buletin payo-payo edisi 06

12
1 HALAMAN PAYO-PAYO kabar pertanian dan pembangunan dari warga Edisi VI Agustus 2014 Apa latar belakang lahirnya Undang-Un- dang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa? Undang-Undang tentang desa mencoba menga- tur berbagai hal secara maksimal. Dengan hara- pan, semua yang diatur dalam undang-undang ini jelas, tidak membutuhkan lagi Peraturan Pemerintah ataupun Peraturan Menteri. Bahkan hal-hal krusial selesai di dalam undang-undang ini. Selama Indonesia merdeka, kita baru memiliki Undang-Undang Desa sebanyak dua kali. Per- tama Undang-Undang No. 5 Tahun 1979, yang berlaku selama dua puluh tahun sampai tahun 1998. Namun, karena dianggap sebagai masalah yang merugikan masyarakat desa, maka un- dang-undang ini dicabut sebagai bagian dari tuntutan reformasi. Kedua, di awal tahun ini dikeluarkan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Mengapa persoalan tentang desa itu sede- mikian pelik? Sebenarnya di luar dua undang-undang yang saya sebutkan tadi, kita memiliki satu undang- undang yang lain, yaitu undang-undang No. 19 Membongkar Undang-Undang Desa TIM PAYO-PAYO Berikut ini kami akan sampaikan hasil diskusi Undang-Undang tentang Desa. Diskusi berlangsung di dua kabupaten di Sulawesi Selatan, Pangkep dan Sop- peng, Agustus 2014. Narasumbernya R.Y. Zakaria, mantan staf ahli penyusunan Rancangan Undang-Undang Desa di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Upload: penerbit-ininnawa

Post on 06-Apr-2016

245 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Pertanyaan-pertanyaan tentang Undang-Undang Desa

TRANSCRIPT

Page 1: Buletin Payo-Payo Edisi 06

1HALAMAN

PAYO-PAYOkabar pertanian dan pembangunan dari warga

Edisi VI Agustus 2014

Apa latar belakang lahirnya Undang-Un-dang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa?

Undang-Undang tentang desa mencoba menga-tur berbagai hal secara maksimal. Dengan hara-pan, semua yang diatur dalam undang-undang ini jelas, tidak membutuhkan lagi Peraturan Pemerintah ataupun Peraturan Menteri. Bahkan hal-hal krusial selesai di dalam undang-undang ini.

Selama Indonesia merdeka, kita baru memiliki Undang-Undang Desa sebanyak dua kali. Per-tama Undang-Undang No. 5 Tahun 1979, yang berlaku selama dua puluh tahun sampai tahun

1998. Namun, karena dianggap sebagai masalah yang merugikan masyarakat desa, maka un-dang-undang ini dicabut sebagai bagian dari tuntutan reformasi. Kedua, di awal tahun ini dikeluarkan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

Mengapa persoalan tentang desa itu sede-mikian pelik?

Sebenarnya di luar dua undang-undang yang saya sebutkan tadi, kita memiliki satu undang-undang yang lain, yaitu undang-undang No. 19

Membongkar Undang-Undang Desa TIM PAYO-PAYO

Berikut ini kami akan sampaikan hasil diskusi Undang-Undang tentang Desa. Diskusi berlangsung di dua kabupaten di Sulawesi Selatan, Pangkep dan Sop-

peng, Agustus 2014. Narasumbernya R.Y. Zakaria, mantan staf ahli penyusunan Rancangan Undang-Undang Desa di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Page 2: Buletin Payo-Payo Edisi 06

2HALAMAN

Tahun 1965.

Tapi karena krisis politik pada waktu itu, Orde Baru mengganti semua program yang ber-hubungan dengan komunis yang memberi kekuasaan luas kepada rakyat di desa. Rezim Soeharto kemudian mencabut undang-undang itu. Sehingga peluang membangun desa dengan kewenangan yang lebih luas, keuangan yang lebih banyak, dan seterusnya, itu tidak jadi ter-laksana.

Sebenarnya bagaimana konstitusi kita, UUD 1945, memperlakukan desa sejak awal?

Kalau kita mempelajari UUD 1945, maka kita akan menemukan perdebatan panjang di dalam Badan Penyelenggara Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI. Dalam perdebatan di BPUPKI itu dikatakan bahwa daerah-daerah itu memiliki hak istimewa dan memiliki otonomi. Desa-desa itu memiliki hak asal-usul. Sebuah hak yang melekat kepada desa, bukan sebuah hak yang diberikan, tapi se-buah hak yang sudah ada.

Desa-desa yang dimaksud adalah ‘desa’ di Jawa,

Kalau kita bicara soal adanya otonomi desa atau pengakuan terhadap hak asal-usul tadi, setidaknya hak asal-usul itu mencakup tiga hal:

1) Desa adalah sebuah sistem sosial budaya. Arti nya, dikampung itu ada sejumlah orang yang hidup bersama, saling berhubungan satu sama lain, dan mempunyai aturan-aturan bagaimana cara hidup bersama.

2) Desa adalah sebuah sistem sosial politik. Art-inya, di desa itu ada struktur kekuasaan. Siapa menjadi pemimpin di desa itu, siapa yang men-jadi tokoh adat di desa itu, semua ada aturan-aturannya. Bahkan para ahli hukum adat me-ngatakan, kampung itu seperti republik kecil. Trias Politica itu sudah ada di dalam kampung. Kalau di Minangkabau ada yang namanya ‘wali nagari’ itu eksekutifnya, ‘krapatan adat nagari’ itu yudikatifnya, dan ‘perwakilan adat nagari’ itu legislatifnya.

