayat (1) UU No.
23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004. Pada pokoknya,
Dewan Gubernur tidak dapat diberhentikan dalam
masa jabatan, kecuali mengundurkan diri, terbukti
melakukan tindak pidana kejahatan, dan inipun
menurut putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap; tidak dapat hadir secara fisik untuk
waktu selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa
alasan yang bisa dipertanggungjawabkan; dinyatakan
pailit atau tidak mampu memenuhi kewajiban kepada
kreditur berdasarkan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap; atau berhalangan tetap
yaitu meninggal dunia, mengalami cacat fisik atau
cacat mental sehingga tidak mampu melaksanakan
tugas dengan baik; atau karena kehilangan
kewarganegaraan Indonesia. Pemberhentian terhadap
anggota Dewan Gubernur ini harus dilakukan dengan
Keputusan Presiden.Selain itu, anggota Dewan
Gubernur tidak dapat dihukum karena telah
mengambil keputusan atau kebijakan sesuai dengan
tugas dan kewenangannya (Pasal 45). Sebagai
tambahan, anggota Dewan Gubernur tidak boleh
merangkap jabatan pada lembaga lain, kecuali karena
kedudukannya (Pasal 47). Sementara itu, Pasal 43
mengatur bahwa wakil Pemerintah boleh hadir dalam
Rapat Dewan Gubernur dengan hak bicara tanpa
hak suara atau veto.
Pelaksanaan UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn.
2004 mengalami dinamika sendiri.Ketika Bank
Indonesia (BI) dilanda mendung keresahan akibat
ditetapkannya Gubernur BI Burhanuddin Abdullah
sebagai tersangka52 dalam kasus aliran dana Yayasan
Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi53, maka bersamaan
itu juga masa jabatan gubernur bank sentral mendekati
akhir periode.54 Untuk mengisi jabatan Gubernur BI,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajukan 2
(dua) orang calonAgus Martowardoyo55 dan Raden
Pardede56--untuk mendapatkan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Pengajuan itu dilakukan
pada 17 Februari dan setelah melalui serangkaian fit
and proper test, pada 18 Maret 2008 DPR menyatakan
menolak terhadap calon-calon yang diajukan oleh
Presiden tersebut. Bukanlah aspek legal yang memang
sudah diatur di dalam peraturan perundang-undangan
yang kemudian memancing perdebatan seru di balik
drama pengisian Gubernur BI itu. Namun memang
penolakan DPR itu mengisyaratkan bacaan sebagai
upaya politis untuk mempengaruhi independensi
BI sebagai bank sentral. Lagi-lagi di sini menunjukkan
kontur kenegaraan kita yang menonjolkan kekuatan
dalam hubungan antarlembaga negara.
Debat soal independensi BI terkait dengan pengisian
jabatan Gubernur BI pernah terjadi pada masa
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (1999-
9
52 Ketika Burhanuddin Abdullah ditetapkan sebagai tersangka, US$ 5,1 miliar atau sekitar Rp47 triliun harus digelontorkan ke pasar uang untuk meredam gejolak rupiah. Hal ini karena bagi BI, kasus ini merupakan pertaruhan besar. Lihat, Tempo, 24 Februari 2008, hlm. 121.
53 YPPI diduga mengalirkan dana gelap sebesar Rp127,75 miliar di mana sebesar Rp96,25 miliar diberikan kepada aparat penegak hukum dalam upaya penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang
menjerat 5 pejabat BI pada kurun 1997-2003. Adapun sebanyak Rp31,5 miliar diberikan kepada anggota DPR yang membahas amandemen UU BI. Lihat, ibid. Adapun YPPI sendiri sebenarnya didirikan oleh BI untuk tujuan melatih tenaga-tenaga perbankan dan yayasan ini semula bernama Yayasan Pendidikan Kader Bank, kemudian menjadi Yayasan Akademi Bank pada 1958. Pada 30 April 1970, namanya diubah menjadi YPPI. Pada 1977 yayasan ini dibubarkan dan sebagai gantinya didirikan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI). Seiring dengan adanya UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yang antara lain mewajibkan yayasan berbentuk badan hukum, maka pada 2003 BI mencatatkan lembaga ini ke Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, dan namanya kembali menjadi YPPI.
54 Sebenarnya Burhanuddin Abdullah ingin menjadi gubernur bank sentral kembali. Berbekal predikat Gubernur Bank Sentral terbaik 2007 versi Global Finance dan penghargaan Bintang Mahaputra dari pemerintah pada tahun yang sama, semula jalan untuk kembali memimpin BI kian melempang. Lihat, Tempo, 24 Februari 2008, hlm. 126.
55 Sejak Mei 2005, ia menjadi Direktur Utama Bank Mandiri, setelah sebelum berkiprah menjadi pucuk pimpinan Bank Permata. Ia dinobatkan menjadi bankir Indonesia terbaik oleh Majalah Asia Money pada 2006.
56 Pardede adalah doctor ekonomi lulusan Boston University dan pendiri lembaga kajian ekonomi terpandang Danareksa Research Institute. Ia pernah menjadi konsultan Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, staf khusus Menteri Koordinator Perekonomian, Wakil Tim Asistensi Menteri Keuangan, Ketua Forum Stabilisasi Sektor Keuangan, Komisaris Independen BCA, dan sekarang Wakil Direktur Utama PT Perusahaan Pengelola Aset.
