buku natsir

Upload: antokna

Post on 06-Jul-2015

322 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Islam di Tengah Arus Tradisi Lokal

LANDASAN PIJAK PEMIKIRAN KEAGAMAANNYA1 Oleh : Drs. Risan Rusli, MAIslam is indeed much more than a system of theology, it is a complete civilization ( H.A.R. Gibb)2

MOHAMMAD NATSIR (1908-1993):

A. Pendahuluan Dalam sejarah Pembaharuan Islam di Indonesia pada abad ke-20, Mohammad Natsir (selanjutnya disebut Natsir) adalah salah seorang pemimpin yang dipandang penting dalam berbagai bidang kehidupan, seperti pendidikan, politik dan dakwah Islam. Ia dipandang sebagai tokoh pembaharu Islam di Indonesia yang multidimensional dan kompleks melalui awal aktifitasnya pada Persatuan Islam (Persis) di Bandung, yang merupakan salah satu kota yang berpengaruh dalam awal pergerakan Islam di Indonesia.3 Usaha dan kegiatan Natsir dimulai dari dunia pendidikan yang, tampak dengan berdirinya Lembaga Pendidikan Islam (Pendis),4 pada tahun 1930. Lembaga ini merupakan suatu terobosan baru dengan memasukkan pengetahuan umum ke dalam kurikulum pendidikan agama (Islam)nya, seperti bahasa Inggris atau bahasa Belanda5, yang banyak ditentang oleh ulama Indonesia yang pada saat itu memandang haram hukumnya belajar bahasa Belanda, berdasi dan bepantalon disebabkan menyerupai orang-orang kafir.6 Pandangan ulama tersebut didasarkan kepada ajaran agama man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum (siapa yang menyerupai kaum kafir, maka ia termasuk dalam kekufuran). Terlepas dari keberanian Natsir dalam melakukan ijtihad terhadap tradisi yang berkembang saat itu, bagi Natsir Islam tidak mengenal antagonisme antara Barat dan Timur. Islam hanya mengenal antagonisme antara haq dan batil. Semua yang haq akan ia terima, biarpun datangnya dari Barat7 dan semua yang batil akan ia tolak dan singkirkan, walaupun datangnya dari Timur.8 Di samping itu, baginya, Islam adalah segala-galanya yang dapat Makalah disampaikan dalam diskusi ilmiah pada Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan (LSIK) Jakarta tanggal 16 Mei 2001.2 1

Kalimat ini sering kali dikutip natsir dalam berbagai tulisannya, serperti dalam buku Capita Selecta, Kebudayaan Islam. 3 Di samping Bandung dengan Ahmad Hassan dan Natsir-nya adalah Minangkabau dengan DR. Abdullah Ahmad (1878-1933 M), Haji Abdul Karim Amarullah (1879-1945 M) dan Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860-1947 M) sebagai pelopor; Jakarta dengan organisasi Jamiat Khair dan al- Irsyad; Yokyakarta dan Surakarta dengan Sarekat Dagang Islam (1911) yang didirikan oleh KH. Samanhudi (1868-1956 M) dan Muhammadiyah (1912) yang didirikan oleh KH.Ahmad Dahlan (1893-1923 M). Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, Grafiti Pers, Jakarta, 1987, hal. 11. Selanjutnya disebut Partai Islam. 4 Lembaga Pendidikan Islam (Pendis) ini didirikan oleh organisasi Persatuan Islam (Persis) yang diarsiteki oleh Natsir pada tahun 1930. Selanjutnya Pendis mendirikan beberapa jenis sekolah yang antara lain: Taman Kanak-kanak dan Hollands Inlandse School (HIS) tahun 1930, Meer Uitghebreid Lageer Onderwijs (MULO) tahun 1931, dan Hollands Inlandse Kweekschool (HIK) tahun 1932. Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (selanjutnya Gerakan Modern...), LP3ES, Jakarta, 1990, hal. 91. 5 Deliar Noer, Gerakan Modern, hal. 29315 101. 6 M. Natsir, Capita Selecta 2, Pustaka Pendis, Jakarta, T.th, hal. 115. Selanjutnya disebut Capita 2 7 Barat diidentikan dengan pengetahuan modern yang berasal dari Eropa dan Timur diidentikkan dengan kebudayaan dan pengetahuan yang berasal dari tradisi Islam.

Mohammad Natsir (1908-1993): Landasan Pijak Pemikiran Keagamaannya

1

Islam di Tengah Arus Tradisi Lokal

mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat, sebagaimana yang telah dilakukan oleh nabi Muhammad di Madinah. Dalam dunia dakwah Islam, ia memimpin Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia sejak didirikan pada tanggal 26 Februari 1967 sampai wafatnya tanggal 6 Februari 1993/ 14 Syaban 1413 H di Jakarta. Dalam dunia internasional ia pernah menjadi Wakil Presiden Mutamar Alam Islami dan anggota terhormat Majlis Tasisi Rabithah Alam Islami, serta mendapat gelar Doktor Honoris Causa (HC) dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan Universitas Sience Penang dalam bidang pemikiran Islam pada tahun 1991 serta Hadiah Penghargaan International Faisal sebagai penghormatan atas pengabdiannya terhadap Islam dan umatnya pada tahun 1980. Pemikirannya meninggalkan pengaruh, tidak hanya di tanah air Indonesia, tetapi juga meluas ke berbagai media di Malaysia dan dunia Islam lainnya. Di dalam negeri sendiri, pengaruh dan pemikirannya tertuang dalam berbagai media, seperti majalah Pembela Islam, Panji Islam, Pedoman Masyarakat dan al- Manar dari tahun 1929 hingga tahun 1941, Media Dakwah, Panji Masyarakat, Hikmah, dan Ummat serta lainnya setelah Indonesia merdeka. Sebagai tokoh pembaharu dan intelektual muslim, Natsir mempunyai kepedulian yang tinggi untuk memperbaiki paham dan pengamalan keagamaan kaum muslim di Indonesia. Baginya kemajuan hanya bisa dicapai jika mereka memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara murni dan konsekuen, menyerukan ijtihad dan anti taklid dalam lapangan kehidupan duniawi. Dalam pada itu, pokok pemikirannya yang menjadi dasar bagi pendapat-pendapatnya dalam bidang pembaharuan dalam Islam, tidak banyak diketahui dan dikaji oleh peneliti. Tentunya pokok pemikiran tersebut banyak berkaitan erat dengan corak teologi yang dianutnya; apakah pemikirannya mengandung dinamika dan rasional sehingga teologinya akan tampak bercorak rasional pula, atau pemikirannya mengandung kepada keadaan statis sehingga akan tampak bercorak tradisional ?. Kedua macam corak rasional dan tradisional ini dikenal dan terdapat dalam teologi Islam. Ia menyatakan bahwa pemikirannya di bidang keagamaan, politik, dan lain-lain banyak dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ahmad Hassan, Haji Agus Salim, Ahmad Syurkati dan Syakib Arselan.9 Tentunya ulama-ulama di atas mempunyai corak teologi yang berbeda satu sama lainnya. Muhammad Abduh, menurut Harun Nasution, mempunyai pendapat-pendapat Mutazilah, bahkan lebih darinya,10 sedangkan Ahmad Hassan, seperti sebagian besar ulama dan kiyai di Indonesia menganut paham dan aliran alAsyariyah. B. Biografi dan Aktifitas Mohammad Natsir Minangkabau pada permulaan abad ke-20 dikenal salah satu daerah pelopor gerakan pembaharuan Islam di Indonesia. Daerah ini banyak melahirkan tokoh besar nasional, baik dalam bidang keagamaan maupun intelektual, sastera, pendidikan, politik seperti Imam Bonjol, Haji Agus Salim, Mohammad Hatta, Sutan Syarir, Moh. Yamin, Abdullah Ahmad, Muhammad Sjafie, Hamka dan Mohammad Natsir. Khusus mengenai nama yang tersebut terakhir ini, menjadi kajian dalam tulisan ini.

M. Natsir, Capita Selecta 1, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hal. 84. Selanjutnya disebut Capita 1. 9 Lihat AW Pratiknya dan Amien Rais, Percakapan Antar Generasi: Pesan Perjuangan Seorang Bapak, Media Dakwah, Jakarta, 1989, hal. 30-32. Selanjutnya disebut Pesan Perjuangan. 10 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mutazilah,, UI-Press, Jakarta, 1987, hal. vi.

8

Mohammad Natsir (1908-1993): Landasan Pijak Pemikiran Keagamaannya

2

Islam di Tengah Arus Tradisi Lokal

Mohammad Natsir bergelar Datuk Sinaro Panjang,11 lahir di Jembatan Berukir Alahan Panjang, Kabupaten Solok Sumatera Barat pada hari Jumat tanggal 17 Juli 1908 bertepatan dengan tanggal 17 Jumadil Akhir 1326 H dari seorang wanita bernama Khadijah. Ayahnya Mohammad Idris Sutan Saripado, seorang pegawai rendah yang pernah menjadi juru tulis pada kantor kontroler di Maninjau. Pada tahun 1918 ia dipindahkan dari Alahan Panjang ke Ujung Pandang Sulawesi Selatan sebagai sipir (penjaga orang tahanan). Ia mempunyai tiga orang saudara kandung yaitu Yukinan, Rubiah dan Yohanusun.12 Ia melewati masa-masa sosialisasi keagamaan dan intelektualnya yang pertama di tempat kelahirannya. Ia menempuh pendidikan dasar di sekolah Belanda dan mempelajari agama dengan tekun kepada beberapa tokoh ulama pembaharu. Pada umur delapan tahun (1916) ia berkeinginan masuk Hollands Inlandse School (HIS) Padang, sekolah rendah berbahasa Belanda. Keinginan tersebut tidak terwujud karena ia adalah anak dari seorang pegawai rendahan. Kemudian ia masuk sekolah partikelir HIS Adabiah di Padang.13 Pada tahun yang sama (1916) ia dipindahkan ke HIS Pemerintah di Solok oleh ayahnya setelah beberapa bulan bersekolah di Padang. Ia dapat duduk langsung di kelas II atas pertimbangan kepintarannya. Di Solok inilah ia pertama kali belajar bahasa Arab dan mempelajari hukum fiqh kepada Tuanku Mudo Amin, seorang pengikut Haji Rasul, yang dilakukan pada sore hari di Madrasah Diniyah dan mengaji al- Quran pada malam harinya.14 Di Madrasah Diniyah ini, di samping belajar pada kelas III, ia juga mengajar dan menjadi guru bantu pada kelas I pada madrasah yang sama. Hal ini terjadi karena kepintaran Natsir, juga kekurangan guru di madrasah tersebut. Pada tahun 1920, ia pindah kembali ke Padang atas ajakan kakaknya Rubiah. Pada tahun yang sama ia memasuki pendidikan HIS Negeri (Belanda) dan menamatkannya pada tahun 1923.15 Pada tahun 1923 ini, ia masuk sekolah MULO di Padang dan aktif mengikuti kegiatankegiatan yang bersifat ektra kurikuler yang menjadi perhatian utamanya. Ia masuk anggota pandu Nationale Islamietische Padvinderij, sejenis Pramuka sekarang, yang dikelola oleh perkumpulan Jong Islamieten Bond (JIB) Padang yang diketuai oleh Sanusi Pane. Menurut Natsir bahwa perkumpulan merupakan taman pendidikan pelengkap yang tidak didapatkan di sekolah. Kegiatan organisasi besar sekali artinya bagi kesadaran hidup bermasyarakat. Dari sanalah tumbuh bibit-bibit yang akan tampil ke depan sebagai pemimpin bangsa.16 Ia menyelesaikan pendidikan di MULO pada tahun 1927 dengan nilai yang bagus. Kenyataan empiris ini tampaknya mempengaruhi perkembangan dari Natsir menjadi seorang yang berwatak keras dan ulet pada masanya. Pada pagi hari ia bersekolah di HIS, di sore hari ia belajar bahasa Arab di Madrasah Diniyah dan malam hari mengaji kitab kuning dan ia mampu menguasainya. Kegiatan inilah, agaknya sangat bermanfaat dan mengantarkannya menjadi tokoh dunia Islam di masa dewasanya.Gelar pusaka ini diberikan kepada Natsir setelah ia kawin dengan Nurnahar pada tanggal 20 Oktober 1934. Dalam masyarakat dan adat Minangkabau gelar pusaka diberikan kepada yang berhak menerimanya secara turun temurun. Lihat juga Yusuf A. Puar, Mohammad Natsir 70 Tahun: Kenangkenangan Kehidupan Perjuangan, Pustaka Antara, Jakarta, 1978, hal. 4. Selanjutnya disebut Natsir 70 Tahun. 12 Solichin Salam, Wajah Wajah Nasional, Pusat Studi dan Penelitian Islam, Jakarta, 1990, hal. 131. 13 Mahmud Junus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta, 1985, hal. 63 dan 153. Sekolah ini didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad pada tanggal 23 Agustus 1915 dengan isi dan bentuk yang lain dari HIS Pemerintah. Sekolah ini diisi penuh dengan semangat jiwa nasionalisme dan terbuka untuk anak-anak dari semua golongan masyarakat termasuk petani, pedagang dan buruh kecil. Sekolah ini berorientasi kepada pendidikan agama Islam. 14 Deliar Noer, Gerakan Modern, hal. 100. 15 Yusuf A. Puar, Natsir 70 Tahun, hal. 5-6. 16 Ibid., hal. 7-10.11

