cerita rakyat cianjur
TRANSCRIPT
.CERITA RAKYAT DAERAH CIANJUR
Sasakala Talaga Warna (Kec. Pacet)
Sinopsis
Syahdan, dahulu Talaga Warna merupakan sebuah kerajaan yang bernama
Prambonan. Rajanya memiliki putri bernama Mayangsari, yang terkenal sangat cantik.
Karena kecantikannya itulah Mayangsari sangat terkenal ke segala penjuru dunia, sehingga
banyak raja-raja yang hendak menjadikannya sebagai premeswari, tapi tak satupun lamaran
dari raja-raja tersebut yang diterima.
Salah seorang yang melamar adalah Prabu Manyir dari kerajaan Argabelah. Dia
terkenal sebagai raja yang gagah, sakti, bengis dan alim. Lamaran Prabu Manyir
disampaikan oleh patihnya, Aria Kalasusela.
Sebelum lamarannya dari Prabu Manyir tiba, telah datang pula lamaran dari Raden
Layung Kumendung, anak angkat dari Mahawiku Dewi Centringnmanik dari padepokan
Buana Pancatengah. Lamaran layung Kumendung tidak disampaikan secara langsung,
melainkan meminta bantuan dan mewakilkan kepada Patih Gajah Panambur dari kerajaan
Batungampar (rajanya Dewi Gelanggading). Hal itudilakukan karena Layung
Kumendung merasa dirinya tidak sederajat dan tidak seimbang dengan Dewi Meyangsari.
Lamaran dari Layung Kumendung tidak diterima, dan ketika Patih Gajah Panambur
hendak undur diri dari Keraj aan Prambonan, datanglah Patih Kalasusela yang membawa
lamaran Prabu Manyir, lamarannya pun ditolak. Kalasusela merasa terhina dan murka,
karena dikira lamarannya ditolak disebabkan Putri Dewi Mayangsari telah menerima
lamaran dari Layung Kumendung. Akhirnya Patih Kalasusela bertarung dengan Patih Gaj
ah Panambur.
Melihat kej adian itu, Raja Prambonan melerai nyadengan bij aksana, lalu
mengumumkan sayembara bahwa siapapun akan diterima menjadi menantunya asal sanggup
membuat dua telaga “Talaga Waena” yang dikerjakan dalam semalam. Sayembara
tersebut disambut baik oleh kedua patih yang berseteru.
Untuk mewujudkan persyaratan tersebut, Dewi Centrikmanik memohon bantuan
kepada Raden Suryakencana, putra kajian Dewi Citrawati. Berkat bantuan Suryakencana,
pembuatan telaga kembar pun dapat dirampungkan. Bersamaan dengan selesainya pengerj
aan telaga tersebut, datanglah Prabu Manyir dengan patih dan rakyatnya, untuk memulai
pengerj aan pembuatan talaga.
Melihat pesaingnya telah selesai membuat telaga, Prabu Manyir berang, dan terj adi
lah peperangan sampai akhirnyaPatih Gaj ah Panambur dapat mengalahkannya.
Setelah perang usai, Raden Layung Kumendung datang lagi ke Prambonan untuk
mengukuhkan lamarannya, tapi alangkah terkejutnya Layung Kumendung karena ketika
tiba di kerajaan disodori persyaratan tambahan, yaitu harus membawa sebikul permata.
Melalui Patih Gajah Panambur, Layung Kumendung meminta bantuan lagi kepada Raden
Suryakencana, dan setelah permata tersebut tersedia, dia
berangkat lagi ke Prambonan untuk mempersenbahkan persyaratan tersebut. Akhirnya
lamarannya diterima.
Kerana sudah gagal melamar Dewi Mayangsari, Prabu Manyir berbalik arah melamar
Dewi Gelanggading, ratu Batungampar, tapi juga ditolak. Tidak kepalang murkanya Prabu
Manyir, kemudian kerajaan Batungampar diporakporandakannya berubah bentuk menjadi
gunung. Datang Gajah Panambur. Melihat negerinya hancur, Gajah Panambur menjadi
garam, kemudian Prabu Manyir ditangkap dan dilemparkannya pula, kemudian menjelama
menjadi sebuah gunung.
Setelah kedaan aman, Gajah Panambur pergi ke Buana Pancatengah untuk
menyaksikan pernikahan Layung Kumendung dengan Dewi Mayangsari. Tanpa diduga,
saat pernikahan berlangsung Dewi Mayangsari berbuat ulah, dia menghias setiap helai
rambutnya dengan permata. Kemudian raja menasehatinya, karena disamping jelek juga
memperlihatkan keserakahan, tapi Dewi Mayangsari bukannya menerima teguran dari
ayahnya tersebut, melainkan malah marah dan melempari wajah ayahnya dengan bakul
tempat permata tersebut.
Sontak kejadian tersebut itu membuat raja marah, kemudian raja berdiri dari tempat
duduknya keluarlah air memancur. Alangkah kecewanya pula Dewi Centringmanik
yang menyaksikan kejadian tersebut, dan tanpa disadari dari mulutnya keluar kutukan
bahwa kerajaan Prambonan akan berubah menjadi telaga yang airnya berkilauan seperti
permata.
Setelah itu, Dewi Centringmanik, Patih Gajah Panambur, dan Raden Layung
Kumendung kembali ke pertapaan. Layung Kumendung kemudian dikenal dengan
nama Eyang Nagasari . Sepeninggal mereka keraj aan Prambonan berubah menj adi telaga
yang sekarang disebut “Talaga Warna”.
Alur/Plot
Alur cerita Sasakala Talaga Warna dapat diskemakan sebagai berikut : Maharaja
Prambonan mempunyai seorang putri yang sangat cantik, Dewi Mayangsari. Banyak
raja-raja yang hendak menj adikannya sebagai prameswari . Dewi Mayangsari selalu
menolak. Datang lamaran dari Raden Layung Kumendung. Dewi Mayangsari j uga menolak.
Kemudian datang pula lamaran dari Prabu Manyir, juga ditolak. Terjadi pertarungan antara
utusan Layung Kumendung dengan utusan Prabu Manyir. Raja Prambonan mengadakan
sayembara (pemenangnya berhak mempersunting Dewi Mayangsari). Pemenangnya
Layung Kumendung. Dewi Mayang sari mengajukan persyaratan tambahan (sebakul
permata). Layung Kumendung dapat memenuhinya. Saat pernikahan berlangsung, Dewi
Mayangsari menghias setiap helai rambutnya dengan permata. Raja melarangnya. Dewi
Mayangsari marah dan melempari raja dengan bakul tempat permata. Raja murka. Dewi
Centringmanik mengutuknya. Layung Kumendung, Dewi Centringmanik, dan Gj ah
Panambur kembali ke pertapaan. Keraj aan Prambonan menj adi telaga.
Adapun peristiwa yang dialami Dewi Mayangsari adalah sebagai berikut : - Dewi
Mayangsari selalu menolak lamaran raja-raja – datang lamaran dari Raden Layung
Kumendung – ditolak – datang pula lamaran dari Prabu Manyir – juga ditolak – raja
mengadakan sayembara – pemenangnya Layung Kumendung – Dewi Mayangsari menghiasi
tiap helai rambutnya dengan permata – raja melarangnya –Dewi Mayangsari melempari
raja dengan bakul tempat permata – raja murka – ti mbul kutukan dari Dewi
Centringmanik – pernikahan tidak terj adi .
Layung Kumendung dapat melewati beberapa rintangan dalam hidupnya. Peristiwa
yang dialaminya adalah sebagai berikut : -- Layung Kumendung merindukan Dewi
Mayangsari – Mahawiku Dewi Centringmanik bingung karena Layung Kumendung
tidak sederajat dengan Dewi Mayangsari – Dewi Centringmanik maminta bantuan
Eyang Uj a – Eyang Uj a memohon pertolongan Pati h Gaj ah Mada Panambur dari keraj
aan Batu Ngampar – Gaj ah Panambur menyampaikan lamaran Layung Kumendung –
Lamaran ditolak – Gajah Panambur bertarung dengan Patih Aria menang – Layung
Kumendung diberi syarat tambahan (sebakul permata) – Layung Kumendung berhasil
memenuhinya – Dewi Mayangsari menghias tiap helai rambutnya dengan permata –
Raja Prambonan murka – Dewi Centringmanik mengutuknya – Layung Kumendung,
Dewi Centringmanik, dan Gaj ah Panambur kembali ke pertapaan – Keraj aan Prambonan
menj adi telaga – pernikahan tidak terj adi .
Pertalian antar bagian-bagian alur tersebut merupakan hubungan sebab-akibat, sebagai
penanda hubugan yang logis, yang juga disertai dengan permainan aksioma, yaitu bahwa
perilaku tidak tepuj i dan serakah akan mendatangkan bahaya dan keburukan. Hal
tersebut muncul terutama disebabkan oleh prilaku Dewi Mayangsari yang menghias
rambutnya gengan permata, serta tidak menerima nasehat ayahnya, malah melempari waj
ah ayahnya dengan bakul permata. Kej adian tersebut telah meni mbulkan kekecewaan
Mahawiku Dewi Centringmanik, sehingga tanpa disadarinya keluarlah kutukan untuk Keraj
aan Prambonan.
Pelaku/Penokohan
Pelaku pada Sasakala TalagaWarna terdiri atas :
1. Raja Prambonan (tidak disebutkan namanya), seorang yang arif dan bijaksana.
2. Dewi Mayangsari, putri raja Prambonan, sangat cantik, jelek perangainya.
3. Layung Kumendung, anak angkat Mahawiku Dewi Centringmanik.
4. Dewi Centringmanik, seorang mahawiku, seorang pertapa yang sakti di Buana
Pancatengah.
5. Eyang Uja, seorang maharesi yang sering dimintai pertolongannya.
6. Dewi Gelanggading, raja Batungampar.
7. Gajah Panambur, patih kerajaan Batunagmpar, seorang panglima perang yang sangat
digjaya.
8. Raden Suryakencana, putra Dewi Citrawati dari negara Kajinan, sangat sakti dan
sering dimintai pertolongan.
9. Dewi Citrawati, ibunda Raden Suryakencana dari negara jin.
10.Prabu Manyir, raja Argabelah, seorang yang gagah, berani, sakti, bengis dan lalim.
11. Aria Kalasusela, patih Kerajaan Argabelah, seorang yang sakti dan bengis.
Berdasarkan peranannya dalam struktur alur, pelaku utama dalam Sasakala Talaga
Warna adalah Layung Kumendung dan Dewi Mayangsari. Kedua pelaku itulah yang
terlibat dalam pokok peristiwa cerita. Pelaku-pelaku lainnya berperan sebagai pelaku
tambahan atau pembantu.
Adapun berdasarkan wataknya, Layung Kumendung sebagai tokoh yang memiliki
tabiat baik, merupakan tokoh protagonis, sedangkan Prabu Manyir dan Patih Aria
Kalasusela sebagai lawannya, merupakan tokoh antagonis.
Latar/Setting
Kejadian dalam cerita ini berlatarkan beberapa tempat, yaitu :
1. Prambonan, kerajaan yang dikutuk oleh Dewi Centringmanik menjadi telaga.
2. Buana Pancatengah, padepokan tempat belajar dan betapa Raden Layung
Kumendung dan Mahawiku Dewi Centringmanik.
3. Argabelah, kerajaan yang dipimpin oleh Prabu Manyir dan patihnya Aria
Kalasusela.
4. Batungampar, kerajaan yang dipimpin oleh Dewi Gelanggading dan patinya Gajah
Panabur.
5. Kerajaan jin, tempat Raden Suryakencana dan Dewi Citrawati.
6. Hutan, tempat bertempur antara Gajah Panambur dengan Aria Kalasusela.
7. Talaga (talaga warna), penjelmaan dari kerajaan Prambonan yang dikutuk.
Penyebutan nama tempat tersebut tidak disertai dengan gambaran atau deskripsi
konkret tentang keadaan (situasi), serta tidak pula digambarkan suasana saat peristiwa
cerita berlangsung. Demikian juga latar waktu, tidak disebutkan sama sekali dan tidak tertera
sepanjang jalinan cerita.
Tema dan Amanat
Tema yang tersirat dalam legenda ini adalah percintaan atau asmara yang
terbingkai dalam struktur kekuasaan. Bagi seorang putra non-kerajaan atau
masyarakat umum, bukan hal yang mudah untuk memilih pasangan hidup atau jatuh cinta
kepada seorang putri raja, karena tidak sederajat. Hal ini dialami oleh Layung Kumendung,
yang terpaksa meminta bantuan Patih Gajah Panambur dari kerajaan Batungampar untuk
menyampaikan lamarannya kepada Dewi Mayangsari, putri kerajaan Prambonan. Dalam
hal ini, putri raja jodohnya adalah putra raja, atau malah sekalian raja. Hal yang sering
muncul dalam cerita-cerita klasik, yaitu diselenggarakannya sayembara untuk menentukan
pendamping putri raja jika pelamrnya banyak. Sayembara ini pun beragam jenisnya,
mulai dari kesanggupan membuat membuat atau mengadakan sesuatu, danau atau gunung
misalnya, atau ajimat dan erhiasan tertentu, sampai duel maut dalam sebuah pertarungan.
