cerai talak karena murtad (studi terhadap …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/cerai...

96
CERAI TALAK KARENA MURTAD (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Agama Purwokerto Nomor 1566/Pdt.G/2012/PA.Pwt) SKRIPSI Disusun oleh : MARGARETTA ERAWATI E1A009165 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013

Upload: lyngoc

Post on 08-Mar-2018

238 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

CERAI TALAK KARENA MURTAD

(Studi Terhadap Putusan Pengadilan Agama Purwokerto

Nomor 1566/Pdt.G/2012/PA.Pwt)

SKRIPSI

Disusun oleh :

MARGARETTA ERAWATI

E1A009165

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2013

ii

CERAI TALAK KARENA MURTAD

(Studi Terhadap Putusan Pengadilan Agama Purwokerto

Nomor 1566/Pdt.G/2012/PA.Pwt)

SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Universitas Jenderal Soedirman

Disusun oleh :

MARGARETTA ERAWATI

E1A009165

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2013

iii

Lembar Pengesahan Skripsi

CERAI TALAK KARENA MURTAD

(Studi Terhadap Putusan Pengadilan Agama Purwokerto

Nomor 1566/Pdt.G/2012/PA.Pwt)

Disusun oleh:

MARGARETTA ERAWATI

E1A009165

Disusun untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Diterima dan Disahkan

Pada tanggal 19 Agustus 2013

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II Penguji

Trusto Subekti, S.H., M. Hum. Haedah Faradz, S.H., M.H. Bambang Heryanto, S.H., M.H.

NIP. 19500410 198003 1 003 NIP. 19590725 198601 2 001 NIP. 19561009 198702 1 001

iv

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya,

Nama : MARGARETTA ERAWATI

NIM : E1A009165

Judul Skripsi : CERAI TALAK KARENA MURTAD (Studi

Terhadap Putusan Pengadilan Agama Purwokerto

Nomor 1566/Pdt.G/2012/PA.Pwt)

Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya

sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang

lain.

Dan apabila terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut di atas,

maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas.

Purwokerto, 7 Agustus 2013

Hormat saya

MARGARETTA ERAWATI

NIM. E1A009165

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus, karena atas limpahan

kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“CERAI TALAK KARENA MURTAD (Studi Terhadap Putusan Pengadilan

Agama Purwokerto Nomor 1566/Pdt.G/2012/PA.Pwt”.

Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan serta saran dari berbagai

pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman.

2. Bapak Trusto Subekti, S.H., M.Hum. selaku dosen pembimbing skripsi I

yang telah memberikan bimbingan, arahan, serta masukan sehingga skripsi

ini dapat terwujud.

3. Ibu Haedah Faradz, S.H., M.H. selaku dosen pembimbing skripsi II dan juga

selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan banyak bantuan,

bimbingan, arahan, serta dukungan yang tidak terbatas selama masa studi

hingga tersusunnya skripsi ini.

4. Bapak Bambang Heryanto, S.H., M.H. selaku dosen penguji skripsi yang

telah memberikan kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan

skripsi ini.

5. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah

memberikan bekal ilmu, pengetahuan, serta wawasan yang berguna bagi

penulis.

vi

6. Seluruh jajaran dan staf akademik Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman, terutama kepada Bapak Sobri dan Bapak Bejo yang telah

memberikan nasehat, dukungan, serta bantuan baik moril maupun materiil

kepada penulis selama masa studi.

7. Seluruh jajaran dan staf Kantor Pengadilan Agama Purwokerto yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengadakan penelitian dan

memberikan data-data yang diperlukan bagi penyelesaian skripsi ini.

8. Ayah dan Ibu yang telah mendidik dan merawat dengan penuh cinta dan

kasih sayang. Terima kasih atas doa, nasehat, dan motivasi yang tidak henti-

hentinya selama ini.

9. Kakak Monica dan adik Dani yang telah memberikan bantuan, semangat,

perhatian, dan hiburan disaat penulis jenuh mengerjakan skripsi.

10. Sahabatku Alin, Ina, Yuli, dan Bunga yang telah memberikan bantuan,

dukungan dan semangat kepada penulis. Terima kasih karena telah menemani

dan menghibur selama perkuliahan. Semoga skripsi kalian juga dapat segera

terselesaikan.

11. Teman-teman baikku Ajeng, Aida, Meta, Wina, Mila, Tiwi, Widya, Intan,

Ilham, Dika, Syaikhu, mba Nisa, dan teman-teman semua yang tidak dapat

disebutkan satu persatu. Terima kasih atas bantuan, dukungan, dan semangat

yang kalian berikan selama perkuliahan ini.

12. Vivi, yang telah menjadi sahabat sejak SMP dan bersedia meminjamkan

printer setiap saat. Thank you very much.

vii

13. Trimo Hari Waluyo yang telah mengisi hari-hari penulis dengan penuh

warna. Terima kasih atas pengertian dan kesabarannya selama mendampingi

penulis.

14. Semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak dapat penulis sebutkan

satu persatu.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa hasil penyusunan skripsi ini masih

jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kesediaan

pembaca untuk memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhir kata, penulis menyampaikan permohonan maaf yang setulus-

tulusnya kepada pembaca seandainya terdapat banyak kesalahan di dalam

penyusunan skripsi ini dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat

bagi semua pihak yang membutuhkan.

Purwokerto, 10 Agustus 2013

Penulis

Margaretta Erawati

viii

ABSTRAK

CERAI TALAK KARENA MURTAD

(Studi Terhadap Putusan Pengadilan Agama Purwokerto Nomor

1566/Pdt.G/2012/PA.Pwt)

Oleh:

Margaretta Erawati

E1A009165

Peralihan agama atau murtad merupakan salah satu alasan perceraian

yang diatur dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam. Peralihan agama dalam

perkawinan dapat mengakibatkan percekcokan karena salah satu pihak yaitu

suami atau istri tidak menginginkan pasangannya untuk berpindah agama.

Percekcokan tersebut dapat menimbulkan keretakan dalam rumah tangga hingga

akhirnya salah satu pihak memutuskan untuk mengajukan perceraian ke

pengadilan. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini yaitu

pertimbangan hukum hakim dalam mengabulkan cerai talak dengan alasan murtad

yang terjadi di Pengadilan Agama Purwokerto pada putusan nomor

1566/Pdt.G/2012/PA.Pwt. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan

hukum ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan kasus.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertimbangan hukum yang dipakai

hakim Pengadilan Agama Purwokerto pada putusan nomor

1566/Pdt.G/2012/PA.Pwt masih kurang walaupun cukup memadai. Hakim dalam

putusannya hanya mengacu pada ketentuan Pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum

Islam (KHI) mengenai peralihan agama atau murtad, dengan meninggalkan

ketentuan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal

116 huruf (f) KHI mengenai perselisihan dan pertengkaran terus menerus serta

tidak adanya harapan akan hidup rukun kembali dalam rumah tangga. Selain itu,

hakim dalam menjatuhkan talak hanya berpedoman pada ketentuan Pasal 119 ayat

(2) huruf (c) mengenai talak bain sughra. Seharusnya hakim juga mendasarkan

pada ketentuan Pasal 70 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang

pada intinya menegaskan bahwa suami atau wakilnya dapat menjatuhkan talak

tanpa hadirnya istri atau wakilnya.

Kata Kunci : Perceraian, murtad

ix

ABSTRACT

DIVORCE BECAUSE OF THE CHANGE OF APOSTATE

(A Research About Religion Court Decision Number

1566/Pdt.G/2012/PA.Pwt)

By:

Margaretta Erawati

E1A009165

The change of religion or apostate is an reason of divorce that regulated

in Article 116 in Islamic Law Compilation. Apostate can cause the household

quarrel or conflict when the husband or wife disagree with the change of religion

decision. The quarrel can cause the rift for the couple‟s affair then finally one of

them decide to submit the divorce suit to the court. The problem in this research is

the judge consideration for granting the divorce suit that based on the apostate.

The case has been presided by the Religion Court Purwokerto with the register

number 1566/Pdt.G/2012/PA.Pwt. The method of this research is yuridis normatif

with case approach. The result of this research shows that the materials that used for judge‟s

consideration is proper but not really complete. In the decision, the judge only

considers Article 116 point h of Islamic Law Compilation about the change of

religion and leave the rule of Article 19 point f Goverment Regulation

9/1975juncto Article 116 point f Islamic Law Compilation about the continuous

conflict in household with no hope to get the harmony and reconciliation. Apart

from that, the judge only refers to the Article 119 clause (2) point c about bain

sughra divorce. The judge should also consider the rule of Article 70 clause (5) in

Act 7/ 1989 that regulate the husband or the representative can pass a divorce

decision without the attendance of the wife or the representative.

Keywords: Divorce, apostate

x

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ ii

HALAMAN PERNYATAAN ……………………………………………... iii

KATA PENGANTAR ................................................................................... iv

ABSTRAK ..................................................................................................... vii

ABSTRACT ................................................................................................... viii

DAFTAR ISI .................................................................................................. ix

BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................... 1

A. Latar Belakang ...................................................................... 1

B. Perumusan Masalah ……………………………………….. 7

C. Tujuan Penelitian ………………………………………….. 7

D. Kegunaan Penelitian ………………………………………. 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 9

A. Perkawinan ………………………………………............... 9

1. Pengertian Perkawinan .................................................. 9

2. Tujuan Perkawinan ....................................................... 14

3. Syarat Sahnya Perkawinan ............................................ 15

B. Perceraian ............................................................................. 21

1. Pengertian Perceraian .................................................... 22

2. Alasan Perceraian .......................................................... 24

3. Macam Perceraian ......................................................... 28

xi

C. Murtad …………………………………………………….. 37

1. Pengertian Murtad ……………………………………. 37

2. Akibat Hukum Murtad Terhadap Perkawinan ……….. 40

D. Talak ……………………………………………………….

1. Pengertian Talak ...........................................................

2. Macam Talak ………………………………………….

3. Mekanisme Talak ……………………………………..

43

44

46

48

BAB III. METODE PENELITIAN ............................................................. 57

A. Metode Pendekatan ............................................................... 57

B. Spesifikasi Penelitian ............................................................ 57

C. Lokasi Penelitian ………………………………………….. 58

D. Sumber Data ………………………………………………. 58

E. Metode Pengumpulan Data .................................................. 59

F. Metode Penyajian Data ......................................................... 60

G. Metode Analisis Data ........................................................... 60

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................... 62

A. Hasil Penelitian ..................................................................... 62

B. Pembahasan .......................................................................... 71

BAB V. PENUTUP .................................................................................... 82

A. Simpulan …………………………………………………... 82

B. Saran ..................................................................................... 82

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia,

karena dengan perkawinan yang sah mengakibatkan pergaulan antara laki-

laki dan perempuan menjadi terhormat sesuai dengan kedudukan manusia

sebagai makhluk yang terhormat.1 Dengan adanya perkawinan, rumah tangga

dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan

masyarakat. Dalam hal ini, negara mempunyai kepentingan pula untuk turut

mencampuri berbagai masalah perkawinan dengan membentuk dan

melaksanakan perundang-undangan tentang perkawinan. Tujuannya adalah

untuk mengatur hak, kewajiban, serta tanggung jawab masing-masing

anggota keluarga, guna membentuk rumah tangga yang bahagia dan

sejahtera.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan salah satu

wujud aturan tata tertib perkawinan yang dimiliki oleh negara Indonesia. Pasal 1

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merumuskan bahwa

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan

1) Tri Lisiani Prihatinah. 2008. “Tinjauan Filosofis Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974”. Jurnal

Dinamika Hukum. Vol. 8 No. 2 Mei: 167.

2

Ketuhanan Yang Maha Esa.” Substansi pasal tersebut menunjukkan

bahwa perkawinan tidak semata-mata merupakan “perbuatan hukum” saja,

tetapi perkawinan juga merupakan “perbuatan keagamaan”. Perkawinan

sebagai “perbuatan hukum” ditandai dengan dilaksanakannya pencatatan

perkawinan dan sebagai “perbuatan keagamaan” ditandai dengan

dilaksanakannya perkawinan menurut ketentuan agama yang dianut oleh

calon mempelai yang akan kawin.2

Suatu perkawinan dapat dikatakan sah apabila dilakukan menurut

hukum dan agama yang berlaku. Tingginya interaksi sosial dan heterogennya

masyarakat Indonesia berakibat timbulnya rasa cinta antar pemeluk agama

yang berbeda dan sebagian berlanjut kepada rencana untuk menikah. Namun,

Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur mengenai perkawinan beda

agama dikarenakan ketentuan Pasal 2 ayat (1) yang menyebutkan bahwa

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu.” Menurut para pakar hukum, ketentuan

Pasal 2 ayat (1) hanya mengandung satu gagasan yang tidak bisa ditafsirkan

lain, yaitu perkawinan harus dilaksanakan sesuai hukum agama dan

kepercayaan para pihak agar perkawinan tersebut sah di mata hukum

nasional.3

2) Trusto Subekti, 2010. “Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan Ditinjau Dari Hukum Perjanjian”. Jurnal Dinamika Hukum. Vol. 10 No. 3

September: 344. 3) Hutari H.W.P., 2006. “Legalitas Perkawinan Antar Pemeluk Beda Agama Di Indonesia

Dikaitkan Dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”. Jurnal Hukum dan

Pembangunan Tahun ke-36. Nomor 2 April-Juni: 229.

3

Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, negara

Indonesia menjamin kebebasan beragama dan beribadah warga negaranya.

Hal ini diatur dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang

menyebutkan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk

untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut

agamanya dan kepercayaannya itu.” Prinsip kebebasan beragama seperti yang

disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 ditafsirkan oleh sebagian

orang sebagai kebebasan untuk berpindah agama tetapi tidak bebas untuk

tidak beragama. Pembatasan atas kebebasan beragama tersebut sebenarnya

bertujuan untuk menjaga beberapa hal, yaitu:4

1. menjaga keselamatan publik;

2. menjaga tatanan publik;

3. menjaga moral; serta

4. menjaga hak dan kebebasan orang lain.

Agar hal-hal tersebut di atas dapat terwujud, tiap-tiap agama

melarang seorang pemeluk agama tertentu melangsungkan perkawinan

dengan seseorang yang memeluk agama lain. Maka apabila seorang laki-laki

dan seorang perempuan yang berbeda agama akan melangsungkan

perkawinan, biasanya salah seorang dari mereka mengalah dan beralih ke

agama pihak lain. Hal ini dilakukan agar perkawinan tersebut sah di mata

negara.

4) Joni Harianto, 2012. Kebebasan Beragama Dan Hak Asasi Manusia. http://joni-

harianto.blogspot.com/2012/03/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html, diakses 29

Desember 2012.