Mohammad Natsir (1908-1993): Landasan Pijak Pemikiran Keagamaannya

3

Islam di Tengah Arus Tradisi Lokal

Pada tahun yang sama, ia meneruskan pendidikan formalnya ke Algemeene Middelbare School (AMS) Afdeling A di Bandung. Di kota inilah bermula sejarah panjang perjuangannya. Ia bertemu dengan tokoh radikal Ahmad Hassan,17 pendiri Persis, yang diakuinya sangat mempengaruhi alam pikirannya. Dengan tokoh terakhir ini, ia belajar agama Islam secara mendalam dan berkecimpung dalam pergerakan politik, dakwah dan pendidikan. Sejak ia belajar di AMS Bandung, ia mulai tertarik kepada pergerakan Islam dan mulai belajar politik di perkumpulan Jong Islamieten Bond (JIB), sebuah organisasi pemuda Islam yang anggotanya terdiri dari pelajar Bumiputera yang belajar di sekolah-sekolah Belanda. Organisasi ini mendapat pengaruh intelektual dari Haji Agus Salim. Suatu keberuntungan bagi Natsir bahwa dalam usia 20 tahun, ia sempat bergaul dengan tokoh-tokoh nasional, seperti Mohammad Hatta, Prawoto Mangunsasmito, Yusuf Wibisono, Tjokroaminoto dan Mohammad Roem.18 Dalam JIB ia saling berdiskusi dengan kawan-kawan yang seusia dengannya. Kemampuannya yang menonjol di bidang intelektual dan diskusi serta kepribadiannya yang tenang, mengantarkannya menduduki kursi ketua JIB Bandung dari tahun 1928 hingga tahun 1932 dan dengan demikian kemampuan politiknya semakin terasah. Dengan demikian, kegiatan hariannya pada masa awal bersekolah di AMS itu telah mempengaruhi jiwanya untuk meraih gelar Meester In de Rechten (Mr)19 yang menjadi citacitanya dan cita-cita kedua orang tuanya. Namun di pertengahan akhir belajar di sekolah tersebut, sebahagian besar perhatian dan minatnya sudah terhisap oleh persoalan kemasyarakatan dan perkembangan Islam dan pergerakan umat Islam, sehingga timbul hasrat untuk terjun langsung mengabdi kepada masyarakat dan berbakti kepada Allah dalam menolong dan mengangkat derjat umat Islam yang sedang tertindas oleh penjajahan Belanda.20 Setelah belajar di AMS ia tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi (kuliah), melainkan mengajar agama Islam di sekolah MULO Javastraat Bandung dan sekolah guru Gunung Sahari di Lembang. Kenyataan ini merupakan panggilan jiwanya untuk mengajarkan agama yang pada masa itu dirasakannya belum memadai dan ia berpendapat bahwa pendidikan merupakan lapangan yang terpenting dari bidang lainnya.21 Sadar terhadap keadaan sekolah umum yang tidak mengajarkan agama, ia mendirikan lembaga Pendidikan Islam (Pendis), suatu bentuk sistem pendidikan modern yang mengkombinasikan kurikulum pendidikan umum dengan pendidikan pesantren. Ia menjabat direktur Pendis selama 10 tahun sejak tahun 1932. Lembaga tersebut kemudian berkembang di berbagai daerah Jawa Barat dan Jakarta. Pada tahun 1938 ia memulai aktifitas politiknya dengan mendaftarkan diri menjadi anggota Partai Islam Indonesia (PII) cabang Bandung. Dua tahun kemudian, ia menjabat ketua PII cabang Bandung (1940). Ia mendapat kehormatan menjadi anggota Dewan Kabupaten Bandung (Regentschapraad) dari tahun 1940 hingga 1942 dan bekerja di pemerintahanMasih ada dua tokoh lain yang secara langsung membentuk kepribadian dan pikiran Natsir, yaitu Haji Agus Salim dan Syekh Ahmad Syurkati, pendiri Al- Irsyad. Sedang tokoh yang tidak langsung adalah Syakib Arselan, seorang pemikir Syiria yang terusir dari negaranya, di bidang pemikiran politik, Mohammad Ali, seorang ahli Tafsir al- Quran, Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh di bidang pemikiran keagamaan. Lihat juga A.W. Pratiknya, Pesan Perjuangan, hal. 30-32. 18 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Islam dan Demokrasi: Pandangan Politik Mohammad Natsir, dalam Islamika, Nomor 3, Januari-Maret 1994, hal. 65. Selanjutnya disebut Politik Natsir. 19 Gelar akademik ini diberikan kepada orang yang telah tamat belajar dari fakultas hukum dan fakultas ekonomi di Jakarta dan Rotterdam Belanda. Nilai ijazah AMS Natsir bagus dan memungkinkannya untuk mendapatkan beasiswa dan belajar pada salah satu fakultas tersebut. Lihat Yusuf A. Puar, Natsir 70 Tahun, hal. 20. 20 Ibid., hal. 18-19. 21 Ibid.17

Mohammad Natsir (1908-1993): Landasan Pijak Pemikiran Keagamaannya

4

Islam di Tengah Arus Tradisi Lokal

menjabat Kepala Biro Pendidikan Kodya Bandung sampai tahun 1945 dan merangkap sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta.22 Di Masa awal kemerdekaan Indonesia, ia tampil menjadi salah seorang politisi dan pemimpin negara. Dalam karier politiknya, ia menjadi salah seorang anggota kerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Menteri Penerangan (1946-1948), anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) dan Perdana Menteri pertama Republik Indonesia (1950). Pelantikan Natsir sebagai perdana menteri adalah konsekuensi logis dan wajar dari kedudukannya sebagai ketua partai Masyumi, partai politik terbesar di masa itu yang ditandai dengan perolehan kursi terbanyak di DPR. Tampilnya ia ke puncak pemerintahan tidak terlepas dari langkah strategisnya dalam mengemukakan mosi pada sidang parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 3 April 1950, yang lebih dikenal dengan sebutan Mosi Integral Natsir. Mosi itulah yang memungkinkan Republik Indonesia (RI) yang telah terpecah belah --sebagai hasil Konfrensi Meja Bundar (KMB)-- menjadi 17 negara bagian, kembali menjadi negara kesatuan RI. Pada masa Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno tahun 1958, ia mengambil sikap menentang politik pemerintah. Keadaan ini mendorongnya untuk bergabung dengan para penentang lainnya dan membentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), suatu pemerintah tandingan di pedalaman Sumatera. Tokoh PRRI menyatakan bahwa pemerintah di bawah presiden Soekarno saat itu, secara garis besar, telah menyeleweng dari Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Sebagai akibat tindakan Natsir dan tokoh PRRI lainnya, yang didominasi oleh anggota Masyumi, mereka ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Natsir dikirim ke Batu Malang (1962-1964), Syafruddin Prawiranegara dikirim ke Kedu Jawa Tengah, Burhanuddin Harahap dikirim ke Pati Jawa Tengah dan Soemitro Djojohadikusumo dapat melarikan diri ke luar negeri. Selanjutnya partai Masyumi dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1960 melalui pidato Presiden Soekarno pada tanggal 19 Agustus 1960. Ia dibebaskan pada bulan Juli 1966 setelah pemerintah Orde Lama digantikan oleh pemerintah Orde Baru. Tatkala pemerintah Orde Baru muncul, hampir semua tokoh Islam lain, termasuk ia sendiri berada dalam suasana penuh harap. Tumbangnya rezim Orde Lama benar-benar menyiratkan harapan baru bagi kehidupan umat Islam. Masa antara pemerintah Orde Baru dengan umat Islam kala itu, juga tidak berlangsung lama. Bahkan upaya depolitisasi Islam dilakukan pemerintah Orde Baru, ditentang keras olehnya. Melalui yayasan yang dibentuknya pada tanggal 26 Februari 1967 bersama para ulama di Jakarta, yaitu Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), ia memulai aktifitas perjuangan politik gaya barunya melalui jalur dakwah dan membina umat. Sejak itu, hubungannya dengan pemerintah Orde Baru tampak kurang mesra. Sikapnya yang tegas, tajam dan menyengat masih tetap mencuat. Keberaniannya mengoreksi pemerintahan Orde Baru dan ikut menandatangani Petisi 50 pada tanggal 5 Mei 1980 menyebabkan ia dicekal pergi ke luar negeri. Keharuman namanya juga menyerbak ke luar negeri karena berbagai kegiatan internasionalnya, terutama di kawasan Timur Tengah. Pada tahun 1956 ia bersama Syekh Maulana Abul Ala Maududi (Lahore) dan Abul Hasan an- Naduri (Lucknow) memimpin sidang Mutamar Alam Islamy di Damaskus. Ia juga menjabat Wakil Presiden Kongres Islam se-Dunia yang berpusat di Pakistan dan Mutamar Alam Islamiy di Arab Saudi. Pada tahun yang sama, ia menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekkah.23 Di dunia internasional, ia dikenal karena dukungannya yang tegas terhadap pergerakan kemerdekaan bangsa-bangsa Muslim di Asia dan Afrika, dan usahanya untuk menghimpun kerjasama antara negara-negara Muslim yang baru merdeka. Agaknya tidak berlebihan jika DR. Inamullah Khan menyebut Natsir adalah salah seorang tokoh besar dunia Islam abad ini. Sebagai sesepuh pemimpin politik, ia sering diminta nasehat dan pandangannya oleh tokoh22 23

Yusril Ihza Mahendra, Politik Natsir, hal. 65. Solichin Salam, hal. 132.

Mohammad Natsir (1908-1993): Landasan Pijak Pemikiran Keagamaannya

5

Islam di Tengah Arus Tradisi Lokal

tokoh PLO, Mujahidin Afganistan, Moro, Bosnia serta tokoh-tokoh politik dunia non Muslim seperti Jepang dan Thailand.24 Sebagai penghormatan terhadap pengabdiannya kepada dunia Islam, ia menerima penghargaan internasional berupa Bintang Penghargaan dari Tunisia dan dari Yayasan Raja Faisal Arab Saudi (1980). Di dunia akademik, ia menerima gelar Doktor Honoris Causa (HC) dari Universitas Islam Lebanon (1967) dalam bidang sastera, dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan University Saint Teknologi Malaysia (1991) dalam bidang pemikiran Islam.25 Di samping mendapat berbagai penghargaan, ia juga meninggalkan pengetahuan untuk umat Islam dan bangsa Indonesia, yaitu 52 judul yang telah ditulisnya dalam berbagai kesempatan semenjak tahun 1930.26 Agaknya, benarlah pernyataan Soekarno pada tahun 1936 mengenai Natsir adalah seorang muballigh bermutu tinggi, merupakan jawaban atas tuntutan zamannya, karena ia adalah seorang muslim intelek, dan seorang pemikir. Banyak buah pikirannya mengenai berbagai masalah keagamaan, kemasyarakatan dan kenegaraan yang telah disumbangkannya kepada tanah airnya dan bangsa Indonesia. Mengenai karya-karya tersebut, tetap mencuat dalam sejarah sebagai sumbangan yang bernilai bagi bangsa Indonesia yang sedang berusaha mencari identitas dan membangun masa depannya. Sejarah mencatat bahwa Indonesia di abad ke-20 pernah melahirkan dan memiliki seorang tokoh intelek dan pemikir muslim yang berkaliber nasional dan internasional. Berbagai keberhasilan dan kesuksesan Natsir dalam berbagai bidang pendidikan, politik dan dakwah, tidak terlepas dari peranan dan dukungan penuh yang diberikan oleh Nurnahar, isterinya yang dinikahi pada tanggal 20 Oktober 1934 di Bandung. Dukungan penuh isterinya terhadap pilihan hidupnya bidang pendidikan di awal tahun 1930, sebagai contoh, tampak jelas dari penjualan/pengadaian gelang emas kepunyaan isterinya yang hasil uangnya dipergunakan untuk kelangsungan hidup lembaga Pendidikan Islam, tempat Natsir mengabdikan diri dalam pengabdian kepada masyarakat.27 Dari pernikahannya dengan Nurnahar, ia memperoleh enam orang anak. yaitu: Sitti Muchlisah (lahir 20 Maret 1936), Abu Hanifah (lahir 29 April 1937), Asma Farida (lahir 17 Maret 1939), Hasnah Faizah, Dra. (lahir 5 Mei 1941), Aisyatul Asriyah, Dra. IKIP (lahir 20 Mei 1942) dan Ahmad Fauzi, Ir, IPB (lahir 26 April 1944).28 Ia wafat pada tanggal 6 Februari 1993 bertepatan dengan tanggal 14 Syaban 1413 H di Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo Jakarta dalam usia 85 tahun setelah menderita penyakit komplikasi bronchitis, gangguan pernafasan (asma) dan penyumbatan saluran kencing (prostat). Berita wafatnya menjadi berita utama dalam berbagai media cetak dan elektronik. Berbagai komentar muncul baik dari kawan seperjuangan maupun dari lawan politiknya. Ada yang bersikap pro terhadap kepemimpinannya dan ada pula yang kontra. Mantan Perdana Menteri Jepang yang diwakili oleh Nakajima menyampaikan ucapan belasungkawa atas kepergian Natsir dengan ungkapan Berita wafatnya Bapak Natsir terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom di Hirosima.29 C. Landasan Pijak Pemikiran Mohammad Natsir Sebagai seorang tokoh intelektual muslim yang multidimensional, telah banyak dan beraneka ragam pemikiran yang telah dilontarkannya dalam berbagai media. DalamYusril Ihza Mahendra, Politik Natsir. Hal. 65. Solichin Salam, hal. 132 26 Yusuf A. Puar, Natsir 70 Tahun, hal. 406-409. 27 Ibid., hal. 38. 28 Solichin Salam, hal. 133. 29 Lukman Hakiem (ed.), Pemimpin Pulang: Rekaman Peristiwa Wafatnya M. Natsir, Piranti Ilmu, Jakarta, 1993, hal. 144.25 24

