case bedah dewi
DESCRIPTION
dewiTRANSCRIPT
LAPORAN KASUS CEDERA KEPALA SEDANG,
CONTUSIO CEREBRI, FRAKTUR BASIS CRANII
Gerard M.A. da Cunha
030.08.109
KOASS BEDAH RSUD BUDHI ASIH
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Pembimbing dr Ibnu Sp. BS
Jakarta
8 maret 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, sehingga saya
dapat menyelesaikan laporan kasus saya ini yang berjudul Cedera Kepala Sedang,
Contusio Cerebri, Fraktur Basis Cranii yang menjadi persyaratan dalam
menyelesaikan Program Pendidikan Profesi Dokter di bagian Ilmu Kepaniteraan
Klinik Bagian/SMF Ilmu Bedah di Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih.
Dengan kemampuan yang dimiliki penulis mengakui bahwa laporan kasus ini
masih jauh dari apa yang dioharapkan, masih banyak kekurangannya sehingga
penulis membuka hati untuk menerima segala bentuk kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini.
Demikianlah laporan ini saya buat semoga berguna bagi siapa saja yang
membacanya terutama dalam bidang ilmu kedokteran
Jakarta, 8 maret 2013
STATUS ILMU PENYAKIT BEDAH
SMF BEDAH
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
LONG CASE
Nama Mahasiswa : Gerard Mayella Aditya da Cunha
NIM : 030.08.109
Dokter Pembimbing : dr. Ibnu Sp.BS
IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : Tn. S Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 24 Tahun Suku bangsa : Jawa
Status perkawinan : belum menikah Agama : Islam
Pekerjaan : pekerja swasta Pendidikan : SMA
Alamat : Jl.Palbatu II No.25 Tanggal masuk RS : 11/02/13
A. ANAMNESIS
Diambil dari alloanamnesis, tanggal 12 Februari 2013 pukul 08.00
Keluhan Utama:
Penurunan kesadaran sejak tiga hari SMRS.
Keluhan Tambahan:
Nyeri kepala
Riwayat Penyakit Sekarang:
Os datang ke IGD RSUD Budhi Asih dengan keluhan penurunan kesadaran sejak
dua hari yang hari, keluhan yang dialami oleh Os ini bermula ketika Ia mengalami
kecelakaan di jalan raya, diceritakan oleh keluarganya bahwa Os sempat menabrak
mobil yang sedang diparkir di jalan raya setelah Os menabrak mobil tersebut Os
segera mengendarai motornya lagi namun beberapa saat kemudian jatuh ke dalam
got dan mengaku kepala bagian belakang terbentur tembok got tersebut.
Setelah kecelakaan Os kembali ke rumah namun keluarga melihat perilaku Os yang
berbeda dimana Os sulit untuk berkomunikasi dan terjadi penurunan kesadaran pada
dirinya
Riwayat Penyakit Dahulu:
Os baru pertama kali mengalami trauma di kepalanya. Os tidak memiliki riwayat
penyakit sistemik, penyakit maag maupun penyakit paru kronik
Riwayat Penyakit Keluarga:
Di keluarga os tidak ada yang pernah mengalami hal seperti ini.Tidak ada
yang yang pernah mengalami trauma kepala .Tidak ada yang memiliki riwayat
alergi.Tidak ada yang memiliki riwayat penyakit jantung.
