comprehensive management of ard

22
COMPREHENSIVE MANAGEMENT OF ACID RELATED DISEASE Iswan A. Nusi Divisi Gastroentero-Hepatologi, Dep.SMF. Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr Soetomo, Surabaya - Indonesia Diet and the microbiome: Associations, functions, and implications for health and disease Fauzi Yusuf, Siti Adewiah

Upload: paramitha-dona

Post on 09-Jul-2016

240 views

Category:

Documents


14 download

TRANSCRIPT

Page 1: Comprehensive Management of Ard

COMPREHENSIVE MANAGEMENT OF ACID RELATED DISEASE

Iswan A. Nusi

Divisi Gastroentero-Hepatologi, Dep.SMF. Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga –

RSUD Dr Soetomo,Surabaya - Indonesia

Diet and the microbiome: Associations, functions, and implications for health and diseaseFauzi Yusuf, Siti AdewiahDivision of Gastroenterology-Hepatology, Department of Internal Medicine, School of Medicine

Page 2: Comprehensive Management of Ard

University of Syiah Kuala/ Dr. Zainoel Abidin General Teaching Hospital, Banda Aceh- IndonesiDiet and the microbiome: Associations, functions, and implications for health and diseaseFauzi Yusuf, Siti Adewiah

Page 3: Comprehensive Management of Ard

Division of Gastroenterology-Hepatology, Department of Internal Medicine, School of MedicineUniversity of Syiah Kuala/ Dr. Zainoel Abidin General Teaching Hospital, Banda Aceh- IndonesiaAbstract

Acid Related Disease (ARD) is a variety disorders of the esophagus, stomach and duodenum

caused by increase in gastric acid secretion and decrease mucosal defenses. These conditions

lead to decreased quality of life and escalation patient treatment cost. Developments of drug

innovation that accordance with the physiological targets play important role in ARD control.

Histamine-2 receptor agonists (ARH2) with their safety and efficacy profile has become one of the

ARD treatment revolution. Proton pump inhibitors (PPI) is a further therapeutic advances

through stronger gastric acid secretion inhibition mechanism. Data of clinical trials and

observational experience shows the benefits of both agent type in the treatment of ARD, with

Page 4: Comprehensive Management of Ard

differences in safety and efficacy characteristics of each type and class of drug. However, the

knowledge related to the speed and duration of drug available today emphasizes the importance

of new chemical agent discovery that can suppress acid levels with longer duration, especially at

night.

Keywords: acid-related diseases, Proton pump inhibitors, GERD, NERD, Ulcer

Pendahuluan

Acid Related Disease (ARD) memiliki spektrum yang luas, merupakan berbagai

gangguan pada esofagus, lambung dan duodenum yang disebabkan oleh peningkatan asam

lambung dan penurunan pertahanan mukosa yang pada akhirnya menyebabkan cedera jaringan

akibat asam lambung. Istilah ARD ini digunakan pada penyakit-penyakit mulai dari Zollinger-

Ellison Syndrome (ZES) di mana asam menjadi satu-satunya penyebab secara keseluruhan, hingga

kondisi aerofagia dan dispepsia tipe motilitas non ulkus di mana asam berperan kecil pada kondisi

dispepsia yang ditimbulkan(1,2). Spektrum ini sangat luas, karena walau asam hanya berperan kecil,

namun dapat menimbulkan keluhan dan kelainan organik sebagai akibatnya. Sehingga hal ini

memerlukan pendekatan yang komprehensif, karena asam bukan satu-satunya penyebab dari

keluhan dispepsia yang ditimbulkan.

Penderita ARD akan mengalami kecenderungan untuk menjadi kronik, sehingga

penggunaan obat-obatan penekan asam lambung cukup sering dan banyak digunakan. Pilihan obat

penekan asam lambung yang efektif dianggap dapat membantu menekan angka kejadian dan

komplikasi yang ditimbulkan oleh ARD.