-
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
2001). Waktu itu sang presiden ingin Prijadi
Praptosuhardjo, kelak menteri keuangan, menjadi
Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Ternyata tidak mungkin, karena menurut aturan yang
berlaku, Prijadi tidak lulus fit and proper test yang
diselenggarakan oleh BI. Presiden marah dan minta
agar Gubernur BI waktu itu, Syahril Sabirin, untuk
mengundurkan diri atau dikriminalkan atas dasar
indikasi terlibat skandal Bank Bali. Syahril menolak
dan akhirnya memang dia memang dikriminalkan
dan ditahan oleh Jaksa Agung. Momentum itu
dijadikan wahana bagi pemerintah untuk melakukan
perubahan terhadap undang-undang bank sentral
yang pada intinya memungkinkan Presiden mencopot
Gubernur BI pada masa jabatan jika dinilai tidak
mempunyai kinerja yang baik. Tetapi, seperti ditulis
oleh Kwik Kian Gie57, proses perubahan undang-
undang itu berlarut-larut sehingga tidak pernah
mencapai keberhasilan.
Ketika krisis ekonomi mulai melanda Indonesia,
Presiden Soeharto (1967-1998) waktu itu bisa secara
mendadak mencopot Soedrajat Djiwandono dari
posisi Gubernur BI, karena yang bersangkutan menolak
penerapan kebijakan Currency Board System (CBS)
untuk mengendalikan kurs rupiah terhadap dolar
Amerika Serikat. Dalam sistem waktu itu, memang
Gubernur BI merupakan pejabat negara setingkat
menteri dalam Kabinet Pembangunan VI, suatu tradisi
yang menjadi kebijakan Orde Baru semenjak tahun
1967.58 Barangkali Presiden Megawati Soekarnoputri
(2001-2004) yang beruntung karena pada masa
jabatannya pergantian gubernur bank sentral tidak
mengalami kegoncangan ketika ia mencalokan
Burhanuddin Abdullah sebagai calon tunggal ke DPR.
Jika ditelaah, sehubungan dengan pengusulan,
pencalonan, dan pengangkatan Dewan Gubernur
menurut UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn.
2004 dapat dianalisis sebagai berikut. Dalam hal
pengisian jabatan Gubernur, maka mengandung
norma-norma: (i) pengangkatan dilakukan oleh
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat; (ii)
pengusulan dilakukan secara pribadi oleh Presiden;
(iii) terdapat ketentuan mengenai kualifikasi atau
persyaratan jabatan tertentu; (iv) masa jabatan adalah
5 tahun; (v) ada keamanan penuh terkait dengan
masa jabatan yaitu tidak dapat diberhentikan dalam
masa jabatan kecuali menurut syarat ketentuan
undang-undang; (vi) dapat diangkat kembali dalam
masa jabatan berikutnya; dan (vii) terdapat larangan
untuk merangkap jabatan tertentu, kecuali karena
kedudukannya. Selanjutnya untuk Deputi Gubernur
Senior berlaku norma-norma sebagai berikut: (i)
pengangkatan dilakukan oleh Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat; (ii) pengusulan dilakukan oleh
Presiden secara pribadi; (iii) terdapat ketentuan
mengenai kualifikasi atau persyaratan jabatan
tertentu; (iv) masa jabatan adalah 5 tahun; (vi) ada
keamanan penuh terkait dengan masa jabatan yaitu
tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatan kecuali
menurut syarat ketentuan undang-undang; (vi) dapat
diangkat kembali dalam masa jabatan berikutnya;
(vii) terdapat larangan rangkap jabatan kecuali karena
kedudukannya; dan (viii) pengangkatan dilakukan
secara berkala.
Untuk tingkat Deputi Gubernur, ketentuan UU No.
23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004 mengandung
norma-norma sebagai berikut: (i) pengusulan dilakukan
Bank Sentral kepada Presiden; (iii) terdapat ketentuan
mengenai kualifikasi atau persyaratan jabatan tertentu;
(iv) masa jabatan adalah 5 tahun; (v) ada keamanan
penuh terkait dengan masa jabatan yaitu tidak dapat
diberhentikan dalam masa jabatan kecuali menurut
syarat ketentuan undang-undang; (vi) dapat diangkat
kembali dalam masa jabatan berikutnya; (vii) terdapat
10
57 Kwik Kian Gie, 2006, Pikiran yang Terkorupsi, Jakarta: Kompas, hlm. 81.
58 Berturut-turut Gubernur BI adalah Radius Prawiro (1967-1973), Rachmat Saleh (1973-1983), Adrianur Mooy (1983-1988), Arifin M. Siregar (1988-1993), Soedrajat Djiwandono (1993-1998), dan Syahril Sabirin (1998-2003). Kecuali Syahril Sabirin, semua gubernur bank sentral tadi diangkat menurut UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Sementara itu, Syahril Sabirin yang berprestasi karena memegang jabatan untuk 4 orang presiden selama 1998-2003 dan yang bersangkutan termasuk yang membidani kelahiran UU No. 23 Tahun 1999 yang menempatkan posisi BI dalam kedudukannya yang paling independen semenjak berdirinya republik ini.
-
larangan untuk merangkap jabatan tertentu, kecuali
karena kedudukannya; (viii) terdapat pengangkatan
jabatan secara bertahap; dan (ix) tidak ada wakil
Pemerintah dalam Dewan Gubernur.
Diantara mekanisme pengisian jabatan Dewan
Gubernur menurut UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No.
3 Thn. 2004 terdapat hal yang perlu mendapatkan
perhatian secara khusus. Jika diperhatikan, ketentuan
Pasal 40 UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn.
2004 mengenai syarat rekrutmen bersifat sangat
umum yaitu hanya mencakup: (i) harus warganegara
Indonesia; (ii) harus memiliki integritas, akhlak, dan
moral yang tinggi; serta (iii) harus memiliki keahlian
dan pengalaman dalam bidang ekonomi, keuangan,
perbankan, atau hukum. Selain syarat warganegara,
kedua syarat yang terakhir dapat dipilah menjadi 2
(dua) kategori yaitu kategori kompetensi moralitas
dan kompetensi profesional. Untuk kompetensi
moralitas pengujiannya menjadi lebih abstrak
dibandingkan dengan kompetensi profesional. Oleh
sebab itu, jika kedua persyaratan tersebut masuk
dalam kualifikasi persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat akan menimbulkan kompleksitas tersendiri.