3) Desa adalah sebuah sistem sosial ekonomi. Desa itu melekat atau menguasai apa yang dis-ebut ulayat. Jadi sebuah desa itu memiliki harta kekayaan, setidak-tidaknya dalam bentuk tanah.

Jadi kalau kita bicara tentang pengakuan terha-

Selama Indonesia merdeka, kita baru memiliki Undang-Un-dang Desa sebanyak dua kali. Pertama Undang-Undang No. 5 Tahun 1979, yang berlaku selama dua puluh tahun sam-pai tahun 1998. Namun, karena dianggap sebagai masalah

yang merugikan masyarakat desa, maka undang-undang ini dicabut sebagai bagian dari tuntutan reformasi.

‘nagari’ di Minang, ‘gampong’ di Aceh. Di Su-matra bagian selatan ada yang disebut de ngan ‘marga’, di Kalimantan ada yang menyebut ‘wanua’. Nah, menurut Pasal 18 (UUD 1945), di-katakan bahwa negara harus menghormati hak asal-usul itu.

Pertanyaannya adalah apa-apa saja yang melekat sebagai hak asal-usul itu? Dan bagaimana negara setelah kemerdekaan memperlakukan hak asal-usul itu di berba-gai undang-undang yang sudah kita bahas tadi?

dap otonomi desa atau mengakui hak asal-usul, sebenarnya adalah pengakuan negara terhadap sekurang-kurangnya tiga hal di atas.

Mari kita lihat, apa yang terjadi setelah UUD 1945 disusun, terutama setelah sejumlah pera-turan perundangan yang lain disusun untuk menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dari aspek sosial budaya, banyak kebijakan negara yang tidak mengakui sistem budaya di masyarakat Indonesia. Misalkan budaya kaharingan di Kali-mantan, budaya-budaya yang ada di Mentawai, pedalaman Sumatra dan lain sebagainya.

Page 3: Buletin Payo-Payo Edisi 06

3HALAMAN

Sampai pada awal 1980-an, pemerintah mem-buru orang-orang yang tidak masuk ke dalam enam agama resmi. Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha serta Konghuchu. Di luar yang enam itu dilarang karena dianggap tak masuk ke dalam sila pertama Pancasila.

si tadi. Desa diperlakukan hanya sebagai peme-rintahan, unit administrasi, dan tidak mendapat pengakuan seperti di atas.

Oleh karena itu, Undang Undang No. 22 Tahun 1999 mengatakan bahwa Undang Undang No. 5 Tahun 1979 yang mengatur tentang desa itu

Sampai hari ini tidak ada peraturan perundangan turunan dari undang-undang agraria, bagaimana negara mencatatkan tanah ulayat. Se-

buah tanah yang dikuasai sebuah desa atau kelompok, bukan orang per-orang yang biasanya digunakan untuk tanah perkuburan, ladang

perburuan, sungai, dan laut. Yang terjadi kemudian, tanah yang tadinya tempat kehidupan masyarakat desa kemudian beralih kepada perusa-

haan-perusahaan atau perkebunan.

Saya menyaksikan sendiri di Mentawai, di mana rumah-rumah ibadah, perabotan ibadah ‘arat bulungan’ itu dibakar dan tabibnya di penjara. Ini terlepas soal keimanan kita masing-masing. Tapi bagaimana negara menjamin itu. Sampai hari ini pun sebenarnya kita masih bisa melihat kasus-kasus yang sama. Misalnya, perlakuan terhadap Syiah, perlakuan terhadap Ahmadiyah dan lainnya.

Dari aspek sosial ekonomi Undang Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 juga mengakui hak rakyat atas tanah dengan menyebutkan bah-wa negara mengakui tanah-tanah ulayat.

Akan tetapi, sampai hari ini tidak ada peratur-an perundangan turunan dari Undang-Un-dang Agraria, bagaimana negara mencatatkan tanah ulayat itu. Sebuah tanah yang dikuasai sebuah desa atau kelompok, bukan orang per-orang yang biasanya digunakan untuk tanah perkuburan, ladang perburuan, sungai, laut, dan sebagainya.

Yang terjadi kemudian, tanah yang tadinya tem-pat kehidupan masyarakat desa kemudian beral-ih kepada perusahaan-perusahaan, perkebun an, dan sebagainya. Seperti kasus agraria yang ada di Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan, yang tanahnya diambil oleh PT. Lonsum melalui su-rat Hak Guna Usaha.

Namun yang lebih celaka adalah Undang-un-dang No. 5 tahun 1979. Undang Undang ini tidak melihat desa sebagai keutuhan tiga dimen-

bertentangan dengan konstitusi karena tidak sesuai dengan tiga elemen hak asal-usul tadi.

Apa saja perubahan mendasar dari Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya?

Undang-undang yang baru ini mencoba men-gakui kembali desa dalam wujudnya yang utuh. Artinya undang-undang ini mengakui kam-pung, desa, atau nama lainnya sebagai sistem sosial budaya, sistem sosial ekonomi, dan sis-tem sosial politik. Jadi dasar pemikirannya ada-lah bagaimana negara mengakui hak asal-usul desa. Dengan pendekatan seperti itu, sekurang-kurangnya ada lima pokok perubahan yang pa-ling mendasar.

