congenital deafness 2

Upload: dani-a-nugraha

Post on 12-Jul-2015

363 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TULI KONGENITAL

Disusun sebagai salah satu tugas kepaniteraan Di Bagian Ilmu Penyakit THT-KL

Disusun Oleh: Muhammad Arzan Alfarish 41071019

BAGIAN ILMU PENYAKIT THT-KL RS TK II DUSTIRA/FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI CIMAHI 2008

DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang .............................................................................................. .............................................................................................. 1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA II.1. Anatomi telinga ............................................................................................... ............................................................................................... 3 II.2. Mekanisme Pendengaran Konduktif ............................................................................................... ............................................................................................... 7 II.3. Mekanisme Pendengaran Sentral ............................................................................................... ............................................................................................... 10

BAB III

PEMBAHASAN III.1. Tuli .............................................................................................. .............................................................................................. 11 III.2. Tuli Kongenital .............................................................................................. .............................................................................................. 13 III.3. Tingkat Ketulian Tuli Kongenital

.............................................................................................. .............................................................................................. 21 BAB IV DETEKSI DINI TULI KONGENITAL ....................................................................................................... ....................................................................................................... 22 BAB V KESIMPULAN ................................................................................................................. ................................................................................................................. 26 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. ................................................................................................................. 27

BAB I PENDAHULUAN

Pendengaran merupakan salah satu fungsi terpenting bagi kehidupan manusia, merupakan salah satu bagian dari panca indera. Adanya gangguan pada fungsi pendengaran atau tuli pasti akan menyebabkan gangguan dalam proses kehidupan sehari-hari, apalagi jika ketulian terjadi pada masa awal perkembangan proses belajar pada kehidupan yaitu pada masa anak-anak. Tuli adalah gejala dari penyakit telinga yang sangat merisaukan, terutama bila terjadi pada kehidupan tahun-tahun pertama pada anak-anak . Pendengaran itu sangat penting bagi perkembangan penguasaan bahasa dan belajar bicara, sehingga anak yang lahir dengan tuli atau tuli sebelum dapat berbicara, akan mengalami kesukaran-kesukaran di dalam perkembangan berbahasa. Bicara dan bahasa itu sangat penting dalam sistem komunikasi, dan sangat diperlukan pada kehidupan sosial, perkembangan mental (watak) dan karier masa depan. Tuli kongenital merupakan ketulian yang terjadi pada seorang bayi disebabkan faktor-faktor yang memengaruhi kehamilan maupun pada saat lahir. Ketulian yang terjadi dapat berupa tuli sebagian (hearing impaired) atau tuli total (deaf). Tuli sebagian masih bisa dibantu dengan alat bantu dengar. Dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan dari Departemen THT Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia- RS Cipto Mangunkusumo Dr Damayanti Soetjipto, SpTHT dalam situs Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian mengatakan, deteksi dini tuli kongenital memang sulit. Hal ini antara lain karena masyarakat Indonesia kurang menyadari

kemungkinan bayinya tuli sehingga penanganan sering terlambat dan akhirnya akan menyebabkan gangguan perkembangan secara keseluruhan.5 Oleh sebab itu seorang dokter umum diharapkan menjadi jembatan pertama dalam penegakan diagnosis dan inisiator pertama untuk menentukan penderita tuli kongenital yang perlu dirujuk ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu unit spesialis THT.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi Telinga1 A. Telinga luar

Telinga luar atau pinna (auricula=daun telinga) merupakan gabungan dari rawan yang diliputi kulit. Bentuk rawan ini unik dan dalam merawat trauma telinga luar, harus diusahakan untuk mempertahankan bangunan ini. Kulit dapat terlepas dari rawan di bawahnya oleh hematom atau pus, dan rawan yang nekrosis dapat menimbulkan deformitas kosmetik pada pinna (telinga kembang kol). Liang telinga memiliki tulang rawan pada bagian lateral namun bertulang di sebelah medial. Seringkali ada penyempitan liang telinga pada perbatasan tulang dan rawan ini. Sendi temporomandibularis dan kelenjar parotis terletak di depan terhadap liang telinga sementara prosesus

mastoideus terletak di belakangnya. Saraf facialis meninggalkan foramen stilomastoideus dan berjalan ke lateral menuju prosesus stiloideus di posteroinferior liang telinga, dan kemudian berjalan di bawah liang telinga untuk memasuki kelenjar parotis. Rawan liang telinga merupakan salah satu patokan pembedahan yang digunakan untuk mencari saraf fasialis; patokan lainnya adalah sutura timpanomastoideus.

