cad

18
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Definisi Acute Coronary Syndrome (ACS) atau yang lebih dikenal dengan sindrom koroner akut (SKA) merupakan manifestasi klinis dari fase kritis pada penyakit arteri koroner. Mekanisme yang mendasari penyakit ini adalah rupturnya plak atau erosi karena serangkaian pembentukan trombus sehingga menyebabkan penyumbatan parsial ataupun total pada pembuluh darah. Berdasarkan pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG) dan marker biokimia jantung, maka Acute Coronary Syndrome (ACS) dibedakan menjadi ST-segmentelevation myocardial infarction (STEMI), Non ST- segment elevation myocardial infarction (NSTEMI), serta unstable angina(Mandelzweig et al., 2006). 2.2 Epidemiologi Sejak tahun 2600 SM, naskah papyrus Mesir telah mencatat bahwa orang dengan nyeri dada memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami kematian (Hamm et al., 2010). The American Heart Association memperkirakan setidaknya ada 1,1 juta kasus infark miokard akut (IMA) yang terjadi di Amerika Serikat dan sebanyak 40% di antaranya akan meninggal (American Heart Association, 2001). Tepatnya setengah dari angka kematian terjadi sebelum pasien mendapatkan terapi di rumah sakit. Angka infark miokard akut di Inggris berkisar 1 per 250 orang hingga 1 per 500 orang tiap tahunnya (British Heart Foundation, 2004). Setidaknya setiap enam orang laki-laki dan tujuh orang wanita di Eropa meninggal karena infark miokard.

Upload: azwar-ritonagayota

Post on 14-Aug-2015

24 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Cad

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Definisi

Acute Coronary Syndrome (ACS) atau yang lebih dikenal dengan sindrom koroner

akut (SKA) merupakan manifestasi klinis dari fase kritis pada penyakit arteri koroner.

Mekanisme yang mendasari penyakit ini adalah rupturnya plak atau erosi karena serangkaian

pembentukan trombus sehingga menyebabkan penyumbatan parsial ataupun total pada

pembuluh darah. Berdasarkan pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG) dan marker biokimia

jantung, maka Acute Coronary Syndrome (ACS) dibedakan menjadi ST-segmentelevation

myocardial infarction (STEMI), Non ST-segment elevation myocardial infarction

(NSTEMI), serta unstable angina(Mandelzweig et al., 2006).

2.2 Epidemiologi

Sejak tahun 2600 SM, naskah papyrus Mesir telah mencatat bahwa orang dengan

nyeri dada memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami kematian (Hamm et al., 2010). The

American Heart Association memperkirakan setidaknya ada 1,1 juta kasus infark miokard

akut (IMA) yang terjadi di Amerika Serikat dan sebanyak 40% di antaranya akan meninggal

(American Heart Association, 2001). Tepatnya setengah dari angka kematian terjadi sebelum

pasien mendapatkan terapi di rumah sakit. Angka infark miokard akut di Inggris berkisar 1

per 250 orang hingga 1 per 500 orang tiap tahunnya (British Heart Foundation, 2004).

Setidaknya setiap enam orang laki-laki dan tujuh orang wanita di Eropa meninggal karena

infark miokard. Insidensi infark miokard akut dengan STEMI bervariasi di beberapa negara

(Widimisky et al., 2010). Data insidensi STEMI yang paling akurat saat ini adalah di Swedia

dimana insidensi STEMI sebanyak 66 kasus per 100.000 populasi pertahun. Namun, insidensi

STEMI di sejumlah negara seperti Republik Czech, Belgia, dan Amerika Serikat menurun

jumlahnya yang berkisar 121 hingga 77 kasus per 100.000 per tahun yang berkisar dari tahun

1997-2005, sedangkan angka NSTEMI di negara tersebut meningkat jumlahnya yaitu 126-

132 kasus NSTEMI per 100.000 penduduk setiap tahunnya (Widimisky et al., 2007;

Widimisky et al., 2010;McManus et al., 2011).

2.3. Patofisiologi

Infark miokard terjadi akibat pembentukan atherosklerosis. Atherosklerosis merupakan

suatu proses dimana terjadi penimbunan lemak dan matriks tunika intima yang diikuti dengan

pembentukan jaringan ikat pada dinding pembuluh arteri. Atherosklerosis pertama sekali

Page 2: Cad

diperkenalkan oleh Felix Marchand pada tahun 1904 yang menunjukkan bahwa

atherosklerosis bertanggung jawab terhadap semua proses penyumbatan di arteri termasuk di

arteri koroner (Kabo P., 2011). Proses pembentukan atherosklerosis pertama sekali sudah

terjadi pada awal kehidupan manusia, namun progresivitas perkembangan antara individu

yang satu dengan individu yang lain berbeda tergantung dari faktor kerentanannya, seperti

faktor genetik dan gaya hidup (Burke et al., 2003).