Lima pokok perubahan tersebut adalah:

Pertama, Mengakui desa secara beragam. Jadi tidak ada lagi penyeragaman pengelolaan desa. Sekurang-kurangnya sekarang ini ada dua ben-tuk desa yang bisa dipilih. Desa atau Desa Adat.

Keduanya sama-sama mempunyai hak dan ke-wenangan untuk mengurus pemerintahan dan pembangunannya sendiri. Bedanya, desa ter-bentuk berdasarkan ukuran-ukuran rasional administratif. Misalkan penduduk minimal 3.000 jiwa atau 600 Kepala Keluarga.

Sedangkan desa adat, terbentuk berdasarkan hak asal-usul. Kalau memang dia merupakan sebuah persekutuan atau komunitas kelompok

Page 4: Buletin Payo-Payo Edisi 06

4HALAMAN

yang sudah ada sejak lama, memiliki nilai seja-rah, dan pembentukan desa adat tidak bergan-tung standard administrasi.

Kedua, terjadi perubahan bentuk kewenangan desa atau desa adat. Perubahan ini didasari oleh perubahan cara berpikir tentang hubungan desa dan negara. Selama ini peraturan perundangan mengatakan bahwa otonomi desa itu merupa-kan bagian dari otonomi daerah.

Makanya desa tidak diatur oleh undang-undang sendiri dan disebut pemerintahan desa. Dengan cara berpikir yang baru sesuai dengan konsti-tusi, maka otonomi desa bukan lagi bagian dari otonomi daerah. Karena itu banyak yang her-an, mengapa undang-undang desa sudah bisa ditetapkan sementara undang-undang pemerin-tahan daerah belum?

Hal ini karena, landasan hukumnya bukan lagi bersifat ‘adik-kakak’ melainkan sendiri-sendiri. Otonomi daerah dikembangkan berdasarkan pasal 18 dan 18a (UUD 1945), sedangkan otonomi desa dikembangkan berdasarkan pasal 18b ayat 2. Imp-likasinya adalah kewenangan yang ada di desa tidak lagi berdasarkan prinsip desentralisasi melainkan prinsip rekognisi dan subsidiaritas.

Rekognisi merupakan pengakuan terhadap hak dan kewenangan yang memang sudah melekat pada desa. Sementara subsidiaritas adalah segala sesuatu yang bisa diselesaikan oleh desa, tidak boleh dikerjakan oleh pemerintahan yang lebih tinggi seperti kabupaten atau provinsi

Ketiga, terjadi konsolidasi keuangan dan aset desa. Informasi yang mengatakan desa akan mendapatkan satu milyar di setiap desa itu bu-

kan datang secara tiba-tiba. Sebenarnya hari ini tanpa undang-undang desa pun, anggaran yang masuk ke desa sudah ada hingga Rp 1,2 miliar.

Hanya saja ada disalurkan melalui Dinas Pekerajaan Umum, Program Nasional Pember-dayaan Masyarakat atau PNPM dan lain-lain.

Dalam pengelolaan keuangan ini, dulu ‘bos-nya’ banyak, sementara sekarang hanya Kepala Desa. Tapi kalau dulu yang ditangkap adalah kepala-kepala dinas, maka sekarang mungkin kepala desa.

Jadi intinya, informasi tentang uang satu miliar rupiah tersebut bukanlah sesuatu yang baru, melainkan itu hanya konsolidasi keuang an. Ini tidak main-main, karena menurut simu-lasi kami, keuangan desa akan mengalami perubah an minimal tiga kali lipat dari apa yang ada sekarang.

Keempat, perencanaan pembangunan yang terintegrasi. Jadi kedepannya nanti, ada dua pembangunan di desa. Pertama, ‘desa mem-bangun’. Artinya, uang tadi diberikan ke desa kemudian desa merencanakan penggunaann-ya. Kedua, ‘pembangunan desa’ yaitu pemban-gunan desa dari sektor pemerintah di atasnya, seperti pemerintah kabupaten, provinsi atau-pun pusat.

Kelima, demokratisasi desa. Dalam konteks kelembagaan, desa tidak hanya akan diurus oleh kepala desa, aparat desa, dan Badan Per-wakilan Desa atau BPD, tapi juga diperkenal-kan mekanisme pengambilan keputusan ter-tinggi untuk hal teknis-strategis yang disebut

Informasi yang mengatakan setiap desa akan mendapatkan satu miliar itu bukan datang secara tiba-tiba. Sebenarnya hari ini tanpa

undang-undang desa pun, anggaran yang masuk ke desa sudah ada hingga Rp 1,2 miliar. Hanya saja ada disalurkan melalui Dinas Pekera-

jaan Umum, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat atau PNPM dan lain-lain.

Dalam pengelolaan keuangan ini, dulu ‘bosnya’ banyak, sementara sekarang hanya Kepala Desa. Tapi kalau dulu yang ditangkap adalah

kepala-kepala dinas, maka sekarang mungkin kepala desa.

Page 5: Buletin Payo-Payo Edisi 06

5HALAMAN

sebagai musyawarah desa, yang diikuti oleh kepala dan aparat desa serta perwakilan dari kelompok-kelompok kepentingan yang berada di dalam masyarakat bersangkutan.

