cakradonya dent. j2010; 2(1):83-158 -...
TRANSCRIPT
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
83
PERBEDAAN KEKERASAN PERMUKAAN DUA JENIS HIBRID IONOMER SETELAHDIRENDAM DI DALAM LARUTAN DEMINERALISASI-REMINERALISASI
Diana Setya Ningsih*, Ali Noerdin **, Ellyza Herda**
* Prodi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah KualaPeserta Program Magister Ilmu Kedokteran Gigi Dasar, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas
Indonesia** Departemen Ilmu Material Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia
ABSTRAKHibrid ionomer merupakan perpaduan semen ionomer kaca konvensional dengan resin komposit yangmemiliki sifat yang hampir sama dengan semen ionomer kaca. Material ini sangat rentan terhadapkondisi lingkungannya (rongga mulut). Saat terpapar makanan, lingkungan rongga mulut berubahmenjadi asam akibat aktifitas dari mikroorganisme. Kondisi ini akan kembali ke pH normal olehkarena adanya kapasitas buffer saliva. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaankekerasan permukaan dari dua hibrid ionomer setelah perendaman di dalam larutan demineralisasi-remineralisasi selama tujuh hari. Metode: 40 spesimen (20 spesimen Fuji II LC dan 20 spesimenVitremer) dicetak menggunakan mould bulat dengan diameter = 5 mm dan tebal = 2 mm. Keduahibrid ionomer dibagi kedalam 4 kelompok (kelompok 1: siklus 1 hari; kelompok 2: siklus 3 hari;kelompok 3: siklus 5 hari dan kelompok 4: siklus 7 hari). Seluruh spesimen direndam di dalamlarutan demineralisasi dan remineralisasi. Setelah perendaman, kekerasan permukaan hibrid ionomerdiukur menggunakan mikrohardness tester Shimadzu (HMV-2 series). Data yang telah terkumpuldianalisa secara statistik menggunakan ANOVA satu arah dengan uji Tujey dan uji t tidakberpasangan. Hasil penelitian ini menunjukkan Fuji II LC memiliki kekerasan permukaan yang lebihbesar dibandingkan Vitremer (p<0.05). Tidak ada perbedaan yang bermakna kekerasan permukaanantara siklus 1,3,5 dan 7 hari setelah perendaman di dalam siklus demineralisasi-remineralisasi padaFuji II LC dan Vitremer. Kekerasan permukaan tertinggi (p<0.05) setelah perendaman di dalamlarutan remineralisasi dibandingkan larutan demineralisasi.
Kata Kunci : hibrid ionomer, kekerasan permukaan dan siklus pH
ABSTRACTHibrid ionomer is a material combination of conventional glass ionomer cement and resin compositethat has properties similar to conventional glass ionomer cement. This material is susceptible toenvironmental conditions (oral cavity). After food exposure, oral environment will become acidicbecause of microorganism activities. It will be return to normal pH due to buffer capacity of saliva.The aim of this study is to determine the surface hardness difference of two resin modified glassionomer cemenst after immersion in demineralization-remineralisation solution for seven days.Method: 40 speciments (20 speciments Fuji II LC and 20 speciments Vitremer) was made using around mould with diameter = 5 mm and thick = 2 mm. Both resin modified glass ionomer cementswere subdivided into 4 groups (Group 1: 1 day cycle; group 2: 3 day cycles; group 3: 5 day cycles andgroup 4: 7 day cycles). All specimens were immersed in demineralization and remineralizationsolution. After immersion, surface hardness of resin modified glass ionomer cement measured usingmikrohardness tester Shimadzu (HMV-2 series). The obtained data was analyzed statistically withone way ANOVA followed by Tukey test and t-test independent. The results show that Fuji II LChas a greater significant surface hardness than Vitremer (p <0.05). No significant surface hardnessamong 1,3,5 and 7 cycles (p>0.05) after immersed demineralization-remineralization cycles both inFuji II LC and Vitremer. The surface hardness is highest (p<0,05) after immersing in remineralizationsolution than demineralization solution.
Keywords : hibrid ionomer, surface hardness, pH cycles
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
84
PENDAHULUAN
Semen ionomer kaca merupakan bahan
tumpatan yang mampu melepaskan ion fluor
lebih banyak dibandingkan material lain
seperti resin komposit dan kompomer
sehingga dapat mencegah perkembangan
karies di dalam rongga mulut.1-4 Penelitian lain
menyatakan bahwa material ini juga
biokompatibel di dalam rongga mulut, termal
ekspansinya hampir sama dengan struktur gigi,
dan perlekatannya baik (fisikokimia). Namun,
material ini masih memiliki beberapa
kekurangan antara lain: estetisnya kurang,
waktu pengerasan yang lama, mudah aus dan
rapuh.5,6
Kekurangan material ini terus
diperbaiki dan diteliti sehingga ditemukan
hibrid ionomer yang lebih estetis, waktu kerja
pendek, mampu melepaskan ion fluor sedikit
lebih rendah atau sama dengan ion fluor yang
dilepaskan oleh semen ionomer kaca
konvensional dan mampu menerima beban
kunyah.7-10 Hibrid ionomer merupakan
perpaduan antara semen ionomer kaca
konvensional dan resin komposit. Reaksi yang
terjadi pada hibrid ionomer ada dua yaitu:
asam basa (saat pencampuran
fluroaluminosilicate glass dengan cairan
asam) dan reaksi polimerisasi dengan aktifator
kimia/sinar. Komposisi dasar cairan hibrid
ionomer adalah asam polikarboksilat, air, 2-
hydoxyethylmethacrylate (HEMA) sedangkan
bubuk hibrid ionomer mengandung
fluoroaluminasilikat glass dengan atau tanpa
penambahan bahan silane sebagai crosslinked
agent.6,10-12
Disamping komposisi, lingkungan juga
dapat mempengaruhi sifat mekanik dan fisik
hibrid ionomer. Di dalam rongga mulut terjadi
proses demineralisasi (asam) dan
remineralisasi (basa) dan proses ini terjadi
secara terus menerus.12 Kondisi asam basa ini
juga akan mempengaruhi kekerasan
permukaan hibrid ionomer. Silva dan kawan-
kawan (2007), menyatakan bahwa terjadi
peningkatan kekerasan permukaan pada hibrid
ionomer yang direndam di dalam siklus
remineralisasi dan demineralisasi selama 18
hari. Peningkatan kekerasan permukaan ini
terjadi akibat adanya absorbsi air di sekitar
spesimen.13 Berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh Wang dan kawan-kawan
(2006), penelitiannya menunjukkan tidak
terjadi perubahan kekerasan permukaan dan
modulus elastisitas yang bermakna pada hibrid
ionomer sesudah direndam di dalam larutan
demineralisasi maupun remineralisasi yang
mengandung ion kalsium, fosfat dan fluor.14
Dengan adanya perbedaan hasil
penelitian sebelumnya, maka penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui perbedaan
kekerasan permukaan dua merk hibrid
ionomer yang sering digunakan di dalam
kedokteran gigi setelah direndam di dalam
larutan demineralisasi-remineralisasi (pH
cycles) secara terus menerus. Penelitian ini
diharapkan dapat menjadi referensi bagi para
klinisi dalam pemilihan material tumpatan
yang akan digunakan di dalam rongga mulut.
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
85
Bahan dan Metoda
Pada penelitian ini, digunakan dua jenis
hibrid ionomer yaitu Fuji II LC dan Vitremer
(Tabel 1). Cetakan spesimen adalah baja
berbentuk bulat dengan diameter 5 mm dan
tebal 2 mm. Hibrid ionomer yang akan
digunakan dimanipulasi sesuai ketentuan
pabrik. Selanjutnya, hibrid ionomer
dimasukkan ke dalam cetakan yang telah
dialasi dengan mylar strip. Diatas cetakan
ditutup juga dengan mylar strip dan glass slide
serta diberi pemberat sebesar 1 kg diatasnya
untuk mendapatkan spesimen dengan
kepadatan yang sama. Spesimen disinari
selama 40 detik (Fuji II LC) dan 20 detik
(Vitremer) menggunakan LED (light emitted
diode). Selanjutnya hibrid ionomer
dikeluarkan dari cetakan dan kelebihannya
dibuang. Jumlah spesimen pada penelitian ini
adalah 20 dari masing-masing hibrid ionomer
dan kemudian dibagi dalam empat kelompok
perlakuan dengan jumlah spesimen setiap
kelompok adalah lima. Kelompok 1: siklus 1
hari; kelompok 2: siklus 3 hari; kelompok 3:
siklus 5 hari dan kelompok 4: siklus 7 hari. 13
Spesimen dibiarkan selama 1 jam di
suhu ruang ( 27°C) dan kemudian disimpan di
dalam inkubator (37°C;95mmHg) selama
empat jam. Selanjutnya, spesimen dimasukkan
ke dalam vial yang berisi larutan
demineralisasi 2 ml dan dimasukkan ke dalam
inkubator (37°C;95mmHg) selama enam jam.
Setelah itu, spesimen dikeluarkan dari larutan
demineralisasi, dicuci, diletakkan diatas kertas
absorben dan dikeringkan di udara terbuka
selama 10 menit. Masukkan kembali spesimen
ke dalam 2 ml larutan remineralisasi selama 18
jam dan disimpan di dalam inkubator
(37°C;95mmHg). Siklus perendaman
dilakukan selama 7 hari. Larutan
demineralisasi dan remineralisasi di ganti
setiap hari. Adapun komposisi larutan
demineralisasi dan remineralisasi dapat dilihat
pada Tabel 2. 13
Uji kekerasan permukaan dari setiap
spesimen dilakukan pada setiap akhir
perendaman demineralisasi dan remineralisasi.
uji kekerasan dilakukan pada siklus 1, 3, 5 dan
7. Uji kekerasan dilakukan dengan
menggunakan microhardness tester dengan
menggunakan indenter Knoop dengan beban
100 gramforce selama 5 detik. Pada setiap
spesimen dilakukan 5 indentasi, dan dihitung
nilai rerata sehingga diperoleh nilai rerata
kekerasan permukaan. Analisa statistik
dilakukan dengan menggunakan SPSS metode
ANOVA satu arah dan post hoc Tukey’s
(p<0,05).
Tabel 1. Komposisi dan P/L Rasio HibridIonomer yang digunakan padapenelitian
Hibridionomer Bubuk Cairan P/L rasio Product
/batch
Vitremer(V)
Fluoroaluminosilicate glass,potassiumsulfat,asamaskorbat
50% asampoliakrilat, 20%HEMAAir dan 13%asam karboksilat
2:2(2,5g/1g) 3M
FUJI IILC(F)
95-100%Aluminosilicateglass
20-25% asampoliakrilat, 30-35% HEMA, 1-5% TMHDM, 5-15% komposisilain
1:2(3,2g/1g) GC
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
86
Tabel 2. Komposisi Larutan Demineralisasidan Remineralisasi
No Larutan pH Komposisi
1 Demineralisasi 4,3
Asam asetat murni (50mM/L), CaHPO4 (2.2mM/L) dalam aquadesdan timol
2 Remineralisasi 7
20 mM HEPES Buffer,1.5 mM Kalsium(CaCl2), 0.9 mM fosfat(K2HPO4), 10 ppmfluor (NaF).
Hasil
Hasil dari penelitian pada Tabel 3
memperlihatkan adanya perbedaan kekerasan
permukaan saat perendaman di dalam larutan
demineralisasi dan larutan remineralisasi,
dimana kekerasan permukaan paling tinggi
terlihat saat perendaman di dalam larutan
remineralisasi baik pada Fuji II LC maupun
Vitremer. Kekerasan permukaan Fuji II LC
tertinggi didapati setelah perendaman di dalam
larutan demineralisasi pada siklus 7 hari
(39.58±0.674), sedangkan kekerasan
permukaan terendah terlihat pada siklus 1 hari
(36.23±0.965). Saat perendaman di dalam
larutan remineralisasi, kekerasan permukaan
tertinggi diperoleh setelah perendaman siklus
1 hari (42.04±0.572) dan terendah pada siklus
7 hari (40.74±0.459). Sedangkan setelah
perendaman di dalam larutan demineralisasi,
kekerasan permukaan Vitremer tertinggi
diperlihatkan pada siklus 3 hari (29.09±0.826)
dan terendah pada siklus 1 hari (26.94±0.407).
Peningkatan kekerasan permukaan juga
terlihat setelah perendaman di dalam larutan
remineralisasi selama 1,3,5 dan 7 hari yaitu:
31.10±0.287, 31.52±0.184, 30.79±1.193 dan
30.31±1.593.
Pada akhir siklus demineralisasi-remineralisasi
(asam-basa) terlihat tidak ada perbedaan
kekerasan permukaan pada Fuji II LC dan
Vitremer saat perendaman siklus 1,3,5 dan 7
hari. Namun, secara keseluruhan diperlihatkan
ada perbedaan kekerasan permukaan antara
Fuji II LC dengan Vitremer.
Tabel 3. Kekerasan Permukaan Fuji II LC danVitremer Selama Perendaman di dalamlarutan demineralisasi danRemineralisasi
Fuji II LC VitremerSiklus
Demineralisasi Remineralisasi Demineralisasi Remineralisasi
1 36.23±0.965 42.04±0.572 26.94±0.407 31.10±0.287
3 39.42±0.227 41.56±0.203 29.09±0.826 31.52±0.184
5 38.20±0.416 41.30±0.995 27.64±0.880 30.79±1.193
7 39.58±0.674 40.74±0.459 27.22±0.436 30.31±1.593Demineralisasi 6 jam dan remineralisasi 18 jam
Dari Tabel 3 dan Gambar 1 juga
diperlihatkan bahwa kekerasan permukaan
Fuji II LC adalah 42.04±0.57 (1 hari),
41.56±0.20 (3 hari), 41.38±0.99 (5 hari) dan
40.74±0.46 (7 hari). Pada Vitremer terlihat
rerata kekerasan permukaan dari siklus1,3,5
dan 7 hari adalah 31.10±0.29, 31.52±0.18,
27.22±0.44 dan 30.31±1.59 .
Berdasarkan hasil analisa statistik
menggunakan uji ANOVA satu arah seperti
yang terlihat pada Tabel 4, terlihat ada
perbedaan bermakna kekerasaan Fuji II LC
setelah perendaman selama siklus 1,3,5 dan 7
hari di dalam larutan demineralisasi dan
remineralisasi (p<0.05). Demikian juga
perendaman selama siklus 1,3,5 dan 7 hari
pada Vitremer, yang menunjukkan ada
perbedaan kekerasan permukaan yang
bermakna setelah perendaman di dalam larutan
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
87
demineralisasi (p<0.05). Setelah perendaman
di dalam larutan remineralisasi kekerasan
permukaan Vitremer menunjukkan tidak
adanya perbedaan bermakna antara siklus
1,3,5 dan 7 hari (p>0.05).
Gambar 1. Grafik perbedaan rerata kekerasanpermukaan pada Fuji II LC dan Vitremer selama1,3,5 dan 7 hari setelah perendaman.
Tabel 4. Hasil Uji Statistik ANOVA satu arahdengan Tukey’s dan t-test
Fuji II LC (F) Vitremer (V) F-V
D R D R D RSiklus
Sig. Sig. Sig. Sig. Sig. Sig.
1 3 0.001* 0.913 0.000* 0.640
5 0.383 0.959 0.001* 0.377 0.000* 0.000*
7 0.915 0.608 0.000* 0.023*
3 1 0.001* 0.913 0.000* 0.640
5 0.018* 0.667 0.035* 0.966
7 0.002* 0.267 0.981 0.2040.000* 0.000*
5 1 0.383 0.959 0.001* 0.377
3 0.018* 0.667 0.035* 0.966
7 0.754 0.875 0.017* 0.4030.000* 0.000*
7 1 0.915 0.608 0.000* 0.023*
3 0.002* 0.267 0.981 0.204
5 0.754 0.875 0.017* 0.4030.000* 0.000*
Ada perbedaan bermakna (p<0.05)D = Demineralisasi; R = Remineralisas
Analisa lebih lanjut menggunakan
Tukey’s post hoc bahwa pada kelompok Fuji
II LC yang direndam dilarutan demineralisasi,
terdapat perbedaan yang bermakna ditemui
pada siklus 1 dengan hari 3; siklus 3 dengan
1,5, dan 7. Sementara pada saat perendaman
remineralisasi, tidak ditemui perbedaan yang
bermakna antara siklus 1,3,5 dan 7.
Saat Vitremer direndam di dalam
larutan demineralisasi, perbedaan yang
bermakna terlihat antara siklus 1 dengan 3,5,
dan 7, sedangkan pada perendaman Vitremer
di dalam larutan remineralisasi, perbedaan
yang bermakna terlihat hanya pada siklus 1
dengan 7 saja.
Dari uji statistik menggunakan t-test
tidak berpasangan, kekerasan permukaan
setelah direndam di dalam larutan
demineralisasi dan remineralisasi
menunjukkan ada perbedaan bermakna antara
Fuji II LC dengan Vitremer (p<0.05).
Pembahasan
Lingkungan rongga mulut merupakan
lingkungan yang mengalami proses asam dan
basa. Proses asam (pH<7) terjadi saat terpapar
makanan dan akan mencapai pH kritis setelah
30-60 menit. Kondisi asam pada rongga mulut
akan berubah menjadi basa setelah terpapar
buffer yang terkandung di dalam saliva. Oleh
karena itu, model pH cycles sangat potensial
untuk menggambarkan proses asam basa di
dalam rongga mulut dan juga sebagai
standarisasi penelitian yang akan
dilakukan.13,14
Pengambilan dan penglepasan ion yang
berlangsung di dalam rongga mulut juga akan
mempengaruhi kekerasan permukaan dari
material disekitarnya (termasuk hibrid
ionomer). Dari Gambar 1 terlihat bahwa antara
siklus 1, 3, 5 dan 7 hari tidak menunjukkan
perbedaan yang bermakna. Hasil penelitian ini
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
88
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Wang dkk (2006) yang menyatakan bahwa
tidak ada perbedaan kekerasan permukaan
sebelum dan sesudah siklus demineralisasi-
remineralisasi pada hibrid ionomer, oleh
karena pada saat demineralisasi maka terjadi
pelepasan beberapa ion yang ada di dalam
material sedangkan pada proses remineralisasi
terjadi proses pengambilan kembali ion-ion
yang berada di lingkungan mulut.14
Berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh Silva dkk (2007). Pada
penelitiannya, menyatakan adanya perbedaan
yang bermakna setelah siklus demineralisasi
dan remineralisasi.13 Perbedaan hasil
penelitian ini, diperkirakan akibat adanya
perbedaan komposisi larutan buffer, perlakuan
dan ukuran spesimen yang digunakan.
Pada setiap siklus, kekerasan
permukaaan yang paling rendah terjadi pada
akhir perendaman di dalam larutan
demineralisasi dan kekerasan permukaan yang
paling tinggi diperoleh pada akhir
perendaman remineralisasi (Tabel 3). Hal ini
menunjukkan terjadinya proses degradasi
hibrid ionomer yang tinggi saat direndam di
dalam larutan demineralisasi. Peningkatan
kekerasan hibrid ionomer setelah perendaman
larutan remineralisasi dikarenakan kandungan
HEMA yang bersifat hidrofilik. Hal ini
menyebabkan ion fluor yang terkandung di
dalam larutan remineralisasi dapat berdifusi
lebih banyak ke dalam matriks resin sehingga
kekuatan resin meningkat. 4.15
Pada penelitian ini, juga terlihat
kekerasan permukaan Vitremer lebih rendah
dibandingkan Fuji II LC. Hal ini disebabkan
adanya perbedaan komposisi dari hibrid
ionomer ini. Fuji II LC mengandung monomer
HEMA yang dapat berikatan sempurna dengan
cairan asam poliakrilik sementara Vitremer
mengalami pengikatan yang sangat sederhana
dengan asam poliakrilik dan kemudian akan
berikatan secara polimerisasi dengan
kelompok metakrilat.16
Penelitian yang dilakukan oleh Xie dkk
(2000) menyatakan bahwa kekerasan
permukaan Fuji II LC lebih tinggi
dibandingkan Vitremer dan Photact fil.17
Perbedaan ini diperkirakan disebabkan oleh
adanya pencampuran ukuran partikel. Pada
Fuji II LC mengandung lebih banyak partikel
yang berukuran kecil dibandingkan partikel
berukuran besar. Sementara Vitremer,
mengandung lebih banyak partikel besar
dibandingkan partikel kecil.6 Pencampuran
ukuran partikel ini akan mempercepat proses
setting (pengerasan) sehingga akan
mempermudah pengaplikasian dan
peningkatkan viskositas. 18
Pada Fuji II LC partikel yang berukuran
kecil dapat terdispersi secara sempurna dalam
matrik Fuji II LC dibanding hibrid ionomer
lainnya. Dengan adanya perbedaan ukuran dan
bentuk partikel glass yang tersebar di matrik
polimer akan memberikan daya tahan terhadap
indentasi sehingga meningkatkan kekerasan
permukaan.16,17 Dibb dkk (2002) menyatakan
ukuran partikel akan mempengaruhi gambaran
mikrostruktur hibrid ionomer sehingga akan
mempengaruhi sifat mekanik termasuk
kekerasan permukaan.16
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
89
Perbedaan kekerasan permukaan Fuji II
LC dan Vitremer, diperkirakan juga akibat
adanya perbedaan lamanya penyinaran.
Penelitian yang dilakukan oleh Alpoz dkk
(2008) menyatakan penyinaran menggunakan
LED selama 40 detik lebih memiliki kekerasan
permukaan yang lebih tinggi dibandingkan
penyinaran selam 20 detik.20 Adanya
perbedaan kekerasan permukaan ini
diperkirakan akibat kemampuan absorbsi dan
penyebaran sinar hibrid ionomer yang disinari
selama 40 detik lebih sempurna sehingga
proses polimerisasi dan pengerasannya hibrid
ionomer lebih baik.20.21 Sedangkan, penyinaran
dalam waktu cepat (20 detik), energi yang
dilepaskan oleh LED akan lemah sehingga
pengerasan permukaan hibrid ionomer tidak
terjadi secara sempurna.22
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa kekerasan permukaan
hibrid ionomer dipengaruhi oleh larutan
perendaman. Hibrid ionomer lebih rentan
terhadap kondisi asam dibandingkan kondisi
basa. Ada perbedaan yang bermakna antara
kekerasan permukaan Fuji II LC dengan rerata
kekerasan permukaan Vitremer pada saat
perendaman di dalam larutan demineralisasi
dan remineralisasi. Selama siklus
demineralisasi-remineralisasi, kekerasan
permukaan relatif tidak berbeda baik selama
siklus 1,3,5 dan 7 hari. Dari keseluruhan
penelitian diketahui bahwa penggunaan Fuji II
LC lebih baik dibandingkan penggunaan
Vitremer di dalam kondisi asam dan basa
(lingkungan rongga mulut).
DAFTAR PUSTAKA1. Tyas MJ. Clinical performance of glass
ionomer cements. J Minim Interv Dent.2008;1(2):88-94
2. Attar N, Turgut Md. Fluoride release anduptake capacities of fluoride releasingrestorative materials. J Op Dent2003;28(4):395-402
3. Nakajo K, Takahashi Y, Kiba W, ImazatoS, Takahashi N.Fluoride ion released fromglass ionomer cement is responsible toinhibit the acid production of caries relatedoral streptococci. J Interface Oral HealthSci 2007:263-4
4. Lobo MM, Pecharki GD, Tegan C, SilvaDD, Tagliaferro EPS, Napimogo MH.Fluoride release capacity and cariostaticeffect provided by sealent. J Oral Sci2005;47:35-41
5. David CL. Advances in glass ionomercements. J Appl Oral Sci 2006;14(sp.issue):3-9
6. Albers HF. Tooth coloredrestorative:principles and techniques 9th
ed. BC Decker Inc:London, 2002:43-807. Ermis BR. Two year clinical evaluation of
four polyacid modified resin compositesand resin modified glass ionomer cementin class V lesion. Quintessence Int2002;33(7):542-8
8. Ilea N, Hickel R. Mechanical behavior ofglass ionomer cements as a function ofloading condition and mixing procedure. JDent Mater 2007;26(4):526-33
9. Crall TP, Zion YB, Segura A, Donly KJ.Clinical performance of resin modifiedglass ionomer cement restoration inprimary teeth: A retrospective evaluation.JADA 2001;13
10. Saito S, Tosaki S, Hirota K.Characteristics of glass ionomer cements.In Davidson CL, Mjor IA. Advances inglass ionomer cement. Germany:Quintessence pub.co, 1999:28-44
11. Mount GJ. An atlas of glass ionomercement: a clinician’s guide 3th ed. NewYork: Martin Dunitz 2002:1-11
12. Mount GJ, Hume WR. Glass ionomermaterials. In preservation and restoration
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
90
of tooth structure 2nd ed. Australia:knowledge book and software 2005:164-96 microindentation study
13. Silva KG, Pedrini D, Delbem ACB,Cannon M. Microhardness and fluoriderelease of restorative materials in differentstorage media. Braz Dent J2007;18(4):309-13
14. Wang XY, Yap AUJ, Ngo HC, ChungSM. Enviromental degradation of glassionomer cements: a depth sensingmicroindentation study. J Biomed MaterRes 2006
15. Cefaly DFG, Wang L, Paes de Mello LLC,Lima dos Santos JL, Rodrigo dos SantosJR, Lauris JRP. Water sorption of resinmodified glass ionomer cementsphotoactivated with LED
16. Palma-Dibb RG, Palma AE, Matson E,Chinelatti MA, Ramos RP. Microhardnessof esthetic restorative material at differentdepth. J Mater Research 2002;6(1):85-90
17. Xie D, Brantley WA, Culbertson BM,Wang G. Mechanical properties andmicrostructure of glass ionomer cements. JDent Mater 2000;16:129-38
18. Prentice LH, Tyas MJ, Burrow MF. Theeffect of particle size distribution on anexperimental glass ionomer cement. JDent Mater 2005;21:505-10
19. Cefaly DFG, Paes de Mello LLC, Wang L,Lauris JRP, D’alpino PHP. Effect of lightcuring unit on resin modified glassionomer cements: A microhardnessassessment. J Appl Oral Sci2009;17(3):150-4
20. Alpoz AR, Ertugrul F, Cogulu D, Ak AT,Tonoglu M, Kaya E. Effect light curingmetod and exposure time on mechanicalproperties of resin based dental material.Eur J Dent 2008;2:37-42
21. Bayandir YZ, Yildiz M. Surface hardnessproperties of resin modified glass ionomercements and polyacid modified compositeresins. J Cont Dent Prac 2004;5(4):1-6
22. David JR, Gomes OM, Gomes JC,Loguercio AD, Reis A. Effect of exposuretime on curing efficiency of polymerizingunits equipped with light emited diodes. JOral Sci 2007;49:19-24
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
91
PENGARUH PAPARAN MINUMAN RINGAN RASA BUAH SECARA IN VITROTERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN EMAIL GIGI TETAP
Suzanna Sungkar*, Suhendrianto**, Sri Fitriyani*
* Staf Pengajar Program Studi Kedokteran Gigi FK-Unsyiah** Staf Pengajar Ilmu Material Fakultas Teknik Jurusan Mesin-Unsyiah
ABSTRAKPenelitian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh minuman rasa buah terhadapkekasaran permukaan email gigi tetap. Sampel yang digunakan adalah 45 gigi insisivus, bebas karies,stain dan kelainan struktur. Sampel dibagi dalam 3 kelompok yakni kelompok yang mendapatpaparan minuman rasa buah (Fruit Tea rasa Strawberry Tea) dengan durasi 5, 10 dan 15 menit.Pengukuran kekerasan permukaan email dilakukan dengan alat surfcom dengan satuan µm sebelumdan setelah sampel mendapatkan perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan semakin lama durasipemaparan dengan minuman rasa buah, rerata selisih kekasaran permukaan email gigi semakinmeningkat. Kekasaran permukaan email tertinggi adalah pada durasi 15 menit. Hasil uji ANOVAmenunjukkan ada perbedaan bermakna kekasaran permukaan email gigi setelah paparan minumanrasa buah dengan durasi 5, 10 dan 15 menit (p<0,05)..
Kata kunci: minuman rasa buah, kekasaran permukaan email gigi tetap, durasi paparan.
ABSTRACTThe objective of this study was to determine the influence of acid drinks on enamel surface roughnessof permanent teeth. The sample used 45 incisors, without caries, stain and structural abnormalities.Sample were divided into 3 groups, its immersed into acid drink during 5, 10 and 15 minute. Themeasurement of roughness surface carried out by Surform, in micrometer, it held before and aftersamples treatment. The enamel surface roughness of permanent tooth increases as the longer durationof immersed. It was the highest 15 minutes duration. Anova test results showed there was significantdifferences with tooth enamel surface roughness after exposure to acid drink among duration of 5, 10and 15 minutes (P>0.05)
Key words: acid drinks, enamel surface roughness, duration of immersedAcid drink: fruit – flavored drink.