Mohammad Natsir (1908-1993): Landasan Pijak Pemikiran Keagamaannya

6

Islam di Tengah Arus Tradisi Lokal

pendidikan, misalnya, Natsir berpendapat bahwa pendidikan agama dan pendidikan umum tidak dapat dipisah-pisahkan dan ia merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan serta saling melengkapi antara yang satu dengan lainnya sehingga mencapai keharmonisan dan kesimbangan30. Bahkan menurutnya, pengetahuan umum dan pendidikan ketrampilan dapat menumbuhkan sikap dan mental mandiri pada seseorang.31 Dengan perpaduan ini pengetahuan Islam akan bisa dijelaskan dalam gaya sekular dan pengetahuan modern dimasukan dalam kerangka sistem Islam.32 Pandangannya ini berkaitan erat dengan pemahamannya bahwa prinsip utama pendidikan harus berdasarkan tauhid yang akan membuat hidup manusia lebih bermakna dan menumbuhkan rasa tanggung jawab individual manusia terhadap Tuhan. Pada satu sisi, tauhid berarti menegaskan keesaan Allah sebagai satu-satunya zat yang dipertuhankan (al- Ilah) oleh manusia dan menjadi titik tolak seorang muslim dalam memandang hidupnya, serta pada sisi lain, tauhid menekankan kepada kesatuan universal umat manusia sebagai umat yang satu berdasarkan persamaan, kasih sayang, keadilan, toleransi dan kesabaran.33 Satu contoh lain dalam persatuan antara agama dan negara atau Islam dan politik, ia berpandangan bahwa Agama menurut pengertian Islam adalah meliputi semua kaedahkaedah, hudud-hudud (batas-batas) dalam muamalah (pergaulan) dalam masyarakat, menurut garis-garis yang telah ditetapkan dan terhimpun dalam al- Quran dan Sunnah Nabi SAW. Namun demikian al- Quran dan Sunnah Nabi tidak bertangan dan tidak berkaki sendiri untuk menjaga supaya peraturan-peraturannya dijalankan oleh manusia. Untuk menjaga supaya aturan-aturan dan patokan-patokan itu dapat berlaku dan berjalan sebagaimana mestinya, menurut Natsir, perlu dan tidak boleh tidak, harus ada suatu kekuatan dalam pergaulan hidup berupa kekuasaan dalam negara. Ia mendasarkan pandangannya kepada sabda Rasulullah: Sesungguhnya Allah memegang dengan kekuasaan Penguasa, yang tidak dapat dipelihara dan dipegang oleh al- Quran itu (H.R. Ibnu Katsir). Dari berbagai pemikirannya, menurut penulis, Natsir berpijak kepada ijtihad yang paling urgen dalam islam, disamping al-Quran dan al- Sunnah, peranan akal atau rasio dengan pendekatan dakwah. C. 1. Seruan Ijtihad dan Anti Taklid Seruan ijtihad dan sikap anti taklid merupakan salah satu yang menonjol di dalam sistem pemikiran keislaman Natsir.

M. Natsir, Capita Selecta 1, hal, 85. M. Natsir, Pendidikan, Pengorbanan, Kepemimpinan, Primordialisme dan Nostalgia, Media Dakwah, Jakarta, 1987, hal. 6. Selanjutnya disebut Pendidikan Pengorbanan. 32 Ismail al- Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, Terj. Anas Mahyudin, Pustaka, Bandung, 1982, hal. 25. 33 M. Natsir, Tauhid Untuk Persaudaraan Universal dalam Suara Masjid, Juni 1991, hal. 18. Selanjutnya disebut Tauhid.31

30

Mohammad Natsir (1908-1993): Landasan Pijak Pemikiran Keagamaannya

7

Islam di Tengah Arus Tradisi Lokal

Sikapnya yang tegas menyerukan pentingnya ijtihad34 dan menentang sikap taklid35 ini muncul, tidak terlepas dari pengaruh situasi dan perkembangan pemikiran masyarakat dunia Islam umumnya dan masyarakat Indonesia khususnya pada awal abad 20. Sebagaimana diketahui, pada abad kelima hijrah, perkembangan pemikiran di dunia Islam, baik di bidang hukum fiqh maupun di bidang ilmu kalam, telah berada pada fase pembentukan mazhabmazhab atau aliran-aliran yang diiringi oleh fanatisme para penganutnya. Terbentuknya mazhab-mazhab atau aliran-aliran pemikiran dengan fanatisme para penganutnya ini pada gilirannya menimbulkan suasana taklid dan jumud di dunia Islam. Di bidang fiqh, misalnya, pada periode ini umumnya para ulama atau fuqaha telah puas atau mencukupkan diri dengan mempelajari karya-karya imam mazhab yang diikuti, tanpa merasa perlu merujuk langsung kepada al- Quran atau al- Sunnah.36 Begitu pula di bidang ilmu Kalam / Teologi, kalangan muslimin ketika itu nampaknya juga telah puas dengan mengikuti ajaran dari salah satu aliran kalam yang telah ada, terutama aliran Muktazilah dan Asyariah. Gibb melihat sebagian besar ulama Islam berpendapat bahwa pintu ijtihad tertutup37 untuk selama-lamanya, dan bahwa tidak seorang ulama pun, betapa besarnya ia, yang dapat memenuhi syarat-syarat sebagai mujtahid, penafsir hukum yang diakui, walaupun beberapa ulama kemudian ada yang sewaktu-waktu menuntut pengakuan pembolehan ijtihad.38Kata ijtihad berasal dari bahasa Arab dengan akar kata al- jahd atau al- juhd yang berarti kemampuan / daya (al-thaqah), kesanggupan (al- wus), berat (al- masyaqqah). Sedang al- ijtihad dan al- tajahud berarti : pencurahan segala kemampuan dan daya ( badzl al- mus wa al- majhud). Lihat Jamal al- Din Muhammad Ibn Muharram, Lisan al- Arab, III, Dar al- Mishriyah, Mesir, t.th., hal. 107109. Ulama berbeda pandangan dalam mendefinisikan istilah ijtihad ini. Sebagian dari mereka mendefinisikannya secara umum yang mencakupi berbagai bidang kajian dan disiplin ilmu, seperti definisi ijtihad yang diberikan oleh al- Fayumi (w.770H) pencurahan kesanggupan dan kekuatan (mujtahid) dalam melakukan pencarian sesuatu supaya sampai kepada tujuan dan sasarannya. Dan sebagian lagi mendefinisikan ijtihad secara spesifik dan sempit yang hanya berkaitan dengan kajian hukum fiqh (syariat) Islam saja, tanpa mencakupi bidang ilmu selain dari ilmu fiqh, seperti definisi ijtihad yang dikemukakan oleh al- Baidlawi (w.685 H) adalah pencurahan segenap kemampuan dalam upaya menemukan hukum syara. 35 Kata taklid berasal dari bahasa Arab dengan akar katanya al- qiladah yang berarti kalung atau imitasi. Secara bahasa, antara taklid dengan ittiba mempunyai arti yang sama, karena salah satu arti kata taklid itu adalah al- ittiba. Sedangkan secara istilah, ulama membedakannya. Taklid adalah mengikuti pendapat ulama tanpa mengetahui alasan dan argumen pendapat tersebut, sedangkan ittiba adalah mengikuti pendapat ulama dengan mengetahui alasan dan argumennya. Lihat, Muhib Allah Ibn al- Syukur, Fawatih al- Rahmut, II, Dar al- Fikr, Beirut, t.th., hal. 400; Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al- Ghazali, al- Mustashfa min Ilm al- Ushul, Dar al- Fikr, Beirut, t.th., hal. 387. 36 Muhammad al- Hudari Bek, Trkh al-Tasyr al- Islm, al- Maktab al- Tijariah al- Kubra, Mesir, 1970, hal. 236-7. 37 Beberapa peneliti telah sepakat bahwa pendapat yang menyatakan pintu ijtihad telah tertutup, muncul pada abad ke-4 H. Al- Sayyis mengatakan bahwa setelah Ibn Jarir al- Thabari (w.310 H) tidak terdapat lagi orang yang mencapai derjat dan tingkat mujtahid muthlaq, karena tidak ada lagi ulama yang melakukan penetapan hukum dan berfatwa dengan merujuk langsung kepada al- Quran dan al- Sunnah tanpa mengikuti langkah-langkah penetapan hukum yang dibuat oleh ulama terdahulu, tapi mereka mengikuti langkah-langkah penetapan hukum yang dibuat oleh imam-imam pendiri mazhab. Lihat Muhammad Ali al- Sayyis, al- Nasyah al- Fiqh al- Islami wa Athwaruh, Majam alBuhuts al- Islamiyah, T.k., 1970, hal. 107; Abd al- Wahab Kahllaf, Khulashah al- Tasyri al- Islami, Jamiah al- Qahirah, Kairo, T.th., hal. 47; N.J. Coulson, A History of Islamic Law, Edinburgh University Press, 1991, hal. 80; Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, Oxford University Press, Oxford, 1964, hal. 70. 38 H.A.R. Gibb, Mohammedanism, Mentor Book, 1955, hal. 78.34

Mohammad Natsir (1908-1993): Landasan Pijak Pemikiran Keagamaannya

8

Islam di Tengah Arus Tradisi Lokal

Dalam konteks keindonesiaan, Natsir menyadari bahwa yang tidak dikenal oleh kebanyakan umat Islam di Indonesia bukan saja isi ajaran agama Islam itu sendiri, sehingga banyak di antara mereka yang secara sadar atau tidak sadar telah melecehkan Islam dan merendahkannya, melainkan juga kebudayaan yang telah dimanifestasikan oleh adanya agama itu. Memang benar pendapat Gibb yang berkali-kali dikutip Natsir, yang mengatakan bahwa Islam bukanlah semata-mata sistem agama, melainkan suatu sistem kebudayaan yang lengkap meliputi segala kehidupan39. Di sisi lain, menurutnya, kenyataan-kenyataan sejarah yang memperlihatkan ketinggian dan keutamaan Islam itu, tidak banyak diketahui oleh umat Islam di Indonesia. Meskipun telah banyak ditulis oleh pada ahli Barat dalam bahasa modern (Inggris), tetapi seakan tertutup umumnya bagi kalangan pelajar Indonesia. Menurutnya, hal ini disebabkan oleh dua faktor: Pertama, para ulama Islam yang menjunjung tinggi agamanya tidak mengenal buku-buku tersebut, karena mereka tidak mengenal bahasa Barat. Kedua, karena kaum terpelajar Indonesia yang mendapat pendidikan di sekolah-sekolah Belanda tidak menaruh perhatian besar terhadap Islam, sehingga mereka tidak sampai membaca bukubuku itu.40 Di samping itu, juga ahli sejarah melihat kemunduran pemikiran dan berkembangnya sikap taklid di kalangan ulama dan masyarakat Indonesia telah terjadi seiring dengan kemunduran pemikiran di dunia Islam lainnya. Steenbrink melaporkan Islam pada abad ke-19 sedang tenggelam dalam suasana yang suram, beku, kolot, dan tidak setia lagi kepada ajaran Islam yang murni. Pintu ijtihad sudah ditutup dan sikap taklid pun telah menguasai pendapat umum.41 Juga Noer memberi pernyataan tentang kondisi umat Islam Indonesia. Ia melihat sikap taklid telah merajalela di kalangan umat Islam mulai abad kesebelas hingga abad kesembilan belas. Ijtihad tidak diakui lagi, pintu ijtihad sudah dianggap tertutup, sehingga si Muslim kian lama tenggelam dalam lubuk taklid. Sewaktu-waktu ketegangan pun timbul antar mereka yang menganjurkan ijtihad dengan mereka yang mempertahankan taklid.42 Dalam konteks keindonesiaan, tokoh atau ulama yang menolak taklid dan menganjurkan semangat ijtihad, kebanyakan disebut kaum muda, sedangkan yang ikut mazhab (khususnya Syafii) disebut kaum tua. Dalam beberapa studi kaum muda tersebut disebut reformis atau modernis, sedang pihak lain disebut dengan kaum ortodoks atau konservatif.43 Suasana kemandekan dan kejumudan pemikiran ini terus berlanjut hingga masa Natsir. Hampir tidak ada kegiatan ilmiah, terutama di bidang fiqh, yang berupaya menggali dan merujuk langsung kepada sumber pokok al- Quran dan al- Sunnah. Dalam suasana dan kondisi taklid dan jumud yang tengah melanda dan menghinggapi masyarakat Islam Indonesia khususnya, Natsir tampil dengan sikap anti taklid, menyerukan semangat kebebasan berpikir, dan mengumandangkan seruan ijtihad. Ia sangat mencela suasana jumud yang tengah melanda masyarakatnya. Semangat ijtihad dan sikap anti taklid Natsir ini tampak jelas, antara lain, melalui pernyataan-pernyataan dan tindakkannya. Natsir menyatakan bahwa ijtihad merupakan suatu keharusan mutlak dan keniscayaan bagi Islam yang akan berhadapan dengan dinamika perubahan yang terjadi pada masyarakat.Teks bahasa Inggrisnya adalah Islam is indeed much more than a system of theology, it is a complete civilization. Lihat H.A.R. Gibb, Wither Islam, Gollancz, London, 1932, hal. 12. 40 M. Natsir, Kebudayaan Islam dalam Persfektif Sejarah, Girimukti Pasaka, Jakarta, 1988, hal. xx-xxi. Selanjutnya disebut Kebudayaan Islam. 41 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1984, hal. 4. 42 Deliar Noer, Gerakan Modern, hal. 11. Taklid menurutnya adalah penerimaan fatwa dan amal perbuatan yang diakui sebagai sesuatu yang tidak dapat berubah lagi, sedang ijtihad adalah usaha dan daya yang bersungguh-sungguh untuk menemukan tafsir serta pendapat tentang sesuatu soal. 43 Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah : Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, LP3ES, Jakarta, 1986, hal. 27.39

