casei peritonitis, sepsis

Upload: siti-nf

Post on 15-Jul-2015

346 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Kasus 1 1. KONSEP SEPSIS 1.1 Definisi a. Sepsis adalah infeksi bakteri umum generalisata yang biasanya terjadi pada bulan pertama kehidupan. Muscari, Mary E. 2005. hal 186). b. Sepsi adalah sindrom yang dikarakteristikan oleh tanda-tanda klinis dan gejala-gejala infeksi yang parah yang dapat berkembang ke arah septisemia dan syok septik. (Doenges, Marylyn E. 2000, hal 871). c. Sepsis adalah infeksi berat dengan gejala sistemik dan terdapat bakteri dalam darah. (Surasmi, Asrining. 2003, hal 92). d. Sepsis adalah mikrooganisme patogen atau toksinnya didalam darah. (Dorland, 1998 hal 979). Dari definisi di atas penyusun menyimpulkan bahwa sepsis adalah infeksi bakteri generalisata dalam darah yang biasanya terjadi pada bulan pertama kehidupan dengan tanda dan gejala sistemik. 1.2 Etiologi a. Semua infeksi pada neonatus dianggap oportunisitik dan setiap bakteri mampu menyebabkan sepsis. b. Streptococcus grup B merupakan penyebab umum sepsis diikuti dengan Echerichia coli, malaria, sifilis, dan toksoplasma. Streptococcus grup A, dan streptococcus viridans, patogen lainnya gonokokus, candida alibicans, virus herpes simpleks (tipe II) dan organisme listeria, rubella, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza, parotitis. c. Penyakit infeksi yang diderita ibu selama kehamilan. d. Perawatan antenatal yang tidak memadai. e. Ibu menderita eklampsia, diabetes melitus. f. Pertolongan persalinan yang tidak higiene, partus lama, partus dengan tindakan. g. Kelahiran kurang bulan, BBLR, cacat bawaan. h. Adanya trauma lahir, asfiksia neonatus, tindakan invasid pada neonatus. 1.3 Gejala berdasarkan Bone et al adalah adanya tanda-tanda SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) mencakup 2 hal atau lebih keadaan berikut : 1. Suhu > 38 C atau < 36 C 2. Frekuensi jantung > 90x/ menit 3. Frekuensi nafas > 20x/menit atau PaCO2 < 32 mmHg 4. Leukosit darah > 12000 / mm3 atau < 4000 / mm3 atau batang > 10% Ditambah tempat infeksi yang diketahui (ditentukan dengan kultur yang positif dari tempat infeksi) a. Tanda dan Gejala Umum - Hipertermia (jarang) atau hipothermia (umum) atau bahkan normal. - Aktivitas lemah atau tidak ada - Tampak sakit - Menyusun buruk/intoleransi pemberian susu. b. Sistem Pernafasan - Dispena - Takipnea - Apnea - Tampak tarikan otot pernafasan - Merintik - Mengorok - Pernapasan cuping hidung - Sianosis c. Sistem Kardiovaskuler - Hipotensi - Kulit lembab dan dingin - Pucat - Takikardi - Bradikardi - Edema - Henti jantung d. Sistem Pencernaan - Distensi abdomen - Anoreksia - Muntah - Diare - Menyusu buruk - Peningkatan residu lambung setelah menyusu - Darah samar pada feces

- Hepatomegali e. Sistem Saraf Pusat - Refleks moro abnormal - Intabilitas - Kejang - Hiporefleksi - Fontanel anterior menonjol - Tremor - Koma - Pernafasan tidak teratur - High-pitched cry f. Hematologi - Ikterus - Petekie - Purpura - Prdarahan - Splenomegali - Pucat - Ekimosis 1.4 Komplikasi Meningitis 1.5 Pelaksanaan Dalam melakukan evaluasi pasien sepsis, diperlukan ketelitian dan pengalaman dalam mencari dan menentukan sumber infeksi, menduga patogen yang menjadi penyebab (berdasarkan pengalaman klinis dan pola kuman di RS setempat), sebagai panduan dalam memberikan terapi antimikroba empirik. Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencakup eliminasi patogen penyebab infeksi, mengontrol sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila diperlukan, terapi antimikroba yang sesuai, resusitasi bila terjadi kegagalan organ atau renjatan. Vasopresor dan inotropik, terapi suportif terhadap kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi imunologi bila terjadi respons imun maladaptif host terhadap infeksi. 1.6 Pemeriksaan Penunjang a. Kultur darah dapat menunjukkan organisme penyebab. b. Analisis kultur urine dan cairan sebrospinal (CSS) dengan lumbal fungsi dapat mendeteksi organisme. c. DPL menunjukan peningkatan hitung sel darah putih (SDP) dengan peningkatan neutrofil immatur yang menyatakan adanya infeksi. d. Laju endah darah, dan protein reaktif-c (CRP) akan meningkat menandakan adanya 2. KONSEP PERITONITIS 2.1 Anatomi organ peritonium Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks. Di bagian belakang, struktur ini melekat pada tulang belakang, di sebelah atas pada iga, dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri atas beberapa lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kutis dan subkutis; lemak subkutan dan fasia superfisial (fasia Scarpa); kemudian ketiga otot dinding perut, m.oblikus abdominis eksternus, m.oblikus abdominis internus, dan m.tranversus abdominis; dan akhirnya lapis preperitoneal, dan peritoneum. Otot di bagian depan terdiri atas sepasang otot rektus abdominis dengan fasianya yang di garis tengah dipisahkan oleh linea alba. Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut. Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kranikaudal diperoleh pendarahan dari cabang aa.interkostales VI s/d XII dan a.epigastrika superior. Dari kaudal, a.iliaka sirkumfleksa superfisialis, a.pudenda eksterna, dan a.epigastrica inferior. Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun vertikal tanpa menimbulkan gangguan pendarahan. Persarafan dinding perut dilayani secara segmental oleh n.torakalis VI s/d XII dan n.lumbalisI. Rongga perut (cavitas abdominalis) dibatasi oleh membran serosa yang tipis mengkilap yang juga melipat untuk meliputi organ-organ di dalam rongga abdominal. Lapisan membran yang membatasi dinding abdomen dinamakan peritoneum parietale, sedangkan bagian yang meliputi organ dinamakan peritoneum viscerale.

