chapter ii

13
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi HIV (Human Imunnodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndromes) 2.1.1 Definisi HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae. Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim reverse trancriptase untuk dapat menginfeksi mamalia, termasuk manusia, dan menimbulkan kelainan patologi secara lambat (Zein, dkk, 2006). AIDS mula-mula didefinisikan untuk kepentingan survei oleh CDC (the U.S. Centers for Disease Control and Prevention) sebagai adanya penyakit oportunistik yang setidaknya mengisyaratkan adanya cacat imunitas seluler tanpa didasari oleh gangguan kekebalan yang diketahui, misalnya imunosupresi iatrogenik atau keganasan. Dengan tersedianya uji diagnostik yang sensitif dan spesifik untuk HIV, definisi kasus AIDS telah mengalami beberapa perbaikan (Fauci dan Lane, 2000). AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Mansjoer, 2000). Umar Zein (2006) mendefinisikan AIDS berdasarkan definisi etimologinya. AIDS singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, dimana acquired artinya didapat, bukan penyakit turunan, immuno artinya sistem kekebalan tubuh, deficiency artinya kekurangan, dan syndrome artinya kumpulan gejala. Jadi AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia, sehingga mudah diserang penyakit-penyakit lain yang dapat berakibat fatal padahal penyakit tersebut tidak akan menyebabkan gangguan yang sangat berarti pada orang-orang dengan sistem kekebalan normal. Universitas Sumatera Utara

Upload: zah-esce

Post on 12-Dec-2015

213 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ahjhjh

TRANSCRIPT

Page 1: Chapter II

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi HIV (Human Imunnodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired

Immune Deficiency Syndromes)

2.1.1 Definisi

HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang

sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. Virus HIV

diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae. Virus ini secara

material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim reverse

trancriptase untuk dapat menginfeksi mamalia, termasuk manusia, dan

menimbulkan kelainan patologi secara lambat (Zein, dkk, 2006).

AIDS mula-mula didefinisikan untuk kepentingan survei oleh CDC (the

U.S. Centers for Disease Control and Prevention) sebagai adanya penyakit

oportunistik yang setidaknya mengisyaratkan adanya cacat imunitas seluler tanpa

didasari oleh gangguan kekebalan yang diketahui, misalnya imunosupresi

iatrogenik atau keganasan. Dengan tersedianya uji diagnostik yang sensitif dan

spesifik untuk HIV, definisi kasus AIDS telah mengalami beberapa perbaikan

(Fauci dan Lane, 2000).

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah kumpulan gejala

penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh secara bertahap yang

disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Mansjoer, 2000).

Umar Zein (2006) mendefinisikan AIDS berdasarkan definisi etimologinya. AIDS

singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, dimana acquired artinya

didapat, bukan penyakit turunan, immuno artinya sistem kekebalan tubuh,

deficiency artinya kekurangan, dan syndrome artinya kumpulan gejala. Jadi AIDS

adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang merusak sistem kekebalan tubuh

manusia, sehingga mudah diserang penyakit-penyakit lain yang dapat berakibat

fatal padahal penyakit tersebut tidak akan menyebabkan gangguan yang sangat

berarti pada orang-orang dengan sistem kekebalan normal.

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Chapter II

2.1.2 Epidemiologi

AIDS pertama kali ditemukan di Amerika Serikat pada tahun 1981

ketika CDC (the U.S. Centers for Disease Control and Prevention)

mengumumkan penemuan aneh dari Pneumocystis carini pneumonia pada 5 laki-

laki homoseksual yang di Los Angeles dan Kaposi’s Sarkoma pada 26 laki-laki

homoseksual yang sehat di New York dan Los Angeles. Pada tahun 1983, HIV

(Human Immunodeficiency Virus) diisolasi dari seorang penderita limfadenopati

dan pada tahun 1984, HIV didemonstrasikan sebagai penyebab dari penyakit

AIDS (Fauci dan Lane, 2005).

Menurut Djoerban Z (1999) dalam Zein (2006), dalam catatan literatur

di Indonesia, kasus infeksi HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1985 di

Jakarta pada seorang wanita yang menderita anemia hemolitik autoimun yang

kerap mendapat transfusi darah. Diduga kuat transmisi virus HIV melalui

transfusi.