Prevalensi ARD kronik pada tahun 2003 di negara Amerika Serikat sebesar 2,3%, yang

meliputi GERD (Gastroesophageal reflux disease) sebesar 59% sebagai kelainan terbanyak, dan

dispepsia sebesar 35% yang diketahui dari penelitian secara kohort, dan 18% yang diketahui dari

endoskopi(2). Walaupun prevalensi tersebut cukup kecil, namun sebenarnya kasus keluhan akibat

ARD ini banyak kita jumpai di masyarakat. Rendahnya prevalensi tersebut menunjukkan bahwa

ARD ini belum banyak diinvestigasi. Pencapaian dalam perkembangan pengobatan ARD ialah

penemuan reseptor Histamin-2 beserta antagonis fungsionalnya, identifikasi enzim H + K + -

adenosine trifosfatase (H + K + -ATPase) dan pengembangan proton pump inhibitor (PPI) serta

konfirmasi Helicobacter pylori sebagai agen penyebab ulkus peptikum menjadi dasar penemuan

rejimen antibiotik yang efektif.2,3

.

Page 5: Comprehensive Management of Ard

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD).

Gastroesophageal reflux disease (GERD) didefinisikan sebagai gangguan refluks isi lambung ke dalam esofagus secara berulang, yang menyebabkan terjadinya gejala dan/atau komplikasi yang mengganggu. Pemeriksaan endoskopi digunakan untuk mengetahui adanya kerusakan mukosa dan kelemahan sfingter pada gastro-esophageal junction. Konsensus menyebutkan apabila didapatkan metaplasia pada esofagus, maka disebut sebagai endoscopically suspected esophageal metaplasia (ESEM), direkomendasikan untuk tidak menggunakan istilah Barret’s esophagus(3). Pendekatan klinis penatalaksanaan GERD meliputi pengobatan GERD (NERD dan ERD), GERD Refrakter dan non-acid GERD.4 Penatalaksanaan kasus GERD meliputi tindakan non-farmakologik, farmakologik, endoskopi dan bedah.

Gambar 1. Konsensus terminologi Barret’s esophagus.

Gambar 2. Mekanisme GERD

Page 6: Comprehensive Management of Ard

Penatalaksanaan non-farmakologik pada GERD berupa modifikasi berat badan berlebih dan

meninggikan kepala kurang lebih 15-20 cm pada saat tidur, serta faktor-faktor tambahan lain

seperti menghentikan merokok, minum alkohol, mengurangi makanan dan obat-obatan yang

merangsang asam lambung dan menyebabkan refluks, makan tidak boleh terlalu kenyang dan

makan malam paling lambat 3 jam sebelum tidur.2

Pada penatalaksanaan farmakologik, obat-obatan yang telah diketahui dapat mengatasi

gejala GERD meliputi antasida, prokinetik, Antagonis Reseptor Histamin-2 (ARH2), Proton

Pump Inhibitor (PPI), dan Baclofen. PPI dinilai paling efektif dalam menghilangkan gejala serta

menyembuhkan lesi esofagitis pada GERD. Apabila PPI tidak tersedia, dapat diberikan ARH2.

Penggunaan ARH2 dan/atau antasida bermanfaat dalam meredakan gejala. Sedangkan

penggunaan prokinetik (antagonis dopamin dan antagonis reseptir serotonin) dapat berguna

sebagai terapi tambahan.2,3

Gambar 3. Alur Pengobatan Berdasarkan Proses Diagnostik Pada Pelayanan Sekunder dan Tersier 4

Pengobatan GERD dapat dimulai dengan PPI setelah diagnosis GERD ditegakkan. Dosis

inisial PPI adalah dosis tunggal per pagi hari sebelum makan selama 2 sampai 4 minggu. Apabila

masih ditemukan gejala sesuai GERD (PPI failure), sebaiknya PPI diberikan secara berkelanjutan

dengan dosis ganda sampai gejala menghilang. Umumnya terapi dosis ganda dapat diberikan

sampai 4-8 minggu.4

Apabila kondisi klinis masih belum menunjukan perbaikan harus dilakukan pemeriksaan

endoskopi untuk mendapatkan kepastian adanya kelainan pada mukosa saluran cerna atas.