Gambar 1 B. Membran Timpani

Membran timpani atau gendang telinga adalah suatu bangunan berbentuk kerucut, dengan puncaknya umbo, mengarah ke medial. Membran timpani umumnya bulat. Penting untuk disadari bahwa bagian dari rongga telinga tengah yaitu epitimpanum yang mengandung korpus maleus dan inkus, meluas melampaui batas atas membran timpani, dan bahwa ada bagian hipotimpanum yang melampaui batas bawah membran timpani. Membrana timpani tersusun oleh suatu lapisan epidermis di bagian luar, lapisan fibrosa di bagian tengah dimana tangkai maleus dilekatkan, dan lapisan mukosa bagian dalam. Lapisan fibrosa tidak terdapat di atas prosesus lateralis maleus dan ini menyebabkan bagian membran timpani yang disebut membran Shrapnell menjadi lemas (flaksid).

Gambar 4

C.

Telinga Tengah

Telinga tengah yang terisi udara dapat dibayangkan sebagai suatu kotak dengan enam sisi. Dinding posteriornya lebih luas daripada dinding anterior sehingga kotak tersebut berbentuk sbaji. Promontorium pada dinding medial meluas ke lateral ke arah umbo dari membran timpani sehingga kotak tersebut lebih sempit pada bagian tengah. Dinding superior telinga tengah berbatasan dengan lantai fossa kranii media. Pada bagian atas dinding posterior terdapat aditus ad anthrum tulang mastoid dan dibawahnya adalah saraf facialis. Otot stapedius timbul pada daerah saraf facialis dan tendonnya menembus melalui suatu piramid tulang

menuju ke leher stapes. Saraf korda timpani timbul dari saraf facialis di bawah stapedius dan berjalan ke lateral depan menuju inkus tetapi di medial maleus, untuk keluar dari telinga tengah menuju sutura petrotimpanika. Korda timpani kemudian bergabung dengan saraf lingualis dan

menghantarkan serabut sekretomotorik ke ganglion submandibularis dan serabut- serabut pengecap dari dua per tiga anterior lidah. Dasar telinga tengah adalah atap bulbus jugularis yang di sebelah superolateral menjadi sinus sigmoideus dan lebih ke tengah menjadi sinus transversus. Keduanya adalah aliran vena utama tengkorak. Cabang auricularis sarf vagus masuk ke telinga tengan dari dasarnya. Bagian bawah dinding anterior adalah kanalis karotikus. Di atas kanalis ni, muara tuba eustachius dan otot tensor timpani yang menpati daerah superior tuba kemudian membalik, melingkari prosesus kokleariformis dan berinsersi di leher maleus. Dinding lateral dari telinga tengah adalah dinding tulang epitimpanum di bagian atas, membran timpani, dan dinding tulang hipotimpanum di bagian bawah. Bangunan yang paling menonjol pada dinding medial adalah promontorium yang menutup lingkaran kokhlea yang pertama. Saraf timpanikus berjalan melintas promontorium in. Fenestra rotundum terletak di posteroinferior dari promontorium, sedangkan kaki stapes terletak pada fenestra ovalis pada batas posterosuperior promontorium. Kanalis falopii

bertulang yang dilalui saraf facialis terletak di atas fenestra ovalis mulai dari prosesus kokleariformis di anterior hingga piramis stapedius di posterior. Rongga mastoid berbentuk seperti piramid bersisi tiga dengan puncak mengarah ke kaudal. Atap mastoid adalah fossa kranii media. Dinding medial adalah dinding lateral fossa kranii posterior. Sinus sigmoideus terletak di bawah duramater pada daerah ini. Pada dinding anterior mastoid terdapat aditus ad anthrum. Tonjolan kanalis semisirkularis lateralis menonjol ke dalam anthrum. Di bawah kedua patokan ini berjalan saraf facialis dalam kanalis tulangnya untuk keluar dari tulang temporal melalui foramen stilomastoideus di ujung anterior krista yang dibentuk oleh insersio otot digastrikus. Dinding lateral mastoid adalah tulang subkutan yang mudah dipalpasi di posterior auricula.

