continuing development medical education (cdme) fk …

53
CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK-UMM 2 0 2 0

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION

(CDME) FK-UMM

2 0 2 0

Page 2: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

COVID-19: Apa dan Bagaimana? “Covid-19 Pada Tinjauan Bedah

dan Obstetri Ginekologi”

Malang, 7 Agustus 2020

Penerbit:

Continuing Development Medical Education

(CDME) FK-UMM

2 0 2 0

Page 3: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 1:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

PROSIDING

Webinar Seri 2: COVID-19, Apa dan Bagaimana? “Covid-19 pada Tinjauan Bedah dan Obstetri Ginekologi”

Steering Committee:

1. Dr. Meddy Setiawan, dr., Sp.PD., FINASIM 2. dr. Moch. Ma’roef, Sp.OG 3. dr. Sri Adila Nurainiwati, Sp.KK 4. dr. Indra Setiawan, Sp.THT-KL

Pelaksana kegiatan: Ketua : Dr. Febri Endra Budi Setyawan, dr., M.Kes., FISPH., FISCM Sekretaris : Patmawati, S.Pd Bendahara : Emma Argianti, S.E Narahubung : Nyono, S.Pd Joko Febrianto, S.Ikom., M.Si Sie Acara : dr. S. Khansa Z dr. Lustyafa Inassani A Sie IT : Drs. Djoko Trisilo Handika Setyobudi, S.Kom Zainal Abidin, S.Kom Sie Publikasi : dr. Feny Tunjungsari, M.Kes Reviewer:

1. Dr. Retno Lestari, S.Kep., Ns., M.Nurs 2. dr. Rubayat Indradi, M.OH

Editor: Dr. Febri Endra Budi Setyawan, dr., M.Kes., FISPH., FISCM

Page 4: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 1:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

Penerbit: Continuing Development Medical Education (CDME) FK-UMM Kontak redaksi: Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang Jl. Bendungan Sutami 188A Malang Telp. (0341) 552443 Email: [email protected] Cetakan pertama: September 2020

Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari Penerbit

Page 5: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

i

Kata Pengantar

Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh,

Alhamdulillah, pada era Pandemi COVID-19 ini kita semua masih diberikan karunia nikmat kesehatan oleh ALLAH SWT sehingga kami, Continuing Development Medical Education (CDME) Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang dapat mengadalan Webinar seri 2: COVID-19: Apa dan Bagaimana? dengan tema Covid-19 pada Tinjauan Bedah dan Obstetri Ginekologi.

Kegiatan ini merupakan salah satu wujud nyata dari Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang untuk berperan aktif dalam memberikan informasi dari berbagai bidang ilmu terkait tentang COVID-19 yang saat ini telah menjadi suatu pandemi. Webinar ini membahas secara komprehensif tentang COVID-19 dan diharapkan para partisipan yang mengikuti kegiatan Webinar CDME FK-UMM ini dapat lebih memahami dan memiliki wawasan yang luas dan benar tentang pandemi COVID-19.

Tentunya tidak ada gading yang tak retak, tidak ada satupun kegitan yang sempurna. Kami menyadari bahwa masih cukup banyak kekurangan kami dalam penyelenggaraan kegiatan Webinar ini. Untuk itu kami sangat mengharapkan saran untuk penyempurnaan kegiatan Webinar CDME FK-UMM. Semoga kita semua selalu dalam lindungan ALLAH SWT. Wassalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh. Editor, Dr. Febri Endra Budi Setyawan, dr., M.Kes., FISPH., FISCM.

Page 6: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

ii

Daftar Isi

Topik bahasan Kontributor Hal

1. Pengelolan Kasus Obstetri di

Era Pandemi COVID-19

2. COVID-19: Sebagai Faktor Resiko Pembedahan Fraktur Tulang Panjang

3. Dampak COVID19 (SARS-Cov2) Terhadap Kehamilan

4. Tatalaksana Fraktur Maksilofacial di Era Pandemi

5. Tatalaksana Klinis Appendisitis

Akut Selama COVID-19

6. Manajemen Trauma Kepala dan

Servikal Di Era Pandemi

COVID-19

dr. Tatik Sujiati, Sp.OG., M.M Dr. Erwien Isparnadi, dr., Sp.OT dr. Kusuma Andriana, Sp.OG dr. Ruby Riana A, Sp.BP-RE (K)

dr. Andi Abdillah Sp.B.,

FINACS, FICS

dr. Yoyok Subagyo, Sp.BS

1-14

15-20

21-30

31-36

37-42

43-46

Page 7: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

1

PENGELOLAAN KASUS OBSTETRI DI ERA PANDEMI COVID-19

Tatik Sujiati SMF Obstetri Ginekologi,

RSUD Pamekasan-FK Universitas Muhammadiyah Malang

Di Indonesia per tanggal 14 Maret 2020 ada sebanyak 96 kasus yang terkonfirmasi COVID-19 dengan jumlah kematian 6 orang dan menjadi negara ke 65 yang positif konfirmasi COVID-19. Secara keseluruhan tingkat mortalitas dari COVID-19 masih lebih kecil jika dibandingkan dengan kejadian luar biasa oleh Coronavirus tipe lain yaitu Severe Acute Respiratory Syndrome-coronavirus (SARSCoV) dan Middle East Respiratory Syndrome-coronavirus (MERS-CoV) masingmasing sebesar 10% dan 40%. Infeksi COVID-19 dapat menimbulkan gejala ringan, sedang atau berat. Gejala klinis utama yang muncul yaitu demam (suhu >38C), batuk dan kesulitan bernapas. Selain itu dapat disertai dengan sesak memberat, fatigue, mialgia, gejala gastrointestinal seperti diare dan gejala saluran napas lain. Setengah dari pasien timbul sesak dalam satu minggu. Pada kasus berat perburukan secara cepat dan progresif, seperti ARDS, syok septik, asidosis metabolik yang sulit dikoreksi dan perdarahan atau disfungsi sistem koagulasi dalam beberapa hari. Pada beberapa pasien, gejala yang muncul ringan, bahkan tidak disertai dengan demam. Kebanyakan pasien memiliki prognosis baik, dengan sebagian kecil dalam kondisi kritis bahkan meninggal.

Sampai saat ini, pengetahuan tentang infeksi COVID-19 dalam hubungannya dengan kehamilan dan janin masih terbatas dan belum ada rekomendasi spesifik untuk penanganan ibu hamil dengan COVID-19. Berdasarkan data yang terbatas tersebut dan beberapa contoh kasus pada penanganan Coronavirus sebelumnya (SARS-CoV dan MERS-CoV) dan beberapa kasus COVID-19, dipercaya bahwa ibu hamil memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya penyakit berat, morbiditas dan mortalitas dibandingkan dengan populasi umum. Efek samping pada janin berupa persalinan preterm juga dilaporkan pada ibu hamil dengan infeksi COVID-19. Akan tetapi informasi ini sangat terbatas dan belum jelas apakah komplikasi ini mempunyai hubungan dengan infeksi pada ibu.

Page 8: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

2

Page 9: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

3

Page 10: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

4

WBC dan limfosit normal

Limfosit absolut (ALC) ↓

NLR ↑

CRP ↑

WBC, Neutrofil, NLR dan CRP ↓

Limfosit absolut (ALC) ↑

INDIKASI BAIK

Puncak pada hari ke-13:

WBC, Neutrofil, NLR, CRP paling ↑

Limfosit absolut (ALC) sangat ↓

Page 11: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

5

Pelayanan Di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Primer a. Prinsip Umum

1. Skrining dilakukan berdasarkan pemeriksaan suhu tubuh (≥38oC), adanya gejala, adanya riwayat kontak erat dan adanya riwayat perjalanan ke daerah yang telah terjadi transmisi lokal.

2. Tenaga kesehatan yang melakukan pemeriksaan ibu hamil, menolong persalinan dan memberikan perawatan esensial bayi baru lahir WAJIB menggunakan Alat Pelindung Diri (sesuai pedoman).

3. Ibu hamil, ibu bersalin dan bayi baru lahir dalam keadaan Gawat Darurat atau status Pasien Dalam Pengawasan (PDP) atau terkonfirmasi COVID-19 WAJIB DIRUJUK ke Rumah Sakit Rujukan COVID-19 atau RS mampu PONEK yang terdekat.

4. Pertolongan persalinan dilakukan dengan berpedoman pada kaidah Pencegahan Infeksi (lihat protap)

5. Tenaga Kesehatan mematuhi prinsip hand hygiene dan physical distancing setiap waktu.

Page 12: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

6

Page 13: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

7

b. Layanan Pemeriksaan Kehamilan (ANC): 1. Ibu hamil TANPA demam dan gejala influenza like illnesses DAN tidak

ada riwayat kontak erat ATAU tidak ada riwayat perjalanan dari daerah yang telah terjadi transmisi lokal, SERTA hasil rapid test negatif (jika mungkin dilakukan), dapat dilayani di FKTP oleh bidan/dokter yang WAJIB menggunakan APD level-1.

2. Ibu hamil dengan status ODP dapat dilayani di FKTP, sedangkan PDP harus DIRUJUK ke FKRTL. Beri keterangan yang jelas pada surat rujukan bahwa diagnosa PDP dan permintaan untuk dilakukan pemeriksaan PCR serta penanganan selanjutnya oleh dokter spesialis.

3. Ibu Hamil mendapatkan Jenis layanan ANC sama dengan situasi normal (sesuai SOP), kecuali pemeriksaan USG untuk sementara DITUNDA pada ibu dengan PDP atau terkonfirmasi COVID-19 sampai ada rekomendasi bahwa episode isolasinya berakhir. Pemantauan selanjutnya, ibu dianggap sebagai kasus risiko tinggi

4. Konsultasi kehamilan dilakukan sesuai rekomendasi WHO 5. Ibu hamil diminta untuk

a. Kunjungan wajib pertama dilakukan pada trimester 1 direkomendasikan oleh dokter untuk dilakukan skrining faktor risiko (HIV, sifilis, Hepatitis B). Jika kunjungan pertama ke bidan, maka setelah ANC dilakukan maka ibu hamil kemudian diberi rujukan untuk pemeriksaan oleh dokter.

b. Kunjungan wajib kedua dilakukan pada trimester 3 (satu bulan sebelum taksiran persalinan) harus oleh dokter untuk persiapan persalinan.

c. Kunjungan selebihnya DAPAT dilakukan atas nasihat tenaga kesehatan dan didahului dengan perjanjian untuk bertemu.

d. Ibu hamil diminta mempelajari Buku KIA. e. Jika memungkinkan, konsultasi kehamilan dan edukasi kelas ibu

hamil DAPAT menggunakan aplikasi TELEMEDICINE (misalnya Sehati tele-CTG, Halodoc, Alodoc, teman bumil dll) dan edukasi berkelanjutan melalui SMSBunda.

c. Layanan Persalinan:

1. Rapid test WAJIB dilakukan kepada seluruh ibu hamil sebelum proses persalinan (kecuali rapid test tidak tersedia).

2. Persalinan dilakukan di tempat yang memenuhi persyaratan dan telah dipersiapkan dengan baik.

3. FKTP memberikan layanan persalinan tanpa penyulit kehamilan/persalinan ATAU tidak ada tanda bahaya ATAU bukan kasus ODP, PDP atau terkonfirmasi COVID-19.