Page 7: Comprehensive Management of Ard

Pengobatan selanjutnya dapat diberikan sesuai dengan ringan-beratnya kerusakan mukosa. Untuk

esofagitis ringan dapat dilanjutkan dengan terapi on demand. Sedangkan untuk esofagitis berat

dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan kontinu, yang diberikan sampai 6 bulan.2

Untuk NERD, pengobatan awal dapat diberikan PPI dosis tunggal selama 4-8 minggu.

Setelah gejala klinis menghilang, terapi dapat dilanjutkan dengan PPI on demand. Penggunaan on

demand ini disarankan untuk memaksimalkan supresi asam lambung, diberikan 30-60 menit

sebelum makan pagi. GERD yang refrakter terhadap terapi PPI (tidak berespons terhadap terapi

PPI dua kali sehari selama 8 minggu) harus konfirmasi untuk reevaluasi diagnosis GERD dengan

pemeriksaan endoskopi dalam rangka memastikan adanya esofagitis.2

Apabila tidak ditemukan esofagitis, dilanjutkan dengan pemeriksaan pH-metri. Dari hasil

pemeriksaan pH-metri akan dapat ditentukan keterlibatan dominan refluks lambung oleh faktor

hiperasiditas atau oleh faktor patologi anatomik (gangguan SEB, hiatus hernis, dsb). Apabila

kesimpulan pH-metri menunjukan adanya dominan faktor patologi anatomik dengan tetap

ditemukan gejala klinis, maka dapat dipertimbangkan tindakan diagnostik esophageal impedance

dan pH untuk memastikan langkah terapeutik berikutnya. Saat ini terapi untuk refluks non-asam

(NAR) masih berkembang. Studi dengan Baclofen, GABA-B Agonis; memberikan hasil yang

menjanjikan, namun masih memerlukan data lebih lanjut untuk dapat direkomendasikan rutin.2

Komplikasi GERD seperti Barret’s esofagus, striktur, stenosis maupun perdarahan dapat

dilakukan terapi endoskopik berupa Argon plasma coagulation, ligasi, endoscopic mucosal

resection, bouginasi, hemostasis atau dilatasi. Terapi endoskopi untuk GERD masih terus

berkembang dan sampai saat ini masih dalam konteks penelitian, seperti radiofrequency energy

delivery dan endoscopic suturing. Namun demikian sampai saat ini masih belum ada laporan

mengenai terapi endoskopi untuk GERD di Indonesia.2

Penatalaksanaan bedah mencakup tindakan pembedahan antirefluks (fundoplikasi Nissen,

perbaikan hiatus hernia, dll) dan pembedahan untuk mengatasi komplikasi. Pembedahan

antirefluks dapat disarankan untuk pasien yang intoleran terhadap terapi pemelihataan atau dengan

gejala mengganggu yang menetap (GERD Refrakter). Studi yang ada menunjukan bahwa, apabila

dilakukan dengan baik, efektivitas pembedahan antirefluks ini setara dengan terapi medikamentosa,

namun memiliki efek samping berupa disfagia, kembung, kesulitan bersendawa dan ganguan usus

paskapembedahan.2

Peptic Ulcer Disease

Page 8: Comprehensive Management of Ard

Terapi antisekresi merupakan terapi utama pada pasien dengan ulkus peptikum. PPI telah

terbukti dapat menyembuhkan ulkus lambung yang mungkin refrakter dengan ARH2 dosis tinggi.

