catatan usang seorang juru tulis

170
1 | Maryam Chilvalry Catatan Usang Seorang Juru Tulis Oleh : Trides “Maryam Chilvalry”

Upload: my-al-iman

Post on 23-Oct-2015

343 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

1 | Maryam Chilvalry

Catatan Usang Seorang Juru Tulis

Oleh : Trides

“Maryam Chilvalry”

Page 2: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

2 | Maryam Chilvalry

Pengantar Redaksi

Trides, anak dari seorang Legiun Veteran RI, lahir di Lasi, Kecamatan Canduang,

Kabupaten Agam, Sumatera Barat tahun 1965. Trides seorang sarjana pendidikan,

mantan Kepala Sekolah Dasar, dan peminat sejarah. Di Bukittinggi dia juga dikenal

sebagai budayawan dan wartawan setempat yang produktif menulis. “Maryam

Chilvaldry”, sebuah nama yang pemberian orangtuanya empat puluh tahun lalu,

merupakan satu bagian “Trilogi Catatan Usang Sang Juru Tulis”. Cerita tentang

Perang Kamang tahun 1926, menentang pemberlakuan Belasting oleh Pemerintah

Belanda 1908

Novel sejarah ini terdiri dari 25 bab. Guna meringankan pembaca dari pembukaan

halaman blog, Redaksi (Cantigi) akan membagi-baginya lagi secara porposional –

dengan tidak mengurangi isinya. Novel karangan Trides ini akan dimuat secara

bersambung.

Redaksi merasa perlu memuat Pengantar oleh Trides, sebab musabab dia

mengarang novel ini dan usaha – usaha yang ia lakukan merangkai sejarah dalam

bentuk fiksi.

Selamat membaca,

Page 3: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

3 | Maryam Chilvalry

Pengantar dari Penulis

Wahai Ananda!

Simaklah apa yang telah diperbuat leluhurmu.

Berbuatlah kini & nanti untuk dunia & akhiratmu

Dan

Muliakanlah Ibumu !

Karena sorgamu atas keikhlasannya.

[Ttd, Ayahanda]

Sumber :

http://rizalbustami.blogspot.com/search/label/NOVEL

Page 4: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

4 | Maryam Chilvalry

Pengantar

Bukan sekedar ‘bertanam tebu di bibir’ saja atas ungkapan Sang Proklamator RI, Ir.

Soekarno yang dikutipnya dari ucapan funding father Amerika Serikat, bahwa

“bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya”.

Pertanyaan kita, bagaimana kita dapat menghargai sejarah perjuangan bangsa

pada masa lalu ?

Dalam hal menghargai makna sejarah tentang masa lalu perjalanan bangsa ini

adalah melalui pengkonstruksian kembali pilar-pilar sejarah pada setiap

periodenya. Merekonstruksi kembali fakta-fakta sejarah masa lalu itu tidak hanya

saja diaktualisasikan dalam bentuk penulisan sejarah secara ilmiah, malainkan

dalam bentuk pengkisahan yang dikemas dalam penulisan non fiksi. Karena non

fiksi adalah fakta-fakta dan data-data yang dirangkai dalam bentuk sajian sastra.

Maka pada buku yang terkembang di tangan anda ini adalah bahagian pertama dari

“Catatan Usang Sang Juru Tulis”. Tema ini tidak lain adalah berangkat dari cerita

rakyat Sumatera Barat yang telah menjadi bahan kajian para sejarawan dan

sebahagian besar telah diaktualisasikan dalam bentuk karya ilmiah dengan

berbagai judul dan periodesasi tentang sejarah perlawanan rakyat Sumatera Barat

dalam menentang kolonialisme Belanda dari berbagai dimensi, sudut pandang

penelitiannya. Diantaranya adalah Perlawanan Rakyat Menentang Pemberlakuan

Belasting 1908, Pemberontakan Kamang 1926 dan Revolusi Fisik Pasca Proklamasi.

Setelah kita telusuri mata rantai sejarah perlawanan rakyat terhadap kolonialis di

Sumatera Barat tersebut akan terlihatlah seutas benang merah yang ditandai

dengan setiap akhir periodesasi perlawanan rakyat tersebut selalu menyisakan

benih perlawanan untuk periode berikutnya, meskipun hal itu bukanlah suatu

kesengajaan dan dipersiapkan pada masa-masa sebelumnya.

Namun, waktulah sesunggunhnya yang telah berperan dan rangkaian fakta lah yang

berkisah dan menyambung mata rantai sejarah perlawanan rakyat tersebut.

Kedua, atas pemikiran di atas maka fakta fakta sejarah ‘Perang Kamang 1908’

yang dirangkai dalam novel sejarah “Maryam Chivalry” yang sedang terkapar di

tangan pembaca ini yang dikenal juga dengan ‘Perang Belasting 1908’ itu ditulis

bukan dalam bentuk penulisan sejarah (ilmiah). Tujuan dari penyajian dalam

bentuk novel sejarah ini adalah untuk memikat minat membacanya sehingga fakta

dan pesan sejarah itu sampai dan menjadi lebih bermakna kepada yang bukan

sejarawan semata.

Umumnya rakyat di Sumatera Barat pada waktu itu (1908), terutama di Kamang

dan Mangopoh tidak bersedia menerima perlakuan sepihak oleh pemerintah

Belanda, yang secara sewenang-wenang melanggar rasa keadilan rakyat. Rakyat

Page 5: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

5 | Maryam Chilvalry

tidak bersedia untuk terus menerus dimelaratkan oleh keadaan perekonomianya

dengan suatu ‘stelsel’ peraturan, perpajakan yang berat dan tak beralasan.

Walaupun Peristiwa Kamang dan Mangopoh tahun 1908 bersifat lokal dan daerah,

tetapi hal itu adalah sekedar ukuran geografis saja, karena jiwa yang

mendukungnya adalah jiwa nasionalis karena ia dengan perlawanan duhulu itu

menunjukkan watak anti kolonialismenya anti imperealismenya. Malah dapat

dikatakan merupakan bentuk perlawanan pertama kalinya oleh rakyat terhadap

bentuk eksplotasi dan belasting, setidaknya untuk ukuran Minangkabau (Sumatera

Barat) saat itu.

Watak anti kolonialisme ini, setidaknya untuk pertama kali tertuang secara tertulis

dalam kesepakatan tokoh-tokoh masyarakat (pimpinan adat, ulama dan

pemerintahan nagari) di Solok dengan Gubernur Thomas Stanfort Raffles pada 20

Juli 1818. Pernyataan politik yang berisikan anti kolonialisme – Belanda – itu

sengaja untuk disampaikan kepada Raja Inggris guna ditindak lanjuti, sehubungan

dengan penyerahan kembali Hindia-Belanda oleh Inggris kepada Belanda pada

tahun 1916. Karena permintaan orang Minangkabau kepada Inggris tidak digubris,

maka dua tahun kemudian (1820) meletuslah Perang Paderi yang pada masa

akhirnya dapat kita artikan sebagai ‘Perang Minangkabau’ melawan pemerintahan

Belanda.

Perang Kamang 1908 adalah mata rantai dari perang Paderi. Dalam anggapan

penduduk Minangkabau perlawanan Paderi terhadap pemerintah Belanda belumlah

selesai, karena penangkapan Tuanku Imam Bonjol (Peto Syarif) sebagai pimpinan

Paderi waktu itu adalah karena kecurangan Belanda akibat tidak kuatnya lagi

menanggung beban perang untuk memusnahkan perlawanan rakyat Minangkabau

tersebut, dan bahkan beberapa perlawanan rakyat di nusantara ini.

Malahan, kalau kita melihat di seluruh panggung sejarah Asia, maka permulaan

abad ke-20 itu dan khususnya tahun 1908, adalah abad pergolakan rakyat di Turky,

Afganistan, India, Mesir dan Rakyat Tiongkok yang mulai menentang penjajahan

Eropa Barat. Maka peristiwa Kamang dan Mangopoh 1908 itu, dan lain peristiwa

lagi di seluruh Indonesia pada waktu bersamaan menunjukkan bahwa rakyat

Indonesia tidak mau kalah dalam pergolakannya melawan penajajahan itu. Hal ini

adalah bukti senyata-nyatanya rakyat sedang mengalami zaman ‘rebirth of the

Indonesia nation’, zaman ‘renaissance’ atau zaman kebangunan kembali.

Dari berbagai literatur sejarah Perang Kamang pada 15 Juni 1908 itu, yang kita

baca dikemudian hari, ternyata ditemui data sejarah tentang keterlibatan kaum

‘Siti Hawa’ secara totalitas sebagaimana layaknya kaum ‘Adam’ dalam peperangan

itu. Sehingga semakin memperkuat ide penulisan kembali tentang Sejarah Perang

Kamang 1908 sebagai sejarah lokal yang tidak kalah momentumnya terhadap

kebijakan pemerintah Belanda, dan kemudian keinginan untuk mengungkapkannya

Page 6: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

6 | Maryam Chilvalry

dalam bentuk novel sejarah ini semakin mencuat menjadi sebuah gagasan dan

obsesi.

Agaknya, selama ini para pengarang dan peneliti sejarah hanya terfokus kepada

pengkajian pada sosok peperangan tersebut dalam momen semangat dan jiwa

patriotis orang Luhak Agam dan Minangkabau secara umum, namun penggalian

akan emansipasi kaum perempuan dalam semangat patriotik itu kuranglah

dikisahkan.

Kalaulah hal ini sebagai pesan moral dalam semaraknya pergunjingan akan issu

global ‘emansipasi’ dan ‘gender’ apakah tidak sebaiknya juga dipaparkan tentang

karakter orang Minangkabau yang telah lebih awal memperkecil jurang tentang

peran laki-laki dan perempuan dalam berbagai kesempatan, dan bahkan dalam

segala bentuk perjuangan hidup.

Dalam alur cerita, novel sejarah ini, kaum Hawa dalam pengertiannya bukanlah

semata sebagai wanita (pemuas nafsu), tetapi lebih memberi makna sebagai

seorang perempuan, seorang ibu (pertiwi) dan Bundo di Minangkabau.

Cerita – novel sejarah - ini bisa menepis keengganan generasi muda, baik siswa

maupun mahasiswa akan daya pikatnya untuk mengetahui makna historis tentang

masa lalu zaman leluhurnya sendiri dalam semangat nasionalis.

Maka, dalam kisah ini peran kaum perempuan dari nagari Kamang ini ditokohkan

oleh Siti Maryam, Siti Aisyah dan Siti Anisyah. Nama-nama itu adalah fakta. Ya,

karena itulah nama-nama srikandi yang sangat berperan semenjak jauh hari

sebelum dan pada saat meletusnya Perang Kamang 1908 menjadi perhatian

tersendiri untuk dikisahkan dalam buku ini. Mereka adalah Sirkandi-srikandi dari

Tanah Kamang disamping pejuang perempuan lainya yang kita temukan di pelosok

Minangkabau.

Siti Maryam, gadis perawan yang sedang berangkat dewasa, yang berasal dari

Kampung Hanguih Kumpulan-Bonjol. Pada mulanya Siti Maryam hanya ingin

belajar agama dan ilmu ilmu lainya kepada Haji Abdul Manan di Kamang. Namun

dalam perjalannan hidupnya ternyata dia turut menceburkan diri ke kancah konflik

dan peperangan, turut menyinsingkan lengan bajunya pada malam ‘pembantaian’

15 Juni 1908 di Kamang itu. Akan tetapi sebelumnya dia juga telah berperan aktif

sebagai tenaga propaganda yang memprovokasi masyarakat bersama Siti Aisyah

dan Siti Anisyah.

Bahkan dia sering menjalankan misi dakwah anti Belasting dan anti Belanda ke

seantero daerah, seperti ke Pasaman, Lubuk Basung, Mangopoh dan Pariaman.

Cuma saja setelah Perang Mangopoh tanggal 16 Juli 1908 namanya tidak terngiang

lagi, sehingga kita pun kehilangan jejak akan dirinya dan perjuangannya. Dan dari

selentingan kisah perang Kamang dan Mangopoh tahun 1908 itu, ternyata si

Page 7: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

7 | Maryam Chilvalry

perawan, Siti Maryam turut gugur dalam pertempuran di Mangopoh pada malam 16

Juni 1908.

Pada waktu-waktu melintasi kampung dan pedusunan dalam kunjungannya ke

beberapa daerah tujuan guna menjalankan misi propagandanya, Siti Maryam selalu

menyempatkan pula untuk membantu pekerjaan-pekerjaan penduduk kampung di

sepanjang perjalanannya, seperti ‘manggaro’, ‘mangisai’ dan ‘ma-angin’ padi atau

pekerjaan wanita lainnya yang mungkin di kerjakan. Kesemua bantuannya itu

dilakukannya dengan penuh keikhlasan dan tanpa pamrih, tandanya ‘berat sepikul

– ringan sejinjing’ sebagaimana yang terkandung dalam nilai-nilai budaya

leluhurnya. Yang menariknya lagi perjalanan jauhnya itu ditempuhnya dengan

duduk berayun di atas pelana yang bertengger di punggung seekor kuda betina.

Meskipun plot cerita tentang kemahirannya menunggangi kuda, dan berbagai

bantuan fisik dan mental yang dia sumbangkan untuk rakyat yang membutuhkan

tidak ditampilkan dalam kisah ini, namun setidaknya telah menempatkannya

bagaikan seorang – ‘Chivalry’ – yang tegar dalam setiap medan dan situasi.

“Chivalry”, bukanlah sebuah gelaran di akhir nama, adalah sebuah kata yang

mengandung pengertian setara dengan satria atau srikandi sejati; berani, kuat dan

seorang pejuang yang tangguh yang murah hati kepada sesama dan selalu

melindungi yang lemah, setia kepada majikannya serta selalu berbakti kepada

Tuhan.

Penempatan kata ‘Chivalry’ pada karya ini tidak lebih memperlihatkan kesetaraan

posisi wanita Minangkabau, adalah juga memiliki sifat dan karakter yang sama dan

bukan saja bangsa Eropa yang memiliki superioritas dalam semangat patriotrisme

untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan.

Sehingga disandingkanlah kata Perancis kuno itu dengan nama-nama seorang

pejuang wanita Minangkabau yang keberadaannya cukup unik, setidaknya di negeri

Kamang, sehingga menjadi “Maryam Chivalry”, sebagai lokus pengkisahan dari

serangkain “Catatan Usang Sang Juru Tulis” ini.

Lain halnya dengan Siti Aisyah dan Siti Anisyah. Siti Aisyah, perempuan muda nan

molek bersuamikan M. Saleh Dt. Rajo Pangulu berasal dari Kamang Hilir sekarang,

tapi belum mempunyai anak. Dan Siti Anisyah yang masih muda sudah punya anak

satu orang, Ramaya namanya dari hasil perkawinannya dengan St. Nan Basikek.

Siti Aisyah dan Siti Anisyah adalah dua orang sosok perempuan (Bundo) yang turut

berkuah darah dalam sebuah pertempuran rakyat Kamang Luhak Agam dalam

menentang ‘stelsel’ Penjajahan Belanda, terutama sekali setelah Belanda

melancarkan peraturan tentang pembayaran Balasting (pajak langsung) dan ‘rodi’

pada tahun 1908, pengganti peraturan Tanaman Paksa (jenis kopi) yang telah

dilancarkan Belanda semenjak zaman Paderi.

Page 8: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

8 | Maryam Chilvalry

Namun dalam lembaran sejarah perjuangan rakyat Sumatera Barat menentang

penjajahan, nama Siti Aisyah dan Siti Anisyah tidak obahnya dengan nasib yang

bersua pada diri Siti Maryam, hanyalah sebaris kalimat dalam mengisi halaman

sejarah itu.

Akan tetapi apabila kita coba mencari sebuah makna dan nilai tiadalah dapat

disetarakan dengan siapa pun karena pada zaman kegelapan dunia pendidikan

sekuler, pada zaman yang masih berlampu ‘damar tondeh’ sebagai penerang

malam di rumah gadang dan pada saat kekangan adat istiadat Minangkabau masih

kental dari pada zaman sekarang, ternyata tampillah beberapa orang anak cucu

Siti Hawa memegang sebuah kalewang (rudus) di malam buta menyibakkan kabut

mesiu, menghadang timah panas dan ‘mentulikan’ pendengaran akan gonggongan

senjata Belanda yang tergolong amat modern pada waktu itu.

Memang, Tigo Sejoli (Siti Aisyah, Siti Anisyah dan Siti Maryam) ini serupa tapi tak

sama dengan Siti Mangopoh, walau pun tidak memimpin sebuah pasukan yang oleh

Belanda dikatakan sebagai pemberontak itu, namun peran yang mereka mainkan

sangatlah besar dan sangat berarti.

Hal ini tidak saja sebagai “Bundo” yang turut kemedan laga namun jauh hari

sebelumnya telah giat sebagai badan propaganda dari rumah ke rumah, bahkan di

sumur tepian mandi pun agitasi dalam menanamkan semangat juang terhadap

penjajah Belanda mereka lakoni, dan sekaligus mempersipakan diri secara matang

pun mereka lakukan seperti memperdalam ilmu silat, ilmu kebatinan berupa ilmu

kebal dan peringan tubuh dan termasuk nantinya ilmu tasauf yang sering juga

disebut dengan ilmu akhirat.

Kenyataannya, tidak sedikit darah Belanda yang mengalir di pedangnya sebagai

bukti seorang ‘srikandi’ yang benar-benar tangkas, berpencak dengan ilmu

persilatan yang dia kuasai sambil meneriakkan kalimat takbir dan tahlil dalam

kecamuk pedang disela-sela desingan peluru senjata serdadu L.C. Wetenenck.

Mereka bukan sekedar berteriak “Demi Agama” akan tetapi lebih bermakna pula

“Demi Nusa dan Bangsa”-nya kelak. Mereka benar-benar maju ke medan laga yang

tak kalah semangatnya dari suami suaminya yang tercinta, meskipun timah panas

serdadu marsose menembus dada dan kepalanya beberapa kali untuk mengakhiri

perlawanannya.

Siti Aisyah meninggal tersungkur di atas pematang sawah yang disusul oleh

suaminya M. Saleh Dt. Rajo Pangulu, semenatara Siti Anisyah terbunuh saat

berupaya menebus darah Siti Aisyah. Tak terpikirkan olehnya dengan siapa anaknya

kelak diasuh dan dibesarkan. Bukankah anak semata wayang ‘Ramaya’ adalah

sebagai ‘pengobat hati pelerai demam ?’. Akhirnya suaminya, St. Sikek pun

tersungkur di sisi tubuh istrinya yang dia cinta itu.

Page 9: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

9 | Maryam Chilvalry

Itulah akhir sebuah episode dalam kecamuk masa disebuah hamparan sawah di

Kampung Tangah-Kamang sampai menjelang subuh 16 Juni 1908.

Catatan usang yang dimaksudkan disini adalah berupa pengaktualisasian, meskipun

tidak dikatakan sebuah rekonstruksi dari fakta fakta sejarah yang berserakan dan

belum menjadi kajian sejarah murni yang utuh dalam episode Perang Kamang 1908

tersebut, dan bahkan termasuk beberpa fakta yang belum mencuat dalam karya-

karya sejarawan sebelumnya.

Maka, pengungkapannya pun di perankan oleh seorang jurutulis yang ‘larek’,

berangkat ke negeri orang. Dalam misi penyelamatan diri itulah kisah ini ditulis

kembali. Sosok si ‘Juru Tulis’ dalam novel ini adalah tidak lebih dari kamuflase dari

sebuah icon akan upaya-upaya seorang – pecinta sejarah – untuk pengaktualisasian

kembali dari sejarah yang tercecer yang mungkin saja luput dari kajian dan

penelitian para ahli sebelumnya, dan atau sebagai pelengkap dari kisah-kisah yang

telah ada sebelumnya. Sedangkan ‘larek’ dapat pula diartikan disini tidak lain

adalah sekedar gambaran akan jaraknya data faktual (kejadian) Perang Kamang

1908 itu dengan masa penulis merangkainya dalam pengkisahan ini, pada saat ini.

Ibarat sebuah lokomotif, maka jalan cerita ini hanyalah sekedar pembawa gerbong

gorbong fakta sejarah tentang kisah heroik di sebuah sudut negeri di Minangkabau

ini pada tengah malam buta, semangat patriotis yang dilandasi oleh nasionalisme

yang dalam dari para pejuang kita itu tidak menghiraukan darahnya telah kering

membasahi pertiwi demi nusa dan agama. Tinggal lagi bagaimana kita menghargai

darah (leluhur) pejuang yang ‘taserak’ dalam kenikmatan kemerdekaan kita pada

saat sekarang ini, setidaknya sebagai kearifan lokal dalam khasanah perjuangan

anak bangsa untuk menengakkan harga diri dan gagasan kemandiriannya serta

martabat bangsa dan kebangsaan.

Bahkan melalui novel ini pula kita akan menemukan pula sederetan nilai-nilai dan

dakwah Islam yang bersumberkan dari firman firman Allah, Swt dan sabda

Rasulullah sebagaimana yang dikutipkan dari al-Qur’an kitabullah dan para perawi

hadist (shahih) yang berhubungan dengan cinta, arti dan makna kebangsaan dan

perjuangan untuk mencapai kedaulatan, kemerdekaan yang terkendali oleh nilai-

nilai yang islami dan budaya ketimuran, khususnya dalam persepektif ke-

Minangkabau-an.

Ide itu semakin lama semakin mengkristalisasi, dan menemukan kerangkanya dan

memulai menorehkan fakta dan khayal untuk novel yang berada di tangan pembaca

saat ini, setelah dikejutkan oleh sepotong kalimat seorang pujangga Sir Philip

Sidney yang dinukilkan kembali oleh Richard E. Rubenstein. Katanya “’Wahai tolol

!’ kata suara batin kepadaku, ‘lihatlah ke dalam hatimu dan menulislah’.” Adalah

patut pula penulis menyampaikan terimakasih kepada kedua tokoh kawakan dunia

tersebut.

Page 10: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

10 | Maryam Chilvalry

Terimakasih, penulis

Page 11: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

11 | Maryam Chilvalry

Ucapan Terimakasih

Dalam kesempatan ini, untuk pertama sekali penulis mengaturkan rasa terimakasih

yang sangat dalam kepada Bapak. H. Ibrahim Kesah Angku (I.K.A) Payuang Ameh

dan Bapak Drs. H. Djazuli Dt. Gampo Marajo (keduanya sesepuh Kamang yang

berdomisili di kota Bukittinggi).

Karena berkat kedua orang tua inilah beberapa literatur dan diskusi seputar Perang

Kamang 1908 itu penulis dapatkan dan dikembangkan. Dan pada suatu ketika hasil

diskusi dan wawancara yang diramu dengan berbagai literatur penulis menemukan

ide untuk merekonstruksikan kembali sejarah yang terpendam itu dalam bentuk

novel sejarah.

Terimakasih yang tidak terhingga pun penulis sampaikan kepada mantan Gubernur

Sumatera Barat terpilih (Periode 2005-2010) H. Gamawan Fauzi (Mendagri), SH, MM

Dt. Rajo Nan Sati, karena perhatian beliau terhadap para ‘penulis lokal’ dan

terutama karena bersama beliau mendapat kesempatan mengunjungi makam

Pahlawan Perang Kamang 1908 tersebut pada saat Kampanye Pilkada Gubernur

Sumatera Barat tahun 2005 lalu di Kamang Hilir sekarang.

Terimakasih penulis pun dilayangkan buat Drs. Cecep Trisnaldi, staf Lembaga

Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Sumatera Barat di Padang, yang telah

menyumbangkan foto-foto kuno bermuatan historis di Sumatera Barat dari dalam

‘hardisk’ komputernya.

Dan terkhusus pula rasa terimakasih penulis disampaikan kepada seorang sahabat

Asra Fery Sabri, yang telah turut mempreteli draft novel ini dan memberikan

beberapa literatur, saran dan kritiknya sebagai pertimbangan lebih lanjut demi

kematangan penulisan novel ini.

Salam maaf dan terimakasih penulis kepada seluruh nara sumber dan kepada pihak

keluarga pejuang perang Kamang 1908 itu yang tidak dapat disebutkan nama dan

dipanggilkan gelarnya satu persatu, karena mungkin saja banyak hal yang kurang

berkenan untuk menerima jalan cerita ini, tetapi bukanlah itu yang penulis

maksudkan namun adalah sekedar penyampai fakta sejarah dalam bentuk ‘kisah’

novel.

Akhirnya terimaksih penulis kepada istri dan anak-anak yang tercinta, karena

kearifannya dengan selalu menyiapkan ‘kopi panggang’ pada saat-saat penulis

sedang berkonsentrasi dalam mengemas naskah ini. Dan semoga arwah Ayah-Bunda

pun ditempatkan oleh Allah, Swt pada tempat yang mulia.-

Wassalam, Penulis !

Page 12: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

12 | Maryam Chilvalry

1. Larek

DALAM perjalananku ke rantau Tanah Semenanjung, tepatnya aku mensunyikan

diri di Saremban, namun sebelumnya saya coba untuk bersembunyi di Sungai

Ujong jua adanya, sebagaimana yang disarankan sang inspiratorku Haji Abdul

Manan guna melengkapi tarikh yang aku susun setelah kemelut Kamang Berdarah

1908 itu.

Pada ‘larekku’, kepergian meninggalkan kampung ke negeri orang karena sesuatu

hal yang tidak memungkinkan lagi hidup dikampung halaman. Di rantau inilah

semua kisah Perang Kamang 1908 aku lengkapi dengan berbagai kejadian,

termasuk beberapa kebijakan pemerintah Belanda dan pengaruhnya di

Minangkabau, baik sebelum dan sesudah perang Kamang tersebut. Dan sedikit

pengetahuanku tentang kolonialisasi, imperealisasi ataupun imperium bangsa Barat

di tanah leluhur kita telah turut pula mengisi relung-relung ‘larek’-ku.

Larek dari kampung halaman bermula seusai Kamang Berdarah pada tengah malam

15 Juni 1908 dan 16 Juni 1908 di Mangopoh yang telah menamatkan riwayat

perjuangan para Srikandi. Seusai Kamang dan Mangopoh berkuah darah, selama

lima hari aku bersembunyi di hutan Bukit Batu Bajak dipinggir kampungku dan

bertepian dengan negeri Suliki dan Suayan Sungai Balantiak di Luhak Limo Puluah

Koto.

Dari persembunyianku di hutan Bukit Batu Bajak itu, komunikasi kami ke

perkampungan masih tetap ada dengan bantuan seorang petani peladang dan

bahkan dari dia aku mencoba menaksir kembali berapa jumlah korban perang

ditengah malam itu.

Tapi setelah Mak Kari Mudo menyampaikan pesan Mak Garang Datuak Palindih,

seorang Laras di Kamang Hilir yang berpihak kepada perjuangan rakyat dan

Page 13: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

13 | Maryam Chilvalry

memberiku uang sekedarnya untuk bekalku melarikan diri barulah aku

menyeberang melintasi Bukit Barisan itu.

“Kata Mak Datuak Garang kepadaku, Mak Kari Mudo menirukan pesan Mak Datuak

Garang ‘kamu harus secepatnya – larek – melarikan diri dari kampung ini,

upayakan kamu selamat untuk menyeberang ke Malaya’. Dan ini sedikit uang

bekalmu dalam perjalanan menuju rantaumu. Uang ini juga diberikan oleh Mak

Dt. Garang,” katanya padaku.

“Dalam masalah perang ini dan apapun yang terjadi pada kami biarlah kami yang

mempertanggung jawabkannya di meja hijau Ulando nanti. Dan mengenai

pejuang-pejuang kita yang selamat jangan pulalah kamu hiraukan. Tapi yang perlu

kamu risaukan adalah risalah perang ini supaya sampai kepada anak cucu kita

nantinya, terutama pada zaman orang tidak lagi peduli atau memperdulikan

hakikat perang Kamang ini dalam mengusir penjajah dan pengkafiran oleh bangsa

asing di negeri yang berbudaya serumpun Melayu ini,” sambung Mak Kari Mudo

untuk terakhir kalinya kepadaku.

“Apakah mamak dan mak Datuak akan menyerahkan diri ?,” tanyaku kepada

beliau.

“Agaknya, seperti itu. Dari pada dunsanak, anak-kemenakan terutama yang

perempuan diancam pihak Ulando terus-menerus, mungkin lebih baik kami

menyerah saja,” awab beliau.

Sejak itu aku pun mulai menapak perjalanan rantauku dengan berbagai

penyamaran yang aku lakukan. Pada sore harinya mulailah akau mendaki Bukit

Barisan untuk turun di seberangnya menuju kampung Talang Anau dan Pandan

Gadang di Suliki. Dari Suliki aku menyisir ke arah Mahat dan seterusnya mengikuti

aliran Batang Mahat yang bermuara di Batang Kampar Kanan.

Dengan biduk yang dipergunakan rakyat di kampung itu aku menelusuri Batang

Kampar menuju Sungai Siak sebagai seorang pedagang yang membawa hasil bumi

dan sedikit candu, meskipun haram tapi adalah untuk berjaga-jaga kalau ada

pemeriksaan maka dengan memberikan secumut candu kepada petugas sudah

dapat melepaskan diri dari sederetan pertanyaan. Karena kala itu pemeriksaan

terhadap siapa saja keluar masuk sungai Siak sudah mulai diperketat sebagai akibat

dari perlawanan anti belasting itu.

Selat Malaka aku lintasi dengan menaiki sebuah tongkang, sejenis perahu kayu

ukuran agak besar yang didorong oleh angin guna membawa barang-barang

dagangan. Di atas sebuah Tongkang yang berbentuk agak persegi panjang itu dan di

sela-sela tumpukan kulit manis dan gambir aku duduk dibawah sapaan angin laut di

Selat Malaka yang bertiup lembut, yang membuat mataku lemas dan rasa

mengantuk pun menimpa kedua pelupuk mataku. Rasa mengantukku berperang

antara khayal dan fakta yang aku hadapi di negeri orang nantinya.

Page 14: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

14 | Maryam Chilvalry

Tapi itu tak berlangsung lama, persis menjelang pertengahan laut, awan hitam

menggulung seakan menyapu kami yang terapung-apung di laut itu. Tapi si Tekong

yang sudah berpengalaman, malah memberikan obat penawar atas kecemasan

kami yang berjumlah tujuh orang menumpang tongkangnya itu.

Tekong mencoba memberikan penjelasan tentang bentuk-bentuk awan, arah angin

dan tipe hembusan angin mana yang berbahaya dan sebagainya. Setelah angin agak

reda, badai sesaat sudah surut maka kami pun sudah mulai tenang kembali. Pada

saat itu aku pun mencari posisi yang agak aman, duduk menyendiri menatap

matahari yang sudah hampir memperlihatkan jingga di ufuk Barat.

Lama-lama dalam lamunanku muncul segala pengetahuanku tentang peranan Selat

Melaka itu semenjak zaman purba dahulu kala, dan lamunan itu terus menjalari

benak yang berada di bawah ubun-ubunku ke masa-masa berikutnya. Apalagi pada

saat Selat Malaka pernah menjdi rebutan antara Peranggi di Timur (Malaka), Aceh

di Barat dan Demak di Selatan. Meskipun akhirnya Demak dan Aceh beserta daerah

Melayu lainnya termasuk Bugis bergabung untuk menghantam Peranggi di Melaka,

namun gonggongan meriam-meriam Peranggi itu masih kuat menyalak untuk

mendesak pasukan Barat dan Selatan yang dibantu oleh pasukan Bugis-Makasar,

surut kembali ke keratonnya masing-masing guna menghitung hutang perangnya

kepada rakyatnya masing-masing. Perang itu tentu terjadi di laut ini. Di Laut Selat

Malaka ini.

Kebencian dan kekesalanku semakin memuncak pada saat aku menyaksikan

langsung di negeri Malaka bahwa perairan Selat Malaka semakin menjadi rebutan

bangsa asing yang silih berganti antara imperium Peranggi, Ulando dan Anggarih.

Mereka adalah bangsa yang rakus yang tidak mengenal peri kebangsaan orang lain,

dan seenaknya menghujat bangsa pribumi bahwa sejengkal tanah yang telah

didudukinya itu adalah tanah kerajaannya untuk kejayaan dan kemegahan

gerejanya dalam prinsip kolonialis dan imperealisnya yang terkenal dengan 3-G

(Gold, Glory dan Gospel) itu.

Meskipun hanya sejengkal tali kailku tentang sejarah masa lalu nusantaraku ini

lantaran aku tidak berkesempatan untuk melanjutkan perbekalanku di sekolah

yang sedianya untuk anak-raja-raja itu, akan tetapi seteguk pengetahuanku telah

membuat mataku terbuka tentang kedahsyatan penjajah di negeriku. Misalnya saja

sesudah perang Kamang dan Mangopoh 1908, maka pada tahun 1915 pemerintah

Ulando mengeluarkan peraturan agraria yang menyatakan bahwa semua tanah yang

tidak ditempati jatuh pada hukum pemerintah (Red: baca tanah negara), dengan

sendirinya konsep tanah adat (ulayat) tidak diakui lagi.

Begitulah sekelumit lamunanku sewaktu mengharungi Selat Malaka kebanggaan

nusantara.

Page 15: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

15 | Maryam Chilvalry

Sampailah aku di negeri yang dituju. Tidak lama berada di negeri jiran melalui

sahabat dan karib kerabat Inyiak Manan di Sungai Ujong, dimana tempat aku

ditampung aku dapatkan sebuah dokumen baru berupa laporan kontrolir Oud Agam

kepada atasannya. Laporan L.C. Westenenck kepada Gubernur Jendral Ven Heutsz

di Batavia melalui telegram tanggal 17 Juni 1908, kemudian disusul laporan

Gubernur Sumatera Barat Heckler No. 1012 tanggal 25 Juni 1908. Adalah tidak

mengurangi arti apabila aku kutipkan pada bahagian ini.

Westenenck dan Heckler memberikan sebuah gambaran bahwa “... suasana malam

pada saat terjadi pertempuran di Kamang 15 Juni 1908, seumpama satu malam

dimana jurang antara ras manusia dengan segala kekuasaannya sudah tidak ada

lagi, yang ada cuma kelompok kemarahan yang saling bertentangan di dalam diri

manusia-manusia yang bertatapan dengan buasnya melalui kerlipan bintang

bintang di langit. Siap untuk saling membunuh diantara kelompok yang

bertentangan itu.”

Laporan L.C. Westenenck dan Gubernur Sumatera Barat Heckler tersebut terkesan

meminta pembenaran atas tindakan yang diambilnya untuk menjalankan rodi dan

belasting, meskipun banyak menelan korban dipihak prajuritnya pada malam 15

Juni 1908 dalam “Pemberontakan Kamang 1908” yang lebih dikenal rakyat umum

dengan sebutan “Perang Kamang 1908” itu.

Barangkali ini pulalah sebabnya pertimbangan Haji Abdul Manan mempercayai aku

sebagai juru tulis yang kadang kala sebagai juru bicaranya.

“Apakah faktor ini pula yang membuat Siti Maryam, terpaut hatinya dan

tergantung angan fikirannya padaku?” Pertanyaan itu akhir-akhir ini sering pula

menghisasi kegalauanku. Sering sosok Maryam membayangi kesendirianku, sering

pula aku bertanya dalam hati, menyurat dalam bathin dalam kehanyutan khayalku

pada orang yang aku cintai itu.

Pada suatu petang, sewaktu aku telah bermukim di Bandar Saremban Negeri

Sembilan kembali anganku melayang kepada gadisku, Siti Maryam.

“Maryam, dimana kau berada sekarang?”

“Di hutan manakah mayatmu terkapar, atau di penjara manakah tubuhmu diusai

dan diurai para pembesar atau sapir-sapir Ulando itu. Sehingga aku tidak lagi

mendengar kabar berita darimu sampai saat ini ?

Tahukah engkau, Maryam! Beginilah nasibku sebagai petualang kalam, sebagai

seorang juru tulis, pada saatnya kini aku kehilangan jejakmu di belantara

kegalauan. Untuk kamu ketahui, Maryam. Kini petualanganku telah berakhir.

Kalamku telah patah, dawatku telah kering, dan lenteraku pun telah padam dalam

penjelajahanku. Aku telah kehilangan jejak tentang kamu dan srikandi srikandi

lainnya dari Tanah Kamang. Aku tak dapat lagi melanjutkan penjelajahanku dalam

Page 16: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

16 | Maryam Chilvalry

pencaharian khayalku tentang dirimu, Maryam ! Cuma satu hal yang harus kamu

ketahui, Maryam. Semoga saja ‘catatan sebagai seorang juru tulis’, tentang Perang

Kamang 1908 yang aku kisahkan di atas kertas-kertas ini, dari tempat

pengasinganku di tanah Semenanjung Malaya ini dapat sebagai petunjuk bagi orang

orang sesudahku dalam pencahariannya, dihutan mana dan disungai apakah

terbaringnya jasadmu wahai... gadisku, Siti Maryam.

‘Wahai, gadisku!’. Kamu bagaikan bintang yang datang di malam hari. Keganti

damar salatin akan sejarah di negeri ini. Wahai, gadis Bonjol-ku !, dengan segala

keterpaksaan aku jelang rantauku, “larek” dari kampung demi menjalan amanah

terakhir untuk anak cucu kita.

‘Sekali lagi untuk kamu ketahui Maryam, dilihat kepada untung dan perasaianku,

maka tidak obahnya seperti tongkang yang aku tumpangi sewaktu menyeberangi

Selat Malaka duhulu.

“Tongkang kecil muatan penuh serat muatan kulit lokan.

Dagang miskin merantau jauh yang meratap sepanjang jalan.”

“Wahai...!, srikandiku,! songsonglah aku ‘si Juru Tulis’ di pintu sorgamu... !

Sorga yang telah dijanjikan Allah, Swt kepada orang-orang yang ikhlas berjuang.

Berjuang di jalan-Nya !”

“Bamulo hati mako kaibo, badan di rantau bilo kapulangnyo.

Walau kakariang aia di talago, rindu ka adik batambah dalam juo.

Hari paneh cando kariak, mahampehnyo ka tapi juo.

Lah putuih hati dek taragak, denai bajalan batambah jauah juo.

Mandaki jalan ka Canduang, mamutuih jalan nan ka Lasi.

Saketek sasa ka nan kanduang, denai digantuang indak batali.

Bermula hati maka akan hiba, badan di rantau bila akan pulangnya.

Walau akan kering air di telaga Rindu ke adik bertambah dalam jua.

Hari panas seperti akan riak menghempas ke tepi juga.

Lah putih hati karena teragak (rindu), awak berjalan bertambah jauh jua.

Mendaki jalan ke Canduang, memutus jalan yang ke Lasi.

Sedikit sesal kepada nan kandung, awak digantung tidak bertali.

Page 17: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

17 | Maryam Chilvalry

2. Gadis Berkerudung

SURAU di Kamang dewasa itu tidak obahnya seperti suaru-surau lainnya di

Minangkabau, sebagai centra pengalohan keagamaan, pemikiran dan sosial. Potensi

perguruan di surau terletak pada hubungan organisasinya yang luas, melampaui

batas-batas nagari, dan tidak terikat pada struktur pemerintahan nagari, laras dan

pemerintah penjajahan. Murid muridnya memiliki mobilitas yang tinggi dan banyak

berteman dengan anggota-anggota tarekat di seluruh daratan Minangkabau.

Bagi Inyiak Manan dan suraunya di kampung Budi, keberlangsungan dan merupakan

keberlanjutan dari si’arnya tarekat Stariyyah dari pendahulunya yang bersuarau di

kampung Bansa, yaitu Tuangku Nan Renceh. Tuanku Nan Renceh adalah jembatan

untuk bangkitnya semangat anti penjajah yang dikhawatirkan ketika itu, karena

sifat penjajah Belanda yang terkenal seperti “Belanda meminta tanah”. Kalau

kekuasaannya semakin mengakar, maka persoalan pemurtadaan orang Minangkabau

dengan upaya pengkristenannya akan berlangsung pula. Inilah akar kebangsaan

yang berbasis agama.

Page 18: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

18 | Maryam Chilvalry

Uniknya Surau Haji Abdul Manan itu termasyur bukan saja karena pendidikan Islam

yang diajarkannya, melainkan juga karena di surau itu para murid dibekali dengan

berbagai kepandaian duniawi, seperti keterampilan ilmu persilatan, permainan

pedang, berkuda, ilmu meringankan tubuh, ilmu menghilang dan kebal senjata

tajam pun ada. Jauh hari sebelum kepulangan Haji Abdul Manan dari rantaunya di

Sungai Ujong Malaya, Haji Musa kakak Haji Abdul Manan merupakan ulama yang

berpengaruh pula di Kamang. Dengan keberadaan Haji Abdul manan maka Haji

Musa pun berperan aktif mendukung segala aktifitas adiknya itu.

Pada suatu hari datanglah seorang perempuan muda yang elok rupa, cerdas

pembawaannya dan fasih bicaranya serta sopan tutur katanya ke surau di kampung

Budi menemui H. Abdul Manan. Gadis itu datang dari kampung Hanguih Bonjol.

“Assalamu’alaikum...!” Salam pembuka meluncur dari mulut Siti Maryam yang

jauh jauh datang dari kampungnya sewaktu menapakkan kakinya di Surau H. Abdul

Manan.

“Wa’alaikum Salam Warahmatulllahi Wabarakatuh!”. Serentak dan tanpa komando

orang yang berada di atas surau.

Surau kecil berada diantara pinggir ladang dan sawah. Untuk ke surau, melalui

pematang sawah. Kiri kanan terdapat kolan ikan. Sebuah pelataran berbatu yang

terdapat kolan kecil untuk membasuh kaki sebelum naik ke surau. Di sebelah kiri

surau, terdapat gubuk kecil. Di gubuk itulah orang berudhu dan membuang hajat.

Surau itu menghadap daratan sawah yang aman luas. Jauh dilayangkan pandangan,

tampak gususan Bukit Barisan sbagai benteng alami yang melindungi kawasan itu.

Di belakang surau, Gunung Marapi seakan mengawal perkampungan disitu.

Uniknya surau itu dimasuki dari belakang belakang, melewati dapur. Setelah

melewati lorong pendek, barulah berada di muka surau. Ruangan yang cukup

lapang di surau itu untuk sholat dan mengaji. Disinilah ruangan inilah pengajian

dan perilmuan dilaksanakan.

Di samping ruangan ini, terdapat sebuah semacam rumah kecil, paviliun. Disinilah

Tuanku Guru tempat istirahatnya.

Setelah beberapa saat lamanya beristirahat melepaskan engahnya di tempat

berkumpulnya kaum perempuan yang berada di belakang tabir pembatas saf laki-

laki, Siti Maryam mencoba memberanikan diri maju ke arah mi’rab untuk

menemui seseorang yang sedang bertelekan di atas sajadah dengan kaki yang

menyimpuh ke arah kiri, sebagaimana duduk tawadu’ orang orang suluak.

Namun, tiba-tiba dara manis ini mendapatkan semacam isyarat dari seorang

pemuda yang sedikit lebih tua darinya yang duduk di deretan belakang mi’rab

mencegah Maryam untuk maju ke tempat yang ditujunya.

Page 19: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

19 | Maryam Chilvalry

“Ssst...!” Sambil menegakkan jari telunjuk kanan di depan bibirnya dan secepat

itu pula kedua tangannya mengisyaratkan untuk duduk kembali, kemudian dengan

suara berbisik pria ini berucap pelan.

“Jangan dulu menemui Tuangku. Nanti sajalah selesai shalat ‘Isya menemui beliau.

Sekarang Tuangku lagi beri’tiqaf ”.

Melihat reflek dan mendengar ucapan pemuda yang berperawakan agak sempurna

itu Siti Maryam tersurut, dan kembali berlalu ke tempatnya semula. Maryam

berfikir sejenak, “barangkali pemuda itu adalah tangan kanannya Inyiak Manan.

Kalau tidak, kenapa dia berani memperingatkan saya sedangkan masih banyak pula

pria lain dibarisan syaf itu. Bahkan saya sudah melewati dua saf tidak satupun yang

menegor. Dialah yang aktif untuk menjaga adab adab di surau ini” dalam hatinya.

Tak lama antaranya terdengarlah suara ‘tabuah’ (beduk) bertalu-talu menandakan

waktu Magrib telah masuk. Orang-orang yang berada di atas suaru mulai turun

untuk mengambil wuduk, Maryam pun tidak berdiam diri.

Selesai shalat Magrib berjamaah para murid H. Abdul Manan duduk mengelompok

di atas surau. Mereka duduk mengelompok sesuai dengan tingkatan kaji dan kitab

yang dipelajarinya. Masing-masing kelompok didampingi dan dipandu oleh seorang

Guru Tuo. Namun Maryam kebingungan, ke kelompok mana dia harus bergabung

karena belum menjadi murid Tuangku. Maryam gelisah, gusar dan mau bertanya,

apa yang mau ditanyakan dan kepada siapa seharusnya bertanya karena orang-

orang di suaru itu telah mengambil posisinya masing masing. Tak tahu apa yang

harus ia lakukan.

Seorang ibu yang masih muda mencoba menghampiri Maryam. Ibu muda berbisik

kepada Maryam menyampaikan perintah Tuangku.

“Maryam, kamu dipanggil Tuangku ke kamarnya. Baliau ingin menanyakan maksud

kedatangan kamu ke sini.”

“Ya, baiklah Tek !,” jawab Maryam. (tek atau etek = tante).

“Ayo!, Kamu tak usah gugup, saya akan menemanimu !,” sambung si ibu itu lagi.

“Ya, Tek. Terimakasih, Tek !,” jawab Maryam lagi.

Pelan - pelan mereka menuju kamar Tuangku, sementara Maryam berjalan

menundukkan kepala sambil membetulkan kerudungnya yang jatuh ke bahunya. Di

paviliun itu terdapat ruang tamu.

Di depan pintu kamar Tuangku, si ibu muda itu batuk-batuk kecil dan kemudian

mengucapkan salam.

Selepas itu terdengar jawaban salam dari dalam kamar.

Page 20: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

20 | Maryam Chilvalry

“Kamukah itu Anisyah ? Silahkan masuk !”

Sesaat sel-sel dalam syaraf otak Maryam mengerayap, bahwa nama ibu muda itu

adalah Anisyah. “Anisyah rupanya nama ibu ini” percikan memori otak Maryam.

Anisyah dan Maryam masuk ke kamar Tuangku, sambil membuka pintu dan

melangkahkan kaki kanannya, mereka kembali mengucapkan salam.

“Wa’alaikum Salam Warahmatulllahi Wabarakatuh ! Jawab orang-orang yang

berada di dalam kamar serentak.

“Duduklah !,” Kata Tuangku

“Ya! Terimakasih Nyiak !, ” Jawab Anisyah dan Maryam.

Mereka pun duduk bersimpuh sebagaimana layaknya duduk kaum perempuan

Minang, di hadapan Tuangku Haji Abdul Manan yang didamping Datuak Rajo

Pangulu, Haji Musa dan Haji Ahmad, Kari Mudo dan aku sendiri.

Di ruangan tersebut sudah berada para ikhwan yang duduk mengelompok

memandang kearahnya dengan heran karena ada seorang dara asing yang boneh

(elok), dan dari balik kerudungnya terpancar jirus mukanya yang molek sedang

didampingi Siti Anisyah menuju kamar Tuangku.

Para ikhwan saling bertanya dengan berbisik-bisik. “Siapakah gerangan gadis itu ?

Apakah dia seorang mata-mata Ulando yang ditangkap Etek Anisyah ?” Namun,

semua pertanyaan mereka itu tak satupun dapat memberikan jawaban. Dalam

keheranan itu maka Guru Tuo, sebagai pembantu guru utama dalam pengajian itu

cepat arif dan mengambil alih suasana.

“Khmmm..!,” tertengar dehem, batuk kecil si Guru Tuo.

Dehem Guru Tuo mensontakkan khayalan para santri pria yang sedang berkecamuk

fikirannya antara membayangkan kedatangan seorang bidadari untuk

menggairahkan malam pengajiannya di surau dengan kekhawatirannya kepada dara

jelita itu sebagai musuh dalam selimut.

Dikemudian hari Maryam mengetahui bahwa Haji Musa kakak sepupu dalam

pertalian adat dengan Haji Abdul Manan, Datauk Rajo Pangulu tokoh ninik mamak

dari Kamang Hilir, sedangkan Wahid Kari Mudo kemenakan dari Garang Datuak

Palindih, Laras Kamang Hilir adalah juga dari Kamang Hilir, dan Haji Ahmad anak

Haji Abdul Manan dengan istrinya dari Bukik Batabuah, antara Lasi dan Kubang

Putiah Banuhampu.

Tak lama berselang Datuak Rajo Pangulu, memecahkan kebekuan suasana dengan

bertanya kepada Siti Anisyah. “Siapa gerangan gadis di samping Kak Anisyah ini ?”

Page 21: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

21 | Maryam Chilvalry

“Gadis ini,” Anisyah sambil menyentuh lengan kanan Siti Maryam ‘adalah anak kita

juga..., yang datang dari jauh, yaitu dari Kampuang Hanguih di Bonjol dan

namanya Siti Maryam’.”

Sebelum Anisyah melanjutkan keterangannya, Inyiak Manan memintasnya lebih

awal dengan memperkenalkan satu persatu. Selesai Inyiak Manan memperkenalkan

pada Maryam, maka Mak Datuak Rajo Pangulu langsung bertanya untuk memastikan

namanya sekali lagi.

“Benarkah Siti Maryam namumu, kemenakan ?,” kata Mak Dt. Rajo Pangulu pada

Maryam. Inilah cara orang Minang menyapa seseorang di bawah umurnya yang baru

dikenalnya, dipanggil saja kemenakan atau keponakan.

“Tepatnya dimana kampungmu itu ?,” tanya Mak Datuak lagi.

“Iya, Mak Datuak !, nama ambo Siti Maryam. Dan kampung ambo seperti yang telah

dikatakan etek Anisyah tadi, Mak Datuak !,” jawab Maryam.

“Di Kampuang Hanguih ?” timpal Mak Kari Mudo.

“Betul, Mak Kari !,” kata Maryam. Sementara itu, pemuka masyarakat yang

sejamba itu saling berpandangan, namun tidak mempersoalkan dan

memperbincangkannya.

Dalam sebuah perhelatan orang Minang makanannya di atas sebuah dulang yang

terbuat dari kuningan atau piring porselen besar seperti talam. Piring porselen

besar ini dilihat dari motifnya sudah dapat dipastikan bahwa benda itu diproduksi

China. Semakin tua dinasti yang membuatnya maka semakin mahal dan bernilai

harga. Sewaktu makan di sekeliling piring besar itu, dinamakan dengan makan

sejamba. Jumlah orang yang makan sejamba atau dalam satu dulang itu sebanyak

enam orang. Tamu berempat orang, tetua jamba satu orang dan anak muda yang

melayani lauk pauk dan nasi.

Agaknya, nama Kampuang Hanguih mempunyai kisah tersendiri yang mengingatkan

suatu cerita yang diwarisi dari perawinya. Bagi Maryam, melihat gelagat apalagi

terlihat sekilas perobahan sinar wajah pemuka dia temui itu juga menjadi tanda

tanya pula, kecuali Inyiak Manan yang terlihat tenang dan kalem.

“Apakah Inyaik dan mamak-mamak mengenal kampuang ambo tersebut ?,” tanya

Maryam.

“Ya !, kami sangat mengenalnya. Tapi tak usahlah kita teruskan tentang kampung

asalmu itu, nanti pada kesempatan lain akan kami ceritakan perihal kampuang

Hanguih tersebut, sejauh yang kami ketahui pula !,” pintas Tuangku Haji Abdul

Manan.

“Lalu apa gerangan maksud ananda datang ke sini ?,” tanya Haji Abdul Manan.

Page 22: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

22 | Maryam Chilvalry

“Ambo datang ke surau ini membawa hasrat yang sangat besar Nyiak!,” jawab

Maryam.

“Kalau boleh kami tau, apakah gerangan maksud ananda itu ?,” tanya Tuangku

lagi.

“Ambo berniat untuk belajar di sini, yaitu kepada Inyiak,” jawab Maryam sambil

mengangkat wajahnya ke arah Haji Abdul Manan.

“Mau belajar apakah gerangan kamu dengan saya ?”

“Saya ingin memperdalam ilmu agama dan ilmu beladiri serta ilmu-ilmu lainnya

yang dianggap perlu dan penting untuk saya, Nyiak !,” jawab Maryam.

Tuangku Haji Abdul Manan termangu sejenak memikirkan maksud gadis ini, tapi

yang membebani pikirannya adalah mengenai niat Maryam untuk belajar bela diri

yang tentu nantinya bukan semata belajar silat, sudah pasti anak ini juga

menuntut untuk diajarkan bermain pedang, menunggang kuda dan sebagainya,

karena “kilek baliuang lah ka kaki, kilek camin lah ka muko. Kilek bayan kato

sampai” (Kilat beliung/cangkul telah ke kaki, kilat cermin telah ke muka/wajah).

Kata kiasan telah dipahami dari ujung perkataan Siti Maryam itu.

Haji Abdul Manan tidak menggubris niat Maryam tersebut, malahan Tuangku

meloncat kepertanyaan berikutnya, “Tapi, kepergian ananda ke sini apakah sudah

seizin kedua orangtua ananda ?.”

“Sudah. Nyiak !”

“Dari mamaknya ?,” tanya Haji Abdul Manan lagi. (Mamak / mak = paman)

“Sudah, Nyiak ! Bahkan dari dunsanak ambo dan keluarga lainnya sudah ambo

sampaikan maksud ini, dan mereka mengizinkannya, Nyiak!,” jelas Maryam.

(dunsanak = saudara)

“Kalau begitu kenapa kamu datang sendirian saja, tidak diantar oleh salah seorang

keluargamu, apalagi yang laki-laki,” tanya Kari Mudo.

“Ya, apa salahnya jalan sendiri saja, Mak ?,” balas Maryam.

“Kamu ini kan seorang gadis, tidak baik bepergian sendirian, apalagi berjalan jauh

menuju kampung orang lain. Mana tau ditengah jalan kamu diganggu, dianiaya,

dirampok, dirampas dan dinodai orang,” timpal Datuak Rajo Pangulu.

“Apalagi, kalau bertemu dengan opas Ulando (Belanda) yang kebetulan sedang

kontrole, atau oleh pembantu pembantu si ‘kapia’ (kafir) itu, seperti dubalangnya

tuangku lareh dan dubalang angku palo, kan bisa celaka kamu jadinya !,” belalak

Kari Mudo sambil mengericutkan gerhamnnya.

Page 23: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

23 | Maryam Chilvalry

Siti Maryam hanya menekurkan wajah dan tidak mau menantang batang hidung

Kari Mudo yang agak geram itu.

“Kalau sempat si ‘Ulando’ itu menodai kamu, maka kami-kami ini pun merasa

ternodai pula. Ulama-ulama dan niniak-mamak se Mianagkabau ini juga diberi

malu. Dan telah sekian lama dan berapa banyak perbuatan si ‘kapia’ itu ‘nan

mancorengkan arang di kening’ ulama dan niniak mamak kita di Minangkabau ini !

Tidak kah kamu fikirkan itu ?,” gertak kari Mudo lagi dengan matanya yang tajam

dan suaranya sedikit ditekannya, supaya jangan sampai terdengar ke luar kamar

itu.

Namun Siti Maryam tidak menampik amarah Kari Mudo itu dan malah mencoba

mengikuti aliran emosi Kari Mudo dengan perkataan.

“Justru karena ‘arang sudah tercoreng di kening’ kita itulah makanya ambo ingin

membekali diri di surau ini, di bawah bimbingan Inyiak dan mamak-mamak ambo

serta etek dan dunsanak ambo di Kamang ini, Mak ! Dan karena itu pula, maka

pihak keluarga kami merestui rantau ambo ini’. Tak terbendung argumen Maryam,

bagaikan air pancuran yang mengucur tiada henti

‘Bukankah pepatah Mak Datuak mengatakan, ‘Tak akan mungkin sumpik (karung)

kosong bisa ditagakkan’, artinya tanpa ilmu ambo tak akan dapat melakukan

sesuatu, sesuatu yang membawa manfaat dan kemaslahatan bersama,” kata

Maryam.

Inilah baru aku berjumpa dengan seorang gadis cantik yang tak gentar akan

gertakan pemuka masyarakat itu. Fikiranku juga berkecamuk tentang siapa

sebetulnya gadis ini, terlalu berani dia, tegar mentalnya. Tapi karena kami harus

mengorek informasi sebanyak-banyaknya, ya... terpaksalah untuk bersembunyi di

balik keragu-raguan itu. Tentu perkenalan pertama kami ini adalah sebuah catatan

pinggir pula bagiku sebagai juru tulis Inyiak Manan.

“Apakah kamu tak merasa cemas, tak merasa takut sejauh itu ke sini sendirian

saja ?, ” tanya Siti Anisyah pula.

“Tidak, Tek. Bak kata pepatah juga Tek ! ‘Tak akan mungkin perang dilakukan

tanpa keberanian’, Tek...!”

“Bijak kali anak ini !,” gerutuku dalam hati.

Tanpa terputus Maryam melanjutkan keterangannya, “...Mengenai kesendirian

ambo melakukan perjalanan panjang ini adalah sesuatu yang terbaik menurut

keluarga kami, sebab kalau kami datang berombongan tentu kami melewati jalan

umum yang agak ramai, sehingga akan banyak bertemu dengan orang-orang,

termasuk pihak Ulando sendiri, tapi kalau hanya sendirian tentu upaya penyamaran

mudah dilakukan guna menghindari kecurigaan orang orang itu.”

Page 24: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

24 | Maryam Chilvalry

Mendengar ucapan ‘gadih jolong gadang’ (gadis baru besar/remaja) nan

berkerudung itu, pemimpin adat dan agama di bilik itu geleng geleng kepala saja

sambil menundukkan wajahnya.