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
92
Pendahuluan
Beberapa tahun belakangan ini terjadi
peningkatan insidensi keausan permukaan gigi
pada usia anak dan remaja. Salah satu faktor
penyebab keasuan gigi ini adalah erosi gigi.1
Erosi gigi adalah salah satu jenis kehilangan
progresif jaringan keras gigi yang disebabkan
oleh proses kimia tanpa melibatkan bakteri.2-4
Erosi gigi dapat menyebabkan gigi menjadi
sensitif dan pada tahap lanjut dapat
menyebabkan pulpa terbuka, terjadinya abses
serta berkurangnya dimensi vertikal sehingga
dapat timbul gangguan fungsional dan
estetik.5-9
Penelitian epidemiologik menunjukkan
prevalensi erosi gigi pada anak-anak bervariasi
luas antara 2-57%.4 Erosi pada email gigi
dapat disebabkan oleh faktor intristik maupun
ekstrinsik. Regurgitasi, gaseous reflux dan
chronic vomiting merupakan penyebab
intrinsik erosi yang berasal dari lambung.
Faktor ekstrinsik adalah penyebab erosi gigi
yang berasal lingkungan di luar tubuh seperti
asam yang terdapat dalam makanan, minuman
dan obat-obatan.10,11 Minuman ringan yang
mengandung asam mempunyai pH rendah
sehingga akan terjadi proses demineralisasi
email dan menyebabkan erosi gigi.
Peningkatan konsumsi minuman ringan pada
anak-anak dan remaja dapat menimbulkan
efek yang signifikan terhadap peningkatan
prevalensi erosi gigi.12-15
Banyak minuman ringan rasa buah yang
beredar di pasaran maupun yang diiklankan di
media masa. Salah satu minuman yang banyak
ditemukan dan dijual hampir di setiap sekolah
adalah minuman rasa strawberry dengan merk
dagang Fruit tea dan minuman rasa asam
dengan merk dagang “Asam Jawa”. Kedua
jenis minuman ini mengandung asam sitrat
sehingga pemaparannnya dengan gigi
diperkirakan dapat berpengaruh terhadap
permukaan email.
Email tersusun atas 96% mineral
(material anorganik) serta 1% material organik
dan 3% air. Material anorganik utama pada
email adalah kristal hidroksi apatit (HA)
dengan rumus kimia Ca10(PO4)6(OH)2.16,17
Struktur email yang normal itu sangat keras
karena mengandung mineral yang tinggi,
tetapi apabila kristal hidroksi apatit secara
terus-menerus mengalami kelarutan maka
pada permukaan email akan terbentuk pori-
pori kecil atau porositas yang sebelumnya
tidak ada sehingga dapat menurunkan
kekerasan permukaan email.18,19
Pengukuran erosi gigi dapat dilakukan
secara in vivo maupun secara in vitro. Metode
fisika dengan teknik profilometri/ surfometri
menggunakan instrumen yang mengukur
tekstur/ kekasaran suatu permukaan
merupakan salah satu cara yang dapat
digunakan dalam pengukuran erosi gigi secara
in vitro.4
Bahan dan Metoda
Penelitian ini adalah penelitian
eksperimental laboratoris, dilakukan di
laboratorium Metrologi Industri dan Kontrol
Kualitas Fakultas Teknik Jurusan Mesin
Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Sampel
yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
93
gigi insisivus tetap yang bebas karies, stain
dan kelainan struktur.
Bahan Penelitian:
1. Gigi insisivus tetap.
2. Minuman rasa buah (merk dagang Fruit
Tea rasa Strawberry Tea) dan Asam Jawa
3. Larutan saline (NaCl 0,9%)
4. Saliva buatan (Fusayama modifikasi)
5. Gelas kaca tempat merendam spesimen
6. Spidol
7. Pinset
Alat Penelitian:
1. pH meter (PH 300 SERIES Hanan
Instruments)
2. Alat pengukur waktu (digital stopwatch)
3. Alat surfcom untuk mengukur kekasaran
permukaan (Surfcom 480A, Zeiss, TSK)
Gambar 1: Bahan penelitian
Gambar 2: Alat Surfcom
Gigi insisivus sejumlah 45 buah
dibersihkan dan disimpan dalam larutan saline
(NaCl 0,9%). Secara random gigi dibagi
menjadi 3 kelompok yaitu kelompok yang
direndam minuman rasa buah dengan durasi
waktu 5, 10 menit dan 15 menit. Sebelum
perlakuan setiap gigi diukur kekasaran
permukaan emailnya (pengukuran I). Pada
kelompok I dilakukan perendaman dengan
durasi 5 menit, kemudian direndam dalam
saliva buatan selama 5 menit. Pada kelompok
II dilakukan perendaman selama 10 menit,
kemudian direndam dalam saliva buatan
selama 5 menit. Pada kelompok III dilakukan
perendaman selama 15 menit, kemudian
direndam dalam saliva buatan selama 5 menit.
Setelah perendaman masing-masing
kelompok diukur kekasaran permukaan
emailnya (pengukuran II). Kekasaran
permukaan email diukur dengan cara sebagai
berikut: pengukuran dilakukan pada bagian
labial, dengan titik pengukuran diperoleh
melalui titik potong pertengahan aksis gigi
(garis vertikal) dan diameter mesio-distal gigi
(garis horizontal). Pengukuran dilakukan pada
lokasi titik yang sama (gambar 3) sebelum dan
setelah perendaman dengan durasi 5, 10 dan
15 menit, sehingga dari masing-masing
kelompok diperoleh 30 data. Hasil yang
diperoleh menunjukkan nilai kekasaran
permukaan email gigi tetap sebelum dan
setelah direndam dengan minuman rasa buah
dengan durasi waktu 5, 10 dan 15 menit,
menggunakan alat surfcom dengan satuan µm.
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
94
Gambar 3: Posisi pengukuran
Hasil
Hasil penelitian menunjukkan
perbedaan yang bermakna (p<0,05) pada
kekasaran permukaan email gigi tetap setelah
pemaparan minuman uji dengan durasi 5, 10
dan 15 menit (Tabel 1). Semakin lama durasi
pemaparan dengan minuman rasa buah, rerata
selisih kekasaran permukaan email gigi
semakin meningkat. Kekasaran permukaan
email tertinggi adalah pada durasi 15 menit.
Tabel 1. Nilai rerata, simpang baku dan kisaranperbedaan kekasaran permukaan emailgigi tetap serta hasil uji ANOVA
Selisihkekasaran
(µm)Kelompok Uji
Rerata SBKisaran
UjiANOVA
(p)MinumanBuah 5’Minumanbuah 10’Minumanbuah 15’
0.16
0.33
0.46
0.06
0.07
0.06
0.01-0.26
0.20-0.45
0.37-0.59
0.00*
Keterangan : SB= simpang baku, F= nilai ujiANOVA, p= nilai kemaknaan, *=bermakna
Perbedaan kekasaran permukaan email
masing-masing durasi diuji lanjutan dengan uji
Tukey HSD untuk mengetahui diantara durasi
mana kekasaran permukaan email berbeda
bermakna. Hasil uji Tukey HSD menunjukkan
bahwa perbedaan kekasaran permukaan email
antara durasi 5 dengan 10 menit, 5 dengan 15
menit dan 10 dengan 15 menit berbeda
bermakna (Tabel 2).
Tabel 2. Hasil uji Tukey HSD perbedaankekasaran permukaan email setelahpemaparan minuman uji
Frekuensi paparan(I)
Frekuensi paparan(J)
Perbedaankekasaran
(I-J)p
Minuman buah 5’Minuman buah 5’Minuman buah 10’
Minuman buah 10’Minuman buah 15’Minuman buah 15’
-0.16
-0.29
-0.13
0.00*
0.00*
0.00*
Keterangan : p= nilai kemaknaan, *=bermakna
Pembahasan
Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa
terjadi peningkatan perubahan kekasaran
permukaaan email setelah paparan minuman
uji pada setiap durasi yang diuji. Hal ini sesuai
dengan literatur yang menyebutkan bahwa
penurunan pH rongga mulut karena adanya
fermentasi karbohidrat yang menghasilkan
asam atau minuman yang mengandung asam,
dapat menyebabkan demineralisasi permukaan
email.20,21
Makanan yang menggunakan kuah atau
cairan yang asam dapat menyebabkan erosi
gigi (demineralisasi permukaan gigi).22
Demineralisasi permukaan email di sini
terlihat dari peningkatan kekasaran permukaan
email yang terjadi. Demineralisasi email
adalah rusaknya hidroksi apatit gigi yang
merupakan komponen utama email akibat
proses kimia. Demineralisasi email terjadi
apabila pH larutan di sekeliling permukaan
email lebih rendah dari 5,5.19
Adapun reaksi demineralisasi yang
terjadi dalam lingkungan asam lemah adalah:23
Ca10(PO4)6(OH)2 + 8H+ 10Ca2+ + 6HPO42-
+ 2 H2O
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
95
Sedangkan reaksi demineralisasi dalam
lingkungan asam kuat adalah:23
HPO4- + 6 H+ H2PO4
- dan H2PO4- + 6 H+
H3PO4 (pK =2)
Menurut Brikedal-Hansen (1974) ada 4
tahapan proses terjadinya demineralisasi asam
pada gigi secara histologi yaitu ; 1). Difusi
asam pada permukaan email; 2). Difusi asam
ke dalam matriks organik; 3). Reaksi asam
dengan hidroksi apatit; 4). Pelepasan hasil
reaksi ke daerah sekitarnya. Sisi reaktifnya
yaitu kristal hidroksi apatit dan asam yang
berikatan dengan matriks organik.21
Pengaruh durasi perendaman dan
frekuensi paparan asam dengan email menjadi
faktor untuk terjadinya proses
demineralisasi.23 Penelitian Tri Budi (1989)
menyebutkan bahwa peningkatan frekuensi
kontak yang terjadi antara larutan yang asam
(cuka pempek) dengan gigi dapat
meningkatkan erosi yang terjadi.22 Penelitian
Endang (2006) mendapatkan bahwa makin
lama durasi paparan larutan yang asam
(minuman bersoda dan minuman isotonik)
dengan gigi maka kekasaran permukaan email
juga makin meningkat.24 Lebih lanjut dapat
dijelaskan bahwa durasi dan frekuensi paparan
minuman asam mempengaruhi kekasaran
permukaan email gigi. Hal ini juga dapat
terlihat dari hasil penelitian ini.
Durasi paparan asam terhadap proses
terjadinya demineralisasi sangat bergantung
pada penetrasi asam. Jika dalam waktu yang
singkat, demineralisasi juga dapat terjadi lebih
besar jika asam dapat berpenetrasi dengan
cepat. Hal ini dipengaruhi juga oleh keadaan
email seperti email yang berpori, retak pada
gigi, dan lain lain. Selain itu saliva dan
jaringan periodontal berperan besar terhadap
proses demineralisasi.23
Literatur lain menyebutkan bahwa
proses demineralisasi juga dipengaruhi oleh
jenis dan konsentrasi asam minuman yang
tidak berdisosiasi, kandungan karbohidrat
dalam minuman, pH dan kapasitas dapar
minuman serta kandungan fosfat dan fluor
yang ada dalam minuman.25 Komposisi
minuman rasa buah (Fruit tea) yang
digunakan dalam penelitian ini terdiri dari air,
gula, ekstrak teh, asam sitrat, natrium sitrat,
asam askorbat, konsentrat sari buah dan
perasa. Minuman rasa buah ini memiliki pH
3,49.
Pada penelitian ini diambil sampel gigi
insisivus karena gigi ini mempunyai
permukaan rata yang lebih luas, sehingga
memungkinkan melakukan pengukuran
kekasaran permukaan email. Gigi yang
digunakan adalah gigi yang bebas karies dan
tanpa kelainan struktur agar tidak
mempengaruhi hasil penelitian. Gigi yang
telah diekstraksi direndam dalam larutan
saline sebelum dilakukan penelitian, hal ini
dilakukan untuk mendapatkan kondisi
fisiologis sehingga struktur gigi tidak
mengalami perubahan.24
Kesimpulan dan Saran
Dari hasil penelitian ini, dapat diambil
kesimpulan bahwa ada pengaruh minuman
ringan rasa buah terhadap kekasaran
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
96
permukaan email gigi tetap. Makin lama
durasi pemaparan maka kekasaran
permukaaan email semakin meningkat. Saran
dari penelitian ini adalah agar mencegah
kontak yang terlalu lama antara gigi dengan
minuman ringan rasa buah, antara lain dengan
cara menggunakan sedotan pada saat
meminum minuman tersebut. Bagi pihak
produsen, disarankan untuk dapat
memodifikasi produk sehingga dapat
mencegah terjadinya erosi gigi.
Ucapan Terima Kasih
Kami mengucapkan terima kasih
kepada Lembaga Penelitian Universitas Syiah
Kuala yang telah mendanai dan mendukung
pelaksanaan penelitian dengan sumber dana
dari pemerintah daerah Nanggroe Aceh
Darussalam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hunter ML, West NX, Hughes JA,Newcombe RG, Addy M. RelativeSusceptibility of deciduous andPermanent Dental Hard Tissue toErosion by Low pH Fruit Drink In Vitro.J Dent 2000; 28: 265-70.
2. Milosevic A. Tooth Wear: AnAetiological and Diagnostic Problem.Eur J Prosth Rest Dent 1993; 173-8.
3. Asher C, Read MJF. Early EnamelErosion in Children association with TheExcessive Consumption of Citric Acid.Br Dent J 1987; 102: 384-7.
4. Shaw L. The Epidemiology of ToothWear. Eur J Prosth Rest Dent 1997;5:153-6.
5. Bishop K, Kelleher M, Briggs P, Joshi R.Wear Now? An Update On The Etiologyof Tooth Wear. Quinstessence Int 1997:28: 305-13.
6. Kelleher M, Bishop K. Tooth SurfaceLoss: An Overview. Br Dent J 1999;186: 61-6.
7. Linnet V, Seow WK. Dental Erosion inChildren: A Literature Review. Ped Dent2001; 23 (1): 37-42.
8. Wickens JL. Prevention andMaintenance. Br Dent J 1999; 186:371-6.
9. Bishop K, Briggs P, Kelleher M. TheAetiology and Management of LocalizedAnterior Tooth Wear in The YoungAdult. Dent Update 1994; 153-60.
10. Ehlen, LA. Acidic Beverage Increase theRisk of In Vitro Tooth Erosion. NIHPublic Access Author Manuscript 2008;28(5): 299-303.
11. Mandel, Louis. Dental Erosion Due toWine Consumption. J of Am Dent Assoc2005; 136: 71-5.
12. Ramalingam L. Messer LB, ReynoldsEC. Adding Casein Phosphopeptideamorphous Calcium Phosphate to SportDrink to Eliminate In Vitro Erosion. PedDent 2005; 27 (1):61-7.
13. Chu FCS, Yip HK, Newsome PRH,Chow TW, Smales RJ. RestorativeManagement of the Worn Dentition:Aetiology and Diagnosis. Den Update2002; 29:162-8.
14. Palmer CA. Diet and Nutrition in OralHealth. New Jersey: Pearson Education,Inc., 2003; 2-3.
15. Barr Cornelia. Dentist UrgeManufacturers to Change Recipes forSoft Drinks.Dent Trib Inter 2004; 2: 3.
16. Mount GJ, Hume WR. Preservation andRestoration of Tooth Structure 2005. 2nd
ed. Queensland, Australia: KnowledgeBooks and Software: 79-85.
17. Edhie AP. Keasaman MinumanRinganMenurunkan KekerasanPermukaan Gigi 1999. Majalahkedokteran gigi. Surabaya; 32 (3): 126-9.
18. Anthony J. Effects of Sport drinks andother Beverages on Dental Enamel. J OpDent 2004; Sept: 28-30.
19. Warren J. Tooth Wear Patterns inTheDeciduous Dentition. Am J OrthoDent fac Orthop. 2002; 122: 614-8.
20. Tri Budi. Hubungan erosi gigi dengankebiasaan makan pempek di Palembang
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
97
Sumatera Selatan. Disertasi. Surabaya:Pascasarjana Universitas Airlangga;1989:190-1.
21. Brikedal-Hansen. Kinetics of aciddemineralization in histologic technique.J of Histchemistry andCytochemistry.1974; 22(6): 434-41.
22. Endang NY. Perbedaan kekasaranpermukaan email gigi tetap akibatpaparan minuman bersoda dan minumanisotonik. Tesis. Jakarta: FakultasKedokteran Gigi Universitas Indonesia;2006: 24-6.
23. Ferreira RI, Haiter-Neto F, TabchouryCPM, Boscolo FN. In vitro induction ofenamel subsurface demineralization forevaluation of diagnostic imagingmethods. J Appl Oral Sci 2007; 15(5).
24. Lussi A, Jaeggi T, Ucharer UJ.Prediction of the erosive potential ofsome Beverages. Caries Res1995;29:349-54.
25. Febriyanti. Perbedaan kekasaranpermukaan email gigi tetap muda setelahaplikasi asam fosfat 37% dengan waktuaplikasi 15, 30, 45 dan 60 detik: Tesis.Jakarta: Fakultas Kedokteran GigiUniversitas Indonesia; 2006: 15.
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
98
ULKUS TRAUMATIK KRONIS MENYERUPAI KARSINOMA SEL SKUAMOUS ORAL(LAPORAN KASUS)
Sri Rezeki*, Siti Aliyah Pradono**
* Staf Pengajar Program Studi Kedokteran Gigi, FK - Unsyiah** Departemen Penyakit Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia
ABSTRAKUlkus sering terjadi pada rongga mulut yang dapat disebabkan oleh iritasi, malignansi dan penyakitsistemik. Tampilan klinis ulkus soliter rongga mulut yang disebabkan trauma kronis dapatmenyerupai karsinoma sel skuamous. Artikel ini melaporkan ulkus traumatik kronis pada wanitaberusia 54 tahun dengan riwayat lidah tergigit ketika melakukan pengunyahan dan terdapat kontakkronis lesi dengan gigi tajam yang berada di dekatnya. Pemeriksaan klinis menunjukkan ulkus soliterdengan permukaan eksofitik dan hiperkeratosis. Gambaran klinis menyerupai karsinoma selskuamous. Setelah penyebab iritasi dihilangkan perbaikan klinis dapat dicapai.
Kata kunci : ulkus traumatik, karsinoma sel skumous oral
ABSTRACTUlcers commonly occur in the mouth which can caused by irritation, malignancies and systemicdisease. The clinical presentation of solitary oral ulcer which result from chronic trauma can resembleoral squamous cell carcinoma. This article report chronic traumatic ulcer in a 54 years old womanwith history of accidental biting during mastication on the tongue and chronically contact with sharptooth adjacent to lesion. Oral examinations shows solitary ulcer with exophytic surface andhyperkeratosis. Clinical features are mimicing oral squamous cell carcinoma. After the irritatingcauses are removed, the clinical improvement can be achieved.
Keywords : chronic traumatic ulcer, oral squamous cell carcinoma
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
99
Pendahuluan
Ulkus pada rongga mulut sering terjadi,1-5 dan sering pula menjadi alasan pasien
mencari pengobatan.6 Penyebab ulkus dapat
karena iritasi lokal, malignansi ataupun
penyakit sistemik.3-5 Faktor lokal seperti
trauma, baik akut maupun kronis pada mukosa
sering menyebabkan ulkus3 dan dapat
menyerupai karsinoma sel skuamous karena
sama-sama menunjukkan ulkus soliter.4
Dalam laporan kasus ini akan dibahas
ulkus yang disebabkan trauma gigi fraktur
dengan tepi yang tajam dan terjadi dalam
waktu yang lama. Tampilan klinis menyerupai
karsinoma sel skuamous. Setelah penyebab
trauma dihilangkan, terjadi perbaikan klinis.
Laporan Kasus
Pada tanggal 29 Februari 2008 datang
seorang pasien perempuan berusia 54 tahun
dengan keluhan sariawan sejak 1 bulan yang
lalu. Dari anamnesis diperoleh informasi
riwayat lidah bagian kiri tergigit gigi yang
sudah pecah. Lama kelamaan luka di lidah
mengeras. Lidah hanya terasa sakit bila daerah
luka terkena gigi atau makanan keras. Luka di
lidah diobati dengan policresulen dengan cara
dioles 3 kali sehari dan sudah menghabiskan 1
botol. Ketika pasien berobat di Rumah Sakit
sebelumnya, dianjurkan pengangkatan seluruh
daerah yang membesar di lidah, namun pasien
menolak. Kemudian berobat ke klinik umum,
dan diberikan asiklovir 200 mg 3 kali sehari,
klindamisin 150 mg 3 kali sehari dan
neuralgin. Setelah mengkonsumsi obat
tersebut, tidak ada perbaikan. Riwayat
sariawan jarang, riwayat tumor keluarga
disangkal. Riwayat penyakit infeksi disangkal.
Sering mengkonsumsi makanan cepat saji
setiap hari sejak 1 tahun terakhir dan jarang
makan makanan dibakar dan ikan asin. Pola
makan teratur dengan nasi, lauk-pauk, sayur-
mayur dan buah-buahan.
Pemeriksaan klinis lidah tampak ulkus
dengan permukaan eksofitik, diameter 2,5 cm
dan daerah keratotik (Gambar 1a). Ulkus
tersebut berdekatan dengan gigi 36 yang tajam
(Gambar 1b). Palpasi tidak sakit dengan
konsistensi kenyal. Bagian ventrolateral lidah
kiri dirasakan sakit ketika dilakukan perabaan.
Gambar 1a. Ulkus dengan permukaan eksofitik
Gambar 1b. Ulkus berdekatandengan gigi 36yang tajam
Kebersihan mulut pasien buruk terlihat
dari pemeriksaan gigi-geligi dengan kalkulus
supra dan subgingiva (Gambar 1c),
kegoyangan derajat 2 sampai 3 gigi 12, 31, 32,
41, 42, 44, sisa akar 16, 45, karies servikal 24,
25, karies dentin disertai fraktur meninggalkan
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
100
daerah yang tajam 36, dan fraktur gigi 11 dan
21, karies email 17, 37, dan 47. Kehilangan
gigi 18, 26, 27, 38 dan 48. Berdasarkan
pemeriksaan laboratorium, terdapat beberapa
panel pemeriksaan yang mengalami kenaikan,
yaitu laju endap darah 24 mm (nilai rujukan
normal 20 mm) dan eosinofil 4,7 % (nilai
rujukan normal 1,0 – 3,0 %).
Gambar 1c. Kebersihan mulut buruk
Pada kunjungan pertama, didiagnosis
ulkus traumatik kronis dengan diagnosis
banding karsinoma sel skuamous. Periodontitis
kronis 12, 31, 32, 41, 42, 44. radiks 16, 45,
gingivitis kronis, iritasio pulpa 11, 17, 21, 24,
25, 36, 37 dan 47. Edentulus 18, 26, 27, 38
dan 48. Diberikan komunikasi, informasi dan
edukasi mengenai penyakit yang diderita dan
pentingnya kebersihan mulut serta cara
melakukan tindakan kebersihan mulut dengan
benar. Dianjurkan tindakan pembersihan
karang gigi rahang atas dan bawah serta root
planing 12, 31, 32, 41, 42, 44, pencabutan 16,
45, penambalan 11, 17, 21, 24, 25, 36, 37 dan
47 dan pembuatan gigi tiruan 26, 27.
Diresepkan chlorhexidine gluconate 0,2%
untuk kompres pada daerah ulkus 3 kali sehari
dan multivitamin mengandung vitamin B
kompleks, C dan seng.
Pada kunjungan kedua, kondisi lidah
tidak jauh berbeda dengan kunjungan pertama
(Gambar 2a). Hal ini disebabkan pasien baru
akan melakukan tindakan penambalan gigi 36
dengan tepi tajam yang merupakan penyebab
trauma dan pembersihan karang gigi dengan
permukaan kasar (Gambar 2b). Dikonsul ke
bedah onkologi untuk evaluasi, eksklusi
dugaan malignansi dan tatalaksana. Namun
pasien tidak melakukan anjuran yang
diberikan. Pemakaian obat kumur
chlorhexidine gluconate dan multivitamin
yang telah diresepkan sampai habis.
Gambar 2a. Kondisi lidah tidak jauh berbedadengan kunjungan pertama
Gambar 2b. Setelah pembersihan karang gigi
Pada kunjungan ketiga, 2 bulan setelah
penyebab trauma dihilangkan, daerah eksofitik
mengecil dan daerah pertumbuhan di ventral
lidah tidak terlihat (Gambar 3) dan tidak
ditemukan daerah keratotik. Pada kunjungan
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
101
keempat, 4 bulan setelah penyebab utama
dihilangkan, lidah tampak normal (Gambar 4).
Gambar 3. Daerah eksofitik mengecil
Gambar 4. Lidah tampak normal.
Pembahasan
Ulkus merupakan istilah yang sering
digunakan ketika terjadi kerusakan pada epitel
dan lamina propria.7 Salah satu penyebab
ulkus adalah trauma, baik secara (1)
mekanis,2,3 seperti penyikatan gigi terlalu
bersemangat,2,8 tergigit ketika melakukan
pengunyahan,2 permukaan gigi tiruan, alat
ortodonti dan tambalan gigi yang tajam,9
tonjol gigi,9 pada waktu sedang berbicara
maupun tidur,2 (2) kimia,2,3 misalnya
penempatan tablet aspirin pada mukosa
berdekatan dengan gigi yang sakit,9 (3)
termal.3
Ulkus traumatik kronis sering terjadi
pada lidah, bibir, mukosa bukal oleh gigi-
geligi.2 Pasien ini memiliki riwayat lidah
tergigit gigi dengan tepi tajam. Oleh aktivitas
pergerakan lidah, baik ketika makan,
berbicara, ataupun tidur terjadi gesekan terus-
menerus dengan tepi gigi 36 yang tajam.
Seperti diketahui, umumnya ulkus traumatik
berdekatan dengan sumber iritan.2 Selain itu,
lidah dapat bergerak aktif ke segala arah,
termasuk protraksi ke anterior. Kalkulus tebal
pada rahang bawah memiliki permukaan kasar
dapat memperparah ulkus traumatik. Proses
penyembuhan dapat tertunda apabila iritan
belum dihilangkan.10 Hal ini terlihat pada
kunjungan kedua, pasien belum melakukan
eliminasi penyebab trauma melalui
penambalan gigi 36 yang tajam dan
pembersihan karang gigi. Sehingga kondisi
lidah tidak jauh berbeda dengan kunjungan
awal.
Ulkus traumatik kronis biasanya tidak
sakit.3,10 Pada pasien ini terjadi rasa sakit bila
tersentuh. Tampak daerah eksofitik di lidah.
Apabila trauma sering terjadi dan kronis, ulkus
dapat memiliki permukaan yang tumbuh
dengan tepi indurasi menyerupai karsinoma.1
Trauma kronis dapat menyebabkan ulkus
dengan tepi keratotik.7 Pada lateral lidah
tampak daerah keratotik. Lesi di ventrolateral
berdekatan dengan gigi yang tajam
menunjukkan terdapat trauma oleh gesekan
gigi tajam tersebut. Daerah ulkus traumatik
dapat superfisial menyerupai sejumlah proses
vesikuloerosif, namun banyak kasus lesi
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
102
berkembang menjadi ulkus dengan tepi putih
(hiperkeratosis) membulat.2
Diagnosis biasanya berdasarkan riwayat
penyakit dan pemeriksaan klinis.1,2 Ketika
anamnesis, pasien biasanya menyadari ulkus
diawali trauma.3 Lesi di lidah pasien ini
tampak terlokalisir di lateral lidah kiri.
Biasanya ulkus traumatik soliter.3 Tampilan
klinis sering memberi kesan trauma penyebab
ulkus. Namun banyak pula kasus yang
menyerupai karsinoma sel skuamous.2 Oleh
karena itu, kadang kala diperlukan tindakan
biopsi untuk eksklusi malignansi yang
mungkin terjadi.1,2
Prinsip dasar perawatan ulkus traumatik
adalah menghilangkan penyebab trauma.1,8
Selain itu dapat diberikan obat kumur anti
septik, seperti chlorhexidine gluconate 0,2%
atau coating agent seperti orabase.6 Penyebab
trauma pasien ini dihilangkan dan diberi
kompres chlorhexidine gluconate 0,2% untuk
mengurangi keterlibatan mikroorganisme pada
daerah ulkus traumatik yang dapat
mengganggu proses penyembuhan. Setelah
penyebab trauma dihilangkan, terjadi
perbaikan klinis pada lidah.
Penggunaan kortikosteroid dalam
perawatan ulkus traumatik masih
diperdebatkan.2 Beberapa klinisi menyatakan
obat tersebut dapat menunda penyembuhan,
laporan lainnya menunjukkan keberhasilan
penggunaan kortikosteroid dalam perawaran
ulkus traumatik kronis.2 Pada pasien ini tidak
diberikan kortikosteroid. Diharapkan dengan
menghilangkan penyebab trauma dan
mengurangi keterlibatan mikroorganisme,
didapatkan perbaikan klinis.
Disarankan dilakukan pemeriksaan
kembali dalam 7 sampai 10 hari setelah
penyebab trauma dihilangkan.1 Apabila lesi
menetap setelah perawatan, diindikasikan
tindakan biopsi.1,2,6 Pasien ini tidak kooperatif
terhadap anjuran penambalan gigi tajam dan
pembersihan karang gigi untuk menghilangkan
penyebab trauma seperti yang dianjurkan.
Pada kunjungan kedua, yaitu 6 hari kemudian
tindakan menghilangkan trauma baru akan
dimulai, sehingga perbaikan klinis belum
terlihat. Untuk eksklusi dugaan malignansi
pasien dirujuk ke bagian Bedah Onkologi
RSCM, dan segera membawa hasil biopsi,
namun pasien tidak melakukan tindakan biopsi
dan kontrol ke bagian Penyakit Mulut RSCM
tidak sesuai jadwal. Pada kunjungan ketiga
dan keempat, yaitu 2 bulan dan 4 bulan setelah
penyebab trauma dihilangkan, perlahan lesi
membaik. Hal ini menunjukkan bahwa dengan
menghilangkan penyebab trauma pada lesi
ulkus traumatik, perbaikan klinis dapat
diperoleh.
