contoh analisa apbd
DESCRIPTION
akuntansi sektor publikTRANSCRIPT
1
LAPORAN PELAKSANAAN
Spending Performance
Dalam Mendanai Pelayanan Publik
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIADIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN
2014
LAPORAN PELAKSANAAN
Spending Performance
Dalam Mendanai Pelayanan Publik
ii Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
iiiRingkasan Eksekutif
RINGKASAN EKSEKUTIF
Kualitas belanja daerah dalam APBD selama ini dianggap masih
lemah, yang ditandai dengan indikasi belanja tidak langsung selalu lebih
besar daripada belanja langsung. Dari berbagai literatur dapat didefinisikan
bahwa belanja langsung dianggap sebagai belanja pemerintah daerah
yang mempunyai pengaruh penting terhadap pertumbuhan ekonomi
suatu daerah dan akan memiliki daya ungkit dalam menggerakkan roda
perekonomian daerah.
Terkait dengan hal tersebut, perlu dilakukan kajian analisis tentang
spending performance APBD dalam mendanai pelayanan publik, yang
diharapkan mampu memberikan gambaran dan solusi mengenai
permasalahan penyerapan belanja daerah dalam APBD, serta
mengidentifikasi penetapan belanja APBD yang kurang proporsional
antara belanja langsung dan tidak langsung.
Kajian analisis spending performance tersebut ditujukan untuk (1)
mengidentifikasi permasalahan yang terjadi dalam, terutama dilihat dari
aspek cepat atau lambatnya waktu yang diperlukan dalam penyerapan
belanja daerah.; (2) mengidentifikasi penetapan proporsi belanja APBD
antara belanja langsung dan tidak langsung; (3) melakukan analisis dan
menyusun rekomendasi terhadap spending performance APBD dalam
mendanai pelayanan publik.
Sementara itu, metodologi kajian analisis ini dilakukan dengan
menggunakan pendekatan analisa kuantitatif dengan kualitatif. Data
kuantitatif yang digunakan pada penelitian ini adalah (1) data sekunder
pada Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) digunakan sebagai bahan
awal untuk melakukan analisis yang menggambarkan tingkat penyerapan
iv Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
belanja daerah; dan (2) data sekunder pada SIKD tersebut kemudian
dikonfirmasikan kepada daerah sampel kunjungan dan digunakan sebagai
alat analisis deskriptif kualitatif untuk menggambarkan pengelolaan
keuangan daerah dan penjelasan daerah terhadap kendala permasalahan
pelaksanaannya. Selanjutnya, untuk analisis kualitatif dilakukan dengan
cara wawancara, dan hasilnya dijadikan sebagai pelengkap hasil analisis
yaitu dengan cara menganalisis persepsi daerah terhadap penyerapan
belanja daerah.
Mengingat keterbatasan dana yang ada, maka kajian analisis
kepada daerah sampling dilakukan terhadap 10 daerah yang dipilih secara
convenience sampling. Adapun ke-10 daerah sampling tersebut yaitu (1)
Provinsi Riau, (2) Provinsi Banten, (3) Kabupaten Tanah Laut, (4) Kabupaten
Jepara, (5) Kabupaten Lamongan, (6) Kabupaten Badung, (7) Kota
Pontianak, (8) Kota Palembang, (9) Kota Gorontalo, dan (10) Kota Makasar.
Dari hasil kajian, didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
1. Gambaran penyerapan belanja daerah dari tahun ke tahun memiliki
kemiripan dalam realisasinya, dimana realisasi penyerapan belanja
daerah pada awal Triwulan I sampai dengan Triwulan III masih sangat
rendah, dan baru meningkat realisasinya pada Triwulan IV sampai
dengan akhir tahun.
2. Pengelolaan keuangan daerah yang berorientasi pada kepentingan
publik (public oriented) tidak saja terlihat pada besarnya proporsi
pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga dapat
dilihat dari berapa besar tingkat penyerapan realisasi belanja daerah
(spending performances) terutama belanja barang untuk pemeliharaan
dan belanja modal dalam mendanai penyediaan sarana dan prasarana
pelayanan dasar di daerah.
3. Besar kecilnya tingkat penyerapan belanja daerah dalam mendanai
pelayanan publik sangat dipengaruhi oleh proses perencanaan
vRingkasan Eksekutif
anggaran dan penetapan APBD di daerah. Keterlambatan daerah
dalam menetapkan Perda APBD dapat menunda realisasi penyerapan
belanja daerah.
4. Proporsi alokasi belanja barang untuk pemeliharaan dan belanja
modal untuk penyediaan sarana dan prasarana layanan publik masih
rendah dalam struktur APBD jika dibandingkan dengan alokasi untuk
belanja pegawai sehingga kinerja spending performances dalam
mendanai pelayanan publik masih belum optimal dan efektif.
5. Realisasi penyerapan belanja daerah sampai dengan akhir tahun
anggaran masih di bawah target atau lebih rendah dibandingkan
dengan anggaran APBD. Hal ini terutama karena belum cukup mampu
untuk melakukan penyesuaian pada sisi belanja dalam menyikapi
pelampauan pendapatan di APBD.
6. Kualitas belanja daerah dan APBD selama ini dianggap masih lemah
yang ditandai dengan adanya alokasi belanja tidak langsung yang
selalu lebih besar dari belanja langsung, serta penyerapan belanja
daerah yang relatif rendah. Hal ini juga bisa dilihat dari tingkat
penyerapan belanja daerah yang relatif rendah terutama untuk belanja
modal dan belanja barang yang terkait dengan public service delivery.
7. Rendahnya realisasi belanja daerah yang didanai dari DAK tidak
hanya disebabkan oleh kurang berjalannya fungsi perencanaan dan
pelaksanaan kegiatan di daerah dengan baik, namun juga dipengaruhi
oleh adanya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat, terutama
yang terkait dengan mekanisme perencanaan dan penganggaran,
mekanisme transfer ke daerah, dan penetapan petunjuk teknis DAK
yang terlambat sehingga mempengaruhi penyelesaian pekerjaan di
daerah.
Beberapa hal yang perlu direkomendasikan untuk memperbaiki
dan meningkatkan pelaksanaan spending performances dalam mendanai
pelayanan publik di daerah adalah sebagai berikut :
vi Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
1. Pemerintah pusat perlu mendorong daerah untuk dapat meningkatkan
proporsi alokasi belanja barang dan belanja modal dalam APBD,
sehingga dapat mempercepat tersedianya sarana dan prasarana
layanan publik yang memenuhi Standar Pelayanan Minimum (SPM).
Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan cara membuat aturan
dalam perencanaan anggaran di daerah, terutama terkait dengan
batas minimal proporsi alokasi belanja barang dan belanja modal yang
sifatnya mengikat daerah, serta menerapkan sanksi kepada daerah
yang melanggar batasan tersebut.
2. Untuk mendorong percepatan penyerapan belanja daerah, pemerintah
pusat perlu melanjutkan kebijakan pengenaan sanksi kepada pemda
yang terlambat dalam menetapkan dan menyampaikan perda APBD
2013, serta memberikan reward kepada pemda yang tepat waktu
dalam menetapkan dan menyampaikan perda APBD 2013. Penetapan
Perda APBD di daerah secara tepat waktu serta pelaksanaan tender
pada awal tahun anggaran diharapkan dapat mempercepat realisasi
belanja daerah, terutama belanja modal dan belanja barang untuk
layanan publik dan peningkatan perekonomian daerah.
3. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan spending performances yang
mampu mendorong percepatan realisasi belanja daerah, maka :
a. Pemerintah daerah perlu memprioritaskan alokasi belanja untuk
program/kegiatan dalam rangka penyediaan sarana dan prasarana
layanan publik di daerah, dengan cara meningkatkan alokasi
belanja barang dan belanja modal dalam APBD, dan mengurangi
proporsi untuk belanja pegawai daerah dan belanja tidak langsung
lainnya. Penganggaran belanja langsung dalam APBD digunakan
untuk pelaksanaan urusan pemerintahan daerah, yang terdiri dari
urusan wajib dan urusan pilihan yang dituangkan dalam bentuk
program dan kegiatan, yang manfaat capaian kinerjanya dapat
dirasakan langsung oleh masyarakat dalam rangka peningkatan
viiRingkasan Eksekutif
kualitas pelayanan publik dan keberpihakan pemerintah daerah
kepada kepentingan publik.
b. Perlu mengusulkan secara resmi kepada Kementerian Dalam
Negeri untuk menyusun ketentuan (Permendagri) tentang Pedoman
Penyusunan APBD yang mengatur proporsi alokasi belanja barang
untuk pemeliharaan infrastruktur dan belanja modal minimal
ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar 20 (dua puluh) persen dari
total APBD guna mempercepat penyediaan sarana dan prasarana
layanan publik dan peningkatan perekonomian daerah.
c. Pemerintah pusat perlu mendorong penyusunan peraturan
perundang-undangan mengenai penerapan Middle Term Expenditure Framework (MTEF) sehingga daerah dapat mengetahui
informasi transfer ke daerah yang meliputi alokasi DAU, DAK,
DBH dan Dana Penyesuaian untuk kurun waktu 3 (tiga) tahun
guna mempercepat penetapan APBD dan percepatan penyerapan
belanja daerah.
4. Terkait dengan rendahnya penyerapan program/kegiatan yang didanai
dari DAK, Kementerian Keuangan perlu mendorong Kementerian
teknis untuk dapat menetapan petunjuk teknis pelaksanaan DAK
berupa pedoman umum penggunaan DAK guna mencapai standar
pelayanan minimum dan prioritas nasional, serta dibuat tidak terlalu
rigid, tetapi dibuat lebih umum dan lebih fleksibel serta peruntukannya
untuk jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun, sehingga daerah lebih
mudah dalam melaksanakan kegiatan DAK dan adanya kepastian
kegiatan tersebut sesuai dengan petunjuk teknis DAK.