Ini pun terjadi dalam cerita Talaga Warna. Tentu saja yang berhak bersanding dengan
putri raja adalah pemenangnya, yaitu sang hero. Tema lainnya yang menjiwai cerita ini
adalah tema moral, yang juga sekaligus sebagai amanat cerita. Amanat seperti ini pun kerap
dijumpai dalam ksah-kisah klasik: bahwa yangjujur dan baik akan selamat serta
mendapatkan kebahagaiaan, serta yang perilakunya menyimpang dan nista, akan
mengalami penderitaan dan siksaan. Hal tersebut di antaranya dialami oleh Dewi
Mayangsari yang dikutuk oleh Dewi Centringmanik setelah melempar ayahnya dengan
bakul permata.Cerita ini mengandung nilai kemasyarakatan (di samping legenda sebagai
salah satu genre sastra), yaitu penggambaran strata sosial yang dilestarikan dalam
perjodohan. Hal tersebut pernah dianut oleh sebagian masyarakat pada masa lampau,
seperti tergambar dalam ungkapan : emas jeung emas, perak jeung perak,
tambaga jeung tambaga, artinya harus sebanding dan sederajat dan sederajat, orang kaya
jodohnya dengan orang kaya, ningrat dengan ningrat, dan dalam cerita ini anak raja
harus dengan anak raja.
Nilai sosial atau kemasyarakatan yang tergambar dalam konteks tersebut juga
digradasikan dengan nilai moral yang disimbolkan melalui prilaku dan watak tokohnya
yang menyimpang seperti disebutkan diatas.
Sasakala Batununggal (Desa Cihea)
Sinopsis
Setelah menempuh perjalanan yang sangat melelahkan. Tumenggung
Nampabaya dan Tumenggung Lirbaya beristirahat di sebuah hutan yang dikenal angker,
dengan disertai dua orang pengawalnya, Nayakerta dan Nayakerti. Saking lelahnya kedua
Tumenggung tersebut tertidur pulas di atas batu. Ketika itu, terjadi hujan deras dan
menimbulkan banjir besar, tapi karena sangat kelelahan, mereka terus lelap. Di tengah
malam, kedua pengawalnya terbangun, alangkah mereka terkejutnya ketika menyaksikan
junjungannya sudah tidak ada di tempat. Kemudia mereka berteriak-berteriak dan menangis.
Sementara itu, kedua tumenggung sama sekali tidak menyadari bahwa mereka telah
terbawa banjir, dan ketika terbangun, keduanya merasa heran karena sudah berada di
bawah pohon pinang di atas parung. Setelah mengamati daerah sekelilingnya,
barulah mereka menyadari bahwa dirinya telah terbawa air bah. Mereka dapat selamat
karena keduanya memiliki ilmu Kleneng Putih.
Ketika mereka tertidur lelap, keduanya bermimpi didatangi seorang lelaki bertubuh
tinggi besar dan berjanggut. Lelaki itu berkata bahwa mereka harus kembali ke tempat
semula. Kedua bersaudara itu dinasehati bahwa bila di perjalanan menemukan
sebuah jejak besar, agar diikuti, dan jika jejak tersebut berakhir di jalan buntu, akan
menemukan sebuah benda (pusaka) yang sangat berguna bagi raja. Barang tersebut dapat
menyebabkan sangat dicintai oleh raja. Setelah menyampaikan petuahnya, lelaki tua itu
menghilang kembali.
Setelah peristiwa itu, batu besar tempat Tumenggung Nampabaya dan
Tumenggung Lirbaya tertidur disebut Batununggal oleh masyarakat Cihea, lokasinya
berada di kecamatan Bojongpicung.
Alur/Plot
Alur pada Sasakala Batununggal dapat diskemakan sebagai berikut :
Tumenggung Nampabaya dan Tumenggung Lirbaya dengan disertai dua orang
pengawalnya, Nayakerta dan Nayakerti, menempuh perjalanan panjang yang sangat
melelahkan. Keduanya beristirahat di hutan dan tertidur di atas sebuah batu. Dating hujan dan
banjir besar. Kedua Tumenggung tersebut hanyut terbawa banjir. Dalam tidurnya mereka
bermimpi bertemu seorang lelaki. Lelaki itu menasehati agar kedua Tumenggung tersebut
kembali, dan jika menemukan sebuah jejak yang besar harus diikuti karena jejak tersebut
merupakan petunjuk tentang sebuah benda (pusaka) yang sangat berguna bagi raja.
Lelaki tersebut kemudian menghilang kembali. Sejak peristiwa itu, batu besar tempat
Tumenggung Nampabaya dan Tumenggung Lirbaya tertidur disebut Batununggal.
Laju alur dalam legenda ini sangat linear sehingga mudah untuk diikuti serta tidak
menimbulkan banyak tafsir. Di samping itu, alur yang digunakan pun merupakan alur
tunggal, yang tidak memiliki persimpangn atau anak alur lainnya. Hal tersebut dapat
menunjukan bahwa legenda ini sebenarnya merupakan fragmen dari keseluruhan cerita
yang mengisahkan Tumenggung Nampabaya dan Lirbaya (bandingakan dengan Sasakala
Pasir Asahan), artinya cerita ini hanya merupakan sebagian kisaha yang menceritakan
kejadian yang dialami oleh kedua tokoh tersebut, dengan berlatar di sekitar atau
meliputi terjadinya penamaan daerah Batununggal.
Pelaku/Penokohan
Pelaku pada legenda Batununggal terdiri atas :
1. Nampabaya, seorang tumenggung
2. Lirbaya, seorang tumenggung
3. Nayakerta, seorang pengawal
4. Nayakerti, seorang pengawal
5. Lelaki tua, tinggi besar dan berjanggut, merupakan sosok yang hadir dan memberi
nasehat dalam mimpi Nampabaya dan Lirbaya.
6. Tokoh sentral dalam cerita ini adalah Nampabaya dan Lirbaya. Kedua tokoh tersebut
merupakan pusat pengisahan sehingga apapun yang dilakukannya termasuk bekas
tempat tidur mereka (batu) menjadi monumental. Adapun Nayakerta, Nayakerti, dan
lelaki tua, merupakan tokoh pembantu atau tokoh tambahan.
Latar/Setting
Latar atau tempat kejadian dalam cerita ini yaitu di hutan, tempat beristirahat dan
tertidurnya Nampabaya dan Lirbaya. Tempat lain yang terasa yaitu sebuah area yang disebut
parung, yang ada pohon pinangnya, ketika kedua tumenggung tersebut terjaga kembali dari
tidurnya setelah terbawa dan dihanyutkan banjir.
Tidak ada penyebutan latar waktu dalam cerita ini, hanya suasana yang jelas
tergambar sepanjang cerita, misalnya ketika dua pengawal (Nayakerta dan
Nayakerti) kehilangan tuannya; tergambar sangat pilu, bahkan menangis dan berteriak-
teriak. Suasana lain juga tampak ketika Nampabaya dan Lirbaya dinasehati oleh
seorang lelaki tua dalam mimpinya. Kedua tumenggung tersebut sangat khidmat
menyimak petuah lelaki tua tersebut.
Tema dan Amanat
Tema dalam cerita ini adalah kepatuhan dalam menjalankan tugas yang dikemas
dalam bingkai petualangan atau ekspedisi. Pengemban tugas dan petualang dalam kisah ini
yaitu Nampabaya dan Lirbaya yang secara bertanggung jawab menjalankan tugasnya
sampai suatu hari sangat kelelahan dan beristirahat di sebuah hutan, bukan hanya kepada
kepada raja, kepatuhan kedua tumenggung ini pun tampak ketika dinasehati oleh lelaki
tua dalam mimpinya, yaitu agar segera kembali ke tempat semula, serta jika dalam
perjalanan kembali tersebut mendapatkan sebuah benda pusaka, maka serahkanlah kepada
raja, niscaya akan semakin disayang oleh raja. Tampak sekali bahwa kedua tumenggung
itu sangat setuju terhadap nasehat
lelaki tua itu, dan sedikitpun tidak tersirat bahwa mereka akan melanggarnya, termasuk
menyerahkan benda (pusaka) kepada raja jika menemukannya.
Kepatuhan inilah, di samping sebagai tema, juga amanat yang dikndung dalam cerita ini,
bahkan sekaligus merupkan nilai, yaitu nilai etis yang harus dilakukan oleh setiap
pengemban amanah atau tugas. Selain tema, amanat, atau nilai yang terkandung secara
implicit, cerita ini merupakan kisah tentang penamaan suatu tempat yang dalam genre
sastra disebut lagenda. Oleh karma itu, cerita ini dari segi bentuknya memiliki nilai sastra,
walaupun dari segi teknik membangun konflik dan suasana cerita tidak begitu unggul bahkan
mungkin sangat lemah, sehingga secdara keseluruhan nilai sastranya memang tidak cukup
baik.
Sasakala Pasir Asahan (Desa Cihea)
Sinopsis
Nampabaya dan Lirbaya serta dua orang pengawalnya, Nayakerta dan Nayakerti,
sempat mengambil beberapa sarang burung wallet dalam melanjutkan perjalanan
panjangnya untuk menyusuri jalan yang dianjurkan oleh lelaki tua dalam mimpinya, menuju
arah selatan.
Sesampainya di daerah perbukitan, tepat di jalan buntu seperti yang
diamanatkan lelaki tua dalam mimpinya tersebut, mereka menemukan bebatuan yang
bentuknya bermacam-macam, di antaranya ada yang menyerupai batu asahan. Kemudian
Nampabaya dan Lirbaya mengambil satu yang paling besar, lalu dipatahkannya. Begitu
terpotong, tampak di dalamnya terdapat sebuah permata. Permata itu kemudian dipakai
untuk mengasah pedang Nayakerta. Setelah diasah,
oleh Nampabaya pedang tersebut dicobatebaskan ke paha Nayakerti, dan ternyata Nayakerti
terluka hingga mengeluarkan banyak darah. Segeralah Nampabaya mengusap paha
Nayakerti. Sekejap itu pula luka Nayakerti sembuh kembali.
Atas peristiwa itu, mereka menjadi was-was, sebab sebelumnya mereka terkenal,
terutama di Mataram, sebagai orang sakti yang tidak mempan senjata tajam, tapi
sekarang kenyataannnya lain, setelah pedannya diasah dengan batu permata. Kemudian
Nampabaya mengambil dan membawa pulang beberapa batu asahan dan menyuruh agar
yang lainnya dibuang ke curug (air terjun) Cihea. Setelah itu mereka segera kembali
ke Mataram untuk menyerahkan barang temuannya tersebut.
Alangkah senangnya Sultan Agung ketika menerima persembahan tersebut, dan
sebagai penghargaan atas pengabdian kedua tumenggung itu, Sultan
menganugrahkan kekuasaan kepada Nampabaya sebagai Dalem Cihea, sedangkan Lirbaya
diangkat menjadi patihnya. Mereka pun dilengkapi dengan pakaian kebesaran,
gamelan, senjata pusaka, perlengkapan rumah tangga, serta bebrapa pengawal dan
pasukannya.
Kini, tempat ditemukannya batui berbentuk asahan tersebut oleh masyarakat
sekitarnya dinamakan Pasir Asahan, terletak di Desa Kemang. Sebagian
masyarakat beranggapan bahwa tempat tersebut keramat, serta dipercaya pula bahwa
bebatuannya memiliki banyak khasiat.
Alur/Plot
Alur cerita SasakalaPasir Asahan dapat diskemakan sebagai berikut :
Nampabaya, Lirbaya, Nayakerta, dan Nayakerti melanjutkan perjalanan. Di jalan buntu
menemukan bebatuan yang bentuknya menyerupai batu asahan. Nampabaya dan Lirbaya
mengambil satu dan mematahkannya. Di dalam patahan batu tersebut terdapat permata.
Pedang Nayakerta diasah dengan permata. Pedang ditebaskan ke paha Nayakerti. Nayakerti
terluka dan mengeluarkan banyak darah. Nampabaya mengusap paha Nayakerti. Sekejap
luka Nayakerti sembuh kembali.
Nampabaya, Lirbaya Nayakerta, Nayakerti dikenal sebagai orang yang tak mempan
senjata tajam. Setelah pedang diasah dengan batu permata, jadi tembus. Meraka was-was.
Nampabaya mengambil dan membawa pulang beberapa batu asahan. Nampabaya
menyuruh membuang batu asahan sisanya ke curug (air terjun) Cihea. Mereka segera kembali
ke Mataram untuk menyerahkan barang temuannya tersebut. Sultan Agung senang
menerima persembahan itu. Nampaknya diangkat menjadi Dalem Cihea. Tempat
ditemukannya batu berbentuk asahan dinamakan Pasir Asahan.
