case anestesi fatma ok
DESCRIPTION
case anestesiTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesiologi merupakan cabang ilmu kedokteran yang mendasari
berbagai tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita
yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan
intensif pasien gawat, terapi inhalasi, dan penanggulangan nyeri.
Beberapa tahap yang harus dilakukan dalam penatalaksanaan anestesi
terdiri dari pra anestesi, yaitu: persiapan secara fisik maupun mental pasien,
perencanaan anestesi, menentukan prognosis, dan persiapan pada hari operasi.
Serta penatalaksanaan anestesi meliputi premedikasi, masa anestesi dan
pemeliharaan, pemulihan, serta perawatan pasca anestesi.
Trauma tajam adalah hasil dari senjata api tinggi atau kecepatan rendah,
cedera tusuk, dan penetrasi benda asing ke dalam tubuh. Senjata api
menyebabkan insiden tinggi (90%) pada peritoneum / cedera organ solid yang
serius, dengan tingkat kematian 10-30%. Dua pertiga dari luka tusukan
menembus peritoneum, dengan 50-75% dari pasien ini memiliki cedera
pembuluh darah atau organ solid yang signifikan. Kematian telah dilaporkan
pada 5% dari cedera tusukan serius. Luka tusukan lebih sering di sebelah kiri
(penyerang dominan kanan) dan di kuadran atas. Dalam 30% dari luka tusuk
perut, ada 30% diiringi penetrasi rongga toraks. Cedera diafragma menjadi
perhatian khusus dalam kasus ini.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 IDENTITAS PASIEN
No. RM : 01344246
Nama : Dede Rosadi
Tempat/Tanggal Lahir : -/ 01/01/1990
Umur : 23 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Ditemukan dekat toko busana Ananda,
Kebayoran Lama
Pendidikan : Tidak sekolah
Pekerjaan : -
Status Perkawinan : Belum menikah
2.2 ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Pasien seorang laki-laki berusia 21 tahun datang ke RSUP
Fatmawati pada hari Sabtu, 17 Januari 2015 dengan keluhan nyeri pada
perut kiri atas akibat luka tusuk oleh benda tajam.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUP Fatmawati diantar oleh masyarakat
dan polisi dengan kondisi tidak sadarkan diri. Pasien diduga merupakan
korban pembunuhan dengan ditemukannya luka tusuk pada perut kiri atas
dan pantat sebelah kanan. Menurut pengakuan pasien, 1,5 jam sebelum
masuk rumah sakit, ia dikeroyok oleh sejumlah orang saat sedang
berjalan dengan temannya di daerah Kebayoran Lama. Pasien secara tiba-
tiba ditusuk oleh benda tajam pada perut kiri atas dan pantat sebelah
kanan hingga mengeluarkan banyak darah. Pasien sempat melarikan diri
ke sebuah warung untuk meminta bantuan. Tidak lama kemudian, pasien
mengaku pingsan, tidak mengingat kejadian, dan saat terbangun kembali
sudah berada di rumah sakit dengan rasa nyeri hebat pada perut kiri atas
akibat luka tusuk yang dialaminya.
2
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada riwayat asma, alergi makanan ataupun obat-obatan.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien tidak mengenal keluarga kandungnya, pasien merupakan
anak jalanan.
5. Riwayat Kebiasaan
Pasien mengaku sering berkumpul bersama teman-temannya di
daerah Kebayoran Lama. Ia merokok selama ± 10 tahun, dan sering
minum-minuman beralkohol.
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
a. Keadaan Umum : Tampak sakit berat
b. Kesadaran : Compos mentis, E4V5M6 (GCS 15)
c. Tanda Vital :Tekanan Darah : 104/54 mmHg
Pernapasan : 18 x/m
Nadi : 120 x/m
Suhu : 36,5C
d. Antropometri : Berat badan : 55 kg
Tinggi badan : 160 cm
BMI : 21,48 kg/m2
2. Survey Primer
Air Way
Kesadaran : Compos mentis
Jalan nafas : Clear
Leher : Deviasi trakea (-)
Look feel listen : Nafas (+) normal
Retraksi : (-)
Breathing
Frekuensi pernafasan : 18 x/m
Suara nafas : Vesikuler +/+
Suara nafas tambahan : Ronki -/- Wheezing -/-
Nafas cuping hidung : (-)
3
Circulation
Tekanan darah : 104/54 mmHg
Nadi : 120 x/m
Akral : dingin di keempat extremitas, CRT > 2 detik
Auskultasi jantung : BJ I & II reguler, murmur (-), gallop (-)
Disability
GCS : 15
3. Survey Sekunder
Kepala
Bentuk : Normosefali
Rambut : Warna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Wajah : Simetris ................
Mata : Konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik -/-, refleks cahaya
langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+,
palpebra oedema -/-
Telinga : Telinga sepasang, normotia, nyeri tekan dan nyeri
tarik -/-, liang telinga lapang, sekret (-), darah (-),
membran timpani intak, reflek cahaya suram (+)
Hidung : Bentuk hidung normal, cavum nasi lapang, concha
eutrofi, septum deviasi (-), massa (-), sekret (-)
Leher : Deviasi trakea (-)
Thoraks
Dari inspeksi umum thoraks didapatkan bentuk thoraks simetris, tampak
tato di ................
Paru
Inspeksi : Bentuk dada normal, pergerakan nafas kanan kiri simetris
Palpasi : Vocal fremitus simetris pada hemithoraks kanan kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler seluruh lapang paru, wheezing (-/-) ronkhi (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas : sela iga III parasternal kiri
Batas kanan : sela iga V parasternal kanan
4
Batas kiri : 1 cm medial sela iga VI midklavikula kiri
Auskultasi : Bunyi jantung I - II reguler murni, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, tampak vulnus punctum pada regio kiri atas
dengan panjang luka ± 4cm, kedalaman ± 3cm, dan
batas tegas.
Auskultasi : Bising usus (+) 2x/m
Palpasi : Rigid, nyeri tekan (+) di seluruh kuadran abdomen
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
Genitalia eksterna
Kelamin : laki-laki
Ekstremitas
Superior : Tampak dipenuhi oleh tato, oedem (-/-), sianosis (-),
akral dingin (+), CRT > 2 detik
Inferior : Tampak tato, oedem (-/-), sianosis (-), akral dingin (+),
CRT > 2 detik.
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Laboratorium Pre-Operasi (17/01/2015)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Darah Lengkap
Hemoglobin 10,2 g/dl 13,2 – 17,3
Hematokrit 32 % 33 - 45
Lekosit 19,5 ribu/ul 5 - 10
Trombosit 273 ribu/ul 150 - 440
Eritrosit 3,78 juta/ul 4,4 – 5,9
VER/HER/KHER/RDW
5
VER 84,6 fl 80 - 100
HER 27 pg 26 - 34
KHER 31,9 g/dl 32 - 36
RDW 14,8 % 11,5 – 14,5
Hemostasis
APTT 26,4 detik 27,4 – 39,3
Kontrol APTT 31,5 detik -
PT 13,4 detik 11,3 – 14,7
Kontrol PT 13,5 detik -
INR 0,99 -
Kimia klinik
Fungsi Hati
SGOT 24 U/l 0 - 34
SGPT 9 U/l 0 - 40
Albumin 3,4 g/dl 3,4 – 4,8
Fungsi Ginjal
Ureum darah 21 mg/dl 20 - 40
Kreatinin darah 0,8 mg/dl 0,6 – 1.5
Diabetes (Glukosa darah)
Glukosa darah sewaktu 137 mg/dl 70 - 140
Analisa Gas Darah
6
pH 7, 340 7,370 – 7,440
PCO2 25,8 mmHg 35 - 45
PO2 175,5 mmHg 83 - 108
BP 753 mmHg -
HCO3 13,6 mmol/L 21 - 28
O2 Saturasi 99,1 % 95 - 99
BE (Base Excess) -10,2 mmol/L -2,5 – 2,5
Total CO2 14,4 mmol/L 19 - 24
Elektrolit Darah
Natrium 146 mmol/L 135 - 147
Kalium 2,96 mmol/L 3,1 – 5,1
Klorida 94 mmol/L 95 - 108
Sero – Imunologi
Hepatitis
HBsAg (-)
Anti HCV (+)
Golongan Darah AB/ Rh (+)
B. Pemeriksaan Laboratorium Pre-Operasi (18/01/2015 pukul 10.30 WIB)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Darah Lengkap
Hemoglobin 7,8 g/dl 13,2 – 17,3
Hematokrit 25 % 33 - 45
7
Lekosit 18,9 ribu/ul 5 - 10
Trombosit 174 ribu/ul 150 - 440
Eritrosit 2,87 juta/ul 4,4 – 5,9
VER/HER/KHER/RDW
VER 85,6 fl 80 - 100
HER 27,3 pg 26 - 34
KHER 31,9 g/dl 32 - 36
RDW 15,0 % 11,5 – 14,5
C. Pemeriksaan Laboratorium Pre-Operasi (18/01/2015 pukul 16.00 WIB)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Darah Lengkap
Hemoglobin 6,8 g/dl 13,2 – 17,3
Hematokrit 20 % 33 - 45
Lekosit 15,3 ribu/ul 5 - 10
Trombosit 178 ribu/ul 150 - 440
Eritrosit 2,4 juta/ul 4,4 – 5,9
VER/HER/KHER/RDW
VER 83,6 fl 80 - 100
HER 28,4 pg 26 - 34
KHER 33,9 g/dl 32 - 36
RDW 15,2 % 11,5 – 14,5
8
D. Pemeriksaan Urinalis (18/01/2015 pukul 01.30 WIB)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Urinalisa
Urobilinogen 0,2 E.U/dl <1
Albumin Trace - negatif
Berat jenis >=1,030 1,005 – 1,030
Bilirubin negatif negatif
Keton negatif negatif
Nitrit negatif negatif
pH 6,0 4,8 – 7,4
Leukosit negatif negatif
Darah/Hb +1 negatif
Glukosa urin/reduksi negatif negatif
Warna Kuning Kuning
Kejernihan jernih jernih
Sedimen urin
Epitel +2
Lekosit 2-4 /LPB 0 - 5
Eritrosit 2-4 /LPB 0 - 2
Silinder negatif /LPK negatif
9
Kristal Ca Oxalat (+) negatif
Bakteri positif negatif
Lain-lain negatif negatif
E. Pemeriksaan Radiologi
- RO Thorax AP (17/01/2015)
Dari hasil pemeriksaan didapatkan hasil :
Trakea relatif di tengah
Mediastinum superior tidak melebar
Jantung tidak membesar
Aorta baik
Pulmo : Kedua hilus tidak menebal, corakan bronkovaskuler kedua
paru baik, tidak tampak infiltrat/nodul
Kedua sinus kostofrenikus dan diafragma baik
Tak tampak tanda-tanda fraktur pada tulang-tulang dinding dada
Kesan :
Jantung dan pumo dalam batas normal
Tak tampak fraktur pada tulang-tulang dinding dada
- USG Abdomen (18/01/2015)
10
Pemeriksaan USG Abdomen dengan hasil sebagai berikut :
Hepar: bentuk dan ukurang tepi tajam, ekhogenitas parenkim
homogen. Tak tampak pelebaran duktus biliaris intrahepatik maupun
sistem vaskuler. Tak tampak laserasi. Tak tampak efusi pleura.