Konfirmasi Helicobacter Pylori sebagai agen penyebab ulkus peptikum, kemudian menjadi dasar

penemuan rejimen antibiotik yang efektif yang selanjutnya menjadi andalan dalam pengobatan

ulkus peptikum. Kombinasi antara terapi antisekresi dan rejimen antibiotik merupakan pilihan

terapi yang digunakan saat ini. Pemeriksaan H.pylori direkomendasikan pada pasien dengan

Ulkus Peptikum Berdarah. Apabila hasil dari pemeriksaan ini positif, maka dapat dilanjutkan

dengan pemberian terapi eradikasi H. Pylori yang dilanjutkan dengan pemantauan terus menerus

untuk menilai hasil terapi. Apabila dari hasil evaluasi, eradikasi H. Pylori gagal, dapat diberikan

pengobatan lini kedua. Pemberantasan menggunakan triple-based therapy memiliki tingkat

keberhasilan mencapai 80 % hingga 90 % pada pasien ulkus peptikum tanpa efek samping yang

signifikan dan memiliki efek yang minimal terhadap resistensi antibiotik. Sedangkan, berdasarkan

hasil evaluasi penyembuhan ulkus peptikum melalui pemeriksaan endoskopi, ditemukan tingkat

keberhasilan terapi PPI dalam waktu satu minggu setelah pengobatan mencapai 80-85%. Setelah

pemberian terapi eradikasi H. Pylori, terapi pemeliharaan menggunakan PPI tidak diperlukan

kecuali pada pasien yang mengkonsumsi NSAID atau antitrombotik.3

Duodenal Ulcers

Agen penyebab kebanyakan kasus ulkus duodenum adalah Helicobacter Pylori.

Kombinasi terapi PPI dan eradikasi H. pylori, berupa klaritromisin dan amoxicillin atau

metronidazole; merupakan standar perawatan yang disetujui oleh FDA. Berdasarkan penelitian

prospektif di Indonesia yang dilakukan oleh Syam AF, dkk paad tahun 2010 menunjukkan bahwa

penggunaan PPI- triple-based therapy (Rabeprazole, Amoksisilin dan Klaritromisin) selama 7

hari memberikan hasil yang lebih baik daripada penggunaan terapi selama 5 hari.2

Namun, meningkatnya prevalensi resistensi terhadap antimikroba menyebabkan

meningkatnya angka kegagalan triple-based therapy. Sehingga terapi sekuensial (pantoprazole

dan amoksisilin selama 5 hari, diikuti oleh pantoprazole, klaritromisin, dan metronidazol untuk 5

hari lagi), dan concomitant therapy / quadrupel based therapy (pantoprazole, klaritromisin,

amoksisilin, dan metronidazole selama 7 hari) telah direkomendasikan untuk menggantikan triple

based therapy di daerah dengan tingkat resistensi terhadap H. pylori yang tinggi. Berdasarkan

penelitian randomized controlled trial yang dilakukan oleh Hsu PI, dkk pada tahun 2014

menunjukan bahwa concomitant therapy selama 7 hari lebih unggul dibandingkan triple-based

therapy selama 7 hari. Concomitant therapy ini juga dinilai lebih mudah untuk digunakan

Page 9: Comprehensive Management of Ard

dibandingkan terapi sekuensial, karena pasien tidak perlu mengganti jenis obat di tengah proses

pengobatan berlangsung.4

Pemeriksaan kultur dan tes resistensi menggunakan sampel endoskopi merupakan

pemeriksaan yang disarankan sebelum memberikan terapi eradikasi pada pasien di daerah dengan

tingkat resistensi klaritromisin yang tinggi. Selain kedua pemeriksaan tersebut, tes molekular juga

dapat digunakan untuk mendeteksi H. Pylori beserta resistensi klaritromisin dan/atau

fluorokuinolon secara langsung melalui biopsi lambung. Minimal 4 minggu setelah pemberian

terapi eradikasi selesai diberikan, disarankan untuk melakukan pemeriksaan konfirmasi dengan

menggunakan Urea Breath Test maupun H.pylori stool antigen monoclonal test.4

Gastric Ulcers & NSAID-induced Mucosal Injury

Berbagai strategi telah dikembangkan untuk mencegah NSAID-induced gastropathy,

termasuk terapi tambahan dengan agen gastroprotektif, PPI, ARH2, dan pengembangan inhibitor

COX-2-spesifik (-coxib). Sedangkan pada NSAID-induced ulcers, lebih sering terjadi pada

lambung terkait dengan perubahan petahanan mukosa; supresi asam merupakan terapi utamanya.