Faktor risiko yang turut memacu proses atherosklerosis antara lain faktor usia,

hipertensi, diabetes melitus, faktor psikologis, serta rokok (Hoffmaan et al., 2003).Disfungsi

endotel merupakan teori yang menyebabkan atherosklerosis yang sedang populer sekarang

ini. Cedera endotel oleh berbagai jenis mekanisme yang menyebabkan terlepasnya endotel,

adhesi platelet pada subendotel, kemotaksis faktor pada monosit serta limfosit sel T,

pelepasan Platelet-derived dan Monocyte-derived Growth Factor yang memicu migrasi sel

otot polos dari tunika intima vaskuler, dimana terjadi replikasi sintesa jaringan ikat dan

proteoglikan serta pembentukan fibrous plaque. Sel lainnya seperti makrofag, sel endotel, sel

otot polos arteri, juga menghasilkan growth factor yang berperan pada proliferasi sel otot

polos dan produksi matriks ekstraseluler (Graham dan Hickey, 2001). Adapun tahapan

pembentukan plak aterosklerosis terdiri dari beberapa tahapan berikut ini yang dimulai dari

disfungsi endotel sampai tahapan akhir berupa atherotrombosis (Hossmann dan Heiss, 2008).

Tahap 1. Disfungsi endotel

Disfungsi endotel meliputi meningkatnya permeabilitas pembuluh darah arteri terhadap

lipoprotein dan unsur-unsur lain dalam plasma yang diperantarai oleh NO, prostasiklin,

platelet-derived growth factor (PDGF), angiotensin II, serta endotelin. Pada disfungsi endotel

terjadi proses inflamasi akibat jejas pada endotel yang ditandai dengan peningkatan leukocyte

adhesion molecule, meliputi L-selectin, integrin, dan platelet-endothelial cell adhesion

molecule serta terjadi peningkatan endothelial adhesion moleculer, yang meliputi E-selectin,

P-Selectin, intercelluler adhesion molecule-I (ICAM-1), dan vaskuler-cell adhesion

molecule-1 (VCAM-1) serta migrasi leukosit pada dinding arteri yang diperantarai oleh

Oxidized Low-density Lipoprotein (ox-LDL-C), Monocye Chemotactic Protein -1 (MCP1),

interleukin-8 (IL-8), platelet derived

factor (PDGF), dan machropage colony

stimulating factor (MCSF)

(Hoffmaan et al., 2003; Hamm et al.,

2010).

Page 3: Cad

Gambar 1. Proses Inflamasi pada Pembentukan Atherosklerosis (Hamm et al., 2010)

Tahap 2. Pembentukan fatty streak

Pembentukan fatty streak diawali dengan adanya monosit yang berisi penuh lipid dan

makrofag (foam cells) bersama dengan sel limfosit T, selanjutnya mereka bergabung dengan

sejumlah sel otot polos. Proses ini meliputi migrasi sel otot polos yang dirangsang oleh

Platelet Derived Growth Factor (PDGF) Fibroblast Growth Factor 2 (FGF 2) dan

Transforming Growth Factor β (TGF-β) aktivasi dari sel limfosit T diperantarai oleh Tumor

Necrosing Factor α (TNF-α), Interleukin 2 (IL-2), dan Granulocyte Macrophage Stimulating

Factor(Hossmann dan Heiss, 2008).

Pembentukan foam cell diperantarai oleh Oxidized Low-density Lipoprotein (oxLDL-c),

Machrophage Colony Stimulating Factor, TNFα, dan Interleukin-1. Sedangkan perlengketan

dan agregrasi platelet dirangsang oleh integrin, p-selectin, fibrin, tromboxan A, faktor

jaringan, dan faktor lainnya yang bertanggungjawab atas perlengketan dan migrasi leukosit

(Chia et al., 2003).