Apalagi persetujuan tidak semata-mata kata akhir,
akan tetapi juga mekanisme semenjak awal sampai
pengambilan keputusan di Dewan Perwakilan Rakyat.
Dapat saja terjadi bahwa seorang calon mempunyai
kapasitas profesional, akan tetapi bagaimanakah jika
proses pengujian kompetensi moralitas itu diwarnai
dengan tindakan-tindakan tercela seperti penyuapan
atau korupsi, akankah hal tersebut berpengaruh
kepada legitimasi calon? Sebaliknya, jika kompetensi
moralitas tidak menimbulkan persoalan, apakah
klausula undang-undang mengenai mempunyai
keahlian dan pengalaman utnuk kompetensi
profesional dapat diuji oleh Dewan Perwakilan Rakyat
sebagai lembaga politik?
Dalam pengisian jabatan tersebut, kategori yang
hendak dicari adalah the values an individualplaces
on the benefits of a central bank position. Seperti
dikatakan oleh Watson dan Dwaning, dalam kategori
ini maka, This is a series of decisions that takes into
account the effects switching jobs might have on
both his personal and professional lives.59 Dengan
adanya persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka
akan timbul suatu penilaian bahwa Rational
candidates seeking to maximize their electoral
prospects must go hunting where the ducks are,
tailoring their appeal to those prospective voters who
are both likely to turn out and susceptible to
conversion.60 Selanjutnya, The important question
here is whether the candidates know where there
are ducks and, having found them, if they can
distinguish the live birds from the decoys. More
specifically, if a potential candidate does not think
that there are enough voters in the area where he
lives who will support his candidacy, he will likely
choose not to run for office.61
Di dalam praktik, persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat menjalankan mekanisme fit and proper test
untuk mempertimbangkan calon Dewan Gubernur
yang diajukan oleh Presiden. Mekansime itu sendiri
tidak diatur dalam UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No.
3 Thn. 2004. Sementara dalam praktik, pelaksanaannya
merujuk kepada Peraturan Tata Tertib Dewan
Perwakilan Rakyat. Pelaksanaan fit and proper test
itu sebagai berikut: (i) Presiden menyampaikan surat
resmi yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan
Rakyat yang berisi daftar nama calon anggota Dewan
Gubernur sejumlah 2 (dua) calon untuk masing-
masing jabatan; (ii) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat
menerima surat tersebut dan kemudian menetapkan
secara resmi penerimaan pengusulan calon tersebut;
(iii) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat menindaklanjuti
dengan pemberitahuan kepada alat kelengkapan
terkait untuk melaksanakan fit and proper test dan
ditembuskan kepada tiap-tiap fraksi; (iv) Alat
kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat terkait
11
59 Lihat dalam: Watson, Richard A. and Rondal G. Downing, 2009, The Politics of the Bench and the Bar: Judicial Selection Under the Missouri Nonpartisan Court Plan. New York, John Wiley and Sons, Inc.
60 Ibid.
61 Ibid.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
-
kemudian melaksanakan kegiatan fit and proper
test yang biasanya terbuka untuk umum; (v) Alat
kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat terkait
kemudian menetapkan keputusan untuk menerima
atau menolak calon yang diusulkan oleh Presiden,
yang biasanya dengan pemungutan suara; (vi) Alat
kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat terkait
kemudian menyampaikan secara resmi keputusan fit
and proper test kepada Ketua Dewan Perwakilan
Rakyat dengan tembusan kepada alat kelengkapan
yang merencanakan kegiatan Dewan (Badan
Permusyawaratan); (vii) Ketua Dewan Perwakilan
Rakyat kemudian menyampaikan hasil keputusan
pencalonan tersebut dalam rapat paripurna menurut
Peraturan Tata Tertib untuk dimintakan persetujuan
kepada seluruh anggota Dewan, yang lazimnya
mengikuti apa yang sudah diputuskan alat kelengkapan
terkait; dan (viii) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat
menyampaikan keputusan Dewan kepada Presiden.
Selain perdebatan dari sisi legitimasi hukum mengenai
mekanisme dan pelaksanaan fit and proper test
persoalan juga mencakup isu batasan dan sifat
pengujian yang tidak tegas apakah mencakup
kompetensi moralitas atau kompetensi profesional
calon. Sebuah fit and proper test yang menilai
calon yang sudah memenuhi persyaratan Undang-
Undang untuk jabatan tertentu seperti anggota
Dewan Gubernur tentu lebih tepat apabila menguji
kompetensi moralitas guna menemukan calon yang
mempunyai kepribadian dan kecakapan yang tidak
tercela seperti di Filipina. Menurut Moh. Nadjib
Immanullah, pengujian itu mendekati mekanisme
hearing di Senat Amerika Serikat dalam menentukan
calon anggota The Federal Reserve System.62 Tidak
pada tempatnya, jika argumentasi ini diikuti, bahwa
fit and proper test oleh lembaga politik semacam
Dewan Perwakilan Rakyat merambah pengujian
terhadap penilaian komptensi profesional calon.
Akan tetapi, Hari Purwadi menolak jika sifat politik
kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat menjadi
dasar pendapat untuk menyatakan validitas fit and
proper test. Sebagai sebuah realitas politik yang
kemudian menjadi ketentuan Undang-Undang proses
semacam itu tidak perlu dinilai berlebihan terhadap
Dewan Perwakilan Rakyat. Banyak pengisian jabatan
di Indonesia yang memerlukan persetujuan parlemen,
akan tetapi persoalan yang sangat penting di
Indonesia adalah keterputusan bias ideology antara
calon yang diputuskan dengan kinerja. Hampir
persoalan itu tidak pernah muncul. Ideology resmi
partai nyaris tidak menjadi dasar untuk menguji
kapasitas calon yang nantinya akan tercermin dalam
putusan-putusan yang ditetapkan oleh calon.63
Ketentuan UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn.
