cad
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Definisi
Acute Coronary Syndrome (ACS) atau yang lebih dikenal dengan sindrom koroner
akut (SKA) merupakan manifestasi klinis dari fase kritis pada penyakit arteri koroner.
Mekanisme yang mendasari penyakit ini adalah rupturnya plak atau erosi karena serangkaian
pembentukan trombus sehingga menyebabkan penyumbatan parsial ataupun total pada
pembuluh darah. Berdasarkan pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG) dan marker biokimia
jantung, maka Acute Coronary Syndrome (ACS) dibedakan menjadi ST-segmentelevation
myocardial infarction (STEMI), Non ST-segment elevation myocardial infarction
(NSTEMI), serta unstable angina(Mandelzweig et al., 2006).
2.2 Epidemiologi
Sejak tahun 2600 SM, naskah papyrus Mesir telah mencatat bahwa orang dengan
nyeri dada memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami kematian (Hamm et al., 2010). The
American Heart Association memperkirakan setidaknya ada 1,1 juta kasus infark miokard
akut (IMA) yang terjadi di Amerika Serikat dan sebanyak 40% di antaranya akan meninggal
(American Heart Association, 2001). Tepatnya setengah dari angka kematian terjadi sebelum
pasien mendapatkan terapi di rumah sakit. Angka infark miokard akut di Inggris berkisar 1
per 250 orang hingga 1 per 500 orang tiap tahunnya (British Heart Foundation, 2004).
Setidaknya setiap enam orang laki-laki dan tujuh orang wanita di Eropa meninggal karena
infark miokard. Insidensi infark miokard akut dengan STEMI bervariasi di beberapa negara
(Widimisky et al., 2010). Data insidensi STEMI yang paling akurat saat ini adalah di Swedia
dimana insidensi STEMI sebanyak 66 kasus per 100.000 populasi pertahun. Namun, insidensi
STEMI di sejumlah negara seperti Republik Czech, Belgia, dan Amerika Serikat menurun
jumlahnya yang berkisar 121 hingga 77 kasus per 100.000 per tahun yang berkisar dari tahun
1997-2005, sedangkan angka NSTEMI di negara tersebut meningkat jumlahnya yaitu 126-
132 kasus NSTEMI per 100.000 penduduk setiap tahunnya (Widimisky et al., 2007;
Widimisky et al., 2010;McManus et al., 2011).
2.3. Patofisiologi
Infark miokard terjadi akibat pembentukan atherosklerosis. Atherosklerosis merupakan
suatu proses dimana terjadi penimbunan lemak dan matriks tunika intima yang diikuti dengan
pembentukan jaringan ikat pada dinding pembuluh arteri. Atherosklerosis pertama sekali
diperkenalkan oleh Felix Marchand pada tahun 1904 yang menunjukkan bahwa
atherosklerosis bertanggung jawab terhadap semua proses penyumbatan di arteri termasuk di
arteri koroner (Kabo P., 2011). Proses pembentukan atherosklerosis pertama sekali sudah
terjadi pada awal kehidupan manusia, namun progresivitas perkembangan antara individu
yang satu dengan individu yang lain berbeda tergantung dari faktor kerentanannya, seperti
faktor genetik dan gaya hidup (Burke et al., 2003).
Faktor risiko yang turut memacu proses atherosklerosis antara lain faktor usia,
hipertensi, diabetes melitus, faktor psikologis, serta rokok (Hoffmaan et al., 2003).Disfungsi
endotel merupakan teori yang menyebabkan atherosklerosis yang sedang populer sekarang
ini. Cedera endotel oleh berbagai jenis mekanisme yang menyebabkan terlepasnya endotel,
adhesi platelet pada subendotel, kemotaksis faktor pada monosit serta limfosit sel T,
pelepasan Platelet-derived dan Monocyte-derived Growth Factor yang memicu migrasi sel
otot polos dari tunika intima vaskuler, dimana terjadi replikasi sintesa jaringan ikat dan
proteoglikan serta pembentukan fibrous plaque. Sel lainnya seperti makrofag, sel endotel, sel
otot polos arteri, juga menghasilkan growth factor yang berperan pada proliferasi sel otot
polos dan produksi matriks ekstraseluler (Graham dan Hickey, 2001). Adapun tahapan
pembentukan plak aterosklerosis terdiri dari beberapa tahapan berikut ini yang dimulai dari
disfungsi endotel sampai tahapan akhir berupa atherotrombosis (Hossmann dan Heiss, 2008).