Pedoman praktik ACCF/ACG/AHA pada tahun 2008 merekomendasikan pemilihan NSAID

berdasarkan penilaian risiko individu. Strategi yang digunakan dengan memulai pemberian dosis

efektif terendah dengan periode terpendek yang memungkinkan. Pada pasien berisiko tinggi,

NSAID dapat digunakana bersamaan penggunaan misoprostol atau PPI atau dapat diganti dengan

inhibitor selektif COX-2 dengan atau tanpa PPI. Penyembuhan terjadi lebih cepat dengan

penggunaan PPI daripada ARH2, misoprostol atau sukralfat. Namun, kekambuhan substansial

lebih lanjut dapat terjadi selama masa pengobatan pasien tersebut. Hal ini disebabkan kebanyakan

NSAID dengan dosis dua kali sehari dirancang untuk memberikan aktivitas obat selama 24 jam,

sedangkan penggunaan PPI saat ini umumnya sekali sehari hanya mampu menjaga pH intragastrik

di atas 4 hanya sampai 70% dari periode 24 jam. Sehingga pasien tidak terproteksi sepenuhnya

selama 24 jam terhadap efek NSAID.5,6

Helicobacter pylori & NSAID use

Tabel 1 meringkas Pernyataan dan Rekomendasi Maastricht IV/Florence Consensus

Report 2012, Second Asia-Pacific Consensus Guidelines for H. pylori 2009, American College of

Page 10: Comprehensive Management of Ard

Gastroenterology Guideline on the Management of H. pylori 2007, dan III Spanish Consensus

Conference on H. pylori infection 2013; terkait eradikasi H. pylori pada pasien yang

mengkonsumsi NSAID dan aspirin dosis rendah.8

Tabel 1. Ringkasan Pernyataan dan Rekomendasi Pedoman Eradikasi Helicobacter Pylori pada Pengguna Obat Non-Steroid Anti-Inflammatory dan Aspirin Dosis Rendah7

Statements and Recommendations Guidelines/Consensus EL GR

H. pylori infection is a risk factor of Peptic Ulcer Disease in NSAIDs and low dose Aspirin users

Maastricht IV Consensus

American GuidelineEL: 2a GR: B

Eradication of H. pylori infection reduces the risk of complicated and uncomplicated gastroduodenal ulcers in NSAID and low dose Aspirin users

Maastricht IV Consensus EL: 1b GR: A

In NSAIDs naïve users, H.pylori eradication is beneficial. It is mandatory in patients with a peptic ulcer history

Maastricht IV Consensus

II Asian-Pacific Guidelines

III Spanish Consensus

EL: 1b GR:A

EL: 1a GR:A

EL: weak GR:lowIn chronic NSAIDs users with history of peptic ulcer, eradication alone is insufficient to prevent ulcer recurrence and/or bleeding. They require continued PPI treatment

American Guideline

Maastricht IV ConsensusEL: 1b GR: A

In low dose Aspirin naïve users with peptic ulcer history, eradication of H. Pylori infection is indicated

II Asian-Pacific Guidelines

Maastricht IV Consensus

II Asian-Pacific Guidelines

EL: 1b GR: A

EL: 2b GR: B

EL: 1b GR: B

In chronic low dose Aspirin users with a history of peptic ulcer, eradication of H. pylori infection is indicated

III Spanish Consensus

Maastricht IV Consensus

II Asian-Pacific Guidelines

III Spanish Consensus

American Guideline

EL: weak GR: low

EL: 2b GR: B

EL: 1b GR: B

EL: weak GR: low

The long-term incidence of peptic ulcer bleeding is low in low dose Aspirin users after receiving eradication even in the absence of gastroprotective treatment

