cidera sspusat
DESCRIPTION
Asuhan keperawatan pada pasien CLOSE FRAKTUR RADIUSA. KONSEP DASAR1. PENGERTIANFraktur radius distal yaitu yang disertai dislokasi sendi radius ulna distal, dimana saat pasien jatuh dengan tangan terbuka yang menahan badan terjadi pula rotasi lengan bawah dalam posisi pronasi waktu menahan berat badan yang memberi gaya supinasiFraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa(Arif Masjoer, 2000)Patah tulang berbuka adalah patah tulang dimana fragmen tulang sedang / pernah berhubungan dengan dunia luar.(LAB / UPF Bedah RSUD. Dr. Soetomo, 1994 : 131)Eksternal fiksasi adalah teknik immobilisasi pada tulang dengan menyambung beberapa pin menembus tulang dan menahannya sehingga membentuk bingkai di di luar terutama pada tulang terbuka dengan kerusakan jaringan keras dan lunak.(Lilian S. Brunner, 1986)Debridement adalah membuang semua jaringan mati pada pada daerah patah tulang terbuka baik berupa benda asing maupun jaringan lokal yang mati. Irigasi adalah cara untuk mengurangi kepadatan kuman dengan cara mencuci luka dengan larutan fisiologi dalam jumlah banyak baik dengan tekanan maupun tanpa tekanan.(LAB / UPF Bedah RSUD. Dr. Soetomo, 1994 : 131)2. ETIOLOGIPatah tulang atau Fraktur biasanya akan menyebabkan terjadinya cedera pada jaringan disekitarnya yaitu ligumen, otot, tendon, pembuluh darah, persyarafan karena pembuluh darah cedera, maka terjadi perdarahan pada daerah fraktur kemudian darah menumpuk dan mengerutkan ujung-ujung tulang yang patah. Hematoma menjadi terorganisisr karena fibrolast masuk lokasi cedera, membentuk fibrin meshwork (gumpalan fibrin). Berdinding sel darah putih pada lokasi, melokalisir radang (odema). Kerusakan saraf akan mengakibatkan nyeri.3. PATOFISIOLOGI4. MANIFESTASI KLINISGejala patah tulang biasanya terjadi :- Bentuk anggaota badan tampak berubah pada tulang yang diduga patah.- Anggota gerak tampak lebih pendek.- Anggota yang patah tak dapat digerakkan.- Bila digerakkan terasa gesekan tulang (krepitasi).- Daerah patah terasa sakit, bengkak, berubah warna (membiru) karena terjadi perdarahan.- Gejala pasti adalah bila dibuat foto rontgen.5. PENATALAKSANAANPada fraktur terbuka dilakukan debridement luka. Kemudian reposisi secara terbuka tulang yang patah. Dilanjutkan dengan immobilisasi dapat dilakukan dengan cra long leng plester hanya saja fraktur terbuka dibuat jendela atas luka setelah beberapa hari. Dari lubang jendela ini luka dirawat sampai sembuh. Dapat juga memakai pen diluar tulang, seperti dengan firsasi ekternal judet, rogen anderson, hottman, screw dan meril mentanrilat (INOE teknik).(Arif Masjoer, 2000)6. PEMERIKSAAN PENUNJANGa. Pemeriksaan Laboratorium- Darah lengkap : Hematokrit mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan).- Kreatinin serum untuk mengetahui trauma otot.- Profil reagulasi.b. Pemeriksaan Diagnostik- Pemeriksaan rontgen (x ray) untuk menentukan luasnya fraktur dan lokasi.- Tomogram untuk mengedintifikasi kerusakan jaringan lunak.- Bone scan / scan tulang- CT scan / MRL- Arteriogram : megetahui kerusakan vaskuler.7. KOMPLIKASIa. Mal union : suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi yang tak seharusnya, membentuk sudut atau miring.b. Delayet union : proses penyembuhan yang terus berjalan terapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.c. Non union : tulang yang patah menjadi komplikasi yang dapat membahayakan bagi penderita.B. ASUHAN KEPERAWATANI. PENGKAJIANMerupakan pendekatan yang sistematis untuk pengumpulan data dan analisa data sehingga dapat diketahui masalah yang dihadapi oleh klien.a. Pengumpulan data1. Identitas Klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, alamat, bahasa, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, tanggaTRANSCRIPT
CIDERA SUSUNAN SISTEM SARAF PUSAT
(CRANIOCEREBRAL TRAUMA)
A. Pengertian
Kerusakan neurologi yang terjadi akibat adanya trauma pada jaringan otak yang
terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi (Sylvia
anderson Price, 1985).