Tahap 1. Disfungsi endotel
Disfungsi endotel meliputi meningkatnya permeabilitas pembuluh darah arteri terhadap
lipoprotein dan unsur-unsur lain dalam plasma yang diperantarai oleh NO, prostasiklin,
platelet-derived growth factor (PDGF), angiotensin II, serta endotelin. Pada disfungsi endotel
terjadi proses inflamasi akibat jejas pada endotel yang ditandai dengan peningkatan leukocyte
adhesion molecule, meliputi L-selectin, integrin, dan platelet-endothelial cell adhesion
molecule serta terjadi peningkatan endothelial adhesion moleculer, yang meliputi E-selectin,
P-Selectin, intercelluler adhesion molecule-I (ICAM-1), dan vaskuler-cell adhesion
molecule-1 (VCAM-1) serta migrasi leukosit pada dinding arteri yang diperantarai oleh
Oxidized Low-density Lipoprotein (ox-LDL-C), Monocye Chemotactic Protein -1 (MCP1),
interleukin-8 (IL-8), platelet derived
factor (PDGF), dan machropage colony
stimulating factor (MCSF)
(Hoffmaan et al., 2003; Hamm et al.,
2010).
Gambar 1. Proses Inflamasi pada Pembentukan Atherosklerosis (Hamm et al., 2010)
Tahap 2. Pembentukan fatty streak
Pembentukan fatty streak diawali dengan adanya monosit yang berisi penuh lipid dan
makrofag (foam cells) bersama dengan sel limfosit T, selanjutnya mereka bergabung dengan
sejumlah sel otot polos. Proses ini meliputi migrasi sel otot polos yang dirangsang oleh
Platelet Derived Growth Factor (PDGF) Fibroblast Growth Factor 2 (FGF 2) dan
Transforming Growth Factor β (TGF-β) aktivasi dari sel limfosit T diperantarai oleh Tumor
Necrosing Factor α (TNF-α), Interleukin 2 (IL-2), dan Granulocyte Macrophage Stimulating
Factor(Hossmann dan Heiss, 2008).
Pembentukan foam cell diperantarai oleh Oxidized Low-density Lipoprotein (oxLDL-c),
Machrophage Colony Stimulating Factor, TNFα, dan Interleukin-1. Sedangkan perlengketan
dan agregrasi platelet dirangsang oleh integrin, p-selectin, fibrin, tromboxan A, faktor
jaringan, dan faktor lainnya yang bertanggungjawab atas perlengketan dan migrasi leukosit
(Chia et al., 2003).
Gambar 2. Tahapan Pembentukan Trombus (Hossmann dan Heiss, 2008)
Tahap 3. Pembentukan Aterosklerosis Lanjut
Bila fatty streak berkembang menjadi lesi lebih lanjut, maka cenderung akan terbentuk
fibrous cap yang membatasi lesi dengan lumen arteri. Fibrous cap menutupi campuran
leukosit, lipid dan debris, yang mungkin membentuk necrotic core. Lesi tersebut selanjutnya
sampai dengan tujuan adhesi leukosit berlanjut. Faktor yang paling penting sehubungan
dengan akumulasi makrofag meliputi macrophage colony stimulating factor (MCS-1),
monocyte chemotactic protein (MCP-1), oxidized low density lipoprotein (ocLDL-oc),
Fibrous gapsendiri terbentuk akibat meningkatnya aktivitas PDGF, Transforming Growth
Factor β, Tumor Necrosing Factor α, interleukin -1 (IL-1), dan derivat jaringan ikat (Chia et
al., 2003; Hoffmaan et al., 2003).