Tak tampak gambaran cairan bebas
Kandung empedu : bentuk dan ukuran normal, dinding tidak menebal.
Tak tampak batu/sludge.
11
Ginjal kanan : bentuk dan ukuran normal. Diferensiasi korteks dan
medula jelas. Sistem pelviokalises tak melebar. Tak tampak batu. Tak
tampak lesi patologis.
Ginjal kiri : bentuk dan ukuran normal. Diferensiasi korteks dan
medula jelas. Sistem pelviokalises tak melebar. Tak tampak batu.
Tampak lesi isoekhoik perirenal kiri.
Lien : bentuk dan ukuran normal. Tak tampak lesi patologis.
Aorta : ukuran normal. Tak tampak pembesaran KGB paraaorta.
Tampak hematome usus regio bilateral abdomen kiri bawah
Buli : Tidak terisi optimal. Tampang terpasang balon kateter.
Kesan :
Suspek hematome subskapsuler ginjal kiri dan hematome usus regio
bilateral abdomen kiri bawah
Tak tampak cairan bebas intraabdomen
2.5 DIAGNOSIS PRE-OPERATIF
Trauma tusuk abdomen
2.6 TATALAKSANA
1. Tanggal operasi : 18 Januari 2015
2. Diagnosis pra-bedah : Trauma tusuk abdomen
3. Keadaan umum pra bedah
ASA : 3 E (Pasien dengan penyakit sistemik berat sehingga aktivitasnya
terbatas (CITO))
4. Macam operasi : Laparatomi eksplorasi
5. Spesialis bedah : dr. Simangunsong, Sp.B
6. Spesialis anestesi : dr. Badar, Sp.An
7. Lama operasi : 2 jam 45 menit
8. Lama anestesi : 2 jam 50 menit
2.7 LAPORAN ANESTESI
1. Persiapan operasi
a. Persetujuan operasi tertulis
12
b. Puasa 6 jam pre-operasi
c. Persiapan PRC 1000 cc dan FFP 750 cc
2. Jenis anestesi : General anestesi
3. Teknik anestesi : Anestesia intravena
4. Posisi : Terlentang
5. Premedikasi : Fentanyl 100 µg
6. Induksi : Propofol 200 mg, roculax 30 mg
7. Jalan nafas : Terpasang Endotrakeal Tube (ETT) kinking No. 7,5
Intubasi sesudah tidur
Oral
Preoksigenisasi
Mudah mask ventilasi
Mudah face mask
8. Ventilasi : Ventilator dengan TV 420 cc, RR 15 x/m
9. Medikasi : Ranitidin 100 mg
Roculax 30 mg
Fentanyl 100 µg
Ketorolac 30 mg
Tramadol 100 mg
Sulfas Atropin 0,5 mg
Prostigmin 1 mg
Ondansetron 4 mg
10. Maintenance : N2O/O2 = 2L/2L , Isoflurane 1,5 vol %
11. Cairan : Ringer Laktat 1000 cc; NaCl 0,9% 1000 cc; HES 6%
500 cc; PRC 500 cc.
12. Monitoring : Tanda vital, kedalaman anestesi, cairan, perdarahan,
produksi urin, dan NGT
13. Perawatan pasca anestesi di ICU
2.8 TINDAKAN ANESTESI
1. Di ruang persiapan
13
Pasien tiba di ruang persiapan tanggal 18 Januari 2015 pada pukul 22.45
WIB
a. Memeriksa persetujuan operasi dan identitas pasien
b. Pemeriksaan tanda-tanda vital
Tekanan darah : 104/54 mmHg
Nadi : 120 x/m
Suhu : Afebris
c. Digantikan pakaian dengan pakaian khusus kamar operasi
d. Memeriksa kelengkapan obat-obatan dan peralatan anestesi
e. Telah terpasang infus RL vasofix no. 20G terpasang di tangan kiri, infus
RL vasofix no. 18G terpasang di tangan kanan, CVC, serta kateter urin.
2. Di ruang operasi
Pasien laki-laki berusia 21 tahun bernama Tn. Dede Rosadi diantar ke
ruang operasi untuk menjalani operasi cito laparatomi eksplorasi pada
tanggal 18 Januari 2015 dengan diagnosis pre-operatif Trauma Tumpul
Abdomen. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang disimpulkan bahwa pasien masuk ke dalam ASA 3 E.
Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 6-8 jam.
Penggantian puasa dengan memberikan terapi cairan RL 500 cc/6 jam. Pada
pasien ini sudah diberikan antibiotik berupa Amikasin 1x1gr dan
Metronidazole 1x1,5gr. Persetujuan operasi juga dilakukan sebelum
dilakukan tindakan sebagai informed consent.
14
15
Operasi dilakukan pada tanggal 18 Januari 2015. Pasien masuk ke ruang OK Cito
pada pukul 22.50 WIB, dilakukan pemantauan EKG lead II, SpO2, NIBP, CVP,
vena line, dan kateter urin.
a. Jam 23.00 WIB diberikan premedikasi injeksi Fentanyl 100 µg.
Kemudian dilakukan induksi dengan Propofol 200 mg dan Roculax 30
mg. Face mask didekatkan pada hidung dengan O2 4L/menit selama
kurang lebih 5 menit. Dilakukan pemeriksaan refleks bulu mata.
Melakukan intubasi setelah pasien tidur, yakni memasang Endotrakeal
Tube (ETT) kingking No. 7,5. Setelah ETT terpasang dengan baik
dilanjutkan pemberian nafas buatan dengan pompa manual yang
dilanjutkan dengan metode nafas kendali dengan ventilator: volume tidal
420 ml dan frekuensi 15x/menit. Mengalirkan N2O/O2 = 2L/2L. Selain itu
secara bersamaan, cairan infus RL digantikan dengan PRC I sejumlah
250 cc melalui IV line pada tangan kiri.
b. Jam 23.05 WIB tekanan darah pasien 100/50 mmHg kemudian dialirkan
agen anestesi rumatan berupa Isoflurane 1.5 vol%. Selain itu, diberikan
juga bolus ranitidin 100 mg melalui IV line.
c. Jam 23.10 WIB kedalaman anestesi berkurang sehingga diberikan obat
pelumpuh otot, yaitu roculax 10 mg dan obat hipnotik, yaitu fentanyl 50
µg.
d. Jam 23.35 WIB kedalaman anestesi berkurang sehingga diberikan
tambahan roculax 10 mg dan fentanyl 25 µg.
e. Jam 23.45 WIB tekanan darah pasien turun mencapai 85/55 mmHg
selama 30 menit dengan denyut nadi 90x/m, kemudian dikoreksi dengan
pemberian HES 6% 500 cc melalui IV line.
f. Jam 00.30 WIB tekanan darah pasien mencapai 120/60 mmHg dengan
denyut nadi 95 x/m.
g. Jam 00.40 WIB kedalaman anestesi berkurang sehingga diberikan
kembali tambahan roculax 10 mg dan fentanyl 25 µg.
h. Jam 00.45 WIB tekanan darah pasien mecapai 105/55 mmHg dengan
denyut nadi 90x/m.
i. Jam 01.15 WIB pasien diberikan bolus ondancentron 4 mg, ketorolac 30
mg, dan tramadol 100 mg melalui IV line.