Riwayat Kebiasaan:
Os tidak merokok dan tidak mengkonsumsi alkihol sehari-hari ataupun saat
terjadi kecelakaan tersebut
B. PEMERIKSAAN JASMANI
Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Somnolen, E3V2M6 GCS 11
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80x/menit
Suhu : 38,7oC
Pernafasaan : 18 x/menit
Keadaan gizi : Baik
Tinggi Badan : 165 cm
Berat Badan : 54 kg
IMT : 18,025 kg/m2
Sianosis : Tidak ada
Udema umum : Tidak ada
Cara berjalan : Tidak dinilai (pasien bed rest)
Mobilitas ( aktif / pasif ) : Aktif
Umur menurut taksiran pemeriksa : Sesuai
Aspek Kejiwaan
Tingkah Laku : Tidak tenang
Alam Perasaan : Normothym, serasi
Proses Pikir : Wajar, sesuai
Kulit
Warna : Sawo Matang Efloresensi : Tidak
ada
Jaringan Parut : Tidak ada Pigmentasi : Merata
Pertumbuhan rambut : Merata Lembab/Kering : Lembab
Suhu Raba : Hangat Pembuluh darah : Tidak
melebar
Keringat : Ada Turgor : Baik
Lapisan Lemak : Merata Ikterus : Tidak
ada
Oedem : Tidak ada Lain-lain : Tidak
ada
Kelenjar Getah Bening
Submandibula : Tidak teraba membesar
Supraklavikula : Tidak teraba membesar
Lipat paha : Tidak teraba membesar
Leher : Tidak teraba membesar
Ketiak : Tidak teraba membesar
Kepala
Ekspresi wajah : Tampak kesakitan Simetri muka : Simetris
Rambut : Hitam merata Pembuluh darah temporal : Teraba
pulsasi
Pada mata bagian kiri diatas alis terdapat hematom
Mata
Exophthalamus : Tidak ada Enopthalamus : Tidak
ada
Kelopak : Tidak oedem Lensa : jernih
Konjungtiva : Tidak anemis Visus : 6/6
Sklera : Tidak ikterik Gerakan Mata : dbn
Pupil : Isokor 3mm|3mm Tekanan bola mata :
Normal/palpasi
Lapangan penglihatan : Baik
Nistagmus : Tidak ada
Refleks Cahaya Langsung/Refleks cahaya tak langsung +/+ +/+
Telinga
Tuli : -/- Selaput pendengaran : Intak
Lubang : Lapang Penyumbatan : -/-
Serumen : +/- Perdarahan : -/-
Cairan : -/- Battle Sign : +
Mulut
Bibir : Normal Tonsil : T1 –T1 tenang
Langit-langit : Normal Bau pernapasan : tidak ada
Gigi geligi : OH baik Trismus : tidak ada
Faring : Tidak Hiperemis Selaput lendir : tidak ada
Lidah : Licin, Atrofi papil (-)
Leher
Tekanan Vena Jugularis (JVP) : 5 - 2 cm H2O.
Kelenjar Tiroid : Tidak tampak membesar.
Kelenjar Limfe : Tidak tampak membesar
Dada
Bentuk : Simetris
Pembuluh darah : Tidak tampak pelebaran pembuluh
darah
Buah dada : Simetris, Benjolan (-)
Paru – Paru
Pemeriksaan Depan Belakang
Inspeksi
KiriSimetris saat statis dan
dinamis
Simetris saat statis dan
dinamis
KananSimetris saat statis dan
dinamis
Simetris saat statis dan
dinamis
PalpasiKiri - Fremitus taktil simetris - Fremitus taktil simetris
Kanan - Fremitus taktil simetris - Fremitus taktil simetris
Perkusi Kiri Sonor di seluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru
Kanan Sonor di seluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi
Kiri- Suara Nafas vesikuler
- Wheezing (-), Ronki (-)
- Suara Nafasvesikuler
- Wheezing (-), Ronki (-)
Kanan- Suara Nafas vesikuler
- Wheezing (-), Ronki (-)
- Suara Nafas vesikuler
- Wheezing (-), Ronki (-)
Jantung
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus cordis
Palpasi : Teraba iktus cordis pada sela iga V, 1 cm medial linea midklavikula
kiri.
Perkusi :Batas kanan : sela iga V linea parasternalis kanan.
Batas kiri : sela iga V, 1cm sebelah medial linea midklavikula kiri.
Batas atas : sela iga II linea parasternal kiri.
Batas bawah : sela iga V linea sternalis kanan
Auskultasi: Bunyi jantung I-II murni reguler, Gallop (-), Murmur (-).