4

Setiap orang menghendaki agar perkawinan yang dilaksanakannya

tetap utuh sepanjang kehidupannya, tetapi tidak sedikit perkawinan yang

dibina dengan susah payah berakhir dengan suatu perceraian. Perceraian

adalah pembubaran suatu perkawinan ketika pihak-pihak masih hidup dengan

didasarkan pada alasan yang dapat dibenarkan serta ditetapkan pada suatu

keputusan hakim.5 Perceraian terjadi apabila kedua belah pihak baik suami

maupun istri sudah sama-sama merasakan ketidakcocokan dalam menjalani

rumah tangga. Perceraian baru dapat dilaksanakan apabila telah dilakukan

berbagai cara untuk mendamaikan suami-istri agar tetap mempertahankan

keutuhan rumah tangga mereka dan ternyata tidak ada jalan lain kecuali

dengan jalan perceraian.

Salah satu asas yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan adalah mempersulit terjadinya perceraian. Apabila

terjadi perceraian, berarti tujuan perkawinan yang dicita-citakan untuk

membentuk keluarga bahagia dan sejahtera telah gagal terwujud. Dengan

maksud untuk mempersulit terjadinya perceraian tersebut, maka Pasal 39

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan:

(1) perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah

pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan

kedua belah pihak;

(2) untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami

istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri;

5) Happy Marpaung, 1983. Masalah Perceraian. Bandung:Tonis. Hal.15

5

(3) tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan

perundang-undangan tersendiri.

Adapun alasan-alasan yang dijadikan dasar perceraian diatur dalam

penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal

19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 Instruksi

Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, terdapat dua macam

perceraian yaitu:6

1. cerai talak adalah perceraian yang terjadi sebagai akibat dijatuhkannya

talak oleh suami terhadap istrinya di muka sidang pengadilan.

2. cerai gugat adalah perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu

gugatan lebih dahulu oleh salah satu pihak kepada pengadilan dan

dengan suatu putusan pengadilan.

Sedangkan Hukum Islam membagi perceraian kepada dua golongan besar

yaitu:7

1. thalaq adalah perceraian yang timbul dari tindakan suami untuk

melepaskan ikatan perkawinan dengan lafat thalaq atau seumpamanya.

2. fasakh adalah melepaskan ikatan perkawinan antara suami istri yang

biasanya dilakukan pihak istri.

Peralihan agama atau murtad merupakan salah satu alasan perceraian

yang diatur dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam. Peralihan agama

6) K. Wantjik Saleh, 1980. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hal. 37

7) Abdul Manan, 2003. Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan Agama.

Jakarta: Pustaka Bangsa Press. Hal. 133

6

dalam perkawinan dapat mengakibatkan percekcokan karena salah satu pihak

yaitu suami atau istri tidak menginginkan pasangannya untuk berpindah

agama. Percekcokan tersebut dapat menimbulkan keretakan dalam rumah

tangga hingga akhirnya salah satu pihak memutuskan untuk mengajukan

perceraian ke pengadilan. Salah satu kasus tentang peralihan agama atau

murtad yang dapat dijadikan bukti adalah putusan Pengadilan Agama

Purwokerto Nomor 1566/Pdt.G/2012/PA.Pwt. yang berawal dari adanya

perkawinan seorang laki-laki bernama “RY” bin “SP” yang selanjutnya

disebut sebagai Pemohon dengan seorang perempuan bernama “RS” binti

“SD” yang pada kasus ini disebut sebagai Termohon. Bahwa Pemohon dan

Termohon telah melangsungkan pernikahan secara Islam. Sebelum menikah,

Pemohon beragama Islam sedangkan Termohon beragama Kristen. Namun

setelah perkawinan berlangsung beberapa tahun, sering terjadi perselisihan

dan pertengkaran antara Pemohon dengan Termohon karena Termohon

kembali ke agamanya yang semula yaitu Kristen.

Dari latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji masalah

yang timbul akibat peralihan agama dalam suatu perkawinan. Oleh karena itu,

peneliti ingin melakukan penelitian guna penyusunan skripsi dengan judul

“CERAI TALAK KARENA MURTAD (Studi Terhadap Putusan Pengadilan

Agama Purwokerto Nomor 1566/Pdt.G/2012/PA.Pwt).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat

dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut:

7

Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam mengabulkan cerai talak

dengan alasan murtad yang terjadi di Pengadilan Agama Purwokerto pada

putusan nomor 1566/Pdt.G/2012/PA.Pwt?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama

Purwokerto dalam mengabulkan cerai talak dengan alasan murtad pada

putusan nomor 1566/Pdt.G/2012/PA.Pwt.

D. Kegunaan Penelitian

Penulisan ini diharapkan dapat memberikan kegunaan antara lain:

1. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan

bagi pengembangan ilmu Hukum Perdata pada umumnya serta ilmu

Hukum Keluarga dan Perkawinan pada khususnya.

2. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca

maupun instansi-instansi atau lembaga-lembaga yang terkait dalam

proses perbuatan hukum dalam masyarakat umumnya, khususnya

mengenai perkawinan, serta menjadi pemikiran lebih lanjut kepada

masyarakat yang akan melakukan perkawinan ataupun perceraian.

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Pada umumnya, bagi seorang pria maupun seorang wanita

timbul kebutuhan untuk hidup bersama. Hidup bersama antara seorang

pria dan seorang wanita tersebut mempunyai akibat yang sangat penting

dalam masyarakat, baik terhadap kedua belah pihak maupun terhadap

keturunannya serta anggota masyarakat lainnya. Oleh karena itu

dibutuhkan suatu peraturan yang mengatur tentang hidup bersama itu,

seperti syarat-syarat untuk peresmiannya, pelaksanaannya, kelanjutannya

dan berakhirnya hidup bersama itu.8 Hidup bersama antara seorang pria

dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu disebut

perkawinan. Beberapa definisi atau pengertian mengenai perkawinan

dari beberapa sudut pandang adalah sebagai berikut.

1.1 Menurut Undang-Undang Perkawinan

Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan menyebutkan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir

batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

8) Rusli dan R. Tama, 1986. Perkawinan Antar Agama Dan Masalahnya. Bandung: CV Pionir

Jaya. Hal. 10

9

dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dari rumusan

tersebut dapat diketahui bahwa dalam pengertian perkawinan

terkandung unsur-unsur:9

a. Perkawinan adalah ikatan lahir batin

Perkawinan adalah suatu hubungan hukum perikatan yang

terjadi karena perjanjian dan didasarkan atas kasih sayang

(cinta), artinya ikatan tersebut tidak cukup hanya bernilai

“ikatan lahir” saja dan bersifat “hubungan formil”, akan tetapi

juga merupakan “ikatan bathin” yang mendasari ikatan lahir

tersebut supaya memiliki kekuatan (tidak rapuh) atau hanya

merupakan hubungan sesaat saja.

b. Antara seorang pria dengan seorang wanita

Dari kalimat tersebut terdapat 2 aspek penting, yaitu:

1) pelaku perkawinan adalah berjenis kelamin pria dan

wanita, berarti hubungan antara sesama jenis wanita

(lesbian) atau sesama pria (gay atau homo sex) tidak

termasuk yang dimaksudkan dalam pengertian perkawinan

ini.

2) pelaku perkawinan dirumuskan dengan istilah seorang pria

dengan seorang wanita, istilah “seorang” berarti satu

orang, artinya perkawinan ini menunjuk pada bentuk

perkawinan yang bersifat monogami.

9) Trusto Subekti, 2010. Bahan Pembelajaran Hukum Keluarga Dan Perkawinan. Purwokerto:

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Hal. 23

10

c. Sebagai suami-istri

Digunakannya istilah “sebagai suami-istri” menunjukkan

bahwa perkawinan merupakan perjanjian antara seorang pria

dengan seorang wanita di lapangan hukum keluarga, artinya

perjanjian tersebut bukan perjanjian yang menimbulkan hak

dan kewajiban (obligatoir) di lapangan harta kekayaan, tetapi

merupakan perjanjian yang menimbulkan status, yaitu si pria

berstatus sebagai suami dan si wanita berstatus sebagai istri.

Dengan demikian, nilai strategis dari Pasal 1 adalah pasal yang

menjadi fokus utama yang berisi tujuan yang hendak diwujudkan

dalam kenyataan sebagai idealisme perkawinan (yang dicita-

citakan) serta merupakan pedoman tingkah laku bagi seluruh warga

negara Indonesia yang akan dan telah melakukan perkawinan.

1.2 Menurut Hukum Adat

Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia,

perkawinan itu bukan saja berarti sebagai „perikatan perdata‟ tetapi

juga merupakan „perikatan adat‟ dan sekaligus merupakan

„perikatan kekerabatan dan ketetanggaan‟.10

Jadi terjadinya suatu

ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap

hubungan-hubungan keperdataan seperti hak dan kewajiban suami

istri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua,

tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat

10

) Hilman Hadikusuma, 1990. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut: Perundangan, Hukum

Adat, Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju. Hal. 8

11

kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggaan serta

menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan.

Perkawinan dalam arti „perikatan adat‟ ialah perkawinan

yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku

dalam masyarakat yang bersangkutan. Akibat hukum ini telah ada

sejak sebelum perkawinan terjadi. Setelah terjadinya ikatan

perkawinan maka timbul hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang

tua (termasuk anggota keluarga/kerabat) menurut hukum adat

setempat, yaitu dalam pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya

dalam peran serta membina dan memelihara kerukunan, keutuhan,

dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak mereka yang terikat

dalam perkawinan. Perkawinan dalam arti „perikatan adat‟

walaupun dilangsungkan antar adat yang berbeda, tidak akan

seberat penyelesaiannya daripada berlangsungnya perkawinan yang

bersifat antar agama, karena perbedaan adat hanya menyangkut

perbedaan masyarakat bukan perbedaan keyakinan.

1.3 Menurut Hukum Agama

Pada umumnya menurut hukum agama, perkawinan adalah

perbuatan yang suci yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam

memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa agar

kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat

tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-

masing. Jadi perkawinan dilihat dari segi keagamaan adalah suatu

12

„perikatan jasmani dan rohani‟ yang membawa akibat hukum

terhadap agama yang dianut kedua calon mempelai beserta keluarga

kerabatnya.11

Menurut Ahmad Azhar Basyir, perkawinan dalam hukum

agama Islam disebut “nikah” yang artinya melakukan suatu aqad

atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan

wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah

pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak

untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang

diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang

diridhoi oleh Allah.12

Perkawinan dalam agama Kristen diambil dari dua bahan

yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.13

Di dalam Perjanjian

Lama, perkawinan diartikan sebagai gambaran dan tiruan

bimbingan. Suami istri menampakkan cinta kasih Tuhan dalam

cinta mereka. Sedangkan dalam Perjanjian Baru, pernikahan

seorang Kristen diartikan sebagai suatu ikatan cinta kasih tetap dan

taat yang menggambarkan, melahirkan, dan mewujudkan hubungan

cinta Kristus dengan Gereja-Nya. Dengan demikian, nikah adalah

suatu tata tertib suci yang ditetapkan oleh Tuhan.

11

) Ibid., hal. 10 12

) Ny. Soemiyati, 1982. Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan). Yogyakarta: Liberty. Hal. 8 13

) A. Zubairie, 1985. Pelaksanaan Hukum Perkawinan Campuran Antara Islam Dan Kristen.

Surabaya: TB “Bahagia” Pekalongan. Hal. 71

13

2. Tujuan Perkawinan

Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 selain memberikan

definisi perkawinan, juga sekaligus memuat tujuan perkawinan, yaitu

pada kalimat “dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Perkawinan

yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dapat

diartikan bahwa perkawinan itu haruslah berlangsung seumur hidup dan

tidak boleh diputuskan begitu saja. Pemutusan karena sebab-sebab lain

daripada kematian diberikan suatu pembatasan yang ketat. Sehingga

suatu pemutusan yang berbentuk perceraian hidup akan merupakan jalan

terakhir setelah jalan lain tidak dapat ditempuh lagi.14

Pasal 3 KHI menyebutkan bahwa “perkawinan bertujuan untuk

mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan

rahmah.” Abd. Shomad menyatakan bahwa sakinah berarti tenang,

mawadah berarti di dalam keluarga tersebut terdapat rasa cinta yang

berkaitan dengan hal-hal yang bersifat jasmani, dan rahmah yang berarti

di dalam keluarga tersebut terdapat rasa kasih sayang yakni yang

berkaitan dengan hal-hal yang bersifat kerohanian.15

Walaupun ada

perbedaan pendapat tentang perumusan tujuan perkawinan, tetapi dari

semua rumusan yang dikemukakan pada dasarnya inti mengenai tujuan

perkawinan tersebut tidak berbeda.

14

) K. Wantjik Saleh, op. cit., hal. 15 15

) Abd. Shomad, 2010. Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia.

Jakarta: Kencana. Hal. 276

14

3. Syarat Sahnya Perkawinan

3.1 Menurut Undang-Undang Perkawinan

Perkawinan tidak semata-mata merupakan “perbuatan

hukum” saja, tetapi perkawinan juga merupakan “perbuatan

keagamaan”. Pasal 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan menyatakan bahwa:

(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Perkawinan sebagai “perbuatan keagamaan” ditandai

dengan dilaksanakannya perkawinan menurut ketentuan agama

yang dianut oleh kedua calon mempelai. Dijelaskan lebih lanjut

dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) bahwa yang dimaksud dengan

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk

ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan

agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan

atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. Dari rumusan

dan penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut dapat disimpulkan bahwa

suatu perkawinan yang dilaksanakan bertentangan dengan ketentuan

hukum agama, dengan sendirinya menurut undang-undang

15

perkawinan ini dianggap tidak sah dan tidak mempunyai akibat

hukum sebagai ikatan perkawinan.16

Sebagai salah satu perbuatan hukum, perkawinan

mempunyai akibat hukum. Adanya akibat hukum ini penting sekali

hubungannya dengan sahnya perbuatan hukum itu. Perkawinan

sebagai “perbuatan hukum” ditandai dengan dicatatkannya

perkawinan tersebut pada catatan sipil. Pencatatan perkawinan

bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas

baik bagi yang bersangkutan maupun bagi pihak lain, karena dapat

dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan termuat pula dalam

suatu daftar yang khusus disediakan untuk itu. Sehingga sewaktu-

waktu dapat dipergunakan bilamana perlu dan dapat dipakai sebagai

alat bukti yang otentik dan dengan surat bukti itu dapatlah

dibenarkan atau dicegah suatu perbuatan yang lain.17

Jika dilakukan kualifikasi atas ketentuan Pasal 2 Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974, maka ketentuan ayat (1) dapat

dikualifikasikan sebagai sahnya perkawinan secara materiil dan

ketentuan ayat (1) dan ayat (2) sebagai kualifikasi sahnya

perkawinan secara formil-materiil.18

Pendapat secara materiil

tentang sahnya perkawinan yang hanya merujuk pada ketentuan

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 sampai saat ini

16

) Ny. Soemiyati, op. cit., hal. 63 17

) Ibid., hal. 65 18

) Trusto Subekti, op. cit., hal. 34

16

agaknya masih dipegang oleh sebagian masyarakat di Indonesia.

