cek alfatoksin

Upload: timothy-olson

Post on 09-Oct-2015

68 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

qqq

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangKacang-kacangan telah lama dikenal sebagai sumber protein yang saling melengkapi dengan biji-bijian, seperti beras dan gandum. Komoditi ini juga ternyata potensial sebagai sumber zat gizi lain selain protein, yaitu mineral, vitamin B, karbohidrat kompleks dan serat makanan. Kacang-kacangan dapat menyumbang banyak protein dan zat gizi lain bagi masyarakat di negara maju dan negara berkembang.. Kacang tanah sebagai bahan pangan dapat menjadi substrat yang baik bagi jamur toksigenik yang menghasilkan mikotoksin. Jamur toksigenik yang biasa menginfeksi kacang tanah adalah Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Toksin yang dihasilkan tersebut disebut aflatoksin. Di Indonesia, aflatoksin tergolong ke dalam mikotoksin utama yang banyak mengkontaminasi produk-produk pertanian, seperti jagung, kacang tanah, bahan pakan ternak dan produk ternak. Kacang tanah merupakan salah satu substrat yang cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan kapang (Kasno, 2003). Manusia dapat terpapar oleh aflatoksin dengan mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi oleh toksin hasil dari pertumbuhan jamur ini. Kadang paparan sulit dihindari karena pertumbuhan jamur di dalam makanan sulit untuk dicegah. Walaupun kontaminasi bahan makanan oleh aflatoksin dalam jumlah besar tidak diizinkan di negara berkembang, namun diperlukan perhatian terhadap kemungkinan timbulnya efek samping pada paparan aflatoksin kadar rendah dalam bahan makanan (Yenni, 2006).Aflatoksin dapat mengakibatkan hepatitis akut yang bersifat letal dengan gejalagejala seperti muntah, nyeri perut, hepatitis dan kematian untuk paparan secara akut. Sedangkan paparan kronis aflatoksin dalam makanan merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya gangguan imunitas, malnutrisi dan karsinoma hepatoselular terutama di negara di mana infeksi hepatitis virus B merupakan penyakit yang endemik yang berujung pada kanker hati. (Yenni, 2006)Mengingat kacang tanah merupakan bahan pangan semua golongan masyarakat di Indonesia seperti untuk membuat pecel, gado-gado, rujak, sate, peanut butter, snack food dan lain-lain dan akibat yang dapat ditimbulkannya apabila telah dicemari olehAspergillus flavus, disamping dapatnya kapang tersebut tumbuh pada berbagai bahan pangan lainnya, maka peranan kita sebagai seorang farmasis sangat diharapkan untuk menyelamatkan bahan-bahan pangan kita dari bahaya aflatoxin.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mikotoksin Mikotoksin merupakan racun yang dikeluarkan oleh kapang dan bersifat mengganggu kesehatan. Mikotoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spesies kapang tertentu selama pertumbuhannya pada bahan pangan maupun pakan. Konsumsi produk pangan yang terkontaminasi mikotoksin dapat menyebabkan terjadinya mikotoksikosis, yaitu gangguan kesehatan pada manusia dan hewan dengan berbagai bentuk perubahan klinis dan patologis misalnya dapat menyebabkan kanker hati, degenerasi hati, demam, pembengkakan otak, ginjal dan gangguan syaraf (Rahayu, 2006)Mikotoksin tidak terlihat, sangat korosif, racun mematikan yang dapat bertahan dalam pakan dan jerami bahkan ketika jamur yang dihasilkan mereka tidak lagi hadir. Mikotoksin mengganggu berbagai struktur seluler seperti membran, dan mengganggu proses seluler penting seperti protein, RNA dan sintesis DNA. Mereka merusak jaringan organ tubuh dengan mengoksidasi protein, dampak organ tertentu, dan efek imunosupresif miliki. Beberapa dari mereka menghasilkan toksisitas akut, dibuktikan oleh gangguan pencernaan atau dermatitis, tetapi lebih banyak lagi yang karsinogenik (dapat menyebabkan kanker), sehingga mutasi genetik, atau menyebabkan cacat dalam mengembangkan embrio. (Tobika, 2010).Mikotoksin merupakan senyawa organik hasil metabolisme sekunder kapang. Sebagai contoh adalah aflatoksin yang dihasilkan oleh Aspergillus flavus. Aflatoksin merupakan molekul kecil, tidak larut dalam air, stabil dengan berbagai proses pengolahan. Penanganan pascapanen pada bahan pertanian seperti halnya serelia dan kacang-kacangan perlu dilakukan dengan baik. Biji-bijian yang kurang kering (dengan kadar air >12%), akan ditumbuhi oleh berbagai jenis kapang yang diantaranya berpotensi menghasilkan mikotoksin seperti Aspergillus flavus dan Aspergillus ochraceus. Kedua kapang ini banyak menyerang hasil pertanian seperti kacang-kacangan, bijibijian, serealia, bahkan bumbu-bumbu yang memiliki kadar air tinggi (di atas 12%). Aflatoksin, salah satu jenis mikotoksin yang banyak terdapat pada bahan pangan. Senyawa bifuran ini bersifat non polar, stabil terhadap panas dan tahan terhadap perlakuan fisik maupun kimiawi. Dengan sifat-sifat ini, aflatoksin yang sudah mencemari bahan pangan sulit untuk dihilangkan. Bahkan aflatoksin B1 yang mencemari pakan dan terkonsumsi sapi perah juga tidak hilang sama sekali tetapi berubah menjadi aflatoksin M1 yang muncul pada susu yang memiliki toksisitas mirip dengan aflatoksin B1. Akumulasi toksin di dalam tubuh manusia ataupun hewan ternak memiliki efek hepatotoksik (kerusakan hati), hepatokarsinogenik (kanker hati), mutagenik, teratogenik, maupun immunosupresif (Rahayu, 2006).Terdapat enam jenis mikotoksin utama yang sering merugikan manusia, yaituaflatoksin, citrinin, ergot alkaloid, fumonisin, ochratoxin, patulin, trichothecene, danzearalenone (Yenni, 2006).MikotoksinJamur yang memproduksiBahan yang sering terkontaminasi