Mohammad Natsir (1908-1993): Landasan Pijak Pemikiran Keagamaannya

9

Islam di Tengah Arus Tradisi Lokal

Tanpa ijtihad, ia menegaskan, doktrin sebagaimana ditafsirkan serta diwariskan oleh tradisi di masa yang silam akan kehilangan relevansinya dengan problema dunia masa kini.44 Ijtihad merupakan "prinsip gerak dalam Islam", yakni usaha secara optimal untuk memahami asasasas umum di dalam al-Quran dan Sunnah Nabi dan menerapkannya untuk menyelesaikan pelbagai masalah aktual di dalam masyarakat pada suatu zaman dan tempat tertentu. Dengan demikian terlihat bahwa ijtihad merupakan sumber dinamika eksternal sebuah masyarakat.45 Islam pada asal mulanya, demikian Natsir, adalah suatu revolusi terhadap kecanggungan dan kekakuan cara berpikir.46 Kedatangan Rasulullah SAW., ia menyatakan, adalah untuk menggemarkan ummatnya untuk melakukan ijtihad dalam menghadapi perkembangan zaman yang terus beredar ini dengan sabdanya:

) ) Barangsiapa yang berijtihad dan hasilnya betul, maka dia mendapat dua ganjaran; dan barangsiapa berijtihad sedangkan hasilnya salah, maka dia mendapat satu pahala (HR. Bukhari). Ijtihad merupakan potensi dan sumber dinamika Islam yang bertujuan untuk menghadapi zaman modern. Salah satu ciri orang modern, menurut Alex Inkeles,47 pandai memanfaatkan waktu. Ini pun terdapat pula dalam Islam seperti yang ditemukan dalam surat al- Ashr. Bukti lainnya, menurut Natsir, adalah sehubungan dengan sifat rasionalitas pada manusia modern, Islam juga membuka kesempatan dan mendorong orang untuk berijtihad, menggunakan rasionya dalam mengkaji berbagai ketentuan dalam Islam.48 Di lain pihak, Islam sangat mendorong pemeluknya untuk melakukan pembangunan, tidak boleh atau mudah berpuas diri, harus ada perubahan dan kemajuan. Dalam Islam terdapat prinsip fundamental yang menggambarkan dinamika. Misalnya, prinsip "semua terlarang, kecuali yang diperintahkan", yang berkaitan dengan ketentuan amal ibadah. Sedangkan menyangkut perkara dunia dikenal prinsip sebaliknya, yakni "semuanya dibolehkan, kecuali yang dilarang. Dari sini jelas, demikian Natsir, bahwa Islam sudah lebih dulu mendorong orang untuk maju. Dan tidak ada alasan apa pun yang menjadikan umat Islam itu beku. Hal yang terlarang itu sedikit jumlahnya, yaitu yang bersifat merusak, sementara sebagian besar yang lain tidak dilarang, sebagaimana kasus yang terjadi pada masa Rasulullah ketika ia melihat seseorang yang mengawinkan pohon korma. Nabi mengatakan: "Biarkan saja dia melakukannya. Mereka lebih tahu tentang urusan dunia mereka".49 Dari contoh di atas diketahui, bahwa adalah sangat keliru pandangan yang menganggap bahwa Islam itu berisikan larangan melulu. Memang banyak orang yang keliru memahami Islam dengan memutarbalikan fakta yang sesungguhnya, yang terlarang dikatakan tidak terlarang, dan sebaliknya. Sebaliknya, sebagaimana Islam, Natsir secara tegas melarang orang untuk bertaklid buta. Islam menggembirakan pemeluknya "supaya selalu berusaha mengadakan barang yang belum ada, merintis jalan yang belum ditempuh, membuat inisiatif dalam hal keduniaan yangYusril Ihza, Modernisme Islam dan Demokrasi dalam Anwar Harjono Dkk, M. Natsir: Sumbangan dan Pemikirannya Untuk Indonesia, Media Dakwah, Jakarta, 1995, hal. 144. Selanjutnya disebut Modernisme. 45 Yusril Ihza, Modernisme, hal 136. 46 M. Natsir, Dunia Islam Dari Masa ke Masa, Panji Masyarakat, Jakarta, 1982, hal. 63. Selanjutnya disebut Dunia Islam. 47 Ia adalah salah seorang guru besar pada Universitas Harvard yang menulis buku The Modernization of Man. 48 A.W. Praktiknya, Pesan Perjuangan, hal. 22. 49 Ibid., hal. 23.44

Mohammad Natsir (1908-1993): Landasan Pijak Pemikiran Keagamaannya

10

Islam di Tengah Arus Tradisi Lokal

dapat memberi manfaat kepada masyarakat.50 Dan dalam kesempatan lain, seperti agama Islam, ia melarang orang bertaklid buta, menerima sesuatu sebelum diperiksa, walaupun datangnya dari kalangan sebangsa dan seagama, ataupun dari ibu bapa dan nenek moyang sekalipun.51 Pandangannya ini didasarkan kepada firman Allah seperti tergambar dalam alquran ayat 36 surat Bani Israil : { } Dan janganlah engkau turut apa yang engkau tidak mempunyai pengetahuan atasnya, karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati itu, semuanya akan ditanya tentang itu (QS. Al- Isra 17: 36) Apakah merka turun saja, walaupun nenek moyang mereka tidak mengerti sesuatu apapun dan tidak pula terpimpin (di jalan yang benar) (QS. Al- Baqarah 2: 170) Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan taklid oleh Natsir, tidak berbeda dengan pengertian umum berlaku di dunia Islam, adalah sikap meniru atau menerima sepenuhnya pendapat orang lain atau tokoh tertentu, termasuk para imam mazhab, dengan tanpa mengetahui dalil atau alasan jelas dan tegas. Bagi Natsir, taklid dan jumud merupakan sikap yang menghambat dinamika pemikiran Islam dalam menghadapi perkembangan dan perubahan zaman. Sebaliknya, ijtihad merupakan prinsip gerak dalam struktur Islam dalam menghadapi perkembangan zaman yang terus berubah dan sebagai jembatan relevansi antara Islam dengan problema dunia masa kini.52 Ayat di atas dikutip Natsir sebagai kritik terhadap taklid buta yang berkembang di kalangan umat Islam Indonesia khususnya. Tampaknya, ia ingin menumbuhkan sikap inovatif dan kreatif di kalangan umat Islam dalam membangun sebuah bangunan budaya.53 Sepanjang sejarah Islam memang pernah dijumpai suatu masa di mana para ulama berpandangan salah, dalam arti beku atau jumud yang menjadi penyebab timbulnya sikap taklid dalam pandangan Natsir. Ia mengakui bahwa pada saat itu Islam berada dalam kemunduran. Dinamika Islam tak tampak, sementara itu berkembang pula bid'ah dan khurafat, yaitu praktek agama yang tidak bersumber dari Islam. Begitu pula aktifitas berpikir sama sekali berhenti, jumud (stagnant). Keadaan seperti inilah yang dijadikan oleh orang Barat sebagai dalih untuk memukul Islam, sambil menuduh Islam itu kolot, anti modernisme dan lain-lain.54 Ia melihat bahwa hubungan antara khurafat dan taklid adalah sama eratnya dengan hubungan antara hasil kebudayaan yang gilang gemilang denga ruh intiqad.55 Hubungan tersebut bagaikan dua sisi dari mata uang yang tak dapat dipisahkan. Adapun cara dan jalan untuk membongkar jiwa taklid ini, dalam pandanan Natsir, satusatunya adalah memperlihatkan dengan tidak sembunyi-sembunyi dan terus terang kekeliruankekeliruan khurafat dan bidah itu. Memperlihatkannya ini berkehendak kepada munazarah dan munaqasah yang bukan kecil, menurut tenaga, kecakapan, keuletan serta kebijaksanaan yang amat besar.56Mochtar Naim, "Mohammad Natsir dan Konsep Pendidikan Yang Integral" dalam Anwar Harjono Dkk, M. Natsir Sumbangan dan Pemikirannya Untuk Indonesia, Media Dakwah, Jakarta, 1995, hal. 87. 51 M. Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia, Media Dakwah, Jakarta, 1988, hal. 58-59. Selanjutnya disebut Islam dan Kristen. 52 Yusril Ihza, Modernisme, hal. 136. 53 M. Natsir, Capita Selecta I, hal. 16-17. 54 Ibid., hal. 23. 55 M. Natsir, Capita Selecta I, hal. 41. 56 Ibid.50

Mohammad Natsir (1908-1993): Landasan Pijak Pemikiran Keagamaannya

11

Islam di Tengah Arus Tradisi Lokal

Dari apa yang dikemukakan di atas, menunjukkan aspek dinamika Islam yang telah ada sejak 14 abad yang lalu. Bahkan Natsir menandaskan bahwa jika orang Barat bermaksud memperbaiki keadaannya justeru harus menyesuaikan diri dengan Islam, dengan meninggalkan dikotomi antara urusan keagamaan dan urusan dunia yang biasanya disebut sekular. Sedangkan Islam sangat menekankan dan memandang perlu adanya keseimbangan antara akal dan hati nurani serta hubungan dengan Sang Pencipta. Apa lagi bila hal ini dihubungkan dengan firman Allah :Wa kadzalika ja'alnakum ummatan wasathan litakunu syuhada 'ala al-Nas.....57. Dalam menyikapi ijtihad ini, berbagai kalangan akan menghadapi perbedaan pendapat antar sesama mereka. Dan pada gilirannya perbedaan ini dapat menjurus kepada perpecahan kesatuan dan persatuan mereka, seperti timbulnya pertentangan antar kelompok keagamaan yang disebabkan perbedaan furuiyah saja. Artinya keberadaan ijtihad pun dapat mendatangkan dan menimbulkan perbedaan pendapat dalam segala hal dan masalah, termasuk berbeda pendapat dalam penafsiran terhadap ayat al- Quran. Dalam hal ini, Natsir memperingatkan dan mewaspadai perpecahan yang ditimbulkan oleh ijtihad. Ia menyatakan : Tafaqquh fi al- din dan ijtihad, tidak mustahil, malah lazim menghasilkan pendapatpendapat yang berbeda-beda (ikhtilaf). Maka tidaklah ada hikmah dalam suatu usaha untuk membekukan amar makruf nahi mungkar, lantaran hendak mengelakkan ikhtilaf, lantaran ingin menjaga agar ketenangan jangan terganggu--dengan akibat: segala sesuatu jadi tergenang, terapung tak hanyut. Hikmah dengan membungkemkan dakwah, bukan hikmah, tapi suatu kelumpuhan; kelumpuhan yang mengakibatkan umat menjadi jumud, beku dan kesesatan terus merajalela. Tidak ada larangan agama terhadap ikhtilaf yang dihasilkan oleh tafaqquh fi al- din dan ijtihad. Yang merusak keutuhan umat, dan lantaran itu terlarang, ialah jumud dan tafarruq, beku dan berpecah belah. Kita, sama sekali, tidak harus memilih hanya salah satu dari alternatif, beku atau pecah belah. Tak ada yang harus dipilih antara jumud dan tafarruq. Kedua-duanya harus ditolak dan disingkirkan.58 Semakin tinggi mujtahid, demikian ulasannya, semakin tinggi pula penghargaan mereka terhadap hak dan kesempatan untuk berijtihad bagi orang lain, baik yang sezaman dengan mereka ataupun yang datang sesudah mereka. Mereka berijtihad dengan sepenuh tenaga, dan penuh rasa tanggung jawab kepada Allah. Sebagaimana diketahaui, Imam Syafi'i tidak segan-segan mengoreksi fatwanya sendiri, bila beliau mengetahui, bahwa perlu dikoreksi. Dengan demikian ada qaul qadim dan ada qaul jadid dari pendapat Imam Syafi'i 59 sendiri. Imam Syafii berkata : Apabila kamu menemui dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah saw., maka berpeganglah kepada Sunnah Rasulullah saw. dan tolaklah apa yang ku fatwakan.60 Begitu pula dengan Imam Malik yang berkata : Aku hanya seorang manusia, bisa salah, bisa betul; maka perhatikanlah pendapat-pendapatku; semua yang sesuai dengan Kitab dan sunnah, perpegangilah; dan semua yang tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah, tinggalkanlah.6157 58

Dakwah.