Di sekitar dan sekeliling organ ada lapisan ganda peritoneum yang membatasi dan menyangga organ, menjaganya agar tetap berada di tempatnya, serta membawa pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf. Bagian-bagian peritoneum sekitar masing-masing organ diberi nama-nama khusus. Mesenterium ialah bangunan peritoneal yang berlapis ganda, bentuknya seperti kipas, pangkalnya melekat pada dinding belakang perut dan ujungnya yang mengembang melekat pada usus halus. Di antara dua lapisan membran yang membentuk mesenterium terdapat pembuluh darah, saraf dan bangunan lainnya yang memasok usus. Bagian mesenterium di sekitar usus besar dinamakan mesokolon. Lapisan ganda peritoneum yang berisi lemak, menggantung seperti celemek di sebelah atas depan usus bernama olentum majus. Bangunan ini memanjang dari tepi lambung sebelah bawah ke dalam bagian pelvik abdomen dan kemudian melipat kembali dan melekat pada colon tranversum. Ada juga membran yang lebih kecil bernama omentum minus yang terentang antara lambung dan liver. STRUKTUR PERITONEUM Peritoneum adalah lapisan tunggal dari sel-sel mesotial di atas dasar fibroelastik. Terbagi menjadi visceral, menutupi usus dan mesenterium, dan bagian parietal yang melapisi dinding abdomen dan berhubungan dengan fascia muscular. Pasokan darah datang dari struktur di bawahnya. Persarafan lebih spesifik , hanya berespons terhadap traksi atau regangan. Peritoneum parietale mempunyai komponen somatik dan visceral dan memungkinkan lokalisasi stimulus yang berbahaya dan menimbulkan defans muscular dan nyeri lepas. Peritoneum adalah selaput serosa yang membentuk lapisan rongga perut atau coelom yang mencakup sebagian besar-intra abdomen (atau selom) organ - di vertebratayang lebih tinggi dan beberapa invertebrata (annelida, misalnya). Ini terdiri dari lapisan mesothelium didukung oleh lapisan tipis jaringan ikat. Peritoneum. Kedua mendukung organ-organ perut dan berfungsi sebagai saluran untuk darah dan pembuluh getah beningdan saraf. PEMBAGIAN PERITONEUM Kantung besar (atau rongga perut umum), diwakili dalam merah dalam diagram diatas. Kantung kecil (atau bursa omentum), diwakili dengan warna biru. Kantung kecil dibagimenjadi dua "omenta". Omentum minus (atau gastrohepatic) terlampir pada kurvatura minor dari lambungdan hati.

Omentum yang lebih besar (atau gastrocolic) tergantung dari kurva yang lebihbesar dari perut dan loop turun di depan usus sebelum melengkung ke belakang untuk melampirkan usus besar melintang. Akibatnya itu terbungkus di depan usus seperticelemek dan dapat berfungsi sebagai lapisan isolasi atau protektif

KLASIFIKASI STRUKTUR PERUT Struktur di perut diklasifikasikan sebagai intraperitoneal, retroperitoneal atauinfraperitoneal tergantung pada apakah mereka ditutupi dengan peritoneum visceral danapakah mereka dilengkapi dengan polip (mensentery, mesokolon). Struktur yang Intraperitoneal umumnya bergerak, sementara mereka yang retroperitoneal relatif tetap dilokasi mereka. Beberapa struktur, seperti ginjal, adalah "terutama retroperitoneal",sementara yang lain seperti mayoritas duodenum, adalah "sekunder retroperitoneal", yangberarti struktur yang dikembangkan intraperitoneal namun kehilangan mesenterium dandengan demikian menjadi retroperitoneal. ORGAN - ORGAN YANG ADA DALAM INTRAPERITONEUM Organ yang ada pada Intraperitoneum adalah meliputi, Hati, Limpa, ekor pancreas.Dan pada wanita, Uterus, saluran telur, ovarium Gonad pembuluh darah. ORGAN ORGAN YANG ADA DALAM RETROPERITONEUM Organ yang ada pada Retroperitoneum adalah meliputi, Pankreas (kecuali ekor),Ginjal, kelenjar adrenal, ureter proksimal, kapal ginjal, Gonad pembuluh darah, Inferior vena cava, Aorta 2.2 Definisi Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada selaput Rongga perut (peritoneum). Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum pada membrana serous pada garis cacum abdominal dan viserra. Peritonitis biasanya terjadi local atau general dan menghasilkan infeksi (sering terjadi rupture pada organ pada trauma abdominal atau appendicitis) atau dari proses non-infeksi.

Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan Dinding perut sebelah dalam.

2.3 EtiologiPeritonitis biasanya disebabkan oleh: 1.Penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi. Yang sering menyebabkan peritonitis adalah per forasi lambung, usus, kandung empedu atau usus buntu. Sebenarnya peritoneum sangat kebal terhadap infeksi. Jika pemaparan tidak berlangsung terus menerus, tidak akan terjadi peritonitis, dan peritoneum cenderung mengalami penyembuhan bila diobati. 2.Penyakit radang panggul pada wanita yang masih aktif melakukan kegiatan seksual 3.Infeksi dari rahim dan saluran telur, yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis kuman (termasuk yang menyebabkangonor e dan infeksi chlamidia)

4.Kelainan hati atau gagal jantung, dimana cairan bisa berkumpul di perut (asites) dan mengalami infeksi 5.Peritonitis dapat terjadi setelah suatu pembedahan. Cedera pada kandung empedu, ureter, kandung kemih atau usus selama pembedahan dapat memindahkan bakteri ke dalam perut. Kebocoran juga dapat terjadi selama pembedahan untuk menyambungkan bagian usus. 6.Dialisa peritoneal (pengobatan gagal ginjal) sering mengakibatkan peritonitis. Penyebabnya biasanya adalah infeksi pada pipa saluran yang ditempatkan di dalam perut. 7.Iritasi tanpa infeksi. Misalnya peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau bubuk bedak pada sarung tangan dokter bedah juga dapat menyebabkan peritonitis tanpa infeksi.

Penyebab peritonitis Area sumber Esofagus Penyebab Keganasan Trauma Iatrogenik Sindrom Boerhaave

Lambung

Duodenum

Traktus bilier

Pankreas

Kolon asendens

Kolon desendens dan apendiks

Salping uterus dan ovarium

Perforasi ulkus peptikum Keganasan (mis. Adenokarsinoma, limfoma, tumor stroma gastrointestinal) Trauma Iatrogenik Perforasi ulkus peptikum Trauma (tumpul dan penetrasi) Iatrogenik Kolesistitis Perforasi batu dari kandung empedu Keganasan Kista duktus koledokus Trauma Iatrogenik Pankreatitis (mis. Alkohol, obat-obatan, batu empedu) Trauma Iatrogenik Iskemia kolon Hernia inkarserata Obstruksi loop Penyakit Crohn Keganasan Divertikulum Meckel Trauma Iskemia kolon Divertikulitis Keganasan Kolitis ulseratif dan penyakit Crohn Apendisitis Volvulus kolon Trauma Iatrogenik Pelvic inflammatory disease Keganasan Trauma

Sedangkan berdasarkan jurnal farmacia maret 2007 penyebab dari peritonitis adalah bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksi intraabdomen, namun biasanya terjadi pada pasien dengan asites akibat penyakit hati kronik. Akibat asites akan terjadi kontaminasi hingga ke rongga peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri menuju dinding perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang-kadang terjadi pula penyebaran hematogen jika telah terjadi bakteremia. Sekitar 10-30% pasien dengan sirosis dan asites akan mengalami komplikasi seperti ini. Semakin rendah kadar protein cairan asites, semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses. Hal tersebut terjadi karena ikatan opsonisasi yang rendah antarmolekul komponen asites. Sembilan puluh persen kasus SBP terjadi akibat infeksi monomikroba. Patogen yang paling sering menyebabkan infeksi ialah bakteri gram negatif, yakni 40% Eschericia coli, 7% Klebsiella pneumoniae,spesies Pseudomonas, Proteus, dan gram negatif lainnya sebesar 20%. Sementara bakteri gram positif, yakni Streptococcus pneumoniae 15%, jenis Streptococcus lain 15%, dan golonganStaphylococcus sebesar 3%. Pada kurang dari 5% kasus juga ditemukan mikroorganisme anaerob dan dari semua kasus, 10% mengandung infeksi campur beberapa mikroorganisme. Sedangkan peritonitis sekunder, bentuk peritonitis yang paling sering terjadi, disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal. Spektrum patogen infeksius tergantung penyebab asalnya. Berbeda dengan SBP, peritonitis sekunder lebih banyak disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Pada pasien dengan supresi asam lambung dalam waktu panjang, dapat pula terjadi infeksi gram negatif. Kontaminasi kolon, terutama dari bagian distal, dapat melepaskan ratusan bakteri dan jamur. Umumnya peritonitis akan mengandung polimikroba, mengandung gabungan bakteri aerob dan anaerob yang didominasi organisme gram negatif. Sebanyak 15% pasien sirosis dengan asites yang sudah mengalami SBP akan mengalami peritonitis sekunder. Tanda dan gejala pasien ini tidak cukup sensitif dan spesifik untuk