5. Pemerintah daerah perlu membentuk Tim Koordinasi di daerah
sehingga memudahkan koordinasi antara SKPD dalam pengelolaan
keuangan daerah baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan
maupun pertanggungjawaban APBD serta memudahkan daerah untuk
menyelesaikan permasalahan di daerah terutama yang terkait dengan
viii Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
pelaksanaan spending performances dalam mendanai pelayanan
publik di daerah.
ixKata Pengantar
KATA PENGANTAR
Salah satu tugas pemerintahan daerah adalah menyediakan dan
membangun infrastruktur sarana dan prasarana layanan publik melalui
pengaturan pola alokasi belanja daerah dalam APBD, yang diharapkan
dapat mendorong peningkatan public services dan mampu mendorong
peningkatan perekonomian daerah.
Secara ideal, porsi alokasi belanja tidak langsung terutama untuk
membiayai belanja pegawai daerah yang tidak terlalu tinggi, serta alokasi
belanja barang untuk pemeliharaan infrastruktur dan belanja modal daerah
yang semakin meningkat akan mempercepat terciptanya wujud dan jenis
pelayanan publik yang semakin baik, optimal dan efektif. Namun demikian,
yang terjadi selama ini adalah realisasi belanja barang untuk pemeliharaan
infrastruktur dan belanja modal pada akhir tahun seringkali masih di bawah
target, atau lebih rendah apabila dibandingkan dengan anggarannya. Di
samping itu, masih banyak daerah yang mengalokasikan porsi belanja
pegawai yang lebih besar dari alokasi belanja barang untuk pemeliharaan
infrastruktur dan belanja modal untuk pelayanan publik. Kondisi tersebut
akan menyebabkan APBD tidak mampu untuk mendukung peningkatan
kualitas layanan publik yang optimal. Hal ini berarti perlu dicari beberapa
faktor penyebab mengapa hal tersebut terjadi, dan perlu dirumuskan upaya
perbaikan dalam pola belanja daerah yang diarahkan untuk mendorong
peningkatan pelayanan publik.
Sementara itu, adanya peningkatan alokasi pendapatan transfer dari
pusat dan realisasi pendapatan daerah pada tahun anggaran berjalan
yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan realisasi belanjanya,
perlu disikapi dengan percepatan penetapan APBD Perubahan. Hal ini
x Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
maksudkan agar pelampauan pendapatan daerah tersebut bisa semaksimal
mungkin teralokasikan untuk belanja yang langsung berdampak pada
peningkatan kuantitas dan kualitas layanan publik, dan dapat diselesaikan
pada tahun berjalan.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, Direktorat Jenderal
Perimbangan Keuangan melakukan kajian mengenai pelaksanaan spending performances dalam APBD. Atas izin dan ridha dari Tuhan Yang Maha
Kuasa, tulisan ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya dengan judul
“Kajian Pelaksanaan Spending Performances dalam Mendanai Pelayanan
Publik”, yang didalamnya berisi analisis mengenai pelaksanaan spending performances yang tercermin dari realisasi penyerapan belanja di daerah,
serta kendala dan solusinya untuk memperbaiki kinerja penyerapan belanja
daerah yang mampu meningkatkan wujud dan jenis pelayanan publik di
daerah.
Kami mengharapkan agar buku ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang berkepentingan dan mampu memberikan kontribusi yang optimal
dalam pengambilan kebijakan sehingga tujuan dan cita-cita otonomi
daerah dan desentralisasi fiskal khususnya serta tujuan pembangunan
nasional pada umumnya dapat terwujud.
Jakarta, Desember 2014
Direktur Evaluasi Pendanaan dan
Informasi Keuangan Daerah,
Adijanto
xiDaftar Isi
DAFTAR ISI
RINGKASAN EKSEKUTIF ..........................................................................iii
KATA PENGANTAR ..................................................................................ix
DAFTAR ISI ............................................................................................xi
DAFTAR TABEL ......................................................................................xiii
DAFTAR GAMBAR DAN GRAFIK ............................................................ xiv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 11. Latar Belakang ..........................................................................12. Tujuan .......................................................................................43. Ruang Lingkup ..........................................................................54. Metodologi Kajian .....................................................................6
BAB II KERANGKA TEORI ......................................................................... 71. Pengertian Spending Performances ...........................................72. Proses Pengelolaan Keuangan Daerah .....................................103. Pengertian Belanja Daerah ......................................................174. KlasifikasiBelanjaDaerah ........................................................20
BAB III TEMUAN LAPANGAN DAN ANALISIS PERMASALAHAN PELAKSANAAN SPENDING PERFORMANCE DALAM MENDANAI PELAYANAN PUBLIK .............................................................................. 23
A. Pelaksanaan Spending Performances Pada Daerah Sampel ......271. Provinsi Riau .........................................................................272. Provinsi Banten .....................................................................313. Kabupaten Badung ...............................................................364. Kabupaten Tanah Laut ...........................................................395. Kabupaten Jepara .................................................................42
xii Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
6. Kabupaten Lamongan ...........................................................467. Kota Pontianak ......................................................................508. Kota Palembang ....................................................................549. Kota Gorontalo .....................................................................5910. Kota Makasar .......................................................................63
B. Analisis Permasalahan Pelaksanaan Spending Performances dalam mendanai Pelayanan Publik ..........................................67
BAB IV PENUTUP .................................................................................. 73A. KESIMPULAN ...........................................................................73B. SARAN DAN REKOMENDASI ....................................................75
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 78
UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................ 79
xiiiDaftar Tabel
DAFTAR TAbEl
Tabel 1.1 Daerah Sampel Kajian ..................................................................5
Tabel 3.1 Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Provinsi Riau ........29
Tabel 3.2 Realisasi Belanja Tahun 2013 Provinsi Banten ..............................34
Tabel 3.3 Realisasi Belanja Tahun 2013 Kabupaten Badung ........................38
Tabel 3.4. Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kabupaten Tanah
Laut ..........................................................................................41
Tabel 3.5 Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kabupaten
Jepara .......................................................................................44
Tabel 3.6 Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kabupaten
Lamongan .................................................................................49
Tabel 3.7 Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kota Pontianak .....53
Tabel 3.8. Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kota Palembang ..56
Tabel 3.9 Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kota Gorontalo ....61
Tabel 3.10 Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kota Makasar .......65
xiv Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
DAFTAR GRAFIK DAN GAMbAR
Gambar 2.1 Proses Penyusunan Anggaran Pemerintah Daerah .......................12
Grafik 3.1 Volume APBD dan APBD-Perubahan Provinsi Riau Tahun 2013 ....27
Grafik 3.2 Volume APBD dan APBD-Perubahan Provinsi Banten Tahun
2013.........................................................................................32
Grafik 3.3 Volume APBD dan APBD-Perubahan Kabupaten Badung Tahun
2013.........................................................................................36
Grafik 3.4 Volume APBD dan APBD-Perubahan Kabupaten Tanah Laut Tahun
2013.........................................................................................39
Grafik 3.5 Volume APBD dan APBD-Perubahan Kabupaten Jepara Tahun
2013.........................................................................................43
Grafik 3.6 Volume APBD dan APBD-Perubahan Kabupaten Lamongan Tahun
2013.........................................................................................47
Grafik 3.7 Volume APBD dan APBD-Perubahan Kota Pontianak Tahun
2013.........................................................................................51
Grafik 3.8. Volume APBD dan APBD-Perubahan Kota Palembang Tahun
2013.........................................................................................55
Grafik 3.9 Volume APBD dan APBD-Perubahan Kota Gorontalo Tahun
2013.........................................................................................59
Grafik 3.10 Volume APBD dan APBD-Perubahan Kota Makasar Tahun 2013 ..64
Grafik 3.11 Keterlambatan Penetapan dan Penyampaian APBD Tahun
2011 s.d. 2013 .........................................................................69
1Bab I | Pendahuluan
bAb I PENDAHUlUAN
1. Latar BeLakang
Sejak dilaksanakannya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal
pada tahun 2001, telah terjadi pergeseran kewenangan dari pemerintah
pusat ke daerah. Hal ini ditandai dengan semakin besarnya kewenangan
daerah dalam memberikan pelayanan publik yang juga diiringi
dengan meningkatnya pendanaan dari pusat ke daerah dalam rangka
menyelenggarakan kegiatan pelayanan publik tersebut. Anggaran belanja
daerah dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang cukup
signifikan searah dengan cakupan jenis dana yang di daerahkan maupun
dari besaran alokasi dana yang didaerahkan. Belanja daerah tentu saja
diprioritaskan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari
urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang ada.
Salah satu tugas penting dari pemerintahan daerah adalah menyediakan
pelayanan dan membangun infrastruktur publik melalui alokasi dan
pelaksanaan belanja pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD). Salah satu tolok ukur yang dapat digunakan untuk melihat kinerja
belanja daerah yaitu didasarkan pada pendekatan tingkat penyerapan
belanja. Semakin besar tingkat penyerapan, dianggap semakin optimal
kinerja belanjanya, dan sebaliknya semakin rendah tingkat penyerapan
semakin rendah pula kinerja belanja suatu pemerintah daerah. Penyerapan
belanja APBD mengindikasikan kecepatan daerah dalam menggunakan
2 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
dananya untuk pelayanan ke masyarakat. Penyerapan belanja daerah
yang lambat dan juga tidak tuntas (kurang jauh dari anggaran yang telah
direncanakan) menunjukkan proses perencanaan yang kurang baik dan
sekaligus mengakibatkan menumpuknya dana sebagai dana idle. Dana
idle yang besar secara ekonomi kurang baik karena akan melewatkan
kesempatan belanja daerah untuk menstimulasi perekonomian daerah.