B. Etiologi
1. Oleh benda/ serpihan tulang yang menembus jaringan otak.
2. Efek dari kekuatan atau energi yang di teruskan ke otak.
3. Efek percepatan dan perlambatan (akselerasi-deselerasi)pada otak.
C. Faktor pemberat terjadinya cidera otak
1. Besar kekuatan yang menyebabkan terjadinya trauma (semakin besar kekuatan
semakin besar pula kerusakan yang di timbulkannya).
2. Efek sekunder dari cidera otak.
D. Pathofisiologi
Trauma tumpul maupun trauma kepala mebentur benda menyebabkan terjadinya
kerusakan pada jringan nervous di otak, dampak yang timbul antara lain perdarahan
di otak yang letak dan luasnya bergantung dari besar kekuatan serta lokasi trauma.
Perdarahan di otak menyebabkan peningkatan voume intrkaranial yang dapat
menimbulkan beberapa manifestasi klinis yang dapat di lihat secara langsung.
Edema cerebri akibat reaksi oleh jaringan setempat akibat dari adanya jaringan yang
mengalami trauma menyebabkan pula terjadinya peningkatan volume intrkranial.
Dampak dari peningkatan tekanan intrakranial yang dapat kita lihat pada gambar di
bawah ini
- Trauma tumpul/ tajam.- Efek dari akselerasi
deselerasi
- Perdarahan (pecahnya pembuluh darah otak)- Edema akibat dari reaksi jaringan setempat.
- Perdarahan pada arteri serebri- Perdarahan pada sub arakhnoid.
Kerusakan jaringan pelindung sistem saraf pusat yaitu:- Kulit kepala, tulang yang
mengelilingi kepala.- Lapisan meningens
(duramater, arakhnoid, piamater).
- Anoksia pada jaringan di otak 4-6‘ bersifat reversibel.
- Anoksia pada jaringan otak > 10’ bersifat ireversibel/ permanen.
(Sylvia Anderson Price, 1982)
E. Gejala klinik
- Sakit kepala yang hebat.
- Wajah asimetris.
- Tak sadar/ pingsan.
- Bingung.
- Lateralisasi/ hemiparese/ paraparese.
- Gangguan bicara.
- Penurunan kesadaran.
F. Pemeriksaan diagnostik/ penunjang
1. Spinal X ray
Membantu menentukan lokasi terjadinya trauma dan efek yang terjadi
(perdarahan atau ruptur atau fraktur).
2. CT Scan
Memperlihatkan secara spesifik letak oedema, posisi hematoma, adanya
jaringan otak yang infark atau iskemia serta posisinya secara pasti.
3. Myelogram
Di lakukan untuk menunjukan vertebrae (tulang belakang) dan adanya
bendungan dari spinal arakhnoid jika di curigai.
4. MRI (magnetic Imaging Resonance)
Dengan menggunakan gelombang magnetic untuk menentukan posisi serta
besar/ luas terjadinya perdarahan otak.
5. Thorax X ray
Untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.
6. Pemeriksaan fungsi pernafasan
Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting di
ketahui bagi penderita dengan cidera kepala dan pusat pernafasan (medula
oblongata).
Manifestasi klinis:- Kebutaan, hemiplegia, parapelgia, gangguan
dalam berbicara, kekacauan mental.- Gangguan pada pola pernafasan jika terjadi
penekanan pada pusat pernafasan.- Pusing, diplopia, kesemutan, penurunan
kesadaran.
7. Analisa gas darah
Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usah pernafasan.
G. Penatalaksanaan
1. Terapi konsevatif
Memperbaiki keadaan umum, pemberian vasodilator, mengurangi edema
cerebri.
2. Terapi pembedahan
Trepanasi melakukan evakuasi terhadap perdarahan yang timbul dan
menghentikan perdarahan.