Melalui Musyawarah Desa ini, ruang terbuka sebesar-besarnya kepada masyarakat untuk ter-libat di dalam kegiatan pemerintahan dan pem-bangunan desa. Bukan saja soal perencanaan atau musrenbang (Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan), tapi masyarakat juga me-miliki hak untuk mendapatkan informasi ten-tang pelaksanaan pembangunan di desa, peng-gunaan keuangan desa, dan sebagainya. Jadi tujuan demokratisasi desa adalah optimalisasi terhadap keuangan dan kewenangan itu sendiri.

Apa saja tantangan yang akan dihadapi dalam implementasi undang-undang ini?

Banyak pengamat maupun peneliti yang pesimis dalam memandang undang-undang ini. Mereka beranggapan bahwa undang-undang tentang desa ini akan memanjakan daerah. Desa juga dianggap tidak memiliki kapasitas dalam men-gelola sumber daya yang akan diberikan ke desa. Seperti alokasi dana desa yang jumlahnya hanya ratusan juta rupiah saja bisa dikorupsi, apalagi dengan anggaran hingga milyaran rupiah. Na-mun anggapan ini sebenarnya hanya ketakutan saja, karena mereka tidak melihat bahwa sebe-narnya ada pemikiran-pemikiran mendasar se-hingga DPR dan pemerintah berani mengambil keputusan yang cukup radikal dalam pengelo-laan desa.

Meskipun kita juga tidak bisa menutup mata mengenai beberapa dampak negatif lain yang berpotensi muncul dari pemberian kewenang-

an kepada desa. Apalagi peralihan ini sangat drastis sehingga paling tidak ada beberapa hal yang mungkin akan menjadi tantangan, seperti menguatnya politik uang pada pemilihan kepala desa, pengembangan kapasitas aparat pemerin-tah desa yang tidak berjalan dan berkesinam-bungan sehingga menyebabkan lemahnya kelembagaan desa, dan lainnya.

Undang-undang ini juga tidak akan bisa men-gubah suatu desa secara serentak. Dan terlepas dari potensi timbulnya masalah di atas, saat ini, yang paling penting adalah bagaimana semua warga desa mengetahui semangat dan isi dari undang-undang desa ini.

Kalau masyarakat tidak mengetahuinya, per-ubahan-perubahan yang ada dalam undang-undang ini tetap akan menjadi ruang pesta elit desa. Oleh sebab itu, penting menyampaikan perubahan-perubahan itu ke masyarakat se-hingga kerja-kerja bersama yang dibutuhkan bisa lebih diupayakan di masa mendatang.

Jadi saat ini, keadaan desa sangat tergantung kepada masyarakat desa itu sendiri. Apakah ancaman-ancaman ini akan menghalangi ter-capainya tujuan atau masyarakat mampu men-goptimalisasi peluang-peluang yang ada untuk kepentingan pembangunan di desa?

Apa yang melatar belakangi perpanjangan periode kepala desa, dari dua kali masa jabatan menjadi tiga kali masa jabatan?

Yang terpenting juga harus dipahami filosofi di balik penambahan masa periode jabatan kepala desa. Berkarir di desa itu bisa jadi daya tarik yang baru, karena desa punya banyak potensi

Banyak pengamat maupun peneliti yang pesimis dalam memandang undang-undang ini. Mereka beranggapan bahwa undang-undang

tentang desa ini akan memanjakan daerah. Desa juga dianggap tidak memiliki kapasitas dalam mengelola sumber daya yang akan diberi-kan ke desa. Seperti alokasi dana desa yang jumlahnya hanya ratus-an juta rupiah saja bisa dikorupsi, apalagi dengan anggaran hingga

miliaran rupiah.

Page 6: Buletin Payo-Payo Edisi 06

6HALAMAN

sumber daya yang dapat dikembangkan dengan baik dibanding sebelumnya.

Dengan adanya alokasi dana desa, maka desa itu memiliki modal sendiri. Jadi dengan perpanjan-gan masa jabatan kepala desa, orang desa yang potensial bisa memiliki waktu yang lebih pan-jang untuk membangun desanya.

Mengapa dalam persyaratan calon kepala desa, jenjang pendidikan dimulai dari SMP, sementara aparat pemerintah desa dimulai dari SMU?

Bicara soal pendidikan kepala desa tidak be-gitu penting. Kades dan BPD itu urusan kepemimpin an dan ketokohan. Berbicara soal kepemimpinan, tidak melulu soal pendidikan. Sedangkan untuk perangkat desa memang dibutuhkan yang berkapasitas untuk menjalan-

rekrut maksimal berusia 42 tahun?

Alasan untuk memberikan peluang bagi war-ga desa yang memiliki potensi untuk bekerja setidaknya tiga periode pemerintahan kepa-la desa. Batas usia pensiun 60 tahun, maka setidaknya masih memiliki kesempatan untuk memberikan pelayanan kepada warga selama 18 tahun.

Selain itu, investasi desa yang diberikan kepa-da aparat tersebut, melalui berbagai pelatihan pengembangan kapasitas masih bisa digunakan setidaknya sebelum memasuki masa pensiun.

Karena jika tidak dilakukan pembatasan usia perekrutan, bisa jadi akan ada aparat pemerin-tah yang hanya bekerja kurang dari 10 tahun sehingga membutuhkan lagi penyesuaian-pe-nyesuaian ketika mencari orang baru.