Selain itu, kecilnya penyerapan anggaran dan kebiasaan pemda
melakukan penyerapan belanja APBD di akhir tahun anggaran, sudah
dipastikan akan mengganggu kinerja dan kualitas pelayanan publik yang
seharusnya diberikan oleh pemda kepada masyarakat. Banyak proyek
pembangunan infrastruktur di daerah yang belum terlaksana dan akan
menghambat pertumbuhan ekonomi masyarakat. Selain itu, kualitas
pelayanan publik akan menurun dan masyarakat pun dirugikan.
Berdasarkan data dan hasil kajian yang ada, seringkali ditemukan fakta
bahwa realisasi belanja daerah pada APBD di akhir tahun seringkali di
bawah target atau lebih rendah dibandingkan dengan anggarannya. Hal
ini ditengarai rendahnya tingkat penyerapan APBD pada triwulan I dan
II yang besarannya masih di bawah realisasi ideal, dan baru mengalami
peningkatan persentase penyerapannya menjelang akhir tahun anggaran.
Namun demikian di sisi lain, terdapat pula beberapa pemda yang
penyerapan belanjanya ideal, dari triwulan ke triwulan peningkatannya
wajar dan tidak terserap secara mencolok di triwulan IV.
Selain dari sisi penyerapan anggaran, tak kalah penting adalah
memastikan sampai sejauh mana eksekusi atas rencana dan anggaran
belanja yang dilaksanakan telah menjawab berbagai kebutuhan masyarakat
akan infrastruktur publik, terutama untuk porsi belanja langsung.
Keberpihakan pemda tersebut dapat dilihat, salah satunya pada komposisi
belanja pada APBD-nya, apakah porsi terbesar APBD ada pada belanja
langsung atau belanja tidak langsung.
3Bab I | Pendahuluan
Kualitas belanja daerah dalam APBD selama ini dianggap masih lemah
dengan salah satu indikasi belanja tidak langsung selalu lebih besar
daripada belanja langsung. Dari berbagai literatur dapat didefinisikan
bahwa belanja langsung dianggap sebagai belanja pemerintah daerah
yang mempunyai pengaruh penting terhadap pertumbuhan ekonomi
suatu daerah dan akan memiliki daya ungkit dalam menggerakkan roda
perekonomian daerah.
Terkait dengan hal tersebut, kiranya perlu dilakukan analisis
tentang spending performance APBD dalam mendanai pelayanan
publik, yang diharapkan mampu memberikan gambaran dan solusi
mengenai permasalahan penyerapan belanja daerah dalam APBD dan
mengidentifikasi penetapan belanja APBD yang kurang proporsional
antara belanja langsung dan tidak langsung.
Data dan hasil kajian yang telah ada akan dibandingkan antara
pemda yang cepat dalam menyerap belanja dengan yang lambat dalam
penyerapan belanjanya. Kemudian akan dibandingkan pula antara pemda
yang satu dengan yang lain dalam hal proporsi dalam pengalokasian
belanja langsung dan belanja tidak langsung. Kedua perbandingan ini
akan dilakukan analisis dan pendalaman dengan mengunjungi beberapa
daerah sampel.
Hasil penelitian dan analisis ini diharapkan dapat memotret baik
pemda yang mampu menyerap dengan baik APBD-nya dengan yang
tidak, sekaligus pemda yang proporsional maupun yang tidak dalam
pengalokasian belanja langsung dan tidak langsung. Potret tersebut
kemudian akan diidentifikasi, untuk mengetahui faktor-faktor penyebab
dari “keberhasilan” atau “kegagalan” pemerintah daerah sehingga hasilnya
akan dapat dijadikan rekomendasi kepada pemda baik yang menjadi
sampel penelitian maupun pemda-pemda lain mengenai perbaikan dan
peningkatan mengenai penyerapan belanja daerah dalam APBD dan
4 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
penetapan belanja APBD yang lebih proporsional antara belanja langsung
dan tidak langsung.
Di samping itu dari sisi pemerintah pusat, rekomendasi hasil
kajian ini juga penting untuk langkah perbaikan secara internal untuk
penyempurnaan kebijakan hubungan keuangan pusat dan daerah
khususnya yang mempengaruhi belanja di daerah.
2. tujuan
Kajian ini dilakukan dengan tujuan untuk :
a. Mengidentifikasi permasalahan yang terjadi dalam kaitannya
dengan spending performance APBD dalam mendanai pelayanan
publik, terutama dilihat dari aspek cepat atau lambatnya waktu yang
diperlukan dalam penyerapan belanja daerah.
b. Mengidentifikasi penetapan proporsi belanja APBD antara belanja
langsung dan tidak langsung.
c. Melakukan analisis dan menyusun rekomendasi terhadap spending performance APBD dalam mendanai pelayanan publik.
d. Mendukung tugas kerja Kementerian Keuangan, khususnya DJPK
dalam menganalisis, memantau, dan mengevaluasi permasalahan
yang terkait dengan spending performance APBD dalam mendanai
pelayanan publik, sehingga diharapkan dapat memberikan
rekomendasi yang komprehensif dan akurat bagi Pemerintah
Pusat dalam menentukan kebijakan yang terkait dengan spending performance APBD.
5Bab I | Pendahuluan
3. ruang Lingkup
Dalam kajian ini dilakukan penelitian secara khusus terhadap 10 daerah
yang dipilih secara convenience sampling. Adapun rincian daerah sampel
adalah sebagai berikut :
Tabel 1.1
Daerah Sampel Kajian
No Nama Daerah Sampel No Nama Daerah Sampel
1. Provinsi Riau 6. Kabupaten Badung
2. Provinsi Banten 7. Kota Pontianak
3. Kabupaten Tanah Laut 8. Kota Palembang
4. Kabupaten Jepara 9. Kota Gorontalo
5. Kabupaten Lamongan 10. Kota Makasar
Sumber: Data primer yang diolah (2014)
Data primer kajian ini berasal dari hasil isian kuesioner yang dikirimkan
kepada 10 daerah sampel tersebut di atas. Kuesioner yang telah diisi
dikumpulkan dengan mekanisme kunjungan ke daerah sampel yang juga
disertai pelaksanaan Focus Group Discussion dengan Dinas Pengelolaan
Keuangan dan Aset Daerah, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
dan Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait.
Sedangkan data sekunder yang digunakan dalam kajian ini meliputi :
a. Data APBD/APBD Perubahan;
b. Data Realisasi APBD; dan
c. Data Dana Pemerintah Daerah di Perbankan.
6 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
4. MetodoLogi kajian
Kajian ini menggabungkan alat analisa kuantitatif dengan kualitatif.
Analisa kuantitatif dilakukan dengan menggunakan alat statistik dengan
cara memetakan daerah sampel menurut tingkat penyerapan belanja
(spending performances)-nya.
Namun demikian, mengingat keterbatasan data dan dana yang ada
maka analisis dalam kajian dalam buku ini dilakukan dengan metode
sebagai berikut:
1. Data sekunder pada Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD)
digunakan sebagai bahan awal untuk melakukan analisis yang
menggambarkan tingkat penyerapan belanja daerah.
2. Data sekunder pada SIKD tersebut kemudian dikonfirmasikan kepada
daerah sampel kunjungan dan digunakan sebagai alat analisis
deskriptif kualitatif untuk menggambarkan pengelolaan keuangan
daerah dan penjelasan daerah terhadap kendala permasalahan
pelaksanaannya.
3. Untuk analisis kualitatif yang bersumber dari hasil wawancara
dijadikan sebagai pelengkap hasil analisis yaitu dengan cara
menganalisis persepsi daerah terhadap penyerapan belanja daerah.
7Bab II | Kerangka Teori
bAb II KERANGKA TEORI
1. pengertian Spending perforManceS
Spending performances erat kaitannya dengan sistem penganggaran
yang berbasis kinerja (performance based budgeting). Penganggaran
berbasis kinerja (performance-based budgeting) merupakan suatu
pendekatan sistematis dalam penyusunan anggaran yang mengaitkan
pengeluaran yang dilakukan organisasi sektor publik dengan kinerja
yang dihasilkannya dengan menggunakan informasi kinerja. Performance budgeting mengalokasikan sumber daya pada program, bukan unit
organisasi semata, dan memakai output measurement sebagai indikator
kinerja organisasi. Pengkaitan biaya dengan output organisasi merupakan
bagian integral dalam berkas atau dokumen anggaran.
Menurut Robinson and Last (2009), dikatakan bahwa performance-based budgeting bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas
pengeluaran publik dengan mengaitkan pendanaan organisasi sektor
publik dengan hasil yang dicapai dengan penggunaan informasi kinerja
secara sistematik. Sedangkan Carter (1994), seperti dikutip Young (2003),
menyatakan performance budget menggunakan pernyataan misi, tujuan
dan sasaran untuk menjelaskan mengapa uang dikeluarkan. Penetapan
misi, tujuan dan sasaran ini merupakan cara untuk mengalokasikan
sumber daya untuk mencapai sasaran-sasaran tertentu berdasarkan
tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang terukur. Performance budgeting
dibedakan dari pendekatan tradisional karena berfokus pada hasil dari
pengeluaran yang dilakukan, bukannya jumlah uang yang dikeluarkan.
8 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Sejalan dengan Robinson dan Last, Young (2003) menyatakan 4 (empat)
karakteristik performance-based budgeting, yaitu :
1. Performance-based budgeting menetapkan tujuan atau sekumpulan
tujuan yang akan dikaitkan dengan atau yang digunakan untuk
mengalokasikan pengeluaran uang.