Abdomen
Hati : Tidak teraba membesar
Limpa : Tidak teraba membesar
Ginjal : Ballotement negatif, Nyeri ketok costovertebral negatif
Lain-lain : Tidak ada
Anggota Gerak
Lengan Kanan Kiri
Otot
Tonus : Normotoni Normotoni
Massa : Tidak ada Tidak ada
Sendi : Bebas Bebas
Gerakan : Aktif Aktif
Kekuatan : +5 +5
Oedem : Tidak ada Tidak ada
Lain-lain : - -
Tungkai dan Kaki Kanan Kiri
Luka : Tidak ada Tidak ada
Varises : Tidak ada Tidak ada
Otot : Normal Normal
Tonus : Normotoni Normotoni
Massa : tidak ada tidak ada
Sendi : Bebas Bebas
Gerakan : Aktif Aktif
Kekuatan motorik : +5 +5
Sensorik : baik
Oedem : Tidak ada Tidak ada
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium: Tanggal : 11 februari 2013 Instalasi Gawat
Darurat),pk.20.00
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal KeteranganHEMATOLOGI
Leukosit (WBC) 13,7 Ribu/uL 4,5-13 Hemoglobin (HGB) 14,9 g/dL 12.8-16.8 Hematokrit 43 % 35-47 dbnTrombosit (PLT) 156 Ribu/uL 154-442 dbn
KIMIA KLINIKGlukosa darah sewaktu 120 mg/dL <110
ELEKTROLITNatrium 125 mmol/L 135-155 Kalium 4,7 mmol/L 3,6-5,5Klorida 91 mmol/L 98-109
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Foto Rontgen
CT Scan
RINGKASAN
Tn S laki-laki berusia 24 tahun , datang ke IGD RSUD Budhi Asih dengan keluhan
penurunan kesadaran sejak dua hari SMRS. keluhan yang dialami oleh Os ini
bermula ketika Ia mengalami kecelakaan di jalan raya, diceritakan oleh keluarganya
bahwa Os sempat menabrak mobil yang sedang diparkir di jalan raya setelah Os
menabrak mobil tersebut Os segera mengendarai motornya lagi namun beberapa saat
kemudian jatuh ke dalam got dan mengaku kepala bagian belakang terbentur tembok
parit tersebut.
Setelah kecelakaan Os kembali ke rumah namun keluarga melihat perilaku Os yang
berbeda dimana Os sulit untuk berkomunikasi dan terjadi penurunan kesadaran pada
dirinya
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran somnolen GCS 11 tanda vital yaitu
tekanan darah 120/80, nadi 80 x/menit, suhu 38,70C, RR 18 x/menit.pada
pemeriksaan fisik di wajah bagian kiri diatas alis terdapat hematom dan pada telinga
ditemukan adanya battle sign. Pada pemeriksaan laboratorium 11/02/13 (melalui
IGD) pukul 20.00 didapatkan Leukosit 13700 ribu/uL, Hemoglobin 14,9 g/dL,
Hematokrit 43%, dan Trombosit 156 ribu/uL,glukosa darah sewaktu 110 mg/dL,
natrium 125 mmol, kalium 4,7 mmol, klorida 91.