Gambar 2. Tahapan Pembentukan Trombus (Hossmann dan Heiss, 2008)

Page 4: Cad

Tahap 3. Pembentukan Aterosklerosis Lanjut

Bila fatty streak berkembang menjadi lesi lebih lanjut, maka cenderung akan terbentuk

fibrous cap yang membatasi lesi dengan lumen arteri. Fibrous cap menutupi campuran

leukosit, lipid dan debris, yang mungkin membentuk necrotic core. Lesi tersebut selanjutnya

sampai dengan tujuan adhesi leukosit berlanjut. Faktor yang paling penting sehubungan

dengan akumulasi makrofag meliputi macrophage colony stimulating factor (MCS-1),

monocyte chemotactic protein (MCP-1), oxidized low density lipoprotein (ocLDL-oc),

Fibrous gapsendiri terbentuk akibat meningkatnya aktivitas PDGF, Transforming Growth

Factor β, Tumor Necrosing Factor α, interleukin -1 (IL-1), dan derivat jaringan ikat (Chia et

al., 2003; Hoffmaan et al., 2003).

Tahap 4. Fibrous Plaque yang tidak Stabil

Robekan atau ulserasi pada fibrous cap dapat secara cepat menyebabkan trombosis dan

biasanya pada titik paling tipis yang menutupi lesi. Penipisan fibrous cap akibat dari

berlangsungnya influks dan aktivasi makrofag yang melepas enzim metalloproteinase dan

enzim proteolitik lainnya. Enzim ini menyebabkan degradasi matriks yang dapat

mengakibatkan perdarahan dari vasa vasorum atau dari lumen dari yang dapat menyebabkan

pembentukan trombus serta penyumbatan arteri. Gangguan plak atherosklerosis yang rapuh

akibat pemaparan hemodinamik dapat memicu trombosis yang selanjutnya akan terakumulasi

dan mengakibatkan terjadinya ruptur plak atau erosi. Jika penyumbatan terjadi di pembuluh

koroner maka akan mengakibatkan terjadinya iskemia sel miokard hingga infark miokard

(Hossmann dan Heiss, 2008)..

2.4 Manifestasi Klinis

Riwayat perjalanan nyeri dada sangat penting untuk membedakan ACS dengan

sejumlah penyakit lainnya. Gejalanya berupa gejala khas angina, yaitu nyeri dada tipikal yang

berlangsung selama ± 20 menit atau lebih yang terasa seperti ditusuk-tusuk, ditekan, rasa

terbakar, ditindih benda berat, rasa diperas dan terpelintir. Nyeri tidak sepenuhnya hilang

dengan istirahat atau obat nitrat dan dapat dicetus oleh serangkaian faktor seperti latihan fisik,

stress, emosi, udara dingin, dan sesudah makan. Sebanyak dua pertiga pasien STEMI

memiliki gejala angina dalam beberapa minggu sebelumnya. Secara keseluruhan sebanyak

20% hanya memiliki gejala kurang dari 24 jam (Steg et al., 2012).

Gambaran klinis pasien dengan ACS terdiri dari sejumlah variasi gejala. Gejala

kardinalnya adalah nyeri dada iskemik seperti penjelasan di atas. Nyeri dada dapat diberikan

penilaian berdasarkan Canadian Cardiovaskular Society (CSS), berupa nyeri angina yang

Page 5: Cad

memanjang (>20 menit) pada saat istirahat, nyeri dada berat de novo (yang pertama sekali

terjadi)(kelas III CSS), cresendo angina, yaitu nyeri dada yang baru terstabilisasi dari nyeri

dada pada stable angina dengan paling tidak memenuhi karekteristik kelas III CSS, dan nyeri

dada pasca infark. Nyeri dada dalam waktu lama terlihat pada 80% kasus sedangkan nyeri

dada de novo hanya terlihat pada 20% kasus (Hemingway et al., 2004)..

2.5 Diagnosis

Diagnosis infark miokard akut didasarkan atas sejumlah hal,dimulai dari anamnesa

gejala klinis yang khas, pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG), serta pemeriksaan biomarker

jantung. Setiap orang yang datang dengan nyeri dada tipikal yang berlangsung selama ± 20

menit atau lebih yang terasa seperti ditusuk-tusuk, ditekan, rasa terbakar, ditindih benda

berat, rasa diperas dan terpelintir. Nyeri tidak sepenuhnya hilang dengan istirahat atau obat

nitrat dan dapat dicetus oleh serangkaian faktor seperti latihan fisik, stress, emosi, udara

dingin, dan sesudah makan (Brieger et al., 2004). Maka, nyeri dada tersebut dicurigai sebagai

suatu nyeri dada pada ACS. Selanjutnya segera lakukan pemeriksaan EKG, jika dijumpai

adanya ST elevasi atau adanya suatu LBBB (Left Bundle Branch Block) baru, maka

diagnosanya adalah STEMI, namun jika tidak dijumpai adanya ST elevasi namun dijumpai

adanya ST depresi, T inverted atau gambaran EKG yang normal, maka selanjutnya dilakukan

pemeriksaan biomarker jantung, yaitu Troponin I atau Troponin T. Jika terdapatnya

peningkatan nilai biomarker tersebut maka diagnosanya adalah NSTEMI, namun jika nilai

biomarker normal, maka diagnosanya menjadi Unstable Angina (UAP) (Steg et al., 2012).