Kesimpulan
Ulkus traumatik kronis merupakan ulkus yang
disebabkan oleh trauma dalam waktu lama.
Iritasi kronis dan sering terjadi dapat
menyebabkan tampilan lesi menyerupai
karsinoma sel skuamous. Diagnosis biasanya
dapat ditegakkan melalui anamnesis adanya
riwayat trauma, tampilan klinis dan ditemukan
iritan yang berdekatan. Perawatan ulkus
traumatik pada dasarnya adalah
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
103
menghilangkan penyebab trauma. Apabila
perbaikan klinis tidak terjadi atau terjadi
pembesaran lesi, disarankan tindakan biopsi
untuk eksklusi dugaan malignansi.
DAFTAR PUSTAKA1 Laskaris G. Treatment of oral disease a
concise textbook. New York: Thieme,2005.p.169.
2 Neville BW, Damm DD, Allen CM et al.Oral & maxillofacial pathology, 2 edn.Philadelphia, 2002.p.255-61.
3 Van Heerden WFP, Boy SC. Diagnosisand management of common non-viraloral ulceration. SA Fam Pract 2007; 49(8):20-6.
4 Schneider LC, Schneider AE. Diagnosis oforal ulcers. MSJ 1998; 65(5): 383-7.
5 Porter SR, Leao JC. Oral ulcers and itsrelevance to systemic disorders. AlimentPharmacol Ther 2005; 21: 295-306.
6 Field A, Longman L. Tyldesley's oralmedicine, 5 edn. New York: OxfordUniversity Press 2004.p.51-2.
7 Scully C, Felix DH. Oral medicine updatefor dental practitioner aphtous and othercommon ulcers. BDJ 2005; 199(5): 259-64.
8 Yeatts D, Burns JC. Common oralmucosal lesions in adults. Am FamPhysician 1991; 44(6): 2043-50.
9 Jordan RCK, Lewis MAO. A colorhandbook of oral medicine, 1 edn. NewYork: Thieme, 2004.p.22-3.
10 Regezi JA, Sciubba JJ, Jordan RCK. Oralpathology clinical pathologic correlations,4 edn. St. Louis, Missouri: Saunders,2003.p.23-6.
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
104
GEN-GEN PILIHAN UNTUK TERAPI GEN ANTIANGIOGENESIS KANKER
Abdillah Imron Nasution*
*Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
ABSTRAKKemampuan sel kanker untuk tumbuh dan bertahan tergantung pada proses yang disebutangiogenesis. Angiogenesis adalah pembentukan pembuluh darah baru yang sangat diperlukan dalamberbagai proses fisiologis termasuk pertumbuhan, penyembuhan luka dan regenerasi jaringan.Berdasarkan hal ini, timbul ketertarikan untuk menggunakan agen antiangiogenesis untukmenghambat pertumbuhan tumor. Tulisan ini mengevaluasi potensi yang menguntungkan sertakandidat transfer gen dan perkembangan terbaru untuk terapi kanker antiangiogenik. Beberapakandidat transfer gen untuk terapi kanker antiangiogenesis adalah: Thrombospondin-1 (THBS1),Endostatin, Tumstatin, Arresten, Canstatin, Vastatin-Restin, Angiostatin, 16 kD Prolactin Fragment,Platelet Factor-4, Interferon-inducible protein-10 (IP-10), Angiopoietins (Ang-1), Interleukin-12 (IL-12), Interleukin-18 (IL-18), Interferons, Endothelial-monocyte activating polypeptide-II (EMAP-II),Tissue Inhibitors of Metalloproteinases (TIMPs), Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α) dan p53.Kesimpulan, terapi gen sangat menjanjikan dalam mempercepat antiangiogenesis sebagai terapikanker yang efektif dan bisa dicoba dalam penelitian klinis pada manusia di masa yang akan datang.
Kata kunci: kanker, angiogenesis, terapi gen, antiangiogenesis
ABSTRACTCancers growth and survive depend on a process called angiogenesis. Angiogenesis means theformation of new blood vessels and is indispensable to various physiological processes includingdevelopment, wound repair, and tissue regeneration. Based this concept, there is growing interest inthe use of antiangiogenesis agents to inhibit tumor growth. This review evaluates the potentialadvantages and candidates of gene transfers and update novel developments for antiangiogenic cancertherapy. The candidates of gene transfers for antiangiogenic cancer therapy are: Thrombospondin-1(THBS1), Endostatin, Tumstatin, Arresten, Canstatin, Vastatin-Restin, Angiostatin, 16 kD ProlactinFragment, Platelet Factor-4, Interferon-inducible protein-10 (IP-10), Angiopoietins (Ang-1),Interleukin-12 (IL-12), Interleukin-18 (IL-18), Interferons, Endothelial-monocyte activatingpolypeptide-II (EMAP-II), Tissue Inhibitors of Metalloproteinases (TIMPs), Tumor Necrosis FactorAlpha (TNF-α), and p53. In conclusion, gene therapy holds great promise in advancingantiangiogenesis as an effective cancer therapy and will undoubtedly be evaluated in human clinicaltrials in the near future.
Key Word: Cancer, angiogenesis, gen theraphy, antiangiogenesis
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
105
Pendahuluan
Terapi kanker pada awalnya lebih
terfokus pada pemusnahan sel kanker melalui
operasi, radioterapi dan kemoterapi.
Menyadari bahwa metode-metode tersebut
memiliki tingkat efisiensi yang rendah dan
angka toksisitas yang tinggi terhadap sel-sel
non-kanker, pakar penyakit kanker
mengembangkan terapi gen yang mampu
meningkatkan efisiensi terapi, sekaligus dapat
mengurangi tingkat toksisitas terhadap sel-sel
non-kanker. 1
Kemampuan tumbuh dan bertahannya
sel kanker sangat tergantung pada asupan
oksigen, nutrisi, dan VEGF (vascular
endothelial growth factor) yang diperankan
oleh sel endotel dalam proses angiogenesis.
Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan
tumor dihambat apabila fungsi VEGF
dihambat dengan cara menekan fungsi reseptor
VEGF, sehingga tidak terjadi sinyal
angiogenesis.2.3 Dalam perkembangan
selanjutnya, banyak bukti-bukti penelitian
yang menyatakan bahwa pertumbuhan dan
metastatis tumor sangat bergantung pada
angiogenesis.4
Penghambatan angiogenesis dan terapi
gen untuk mengatasi penyakit kanker yang
dikenal sebagai terapi gen antiangiogenesis
merupakan pendekatan yang rasional untuk
pengobatan penyakit kanker di masa depan.4
Terbukti dengan hasil evaluasi dan riset terapi
gen antiangiogenesis yang telah dilakukan,
menunjukkan viabilitas yang lebih efektif
dibandingkan dengan pendekatan terapi
kanker lainnya.2,3 Tulisan ini bertujuan
mengetahui potensi beberapa gen yang dapat
diterapkan pada pendekatan terapi gen
antiangiogenesis dalam penanganan penyakit
kanker.
Pembahasan
Angiogenesis terjadi dalam tubuh sehat
untuk memperbaiki luka atau memperbaiki
sirkulasi darah dalam jaringan setelah trauma
atau kerusakan lain. Dalam tubuh sehat proses
tersebut dikendalikan oleh on-off switch yang
diperankan oleh angiogenic growth factors
dan angiogenesis inhibitors secara berimbang
sesuai yang dibutuhkan. Sel yang berperan
pada proses angiogenesis adalah sel endotel,
yaitu sel yang melapisi pembuluh darah dan
berhubungan langsung dengan darah. Sel ini
ada pada setiap jaringan kanker yang telah
berukuran 1-2 mm.4 Ekspresi protein
permukaan sel endotel pembuluh darah yang
terkena kanker menunjukkan perbedaan
dengan sel endotel di pembuluh darah yang
tidak terkena kanker.5
Proses angiogenesis diawali dengan
pelepasan dan pembentukan faktor
pertumbuhan angiogenik yang berdifusi ke
sekitar jaringan yang rusak. Faktor
pertumbuhan angiogenik ini lalu berikatan
dengan reseptor spesifik sel endotel di
pembuluh darah terdekat dan mengaktifkan
sinyal pertumbuhan dari permukaannya untuk
diteruskan ke nukleus. Selanjutnya sel-sel
endotel membentuk molekul-molekul baru
termasuk berbagai enzim yang melarutkan
protein dan membentuk lubang-lubang kecil
pada membran basal untuk berproliferasi dan
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
106
bermigrasi menuju jaringan yang rusak.
Integrin yang terdapat di permukaan
membantu pembentukan dan perkembangan
pembuluh darah yang baru. Enzim-enzim lain,
seperti matrix metalloproteinase (MMP)
diproduksi untuk menghancurkan jaringan
yang rusak di ujung pembuluh darah baru yang
sedang tumbuh. Akhirnya, sel-sel endotel yang
terbentuk akan menyatu untuk saling
berhubungan satu sama lain agar darah dapat
bersirkulasi. Pembuluh darah baru mengalami
stabilisasi melalui bantuan sel-sel otot yang
mendukung struktur pembuluh tersebut.4,6
Gambar 1. Proses Angiogenesis1
Pada sel tumor angiogenesis merupakan
proses penting untuk pertumbuhan tumor,
bahkan beberapa penelitian mengungkapkan
bahwa pertumbuhan tumor sangat bergantung
pada angiogenesis (angiogenesis dependent).
Karena itu analisis kemampuan angiogenesis
tumor dapat berperan dalam menentukan
prognosis dan penatalaksanaan penderita
kanker.4,5 Beberapa bukti yang mendukung
teori ini adalah dengan ditemukannya basic
fibroblast growth factor (bFGF) yang bersifat
merangsang densitas dan pencabangan
pembuluh darah dalam tumor, dan juga
menambah volume tumor hingga dua kali
lipat. Selain itu telah ditemukan inhibitor
angiogenesis yang ternyata dapat menghambat
proliferasi sel endotel in vivo maupun in vitro .7
Penelitian lain juga menunjukkan
penghambatan pertumbuhan tumor otak
mencit yang dapat dihambat dengan
menghambat fungsi VEGF (vascular
endothelial growth factor).8
Tahapan-tahapan terjadinya angio-
genesis telah menjadi dasar pemikiran peneliti
di bidang terapi kanker melalui terapi gen
yang berperan sebagai antiangiogenesis.4,7
Tanpa angiogenesis, suplai darah dan makanan
akan terhenti sehingga menghentikan
pertumbuhan kanker. Dasar pemikiran ini
diperkuat oleh bukti-bukti penelitian yang
telah ada untuk mendukung penerapan terapi
gen antiangiogenesis untuk mengatasi kanker
di masa yang akan datang.7
Kandidat dan Pilihan Gen Untuk TerapiGen Antiangiogenik
Saat ini strategi terapi gen
antiangiogenik masih dalam fase preklinis dan
belum dilakukan pengujian pada pasien.
Beberapa kandidat pilihan gen untuk
mendukung penerapan terapi gen
antiangiogenesis untuk mengatasi kanker di
masa yang akan datang adalah:
Thrombospondin-1 (THBS1), Endostatin,
Tumstatin, Arresten, Canstatin, Vastatin-
Restin, Angiostatin, 16 kD Prolactin
Fragment, Platelet Factor-4, Interferon-
inducible protein-10 (IP-10), Angiopoietins
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
107
(Ang-1), Interleukin-12 (IL-12), Interleukin-18
(IL-18), Interferons, Endothelial-monocyte
activating polypeptide-II (EMAP-II), Tissue
Inhibitors of Metalloproteinases (TIMPs),
Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α) dan,
p5.
Thrombospondin-1 (THBS1) adalah
inhibitor angiogenesis dan merupakan
inhibitor poten angiogenesis.9 Aktivitas
Thrombospondin-1 sebagai agen
antiangiogenik antitumoral yang secara
ekstensif ditunjukkan dalam kultur sel dan
model ..10 Efek antiangiogenik dari THBS1
dapat mengikat CD36 di sel-sel endotel.11 Saat
ini, terdapat studi fase II pada pasien kasus
kanker ginjal, kanker paru, refractory
lymphoma dan sarkoma untuk mengevaluasi
keamanan dan keampuhan THBS1 yang
dikenal sebagai ABT-510.11 Walau
penghambatan pertumbuhan pada studi in vitro
cell line tidak terlalu signifikan, tetapi ekspresi
THBS1 telah membentuk penghambatan pada
kanker prostat hewan coba yang disebut
DU145.12 Baru-baru ini peneliti juga telah
membuat rekombinan adenovirus yang
mengekspresikan gen THBS1 dan hasilnya
menunjukkan proses antiangiogenik sel
kanker.13
Endostatin (20 kD) adalah sebuah
fragmen internal kolagen dari rantai alpha 1
tipe XVIII dan telah menjadi inhibitor
angiogenesis yang lumayan dikenal.
Endostatin pertama kali ditemukan pada tahun
1997. Endostatin dapat menghambat sel
endotel melalui beberapa jalur, termasuk
pengikatan melalui αVβ1 integrin14 untuk
menghambat reseptor VEGF15 dan cyclin D1.16
Endostatin adalah inhibitor pertama yang
dipelajari dalam percobaan klinis.17 Saat ini
endostatin telah dievaluasi hanya pada fase I
percobaan klinis. Rekombinan esensial
endostatin dapat dilihat dalam dosis bebas
terbatas tetapi menunjukkan tidak adanya
respon klinis pada beberapa pasien tumor.18,19
Di dalam laboratorium juga telah dievaluasi
beberapa gen endostatin pada beberapa model
terapi gen preklinis. Penggunaan vektor
adenovirus dengan menggunakan endostatin
telah dilakukan pada tikus. Pada percobaan ini
endostatin dilaporkan dapat menghambat
pertumbuhan karsinoma kolon yang
ditanamkan secara subkutan pada MC38
murine.20 Penggunaan vektor retroviral juga
telah dilakukan pada hati tikus NMuLi dengan
endostatin. Pertumbuhan sel ini secara in vitro
menunjukkan penghambatan pertumbuhan.21
Tumstatin adalah sebuah fragmen
pecahan rantai α3 kolagen tipe IV. Tumstatin
dapat mencegah angiogenesis yang dimediasi
oleh alphavbeta3 integrin untuk menghambat
proliferasi sel endotel dan mengaktifkan
apoptosis.22 Tumstatin dilaporkan selalu
menghambat pertumbuhan tumor dalam
beberapa model tikus percobaan. 23,24,25 Saat
ini, eksperimen tranfer gen dengan
menggunakan tumstatin belum banyak
dipublikasikan.
Arresten, awalnya diidentifikasi pada
tahun 2000, sama halnya dengan protein
angiogenik poten lainnya yaitu berupa turunan
dari membran basal vaskular. Arresten
merupakan domain 26-kD NC1 dari rantai
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
108
alpha1 kolagen tipe IV yang berfungsi sebagai
molekul antiangiogenik untuk menghambat
proliferasi dan migrasi sel endotel. Sama
halnya dengan Tumstatin, aktivitas
antiangiogenik ini dimediasi oleh αVβ1
integrin sel endotel. Arresten pada laporan
penelitian yang pernah dilakukan diketahui
dapat menghambat pertumbuhan dan
perkembangan metastasis tumor pada tikus
model. Hasil ini menjadikan Arresten sebagai
gen pilihan untuk target eksperimen terapi gen
di masa yang akan datang.26
Canstatin diidentifikasi pada tahun 2000
sebagai endogenous 24 kD dan merupakan
bagian dari rantai α2 kolagen tipe IV.
Canstatin dapat menghambat migrasi dan
menginduksi sel endotel untuk apoptosis.
Canstatin menghambat pertumbuhan dan
merubah antivaskular tumor. Cloning
Canstatin dalam beberapa variasi vektor
transfer gen telah diterima sebagai hasil yang
menjanjikan.27
Turunan membran basal lainnya adalah
Vastatin-Restin, sebuah turunan dari domain
NC1 kolagen VIII. Vastatin telah
menunjukkan kemampuan menginhibisi
proliferasi aortik sel endotel sapi dan
menginduksi sinyal untuk apoptosis.28 Tidak
banyak data mengenai percobaan yang pernah
dilakukan untuk jenis ini.
Angiostatin, (38 kD) bagian internal
dari plasminogen, adalah satu dari inhibitor
endogen poten dari angiogenesis telah
menunjukkan kemampuan menonaktifkan
pertumbuhan tumor dan metastasis pada tumor
murine.29 Angiostatin mampu melakukan
antiangiogenik melalui interaksi paling kurang
tiga reseptor potensial pada sel endotel: ATP
synthase, angiomotin, and αVβ1 integrin.30
Angiostatin telah dievaluasi pada Phase I
percobaan klinis.31 Tidak ada dosis terbatas
yang signifikan yang memperlihatkan
toksisitas pada pasien selama dua kali
pemberian Angiostatin secara subkutan.
Peneliti telah mempelajari angiostatin
merupakan modal utama untuk transfer gen.
Baru-baru ini telah dilakukan penggunaan
rekombinan adeno-associated virus (AAV)
kringles 1–3 angiostatin. Adeno-associated
virus (AAV) memediasi stabilitas ekspresi
angiostatin untuk menghambat pertumbuhan
tumor dan mampu bertahan dalam melanoma
yang agresif. Strategi ini diyakini sangat
menjanjikan untuk penerapan strategi
antiangiogenik di masa depan.32
Prolactin Fragment 16 kD juga
termasuk potensial sebagai antiangiogenik
yang menghambat proliferasi kapiler dan
migrasi sel endotel ke dalam pembuluh darah
mikro .33 Saat ini, reseptor perantara untuk
aktivitas Prolactin Fragment belum
diketahui.34 Fragment prolactin 16 kD telah
diekspresikan dan disekresikan dari HCT116
sel kanker kolon manusia.34,35
Laporan percobaan menggunakan
sebuah transfer gen inhibisi pertumbuhan
hypovascularity di dalam giloms intracerebral
pada grup traksduksi- Platelet Factor-4 (PF4)
dengan penggunaan retroviral dan adenoviral
untuk mengekspresikan bentuk sekret dari
faktor platelet4 menyatakan terdapat aktivitas
antitumor PF4. Selain itu vektor retroviral
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
109
yang digunakan pada penggunaan gen ini telah
dilaporkan dapat mentransduksi sel-sel
squamous cell carcinoma leher dan kepala.36
Interferon-inducible protein-10 (IP-10),
anggota dari C-X-C famili kemokin,
mempunyai multifungsi biologi termasuk
immunomodulatory potensial dan memiliki
efek antiangiogenik. Di laboratorium, IP-10
telah ditransduksikan dengan retroviral A375
pada sel melanoma manusia dengan gen IP-10
yang diinokulasi secara subkutan pada tikus.
Penelitian ini menunjukkan pertumbuhan dari
trasnduksi-IP-10 sel melanoma telah direduksi
dengan kontras dibandingkan dengan yang
ditunjukkan pada kontrol. 37
Transfer sel kanker usus dengan
Angiopoietins (Ang-1) pernah dilakukan
dengan sel yang diinjeksi secara langsung ke
dalam liver tikus. Berat tumor dan banyaknya
pembuluh yang pernah dilakukan secara
signifikan menunjukkan Ang-1 lebih rendah
pada transduksi sel Ang-1 yang dikomperasi
dengan kontrol. Vektor tumor mammary
carcinoma dan melanoma murine secara
signifikan dihambat pertumbuhannya. Tata
laksana vektor ini juga menghambat
perkembangan dan keberlanjutan metastasis
pada hewan percobaan.38
Interleukin-12 telah dievaluasi sebagai
terapi kanker pada percobaan fase I. Di Jerman
recombinant IL-12 diberikan secara subkutan
tiga kali seminggu pada pasien renal cell
carcinoma. Satu pasien yang mempunyai
respon parsial dan tujuh lainnya mempunyai
penyakit yang stabil. Dalam 28 pasien, satu
pasien terlihat mempunyai respon parsial.39
Recombinant IL-12 (rhIL-12) manusia
telah digunakan sebanyak dua kali seminggu
secara intravena untuk 6 minggu pada pasien
kanker renal. Terdapat satu respon parsial pada
penggunaan dosis toleransi maksimum pada
sel kanker renal. Pada studi fase II di Amerika
Serikat, rhIL-12 digunakan secara intravena
untuk 28 pasien kanker ovarium.41 Lagi-lagi
terdapat satu respon parsial. Beberapa vektor
viral dan nonviral mentransfer IL-12 ke dalam
sel tumor dan atau antigen presenting cells
yang hasilnya menunjukkan efek antitumor.42
Interleukin-18 (IL-18) telah
diidentifikasi sebagai angiogenik inhibitor dan
tumor suppressor.43 Telah dibuktikan dengan
efek antiangiogenik pada beberapa
angiogenesis assays in vitro dan in vivo.44.
Sistemik dan intralesional dari IL-18
diproduksi secara signifikan dengan menekan
pertumbuhan T241 fibrosarkoma C57Bl6/J
dan SCID tikus. Tidak ada penghambatan dari
pertumbuhan sel yang terlihat pada kultur, ini
menunjukkan sebuah pilihan untuk mekanisme
antiangiogenik antitumor yang lebih spesifik.
Transfer gen IL-18 untuk memfasilitasi sel
tumor menjadi sekret IL-18 yang pernah
dilakukan menunjukkan penghambatan
pertumbuhan yang signifikan pada modifikasi
sel melanoma. Analisis histologi menunjukkan
terjadinya pemadatan vaskularisasi. Injeksi
intratumoral langsung dari vektor ke dalam
J558 secara subkutan pada myeloma murine
ternyata dapat menghambat pertumbuhan
tumor.45
Interferons (IFN) secara luas banyak
digunakan, termasuk agen antiviral untuk
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
110
hepatitis dan agen cytotoxic untuk beberapa
leukemia dan beberapa kanker kantung
kemih.10 Salah satu mekanisme IFN
ditunjukkan oleh downregulation faktor pro-
angiogenik yang tidak terlihat pada sel
tumor.46 Inhibisi bFGF adalah faktor utama
untuk pro-angiogenik. Tranduksi retroviral
dengan sel Eahy926 dengan IFN-alpha1 dan
interferon-beta murine cDNAs menunjukkan
penurunan migrasi dan invasi dan juga ko-
inokulasi Kaposi's sarcoma cell line dan sel
IFN-transduced menghasilkan reduksi
pertumbuhan tumor pada tikus sebagai kontrol
pembanding.47
Penemuan Endothelial-monocyte
activating polypeptide-II (EMAP-II) juga
diketahui sebagai strategi baru dalam transfer
gen untuk mengatasi kanker. EMAP-II ini
digunakan sebagai sensitisasi tumor pada
penggunaan TNF-α. Saat ini telah dibuat suatu
rekombinan virus pengkode gen EMAP-II dan
tranfeksi sel line melanoma sebelum
insensitisasi pemberian TNF-α. Hasilnya, sel
melanoma yang ditanam pada tikus
menunjukkan regresi tumor yang signifikan
setelah pemberian EMAP-II dan TNF-αsecara
sistemik.48
Transfer Tissue Inhibitors of
Metalloproteinases (TIMPs) cDNA ke dalam
cell line kanker payudara manusia
menunjukkan penurunan invasi pada
penampakan in vitro model tikus serta terjadi
penurunan pertumbuhan dan muatan
metastatik. Sebagaimana diketahui,
keterlibatan TIMPs memperlihatkan bahwa ia
berperan lebih banyak dan kompleks pada
angiogenesis dan pertumbuhan tumor.
Kompleksitas ini dapat diperkuat dengan hasil
yang mengecewakan pada beberapa penelitian.
Banyak pemahaman dari TIMPs menjadi
penting sebelum pemahaman potensial dari
agen ini sebagai terapi antitumor yang
efektif.49
Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α)
merupakan salah satu sitokin kompleks
homotrimerik 52 kD yang diproduksi oleh
banyak tipe sel dan telah menunjukkan efek
antivaskular dan antitumor.50 Terdapat dosis
toksisitas dan terkadang menyebabkan
hipertensi pada fase I/ II. Dosis toleransi
maksimal pada percobaan klinik sekitar 1/ 50
dari dosis efektif dalam model tumor murin.
Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α)
memperlihatkan strategi transfer gen yang
ideal, dimana memperbolehkan penggunaan
dosis lokal dalam level sistemik yang rendah.
Vektor replikasinya adalah adenoviral yang
disebut TNFerade. Vektor ini
mengekspresikan TNF-α dan terdiri dari
radiation-inducible Egr-1 promoter. Saat ini,
fase II percobaan secara acak dengan
TNFerade telah dilakukan untuk pasien kanker
rektal dan pankreas. Toksisitas TNFerade
dapat menyebabkan demam, rasa sakit dan
rasa perih di tempat injeksi, tapi dosis terbatas
tidak memperlihatkan hal ini. 51
Penghambatan angiogenesis oleh p53
secara langsung akan menginduksi apoptosis
dan dapat mengembalikan tumor kepada
fenotif yang inaktif. Phosphatidylinositol 3-
kinase dan PTEN menghambat up-regulasi
p53 dan memblok tumor inducer angiogenesis
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
111
pada otak manusia. Restorasi dari tumor
suppressor gene p53 bisa menjadi modal
penting untuk terapi antiangiogenik. 52
Kesimpulan
Terapi gen antiangiogenik adalah
strategi pendekatan yang saat ini banyak
diteliti dan digunakan dalam percobaan model
untuk mengatasi penyakit kanker. Berbagai
gen-gen kandidat untuk terapi gen dengan
pendekatan antiangiogenesis telah ditemukan
dan menjadi satu strategi yang menjanjikan
dalam penanganan kanker di masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dang CV, Semenza GL. Oncogenisalterations of metabolism. TIBS.1999;68-72
2. Fishcher T, Gene therapy trials halted.BBC News. 3 October 2002, 17:41 GMT18:41 UK
3. O’Reilly, M.S., Holmgren, L., Shing, Y.,Chen, C., Rosenthal, R.A., Moses, M.,Lane, W.S., Cao, Y., Sage, E.H. &Folkman, J. Angiostatin: A novelangiogenesis inhibitor that mediates thesuppression of metastases by a Lewis lungcarcinoma. Cell.1994. 79: 315–328.
4. Anita T, Dan GB, and Steven, KL.Antiangiogenic gene therapy of cancer:recent developments. Surgery Branch,Center for Cancer Research, NationalCancer Institute, Bethesda, MD 20892USA J Transl Med. 2004; 2: 22
5. Liau G, Su EJ, Dixon KD. Clinical effortsto modulate angiogenesis in the adult:gene therapy versus conventionalapproaches. Drug Discov Today.2001;6:689–697.
6. Understanding angiogenesis. The AngioFoundation2000;angio.org/ understanding/content understanding.ntnn.
7. Folkman J, Kalluri R. Cancer withoutdisease. Nature. 2004;427:787
8. Jeremy R. Cancer Stem Cells Spur GliomaAngiogenesis, Could Hold Key To Brain
Tumor Therapy Cellular and MolecularBiology, Cancer Research. DukeUniversity. Tumor Biology 2006.
9. Volpert OV, Alani RM. Wiring theangiogenic switch: Ras, Myc, andThrombospondin-1. Cancer Cell.2003;3:199–200. doi: 10.1016/S1535-6108(03)00056-4.
10. de Fraipont F, Nicholson AC, Feige JJ,Van Meir EG. Thrombospondins andtumor angiogenesis. Trends Mol Med.2001;7:401–407. doi: 10.1016/S1471-4914(01)02102-5.
11. Vailhe B, Feige JJ. Thrombospondins asanti-angiogenic therapeutic agents. CurrPharm Des. 2003;9:583–588.
12. Jin RJ, Kwak C, Lee SG, Lee CH, SooCG, Park MS, Lee E, Lee SE. Theapplication of an anti-angiogenic gene(thrombospondin-1) in the treatment ofhuman prostate cancer xenografts. CancerGene Ther. 2000;7:1537–1542. doi:10.1038/sj.cgt.7700266.
13. Liu P, Wang Y, Li YH, Yang C, Zhou YL,Li B, Lu SH, Yang RC, Cai YL, TobelemG, Caen J, Han ZC. Adenovirus-mediatedgene therapy with an antiangiogenicfragment of thrombospondin-1 inhibitshuman leukemia xenograft growth in nudemice. Leuk Res. 2003;27:701–708. doi:10.1016/S0145-2126(02)00346-6.
14. Hamano Y, Zeisberg M, Sugimoto H,Lively JC, Maeshima Y, Yang C, HynesRO, Werb Z, Sudhakar A, Kalluri R.Physiological levels of tumstatin, afragment of collagen IV alpha3 chain, aregenerated by MMP-9 proteolysis andsuppress angiogenesis via alphaV beta3integrin. Cancer Cell. 2003;3:589–601.doi: 10.1016/S1535-6108(03)00133-8.
15. Kim YM, Hwang S, Pyun BJ, Kim TY,Lee ST, Gho YS, Kwon YG. Endostatinblocks vascular endothelial growth factor-mediated signaling via direct interactionwith KDR/Flk-1. J Biol Chem.2002;277:27872–27879. doi:10.1074/jbc.M202771200.