AflatoksinAspergillus flavusJagung, biji kapok, kacang, kedelai

Aspergillus parasiticus

CitrininPenicillium citrinumjagung, beras, gandum, barley, dan gandum hitam

Spesies monascus

Ergot alkaloidClaviceps purpureaGandum, hewan ternak

FumonisinFusarium verticilloidesjagung

Fusarium graminearum

Ochratoksin AAspergillus ochraceusGandum, barley,oats, jagung, dll

Aspergillus nigri

Penicillium verrucosum

PatulinFusarium miniliforminJagung

TrichothecenesFusarium graminiearumJagung, gandum, barley

Fusarium culmorum

ZearalenoneFusarium graminearumJagung, gandum, barley, rumput

2.2 AlfatoksinAflatoksin adalah senyawa racun yang dihasilkan oleh metobolit sekunder kapang aspergillus flavus dan aspergillus parasiticus. Kapang ini biasanya ditemukan pada bahan pangan atau pakan yang mengalami proses pelapukan. Pertumbuhan aflatoksin dipacu oleh kondisi lingkungan dan iklim, seperti kelembapan, suhu, dan curah hujan yang tinggi.Kondisi seperti itu biasanya ditemukan dinegara tropis seperti Indonesia. Pengetahuan tentang aflatoksin ini pertama kali di Inggris pada tahun 1960, dimana terjadi suatu wabah yang menyerang kalkun-kalkun di Inggris. Penyakit tersebut dikenal dengan nama Turkey X, karena pada saat itu belum diketahui penyebabnya. Gejala yang ditimbulkan pada kalkun yang terserang penyakit tersebut ditandai dengan hilangnya nafsu makan, melemahnya sayap-sayap dan hanya beberapa hari saja dapat mengakibatkan kematian. Dari pemeriksaan yang dilakukan terhadap kalkun yang mati, ditemukan adanya kerusakan pada ginjal dan pendarahan pada hati (Goldblatt, 1969). Hal ini mendorong para ahli penyakit hewan untuk mengetahui penyebab penyakit Turkey X. Pada tahun 1961, penyebab penyakit tersebut telah ditemukan yaitu adanya toksin yang dihasilkan oleh Aspergillus flavus pada bungkil kacang tanah yang dipakai sebagai ransum makanan. Toksin tersebut dikenal dengan nama aflatoksin dan merupakan salah satu jenis mikotoksin yang dapat menyebabkan timbulnya kanker hati dan kematian karena kerusakan hati akut. Lebih lanjut, Aflatoksin dapat dibagi dalam 13 jenis, di antaranya yang dikenal luas adalah B1, B2, G1, G2, M1, dan M2. Aflatoksin B1 dan B2 diproduksi oleh A. flavus dan A. parasiticus. Sedangkan Aflatoksin G1 dan G2 hanya diproduksi oleh A. parasiticus. Aflatoksin M1 dan M2 berturut-turut merupakan hasil metabolisme Aflatoksin B1 dan B2 dalam tubuh manusia dan hewan. Aflatoksin jenis ini muncul dalam susu. Di antara semua jenis Aflatoksin tersebut, Aflatoksin B1 merupakan Aflatoksin yang paling beracun (Betina, 1984)Berdasarkan strukturnya, aflatoksin merupakan senyawa kimia yang berupa sebuah gugus heterosiklik, suatu jenis mikotoksin yang mengandung oksigen dan memiliki cincin bisdifuranno. Berdasarkan struktur kimianya aflatoksin dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu seri difurokumarosiklopentanon (B1, B2, B2a, M1, M4, M2a) aflatoksikol (R0 dan seri difurokumarolakton (G1, G2, G3, GM1, GM2a, dan B3). Struktur aflatoksin dirumuskan berdasarkan hasil interprestasi sinar UV, inframerah, NMR, dan spektra mass (Goldblatt, 1969).