membedakan dua jenis peritonitis. Anamnesis yang lengkap, penilaian cairan peritoneal, dan pemeriksaan diagnostik tambahan diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan tata laksana yang tepat untuk pasien seperti ini. Peritonitis tersier dapat terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, sering bukan berasal dari kelainan organ. Pasien dengan peritonitis tersier biasanya timbul abses atau flegmon, dengan atau tanpa fistula. Peritonitis tersier timbul lebih sering ada pasien dengan kondisi komorbid sebelumnya dan pada pasien yang imunokompromais. Meskipun jarang ditemui bentuk infeksi peritoneal tanpa komplikasi, insiden terjadi peritonitis tersier yang membutuhkan IVU akibat infeksi abdomen berat tergolong tinggi di USA, yakni 50-74%. Lebih dari 95% pasien peritonitis didahului dengan asite, dan lebih dari stengah pasien mengalami gejala klinis yang sangat mirip asites. Kebanyakan pasien memiliki riwayat sirosis, dan biasanya tidak diduga akan mengalami peritonitis tersier. Selain peritonitis tersier, peritonitis TB juga merupakan bentuk yang sering terjadi, sebagai salah satu komplikasi penyakit TB. Selain tiga bentuk di atas, terdapat pula bentuk peritonitis lain, yakni peritonitis steril atau kimiawi. Peritonitis ini dapat terjadi karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan empedu, barium, dan substansi kimia lain atau proses inflamasi transmural dari organ-organ dalam (mis. Penyakit Crohn) tanpa adanya inokulasi bakteri di rongga abdomen. Tanda dan gejala klinis serta metode diagnostik dan pendekatan ke pasien peritonitis steril tidak berbeda dengan peritonitis infektif lainnya.

2.4 Klasifikasi 2.5 Manifestasi KlinisGejala peritonitis tergantung pada jenis dan penyebaran infeksinya. Biasanya penderita muntah, demam tinggi dan merasakan nyeri tumpul di perutnya. Bisa terbentuk satu atau beberapa abses. Infeksi dapat meninggalkan jaringan parut dalam bentuk pita jaringan (perlengketan,adhesi) yang akhirnya bisa menyumbat usus. Bila peritonitis tidak diobati dengan seksama, komplikasi bisa berkembang dengan cepat. Gerakanper is taltik usus akan menghilang dan cairan tertahan di usus halus dan usus besar. Cairan juga akan merembes dari peredaran darah ke dalam rongga peritoneum. Terjadi dehidrsi

2.6 Pemeriksaan diagnostikPemeriksaan penunjang kadang perlu untuk mempermudah mengambil keputusan, misalnya pemeriksaan darah, urin, dan feses. Kadang perlu juga dilakukan pemeriksaan Roentgen dan endoskopi. Beberapa uji laboratorium tertentu dilakukan, antara lain nilai hemoglobin dan hemotokrit, untuk melihat kemungkinan adanya perdarahan atau dehidrasi. Hitung leukosit dapat menunjukkan adanya proses peradangan. Hitung trombosit dan dan faktor koagulasi, selain diperlukan untuk persiapan bedah, juga dapat membantu menegakkan demam berdarah yang memberikan gejala mirip gawat perut Gambaran radiologi - Foto roentgen di ambil dalam posisi berbaring dan berdiri. Gas bebas yang terdapat dalam perut dapat terlihat pada foto roentgen dan merupakan petunjuk adanya perforasi1. - Pada pemeriksaan foto polos abdomen dijumpai asites, tanda tanda obstruksi usus berupa air-udara dan kadang kadang udara bebas (perforasi). Biasanya lambung, usus halus dan kolon menunjukkan dilatasi sehingga menyerupai ileus paralitik. Usus usus yang melebar biasanya berdinding tebal (10) - Pada peritonitis umum gambaran radiologinya menyerupai ileus paralitik. Terdapat distensi baik pada usus halus maupun pada usus besar. Pada foto berdiri terlihat beberapa fluid level di dalam usus halus dan usus besar. Jika terjadi suatu ruptur viskus bisa menyebabkan peritonitis, udara bebas mungkin akan terlihat pada kavitas peritoneal1 (6). - Peritonitis umum: Formasi abses Meskipun peritonitis umum telah berkurang abses lokal dapat terjadi pada salah satu bagian abdomen. Abses mungkinan muncul beberapa hari atau minggu setelah mendapat pengobatan peritonitis. Pada gambaran radiologi, abses terlihat menyerupai suatu massa. Kadang kadang abses terdapat pada usus halus sehingga menghasilkan obstruksi mekanik (19). Abses pada kuadran kanan bawah yang mengikuti peritonitis yang sebelumnya terjadi ruptur appendiks, sebuah massa berkembang di daerah kuadran bawah memperlihatkan pendesakan pada usus kecil. Terjadi distensi proximal usus kecil. (dikutip dari kepustakaan 6) - Gambaran radiologik peritonitis mekonium berupa tanda tanda obstruksi distal duodenum, bercak bercak perkapuran di dalam rongga usus atau peritoneum, sering juga di daerah skrotum (10).