16. Hanai J, Dhanabal M, Karumanchi SA,Albanese C, Waterman M, Chan B,Ramchandran R, Pestell R, Sukhatme VP.Endostatin causes G1 arrest of endothelialcells through inhibition of cyclin D1. JBiol Chem. 2002;277:16464–16469. doi:10.1074/jbc.M112274200.
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
112
17. Folkman J. Angiogenesis inhibitors: a newclass of drugs. Cancer Biol Ther.2003;2:S127–33.
18. Herbst RS, Hess KR, Tran HT, Tseng JE,Mullani NA, Charnsangavej C, Madden T,Davis DW, McConkey DJ, O'Reilly MS,Ellis LM, Pluda J, Hong WK, AbbruzzeseJL. Phase I study of recombinant humanendostatin in patients with advanced solidtumors. J Clin Oncol. 2002;20:3792–3803.doi: 10.1200/JCO.2002.11.061.
19. Thomas JP, Arzoomanian RZ, Alberti D,Marnocha R, Lee F, Friedl A, Tutsch K,Dresen A, Geiger P, Pluda J, Fogler W,Schiller JH, Wilding G. Phase Ipharmacokinetic and pharmacodynamicstudy of recombinant human endostatin inpatients with advanced solid tumors. JClin Oncol. 2003;21:223–231. doi:10.1200/JCO.2003.12.120.
20. Feldman AL, Restifo NP, Alexander HR,Bartlett DL, Hwu P, Seth P, Libutti SK.Antiangiogenic gene therapy of cancerutilizing a recombinant adenovirus toelevate systemic endostatin levels in mice.Cancer Res. 2000;60:1503–1506.
21. Feldman AL, Alexander HR, Hewitt SM,Lorang D, Thiruvathukal CE, Turner EM,Libutti SK. Effect of retroviral endostatingene transfer on subcutaneous andintraperitoneal growth of murine tumors. JNatl Cancer Inst. 2001;93:1014–1020.doi: 10.1093/jnci/93.13.1014.
22. Kalluri R. Basement membranes:structure, assembly and role in tumourangiogenesis. Nat Rev Cancer.2003;3:422–433. doi: 10.1038/nrc1094.
23. Maeshima Y, Colorado PC, Torre A,Holthaus KA, Grunkemeyer JA, EricksenMB, Hopfer H, Xiao Y, Stillman IE,Kalluri R. Distinct antitumor properties ofa type IV collagen domain derived frombasement membrane. J Biol Chem.2000;275:21340–21348. doi:10.1074/jbc.M001956200.
24. Maeshima Y, Colorado PC, Kalluri R.Two RGD-independent alpha vbeta 3integrin binding sites on tumstatin regulatedistinct anti-tumor properties. J BiolChem. 2000;275:23745–23750. doi:10.1074/jbc.C000186200.
25. Maeshima Y, Manfredi M, Reimer C,Holthaus KA, Hopfer H, Chandamuri BR,Kharbanda S, Kalluri R. Identification of
the anti-angiogenic site within vascularbasement membrane-derived tumstatin. JBiol Chem. 2001;276:15240–15248. doi:10.1074/jbc.M007764200.
26. Colorado PC, Torre A, Kamphaus G,Maeshima Y, Hopfer H, Takahashi K,Volk R, Zamborsky ED, Herman S, SarkarPK, Ericksen MB, Dhanabal M, SimonsM, Post M, Kufe DW, Weichselbaum RR,Sukhatme VP, Kalluri R. Anti-angiogeniccues from vascular basement membranecollagen. Cancer Res. 2000;60:2520–2526.
27. Kamphaus GD, Colorado PC, Panka DJ,Hopfer H, Ramchandran R, Torre A,Maeshima Y, Mier JW, Sukhatme VP,Kalluri R. Canstatin, a novel matrix-derived inhibitor of angiogenesis andtumor growth. J Biol Chem.2000;275:1209–1215. doi:10.1074/jbc.275.2.1209.
28. Xu R, Yao ZY, Xin L, Zhang Q, Li TP,Gan RB. NC1 domain of human type VIIIcollagen (alpha 1) inhibits bovine aorticendothelial cell proliferation and causescell apoptosis. Biochem Biophys ResCommun. 2001;289:264–268. doi:10.1006/bbrc.2001.5970.
29. Wahl ML, Moser TL, Pizzo SV.Angiostatin and Anti-angiogenic Therapyin Human Disease. Recent Prog HormRes. 2004;59:73–104. doi:10.1210/rp.59.1.73.
30. Beerepoot LV, Witteveen EO,Groenewegen G, Fogler WE, Sim BK,Sidor C, Zonnenberg BA, Schramel F,Gebbink MF, Voest EE. Recombinanthuman angiostatin by twice-dailysubcutaneous injection in advancedcancer: a pharmacokinetic and long-termsafety study. Clin Cancer Res.2003;9:4025–4033.
31. Lalani AS, Chang B, Lin J, Case SS, LuanB, Wu-Prior WW, VanRoey M, Jooss K.Anti-tumor efficacy of human angiostatinusing liver-mediated adeno-associatedvirus gene therapy. Mol Ther. 2004;9:56–66. doi: 10.1016/j.ymthe.2003.10.001.
32. Galaup A, Opolon P, Bouquet C, Li H,Opolon D, Bissery MC, Tursz T,Perricaudet M, Griscelli F. Combinedeffects of docetaxel and angiostatin genetherapy in prostate tumor model. Mol
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
113
Ther. 2003;7:731–740. doi:10.1016/S1525-0016(03)00121-7.
33. Tabruyn SP, Sorlet CM, Rentier-Delrue F,Bours V, Weiner RI, Martial JA, StrumanI. The antiangiogenic factor 16K humanprolactin induces caspase-dependentapoptosis by a mechanism that requiresactivation of nuclear factor-kappaB. MolEndocrinol. 2003;17:1815–1823. doi:10.1210/me.2003-0132.
34. Kim J, Luo W, Chen DT, Earley K,Tunstead J, Yu-Lee LY, Lin SH.Antitumor activity of the 16-kDa prolactinfragment in prostate cancer. Cancer Res.2003;63:386–393.
35. Bentzien F, Struman I, Martini JF, MartialJ, Weiner R. Expression of theantiangiogenic factor 16K hPRL in humanHCT116 colon cancer cells inhibits tumorgrowth in Rag1(-/- mice. Cancer Res.2001;61:7356–7362.
36. Li Y, Jin Y, Chen H, Jie G, Tobelem G,Caen JP, Han ZC. Suppression of tumorgrowth by viral vector-mediated genetransfer of N-terminal truncated plateletfactor 4. Cancer Biother Radiopharm.2003;18:829–840. doi:10.1089/108497803770418373.
37. Feldman AL, Friedl J, Lans TE, LibuttiSK, Lorang D, Miller MS, Turner EM,Hewitt SM, Alexander HR. Retroviralgene transfer of interferon-inducibleprotein 10 inhibits growth of humanmelanoma xenografts. Int J Cancer.2002;99:149–153. doi: 10.1002/ijc.10292.
38. Jones PF. Not just angiogenesis—widerroles for the angiopoietins. J Pathol. 2003;201: 515–527. doi: 10.1002/path.1452.
39. Trinchieri G. Interleukin-12 and theregulation of innate resistance andadaptive immunity. Nat Rev Immunol.2003;3:133–146. doi: 10.1038/nri1001.
40. Gollob JA, Mier JW, Veenstra K,McDermott DF, Clancy D, Clancy M,Atkins MB. Phase I trial of twice-weeklyintravenous interleukin 12 in patients withmetastatic renal cell cancer or malignantmelanoma: ability to maintain IFN-gammainduction is associated with clinicalresponse. Clin Cancer Res. 2000;6:1678–1692.
41. Hurteau JA, Blessing JA, DeCesare SL,Creasman WT. Evaluation of recombinanthuman interleukin-12 in patients with
recurrent or refractory ovarian cancer: agynecologic oncology group study.Gynecol Oncol. 2001;82:7–10. doi:10.1006/gyno.2001.6255.
42. Mazzolini G, Prieto J, Melero I. Genetherapy of cancer with interleukin-12.Curr Pharm Des. 2003;9:1981–1991.
43. Cao R, Farnebo J, Kurimoto M, Cao Y.Interleukin-18 acts as an angiogenesis andtumor suppressor. Faseb J. 1999;13:2195–2202.
44. Nagai H, Hara I, Horikawa T, Oka M,Kamidono S, Ichihashi M. Gene transferof secreted-type modified interleukin-18gene to B16F10 melanoma cellssuppresses in vivo tumor growth throughinhibition of tumor vessel formation. JInvest Dermatol. 2002;119:541–548. doi:10.1046/j.1523-1747.2002.01866.x.
45. Liu Y, Huang H, Saxena A, Xiang J.Intratumoral coinjection of two adenoviralvectors expressing functional interleukin-18 and inducible protein-10, respectively,synergizes to facilitate regression ofestablished tumors. Cancer Gene Ther.2002; 9: 533–542. doi:10.1038/sj.cgt.7700466.
46. Lindner DJ. Interferons as antiangiogenicagents. Curr Oncol Rep. 2002;4:510–514.
47. Albini A, Marchisone C, Del Grosso F,Benelli R, Masiello L, Tacchetti C, BonoM, Ferrantini M, Rozera C, Truini M,Belardelli F, Santi L, Noonan DM.Inhibition of angiogenesis and vasculartumor growth by interferon-producingcells: A gene therapy approach. Am JPathol. 2000;156:1381–1393.
48. Berger AC, Alexander HR, Tang G, WuPS, Hewitt SM, Turner E, Kruger E, FiggWD, Grove A, Kohn E, Stern D, LibuttiSK. Endothelial monocyte activatingpolypeptide II induces endothelial cellapoptosis and may inhibit tumorangiogenesis. Microvasc Res. 2000;60:70–80. doi: 10.1006/mvre.2000.2249.
49. Jiang Y, Goldberg ID, Shi YE. Complexroles of tissue inhibitors ofmetalloproteinases in cancer. Oncogene.2002; 21: 2245–2252. doi:10.1038/sj.onc.1205291.
50. ten Hagen TL, Eggermont AM. Solidtumor therapy: manipulation of thevasculature with TNF. Technol CancerRes Treat. 2003;2:195–203.
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
114
51. Senzer N, Mani S, Rosemurgy A,Nemunaitis J, Cunningham C, Guha C,Bayol N, Gillen M, Chu K, Rasmussen C,Rasmussen H, Kufe D, Weichselbaum R,Hanna N. TNFerade biologic, anadenovector with a radiation-induciblepromoter, carrying the human tumornecrosis factor alpha gene: a phase I studyin patients with solid tumors. J ClinOncol. 2004; 22: 592–601. doi:10.1200/JCO.2004.01.227.
52. Su JD, Mayo LD, Donner DB, DurdenDL. PTEN and phosphatidylinositol 3'-kinase inhibitors up-regulate p53 andblock tumor-induced angiogenesis:evidence for an effect on the tumor andendothelial compartment. Cancer Res.2003;63:3585–3592.
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
115
MANIFESTASI MOLEKULER BIOFILM Streptococcus mutansSEBAGAI ORGANISME UTAMA PENYEBAB KARIES
Santi Chismirina*, Basri A. Gani*, Subhaini*
*Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
ABSTRAKKaries gigi (dental caries) merupakan salah satu penyakit yang paling sering terjadi pada manusiasetelah demam. Penyakit infeksius menular ini terjadi sebagai akibat adanya interaksi faktor genetik,mikroorganisme, lingkungan dalam mulut dan kebiasaan hidup dari host. Streptococcus mutans (S.mutans) merupakan organisme utama penyebab timbulnya karies gigi. Organisme ini berkembangbiak dalam rongga mulut dengan membentuk suatu lapisan seperti film yang disebut dental plak(dental biofilm). Dental plak merupakan salah satu contoh kehidupan mikroorganise dalam bentukbiofilm kompleks pada permukaan gigi yang dibentuk oleh S. mutans bersama mikroorganise grampositif dan gram negetif lainnya yang berada dalam rongga mulut. Tidak hanya S. mutans, kehidupansemua mikroorganisme di alam berlangsung dalam bentuk biofilm. Mikroorganisme membentukstuktur biofilm sebagai barier untuk melindungi keeksisan mereka di dalam tubuh host. Pembentukanbiofilm terjadi akibat adanya komunikasi diantara organisme yang terlibat melalui suatu sistemkomunikasi yang disebut quorum sensing system. Melalui sistem ini S. mutans bersamamikroorganisme lainnya dalam rongga mulut menginisiasi pembentukan biofilm. Perlekatanmikroorganisme dalam bentuk sel planktonik (bakteri tunggal) pada permukaan gigi merupakan tahapawal pembentukan biofilm yang diikuti dengan terjadinya interaksi dari sel bakteri membentukmikrokoloni yang pada akhirnya membentuk struktur tiga dimensi dari biofilm. Pemahamanmolekuler proses terjadinya karies gigi terus dilakukan sebagai upaya untuk menemukan langkahpencegahan karies gigi yang efektif.
Kata kunci: biofilm, Streptococcus mutans, karies
ABSTRACTDental caries is the first most prevalent disease in humans, second to the common cold. Caries is aninfectious disease that occured as the causing of the interaction of some different factors. Geneticfactor, microorganism, oral hygiene and behaviour of host are the main factors of this infection.Streptococcus mutans is known as the primary causative organism of caries. In the oral cavityespecially on the tooth surface, this organism forms a shape that is called dental plaque. The dentalplaque is an example of biofilm organism complex on the teeth that is formed by negative gram danpositive gram organisms. Not only S. mutans, all of organisms in the world hold out from variousenvironment stress in host by forming biofilm structure. The formation of biofilm takes place as aresult of communication among organisms by a communication system that called quorum sensing. S.mutans and other organism in oral cavity also use this communication system to form biofilm. Thedental biofilm formation begins with planktonic (individual) bacterial cells adhering on the dentalsurface. The initial adhesion of single cells evolves into what has become known as a microcolony.Microcolonies are relatively small groups of organism that develop to be the three dimensionstructures that eventually become the biofilm. The researches about molecular process are doing asefforts to find the effective way in dental caries prevention.
Key words: biofilm, Streptococcus mutans, caries
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
116
Pendahuluan
Dalam praktek Kedokteran Gigi,
prevalensi karies dan periodontitis menduduki
peringkat yang paling tinggi diantara berbagai
penyakit rongga mulut lainnya. Karies gigi
merupakan proses patologis multifaktorial
jaringan keras gigi seperti email, dentin dan
sementum. Terjadinya demineralisasi jaringan
keras gigi yang diikuti dengan kerusakan
bahan organik gigi yaitu kalsium
hidroksiapatit merupakan ciri khas penyakit
ini. Dampak kerusakan tersebut dapat memicu
terjadinya kerusakan jaringan penyangga gigi
yaitu periodonsium, yang mana hal ini akan
membuka peluang untuk terjadinya berbagai
penyakit periodontal.1
Pada prinsipnya, patogenesis karies
melibatkan interaksi berbagai faktor internal
dan eksternal host serta mikroorganisme.
Faktor internal host yang terlibat dalam hal ini
antara lain permukaan gigi, saliva dan pelikel,
sementara diet atau substrat dan waktu
merupakan faktor eksternal host yang ikut
berperan terhadap timbulnya karies. Sejak
Clarke berhasil mengisolasi Streptococcus
mutans (S. mutans) dari penderita karies pada
tahun 1924, diketahui bahwa mikroorganisme
tersebut merupakan penyebab utama dari
penyakit karies. Mikroorganisme yang
termasuk kelompok streptokoki ini lebih
dominan ditemukan dibandingkan dengan
berbagai macam kelompok streptokokus
lainnya pada permukaan gigi. Mikroorganisme
streptokokus lain yang hidup pada permukaan
gigi antara lain adalah S. mutans, S. anginosus,
S. constellatus, S. gordonii, S. intermedius, S.
mitis, S. oralis, S. salivarius, dan S. sanguis.
Mereka saling bekerja sama dalam suatu
polimer matriks antara bakteri dan saliva
membentuk plak gigi.1,2
Plak gigi merupakan istilah umum yang
digunakan untuk menggambarkan kumpulan
berbagai macam mikroorganisme (terutama
bakteri) pada permukaan gigi. Saat ini, dental
plak dianggap sebagai salah satu dari bentuk
biofilm dalam rongga mulut karena
arsitekturnya serupa dengan biofilm yang ada
di alam. Hal ini telah disepakati oleh para
pakar mikrobiologi ekologi Kedokteran
Gigi.2,3
Pemahaman Tentang Streptococcus mutans
Bila berbicara tentang karies tentu hal
ini tidak bisa dilepaskan dari peran plak gigi
dan mikroorganisme yang dominan terdapat di
dalamnya yaitu Streptococcus mutans (S.
mutans) yang dianggap sebagai bakteri utama
penyebab terjadinya karies. Streptococcus
mutans merupakan bakteri gram positif
berbentuk bulat dengan diameter 0,5 – 2,0 m,
tidak bergerak, tidak berspora dan bersifat
fakultatif anaerob. Secara mikroskopis, bakteri
ini tampak berpasangan atau membentuk
rantai sehingga dapat digolongkan sebagai
bakteri heterogen.3,4
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
117
Penggolongan bakteri streptokokus
didasarkan pada kombinasi sifatnya. Sifat-sifat
tersebut adalah pertumbuhan koloni, pola
hemolisis pada darah (hemolisis , hemolisis
atau tanpa hemolisis), komposisi antigen
pada dinding sel yang spesifik untuk serotipe
tertentu dan reaksi-reaksi biokimia.2-4
Gambar 1. Streptococcus mutans denganmenggunakan Mikroskop ElektronPemindai (Scanning ElectronMicroscopy)4
Berdasarkan perbedaan komposisi dan
ikatan polisakarida dinding sel, kelompok S.
mutans diklasifikasikan menjadi delapan
serotipe yaitu Streptococcus mutans (serotipe
c, e, dan f), Streptococcus sobrinus (serotipe d
dan g)), Streptococcus ferus (serotipe c),
Streptococcus macacae (serotipe c), dan
Streptococcus dowwnei (serotipe h).
Streptococcus mutans (serotipe c, e, dan f) dan
Streptococcus sobrinus (serotipe d dan g)
merupakan agen utama penyebab karies pada
manusia sementara kelompok streptokokus
lainnya merupakan agen penyebab karies pada
hewan.4,5
Patogenesis Molekuler Karies
Proses karies melibatkan berbagai
faktor virulen yang dimiliki S. mutans yaitu
antigen I/II, glukosiltransferase, glucan
binding protein dan komponen-komponen
molekul yang terdapat dalam saliva. Famili
antigen I/II merupakan molekul adhesi S.
mutans yang memperantarai perlekatan
bakteri ini dengan reseptor yang terdapat pada
pelikel yaitu glikoprotein berupa aglutinin.
Antigen I/II yang diekspresikan oleh S. mutans
disebut juga dengan SpaP, P1 atau PAc yang
memiliki berat molekul 190 kDa.4-8
Antigen I/II S. mutans mempunyai 7
domain yaitu domain sinyal peptida, regio
terminal amino, domain alanin, regio variabel,
domain prolin, domain terminal karboksil dan
domain adhesi dinding sel. Domain alanin dan
domain prolin merupakan domain yang
berperan pada proses interaksi antara antigen
I/II dengan komponen-komponen saliva
terutama aglutinin dalam saliva. Aglutinin
merupakan reseptor bagi antigen I/II S. mutan.
Di dalam saliva, aglutinin berada dalam
bentuk kompleks bersama dengan sIgA dan
terdiri atas sejumlah domain seperti domain
disulfida. Aglutinin disekresi oleh kelenjar
parotid, kelenjar submandibula dan kelenjar-
kelenjar saliva minor yang terdapat di daerah
bibir.7,8
Tahap selanjutnya, S. mutans akan
berkolonisasi sehingga terjadi akumulasi
bakteri pada permukaan gigi. Proses kolonisasi
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
118
dan akumulasi ini diinisiasi oleh aktivitas
glukosiltransferase ekstraseluler (Gtf) dan
glucan binding protein (Gbp) yang dihasilkan
oleh S. mutans. Glukosiltrasferase
memfermentasi sukrosa menjadi water soluble
glucan dan water insoluble glucan yang
merupakan mediator kolonisasi dan akumulasi
S. mutans pada permukaan gigi. Streptococcus
mutans mengekspresikan 3 macam enzim Gtf
yaitu GtfB, GtfC dan GtfD. 7,9
Terjadinya interaksi agregat S. mutans
dengan polimer glukosa dan streptokokus
mulut lainnya juga diperantarai oleh glucan
binding protein (Gbp). Pada S. mutans
terdapat 4 jenis Gbp yaitu GbpA (59 kDa),
GbpB (41,3 kDa) dan GbpC (63,5 kDa) dan
GbpD. GbpA berperan dalam mengatur
morfologi biofilm dan memiliki afinitas tinggi
terhadap water soluble glucan dibandingkan
dengan water insoluble glucan yang
menyebabkan terjadinya peningkatan
virulensi. Glucan binding protein B (GbpB)
berperan dalam menjaga integritas dinding sel
dan GbpC pada proses agregasi dan adhesi S.
mutans, sedangkan GbpD tetap memiliki peran
dalam kariogenesitas S. mutans walaupun Gbp
ini baru teridentifikasi. Kolaborasi antara
glukan, Gtf, Gbp, adhesin, reseptor saliva dan
sukrosa dalam membentuk biofilm pada
permukaan gigi terlihat seperti Gambar 2. 6-10
Gambar 2. Patogenesis molekuler Streptococcusmutans10
Akumulasi S. mutans pada permukaan
gigi menyebabkan terjadinya produksi asam
laktat sebagai hasil proses metabolisme
bakteri. Produksi asam inilah yang
menyebabkan terjadinya demineralisasi
jaringan keras gigi yang ditandai dengan
larutnya mineral-mineral gigi terutama kristal
hidroksiapatit. Saliva yang banyak
mengandung ion Ca dan P dapat melakukan
remineralisasi untuk menggantikan kehilangan
mineral-mineral gigi akibat proses
demineralisasi. Namun karena produksi asam
terus terjadi bahkan seiring dengan berjalan
waktu produksi asam semakin meningkat
dengan semakin banyaknya S. mutans yang
berkolonisasi. Erosi kristal hidroksiapatit ini
ditandai dengan terjadinya bercak putih (white
spot) pada email sebagai awal terjadinya
karies dini pada email5,6,10.
Dental Biofilm atau Dental Plak
Biofilm rongga mulut merupakan suatu
agregat kompleks mikroorganisme yang
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
119
menempel dan berkembangbiak pada suatu
permukaan jaringan keras dan lunak rongga
mulut, berisikan satu atau beberapa spesies
mikroorganisme yang melekat dengan bantuan
glikokaliks. Perkembangan bakteri dalam
bentuk biofilm terjadi sebagai salah satu upaya
bakteri dalam merespons berbagai sinyal atau
rangsangan yang berasal dari lingkungan.
Adanya ekpresi fenotip baru yang berbeda
dengan fenotip bakteri dalam bentuk sel
planktonik menyebabkan bakteri dalam
biofilm menjadi lebih tahan terhadap berbagai
tekanan dan perubahan lingkungan seperti
pengaruh produk metabolit yang dihasilkan
oleh bakteri lain, kerja antibiotik sebagai
antibakteri, perubahan pH dan radikal bebas.5-
8
Pembentukan biofilm oleh S. mutans
diawali dengan terjadinya inisiasi perlekatan
molekul adhesi dari bakteri dengan komponen
pelikel gigi yang menutupi permukaan gigi
yaitu lektin. Perlekatan bakteri ini pada
permukaan gigi akan diikuti dengan proses
kolonisasi. Kolonisasi dan akumulasi S.
mutans diperantarai oleh glukan yang
dihasilkan oleh glukosiltransferase dalam
aktifitasnya pada proses fermentasi sukrosa.6,8
Bakteri-bakteri dalam biofilm termasuk
Streptococcus mutans sangat sering terekspos
dengan berbagai tekanan seperti stres diet, pH
yang rendah, tekanan osmolaritas yang tinggi,
oksidasi ataupun konsumsi agen antibakteri
(antibiotik) oleh host. Untuk mengatasi hal
tersebut maka bakteri-bakteri dalam biofilm
saling bekerja sama agar dapat bertahan
terhadap tekanan-tekanan tersebut. Dari hasil
penelitian, diketahui bahwa beberapa bakteri
saling bekerja sama dengan cara membangun
komunikasi diantara mereka melalui suatu
sistem yang disebut ”quorum sensing
system”.9-13
Pembahasan
Setiap mikroorganisme untuk dapat
bertahan hidup dan berkembang biak harus
mampu melawan berbagai tekanan yang ada di
lingkungan tempatnya berada. Dalam bentuk
biofilm bakteri-bakteri dapat mempertahan diri
terhadap tekanan tersebut dan saling
berhubungan antara satu spesies dengan
spesies lainnnya melalui quorum sensing
system. Melalui sistem ini, sinyal dari masing-
masing bakteri dapat diteruskan sehingga
mereka secara bersama-sama dapat
berkolonisasi dan membentuk struktur tiga
dimensi dari biofilm.13
Quorum sensing merupakan suatu
mekanisme komunikasi interseluler dari satu
bakteri dengan bakteri lainnya yang bertujuan
untuk mengendalikan ekspresi gen. Ekspresi
tersebut timbul sebagai respon terhadap
densitas populasi bakteri dalam biofilm
melalui sekresi molekul-molekul kimia yang
disebut Autoinducers (Ais). Melalui
mekanisme ini bakteri-bakteri dalam biofilm
dapat saling berkomunikasi sehingga bakteri
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
120
dapat berkolonisasi dengan melawan bakteri
kompetitor dan dapat mengalami evolusi
spesies.11,14
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penghantaran sinyal melalui sistem quorum
sensing pada bakteri gram negatif melibatkan
dua komponen yaitu molekul sinyal solubel
diperantarai oleh N-acylhomoserinelactone
yang dikode oleh gen luxl dan protein R
(Protein transkripsi regulator). Molekul ini
berinteraksi pada saat bakteri dalam biofilm
berkolonisasi dengan cara berdifusi ke dalam
sel yang bertanggung jawab terhadap densitas
sel dependen fenotipe. Sementara itu sistem
quorum sensing pada bakteri gram positif
melibatkan 3 komponen yaitu satu sinyal
peptida dan 2 komponen sistem regulator yang
mempunyai sensor membran ikatan histidin
kinase dan regulator respon intraseluler.11-15
Keberhasilan bakteri untuk
berkomunikasi melalui sistem quorum sensing
sangat tergantung kepada densitas bakteri.
Karena itu kondisi biofilm yang ideal untuk
dapat berlangsungnya quorum sensing adalah
biofilm yang memiliki konsentrasi bakteri
yang tinggi.15
Kesimpulan
Bakteri yang ada di alam semesta ini
umumnya membentuk suatu lapisan tipis
seperti film dengan struktur tiga dimensi yang
disebut biofilm sebagai upaya adaptasi.
Struktur ini mampu melindungi
mikroorganisme dari berbagai tekanan dan
perubahan lingkungan seperti pengaruh
produk metabolit yang dihasilkan oleh bakteri
lain, perubahan pH dan radikal bebas yang
dihasilkan oleh sel-sel tubuh host. Demikian
halnya dengan Streptococcus mutans yang
merupakan agen utama penyebab karies.
Untuk dapat bertahan hidup dan berkembang
biak dalam rongga mulut, bakteri ini juga
membentuk biofilm.
Bakteri-bakteri dalam biofilm saling
berinteraksi melalui sistem yang disebut
quorum sensing system. Komunikasi dari
masing-masing bakteri terjadi akibat adanya
molekul Autoinducers (Ais) yaitu molekul atau
senyawa dari quorum sensing system yang
dijadikan oleh bakteri sebagai penerus sinyal
sehingga mereka dapat saling berinteraksi satu
sama lain dilingkungannya. Interaksi ini
mengakibatkan bakteri-bakteri dalam biofilm
dapat bertahan terhadap berbagai tekanan dari
lingkungannya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kuramitsu HK. Virulence properties oforal bacteria:impact of molecular biology.J Mol Biol 2001; 3 (2): 35-36.
2. Overman, PR. Biofilm: a new view ofplaque. J Cont Dent Pract 2000; 1 (3): 1-8.
3. Michalek SM, Mc Ghee JR. Dentalmicrobiology. 4th Ed. Philadelphia Harper& Raw Publisher, 1982: 90-102.
4. Jawetz, Melnick and Adelberg. Medicalmicrobiology. 20th ed., A Simon &Schuster Company; Appleton & Lange,1995: 218-23.
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
121
5. Okada M, Soda Y, Hayashi F, Doi T,Suzuki J, Miura K, Kozai K. PCRdetection of Streptococcus mutans andStreptococcus sobrinus in dental plaquesamples from Japanese preschool children.J Med Microbiol 2002; 51: 443-7.
6. Bratthall D. Mutan Streptococci dentaloral and global aspects. J Indian SocPedod Prev Dent 1991; 9: 412.
7. Socransky SS, Anne DH. J. Dentalbiofilms: difficult therapeutic targets. JPeriodontol 2000; 28: 12-55.
8. Merrit J, Fengxia Q, Steven DG, AndersonMH, Shi W. Mutation of luxS affectsbiofilm formation in Streptococcusmutans. J Infection and Immunity2003;71:(4): 1972-1979.