Gambar 1. Struktur Alfatoksin

Nama-nama alfatoksin didasarkan atas warna fluoresensi yang ditimbulkan pada medium agar dilihat di bawah sinar ultraviolet, seperti biru (blue atau B), atau hijau (green atau G). Aflatoksin B2 dan G2 merupakan analog dari derivat dihidro dari B1 dan G1. Di antara keempat isomer yang ditemukan, aflatoksin B1 (AFB1) merupakan yang paling toksik dan paling karsinogenik. Aflatoksin B2 bersifat karsinogenik ringan, kemungkinan karena enzim ini sebagian kecil diubah jadi AFB1 (Yenni, 2006)

2.2.1 Alfatoksin B1Aflatoksin tipe ini dikenal dengan nama pasaran Aflatoksin B1. Nama kimia lain untuk Aflatoksin B1 adalah: Aflatoksin B 6-Methoxydifurocoumarone 2,3,6a,9a-tetrahydro-4-methoxycyclopenta[c]furo[2',3':4,5]furo[2,3-h]chromene-1,11-dioneBerat molekul Aflatoksin B1 adalah 312. Aflatoksin B1 dapat larut dalam DCM, DMSO, atau metanol. Aflatoksin B1 berbentuk bubuk putih dan memancarkan fluoresensi warna biru.

2.2.2 Alfatoksin B2Aflatoksin tipe ini dikenal dengan nama pasaran Aflatoksin B2. Aflatoksin B2 dikenal pula dengan nama kimia 8,9-dihidro derivate of aflatoxin B1. Rumus molekul kimia untuk Aflatoksin B2 adalah C17H14O6. Aflatoksin B2 dapat larut dalam DMSO atau MeOH. Sama seperti Aflatoksin B1, Aflatoksin B2 memiliki berat molekul 312 serta berbentuk bubuk putih dan memancarkan fluoresensi warna biru.

2.2.3 Alfatoksin G1Aflatoksin tipe ini dikenal dengan nama pasaran Aflatoksin G1. Rumus molekul kimia untuk Aflatoksin G1 adalah C17H12O7. Aflatoksin G1 dapat larut dalam DMSO atau metanol. Molekul Aflatoksin G1 memiliki berat 328. Bentuk fisik Aflatoksin G1 adalah bubuk putih, dengan fluoresensi berwarna biru-hijau.

2.2.4 Alfatoksin G2Aflatoksin ini dikenal dengan nama pasaran Aflatoksin G2. Aflatoksin G2 dikenal juga dengan nama kimia 9,10-dihidro derivate of aflatoxin G1. Dengan rumus molekul C17H14O7 Aflatoksin G2 dapat larut dalam DMSO atau metanol. Aflatoksin ini memiliki berat molekul sebesar 330. Aflatoksin G2 juga berbentuk bubuk putih dan memancarkan fluoresensi warna biru-hijau

(Heatchot, 1984)2.2.5 Paparan Akut AlfatoksinKeracunan akut aflatoksin pada manusia relatif jarang dijumpai dan kontaminasi yang terjadi kebanyakan tidak cukup serius. Keracunan akut di mana 25% di antaranya menyebabkan kematian, terjadi sebagai akibat paparan aflatoksin konsentrasi tinggi. Laporan kematian karena keracunan tersebut biasanya datang dari negara-negara berkembang yang berada dalam zona atau daerah berisiko. Jumlah kasus keracunan akut tidaklah besar bila dibandingkan dengan jumlah populasi yang mengalami risiko, ini mungkin disebabkan karena penduduk yang bersangkutan umumnya menghindari makanan yang jelas-jelas berjamur, dan juga karena manusia adalah spesies yang cukup toleran terhadap aflatoksin. Namun, pada kondisi kekurangan pangan atau pada keadaan kemiskinan, orang biasanya tidak mempunyai pilihan selain menggunakan bahan makanan dengan harga murah tapi dengan kualitas yang buruk yang biasanya terkontaminasi oleh aflatoksin (Lewis et al, 2005).Saluran gastrointestinal manusia dapat dengan cepat mengabsorbsi aflatoksin segera setelah konsumsi makanan yang terkontaminasi dan sistem peredaran darah membawa aflatoksin tersebut ke dalam hati. Selanjutnya, 1-3% aflatoksin yang dikonsimsi itu akan terikat secara iriversibel pada protein dan basa-DNA untuk membentuk ikatan seperti misalnya aflatoksin B1-lysine di albumin. Disrupsi protein dan basa-DNA di dalam sel hepatosit menyebabkan toksisitas hepar. Manifestasi dini dari hepatotoksisitas berupa anoreksia, malaise, dan demam (lowgrade). Aflatoksikosis dapat berlanjut menjadi hepatitis akut yang bersifat letal dengan gejalagejala seperti muntah, nyeri perut, hepatitis dan kematian (Azziz, 2005).