Alur dalam legenda ini hampir mirip dengan alur pada cerita Sasakala
Batununggal (SB). Selain datar, juga tidak ada gejolak yang menimbulkan kejutan cerita,
walaupun memang ada beberapa peristiwa luar biasa atau ajaib, di antaranya ketika
Nayakerti ditebas pahanya dan terluka, kemudian luka itu diusap oleh Nampabaya serta
seketika itu sembuh kembalai, tapi penyajian peristiwa itu dinarasikan secara verbal
sekali, sehingga tidak ada teknik maupun segi intrisik cerita yang disampaikan melalui
kepekatan ikonisitas. Bisa jadi, keseluruhan pengaluran dalam cerita ini tidak jauh
berbeda dengan SB karena memang kisah ini
merupakan kelanjutan, sehingga semestinya secara keseluruhan merupakan satu cerita,
karena baik tokoh maupun jalinan peristiwanya masih merupakan satu kesatuan, tetapi
karena cerita ini penyebarannya secara lisan, maka terjadi pemenggalan
pengisahannya, sesuai dengan latar tempat yang dikisahkannya.
Pelaku/Penokohan
Pelaku pada Sasakala Pasir Asahan terdiri atas:
1. Nampabaya, seorang tumenggung
2. Lirbaya, seorang tumenggung
3. Nayakerta, seorang pengawal
4. Nayakerti, seorang pengawal
5. Lelaki tua, tinggi besar dan berjanggut,k merupakan sosok yang hadir dan memberi
nasehat dalam mimpi Nampabaya dan Lirbaya.
6. Sultan Agung, Raja Mataram.
Latar/Setting
Beberapa nama tempat yang disebutkan dan menjadi latar dalam cerita ini, antara
lain:
1. Cihea, yaitu sebuah wilayah kadeleman yang dipimpin oleh Nampabaya.
2. Curug Cihea, adalah sebuah air terjun yang terletak di Cihea, tempat dibuangnya
sebagian batu yang menyerupai asahan.
3. Mataram, nama sebuah kerajaan di Jawa, yang kerap menarik upeti dari kerajaan-
kerajaan kecil atau kedaleman.
4. Perbukitan, sebuah kawasan yang dilalui oleh rombongan Nampabaya dan kawan-
kawan.
5. Arah selatan, yaitu arah yang harus ditempuh oleh Nampabaya dan kawankawan
dalam meneruskan perjalannnya sesuai petunjuk lelaki tua dalam mimpinya.
6. Jalan buntu, sebuah jalan sebagai tanda atau tempat ditemukannya jenis bebatuan
yang menyerupai asahan serta di dalamnya mengandung batu permata.
Tidak ada penyebutan latar waktu dalam cerita ini, tetapi gambaran suasana cerita
sangat jelas kentara, misalanya kegembiraan Nampabaya dan kawan-kawan ketika
menemukan bebatuan seperti yang disebutkan oleh lelaki tua dalam mimpinya. Begitu
pun kegembiraan raja Mataram ketika menerima persembahan dari Nampabaya, yaitu
batu hasil penemuan tersebut. Tergambar pula bagaimana was-wasnya perasaan
Nampabaya dan kawan-kawan ketika mengetahui bahwa permata yang terdapat dalam
batu tersebut jika dipakai untuk mengasah pedang, maka pedang tersebut akan dapat
menembus tubuh mereka, padahal selama ini mereka, khususnya di Mataram, sangat
dikenal tidak mempan senjata tajam.
Keseluruhan suasana cerita tersebut menyatu dalam jalinan peristiwa yang intern
serta sekaligus menimbulkan multi tafsir, misalnya kegembiraan raja Mataram ketika
menerima persenbahan bebatuan (batu asahan), tampak gembira. Hal tersebut dapaty
ditafsirkan karena memang merasa bahagia memiliki bawahan yang taat dan patuh, atau bisa
pula karena dia mengetahui bahwa jika batu tersebut dipatahkan, di dalamnya terdapat batu
permata yang dapat dipakai untuk mengasah
pedang, serta jika pedang telah diasah dengan batu permata tersebut, maka pedang itu
dapat menembus menembus tubuh Nampabaya dan Kawan-kawan, yang selama ini dikenal
kebal senjata tajam. Demikian juga tindakan Nampabaya dan kawankawan yang
menyerahkan batu temuannya tersebut kepada raja Mataram, dapat ditafsirkan beragam.
Bisa jadi satu sisi hal tersebut menunjukan sikap ketaatan dan kepatuhan Nampabaya dan
Kawan-kawan dalam menjalankan tugas, tapi dapat pula berarti bahwa mereka sangat
konyol dan sembrono, karena mereka sudah mengetahui bahwa batu (permata) tersebut
dapat menyebabkan kekebalan mereka hilang, tetapi tetap saja batu tersebut
dipersembahkan kepada Sultan Agung Mataram, yang jika suatu saat terjadi konflik antar
mereka, akan mudah Nampabaya dan kawan-kawan ditangani dan terkalahkan.
Tema dan Amanat
Tema yang termaktub dalam cerita ini adalah tentang pengabdian dan kepatuhan
dala menjalankan tugas, yang dimajemukan dengan kisah petualangan atau ekspedisi.
Adalah Nampabaya dan Lirbaya serta dua orang pengawalnya, yang secara terus-menerus
melakukan pencarian terhadap barang (benda) pusaka. Ternyata barang bertuah
tersebut diiperolehnya di sebuah jalan buntu dekat perbukitan. Hal itu bisa
didapatkannya berdasarkan petunjuk seorang lelaki tua dalam mimpinya.
Benda yang dicari-cari, dan ternyata (sebenarnya), membahayakan dirinya karena
dapat menghilangkan kekebalan terhadap senjata tajam, mereka serahkan kepada Sulata
Agung Mataram. Tentu saja Sultan Agung sangat senang dan gembira, karena
mungkin dia merasa mempunyai bawahan yang sangat taat dan
patuh terhadap segala perintahnya, atau bisa juga dia senang karena disamping
persembahan tersebut sebagai pertanda kepatuhan, juga kasiat benda itu yang dapat digunakan
untuk mengatasi sekaligus mencari titik lemah Nampabaya dan kawankawan.
Ketaatan dan kepatuhan inilah, amanat yang tersirat dari kisah ini, apalagi biarpun
hatinya was-was, Nampabaya dan kawan-kawan tetap saja dengan tulus dan tanpa
berprasangka buruk menyerahkan barang temuannya tersebut. Hal itulah yang menunjukan
bahwa mereka memang benar-benar loyal dan penuh dedikasi dalam mengemban sebuah
misi.
Eyang Saparantu (Kp. Saparantu Ds. Kademangan)
Sinopsis
Di Cibalagung ada sebuah kadaleman yang disebut Kadaleman Cikadu, dipimpin
oleh R.A. Natamanggala I. dikenal sebagai pemimpin yang arif dan bijaksana, sehingga
disayangi rakyatnya.
Di daerah lain, di wilayah Cirebon, hidup seorang pemuda berbadan tegap, tampan,
gagah, dan sakti, bernama Longgar jaya./ pada suatu hari terbesit dalam pikiran Longgar
Jaya untuk mengembara guna menambah ilmunya.
Bertahun-tahun ia mengembara, hingga suatu hari tiba di sebuah hutan, dan
dilihatnya ada sebuah gua, kemudian ia masak dan bersemedi di situ. Setelah
berhari-hari bersemedi, pada suatu malam, ia didatangi seorang kakek berpakaian putih-
putih dan berjanggut panjang. Kakek tersebut berpesan agar Longgar jaya segera
menghentikan pengembaraannya untuk kemudian mengabdi pada Negara dan
mengamalkan ilmunya. Ia disuruh pergi kea rah barat, di sana ia akan menemukan
sebuah kadaleman. Ketika Longngar Jaya membuka matanya, di hadapannya telah ada
sebuah tongakat. Dengan berbekal tongkat itulah, Longgar Jaya berangkat menuju arah
yang ditunjukan oleh si kakek tersebut. Kelak, ia sampai di sebuah kadaleman, kemudian
ia mengabdikan diri di situ.
Longgar Jaya terbilang seorang yang jujur dan cakap serta sakti, oleh sebab itu ia
diangkat menjadi pengikut R.A. Natamanggala I. Di akhir hayatnya, Longgar Jaya
mengubah namanya menjadi Eyang Saparantu. Kata saparantu berasal dari kata
samporang dan ratu, artinya tempat melakukan musyawarah.
Eyang Saparantu kemudian menancapkan tongkatnya hingga tumbuh menjadi pohon
besar dan berbuah, serta buahnya berkhasiat dan sangat ajaib. Kata saparantu kemudian
diabadikan menjadi nama sebuah wilayah, yaitu Kampung Saparantu, serta menjadi nama
sebuah pohon, yaitu pohon Saparantu.
Alur/Plot
Alur dalam cerita ini dapat diskemakan sebagai berikut. R.A. Natamanggala I. dalem
Cikadu, terkenal sebagai pemimpin yang arif dan bijaksana, sehingga disayangi
rakyatnya. Di daerah, ada seorang pemuda bernama Longgar jaya. Ia bertekad untuk
mengembara guna menambah ilmunya. Dalam pengembaraannya ia bersemedi di sebuah gua.
Dalam persemediaannya Longgar Jaya didatangi seorang
kakek berpakaian putih-putih dan berj anggut panj ang. Longgar Jaya disuruh segera
menghentikan pengembaraannya untuk kemudian mengabdi kepada Negara dan
mengamalkan ilmunya. Kakek tersebut meninggalkan sebuah tongkat untuk Longgar
Jaya.Longgar Jaya menempuh perjalanan hingga sampai di kadaleman Cikadu. Ia
mengabdikan diri di situ. Ia diangkat menj adi pengikut Natamanggala I karena dianggap
cakap dan j uj ur. Di akhir hayatnya Longgar Jaya berganti nama menj adi Eyang Saparantu.
Nama tersebut diabadikan menj adi nama sebuah daerah, yaitu Kampung Saparantu, dan
nama sebuah pohon, yaitu pohon Saparantu.
Adapun peristiwa yang dialami oleh Longgar Jaya, yaitu : -- ia berniat untuk
mengambara – ia bersemedi di sebuah gua – mendapatkan petunj uk – melakukan perj
alanan kembalai – tiba di Kabupaten Cikadu – ia mengabdikan diri dan diangkat menj adi
pengikut Natamanggala I – Longgar Jaya berganti nama menj adi Eyang Saparantu – nama
tersebut diabadikan menj adi nama sebuah daerah dan nama pepohonan.
Pelaku/Penokohan
Pelaku dalam cerita ini terdiri atas :
1. Natamanggala I, Dalem Cikadu yang terkenal arif dan bijaksana.
2. Longgar Jaya, seorang yang j uj ur dan cakap serta gemar mencari ilmu dan semedi ,
pada akhirnya sempat berganti nama menj adi Eyang Saparantu.
3. Kakek, berpakaian putih-putih dan berj anggut panj ang, merupakan sosok yang
hadir dalam mimpi Longgar j aya ketika sedang bersemedi di sebuah gua.
Tokoh utama yang menjadi pusat pengisahan pada cerita ini adalah Lomgar Jaya.
Hampir seluruh jalinan cerita dan bagian-bagian peristiwa mengisahkan tokoh
ini bahkan penamaan daerah yang kemudian disebut sebagai Kampung Saparantu, berasal
dari nama tokoh ini. Adapun tokoh lainnya seperti Natamanggala I dan kakek tua yang
hadir dalam mimpi Loanggar jaya, merupakan tokoh tambahan atau tokoh pembantu.
Latar/Setting
Ada beberapa penyebutan nama tempat dalam cerita ini, yaitu :
1. Cibalagung, nama sebuah wilayah yang didalamnya terdapat Kadaleman Cikadu.
2. Cikadu, nama sebuah kadaleman yang dipimpin oleh Natamanggala I.
3. Cirebon, nama sebuah daerah yang menjadi kampong halaman Longgar jaya.
4. Kampung saparantu, yaitu nama sebuah kampong yang penamaannya diambil dari
nama Eyang Saparantu alias Longgar jaya.
Di samping itu, ada juga penyebutan nama tempat lain yang memiliki arti umum,
yaitu hutan, tempat tinggal Longgar jaya dalam pengembaraannya; gua, tempat
bersemedinya Longgar Jaya; arah barat, arah mata angin yang harus ditelusuri
longgar jaya berdasarkan petunjuk kakek tua dalam mimpinya; kadaleman, tempa
tujuan yang harus dicari oleh Longgar Jaya untuk mengabdikan diri.
Latar waktu yang disebut dalam cerita ini, antara lain :
1. Malam, yaitu ketika Longgar Jaya menerima ilham atau petunjuk dalam tidur dan
mimpiny, agar ia segera menghentikan pengembaraannya dan kemudian mengabdikan
diri kepada Negara.