Artinya perkawinan sudah sah apabila sudah dilakukan memenuhi

kriteria “perbuatan keagamaan” tanpa memenuhi kriteria “perbuatan

hukum”. Sehingga apabila sudah sah menurut agama, maka tidak

perlu dipenuhi tatacara perkawinan sebagaimana yang diatur dalam

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Sahnya perkawinan secara formil-materiil didasarkan pada

penafsiran sistematis dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

Penafsiran sistematis tentang sahnya perkawinan tidaklah cukup

dipahami secara parsial atas dasar Pasal 2 ayat (1) saja tetapi harus

dihubungkan dengan persyaratan perkawinan. Persyaratan

perkawinan secara materiil diatur dalam Pasal 6 sampai dengan

Pasal 11 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, sedangkan syarat

formilnya diatur pada Pasal 12 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

Agar Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dapat berlaku efektif maka

dibuatlah Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan undang-

undang tersebut yang dalam hal ini adalah Peraturan Pemerintah

No. 9 Tahun 1975. Dengan demikian secara yuridis, posisi hukum

dari Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 merupakan kesatuan

dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 telah

mengkonstruksi penafsiran tentang sahnya perkawinan dilihat

17

secara substansial dari tatacara perkawinan yang diatur dalam Pasal

10 sebagai berikut:

(1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak

pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat

seperti yang dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini.

(2) Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu.

(3) Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-

masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan

dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua

orang saksi.

Jadi ketentuan Pasal 10 ayat (1, 2, 3) Peraturan Pemerintah No. 9

Tahun 1975 merupakan penafsiran yang menjembatani makna dari

ketentuan Pasal 2 ayat (1) dengan ayat (2) Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 sebagai suatu kesatuan, bukan sebagai suatu pasal yang

bisa ditafsirkan secara terpisah.19

3.2 Menurut Hukum Islam

Dalam Pasal 4 KHI disebutkan bahwa “Perkawinan adalah

sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2

ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.”

Hal ini berarti bahwa Kompilasi Hukum Islam lebih menekankan

perkawinan dalam konsep hukum Islam namun tetap didasarkan

19

) Ibid., hal. 36

18

pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Menurut Hukum Islam

yang umumnya berlaku di Indonesia, sahnya perkawinan harus

memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Rukun perkawinan

merupakan unsur-unsur yang harus ada untuk dapat terjadinya suatu

perkawinan, sedangkan syarat perkawinan ialah syarat yang

berkaitan dengan rukun-rukun perkawinan tersebut. Pasal 14 KHI

menyebutkan bahwa rukun perkawinan terdiri dari beberapa

komponen, yakni:

a. calon suami;

b. calon istri;

c. wali nikah;

d. dua orang saksi; serta

e. ijab dan kabul

Kelima unsur tersebut di atas harus ada dalam perkawinan menurut

hukum Islam, tanpa adanya rukun tersebut suatu perkawinan tidak

dapat dilaksanakan.

Pada setiap rukun perkawinan, terdapat syarat-syarat yang

harus dipenuhi, antara lain:20

a. calon mempelai

1) telah baligh dan mempunyai kecakapan sempurna;

2) berakal sehat;

3) tidak karena paksaan;

20

) Ibid., hal. 47

19

4) wanita yang hendak dinikah bukanlah wanita yang haram

dinikah yaitu yang berlainan agama, hubungan nasab,

hubungan susuan dan hubungan semenda.

b. wali nikah

Wali di sini adalah wali bagi pihak wanita. Menurut Imam

Syafi‟i bahwa perempuan yang kawin wajib memakai wali.

Adapun syarat-syarat menjadi wali yaitu:

1) orang mukalaf ialah orang yang dapat

mempertanggungjawabkan perbuatannya;

2) muslim;

3) berakal sehat;

4) laki-laki; dan

5) adil.

c. saksi

syarat sebagai saksi ialah:

1) beragama Islam;

2) mukalaf atau baligh;

3) adil; dan

4) dua orang saksi laki-laki, tetapi bila tidak ada boleh satu

orang saksi laki-laki dan dua orang saksi perempuan.

d. ijab dan kabul

“Ijab” adalah ucapan „menikahkan‟ dari wali calon istri, dan

“Kabul” adalah kata „penerimaan‟ dari calon suami. Ucapan

20

“ijab” dan “kabul” dari kedua pihak harus terdengar di hadapan

majelis dan jelas didengar oleh dua orang yang bertugas

sebagai saksi akad nikah. Jadi sahnya perkawinan menurut

hukum Islam adalah diucapkannya ijab dari wali perempuan

dan kabul dari calon suami pada saat yang sama di dalam suatu

majelis akad nikah yang disaksikan oleh dua orang saksi yang

sah.21

B. Perceraian

Perceraian merupakan keadaan yang sebetulnya tidak diharapkan

oleh setiap orang yang melangsungkan perkawinan. Perceraian menurut garis

hukum apapun dan dalam bentuk apapun hanya boleh dipergunakan sebagai

jalan terakhir sesudah usaha perdamaian dilakukan sedemikian rupa.

Perceraian umumnya terjadi karena adanya perbuatan yang sewenang-

wenang dari pihak suami. Walaupun suami mempunyai kewenangan untuk

menceraikan istrinya, namun kewenangan itu bukanlah kewenangan yang

boleh dipergunakannya dengan sewenang-wenang tetapi kewenangan yang

hanya boleh dipergunakan oleh suami sebagai pintu darurat. Oleh karena itu

perceraian senantiasa diatur oleh hukum perkawinan. Dengan lahirnya

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maka perceraian

tidak dapat lagi dilakukan dengan semena-mena, melainkan harus dengan

prosedur hukum tertentu dan hanya boleh dilakukan berdasarkan alasan-

alasan yang dapat dibenarkan.

21

) Hilman Hadikusuma, op. cit., hal. 29

21

1. Pengertian Perceraian

Pasal 38 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyebutkan

bahwa, perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan karena

keputusan pengadilan. Secara khusus Undang-Undang Perkawinan tidak

memberikan definisi mengenai perceraian. Namun secara umum

pengertian perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami-

istri dengan keputusan pengadilan melalui pemeriksaan di depan sidang

pengadilan dan ada cukup alasan bahwa diantara suami istri tidak akan

dapat hidup rukun lagi sebagai suami istri (Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2)

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974). Menurut Hukum Islam istilah

perceraian disebut dalam bahasa Arab yaitu talak yang artinya melepas

ikatan. Hukum asal dari Talak adalah makruh (tercela).22

Perceraian

dalam istilah ahli Figh disebut „talak‟ atau „furqah‟. Adapun arti dari

„talak‟ ialah membuka ikatan membatalkan perjanjian. Sedangkan

„furqah‟ artinya bercerai yaitu lawan dari berkumpul. Kemudian kedua

kata itu dipakai oleh para ahli figh sebagai satu istilah yang berarti

perceraian antara suami istri.

Para ahli hukum memberi beragam pengertian atau definisi

mengenai perceraian, antara lain:

a. Happy Marpaung merumuskan, perceraian adalah pembubaran

suatu perkawinan ketika pihak-pihak masih hidup dengan

22

) Hilman Hadikusuma, op. cit., hal. 163

22

didasarkan pada alasan yang dapat dibenarkan serta ditetapkan

dengan suatu keputusan hakim.23

b. Wahyono Darmabrata merumuskan, perceraian yaitu putusnya

perkawinan yang bersifat tetap yang dilakukan oleh suami istri

berdasarkan alasan-alasan tertentu yang ditentukan dalam undang-

undang.24

c. H.A. Fuad Said merumuskan, perceraian adalah putusnya

perkawinan antara suami istri karena tidak terdapat kerukunan

dalam rumah tangga atau sebab lain seperti mandulnya istri atau

suami.25

d. Sayyid Sabiq merumuskan, talak adalah melepaskan ikatan

perkawinan atau bubarnya perkawinan, dan ini dilarang kecuali

karena alasan yang benar dan terjadi hal yang sangat darurat.26

Dari beberapa pengertian diatas, dapat diketahui bahwa perceraian itu

pelaksanaannya harus berdasarkan suatu alasan yang kuat dan

merupakan jalan terakhir yang ditempuh oleh suami istri.

2. Alasan Perceraian

2.1 Menurut Undang-Undang Perkawinan

Alasan-alasan untuk melakukan perceraian telah ditentukan

secara limitatif di dalam undang-undang, artinya alasan-alasan lain

tidak dapat dipergunakan untuk melakukan perceraian selain alasan

23

) Happy Marpaung, loc. cit. 24

) Wahyono Darmabrata, 2006. Hukum Perkawinan Menurut KUHPerdata 2. Depok: Badan

Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Hal. 14 25

) Abdul Manan, op. cit., hal. 125 26

) Ibid

23

yang ditentukan oleh undang-undang.27

Adapun alasan yang

dimaksud tercantum dalam Penjelasan Pasal 39 ayat 2 Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 19 Peraturan Pelaksanaan No. 9

Tahun 1975 yaitu:

a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok,

pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar

disembuhkan;

Zina yaitu perbuatan seksual secara sukarela oleh

seorang laki-laki yang mempunyai istri dengan seorang

perempuan yang bukan istrinya atau seorang istri dengan

seorang laki-laki yang bukan suaminya. Mabuk hampir sama

dengan madat, bedanya jika pemabuk cenderung menggunakan

minuman maka pemadat menggunakan serbuk. Mabuk maupun

madat akan merusak sel-sel syaraf sehingga pemakai akan

kehilangan akal sehat dan tidak bisa diharapkan dapat membina

rumah tangganya. Sedangkan penjudi dan lain sebagainya yang

sukar disembuhkan akan merusak kondisi keuangan karena

uang yang seharusnya dipergunakan untuk menghidupi

keluarga dipergunakan untuk mencari keuntungan yang tidak

pasti. Perbuatan-perbuatan tersebut berarti telah menghilangkan

rasa tanggung jawab sehingga tujuan perkawinan yang dicita-

citakan gagal terwujud.

27

) Wahyono Darmabrata, loc. cit.

24

Terhadap permohonan cerai dengan alasan salah satu

pihak berbuat zina dimana Pemohon atau Penggugat tidak

dapat membuktikan perzinaan tersebut dan kemudian

Termohon atau Tergugat melakukan penyangkalan sehingga

tidak ada bukti sama sekali, maka Pemohon dapat meneguhkan

tuduhannya dengan jalan sumpah setelah ada keputusan dari

Majelis Hakim untuk bersumpah.

b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun

meninggalkan pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau

karena hal lain di luar kemampuannya;

Untuk pengajuan gugatan dengan alasan ini, diajukan

setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak Tergugat

meninggalkan rumah. Agar gugatannya diterima maka perlu

dibuktikan bahwa Tergugat menyatakan atau menunjukkan

sikap tidak mau kembali ke rumah kediaman bersama.

c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima)

tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan

berlangsung;

Untuk dapat membuktikan permohonan cerai dengan

alasan ini maka Penggugat menyampaikan salinan atau turunan

putusan pengadilan yang memutuskan perkara pidana penjara

disertai adanya keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu

telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

25

d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan

berat yang membahayakan pihak yang lain;

Apabila tindakan suami melampaui batas sehingga

membahayakan bagi kehidupan istri, maka dengan kesepakatan

bersama diantara kerabat anggota istri harus berpisah tempat

dari suami dan kerabat berkewajiban mendamaikan dan

merukunkan kembali rumah tangga yang berselisih itu. Apabila

tidak berhasil terpaksa mengambil keputusan untuk melakukan

perceraian.

e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit

dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya

sebagai suami/istri; dan

Untuk membuktikan perceraian dengan alasan ini

maka Penggugat dapat mengajukan bukti hasil pemeriksaan

Tergugat dari dokter.

f. antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan

dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup

rukun lagi dalam rumah tangga.

Untuk membuktikan perceraian dengan alasan ini,

maka pihak keluarga dan orang yang terdekat dengan suami

istri tersebut akan dimintai keterangannya.

26

2.2 Menurut Hukum Islam

Dari semua agama yang terdapat di Indonesia, hanya agama

Islam yang banyak mengatur mengenai perceraian. Walaupun

agama Islam memperbolehkan perceraian tetapi pelaksanaannya

harus berdasarkan suatu alasan yang kuat dan merupakan jalan

terakhir yang ditempuh oleh suami istri apabila cara-cara lain yang

telah diusahakan sebelumnya tetap tidak dapat mengembalikan

keutuhan kehidupan rumah tangga suami istri tersebut. Pasal 116

KHI menyebutkan bahwa perceraian dapat terjadi karena beberapa

alasan. Alasan perceraian tersebut sama dengan yang disebutkan

dalam Penjelasan Pasal 39 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 jo Pasal 19 Peraturan Pelaksanaan No. 9 Tahun 1975 dengan

penambahan huruf g dan huruf h yaitu:

g. suami melanggar taklik talak; dan

Arti dari taklik ialah menggantungkan, jadi pengertian

taklik talak ialah suatu talak yang digantungkan pada suatu hal

yang mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu

perjanjian yang telah diperjanjikan lebih dulu. Taklik talak

merupakan pelanggaran perjanjian perkawinan yang diucapkan

oleh suami dalam sighat ta’lik talak kemudian si istri tidak

dapat menerima keadaan tersebut maka istri dapat mengajukan

gugatan perceraian dengan alasan pelanggaran taklik talak.

27

h. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan

terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Menurut hukum Islam murtadnya seorang suami atau

istri menyebabkan putusnya ikatan perkawinan karena

perkawinannya menjadi fasakh (rusak). Para ulama sepakat

bahwa putusnya perkawinan tidak sejak saat diputuskan di

depan pengadilan akan tetapi berlaku surut yakni sejak

murtadnya salah seorang dari suami istri itu.