H. Pengkajian
1. Riwayat kesehatan yang bergubungan dengan faktor pendukung terjadinya stroke,
serta bio- psiko- sosio- spiritual.
2. Peredaradan darah
Palpitasi, sakit kepala pada saat melakukan perubahan posisi, penurunan tekanan
darah, bradikardi, tubuh teraba dingin, ekstrimitas tampak pucat.
3. Eliminasi
Perubahan pola eliminasi (inkontinensia uri/ alvi), distensi abdomen,
menghilangnya bising usus.
4. Aktivitas/ istirahat
Terdapat penurunan aktivitas karena kelemahan tubuh, kehilangan sensasi atau
parese/ plegia, mudah lelah, sulit dalam beristirahat karena kejang otot atau
spasme dan nyeri. Menurunnya tingkat kesadaran, menurunnya kekuatan otot,
kelemahan tubuh secara umum.
5. Nutrisi dan cairan
Anoreksia, mual muntah akibat peningkatan TIK (tekanan intra kranial),
gangguan menelan, dan kehilangan sensasi pada lidah.
6. Persarafan
Pusing/ syncope, nyeri kepala, menurunnya luas lapang pandang/ pandangan
kabur, menurunnya sensasi raba terutama pada daerah muka dan ekstrimitas.
Status mental koma, kelmahan pada ekstrimitas, paralise otot wajah, afasia, pupil
dilatasi, penurunan pendengaran.
7. Kenyamanan
Ekspresi wajah yang tegang, nyeri kepala, gelisah.
8. Pernafasan
Nafas yang memendek, ketidakmampuan dalam bernafas, apnea, timbulnya
periode apnea dalam pola nafas.
9. Keamanan
Fluktuasi dari suhu dalam ruangan.
10. Psikolgis
Denial, tidak percaya, kesedihan yang mendalam, takut, cemas.
I. Masalah dan rencana tindakan keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kerusakan jaringan atau
trauma pada pusat pernafasan
Tujuan: Pasien menunjukkan kemampuan dalam melakukan pernafasan secara
adekuat dengan memperlihatkan hasil blood gas yang stabil dan baik
serta hilangnya tanda-tanda distress pernafasan.
Rencana tindakan:
a. Bebaskan jalan nafas secara paten (pertahankan posisi kepala dalam keadaan
sejajar dengan tulang belakang/ sesuai indikasi).
b. Lakukan suction jika di perlukan.
c. Kaji fungsi sistem pernafasan.
d. Kaji kemampuan pasien dalam melakukan batuk/ usaha mengeluarkan
sekret.
e. Observasi tanda-tanda vital sebelum dan sesudah melakukan tindakan.
f. Observasi tanda-tanda adanya ditress pernafasan (kulit menjadi pucat/
cyanosis).
g. Kolaborasi dengan terapist dalam pemberian fisoterapi.
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan neuromuskuler pada
ekstrimitas.
Tujuan: Pasien menunjukan adanya peningkatan kemampuan dalam melakukan
aktivitas fisik.
Rencana tindakan:
a. Kaji kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas.
b. Ajarkan pada pasien tentang rentang gerak yang masih dapat di lakukan.
c. Lakukan latihan secara aktif dan pasif pada akstrimitas untuk mencegah
kekakuan otot dan atrofi.
d. Anjurkan pasien untuk mengambil posisi yang lurus.
e. Bantu pasien secara bertahap dalam melakukan ROM sesuai kemampuan.
f. Kolaborasi dalam pemberian antispamodic atau relaxant jika di perlukan.
g. Observasi kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas
3. Penurunan perfusi jaringan otak berhubungan dengan edema cerebri,
perdarahan pada otak.
Tujuan: Pasien menunjukan adanya peningkatan kesadaran, kognitif dan fungsi
sensori.
Rencana tindakan:
a. Kaji status neurologis dan catat perubahannya.
b. Berikan pasien posisi terlentang.
c. Kolaborasi dalam pemberian O2.
d. Observasi tingkat kesadaran, tanda vital.
4. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya trauma secara fisik
Tujuan: Pasien mengungkapkan nyeri sudah berkurang dan menunjukkan suatu
keadaan yang relaks dan tenang.