M. Natsir, Capita Selecta 1, hal. 24. M. Natsir, Fiqhud Dakwah, Ramadhani, Solo, hal. 245-6. Selanjutnya disebut Fiqhud Ibid. Teks Arabnya:

59

, lihat al- Manar, jilid IV, hal. 693.60

Mohammad Natsir (1908-1993): Landasan Pijak Pemikiran Keagamaannya

12

Islam di Tengah Arus Tradisi Lokal

Di sisi lain, demikian Natsir, manusia adalah hayawn ntiq, hewan yang berpikir, berakal. Maka selama terbuka kesempatan untuk berpikir, maka tetap ada kemungkinan berbeda paham dalam kejujuran (honest differences of opinion) sebagai hasil dari berpikir dan berijtihad, bukanlah suatu hal yang ditakuti. Semata-mata perbedaan pendapat yang demikian sifatnya, bukanlah sumber tafarruq, perpecahan. Ia merupakan pendorong untuk mengasah dan meninggikan otak dan mutu berpikir, mutu kecerdasan umat. Tafarruq timbul dan muncul bila perbedaan pendapat ditunggangi oleh hawa nafsu pada pihak-pihak yang bersangkutan yang sama-sama tidak tahu ke mana tempat pulang, yaitu tempat memulangkan persoalan. Berkenaan dengan hal ini, Allah berfirman : 62

Maka apabila kamu berbantah-bantahan dalam sesuatu perkara, kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul (QS. Al- Nisa 4: 59) Natsir menegaskan bahwa bagi mereka yang sudi mendalami struktur Islam sebagai ideologi dan falsafah hidup, pasti akan bertemu dengan satu elemen di dalamnya yang melindungi ajaran-ajaran Islam dari kebekuan dan keadaan statis, dan memelihara kesegarannya dari zaman ke zaman. Elemen tersebut adalah ijtihad sebagai salah satu dasar yang asasi dalam Islam untuk memecahkan persoalan duniawi yang terus berubah-ubah dan tumbuh.63 Adapun persyaratan bagi siapa yang boleh melakukan ijtihad, menurut kalangan tradisionalis yang berpegang pada warisan tradisi pemikiran Islam abad Pertengahan, ijtihad hanya dapat dilakukan oleh kaum ulama yang telah memenuhi pelbagai persyaratan secara ketat yang ditetapkan untuk itu.64 Dan bagi Natsir sendiri, seperti tokoh modernis lainnya, berusaha melunakkan syarat-syarat ijtihad dalam urusan keduniaan, bukan saja terbatas bagi kalangan ulama, tetapi juga bagai kalangan intelektual dan pemimpin-pemimpin yang dipercayai oleh rakyatnya. Di samping melunakkan persyaratan, Natsir melihat dan menganggap penting dan urgen bagi seorang manusia (mujtahid) untuk mengadakan komunikasi atau kontak pemikiran dengan dunia luar yang berfaaedah untuk mencari titik pertemuan dengan mereka yang dihadapi. Dan dalam bentuk dan cara ini bisa dicapai ijtihad yang bersifat ilmiah.65 Jadi, ijtihad dalam pemikiran Natsir memungkinkan satu masyarakat Islam dapat merumuskan cita-cita dan program sosial politik mereka dengan memperhatikan keadaan lingkungan dan kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri. Dan tentunya hal ini membawa kepada pengakuan adanya universalisme dan partikularisme dalam Islam, yaitu Islam yang bercorak mutlak dan universal yang dijumpai di dalam doktrin, dan Islam yang bercorak relatif dan partikular yang dihasilkan oleh ijtihad. Ini membawa implikasi pula kepada penerimaan adanya kemajemukan umat Islam berdasarkan tempat dan waktu yang berlain-lainan. Dan pemikiran modernis Natsir ini semakin mendorong pembentukan sebuah negara bangsa", tetapi tetap berdasarkan atas prinsip-prinsip Islam.Teks Arabnya: , , : , lihat al- Manar, Jilid IV, Hal. 572.6162

M. Natsir, Mempersatukan Ummat, CV. Samudera, Jakarta, 1983, hal. 18. Selanjutnya disebut Umat. 63 Ibid., hal. 121. 64 Para ulama berbeda-beda dalam menetapkan syarat bagi seorang yang dapat melakukan ijtihad atau mujtahid. Namun dapat disimpulkan kepada beberapa syarat penting, yaitu : (1) Mengetahui Bahasa Arab yang meliputi antara lain Nahwu, Sharf, dan Balaghah. (2) Mengetahui alQuran yang meliputi asbab al- nuzul, nasikh-mansukh dan ulum al- Quran. (3) Mengetahui Sunnah yang meliputi al- Jarh wa al- Tadil. (4) Mengetahui ilmu Ushul Fiqh (5) Mengetahui Ijma Ulama (6) Memahami Maqashid al- Syariat. 65 M. Natsir, Fiqhud Da'wah, hal. 229.

Mohammad Natsir (1908-1993): Landasan Pijak Pemikiran Keagamaannya

13

Islam di Tengah Arus Tradisi Lokal

Islam sebagai ideologi yang dikemukakan Natsir, tidak lain adalah hasil ijtihad manusia terhadap ajaran-ajaran Islam, yang kemudian dirumuskan ke dalam cita-cita dan program sosial politik yang diperjuangkan oleh suatu bangsa, suatu partai politik, atau pun suatu kelompok politik lain yang berazaskan Islam. Jadi sebagai ideologi, Islam dirumuskan melalui ijtihad secara lebih eksplisit dan lebih tegas untuk diperjuangkan di atas dunia ini. Ijtihad dalam konteks seperti dipahami Natsir, adalah lazim dikenal dalam kajian politik masyarakat-masyarakat muslim pada masa ini sebagai proses "ideologisasi Islam".66 Pada kesempatan lain, ia menyatakan bahwa dalam mengimplementasikan prinsip-prinsip ajaran agama Islam seperti prinsip syura dalam kekuasaan negara, ke dalam sebuah negara, bagi Natsir harus memerlukan ijtihad dengan memperhatikan keadaan tempat dan masanya.67 Natsir menegaskan bahwa bagi mereka yang sudi mendalami struktur Islam sebagai ideologi dan falsafah hidup, pasti akan bertemu dengan satu elemen di dalamnya yang melindungi ajaran-ajaran Islam dari kebekuan dan keadaan statis, dan memelihara kesegarannya dari zaman ke zaman. Elemen tersebut adalah ijtihad sebagai salah satu dasar yang asasi dalam Islam untuk memecahkan persoalan duniawi yang terus berubah-ubah dan tumbuh.68 C. 2. Berpegang Kepada Argumen Rasional. Sebagai seorang tokoh pembaharu Islam di Indonesia yang menyerukan semangat ijtihad dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman, tentunya Natsir tidak mengesampingkan peranan akal dan menjadikannya sebagai dasar dalam memahami Islam, terutama mengenai prinsip-prinsip utama ajaran agama seperti masalah keesaan Allah, kebenaran kenabian, dan masalah lain yang menjadi dasar keimanan dalam Islam. Tegasnya, Natsir sama sekali tidak mengesampingkan akal, ia juga mengutamakan argumen rasional di samping nash, terutama dalam kajian dan pembahasannya mengenai masalah kalam atau teologi. Pentingnya peranan akal atau penggunaan argumen rasional, oleh Natsir, sangat erat kaitannya dengan metode dakwah, yang menjadi sarana penting di dalam menyebarkan dan membela kebenaran pemikiran atau pandangan keagamaannya. Bagaimana pun, sebagai seorang tokoh yang bergelut dalam lapangan dakwah, baik dakwah dalam pendidikan, politik, dan lembaga dakwah sendiri, yang menghadapi berbagai tipe dan tingkatan masyarakat, sudah barang tentu, tidak dapat tanpa mengakui arti penting akal dan keharusan mengunakan argumen rasional. Membantah suatu argumen rasional yang dikemukakan oleh pihak lain mesti pula dengan argumen rasional. Sebagai intelektual, Natsir membahas permasalahan dengan akal, meskipun permasalahan agama yang meletakkan prioritas kepada keyakinan: Beragama bukanlah berkeyakinan secara taklid, akan tetapi berkeyakinan dengan berakal. Dengan mengunakan akal akan dapat membuktikan Islam sebagai agama yang mampu menjawab setiap peristiwa yang berlaku dalam sejarah masa kini secara pas dan menalarkan sistem yang tepat dalam kehidupan. Dengan akal atau rasio, manusia mampu berpikir secara luas dan mendalam, merumuskan berbagai konsep serta mempertanyakan segala-galanya secara filosofis. Natsir tidak menolaknya bila orang berpikir demikian. Namun dalam Islam, menurutnya, terdapat sikap berdisiplin dalam menggunakan akal. Disiplin dengan merujuk ayat-ayat dalam alQuran serta menggunakan hadits sebagai alat bantu dalam menalarkannya. Ia tidak menganjurkan atau mendorong untuk merujuk pendapat para Imam atau fatwa ulama. Apalagi memakainya secara taklid.Ibid., hal. 137-138. Yusril Ihza, MOdernisme, hal 136. 68 M. Natsir, Capita Selecta 2, hal. 121.66 67

Mohammad Natsir (1908-1993): Landasan Pijak Pemikiran Keagamaannya

14

Islam di Tengah Arus Tradisi Lokal

Sebagai orang yang memuliakan akal, ia cendrung memilih berpikir dengan disiplin. Namun ia tidak menghukumkan bahwa pilihannyalah yang terbaik dan patut diikuti. Sikapnya itu memperjelas bahwa ia adalah seorang demokrat, sebagai ciri dari orang yang lebih mementingkan rasio dari pada emosi. Lebih jauh lagi Natsir mengemukakan otoritas dan wilayah ratio dan akal terdapat pada dunia ilmu pengetahuan yang mana Islam mendorong dalam pemakaian dan penggunaannya akal itu. Sudah pasti akan dirasa oleh setiap orang yang membacanya, betapa besarnya dorongan Islam untuk memakai akal dan mempergunakan pikiran, sebagai nikmat yang tidak terhingga harganya. Tetapi fungsionalisasi rasio ada batasnya. Ia menyatakan: Akan tetapi yang sudah terang bahwa agama Islam itu akan tinggal kerangkanya saja lagi, akan tinggal tengkoraknya saja lagi, apabila kita biarkan si akal merdeka seratus persen merasionalisasikan agama dengan tidak mengenal batas, apabila dibiarkan si akal meredeka itu melepaskan semua kriterium, melepaskan semua ukuran keagamaan serta handak berhakim kepada histori semata. Penjabaran batas rasionalitas, menurut Natsir, terbatas pada wilayah objektifitas penelitian gejala alam. Otoritas rasio hanya pada dunia ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), sedangkan pengetahuan kemasyarakatan (sosial) arah kebijaksanaan harus bersandar pada ajaran Islam, bukan hanya tataran normatif (moral) melainkan juga pada pola penerapannya. Ilmu dan teknologi dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang dihasilkan oleh karyanya otak dan pikiran manusia yang sangat dianjurkan oleh Islam itu sendiri.69 Demikian pernyataan Natsir. Pengakuan dan penegasan Natsir akan pentingnya peran akal ini terlihat kaitan eratnya rasionalitas dengan ijtihad dalam Islam. Ia menyatakan bahwa salah satu bentuk dari rasionalitas dalam Islam mengambil bentuk terbukanya pintu kesempatan dan dorongan untuk melakukan ijtihad, mengunakan rasionya dalam mengkaji berbagai ketentuan dalam ajaran Islam tersebut.70 Dengan demikian Islam dengan ajaran dan dorongan berijtihad dapat mencapai zaman keemasannya pada abad ke-8 M. Secara historis dan sisi ajaran Islam, demikian Natsir mengulas bahwa Islam mampu mengantarkan kemajuan kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Di antara faktornya adalah peran penerjemahan hasil budaya dan ilmu pengetahuan bangsa-bangsa lain, terutama bangsa Romawi kedalam bahasa Arab pada masa Khalifah Al- Mansur. Di samping itu, juga ia menyangkut kepada dasar-dasar rasionalitas, penghargaan kepada akal dan keterbukaan yang diberikan Islam. Potensi ini menjadikan kebudayan Islam berkembang secara mencengangkan. Sebagai ilustrasi misalnya, semasa orang di Barat mengharamkan penggunaan akal dalam berbagai penyelidikan dan memburu serta menghukum Galileo Galilei, karena pendapatnya tentang planet bumi yang berputar, maka kerajaan Islam waktu itu bahkan mendorong dan mewajibkan untuk mengunakan akal manusia untuk memajukan ilmu dan kebudayaan. Kerajaan mencari dan melindungi ilmuwan, seniman dan filosof-filosof di segenap penjuru dunia untuk berkhidmat dan mengabdi memajukan ilmu. Di masa gereja melarang pemelukya membaca kitab agama lain dan memasukkan kitab-kitab itu dalam daftar bacaan yang "berbahaya" bagi pemeluknya, sebaliknya khalifah-khalifah Islam memerintahkan menerjemahkan kitab dari berbagai agama dan mazhab yang ada pada waktu itu untuk dibaca dan diketahui dan diperiksa oleh ahli pikir Islam. Berani menempuh kesulitan, tak enggan menerima kebenaran walau datangnya dari pihak lain, tak takut menolak kebatilan sesudah diperiksa dan diselidiki, walaupun datangnya dari pihak sendiri. Inilah kunci kemajuan.71 Di sisi lain, bagi Natsir, Islam memang mempunyai potensi budaya yakni bahwa dalam Islam terdapat faktor-faktor yang mendorong pemeluknya untuk hidup bermasyarakat dengan budaya tinggi. Sesungguhnya potensi ini amat banyak, yang terpenting di antaranya adalah:6970