D.

Tuba Eustachius

Tuba eustachius menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring. Bagian lateral tuba eustacjius adalah yang bertulang dan duapertiga bagian medial bersifat kartilaginosa. Origo otot tensor timpani terletak di sebelah atas bagian bertulang sementara kanalis karotikus terletak di bagian bawahnya. Bagian bertulang rawan berjalan melintasi dasar tenglorak untuk masuk ke faring di atas otot konstriktor superior. Bagian ini biasanya tertutup tapi dapat dibka melalui kontraksi otot levator palatinum dan tensor palatinum yang masing-masing disarafi pleksus faringealis dan

saraf mandibularis. Tuba eustacius berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membran timpani.

E.

Telinga Dalam

Bentuk telinga dalam sedemikian kompleksnya sehingga disebut sebagai labirin. Derivat vesikel otika membentuk suatu rongga tertutup yaitu labirin membran yang berisi endolimfe, satu-satunya cairan ekstraseluler dalam tubuh yang tinggi kalium dan rendah natrium. Labirin membran dikelilingi perilimfe (tinggi natrium, rendah kalium) yang terdapat dalam kapsula otika bertulang. Labirin tulang dan membran memiliki bagian vestibular dan bagian koklear. Bagian vestibularis (pars superior)

berhubungan dengan keseimbangan, sementara bagian kokhlearis (pars inferior) merupakan organ pendengaran kita. II.2. Mekanisme Pendengaran Konduktif Mekanisme ini terjadi dari telinga luar (aurikel) hingga telinga tengah (tulangtulang pendengaran). Prosesnya dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.Telinga luar yang terdiri dari aurikel dan kanalis akustikus eksternus bertugas untuk menangkap suara dari lingkungan luar. Kita dapat menentukan arah darimana asal suara itu dikarenakan gelombang suara ditangkap oleh kedua daun telinga walaupun ada perbedaan waktu dan intensitas suara. Telinga bagian luar berfungsi untuk melindungi telinga dari suara yang terlalu keras yang dapat merusak bagian-bagian telinga tengah dan dalam.2

2.Getaran suara diteruskan dan dihantarkan melalui kanalis akustikus eksternus (kurang lebih 2,5-3cm). Kanalis akustikus ekternus mempunyai bentuk dan dimensi yang dapat memperbesar suara dalam rentang 2-4 kHz, dimana pembesaran pada frekuensi ini adalah 10-15 dB.2 3.Pada telinga tengah, suara menggetarkan membran timpani. Membran timpani dan sistem osikular menghantarkan suara di sepanjang telinga tengah hingga telinga dalam (kokhlea). Tangkai maleus secara konstan tertarik ke depan oleh muskulus tensor timpani, yang menyebabkan membran timpani tetap tegang. 2 4.Pada sistem osikular (maleus,incus,stapes), terjadi multiplikasi frekuensi suara sebesar 22x, yang merupakan hasil perkalian dari luas daerah permukaan membran timpani (17) dengan foot of stapes (1,3).2 5. Transmisi suara diteruskan melalui tulang. Karena kokhlea tertanam pada kavitas dalam os temporalis, sehingga getaran seluruh tengkorak dapat menyebabkan getaran cairan pada kokhlea. 6.Getaran suara memasuki skala vestibuli dari permukaan wajah stapes pada fenestra ovalis. Permukaan wajah menutupi fenestra ini dan dihubungkan dengan tepi fenestra oleh ligamentum anularis yang relatif longgar, sehingga fenestra dapat bergerak ke dalam dan ke luar bersama getaran suara. Pergerakan ke dalam menyebabkan cairan bergerak ke dalam skala vestibuli dan skala media, dan pergerakan ke luar menyebabkan cairan bergerak ke arah belakang.2 7.Suara menggetarkan membrana basilaris, menggetarkan membrana tektoria dimana menempel organon korti. Organon korti merupakan organ reseptor yang