“Lalu, bagaimana cara kamu bisa sampai di sini ?,” tanya Anisyah lagi.

“Ambo melakukan penyamaran, Tek!”

“Kamu terlalu berani, Maryam! Dan bagaimana caramu menyamar itu ?,” desak

Anisyah lagi.

“Begini Tek! Sesampai di perbatasan Batang Palupuah dengan Kamang ambo

diantar oleh ayah dan ibuku dengan cara berpura-pura sebagai orang mau pergi ke

ladang dan waktu telah lewat lohor kami pun seperti orang pulang dari ladang

namun arah kami tetap menuju ke Kamang ini. Sesampai di perbatasan kami telah

ditunggu oleh Mak Etek dan saudaraku yang laki-laki. Setelah mendapat petunjuk

untuk bisa sampai di surau ini dan menceritakan hasil pemeriksaannya sampai ke

sini tadi siang, ternyata perjalanan ke sini aman. Walaupun ambo berjalan

sendirian saja, tak masalah. Sehingga ayah, ibu, mamak dan saudara ambo kembali

pulang. Kami pun bertolak punggung.”

“Lalu dari perbatasan untuk sampai ke sini apa upayamu,” lanjut Siti Anisyah lagi.

“Sewaktu ambo lewat ladang orang, sekiranya ada orang di sekitar ladang itu,

maka ambo ‘mambebek’, seolah-olah ambo mencari kambing yang lepas. Dan

sewaktu ambo melewati persawahan, dan pada saat ada sesuatu yang

mencurigakan, maka kadang-kadang ambo berpura-pura menyiangi padi yang baru

ditanam atau berpura-pura ‘mangaro’, mengusir burung di padi yang masak.

Bahkan ambo seperti orang mengahalau itik, Tek !”

“Jadi kau kah itu..., di sawah sana... tadi seperti orang mencari itik itu ?,” tanya

Anisyah lagi dengan antusiasnya.

“Iya, Tek!, sehingga ambo sampai di halaman Surau ini, Tek,” jawab Maryam.

“Luar biasa kamu Maryam,” komentar Haji Abdul Manan.

“Tipuanmu hanya sederhana, tapi sangat memukau !,” tukas Datuak Rajo Pangulu.

Kari Mudo mangangguk angguk saja dengan ketersimaannya. Haji Abdul Manan tak

putus-putusnya menatap Siti Maryam, seolah sedang melepaskan pandangan

bathinya terhadap nyali dan kecemerlangan Siti Maryam. Di wajah Siti Anisyah pun

terbayang suatu kegembiraan bahwa seolah dia telah mendapatkan kader atau

relawati baru dalam menjalankan misinya sebagai tenaga propaganda menentang

kekuasaan tirani penjajah asing yang bersuara ke hidung, sengau itu.

Page 25: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

25 | Maryam Chilvalry

Di surau para murid muda gundah antara mengahapl kaji, dan rasa ingin tahu

tentang tamu yang elok ruapanya itu. Meninggalkan pelajaran, kawatir dihukum

oleh guru, tapi rasa ingin tau lebih kuat dorongannya.

Namanaya manusia, apalagi anak-anak yang sedang tumbuh dan berkembang penuh

dengan segala ingin tau apalagi ada sesuatu yang asing dilihatnya. Untuk mencari

tau sering pula anak-anak melakukan sesuatu yang usil. Tidak terkecuali anak-anak

di surau.

Si Magek (mungkin Megat) yang suka usil diantara mereka, tak bisa menahan hasrat

hatinya. Dia bangkit dari duduknya, singsingkan kain sarungnya. Ia ajak tiga orang

sebayanya. Mereka berpura-pura turun ke halaman untuk buang hajat.

Ruang tamu pavliun itu, berdinding papan. Pada salah satu dinding papan,

berlobang oleh mata kayu. Lobang itu pas berada di ruang tamu. Megat telah

memperbesar lobang itu, dan menutupnya dengan tanah.

Sudah agak beberpa lama mereka tidak kembali ke atas surau untuk melanjutkan

pelajarannya, kepala guru tuonya bagaikan kepala capung, lihat ke kiri dan lihat ke

kanan tapi pasukan si Magek tidak juga kembali. Setelah ditanya kepada ikhwan

yang lain, semuanya menjawab tidak tau. Pikiran si guru tuo mulai melilit akalnya.

“Pasti ada sesuatu, tapi kenapa perasaanku tidak cemas, ya !” Antara pikiran dan

perasaan mulai melilit akalnya. Tapi, dia tau, si Megat banyak akalnya, dan

merupakan murid yang paling cerdas diantara yang lainnya.

Untunglah sang guru tau dengan tabiat, prilaku anak-anak asuhnya, maka dengan

pura-pura ingin buang hajat pula si guru tuo turun ke halaman. Dengan mengintip-

intip si guru tuo memeriksa sekitar ‘jamban’, kakus. Ternyata pasukan Magek tidak

ada, si guru tuo kembali ke tepi surau.

Guru tuo melanjutkan pemeriksaan ke sekeliling surau, semakin dekat ke arah

mighrab surau terbayang sosok berkelabat di dinding. Setelah didekati ternyata

benar. Pasukan si Magek sedang bergelantung di dinding, merayap mengintip-intip

di celah lobang kayu yang sudah dilobangi. Pusing juga si guru tuo, bagaimana

menyuruh mereka turun. Kalau langsung di tegor sudah pasti anak-anak ini

terkejut, jatuh dan celaka.

Si guru tuo menurutkan langkahnya, dan menunggu mereka. Si guru tuo mendehem

dan batuk-batuk kecil, namun dia tetap mengawasi ke tempat anak-anak itu dari

balik rumpun kopi. Tak hayal lagi pasukan si Magek melompat dan lari, langsung

naik ke atas surau. Setelah mengambil udhuk guru tuo menyusul mereka ke atas

surau.

Pelajaran anak-anak dilanjutkan kembali. Si guru tuo benar-benar pura-pura tidak

tau atau darimana dan apa yang dikerjakan oleh si Magek bersama kawan-

Page 26: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

26 | Maryam Chilvalry

kawannya. Karena si guru tuo tidak mau proses pembelajaran waktu itu terganggu

dan sekaligus tidak mempermalukan pasukan agresif ini di depan teman-temannya

yang lain. Apalagi nanti akan dihujani oleh cemooh dan celaan kakak

seperguruannya saat itu.

“Maryam...!, tadi kamu mengatakan bahwa datang ke sini ingin memperdalam

ilmu agama, ilmu bela diri atau silat dan ilmu-ilmu lainnya yang bermanfaat, bukan

?,” Haji Abdul Manan yang mencoba kembali ke pokok persoalan kedatangan Siti

Maryam.

“Betul adanya, Nyiak !,” jawab Maryam.

“Maryam...?,” panggil H. Abdul Manan lagi.

“Kalau kamu ingin memperdalam pengetahuan agama, itu sangat saya setujui.

Tetapi kalau ingin memperdalam ilmu selain ilmu agama adalah sangat

mengherankan kami. Baru sekali ini kami mendengar permintaan seorang gadis di

luar kampung ini jauh-jauh untuk mendalami ilmu persilatan,” kata Haji Abdul

Manan yang mencoba mematahkan niat Siti Maryam.

Mendengar pernyataan Tuangku itu Siti Maryam seakan berada diatas titian antara

perasaan malu karena dia merupakan pengecualian sebagaimana yang dijelaskan

Haji Abdul Manan dengan perasaan sedikit tersinggung, seakan niat hatinya telah

ditolak. Maryam mencoba menampik kedua perasaannya itu.

“Maafkan ambo Nyiak ! Kalau ambo ingin memperdalam ilmu persilatan apa

salahnya Nyiak ? Apakah kurang kecakapan saya dari seorang laki laki ? Apakah ilmu

persilatan itu hanya miliknya kaum laki-laki ? Apakah Inyiak dan mamanda, (sambil

menoleh kepada Dt. Rajo pangulu dan Kari Mudo) keberatan untuk mengajar saya

tentang ilmu persilatan itu ?” Bertubi-tubilah pertanyaan Siti Maryam jadinya.

Orang yang hadir dalam kamar Tuangku Haji Abdul Manan itu terpaku saja,

termakan buah simalakama jadinya. Justru semangat semacam inilah yang

diharapkan, namun bagaimanapun dia adalah seorang gadis perempuan yang harus

dilindungi oleh kaum laki-laki, bukannya dididik dan diasuh sebagai pejuang yang

pemberani.

“Kalau begitu..., baiklah !”

“Cobalah kamu pikirkan lagi masak-masak. Telungkup-telentangkanlah kembali

tentang niatmu itu agak sehari-dua ini !,” pintas Haji Abdul Manan.

“Dan bagi kami, biarlah kami coba pula untuk merenung-renungkannya,” sambung

Haji Abdul Manan lagi.

Page 27: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

27 | Maryam Chilvalry

“Kalau begitu kata Inyiak, baiklah ! Bagi ambo sulit kiranya merobah niat ambo

semula, sehingga dari jauh ambo datang kesini hanya untuk mewujudkan niat ambo

itu, Nyiak !,” tukas Siti Maryam.

“Insyaallah, anakku ! Tapi fikir itu kan pelita hati. Tidak baik melangsungkan

sesuatu itu dengan cara terburu-buru,” jawab Haji Abdul Manan pula.

“Kalau begitu kami mohon diri dulu Nyiak, Mak Datuak, Mak Kari dan Tuan Haji,”

pamit Siti Maryam kepada semua orang berada dalam kamar itu.

Tetapi kepadaku sikapnya agak berbeda, sewaktu akan beranjak untuk berdiri

sambil menekur dia melayangkan sudut matanya sambil sedikit menganggukkan

kepalanya sebagai isyarat kepamitannya dari ruangan itu kepadaku.

Serasa akan putus tali jantungku memandang seulas senyum dan selayang pandang

gadis berkerudung itu, sehingga aku agak risih dan resah juga jadinya. Dengan

serta merta saya mengangguk kecil pula untuk menjawab salam pamitnya dan

cepat-cepat memandang ke arah tokoh-tokoh pergerakan di sekitar aku itu. Kalau-

kalau mereka memperhatikan pula perobahan tingkah pada diriku karena

keterpesonaanku pada gadis yang bernama Siti Maryam itu.

Siti Anisyah berdiri diiringi pula oleh Siti Maryam dan berlalu dari kamar yang

berukuran kira-kira tiga kali empat setengah meter itu. Siti Anisyah membawa Siti

Maryam ke rumahnya.

Megat dan kawan-kawan menghamparkan lapiak (tikar) masing-masing. Tapi tiga

diantaranya, tidak bisa memejamkan matanya. Megat bengkit, duduk mancakung.

Pikirannya menarawang ke ruang tamu di pavaliun. Wanita cantik didalamnya.

Melihat Megat bangun, dua temannya yang menyertainya, bangun pula. Ketiga

membicarakannya, disertai yang lainnya turut mendengarkannya.

Terdenagr langkah – langkah kaki mendakat. Makin lama makin jelas, berderak-

derik menginjak lantai papan. “Belum tidur kalian,” bentak guru tuo.

Ruangan itu menjadi sunyi. Guru tua berlalu, menggeleng-gelengkan kepalanya

sambil tersenyum.

Page 28: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

28 | Maryam Chilvalry

3. Kancia, Bukan Pelanduk

Selesai belajar dan mengaji murid di surau sudah mencari posisi tidur. Anak-anak

perempuan sudah memisahkan diri dari anak laki-laki ke balik tabir sekram tinggi.

Tapi diantaranya masih ada juga yang bermain catur harimau, catur raja, dan

catur sembilan, disamping berteka-teki dan mendongeng sebelum tertidur.

“Magek, kesinilah !,” ajak si Guru Tuo. Magek menghampiri Guru Tuo, dan Guru

Tuo berbalik dan melangkah menuju sebuah bilik, kamar yang bersebelahan

dengan ruang Inyiak Manan.

Sesampai di kamar yang agak sempit itu si Guru Tuo menanyakan teman-teman

Magek yang serombongan permisi buang hajat sewaktu masih berlangsungnya

pembelajaran mengaji tadi. Magek mulai terkaget, dengan terbata-bata

menyebutkan kawan-kawannya tadi.

“Ayo, panggillah kawan-kawan kamu itu !,” perintah Guru Tuo.

Magek pusing, cemas apa gerangan yang akan terjadi, apakah Guru Tuo sudah tau

kelakuannya tadi, lalu bagaimana caranya mengatakan kepada kawan-kawan

karena dia sendirilah yang punya ide. Hukumannya pasti berat. Kalau kawan dapat

lecutan rotan satu kali, paling tidak dia menerima dua atau tiga kali. Magek

menemui temannya satu persatu dan berbisik

“...Engku guru menyuruh kita kekamarnya sekarang !,”. Kawannya merungut

rungut ketakutan.

“Kamu sajalah menemui beliau Magek, kan kamu yang mengajak kita-kita semua,”

kata kawan kawannya.

“Iya, tapi kalian kan juga bersemangat untuk ikut !,” jawab Magek.

“Iya, kami kan terpaksa olehmu Magek. Kalau tidak kami ikuti nanti kamu

mengancam kami,” kata seorang lagi.

“Ha, tadi kan saya tidak memaksa kalian !”.

Page 29: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

29 | Maryam Chilvalry

“Iya, Magek, kalau tidak kami ikuti, nanti kamu pasti mengancam kami, kan

kebiasaan kamu seperti itu, Magek !,” timpal seorang lagi.

“Magek tadi kamu rayu kami, bahwa ada uni cantik di kamar Inyiak. Kami kan juga

ingin melihatnya, Magek !,”

“Akh !, kalian sekarang semuanya berdalih. Biarlah nanti saya bilang saja kepada

engku guru bahwa kalian membangkang akan perintah beliau. Baru nanti kalian

rasakan !,” bentak Magek sambil berdiri.

“Itu, kan. Kamu mulai mengancam,” ciloteh seorang lagi, “ayolah kawan kita

temui saja engku guru itu bersama-sama, apa boleh buat, mana tau engku guru

bukan menanyakan pekerjaan kita tadi, kan engku guru tidak tau !”

“Ayo...!,” ajak Magek, tapi hati Magek sudah berkata-kata, sudah pasti tentang

perbuatannya tadi, karena guru sudah menanyakan “mana kawan-kawanmu tadi,

kepadaku”. Sudah pasti !, sudah pasti ! Bisik hati Magek saat menuju ruangan

engku guru bersama pasukannya itu.

“Assalamu’alaikum...!,” serentak mereka mengucap salam sewaktu mau masuk

kamar Guru Tuo. Berselang sesaat dari dalam terdengar suara engku guru.

“Masuk !”

Sambil mengaduk-aduk dua cawan kopi panas si Guru Tuo menyuruh anak-anak

duduk. Anak-anak, sambil membetulkan kain sarung yang disandangnya duduk

berderet melengkung dengan tertib dan kemudian membetulkan letak kopiah,

pecinya.

Guru Tuo melempar sebuah granat untuk Magek. “Magek kamu pindah duduk ke

tengah !”

Darah Magek meledak ke otak, syaraf-syarafnya terasa kesentrum. “Sudah pasti

guru tau bahwa aku yang mengajak kawan-kawan tadi, hukumanku pasti berat”.

Kegundahan Magek menyeruak sambil beranjak ke posisi yang diperintahkan guru.

“Sekarang kalian tau apa alasan kalian dipanggil ke sini ?,” tanya guru kepada

segerombolan tentara semut itu.

“Tidak, engku !,” jawab mereka serentak.

“O, tidak, ya ?,” balas si Guru Tuo dengan kelam, kemudian menghirup kopi

panasnya sedikit-sedikit dengan hirupan panjang sambil menyeringaikan bibirnya

karena kopi masih panas. Air kopi yang dihirupnya berkejaran manyisir sela-sela

gigi engku guru sehingga terdengar bunyi suara mendering di lingkaran cangkir.

“...kalau saya kasih tau bagaimana ? kata si Guru Tuo lagi.

Page 30: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

30 | Maryam Chilvalry

“Tapi sebelum saya kasih tau kamu harus menjawab pertanyaan saya dulu. Apakah

kalian mau menjawabnya ?”

“Mau, Engku,” jawab mereka lagi serentak.

“Dengan jujur ?,” kata guru lagi.

“Iya, Engku !”

“Tidak akan berdusta ?”

“Tidak, Engku !” Semua pertanyaan Guru Tuo dijawab mereka secara serentak.

Tanpa dikomandokan oleh siapapun.

“Tadi sewaktu permisi, kamu kemana sebenarnya Magek ?” Pertanyaan awal

diarahkan kepada Magek.

“Tidak kemana-mana, Engku,” Magek menjawab dengan suara tegas, tapi

wajahnya ditundukkan.

“Kenapa kamu lama sekali baru balik ke atas surau ?”

“Tidak lama-lama, Engku,” Magek menjawab lagi dengan gaya yang sama.

“O, begitu !” Guru Tuo dengan sabar dan tidak terburu-buru menghadapi kilah si

Magek, namun Guru Tuo tetap membelitkan persolan kepada Magek.

“Tadi kamu hanya pergi terkencing atau pergi buang air besar, Magek ?,”

pancingan Guru Tuo lagi.

Dengan keluguan yang penuh kepura puraan Magek menjawab pertanyaan si Guru

Tuo. Dua pertanyaan sekaligus, juga di jawab sekaligus oleh Magek.

“Tidak, Engku.”

“Tidak bagaimana. Semuanya kamu jawab dengan tidak. Jelaskan !” Guru Tuo

mulai menghunjamkan sebuah tusukan dengan suara agak meninggi, dengan

hardikan kecil. Perut Megek mulai merasa nyeri.

“Ya, tidak kedua-duanya, Engku,” jawab Magek dengan gagap.

“O, maksudmu. Tidak pergi terkencing dan juga tidak pergi buang air besar ?

Begitu !” kembali Guru Tuo dengan suara lembut menjinakkan anak yang licin bak

belut itu.

“Iya, Engku,” jawab Magek lagi yang tidak berobah sikap setiap menjawab

pertanyaan engku gurunya. Menunduk dengan kelam dan intonasinya yang tidak

menantang.

Page 31: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

31 | Maryam Chilvalry

“Angkat wajahmu, Magek ! Bentak sang guru. Dan dalam waktu bersamaan engsel

pintu kamar berbunyi, diringi oleh ucapan salam. Rupanya ada seseorang sosok

yang datang ke kamar itu.

“Itu kopi sudah saya buatkan untukmu, sudah dingin barangkali,” kata Guru Tuo

menyilakan mencicipi kopinya kepada juru tulis yang baru masuk itu.

“Ya, terimakasih, Engku,” jawab juru tulis didepan bocah-bocah yang lagi

diinterograsi si Guru Tuo.

“Ada apa ini, kenapa ramai-ramai di kamarku ?,” tanya juru tulis pura-pura tidak

tau persoalan.

“Siapa lagi yang bikin ulah ? Kamu lagi Magek ?,” kata jurut tulis lagi.

“Itulah ! Dia bawa teman-temannya tadi ke halaman. Alasannya permisi buang air.

Tau taunya entah apa saja yang dia kerjakan, lama sekali baru dia balik ke atas

suarau,” terang Guru Tuo kepada juru tulis.

Guru Tuo kembali menginterograsi bocah-bocah lesu tadi. Juru tulis duduk

ditempatnya, mengambil sebuah buku dan kalam dan memulai kebiasaannya untuk

menulis catatan hariannya.

“Sekarang giliran yang lain menjawab !” kata engku guru.

“Kemana kalian tadi dan apa yang kalaian lakukan ? Ayo...!, siapa yang akan

menjawab,” guru Tuo mengajukan pertanyaan, sambil menoleh kepada masing-

masing anak asuhnya. Anak-anak saling pandang, bermain sikut-sikutan untuk

menjawab pertanyaan engku guru. Magek hanya diam dengan menopangkan kedua

belah pipinya dengan kedua tanggannya dengan ujung siku bertumpu pada kedua

pangkal lututnya.

===============================

“Tidak ada yang mau jujur?” kata gurunya lagi sambil berdiri dan berjalan ke arah

dinding yang terbuat dari serpihan bambu yang dianyam. Rupanya si Guru Tuo

mencabut sebilah rotan yang terselip di sela-sela anyaman dinding itu. Melihat

sang guru telah mengambil sebilah rotan seorang diantaranya mulai sangat

ketakutan dan mengisak tangis.

“Awak disuruh si Magek, Engku...” jawab seorang anak dengan tergagap-gagap,

menggigil yang diringi isak tangis.

“Apa yang disuruh Magek ?”

“Mamanjek, Engku...” (Mamanjat)

“Apa yang kamu panjat ?” Bentak engku guru lagi

Page 32: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

32 | Maryam Chilvalry

“Dinding, Engku.”

“Dinding yang mana ?”

“Dinding Mihrab, Engku...”

“Kalian Memanjat dinding mihrap ?”

“Iya, Engku,” jawab anak-anak lainnya serentak, kecuali Magek.

“Kamu Magek?” tanya engku guru berbalik kepada Magek.

“Awak tidak, tidak mamanjek, Engku,” cepat-cepat Magek menjawab dengan

sangat meyakinkan.

“Apa maksud kalian memanjat dinding mihrap itu ?”

“Kami disuruh si Magek ‘manciliang’ (mengintip), Engku,” jawab yang lain pula

dengan tergagap gagap pula, tetapi tidak menangis.

“Mengintip apa kalian di suruh si Magek ?” tanya Guru Tuo lagi

“Kata si Magek di dalam kamar Inyiak ada ‘uni rancak’, Engku.”

“Uni rancak, cantik ?” tegas Guru Tuo lagi.

“Ehak...!” Si Juru Tulis tersedak, air kopi di dalam rongga mulutnya menyemprot

keluar karena tersedak dan batuk-batuk sewaktu si bocah itu menyebut ada

perempuan cantik di kamar Inyiak Manan.

Guru Tuo menoleh kepada Juru Tulis, “Ada apa Juru Tulis ?”

“Tidak, tidak apa. Aku cuma tersedak sedikit,” jawab Juru Tulis.

“Memang cantik dia itu ?” tanya Guru Tuo lagi kepada anak-anak

“Iya, Engku.Uni itu memang rancak, Engku,” jawab anak-anak kembali serentak,

kecuali Magek.

“Kamu Magek, apakah kamu melihatnya juga ?”

“Tidak, Engku, awak tidak melihatnya, Engku,” jawab Magek.

“Kamu dari tadi setiap ditanya selalu menjawab tidak, “tidak engku, tidak engku.”

Pembohong kamu !” Bentak engku guru.

“Awak tidak berbohong, Engku. Sumpah Engku,” tantang Magek kepada gurunya.

“Tidak lagi kan, jawabmu,” bentak sang guru yang mulai naik pitam kepada Magek.

Page 33: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

33 | Maryam Chilvalry

“Dia benar Engku. Si Magek tidak berbohong, Engku,” sanggah kawan-kawan Magek

kepada gurunya.

“O, kalian kompak ya. Berani-beraninya membela si pendusta. Apakah kalian takut

sama dia, sehingga dia dibela-bela ?” belalak sang guru sambil menunjuk-nunjuk

Magek yang sedang dieksekusi sang guru.

“Sungguh, Engku. Magek tidak bohong, Engku !” jawab mereka lagi serentak.

“Baik,baik ! Sekarang apa buktinya, kenapa si Magek kalian katakan tidak

berbohong.”

“Dia memang tidak ikut manciliang, Engku.”

“Kenapa tidak, kan dia yang mengajak kalian semua ?”

Salah seorang anak lagi menjawab, “Si Magek tidak ikut manciliang, Engku. Kan dia

tidak ikut mamanjek, Engku.”

“Jadi kalian saja yang bergelantungan di dinding itu ?”

“Iya, Engku,” jawab mereka serentak lagi.

“Lalu si Magek.”

“Si Magek tidak ikut mamanjek, Engku. Karena dia takut jatuh, dia tidak bisa

mamanjek, Engku !”

Si juru tulis hanya manggut-manggut saja memperhatikan pasukan si Magek sedang

melakukan pledoi saat diadili gurunya.

“Jadi kamu tidak ikut memanjat dinding itu, Magek ?”

“Tidak, Engku.”

“Aaaakh! Sambil mengibaskan tangannya dan mengertakkan gerahamnya sang guru

penasaran akan jawaban Magek.

“Tidak lagi, tidak lagi ! Setiap ditanya jawabmu hanya ‘tidak’ terus. Apakah tidak

ada jawaban lain, selain kata ‘tidak’ itu, Magek ?” Sambungnya lagi

“Ya, tidak, Engku.” jawab Magek lagi dengan polosnya.

“Kan awak tidak pandai mamanjek, Engku.” terang si Magek kepada gurunya.

Kawan-kawan si Magek mulai menggigil badannya, bukan karena takut dan dingin,

tapi karena melihat kekecewaan gurunya terhadap Magek. Sama saja dengan si

juru tulis, dia terpaksa menyurukkan wajahnya sambil menahan suaranya karena

tidak tahan geli akibat ulah anak-anak, pasukan si Magek tersebut.

Page 34: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

34 | Maryam Chilvalry

“Ya, sudah ! Sekarang taukah kalian bahwa perbuatan kalian itu adalah salah, juga

mengandung resiko ?”

Semua anak-anak terdiam, meraka serba salah, mau dijawab ‘iya’ atau ‘tidak’.

Mereka bingung.

“Kalian harus diberi hukuman atas perbuatan kalian tersebut. Tapi sebelumnya

coba kamu dengar baik-baik. Mau mendengarnya ?

“Mau Engku,” jawab mereka serentak, kali ini Magek telah turut menjawabnya.

“Apa hukumannya atas kesalahan kalian ?” si Guru Tuo secara demokratis

menyikapi persoalan itu sebelum manjatuhkan hukuman.

“Dirotani, Engku,” jawab mereka serentak pula. Magek juga ikut menjawab

“Kalian dilecuti pakai rotan ?” Sebelum bocah-bocah lucu ini menjawab si guru

menyambung pertanyaannya.

“Berapa kali, Magek ? Karena kamu ketuanya !”

“Ciek, Engku.”

“Satu kali..!, berarti kawan-kawanmu ini tidak dihukum. Kalian sudah jelas

bersalah semuanya,” Belalak Guru Tuo kepada Magek dan yang lainnya.

“Kamu ini benar-benar ‘galia’, licik seperti kancil.” (Cerdik)

“’Ya, Magek Kancia’, sela Juru Tulis. ‘kancia saja namamu, ya ! Kalau

dipanjangkan menjadi Magek Kancia namamu” tegas si Juru Tulis lagi memecah

suasana, sehingga mengundang derai tawa anak -nak.

“Kalian mau berapa kali dilecut dengan rotan ini ?” Sang guru berbalik kepada yang

lainnya.

“Ciek, Engku.”

“Baiklah, kalian masing-masing dilecut satu kali dan si Kancia ini harus lebih. Kamu

menerima lecutan rotan dua kali Magek !

“Kenapa dua, Engku ?”

“Ya..., karena berita propagandamu mengakibatkan kawan-kawanmu ini

meninggalkan pelajaran dengan alasan permisi buang air, dan karena komandomu

pula mereka ini melalukan perbutan yang salah itu. Mengerti! ”

“Ya, tapi Engku !”

“Tidak ada tapi-tapian, Magek!”

Page 35: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

35 | Maryam Chilvalry

“Kamu harus menerima hukuman yang setimpal. Jelas !”

“Jelas, Engku”

“Ayo, semua berdiri !”

Anak, anak semuanya bediri sambil menyandang kain sarungnya masing masing.

Ada yang mengantungkan kain sarung di lehernya sehingga kain itu terkulai di

punggungnya, ada yang mengikatkan di pinggangnya dan ada pula yang melipatkan

di sebelah kiri dan kanan bahunya. Sang guru memegang sebilah rotan sambil

memukul mukul pelan ke telapak tangan kirinya untuk mempertakuti anak-anak.

Tapi Magek agak berbeda dengan kawan-kawannya. Magek pura-pura alim, dia

memakai kain sarung seperti orang akan shalat dan malah agak dirindihkannya,

melorot hingga tertutup semua kakinya dan ujung kain itu menyentuh lantai,

seperti sarung yang dikenakan perempuan mau shalat.

Guru mulai mengambil ancang-ancang dan rotanpun melayang ke kaki anak yang

berada paling kanan guru.

“Pip !” bunyi rotan satu kali di kaki kiri sebelah luar anak pertama.

“Kamu ke sana, pindah !” Perintah guru kepada anak tersebut untuk mengambil

jarak dari barisan kawan-kawannya yang belum kena lecut.

“Pip !” Begiti pula bagi anak ke dua.

Setelah merapat dengan kawannya yang pertama si Guru Tuo melanjutkan

hukuman kepada anak yang ketiga.

“Poh !” Bunyi rotan di kain sarung si Kancia. Sang guru mengulanginnya lagi,

ternyata masih berbunyi “poh...!” rotan tersebut, bukan “pip !”.

Guru Tuo mulai curiga, kenapa berbeda bunyi rotan di kaki si Magek. Dengan

mendadak sang guru menyinsingkan kaki Magek. Magek buru-buru mengembalikan

posisi kakinya, tetapi kalah cepat dengan tangan guru menyinsingkan ‘kodek’-nya

itu. Maka ketahuanlah rahasia ilmunya si Magek.

“O, begitu ya! Pintar kamu menipu saya, ya !”

Rupanya Magek telah mencurangi gurunya untuk kesekian kalinya. Sewaktu rotan

melayang mendera kakinya maka dia mengangkat kaki kirinya itu. Tentu saja bunyi

rotan itu “balapoh” melecut kain sarung yang berongga itu.

“Sekarang buka kain sarungmu !” perintah sang guru. Magek pun menuruti perintah

engku gurunya itu.

Kawan-kawan Magek mulai miris karena dia telah mengecoh semua orang dalam

kamar. Juru Tulis serba salah, mau ketawa tidak mungkin karena akan

Page 36: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

36 | Maryam Chilvalry

menghilangkan wibawa temannya si Guru Tuo itu, tetapi perutnya sudah mulai

sakit melihat tingkah si Magek menipu gurunya itu. “Benar-benar seperti kancil

anak ini,” gerutunya dalam hati.

Sesaat otak Magek mulai pula mengerayang lagi mencari akal, karena dia sudah

pernah merasakan sakit bercampur perih dilecut dengan rotan.

Sang guru mulai pula mengambil ancang-ancang untuk melecut kaki Magek.

“Pip !” bunyi rotan satu kali di kaki kiri yang diringi oleh suara rauangan kawan di

sebelah kanan Magek. “Aduh! ”. Tanpa disangka rotan yang ditujukan untuk Megek

singgah di kaki kawannya di sebelah kanannya. Rupanya si Magek bikin ulah lagi.

Pada saat rotan melayang ke arah kakinya secepat itu pula dia melompat kecil.

Tentu saja rotan itu melesat kek kaki kawan di sebelahnya.

Untuk kedua kalinya, Magek mengambil langkah mundur, tapi toh masih kawannya

yang menanggungnya. Kawannya mulai meraung raung menangis. “Awak lah duo

kali kanai, engku....?” raungnya menghiba karena sudah dua kali deraan rotan yang

diayunkan gurunya mengenai kakinya.

Akhirnya, sang guru naik pitam lagi dia membentak Magek dan menyuruh Magek

duduk.

“Magek. Duduk !”

“Mana telapak tanganmu,” perintah guru kepada Magek.

“Keduanya !” perintah guru lagi supaya Magek menjulurkan kedua telapak

tangannya ke depan.

Pada saat guru mengayunkan rotan ke telapak tangan Magek, Magek menarik

telapak tangannya itu, sehingga rotan tidak mengenai sasaran.

Siapa yang tidak akan naik darah, naik pitam karena bengalnya anak ini. Tanpa

ayal lagi si gurupun kehilangan kesabarannya, dengan serta merta si guru

membuka ikat pingangnya yang terbuat dari kulit. Melihat sang guru sangat marah

dengan ikat pinggang kulit di tangannya, Magek ketakutan. Pada saat sang guru

mengayunkan ikat pinggang itu yang diiringi ucapan kekesalan sang guru, “Ini yang

kamu minta !” kata gurunya dengan bengisnya. Pada saat itu pula Magek berguling

ke kiri, sehingga di tidak kena ikat pinggang, gurunya terjerembab ke depan

karena dengkulnya menghimpit kain sarungnya, sehingga terbukalah ‘kodek’ sang

guru. Untunglah sang guru mengenakan celana pendek yang panjangnya hingga di

atas lutut dan longgar itu, semacam celana hawaii sekarang.

Baik Juru Tulis maupun anak-anak riuh ketawa melihat kodek sang guru ‘tangga’,

lepas dari lilitan di pinggangnya.

Page 37: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

37 | Maryam Chilvalry

Guru Tuo terperangah, kemudian menjamba cangkir kopinya untuk mengalihkan

rasa kekecewaannya karena telah masuk ke dalam lobang perangkap si Megat

‘Kancil’ itu. Kancia atau kancil yang satu ini bukanlah – pelanduk – yang sering

memperolok buaya dan harimau bagaikan dalam dongeng-dongeng yang

kesukaannnya mencuri ketimun di ladang pak tani.

Sambil menyandar ke diding Guru Tuo meneguk kopinya yng telah dingin. Juru

Tulis hanya memperhatikan gelagat si Guru Tuo. Mereka tidak mengomentari

sebuah episode yang baru saja berlangsung. Daripada salah tanggap, maka Juru

Tulis buru-buru menghabiskan kopinya dan kemudian membetulkan tikar alas

tidurnya yang terbuat dari daun pandan.

Anak-anak disuruh bubar dan tidur ditempatnya masing-masing di ruang besar

bersama para ikhwan lainnya.

Page 38: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

38 | Maryam Chilvalry

4. Lamunan

Keesokan harinya, si Juru Tulis mendapat informasi yang mengejutkan dari Siti

Anisyah. Sepulang dari surau malam kemaren kebetulan Siti Maryam dibawa

menginap oleh Siti Anisyah di rumahnya. Rupanya menjelang tidur fikiran Siti

Maryam juga ‘dibuncahkan’ oleh ketampanan seorang pemuda yang bertubuh ideal

di surau tadi yang bercampur dengan kesan indahnya terhadap alam negeri

Kamang.

“Siapa gerangan nama pemuda itu, ya?,” bisik hatinya.

Sementara Inyiak Haji Abdul Manan hanya memperkenalkan tugas dan tanggung

jawab si pemuda itu saja, tetapi tidak menyebutkan nama pemuda yang sedikit

pendiam itu.

“Etek, kalau boleh ambo tau, siapa gerangan nama pemuda yang menjadi juru

tulis Inyiak Manan tadi itu, ‘Tek ?,” Siti Maryam memberanikan diri untuk

menanyakan nama pria itu kepada Siti Anisyah.

“Hmm !, kenapa tiba-tiba kamu menanyakan nama anak muda itu Maryam ?

Apakah dia telah menyudutkan pandangannya padamu tadi, sehingga membuat

perasaanmu tersinggung ?,” Pancingan Siti Anisyah pada Maryam.

“Tidak, Tek ! Tadi itu Inyiak Manan kan hanya memperkenalkan tugas-tugas pria

itu saja dan tidak menyebutkan nama orangnya. Padahal pada waktu-waktu

mendatang saya kira pasti akan banyak berhubungan dengannya, apalagi kalau saya

masih dianggap anak oleh orang Kamang ini, ‘Tek !,” jawab Maryam, yang

mencoba bersilat lidah dengan Siti Anisyah.

“O, begitu ! Nanti kamu juga akan tau dengan sendirinya, Maryam. Sekarang cukup

dipanggil saja dengan ‘si-Juru Tulis’, sesuai dengan tugasnya itu. Tidak masalah

Page 39: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

39 | Maryam Chilvalry

bukan ? Yang jelas tidurlah kamu dulu karena tadi siang kamu sudah menempuh

perjalanan jauh. Tentu tubuhmu saat ini membutuhkan istirahat dan kami telah

mempersiapkan tempat dan selimut untukmu, Nak ? Tidurlah dulu !,” kilah Siti

Anisyah pada Maryam.

Maryam merebah diri. Tidur tertelentang memandang langit-langit yang hampir tak

teraba oleh matanya. Ia pejamkan matanya, berkelebatlah bayangan perjalanan

yang ditempuhnya sejak dari kampung halamannya. Dirinya kini terhempas di

negeri orang, jauh dari orangtua dan sanak saudaranya. “Sudah sejauh ini

perjelananku,” bisik hatinya.

Tapi, ia telah menetapkan hatinya, dan telah melangkahkan kakinya. “Inikah yang

aku pilih,” ia kembali mempertanyakan tujuan hidupnya. “Mengapa aku tidak

sebagaimana gadis-gadis lainnya di kampung ku ?”

Pemandangan sore tadi yang ditangkap oleh inderanya kembali menghiasai

khayalnya. Pada saat itu Maryam berdiri sejenak di ‘tanggo’, pembatas (antara)

anak tangga dengan lantai rumah dan sekaligus sebagai tumpuan batang anak

tangga di surau itu Maryam mencoba melapas pandang jauh ke sisi kiri dan sisi

kanan surau. Terlihatlah hamparan sawah sepuas mata memandang yang diterpa

sinar kuning keemasan, seakan persawahan di Kamang bagaikan hamparan

permadani. Ditengedahkan kepalanya menantap langit yang dihiasi sapuan awan –

sirus – diantara kelompok cumulus, kalong kalong mulai keluar dari sarangnya

mengukir cakrawala untuk memangsa di malam buta. Maryam hanyut dalam

lamunan pesona Lembah Kamang, karena alam Kamang ini sangat berbeda dengan

kampungnya yang persis berada di pinggung deretan Bukit Barisan yang

bersebelahan dengan nagari Kamang Mudiak itu. Sambil membetulkan lampaian

tubuhnya di tikar daun pandan dengan tangan kiri menjadi bantal dan tangan

kanan ditaroknya di atas hulu hati Maryam melanjutkan lamunan.

“Indah nian nagari Kamang ini. Daerahnya datar, persawahan luas, di tengah

tengahnya diselingi oleh beberapa gundukan bukit yang bagaikan pulau-pulau di

tengah bahari lepas, luas. Kampung yang benar-benar berada di sebuah lembah

yang subur. Nun di Selatan terpampang pula dengan seonggok Gunung Merapi dan

Singgalang, sementara di Utara, Timur dan Barat didindingi oleh Bukit Barisan,”

bisik Maryam dalam hatinya.

“Tapi..., siapa yang menyangka kalau di negeri yang nyaman, bumi yang subur,

alamnya yang ramah ini melahirkan anak manusia yang berwatak kesatria, taat

menjalankan perintah Islam dan adat leluhurnya. Membatu semangatnya untuk

mengusir kaum kafir yang mencoba menjajah dan menjarah negerinya sampai

berpengaruh di seluruh alam Minangkabau ini !”

Page 40: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

40 | Maryam Chilvalry

“Bukankah pula leluhurku Inyiak Peto Syarif yang bergelar Tuangku Imam Bonjol

berperang dengan Ulando pada tahun 1825-1837 dalam Perang Pidari dahulu, juga

dibesarkan dan dimatangkan oleh Guru Tuonya yang bergelar Tuangku Nan Renceh

dari kampuang Bansa. Kamang ini pula !” urai hatinya.

“Kamu belum tidur, Maryam ?” Maryam kaget, rupanya Siti Anisyah telah mencuri

pandang terhadap Maryam.

“Belum, ‘Tek. Aku lelah sehingga mata susah tertidur.”

“Tidurlah, Nak, sudah malam,” seru Anisyah kepadanya.

“Ya, ‘Tek. Terimakasih, ‘Tek,” sahut maryam. Terputus lagi pemutaran hasil

bidikan kedua lensa mata yang telah disimpan dalam memori di otaknya itu.

Satu lagi yang membuat ia hatinya bergolak-golak, bagai kacang direbus satu, yaitu

bisakah ia diterima sebagai murid ? Keberadaannya di surau ini masih sebagai

tanda tanya. Kapan ia mendapat jawaban, diterima atau tidak ? Kalo ia diterima

sebagai murid, tentu sesuai dengan harapannya. Jika ia ditolak, apa yang harus ia

lakukan ?

Ia tersentak oleh tidurnya ketika mendengar derak derik lantai. Ia tajamkan

telinganya, langkah makin banyak menginjak lantai papan itu. Ia pun bangun, dan

duduk.

“Marayam, bangunlah. Waktunya sholat subuh,” panggil Siti Anisyah.

“Ya, Tek. Saya sudah bangun,” jawab Maryam.

Siti Anisyah berlalu. Dalam hati ia berguman, “Gadis yang baik !”.

Page 41: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

41 | Maryam Chilvalry

5. Pembekalan

Haji Abdul Manan menatap Siti Anisyah dengan pandangan yang teduh sambil

menghela napas panjang. Masalahnya Siti Anisyah didesak oleh Siti Maryam untuk

mendapatkan kepastian dari Haji Abdul Manan tentang janjinya terhadap Maryam.

“Maryam mendesak ambo untuk mendapatkan jawaban dari Inyiak, kapan dia

diperbolehkan belajar ilmu beladiri.”

Tuangku Haji Abdul Manan tak dapat lagi mengelak akan kemauan keras Siti

Maryam untuk memperoleh ilmu dunia, tentang persilatan dan tentunya ilmu kebal

peluru dan ilmu meringankan tubuh, sekaligus cara menunggang kuda, meskipun

ilmu tentang ajaran agama sudah dia dapatkan semenjak awal kedatangannya

berguru kepada Haji Abdul Manan di ke Surau Kampuang Budi Kamang.

“Selain kemauan keras dari Siti Maryam, toh aku juga menerima amanah dari Ayah

semasa di tanah suci Mekah dulu juga demiakian. ‘...kaum wanita dilahirkan tidak

hanya menjadi tukang memasak di dapur, dan mengembangkan keturunan sebagai

ibu yang baik, tetapi juga harus dididik menjadi pendekar bangsa. Tidakkah kamu

mengetahui anakku bahwa keselamatan dunia dan akhirat nantinya juga terletak di

tangan kaum ibu sendiri...”, pesan Ayahndanya itu yang masih terngiang

ditelinganya, dan sekarang sedang bergelut dalam pikirannya untuk menjawab

tuntutan Siti Maryam.

“Ini adalah amanah dan tidak ada pilih kasih. Bukankah pula kamu Anisyah, Aisyah

dan kawan perempuanmu yang lain juga telah aku beri pelajaran apa yang

dituntut Maryam sekarang ini,” katanya lagi dalam hati.

“Betul, Anisyah. Tentu Maryam kembali menagihnya karena sudah sampai

bilangan janji yang saya ujarkan beberapa waktu lalu,” ujar Haji Abdul Manan

kepada Siti Anisyah.

“Lalau bagaimana Nyiak. Apakah dia sudah dibolehkan belajar silat ?,” desak

Anisyah.

“Kalau hatinya sudah kuat, keyakinannya sudah bulat tidak apalah. Tapi, siapa

yang akan melatihnya, dia seorang gadis,” jawab Haji Abdul Manan.

“Kalau Aisyah, bagaimana Nyiak,” pintas Siti Anisyah.

“Aisyah.... Tidakkah dia terlalu jauh dari Rumah Tinggi datang ke sini untuk

melatih Maryam. Tentu Dt. Rajo Pangulu, suaminya juga akan repot mengantar dan

menjemputnya nanti, meskipun waktunya hanya dua kali seminggu.”

“Bukankah dahulu yang memperlancar jurus-jurus silatnya Aisyah juga kamu,

Anisyah !”

Page 42: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

42 | Maryam Chilvalry

“Kalau boleh aku bermohon kepada Inyiak, sebaiknya Aisyah saja yang melatih

Maryam. Baiknya disepakatilah terlebih dahulu siapa yang akan melatih Maryam.

Apakah kamu atau Aisyah. Mintalah dulu pertimbangan dan izin dari masing-

masing suami kalian.”

“Baiklah, Nyiak.” Tapi, Nyiak. Tentu tetap Inyiak yang membaiat Maryam untuk

pertama kali, supaya ada berkat ilmu silat itu padanya.”

“Insyaallah..., tapi kamu jangan lupa menyampaikan kepada Maryam akan syarat

syarat yang harus disediakannya sebelum memulai belajar silat dan atau ilmu

kebatinan lainnya. Begitulah biasanya, Anisyah.”

“Nanti saya sampaikan dan saya bantu untuk mendapatkan rumuan dan syarat-

sayarat itu, Nyiak. Apa saja yang harus disediakan Maryam, Nyiak ?”

Akhirnya Tuangku memberikan kata pasti supaya Maryam melengkapi terlebih

dahulu syarat-syarat berguru ilmu.

“Secara lahiriahnya berupa : Sirih/pinang langkok (lengkap), terdiri dari daun

sirih, pinang muda, gambir, kapur sirih; beras satu liter ulang-aling (ekor dan

kepala liter takaran diisi beras); cabe bulat; garam; sakin (pisau); jarum tangan;

peniti; cermin kecil; selembar sapu tangan; dan kain putih satu kabung (satu

hesta). Dan secara batinnya adalah keikhlasan dan kepasrahannya kepada Allah

Subhanallahita’ala, semata !”

Sebagaimana biasanya, pada petang Kamis, malam Juma’at, yaitu selesai mengaji

al-Qur’an, tafsir, muzaqarah tentang kandungan kitab kuning berhuruf arab

gundul, para murid Tungku Haji Abdul Manan secara berangsur angsur menuju

Ngalau Batu Biaro yang berjarak lima ratus meter melalui jalan pintas dari Surau

tempat mereka ditempa. Sedangkan Maryam bersama murid perempuan lain dan

beberapa tetua kampung tetap memakukan duduknya di surau.

Terlihat Siti Maryam mengenengahkan kehadapan Haji Abdul Manan syarat-syarat

yang telah disediakan sebelumnya. Setelah memeriksa kelengkapan persyaratan

yang diketengahkan Siti Maryam, lalu Haji Abdul Manan segera menurunkan ilmu-

ilmunya kepada Siti Maryam.

“Majulah, Nak !,” kata Haji Abdul Manan kepada Maryam.

Maryam beringsut ke hadapan gurunya itu merekapun berjawat salam. Pembaiatan

Maryam untuk memperoleh ilmu silat yang berbarengan nantinya dengan ilmu ilmu

lainnya pun berlangsung. Semua hadirin mengunci mulut, mempererat sila dan

simpuhnya dengan tertib.

Page 43: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

43 | Maryam Chilvalry

6. Latihan di Malam Hari

Malam Jum’at itu, di arena, tempat latihan silat di belakang Surau di Kampung

Budi Kamang ramai dikunjungi orang. Baik orang tua-tua, pemuda, laki-laki

ataupun perempuan. Bangku-bangku yang terbuat dari bambu di sekeliling sasaran

silat tersebut tidak termuat lagi oleh penonton. Pada saat itu murid-murid yang

sudah mahir berhenti latihan di Ngalau Batu Biaro untuk memberikan ‘spirit’

kepada kawan baru dalam persilatan dan sekaligus syukuran karena kawan baru itu

telah ‘dibao tagak’, sebuah lanjutan dalam dunia persilatan Minang yang

sebelumnya latihan diberikan guru barulah untuk meringankan gerakan tangan dan

melenturkan pinggang dalam duduk bersila, bersimpuh dengan jalan menukar-

nukar posisi kaki, duduk jongkok dan berputur ditempat kedudukan sendiri. Pada

saat ‘mambao tagak’ latihan silat tidak lagi dengan duduk di surau, melainkan

dengan gerakan silat yang sebenarnya.

Tuangku Haji Abdul Manan mempersilahkan Maryam maju ke tengah arena latihan.

Dengan perasaan sedikit malu, Siti Maryam yang mengenakan pakaian hitam, baju

dan celana gunting Aceh berwarna hitam dengan sutera kuning sebagai ikat

pinggang, dan kain penutup kepala dari sutera hitam yang diikatkan dibelakang

maju ke arena latihan.

Mula-mula Siti Maryam berjongkok memberi salam kepada gurunya, kepada

sekalian orang tua-tua dan kepada orang banyak sekelilingnya. Ketika melayangkan

pandangan sekeliling, mata Maryam terpaku kepada wajah si Juru Tulis yang

tengah berdiri dibelakang penonton, seolah – olah ia hadir dengan bayang-

bayangnya. Maryam kembali memfokuskan pikirannya akan pelajaran pertama

yang akan ia terima, setelah seketika darahnya berdesir oleh tatapan Sang Juru

Tulis.

Selesai memberi salam kepada orang banyak, masih dalam keadaan jongkok

Maryam menundukkan wajahnya ke bumi dan menghunjamkan ujung-ujung jarinya

ke tanah, sesuai dengan kebiasaan para juru silat di Minangkabau.

Begitu pula dengan Siti Aisyah, istri Datuak Rajo Pangulu dari Kamang Hilir turut

melaksanakan tata krama persilatan, berjongkok sambil menjunjung salam diatas

kepalanya meminta restu dari suaminya Datuak Rajo Pangulu. Siti Aisyah telah

dipercayai sebagai ‘guru tuo’, guru pembantu dari guru utama untuk mengajarkan

sesuatu kepada murid yang baru atau kepada murid yang belum fasih sebelum

dikhatam oleh guru utama. Setelah keduanya selesai memberi salam dan siap

ditempat masing-masing maka Haji Abdul Manan tampil ke depan memasuki

gelanggang untuk memberikan kata sambutan dan petuah tentang kandungan

filsafat silat Minang dan beberapa nasehat yang berguna bagi kedua pemain,

terutama bagi Siti Maryam.

Page 44: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

44 | Maryam Chilvalry

Selesai ulama yang kharismatik itu berbicara, maka ia memberikan isyarat bahwa

permainan silat sudah dapat dimulai, maka Siti Maryam segera mendatangi Siti

Aisyah Si Guru Tuo.

Sebelum permainan silat di mulai, maka Si Guru Tuo, Siti Aisyah mengucapakan

sepatah kata pula yang isinya mengatakan kegembiraan dan rasa terimakasihnya

atas kepercayaan yang diberikan sebagai orang yang akan mengajarkan ilmu silat

kepada Siti Maryam oleh Inyiak Manan dan ucapan terimakasih dan mohon

bimbingan selanjutnya disampaikannya kepada suaminya Datuak Rajo Pangulu

beserta tetua kampung lainnya.

Kedua perempuan itu berjabat salam dan memulai membuka langkah yang

dikomandokan oleh Siti Aisyah dengan suara “Eep...!”

Serentak dengan suaranya, Siti Aisyah menarik kakinya selangkah ke belakang,

dengan posisi tumit kiri dan kanan bagaikan membentuk huruf ‘v’ namun kedua

tumit agak direnggangkan. Sedangkan tangan kiri mengepit rusuk kanannya,

sementara tangan kanannya agak terbuka ke atas dengan siku agak ditekukkan.

Keempat jarinya tersusun rapat dan ibu jarinya terpisah dari keempat jari lainnya

di depan dahi dengan telapak tangannya menghadap ke arah lawan. Ayunan tangan

dan langkah itu disertai pula dengan tubuh yang agak membungkuk namun

matanya menyudut ke sisi kanan, mewaspadai gerak lawan.

Sesaat Siti Aisyah bagaikan patung dengan posisi seperti di atas, yang memberikan

kesempatan kepada Siti Maryam untuk menirukan gerakan yang dioeragakannya.

Setelah Siti Maryam mengambil posisi yang sama dengan Siti Aisyah, maka mulailah

Siti Aisyah bersuara lagi. “Ep...!”, lalu menukar gerak dengan kaki kanan yang

disilangkan ke depan dan merunduk ke tanah, sedangkan tangan kanannya telah

beralih ke belakang. Sehingga posisinya seakan duduk dipersilangan kaki bagaikan

elang akan terbang. Kemudian mematung lagi beberapa saat, hingga Siti Maryam

menirukan pula gerakan tersebut. Sehingga posisi mereka sekarang sudah

berdampingan dan tidak berhadapan hadapan lagi, dan masing-masing bahu kiri

mereka lah yang berhadapan, namun mata masing-masing secara reflek waspada.

Dengan aba-aba “Ep...!”, lagi, Siti Aisyah memutar tubuhnya sambil berdiri

sehingga posisinya seperti gerakan awal tadi, namun arahnya telah bertukar

seratus delapan puluh derajat. Maka tak ayal lagi, Siti Maryam pun menirukan

gerakan itu. Begitulah pola latihan yang didapatkan Siti Maryam pada malam itu

berulang-ulang sehingga mahir dalam jurus tersebut.

Pada malam berikutnya, jurus-jurus baru ditambah lagi oleh Siti Aisyah. Namun

sebelumnya terlebih dahulu diawali dengan gerakan jurus yang telah dipelajari

pada malam malam sebelumnya.

Page 45: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

45 | Maryam Chilvalry

Dengan posisi jurus terakhir yang telah dikuasi, Siti Aisyah mengajarkan bermacam

cara meninju dan menangkap “jaro” (tinju), cara ‘pakuak’ dan ‘tabang’ (retas) dan

kemudian memerintahkan Siti Maryam untuk menyerangnya.

“Jaro...!”, Kata Siti Aisyah kepada Siti Maryam.

Maka Siti Maryam dengan setengah berlari menghujamkan tinjunya ke arah perut

Siti Aisyah. Dan secepat itu pula Siti Aisyah mengelak, menghindarkan tubuhnya ke

kanan sehingga tinju Siti Maryam tersorong ke depan dan bersamaan dengan itu Siti

Aisyah menangkap pergelangan tangan kanan Siti Maryam dengan tangan kanannya,

sedangkan tangan kirinya menangkap pergelangan siku Siti Maryam. Ternyata pula

pangkal betis kaki kiri Siti Aisyah pun telah mengganjal lutut kanan Siti Maryam.

Maka terkuncilah kedua persendian tangan gadis belia itu oleh kecekatan Siti

Aisyah. Sehingga badan Maryam terhuyung, seakan mau jatuh ke tanah.

Pada saat posisi Siti Maryam sedang terkunci dan kehilangan keseimbangan, Siti

Aisyah memberikan penjelasan tentang gerakan tersebut. Setelah Siti Maryam

memahaminya, maka Siti Aisyah memerintahkan Siti Maryam untuk

mencobakannya, dengan bergantian menyerang. Mereka kembali keposisi

sebelumnya, maka mulailah Siti Maryam diserang dengan “jaro” oleh Siti Aisyah.

Dasar anak cerdas dan perhatiannya yang sungguh-sungguh, maka Siti Maryam

cekatan menangkap tangan Siti Aisyah seperti yang dijarkan tadi. Namun ada

kejanggalannya, kaki kiri Siti Maryam bukannya menyilang di lututnya Siti Aisyah,

melainkan tumit kanannya diangkat seperti akan menghantam rusuk kanan Siti

Aisyah. Siti Aisyah perempuan yang telah mahir bersilat, matanya menangkap

gerakan tumit yang akan mengenai rusuknya, maka tangan kirinya yang menempel

di rusuk kanannya saat menjaro tadi langsung menangkap pergelangan kaki Siti

Maryam. Sehingga terkangkanglah kaki Siti Maryam. Maka langsung pula Siti Aisyah

memberikan penjelasan tentang ‘langkah sumbang’ Siti Maryam yang tersebut.

Tanpa disadari, pada saat kaki Siti Maryam terkangkang itu diiringi pula oleh suara

menderut, ternyata jahit celana yang dikenakannya putus, para hadirin yang

menyaksikan persilatan kedua perempuan itu terkesima sesaat.

Sutan Parmato mengigau, matanya melotot sekan mau melompat keluar. Bukan

karena apa-apa..., sekejap dia melihat bahagian tertentu paha Siti Maryam yang

putih bagaikan warna bulan purnama pada tengah malam itu disela jahitan celana

Siti Maryam yang terkoyak, putus jahitannya dari atas lutut.

Gelagat si Parmato yang memang agak suka jahil itu, terlihat oleh Datuak Rajo

Pangulu dan Kari Mudo, maka dengan arif Datuak Rajo Pangulu menepukkan

tangannya sambil menyuruh kedua orang putri itu untuk beristirahat duhulu

sembari melemparkan kain sarung – bugis makasar – yang disandangnya kepada Siti

Maryam untuk ‘kodek’ nya sementara. Datuak Rajo Pangulu menyuruh Siti Maryam

berganti pakaian ke atas surau dengan ditemani Siti Aisyah.

Page 46: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

46 | Maryam Chilvalry

Ikhwan lainnya susah menahan tawanya. Kalau ketawa takut akan dimarahi guru,

tetapi perut semakin sakit menahan, karena melihat si Parmato yang sedang serba

salah di hadapan guru dan orang tua-tua sekeliling sasaran silat itu. Sedangkan Si

Juru Tulis melihat kejadian itu dengan acuh tak acuh !

Supaya jangan terlalu tersurut pula si Parmato, maka tampillah Kari Mudo ke

tengah gelanggang berseru supaya latihan persilatan dilanjutkan oleh pesilat laki-

laki yang berikutnya latihan bermain pedang dan debus. Setelah latihan silat oleh

pemuda - pemuda di kampung tersebut, mereka berangkat ke Ngalau Batu

Biarountuk melakukan latihan intensif menghadapi peparangan.

Kari Mudo pun menyusul ke atas Surau, setelah menunggu beberapa saat Siti Aisyah

menemani Siti Maryam menukar pakaiannya. Kari Mudo berkata kepada Siti Aisyah,

“Kamu tadi terlalu cepat menyambar dan terlalu tinggi mengangkat tumit Maryam,

sehingga celananya robek. Malu juga kita jadinya karena terlihat auratnya oleh kita

semua yang hadir itu.”