Gambaran Patologi Asam bikarbonat yang dihasilkan mukosa duodenum dan pankreas adalah penetral asam yang utama. Berkurangnya faktor pelindung terhadap zat cerna ini menyebabkan autodigesti mukosa duodenum. Gastroduodenitis yang disebabkan oleh helicobacter pylori dianggap penyebab penting yang memudahkan terjadinya tukak. Tukak duodenum terjadi akibat aksi korosif asam lambung terhadap epitel yang rentan. Defek ini bermula pada mukosa, selanjutnya menembus ke muskularis mukosa. Tukak yang biasanya kecil saja, tetapi menembus lapisan dinding duodenum, bisa berkembang menjadi lanjut hingga terjadi perdarahan, penetrasi ke pankreas, atau perforasi bebas (5). Peritoneum yang normal memberi gambaran bening kelabu. ketika terjadi peritonitis, dalam waktu 2-4 jam peritoneum berubah menjadi suram atau berawan. Setelah itu mengeluarkan cairan exudat fibrinosa sebagai tanda adanya invasi bakteri. Cairan tertahan di usus halus dan di usus besar, kemudian akan merembes dari peredaran darah ke dalam rongga peritoneum 2.7 Diagnosis Gambaran klinik - Biasanya penderita muntah, demam tinggi, dan merasakan nyeri tumpul di perutnya. Pada palpasi sebagian atau seluruh abdomen tegang, seperti ada tahanan atau nyeri tekan; Berkurangnya nafsu makan; Frekuensi jantung dan pernafasan meningkat; Tekanan darah menurun; Produksi urin menurun. 11,13,14,15. - Infeksi dapat meninggalkan jaringan parut yang membentuk perlengketan yang akhirnya bisa menyumbat usus. Bila peritonitis tidak diobati dengan seksama, komplikasi bisa berkembang dengan cepat; Gerakan peristaltik usus akan menghilang dan cairan tertahan di usus halus dan di usus besar. Cairan juga akan merembes dari peredaran darah ke dalam rongga peritoneum; Terjadi dehidrasi berat dan darah kehilangan elektrolit; Selanjutnya bisa terjadi komplikasi utama, seperti gagal ginjal akut (ARF) 1. - Pada peritonitis mekonium gejalanya berupa abdomen yang membuncit sejak lahir, muntah, dan edema dinding abdomen kebiru biruan

2.8 PenatalaksanaaanPenggantian cairan, koloid dan elektrolit adalah fokus utama dari penatalaksanaan medis. Beberapa liter larutan isotonik diberikan. Hipovolemi terjadi karena sejumlah besar cairan dan elektrolit bergerak dari lumen usus ke dalam rongga peritoneal dan menurunkan caran ke dalam ruang vaskuler. Analgesik diberikan untuk mengatasi nyeri. Antiemetik dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan muntah. Intubasi usus dan pengisapan membantu dalam menghilangkan distensi abdomen dan meningkatkan fungsi usus. Cairan dalam rongga abdomen dapat menyebabkan tekanan yang membatasi ekspansi paru dan menyebabkan distress pernapasan. Terapi oksigen dengan kanula nasal atau masker akan meningkatkan oksigenasi secara adekuat, tetapi kadang-kadang intubasi jalan napas dan bantuan ventilasi diperlukan Tindakan bedah mencakup mengangkat materi terinfeksi dan memperbaiki penyebab. Tindakan pembedahan diarahkan kepada eksisi terutama bila terdapat apendisitis, reseksi dengan atau tanpa anastomosis (usus), memperbaiki pada ulkus peptikum yang mengalami perforasi atau divertikulitis dan drainase pada abses. Pada pankreas (pankreatitis akut) atau penyakit radang panggul pada wanita, pembedahan darurat biasanya tidak dilakukan. Diberikan antibiotik yang tepat, bila perlu beberapa macam antibiotik diberikan bersamaan. Akhir-akhir ini drainase dengan panduan CT-scan dan USG merupakan pilihan tindakan nonoperatif yang mulai gencar dilakukan karena tidak terlalu invasif, namun terapi ini lebih bersifat komplementer, bukan kompetitif disbanding laparoskopi, karena seringkali letak luka atau abses tidak terlalu jelas sehingga hasilnya tidak optimal. Sebaliknya, pembedahan memungkinkan lokalisasi peradangan yang jelas, kemudian dilakukan eliminasi kuman dan inokulum peradangan tersebut, hingga rongga perut benar-benar bersih dari kuman.