9. Cvitkovitch DG, Yung HL, Richard PE.Quorum sensing and biofilm formation instreptococcal infections. J ClinInvestigation 2003; 112 (11): 1626-32.
10. Smith DJ. Caries Vaccines for the twenty-first century. J Dent Educat 2003; 67 (10):1130-8.
11. Jefferson KK. What drives bacteria toproduce a biofilm?. J Federation ofEuropean Microbiological Societies 2004;17:163-73.
12. Yoshida A, Howard KK. MultipleStreptococcus mutans genes are involvedin biofilm formation. J Appl EnvironMicrobial 2002; 68 (12): 6283-91.
13. Marsh PD. Dental plaque as a microbialbiofilm. J Caries Res 2004; 38: 204-11.
14. Mattos-Graner RO. Comparative analysisof gtf isozyme production and diversity inisolates of Streptococcus mutans withdifferent biofilm growth phenotypes. JClin Microbiol 2004; 42 (10): 4586-92.
15. Xie H, Guy SC, William C, Greg B,Timothy MR, Richard JL. Intergenericcommunication in dental plaque biofilm. JBacteriology 2000; 7067-9.
16. Yoshida A, Toshihiro A, Tadamichi T,Howard KK. LuxS-based signaling affectsStreptococcus mutans biofilm formation. JAppl and Environ Microbiol 2005; 2372-80.
17. Li YH, Nan T, Marcelo BA, Peter CYL,Janet HL, Richard PE, Dennis GCl. A
quorum-sensing signaling system essentialfor genetic competence in Streptococcusmutans is involved in biofilm formation. J.Bacteriology 2002; 184 (10): 2699-708.
18. Napimoga MH, Jose FH, Marlise IK,Regianne UK, Reginaldo BG.Transmission, diversity and virulencefactors of Streptococcus mutansgenotypes. J Oral Science 2005; 47 (2):59-64.
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
122
PREVALENSI Porphyromonas gingivalis SEROTIPE K1 PADA POKET PERIODONTALKEDALAMAN LEBIH DARI 3 MM
Putri Rahmi Noviyandri*, Sri Redjeki**, Ratna Farida**, Ariadna A. Djais**, B.M. Bachtiar**
* Prodi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah KualaPeserta Program Magister Ilmu Kedokteran Gigi Dasar, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas
Indonesia** Departemen Biologi Oral, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia
Email : [email protected]
ABSTRAKLatar belakang: Porphyromonas gingivalis (Pg) merupakan bakteri rongga mulut yang paling seringterlibat dalam penyakit periodontal dan memiliki kapsul polisakarida sebagai salah satu faktorvirulensi. Terdapat enam serotipe kapsul polisakarida Pg (K1-K6), namun K1 merupakan serotipeyang paling imunostimulatorik karena kemampuan induksi ekspresi kemokin yang besar yangberperan penting dalam pembentukan poket periodontal. Tujuan: Untuk menginvestigasi prevalensiPg serotipe K1 dari poket periodontal kedalaman >3 mm. Metoda: DNA Pg dari poket periodontalkedalaman >3 mm diidentifikasi dengan primers spesifik K1 menggunakan teknik PCR (PolymeraseChain Reaction). Hasil: Dari kedalaman >3 mm diidentifikasi K1 sebanyak 6 (26.09%) dari 23sampel DNA Pg dan serotipe non K1 17 (73.91%). Kesimpulan: Prevalensi Pg serotipe K1 dari poketperiodontal kedalaman >3 mm adalah 26.09%.
Kata kunci: Porphyromonas gingivalis, kapsul, serotipe K1, poket periodontal
ABSTRACTBackground: Porphyromonas gingivalis (Pg) is commonly associated with periodontal disease andhas capsular polysaccharide as one of the virulent factors. Six distinct capsular serotypes havecurrently been described (K1-K6), but K1 serotype was found to be more immunostimulatory. K1serotype induces higher chemokine expression that plays an important role in pocket formation.Objective: To investigate the prevalence of Pg-K1 serotype in the depth of >3 mm of pocketperiodontal. Method: DNA Pg was obtained from gingival sulcus >3 mm. The Pg-K1 serotype wasidentified by PCR (Polymerase Chain Reaction) method. Result: From the deepness of gingivalissulcus >3 mm, K1 serotype was found 6 (26.09%) from 23 samples and non K1 serotype was found17 (73.91%) from 23 samples. Conclusion: Prevalence of Pg-K1 from the deepness of periodontalpocket >3mm is 26.09%.
Key words: Porphyromonas gingivalis, capsules, K1-serotype, periodontal pocket.
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
123
Latar Belakang
Porphyromonas gingivalis (Pg) adalah
bakteri gram-negatif, berbentuk batang,
bersifat anaerobik, sering ditemukan berkapsul
dan menghasilkan pigmen hitam sebagai ciri
khasnya.1-5 Pada poket periodontal, Pg
merupakan bakteri yang paling sering
ditemukan. Bakteri Pg juga terkait erat dengan
penyakit periodontal, khususnya periodontitis
kronis pada dewasa, sehingga disebut juga
sebagai agen etiologi periodontitis.6-8
Porphyromonas gingivalis (Pg)
memiliki beberapa faktor virulensi, yaitu
kapsul polisakarida, lapisan lipopolisakarida
(LPS), hemaglutinin, fimbria, eksoenzim,
enzim-enzim hidrolitik, dan berbagai protease,
tetapi kapsul polisakarida merupakan faktor
yang paling virulen.2, 9-11 Hal tersebut
dikarenakan kapsul polisakarida merupakan
stimulator yang potensial dalam memproduksi
sitokin inflamasi dan juga menghambat
fagositosis Pg oleh sistem imun host.3, 5, 12, 13
Saat ini dikenal enam serotipe kapsul
polisakarida Pg (K1-K6)2, 3, 13-15 Namun R. E.
Schifferle baru-baru ini memperkenalkan
serotipe K7 sebagai tambahan terhadap enam
serotipe sebelumnya.3 Semua serotipe kapsul
polisakarida tersebut telah diujikan respon
induksi imunologis atau aktivitas
imunostimulatoriknya pada makrofag
periotoneal tikus melalui sejumlah penelitian.2,
3 Hasil penelitian pada tikus hewan model
menunjukkan bahwa Pg serotipe K1 diketahui
mampu menginduksi ekspresi kemokin yang
besar seperti sitokin inflamasi dan enzim-
enzim yang berperan dalam destruksi matriks
jaringan periodontal dan proses resopsi tulang.
Pada jaringan periodontal, destruksi matriks
jaringan periodontal dan proses resopsi tulang
memiliki peranan yang penting pada proses
pembentukan poket periodontal.2, 3, 16
Poket periodontal merupakan salah satu
tanda klinis penting terjadinya periodontitis.17
Definisi poket periodontal adalah sulkus
gingiva yang mengalami peningkatan
kedalaman secara patologik, dimana sulkus
gingiva normal secara klinis memiliki
kedalaman 2-3 mm.18 Pada periodontitis awal
kedalaman poket mencapai >3 mm, dan dapat
mencapai 4-6 mm pada periodontitis sedang,
kemudian meningkat menjadi ≥6 mm pada
periodontitis dalam atau berat.19 Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui
prevalensi Pg serotipe K1 pada poket
periodontal dengan kedalaman >3 mm.
Metode yang digunakan adalah Polymerase
Chain Reaction (PCR) dengan memakai
primers spesifik K1.
Metodologi Penelitian
Pada penelitian ini digunakan sampel
berupa 23 DNA Pg yang didapat dari ekstraksi
bakteri Pg hasil isolasi kultur plak subgingiva
(isolat klinik) dari poket periodontal dengan
kedalaman >3 mm. DNA Pg ini diperoleh dari
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
124
penelitian Astri Widyanti dan Meidiana Lindo
(2009).
Kuantifikasi DNA P.gingivalis
Masukkan 5 µL sampel DNA Pg ke
dalam 495 µL Milli-Q, lalu masukkan ke
dalam alat spektrofotometer (Ultrospec 4300
pro UV) untuk memperoleh konsentrasi dan
kemurnian DNA
Identifikasi Pg serotipe K1 dengan teknik
PCR (Polymerase Chain Reaction)
Campuran PCR terdiri dari 5 µL 10x
Dream Taq Buffer (Fermentas #EP0701), 5 µL
dNTP mix (Fermentas #RO241), 0.5 µL
Dream Taq Polymerase (Fermentas #EP0702),
3.5 µL masing-masing pasangan primers ,100
ng template DNA dan tambahkan Milli-Q
steril hingga jumlah volume mencapai 50 µL.
Amplifikasi PCR dilakukan pada DNA
Thermal Cycler (Bio-Rad) dengan temperatur
awal 95°C selama 5 menit, dilanjutkan dengan
36 siklus inkubasi pada temperatur 95°C, 62-
50°C dan 72°C selama 30 detik, 30 detik dan
90 detik secara berturut-turut, dan diakhiri
dengan elongasi akhir pada temperatur 72°C
selama 4 menit. Amplikon hasil PCR
diharapkan berukuran 629 bp.
Elektroforesis Gel Agarose
Campurkan 0.75 gr bubuk agarose
(Fermentas #RO491) dengan 50 mL larutan
TAE buffer (Fermentas #B49) untuk membuat
gel agarose konsentrasi 1.5%. Setelah 25
menit, masukkan 10 µL amplikon hasil PCR
dengan ditambah 2 µL loading dye pada well
gel agarose, dan siapkan 2 µL DNA marker
(Fermentas #SM0241) dengan ukuran 100-
1500 bp. Elektroforesis dilakukan dengan
Horizontal Electrophoresis Unit (Bio-Rad)
dan Power Supply Unit pada tegangan listrik
100 Volt dan kuat arus listrik 400 mA selama
50 menit.
Visualisasi Pita DNA
Gel agarose direndam dengan Ethidium
Bromida (EtBr) selama 5 menit kemudian
dicuci pada air mengalir selama 15 menit.
Ethidium Bromida (EtBr) digunakan untuk
memvisualisasi pita DNA dengan bantuan
transiluminasi sinar ultraviolet. Proses
transiluminasi sinar ultraviolet dilakukan pada
Ultraviolet Transiluminator Unit (Bio-Rad).
HASIL
Identifikasi Pg serotipe K1
1 2 3 4 5 6
Gambar 1. Hasil PCR yang divisualisasi denganUltraviolet Transiluminator Unit
400 bp
629 bp
1000bp
1500bp
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
125
Hasil berupa transiluminasi pita DNA
dapat dilihat pada (Gambar 1). Pada gambar
dapat dilihat jalur 1-5 merupakan sampel DNA
Pg dan jalur 6 merupakan DNA marker. Hasil
yang diperoleh menunjukkan salah satu
sampel DNA positif teridentifikasi sebagai Pg
serotipe K1 (jalur 3) karena pita DNA yang
dihasilkan terlihat berada pada 629 bp. Dari
23 sampel DNA Pg yang bersumber dari poket
periodontal dengan kedalaman >3 mm,
dihasilkan sejumlah hasil positif yang
teridentifikasi sebagai Pg serotipe K1.
Jumlah P.gingivalis serotipe K1 pada poketperiodontal dengan kedalaman >4 mm
Dari (Gambar 2) dapat dilihat jumlah
Pg serotipe K1 yang teridentifikasi dari poket
periodontal kedalaman >4 mm adalah 6
(26.09%) dan 17 (73.91%) merupakan Pg
serotipe non K1.
0
5
10
15
20
K1 non K1
Poket Periodontal Kedalaman >4 mm
Jumlah Porphyromonas gingivalis Serotipe K1
pada Poket Periodontal Kedalaman >4 mm
Porphyromonasgingivalis
Gambar 2. Grafik jumlah Pg serotipe K1 padapoket periodontal kedalaman >4 mm
Pembahasan
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui prevalensi Pg serotipe K1 pada
poket periodontal dengan kedalaman >3 mm.
Metoda yang digunakan adalah Polymerase
Chain Reaction (PCR) dengan memakai
primers spesifik K1. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pada poket periodontal
kedalaman >3 mm diperoleh persentase
serotipe K1 sebanyak 6 (26.09%) dari 23 Pg
isolat klinik dan non K1 17 (73.91%) dari 23
Pg isolat klinik. Dari hasil penelitian Laine
ML,dkk (1997) dilaporkan bahwa dari 185 Pg
isolat klinik yang diperoleh dari poket
periodontal pasien periodontitis, terdapat 84
(45.4%) Pg yang merupakan kapsul
polisakarida serotipe K, dengan serotipe K1
sebanyak (3.2%). Dan sebelumnya pada
penelitian Nagata, dkk (1991) dilaporkan
bahwa dari 63 pasien periodontitis diperoleh
persentase serotipe K1 sebanyak (6.3%).13
Persentase hasil penelitian ini yang diperoleh
dari membandingkan hasil positif identifikasi
Pg serotipe K1 dengan jumlah sampel yang
diperiksa, memiliki angka yang berbeda
dengan persentase pada dua penelitian
sebelumnya, namun kemaknaan persentase
yang didapat dengan dua penelitian
sebelumnya adalah sama, yaitu sedikitnya
jumlah Pg yang teridentifikasi sebagai serotipe
K1 dari keseluruhan sampel yang diperiksa.
Dari penelitian ini diketahui prevalensi Pg
serotipe K1 tidak ditemukan dalam jumlah
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
126
yang besar pada poket periodontal kedalaman
>3 mm, hal ini menunjukkan bahwa Pg
serotipe K1 tidak berkaitan dengan kedalaman
poket periodontal yang terbentuk.
Kesimpulan
Dari poket periodontal kedalaman >4 mm
dapat diidentifikasi sebanyak 26.09% bakteri
Pg serotipe K1
Daftar Pustaka
1. Andrian E, Grenier D, Rouabhia M.Porphyromonas gingivalis-Epithelial CellInteractions in Periodontitis. J Dent Res2006;85:392-403.
2. Brunner J, Crielaard W, van WinkelhoffAJ. Analysis of the capsularpolysaccharide biosynthesis locus ofPorphyromonas gingivalis anddevelopment of K1-spesific polymerasechain reaction-based serotyping assay. JPeriodont Res 2008;43:698-705.
3. Brunner J, Scheres N, El Idrissi NB, DengDM, Laine ML, van Winkelhoff AJ, et al.The capsule of Porphyromonas gingivalisreduces the immune responses of humangingival fibroblasts. BMC Microbiology2010;10:1-11.
4. Kesic L, Milasin J, Igic M, Obradovic R.Microbial Etiology of Periodontal Disease– Mini Review. Medicine and Biol2008;15:1-6.
5. Wang PL, Ohura K. Porphyromonasgingivalis Lipopolysaccharide Signaling inGingival Fibroblasts-CD14 and Toll-likeReceptor. Crit Rev Oral Biol Med2002;13:132-42.
6. Newman MG, Takei HH, Carranza FA.Epidemiology of Gingival and PeriodontalDisease. In: Newman MG, editor.Carranza's Clinical Periodontology-9thedition. Philadelphia: W.B. SaundersCompany; 2002. p. 74-94.
7. Duncan MJ. The molecular biology ofPorphyromonas gingivalis In: Rogers AH,editor. Molecular oral microbiology:Horizon Scientific; 2008. p. 161-71.
8. Samaranayake LP. Bacteroides,Porphyromonas and Prevotella. EssentialMicrobiology for Dentistry-2nd edition.Edinburgh: Churchill Livingstone; 2002.p. 122-3.
9. Gonzalez D, Tzianabos AO, Genco CA,Gibson FC. Immunization withPorphyromonas gingivalis CapsularPolysaccharide Prevents P.gingivalis-Elicited Oral Bone Loss in a MurineModel. Infect and Immun 2003;71:2283-7.
10. Nakao R, Senpuku H, Watanabe H.Porphyromonas gingivalis galE IsInvolved in Lipopolysaccharide O-Antigen Synthesis and Biofilm Formation.Infect and Immun 2006;74:6145-53.
11. Sims TJ, Schifferle RE, Ali RW, Skaug N,Page RC. Immunoglobulin G response ofperiodontitis patients to Porphyromonasgingivalis capsular carbohydrate andlipopolysaccharide antigens. OralMicrobiol Immunol 2001;16:193-201.
12. Duerden BI. Virulence Factors inAnaerobes. Clin Inf Diseases1994;18:253-9.
13. Laine ML, Appelmelk BJ, van WinkelhoffAJ. Prevalence and Distribution of SixCapsular Serotypes of Porphyromonasgingivalis in Periodontitis Patients. J DentRes 1997;12:1840-4.
14. Laine ML, Appelmelk BJ, van WinkelhoffAJ. Novel polysaccharide capsularserotypes in Porphyromonas gingivalis. JPeriodont Res 1996;31:278-84.
15. van Winkelhoff AJ, Appelmelk BJ,Kippuw N, de Graaff J. K-antigens inPorphyromonas gingivalis are associatedwith virulence. Oral Microbiol Immunol1993;8:259-65.
16. Bartold PM, Narayanan AS. Biology ofThe Periodontal Connective Tissue.Illinois: Quintessence Publishing Co, Inc;1998.
17. Carranza FA, Camargo PM. ThePeriodontal Pocket. In: Newman MG,Takei HH, Klokkevold PR, Carranza FA,
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
127
editors. Carranza's ClinicalPeriodontology. 10 ed. Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2006. p. 434-51.
18. Fiorellini JP, Kim DM, Ishikawa SO. TheGingiva. In: Newman MG, Takei HH,Klokkevold PR, Carranza FA, editors.Carranza's Clinical Periodontology. 10 ed.Philadelphia: W.B. Saunders Company;2006. p. 46-67.
19. Novak MJ. Classification of Diseases andConditions Affecting the Periodontium.In: Newman MG, Takei HH, KlokkevoldPR, Carranza FA, editors. Carranza'sClinical Periodontology. 10 ed.Philadelphia: W.B. Saunders Company;2006. p. 100-9.
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
128
SIFAT ASIDOGENIK DAN ASIDURIK Streptococcus mutans
SEBAGAI BAKTERIOSTATIK MIKROBIOTA PATOGEN RONGGA MULUT
Basri A. Gani*
*Staf Pengajar Prodi Kedokteran Gigi FK Unsyiah, Darussalam Banda Aceh
Koresponden: [email protected]
ABSTRAK
Streptococcus mutans, selain memiliki sifat asidogenik dan asidurik juga dapat dimungkinkan sebagaibakteriostatik atau bakteriosidal terhadap bakteri patogen rongga mulut penyebab penyakit infeksigigi dan mukosa rongga mulut seperti kandidiasis, gingivitis, periodontitis, serta karies gigi sekalipun.Tujuan dari tulisan ini adalah menelusuri sekaligus mengevaluasi kapasitas S. mutans sebagaibakteriostatik atau bakteriosidal terhadap oral microbial pathogenic yang didasari pada kemampuanS. mutan menghasilkan asam laktat (asidogenik) dan asidurik (beradaptasi dalam suasana asam).Kemampuan S. mutans mengikat reseptor rongga mulut seperti protein saliva dan bakteri ronggamulut lainnya, menunjukkan S. mutans memiliki sifat untuk membawa ragam oral microbialpathogen untuk membentuk biofilm atau plak pada pelikel gigi. Penurunan pH plak sampai angkakritis (pH 5-2) akibat fermentasi karbohidrat oleh S. mutans secara terus menerus, menyebabkan oralmicrobial pathogen yang terdapat dalam plak bersama S. mutans tidak mampu beradaptasi dalamsuasana asam kritis, sehingga atensi bakteri tersebut akan mengalami statik untuk perkembanganselanjutnya. Fenomena ini memberikan kesan bahwa sekalipun S. mutans sebagai ancaman bagikaries gigi, juga dapat berperan sebagai bakteriostatik bahkan bakteriosidal terhadap oral microbialpathogenic penyebab penyakit infeksi gigi dan mucosa mulut. Walaupun demikian perlu dilakukananalisis lebih lanjut tentang sifat virulensi S. mutans penyebab karies, sehingga peran S. mutans tidakhanya sebagai bakteriostatik atu bakteriosidal terhadap mikroorganisme penyebab kandidiasis,gingivitis, dan periodontitis, namun lebih jauh dapat mencegah karies gigi dengan S. mutans sebagaiagen utama.
Kata Kunci: Streptococcus mutans, mikrobiota patogen rongga mulut, bakteriostatik, asidogenik danasidurik
ABSTRACTStreptococcus mutans possessed acidogenic and aciduric properties also as the bacteriostatic andbacteriocidal against oral microbial pathogenic as the cause of oral and teeth infectious diseases likesoral candidiasis, gingivitis, periodontitis, and dental caries. The objective of this article is to exploringall at once to evaluating capacity of S. mutans as the bacteristatic or bactericidal oral microbialpathogenic based on the ability of Streptococcus mutan to produced lactate acid (acidogenic) andassimilated in the acid conditions (aciduric). Streptococcus mutans was showed the ability to bindingof oral receptor likes saliva protein, and oral bacteria receptors. It has the capability to attractivevarious oral microbial pathogenic to biofilm formatting at the teeth pellicle. The Wane of pH up tocritical point (pH 5-2) was effected by carbohydrate fermentation are continuously which is facilitatedby S. mutans. These activities have made oral microbial pathogen in the plaque unable to adapting inthe critical acid condition. Thus, its bacteria will be static to the development in oral infectious. Thisphenomenon have suggested that S. mutans as the threat of dental caries also could be as well asbacteristatic and bactericidal against oral microbial pathogenic cause of oral and teeth infectiousdiseases. Nevertheless, it has been to do more analysis about properties of Streptococcus mutans asthe primer agent that causing of dental caries. Thus, S. mutans not only have the quality as thebacteriostatic and bactriocidal microorganism as the infectious agent of oral candidiasis, gingivitis,and periodontitis but also could be to preventing dental caries.
Kata Kunci: Streptococcus mutans, oral microbial pathogen, bacteriostatic, acidogenic dan aciduric
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
129
Pendahuluan
Streptococcus mutans pertama kali
dilaporkan oleh J. Kilian Clarke pada tahun
1924. Clarke mencoba menghubungkan
kejadian karies gigi dengan streptococci,
namun hipotesa tersebut tidak di dukung oleh
peneliti lainnya (Clarke, 1924). Kemudian
hipotesa Clark diperkuat oleh peneliti lainnya
sekitar tahun 1960, dimana pengembangan
metode gnotobiotic pada penelitian hewan
coba terhadap penyakit karies gigi secara
mikrobiologi, dan S. mutans diyakini sebagai
pemicu terjadinya karies gigi.1 Patogenesis
karies melibatkan peran dental biofilm (dental
plaque) yang diawali dengan perlekatan
protein saliva (pelikel) pada permukaan gigi
dan diikuti oleh kolonisasi bakteri pada pelikel
tersebut. Interaksi ini diperantarai oleh antigen
permukaan sel S. mutans, dan reseptor yang
terdapat pada pelikel gigi dan bakteri oral
lainnya.2 Interaksi inilah yang menghasilkan
pembentukan asam organik dan
mengakibatkan demineralisasi jaringan keras
gigi (email) yang disebut karies.3
Intensitas pembentukan plak yang
relatif meningkat dapat menyebabkan
terjadinya karies gigi yang diakibatkan oleh
penurunan pH plak oleh adanya aktivitas S.
mutans membentuk koloni.5 Koloni S. mutans
selanjutnya memfermentasi karbohidrat seperti
sukrosa, fruktosa, maupun laktosa menjadi
asam laktat. Asam yang dihasilkan oleh S.
mutans (asidogenik) dapat mempercepat
pematangan plak melalui interaksi antara
protein permukaan S. mutans dengan glukan
dan bersama bakteri lainnya seperti
Actinomices dan Porphyromonas gingivalis,4
yang berakibat turunnya pH pada permukaan
gigi. Apabila pH tersebut menurun sampai
angka kritis (5,2-5,5), memungkinkan bakteri
lain yang sebelumnya memfasilitasi S. mutans
melekat pada permukaan gigi akan mengalami
statik karena tidak mampu beradaptasi dalam
suasana asam, sementara S. mutans masih
mampu beradaptasi dalam suasana asam
(asidurik), sekalipun pada kondisi asam kritis.5
Asidogenesis S. mutans yang berlangsung
dalam jangka waktu lama akan mengakibatkan
email gigi akan larut (demineralisasi) dan
dimungkinkan terjadinya karies gigi.6
Perlekatan S. mutans pada reseptor
pelikel gigi sebagai inisiasi awal terjadinya
karies gigi melibatkan molekul adhesin
dinding sel S. mutans berupa
Glucosytransferase (Gtf), Glucan binding
protein (Gbp), protein antigen 13 kilo Dalton
(kDa) (antigen D), protein 39 kDa (AgIII),
protein antigen 29 kDa atau Antigen A,
protein antigen 70 kDa (Antigen C), dan
protein 190 kDa (AgI/II atau SAI/II)7.
Rangkaian molekul tersebut saling mengikat
dengan reseptor spesifik baik yang bersumber
dari glikoprotein pelikel dan komponen saliva,
serta protein permukaan sel oral mikrobial
lainya. Reseptor spesifik S. mutans yang
bersumber dari oral bakteri lainnya terdapat
pada Actynomyces naeslundii, Actinobacillus
actinomycetemcomitans, Actinomyces Sp, dan
Candida albicans, Porphyromonas gingivalis ,8
Selain itu, perlekatan S. mutans pada pelikel
gigi juga difasilitasi oleh perlekatan
Streptococcus sanguis, S. oralis, S. gordonii,
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
130
S. mitis, dan Lactobacill.8 Streptococcus
sanguis merupakan bakteri pertama kali yang
melakukan kolonisasi pada permukaan gigi.9,10
Kemampuan S. mutans mengikat
ragam oral bakteri melalui reseptor spesifik
oral mikrobiota, menunjukkan S. mutans
dalam melakukan pembentukan plak sebagai
inisiasi awal karies gigi tidak terlepas dari
sinergisasi kerja diantara ekologi
mikroorganisme rongga mulut lainnya, namun
dampak aktivitas asidogenik S. mutans justru
dapat menyebabkan bakteriostatik atau
bakteriosidal terhadap oral mikrobiota yang
menjadi reseptor spesifik S. mutans seperti
Actinobacillus actinomycetemcomitans,
Actinomyces Sp, Porphyromonas gingivalis
dan Candida albicans karena tidak mampu
bertahan dalam suasana asam kritis yang
diproduksi oleh S. mutans sebagai akibat dari
fermentasi karbohidrat yang teru-menerus.11
Semua mikrooragnisme tersebut dilaporkan
sebagai oral mikrobial patogen karena sebagai
pemicu utama terjadi gingivitis, periodontitis,
dan kandidiasis rongga mulut. Fenomena
tersebut mengindikasikan bahwa
mikroorganisme patogen tersebut dapat
dihambat pertumbuhannya (bakteriostatik)
melalui siklus ekologi patogenesis
pembentukan plak oleh S. mutans. Tujuan
tulisan ini adalah mengevaluasikan sifat
asidogenik dan asidurik S. mutans
Streptococcus mutans sebagai bakteriostatik
terhadap oral mikrobial patogen penyebab
penyakit infeksi gigi, gingiva dan rongga
mulut. Sehingga harapannya dapat menjadi
referensi untuk mengkaji lebih jauh tentang
potensi S. mutans anti oral microbial
pathogen.
Telaah Pustaka
Streptococcus mutans masih dinyakini
sebagai agen utama penyebab terjadinya karies
gigi.12 Selanjutnya pada uji in vitro
Streptococcus mutans ditemukan lebih
dominan pada perlakuan pemberian asam
laktat dibandingkan bakteri rongga mulut
lainnya. Kemampuan memproduksi dan
beradaptasi dalam suasana asam merupakan
potensi penting bagi S. mutans untuk
membentuk plak gigi sebagai inisiasi awal
terjadinya karies gigi.6,13
Patogenesis karies gigi diawali dari
fermentasi karbohidarat menjadi asam laktat.
Kondisi ini terjadi karena Strepococcus
mutans menghasilkan dua enzim, yaitu
glukosiltransferase (Gtf) dan
fruktosiltransferase (Ftf). Enzim ini bersifat
spesifik untuk substrat sukrosa dan fruktosa
yang digunakan untuk sintesa glukan dan
fruktan. Glukan terdiri dari gugus glukosa
ikatan α-1,6 dan α-1,3. Pada water-insoluble
glucan berisikan gugus glukosa ikatan α-1,3
yang relatif tinggi, sedangkan pada water-
soluble glucan berisikan gugus glukosa ikatan
α-1,6. Kelarutan gugus glukosa ikatan α-1,3
dalam air sangat berpengaruh terhadap
pembentukan koloni S. mutans pada
permukaan gigi. Ikatan glukosa α-1,3
berfungsi pada perlekatan dan peningkatan
koloni bakteri ini dalam kaitannya dengan
pembentukan plak.5,14
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
131
Akumulasi plak yang terus-menerus
terjadi karena S. mutans bersifat asidurik,
sehingga aktivitasnya terus-menerus
memfermentasi karbohidrat dan akumulasi
plak tersebut dapat menyebabkan terjadinya
karies gigi, hal ini diakibatkan karena
terjadinya penurunan pH plak oleh adanya
aktivitas S. mutans membentuk koloni secara
terus-menerus.3 Koloni S. mutans selanjutnya
memfermentasi sukrosa menjadi asam. Asam
yang dihasilkan oleh S. mutans dapat
mempercepat pematangan plak melalui
interaksi antara protein permukaan S. mutans
dengan glukan, yang berakibat turunnya pH
pada permukaan gigi. Apabila pH tersebut
menurun sampai angka kritis (5,2-5,5), maka
email gigi akan larut (demineralisasi) dan
dimungkinkan terjadinya karies gigi.15,16
Karies absolut dapat berdampak pada
tanggalnya gigi, Kejadian ini tidak terlepas
dari pengaruh interaksi antara molekul adhesin
(protein permukaan) S. mutans dengan
reseptor host seperti komponen saliva, dan
juga protein permukaan sel bakteri lainnya.
