budaya maumere sebagai metode pendekatan penyuluhan pertanian
DESCRIPTION
Budaya Maumere Sebagai Metode Pendekatan Penyuluhan PertanianTRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan atau menyusun
makalah yang berjudul Kearifan Budaya Lokal Sebagai Model Pendekatan
Metode Penyuluhan Pertanian ini dengan baik.
Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk
menyelesaikan mata kuliah Metode Penyuluhan Pertanian 1. Dalam penulisan
makalah ini, tidak sedikit hambatan yang dihadapi, namun penulis menyadari
bahwa kelancaran dalam menulis makalah ini tidak lain berkat bantuan,
dorongan, dan bimbingan dari dosen, orang tua, serta teman-teman, sehingga
kendala-kendala yang dihadapi dapat teratasi dengan baik. Oleh karena itu
penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu
dalam penulisan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari banyak kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun dalam materi yang disajikan. Mengingat
kemampuan yang dimiliki sangat terbatas,untuk itu kritik dan saran dari semua
pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua sehingga tujuan yang
diharapkan dapat tercapai.
Malang, Desember 2014
Penulis
Makalah Kearifan Budaya Lokal – Sako Sengi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................................ii
BAB 1. PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.1. Latar Belakang....................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah..............................................................................................3
1.3. Tujuan Penulisan................................................................................................3
1.4. Manfaat Penulisan.............................................................................................3
1.5. Metode Penulisan..............................................................................................3
BAB 2. PEMBAHASAN....................................................................................................4
2.1. Konsep Budaya Lokal..........................................................................................4
2.2. Sako Seng...........................................................................................................4
2.3. Peranan Penyuluh Terhadap Kearifan Budaya Lokal..........................................6
BAB 3. PENUTUP............................................................................................................7
3.1. Kesimpulan.........................................................................................................7
3.2. Saran..................................................................................................................8
LAMPIRAN..........................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................10
Makalah Kearifan Budaya Lokal – Sako Sengii
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Budaya merupakan seni menggabungkan kebiasaan dalam masyarakat
yang menjadi kaidah aturan dalam kehidupan sosial. Kaidah ini telah berjalan
sepanjang sejarah manusia yang menjadi warisan luhur generasi terdahulunya.
Budaya telah menjadi cermin kehidupan dalam masyarakat untuk melakukan
segala tindak kehidupan. Setiap daerah memiliki budaya yang berbeda dan hal
ini menjadikan budaya terlihat unik. Budaya di Indonesia sangat beragam
dikarenakan negara yang berbentuk kepulauan dengan begitu banyak suku,
agama, dan ras. Terdapat lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa di
Indonesia, atau tepatnya 1.340 suku bangsa. Keberagaman dalam budaya
Indonesia tercermin pada bagian budaya-budaya lokal yang berkembang di
masyarakat. Keragaman tersebut tidak saja terdapat secara internal, tetapi juga
karena pengaruh-pengaruh yang membentuk suatu kebudayaan. Perkembangan
budaya lokal di setiap daerah tentu memiliki peran yang signifikan dalam
meningkatkan semangat nasionalisme, karena kesenian budaya lokal tersebut
mengandung nilai-nilai sosial masyarakat.
Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu provinsi di timur Indonesia
yang berbentuk kepulauan dengan banyak suku mendiaminya. Setiap suku di
NTT mempunyai budaya masing-masing, tetapi banyak diantaranya saling
bermiripan, bahkan ada pula yang sama. Maka untuk mengidentifikasi budaya
masing-masing suku, dilakukan suatu kajian yang diambil dari komunitas –
komunitas suku, menurut keadaan yang konkret. Hasilnya ialah adanya
rangkuman nilai budaya tradisional yang khas dan bersifat sosial, harmonis,
mistis, magis, takhayul, simbolis, etis dan religius . Sifat – sifat khas manusia
NTT ini sudah ada pada para leluhur yang kemudian diwariskan secara turun
temurun.
Dengan berpikir atau menghayati nilai – nilai tradisional tersebut tidaklah
berarti bahwa manusianya juga primitif sebagai manusia purba, yang dunianya di
dominasi oleh perbuatan-perbuatan gaib dan penuh rahasia serta lebih terselami
oleh rasa ketimbang akal. Dahulu, kini dan nanti, manusia NTT berkarya dengan
akalnya, bukan hanya dengan perasaannya, meski ia tradisionalis.