Kasus AIDS yang pertama di Indonesia ditemukan pada bulan April

1987, ketika seorang turis Belanda pengidap AIDS meninggal di Bali (Muninjaya,

1999). Sedangkan kasus HIV positif pertama kali ditemukan di Medan pada tahun

1992, ketika dilakukan serosurvei (Zein, 2006).

Sejak saat ditemukan, jumlah penderita AIDS secara kumulatif sampai

September 2008 mencapai 15.136 kasus dan penderita yang terinfeksi HIV

sebanyak 6.015 kasus (Departemen Kesehatan RI, 2008).

2.1.3 Faktor risiko

Orang yang mempunyai risiko besar untuk mendapat infeksi HIV adalah

pasangan seksual pengidap HIV, pecandu narkoba suntik dan pasangan

seksualnya, wanita pekerja seksual (WPS) dan pelanggannya serta pasangan

pelanggannya, waria sebagai pekerja seks dan pelanggannya serta pasangan

pelanggannya, petugas kesehatan yang berhubungan dengan darah dan sekret

penderita infeksi HIV, penerima transfusi darah dan produk darah, serta janin

yang dikandung pengidap HIV (Zein, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Chapter II

2.1.4 Penularan Infeksi HIV/AIDS

HIV dapat masuk ke tubuh manusia terutama melalui darah, semen

(cairan sperma) dan sekret vagina, serta transmisi dari ibu ke anak (Mansjoer,

2000). Transmisi dari retrovirus RNA yang disebarkan melalui darah terjadi

terutama oleh mekanisme, yaitu homoseksual atau heteroseksual, terinfeksi darah

penderita HIV/AIDS, penyalahgunaan obat intravena, transfusi produk-produk

darah dan transmisi dari ibu ke anak (Davey, 2000). Penularan infeksi HIV dari

ibu kepada anaknya terjadi selama kehamilan, proses persalinan dan dengan

pemberian ASI oleh ibu penderita HIV/AIDS (Antony dan Lane, 2005).

Peluang untuk tertular HIV melalui hubungan seks adalah 1%, melalui

transfusi darah 90%, melalui jarum suntik 90% dan ibu hamil kepada bayinya

30%. Meskipun penularan HIV melalui hubungan seks mempunyai peluang

paling kecil, ternyata lebih dari 90% kasus HIV dan AIDS yang ada sekarang ini

terjadi karena hubungan seks (Yatim, 2006).

HIV tidak dapat menular melalui air liur, keringat ataupun air mata

pengidap HIV/AIDS. Walaupun HIV dapat diisolasi jumlah dari ludah penderita

HIV/AIDS dalam jumlah sedikit, tetapi tidak terdapat bukti yang pasti bahwa

ludah dapat menularkan infeksi HIV baik melalui ciuman atau paparan lainnya

(Antony dan Lane, 2005).

Menurut Azhari (2000), AIDS tidak menular melalui:

a. Hidup serumah dengan penderita AIDS (asal tidak mengadakan hubungan

seksual)

b. Bersenggolan dengan penderita

c. Berjabatan tangan

d. Penderita AIDS bersin atau batuk di dekat kita

e. Berciuman

f. Berpelukan

g. Menggunakan alat makan bersama

h. Gigitan nyamuk dan serangga lain

i. Memakai pakaian secara bergantian

j. Berenang di kolam renang yang sama

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Chapter II

2.1.5 Etiologi dan Patogenesis

Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab

AIDS. Virus ini termasuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae. Ciri

khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk

silindris dalam virion matur. Virus ini mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk

replikasi retrovirus yaitu gag, pol, dan env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan

pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein

replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk

gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya.

Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk menentukan virulensi dari infeksi

HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi protein struktural virus. Rev

membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas dari nukleus. Protein Nef

menginduksi produksi kemokin oleh makrofag, yang dapat mengaktivasikan sel

T, sehingga memungkinkan terjadinya infeksi HIV yang produktif. (Brooks,

2005)

Limfosit CD4 merupakan target utama infeksi HIV karena virus

mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4 berfungsi

mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting (Djoerban dan

Djauzi, 2006). Virus memasuki sel dengan berikatan pada molekul CD4 dan

reseptor kemokin, kemudian bereplikasi dan mengintegrasikan dirinya dengan

DNA penjamu. Kemudian terjadi infeksi laten atau produksi virus. Sebanyak 1010-

1011 virion terbentuk setiap hari dengan turnover sel-sel yang terinfeksi oleh HIV.