RENCANA PENGELOLAAN
Tatalaksana pada pasien ini adalah dengan pengobatan konservatif
Pro : acc rawat inap
Non medikamentosa
1. Rawat inap
2. Bedrest total
3. Diet makanan lunak
4. Monitoring tanda vital
Medikamentosa
1. Ceftriaxon 2 x 1gr
2. Infus asering kolf/12 jam
3. Ketorolac 3x1 ampul
4. Citicolin 2 x 1gr
5. Ketopain 3 x 1 ampul
6. Panzo 3 x 1 ampul
DIAGNOSIS KERJA
Cedera Kepala Sedang (GCS 11) Comusio Cerebri dan Fraktur Basis Cranii
Dasar Diagnosis berdasarkan anamnesis, hasil laboratorium, dan pemeriksaan fisik:
1. Penurunan Kesadaran GCS 11
2. Pemeriksaan Fisik ditemukan Battle Sign -/+
3. Pemeriksaan Rontgen dan CT Scan menunjukan infark berdarah di
temporoocipital, Subdural Hematom Tipis di temporoocipital kiri, edema
hemisfere kiri
DIAGNOSIS BANDING
1. Cedera Kepala Berat
2. Cedera Kepala ringan
3. Subdural Hematom
4. Epidural Hematom
PROGNOSIS
Ad Vitam : ad bonam
Ad functionam : ad malam
Ad sanationam : dubia ad bonam
FOLLOW UP PASIEN
PERAWATAN HARI KE-1 ( 12 februari 2013 )
Subjektif:
Penurunan Kesadaran
Bicara tidak jelas
mata titak membuka spontan
Objektif:
KU : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos mentis ,E3V2M6 GCS 11
TD : 100/70mmHg
Nadi : 88 x/menit
RR : 18 x/menit
Suhu : 37,6 ºC
Mata : Conjungtiva tidak anemis, Sklera tidak ikterik
THT : Normotia, deviasi septum tidak ada, tidak epistaksis, tonsil T1-T1
tenang, Battle sign -/+
Leher : KGB dan tiroid tidak teraba membesar
Ekstremitas : Akral hangat
Assesment :
Cedera Kepala Sedang (GCS 11) Comusio Cerebri dan Fraktur Basis Cranii
Planning:
Ceftriaxon 2 x 1gr
Infus asering kolf/12 jam
Ketorolac 3x1 ampul
Citicolin 2 x 1gr
Ketopain 3 x 1 ampul
Panzo 3 x 1 ampul
PERAWATAN HARI KE- 2 ( 13 februari 2013 )
Subjektif :
Mata membuka spontan
Bicara masih tidak jelas
Objektif:
KU : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos mentis, GCS E3V2M6
TD : 100/60mmHg
Nadi : 60x/menit
RR : 12 x/menit
Suhu : 36,8 ºC
Mata : pupil bulat isokor, diameter 3mm|3mm
THT : Battle Sign -/+
Ekstremitas : Akral hangat
Motorik : 5/5 |5/5
Sensorik : dalam batas normal
Assesment :
Cedera Kepala Sedang (GCS 11) Comusio Cerebri dan Fraktur Basis Cranii
Planning:
Ceftriaxon 2 x 1gr
Infus asering kolf/12 jam
Ketorolac 3x1 ampul
Citicolin 2 x 1gr
Ketopain 3 x 1 ampul
Panzo 3 x 1 ampul
PERAWATAN HARI KE- 3 ( 14 februari 2013 )
Subjektif :
Mata membuka spontan
Objektif:
KU : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos mentis GCS E3V2M6
TD : 110/70mmHg
Nadi : 52 x/menit
RR : 16 x/menit
Suhu : 35,6 ºC
Mata : pupil bulat isokor, diameter 3mm|3mm
THT : Battle Sign -/+
Motorik : 5/5 |5/5
Sensorik : dalam batas normal
Assesment :
Cedera Kepala Ringan (GCS 13) Comusio Cerebri dan Fraktur Basis Cranii
Planning:
Ceftriaxon 1 x 2gr
Infus asering kolf/12 jam
Infus manitol
Ketorolac 3x1 ampul
Citicolin 2 x 1gr
Ketopain 3 x 1 ampul
Panzo 3 x 1 ampulPERAWATAN HARI KE- 4 ( 15 februari 2013 )
Subjektif :
Mata membuka spontan
Objektif:
KU : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos mentis GCS E3V4M6
TD : 110/80mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 16 x/menit
Suhu : 36,6 ºC
Mata : pupil bulat isokor, diameter 3mm|3mm
THT : Battle Sign -/+
Motorik : 5/5 |5/5
Sensorik : dalam batas normal
Assesment :
Cedera Kepala Ringan (GCS 13) Comusio Cerebri dan Fraktur Basis Cranii
Planning:
Ceftriaxon 1 x 2gr
Infus asering kolf/12 jam
Infus manitol
Ketorolac 3x1 ampul
Citicolin 2 x 1gr
Ketopain 3 x 1 ampul
Panzo 3 x 1 ampul
PERAWATAN HARI KE- 5 ( 16 februari 2013 )
Subjektif :
Mata membuka spontan
Objektif:
KU : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos mentis GCS E3V4M6
TD : 120/80mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 16 x/menit
Suhu : 36,6 ºC
Mata : pupil bulat isokor, diameter 3mm|3mm