“Bukan itu masalahnya, Tuan Kari !” Jawab Siti Aisyah. “Tetapi, kebetulan celana

yang dikenakan Maryam itu adalah celana bekas dari saya yang dipinjamkan

kepadanya. Memang kainnya sudah agak usang dan benangnya pun barangkali

sudah rapuh. Dan ‘ambo’ pun tak memperkirakannya pula sebelumnya, Tuan !”

“Dia bersemangat sekali untuk menguasai persilatan ini dan kelihatannya, Maryam

termasuk anak yang cerdas dan lincah. Saya yakin dia bekal cepat menguasainya,”

kata Kari Mudo lagi.

“Berarti kekuatan kita akan bertambah, Tuan !” kata Aisyah.

Page 47: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

47 | Maryam Chilvalry

“Ya !, tepat sekali !, berarti kamu dan Kak Siti Anisyah akan mendapatkan

tambahan kawan dalam mempersiapkan atau pun dalam perlawanan dengan

Ulando itu nantinya. Tapi Aisyah, hal ini tetap dalam genggaman rahasiamu, agar

kamu pegang erat-erat, kau kunci dalam batinmu bahwa Siti Maryam adalah dapat

dihandalkan dalam perlawanan kita nanti !” kata Kari Mudo sambil melangkah

untuk turun kembali ke tempat sasaran persilatan.

“Baiklah Tuan !” jawab Aisyah sambil mengiringi Kari Mudo ke tanggo.

Pelajaran silat untuk Siti Maryam dilanjutkan. Namun di gelanggang sudah tidak

seramai tadi. Paara pesilat pria sudah kembali ke Ngalau Kamang untuk melajutkan

pelatiahan perang mereka. Siti Maryam menyapu setiap orang masih tersisa

mencari seseorang, namun pria muda tersebut sudah berangkat pula ke Ngalau

Kamang.

Hatinya berharap Sang Juru Tulis berada di gelanggang latihan tersebut, meskipun

dalam bayang-bayang kegelapan. Kari mudo rupanya melihat gelagat Siti Maryam,

yuang sedikit terganggu pikirannya. “Ayo...,” bentak Kari Mudo.

Siti Anisyah yang duduk berjuntai kaki, membuang mukanya melihat kejadian

sesaat itu. Ia tahu apa yang mengganggu pikiran anak gadis itu. Kemudian, ia tatap

wajah Siti Maryam. Pandangan mereka bertemu. Siti Anisyah mempertajam

matanya, sebagai isyarat sebuah tegoran. Siti Maryam menundukkan kepalanya.

Page 48: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

48 | Maryam Chilvalry

7. Menguji Ketangkasan

Agar lebih cepat menguasai segala tetek bengek dalam ilmu persilatan, maka tidak

henti - hentinya Siti Maryam berlatih silat dengan Siti Aisyah.

Kali ini Siti Aisyah mengajarkan Siti Maryam mempergunakan senjata tajam dan

sekaligus mengelakkan serangan musuh yang mempergunakan senjata seperti

pisau, rudus (klewang) dan sejenisnya. Menurut pengamatan Siti Aisyah,

penguasaan Siti Maryam akan materi latihan sebelumnya sudah cukup. Latihan silat

dengan mempergunakan senjata tajam ini adalah sebagai kelanjutan latihan-

latihan sebelumnya.

“Maryam !, malam ini kita akan latihan silat dengan mempergunakan senjata

tajam. Kamu harus menguasai dan mahir mempergunakan pisau dan kelewang,

yang sekaligus menangkis dan mengelakkan serangan musuh dengan

mempergunakan senjata-senjata itu, bahkan tombak sekalipun,” kata Siti Aisyah.

“Baiklah, Bundo !”

“Bahkan ini pulalah saat yang saya tunggu-tunggu. Saya tidak sabar menunggu

pelajaran ini dari Bundo,” timpal Siti Maryam.

“Sekarang mulailah permainanmu Maryam, saya akan mengikuti permainanmu,”

kata Siti Aisyah, yang berpakaian serba hitam dengan ikat pinggang dari sutera

putih berjumbai kiri dan kanannya dan ikat kepala dari beludru kuning.

Siti Maryam memulai ilmu pencak, diawali dengan kaki kanan, dan kemudian

ditarik - diganti dengan kaki kiri yang berdiri di atas tumitnya serta tangannya

menari seperti elang yang hendak menyambar mangsanya. Kadang-kadang ia

berputar dengan tangan kiri di pinggang, melangkah cepat keliling gelanggang dan

kembali ketempat semula mengambil langkah langkah baru. Sementara itu Siti

Aisyah masih berdiri di tempatnya semula, mengagumi permainan pencak yang

begitu lincah Maryam dan Siti Aisyah berkata. “Mari kita bermain Maryam, saya

akan mengikuti permainanmu.”

Kedua perempuan itu mulai bermain, mula-mula secara lambat-lambat, makin

lama makin cepat dan mulailah dengan sepak - menyepak yang cepat bagaikan

kilat menyambar mendung. Siti Maryam berada dipihak menyerang dan Siti Aisyah

dipihak yang bertahan dengan mengelit ke kiri dan ke kanan sambil mengintai

terbukanya kesempatan untuk membalas serangan Siti Maryam. Pada saat

kesempatan terbuka, Siti Aisyah menyapu kaki kanan Siti Maryam dengan

secepatnya, sehingga Siti Maryam terpelanting ke belakang beberapa langkah.

Tetapi Siti Maryam berputar dengan cepat dan kemudian berbalik menjaro Siti

Aisyah dengan tinju tangan kanannya yang hampir saja mengenai lambung sebelah

kiri Siti Aisyah. Sebaliknya dengan cepatnya Siti Aisyah, sambil berkelit langsung

menangkap pinggang Siti Maryam dan melemparkannya ke depan.

Page 49: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

49 | Maryam Chilvalry

Sungguhpun Siti Maryam telah terpental sepuluh langkah ke depan, namun yang

menyentuh tanah adalah tetap ujung kakinya yang tidak mengeluarkan bunyi

sedekit pun bagaikan kucing melompat dari dahan pohon dan menghadap kembali

kearah gurunya.

“Maryam, keluarkan pisaumu !” perintah Siti Aisyah.

Dengan serta merta Maryam mencabut pisau ‘sirauik’-nya, pisau bengkok

bertangkai kayu bulat yang panjangnya satu setengah jengkal, dan mengangkatnya

kemuka pelan-pelan sambil menciumnya dan kemudian mencorengkan ujung

pisaunya ke tanah dan memberikan tanda silang serta mempermainkan pisau

dengan tarian yang sangat indah. Kemudian Siti Maryam berpaling sambil

mengucapkan, “Bundo sudah siap untuk menyambutnya ?”

“Ya !, sudah siap, Maryam !” Jawab Siti Aisyah

Sesampai jawaban si Guru Tuo itu, Maryam menujamkan pisaunya ke arah lambung

kanan Siti Aisyah dengan sangat kencang dan kuatnya. Tetapi, dengan santai Aisyah

yang cekatan ini menyambut pergelangan tangan Siti Maryam dan mempelintirnya,

sesaat pula Siti Maryam dengan cepat memutar badannya searah dengan putaran

tangannya yang dipelintir Aisyah, serta segera berkelit ke belakang, pelintiran

Aisyah lepas dan pada saat itu Maryam langsung menikam lambung kiri Aisyah, dan

Aisyah segera pula berkelit sedikit ke kanan, sedangkan kaki kanannya cepat

menyepak pangkal siku Maryam dan kemudian mengepit tangan Siti Maryam ke

tanah hingga pisau terlepas dari tangan Siti Maryam. Pisau itu oleh Siti Aisyah,

sementara Siti Maryam dengan cepat pula berbalik ke belakang.

“Waaah....!” bisik penonton dibalik kain sarung yang disandangnya, karena

melihat ketenangan Aisyah mematikan serangan Siti Maryam dan sekaligus melihat

lincahnya gadis itu berkelit sambil waspada akan serangan balik Siti Aisyah.

“Iyo, bebar-benar alot !,” komentar penonton lainnya, karena permainan kedua

‘merpati’ itu tidak terputus putus. Saling mengunci dan melepaskan kemudian

meyerang kembali, seolah mereka memiliki cadangan gerakan dalam geliat

permainan itu.

“Sekarang giliranku Maryam, karena pisaumu berada dalam genggamanku,” kata

Siti Aisyah. Sudah siapkah kau, Maryam ?”

“Sudah, Bundo, Majulah Bundo !” jawab Siti Maryam.

Siti Aisyah maju menjuruskan pisau ditangannya itu ke arah lambung kanan Siti

Maryam, sambil memberikan aba-aba.

“Awas...!,” teriak Aisyah.

Page 50: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

50 | Maryam Chilvalry

Sesaat itu pula Siti Maryam dapat berkelit, cuma saja dia tidak dapat menangkap

pergelangan tangan Aisyah. Sehingga Aisyah pun terlaju beberapa langkah ke

depan, secepat itu pula Aisyah berbalik dan menghela napas sejenak untuk

mengumpulkan tenaga dan kembali menyerang Maryam. Kali ini Maryam tidak

berupaya untuk menangkap dan mengunci persendian Guru Tuo-nya itu, melainkan

hanya mengelak dan mengelak saja dengan lincahnya. Akhirnya Siti Aisyah

kehabisan tenaganya sendiri, terkuras staminanya karena tubuhnya terseruk kesana

kemari, kearah dia menyerang sementara sasaran serangnya berupaya tidak

tersentuh sama sekali. Siti Aisyah merasa letih dan segera merangkul pinggang Siti

Maryam sambil berkata

“Sudah cukup Maryam, ambo sudah letih.”

“Baiklah, Bundo ! Terimakasih, Bundo !,” jawab Siti Maryam yang kemudian

mencium kedua pipi gurunya.

Selesai memberi salam kepada Haji Abdul Manan dan kepada yang tua-tua dan

sekalian penonton yang masih terkesima dan terganga yang seakan di bumikan di

tempat duduknya masing-masing Keduanya duduk pada tempat yang sudah

disediakan, dan Haji Abdul Manan bertepuk tangan dengan rasa puas

mempersaksikan kepintaran Siti Maryam dan sosok Siti Aisyah sebagai Guru Tuo

yang penuh kearifan dan bijaksana memandu dan melatih Gadis dari kampuang

Hanguih, Bonjol itu.

Setelah Datuak Rajo Pangulu dan Kari Mudo bertepuk tangan mengiringi tepuk

tangan Haji Abdul Manan, barulah penonton sadar bahwa permaian Siti Aisyah

membimbing Siti Maryam sudah selesai. Ternyata jam sudah menunjukkan pukul

satu dinihari.

Dengan sudut matanya, Siti Maryam mencari-cari diantara penonton. Tetangkaplah

olehnya seseoramg yang berdiri diremang-remang. Sebuah bibir tertarik tipis, Siti

Maryam merasa senyuman kecil itu ditujukan untuknya. Darah paling dalam Siti

Maryam berdesir, mendapatkan sebuah senyuman itu daro Si Juru Tulis – yang

mana beberapa saat menghilang.

Page 51: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

51 | Maryam Chilvalry

8. Muslihat

Pasar Malam, pesta rakyat ciptaan Belanda

HAJI Abdul Manan, putra Haji Ibrahim bekas pejuang dan asuhan Tuangku Nan

Renceh cukup berpengalaman juga dalam perlawanan dan peperangan, seperti

terlibat sebagai pasukan relawan perang Aceh melawan Belanda. Ia lebih awal

melakukan siasat propaganda, konsilidasi dan pengkristalisasian pemikiran akan

semangat anti penjajahan Belanda dengan semangat jihat anti kaum kafir-nya di

Kamang dan melebar ke beberapa daerah lainnya. Issu ‘kafir’ merupakan

propaganda terbilang ampuh bagi masyarakat Minangkabau yang tidak waktu itu,

kecuali bagi – Belanda Hitam – si Melayu yang kebelanda-belandaan. Untuk

melaksanakan kegiatan propaganda, lobby ini tidak semua orang yang mampu,

karena dituntut suatu kecerdasan, kelincahan, kefasihan berbicara dan lihai

meyakinkan banyak orang, serta mempunyai keberanian yang besar.

Pada sisi lain, dengan adanya tantangan dalam masyarakat terhadap rodi dan

belasting, maka Belanda merasa khawatir kalau suatu waktu akan bermuara pada

pemberontakan rakyat, seandainya kegiatan agitasi yang dimotori oleh para ulama

dan dibantu oleh penghulu adat tidak dihentikan.

Sehingga Haji Abdul Manan ditangkap dan ditawan di kota Benteng Fort de Kock,

Bukittinggi. Mitra Haji Abdul Manan waktu itu Tuangku Laras Sungai Pua juga

ditangkap dan diasingkan ke Batavia. Meskipun demikian, ternyata beberapa tokoh

masyarakat ada yang tidak bergeming akan bujuk rayuan yang disertai ancaman

oleh pemerintah Belanda tersebut.

Dipenghujung tahun 1901, Belanda mulai melancarkan siasat ‘pecah belah’-nya

dengan membujuk para laras dengan suatu perjanjian yang sekaligus bernada

ancaman, bahwa : 1) Para Laras yang menyatakan setia kepada pemerintah Ulando

dan Ratu Wihelmina akan diberi pangkat yang tinggi dan bintang jasa ‘Oranje van

Nassau’ (bintang penghargaan tertinggi); 2) Para alim ulama dan pemangku adat

Page 52: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

52 | Maryam Chilvalry

(Penghulu) yang membantu pemerintah Belanda juga akan diberi bintang jasa dan

‘besluid’ (inilah cikal-bakal pangulu nan bapisuluik), dan mereka akan

mendapatkan sebahagian dari hasil pungutan pajak; 3) Laras dan Penghulu Kepala

yang tidak menyokong program pemerintah (Belanda) tentang memberlakukan

belasting akan dipecat dari jabatannya dan akan diasingkan dari masyarakatnya.

Setelah satu tahun dalam tahanan, Haji Abdul Manan dan Laras Sungai Puar

dibebaskan dari hukuman, dipulangkan ke kampungnya masing-masing.

Sepulangnya kedua tokoh ini dari pembuangannya, ternyata disambut rakyat

dengan antusias sebagai pertanda bahwa masyarakat pendukungnya tidak takut

akan ancaman-ancaman Belanda tersebut.

Melihat reaksi masyarakat dan intensitas kegitan agitasi kedua tokoh ini, maka

pemerintah Belanda menukar siasatnya. Tuangku Laras Sungai Pua kembali

ditangkap dan diasingkan ke Betawi, sedangkan Haji Abdul Manan dibiarkan saja

(tidak ditangkap), namun secara terus menerus diawasi.

Dengan cara seperti itu Belanda berharap pengaruh Laras Sungai Pua dapat

dipadamkan, yang sekaligus menyurutkan nyali para laras yang lainnya supaya

tunduk kepada pemerintah Belanda. Sedangkan ruang gerak Haji Abdul Manan

semakin dapat dilokalisir dan pada suatu waktu nantinya dapat ‘dipressure’ dan

dilenyapkan.

Upaya ini masih belum ampuh, langkah berikutnya Controleur LC. Westenenk yang

ringan dalam lidah rakyat di Agamtuo dengan sebutan Tuan Siteneng,

mengumpulkan seluruh Kepala Laras se Agamtuo, yaitu Tuanku Laras Baso,

Tuanku Laras Kamang, Tuanku Laras Tilatang, Tuanku Laras Magek, Tuanku

Laras Salo, Tuanku Laras Canduang, Tuanku Laras Ampek Angkek, Tuanku Laras

Kapau, Tuanku Laras Sungai Pua, Tuanku Laras Banuhampu, Tuanku Laras

Ampek Koto di kantornya di For de Kock, dengan tujuan untuk mempengaruhi

pemimpin-pemimpin rakyat itu untuk ‘menerima saja’ peraturan gubernemen

(pemerintah) dan memaksakan kepada rakyat melalui Kepala Nagari-nya masing-

masing.

Berkhotbahlah Tuan Siteneng, katanya dengan sangat hati-hati dalam kefasihannya

berdialek Minang, “Tuangku-tuangku Laras ! Gubernemen Belanda tidak mau

menyusahkan lagi anak nagari di sini. Tidak lagi disuruh menannam kopi dan

menjualnya hanya kepada gubernemen. Anak nagari boleh menanam kopi sesuka

hatinya saja. Kini gubernemen bikin peraturan baru. Anak nagari harus membayar

beberapa rupiah kepada gubernemen untuk segala macam kekayaan. Namanya

‘belasting’.”

Kemudian ucapan itu ditindaskannya kepada Tuanku Laras Kamang yang sudah tua

itu. Tuanku Laras Kamang melegakan, memperiyakan (musyawarah ala

Minangkabau) kepada Tuanku Laras Sungai Pua.

Page 53: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

53 | Maryam Chilvalry

“’Tabek, Tuan...! Kami setuju belasting dan rodi itu dijalankan di negeri kami,”

jawab oleh Tuanku Laras Sungai Pua. “Akan tetapi – dagang – harus bertolak dari

rantaunya. Dari negeri kami ini!,” sambungnya lagi dengan kata bulat bersanding

itu. Artinya belasting dan rodi mau dijalankan, tetapi Belanda sebagai pedagang

harus meninggalkan Hindia Belanda.

Dengan bijak Tuan Siteneng menanggapi, “Kalau begitu, kita tunda dahulu. Saya

mengerti, bahwa rakyat belum mampu,” kata Tuan Komendur itu. Dan rapat

selesai. Bubar.

Sindiran halus, tajam yang lebih tajam dari pisau silet dari pemimpin rakyat yang

bertanggung jawab untuk membela rakyatnya sendiri itu sangat menyayat-nyayat

hati dan pikiran LC. Westenenk. Dengan apa lagi dilumpuhkan, mata pancing tidak

mengena meskipun telah diberi umpan yang empuk dengan membebaskan rakyat

dari ‘coffeestellsel’.

Tidak beberapa lama muncul pula ide, muslihat yang agak ampuh namun

memerlukan sedikit tambahan ‘coss’, biaya.

Laras-laras cendikiawan dan berpengaruh itu dikirim ke Batavia untuk berjumpa

dengan orang nomor wahid di Hindia Belanda, Tuan Gubernur Genderal. Namun

sebelumnya, ada acara semacam kompetisi para Laras - untuk menguji kepandaian

dan kepintarannya. Tidak obahnya kompetisi walinagari / lurah pada masa

sekarang. Laras yang akan dikirim ke Batavia hanya sebanyak lima orang.

Memang benar, mendengar akan ada Kepala Laras yang akan pergi ‘examen’ ke

Batavia dan bertemu pula dengan Tuan ‘Ge-Ge’, sedikit agak terlonjak pasak

Tuanku Laras, agak berbesar hati para Laras di Agamtuo.

Dalam seleksi, terpilihlah lima besar dari dua belas Laras se Agamtuo, yaitu

Tuanku Laras Ampek Koto (Koto Gadang), Tuanku Laras Sungai Pua, Tuanku Laras

Banuhampu, Tuanku Laras Kamang, Tuanku Laras Tilatang (Agus Warido).

Berangkatlah kelima Laras terbaik itu dengan kapal api dari Teluk Bayur. Sesampai

di Batavia kelima laras tersebut dites lagi, ternyata Tuanku Laras Sungai Pua

dinyatakan peringkat pertama dan Tuanku Laras Kamang peringkat kedua.

”Lolos penjahit, lolos kulindan” kata pepatah Minangkabau. Sepulang dari Batavia

dengan congkak dan semakin bijaknya para Tuangku Laras ini menjilat air ludahnya

sendiri. Para laras tersebut merasa tersanjung, setelah mendapatkan pelayanan

terbaik di Batavia bagai raja kecil.

Inilah hasil yang dibawa pulang oleh laras tersebut. Penaksiran kepada pemilikan

penduduk mulai dijalankan, ada yang kena 1 gulden, ada yang ditaksir 1,20 gulden

dan malah ada yang dibebani belasting hingga 2 gulden.

Page 54: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

54 | Maryam Chilvalry

Pada bulan Mei 1908, Tuanku Laras Sungai Pua tidak terdengar lagi suaranya.

Sedangkan Tuangku Laras Kamang sengaja melaksanakan ibadah Jum’at ditempat

Haji Abdul Manan. Dari mimbar selesai shalat jum’at Tuangku Laras meneriakkan

seruannya, “Oi...! orang yang dalam sidang Jum’at ini, bayarlah belasting supaya

aman hidup kita ini !”

Mendengar seruan Tungku Laras Kamang itu tanpa berpikir panjang Haji Abdul

Manan menjawab. “Kami tidak akan membayar !” katanya. “Lalu pinjaik, lalu

kulindan. Anak cucu kami juga yang akan menanggungnya !,” sambungnya lagi

dengan lantang.

“’Kalau begitu, Haji engkar !,” bentak Tuanku Laras. “Iko pamarentah,”

sambungnya dengan menepuk dada. “Tabujua lalu, tabalintang patah (terbujur

lalu, terbelintang patah),” hentaknya lagi memperlihatkan tangan besinya. Lalu

merentak keluar mesjid, meninggalkan jamaah.

Dengan demikian pelajaran kedua pun kita dapatkan, bahwa untuk kesekian

kalinya Belanda berupaya dan membawa hasil untuk menciptakan ‘image’ bahwa –

‘penguasa’ – itu harus dihormati, rakyat harus ‘membungkuk bungkuk’

terhadapnya.

Sebaliknya, kita harus mengakui hasil penyelidikan Nahuys van Burgst sewaktu

pertama kali menginjakkan kakinya di Minangkabau tiga tahun berlangsungnya

Perang Paderi dan laporan hasil penyelidikannya itu disampaikan kepada

pemerintahan Hindia Belanda tiga tahun kemudian, yaitu tahun 1827.

Tapi, jauh hari sebelum dia menginjak kakinya di bumi Minangkabau, Nehuys van

Burgst yang ahli hukum itu, datang ke Hindia Belanda sebagai penasehat negara

dan keuangan dalam sebuah panitia dikirim khusus oleh Raja Louis Napoleon tahun

1805, semasa Kerajaran Belanda menjadi taklukan Perancis. Empat tahun

kemudian dikirim lagi ke Hindia Belanda sebagai penasehat agung Daendels. Pada

waktu itu ia sempat sebagai pengacara yang menyelamatkan Pangeran Paku Alam

dan seorang lagi pangeran keraton Surakarta (di Jawa) dari tiang gantungan karena

dihukum Daendels.

Selama perang Diponegoro, Nehuys banyak berjasa bagi pemerintah kolonial

karena hubunganya sangat dekat dengan raja-raja Jawa, bahkan dia pulalah yang

berhasil membujuk raja-raja Jawa untuk menyerahkan sebahagian daerah

kekuasaannya kepada Belanda.

Setelah beberapa tahun menetap di Eropa, Nahuys van Burgst yang sudah

berpangkat Mayor Jenderal tituler dan anggota Dewan Hindia dikirim kembali ke

Hindia Belanda. Kali ini untuk mengunjungi Pagaruyung, pusat Kerajaan

Minangkabau versi Belanda dan membuat laporan kepada pemerintahnya.

Page 55: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

55 | Maryam Chilvalry

“Secara sosio-kultur orang Melayu (Minangkabau),” katanya, “Kepala (raja) dari

semua rakyat Minangkabau yang oleh penulis-penulis tua dikatakan lebih dihormati

lagi daripada Paus di Roma, ternyata adalah seorang tanpa pengaruh dan tidak

mengesankan sama sekali. Penghormatan yang didapatnya, jauh lebih kecil dari

yang diberikan kepada wedana-wedana di Pulau Jawa, dan orang-orang di Jawa

merasa takut pada kepala desa daripada orang-orang di sini (Minangkabau)

terhadap raja mereka. Pendapatannya kurang dari 100 gulden setiap bulan, tidak

cukup untuk hidup mewah dan tidak mempunyai tanah kecuali yang didapat dari

perkawinan. Maka tidak mengherankan jika dia lebih merupakan opas kepala

daripada kepala rakyat.”

“...Dan saya melihat bahwa orang-orang pribumi yang rendahan sekalipun,

semuanya hilir mudik saja, meskipun dalam jarak yang dekat sekali dari Raja

Minangkabau itu, dan tanpa memperlihatkan rasa takut (sungkan) sama sekali !

Berlainan dengan raja-raja di Jawa, karena tidak kelihatan iringan tersendiri

membawa bermacam-macam tempat sirih, tempat rokok, talempong, tempat air,

payung emas, alat-alat tulis, dll. Sebaliknya dia hanya mempunyai satu pengiring

yang membawa payung China warna coklat yang di Jawa semua orang bisa

memakainya....’

“...Selain itu, orang-orang Melayu (Minangkabau) berlainan dengan orang-orang di

Jawa, mereka tidak begitu menghormati kepala-kepala mereka.... Di sini

(Minangkabau) jarang saya lihat, penghormatan diberikan kepada Tuanku (Raja)

dan tidak pernah kepada kepala-kepala yang lebih rendah.... Pernah saya alami

sendiri bersama asisten residen dan raja Minangkabau berkunjung pada sebuah

kota di pinggir danau (mungkin Danau Singkarak) yang cukup padat penduduknya.

Di sana kami diterima oleh kepala kepala kampung yang acuh tidak acuh saja,

mereka mengenali rajanya pun tidak..., dan sewaktu saya tanya bagaimana

keadaan kalau orang-orang Belanda meninggalkan mereka begitu saja tanpa

perlindungan ? Dengan tegas kepala di sana itu menjawab, ‘Kalau kita bisa hidup

damai saja dengan orang-orang Pidari..., kami tidak lagi membutuhkan orang-

orang Belanda di sini’.”

Lalu, apa simpulan dan saran oleh Nuhuys kepada pemerintahnya ?

“Mengingat semangat merdeka rakyat di sini, saya takut pemerintah akan

mendapat banyak sekali kesulitan kalau di sini dijalankan pajak, pajak tanah

umpamanya.... Kita akan tersesat jika kita bandingkan orang-orang Melayu begitu

saja dengan orang-orang Jawa. Suatu kenyataan pula bahwa dengan menjalankan

pajak-pajak (sebagaimana dalam Surat Keputusan Gubernur Jenderal No. 18

tanggal 4 November 1823) itu, kita akan menghadapi banyak bahaya dan kesulitan

nantinya.”

Dalam laporannya itu Nuhuys van Burgst menceritakan kemuakannya atas

kekejaman yang dilakukan oleh tentara Belanda. Nuhuys van Burgst menceritakan

Page 56: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

56 | Maryam Chilvalry

tentang pembantaian-pembantaian terhadap tua, muda, anak-anak maupun jompo

dan wanita, disemblih tanpa ampun jika suatu desa jatuh ke tangan tentara

Belanda, tanpa dapat dicegah oleh para aperwira-perwiranya.

***

Semenjak kejadian dengan Haji Abdul Manan di Mesjid pada hari Jum’at itu, maka

apar-apar besi atau bengkel pandai besi mulai berdentang. Gemerincing besi panas

ditenpa untuk dijadikan kelewang, rudus dan pedang. Dan yang agak lebih

dirahasiakan adalah sewaktu membuat ‘badia balansa’, sejenis senjata api

tradisionil yang pelurunya terbuat dari beling, sepihan besi.

Sementara itu, Muhammad Amin Pamuncak Sutan Bagindo Penghulu Kepala dari

Koto Tuo Ampek Angkek, aktif pula mengumpulkan dana yang akan dikirim kepada

saudaranya di Singapura untuk ditukar dengan mesiu standard Eropa – nantinya

diselundupkan dalam perlawanan rakyat menentang belasting.

Berbarengan dengan tekanan untuk membayar belasting, Belanda mengeluarkan

kebijakan berikutnya, yaitu mencoba mengalihkan perhatian masyarakat (umum)

dengan adanya keramaian-keramaian (alek). Maka pada tahun 1908 Pemerintah

Belanda membuka pasar malam dan alek pacu kuda serta mempergiat pesta anak

nagari di kampung kampung, seperti pesta ‘panjek batang pinang’ (panjat pinang)

yang dimeriahkan pula dengan berbagai atraksi rakyat.

Dan yang tidak kalah pentingnya pada setiap keramaian itu rakyat diperbolehkan

menggelar perjudian, terutama ‘barambuang’, dadu kuncang, dadu putar,

menyabung ayam dengan tujuan bukan saja membinasakan moral anak nagari,

tetapi juga untuk mengalihkan perhatian rakyat akan persoalan belasting tersebut.

Dari beberapa kebijakan Belanda tersebut maka Haji Abdul Manan tidak tinggal

diam, meskipun sedikit telah mulai kecewa akibat melemahnya iman para laras

dan para pemangku adat akan siasat Belanda itu.

Page 57: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

57 | Maryam Chilvalry

9. Alek Pacu Kuda

PERTEMUAN – pertemuan pemimpin - pemimpin masyarakat dengan Haji Abdul

Manan, maka aku sebagai juru tulis dalam gerakan ini diperintahkan mengundang

tokoh-tokoh masyarakat seperti Muhammad Saleh Datuak Rajo Pangulu, Abdul

Wahid Kari Mudo, Datuak Parpatiah (di Magek) dari Kamang Ilia, Angku Jangguik

yang dikenal pula dengan panggilan Inyiak Jabang, Datuak Parpatiah di Pauah, Haji

Samad, Tuangku Pincuran, Datuak Rajo Pangulu dari Babukik Limau Kambiang dan

Datuak Marajo beserta pemimpin lainnya yang dirasa patut untuk membicarakan

tindakan yang akan diambil terhadap upaya-upaya pemerasan oleh Ulando itu.

Dalam pertemuan rahasia di rumah Haji Abdul Manan di Kampuang Tangah Pakan

Sinayan Babukik tersebut didapat kata sepakat, bahwa, agar dilakukan peninjauan

(menyelidiki) pendapat dari semua pengikut Haji Abdul Manan dan Tuangku Laras

Sungai Pua sehubungan dengan ‘apakah akan menuruti kehendak penjajah Ulando

atau tetap mengadakan perlawanan untuk menolak pelaksanaan belasting yang

akan dipaksakan juga oleh Ulando kepada rakayat’. Kedua, jika menerima atau

menolak agar memberi kabar atau laporan kepada Haji Abdul Manan sebagai

pemimpin dalam gerakan perlawanan rakyat Minangkabau, khususnya dalam

menentang belasting. Keempat, untuk melaksanakan upaya-upaya

pengkristalisasian pandangan tersebut kepada masyarakat yang lebih luas, maka

propaganda memegang peranan yang teramat penting. Keempat, kepada tenaga

yang dipercaya sebagai pemimpin delegasi agar menyebar mengadakan hubungan

koordinasi dan kristalisasi misi perlawanan ke beberapa daerah, dan misi ini harus

selesai dalam tiga bulan, terhitung mulai bulan Januari hingga Maret 1908.

Page 58: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

58 | Maryam Chilvalry

Inyiak Haji Abdul Manan ditetapkan sebagai utusan ke Padang Panjang, Pariaman,

Lubuak Aluang, Padang, Pauah IX dan sekitarnya. Sedangkan Solok dan Sawah

Lunto diserahkan kepada rombongan dari Padang Panjang. Datuak Parpatiah (di

Magek) dan Datuak Rajo Pangulu, keduanya dari Kamang Ilia menuju Limo Puluah

Koto dan Tanah Data. Inyiak Jabang dan Tuangku Pincuran ke Suliki, Suayan, Koto

Tinggi, Pua Gadih, Palupuah, Bonjo dan Sipisang.

Sedangkan Siti Aisyah, Siti Anisyah dan Siti Maryam kaum perempuan pilihan untuk

memegang peran sebagai propagandis, selain beberapa tokoh laki-laki yang

dianggap mapan untuk peran tersebut.

Siti Aisyah karena terpaut dengan pertalian syara’, yaitu telah bersuami maka

hanya mengambil peran di sekitar Tilatang Kamang. Sedangkan Siti Maryam yang

masih perawan, sebelumnya telah dimatangkan berbagai keterampilan dirinya

oleh Inyiak Manan, termasuk menunggang kuda, mendapat amanah ke beberapa

daerah matahari terbenam dan Utara Kamang, seperti ke Tiku, Mangopoh, Lubuk

Basung dan Simpang Empat (Pasaman).

Beberapa tokoh-tokoh lainnya cukup mematangkan semangat perlawanan di daerah

Agam Tuo dan sekitarnya. Sementara itu para angkatan muda dengan pimpinan

Haji Ahmad dan Kari Mudo giat berlatih mempergunakan dan menangkis senjata

tajam serta memperdalam ilmu batin, terutama ilmu kebal guna dapat

dipergunakan pada waktunya nanti.

Pada awal bulan April 1908, bertepatan dengan digelarnya alek pacu kuda oleh

pemerintah Belanda di Bukit Ambacang, sengaja dikondisikan agar semua utusan

daerah mempergunakan moment itu untuk berkumpul guna mematangkan gerakan

dan pemberontakan melawan tirani Hindia Belanda dengan issu anti belasting

sebagai kelanjutan revolusi Minangkabau setelah perang Paderi dapat dipadamkan.

Bagai masyarakat Minangkabau sebelum kedaulatannya dikembalikan secara bulat

ketangannya oleh pemerintah Hindia Belanda, maka bara api sisa-sisa api revolusi

Page 59: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

59 | Maryam Chilvalry

Pederi itu tetap dinyalakan. Untuk mengkonkritkan perlawanan, maka moment

alek (pesta) pacu kuda di Bukit Ambacang itu tidak disia-siakan sama sekali.

Kali ini pertemuan dari berbagai utusan daerah yang menjadi motor pengerak

‘gerakan anti belasting’ itu berkumpul di Bukittinggi dengan alasan untuk

menghadiri alek pacu kuda di Bukik Ambacang. Tepatnya pertemuan rahasia itu

dilaksanakan di Bukik Apik, suatu perkampungan di pinggir jurang Ngarai Sianok.

Sebelum pertemuan dilaksanakan, Siti Aisyah telah melakukan propaganda

pengkondisian yang intensif secara rahasia kebeberapa tokoh perempuan di sekitar

Tilatang Kamang.

Sehubungan berkumpul itu, Siti Aisyah mengkondisikan beberapa orang penjual

masakan di Nagari Kapau (Tilatang). Karena para kaum perempuan Kapau selain

bertani banyak juga yang berjualan makanan, seperti penjual nasi kapau - yang

banyak ditemukan pakan-pakan (pasar pasar) nagari dan di pasar Bukittinggi sendiri

di bawah payung-payung kaki lima.

Kepada beberapa penjual nasi kapau itu dikondisikan untuk berjualan nasi di Bukit

Ambacang pada saat alek pacu kuda dilaksankan yang tujuannya selain berdagang

adalah juga sebagai arena pusat informasi tentang pelaksanaan dan hasil

pertemuan rahasia di Bukik Apit tersebut.

Menjelang alek digelar telah disebar informasi secar berantai ke daerah-daerah di

Minangkabau bahwa tempat Rabiatun Kapau berjualan nasi kapau dengan ciri-

cirinya yang sudah dikondisikan di atas Bukit Gulai Bancah sebagai pusat informasi.

Siti Aisyah dan Siti Maryam berperan sebagai pembantu Rabiatun Kapau untuk

meladeni orang yang singgah makan.

Hari yang telah dinantikan tiba. Berduyun-duyunlah masyarakat disekitar Agamtuo

dan dari beberapa daerah menghadiri pesta rakyat menonton kuda kuda yang

dijagokan dalam berpacu. Pemerintah Belanda pun tidak mencurigai siapapun,

karena sudah biasa di gelanggang manapun pacu kuda dilaksankan di berbagai

tempat dan daerah di Sumatera. Apalagi kalau di Gulai Bancah Bukittinggi karena

arenanya cantik dan bagus yang dikelilingi oleh bukit. Penonton dengan leluasa

memandang bundaran oval tempat kuda menguji ketangkasannya.

Rakyat, penonton tidak sabar lagi menunggu kuda - kuda berpacu untuk dimulai.

Bagi orang-orang terhormat menurut Belanda, duduk berjejar di tribune yang telah

disediakan di kiri kanan dan dibelakang para pembesar Belanda. Sedangkan orang

biasa yang tidak berpangkat namun sedikit berada dapat menyewa tribune beratap

rumbia bertiang bambu, duduk dibangku bangku yang terbuat dari bambu yang

dibelah dua yang disediakan di sepanjang pinggir lapangan oleh penduduk yang

punya tanah tersebut. Sedangkan rakyat biasa, orang-orang yang hanya mampu

berjalan kaki ke gelanggang pacuan dengan bermodalkan nasi berbungkus daun

pisang batu atau pisang abu yang dipersiapkan sejak subuh hari, menonton dengan

Page 60: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

60 | Maryam Chilvalry

sebebas-bebasnya di atas bukit berpayung langit, berjemur matahari berselimut

angin.

Setelah panitia pacuan mengumumkan bahwa pacuan segera dimulai, maka

penonton semakin antusias, berdesakan ke pinggir gelanggang, sehingga mendapat

deraan rotan dan pentungan petugas keamanan untuk mengusirnya kembali guna

menjauhi arena kuda berlari. Sedangkan yang berada di atas bukit riuh rendah

mencari posisi yang paling menguntungkan untuk menonton kuda-kuda yang akan

berpacu.

Acara dimulai setelah adanya pidato singkat dari ketua panitia dan pembesar

Belanda di kota Fort de Cock. Dalam kata sambutannya L.C. Westenenck

(Controleer Out Agam, kemudian sebagai Assistent Resident Sumateras Westkuust)

:

“...bahwa pergelaran alek pacu kuda dan menampilkan acara kesenian dan

kebiasaan - kebiasaan lama daerah ini, termasuk dibebaskan untuk menggelar

berbagai bentuk perjudian dan sabung ayam adalah suatu bentuk kepedulian

pemerintah terhadap budaya Minangkabau asli sebelum kedatangan Islam yang

harus dipupuk dan dipelihara. Kami pihak pemerintah tidak akan mengikis

kebudayaan-kebudayaan lama tersebut, karena hal itu adalah miliknya masyarakat

Minangkabau yang diwarisinya dari para leluhurnya sejak dahalu kala....”.

Padahal perjudian, menghisap candu dan sabung ayam telah dilarang De Stuers

berdasarkan desakan melalui surat yang ditandai tangani oleh Tuangku Lintau,

Tuangku Guguak, Tuangku Nan Saleh dan Tuangku Nan Renceh pada April 1826.

Karena sebetulnya yang memperkenalkan candu dan khamar tersebut kepada

pemuka-pemuka adat di Minangkabau adalah Belanda sendiri, karena kedua benda

itu adalah komoditi dagang yang paling menguntungkan semenjak zaman VOC

dahulu - yang ditukarnya dengan hasil bumi, seperti kapur barus, merica, emas,

dll.

“Marilah kita untuk selalu menjunjung tinggi kebiasaan-kebiasaan lama leluhur

orang Minangkabau ini, sedangkan pemerintah tidak sedikit pun berniat untuk

campur tangan terhadap kedaulatan rakyat Minangkabau. Namun supaya tetap

berjalannya pemerintahan dan hubungan yang baik antara rakyat dan pemerintah,

maka diperlukan pula kerjasama yang baik dalam berbagai bidang untuk lebih

memperelok nagari-nagari, terutama nagari-nagari di Agamtuo ini. Sedangkan

untuk memperelok nagari, memperbagus jalan-jalan dan jembatan, serta guna

membiayai pemerintah, termasuk gaji para pegawai dan opas maka diperlukan

biaya yang besar sekali. Karena biaya yang banyak itulah diperlukan pungutan

belasting,“ sambung Westenenck lagi. Kemudian dia mengajak seluruh masyarakat

supaya membantu pemerintah dalam membangun dan membayar belasting.

Page 61: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

61 | Maryam Chilvalry

Pidato-pidato Contreleur Agamtuo itu disanjung-sanjung oleh barisan ‘Belanda

Hitam’ dengan mengangguk-anggukkan kepala dan memperlihatkan keseriusan,

kesungguhan dan mengelu-elukan bujuk rayuan, ajakan L.C. Westenenck yang

telah fasih berbahasa Minang itu. Akan tetapi bagi rakayat ‘badarai’, rakyat banyak

yang berada di tribune yang beratap rumbia dan yang berada di atas bukit tersebut

tidak memperdulikannya, karena tidak sampai ke telinga mereka, dan lagi maksud

kedatangan mereka ke Bukit Ambacang semata untuk menonton kuda-kuda

berpacu.

“Kapan kudanya berpacu ? Kalau pidato berpidato juga !,” diantara mereka

berciloteh

“Habih hari dek pidato sen kasudahano,” ciloteh yang lain lagi. Maksudnya, habis

waktu karena pidato-pidato.

Tatkala terompet pertama dibunyikan oleh seorang opsir Belanda di rumah orkes di

samping kiri tribun utama, diumumkanlah nama-nama kuda yang akan berpacu

beserta joki dan warna pakaiannya. Berselang pengumuman itu disusul dengan aba-

aba “...joki segera ditimbang...!” Maka sorak-sorai pengunjung sudah mulai

membahana.

Terompet kedua dibunyikan, kuda-kuda yang sudah ditenggeri para jokinya

memasuki garis star, di depan tribune bulat yang lebih dikenal dengan dengan

sebutan ‘rumah bulat’.

Terompet ketiga dibunyikan, tukang bendera yang melepas kuda sudah mulai

bersiap-siap dan bendera pun segera dikibarkan, kuda-kuda berhamburan dari garis

start. Bersamaan lepasnya kuda-kuda tersebut penontonpun bersorak.

“Kudo lapeh...!, kudo lapeh....!” Maksudnya kuda lepas, yaitu kuda sudah mulai

berpacu. Sesaat kemudian sorak-sorai beralih dengan terikan “Agam...!, Agam...!,

Agam...!” Maksudnya kuda orang Agam dengan jokinya berpakain warna merah

yang menggambarkan Luhak Agam berwarna merah sedang berada di depan dan

sekaligus memberi semangat kepada joki untuk merambah kudanya dengan rotan

di tangannya supaya kudanya melesar, melejit kencang. Meskipun kuda dari Lima

Puluh Kota yang ditandai pakaian jokinya berwarna hijau yang duluan sampai di

garis finish dan disusul kuda berjoki warna kuning, dari Tanah Datar, namun

teriakan “Agam...!, Agam...!, Agam...!” terus berkumandang.

Semenjak pagi kedai nasi di bawah payung bundar dengan tonggak dan kaso

kasonya terbuat dari buluh, bambu dan atapnya dari kertas semen porland yang

dijahitkan, dan kedai nasi itu berdindingkan kain berwarna putih belum disinggahi

pengunjung. Setelah ‘rece’, putaran pertama barulah pengunjung berangsur-

angsur mencari tempat makan dan minum. Dan Siti Aisyah, Siti Maryam mulai

melayani pengunjung yang masuk ke kedainya itu, Rabiatun Kapau berlagak sebagi

Page 62: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

62 | Maryam Chilvalry

induk semang yang hanya menerima dan mengembalikan uang kembali pengunjung

setelah selesai menikmati masakan khas Kapau-nya.

Pada saat putaran kedua digelar dan para pengunjung Bukit Ambacang kembali

hiruk pikuk karena kuda-kuda telah dilepas lagi untuk berpacu. Pada saat itu

masuklah ke kedai Rabiatun Kapau dua orang laki-laki dewasa dari sisi kedai yang

berbeda, sepertinya kedua orang ini tidak saling mengenal karena dinisbatkan

hanya sebagai pengunjung alek pacu kuda.

Akan tetapi Siti Aisyah telah mengenal wajah kedua pria itu, namun tetap berpura-

pura tidak mengenalinya dan langsung meladeni pengunjungnya itu. Siti Aisyah

menanyakan lauk nasi yang diingini.

“Uni ambo ka makan, sambanyo jo tambunsu, yo Ni..!” (Uni saya mau makan,

lauknya adalah usus, ya Uni),” kata salah seorang laki-laki itu kepada sang

pelayan.

“O, ya !,” jawab Siti Aisyah.

“Tuan sambanyo jo apo ?,” tanya Aisyah pula kepada yang seorang lagi.

“Untuak ambo sambanyo randang itiak, Ni,” (untuk saya lauknya rendang itik, Uni)

jawab orang tersebut.

Meskipun Aisyah lebih muda usianya dari kedua laki-laki tersebut, tetapi laki-laki

ini memanggil uni kepada pelayan itu sebagi basa basi dalam bertutur kata kepada

orang yang belum dikenal. Kalaupun ada orang yang menguping di luar maka orang

tidak akan curiga karena sepertinya adalah pengunjung biasa saja. Selesai kedua

orang itu menikmati makanan dari nagari Kapau itu, seorang diantaranya bertanya,

“Dimana dapur tempat memasaknya, Uni ?”

“Di sebuah Rumah Gadang di Bukit Apik,” jawab Aisyah dengan suara berbisik

sambil menunjuk ke arah Barat Daya dari tempatnya itu, kemudian menderaskan

kembali suaranya menyambung bisikannya itu, “Agak jauh juga dari sini, Kapau

nama negerinya,” sambung Aisyah.

Rupanya pertanyaan seseorang itu merupakan sebuah isyarat yang maksudnya

adalah tempat pertemuan rahasia itu. Maka jawaban Siti Aisyah dengan suara lunak

itu langsung mengatakan tempat pertemuan tersebut yang kemudian ditimpali

dengan kalimat berikutnya tentang Negeri Kapau, sebagai pengelabuan kalimat

pertamanya, kalau-kalau ada pihak lain yang mendengar dari luar tabir kedainya

itu.

Menimpali jawaban Aisyah itu, seorang lagi bertanya pula. “Dengan apa kita ke

sana, Ni ? Apa saja kampung yang kita lewati menjelang sampai di sana ?”

Page 63: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

63 | Maryam Chilvalry

“Ke sana cukup berjalan kaki, kalau mau naik bendi pun bisa. Maka naikilah bendi

di luar gelanggang ini dan kusir bendi pasti tau akan kampung itu !,” jawab Aisyah

pula.

“Terimakasih, Uni,” jawab pria itu lagi sambil merogo kantongnya dan berdiri

untuk membayar hutangnya. Kemudian diringi pula oleh yang seorang lagi.

Kali ini bukan Rabiatun Kapau lagi yang menerima dan memberikan uang kembali,

melainkan langsung diterima oleh Siti Aisyah. Pada saat memberikan uang kembali,

maka Siti Aisyah menyelipkan selembar kertas kecil dalam sela uang kertas

kembalian tersebut. Kedua orang itu berlalu dari kedai Rabiatun Kapau secara

terpisah dan langsung masuk ke dalam keramaian penonton.

Dalam jarak sepuluh meter dari kedai Rabiatun Kapau, kedua orang ini bertemu

kembali sambil berjalan menuju parkiran bendi, sembari mencuri pandang ke kiri-

kanan dalam kewaspadaan mereka membuka kertas kecil yang diselipkan Siti

Aisyah tadi guna mempelajari rute dan ciri rumah rahasia yang akan ditujunya.

Sepeninggal kedua orang pria itu Rabiatun Kapau bertanya dengan berbisik tentang

siapa dan darimana kedua orang tersebut.

“Pria yang berjenggot hitam dan duduk di sebalah kanan tadi utusan yang datang

dari Padang Panjang. Sedangkan yang duduk di bangku sebelah kiri utusan yang

datang dari Selayo (Solok), Tek !,“ jawab Siti Aisyah kepada Rabiatun Kapau.

Begitulah siasat yang dijalankan untuk beberapa kali oleh tamu-tamu rahasia yang

berdatangan ke kedai Rabiatun Kapau dalam mencari petunjuk dan informasi pada

saat-saat orang sedang dilengahkan oleh deru telapak kuda, dihiasi gumpalan kabut

mengepul di belakang kuda sedang bertarung mengejar garis finish.

Utusan - utusan itu bermacam gaya dan corak pakaian yang dikenakannya. Ada

yang berlagak seperti parewa, ada seperti orang intelek dan ada pula berlagak

seperti orang kampung totok. Rata-rata diantara mereka tidak memperlihat ciri-

ciri sebagai ulama dan ninik mamak atau cerdik pandai (cendikiawan).

Tentu saja cara-cara seperti ini adalah untuk menghindari kecurigaan para opsir

dan ‘spion melayu’ Belanda. Kalau dintara mereka seorang ulama dan berpakaian

ulama, tentulah akan mencurigakan pihak Ulando. Karena tidaklah mungkin

seorang ulama mau datang ke gelanggang pacu kuda yang dimeriahkan dengan

berbagai bentuk perjudian tanpa ada maksud-maksud yang terselubung.

Begitu pula bagi para ninik mamak dan cerdik-pandai, ninik-mamak dan cerdik

pandai yang pro-Belanda sudah disediakan tempatnya di tribune. Dan tentu saja

ninik mamak dan cerdik pandai yang membangkang pada Belanda tidak akan mau

menghadiri acara yang dibuat oleh Belanda tersebut.

Page 64: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

64 | Maryam Chilvalry

Dalam pertemuan rahasia pada sebuah ‘Rumah Gadang’ di Bukit Apit itu, dengan

suara bulat diambil beberapa butir kesepakatan sebagai keputasan rapat. Dan

rapat tersebut berjalan dengan aman dan tertib, sama sekali tanpa adanya

gangguan dan kecurigaan pemerintah Belanda. Kondisi ini tercipta adalah berkat

bantuan dan fasilitator yang sungguh sungguh dari Tuanku Laras Kurai yang

berperan dari belakang layar.

Bersimpatiknya Tuanku Laras Kurai ini adalah berkad pendekatan yang dilakukan

oleh Pakiah Muncak, seorang pemuda Kurai (Pakiah Mucak gugur sebagai suhada

dalam perang 1908 di Kamang dalam usia tiga puluh tahun).

Menjelang tengah hari di tengah lapangan arah Utara Nagari Gadut, disitu digelar

beberapa hiburan, termasuk perjudian. Ada yang menyabung ayam, dadu kuncang

dan sebagainya. Kesemuanya itu berada dalam perlindungan dan pengawasan

polisi-polisi Ulando.

‘Malang tak dapat ditolak – mujur tak dapat diraih’. Ternyata di gelanggang

perjudian itu, persisnya pada tempat ‘dadu kuncang’ diputar, terjadi perkelahian

antara petaruh dan bandarnya. Perkelahian itu dipicu karena bandar judi ketahuan

berlaku curang, semenatara petaruh yang berkumis tebal itu sedang kalah banyak.

Si kumis naik pitam dan merampas uang yang sedang menumpuk di depan bandar

judi. Dan pada saat Si Kumis sedang merunduk merangkul uang-uang tersebut, sang

bandar judi terkaget, secara reflek tumit kakinya yang sebalah kanan langsung

melayang kearah rumpun telinga sebelah kiri Si Kumis. Pada saat itu juga Si Kumis

membalas dengan mengarahkan tinju ke mulut sang bandar, tetapi dapat dielakkan

oleh sang bandar. Terjadilah perseteruan dengan memperlihatkan kebolehannya

masing-masing, yang akhirnya berobah menjadi cakak banyak, perkelahian masal.

Pada saat Si Kumis menyentakkan pisau yang terselip di pinggang sebelah kirinya,

mengacungkan pisaunya itu dan kemudian mengejankan tuahnya.

“Rasokan dek waang makan pisau kamanakan lareh sungai pua ko !” (Rasakan

olehmu pisau kemenakan Tunagku Laras Sungai Pua ini !)

Dijawab oleh si bandar judi yang telah mengambil ancang-ancang, pasang kuda-

kuda.

“Buliah ! Supayo nak tau pulo waang jo aden nan dubalang lareh kurai ko !” (Boleh

! Supaya tau pula kamu dengan saya sebagai dubalang Tuangku Laras Kurai ini !)

Si Kumis yang mengaku sebagai kemenakan Tuanku Laras Sungai Pua itu pun

menikamkan pisaunya yang mirip kuku elang yang panjangnya hampir sehesta itu

ke arah lambung si bandar judi yang katanya dubalang Tuangku Laras Kurai

tersebut.

Rupanya kedua parewa ini sama-sama lihai dalam bersilat, meskipun dubalang

menyentakkan pisaunya pula tetapi keduanya tidak sempat terluka oleh masing-

Page 65: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

65 | Maryam Chilvalry

masing tikamannya. Agak lama juga mereka itu berkelahi dengan mempergunakan

pisau. Sehingga terpaksalah seorang opas Belanda menembakkan senapannya ke

udara untuk melerai perkelahian yang sengit ini. Pada saat kedua orang yang

sedang bermain pisau itu tertegun, barulah opas-opas yang lain menangkap

masing-masingnya dan langsung tangan kedua orang itu dirantai dan digiring ke pos

keamanan. Sebentar mereka ditawan di pos keamanan itu, kemudian komandan

polisi Belanda memerintahakan untuk secepatnya diangkut langsung bersama anak

buahnya masing-masing yang terlibat dalam cakak banyak itu dengan bendi dalam

pengawalan opas menuju Pos Polisi dekat kantor kontroler di jantung kota, demi

keamanan alek dan juga supaya tidak terlalu tersiar beritanya tentang keonaran

itu. Tidak lama diproses di Pos Pilisi dekat kantor kontroler, disamping Jam Gadang

itu, para perusuh itu pun dibawa ke penjara sebagai titipan sementara.

Di Bukit Apit, yang terkenal dengan rendang kopinya itu rapat pun berakhir

bersamaan dengan berakhirnya alek pacu kuda, sehingga peserta rapat kembali

pulang ke daerahnya masing-masing untuk melakukan persiapan yang matang guna

melaksanakan keputusan yang telah disepakati.

Seorang pemuda sambil berjalan pulang, mampir dulu ke kedai Rabiatun Kapau

yang sedang berkemas-kemas pula untuk pulang. Pemuda itu mampir pura-pura

menanyakan sudah habisnya julan Rabiatun Kapau.

“Sudah habis dagangannya, Tek ? Adakah laris dagangannya ?,” tanyanya kepada

Rabiatun Kapau.

“Alhamdulillah, berkad pertolongan Allah, habis semua dagangan kami,” jawab

Rabiatun Kapau.

Kemudian dengan suara berbisik dan gaya yang sangat hati-hati pemuda itu

bertanya kepada Rabiatun Kapau.

“Mana, Kak Aisyah dan Maryam, Tek ?”

“Mereka sedang mengantarkan barang barang ke pedati,” jawab Rabiatun Kapau.

“Kalau begitu tolong saja etek berikan surat ini kepada Maryam nanti, dan saya

duluan pulang. Permisi, Tek,” kata pemuda itu lagi, sambil mengunjukkan surat

tersebut.

Sekembalinya Maryam membantu Aisyah mengantarkan barang-barang ke pedati,

Rabiatun Kapau menyerahkan surat itu dengan sembunyi kepada Siti Maryam. Surat

tersebut yang bertulisan Arab-Melayu itu dibuka dan dibaca Maryam. Ternyata

isinya sebuah perintah kepada Siti Maryam supaya berangkat segera ke Mangopoh

untuk menemui Yahya Taungku Sutan, Rahman Saidi Rajo, Sutan Syarif, Kana Angku

Padang dan Majo Ali guna menjalankan misi khusus. Tapi sebelum menemui tokoh

gerakan bawah tanah di Mangopoh itu terlebih dahulu berkonsultasi dengan Siti

(Siti Mangopoh).

Page 66: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

66 | Maryam Chilvalry

Sambil berkemas-kemas, mereka mendiskusikan persoalan keberangkatannya ke

Mangopoh. Meskipun Siti Maryam keras hatinya untuk langsung berangkat ke

Mangopoh sore itu juga, Rabiatun Kapau menyarankan sebaiknya Siti Maryam

pulang dulu ke Kamang untuk beristirahat karena sudah kecapaian seharian sebagai

pelayan, tukang cuci piring di kedainya itu dan penjaja makanan yang berkeliling

di tengah lapangan pacu kuda.

“... dan sampai sekarang kita belum tau pesan apa yang akan dibawa kepada Ibu

Siti Mangopoh. Jadi, sambil beristirahat nanti malam, kamu bisa meminta

penjelasan dan pertimbangan lebih lanjut dari pimpinan gerakan kita, terutama

kepada Inyiak Manan atau kepada Tuan Datuak Rajo Pangulu dan pemimpin lainnya

!,” Kata Siti Aisyah yang diamini pula oleh Rabiatun Kapau.

Besok harinya Contreleur memanggil Tuanku Laras Kurai untuk menghadap di

kantornya, dekat Jam Gadang. Pagi-pagi Laras Kurai telah naik bendi

kebesarannya menghadap ke kantor kontroler. Sesampai disana Tuangku Laras

dipersilakan masuk. Contreleur J.C. Westenenk langsung bertanya setelah Tuanku

Laras di persilakan duduk dalam jarak tertentu dengannya dengan dibatas sebuah

meja batu oval.

“Tuanku Laras, tahukah tuan laras sebab dipanggil ke sini ?,” tanya Westenenk.

“Tau, tuan komendur !,” jawab Laras Kurai.

“Kira-kira apa itu persoalan, Tuan Laras ?,” tanya Westenenk lagi.

“Barangkali..., mengenai persoalan ‘cakak banyak’ di gelanggang kapatang, Tuan

!,” jawab Tuanku Laras.

“Bukan barangkali...!, Tuan Laras...!,” belalak Westenenk. Memang itu

persolannya. Dan malah kenapa yang kedua belah pihak sebagai dalang perkelahian

tersebut adalah di bawah dagu tuan-tuan laras sendiri ?,” tukas Westenenk lagi

dengan nada agak meninggi, kesal.

“Maafkan hamba, Tuan Komendur. Sama sekali itu hal adalah di luar

sepengetahuan saya, Tuan ! Kan tuan mengetahui sekali bahwa saya sama-sama

duduk dengan laras-laras dan penghulu kepala lainnya di belakang para pembesar

pemerintah, Tuan Kumendur,” jawab Tuangku Laras Kurai.

“’Ik’... tidak menuduh tuan Laras mengetahui persis persolannya. Untuk

mengetahui sebab-sebab perkelahian itu, ‘Ik’ sudah cukup punya informasi dan

saksi mata, Tuan Laras !,” bentak kontroler yang tidak simpatik itu.