M. Natsir, Dunia Islam, hal. 79. A. W. Pratiknya (ed.), Pesan Perjuangan, hal. 22. 71 Ibid., hal 112.

Mohammad Natsir (1908-1993): Landasan Pijak Pemikiran Keagamaannya

15

Islam di Tengah Arus Tradisi Lokal

pertama, Islam menghormati akal, kedua Islam mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu, ketiga, Islam mendorong pemeluknya untuk berinisiatif, dan keempat, umat Islam dilarang bertaklid, menerima sesuatu sebelum diperiksa kebenarannya.72 Dari keempat hal tersebut telihat bahwa apabila umat Islam benar-benar memenuhi tuntunan agamanya, mereka akan terdorong untuk menggali rahasia-rahasia alam yang akan membuahkan ilmu pengetahuan dan pada gilirannya akan menumbuhkan kebudayaan yang maju.73 Dalam pada itu, bagi Natsir, ilmu adalah karunia ilahi yang diamanahkan kepada orang yang memiliki ilmu, para ulama, cerdik pandai, intelegensia. Mereka ini bertanggung jawab untuk memelihara dan memperkembangkan ilmu, menebarkan dan menyiarkan ilmu, sehingga dapat dimiliki anggota masyarkat semerata mungkin, berkewajiban menjaga kebersihan ilmu sebagai alat pencari dan penegak kebenaran, menjaga integritas ilmu dari kemasukan barangbarang palsu yang diselinapkan dalam bungkus rumusan-rumusan yang quasi-ilmiyah (purapura ilmiah). Menurutnya, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al- Baqarah 2: 42 yang berbunyi:

Dan janganlah kamu samar-samarkan yang benar dengan yang palsu, dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran, pada kamu mengetahuinya (QS. alBaqarah 2: 42). dan sesuai pula dengan sabda nabi Muhammad SAW yang berarti Setiap golongan harus mengajari tetangganya, dan setiap golongan harus belajar kepada tetangganya. Kalau tidak, aku akan segera jatuhkan hukuman siksa.74 Maka, akan berbahagialah salah satu umat yang dalam lingkungannya ada ulama cerdik-pandai, yang menjadari bahwa kelebihan ilmu yang ada pada diri masing-masing, merupakan amanah yang dipercayakan Allah kepada mereka yang harus dipergunakan untuk membimbing dan menjaga kaum awam, agar tingkat kecerdasan mereka bertambah maju dan terpelihara dari kesesatan dan kebatilan. Di samping itu, ilmu itu digunakan untuk menegur dan membetulkan para penguasa agar mereka jangan keliru mempergunakan wewenang mereka.75 Menurut Natsir, umat Islam tidak akan mendapat kejayaan, semata-mata oleh karena adanya bentrokan antara golongan lain di luar kalangan Islam, baik di Barat atau di Timur. Kejayaan umat Islam, menurut pendapatnya, terutama harus datang dari : Pertama, kesadaran mereka sendiri akan kedudukannya yang sekarang dan kesadaran akan tingkatan yang harus mereka duduki sebagai umat, yakni Ummatan wasathan, yang ditentukan Tuhan. Kedua, tergantung kepada kecakapan untuk mengejar ketinggalan yang berabad-abad dalam lapangan politik, ekonomi, ataupun dalam akhlak moral dan keluhuran budi. Dan ketiga, kepada hidup suburnya kembali solidaritas dan persesuaian langkah antara umat Islam seluruhnya, sehingga terlaksanalah jiwa ukhwah Islamiyah dalam amal dan tindakan mereka, dan sanggup menolak perpecahan baik yang datang dari luar maupun dari dalam, serta sanggup pula membuktikan perbuatan-perbuatan positif kepada dunia, yang diliputi oleh rasa cinta untuk melaksanakan keamanan dan kemakmuran hidup lahir batin dengan tidak memilih bangsa dan warna kulit. Lebih tegas Natsir menyatakan, manakala umat Islam telah dapat membuktikan bahwa mereka rahmatan lil alamin, rahmat bagi semua alam, maka disitulah saat kejayaan akan tercapai.Ibid., hal. 109. Ibid. 74 Teks Arabnya: ) )lihat M. Natsir, Ilmu, Kekuasaan, dan Harta Adalah Amanat Allah, Bulan Bintang, Jakarta, 1967, hal. 14. 75 Ibid, hal. 1572

73

Mohammad Natsir (1908-1993): Landasan Pijak Pemikiran Keagamaannya

16

Islam di Tengah Arus Tradisi Lokal

Campur tangan luar, tidak menjadi pokok, hanya merupakan faktor yang mempercepatkan saja.76 Di lapangan ilmu pengetahuan, sekularisme menjadikan ilmu-ilmu itu terpisah dari nilai-nilai hidup dan peradaban. Etika, menurut kaum sekularis, harus dipisahkan dari ilmu pengetahuan sehingga timbullah pandangan seperti, ilmu sosial harus dipisahkan dari normanorma moral, kultur dan kepercayaan. Bagi mereka yang memisahkan etika dari ilmu pengetahuan mudah saja untuk melepaskan tanggung jawab atas pemakai bom, misalnya.Dari sini tampak bahwa betapa jauhnya pengaruh sekularisme, ilmu pengetahuan sudah dijadikan tujuan sendiri, science for the sake of science.77 Dari sini Natsir melihat kelebihan Agama (Islam) dari paham sekularisme yaitu: Pertama, Agama memberi pemeluknya lebih banyak kemungkinan untuk mencari ilmu pengetahuan dan kebenaran. Segala filsafat yang sekulair mengakui sebanyak tiga dasar berpikir, yaitu Empirisme (mazhab tajribah), rasionalisme (mazhab aqli) dan intuitionisme (mazhab ilhami). Dasar wahyu atau openbaring tidak diakuinya. Agama lebih dari itu. Ia mengkui semuanya dan memberikan ketentuan yang tegas di mana daerah berlakunya masingmasing. Kedua, paham agama meliputi seluruh bagian hidup.78 Dalam sumber keilmuan, Natsir membaginya kepada dua golongan inteligensia. Pertama, ilmu yang bersumber dan bermazhab ke Barat, seperti Leiden, Paris, London dan Berlin. Orangnya disebut dengan gelar atau titel (biasanya) intelektuil. Kedua, ilmu yang bermazhab ke Timur yang berpedoman ke Timur Tengah, seperti Kairo, Mekkah, Aligarh dan Delhi. Orangnya diberi titel (biasanya) dengan kiai kampung atau urang siak. Namun demikian, bagi Natsir, dalam Islam tidak ada pertentangan dan sifat antagonisme antara ilmu Barat dengan ilmu Timur. Islam hanya mengenal antagonisme antara hak dan batil. Semua yang hak akan ia terima, biarpun datangnya dari Barat, semua yang batil akan ia singkirkan, walaupun datangnya dari Timur.79 Ilmu adalah kurnia ilahi yang diamanahkan kepada orang yang memilikinya. Mereka ini bertanggung jawab untuk memelihara dan memperkembang ilmu, menebarkan dan menyiarkannya sehingga dapat dimiliki anggota masyarakat. Mereka berkewajiban menjaga kebersihan ilmu sebagai alat pencari dan penegakkan kebenaran, menjaga integritas ilmu.80 Di samping itu, Natsir juga melihat universitas atau perguruan tinggi sebagai tempat sumber ilmu. Ia merupakan satu tempat yang aman dan tentram yang diliputi oleh suasana damai, tempat orang menggali ilmu pengetahuan, a still centre of learning, untuk mengasah otak dan memberi pendidikan di dalam mempergunakan daya berpikir secara disiplin.81 Dengan demikian ada tiga ciri atau faktor yang menandai tugas universitas: Pertama, ia melatih berpikir secara disiplin, menumbuhkan intelektual disiplin, berpikir bukan secara ngawur, tetapi berpikir secara tertib dan teratur. Kedua, ia merintis ilmu pengetahuan dan mengadakan penyelidikan-penyelidikan dengan berani dan tekun. Ketiga, ia melatih dan menumbuhkan pribadi-pribadi sebagai calon pemimpin yang layak untuk memimpin sebagai korps leadership diberbagai lapangan kehidupan.82 Natsir juga melihat fungsi dan peranan dari Civitas Academica berkembang dari masa ke masa. Ia berkembang dengan tidak meninggalkan tugas utama yakni mendidik, menggali ilmu, mempersiapkan pribadi-pribadi untuk pemimpin negara. Akan tetapi di waktu-waktuM. Natsir, Capita Selecta 2, hal. 272. Konstituante, Ibid., hal. 117. 78 Ibid., hal. 125. 79 M. Natsir, Capita Selecta I, hal. 84-95. 80 M. Natsir, Kumpulan Khutbah Hari Raya, Media Dakwah, Jakarta 1975, hal. 38. 81 M. Natsir, Kegelisahan Ruhani di Barat : Peranan & Tanggung Jawab Civitas Academica dan Perguruan Tinggi, DDII Jatim, Surabaya, 1969, hal. 8. 82 Ibid., hal. 9.77 76

Mohammad Natsir (1908-1993): Landasan Pijak Pemikiran Keagamaannya

17

Islam di Tengah Arus Tradisi Lokal

yang genting dan penting ia menjadi sebuah power dan moral power dan hati nurani masyarakat dalam merobah dan menuntut pemerintahan yang tidak baik.83 Kekuatan universitas terletak pada (1) non patition political force, dan (2) tidak mempunyai kepentingan langsung, tidak mempunyai interest apalagi vested interest.84 Dengan demikian, lambat laun universitas dalam mata masyarakat merupakan kubu benteng pertahanan untuk mempertahankan sendi-sendi intelek, kebudayaan, dan moral.85 Tidak diragukan lagi bahwa kemajuan yang ditemukan oleh ilmu pengetahuan adalah sangat besar dan mengesankan, dan dalam beberapa segi malahan melampaui impian-impian khayal manusia sendiri. Tetapi menurut perbandingan, ruang lingkup semuanya itu masih tetap baru setitik bilamana dibandingkan dengan keluasan cakrawala yang hendak dijangkaunya. Dan masih ada segi lain lagi dari masalah ini. Kita memperoleh kesan bahwa pemecahan terhadap sesuatu permasalahan menuntun kepada terungkapnya sejumlah persoalan baru yang justru dihasilkan oleh permasalahan yang terdahulu itu. Misalkan kita sudah mengetahui segala-galanya tentang planet bumi yang kecil ini, hal itu sebenarnya masih jauh dari pada kenyataan. Masih sekian banyak persoalan yang belum diketahui tentang bumi, samudera dan lautan, tentang padang-pasir yang terbentang luas, hutan rimba yang padat. Misalkanlah kita sudah mengetahui bumi saja maka kita pun telah mencapai bulan. Dan manusia sedang menuju ke Mars.86 Maka tiba-tiba kita menemukan, bahwa segenap tata surya itu barulah merupakan setitik belaka dari gugusan tatasurya dari alam semesta yang terjangkau oleh manusia, itulah batas dari kemampuan yang bisa dimimpikan manusia. Lantas, apakah yang ada di balik semua yang terjangkau tersebut ? Dan bagaimanakah sebenarnya alam yang tidak terjangkau itu ?87 Ajaran agama dalam al- Quran dan sabda Nabi Muhammad sepenuhnya mendukung untuk meningkatkan ilmu pengetahuan. Digunakannya pikiran otak dianjurkan dengan kuat hampir di setiap kalimat dalam al- Quran. Bahkan sabda nabi menganjurkan bahwa masa untuk belajar dalam hidup seorang muslimin adalah sejakdari masa dalam kandungan sampai ke masa dalam kuburan. Namun diperingatkan pula, agar sekali-kali tidaklah diperkenankan untukmengagung-agungkan alam pikiran atau mempertuhankannya. Islam menghargai alam pikiran. Dan itulah satu-satunya peralatan manusia yang membedakan dirinya dari makhluk lain.88 Manusia seharusnya mempergunakan kelebihannya itu untuk menyatakan kesyukurannya kepada Allah. Alam pikiran adalah suatu rahmat yang haruslah dipergunakan sedemikian rupa sehingga menjadi senjata yang ampuh dalam ikhtiar umat dalam mengabdikan dirinya yang lemah ke hadirat Ilahi.89 Apa yang disaksikan sekarang, dengan menengok pengalaman-pengalaman dari Barat yang modern adalah lahirnya suatu kecongkakan yang menjurus kepada pendewaan terhadap alam pikiran manusia. Mereka itu mulai menganggap bahwa agama itu suatu tanda kemunduran dan sebagai suatu penghambat bagi kemajuan, dan memperolok-olokkan keyakinan agama terhadap penemuan-penemuan ilmiah yang dibanggakan. Maka adalah suatu yang banyak diperdebatkan tentang pemisahan dari agama sebagai sisa dari kemajuan manusia. Dan lebih lanjut mereka menuju kepada sekularisasi, dalam arti membuang sama sekali agama-agama sejauh-jauhnya.9083 84

Ibid., hal. 11. Ibid., hal. 12. 85 Ibid. 86 M. Natsir, Dunia Islam, hal. 72. 87 Ibid. 88 Ibid., hal. 73. 89 Ibid. 90 Ibid.