2. siang dan malam, yaitu rentang dan silih bergantinya waktu yang harus dilalui Longgar
jaya untuk menemukan sebuah kadaleman guna mengabdikan diri.
3. Akhir hayat, menunjukan akhir masa hidup Longgar jaya, ketika (sebelumnya) dirinya
sempat berganti nama menjadi Eyang Saparantu.
Gambaran suasana cerita sejak awal hingga akhir relative datar, tanpa ada konflik
atau gejolak yang berarti, walaupun tidak dapat dinafikan munculnya suasana tertentu
pada bagian cerita tertentu pula, misalnya suasana khusuk dan khidmat ketika Longgar
jaya bersemedi di gua dan menerima petunjuk dari kakek tua dalam mimpinya. Suasana
lainnya yaitu sikap tenang pada diri Longgar Jaya, baik ketika dia berangkat untuk
mengembara maupun ketika dia berhenti semedi untuk kemudian mencari kadaleman guna
mengabdikan diri.
Tema dan Amanat
Tema pokok yang mewarnai cerita ini adalah pengabdian dan kesejatian hidup,
hal tersebut tergambar terutama dari seluruh kisah yang dialami Longgar jaya. Inti pesan
yang bisa ditangkap adalah bahwa hidup memang harus berguna. Tidak cukup banyak
ilmu, keahlian dan kecakapan, jiak tidak diamalkan dan tidak dirasakan manfaatnya oleh
orang banyak. Oleh karena itu, pengabdian merupakan lading amal yang melimpah dan
sekaligus mulia, jika dilakukan dengan ikhlas dan penuh kesungguhan. Dan, tentu,
keharuman nama setelah seseorang tiada, akan terus mewangi seiring dengan manfaat
yang dipetik oleh masyarakat banyak dari
yang pernah diamalkan semasa hidupnya, sehingga pepatah yang menyatakan “gajah
mati meninggalakan gading, harimau mati meninggalakan belang‟ merupakan
sebuah kado istimewa yang semestinya diterima oleh orang seperti itu, semisal Longgar Jaya.
Sanghyang Tapak (Kp. Babakan Ds. Leuwikoja)
Sinopsis
Alkisah, seorang tokoh bernama Eyang haji Manggurat Datar, beristrikan Candra W
ulan. Sepasang suami istri ini memimpin sebuah wilayah kekuasaan serta memiliki pengaruh
sangat kuat di masyarakat. Mereka menj adi pelindung dan tumpuan hati warga. Semasa
pemerintahannya, Haji Manggurat Datar memiliki seorang pembantu utama dengan pangkat
demang. Orang kepercayaannya tersebut bernama Eyang Demang Candra Manggala. Segala
sikap dan tindakan demang inisangat arif, bij aksana, serta mampu menj aga wibawa. Hal
tersebut menimbulkan rasa tentram dan kenyamanan bagi warga.
Semasa pemerintahannya, Haji Manggurat Datar membuat dua tanda
peninggalan, yaitu sebuah batu panj ang yang diatasnya terdapat telapak kaki kirinya,
sedangkan telapak kai kanannya terdapat pada sebuah pohon. Tapak kai tersebut timbul
sebagai titik pijakan ketika Haji manggurat datar terbang menuju Bogor. Di kawasan Bogor
pun terdapat tapak kaki Haji Manggurat Datar pada sebuah batu besar. Peninggalan kedua
yaitu sebuah batu besar menyerupai kasur. Batu tersebut bekas Candra Wulan, istri Haji
Manggurat datar, melahirkan.
Berawal dari peninggalannya tersebut, berupa tapak kaki, Haji Manggurat Datar
dijuluki Syanghyang Tapak. Nama tersebut kemudian diabaikan menjadi nama sebuah
wilayah yang terletak di tangah hutan. Oleh sebagaian masyarakat, tempat itu dianggap
keramat. Untuk mencapai tempat tersebut terlebih dahulu harus mendaki gunung, kemudian
melewati semak-semak dan pepohonan besar.
Alur/Plot
Alur cerita Sanghyang Tapak dapat diskemakan sebagai berikut : Eyang Haji
Manggurat Datar bersama Candra Wulan, istrinya, memimpin sebuah wilayah serta memiliki
pengaruh sangat kuat di masyarakat. Rakyat merasa terlindungi dan diayomi oleh
kepemimpinannya. Haji Manggurat Datar memiliki seorang pembantu utama yaitu Eyang
Demang Candra manggala. Haji Manggurat datar membuat dua tanda peninggalan, yaitu
telapak kaki dan sebuah batu besar menyerupai kasur, bekas Candra Wulan melahirkan.
Berkat peninggalannya tersebut Haji Manggurat datar dijuluki Sanghyang Tapak.
Alur kisah ini, seperti rentetan peristiwa yang sering diceritakan warga Desa
Leuwikoja, merupakan alur sorot balik. Pengisahan terlebih dahulu menceritakan sebuah
lokasi yang disebut Sanghyang Tapak. Tempat tersebut terletak di tengah hutan dengan
medan tempuh yang cukup sulit dilalui. Setelah penggambaran tentang daerah
Sanghyang Tapak, barulah kisah dimulai dengan menceritakan Ikhwal haji Manggurat
Datar berkaitan dengan kiprahnya dalam mengelola daerah kekuasaannya yang dipandang
sangat berhasil, karena di samping sikapnya yang arif dan bijaksana, juga mampu
menjadikan daerahnya makmur dan sejahtera.
Setelah penjabaran cerita itu, ditimpali dengan kisah berikutnya tentang pemberian gelar
Sanghyang Tapak kepada Haji Manggurat Datar, dengan latar belakang bahwa Haji
Manggurat Datar telah meninggalkan beberapa bekas telapak kakinya di beberapa
tempat.
Pelaku/Penokohan
Beberapa pelaku yang menggerakan cerita Sanghyang Tapak, yaitu :
1. Haji Manggurat Datar, seorang yang arif dan bijaksana, yang mampu membawa rakyatnya
menjadi makmur dan sejahtera, dijuluki sebagai Sanghyang Tapak.
2. Candra Wulan, istri Haji manggurat Datar, yang turut menjadikan daerah pimpinan
Haji Manggurat Datar menjadi tentram.
3. Eyang Demang Candra Manggala, orang kepercayaan Haji Manggurat Datar
berpangkat demang.
4. Rakyat, pelaku kolektif, masyarakat yang dipimpin oleh Haji Manggurat Datar.
Latar/Setting
Latar tempat sebagai arena berlangsungnya peristiwa cerita dalam legenda
Sanghyang Tapak antara lain :
1. Hutan, tempat (beradanya0 sebuah kawasan yang disebut Sanghyang Tapak sebagai
tempat yang dianggap keramat.
2. Gunung, kawasan yang mengitari wilayah Sanghyang Tapak, jalan yang harus dilalui
menuju Sanghyang Tapak.
3. Bogor, nama tempat yang dituju Haji Manggurat Datar dengan cara terbang,
serta meninggalkan sebuah jejak di tempat tersebut, yaitu sebuah tapak kaki.
Tidaka ada penyebutan latar waktu dalam cerita ini, sedangkan suasana cerita
berlangsung dalam sebuah kedaan yang tentram, adem, dan tenang. Hal tersebut antara
lain disebabkan karena Haji Manggurat Datar yang dibantu Eyang Demang Candra
Manggala, memerintah dan mengelola wilayahnya dengan arif dan bijaksana,
sehingga ketentraman, kemakmuran dan kesejahteraan dapat tercipta.
Tema dan Amanat
Tema dan sekaligus amanat yang diusung ini adalah pemerintahan yang adil dan
makmur, dengan berlandaskan kepada sikap pemimpinnya yang arif dan bijaksana.
Menghormati sesame dan menyayangi seluruh rakyatnya, merupakan, merupakan
cerminan figure seorang pemimpin yang layak menjadi panutan rakyatnya, seperti
tergambar dalam prilaku Haji Manggurat Dtar beserta istrinya, Candra Wulan, serta Eyang
Demang Candra Manggala, seorang demang, orang kepercayaan Haji Manggurat Datar.
Surya Kancana (Kec. Cikalong Wetan)
Sinopsis
Prabu Siliwangi mempunyai anak bernama Mundingsari. Mundingsari
mempunyai anak diberinama Mundingsari Leutik. Mundingsari Leutik mempunyai
anak bernama Pucuk Umum, yang tinggal di Banten Girang. Pucuk Umum
mempunyai anak bernama Sunan Parnggangsa. Putra sulung Sunan Parunggangsa seorang
laki-laki bernama Sunan Wanafsi.
Sunan Wanafsi menjadi raja di Talaga (Majalengka). Ia mempunyai anak di antaranya
Sunan Ciburang. Sunan Ciburang terkenal dengan kesaktiannya, ia kebal terhadap senjata
tajam serta taat beribadat. Sunan Ciburang mempunyai anak bernama Raden Arya.
Raden Arya terkenal sebagai orang yang taat beragama. Suatu hari ia
meninggalkan ayahnya untuk berkelana menuju arah barat, hingga akhirnya sampai di
Sagaraherang. Sambil bermukim di sana, ia terus memperdalam ilmu agama. Kemudian
ia mempunyai seorang anak yang diberi nama Arya Wiratanudatar. Kelak, dialah yang
menjadi Dalem Cikundul.
Arya Wiratanundatar tumbuh menjadi dewasa sebagai seorang anak laki-laki yang
gagah, tampan, dan suka bertapa. Benyak perempuan yang mengharapkan dirinya, tap
selalu ditolak. Suatu ketika ia bertapa di atas Batu Agung (Pucuk Batu Agung) dengan
khusuk tanpa tergoda, siang malam senantiasa memuji Tuhan. Ada tiga hal yang
diinginkannya dari tapa tersebut, yaitu ingin diberi ketetapan hati dalam keimanannya,
ingin mendapatkan kebahagiaan di alam baqa, dan ingin mendapatkan keturunan yang
kelak menjadi pemimpin Negara.
Selesai bertapa selama empat puluh malam, datanglah seorang wanita yang sangat
cantik, yang membuat Arya Wiratanudatar merasa tak percaya atas yang dilihatnya, sebab
baru kali itu ia melihat wanita secantik itu. Kemudian ia bertanya tentang nama, alamat,
dan tujuan perempuan itu mendatanginya. Tanpa tedeng
aling-aling perempuan tersebut menjelaskan jati dirinya, bahwa dia seorang putrid jin
bernama Indang Sukesih, dengan maksud hendak menyerahkan diri untuk menjadi istri
Wiratanudatar.
Akhirnya pernikahan terjadi, Arya Wiratanudatar masuk kea lam jin. Dari
pernikahan ini Wiratanudatar mempunyai dua orang anak, yaitu Indang Kancana dan
Surya Kancana. Kedua anak ini tumbuh dengan baik, tetapi sangat nakal sehingga
orang tuanya kewalahan. Oleh sebab itu, keduanya dibuang, Indang Kancana
dilemparkan kea rah timur dan jatuh di Gunung Kumbang, sedangkan Surya Kancana
dilemparkan kea rah selatan dan jatuh di Gunung Gede.
Alur/Plot
Alur cerita Surya Kancana dapat diskemakan menjadi sebagai berikut. Raden Arya
Wiratanudatar, Dalem Cikundul, merupakan keturunan kedelapan dari Prabu Siliwangi. Dia
seorang pertapa dan taat beragama. Ketika menginjak dewasa dia merupakan seorang lelaki
yang tamoan dan gagah. Banyak perempuan yang ingin diperistri. Dalam sebuah pertapaan
dia di datangi seorang perempuan dari negeri kajinan, Indang Sukesih. Arya Wiratanudatar
menikah dengan Indang Sukesih di Negara jin. Mereka mempunyai anak dua, Indang
Kancana dan Surya Kancana. Kedua anaknya tersebut sangat nakal. Indang Sukesih dan
Wiratanudatar kewalahan mengurus anaknya tersebut. Anaknya dibuang. Indang
Kancana ke Gunung Kumbang dan Surya Kancana ke Gunung Gede.
Alur yang digunakan dalam cerita ini merupakan alur maju. Cerita ini dimulai dengan
silsilah keluarga, mulai dari Prabu Siliwangi sampai Aria Wiratanudatar,
sampai akhirnya mempunyai anak Surya Kancana. Alur kisah ini sangat linear sehingga
mudah diikuti, walaupun ada kemungkinan pendengar atau pembaca cerita akan mempunyai
kesulitan dalam mengingat nama tokoh-tokoh, terutama tokohtokoh keturunan Prabu
Siliwangi yang cukup banyak disebutkan dalam kisah ini.
Pelaku/Penokohan
Nama pelaku dalam legenda Surya Kancana adalah sebagai berikut :
1. Prabu Siliwangi, merupakan titik tolak pengisahan, sebagai leluhur dari tokohtokoh
dalam cerita ini.