Makalah Kearifan Budaya Lokal – Sako Seng1
Sebuah kata adat Sikka yang agaknya dapat merangkul seluruh unsur –
unsur yang dominan dari adat budaya NTT ialah: “kula wiit ganu wulang deri
lepo, kara wiit ganu lero moang gera woga”. Artinya: berlakulah bagai ibu (bulan)
dan bapa (matahari) yang tetap menjalankan tugasnya dan mantap berada di
kediamannya. Makna padanannya ialah tetap menjaga kelestarian kehidupan,
keadilan dan perdamaian.
Budaya yang merupakan warisan luhur telah bersentuhan langsung
dalam berbagai aspek kehidupan seperti pendidikan, politik, sosial, ekonomi,
pertanian dan sebagainya. Budaya pertanian atau yang dikenal dengan istilah
Agriculture merupakan budaya yang masih awet meski kemajuan teknologi terus
menghantam keras. Sebagai kebudayaan yang masih bertahan tentunya menjadi
potensi yang diandalkan karena mengandung nilai kearifan lokal. Salah satu
budaya Masyarakat Maumere (Sikka) Provinsi Nusa Tenggara Timur yang masih
kental adalah Budaya Sako Seng. Sako Seng merupakan budaya gotong royong
masyarakat Maumere sebelum menjelang musim tanam. Sako Seng telah
menjadi kearifan budaya lokal dan tentu ini menjadi potensi yang baik untuk
pendekatan dalam metode penyuluhan pertanian.
Makalah Kearifan Budaya Lokal – Sako Seng2
1.2. Rumusan Masalah
Penulisan mengemukakan beberapa masalah dalam makalah ini, yaitu :
1. Konsep budaya lokal!
2. Pengertian Sako Seng!
3. Peranan penyuluh terhadap kearifan budaya lokal (Sako Seng)
1.3. Tujuan Penulisan
Dalam penulisan makalah, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai, yaitu :
1. Memperluas wawasan penyuluh terhadap budaya setempat
(budaya masyarakat Sikka)
2. Meningkatkan keterampilan penyuluh dalam mendesain materi
penyuluhan berbasis budaya lokal
3. Agar materi penyuluhan dapat menyentuh kebutuhan masyarakat,
mudah dipahami masyarakat setempat, lebih praktis dan lebih tepat
sasaran.
1.4. Manfaat Penulisan
Manfaat dalam penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui apa saja
kearifan budaya lokal masyarakat setempat yang masih terpelihara dan juga
sebagai tolak ukur bagi seorang penyuluh dalam menyusun model metode
penyuluhan yang akan digunakan sesuai dengan kebudayaan setempat. Selain
itu juga agar materi yang disampaikan mudah dipahami oleh penyuluh karena
berbasis kebudayaan lokal.
1.5. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini yaitu metode
deskripsi analisi. Metode tersebut merupakan metode yang memberikan
gambaran objektif serta membahasnya secara lengkap yang dilakukan dengan
mengumpulkan data dari buku dan website.
Makalah Kearifan Budaya Lokal – Sako Seng3
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1. Konsep Budaya Lokal
Secara umum budaya diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan
budi dan akal manusia. Jadi budaya daerah adalah suatu sistem atau cara hidup
yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah daerah dan diwariskan dari
generasi ke generasi. Budaya daerah terbentuk dari berbagai unsur,
termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa,
perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni serta bahasa.
Kearifan Lokal secara umum diartikan sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai,
pandangan-pandangan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,
bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Ciri-cirinya adalah:
Mampu bertahan terhadap budaya luar
Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam
budaya asli
Mempunyai kemampuan mengendalikan
Mampu memberi arah pada perkembangan budaya
Dengan demikian budaya dan kearifan lokal adalah hal yang saling berkaitan
satu sama lain.
2.2. Sako Seng
Sako seng merupakan Gotong Royong Model masyarakat Maumere yang
berlangsung pada saat musim tanam tiba. Sako seng itu adalah sebuah tradisi
masyarakat Maumere sejak zaman dulu. Secara etimologi Sako seng berarti
( sako = cangkul, seng = gotong royong). Jadi Sako seng berarti mencangkul
bersama-sama.