3. Macam Perceraian

3.1 Menurut Undang-Undang Perkawinan

Dari ketentuan tentang perceraian yang diatur dalam Pasal

39 sampai dengan Pasal 41 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan dan Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 Peraturan

Pemerintah No. 9 Tahun 1975, dapat ditarik kesimpulan adanya dua

macam perceraian yaitu:28

a. Cerai Talak

Cerai talak adalah perceraian yang terjadi sebagai

akibat dijatuhkannya talak oleh suami terhadap istrinya di

muka sidang pengadilan. Cerai talak ini hanya khusus untuk

yang beragama Islam, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 14

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 bahwa “Seorang

suami yang telah melangsungkan perkawinan munurut agama

28

) K. Wantjik Saleh, op. cit., hal. 37

28

Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat

kepada Pengadilan di tempat tinggalnya yang berisi

pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya

disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada

Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”

Adapun tata cara seorang suami yang hendak mentalak

istrinya selanjutnya diatur dari Pasal 15 sampai dengan Pasal

18 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang pada dasarnya

adalah sebagai berikut:

1) Setelah Pengadilan menerima surat pemberitahuan tersebut

dan mempelajarinya, selambat-lambatnya 30 hari setelah

menerima surat itu, Pengadilan memanggil suami dan istri

yang akan bercerai itu untuk dimintai penjelasan.

2) Setelah Pengadilan mendapat penjelasan dari suami istri

tersebut dan ternyata memang terdapat alasan-alasan untuk

bercerai, kemudian Pengadilan berpendapat pula bahwa

antara suami istri yang bersangkutan tidak mungkin lagi

didamaikan untuk hidup rukun dalam rumah tangga, maka

Pengadilan memutuskan untuk mengadakan sidang untuk

menyaksikan perceraian itu.

3) Kemudian Ketua Pengadilan memberi surat keterangan

tentang terjadinya perceraian tersebut dan surat keterangan

tersebut dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di tempat

29

perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan

perceraian.

4) Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu

dinyatakan di depan sidang Pengadilan.

b. Cerai Gugat

Cerai gugat adalah perceraian yang disebabkan oleh

adanya suatu gugatan lebih dahulu oleh salah satu pihak kepada

pengadilan dan dengan suatu putusan pengadilan. Penjelasan

Pasal 20 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 menegaskan

bahwa “Gugatan perceraian dimaksud dapat dilakukan oleh

seorang istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama

Islam dan oleh seorang suami atau seorang istri yang

melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan

kepercayaannya itu selain agama Islam.”

Adapun tata cara gugatan perceraian ketentuan

selanjutnya diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang pada dasarnya

adalah sebagai berikut:

1) Pengajuan gugatan

gugatan perceraian diajukan oleh suami atau istri atau

kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya

meliputi tempat Tergugat;

30

dalam hal tempat kediaman Tergugat tidak jelas atau

tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, begitu

juga Tergugat bertempat kediaman di luar negeri,

gugatan diajukan kepada pengadilan di tempat

kediaman Penggugat;

demikian juga gugatan perceraian dengan alasan salah

satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun

berturut-turut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan

yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya,

gugatan diajukan kepada pengadilan di tempat

kediaman Penggugat.

2) Pemanggilan

pemanggilan harus disampaikan kepada pribadi yang

bersangkutan, yang apabila tidak dapat dijumpai,

panggilan disampaikan melalui surat atau yang

dipersamakan dengannya dan pemanggilan dilakukan

setiap kali akan diadakan persidangan;

yang melakukan panggilan tersebut adalah jurusita

(Pengadilan Negeri) dan petugas yang ditunjuk

(Pengadilan Agama);

panggilan tersebut harus dilakukan dengan cara yang

patut dan sudah diterima oleh para pihak atau

kuasanya selambat-selambatnya 3 (tiga) hari sebelum

31

sidang dibuka, kepada Tergugat harus dilampiri

dengan salinan surat gugat;

pemanggilan bagi Tergugat yang tempat kediamannya

tidak jelas atau tidak mempunyai tempat kediaman

tetap, panggilan dilakukan dengan cara menempelkan

gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan dan

mengumumkan melalui satu atau beberapa surat kabar

atau mass media lain yang ditetapkan oleh pengadilan

yang dilakukan dua kali dengan tenggang waktu satu

bulan antara pengumuman pertama dan kedua;

apabila Tergugat berdiam di luar negeri

pemanggilannya melalui Perwakilan Republik

Indonesia setempat.

3) Persidangan

persidangan untuk memeriksa gugatan perceraian

harus dilakukan oleh pengadilan selambat-lambatnya

30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat gugatan

di kepaniteraan. Khusus bagi gugatan yang

Tergugatnya berkediaman di luar negeri, persidangan

ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan

terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian

itu;

32

para pihak yang berperkara dapat menghadiri sidang

atau didampingi kuasanya atau sama sekali

menyerahkan kepada kuasanya dengan membawa

surat nikah/rujuk, akta perkawinan, surat keterangan

lainnya yang diperlukan;

apabila Tergugat tidak hadir dan telah dilakukan

pemanggilan yang sepatutnya, maka gugatan itu dapat

diterima tanpa hadirnya Tergugat, kecuali kalau

gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan;

pemeriksaan perkara gugatan perceraian dilakukan

dalam sidang tertutup.

4) Perdamaian

pengadilan harus berusaha untuk mendamaikan kedua

belah pihak baik sebelum maupun selama persidangan

sebelum perkara diputuskan;

apabila tercapai suatu perdamaian maka tidak dapat

diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan-

alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah

diketahui oleh Penggugat pada waktu dicapainya

perdamaian;

dalam usaha mendamaikan kedua belah pihak,

pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang lain

atau badan lain yang dianggap perlu.

33

5) Putusan

walaupun pemeriksaan perkara gugatan perceraian

dilakukan dalam sidang tertutup namun pengucapan

putusannya harus dilakukan dalam sidang terbuka;

putusan dapat dijatuhkan walaupun Tergugat tidak

hadir asal gugatan itu didasarkan pada alasan yang

telah ditentukan;

dalam hal gugatan berdasarkan alasan bahwa antara

suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun

lagi dalam rumah tangga, maka sebab-sebab

perselisihan dan pertengkaran itu haruslah

dipertimbangkan oleh pengadilan apakah hal itu

memang sungguh-sungguh berpengaruh dan prinsipiil

bagi keutuhan kehidupan suami-istri. Untuk itu perlu

didengar keterangan pihak keluarga serta orang-orang

yang dekat dengan suami istri itu;

kapan suatu perceraian dianggap terjadi dengan segala

akibat-akibatnya, terdapat perbedaan antara orang

yang beragama Islam dengan yang lainnya. Bagi yang

beragama Islam perceraian dianggap terjadi sejak

jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah

mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sedang bagi

34

yang beragama lain terhitung sejak saat

pendaftarannya pada daftar kantor pencatatan oleh

pegawai pencatat.

3.2 Menurut Hukum Islam

Perceraian dalam hukum Islam diperbolehkan jika terdapat

atau berdasarkan alasan yang kuat dan hal tersebut hanya dapat

dipergunakan dalam keadaan yang mendesak. Untuk menjaga

hubungan keluarga jangan terlalu rusak dan berpecah-belah, maka

agama Islam mensyariatkan perceraian sebagai jalan keluar bagi

suami istri yang telah gagal mendayungkan bahtera keluarganya,

sehingga dengan demikian hubungan antara orang tua dengan anak-

anaknya, antara keluarga dengan keluarga, demikian pula dengan

masyarakat sekeliling tetap berjalan dengan baik.29

Macam-macam perceraian menurut hukum Islam, yang

menjadi sebab putusnya perkawinan ialah:30

a. Talak

Hukum Islam menentukan bahwa hak talak ada pada suami

dengan alasan bahwa seorang laki-laki pada umumnya lebih

mengutamakan pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu

daripada wanita yang biasanya bertindak atas dasar emosi.

b. Khuluk

29

) Kamal Mukhtar, 1987. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: PT Bulan

Bintang. Hal. 157 30

) Ny. Soemiyati, op. cit., hal. 105

35

Khuluk merupakan bentuk perceraian atas persetujuan suami-

istri dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada istri dengan

tebusan harta atau uang dari pihak istri yang menginginkan

cerai dengan khuluk itu.

c. Syiqaq

Syiqaq berarti perselisihan atau menurut istilah figh berarti

perselisihan suami istri yang diselesaikan dua orang hakam,

satu orang dari pihak suami dan yang satu orang dari pihak

istri.

d. Fasakh

Fasakh ialah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa

perkawinan itu diputuskan atau dirusakkan atas permintaan

salah satu pihak oleh hakim Pengadilan Agama.

e. Taklik Talak

Ta‟lik talak ialah suatu talak yang digantungkan pada suatu hal

yang mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu

perjanjian yang telah diperjanjikan lebih dulu.

f. Ila

Ila berarti suami bersumpah untuk tidak mecampuri istrinya,

waktunya tidak ditentukan dan selama itu istri tidak ditalak

ataupun diceraikan. Sehingga kalau keadaan ini berlangsung

berlarut-larut yang menderita adalah pihak istri karena

keadaannya terkatung-katung dan tidak berketentuan.

36

g. Zhihar

Zhihar adalah prosedur talak yang hampir sama dengan ila. Arti

zhihar ialah seorang suami yang bersumpah bahwa istrinya itu

baginya sama dengan punggung ibunya. Dengan bersumpah

demikian itu berarti suami telah menceraikan istrinya.

h. Li‟an

Li‟an ialah sumpah yang di dalamnya terdapat pernyataan

bersedia menerima laknat Tuhan apabila yang mengucapkan

sumpah itu berdusta. Sumpah li‟an ini dapat mengakibatkan

putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-lamanya.

i. Kematian

Putusnya perkawinan dapat pula disebabkan karena kematian

suami atau istri. Dengan kematian salah satu pihak, maka pihak

lain berhak mewaris atas harta peninggalan yang meninggal.

C. Murtad

1. Pengertian Murtad

Pada dasarnya kebebasan beragama merupakan hak setiap

orang. Dasar seseorang memilih suatu agama dapat disebabkan karena

kecocokan secara pribadi dengan ajaran agama tersebut, terkondisi oleh

bimbingan dan didikan orang tua, serta karena terpengaruh oleh

lingkungan sekitar tempat tinggal, tempat mendapat pendidikan atau

tempat bekerja, atau karena alasan demi sahnya perkawinan yang

menyebabkan salah satu pihak berpindah agama. Perpindahan agama

37

atau murtad yang dilakukan oleh suami atau istri menurut hukum Islam

dapat dijadikan alasan untuk membubarkan perkawinan. Semua Ulama

sepakat bahwa murtadnya seseorang baik dari suami maupun istri

menyebabkan putusnya ikatan perkawinan.

Peralihan agama atau murtad mengandung beberapa makna.

Secara umum murtad berarti suatu perbuatan dimana salah seorang dari

suami atau istri keluar dari agama Islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam

tidak dijelaskan tentang pengertian murtad, namun hanya dijelaskan

dalam Pasal 116 huruf h bahwa “peralihan agama atau murtad yang

menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga”

dimasukkan sebagai alasan perceraian. Dalam bahasa Arab murtad

berarti riddah yaitu kembali ke jalan asal, sedangkan menurut syara‟

adalah keluar dari Islam. Yang dimaksud dengan keluar dari Islam oleh

para ulama dibedakan menjadi tiga macam yaitu:31

a. murtad dengan perbuatan atau meninggalkan perbuatan.

b. murtad dengan ucapan.

c. murtad dengan itikad.

Adapun berbagai pengertian murtad yang didefinisikan baik

oleh para ahli hukum maupun para ulama antara lain:

31

) Muhammad Muajib Hidayatullah Sanusi, 2010. “Cerai Talak Yang Diajukan Suami Murtad

(Studi Terhadap Putusan No. 1201/Pdt.G/2008/PAWSB di Pengadilan Agama Wonosobo)”,

Skripsi, Fakultas Syari‟ah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Hal.

12

38

a. Menurut Ahmad Azhar Basyir, murtad ialah keluar dari agama

Islam, untuk beragama lain atau tidak beragama sama sekali.32

b. Menurut Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, murtad adalah orang ragu-ragu

yang keluar dari agama Islam kembali kepada ke kufuran atau

mengingkari semua ajaran Islam baik dalam keyakinan, ucapan,

atau perbuatan.33

c. Menurut Sulaiman Rasyid, riddah adalah keluar dari agama Islam,

baik pindah pada agama yang lain atau tinggal saja tidak beragama,

sedangkan tadinya memeluk agama Islam.34

d. Menurut Matnuh, murtad adalah meninggalkan (keluar) dari suatu

agama atau telah berhenti untuk memeluk agama yang

bersangkutan.35

Selain itu, syarat-syarat seseorang yang melakukan murtad

menurut kesepakatan ulama fiqih hanya ada dua, yaitu:36

a. berakal

Sikap murtad dari anak kecil atau orang sakit jiwa adalah

tidak sah. Tentang sikap murtad yang ditunjukkan orang yang

sedang mabuk terdapat perbedaan pendapat ulama fiqih. Menurut

ulama mashab Hanafi, tidak sah murtad orang yang sedang mabuk,

32

) Ahmad Azhar Basyir dkk.,1982. Ikthisar Figh Jinayat (Hukum Pidana Islam). Yogyakarta:

Bagian Penerbitan Fakultas Hukum UII Yogyakarta. Hal. 25 33

) Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, 2001. Ensiklopedi Muslim (Minhajul Muslim), diterjemahkan

Fadhli Bahri. Jakarta: Darul Falah. Hal. 703 34

) Sulaiman Rasyid, 1992. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru. Hal. 410 35

) Matnuh. 2012. Pengertian Murtad. http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2309847-pengertian-murtad/, diakses 23 Juni 2013. 36

) Abdul Aziz Dahlan dkk., 1996. Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve.

Hal. 1235

39

karena permasalahan murtad berkaitan dengan masalah keyakinan

dan tujuan. Sedangkan orang yang sedang mabuk tidak diketahui

keyakinan dan tujuannya dan transaksi yang ia lakukan terhadap

sesama manusiapun tidak sah. Akan tetapi jumhur ulama

berpendapat bahwa sikap murtad orang mabuk adalah sah apabila

dengan sengaja membuat dirinya mabuk.

b. dilakukan atas kesadaran sendiri

Ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa apabila seseorang

dipaksa keluar dari Islam maka ia tidak dihukumkan sebagai

murtad.