2. Mundingsari, putra Prabu Siliwangi.
3. Mundingsari Leutik, putra Mundingsari.
4. Pucuk Umum, putra Mundingsari Leutik, tinggal di Banten Girang.
5. Sunan Parunggangsa, putra Pucuk Umum
6. Sunan Wanafsi, raja Talaga, putra sulung Sunan Parunggangsa.
7. Sunan Ciburang, putra Sunan Wanafsi, terkenal sakti, ia kebal terhadap senjata tajam dan
sangat taat beribadah.
8. Raden Arya, putra Sunan Ciburang, seorang yang taat beragama dan seorang pertapa.
9. Arya Wiratanudatar, putra Raden Arya, Dalem Cikundul, menikah dengan putrid jin,
Indang Sukesih.
10. Indang Sukesih, putri kajinan, istri Arya Wiratanudatar.
11. Indang Kancana, anak Wiratanudatar dari Indang Sukesih, sangat nakal.
12. Surya Kancana, anak Wiratanudatar dari Indang Sukesih, sangat nakal.
Tokoh yang paling banyak dikisahkan dalam legenda ini adalah Arya
Wiratanudatar, sejak dia remaja dan rajin bertapa, samapai menemukan jodohnya dengan
putrid jin. Oleh sebab itu, wlaupun yang diangkat menjadi bahan cerita ini adalah tokoh
Surya Kancana, tetapi segala latar belakang kehidupan Arya Wiratanudatar paling
menonjol dan banyak dikedepankan, karena persoalan tersebut sekaligus merupakan
latar belakang kelahiran dan kehidupan Surya Kancana. Hal tersebut malah menjadi
simpul yang dapat dinurut: mengapa Surya Kancana lahir? Dan turunan darimana dia? Serta
mengapa pula perilakunya sangat nakal sehingga perlu diasingkan ke Guinung Gede?.
Adapun tokoh lainnya yang cukup banyak jumlahnya, mulai dari prabu Siliwangi
hingga Raden Arya, memiliki peranan yang relative sama dalam jalinan peristiwa cerita.
Mereka hanyalah pelaku pelengkap dan tambahan, yang berfungsi mendukung dan
mengukuhkan posisi pelaku utama.
Latar/Setting
Beberapa nama tempat sempat disebutkan dalam legenda ini, antara lain :
1. Pajajaran, nama sebuah kerajaan di Tatar Sunda yang dalam legenda ini rajanya bernama
Prabu Siliwangi.
2. Banten Girang, tempat tinggalnya Prabu Pucuk Umum, anaknya Mundingsari Leutik.
3. Talaga, nama sebuah kerajaan kecil yang terletak di Majalengka.
4. Barat, arah mata angina sebagai arah jalan yang harus ditempuh oleh Raden Arya.
5. Sagaraherang, tempat bermukim (sementara) Raden arya.
6. Cikundul, yaitu suatu daerah administrative (kadaleman) yang terletak di wilayah
Cianjur.
7. Gunung Kumbang, tempat dibuang atau diungsikannya Indang Kancana.
8. Gunung Gede, tempat dibuangnya Surya kancana.
Tidak terdapat dan tidak disebutkan latar waktu dalam cerita ini, tetapi suasana
cerita jelas tergambar sepanjang jalan cerita. Ada suasana khusuk dan khidmat, seperti
adegan bertapa, ada juga suasana jengkel, misalnya ketika Arya Wiratanudatar dan Indang
Sukesih menghadapi kenakalan Surya Kancana dan Indang Kancana.
Tema dan Amanat
Tema yang diangkat dalam legenda ini yaitu tentang silsilah keturunan yang
berimplikasi terhadap pemegang kekuasaan di sebuah kerajaan. Sebuah legitimasi rupanya
menjadi suatu hal yang sangat penting, karena berkaitan dengan imej atau citra seseorang
di masyarakat. Oleh sebab itu tak pelak jika mengurai asal muasal atau silsilah seorang
penguasa atau raja, puncaknya dapat ditentukan akan mengambil simpul keturunan
dari Prabu Siliwangi, seperti pada legenda ini.
Tema cerita tersebut sekaligus menyiratkan amanat, bahwa jika dalam sebuah rantai
ada yang berprilaku ganjil, maka ia hendaknya rela menjalani hukuman, seberat apapun,
sesuai serta sebanding dengan tingkat kesalahannya, seperti diasingkannya Indang
kancana dan Surya Kancana karena dianggap terlalu nakal oleh ibu-bapaknya.
Kadaleman Cikadu (Kp. Cikadu, Ds. Jamali, Kec. Mande)
Sinopsis
Cikadu merupakan sebuah wilayah yang terletak di daerah Cibalagung, dengan
dalemnya Raden Aria Natamanggala, seorang yang gagah perkasa, cicit Sunan Wanafri
Cirebon dan cucu Pangeran Girilaya.
Semenjak remaja hingga dewasa, Natamanggala mempunyai kebiasaan
mengembara dan bertapa. Dalam sebuah semedinya, ia mendapat petunjuk harus berangkat
kea rah timur, maka sampailah ia ke Kerajaan Mataram. Setiap ia singgah di suatu tempat, ia
selalu mengganti namanya, mula-mula ia mengganti namanya dengan Babad Angsa,
kemudian ganti lagi menjadi Babad Kinayungan.
Sesampainya di Mataram, ia mengabdikan diri di situ, sambil ditugaskan
menyebarkan agama Islam. Walupun ia dipercaya, ia tidak merasa puas, tetapi ingin
mengembara lagi. Kemudian ia laksanakan niatnya tersebut ketika pulang dari sebuah
kegiatan penyebaran agama, ia tidak pulang ke Mataram, melainkan langsung
meloloskan diri kea rah barat, hingga sampai di kadaleman Cipamingkis (Bogor sekarang)
yang dipimpin oleh Eyang Cipamingkis, pamannya sendiri. Setelah lama tinggal di
kadaleman, Natamanggala dinikahkan dengan putrid dalem, kemudian ia disuruh mencari
tempat untuk membuka kadaleman baru.
Sampailah Natamanggala dan istri di sebuah hutan. Kemudian ia membuka hutan
tersebut menjadi sebuah perkampungan (Cikadu sekarang), dan berdatanglah orang-orang
untuk bermukim di daerah itu.
Suatu hari ia kedatangan sembilan orang Bugis, pelarian dari Cipamingkis. Orang-
orang tersebut pernah mengacau di Cipamingkis karena gagal mendapatkan pusaka dalem
dan urung niatnya untuk memperistri putri dalem. Maksud kedatangan mereka pun
tiada lain untuk meminta kembali putrid dalem. Tentu saja Kinayungan geram, hingga
akhirnya terjadi pertarungan, dan orang-orang Bugis tersebut dapat dikalahkan dengan
senjata pusaka Dalem Cipamingkis. Seusai pertarungan, Kinayungan bermaksud
mengembalikan pusaka tersebut kepada Dalem Cipamingkis, tetapi malah
dihadiahkannya kepada istrinya.
Setelah peristiwa itu, Kinayungan meneruskan pembangunan Cikadu hingga menjadi
kadaleman yang besar dan makmur. Demikian juga penyebaran agama Islam sangat pesat
di kadaleman ini.
Tersiarlah kabar ke Mataram bahwa ada sebuah kadaleman baru yang dipimpin
oleh Kinayungan. Alangkah tersinggungnya sultan, kemudian ia mengirimkan
utusannya untuk menangkap Babad Kinayungan. Ketika utusan tiba di Cikadu,
Kinayungan segera tahu dan segeralah ia mengganti namanya menjadi Prabu
Sacakusumah, maka niscaya orang yang dicari oleh utusan tersebut yaitu babad
Kinayungan tidak terdapat di cikadu, maka kembalilah utusan itu ke Mataram. Dari
Mataram utusan tersebut disuruh kembali ke Cikadu untuk menangkap Prabu
Sacakusumah. Kabar itupun segera sampai kepada Prabu Sacakusuma, maka segeralah
ia mengganti namanya menjadi Sukma Muda. Ketika utusan sampai dan mencari nama
Prabu Sacakusumah, tidak ia dapatkan di Cikadu, maka kembalilah ia ke Mataram. Dari
Mataram ia disuruh kembali dan harus menangkap Sukma Muda, karena Sukma
Muda diyakini sebagai Babad
Kinayungan. Kali ini Natamanggala tidak dapat mengelak, ia hanya berpesan bahwa ia
akan dating ke Mataram dengan dikirimnya sebuah tombak pusaka dari Mataram.
Dengan mengendarai tombak pusaka tersebut pergilah Natamanggala ke Mataram.
Sesampainya di kadaleman ia tidak disambut dengan kemarahan, melainkan dengan
penuh rasa senang dan keramahan Sultan. Kemudian ia diajak berbincang tentang asal-
usul dan silsilah, yang ternyata ia memiliki tali persaudaraan dengan Sultan. Setelah
itu Kinayungan diberi gelar menjadi Aria Natamanggala I. kemudian ia kembali lagi ke
Cikadu.
Dala menjalankan roda pemerintahannya, Natamanggala I dibantu oleh dua orang
patih, yaitu Eyang Singkerta dan Eyang Singakerti, serta seorang penasehat, yaitu Kiai
Penghulu Muhammad Soleh. Dibawah kepemimpinannya, kadaleman Cikadu berkembang
sangat pesat, sampai akhiranya Natamanggala I wafat, dan dimakamkan di Cikadu,
sehingga terkenal dengan sebutan Dalem Cikadu.
Alur/Plot
Alur cerita Sasakala Kadaleman Cikadu dapat diskemakan sebagai berikut
Raden Aria Natamanggala merupakan cucu Pangeran Girilaya atau cicit Sunan
Wanafri Cirebon. Kesukaannya adalah mengembara dan bertapa. Ia mendapatkan
petunjuk untuk pergi kea rah timur. Mengabdi di Kerajaan Mataram. Ia sempat mengganti
namanya menjadi Babad Angsa, kemudian ganti lagi menjadi Babad Kinayungan.
Ia minggat dari mataram. Pergi ke kadaleman Cipamingkis. Nikah dengan putrid
dalem. Mendirikan kadaleman baru (Cikadu). Dating sembilan orang BVugis hendak
mengambil istrinya. Terjadi pertarungan. Orang-orang Bugis tewas. Cikadu menjadi
kadaleman yang besar dan makmur.
Sultan Mataram mengetahui keberadaan Kinayungan dengan kadaleman barunya.
Sultan mengirimkan utusan menangkapnya. Kinayungan mengganti nama menjadi Prabu
Sacakusumah. Utusan tidak menemukan Kinayungan dan kembali ke Mataram. Utusan
kembalkai dating untuk menangkap Prabu Sacakusumah. Kinayungan mengganti
namanya lagi menjadi Sukma Muda. Utusan tidak menemukan Prabu Scakusumah dan
kembali ke Mtaram. Utusan dating lagi untuk menangkap Sukma Muda karena diyakini
sebagai babad Kinayungan. Natamanggala tidak dapat mengelak. Ia dating ke Mataram
dengan menunggangi tombak pusaka. Ia ternyata memiliki tali persaudaraan dengan sultan. Ia
diberi gelar Natamanggala I.
Pelaku/Penokohan
Tokoh atau pelaku pada cerita ini adalah :
1. Natamanggala, demang Cikadu, seorang petapa dan gemar mengembara, sering berganti
nama diantaranya menjadi Babad Angsa, Babad Kinayungan, Prabu Sacakusumah, dan
Sukma Muda.
2. Sunan Wanafri, buyut Natamanggala.
3. Pangeran Girilaya, kakek Natamanggala.
4. Eyang Cipamingkis, paman Natamanggala.
5. Putri dalem, istri Natamanggala, anak Eyang Cipamingkis.
6. Sultan, raja Mataram.
7. Hulubalang, utusan Sultan Mataram untuk menangkap Natamanggala.
8. Eyang Singakerta, patih Kadaleman Cikadu.
9. Eyang Singakerti, patih Kadaleman Cikadu.
10. Kyai Penghulu Muhammad Soleh, penasehat Kadaleman Cikadu.
11. Orang Bugis, berjumlah sembilan orang, buronan yang pernah mengacau di
Kadaleman Cipamingkis.
Latar/Setting
Beberapa nama temapat yang disebutkan dalam cerita ini adalah :
1. Cikadu, sebuah kadaleman yang terletak di kawasan Cibalagung (Kec. Mande).
2. Cirebon, tempat asal Sunan Wanafri.
3. Kerajaan Mataram, sebuah kerajaan yang dikunjungi natamanggala berdasarkan petunjuk
dalam semedinya.
4. Cipamingkis, sebuah kadaleman (sekarang Bogor) yang dipimpin oleh Eyang
Cipamingkis, paman Natamanggala.
5. Gua dan Hutan, tempat mengembara dan bertapanya Natamanggala.
6. Arah timur, arah perjalanan yang harus ditempuh oleh Natamanggala
berdasarkan petunjuk semedinya.