16
j. Pembedahan selesai pada pukul 01.45 WIB, kemudian dilakukan
ekstubasi dalam
k. Jam 01.45 WIB diberikan penawar obat pelumpuh otot, yakni sulfas
atropin 0,5 mg dan prostigmin 1 mg, kemudian pasien bangun dalam
kondisi belum sadar penuh. Selain itu, diberikan PRC II sejumlah 250 cc.
Jam Tekanan Darah Nadi (permenit)
23.00 100/50 mmHg 120
23.15 110/60 mmHg 120
23.30 120/70 mmHg 125
23.45 120/68 mmHg 130
00.00 85/55 mmHg 90
00.15 85/50 mmHg 90
00.30 120/60 mmHg 95
00.45 105/55 mmHg 90
01.00 106/50 mmHg 92
01.15 108/55 mmHg 90
01.30 96/58 mmHg 88
01.45 98/55 mmHg 80
17
BAB III
ANALISIS KASUS
Masalah yang terdapat pada pasien Tn. Dede Rosadi terbagi berdasarkan interval
waktu, yaitu masalah pre-operatif, intraoperatif, dan post-operatif.
3.1 PRE OPERATIF
Masalah pre-operatif didapatkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik
pada pasien. Berdasarkan anamnesis, pasien merupakan anak jalanan yang
menjadi korban pembunuhan oleh sekelompok orang dengan ditemukannya
luka tusuk abdomen regio kiri atas. Pasien ditemukan oleh polisi dan
masyarakat setempat sehingga dibawa ke IGD RSUP Fatmawati dalam
kondisi tidak sadarkan diri dan mengalami syok hipovolemi akibat perdarahan
masif dari luka tusuk tersebut. Kondisi syok hipovolemi diatasi di IGD dan
pasien masuk ke ruang operasi OK Cito dengan hemodinamik yang tidak
stabil.
Adapun pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien diperoleh hasil
sebagai berikut:
1. Status Generalis
a. Keadaan Umum : Tampak sakit berat
b. Kesadaran : Pasien tidak mengalami penurunan kesadaran
c. Tanda Vital :Tekanan Darah : hipotensi
Pernafasan : eupnea
Nadi : takikardi
Suhu : afebris
d. Antropometri : normoweight (BMI = 21,48 kg/m2 )
2. Survey Primer
Air Way
Clear
Breathing
Tidak didapatkan masalah pada pasien
18
Circulation
Hipotensi (104/54 mmHg), takikardi (120x/m) dengan akral ke empat
ekstremitas dingin, CRT > 2 detik
Disability
Tidak didapatkan masalah pada pasien
3. Survey Sekunder
Kepala
Pada pemeriksaan wajah didapatkan moon face (+) dan pertumbuhan
kumis serta pada pemeriksaan leher didapatkan jakun membesar seperti
pria yang menunjukkan gejala cushing syndrome pada pasien.
Thoraks
Dari inspeksi umum thoraks didapatkan bentuk thoraks simetris dan
terdapat tato. Perkusi, palpasi serta auskultasi paru dan jantung dalam
batas normal.
Abdomen
Inspeksi : Datar, tampak vulnus punctum pada regio kiri atas
dengan panjang luka ± 4cm, kedalaman ± 3cm, dan
batas tegas.
Auskultasi : Bising usus (+) 2x/m
Palpasi : Rigid, nyeri tekan (+) di seluruh kuadran abdomen
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
Genitalia eksterna
Tidak ada kelainan.
Ekstremitas
Pada kedua ekstremitas superior ditemukan tato yang hampir memenuhi
seluruh lengan sedangkan pada kedua ekstremitas inferior ditemukan tato
pada regio cruris lateral saja. Akral ke-empat ekstremitas diraba dingin
dan CRT > 2 detik.
Adapun pada pemeriksaan laboratorium dan radiologi didapatkan :
Penurunan hemoglobin dari 10,2 g/dl hingga 6,8 g/dl dan penurunan
hematokrit dari 32% menjadi 20%.
19
Leukositosis dari 3 kali pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukosit
19, 5 ribu/ul, 18,9 ribu/ul, dan 15,3 ribu/ul
Eritrositopeni dari 3,78 juta/ul hingga menjadi 2,4 juta/ul
Asidosis metabolik
Hipokalemi (2,96 mmol/L) dan hipoklorida (94 mmol/L)
Leukosit (2-4/LPB), silinder Ca.Oxalat (+), dan bakteri nitrit (+) pada
urinalisis
Pada USG Abdomen didapatkan kesan suspek hematome subskapsuler
ginjal kiri dan hematome usus regio bilateral abdomen kiri bawah
Kebutuhan Cairan Perioperatif
Terdapat tiga periode yang dialami oleh pasien apabila mejalani tindakan
pembedahan, yaitu: pra-bedah, selama pembedahan dan pasca bedah.
1. Terapi cairan prabedah
Tujuan dari terapi cairan ini adalah mengganti cairan dan kalori yang
dialami pasien pra-bedah akibat puasa. Cairan yang digunakan adalah cairan
pemeliharaan dan cairan untuk koreksi defisit puasa.
Tujuan dari cairan pemeliharaan untuk mengganti kehilangan air tubuh
lewat urin, feses, paru dan keringat. Kebutuhan pemeliharaan normal dapat
diestimasi dengan:
Pada pasien berat badan : 55 kg
Berat Kebutuhan
10 kg pertama
10-20 kg kedua
Masing-masing kg > 20 kg
4 ml/kg/jam
2 ml/kg/jam
1 ml/kg/jam
4 x 10 = 40
2 x 10 = 20
1 x 35 = 35
95 ml/jam
Pasien yang akan dioperasi setelah semalam puasa tanpa intake cairan
akan menyebabkan defisit cairan sebanding dengan lamanya puasa. Defisit ini
dapat diperkirakan dengan mengalikan kebutuhan cairan pemeliharaan normal
dengan lamanya puasa. Untuk berat badan 55 kg dan puasa 6 jam: 95 ml/jam x 6
= 570 ml. Pada pasien diberikan cairan ringer laktat 500 ml/6 jam.
20
2. Terapi cairan selama operasi
Tujuannya adalah sebagai fasilitas vena terbuka, koreksi kehilangan
cairan melalui luka operasi, mengganti perdarahan dan mengganti cairan yang
hilang melalui organ ekskresi.
Terapi cairan diberikan dengan menjumlahkan kebutuhan cairan
pemeliharaan, kebutuhan cairan selama operasi dan puasa. Perhitungan cairan
yang hilang berdasarkan jenis operasi yang dilakukan dengan asumsi:
Operasi besar : 6-8 ml/kg/jam
Operasi sedang : 4-6 ml/kg/jam
Operasi kecil : 2-4 ml/kg/jam
Operasi laparatomi eksplorasi dikategorikan sebagai operasi berat. Koreksi
cairan berdasarkan jenis operasi 6-8 x 55 kg = 330-440 ml/jam.
Pemberian jam I : M + O + ½ P = 95 + 440 + 285 = 820 ml
Pemberian jam II : M + O + ¼ P = 95 + 440 + 142,5 = 678 ml
Pemberian jam III : M + O + ¼ P = 100 + 480 + 1 42,5 = 678 ml +
Total cairan : = 2.176 ml
Operasi berlangsung selama 2 jam 45 menit. Pada pasien mendapatkan terapi
cairan 2500 ml (ringer laktat 1000 ml + NaCl 0,9% 1000 ml + Voluven 500 ml)
selama operasi. Berdasarkan pemberian cairan pada pasien sudah mencukupi
berdasarkan perhitungan kebutuhan cairan selama operasi.
Pada pasien ini dilakukan transfusi darah dengan indikasi ialah :
Perdarahan akut dengan Hb 6,8 g/dl dan Ht 20 %
Koreksi akibat perdarahan akut yang terjadi ini diberikan PRC sejumlah :
PRC : ∆ Hb x BB x 4
: (13,2-6,8) x 55 x 4
: 6,4 x 55 x 4 = 1.408 cc
Namun, PRC yang tersedia hanya 500 cc, dan seluruhnya sudah diberikan selama
intraoperatif.