“Lalu..., kenapa Tuan mempersoalkan itu kepada hamba, Tuan komendur ?,” tanya

Laras Kurai sambil memperbaiki posisi duduknya dengan sedikit memperlihatkan

wajah menantang.

Page 67: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

67 | Maryam Chilvalry

“Maksud ‘Ik’, adalah itu orang mau diapakan Tuan Laras ? Karena mereka itu

sama-sama dibawah lenggang ketiaknya Tuanku-tuanku laras ! Kalau itu orang-

orang biasa yang bikin onar seperti itu, maka ‘Ik’ tak ambil peduli. Pasti akan

dihukum berat. Ini adalah timbang rasa kami kepada laras berdua !,” kata

Westenenk membujuk Laras itu.

“Kalau begitu, berarti kita sependapat Tuan !, dan bukan alasannya seperti

penuturan Tuan Komendur itu saja. Tetapi yang lebih celaka lagi adalah apa kata

masyarakat banyak nanti, bahwa dengan perjudian yang telah pemerintah

bebaskan itu ternyata menyebabkan sebuah perkelahian banyak. Tuan pun sangat

tau bahwa perjudian adalah sesuatu yang dilarang keras oleh agama kami. Apakah

hal ini akan menjadi alat propaganda oleh kelompoknya Haji Abdul Manan yang

sedang giat-giatnya menentang pelaksanaan rodi dan belasting, Tuan !,” kata

Tuanku Laras Kuarai yang sedang bermuka dua.

Westenenk terdiam sejenak, keningnya semakin berkilat-kilat dan urat-urat darah

semakin mengelembung dibalik kulit dahinya yang lebar itu.

“Terimakasih tuan Laras, bagus juga analisa ‘Yey’ tersebut. Dan itulah yang

menggundahkan ‘Ik’ semalam. Tentu Dul Manan dengan tenaga propagandanya

semakin bertambah bahannya untuk mendapatkan dukungan simpatik rakyat. Tapi

menurut tuan Laras siapa kira-kira yang berperan dibalik kejadian ini ?”

“Tuan Komendur jangan menanyakan hal-hal diluar kemampuan hamba seperti

itu, tetapi kalau untuk menyelidikinya adalah termasuk tugas hamba, Tuan

Komendur !,” pintas Tuanku Laras.

”Tapi yang penting menurut hamba sekarang, Tuan Komendur janganlah berlama

lama menawan mereka itu di sel penjara, Tuan Komendur ! Lebih baik kita

berpura-pura tidak ada masalah terhadap kejadian itu, sehingga masyarakat pun

tidak bertanya-tanya pula kiri kanan. Dan dipihak kelompok Haji Abdul Manan

kehabisan bahan propaganda pula jadinya, Tuan Komendur. Maafkan saya kalau

saya terlalu lancang dalam persoalan ini, Tuan Komendur !,” kilah Tuanku Laras

pula.

Tuan komendur yang ongeh (congkak) itu tidak menanggapi pernyataan Tuanku

Laras Kurai itu, dia hanya diam dalam wajah yang mengkal. Setelah dia berfikir

sejenak maka dia memanggil ajudannya.

“Ajudan !, sampaikan kepala lapas penjara agar tawanan yang berkelahi di

gelanggang kemarin itu dilepaskan saja tanpa proses. Lepaskan saja seperti

melepaskan anak ayam dari kandangnya !,” perintah Westenenck.

Kemenakan Laras sungai Pua dan dubalang Laras Kurai berserta pengikutnya yang

ditawan karena terlibat perkelahian di gelanggang Bukit Ambacang sejak kemarin

itu dibebaskan. Sedangkan kedok Tuanku Laras Kurai tidak terbongkar sebagai

Page 68: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

68 | Maryam Chilvalry

dalang keonaran guna mengalihkan perhatian opas untuk meraziai kampung-

kampung di sekitar Bukit Ambacang, karena di Bukit Apit sedang berlangsung

pertemuan rahasia kaum gerakan.

Sewaktu angku sipir penjara akan melepaskan para tahanan itu, lama juga dia

memperhatikan tingkah kedua orang tahanan yang sengaja di satukan kamarnya.

Angku sipir melihat Si Kumis dan Si Dubalang berganti-gantian pijit-pijitan sambil

bercakap-cakap yang terlihat sangat akrab. Sejenak dia mengurungkan niatnya

untuk membuka kunci pintu jeruji besi dan berupaya menyelinap untuk menguping

pembicaraan mereka. Secara seksama angku sapir menangkap pembicaraan kedua

tokoh yang membuat kacau di gelanggang tempo hari. Sang Sipir merogo

kantongnya dan mengeluarkan notes kecil untuk mencatat atas pembicaraan

mereka.

Rupanya kedua orang itu adalah teman seperguruan silat dahulunya. Sewaktu

masih belia, mereka sama-sama belajar silat kepada Nan Batapo di Lasi dalam

Kelarasan Canduang. Tentu saja tidak ada diantara mereka itu yang terluka karena

mereka bukan berniat untuk saling membunuh, tidak lain mereka sedang beratraksi

kepintarannya di depan umum, sambil mefasihkan kembali pelangkahan, jurus-

jurus silat yang sudah lama tidak diulang.

Rupanya, Si Dubalang disuruh Laras Kurai untuk membuka perjudian dadu kuncang

dan kemudian dia harus bermain curang yang nantinya dia pura-pura dirampas dan

diserang oleh seseorang yang berbadan tegap berkumis tebal yang memakai topi

trabus, sejenis topi morris.

Si Kumis mengakui pula kepada Dubalang bahwa dia menerima pesan dari Tuan

Laras Kurai yang disampaikan oleh Siti Maryam, bahwa dia harus datang memasang

taruhan dadu kuncang dan nantinya berpura-pura menyerang, dengan

menggunakan pisau.

“Tetapi sesampai di tengah gelanggang, ambo bingung, di lapiak (tikar) dadu

mana rencana ini harus dilaksankan, karena ambo dapati ada lima tempat yang

menggelar dadu kuncang tersebut. Lama juga ambo memperhatiakan ke lapiak

mana yang akan dituju,” kata Si Kumis sambil memijit pundak dan punggung Si

Dubalang.

“Lalu kenapa awak sampai juga di lapaiak dadu ambo tuk ?,” tanya Si Dubalang

kepada Si Kumis.

“Nah, sewaktu ambo mematut-matut itu, menyerempetlah seseorang dari arah

rusuk kiri ambo, ambo terkejut dan ambo lihat rupanya anak gadis yang sadang

bajojo lapek (jajakan lemper), bika dan sarikayo katan dalam niru yang

dijujungnya. Kemudian tukang kue itu langsung bolak-balik di depan lapiak dadu

awak tu sambia (sambil) berpura-pura bajojo lapek,” cerita Si Kumis.

Page 69: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

69 | Maryam Chilvalry

Maksud awak gadih nan bajojo lapek jo bika tu si Maryam ?,” tanya Dubalang pada

Si Kumis.

“Iya, siapa lagi dia kalau bukan Siti Maryam !,” jawab Si Kumis.

Itulah yang membuat mereka ketawa terkekeh-kekeh di kamar yang sempit dan

lembab itu. Mendengar itu semua, sipir penjara mengangguk-angguk saja dan

selesai mencatat dalam notes kecilnya tentang semua perbincangan parewa di

balik jeruji itu, lalu memasukkan catatannya ke kantong bajunya yang sebelah

kanan dan pulpen di kantong kirinya.

“Bagus, bagus...! Sudah berbaikankah kalian ?,” tanya sipir memutus pembicaraan

mereka.

“Sudah, Tuan. Kami tidak bermusuhan lagi, kami telah sadar tuan,” jawab mereka

berdua serentak.

Tapi, karena perintah Kontroleur segera untuk membebaskan tawanan itu maka

sapir pun tak dapat berbuat banyak, kecuali menyuruh orang-orang dalam

kurungan itu segera keluar sambil membuka kunci jeruji besi tersebut.

Page 70: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

70 | Maryam Chilvalry

10. Misi Khusus

Sampai jualan Siti Mariam di kediaman Siti Mangopoh. Setelah napas Siti Maryam

lega, mulailah dia mengutarakan maksud kedatangannya kepada Mande Siti

Mangopoh dan suami Siti Mangopoh, Rasyid Bagindo Magek. Hadir pula saat itu

Majo Ali, Dullah Sutan Marajo yang saban hari berjualan sate dan sebagai tepatan

Siti Maryam di Mangopoh untuk mendapatkan dan menyampaikan informasi dari

dan ke Kamang pusat, gerakan anti belasting di Minangkabau sebelum dia

melanjutkan perjalanan ke Talu dan Pariman. Secara khusus Siti Maryam

menyampaikan hasil pertemuan rahasia yang difasilitasi oleh Tuanku Laras Kurai

pada sebuah ‘Rumah Gadang’ di Bukit Apit Bukittinggi tempo hari.

“Mande, dari hasil pertemuan itu telah disepakati bahwa, pertama kita tetap

menolak pembayaran belasting; kedua, andaikan masih dipaksakan juga oleh pihak

Ulando maka tetap akan dilawan; ketiga, jika Ulando memaksakan dengan

kekerasan akan dihadapi pula dengan kekerasan; keempat, haram hukumnya bagi

orang muslim membayar pajak (upeti) kepada pemerintah yang zhalim dan atau

pemerintah kafir; kelima, apabila pada suatu daerah terjadi sesuatu hal,

perlawanan atau peperangan dalam menentang belasting tersebut maka daerah

lain harus segera memberikan bantuan,” jelas Siti Maryam.

“Kalau begitu sudah saatnya kita lebih mepersiapkan tenaga dan segala

perlengkapan perang yang diperlukan,” pintas Majo Ali.

“Tentu saja, kita juga memerlukan tempat yang lebih aman untuk memusatkan

kegiatan pembekalan para pejuang kita,” tukas Siti Mangopoh.

Wajah Siti Mangopoh seketika mengkerut. Bibirnya memagtup. Nampaknya dia

berpikir keras. Para pendampingnya menunggu, melihat gelagat itu. Suasana terasa

tegang.

“Barangkali tempat yang paling aman adalah di Padang Pusaro atau di Padang

Mardani Lubuak Basung, karena agak kepedalaman dan jauh dari penciuman

Ulando,” sambung Siti Mangopoh lagi.

Page 71: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

71 | Maryam Chilvalry

“Sepertinya Padang Mardani sangat cocok, Mandeh, dan saya sangat setuju disitu

dijadikan sebagi pusat latihan. Karena selain pertimbangan keamanan saya juga

lebih terbantu untuk melakukan perjalanan yang bolak-balik ke Kinali dan Air

Bangis di Pasaman dan ke Kamang sendiri. Bahkan saya juga harus mengunjungi

Pariaman,” jawab Siti Maryam Pula memberikan pertimbangan kepada Siti

Mangopoh.

“Tapi, biarlah kita rundingkan dulu dengan tokoh-tokoh kita yang lain, seperti

dengan Dullah, Tuangku Padang dan sebagainya,” saran Bagindo Magek.

“O, ya! Tentu pula Tuangku Padang akan bertemu dulu dengan Inyiak Manan di

Pariman sebelum beliau datang kesini, Mandeh ?” tanya Maryam Pula.

“Memangnya Inyiak Manan akan berkunjung ke Pariaman, Maryam ?,” Siti

Mangopoh balik bertanya kepada Siti Maryam.

“Iya, Mandeh ! Setelah alek pacu kuda itu pada malam harinya dilanjutkan

pertemuan di rumah Inyiak Manan di Kampung Tangah, diantara perkara yang

diputuskan adalah kita harus berbagi tenaga untuk menyampaikan hasil pertemuan

di Bukik Apik dan langkah-langkah yang akan diambil selanjutnya. Inyiak Manan

ditetapkan sebagai utusan ke Padang Panjang, Pariaman, Lubuak Aluang, Padang,

Pauah IX dan sekitarnya,” jelas Siti Maryam.

“Kalau begitu, ya... harus kita tunggu terlebih dahulu apa hasil pembicaraan orang

berdua tersebut, baru kita tentukan pula apa langkah kita selanjutnya,” saran

Rasyid Bagindo Magek, suami Siti Mangopoh yang tidak tergopoh-gopoh untuk

mengambil sikap dan itupun dianggukkan pula oleh Majo Ali.

“Hal lain yang perlu juga kita ketahui bersama, Mande! Bahwa dalam acara alek

pacu kuda di Bukit Ambacang tempo hari itu juga telah terjadi ‘cakak banyak’ yang

diawali oleh kemenakan Tuanku Laras Sungai Pua dan si Dubalang Tuanku Laras

Kurai,” kata Siti Maryam Lagi.

“Apa penyebabnya?,” tanya Bagindo Magek pula.

“Karena perjudian,” jawab Maryam.

“Kalau begitu judi membuat orang lebih sengsara, itulah buktinya pada kejadian

tersebut,” kata Majo Ali.

“Persis begitu Tuan. Justru itu kejadian kita jadikan sebagai propaganda kita

kepada masyarakat guna menyulut kebenciannya kepada Ulando,” jawab Siti

Maryam Lagi.

“Tapi, kenapa hal itu bisa terjadi ?,” tanya Siti Mangopoh pula.

“Sebetulnya kejadian itu telah direncanakan sebelumnya, Mandeh ! Ini adalah

siasat yang telah direncanakan sebelumnya oleh Tuanku Laras Kurai untuk

Page 72: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

72 | Maryam Chilvalry

mengalihkan perhatian Ulando, kalau-kalau Ulando mencium dan mencurigai

pertemuan kita di Bukit Apit itu. Disamping itu, dapat pula sebagai pembuktian

kepada masyarakat akibat perbuatan Ulando membebaskan perjudian pada saat

alek pacu kuda itu,” jelas Siti Maryam.

“Ooo...!,” Siti Mangopoh sedikit terperajat mendengarkan sebuah skenario yang

telah dimainkan bak kucing dan tikus itu. Sebanyak akal kucing sebanyak itu pula

akal tikus.

“Berapa hari kamu direncanakan menemani kami di sini, Maryam ? Andaikan bisa,

bantulah kami dulu di sini untuk melatih tenaga-tenga perempuan kita guna lebih

menguasai ilmu persilatannya!,” kata Siti Mangopoh kemudian.

“Sebetulnya kehendak Mande itu telah direncakan. Tapi sebelumnya saya harus ke

Pasaman dulu untuk mengabarkan berita yang sama dan juga untuk mengobarkan

semangat anti rodi dan belasteng di sana. Sepulang dari Pasaman nanti barulah

saya akan tinggal beberapa hari di sini, Mandeh !,”jawab Siti Maryam.

“Makanya tadi saya lebih setuju kalau kegiatan kita dipusatkan di Padang Mardani

itu, Mandeh. Kan saya dari Pasaman tidak terlalu jauh menuju Padang Mardani itu

nantinya,” tukas Siti Maryam lagi.

“Kalau persoalan tempat dimana akan dipusatkan latihan dan menyusun siasat

perang nanti akan kami kabari kamu, Maryam. Meskipun kamu masih berada di

Pasaman !,” jawab Siti Mangopoh pula.

INTENSITAS latihan perang dengan mempermahir gerakan mempergunakan rudus,

pedang terhunus buatan Apar, pandai besi di Palembayan, Salo dan Salimpaung

semakin meningkat. Tempat latihan dilaksankan tidak saja di goa batu, Ngalau

Batu Biaro tetapi telah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, guna

menghindari pemantauan kaki tangan, intel-intel Belanda. Kali ini latihan silat

yang boleh dikatakan latihan berkelahi dengan mempergunakan senjata tajam

dilaksankan di halaman belakang Surau Taluak, arah Utara dari Simpang Pintu Koto

sekitar lima kilometer di Timur Kampuang Budi.

Page 73: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

73 | Maryam Chilvalry

Semua pasukan ‘harakiri’, pasukan berani mati Haji Abdul Manan tidak pernah

absen mempersiapkan dirinya untuk perang basosoh (serentak) dengan pasukan

Belanda nantinya, termasuk ketiga orang srikandi Kamang, Siti Anisyah, Siti Aisyah

dan Siti Maryam. Perang frontal dengan menyerbu sedekat mungkin dengan musuh

adalah salah satu jalan untuk melawan dan melumpuhkan musuh.

Tidak biasanya malam itu Siti Anisyah membawa putranya yang semata wayang ke

arena latihan. Tetapi karena Ramaya yang tidak mau tinggal bersama neneknya

malam itu, terpaksa Sutan Nan Basikek, suami Anisyah menyuruh istrinya untuk

membawa serta Ramaya ke arena latihan malam itu.

Pada saat Anisyah maju ke tengah arena latihan, Ramaya dipeluk oleh Siti Maryam

yang bergantian dengan Siti Aisyah. Tetapi pada saat Anisyah sedang latihan

dengan Aisyah dan Maryam barulah Ramaya berpeluk dengan bapaknya, Sutan Nan

Basikek yang sering kami panggil dengan Mak Sikek.

Malam telah larut, kelopak mata Ramaya bertaut karena mengantuk dia ditiurkan

di dalam surau dengan berselimut kaian sarung bapaknya. Sesuatu yang penuh haru

mengundahkan Siti Anisyah, Maryam, Siti Aisyah.

Dalam lelapnya di atas surau, terdengar isak tangis Ramaya yang tersentak tidur,

dia memangil-manggil ayah dan ibunya. Sehingga ibunya segera naik ke atas surau

memungut dan memeluk anaknya itu sambil membujuknya untuk berhenti

menangis. “...ma... apak mak...?,” dalam isak tangis yang menghiba Ramaya

menanyakan mana bapaknya meskipun dia telah dipeluk ibunya.

“Apak sedang latihan bersilat di luar nak. Apakah kamu mau melihat apak

bersilat?,” jawab Anisyah menenangkan hati anaknya.

“Iyo, Mak,” kata Ramaya.

“Kalau begitu, ayao kita lihat bapak, tapi jangan nangis lagi, ya...!”

Ramaya memang tidak menangis lagi, dia menerawang menatap ayahnya yang lagi

asyik berlatih dengan sebilah rudus di tangannya menghadapi tiga orang lawan

yang di tangannya masing-masing juga memegang rudus dan pedang.

“’Mak..., mak...!,’ kata Ramaya mengalihkan perhatian ibunya yang sedang asyik

menonton kelincahan gerakan suaminya ‘kalau amak dan apak pai baparang nanti

jo sia awak amak tinggakan.’” Maksudnya Kalau Ibu dan Bapak pergi berperang

nanti dengan siapa dia (Ramaya) ditinggalkan. Rupanya desas-desus akan terjadi

perlawanan rakyat terhadap kompeni sudah santer di Kamang, tua, muda, besar

dan kecil bahkan anak-anak dibawah umur seperti Ramaya sendiri sduah

mengetahuinya.

“Kan ada nenek dan etek,” jawab Anisyah

Page 74: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

74 | Maryam Chilvalry

“Kalau amak jo apak pai baparang nanti, dan mati amak jo apak. Jo sia awak amak

tinggakan, Mak...?!,” sambung Ramaya lagi. Maksdunya ‘andaikan ibu dan bapak

pergi berperang nanti, dan meninggal ibu dan bapak, dengan siapa saya ibu

tinggalkan ?

Mendengar pertanyaan anaknya yang polos, lugu dalam usia tidak lebih lima tahun

itu kerongkongan Siti Anisyah terasah tercekik, namun dia berupaya untuk tidak

memperlihat wajahnya yang berubah pilu itu.

Anisyah menekurkan wajahnya memandang tubuhnya yang masih belum kering dari

keringatnya sehabis latihan tadi, sekejap memandang ke arah suaminya yang

sedang berlatih di tengah gelanggang sambil mendekap dan mengelus-elus kepala

anaknya dengan penuh kasih sayang. Kepalanya berdenyut bagaikan tersengat

listrik tegangan tinggi, diiringi deraian air mata yang satu demi satu mulai

menimpa tubuh Ramaya dalam pelukannya itu.

Terbayang akan kegelapan masa depan si buyung yang tidak berkakak dan beradik

itu nantinya. Anak semata wayang yang tidak akan disinari oleh kasih sayang ayah

dan ibunya sepeninggalnya kelak kalau nasib tidak berpihak kepadanya dalam

peperangan. Sebaliknya perang melawan tirani Belanda adalah sebuah perjuangan

suci yang berpegang kepada tali agama dan untuk negeri, anak cucu dikemudian

hari.

Ramaya bingung melihat pandangan ibunya yang nanar yang diiringi deraian air

mata itu. Cepat-cepat Siti Anisyah mendekap anaknya lagi. Anisyah takut akan

timbul kegalauan dan pertentangan dalam bathin anaknya. Namun tanpa

disadarinya kristal-kristal mutiara kasih sayang ibu semakin tidak terbendung,

mulai menganak sungai menelusuri lekukan batang hidung Anisyah hingga ke

dagunya dan jatuh satu-satu membasahi dahi Ramaya yang sedang mentengedah

dalam pelukannya ibunya.

Pada saat itu Maryam yang duduk agak terpisah dari Anisyah, tetapi masih dalam

balutan pandangannya melihat sebuah gelagat yang tidak biasanya pada diri

Anisyah. Maryam pun memberi isyarat kepadaku untuk menghampiri Anisyah.

Aku coba mendekati Anisyah, sekilas aku menangkap ada sesuatu yang berkecamuk

dalam dirinya. Hal itu terlihat jelas dari urat-urat yang menegak di dahi, matanya

basah pada bandar hidungnya terlihat lendir bening yang meleleh, sedangkan sikap

dan bawaannya sedikit gelisah, tidak tenang. Dengan suara setengah berbisik aku

berusaha membuka tabir rahasia sesaat yang telah mencurigakan pandangan

Maryam tadi.

“Apa gerangan yang terjadi, Tek. Sakitkah Ramaya atau... etek yang kurang sehat

?”

Page 75: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

75 | Maryam Chilvalry

“Tidak, jurutulis. Tidak apa-apa. Tapi..., dimana Maryam tadi, adakah kamu

melihatnya ?” Aku tahu persis, bahwa jawaban dan sikap Anisyah seperti itu adalah

caranya mengalihkan perhatianku dan sekaligus mengalihkan perasaannya yang

sedang galau. Tapi aku belum tau apa sesungguhnya yang terjadi. Akupun tidak

mau pula mendesaknya.

“Ada, Tek. Tadi Maryam berdiri di sebelah sana, dekat ‘Kak Aisyah. Apakah perlu

aku panggilkan dia, Tek ?”

“Kalau kamu tidak keberatan, suruhlah Maryam ke sini !”

“Baik, Tek.”

Aku berjalan membungkuk-bungkuk, menyelinap-nyelinap disela-sela penonton

yang sedang menunggu giliran untuk latihan akupun sampai juga didekat Kak Siti

Aisyah dan Maryam.

“Kak, Kak Aisyah, sepertinya etek Anisyah ada masalah, beliau menanyakan

Maryam. Bagaimana kalau Maryam menemui dia dulu ke sana, ketempat dia

beristirahat itu dan mana tau Maryam bisa mencari tau masalah yang dihadapi Etek

Anisyah,” kataku pelan.

“Bagaimana baiknya, Tek ?,” kata Maryam pula kepada Aisyah. Karena Maryam

tidak enak juga meninggalkan kakak Aisyah begitu saja sendirian.

“Sebaiknya kita ke sana saja, Maryam !,” jawab Siti Aisyah.

Kami bertiga pun telah mengelompok bersama Anisyah dan Ramaya dalam

keramian itu.

“Apa gerangan yang terjadi Kak ?,” Aisyah.

”Ayolah, Tek ! Apa gerangan yang telah menimpa diri etek,” bujuk Maryam pula

menimpali pertanyaan Siti Aisyah dalam posisi jongkok dan memegang lutut

Anisyah dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya membelai-belai kepala

Ramaya.

“Kak, kenapa hanya diam saja, cobalah kakak berbagi sedikit dengan kami,” timpal

Aisyah kembali kepada Anisyah.

“Tidak ada apa-apa Aisyah, tidak perlu pula kalian turut gelisah, karena tidak ada

kejadian apa apa.”

“Kalau tidak kenapa mata etek memerah dan pipi Etek basah oleh air mata, dan

wajah Ttek kusam pula,” sela Maryam secara beruntun.

“Hanya mengenai Ramaya, namun biarlah perasaan ini aku rasakan sendiri, karena

kalian pun tidak akan dapat memahaminya,” jawab Anisyah

Page 76: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

76 | Maryam Chilvalry

“Meskipun kami belum mempunyai anak, tapi bukankah kejadian kita dari nur kasih

sayangNya Allah, Tek ! Maka secuil perasaan untuk turut merasakan yang dialami

orang lain pasti ada disetiap kita. Ini adalah sebuah keyakinan, Tek !”

Tanpa aku sadari ternyata aku telah mendakwahi orang yang hampir sepataran

ibuku itu dan malah selama ini beliau telah turut membesarkanku dalam

pandangan hidup dan bersikap.

“Biarlah aku yang memeluk Ramaya mejelang latihan ini selesai, Tek. Kelihatnnya

dia sudah tertidur,” kata Maryam.

“Maukah kakak berbagi dengan kami ?,” pnita Aisyah lagi.

“Setidaknya, supaya kami tidak mendustai jiwa dan nurani kasih sayang itu, Tek,”

tegasku pula kepada Anisyah yang sedang mengepal kedua tinjunya dan

mendekapkan ke dadanya sambil menggoyang goyangkan tubuhnya ke arah

dengkulnya menahan pilunya. Tak obahnya seperti orang sedang didepan bara api

dalam kedinginan.Sambil menegakkan tubuhnya dalam posisi duduk itu, dia tidak

dapat menyembunyikan kisah yang baru saja memilukan hatinya.

“Tadi Ramaya bilang kepada saya ’kalau amak jo apak pai baparang nanti, dan

mati amak jo apak. Jo sia awak amak tinggakan, Mak...? ”

“Ibu manakah yang tidak akan luluh hatinya mendengarkan ucapan anak yang tidak

lebih tiga setengah tahun lalu melepaskan mulut dari punting susuku jika dia haus,

lapar, buang hajat atau karena rasa mengantuk sedang merajam matanya tatkala

berucap seperti itu dengan lidah yang belum fasih itu,” rintih Anisyah lagi kepada

kami.

Akh, celakalah aku. Tepat juga rupanya alasan etek Siti Anisyah, sehingga berat

hati untuk berbagi dengan kami. Sekarang tiba giliran kami, leherku kaku, urat-

urat darah terasa meregang di dahiku. Maryam memalingkan muka dan menutup

wajahnya dengan ujung kain panjang penyelimut Ramaya. Kak Aisyah seakan

menatap replika keabadian pohon beringin sunsung di bulan yang hampir ditutup

awan itu, deraian air mata pun menjelajahi pipinya menuju muaranya di dagu yang

runcing itu milik mamak Datuak Rajo Pangulu itu.

“Pertanyaannya itulah yang melemaskan tulang-tulang dan menggoyahkan

persendianku ini,” sambung Anisyah dengan suara memelas meceh kebekuan kami.

Kamipun tidak menduga, kalau pada saat itu juga Siti Anisyah tetap memberikan

semangat hidup kepada Ramaya

“Ramaya, anakku. Semua orang akan menjadi ayah dan ibumu, nak ! Selagi orang

orang itu tetap membenci perangai Ulando yang ingin menguasai negeri ini, dan

ingin merubah cara hidup kita ini, Nak !,” ujar istri Mak Sikek itu.

Page 77: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

77 | Maryam Chilvalry

Rupanya, betapapun tegarnya hati seorang ibu, tetapi karena ‘sayang kepada anak

sepanjang jalan’ luluh juga perasaan ‘singa betina’ dari kaki Bukit Barisan itu.

Dalam diam, senyap yang hanya ditingkah bunyi telapak kaki dalam perjalanan

pulang dari Surau Taluak menuju Kampung Tangah pikiranku pun melayang kepada

kejadian yang menimpa pejuang kita, Tuangku Nan Cerdik di Naras Pariman tempo

dulu dengan kepiliuan yang menimpa Etek Anisyah tadi.

Taungku Nan Cerdik nama lain dari Bagindo Maraganti atau disebut orang juga

dengan Bagindo Nan Cerdik atau Tuangku Ketek (Kecil), adalah pewaris tahta raja

di hulu yang berkedudukan di Mangguang, Naras Pariman menggantikan mamak

(paman)-nya, Rajo Nando. Tuangku Nan Cerdik tidak mengacuhkan larangan

Belanda untuk berdagang dengan Aceh dan membuat garam sendiri yang pada

waktu itu Belanda telah memonopoli perdagangan dengan memasok garam dari

Madura - dan rakyat di pesisir dilarang membuat garam sendiri.

Pada bulan Desember 1930 Komandan Militer Sumatera Barat De Rochemont

membawa pasukan satu detasemen dari Padang ke Pariman dengan invantri,

berjalan kaki selama sebelas jam, dan secara diam-diam dapat menguasai

Pariaman. Kemudian Resident Mac Gillavry menugaskan Asisten Residen Padang

untuk mengambil alih pemerintahan di Pariman tersebut guna menghancurkan

Tuangku Nan Cerdik itu.

Penyerangan ke Mangguang dimulai pada 12 Desember 1930, dengan

memberangkatkan pasukan sebelum subuh yang terdiri dari 1.000 orang invantri,

50 orang marinir dan pelaut-pelaut dari korvet “Pollux” bersama sejumlah besar

pasukan pribumi dengan membawa 3 buah meriam kecil dan 1 buah meriam besar.

Perjalanan dari pusat pemerintahannya di Pariaman dilakukan dengan menyisir

pantai menuju utara dan dua buah kapal perang pun dikerahkan ke Naras

(Mangguang). Sesampai di Manguang ternyata kota itu telah dikosongkan Bagindo

Nan Cerdik.

Akhirnya Belanda tetap melanjutkan perjalanan ke Naras dengan meninggalkan

sepasukan di Mangguang untuk berjaga-jaga. Saat memasuki Naras pasukan

Belanda mulai dibuat kucar-kacir oleh tembakan senjata dan meriam pasukan

Tuangku Nan Cerdik. Belanda kewalahan, meriam-meriam belanda berbalik pulang

ke Pariman. Adalah kekecawaan pertama pasukan Belanda, meskipun meriam-

meriam perang dari dua buah kapal yang telah sampai di laut muka Naras, turut

“menggonggong” mengahantam kubu pertahanan Tuangku Nan Cerdik tersebut.

Pada 21 Desember diatur lagi strategi berikutnya dan dimulailah penyerangan

balasan oleh Belanda. Kalau taktis ini kita namakan dengan ‘rencana B’, maka

rencana B juga tidak berhasil. Ternyata Tuangku Nan Cerdik selama gencatan

senjata telah menebar banyak ranjau dan semakin memperkuat benteng

pertahanannya di Naras. Hal hasil Komandan Militer Belanda De Rochemont

Page 78: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

78 | Maryam Chilvalry

sebelum bertempur telah ketakutan dan menyuruh saja pasukannya untuk mundur.

Komandan Militer Belanda, De Rochemont sebagai bekas pasukan Napoleon itu

terpaksa meracik otaknya membuat ‘rencana C’.

Dalam bulan Mei 1831 rencana itu pun dilaksankan. Dibawah pimpinan Michiels

dengan sebuah ekspedidi kuat berhasrat kembali untuk menghancurkan Naras,

tentu saja yang dicari adalah sang raja pesisir itu. Tanggal 7 Juni 1831 Naras dan

VII Koto digempur habis-habisan oleh Belanda, sehingga lokasi untuk menempati

meriam-meriamnya menghadap ke Naras dan VII Koto dinamakan orang dengan

dusun Meriam.

Meskipun Naras telah rata dengan tanah, namun dengan sebuah tipu muslihat

Tuangku Nan Cerdik dengan pasukannya dapat meloloskan diri ke Bonjol. Belanda

kesal, sakit hati, marah. Karena entah kemana rasa sakit hati akan dilepaskan

akhirnya ‘rencana D’ perlu dipikirkan untuk membalas sakit hati karena telah

dipermalukan oleh Tuangku Nan Cerdik lantaran yang dihancurkankan adalah

kampung yang telah tidak berpenghuni itu.

Belanda mengambil cara yang licik. Akhirnya ibu, istri dan kedua putri Tuangku

Nan Cerdik ditangkap. Istri dan ibu Tuangku Nan Cerdik dipenggal kepalanya oleh

Belanda dan dibawa ke Pariman untuk dipertontonkan dikhalayak ramai, sedangkan

seorang putrinya di bawa Ellout ke Padang untuk ‘dididik’-nya. Wallahu a’lam

bissawab. Putri yang seorang lagi ditawan di rumah komandan militer di Pariaman.

Sejalan dengan penghinaan Belanda yang tidak berprikemanusiaan itu ‘rencana E’

pun dilancarkan. Ellout mengeluarkan sebuah sayembara, bahwa “barang siapa

yang dapat menangkap Tuangku Nan Cerdik hidup-hidup akan mendapat hadiah

1.000 gulden; dan siapa yang hannya dapat menyerahkan kepala Tuangku Nan

Cerdik akan memperoleh uang 500 gulden.

Tapi, toh sayembara itu tidak laku, tidak membuahkan hasil. Sekarang Gubernur

Militer Sumatera Westkust mendapat giliran, hidup seperti kue ‘bika’, ditasnya

bara di bawahnya api. Jabatan harus dipertaruhkan kembali kepada Gubernur

Jenderal di Batavia seandainya Tuangku Nan Cerdik masih belum dapat

dilumpuhkan. Alasan petinggi di Batavia sederhana saja, karena sudah banyak

biaya yang dikeluarkan pemerintahan kerajaan gara-gara seorang itu saja, belum

lagi menghadapi pasukan Paderi yang dipimpin Tuangku Imam.

Dalam bulan Maret 1832 kedudukan Belanda di Utara mulai gawat. Momen ini

dipergunakan oleh Tuangku Imam Bonjol yang dibantu Tuangku Muda membawa

4.000 orang pasukan bergerak menuju Tiku. Sedangkan Tuangku Nan Cerdik

memimpin 3.000 pasukan. Pasukan Paderi yang bergerak dari Bonjol itu membuat

pertahanan di Mangopoh.

Pihak Belanda harus mematangkan ‘Rencana E’ dan dilaksankan. Belanda mulai

memerlukan kapten intel, yang terkenal dengan ‘spion-spion melayu’-nya.

Page 79: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

79 | Maryam Chilvalry

Sekali lagi Petinggi Belanda di Padang memasukkan benaknya ke kilangan akal

untuk mendapatkan setetes harapan lagi untuk melumpuhkan Tuangku Cerdik

kalau tidak, tuan Gubernur Militer di Sumatera Barat itu akan memperoleh seuntai

kalimat ‘penghargaan’, yaitu “Selamat Jalan” menuju tanah kelahiran. Holland

masih setia menunggu kepulangannya.

‘Rencana E’ belum hasilnya, target belum tercapai. Terpaksalah ‘rencana E’

dikembangkan menjadi ‘Rencana F’.

Sewaktu Tuangku Nan Cerdik memasuki VII Koto, Elout menyeret anak gadis kecil

Tuangku Nan Cerdik ke hadapannya untuk dipampangkan kehadapan bapaknya

sendiri yang telah siap menyerbu pasukan Belanda yang sedikit dalam keadaan

‘nervous’ itu. Dengan tiba-tiba pasukan Taungku Nan Cerdik langsung

mengundurkan diri dan lari meninggalkan medan pertempuran. Tentu saja ‘psywar’

yang diciptakan Kolonel Elout ini telah membawa hasil gemilang di pihak Belanda.

Dengan berhasilnya ‘rencana F' inilah lumpuhnya perjuangan – ‘petak umpet’ –

Tuangku Nan Cerdik terhadap Belanda. Adalah karena ‘si pengobat rindu-pelerai

deman - si buah hati limpa berkurung’ telah menjadi pampasan perang. Demi anak

‘tidak kayu jenjang pun di keping”, demi anak apun diperbuat.

“Zonderlinge overwinning”, suatu kemenangan aneh buat Belanda. Akhirnya

Tuangku Nan Cerdik pada bulan Agustus 1832 itu menyerahkan diri, karena tidak

kuat menahan rindu kepada anak yang masih hidup dan ditawan orang ‘lanun’ dari

negeri asing di seberang lautan luas itu. Beliau menyerahkan diri dan memohon

untuk dapat berjumpa dengan anaknya yang sedang ditawan dan berjanji akan

hidup bersama anaknya itu di Padang, tidak kembali lagi ke Mangguang dan Naras.

Sehingga dikemudian hari ‘borderline’, garis batas, antara daerah pesisir dan darek

mulai terbuka bagi Belanda untuk mendesak jantung gerakan Paderi di pedalaman

Luhak Agam terus ke utaranya, yaitu Bonjol.

Dalam keasyikanku melayang jauh ke masa lalu itu, yaitu setelah kami berpisah

dengan Aisyah dan suaminya Datuak Rajo Pangulu di Simpang Pintu Koto . Kami

berbelok ke kanan, ke arah Joho menuju Surau Koto Samiak. Dan persis selepas

jembatan di Joho tiba-tiba Mak Sutan Nan Basikek, suaminya Etek Siti Anisyah

memegang lenganku, seakan mengisyaratkan berhenti sejenak.

“Ambo ingin bertanya sesuatu padamu, apakah boleh ?”

“Boleh, Mak. Apa gerangan, Mak”, aku masih terkaket karena baru saja

disentakkannya dari lamunanku barusan.

“Begini, sepertinya ada terjadi sesuatu diantara kalian tadi itu. Tetapi karena

saya khawatir membuyarkan semangat kawan-kawan yang sedang latihan makanya

saya tidak mendekati kalian,” jelas Mak Sikek kepadaku sambil kembali melangkah

kembali melanjutkan perjalanan pulang.

Page 80: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

80 | Maryam Chilvalry

“O, rupanya mamak, memperhatikan kami juga tadi itu ?,” jawabku mereda.

Aku raba dan akau usap-usap kepala Ramaya yang terkulai lelap dalam gendongan

ayahnya itu.

“Nanti lah Mak, nanti akan saya ceritakan apa yang terjadi tadi itu kepada

mamak,” ulasku lagi.

“Apakah kamu juga akan tidur di rumah kami malam ini ?”

“Tidaklah, Mak ! Bagaimana pula saya akan bertandang di rumah mamak,

sedangkan Maryam juga ada di sana. Tidak bagus dilihat orang, tentu akan menjadi

fitnah pula nantinya, Mak.”

“O, ya!, Lalu...?,” tanya Mak Sikek lagi

“Ya, saya tetap tidur di Surau Inyiak, Mak,” jawabku.

Kemudian kami hanyut lagi dalam keheningan malam dalam perjalanan pulang.

Maklumlah beralas kakipun tidak sehingga yang terdengar adalah bunyi telapak

kaki pada saat menginjak jalan tanah dan becek yang ditingkah oleh suara kodok,

caciang gilo yaitu cacaing berukuran besar di semak-semak di sepanjang sawah.

Sudah separo jalan kami berlalu, kemudian Mak Sikek memulai angkat bicara lagi.

“Kalau malam ini aku tidur bersamamu di surau bagaimana, ya ?, sehingga sebelum

tidur kamu dapat menceritakan kejadian itu padaku.”

“Kalau begitu tidak apalah, Mak.”

“Jadi sekarang kita antar mereka ini dulu bersama-sama ke rumah, setelah itu kita

berbalik menuju suaru di Budi.”

Di Surau Inyiak Manan di kampung Budi cerita tentang Ramaya pun aku paparkan

kembali, sebagai laporan kepada orang yang punya anak dan istri.

Page 81: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

81 | Maryam Chilvalry

11. Rahasia sebuah Surat Rahasia

Pasar di Minangkabau pada abad ke 18

BELANDA secara berangsur-angsur bagaikan tikus mengerek telapak kaki orang yang

sedang tidur, dengan cara mulai merombak sistem pemerintahan dan sistem

moneternya di Minangkabau. Untuk kesekian kalinya pasca perang Paderi 1837,

perjanjian Pelakat Panjang disetujui tahun 1833 dilanggarnya. Sebagai kelanjutan

atas Surat Keputusan Gubernur Jenderal No. 18 tanggal 4 November 1823, yang

berisikan selain bentuk-bentuk pemerintahan untuk Minangkabau, diantarnya

menyangkut bidang kepolisian, pajak, cukai pengadilan dan lain-lain. Dipicu pula

oleh kebutuhan akan biaya yang semakin sangat besar karena Kerajaan Belanda

mengalamai resesi moneter dan terkurasnya dana untuk membiaya peperangan

pada awal abad ke-20, maka dipaksakanlah diberlakukannya ‘pajak langsung’ yang

dikenal dengan ‘belasting’ dalam bentuk penyerahan langsung berupa uang yang

dipaksakan kepada rakyat Minangkabau sebagai pengganti ‘Coffeestelstel’ - buah

tangan Deandels dengan Nederlandshe Handels Maatshappij sebagai agen

tunggalnya selama ini.

Besarnya ‘pajak langsung’ itu didasarkan kepada harta kekayaan, sawah-ladang

dan termasuk luasnya pekarangan rumah. Dan, tidak ada pengecualiannya,

sekalipun tanah ulayat, harta milik kaum.

“Peraturan untuk membayar ‘Balasting’ itu adalah berarti membayar uang takut

atau upeti kepada Belanda padahal kita hidup di atas tanah kita sendiri. Selama ini

hasil tani kita telah disitanya dengan sistem monopoli dagangnya.

Page 82: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

82 | Maryam Chilvalry

“Dengar ya, Maryam ! Bahwa di tanah yang di ‘taruko’ (dipaculi), hasil cencang

retas ninik moyang kita - yang dahulunya hanyalah hutan rimba, rawa, semak

belukar sekarang harus pula kita membayar kepada sihudung anggang tersebut,”

ketus si Juru Tulis dalam perbincangannya dengan Maryam di rumah istri Sutan Nan

Basikek.

“Kalau begitu bisa hilang juga tanah milik ulayat kita nantinya, Kanda,” sela

Maryam.

“Ya, tepat sekali ! Memang itu sasaran akhir dari sifat monopoli kekuasaannya,

yang katanya, mereka sebagai penguasa negeri ini. Sebagai pemerintah, katanya,”

jawab si Juru Tulis lebih meyakinkan Maryam. Maryam pun manggut-manggut

seperti orang yang sedang menganalisa sebuah sebab dan akibat kejadian,

“Darimanakah, Kanda tau tentang itu ?”

“Dari tindakan Ulando hari demi hari saja telah menjelaskan kepada kita.”

Hukum adat Minangkabau dipandang Belanda sebagai kendala atau penghalang

dalam pengambilalihan tanah oleh pemerintah. Karena tanah yang tidak bertuan

sebetulnya tidak terdapat di Minangkabau ini.

Posisi hak ulayat atas tanah sangat kuat dalam kehidupan masyarakat

Minangkabau. Tanah ulayat merupakan persoalan hidup dan mati bagi setiap kaum

dan tanah ulayat nagari adalah lambang kebesaran dan aset anak nagari di

Minangkabau. Akibatnya, upaya penyediaan tanah garapan menjadi terkendala bagi

Belanda. Terkendala bagi kaum kapitalis yang berfikiran materialistis.

Berdasarkan hal tersebutlah, akhirnya memaksa pemerintahan Belanda

mengeluarkan Undang-Undang Agraria 1875, Nomor 199a yang berisikan

‘domeinverklaring’ itu, berupa pernyataan pemerintah bahwa tanah ulayat nagari

“dicaplok” menjadi milik negara. Di atas tanah-tanah itulah perkebunan liberal

dilangsungkan di Minangkabau.

Munculnya Undang-Undang Agraria 1875 dengan domeinverklaring-nya, berarti

penghapusan segala bentuk hak ulayat di Minangkabau, sama artinya

menghapuskan hukum kewarisan dalam hukum adat , karena tanah ulayat

melambangkan persekutuan hukum dalam masyarakat.

Kondisi ini diperparah lagi oleh kebijaksanaan Belanda di Minangkabau dengan

banyaknya penghulu yang diangkat dan diberi ‘besluid’ oleh pemerintah Belanda.

Kenapa tidak, orang-orang yang dikatagorikan sebagai ‘urang nan malakok’

(pendatang baru), tidak mempunyai hubungan genologis dalam status adatnya di

dalam kaum di nagari itu oleh Belanda dibuka peluang untuk mengangkat

penghulunya sendiri. Sehingga, mereka duduk sama rendah, tegak sama tinggi

dengan orang yang memayunginya secara hukum adat dan sekaligus - yang telah

memberinya tumpangan hidup. Malah statusnya pun di back-up oleh pemerintah

Page 83: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

83 | Maryam Chilvalry

(Belanda) asalkan dia patuh sebagai - ‘pesuruh’ - Belanda, seperti para Angku

Suku, Angku Palo, Laras, Demang dan paling tidak sebagai Penghulu Nan

Bapisuluik, yang telah dilegalkan oleh pemerintah Ulando dengan berbagai

pengkondisian dan perekayasaannya, kesemuanya mendapat tunjangan dan gaji

dari pemerintah.

Meskipun tidak semua yang diberi pangkat dan jabatan masih ada orang yang asli,

tapi Ulando tetap mendasarinya kepada “kepatuhan” seseorang. Tujuannya adalah

kukuhnya kekuasaan, pengerukan kekayaan rakyat, menghancurkan pola

musyawarah dan munfakat rakyat, hidup timbang rasa dan kikis sistem hukum adat

Minangkabau. Artinya, “Bareh diserakkan, pinggalan diacungkan” (beras ditebar,

pentungan diacungkan), fasilitas pembangunan dilengkapi, tapi kedaulatan rakyat

dikerdilkan, sehingga masyarakat tidak bisa melawan kesewenang - wenangan

ninik mamak – boneka – Belanda semacam itu. Sebaliknya, meskipun dalam ‘ranji’

ninik mamak di setiap nagari tetap terberai, tetapi karena takut dengan ancaman

pemerintah maka terpaksa didiamkan. Kesemuanya akan dinilai atas kekayaan dan

keberadaan seseorang dan bukan lagi karena luasnya ilmu seseorang dan bukan

pula atas ketawaqalan nya terhadap Tuhan.

Kebijakan ini bagaikan pedang bermata dua, ‘tidak ujung – pangkal pun mengena’,

karena secara berangsur-angsur akan menipis dan hilangnya nilai-nilai - ‘raso jo

pareso’ - sesama anak nagari nantinya, berkuah darah antara anggota satu kaum

kelak pun bisa terjadi. Peluang konflik telah diciptakan dalam kerangka ‘devide ed

impera’, karena ninik mamak akan berbuat semau-maunya disebabkan di dalam

dirinya sudah tertanam paham sebagai penguasa dan bukan lagi sebagai seorang

pemimpin.

Seseorang diukur dari sudut materialisme. Penghulu itu adalah pemimpinn, bukan

penguasa. Karena itu sifat seorang penghulu di Minangkabau harus merujuk kepada

sifat-sifat Rasulullah, Saw.

Begitulah upaya-upaya yang dilakukan oleh Belanda untuk menghilangkan status

adat Minangkabau, tahap demi tahap, pelan tapi pasti.

“Maryam, benar juga apa yang disampaikan oleh guruku dahulu bahwa ‘jerat tidak

akan lupa dengan burung balam, jerat serupa dengan jerami.’ Memang penjajahlah

yang pertama sekali menjerat kita untuk meluluhlantahkan aturan dan kehidupan

banagari,” kata Si Juru Tulis.

Kemudian, pada tahun 1901, permulaan abad ke-20 pemerintah Belanda

membutuhkan anggaran belanja yang tidak sedikit untuk memperkuat

kedudukannya di Minangkabau, apalagi untuk menutupi biaya yang telah cukup

besar dikeluarkan selama berlangsungnya ‘Perang Minangkabau’. Bayangkan saja,

satu-satunya daerah yang didatangi langsung oleh seorang Gubernur General yang

lebih dikenal oleh masyarakat kita dengan sebutan ‘Tuan GeGe’ ke wilayah

Page 84: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

84 | Maryam Chilvalry

jajahannya di Nusantra ini dalam menumpas pemberontakan rakyat pada masa itu,

hanyalah Minangkabau.

Toh, meskipun pada akhirnya peperangan itu hanya dapat dihentikan Belanda

dengan siasat, tipu muslihat pula, karena Belanda sendiri mengakui bahwa orang-

orang kita tangguh, “deden van ongelooflijken med”, sebuah tindakan berani yang

luar biasa dengan penuh perhitungan (strategi). Dengan jalan berpura-pura ingin

melakukan perundingan, Peto Syarif Tuangku Imam Bonjol disandera. Dan untuk

kesekian kalinya pula hasil perundingan Pelakat Panjang itu pun mereka ingkari.

“Ulando itu kan memerintah di negeri kita ini, Kanda, tentu ada yang mendasari

hingga sejauh itu tindakannya, baik terhadap kehidupan maupun terhadap adat

dan agama kita ?” sela Maryam pula.

Mendengar pancingan Siti Maryam itu semakin timbul semangat si Juru Tulis dan

semakin terungkap segala pengetahuan dan analisisnya selama ini.

“Maryam, semua tindak-tanduk, kebijakan Ulando di Minangkabau pada prinsipnya

didasari oleh surat rahasia Tuan GeGe kepada Tuan Resident di Padang,” tegas

Juru Tulis.

“Surat rahasia yang mana, Kanda ?,” Maryam sedikit terkaget.

“Maryam, pada tahun 1839, Tuan GeGe yang bernama Van den Bosch, menulis

sebuah surat rahasia kepada Resident di Padang. Dan salinan surat rahasia itu telah

berada di Inyiak Manan. Kemudian Inyiak Manan membahasnya bersama Mak

Garang Datuak Palindih, Tuan Kari Mudo, Mak Datuak Rajo Pangulu, Inyiak Haji

Musa, Inyiak Jabang. Kemudian hasil pembahsan itu kami kembangkan pula kepada

beberapa ninik mamak dan cerdik pandai yang patut serta mungkin lainnya.”

“Sejak kapan Inyiak Manan menyimpan surat yang amat penting itu, Kanda ?”

“Itu tidak perlu kita bahas.”

“Siapa yang berbaik hati untuk membocorkan rahasia itu, Kanda ?”

“Itu tidak Penting. Tapi sudah pasti melalui tangan seseorang yang dipercayai

Inyiak Manan sendiri,” Juru Tulis seperti merahasiakannya kepada Maryam siapa

yang berperan sebagai penghubung antara mata air dan saluran air ke sawah.

Sementara itu Maryam sedikit tersentak hatinya, agak curiga.

“Adakah sesuatu yang Kanda sembunyikan kepadaku ?” lentuh Maryam kepada Juru

Tulis.

“Tidak, Maryam. Untuk apa saya sembunyikan kepadamu. Saya sungguh tidak tau

kapan dan siapa yang telah membawa surat rahasia itu kepada Inyiak Manan.”

Page 85: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

85 | Maryam Chilvalry

“Ada apa, kenapa kamu memikirkankan dan gigih tentang sumber surat itu,

Maryam ?”

“Tidak apa-apa, Kanda. Saya hanya sekedar tau saja.”

“Tapi, Maryam, yang pasti... salinan surat itu dari Pandeka Mukmin.”

“Apa ? Pandeka Mukmin ? Berarti belum lama ini ?,” Maryam terperanjat sambil

menempelkan jari tangan kananya dibibir dalam keheranan.

“Ya ! Pandeka Mukmin, prajurid Ulando di Gaduang, di Bukittinggi. Memangnya

kenapa, Maryam ?,” Si Juru Tulis pun heran dan ingin tau sebaliknya dari Maryam.

“Ya, karena dalam kurun waktu ini hanyalah saya yang pernah bertemu dengan

Pandeka Mukmin. Disuruh Inyiak Manan, Kanda.”

Juru Tulis mengerinyitkan dahinya sebagai ekspresi dari berkecamuk pikirannya

dalam kebisuan kata-kata. Jangan-jangan Maryamlah yang telah menjadi tukang

pos antara Pandeka Mukmin dengan Inyiak Manan. Kalau memang begitu, kenapa

aku tidak tau atau dikasih tau oleh Maryam atau Inyiak Manan sendiri ?

“Tapi, Kanda. Pandeka Mukmin tidak ada memberikan surat apapun, kecuali hanya

sepotong ranting buluh bambu.”

“Bagaimana ceritanya pertemuan kamu dengan Pandeka Mukmin, Maryam ?”

“Beberapa waktu lalau saya disuruh Inyiak Manan menemui Pandeka Mukmin ke

Gaduang. Dan pandeka mukmin pura-pura membeli kue talam saya lalu

menyelipkan sebuah ranting buluh bambu ke bawah daun di dalam talam kue saya

itu.”

“Jadi kamu yang membawa benda keramat itu !,” Juru Tulis lebih memastikannya

kepada Maryam.

Juru Tulis mulai menggerutu dalam hatinya ...rupanya memang dialah yang

menjadi ‘tali bandar’, sebagai saluran tersier antara Pandeka Mukmin dan Inyiak

Manan. Aku terkecoh !

“Benda Keramat bagaimana, Kanda ?,” Maryam agak kaget pula.

Si Juru Tulis tidak menjawabnya malah balik bertanya.

“Apakah kamu tidak tau isi dari ranting bambu kecil itu, Maryam ?”

“Tidak, Kanda.”

“O, begitu !,” Juru Tulis merespon dengan dingin, tapi hatinya merasa geli.

“Kenapa begitu, Kanda. Saya tidak berani mebuka benda itu, Kanda ! Karena saya

kira benda itu adalah penangkal sesuatu atau semacam ajimat anti peluru, dan lagi

Page 86: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

86 | Maryam Chilvalry

amanah yang saya terima hanya menerima sesuatu dari Pandeka Mukmin dan

memberikan kepada Inyiak Manan. Itu dalam penuh kerahasiaan dan tidak boleh

jatuh ketangan orang lain.”

“Tepat sekali, Maryam, benda itu tidak boleh jatuh ke tangan orang lain. Tetapi

ternyata Ulando itu dapat juga dikecoh oleh Pandeka Mukmin.”

“Memangnya, ada apa dengan benda itu. Apa hubungannya dengan Pandeka

Mukmin dan Ulando, Kanda ?”

Untuk mengelabui Belanda apabila terjadi pemeriksaan dan kertas itu ditemukan

maka disiasatilah oleh si punya ide. Surat itu dilipat kecil dan dimasukkan ke dalam

sepotong ranting buluh bambu sepanjang tiga sentimeter.

Ranting bambu itu dililit dengan benang tujuh rupa dan ditempeli dengan

kemenyan pada kedua ujungnya, sehingga menyerupai sebuah azimjat. Sudah pasti

Belanda tidak akan memperdulikan benda yang berhubungan dengan ‘magic’.

“Benar, Maryam. Benda itu tidak ada hubungannya dengan ilmu kebatinan, tetapi

isinya lebih berbahaya daripada sihir apapun.”

“Kenapa seperti itu, Kanda.”

“Betul kamu tidak membukanya, Maryam,” sekali lagi Juru Tulis mencari kepastian

dari Siti Maryam, si buah hati yang lugu itu.

“Benar, Kanda. Bukankah sudah saya jelaskan tadi. Saya hanya memegang amanah

sebagaimana yang diperintahkan saja Kanda. Apakah kanda tau isi benda itu ?”

“Untuk kamu ketahui, Maryam ! Bahwa benda yang kamu serahkan Kepada Inyiak

Manan tersebut di dalamnya adalah sebuah surat rahasia yang ditulis prajurit

Belanda si Hendrick itu. Surat itu dia dimasukkan ke dalam ranting bambu itu.

Kamu sediri yang membawanya menyangka pula benda itu adalah sebuah azimat,

bukan ?”

“Surat rahasia apa, Kanda ?”

“Ya ! Itu..., adalah surat rahasia dari ‘si hidung anggang’ yang berkulit pasi – putih

pucat – itu. Tentu saja surat rahasia dari tuan GeGe Van den Bosch di Jawa kepada

tuan resident di Padang yang saya maksudkan tadi."

“Saya tidak ada bertemu dengan prajurit Ulando yang bernama Hendrick, Kanda.

Sungguh, saya berani bersumpah, Kanda ! Yang menyerahkan benda itu adalah

Pandeka Mudo. Bukan Hendrick, Kanda !” Maryam sedikit cemas seakan dia telah

menjalin hubungan gelap atau bermuka dua dengan pihak Belanda. Ya, begitulah

tabiat seorang yang lugu.

“Ha, ha, ha...!, maksudmu Pandeka Mukmin ?”

Page 87: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

87 | Maryam Chilvalry

“Iya, Kanda !”

“Ha, ha, ha...!, Pandeka Mudo, Pandeka Mukmin atau dipanggil orang juga dengan

Pandeka Ulando..., adalah si Hendrick itu, Maryam! Hendrick Scouten nama

lengkapnya.”

“Jadi..., yang menyerahkan benda berkemenyan itu adalah Hendrick. Hendrick

adalah Pandeka Mukmin atau Pendeka Mudo, Pandeka Mudo adalah Hendrick,

begitu Kanda ?,” Maryam bingung.

“Bukankah dia orang Kamang ini, Kanda ?” Tanya Maryam pula.

“Iya, dia sejak kecil sudah menjadi orang Kamang ini, Maryam.”

“Lalu, kenapa dia mau menjadi tentara Ulando, Kanda.”

“Akh..., itu panjang ceritanya, Maryam. Lain waktu akan saya kisahkan kepadamu

siapa si Hendrick itu sesungguhnya. Biarlah menjadi bahan cerita menjelang tidur

di malam pengantin kita nanti, Maryam. Ha..., ha..., ha...!”