THT : Battle Sign -/+
Motorik : 5/5 |5/5
Sensorik : dalam batas normal
Assesment :
Cedera Kepala Ringan (GCS 13) Comusio Cerebri dan Fraktur Basis Cranii
Planning:
Ceftriaxon 1 x 2gr
Infus asering kolf/12 jam
Infus manitol
Ketorolac 3x1 ampul
Citicolin 2 x 1gr
Ketopain 3 x 1 ampul
Panzo 3 x 1 ampul
PERAWATAN HARI KE- 6 ( 17 februari 2013 )
Subjektif :
Mata membuka spontan
Objektif:
KU : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos mentis GCS E3V4M6
TD : 110/80mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 16 x/menit
Suhu : 36,6 ºC
Mata : pupil bulat isokor, diameter 3mm|3mm
THT : Battle Sign -/+
Motorik : 5/5 |5/5
Sensorik : dalam batas normal
CT Scan : infark berdarah di temporoocipital, Subdural Hematom Tipis di
temporoocipital kiri, edema hemisfere kiri
Assesment :
Cedera Kepala Ringan (GCS 13) Comusio Cerebri dan Fraktur Basis Cranii
Planning:
Ceftriaxon 1 x 2gr
Infus asering kolf/12 jam
Infus manitol
Ketorolac 3x1 ampul
Citicolin 2 x 1gr
Ketopain 3 x 1 ampul
Panzo 3 x 1 ampul
PERAWATAN HARI KE- 7 ( 18 februari 2013 )
Subjektif :
Mata membuka spontan
Objektif:
KU : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos mentis GCS E3V4M6
TD : 110/80mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 16 x/menit
Suhu : 36,6 ºC
Mata : pupil bulat isokor, diameter 3mm|3mm
THT : Battle Sign -/+
Motorik : susah dinilai
Sensorik : susah dinilai
Assesment :
Cedera Kepala Ringan (GCS 13) Comusio Cerebri dan Fraktur Basis Cranii
Planning:
Ceftriaxon 1 x 2gr
Infus asering kolf/12 jam
Citicolin 2 x 1gr
Ketopain 3 x 1 ampul
Panzo 3 x 1 ampulPERAWATAN HARI KE- 7 ( 19 februari 2013 )
Subjektif :
Mata membuka spontan
Objektif:
KU : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos mentis GCS E3V4M6
TD : 110/80mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 16 x/menit
Suhu : 36,6 ºC
Mata : pupil bulat isokor, diameter 3mm|3mm
THT : Battle Sign -/+
Motorik : susah dinilai
Sensorik : susah dinilai
Assesment :
Cedera Kepala Ringan (GCS 13) Comusio Cerebri dan Fraktur Basis Cranii
Planning:
Ceftriaxon 1 x 2gr
Infus asering kolf/12 jam
Citicolin 2 x 1gr
Ketopain 3 x 1 ampul
Panzo 3 x 1 ampul
ANALISA KASUS
Pada alloanamnesis yang dilakukan didapatkan pasien mengalami penurunan
kesadaran hal ini disebabkan oleh trauma kepala yang terjadi, penurunan kesadran
yang terjadi ini disebabkan oleh adanya edema yang yang menekan pons yang dan
pusat kesadaran di formatio retikularis
Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan battle sign positif, hal ini disebabkan
oleh karena perdarahan intacranial yang masuk ke dalam loose alveolar tissue tepat
diatas os mastoid
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien adalah pemeriksaan
darah lengkap tanggal 12 februari 2013, Pada pemeriksaan darah lengkap Pada
pemeriksaan laboratorium 11/02/13 (melalui IGD) pukul 20.00 didapatkan Leukosit
13700 ribu/uL, Hemoglobin 14,9 g/dL, Hematokrit 43%, dan Trombosit 156
ribu/uL,glukosa darah sewaktu 110 mg/dL, natrium 125 mmol, kalium 4,7 mmol,
klorida 91. Peningkatan leukosit yang terjadi pada pasien disebabkan proses infeksi
yang terjadi, dan hiponatremi dan hipocloride terjadi akibat edema karena
perpindahan elektrolit ke intraseluler
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, hasil operasi dan pemeriksaan
penunjang dapat ditegakkan diagnosis Cedera Kepala Sedang, Contusio Cerebri dan
Fraktur Basis Cranii
Pada pasien, penatalaksanaan awalnya dilakukan secara konservatif, yaitu
pasien diminta untuk bed rest. Selain itu, diberikan antibiotik dan diet lunak
Pasien diperbolehkan pulang karena pada anamnesis tidak didapatkanya
keluhan pada pasien. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital yang stabil
kesadaran pasien yang semakin bertambah baik,pasien sudah bisa berkomunikasi.