3. Terapi cairan pasca bedah
Tujuannya adalah fasilitas vena terbuka, pemberian cairan pemeliharaan,
nutrisi parenteral dan koreksi terhadap kelainan akibat terapi yang lain.
21
3.2 INTRA OPERATIF
Masalah – masalah intraoperatif disebabkan stress anestesi dan stress operatif.
Adapun masalah pada pasien ini berupa hemodinamik yang tidak stabil
1. Gangguan Hemodinamik
2. SIRS
22
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 Anatomi Abdomen
Abdomen merupakan bagian tubuh yang terletak di antara toraks dan
pelvis. Rongga abdomen yang sebenarnya dipisahkan dari rongga toraks di
sebelah atas oleh diafragma dan dari rongga pelvis di sebelah bawah oleh suatu
bidang miring yang disebut pintu atas panggul.9
Rongga abdomen atau cavitas abdominis berisi sebagian besar organ
sistem digestivus, sebagian organ urinarium, sistem genitalia, lien, glandula
suprarenalis, dan plexus nervorum. Juga berisi peritoneum yang merupakan
membrane serosa dari sistem digestivus. Untuk menentukan lokalisasi yang lebih
teliti dari rasa nyeri, pembengkakan atau letak suatu organ, maka abdomen
dibagi menjadi sembilan region oleh dua bidang horizontal yaitu bidang
subcostalis dan bidang transtubercularis serta dua bidang vertikal yang melalui
linea midklavikularis kanan dan kiri.9
Gambar 1. Pembagian Regio Abdomen
23
Proyeksi letak organ dalam abdomen
Hipokondrium kanan Epigastrium Hipokondrium kiri Lobus kanan dari
hepar Kantung empedu Sebagian dari
duodenum Fleksura hepatik
dari kolon Sebagian dari ginjal
kanan Kelenjar suprarenal
kanan
Pilorus gaster Duodenum Pankreas Sebagian dari hepar
Lambung Limpa Bagian kaudal dari
pankreas Fleksura lienalis dari
kolon Kutub atas dari
ginjal kiri Kelenjar suprarenal
kiri
Lumbal kanan Umbilikal Lumbal kiri Kolon asendens Bagian bawah dari
ginjal kanan Sebagian daru
duodenum dan jejunum
Omentum Mesenterium Bagian bawah dari
duodenum Jejunum dan ileum
Kolon desendens Bagian bawah dari
ginjal kiri Sebagian jejunum
dan ileum
Inguinal kanan Hipogastrium Inguinal kiri Sekum Apendiks Bagian akhir dari
ileum Ureter kanan
Ileum Kandung kemih Uterus (pada
kehamilan)
Kolon sigmoid Ureter kiri Ovarium kiri
4.2 Trauma Abdomen
Definisi
Trauma abdomen didefinisikan sebagai trauma yang melibatkan daerah
antara diafragma atas dan panggul bawah. 10
Epidemiologi
Insiden trauma abdomen meningkat dari tahun ke tahun. Mortalitas
biasanya lebih tinggi pada trauma tumpul abdomen dari pada trauma tusuk. Jejas
pada abdomen dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam. Pada
trauma tumpul dengan velositas rendah (misalnya akibat tinju) biasanya
menimbulkan kerusakan satu organ. Sedangkan trauma tumpul velositas tinggi
sering menimbulkan kerusakan organ multipel. Pada intraperitoneal, trauma
tumpul abdomen paling sering menciderai organlimpa (40-55%), hati (35-45%),
dan usus halus (5-10%). Sedangkan pada retroperitoneal, organ yang paling
24
sering cedera adalah ginjal, dan organ yang paling jarang cedera adalah pankreas
dan ureter. Pada trauma tajam abdomen paling sering mengenai hati(40%), usus
kecil (30%), diafragma (20%), dan usus besar (15%). 10
Jenis Trauma Abdomen
1) Trauma Tumpul
Pukulan langsung, misalnya kena pinggir bawah stir mobil atau pintu yang
masuk (intruded) pada tabrakan kendaraan bermotor, dapat mengakibatkan
cedera tekanan atau tindasan pada isi abdomen. Kekuatan ini merusak bentuk
organ padat atau berongga dan dapat mengakibatkan ruptur, khususnya pada
organ yang menggembung (misalnya uterus yang hamil), dengan perdarahan
sekunder dan peritonitis. Shearing injuries pada organ isi abdomen merupakan
bentuk trauma yang dapat terjadi bila suatu alat penahan (seperti sabuk
pengaman jenis lap belt atau komponen sabuk bahu)dipakai dengan cara yang
salah. Penderita yang cedera dalam tabrakan kendaraan bermotor juga dapat
menderita cedera deceleration karena gerakan yang berbeda dari bagian badan
yang bergerak dan yang tidak bergerak, pada hati dan limpa yang sering terjadi
(organ bergerak) ditempat jaringan pendukung (struktur tetap) pada tabrakan
tersebut. Pada penderita yang dilakukan laparatomi oleh karena trauma tumpul
(blun injury), organ yang paling sering cedera, adalah limpa (40 – 55%), hati (35-
45%)dan hematoma retroperitoneum (15%). 11
2) Trauma Tajam
Luka tusuk ataupun luka tembak ( kecepatan rendah) akan mengakibatkan
kerusakan jaringan karena laserasi ataupun terpotong, luka tembak dengan
kecepatan tinggi akan menyebabkan transfer energy kinetic yang lebih besar
terhadap organ viscera, dengan adanya efek tambahan berupa temporary
cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen yang mengakibatkan kerusakan
lainnya.
Luka tusuk tersering mengenai hepar (40%), usus halus (30%), diafragma
(20%) dan colon (15%). Luka tembak mengakibatkan kerusakan yang lebih
besar, yang ditentukan oleh jauhnya perjalanan peluru, dan berapa besar energi
kinetiknya maupun kemungkinan pantulan peluru oleh organ tulang, maupun
efek pecahan tulangnya. Luka tembak paling sering mengenai usus halus (50%),
colon (40%), hepar (30%), dan pembuluh darah abdominal (25%). 11
25
Teori-teori tradisional mengharuskan seluruh kasus luka tembak dengan
kecurigaan trauma intra-abdominal, memerlukan tindakan laparotomi
eksplorasi. Beberapa penulis telah mendeskripsikan pendekatan yang lebih
tidak agresif untuk beberapa kasus pasien dengan trauma tajam abdomen,
termasuk luka tembak kecepatan rendah. Penatalaksanaan non-operatif pada
pasien dengan luka tembak dengan penetrasi peritoneum masih bersifat
kontroversial. Pasien yang menunjukkan tanda hipotensi walaupun telah
mendapat resusitasi cairan kristaloid membutuhkan laparotomi eksplorasi
segera, antibiotika, dan booster tetanus. Bagi pasien dengan hemodinamik
stabil, setelah invasi intraperitoneal sudah dipastikan tidak terjadi,
penatalaksanaan konservatif terhadap luka superfisial abdomen dapat
dilaksanakan. Untuk semua kasus luka tembak abdomen, segera minta
bantuan konsultasi bagian bedah. 10-11
Beberapa institusi telah membuat kebijakan akan dilakukannya
laparotomi untuk luka tembak abdominal berdasarkan tingginya insidensi
trauma organ pada kasus luka tembak. Satu-satunya pengecualian kebijakan
ini adalah pada pasien stabil dengan jalur peluru yang tidak jelas, keraguan
akan penetrasi peritoneal, atau luka pada regio torakoabdominal sehingga
penilaian selanjutnya diperlukan untuk mengetahui apakan trauma tersebut
hanya murni thorax. Pada kasus ini, laparoskopi sebaiknya dilakukan pada
pasien yang telah dipersiapkan untuk laparotomi dengan pengalaman dalam
menilai luka tembak. 11
Pasien dengan luka tusuk membutuhkan resusitasi, booster tetanus, dan
antibiotika jika terjadi kecurigaan terlibatnya intraperitoneal. Seorang ahli
bedah sebaiknya melakukan seluruh prosedur ini untuk semua luka terutama
luka superfisial dengan staf dan pencahayaan yang adekuat. DPL, CT-scan,
dan laparoskopi dapat digunakan. Bila keterlibatan peritoneal telah dipastikan
tidak terjadi, pasien dapat dipulangkan dengan instruksi luka lokal. Bila
peritoneum telah terlibat, berdasarkan teori tradisional, harus membutuhkan
laparotomi eksplorasi. Beberapa ahli bedah mulai meneliti beberapa pasien
tanpa tanda pasti trauma intraperitoneal pada pemeriksaan fisik atau
identifikasi dengan menggunakan radiologi, dapat diberikan penatalaksanaan
yang hampir sama seperti pada luka tembak kecepatan rendah. Pada kasus
penetrasi peritoneal, laparatomi merupakan suatu keharusan, maka dari itu
26
pada kasus penetrasi peritoneal harus dilakukan laparoskopi atau eksplorasi
luka pada ruang operasi.