4. Jika didapatkan ibu bersalin dengan rapid test positif, maka rujuk ke RS rujukan COVID-19 atau RS mampu PONEK.

Page 14: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

8

5. Penolong persalinan di FKTP menggunakan APD level-2. 6. Jika kondisi sangat tidak memungkinan untuk merujuk kasus ODP,

PDP, terkonfirmasi COVID-19 atau hasil skrining rapid test positif, makapertolongan persalinan hanya dilakukan dengan menggunakan APD level- 3 dan Ibu bersalin dilengkapi dengan delivery chamber (lihat gambar)

7. Bahan habis pakai dikelola sebagai sampah medis yang harus dimusnahkan dengan insinerator.

8. Alat medis yang telah dipergunakan serta tempat bersalin dilakukan disinfetan dengan menggunakan larutan chlorine 0,5%.

9. Pastikan ventilasi ruang bersalin yang memungkinkan sirkulasi udara dengan baik dan terkena sinar matahari.

Pelayanan Di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut a. Layanan Pemeriksaan Kehamilan (ANC):

1. Pemeriksaan rapid test dilakukan kepada Ibu hamil setiap kali berkunjung, kecuali kasus rujukan yang telah dilakukan rapid test atau telah terkonfirmasi COVID-19.

2. Ibu hamil dengan hasil skrining rapid test positif atau terkonfirmasi COVID- 19 atau didiagnosa PDP dilayani oleh dokter yang WAJIB menggunakan APD level-2.

3. Ibu hamil dengan hasil skrining rapid test positif, jika memungkinkan dilakukan pengambilan spesimen dan pemeriksaan PCR, serta penetapan statusnya (OTG/ODP/PDP atau non-COVID-19).

4. Jenis layanan ibu hamil sesuai pedoman POGI untuk pemeriksaan ANC. Rekomendasi Umum Pelayanan Antenatal Trimester 1: Pemeriksaan antenatal tidak dianjurkan, kecuali dibutuhkan pemeriksaan ultrasonografi bila ada keluhan serta kecurigaan terhadap kejadian kehamilan ektopik. Trimester 2: Pemeriksaan antenatal dapat dilakukan melalui tele konsultasi klinis, kecuali dijumpai keluhan atau kondisi gawat darurat. Trimester 3: Pemeriksaan antenatal HARUS DILAKUKAN dengan tujuan utama untuk menyiapkan proses persalinan.

Page 15: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

9

5. Jika tidak ada indikasi rawat inap DAN tidak ada penyulit kehamilan lainnya, maka kunjungan pemeriksaan kehamilan WAJIB berikutnya adalah pada satu bulan sebelum taksiran persalinan, atau sesuai nasihat dokter dengan didahului perjanjian untuk bertemu.

6. Jika memungkinan, ibu hamil disarankan untuk juga melakukan konsultasi dengan menggunakan aplikasi TELEMEDICINE (SEHATI tele-CTG, Halodoc, Alodoc, Teman Bumil) dan edukasi berkelanjutan melalui SMSBunda.

7. Ibu hamil diminta mempelajari buku KIA untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari termasuk mengenali tanda bahaya. Jika ada tanda bahaya ibu harus segera memeriksakan diri ke RS

b. Layanan Persalinan:

1. Rapid test wajib dilakukan pada ibu hamil sebelum bersalin, kecuali kasus rujukan yang telah dilakukan rapid test atau telah terkonfirmasi COVID-19

2. Ibu hamil in-partu dengan hasil skrining rapid test positif tetap dilakukan pengambilan spesimen dan pemeriksaan PCR, serta penetapan statusnya (OTG/ODP/PDP atau non-COVID-19).

3. Persalinan per vaginam dengan rapid test negatif DAN tidak didiagnosa sebagai ODP/PDP dilayani oleh bidan/dokter menggunakan APD level-2

4. Persalinan per vaginam dengan rapid test positif ATAU terkonfirmasi COVID-19 ATAU telah didiagnosa OTG/ODP/PDP dilayani oleh dokter yang WAJIB menggunakan APD level-3

Page 16: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

10

5. Persalinan Sectio Cesaria (per abdominam), penolong persalinan menggunakan APD level 3 tanpa melihat status COVID-19

6. Bahan habis pakai dikelola sebagai sampah medis infeksius dan dimusnahkan dengan insinerator.

7. Alat medis bekas pakai untuk pakai ulang diproses sesuai pedoman PPIRS

8. Tempat bersalin dibersihkan setiap kali habis pakai sesuai pedoman PPIRS

9. Pastikan ventilasi ruang bersalin yang memungkinkan sirkulasi udara dengan baik dan terkena sinar matahari.

Layanan Paska Bersalin

1. FKRTL memberikan pelayanan KB (diutamakan metode kontrasepsi jangka panjang) segera setelah persalinan. Jika ibu tidak bersedia, maka dilakukan konseling KB serta nasihat untuk mendapatkan layanan KB paska bersalin

2. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang bukan ODP, PDP atau terkonfirmasi COVID- 19 pada 0-6 jam pertama, tetap mendapatkan: perawatan tali pusat, inisiasi menyusu dini, injeksi vitamin K1, pemberian salep/tetes mata antibiotic, imunisasi Hepatitis B dan pemebrian HbIg (Hepatitis B immunoglobulin)

3. Bayi yang dilahirkan dari ibu ODP, PDP atau terkonfirmasi COVID-19: a. Tidak dilakukan penundaan penjepitan tali pusat (delayed

chord clamping) b. Bayi dikeringkan seperti biasa, dan segera dimandikan

setelah kondisi stabil, tidak menunggu 24 jam. c. Tidak dilakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD)

4. Ibu dengan HBsAg reaktif dan terkonfirmasi COVID-19: a. Jika kondisi klinis bayi baik (bugar), maka imunisasi Hepatitis

B tetap diberikan b. Jika kondisi klinis bayi tidak bugar atau tampak sakit,

imunisasi Hepatitis B ditunda 1. Bayi baru lahir dari ibu terkonfirmasi COVID-19 atau ibu dengan

status PDP termasuk dalam kriteria Pasien Dalam Pengawasan (PDP) dan dirawat sesuai rekomendasi IDAI. a. Bayi Baru Lahir harus diperiksa COVID-19 (swab dan periksa

darah) pada hari ke-1, ke-2 dan ke-14 b. Bayi dirawat gabung jika ibu status ODP, tidak dirawat

gabung jika status ibu PDP atau terkonfirmasi COVID-19 c. Jika ibu harus isolasi, maka dilakukan konseling untuk isolasi

terpisah antar ibu dan bayinya selama 14 hari sesuai batas

Page 17: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

11

risiko transmisi. Pemisahan sementara bertujuan untuk mengurangi kontak antara ibu dan bayi.

d. Bila setelah mendapatkan konseling, ibu tetap berkeinginan untuk merawat bayi sendiri: 1) Persiapan harus dilakukan dengan memberikan

informasi lengkap dan potensi risiko terhadap bayi. 2) Ibu dan bayi diisolasi dalam satu kamar dengan fasilitas

ensuite selama dirawat di rumah sakit, 3) Bayi harus ditempatkan di inkubator tertutup di dalam

ruangan. 4) Ibu disarankan untuk mengenakan APD yang sesuai

dengan pedoman PPI dan diajarkan mengenai etika batuk

5) Bayi harus dikeluarkan sementara dari ruangan jika ada prosedur yang menghasilkan aerosol yang harus dilakukan di dalam ruangan

2. Tenaga kesehatan mengambil sampel skrining hipotiroid kongenital (SHK) pada bayi yang dilakukan setelah 24 jam persalinan, sebelum ibu dan bayi pulang dari fasilitas kesehatan. Tenaga Kesehatan menggunakan APD sesuai status bayi.

3. Ibu dan keluarga mendapat nasihat dan edukasi tentang perawatan bayi baru lahir termasuk ASI eksklusif, tanda bahaya jika ada penyulit pada bayi baru lahir serta anjuran membaca buku KIA dan nasihat untuk segera ke RS jika ada keluhan atau tanda bahaya.

Page 18: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

12

Rekomendasi Menyusui

1. Ibu sebaiknya dikonseling tentang sebuah penelitian terbatas pada dalam enam kasus persalinan di Cina yang dilakukan pemeriksaan pada ASI yang didapatkan negatif untuk COVID-19, namun mengingat jumlah kasus yang sedikit, bukti ini harus ditafsirkan dengan hati-hati.

2. Risiko utama untuk bayi menyusui adalah kontak dekat dengan ibu yang cenderung terjadi penularan melaui droplet infeksius di udara.

3. Mengingat bukti saat ini, petugas kesehatan sebaiknya menyarankan bahwa manfaat menyusui melebihi potensi risiko

Page 19: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

13

penularan virus melalui ASI. Risiko dan manfaat menyusui, termasuk risiko menggendong bayi dalam jarak dekat dengan ibu, harus didiskusikan. Ibu sebaiknya juga dikonseling bahwa panduan ini dapat berubah sesuai perkembangan ilmu pengetahuan.

4. Keputusan untuk menyusui atau kapan akan menyusui kembali (bagi yang tidak menyusui) sebaiknya dilakukan komunikasi tentang risiko kontak dan manfaat menyusui dengan dokter yang merawatnya

5. Untuk wanita yang ingin menyusui, tindakan pencegahan harus diambil untuk membatasi penyebaran virus ke bayi: a. Mencuci tangan sebelum menyentuh bayi, pompa payudara

atau botol b. Mengenakan masker untuk menyusui c. Lakukan pembersihan pompa ASI setelah setiap kali

penggunaan d. Pertimbangkan untuk meminta bantuan seseorang dengan

kondisi yang sehat untuk memberi ASI pada bayi 6. Untuk ibu yang memerah ASI.

a. Ibu harus didorong untuk memerah ASI (manual atau elektrik), sehingga bayi dapat menerima manfaat ASI dan untuk menjaga persediaan ASI agar proses menyusui dapat berlanjut setelah ibu dan bayi disatukan kembali. Jika memerah ASI menggunakan pompa ASI, pompa harus dibersihkan dan didesinfeksi dengan sesuai.

b. Kantong ASI harus yang diangkut dari kamar ibu ke lokasi penyimpanan harus ditranportasi menggunakan kantong spesimen plastik. Kondisi penyimpanan harus sesuai dengan kebijakan dan kantong ASI harus ditandai dengan jelas dan disimpan dalam kotak wadah khusus sehingga terpisah dengan kantong ASI dari pasien lainnya.