“’Ah, Kanda...’ Maryam merungut mesra, menekurkan wajahnya tapi tidak

mencubit atau menepuk si abangnya itu, seperti anak gadis sekarang ‘...ambo

bersungguh sungguh, tapi kanda ‘bergurau’ pula !”

Tangsi di Padang

Masih dalam wajah menunduk Maryam memoles kata dalam hati yang berbunga-

bunga itu. Adalah pula sebuah kehangatan dan kemesraan yang tidak terhingga

oleh si Juru Tulis melihat rungut sang kekasihnya itu.

“Tapi yang pasti, Maryam.... Hendrick itu adalah anak dari Mayor Scouten yang

telah pensiun dari tentara Ulando semenjak Hendrik masih berumur delapan

tahun,” Juru Tulis menambah sedikit penjelasan untuk menormalisasikan suana

mereka.

Page 88: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

88 | Maryam Chilvalry

“Apakah Kanda juga ikut dalam membahas isi surat rahasia yang disalin Pandeka

Mukmin itu ?”

“Tentu saja iya !, kan saya juru tulis Inyiak Manan, saya dilibatkan dalam

pertemuan tersebut, Maryam. Dan malah saya disuruh menyalinnya kembali dalam

buku catatan penting saya ini.”

“Kapan Kanda memperlihatkan salinan surat rahasia itu kepada saya ?”

“Sekarang pun bisa, Maryam.” Aku pun membuka buku catatan itu. Akupun berani

membukanya karena telah dapat izin sebelumnya oleh Inyiak Manan.

“Maryam perlu tau isi surat itu, karena dia adalah salah satu kekuatan kita dalam

mengkampanyekan tentang perang melawan kekuasaan Ulando ini,” kata Inyiak

Manan kepadaku setelah rapat membahas surat rahasia ini, begitu peserta

musyawarah membubarkan diri.

“Sekarang kamu dengarkan baik-baik, ya ! Biar saya bacakan surat rahasia dari

Tuan Ge-Ge yang bersemayam di Batawi itu kepada Gubernur Militer ‘Sumatera

Barat’ di Padang.

‘Batavia, Tanggal 17 April 1839 No. La A5-1839. SRHS.”

“Tunggu dulu, Kanda. Apa artinya SRHS itu, Kanda?,” sela Maryam.

“SRHS adalah singkatan dari Sangat Rahasia Sekali. Dengarkan baik-baik, ya.”

“Prinsip campur tangan dalam urusan rakyat dalam ‘nagari’ harus tunduk pada

tujuan akhir kita di Minangkabau, yakni mengukuhkan kedudukan kita di sana.

Walaupun untuk mencapai tujuan tersebut lebih baik kita tidak campuri

pemerintahan sehari hari dalam nagari, namun baik sekali jika para penghulu di

berbagai daerah makin lama makin mendapat pengaruh lebih besar dari kita dan

dengan demikian mereka bisa bekerja untuk kepentingan kita selanjutnya. Rakyat

harus terbiasa dengan pemerintahan yang teratur dan disamping itu pemerintahan

berpemimpin ‘satu’, dan harus didirikan pula sebuah ‘aristokrasi’ yang terkait pada

kita untuk mengganti ‘demokrasi-nya’.”

Sambil menyimpan buku itu kembali, aku memberi tambahan semangat,

mendorong semangat Maryam, kenapa harus diadakan perlawanan terhadap

Belanda dengan alasan perang anti belasting ini.

Sebetulnya, tanaman kopi adalah sesuatu komoditi yang teramat istimewa di

Minangkabau dan membawa suatu drama mengerikan yang tidak kalah hebatnya

dengan apa yang dialami di Pulau Jawa.

Lain halnya sewaktu perbandingan kekuatan Belanda melawan kaum Paderi masih

seimbang, penanaman kopi berupa anjuran saja oleh pemerintah Belanda, dan

petani bebas menjual kepada siapa pun walaupun pemerintah Belanda menjamin

Page 89: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

89 | Maryam Chilvalry

harga minimum, sesuai dengan bunyi pasal dalam Palakat Panjang – Van den Bosch

Tahun 1833.

Dari fakta sejarah dapat disimak bahwa kekuatan yang menyebabkan Belanda

kewalahan menghadapi perlawanan rakyat atau perang Minangkabau itu tidak lain

adalah karena pertama, adanya semangat ukhuwah yang sama-sama merasakan

penderitaan dari penindasan yang dilakukan oleh kaum penjajah. Semangat ini

semakin dibakar, didorong oleh kabar gembira yang tertera dalam al-Qur’an,

Kitabnya kaum Muslimin. “’Katakanlah kepada orang-orang yang kafir: ‘Kamu pasti

akan dikalahkan, di dunia ini dan akan digiring ke dalam neraka Jahannam. Dan

itulah tempat yang seburuk- buruknya’."

“Kedua, Karena kesadaran bersama akan filosofi “Syara’ Mangato, Adat Mamakai”

(Syara' mengatakan, adat memakai) apa saja yang ditentukan dan dilaksanakan

menurut adat adalah didasarkan kepada hukum hukum yang ada dalam syara’,

sebagai pembuktian akan pandangan hidup “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi

Kitabullah”.

Apatah yang menjadi penguat akat fondasi adat ini ?”, si Juru Tulis memunculkan

sebuah pertanyaan. Kemudian dia langsung menambah penjelasannya ,“Terutama

adalah akan peringatan Allah Swt dalam al-Qur’an. “’Hai orang-orang yang

beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang orang yang

di luar kalanganmu (kaum kafir), karena mereka tidak henti-hentinya

(menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan

kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh

hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-

ayat (Kami), jika kamu memahaminya’.”

“Ketiga, sistem perang gerilya sangat berperan pula dalam menghadapi serdadu

Belanda yang sudah terlatih dengan senjata lengkap dan modern. Keempat, yang

tidak kalah penting juga adalah alam Minangkabau sangat menyulitkan untuk

ditembus Belanda dalam perang secara frontal. Kelima, perlawanan-perlawanan

yang dilakukan rakyat Minangkabau, umumnya digerakkan oleh alim ulama sebagai

inspirator dan kekuatan moral, spiritual yang sarat dengan persoalan religius bagi

rakyat untuk berjihad, karena persoalan keregeliusan di Minangkabau adalah

persoalan hidup dan mati yang tidak bisa ditawar-tawar. Keenam, Seperti yang

diakui Letnan Boelhouwer, salah seorang militer yang mengikuti Kolonel Elout

memasuki Bonjol 1833.

“...orang Pederi berbeda mengenai pakain, kelakuan maupun kebiasaannya dengan

orang Melayu lainnya. (Red: terutama yang berpihak kepada Belanda). Orang

Paderi jijik melihat candu, sementara yang lain asyik mengisap candu; orang

Paderi tidak mau mengerjakan judi, sedangkan yang lain sibuk berjudi dan

berteriak-teriak. Pongah; orang orang Paderi bertubuh kekar dan berotot jika

dibandingkan dengan pasukan-pasukan pembantu kita” (Red: orang Jawa, Bone,

Page 90: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

90 | Maryam Chilvalry

Madura dan Melayu lainnya)”. Tulis Boelhouwer lagi. “... Suatu bukti nyata betapa

cara hidup dapat mempengaruhi pertumbuhan tubuh manusia. Seorang Paderi

seakan-akan seorang raksasa ketimbang orang Melayu yang telah dicelakakan oleh

candu...”

Kemudian Boelhouwer melanjutkan komentarnya bahwa, “... Seseorang tidak usah

tinggal lama di Hindia Belanda untuk mengenal pengisap candu dengan mudah

mengenalnya bahwa matanya tidak bercahaya, putih matanya menjadi kuning dan

gerak badannya yang loyo. Semua dikerjakannya tanpa tenaga, dengan kesal dan

tidur adalah suatu kenikmatannya. Orang Paderi hidup penuh bergairah, kuat dan

berotot, satu kepala lebih tinggi dari orang Melayu....”

“Terang saja tentara bayaran Belanda dari bangsa pribumi (Melayu) ini sangat

gampang dibabat tentara Paderi. Sebaliknya tentara Belanda Hitam itu sangat

bringas membumihanguskan, memporak porandakan guna mengharapkan harta

rampasan sebanyak banyaknya yang dibumbui pula dengan santapan

‘pemerkosaannya’ terhadap perempuan yang tercecer dari tindakan penyelamatan

diri,” sela Maryam merespon kutipan si Juru Tulis itu.

“Sedangkan Verkerk Pistorius dalam tahun 1868 menyampaikan hasil penelitiannya,

“We (the Ductch) are standing on Vulcanic soil, because of the great influence of

the Ulama among the people, hence blocked [by] our willingness that.”

“Guna memperkuat kedudukannya itu, maka pemerintah Belanda berupaya untuk

mengepung surau dari berbagai sisi, katakanlah dari sisi ideologis, politis, ekonomi,

pendidikan, sistem pemerintahan maupun dalam tata aturan kehidupan sosial

sehingga pada suatu waktu kelak eksistensi dan bahkan secara fisik surau

kehilangan tempatnya ditengah masyarakat Minangkabau sendiri kelak dikemudian

hari,” lanjut si Juru Tulis.

“Pada suatu waktu tertentu Belanda sangat perlu membangun jalan raya dan

jembatan guna memperlancar hubungan lalu lintas dan ekonomi. Membangun

pasar-pasar guna mempermudah urusan perniagaan yang sekaligus dengan tameng

untuk mengatasi keterisolasian dan kemajuan ekonomi penduduk. Tiap-tiap nagari

dianjurkan membangun pasar-pasar dengan tenaga rodi dan pasar itu menjadi

milik nagari-nagari yang mengirim tenaga rodinya,” imbuh si Juru Tulis pula.

Memang demikian kenyataannya belakangan hari. Bahwa, tanah yang

dipergunakan sebagai pasar tersebut dibebaskan dari kaum yang mempunyainya

dengan iyuran nagari yang bersangkutan dan atau iyuran beberapa nagari yang

berekatan dalam satu kelarasan. Dan pasar-pasar semacam itu dinamakan dengan

‘passerfond’. Pasar serikat itu diklasifikasikan pula atas tiga golongan atau

tingkatan, yaitu ‘Pasar Serikat A’ bagi daerah luhak seperti Pasar Bukittinggi.

‘Pasar Serikat B’ untuk pasar di kewedanaan. ‘Pasar Serikat C’ pada tingkat

Page 91: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

91 | Maryam Chilvalry

kenagarian, sehingga masyarakat mulai dibiasakan dalam kehidupan untuk hidup

berorientasi pasar dalam paham ‘materialisme-kapitalisme’ ekonomi.

Kalaulah dengan cara sukarela atau secara gotong royong ala budaya Minangkabau

pemerintah Belanda tidaklah akan mendapatkan sumber tenaga manusia yang

banyak untuk membangun jalan, jembatan dan pasar-pasar tersebut. Sehingga

dikeluarkanlah peraturan semua pekerjaan berat tersebut secara paksa yang lebih

dikenal dengan ‘rodi’. Pelaksanaan kerja paksa tersebut ditentukan dengan

perhitungan besarnya jumlah pemuda dan orang dewasa yang diwajibkan

melaksankan pekerjaan membangun jalan dan pasar sebanyak empat hari dalam

satu kwartal atau enam belas hari dalam satu tahun.

Secara tidak langsung, dengan berdirinya pasar-pasar serikat tersebut terbuka

peluang pada masyarakat untuk terjadinya kegaduhan, bentrokan atau perselisihan

antar nagari-nagrai yang memiliki saham - ‘iyuran’ - dan tenaga ‘rodi’ yang

membangun pasar tersebut atas hasil dan rasa memiliki pasar tersebut. Inilah

jarum ‘devide et impera’ pemerintah Belanda untuk meruntuhkan tatanan budaya

yang berhubungan dengan masalah ‘raso jo pareso’ atau ‘salang tenggang’ antar

nagari dalam satu kelarasan adat ‘Koto Piliang’ atau ‘Bodi Caniago’, sebagai

percampuran dari keduanya sistem adat tersebut, dalam konteks ekonomi.

Juru Tulis belum mengakhiri pembicaraannya kepada Maryam yang masih

didampingi oleh Sutan Basikek dan istrinya Siti Anisyah itu. “Pada tahap

berikutnya, untuk mendapatkan sumber dana yang banyak maka dilancarkanlah

pemungutan ‘pajak langsung’ yang lebih dikenal dengan ‘belasting’, sementara

sitem jual beli dan harga pasaran kopi dan hasil bumi lainnya tetap dalam kendali

pemerintah Belanda. Upaya Belanda ini tidak kalah hebatnya mendapat tantangan

dari rakyat, termasuk beberapa Laras yang dibentuk pemerintah Belanda sendiri.

Sebetulnya, sesudah Bonjol jatuh direbut Belanda, maka semenjak 1847 kopi

dijadikan tanaman paksa di Minangkabau, dan harus dijual pada pemerintah

dengan harga yang dipaksakan”.

“’Coba mamak bayangkan’, kata si Juru Tulis pula kepada Sutan Basikek, ‘harga

yang ditetapkan pemerintah Belanda 7 gulden/pikul, sedangkan harga jual

pemerintah hampir dua kali lebih tinggi. Sepuluh tahun kemudian, harga beli

pemerintah menjadi sepertiga harga jualnya (10,50 gulden : 34 gulden).”

Perbandingan harga tersebut terus memburuk hingga akhir abad ke-18. Pemerintah

memaksakan harga beli dari rakyat hanya 15 gulden sewaktu harga pasaran telah

mencapai 75 gulden. Harga beli yang dipaksakan ini tidak pernah diubah hingga

tanaman paksa kopi dihapuskan pada tahun 1908, yang diganti dengan pembayaran

‘balasting’ oleh rakyat sebagai sumber pemasukan pemerintah Belanda.

Page 92: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

92 | Maryam Chilvalry

Dengan sendirinya penetapan harga dan monopoli Belanda atas produksi kopi

rakyat adalah merupakan pajak tidak langsung pemerintah Belanda terhadap

rakyat.

Sebetulnya, ‘coffeestelsel’ yang dipaksakan Belanda sebelumnya telah

menyebabkan penggunaan jenis tanah adat yang berfariasi sifatnya. Awal

pemberlakuannya tanah pekarangan yang berada di sekitar pemukiman penduduk

dimanfaatkan untuk memproduksi kopi. Kebijakan ini secara tidak sengaja telah

menaburkan benih kebencian rakayat Minangkabau terhadap Belanda. Sehingga

pada masa ini banyak kendala yang dihadapi pemerintah Belanda, terutama

masalah status tanah di Minangkabau yang terdiri dari nagari-nagari yang bersifat

otonom dan memiliki banyak pengusaha yang menguasai untuk penggarapannya,

serta tidak mengenal adanya tanah-tanah yang tidak bertuan.

Meskipun demikian, rakyat tetap tidak setuju dengan diterapkannya pajak

langsung berupa ‘balasting’ dan ‘pekerjaan rodi’. Dalam arti kata ‘cultuurstelsel’

untuk Minangkabau lebih dikenal juga dengan ‘coffeestelsel’ jauh lebih merugikan

dari pada balasting, namun bagi Belanda ‘belasting’ adalah iyuran rakyat yang

teratur dan terukur setiap tahunnya, sementara pemerintah tidak dibebani pula

dengan modal awal. Sedangkan dalam ‘coffeestelsel’ pemerintah harus pula

memodali untuk pembelian dari rakyat, menggaji para pegawai untuk menjaga

mutu kopi, dan keuntungan tidak tetap karena pengaruh spekulasi pasar, dalam

keamanan pengiriman barang semenjak dari produsen hingga kota tujuan turut

menjadi beban ekstra bagi pemerintah’.

“Alaaa..., untuk apa pula kamu ceramahi kami tentang tetek bengek kerja si

Ulando itu. Mana pula kami mengerti, kami orang buta huruf, kami tidak sekolah di

gubernemen. Kalau kamu ada sekolah diguvernemen !,” sela Siti Anisyah. “Kepada

Maryam sajalah kamu bercerita,” sambung Anisyah lagi.

“Aha...ha, ha !,” Si Juru Tulis tertawa lepas karena tersandung.

“Tak apalah, kan bertambah juga pengetahuan kami yang bodoh ini,” sela suami

Siti Anisyah pula. “Etek kamu itu ada-ada saja ulahnya, orang lagi bersemangat dia

patahkan pula. Lanjutkan saja ceritamu itu,” sambung Sutan Basikek lagi.

“Tek, saya khawatir ! Kalau-kalau setelah ini tidak ada lagi waktu untuk kita

mengurai benang kusut yang menimpa negeri dan orang kita di Minangkabau ini.

Mudah-mudahan kelak diantara kita ini dapat mewariskan cerita ini. Pangkal bala

yang sesungguhnya ini,” Juru Tulis merespon kembali selaan Siti Anisyah tadi.

“Nah, berkali-kali L.C. Westenenck selaku Komendur mendatangi rakyat Kamang

yang sering difasilitasi oleh Laras Magek-Salo Agus Warido seorang keturunan Jawa,

bekas mantri kopi kelas.

Page 93: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

93 | Maryam Chilvalry

Dalam pertemuan itu L.C. Westenenck tetap membujuk rakyat bahwa sebetulnya

dalam kalkulasi dan spekulasi dagang, dengan ‘coffestelsel’ Belanda mendapat

untung sebanyak 0,50 gulden – 0,16 gulden = 0,34 gulden/kg. Andaikan seorang

rakyat minimal menghasilkan 30 kg kopi dalam satu kali panen, maka dari seorang

penduduk, Ulando akan mendapat keuntungan 30 kg x 0,34 gulden = 10,20

gulden/panen. Sedangkan iyuran balasting yang ditetapkan Belanda hanya 1,20

gulden/tahun. Jangankan terjadi gagal panen pada tahun 1856, harga beli

pemerintah di pedalaman, seperti di sini adalah 7 gulden, sedangkan harga jualnya

di Padang 30 gulden.”

“Ya, untuk apa lagi kopi ditanam ?, toh semakin mensengsarakan rakyat juga,”

sela Maryam.

“Sebetulnya, tanaman kopi tidak bernilai lagi Maryam. Akan tetapi pembayaran

belasting adalah.... Akh, saya tidak bisa menjelaskan apa akibatnya bagi

masyarakat kita Maryam.“

“Nah, setelah 1847-1862, timbul rasa benci rakyat terhadap budidaya kopi karena

harga bayar pemerintah yang tidak manusiawi. Seperti pada tahun 1856, harga beli

pemerintah di pedalaman adalah 7 gulden, sedangkan harga jualnya di Padang 30

gulden.”

“Ada sebuah lagi, Maryam ! Bahwa 14 Oktober 1831 Van den Bosch menuangkan

kekecewaan dan patah hatinya yang teramat dalam kepada Kolonel Elout sebelum

Ulando menyerang Katiagan untuk merebut Bonjol dulu. Juga melalui sebuah surat

rahasia, Maryam.”

Maryam kelihatan sangat bersemangat dan pelupuk matanya semakin tegak

menunggu kelanjutan cerita si Juru Tulis. Juru Tulis kembali membalik catatannya

itu.

“...'Sampai sekarang saya masih saja menunggu laporan Tuan (maksudnya Elout)

mengenai cara-cara bagaimana dan apa-apa yang harus dikerjakan untuk

mendatangkan keuntungan bagi kita di Minangkabau. Mengadakan peperangan dan

menaklukkan rakyat dan sesudah tujuan ini tercapai, baru memikirkan apa yang

harus diperbuat. Ini tidak cocok dengan kepentingan kita dan bertentangan dengan

cara-cara kita bekerja...,’ Kata Van den Bosch dengan tajam kepada Elout,

Maryam’.”

Kemudian surat itu dilanjutkan dengan pengakuannya bahwa, “...pemerintahan

terbaik dan penggunaan yang tepat dari segala yang dapat kita kerjakan, ialah

mengetahui kekayaan alam dari suatu daerah dan mengalirkan semua kekayaan itu

kepada kita ! Oleh karena itulah saya berulang-ulang menekankan kepada Tuan

untuk memusatkan perhatian pada soal ini !’ Demikian antara lain Van den Bosch

menulis. Selanjutnya dia menyatakan tidak bersedia lagi mengirim tambahan

tentara bantuan, jika Elout tidak dapat menjalankan yang dikehendakinya’.

Page 94: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

94 | Maryam Chilvalry

“Terang saja, Kanda. Sampai sekarang Ulando itu semakin menjadi-jadi dengan

berbagai upaya memeras kita untuk memperoleh kekayaan sebesar-besarnya !,”

respon Maryam

“Tepat sekali, Maryam !”

“Kalau begitu, sudah tepat, Kanda. Kita harus berputih tulang pula menentang

upaya upaya Ulando ini. Kita harus tegakkan kedaulatan kita. Kita harus lindungi

‘urang awak’ ini, Kanda. Kita tidak perlu lagi berbasa basi, menyegani Ulando itu.

Kita tidak boleh takut melawan kesewenang-wenagan ini, Kanda ! Aku benar-benar

ikhlas untuk berkalang tanah dalam hal ini, Kanda !,” menyerocos dari mulut yang

tipis dan mungil itu.

Tapi, malah si Juru Tulis nyeleneh lagi dengan kalimat guyonnya.

“Kalau kamu meninggal nanti, nasib saya bagaiman ?”

“Ah..., Kanda. Seperti itu lagi. I...h !,” Maryam geregetan, merungut sambil

memukul mukulkan kedua kepalan jarinya ke kedua pahanya. Kalulah bukan

‘abangnya ?, mungkin saja batang leher si Juru Tulis yang humoris itu sudah

dicekiknya.

Menurut anggapan rakyat pajak tidak langsung dalam sistem ‘coffeestelsel’ masih

dapat diterima, karena sifatnya adalah jual beli dalam sistem perdagangan. Rakyat

sebagai penjual dan pemerintah sebagai pembeli, maka sistem dagang seperti ini

di dalam ajaran Islam diperbolehkan, meskipun tidak membenarkan mendapatkan

keuntungan yang berkesangatan seperti yang diterapkan kaum kapitalis

materialistis, seperti Belanda itu. Sedangkan balasting yang merupakan pajak

langsung, sepertinya sebuah ‘upeti’ kepada kaum kafir berupa pemberian yang

diwajibkan atau sewa tanah dari rakyat yang hidup di buminya sendiri.

Pada sisi lain, dengan dipaksakannya untuk memberlakukan belasting terhadap

rakyat Sumatera Barat, maka secara terang terangan Belanda telah mengkhianati

isi Plakat Panjang 1833, yang didalamnya termaktub akan ‘hak milik harta

berpunya’ menurut hukum adat Minangkabau.

Terbukti sudah apa yang dikatakan Allah Swt dalam Al-Qur’an, bahwa “orang orang

kafir itu akan selalu melakukan tipu daya (pengkhianatan)”.

Ketersinggungan atas kearifan lokal inilah yang lebih mengukuhkan kembali

semangat perlawanan mengakar semenjak dari leluhurnya antara kaum adat dan

kaum agama menantang akan keberadaan kaum kafir di ranahnya sendiri.

Pungutan pajak sama artinya ‘memeras susu dari sapi mandul’. Dan yang lebih

berbahaya lagi adalah dengan adanya pemikiran oleh rakyat yang sisa-sisa kaum

Paderi bahwa haram hukumnya membayar upeti kepada kaun kafir.

Page 95: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

95 | Maryam Chilvalry

Perlawanan rakyat dalam menentang balasting 1908 tersebut merupakan

antiklimaks dari suatu proses pergerakan bawah tanah rakyat Minangkabau untuk

mengenyahkan kekuasaan Belanda di daerah ini, sebagai kelanjutan dari

perjuangan Paderi yang kekalahannya tidaklah feir dan sportif, melainkan melalui

sebuah tipu muslihat Belanda.

Pada sisi lain, dari kejujuran Kolonel de Stuers yang membuat saran dalam sebuah

laporannya menuliskan bahwa supaya Gubernemen mendapat penghasilan yang

melimpah maka perdagangan candu dan tuak yang telah berlangsung semenjak

VOC agar semakin dikembangkan. Opsir-opsir dan pegawai-pegawai Gubernemen

Belanda harus berlomba-lomba menjual candu dan tuak (miras), kepada

masyarakat, terutama kaum bangsawan Minang untuk membelinya.

“Demikianlah kekotoran sisat Gubernemen Belanda pada waktu itu di

Minangkabau,” kata Kolonel itu. “Dan upaya itu bukan saja untuk mendapatkan

keuntungan yang besar tetapi adalah juga untuk menghancurkan generasi

Minangkabau nantinya,” tulisnya lagi.

Dari ‘advisory’, dari laporan-laporan perangai pihak Belanda inilah menjadi alasan

menentang atau memberontaknya rakyat Minangkabau yang pada umumnya

dipelopori oleh kaum ulama, baik semasa Perang Paderi maupun Perang Kamang

1908. Perang terhadap penyebaran candu dan miras.

Page 96: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

96 | Maryam Chilvalry

12. Belasting adalah pemicu belaka.

LC. Westenenck, Ketelan Putik Durian

GERAKAN anti Belanda oleh rakyat mengkristalisasi dalam bentuk gerakan anti

belasting. Fenomena anti belasting itu pada awalnya diperlihatkan dalam bentuk

demonstrasi spontan masyarakat ‘Oud Agam’ (Agam Tuo) ke kantor kontroleur di

Bukittinggi pada 22 Maret 1908, yang dimotori oleh Haji Saidi Mangkuto, dan

Datuak Makhudum.

Haji Saidi Mangkuto adalah seorang pedagang batik asal Pahambatan IV Koto, Agam

Tuo yang merantau di Solok. Pada pertengahan Maret 1908 dia pulang ke IV Koto

melalui dusun Layang-layang. Di kampungnya, dia secara diam-diam seringkali

mengadakan rapat dengan para penghulu andiko dan para ninik mamak lainnya.

Pada pertemuan yang kesekian kalinya akhirnya didapatkan persesuaian paham

untuk ‘menolak’ membayar belasting dan tidak akan memberi keterangan pada

petugas pemerintah (Belanda) supaya pemerintah tidak mempunyai data-data

untuk menentukan besarnya pembayaran pajak. Hasil kesepakatan ini segera pula

disebarkan kenegeri-negeri terdekat dan menjalar keseluruh pelosok Minangkabau,

meskipun beberapa daerah persoalan ini hanya seperti ‘kiambang diatas air’ saja,

hanyut tidak terendam pun tidak.

Menyikapi hasil kesepakatan yang telah menyebar seantero Minangkabau itu, maka

meraka melakukan demonstrasi tertib tanpa diiringi perbuatan anarkhis, malah

membawa senjata tidak diizinkan untuk ikut berdemonstrasi.

Tanggal 12 Juni 1908 Rakyat Kamang kembali berunjuk rasa di depan Kantor Luhak

Agam di Bukittinggi, tetap dibawah pimpinan Datuak Makhudum, Sidi Gadang dan

Datuak Kondo. L.C. Westenenck yang bertindak sebagai wakil pemerintah

menerima utusan para demonstran di ruang kerja dalam kantornya. Wakil

Page 97: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

97 | Maryam Chilvalry

demonstran menyatakan bahwa rakyat tetap menolak iyuran belasting dalam

bentuk apapun. Dan mendesak agar Belanda menarik kembali pengumumannya

tanggal 1 Maret 1908 tentang pemberlakuan pemungutan belasting itu.

Dalam hal ini Belanda menjalankan kecurangan untuk kesekian kalinya. Rakyat

disuruh bubar dan pulang kembali ke kampungnya masing-masing, sedangkan

Datuak Makhudum, Sidi Gadang dan Datuak Kondo ditahan oleh Westenenck untuk

penyelesaian selanjutnya. Ternyata ketiga pemimpin itu dijebloskan ke dalam

penjara.

Demonstrasi terbesar ini adalah merupakan mata rantai dari demonstrasi

sebelumnya, yaitu pada tahun 1895 rakyat Magek dan Salo menuju rumah Assisten

Residen di Bukittinggi.

Mereka datang dengan tenang tanpa banyak bicara. Mereka sama sekali tidak

memperlihatkan rasa permusuhan, namun begitu mereka tidak mau disuruh

pulang, tetap saja duduk dengan diam seakan orang yang pasrah menerima nasib.

Akhirnya terpaksa dipanggil serdadu untuk mengusir mereka. Tak obahnya seperti

mereka datang, sebelum diusir mereka diam-diam meninggal tempat tanpa bicara,

tanpa teriak dan tanpa yel-yel.

Meskipun pada waktu itu masyarakat belum mengenal akan kata ‘demonstrasi’,

tetapi mereka pada waktu itu tidak lebih dari ‘unjuk perasaan’ untuk

memperlihatkan ‘sikap’ mereka yang ‘saciok bak ayam, sadanciang nan bak basi’

(secicit bak ayam, sedenting bak besi) dan tandanya ‘penghulu nan saundiko.

Adatnya laki-laki samalu, adat parampuan nan sarasan’.

Mereka mengajukan tuntutan melalui perwakilan yang dipercayanya saat itu untuk

‘berorasi’, menyampaikan maksud kedatanagan mereka. Sebagai dasar tuntutan

mereka adalah: Pertama, Agar pemerintah membebaskan Penghulu Andiko dari IV

Koto yang telah ditawan Belanda.

Penghulu andiko itu ditahan karena menghajar salah seorang penghulu yang

berkhianat, yang telah melaporkan ke Taungku Laras Koto Gadang bahwa adanya

kegiatan rapat yang dilaksanakan oleh penghulu-penghulu suku IV Koto dalam

menentang rencana pemberlakukan belasting pada 1 Maret 1908 nanti, sehingga

rapat itu dibubarkan oleh dubalang Laras Koto Gadang. Dan karena dihajar bebak

belur oleh tiga orang penghulu (yang sedang ditawan) itu, maka penghulu

pengkhianat itu terpakasa dirawat di rumah sakit. Kedua, menanyakan apa

alasannya tiga orang penghulu itu ditawan, kalau hanya karena alasan mengadakan

rapat-rapat kenapa tidak semuanya saja dipenjarakan. Ketiga, rakyat tidak

bersedia membayar pajak (belasting) yang akan diberlakukan pada 1 Maret 1908

itu nantinya.

Page 98: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

98 | Maryam Chilvalry

Tetapi karena pada hari itu kantor tutup (hari Minggu), maka Kontroler L.C.

Westenenck menanggapi aspirasi rakyat itu melalui Jaksa Kepala Jusuf Datuak Sati,

yang berjanji akan menyelesaikan persoalan tersebut pada tanggal 26 berikutnya.

Agaknya, inilah perwujudan bentuk ‘demokrasi Minangkabau’ dalam menyikapi

suatu kebijakan yang akan menimpa negerinya dan yang akan mensengsarakan

rakyatnya. Dan demonstarasi tertib semacam ini adalah produk asli rakyat sejati,

agaknya pula adalah yang pertama dilakukan sebelum mengenal jauh tentang

demonstrasi sebagaimana yang berkembang dikemudian hari.

Kejadian (demonstrasi) di Bukittinggi pada 1895, 22 Maret 1908 dan 12 Juni 1908

merupakan awal dari kerusuhan-kerusuhan yang akan segera meletus dimana-

mana, terutama di Kamang - Agam Tuo.

Meskipun sebelum tanggal 26 Maret 1908 dan sesduah 12 Juni 1908, tokoh-tokoh

demonstran tersebut ditangkap Belanda dan dibawa dengan kereta api ke Padang

untuk ditangsikan di sana, namun semangat anti belasting pun tidak dapat

dipadamkan pemerintah. Karena dalam pandangan rakyat, kecurangan demi

kecurangan yang telah dilakukan pemerintahan Belanda itu menempatkan

penguasa Belanda sebagai orang orang kafir yang menjadi musuh besar Islam.

Selanjutnya pusat gerakan semakin membumi di Kamang, sebuah negeri di Utara

Bukittinggi yang berada di kaki Bukit Barisan.

Gerakan anti Belanda dengan nota bene anti belasting itu sangat pesat

pertumbuhan dan penyebarannya di Kamang hingga ke daerah-daerah lain di

Minangkabau. Agaknya, karena Kamang sudah mewarisi tradisi revolusioner

semenjak ‘Gerakan Harimau Nan Salapan’ hingga ‘Perang Minangkabau (Perang

Paderi)’.

Meskipun telah berkali-kalai dan bahkan tidak terhitung lagi L.C. Westenenck

mendatangi Kamang guna mensosialisasasikan pemberlakuan belasting, namun

lebih menambah kebencian dan semakin memperkukuh semangat ‘aksi rakyat’

terhadap Belanda.

Kewalahan pihak Belanda dalam mensosialisasikan kebijakan barunya ini adalah

karena tokoh-tokoh masyarakat, terutama ahli propaganda di Kamang menjalankan

taktik “tikam jajak”.

Setiap kali kedatangan L.C. Westenenck menceramahi rakyat, maka

sepeninggalnya tokoh-tokoh propaganda langsung - menghapus jejak - pembesar

Belanda di Bukittinggi itu, dengan jalan membuat fakta terbalik dari yang

disampaikan pihak Belanda. Rakyat dihasut untuk tidak mengiyakan apa yang

disampaikan oleh ‘syaithan-syaithan’ penjajah itu dan mengembalikan kemurnian

fikiran dan semangat persatuan menentang pelaksanaan pembayaran belasting.

Page 99: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

99 | Maryam Chilvalry

Dalam pada itu, di Kamang sendiri kesibukan terlihat dimana-mana. Siang dan

malam mereka terus memasang telinga atas setiap perkembangan yang terjadi.

Setiap informasi baru selalu dibahas dan dibicarakan pada setiap kesempatan yang

ada, sebelum tiba pada kesimpulan akhir.

Para pandai besi, seperti di Koto Baru Salo sebagai penerus kecanggihan apar besi

di Salimpauang (Batu Sangkar) pada zaman Paderi dahulu, telah riuh-rendah

bernyanyi dengan dencingan besi yang sedang ditempanya, menjadikan golok dan

pedang yang keampuhannya dapat memutus besi sekali pun. Dan seluruh dusun

seakan dipenuhi bunyi desau klewang (golok) yang sedang diasah dan menguji

ketajaman hasil perbuatan si pandai besi yang dikerjakan secara tradisional itu.

Sementara kaum ibu saling berbisik dan memandang bangga ke arah suami dan

anak anak mereka yang bermandikan keringat dalam mempersiapkan diri untuk

berperang, dan mencibir ke arah keluarga lain yang tidak memperlihat rasa

simpatiknya atas semangat jihat yang sedang menggelora itu.

Pada Jumat bulan Maret Abdul Wahid Kari Mudo mengadakan sebuah ‘lobby’ di

rumahnya terhadap Laras Kamang, Penghulu Kepala Tangah yang masih paman

baginya beserta saudaranya yang lain. Hasilnya mereka semua sepakat untuk tidak

membayar pajak. Keesokan harinya Abdul Wahid Kari Mudo bersama Muhammad

Saleh Datuak Rajo Pangulu dan beberapa orang lagi sengaja pula mengunjungi

Laras Kamang itu dan Penghulu Kepala ke kantornya masing-masing guna

menerangkan maksudnya untuk melakukan semacam gerakan menentang

pembayaran pajak.

Sebagai pegawai pemerintah, Laras Kamang itu dan Penghulu Kepala, tidak setuju

maksud menentang pajak tersebut, tetapi secara pribadi mereka sangat setuju dan

akan membantu gerakan itu secara diam-diam.

Dalam sebuah skenario mereka ditetapkanlah bahwa pada tanggal 20 April sebagai

hari mengadakan rapat umum di rumah Laras Kamang untuk memberikan

penjelasan kepada rakyat tentang pajak, yang dipimpin langsung oleh Kontroliur

L.C. Westenenck. Nantinya niat pemerintah ini akan digagalkan oleh Abdul Wahid

Kari Mudo dengan para pengikutnya.

Memang demikian kejadiannya. Setelah rakyat berkumpul, kepala Kontroliur L.C.

Westenenck , dipermalukan oleh Abdul Wahid Kari Mudo dengan pidatonya “rakyat

tidak dibolehkan membayar belasting. Barang siapa yang membayar pajak pada

Belanda adalah kafir !” Kemudian diikuti pula oleh Datuak Adua dari Pauah dan

Datuak Makhudum dari Ilalang. Sementara itu Tuangku Laras dan Penghulu Kepala

tidak membuat reaksi apa-apa atas tindakan Kari Mudo dan kawan-kawannya itu.

Kejadian pada 20 April itu dan apalagi melihat sikap Laras Garang Datuak Palindih,

Penghulu Kepala Datuak Sari Marajo yang seperti ‘katak diludahi’ itu, apa yang

Page 100: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

100 | Maryam Chilvalry

dikatakan dalam fatwa politik Melayu “Sebanyak akal kucing, sebayak itu pula akal

tikus” memang telah terjadi.

Kerongkongan L.C. Westenenck bagaikan ketelan putik durian, tersekat di

kerongkongan yang sengatan durinya terus terasa, tetapi Belanda belum siap untuk

mengambil tindakan.

Page 101: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

101 | Maryam Chilvalry

13. Hari-Hari Terakhir

KEGALAUAN dari suasana di Kampung Kamang makin hari semakin tak menentu.

Rakyat tidak konsentrasi lagi untuk menjalankan mata pencahariannya. Hati rakyat

makin berkecamuk antara cemas, benci, takut dan kecut. Karena tanda-tanda akan

terjadinya sesuatu yang maha dahsyat sudah mulai kelihatan, gonjang-ganjing

seputar perang melawan Belanda semakin memanas dan kegiatan berlatih diri di

Ngalau (Goa) Batu Biaro lebih intensif. Rapat-rapat yang digelar para pemuka

masyarakat semakin sering, baik di Surau Koto Samiak (Kamang Ilia), apalagi di Aua

Parumahan (Kamang Mudiak).

Kaum laki-laki yang membenci Belanda pada siang hari menjadi-jadi dan tidak

menampakkan dirinya, sedangkan yang pro pada Belanda juga mengendap-endap

takut akan terlihat oleh mata-mata ‘Barisan fi-Sabilillah’ yang militansi – berani

mati – dan siap ‘berputih tulang’ demi mempertahankan harga diri dan agama.

Sedangkan di sumur tepian mandi kaum ibu-ibu sambil mencuci dan mandi tidak

luput pula dari gunjing-gunjing mereka terhadap kegagahan suami dan anak-

anaknya dalam berlatih diri guna menghadapi pasukan Belanda kelak. Namun pada

sisi lain, hal-hal yang tidak terduga oleh umum dan yang tidak luput dari

pendengaran si Juru Tulis apa yang terjadi pula.

Kebetulan pula, sewaktu aku kembali dari Padang Panjang akan melaporkan hasil

perjalananku kepada Inyiak Manan, waktu itu mendapat suruhan menggantikan

tugasnya Inyiak Manan sendiri. Aku mampir dahulu di rumah Kak Siti Aisyah, istri

Mak Datuak Rajo Pangulu. Sepulang dari Rumah Kak Siti Aisyah - menuju Surau

Inyiak Manan, aku melewati rumah Etek Siti Anisyah, istrinya Mak Sikek. Sesampai

di depan ‘kaporo’ (gerbang) rumah Etek Anisyah, kebetulan bertemu dengan

Etek Anisyah sendiri dan beliau menyuruh saya mampir, tapi saya tetap berbasa-

basi. Etek Anisyah tetap memaksa dan mengingatkan janji saya dengan suaminya

Mak Sikek, bahwa aku akan mampir ke rumahnya sepulang dari Padang Panjang,

Page 102: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

102 | Maryam Chilvalry

maka terpaksa jugalah aku untuk naik, singgah dahulu ke rumahnya, sesuai dengan

janji yang telah terkatakan.

“Assalamu’alaikum !,” sewaktu memasuki rumah, tetapi yang menjawab salamku

masih Siti Anisyah yang mengiringiku sejak dari halaman rumahnya itu.

“Mana Mak Sikek, Tek?,” tanyaku kepada Siti Anisyah.

“Tadi siang dia ke Salo, menjemput rudus yang sudah dipesan itu!,” jawabnya.

“Kalau begitu, nanti sajalah saya kembali ke sini, Tek !”

“Tunggu sajalah beliau sebentar disini. Tadi beliau juga berpesan, ‘seandainya

kamu datang sebelum beliau kembali dari Salo maka kamu disuruhnya menunggu

dulu di sini. Dan tidak lama lagi beliau akan datang !,” kata Siti Anisyah

menyampaikan pesan suaminya itu.

Sambil menunggu suaminya itu, aku duduk – duduk saja. Suasana rumah sangat

berbeda dengan rumah Siti Aisyah. Bunyi telapak kaki Ramaya yang berlari-lari hilir

mudik, sebentar-sebentar dia berlari, sebentar sebentar dia berpeluk dengan

ibunya, Siti Anisyah. Buyung Ramaya lah yang menjadi pusat perhatian dan hiburan

bagi ibu dan ayahnya. Bahkan aku yang sedang bertamu saja saat itu juga turut

terhibur melihat anak yang sedang lincah lincahnya itu.

Sesaat terbayang pula bagiku bagaimana nasib anak ini nantinya, kalau-kalau benar

menjadi kenyataan apa yang telah menjadi kehawatirannya dan telah terlontar di

mulutnya sendiri sewaktu kami latihan gabungan di belakang Surau Taluak beberpa

waktu lalu. Kalau memang ibu dan ayahnya gugur sebagai Srikandi dan Arjuna

dalam pertempuran kelak. Sambil menunggu Mak Sikek pulang dari Salo, saya coba

juga menyelami hati dan fikiran Etek Anisyah.

“Jadi juga Etek turut berjuang menghadang Ulando itu nanti ?,” tanyaku dengan

pelan kepada Siti Anisyah.

“Menurut kamu ambo tidak sunguh - sungguh. Untuk apo ambo turut bermandi

peluh berlatih, mempersiapkan diri dan menjalankan amanah bersama-sama Siti

Aisyah dan Siti Maryam itu!,” sanggah Etek Anisyah.

“Aku dan Aisyah bertugas sebagai tukang propaganda bagi kaum perempuan di

kampung ini dan berupaya pula untuk terkumpulnya beberapa sumbangan guna

membantu perjuangan ini dari masyarakat kita. Sedangkan Siti Maryam lebih sering

mendapat tugas ke Mangopoh, Pariaman dan Pasaman. Walau bagaimanapun

karena kami, Aisyah dan ambo sudah bersuami, tentu kami tidak sebebas Maryam

lagi untuk bepergian,” jelas Siti Anisyah lagi kepadaku.

“Berarti nanti, kalau waktunya telah tiba dan peperangan tidak terelakkan lagi,

tentunya Ramaya Etek tinggalakan ? Tidak ibakah Etek meninggalkan Ramaya nan

Page 103: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

103 | Maryam Chilvalry

sedang lincah - lincah ini dan sedang membutuhkan kasih sayang ayah dan ibunya ?

Kalau-kalau dalam perang kita itu nanti Etek dan Mak Sikek selamat tidak apa-

apalah, tapi kalau Allah, Swt mentakdirkan lain, bagaimana jadinya Ramaya

sepeninggal ibunya, tidak terfikirkankah oleh Etek tentang itu ?,” tanyaku pula,

mencoba memancingnya.

“Kamu jangan lagi membuncahkan pikiranku, Juru Tulis !,” bentak Anisyah.

“Kamu ini dubilih, setan atau jiin, yang mencoba menggoyahkan keimananku untuk

melawan Ulando, si kapia itu!,” bentaknya lagi.

Tersimama (merah muka) juga mukaku jadinya.

“Nasib manusia, telah ditentukan oleh Allah, Buyuang. Hutang kita hanya menepati

saja. Harta, benda, anak, istri, suami hanyalah perhiasan dunia. Dan yang saya

harapkan adalah perhiasan Allah di akhirat nanti. Kamu harus ingat bahwa kunci

bathin itu adalah ‘Illahi anta makshudi, waredhakamatlubi’, kepada Allah semata,”

tukasnya lagi. Kamu jangan lagi membuai-buai perasaan etekmu ini Juru Tulis,

meskipun seorang perempuan. Tapi hatiku telah beku untuk fi...sabilillah demi

agamaku dan negeriku ini,” serapah etek Anisyah semakin menjadi jadi kepadaku.

Surut juga nyaliku ‘dilantiak ayam batino (ayam betina)’ itu. Ya..., terpaksalah

aku mengurut dada saja. Terperangah juga saya jadinya. Dalam keadaan terengah

setelah dibentak Etek Anisyah terdengarlah suara di batu tapak-an.

“Assalamu’alaikum !”

Mendengar suara itu sudah dapat dipastikan bahwa yang datang itu adalah Mak

Sikek, suaminya Etek Siti Anisyah.

“Wa’alaikum Salam !,” jawab kami dari atas rumah.

“Sudah kembali kamu dari Padang Panjang ?,” tanya Mak Sikek langsung padaku

sambil mengulurkan tangannya padaku untuk berjabat tangan.

“Sudah, Mak !,” jawabku.

“Terbawakah yang Mamak jemput ke Salo itu ?,” tanyaku pula.

Kemudian aku menjamba (mengambil) kain sarungku yang sengaja tadi saya

letakkan diatas bandur jendela rumah itu. Kebiasaan menyangkutkan kain sarung

kita di kusen jendela rumah tempat kita bertamu seperti itu, meskipun rumah

saudara sendiri adalah suatau tanda kepada orang lewat di depan rumah bahwa

kita sebagai tamu yang baik.

“Alhamdulillah, ada !, kelewang itu sudah saya surukkan di dalam kandang

sebentar ini !,” jawab Mak Sikek.

Page 104: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

104 | Maryam Chilvalry

“Kalau begitu, berarti tadi itu terdengar pula oleh Mamak saya dihardik dan marahi

Etek Anisyah sebentar ini, Mak ?,” tanyaku lagi sambil tertawa geli kepada Mak

Sikek. Akalku menjalar untuk mengembalikan nyaliku akibat tamparan kalimat

istrinya yang seakan-akan saya mengadunya untuk berantam.

“Kenapa kamu dihardik oleh etekmu ?”

“Tadi saya menanyakan prihal, Ramaya ! Bagaimana dengan Ramaya nanti kalau

etek turut pula berjuang bersama kita !,” jelasku kepada Mak Sikek.

“Jelas dia marah kepadamu, kalau itu yang kamu tanyakan. Karena pertanyaanmu

itu akan mengacaukan fikirannya, sedangkan hati dan fikirannya sudah kuat untuk

meninggalkan dunia ini, demi memperjuangkan yang hak di jalan Allah, Swt,” kata

Mak Sikek pula padaku.

Rupanya aku tidak mendapat pembelaan dari Mak Sikek. Akhirnya suasana itu kami

lerai saja dengan tawa canda ria.

“Kalau begitu, Mak ! Saya tidak akan menguji mentalnya Etek lagi, nanti bisa

melayang pula induk jari kakinya ke pangkal ketiakku. Dibelah pula katiak ambo

nanti. Ha... ha... ha...!,” selorohku untuk menghilangkan ketegangan suasana itu.

Akhirnya saya, Mak Sikek dan juga Etek Anisyah sama-sama ketawa jadinya.

“Anisyah!’ Seru Mak Sikek pada istrinya ‘inilah perangai anak yang satu ini,

pemudamu yang kamu bangga-banggakan itu’, sambil dia menunjuk kepadaku ‘dia

pintar memancing amarah kita dan pintar pula membuat kita terpingkal-pingkal.

Wajar saja tidak ada orang yang dendam padanya !,” kata Mak Sikek kepada

istrinya itu.

“Betul, begitu perangainya, Tuan. Kadang kadang ulahnya menyengkelkan kita,

karena dia pintar mencongkel rahasia kita, tapi kita tidak bisa benci sama dia, kita

tetap sayang saja padanya. Wajar saja si Maryam terpedaya kepadanya !”

“Hop...!, jangan! Jangan pula Etek bongkar rahasiaku kepada Mak Sikek. Nanti

bertambah lawan perang saya disore ini. Ha... ha... ha...!,” pintasku memotong

komentar Etek Anisyah itu.

Dalam suasana senda gurau itu Mak Sikek bertanya kembali kepadaku.

“Sudahkah kau laporkan hasil perjalananmu ke Padang Panjang dan sekitarnya tadi

itu kepada Inyiak Manan atau kepada yang lain ?”

“Belum, Mak!, tapi tadi saya sudah singgah ke rumah Mak Datuak Rajo Pangulu,

ternyata beliau tidak ada. Saya hanya ketemu dengan Kak Siti Aisyah. Lama juga

saya di rumahnya itu karena ingin menunggu Mak Datuak. Dan kebetulan pula Kak

Aisyah bercerita tentang suatu hal yang sangat rahasia tetapi ceritanya itu

Page 105: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

105 | Maryam Chilvalry

membuat jantungku gedebak-gedebur dan napasku agak sesak juga

mendengarnya.”

“Tentang masalah apa itu?!,” Mak Sikek dan Etek Anisyah minta penjelasan lebih

lanjut.

“Apakah Mamak dan Etek siap mendengarkannya?,” tanyaku pula.

“Memangnya ada kejadian apa dengan Aisyah?!,” desak mereka dengan cemas.

“Yaitu tentang kisahnya semalam penuh yang dia nikmati sepuas-puasnya dengan

Mak Datuak, suaminya,” jawabku.

“Akh!, kamu ini ada-ada saja. Mana ada orang yang mau membuka aibnya

sendiri!,” kata Mak Sikek

“kalau mamak tidak percaya, ya sudah,” jawabku ketus

“Kalau begitu, pandai betul kamu memancing hasrat orang untuk terbawa arus

olehmu,” pancing Tek Anisyah pula.

“Tapi, kenapa Aisyah sendiri mau menceritakannya kepadamu, ya?,” tanyanya

pula.

“Barangkali karena dia sangat merasa dekat dengan saya, Mak ! Saya sendiri juga

sering mengeluhkan tentang nasibku sendiri padanya, Mak. Sama halnya bagaimana

saya dengan Etek Anisyah ini!,” jawabku

“Atau... Aisyah ini sedangmeninggal - ninggalkan perangai,” gerutu Mak sikek lagi

sambil membuka peci hitam dan menggaruk-garuk kepalanya.

“Maksudnya, dia sedang mendekati ajalnya, begitu maksud Mamak?!,” desakku

“Bisa jadi begitu!, karena biasanya orang orang yang sedang dalam hitungan empat

puluh hari atau tujuh hari sebelum dia meninggal dunia sering dia bertingkah yang

tidak biasa dia lakukan sebelumnya atau bercerita tentang hal hal diluar dugaan,

aneh-aneh!,” jelas Mak Sikek

“Berarti Kak Aisyah akan gugur nantinya dalam pertempuran pada saat

mengahadapi Ulando itu ? Tapi, Mamak jangan berprasangka seperti itulah, Mak !

Saya tidak mau kehilangan Kak Aisyah dan bahkan pejuang lainnya, termasuk Etek

saya ini, Etek Anisyah, Mak !” kataku dalam kecemasan.

“Iya !, kita memang tidak berprasangka dan bahkan saya pun berharap sama

seperti harapanmu itu, tidak mau semua itu terjadi ! Tapi, ya…!, begitulah pada

galibnya !,” jawab Mak Sikek lagi.

“Hei !, kalau mengenai apa yang dia lakukan dengan suaminya itu untuk apa kamu

ceritakan kepada kami. Toh kami pun punya kisah pula !, tapi nasibmu sendiri

Page 106: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

106 | Maryam Chilvalry

bagaimana dengan Maryam ?,” tukas Etek Anisyah memotong pembicaraan kami

dan sekaligus meledekku.

“Mati kau !, kena batunya lagi kan ?,” timpal Mak Sikek lagi kepadaku.

“Tapi, kadang-kadang kamu lucu juga, pandai membangkitkan suasana. Dengan

caramu seperti itu kejumutan fikiran hilang juga jadinya. Ya, begitulah

perangaimu itu !,” kata Mak Sikek pula padaku sambil tersipu-sipu.

“Sekarang begini sajalah, kamu simpanlah segala kisah dan segala peristiwa yang

kamu dengar dan yang kamu saksikan dalam ‘keranda mutiaramu’, dan pada suatu

saat nanti kamu tulislah pada kitabmu sepatah kalam-mu dan sekering dawatmu

menuliskannya !,” kata Etek Anisyah pula.

“Dan sekarang kita makan bersama dulu, dan saya akan ke dapur untuk

mempersiapkannya dan kamu belum boleh pergi, ya! ,” seru Etek Anisyah padaku.\

Sambil mengendong Ramaya Etek Anisyah beranjak ke dapur, sementara kami

dengan Mak Sikek tetap melanjutkan obrolan kami. Tanpa aku duga, dengan suara

pelan dan sambil menghampiriku Mak Sikek pun betanya.

“Apakah selama ini pimpinan kita sudah menurunkan ilmunya kepadamu ?”

“Beberapa yang penting sudah, Mak,” jawabku dengan serius.

“Ilmu apa saja yang telah kamu dapatkan,” desak Mak Sikek lagi.

“Diantaranya ilmu silat, ilmu meringankan tubuh, ilmu tahan peluru, ilmu

petunduk, dan sedikit ilmu pemanis, Mak!,” jawabku dengan polos.

“Apakah itu saja !,” desaknya lagi.

“Iya ! Memangnya kenapa, Mak ?” kataku pula kepada Mak Sikek.

“Kalau ilmu-ilmu semacam itu sudah umum bagi anak muda, apalagi dalam suasana

seperti sekarang ini. Kepada siapa saja sudah disebarkan oleh orang-orang pintar,

termasuk dari Inyiak Manan sendiri. Bukan kepadamu saja diturunkan ilmu itu,

bahkan kepada etekmu ini, kepada Aisyah atau pun kepada Maryam sekalipun !,

tapi ada yang lebih khusus lagi, yang harus kamu miliki !,” kata Mak Sikek pula.

“Tapi, Mak !, rasa-rasanya tidak ada artinya bagi hidup ini semua ilmu-ilmu itu.

Sebab saya sangat yakin, walau bagaimana pun hebatnya ilmu itu kalau Allah, Swt

berkehendak lain, toh manusia juga tidak dapat berbuat apa apa ! Suratan kita

sudah jelas sebagaimana yang telah dijanjikan Allah, Swt. Sewaktu roh menimpa

jasad semasa masih di dalam rahim ibunya. Saya hanya menyerah saja kepada

Allah tentang apa yang akan dia timpakan kepada kita. Maka kita harus dengan

ikhlas menerimanya, Mak !,” jelasku kepada Mak Sikek dengan sejujurnya, karena

Page 107: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

107 | Maryam Chilvalry

akhirnya aku pun tidak bergantung dan bahkan tidak mempurganakan ilmu-ilmu

tersebut dalam hidupku, tidak lain hanya sekedar untuk mengetahuinya saja.

“Kata-katamu itu memang benar, sayapun tidak akan membantahnya !, tapi yang

satu itu sangat lain dan sangat perlu, apalagi kamu pada suatu saat nanti juga akan

berkeluarga !,” kata Mak Sikek lagi.

Karena saya malas untuk bersitegang urat leher dengan Mak Sikek, maka saya coba

juga untuk memperturutkan desakannya itu.

“Ilmu apa itu kira-kira, Mak ?,” tanyaku pula.

Dengan penuh semangat dan dengan matanya yang sedikit terbulalak menerangkan

kepadaku tentang khasiat ilmu yang satu itu.

“Ilmu itu gunanya untuk menjaga istri kita, supaya orang yang berniat curang dan

jahat di belakang kita tidak berani mencoba menidurinya, kalaupun dia paksakan

juga akhirnya ‘kemaluan’-nya itu tidak akan berfungsi lagi selama-lamanya. Tidak

akan bisa dipergunakannya lagi sampai dia mati, kecuali hanya untuk terkencing

saja ! Cobalah kamu ambil selembar rambutmu itu lalu kamu bakar, kira-kira

seperti itulah bentuk ‘kemaluan’-nya itu nantinya, setelah dia meniduri istri kita

itu !,” terang Mak Sikek padaku.

Mendengar penjelasan Mak Sikek itu, akhirnya saya bersemangat pula jadinya.

“Sudah ada buktinya, Mak ?,” tanyaku pula

“Kalau buktinya yang kamu tanyakan, bagaimana caranya membuktikan, kalaupun

sudah ada yang teraniaya seperti itu siapa pula yang mau mengakuinya. Kan

‘mancabiak baju di dado’ juga jadinya,” jelas Mak Sikek pula.

“Panjangkah bacaan do’anya, Mak ?, dan kepada siapa saya dapat menuntut ilmu

itu ?,” desakku dengan antusias pula kepada Mak Sikek.

“Itu kan ?!, makanya jangan terburu-buru dulu untuk mengatakan tidak. Kan sudah

ada pepatah yang mengatakan ‘jika manis jangan terburu-buru menelannya, dan

jika pahit jangan terburu-buru pula memuntahkannya’. Ilmu batin itu bukankah

juga merupakan do’a-do’a kita kepada Tuhan ! Nah, ternyata sekarang kamu

bersemangat pula untuk memilikinya bukan ? He, he, he…!,” ledek Mak Sikek lagi

kepadaku sambil terkekeh-kekeh.

Agak malu juga aku jadinya karena kecongkakanku sebelumnya, sehingga akupun

diledek oleh Mak Sikek. Tapi aku memang merasa perlu akan ilmu itu.

“Begini!, ada suatu jalan yang aku tunjukkan padamu. Seandainya pemimpin kita

tidak berkesempatan lagi mengasihkan ilmu itu kepadamu, karena tidak ada lagi

waktu yang senggang, maka janganlah gusar, karena ilmu itu pun telah sampai

Page 108: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

108 | Maryam Chilvalry

kepada Etek Siti di Mangopoh. Pada suatu kali nanti cobahlah kamu telusuri ke

sana. Kamu tuntut lah ilmu itu kembali kepada Etek Siti Mangopoh itu !”.