4.3 Syok
Definisi
Syok adalah suatu sindrom klinis yang ditandai dengan adanya gangguan
sistem sirkulasi yang mengakibatkan tidak adekuatnya perfusi dan oksigenasi
untuk mempertahankan metabolisme aerobik sel secara normal.12
Tipe Tipe Syok
Syok hipovolemik disebabkan oleh kehilangan volume akut sebesar
lebihdari sama dengan 20-25% dari volume darah yang beredar. Penyebab
dari syok hipovolemik termasuk hemoragi dan penumpukan cairan dalam
tubuh, misalnya pada obstruksi usus. Syok hipovolemik dikenali dari
penurunan BP,CO,CVPdan tekanan arteri pulmonal.
Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan utama jantung untuk
menghasilkan CO yang adekuat. Penyebab tersering adalah infark miokard
dan komplikasi akutnya . Syok kardiogenik ditandai dengan hipotensi,CO
rendah walaupun status volume adekuat, peningkatan tekanan arteri
pulmonal dan tekanan perfusi pulmonal
Syok distributif dikenali dari penurunan denyut vaskuler akibat vasodilatasi
arterial , venous pooling dan redistribusi aliran darah. Hal ini dapat
dikarenakan oleh bakteria hidup dan produk mereka dalam syok septik ,
mediator sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS) berbagai macam bahan
vasoaktif dalam syok anafilaktik atau dikarenakan hilangnya denyut vaskuler
dalam syok neurogenik . syok distributif dikenali dengan hipotensi dan CO
yang tinggi.
Syok obstruktif dikaitkan dengan kesukaran mekanis pada arus balik vena
dan/atau aliran arteri ke jantung. Penyebab-[enyebabnya antara lain tension
pneumothorax, emboli pulmonal, pericardial tamponade, sindrom
kompartemen abdominal dan kadang kadang ventilasi tekanan positif, PEEP
dan atuto PEEP. Syok obstruktid dikenali dari penurunan BP dan Co disertai
kenaikan CVP.
Mekanisme Kompensasi Syok
27
1. Respon neurohumoral : meningkatkan rangsang simpatetik, dimana hal ini
akan menaikkan kontraktilitas miokardial dan vasokonstriksi peripheral , serta
melepaskan hormon-hormon stress seperti epinefrin,glukagon,aldosteron,
kortisol dan hormon anti diuretic.
2.Respon metabolik melepaskan hormon-hormon anti insulin yang merangsang
resistensi insulin hiperglikemia dan lipolysis.
3.Pelepasan mediator inflamasi menyababkan proteolisis otot,menghasilkan asam
amino yang penting untuk menyokong sintesis protein sebagai dasar pertahanan
host (misalnya reaktan-reaktan fase akut). Keadaan katabolik yang umum ini
dapat menyebabkan muscle wasting,kelemahan,penyembuhan luka yang buruk ,
kehilangan integritas mukosa gastrointestinal, hipoalbuminemia dan energi. Luka
seluler juga dapat disebabkan oleh reperfusi jaringan ketika oksigen, metabolit-
metabolit lokal dan enzim-enzim oksidatif menghasilkan radikal-radikal bebas
dan zat0zat sitotoksik lainnya. 12
Tanda dan gejala perfusi tidak adektuat :
SSP : perubahan status mental
Jantung : nyeridada , iskemia, hemodinamik tidak stabil
Ginjal : penurunan jumlah urin , peningkatan konsentrasi urea, nitrogen dan
serum kreatinin dalam darah
GI : nyeri abdominal dan kembung , penurunan bising usus dan hematochezia
Perifer : akral dingin, waktu pengisian kapiler yang buruk dan pulsasi yang
lemah
Tanda tanda klinis hipoperfusi jaringan dan disfungsi seluler
Tekanan darah arteri dan CO rendah, pengeluaran urin sedikit ,
penurunan turgor kulit, perubahan status mental
Asidosis metabolik,defisit basa,bikarbonat serum rendah
Peningkatan laktat serum
pH intra gastric rendah
Mixed venous PO2 rendah
Determinan Mixed venous PO2
28
Cardiac output
PaO2
O2 dissociation curve shift
Konsumsi O2 jaringan (VO2)
Pengelolaan syok
- Akses Intravena
- Evaluasi Jalan napas
Harus dilakukan karena intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanin
mungkin diperlukan ketika terjadi hipoksemia,hiperkarbia, edema jalan
napas atau perubahan status mental
- Penggantian volume intravaskuler
o Kristaloid
o Koloid
- Farmakologi
Jika penggantian cairan yang tepat gagal untuk mengembalikan tekanan
darah dan perfusi organ yang adekuat , terapi vasopresor harus segera
dilakukan. Terapi vasopresor juga dibutuhkan untuk menjaga perfusi
organ menghadapi hipotensi. 13
Inotropik dan Vasopresor yang umum digunakan
Nama obat Target reseptor Efek
Katekolamin
- Dopamin
- Epinefrin
- Norepinefrin
Katekolamin Sintesis
- Dobutamin
- Dopexamin
- Efedrin
- Fenilefrin
Inhibitor
Fosfodiesterase-III
- Milrinon
Alfa1,Beta1,Gamma
Alfa1,Beta1,Beta2
Alfa1,Beta1
Beta1,Beta2
Beta1,Beta2,Gamma
Alfa1,Beta1,Beta2
Alfa1
Cyclic GMP mediated
CO,BP,HR,Perfusi ginjal
CO,BP,HR,Bronkodilator
CO,BP
CO, HR,BP
CO,HR,Perfusi ginjal
Seperti epinefrin
BP,HR,CO
BP,HR,CO
29
Hormon
- Vasopresin
G protein mediated BP
1. Dopamin adalah pelopor norepinefrin dan epinefrin. Pada dosis rendah
akan mempengaruhi vascular gamma1 dopamine receptors (ginjal dan
mesenterika) mengarah ke vasodilatasi. Pada dosis lebih tinggi dopamin
akan mempengaruhi beta 1adrenergic menjadi inotropik positif dan dan
efek kronotropik. Pada dosis yang jauh lebih akan mengajak alfa1
adrenergic dengan efek vasokonstriksi. 12-13
2. Dobutamin juga menstimulasi reseptor beta adrenergik tetapi tidak pada
gamma dan alfa sehingga meniakkan kontraktilitas jantung dan
menurunkan denyut vaskuler .
3. Dopexamin adalah turunan sintestis dari dopamin dengan gamma dan
beta 2 yang lebih baik dibandingkan aktifitas beta1 serta tidak ada
aktifitas alfa.
4. Epinefrin adalah katekolamin kuat yanng menstimulasi alfa,beta1 dan
beta2 adrenergik.
5. Norepinefrin memiliki aktifitas alda dan beta adrenergik.Baik untuk
pasien yang membutuhkan bantuan untuk denyut vaskule dan
kontraktilitas miokardial , norepinefrin tidak memiliki aktifitas beta2.
6. Inhibitor PDE-III meningkatkan kontraktilitas miokardial dan relaksasi
diastolik serta menurunkan dneyut vaskuler.
Vasopresor
1. Phenylephrine adalah agonis alfa1 selektif yang menyebabkan vasokonstriksi
arterial murni. Fenilefrin meningkatkan BP dengan cepat berkaitan dengan reflek
bradikardi.
2. Vasopresin adalah hormon yang disintesis dalam hipotalamus dan disimpoan
dalam pitiutari posterior. Merupakan vasokonstriktor langsung tanpa efek
inotropiuk atau kronotropik.
3. Efedrin adalah alfaindirek dan agonis beta yang menyebabkan peningkatan
denyut jantung dan kardiak output dengan vasokonstrisi sedang.
4.4 Sepsis
30
Definisi
Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) adalah pasien yang
memiliki dua atau lebih kriteria sebagai berikut :
1) Suhu > 38o C atau < 36o C
2) Denyut jantung > 90 x permenit
3) Respirasi > 20 x permenit atau Pa CO2 < 32 mmHg
4) Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau >10% sel imatur (band)
Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui (ditentukan
dengan biakan positif terhadap organisme dari tempat tersebut). Biakan darah
tidak harus positif. Meskipun SIRS, sepsis dan syok septik biasanya
berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak harus terdapat bakteremia. Bakteremia
adalah keadaan bakteri hidup dalam komponen darah. Sepsis berat adalah sepsis
yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan hipoperfusi, atau hipotensi.