2. Performance-based budgeting menyediakan informasi dan
data mengenai kinerja dan hasil yang telah dicapai sehingga
memungkinkan dilakukan perbandingan antara kemajuan yang aktual
dengan yang direncanakan.
3. Dalam penyusunan anggaran penyesuaian terhadap program
dilakukan untuk menutup setiap perbedaan yang terjadi antara target
kinerja dan kinerja aktual.
4. Performance-based budgeting memberi peluang untuk dilakukannya
evaluasi kinerja secara regular atau ad hoc yang akan digunakan untuk
pengambilan keputusan.
Lebih lanjut Robinson dan Last (2009) menyatakan penganggaran
berbasis kinerja (performance-based budgeting) hanya dapat berhasil jika
setiap satuan kerja yang melakukan pengeluaran anggaran (spending agency) diharuskan untuk:
1. secara eksplisit mendefinisikan outcome yang pelayanannya diberikan
kepada masyarakat, dan
2. menyediakan indikator kinerja kunci untuk mengukur efektifitas
dan efisiensi pelayanannya untuk menteri keuangan dan pembuat
keputusan politik kunci selama proses penyusunan anggaran.
Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa pengukuran kinerja sektor
publik dilakukan untuk memenuhi tiga maksud. Pertama, pengukuran
kinerja sektor publik dimaksudkan untuk membantu memperbaiki
kinerja pemerintah. Ukuran kinerja dimaksudkan untuk dapat membantu
pemerintah berfokus pada tujuan dan sasaran program unit kerja. Hal ini
9Bab II | Kerangka Teori
pada akhirnya akan meningkatkan efisiensi dan efektifitas organisasi sektor
publik. Kedua, ukuran kinerja sektor publik digunakan untuk pengalokasian
sumber daya dan pembuatan keputusan. Ketiga, ukuran kinerja sektor
publik dimaksudkan untuk mewujudkan pertanggungjawaban publik
dan memperbaiki komunikasi kelembagaan. Kinerja adalah gambaran
pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan /program/kebijaksanaan dalam
mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi (Bastian, 2006).
Adapun jika dihubungkan dengan pengklasifikasian belanja daerah
berdasarkan klasifikasi ekonomi, unsur belanja menurut klasifikasi
ekonomi yang merupakan kebocoran (leakages) yaitu belanja pegawai
dan belanja lainnya lebih besar dibanding unsur belanja yang merupakan
injeksi (belanja modal serta barang dan jasa). Hal ini menunjukkan
bahwa, pembangunan lebih banyak digerakkan oleh belanja yang bersifat
kebocoran atau konsumtif.
Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui dampak ekonomi dari belanja
pemerintah. Dari perspektif ekonomi makro, belanja pegawai dan belanja
lainnya disebut kebocoran, sementara belanja modal serta barang dan
jasa disebut injeksi. Dengan pembagian demikian, hendak dianalisis lebih
lanjut apakah pembangunan lebih banyak digerakkan oleh kebocoran yang
bersifat konsumtif ataukah injeksi yang bersifat investasi. Hasil analisis
menunjukkan bahwa kegiatan pembangunan lebih banyak digerakkan
oleh belanja pemerintah yang bersifat kebocoran (konsumtif). Penyebab
utamanya adalah adanya diskresi dari sisi pendapatan pemerintah. Dengan
pendapatan yang terbatas, sementara kebutuhan untuk membiayai
birokrasi terus meningkat, menjadikan pemerintah lebih memilih
mendahulukan belanja bagi birokrasi (kebocoran) dan membatasi belanja
untuk kepentingan masyarakat (injeksi).
10 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
2. proSeS pengeLoLaan keuangan daerah
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengatur mengenai
Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD), dalam merencanakan alokasi belanja pada APBD agar lebih
mengutamakan keberpihakan untuk kepentingan publik (belanja langsung)
daripada kepentingan aparatur (belanja tidak langsung).
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut terlihat
hubungan antara tiga cara mengukur efektivitas anggaran pembangunan
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut, yaitu :
a. Dengan melihat seberapa besar pemerintah menentukan alokasi
nilai belanja untuk kepentingan publik ternyata masih rendah
efektivitasnya;
b. Dengan melihat seberapa besar nilai belanja untuk kepentingan publik
tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik dengan optimal
juga masih rendah efektivitasnya. Hal ini didasarkan pada rendahnya
kemampuan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran belanja
termasuk belanja modal sebagai bagian dari belanja pembangunan;
c. Dengan melihat seberapa besar optimalisasi nilai belanja publik
mengakibatkan kegiatan-kegiatan ekonomi ikutan yang bermanfaat
bagi masyarakat sehingga menambah kesejahteraan masyarakat
juga masih rendah efektivitasnya. Belanja anggaran pembangunan
hanya mampu mewujudkan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
eksklusif dan belum berkualitas.
Pada prinsipnya desentralisasi ditujukan untuk efisiensi sektor
publik dalam produksi dan distribusi pelayanan, meningkatkan
kualitas pembuatan keputusan dengan menggunakan informasi lokal,
meningkatkan akuntabilitas dan meningkatkan kemampuan respon
terhadap kebutuhan dan kondisi lokal (Giannoni, 2002). Hal inilah yang
mendorong desentralisasi diserahkan dan dilaksanakan pemerintahan
11Bab II | Kerangka Teori
daerah yakni kabupaten/kota. Dalam rangka melaksanakan pembangunan
daerah, setiap tahun APBD ditetapkan oleh Pemerintah Daerah bersama
dengan DPRD. APBD merupakan rencana kegiatan daerah yang akan
dilaksanakan dalam satu tahun anggaran.
Dalam pengelolaan keuangan daerah terdapat rambu-rambu yang
harus dipatuhi daerah sebagaimana tercantum dalam asas-asas umum
pelaksanaan APBD, diantaranya yaitu:
a. Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah dalam rangka
pelaksanaan urusan pemerintahan daerah dikelola dalam APBD.
b. Setiap SKPD yang mempunyai tugas memungut dan/atau menerima
pendapatan daerah wajib melaksanakan pemungutan dan/atau
penerimaan berdasarkan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan.
c. Penerimaan SKPD dilarang digunakan langsung untuk membiayai
pengeluaran, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-
undangan.
d. Penerimaan SKPD berupa uang atau cek harus disetor ke rekening
kas umum daerah paling lama 1 (satu) hari kerja.
e. Jumlah belanja yang dianggarkan dalam APBD merupakan baths
tertinggi untuk setiap pengeluaran belanja.
f. Pengeluaran tidak dapat dibebankan pada anggaran belanja jika untuk
pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dalam
APBD.
g. Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dilakukan
jika dalam keadaan darurat, yang selanjutnya diusulkan dalam
rancangan perubahan APBD dan/atau disampaikan dalam laporan
realisasi anggaran.
h. Kriteria keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
12 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
i. Setiap SKPD dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran
daerah untuk tujuan lain dari yang telah ditetapkan dalam APBD.
j. Pengeluaran belanja daerah menggunakan prinsip hemat, tidak
mewah, efektif, efisien dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dalam pengelolaan keuangan daerah di Indonesia terdapat dokumen-
dokumen yang digunakan atau dihasilkan dalam proses penyusunan
anggaran pemerintah daerah. yang dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 2.1
Proses Penyusunan Anggaran Pemerintah Daerah
10 | P a g e
Dalam pengelolaan keuangan daerah di Indonesia terdapat dokumen-dokumen yang
digunakan atau dihasilkan dalam proses penyusunan anggaran pemerintah daerah. yang
dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 2.1
Proses Penyusunan Anggaran Pemerintah Daerah
Pengelolaan Keuangan DaerahPerencanaan Pelaksanaan Penatausahaan Pertgjwban Pengawasan
RPJMD
RKPD
KUA PPAS
NotaKesepakatan
Pedoman
Penyusunan
RKA-SKPD
RKA-SKPD
RAPBD
APBD
Dasar Pelaksanaan
Anggaran
• Pendapatan
• Belanja
• Pembiayaan
Pelaksanaan APBD
Rancangan
DPA-SKPD
DPA-SKPD
Verifikasi
Laporan Realisasi
Semester Pertama
Perubahan APBD
Penatausahaan
Belanja
Bendahara
Pengeluaran
Penatausahaan
Pendapatan
Bendahara
Penerimaan
Kekayaan dan
Kewajiban daerah
• Kas Umum
• Piutang
• Investasi
• Barang
• Dana Cadangan
• Utang
Akuntansi
Keuangan Daerah
Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah
• Laporan Realisasi
Anggaran
• Neraca
• Laporan Arus Kas
• Catatan atas
Laporan
Keuangan
Laporan Keuangan
diaudit oleh BPK
Rancangan
Peraturan Daerah
tentang
Pertanggungjawaban
APBD
Akuntansi
Keuangan Daerah
• Pemberian
Pedoman
• Bimbingan
• Supervisi
• Konsultasi
• Pendidikan
• Pelatihan
• Penelitian dan
Pengembangan
Pembinaan:
Pengawasan
terhadap
pelaksanaan
Perda tentang
APBD
Pengendalian
Intern
Pemeriksaan
Ekstern
Sumber : Mardiasmo (2005:5)
Untuk pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota), dokumen-dokumen tersebut
meliputi Rencana Pembangunan Jangkan Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD), Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas dan Plafon
Anggaran Sementara (PPAS). Sedangkan, pada tingkat satuan kerja pemerintah daerah
(SKPD), dokumen-dokumen tersebut meliputi Rencana Stratejik (Renstra) SKPD, Rencana
Kerja (Renja) SKPD dan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD. Untuk dapat
dikatakan telah menerapkan penganggaran berbasis kinerja tidak hanya dibuktikan dengan
keberadaan dokumen-dokumen tersebut, melainkan juga dengan adanya keselarasan
substansi antar dokumen-dokumen tersebut yang dapat dilihat dari ada tidaknya indikator
kinerja yang selaras dalam dokumen-dokumen tersebut. Pada SKPD, indikator-indikator
kinerja yang dimuat dalam Renja SKPD haruslah mendukung pencapaian indikator kinerja
yang termuat dalam Renstra SKPD. Dan selanjutnya, indikator kinerja Renja SKPD harus
didukung oleh indikator-indikator kinerja yang dimuat dalam RKA SKPD. Adanya
Sumber : Mardiasmo (2005:5)
Untuk pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota), dokumen-
dokumen tersebut meliputi Rencana Pembangunan Jangkan Menengah
Daerah (RPJMD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Kebijakan
Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara
(PPAS). Sedangkan, pada tingkat satuan kerja pemerintah daerah (SKPD),
13Bab II | Kerangka Teori
dokumen-dokumen tersebut meliputi Rencana Stratejik (Renstra) SKPD,
Rencana Kerja (Renja) SKPD dan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA)
SKPD. Untuk dapat dikatakan telah menerapkan penganggaran berbasis
kinerja tidak hanya dibuktikan dengan keberadaan dokumen-dokumen
tersebut, melainkan juga dengan adanya keselarasan substansi antar
dokumen-dokumen tersebut yang dapat dilihat dari ada tidaknya indikator
kinerja yang selaras dalam dokumen-dokumen tersebut.