Dalam merenung, menyimak penjelasan Mak Sikek itu, terbayang olehku

‘barangkali inilah sebabnya kenapa pemimpin perlawanan ini dan para kaum laki-

laki tidak menyangsikan untuk meninggalkan para istri mereka kelak. Bahkan untuk

beberapa orang suami rela pula melepas istri-istrinya untuk berjuang

mempertaruhkan nyawanya. Mereka percaya bahwa anaknya tidak akan berbapak

tiri dan para ibu-ibu atau pun para gadis tidak khawatir pula mahkotanya akan

dirampas oleh cecunguk-cecunguk Ulando itu nantinya. Agaknya pula, Maryam sang

kekasihku juga telah menimba ilmu ini dari pemimpin perlawanan ini atau dari

Etek Siti Mangopoh sendiri, karena dia sering menemuinya dalam

mengkonsolidasikan perjuangn ini. Tapi, kenapa Maryam tidak pernah berterus

terang padaku tentang satu hal ini, ya ?! Bisik hatiku lagi. Akhirnya aku dikagetkan

dari lamunan itu dengan suara Mak Sikek lagi.

“Persoalan yang satu inilah sebetulnya yang ingin aku bicarakan denganmu !,

makanya saya suruh kamu untuk mampir hari ini dan malah saya pesankan pula

kepada etekmu ini tadi pagi, sebelum aku berangkat ke Salo itu,” kata Mak Sikek.

Dalam pada itu istri Mak Sikek pun telah menghidangkan nasi yang asapnya sedang

mengebul-ngebul. Maka kamipun segera menikmatinya, namun tidak sepatah

katapun diantara kami ada yang keluar, keculai Etek Anisyah dan Mak Sikek

sesekali mencuri pandang, seakan-akan mereka berbicara dalam bahasa isyarat.

Entah apa arti dan maksudnya sampai sekarang pun saya tidak bisa menebaknya.

Makan di rumah Etek Siti Anisyah sore itu terasa nikmat sekali, karena sebelumnya

kami terlibat dalam pembicaraan yang penuh arti, meskipun kadang kala dalam

suasana berseloroh. Atau mungkin juga lantaran udara terasa dingin karena hujan

di sore itu telah turun pula. Dan yang pasti saat itulah aku makan terakhir kalinya

di rumah Etek Anisyah sekeluarga.

Sebagaimana kisah yang aku bayangkan di hadapan Mak Sikek dan Etek Anisyah

sebelumnya, maka sewaktu aku bertamu ke rumah istri Mak Datuak Rajo Pangulu,

Page 109: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

109 | Maryam Chilvalry

di itulah aku mendapatkan sebuah panorama kehidupan dalam keluarga yang

harmonis, romantis namun tetap dalam adab ke-Minangkabau-an. Namun, 'lain

lubuk lain ikannya, lain padang lain belalangnya', begitu kata pepatah

menggambarkan tentang khasanah kosmologi itu kepada kita dari para filusuf,

leluhur Minangkabau dahulu kala. Kata-kata bijak itupun sangat luas cakupannya

termasuk kepada tingkah, perangai maupun kisah dan kenangan yang dialami

setiap orang yang tidak sama satu dengan yang lainnya.

Pada suatu pagi, aku diajak seorang sahabat untuk minum pagi dirumahnya selesai

kami shalat berjamaah di surau. Tak hayal lagi karena hidup masih membujang

maka aku pun mengamini ajakan sahabat tersebut.

Tapi melihat suasana keluarga yang masih belum mempunyai momongan sibuah

hati itu, dia senasib dengan Mak Datuak Rajo Pangulu dan Kak Siti Aisyah. Meskipun

berbeda kondisi, pengalaman hidup dan kisahnya masing-masing. Bagiku tidak lain

adalah semacam kekayaan khasanah saja.

Entah apa sebab musababnya dan firasat apa yang berembus di hati sahabatku itu

dia mulai berkisah sambil menikmati kopi pagi dan ketan merah dengan kalio

rendang hangat, yang masih dipanaskan dengan bara api sabut kelapa. Wanginya

disapu-sapu semelir angin dipagi hari melayang-layang entah kemana-mana

membuat kelenjer air ludah memercikkan air bening di pinggir lidah, menerbitkan

selera untuk menyantapnya.

Katanya, sepulang melihat padi di sawahnya sehabis zohor kemarin dia bertanya

pada istrinya, paling tidak sekedar melepaskan unek-unek yang menyelimuti

fikirannya tentang alasan sesungguhnya terhadap kemauan yang keras dari istrinya

yang mengikhlaskannya akan turut berjuang menentang belasting yang sedang

diperjuangkannya itu. Meskipun istrinya sendiri wallahu a’lam akan turut

berperang nantinya, namun sekedar membantu Maryam dalam propaganda guna

membangkitkan semangat juang bersama pada masyarakat telah menjadi ‘cermin’

bagi masyarakat.

“Ambo mau bertanya pada awak tentang satu hal,” katanya kepada istrinya.

“Apa yang ingin Tuan tanyakan pada ambo?,” jawab istrinya.

“Kenapa awak mengikhlaskan ambo untuk turut berjuang menentang Ulando

bersama pejuang anti belasting lainnya itu, apa alasan awak yang sesungguhnya?,”

tanya sahabatku itu lagi kepada istrinya.

“O, itu yang mau Tuan tanyakan pada ambo?,” istrinya balik bertanya.

“Hal ini adalah sebuah pertanyaan penting bagi ambo sebagai salah seorang

anggota pasukan Inyiak Manan, dan pertanyaan ini harus awak jawab dengan

sunguh-sunguh!”

Page 110: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

110 | Maryam Chilvalry

“Begini, Tuan! Ambo lihat pemimpin kita yang bertiga itu, yaitu Inyiak Manan, Mak

Datuak Rajo Pangulu dan Tuan Kari Mudo itu adalah gambaran pemimpin di

Minangkabau. Mereka benar-benar Tali Tigo Sapilin.

Inyiak Haji Abdul Manan, Tuan Kari Mudo dan Mak Datuak Rajo Pangulu tidak

seorang pun yang dapat dikatakan mana yang pemimpin utama dari mereka, sebab

beliau bertiga itu berfungsi pada posisinya masing- masing dalam satu tekad dan

satu tujuan yang sama. Seperti yang awak pahami, Inyiak Manan adalah seorang

Ulama, Mak Datuak Rajo Pangulu sebagai Ninik Mamak. Sedangkan Tuan Kari Mudo

adalah seorang cerdik pandai, karena dia seorang berilmu, berfaham tapi tidak

seorang penghulu dan juga tidak sebagai seorang ulama. Sementara pemimpin yang

diinginkan oleh penjajah itu adalah pemimpin tunggal, yaitu pimpinan yang berada

pada satu tangan saja. Dia mengatur segala-galanya. Jika bertampuk dia seorang

yang memegang, jika bertangkai dia seorang menggenggamnya. Itulah dia seperti

Angku Palo, Angku Lareh hasil perbuatan Ulando itu. Bukankah begitu, Tuan?”

tanya istrinya kepada sahabatku itu, mempertegas penyampaiannya.

“Ya! Tepat sekali!, lalu dari mana kamu mendapatkan kalimat-kalimat seperti itu?”

Sahabatku itu tercengang mendengar penjelasan istrinya itu, meskipun hakikat

pertanyaan yang dituntutnya belum terjawab oleh istrinya itu.

“Dari Maryam, Tuan. Ambo kan sering berjalan dengannya di kampung ini. Maka

sepanjang perjalanan itu sering kami bertukar pikiran tentang banyak hal,” jelas

istrinya.

“Nah, suatu hal lagi. Kak Siti Aisyah dan suaminya Mak Datuak Rajo Pangulu akan

langsung turut berperang, Siti Maryam juga demikian dan Etek Siti Anisyah sudah

mengikhlaskan pula dirinya bersama suaminya untuk meninggalkan anaknya

Ramaya yang masih kecil kalau dia gagal dalam peperangan itu nanti. Dan kalau

ambo mempunyai kemampuan dan kepintaran berperang seperti mereka itu

tentunya ambo akan turut pula ke medan lagi itu. Makanya ambo hanya

mengikhlaskan Tuan untuk turut dalam perjuangan suci itu,” tambah istrinya lagi

menjawab tuntutan suaminya itu.

“Meskipun nanti Tuan - junjungan jiwa dan badan ambo – gugur dalam

pertempuran itu tentu ambo akan hidup sendirian, sebab tidak ada lagi orang

sebagai sandaran jiwa dan badan, tidak ada lagi orang sebagai curahan kasih dan

sayang. Maka tidak obahnya ibarat pantun orang juga Tuan,” sambung istrinya:

‘Nan karimbo rasak nan banyak Nan tumbuah di kaki Singgalang. Nan kalawan galak nan ka kabanyak Nan kok rusuah ka ambo surang’.”

(Kerimba rasak [kayu] yang banyak

Page 111: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

111 | Maryam Chilvalry

yang tumbuh di kaki [gunung] Singgalang.

Untuk ketawa kawan yang banyak

yang rusuh [risau] aku seorang)

“Kenapa awak tidak punya alasan lain dan berbicara tentang masalah yang lain,

seperti kalau perlawanan ini kita menangkan maka si kafir itu tidak akan jadi

menjajah kita. Seluruh rakyat akan betul-betul menikmati kemerdekaannya,

mereka akan menikmati hasil buminya sendiri secara bulat dan utuh,” sanggah

sahabatku itu lagi kepada istrinya, menirukan kembali ucapannya kepadaku.

“Tentu saja, Tuan-ku...!”

“Kan dalam perang itu kita dihadapkan pada dua pilihan saja. Hidup atau mati!”

“Maka, lebih baik kita bicarakan dulu sesuatu kepahitan yang akan kita tempuh

nantinya.”

“Seandainya, Allah Swt mentakdirkan, dalam pertempuran itulah ajal kita sampai,

Malaikat Izrail mencabut nyawa kita yang tersebabkan oleh peluru mesiunya

pasukan Ulando itu, maka tamatlah semua perjalanan hidup kita. Di akhiratlah

tempat kita bertemu kembali!. Iya, kan Tuan?!,” kata istrinya, yang ditirukan

sahabatku itu sambil menghirup kopi pada cawan porsolen buatan cina yang

bermotif kembang sepatu itu. Menirukan jawaban istrinya itu, tersedak

kerongkongannya sewaktu menelan kopi pahit itu dan buru-buru menyanggah

pernyataan istrinya.

“Nah, kenapa kamu tersedak,” kataku kaget padanya.

“Ya, karena dia bicara soal kematian, kawanku, Juru Tulis,” katanya padaku

“Memangnya kenapa, kematian adalah ketentuan, mutlak hukumnya bagi setiap

yang bernyawa, bukankah begitu?,” jawabku pula

“Ya, memang!,” jawabnya pintas

“Nah, apa lagi dalam sebuah peperangan. Sudah jelas tantangannya ‘hidup atau

mati’, seperti yang dikatakan istrimu itu” Kataku padanya

“Terus, bagaimana lagi kelanjutan cekrama kalian, kemarin itu?” Pancingku lagi

“Ya, apa yang akan kita risaukan Tuan, kalau memang kita ditakdirkan meninggal

dalam pertempuran itu ‘si buyung tak ada yang akan menangis, si upik pun tak ada

yang akan meratapi kita’!” Kata istriku lagi.

Page 112: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

112 | Maryam Chilvalry

Sekilas aku menangkap terjadi perubahan sinar wajah dan sedikit matanya berlinag

menyertai geleng-geleng kepalanya sambil meletakkan kembali cawan kopi ke

tatakannya seakan dia mengeluhkan tingkah istrinya itu.

“’Kemudian istriku itu masuk kedalam kamar, meninggalkanku sendirian di tengah

rumah yang sedang menikmati rokok yang asapnya mengepul-ngepul,” ulasnya

padaku

“Maklumlah sajalah kamu, sepasang suami-istri itu belum diamanahkan oleh Allah,

Swt. seorang keturunan pun, dan kamu juga tau bukan bahwa istriku ini adalah

perempuan semata wayang pula oleh keluarganya, meskipun dia punya kakak dan

adik tetapi laki-laki semua. Sehingga rumah kami ini terasa sunyi dari suara anak

anak,” sambungnya lagi

“Tau-ataunya,” katanya lagi kepadaku dengan mendongakkan sedikit kepala

dengan wajahnya berseri, “ istriku keluar dari kamarnya dan bertanya padaku.”

“Taukah kamu apa yang terjadi selanjutnya?” Tanya dia pula padaku.

“Ya, apa?” akau balik bertanya padanya

“Tau-taunya, istriku keluar dari kamarnya dengan membawa tiga potong baju yang

sudah lama tersimpan di lemari ke hadapanku yang diringi pertanyaanya...’Tuan,

manakah yang bagus kebaya ini untuk ambo pakai sekarang?’,” tanya dia kepadaku

sambil memperlihatkan tiga helai kebaya panjang yang masih dalam keadaan

terlipat. Tentu saja saya terperanjat, “Juru Tulis !,” katanya padaku. Akupun tak

berkedip mendengarkan ucapannya yang diiringi semangatnya yang mulai berapi-

api.

“Baju apa maksudmu, kawan?,” tanyaku dengan penuh antusias

“Satu lembar kebaya itu adalah kebaya kurung yang sedikit saja tekukan gunting di

bahagian lehernya, seperti huruf. V (ve), sedangkan dua lembar lagi adalah kebaya

panjang yang berbelah lepas di tengahnya,” jelasnya.

Biasanya kebaya panjang yang berbelah lepas di tengahnya itu mempergunakan

peniti yang berderet ke bawah untuk mengenakannya di badan. Dan biasanya pula

kebaya tersebut dipergunakan untuk menghadiri jamuan atau perhelatan sering

penitinya berupa rupiah emas Amerika.

Rupiah emas merupakan jenis mata uang Amerika yang terbuat dari emas 24 karat

beratnya berkisar 7,5 gram. Rupiah emas ini ada berupa rupiah emas polos, ada

pula yang dijadikan mainan lontin dan sering juga dikasih peniti emas di tengah-

tengah untuk disematkan di baju kurung perempuan Minang. Kaum perempuang

Minang menjadikan rupiah emas Amerika ini sebagai simbol atas keberadaannya.

Dan sering pula dijadikan sejenis tabungan karena harganya selalu naik bila

dibandingkan nilai uang.

Page 113: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

113 | Maryam Chilvalry

“Memangnya awak mau kemana?, siapa yang berhelat?,” tanyaku penuh heran saat

itu.

“Tidak kemana-mana Tuan!, tidak ada pula orang yang berhelat sekarang ini! Cuma

ambo ingin sekali memakai salah satu diantara kebaya yang saya sukai ini. Setelah

mandi sore nanti ambo akan berdiam diri saja di rumah bersama Tuan, ambo akan

memakai salah satu dari kebaya kebaya ini, hasil pilihan Tuan. Tuan tidak kemana-

mana bukan?!,” tukasnya lagi

“Ya, ambo memang tidak ke mana-mana, ambo saat ini ingin beristirahat dulu di

rumah! Kalau begitu kenapa awak akan memakai kebaya, sedangkan kita di rumah

saja?,” tanyaku lagi menyambung jawabannya itu.

“Entah kapan lagi rasanya ambo akan memakai kebaya pembelian Tuan ini,”

jawabnya

“Sebetulnya bukan Aisyah saja yang berprilaku sedemiakian, baik laki-laki maupun

perempuan pada pekan-pekan ini, berusaha menggembirakan hatinya masing-

masing dengan mengenakan pakaian bagus-bagus setiap harinya. Karena mereka

sudah siap berhadapan dengan ‘maut’. Dan kalau memang kematian menjadi

kenyataan, kapan lagi akan mengenakan pakaian yang bagus-bagus itu. Itulah

anggapan rmereka yang sudah siap untuk berperang belawan Ulando nantinya,”

komentarku pula, mencoba menghibur sahabatku itu.

”Tapi bukan sebegitu saja, Juru Tulis, dia, istriku itu melontarkan kata-kata pula

’Tuan, semakin hari perasaan ini semakin tidak enak. Rasa-rasanya akan ada

sesuatu yang akan terjadi pada kita, Tuan! Maka, izinkanlah ambo memakai kebaya

ini pada malam ini, dan tolonglah Tuan pilihkan yang mana akan ambo kenakan

nanti. Ada-ada saja perangai istruku itu,” Sambil gelelng-geleng kepala dia

mengkisahkan tingkah istrinya

”Lalau kamu pilihkan?,” aku semakin ingin tau akan cerita yang semakin

mengasikkan itu.

”Begini, Juru Tulis, ambo katakan sama dia ’masak ambo yang disuruh memilih,

sedangkan yang akan memakainya adalah awak sendiri!,” kataku padanya, tahukah

kamu jawabannya Juru Tulis?

”Ya, tidaklah kawan, dari mana pulaku tau! Kamu ini ada-ada saja.”

Sambil setengah berbisik dengan sedikit membungkukkan tubuhnya ke arahku dia

kembali menirukan kalimat istrinya.

“Iyalah, Tuan!, kan yang melihat bagus atau tidaknya tentu orang yang

memandang. Sedangkan orang yang akan menikmati atau merasakan keindahan itu

adalah Tuan sendiri! Katanya lagi padaku”.

Page 114: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

114 | Maryam Chilvalry

Kawanku semain berbinar. Aku pun mulai tersimpul-simpul pula melihat gaya

sahabatku meragakan gaya istrinya yang bermanja dengannya tentang selembar

kebaya.

“O, ya… ya!. Terserah awak sajalah mana yang lebih pantas untuk awak kenakan.

Ambo menyukai ketiganya. Jadi ambo tak dapat membedakannya. Mana yang awak

kenakan itulah yang terbagus!”

“Betulkah begitu, Tuan?”

“Iya, betul begitu!”

Tanpa disadari kami yang sedang berleha-leha diberanda depan rumahnya itu kami

dipergok oleh istrinya.

”Apa mempergunjangkan awak pula Tuan-tuan, ya?!”

”Tidak, tidak! Siapa yang mempergunjingkan kamu sepagi ini,” jawabku agak

gagap. Rupanya selentingan menjelang di menjumpai kami di beranda itu dia sudah

mendengar senda gurau kami itu.

”Ke dapur saja lah awak atau pergilah mencuci ke pancuran biarlah kami maota-

maota (ngobrol)saja disini!,” timpal sumainya, kawanku itu.

”Iya pula yang disampikan suamimu ini, biarlah kami angsur-angsur juga mncicipi

ketan dan kalio masakan kamu ini,” kataku pula.

”Iya, dihabiskan itu ketannya itu Tuan!,” serunya pula kepadaku

”Iya, terimakasih. Siapa pula yang tidak mau menghabiskan makanan yang seenak

ini!,” sanjungan pula padanya.

Istrinya itu berlalu dari hadapan kami, seperti berkemas-kemas membersihkan

kamarnya dan memisahkan kain-kain yang akan dicuci pancuran, tepian umum di

kampung itu.

Setelah mandi dan Shalat Ashar, mereka hanya mengaso saja di rumah dan

menjelang Shalat Magrib mereka makan bersama, tapi Aisyah ternyata tidak

mengenakan kebaya yang dia perlihatkan siang tadi pada suaminya. Sehingga

sewaktu makan sore, bertanya tanya sendirian sajalah Dt. Rajo Pangulu dalam

hati. Mau ditanyakan langsung kepada Aisyah kenapa tidak jadi dia mengenakan

kebaya itu agak ragu pula. Masih dalam suasana sedemikian Aisyah berkata pada

suaminya.

“Tuan, kali ini ambo tidak Shalat Maghrib di Surau, ya! Tuan sajalah yang pergi ke

Surau. Tapi Shalat Isya nanti kita berjamah saja di rumah. Tidak apa bukan?,” kata

Aisyah pada suaminya dengan sedikit bergaya memanjakan diri.

Page 115: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

115 | Maryam Chilvalry

“Ya, tidak apalah!,” jawab suaminya dengan singkat.

Sepulang dari Surau, Dt. Rajo Pangulu mendapati istrinya sudah mengenakan baju

kebaya dengan sedikit polesan berhias diri. Ternyata kebaya panjang yang

dikenakan Siti Aisyah adalah yang berbelah di tengah dan dilihatnya peniti yang

terbuat dari rupiah emas telah berderat pula dari atas sampai ke bawah,

setentangan pusatnya. Peniti-peniti dari rupiah emas itu mempertemukan kedua

ujung kebaya tersebut.

Semerbak bau kasturi pun terlintas meransang penciuman Dt. Rajo Pangulu.

Sehingga suami Siti Aisyah ini semakin terheran - heran melihat tingkah isterinya

semenjak pagi tadi, yang terlihat agak aneh-aneh, tidak seperti biasanya.

Dt. Rajo Pangulu duduk di tengah rumah selesai dia bersalin di kamarnya, Siti

Aisyah menghidangkan secangkir minuman khas waktu itu, yaitu aia kawa,

bercampur santan, madu dan sedikit irisan jahe merah yang masih hangat. Aia

kawa adalah air seduhan daun kopi arabica atau robusta yang telah tua dan

dikeringkan dengan cara mendiangkan (diasap) dengan cara menusuk daun-daun

kopi yang telah tua itu dengan lidi lalu digantungkan di atas tungku kayu. Setelah

daun itu kering dan berwarna coklat lalu diremukkkan bagaikan teh. Serbuk inilah

yang diseduh dengan air panas dalam tabung bambu hingga dingin airnya. Tabung

bambu itu dikenal juga dengan nama ‘katiang’.

“Minuman apa ini yang awak bikin?,” tanya Dt. Rajo Pangulu

“Santan dan aia kawa, Tuan!”

“Eh, biasanya kan pada pagi hari minuman ini awak buatkan untuk ambo, kenapa

sekarang, pada malam hari awak buatkan?,” tanya suaminya lagi.

“Iya, Tuan!, tadi ambo lupa membuatkannya, maka sekarang saja ambo

bikinkan!’”

‘Kalau Tuan tidak suka, ya tidak apa-apa, biarlah ambo buang kembali!,” jawab

Aisyah dengan sedikit merajuk, takut kalau suaminya tidak mau meminum

minuman yang berkhasiat itu.

“O, o…! Tidak, tidak Aisyah! Ambo kan cuma bertanya saja pada awak. Kalau sudah

dibuatkan ini ya..., untuk apa dibuang. Kan mubazir kalau dibuang. Diminum juga

tidak ada salahnya!,” jawab suaminya yang takut istrinya akan kecewa karena dia

sudah cape-cape membikinkannya.

“Tapi, kenapa berbusa airnya, Aisyah?,” tanya Dt. Rajo Pangulu lagi.

“Tentu saja berbusa, Tuan! Kan minuman itu juga ambo campur pula dengan

kocokan kuning telor itik,” jawab Aisyah dengan malu-malu kucing.

Page 116: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

116 | Maryam Chilvalry

“Aaaa..., agak panas pula kerongkongan ambo dan menyengat ke hidung!, rasa apa

pula itu Aisyah?!,” kata Dt. Rajo Pangulu pula.

”Akh, Tuan!, masak segala ditanya, tentu saja agak panas dan menyengat rasnya

Tuan. Kan ambo kasih pula air parutan sipadeh siarah dan sedikit merica, kayu

manis, Tuan!,” jawab Aisyah dengan tersipu-sipu malu kepada suaminya.

Dt. Rajo Pangulu pun tertawa tawa kecil melihat tingkah istrinya itu, dan Siti

Aisyah pun tertawa geli juga karena malu seakan-akan niatnya yang terselubung

tertebak oleh suaminya. Sehingga dalam suasana saling tertawa itu mereka tanpa

sadar telah ber-‘endek endek’-an pula. Endek-endekaan adalah senggol senggolan

dengan bahu kanan dan bahu kiri pasangan.

Sehabis minum santan-aia kawa yang ditambah telor itik dan ramuam rempah-

rembah tradisional tersebut dari kejauhan terdengarlah bunyi beduk berirama

menandakan waktu Shalat Isaya sudah tiba. Maka Dt. Rajo Pangulu pun berkumur

kumur dengan air putih dan berdiri untuk mengambil wudhuk ke belakang. Siti

Aisyah pun bergegas pula untuk berwudhu karena mereka akan melaksankan Shalat

Isya berjamah.

Selesai Shalat, Siti Aisyah mengemas mukena dan dua buah sajadah yang

terbentang, kemudian masuk ke kamarnya. Dan Dt. Rajo Pangulu duduk kembali

bersandar di dinding rumah persis menghadap kearah kamarnya sambil mempelintir

sebatang rokok yang terbuat dari daun nipah yang digulung dengan tembakau dari

Nagari Guntuang di Luhak Limo Puluah Koto. Sesaat kemudian Siti Aisyah muncul

kembali di pintu kamar dan langsung berhadapan dengan suaminya yang sedang

mengkulum asap rokok.

“Tuan, bagaimana menurut Tuan pakaian kebaya yang ambo kenakan ini?,” anya

Aisyah.

“O, bagus!, ambo suka dengan pakaian yang awak kenakan itu. Cocok sekali

dengan paras awak!,” jawab Dt. Rajo Pangulu memuji kecantikan istrinya itu.

Kalau mengenai kecantikan Siti Aisyah, apa yang hendak dikata. Belanda saja

sering mengeluhkannya. Kontroler Westenenck sendiri mengakui akan kemolekan

istri Dt. Rajo Pangulu itu, sehingga Westenenck sangat heran kenapa wanita muda

yang secantik itu mau mensucikan dirinya dan mau mati syahid dalam berperang.

Lalu Aisyah menghampiri suaminya, dan duduk di sebalah kiri suaminya.

“Taukah Tuan apa maksud ambo berpakaian seperti ini pada malam ini?”

“Memangnya mengapa?,” tanya suaminya pula.

“Malam ini sepertinya malam terakhir bagi kita untuk bersama di rumah kita ini,

Tuan!”

Page 117: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

117 | Maryam Chilvalry

“Ya, barangkali firasat kita sama, Aisyah! Perang sudah diambang pintu. Belum

taulah bagaimana nasib kita selanjutnya. Cuma saja ambo tidak memperlihatkan

kegundahan ambo itu kepada awak atau pun kepada orang lain. Ambo khawatir

nantinya akan melemahkan semangat perjuangan kita,” jawab Dt. Rajo Pangulu.

“Makanya ambo sangat menginginkan tiada tersisa dan terbuang waktu semalam ini

bagi kita. Ambo tidak mau malam ini waktu kita terbagi kepada yang lain, Tuan!,”

tukas Aisyah pula.

Dt. Rajo Pangulu berdiri, berjalan kearah kamarnya, dan menggantung kan peci

hitam berlilitkan kerutan kain sutra hitam yang dikenakannya itu di sisi samping

pintu kamarnya. Sambil berdiri itu Dt. Rajo Pangulu pun bertanya kembali kepada

isterinya.

“Kenapa awak pakai peniti rupiah itu semuanya ? Kalau sempat terlihat orang bisa

bikin susuah juga nantinya!”

Sambil berdiri dan menyusul ke tempat suaminya berdiri itu, Aisyah mencoba

menjawab tanya sumainya itu.

“Karena ambo ingin segala perhisan ambo ini, hanya Tuan yang mengumpulkan dan

menggenggamnya dengan erat,” jawab Aisyah.

Maklumlah, Dt. Rajo Pangulu adalah seorang ninik mamak yang sangat paham

dengan maksud kata malereng dari isterinya itu, apalagi semenjak dari siang tadi

kurenah isterinya pun sudah menunjukkan ada sesuatu hasrat yang harus

ditunaikannya.

Bagi Dt. Rajo Pangulu sendiri rasa hangat telah mulai menjalar naik di sela-sela

tulang punggungnya menuju pundak dan kepalanya, dari kepala pun sudah

menyebar ke seluruh tubuh, otot-ototnya sudah mulai mengencang. Apakah karena

pengaruh ramuan minuman yang dibuatkan isterinya tadi atau karena mendengar

resah suara yang melirih dari istrinya itu. Atau mungkin juga karena sudah

‘serentak niat dan takbir’ untuk menunaikan nafkah bathin.

Dt. Rajo Pangulu berbalik dan melangkah untuk mendekati istrinya, dan mencoba

untuk memagang pundak istrinya yang terlihat sudah mulai agak kaku itu untuk

dirangkul dan didekapnya. Dalam dekapan yang penuh kehangatan itulah dada Dt.

Rajo Pangulu merasakan sesuatu yang hanya dibatas oleh selembar kain kebaya

yang lembut dan tipis itu.

Tapi Aisyah seakan meronta dengan gerakan-gerakan kecil yang lambat, seakan dia

ingin melepaskan tubuhnya dari dekapan suaminya itu. Ternyata gerakan kecil Siti

Aisyah itu semakin membubungkan darah Dt. Rajo Pangulu, sehingga dia semakin

mengeratkan rangkulannya.

Page 118: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

118 | Maryam Chilvalry

“Aisyah, apakah maunya awak juga ambo yang akan membuka satu persatu peniti

rupiah yang menyemat baja awak ini?,” tanya suaminya dengan suara setengah

berbisik sambil merenggangkan rangkulannya pada Aisyah.

“Rupanya Tuan sangat arif sekali, tapi kenapa dari tadi siang Tuan seolah tidak

mengerti apa sebenarnya yang ambo maksud dan inginkan?,” kata Aisyah pula

yang saat itu tangan kirinya diletakkannya di bidang dada suaminya sebelah kanan,

sedangakan jari telunjuk dan jari malangnya tangan kanannya mencoba untuk

masuk disela-sela kancing baju ‘ganiah’ bergunting teluk belanga yang dikenakan

Dt. Rajo Pangulu untuk mengukir dada suaminya dengan lembut.

Dt. Rajo Pangulu membuka semat peniti dari rupiah emas di baju istrinya itu satu

persatu dan sambil melangkah ke pinggir tempat tidurnya di dalam kamar,

mencoba untuk menenangkan darahnya dan mengalihkan sedikit perhatiannya. Dia

menerangkan suatu penjelasan tentang pertanyaan istrinya itu.

“Aisyah, seharusnya kita sebagai seorang yang ‘berpaham’ tidak harus serta-merta

menanggapi sesuatu yang kita dengar, yang kita lihat atau pun sesuatu yang dapat

kita rasakan. Meskipun lemang dan serikaya yang terhidang di depan kita, bukanlah

langsung kita santap, meskipun sudah untuk kita sendiri. Tentu kita patut dan

renungkan dulu untuk sesaat, cobalah kita rasa-rasakan dulu dikerongkongan kita

bagaimana nikmatnya lemang dan serikaya itu, yang dimakan itu rasa dan yang

dilihat itu rupa, Aisyah. Setelah itu, barulah nantinuya kita akan benar-benar

merasakan kenikmatan yang sesungguhnya. Bukankah begitu yang pernah kita

lakukan selama ini, Aisyah?”

Sepanjang itu penjelasan Dt. Rajo Pangulu pada istrinya, namun Siti Aisyah seakan

telingahnya sudah pekak. Dia hanya membisu, sementara tangan kirinya sudah

melingkar dipinggang suaminya dan tangan kanannya telah mengerayang pula tak

tentu arah. Kala itu Aisayah hanya bisa menjawab dengan sopotong kalimat dalam

suara yang amat gemetar.

“Selama ini memang begitu, Tuan! Tapi sekarang sangat berbeda!, dan ambo ingin

sekali untuk menikmati yang berbeda itu sepuasnya malam ini!,” tegas Aisyah

pada suaminya.

Bagaimana kisah dalam perjalanan malam istimewa mereka itu kuranglah terang

bagiku. Namun yang jelas pada Subuh itu jamaah Surau bertanya-tanya ‘kenapa Dt.

Rajo Pangulu dan Siti Aisyah tidak nonggol subuh itu?’. Tentu saja jamaah surau

itu merasa berwas-was, karena situasi bagi masyarakat Kamang waktu itu sudah

sangat mencekam dan mengkhawatirkan.

Page 119: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

119 | Maryam Chilvalry

14. Biadab

SUDAH beberapa kali Bonjol di gempur untuk diduduki termasuk yang dipimpin

langsung oleh Gubernur General Van den Bosch. Karena sulitnya menundukkan

kaum Paderi dan menduduki Bonjol, Van den Bosch akhirnya pada dini hari 3

Oktober 1833 memutuskan untuk berangkat kembali ke Batavia, ‘lari malam’

menurut cemoohan orang Minang. Dan, untuk memperkuat pemerintahannya di

Sumatera Barat diangkatnya dua orang Komisaris di Padang sebagai wakilnya. (Red:

Dua orang Komisaris untuk satu daerah di Hindia Belanda, agaknya hanyalah di

Minangkabau ?), yaitu J.J. Van Sevenhoven dan Mayor Jenderal J.G. Riesz.

Sejarah pun berulang, penyakit lama berjangkit kembali. Siasat ditukar, perang

frontal sudah tak mempan “Pelakat Panjang” diumumkan pada 25 Oktober 1833

sekedar ‘time out’ untuk bernapas panjang sesaat. Hal ini terbukti dengan

tindakan Belanda yang mengkhianati sendiri ‘maklumat perdamaian’ yang

dibuatnya sendiri secara sepihak itu. Luka lama berdarah lagi rakyat Minangkabau.

Fatwa-fatwa yang diberikan Tuangku Imam Bonjol merupakan senjata bathin yang

tidak dapat ditumpulkan oleh berbagai ‘presure’ dan provokasi dari pemerintah

ataupun oleh militer Belanda.

“Sebuah kejadian yang tidak dapat dimaafkan dan dilupakan oleh generasi kami

dan bahkan generasi Minangkabau,” Siti Maryam mengawali pidatonya. “Adalah

terhadap kekejaman pasukan tentara Ulando pada waktu itu penculikan yang

dilakukan atas dua orang istri Tuangku Imam untuk menggoncangkan mental

beliau.”

“Pada suatu malam dalam bulan Juli 1837 - setelah sepuluh hari lebih pertempuran

yang dihadang pasukan Tuangku Imam yang tiada henti-hentinya, satu pasukan

kecil tentara Belanda mencoba memasuki kota Bonjol dengan menyelundup

Page 120: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

120 | Maryam Chilvalry

ditengah lelapnya pasukan Paderi yang sedang kelelahan. Sehingga kedatangan

tamu yang tidak diundang itu tidak diketahui oleh pengawal benteng.

Pasukan kecil itu terus menuju rumah kediaman Tuangku Imam bersama anak-anak

dan kedua istrinya. Dengan serta merta kedua istri Tuangku Imam dilarikan secara

diam-diam. Kejadian itu diketahui oleh salah seorang putra Tuangku Imam yang

bernama Mahmud, dan tanpa berpikir panjang Mahmud melakukan perlawanan

guna menyelamatkan kedua orang ibunya itu. Karena perkelahian tidak seimbang,

pada akhirnya perut Mahmud ditusuk dengan bayonet yang menempel di ujung

laras senapan pasukan Belanda tersebut. Dalam kejadian ini, yang amat tragis

adalah perlakuan ‘marsuse’ yang sangat biadab. Setelah perut Mahmud terberai,

darah mengucur dari celah jantung yang bocor. Kemudian, kaki salah seorang istri

Tuangku Imam diputuskan, dikerat pahanya selagi dia masih hidup, sedangkan istri

yang seorang lagi tubuhnya diukir, disayat-sayat dengan ujung sangkur ‘Belanda

Hitam’ itu. Ini benar-benar biadab, buas. Mendengar suara ribut dan jeritan suara

perempuan, Tuangku Imam terbangun dari lelapnya, beliau langsung mengambil

pedang dihunusnya menuju tempat suara ribut tersebut. Perkelahian seru pun

terjadi antara beliau dengan tentara Ulando.

Dalam perkelahian ini, Tuangku Imam Bonjol menderita luka-luka karena tusukan

bayonet, tetapi pasukan Ulando kocar-kacir melarikan diri dalam penderitaannya

pula. Karena banyak menderita luka yang menyebabkan banyaknya darah yang

keluar, tubuhnya semakin melemah dan beliau tidak dapat lagi memimpin

pertempuran selanjutnya. Besoknya, pada sore hari pasukan Ulando melancarkan

serangan besar-besaran. Pertahanan benteng di Bonjol langsung diambil alih oleh

Bagindo Majolelo dan kawan-kawannya.

Kota Benteng sangat tangguh untuk diterobos yang dipertahankan oleh kaum yang

militansi. Akhirnya tidak membawa apa-apa bagi Ulando kecuali penderitan dan

kerugian. Keesokan harinya, setelah Ulando menyulut sejumlah besar bahan

peledak kedinding pertahanan rakyat penyerbuan secara tiba-tiba kembali

dilakukan dibawah pimpinan pasukan Letnan Lange.

Pada tanggal 16 Agustus 1837 kejatuhan kota – benteng – Bonjol dirayakan prajurid

Ulando dengan pesta candu dan tuak, sebagai ungkapan keberhasilan mereka.

Dengan pertolongan beberapa orang hulu balang yang gagah berani, Tuangku

Imam diselamatkan dari kepungan pasukan musuh dan dilarikan ke kampuang

Marapak.

Sesudah menduduki Bonjol, tentara Belanda mengadakan pembersihan secara

besar-besaran. Penyisiran terhadap daerah-daerah basis pasukan Tuangku Imam

dibumi hanguskan. Tapi Tuangku Imam tidak ditemukannya juga.

“Apakah salah seorang dari istri Tuangku Imam itu nenekmu, Maryam?,” aku

bertanya.

Page 121: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

121 | Maryam Chilvalry

“Barangkali, sekarang bukanlah saatnya yang tepat untuk saya jelaskan, Mak

Kari,” maksudnya Wahid Kari Mudo.

Hadirin di Surau Haji Abdul Manan di Kampung Budi itu terganga dan ada yang air

matanya meleleh di pipi atas kepiluan dari kekejaman ‘marsose’ – si Belanda Hitam

– atas perintah tuannya ‘lanun’ dari seberang lautan itu.

Mendengar pemaparan “anak sasian”, murid beliau itu, Haji Abdul Manan hanya

bersitelekan, menupang kedua pipinya dengan kedua tangannya yang bertumpu di

atas kedua pahanya karena terharu akan kisah tragis dari kebiadaban pasukan

Belanda itu dari akhir keagungan Bonjol sebagai pertahanan terakhir pada Perang

Paderi. Dalam alkisah perang Minangkabau Raya itu dan kepasihan tutur Siti

Maryam yang diwarisinya dari keluarganya sendiri dalam menuturkannya.

Tujuan ditampilkan Siti Maryam untuk menyampaikan kisah pembiadaban tentara

Belanda itu pada halaqah Surau Budi menjelang berkobarnya perang anti belasting

itu adalah dalam rangka membangkitkan semangat anti Belanda dan semangat

untuk bangkit berjuang melawan tirani, kebiadaban-kebiadaban penjajah,

penjarah rakyat oleh tentara dan pemerintah Belanda yang akan melancarkan

pajak, ‘pungutan langsung’-nya.

Page 122: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

122 | Maryam Chilvalry

15. Briefing

TINDAKAN yang diambil oleh L.C. Westenenck didasarkan pada pengumuman

Gubernur Genderal ‘Van Heutsz’ di Batavia pada tanggal 1 Maret 1908 untuk

memberlakukan Peraturan (Undang Undang) Pajak Langsung untuk seluruh Hindia

Belanda.

Westenenck sebagai seorang pejabat tinggi Departemen Dalam Negeri (Amtenaar

B.B) yang berpangkat kolonel dan berkedudukan sebagai Komendur Oud Agam

karena Asisten Residen Luhak Agam merangkap Residen Padangshe Bovenllanden

yaitu Van Driesche yang tidak begitu serius dalam menjalankan tugasnya - karena

menurutnya belum saatnya untuk melaksanakan Undang-Undang Belasting dengan

tangan besi.

Karena beberapa kali pendekatan dan sosialisasi tentang pelaksanaan peraturan

baru itu gagal atau tidak didukung oleh rakyat, maka pada tanggal 16 Maret 1908

L.C. Westenenck kembali memanggil seluruh Laras untuk mengadakan pertemuan

di kantornya, di kota Fort de Kock (Bukittinggi). Inti pertemuan tersebut adalah

penegasan dan instruksi oleh L.C. Westenenck untuk segera melakukan

penghitungan atau penaksiran dan langsung memungut pajak langsung itu.

Dalam instruksi itu dipertegas bahwa kepada masing-masing Laras dan kepala

nagari yang merasa tidak mampu menjalankan pemungutan pajak akan dibantu

dengan kekuatan militer, kepada laras laras dan kepala nagari yang menentang

akan dipecat dari jabatannya dan akan ditangkap untuk dibuang.

Dalam pertemuan itu, Laras Salo-Magek diwakili oleh Warido, lengkapnya Agus

Warido Prawirodirjo, anak seorang bekas prajurid Sentot Alibasya yang berpihak

Belanda menikahi salah seorang padusi (gadis) Minang secara paksa dengan

mendapat dukungan Belanda.

Page 123: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

123 | Maryam Chilvalry

Agus Warido Prawirodirjo sebelumnya diangkat Belanda sebagai Mantri Kopi di Limo

Puluah Koto. Laras Kamang dihadiri oleh Kepala Laras Garang DT. Palindih, Laras

Tilatang Jaar Dt. Batuah, Laras Ampek Angkek Samat Dt. Sati, Laras Kapau Dt. Rajo

Labiah, Laras Baso Adam Dt. Kayo dan Laras Canduang oleh Sahat Rajo Malenggang

dan Laras Ampek Koto, Yahya Dt. Kayo.

Karena rakyat mendapat bocoran informasi pertemuan rahasia para Laras se Agam

Tuo itu, maka pada Senin, 2 Juni 1908, diadakanlah pertemuan bersama di Mesjid

Taluak (Kamang) yang dihadiri oleh utusan-utusan dari Agam Tuo, Lubuk Basung,

Mangopoh, Padang Panjang, Batu Sangkar, Solok-Selayo, Limo Puluah Koto,

Pauah Kamba, Lintau, Muaro Labuah dan lain-lain. Dengan kebulatan tekad,

peserta rapat memutuskan akan melancarkan aksi menentang Ulando, dan dalam

rapat itu pula sekaligus ditentukan tugas masing-masing.

Pada Rabu, 11 Juni 1908 para pasukan rakyat - yang bukan saja masyarakat

Kamang, tetapi juga berasal dari berbagai daerah berdatangan dan berkumpul di

Surau Haji Abdul Manan, kampung Budi. Pertemuan dalam rangka persiapan

perang itu diimami langsung oleh Haji Abdul Manan. Pidatonya yang terakhirnya

sebelum konfrontasi melawan Belanda, Haji Abdul Manan meminta seluruh pasukan

jangan gentar dan ragu-ragu menentang Belanda dan tidak takut akan mati syahid.

Tujuan akhir dari briefing bersama pada pasukan - ‘fi-Sabilillah’ - itu adalah

membakar semangat juang mereka oleh pemimpin gerakan dengan – ‘ayat-ayat

pedang’ – dalam mengobarkan semangat perang suci.

“Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu

(bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir

yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali

jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-

Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang

yang mempunyai mata hati.”

“Begitulah yang telah terjadi pada Perang Badar zaman Rasulullah dahulu. Dan

bahkan sebagaimana yang dihadapi pula oleh leluhur kita Inyiak Enceh, dan

Tuangku Imam di Bonjol dalam Perang Paderi dahulu,” sambung Haji Abdul Manan

mengulas ayat Al-Qur’an yang didiktekannya itu.

“Bahkan...!, kematian Inyiak Enceh pun terpaksa dilakukan dengan sebuah

pengkhiatan oleh orang suruhan Ulando, karena hanya itulah satu satunya jalan

yang dapat dilakukan untuk membunuh nenek kita itu guna menghentikan

perlawanannya,” kata beliau lagi.

“Kenapa kita harus gentar, takut dan berpaling untuk menghadapi si kafir nan

bamato bula itu. “Yakinlah tentang apa yang dikatakan oleh Allah, Swt bahwa

‘Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka

itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya’.” tegasnya.

Page 124: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

124 | Maryam Chilvalry

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mentaati orang-orang yang kafir itu,

niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah

kamu orang-orang yang rugi.”

“Tetapi (ikutilah Allah), Allah-lah Pelindungmu, dan Dia-lah sebaik-baik Penolong’.

Janganlah kamu mengira bahwa orang orang yang gugur di jalan Allah itu mati;

bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki’. Yaitu hidup

dalam alam yang lain yang bukan alam kita ini, di mana mereka mendapat

kenikmatan-kenikmatan di sisi Allah, dan hanya Allah sajalah yang mengetahui

bagaimana keadaan hidup itu” Ulas beliau Haji Abdul Manan pula.

“Dan apa kata Allah, Swt lagi dalam Al-Qur’an ini…!!!” Tangan kanannya sambil

mengacungkan sebuah kitab Al-Qur’an, bahwa:

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat

sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan

dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu

tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”

“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Perkasa atas

segala sesuatu.”

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan

tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwallah kepada Allah,

supaya kamu beruntung.”

Selesai penyampaian ‘orasi’ yang mengebu-ngebu, membakar semangat

jemaahnya, Haji Abdul Manan tetap menganjurkan terlebih dahulu musuh dihadapi

dengan secara bijaksana.

“Sungguhpun demikian,” kata beliau Inyiak Manan, ‘maka besok beberapa ninik

orang mamak dan cerdik-pandai kita bersama pengikutnya, terutama yang biasa

berdagang ke Bukittinggi akan mengadakan unjuk perasaan lagi ke kantor Siteneng

itu, guna menyampaikan kebulatan tekad kita untuk menolak belasting, dan

menganjurkan supaya pengumuman ’1 Maret’, tentang pembayaran belasting itu di

tarik pemerintah kembali.”

”Kita tunggulah terlebih dahulu apa buah perjuangan dunsanak kita, yaitu Datuak

Makhudum, Datuak Kondo dan Sidi Gadang beserta pengikutnya itu setelah

bertemu dengan Siteneng besok.

Andaikan perjuangan dengan ‘lidah’ itu gagal, maka kita harus menempuh

perjuangan dengan ‘tangan’, yaitu dengan perang…!,” tegas beliau.

Page 125: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

125 | Maryam Chilvalry

Akhirnya Datuak Rajo Pangulu, Kari Mudo dan Qadi Abdul Gani pun bangkit dari

duduknya, mengacungkan kepalan tinjunya sambil meneriakkan pekikkan, “Allahu

Akbar!, Allahu Akbar!, Allahu Akbar…!!!”. Kemudian diiringi pula oleh seluruh

pasukan yang telah membaiat diri sebagai pasukan – ‘berani mati’ - mati syahid di

jalan Allah, Swt.

Pada tanggal 12 Juni 1908 diadakan upaya dialog dalam bentuk ‘unjuk perasaan’ ke

kantor Kontreluer untuk mencabut Undang Undang Belasting tersebut. Ternyata

upaya perjuangan dengan ‘lidah’ dalam bentuk unjuk perasaan itu mengakibatkan

ketiga orang penyambung lidah rakyat itu dijebloskan Belanda ke penjara, sehingga

langkah terakhir perjuangan semakin menggelegar di hati Pasukan Kamang.

Bagi Belanda juga tidak ada lagi posisi tawar dengan rakyat kecuali dengan

‘gonggongan karabinnya’ untuk menghentikan gerakan perlawanan terhadap

pelaksanaan belasting, maka Belanda mulai merekayasa situasi untuk memulai

perang itu. Tindakan militer untuk menteror rakayat Kamang itu dipicu oleh suatu

kejadian, dimana paginya datang tiga orang masyarakat Magek suruhan Belanda ke

kantor Laras Agus Warido untuk membayar belasting. Ternyata ketiga orang itu

langsung dihadang oleh serombongan warga setempat yang mengancam akan

membunuhnya kalau belasting dibayarnya juga, karena perbuatan membayar

belasting itu merupakan pengkhiatan secara terang-terangan terhadap tekad

bersama untuk menentang Belanda.

Mengetahui enggan kejadian itu, Laras Salo-Magek Agus Warido sangat marah,

namun tidak bisa berbuat apa-apa karena toh dia sendiri adalah orang Jawa sisa

keturunan prajurut Sentot Ali Basya kepercayaan Belanda. Langkah yang dapat dia

perbuat hanyalah segera ke Bukittinggi untuk melaporkan peristiwa pagi itu kepada

L.C. Westenenck di Bukittinggi dan meminta supaya para pembangkang Belanda

segera ditangkap.

Saat yang ditunggu-tunggu. ‘Tuan Kumandua’, sebutan orang Minang terhadap

Kontroliur telah tiba, saat itu juga melalui telepon L.C. Westenenck si hidung

‘kakatua’ itu menghubungi Gubernur Sumatera Barat Heckler untuk ‘mohon

petunjuk’ mengenai tindakan yang harus diambil.

Heckler memberikan jawaban dalam telepon itu sesuai dengan komando yang

digariskan oleh Gubernur General Van Heutsz di Batavia, hanya dengan satu kata

saja, ‘Serbu...!’

”l’historie se repete”, zaman beredar, riwayat berulang. Nagari Kamang akan

menambah riwayatnya dengan darah dan nyawa untuk kelekangan adat dan agama.

Dahulu kaum ibu hanya membantu nasi berbungkus daun pisang tinbatu (abu)

untuk pasukan Tuangku Nan Renceh, sekarang Siti Maryam bersama Siti Aisyah, Siti

Anisyah dan juga para kaum ’hawa’ lainnya sebagai pengikut ketuga Srikandi itu

akan turut di medan laga dalam barisan infantri Tuangku Haji Abdul Manan.

Page 126: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

126 | Maryam Chilvalry

Page 127: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

127 | Maryam Chilvalry

16. Mantik

Jamaah Surau Kampung Budi Kamang, suraunya Haji Abdul Manan kedatangan

seorang tamu atas undangan dari sesepuh Kamang.

Tamu tersebut adalah Penghulu Kepala Nagari Koto Tuo Ampek Angkek, saudara

dari Haji Muhammad Taher Jalaluddin anak dari Tuangku Syeikh Cangkiang Ampek

Angkek yang pernah menjadi redaktur ‘Al-Imam’ di Singapura, dan saudara tiri dari

Syeikh Ahmad Khatib al Minangkabauwi.

Pertemuan yang dilakukan pada petang Sabtu (malam Minggu), sekedar

menghilangkan pemantauan dari para antek antek Belanda. Karena malam Minggu

sebagai malam panjang yang penuh pesta pora orang orang Belanda di Fort de Kock

yang telah pula membias terhadap kaki tangannya seperti, Engku Laras dan

koleganya, Engku Palo dan koleganya. Seolah-olah mereka sudah menjadi orang

Belanda pula di kampungnya sendiri.

Situasi semacam ini dimanfaatkan pula oleh para santri di surau-surau untuk

memperbincangkan sesuatu yang sangat rahasia, dengan dalil tidak akan mungkin

orang yang sedang pesta, mabuk-mabukan melakukan kontrol dan pengawasan

masuk kampung keluar kampung.

Salah seorang penceramah pada pertemuan dengan slogan wirid umum ini adalah

Penghulu Kepala Nagari Koto Tuo Ampek Angkek Muhammad Amin Pamuncak yang

bergelar Sutan Bagindo. Pertemuan ini merupakan kelanjutan pertemuan yang

dilaksanakan oleh Muhammad Amin Pamuncak sendiri di Koto Tuo pada Mei 1908

dan seluruh peserta rapat di Koto Tuo Ampek Angkek waktu itu telah bersumpah

sakti untuk tidak akan membayar pajak kepada Belanda. Sumpah sakti itu

dilaksanakan di makam moyangnya, makam tokoh pergerakan Islam sebelum

perang Paderi, yaitu di makam Tuangku Alamuddin Datuak Bandaro, suku Guci yang

terkenal dengan sebutan ‘Tuangku Nan Tuo’ di Koto Tuo Ampek Angkek.

Awal acara wirid tetap seperti biasanya. Pembacaan qalam Illahi yang

dikumandangkan oleh Siti Maryam dilanjutkan pengajian umum leh Haji Musa,

Page 128: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

128 | Maryam Chilvalry

abangnya Haji Abdul Manan dan setelah agak larut malam barulah Muhammad Amin

Pamuncak meminpin sebuah halaqah untuk bermanti’ (mantik) dan berma’ni. Tapi

saat ini bukan mengenai ketauhidan, melainkan menganalisa pemikiran dari C.

Snouck Hurgranje yang dianjurkannya terhadap pemerintah Belanda dalam

melahirkan kebijakan-kebijakan pemerintahan Belanda di Hindia Belanda.

Dari sisi ruang yang dibatas tabir kelambu - dipenuhi oleh kaum perempuan,

ternyata Siti Maryam telah mengembangkan kertas-kertas kosong dan kalam untuk

mencatat seluruh penyampaian dari Muhammad

Amin Pamuncak. Tentu saja beberapa data dan hasil muzakarah ini sangat berguna

baginya untuk disampikannya pula dalam wirid-wirid pertemuannya di Mangopoh,

Kurai Taji, Sungai Sariak Pariaman dan

daerah-daerah Pasaman, serta daerah lain yang menjadi tanggungjawabnya

sebagai tenaga propaganda.

“Toute l’oeuvre coloniale s’appuie, doit s’appuyer sur ce q’on appelle la politique

Indigene, l’art de connaitre les Indigenes,” begitu peringatan yang dilontarkan

oleh J.C. van Earde”, Penghulu Kepala Nagari Koto Tuo itu memulai

pencerahannya yang aktual itu. Bahwa, “Semua pekerjaan yang berhubungan

dengan tanah jajahan harus bersandar kepada yang dinamakan ‘Inlander Politik’,

yaitu kecakapan untuk mengenal penduduk Bumiputera”.

“Apa maksudnya?,” Muhammad Amin Pamuncak mengajukan sebuah pertanyaan

kepada peserta halaqah. Tidak satupun yang menjawab pertanyaan itu, mereka

masih menunggu kelanjutan pembicarannya.

Pendapat Van Earde itu benar-benar menjadi nutrisi bagi setiap Negara dan bangsa

yang mempunyai tanah jajahan. Bukan saja Belanda, tetapi Inggris, Perancis pun

melumat pemikiran Earde tersebut dalam melakukan berbagai ikhtiar ‘pacificasie’,

penaklukan dan perdamaian di tanah jajahannya.

“Bagi pemerintah Belanda yang mempunyai tanah jajahan yang amat luas ini amat

beruntunglah mempunyai seorang ahli ternama, C. Snouck Hurgranje,” sambung si

penceramah itu. Kemudian dilanjutkannya pembicaraannya yang terputus dengan

sederetan keterangan panjang tanpa teks tertulis “…karena menurut profesor

Belanda ini, yang telah menyelidiki Turky dan kemudian beberapa tahun bermukim

di Mekah dengan nama Abdul Ghaffar dan melanjutkan perjalanannya ke Indonesia

dan bertahun-tahun melakukan

penyelidikan di Nusantara ini sebagai ‘adpisur’ pemerintah Belanda, memberikan

tuntutan politik menghadapi orang Islam di Indonesia yang jumlahnya 85% dari

jumlah penduduk keseluruhan atas tiga dasar yang sangat penting dan yang tahan

uji, yaitu: 1.Terhadap urusan ‘ubudiyah, Pemerintah (Belanda) harus memberi

kemerdekaan yang seluas-luasnya dan yang sejujur jujurnya. 2.Terhadap urusan

Page 129: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

129 | Maryam Chilvalry

mu’amalah, ia (pribumi) harus menghormati; terhadap instelling-instelling yang

sudah ada, sambil memberi kesempatan untuk berjalan berangsur-angsur kea rah

kita (Pemerintah Belanda), malah yang sedemikian itu harus diajak dan gemarkan.

3.Terhadap urusan yang berhubungan dengan politik, harus pemerintah menolak

dan meberantas cita-cita dan kehendak-kehendak yang bersifat Pan Islamisme,

yang wujudnya hendak membukakan pintu bagi kekuatan kekuatan asing untuk

mempengaruhi perhubungan pemerintah Belanda dengan rakyatnya orang Timur.”

“Kalau begitu, kita wajib pula mengetahui asal-mu’asal, sebab-musabab

pertimbangan pemikiran professor Ulando itu, Engku ?,” kataku.

“Ya! Tepat sekali !,” jawab sang orator.

“Dasar pertimbangan Profesor Snouck, membentangkan garis-garis kebijakan yang

harus dijalankan pemerintah Belanda itu atas pengetahuannya yang dalam tentang

sikap militansi orang-orang Islam di tanah air kita ini, sehingga dia menjelaskan

natijah-nya lagi dengan ucapannya, ‘Biarkam kaum Muslimin beribadah seluas-

luasnya! Biarkan mereka bersembahyang, jangan campuri mereka dalam urusan

berjum’ad dan berpuasa; jangan disempitkan urusan mereka untuk naik haji, dll.,

sehingga merasa merdeka dalam urusan keagamaan mereka. Dan lantaran merasa

merdeka itu, mereka akan lalai sendiri mengerjakannya, sekurangnya tidak merasa

bahwa mereka diperintah oleh bangsa yang beragama lain darinya!’.

“Artinya, berdasarkan pengalaman yang dia selidiki, bahwa secara nyata dan

mendalam, dia mengetahui betul bahwa pertama, orang Islam baru besar

bahayanya bagi pemerintah jajahan, bilamana mereka merasa bahwa kemerdekaan

mereka beragama terganggu. Makin dilarang mengerjakan pekerjaan yang

berhubungan dengan ubudiyah, semakin fanatik mereka mengerjakannya.”

“Bertambah berbahaya lagi, apabila lantaran terganggu kemerdekaan mengerjakan

agama itu, mereka terus mengasingkan diri dari masyarakat biasa dan mendirikan

perkumpulan perkumpulan tarekat yang mengajarkan perang sabil, dan sangat

mungkin tidak lekas dapat diketahui oleh pemerintah negeri. Sehingga di sampai

kepada natijahnya tadi.”

“Kalau demikian pandangan si professor maka sangat berhati-hatilah kita.