Kelainan hipoperfusi meliputi (tetapi tidak terbatas) pada asidosis laktat, oliguria,
atau perubahan akut pada status mental.14
Berdasarkan konferensi internasional pada tahun 2001, terdapat tambahan
pada kriteria sebelumnya. Dimana pada konferensi tahun 2001 menambahkan
kriteria diagnostik baru pada sepsis. Bagian yang terpenting adalah dengan
memasukkan petanda biomolekuler yaitu pricalcitonin (PCT) dan C reactive
protein (CRP), sebagai langkah awal dalam diagnosis sepsis. Rekomendasi yang
utama adalah implementasi dari suatu sistem tingkatan Predisposition, Insult
infection, Response dan Organ disfunction (PIRO) untuk menentukan
pengobatan secara maksimum berdasarkan karakteristik pasien dengan
stratifikasi gejala dan resiko.14
Etiologi
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram negatif dengan
presentase 60 sampai 70% kasus, yang menghasilkan berbagai produk yang
menstimulasi sel imun. Stafilokokus, pneumokokus, streptokokus dan bakteri
gram positif lain jarang menyebabkan sepsis, dengan angka kejadian sepsis 20
sampai 40 % dari keseluruhan kasus. Selain itu jamur oportunistik, virus,
(Dengue dan Herpes) atau protozoa (Falciparum malariae) dilaporkan dapat
menyebabkan sepsis walaupun jarang.14
Patofisiologi
31
1. Mekanisme Host Untuk Mengenali mikroba
Kemampuan untuk mengenali berbagai mikroba mungkin mempengaruhi
potensi dari pertahanan host dan pathogenesis sepsis. Kebanyakan bakteri aerob
dan gram negative anaerob memicu severe sepsis dan syok (termasuk E.coli,
Klebsiella, Enterobakter). Ketika mereka menginvasi host sering melewati barier
epitel, infeksi biasanya di jaringan subepitelial. Jika terjadi bakterimia, selalu
intermiten dan low-grade, dimana bakteri ini dihilangkan dari aliran darah oleh
sel kupffer dan makrofag limfa. Sehingga akan menimbulkan terjadinya sepsis
dengan memicu terjadinya peradangan lokal daripada beredar didalam aliran
darah.15
2. Respon lokal dan sistemik host dalam menginvasi mikroba
Pengenalan mikroba oleh fagosit jaringan memicu produksi dan atau
pelepasan berbagai molekul host (sitokin, kemokin, prostanoid, leukotrien, dan
yang lainnya) yang akan terjadi peningkatan aliran darah ke jaringan yang
terinfeksi, peningkatan permeabilitas dari pembuluh darah lokal, banyaknya
neutrofil yang dating ke tempat infeksi, dan peningkatan nyeri. Fenomena ini
merupakan elemen dari terjadinya peradangan lokal, pertahanan awal tubuh
untuk mengeliminasi mikroba.15
Respon sistemik diaktifasi oleh neural dan humoral dengan hypothalamus
dan batang otak, respon ini akan meningkatkan pertahanan lokal dengan
meningkatkan aliran darah ke area yang terinfeksi, peningkatan jumlah neutrofil
di sirkulasi, dan meningkatnya jumlah molekul di darah yang mempunyai fungsi
anti infeksi.15
Sitokin dan mediator lain
Respon tubuh terhadap suatu pathogen melibatkan berbagai macam
komponen sistem imun dan berbagai macam sitokin baik itu yang bersifat
proinflamasi dan antiinflamasi. Yang termasuk sitokin proinflamasi adalah TNF,
IL-1, interferon yang bekerja membantu sel untuk menghancurkan
mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi adalah
interleukin 1 reseptor antagonis, IL-4, IL-10 yang bertugas untuk memodulasi,
koordinasi atau represi terhadap respon yang berlebihan. Karena
ketidakseimbangan antara proinflamasi dan inflamasi akan menimbulkan
kerugian bagi tubuh. IL-6 adalah sitokin yang merupakan respon fase akut yang
dapat sebagai sitokin pro-inflamasi karena IL-6 dihasilkan oleh makrofag yang
32
teraktivasi dan dilain pihak sebagai sitokin anti-inflamatori karena juga
dihasilkan dari sel Th2 yang teraktifasi.15
Seperti yang telah dijelaskan di keterangan sebelumnya, maka limfosit T
akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai imunomodulator
yaitu: IFN-γ, IL-2, dan granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-
CSF). Sedangkan limfosit Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10.
IFN-γ merangsang makrofag mengeluarkan IL-1β dan TNF-α, kesemuanya ini
merupakan sitokin proinflamatori, sehingga akan terjadi peningkatan pada
keadaan sepsis. IL-2 dan TNF-α selain merupakan reaksi terhadap sepsis dapat
pula merusakkan endotel pembuluh darah yang mekanisme nya sampai saat ini
belum jelas. IL-1β sebagai imuno regulator utama juga mempunyai efek pada sel
endothelial termasuk didalamnya pembentukkan prostaglandin E2 dan
merangsang ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). Dengan
adanya ICAM-1 menyebabkan neutrofil yang telah tersensitasi oleh GM-CSF
akan mudah mengadakan adhesi.15
Interaksi endotel dengan neutrofil terdiri atas tiga langkah yaitu:
1. Bergulirnya neutrofil, P dan E-selektin yang dikeluarkan oleh endotel dan
L-selektin neutrofil dalam mengikat ligan respektif.
2. Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi dan aktivasi neutrofil
yang mengikat intergretin CD-11 atau CD-18, yang melekatkan neutrofil
pada endotel dengan molekul adhesi (ICAM) yang dihasilkan oleh
endotel.
3. Transmigrasi neutrofil menembus dinding endotel.
Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisosim yang
akan menyebabkan dinding endotel lisis, akibatnya endotel terbuka. Neutrofil
juga membawa superoksidan yang termasuk dalam radikal bebas yang akan
mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs. Akibat proses
tersebut endotel menjadi nekrosis, sehingga terjadi kerusakan endotel pembuluh
darah dan terjadi gangguan vaskuler (vascular leak) sehingga menyebabkan
kerusakan organ multipel.15
Diagnosa
33
Diagnosis sepsis meliputi riwayat medis yang cermat, manifestasi klinis,
pemeriksaan fisik, uji laboratorium yang sesuai, dan tindak lanjut status
hemodinamik.
Manifestasi klinis
Manifestasi klinis sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya didahului oleh
tanda – tanda sepsis non spesifik, meliputi demam, menggigil, dan gejala
konstitusi seperti lelah, malaise, gelisah atau kebingungan. Gejala tersebut tidak
khusus untuk infeksi dan dapat dijumpai pada banyak macam kondisi inflamasi
non infeksius. Manifestasi respons septik biasanya tumpang tindih atau
memperkuat gejala dan tanda penyakit penyebab dan infeksi primernya. Rata –
rata perkembangan gejala dan tanda berbeda dari satu pasien dengan pasien lain
dan bervariasi dalam tampilan klinis. Sebagai contoh, beberapa pasien sepsis
normo- atau hipotermi; tidak demam pada neonatus, pada pasien yang lebih tua,
dan pada orang dengan uremia atau alkoholik. Gejala sepsis tersebut akan
menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, dan
gagal organ utama. Sumber infeksi merupakan determinan penting untuk
terjadinya berat dan tidaknya gejala – gejala sepsis.15
Hiperventilasi adalah tanda yang paling sering dan awal. Disorientasi,
gelisah, dan manifestasi lain dari ensefalopati bisa juga terjadi pada respons
septik awal, terutama pada yang lebih tua dan pasien yang memiliki gangguan
neurologi sebelumnya.15
Banyak jaringan yang tidak dapat mengekstraksi oksigen dari darah
dengan normal, sehingga terjadi metabolisme anaerob. Kadar laktat darah
meningkat awalnya, karena peningkatan glikolisis dengan gangguan klirens
laktat dan piruvat oleh hati dan ginjal. Karena hipoperfusi, jaringan hipoksia
menghasilkan banyak asam laktat, berperan dalam asidosis metabolik. Kadar
gula darah sering meningkat, terutama pada pasien dengan diabetes, meskipun
gangguan glukoneogenesis dan pelepasan insulin berlebihan menyebabkan
hipoglikemia.15
Kriteria Sepsis adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome
(SIRS) ditambah dugaan infeksi atau terbukti adanya infeksi. SIRS adalah pasien
yang memiliki dua atau lebih kriteria berikut:
1. Demam (temperatur oral > 38º C) atau hipotermi (< 36º C)
2. Takipneu (> 24 kali/ menit)
34
3. Takikardi (denyut jantung > 90 kali/ menit)
4. Leukositosis (>12.000/ mm3), leucopenia (< 4.000/ mm3), atau > 10% sel
imatur (band)
Sedangkan disebut sepsis berat jika sepsis dengan satu atau lebih disfungsi
organ, contohnya:14
1. Kardiovaskular
Tekanan darah sistolik arteri ≤ 90 mmHg atau Mean Arterial Pressure
(MAP) ≤ 70 mmHg yang respon pada cairan intravena.
2. Ginjal
Urine output < 0,5 cc/ kg BB/ jam selama 1 jam meskipun sudah
resusitasi cairan adekuat.
3. Respirasi
PaOa/FIO2 ≤ 250, atau jika hanya paru – paru disfungsi ≤ 200
4. Hematologi
Jumlah platelet < 80.000/ µL atau menurun 50 % dari nilai tertinggi pada
3 hari sebelumnya.