Mohammad Natsir (1908-1993): Landasan Pijak Pemikiran Keagamaannya

18

Islam di Tengah Arus Tradisi Lokal

C. 3. Pendekatan Metode Dakwah dan Diskusi Dakwah merupakan ciri lain yang juga sangat menonjol dalam kepribadian dan aktifitas ilmiah tokoh Mohammad Natsir. Ia selalu menyebarkan dan membela pemikirannya melalui pendekatan dakwah, baik dakwah dalam bentuk tulisan maupun dakwah dalam bentuk lisan (tatap muka) yang lebih dikenal dengan bentuk diskusi. Begitu menonjol aktifitas dakwah dalam kehidupannya, sehingga pada namanya dikenal sebagai mujahid dakwah. Menurut hemat penulis, paling tidak ada tiga dakwah yang ia lakukan, yaitu dakwah dalam dunia pendidikan yang ia mulai dari tahun 1927-an hingga 1942-an, dakwah dalam perpolitikan yang berlangsung dari 1942-an hingga 1966-an dan dakwah dalam lembaga dakwah itu sendiri dari tahun 1967-an hingga ia wafat. Dalam kegiatan dakwah, kadang kala Natsir menerapkan metode mujadalah (perdebatan) sebagai media untuk mencari kebenaran.91 Dalam artian umum, mujadalah tidak hanya berkonotasi perdebatan atau adu argumen untuk meraih kemenangan atas lawan debat, melainkan juga berarti sebagai upaya untuk mencari kebenaran melalui argumen yang benar. Metode mujadalah atau jadali (perdebatan) tersebut telah dilakukan Natsir semenjak usia remaja pada akhir tahun 1920-an, walaupun dalam bentuk perdebatan dan polemikpolemik dalam masalah-masalah sederhana, seperti masalah nawaitu dalam shalat, namun debat-debat tersebut pada gilirannya membuka minat yang lebih luas bagi Natsir untuk mendalami agama dan mengkajinya secara lebih kritis dan bercorak intelektual.92 Ada beberapa pengalaman pribadi yang menarik tentang cara-cara yang khas diajarkan oleh sang gurunya Ahmad Hassan. Ia mengungkapkan pengalaman pribadinya sebagai berikut: Seperti yang telah saya katakan, saya belajar agama dan bahasa Arab dari beliau, walaupun dasar-dasarnya telah saya dapatkan di sekolah diniyah dulu di Sumatera. Saya belajar dengan berkunjung ke rumahnya di Bandung. Kalau saya datang ke tempatnya, dia hampir selalu sedang asyik menulis. Biasanya menulis tafsir al-Quran. Karena dia sedang sibuk, maka saya balik ke luar kamar. Ketika ia melihat, ia berseru memanggil: Natsir..., jangan keluar. Duduklah !. Jawab saya: Tuan kan sedang bekerja. Ya.., duduklah, katanya. Maka mulailah saya berdebat dengan beliau. Biasanya sejak habis (shalat) Ashar sampai maghrib. Apa yang saya maksud dengan berdebat itu memang benar-benar berdebat. Saya membawa permasalahan, lalu kita kaji, atau Tuan Hassan sendiri yang melontarkan masalah pada saya. Kalau saya tidak dapat memecahkan, maka kepada saya dibawakannya sejumlah buku untuk dipelajari. Pada pertemuan berikutnya saya musti dapat menguraikan jawaban permasalahan yang diajukan. Demikian seterusnya Tuan Hassan mengajar saya.93 Bagi Natsir, Islam adalah agama dakwah, Islam tidak memusuhi, tidak menindas unsur-unsur fitrah manusia. Islam mengakui adanya hak dan wujud jasad, nafsu, akal, dan rasa, dengan fungsinya masing-masing. Islam memanggil panca indera, menggugah akal dan kalbu, menyambung jangkauan untuk hal-hal yang tidak tercapai oleh mereka sendiri, sehingga manusia tidak lagi meraba ke sana-sini dan terus salah meraba mencari Tuhannya, seperti yang tersebut dalam cerita lelucon sedih (tragedy comic) tentang nasib lima orang buta yang meraba-raba gajah dengan tangannya untuk mengetahui bagaimana gerangan bentuk gajah itu.94 Bila seorang dai atau muballigh diibaratkan dengan seorang petani, makaUmumnya ulama membedakan antara istilah mujdalah dan munzarah. Istilah pertama lazim diartikan sebagai perdebatan untuk mencari kemenangan atas lawan yang lebih berkonotasi negatif, dan istilah kedua diartikan sebagai bertukar pikiran untuk mencari kebenaran yang lebih berkonotasi positif. 92 Yusril Ihza, Modernisme, hal. 128. 93 A.W. Pratiknya, Pesan Perjuangan, hal. 28. 94 M. Natsir, Fiqhud Dawah, hal. 26-2791

Mohammad Natsir (1908-1993): Landasan Pijak Pemikiran Keagamaannya

19

Islam di Tengah Arus Tradisi Lokal

bidangnya ialah menabur bibit, mengolah tanah, memberi pupuk dan air, menjaga supaya bibit itu cukup mendapat udara dan sinar matahari, melindungi dari hama dan lain-lain.95 Untuk itu ia harus mengetahui cara bercocok tanam, tahu jenis dan sifat benih yang akan ditaburkan, bagaimana keadaan tanah, tempat persemaian, keadaan iklim dan pertukaran musim, apa pantangan-pantangan yang harus dihindari, apa macam hama yang suka menggangu tanaman dan bagaimana memberantasnya.96 Dalam pandangan Natsir, sebagaimana pandangan al-Bahi al- Khulli dalam kitabnya Tadzkiratu al- Du'at, bahwa dakwah adalah usaha memindahkan umat dari satu situasi ke situasi yang lain. Memindahkan umat dari situasi kekufuran ke situasi keimanan. Dan dengan demikian dakwah mempunyai arti pembinaan individu, pembinaan umat dan pembangunan masyarakat. Dakwah adalah usaha merubah dari keadaan negatif kepada keadaan yang positif. Oleh karena itu pembawa dakwah atau da'i adalah seorang yang mengimani sesuatu ajaran, ide yang disampaikannya dengan bertabligh, pembicaraan sehari-hari, maupun dengan amal perbuatannya yang bersifat perseorangan atau sosial, dengan setiap jalan dakwah yang dapat dilakukan.97 Dalam kaitan al- amru bi al- ma'ruf wa al- nahyu 'ani al- munkar, Natsir berpendapat, dakwah adalah syarat mutlak bagi kesempurnaan dan keselamatan hidup bermasyarakat. Ini adalah kewajiban sebagai pembawaan fitrah manusia selaku social being (makhluk sosial), dan kewajiban yang ditegaskan oleh al- Quran dan Risalah Nabi.98 Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa dalam memelihara dan membela keselamatan hidup dan kemashlahatan masyarakat, Islam meletakan tanggung jawab atas masing-masing anggota masyarakatnya sendiri, sesuai dengan prinsip penghargaannya terhadap martabat dan kemerdekaan manusia. Dengan lain perkataan, kekuatan memelihara kemashlahatan dan stabilitas hidup bermasyarakat ditanamkannya dalam masyarakat itu sendiri. Yakni dengan menghidupkan hati nurani atau dhamir (consience) perseorangan untuk mengendalikan diri, yang dapat berkembang menjadi dhamir masyarakat; dan dengan menyuburkan inisiatif, dan swadaya (auto activiteit) masyarakat sendiri, untuk membendung dan memberantas kemungkaran, demi keselamatan masyarakat secara keseluruhannya. Lebih jauh Natsir menyatakan bahwa suatu masyarakat yang rasa tanggung jawab para anggotanya sudah tumpul, dhamir mereka sudah membisu, karena terbiasa dengan hidup digembalakan dari luar, dihalau ke kanan dan ke kiri, dan biasa memulangkan segala-galanya hanya kepada yang berwajib, dengan segala alat kekuasaannya, pada suatu ketika mereka pasti akan terbentur kepada suatu keadaan dimana polisi perlu dipolisii, pengawas perlu diawasi dan lain sebagainya. Batas benar dan salah menjadi kabur, kepercayaan kepada nilainilai moral semakin merosot, para anggota masyarakat menjadi sinis dan kehilangan pegangan. Dalam hal ini, ia melandaskan pemikirannya kepada peringatan yang disabdakan Rasulullah:99

Sesungguhnya manusia, bila mereka melihat kemungkaran, sedangkan mereka tidak mencegahnya, maka datanglah saatnya Allah menjatuhkan siksaan-Nya secara menyeluruh.

Ibid., hal. 132. Ibid., hal. 148. 97 M. Natsir, Dibawah Naungan Risalah, Media Dakwah, Jakarta, 1983, hal. 48. Selanjutnya disebut Naungan Risalah 98 M. Natsir, Fiqhud Dawah, hal. 109. 99 M. Natsir, Fiqhud Dawah, hal. 111.96

95

Mohammad Natsir (1908-1993): Landasan Pijak Pemikiran Keagamaannya

20

Islam di Tengah Arus Tradisi Lokal

Di samping itu dakwah, juga menurut Natsir, adalah konfrontasi. Konfrontasi dalam suasana kebebasan berpikir dan berkeyakinan.100 Sebagaimana seorang muballigh menghadapi beraneka ragam manusia, mereka itupun menghadapinya dengan bermacam cara dan gayanya pula, dia akan sering mengalami pengalaman-pengalaman yang pahit. Maka untuk dapat melakukan tugasnya secara kontinyu, dia harus mampu memelihara ketenangan dan keseimbangan jiwa, dan sanggup pula memulihkan keseimbangan itu, bila mana terganggu di tengah-tengah perbalasan antara aksi dan reaksi secara timbal balik.101 Adapun reaksi balik yang harus dilakukan oleh seorang da'i atau muballigh, seperti yang dicontohkan dan diajarkan Rasulullah dalam menghadapi reaksi masyarakat dapat berupa doa, menyambut tantangan dan memberi maaf serta menutup pintu dendam dan kesumat dengan bersumberkan kepada ketenangan dan keikhlasan jiwanya.102 Dalam memahami makna dan hakikat dari hikmah sebagai terdapat dalam surat alNahl: 125,103 agaknya pandangan Natsir lebih luas dan dalam dari pandangan para ulama lainnya.104 Natsir mengartikan hikmah tersebut kepada : 1. Hikmah dalam arti mengenal golongan. 2. Hikmah dalam arti kemampuan memilih saat, bila harus bicara dan bila harus diam. 3. Hikmah dalam mengadakan kontak pemikiran dan mencari titik pertemuan, sebagai tempat bertolak, untuk maju secara sistematis. 4. Hikmah tidak melepaskan shibghah ( ) 5. Hikmah dalam memilih dan menyusun kata yang tepat. 6. Hikmah dalam cara perpisahan. 7. Hikmah dengan arti Uswah hasanah dan Lisan al-hal.105 Adapun tujuan dari komunikasi atau dalam istilah lain dengan kontak pemikiran sebagai pointer yang ketiga di atas adalah untuk mencari dan mencapai titik pertemuan,Ibid., hal. 133. Ibid., hal. 134. 102 Ibid., hal. 138. 103 Teks ayatnya adalah:100 101

Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan nasehat-nasehat yang baik-baik, dabn bertukar pikiranlah dengan cara yang lebih baik; Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan Dialah yang mengetahui siapa yang terpimpin. 104 Para ulama lain, seperti Muhammad Abduh, mengkaji ayat tersebut dari sisi objek dakwah atau masyarakat selaku sasaran dari dakwah itu sendiri. Ia membagi mereka kepada tiga golongan: Pertama, golongan cerdik cendikiawan yang cinta kebenaran dan dapat berpikir kritis dan menangkap berbagai persoalan. Bagi merekalah hikmah tersebut diarahkan dengan dalil dan hujjah yang dapat diterima oleh kekuatan akal mereka. Kedua, golongan awam yang tidak atau belum mempunyai kemampuan berpikir kritis dan mendalam serta belum dapat menangkap pengertian-pengertian yang tinggi. Dan bagi mereka ini dipanggil dengan mau'idzatun hasanatun, dengan anjuran dan didikan yang baik dan mudah dipahami. sedangkan golongan ketiga adalah golongan yang tingkat kecerdasan mereka berada di antara kedua golongan di atas. Bagi mereka ini dipanggil dengan mujadlah bi al-lati hiya ahsan, yakni dengan bertukar pikiran dan diskusi. Ketiga golongan dapat disimpulkan dengan kalimat dari sabda Rasulullah: ) ) Berbicaralah kepada manusia menurut kadar akal (kecerdasan) mereka masing-masing (HR. Muslim) Lihat Muhammad Abduh, Tafsir al- Manar, Juz III,105