Seperti pada legenda lainnya, tidak ada penyebutan latar waktu dalam
keseluruhan jalinan cerita. Seluruh peristiwa walaupun berlangsung dalam hitungan tahunan,
semenjak Natamanggala remaja hingga beristri dan menjadi dalem Cikadu,
tapi secara eksplisit tidak terdapat keterangan waktu, baik penyebutan nama hari, bulan,
maupun tahun, juga tidak disebutkan terjadinya peristiwa cerita yang merujuk pada
keterangan waktu seperti pagi, siang, malam, dan lainnya.
Suasana cerita yang tergambar dalam legenda ini cukup beragam, ada suasana khusuk
dan khidmat, yaitu ketika Natamanggala bersemadi, ada suasana tertantang dan penasaran,
yaitu ketika Natamanggala kabur dari Mataram, ada pula suasana marah dan garam, yaitu
ketika Natamanggala disatroni sembilan orang Bugis yang hendak mengambil istrinya hingga
terjadi pertarungan yang menewaskan sembilan orang Bugis tersebut, ada juga suasana
tegang dan was-was, yaitu ketika Natamanggala dicari dan hendak ditangkap oleh
hulubalang utusan Sultan, serta ada suasana senang dan gembira, yaitu ketika diketahui
bahwa silsilah Natamanggala dan Sultan Mataram ternyata memiliki pertalian
persaudaraan.
Tema dan Amanat
Pokok cerita yang menjiwai seluruh peristiwa dalam leginda ini adalah
berpadunya antara jiwa petualang dan petapa dengan tekad untuk mengabdi serta
keteguhan hati untuk mempertahankan dan menjaga harga diri. Hal tersebut tergambar
semenjak Natamanggala bersemedi, kemudian mengabdi ke Mataram dan kembali kabur
untuk bertualang, mengabdikan diri di kadaleman Cipamingkis, serta bertarung dengan
sembilan orang Bugis yang hendak merampas istrinya, hingga menewaskan orang Bugis
tersebut.
Eyang Jambalan (Kp. Jamali, Ds. Jamali. Kec. Mande)
Sinopsis
Setelah Natamanggala I wafat, pimpinan kadaleman dilanjutkan oleh putranya,
yaitu Natamanggala II. Dia memerintah sangat arif dan bijaksana. Di samping
memfokuskan pada bidang pemerintahan, juga melanjutkan program ayahnya, yaitu
syiar agama. Dalam melaksanakan tugasnya, Natamanggala II dibantu oleh dua orang
Patih, yaitu Eyang Patih Mangku Nagara dan Eyang Patih Manggung Nagara.
Selama pemerintahannya, kedaleman Cikadu pernah disatroni tujuh orang Bugis
yang hendak membalas dendam atas kematian rekannya sewaktu bertarung dengan
Natamanggala I. oaring Bugis tersebut maksudnya hendak mencari Natamanggala I,
tetapi karena sudah wafat, rasa dendam tersebut mereka lampiaskan kepada putranya,
Natamanggala II.
Betapa murka kedua patihnya mendengar tantangan dari orang Bugis itu. Mereka
bersiaga untuk menghadang tantangan tersebut, tetapi Natamanggala II melarangnya
karena dia dianggap bahwa dendam tersebut ditunjukan kepada ayahnya, dan bahwa
ayahnya telah wafat, maka putranyalah yang harus menanggungnya.
Natamanggala II segera melesat ke suatu tempat yang sekarang disebut Jamban,
diikuti ketujuh orang Bugis. Pertarungan berlangsung cukup lama, namun
akhirnya orang-orang Bugis tersebut kewalahan dan tewas. Konon ceceran darah mereka
masih terlihat segar di daerah Jamban sampai tahun tiga puluhan.
Setelah itu, Natamanggla II meneruskan pembangunan kadaleman disertai dengan
syiar Islam, sehingga banyak bermunculan pondok-pondok pesantren, di antaranya di
Kanayakan yang dipimpin oleh Kyai Haji Muhammad Soleh atau dikenal Eyang
Kanayakan.
Natamanggala II wafat pada usia lanjut. Ia dimakamkan di Cibalagung.
Kecamatan Mande, sesuai keinginannya. Kini ia dikenal dengan sebutan Eyang Jamban.
Alur/Plot
Alur cerita Eyang Jamban dapat diskemakan sebagai berikut. Natamanggala I wafat.
Pimpinan kadaleman dilanjutkan Natamanggala II. Dia dibantu oleh dua orang Patih,
yaitu Eyang Patih Mangku Nagara dan Eyang Patih Manggung Nagara. Dating tujuh orang
Bugis yang hendak membalas dendam atas kematian rekannya sewaktu bertarung dengan
rekannya sewaktu bertarung dengan Natamanggala I. kedua patih hendak menghadangnya.
Natamanggala II menghadapinya seorang diri. Ketujuh orang Bugis tersebut tewas. Ceceran
darahnya terlihat segar di daerah Jamban sampai tahun tiga puluhan. Natamanggala II
meneruskan pembangunan kadaleman dan syiar Islam. Bermunculan pondok-pondok
pesantren, di antaranya di Kanayakan yang dipimpin oleh Kyai Haji Muhammad Soleh atau
dikenal Eyang Kanayakan. Natamanggala II wafat, dimakamkan di Cibalagung Kecamatan
mande. Kini ia dikenal dengan sebutan Eyang jamban.
Peristiwa yang dialami Natamanggala II meliputi : - naik tahta menj adi dalem
menggantikan ayahnya – dia menj alankan pemeri ntahan dengan arif dan bij aksana –
dating tujuh orang Bugis yang hendak membalas dendam – kedua patihnya bermaksud
menghadangnya – Natamanggala II menghadapi nya sendiri – ketuj uh orang Bugis
tersebut tewas – Natamanggala II melanjutkan pembangunan kadaleman dan syiar
agama – bermunculan pondok pesantren termasuk di Kanayakan – Natamanggala II
wafat – dimakamkan di Cibalagung – ia dikenal dengan sebutan Eyang Jamban.
Alur cerita legenda Eyang Jamban merupakan alur maju. Cerita dimulai ketika
Natamanggla I, kemudian datang orang Bugis yang hendak membalas dendam sampai
akhirnyamereka tewas, Natamanggala II meneruskan pembangunan di akdaleman, hingga
akhirnya dia wafat.
Munculnya kelompok orang bugis yang hendak membalas dendam,
merupakan „penyedap‟ cerita yang memberikan rasa „pedas‟ pada legenda ini,
sehingga ceritanya tidak datar, apalagi dalam mengatasinya, Natamanggala II
mengahadapinya secara kesatria. Hal tersebut mampu memberikan rasa takj ub dan tamasya
pada batin pembaca atau apresiator kisah ini .
Pelaku/Penokohan
Tokoh atau pelaku pada cerita ini adalah sebagai berikut :
1. Natamanggala I, Dalem Cibalagung, ayah Natamanggala II.
2. Natamanggala II, penerus tahta kadaleman Cibalagung, seoranmg pemimpin yang berj
iwa kesatria, dij uluki sebagai eyang Jamban.
3. Eyang Patih Mangku nagara, Patih Kadaleman Cibalagung masa Pemerintaha
Natamanggala II.
4. Eyang Patih Manggung Nagara, Patih Kadaleman Cibalagung masa
Pemerintaha Natamanggala II.
5. Kyai Muhammad Soleh, penasehat kadaleman sejak masa pemerintahan
Natamanggala I, pemimpin Pondok Pesantren Kanayakan, disebut juga Eyang
Kanayakan.
6. Tujuh orang Bugis, merupakan kawan dari sembilan orang bugis yang tewas ketika
bertarung melawan Natamanggala I.
Pusat pengisahan dan tokoh utama pada cerita ini adalah Natamanggala II. Adapun
tokoh-tokoh lainnya seperti Natamanggala I, Eyang Patih Mangku Nagara, dan Kyai
Muhammad Soleh, merupakan tokoh pembantu atau tokoh tambahan.
Berdasarkan watak dan perilakunya, Natamanggala II merupakan tokoh
protagonist. Ia merupakan sosok yang memperjuangkan hak dan nilaki kebenaran,
sedangkan tujuh orang Bugis merupakan tokoh antagonis, yang datang ke
Kadaleman Cibalagung dianggap ingin mengacau, yaitu membalas dendam atas kematian
sembilan orang rekannya pada masa pemerintahan Natamanggala I.
Latar/Setting
Beberapa nama tempat yang disebutkan dalam kisah ini adalah :
1. Cibalagung, kedaleman yang dipimpin oleh Natamanggala II atau Eyang Jamban.
2. Jamban, tempat bertarungnya antara Natamanggala II dengan tujuh orang Bugis.
3. Kanayakan, (kawasan) Pondok Pesantren yang dipimpin oleh Kyai Muhammad Soleh
alias Eyang kanayakan
Suasana yang tergambar dalam cerita ini antara lain rasa kemarahan dan geram dari
Eyang Patih Mangku nagara dan Eyang Patih Manggung nagara, ketika ke Cibalagung
datang tuj uh orang Bugis yang hendak membalas dendam. Selain itu, j uga ada suasana
semangat dan rasa damai di masyarakat ketika mereka melakukan pembangunan di kadaleman,
termasuk membangun pondok-pondok pesantren.
Tidak terdapat penyebutan latar waktu, baik hari, bulan, tahun, jam dan yang lainnya
dalam cerita ini.
Tema dan Amanat
Ide pokok dalam cerita cerita ini adalah tentang rasa tanggung j awab yang
diwujudkan dalam bentuk pengabdian dan kepemimpinan. Hal tersebut terutama tergambar
dalam tokoh Natamanggala II. Bahwa mengemban suatu kepercayaan, terutama menj adi
pemimpin, hendaknya dilakukan dengan baik dan benar sesuai dengan aturan dan norma
serta bersandar kepada ajaran agama. Dengan demikian, pembangunan yang dilakukan,
khususnya di Kadaleman Cibalagung, disamping mengej ar segi j asmaniah —material, j uga
aspek rihaniah-spiritual . Hal tersebut di antaranya terwujud selain masyarakat menjadi
makmur dan damai, juga merasa tentram dan damai , j uga merasa tentram dan tenang.
Hal lainnya yang tergambar dari cerita ini adalah bahwa rasa tanggung jawab tidak
bisa dilemparkan kepada pihak lain, tetapi harus dihadapi sendiri apapun resikonya. Hal
tersebut tergambar ketika ke Cibalagung datang orang Bugis yang
hendak membalas dendam kepada Natamanggala I, dan ternyata telah wafat, maka
Natamanggala II sebagai putranya dengan mantap dan siap menghadapinya, walupun
patihnya menghalangi dan mengkhawatirkan keselamatannya. Dalam al i ni Natamanggala II
beranggapan bahwa dendam yang ditunjukan kepada ayahnya, tentu saja harus dihadapi
oleh putranya, bukan oleh orang lain. Dari peristiwa itu terlihatlah rasa tanggung j awab
pribadi Natamanggala II sebagai dalem Cibalagung, yang tidak mengorbankan orang lain
untuk keselamatan dirinya, melainkan menghadapi berbagai ancaman dari luar dengan j
iwa ksatria.
Dalem Pulo (Kp. Kaum Kaler Ds. Kademangan)
Sinopsis
Kadaleman Cibalagung berakhi r ketika masa pemerintahan Natamanggala IV. Ketika itu
wilayahnya meliputi bagian barat Muka Cianj ur, bagian timur Sungai Citarum, bagian
selatan Cirata Kec. Karang Tengah, dan Bagian utara daerah Nyampay Kabupaten
Cianjur.
Pemerintahan Natamnggala IV dibantu oleh dua orang patih, yaitu Eyang Nurbayan
dan Eyang Nurbayin, serta penasehat kadaleman yaitu Kyai Panghulu Muhammad Sobari.
Pada masa pemerintahan Natamanggala IV terjadi “Perang Pangawelan”, yaitu
perang melawan Cina. Pada waktu yang telah ditentukan, yaitu hari Sabtu, Natamanggala
IV beserta balatentaranya menyerbu Cina yang berada di wilayah utara, padahal di
Cibalagung ada kepercayaan pantangan bahwa hari sabtu tidak
boleh pergi kea rah utara, j ika hal tersebut dilakukan sama dengan menj emput
malapetaka.
Natamanggala mempunyai delapan orang putra. Ketika dia wafat, putranya tersebut
masih kecil-kecil , sehingga tidak ada yang meneruskan pemerintahan di kadaleman.
Akhirnya kadaleman Cibalagung runtuh kerena tidak ada penerusnya. Natamanggala IV
dimakamkan di daerah Pulo Cibalagung, sehingga disebut Dalem Pulo.
Alur/Plot
Alur cerita Dalem Pulo dapat diskemakan sebagai berikut. Kedaleman
Cibalagung diperintah oleh Natamanggla IV. W ilayahnya meliputi bagian barat derah
muka Cianjur, bagian timur Sungai Citarum, bagian selatan Cirata Kec. Karang
Tangah, dan bagian utara derah Nyampay Kabupaten Cianjur. Natamanggala IV
dibantu oleh patih Eyang Nurbayan dan Eyang Patih Nurbayin, serta penasehatnya Kyai
Penghulu Muhammad Sobari. Terjadi “Perang Pangawelan”, perang melawan Cina.