5. Asidosis metabolik yang tidak terjelaskan
pH ≤ 7,3 atau base deficit ≥ 5,0 mEq/L dan kadar laktat plasma > 1,5 kali
di atas batas atau nilai normal
6. Resusitasi cairan adekuat
Tekanan arteri paru ≥ 12 mmHg atau tekanan vena sentral ≥ 8 mmHg.
Sedangkan disebut syok septik apabila sepsis dengan hipotensi (tekanan
darah arteri < 90 mmHg sistolik, atau 40 mmHg kurang dari tekanan darah
normal) selama paling sedikit 1 jam meskipun resusitasi cairan adekuat; atau
membutuhkan vasopresor untuk menjaga tekanan darah sistolik ≥ 90 mmHg atau
MAP ≥ 70 mmHg.14
Data laboratorium
Uji laboratorium meliputi Complete Blood Count (CBC) dengan hitung
diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, glukosa, urea darah, nitrogen,
kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri,
elektrokardiogram, dan foto toraks. Biakan darah, sputum, urin, dan tempat lain
yang terinfeksi harus dilakukan. Lakukan pewarnaan Gram di tempat yang
biasanya steril (darah, CSF, cairan artikular, ruang pleura) dengan aspirasi.
Minimal dua sampel biakan darah harus diambil dalam periode 24 jam. Jka terapi
35
antibiotik sudah dimulai, beberapa macam antibiotik dapat dideaktivasi di
laboratorium klinis.15
Tergantung pada status klinis pasien dan resiko – resiko terkait, pemeriksaan
dapat juga menggunakan foto abdomen, CT Scan, MRI, ekokardiografi, dan/atau
lumbal pungsi.15
Pada sepsis awal, hasil laboratorium yang dapat dijumpai adalah
leukositosis, trombositopenia, hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Dapat terjadi
leucopenia. Neutrofil mengandung granulasi toksik, badan Dohle, atau vakuola
sitoplasma. Hiperventilasi menimbulkan alkalosis respiratori. Penderita diabetes
dapat mengalami hiperglikemia. Lipid serum meningkat.
Selanjutnya, trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu
trobin, penurunan fibrinogen, dan keberadaan D- dimer yang menunjukkan DIC
(Disseminated Intravascular Coagulation). Azotemia dan hiperbilirubinemia
lebih dominan. Aminotransferase (enzim liver) meningkat. Bila otot pernapasan
lelah, tejadi akumulasi laktat serum. Hiperglikemia diabetic dapat menimbulkan
ketoasidosis yang memperburuk hipotensi.15
Terapi
Tiga prioritas utama dalam terapi sepsis, yaitu :16
1. Stabilisasi Pasien Langsung
Masalah mendesak yang dihadapi pasien dengan sepsis berat adalah
pemulihan abnormalitas yang membahayakan jiwa (ABC :airway, breathing,
circulation). Pemberian resusitasi awal sangat penting pada penderita sepsis,
dapat diberikan kristaloid atau koloid untuk mempertahankan stabilitas
hemodinamik. Perubahan status mental atau penurunan tingkat kesadaran akibat
sepsis memerlukan perlindungan langsung terhadap jalan nafas pasien. Intubasi
diperlukan juga untuk memberikan kadar oksigen lebih tinggi. Ventilasi mekanis
dapat membantu menurunkan konsumsi oksigen oleh otot pernafasan dan
peningkatan ketersediaan oksigen untuk jaringan lain. Peredaran darah terancam,
dan penurunan bermakna pada tekanan darah memerlukan terapi empirik
gabungan yang agresif dengan cairan (ditambah kristaloid atau koloid) dan
inotrop / vasopresor (dopamin, dobutamin, fenilefrin, epinefrin atau
norepinefrin). Pada sepsis berat diperlukan pemantauan peredaran darah. CVP 8
– 12 mmHg; Mean arterial pressure ≥ 65 mmHg; urine output ≥ 0.5 ml/kg/jam;
36
Central venous (superior vena cava) oxygen saturation ≥ 70% atau mixed venous
≥ 65%.
Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU. Tanda vita
pasien (tekanan darah, denyut jantung, laju nafas, dan suhu badan) harus
dipantau. Frekuensinya tergantung pada berat sepsis. Pertahankan curah jantung
dan ventilasi yang memadai dengan obat. Pertimbangkan dialisis untuk
membantu fungsi ginjal. Pertahankan tekanan darah arteri pada pasien hipotensif
dengan obat vasoaktif, misal dopamin, dobutamin atau norepinefrin.
2. Pemberian Antibiotik yang Adekuat
Agen antimikrobial tertentu dapat memperburuk keadaan pasien. Diyakini
bahwa antimikrobial tertentu menyebabkan pelepasan lebih banyak LPS
sehingga menimbulkan lebih banyak masalah bagi pasien. Antimikrobial yang
tidak menyebabkan pasien memburuk adalah : karbapenem, seftriakson, sefepim,
glikopeptida, aminoglikosida dan quinolon.
Perlu segera diberikan terapi empirik dengan antimikrobial, artinya bahwa
diberikan antibiotika sebelum hasil kultur dan sensitivitas tes terhadap kuman
didapatkan. Pemberian antimikrobial secara dini diketahui menurunkan
perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah hasil kultus dan sensitivitas
didapatkan maka terapi empirik diubah menjadi terapi rasional sesuai dengan
hasil kultur dan sensitivitas, pengobatan tersebut akan mengurangi jumlah
antibiotika yang diberikan sebelumnya (dieskalasi). Diperlukan regimen
antimikrobial dengan spektrum aktivitas luas sesuai dengan hasil kultur. Hal ini
karena terapi antimikrobial hampir selalu diberikan sebelum organisme yang
menyebabkan sepsis diidentifikasi.
Obat yang digunakan tergantung sumber sepsis.
1. Untuk pneumonia dapatn komunitas biasanya digunakan 2 regimen
obat. Biasanya sefalosporin generasi ketiga (seftriakson) atau keempat
(sefepim) diberikan dengan aminoglikosida (biasanya gentamisin).
2. Pneumonia nosokomial : sefipim atau iminem – silastatin dan
aminoglikosida.
3. Infeksi abdomen : imipenem – silastatin atau pipersilin – tazobaktam
dan aminoglikosida.
4. Infeksi abdomen nosokomial : imipenem – silastatin dan
aminoglikosida atau pipersilin – tazobaktam dan amfoterisin B.
37
5. Kulit / jaringan lunak : vankomisin dan imipenem – silastatin atau
pipersilin – tazobaktam.
6. Kulit / jaringan lunak nosokomial : vankomisin dan sefipim.
7. Infeksi traktus urinaris : siprofloksasin dan aminoglikosida.
8. Infeksi traktus urinaris nosokomial : vankomisin dan sefipim.
9. Infeksi CNS : vankomisin dan sefalosporin generasi ketiga atau
meropenem.
10. Infeksi CNS nosokomial : meropenem dan vankomisin.
Regimen obat tunggal biasanya hanya diindikasikan bila organisme
penyebab sepsis telah diidentifikasi dan uji sensitivitas antibiotik menunjukkan
macan antimikrobial yang terhadapnya organisme memiliki sensitivitas.
3. Fokus infeksi awal harus dieliminasi
Hilangkan benda asing. Salurkan eksudat purulen, khususnya untuk infeksi
anaerobik. Angkat organ yang terinfeksi, hilangkan atau potong jaringan yang
gangren.1
4. Pemberian nutrisi yang adekuat
Pemberian nutrisi merupakan terapi tambahan yang sangat penting berupa
makro dan mikronutrient. Makronutrient terdiri dari omega 3 dan golongan
nukleotida yaitu glutamin, sedangkan mikronutrient berupa vitamin dan trace
element.1
5. Terapi Suportif
Eli Lily dan Company mengumumkan bahwa hasil uji klinis phase III
menunjukkan drotrecogin alfa (protein C teraktifkan rekombinan, Zovant)
menurunkan resiko relatif kematian akibat sepsis dengan disfungsi organ akut
terkait (dikenal dengan sepsis berat) sebesar 19,4 persen. Zovant merupakan
antikoagulan.1
Early Goal Directed Therapy (EGDT)
Rivers (2001), dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa metode
resusitasi yang berorientasi pada perbaikan oksigenasi jaringan sebagai tujuan
akhir (end point) di unit gawat darurat, telah berhasil menurunkan angka
mortalitas syok sepsis menjadi 16%. Resusita yang dikembangkan oleh Rivers
dkk ini lebih kita kenal dengan metode resusitasi Early Goal Directed Therapy
(EGDT). Kelompok studi The Surviving Sepsis Compaign (SSC) sejak tahun
38
2003 telah mengembangkan pedoman pengelolaan pasien dengan sepsis dalam
bentuk rekomendasi. Pada edisi revisi tahun 2008 kelompok studi sepsis ini
merekomendasikan EGDT sebagai metode resusitasi pasien dengan sepsis berat
dan syok sepsis 6 jam pertama pasien datang. Penilaian awal hemodinamik pada
temuan pemeriksaan klinis, tanda vital, central venous pressure /CVP, dan
jumlah urin (urinary output) gagal mendeteksi keadaan hipoksia jaringan
sistemik. Strategi resusitasi definitif yang berorientasi sasaran (Goal Directed
Therapy) dengan memanipulasi cardiac preload, afterload, dan kontraktilitas
untuk mencapai keseimbangan systemic oxygen delivery/DO2 dan kebutuhan
oksigen (oxygen demand). Hasil akhir yang diharapkan adalah tercapainya nilai
normal dari saturasi oksigen vena sentral (central venous oxygen
saturation/ScvO2.), konsentrasi laktat, base deficit, dan pH. Saturasi oksigen vena
sentral adalah petunjuk yang mewakili nilai kardiak indeks yang merupakan
target terapi homodinamik. Pada beberapa kasus pemasangan kateter arteri
pulmonalis (pulmonary-artery catheter) dinilai tidak praktis, pengukuran saturasi
oksigen vena (venous oxygen saturation) dapat diukur di sirkulasi sentral.