Janganlah kita sampai lengah, lalai dalam beribadah lantaran merasa ‘merdeka’

itu!,” komentar salah seorang perempuan belia yang hadir dalam halakah itu

dengan sebuah statement dari hasil manti’(k), logikanya itu.

“Betul…!!!, apa yang dikatakan Maryam itu,” kata sang orator. “’Perlu juga

diingat, sambungnya lagi ‘bahwa sang professor itu sering bersemboyan dan

semboyannya itu umumnya dibenarkan pula oleh orang-orang Islam, bahwa Een

staat kan duurzaam zijn in ongeloof, maar niet ini ongerechtigheid, – Satu kerajan

mungkin tetap berdiri dalam kekufuran, akan tetapi tidak mungkin dalam

kezaliman.”

Page 130: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

130 | Maryam Chilvalry

“Kedua, ruh ke-Islam-an itu mungkin bangkit juga apabila mereka mendapat

gangguan dalam urusan ‘mu’amalah’, seperti urusan perkawinan, warisan dan yang

berhubungan dengan itu. Oleh sebab itu “Hormati”’ instelling-instelling’ mereka di

bawah penilikan (pengawasan) kepala-kepala mereka, regen-regen dan raja-raja.

(Red: Di Minangkabau inilah yang dilakukan oleh Laras, Penghulu Kepala atau

kepala nagari).

Dengan begini mereka akan merasa diperintah oleh ‘wet-wet” mereka sendiri, dan

tidak timbul lagi cita-cita kenegaraan secara pemerintahan Islam. Apalagi kalau

sudah ditetapkan, sekurang-kurangnya dianjurkan dengan cara setengah resmi,

kitab-kitab apakah yang harus dipakai dalam mengurus perkawinan, perceraian dan

warisan mereka itu. Sehingga tidak masuk pengaruh ‘modern’ yang menimbulkan

semangat mereka.

Dan disamping itu, kalau anak-anak Islam diberi lagi didikan Barat yang

menjauhkan mereka dari agamanya, sehingga mereka “geemancipeerd van het

Islam-stelsel”, terlepas dari genggaman Islam. Maka besarlah harapan, mereka

akan menjatuhkan perasaannya dengan yang memerintahnya dan akan terjadilah

satu ‘assosiasi’, perhubungan peradaban, kebudayaan dan politik antara yang

memerintah dan yang diperintah’,” kata si professor itu lagi.

“Apabila assosiasi ini telah tercapai, maka menurut professor ini, tidak ada lagi

yang akan menyusahkan pemerintah Ulando itu,” komentar si perawi itu selesai

mengutip pemikiran Profesor Snouck Hurgranje tersebut.

“Kenapa Engku dapat membuat penafsiran seperti itu?,” tanya seorang jamaah.

“Para jamaah Islamiayah yang berhadir, yang saya muliakan! Bukan saya, yang

menafsirkannya seperti itu. Akan tetapi Sang professor itu sendiri yang menyuci

otak pemerintahnya sendiri dengan penjelasan dari pernyataannya itu. Katanya,

‘La solution de la question islamique depend de l’adhesion des indigenes a notre

civilisation’. Artinya, manakala sudah tercapai perhubungan yang rapat antara

penduduk bumiputera dengan kecerdasan kita, maksudnya kecerdasan orang

Belanda, tak adalah lagi yang akan diusahkan, sehubungan dengan kaum muslimin

ini. Makanya semenjak tahun 1817 Belanda telah mengupayakan berdirinya

sekolah-sekolah dengan cara-cara mereka, sebagaimana di negerinya sendiri.”

“Ketiga, kata sang professor itu lagi, bahwa apabila urusan di dalam sudah diatur

seperti itu, tinggal lagi yang harus dijaga ialah supaya jangan ada perhubungan

dengan muslimin di laur negeri, yang mungkin menimbulkan kembali semangat

Pan-Islamisme yang berbahaya itu. Lantaran itu, maka nasehat sang professor itu

berbunyi ‘jaga supaya jangan ada pengaruh dari luar!’.”

“Demikianlah ringkasnya jalan fikiran Profesor Snouck Hurgranje itu dalam

advisnya kepada pemerintah Ulando, dalam menghadapi kaum Muslimin di

Page 131: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

131 | Maryam Chilvalry

Indonesia ini, khusunya kita-kita di Minangkabau ini, karena landasan kita adalah

Adat basandi syara’. Syara’ basandi kitabullah – Syara’ mangato. Adat mamakai.”

“Sekarang bagaimankah dalam prakteknya?,” sambung pemimpin halaqah lagi

dalam mengakhiri pemaparannya tentang rencana besar jangka panjang

pemerintahan kolonial Belanda di dalam tata politik pemerintahan.

“Kalau begitu apa upaya kita untuk menghentikan upaya Ulando yang bagaikan api

dalam sekam itu,” tanya salah seorang peserta diskusi lain lagi. “Ya, apa…? Mari

kita pahamkan dan fikirkan besama-sama!,” seru si pendakwah itu lagi.

“’Munurut pendapat saya’, kata Maryam. ‘Kita harus selalu ingat dan waspada

bahwa – jerat tidak akan lupa dengan balam (burung) – dan kita harus menentang

apapun bujuk rayu yang diupayakan oleh Ulando itu.”

“Suatu hal yang paling utama adalah al-Islamu ja’lu wa la ju’la ‘alaihi. Bahwa

Islam itu di atas, tak patut dan tidak pantas ada yang mengatasinya,” sela Sang

guru utama, Haji Abdul Manan mengenegahi persoalan ini.

Akan tetapi sampai sekarang, kekhawatiran Profesor Snouck Hurgranje terhadap

Pan- Islmaisme toh tidak kunjung lahir. Ya, karena bukan itulah tujuan dan cita

citanya umat Islam dunia, disamping mereka juga disibukkan oleh urusannya

sendiri-sendiri di negaranya masing-masing. “’Suatu hal lagi yang mulai menjadi

mengkhawitrikan kita…’,” lanjut Pamuncak Amin ‘…adalah bahwa di dunia Islam,

kehidupan berdagang dihormati, bahkan hampir sama kedudukannya dengan

ulama; sebab Rasulullah, Muhammad sebelum menjadi nabi dan rasul adalah

seorang pedagang yang handal sehingga telah semakin memperkaya Siti Aisyah,

seorang saudagar perempuan yang tiada tandingannya waktu itu. Tentu,

perdagangan yang tanpa riba’ dan monopoli.”

“Maka prilaku pedagang-pedagang Islam tidak sama dengan pedagang-pedagang

kapitalih (s). Islam tidak setuju bila orang menumpuk kekayaan dengan cara

menghancurkan orang lain, dan mengajarkan apabila seseorang menghadapi

kesulitan untuk membayar hutang beri dia waktu sampai sanggup membayarnya.”

“Lalu, Tuangku, apa maksud dan hubungan perjuangan kita dengan masalah

perdagangan?,” tanyaku pada Pamuncak Amin, cucu dari Beliau Tuangku Nan Tuo

di Koto Tuo Ampek Angkek itu.

“Sudah lama Belanda melancarkan kebijakan memotong hubungan dagang

saudagar-saudagar kita ke pelabuhan-pelabuhan di pantai Timur dengan dipaksanya

pedagang kita mempergunakan pantai Barat, seperti Padang dan Pariman yang

telah berada di bawah kekuasaannya. Sebalinya pedagang kita di Padang sendiri

telah diperlakukan tidak adil dengan menganak emaskan pedagang sebangsanya

dan pedagang China yang suka menyogok dan menjilat itu. Kedua pedagang

tersebut menghalalkan segala cara asalkan mereka mendapat untung besar.

Page 132: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

132 | Maryam Chilvalry

Artinya, kebijakan Belanda itu bertujuan untuk menghancurkan jalur perniagaan

dan pedagang tradisional kita yang lancar perhubungannya ke pesisir Timur dan

terus menyeberangi Selat Malaka ke Penang dan Tumasik.”

Itulah akhir wejangan dari cendikiawan kita itu yang selalu mendapat perhubungan

dengan saudaranya Syekh Ahmad Khatib yang pernah bermukim di Perak,

Semenanjung Malaya sebelum menetap di Mekkah al-Mukaramah.

Page 133: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

133 | Maryam Chilvalry

17. Kecamuk

Kira-kira pukul sebelas malam, 15 Juni 1908, sampailah induk pasukan tentara

Belanda yang dipimpin L.C. Westenenk di Simpang Empat Kampung Tangah-Kamang

(Pakan Sinayan sekarang), berniat untuk membantai habis rakyat di Kamang yang

menentang belasting dan rodi.

Karena melihat barisan panjang yang berpakaian hitam dengan strip-strip emas

pada jahitan celana kiri dan kanan serta pada bajunya, bertopi hitam tinggi dengan

berjumbai putih megkilap pada bahagian depannya yang diiringi derap sepatu dan

deru mars parajurit, dari jauh para ronda malam mudah mengetahuinya bahwa

yang datang berbaris -baris itu adalah pasukan Belanda. Setelah pasukan

Wetenenck sampai didekat meraka, maka petugas ronda Angku Rumah Gadang

yang didamping Angku Basa dan anggota pengintai lainnya meneriakkan kata-kata

sapaan dalam bahasa Belanda sebagaimana kode yang telah dia hafalkan.

“Weerda!”

“Vriended!,” jawab ajudan Westenenk dan langsung menanyakan rumah Haji Abdul

Manan.

“Dima rumah itu orang Dul Manan, ha...(sengau)?!”

“Tabek Tuan! Kami tidak kenal dengan Dul Manan, Tuan,” jawab Angku Rumah

Gadang.

“Masak kalian orang tidak tau itu orang bernama Dul Manan!!!”

“Tabek, Tuan! SunguHaji.., Tuan! Tidak ada orang sini yang bernama Dul Manan,

Tuan!”

“Godverdome!!!, kamu orang bertele-tele, ha!”

Page 134: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

134 | Maryam Chilvalry

“Tabek, Tuan ! Sungguh, Tuan! Dalam keadaan membungkuk-bungkuk Angku

Rumah Gadang dan Angku Basa berusaha meyakinkan ajudan Westenenk tersebut.

Padahal yang nyawanya sedang akan dipertaruhkan di ujung klewang mereka.

Westenenk yang sudah fasih berbahasa Minang tidakmau lagi bertele-tele yang

akan menghabiskan waktu. Dia maju dan langsung bertanya.

“Apakah kalian tau Haji Abdul Manan?”

“Haji Abdul Manan, tau... Tuan!,” jawabnya dengan gaya dan intonasi orang yang

sok akrap.

“Goed...!,” kata ajudan dan langsung bergabung pada pasukannya.

“Tunjukkan rumahnya Haji Abdul Manan itu. Ada yang ingin saya bicarakan

dengannya.”

“Beliau, Tuan!”

“Aaa, apa bedanya Beliau dengan Nya?”

“Ya, berbeda, Tuan”

“Akh!, masalah sepele saja kalian pertengkarkan.”

“Ini bukan sepele, Tuan.”

“Akh! Cukup. Cukup! Kalian hanya menghabiskan waktu kami saja,” oceh

Westenenk sambil mengibas-ngibaskan tangan kanannya.

“Ayo, tunjukkan dimana rumahnya itu, Dul Manan!,” desaknya lagi.

“Rumah beliau banyak, Tuan! Di kampung Bansa ada, di kampung Budi ada, di

kampung …. Tapi juga ada. Di....” Angku Rumah Gadang terhenti dan gugup,

karena tangannya di toel, disentuh oleh Angku Basa. Suatu isyarat supaya jangan

disebut kampung Tangah, tempat Haji Abdul Manan sedang berada dan berkumpul

dengan beberapa pembantu beliau.

“Dimana!!!,” bentak ajudan itu dengan cepat karena tergagapnya Angku Rumah

Gadang tersebut.

“Di... kampung Budi, Tuan,!” dengan gagapnya. “Tadi siang beliau ada di sana,

dan kami tidak melihat beliau di sini,” sambungnya lagi.

“Beliau siapa?,” tukas ajudan itu lagi.

“Tabek, Tuan. Haji Abdul Manan, Tuan.”

Kepala Nagari Ilalang, yaitu Datuak Tumangguang Babukik yang sudah semenjak

siang menunggu-nunggu pasukan Westenenk di simpang itu, segera menghampiri,

Page 135: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

135 | Maryam Chilvalry

menemui Westenenk dan membenarkan keterangan petugas ronda tersebut dan

langsung mengajak rombongan induk semangnya itu ke Kampung Budi.

Selepas rombongan pasukan Westenenk, Angku Rumah Gadang dan Angku Basa

menyelinap menuju Kampung Tangah utnuk melaporkan keadaan kepada Haji

Abdul Manan. Sambil mengendap-endap, bergegas, menggerutu juga. “Ulando

andia. Pakak!.” Yang mereka maksudkan Belanda bodoh dan pekak, tuli. “Mana

ada orang bernama ‘Dul Manan’. Dan apa mungkin pula Inyiak Manan akan melalui

simpang ini dari Budi ke kampuang Tangah,” mereka bersahut-sahutan

menyerapahi Belanda itu.

“Inyiak!, Tuan Siteneng sudah datang dan sekarang pergi ke kampung Budi mencari

Inyiak. Bersiaplah, Nyiak!,” kata Angku Rumah Gadang.

Tenang, tidak terkejut sedikitpun baik Haji Abdul Manan, Datuak Rajo Penghulu

dan Aisyah mendengar kedatangan Westenenk dengan pasukannya yang baru saja

selesai latihan perang di Batu Sangkar tersebut.

“Saya ke Bansa dulu,” kata Haji Abdul Manan.

“Saya ikut!,” kata Datuak Rajo Penghulu dengan setia tetap mendampingi Inyiak

Manan.

Panglima perang ini turun dari rumah langsung menuju Kampung Bansa untuk

berziarah ke makam Tuangku Nan Renceh dan selesai berziarah bergegas pula

kembali ke Kampung Tangah sambil memeriksa persembunyian pasukan pengawal

beliau. Sesampai di atas rumah, Haji Abdul Manan langsung masuk kamarnya,

membuka ikat pinggang lebar buatan Turky yang terkenal dengan sebutan

‘kamareleng’. Umumnya setiap haji memakai ikat pinggang ini, karena memang

pada musim hajilah didapatnya di Mekah. Ikat pinggang tersebut sekitar sepulu

centimeter lebarnya dan banyak kantongnya. Kamareleng ditaronya diatas kasur

tempat tidur, dan kemudian duduk di atas sajadah. Selesai mengerjakan shalat

sunat untuk berkhalwat, bersujud semedi menyerahkan jiwa raganya dan sekligus

bermohon petunjuk kepada Allah, Swt.

Tariqad ‘Ksatariyah’ diamalkan yang didahului dengan membaca kafiat zikir yang

beliau anut. Alam tidak akan memberi bekas, kecuali atas seizinNya. Namun

sebelumnya Haji Abdul Manan berpesan kepada istri dan anaknya, Sawiyah supaya

jangan diganggu dalam persemediannya. Walau bagaimanapun juga keadaannya.

Dikampung Budi Belanda langsung mengepung dan menggeledah rumah Haji Abdul

Manan. Pintu rumah diketuk, tetapi tidak ada yang menyahut, diketuk sekali juga

tidak ada jawaban. Kemudian diketuk kembali dengan keras dan berulang-ulang,

dan barulah Haji Ahmad menyahut dan bertanya, “Siapa itu?”

“Kami! Ini Tuan Komendur! Datang menanyakan Haji Abdul Manan, apakah ada di

rumah?”

Page 136: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

136 | Maryam Chilvalry

“Beliau tidak ada di sini, Tuan. Tadi siang beliau ada, ke Bansa barangkali,” jawab

Haji Ahmad.

“Bukakan pintu, kami mau masuk!!!,” tukas Kepala Nagari.

Haji Ahmad yang belum tidur sejak senja menyalakan lampu ‘togok’, damar.

Membuka pintu sambil menggosok-gosokkan matanya dan mengangakan mulutnya

besar-besar, pura-pura menguap seperti orang baru bangun tidur. Tanpa permisi,

tanpa salam, dengan lancang Kepala Nagari, Westenenk dan ajudannya merentak

masuk rumah Haji Ahmad. Dan Kepala Nagari pun ambil muka kepada bosnya,

dengan berkacak pinggang menanyakan Haji Abdul Manan.

“Dimana Abdul Manan, ayahmu itu. Tuan kumandur ingin bertemu, ingin

berunding dengannya.”

“Ambo kan sudah katakan Angku, Ayah ambo tidak ada di sini. Tadi pagi memang

ada akesini, tapi setelah siang beliau pergi,” jawab Haji Ahmad. Kemudian Tuan

Kumandur itu pun menyela dengan sikap yang siang malam dari angku palo, Kepala

Nagari itu.

“Haji Ahmad tidak usah khawatir, kami sengaja datang untuk menemui beliau Haji

Abdul Manan, bukan untuk menangkapnya tetapi kami akan berunding dalam

beberapa hal. Jadi..., Haji tidak usahlah cemas. Tunjukkanlah dimana beliau

sekarang,” Westenenk membujuk Haji Ahmad dengan kefasihannya dalam

berbahasa Minang.

“Ya, Tuan. Tapi beliau memang tidak ada di sini, Tuan boleh periksa sendiri.”

Dengan isyarat Westenenk memerintahkan anak buahnya untuk melakukan

penggeladehan. Semua kamar di sigi. Loteng, langit-langit rumah dipanjat. Dapur

dan kolong rumah pun diperiksa. Tetapi sia-sia saja, waktu berputar juga, Haji

Abdul Manan tidak ditemukan.

“Sekarang dimana beliau kira-kira. Masak Haji tidak tau,” nada Wetenenk mulai

meninggi, kekesalan menyerumbat di wajahnya.

“Sekarang Haji harus ikut kami untuk menunjukkan rumah Haji Abdul Manan yang

lain.”

“Baik, Tuan,” jawab Haji Ahmad dengan lugu.

Haji Ahmad pun berlalu ke kamarnya, segera menukar pakaiannya, kelewang pun

diselipkan di balik pakaian, di pangkal ketiak kiri yang ujungnya sampai ke

bahagian paha.

“Godverdome!!!,” oceh Westenenk sewaktu Haji Ahmad beranjak ke dalam

kamarnya.

Page 137: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

137 | Maryam Chilvalry

Sewaktu akan turun dari rumah, anaknya Miyah segera memegang tangan ayahnya,

Haji Ahmad melarangnya sambil menanggis, “Ayah tidak boleh pergi...!!!”

“Nak, tidak usah menangis, ayahmu cuma sebentar, menemani kami ke rumah

kakekmu,” bujuk Westenenk lagi menenangkan Miyah yang meraung-raung

menahan ayahnya.

“Dengan suara terisak-isak Miyah menyanggahnya, “Kalau tuan mau mencari kakek

kenapa malam-malam begini, kenapa tidak siang hari. Ayah tidak boleh pergi!”

Westenenk terdiam sejenak mencari akal. “Ya, Miyah! Semestinya siang tadi kami

ke sini, tetapi.... Ya, kami kan datang dari jauh dan kami sangat ingin beertemu

dengan kakekmu.”

Kemudian Haji Ahmad mencoba menenangkan anaknya. “Miyah, biar Ayah pergi

sebentar menunjukkan rumah kakek kepada tuan ini, dan segera Ayah kembali,

ya!”

Tangisan Miyah berhenti juga dan mengangguk mengizinkan Ayahnya. Westenenk

tersenyum lega dan menepuk-nepuk bahu MiyaHaji. “Kamu anak pintar, Miyah,”

katanya. Tapi Miyah tidak memberikan reaksi apa-apa atas pujian Westenenk itu.

Rombongan Westenenk turun dari rumah, Haji Ahmad diapit kiri dan kanan oleh

pasukan pengawal kontroleur. Mereka berjalan menuju Kampung Tangah. Dari

Kampung Budi menuju Kampung Tangah Haji Ahmad tidak bercakap-cakap, otaknya

bekerja keras mencari akal dalam keadaan pikiran kacau dan cemas, kalau-kalau

Ayahnya ditemukan Westenenk.

“Ini adalah suatu pertanda buruk, kita mau turun dari rumah anak, Miyah

menangis. Semoga saja Allah melindungi negeri ini,” bisik hatinya, Haji Ahmad.

Sesampai dekat pos ronda, Haji Ahmad sempat mengelincir dari pengawalan dan

menyelinap ke penajga malam menanyakan keadaan ayahnya. Orang ronda,

penajaga malam menjawab dengan berbisik pula bahwa ayahnya telah siap sedia

dan tidak perlu dikhawatirkan. Kemudian Haji Ahmad menyelindap kembali ke

tengah-tengah barisan pengawalan.

Sesampai di Kampun Tangah, di rumah Haji Abdul Manan, Haji Ahmad batuk-batuk

kecil. Kepala Nagari segera mengetuk pintu berulang-ulang. Sawiyah, anak Haji

Abdul Manan, saudara seayah dengan Haji Ahmad segera bangun dan memperpesar

cahaya lampu damarnya. Yang pertama dia kerjakanlah memeriksa seisi rumah,

mencari dimana Ayahnya bersemedi, tetapi Ayahnya tidak ditemukan, kemudian

diperiksa kamar-kamar yang lain juga Ayahnya tidak tampak. Dari luar pintu

digedor lagi. Takut semakin dicurigai, maka Sawiyah mulai bersuara “siapa itu?!”

Page 138: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

138 | Maryam Chilvalry

“Kami! Bukakan Pintu, kami mau masuk,” teriak Kepala Nagari dari luar.

Pintu dibukakan Sawiyah, Westenenk segera masuk yang diringi Kepala Nagri dan

Haji Ahmad saudara Sawiyah.

“Sawiyah!, Tuan ingin bertemu dengan ayahmu, coba panggil sebentar! Kami ingin

Bicara.”

“Ayah tidak di sini, Tuan! Semenjak pagi tadi pergi sampai sekarang belum pulang

juga,” jawab Sawiyah.

Westenenk semakin jengkel, “Kau pembohong, pendusta! Ayo cari!!!, dimana

Ayahmu bersembunyi?”

“Kalau tuan tidak percaya, orang-orang tuan boleh periksa sendiri!”

Penggeledahan seperti di rumah Haji Ahmad di Kampung Budi pun terjadi. Allah,

Swt telah memperlihatkan kekuasaannya, ketika itu Tuhan melindungi Haji Abdul

Manan dari pencaharian. Musu Haji Abdul Manan tidak terlihat sama sekali oleh

siapapun dan tidak ditemukan. Kecuali Westenenk hanya melihat ikat pinggang

besar Haji Abdul Manan tergeletak malas di atas tempat tidurnya.

“Ternyata burung sudah terbang dari sangkarnya,” gerutu L.C. Westenenk dalam

kekesalannya. Pias.

“Zeg! Kepala Nagari, apakah ‘yey’ tidak perintah opas ‘yey’ untuk periksa tadi

siang dimana itu Dul Manan berada, ha... (sengau)?!,” tanya Westenenk kepada

Kepala Nagari, Datuk Tumangguang Babukik anak dari Angku Suku, Datuak

Tumangguang Bansa. Angku Suku adalah kepala beberapa penghulu sesuku, sebuah

struktur yang dibuat Belanda.

Datuak Tumangguang Babukik menjawab dengan sangat takut, mukanya dingin

seperti tidak dialiri lagi oleh darah, “Ada Tuan! Tadi siang Tuan, Haji Manan masih

berada di kampung ini Tuan,” jawab Kepala Nagari itu dengan gugupnya.

“Kepala Nagari, kalian minta kami datang membantumu, tapi kalian tidak tau

dimana itu Dul Manan berada, ‘godverdome!,” bentak Westenenk lagi dengan

penuh kesal kepada Kepala Nagari semakin pias.

“Tuan..., barangkali...!,” kepala Nagari menyela dengan sangat gugup dan

membungkuk-bungkuk ketakutan

“Sech! ‘yey’ cuma besar omong!,” bentak Westenenk memotong pembicaraan

Angku Palo yang sedang gugup itu sambil mengibaskan tangannya, sehingga Angku

Palo tersurut dan semakin gemetar ketakutan.

“Di Budi tidak ada. Di Tapi tidak ditemukan. Di sini juga tidak. Macam mana ini

kalian orang-orang, ha...! (sengau). Kalian mau setoran belasting besar supaya

Page 139: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

139 | Maryam Chilvalry

dapat persen banyak, gaji besar. Perempuan entah seberapa cukupnya oleh kalian.

Rakus! Najis kalian semua! Cuma seorang Dul Manan saja tidak terawasi!!!”

Berderet-deret sumpah kutukan Westenenk kepada pembantu-pembantunya itu.

Penuh kekesalan dan amarah L.C. Westenenk memberi isyarat supaya penggeledah

untuk turun dari rumah, berlalu mencari kemungkinan di tempat yang dicurigai

lagi.

Haji Ahmad tidak segera turun, ia mendekati adiknya, Sawiyah. Dengan berbisik

menanyakan Ayah mereka. “Ayah selamat. Tenang sajalah,” awab Sawiyah kepada

abangnya. Barulah Haji Ahmad turut turun dari rumah itu.

Setelah pasukan Westenenk turun dari rumah itu, maka Datuak Rajo Pangulu

menyelinap masuk rumah, sedangkan istrinya Siti Aisyah tetap berjaga-jaga dalam

persembunyian dibalik semak-semak di pinggir jalan dekat sebuah parit. Hanya

sebentar, Haji Ahmad kembali dan masuk ke rumah berkumpul bersama Datuak

Rajo Penghulu.

Haji Abdul Manan menampakkan dirinya dari arah ujung rumah. Ia baru saja selesai

berzikir dan merenungkan Allah. Haji Ahmad tercengang melihat sosok Ayahnya

tiba-tiba sudah ada di ujung rumah, padahal baru saja dia sibuk mencari Ayahnya

takut kalau kalau bertemu dengan pasukan yang menggeledah rumah itu. Dalam

keheranannya itu Haji Ahmad menghampiri ayahnya, dia bersimpuh, bersalam dan

mencium tangan Ayahnya, yang disusul pula oleh Datuak Rajo Pangulu. Tak tampak

kegelisahan dari Haji Abdul Manan. Sambil menyuguhkannya cangkir kopi, Haji

Abdul Manan mulai berbicara langsung, “Datuak!” Maksudnya Datuak Rajo Pangulu.

“Saat ini perang sudah tidak dapat kita elakkan lagi, istrimu Aisyah suruhlah dia

naik ke rumah, palulah ‘tabuah’, (beduk) dan pekikkanlah azan sebagai tanda

komando perang dimulai!,” seru Haji Abdul Manan kepada Datuak Rajo Pangulu.

“Apakah pasukan sudah siap?,” tanya beliau lagi.

“Sudah, Ayah! Pasukan kita berada dalam posisi baik dan mereka sudah siap.

Pasukan Kamang (Ilia) dipimpin oleh Kari Mudo, sebahagian pasukannya akan

membantu Datuak Parpatiah Magek dan sebahagian lagi akan membantu kita.

Sedangkan Angku Jenggot dan Datuak Parpatiah Pauah memimpin sayap kanan.”

“Jalan ke Bukittinggi sudah ditutup. Pasukan musuh sudah terjepit, tidak akan

mungkin lagi mereka dapat meloloskan diri dan bantuan musuh pun tidak akan

dapat datang dalam beberapa hari ini, karena jalan kereta api di Lubuak Aluang

sudah dibongkar pula oleh orang-orang kita di Lubuak Aluang itu,” jawab Datuak

Rajo Pangulu yang sekaligus melaporkan kondisi terakhir kepada Haji Abdul Manan

yang telah beliau anggap seperti orangtuanya sendiri.

“Baiklah Datauak, sekarang jemputlah dulu Aisyah!,” kata Haji Abdul Manan lagi.

“Baiklah Ayah!,” jawab Datuak Rajo Pangulu.

Page 140: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

140 | Maryam Chilvalry

Sepeninggal Datuak Rajo Pangulu pergi menjemput istrinya, sekitar pukul 24.00

WIB (jam. 00.00 dini hari), Pendekar Mukmin yang dikenal juga dengan Pandeka

Ulando, sudah menukar pakaian prajurit Belanda-nya dengan pakaian putih-putih

sebagaimana layaknya pakaian pasukan Kamang. Ia datang dengan membawa lima

belas orang pasukannya yang siap membantu Haji Abdul Manan, dan Pandeka

Ulando ini melaporkan bahwa posisi Westenenk dengan induk pasukannya berada

dekat jembatan Koto Panjang sebelum Kampung Tangah sedang menunggu hari

siang.

“Gempurlah habis-habisan!, sedangkan yang lain biar kami yang

membereskannya,” kata Pendekar Mukmin.

Haji Ahmad yang sebelumnya sedikit tegang, sekarang merasa gembira karena

sudah jelas dia akan berhadapan dengan Westenenk mendampingi Ayahnya dan

Datuak Rajo Pangulu.

“Terimakasih, biarlah kita tunggu dulu sebentar Datuak Rajo Pangulu, dia sedang

menjemput istrinya,” jawab Haji Abdul Manan.

“Baiklah, Nyiak! Kalau begitu izinkan kami untuk kembali menyelinap dan

mencegat barisan pasukan Ulando untuk kami bereskan,” pamit Pendekar Mukmin.

Sepeninggal Pendekar Mukmin, Datuak Rajo Pangulu pun tiba, “Nyiak, sebelum

kedatangan Tuan Datuak, maksudnya Datuak Rajo Pangulu, suaminya, ‘sebentar ini

sudah sembilan orang pasukan Siteneng yang kami selesaikan dengan klewang ini,”

lapor Siti Aisyah sambil memperlihatkan klewangnya yang masih berlumuran darah

kepada Haji Abdul Manan.

“Baiklah, Aisyah! Sekarang kita bersama sama menghadapi Siteneng dan

pasukannya,” jawab Haji Abdul Manan.

“Angku Rumah Gadang palu lah ‘tabuah’, beduk dengan bunyi ‘tiga-tiga’!, sebagai

tanda komando.”

Tak lama berselang Angku Rumah Gadang memalu ‘tabuah’ dan terdengarlah bunyi

beduk tiga-tiga pukulan itu.

“tam-tam-tam...!, tam-tam-tam...!, tam tam-tam...!,” tanda komando, bagaikan

letusan ‘salvo’ ke udara sebagai tanda perang dimulai untuk menyerang Ulando.

Suara Takbir ‘Allahu Akbar’ pun membahana di udara membelah kesunyian malam

sebagai pengiring bunyi beduk tersebut.

L.C. Westenenk, sangat terkejut dan gemetar mendengar suara takbir tersebut

karena suasana seperti itu diluar dugaannya sama sekali. Namun Westenenk

berupaya untuk mengendalikan diri, fluit segera ditiupnya dan kemudian diringi

dengan bunyi terompet dan genderang perang oleh pasukannya.

Page 141: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

141 | Maryam Chilvalry

L.C. Westenenk, dari tempatnya berdiri dengan pasukannya, dibawah cahaya bulan

yang remang-remang dan diringi gerimis. Ia memperhatikan dengan seksama

pasukan Kamang berpakaian putih putih yang bergerak maju dari arah pinggir jalan

dan merayap dalam rumpun padi, yang jumlahnya tidak dapat dia taksir

banyaknya.

Dalam keadaan cemas itu, L.C. Westenenk melihat jelas sosok Datuak Rajo

Pangulu dan seseorang yang berdiri disamping kirinya. Sosok itu terlihat sangat

akrap dengan Datuak Rajo Pangulu, dia itu juga berpakaian laki-laki berwarna

putih namun perawakannya tidak sebagaimana seorang laki-laki, tubuhnya terlihat

agak ramping. Untuk mengusir kecemasan yang mencekam dirinya, yang tidak

pernah terbayangkan sebelumnya oleh L.C. Westenenk dan pasukannya itu, dia

berteriak. “Bubarlah kalian!!!, dan kembalilah pulang, kembali kepada anak dan

istri kalian! Kalau kalian masih tetap bergerak maju, maka segala kemungkinan

bisa saja terjadi karena kekuatan kompeni cukup banyak dengan personil dan

senjatanya,” ancaman L.C. Westenenk.

“Pasukan rakyat tidak akan mundur setapak pun dan bersedia mati syahid!,”

jawab Datuak Rajo Pangulu.

L.C. Westenenk mendekati Sersan Boorman yang sedang mengawasi kegelapan di

bagian timurnya. Sersan Boorman berteriak bahwa di depannya juga bergerak

sekelompok orang yang berpakaian putih-putih sedang mendekatinya. Pada saat

Westenenk memerintahkan kelompok yang berpakaian putih-putih dekat Sersan

Boorman itu membubarkan dirinya, datang lagi panggilan dari kelompok Barat,

karena di sana didatangi pula oleh sekelompok orang berpakain putih, setelah

diperhatikan ternyata mereka berpencar.

Belum sepenuhnya L.C. Westenenk memperhatikan kelompok putih yang bergerak

itu, terdengar lagi teriakan Kapten Lutz dari Timur, karena kelompok putih yang

berjumlah sekitar lima puluh orang itu tetap bergerak – mengayun-ayun – serentak

seperti sekam dihanyutkan air yang diringi suara ‘ratib’.

Page 142: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

142 | Maryam Chilvalry

Tubuh-tubuh putih itu telah mendekatinya sampai jarak enam puluh meter. Sekitar

dua puluh orang duduk dengan rapat di tengah jalan, seorang duduk sebelah kanan

di atas pematang rendah, dan sebelah kirinya berdiri seseorang yang bertindak

sebagai juru bicara, sedangkan di belakangnya berjejar pula sekitar empat puluh

orang pasukan putih-putih. Westenenk bertanya kepada juru bicara itu,“Kamu

mau melawan?!”

Si juru bicara spontan menjawab, “Tidak!”

“Kalau tidak kenapa kalian bergerak ke depan?!,” kata Westenenk.

Juru bicara itu pun balik bertanya kepadanya, “Saya ingin tanya pula pada Tuan.

Apa yang ingin Tuan kerjakan di sini, di tengah malam ini?”

Pertanyaan itu sangat mengesalkanku, karena pertanyaan itu adalah pertanyaan

yang kurang ajar kepadaku, kata Westenenk dalam nota yang ditulisnya kepada

Gubernur Heckler.

“Kami (kompeni), lanjut laporan Westenenk ‘adalah raja dan di negeri kami dan

bisa melakukan apa saja yang kami anggap baik’,” katanya dengan penuh kesal.

“Siapa yang mengangkat Tuan sebagai raja, dan di negeri manakah Tuan sebagai

raja?,” kata si juru bicara itu lagi.

“Di sini! Ini negeri kami! Kalian orang jangan kurang ajari kami, ya! ‘god

verdome’!” bentakku.

“Tuan, salah! Salah besar, Tuan! Ini adalah negeri kami. Jangankan mengangkat

tuan sebagai raja, bahkan semenjak dari leluhur kami tidak ada mengenal raja.

Raja kami adalah kata sepakat yang didasarkan kepada ‘syarak mangato-adat

memakai’. Dan sejak kapan pula Tuan ‘malateh jo manaruko, kasawah jo ka ladang

di sini’. Bahkan rupa wajah kita saja tidak sama!”

“Tutup mulut kamu orang, ya...! Bangsat! Duduk...,! hardikku.

“Kalau Tuan suruh kami duduk, kami sudah duduk dari tadi, Tuan!

“Kamu juga duduk, kalau tidak saya tembak.” Aku mengancam si juru bicara itu

dengan amarah yang menjadi-jadi.

“Kalau Tuan suruh saya duduk, maka saya akan duduk!” katanya lagi. Dia tak

gentar dengan hardikku dan malah si juru bicara Haji Abdul Manan keparat itu

seperti mengejekku.

Masih dalam nota yang ditulis tangan oleh L.C. Westenenk kepada Gubernur

Heckler pada tanggal 25 Juni1908 itu dia mengakui lagi.

Page 143: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

143 | Maryam Chilvalry

“...pada saat saya berputar beberapa langkah dan berbicara dengan Kontrolir

Dahler dan perwira kesehatan Justesen mengenai hal yang begitu sulit bagi saya,

serdadu mengingatkan saya bahwa orang-orang yang berpakaian putih-putih itu

sambil duduk berangsur-angsur maju. Dan saya melihat sendiri memang orang-

orang itu beringsud maju. Secara samar-samar kelihatan kilatan senjata tajam

yang tiap kali berangsur maju diletakkan di samping mereka. Sekali lagi saya

berteriak mengancam mereka.”

“Akan saya suruh tembak jika kalian masih bergerak maju, walau serambut pun!,”

hardikku ini dijawabnya secara serius tetapi menyedihkan.

“Kalau Tuan ingin menembak kami, ya tembak saja!,” kata pasukan berbaju putih-

putih itu.

Tetapi toh mereka kelihatan jelas tetap bergerak maju. ‘Mereka telah mendekat

lima puluh meter sampai lima puluh lima meter. Saya tidak bisa menunggu lebih

lama lagi dan menyuruh tembak’.”

Tentu saja pekikkan “Tembaaak...!!!” oleh L.C. Westenenk ini adalah sebagai

suatu penggambaran akan kekalutan dia dengan suasana yang semakin mencekam

itu. Namun bagi pasukan rakyat yang berpakaian putih putih itu, teriakan L.C.

Westenenk tersebut semakin membawa mereka ke puncak ‘kegairahan’ untuk

membantai pasukan Belanda yang membawa serta komplotan marsose itu.

Dalam suasana kekalutan dan kegalauan Westenenk itulah Haji Abdul Manan dan

pasukannya berhamburan, keluar dari sarang pengintaiannya dari semak belukar

sambil mengayunkan kelewang, pedang dan rudusnya menghantam pasukan inti

Westenenk.

“Tanpa aling-aling, setelah hardikanku itu segera mereka berdiri dan menyerang

kami tanpa mengeluarkan suara sedikit pun dengan rudus di tangannya.

Kebanyakan diantara mereka tersungkur kena tembakan, tetapi beberapa orang

tetap maju dalam cahaya remang-remang dan angker ditambah lagi dengan asap

mesiu di udara lembab mereka berhasil memasuki barisan tentara. Saya dan para

serdadu dan yang lain lain, karena tidak menyangka ini bisa terjadi, mulai mundur.

Kaki dokter Justesen tersandung dan sempat terjatuh ke dalam got (selokan) di

pinggir jalan. Pada saat saya dan Sersan Boorsma tetap memberi semangat supaya

tentara jangan mundur, di depan saya dua orang gerombolan itu menebas batang

leher dua orang serdadu, di depan saya sendiri.

Percikan darah kedua orang serdadunya itu mengenai wajah dan menghias

pakaiannya, maka kepanikan L.C. Westenenk semakin menjadi-jadi. Sementara itu

dr. Justesen berusaha bangkit dari selokan dan berupaya untuk bergabung dengan

L.C. Westenenk.

Page 144: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

144 | Maryam Chilvalry

Sedangkan Sersan Boorsma melihat lagi pasukan rakyat maju pula dari arah jalan

yang satu lagi dan Letnan. II Leroux berteriak minta bantuan karena pasukannya

kewalahan dalam serangan pasukan rakyat yang hening tanpa bersuara. Hanya

bunyi dencingan klewang dan laras bedil, serta bunyi peluru yang tidak tentu arah

yang terdengar dalam cahaya remang-remang yang menegakkan bulu kuduk.

“Begitulah kita harus menghadapi lebih delapan kali serangan yang terbagi dalam

kelompok-kelompok, yang masing-masingnya terdiri dari dua puluh sampai tiga

puluh orang.”

“Pada serangan ke delapan, kata Westenenk lagi ‘adalah perlawanan yang sangat

serius karena jumlah penyerang lebih banyak, jalan sempit, hanya memberi front

yang kecil. Tidak punya ruang gerak”.

“Sementara itu pandangan kami terganggu oleh asap mesiu, walaupun sedikit

tetapi tidak cepat hilang. Tiba-tiba beberapa penyerang melompat ke depan kami

menembus asap mesiu, sehingga serdadu yang berada di depan saya mundur dan

mendorong badan saya ke belakang, karena kaki saya terhalang oleh sosok mayat

di pinngir jalan saya terjatuh ke selokan rawa’.”

Persis ketika itu, pada saat Westenenk masih terlentang di dalam selokan dia

melihat tiga sosok berpakaian putih-putih dengan rambut tergerai melayang di

udara sambil mengayunkan rudus di tangannya. Satu orang di antaranya menebas

batang leher serdadu Belanda. Tapi yang sangat mengenaskan pula yaitu

seorangnya lagi mengayunkan rudus dan membelah kepala seorang Sersan yang

sedang terdesak, kemudian seorang lagi hinggap, bertengger tepat di pundak

seorang Kopral sambil menjambak rambutnya ke belakang dengan tangan kirinya,

sedangkan tangan kanannya menggesekkan sebilah rudus ke batang leher Kopral

yang tertengedah itu.

“Kau kah itu, Aisyah?,” suara seseorang terdengar oleh L.C. Westenenk.

“Itu adalah suara Datuak Rajo Pangulu. Berarti yang membelah kepala sersanku itu

adalah istrinya, Siti Aisyah. Tentunya pula yang menebas batang leher serdadu tadi

adalah Siti Anisyah?! Tapi yang menggesek leher si kopral itu siapa ya...? Dia juga

berambut panjang...?!,” gerutu L.C. Westenenk yang sedang menggigil dalam

keterpurukannya direndam air di selokan.

Ketiga penyerang berambut panjang itu memisahkan diri mengejar musuh di depan

dan di sampingnya sendiri bagaikan ‘singa lapar’ dengan memainkan klewang yang

berada di tangannya. Sambil melompat ke muka dan ke belakang, ke kiri dan

kanan menebas tubuh-tubuh para serdadu Belanda tanpa pandang bulu.

Siapa yang menebas siapa, tidak dapat dintandai pada pertempuran yang

berlangsung pukul 02.00 (dini hari ) hingga menjelang subuh itu, tetapi tiga orang

Page 145: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

145 | Maryam Chilvalry

berambut panjang yang tergerai itu sangat jelas hantaman dan makan tanggannya,

yang semakin memperkecil jumlah para serdadu Belanda yang selamat.

Kalaulah rambutnya tidak tergerai, tidak lepas dari ikatan sanggulnya tentulah

tidak diketahui bahwa mereka itu adalah Siti Aisyah, Siti Anisyah dan Siti Maryam

yang turut ke medan laga dan yang tidak kalah dahsyadnya dari kaum laki-laki di

jalan yang kecil dekat jembatan di Kampung Tangah itu. Diperkirakan jalan raya

yang lurus itu dari Simpang Koto Panjang hingga Simpang Pakan Sinayan hanya

sekitar satu kilo meter dan lebarnya sekitar tiga setengah meter.

Setelah serdadu L.C. Westenenk dapat dilumatkan, kecuali hanya L.C. Westenenk

, suasana menjadi sepi, hening. Dan Haji Abdul Manan kembali ke rumahnya dan

mengumpulkan seluruh pimpinan pasukannya untuk megevaluasi kejadian,

menyusun strategi berikutnya dan beberapa instruksi selanjutnya.

“Induk pasukan Westenenk sudah dapat kita hancurkan, tinggal sisa-sisanya, tetapi

Westenek dimana dia bersembunyi, belum dapat kita ketahui,” kata Haji Abdul

Manan kepada rekan-rekannya. Kari Bagindo bersama Haji Ahmad disuruh untuk

menyelidikinya dan segera melaporkan hasil penyelidikan mereka itu. Tapi

sebelumnya Inyiak Manan memberikan analisa lagi.

“Hai Haji Ahmad dan yang lainnya. Bahwa yang berbahaya bagi posisi kita sekarang

adalah pasukan sayap kirinya yang datang dari jurusan Aia Tabik, hingga mereka

dapat dengan mudah mengepung kita dari arah Koto Panjang. Sedangkan dari arah

Timur tidak mungkin, karena mereka melewati tempat terbuka semenjak jembatan

dekat Joho hingga ke Simpang Pintu Koto,” Haji Abdul Manan diam, hening

sejenak.

“Sementara itu kita juga belum mengetahui bagaimana pertahanan Datuak

Parpatiah di Magek dan Datuak Majo Indo di Koto Tangah. Kalau ini bobol maka

pertahanan kita akan terancam bahaya,” sambung beliau lagi, kemudian hening

lagi.

“Dan bagaimana dengan pasukan Kari Mudo di Hilia, apa mereka sudah

mengetahuinya?,” beliau diam lagi.

Sementara menungu jawaban dari masing-masing pembantunya, Haji Ahmad dan

Kari Bagindo mohon diri untuk melakukan tugas penyelidikannya dalam saat fakum

perang sebagaimana yang diisntruksikan Imam Perang mereka itu sebelumnya.

Syekh Jenggot dan Haji Abdul Samad tampil menjelaskan bahwa pasukan dari

Pauah, Sungai Dareh, Suayan Sungai Balantiak, Simarasok dan dari Nagari Nan

Tujuah sebagai sayap kanan pasukan yang dipimpin Datuak Parpatiah (Pauah)

dengan didampingi oleh Datuak Simajo Nan Gapuak, Datuak Andaleh, Pakiah

Sabatang (Tuangku Imam) dan Sutan Bandaro sudah siap menyambut kedatangan

Page 146: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

146 | Maryam Chilvalry

“tamunya”. Sedangkan pasukan Datuak Marajo Kaluang sudah merapikan

pasukannya pula di Kampuang Tapi hingga ke Marambuang.

Angku Rumah Gadang melaporkan pula bahwa pasukan Kari Mudo di Hilia, Kamang

Hilir sudah diberitahu oleh Angku Limau Kambiang dan beduk di surau Limau

Kambiang sudah dipalu, dan utusan langsung menemui Kari Mudo pun sudah

berangkat.

Tak lama berselang Haji Ahmad sudah kembali dari peninjauan melakukan

penyelidikan sebagaiman yang diperintahkan pimpinan perang, ayahnya Haji Abdul

Manan dan melaporkan bahwa pasukan Datuak Parpatiah di Magek dan Datuak Majo

Indo di Koto Tangah sudah mengirim utusannya untuk melaporkan bahwa pasukan

mereka sudah mengadakan perlawanan dengan gigih. Kari Bagindo belum

memberikan laporan, belum kembali dari penyedikannya di sekitar Koto Panjang.

Laporan komandan-komandan pasukan seketika itu selesai.

“Perundingan selesai! Semua kita harus tenang menunggu gerak-gerik musuh.

Jangan mendahului, biar mereka yang memulai. Tetapi sedikit pun tidak ada dan

tidak boleh berlalai-lalai!,” instruksi Haji Abdul Manan setelah selesai

mengevaluasi situasi dan hasil penyelidikan.

Selesai briefing, para komandan pasukan di kediaman Haji Abdul Manan bersalam-

salaman satu dengan yang lainnya dan kembali ke pasukannya masing-masing.

Datuak Rajo Pangulu pun kembali pula ke tempat istrinya bersembunyi di parit

sebelah Utara Kampung Tangah bersama Pado Intan, Tuangku Pincuran, Tuangku

Parit, Datuak Gunuang Hijau dan beberpa orang lagi kawan-kawannya yang sedang

menunggu pasukan Westenenk yang akan menerobos dari arah Barat.

Di semak belukar di sebelah jalan telah siap pula pasukan Pandeka Mukmin yang

sedang mengambil posisi untuk melumatkan pasukan musuh dari arah Timur.

Sekarang si Hendrick akan berhadapan dengan kawannya sendiri yaitu Sersan

Boorman yang sedang mengawasi kawasan Timur sebagaimana yang diperintahkan

Westenenk.

Pasukan Westenenk sudah berada dalam sebuah lingkaran yang dikelilingi oleh

militansi Kamang. Keadaannya benar-benar terjepit. Tinggal menunggu tembakan

salvo atau dentuman beduk dengan gema takbir Allahu Akbar. Menunggu perintah

siapa yang akan memulai babakan kecamuk perang selanjutnya.

Haji Abdul Manan sudah mengevaluasi situasi terakhir, sedangkan Westenenk masih

dalam kegalauan. Pasukan Haji Abdul Manan sudah rapi membentuk sebuah

lingkaran bola-bola api. Pasukan Westeneng kacau balau di titik tengah lingkaran

bola-bola api tersebut.

Ramuan tradisional yang diseduh sore hari oleh pasukan Haji Abdul Manan mulai

memperlihatkan reaksi. Tuak untuk menghangatkan darah dan menghilangkan rasa

Page 147: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

147 | Maryam Chilvalry

takut pasukan yang di ‘sasok’, diteguk berulang ulang oleh pasukan Westenenk

sebelumnya di balai prajurit dekat Birugo itu telah kehabisan khasiatnya, karena

telah terkuras oleh perjalanan panjang dan labrakan sesaat dari pasukan Haji

Abdul Manan. Jangankan untuk menghisap candu, memasukkan peluru ke

senapannya saja tidak sempat lagi.

Suasana tetap sunyi, sepi! Satu pasukan napasnya sesak menunggu gerik musuh.

Pasukan yang satunya lagi jantungnya berdenyut kencang dalam kecemasan. Dalam

kesunyian yang tak terperikan itu, dentuman salvo yang diiringi asap tebal

mengiringi bola api menjulang kelangit serta diringi bunyi tiupan terompet perang

dari arah Barat membelah kesunyian.

Dari siraman cahaya letusan komando itu Kari Bagindo melihat jelas posisi

keberadaan Westenenk di sebelah Barat dia berada yang akan diperkuat oleh induk

pasukannya di Koto Panjang. Kemudian bergegas melaporkan kepada abangnya

Haji Ahmad yang segera pula melaporkan kepada Ayahnya Haji Abdul Manan.

Terompet komando dari induk pasukan itu dijawab oleh pasukan sayap kiri musuh.

Pasukan induk yang dipecah di Simpang Banto dekat Simpang Empat Sungai Tuak

telah masuk jurusan Barat menuju Kampung Tangah, mereka berjalan – ‘maojok-

ojok’ – dalam kewaspadaan pada kiri dan kanan jalan, tak obahnya seperti burung

onta berjalan di tengah padang. Tanpa diketahuinya, secara diam-diam pasukan

Datuak Marajo Kaluang mengikutinya dari belakang.

Sesampai pasukan musuh di bahagian Barat Kampuang Tangah, Syekh Jenggot, Haji

Jabang meneriakkan suara takbir “Allaaahuakbar...!”, dengan sekeras-kerasnya

dalam semangat yang mendidih. Teriakan takbir itu disahuti pula oleh Datuak Rajo

Pangulu. Tibalah saatnya pasukan yang bertahan pada posisi Barat dan Timur

berhamburan maju mengeroyok pasukan Westenenk beserta sisa pasukannya yang

bertahan di Kampung Tangah. Dari arah belakang sisi Barat pasukan Haji Jabang

dan kawan-kawannya menyambut kedatangan sayap kiri musuh. Dibelakang sekali

dari pasukan musuh itu diburu dan didesak pula oleh pasukan Datuak Marajo

Kaluang.

Ronde selanjutnya dimulai, karena pasukan putih terbantu oleh kilatan stripstrip

putih pakaian dan jumbai topinya pasukan Westenenk. Sehingga memudahkan

sasaran penglihatan. Tanpa hayal lagi Syek Jabang mengganas tak kenal ampun

bersama Tuangku Parit, Tuangku Pincuran Datuak Marajo Kaluang, Datuak Marajo

Tapi, Datuak Parpatiah Pauah, Sutan Bandaro Kaliru dan Siti Aisyah yang

didampingi suaminya Datuak Rajo Pangulu.

Bunyi letusan bedil hanya terdengar satu kali sewaktu penyerangan mendadak

dimulai oleh pasukan Seyekh Jabang. Selanjutnya yang terdengar adalah

gemerincing besi, kelewang beradu dengan laras senapan, bayonet beradu

menangkis rudus dan pedang.. Bunga api dari peluru yang meluncur dari laras

Page 148: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

148 | Maryam Chilvalry

pancang berganti sudah dengan percikan bunga api besi yang beradu dan

bergesekan. Pasukan Belanda kalang kabut tak tentu arah.

Ucapan-ucapan kotor keluar dari mulut pasukan marsose yang kena sayatan dan

hantaman kelewang. Sebaliknya kalimat suci, tasbih, tahmid, tahlil dan istighfar

dari pasukan Haji Abdul Manan meningkah kelatahan pasukan Belanda itu.

Haji Jabang, Syekh Jenggot sambil berkucitak dalam kecamuk itu tetap

meneriakkan kalimah-kalimah yang membakar semangat pasukan fi sabilillah itu.

“La takhaf wa la tahzan. Allahu ma’ana. Jangan takut dan gentar. Allah bersama

kita.”

Komando itu disambut pula oleh Datuak Marajo Kaluang dengan pekikan ‘Allauhu

Akbar’ berulang-ulang sambil memburu, menggempur dari bagian barisan musuh

yang sudah dikuntitnya dari tadi. Pasukan musuh kucar-kacir, ada yang melompat

ke dalam parit, selokan, melompat kolam, ke dalam sawah, tetapi tetap saja

mendapat labrakan kelewang karena pasukan Bansa Kamang sudah bertebaran di

sekeliling mereka, bak menunggu sapi masuk kandang untuk dijagal. Lumat sudah

pasukan sayap kiri musuh yang datang dari arah Air Tabik, setelah longmarch

sejauh lebih kurang 17,5 km hingga 20 km dari kota Ford de Kock itu.

Di bahagian Timur Kampung Tangah pertempuran berjalan dengan dahsyadnya

pula, kejar mengejar di tengah jalan, lompat melompati selokan, decakan rudus,

kelewang memindai di punggung dan pundak para marsose meningkah tarian

pedang dan bayonet yang disandang mereka.

Suara hening kembali menandai perlawanan pada ronde ini selesai pula. Haji Abdul

Manan dan komandan masing masing pasukan kembali ke rumah untuk melakukan

evaluasi, penyelidikan dan follow-up untuk mengatur strategi berikutnya. Hari

semakin larut juga. Udara semakin lembab, waktu Subuh semakin mendekat.

Kali ini instruksi yang diberikan Haji Abdul Manan adalalah “...andaikan subuh

sudah datang, maka diperintahkan kepada seluruh pasukan untuk menyingkir dan

menyelamatkan diri pada siang hari, karena di siang hari musuh akan mudah untuk

mengarahkan senjatanya guna menghabisi pasukan kita dan bahkan seluruh isi

kampung ini,” katanya.

“’Dan kamu!,” kata beliau, Inyiak Manan lagi kepadaku. “Andaikan peperangan ini

tidak dapat dilanjutkan lagi, dan andaikan pula kita kehilangan pemimpin, bahkan

termasuk saya sendiri, maka kepadamu aku amanatkan untuk berupaya

menyelamatkan diri secepatnya guna terwarisinya kisah peperangan ini kepada

anak cucu kita nanti.”

Haji Abdul Manan diam, menekurkan wajahnya dan terlihat lehernya menegang,

menelan ludahnya untuk membasahi kerongkongan yang sudah kelat. Kemudian air

putih pun di hidangkan yang punya rumah.

Page 149: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

149 | Maryam Chilvalry

“Sedapat mungkin kamu upayakanlah untuk dapat menyelamatkan diri ke Tanah

Semenanjung, karena Ulando tidak akan mungkin mengejarmu sampai ke sana,

karena Semenanjung telah di kuasai oleh Inggirih (Inggris). Konon kabarnya pula,

Syekh Taher Jalaluddin, saudara sepupu Syekh Ahmad Khatib al Minangkabauwi

sudah menetap pula di negeri Semenanjung itu,” lanjut beliau lagi dan sedikit

merangsang pertanyaanku pada beliau.

“Berarti Syekh Taher saudaranya Kepala Nagari Koto Tuo Ampek Angkek itu,

Nyiak?.”

“Ya. Beliau saudara Amin Pamuncak, Muhammad Amin Pamuncak Sutan Bagindo.”

“Ada bagusnya pula apabila menemui beberapa karib-kerabatku di Sungai Ujong di

Negeri Sembilan terlebih dahulu, selain keteranganmu sendiri, berikanlah sepucuk

surat saya ini untuk lebih menguatkan keteranganmu, supaya kamu bisa diterima

mereka di sana,” sambung beliau lagi dan kemudian memberikan lembaran kertas

yang berlipat, yang beliau keluarkan dari kantong ikat pinggang ‘kamareleng’-nya

yang besar itu.

“Pada suatu saat yang telah memungkinkan, kamu susunlah riwayat perjuangan

kita ini dalam menegakkan kedaulatan kita dan mengenyahkan kaum kafir di bumi

kita ini. Selanjutnya kamu rawikan pulalah kepada pejuang-pejuang kita nanti dan

kepada orang-orang yang singgah di – ‘gua persembunyianmu’ – itu. Kamu paham

maksudku?”

“Insyaallah, Nyiak,” jawabku dengan anggukan kepala sebagai takjupku yang laur

biasa pada beliau.

Dengan air mata berlinang, aku berusaha meyakinkan beliau di hadapan para

komandan pasukan perang itu. “...segala petuah dan amanah Inyiak akan ambo

pegang teguh. Semoga Allah, Swt pun memberikan perlindunganNya kepadaku dan

kepada semua pejuang kita.”

Mendung yang sedang menunggu sambaran halilintar. Dengan mengangkat wajahku

setengah menengedah dan sedikit suara agak serak aku tegaskan lagi “Insaallah,

Nyiak!!!”

Pertemuan mendadak di rumah Haji Abdul Manan larut tengah malam itu, tanpa

diduga sebelumnya juga dihadiri oleh Majo Ali, seorang utusan Siti Mangopoh yang

sengaja datang menemui Haji Abdul Manan dengan maksud untuk

mengkonfirmasikan kapan serangan terhadap Belanda akan dilancarkan. Tau-

taunya malam itu, Majo Ali pun turut terlibat dalam kancah peperangan di Kamang

itu.