Maastricht IV Consensus EL: 2b GR: B

Keempat pedoman klinis yang telah direvisi tersebut menyetujui bahwa infeksi H. pylori

dan penggunaan NSAID merupakan faktor risiko independen dalam proses patogenesis ulkus

peptikum. Oleh karena itu, terlepas dari riwayat penggunaan NSAID/aspirin dosis rendah, semua

pasien ulkus peptikum harus dilakukan pemeriksaan infeksi H.pylori. Apabila dari hasil

pemeriksaan pasien positif terinfeksi, maka dapat diberikan terapi eradikasi H. pylori.8

Pedoman Amerika merekomendasikan terapi kombinasi dengan PPI pada semua pengguna

NSAID dengan riwayat complicated peptic ulcer. Pedoman Asia dan Eropa merekomendasikan

terapi kombinasi pada pengguna NSAID-kronis dengan riwayat complicated peptic ulcer, namun

tidak merekomendasikan pada pengguna NSAID-naif, dan konsensus Spanyol merekomendasikan

terapi kombinasi berdasarkan faktor risiko.8

Page 11: Comprehensive Management of Ard

Pedoman Eropa dan Asia merekomendasikan terapi eradikasi H. pylori sebelum memulai

pengobatan NSAID. Namun, sampai saat ini belum ada pedoman klinis yang memberikan

rekomendasi tegas terkait tindakan yang harus dilakukan pada pasien pengguna Aspirin dosis

rendah, baik kronis maupun naif; dan pengguna NSAID kronis tanpa riwayat ulkus peptikum.8

PPI Therapy for Bleeding Ulcers

Terdapat beberapa tatalaksana terkait perdarahan saluran cerna bagian atas, yaitu evaluasi

awal, resusitasi, terapi endoksopi, dan farmakoterapi baik sebelum maupun setelah endoskopi.

Evaluasi awal yang tepat dan resusitasi adalah langkah penting yang harus dilakukan pada pasien

dengan perdarahan saluran cerna bagian atas, terutama pada pasien dengan hematemesis,

hematochezia yang masif, melena, dan anemia progresif. Penentuan penatalaksanaan yang tepat

dapat disesuaikan berdasarkan stratifikasi stigmata berdasarkan sistem skoring Blatchford dan

Rockall, sesuai dengan ketersediaan fasilitas endoskopi.5

Pasien dengan stigmata berisiko tinggi harus dirawat di ruang rawat intensif. Apabila

diasumsikan pasien mengalami perdarahan yang disertai hemodinamik yang tidak stabil, maka

dapat dilakukan pemasangan Nasogastrik (NGT). Tujuan dari pemasangan NGT adalah untuk

mencegah aspirasi, dekompresi lambung dan mengevaluasi perdarahan. Oleh karena itu,

pemasangan NGT tidak harus dilakukan pada semua pasien dengan perdarahan saluran cerna

bagian atas. Selain itu, terapi resusitasi lambung seperti pemberian cairan intravena, suplementasi

oksigen, koreksi koagulopati berat dan transfusi darah juga diperlukan.5

Indikasi pemberian transfusi darah didasarkan pada kondisi medis umum dan tanda-tanda

vital pasien. Umumnya transfusi darah dilakukan bila kadar hemoglobin ≤7.0 g / dL kecuali jika

perdarahan sedang berlangsung maupun perdarahan masif yang disertai penyakit komorbid seperti

penyakit jantung koroner, ketidakstabilan hemodinamik (hipotensi dan takikardia), dan usia tua.

Pada pasien yang akan dilakukan prosedur endoskopi, dibutuhkan kadar hemoglobin minimal 8

mg / dL dan jika akan dilakukan endoskopi terapeutik, pasien harus dalam keadaan hemodinamik

yang stabil dengan kadar hemoglobin minimal 10 mg / dL.5

Pemberian PPI oral juga dapat diberikan sebagai terapi Pra-endoskopi. Namun, apabila

endoskopi ditunda atau tidak dapat dilakukan, terapi PPI intravena dapat dianjurkan untuk

mengurangi perdarahan. Lingkungan asam dapat menyebabkan penghambatan agregasi platelet

dan koagulasi plasma, yang juga dapat mengakibatkan lisisnya gumpalan darah yang sudah

terbentuk. Administrasi terapi PPI secara cepat dapat menetralkan asam lambung intraluminal,