Tahap 4. Fibrous Plaque yang tidak Stabil
Robekan atau ulserasi pada fibrous cap dapat secara cepat menyebabkan trombosis dan
biasanya pada titik paling tipis yang menutupi lesi. Penipisan fibrous cap akibat dari
berlangsungnya influks dan aktivasi makrofag yang melepas enzim metalloproteinase dan
enzim proteolitik lainnya. Enzim ini menyebabkan degradasi matriks yang dapat
mengakibatkan perdarahan dari vasa vasorum atau dari lumen dari yang dapat menyebabkan
pembentukan trombus serta penyumbatan arteri. Gangguan plak atherosklerosis yang rapuh
akibat pemaparan hemodinamik dapat memicu trombosis yang selanjutnya akan terakumulasi
dan mengakibatkan terjadinya ruptur plak atau erosi. Jika penyumbatan terjadi di pembuluh
koroner maka akan mengakibatkan terjadinya iskemia sel miokard hingga infark miokard
(Hossmann dan Heiss, 2008)..
2.4 Manifestasi Klinis
Riwayat perjalanan nyeri dada sangat penting untuk membedakan ACS dengan
sejumlah penyakit lainnya. Gejalanya berupa gejala khas angina, yaitu nyeri dada tipikal yang
berlangsung selama ± 20 menit atau lebih yang terasa seperti ditusuk-tusuk, ditekan, rasa
terbakar, ditindih benda berat, rasa diperas dan terpelintir. Nyeri tidak sepenuhnya hilang
dengan istirahat atau obat nitrat dan dapat dicetus oleh serangkaian faktor seperti latihan fisik,
stress, emosi, udara dingin, dan sesudah makan. Sebanyak dua pertiga pasien STEMI
memiliki gejala angina dalam beberapa minggu sebelumnya. Secara keseluruhan sebanyak
20% hanya memiliki gejala kurang dari 24 jam (Steg et al., 2012).
Gambaran klinis pasien dengan ACS terdiri dari sejumlah variasi gejala. Gejala
kardinalnya adalah nyeri dada iskemik seperti penjelasan di atas. Nyeri dada dapat diberikan
penilaian berdasarkan Canadian Cardiovaskular Society (CSS), berupa nyeri angina yang
memanjang (>20 menit) pada saat istirahat, nyeri dada berat de novo (yang pertama sekali
terjadi)(kelas III CSS), cresendo angina, yaitu nyeri dada yang baru terstabilisasi dari nyeri
dada pada stable angina dengan paling tidak memenuhi karekteristik kelas III CSS, dan nyeri
dada pasca infark. Nyeri dada dalam waktu lama terlihat pada 80% kasus sedangkan nyeri
dada de novo hanya terlihat pada 20% kasus (Hemingway et al., 2004)..
2.5 Diagnosis
Diagnosis infark miokard akut didasarkan atas sejumlah hal,dimulai dari anamnesa
gejala klinis yang khas, pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG), serta pemeriksaan biomarker
jantung. Setiap orang yang datang dengan nyeri dada tipikal yang berlangsung selama ± 20
menit atau lebih yang terasa seperti ditusuk-tusuk, ditekan, rasa terbakar, ditindih benda
berat, rasa diperas dan terpelintir. Nyeri tidak sepenuhnya hilang dengan istirahat atau obat
nitrat dan dapat dicetus oleh serangkaian faktor seperti latihan fisik, stress, emosi, udara
dingin, dan sesudah makan (Brieger et al., 2004). Maka, nyeri dada tersebut dicurigai sebagai
suatu nyeri dada pada ACS. Selanjutnya segera lakukan pemeriksaan EKG, jika dijumpai
adanya ST elevasi atau adanya suatu LBBB (Left Bundle Branch Block) baru, maka
diagnosanya adalah STEMI, namun jika tidak dijumpai adanya ST elevasi namun dijumpai
adanya ST depresi, T inverted atau gambaran EKG yang normal, maka selanjutnya dilakukan
pemeriksaan biomarker jantung, yaitu Troponin I atau Troponin T. Jika terdapatnya
peningkatan nilai biomarker tersebut maka diagnosanya adalah NSTEMI, namun jika nilai
biomarker normal, maka diagnosanya menjadi Unstable Angina (UAP) (Steg et al., 2012).