Pasien dianjurkan untuk kontrol Poli Bedah
TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI CEDERA KEPALA
Cedera kepala adalah trauma mekanik
pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang
kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif,
psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun permanent. Menurut Brain
Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala,
bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan /
benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran,
sehingga menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Japardi,
2004).
2. ANATOMI KEPALA
a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan
yang disebut sebagai SCALP
yaitu:
Skin atau kulit
Connective tissue atau
jaringan penyambung
Aponeuris atau galea
aponeurotika yaitu
jaringan ikat yang
berhbungan langsung
dengan tengkorak
Loose areolar tissue tau jaringan penunjang longgar.
Perikranium
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari
perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan
subgaleal. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga
bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan
banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita
dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu
Lama untuk mengeluarkannya (American college of surgeon, 1997).
b. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri
dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria
khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian
dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis,
fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah
batang otak dan serebelum (American college of surgeon, 1997).
c. Meninges
Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu :
1) Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal.Duramater merupakan selaput yang keras,
terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari
kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka
terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater
dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural(Japardi, 2004)
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan
otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging
Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus
sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus
sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan
hebat(Japardi,2004)
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan
epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media
yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
2) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.
Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater
sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh
ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium
subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub
arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala (American college of
surgeon,1997)
3) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan
masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf
otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam
substansi otak juga diliputi oleh pia mater (japardi, 2004).
d. Otak
Otak merupakan suatu struktur
gelatin dengan berat pada orang
dewasa sekitar 14 kg. Otak
terdiri dari beberapa bagian
yaitu proensefalon (otak depan)
terdiri dari serebrum dan
diensefalon, mesensefalon (otak
tengah) dan rhombensefalon
(otak belakang) terdiri dari pons,
medula oblongata dan
serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam
proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi
retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medulla
oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab
dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan (American college of surgeon,
1997).
e. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral
melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju
ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio
arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS
dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS
dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada
kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar
500 ml CSS per hari(Hafidh, 2007).
f. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial
(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial
(berisi fosa kranii posterior)(japardi,2004)
g. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk
sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam
dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar
dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis(japardi,2004).
3. ASPEK FISIOLOGIS CEDERA KEPALA
a. Tekanan intracranial
Berbagai proses pataologi pada otak dapat meningkatkan tekanan
intracranial yang selanjutnya dapat mengganggu fungsi otak yang
akhirnya berdampak buruk terhadap penderita. Tekanan intracranial yang
tinggi dapat menimbulkaan konsekwensi yang mengganggu fungsi otak.
TIK Normal kira-kira sebesar 10 mmHg, TIK lebih tinggi dari 20mmHg
dianggap tidak normal. Seamkin tinggi TIK seteelah cedera kepala,
semakin buruk prognosisnya (American college of surgeon,1997)
b. Hukum Monroe-Kellie
Konsep utama Volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat
dasar dari tulang tengkorang yang tidak elastik. Volume intrakranial (Vic)
adalah sama dengan jumlah total volume komponen-komponennya yaitu
volume jaringan otak (V br), volume cairan serebrospinal (V csf) dan
volume darah (Vbl).