Apa perbedaan mendasar antara Musren-bangdes (Musyawarah Perencanaan Pem-

Banyak pengamat maupun peneliti yang pesimis dalam memandang undang-undang ini. Mereka beranggapan bahwa undang-undang

tentang desa ini akan memanjakan daerah. Desa juga dianggap tidak memiliki kapasitas dalam mengelola sumber daya yang akan diberi-kan ke desa. Seperti alokasi dana desa yang jumlahnya hanya ratus-an juta rupiah saja bisa dikorupsi, apalagi dengan anggaran hingga

miliaran rupiah.

kan fungsi dan tugasnya.

Desa tidak maju, karena kapasitas perangkat desa yang rendah, dan sering berganti-ganti. Ke-tika Kepala desa baru, maka perangkat desanya pun berganti layaknya rezim. Nah, undang-un-dang ini mencoba membatasi itu.

Jadi intinya ada pada pilihan masyarakat desa apakah memilih kepala desa yang berpendidi-kan SMP, SMA atau di atasnya. Sementara un-tuk perangkat desa itu berbeda. Karena mereka akan dilatih untuk menjadi tenaga kerja yang mumpuni sehingga menjadikan fungsi-fungsi kepemimpinan kepala desa bisa berjalan de-ngan baik.

Mengapa dalam peraturan pemerintah No. 43 Tahun 2014, aparat desa yang akan di-

bangunan Desa) dengan Musyawarah Desa sehingga masyarakat desa harus terlibat ak-tif?

Ini yang ingin diselesaikan oleh undang-undang desa. Musrenbagdes itu hanya bohongan saja. Menurut data nasional, yang turun di musren-bangdes itu hanya 0.02 persen selebihnya itu il-ustrasi.

Musrenbangdes justru merusak masyarakat ka-rena masyarakat disuruh begadang untuk mel-akukan perencanaan, tapi tidak pernah dipe-nuhi. Celakanya, justru penyakit ini masih ada di desa. Kalau sikap masyarakat masih seperti itu terhadap musrenbangdes, maka nasibnya akan ditentukan oleh kepala dusun.

Sekarang masyarakat harus ikut musrenbangdes karena anggaran desa itu sudah jelas ada. Kalau

Page 7: Buletin Payo-Payo Edisi 06

7HALAMAN

BULETIN PAYO-PAYO diterbitkan oleh sekolah rakyat petani (SRP) Payo-Payo be-kerjasama dengan Dewan Mahasiswa Helsinki (HYY). PIMPINAN REDAKSI Nurhady Sirimorok; REDAKTUR PELAKSANA Anwar Jimpe Rachman; TIM KERJA PROGRAM Karno B. Batiran, Hasnulir Nur, Jumadil M Amin, Muh. Imran (Tompo Bulu), As'ad Rauf (Soga), Ibnul Hayat Tanrere (Bonne-Bonne). ALAMAT REDAKSI Kantor SRP Payo-Payo, Jalan Poros Maros-Bantimurung No. 111, RT 1 RW 4, Dusun Sege-segeri, Desa Minasa Baji, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Indone-sia 90561, Telepon: 04113881144, email: [email protected]

masyarakat tidak mau ikut musrenbangdes un-tuk menentukan alokasi dana desa, maka jangan salahkan kepala desa.

Jadi kita mengaharapkan musrenbangdes mem-punyai masa depan yang berbeda dari sebel-umnya. Musrenbangdes tugasnya ada dua. Per-tama, merencanakan realisasi uang yang akan diterima sesuai Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Desa atau RPJMDes yang ada.

Kedua, merumuskan usulan perencanaan. Dulu masyarakat tidak punya kuasa terhadap pengendalian keuangan, jadi wajar masyarakat desa tidak tunduk pada peraturannya. Sekarang, jangan salahkan orang lain, jika pembangunan desa tak berjalan karena tak ada perencanaan dari masyarakat.

1. Perubahan mendasar pada Undang-Un-dang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dibandingkan dengan aturan-aturan sebe-lumnya.

Dalam undang-undang ini, negara mengakui kembali hak asal-usul desa (prinsip rekog-nisi). Artinya undang-undang ini mengakui kampung, desa, atau nama lainnya, sebagai sistem sosial budaya, sistem sosial ekonomi, dan sistem sosial politik. Jadi dengan dasar pemikiran pengakuan terhadap hak asal-usul inilah, maka sekurang-kurangnya ada lima pokok perubahan mendasar yang ada dalam undang-undang ini:

a. Mengakui desa secara beragam

Dengan perubahan ini, saat ini ada dua ben-

tuk desa yang bisa dipilih. Yang pertama desa, dan yang kedua adalah desa adat. Kedua bentuk ini sama-sama mempunyai hak dan kewenangan untuk mengurus pemerintahan dan pembangunannya sendiri.