Gambar 3. Alur Diagnosa STEMI (Steg et al., 2012)
Gambar 4. ST elevasi pada EKG (Hamm et al., 2010)
2.6 Penatalaksanaan
Terapi STEMI terdiri dari berbagai aspek. Tujuan utama penatalaksanaan Infark
miokard akut adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi
strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet,
pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi.Adapun tujuan penanganan pada
STEMI adalah (Hamm et al., 2010):
a) Penanganan kegawatdaruratan diperlukan untuk menegakkan diagnosis secara cepat dan
penilaian awal stratifikasi risiko, menghilangkan/ mengurangi nyeri dan pencegahan atau
penanganan henti jantung.
b) Penanganan dini untuk membuat keputusan segera terapi reperfusi untuk membatasi
proses infark serta mencegah perluasan infark serta menangani komplikasi segera seperti
gagal jantung, syok dan aritmia yang mengancam jiwa.
c) Penanganan selanjutnya untuk menangani komplikasi lain yang timbul selanjutnya.
d) Evaluasi dan penilaian risiko untuk mencegah terjadinya progresi penyakit arteri koroner,
infark baru, gagal jantung, dan kematian.
Adapun penatalaksanaan STEMI antara lain sebagai berikut (Steg et al., 2012):
a. Terapi Reperfusi
Terapi reperfusi merupakan hal yang sangat penting dalam penanganan STEMI tahap
awal karena fase inilah yang menentukan progresivitas perburukan area infark. Bagi pasien
dengan manifestasi klinis STEMI <12 jam dengan ST elevasi persisten atau adanya LBBB
(Left Bundle Branch Block) baru, maka Percutaneous Coronary Intervention (PCI) primer
atau terapi reperfusi secara farmakologi harus dilakukan sesegera mungkin (Ndrepepa et al.,
2009; Steg et al., 2012). Penanganan reperfusi STEMI dalam 24 jam pertama sebelum pasien
tiba di rumah sakit dan setelah tiba di rumah sakit ditunjukkan oleh Gambar 5. Terapi PCI
primer diindikasikan dilakukan dalam dua jam pertama terhitung jarak pertama sekali pasien
mendapatkan terapi (first medical contact). Dalam dua jam pertama tersebut terapi reperfusi
dengan PCI primer lebih diutamakan dibandingkan dengan terapi dengan menggunakan
fibrinolisis. Sebelum dilakukan PCI primer maka dianjurkan pemberian dual antiplatelet
therapy(DAPT) meliputi aspirin dan adenosine diphosphate (ADP) (Steg et al., 2012).
PCI primer dilakukan bila tersedia fasilitas PCI.Waktu kontak antara pasien tiba sampai
dengan inflasi balon < 90 menit, waktu antara pasien tiba sampai dengan inflasi dikurangi
waktu antara pasien tiba sampai dengan proses fibrinolitik< 1jam, dan terdapat kontraindikasi
fibrinolitik (Ndrepepa et al., 2009).
Selain itu PCI yang dikombinasikan dengan fibrinolitik yang dapat dilakukan pada
pasien-pasien dengan risiko tinggi jika tindakan PCI tidak dapat dilakukan dengan segera dan
pada pasien dengan risiko perdarahan rendah.Pada tindakan ini tidak dianjurkan
menggunakan penghambat reseptor GPIIb/ IIIa dengan dosis penuh (Steg et al., 2012).
Gambar 5. Alur Penanganan reperfusi STEMI dalam 24 jam pertama sebelum pasien tiba di rumah sakit dan setelah tiba di rumah sakit (Steg et al., 2012)
Jika onset gejala sudah berlangsung lebih dari 2 jam, maka terapi dengan menggunakan
PCI primer tidak dianjurkan lagi. Dalam masa ini, terapi reperfusi dengan pemberian
fibrinlosis lebih diutamakan apalagi onset masih berlangsung di bawah 12 jam. Dianjurkan
juga pada keadaan dimana tindakan invasif tidak mungkin dilakukan atau akan terlambat
serta tidak ada kontraindikasi fibrinolitik. Kontraindikasi fibrinolitik terdiri dari
kontraindikasi absolut dan kontraindikasi relatif. Kontraindikasi absolut terdiri dari riwayat
perdarahan intrakranial karena sebab apapun., adanya lesi struktural serebrovaskular, tumor
intrakranial (primer ataupun metastasis), stroke iskemik dalam 3 bulan atau dalam 3 jam
terakhir, dicurigai adanya suatu diseksi aorta, adanya trauma/ pembedahan/ truma kepala
dalam 3 bulan terakhir, dan adanya perdarahan aktif (termasuk menstruasi) (Bottiger et al.,
2008;Steg et al., 2012).