Padahal Siti Maryam, si “chivalry” itu sudah diutus oleh Haji Abdul Manan ke

Mangopoh untuk memberitakan bahwa perang melawan Belanda akan dimulai

malam itu di Kamang dan segera pula letuskan perang di Mangopoh dan sekitarnya.

Page 150: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

150 | Maryam Chilvalry

“Majo Ali! Sekarang segera pulalah kamu kembali ke Mangopoh. Beritakan kejadian

malam ini kepada Siti dan pejuang kita yang lainnya. Dan kobarkan secepatnya

semangat perang ini sampai ke Pariaman. Jangan biarkan serdadu Ulando itu dapat

bernapas walaupun untuk satu hirup hisapan rokok! Kalau mereka mendapat

peluang dan kesempatan meskipun sekejab maka habislah kita, karena mereka

dibantu dengan peralatan perang yang maju dan pertolongan para pengkhianat

perjuangan kita. Kepung dan lakukan serangan cepat dan mendadak, dan pecah

pasukannya dengan penghadangan awal pada tengah-tengah barisannya! Serangan

harus terpusat dengan pola maju-mundur, dan kalau musuh berada dalam garis

pertahanannya atau benteng lakukan penyusupan terlebih dahulu dan hantam

sekonyong-konyong!.” Demikian petunjuk terakhir dari Imam perang di Kamang

malam itu.

“Sudah waktunya kalian untuk berangkat, dan kami pun akan melanjutkan

perlawanan, guna menghabiskan sisa-sisa pasukan Ulando dan Siteneng itu

sendiri.!,” sambung Inyiak Manan lagi kepada Majo Ali.

“Tapi, Nyiak! Kami harus membawa serta Inyiak malam ini untuk memimpin

perjuangan pasukan – ‘tujuh belas’ – kita di Mangopoh. Kami berharap Inyiak

memimpin zikir selama perang berlangsung. Ini pesan khusus dari Kak Siti,” pinta

Majo Ali.

“Haji Abdul Gafar kan ada yang akan memimpin zikir,” tanggapan Haji Abdul

Manan.

“Iya Nyiak!, tapi kami telah sepakat agar Inyiak yang memimpin zikir itu.”

“Sekarang tidak mungkin Majo (Ali), karena di sini perang belum selesai, belum

berakhir,” kata Inyiak Manan lagi.

“Kalau begitu, Nyiak. Biarlah saya tunggu. Sama-sama kita selesaikan dulu

pekerjaan yang terbengkalai ini, di sini!,” tegas Majo Ali pula.

“Maryam bagaimana?,” tanya Haji Abdul Manan

“Biarlah Maryam berangkat terlebih dahulu, Nyiak. Atau paling tidak Maryam akan

menunggu di tempat yang telah kami sepakati tadi,” jawab Majo Ali.

Bersamaan dengan terperanjatnya saya mendengar perkataan Majo Ali itu, Kak Siti

Aisyah memecah suasana dialogis itu, “O, ya! Apakah kamu tidak punya pesan

kepada Maryam?,” kata Kak Siti Aisyah kepadaku sambil mengikat kembali

rambutnya yang tergerai itu. Sehingga orang-orang diatas rumah serentak terdiam

dan menoleh kepadaku.

“O,ya, Kak Aisyah! Sebetulnya di halaman rumah nanti akan saya sampaikan

kepada Tuan Majo Ali. Tetapi karena sudah kakak mulai, ya..., tidak apalah,

langsung sajalah sekarang saya sampaikan,” jawabku kepada Siti Aisyah.

Page 151: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

151 | Maryam Chilvalry

“Tuan Majo Ali, sampaikan salam saya kepada Siti Maryam, dan kalau sempat

ceritakanlah kepadanya bagaimana kelincahan dan kehebatan Kak Siti Aisyah dan

Etek Siti Anisyah dalam menghadapi serdadu Ulando ini tadi. Kedua wanita kita itu

benar-benar bagaikan ‘naga terbang’. Mudah-mudahan hatinya senang dan dapat

menggelorakan semangat juangnya di sana.”

“Bukan hanya berdua, Juru Tulis. Tapi bertiga perempuan kita malam ini!,” pintas

Majo Ali.

“Bagaimana...?,” tanyaku heran.

“Oh, maksudku Juru Tulis! Kilah Majo Ali kembali ‘apakah tidak sebaiknya kamu

saja langsung untuk menemuinya?,” sambungnya.

Pernyatan Majo Ali semakin membingungkan aku dan termasuk semua orang di atas

rumah itu, kecuali Inyiak Manan, Mak Datuak Rajo Pangulu dan Kak Siti Aisyah.

“’Memangnya kenapa, Tuan Majo? Kan dia, Maryam’, kataku untuk lebih

memastikan ‘sedang ke Mangopoh. Dan saya tidak mungkin menyusulnya ke sana

malam ini, Tuan?!,’” sambungku lagi kepada Tuan Majo Ali.

“Bukan begitu maksudku!,” kata Tuan Majo Ali

“Lalu...?,” desakku lagi.

“Barangkali kamu kurang arif tentang maksud Aisyah tadi, Juru Tulis!,” jawab Tuan

Majo Ali, membuat aku semakin bingung, apa sebutulnya yang terjadi dan rahasia

apa sebetulnya yang luput dari tugasku.

“Maryam masih di sini, Juru Tulis!,” kata Tuan Majo Ali kepadaku.

Dengan serta-merta aku terlonjak kaget, bingung, nanar seperti orang kehilangan

akal.

“Dia juga turut bertempur sebentar ini bersama Guru Tuonya ini,” jelas Majo Ali

sambil menunjuk Kak Siti Aisyah.

“Tolong ulangi sekali lagi, Tuan Majo!, apakah aku tidak salah dengar tentang yang

Tuan katakan itu!,” desakku untuk lebih meyakinkan, tentang keterlibatan Maryam

pada pertempuran sesaat tadi dan entah dironde keberapa di masuk ke arena

pertempuran. Kemudian Tuan Majo Ali mengulangi lagi kalimat yang sama

kepadaku.

“Juru Tulis, Maryam masih di sini, dia turut berperang bersama-sama kita sebentar

ini, dia telah bergabung dengan Aisyah dan Anisyah, Juru Tulis!”

“Betulkah itu, Tuan? Lalu, kenapa bisa begitu, Tuan Majo?” Tanyaku lagi dengan

penuh haru dan antusias.

Page 152: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

152 | Maryam Chilvalry

“Memang, tadi sore Maryam telah memacu kudanya menuju Mangopoh. Tetapi,

sesampai di Simpang Gudang kami bertemu, karena saya juga menuju kemari ingin

meminta penjelasan kapan perlawanan akan dimulai. Di sana terjadi pembicaraan

kami, dia langsung menceritakan kondisi terakhir di sini, bahwa sudah dapat

dipastikan pada malam ini perlawan akan berlangsung. Sejenak kami menyoal

kondisi ini dan langkah apa yang akan kami tempuh. Apakah dia berbalik ke sini

dan saya kembali ke Mangopoh membawa berita dari Maryam tersebut. Namun aku

memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke sini, akan turut bertempur

sebisanya, maka Maryam pun tersentak dan memutuskan pula untuk balik ke sini.

Sehingga kami putuskan bahwa kami berdua untuk secepatnya sampai di Kamang

ini. Sesampai kami di sini keadaan sudah kacau, perang sudah berkecamuk, maka

Maryam langsung meberikan perintah padaku untuk menyusup ke barisan Syekh

Jenggot dan dia, yaitu Siti Maryam akan bergabung dengan Pandeka Mukmin. Dan

selama di perjalanan Maryam sudah menjelaskan pula kepadaku tentang strategi,

posisi dan kepala pasukan,” jelas Majo Ali kepadaku.

“Apakah Inyiak dan Mak Datuak sudah mengetahui hal ini, sebelumnya?,” tanyaku

pula pada Inyiak Manan dan Mak Datuak Rajo Pangulu.

“Sudah. Sudah ada kurir yang menyampaikan kepada kami bahwa mereka berdua

berada di sini dan turut bertempur!,” jawab Inyiak Manan.

“Lalu, dimana dia sekarang, Tuan Majo?,” tanyaku lagi kepada Majo Ali.

“Itulah dia Siti Maryam, masak kamu tidak mengenalnya? Dia itu bertempur seperti

siluman, dengan secepat kilat dia menyerang dan secepat itu pula dia menghilang.

Kemudian menyerang lagi dan menghilang lagi,” jawab Majo Ali.

“Dia sekarang sedang bersama Kak Siti Anisyah!,” sela Siti Aisyah dengan tegas.

“Tetapi selama diperjalanan tadi kami juga telah sepakati bahwa andaikan kami

selamat dalam kecamuk perang malam ini, maka menjelang subuh, selesai atau

tidak peperangan ini maka kami harus tinggalkan dan bersama-sama pula kembali

ke Mangopoh untuk mengkondisikan dan membantu perlawanan di Mangopoh

bersama pasukan – “tujuh belas” – dan dia sendiri akan mendampingi Kak Siti, istri

Tuan Rasyid (Hasyik) Bagindo Magek nantinya. Barangkali dalam kondisi perang

yang agak reda ini dia sudah berbalik menuju Mangopoh. Dia pasti menunggu saya

di sebuah tempat yang sudah disepekati di Garagahan, atau kalau saya yang duluan

sampai di sana, maka saya yang menunggunya untuk bersama sama memasuki

Mangopoh,” jelas Majo Ali lagi kepadaku.

Mendengar semua pemaparan Majo Ali itu, sehubungan dengan Maryam, aku hanya

termangu-mangu memikirkan betapa militannya si perawan desa itu, dia relakan

kecantikan wajahnya dicabik-cabik peluru serdadu Belanda. Juga terlintas

Page 153: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

153 | Maryam Chilvalry

dipikiranku .....’apakah dia tidak ingin berjumpa denganku, atau dia memang telah

melihat sosokku dalam kecamuk tadi?’ Akh..!, aku kehilangan kendali lagi ulah si

‘chivalry’ itu, yaitu perempuan satria dengan kepribadian sempurna penuh

keteladanan nan selalu berbakti pada Tuhan.

Setelah selesai mengatur strategi di rumah Haji Abdul Manan itu, kemudian kami

berangkat kembali ke medan pertempuran, berniat untuk menghabisi sisa pasukan

dan termasuk L.C. Westenenk sendiri yang masih belum diketemukan.

Page 154: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

154 | Maryam Chilvalry

18. Badai Menjelang Subuh

JALU-JALU adalah sejenis tumbuhan rambat yang tumbuh liar di rimba-rimba,

buahnya menjadi konsumsi burung. Tapi, bagi pemuda di Minangkabau telah

menjadi pokok pantun yang didendangkan setiap mengakhiri sebuah acara,

biasanya dalam mengakhiri acara bergurau saluang. Saluang merupakan alat musik

tiup tradisional asli Minangkabau daratan, dari Luhak Agam. Dendang jalu-jalu

dinyanyikan ditengah malam menjelang subuh hari sebagai lagu perpisahan;

“Jalu-jalu di dalam parak,

makanan anak tiuang rimbo.

Sagitu dulu oi... urang banyak,

bapisahlah dulu kito samantaro.”

Pasukan Datuak Rajo Pangulu dan Siti Aisyah sudah bergabung dengan Haji Abdul

Manan menyelesaikan pekerjaaan yang masih terbengkalai. Dalam gabungan

pasukan Haji Abdul Manan dan Datuak Rajo Pangulu, Siti Aisyah berusaha untuk

mendekati Siti Anisyah guna menyampaikan taktik serangan yang sudah di atur di

rumah Haji Abdul Manan.

Ternyata tidak gampang pula untuk mengenali wajah Siti Anisyah dalam

kerumunan pasukan itu, karena disamping hari malam adalah karena Siti Anisyah

pun sama dengan Siti Aisyah yaitu sama-sama berpakaian laki-laki berwarna putih.

Setelah mereka bertemu dan membicarakan strategi, maka Aisyah dan Anisyah

merayap dalam selokan antara sawah dan jalan raya. Siti Aisyah di sebelah kiri

jalan sedangkan Siti Anisyah di sebelah kanan jalan, masing-masingnya didampingi

pula oleh pasukan laki-laki, tentu saja yang sangat dekat di sisinya adalah suami-

suaminya sendiri.

Page 155: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

155 | Maryam Chilvalry

Untuk mengelabui pasukan Belanda yang sedang waspada di sepanjang jalan raya,

maka sebahagian lagi pasukan berpakaian laki laki berwarna serba putih itu tetap

meratib menyebut asma’ul husna Lailahailallah..., sambil berjalan di tengah jalan

raya dengan rudus yang selalu waspada pada masing-masing tangan mereka.

Sesampai dipertengahan barisan serdadu Belanda, kedua srikandi yang merayap

membungkuk-bungkuk sambil mengendap mengendap itu berhenti sejenak

menunggu pasukan yang bergerak dari arah Timur, dan bersiap-siap pula menunggu

aba-aba berikutnya dari komandan pertempuran.

Pasukan Westenenk terpukau oleh gerakan pasukan yang berada di ujung jalan

raya, baik dari arah Barat maupun dari arah Timur. Apalagi mendengar gemuruh

suara ratib Lailahailallah...! Lailahailallah...! Lailahailallah...!, Secara serentak,

yang semakin lama semakin mendekat ke arahnya.

Pada kondisi pasukan L.C. Westenenk dalam keadaan terkepung barulah teriakan

komando Allahuakbar...! menggema, menggelegar, keluar dari kerongkongan Syekh

Jenggot. Dan dengan secapatnya pula pasukan rakyat secara serentak berhamburan

dari dalam sawah ke tengah pasukan Belanda itu.

Dalam keadaan serdadu Belanda terpana itu terdengar pula suara teriakan wanita

yang melengking dari sebelah kiri dan kanan jalan, yang diringi oleh bayangan

putih yang melayang ke tengah jalan membelah barisan pasukan Belanda tersebut.

Seketika itu pula rudus di tangan dua orang srikandi dari Kamang Hilir itu, Siti

Aisyah dan Siti Anisyah berdecak merambah batang leher, punggung, dada dan

pangkal bahu serdadu Belanda. Rudus-rudus srikandi itu sangat leluasanya meliyuk

kiri dan kanan dari arah atas ke bawah, karena kelincahan dan kelihaian

pemiliknya memainkan rudus diantara tubuh musuhnya. Srikandi-srikandi itu

dengan pinggangnya yang lemah melompat terbang kiri dan kanan, muka dan

belakang seakan tidak mendapat perlawanan dari serdadu Belanda, yang terdengar

hanyalah erangan dan jeritan mereka karena di ‘semba’ klewang perempuan

perempuan yang sudah bringas itu.

Decakan klewang dan rudus para pasukan putih itu hanya dibalas dengan tembakan

serdadu yang tidak tentu arah dan membabi buta. Hanya untuk satu kali tembakan

bagi masing-masing serdadu itu, karena tidak sempat lagi mengisi peluru untuk

tembakan berikutnya. Untuk kesekian kalinya guna menyelamatkan diri

terpaksalah mereka mempergunakan bayonet yang menempel di ujung senapannya

tersebut. Dan secara kebetulan pula diantra tembakan mereka itu ada yang

mengenai sasaran, mayat para kawan kawan srikandi itu satu persatu berjatuhan

dan bergelimpangan juga di dalam sawah, di dalam selokan dan di tengah jalan

raya, seperti ronde ronde sebelumnya.

Page 156: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

156 | Maryam Chilvalry

Pertempuran yang membutuhkan stamina yang kuat itu menyebabkan perlawanan

dilakukan beberapa kali gelombangan serangan, dengan cara silih berganti antara

kelompok yang maju dan kelompok yang beristirahat. Sewaktu beberapa kelompok

yang sudah bertempur mengundurkan diri, maka beberapa kelompok dalam

keadaan siap sedia di belakangnya maju untuk menggantikan. Pasukan yang

mundur langsung ke tempat perlindungan yang sudah dikondisikan untuk

beristirahat guna memulihkan tenaganya sambil mengkoordinasikan kembali

anggota pasukan, sehingga dapat pula sekaligus menghitung jumlah anggota yang

tinggal dan sebaliknya yang telah menjadi korban. Dalam kondisi frontal, serangan

berlapis itulah taktik perlawanan yang dilakukan pasukan Kamang yang tergabung

dari berbagai anak nagari di Minangkabau sebagai utusan partisipatif atas

perjuangan anti belasting dengan pusat pergerakan dan perlawanannya di Kamang,

Agam.

Sewaktu Siti Aisyah beristirahat setelah beberapa kali bertempur, tiba-tiba bangun

dan melompat ke arah serdadu Belanda yang tetap waspada. Siti Aisyah berlari

dengan rambut yang tergerai lagi dan pakaian putihnya yang telah berhiaskan

semburan darah-darah musuhnya. Aisyah melompat, menyerbu ke arah tiga orang

serdadu Belanda yang sedang bersusah payah karena terburu-buru mengisi peluru

senapannya. Siti Aisyah menebas batang leher dua orang serdadu kiri dan kanan

dengan sebilah klewang dalam genggamannya. Dengan secepat kilat dia kembali

bagaikan ‘naga mengamuk’. Sewaktu Aisyah mengejar yang seorang lagi, terkilat

oleh suaminya Datuak Rajo Pangulu dan seketika itu juga Datuak Rajo Pangulu

berteriak memperingatkan Aisyah untuk berhenti mengejar serdadu itu.

“Aisyah. Jangan...!,” teriak Datuak Rajo Pangulu.

Tetapi si ‘guru tuo’, Siti Maryam itu sudah terlanjur membuat reaksi melompat dan

melayang di udara maka dia seakan tidak memperdulikan larangan suaminya itu.

Pada jarak sekitar tiga meter menjelang berhadapan dengan serdadu yang terbirit

lari memanggul senjatanya ketengah sawah mencari tempat bersembunyi, tau-

taunya kaki Siti Aisyah terpeleset pada sebuah unggukan tanah di dipematang

sawah, Aisyah terjatuh masuk selokan kecil. Dia berusaha untuk bangun

secepatnya, tapi pergelangan kakinya yang terperosok itu terasa sakit untuk

diangkat. Tau taunya dua orang serdadu lagi sudah berdiri di dekatnya dan

langsung mengacungkan laras senjata ke arahnya.

Dalam keadaan sedang terlentang tak berdaya, Siti Aisyah hanya menggelinjang

sebentar tanpa rintihan apa-apa ketika salah seorang dari dua serdadu masrose itu

memasukkan ujung laras senjatanya ke mulut Aisyah dan langsung menarik

pelatuknya. Dalam satu letusan yang membelah kesunyian malam itu terkaparlah

‘srikandi’ yang perkasa itu dalam lumuran darah bercampur keringat. Meskipun

kedua serdadu itu adalah bangsanya sendiri. Karena memang rekrukment prajurit

marsose itu umumnya orang Batak, Ambon, Bugis, Jawa dan Madura.

Page 157: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

157 | Maryam Chilvalry

Dengan wajah yang tenang Siti Aisyah telah menghadap Sang Illahi sebagai seorang

syuhada, darahnya mengalir mewarnai air sawah yang baru ditanami padi.

Melihat istrinya terkapar di pinggir sawah yang baru beberapa hari selesai ditanami

padi itu Datuak Rajo Pangulu yang sedang bertempur menghadapi dua orang

serdadu Belanda lantas berpaling dan berbalik kearah istrinya. Datuak Rajo

Pangulu merangkul, memeluk – ‘menghibai’ – istrinya itu, adalah ciuman terakhir

yang penuh kepiliuan.

Kemudian dia bangkit kembali meninggalkan istrinya di pematang sawah itu untuk

kembali mengejar serdadu Belanda, untuk menuntut balas dalam kekalapan.

Namun sebelum mencapai musuh terdengar lagi sebuah letusan, ternyata

punggungnya telah ditembus timah panas pula.

Akan tetapi Datuak Rajo Pangulu tetap berusaha untuk bertahan dan berbalik

melangkah ke arah istrinya. Dengan langkah terseot-seot Datuak Rajo Pangulu

berusaha menuju pembaringan istrinya. Pada saat bersamaan, ternyata peluru

senjata api Belanda kembali menembus bahagian bawah dada sebelah kanan Dt.

Rajo Pangulu dan berapa langkah kemudian dia tersungkur tepat disamping tubuh

istrinya, Siti Aisyah. Datuak Rajo Pangulu menyertai kepergian istri tercintanya

sebagai seorang syahid dalam menentang kaum kafir itu. Cinta sejati dibawa mati.

Westenenk menembakkan pestol komando, diiringi terompet perang dari arah

Barat, tetapi tidak dibalas oleh terompet di arah Timur. Wetenenk terpaksa

memberanikan diri, maju dari arah Barat.

Haji Abdul Manan yang didampingi anakanya Haji Ahmad dan Kari Bagindo dengan

pasukan intinya yang semenjak tadi sudah siap sedia – ‘mengelus’ – kuduk

Westenenk, dengan klewangnya yang terhunus di tanggannya.

Haji Abdul Manan dengan suaranya yang nyaring mengomandokan pasukannya

untuk serentak maju ke tengah-tengah pasukan Westenenk yang telah mulai

bergerak lagi setelah mendengarkan tembakan salvo dan bunyi terompet perang.

Haji Abdul Manan langsung ‘melalah’, mengejar ke arah tembakan salvo tadi,

tetapi Westenek tidak ditemukannya. Amarahnya pun mulai memuncak, dengan

suara lantang Haji Abdul Manan berteriak.

“Hai... Westenenk majulah kau, aku ada di sini!!!” Tapi westenenk tidak

menjawab.

“Katanya kamu mencari aku! Ini aku, Haji Abdul Manan yang kau cari-cari itu.

Majulah, Westenenk!!! Tunjukkanlah keberanian mu!!! Jangan hanya bisanya

mengancam-ancam kami rakyat. Jangan hanya bisanya memerintah saja!!!,” teriak

Haji Abdul Manan lagi. Tetapi Westenenk jangankan memperlihatkan sosoknya

menjawab pun tidak.

Page 158: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

158 | Maryam Chilvalry

‘Biang ka cabiak, gantiang kaputuih’. Supaya jelas jantan betinanya. Haji Abdul

Manan menerjang musuh kiri dan kanan yang didampingi oleh darah dagingnya

sendiri Haji Ahmad dan Kari Bagindo. Sayap Kanan Haji Abdul Manan serentak maju

menghantam musuh, Rauangan, rintihan pasukan inti Westenenk yang kena tebas

pedang, klewang dan rudus itu sangat mengerikan, merindingkan bulu roma.

Sayatan senjata tajam itu seperti sengatan bisa seekor reptil, mereka menggelapar

seperti ikan terpental ke atas pematang sawah yang berjemur matahari. Sisanya

mundur, tetapi pasukan inti Haji Abdul Manan mendesak terus, semakin garang,

mengganas seperti sekawanan binatang ‘fanther’ yang lapar memburu sekawanan

zebra di kaki Gunung Kilimanjoro, Afrika. Lonjakan spirit, semangat seirama

hentakan suara ratib, zikir La Ilaha Ilallah...!, La Ilaha Ilallah...!, La Ilaha

Ilallah...! yang tak putus-putusnya.

Tiba-tiba dari arah kiri Haji Abdul Manan terdengar orang memanggil.

“Ayah...!, ayah...!,” dengan pelan, seperti Haji Abdul Manan mengenal persis

suara itu dan berlari ke arah suara itu.

“Ayah, aku ada di sini!” Dan Haji Abdul Manan segera melompat ke arah suara itu.

Ternyata anaknya, Kari Bagindo.

“Ayah, aku kenah. ‘Yah!,” kata Kari Bagindo.

Haji Abdul Manan berjongkok dan membungkuk memeluk anaknya. Beliau terharu

mendengar rintihan anaknya itu.

“Kamu kena, Kari?!” Dan merobek baju putih anaknya yang sudah berlumuran

darah untuk memeriksa lukanya. “Apamu yang kena, Kari?!”

“Dadaku, Ayah!” Dengan suara lembut, letih Kari Mudo menjawab, memberi tau

lukanya. Baju Kari Bagindo disobek, lukanya dibersihkan ayahnya. Haji Ahmad,

abang Kari Bagindo pun menghampiri ayahnya untuk memberikan pertolongan

untuk adiknya.

Kari Bagindo semakin melemah, lunglai dan tidak berdaya lagi karena kehabisan

darah. Haji Abdul Manan membuka sorbannya yang melilit kepala, leher dan

sebahagian wajahnya dan disobek untuk membalut luka anaknya. Kemudian Kari

Bagindo dibaringkan di atas lutut Haji Ahmad yang sudah dapat melumpuhkan

musuh, menyelesaikan tugasnya.

“Bagaimana ayah, berat lukanya, Ayah?,” Haji Ahmad bertanya sambil memangku

adiknya menggantikan Haji Abdul Manan yang sudah kelihatan letih. Letih bukan

hanya karena seorang – ‘gaek’ – tenaganya terkuras, tetapi melihat anak – sibuah

hati – merintih kesakitan, luka terganga di dada anaknya merontokkan seluruh

stamina, persendiannya terasa lemah. Haji Abdul Manan tidak bersuara, hanya

mengangguk saja menjawab tanya Haji Ahmad. Suasan kembali sunyi seketika.

Page 159: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

159 | Maryam Chilvalry

Haji Jabang menyusul ke arah Haji Abdul Manan dan melaporkan bahwa Datuak

Rajo Pangulu dan istrinya Siti Aisyah serta Datuak Marajo Kaluang sudah duluan

kembali keharibaan Allah, Swt Yang Maha Suci, gugur dalam pertempuran. Tetapi

Westenenk sudah tidak dapat ditemukan lagi, namun kawan kawannya masih tetap

mencari Kontroleur tersebut.

Haji Abdul Manan semakin terhenyak, terharu karena satu persatu orang-orang

yang disayanginya berangsur meninggalkannya untuk selama-lamanya.

“Aisyah. Kamu luar biasa!.” Hanya dengusan itu terdengar lembut dari mulut Haji

Abdul Manan, sebagai reaksinya atas laporan Haji Jabang.

“Angkatlah semua kawan-kawan yang telah gugur ketempat yang patut dan aman,

dan sebahagian lagi kerahkan mencari Westenenk beserta sisa pasukannya,”

perintah Haji Abdul Manan kemudian. Bersamaan dengan itu Pandeka Mukmin pun

datang melapor.

“Pasukan Musuh sudah habis. Karena hari sudah mulai dekat Subuh, kita harus

berpisah supaya kami dapat kembali lagi ke Bukittinggi,” kata Hendrick, si Pandeka

Mukmin.

“Ya, terimakasih atas bantuanmu, Nak! Upayakan dirimu tidak sengsara, Ya!”

“Baiklah, Ayah!,” jawab Pandeka Mukmin yang tersohor juga denga sebutan

‘Pendeka Ulando’ itu. Mereka bersalam-salaman sebagai tanda perpisahan.

Pandeka Mukmin kembali menemui kawan-kawannya dan pakaian dinas militernya

pun dikenakan kembali.

Haji Jabang yang mendapat perintah sudah menggerakkan anak buahnya untuk

menyelamatkan pasukan yang menjadi korban ke Kampung Tangah. Suasana

semakin hening, Kari Bagindo masih bernapas lemah diangkat oleh kawan-

kawannya ke atas Surau di Kampung Tangah

Page 160: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

160 | Maryam Chilvalry

Tiba-tiba dari kejauhan yang sayup sayup sampai kedengaran bunyi terompet.

Dalam hening semuanya mendongakkan kepala masing-masing dengan

mengarahkan pendengran untuk memastikan dari arah mana bunyi terompet

tersebut. Lalu Haji Ahmad memecahakan kesunyian.

“Ayah, bunyi terompet itu kedengarannya dari arah Magek. Mungkin pasukan

Mantri Warido. Kalau pasukan bantuan dari Bukittinggi tidak akan mungkin,” kata

Haji Ahmad.

“Ya, ya!,” sambung Haji Abdul Manan dan Haji Jabang serentak.

“Semua pasukan harus dipersiapkan kembali untuk menyambut kedatangan

pasukan sayap kanan musuh. Ini berarti pertahanan Datuak Parpatiah Nan

Sabantang di Magek dapat ditembus musuh,” kata Guru Siti Maryam dan pemimpin

besar perlawnan rakyat yang anti belasting itu.

“Ada apa gerangan sehingga sekawanan buaya darat itu lepas dari perangkap

Datuak Parpatiah Nan Sabantang? Kalau begitu untuk apa pula bersumpah setia

sehidup dan semati?,” tanyanya lagi kemudian.

“Sekarang Bersiaplah!!! Esa hilang dua terbilang. Relakanlah tulang belulang kita

berserakan di jalan. Ikhlaskanlah nyawa berpisah dengan badan sebagaimana

kawan kawan kita yang sudah syuhada itu. Biarkanlah sejarah negeri ini yang

memberi kata akhir sebagai pedoman dan pelajaran untuk anak cucu kita

nantinya.” Begitu penafsiran dan perintah serta semangat Haji Abdul Manan

dengan tak pernah pupus.

“Haji, kobarkan kembali semangat perang. Sudah kepalang. Sibungsu tidak akan

beradik lagi!! Sekarang kita selesaikan amanah dari Tanah Suci, Mekah itu,” ketus

Haji Abdul Manan kepada sahabatnya Haji Jabang.

Haji Jabang langsung berdiri membawa pasukannya menyeberang selokan besar di

sebelah kanan. Sedangkan pasukan inti Haji Abdul Manan tetap di sebelah kiri

jalan. Mereka sama-sama menuju sasaran, yaitu Koto Panjang untuk

menyonsongkan musuh yang datang dari arah Magek. Haji Ahmad tetap

mendampingi ayahnya bersama Angku Rumah Gadang.

Tak berselang lama dalam perjalanan ke Koto Panjang dengan penuh kehati-hatian

dalam kesunyian larut malam itu terdengar suara tembakan. Cuma sekali

dentuman saja dan arahnya tidak diketahui.

Haji Abdul Manan menatap sekeliling dan menangkap bayangan sebuah sosok yang

sedang merangkak di bawah pohon pisang, dengan lambat-lambat Haji Abdul

Manan merangkak mendekati sosok itu. Musuh pun melompat ke seberang bandar,

selokan. Haji Abdul Manan telah siap dengan menghunuskan pedangnya sambil

membentak, “Mana Westenenk?!!!”

Page 161: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

161 | Maryam Chilvalry

“Celaka, saya tidak tau,” jawab musuh itu yang kemudian minta ampun. Tapi apa

boleh di kata klewang Haji Ahmad keburu menebas batang leher musuh itu. Dan

seorang kawan musuh itu mengejar Haji Ahmad untuk membantu kawannya yang

tergeletak dengan leher yang hampir putus itu. Tetapi terlambat pula, Angku

Rumah Gadang telah lebih dahulu menyambut musuh itu dengan dengan

menebasnya pula. Musuh jatuh tersungkur berhimpitan menimpa bangkai

kawannya. Keadaan kembali sepi....

Haji Jabang kembali menemui Haji Ahmad, berbisik mengatakan bahwa Westenenk

sudah dicari-cari tetapi tidak ditemukan juga tempat persembunyiannya.

Tau-tau ada suara panggilan dari arah belakang “Ahmad...!”

Haji Ahmad berpaling mengarahkan telinganya. “Ahmad...!” Sekali lagi suara

memanggilnya. Mereka saling berpandangan “...Ayah?!”, dan serentak pula berlari

ke arah suara itu.

“Oh, Ayah rupanya, ada apa Ayah?”

“Kemarilah kamu, dan kawan-kawan kamu. Ayah mau bicara!”

Kami pun menghampiri beliau, sang pemimpin perang itu. “Bagimana?, apa

Westenenk sudah ditemukan?,” tanya orangtua itu. “Belum!!!,” jawab Haji Ahmad

dan Haji Jabang serentak. Kemudian Sekh Jenggot itu melanjutkan laporannya.

“Westenenk sudah dicari-cari sampai ke Koto Panjang. Setiap liku dan tebing sudah

diteliti, tetapi satupun pasukan musuh tidak ditemukan lagi, selain bangkai-

bangkai musuh yang bergelimang darah. Dan sekarang beberapa orang pasukan kita

sedang mencarinya ke dalam kampung Koto Panjang, mereka belum kembali,”

jelas kawan Imam Perang itu yang sehidup semati sejak dari kecil sampai di

perantauan dan sama-sama pulang pula untuk mempersiapkan apa yang terjadi

dimalam buta itu.

“Ahmad!,” kata ayahnya lagi dan kemudian berhenti sejenak.

“Haji!,” serunya kepada Haji Jabang sambil memegang tangannya.

“Sekarang sudah pukul tiga atau pukul empat pagi, mungkin Westenenk sudah

mengundurkan diri bersama sisa pasukannya, namun tetaplah waspada menjelang

subuh ini. Kalau sudah siang kita tidak mungkin bertempur lagi karena senjata kita

tidak mungkin bisa melawan musuh dengan bersenjatakan senapan dan meriam di

siang hari. Oleh sebab itu persiapkan pasukan kita untuk mundur mencari

perlindungan masing masing di siang hari untuk menanti saat selanjutnya pada

malam besoknya. Dan beri kabar semua kawan-kawan kita di daerah dan pos-pos

lain supaya selalu siap sedia melawan musuh, jika nanti pasukan Westenenk

menyerbu lagi.”

Page 162: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

162 | Maryam Chilvalry

Haji Abdul Manan kemudian berhenti sejenak, napasnya mulai sesak dan badannya

terlihat semakin letih. Dan dengan suara terputus-putus berwasiat lagi.

“A...yah!, a...y...ah!, A...yyy...a...h!, tidak...

mungkin...lagi...me...ne...russs...kan pim...pinan perrrang ini!. Ayyah kennna!,

sebentar lagi mungkin Ayyyah akan menghadap Illahi Rabbi, Allah

Subhanawata’ala, dan sudah tak mungkin lagi...! Terrruskan perrrjuangan...!”

Diam lagi, namun mulutnya tetap komat kamit dan ujung lidahnya terkilas

melentik lentik seperti orang mengucapkan Allah! Allah! Allah!

“A...yah sssuddah merrasa puas. Amanat kakekmu di tanah suci dulu sudah kita

laksanakan bersama.... Kita tidak menyerah begitu saja pada kehendak dan

kelancangan musuh terhadap anak, kemenakan dan cucu kita nati.... Berjuanglah

terrruss. Ingat!!! Pengkhianat selalu ada dimana mana, hati-hati! Jangan ceroboh!

Demi dekat dengan Allah Subhanawata’ala biarlah miskin harta daripada menjadi

budak kapitalih. Karena kaum kapitalih tidak akan sadar akan perbuatannya telah

menghalalkan apa saja untuk jabatan dan kekayaan, bahkan riba pun dia halalkan.

Ingat pesan Ayah. Dekatkan diri selalu pada yang paling berkuasa, yaitu Allah

Subhanawata’ala.”

Diam lagi, dengan tatap terengah-engah pelan, dan berupaya pula mengambil

napas lagi untuk menyampaikan amanah selanjutnya.

“Ahmad!!!, kalau batu sipadan di asak urang!,” sempadan ulayatmu diusik orang.

“Begitu pula terhadap negeri ini, terhadap agama kita dan terhadap bangsa kita.

Busungkan dadamu, nak!!!. Malam ini kamu dan adikmu serta kawan-kawan kita

telah membuktikannya”

“Tapi, Ahmad!!!” Katanya lagi setelah terdiam pula sejenak, “Selagi menyangkut

dengan pribadi sendiri tetaplah bersabar, bersabar dan bersabar. Tenangkan

perasaan, jernihkan pikiran dan sandarkan perasaan kepada pemiliknya, yaitu Allah

Ajja wazalla. Bertanyalah dan memintalah kepada-Nya petunjuk yang lurus.”

Sunyi lagi sesaat.

“Juru Tulisku! Maafkan saya karena kamu selalu aku suruh, aku perintah selama

ini. Sekarang jalankan amanahku tadi, selamatkanlah dirimu sekarang. Biarlah Haji

Jabang dan lain-lain yang menyelesaikannya perang menjelang subuh ini.

Selamatkanlah segala perbendaharaanmu tentang seluk beluk perlawanan ini.

Dan..., jadilah... kamu... sebagai perawi ikhwal perang ini... untuk cucu-cucu kita

nanti.”

Ditengah-tengah bersemangatnya mengkhotbahi kami, tiba-tiba tubuh beliau oyong

dan rebah dalam pelukan Haji Ahmad, beliau berhenti berbicara dan keadaan

Page 163: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

163 | Maryam Chilvalry

kembali sunyi. Angku rumah gadang berupaya pula memeluk beliau, membantu

Haji Ahmad.

Tiba-Tiba kedengaran gema takbir, “Allahu Akbar!.. Allahu Akbar!... Allahu

Akbar!” dari jurusan Timur yang sayup-sayup kedengarannya dari tempat kami

bersembunyi di Koto Panjang. Tak lama kemudian terdengr pula bunyi tiupan

terompet perang musuh dari arah Pulai Magek sebelah Selatan. Haji Abdul Manan

yang menelentang dalam pelukan Haji Ahmad dan Angku Rumah Gadang saling

berpandangan denga Haji Jabang.

“Oi!, Mungkin pertahanan Datuak Parpatiah Nan Sabatang di Magek dan Datuak

Majo Indo di Koto Tangah dapat ditembus musuh,” kata Haji Jabang tiba-tiba.

“Sekarang Haji Ahmad dan Angku Rumah Gadang selamatkan ayah segera. Bawa

beliau ke rumah sebelum terlambat. Biarlah bapak pimpin pasukan kita

menghadapi musuh itu. Agaknya Kari Mudo telah mengerahkan pasukannya dari

Timur untuk membantu kita.”

“Baiklah Bapak,” jawab Haji Ahmad. Kemudian tubuh Haji Abdul Manan kami

gotong ke rumah beliau di Kampung Tangah.

Sawiyah menahan perasan sedihnya saat Majo Ali membuka pakaian Haji Abdul

Manan untuk memeriksa lukanya. Terlihat dada kanan Haji Abdul Manan sobek dari

arah rusuk di bawah ketiak hingga ke bidang dadanya, dengan serta merta Majo Ali

membalurkan air ludahnya ke tempat yang luka tersebut dan membalut luka itu,

setelah meminta sorban beliau kepada Miyah, anak perempuan Haji Abdul Manan

yang seorang lagi.

Pakain Haji Abdul Manan ditukar semuanya dengan yang bersih. Itulah satu satunya

obat penawar luka dan atiseptik dalam keadaan yang sangat darurat ketika itu, air

ludah Majo Ali yang sudah dimantrainya. Kemudian Majo Ali berlalu dari rumah

untuk menyusul Sekh Jabang. Haji Jabang mempersiapkan pasukan untuk

menghadang musuh yang datang dari arah Selatan, yaitu dari Magek Pulai yang

didampingi Majo Ali.

Tak berselang lama sudah terlihat pasukan musuh berjalan membungkuk bungkuk

seperti amai-amai akan menangkap anak ayam. Suara takbir dari pasukan Kari

Mudo dari arah Timur Koto Panjang terdengar semakin mendekat dan semakin

bergemuruh. Selepas dari jembatan Koto Panjang menuju Kampuang Tangah

pasukan Kari Mudo dihujani oleh tembakan musuh, karena pasukan Kari Mudo

masuk dalam jebakan musuh yang tidak di duga oleh Kari Mudo sebelumnya,

sehingga banyaklah diantara pasukannya itu yang menjadi korban.

Haji Jabang dengan serangan itu dapat mengetahui persis keberadaan pasukan

Belanda, selanjutnya memberikan isyarat dan perintah kepada pembantu-

pembantunya, Sutan Bagindo Kaliru di sebelah kanan dan di sebelah kririnya Majo

Page 164: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

164 | Maryam Chilvalry

Ali yang tergabung dalam pasukan banyak. Haji Jabang membisikkan siasat

penggempuran.

“Jika musuh mulai menembak lagi, komando segera saya berikan, dan apabila

sudah terdengar komando segera lakukan serangan serentak ke tengah-tengah

barisan musuh. Beri tahu kawan-kawan!”

Selesai menerima penjelasan itu Sutan Bagindo Kaliru dan Tuangku Pincuran

langsung mendekati kawan-kawannya untuk menyampaikan perintah tersebut.

Tembakan musuh mulai ramai lagi ke arah pasukan Kari Mudo. Haji Jabang

langsung memberikan komando dengan meneriakkan takbir “Allahu Akbar”.

Pasukan yang dipimpin Bagindo Kaliru dan Tuangku Pincuran serentak menyerbu ke

tengah-tengah musuh.

Pasukan Belanda tidak mengira bahwa meraka dalam pengintaian pasukan Haji

Jabang sebelumnya, dan dengan serangan mendadak itu mereka kalang kabut,

mereka menembak membabi buta, tidak tentu arah. Pertempuran kembali

berkecamuk antara pasukan Haji Jabang dan pasukan Belanda.

Tetapi pertempuran di sini hanya berjalan sekejab karena pasukan musuh hanya

sekelompok kecil. Di arah Timur pasukan Kari Mudo ‘bakuhampeh’ pula dengan

dahsyadnya dalam waktu setengah jam sudah jelas jantan betinnya. Perang

berhenti kembali. Susana tenang, hening...!

Haji Jabang kembali meneriakkan takbir beberapa kali ke arah Timur. Dari arah

Timur Kari Mudo menyahut dengan suara takbir pula. Kedua pasukan ini berjalan

berlawan arah, makin lama makin mendekat antara pasukan Haji Jabang dan

pasukan Kari Mudo. Kedua pimpinan pasukan saling maju berjabatan tangan dan

saling rangkul-rangkulan dan para pasukan juga melakukan hal yang sama dalam

kegembiraan karena mereka dapat menyelesaiakan peperangan dengan sebaik-

baiknya. Kecuali Westenenk masih belum diketahui jejaknya.

Haji Jabang menyampaikan khabar kepada Kari Mudo bahwa Datuak Rajo Pangulu

dan istrinya, Sutan Nan Basikek dan istrinya, Datuak Marajo Kaluang dan beberapa

anggota pasukan laiannya sudah syuhada, haji Abdul Manan pun kena sasaran

tembakan musuh dan sekarang sedang disitirahatkan di rumah anaknya Miyah.

Beriringan laporan itu pula Haji Jabang menyampaikan pesan Haji Abdul Manan

agar seluruh pasukan segera mengundurkan diri dan menyingkir ke tempat yang

aman karena subuh sudah sangat dekat, hari akan siang dan tidak akan mungkin

melanjutkan peperangan di siang hari.

Kari Mudo sangat terharu, urat-urat di dahinya semakin terlihat jelas, matanya

basah dan memerah karena kawan-kawan dan peminpin perangnya banyak yang

gugur. Semoga kesyahitannya dibalas Allah di sorga yang telah dijanjikan.

Kemudian Kari Mudo memerintahkan sebahagian pasukannya untuk mengangkat

anggota pasukan yang gugur dalam pertempuran dan anggota pasukan yang lain

Page 165: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

165 | Maryam Chilvalry

mengiringinya bersama Haji Jabang menjumpai Hai Abdul Manan dan jenazah

Datuak Rajo Pangulu dan lain-lainnya. Setelah semua pemimpin pasukan berkumpul

di Kampuang Tangah langsung merundingkan segala sesuatau tentang langkah

langkah selanjutnya.

Hasil kesepakatan masing-masing komandan pasukan Sabilillah Kamang itu adalah

bahwa jenazah Datuak Rajo Pangulu dan istrinya Siti Aisyah dibawa pulang ke

Kamang Hilir dan begitu pula para syuhada yang berasal dari Kamang Hilir akan

dimakamkan di dekat Surau Taluak Kamang Hilir yang digotong oleh pasukan Kari

Mudo yang masih selamat.

Atas permintan terakhir Majo Ali, demi keselamatan Haji Abdul Manan yang sedang

terluka dan juga demi perjuangan di Mangopoh, maka Haji Abdul Manan agar

diizinkan untuk dibawa menuju Mangopoh pagi-pagi itu.

Sepeninggal Majo Ali yang membawa serta Haji Abdul Manan beduk di surau-surau

sudah mulai terdengar, menandakan waktu shalat Subuh sudah masuk. Semua

pasukan segera mengganti pakaiannya yang sudah berlumuran darah.

Setelah waktu dhuha Haji Ahmad mendapat berita bahwa Yusuf Datuak Parpatiah

Nan Sabatang di Magek juga syahid malam itu, karena didatangi pasukan Warido,

tangan kanan Belanda yang berjabatan sebagai Mantri Kopi dan terakhir sebagai

Laras. Pada mulanya Belanda menanyakan di mana rumah Datuak Parpatiah Pauah,

tetapi orang salah tunjuk, rumah Datuak Parpatiah Magek yang ditunjukkan.

Pada malam itu, pada pukul 03.00 (dini hari) sampailah serdadu Belanda di rumah

istrinya di Pakudoran Koto Marapak-Magek. Tanpa berfikir panjang rumah Siti

Hasnah itu digebrek oleh pasukan Belanda, di atas rumah itu terjadilah perkelahian

yang hebat pada saat pasukan dibawah kendali Agus Warido itu ingin menagkapnya

hidup-hidup, namun apa daya sejumlah tamu yang tidak diundang itu dapat

dihabisi oleh Yusuf Dtauak Parpatiah Nan Sabatang, termasuk Agus Warido sendiri

tewas di tangan Pendekar dari Magek ini.

Perkelahian berlanjut ke halaman rumah Siti Hasnah, meskipun datuak ini telah

mulai kekurangan stamina karena telah menghunus lima belas orang serdadu

Belanda, namun semangatnya belum juga kendor. Dalam kondisi stamina mulai

mengendur regu pelapis yang datang menyusul mendapatkan ruang tembak di balik

pagar halaman rumah. Pada saat bidikan tepat sasaran ujung jari telunjuk salah

seorang prajurut Marsose itu menarik pelatuk senapannya. Yusuf Datuak

Parpataiah Nan Sabatang tersenungkur persis di “batua tapak-an”, halaman

rumahnya.

Kemudian sisa prajurut itu tidak mengacuhkannya lagi karena peluit untuk kembali

kekesatuan telah terdengar pula. Datuak mengerang kesakitan, tubuhnya dipopong

keatas rumah, Hasnah hanya bisa meratapi kepergian suaminya untuk selama

lamanya.

Page 166: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

166 | Maryam Chilvalry

Pagi hari mulailah berdatangan saudara dan kemenaakan Datuak Parpatiah melihat

jasad saudara dan mamandanya. Sesuai dengan hukum adat di Minangkabau,

apabila seorang penghulu meninggal dunia maka jasadnya harus dikebumikan di

tanah pusaka, ditanah ibunya yang akan diwariskan kepada kemenakannya. Maka

jasadnya dikebumikan di Dusun Kabun Jorong Lurah Ateh Nagari Magek, di dekat

sebatang pohon duren dekat rumah pusakanya sendiri.

Page 167: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

167 | Maryam Chilvalry

19. Singguluang Batu

Informasi yang disampaikan Pandeka Mukmin sebelum berkecamuknya

pertempuran Kemang pada malam 15 Juni 1908, bahwa Belanda akan membantai

rakyat Kamang lebih kurang dengan kekuatan seribu orang dengan serdadu

bersenjata lengkap dan modern, sedangkan pada waktu jumlah penduduk Kamang

tidak lebih dari empat ribu jiwa. Namun, apa yang terjadi, berpedati-pedati mayat

serdadu Belanda diangkut ke Kurai, Bukittinggi. Ditaksir ada sekitar 425 orang

serdadu Belanda tewas sebagai korban perang ditengah malam buta itu.

Andaikan hanya seperempat dari jumlah penduduk Kamang yang ikut berperang

waktu itu, maka pertarungan dimalam buta itu dapat dikatakan satu lawan satu.

Jadi jelas, bukannya rakyat yang dibantai oleh Belanda, tetapi pasukan Belandalah

yang diluluh lantahkan rakyat. Berbalik arahlah penebangan, semula Westenenk

berniat menghabisi rakyat Kamang penentang belasting ternyata pasukannya yang

‘habih - tandeh’, ludes oleh kaum militansi di Kamang.

Bahkan Westenenk yang bernama lengkap Lourd Constant Westenenk (L.C.

Westenenk) sampai terbirit-birit menyelamatkan diri ke kolong jembatan Koto

Panjang, tubuhnya ditutupi dengan daun keladi (talas). Ia diselamatkan oleh Angku

Suku Marah dari Aia Tabik hingga pagi hari dalam pesakitan. Satu jarinya putus,

karena dikibas rudus anak nagari Kamang yang rambutnya tergerai bagaikan

“mayang taurai – si gadih Ranti” pada saat memainkan rudusnya tersebut.

Setelah pertempuran babak terakhir reda, pagi-pagi sekali barulah Westenenk

muncul dari persembunyiannya, seperti tikus keluar dari got, karena memang

bersembunyi di dalam kolong jembatan yang airnya penuh lumpur bercampur

darah. Kolong jembatan itu adalah aliran tali bandar, got dari kancah

pertempuran di Kampuang Tangah.

Page 168: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

168 | Maryam Chilvalry

Westenank berganti pakaian sepeti gaya penduduk setempat, dengan menyandang

kain sarung layaknya orang pulang pagi dari menunggui sawah di malam hari

menuju Aia Tabik, ke tempat kediaman Angku Suku Marah.

Sehari penuh Westrenenk beristirahat dalam pesakitannya, sakit karena kegagalan

misi pembantaian maupun atas kehilangan seruas jarinya. Mungkin saja ujung

jarinya itu meloncat menari-nari mencari tuannya akibat dijemur terik matahari

seharian dan mungkin juga sudah terinjak-injak oleh masyarakat yang menjamur

dari dan ke Kampung Tangah untuk membezuk dan sekaligus untuk mengenali

anggota keluarganya yang telah syuhada dalam pertempuran semalam.

Setelah Maghrib barulah Westenenk diantar oleh Angku Suku Marah di Aia Tabik

yang dikawal oleh beberapa pengiring, hulubalang Angku Suku menuju Baso dengan

manaiki kendaraan bendi, sado kebesaran Angku Suku, layaknya kendaraan kaum

feodal hasil rekayasa Belanda. Dari Baso Westenenk diselundupkan ke Benteng Fort

Van der Capellen di Batu Sangkar.

Tetapi, tidak beberapa berselang, terdengar pula desas-desus bahwa yang

menyelamatkan Westenenk adalah Jaar. Dt. Batuah (Laras Tilatang), dan kemudian

hari diangkat menjadi Demang dan tersohorlah dengan sebutan Damang Cingkuak

yang pernah menerima Oranye van Nassau, suatu penghargaan tertinggi dari Ratu

Juliana kepada kaum pribumi yang telah berjasa besar dalam melancarkan

kekuasaannya di Hindia Belanda.

Meskipun perang sudah dianggap selesai, tetapi Tuangku Pincuran masih belum

bersenang hati karena perjuangan suci itu telah dikhianati oleh orang Kamang

sendiri. Pagi pagi buta rumah Angku Suku Babukik dikepungnya, terjadilah

penyergapan terhadap Angku Suku tersebut dan tanpa berpikir panjang Angku Suku

Babukik dibunuh dan mayatnya dicincang sebagai ungkapan kebencian dan

kekesalan yang maha sangat. Walaupun Angku Suku Babukik telah terbunuh, namun

masa belum puas. Rumahnya di bakar, binatang ternak peliharaannya seperti kuda

dan anjingnya juga dibunuh.

Pada hari-hari selanjutnya, setiap orang yang lewat di depan rumah Angku Suku Air

Tabik, Kepala Nagari dan pesuruh-pesuruh Belanda - yang telah mengkhianati

orang kampungnya itu meludah di depan rumah itu. Bagi masyarakat Minangkabau

perbuatan semacam itu entah mana yang sakit rasanya daripada sayatan klewang

dan rudus. Karena sikap semacam itu adalah menandakan kebencian warga

terhadap elite lokal di nagari nagari.

Menantang habis-habisan masyarakat tidak mau, mereka masih trauma, pemimpin

tidak ada lagi, surau sudah lengang. Tetapi kepada anak-kemenakannya mereka

berwasiat dan tetap menanamkan kebencian terhadap Belanda, kaum penjajah

termasuk para orang kampung, si Belanda hitam.

Page 169: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

169 | Maryam Chilvalry

Sesuai hasil kesepakatan masing-masing komandan pasukan Sabilillah Kamang,

maka pagi-pagi hari jenazah Datuak Rajo Pangulu dan istrinya Siti Aisyah dibawa

pulang ke Kamang Hilir untuk dimakamkan berdampingan di pandam perkuburan

Siti Aisyah. Syuhada yang berasal dari Kamang Hilir lainnya akan dimakamkan di

dekat Surau Taluak Kamang Hilir oleh masyarakat dan keluarga masing-masing

korban. Termasuk yang dimakamkan di dekat Suarau Taluak jenazah Siti Anisyah

dan suaminya Sutan Nan Basikek, orangtua dari Ramaya kecil yang kemudian pada

tahun 1926 menjadi tokoh revolusi pula dalam menentang penjajah Belanda yang

terkenal dengan Pemberontakan Kamang 1926, berbarengan dengan

Pemberontakan Silungkang dan Sawahlunto.

Sekarang terbukti sudah tentang naluri anaknya, Ramaya sewaktu dia dan

suaminya Sutan nan Basikek sedang latihan di halaman belakang Suarau Taluak

beberapa waktu yang lalu.

Semenjak kematian ayah dan ibunya deraian air mata dan isak tangis Ramaya

belum berhenti. Dengan terbata-bata yang diringi isak tangis dalam gendongan

neneknya Ramaya kecil tetap menanyakan ibunya.

“Kenapa Ibu ditembak Ulando, Nek?,” tanya Ramaya dengan suaranya yang sendu

kepada sang nenek. Dan sebelum dijawab neneknya dia sudah bertanya lagi.

“Apa salah ayah dan ibu, Nek?”

“Ayah dan ibumu tidak punya salah, Maya!,” jawab neneknya.

“Nanti Maya tidur sama siapa, Nek?

“Kan ada nenek dan etek, Maya?! Nanti kita tidur bersama-sama, ya?,” jawab

neneknya pula.

“Siapa lagi jadi Ibu Maya nanti, Nek?

Mendengar pertanyaan cucunya itu si nenek pun tidak bisa lagi menjawabnya,

kerongkongannya terasa kelat dan lekat, mulut terasa terkunci, bernapas pun

terasa susah, yang bisa dia lakukan hanyalah mencium dan mencium cucunya itu

berulang kali dalam pelukan dan gendongannya.

Jangankan seorang nenek yang luluh hatinya melihat cucu semata wayang itu

menangis dan sebentar-sebantar menanyakan ayah dan ibunya, orang yang hadir

berta’ziyah ke rumahnya di Pintu Koto, Kamang Hilir itu pun tak kuasa menahan

derai air matanya.

Dipihak lain, tuan Residen Padang Bovenlanden di Bukittinggi langsung mengambil

alih pemerintahan Underavdeeling Oud Agam, karena Controleur Westenenk belum

kembali ke Bukittinggi dan nasibnya belum diketahui.

Page 170: Catatan Usang Seorang Juru Tulis

170 | Maryam Chilvalry

Tuan Residen memerintahkan Laras Kamang, Tilatang dan Salo, termasuk para

Kepala Nagari serta Penghulu Suku untuk membersihakan dan mengangkut

prajuritnya yang menjadi korban pembantaian rakyat Kamang. Dan untuk

menggotong para serdadu serdadu itu dipergunkan tenaga orang rantai, orang

tahanan dari tangsi di Bukittinggi yang sengaja dikeluarkan dari sarangnya dalam

sebuah pengawalan ketat dengan tangan dan kaki tetap dirantai.

Laras, Kepala Nagari dan Penghulu Suku sibuk mencari gerobak pedati untuk

membawa bangkai-bangkai yang tubuhnya compang-camping tersebut, berserakan

dimana-mana, di pematang sawah, di selokan di pinggir jalan.

Masih di tengah jalan, orang rantai – ‘si Melayu’ juga – menghela gerobak pedati

yang sarat muatan bangkai-bangakai serdadu Belanda - sudah mulai mengeluarkan

bau amis, busuk karena sudah semalaman direndam air hujan dan air selokan, air

sawah serta air kolam. Lalat dan kumbang-kumbang kecil pun silih berganti

“membezuknya” di sepanjang jalan, kadang-kadang sering mengganggu

penglihatan dan pendengaran si penghela pedati yang terseot.

Gemerincing rantai di kaki yang bergeser dengan jalan berbatu dan dengungan

lalat serta kumbang bagaikan lagu suci mengahantarkan mayat-mayat itu ke liang

kuburnya, mungkin di laut lepas menjelang Pulau Pisang atau di jurang Ngarai

Sianok yang menganga. Karena tak satupun kita menemukan nisan para serdadu itu

di Bukittinggi.

Pekerjaan mengevakuasi mayat serdadu Belanda ini dilakukan pagi-pagi sekali

sebelum orang kampung, masyarakat Kamang dan sekitarnya yang mengetahui

kejadian malam itu berduyun-duyun datang ke Kampuang Tangah. Gengsi juga

Belanda apabila masyarakat mengetahui akan fakta sesungguhnya atas kejadian

yang memalukan pemerintahannya itu.

Orang-orang rantai itu tidak lain adalah masyarakat Agam ataupun masyarakat di

Sumatera Barat umumnya, yang telah dijatuhi hukuman karena beberapa

kesalahan yang dianggap menganggu ketertiban umum dan mulusnya jalan

pemerintahan kolonial Belanda. Artinya adalah ‘urang awak’ juga. Beban berat

singgulung batu jadinya bagi masyarakat kita sendiri. Semua kesalahan ditimpakan

kepada masyarakat jajahan yang dikatakan Belanda sebagai rakyat ‘inlander’,

karena tabiat busuk beberapa orang kita juga yang mau mengkhianti arti

kedaulatan dan kebangsaan.

InsyaAllah,bersambung……….