2.2.6 Paparan Kronis AlfatoksinDua pendekatan telah digunakan untuk mengevaluasi paparan aflatoksin pada manusia. Pendekatan pertama dilakukan dengan mengumpulkan sampel makanan. Sumber sampel yang paling dapat dipercaya untuk mengukur paparan aflatoksin adalah dengan melakukan analisis terhadap makanan yang telah siap dimakan, karena orang biasanya telah memilih butir padi dan memisahkan butir padi yang tidak layak untuk dikonsumsi. Pasar dan pusat perdagangan dunia merupakan tempat yang menyediakan informasi bagi berbagai bahan makanan dengan risiko terpapar aflatoksin, terutama di mana alat pengolahan makanan seperti penggilingan padi tidak mempunyai pengendalian mutu. Pendekatan kedua adalah dengan menggunakan petanda biologis. Sampel darah, air susu, atau urine diambil dari individu untuk bahan pemeriksaan dan dianalisis untuk mendeteksi keberadaan derivat aflatoksin yang mempunyai waktu paruh yang karakteristik di dalam tubuh (Lewis et al, 2005).Paparan kronis aflatoksin dalam makanan merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya gangguan imunitas, malnutrisi dan karsinoma hepatoselular terutama di negara di mana infeksi hepatitis virus B merupakan penyakit yang endemik. Orang-orang yang mengalami paparan secara kronis terhadap aflatoksin pada kadar yang tinggi memiliki risiko untuk menderita karsinoma hepatoseluler tiga kali lebih besar dari pada mereka yang tidak mengalami paparan tersebut, dan angka kematian karena aflatoksikosis pada laki-laki lebih besar dibandingkan wanita. Paparan kronis aflatoksin dalam dosis rendah dapat meningkatkan risiko terhadap karsinoma hepatoseluler, sedangkan kelainan hepar yang akut dan berat dengan angka mortalitas yang besar dijumpai pada pada paparan aflatoksin dosis tinggi. Asupan aflatoksin dalam dosis 2-6 mg/hari selama satu bulan dapat menyebabkan hepatitis akut dan kematian. (Azziz, 2005).

2.3 Okratoksin (OTA)OTA diproduksi oleh Aspergillus dan Penicillium genera, yang merupakan agen biodeterioration oportunistik alami. Jamur ini tersebar luas di alam bebas, karena kedua spesies ini tumbuh dalam berbagai kondisi (substrat, pH, kelembaban dan suhu). OTA pertama kali ditemukan pada tahun 1965 sebagai sebuah jamur metabolit yang menunjukkan perilaku beracun terhadap hewan.

OTA paling sering ditemukan di sereal dan makanan yang kaya pati lainnya dan juga telah ditemukan dalam kopi, rempah-rempah, dan buah-buahan kering. Umumnya konsentrasi OTA tidak melebihi beberapa ppb. OTA juga telah ditemukan dalam cairan manusia dan hewan, daging, bir dan anggur. OTA stabil, dalam sistem peredaran darah, hati dan jaringan lain seperti lemak dan otot, sehingga di pakan ternak dan jaringan dapat menyebabkan asupan OTA pada manusia, saat lewat rantai makanan. Toksikinetik OTA biasa dengan waktu paruh 35 hari pada manusia setelah konsumsi oral (Turner et al, 2009)Efek biologis dari OTA berupa teratogenik, penghambatan kesuburan, mutagenik dan efek karsinogenik. The IARC (Badan Internasional untuk Penelitian Kanker) mengklasifikasikan OTA sebagai kemungkinan karsinogen (kelompok 2B). Toksisitas OTA muncul berkaitan dengan kemampuannya untuk menghambat sintesis protein dengan bersaing dengan fenilalanin dalam reaksi dikatalisis oleh phenylalanyl-tRNA sintetase dan sistem lain yang membutuhkan asam amino ini. Karena ditemukan di banyak negara maka dilakukan pebetapan batas levek OTA dalam makanan, biasanya antara 1 dan 10 ppb tergantung pada jenis dan kualitas bahan makanan (Turner et al, 2009)