Pada SKPD, indikator-indikator kinerja yang dimuat dalam Renja
SKPD haruslah mendukung pencapaian indikator kinerja yang termuat
dalam Renstra SKPD. Dan selanjutnya, indikator kinerja Renja SKPD
harus didukung oleh indikator-indikator kinerja yang dimuat dalam RKA
SKPD. Adanya keselarasan indikator kinerja ini secara logis akan dapat
mengaitkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai yang dicantumkan dalam
dokumen perencanaan strategis (Renstra SKPD) dengan kegiatan-kegiatan
operasional yang dilaksanakan SKPD. Di samping persyaratan adanya
indikator kinerja dan proses penyusunan anggaran yang memfasilitasi
penggunaan indikator kinerja, persyaratan lainnya dalam penerapan
penganggaran berbasis kinerja yang dikemukakan Robinson dan Last
(2009) adalah klasifikasi pengeluaran berdasarkan program (program budget) dan fleksibilitas yang lebih besar bagi manajer atau pejabat
pelaksana anggaran.
Program budget mengklasifikasikan pengeluaran anggaran berdasarkan
jenis pelayanan dan tujuan, bukan berdasarkan jenis input (gaji, bahan,
perjalanan dinas dan sebagainya) sebagaimana pada traditional line-item budgeting. Robinson dan Last (2009) menyatakan pada program budget proses penyusunan anggaran harus berdasarkan pada program (program based) yaitu satuan kerja harus mengajukan dan menyajikan anggarannya
dalam bentuk program dengan didukung biaya dan informasi kinerja.
Senada dengan Robinson dan Last, Shah dan Shen (2007) menyatakan
bahwa bertentangan dengan line-item budgeting, performance budgeting
14 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
menerapkan alokasi lumpsum untuk program-program bukan klasifikasi line
item secara rinci (detailed line item classification). Terkait dengan ini, Rubin
(2007) mengemukakan bahwa output model budgeting mengasumsikan
bahwa manajer atau pelaksana anggaran akan menggunakan sumber daya
yang mereka akan diminta bertanggung jawab bukan atas pelaksanaan
anggaran sesuai dengan item-item pengeluaran yang dilakukan, melainkan
atas kuantitas dan kualitas hasil yang dijanjikan dari paket sumber daya
yang dialokasikan bagi mereka dalam anggaran. Pelaksanaan anggaran
membutuhkan adanya fleksibilitas input dimana pejabat pelaksana
anggaran harus diberi fleksibilitas yang lebih besar untuk memilih belanja-
belanja yang dilakukannya untuk menghasilkan pelayanan dengan cara
yang paling efisien. Hal ini dapat dilakukan dengan mengurangi sejumlah
batasan yang harus diikuti pada pengeluaran anggaran berdasarkan
klasifikasi ekonomi (line item) pada traditional budgeting.
Dibandingkan dengan traditional line-item budgeting, performance budgeting membenarkan untuk melakukan penggunaan sumber daya
fiskal secara lebih fleksibel dan meningkatkan akuntabilitas terhadap hasil.
Shah dan Shen (2007) menyatakan performance budgeting meningkatkan
fleksibilitas manajerial dengan memberi manajer departemen atau program
alokasi lumpsum tetap (fixed lumpsum allocation) yang bisa digunakan
untuk berbagai kebutuhan untuk mencapai hasil yang sudah disetujui
dalam pemberian pelayanan. Manajer publik menikmati peningkatan
diskresi manajerial tapi diwajibkan bertanggung jawab atas apa yang
mereka capai dalam kinerja pemberian pelayanan.
Namun, kedua persyaratan ini belum diakomodir oleh peraturan
perundang-undangan di Indonesia, terutama untuk penyusunan anggaran
pemerintah daerah. Struktur anggaran yang digunakan dalam penyusunan
APBD masih menggunakan 12 struktur line-item budgeting di mana
anggaran disusun menurut klasifikasi belanja sampai dengan rincian objek
belanja. Hal ini berimplikasi pada control yang ketat terhadap input yang
15Bab II | Kerangka Teori
mengakibatkan kurangnya fleksibilitas bagi manajer (pengguna anggaran)
dalam menggunakan anggarannya. Dengan demikian, ketentuan mengenai
pengeluran anggaran yang diatur dalam peraturan perundangan yang ada
belum mendukung fleksibilitas pengeluaran anggaran oleh pengguna
anggaran sebagai pejabat yang mempunyai otoritas dalam melaksanakan
pengeluaran anggaran.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah mengatur azas umum dalam pengelolaan
keuangan daerah yang tertuang pada pasal (4) sebagai berikut:
(1) Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan
perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, dan
bertanggung jawab dengan memperhatikan azas keadilan, kepatutan,
dan manfaat untuk masyarakat.
(2) Secara tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bahwa
keuangan daerah dikelola secara tepat waktu dan tepat guna
yang didukung dengan bukti¬bukti administrasi yang dapat
dipertanggungjawabkan.
(3) Taat pada peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah bahwa pengelolaan keuangan daerah harus
berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
(4) Efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pencapaian
hasil program dengan target yang telah ditetapkan, yaitu dengan cara
membandingkan keluaran dengan hasil.
(5) Efisien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pencapaian
keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu atau penggunaan
masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu.
(6) Ekonomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
pemerolehan masukan dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada
tingkat harga yang terendah.
16 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
(7) Transparan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan prinsip
keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui
dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan
daerah.
(8) Bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
perwujudan kewajiban seseorang untuk mempertanggungjawabkan
pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan
kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian
tujuan yang telah ditetapkan.
(9) Keadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keseimbangan
distribusi kewenangan dan pendanaannya dan/atau keseimbangan
distribusi hak dan kewajiban berdasarkan pertimbangan yang obyektif.
(10) Kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tindakan atau
suatu sikap yang dilakukan dengan wajar dan proporsional.
(11) Manfaat untuk masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah bahwa keuangan daerah diutamakan untuk pemenuhan
kebutuhan masyarakat.
Untuk memastikan dan menjamin dapat terlaksananya program dan
kegiatan yang telah ditetapkan dalam APBD, daerah harus membuat
anggaran kas. Anggaran Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk
yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar untuk
mengatur ketersediaan dana yang cukup guna mendanai pelaksanaan
kegiatan dalam setiap periode.
Anggaran kas telah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
pasal (125) dan pasal (126) sebagai berikut :
Pasal 125
(1) Kepala SKPD berdasarkan rancangan DPA-SKPD menyusun
rancangan anggaran kas SKPD.
17Bab II | Kerangka Teori
(2) Rancangan anggaran kas SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada PPKD selaku BUD bersamaan dengan rancangan
DPA-SKPD.
(3) Pembahasan rancangan anggaran kas SKPD dilaksanakan bersamaan
dengan pembahasan DPA-SKPD.
Pasal 126
(1) PPKD selaku BUD menyusun anggaran kas pemerintah daerah
guna mengatur ketersediaan dana yang cukup untuk mendanai
pengeluaran-pengeluaran sesuai dengan rencana penarikan dana
yang tercantum dalam DPA-SKPD yang telah disahkan.
(2) Anggaran kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat perkiraan
arus kas masuk yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus
kas keluar yang digunakan guna mendanai pelaksanaan kegiatan
dalam setiap periode.
(3) Mekanisme pengelolaan anggaran kas pemerintah daerah ditetapkan
dalam peraturan kepala daerah.
3. pengertian BeLanja daerah
Seluruh pendapatan daerah yang diperoleh baik dari daerahnya sendiri
maupun transfer dan bantuan dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi,
dan sebagainya akan digunakan untuk membiayai seluruh pengeluaran
daerah itu baik melalui pos belanja daerah maupun pengeluaran
pembiayaan. Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah, belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui
sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode anggaran yang
bersangkutan.
Definisi dari belanja daerah menurut PP Nomor 58 Tahun 2005 pasal
20 adalah semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Daerah yang
mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah
18 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
dalam satu tahun. Definisi lainnya mengenai belanja seperti yang
dijelaskan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006
adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai
kekayaan bersih. Kedua definisi tersebut menjelaskan bahwa transaksi
belanja akan menurunkan ekuitas dana pemerintah daerah.