Page 12: Comprehensive Management of Ard

yang menghasilkan stabilisasi bekuan darah. Dalam jangka panjang, terapi antisekresi juga

memfasilitasi penyembuhan mukosa.5

Terapi Endoskopi pada pasien dengan perdarahan ulkus peptikum adalah untuk

menghentikan perdarahan aktif dan mencegah perdarahan berulang. Beberapa teknik, termasuk

injeksi, ablasi dan beberapa terapi mekanik lainnya telah dikembangkan selama beberapa dekade

terakhir. Pemilihan pengobatan dapat disesuaikan dengan tampilan fokus perdarahan dan risiko

terkait perdarahan berulang dan terus menerus.5

Gambar 2. Pilihan Manajemen Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas dengan Ulkus Peptikum5

Pasien dengan perdarahan aktif atau non-pendarahan yang disertai pembuluh darah yang

tampak di dasar ulkus memiliki risiko paling tinggi untuk mengalami perdarahan berulang. Oleh

karena itu dibutuhkan terapi endoskopi hemostatik segera. Pasien stigmata berisiko tinggi

menurut klasifikasi Forrest, umumnya dirawat di rumah sakit selama 3 hari dan dapat dipulangkan

apabila tidak terjadi perdarahan berulang dan tidak ada indikasi lain untuk rawat inap. Pasien

dengan stigmata berisiko rendah dengan dasar ulkus yang bersih disertai spot berpigmentasis,

tidak memerlukan terapi endoskopi. Pasien dengan dasar ulkus bersih dapat diberikan tatalaksana

berupa diet lunak dan dapat segera dipulangkan setelah endoskopi, dengan asumsi mereka

memiliki status hemodinamik yang stabil, tingkat hemoglobin yang memadai dan tidak memiliki

masalah medik lainnya. Pasien dengan perdarahan ulkus yang aktif, terapi hemostasis harus

diberikan dalam kombinasi, yaitu epinefrin, pemasangan hemoklip, thermokoagulasi dan

elektrokoagulasi). Injeksi epinefrin tidak direkomendasikan sebagai terapi tunggal. Injeksi disertai

pemasangan klip dianjurkan karena dapat mengurangi kejadian perdarahan berulang.5

Active Bleeding or Non-Bleeding Visible Vessel

Adheren ClotFlat Pigmented

Spot or Clean Base

Endoscopic TherapyCan be Considered

as Endoscopic therapy

Without Endoscopic Therapy

Intravenous PPI Therapy Bolus +

Drip

Intravenous PPI Therapy Bolus +

DripOral PPI Therapy

Page 13: Comprehensive Management of Ard

Pasien dapat memiliki makanan cair segera setelah endoskopi dan diet harus disesuaikan

secara bertahap. Pasien dengan perdarahan berulang biasanya dapat dikelola dengan terapi

endoskopi. Namun, operasi darurat atau embolisasi angiografi mungkin dibutuhkan dalam kondisi

tertentu, seperti perdarahan yang tidak bisa dihentikan oleh endoskopi, pendarahan yang tidak

teridentifikasi sumber perdarahannya karena perdarahan masif, dan pendarahan berulang yang

terjadi setelah terapi endoskopi yang kedua.5

Farmakoterapi berupa terapi antisekresi dan terapi eradikasi H. Pylori memainkan peran

penting dalam pengobatan perdarahan saluran cerna bagian atas. Sebagai terapi antisekresi, PPI

dinilai lebih unggul dibandingkan Antagonis Reseptor Histamin-2. Terapi PPI dapat diberikan

secara oral maupun intravena, tergatung tipe stigmata berdasarkan klasifikasi Forrest. Berdasarkan

data yang tersedia, pemberian PPI intravena direkomendasikan pada pasien PUB dengan stigmata

berisiko tinggi. Pasien dengan PUB harus diberikan PPI oral dosis tunggal ketika keluar dari

rumah sakit untuk mengurangi risiko perdarahan berulang.5

Durasi dan dosis PPI tergantung pada etiologi dan penggunaan obat-obatan lainnya. Pada

pasien dengan ulkus idiopatik atau Non-H.pylori Non-NSAID dapat direkomendasikan untuk

mendapatkan terapi antisekresi jangka panjang, seperti PPI harian. Pada pasien dengan low-dose

aspirin-associated bleeding ulcers, kebutuhan mendesak terhadap aspirin harus kembali dinilai.