membangkitkan impuls saraf sebagai respon terhadap membran basiler., melalui gerakan stereosilia yang menyebabkan depolarisasi. II.3. Mekanisme Pendengaran Sentral Impuls dilanjutkan ke serabut saraf eferen kokhlearis. Serabut-serabut saraf kokhlearis berjalan menuju inti koklearis dorsalis dan ventralis. Sebagian besar serabut dari inti melintasi garis tengah dan berjalan naik menuju kolikulus inferior kontralateral, namun sebagian serabut tetap berjalan ipsilateral. Penyilangan selanjutnya terjadi pada inti lemniskua lateralis dan kolikulus inferior. Dari kolikulus inferior, jaras pendengaran berlanjut ke korpus genikulatum dan kemudian ke korteks pendengaran pada lobus temporalis ( Area Brodmann 44).1

BAB III PEMBAHASAN

III.1. Tuli Ketulian adalah salah satu gejala dari suatu penyakit telinga, sehingga perlu dicari penyakit yang dapat menyebabkan gejala tuli tersebut. Kalau kita lihat bahwa tuli hanya merupakan satu macam gejala dari penyakit telinga, maka gejala yang satu ini tentu penyebabnya banyak sekali. Oleh karenanya harus ada suatu sistem yang dianut untuk mencari penyakit tersebut. Padahal sistem itu sendiri juga banyak coraknya, karena tergantung dari sudut mana memandangnya.6 1) Berdasarkan kelainan patologi, ketulian dapat disebabkan oleh karena : kelainan kongenital. trauma. benda asing. radang. neoplasma (tumor). Semua kelainan patologi tersebut dapat menimbulkan ketulian,

terutama bila prosesnya di telinga. 2) Berdasarkan jenis ketulian. Tuli penghantaran, bila proses kelainannya berada di telinga luar ataupun di telinga tengah, yang pada umumnya dapat dikoreksi baik dengan obatobatan dan alat dengar maupun secara operasi. Tuli syaraf (sensorineural), bila proses kelainannya di telinga dalam atau di syarafnya, karena pada umumnya irreversible. Tuli campuran, yaitu campuran antara tuli penghantaran dan tuli penghantaran dan tuli syaraf. Tuli sentral, bila proses kelainnya terdapat di batang otak atau di otaknya sendiri. 3) Berdasarkan derajat ketuliannya atau kehidupan sosial. Tuli (sama sekali tidak dapat mendengar). kekurangan pendengaran, ringan, sedang, berat. Kekurangan pendengaran ringan

Penderita akan mendapat kesukaran didalam komunikasi jarak jauh, sehingga mempunyai handikap di dalam forum pertemuan. Misalnya : pertemuan sosial ataupun pertemuan ilmiah. Klinis : penderita sukar diajak bercakap-cakap pada jarak kurang lebih tiga meter Pada pemeriksaan audiometri nada murni, pada frekuensi percakapan turun 15 dB sampai 30 dB. Kekurangan pendengaran sedang

Selain penderita mendapat kesukaran di dalam komunikasi jarak

jauh, juga pada jarak dekat. Jadi penderita tidak dapat mengikuti percakapan sehari-hari. Klinis percakapan pada jarak satu meter sudah mendapat kesukaran untuk mengerti arti kata. Pada pemeriksaan audiometri nada murni pada frekuensi percakapan turun sampai 30 dB sampai 60 dB. Kekurangan pendengaran berat

Biasanya penderita sudah tidak dapat diajak berkomunikasi dengan suara biasa, sehingga untuk dapat menangkap arti kata-kata, suara perlu dikeraskan (menaikkan amplitudo) yaitu dengan berteriak atau dengan megafon amplifier. Pada pemeriksaan audiometri nada murni, penurunannya mencapai 60 dB atau lebih.

III.2. Tuli Kongenital Tuli kongenital merupakan ketulian yang terjadi pada seorang bayi disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan maupun pada saat lahir. Ketulian ini dapat berupa tuli sebagian (hearing impaired) atau tuli total (deaf). Tuli sebagian adalah keadaan fungsi pendengaran berkurang namun masih dapat dimanfaatkan untuk berkomunikasi dengan atau tanpa bantuan alat dengar, sedangkan tuli total adalah keadaan fungsi pendengaran yang sedemikian terganggunya sehingga tidak dapat berkomunikasi sekalipun mendapat perkerasan bunyi ( amplifikasi ).6 Ketulian congenital merupakan kehilangan pendengaran yang diyakini