Dari aspek molekuler, mekanisme
karies gigi melibatkan molekul spesifik bakteri
yang disebut adhesin, dan molekul inang yang
disebut ligan. Ikatan adhesin S. mutans dengan
ligan dapat berupa interaksi antara molekul
protein atau ikatan antara molekul protein
dengan molekul karbohidrat (lectin-
carbohydrate interaction).17 Menurut
Kriswandini9 ligan atau reseptor S. mutans
yang berperan dalam proses karies gigi adalah
molekul yang terdapat pada pelikel gigi,
dengan komponen utamanya berupa
karbohidrat dan protein. Baik komponen
karbohidrat maupun komponen protein
reseptor ini, mempunyai kemungkinan yang
sama untuk berperan sebagai ligan S. mutans.
Selain pada pelikel gigi, terdapat juga
ligan pada epitel bukal, epitel lingual, tonsil,
matrik ekstraseluler, komponen serum serta
komponen saliva (proline-rich protein, sIgA,
laktoferin lisozim, musin, dan amilase).
Selanjutnya, S. mutans yang telah melekat
pada permukaan gigi akan menjadi reseptor
bagi adhesin spesies bakteri lain, yaitu
Streptococcus sanguis, S. oralis, S. gordonii,
S. mitis, Lactobacilli , Actynomyces naeslundii,
Actinobacillus actinomycetemcomitans,
Actinomyces Sp, dan Candida albicans dan
Porphyromonas gingivalis.4,8,18 Diantara
mikroorganisme tersebut Actinobacillus
actinomycetemcomitans dan Porphyromonas
gingivalis dilaporkan merupakan patogen
terjadinya periodontitis dan gingivitis19 dan
Candida albicans merupakan patogen
terjadinya kandidiasis rongga mulut.20
Selain faktor hormon, penyakit
sistemik dan penyakit herediter, bakteri
memegang peranan penting terhadap
timbulnya gingivitis dan periodontitis.
Actinobacillus actinomicetemcomitans adalah
bakteri gram negatif yang paling sering
ditemukan begitu juga halnya dengan
Porphyromonas gingivalis pada kasus
gingivitis, hal mengidentifikasikan bahwa
terjadinya gingivitis dan periodontitis tidak
terlepas dari aktivitas bakteri tersebut.21
Periodontitis merupakan peradangan
pada jaringan pendukung gigi. Penyakit
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
132
periodontal merupakan kondisi patologis pada
jaringan pendukung gigi meliputi gingiva,
ligamen periodontal, sementum dan tulang
alveolar.22 Tahap awal dari peradangan
jaringan pendukung gigi (periodontitis) adalah
peradangan gingiva (gingivitis) dan berlanjut
menjadi periodontitis kronis. Tanda–tanda
klinis dari periodontitis adalah adanya
inflamasi gingiva, pembengkakan papila
interdental, kerusakan tepi gingiva,
terbentuknya poket dan resesi gingiva.23
Penyakit periodontal yang berlangsung dalam
waktu lama dapat menimbulkan kelainan
sistemik yang dapat menyebabkan penyakit
diabetes melitus, osteoporosis, kardiovaskuler
dan stroke.24
Kandidiasis rongga mulut merupakan
salah satu penyakit jamur rongga mulut yang
disebabkan oleh Candida albicans.
Kandidiasis merupakan penyakit umum yang
disebabkan oleh perkembangan jamur yang
berlebihan di dalam rongga mulut, vagina,
kulit, kuku, dan saluran pernapasan. Candida
albicans sendiri merupakan flora normal
rongga mulut, namun jika perkembangannya
telah melampaui ambang normal maka akan
menyebabkan infeksi pada penderita.
Peningkatan pertumbuhan jamur ini
disebabkan oleh karena kondisi tubuh yang
menurun, serta seseorang yang mengkonsumsi
antibiotik yang terlalu lama. Penyakit ini tidak
termasuk penyakit menular, namun kejadian
kandidiasis pada oral dapat diakibatkan selain
adanya ganguan hormonal atau oral hygiene
yang jelek, juga adanya ketidakseimbangan
biologi mikroorganisme rongga mulut.25
Kemampuan S. mutans memproduksi
asam (asidogenik) dan beradaptasi dalam
suasana asam (asidurik) merupakan peluang
yang dapat dimanfaatkan sebagai bakteri yang
memilik sifat bakteriosidal atau bakteriostatik
terhadap oral microbial pathogenic pada
penyakit infeksi rongga mulut. Dimana
melalui jalur pembentukan plak pada gigi, S.
mutans selain mampu menghasilkan asam
laktat sampai pH kritis pada plak, juga
menjadi fasilitator bagi bakteri lain untuk
berkembang dalam plak, kondisi asam dalam
plak yang kritis mengakibatkan mikrobial
patogen lainnya tidak mampu beradaptasi
dalam suasana asam, sehingga secara tidak
langsung S. mutans dapat berperan sebagai
bakteriostatik atau bakteriosidal terhadap oral
mikrobial patogen.26
Penelitian yang dilaporkan oleh
Branting 27 menyebutkan bahwa S. mutans
memiliki molekul adhesi terhadap Candida
albicans. Informasi tersebut menjadi peluang
bagi S. mutans sebagai kontrol perkembangan
kandidiasis rongga mulut, sehingga kolonisasi
jamur tersebut dapat dikontrol melalui siklus
ekologi S. mutans.28 Selain itu, karena
patogenesis karies, gingivitis dan periodontitis
memiliki jalur patogenesis yang sama,
memungkinkan pertumbuhan bakteri
Actinobacillus actiminomicetemcomitans
memiliki kaitan dengan kejadian karies kronis
yang dipicu oleh S. mutans.21
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
133
Pembahasan
Terjadinya penyakit pada rongga
mulut baik secara langsung atau tidak
dipengaruhi oleh kondisi mikroorganisme
flora normal rongga mulut, namun
ketidakseimbangan biologi dan ekologi rongga
mulut akan mengakibatkan timbulnya berbagai
penyakit infeksi rongga mulut seperti
kandidiasis yang disebabkan oleh Candida
albicans, karies gigi yang disebabkan oleh S.
mutans, dan gingivitis dan periodontitis yang
secara umum disebabkan oleh Actinobacillus
actinomicetemcomitans (Aa). 29 Secara umum
kejadian penyakit tersebut cenderung
dipengaruhi oleh berbagai faktor pendukung,
termasuk aktivitas reseptor diantara oral
mikrobial.
Kemampuan S. mutans membentuk
koloni pada plak gigi dengan memproduksi
asam laktat (asidogenik) dari fermentasi
karbohidrat serta kemampuannya beradaptasi
dalam lingkungan asam (asidurik) telah mejadi
informasi penting kemungkinan S. mutans
dapat menjadi inhibitor pertumbuhan
mikroorganisme patogen rongga mulut lainnya
(bakteriostatik). Secara umum S. mutans
mampu menurunkan suasana asam plak
sampai pH 4,8-3,8.30 Kondisi asam tersebut
akan mengakibatkan bakteri rongga mulut
lainnya yang terlibat dalam pembentukan
koloni akan terganggu pertumbuhannya,
sehingga dalam plak gigi, bakteri yang
didominasi adalah S. mutans.31
Diantara sekian banyak
mikroorganisme yang terlibat dalam
pembentukan plak, Actinobacillus
actiminomicetemcomitans dan Porphyromonas
gingivalis dilaporkan berperan penting pada
patogenesis karies gigi, karena dua bakteri ini
memiliki reseptor spesifik untuk bakteri S.
mutans untuk melekat pada pelikel gigi.8
begitu juga halnya dengan Candida albicans,
walaupun dari golongan jamur, namun
memiliki kaitan terhadap kejadian karies,
karena kondisi asam yang terjadi pada
lingkungan plak gigi akan memicu
pertumbuhan jamur, sehingga memberikan
peluang kelompok jamur tersebut untuk
tumbuh walaupun disebutkan sebagai flora
normal rongga mulut.32 Reseptor spesifik yang
dimaksud adalah protein permukaan yang
memiliki fimbrie dan afimbre adhesin.
Streptococcus mutans memiliki protein
protein I/II, GbpB, dan GbpC. Protein tersebut
bersifat juga mengikat asam dan musin yang
dihasilkan oleh kelenjar parotis dan kelenjar
submandibularis.33 Perlekatan bakteri tersebut
pada email gigi diikuti dengan proses
kolonisasi yang diperantarai oleh sucrose
dependent adhesion dan sucrose independent
adhesion. Hal ini merupakan proses awal
terjadinya pembentukan biofilm atau plak
gigi.34
Disamping itu, Actinobacillus
actiminomicetemcomitans dan Porphyromonas
gingivalis untuk memfasilitasi perlekatan S.
mutans pada pelikel gigi, bakteri tersebut
mengikat dengan molekul adhesin protein.35
Lamont 36 melaporkan bahwa protein adhesin
P. gingivalis mampu mengikat protein SspB
(100 kDa) yang merupakan protein spesifik
dari Streptococus gordonii, bakteri ini disebut
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
134
juga sebagai bakteri yang memiliki reseptor
spesifik bagi S. mutans untuk menempel pada
pelikel gigi dan protein dengan fragmen kecil
62/60 kDa dan 45 kDa juga terlibat dalam
proses interaksi diantara bakteri tersebut.
Ketiga protein tersebut saling mengikat satu
lainnya terhadap protein permukaan S. mutans
dan bersama-sama membentuk biofilm pada
pelikel gigi sebagai fase awal pembentukan
koloni plak.37 Begitu juga halnya dengan
Candida albican, dimana molekul adhesin
yang dimilikinya berperan untuk mengikat S.
mutans pada kondisi abnormal ekologi rongga
mulut.38 Molekul adehsin Candida albican
yang paling berperan yaitu makromelokul dan
mannoprotein yang terdapat pada bagian
permukaan.32 Kedua molekul tersebut
memiliki ikatan yang begitu kuat dengan
antigen lainnya. Sedangkan mannoprotein
dibagi dalam dua kelas, yang memiliki
molekul yang berat (260 kDa) dan yang
rendah (50-66 kDa).19
Interakasi diantara berbagai molekul
permukaan tersebut sebagai upaya untuk
membentuk koloni plak gigi dan sekaligus
bersama-sama memfermentasikan karbohidrat
untuk memproduksi asam laktat.39 Penguraian
karbohidrat dalam bentuk glukosa, fruktosa
dan laktosa dilakukan oleh bakteri tersebut
sebagai upaya untuk mempertahankan hidup
guna memperluas koloni, namun fermentasi
yang terus-menerus mengakibatkan sejumlah
bakteri patogen mengalami gangguan
pertumbuhan karena faktor virulensinya telah
terganggu sebagai akibat dari suasana asam
plak yang kritis, sehingga dimungkinkan
bakteri patogen seperti A.
actinomicetemcomitans dan Prophyromonas
gingivalis akan mengalami statik untuk
pertumbuhannnya,21 namun masih tetap
bertahan tetapi virulensinya untuk
memfermentasikan karbohidrat menjadi tidak
berfungsi.35 Pada kasus gingivitis dan
periodontitis kedua bakteri tersebut sangat
agresif dalam melakukan infeksi, karena pada
kondisi tersebut proses asidogenesis tidak
terjadi lagi dan yang menjadi sumber makanan
adalah glukosa darah sebagai akibat dari
kerusakan jaringan.40 Fenomena tersebut
dianggap sebagai proses bakteriostatik yang
dilakukan oleh S. mutans untuk bakteri
patogen rongga mulut dan oral streptococci
memiliki peran penting sebagai kontrol positif
untuk pertumbuhan oral patogen.41
Kesimpulan dan Saran
Kemampaun S. mutans sebagai
bakteriostatik bagi oral mikrobial patogen
melalui kontrol siklus ekologi pembentukan
plak menunjukkan S. mutans disamping
patogen pada karies gigi, namun masih
memberikan nilai positif bagi kontrol ekologi
bakteri patogen rongga mulut lainnya. Sifat
virulensi S. mutans sebagai penyebab karies
juga harus menjadi pertimbangan analisis,
sehingga diharapkan peran S. mutans
disamping sebagai kontrol positif
pertumbuhan mikrobial patogen rongga mulut,
juga dapat dihambat sifat virulensi terhadap
karies, sehingga upaya untuk pencegahan
penyakit karies gigi, gingivitis, periodontitis
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
135
dan kandidiasis rongga mulut dapat
diminimalisir.
Daftar Pustaka
1. Simon L. The Role of Streptococcusmutans And Oral Ecology in TheFormation of Dental Caries . LethbridgeUndergraduate Research Journal. 2007.2: 123-127.
2. Smith DJ, King WF and Godiska R.Passive Transfer of Immunoglobulin YAntibody to Streptococcus mutans GlucanBinding Protein B Can Confer Protectionagainst Experimental Dental Caries. JInfect Immun. 2001 69(5):3135-3142
3. Smith DJ. 2003. Caries Vaccines for theTwenty-First Century. J Dent Educat;67(10): 1130-1138
4. Dung SZ. Effects of mutans streptococci,Actinomyces species and Porphyromonasgingivalis on collagen degradation.Zhonghua Yi Xue Za Zhi Journal 1999Nov;62(11):764-74 (Abstract).
5. Banas JA. 2004. Virulence properties ofstreptococcus mutans. Frontiers inBioscience (9) 1267-1277.
6. de Soet JJ, Toors FA, de Graaff J.Acidogenesis by Oral Streptococci atDifferent pH Values. J. Caries Res 198923;1:14-17
7. Idone V, Bendro S, Gillespie R, Kojai S,Peterson E, Rendi M, Warren W,Michalek S, Krastel K, Cvitkovitch D, andSpatofora G. 2003. Effect on orphanrespon regulator on Streptococcus sucrose-dependent adherence and cariogenesis.Infect immun. 2003. 8;71:4351-60.
8. Nakano K, Inaba H, Nomura R, NemotoH, Takeda M, Yoshioka H at al.Detection Of Cariogenic StreptococcusMutans In Extirpated Heart Valve AndAtheromatous Plaque Specimens. JournalOf Clinical Microbiology. 200644;9:3313–3317
9. Kriswandini IL. 2005. BakteriStreptococcus sanguis sebagai fasilitatorStreptococcus mutans yang berperandalam patogenesis karies gigi. EdisiKhusus Temu Ilmiah Nasional IV 11-13Agustus 2005. Maj. Ked. Gigi (Dent, J).241-251.
10. Wu H, Mintz P, Ladha M, Fives-TaylorPM. 1998. Isolation and characterizationof Fap1, A fimbrae-associated adhesion ofStreptococcus parasanguis FW231. MolMicrobiol; 28:487-500.
11. Van Houte J, Sansone C, Joshipura K,And Kent . Mutans Streptococci and Non-mutans Streptococci AcR.idogenic at LowpH, and in vitro Acidogenic Potential ofDental Plaque in Two Different Areas ofthe Human Dentition. 1991. 70;12: 1503-1507
12. Basri AG, Wibawan, IWT, Bachtiar BM,Bachtiar EW. 2006. Profil AntigenStreptococcus mutans yang dideteksidengan Immunoglobulin Ayam antiStreptococcus mutans. MajalahKedokteran Gigi Universitas Gajah Mada.13(2): 106-110.
13. Jenkinson, H. F., and R. J. Lamont. 1997.Streptococcal adhesion and colonization.Crit. Rev. Oral Biol. Med . 1997 8:175–200.
14. Kruger C. 2004. Passive immunizationagainst oral phatogens. Division ofClinical Immunology at the Departementof Laboratory Medicine and Center forOral Biology at NOVUM, Institute ofOdontology, Karolinska UniversityHospital, Huddinge, Stockholm, Sweden.Karolinska University Press.
15. Banas, JA and Vickerman, MM. 2003.Glucan binding proteins of the oralstreptococci. Crit. Rev.Oral.Biomed. 14(2):89-99.
16. Koga T, Yamashita Y, Nakano Y, et al.Surface protein of Streptococcus mutans .Dev. Biol. Stand. 1995 85:363-369.
17. Sakarya S, Oncu S. 2003. Bacterialadhesins and the role of sialic acid inbacterial adhesion. Med Sci Monit.;9(3):RA76-82.
18. Thaweboon S, Thaweboon B, NakornchaiS And Jitmaitree S. Salivary secretoryIgA, pH, flow rates, mutans streptococciand candida in children with rampantcaries. Southeast Asian J Trop Med PublicHealth. 2008. 39; 5:
19. Dannewitz B, Eickholz P, Kohl A,Komposch G, Tomakidi P. Molecularchanges in the gingival epitheliumassociated with necrotizing ulcerativeperiodontitis: a case report. Int J
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
136
Periodontics Restorative Dent.2006;26;2:191-6.
20. Ruiz-Herrera J, Elorza MV, Valentín E,Sentandreu R. Molecular organization ofthe cell wall of Candida albicans and itsrelation to pathogenicity. FEMS Yeast Res.2006 Jan;6(1):14-29.
21. Armitage GC. Development ofclassification system for periodontaldiseases and conditions. Annals ofPeriodontology 1999. 4, 1–6.
22. Ramfjord SP. Indices for Prevalence andIncidence of Periodontal Disease. JPeriodontol. 1995. 3; 30-51
23. Manson, Elley. Buku Ajar Periodonti (Outline of Periodontics) alih bahasa: Drg.Anastasi S. Edisi Jakarta. 1993. 51 – 105.
24. Bruce, I. Philstrom. Penyakit Periodontal JPeriodontol. 2005;366:1809-20.
25. Basson NJ. 2000. Competition for glucosebetween Candida albicans and oralbacteria grown in mixed culture in achemostat. J. Med. Microbio 2000;49:969–975.
26. Carlen A., Bratt P., Stenudd C., Olsson J.,Stromberg N. 1998. Agglutinin and acidproline-rich protein receptor patterns maymodulate bacterial adherence andcolonization on tooth surfaces. J. Dent.Res; 77: 81–90.
27. Branting C, Sund ML, Linder LE. 1989.The influence of Streptococcus mutans onadhesion of Candida albicans to acrylicsurfaces in vitro. Arch. Oral Biol; 34:347–353.
28. Cannon R. D., Chaffin W. L. Oralcolonization by Candida albicans. Crit.Rev. Oral Biol. Med. 1999; 10: 359–383.
29. Baker PJ, Wilson ME. Opsonic IgGantibody against Actinobacillusactinomycetemcomitans in localizedjuvenile periodontitis. Oral MicrobiolImmunol 1989; 4:98-105.
30. Young DA. New caries detectiontechnologies and modern cariesmanagement: merging the strategies. GenDent. 2002;50(4):320-31.
31. Napimoga MH, Höfling JF, Klein MI,Kamiya RU and Gonçalves RB.Transmission, diversity and virulencefactors of Streptococcus mutansgenotypes. Journal of Oral Science. 200547; 2:59-64.
32. Fukazawa Y, and Kagaya K. Molecularbases of adhesion of Candida albicans . J.Medical Mycology. 1997. 35;2: 87– 99.
33. Smith DJ. Dental caries vaccines:prospects and concerns. Crit Rev Oral BiolMed. 2002 13 (4): 335-349.
34. Yu H, Nakano Y, Yamashita Y, Oho T,and Koga T. 1997. Effects of antibodiesagainst cell surface protein antigen Pac-glucosyltransferase fusion proteins onglucan synthesis and cell adhesion ofStreptcoccus mutans. Infect Immun;65:2292-2298.
35. Henderson B, Nair SP, Ward JM AndWilson M. Molecular Pathogen of the oralopportunistic patthogen ActinobacillusActinomicetemcomitans. Annual ReviewOf Microbiology 2003; 57: 29-55.
36. Lamont RJ, Sucheol, Donald R. DemuthR, Daniel Malamud’ and Rosan B.Molecules Of Streptococcus GordoniiThat Bind To Porphyromonas Gingivalis.Microbiobgy 1994; 140:867-872.
37. Dung TZ, Liu AH. MolecularPathogenesis Of Root Dentin Caries. JDent Res 1999; 78(10):1640-1646.
38. Yang YL. Virulence factors of Candidaspecies. J Microbiol Immunol Infect 200336: 223–228.
39. Takahashi N, Ishihara K, Kato K andOkuda K. Biofilm Formation andAntibiotic Susceptibility of Actinobacillusactinomycetemcomitans. 2004. HawaiiConvention Center Exhibit Hall 1-2 in theagenda IADR/AADR/CADR 82ndGeneral Session. (Abstract).
40. Kolenbrander PE: Oral microbialcommunities: biofilms, interactions, andgenetic systems. Annu Rev Microbiol2000, 54:413-437.
41. Doran A, Kneist S, Verran J. Ecologicalcontrol: In vitro inhibition of anaerobicbacteria by oral streptococci. MicrobialEcology in Health and Disease 200416;1:23-27
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
137
MONOMER SISA PADA RESIN BASIS GIGI TIRUAN
Sri Fitriyani*, Edwar Iswardy**
*Staf Pengajar Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah KualaEmail: [email protected]
**Staf Pengajar Jurusan Fisika Fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala
ABSTRAKResin akrilik merupakan material yang sering digunakan sebagai basis gigi tiruan lepasan atau basisgigi tiruan penuh. Proses curing merupakan hal yang penting untuk mendapatkan resin akrilik yangdapat memenuhi persyaratan sifat fisik dan biokompatibilitas terhadap jaringan mulut. Polimerisasiresin akrilik dapat dilakukan dengan aktivasi kimia, cahaya tampak atau panas menggunakan waterbath atau energi microwave. Walaupun metode yang digunakan bervariasi untuk inisiasi polimerisasiresin basis gigi tiruan, namun konversi monomer menjadi polimer tidaklah sempurna dan adanyasejumlah monomer yang tidak habis bereaksi disebut monomer sisa. Monomer sisa utama yangtertinggal pada polimer yaitu monomer metil metakrilat (MMA). Monomer metil metakrilatmerupakan penyebab iritasi dan sensitisitas yang dapat menyebabkan reaksi alergi pada kulit danmukosa mulut. Adapun tujuan dari makalah ini yaitu untuk mrnginformasikan faktor apa saja yangdapat mempengaruhi jumlah monomer sisa yang dihasilkan dan bagaimana metode untukmenurunkan jumlah monomer sisa pada basis gigi tiruan.
Kata Kunci: resin akrilik, basis gigi tiruan, monomer sisa
ABSTRACTAcrylic resin is a material that is often used as a base for removable or full denture. Curing process isessential to obtain an acrylic resin that can meet the requirements of physical properties andbiocompatibility of mouth network. Polymerization of acrylic resins can be done by chemicalactivation, using visible light or hot water bath or microwave energy. Although the methods used varyfor the initiation of polymerization of resin denture base, but the conversion of monomers to polymersis incomplete and the number of monomers that are not finished reacting called residual monomer.The main residual monomer that remains in the polymer are monomers methyl methacrylate (MMA).Methyl methacrylate monomer is a cause of irritation and sensitivity that can cause allergic reactionsin the skin and oral mucosa. The purpose of this paper is to inform the factors that can affect theamount of residual monomer output and the methods to reduce the amount of residual monomer indenture base
Keywords: acrylic resin, denture base, residual monomer
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
138
Pendahuluan
Resin akrilik merupakan material yang
sering digunakan sebagai basis gigi tiruan
lepasan atau basis gigi tiruan penuh. Material
ini mulai digunakan pada tahun 1930 untuk
menggantikan vulcanite. Keuntungan
menggunakan resin akrilik antara lain: proses
fabrikasi yang relatif murah, proses yang
sederhana, dan syarat estetika terpenuhi karena
warna dapat dibuat mirip dengan jaringan
gingiva sehingga tidak menyolok di mulut.
Polimetil metakrilat (PMMA) merupakan jenis
resin akrilik yang banyak digunakan karena
memiliki sifat yang kuat, sifat optik yang
memuaskan, nilai water sorption dan solubiliti
rendah terhadap jaringan mulut dan
mempunyai stabilitas dimensi yang baik.1
Proses curing merupakan hal yang
penting untuk mendapatkan resin akrilik yang
dapat memenuhi persyaratan sifat fisik dan
biokompatibilitas terhadap jaringan mulut.2
Polimerisasi resin akrilik dapat dilakukan
dengan aktivasi kimia, cahaya tampak atau
panas menggunakan water bath atau energi
microwave.1,3 Polimerisasi pada polimer basis
gigi tiruan dapat diinisiasi oleh dekomposisi
benzoil peroksida dengan panas (heat cured
resin) atau penambahan aktivator kimia seperti
dimethyl-p-toluidine pada temperatur kamar
(autopolimerizwed resin). Walaupun metode
yang digunakan bervariasi untuk inisiasi
polimerisasi resin basis gigi tiruan, namun
konversi monomer menjadi polimer tidaklah
sempurna/selesai dan adanya sejumlah
monomer yang tidak habis bereaksi disebut
monomer sisa.
Monomer sisa utama yang tertinggal
pada polimer yaitu monomer metil metakrilat
(MMA). Monomer metil metakrilat
merupakan penyebab iritasi dan sensitisitas
yang dapat menyebabkan reaksi alergi pada
kulit dan mukosa mulut. Valittu dkk4 dan
Yilmaz dkk5 melaporkan bahwa sensitivitas
jaringan terhadap polimer basis gigi tiruan
bergantung pada jumlah monomer sisa.
Beberapa peneliti juga telah mempelajari
hubungan antara kandungan monomer sisa
dengan sifat fisik resin dan
biokompatibilitasnya. Mereka sependapat
bahwa tingginya kandungan monomer sisa
memiliki efek sebaliknya terhadap sifat fisik
resin dan biokompatibilitas. Monomer sisa
metil metakrilat pada basis gigi tiruan
kemungkinan dilepaskan dan berkontak
dengan mukosa mulut yang dapat
menyebabkan reaksi sebaliknya seperti
kemerah-merahan (redness), swelling, dan
nyeri pada mukosa mulut.5,6
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu
untuk mendiskusikan faktor apa saja yang
dapat mempengaruhi jumlah monomer sisa
yang dihasilkan dan bagaimana metode untuk
menurunkan jumlah monomer sisa pada basis
gigi tiruan. Informasi ini penting untuk
meminimalkan efek balik dari monomer sisa
pada basis gigi tiruan terhadap sifat fisik dan
bikompatibilitasnya.
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
139
Komposisi dan metode curing basis gigitiruan
Akrilik resin biasanya disediakan dalam
bentuk bubuk dan cairan. Bubuk terdiri dari :
Polimer : Poly( methyl methacrylate)
Plasticizer : Dibuthyl phatalate (8-10%)
Inisiator : Benzoil peroksida (0,02-1%)
Zat warna : ± 1 %
Cairan, terdiri dari :
Monomer : methyl methacrylate
Inhibitor : Hydroquinone (0,006%)
Crosslinking agent : Ethlene glycol
dimethacrylate (1-2%)
Aktivator* : dimethyl-p-tuloidine (khusus
untuk autopolymerized curing acrylic
resin).
Inisiator (benzoil peroksida) terdapat
dalam bubuk dengan jumlah sedikit, inisiator
ini akan memulai proses polimerisasi setelah
cairan ditambahkan pada bubuk. Inhibitor
ditambahkan pada monomer untuk mencegah
polimerisasi selama penyimpanan, mencegah
prematur polimerisasi serta menjaga agar
polimerisasi sesuai dengan working time.
Plastisizer berguna untuk meningkatkan
kelarutan. Sedangkan crosslinking agent
ditambahkan agar polimer mempunyai daya
tahan besar terhadap keretakan permukaan7.
Polimerisasi pada resin basis gigi tiruan
menggunakan jenis polimerisasi adisi yaitu
polimerisasi menggunakan radikal bebas.
Untuk mengaktifkan radikal bebas, ADA
menetapkan dua tipe polimerisasi yaitu heat
curing resin dan cold curing resin (self curing
atau autopolimerized resin). Heat curing resin
merupakan resin basis gigi tiruan yang
membutuhkan panas untuk mengaktifkan
radikal bebas. Ketika suhu naik diatas 60oC,
benzoil peroksida terdekomposisi menjadi
radikal bebas, kemudian bereaksi dengan
molekul monomer dan seterusnya.
Polimerisasi ini terjadi karena adanya
pemanasan yang diperoleh dari water bath
atau microwave7.
Pada tahun 1968, Nishii pertama sekali
melaporkan tentang penggunaan energi
microwave untuk mempolimerisasi material
basis gigi tiruan. Teknik tersebut
menghasilkan proses curing basis gigi tiruan
dalam waktu yang singkat. Molekul MMA dan
resin akrilik diadaptasikan dengan medan
elektromagnetik pada frekuensi 2450 Hz.