Page 20: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

14

Referensi:

Kemenkes RI. Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Infeksi Novel Coronavirus (2019-nCov). Direktorat Jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. 2020

ACOG. Practice Advisory: Novel Coronavirus 2019 (COVID-19). American College of Obstetric and Gynaecology. 2020

Burhan E, Isbaniah F, Susanto AD, Aditama TY, Soedarsono, dkk. Pneumonia COVID-19 “Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia”. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2020

RCOG. Coronavirus (COVID-19) Infection in Pregnancy. Versi 1. 9 Maret 2020

Shanes, Elisheva D., MD, Leena B. Mithal, Sebastian Otero, Hooman A. Azad. Placental Pathology in COVID-19. American Society for Clinical Pathology 2020; XX:0–0

Page 21: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

15

COVID-19: SEBAGAI FAKTOR RESIKO PEMBEDAHAN FRAKTUR

TULANG PANJANG

Erwien Isparnadi SMF Bedah,

RS Haji Surabaya-FK Universitas Muhammadiyah Malang

Latar Belakang

Pada Desember 2019, Coronavirus Disease 2019 ( COVID-19) disebabkan oleh corona virus (2019-nCov) ditemukan di Wuhan (Hubei, Cina) dan kemudian menjadi pandemik diseluruh dunia pada 11 Maret 2020. Menurut stastistik dari Universitas Johns Hopkins, total 4.136.056 kasus COVID-19 telah dikonfirmasi secara global hingga 11 Mei 2020. Karena tingkat infeksiusnya yang tinggi maka diperkirakan sumber penularan berasal dari orang terinfeksi tanpa gejala. Transmisi utama 2019-nCoV adalah droplet dan sangat mungkin lewat transmisi aerosol. Sehingga resiko tinggi transmisi terjadi pada dokter dan tenaga medis. Di Indonesia sendiri, virus ini mulai muncul pada awal maret 2020 dng jumlah kasus yang kian meningkat hingga awal Juli 2020 ini. Telah terjadi case fatality rate ( CFR) atau ratio kematian sebesar 8,07%. Rumah sakit tentunya menjadi zona merah untuk perawatan dan transmisi penyakit ini. Dokter dan paramedis semakin banyak yang terpapar dan menjadi korban. Pandemi COVID-19 telah berdampak besar pada penanganan alur pasien, mulai dari prehospital, diagnosis, tatalaksana kegawatdaruratan, operasi darurat, anestesi dan manajemen perioperatif. Strategi untuk penanganan pasien trauma harus dirumuskan dengan tindakan perlindungan bagi tenaga medis Patofisiologi

Secara patofisiologi diawali dengan interaksi protein spike virus dengan sel manusia, encoding genome akan terjadi dan memfasilitasi ekspresi gen yang membantu adaptasi severe acute respiratory syndrome virus corona 2 pada host. Rekombinasi, pertukaran gen, insersi gen atau delesi akan menyebabkan perubahan genom yang menyebabkan outbreak.

Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS-CoV-2)menggunakan reseptor angiotensin converting enzyme 2 (ACE 2) yang ditemukan pada traktus respiratorius bagian bawah manusia dan enterosit usus kecil sebagai reseptor masuk. Glikoprotein spike (S) virus melekat pada reseptor ACE2 pada permukaan sel manusia. Sub unit S1 memiliki fungsi sebagai pengatur Receptor Binding Domain (RBD). Sedangakan

Page 22: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

16

subunit S2 memiliki fungsi dalam fusi membrane antara sel virus dan sel host.

Setelah terjadi fusi membran , RNA virus akan dikeluarkan dalam sitoplasma sel host. RNA virus akan mentranslasikan polyprotein pp1a dan pp1ab dan membentuk complex replikasi transmisi (RTC). Selanjutnya RTC akan mereplikasi dan mensintesis subgenomik RNA yang mengkodekan pembentukan protein struktural dan tambahan. Gabungan reticulum endoplasma, badan golgi, gen RNA, protein nukleokapsid dan glikoprotein akan membentuk badan partikel virus. Virion akan berfusi ke membran plasma dan dikeluarkan dari sel sel yang terinfeksi melalui eksositosis. Virus virus yang dikeluarkan kemudian akan menginfeksi sel limfosit T, intestinal dan traktus respiratorius bawah yang kemudian menimbulkan gejala pada pasien. Diagnosis COVID-19

Semua pasien yang dirawat dan penunggu selama periode epidemi COVID-19 ini sebaiknya harus diskrining dengan pengambilan darah untuk test antibodi spesifik 2019-nCoV (rapid test), CT scan thorax dan uji asam nukleat 2019-nCoV (PCR). Terdapat gambaran pneumonia pada paru, test antibodi reaktif didapatkan peningkatan kadar IgM dan IgG dan yang paling akurat dengan pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) yang hasilnya menyatakan identifikasi dari gen virus itu sendiri. Indikasi Operasi Orthopaedi Di Masa Pandemi COVID-19

Salah satu cara yang efektif untuk mencegah transmisi antara pasien dan tenaga medis, dan sebaliknya adalah dengan mengurangi frekuensi kontak antara tenaga medis dan pasien. Oleh sebab itu di masa pandemi ini dengan cara menyeleksi pasien. Penderita dengan kondisi gawat darurat yang mengancam jiwa, ancaman disfungsi permanen pada ekstremitas atau organ, resiko metastase dan peningkatan staging adalah pasien pasien yang harus di tolong tanpa bisa ditunda. Sedangkan indikasi utama untuk operasi gawat darurat adalah: trauma yang serius, seperti fraktur terbuka, fraktur tertutup dengan sindroma kompartemen, fraktur dengan infeksi berat, fraktur panggul yang tidak stabil, fraktur dengan syok hemoragik, fraktur dengan lesi vaskuler dan lesi syaraf, kegagalan reposisi, fraktur tulang belakang yang tidak stabil, trauma medulla spinalis dengan defisit neurologis, spinal cord injury. Faktor Resiko Tindakan Operasi Fraktur

Kasus gawat darurat terbanyak di bidang orthopaedi adalah fraktur tulang panjang. Di masa pandemik ada beberapa perlakuan yang

Page 23: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

17

berbeda dalam alur penanganan pasien trauma tulang. Mulai dari proses transportasi sebelum ke rumah sakit sampai dengan pasien pulang paska operasi dan perawatan. Pada prinsipnya semua pasien trauma dibawa ke rumah sakit terdekat dengan fasilitas isolasi yang tepat, APD yang memadai dan kemampuan mendiagnosis serta menangani pasien COVID-19. Ambulans atau alat transportasi akan terpapar aerosol konsentrasi tinggi dalam waktu yg cukup lama dilingkungan yang relative tertutup dan harus dibersihkan dan desinfeksi secara komprehensif. Penggunaan ambulans dengan tekanan negative akan lebih baik.

Perlindungan tenaga medis di Instalasi Gawat Darurat juga menggunakan protokol khusus. Penggunaan APD level 2 wajib digunakan di ruang penerimaan pasien IGD. Sebelum dilakukan skrining maka semua pasien diperlakukan sebagai pasien COVID-19. Setelah dilakukan anamnesa maka pemeriksaan skrining wajib dilakukan pada pasien trauma, apalagi apabila ada indikasi operasi. Pemeriksaan antigen antibody dengan rapid test, CT thorax dan PCR wajib dilakukan. Hal ini dilakukan karena masih terbatas dan mahalnya harga APD dan sarana sarana lain yang wajib digunakan pada penderita COVID-19. Termasuk sarana di kamar operasi maupun di ruang rawat isolasi. Sehingga apabila terbukti hasil skrining adalah Non COVID maka perlakuan pasien adalah seperti rutinitas sebelum pandemi.

Rencana pre-operatif dilakukan sesingkat mungkin untuk mengurangi waktu kontak dengan pasien maupun sesama tenaga medis dan juga mengurangi perdarahan serta anestesi. Rencana tindakan bedah juga sebaiknya minimal invasive dengan instrument bedah sekali pakai. Pemindahan pasien ke ruang operasi juga harus dengan aturan khusus. Skrining COVID-19 sulit dilakukan dalam waktu cepat dalam keadaan darurat. Semua pasien harus diperlakukan sebagai pasien suspek atau terkonfirmasi. Semua tenaga medis menggunakan APD level 2. Memakai bed pasien khusus dengan sprei sekali pakai untuk mentransfer ke kamar operasi dengan tekanan negatif, melalui jalan atau lift khusus.

Pintu ruang operasi harus ditandai dengan Kamar Operasi COVID-19. Jumlah tenaga medis di ruang operasi harus diminimalkan dan tidak boleh keluar masuk ruang operasi supaya tekanan negative tetap terjaga. Semua Tim operasi menggunakan APD level 3, kecuali bagian transportasi dengan APD level 2. Tekanan ruang operasi -5 Pa. Ruang transisi selalu tertutup. Tim operasi dilarang meninggalkan ruang operasi sampai operasi selesai dan APD dilepas. Pasien yang tidak menggunakan general anastesi harus menggunakan masker bedah selama operasi.

Page 24: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

18

Filter High Efficiency Particulate Air (HEPA) harus digunakan pada ruang operasi. Setelah operasi ruangan harus didesinfeksi dengan semprotan asam perasetat atau hydrogen peroksida selama 2 jam, AC harus dimatikan dan suplai udara dihentikan. Setelah proses desinfeksi tim PPI rumah sakit harus mengambil sampel udara dan permukaan. Operasi selanjutnya dapat dilakukan apabila hasil kultur memenuhi standar.

Selama operasi debridemen ataupun pemasangan implant pada fraktur tulang panjang, penggunaan instrument orthopaedi seperti electrocautery, ultrasonic bone knife, boor, pulsative lavage dan instrument lainnya dapat menghasilkan aerosol dari darah, tulang, cairan jaringan lunak. COVID-19 ada di dalam semua cairan tubuh sehingga virus ini juga aka nada di aerosol ini. Tulang panjang pada ekstremitas bawah akan menghasilkan aerosol dalam jumlah besar ketika menggunakan boor ataupun saw,sehingga dokter bedah orthopaedi harus menggunakan masker FFP2-3 atau N95-99. Kemampuan aerosol untuk bisa menyebabkan infeksi pada tim operasi masih belum diketahui. Tersebarnya asap cauter harus segera dihisap dengan aspirator, krn suction juga bisa menghasilkan aerosol. Penggunaaan normal saline untuk pembilasan juga harus diminimalisir untuk menghindari cipratan cairan tubuh pasien dan trauma akibat instrument tajam.

Desinfeksi instrument bedah dengan menggunakan cairan klorin 1000-2000 mg/L dan dimasukkan kantong limbah berlapis warna kuning yg diberi label COVID-19. Manajemen paska operasi dilakukan pemeriksaan asam nukleat COVID-19 sesegera mungkin untuk memastikan terinfeksi COVID-19 atau tidak. Monitoring suhu tubuh dan CT thorax dianjurkan dilakukan lagi paska operasi.

Pemulangan pasien harus dipastikan bahwa pasien dalam kondisi bebas infeksi COVID-19 yang akan berdampak pada transmisi pada keluarga penderita. Kemudian untuk follow up pasien lewat klinik rawat jalan on line atau dengan telemedicine. Banyak penelitian melaporkan bahwa dengan menggunakan teleconference, rawat jalan digital dan telemedicine lainnya akan memberikan panduan medis dan instruksi tindak lanjut yang bisa disarankan di era new normal. Kesimpulan 1. WHO telah menetapkan penyakit COVID-19 sebagai pandemic

global. Karena tingkat infeksiusnya yang tinggi, maka sumber infeksi bisa berasal dari pasien yang terkonfirmasi COVID-19 dan pasien konfirmasi tanpa gejala. Alur transmisi 2019-nCoV yang utama adalah dari droplet respiratori, tetapi tidak bisa disingkirkan dari transmisi aerosol.