sudah terjadi sejak lahir. Kelainan ini merupakan masalah yang ada sejak lahir namun memburuk dengan sejalannya waktu. Onset yang lambat bermanifestasi setelah kelahiran tanpa terkena penyebab eksogen.6 Anak lahir tuli oleh karena kegagalan dari perkembangan sistem pendengaran, akibat faktor genetik (keturunan), kerusakan dan mekanisme pendengaran semasa embrional, kehidupan janin di dalam kandungan atau selama proses kelahiran. Faktor-faktor di atas akan menyebabkan anak tuli sebelum lahir atau tuli waktu lahir, sehingga anak tersebut tidak akan pernah mendengar suara, maim is akan acuh tak acuh terhadap sekitarnya. Anak lahir tuli, meskipun tidak pernah mendengar, tetapi dapat juga tersenyum bahkan berteriak-teriak, hanya saja suara yang dihasilkan tidak ada artinya di dalam komunikasi. Tuli kongenital ini dapat dibedakan atas6 : A. Herediter (genetik). B. Prenatal (semasa kehamilan). C. Perinatal (waktu persalinan). A. Herediter6 Secara garis besar dapat dibagi atas : Aplasia, Abiotrofi, dan Aberasi kromosom. Aplasia (agenesis) Anak lahir telah tuli, karena beberapa organ terutama organ- organ telinga dalam tidak terbentuk. Di samping tidak terbentuknya organ-organ telinga dalam, biasanya disertai juga tidak terbentuknya organ-organ lain

di dalam tubuh anak ini. Sehingga akan merupakan kumpulan gejala yangdisebut dengan sindroma. Sindroma ini diberi nama sesuai dengan nama orang yang menemukatutya :- Sindroma Modini : tidak terbentuknya dengan sempurna labirin bagian

tulang dan bagian membran. Sindroma Scheibe: labirin bagian membran terjadi aplasia. Sindroma Alexander :koklea bagian membran terjadi aplasia. Dengan demikian, pada kelainan-kelainan tersebut di atas akan terjadi tuli total, sehingga anak tersebut harus diberikan pendidikan khusus untuk mengembangkan bahasa dan bicaranya. Belajar berbicara dilakukan dengan mengamati atau merasakan fibrasi dan tiaptiap arti kata yang diucapkan oleh pendidiknya, terutama ibunya. Pendidikan ini disebut auditory training (belajar bicara). Selain itu, anak hams segera diintegrasikan ke dalam lingkungannya untuk mendapat pendidikan dari masyarakat sekelilingnya. Abiotrofi. Kelain ini disebut juga tuli heredodegenerasi atau tuli

heredodegenerasi syaraf; kadang-kadang disebut pula tuli keturunan sebelum tua(presenil familial deafness).Di sini akan terjadi proses degenerasi yang progresif di dalam koklea pada masa anak-anak ataupun setelah dewasa. Di klinik, sering dijumpai seorang anak atau orang dewasa muda yang kelihatannya sehat wal'afiat, tetapi tuli tanpa diketahui

penyebabnya oleh penderita sendiri. Abiotrofi ini hanya dapat terjadi di telinga saja, jadi gejalanya hanya tuli saraf, atau kadangkadang juga dapat disertai kelainan di organ lain, sehingga merupakan suatu sindroma. Ketulian pada abiotrofi ini kadang-kadang hanya terdapat pada frekuensi tinggi saja, karena yang mengalami degenerasi hanya bagian basal dari koklea, sehingga disebut juga " presbyacusis praecox". Tetapi dapat juga proses degenerasinya terjadi di stria vaskularis dan akan menyebabkan ketulian disemua frekuensi, karena sel-sel rambutnya tidak mendapat makanan dan akan mengalami atrofi. Aberasi kromosom. Di sini terjadi penyimpangan dari kromosom yang dapat menyebabkan ketulian. Penyimpangan kromosom ini dikenal sebagai "TRISOMI". Trisomi adalah adanya ekstra kromosom yang menyebabkan anomali dan menyebabkan terjadinya ketulian; yang sering ada ialah : trisomi 12 dan 18 atau golongan D dan E. Karena adanya penyimpangan dari kromosom, biasanya kelainannya tidak di telinga saja, tetapi juga di organ lain bahkan sering terjadi di organ vital, sehingga anak tidak dapat bertahan hidup lama dan meninggal pada usia muda.