Rencana tindakan:
a. Kaji tingkat atau derajat nyeri yang di rasakan oleh pasien dengan
menggunakan skala.
b. Bantu pasien dalam mencarai faktor presipitasi dari nyeri yang di rasakan.
c. Ciptakan lingkungan yang tenang.
d. Ajarkan dan demontrasikan ke pasien tentang beberapa cara dalam
melakukan tehnik relaksasi.
e. Kolaborasi dalam pemberian sesuai indikasi.
5. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan efek dari kerusakan pada
area bicara pada himisfer otak.
Tujuan: Pasien mampu melakukan komunikasi untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya dan menunjukan peningkatan kemampuan dalam melakukan
komunikasi.
Rencana tindakan:
a. Lakukan komunkasi dengan pasien (sering tetapi pendek serta mudah di
pahami).
b. Ciptakan suatu suasana penerimaan terhadap perubahan yang dialami
pasien.
c. Ajarkan pada pasien untuk memperbaiki tehnik berkomunikasi.
d. Pergunakan tehnik komunikasi non verbal.
e. Kolaborasi dalam pelaksanaan terapi wicara.
f. Observasi kemampuan pasien dalam melakukan komunikasi baik verbal
maupun non verbal.
6. Perubahan konsep diri berhubungan dengan perubahan persepsi.
Tujuan: Pasien menunjukan peningkatan kemampuan dalam menerima keadaan
nya.
Rencana tindakan:
a. Kaji pasien terhadap derajat perubahan konsep diri.
b. Dampingi dan dengarkan keluhan pasien.
c. Beri dukungan terhadap tindakan yang bersifat positif.
d. Kaji kemampuan pasien dalam beristirahat (tidur).
e. Observasi kemampuan pasien dalam menerima keadaanya.
7. Perubahan pola eliminasi defekasi dan uri berhubungan dengan an inervasi
pada bladder dan rectum.
Tujuan: Pasien menunjukkan kemampuan dalam melakukan eliminasi
(defekasi/ uri) secara normal sesuai dengan kebiasaan pasien.
Rencana tindakan:
a. Kaji pola eliminasi pasien sebelum dan saat di lakukan pengkajian.
b. Auskultasi bising usus dan distensi abdomen.
c. Pertahankan porsi minum 2-3 liter perhari (sesuai indikasi).
d. Kaji/ palpasi distensi dari bladder.
e. Lakukan bladder training sesuai indikasi.
f. Bantu/ lakukan pengeluaran feces secara manual.
g. Kolaborasi dalam(pemberian gliserin, pemasangan dower katheter dan
pemberian obat sesuai indikasi).
8. Resiko terjadinya kerusakan integritas kulit berhubungan dengan sirkulasi
perifer yang tidak adekuat, adanya edema, imobilisasi.
Tujuan: Tidak terjadi kerusakan integritas kulit (dikubitus).
Rencana tindakan:
a. Kaji keadaan kulit dan lokasi yang biasanya terjadi luka atau lecet.
b. Anjurkan pada keluarga agar menjaga keadan kulit tetap kering dan bersih.
c. Ganti posisi tiap 2 jam sekali.
d. Rapikan alas tidur agar tidak terlipat.
9. Resiko terjadinya ketidakpatuhan terhadap penatalaksanaan yang berhubungan
dengan kurangnya informasi.
Tujuan: Pasien menunjukan kemauan untuk melakukan kegiatan penatalak-
sanaan.
a. Identifikasi faktor yang dapat menimbulkan ketidak patuhan terhadap
penatalaksanaan.
b. Diskusikan dengan pasien cara-cara untuk mengatasi faktor penghambat
tersebut.
c. Jelaskan pada pasien akibat dari ketidak patuhan terhadap penatalaksanaan.
d. Libatkan keluarga dalam penyuluhan.
e. Anjurkan pada pasien untuk melakukan kontrol secara teratur.
DAFTAR PUSTAKA
Doengoes, Marylin E., 1989, Nursing Care Plans, USA Philadelphia: F.A Davis
Company.
Junadi, Purnawan, 1982, Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta: Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Price, Sylvia Anderson, 1985, Pathofisiologi Konsep klinik proses-proses penyakit,
Jakarta: EGC.