Tradisi ini terjadi menjelang musim hujan ketika para petani akan memulai
menggarap ladangnya. Biasanya secara bergilir mereka bergotong royong.
Diusahakan selama sehari satu ladang bisa selesai dikerjakan bersama. Sako
seng ini bersifat sosial, hanya dari mereka yang mendapat giliran, mereka
menyediakan makanan untuk makan pagi, makan siang dan makan sore. Untuk
makan pagi biasanya umbi-umbian dan sayur-sayuran, misalnya keladi
Makalah Kearifan Budaya Lokal – Sako Seng4
(rose,tales), ubi kayu (aiohu, singkong), ubi jalar (tuka), pisang (mu’u), daun
pepaya (pa’du roun) sayur, daun singkong sayur.
Makan siang biasanya nasi jagung dengan lauk-pauk ikan atau ayam
kampung digulai. Sedang makan malam itu semacam pesta kecil dimana tuan
rumah menghidangkan menu makanan bermacam-macam, misalnya nasi , ayam
(bahkan babi), moke (tuak, yaitu minuman wajib, jenis minuman yang disuling
dari lontar), gulai, ikan, buah-buahan. Untuk malam hari tuan rumah menyiapkan
makanan tambahan buat mereka yang di rumah/tetangga, sejumlah mereka
yang hadir. Semuanya mendapat bagian.
Yang wajib hadir kerja di sako seng adalah warga komunitas (gabungan)
kurang lebih 20-25 kepala keluarga. Mereka ini membabat rumput di ladang
tersebut, kemudian mencangkul serta menyiapkan lahan untuk ditanami. Barulah
tuan rumah menyiapkan bibit untuk ditanami. Saat mau menanam, biasanya
diadakan sesaji disebut tung piong, ini menandakan bahwa keluarga tak lupa
dengan arwah leluhur, bila ada acara-acara seperti ini. Tung piong ini wajib
memakai resep hati, misalnya hati ayam, hati babi, hati kambing, dll.
Menyiangi rumput bersama-sama juga sejenis sako seng. Ini juga
menjadi kebiasaan yang sama dengan pengolahan lahan tadi. Masa panen.
Untuk memanen juga memakai kebiasaan dalam sako seng. Catatan: kegiatan
sako seng ini sangat bermanfaat di masyarakat karena dengan ini masyarakat
membangun persaudaraan sejati, termasuk menjalin cinta antara muda-mudi.
Budaya sako seng juga tidak terlepas dari musyawarah. Musyawarah
biasa dilakukan sebelum kegiatan gotong royong dilaksanakan dan juga sebelum
suatu kegiatan penting dilaksanakan. Masyarakat Sikka menjelaskannya lewat
ungkapan-ungkapan seperti “bibo babong” dan “kula kameng”. Untuk
menekankan kebersamaan dalam musyawarah, dipakai pula dengan kata “wiit”
yang mengacu ke kata kita dan kata “wiing” yang merujuk ke kata kami, kamu
atau mereka. Jadi “babong wiit”, atau “kula kameng wiit” diartikan dengan kita
sama – sama berunding. Sedangkan “babong wiing” atau “kula kameng wiing”
artinya kami (kamu atau mereka) bersama berembuk.
Makalah Kearifan Budaya Lokal – Sako Seng5
2.3. Peranan Penyuluh Terhadap Kearifan Budaya Lokal
Dalam melakukan kegiatan penyuluhan, seorang penyuluh harus
memperhatikan kondisi budaya daerah yang disuluh. Dengan mengetahui
budaya daerah, akan mempermudah penyuluh dalam memberikan penyuluhan.
Penyuluh lebih gampang memilih metode dan materi yang pas untuk disuluhkan.
Budaya sako seng merupakan budaya asli masyarakat Maumere. Budaya ini
melambangkan jiwa sosial dalam hidup bermasyarakat. bila jiwa sosial telah
terbentuk, maka mudah bagi penyuluh untuk membentuk kelembagaan
kelompok tani. Kelembagaan kelompok tani bertujuan agar dalam
menyampaikan penyuluhan tidak terlalu memakan waktu lama dan juga antar
petani dan penyuluh bisa saling bertukar pikiran, berbagi wawasan seputar dunia
pertanian dan sebagainya. Selain itu, dalam pengambilan keputusan akan dilalui
jalur musyawarah yang tentunya akan berpihak kepada kepentingan petani.