Pasukan Natamanggala IV menyerbu Cina di wilayah utara pada hari sabtu. Di Cibalagung
ada pantangan bahwa pada hari sabtu tidak boleh pergi kea rah utara. Natamanggala IV
mempunyai delapan orang putra. Putranya masih keci l-kecil . Natamanggala IV wafat. Tidak
ada yang meneruskan di kadaleman. Kadaleman Cibalagung runtuh.
Alur cerita Dalem Pulo merupakan alur sorot balik. Cerita dimulai dengan kisah
runtuhnya Kadaleman Cibalagung. Setelah itu dinarasikan berbagai keadaan
dan peristiwa yang terjadi di kadaleman, mulai dari batas-batas wilayah, struktur
pemerintahan, perang melawan Cina, pantang orang Cibalagung, struktur
pemerintahan, putra Natamanggala IV yang masih kecil-kecil, tidak ada regenerasi di
kadaleman, sampai melingkar kembali pada peristiwa runtuhnya Kadaleman
Cibalagung.
Konflik cerita terletak pada peristiwa perang melawan Cina, walaupun situasi
berlangsungnya peristiwa tersebut tidak digambarkan sama sekali, sehingga kurang
memainkan emosi pembaca ataui apresiator. Hal yang ditonjolkan malah pantangan orang
Cibalagung yang tidak boleh berpergian pada hari sabtu kea rah utara, sehingga seolah-
olah penyerbuan terhadap Cina yang dilakukan pada hari sabtu merupakan penyebab
runtuhnya Kadaleman Cibalagung.
Pelaku/Penokohan
Tokoh dalam legenda ini adalah :
1. Natamanggala IV, Dalem terakhir di kedaleman Ciabalagung.
2. Eyang Nurbayan, Patih Kadaleman Cibalagung masa Pemerintahan
Natamanggala IV.
3. Eyang Nurbayin, Patih Kadaleman Cibalagung masa Pemerintahan
Natamanggala IV.
4. Kyai Penghulu Muhammad Sobari, penasehat Kadaleman Cibalagung masa
Pemerintahan Natamanggala IV.
Tokoh utama yang menajadi pusat pengisahan dalam legenda ini adalah
Natamanggala IV, sedangkan tokoh-tokoh lainnya merupakan tokoh pembantu atau
tokoh tambahan. Oleh sebab itu, segala peristiwa yang terjadi pada kisah ini berasal dan
bermuara pada diri Natamanggala IV .
Latar/Setting
Beberapa latar tempat yang disebutkan dalam legenda ini adalah sebagai berikut
1. Cibalagung, merupakan wilayah kadaleman.
2. Muka Cianj ur, batas sebelah barat kadaleman Cibalagung.
3. Sungai Citarum, batas sebelah timur kadaleman Cibalagung.
4. Cirata Kec./ karang Tengah, batas sebelah selatan kadaleman Cibalagung.
5. Nyampai, batas sebelah utara kadaleman Cibalagung
6. Pulo, nama tempat di wilayah Cibalagung, tempat dimakamkannya
Natamanggala IV sehingga dikenal sebagai D alem Pulo.
7. Utara, merupakan arah mata angina yang tidak boleh dituju oleh warga
Cibalagung pada hari sabtu, sebab diyaki ni dapat mendatangkan malapetaka.
Suasana yang tergambar dalam cerita ini di antaranya suasana korban perang atau
semangat perjuangan/patriotisme, terutama pada adegan “Perang Pangawelan”. Selain itu, j
uga ada suasana mistis atau aura supranatural, yaitu pada pendeskripsian pantangn atau
larangan tidak boleh berpergian kea rah utara pada hari asbtu bagi warga Cibalagung.
Suasana lain adalah keprihatinan, yaitu ketika Natamanggala IV wafat, sedangkan anak-
anaknya masih kecil, maka tidak ada yang meneruskan memegang kekuasaan di
kedaleman Cibalagung. Hal tersebut telah menimbulkan runtuhnya kadaleman karena tidak
ada regenerasi kepemimpinan.
Tema dan Amanat
Pokok cerita yang diangkat dalam legenda ini adalah masalah regenerasi
kepemimopinan, khususnya di kedaleman. Tampak kepemimpinan yang diturunkan secara
hirarkis, kekeluargaan, pada akhirnya menemukan jalan bubntu, karena putra dalem yang
seharusnya naik tahta, ternyata belum cukup usia. Keadaan demikian bukan hanya telah
menimbulkan stagnasi kepemimpinan, tetapi malah dapat menimbulkan prahara, yaitu
runtuh atau bubarnya kadaleman. Dalam hal ini, pemilihan kepemimpinan yang dilakukan
secara demokratis lebih dapat menjamin keberlangsungan sebuah system pemerintahan,
dibandingkan dengan system pewarisan kekuasaan.
Ide cerita lain yang terlontar dalam legenda ini adalah tentang mitos atau
kepercayaan masyarakat. Hal tersebut tergambar dari keyakinan warga Cibalagung bahwa
tidak boleh pergi ke arah utara pada hari sabtu. Keyakinan tersebut dikontraskan
dengan terjadinya penyerangan atau perang melawan Cina di wilayah utara yang terjadi
pada hari sabtu. Kendatipun dari perang tersebut tidak menimbulkan kekalahan bagi
pihak kadaleman Cibalagung, tetapi dapat ditafsirkan seolah-olah bahwa runtuhnya
kadaleman pada beberapa waktu kemudian sebagai akibat dari perang tersebut yang terjadi
di wilayah utara pada hari sabtu.
Eyang Paninggaran (Kp. Gunung Masigit, Ds. Jamali) 3.3.10.1.
Sinopsis
Alkisah, seorang pemuda yang menaruh minat terhadap ajaran agama, berguru kepada
Syeh Maulana Syarif Hidayatulloh. Dia dikenal sebagai murid yang rajin, tabah, penuh
rasa tanggung jawab, serta sangat taat, sehingga sangat disayangi gurunya. Selain itu,
dia memiliki hobi berburu, oleh sebab itu masyarakat menyebutnya Eyang
Paninggaran.
Suatu hari Eyang Paninggaran dipanggil oleh gurunya. Dia dinasehati agar segera
mengamalkan ilmunya serta turut membantu syiar agama. Maka berangkatlah
Eyang Paninggran ke arah barat dengan berjalan kaki. Di sepanjang perjalanan dia terus
melakukan dakwah.
Di perjalanan, Eyang Paninggaran bertemu dengan Ariwiratanudatar, Dalem Cikundul.
Ketika Ariawiratanudatar akan kembali ke Cikundul, Eyang Paninggaran meminta untuk
turut ke Cikundul, dia ingin mengabadikan diri di Cikundul.
Belum seberapa lama mengabdikan diri di Kadaleman Cikundul, Eyang
Paninggaran kemudian disuruh mencari daerah baru untuk dijadikan kadaleman. Ia segera
pergi, tanpa merasa kesulitan karena sudah terbiasa keluar masuk hutan. Sampailah ia di
Pasir. Kemudian ia buka Pasir tersebut menjadi perkampungan, lalu mendirikan pondok
pesantren yang ia pimpin sendiri. Berdatanglah orang-orang untuk menuntut ilmu dan
menetap di perkampungan tersebut.
Tahun silih berganti, perkampungan tersebut semakin ramai. Seiring dengan itu, usia
Eyang Paninggaran makin lanjut, hingga akhirnya wafat. Dia dimakamkan di Pasir.
Alur/Plot
Alur cerita legenda ini dapat diskemakan menjadi sebagai berikut : seorang pemuda
berguru kepada Syeh Maulana Syarif Hidayatulloh. Dia sangat raj in, tabah, penuh rasa
tanggung jawab, serta sangat taat. Dia sangat disayang gurunya. Dia memiliki hobi
berburu sehingga disebut Eyang Paninggaran. Gurunya memanggil dan menasehatinya
agar dia segera mengamalkan ilmunya. Dia pergi ke arah barat dengan berjalan kaki. Di
sepanjang perjalanan dia terus berdakwah. Bertemu dengan Ariawiratanudatar,
Dalem Cikundul. Dia ikut ke cikundul untuk mengabdikan diri. Dia disuruh mencari
area baru untuk dijadikan kadaleman. Sampai di Pasir. Pasir tersebut dibukanya dijadikan
perkampungan. Berdatanglah orang yang hendak mengaji dan bermukim. Usia Eyang
Paninggaran semakin lanjut. Dia meninggal. Dimakamkan di daerah Pasir.
Alur yang digunakan dalam cerita ini merupakan alur maju. Cerita dimulai dari
pengisahan tentang seorang pemuda yang dijuluki Syeh Paninggaran, kemudian
diceritakan kebiasaannya, keinginannya untuk mengabdi, membuka kadaleman baru,
sampai wafatnya.
Pelaku/Penokohan
Nama tokoh-tokoh yang disebut dalam legenda ini adalah sebagai berikut :
1. Syeh Maulana Syarif Hidatatulloh, guru Eyang Paninggaran.
2. Eyang Paninggaran, seorang yang menaruh minat tinggi tarhadap bidang agama, pendiri
pesantren.
3. Ariawiratanudatar, Dalem Cikundul.
Eyang Paninggaran merupakan tokoh yang paling banyak disorot dan selalu hadir
dalam setiap adegan cerita. Oleh sebab itu, dia merupakan tokoh utama, yang selalu
menghidupkan peristiwa cerita. Adapun tokoh lainnya, merupakan tokoh tambahan atau
tokoh hiburan.
Latar/Setting
Beberapa tempat yang menjadi latar terjadinya dalam peristiwa dalam kisah ini
adalah:
1. Cikundul, nama sebuah kadaleman yang dipimpin oleh Ariawiratanudatar.
2. Pasir, nama sebuah daerah yang kemudian dijadikan perkampungan oleh Eyang
Paninggaran.
3. Pondok Pesantren, tempat menimba ilmu yang didirikan oleh Eyang
Paninggaran.
4. Hutan, wilayah yang harus dilalui oleh Eyang Paninggaran untuk mencari daerah
baru untuk dijadikan padaleman.
5. Arah barat, arah wilayah yang harus dicari oleh Eyang Paninggaran untuk
penyebaran agama Islam.
Tidak terdapat keterangan waktu untuk menunjukan saat-saat berlangsungnya peristiwa
dalam cerita, sedangkan suasana yang tergambar di antaranya ada suasana khusuk dan taat,
yaitu ketika Eyang Paninggaran menuntut Ilmu kepada Syeh Maulana Syarif
Hidayatulloh, suasana tertantang dan petualang, yaitu ketika Eyang Paninggaran diharuskan
mencari daerah baru untuk dijadikan kadaleman, serta
suasana senang dan meriah, yaitu ketika perkampungan yang telah dibuka oleh Eyang
Paninggaran banyak dikunjungi orang untuk mengaji dan bermukim.
Tema dan Amanat
Pokok masalah yang diangkat dan menjiwai legenda ini adalah spirit mencari ilmu
yang disandingkan dengan keikhlasan hati untuk mengabdi. Hal pertama sangat kentara
terutama ketika Eyang Paninggaran berguru kepada Syeh Maulana Syarif Hidayatulloh,
sedangkan yang kedua tampak ketika Eyang Paninggaran harus mengamalkan ilmunya
bagi orang banyak (membuka pesantren), serta ketika dia ikut tinggal di Cikundul untu
mengabdi kepada dalem. Dari hal tersebut tersirat pesan bahwa mencari ilmu memang harus
dijalani dengan sepenuh hati dan jangn tanggung-tanggung, serta ilmu yang sudah diperoleh
hendaknya diamalkan agar bermanfaat bagi kemaslahatan umat.
Eyang Kaputihan (Kp. Kaum Kaler Desa Kademangan)
Sinosis
R.A. Natamanggala adalah keturunan Cirebon yang kemudian pindah ke
Cibalagung. Ketika awal kepindahannya, Cibalagung masih merupakan belantara yang
angker dan rawan. Itulah sebabnya Eyang Ratna Komala, ibunda Natamanggala I,
mengutus Eyang Rangga Wijaya, seorang yang sangat sakti serta mampu manaklukan semua
jenis mahkluk halus, untuk membantu Natamanggala I, karena dikhawatirkan akan
mendapatkan kesulitan di tempatnya yang baru.
Atas perintah Eyang Ratna Komala serta anjuran dari Eyang Ratna Wulan, ibunya
sendiri, Eyang Rangga Wijaya menetap di Cibalagung. Dengan menetapnya dia di
Cibalagung, kedaan tempat itu menjadi berubah. Tempat yang semula angker dan rawan,
kini menjadi nyaman menentramkan. Mengingat jasanya itulah, Eyang Rangga Wijaya diberi
gelar sebagai Eyang Kaputihan.