Page 25: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

19

2. Faktor resiko dalam pengelolaan pasien fraktur tulang panjang dengan COVID-19 adalah terjadinya cross infection antara pasien dengan tenaga medis di semua area rumah sakit.

3. Pentingnya tindakan perlindungan yang ketat selama proses diagnosis dan penanganan pasien fraktur tulang panjang, yang bertujuan untuk mengurangi resiko infeksi antara pasien dan tenaga medis.

4. Pencegahan penularan bagi tenaga medis perlu dilakukan sejak pre operasi, durante operasi dan paska operasi.

Referensi:

1. Apley. A. G. and Solomon.L. 2010. Apley's system of ortopedic and fracture united kingdom.

2. Hirschmann, M. T., Hart, A., Henckel, J., Sadoghi, P., Seil, R., & Mouton, C. (2020). COVID-19 coronavirus: recommended personal protective equipment for the orthopaedic and trauma surgeon. Knee Surgery, Sports Traumatology, Arthroscopy, 28(6), 1690–1698. https://doi.org/10.1007/s00167-020-06022-4

3. Journal of THORACIC diseases http://jtd.amegroups.com/article/view/1209/html

4. Kemenkes RI. Situasi COVID-19. kementrian Kesehatan RI.2020 5. Lazizi, M., Marusza, C. J., Sexton, S. A., & Middleton, R. G. (2020).

Orthopaedic surgery in a time of COVID-19. Bone & Joint Open, 1(6), 229–235. https://doi.org/10.1302/2046-3758.16.bjo-2020-0045

6. OSMOSIS. COVID-19 transmition https://youtu.be/JKpVMiBT 7. Orthobullets fraktur trauma

http://www.orthobullets.com/trauma/1003/gustilo-classification

8. Sahin A, Erdogan A, Mutlu Agaoglu P, Dineri Y, Cakirci A, Senel M, Okyay R, Tasdogan A. 2019 Novel Coronavirus (COVID-19) Outbreak: A Review of the Current Literature

9. Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Indonesiahttps://covid19.go.id/

10. Wang, Y., Zeng, L., Yao, S., Zhu, F., Liu, C., Di Laura, A., Henckel, J., Shao, Z., Hirschmann, M. T., Hart, A., & Guo, X. (2020). Recommendations of protective measures for orthopedic surgeons during COVID-19 pandemic. Knee Surgery, Sports Traumatology, Arthroscopy, 0123456789, 31–33. https://doi.org/10.1007/s00167-020-06092-4

11. WHO Virus Corona disease 2019 (COVID-19) https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019

Page 26: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

20

12. Ying-hui jin et al. Military Medical Research volume 7. Guideline of Covid-19. Mil Med Res 2020

Page 27: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

21

DAMPAK COVID19 (SARS-CoV-2) TERHADAP KEHAMILAN

Kusuma Andriana

Departemen Obstetri Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang

SMF Obstetri Gibekologi RS Universitas Muhammadiyah Malang

Pendahuluan

Corona virus disease (COVID) 2019 dinyatakan telah menjangkiti masyarakat dunia sehingga WHO menetapkannya sebagi pandemi (Cucinotta and Vanelli, 2020). Sampai saat ini 22 Juli 2020, tercatat 14.765.256 kasus di dunia dengan angka kematian lebih dari 600.000 orang. Kasus tertinggi terdapat di Amerika Serikat. Sementara di Indonesia kasus tetap tinggi dari hari ke harinya, dan propinsi Jawa Timur menempati posisi pertama dengan jumlah kasus 19.450, diikuti Jakarta kemudian Sulawesi Selatan. (23 Juli 2020). Insiden COVID-19 pada ibu hamil berkisar 14 % (Suhon, et.al.,2020).

Wanita hamil mengalami perubahan anatomi dan fisiologi. Perubahan ini, membuat wanita hamil lebih rentan terhadap virus. Bukti epidemiologis menunjukkan bahwa ibu hamil memiliki risiko lebih tinggi untuk penyakit serius dan kematian akibat infeksi virus (Kwon, et.al.,2014). selama pandemi seperti influenza dan ebola (Price, et.al., 1988; Jamieson, et.al., 2014), Selain itu, infeksi virus cenderung menyebabkan keguguran, prematur, dan sebagainya. Tidak ada bukti yang mendukung transmisi vertical COVID-19 pada tahap akhir kehamilan, termasuk persalinan pervaginam (Qianchenga, et, al., 2020). Hal ini juga terlihat pada hasil RT-PCR dari berbabai tempat pengambilan sampel, diperoleh hasil 0 % dari swab vagina (Diaz, 2020).

Page 28: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

22

Gambar 1. Prosentase Sampel Positif Dari Berbabai Tempat Pengambilan Sampel

Dengan Metode RT-PCR (Diaz, 2020)

Alasan Wanita Hamil Lebih Rentan Terhadp Virus

Wanita hamil lebih rentan terhadap virus dan menunjukkan prognosis yang lebih buruk daripada wanita yang tidak hamil. Data epidemiologis menunjukkan bahwa kerentanan, morbiditas, dan mortalitas wanita hamil terhadap virus influenza meningkat secara signifikan dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil. Dalam wabah influenza selama 1957–1958, mortalitas wanita hamil adalah 10%, yang dua kali lebih tinggi dari wanita tidak hamil (Eickhoff, 1961). Selain itu, statistik menunjukkan bahwa dari 484 orang di AS yang meninggal akibat influenza H1N1 2009, 28 (5,8%) adalah wanita hamil (Creanga, et,al., 2010; Zhao, et.al., 2020). Selama wabah SARS pada tahun 2003, beberapa laporan klinis melaporkan bahwa wanita hamil yang terinfeksi SARS memiliki kondisi lebih buruk daripada wanita yang tidak hamil. Sebuah rumah sakit di Hong Kong melaporkan infeksi pada 10 wanita hamil dan 40 wanita tidak hamil, dimana 3 (30% kematian ibu) dari wanita hamil meninggal karena SARS, dan tidak ada kematian terjadi pada kelompok yang tidak hamil ( P = 0. 006) (Creanga, et,al., 2010). Melalui statistik ini, kita dapat dengan jelas menemukan bahwa wanita hamil berisiko tinggi terkena penyakit menular virus, yang telah

Page 29: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

23

terbukti terkait erat dengan perubahan fisiologis pada sistem pernapasan, peredaran darah, sekresi, dan sistem kekebalan tubuh selama kehamilan. Adaptasi Anatomi dan Fisiologi pada Ibu Hamil yang Berkaitan dengan Kerentanan terhadap SARS-CoV-2 Adaptasi Sistem Pernapasan

Efek progesterone dan estrogen pada trimester pertama dapat menyebabkan relaksasi ligament pada costae (Marz, et.al., 1970). Diafragma terangkat keatas karena desakan dari uterus yang membesar, sudut subkosta dan diameter tranversa dari rongga thoraks akan membesar di trimester 3. Perubahan anatomi ini akan menurunkan compliance paru dan penurunan functional residual capacity (FRC) sebesar 20-30 % (Bayliss & Miihorn, 1992) sehingga ibu hamil rentan mengalami hipoksia. Kompensasi dari kondisi hipoksia ini adalah terjadi peningkatan tidal volume dan hiperventilasi. Di pihak lain peningkatan progesteron yang ditransmisikan melalui reseptor estrogen dependent progesterone yang ada di hipotalamus akan menstimulasi pusat pernapasan dan meningkatkan tidal volume (TV) sebesar 50 %. (Field, et.al.,1991) Kondisi hiperventilasi, membuat ibu hamil menghirup lebih banyak udara dalam periode waktu yang sama. Jika SARS-CoV-2 ada di udara, wanita hamil lebih mungkin untuk terkena penyakit daripada orang biasa dan terinfeksi dari droplet, aerosol, dan cara lain. Selain itu, perubahan mukosa hidung yang dimediasi oleh progesteron selama kehamilan dapat menyebabkan adhesi virus di saluran pernapasan bagian atas dan membuatnya sulit untuk dibersihkan (Bende & Gredmark, 1999).

Perubahan fisiologis pada wanita hamil tidak hanya meningkatkan kerentanan mereka terhadap virus, tetapi juga meningkatkan keparahan penyakit. Menurut studi statistik epidemiologis, indikator yang digunakan untuk menilai tingkat keparahan penyakit itu sendiri secara langsung dipengaruhi oleh kehamilan (Kourtis, et.al., 2014). Perubahan kardiovaskular, peningkatan laju metabolisme dan konsumsi oksigen, penurunan FRC, dan ketidaksesuaian antara ventilasi dan perfusi yang terjadi pada ibu hamil merupakan faktor-faktor yang menyebabkan mudahnya terjadi kegagalan pernapasan akibat hipoksia setelah terinfeksi SARS-CoV-2 (Pieper & Hoendermis, 2011) Di sisi lain, jika infeksi virus terjadi, resistensi pembuluh darah paru akan meningkat, yang dapat menyebabkan hipertensi paru dan gagal jantung (Nelson, et al.,1983). Menurut statistik saat ini, proporsi signifikan dari kematian akibat COVID-19 adalah karena dipsneu, sementara kejadian dispnea pada

Page 30: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

24

trimester ketiga kehamilan adalah 50-70%. Hal ini menunjukkan ibu hamil denganinfeksi SARS-CoV-2 akan sangat mudah mengalami perburukan pernapasan.

Adaptasi Sistem Imun Tubuh Keberhasilan kehamilan didukung oleh immune adaptive dari ibu terhadap alogenic fetus. Fetus memiliki setengah dari genom yang berasal dari ayah yang dikenali sebagai antigen paternal, dan dikenali sebagai antigen asing didalam tubuh ibu. Proses adaptasi ini mengalami serangkain proses yang kompleks di tubuh ibu sehingga janin dapat diterima sebagai bagian dari tubuh ibu (Mor & gardenas, 2010). Perubahan imun ini membuat ibu hamil rentan terhadap penyakit menular (Silasi, et.al., 2015). Pada kondisi hamil, T helper (Th) 2 (yang berperan memproduksi antibodi) lebih besar dibadningkan Th1 (sitokin proinflamasi) sehingga terjadi pegeseran rasio. Transfer imunitas ke Th2 merupakan penyebab perubahan respon perifer terhdap infeksi virus pada saluran pernapasan (Muallem, et.al., 2017). Peningkatan estrogen dan progesteron di trimester pertama akan menyebabkan degenerasi reversibel timus, yang dapat menjelaskan turunnya produksi sel T CD4+ dan sel T CD8+. Kedua sel ini menghasilkan interferon (IF) gamma yang berfungsi memperkuat potensi fagosit dari makrofag dengan menstimulasi fusi fagolisosom, (Yudha, et.al., 2017) berperan dalam imunitas protektif, tetapi perannya dihambat dengan meningkatnya aktifitas Th2 (Yuniarti, 2007). Hal ini yang menjelaskan penurunan jumlah dan aktifitas sel T selama kehamilan berkontribusi untuk kerentanan ibu hamil terhadap virus. (Pierdominici, et.al., 2010; Bharti, et.al., 2015; Piccinni, et.,al. 2016). Peningkatan Ekspresi Angiotensi Converting Enzyme 2 (ACE2 )

Angiotensin converting enzyme 2 (ACE2) adalah enzim yang menempel pada membran sel-sel di beberapa organ, seperti paru-paru, arteri, jantung, ginjal, dan usus. Bekerja berlawanan dengan ACE dalam mengatur tekanan darah. Angiotensin converting enzyme 2 bekerja mengkatalisis perubahan angiotensin 2 (suatu vasokonstriktor peptida) menjadi angiotensin 1-7 (suatu vasodilator) serta melawan aktivitas enzim ACE dengan mengurangi jumlah angiotensin-II dan meningkatkan angiotensin (1-7) (Chapcell, et al., 2014).