2.9 KomplikasiDua komplikasi pasca operasi paling umum adalah eviserasi luka dan pembentukan abses. Komplikasi pembedahan dengan laparotomi eksplorasi memang tidak sedikit. Secara bedah dapat terjadi trauma di peritoneum, fistula enterokutan, kematian di meja operasi, atau peritonitis berulang jika pembersihan kuman tidak adekuat. Namun secara medis, penderita

yang mengalami pembedahan laparotomi eksplorasi membutuhkan narkose dan perawatan intensif yang lebih lama. Perawatan inilah yang sering menimbulkan komplikasi, bisa berupa pneumonia akibat pemasangan ventilator, sepsis, hingga kegagalan reanimasi dari status narkose penderita pascaoperasi (3). 3. PATOFISIOLOGI 3.1 SEPSIS Sepsis merupakan proses infeksi dan inflamasi yang kompleks dimulai dengan rangsangan endotoksin atau eksotoksin terhadap sistem imunologi, sehingga terjadi aktivasi makrofag, sekresi berbagai sitokin dan mediator, aktivasi komplemen dan netrofil, sehingga terjadi disfungsi dan kerusakan endotel, aktivasi sistem koagulasi dan trombosit yang menyebabkan gangguan perfusi ke berbagai jaringan dan disfungsi serta kegagalan organ multipel. Baik bakteri gram positif maupun gram negatif dapat menimbulkan sepsis. Pada bakteri gram negatif yang berperan adalah lipopolisakarida (LPS). Suatu protein di dalam plasma, dikenal dengan LBP (Lipopolysacharide binding protein) yang disintesis oleh hepatosit, diketahui berperan penting dalam metabolisme LPS. LPS masuk ke dalam sirkulasi, sebagian akan diikat oleh faktor inhibitor dalam serum seperti lipoprotein, kilomikron sehingga LPS akan dimetabolisme. Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri berupa Lipoteichoic acid (LTA) dan peptidoglikan (PG) merupakan indikator sitokin. Bakteri gram positif menyebabkan sepsis melalui 2 mekanisme : eksotoksin sebagai superantigen dan komponen dinding sel yang menstimulasi imun. 3.2 PERITONITIS Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ organ abdomen (misalnya: apendisitis, salpingitis), rupture saluran cerna atau dari luka tembus abdomen. Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam kolon pada kasus ruptur apendiks, sedangkan stafilokok dan streptokok sering masuk dari luar 9. Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Abses terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstruksi usus (6). Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktifitas peristaltik berkurang, usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus (9). Peritonitis mekonium adalah peritonitis non bakterial yang berasal dari mekonium yang keluar melalui defek pada dinding usus ke dalam rongga peritoneum. Defek dinding usus dapat tertutup sendiri sebagai reaksi peritoneal. Bercak perkapuran dapat terjadi dalam waktu 24 jam (10). 4. 5. ASUHAN KEPERAWATAN RASIONALISASI TATALAKSANA 5.1 Dobutamin Dobutamin HCl yang tersedia untuk terapi intravena merupakan suatu katekolamin sintetis, 4-[2[[3-(p-Hydroxyphenyl)-1-methylpropyl]amino] ethyl]-pyrocatechol hydrochloride dengan rumus molekul C18H23NO3HCl dan berat molekul 337.84.1 Dobutamin merupakan analog isoprenalin yang bertindak sebagai obat simpatomimetik pada reseptor adrenergic 1 di jantung, sehingga kontraktilitas dan cardiac output meningkat. Sebenarnya, dobutamin juga memiliki efek agonis 2 dan efek a1, tetapi sangat lemah dibandingkan dengan efek 1 agonisnya yang dominan. Dobutamin tidak merangsang reseptor dopamine maupun memicu pelepasan noreprinefrin, sebuah agonis a1, sehingga tidak berisiko tinggi menyebabkan hipertensi dibandingkan dopamine. Spesifisitas kerja inotropik ini membuat dobutamin unggul dan dipilih dalam terapi gagal jantung serta syok kardiogenik.3,4 5.2 Ksr 2x600

KOMPOSISI KCl.

INDIKASI Pengobatan & pencegahan hipokalemia.

KONTRA INDIKASI Gagal ginjal yang telah lanjut, hiperkalemia, penyakit Addison yang tidak diobati, dehidrasi akut, penyumbatan saluran pen

PERHATIAN Kerusakan ginjal, gagal jantung kongestif. Interaksi obat : meningkatkan resiko hiperkalemia jika digunakan dengan ACE inhibitor, silosporin, diuretika hemat Kalium.