2. Akibat Hukum Murtad Terhadap Perkawinan

Di Indonesia putusnya ikatan perkawinan karena murtadnya

seseorang dari suami istri dilakukan di Pengadilan Agama. Pengadilan

Agama hanya dapat menerima murtadnya seseorang jika orang itu

menyatakan sendiri dengan tegas di depan Pengadilan Agama bahwa ia

keluar dari agama Islam. Karena itu murtad seseorang yang dilakukan

bukan di depan Pengadilan Agama tidak boleh dianggap sah. Tetapi di

dalam praktek, murtad yang dilakukan oleh pihak istri adalah sebagai

jalan untuk bercerai. Lain halnya apabila salah seorang dari suami istri

tidak lagi memeluk agama Islam karena keyakinan batinnya. Dalam hal

ini salah satu pihak dapat minta hukum tentang status nikahnya menurut

syara‟ agama Islam. Pengadilan dapat menyatakan dalam keputusannya

40

bahwa perkawinan mereka telah terfasakh disebabkan salah seorang

daripada suami istri itu tidak lagi memeluk agama Islam.37

Prof. Mr. Notosusanto menyatakan bahwa:38

“Memang tidak baik suatu pengadilan memberi akibat hukum

kepada riddahnya seseorang kalau sudah terang bahwa riddahnya itu

hanya untuk mencapai suatu hal yang diingini olehnya. Lagi pula harus

diingat bahwa tidak tepat untuk melakukan sebagian akibat ridah itu,

sedang akibat lainnya tidak dijalankan. Andaikata akibat riddah itu

dijalankan seluruhnya menurut hukum syar‟i, misalnya saja si istri

dimasukkan ke penjara, sudah barang tentu wanita tidak akan

menggunakan riddah sebagai jalan untuk mendapat cerai dari lakinya.

Dalam negara kita yang berdasarkan kemerdekaan beragama akibat yang

demikian itu (yakni memasukkan penjara orang yang keluar agama

Islam) sudah tentu tidak dapat dijalankan. Riddah yang pura-pura

dengan suatu tujuan di luar keagamaan itu tidak saja korupsi terhadap

agama, akan tetapi juga korupsi terhadap hukum, harus dijaga janganlah

tindakan sendiri dari satu pihak dapat mengakibatkan perubahan hukum

untuk pihak yang lain, demikian itu akan merusak kepastian hukum dan

merugikan juga pihak ketiga”.

Melihat pernyataan di atas, maka murtad atau berpindah agama memang

tidak dapat dijadikan alasan perceraian yang ditetapkan oleh Undang-

Undang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya dikarenakan negara

kita menganut prinsip kebebasan beragama. Namun menurut Kompilasi

Hukum Islam, murtad atau berpindah agama dapat dijadikan alasan

perceraian karena murtadnya suami atau istri dalam agama Islam

menyebabkan putusnya ikatan perkawinan dan dapat mengakibatkan

terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Ada berbagai pendapat mengenai akibat hukum perkawinan

karena pindah agama atau murtad dari segi hukum Islam:39

37

) H.M. Djamil Latif, 1985. Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Hal. 73 38

) Kamal Mukhtar, op. cit., hal. 225

41

a. Pendapat Imam Syafii, Imam Malik, dan Abu Yusuf.

Hukum pernikahan mereka adalah batal, jadi bukan thalak. Sebab

yang menjadi motif atau sebabnya adalah perbedaan agama seperti

halnya kalau salah satunya murtad.

b. Pendapat Abul Abbas, Abbu Hanifah, dan Muhammad.

Mengganggap hal itu sebagai thalak manakala si istri masuk Islam

dan suami enggan. Sebab penolakan si suami untuk masuk Islam

adalah seperti thalak.

c. Pendapat Imam Ahmad bin Hambal

Menyatakan bahwa dengan hanya karena masuk Islam maka

perceraian itupun terjadi tanpa harus ditergantungkan pada apakah

si istri telah lewat masa iddahnya atau tidak. Jadi statusnya adalah

sama seperti penyebab-penyebab perceraian lainnya, misalnya

karena undur sepersusuan, khulu‟, atau thalak itu sendiri.

d. Dikatakan dalam kitab Al-Bahr

Apabila salah satu dari kedua pasangan suami istri masuk Islam dan

bukan keduanya maka batallah pernikahan. Hal ini berdasarkan

kesepakatan para ulama (ijma‟).

D. Talak

Secara garis besar hukum Islam membagi perceraian kepada dua

golongan besar yaitu “Thalaq” dan “Fasakh”. Dari dua golongan perceraian

39

) Al Imam Muhammad Asy Syaukani, 2001. Nailul Authar Jilid VI. Semarang: Asy Syifa. Hal.

94

42

ini para ulama dan sarjana mengadakan klasifikasi masing-masing, salah

satunya Abdurrahman Taj, mengadakan klasifikasi perceraian tersebut

sebagai berikut:40

(1) Thalaq yang terjadi dengan keputusan hakim, yaitu:

a. li’an;

b. perceraian dengan sebab aib suami seperti impoten;

c. perceraian dengan sebab suami menolak masuk Islam.

(2) Thalaq yang terjadi tanpa putusan hakim, yaitu:

a. thalaq biasa yakni thalaq yang diucapkan suami baik sharih

maupun kinayah;

b. ila‟;

c. perceraian yang terjadi karena murtadnya suami.

(3) Fasakh yang terjadi dengan keputusan hakim, yaitu:

a. fasakh dengan sebab perkawinannya anak laki-laki atau perempuan

yang masih di bawah umur dan perkawinan itu tidak dilakukan oleh

bapaknya atau neneknya;

b. fasakh dengan sebab perkawinan karena salah satu pihak

(suami/istri) dalam keadaan gila;

c. fasakh dengan sebab tidak sekufu;

d. fasakh dengan sebab kurangnya mas kawin dari mahar mitsil;

e. fasakh dengan sebab menolaknya istri atau suami masuk Islam.

(4) Fasakh yang terjadi tanpa adanya keputusan hakim, yaitu:

40

) Abdul Manan, loc. cit.

43

a. fasakh dengan sebab merdekanya istri;

b. fasakh dengan sebab salah satu pihak dari suami istri menjadi milik

orang lain;

c. fasakh dengan sebab ada hubungan mushaharah (semenda) antara

suami istri;

d. fasakh dengan sebab nikahnya fasid sejak semula, umpama tidak

disaksikan oleh dua orang saksi;

e. fasakh dengan sebab riddahnya suami.

1. Pengertian Talak

Talak adalah ikrar yang diucapkan suami di hadapan sidang

Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.

Perkataan talak berasal dari kata thallaqa yang berarti melepaskan

(umpama seekor burung) dari sangkarnya atau melepaskan (seekor

binatang) dari rantainya. Jadi mentalak istri berarti melepaskan istri atau

membebaskannya dari ikatan perkawinan atau menceraikan istri.

Perkataan talak mengandung pula dua arti yaitu:

dalam arti umum, berarti setiap perceraian yang timbul karena

sebab-sebab dari pihak suami seperti khulu‟, zhihar, li‟an, dan

thalaq yang diucapkan suami kepada istrinya baik dengan kata yang

jelas (sharih) maupun dengan kata-kata sindiran (kinayah).

dalam arti khusus, berarti perceraian yang timbul karena kata-kata

thalaq dan seumpamanya yang diucapkan suami secara jelas

44

(sharih) atau secara sindiran (kinayah) yang maksudnya melepaskan

atau membebaskan istrinya dari ikatan perkawinan.41

Hukum Islam menentukan bahwa hak talak adalah pada suami

dengan alasan bahwa seorang laki-laki itu pada umumnya lebih

mengutamakan pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu daripada

wanita yang biasanya bertindak atas dasar emosi. Di samping alasan

tersebut ada beberapa alasan lain mengapa wewenang/hak talak

diberikan pada suami, antara lain:42

a. akad nikah dipegang oleh suami, suamilah yang menerima ijab dari

pihak istri waktu dilaksanakan akad nikah;

b. suami wajib membayar mahar kepada istrinya waktu akad nikah dan

dianjurkan membayar uang mut‟ah (pemberian sukarela dari suami

kepada istrinya) setelah suami mentalak istrinya;

c. suami wajib memberi nafkah istrinya pada masa perkawinannya dan

pada masa iddah apabila ia mentalaknya;

d. perintah-perintah mentalak dalam Al-quran dan Hadist banyak

ditujukan pada suami.

2. Macam Talak

Ditinjau dari segi apakah talak yang dilaksanakan telah sesuai

atau tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan Al-qur‟an dan Sunnah

Rasul, maka talak terbagi kepada:43

41

) H.M. Djamil Latif, op. cit., hal. 40 42

) Ny. Soemiyati, op. cit., hal. 106 43

) Ibid., hal. 109

45

a. Talak sunni

Talak sunni ialah talak yang dijatuhkan mengikuti ketentuan Al-

qur‟an dan Sunnah Rasul. Yang termasuk talak sunni ialah talak

yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan suci dan belum

dicampuri dan talak yang dijatuhkan pada saat istri sedang hamil.

Sepakat para ahli fiqh, hukumnya talak sunni adalah halal.

b. Talak bid‟i

Talak yang dijatuhkan dengan tidak mengikuti ketentuan Al-qur‟an

maupun Sunnah Rasul. Hukumnya talak bid‟i adalah haram. Yang

termasuk talak bid‟i ialah:

a. talak yang dijatuhkan pada istri yang sedang haid atau datang

bulan;

b. talak yang dijatuhkan pada istri yang dalam keadaan suci

tetapi telah dicampuri; dan

c. talak yang dijatuhkan dua sekaligus, tiga sekaligus atau

mentalak istrinya untuk selama-lamanya.

Para ahli figh berbeda pendapat mengenai sah atau tidaknya

talak bid‟i. Menurut pendapat Imam, dari keempat madzhab, talak bid‟i

walaupun haram hukumnya tetapi tetap sah dan talaknya jatuh. Sunnah

hukumnya bagi suami yang merujuk istrinya dalam talak bid‟i. Menurut

pendapat Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim, dan Ibnu Hazim, talak bid‟i

adalah talak yang tidak sah dan tidak jatuh talaknya karena talak bid‟i

adalah talak yang haram yaitu talak yang tidak sesuai dengan Sunnah

46

Rasul. Tiap-tiap amalan yang tidak sesuai dengan Sunnah Rasul adalah

amalan yang tidak sah.

Talak ditinjau dari segi bilangan talak yang dijatuhkan atau dari

segi cara terjadinya perceraian atau dari segi keadaan istri yang ditalak,

maka terdapat dua macam talak yaitu:44

a. Talak raj‟i

Talak raj‟i ialah talak yang masih memungkinkan suami rujuk

kepada bekas istrinya tanpa akad nikah baru. Talak pertama dan

kedua yang dijatuhkan suami terhadap istri yang sudah pernah

dicampuri dan bukan atas permintaan istri yang disertai uang

tebusan („iwadl), selama masih dalam masa iddah adalah talak raj‟i.

Dengan demikian apabila seoarang suami menjatuhkan talak

pertama atau kedua atas istri seperti diterangkan di atas, maka dapat

merujuknya kembali hidup bersuami istri tanpa memerlukan akad

nikah baru selama masa iddahnya belum habis.

b. Talak ba‟in

Talak ba‟in adalah talak yang tidak memungkinkan suami rujuk

kepada bekas istri, kecuali dengan melakukan akad nikah baru.

Talak bain terdapat dua macam:

1) talak bain kecil ialah talak satu atau dua yang dijatuhkan

kepada istri yang belum pernah dikumpuli, talak satu atau dua

yang dijatuhkan atas permintaan istri dengan pembayaran

44

) Ahmad Azhar Basyir, 1989. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: Bagian Penerbitan

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Hal. 73

47

tebusan („iwadl) atau talak satu atau dua yang dijatuhkan

kepada istri yang pernah dikumpuli bukan atas permintaannya

dan tanpa pembayaran „iwadl setelah habis masa iddahnya.

2) talak bain besar ialah talak yang telah dijatuhkan tiga. Suami

yang telah menjatuhkan talak tiga kali tidak boleh rujuk kepada

bekas istrinya.

3. Mekanisme Talak

3.1 Syarat Jatuhnya Talak

Talak merupakan suatu perbuatan hukum dari seorang

suami yang dilakukan terhadap istrinya, perbuatan mana dapat

membawa akibat hukum yang sangat luas bagi seseorang dan

keluarganya, bisa mengubah corak hidup kekeluargaan menjadi

lebih baik atau bisa menjadi lebih buruk. Suatu talak akan jatuh

apabila telah lengkap syarat-syaratnya. Syarat-syarat tersebut ada

yang berhubungan dengan suami, ada yang berhubungan dengan

istri, dan ada yang berhubungan dengan shighat talak.

a. Syarat yang berhubungan dengan suami

Agama Islam mensyariatkan bahwa suami yang

menjatuhkan talak harus memenuhi syarat-syarat:45

1) sudah dewasa

Suami yang belum dewasa tidak dapat

menjatuhkan talak terhadap istrinya. Hukum Islam

45

) Ibid., hal. 66

48

memungkinkan terjadinya perkawinan anak-anak di bawah

umur yang dalam akad nikah dilakukan oleh walinya.

Tetapi wali yang mempunyai hak menikahkan anak di

bawah perwaliannya itu tidak dibenarkan menjatuhkan

talak atas nama anak yang pernah dinikahkannya.

2) berpikiran sehat

Syarat berpikiran sehat diperlukan juga oleh

suami yang akan menjatuhkan talak terhadap istrinya.

Dengan demikian, orang yang sedang mengalami sakit gila

atau seperti gila tidak dipandang sah menjatuhkan talak

terhadap istrinya.

3) tidak dalam keadaan terpaksa

Apabila seorang suami dipaksa untuk

menceraikan istrinya dan disertai dengan ancaman-

ancaman baik fisik maupun moril kemudian dia

menjatuhkan talak, maka talak itu tidak dipandang jatuh.

Suami sebagai orang yang berhak menjatuhkan talak

maka ia boleh menguasakan atau mewakilkan hak atau

wewenangnya itu kepada orang lain atau kepada istrinya

sendiri atau atas putusan hakim maka talak itu jatuh. Bila suami

menghendaki, ia boleh mencabut kembali hak yang pernah

dikuasakan atau diserahkannya itu sebelum orang yang diberi

kuasa itu melaksanakan kekuasaan yang pernah diberikan oleh

49

suami tersebut. Pemberian atau penyerahan wewenang

mentalak istri itu dapat dilakukan suami dalam beberapa

bentuk:46

1) Dengan mewakilkan kepada orang lain.

Suami boleh mewakilkan haknya itu kepada orang lain

yang bertindak atas namanya untuk menjatuhkan talak

kepada istrinya.

2) Mengutus seorang utusan.

Suami mengutus seorang utusan kepada istrinya untuk

menyampaikan pesannya bahwa istrinya boleh memilih

apakah ia ditalak atau tidak. Kalau istrinya memilih

ditalak, maka utusan suami itu menyatakan bahwa telah

jatuh talak suami satu kali. Sebaliknya apabila istri tidak

mau ditalak maka perkawinan itu tetap berlangsung

sebagaimana biasa.

3) Tafwidh.