B. Prenatal (intra uterin, masa kehamilan)6 Ketulian yang terjadi pada masa kehamilan ini biasanya tipe sensori neural dan jarang dari tipe lain. Dalam hal ini, sesungguhnya pertumbuhan alat

pendengaran normal, akan tetapi oleh karena suatu sebab maka pertumbuhannya akan menyimpang atau rusak sebelum berkembang. Maim ketulian yang terjadi sangat tergantung pada kehamilan minggu keberapa kehidupan janin itu, sehingga seberapa jauh perkembangan sistem pendengaran menjadi rusak atau diganggu sehingga tidak terbentuk dengan sempurna, dan berat ringannya pun sangat tergantung dari penyebab gangguan pertumbuhan sistem pendengarannya. Kerusakan ini biasanya irreversibel; karena itu hendaknya kita berhati-hati bila menghadapi wanita hamil. Dalam periode kehamilan masa yang paling penting adalah pada trimester pertama, setiap gangguan atau kelainan yang terjadi pada masa tersebut dapat menimbulkan ketulian pada anak. Infeksi bakterial maupun virus yang seringkali berakibat buruk pada bayi yang akan dilahirkan adalah Toksoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes dan Sipilis (TORCHS). Selain itu infeksi virus lainnya seperti campak dan parotitis juga dapat menyebabkan ketulian. Kehamilan trimester I merupakan periode penting karena infeksi bakteri maupun virus akan mempunyai akibat terjadinya ketulian. Infeksi yang sering mempengaruhi pendengaran antara lain adalah infeksi TORCHS

(Toksoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes dan Sifilis), selain campak dan parotitis (gondong). Beberapa jenis obat ototoksik dan teratogenik seperti salisilat, kina, gentamisin, streptomycin dll. mempunyai potensi menyebabkan terjadinya gangguan proses pembentukan organ dan sel rambut pada rumah siput (koklea).

Gangguan struktur anatomi telinga juga dapat menyebabkan terjadinya ketulian antara lain aplasia koklea (rumah siput tidak terbentuk) dan atresia hang telinga. Kerusakan sistem pendengaran pada janin itu dapat disebabkan: a) Keracunan.

1. Keracunan yang disebabkan pemberian obat-obatan dari dokter atau minumobat sendiri. Obat yang dapat meracuni adalah : - streptomisin dengan derivatnya. - aminoglikosid dan derivatnya. - kinin. - preparat salisil. - preparat Pb.

2. Keracunan waktu hamil : gravidarum atau hiperemesis gravidarum. 3. Penyakit virus dapat juga merusak perkembangan sistem pendengaran padajanin. Jadi bila ibu hamil terserang oleh penyakit virus haruslah waspada, misalnya : - rubella, meskipun di Indonsia belum banyak diketahui. - parotitis epidemika. - influenza oleh karena virus. - dan penyakit virus lain.

4. Penyakit yang menahun yang diderita oleh ibu hamil dapat menyebabkanjaninnya jadi tuli. Penyakit menahun adalah : - Lues.

- Diabetes. - Thyrotoxicosis. b) Selain dari penyakit-penyakit tersebut di atas, masih ada beberapa

macam faktor yang dapat menyebabkan anak lahir tuli, yaitu : - kernikterus. - prematur. - anoksia. - narkose semasa ibu hamil oleh karena mengalami operasi. C. Perinatal (waktu kelahiran)6 Penyebab ketulian pada saat lahir antara lain : lahir prematur, berat badan lahir rendah (< 1500 gram), tindakan dengan alat pada proses kelahiran (ekstraksi vakum, forcep), hiperbilirubinemia (bayi kuning), asfiksia (lahir tidak langsung menangis), dan hipoksia otak (nilai Apgar < 5 pada 5 menit pertama.) Menurut American Academy Joint Committee on Infant Hearing Statement (1994) pada bayi usia 0-28 hari bila ditemukan beberapa faktor berikut ini harus dicurigai, karena merupakan kemungkinan penyebab gangguan pendengaran: -

Riwayat keluarga dengan tuli sejak lahir- Trauma waktu lahir, baik oleh karena alat-alat yang digunakan oleh

penolong persalinan maupun persalinan yang sukar atau persalinan yang lama. - Anoksia oleh karena tali pusat melingkar kepala, ataupun terjadinya obstruksi dari jalan nafas yang dapat menyebabkan kerusakan dan koklea.