Hasil adaptasi tersebut menghasilkan radikal
yang kemudian bereaksi dengan monomer
untuk memulai polimerisasi. Pemanasan
microwave tidak bergantung pada
konduktifitas termal karena microwave
digambarkan dengan objek metalik, fibre
reinforced plastic I dan desiccated gypsum
sebagai mould, sehingga panas ynag
dihasilkan saat siklus curing dapat diperoleh
dengan cepat. Keuntungan utama pemanasan
microwave dibandingkan pemanasan secara
konvesional yaitu pemanasan yang merata
antara bagian dalam dan bagian luar zat dan
peningkatan temperatur terjadi dengan cepat.8
Polimerisasi microwave dipengaruhi
oleh tersedianya benzoil peroksida, variasi
waktu dan besarnya reaksi eksotermis. Waktu
paruh inisiator benzoil peroksida adalah 7,3
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
140
jam, 1,4 jam, dan 19,8 menit pada temperatur
70oC, 85oC dan 100oC. Semakin tinggi
kekuatan/energi yang diberikan pada sistem,
maka semakin cepat benzoil peroksida
terdekomposisi. Sehingga dapat mempercepat
terjadinya reaksi polimerisasi.8
Tipe polimerisasi lainnya yaitu cold
curing resin (self curing atau
autopolimerized) yang pada dasarnya sama
dengan tipe heat curing resin, hanya saja
pengaktifan dari benzoil peroksida dibantu
dengan suatu aktivator kimia yang biasanya
dari golongan amine (dimethyl-p-tuloidine)
atau derivat asam sulfinat. Karena tidak
menggunakan pemanasan dalam proses
polimerisasinya, maka teknik yang dikerjakan
untuk memproses bahan autopolimerisasinya,
maka teknik yang dikerjakan untuk
memproses bahan autopolimerisasi dapat
dilakukan pada suhu kamar.7
Monomer Sisa Pada Basis Gigi Tiruan
Denture base resin biasanya tersusun dari
partikel bubuk prepolimerisasi Poly methyl
methacrylate (PMMA) dicampur dengan
monomer methyl methacrylate (MMA) dan
crosslinking agent seperti EGDMA. Selama
pencampuran dan proses mencapai tahap
dough, monomer berpenetrasi ke dalam
partikel bubuk dan melarutkan sebagian
partikel.4 Kemudian polimerisasi resin akrilik
dapat dilakukan dengan aktivasi kimia, cahaya
tampak atau panas menggunakan water bath
atau energi microwave.1,3 Walaupun metode
yang digunakan bervariasi untuk inisiasi
polimerisasi resin basis gigi tiruan, namun
konversi monomer menjadi polimer tidaklah
sempurna/selesai.
Monomer sisa adalah sejumlah
monomer yang tidak habis bereaksi setelah
proses polimerisasi selesai, sedangkan
polimerisasi tidak pernah terjadi dengan
sempurna dan akan selalu terbentuk monomer
sisa. Monomer sisa dalam jumlah besar dapat
mempengaruhi sifat fisik polimer karena
monomer sisa akan bertindak sebagai
plastisizer dan membuat resin akrilik menjadi
lunak dan fleksibel, selain itu jumlah monomer
sisa yang tinggi dapat menyebabkan iritasi
atau hipersensitifitas terhadap jaringan mukosa
rongga mulut, dapat berupa kemerahan
(redness), inflamasi serta nyeri pada mukosa
mulut 2,9.
Jumlah MMA sisa pada denture
menurun selama wear (pemakaian). Penurunan
terjadi sebagai hasil difusi monomer ke dalam
air dan berlanjutnya polimerisasi yang
dipromosikan oleh radikal aktif yang
ditemukan pada rantai polimer.3,10 Kedjarune
dkk6 melaporkan bahwa konsentrasi
maksimum MMA yang terdeteksi setelah satu
minggu dalam saliva senilai 45 μg/mL untuk
jenis material autopolimerisasi.
Faktor-Faktor Yang MempengaruhiJumlah Monomer Sisa
Berdasarkan beberapa penelitian,
kandungan monomer sisa pada basis gigi
tiruan dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya yaitu tipe polimerisasi (teknik
curing), waktu dan temperatur polimerisasi,
konsentrasi dari crosslinking agent, rasio
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
141
campuran bubuk dan cairan serta ketebalan
dari basis. Yilmaz dkk5 melaporkan bahwa
monomer sisa pada heat cured PMMA
menghasilkan monomer sisa lebih rendah
dibandingkan pada autopolimerized PMMA.
Perbedaan ini dapat dijelaskan bahwa dengan
tingginya temperatur curing yang digunakan
pada teknik heat cured polimerized diatas Tg
polimer sehingga monomer pada resin
memiliki kemampuan yang lebih baik untuk
berpolimerisasi menjadi pergerakan rantai
molekul yang lebih tinggi dan neutralisasi
MMA yang diimobilisasi dalam polymer glass
dengan temperatur lebih tinggi.5
Di bawah Tg, polimerisasi pada
monomer MMA terbatas disebabkan karena
MMA diimobilisasi dalam polymer glass,
menyebabkan polimer mangandung residual
MMA lebih tinggi. Tg dari fasa matriks
autopolimerized bervariasi dari 67-78oC.
Dengan meningkatnya temperatur untuk
material autopolimerized (diatas 60oC) dapat
mengurangi kandungan residual MMA4.
Faktor kedua yaitu lamanya waktu dan
temperatur polimerisasi. Bila proses curing
dilakukan dengan suhu rendah dan dalam
waktu yang singkat menyebabkan kandungan
monomer sisa yang tinggi dalam akrilik. Hal
ini ditemukan dari hasil penelitian pada dua
heat cured denture base polymer yaitu
Lucitone (L) (rasio P/L= 21g/10 mL) dan
Probase Hot (PH) (rasio P/L= 22,5 g/10 mL).
Proses cure PH pada suhu 100oC untuk 15-
180 menit dihasilkan polimer dengan
kandungan monomer sisa MMA lebih rendah
dibandingkan L yang di curing pada keadaan
yang sama. Ini disebabkan komposisi resin
akrilik mempunyai aktivator kimia seperti
amina aromatik tersier. Jika resin PH juga
mengandung amina aromatik tersier, hal itu
dapat diasumsikan bahwa tiap aktivator kimia
akan menyebabkan reaksi lebih cepat.
Tingginya laju reaksi akan meningkat dengan
meningkatnya temperatur pada material dan
menghasilkan tingkat monomer sisa lebih
rendah (Gambar 1.).
Gambar 1. Jumlah rata-rata sisa MMA pada heatcured denture base polymer yangdi cure pada 100oC untuk waktu lama.Sumber : valittu et al 1998.
Gambar 2. Jumlah rata-rata sisa MMA pada heatcured denture base polymer yang dicure pada 70oCuntuk 540 menit atau pada 70oC selama 90 menityang diikuti cure pada 100oC dengan variasi waktulama. Sumber : valittu et al 1998
Kandungan residual MMA relatif
tinggi pada material heat polimerized L dan
PH di curing pada temperatur 70oC untuk 540
menit (9 jam) disebabkan karena temperatur
polimerisasi relatif rendah dimana
temperaturnya itu berada dibawah Tg. Sebagai
tambahan, laju pembentukan radikal dan laju
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
142
polimerisasi juga lebih tinggi pada 100oC
dibandingkan pada temperatur polimerisasi
70oC (Gambar 2)4.
Crosslinking agent pada denture base
polimer juga dapat mempengaruhi kandungan
monomer sisa pada polimer.1 Konversi akhir
MMA dengan EDGMA crosslinking agent
menurun dengan meningkatnya kandungan
crosslinking agent. Hal ini disebabkan karena
segmen rantai utama yang di crosslinking
bersama melalui crosslingking agent. Sebuah
struktur polimer yang rigid dapat menghambat
konversi monomer MMA terutama pada
temperatur curing lebih rendah dari Tg5.
Jumlah monomer sisa dari resin akrilik
tidak hanya tergantung pada tipe
polimerisasinya, tetapi juga tergantung pada
perbandingan antara bubuk dan cairan.
Semakin banyak jumlah MMA dalam
campuran PMMA dan MMA akan
menghasilkan jumlah monomer sisa MMA
lebih banyak. Hal ini diduga karena jumalah
radikal yang diperoleh setelah aktivasi tidak
seimbang atau sedikit sehingga banyak
monomer yang tidak terpolimerisasi. Tebal
plat resin akrilik juga mempengaruhi tingginya
kandungan monomer sisa. Semakin tebal plat
resin akrilik maka semakin rendah kandungan
monomer sisanya.2,3
Metode-Metode Untuk MenurunkanJumlah Monomer Sisa Pada Basis GigiTiruan
Banyak metode yang telah
dikembangkan untuk menurunkan kandungan
monomer sisa pada basis gigi tiruan. Metode-
metode tersebut tidak hanya menurunkan
jumlahnya saja tetapi juga dapat
meminimalkan sifat toksisitasnya yang dapat
membahayakan pasien. Metode pertama yaitu
penggunaan metode heat treatment dengan
microwave yang telah diperkenalkan oleh
Nishii pada tahun 1968. Microwave dipilih
sebagai heat treatment pada proses curing
karena dapat menurunkan monomer sisa
dengan energi microwave. Proporsi penurunan
monomer sisa seiring dengan meningkatnya
derajat polimerisasi. Jumlah monomer sisa
pada resin autopolimerisasi dikurangi hampir
25 % setelah di microwave. Investigasi lainnya
menunjukkan radiasi microwave pada
spesimen autopolimerisasi dapat
meningkatkan flexural strength pada material
resin akrilik. Efek ini berhubungan dengan
rendahnya monomer sisa yang menghasilkan
derajat polimerisasi yang lebih tinggi.
Penurunan monomer sisa juga
berhubungan dengan perendaman spesimen
dalam air selama 48 jam. Hal ini diduga bahwa
setelah penyimpanan 24 jam pertama,
konsentrasi monomer sisa dapat dikurangi
dangan pelepasan monomer sisa dalam air.
Jorge dkk10 juga menyimpulkan bahwa jenis
basis autopolimerisasi harus direndam dalam
air selama 24 jam sebelum pemakaian untuk
meminimalkan kemungkinan lepasnya
monomer sisa. Proses cure pada resin
autopolimerized dalam air merupakan faktor
kunci untuk mengurangi/menurunkan
kuantitas monomer sisa. Selama polimerisasi
radikal yang dihasilkan dikonsumsi oleh
oksigen, besarnya hambatan proporsional
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
143
terhadap konsentrasi oksigen. Oksigen dapat
dihilangkan dengan merendam resin dalam air,
karena oksigen salah satu penghambat
terjadinya polimerisasi11 yang dapat
menurunkan derajat polimerisasi.10
Efek kandungan monomer sisa juga
dapat dipengaruhi oleh siklus polimerisasi.
Inkubasi dalam air selama 60 menit pada suhu
50oC menurunkan lepasnya MMA dan
formaldehid, menurunkan potensi
sitotoksisitas. Proses resin akrilik dilakukan
pada suhu 70oC selama 7 jam dan ditingkatkan
dengan suhu 100oC selama 3 jam kemudian
didinginkan secara perlahan-lahan sampai
dengan suhu kamar.12 Suatu studi dimana dua
polimer basis gigi tiruan heat polymerized
yang diteliti dengan siklus polimerisasi yang
berbeda menunjukkan bahwa inkubasi 7 jam
dalam air pada 70oC diikuti dengan 1 jam pada
suhu 100oC merupakan suatu siklus yang ideal
karena siklus polimerisasi tersebut
menurunkan konversi maksimum pada
monomer sisa. Sebaliknya, siklus 7 jam dalam
air pada 60oC dan flask direndam dalam air
mendidih, diikuti dengan 5 menit direndam
dalam air pada suhu 90oC menghasilkan
pelepasan monomer sisa yang tinggi9.
Kesimpulan
Ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil
dalam makalah ini yaitu:
1. Monomer sisa diperoleh dari polimerisasi
pada resin basis gigi tiruan yang tidak pernah
selesai atau sempurna.
2. Jumlah monomer sisa yang tinggi dapat
memberikan efek balik terhadap sifat fisik dan
biokompatibilitasnya.
3. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi
besarnya jumlah monomer sisa yang
dihasilkan yaitu tipe polimerisasi (teknik
curing), waktu dan temperatur polimerisasi,
konsentarsi dari crosslinking agent, rasio
campuran powder dan liquid serta ketebalan
dari basis
4. Ada beberapa metode yang dapat
digunakan untuk menurunkan jumlah
monomer sisa pada resin basis gigi tiruan
diantaranya yaitu penggunaan metode
microwave, proses perendaman dan siklus
polimerisasi.
Daftar Pustaka
1. Rahal JS, Marcela FM, Gullherme EPH,and Mauro AAN, Influence of Chemicaland Mechanical Polishing on WaterSorption and Solubility of Denture BaseAcrylic Resin, Braz. Dent. J 2004; 15(3):225-230.
2. Anggraini R, Intan N, dan Anita Y,Jumlah Pelepasan Monomer Sisa ResinAkrilik jenis Heat Cured dalam Air,Majalah Kedokteran Gigi (Dent. J), EdisiKhusus Temu Ilmiah Nasional IV, 2005.
3. Botega et al, DM, Polimerization Time fora Microwave-Cured Acrylic Resin withMultiple Flasks, Braz. Oral. Res; 20004 :18(1).
4. Valittu PK, Ruyter IE, Buykuilmaz S,Effect of Polimerization Temperatur andTime on The Residual Monomer Contentof Denture Base Polymer, Eur J Oral Sci;1998; 106:588-593
5. Yilmaz H, Cemal A, Alper C, and AhmetY, The Effect of Glass FiberReinforcement on The Residual MonomerContent of Two Denture Base Resin, J.Dent Mat; 2003: 37(2) : 148-153.
6. Kedjarune U, Nongkluk C, Sittichai K,Release of Methylmethacrylate from Heat-
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
144
Cured and Autopolymerized Resins :CytotoxicityTesting Related to ResidualMonomer, Australian Dental Journal1999; 44 (1).
7. Craig RG, Textbook Restorative dentalmaterials, 2000, Mosby inc, USA.
8. Lai CP, MH Tsai, M. Chen, HS Chang,and HH Tay, Morphology and Propertiesof Denture Acrylic Resins Cured byMicrowave Energy and ConventionalWater Bath, J Dental Material 2004: 20 :133-141.
9. Jorge JH, Eunice TG, Ana LM, and CarlosEV, Cytotoxicity of Denture Base Resins:A literature Review, The Journal ofProsthetic Dentistry 2003; 90(2); 190-193.
10. Jorge JH, Eunice TG, Ana LM, andCarlos EV, Effects of Water Bath andMicrowave Post Polymerization HeatTreatments, The International Journal ofProsthodonties 2004; 17:340-344.
11. Darvell BW, Textbook: Materials Sciencefor Dentistry, 6th Edition 2000, Hongkong
12. McCabe JF, Anderson’s Applied DentalMaterial, 5 th ed. Edinburg: ChuschilLivingstone; 1990.p.76-77.
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
145
REDUKSI KLINIS KERUSAKAN PERLEKATAN JARINGAN DANKEDALAMAN POKET DENGAN TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK
Wandawa G*, Mustaqimah DN**, Sidik S***, Auerkari EI****
*Siswa Program Doktor Ilmu Kedokteran Gigi FKGUI**Staf Pengajar Departemen Periodonsia FKGUI
***Staf Departemen Penyakit Dalam Rumkital Dr. Mintohardjo****Staf Pengajar Departemen Oral Biologi FKGUI
ABSTRAK
Penelitian ini dirancang untuk mencari terapi bantuan dalam penanganan periodontitis destruktifkronis setelah terapi konvensional berupa skeling dan penghalusan akar (SPA). Limapuluh empatpenderita periodontitis kronis berusia 30-52 tahun dengan poket 4-6mm tanpa kebutuhan bedahperiodontal, dibagi secara acak ke dalam 3 kelompok. Kelompok I hanya menerima terapi SPA,kelompok II menerima SPA dan terapi oksigen hiperbarik (hyperbaric oxygen therapy/HBOT) 8 sesi,dan kelompok III SPA dengan HBOT 16 sesi. Data klinis kerusakan perlekatan jaringan (clinicalattachment loss/CAL) dan kedalaman poket (probing depth/PD) diambil dari setiap subyek penelitianpada saat awal sebelum terapi. Pada hari ke 15 dan 30 dilakukan ulang pengambilan data klinis darisetiap subyek. Data analisis multivariat menunjukkan bahwa kombinasi terapi SPA dan HBOT padahari ke 15 lebih baik daripada terapi konvensional saja. Namun pada hari ke 30 manfaatnya menjadisama antar ketiga macam kelompok perlakuan. Disimpulkan bahwa penggunaan HBOT dapatdianjurkan untuk mempercepat penyembuhan terapi periodontitis kronis, dan dosis HBOT cukupdengan 8 sesi saja.
Kata kunci: klinis periodontitis destruktif kronis; terapi konvensional; oksigenasi
This clinical trial was designed to create a supporting therapy in the management of chronicaldestruction Periodontitis after conventional therapy of scaling and root planning (SPA). Fifty fourchronic periodontitis patients aged between 30-52 years with 4-6mm pockets depth without the needfor periodontal surgery, randomizedly divided into three groups. First group only accept rootplanning therapy, the second group received SPA and HYPERBARIC oxygen therapy / HBOT for 8sessions, and the third received SPA with 16 HBOT sessions. Clinical attachment loss (CAL) andpocket depth (probing depth/PD) is taken from each subject at the beginning before the therapy, thenrepeated on day 15 and 30. Multivariate analysis shows that the combination of SPA therapy andHBOT on day 15 was better than conventional therapy alone. However, on day 30 the benefits weresimilar between the three types of treatment group. It is concluded that the use of HBOT can berecommended to accelerate the healing of chronic periodontitis, whereas eight sessions dosage ofHBOT would be sufficient.
Key words: clinical chronic destructive periodontitis; conventional therapy; oksigenation
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
146
Pendahuluan
Penyakit periodontal merupakan
penyakit inflamasi kronis pada jaringan
penyangga gigi akibat terinfeksi bakteri
periodontopatogen spesifik.1,2 Periodontitis
diawali dengan kerusakan perlekatan jaringan
(attachment loss/AL) serta diikuti oleh
kerusakan progresif pada ligamentum
periodontal (LP) dan tulang alveolar (alveolar
bone/AB). Secara klinis terjadi pembentukan
poket periodontal, resesi gingiva, atau
keduanya.1,3,4
Periodontitis berat sering
mengakibatkan gigi goyang hingga tanggal,
yang dapat menyebabkan kualitas hidup
individu terkait menurun. Bahkan penyakit ini
sangat berkaitan dengan kesehatan sistemik.5,6
Hingga kini bersamaan dengan
perkembangan pengetahuan mengenai
patogenesis penyakit periodontal, telah banyak
diteliti mengenai beberapa pendekatan terapi
periodontal, karena penyakit ini sebagai akibat
interaksi bakteri dengan respons inang.7 Terapi
oksigen hiperbarik (hyperbaric oxygen
therapy/HBOT) adalah suatu metoda terapi
fisik berdasarkan tercapainya tekanan oksigen
parsial tubuh yang tinggi dengan cara
menghirupkan oksigen murni di dalam suatu
ruang bertekanan lebih besar daripada tekanan
atmosfer.8 Terapi ini digunakan sebagai
perawatan utama ataupun bantuan untuk
beberapa penyakit akut dan sistemik seperti
iskemik, infeksius, traumatic; atau bersifat
inflamasi, yang umumnya telah parah dan
tidak menunjukkan respons terhadap
pengobatan konvensional yaitu refraktori.9
Penggunaan HBOT dalam bidang medis telah
umum dilakukan.10 Dalam kedokteran gigi
khususnya periodontologi, penggunaannya
belum banyak dilaporkan Penelitian ini
dilakukan untuk menganalisis penggunaan
HBOT terhadap keadaan kerusakan perlekatan
jaringan secara klinis (CAL) dan kedalaman
poket (PD) penderita periodontitis kronis serta
mencari dosis tepatnya.
Bahan dan Metoda
Subyek penelitian
Penelitian eksperimental klinik ini
menggunakan metoda uji klinis acak terkontrol
(Randomized Controlled Trial/RCT).
Penderita periodontitis kronis yang datang ke
klinik Diskes Koarmabar TNI AL Jakarta
sejak Januari hingga April 2010 yang
memenuhi kriteria inklusi dan bersedia
menjadi relawan dalam penelitian ini (setelah
membaca semua penjelasan mengenai
prosedur penelitian ini) dipersilahkan
menandatangani informed consent. Kriteria
inklusi sebagai berikut:
- Penderita periodontitis kronis lokal atau
menyeluruh dengan poket 4-6 mm dengan
indikasi skeling (dan penghalusan akar)
tanpa kebutuhan prosedur bedah
periodontal.
- Usia 30-50 + 5 tahun.
- Sehat tanpa penyakit sistemik (berdasarkan
pemeriksaan laboratorik) maupun faktor
risiko lain seperti merokok, stres, hamil.
- Susunan gigi dalam batas normal atau
dengan crowding ringan yaitu gigi terputar
tidak hingga 1/3 x 90o; ataupun overlapping
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
147
dengan gigi tetangga tidak hingga 1/3
mahkota.
Sedangkan kriteria eksklusi adalah:
- Mendapatkan terapi antibiotika dan atau
anti-inflamasi dalam 3 bulan terakhir.
- Menggunakan suplemen, roboransia, jamu
penunjang proses penyembuhan.
- Mendapat perawatan periodontal dalam 6
bulan terakhir.
- Tidak dapat memenuhi rencana sesi HBOT
yang telah ditentukan.
Kelompok penelitian
Penelitian dilakukan dengan
mengelompokkan subyek secara random ke
dalam 3 kelompok. Kelompok I menerima
tindakan skeling (+ penghalusan akar) (SPA)
saja. Kelompok II menerima tindakan SPA
dengan tambahan HBOT 8 sesi, dan kelompok
III SPA + HBOT 16 sesi. Dengan
penghitungan statistik dan kemungkinan drop
out, ditemukan kebutuhan sebanyak 16 subyek
untuk setiap kelompok dan dibulatkan menjadi
20 subyek.
Clinical Attachment Loss
Dari setiap subyek penelitian
ditentukan 1 gigi posterior dan 1 gigi anterior
untuk penetapan CAL yang akan diikuti.
Penghitungan CAL adalah jarak dari hubungan
semen-email (CEJ) ke dasar poket dalam mm.
Dari gigi yang telah ditetapkan, diperiksa pada
6 sisi yaitu mesiobukal, midbukal, distobukal,
distopalatal, midpalatal, mesiopalatal. Dari
setiap gigi terpilih kemungkinan hanya 1 sisi
terpilih, yaitu yang paling besar.
Pocket Probing Depth
Penetapan gigi terpilih dan cara sama
dengan penghitungan CAL. Nilai PD
ditentukan sebagai jarak dari puncak gingiva
ke dasar poket.
Hyperbaric Oxygen Therapy
Setiap sesi HBOT dilakukan setiap
hari atau paling tidak, boleh 1 sampai 3 kali
tersela dengan hanya 1 hari, namun tidak
boleh terjadi dalam 3 kali berturutan. Setiap
proses HBOT berlangsung selama 3x30 menit,
diantarai oleh 2x5 menit untuk bernafas dari
udara terbuka. Subyek masuk ke dalam ruang
berupa tabung dengan tekanan 2,5 ATA yang
cukup berisi hingga 5 orang dengan posisi
duduk dan tiduran.
Pengambilan data
Sebelum menerima tindakan terapi,
dari setiap subyek diambil data klinis CAL dan
PD. Lalu pada hari ke 15 yaitu perkiraan akhir
sesi ke 8, data CAL dan PD diambil lagi dari
setiap subyek ketiga kelompok. Demikian pula
pada hari ke 30 atau perkiraan akhir sesi ke 16.
Statistik
Pengolahan statistik dilakukan dengan
program uji statistik. Mula-mula diperiksa
kenormalan distribusi data dengan uji Shapiro
Wilk. Jika distribusi data normal, digunakan
uji t tidak berpasangan untuk membandingkan
perbedaan rerata jumlah data masing-masing
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
148
individu dari setiap kelompok. Jika distribusi
tidak normal, akan dilakukan uji
nonparametrik Mann-Whitney U. Perbedaan
data antar kelompok dihitung dengan derajat
kepercayaan 95%. Penelitian dilakukan
dengan surat lulus ethical clearance dari
Komisi Etik Penelitian FKGUI dengan nomer
118/Ethical Clearance/FKGUI/I/2010.
Hasil Penelitian
Tabel 1. Distribusi nilai rerata data klinis kerusakanperlekatan jaringan dan kedalaman poketsetiap kelompok pada setiap saatpemeriksaan
Dataklinis
(rerata,mm)
Kelompok Pemeriksaan ke
1 2 3
CALIIIIII
4,92 + 0,914,97 + 0,755,36 + 1,06
4,08 + 0,972,97 + 0,753,33 + 0,99
3,92 + 0,972,87 + 0,623,09 + 0,98
PDIIIIII
4,78 + 0,764,68 + 0,704,97 + 0,81
3,56 + 0,942,63 + 0,632,64 + 0,65
3,44 + 0,972,53 + 0,562,33 + 0,65
Ket: Klpk I : SPAII : SPA + HBOT 8III: SPA + HBOT 16
Tabel 2. Distribusi nilai rerata perbedaan dataklinis antar setiap saat pemeriksaan
Semua subyek menunjukkan keadaan
tubuh sehat tanpa gangguan sistemik,
berdasarkan hasil pemeriksaan darah lengkap.
Didapatkan 54 subyek dengan rentang usia 30-
52 tahun. Sekitar separuh jumlah subyek
menunjukkan kadar kolesterol melebihi batas
normal yaitu 200. Namun nilai ini dibawah
kadar 230.
Tabel 1 menunjukkan distribusi nilai
rerata CAL dan PD (tidak normal) setiap
kelompok pada setiap pemeriksaan. Distribusi
perbedaan nilai rerata antar setiap kelompok
pada setiap saat pemeriksaan dengan nilai
probabilitasnya dapat dilihat dalam Tabel 2.
Ditemukan perbedaan bermakna secara
statistik antar kelompok I dan II, serta I dan III
pada pemeriksaan 1 dan pemeriksaan 2, tetapi
tidak berbeda antar kelompok II dan III pada
pemeriksaan 1 dan 2.
Dari Gambar 1 dan 2 terlihat lebih
besarnya manfaat penambahan perlakuan
HBOT dibandingkan tanpa HBOT setelah
SPA, yaitu sekitar hampir 2 kali lipat.
Gambar 1. Diagram batang Clinical AttachmentLoss dari setiap kelompok pada setiapsaat pemeriksaan
Data klinisPem ke /
Kelompok
Rerata SE Nilai p antar kelompokI - II I – III II - III
Delta CALpem 1 – 2
IIIIII
0,832,002,03
0,150,140,15
0,000 0,000 0,957
Delta CALPem 2 – 3
IIIIII
0,170,110,24
0,100,100,10
0,516 0,587 0,117
Delta PDPem 1 – 2
IIIIII
1,222,052,33
0,130,120,13
0,000 0,000 0,167
Delta PDPem 2 – 3
IIIIII
0,110,110,30
0,090,090,10
0,913 0,123 0,114
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
149
Gambar 2.Diagram batang Probing Depth darisetiap kelompok pada setiap saatpemeriksaan
Gambar 3. Distribusi rerata data delta kliniskerusakan perlekatan jaringan
Gambar 4. Distribusi rerata delta kedalaman poket
Pembahasan
Penelitian ini dirancang untuk mencari
cara bantuan dalam penanganan periodontitis
destruktif yang secara global diketahui banyak
diderita populasi dewasa. Bantuan macam
terapi tersebut untuk meningkatkan dan
mempercepat penyembuhan serta manfaat
terapi konvensional.
Tujuan perawatan periodontal adalah
mempertahankan gigi selama mungkin dalam
mulut, dengan status gigi dan periodontal
sehat, berfungsi normal, secara estetik bagus,
dengan tanpa rasa sakit.11 Cara utama terapi
periodontal adalah mengontrol infeksi dengan
cara membuang plak dan kalkulus supra- dan
subgingiva, serta mencegah rekolonisasi
bakteri patogen di dalam poket periodontal.12
Semua macam terapi periodontal termasuk
metoda bedah dan atau nonbedah akan
memberikan hasil baik dalam kesehatan
periodontal jika diikuti dengan kontrol plak
yang baik.13 Dalam penelitian ini dilakukan
pemeriksaan CAL dan PD karena CAL
merupakan gold standard untuk penilaian
periodontitis, serta CAL dan PD sebagai
penilaian standar dalam penelitian
epidemiologis penyakit periodontal.14
Hingga kini telah banyak diteliti
mengenai macam perawatan periodontal baik
utama maupun sebagai tambahan, untuk
membantu tercapainya kesehatan periodontal
ataupun pencegahan rekurensi dan progresi
penyakit periodontal. Sebagai contoh adalah
penggunaan obat kumur klorheksidin dengan
konsentrasi rendah (yaitu 0,05%; yang
umumnya dipakai 0,2%) namun masih efektif,
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
150
sambil dalam usaha menghindari beberapa
efek sampingnya yaitu staining, rasa terbakar
atau baal, serta iritasi pada jaringan lunak.15
Juga manfaat aplikasi lokal minosiklin untuk
membantu penyembuhan terapi bedah pada
periodontitis kronis moderat hingga berat.13
Signoretto dkk. (2007)10 telah meneliti
penggunaan HBOT dalam penanggulangan
penyakit periodontal dan menemukan bahwa
perawatan kombinasi skeling dengan
pemberian HBOT 10 sesi, secara substansial
dapat mengurangi jumlah bakteri anaerob
Gram negative hingga 99,9% dari populasi
mikroflora subgingival.