2004 sendiri tidak memberikan penjelasan terhadap
makna persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat itu
sendiri. Sebagai perbandingan, ketentuan UU No. 3
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara dan UU No.
34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.64
Sejak pelaksanaan Undang-Undang Kepolisian
pertama kali pada masa pemerintahan Presiden
Megawati Soekarnoputri (2002), calon yang diajukan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjadi
Kepala Kepolisian Republik Indonesia hanya satu
orang dan diikuti kemudian pada masa pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika melakukan
pengisian jabatan pada tahun 2005, 2007, dan 2009.65
Sementara itu, Undang-Undang Tentara Nasional
Indonesia pertama kali dipraktikkan pada masa
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
untuk mengisi jabatan Panglima Tentara Nasional
12
62 Pendapat dalam Focus Group Discussion dalam rangka penelitian ini di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jumat, 23 Desember 2011.
63 Pendapat Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum.,Focus Group Discussion dalam rangka penelitian ini di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jumat, 23 Desember 2011.
64 Kedua undang-undang ini menindaklanjuti Ketetapan MPR No.VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
65 Untuk pertama kali, Presiden Megawati Soekarnoputri mengajukan Jenderal (Pol) DaI Bachtiar sebagai satu-satunya calon dan preseden ini diikuti oleh Presiden Yudhoyono ketika mencalonkan Jenderal (Pol) Soetanto (2005), Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Dhanuri (2007), dan Jenderal (Pol) Timur Pradopo (2010).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
-
Indonesia pada tahun 2005 dan kemudian pada tahun
2008 dan 2010.66 Sekalipun pada awalnya dikritik
oleh Dewan Perwakilan Rakyat karena hanya satu
calon, tetapi proses pemberian persetujuan selama
ini tidak pernah mengalami hambatan sama sekali.
Artinya persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
menjadi bermakna operaisonal ketika calon yang
diajukan oleh Presiden hanya satu.
Pengalaman sebelumnya berbeda dalam pengisian
jabatan Gubernur Bank Indonesia. Untuk mengisi
jabatan Gubernur BI, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mengajukan 2 (dua) orang calonAgus
Martowardoyo dan Raden Pardede--untuk
mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR). Pengajuan itu dilakukan pada 17 Februari dan
setelah melalui serangkaian fit and proper test, pada
18 Maret 2008 DPR menyatakan menolak terhadap
calon-calon yang diajukan oleh Presiden tersebut.
Kemudian Presiden mengajukan Boediono (Menteri
Koordinator Perekonomian) sebagai calon Gubernur
Bank Indonesia. Seperti sudah diramalkan oleh banyak
pihak, pencalonan Menteri Koordinator Perekonomian
Boediono untuk posisi Gubernur Bank Indonesia
berjalan mulus. Pada 8 April 2008 yang lalu, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) memberikan persetujuan
bagi profesor ekonomi Universitas Gadjah Mada itu
untuk menduduki posisi di lembaga yang berperan
penting sebagai otoritas moneter di republik ini. Atas
dasar pengalaman itu, maka ketika Boediono menjadi
Wakil Presiden (2009), untuk mengisi jabatan
Gubernur Bank Indonesia, Presiden mengajukan
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Darmin
Nasution sebagai satu-satunya calon pada Oktober
2010 yang lalu dan memperoleh persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat. Ada kemungkinan bahwa praktik
pengisian jabatan dengan mengajukan satu calon
akan menjadi konvensi ketatanegaraan.
Persoalan pengisian jabatan Gubernur Bank Indonesia
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat amat
erat dengan sifat independensi bank sentral. Dalam
kasus Indonesia, independensi itu harus dipahami
yang dapat saja menunjukkan ketidakmutlakan
independensi itusekurang-kurangnya terhadap 3
(tiga) aspek. Pertama, walaupun terdapat keterkaitan
antara indendensi dan rendahnya laju inflasi, tidak
berarti bahwa semakin independen suatu bank sentral,
inflasi yang rendah dapat dicapai. Kedua, kebijakan
moneter merupakan bagian dari kebijakan ekonomi
secara keseluruhan, meskipun terpisah namun
kebijaksanaan fiskal, moneter, ketenagakerjaan,
perdagangan, atau kebijaksanaan lainnya harus tetap
saling mendukung. Ketiga, dengan terpilihnya pejabat
Bank Sentral dalam mekanisme politik yang demokratis,
maka keputusan mengenai suku bunga, nilai tukar,
inflasi, dan hal-hal moneter lainnya akan mewakili
kepentingan masyarakat pada umumnya.
Mengingat independensi Bank Indonesia, pengisian
jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia yang
memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
memiliki rasionalitas yang amat terkait dengan status
kelembagaan bank sentral. Hanya saja ke depan
nampaknya perlu dilakukan perubahan mekanisme
itu guna menghindari politicking yang berlebihan.
Untuk posisi Gubernur dan Deputi Gubernur Senior,
hendaknya dapat dilaksanakan dalam satu paket
pemilihan. Presiden dapat menetapkan sendiri
mekanisme untuk pengusulan jabatan tersebut dan
masing-masing hanya satu calon untuk kemudian
dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Sementara itu, untuk anggota Dewan Gubernur,
dalam hal ini Deputi Gubernur dilakukan pengisian
jabatan secara berkala dan tidak perlu memerlukan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pengusulan
calon dilakukan oleh Gubernur Bank Indonesia kepada
Presiden dan kemudian ditetapkan oleh Presiden.