Jika desa terbentuk berdasarkan ukuran-ukuran rasional administrative, seperti jum-lah penduduk minimal 3.000 jiwa atau 600 KK, maka desa adat terbentuk berdasarkan hak asal-usulnya. Seperti memiliki nilai seja-rah, terdapat komunitas yang sudah ada sejak lama, dan seterusnya.

b. Perubahan bentuk kewenangan desa atau desa adat

Perubahan ini didasari pada perubahan cara berpikir tentang hubungan antara desa dan

Membongkar Undang-Undang Desa TIM PAYO-PAYO

Bagian di bawah ini merupakan penjelasan dan perbandingan tentang Undang-Undang Desa

Page 8: Buletin Payo-Payo Edisi 06

8HALAMAN

negara. Selama ini, peraturan perundangan masih menempatkan otonomi desa sebagai bagian dari otonomi daerah. Makanya desa tidak diatur oleh undang-undang tersendiri dan hanya disebut sebagai pemerintahan desa.

Dengan cara berpikir yang baru sesuai dengan konstitusi, maka otonomi desa itu bukan lagi bagian dari otonomi daerah. Otonomi daerah dikembangkan berdasarkan pasal 18 dan 18a dalam UUD 1945, sedangkan otonomi desa berdasarkan pasal 18b Ayat 2.

Implikasinya adalah kewenangan desa tidak lagi berdasarkan prinsip desentralisasi me-lainkan prinsip rekognisi dan subsidiaritas. Rekognisi adalah pengakuan terhadap hak dan kewenangan yang melekat pada desa se-mentara subsidiaritas adalah segala sesuatu yang bisa diselesaikan oleh desa tidak lagi di-kerjakan pemerintahan yang lebih tinggi.

c. Konsolidasi keuangan dan aset desa

Informasi tentang satu miliar rupiah hingga lebih yang akan diterima desa melalui ang-garan desa yang bersumber dari APBN sebe-narnya selama ini sudah ada di desa. Hanya saja anggaran tersebut masuk melalui berba-gai program pembangunan. Misalnya melalui dinas Pekerjaan Umum, PNPM, PPIP, dan sebagainya. Maka melalui undang-undang ini, anggaran yang selama ini tersebar ke se-jumlah lembaga ini akan dikonsolidasi atau disatukan dan pengelolaannya akan diser-ahkan ke desa. Jadi, jika sebelumnya desa hanya mendapatkan alokasi dana desa, maka kini akan mendapatkan anggaran dana desa yang bersumber dari APBN untuk dikelola oleh pemerintah desa melalui persetujuan musyawarah desa. Selain itu, desa juga akan diberikan kewenangan untuk mengelola aset desa yang akan digunakan untuk kepentingan warga desa melalui sebuah badan usaha milik desa (Bumdes).

d. Perencanaan pembangunan yang terinte-grasi

Melalui perencanaan pembangunan yang ter-integrasi ini, ke depannya, akan ada dua cara pembangunan di desa. Pertama, desa mem-

bangun. Artinya, alokasi anggaran untuk desa akan diberikan kewenangan kepada desa un-tuk merencanakan dan melakukan sendiri pembangunannya yang tentu saja sifatnya skala desa. Kedua, pembangunan desa, di mana desa akan dibangun melalui sektor peme rintah di atasnya. Misalnya pembangun-an infrastruktur jalan raya dan sebagainya. Jadi kedepannya, Musrenbangdes memiliki dua tujuan, pertama untuk merencanakan penye langgaraan anggaran desa, dan kedua untuk mengusulkan program ke pemerintah-an di atasnya yang bisa dikerjakan di desa ber-sangkutan.

e. Demokratisasi desa

Ke depannya, desa tidak hanya akan diurus oleh kepala desa, aparat desa, dan Badan Per-musyawaratan Desa (BPD). Tapi juga diper-kenalkan mekanisme pengambilan keputusan tertinggi untuk hal teknis-strategis melalui musyawarah desa yang diikuti oleh kepala dan aparat desa, serta perwakilan dari kelompok-kelompok kepentingan di dalam masyarakat yang bersangkutan.

Dengan mekanisme ini, terbuka ruang sebe-sar-besarnya bagi masyarakat untuk terlibat di dalam kegiatan pemerintahan dan pemban-gunan. Bukan saja soal musrenbang (Musya-warah Perencanaan Dan Pembangunan), tapi juga masyarakat dapat meminta hak menda-pat informasi tentang pembangunan di desa, penggunaan keuangan desa, dan sebagainya.

Jadi tujuan demokratisasi adalah optimali-sasi terhadap penggunaan keuangan dan ke-wenangan yang ada pada desa saat ini.

2. Dalam Pasal 18 UUD 1945, negara meng-hormati hak asal-usul desa. Apa saja yang melekat sebagai hak asal-usul desa?

Jika berbicara mengenai hak asal-usul desa, maka setidaknya mencakup tiga hal:

Pertama, Desa sebagai sebuah sistem sosial budaya. Artinya, di kampung/di desa itu ada sejumlah orang yang hidup bersama, saling berhubungan satu sama lain, dan mempunyai

Page 9: Buletin Payo-Payo Edisi 06

9HALAMAN

aturan-aturan dalam hidup bersama.

Kedua, Desa sebagai sebuah sistem sosial politik. Artinya, di desa terdapat struktur kekuasaan. Misalnya, siapa yang menjadi pemimpin, siapa yang menjadi tokoh adat, itu memiliki aturannya sendiri. Para ahli hukum adat bahkan mengibaratkan, kampung/desa itu seperti republik kecil dengan konsep Trias Politica. Contohnya adalah masyarakat Mi-nangkabau yang memiliki ‘wali nagari’ seba-gai lembaga eksekutif, ‘krapatan adat nagari’ untuk lembaga yudikatif, dan ‘perwakilan adat nagari’ sebagai lembaga legislatif.