Vic = V br+ V csf + V bl (American college of surgeon,1997)
c. Tekanan Perfusi otak
Tekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri rata-rata
(mean arterial presure) dengan tekanan inttrakranial. Apabila nilai TPO
kurang dari 70mmHg akan memberikan prognosa yang buruk bagi
penderita.(American college of surgeon,1997)
d. Aliran darah otak (ADO)
ADO normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak permenit. Bila ADO
menurun sampai 20-25ml/100 gr/menit maka aktivitas EEGakan
menghilang. Apabila ADO sebesar 5ml/100 gr/menit maka sel-sel otak
akan mengalami kematian dan kerusakan yang menetap (American
college of surgeon, 1997).
4. PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA
Pada cedera kepala, kerusakan otak
dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder.
Cedera primer merupakan cedera pada
kepala sebagai akibat langsung dari
suatu ruda paksa, dapat disebabkan
benturan langsung kepala dengan suatu
benda keras maupun oleh proses
akselarasideselarasi gerakan kepala
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan
contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang
tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan
dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-
deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar
saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid)
dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari
muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari
benturan (contrecoup) (japardi, 2004)
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa
perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan
tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.(japardi, 2004)
5. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3
deskripsi kalsifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan
morfologinya.
a. Mekanisme cedera kepala
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul
dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan
kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul.
Sedang cedera kepala tembuus disebabkan oleh peluru atau tusukan (Bernath,
2009).
b. Beratnya cedera
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale
adalah sebagai berikut :
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.
2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13
3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.
Glasgow Glasgow Coma Scale nilai aiRespon membuka mata (E) Buka mata spontan 4Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3Buka mata bila dirangsang nyeri 2Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon verbal (V) Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4Kata-kata tidak teratur 3Suara tidak jelas 2Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon motorik (M) Mengikuti perintah 6Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1(Kluwer, 2009)
c. Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan
lesiintrakranial.
1. Fraktur cranium
Fraktur cranim dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat
berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.
Fracture dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan
dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya.
Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk
kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.tanda-tanda tersebut
antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis retroauikular
(battle sign), kebocoran CSS(Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis nervus
fasialis (Bernath, 2009)
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya
hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena
robeknya selaput duramater. Keadaanini membutuhkan tindakan dengan
segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan
yang terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan retaknya tulang
tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura
ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak
mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko
hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20
kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi
risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan
20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura
tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk
pengamatan (Davidh, 2009)
2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa,
walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal
termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau
hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa,
secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan
perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis(Bernath,
2009)
a. Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di
ruang potensial antara tabula interna dan duramater dengan cirri
berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Paling sering
terletak diregio temporal atau temporoparietal dan sering akibat
robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap
berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada
sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya
sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior.
Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu
diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak
segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang
terjadi tidak berlangsungg lama. Keberhasilan pada penderita
pendarahan epidural berkaitan langsung denggan status neurologis
penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan pendarahan
epidural dapat menunjukan adanya “lucid interval” yang klasik
dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba
meningggal (talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah
memnang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli
bedah saraf(Harga Daniel, 2009)
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak
selalu homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat
pada tabula interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral
( tanda space occupying lesion ). Batas dengan corteks licin, densitas
duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi
media kontras secara intravena sehingga tampak lebih jelas (Gazali,
2007).
b. Hematom Subdural
Hematoma subdural (SDH)
adalah perdarahan yang terjadi di
antara duramater dan arakhnoid.
SDH lebih sering terjadi
dibandingkan EDH, ditemukan
sekitar 30% penderita dengan
cedera kepala berat. Terjadi
paling sering akibat robeknya
vena bridging antara korteks
serebral dan sinus draining.
Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak.
Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak (American college of surgeon, 1997)
Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat
lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya
60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan
pengelolaan medis agresif. Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis.
1) SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit ) dekat tabula
interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial hematom
seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure interhemisfer dan tentorium juga
menunjukan adanya hematom subdural (Bernath, 2009).
2) SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi yang
disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada pola tertentu.
Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk
bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya, gambaran hematom
subdural akut adalah hiperdens, yang semakin lama densitas ini semakin menurun,
sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya menjadi hipodens (Ghazali, 2007)
d. Kontusi dan hematoma intraserebral.
Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu
berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus
frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan
batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas
batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat
laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim)
otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang
menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut.
Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat
terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi
yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan
(Hafidh, 2007).
e. Cedera difus
Cedar otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi dan
deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Komosio
cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun
terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera
ini sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang
paling ringan dari komosio ini adalah keadaan bingguung dan disorientasi tanpa
amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera komosio
yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia retrograde dan
amnesia antegrad (American college of surgeon, 1997).
Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau
hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan
lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera. Dalam bebberapa penderita
dapat timbul defisist neurologis untuk beberapa waktu. Edfisit neurologis itu misalnya
kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-
gajala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan diman pendeerita
mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama ddan tidak diakibatkan oleh
suatu lesi mas aatau serangan iskemik. Biasanya penderita dalam keadaan kooma
yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktuu. Penderita sering menuunjukan
gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat
berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita seringg menunjukan gejala disfungsi
otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat
36
cedeera aksonal difus dan cedeera otak kerena hiipoksiia secara klinis tidak mudah,
dan memang dua keadaan tersebut seringg terjadi bersamaan (American college of
surgeon,1997)
Dalam beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan cedera
kepala. Karenanya akan dibahas juga mengenai trauma wajah ini, yang meski bukan
penyebab kematian namun kecacatan yang akan menetap seumur hidup perlu menjadi
pertimbangan.
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Foto polos kepala
Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan
untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin
dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka tembus (tembak/tajam),
Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), Nyeri kepala
yang menetap, Gejala fokal neurologis, Gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto polos
kepala meliputi jangan mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut tidak
memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka dillakukan foto polos
posisi AP/lateral dan oblique.
b. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Indikasi CT Scan adalah :
1) Nyeri kepala menetap atau muntah – muntah yang tidak menghilang setelah
pemberian obat–obatan analgesia/anti muntah.
2) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi intrakranial
dicebandingkan dengan kejang general.
3) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor – faktor ekstracranial telah disingkirkan
(karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock, febris, dll).
4) Adanya lateralisasi.
5) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi
temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
6) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru
7) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
8) Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).
37
mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan
jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan
pada 24 - 72 jam setelah injuri.
c. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
d. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan
jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
e. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
f. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
g. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
h. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
i. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
j. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intracranial
k. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial
l. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan
m. Kesadaran (Haryo, 2008)
7. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk
memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki
keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak
yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa
cedera kepala ringan, sedang, atau berat(ariwibowo, 2008).
Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam
penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing,
circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada
penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah
penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis
otak(ariwibowo, 2008).
Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat
antara lain:
38
a. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
b. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
c. Penurunan tingkat kesadaran
d. Nyeri kepala sedang hingga berat
e. Intoksikasi alkohol atau obat
f. Fraktura tengkorak
g. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
h. Cedera penyerta yang jelas
i. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan
j. CT scan abnormal(Ghazali, 2007)
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan
suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat
berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid,
barbitirat dan antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan
tindakan operatif. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien,
temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan
sebagai berikut:
a. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih
b. dari 20 cc di daerah infratentorial
c. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis
d. tanda fokal neurologis semakin berat
e. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
f. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
g. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
h. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
i. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
j. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis (Bernath, 2009)
8. PROGNOSA
Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah mendapat terapi
yang agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya pemulihan yang baik.
Penderita yang berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih rendah
untuk pemulihan dari cedera kepala (American college of surgeon,1997).
39
Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma juga sangat
mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.
40
DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeons, 1997, Advance Trauma Life Suport. United States of
America: Firs Impression
Ariwibowo Haryo et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta: Pustaka
Cendekia Press of Yogyakarta
Bernath David, 2009, Head Injury, www.e-medicine.com
Boies adam., 2002, Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC.
Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta: penerbit buku
kedokteran EGC
Ghazali Malueka, 2007, Radiologi Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka Cendekia.
Japardi iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif. Sumatra Utara:
USU Press.
Kluwer wolters, 2009, Trauma and acute care surgery, Philadelphia: Lippicott Williams and
Wilkins
41