Pemisahan mekanisme yang berlaku untuk Gubernur
dan Deputi Gubernur Senior dengan anggota Dewan
Gubernur dilakukan minimal dengan 3 (tiga) alasan.
Pertama, mengingat kelembagaan Bank Indonesia
13
66 Presiden Yudhoyono mengajukan Marsekal Djoko Suyanto sebagai satu-satunya calon Panglima Tentara Nasional Indonesia (2005), lalu Jenderal Djoko Santoso (2008), dan Laksamana Agus Suhartono (2010).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
-
sebagai organ konstitusi dengan status yang
independen, maka tugas dan wewenang Gubernur
dan Deputi Gubernur amat strategis karena mengelola
sumber daya ekonomi dan politik sebagai otoritas
moneter menurut ketentuan Undang-Undang.
Oleh sebab itu, sebagai mekanisme keseimbangan
baru berdasarkan theory of combines process
intitutionalized, penting untuk dilakukan prosedur
pemilihan yang mengikuti proses demokrasi politik
terhadap kedua jabatan itu. Kedua, guna
menyeimbangkan antara kebutuhan organisasi dan
political appointee, dapat saja diatur bahwa calon
Gubernur diusulkan oleh Presiden, sedangkan kriteria
Deputi Gubernur Senior diusulkan oleh Presiden
dengan memperhatikan persyaratan bahwa calon
yang bersangkutan telah pernah atau sedangkan
menduduki jabatan sebagai Deputi Gubernur atau
jabatan tertentu di lingkungan Bank Indonesia yang
disetarakan dengan eselon I pada Kementerian/
Lembaga. Kedua, Deputi Gubernur amat dekat dengan
fungsi teknokratis bank sentral, sehingga pengisian
jabatan menggunakan pendekatan prinsip karir
dibandingkan political appointee. Oleh sebab itu,
penting untuk dipertimbangkan bahwa calon berasal
dari lingkungan jabatan Bank Indonesia yang
memenuhi syarat. Ketentuan-ketentuan tersebut
mensyaratkan peninjauan kembali terhadap ketentuan
Pasal 40 UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn.
2004.
D. Kesimpulan
Pengisian jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia
yang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat memiliki rasionalitas yang amat terkait dengan
status kelembagaan bank sentral yang di Indonesia
harus dipahami menurut 3 (tiga) aspek, yaitu pertama,
walaupun terdapat keterkaitan antara indendensi dan
rendahnya laju inflasi, tidak berarti bahwa semakin
independen suatu bank sentral, inflasi yang rendah
dapat dicapai. Kedua, kebijakan moneter merupakan
bagian dari kebijakan ekonomi secara keseluruhan
sehingga tidak artinya memisahkan kebijaksanaan
fiskal, moneter, ketenagakerjaan, perdagangan, atau
kebijaksanaan lainnya. Ketiga, dengan terpilihnya
pejabat Bank Sentral dalam mekanisme politik yang
demokratis, maka keputusan mengenai suku bunga,
nilai tukar, inflasi, dan hal-hal moneter lainnya akan
mewakili kepentingan masyarakat pada umumnya.
14
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
-
Abner S. Greene, Checks andBalances in an Era of Presidential Lawmaking, 1994, University Chicago Law Review Vol.
61.
Adam N. Steinman, A Constitution for Judicial Lawmaking, University of Pitsburgh Law Review, 2004, Vol. 64.
Adam Posen, Why Central Bank Independence Does Not Cause Low Ination: There is No Institutional Fix for Politics,
dalam Finance and the International Economy 7: The Amex Bank Review Prize Essays, Oxford: Oxford University
Press, 2003.
Amy J. Weisman, Separation of Powers in Post-Communist Government: A Constitutional Case Study of the Russian
Federation, American University Journal of International Law and Policy, 1995, Vol. 10.
Alison Marston Danner, Navigating Law and Politics: The Prosecutor of the International Criminal Court and the
Independent Counsel, Stanford Law Review, 2003, Vol. 20, No. 55.
Andrews Heywood, 2002, Politics, New York, Palgrave.
Abdulkadir Besar, 2002, Perubahan UUD 1945 Tanpa Paradigma, Jakarta, Penerbit Pusat Studi Pancasila.
Ahmad Syahrizal, 2006, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi Tentang Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian
Sengkera Normatif, Jakarta, Penerbit Pradnya Paramita.
Allan Drazen, Central Bank Independence, Democracy, and Dollarization, Journal of Applied Economics, Vol. V, No.
1, May 2002.
Arifin Firmansyah, et. al., , sebagaimana dikutip oleh Rizky Argama, 2007, Kedudukan Lembaga Negara Bantu Dalam
Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia: Analisis Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga
Negara Bantu, Skripsi. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Bernard Schwartz, Curiouser and Curiouser: The Supreme Courts Separation of Powers Wonderland, Notre Dame Law
Review, 1990, Vol. 65.
Bill Orr, Are the IMF and the World Bank on the right tack?, ABA Banking Journal, Marc 1990.
Bordo Michael D. dan Kydland Finn E., The Gold Standard As a Rule: An Essay in Exploration, Explorations, Economic
History, 2005, Vol. 32, No. 4.
Brian Z. Tamanaha, 2001, A General Jurisprudence of Law and Society, Oxford, OxfordUniversity Press.
DAFTAR PUSTAKA
15
-
Brian Z. Tamanaha, 2004, On The Rule of Law: History, Politics, Theory, Cambridge, Cambridge University Press.
Brucke Ackerman, The New Separation of Power, Harvard Law Review, No. 3 Vol. 113, Januari 2000.
B.S. Bernanke and F.S. Mishkin, Inflation targeting: A new framework for monetary policy?,The Journal of Economic
Perspectives, Vol.11, No. 2 1997.