Pada akhirnya, hilangnya sel-sel CD4 secara progresif dan beberapa mekanisme

lain akan menyebabkan gangguan fungsi sistem imun (Davey, 2002).

2.1.6 Gejala Klinis HIV/AIDS

Menurut MFMER (2008), gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas

beberapa fase, yaitu:

1. Fase awal

Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda

infeksi. Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Chapter II

kepala, sakit tenggorokan, ruam, dan pembengkakan kelenjar getah bening.

Walaupun tidak mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat

menularkan virus kepada orang lain.

2. Fase lanjut

Penderita akan tetap bebas gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau

lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun

tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis

seperti pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang

khas), diare, berat badan menurun, demam, batuk, dan pernafasan dangkal.

3. Fase akhir

Pada fase akhir dari infeksi HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih

setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut

akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.

Pada saat AIDS timbul, sistem imun akan sangat menurun, yang

memungkinkan penderita untuk mendapat infeksi oportunistik. Pada fase ini

juga akan timbul gejala-gejala berupa keringat malam, menggigil, demam

diatas 38oC selama beberapa minggu, diare kronis, batuk kering, dan nafas

dangkal serta bintik-bintik putih di sekitar lidah dan mulut.

2.1.7 Penatalaksanaan HIV/AIDS

Secara umum, penatalaksanaan penderita HIV/AIDS terdiri dari

beberapa jenis, yaitu:

a. pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat anti retroviral

(ARV). Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse

transcriptase inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non

nucleoside reverse transcriptase inhibitor dan inhibitor protease. Obat-obat ini

hanya berperan dalam menghambat replikasi virus tetapi tidak bisa

menghilangkan virus yang telah berkembang. Tidak semua ARV tersedia di

Indonesia.

b. pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang

menyertai infeksi HIV/AIDS.

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Chapter II

c. pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih

baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan

dukungan agama serta tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan

(Djoerban dan Djauzi, 2006).

HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara

total. Namun, data selama 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang sangat

meyakinkan bahwa pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV (obat

anti retroviral, disingkat obat ARV) bermanfaat menurunkan morbiditas dan

mortilitas dini akibat infeksi HIV (Djoerban dan Djauzi, 2006).

Terapi anti retroviral gabungan untuk infeksi HIV telah menandai

revolusi pengobatan HIV dan AIDS. Pengobatan tersebut, yang biasanya

melibatkan dua nucleoside reverse transcriptase inhibitor dan setidaknya satu

inhibitor protease atau satu nonnucleoside reverse transcriptase inhibitor disebut

terapi anti retroviral yang sangat aktif (highly active antiretroviral therapy/

HAART) (Rubenstein,dkk, 2003).

2.1.8 Pencegahan Infeksi HIV/AIDS

Pencegahan AIDS difokuskan pada tiga cara penularan yang utama,

yaitu: (1) kontak seksual, (2) penggunaan jarum suntik dan (3) transfusi darah

(Hutapea, 1995).

Pengendalian diri untuk tidak berperilaku resiko tertular virus AIDS

adalah kunci pencegahan yang jika dikembangkan secara konsisten akan cukup

efektif untuk menyelamatkan masyarakat dari wabah penularan virus AIDS ini.

Pengendalian diri dapat diterapkan melalui tiga cara, yaitu puasa (P) seks

(abstinensia), artinya tidak melakukan hubungan seks, setia (S) pada pasangan

seks yang sah, artinya tidak berganti-ganti pasangan seks dan penggunaan

kondom pada setiap melakukan hubungan seksual yang beresiko tertular virus

AIDS atau penyakit menular seksual (PMS) (Muninjaya, 1999).