Sementara kontraindikasi relatif meliputi adanya riwayat stroke iskemik selama enam
bulan sebelumnya, terapi antikoagulan oral, kehamilan atau riwayat postpartum selama satu
minggu, hipertensi refrakter (tekanan darah sistolik >180 mmHg dan tekanan darah diastolik
110 mmHg. Penyakit hati stadium lanjut, endokartditis infektif, ulkus peptikum aktif serta
tindakan resusitasi trauma yang berlansung lama(Bottiger et al., 2008; Steg et al., 2012).
Agen fibrinolitik yang digunakan meliputi streptokinase (SK), Alteplase (tPA),
reteplase (r-PA), serta Tenecteplase (TNK-tPA). Dosis dan regimen pengguanaan masing-
masing agen fibrinolitik ini ditunjukkan oleh Gambar 7 berikut ini.
Gambar 7. Dosis Agen Fibrinolisis (Steg et al., 2012)
Gambar 8. Terapi Fibrinolitik (Steg et al., 2012)
b. Terapi Non-reperfusi
Terapi non reperfusi ini dilakukan jika onset serangan sudah melibihi 12 jam. Obat-obat
yang digunakan meliputi antitrombotik, meliputi aspirin, clopidogrel, serta agen antithrombin
seperti UFH, enoxaparin, atau fondaparinux harus diberikan sesegera mungkin (Bottiger et
al., 2008).
c. Terapi STEMI untuk Jangka waktu yang Lama
Terapi STEMI untuk jangka waktu yang lama terdiri dari (Steg et al., 2012):
a. Modifikasi gaya hidup dan faktor risiko, meliputi berhenti merokok, kontrol diet dan berat
badan, meningkatkan aktivitas fisik, kontrol tekanan darah, intervensi faktor psikososial.
b. Terapi Antitrombolitik, meliputi pemberian aspirin.
c. Pemberian Beta-Blocker.
d. Pemberian agen untuk merendahkan kadar lemak tubuh.
e. Pemberian Nitrat
f. Pemberian Calcium Channel Blocker
g. Pemberian Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACE-inhibitor) dan Angiotensin
Receptor Blocker (ARB).
h. Pemberian Aldosteron Antagonist
i. Pemberian Magnesium, glukose-insulin-pottasium, lidocaine.
c. Tindakan Pembedahan CABG (Coronary Artery Bypass Graft)
Tindakan pembedahan lebih baik jika dilakukan dibandingkan dengan pengobatan,
pada keadaan (Hamm et al., 2012):
a) Stenosis yang signifikan ( ≥ 50 %) di daerah left main (LM)
b) Stenosis yang signifikan (≥ 70 %) di daerah proksimal pada 3 arteri koroner utama
c) Stenosis yang signifikan pada 2 daerah arteri koroner utama termasuk stenosis yang cukup
tinggi tingkatannya pada daerah proksimal dari left anterior descending coronary artery.
2. 6 KOMPLIKASI
Adapaun komplikasi STEMI antara lain sebagai berikut (Kabo, 2011; Steg et al., 2012;
McMurray et al., 2012) adalah sebagai berikut:
a. Aritmia supraventrikular
Sinus takikardia merupakan aritmia yang paling umum dari tipe ini. Jika hal ini terjadi
sekunder akibat sebab lain, masalah primer sebaiknya diobati pertama. Namun, jika sinus
takikardia tampaknya disebabkan oleh stimulasi simpatik berlebihan, seperti yang terlihat
sebagai bagian dari status hiperdinamik, pengobatan dengan penghambat beta yang relatif
kerja singkat seperti propanolol yang sebaiknya dipertimbangkan (Kabo, 2011).
b. Gagal jantung
Beberapa derajat kelainan pada saat fungsi ventrikel kiri terjadi pada lebih dari
separuh pasien dengan infark miokard. Tanda klinis yang paling umum adalah ronki paru dan
irama derap S3 dan S4. Kongesti paru juga sering terlibat pada foto thoraks dada.
Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri dan tekanan arteri pulmonalis merupakan
temuan hemodinamik karakteristik, namun sebaiknya diketahui bahwa temua ini dapat
disebabkan oleh penurunan pemenuhan diastolik ventrikel dan atau penurunan isi sekuncup
dengan dilatasi jantung sekunder. Diuretik sangat efektif karena mengurangi kongesti paru-
paru dengan adanya gagal jantung sistolik dan diastolik (McMurray et al.,2012).
Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark miokard akut
berdasarkan suara ronkhi dan S3 gallop:
1. Derajat I : tidak ada rhonki dan S3 gallop
2. Derajat II : Gagal jantung dengan ronkhi di basal paru (setengah lapangan paru bawah), S3
galopdan peningkatan tekananvena pulmonalis.
3. Derajat III : Gagal jantung berat dengan edema paru di seluruh lapangan paru.
4. Derajat IV :Gagal jantung berat dengan edema paru di seluruh lapangan paru disertai
dengan syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik ≤ 90
mmHg) dan vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan diaforesis).
c. Sistole prematur ventrikel
Depolarisasi prematur yang jarang dan sporadik terjadi pada hampir semua pasien
dengan infark dan tidak memerlukan terapi. Sementara dulu, ekstrasistole ventrikel distolik
yang sering, multifokal atau dini secara rutin diobati, terapi farmakologik sekarang
disediakan untuk pasien dengan aritmia ventrikel yang lama atau simptomatik. Terapi
antiaritmia profilaktik dengan tiadanya takiaritmia ventrikel yang penting secara klinis,
dikontra indikasikan karena terapi seperti itu dapat dengan jelas meningkatkan mortalitas
selanjutnya (Steg et al., 2012).
d. Stroke iskemikKonsultasi neurologis perlu dilakukan pasd pasien STEMI yang mengalami strole
iskemik akut (level of evidence C).Pasien STEMI yang mengalami stroke iskemi akut dan AF
persisten harus mendapat terapi warfarin seumur hidup (INR 2-3) (level of evidence A).Pasien
STEMI dengan atau tanpa stroke iskemik akut yang memiliki sumber AF d jantung, trombus
mural/ akinetik segmen harus mendapat terapi warfarin intensitas sedang. Durasinya
tergantung kondisi klinis (minimal 3bulan untuk pasien dengan thrombus mural/akinetik
segmen dan tidak terbatas pada pasien AF persisten). Pasien harus mendapat LMWH/UFH
sampaiantikoagulasi dengan warfarin adekuat (level of evidence B).Cukup beralasan untuk
menilai risiko stroke iskemik pasien STEMI (level of evidence A).Cukup beralasan untuk
pasien STEMI dengan risiko stroke iskemik akut nonfatalmenerima terapi suportif untuk
menuunkan komplikasi dan meningkatkan outcome fungsional (level of evidence
C).Angioplasty karotis 4-6 minggu setelah stroke iskemik dapat dipertimbangkan pada pasien
STEMI yang mengalami stroke iskemik akut karena stenosis pada a.carotis inferior min 50%
dengan risiko tiggi morbiditas/mortalitas setelah STEMI (level of evidence C(Hossmanndan
Heiss. 2008).
2. 7 Prognosis
Prognosis dapat diperkirakan dengan menggunakan TIMI score (Thrombolysis in
Myocardial Infarction). TIMI skor risiko untuk mengidentifikasi STEMI signifikan gradien
dari risiko kematian dengan menggunakan variabel yang menangkap sebagian besar
informasi prognostik yang tersedia di multivariabel model. Kapasitas prediksi risiko ini skor
stabil selama beberapa titik waktu, pada pria dan wanita, dan pada perokok dan bukan
perokok. Selain itu,TIMI skor risiko dilakukan baik dalam data eksternal yang besar
ditetapkan pasien dengan STEMI (Goncalves et al., 2005; Morrow et al., 2011).
Gambar 9. Skor TIMI (Morrow et al., 2011)