Belanja daerah sebagaimana dimaksud PP Nomor 58 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 26 ayat (1) menyebutkan
bahwa Belanja daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota
yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan
ketentuan perundang-undangan. Belanja penyelenggaraan urusan wajib
sebagaimana dimaksud diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan
kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban
daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar,
pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta
mengembangkan sistem jaminan sosial. Peningkatan kualitas kehidupan
masyarakat diwujudkan melalui prestasi kerja dalam pencapaian standar
pelayanan minimal berdasarkan urusan wajib pemerintahan daerah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Menurut Halim (2003 : 145), belanja daerah adalah “pengeluaran yang
dilakukan oleh Pemerintah daerah untuk melaksanakan wewenang dan
tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah di atasnya”. Menurut
Halim dan Nasir (2006 : 44), belanja daerah adalah “semua kewajiban
daerah yang diakui sebagai pengurangan nilai kekayaan bersih dalam
periode tahun anggaran yang bersangkutan”. Dari semua definisi tersebut,
terdapat dua hal utama yang patut untuk dilihat, yaitu bahwa belanja
daerah adalah suatu bentuk kompensasi finansial yang mengurangi nilai
kekayaan bersih suatu daerah dan yang kedua bahwa belanja daerah
dilakukan berdasarkan kewenangan yang dimiliki sebagai bentuk tanggung
jawab pelaksanaan pelayanan publik.
19Bab II | Kerangka Teori
Untuk itulah, selain dari sisi ekonomi publik, maka belanja daerah
harus digunakan untuk pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah (provinsi atau kabupaten/kota) yang terdiri dari urusan
wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-
undangan.
Terkait dengan bagaimana daerah melakukan pengeluaran APBD,
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, mengatur beberapa hal yaitu :
Pasal 105A
(1) Dalam hal penetapan APBD mengalami keterlambatan kepala daerah
melaksanakan pengeluaran setiap bulan setinggi-tingginya sebesar
seperduabelas APBD tahun anggaran sebelumnya.
(2) Pengeluaran setinggi-tingginya untuk keperluan setiap bulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibatasi hanya untuk belanja
yang bersifat tetap seperti belanja pegawai, layanan jasa dan keperluan
kantor sehari-hari.
Pasal 107A
Kepala daerah dapat melaksanakan pengeluaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) setelah peraturan kepala daerah tentang
APBD tahun berkenaan ditetapkan.
Pasal 109
Pelampauan dari pengeluaran setinggi-tingginya sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 106 ayat (1) dapat dilakukan apabila ada kebijakan
pemerintah untuk kenaikan gaji dan tunjangan pegawai negeri sipil, bagi
hasil pajak daerah dan retribusi daerah yang ditetapkan dalam undang-
undang, kewajiban pembayaran pokok pinjaman dan bunga pinjaman
20 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
yang telah jatuh tempo serta pengeluaran yang mendesak diluar kendali
pemerintah daerah.
4. kLaSifikaSi BeLanja daerah
Berdasarkan PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah, belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi,
program dan kegiatan, serta jenis belanja.
Klasifikasi belanja daerah menurut jenis belanja terdiri dari:
1. Belanja pegawai adalah belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang
maupun barang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan perundang-
undangan yang diberikan kepada DPRD, dan pegawai pemerintah
daerah baik yang bertugas di dalam maupun di luar daerah sebagai
imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan, kecuali pekerjaan
yang berkaitan dengan pembentukan modal. Contoh: gaji dan
tunjangan, honorarium, lembur, kontribusi sosial, dan lain-lain sejenis.
2. Belanja barang dan jasa adalah digunakan untuk pembelian barang
dan jasa yang habis pakai guna memproduksi barang dan jasa. Contoh:
pembelian barang dan jasa keperluan kantor, jasa pemeliharaan,
ongkos perjalanan dinas.
3. Belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka
pembelian/ pengadaan aset tetap dan aset lainnya yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam
kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan
mesin, gedung dan bangunan, jaringan, buku perpustakaan, dan
hewan.
4. Belanja lain-lain (bunga; subsidi; hibah; bantuan sosial; belanja bagi
hasil dan bantuan keuangan; dan belanja tidak terduga).
Klasifikasi belanja menurut jenis belanja tersebut juga dikenal dengan
belanja berdasarkan klasifikasi ekonomi. Klasifikasi ekonomi membagi
21Bab II | Kerangka Teori
belanja dalam 4 (empat) kelas, yaitu belanja pegawai, belanja modal,
belanja barang dan jasa serta belanja lain-lain.
Dari kacamata definisi lain, belanja daerah menurut kelompok belanja
berdasarkan Permendagri 13/2006 terdiri atas belanja tidak langsung dan
belanja langsung. Kelompok belanja tidak langsung merupakan belanja
yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan
program dan kegiatan. Kelompok belanja langsung merupakan belanja
yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program
dan kegiatan. Kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis
belanja yang terdiri dari belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah, bantuan
sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga.
Kelompok belanja langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari
belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal.
Menurut Halim (2004 : 18), belanja daerah digolongkan menjadi 4
(empat) yakni belanja aparatur daerah, belanja pelayanan publik, belanja
bagi hasil dan bantuan keuangan, dan belanja tak tersangka. Belanja
aparatur daerah diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kategori yaitu belanja
administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal/
pembangunan. Belanja pelayanan publik dikelompokkan menjadi 3 yakni
belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja
modal.
Dalam rangka memudahkan penilaian kewajaran biaya suatu program
atau kegiatan, belanja menurut kelompok belanja terdiri dari belanja
tidak langsung dan belanja langsung. Menurut Halim (2009) belanja
tidak langsung merupakan belanja yang tidak memiliki keterkaitan secara
langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan,terdiri dari belanja
pegawai, belanja bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil,
bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Sedangkan belanja langsung
merupakan belanja yang memiliki keterkaitan secara langsung dengan
22 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
program dan kegiatan yang meliputi belanja pegawai, belanja barang dan
jasa serta belanja modal.
Belanja pegawai dan belanja lain-lain bersifat konsumtif, sementara
belanja modal serta belanja barang dan jasa bersifat investasi, baik jangka
pendek maupun jangka panjang. Karena itu penggunaan klasifikasi
ekonomi untuk menganalisis belanja dimaksudkan untuk mengetahui
sampai sejauh mana belanja pemerintah untuk kepentingan pembangunan
lebih didominasi belanja yang bersifat konsumsi atau investasi. Pergeseran
dari belanja yang bersifat konsumsi ke belanja yang bersifat investasi
merupakan indikasi yang baik, karena semakin besar belanja yang
bersifat investasi untuk layanan publik memberi dampak yang baik pada
pembentukan modal sosial. Semakin besar modal sosial, aksesibilitas
masyarakat terhadap sumber-sumber kemajuan semakin besar pula.
Berdasarkan perspektif ekonomi makro, belanja konsumsi bersifat
kebocoran dan belanja investasi bersifat injeksi. Perekonomian akan
mencapai full capacity bila kebocoran (konsumsi) sama dengan injeksi
(investasi). Dalam perspektif inilah klasifikasi ekonomi digunakan untuk
menganalisis belanja daerah, khususnya belanja modal.
23Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
bAb III TEMUAN lAPANGAN DAN ANAlISIS
PERMASAlAHAN PElAKSANAAN SPENDING PERFORMANCE DAlAM
MENDANAI PElAYANAN PUblIK
Salah satu pilar penting dalam penyelenggaraan kebijakan otonomi
daerah adalah desentralisasi fiskal yang dilaksanakan melalui
kebijakan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Pendanaan
pembangunan melalui transfer ke daerah merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari pendanaan pembangunan secara nasional. Pengelolaan
pendanaan transfer ke daerah senantiasa didorong untuk memenuhi
pelaksanaan tata kelola keuangan yang baik, memiliki kinerja terukur dan
memiliki akuntabilitas terhadap masyarakat. Hasil akhir yang diharapkan
adalah adanya peningkatan pelayanan publik. Hal ini sejalan dengan
tujuan dilaksanakannya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi
fiskal yang diharapkan dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap
peningkatan perekonomian di daerah, yang ditandai dengan peningkatan
pelayanan publik, baik secara kuantitas maupun kualitas yaitu sebuah
pelayanan publik yang mampu memenuhi dua hal pokok yaitu pelayanan
yang dapat memberikan kepuasan kepada publik dan pelayanan yang
memenuhi standar pelayanan minimum (minimum local public service delivery standards). Dengan demikian, peningkatan pelayanan publik dapat
mendorong pembangunan ekonomi yang pada akhirnya kesejahteraan
masyarakat (social welfare) akan menjadi lebih baik.
24 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Pengelolaan keuangan daerah yang bertumpu pada kepentingan publik
(public oriented) tidak saja terlihat pada besarnya porsi pengalokasian
anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat pada besarnya
partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan/
pengendalian keuangan daerah. Buruknya pengelolaan keuangan akan
berimbas pada rendahnya kualitas dan kuantitas pelayanan publik yang
disediakan. Jika pelayanan publik belum optimal, maka kesejahteraan
rakyat akan sulit terwujud. Misal, jika Pemerintah Pusat gagal menyediakan
layanan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau,
hak rakyat untuk hidup sehat dan terjangkau akan sulit diperoleh, yang
berakibat pada kesejahteraan rakyat akan sulit dicapai.