2.4 Kromatografi Cair Kinerja TinggiKromatografi cair kinerja tinggi atau biasa juga disebut dengan High Performance Liquid Cromatography (HPLC) dikembangkan pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Saat ini HPLC merupakan teknik pemisahan yang dapat diterima secara luas untuk analisis dan pemurnian senyawa tertentu dalam suatu sampel pada sejumlah bidang, antara lain: farmasi, lingkungan, bioteknologi, polimer, dan industri-industri makanan (Gandjar dan Rohman, 2007). Kromatografi merupakan suatu cara pemisahan fisik dengan unsur-unsur yang akan dipisahkan terdistribusikan antara dua fasa, satu dari fasa-fasa ini membentuk suatu lapisan stasioner dengan luas permukaan yang besar dan yang lainnya merupakan cairan yang merembes lewat atau melalui lapisan yang stasioner. Fasa stasioner atau diam dapat berupa zat padat atau suatu cairan, dan fasa gerak dapat berbentuk cairan ataupun gas. Maka semua jenis kromatografi yang dikenal, terbagi menjadi empat golongan: cair-padat, gas-padat, cair-cair, dan gas-cair (Day dan Underwood, 1986).Kromatogram HPLC merupakan relasi antara tanggapan detektor sebagai koordinat dan waktu sebagai absis dalam sistem koordinat Cartesian, dimana titik nol dinyatakan sebagai saat dimulainya injeksi sampel (Ahmad dan Suherman, 1991).Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) merupakan sistem pemisahan dengan kecepatan dan efisiensi yang tinggi. Hal ini karena didukung oleh kemajuan dalam teknologi kolom, sistem pompa tekanan tinggi, dan detektor yang sangat sensitif dan beragam. KCKT mampu menganalisa berbagai cuplikan secara kualitatif maupun kuantitatif, baik dalam komponen tunggal maupun campuran (Depkes RI, 1995).HPLC merupakan metode yang tidak destruktif dan dapat digunakan baik untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif. HPLC paling sering digunakan untuk: Penetapan kadar-kadar senyawa tertentu seperti asam-asam amino, asam nukleat, dan protein-protein dalam cairan fisiologis. Penentuan kadar senyawa-senyawa aktif obat, produk sampingan proses sintetis, atau produk-produk degradasi dalam sediaan farmasi. Memonitor sampel-sampel yang berasal dari lingkungan. Memurnikan senyawa dalam suatu campuran. Memisahkan polimer dan menentukan distribusi berat molekulnya dalam suatu campuran. Kontrol kualitas. Mengikuti jalannya suatu reaksi sintetis. (Gandjar dan Rohman, 2007)KCKT memiliki kelebihan antara lain : Mampu memisahkan molekul-molekul dari komponen tunggal maupun campuran. Mudah dalam pelaksanaannya. Kecepatan analisis dan kepekaan yang tinggi. Dapat dihindari terjadinya dekomposisi/kerusakan bahan yang dianalisis. Resolusi yang baik. Dapat digunakan bermacam-macam detektor. Kolom dapat digunakan kembali. Mudah melakukan sample recovery. Tekniknya tidak begitu tergantung pada keahlian operator dan reprodusibilitasnya lebih baik. Instrumennya memungkinan untuk bekerja secara automatis dan kuantitatif. Waktu analisis umumnya singkat. (Effendy, 2004)Sedangkan, keterbatasan metode HPLC adalah untuk identifikasi senyawa, kecuali jika HPLC dihubungkan dengan spectrometer massa (MS). Keterbatasan lainnya adalah jika sampelnya sangat kompleks, maka sulit diperoleh resolusi yang baik (Gandjar dan Rohman, 2007).Kromatografi merupakan teknik yang mana solut atau zat-zat terlarut terpisah oleh perbedaan kecepatan elusi, dikarenakan solut-solut ini melewati suatu kolom kromatografi. Pemisahan solut-solut ini diatur oleh distribusi dalam fase gerak dan fase diam. Penggunaan kromatografi cair membutuhkan penggabungan secara tepat dari berbagai macam kondisi operasional seperti jenis kolom, fase gerak, panjang dan diameter kolom, kecepatan alir fase gerak, suhu kolom, dan ukuran sampel (Gandjar dan Rohman, 2007). Fase diam pada HPLC berupa silika yang dimodifikasi secara kimiawi, silika yang tidak dimodifikasi atau polimer-polimer stiren, dan divinil benzene. Oktadesil silan (ODS atau C18) merupakan fase diam yang paling banyak digunakan karena mampu memisahkan senyawa-senyawa dengan kepolaran rendah, sedang, maupun tinggi (Gandjar dan Rohman, 2007).Fase gerak adalah pelarut yang membawa analit sepanjang kolom. Pelarut yang digunakan sebagai fase gerak dalam HPLC sebaiknya memiliki karakteristik sebagai berikut: Memiliki kelarutan yang tinggi terhadap komponen sampel. Tidak korosif terhadap komponen sistem HPLC. Memiliki kemurnian tinggi, biaya murah, dan UV transparasi. Memiliki karakteristik lain yang diinginkan seperti viskositas rendah, toksisitas rendah. (Dong, 2006)Dilihat dari jenis fase gerak dan fase diamnya, maka HPLC dibedakan atas kromatografi fase normal dan kromatografi fase terbalik. Untuk pemisahan dengan fase normal, fase gerak yang paling sering digunakan adalah campuran pelarut-pelarut hidrokarbon dengan pelarut yang terklorisasi atau menggunakan pelarut-pelarut jenis alkohol. Fase gerak yang sering digunakan untuk pemisahan dengan fase terbalik adalah larutan buffer dengan metanol atau campuran air dengan asetonitril (Gandjar dan Rohman, 2007). Kromatografi dengan fase terbalik memiliki keuntungan antara lain: Senyawa yang polar akan lebih baik pemisahannya pada kromatografi fase terbalik. Senyawa yang mudah terionkan (ionik) yang tidak terpisahkan pada kromatografi cair kinerja tinggi normal akan dapat terpisah pada kromatografi fase terbalik. Dengan kromatografi fase terbalik air dapat digunakan sebagai salah satu komponen pada pelarut pengembang campur. (Mulja dan Suharman 1995)Elusi dilakukan dengan dua cara yaitu cara isokratik dan cara gradient. Sistem elusi isokratik dilakukan dengan satu macam larutan pengembang atau lebih dari satu macam larutan pengembang (pelarut pengambang campur) dengan perbandingan tetap misalnya metanol : air = 50 : 50 v/v. Sistem elusi gradient dilakukan dengan pelarut pengembang campur yang perbandingannya berubah dalam waktu tertentu, misalnya metanol : air = 40 : 60 v/v, dengan kenaikan kadar metanol 8% setiap menit. Ada dua macam sistem elusi gradient yaitu sistem elusi tekanan tinggi dan sistem elusi bertekanan rendah (Mulja dan Suharman 1995).Waktu tambat atau waktu retensi (retention time) adalah selang waktu yang diperlukan oleh linarut (solut) mulai saat injeksi sampai keluar dari kolom dan sinyalnya ditangkap oleh detektor, dinyatakan sebagai tR. Selain waktu tambat untuk linarut, dikenal pula waktu tambat untuk pelarut pengambang atau pengembang campur yang dinyatakan sebagai tM. Harga tM akan lebih kecil dari harga tR karena yang akan lebih dahulu mencapai ujung kolom adalah pelarut pengembang atau pelarut pengembang campur. Waktu tambat linarut dikurangi waktu tambat pelarut pengembang atau pelarut pengembang campur disebut sebagai waktu tambat terkoreksi yang dinyatakan sebagai tR (Mulja dan Suharman 1995).