Maksudnya ialah suami menyerahkan haknya itu kepada

istrinya. Kemudian terserah kepada istri apakah ia akan

melaksanakan wewenang yang diterimanya itu atau tidak.

b. Syarat yang berhubungan dengan istri

Sepakat antara ahli fiqih bahwa istri yang boleh ditalak

oleh suami itu ialah:47

46

) Kamal Mukhtar, op. cit., hal. 166

50

1) Istri yang telah terikat dengan perkawinan yang sah

dengan suaminya. Apabila istri belum terikat dengan

perkawinan yang sah dengan suaminya atau akad nikahnya

masih diragukan-ragukan tentang kesahannya, maka istri

itu tidak dapat ditalak oleh suaminya.

2) Istri yang dalam keadaan suci yang dalam keadaan belum

dicampuri oleh suaminya dalam masa suci itu.

3) Istri yang sedang hamil.

Agar ada kepastian hukum, maka sebaiknya pemberian atau

penyerahan wewenang mentalak oleh suami kepada orang lain

disertai dengan surat-surat yang dapat memberikan keyakinan

dan dapat dijadikan alat bukti.

c. Syarat yang berhubungan dengan shighat talak

Shighat talak ialah perkataan yang diucapkan oleh

suami atau wakilnya di waktu ia menjatuhkan talak kepada

istrinya. Shighat talak ada yang diucapkan dengan langsung,

ada dengan perkataan yang jelas (sharih), dan ada yang

diucapkan dengan sindiran (kinayah). Shighat talak yang

diucapkan dengan langsung dan jelas seperti suami berkata

kepada istrinya: “Saya jatuhkan talak saya satu kali

kepadamu”. Shighat talak tersebut dihukum sah dan talak

jatuh satu kali. Shighat talak yang diucapkan dengan kata

47

) Ibid., hal. 167

51

sindiran, seperti suami mengatakan kepada istri: “Engkau

telah aku lepaskan daripadaku” atau “Engkau telah haram

aku campuri” dinyatakan sah apabila:48

1) Ucapan suami disertai dengan niat menjatuhkan talak

kepada istrinya.

2) Suami menyatakan kepada pegawai pencatat nikah atau

hakim bahwa maksud ucapannya itu untuk menyatakan

keinginannya menjatuhkan talak kepada istrinya. Apabila

tujuan suami dengan perkataannya itu bukan untuk

menyatakan bahwa talak telah jatuh, maka shighat talak

yang demikian tidak sah dan talak tidak jatuh.

3.2 Tatacara Cerai Talak

Tatacara cerai talak merupakan acara permohonan bukan

acara gugatan, maka acara cerai talak ini merupakan acara sidang

untuk izin ikrar talak dari suami kepada istrinya yang diucapkan di

muka sidang pengadilan. Secara sistematis dapat disajikan proses

acara cerai talak sebagai berikut:49

a. Pengajuan permohonan izin talak

Bagi suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut

agama Islam kemudian ia bermaksud akan menceraikan

istrinya maka harus mengajukan surat permohonan (secara

tertulis) kepada pengadilan di tempat tinggalnya. Untuk itu:

48

) Ibid., hal. 168 49

) Trusto Subekti, op. cit., hal. 111

52

1) Pemohon atau kuasanya datang ke kantor kelurahan untuk

mendapatkan surat keterangan lurah (Peraturan Menteri

Agama No. 3 Tahun 1975, Pasal 3 ayat (1)).

2) Pemohon atau kuasanya dengan membawa surat

keterangan lurah datang ke Pengadilan Agama untuk:

mengajukan permohonannya secara tertulis atau lisan

kepada panitera (Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun

1975 Pasal 14 jis. Peraturan Menteri Agama No. 3

Tahun 1975 Pasal 12, 13, 17, dan 20, HIR Pasal 118,

Reg. Pasal 142).

membayar uang muka untuk biaya perkara kepada

bendaharawan khusus (Stb. 1937 No. 116 dan 610

Pasal 4 jis. Stb. 1937 Nomor 637 638/639 Pasal 4 dan

10 serta Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 45/1957).

3) Isi surat permohonan cerai talak sebagaimana disebutkan

dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975

dan Pasal 129 KHI adalah:

pemberitahuan bahwa ia akan menceraikan istrinya

(izin talak) disertai dengan alasan-alasannya serta

meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang

untuk itu.

surat tersebut ditujukan kepada Pengadilan Agama

setempat.

53

b. Pemeriksaan berkas permohonan

1) Pengadilan Agama mempelajari isi surat permohonan

tersebut dan dalam waktu selambat-selambatnya 30 (tiga

puluh) hari memanggil pengirim surat dan juga istrinya

untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang

berhubungan dengan kehendak itu (Pasal 15 Peraturan

Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 131 ayat (1)

KHI).

2) Setelah mendapat penjelasan tentang maksud talak itu

Pengadilan Agama memanggil suami istri tersebut dan

berusaha mendamaikan kedua belah pihak.

3) Pengadilan Agama meminta bantuan Badan Penasehat

Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) setempat

agar suami istri hidup rukun lagi dalam berumah tangga.

c. Persidangan acara izin talak

1) Pemohon atau kuasanya menghadiri sidang Pengadilan

Agama berdasarkan surat panggilan Panitera (Peraturan

Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 26, 27, dan 28 jo. HIR

Pasal 121, 124, dan 125).

2) Pemohon atau kuasanya wajib membuktikan kebenaran isi

permohonannya, berdasarkan alat-alat bukti surat-surat,

saksi, pengakuan salah satu pihak, persangkaan hakim dan

sumpah salah satu pihak (HIR Pasal 131 dan 132).

54

3) Pengadilan Agama mengeluarkan ketetapan baik

permohonan itu diterima maupun ditolak, digugurkan,

ataupun dicabut (Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor

D/IV/INS/117/1975 berdasarkan Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 Pasal 2 dan 14).

4) Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak

permohonan tersebut dan terhadap keputusan tersebut

dapat diminta upaya hukum banding atau kasasi (Pasal 130

KHI).

5) Pengadilan menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi

suami untuk mengikrarkan talak (Pasal 131 ayat (2) KHI).

6) Diadakan sidang untuk menyaksikan ikrar talak setelah

kedua belah pihak tidak mungkin untuk didamaikan lagi

dan berpendapat adanya alasan untuk talak (Pasal 16

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 131

ayat (3) KHI).

7) Suami mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan

Agama dengan dihadiri istri, kemudian menandatangani

surat ikrar tersebut (Pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 9

Tahun 1975 dan Pasal 131 ayat (2) dan ayat (3) KHI).

Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6

(enam) bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama

tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan

55

hukum yang tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan

talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh (Pasal 131

ayat (4) KHI).

8) Setelah sidang penyaksian ikrar talak, Pengadilan Agama

membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap

empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami

dan istri (Pasal 131 ayat (5) KHI). Pemohon dan

Termohon memperoleh salinan penetapan Pengadilan

Agama atau SKT 3 khusus untuk Pemohon dan Termohon

dalam ikrar talak (Stb. 1975 ayat (1) dan Peraturan

Pemerintah No. 9/1975 Pasal 17).

9) Perceraian terjadi terhitung pada saat perceraian itu

dinyatakan di depan sidang pengadilan (Pasal 18 Peraturan

Pemerintah No. 9 Tahun 1975).

56

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

menggunakan metode pendekatan yuridis normatif karena sasaran penelitian

ini adalah hukum atau kaedah (norm). Untuk menunjang penelitian ini

digunakan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan kasus bertujuan

untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang

dilakukan dalam praktik hukum, terutama kasus-kasus yang telah diputus.

Menurut Peter Mahmud Marzuki, dalam menggunakan pendekatan kasus,

yang perlu dipahami oleh peneliti adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan

hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya. Ratio

decidendi inilah yang menunjukkan bahwa ilmu hukum merupakan ilmu

yang bersifat preskriptif, bukan deskriptif.50

B. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian ini adalah bersifat preskriptif. Penelitian ini

berusaha menemukan hukum in-concreto yang sesuai untuk diterapkan guna

menyelesaikan suatu perkara hukum tertentu. Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode berpikir deduktif dengan proses silogisme.

50

) Peter Mahmud Marzuki, 2011. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. Hal. 119

57

Kemudian norma hukum dijadikan premis mayor dan faktor-faktor yang

relevan dalam perkara (legal facts) dipakai sebagai premis minor. Selanjutnya

ditarik suatu kesimpulan (conclusion) yang berupa hukum in-concreto.51

C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian terhadap kepustakaan (library

research), yaitu di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perpustakaan Universitas

Jenderal Soedirman, Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman, dan peneliti juga akan mengadakan

penelitian di instansi yang terkait dengan obyek penelitian yakni Pengadilan

Agama Purwokerto.

D. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan

pustaka. Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup:52

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri

dari:

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

b. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

51

) Trusto, Subekti ([email protected]). (2013, July 15). Metodologi Penelitian Ilmu

Hukum. E-mail to Margaretta Erawati ([email protected]). 52

) Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: CV. Rajawali.

Hal. 14

58

c. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum

Islam; dan

d. Putusan Pengadilan Agama Purwokerto Nomor

1566/Pdt.G/2012/PA.Pwt.

2) Bahan hukum sekunder, yakni bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, terdiri atas:

a. buku-buku teks (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang

berpengaruh;

b. jurnal-jurnal hukum;

c. artikel-artikel ilmiah; dan

d. hasil penelitian di bidang hukum yang berkaitan dengan topik

penelitian.

Jurnal hukum dan artikel ilmiah digunakan peneliti hanya pada bagian

latar belakang masalah dan tinjauan pustaka untuk menambah

pengetahuan pembaca bagi pengembangan ilmu hukum perkawinan.

3) Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

sepeti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain. Dalam hal ini termasuk

juga berbagai bahan hukum yang bersumber dari internet yang dapat

mendukung penelitian ini.

E. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti hanya menggunakan data sekunder saja

dimana data sekunder tersebut diperoleh dengan cara studi kepustakaan dan

59

inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku, hasil

penelitian sebelumnya, dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan

permasalahan yang selanjutnya dipelajari sebagai pedoman untuk

penyusunan data.

F. Metode Penyajian Data

Metode penyajian bahan hukum dalam penyusunan penelitian ini

akan disajikan dalam bentuk teks naratif secara sistematis, mengikuti alur

sistematika pembahasan. Dalam arti keseluruhan bahan hukum yang

diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan

pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan suatu kesatuan yang

utuh yang berisi latar belakang masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka,

metode penelitian, dan dilanjutkan dengan analisa bahan serta diakhiri

dengan simpulan, didasarkan pada norma hukum atau kaidah-kaidah hukum

serta doktrin hukum yang relevan dengan pokok permasalahan.

G. Metode Analisis Data

Seluruh data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan metode

normatif kualitatif. Normatif karena penelitian ini bertitik tolak dari

peraturan-peraturan hukum sehingga merupakan norma hukum positif.

Kualitatif karena analisis dilakukan dengan cara berpikir deduktif. Cara

berpikir deduktif berangkat dari aturan hukum perkawinan yang berkaitan

dengan perceraian karena murtad yang diperoleh dari penelitian kepustakaan

dan berfungsi sebagai pendekatan. Sedangkan hasil-hasil penelitian yang

60

diperoleh dari putusan pengadilan akan berfungsi sebagai obyek yang akan

dianalisa. Kemudian dari hasil analisa akan diperoleh suatu kesimpulan.

61

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan bersifat

pendekatan kasus (case approach) dengan spesifikasi penelitian preskriptif.

Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder khususnya

bahan hukum primer berupa Putusan Pengadilan Agama Purwokerto Nomor

1566/Pdt.G/2012/PA.Pwt. dengan fokus permasalahannya adalah mengenai

pertimbangan hakim dalam mengabulkan cerai talak dengan alasan murtad.

Dengan demikian, dalam penelitian ini akan dilakukan langkah identifikasi

data, kualifikasi dan sistematisasi terhadap data yang berupa teks naratif serta

disajikan secara sistematis mengikuti alur sistematika pembahasan.

Kemudian seluruh data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan metode

normatif kualitatif.

Pertimbangan hakim dapat dimaknai sebagai rumusan konstruksi

berpikir sistem dari hakim dalam menerapkan hukum in abstracto dalam

perkara in concreto dalam hal ini adalah perkara cerai talak dengan alasan

murtad pada Putusan Pengadilan Agama Purwokerto Nomor

1566/Pdt.G/2012/PA.Pwt., maka dalam laporan penelitian ini data disajikan

dengan menggunakan kualifikasi data yang disusun secara sistematis sebagai

berikut:

62

1. Subyek Hukum

Pemohon adalah RY Bin SP, umur 54 tahun, agama Islam,

pendidikan SMP, pekerjaan buruh, tempat kediaman di Dusun RT. 03

RW. 07 Desa Tambaknegara Kecamatan Rawalo Kabupaten Banyumas

dan Termohon adalah RS Binti SD, umur 33 tahun, agama Kristen,

pendidikan SMP, pekerjaan -, tempat kediaman di Dusun 3 Desa Bonan

Dolog 1 Kecamatan Sijama Polang Kabupaten Humbang Hasun Dutan,

Propinsi Sumatera Utara.

2. Duduk Perkara

Perkara ini terjadi karena adanya perselisihan dan pertengkaran

terus menerus antara Pemohon dan Termohon dikarenakan Termohon

kembali ke agamanya yang semula yaitu Kristen. Kemudian pada

tanggal 27 Juli 2012 Pemohon mengajukan permohonan cerai talak di

Kepaniteraan Pengadilan Agama Purwokerto dengan register perkara

Nomor 1566/Pdt.G/2012/PA.Pwt. dengan fakta-fakta hukum sebagai

berikut:

1) Bahwa pada tanggal 10 September 2003, Pemohon dengan

Termohon melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai

Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Rawalo,

Kabupaten Banyumas sesuai Kutipan Akta Nikah Nomor:

051/DN/VII/2012 tanggal 23 Juli 2012;

2) Bahwa setelah pernikahan tersebut Pemohon dengan Termohon

bertempat tinggal di rumah orang tua Pemohon selama 3 bulan,

63

kemudian pindah ke rumah orang tua Termohon di Medan selama 5

tahun;

3) Bahwa selama pernikahan tersebut Pemohon dengan Termohon

telah dikaruniai 2 orang anak bernama:

a. MPA, umur 8 tahun;

b. MK, umur 5 tahun;

4) Bahwa kurang lebih sejak tahun 2006 rumah tangga Pemohon dan

Termohon sering terjadi perselisihan dan pertengkaran karena

masalah Termohon tidak taat dengan Pemohon dimana Termohon

kembali lagi ke agamanya yang semula yaitu agama Kristen, bahkan

Pemohon selalu dipojokkan oleh keluarga Termohon karena

Pemohon diajak masuk agama tersebut namun Pemohon selalu

menolaknya;

5) Bahwa puncaknya pada tahun 2009 dimana Pemohon pulang ke

rumah orang tuanya, sehingga antara Pemohon dan Termohon telah

terjadi perpisahan selama 3 tahun, selama itu sudah tidak ada

hubungan baik lahir maupun batin;

3. Pertimbangan Hukum

Adapun yang menjadi pertimbangan hukum yaitu:

1) Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon

adalah sebagaimana diuraikan di atas;

2) Menimbang, bahwa atas permohonan Pemohon tersebut, Termohon

meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut untuk menghadap

64

di persidangan tidak hadir, dan tidak pula menyuruh orang lain

untuk menghadap sebagai Kuasa Hukumnya, sedangkan tidak

ternyata bahwa ketidak hadirannya tersebut disebabkan oleh sesuatu

halangan yang sah menurut hukum, oleh karenanya perkara ini

dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya Termohon, sesuai

dengan ketentuan Pasal 125 ayat (1) dan Pasal 126 HIR, hal ini

relevan dengan sebuah pendapat dalam Kitab Al-Anwar II: 149,

yang selanjutnya diambil alih sebagai pendapat Majelis, yang

berbunyi sebagai berikut:

وانتعذراحضارهلتواريهاوتعززهجازسماعالدعوىوالبينةوالحكمعليه

Artinya: “Apabila sulit menghadirkan Termohon karena

bersembunyi atau enggan, Hakim boleh memeriksa

permohonan/permohonan tersebut beserta bukti-

buktinya dan menjatuhkan putusan atasnya”.

3) Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 130 HIR jo. Pasal 82

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,

Majelis Hakim telah mendamaikan dengan memberikan nasihat dan

saran kepada Pemohon agar rukun kembali membina rumah

tangganya, akan tetapi tidak berhasil;

4) Menimbang, bahwa oleh karena Termohon tidak hadir, maka

mediasi sesuai dengan ketentuan PERMA RI Nomor 1 Tahun 2008

tidak dapat dilaksanakan;

65

5) Menimbang, bahwa pokok masalah dari permohonan cerai talak

Pemohon adalah keinginan Pemohon untuk menceraikan istrinya

dengan alasan rumah tangga Pemohon dengan Termohon sudah

tidak harmonis lagi, sering terjadi perselisihan dan pertengkaran

serta tidak ada harapan dapat hidup rukun;

6) Menimbang, bahwa pokok masalah dari permohonan cerai talak

Pemohon adalah adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus

menerus antara Pemohon dan Termohon, serta tidak ada harapan

untuk dapat hidup rukun kembali;

7) Menimbang, bahwa meskipun Termohon tidak menggunakan hak

jawabnya karena tidak hadir di persidangan, namun untuk

memastikan permohonan tersebut berasalan dan tidak melawan hak,

maka kepada Pemohon tetap dibebani wajib bukti;

8) Menimbang, bahwa untuk membuktikan kebenaran dalil-dalil

permohonan Pemohon, Pemohon telah mengajukin alat bukti surat

P.1 serta 2 orang saksi yang telah memenuhi syarat formil dan

materiil sebagai alat bukti, sehingga dapat diterima sebagai alat

bukti yang sah;

9) Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P.1, telah terbukti menurut

hukum bahwa Pemohon dengan Termohon telah terikat dalam

perkawinan yang sah, dengan demikian merupakan kompetensi

absolut Pengadilan Agama sebagaimana yang diatur dalam Pasal 49

ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo.

66

Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Oleh

karenanya pokok perkara ini dapat diperiksa;

10) Menimbang, bahwa saksi-saksi yang diajukan Pemohon, Bambang

Supriyono bin Madsuwarno dan Slamet Subagyo bin Madsumedi

telah memberikan keterangan di bawah sumpahnya, yang pada

pokoknya sebagaimana tercantum dalam duduk perkara;

11) Menimbang, bahwa oleh karena keterangan saksi-saksi tersebut

didasarkan atas pengetahuan sendiri dan saling bersesuaian serta

saling mendukung satu sama lain, maka keterangan saksi-saksi

tersebut dapat dipercaya kebenarannya dan dapat dipertimbangkan;

12) Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan Pemohon dan

kelengkapan alat bukti yang diajukannya selama proses persidangan

berlangsung, maka Majelis Hakim telah dapat menemukan fakta-

fakta di persidangan dalam perkara ini, yang pada pokoknya sebagai

berikut:

bahwa Pemohon dengan Termohon adalah suami istri yang sah

yang menikah pada tanggal 10 September 2003;

bahwa setelah menikah Pemohon dan Termohon tinggal di

Rawalo selama 3 bulan, kemudian pindah ke Medan ikut orang

tua Termohon selama 5 tahun;

bahwa selama di Medan Termohon sering pergi ke Gereja,

padahal saat akad nikah Termohon meenjadi mu‟alaf, memeluk

agama Islam;

67

bahwa dampak dari kembalinya Termohon ke agamanya

semula yakni Kristen, mempengaruhi keharmonisan rumah

tangga Pemohon dan Termohon, terlebih Termohon dan

keluarganya sering mendesak agar Pemohon mengikuti agama

Termohon, akibatnya Pemohon dan Termohon sering berselisih

dan bertengkar;

bahwa akibat dari seringnya Termohon dan keluarganya

mendesak agar Pemohon mengikuti agama Termohon,

Pemohon menjadi takut dan tidak nyaman, terlebih menghadapi

kenyataan perselisihan dan pertengkaran dalam rumah

tangganya semakin meruncing, selanjutnya Pemohon sejak

tahun 2009 memilih pulang ke Rawalo;

13) Menimbang, berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas dan dalam

relevansinya dengan ketentuan Pasal 16 Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum

Islam di Indonesia maka Majelis Hakim telah menemukan fakta

hukum bahwa Termohon telah murtad, bahkan Termohon dan

keluarganya terus-menerus mendesak agar Pemohon mau murtad

dan mengikuti agama Termohon, akibatnya perselisihan dan

pertengkaran yang terus menerus antara Pemohon dan Termohon

tidak dapat terhindarkan, bahkan terus meningkat dan makin

memanas –onheelbare tweetsplat-, apalagi secara de facto sejak

tahun 2009 Pemohon dan Termohon telah pisah tempat kediaman

68

hingga sekarang, maka dapatlah diambil kesimpulan hukum bahwa

rumah tangga Pemohon dengan Termohon telah pecah –marriage

breakdown- tidak ada lagi ikatan lahir batin di antara mereka,

dengan demikian tidak ada lagi kemaslahatan untuk

mempertahankan keutuhan rumah tangga Pemohon dengan

Termohon. Oleh sebab itu permohonan cerai Pemohon dapat

dipertimbangkan;

14) Menimbang, berdasarkan pertimbangan tersebut di atas Majelis

Hakim berpendapat bahwa Pemohon dan Termohon sudah tidak

dapat lagi menegakkan hak-hak dan kewajiban suami istri yang

merupakan sendi dari perkawinan sebagaimana maksud Pasal 33

dan 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 77

Kompilasi Hukum Islam, dengan demikian maka tujuan perkawinan

sebagaimana yang diatur dalam Surat Ar-Rum ayat (21) jo. Pasal 1

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 3 Kompilasi

Hukum Islam yakni mewujudkan rumah tangga yang sakinah,

mawaddah, dan rohmah tidak mungkin lagi dapat terwujud dalam

rumah tangga Pemohon dan Termohon. Oleh karenanya perkawinan

Pemohon dengan Termohon harus segera diakhiri dengan

perceraian agar masing-masing pihak dapat menentukan jalan

hidupnya sendiri tanpa harus mendapat tekanan dari yang satu

pihak, dan juga untuk menghindari timbulnya kesengsaraan yang

lebih besar bagi Pemohon dan Termohon, hal ini sesuai dengan

69

kaidah ushul fiqh yang selanjutnya telah diambil alih sebagai

pendapat Majelis, yang berbunyi:

درءالمفاسدمقدمعلىجلبالمصالح

Artinya: “Menolak kerusakan harus didahulukan daripada

menarik kebaikan”

15) Menimbang, oleh karena terciptanya kehidupan rumah tangga yang

mawaddah warohmah antara Pemohon dengan Termohon

sebagaimana maksud Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

jo. Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak terwujud. Hal ini

membuktikan bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon betul-

betul telah pecah. Oleh sebab itu permohonan cerai Pemohon dapat

dipertimbangkan;

16) Menimbang, bahwa untuk mempertahankan ikatan perkawinan

antara Pemohon dengan Termohon dalam suasana seperti yang ada

sekarang lebih banyak mendatangkan kemadharatan dan Majelis

Hakim maupun saksi-saksi telah berusaha mendamaikan akan tetapi

Pemohon tetap pada pendiriannya ingin menceraikan Termohon.

Oleh sebab itu permohonan cerai Pemohon dapat dipertimbangkan;

17) Menimbang, menurut pendapat Dr. Sayyid Sabiq dalam kitabnya

Fiqh al-Sunnah yang untuk selanjutnya diambil alih sebagai

pendapat Majelis bahwa “Apabila salah satu dari pasangan suami-

istri murtad dan tidak mau kembali ke agama Islam, maka akadnya

harus difasakh karena sebab tadi, yaitu murtad”;

70

18) Menimbang, akan ketentuan Pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum

Islam bahwa perceraian terjadi karena alasan “peralihan agama atau

murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah

tangga”;

19) Menimbang, akan ketentuan Pasal 119 ayat (2) huruf (c) bahwa

talak bain sughra adalah “talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan

Agama”;

20) Menimbang, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut

Majelis Hakim berpendapat bahwa karena perkawinannya itu

sendiri telah rusak semenjak Termohon murtad, maka tidak perlu

lagi bagi Pemohon untuk mengucapkan ikrar talaknya;

21) Menimbang, berdasarkan pertimbangan tersebut di atas Majelis

Hakim berpendapat untuk mengabulkan permohonan Pemohon

dengan menjatuhkan talak satu bain sughra Pemohon dengan

Termohon;

22) Menimbang, berdasarkan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka Pemohon dibebani

untuk membayar biaya perkara;

B. Pembahasan

Pertimbangan hakim pada bagian tentang hukumnya merupakan

konstruksi hukum yang menjadi dasar pemikiran hakim dalam mengambil

keputusan untuk mengabulkan cerai talak dengan alasan murtad yang

diajukan Pemohon. Dari hasil penelitian, diperoleh hal-hal yang menjadi

71

alasan substansial hakim dalam menjatuhkan cerai talak yaitu sebagai

berikut:

1. Pada pertimbangan ke 1, 5, 6, 12, dan 13 telah dipertimbangkan

mengenai fakta hukumnya, yaitu:

a. Pemohon beragama Islam dan Termohon beragama Kristen;

b. perkawinan antara Pemohon dan Termohon dilangsungkan secara

Islam dimana Termohon kemudian menjadi mualaf;

c. perselisihan dan pertengkaran mulai sering terjadi ketika Termohon

kembali ke agamanya semula yaitu Kristen;

d. Pemohon tidak dapat lagi mempertahankan perkawinannya dengan

Termohon dan kemudian mengajukan permohonan cerai talak ke

Pengadilan Agama Purwokerto.

2. Pada pertimbangan ke 2, 3, 4, 9, 14, 15, 18, 19, dan 22 telah

dipertimbangkan mengenai landasan hukum yang dipergunakan, antara

lain:

a. Pasal 125 ayat (1) dan Pasal 126 HIR yang relevan dengan sebuah

pendapat dalam Kitab Al-Anwar II: 149 mengenai putusan verstek;

b. Pasal 130 HIR jo. Pasal 82 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama dimana Majelis Hakim mendamaikan

dengan memberikan nasihat dan saran kepada Pemohon agar rukun

kembali membina rumah tangganya, akan tetapi tidak berhasil;

72

c. Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 jo.

Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 yang mengatur

ketentuan mengenai kompetensi absolut Pengadilan Agama;

d. Pasal 33 dan Pasal 34 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal

77 Kompilasi Hukum Islam mengenai kewajiban suami istri;

e. Surat Ar-Rum ayat (21) jo. Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 dan Pasal 3 KHI mengenai tujuan perkawinan;

f. Pasal 116 huruf (h) KHI mengenai peralihan agama atau murtad

yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga;

g. Pasal 119 ayat (2) huruf (c) KHI mengenai talak bain sughra;

h. Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang mengatur

ketentuan bahwa Pemohon dibebani membayar biaya perkara.

3. Pada pertimbangan ke 7, 8, 10, 11, 16, 17, 20, dan 21 merupakan dasar

pemikiran hakim untuk mengabulkan permohonan cerai talak yang

diajukan Pemohon, antara lain sebagai berikut:

a. mediasi tidak dapat dilaksanakan karena Termohon tidak pernah

hadir di persidangan dan ketidakhadirannya itu disebabkan oleh

suatu halangan yang sah menurut hukum;

b. bukti-bukti yang diajukan Pemohon di persidangan saling

bersesuaian dan mendukung satu sama lain sehingga dipercaya

kebenarannya dan dapat dipertimbangkan;

c. perkawinan antara Pemohon dengan Termohon apabila

dipertahankan lebih banyak mendatangkan kesengsaraan;

73

d. dalam Hukum Islam, apabila salah satu dari pasangan suami istri

murtad dan tidak mau kembali ke agama Islam, maka akadnya harus

difasakh;

e. karena perkawinannya itu sendiri telah rusak semenjak Termohon

murtad, maka Pemohon tidak perlu mengucapkan ikrar talaknya;

f. majelis hakim berpendapat untuk mengabulkan permohonan

Pemohon dengan menjatuhkan talak satu bain sughra terhadap

Termohon.

Alasan substansial Hakim Pengadilan Agama Purwokerto di atas

dalam mengabulkan permohonan perceraian yang diajukan oleh Pemohon,

salah satunya didasarkan pada fakta hukum bahwa Pemohon beragama Islam

dan Termohon beragama Kristen. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 menyebutkan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dari

ketentuan tersebut terdapat satu gagasan yang tidak dapat ditafsirkan lain,

yaitu perkawinan harus dilaksanakan sesuai hukum agama dan kepercayaan

para pihak agar perkawinan tersebut sah di mata hukum nasional.53

Dalam

kasus ini, perkawinan antara keduanya dilangsungkan secara Islam di Kantor

Urusan Agama (KUA) Kecamatan Rawalo Kabupaten Banyumas dimana

Termohon kemudian menjadi mualaf. Karena perkawinan dilangsungkan

berdasarkan Hukum Islam dan dilakukan di KUA, maka segala hal yang

53

) Hutari H.W.P., loc. cit.

74

terjadi setelah perkawinan tersebut berlangsung haruslah diselesaikan sesuai

dengan Hukum Islam.