Dari penelitian terbaru, para ahli percaya ACE2 adalah "gagang pintu" untuk SARS-CoV-2 yang memasuki pintu sel inang (Hoffmann, et.al., 2020) dan peningkatan regulasi ACE2 kemungkinan akan meningkatkan kerentanan COVID-19. Hal ini terjadi pada ibu hamil. Penelitian Brosnihan et al (2004), menunjukkan peningkatan kadar ACE 2 pada ibu hamil. Levy et al (2008), menemukan bahwa jumlah

Page 31: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

25

ACE2 mRNA di ginjal, plasenta, dan uterus meningkat secara signifikan selama kehamilan, dengan peningkatan dua kali lipat dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil (Levy, et, al., 2008). Diperkirakan bahwa peningkatan kadar ACE2 dapat mengatur tekanan darah selama kehamilan, dan adaptasi ini mungkin merupakan kondisi yang menguntungkan untuk infeksi SARS-CoV-2. Selain itu, ACE2 tidak hanya reseptor, tetapi juga terlibat dalam regulasi pasca infeksi, termasuk respon imun, sekresi sitokin, dan replikasi genom virus. Oleh karena itu, hubungan antara peningkatan regulasi ACE2 dan SARS-CoV-2 pada kehamilan perlu dipelajari lebih lanjut, dan target baru untuk pengembangan obat di masa depan.

Efek infeksi virus pada janin

Tidak ada bukti yang ditemukan yang menunjukkan hubungan infeksi COVID-19 pada trimester ketiga kehamilan dengan janin dan bayi baru lahir yang mungkin disebabkan oleh transmisi vertikal intrauterin. Chen et al. (2020), secara retrospektif menganalisis data klinis dari 9 wanita hamil yang dikonfirmasi dengan COVID-19 dan mengeksplorasi potensi penularan vertikal virus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik klinis pasien dengan infeksi SARS-CoV-2 selama kehamilan mirip dengan orang dewasa yang tidak hamil yang sebelumnya menderita COVID-19, dan bahwa uji SARS-CoV-2 negatif.dari cairan ketuban, umbilikalis darah tali pusat, usap tenggorokan neonatal, dan sampel ASI dari 6 pasien tersebut.

Walaupun penelitian Chen et al. (2020), ini menunjukkan infeksi virus tidak ada dalam plasenta, respons ibu terhadap infeksi cenderung meningkatkan respons inflamasi janin, yang didefinisikan sebagai fetal inflammatory response syndrome (FIRS), yang ditandai dengan tingginya tingkat sitokin inflamasi. dalam plasenta, seperti IL-1, IL-6, IL-8, dan TNF-α tetapi kurangnya mikroorganisme yang dapat dikultur (Davies, et.al., 2000; Salaun, et.al., 2007; Madxen-Boutere, et.al., 2010). Data klinis menunjukkan bahwa pasien COVID-19 tipe parah datang dengan badai sitokin, yang ditandai dengan peningkatan kadar IL-2, IL-7, IL-10, faktor perangsang koloni granulosit, dan TNF-α, yang mengakibatkan kerusakan patologis. ke beberapa organ tubuh (Huang, et.al., 2020).

Sitokin ini telah terbukti mempengaruhi sistem saraf pusat dan sistem peredaran darah dan cenderung menyebabkan morfologi janin abnormal pada model hewan, termasuk ekspansi ventrikel dan perdarahan (Davies, et.al., 2000; Salaun, et.al., 2007; Madxen-Boutere, et.al., 2010). Selain efek morfologis pada otak janin, kehadiran FIRS telah dikaitkan dengan peningkatan risiko diagnosis autisme, skizofrenia, defisit neurosensori, dan psikosis tahap akhir (Deverman & Patterson, 2009; Shi, et.al., 2009) Untuk lebih memahami mekanisme

Page 32: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

26

infeksi maternal yang menyebabkan kelainan perkembangan saraf dan psikologis pada anak, beberapa kelompok telah melakukan penelitian yang luas. Model hewan, termasuk hewan pengerat, kelinci, dan domba, disuntik dengan ligan TLR untuk menentukan apakah peradangan di hilir jalur sinyal TLR mempengaruhi perkembangan dan perilaku keturunan. Perawatan LPS (TLR4 ligand) dan poly (I: C) (TLR3 ligand) selama kehamilan menyebabkan defisit pre-pulse inhibition (PPI), interaksi sosial, dan pembelajaran progeni (Smith, et.al., 2007). Tidak sulit untuk menemukan wanita hamil dalam keadaan infeksi, apakah ada transmisi vertikal atau tidak, akan membawa efek serius pada janin. Oleh karena itu, perawatan aktif harus diberikan ketika wanita hamil terinfeksi dengan SARS-CoV-2 untuk mencegah efek yang lebih serius pada perkembangan ibu dan janin di masa depan.

Kesimpulan

Data tentang wanita hamil dengan COVID-19 masih terbatas. Pada kondisi terjadinya wabah SARS, MERS, dan infeksi pernapasan lainnya menunjukkan bahwa wanita hamil dapat mengalami perjalanan klinis yang parah. Adaptasi anatomi, fisiologi dan imunologi pada kehamilan,membuat wanita hamil lebih rentan terhadap COVID-19. Referensi: Bayliss DA, Millhorn DE. 1992, Central neural mechanisms of

progesterone action: application to the respiratory system. J Appl Physiol. ;73(2):393–404. doi: 10.1152/jappl.1992.73.2.393.

Bende M, Gredmark T. 1999 Nasal stuffiness during pregnancy. LARYNGOSCOPE . ;109 (7 Pt 1):1108–1110. doi: 10.1097/00005537-199907000-00018

Bharti B, Lee SJ, Lindsay SP, Wingard DL, Jones KL, Lemus H, Chambers CD. 2015, Disease severity and pregnancy outcomes in women with rheumatoid arthritis: results from the Organization of Teratology Information Specialists Autoimmune Diseases in pregnancy project. J Rheumatol. ;42(8):1376–1382. doi: 10.3899/jrheum.140583.

Brosnihan KB, Neves LA, Anton L, Joyner J, Valdes G, Merrill DC. 2004. Enhanced expression of Ang-(1-7) during pregnancy. Braz J Med Biol Res. 37(8):1255–1262. doi: 10.1590/S0100-879X2004000800017.

Chappell CM, Marshall AC, Alzayadneh EM, Shaltout HA, Diz DI, 2014, Update on the angiotensin converting enzyme 2-angiotensin (1–7)-Mas receptor axis: fetal programing, sex di erences, and intracellular pathways, Frontiers in Endocrinology, 4: (1-13)

Page 33: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

27

Chen H, Guo J, Wang C, Luo F, Yu X, Zhang W, Li J, Zhao D, Xu D, Gong Q, Liao J, Yang H, Hou W, Zhang Y. 2020. Clinical characteristics and intrauterine vertical transmission potential of COVID-19 infection in nine pregnant women: a retrospective review of medical records. Lancet

Creanga AA, Johnson TF, Graitcer SB, Hartman LK, Al-Samarrai T, Schwarz AG, Chu SY, Sackoff JE, Jamieson DJ, Fine AD, Shapiro-Mendoza CK, Jones LE, Uyeki TM, Balter S, Bish CL, Finelli L, Honein MA. 2010. Severity of 2009 pandemic influenza A (H1N1) virus infection in pregnant women. Obstet Gynecol. ;115(4):717–726. doi: 10.1097/AOG. 0b013e3181d57947.

Cucinotta D, Vanelli M. 2020. WHO Declare COVID-19 Pandemic. Acta Bio medica: Arenei Parmensis; 91(1): 157-60

Davies JK, Shikes RH, Sze CI, Leslie KK, McDuffie RJ, Romero R, Gibbs RS. 2000. Histologic inflammation in the maternal and fetal compartments in a rabbit model of acute intra-amniotic infection. Am J Obstet Gynecol. ;183(5):1088–1093. doi: 10.1067/mob.2000.108888.

Deverman BE, Patterson PH. 2009Cytokines and CNS development. NEURON. 64(1):61–78. doi: 10.1016/j.neuron.2009.09.002.

Diaz, G,2020. Covid-19 shedding. https://www.grepmed.com/images/7496

Eickhoff TC, Sherman IL, Serfling RE. 1961. Observations on excess mortality associated with epidemic influenza. JAMA. ;176:776–782. doi: 10.1001/jama.1961.03040220024005.

Field SK, Bell SG, Cenaiko DF, Whitelaw WA. 1991. Relationship between inspiratory effort and breathlessness in pregnancy. J Appl Physiol (1985) 71 (5):1897–1902

Hoffmann M, Kleine-Weber H, Krüger N, Müller M, Drosten C, Pöhlmann S 2020 The novel coronavirus 2019 (2019-nCoV) uses the SARS-coronavirus receptor ACE2 and the cellular protease TMPRSS2 for entry into target cells. bioRxiv:2020–2021

Huang C, Wang Y, Li X, Ren L, Zhao J, Hu Y, Zhang L, Fan G, Xu J, Gu X, Cheng Z, Yu T, Xia J, Wei Y, Wu W, Xie X, Yin W, Li H, Liu M, Xiao Y, Gao H, Guo L, Xie J, Wang G, Jiang R, Gao Z, Jin Q, Wang J, Cao B. 2020. Clinical features of patients infected with 2019 novel coronavirus in Wuhan, China. LANCET. ;395(10223):497–506. doi: 10.1016/S0140-6736(20)30183-5.

Jamieson DJ, Uyeki TM, Callaghan WM, Meaney-Delman D, Rasmussen SA. 2014. What obstetrician-gynecologists should know about Ebola: a perspective from the Centers for Disease Control and

Page 34: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

28

Prevention. Obstet Gynecol. 124(5):1005–1010. doi: 10.1097/AOG.0000000000000533.

Kourtis AP, Read JS, Jamieson DJ. 2014. Pregnancy and infection. N Engl J Med. 370(23):2211–2218. doi: 10.1056/NEJMra1213566.

Kwon JY, Romero R, Mor G. 2014. New insights into the relationship between viral infection and pregnancy complications. Am J Reprod Immunol. 71(5):387–390. doi: 10.1111/aji.12243.

Levy A, Yagil Y, Bursztyn M, Barkalifa R, Scharf S, Yagil C. 2008. ACE2 expression and activity are enhanced during pregnancy. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol. ;295(6):R1953–R1961. doi: 10.1152/ajpregu. 90592. 2008.