Skema instrumentasi HPLC

Instrumentasi HPLC pada dasarnya terdiri atas delapan komponen pokok yaitu wadah fase gerak, sistem penghantaran fase gerak, alat untuk memasukkan sampel, kolom, detektor, wadah penampung, buangan fase gerak, tabung penghubung, dan suatu computer atau integrator, atau perekam seperti yang terlihat pada gambar diatas (Gandjar dan Rohman, 2007).a. Wadah Fase Gerak Wadah fase gerak terbuat dari bahan yang inert terhadap fase gerak. Bahan yang umum digunakan adalah gelas dan baja anti karat. Daya tampung wadah harus lebih besar dari 500 mL, yang dapat digunakan selama 4 jam untuk kecepatan alir yang umumnya 1-2 mL/menit (Effendy, 2004).

b. PompaUntuk menggerakkan fase gerak melalui kolom diperlukan pompa. Pompa terbuat dari bahan yang inert terhadap semua pelarut. Bahan yang umum digunakan adalah gelas baja antikarat dan teflon. Aliran pelarut dari pompa harus tanpa denyut untuk menghindari yang menyimpang pada detektor (Effendy, 2004). Berdasarkan cara kerjanya pompa untuk HPLC dapat digolongkan dalam dua kelompok yaitu pompa kecepatan tetap dan pompa tekanan tetap. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan dan tak satu pun dapat dipakai secara menyeluruh.