-

Infeksi prenatal; TORCH Kelainan anatomi pada kepala dan leher Sindrom yang berhubungan dengan tuli kongenital Berat badan lahir rendah (BBLR < 1500 gram ) Meningitis bakterialis Hiperbilirubinemia (bayi kuning) yang memerlukan transfusi

tukar-

Asfiksia berat Pemberian obat ototoksikMenggunakan alat bantu pemapasan/ ventilasi mekanik lebih dari 5

hari (ICU)

Ketulian yang terjadi biasanya merupakan tuli saraf (sensorineural) derajat berat sampai sangat berat pada kedua tel inga (bilateral). Gejala awal sulit diketahui karena ketulian tidak terlihat. Biasanya orang tua baru menyadari adanya gangguan pendengaran pada anak bila tidak ada respons terhadap suara keras atau belum / terlambat berbicara. Oleh karena itu informasi dan orang tua sangat bermanfaat untuk mengetahui respons anak terhadap suara dl lingkungan rumah, kemampuan vokalisasi dan cara pengucapan kata.

III.3. Tingkat ketulian tuli kongenital Kehilangan pendengaran diukur dengan decibel hearing loss (db HL). Batas pendengaran normal adalah 0-20 dB. Untuk mendiagnosa ketulian kongenital,

pasian harus memiliki perbandingan antara kedua telinga setidaknya 40 dB HL pada telinga yang memiliki pendengaran lebih baik, tidak dapat mendengar suara dibawah 40 dB. Tingkat ketulian congenital :

20 - 40 dB HL : ringan,tidak dapat mendengar bisikan 41- 70 dB HL : sedang, tidak dapat mendengar percakapan normal.

71 -95 dB HL : berat, tidak dapat mendengar teriakan>95 dB HL : sangat berat, tidak dapat mendengar suara yang bagi orang lain terasa menyakitkan di telinga. Selain itu, ketulian dapat diklasifikasikan menjadi tuli konduktif (dimana

terdapat kegaaglan dari gelombang suara untuk dapat masuk ke telinga tengah dimana channel konduksi udara normal berada pada telinga bagian luar dan bagian tengah) atau tuli sensorineural (dimana terdapat kelainan atau terdapat kerusakan dari sel-sel sensoris seperti nervus fiber pada telinga bagian dalam ).

BAB IV DETEKSI DINI TULI KONGENITAL

Dengan sedini mungkin diketahui gangguan pendengaran pada bayi baru lahir maka dapat segera dilakukan penanganan terarah sedemikian rupa sehinga segera dapat dicegah masalah yang timbul nantinya. Namun demikian seringkali orang tua tidak menyadari adanya gejala awal ketulian pada bayi, dan barn menyadari adanya gangguan pendengaran pada anaknya bila tidak ada tanggapan/respon anak terhadap suara keras, ataupun anak belum/terlambat berbicara.Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi, saat ini telah hadir program deteksi pendengaran (Newborn Hearing Screening). Dengan program ini diharapkan bayi yang baru lahir dapat segera dideteksi secara dini fungsi pendengarannya.

Dari berbagai penelitian menyatakan bahwa usia sampai dengan 3 tahun merupakan masa terpenting dari seorang anak dalam perkembangan bicaranya. Tujuan Deteksi Dini Pendengaran Bayi Baru Lahir adalah untuk menemukan gangguan pendengaran/ ketulian sedini mungkin sehingga dapat dilakukan penanganan segera, agar dampak cacat dengar dapat diatasi. Screening pendengaran bayi baru lahir menggunakan tes fisiologik yang dilakukan saat masih dirawat di rumah sakit atau kurang dari 24 jam. Pada bayi pada pemeriksaan I, dinyatakan tidak lulus screening, perlu pemeriksaan lanjutan sebelum usia 3 bulan. Pada bayi yang pada pemeriksaan I dinyatakan lulus (PASS) screening tetapi memiliki faktor resiko (+) perlu monitoring audiologik dan perkembangan bicara.Bayi yang dilakukan pemeriksaan lanjutan dinyatakan tuli permanen, sudah dapat mulai dilakukan penanganan pendengaran sebelum usia 6 bulan. Terdapat beberapa informasi yang perlu ketahui untuk mendeteksi dini apakah bayi mengalami tuli kongenital. 5 Usia 0-4 Bulan Kemampuan respons auditorik masih terbatas dan bersifat refleks. Deteksi apakah bayi kaget mendengar suara keras atau terbangun ketika sedang tidur. Respons berupa refleks auropalpebral maupun refleks Moro.