Calvin Jillson dan Rick K. Wilson, 1994, Congressional Dynamics: Structure, Coordination, and Choice in the First American
Congress, 17741789, Stanford, Stanford University Press.
Carl Levin, The Independent Counsel Statute: A Matter of Public Confidence and Constitutional Balance, 1987, Hofstra
Law Review, No. 16.
C.D. Romer, Is the Stabilization of the Postwar Economy a Figment of the Data?, The American Economic Review, 2006,
Vol. 76, No. 3.
Christopher A. Ford, The Indigenization of Constitutionalism in the Japanese Experience, Case West of Journal
International Law, 1996, Vol. 28 No. 3.
Clive B. Briault, et.al., Independence and Accountability, Bank of England Working Papers Series, No. 49.
Cukierman, 1992, Central Bank Strategy, Credibility, and Independence, Cambridge: MIT Press.
Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta, Penerbit Konstitusi Press.
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta, Penerbit Konstitusi
Press.
John D. Huber and Charles R. Shipan, Deliberate Discretion? The Institutional Foundationsof Bureaucratic Autonomy,
New York, Cambridge University Press, New York, 2002.
John Ferejohn and Charles Shipan, Congressional Inuence on Bureaucracy, Journal of Law, Economics, and Organization,
1990, Vol. 6.
John Ferejohn, Judicializing Politics, Politicizing Law, Law & Contemporer Problems, 2002, Vol. 65.
Maqdir Ismail, Independensi Bank Sentral dalam UU dan Praktik di Indonesia, Jurnal Legislasi, Vol. 3, No. 3, September
2006.
Marc Flandreau, The French Crime of 1873: An Essay on the Emergence of the International Gold Standard, 1870-
1880, The Journal of Economic History, 1996, Vol. 56, No. 04.
M. Dawam Rahardjo et.al., 2001, Independensi BI dalam Kemelut Politik, Jakarta, Cidesindo.
16
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
-
Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-Dasar Pembentukannya Jilid 1, Jogjakarta,
Penerbit Kanisius.
Martin A. Rogoff, The French (R)evolution of 19581998, Columbia Journal of Europe, Vol. 3.
Martin S. Flaherty, The Most Dangerous Branch, 1988, Yale Law Journal No. 105.
P. L. Siklos, 2002, The Changing Face of Central Banking, Cambridge: Cambridge University Press.
R. Bade dan M. Parkin, 1984, Central Bank Laws and Monetary Policy, Department of Economics, University of Western
Ontario, Canada.
R.B. Barsky, The Fisher Hypothesis and the Forecastability and Persistence of Inflation, Journal of Monetary Economics,
2007, Vol. 19, No. 1.
R.J. Barro dan Gordon D. B. Gordon, A Positive Theory of Monetary Policy in a Natural-Rate Model, Journal of Political
Economy, 2003, Vol. 91.
Rett R. Ludwikowski, Mixed Constitutions Product of an East-Central European Constitutional Melting Pot, Birmigham
International Law Journal, 1998, Vol. 1 No. 16.
Robert Elgie, Democratic Accountabilyt and Central Bank Independence, Wets European Politics, 1998, Vol. 21, No.3.
Rubert Unger, 1976, Law and Modern Society, New York, Free Press.
Roberto Unger, 1983, The Criritcal Legal Studies Movement, Cambridge, Masssachusetts and London, Englan: Harvard
University Press.
Stanley Fisher, Central Bank Independence Revisited, AEA Paper and Proceeding, 1995, Vol. 85, No. 2.
Stephen G Cecchetti, Making Monetary Policy: Objectives and Rules, Oxford Review of Economic Policy, 2000, Vol.16,
No. 4.
Thomas Hart Benton, 1990, Abridgment of the Debates of Congress, from 1789 to 1856, D. Appleton and Company,
New York.
Sain Gailmard dan John W. Patty, Separation of Power, Information, and Beuracratic Structure, Working Paper Series
September 2008.
Skully Ahsan & Wickramanayake, Determinants of Central Bank Independence and Governance: Problems and Policy
Implications, JOAAG, Vol. 1. No. 1, 2006.
Soebagijo, 1980, Jusuf Wibisono: Karang di Tengah Gelombang, Jakarta, Penerbit Gunung Agung.
17
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
-
Stanley Elkins dan Eric McKittrick, 1993, The Age of Federalism: The Early American Republic: 1788-1800, New York,
Oxford University Press.
Stephen L. Carter, The Independent Counsel Mess, Harvard Law Review, Vol. 102, 1988.
Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung, Penerbit Alumni.
Sudarwan Darwin, 2002, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung, Pustaka Setia.
Suri Ratnapala et al., 2007, Australian Constitutional Law: Commentary and Cases, Melbourne, Oxford University Press.
Thomas M. Cooley, 1998, The General Principles of Constitutional Law, Boston, LittleBrown.
Thomas W. Merrill, The Constitution and the Cathedral: Prohibiting, Purchasing, and Possibly Condemning Tobacco
Advertising, New York University Law Review, Vol. 93, 1999.
Thomas O. Sargentich, The Contemporary Debate about Legislative-Executive Separation of Powers, Cornell Law
Review, 1997, Vol. 72.
T.J. Jordan, Disinflation Costs, Accelerating Inflation Gains, and Central Bank Independence, Weltwirschaftliches Archive
Vol 133.
Ubdaibir S. Das, et.al., Financial Regulators, A Quartley Magazine of the IMF, 2002.
V.D. Grilli Masciandaro dan G. Tabellini , Institutions and Policies, Economic Policy , 1991, Vol. 6.
V. Grilli, D. Masciandaro, dan G. Tabellini, Political and Monetary Institutions and Public Financial Policies in the Industrial
Countries, Economic Policy, 1991, Vol. 6.