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa tindakan SPA saja cukup memberikan
reduksi bermakna dari ukuran CAL dan PD.
Namun SPA dengan HBOT 8 sesi dan 16 sesi
menunjukkan reduksi yang lebih besar lagi
pada pemeriksaan hari ke15 penelitian, yaitu
sekitar 2 kali dari reduksi hanya oleh SPA
(Tabel 1 serta Gambar 1 dan 2). Hasil ini
sejalan dengan penelitian Signoretto dkk.
(2007)10 yang memantau jumlah bakteri dan
secara klinis menemukan bahwa indeks
gingiva menjadi 0 pada hari ke 15. Hasil yang
lebih besar dengan tambahan perlakuan HBOT
diperkirakan adalah karena proses oksigenasi
tubuh.
Seperti diketahui bahwa rongga oral
dihuni oleh 300-1000 spesies bakteri16 dan
paling sedikit 400 spesies ditemukan dalam
plak subgingiva.17 Penyakit ini ditandai dengan
terbentuknya poket periodontal, kerusakan LP,
serta terjadi resorpsi pada AB.13,18 Dari ratusan
spesies di dalam poket, hanya kurang dari 20
spesies yang secara rutin ditemukan jumlahnya
meningkat pada sisi dengan penyakit
periodontal. Bakteria tersebut adalah dari
kompleks merah yang umumnya bakteri Gram
negatif anaerob dan secara klinis digunakan
sebagai indikator keberadaan penyakit
periodontal destruktif. Beberapa di antaranya
adalah P gingivalis, T forsythensis, T
denticola, F nucleatum, P intermedia, P
nigrescens, P micros.19
Oksigen yang terhirup dalam chamber
saat HBOT akan masuk ke udara alveolar, lalu
ke kapiler paru-paru, darah vena, dan ke
jantung. Dari jantung menyertai darah arteria
sistemik, lalu ke kapiler pembuluh darah
seluruh tubuh, masuk ke cairan interstitial dan
intra selular, hingga masuk ke sel-sel baik
dalam kompartemen perioksom, retikulum
endoplasma, dan mitokondrianya.20 Dalam
darah, oksigen akan melekat pada 4 reseptor
oksigen dari permukaan setiap molekul
hemoglobin sel darah merah. Oksigenasi ini
dapat mencapai bakteria anaerob baik yang
berada di dalam poket maupun dalam jaringan
periodontal dan tulang alveolar. Oksigen
bersifat toksik bagi bakteria anaerob. Dengan
demikian secara selular HBOT meningkatkan
aktivitas bakterisidal. Peningkatan aktivitas
bakteriostatik juga didapat oleh bakteri
anaerob non-spora.21
Walaupun bakteri spesifik dinyatakan
sebagai penyebab utama periodontitis, namun
hanya bakteria saja tidak cukup untuk
menimbulkan penyakit. Ada peran interaksi
bakteri-respons inang untuk kepekaan, onset,
dan progresi periodontitis. Atau sebagai akibat
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
151
ketidak seimbangan antara signyal pro-
inflamatori dan anti-inflamatori.18,22
Pada keadaan infeksi dan inflamasi,
terjadi penurunan proliferasi fibroblast,
produksi kolagen, dan aktivitas angiogenesis.
Oksigen hiperbarik akan meningkatkan
oksigenasi, proliferasi fibroblast, sintesis
kolagen, reepitelialisasi, dan neovaskularisasi.
Penghantaran oksigen secara sistemik ini
menyebabkan penurunan regulasi sitokin
peradangan, peningkatan regulasi faktor-faktor
pertumbuhan (growth factors), peningkatan
efek leukosit. Karena fagositosis neutrofil
bergantung pada kadar oksigen, oksigenasi ini
memperbaiki dan meningkatkan fungsi
fagositosis neutrofil.23 Hal ini penting dalam
penanganan infeksi kronis yang disebabkan
oleh banyak macam bakteri anaerob. Juga
produksi toksin yang umum terjadi pada
suasana oksidasi-reduksi rendah, menjadi
terhalang. Dengan demikian HBOT bekerja
sinergis dalam arti meningkatkan potensi
antibiotika.8
Dari Tabel 2 perbedaan rerata data
pemeriksaan 2 ke pemeriksaan 3 sudah
menunjukkan tidak adanya perbedaan secara
statistik antar semua kelompok. Demikian pula
perbedaan manfaat HBOT 8 sesi dengan 16
sesi pada delta data CAL dan PD pada
pemeriksaan 1 ke 2 tidak ada. Dari Gambar 1
dan 2 terlihat bahwa penggunaan HBOT 16
sesi tidak lebih baik daripada 8 sesi. Juga
Gambar 3 dan 4 membuktikan keadaan
tersebut.Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa HBOT dengan 8 sesi sudah mencukupi
dalam menanggulangi klinis CAL dan PD.
Demikian pula Signoretto dkk.10 yang meneliti
efek SPA ditambah penggunaan HBOT 10 kali
saja namun dikuti pada hari ke 15, 45, 75.
Ditemukannya bahwa manfaat terlihat hanya
pada hari ke 15. Setelah itu jumlah bakteri
meningkat lagi dan pada hari ke 45 bahkan
mendekati seperti awal.
Kesimpulan
Penggunaan HBOT dapat dianjurkan
sebagai terapi tambahan (adjunctive therapy)
menyertai skeling dan penghalusan akar pada
perawatan periodontitis kronis tanpa
kebutuhan bedah periodontal karena dapat
mempercepat penyembuhan.
Dosis HBOT dianjurkan cukup dengan 8 sesi.
Saran
Perlu penelitian lanjut bantuan HBOT
untuk setelah tindakan bedah periodontal.
Perlu diteliti berapa lama manfaat HBOT
dalam penurunan nilai kerusakan perlekatan
jaringan dan kedalaman poket, sehingga dapat
dianjurkan terapi HBOT ulang, atau dapat
dicari cara tambahan untuk memperlama
manfaat HBOT tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Novak MJ. Classification of Disease andConditions Affecting the Periodonsium.In: Newman MG, Takei HH, KlokkevoldJP, Carranza FA, eds. Carranza’s ClinicalPeriodontology, 10th ed. Philadelphia:Saunders, 2006:100-9.
2. Page RC, Eke PI. Case Definitions for Usein Population-Based Surveillance ofPeriodontitis. J Periodontol 2007;78(7Suppl):1387-99.
3. Heitz-Mayfield LJA, Trombelli L, Heitz F,Needleman I, Moles D. A systematicreview of the effect of surgicaldebridement vs non-surgical debridementfor the treatment of chronic periodontitis.
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
152
J Clin Periodontol 2002;29(Suppl.3):92-102.
4. Van Dyke TE. Cellular and molecularsusceptibility determinants forperiodontitis. Periodontol 20002007;45:10-3.
5. Eke PI, Genco RJ. CDC PeriodontalDisease Surveillance Project: Background,Objectives and Progress Report. JPeriodontol 2007;78(Suppl.7):1366-71.
6. Minaya-Sanches M, Medina-Solis CE,Maupome G, Vallejos-Sanchez AA,Casanova-Rosado JF, Marquez-CoronaML. Prevalence of and Risk Indicators forChronic Periodontitis in Males fromCampeche, Mexico. Rev salud publica2007;9(3):388-98.
7. Richard JO, Rees TD, Blieden T,Damoulis P, Fiorellini J, Gianobille W, etal. Informational Paper: Modulation of theHost Response in Periodontal Therapy. JPeriodontol 2002;73(4):460-70.
8. Ortabe JII, Videl JMB, Asensio MU,Biayna JC, Mas MAM, Lopez JC, et al.The use ofoxygen therapy by means of thehyperbaric chamber in oral andmaxillofacial surgery. Rev Esp Cirug Oraly Maxilofac 2006;28(1).
9. Pinto JR, Tanaka EE, Ligia PM, StabileGAV, Borges HOI. Hyperbaric oxygentherapy: principles, indications andperspective. Literature Review.Odontologia Clin Cientif 2003;2(3):175-80.
10. Signoretto C, Bianchi F, Burlacchini G,Canepari P. Microbiological evaluation ofthe effects of hyperbaric oxygen onperiodontal disease. New Microbiol2007;30:431-7.
11. Eickholz P, Kaltschmitt J, Berbig J,Reitmeir P, Pretzl B. Tooth loss afteractive periodontal therapy. 1: patient-related factors for risk, prognosis, andquality of outcome. J Clin Periodontol2008;35:165-74.
12. Braun A, Jepsen S, Deimling D, Ratka-Kruger P. Subjective intensity of painduring supportive periodontal treatmentusing a sonic scaler or an Er:YAG laser. JClin Periodontol 2010;37:340-5.
13. Hellstrom M-K, McClain PK, SchallhornRG, Bellis L, Hanlon AL, Ramberg P.Local minocycline as an adjunct tosurgical therapy in moderate to severe,
chronic periodontitis. J Clin Periodontol2008;35:525-31.
14. Ronderos M, Michalowicz BS.Epidemiology of Periodontal diseases andRisk Factors. In: Rose LF, Mealey BL,Genco RJ, Cohen DW, eds. PeriodonticsMedicine, Surgery, and Implants. StLouis: Elsevier Mosby, 2004:32-68.
15. Escribano M, Herrera D, Morante S,Teughels W, Quirynen M, Sanz M.Efficacy of a low-concentrationchlorhexidine mouth rinse in non-compliant periodontitis patients attendinga supportive periodontal care programme:a randomized clinical trial. J ClinPeriodontol 2010;37:266-75.
16. Paksoy D, Harnack L, Gonzales JR,Bodecker R-H, Meyle J. Detection ofperiodontopathogenic bacteria with twodifferent microbiological tests. Perio2008;5(3):179-85.
17. Stathopoulou PG, Benakanakere MR,Galicea JC, Kinane DF. Epithelial cellpro-inflammatory cytokine responsediffers across dental plaque bacterialspecies. J Clin Periodontol 2010;37:24-9.
18. Haigh BJ, Stewart KW, Whelan JRK,Barnett MPG, Smolenski GA, Wheeler TI.Alterations in the salivary proteomeassociated with periodontitis. J ClinPeriodontol 2010;37:241-7.
19. Gurenlian JR. The Role of Dental PlaqueBiofilm in Oral Health. J Dent Hyg2007;Spec Suppl:4-12.
20. Jain KK. Physical, Physiological andBiochemical Aspects of HyperbaricOxygenation. In: Textbook of HyperbaricMedicine, 2nd ed. Seattle: Hogrefe &Huber Publ., 1996:11-26.
21. Gill AL, Bell CNA. Hyperbaric oxygen:its uses, mechanisms of action andoutcomes. Q J Med 2004;97:385-95.
22. Torres de Heens GL,Loos BG, van derVelden U. Monozygotic twins arediscordant for chronic periodontitis: whiteblood cell counts and cytokine productionafter ex vivo stimulation. J ClinPeriodontol 2010;37:129-36.
23. Wright J. Hyperbaric oxygen therapy forwoundhealing.http://www.worldwidewounds.com /2001 /april/ Wright/ HyperbaricOxygen. Last Modified: Monday 21 May2001. 11:56:17 BST 2001.
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
153
OBESITAS SEBAGAI INDIKATOR RISIKO PENYAKIT PERIODONTAL
Sunnati*
*Staf Pengajar Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
ABSTRAKObesitas adalah suatu kondisi dimana terjadi penumpukan lemak tubuh yang berlebihan yang dapatmempengaruhi kesehatan secara keseluruhan. Obesitas merupakan faktor risiko untuk beberapapenyakit sistemik kronis seperti penyakit jantung, diabetes tipe 2, stroke dan kolesterol tinggi.Obesitas juga dihubungkan dengan penyakit di rongga mulut, khususnya penyakit periodontal.Frekuensi periodontitis terjadi hampir dua kali lipat pada individu dengan obesitas dibandingkanindividu dengan berat badan normal. Obesitas bisa dihubungkan dengan penyakit periodontal karenaterjadi perubahan metabolik pada kondisi obesitas yang mempengaruhi sistem imun. Pada tulisan initerdapat definisi obesitas, cara penilaian obesitas dan hubungan antara obesitas dan penyakitperiodontal. Tujuan penulisan ini adalah untuk meningkatkan kewaspadaan dokter gigi dalammerawat pasien obesitas.
Kata kunci: obesitas, penyakit periodontal dan jaringan adiposa
ABSTRACTObesity is a condition in which excess body fat has accumulated that affects overall health. It is a riskfactor for several chronic health conditions such as heart disease, type 2 diabetes, stroke and highcholesterol. Obesity is also associated with oral disease, particularly periodontal disease. Periodontitisoccurs almost twice as more frequently in obese individuals than in those at a healthy weight. Obesitycan be associated with periodontal disease since the metabolic alterations observed in that conditioncould have some influences in immunity. This paper provides the overview of the definition andassessment of obesity and the correlation between obesity and periodontal disease. The goal is to raisedentist’s awareness when treating obese patients.
Keywords: obesity, periodontal disease and adipose tissue
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
154
Pendahuluan
Setiap orang memerlukan sejumlah
lemak tubuh untuk menyimpan energi. Rata-
rata wanita memiliki lemak tubuh yang lebih
banyak dibandingkan pria. Wanita dengan
lemak tubuh lebih dari 30% dan pria dengan
lemak tubuh lebih dari 25% dianggap
mengalami obesitas.1 Kadang-kadang kita
sering dibuat bingung dengan pengertian
obesitas dan overweight, padahal kedua istilah
tersebut mempunyai pengertian yang berbeda.
Obesitas (kegemukan) adalah suatu keadaan di
mana terjadi penumpukan lemak tubuh yang
berlebih, sehingga berat badan seseorang jauh
di atas normal dan dapat membahayakan
kesehatan. Sementara overweight (kelebihan
berat badan) adalah keadaan dimana berat
badan seseorang melebihi berat badan
normal.2
Ogden dkk. menemukan bahwa di
Amerika Serikat tahun 2003-2004, 17,1%
anak-anak dan dewasa mengalami overweight
dan 32,2% orang dewasa mengalami obesitas.
Prevalensi obesitas pada pria meningkat secara
signifikan sebesar 27,5% pada tahun 1999-
2000 dan 31,1% pada tahun 2003-2004,
sedangkan pada wanita tidak terjadi
peningkatan obesitas yang signifikan antara
tahun1999-2000 dan tahun 2003-2004.3 Di
Indonesia tahun 2000 diperkirakan 76,7 juta
penduduk (17,5%) mengalami overweight dan
9,8 juta penduduk (4,7%) mengalami obesitas.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di
Jakarta, tingkat prevalensi obesitas pada anak
remaja usia 12-18 tahun adalah 6,2% dan pada
usia 17-18 tahun sebesar 11,4%.4
Hubungan antara obesitas dan penyakit
periodontal dilaporkan pertama kalinya oleh
Perstein dan Bissada yang melakukan
pemeriksaan histopatologis pada jaringan
periodontal yang mengalami periodontitis
karena di induksi kawat ligatur, menemukan
bahwa pada tikus yang mengalami obesitas
terjadi resorbsi tulang alveolar yang lebih
besar dibandingkan tikus dengan berat badan
normal.5 Obesitas adalah faktor resiko ke-2
yang berhubungan erat dengan kerusakan
jaringan periodontal setelah merokok.6
Pengertian dan Penyebab Obesitas
Obesitas adalah peningkatan berat
badan melebihi batas kebutuhan rangka dan
fisik, sebagai akibat akumulasi lemak
berlebihan dalam tubuh.7 Penyebab obesitas
adalah: kurangnya aktivitas fisik,
meningkatnya konsumsi makanan tertentu,
faktor genetik dan kelainan sel lemak itu
sendiri. Faktor genetik terlihat pada anak yang
gemuk biasanya salah satu atau kedua
orangtuanya gemuk. Apakah kegemukan ini
selalu diturunkan dari bawaan orangtuanya
atau karena kebiasaan makan yang berlebihan
yang ditiru anaknya atau faktor lingkungan
belum diketahui secara pasti. Kelainan
metabolisme dan kelainan sel lemak pada
seseorang dapat menimbulkan obesitas.8
Cara Pengukuran Obesitas
Pengukuran obesitas bisa menggunakan
Body Mass Index (BMI), yaitu dengan rumus
BMI = BB / (TB x TB),9 BB adalah berat
badan sedangkan TB adalah tinggi badan.
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
155
Tabel 1. Klasifikasi untuk Body Mass Index(BMI)10
Klasifikasi BMI
Underweight < 18,5
Normal 18,5 – 24,9
Overweight 25,0 – 29,9
Obesity Class I 30,0 – 34,9
Obesity Class II 35,0 – 39,9
Obesity Class III 40+
Obesitas juga bisa ditentukan dengan
rasio pinggang ke pinggul atau waist-hip-ratio
(WHR).11 Wood dkk. mengukur lingkar
pinggang (waist circumference) pada titik
pusar atau umbilicus sedangkan pengukuran
pinggul (hip circumference) diukur pada
lingkar terbesar bokong. Hasil pengukuran
dalam sentimeter. Waist-hip-ratio (WHR)
diperoleh dengan membagi hasil pengukuran
lingkar pinggang dengan hasil pengukuran
lingkar pinggul.12 Saito dkk. membagi WHR
menjadi dua kelompok, yaitu untuk pria dan
wanita. Pria dinilai mengalami obesitas tubuh
bagian atas (upper body obesity) bila WHR ≥
0,9 dan wanita bila WHR ≥0,8.13 Waist-hip-
ratio (WHR) merupakan indikator yang lebih
baik untuk menentukan obesitas dibandingkan
dengan BMI, karena WHR menunjukkan
keadaan pinggang subyek yang berhubungan
dekat dengan jaringan lemak viseral tubuh.11
Pembagian Sel Lemak
Sel lemak bukan saja dikenal sebagai
gudang energi saja, namun juga berfungsi
sebagai salah satu organ endokrin yang
menghasilkan sejumlah sitokin, yang secara
kolektif dikenal sebagai adipocytokine /
adipokine. Adipokin yang sudah
dipublikasikan adalah leptin, tumor necrosis
factor (TNF)-a, plasminogen activator
inhibitor-1 (PAI-1), adipsin, resistin, dan
adiponektin.14
Gambar 1. Jenis lemak yang terdapat pada tubuh9
Subcutaneous fat atau lemak subkutan adalah
lemak yang terletak di bawah kulit dan tidak
terlalu berbahaya. Visceral fat atau lemak
veseral adalah lemak yang terletak di perut
yang menunjukkan lemak di organ-organ
penting yaitu liver dan jantung.9 Lemak viseral
(adiposa viseral) adalah faktor resiko yang
dapat meningkatkan terjadinya Cardiovascular
disease (CVD) dan diabetes tipe-2.15,16 Lemak
viseral ini dapat mensekresi CRP, IL-6, TNF-
α, VEGF, angiotensin dan PAI-1 dalam jumlah
yang lebih banyak dibandingkan dengan lemak
subkutan. Produk yang dilepaskan lemak
viseral bisa langsung menuju ke hati melalui
vena portal sehingga pada subyek dengan
lemak viseral menunjukkan peningkatan
sitokin inflamasi secara dramatis.15 Tumor
Necrosis Factor-α(TNF- α) dan IL-6 dapat
mengganggu sinyal insulin intraseluler
(intercellular insulin signaling) yang
menyebabkan resistensi insulin sehingga dapat
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
156
meningkatkan resiko terjadinya diabetes
mellitus tipe-2.16
Pembahasan
Beberapa laporan menghubungkan
antara obesitas dan penyakit periodontal.
Linden dkk. melakukan penelitian pada
subyek berusia 60-70 tahun di Irlandia Utara
dan menemukan hubungan yang signifikan
antara obesitas dan peningkatan prevalensi
periodontitis.17 Saito dkk. melakukan
penelitian pada 643 subyek Jepang dan
menemukan bahwa makin tinggi WHR dan
BMI maka secara signifikan meningkatkan
resiko periodontitis dibandingkan subyek
dengan WHR dan BMI rendah.13 Wood dkk.
menggunakan data NHANES III juga
menemukan hal yang sama.12 Reeves dkk.
menemukan bahwa peningkatan berat badan
dan WHR meningkatkan resiko periodotitis
kronis hanya pada dewasa muda usia 17-21
tahun, sedangkan pada usia 13-16 tahun tidak
terdapat hubungan yang signifikan. Penelitian
ini memiliki keterbatasan karena tidak
mempertimbangkan faktor lokal sebagai
etiologi periodontitis.18 Chapper dkk
menemukan bahwa wanita dengan gestational
diabetes mellitus (GDM) dan riwayat obesitas
sebelum kehamilan mengalami gingivitis dan
kehilangan perlekatan secara signifikan lebih
tinggi dibandingkan dengan wanita yang
memiliki BMI normal sebelum kehamilan.19
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Saito
dkk. menyimpulkan bahwa obesitas
berhubungan dengan poket yang dalam dan
tidak tergantung dari status toleransi glukosa.20
Seperti telah disebutkan sebelumnya
bahwa jaringan adiposa viseral dapat
mensekresi sejumlah zat bioaktif yang disebut
adipositokin, termasuk Tumor Necrosis
Factor-α (TNF- α). Hal ini dapat
mempengaruhi jaringan periodontal secara
langsung. Tumor Necrosis Factor-α(TNF- α)
memediasi kerusakan yang diinduksi oleh
endotoksin pada berbagai organ, termasuk
jaringan periodontal, karena TNF- αdisekresi
oleh jaringan adiposa, maka keberadaan lemak
viseral ini bisa meningkatkan kerusakan
periodontal.21 Amar dkk. menemukan bahwa
obesitas mengganggu kemampuan sistem
imun untuk merespon infeksi Porphyromonas
gingivalis dan menyatakan bahwa ganguan
sistem imun berperan dalam meningkatkan
kehilangan tulang alveolar setelah infeksi
bakteri pada tikus yang mengalami obesitas.22
Jaringan lemak mensekresi sitokin pro-
inflamasi seperti TNF-α dan IL-6.16
Peningkatan konsentrasi TNF-αdalam serum
pasien obesitas dapat menyebabkan atau
memperparah penyakit periodontal yang sudah
ada. Tumor Necrosis Factor-α(TNF- α) dapat
menstimulasi osteoklas sehingga terjadi
resorbsi tulang. Adipokin IL-6 yang dihasilkan
dari jaringan adiposa dilepaskan ke sirkulasi
darah dan terlibat dalam kerusakan tulang
alveolar dan connective tissue.23
Pada orang yang mengalami obesitas
terjadi hiperlipidemia.11 Hiperlipidemia dapat
menyebabkan hiperaktivitas dari neutrofil,24
yang dapat meningkatkan keparahan resorbsi
tulang dan memperparah penyakit periodontal.
Peningkatan hiperaktivitas neutrofil juga dapat
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
157
meningkatkan produksi oksigen radikal dan
berhubungan dengan keparahan periodontitis
pada orang dewasa.24 Penyakit periodontal
dapat juga memperburuk metabolisme lemak
yang tidak seimbang pada pasien obesitas
dengan hiperlipidemia.11 Pada penelitian
Noack dkk. ditemukan bahwa pasien dengan
hiperlipidemia terjadi inflamasi periodontal
yang lebih parah dibandingkan dengan pasien
tanpa hiperlipidemia.11 Peningkatan jumlah
lemak dapat menyebabkan perubahan
fagositosis dan kemotaksis yang dapat
mempengaruhi sistem pertahanan. Makrofag
juga akan melepaskan faktor pertumbuhan
dalam jumlah yang lebih banyak sehingga
dapat mengganggu penyembuhan jaringan.11
Individu yang melakukan olah raga
secara teratur memiliki kadar inflammatory
markers seperti IL-6 dan C-Reactive Protein
(CRP) yang rendah, dan meningkatkan
sensitifitas insulin yang berpengaruh baik
terhadap jaringan periodontal 25 sehingga
dapat dikatakan bahwa olah raga secara tidak
langsung dapat menurunkan resiko keparahan
penyakit periodontal, walaupun tetap harus
ditunjang dengan kontrol plak yang baik dan
perawatan periodontal yang komprehensif.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan,
obesitas berhubungan dengan penyakit
periodontal dan merupakan faktor resiko ke-2
yang berhubungan erat dengan kerusakan
jaringan periodontal setelah merokok,
Necrosis Factor-α(TNF- α) yang disekresi
oleh jaringan adiposa viseral pada orang
obesitas dapat meningkatkan kerusakan
periodontal, pada orang obesitas terjadi
gangguan kemampuan sistem imun untuk
merespon infeksi Porphyromonas gingivalis
sehingga mengakibatkan kerusakan yang lebih
parah pada jaringan periodonsium dan pada
orang yang mengalami obesitas terjadi
hiperlipidemia yang dapat hiperaktivitas dari
neutrofil sehingga meningkatkan keparahan
resorbsi tulang dan memperparah penyakit
periodontal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wikipedia.http://id.wikipedia.org/wiki/Obesitas. Obesitas. (5 November 2009)
2. PT. Roche Indonesia. Definisioverweight dan obesitas.http://www.obesitas.web.id/definisi(med).html. (5 November 2009)
3. Ogden CL, Carroll MD, Curtin LR,McDowell MA, Tabak CJ, Flegal KM.Prevalence of overweight and obesity inthe United States, 1999-2004. JAMAApril, 2006; 295: 1549-55.
4. Rahmawati A. Harga diri pada remajaobesitas. In: Program Studi Psikologi.Medan: Universitas Sumatera Utara,2006.
5. Perlstein MI, Bissada N. Influence ofobesity and hypertension on the severityof periodontitis in rats. Oral Surg OralMed Oral Pathol 1977; 43: 707-19.
6. Nishida N, Tanaka M, Hayashi N, NagataH, Takeshita T, Nakayama K.Determination of smoking and obesity asperiodontitis risks using the classificationand regression tree method. J Periodontol2005; 76: 923-8.
7. Kamus Saku Kedokteran Dorland. In.Philadelphia, Pennsylvania: W.BSaunders Company, 1998.
8. Rizqi P. Obesitas. http://fkuii.org/tiki-index.php?page=Obesity3.(5 November2009)
9. Yulianto HA. Paradigma Baru MengukurLemak Tubuh.http://agungy.blogspot.com/2007/10/para
Cakradonya Dent. J 2010; 2(1):83-158
158
digma-baru-mengukur-lemak-tubuh.html.(5 November 2009)
10. Ritchie CS. Obesity and periodontaldisease. Perio 2000 2007; 44: 154-63.
11. de Brito Bezerra B, Sallum EA, SallumAW. Obesity and periodontal disease:why suggest such relationship? Anoverview. Braz J Oral Sci October-December 2007; 6: 1420-2.
12. Wood N, Johnson RB, Streckfus CF.Comparison of body composition andperiodontal disease using nutritionalassessment techniques: Third NationalHealth and Nutrition Examination survey(NHANES III). J Clin Periodontol 2003;30: 321-7.
13. Saito T, Shimazakil Y, Kogal T, TsuzukiM, Ohshims A. Relationship betweenupper body obesity and periodontitis. JDent Res 2001; 80: 1631-6.
14. Lawrence GS, Yusuf I, Wijaya A, WahidS. Kadar adiponektin rendah padatoleransi glukosa terganggu: implikasivaskular awal In: Patologi Anatomi.Makassar: Universitas Hasanuddin, 2006.
15. Berg AH, Scherer PE. Adipose tissue,inflammation, and cardiovasculardisease. Circ Res 2005; 96: 939-49.
16. Pischon N, Heng N, Bernimoulin J-P,Kleber B-M, Willich SN, Pischon T.Obesity, inflammation, and periodontaldisease. J Dent Res 2007; 86: 400-9.
17. Linden G, Patterson C, Evans A, Kee F.Obesity and periodontitis in 60–70-year-old men. J Clin Periodontol 2007; 34:461-6.
18. Reeves AF, Rees JM, Schiff M, Hujoel P.Total body weight and waistcircumference associated with chronicperiodontitis among adolescents in theUnited States. Arch Pediatr Adolesc Med2006; 160: 894-9.
19. Chapper A, Munch A, Schermann C,Piacentini CC, Fasolo MTM. Obesity andperiodontal disease in diabetic pregnantwomen. Braz Oral Res 2005; 19: 83-7.
20. Saito T, Shimazaki Y, Kiyohara Y, KatoI, Kubo M, Lida M. Relationshipbetween obesity, glucose tolerance, andperiodontal disease in Japanese women:the Hisayama study. J Periodontal Res2005; 40: 346-53.
21. Saito T, Shimazaki Y. Metabolicdisorders related to obesity and
periodontal disease. Periodontology 20002007; 43: 254-66.
22. Amar S, Zhou Q, Shaik-DasthagirisahebY, Leeman S,. Diet-induced obesity inmice causes changes in immuneresponses and bone loss manifested bybacterial challenge. PNAS 2007; 104:20466–71.
23. Karel AJ, Cooper BR. Obesity and itsrole in oral health. The Internet J ofAllied Health Sciences and Practice2007; 5: 1-5.
24. Moeintaghavi A, Haerian-Ardakani A,Talebi-Ardakani M, Tabatabaie I.Hyperlipidemia in patients withperiodontitis. J Contemp Dent Pract2005; 3.
25. Al-Zahrani MS, Borawski EA, BissadaNF. Periodontitis and three health-enhancing behaviors: maintaining normalweight, engaging in recommended levelof exercise, and consuming a high-qualitydiet. J Periodontol 2005; 76: 1362-6.