Pompa kecepatan tetapDalam golongan ini ada dua macam pompa yaitu: pompa torak balik dan pompa ulir semprit. Pompa torak balik memiliki keuntungan tak terbatasnya volume tendon pelarut, karena terletak diluar pompa. Sedangkan kelemahannya adalah terjadinya denyut alir, karena aliran keluar pompa hanya terjadi pada satu fase putar. Untuk pompa ulir semprit adalah pompa pindah tetap, yang seluruh fase geraknya diisikan kedalam pompa, sehingga dengan sekali dorong seluruh pelarut dipindahkan.

Pompa tekanan tetapPompa tekanan tetap dapat mengalirkan kecepatan aliran tetap jika bekerja terhadap suatu tekanan balik kolom dan kekentalan fase gerak tetap. Karenanya suhu harus dikendalikan. Bentuk sederhana dari dari pompa ini adalah suatu tendon seperti pipa kumpar yang dikenai tekanan gas dari suatu tabung. Karena fase gerak berhubung langsung dengan gas bertekanan, maka sejumLah gas boleh jadi terlarut, dan dapat menimbulkan gelembung gas di detektor. (Munson, 1991)c. Injektor Sampel-sampel cair dan larutan disuntikan secara langsung ke dalam fase gerak yang mengalir dibawah tekanan menuju kolom menggunakan alat penyuntik yang terbuat dari tembaga tahan karat dan katub teflon yang dilengkapi dengan keluk sampel (sample loop) internal atau eksternal (Gandjar dan Rohman, 2007). Cuplikan harus dimasukkan kedalam pangkal kolom (kepala kolom) diusahakan agar sedikit mungkin terjadi gangguan pada kemasan kolom. Ada tiga jenis dasar injektor, yaitu: Stop flow: aliran dihentikan, injeksi dilakukan pada kinerja atmosfir, sistem tertutup, dan aliran dilanjutkan lagi. Teknik ini bisa digunakan karena difusi di dalam aliran kecil dan resolusi tidak dipengaruhi. Septum: injektor-injektor langsung ke aliran fase gerak umumnya sama dengan yang digunakan pada kromatografi gas. Injektor ini dapat digunakan pada kinerja sampai 60-70 atmosfir. Tetapi septum ini tidak tahan dengan semua pelarut-pelarut kromatografi cair. Disamping itu, partikel kecil dari septum yang terkoyak (akibat jarum injektor) dapat menyebabkan penyumbatan. Katup putaran (loop valve): tipe injektor ini umumnya digunakan untuk menginjeksi volume lebih besar daripada 10 l dan sekarang digunakan dengan cara otomatis (dengan adaptor khusus, volume-volume lebih kecil dapat diinjeksikan secara manual). Pada posisi load, sample loop (cuplikan dalam putaran), sample loop (cuplikan dalam putaran) diisi pada tekanan atmosfir. Bila katup difungsikan maka cuplikan di dalam putaran akan bergerak ke dalam kolom. (Mulja dan Suharman, 1995)

d. KolomKolom adalah jantung kromatografi. Berhasil atau gagalnya suatu analisis tergantung pada pemilihan kolom dan kondisi percobaan yang sesuai. Kolom dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : Kolom analitik: diameter khas adalah 2-6 mm. Panjang kolom tergantung pada jenis kemasan. Untuk kemasan pelikel biasanya panjang kolom 50-100 cm. Untuk kemasan mikropartikel berpori, umumnya 10-30 cm. Dewasa ini ada yang 5 cm. Kolom preparatif: umumnya memiliki diameter 6 mm atau lebih besar dan panjang kolom 25-100 cm. Kolom umumnya dibuat dari stainless steel dan biasanya dioperasikan pada temperatur kamar, tetapi bisa juga digunakan temperatur lebih tinggi, terutama untuk kromatografi penukar ion dan kromatografi eksklusi. Kemasan kolom tergantung pada mode KCKT yang digunakan (Effendy, 2004). Kolom pada HPLC dibuat lurus (tidak dibuat melingakar sebagaimana kolom pada kromatografi gas ataupun bentuk U). Hal ini dimaksudkan untuk efisiensi kolom; untuk mendapatkan harga H minimal.Kolom dibuat dengan diameter sangat kecil (dalam ukuran mikro) dimaksudkan agar kepekaan lebih teliti, menghemat pelarut pengembang, memperluas kemampuan detektor, dan jumlah sampel yang dianalisis lebih sedikit. Sedangkan fungsi dari kolom yang dibuat pendek adalah untuk menghasilkan resolusi yang baiuk, memperkecil harga diameter rata-rata pertikel fase diam, waktu tR, tM singkat (mengurangi pengaruh bagian instrumentasi kromatografi cair kinerja tinggi terhadap hasil pemisahan) (Mulja dan Suharman,1995).