Usia 4-7 Bulan

Respons memutar kepala ke arah bunyi yang terletak di bidang horizontal, walaupun belum konsisten. Pada usia 7 bulan otot leher cukup kuat sehingga kepala dapat diputar dengan cepat ke arah sumber suara.

Usia 7-9 Bulan Dapat mengidentifikasi dengan tepat asal sumber bunyi dan bayi dapat memutar kepala dengan tegas dan cepat.

Usia 9-13 Bulan Bayi sudah berkeinginan besar untuk mencari sumber bunyi dan sebelah atas, dan pada usia 13 bulan mampu melokalisasi bunyi dan segala arah dengan cepat.

Usia 2 Tahun Pemeriksa hams lebih teliti karena anak tidak akan memberi reaksi setelah beberapa kali mendapat stimulus yang sama. Hal ini disebabkan anak sudah mampu memperkirakan sumber suara.

Perkembangan bicara erat kaitannya dengan tahap perkembangan mendengar pada bayi, sehingga adanya gangguan pendengaran perlu dicurigai bila5:

- Usia 12 bulan: belum dapat mengoceh (babbling) atau meniru bunyi. - Usia 18 bulan: tidak dapat menyebut satu kata yang mempunyai arti. - Usia 24 bulan: perbendaharaan kata kurang dari 10 kata. - Usia 30 bulan: belum dapat merangkai dua kata.

Untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran, maka diagnosis dini perlu dilakukan. Cara mudah untuk melakukan pemeriksaan pendengaran apabila tidak ada sarana yaitu dengan memberikan bunyi-bunyian pada jarak satu meter di belakang anak5: Bunyi pss - pss untuk menggambarkan suara frekuensi tinggi. Bunyi uh - uh untuk menggambarkan frekuensi rendah. Suara menggesek dengan sendok pada tepi cangkir (frekuensi 4000 Hz) Suara mengetuk dasar cangkir dengan sendok (frekuensi 900 Hz) Suara remasan kertas (frekuensi 6000 Hz) Suara bel (frekuensi puncak 2000 Hz)

BAB V KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Tuli kongenital merupakan salah satu masalah pada anak yang akan berdampak pada perkembangan bicara, sosial, kognitif dan akademik. Masalah makin bertambah bila tidak dilakukan deteksi dan intervensi secara dini.

2. Tuli kongenital pada anak dapat disebabkan oleh berbagai sebab, yang dialami oleh bayi baik pada masa prenatal maupun perinatal diantaranya adalah penyebab genetik, infeksi, obat-obatan ototoksik, keracunan zat, maupun kejadian-kejadian patologis pada saat proses melahirkan. 3. Seorang dokter umum diharapkan menjadi jembatan pertama dalam penegakan diagnosis dan inisiator pertama untuk menentukan penderita tuli kongenital yang perlu dirujuk ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu unit spesialis THT.

DAFTAR PUSTAKA

1. Adams,George.L,Lawrence R Boies Jr, Peter A Higler.Buku Ajar Penyakit THT.Edisi 6. Jakarta :EGC,1997. 2. Lawrence, Merle. Textbook of Otolaryngology. Hal. 270-278 3. Ballenger, JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi 13. Jilid Dua. Jakarta: Binarupa Aksara.

4. Bluestone, Charles D, Sylvan E. Stool, Margaret A. Kenna. Pediatric Otolaryngology. Third edition, London Toronto Sydney Tokyo: W.B Saunders Company, 2001. 5. http://www. jumalnasional.com. edisi Rabu 19 Maret 2008 6. http://www. Cerminduniakedokteran.com Sebab-sebab ketulian.