Madsen-Bouterse SA, Romero R, Tarca AL, Kusanovic JP, Espinoza J, Kim CJ, Kim J, Edwin SS, Gomez R, Draghici S. 2010. ORIGINAL ARTICLE: the transcriptome of the fetal inflammatory response syndrome. Am J Reprod Immunol. 63(1):73–92. doi: 10.1111/j.1600-0897.2009.00791.x

Marx GF, Murthy PK, Orkin LR. 1970. Static compliance before and after vaginal delivery. Br J Anaesth. ;42(12):1100–1104. doi: 10.1093/bja/ 42. 12. 1100.

Mor G, Cardenas I. 2010. The immune system in pregnancy: a unique complexity. Am J Reprod Immunol.63(6):425–433. doi: 10.1111/j.1600-0897.2010. 00836.x.

Muallem G, Wagage S, Sun Y, DeLong JH, Valenzuela A, Christian DA, Harms PG, Fang Q, Buza EL, Jain D, Elloso MM, Lopez CB, Hunter CA. 2017. IL-27 limits type 2 immunopathology following parainfluenza virus infection. PLoS Pathog. ;13(1):e1006173. doi: 10.1371/journal.ppat.1006173.

Nelson DM, Main E, Crafford W, Ahumada GG. 1983. Peripartum heart failure due to primary pulmonary hypertension. OBSTET GYNECOL. 62(3 Suppl): 58s–63s.

Piccinni MP, Lombardelli L, Logiodice F, Kullolli O, Parronchi P, Romagnani S. 2016. How pregnancy can affect autoimmune diseases progression? Clin Mol Allergy. 14:11. doi: 10.1186/s12948-016-0048-x

Pieper PG, Hoendermis ES. 2011. Pregnancy in women with pulmonary hypertension. NETH HEART J. ;19(12):504–508. doi: 10.1007/s12471-011-0219-9.

Pierdominici M, Maselli A, Colasanti T, Giammarioli AM, Delunardo F, Vacirca D, Sanchez M, Giovannetti A, Malorni W, Ortona E. 2010. Estrogen receptor profiles in human peripheral blood lymphocytes. Immunol Lett. ;132(1–2):79–85. doi: 10.1016/j.imlet.2010.06.003.

Page 35: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

29

Price ME, Fisher-Hoch SP, Craven RB, McCormick JB. 1988. A prospective study of maternal and fetal outcome in acute Lassa fever infection during pregnancy. BMJ. ;297(6648):584–587. doi: 10.1136/bmj.297.6648.584.

Qianchenga Xu, Shen Jianb,, Pan Linglingc, Huang Leib , Jiang Xiaogana , Lu Weihuaa , Yang Gangd , Li Shirongd , Wang Zhena , Xiong GuoPingb, Zha Leie,f, 2020, Coronavirus disease 2019 in pregnancy. International Journal of Infectious Diseases 95 (2020) 376–383

Salaun B, Romero P, Lebecque S. 2007.Toll-like receptors’ two-edged sword: when immunity meets apoptosis. Eur J Immunol. 37(12):3311–3318. doi: 10.1002/eji.200737744.

Shi L, Smith SE, Malkova N, Tse D, Su Y, Patterson PH. 2009. Activation of the maternal immune system alters cerebellar development in the offspring. Brain Behav Immun. 23(1):116–123. doi: 10.1016/j.bbi.2008.07.012.

Silasi M, Cardenas I, Kwon JY, Racicot K, Aldo P, Mor G. 2015. Viral infections during pregnancy. Am J Reprod Immunol. 73(3):199–213. doi: 10.1111/aji.12355.

Smith SE, Li J, Garbett K, Mirnics K, Patterson PH. 2007.Maternal immune activation alters fetal brain development through interleukin-6. J Neurosci. ;27(40):10695–10702. doi: 10.1523/JNEUROSCI.2178-07.2007.

Suhon D, Fuchs K, D’Alton M, Goffman D. 2020. Universal Screening for SARS-CoV-2 in women AdmiHed for Delivery. New England Journal of Medicine.

Yudha, RW. , Betty Agustina Tambunan1 , Jusak Nugraha1 , Francisca Srioetami, dan Tanoerahardjo2 , 2017. Ekspresi IFN-Γ oleh Sel T CD4+ dan CD8+ Setelah Stimulasi Antigen Fusi ESAT-6- CFP-10 pada Pasien Tuberkulosis Paru Aktif, Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 45, No. 4, Desember 2017: 223 – 226, DOI : 10.22435/bpk.v45i4.6874.223-226

Zhao, X., Jiang, Y., Zhao, Y., Xi, H., Liu, C., Qu, F., & Feng, X. 2020. Analysis of the susceptibility to COVID-19 in pregnancy and recommendations on potential drug screening. European Journal of Clinical Microbiology & Infectious Diseases, 39(7), 1209–1220. doi:10.1007/s10096-020-03897-6

Page 36: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

30

Page 37: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

31

TATALAKSANA FRAKTUR MAKSILOFACIAL DI ERA

PANDEMI

Ruby Riana A Departemen Ilmu Bedah,

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang

Pendahuluan Trauma wajah adalah salah satu cedera yang paling umum di

antara banyak sekali cedera yang masuk di unit gawat darurat. Trauma pada daerah maksilofasial memerlukan perhatian khusus. Struktur vital di daerah kepala dan leher harus dievaluasi setiap kali kepala dan wajah terluka (Stewart 2008). Cedera ini mencapai hampir 10% dari semua kunjungan gawat darurat (Kretlow, McKnight et al. 2010).

Pandemi COVID-19 adalah masalah global yang berdampak buruk dan signifikan terhadap pelaksanaan operasi maxillofacial yang aman (Edwards, Kasten et al. 2020). Operasi yang melibatkan daerah mukosa nasal-oral-endotrakeal dianggap berisiko tinggi karena aerosolisasi virus yang diketahui memiliki konsentrasi tinggi di area ini jika dibandingkan dengan swab dari saluran pernapasan bagian bawah.Partikel virus diketahui bahwa jika menjadi aerosol, akan tetap di udara selama setidaknya 3 jam, atau lebih lama. Pengalaman di Wuhan, Cina, dan Italia Utara, masker masker filtration face protector (FFP)2 / N95 tidak cukup untuk mengendalikan penyebaran penyakit ini dan baru setelah powered air-purifying respirators (PAPR) diperkenalkan, penularan virus di antara para personil medis dapat dikendalikan (AO 2020).

Kenyataan bahwa sebagian besar cedera wajah dapat dikelola secara berencana, maka prinsip panduan adalah: (1) memastikan keselamatan pasien dan tenaga kesehatan, (2) menjaga sumber daya vital, (3) menyediakan layanan kesehatan dengan kualitas tinggi, dan (4) mengutamakan manajemen rawat jalan bila memungkinkan (Edwards, Kasten et al. 2020). Konsultasi Instalasi Gawat Darurat

Setiap upaya harus dilakukan untuk membatasi jumlah paparan bagi petugas kesehatan, menghemat APD dan menjaga kesehatan tenaga cadangan yang mungkin dipanggil untuk membantu di instalasi gawat darurat (IGD) atau pengaturan rawat inap ketika ada yang sakit atau dikarantina. Sebagian besar cedera wajah dan, pencitraan atas indikasi, dapat dievaluasi serta dilakukan oleh dokter jaga. Foto dapat

Page 38: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

32

didokumentasikan dalam rekam medis elektronik pasien sesuai indikasi. Sebagian besar pasien kemudian dapat di-triase tanpa evaluasi secara langsung oleh anggota tim trauma maksilo-facial (Edwards, Kasten et al. 2020). Penilaian Awal

Manajemen dimulai dengan pemeriksaan fisik awal dan diikuti oleh evaluasi radiologis yang dilakukan dengan computerized tomographic (CT) scan. CT scan memvisualisasikan jaringan lunak dan tulang. Radiografi foto polos saja, walaupun dengan alasan ekonomi, tidak lagi dapat diterima, dengan pengecualian tertentu, seperti radiologi panoramic mandibula (Rodriguez, Dorafshar et al. 2018). Pemeriksaan Fisik Wajah

Penggalian anamnesis menggunakan akronim AMPLE (allergies, medications, past history, last meal, events surrounding the accident) memfasilitasi riwayat trauma lengkap (Hollier and Kelley 2007). Pemeriksaan klinis dimulai dengan evaluasi untuk simetri dan deformitas, inspeksi wajah dan membandingkan satu sisi dengan yang lain. Palpasi semua permukaan tulang dilakukan secara runut. Dahi, rima orbital, nasal, alis; lengkung zygoma; tonjolan malar; dan tepi mandibula harus dievaluasi. Inspeksi yang cermat dari area intra-nasal harus dilakukan menggunakan spekulum nasal untuk mendeteksi laserasi atau hematoma. Pemeriksaan menyeluruh pada daerah intra-oral harus dilakukan untuk mendeteksi laserasi, perdarahan, gigi lepas, atau kelainan gigi. Mobilitas atau instabilitas midface dan mandibula harus dinilai secara metodis (Rodriguez, Dorafshar et al. 2018).

Page 39: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

33

Protokol Selama Pandemi

Gambar 17. Protokol trauma wajah selama pandemi (Hsieh, Dedhia et al. 2020)

Penatalaksanaan fraktur wajah sangat berisiko tinggi mengingat viral load dalam rongga mulut / mukosa nasal-orofaringeal, dan instrumentasi bedah yang kemungkinan menyebabkan aerosolisasi partikel virus (Edwards, Kasten et al. 2020, Hsieh, Dedhia et al. 2020). Alat Pelindung Diri

Ada tiga kategori APD: standar, khusus dan enhanced: 1. APD standar adalah topi dan masker bedah, sarung tangan,

gown dan google 2. APD khusus adalah FFP2 / N95 ditambah face shield atau google

(atau masker dengan shield terpasang di atas FFP2 / N95), sarung tangan, nonporous gown, topi bedah sekali pakai.

3. Enhanced APD adalah masker FFP3 plus pelindung wajah, sarung tangan, nonporous gown, topi bedah sekali pakai. Atau, menggunakan PAPR / Controlled Air-Purifying Respirator (CAPR).

Masker FFP2 / N95 dirancang sebagai perangkat sekali pakai. Ketika akses terbatas, dapat diperpanjang oleh setidaknya dua proses sterilisasi yang dianjurkan: 1) uap hidrogen peroksida (Battelle) atau 2) iradiasi UV-C (Surfisida). Masker FFP2 / N95 telah terbukti bertahan masing-masing 50 dan 30 kali sterilisasi. Selain itu, masker bedah

Page 40: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

34

standar dapat dipakai di atas masker FFP2 / N95 atau FFP3 untuk menghindari kontaminasi dan untuk penggunaan berulang masker FFP2 / N95 atau FFP3. Tatalaksana Fraktur Maksilofacial

1. Fraktur kompleks Zygomaticomaxillary. Sebagian besar fraktur ini tidak perlu dilakukan tindakan pada kondisi akut. Pertimbangan kuat harus diberikan pada penundaan manajemen fraktur, apalagi ketika ada kemungkinan gangguan estetik.