Ketiga, Desa sebagai sebuah sistem sosial ekonomi. Artinya, desa/kampung menguasai ulayat/wilayah. Jadi sebuah desa itu memi-liki harta kekayaan, setidak-tidaknya dalam bentuk tanah yang akan dikelola menghidupi masyarakatnya.

Jadi yang dimaksud dengan pengakuan terha-dap otonomi desa atau pengakuan hak asal-usul desa adalah pengakuan negara sekurang-kurangnya pada tiga hal diatas.

3. Bagaimana kedudukan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di dalam perangkat desa?

Perubahan paradigma dalam melihat desa saat ini, dimana dulunya desa masih meru-pakan bagian dari otonomi daerah, menjadi desa sebagai sebuah masyarakat otonom atau dengan kata lain, desa bukanlah pemerintah, melainkan masyarakat yang otonom yang di-beri hak untuk menyelenggarakan pemerin-tahan. Dengan logika seperti itu, maka desa tidak ada hubungannya dengan masalah kepegawaian. Akibat langsungnya adalah posisi sekertaris desa yang berstatus sebagai PNS, harusnya ditarik secara bertahap oleh kantor-kantor pemerintah.

Akibat dari perubahan paradigma ini juga, maka saat ini desa merupakan arena masyarakat. Oleh karena itu, masyarakatlah yang akan menentukan pengaturan desa ka-rena mereka yang mempunyai kewenangan. Apalagi dalam Undang-Undang Nomor 6 Ta-

hun 2014 ini, ada semangat untuk tidak mem-pegawai-negerikan aparat/perangkat desa.

4. Apakah ibu kota kecamatan harus selalu berbentuk kelurahan?

Paling tidak menurut Undang Undang No.6 Tahun 2014 ini, ibu kota kecamatan tidak selalu harus berbentuk kelurahan. Karena de ngan cara pandang baru dalam melihat desa melalui undang-undang ini, maka kebi-jakan tentang ibu kota kecamatan berbentuk kelurah an tidak lagi menjadi panutan. De-ngan kata lain, ibu kota kecamatan, bahkan ibu kota kabupaten bisa saja ada yang bersta-tus desa atau desa adat.

Ada pemikiran bahwa keberadaan desa atau desa adat ke dalam sebuah administrasi perko-taan, tidak mesti harus berdampak pada hi-langnya otonomi dari desa atau desa adat. Jadi kalau kita baca undang-undang ini dibagian pembentukan, kelurahan-kelurahan yang ada sekarang bisa berubah status menjadi desa atau desa adat sesuai dengan karakter budaya di masyarakat setempat. Jadi undang-undang desa ini memungkinkan terjadi perubahan bentuk dari kelurahan menjadi desa sepan-jang memenuhi persyaratan yang ditentukan.

5. Bagaimana jika Pemerintah Kabupaten tidak mengalokasikan anggaran dana desa sebagaimana diatur dalam Undang Undang No.6 Tahun 2014 tentang desa ini?

Jika pemerintah daerah/kabupaten tidak men-galokasi anggaran desa yang bersumber dari APBN yang akan dibagi ke seluruh desa mela-lui sejumlah indikator, seperti luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin, dan kondisi kesulitan geografis yang didasar-kan pada angka kemahalan bahan kontruksi, maka akan berdampak pada tidak disahkan-nya APBD daerah tersebut. Bahkan pemerin-tah pusat dapat melakukan penundaan atau pemotongan sebesar alokasi dana perimbang-an setelah dikurangi Alokasi Dana Khusus yang seharusnya dialokasikan ke desa.

Page 10: Buletin Payo-Payo Edisi 06

10HALAMAN

6. Apa saja kewenangan yang dimiliki Desa dana desa adat melalui undang-undang ini?

Kewenangan yang dimiliki desa yang diatur dalam undang-undang ini adalah:

a. Kewenangan berdasarkan hak asal usul. Kewenangan ini merupkan hak warisan yang masih hidup dan prakarsa desa atau prakarsa masyarakat desa sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat, antara lain sistem organisasi masyarakat adat, kelembagaan, pranata dan hukum adat, tanah kas desa, serta kesepakatan dalam kehidupan masyarakat desa.

b. Kewenangan lokal berskala desa adalah kewenangan untuk mengatur dan meng-urus kepentingan masyarakat desa yang telah dijalankan oleh desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh desa, atau yang muncul karena perkembangan desa dan prakasa masyarakat desa. Kewenangan ini antara lain pengaturan/pembangunan tambatan perahu, pasar desa, tempat pe-mandian umum, saluran irigasi, sanitasi lingkungan, pos pelayanan terpadu, sang-gar seni dan belajar, perpustakaan desa, embung desa, dan jalan desa.

c. Kewenangan yang ditugaskan oleh Peme-rintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan

d. Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,

atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perun-dang-undangan.

Sementara kewenangan dari desa adat adalah;

Kewenangan Desa Adat berdasarkan hak asal usul sebagaimana dimaksud dalam Pasal

19 huruf (a) meliputi:

a. pengaturan dan pelaksanaan pemerinta-han berdasarkan susunan asli;

b. pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat;

c. pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat;

d. penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah;

e. penyelenggaraan sidang perdamaian per-adilan Desa Adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

f. pemeliharaan ketenteraman dan keterti-ban masyarakat Desa Adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat; dan

g. pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa Adat.