e. DetektorSuatu detektor dibutuhkan untuk mendeteksi adanya komponen cuplikan dalam aliran yang keluar dari kolom. Detektor-detektor yang baik memiliki sensitifitas yang tinggi, gangguan (noise) yang rendah, kisaran respon linier yang luas dan member tanggapan atau respon untuk semua tipe senyawa. Suatu kepekaan yang rendah terhadap aliran dan fluktuasi temperatur sangat diinginkan, tetapi tidak selalu dapat diperoleh (Effendy, 2004).Beberapa persyaratan detektor adalah: Sensitivitas yang sangat tinggi, dengan rentang sensitivitas 10-81015 g solut perdetik. Kestabilan dan reprodusibiliti yang sangat baik. Memberikan respon yang linier terhadap konsentrasi solut. Dapat bekerja dari temperatur kamar sampai 400oC. Macam-macam detektor :1. Detektor Photo Diode-ArrayMerupakan detektor UV-Vis dengan beberapa keistimewaan: Sistem optik tidak memakai cermin dan menjamin Spektral Puriti dan mengabaikan Stay Radiation. Hanya ada satu lensa satu fokus. Detektor yang tidak ada pergerakan mekanis sehingga menjamin ketepatan panjang gelombang penuntun. Kecepatan deteksinya 300-400 kali detektor PMT. Rentang pengukuran 190-600 nm. Hollografik grating yang tidak bergerak.Detektor UV-Vis Photo Diode-Array merupakan detektor menjamin derau dan pelayanan instrumental yang relatif sangat kecil (Mulja dan Suharman, 1995). Detektor PDA mampu memberikan kumpulan kromatogram secara simultan pada panjang gelombang yang berbeda dalam sekali proses atau single run (Ganjar dan rohman 2007).2. Detektor RISampai saat ini para ilmuan telah mengenal tiga macam detektor RI untuk dipakai pada analisis kualitatif dan kuantitatif terhadap macam-macam karbohidrat. Ketiga macam detektor RI itu adalah RI detektor interferensi radiasi; RI detektor yang memakai prinsip hukum bias dan releksi dari Fresnel; RI detektor dengan prinsip pembelokan jalan radiasi. Ketiga macam detektor RI tersebut sama-sama memakai sumber radiasi denagn intesitas dan panjang gelombang tertentu (Mulja dan Suharman,1995).

DAFTAR PUSTAKA

Azziz-Baumgartner E, Lindblade K, Gieseker K, Rogers HS, Kierszak S, Njapau H, et al. Case-control study of an acute aflatoxicosis outbreak, Kenya. 2004. Environt Health Perspect 2005Betina, V. 1989. Mycotoxins, Chemical, Biological, and Environmental Aspects. Elsevier, NewYork Day, R.A. dan A.L. Underwood. 1986. Analisa Kimia Kuantitatif. Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit Erlangga.Ahmad, M., dan Suherman. 1991. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Surabaya: Airlangga University Press.Depkes RI, 1995. Farmakope Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Dong, M.W. 2006. Modern HPLC For Practicing Scientist. America: Library of Congress Cataloging.Effendy. 2004. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Dalam Bidang Farmasi. Available at: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3616/1/farmasi-effendy2. Opened : 28 November 2013.Gandjar, I.G. dan A. Rohman. 2007. Kimia Analisis Farmasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Goldblat, L.A. 1969. Aflatoxin Scientific Background, Control and Implication. Academic Press New York and LondonKasno, A. 2003. Varietas Kacang Tanah Tahan Aspergillus flavus Sebagai Komponen Essensial Dalam Pencegahan Kontaminasi Aflatoksin. Orasi Pengukuhan APU. PuslitbangtanLewis L, Onsongo M, Njapau H, Rogers HS, Luber G, Kieszak S, et al. Aflatoxin contamination of commercial maize products during an outbreak of acute aflatoxicosis in Eastern and Central Kenya: Environ Health Perspect. 2005Mulja, M. dan Suharman. 1995. Analisis Instrumental. Surabaya: Airlangga University Press.Munson, J.W. 1991. Analisis Farmasi Metode Modern. Surabaya: Airlangga University Press.NicholasW. Turner, Sreenath Subrahmanyam, , Sergey A. Piletsky. 2009. Analytical methods for determination of mycotoxins: A reviewAnalytica Chimica Acta 632 Rahayu, W.P., (2006), Mikotoksin dan Mikotoksis : Mikrobiologi Keamanan Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB, Bogor.Yenni 2006 Alfatoksin dan Alfatosistosis pada Manusia. Fak kedokteran univ trisakti. Jakarta

1