2. Fraktur orbita. Hampir semua fraktur orbit dapat dikelola secara tertunda. Sebagian besar fraktur orbit tidak memerlukan intervensi operasi. Pengecualian untuk penundaan adalah: (a) fraktur trap door dengan konten orbital terjebak; dan (b) hematoma / edema yang menyebabkan gangguan penglihatan dari sindrom fisura orbital superior atau sindrom apeks orbital. Kanthotomi bedside dengan kantolisis mungkin diperlukan.

3. Fraktur Nasal. Manipulasi nasal berisiko tinggi untuk paparan dan aerosolisasi sekresi nasal. Pertimbangan kuat harus diberikan pada penundaan manajemen fraktur nasal. Pengecualian adalah drainase septum hemaoma. Jika konsultan memilih untuk melakukan tindakan pada fraktur nasal atau drainase hematoma, pertimbangkan untuk menghindari penggunaan obat aerosol untuk vasokonstriksi intranasal dan anestesi. Anestesi lokal topikal dengan vasokonstriktor (mis., 4% kokain, larutan oxymetazoline-tetracaine, atau lainnya) pada tampon yang dipasang secara intranasal akan lebih baik.

4. Fraktur maksila dan mandibula, termasuk fraktur dentoalveolar. Pertimbangkan tata laksana sekonservatif mungkin. Risiko paparan tim layanan kesehatan harus dipertimbangkan dibanding risiko maloklusi yang mudah dikoreksi. Karena sebagian besar patah tulang ini jika dirawat di ruang operasi akan membutuhkan intubasi nasal, mereka dianggap berisiko tinggi memaparkan pekerja layanan kesehatan ke aerosol (Edwards, Kasten et al. 2020).

Salah satu pertimbangan khusus yang perlu ditelusuri adalah

memperluas perlindungan ini untuk mengurangi paparan pada pengaturan rawat jalan. Akses ke PAPR dan N95 kemungkinan akan terbatas di klinik rawat jalan. Fiksasi maxillomandibular jangka panjang (MMF) jangka panjang harus dihindari jika mungkin, untuk menghindari transmisi ketika pelepasan MMF di klinik rawat jalan (Hsieh, Dedhia et al. 2020).

Page 41: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

35

Referensi: AO (2020). AO CMF International Task Force Recommendations on Best

Practices for Maxillofacial Procedures during COVID-19 Pandemic. A. CMF. Davos, AO: 8.

Edwards, S. P., S. Kasten, C. Nelson, V. Elner and E. McKean (2020). "Maxillofacial Trauma Management During COVID-19: Multidisciplinary Recommendations." Facial Plast Surg Aesthet Med 22(3): 157-159.

Hollier, L. and P. Kelley (2007). Soft tissue & skeletal injuries of the face. Grabb and Smith's Plastic Surgery. C. H. Thorne. Philadelphia, United States, Lippincott Williams & Wilkins.

Hsieh, T. Y., R. D. Dedhia, W. Chiao, H. Dresner, R. J. Barta, S. Lyford-Pike, D. Hamlar, S. J. Stephan, W. Schubert and P. A. Hilger (2020). "A Guide to Facial Trauma Triage and Precautions in the COVID-19 Pandemic." Facial Plast Surg Aesthet Med 22(3): 164-169.

Kretlow, J. D., A. J. McKnight and S. A. Izaddoost (2010). "Facial soft tissue trauma." Semin Plast Surg 24(4): 348-356.

Rodriguez, E. D., A. H. Dorafshar and P. N. Manson (2018). Facial injuries. Plastic Surgery- Volume 3- Craniofacial, Head and Neck Surgery and Pediatric Plastic Surgery. E. D. Rodriguez, J. E. Losee and P. C. N. MB. New York, Elsevier. 3: 46-81.

Stewart, C. (2008). "Maxillofacial Trauma: Challenges In ED Diagnosis And Management." Emergency Medicine Practice 10(2): 1-20.

Page 42: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

36

Page 43: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

37

Tatalaksana Klinis Appendisitis Akut Selama COVID-19

Andi Abdillah Departemen Ilmu Bedah,

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang

Appendicitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada anak-anak dan remaja. Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis appendicitis. Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis (umbai cacing/usus buntu). Umumnya apendisitis disebabkan oleh infeksi bakteri, namun faktor pencetusnya ada beberapa di antaranya faktor penyumbatan (obstruksi) pada lapisan saluran (lumen) apendiks oleh timbunan tinja/feces yang keras (fekalit), hiperplasia (pembesaran) jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, kanker.

Faktor kebiasaan makan makanan rendah serat dan konstipasi/susah buang air besar (BAB) menunjukkan peran terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan meningkatkan tekanan lumen usus yang berakibat sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal usus. Untuk menentukan dan mendiagnosis Apendisitis akut, diantaranya adalah dari anamnesa (wawancara dengan pasien), pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi: Anamnesa

Awalnya, pasien akan merasa gejala gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, nyeri ulu hati atau sekitar pusar, sampai perubahan kebiasaan BAB. Anoreksia berperan penting pada diagnosis appendicitis, khususnya pada anak-anak. Distensi appendiks menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral dan dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Adanya distensi dari appendiks yang semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah, dalam beberapa jam setelah nyeri. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke dinding appendiks; diikuti demam,Saat eksudat inflamasi dari dinding appendiks berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatic akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi appendiks, khususnya di titik Mc Burney’s. Nyeri jarang timbul hanya

Page 44: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

38

pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada appendiks retrocaecal atau pelvic, nyeri somatic biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sampai saat terjadinya rupture dan penyebaran infeksi. Nyeri pada appendiks retrocaecal dapat muncul di punggung atau pinggang. Pemeriksaan fisik.

Pada apendisitis akut, dengan perabaan (palpasi) didaerah perut kanan bawah, seringkali bila ditekan akan terasa nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg sign) Dengan tindakan tungkai kanan dan paha ditekuk kuat / tungkai di angkat tinggi-tinggi, maka rasa nyeri di perut semakin parah. Kecurigaan adanya peradangan apendiks semakin bertambah bila pemeriksaan colok dubur menimbulkan rasa nyeri juga. Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik.

Rovsing’s sign: dikatakan positif jika tekanan yang diberikan pada LLQ abdomen menghasilkan sakit di sebelah kanan (RLQ), menggambarkan iritasi peritoneum. Sering positif tapi tidak spesifik. Psoas sign: dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah kiri sendi pangkal kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini menggambarkan iritasi pada otot psoas kanan dan indikasi iritasi retrocaecal dan retroperitoneal dari phlegmon atau abscess. Dasar anatomis terjadinya psoas sign adalah appendiks yang terinflamasi yang terletak retroperitoneal akan kontak dengan otot psoas pada saat dilakukan manuver ini.

Obturator sign: dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian gerakan endorotasi tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri pada cara ini menunjukkan peradangan pada M. obturatorius di rongga pelvis. Blumberg’s sign: nyeri lepas kontralateral (tekan di LLQ kemudian lepas dan nyeri di RLQ). Baldwin test: nyeri di flank bila tungkai kanan ditekuk. Dunphy sign: nyeri ketika batuk Pemeriksaan Laboratorium.

Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90% anak dengan appendicitis akut. Jumlah leukosit pada penderita appendicitis berkisar antara 12.000 - 18.000/mm3. Peningkatan persentase jumlah neutrofil (shift to the left) dengan jumlah normal leukosit menunjang diagnosis klinis appendicitis. Jumlah leukosit yang normal jarang ditemukan pada pasien dengan appendicitis. Pemeriksaan urinalisis membantu untuk membedakan appendicitis dengan pyelonephritis atau batu ginjal. Meskipun demikian, hematuria ringan dan pyuria dapat terjadi jika inflamasi appendiks terjadi di dekat ureter.

Page 45: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

39

Pemeriksaan radiologi.

Foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit. Namun pemeriksaan ini jarang membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis. Ultrasonografi (USG) cukup membantu dalam penegakkan diagnosis apendisitis (71-97 %), terutama untuk wanita dan anak-anak. Tingkat keakuratan yang paling tinggi adalah dengan pemeriksaan CT scan (93-98 %). Dengan CT scan dapat terlihat jelas gambaran peradangan apendiks. Penatalaksanaan

Pada masa pandemi Covid-19 saat ini, maka penatalaksanaan appendicitis akut sama dengan penatalaksanaan tindakan yang lainnya, harus memenuhi protokol kesehatan dari Pemerintah dan WHO. Karena Pasien confirmed Covid-19 selain mengalami demam dan atau gejala pernapasan, juga ada manifestasi gastrointestinal dengan diare (2-10,1%), mual / muntah (1-10%) dan sakit perut (2,2-5,8%). Seperti diketahui, SARS COV 2 berikatan dengan reseptor ACE2, dimana sel-sel epitel di saluran pencernaan memiliki proporsi sangat tinggi dari reseptor ACE2 (30%, versus 1% di paru-paru). Hal-hal yang perlu diperhatikan :

1. Gunakan APD yang adekuat sesuai dengan status pasien. 2. Pastikan status Covid-19 pasien : Suspek, Probable, confirmed ? 3. Mengetahui status kamar operasi dan peruntukannya. 4. Mengetahui kelemahan dan kekuatan tim operasi 5. Memahami semua prosedur 6. Dokumentasikan

Persyaratan Kamar operasi dan APD tim operasi untuk pasien suspek atau confirmed Covid-19:

1. Transport dari ruang perawatan langsung ke kamar operasi melalui rute tersendiri. Pasien memakai topi dan masker bedah disposible

2. Transfer di kamar operasi, pasien diterima oleh perawat OK ,sign in. Catatan medis tidak dibawa masuk ke kamar operasi.

3. Ruang operasi tekanan (relatif) negatif, artinya antara kamar operasi dan koridor disediakan anteroom yang bertekanan lebih negatif dibanding OK dan koridor, sehingga mikroorganisme dari kedua area ini akan terhisap keluar melalui anteroom

Page 46: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

40

4. Agar temperatur dan kelembaban kamar operasi tetap terjaga, udara yang keluar dari anteroom diresirkulasi melalui sistem yang dilengkapi HEPA filter.

5. Peralatan di dalam OK dibatasi seperlunya. Semuanya disiapkan sebelum pasien masuk OK. Jika memungkinkan, memakai bahan/alat disposible

6. Semua tim memakai APD level 3 di anteroom 7. Pakaian steril dan handscoen steril sekali pakai 8. Setelah pasien masuk, pintu kamar operasi harus selalu

tertutup. 9. Semua permukaan yang mungkin terkontaminasi harus

didesinfeksi dengan cairan berbasis chlorin, H2O2, alkohol. Atau dengan UV selama 60 menit.

10. Stabilisasi pasien post operasi dilakukan di dalam OK, karena tidak ada recovery room. Setelah kondisi pasien stabil, langsung pindah ke ruangan isolasi.