Saat ini perkembangan vaksin HIV sangat ditekankan. Vaksin digunakan

untuk menginduksi imunitas tambahan pada tiap imunitas yang menurun akibat

infeksi alamiah pada pasien. Sebagian besar vaksin yang kini tersedia didasarkan

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Chapter II

pada protein selubung ekstraselular gp 120 atau protein prekusor selubung gp 160.

Salah satu faktor yang mungkin membatasi keberhasilan vaksin ini adalah

banyaknya jenis protein selubung antara galur HIV berbeda.

2.1.9 Penanggulangan HIV/AIDS

Sejalan dengan meningkatnya jumlah kasus HIV, maka jumlah kasus

AIDS juga meningkat cepat yang menyebabkan upaya penanggulangan

memerlukan bukan saja pada upaya pencegahan, tetapi juga upaya pengobatan,

perawatan dan dukungan.

Berdasarkan kajian dalam strategi nasional penanggulangan HIV/AIDS

2003-2007, terdapat tujuh area program prioritas sebagai berikut:

1. Pencegahan HIV/AIDS

Upaya pencegahan pada masyarakat luas dilakukan dengan melalui

peningkatan pengetahuan dan keterampilan tentang cara penularan,

pencegahan, dan akibat yang ditimbulkannya sesuai dengan norma-norma

agama dan budaya masyarakat.

Upaya pencegahan pada populasi beresiko tinggi seperti Penjaja Seks

(PS) dan pelanggannya, ODHA dan pasangannya, penyalahguna Napza, dan

petugas yang karena pekerjaannya beresiko terhadap penularan HIV/AIDS

melalui pencegahan yang efektif seperti penggunaan kondom, penerapan

pengurangan dampak buruk (harm reduction), penerapan kewaspadaan umum

(universal precautions), dan sebagainya.

2. Perawatan, Pengobatan dan Dukungan terhadap ODHA

Salah satu keputusan penting dalam sidang PBB yang khusus membahas

HIV/AIDS (UNGASS) pada tahun 2001 adalah perlunya memperluas

pelayanan, perawatan, dan dukungan terhadap ODHA serta melindungi hak-

hak azasi mereka (mencegah, mengurangi, dan menghilangkan stigma dan

diskriminasi).

Upaya pelayanan perawatan, pengobatan, dan dukungan terhadap

ODHA dilakukan baik melalui pendekatan klinis maupun pendekatan berbasis

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Chapter II

masyarakat dan keluarga (community and home-based care) serta dukungan

pembentukan persahabatan ODHA.

3. Surveilans HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS)

Salah satu kegiatan yang penting dalam penanggulangan HIV/AIDS

adalah mengumpulkan data melalui kegiatan surveilans yang sistematis dan

terus menerus agar dapat diketahui distribusi dan kecenderungan infeksi HIV,

distribusi kasus AIDS serta faktor-faktor yang mempengaruhi persebaran HIV

di masyarakat. Selain untuk mengetahui besarnya kecenderungan dan

distribusi dari persebaran HIV/AIDS, surveilans epidemologi dan perilaku

akan memberikan informasi yang sangat penting untuk perencanaan

penanggulangan meliputi kegiatan pencegahan, perawatan, pengobatan dan

dukungan pada ODHA, peningkatan kapasitas (capacity building), penelitian,

pengembangan peraturan dan perundang-undangan serta kegiatan lain.

4. Penelitian

Penelitian dan riset operasional diperlukan untuk menentukan dasar

kebijakan penanggulangan HIV/AIDS sehubungan dengan perubahan epidemi

dan dampaknya.

5. Lingkungan Kondusif

UNGASS (United Nations General Assembly Special Session) 2001

mendeklarasikan bahwa pada tahun 2003 mengesahkan, mendukung atau

menegakkan peraturan dan ketentuan lainnya sebagai perundang-undangan

yang tepat untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan memastikan

pemilikan hak-hak azasi dan kemerdekaan secara sepenuhnya oleh ODHA dan

anggota kelompok rentan.

Upaya KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) dalam penanggulangan

HIV/AIDS telah dilakukan namun stigmatisasi, diskriminasi, dan pelanggaran

hak azasi, masih terjadi. Masih banyak aspek penanggulangan HIV/AIDS

yang belum didukung oleh peraturan yang memadai sehingga beberapa upaya

penanggulangan menghadapi hambatan.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Chapter II

Lingkungan kondusif untuk mengurangi stigma, diskriminasi dan

pelanggaran hak azasi serta menghilangkan hambatan pada pelaksanaan

kegiatan penanggulangan HIV/AIDS sangat diperlukan.