Gambar 3. Alur Diagnosa STEMI (Steg et al., 2012)

Page 6: Cad

Gambar 4. ST elevasi pada EKG (Hamm et al., 2010)

2.6 Penatalaksanaan

Terapi STEMI terdiri dari berbagai aspek. Tujuan utama penatalaksanaan Infark

miokard akut adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi

strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet,

pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi.Adapun tujuan penanganan pada

STEMI adalah (Hamm et al., 2010):

a) Penanganan kegawatdaruratan diperlukan untuk menegakkan diagnosis secara cepat dan

penilaian awal stratifikasi risiko, menghilangkan/ mengurangi nyeri dan pencegahan atau

penanganan henti jantung.

b) Penanganan dini untuk membuat keputusan segera terapi reperfusi untuk membatasi

proses infark serta mencegah perluasan infark serta menangani komplikasi segera seperti

gagal jantung, syok dan aritmia yang mengancam jiwa.

c) Penanganan selanjutnya untuk menangani komplikasi lain yang timbul selanjutnya.

d) Evaluasi dan penilaian risiko untuk mencegah terjadinya progresi penyakit arteri koroner,

infark baru, gagal jantung, dan kematian.

Adapun penatalaksanaan STEMI antara lain sebagai berikut (Steg et al., 2012):

a. Terapi Reperfusi

Terapi reperfusi merupakan hal yang sangat penting dalam penanganan STEMI tahap

awal karena fase inilah yang menentukan progresivitas perburukan area infark. Bagi pasien

dengan manifestasi klinis STEMI <12 jam dengan ST elevasi persisten atau adanya LBBB

Page 7: Cad

(Left Bundle Branch Block) baru, maka Percutaneous Coronary Intervention (PCI) primer

atau terapi reperfusi secara farmakologi harus dilakukan sesegera mungkin (Ndrepepa et al.,

2009; Steg et al., 2012). Penanganan reperfusi STEMI dalam 24 jam pertama sebelum pasien

tiba di rumah sakit dan setelah tiba di rumah sakit ditunjukkan oleh Gambar 5. Terapi PCI

primer diindikasikan dilakukan dalam dua jam pertama terhitung jarak pertama sekali pasien

mendapatkan terapi (first medical contact). Dalam dua jam pertama tersebut terapi reperfusi

dengan PCI primer lebih diutamakan dibandingkan dengan terapi dengan menggunakan

fibrinolisis. Sebelum dilakukan PCI primer maka dianjurkan pemberian dual antiplatelet

therapy(DAPT) meliputi aspirin dan adenosine diphosphate (ADP) (Steg et al., 2012).

PCI primer dilakukan bila tersedia fasilitas PCI.Waktu kontak antara pasien tiba sampai

dengan inflasi balon < 90 menit, waktu antara pasien tiba sampai dengan inflasi dikurangi

waktu antara pasien tiba sampai dengan proses fibrinolitik< 1jam, dan terdapat kontraindikasi

fibrinolitik (Ndrepepa et al., 2009).

Selain itu PCI yang dikombinasikan dengan fibrinolitik yang dapat dilakukan pada

pasien-pasien dengan risiko tinggi jika tindakan PCI tidak dapat dilakukan dengan segera dan

pada pasien dengan risiko perdarahan rendah.Pada tindakan ini tidak dianjurkan

menggunakan penghambat reseptor GPIIb/ IIIa dengan dosis penuh (Steg et al., 2012).