Salah satu atraksi kesaktian Eyang Rangga Wijaya yaitu ketika di tengah lapangan
Cibalagung memancar iar yang besar, sehingga menyebabkan lapangn tersebut tidak dapat
digunakan, Eyang Rangga Wijaya menghentikannya dengan senjata miliknya, yaitu besi
kuning. Cara yang dilakukannya yaitu dengan menancapkan besi kuning tersebut di
tengah lapangan, seketika itu juga air yang memancar tersebut berhenti. Ketika wafat,
Eyang Rangga Wijaya dimakamkan di Cibalagung.
Alur/Plot
Alur cerita Eyang Kaputihan dapat diskemakan sebagai berikut, R.A.
Natamanggala I pindah dari Cirebon ke Cibalagung, Eyang Ratna Komala, Ibunda
Natamanggala I, mengkhawatirkannya karena Cibalagung masih angker dan rawan.
Eyang Rtana Komala mengutus Eyang Rangga Wijaya untuk tinggal di
Cibalagung dan menjaga Natamanggala I, Cibalagung menjadi aman dan tentram.
Eyang Rangga Wijaya digelari sebagai Eyang Kaputihan karena jasanya tersebut.
Muncul air yang memancar di tengah lapangan Cibalagung. Eyang Rangga Wijaya
menghentikannya dengan besi kuning, yaitu dengan menancapkannya di tengah
lapangan, air seketika itu j uga berhenti memancar. Eyang Rangga W ij aya
dimakamkan di Cibalagung.
Rangkaian peristwa yang dialami Eyang Rangga Wij aya adalah : - pindah ke
Cibalagung untuk menetap dan menj aga Natamanggala I — mengamankan
Cibalagung yang masih angker dan rawan terutama dari gangguan mahkluk halus — berhasil
menghentikan pancaran air di tengah lapang Cibalagung — digelari Eyang Kaputihan karena j
asanya telah membuat Cibalagung menj adi aman dan tentram — wafat dan dimakamkan di
Cibalagung.
Alur yang digunakan dalam cerita ini adalah alur maju. Kronologis cerita
berlangsung dari kepindahan Natamanggala I ke Cibalagung yang diikuti oleh kepindahan
Rangga W ij aya, kemudian perubahan keadaan Cibalagung dari yang semula angker dan
rawan menjadi aman dan tentram, muncul peristiwa air memancar di lapangn
Cibalagung, kemudian dapat diatasi oleh Eyang Rangga Wij aya hingga dia digelari Eyang
Keputihan, sampai dia wafat dan dimakamkan di Ciabalagung.
Pelaku/Tokoh
Pelaku yang menggerakan kisah Eyang Kaputihan adalah :
1. Natamanggala I, seorang putra Cirebon yang pindah ke Cibalagung dan menj adi dalem
pertama di Cibalagung.
2. Eyang Ratna Komala, ibunda Natamanggala I.
3. Eyang Rangga Wijaya, digelari Eyang Kaputihan, seorang yang sangat sakti dan mampu
menaklukan mahkluk halus, pindah dan bermukim di Cibalagung untuk menjaga
Natamanggala I.
4. Eyang Ratna Wulan, ibunda Eyang Rangga Wijaya.
5. Makhluk halus, jenis mahkluk yang diduga banyak terdapat di Cibalagung, yang membuat
daerah tersebut menjadi angker dan rawan.
Tokoh utama yang menjadi pusat pengisahan dan paling banyak mengalami peristiwa
dalam cerita adalah Eyang Rangga Wijaya atau Eyang Kaputihan, sedangkan tokoh
lainnya seperti Natamanggala I dan Eyang Ratna Komala, merupakan tokoh tambahan
atau tokoh pembantu. Adapun berdasarkan watak dan perilakunya, Eyang Rangga Wijaya
merupakan tokoh protagonis, sedangkan mahkluk halus yang dianggap sering
mengganggu, merupakan tokoh antagonis.
Latar/Setting
Beberapa tempat yang menjadi latar dalam cerita ini adalah :
1. Cirebon, tempat asal Natamanggala I dan Eyang Rangga Wijaya.
2. Cibalagung, perkampungan baru yang dibuka dan dikelola oleh Natamanggala I dibantu
Eyang Rangga Wijaya.
3. Hutan belantara, kondisi awal Cibalagung sebelum dibuka menjadi
perkampungan oleh Natamanggala I dan Eyang Rangga Wijaya.
4. Lapangan, temapat keluarnya air yang memancar di Ciabalagung yang kemudian
dapat diatasi oleh Eyang Ranmgga Wijaya.
Tidak ada penyebutan waktu sebagai latar berlangsungnya cerita, sedangkan suasana
yang tergambar di antaranya terdapat suasana mencekam. Hal tersebut dipengaruhi oleh
aura mistis yang menjiwai sebagian besar cerita, terutama oleh munculnya tokoh
mahkluk halus. Suasana tersebut berlangsung sejak pendeskripsian Cibalagung yang
disebut sebagai belantara yang masih angker dan rawan, sampai munculnya air memancar di
tengah lapangan Cibalagung yang hanya bisa diatasi oleh senjata besi kuning. Suasana lainnya
adalah rasa aman dan tentram, terutama tergambar dari keadaan Cibalagung setelah dikelola
oleh Natamanggala I dan Eyang Rangga Wijaya.
Tema dan Amanat
Tema yang diangkat dalam legenda ini adalah tentang keteguhan hati dan rasa percaya
diri. Bahwa manusia merupakan mahkluk yang mulia, hal tersebut merupakan modal
dalam mengatasi berbagai masalah dan rintangan, baik terhadap gangguan yang datang dari
sesamanya maupun dari gangguan mahkluk halus. Dengan berbekal keyakinan bahwa
manusia merupakan mahkluk yang unggul, maka segala kesulitan dalam bentuk
apapun, niscaya dapat diatasi asal ada keinginan untuk berusaha. Hal tersebut seperti
dilakukan Natamanggala I dan Eyang Rangga Wijaya yang Mampu menyulap
lahan angker dan rawan (Cibalagung), menjadi daerah yang nyaman dan tentram.
Spirit itulah tema dan amanat yang dikandung dalam legenda Eyang Kaputihan.
Sasakala Pasirdalem dan Irigasi Ciaripin (kec. Kadupandak)
Sinopsis
Syahdan, pada tahun 1912 — 1920 Desa Parakantugu dipimpin oleh
Suramanggala, seorang kepala desa yang diangkat oleh pemerintah kolonial Belanda.
Pada masa pemerintahannya, masyarakat Peuntas atau sekarang disebut Pasirdalem, pernah
berinisiatif mambangun saluran irigasi untuk pertanian. Saluran irigasi tersebut kemudian
dinamai Ciaripin.
Hasil pembuatan irigasi tersebut kemudian dilaporkan kepada Dalem Cianjur yang dij
abat oleh R.A.A. W iranatakusumah XII. Mendengar laporan tersebut Dalem berniat
mengunjungi Parakantugu. Kabar kedatangan Dalem disambut oleh masyarakat dengan
membangun tempat macangkrama (tempat pertemuan setengah resmi) di atas bukit. Dari
tempat tersebut terlihat hamparan pemandangan dan gundukan perkampungan serta
pesawahan yang dikeli lingi kali Cibuni . Di sebelah selatan menjulang Gunung
Brengbreng, sebagai batas Kec. Kadupandak dengan Kec. Sindangbarang, yang sekarang
dikenal Kec. Argabinta, memanj ang dari timur ke barat.
Tepat pada waktu yang telah direncanakan, dalem Cianjur yang ke-12 tersebut datang
disertai pej abat lainnya : bupati , wedana, sampai pamong desa beserta warga masyarakat.
Pertemuan tersebut berlangsung tujuh hari tujuh malam.
Kunjungan dan ucapan selamat atas pembuatan irigasi tersebut membuat bahagia
dan bangga warga masyarakat. Sampai sekarang saluran irigasi itu masih berfungsi serta
namanya pun tidak berubah, yaitu Ciaripin, sedangkan nama Pasirdalem kini
diabadikan menj adi nama sebuah desa pemekaran dari Parakantugu.
Alur/Plot
Alur cerita Sasakala Pasirdalem dan Irigasi Ciaripin dapat diskemakan sebagai
berikut : masyarakat Peuntas atau Pasirdalem berinisiatif membangun saluran irigasi yang
dinamai Ciaripin. Pembuatan irigasi tersebut dilaporkan kepada Dalem Ciajur, R.A.A.
Wiranatakusumah XII. Dalem mengunjungi Parakantugu. Masyarakat menyambutnya
dengan membangun tempat pertemuan setengah resmi di atas bukit.
Dari temapat tersebut terlihat hamparan pemandangan di sekelilingnya. Dalem datang
disertai pejabat lainnya. Pertemuan berlangsung tujuh hari tujuh malam. Kunjungan
Dalem membuat bahagia dan bangga warga masyarakat. Saluran irigasi itu masih berfungsi
sampai sekarang. Nama Pasirdalem diabadikan menjadi nama sebuah desa pemekaran.
Alur cerita kisah ini bersifat linear, mudah diikuti serta tidak banyak
mengandung simpangan. Peristiwa-peristiwa cerita dihadirkan secara runut dan beruntun,
mulai dari pengisahan kepala desa Suramanggala sampai pengabdian nama Pasirdalem
menjadi nama sebuah desa.
Pelaku/Penokohan
Tokoh cerita yang terlibat dalam peristiwa legenda Sasakala Pasirdalem dan Irigasi
Ciaripin, adalah sebagai berikut :
1. Suramanggala, kepala desa Parakantugu yang diangkat oleh pemerintah kolonial Belanda.
2. R.A.A. Wiranatakusumah XII, Dalem Cianjur ke-12, yang meresmikan irigasi Ciaripin.
3. Bupati, wedana, camat, pamong desa, merupakan rombongan yang menyertai
kedatangan Dalem ke Parakantugu, yang juga disertai warga masyarakat.
Hanya ada dua nama orang yang disebutkan dalam legenda ini, yaitu
Wiranatakusumah XII dan Suramanggala, sedangkan bupati, wedana, camat, dan yang
lainnya merupakan nama jabatan. Dari nama-nama tersebut pun tidak ada yang
dominan dikisahkan, tetapi hanpir semuanya memiliki peranan yang merata. Hal tersebut
dapat dimengerti mengingat legenda ini menceritakan tentang asalmuasal suatu tempat,
bukan penamaan atau pemberian gelar kepada seseorang. Oleh sebab itu, yang lebih
ditonjolkan adalah peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan nama-nama tempat
dimaksud, bukan dengan nama tokoh atau pelakunya, yang malah hanya diceritakan
sekilas saja.
Latar/Setting
Beberapa nama tempat yang menjadi latar terjadinya peristiwa dalam legenda ini yaitu
:
1. Parakantugu, sebuah desa yang dipimpin oleh Suramanggala.
2. Peuntas, tempat perkampungan yang terletak di sebelah seberang, disebut juga
Pasirdalem.
3. Pasirdalem, nama sebuah desa hasil pemekaran, dahulunya disebut juga Peuntas.
4. Ciaripin, nama saluran irigasi yang dibangun secara swadaya oleh masayarakat
Parakantugu.
5. Cianjur, pernah menjadi nama kadaleman, kemudian manjadi nama kabupaten.
6. Kali Cibuni, kali yang mengitari beberapa perkampungan dan pesawahan.
7. Gunung Brengbreng, batas antara Kec. Kadupandak dengan Kec. Sindangbarang,
pemandangan di sebelah selatan yang dapat dilihat dari Bale Macangkrama.
Latar waktu yang tersurat dalam cerita ini yaitu tahun 1912-1920. angka tersebut
menunjukan masa pemerintahan Desa Parakantugu yang dipimpin oleh Suramanggala.
Adapun suasana yang tergambar dalam cerita ini adalah rasa senang dan gembira,
terutama terlihat ketika Desa Parakantugu dikunjungi Dalem Cianjur beserta
rombongan. Selain itu, juga ada suasana kebersamaan dan rasa gotong royong, yaitu
ketika warga Peuntas membangun saluran irigasi Ciaripin.
Tema dan Amanat
Tema dan amanat yang terkandung dalam legenda ini adalah tentang
kebersamaan hidup dan gotong royong. Hal tersebut tercermin dari perilaku kolektif
masyarakat Peuntas atau Pasirdalem yang secara bersama-sama dan swadaya
membangun saluran irigasi. Banyak sekali fungsi dari pembangunan sarana irigasi tersebut,
baik untuk pengairan lahan pertanian, maupun sebagai sumber resapan air bersih. Dengan
demikian, pengerjaan sebuah fasilitas umum yang dilakukan dengan penuh rasa kesadaran
serta didasari keikhlasan, akan membuahkan hasil yang memuaskan serta menimbulkan
rasa cita bagi seluruh warga, seperti yang dialami oleh masyarakat Desa Parakantugu. Hal
itulah di antaranya, benang merah yang dapat ditarik dari amanat legenda Sasakala
Pasidalem dan Irigasi Ciaripin.