6. Koordinasi Multipihak

Masalah HIV/AIDS harus ditangani secara terkoordinasi oleh sektor

pemerintah, sektor swasta/dunia usaha dan LSM. Koordinasi tersebut

mencakup aspek perencanaan, pembiayaan, penyelenggaraan, monitoring dan

evaluasi.

7. Kesinambungan Penanggulangan

Pada masa mendatang Indonesia akan menghadapi masalah HIV/AIDS

yang semakin besar dan kompleks. Oleh karena itu upaya penanggulangan

harus ditingkatkan dan dijamin kesinambungannya (sustainable response)

agar tujuan penanggulangan HIV/AIDS dapat dicapai. Kelemahan dalam

bidang organisasi dan kemampuan individu dari mereka yang terlibat dalam

penanggulangan HIV/AIDS harus ditingkatkan melalui upaya peningkatan

kemampuan (capacity building).

2.1.10 Sikap Masyarakat Terhadap Penderita HIV/AIDS

Seperti yang telah dibicarakan sebelumnya bahwa salah satu strategi

penanggulangan HIV/AIDS adalah menciptakan lingkungan yang konduksif,

yaitu dengan menghilangkan segala bentuk diskriminasi terhadap penderita

HIV/AIDS.

Stigma sering kali menyebabkan terjadinya diskriminasi dan pada

gilirannya akan mendorong munculnya pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia)

bagi ODHA (orang-orang yang hidup dengan HIV/AIDS) dan keluarganya.

Stigma dan diskriminasi memperparah epidemi HIV/AIDS. Mereka menghambat

usaha pencegahan dan perawatan dengan memelihara kebisuan dan penyangkalan

tentang HIV/AIDS seperti juga mendorong keterpinggiran ODHA dan mereka

yang rentan terhadap infeksi HIV. Mengingat HIV/AIDS sering diasosiasikan

dengan seks, penggunaan narkoba dan kematian, banyak orang yang tidak peduli,

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Chapter II

tidak menerima, dan takut terhadap penyakit ini di hampir seluruh lapisan

masyarakat (Harahap, 2003).

Pelaku diskriminasi bisa terjadi di keluarga, masyarakat, pers, rumah

sakit, dokter, dan paramedis, serta lembaga swadaya masyarakat. Bentuk

diskriminasi di keluarga dan masyarakat misalnya dikucilkan, ditempatkan dalam

ruang atau rumah khusus, diberi makanan secara terpisah, bahkan ada yang

diborgol. Pengaduan juga terjadi di masyarakat. Sementara pers memuat foto,

nama, dan alamat tanpa izin. Diskriminasi yang dilakukan perusahaan misalnya

pemutusan hubungan kerja, mutasi atau pelarangan kerja ke luar negeri.

Bentuk diskriminasi oleh rumah sakit dan tenaga kesehatan adalah

penolakan untuk merawat, mengoperasi atau menolong persalinan, diskriminasi

dalam pemberian perawatan, dan penolakan untuk memandikan jenazah

(Djoerban, 2005).

Selain itu, banyak orang percaya bahwa HIV/AIDS dapat ditularkan

melalui gigitan nyamuk, minum dari gelas yang sama dengan orang dengan

AIDS, bergaul sehari-hari dengan orang dengan AIDS yang batuk, dan berpeluk

atau mencium orang dengan AIDS. Hal ini juga menyebabkan terjadinya stigma

dan diskriminasi pada penderita HIV/AIDS.

Merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa bangsa Indonesia

terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga bangsa

Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat “multikultural”.

Setiap etnis, budaya, agama dan lain-lain tentu saja memiliki pandangan, sikap,

tindakan yang berbeda-beda terhadap suatu persoalan.