Pengadilan Agama merupakan peradilan yang diperuntukkan bagi

orang-orang yang beragama Islam. Dalam Pengadilan Agama dikenal asas

Personalitas Ke Islaman. Asas personalitas ke Islaman mempunyai arti bahwa

yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan lingkungan

Peradilan Agama hanya mereka yang mengaku dirinya pemeluk agama

Islam. Penganut agama lain di luar agama Islam tidak tunduk dan tidak dapat

dipaksakan tunduk kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama.

Personalitas ke Islaman diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang No.7 Tahun

1989, penjelasan umum angka 2 alinea ketiga Undang-Undang No.7 Tahun

1989, serta Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989

jo. Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. Dalam ketentuan tersebut

terdapat beberapa penegasan antara lain:

a. pihak-pihak yang bersengketa harus sama-sama pemeluk agama Islam;

b. perkara perdata yang disengketakan harus mengenai perkara-perkara di

bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, shadaqah, dan

ekonomi syariah;

c. hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut

berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya

berdasarkan hukum Islam.

Jika dikaitkan dengan kasus ini dimana Pemohon beragama Islam

dan Termohon beragama Kristen, maka yang menjadi ukuran berwenang atau

75

tidaknya Pengadilan Agama adalah hukum yang berlaku sewaktu perkawinan

dilangsungkan. Berarti seseorang yang melangsungkan perkawinan secara

Islam, perkaranya tetap menjadi wewenang Pengadilan Agama sekalipun

salah satu pihak tidak beragama Islam lagi. Dengan demikian, penyelesaian

perceraian antara Pemohon dan Termohon dilaksanakan menurut hukum pada

saat perkawinan dilangsungkan, bukan berdasarkan agama yang dianut pada

saat sengketa terjadi. Maka dari itu, kasus ini yurisdiksinya tunduk pada

Pengadilan Agama. Hal ini diperkuat dengan adanya alat bukti tertulis yaitu

Fotocopy Duplikat Kutipan Akta Nikah dari Kantor Urusan Agama

Kecamatan Rawalo Kabupaten Banyumas Nomor 051/DN/VII/2012 tanggal

23 Juli 2012 yang telah dicocokkan dengan aslinya dan dinazegellend (P.1).

Asas wajib mendamaikan juga merupakan asas yang dianut dalam

Peradilan Agama. Dasar hukum dari asas wajib mendamaikan diatur dalam

Pasal 65 dan Pasal 82 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, Pasal 39 Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974, serta Pasal 31 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun

1975 yang pada intinya memuat ketentuan bahwa usaha mendamaikan yang

dilakukan oleh hakim dapat dilakukan setiap sidang pemeriksaan sebelum

perkara diputuskan. Hakim Pengadilan Agama Purwokerto dalam

pertimbangannya telah menggunakan Pasal 130 HIR jo. Pasal 82 Undang-

Undang No. 7 Tahun 1989 yang pada dasarnya sama dengan yang telah

dijelaskan di atas. Hal ini berarti bahwa asas wajib mendamaikan telah

dilaksanakan sebagaimana yang tercantum dalam putusan. Namun karena

Termohon tidak pernah datang ke persidangan maka hakim juga

76

mempertimbangkan ketentuan Pasal 125 ayat (1) dan Pasal 126 HIR yang

relevan dengan sebuah pendapat dalam Kitab Al-Anwar II: 149 yang intinya

menyatakan bahwa “Apabila sulit menghadirkan Termohon karena

bersembunyi atau enggan, Hakim boleh memeriksa permohonan/permohonan

tersebut beserta bukti-buktinya dan menjatuhkan putusan atasnya”.

Pada kasus ini dikabulkannya permohonan cerai talak Pemohon

dilakukan dengan cara verstek dengan pertimbangan bahwa Termohon tidak

hadir di persidangan atau menyuruh orang lain menghadap sebagai kuasanya

meskipun telah dipanggil secara “resmi” dan “patut”. Ketentuan umum untuk

melakukan panggilan secara “resmi” dan “patut” dalam perkara perceraian

diatur Pasal 26, 27, 28 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Secara

“resmi” dan “patut” dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. resmi

panggilan secara resmi dilakukan dengan sasaran atau obyek panggilan

harus tepat menurut tata cara yang ditentukan.

b. patut

panggilan secara patut berarti harus memenuhi tenggang waktu yang

patut.

Oleh karena Termohon tidak pernah hadir hingga akhir sidang pemeriksaan,

maka mediasi juga tidak dapat dilaksanakan sebagaimana yang tercantum

dalam PERMA RI No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di

Pengadilan.

77

Hakim dalam menjatuhkan putusannya juga mempertimbangkan

keterangan saksi-saksi yang menyatakan bahwa antara Pemohon dan

Termohon terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran yang sulit

didamaikan karena Termohon telah murtad. Perselisihan dan pertengkaran

yang terus menerus tidak sesuai dengan tujuan perkawinan sebagaimana yang

tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 3 KHI

serta surat Ar-Rum ayat (21) yakni mewujudkan rumah tangga yang sakinah,

mawaddah, dan rahmah.54

Dalam Pasal 33 dan Pasal 34 Undang-Undang No.

1 Tahun 1974 juga terdapat ketentuan yang pada intinya menyatakan bahwa:

a. suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan

memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain;

b. jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat

mengajukan gugatan kepada Pengadilan.

Hakim mempertimbangkan bahwa Pemohon dan Termohon sudah tidak

dapat lagi menegakkan hak dan kewajibannya sebagai suami istri

sebagaimana dimaksud Pasal 33 dan 34 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

Oleh karenanya hakim berpendapat bahwa memutuskan perkawinan antara

Pemohon dan Termohon akan lebih baik dan lebih bermanfaat bagi keduanya

dan keluarga masing-masing pihak dibandingkan membiarkan keduanya

terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang tidak mendatangkan

kebahagiaan.

54

) Abd. Shomad, loc. cit.

78

Selain pertimbangan di atas, inti dari putusan hakim Pengadilan

Agama Nomor 1566/Pdt.G/2012/PA.Pwt dalam mengabulkan cerai talak

dengan alasan murtad didasarkan pada ketentuan Pasal 116 huruf (h) KHI

yang menyatakan bahwa “perceraian dapat terjadi karena alasan peralihan

agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam

rumah tangga”. Menurut peneliti, pertimbangan hukum yang dipakai hakim

masih kurang walaupun cukup memadai. Hakim dalam hal ini hanya

menggunakan Pasal 116 huruf (h) KHI dengan meninggalkan ketentuan huruf

(f) jo. Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang

merumuskan bahwa “antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah

tangga”.

Perceraian atas alasan peralihan agama atau murtad sering dipakai

oleh Hakim Pengadilan Agama sebagai dasar pertimbangan hakim. Namun

perceraian atas dasar pindah agama haruslah mengandung unsur percekcokan

atau perselisihan yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah

tangga. Untuk dapat bercerai dengan alasan murtad, harus dibuktikan bahwa

peristiwa tersebut telah menyebabkan keretakan perkawinan yang tidak dapat

dipulihkan kembali. Pembuktian di persidangan dilakukan melalui saksi-saksi

dari pihak keluarga atau orang-orang yang terdekat dengan Pemohon dan

Termohon. Dari pemeriksaan saksi-saksi akan diketahui apakah perselisihan

terus menerus yang terjadi dalam rumah tangga tersebut terbukti atau tidak

yang selanjutnya akan dituangkan dalam pertimbangan keputusan hakim.

79

Pertimbangan lain yang ingin peneliti tambahkan adalah ketentuan

Pasal 40 huruf (c) KHI yang menyebutkan bahwa” Dilarang melangsungkan

perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan

tertentu yaitu: seorang wanita yang tidak beragama Islam”. Hal ini diperkuat

dengan ketentuan Pasal 8 huruf (f) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang

merumuskan “Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai

hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang

kawin”. Larangan-larangan perkawinan tersebut walaupun mengandung

pencegahan, namun juga dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan

pemutusan perkawinan. Oleh karena itu, agar perkawinan tersebut sah,

biasanya salah satu pihak mengalah dan beralih ke agama pihak lain.

Hukum Islam juga menentukan bahwa hak talak adalah pada suami

dengan alasan bahwa seorang laki-laki pada umumnya lebih mengutamakan

pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu daripada wanita yang biasanya

bertindak atas dasar emosi.55

Suami sebagai orang yang berhak menjatuhkan

talak maka ia boleh menguasakan atau mewakilkan hak atau wewenangnya

itu kepada orang lain atau kepada istrinya sendiri atau atas putusan hakim

maka talak itu jatuh. Bila suami menghendaki, ia boleh mencabut kembali

hak yang pernah dikuasakan atau diserahkannya itu sebelum orang yang

diberi kuasa itu melaksanakan kekuasaan yang pernah diberikan oleh suami

tersebut.56

55

) Ny. Soemiyati, op. cit., hal. 105 56

) Kamal Mukhtar, loc. cit.

80

Hakim Pengadilan Agama Purwokerto dalam amar putusannya

menjatuhkan talak satu bain sughra kepada Termohon. Padahal dalam

permohonannya, Pemohon memohon kepada hakim supaya diberikan ijin

untuk menjatuhkan talak satu kepada Termohon. Hakim dalam putusannya

hanya mengacu pada ketentuan Pasal 119 ayat (2) huruf (c) KHI dan

berpendapat bahwa “karena perkawinan itu sendiri telah rusak semenjak

Termohon murtad, maka Pemohon tidak perlu untuk mengucapkan ikrar

talaknya”. Seharusnya penjatuhan talak satu bain sughra yang dilakukan

Pengadilan Agama didasarkan juga pada ketentuan Pasal 70 ayat (5) Undang-

Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyebutkan:

“Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak

datang menghadap sendiri atau tidak mengirimkan wakilnya, maka suami

atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya istri atau

wakilnya.”

81

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil

kesimpulan bahwa pertimbangan hakim dalam mengabulkan cerai talak

dengan alasan murtad pada putusan Nomor 1566/Pdt.G/2012/PA.Pwt pada

intinya didasarkan ketentuan:

1. Pasal 33 dan Pasal 34 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 77

KHI mengenai hak dan kewajiban suami istri yang merupakan sendi dari

perkawinan;

2. Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 3 KHI serta surat

Ar-Rum ayat (21) mengenai tujuan perkawinan yakni mewujudkan

rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warohmah;

3. Pasal 116 huruf (h) KHI mengenai perceraian yang terjadi karena alasan

peralihan agama atau murtad; dan

4. Pasal 119 ayat (2) huruf (c) Kompilasi Hukum Islam mengenai talak

bain sughra.

B. Saran

Hendaknya hakim dalam menjatuhkan putusannya juga

mempertimbangkan ketentuan:

82

1. Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116

huruf (f) KHI bahwa antara Pemohon dan Termohon terus menerus

terjadi perselisihan dan pertengkaran serta tidak ada harapan akan hidup

rukun lagi dalam rumah tangga;

2. Pasal 8 huruf (f) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 40 huruf

(c) KHI mengenai larangan perkawinan; dan

3. Pasal 70 ayat (5) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama yang membahas mengenai cerai talak.

83

DAFTAR PUSTAKA

Literatur:

Al-Jazairi, Abu Bakar. 2001. Ensiklopedi Muslim (Minhajul Muslim),

diterjemahkan Fadhli Bahri. Jakarta: Darul Falah.

Basyir, Ahmad Azhar, dkk. 1982. Ikthisar Figh Jinayat ( Hukum Pidana Islam).

Yogyakarta: Bagian Penerbitan Fakultas Hukum UII Yogyakarta.

-------.1989. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: Bagian Penerbitan Fakultas

Hukum Universitas Islam Indonesia.

Dahlan, Abdul Aziz, dkk. 1996. Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: Ictiar Baru

Van Hoeve.

Darmabrata, Wahyono. 2006. Hukum Perkawinan Menurut KUH Perdata 2.

Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Hadikusuma, Hilman. 1990. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut:

Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju.

Latif, H.M. Djamil. 1985. Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia. Jakarta: Ghalia

Indonesia.

Manan, Abdul. 2003. Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan

Agama. Jakarta: Pustaka Bangsa Press.

Marpaung, Happy. 1983. Masalah Perceraian. Bandung: Tonis.

Marzuki, Peter Mahmud. 2011. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.

Mukthar, Kamal. 1987. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: PT

Bulan Bintang.

Rasyid, Sulaiman. 1992. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru.

Rusli dan R. Tama. 1986. Perkawinan Antar Agama Dan Masalahnya. Bandung:

CV Pionir Jaya.

Saleh, K. Wantjik. 1980. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia

Indonesia.

Shomad, Abd. 2010. Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum

Indonesia. Jakarta: Kencana.

84

Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji. 1985. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta:

CV. Rajawali.

Soemiyati, Ny. 1982. Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang

Perkawinan (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan).

Yogyakarta: Liberty.

Subekti, Trusto. 2010. Bahan Pembelajaran Hukum Keluarga Dan Perkawinan.

Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.

Syaukani, Al Imam Muhammad Asy. 2001. Nailul Authar Jilid VI. Semarang:

Asy Syifa.

Zubairie, A. 1985. Pelaksanaan Hukum Perkawinan Campuran Antara Islam Dan

Kristen. Surabaya: TB “Bahagia” Pekalongan.

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1).

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3400)

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 22)

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. (Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 12 Tahun 1975).

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

Jurnal:

H.W.P., Hutari. 2006. “Legalitas Perkawinan Antar Pemeluk Beda Agama Di

Indonesia Dikaitkan Dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan”. Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke 36. Nomor 2

April-Juni: 229.

Prihatinah, Tri Lisiani. 2008. “Tinjauan Filosofis Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974”. Jurnal Dinamika Hukum. Vol. 8 No. 2 Mei:167.

85

Subekti, Trusto. 2010. “Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan Ditinjau Dari Hukum Perjanjian”.

Jurnal Dinamika Hukum. Vol. 10 No. 3 September: 344.

Skripsi:

Sanusi, Muhammad Muajib Hidayatullah. 2010. “Cerai Talak Yang Diajukan

Suami Murtad (Studi Terhadap Putusan No. 1201/Pdt.G/2008/PAWSB di

Pengadilan Agama Wonosobo)”. Skripsi. Fakultas Syari‟ah Dan Hukum

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Internet:

Harianto, Joni. 2012. Kebebasan Beragama Dan Hak Asasi Manusia. http://joni-

harianto.blogspot.com/2012/03/normal-0-false-false-false-en-us-x-

none.html, diakses 29 Desember 2012.

Matnuh. 2012. Pengertian Murtad. http://id.shvoong.com/humanities/religion-

studies/2309847-pengertian-murtad/, diakses 23 Juni 2013.

E-mail:

Subekti, Trusto ([email protected]). (2013, July 15). Metodologi

Penelitian Ilmu Hukum. E-mail to Margaretta Erawati

([email protected]).