EFEK SAMPING Mual, muntah, diare, nyeri perut. Jarang : ulserasi saluran pencernaan. 5.3 Ceftriaxon Ceftriaxone merupakan golongan sefalosporin yang mempunyai spektrum luas dengan waktu paruh eliminasi 8 jam. Efektif terhadap mikroorganisme gram positif dan gram negatif. Ceftriaxone sangat stabil terhadap enzim ?-laktamase. Komposisi: Tiap vial mengandung ceftriaxone sodium setara dengan ceftriaxone 1,0 g. Indikasi: Untuk infeksi-infeksi berat dan yang disebabkan oleh kuman-kuman gram positif maupun gram negatif yang resisten terhadap antibiotika lain : Infeksi saluran pernafasan - Infeksi saluran kemih - Infeksi gonoreal - Septisemia bakteri - Infeksi tulang dan jaringan - Infeksi kulit Dosis: Dewasa dan anak-anak diatas 12 tahun : 1-2 g sekali sehari secara intravena Dosis lebih dari 4 g sehari harus diberikan dengan interval 12 jam. Bayi dan anak-anak di bawah 12 tahun : - Bayi 14 hari : 20 50 mg/kg berat badan sekali sehari - Bayi 15 hari s/d 12 tahun : 20 80 mg/kg berat badan sekali sehari - Anak-anak dengan berat badan 50 kg atau lebih : dapat digunakan dosis dewasa melalui infus paling sedikit > 30 menit. Pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal, kliren creatinin tidak lebih dari 10 ml/menit, dosis tidak lebih dari 2 g sehari. 5.4 Noradrenalin 5.5 Ranitidine Ranitidine adalah antihistamin penghambat reseptor H2 (AH2). Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi asam lambung. Dalam menghambat reseptor H2, ranitidine bekerja cepat, spesifik dan reversibel melalui pengurangan volume dan kadar ion hidrogen cairan lambung. Ranitidine juga meningkatkan penghambatan sekresi asam lambung akibat perangsangan obat muskarinik atau gastrin.

Pada pemberian oral, ranitidine diabsorbsi dengan cepat dan lengkap, tetapi sedikit berkurang bila ada makanan atau antasida. Pemberian dosis tunggal 150 mg ranitidine, kadar puncak dalam darah akan tercapai 1 2 jam setelah pemberian, waktu paruh kira-kira 3 jam dan lama kerja sampai 12 jam. Ranitidine diekskresi terutama bersama urin dalam bentuk utuh (30%) dan metabolitnya, serta sebagian kecil bersama feses. Komposisi: Tiap tablet salut selaput mengandung ranitidine hydrochloride setara dengan 150 mg ranitidine base. Indikasi: Ranitidine digunakan untuk pengobatan tukak lambung dan duodenum akut, refluks esofagitis, keadaan hipersekresi asam lambung patologis seperti pada sindroma Zollinger-Ellison, hipersekresi pasca bedah. Dosis: Terapi oral Dewasa: Tukak lambung, duodenum dan refluk esofagitis, sehari 2 kali 1 tablet atau dosis tunggal 2 tablet menjelang tidur malam, selama 4 8 minggu. Untuk hipersekresi patologis, sehari 2 3 kali 1 tablet. Bila keadaan parah dosis dapat ditingkatkan sampai 6 tablet sehari dalam dosis terbagi. Dosis pemeliharaan sehari 1 tablet pada malam hari. Pada penderita gangguan fungsi ginjal dan klirens kreatinin kurang dari 50 mg/menit, dosis sehari 1 tablet. Dosis untuk anak-anak belum mantap. Terapi parenteral Diberikan i.m. atau i.v. atau infus secara perlahan atau intermiten untuk penderita rawat inap dengan kondisi hipersekretori patologik atau tukak usus dua belas jari yang tidak sembuh-sembuh, atau bila terapi oral tidak memungkinkan. Dosis dewasa : Injeksi i.m. atau i.v. intermiten : 50 mg setiap 6-8 jam. Jika diperlukan, obat dapat diberikan lebih sering, dosis tidak boleh melebihi 400 mg sehari. Jika ranitidine diberikan secara infus, 150 mg ranitidine diinfuskan dengan kecepatan 6,25 mg/jam selama lebih dari 24 jam; pada penderita dengan sindrom Zollinger-Ellison atau kondisi hipersekretori lain, infus selalu dimulai kecepatan 1 mg/kg per jam. Jika setelah 4 jam penderita masih sakit, atau jika sekresi asam lambung lebih besar dari 10 mEq/jam, dosis ditambah 0,5 mg/kg per jam, lalu ukur kembali sekresi asam lambung. Pada penderita gagal ginjal dengan klirens kreatinin kurang dari 50 ml/menit, dosis i.m. atau i.v. yang dianjurkan adalah 50 mg setiap 18-24 jam. Jika diperlukan, ubah dengan hati-hati interval dosis dari setiap 24 jam menjadi setiap 12 jam. Cara pemberian : -Injeksi secara i.m.: tidak perlu diencerkan. -Injeksi i.v. intermiten: 50 mg ranitidine tiap 6-8 jam diencerkan dengan larutan natrium klorida 0,9 % atau larutan i.v. lain yang cocok sampai didapat konsentrasi tidak lebih besar dari 2,5 mg/ml (total volume 20 ml) dan kecepatan injeksi tidak melebihi 4 ml per menit (waktu seluruhnya tidak kurang dari 5 menit). -Infus intermiten: 50 mg ranitidine tiap 6-8 jam diencerkan oleh larutan dextrose 5 % atau larutan i.v. lain yang cocok sampai didapat konsentrasi tidak lebih besar dari 0,5 mg/ml (total volume 100 ml); kecepatan infus tidak lebih dari 5-7 ml per menit (waktu seluruhnya 15-20 menit). -Infus: 150 mg ranitidine diencerkan dalam 250 ml dextrose 5 % atau larutan i.v. lain yang cocok dan diinfuskan dengan kecepatan 6,25 mg/jam selama 24 jam. Untuk penderita sindrom Zollinger-Ellison atau hipersekretori lain, ranitidine injeksi harus diencerkan dengan dextrose 5 % atau larutan i.v. lain yang cocok dan kecepatan infus dimulai 1 mg/kg per jam, kecepatan ini harus disesuaikan dengan keadaan penderita. Karena ranitidine ikut terdialisa, maka pemberian harus disesuaikan sehingga bertepatan dengan akhir hemodialisa. http://obat-penyakit.com/ranitidine-150-mg.html 5.6 Metronidazole Metronidazole adalah antibakteri dan antiprotozoa sintetik derivat nitroimidazoi yang mempunyai aktifitas bakterisid, amebisid dan trikomonosid. Dalam sel atau mikroorganisme metronidazole mengalami reduksi menjadi produk polar. Hasil reduksi ini mempunyai aksi antibakteri dengan jalan menghambat sintesa asam nukleat. Metronidazole efektif terhadap Trichomonas vaginalis, Entamoeba histolytica, Gierdia lamblia. Metronidazole bekerja efektif baik lokal maupun sistemik. Komposisi: Tiap tablet mengandung metronidazol 250 mg. Indikasi: Metronidazole efektif untuk pengobatan : Trikomoniasis, seperti vaginitis dan uretritis yang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis. Amebiasis, seperti amebiasis intestinal dan amebiasis hepatic yang disebabkan oleh E. histolytica. Sebagai obat pilihan untuk giardiasis.