Dalam perkembangannya protokol untuk penatalaksanaan sepsis berat
dan syok sepsis pemeriksaan nilai serum laktat sebaiknya dilakukan sesegera
mungkin setelah pasien masuk ke IGD walau pun pada pasien tidak dijumpai
adanya hipotensi, peningkatan nilai serum laktat ≥ 4 mmol/L merupakan indikasi
terjadinya hipoksia dan perlu tindakan EGDT segera untuk optimalisasi pasien.
39
Gambar 2. Resusitasi metode Early Goal Directed Therapy (EGDT)17
Komplikasi
a. Komplikasi Cardiopulmonary
Mismatching ventilasi-perfusi menghasilkan penurunan PO2 arteri di
awal perjalanan penyakit. Peningkatan permeabilitas alveolar kapiler
menghasilkan peningkatan kadar air paru, yang menurunkan kemampuan paru
dan mengganggu pertukaran oksigen. Infiltrat paru difus progresif dan
hipoksemia arteri (pao2 / Fio, <200) menunjukkan berkembangnya sindrom
gangguan pernapasan akut (ARDS). ARDS berkembang pada 50% dari pasien
dengan sepsis berat atau syok septik. Kegagalan otot pernafasan bisa
memperburuk hipoksemia dan hypercapnia. Sebuah peninggian tekanan baji
kapiler paru (> 18 mmhg) lebih menunjukkan overload volume cairan atau gagal
40
jantung daripada ARDS. Pneumonia disebabkan oleh virus atau oleh
Pneumocystis mungkin secara klinis tidak dapat dibedakan dari ARDS. Sepsis
hipotensi-induced biasanya hasil dari maldistribution umum aliran darah dan
volume darah serta dari hipovolemia yang jatuh tempo, setidaknya sebagian,
kebocoran cairan kapiler intravaskuler. Faktor lain yang dapat menurunkan
volume intravaskuler efektif termasuk dehidrasi dari penyakit terdahulu atau
kerugian cairan yang tidak disadari, muntah atau diare, dan poliuria.15
Selama awal syok septik, resistensi vaskuler sistemik biasanya meningkat
dan output jantung mungkin rendah. Setelah pemenuhan cairan, sebaliknya,
output jantung biasanya meningkat dan resistensi pembuluh darah sistemik
menurun. Output jantung yang normal atau meningkat dan penurunan resistensi
pembuluh darah sistemik membedakan dari syok kardiogenik, obstruktif
extracardiac, dan hipovolemik shock, proses-proses lain yang dapat
menghasilkan kombinasi ini termasuk anafilaksis, beriberi, sirosis, dan overdosis
dari nitroprusside atau narkotika.
Depresi fungsi miokard, dinyatakan sebagai peningkatan volume
ventricular end diastolic dan sistolik dengan penurunan fraksi ejeksi, berkembang
dalam waktu 24 jam pada kebanyakan pasien dengan sepsis berat. Cardiac
output dipenuhi, terlepas dari fraksi ejeksi rendah, karena
dilatasi ventrikel memungkinkan volume normal stroke. Pada penderita, fungsi
miokard kembali normal selama beberapa hari. Meskipun disfungsi miokard
dapat berkontribusi terhadap hipotensi, hipotensi refractory biasanya karena
resistensi pembuluh darah sistemik yang rendah, dan kematian hasil dari shock
refraktori atau kegagalan organ multiple bukan dari disfungsi jantung.
b. Komplikasi ginjal
Oliguria, azotemia, proteinuria, dan cast kemih nonspesifik sering ditemukan.
Banyak pasien yang dengan polyuria tidak sesuai ; hiperglikemia dapat
memperburuk kecenderungan ini. Kebanyakan kegagalan ginjal adalah karena
nekrosis tubular akut yang disebabkan oleh hipotensi atau cedera kapiler,
meskipun beberapa pasien juga memiliki glomerulonefritis, nekrosis korteks
ginjal, atau nefritis interstisial. Kerusakan ginjal drug-induced mungkin
mempersulit terapi, khususnya pasien ketika hipotensi diberikan antibiotik
aminoglikosida.
41
c. Koagulasi
Meskipun trombositopenia terjadi dalam 10 sampai 30% dari pasien, mekanisme
yang mendasari tidak dipahami. Trombosit biasanya sangat rendah (<50.000 / µl)
pada pasien dengan DIC; jumlah ini rendah mungkin mencerminkan cedera
endotel menyebar atau trombosis mikrovaskuler.
d. Komplikasi neurologis
Ketika sepsis berlangsung selama berminggu-minggu sampai bulan, "krisis-
penyakit" polineuropati dapat menghambat dukungan ventilasi dan menghasilkan
kelemahan motorik distal.
Prognosis
Setidaknya 20-35% pasien dengan sepsis berat dan 40 sampai 60% dari
pasien dengan syok septik meninggal dalam waktu 30 hari. Kematian lainnya
dalam 6 bulan berikutnya. Kematian pada akhirnya sering disebabkan infeksi
yang kurang dikendalikan, komplikasi dari perawatan intensif, kegagalan dari
beberapa organ, atau penyakit yang mendasari pasien. Sistem stratifikasi
prognosis seperti APACHE II menunjukkan bahwa faktor dalam usia pasien,
kondisi yang mendasari, dan berbagai variabel fisiologis dapat menghasilkan
perkiraan resiko kematian dari sepsis berat. Dari kovariat individu, tingkat
keparahan dari penyakit yang mendasari paling kuat mempengaruhi risiko
kematian. Syok septik juga predileksi mortalitas jangka pendek dan jangka
panjang yang kuat.
42
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Ilmu Penyakit
Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing, 2009. p. 1630-3
2. Silbernagl S, Lang F. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta:
EGC, 2006.
3. Sherwood L. fisiologi manusia dari sel ke sistem. 2nd ed. Jakarta: EGC,
2001. p. 337
4. Mangku G, Senapathi T. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi.
Jakarta: Indeks, 2009. p. 24-46
5. Said Latief, Kartini A. Suryadi, M. Ruswan. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Edisi 2. Bagian Aanastesiologi dan Terapi Intensif FK UI;
2001
6. Morgan, G. Edward. 2005. Clinical Anesthesiology, 4th Edition. Mc
Graw-Hill Companies, Inc. United State
7. Scheer B, Perel A, Pfeiffer UJ. Clinical review: complications and risk
factors of peripheral arterial catheters used for haemodynamic monitoring
in anaesthesia and intensive care medicine. Crit Care. Jun 2002;6(3):199-
204.
8. Milzma D, Janchar T. Arterial puncture and cannulation. In: Roberts JR,
Hedges JR. Clinical Procedures in Emergency Medicine. 4th.
Philidelphia: W.B. Saunders; 2004:384-400.
9. Moore KL, Agur AMR. 2008, Anatomi Klinik Dasar, Penerbit EGC,
Jakarta. P. 80-90
10. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support Untuk
Dokter Edisi 7. Jakarta: IKABI. 2004, Bab 5; Trauma Abdomen.
11. Ahmadsyah, I. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara
Publisher, 2009, Bab 2; Digestive.
43
12. Stacey R, Keith B, Luca B. Hemodinamic management in: Critical care
hand booj of Massachusetts General Hospital fourth ed. FCCS third ed.
Society of critical care medicine .USA 2002
13. Marino PL. The little ICU Book of fact and formula. Lippincott Williams
Wilkins, a Wolters Kluwer. 2009;97-171
14. Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al: 2001
SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions
Conference. Crit Care Med 2003; 31:1250–1256.
15. Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of
Severe Sepsis and Septic Shock: 2012. Februari 2013. Volume 41.
Number 2.
16. Cinel I, Dellinger RP: Current treatment of severe sepsis. Curr Infect Dis
Rep 2006; 8:358–365
17. Osbom MT. Early goal directed therapy in severe septic shock revisited.
Chest 2006; 130: 1579-95
44