Wahyudi Djafar, Menegaskan Kembali Komitmen Negara Hukum: Sebuah Catatan Atas Kecenderungan Defisit Negara
Hukum di Indonesia, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 5, Oktober 2010.
William B. Gwyn, The Indeterminacy of Separation of Powers, George Washington Law Review, 1999.
William Poole, Central Bank Transparancy: Why and How?, The Philadelphia Fed Policy Forum Federal Reserve Bank
of Philadelphia, 2001, No. 30.
18
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
-
A. Pendahuluan
Krisis ekonomi yang terjadi baik dalam skala nasional
maupun internasional, kerap melahirkan krisis multi
dimensi, baik dari sektor perbankan, keuangan,
maupun terhadap biaya sosial yang timbul dan
berimbas pada kepercayaan masyarakat terhadap
perbankan nasional. Krisis ekonomi yang menghantam
Asia di tahun 1997-1998 misalnya, dimana krisis ini
dipicu oleh jatuhnya nilai mata uang Bath di Thailand
yang kemudian berimbas pada penambahan beban
perekonomian Indonesia sebesar 50% dari Produk
Domestik Bruto (PDB) dan pertumbuhan ekonomi
minus 13%. Sementara dari segi sosial, diperlukan
waktu yang tidak singkat untuk mengembalikan
perekonomian dan kepercayaan masyarakat terhadap
perbankan ke kondisi sebelum krisis.3
Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 2008, kembali
terjadi krisis ekonomi dunia yang merupakan domino
effect dari krisis kredit perumahan di Amerika Serikat
yang menggelembung (bubble) dan mengakibatkan
kesulitan solvabilitas serta berdampak pada
dilikuidasinya berbagai lembaga keuangan di negara-
negara besar yang ada di dunia, yang antara lain
menyebabkan kebangkrutan ratusan bank, perusahaan
sekuritas, reksadana, dana pensiun dan asuransi. Krisis
kemudian merambat ke belahan Asia terutama negara-
negara seperti Jepang, Korea, China, Singapura,
Hongkong, Malaysia, Thailand termasuk Indonesia.4
3 Tim FE UI dan FEB UGM, 2010, Alternatif Struktur OJK yang Optimum: Kajian Akademik, Draft III, Jakarta, hal. 1.
4 Tim Asistensi Sosialisasi Kebijakan, 2010, Buku Putih : Upaya Pemerintah Dalam Pencegahan dan Penanganan Krisis, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Jakarta, Hal. 12.
19
OUTLOOK PENGAWASAN PERBANKAN PASCA TERBENTUKNYA OTORITAS JASA KEUANGAN1
Oleh :
Rio Fafen Ciptaswara, S.H., M.H.2
Abstrak
Blurry effect di perbankan dapat menghasilkan potensi tidak terdeksinya risiko finansial yang dapat terjadi di
dalam grey area grup konglomerasi tersebut apabila pengawasan yang dilakukan masih bersifat sub sektoral, dan oleh
karenanya dapat membahayakan tingkat kesehatan sistem keuangan nasional di kemudian hari.Dengan adanya blurry
effect ini, maka diperlukan suatu bentuk pengawasan yang terintegrasi antara perbankan, pasar modal dan asuransi
serta lembaga keuangan non bank lainnya untuk meminimalisir risiko dari fenomena tersebut. Kunci keberhasilan Otoritas
Jasa Keuangan adalah adanya mekanisme koordinasi yang baik antar lembaga terkait. Selain itu, untuk mencapai sasaran
dalam mencegah dan menyelesaikan krisis, sharing information antar otoritas sangat diperlukan baik dalam kondisisi
normal maupuan kondisi krisis.
Kata kunci: pasca OJK, pengawasan perbankan.
1 Resume dari Penulisan Hukum milik Penulis yang berjudul Potensi Terjadinya Konflik antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank Indonesia dalam Pengaturan dan Pengawasan Perbankan Indonesia, pada Agusutus 2012.
2 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
-
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Kedua krisis tersebut menyadarkan pemerintah bahwa
salah satu penyebab runtuhnya perekonomian
Indonesia saat itu adalah karena dengan sejumlah
tugas yang dimiliki Bank Indonesia khususnya di
bidang moneter, mengakibatkan terpecahnya fokus
Bank Indonesia antara kebijakan moneter, kestabilan
nilai rupiah dan pengawasan perbankan, sehingga
kinerja Bank Indonesia tidak menjadi optimal ketika
menangani krisis. Hal ini seperti inilah yang kemudian
menjadi alasan dirumuskannya suatu konsep
pemisahan tugas pengawasan perbankan nasional
dari Bank Indonesia selaku Bank Sentral kepada suatu
Lembaga Pengawas Jasa Keuangan5, dengan tujuan
agar Bank Indonesia dapat fokus untuk melakukan
tugasnya dalam pengaturan kebijakan moneter.
Disisi lain, pesatnya pertumbuhan dan kemajuan di
bidang teknologi informasi dan inovasi finansial, telah
menciptakan kompleksitas kegiatan jasa keuangan
yang dinamis dan saling terkait antar masing masing
subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun
kelembagaan, sehingga mendorong pertumbuhan
entitas bisnis menjadi suatu bentuk konglomerasi
yang menawarkan berbagai produk keuangan di lini
bisnis perbankan, pasar modal, asuransi maupun
lembaga pembiayaan non bank lainnya secara
sekaligus. Hal seperti ini kemudian menimbulkan
suatu blurry effect di dunia bisnis perbankan sehingga
dapat menghasilkan potensi tidak terdeksinya risiko
finansial yang dapat terjadi di dalam grey area grup
konglomerasi tersebut apabila pengawasan yang
dilakukan masih bersifat sub sektoral, dan oleh
karenanya dapat membahayakan tingkat kesehatan
sistem keuangan nasional di kemudian hari6.