Sako seng yang merupakan kearifan budaya lokal sangat membantu dalam
penyuluh menyusun metode dan materi yang akan disampaikan. Metode dan
materi yang dipilih akan didesain seapik mungkin sehingga mudah diserap oleh
petani.
Makalah Kearifan Budaya Lokal – Sako Seng6
BAB 3. PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pada dasarnya cara berpikir sosial – kolektif masyarakat Sikka umumnya
bertujuan memupuk persatuan, “naha peta plolo, wate, ha, loat”, supaya kita
semua bersehati, atau supaya kerukunan dan perdamaian suku tetap terjaga. Di
dalam peribahasa dikatakan “ai ganu ata ruli, tali ganu ,ata pete”, dimana ikatan
persatuan dilambangkan sebagai kayu yang di berkas atau tali yang terikat. Di
dalam kesulitan, kerukunan digambarkan dalam harapan seperti“lohor wawa di
hama – hama, bawak papang di moga – moga “, yang berarti kalau turun pun
bersama – sama, bila tersandung pun berbarengan.
Di bidang ekonomi, unsur persatuan nampak jelas dalam kebun bersama.
Tahap pertama membuka kebun baru, yaitu “opi he, ,uma tulang”, melibatkan
banyak orang, karena bukan hanya belukar, tetapi juga pohon – pohon pun
harus dibersihkan. Banyak orang diajak yang dalam bahasa Sikka disebut “leta
ata”. Mereka datang dengan sukarela untuk membantu, karena pada gilirannya
mereka pun akan di bantu “lakang wiing”. Bila semua sampah sudah di bakar
atau “holo hening”, mulailah waktunya di cangkul yang disebut “sako”.
Dibentuklah arisan kebun, dimana kebun digarap secara bergiliran satu setelah
yang lain. Disini tuan kebun menyiapkan makanan. Ada sistem lain dalam
kelompok, dimana setiap anggota menyumbang makanan dan ini berdasarkan
mufakat bersama.
Dari tulisan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Bahwa nilai – nilai budaya masyarakat Sikka yang dituangkan dalam
setiap situasi maupun peristiwa yang terjadi pada dasarnya adalah
ungkapan / penghayatan dari sifat sosial kolektif, dan dari sosial –
kolektif melahirkan musyawarah mufakat. Sehingga dengan
demikian proses sosialisasi, hubungan yang harmonis dalam
masyarakat akan selalu ada dan terus terjadi namun tak dapat
dipungkiri kualitasnya semakin tergerus perubahan zaman.
Dalam hal ini saya sebagai seorang penyuluh dapat melakukan
“pendekatan” berbasis budaya lokal karena akan memperoleh
dampak dari kegiatan penyuluhan secara lebih optimal.
Makalah Kearifan Budaya Lokal – Sako Seng7
3.2. Saran
Dalam setiap melakukan metode penyuluhan, seorang penyuluh perlu
memasukan unsur kebudayaan didalamnya, karena merupakan cerminan pribadi
masyarakat. Budaya harus terus dipelihara melalui berbagai sektor usaha
khususnya bidang pertanian.
Makalah Kearifan Budaya Lokal – Sako Seng8
LAMPIRAN
(Gambar 1) Ilustrasi Budaya Sako Seng di Maumere
(Gambar 2) Sako Seng Masyarakat Maumere
Makalah Kearifan Budaya Lokal – Sako Seng9
DAFTAR PUSTAKA
Bere Hernimus. “Praktek gotong – royong, upaya memelihara nilai – nilai
budaya”,
Ledalero, 1986
Lambo Pareira Yohanes. “Sosialitas pada masyarakat Sikka”, Ledalero, 1979
Stephanus Ozias Fernandez. “Kebijakan manusia Nusa Tenggara Timur dulu
dan kini”,
STFK Ledalero, 1990
http://intishar1994.wordpress.com/2013/04/25/kearifan-budaya-lokal-cerminan-
perilaku-budaya-masyarakat/
http://roysrasta.wordpress.com/2008/10/02/hello-world/
Makalah Kearifan Budaya Lokal – Sako Seng10