Dosis: Trikomoniasis: Pasangan seksual dan penderita dianjurkan menerima pengobatan yang sama dalam waktu bersamaan. Dewasa Untuk pengobatan 1 hari: 2 g 1 kali atau 1 gram 2 kali sehari. Untuk pengobatan 7 hari: 250 mg 3 kali sehari selama 7 hari berturut-turut. Amebiasis Dewasa: 750 mg 3 kali sehari selama 10 hari. Anak-anak: 35 50 mg/kg BB sehari dalam dosis terbagi 3, selama 10 hari. Giardiasis Dewasa: 250 500 mg 3 kali sehari selama 5 7 hari atau 2 g 1 kali sehari selama 3 hari. Anak-anak: 5 mg/kg BB 3 kali sehari selama 5-7 hari. http://obat-penyakit.com/metronidazole-250-mg.html 5.7 Ketorolak DAFTAR PUSTAKA 1.Peritonitis,http://www.medikastore.com/med/peritonitis_pyk.php?dktg=7& UID200705. 2. Buku-ajar ilmu bedah/editor, R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. -Ed.2.- Jakarta: EGC, 2004. 3. Sjamsuhidajat R, Lambung dan Duodenum-bab 31, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2,EGC, Jakarta: 2004. 4. Carol Matson Porth, Structure and Function of the Gastrointestinal Tract, Essential of Pathophisiology, Lippincott Williams & Wilkins, Wiskonsin: 2004, 5. Acute Peritonitis,http://www..ecureme.com/lib/inet.asp?keyword=acute+peritonitis&category=gi. 6.. Genuit T & Napolitano, Peritonitis, http://health.allrefer.com/health/peritonitis-symptoms.html. 7. Price Wilson, Peritonitis, patofisiologi saluran cerna, PATOFISIOLOGI (Konsep Klinis Proses Proses Penyakit), Jilid 1, ed: 8. Alih Bahasa: Peter Anugrah, EGC, Jakarta: 1995, 9. Iwan Ekayuda (editor), Kelainan Saluran cerna Bagian Distal, Radiologi Diagnostik, ed: 2. Divisi Radiologi Diagnostik, Departemen Radiologi FK UI, Jakarta: 2005 10. Cabnera C, Peritonitis-also listed as: Abdominal wall inflammation, http://www.umm.edu/altmed/articles/peritonitis-00127.htm 11. Arif Mansjor,dkk, Bedah Digestif-Trauma Tembus Abdomen, Kapita Selekta Kedokteran, ed:3 Jilid 2, Media Eusculapius FK UI, Jakarta: 2000 12. Rosalyn Carson-De Witt MD, Peritonitis Health Article,http://www.css/healthlinestyles.v1.01.css 13. University of Virginia Health System, Digestive Disorders, http://ww.UVAHealth/adult_digest/wdcbin/tools.ctm?toolName=dwemail 14. J.A.Lee, Division Of Surgery, San Francisco, Peritonitis secondary, http://www.medlineplus/ency/encyclopedia-Ah-Ap/peritonitis-secondary-00312.htm 15. Haskin Teplick, disease of the digestive system, Roentgenologic Diagnosis, W.B. Saunders Company, United States of America