Sejak diimplementasikannya otonomi daerah tahun 2001, anggaran
transfer ke daerah senantiasa mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Namun demikian, belum ada jaminan bahwa apakah anggaran transfer ke
daerah yang besar itu sudah mencerminkan semakin baiknya pelayanan
publik di daerah atau malah sebaliknya? Apakah pengelolaan keuangan
daerah sudah dijalankan dengan baik? Hal tersebut tentu saja menjadi
pendorong bagi kita untuk bekerja lebih keras lagi guna menciptakan
pemerintahan yang baik dan bersih, karena berangkat dari kesadaran
bahwa pelayanan publik yang baik hanya dapat dicapai dengan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance), dapat diartikan pula bahwa
setiap rupiah dana yang dialokasikan harus dapat dikaitkan dengan
pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Setiap peningkatan besaran
dana yang ditransfer ke daerah harus bisa dirasakan oleh masyarakat
seperti tersedianya infrastruktur dan program-program kesejahteraan
rakyat.
Selanjutnya, kebijakan desentralisasi fiskal tetap konsisten mencermati
sisi belanja di daerah. Pemerintah Pusat sangat serius mendorong
efektivitas dan efisiensi belanja daerah melalui mekanisme pengendalian
belanja daerah. Mekanisme seperti penetapan sanksi keterlambatan
25Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
penyampaian APBD, penetapan indikator layanan publik dasar dalam
pengalokasian DAK, dan pengendalian defisit secara nasional diharapkan
dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan publik dasar.
Namun demikian, kualitas belanja daerah dan APBD selama ini
dianggap masih lemah dengan salah satu indikasi belanja tidak langsung
selalu lebih besar dari belanja langsung dan penyerapan belanja daerah
yang relatif rendah. Hal ini juga bisa dilihat dari tingkat penyerapan
belanja daerah yang relatif rendah terutama untuk belanja modal serta
belanja barang dan jasa yang terkait dengan public service delivery. Tata
kelola keuangan daerah yang baik bersumber dari kualitas APBD yang
mencerminkan kehendak rakyat untuk mendapatkan pelayanan publik
yang berkualitas, transparan, dan akuntabel. Namun, hal tersebut belum
tergambar dari postur APBD yang ideal. Struktur belanja daerah masih
didominasi oleh belanja pegawai, minimnya belanja infrastruktur, dan
tingginya penggunaan sisa lebih perhitungan (SiLPA) anggaran daerah dari
tahun sebelumnya. Jumlah belanja pegawai lebih besar dibanding belanja
modal serta barang dan jasa dan jumlahnya semakin membesar. Belanja
pegawai ditambah belanja lainnya, yang berarti jumlahnya semakin besar,
adalah belanja yang bersifat konsumtif. Pada sisi lain, belanja modal serta
belanja barang dan jasa bersifat investasi, baik jangka pendek maupun
jangka panjang.
Dengan demikian, berdasarkan klasifikasi ekonomi tersebut, pendekatan
yang dipilih pemerintah untuk menggerakkan pembangunan adalah
pendekatan dari sisi konsumsi, bukan produksi. Pendekatan sisi konsumsi
memang akan menghasilkan pertumbuhan, tetapi pertumbuhannya
bersifat jangka pendek dan labil. Dampak negatifnya adalah masyarakat
yang sesungguhnya merupakan kekuatan akan menjadi tergantung
dan tidak berdaya. Dalam jangka panjang kondisi seperti sangat tidak
menguntungkan. Peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak akan
berlangsung dengan cepat dan berkesinambungan.
26 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Efektivitas anggaran pembangunan mengukur keberhasilan pemerintah
dalam mengalokasikan anggaran pembangunan sesuai dengan tujuan
yang telah ditentukan. Ada beberapa cara untuk mengukur keberhasilan
tersebut, yaitu dengan melihat seberapa besar pemerintah menentukan
alokasi nilai belanja untuk kepentingan publik, seberapa besar nilai belanja
untuk kepentingan publik tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
publik dengan optimal, dan seberapa besar optimalisasi nilai belanja publik
mengakibatkan kegiatan-kegiatan ekonomi ikutan yang bermanfaat bagi
masyarakat sehingga menambah kesejahteraan masyarakat.
Dalam mengalokasikan komponen Belanja Langsung yang berupa
Belanja Modal harus memperhatikan beberapa hal, yaitu mengarahkan
Belanja Modal untuk pembangunan infrastruktur yang menunjang
investasi di daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah,
melakukan evaluasi dan pengkajian terhadap barang-barang inventaris
yang tersedia baik dari sisi kondisi maupun umur ekonomisnya sehingga
pengadaan barang inventaris dapat dilakukan secara selektif sesuai
kebutuhan masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah. Kemudian
menyusun Belanja Modal sebesar harga beli/bangun aset tetap ditambah
seluruh belanja yang terkait dengan pengadaan/pembangunan aset tetap
tersebut sampai siap digunakan.
Anggaran belanja daerah akan mempunyai peran riil dalam peningkatan
kualitas layanan publik dan sekaligus menjadi stimulus bagi perekonomian
daerah apabila dapat terealisasi dengan baik. Seluruh pendapatan
daerah yang diperoleh baik dari daerahnya sendiri maupun transfer dan
bantuan dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan sebagainya
akan digunakan untuk membiayai seluruh pengeluaran daerah itu baik
melalui pos belanja daerah maupun pengeluaran pembiayaan. Untuk itu,
pemerintah terus mendorong agar proses penetapan Peraturan Daerah
(Perda) APBD dapat dilakukan secara tepat waktu guna mempercepat
realisasi belanja daerah. Keterlambatan realisasi belanja daerah dapat
27Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
berdampak pada penumpukan dana daerah yang belum terpakai.
Pemerintah daerah harus mampu menciptakan belanja daerah yang
berkualitas dengan berupaya secara konsisten mengarahkan sumber daya
yang terbatas agar dapat digunakan secara terukur, efektif dan efisien
untuk mencapai target yang ditetapkan.
a. peLakSanaan Spending perforManceS pada daerah SaMpeL
1. provinSi riau
Pada tahun 2013, APBD Provinsi Riau pada saat ditetapkan adalah
sebesar Rp8,432 triliun. Pada saat pengesahan APBD Perubahan,
jumlahnya meningkat menjadi Rp8,915 triliun. Hal ini dapat dilihat pada
Grafik 3.1 di bawah ini.
Grafik 3.1
Volume APBD dan APBD-Perubahan Provinsi Riau Tahun 2013
(dalam miliar rupiah)
22 | P a g e
daerah dapat berdampak pada penumpukan dana daerah yang belum terpakai. Pemerintah
daerah harus mampu menciptakan belanja daerah yang berkualitas dengan berupaya secara
konsisten mengarahkan sumber daya yang terbatas agar dapat digunakan secara terukur,
efektif dan efisien untuk mencapai target yang ditetapkan.
A. Pelaksanaan Spending Performances Pada Daerah Sampel
1. Provinsi Riau
Pada tahun 2013, APBD Provinsi Riau pada saat ditetapkan adalah sebesar
Rp8,432 triliun. Pada saat pengesahan APBD Perubahan, jumlahnya meningkat
menjadi Rp8,915 triliun. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 3.1 di bawah ini.
Grafik 3.1
Volume APBD dan APBD-Perubahan
Provinsi Riau Tahun 2013
(dalam miliar rupiah)
Sumber : Pemda Provinsi Riau dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Dari data dimaksud, terdapat hal yang menarik, yaitu terjadinya pengurangan
jumlah anggaran pada belanja modal pada saat APBD Perubahan disahkan, yaitu
sekitar Rp90,06 miliar jika dibandingkan dengan pagu belanja modal pada APBD
induk pada saat ditetapkan.
Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD Provinsi Riau
Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja lainnya yaitu sebesar 33,57%, dimana
belanja hibah mendapatkan alokasi terbesar yaitu sebesar Rp1,541 triliun, kemudian
belanja bagi hasil pendapatan sebesar Rp989,32 miliar, serta bantuan keuangan yaitu
sebesar Rp420,23 miliar. Belanja modal dianggarkan sebesar 29,14 % dari total APBD
Sumber : Pemda Provinsi Riau dan Kementerian Keuangan (data diolah)
28 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Dari data dimaksud, terdapat hal yang menarik, yaitu terjadinya
pengurangan jumlah anggaran pada belanja modal pada saat APBD
Perubahan disahkan, yaitu sekitar Rp90,06 miliar jika dibandingkan dengan
pagu belanja modal pada APBD induk pada saat ditetapkan.
Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD
Provinsi Riau Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja lainnya yaitu
sebesar 33,57%, dimana belanja hibah mendapatkan alokasi terbesar yaitu
sebesar Rp1,541 triliun, kemudian belanja bagi hasil pendapatan sebesar
Rp989,32 miliar, serta bantuan keuangan yaitu sebesar Rp420,23 miliar.
Belanja modal dianggarkan sebesar 29,14 % dari total APBD dan belanja
barang dan jasa hanya sebesar 22,29% dari total APBD. Sementara itu,
untuk belanja pegawai tidak langsung dianggarkan dalam APBD hanya
sebesar 11,09% dari total APBD untuk membayar gaji PNSD dan belanja
pegawai langsung hanya sebesar 3,91%.
Untuk memastikan dan menjamin dapat terlaksananya program dan
kegiatan yang telah ditetapkan dalam APBD, daerah harus membuat
anggaran kas. Anggaran Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk
yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar untuk
mengatur ketersediaan dana yang cukup guna mendanai pelaksanaan
kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah
Provinsi Riau telah membuat Rencana Penarikan Dana (RPD) dalam DPA
pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah ditetapkan.