Perbedaan budaya merupakan sebuah konduksi dalam hubungan

interpersonal. Sebagai contoh ada yang orang yang bila diajak bicara (pendengar)

dalam mengungkapkan perhatiannya cukup dengan mengangguk-anggukan kepala

sambil berkata “uh. huh”. Namun dalam kelompok lain untuk menyatakan

persetujuan cukup dengan mengedipkan kedua matanya. Dalam beberapa budaya,

individu-individu yang berstatus tinggi biasanya yang memprakarsai, sementara

individu yang statusnya rendah hanya menerima saja sementara dalam budaya lain

justru sebaliknya.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Chapter II

Dilihat dari contoh lain, ada kolompok yang bisa merasa simpati atau

peduli terhadap orang lain sedangkan kelompok lain lebih bersifat individualistik

dan acuh tak acuh terhadap perkara orang lain.

Beberapa psikolog menyatakan bahwa budaya menunjukkan tingkat

intelegensi masyarakat. Sebagai contoh, gerakan lemah gemulai merupakan ciri

utama masyarakat Bali. Oleh karena kemampuannya untuk menguasai hal itu

merupakan ciri dari tingkat intelligensinya. Sementara manipulasi dan rekayasa

kata dan angka menjadi penting dalam masyarakat Barat. Oleh karenanya

“keahlian” yang dimiliki seseorang itu menunjukkan kepada kemampuan

intelligensinya ( Muhaimin, 2009).

Sebenarnya sangat sulit untuk membicarakan tentang stigma dan

diskriminasi HIV/AIDS yang terjadi di dunia. Bahkan reaksi dalam suatu negara

terhadap HIV/AIDS akan beraneka ragam antara kelompok yang satu dengan

yang lain dan individu yang satu dengan yang lain. Agama, umur, dan tingkat

pengetahuan masyarakat mengenai penyakit tersebut dapat mempengaruhi

bagaimana seseorang menyikapi penyakit tersebut.

Stigma terhadap penderita HIV/AIDS tidak bersifat statis. Ini akan

berubah seiring dengan berjalannya waktu dimana pengetahuan mengenai

HIV/AIDS dan pengobatannya telah berkembang (AVERT, 2009).

Pada tahun 2003, WHO menyatakan bahwa jika HIV/AIDS sudah

menjadi penyakit yang bisa dicegah dan diobati, sikap masyarakat akan berubah

dimana penolakan, stigma, dan diskriminasi akan dengan cepat berkurang.

Salah satu hal yang menyebabkan orang menstigma dan

mendiskriminasi ODHA karena mereka tidak paham akan HIV/AIDS dan cara

penularannya (YAKITA, 2003). Berbagai upaya telah dijalankan untuk

mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap ODHA dan keluarganya, namun hal

ini masih terus berlangsung. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan

peningkatan pemahaman mengenai HIV/AIDS dikalangan masyarakat termasuk

mereka yang bekerja di unit-unit pelayanan kesehatan.

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Chapter II

2.2 Pengetahuan dan Sikap Masyarakat

2.2.1 Pengetahuan

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengetahuan (knowledge)

didefinisikan sebagai segala sesuatu yang diketahui; kepandaian.

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar

pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Meliono (2007), pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh

beberapa faktor, yaitu:

1. Pendidikan

Adalah sebuah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau

kelompok dan juga usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran

dan pelatihan, maka jelas dapat kita kerucutkan sebuah visi pendidikan yaitu

mencerdaskan manusia.

2. Media

Media yang secara khusus didesain untuk mencapai masyarakat yang

sangat luas. Contoh dari media massa adalah televisi, radio, koran, dan

majalah.

3. Keterpaparan informasi

2.2.2 Sikap Masyarakat

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, sikap (attitude) adalah

perbuatan, pendapat atau keyakinan yang berdasarkan pada pendirian. Sikap

merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu

stimulus atau objek. Newcomb, salah seorang ahli psikologis sosial, menyatakan

bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan

merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan

atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku

(Soekidjo, 2003).

Menurut Alport (1954) dalam Soekidjo (2003), sikap mempunyai 3

komponen pokok, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Chapter II

1. kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek.

2. kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh

(total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran,

keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.

Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden

terhadap suatu objek, sedangkan pengukuran sikap secara tidak langsung dapat

dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis, kemudian ditanyakan

pendapat responden (Notoatmodjo, 2003).

Universitas Sumatera Utara