M. Natsir, Fiqhud Dawah, hal. 161-229.

Mohammad Natsir (1908-1993): Landasan Pijak Pemikiran Keagamaannya

21

Islam di Tengah Arus Tradisi Lokal

kalimatin sawa yang dapat dilaksanakan dengan cara ijtihad yang bersifat ilmiah dengan mereka yang dihadapi.106 Bagi Natsir ada dua alat penghubung antara seorang da'i dengan mereka yang dipanggil; Yakni pertama, pengetahuannya tentang sifat-sifat, tabiat dan tingkat kecerdasan mereka dan ini berkaitan dengan cara dan teknik penyampaian dakwah. Sedangkan yang kedua, rasa mawaddah (kasih sayang) yang ikhlas--bukan sandiwara-- terhadap umat yang mereka panggil kepada kebenaran dengan mempercayai dan menghormati nilai-nilai dan martabat manusia serta menolak segala macam teknik paksaan dan tindasan.107 Sebagaimana diketahui bahwa manusia adalah makhluk yang berpikir. Maka selama terbuka kesempatan untuk berpikir, maka tetap ada kemungkinan bagi manusia untuk berbeda paham dalam kejujuran (honest diffrences of opinion) sebagai hasil dari berpikir dan berijtihad. Perbedaan paham dan pendapat bukanlah suatu hal yang ditakuti dan bukan pula menjadi sumber perpecahan atau tafarruq. Tetapi ia merupakan pendorong untuk mengasah otak dan meninggikan mutu berpikir, mutu kecerdasan umat. Tafarruq timbul apabila perbedaan pendapat ditunggangi oleh hawa nafsu pada pihak-pihak yang bersangkutan samasama tidak mengetahui ke mana tempat pulang, yaitu tempat memulangkan persoalan, bila tidak diperoleh persetujuan. Berkaitan dengan hal ini, Allah berfirman dalam surat al- Nisa: 59.108 Maka apabila kamu berbantahan dalam sesuatu perkara, kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul (QS. Al- Nisa 4: 59). Di kalangan mereka yang kekaburan wijhah (pandangan) itu, bila ada perbedaan pendapat, yang terjadi bukanlah musyawarah, bukan pertukaran hujjah bi al-lati hiya ahsan untuk mencari kebenaran. Yang timbul ialah pertengkaran, saling cap-mencap, tanabazu bi alalqab, saling ejek-mengejek, untuk mencari kemenangan pengaruh pribadi atau golongan. Dan yang menyebabkan tafarruq bukanlah semata-mata perbedaan paham dan pendapat.109 Adapun sebab timbulnya tafarruq bukan saja lantaran tidak adanya hikmah dalam dakwah, tetapi ada sifat ananiyah (egois) yang mengantikan sifat ikhlas. Sehingga bila sudah datang sifat ananiyah yang mencampuri urusan dakwah ini, maka hinggaplah penyakit riya pada diri da'i dan ta'assub pada lingkungan pengikutnya. Kedua macam penyakit tersebut dapat menghalangi muballigh untuk kembali kepada kekeliruan dan mendorongnya supaya mempertahankan tuah dan prestise diri dan golongan sehingga menutup matanya dari tempat untuk bertahkim, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh risalah, sahabat dan para Imam Mujtahid.110 Bagi Natsir, etika berdakwah merupakan sesuatu yang sangat penting untuk mendukung proses pencapaian tujuan dakwah, baik etika terhadap internal umat Islam maupun etika terhadap eksternal umat Islam. Secara umum, akhlak karimah atau moral dalam dakwah bagi Natsir merupakan masalah penting yang tidak boleh dilupakan oleh pelaku dakwah. Ia mengibaratkan seorang muballigh dalam membawakan dakwah Islam tidaklah harus berlaku seorang yang membawa landak ke tengah pasar yang badannya penuh duri, panjang-panjang dan runcing-runcing, siapa yang mendekat kena tusuk.111 Pernyataan tersebut harus dipakai sebagai simbol secara mendalam bagi pelaku dakwah agar misi Islam sebagai rahmatan li allamn dapat menyentuh nurani umat. Karena masyarakat sebagai objek dakwah, memiliki kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologinya, maka mereka semakin kritis menilai setiap informasi yang sampai kepadanya. Seringkali masyarakat merasa kecewa bukan kepadaIbid., hal. 229. Ibid., hal. 232. 108 M. Natsir, Ummat, hal. 18-19. 109 Ibid., hal. 19. 110 Ibid., hal. 252. 111 M. Natsir, Fiqhud Dawah, hal. 188.106 107

Mohammad Natsir (1908-1993): Landasan Pijak Pemikiran Keagamaannya

22

Islam di Tengah Arus Tradisi Lokal

materi dakwah yang disampaikan melainkan ucapan dan ungkapan muballigh yang tidak etis, seperti menuding, memojokkan dan memvonis prilaku masyarakat yang serba munafik, kafir dan sebagainya. Ia mengatakan tegur dan sapa tidak keluar dari hati yang benci dan permusuhan. Nawaitu dan motivasi sebagai muslim dan muslimah dalam melakukan tugas amar maruf nahi munkar, tegur sapa itu tidak didorong oleh kebencian dan permusuhan, malah sebaliknya harus menumbuhkan rasa cinta dan persaudaraan.112 Dengan demikian dakwah yang bertumpu pada rasa cinta dan kasih sayang serta persaudaraan mengandung beberapa konsekuensi logis dalam penerapan. Pertama, ajakan dakwah kepada umat hendaknya bersih dari rasa benci dan permusuhan. Kedua, tutur kata maupun ucapan pelaku dakwah harus didasarkan kepada akhlak mulia atau moral dan etika. Ketiga, menjauhi sifat suka menuding dan saling mengkafirkan, apalagi terkesan membuka aib sesama manusia. Dan keempat, menciptakan kondisi yang bersahabat dan akrab dengan objek dakwah agar mereka memiliki rasa ikut bertanggung jawab untuk meneruskan informasi dakwah kepada yang lainnya. Dalam menghadapi golongan eksternal lain yang tidak sepaham, umat Islam, menurut Natsir, juga harus dan telah memiliki kode ethik,113 yakni harus sama-sama mengadakan modus vivendi untuk hidup berdampingan, dengan menghormati identitas masing-masing agar dapat melakukan koeksistensi secara damai. Artinya dalam mempertahankan dan mempertinggi mutu agama, masing-masing penganut agama menjaga agar jangan ada satu golongan agama merasakan dirinya sebagai sasaran propaganda dari agama yang lain.114 Di samping itu, Natsir menambahkan bahwa kode ethik115 tersebut merupakan pedoman, yang antara lain, dalam menegaskan bahwa keyakinan agama tidak boleh (dan memang tidak bisa) dipaksa-paksakan. Tidak ada paksaan dalam keyakinan agama!. Oleh karena itu dakwah harus dilakukan dengan hikmah kebijaksanaan, dengan didikan yang baik dan dengan bertukar pikiran dengan cara yang terbaik pula. Sesuai dengan kode etik itu pula, umat Islam tidak menganggap ummat Masehi sebagai orang-orang heiden atau orang animis yang masih belum beragama. Bagi kami, demikian Natsir, umat Masehi adalah apa yang disebut Ahli Kitab, yang mempunyai kedudukan yang khusus dalam penilaian Islam. Terhadap Ahli Kitab umat Islam diperintahkan untuk berlaku adil dan menciptakan kemerdekaan dalam melaksanakan ajaran agama masingmasing, sebagai tercantum dalam seruan Allah pada surat al- Syura 42: 15 dan Ali Imran 3: 64,116 yang berbunyi:

Aku diperintah supaya berlaku adil terhadapmu. Allah adalah Tuhan kami dan Tuhan-mu juga. Bagi kami amalan kami, bagimu amalanmu pula. Tidak ada alasan untuk sengketa antara kita; Allah jua yang akan menghimpun kita. Dan kepada-Nyalah kita akan (sama-sama) kembali (QS. Al- Syura 42: 15).

M. Natsir, Masjid Jamaah Ukhuwah dalam Serial Khutbah Jumat, No. 42 Rabiul Awal 1405 H/ Desember 1984 M., hal. 35. 113 M. Natsir, Islam dan Kristen, hal. 234. 114 Ibid., hal. 248. 115 Ibid, hal. 212-213. 116 Ibid., hal. 213.112

Mohammad Natsir (1908-1993): Landasan Pijak Pemikiran Keagamaannya

23

Islam di Tengah Arus Tradisi Lokal

Kami berseru kepada saudara-saudara kami Ahli Kitab: Marilah kita samasama kembali kepada titik pertemuan antara kami dan saudara-saudara, yakni supaya kita tidak menyembah selain dari Allah, dan supaya tidak mendewakan antara satu sama lain (QS. Ali Imran 3: 64) Dalam pandangan Natsir, sebagaimana Islam mengajarkan, bahwa semata-mata perbedaan agama saja, tidaklah otomatis harus menjadi sumber persengketaan. Dakwah tidak boleh dengan sikap memaksa atau memakai cara-cara licik. Martabat manusia sebagai makhluk Allah (human dignity) serta identitas sesama manusia harus mendapat penghormatan. Dengan demikian di Indonesia telah terjalin dengan mesra tali persahabatan yang akrab antara banyak oknum-oknum yang beragama Kristen dan oknum-oknum yang beragama Islam, baik dalam perjuangan mencapai kemerdekaan maupun setelahnya, seperti sekarang ini, dan ia sendiri mempunyai sahabat-sahabat yang demikian itu.117 Namun, pada saat-saat tertentu, Natsir tampil ke depan dengan garang dan tegas, bila pihak eksternal berani mengusik keberagamaan seorang yang telah beragama (Islam). Hal ini terlihat dengan nada tajam dan tegas, Natsir menyerukan kepada umat Kristiani:118 Hanya satu saja permintaan kami: Isyhadu bianna Muslimun ! Saksikanlah dan akuilah bahwa kami ini adalah Muslimin! Yakni orang-orang yang sudah memeluk agama. Agama Islam. Orang-orang sudah mempunyai identitas, identitas Islam. Jangan identitas kami saudara-saudara ganggu. Jangan kita ganggumengganggu dalam soal agama ini. Agar agama jangan menjadi pokok sengketa yang sesungguhnya tidak perlu, dan tidak semestinya begitu. Marilah saling hormat-menghormati identitas kita masing-masing, agar kita tetap berteman ddan bersahabat baik dalam lingkungan iyaalullah keluarga Tuhan Yang Satu itu. Kami umat Islam tidak apriori menganggap musuh terhadap orang-orang yang bukan Islam. Tetapi tegas pula Allah s.w.t. melarang kami bersahabat dengan orang-orang yang mengganggu agama kami, agama Islam. Malah kami dianggap zhalim bila berbuat demikian. (Al-Mumtahanah 9). Dengan sepenuh ahti kami mengharapkan, supaya saudara-saudara tidaklah hendaknya mempunyai hasrat sebagaimana idam-idaman sementara golongan orang Nashara yang disinyalir dalam al- Quran yang tidak senang duduk, bila belum dapat mengkristenkan orang-orang yang sedang manganut agama Islam. Mudah-mudahan jangan demikian. Sebab kalau demikian, maka kan putuslah tali persahabatan kita, akan putus pula tali suka dan duka yang terjalin selama ini antar kita semua. Jangan-jangan nanti jalan kita bersimpang dua, dengan segala akibatnya yang menyedihkan. Baiklah kita berpahit-pahit! Kadang-kadang anatar saudara dengan saudara, ada baiknya berbicara berpahit-pahit. Yakni yang demikian tidak akan dapat kami lihatkan sajan sambil berpangku tangan. Sebab kalaulah ada suatu harta yang kami cintai lebih dari segala-galanya itu, ialah agama dan keimanan kami. Itulah yang hendak kami wariskan kepada anakcucu dan keturunan kami. Jangan tuan-tuan coba pula memotong tali warisan ini.Ibid., hal. 242. Seruan ini Natsir sampaikan pada khutbah Hari Raya Idul Fitri yang bertepatan dengan hari tahun baru tanggal 1 Januari 1968, sebagai sambutan terhadap seruan Sri Paus Paulus VI untuk menjadikan tahun baru itu sebagai Hari Perdamaian. Lihat Ibid., hal. 249.118 117

Mohammad Natsir (1908-1993): Landasan Pijak Pemikiran Keagamaannya

24

Islam di Tengah Arus Tradisi Lokal

Kami diwajibkan Allah swt. Untuk menjaga dan memelihara harta ini sampai dia selamat dan aman, jadilah agama itu karena Allah semata-mata. Kalau bisa, dengan teman bersama-sama. Kalau tidak, seorang diri sebatang kara Memang sudah begitu ajaran agama kami. Di akhir seruannya, Natsir menambahkan sebuah pepatah Belanda : Een goed verstaander heeft slechts een half woord nodig, Bagi seorang arif: belum dilihat, sudah terpaham. Dalam kasus perbedaan pendapat, Natsir memberikan keteladanan yang penting kepada generasi sekarang. Ia seringkali berbeda pendapat dengan tokoh lain, bahkan perbedaannya demikian