Sedangkan untuk memberikan terapi eradikasi H.pylori, harus dilakukan Tes H. Pylori terlebih

dahulu. Apabila hasilnya positif, pasien dapat segera diberikan terapi eradikasi yang diikuti

pemantauan secara terus menerus untuk menilai hasil terapi. Apabila pengobatan gagal, dapat

diberikan jenis pengobatan baru. Setelah pemberantasan H. pylori telah dikonfirmasi, tidak

diperlukan terapi pemeliharaan PPI, kecuali pada pasien pengguna NSAID atau antitrombotik.5,7

Stress-Related Mucosal Disease

Stress-related mucosal disease mengacu pada ulkus atau erosi mukosa yang terjadi

umumnya pada lambung bagian fundus, body dan antrum; duodenum atau esofagus distal pada

pasien yang dirawat di ICU. Profilaksis diindikasikan pada pasien ICU yang berisiko tinggi untuk

stress ulcers. Uji klinis telah menunjukkan bahwa ARH2, PPI dan antasida mengurangi frekuensi

perdarahan saluran cerna bagian atas pada pasien ICU dibandingkan dengan plasebo atau tanpa

profilaksis.4,5

Kesimpulan

Page 14: Comprehensive Management of Ard

Terapi ARD saat ini menyediakan kontrol sekresi asam yang aman dan efektif. Namun,

meningkatnya angka kejadian komplikasi meski sudah ditemukannya PPI, menekankan kebutuhan

akan peningkatan durasi pengobatan, perkembangan obat baru berdasarkan target fisiologis

tambahan, dan pendekatan pengobatan pada ARD. Karena luasnya ketersediaan dan kronisitas

terapi, juga diperlukan strategi monitoring efek samping pada pasien yang menggunakan obat

dalam jangka waktu lama.

Daftar Pustaka

1. Colin-Jones D. Acid-related Disorder: What are they? Scan J Gastroenterol. 1988;155:8–11.

2. Mejia A, Kraft WK. Acid peptic diseases: pharmacological approach to treatment. Expert

review of clinical pharmacology. 2009;2(3):295-314.

3. Vakil N, van Zanten S, Kahrilas P, Dent J, Jones R, the Global Consensus Group. The

Montreal Definition and Classification of Gastroesophageal Reflux Disease: A Global

Evidence-Based Consensus. Am J Gastroenterol. 2006;101:1900–20.

4. Simadibrata M, Makmun D, et al. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan

Infeksi H. Pylori. 2014. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI).

5. Syam AF. National Consensus on Management of Non-Variceal Upper Gastrointestinal

Tract Bleeding in Indonesia. 2014. The Indonesian Society of Gastroenterology. 2005;46.

6. Hsu P-I, Wu D-C, et al. Randomized controlled trial comparing 7-day triple, 10-day

sequential, and 7-day concomitant therapies for Helicobacter pylori infection. Antimicrobial

agents and chemotherapy. 2014;58(10):5936-42.

7. Bhatt DL, Scheiman J, et al. ACCF/ACG/AHA 2008 expert consensus document on

reducing the gastrointestinal risks of antiplatelet therapy and NSAID use: a report of the

American College of Cardiology Foundation Task Force on Clinical Expert Consensus

Documents. Journal of the American College of Cardiology. 2008;52(18):1502-17.

8. Sostres C, Gargallo CJ, et al. Interaction between Helicobacter pylori infection, nonsteroidal

anti-inflammatory drugs and/or low-dose aspirin use: old question new insights. World J

Gastroenterol. 2014;20(28):9439-50.

Page 15: Comprehensive Management of Ard