Gambar 5. Alur Penanganan reperfusi STEMI dalam 24 jam pertama sebelum pasien tiba di rumah sakit dan setelah tiba di rumah sakit (Steg et al., 2012)

Page 8: Cad

Jika onset gejala sudah berlangsung lebih dari 2 jam, maka terapi dengan menggunakan

PCI primer tidak dianjurkan lagi. Dalam masa ini, terapi reperfusi dengan pemberian

fibrinlosis lebih diutamakan apalagi onset masih berlangsung di bawah 12 jam. Dianjurkan

juga pada keadaan dimana tindakan invasif tidak mungkin dilakukan atau akan terlambat

serta tidak ada kontraindikasi fibrinolitik. Kontraindikasi fibrinolitik terdiri dari

kontraindikasi absolut dan kontraindikasi relatif. Kontraindikasi absolut terdiri dari riwayat

perdarahan intrakranial karena sebab apapun., adanya lesi struktural serebrovaskular, tumor

intrakranial (primer ataupun metastasis), stroke iskemik dalam 3 bulan atau dalam 3 jam

terakhir, dicurigai adanya suatu diseksi aorta, adanya trauma/ pembedahan/ truma kepala

dalam 3 bulan terakhir, dan adanya perdarahan aktif (termasuk menstruasi) (Bottiger et al.,

2008;Steg et al., 2012).

Sementara kontraindikasi relatif meliputi adanya riwayat stroke iskemik selama enam

bulan sebelumnya, terapi antikoagulan oral, kehamilan atau riwayat postpartum selama satu

minggu, hipertensi refrakter (tekanan darah sistolik >180 mmHg dan tekanan darah diastolik

110 mmHg. Penyakit hati stadium lanjut, endokartditis infektif, ulkus peptikum aktif serta

tindakan resusitasi trauma yang berlansung lama(Bottiger et al., 2008; Steg et al., 2012).

Agen fibrinolitik yang digunakan meliputi streptokinase (SK), Alteplase (tPA),

reteplase (r-PA), serta Tenecteplase (TNK-tPA). Dosis dan regimen pengguanaan masing-

masing agen fibrinolitik ini ditunjukkan oleh Gambar 7 berikut ini.

Gambar 7. Dosis Agen Fibrinolisis (Steg et al., 2012)

Page 9: Cad

Gambar 8. Terapi Fibrinolitik (Steg et al., 2012)

b. Terapi Non-reperfusi

Terapi non reperfusi ini dilakukan jika onset serangan sudah melibihi 12 jam. Obat-obat

yang digunakan meliputi antitrombotik, meliputi aspirin, clopidogrel, serta agen antithrombin

seperti UFH, enoxaparin, atau fondaparinux harus diberikan sesegera mungkin (Bottiger et

al., 2008).

c. Terapi STEMI untuk Jangka waktu yang Lama

Terapi STEMI untuk jangka waktu yang lama terdiri dari (Steg et al., 2012):

a. Modifikasi gaya hidup dan faktor risiko, meliputi berhenti merokok, kontrol diet dan berat

badan, meningkatkan aktivitas fisik, kontrol tekanan darah, intervensi faktor psikososial.

b. Terapi Antitrombolitik, meliputi pemberian aspirin.

c. Pemberian Beta-Blocker.

d. Pemberian agen untuk merendahkan kadar lemak tubuh.

e. Pemberian Nitrat

f. Pemberian Calcium Channel Blocker

g. Pemberian Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACE-inhibitor) dan Angiotensin

Receptor Blocker (ARB).

Page 10: Cad

h. Pemberian Aldosteron Antagonist

i. Pemberian Magnesium, glukose-insulin-pottasium, lidocaine.

c. Tindakan Pembedahan CABG (Coronary Artery Bypass Graft)

Tindakan pembedahan lebih baik jika dilakukan dibandingkan dengan pengobatan,

pada keadaan (Hamm et al., 2012):

a) Stenosis yang signifikan ( ≥ 50 %) di daerah left main (LM)

b) Stenosis yang signifikan (≥ 70 %) di daerah proksimal pada 3 arteri koroner utama

c) Stenosis yang signifikan pada 2 daerah arteri koroner utama termasuk stenosis yang cukup

tinggi tingkatannya pada daerah proksimal dari left anterior descending coronary artery.

2. 6 KOMPLIKASI

Adapaun komplikasi STEMI antara lain sebagai berikut (Kabo, 2011; Steg et al., 2012;

McMurray et al., 2012) adalah sebagai berikut:

a. Aritmia supraventrikular

Sinus takikardia merupakan aritmia yang paling umum dari tipe ini. Jika hal ini terjadi

sekunder akibat sebab lain, masalah primer sebaiknya diobati pertama. Namun, jika sinus

takikardia tampaknya disebabkan oleh stimulasi simpatik berlebihan, seperti yang terlihat

sebagai bagian dari status hiperdinamik, pengobatan dengan penghambat beta yang relatif

kerja singkat seperti propanolol yang sebaiknya dipertimbangkan (Kabo, 2011).

b. Gagal jantung

Beberapa derajat kelainan pada saat fungsi ventrikel kiri terjadi pada lebih dari

separuh pasien dengan infark miokard. Tanda klinis yang paling umum adalah ronki paru dan

irama derap S3 dan S4. Kongesti paru juga sering terlibat pada foto thoraks dada.

Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri dan tekanan arteri pulmonalis merupakan

temuan hemodinamik karakteristik, namun sebaiknya diketahui bahwa temua ini dapat

disebabkan oleh penurunan pemenuhan diastolik ventrikel dan atau penurunan isi sekuncup

dengan dilatasi jantung sekunder. Diuretik sangat efektif karena mengurangi kongesti paru-

paru dengan adanya gagal jantung sistolik dan diastolik (McMurray et al.,2012).

Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark miokard akut

berdasarkan suara ronkhi dan S3 gallop:

1. Derajat I : tidak ada rhonki dan S3 gallop

Page 11: Cad

2. Derajat II : Gagal jantung dengan ronkhi di basal paru (setengah lapangan paru bawah), S3

galopdan peningkatan tekananvena pulmonalis.

3. Derajat III : Gagal jantung berat dengan edema paru di seluruh lapangan paru.

4. Derajat IV :Gagal jantung berat dengan edema paru di seluruh lapangan paru disertai

dengan syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik ≤ 90

mmHg) dan vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan diaforesis).

c. Sistole prematur ventrikel

Depolarisasi prematur yang jarang dan sporadik terjadi pada hampir semua pasien

dengan infark dan tidak memerlukan terapi. Sementara dulu, ekstrasistole ventrikel distolik

yang sering, multifokal atau dini secara rutin diobati, terapi farmakologik sekarang

disediakan untuk pasien dengan aritmia ventrikel yang lama atau simptomatik. Terapi

antiaritmia profilaktik dengan tiadanya takiaritmia ventrikel yang penting secara klinis,

dikontra indikasikan karena terapi seperti itu dapat dengan jelas meningkatkan mortalitas

selanjutnya (Steg et al., 2012).

d. Stroke iskemikKonsultasi neurologis perlu dilakukan pasd pasien STEMI yang mengalami strole

iskemik akut (level of evidence C).Pasien STEMI yang mengalami stroke iskemi akut dan AF

persisten harus mendapat terapi warfarin seumur hidup (INR 2-3) (level of evidence A).Pasien

STEMI dengan atau tanpa stroke iskemik akut yang memiliki sumber AF d jantung, trombus

mural/ akinetik segmen harus mendapat terapi warfarin intensitas sedang. Durasinya

tergantung kondisi klinis (minimal 3bulan untuk pasien dengan thrombus mural/akinetik

segmen dan tidak terbatas pada pasien AF persisten). Pasien harus mendapat LMWH/UFH

sampaiantikoagulasi dengan warfarin adekuat (level of evidence B).Cukup beralasan untuk

menilai risiko stroke iskemik pasien STEMI (level of evidence A).Cukup beralasan untuk

pasien STEMI dengan risiko stroke iskemik akut nonfatalmenerima terapi suportif untuk

menuunkan komplikasi dan meningkatkan outcome fungsional (level of evidence

C).Angioplasty karotis 4-6 minggu setelah stroke iskemik dapat dipertimbangkan pada pasien

STEMI yang mengalami stroke iskemik akut karena stenosis pada a.carotis inferior min 50%

dengan risiko tiggi morbiditas/mortalitas setelah STEMI (level of evidence C(Hossmanndan

Heiss. 2008).

2. 7 Prognosis

Prognosis dapat diperkirakan dengan menggunakan TIMI score (Thrombolysis in

Myocardial Infarction). TIMI skor risiko untuk mengidentifikasi STEMI signifikan gradien

Page 12: Cad

dari risiko kematian dengan menggunakan variabel yang menangkap sebagian besar

informasi prognostik yang tersedia di multivariabel model. Kapasitas prediksi risiko ini skor

stabil selama beberapa titik waktu, pada pria dan wanita, dan pada perokok dan bukan

perokok. Selain itu,TIMI skor risiko dilakukan baik dalam data eksternal yang besar

ditetapkan pasien dengan STEMI (Goncalves et al., 2005; Morrow et al., 2011).

Gambar 9. Skor TIMI (Morrow et al., 2011)