Sejalan dengan hal tersebut, Prof. Donato Masciandaro
mengatakan bahwa The blurring effect causes two
interdependent phenomena: (1) the emergence of
financial conglomerates, which is likely to produce
important changes in the nature and dimensions of
the individual intermediaries, as well as in the degree
of consolidation of the banking and financial industri;
and (2) growing securitization of the traditional forms
of banking activity and the proliferation of sophisticated
ways of bundling, repackaging, and trading risks,
which weaken the classic distinction between equity,
debt, and loans, bringing changes in the nature and
dimensions of the financial markets7. Dengan adanya
blurry effect ini, maka diperlukan suatu bentuk
pengawasan yang terintegrasi antara perbankan,
pasar modal dan asuransi serta lembaga keuangan
non bank lainnya untuk meminimalisir risiko dari
fenomena tersebut.
Selanjutnya Prof. Donato Masciandro juga
mengungkapkan bahwa dengan diperlukannya suatu
pengawasan yang terintegerasi, maka muncul suatu
perdebatan terkait bentuk lembaga pengawasnya,
yakni berupa Multi Financial Authorites ataukah
Single Financial Authority, dan menurut beliau, apabila
melihat kesuksesan beberapa negara Eropa dan Asia,
maka bentuk Single Financial Authority merupakan
solusi yang terbaik.8
Sehubungan dengan hal tersebut, di Indonesia sendiri
pembentukan Financial Authority di amanatkan dalam
Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun
1999 jo. Undang-undang Nomor 3 tahun 2004,
dimana dikatakan bahwa; Tugas mengawasi Bank
akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor
jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan
Undang-undang, yakni Undang-undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Namun urgensi dan eksistensi Otoritas Jasa Keuangan
ini kemudian menjadi dipertanyakan, mulai dari segi
20
7 DonatoMasciandaro, 2005, Financial Supervision Architectures And The Role Of Central, McGeorge School of Law, University of the Pacific, San Fransisco, hal. 1.
8 Ibid, hal. 2
5 Vide Pasal 34 UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.
6 Tim Panitia Antar Departemen RUU tentang OJK, 2010, Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan, Jakarta, hal. 9.
-
legalitas Otoritas Jasa Keuangan (yang seharusnya
terbentuk selambat-lambatnya 31 Desember 20109
namun pada praktiknya baru terbentuk pada 22
November 2011), hingga manfaat atas dibentuknya
lembaga ini.
Beberapa pakar ekonomi dan perbankan menyatakan
bahwa pembentukan Otoritas Jasa Keuangan tidaklah
memberikan manfaat yang signifikan, salah satunya
adalah karena pembentukan Otoritas Jasa Keuangan
tentunya akan berpotensi menimbulkan konflik
dengan Bank Indonesia selaku Bank Sentral. Hal
tersebut tercermin dalam Undang-undang Otoritas
Jasa Keuangan yang memisahkan antara kewenangan
microprudential dan macroprudential.
Bank merupakan lembaga keuangan yang sangat
dominan dalam transmisi kebijakan moneter, sehingga
Bank Sentral dalam menjalankan fungsi moneternya,
haruslah memiliki informasi yang cukup atas
pertumbuhan dan pergerakan bank di negaranya.
Apabila Bank Sentral tidak mendapatkan cukup
informasi, maka ketika terjadi krisis, respon yang
dikeluarkan oleh Bank Sentral pun akan menjadi
lambat, sementara Otoritas Jasa Keuangan pun pasti
tidak dapat berbuat banyak karena fungsi Lender of
Last Resort berada di tangan Bank Sentral. Alhasil,
dengan pemisahan kewenangan seperti itu, maka
dikhawatirkan kinerja kedua lembaga tersebut tidak
akan optimal.
Selain itu, Mahiro Kawai dan Michael Pomerleano
mengemukakan bahwa The Central Bank of 48
Countries (57% of total) have the authority of banking
supervison and of these 48 countries, 39 (81%)
are developing and emerging economies.10
Dari pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa bentuk
pengawasan yang paling banyak dipilih oleh negara
negara berkembang adalah fungsi pengawasan
yang tetap berada di bawah Bank Sentral.
Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan karakteristik
struktur finansial antara negara berkembang dengan
negara maju seperti adanya penggunaan sistem
perbankan, dimana pada negara maju seperti Eropa
dan Jepang, menggunakan Universal Banking System
sehingga memerlukan suatu bentuk pengawas yang
terintegerasi. Sementara di negara-negara berkembang
seperti di ASEAN, lebih mengandalkan Commercial
Banking System sehingga tidak diperlukan lembaga
pengawas yang mengawasi jasa keuangan secara
terintegerasi.
Disisi lain, Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan
juga menimbulkan suatu masalah tersendiri. Hal ini
dapat dilihat di dalam Pasal 37 ayat (1) dan (2) yang
pada pokoknya mengatur adanya kewajiban pelaku
kegiatan di sektor keuangan (salah satunya adalah
bank) untuk membayar pungutan kepada Otoritas
Jasa Keuangan selaku pengatur dan pengawas jasa
keuangan. Adanya kewajiban ini menjadi suatu
permasalahan tersendiri, karena bagaimana mungkin
pengawasan perbankan dapat menjadi efektif apabila
Otoritas Jasa Keuangan selaku pengawas memungut
bayaran dari obyek yang diawasi, hal ini sangat
berpotensi menimbulkan terjadinya moral hazard
antara Otoritas Jasa Keuangan dan bank, sehingga
sangat dikhawatirkan nantinya pengawasan yang
dilakukan akan berupa pengawasan yang tebang
pilih dan tidak Independen. Alhasil, pengawasan
yang semula ditujukan untuk meringankan tugas Bank
Indonesia, hanya akan menjadi suatu permasalahan