Panduan Pelayanan Bedah Digestif Selama Masa Pandemi COVID-19: Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Digestif Indonesia (IKABDI) Rekomedasi 1 Semua layanan bedah pencernaan harus di assesment dan diklasifikasikan sesuai dengan urgensi prosedur / perawatan. Prosedur ELEKTIF harus ditunda / dijadwal ulang mungkin sampai pandemi dapat dikendalikan. Rekomendasi 2 Semua pasien bedah harus diskrining Infeksi COVID-19 dengan metode terbaik yang tersedia pada fasilitas kesehatan. Jika tidak memungkinkan untuk menyingkirkan infeksi COVID-19, sebaiknya menggunakan standar perlindungan tertinggi APD (Melakukan operasi seolah ada infeksi). Rekomendasi 3 Sehubungan dengan prosedur “open” versus prosedur laparoskopi, dengan tidak adanya data yang meyakinkan, pendekatan teraman mungkin adalah salah satu yang paling biasa dikerjakan bagi ahli bedah dan mengurangi waktu operasi. Jika merekomendasikan standar tidak bisa dipenuhi, yang terbaik adalah tidak melakukan prosedur laparoskopi.

Page 47: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

41

Rekomendasi 4 Secara umum, perawatan non-bedah lebih disukai untuk kasus kanker saluran pencernaan yang tidak mendesak/urgent. Operasi ini dapat dilakukan saat epidemi bisa terkontrol, dengan mempertimbangkan pengembalian bertahap ke yang adaptasi baru. Risiko dan manfaat untuk kemoterapi harus diukur berdasarkan jenis kanker, profil, usia pasien, komorbiditas dan status kinerja. Bertujuan untuk mengurangi kunjungan pasien ke rumah sakit dengan mempertimbangkan regimen oral dan kurang toksik. Kemoterapi dapat digunakan sebagai jembatan untuk tindakan operasi. Referensi CDC and ICAN. Best Practices for Environmental Cleaning in Healthcare

Facilities in Resource-Limited Settings. Atlanta, GA: US Department

of Health and Human Services, CDC; Cape Town, South Africa: Infection Control Africa Network; 2019. Available at:

https://www.cdc.gov/hai/prevent/resource-limited/environmentalcleaning.html and http://www.icanetwork.co.za/icanguideline2019/.

List N: Products with Emerging Viral Pathogens AND Human Coronavirus claims for use against SARS-CoV-2 www.epa.gov/pesticide-registration/list-n-disinfectants-use-against-sars-cov-2

https://med.unhas.ac.id/kedokteran/en/wp-content/uploads/2016/10/APPEDISITIS-AKUT.pdf

Zhang JJ, Dong X, Cao YY, et al. Clinical characteristics of 140 patients infected with SARS-CoV-2 in Wuhan, China. Allergy. 2020. CDC: Infection Control Guidance for Healthcare Professionals about

Covid-19, 2020 Coccolini et al: Surgery in Covid-19 patients, operational directives.

World J Emergency Surg, 2020 15:25 Panduan Pelayanan Bedah Digestif Selama Masa Pandemi COVID-19:

Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Digestif Indonesia (IKABDI), J Indon Med Assoc, Volum: 70, Nomor: 6, Juni 2020

Page 48: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

42

Page 49: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

43

MANAJEMEN TRAUMA KEPALA DAN SERVIKAL DI ERA PANDEMI COVID-19

dr. Yoyok Subagio, Sp.BS Departemen Ilmu Bedah,

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang

Trauma kepala adalah penyebab kematian dan kecacatan tersering pada orang berusia 1-40 tahun di Inggris. Setiap tahun, sekitar 1,4 juta orang datag dan di rawat di Instalasi Gawat darurat (IGD) di Inggris dan Wales dengan trauma kepala baru-baru ini. Dari total yang mengalami trauma kepala, 33% - 50% di antaranya adalah anak-anak berusia di bawah 15 tahun. Setiap tahun, sekitar 200.000 orang dirawat di rumah sakit karena cedera kepala. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, dimana angka kejadian trauma kepala menurut RISKESDAS (2018) sebesar 11.9% yang mengalami trauma kepala. Data tersebut melaporkan paling banyak yang mengalami trauma kepala adalah pengguna sepeda motor. Sedangkan pada kasus trauma leher atau lebih dikenal dengan trauma servikal, juga memiliki angka morbiditas dan mortalitas cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena tulang leher (servikal) merupakan bagian tulang belakang yang paling mudah dan sering bergerak, sehingga merupakan bagian yang paling rawan dari konstruksi tulang belakang. Dari seluruh trauma pada tulang belakang, 20,8% terjadi pada regio servikal. Trauma pada regio servikal juga memiliki risiko tertinggi terjadinya defisit neurologis akibat spinal cord injury (SCI). Menurut Derwenkus (2004), penyebab tersering dari trauma servikal adalah kecelakaan lalu lintas (50%), jatuh (25%), dan cedera yang berhubungan dengan olahraga (10%), selain itu, akibat kekerasan dan kecelakaan kerja. Cedera medula spinalis akibat trauma diperkirakan terjadi pada 30-40 per satu juta penduduk per tahun, dan sekitar 8.000-10.000 penderita setiap tahun

Trauma kepala atau cedera kepala atau trauma kapitis menurut Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis didefinisikan sebagai trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.

Secara definisi trauma leher (servikal) merupakan trauma yang terjadi akibat adanya trauma pada tulang servikal maupun medula spinalis yang menyebabkan lesi medula spinalis sehingga terjadi

Page 50: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

44

gangguan neurologik, tergantung letak kerusakan saraf spinalis dan jaringan saraf yang rusak.

Tatalaksana trauma kepala dan servikal membutuhkan ketepatan dan kecepatan agar cidera sekunder bisa dihindari. Secara umum tatalaksana trauma kepala dan servikal mengacu kepada pedoman Advance Trauma Life Support (ATLS). Untuk trauma kepala juga dapat mengacu pada pedoman yang sudah dibuat oleh Brain Trauma Foundation. Sedangkan pedoman tatalaksana yang lain adalah dai National Institute Health and Care Execellence (NICE). Pada prinsipnya dari beberapa pedoman dan panduan tersebut memiliki tujuan untuk mencegah terjadinya mortalitas dan morbiditas pada pasien trauma kepala dan servikal. Tetatpi untuk panduan tatalaksana trauma kepala dan servikal di era pandemi Covid-19 perlu ada tambahan khusus agar keselamatan pasien dan tenaga medis tetap terjaga dan tidak terjadi penyebaran virus corona. Untuk saat ini belum ada pedoman baku terkait penanganan pasien terkonfirmasi Covid-19 yang menagalami trauma kepala dan servikal. Akan tetapi dari beberapa rekomendasi nasional maupun internasional prinsipnya adalah adanya sistem yang saling mendukung, baik dari tenaga medis, manajemen rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya, dan juga pemangku kebijakan daerah maupun pusat. Sarana prasarana, tenaga medis, maupun sistem komunikasi dan ambulatory harus sejalan. Di era pandemi seperti saat ini, universal precaution buat tenaga medis juga harus selalu dikedepankan. Skrining pasien yg ketat dan juga fasilitas rumah sakit rujukan untuk pasien Covid-19 yang memiliki trauma center khusus pasien Covid-19 menjadi hal yang penting dalam menangani pasien trauma kepala dan servikal.

Kendala yang terjadi saat ini adalah kebutuhan rumah sakit rujukan Covid-19 dengan fasilitas yang lengkap masih tinggi, sehingga banyak kendala di lapangan pasien yg terduga atau sudah konfirmasi Covid-19 sulit mendapatkan tempat rujukan. Tindakan yang harus dilakukan dalam situasi seperti itu adalah tetap memprioritaskan keselamatan pasien dan tenaga medis secara maksimal dan juga komunikasi, informasi, dan edukasi kepada pasien maupun keluarga harus berjalan dengan baik.

Secara umum tatalaksana pasien trauma kepala dan servikal di era pandemi Covid-19 adalah tetap menggunakan pedoman yang sudah ada baik nasional maupun internasional dengan mengedepankan universal precaution bagi tenaga medis. Universal precaution dalam hal ini adalah menerapkan skrining pasien yang ketat dan protokol kesehatan yang sesuai dengan tempat atau instansi bekerja, sebagai contoh, menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) level 3 bagi tenaga medis yang bekerja di Instalasi Gawat Darurat, Kamar Operasi, Ruang

Page 51: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

45

Isolasi. Idealnya setiap pasien kita skrining dengan cara dilakukan anamnesa secara tepat, pemeriksaan fisik yang tepat serta pemeriksaan penunjang yang tepat sampai terbukti pasien tersebut bukan merupakan pasien terkonfirmasi Covid-19. Pada kasus trauma kepala dan servikal, tindakan skrining yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: 1). Laboratorium darah lengkap; 2). Foto Thorak; 3). CT scan Thorak; 4). Rapid Test Covid; 5). swab teggorok dan hidung untuk test Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Tetapi tidak semua fasilitas kesehatan memiliki sarana dan prasaran yang lengkap unruk melakukan skirining, terutama fasilitas kesehatan tingkat pertama yang berada di beberapa pelosok penjuru daerah. Sehingga agar tenaga kesehatan tetap aman sebaiknya semua pasien yang datang dan membutuhkan pertolongan kita anggap sebagai pasien terduga Covid-19, sehingga kita lebih bisa berhati-hati dalam melakukan tindakan, bukan berarti disini kita berlebihan. Hal ini kita lakukan semata – mata hanya untuk keselamatan pasien dan juga tenaga medis. Hal ini tetntunya tidak terlepas dari komunikasi, informasi dan edukasi kita kepada pasien maupun keluarga. Referensi:

1. Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT. Spinal cord injury. In: Narayan RK, editor. Neurotrauma Vol II. Mc-Graw-Hill. New York. 1996; II;1041-112.2.

2. Derwenskus J, Zaidat O. Spinal Cord Injury and Related Disease. In: Suarez JI, editor. Critical Care Neurology and Neurosurgery. New Jersey: Humana Pres, 2004; 433-48

3. Rowland JW, Hawryluk GWJ, Kwon B, Fehlings MG. Current status of acute spinal cord injury pathophysiology and emerging therapies: promise on the horizon. Neurosurg Focus. 2008;25(5): 1-17

4. [RISKESDAS] Riset Kesehatan Dasar. (2018). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.

5. Hodgkinson, S., Pollit, V., Sharpin, C., Lecky, F., and the National Institute forHealth and Care Excellence (NICE) Guideline Development Group. (2014).Early management of head injury: summary of updated NICE guidance.BMJ 348, g104

Page 52: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …

Webinar Seri 2:

“COVID-19, Apa dan Bagaimana?”

46

6. National Health Service (NHS) England. A&E Attendances and EmergencyAdmission Admissions 2019–20. March 2020. https://www.england.nhs.uk/statistics/statistical-work-areas/ae-waiting-times-and-activity/ae-attendances-and-emergency-admissions-2019-20/ (Last accessed April 16,2020).

7. Marin, J., Weaver, M., Yealy, D., and Mannix, M. (2014). Trends in visits for traumatic brain injury to emergency departments in the United States.JAMA 311, 1917–1919

8. Greenberg, M, 2019. Handbook of Neurosurgery. Ed. 9th. Thieme, 2019. — 258 p. — ISBN 978-3-13-205791-3

Page 53: CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION (CDME) FK …