Page 11: Buletin Payo-Payo Edisi 06

11HALAMAN

Pasal 104

Pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan berskala lokal Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dan huruf b serta Pasal 103 diatur dan diurus oleh Desa Adat dengan memperhati-kan prinsip keberagaman.

Pasal 105

Pelaksanaan kewenangan yang ditugaskan dan pelaksanaan kewenangan tugas lain dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota se-bagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c dan huruf d diurus oleh Desa Adat.

7. Apa yang dimaksud dengan Musyawarah Desa?

Musyawarah Desa atau yang disebut den-gan nama lain adalah forum musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh BPD untuk memusya-warahkan dan menyepakati hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan Pemerintah-an Desa. Jadi, Musyawarah Desa bukanklah lembaga yang permanen, melainkan forum bersama perluasan dari BPD yang diselengga-rakan untuk meningkatkan kinerja pemerin-tahan Desa, memperkuat kebersamaan, serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat

Sementara hal-hal yang bersifat strategis meli-puti: penataan Desa; perencanaan Desa; kerja sama Desa; rencana investasi yang masuk ke Desa; pembentukan BUM Desa; penamba-han dan pelepasan Aset Desa; dan kejadian luar biasa (seperti bencana alam, wabah pe-nyakit, gangguan keamanan, dll). Hasil dari Musyawarah Desa ini kemudian dituangkan dalam bentuk keputusan sebagai hasil musya-warah desa dan dijadikan dasar oleh BPD dan Pemerintah Desa dalam menetapkan kebija-kan Pemerintahan Desa.

8. Dari mana saja sumber-sumber pendapat-an desa?

Sumber-sumber pendapatan desa sebagaima-na yang diatur dalam undang-undang ini ada-lah:

a. Pendapatan Asli Desa (PA Desa) yang ter-diri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa

b. Alokasi Anggaran Pendapatan dan Be-lanja Negara (APBN); besaran anggaran desa dari APBN adalah 10% dari dana transfer ke daerah. Artinya, dana transfer setiap daerah akan mendapatkan tamba-han sebesar 10% dari nilai transfer APBN ke daerah, di mana 10% ini akan langsung dibagikan ke desa berdasarkan kiteria yang sudah ditetapkan, sementara nilai transfer daerah tetap dikelola oleh pemerintah dae-rah

c. Bagian dari hasil pajak daerah dan retri-busi daerah kabupaten/kota. Besaran dari alokasi ini adalah 10% dari Pajak dan Retribusi Daerah

d. Alokasi Dana Desa (ADD) yang merupa-kan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota sebesar 10% dari Dana Alokasi Umum (DAU) + Dana Bagi Hasil (DBH)

e. Bantuan keuangan dari Anggaran Penda-patan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota

f. Hibah dan sumbangan yang tidak mengi-kat dari pihak ketiga; dan

g. Lain-lain pendapatan Desa yang sah.

9. Kewenangan Kepala Desa dalam Undang-Undang N0.6 Tahun 2014?

Dalam melaksanakan tugas, Kepala Desa berwenang: memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa; mengangkat dan mem-berhentikan perangkat Desa; memegang kekuasaan pengelolaan Keuangan dan Aset Desa; me netapkan Peraturan Desa; menetap-

Page 12: Buletin Payo-Payo Edisi 06

12HALAMAN

kan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes); membina kehidupan masyarakat Desa; membina ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa; membina dan meningkat-kan perekonomian Desa serta mengintegrasi-kannya agar mencapai perekonomian skala produktif untuk sebesar-besarnya kemakmur-an masyarakat Desa; mengembangkan sum-ber pendapatan Desa; mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa; mengembangkan kehidu-pan sosial budaya masyarakat Desa; meman-faatkan teknologi tepat guna; mengoordinasi-kan Pembangunan Desa secara partisipatif; mewakili Desa di dalam dan di luar pengadil-an atau menunjuk kuasa hukum untuk me-wakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan melaksanakan wewenang lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

10. Hak dan Kewajiban Masyarakat Desa.

Masyarakat Desa berhak meminta dan men-dapatkan informasi dari Pemerintah Desa serta mengawasi kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pemba-

ngunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa; memperoleh pelayanan yang sama dan adil; menyampaikan aspirasi, saran, dan pendapat lisan atau tertulis secara bertanggung jawab tentang kegiatan penyelenggaraan Pemer-intahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa; memilih, dipilih, dan/atau ditetapkan menjadi: Kepala Desa, perangkat Desa, anggota Badan Per-musyawaratan Desa, atau anggota lembaga kemasyarakatan Desa; mendapatkan pengay-oman dan perlindungan dari gangguan keten-teraman dan ketertiban di Desa.

Masyarakat Desa berkewajiban untuk mem-bangun diri dan memelihara lingkungan Desa; mendorong terciptanya kegiatan pe-nyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelak-sanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa yang baik; mendorong ter-ciptanya situasi yang aman, nyaman, dan tenteram di Desa; memelihara dan mengem-bangkan nilai permusyawaratan, permufakat-an, kekeluargaan, dan kegotong-royongan di Desa; dan berpartisipasi dalam berbagai ke-giatan di Desa.