Namun demikian, dalam penyerapan belanja daerah, Provinsi Riau
termasuk lambat dalam realisasinya. Pada Tahun 2013 Triwulan I, realisasi
penyerapan anggaran masih rendah yaitu sebesar 5,15%, masih jauh
di bawah realisasi belanja yang ideal yaitu 25%. Pada akhir Triwulan II,
realisasi penyerapan belanja hanya sebesar 17,64%, kemudian pada
Triwulan III sebesar 38,16%. Yang menarik adalah penyerapan belanja pada
Triwulan IV yang mencapai 84,41%, dimana hanya dalam waktu 3 (tiga)
29Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
bulan, realisasi penyerapan belanjanya sekitar 46,25% jika dibandingkan
dengan realisasi pada akhir Triwulan III. Dengan kata lain, pada kurun
waktu Oktober s.d. Desember 2013, Provinsi Riau mampu menyerap
belanja daerah sebesar Rp4,231 triliun.
Sementara itu, realisasi penyerapan belanja daerah untuk setiap jenis
belanja dapat dilihat pada Grafik 3.2.
Tabel 3.1
Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Provinsi Riau
(dalam miliar rupiah)
Jenis Belanja
Realisasi Triwulan I
Realisasi Triwulan II
Realisasi Triwulan III
Realisasi Triwulan IV
Rupiah % Rupiah % Rupiah % Rupiah %
Belanja 459,20 5,15 1.572,38 17,64 3.402,12 38,16 7.525,28 84,41
Belanja Pegawai Tidak Langsung
145,86 14,75 366,51 37,05 599,44 60,60 877,50 88,72
Belanja Pegawai Langsung
34,71 9,97 83,43 23,96 183,80 52,79 319,82 91,85
Belanja Barang dan Jasa
51,84 2,61 329,80 16,59 716,07 36,03 1.667,28 83,89
Belanja modal 0,05 0,002 407,07 15,67 868,45 33,43 2.245,31 86,43
Belanja Lainnya 226,75 7,58 385,57 12,88 1.034,36 34,56 2.415,37 80,71
Sumber : Pemda Provinsi Riau dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Berdasarkan tabel 3.1 di atas, dapat diketahui bahwa realisasi penyerapan
belanja modal, belanja barang dan jasa, serta belanja lainnya memiliki
tingkat kemiringan yang sangat curam. Artinya adalah untuk ketiga jenis
belanja tersebut, realisasi penyerapan anggarannya relatif rendah sampai
dengan akhir Triwulan III, kemudian mulai meningkat dengan sangat drastis
sampai dengan Triwulan IV. Untuk jenis belanja pegawai langsung dan
30 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
belanja pegawai tidak langsung memiliki grafik dengan tingkat kemiringan
yang relatif landai karena pembayaran gaji PNSD, honor, dan lembur dapat
ditetapkan besaran dan waktu pembayarannya sesuai dengan target pada
rencana penarikan dana setiap bulan.
Realisasi belanja pegawai langsung mencapai 9,97% pada akhir Maret
2013, kemudian meningkat menjadi 23,96% pada akhir bulan Juni 2013, dan
pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai
52,79%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja pegawai langsung
mencapai 91,85%. Sedangkan realisasi belanja pegawai tidak langsung
mencapai 14,75% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi
37,05% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013
tingkat penyerapannya sudah mencapai 60,60%. Pada akhir tahun 2013,
penyerapan belanja pegawai tidak langsung mencapai 88,72%.
Realisasi belanja barang dan jasa mencapai 2,61% pada akhir Maret
2013, kemudian meningkat menjadi 16,59% pada akhir bulan Juni 2013,
dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah
mencapai 36,03%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja barang dan
jasa mencapai 83,89%.
Realisasi belanja modal mencapai 0,002% pada akhir Maret 2013,
kemudian meningkat menjadi 15,67% pada akhir bulan Juni 2013, dan
pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai
33,45%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja modal mencapai
86,43%.
Realisasi belanja lainnya mencapai 7,58% pada akhir Maret 2013,
kemudian meningkat menjadi 12,88% pada akhir bulan Juni 2013, dan
pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai
34,56%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja lainnya mencapai
80,71%.
31Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
Beberapa upaya telah dilakukan oleh Provinsi Riau untuk mempercepat
penyerapan belanjanya, diantaranya adalah dengan melaksanakan
rapat evaluasi dan monitoring penyerapan anggaran secara berkala
serta pembentukan TEPPA di daerah. Monitoring dan evaluasi berkala
dilakukan untuk memantau pelaksanaan penyerapan belanja pada masing-
masing SKPD, yaitu meliputi progres pelaksanaannya, kendala apa
yang dihadapi dan solusi apa yang telah dilakukan untuk mempercepat
penyerapan belanja yang menjadi tanggung jawab SKPD. Selain itu,
Pemerintah Provinsi Riau juga telah membentuk Tim Koordinasi yang
bertugas mengkoordinasikan pengelolaan anggaran antar unit SKPD baik
dalam tahap perencanaan, pelaksanaan anggaran maupun pembuatan
laporan dan pertanggungjawaban anggaran. Melalui Tim Koordinasi,
daerah mampu memetakan berbagai permasalahan dan mencari solusi
pemecahannya sehingga kendala yang ada terutama yang terkait dengan
penyerapan belanja daerah dapat diminimalisir. Tim ini juga melakukan
evaluasi dan monitoring secara berkala terhadap penyerapan anggaran
pada masing-masing SKPD sesuai target yang telah ditetapkan.
2. provinSi Banten
APBD Provinsi Banten tahun 2013 pada saat ditetapkan adalah sebesar
Rp6,052 triliun. Pada saat pengesahan APBD Perubahan, jumlahnya
meningkat menjadi Rp6,406 triliun. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 3.3 di
bawah ini.
32 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Grafik 3.2
Volume APBD dan APBD-Perubahan Provinsi Banten Tahun 2013
(dalam miliar rupiah)
26 | P a g e
APBD Provinsi Banten tahun 2013 pada saat ditetapkan adalah sebesar Rp6,052
triliun. Pada saat pengesahan APBD Perubahan, jumlahnya meningkat menjadi
Rp6,406 triliun. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 3.3 di bawah ini.
Grafik 3.2
Volume APBD dan APBD-Perubahan
Provinsi Banten Tahun 2013
(dalam miliar rupiah)
Sumber : Pemda Provinsi Banten dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Dari data di atas, terdapat hal yang menarik yaitu pada saat belanja pegawai
langsung, belanja pegawai tidak langsung, belanja barang dan jasa serta belanja lainnya
terjadi peningkatan anggaran pada APBD Perubahan, namun untuk belanja modal
justru terjadi pengurangan jumlah anggarannya pada saat APBD Perubahan disahkan,
yaitu sekitar Rp80,10 miliar jika dibandingkan dengan pagu belanja modal pada APBD
induk pada saat ditetapkan. Untuk belanja lainnya bahkan mengalami peningkatan
yang cukup besar yaitu sebesar Rp308,87 miliar.
Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD Provinsi
Banten Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja lainnya yaitu sebesar 48,29%
dimana belanja hibah mendapatkan alokasi terbesar yaitu sebesar Rp1,465 triliun,
kemudian belanja bagi hasil pendapatan sebesar Rp1,343 triliun serta bantuan
keuangan yaitu sebesar Rp193,750 miliar. Belanja modal dianggarkan sebesar 23,73%
dari total APBD dan belanja barang dan jasa hanya sebesar 17,42% dari total APBD.
Sedangkan untuk belanja pegawai tidak langsung dianggarkan dalam APBD hanya
Sumber : Pemda Provinsi Banten dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Dari data di atas, terdapat hal yang menarik yaitu pada saat belanja
pegawai langsung, belanja pegawai tidak langsung, belanja barang dan
jasa serta belanja lainnya terjadi peningkatan anggaran pada APBD
Perubahan, namun untuk belanja modal justru terjadi pengurangan
jumlah anggarannya pada saat APBD Perubahan disahkan, yaitu sekitar
Rp80,10 miliar jika dibandingkan dengan pagu belanja modal pada APBD
induk pada saat ditetapkan. Untuk belanja lainnya bahkan mengalami
peningkatan yang cukup besar yaitu sebesar Rp308,87 miliar.
Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD
Provinsi Banten Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja lainnya yaitu
sebesar 48,29% dimana belanja hibah mendapatkan alokasi terbesar yaitu
sebesar Rp1,465 triliun, kemudian belanja bagi hasil pendapatan sebesar
Rp1,343 triliun serta bantuan keuangan yaitu sebesar Rp193,750 miliar.
Belanja modal dianggarkan sebesar 23,73% dari total APBD dan belanja
barang dan jasa hanya sebesar 17,42% dari total APBD. Sedangkan untuk
33Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
belanja pegawai tidak langsung dianggarkan dalam APBD hanya sebesar
7,39% dari total APBD untuk membayar gaji PNSD dan belanja pegawai
langsung hanya sebesar 3,17%.
Untuk memastikan dan menjamin dapat terlaksananya program dan
kegiatan yang telah ditetapkan dalam APBD, daerah harus membuat
anggaran kas. Anggaran Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk
yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar untuk
mengatur ketersediaan dana yang cukup guna mendanai pelaksanaan
kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah
Provinsi Banten telah membuat Rencana Penarikan Dana (RPD) dalam
DPA pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah ditetapkan.
Namun demikian, dalam penyerapan belanja daerah, Provinsi Banten
termasuk lambat dalam realisasinya. Pada Tahun 2013 Triwulan I, realisasi
penyerapan anggaran masih rendah yaitu sebesar 7,33%, masih jauh
di bawah realisasi belanja yang ideal yaitu 25%. Pada akhir Triwulan II,
realisasi penyerapan belanja hanya sebesar 25,24%, kemudian pada
Triwulan III sebesar 45,81%. Yang menarik adalah penyerapan belanja pada
Triwulan IV yang mencapai 82,64%, dimana hanya dalam waktu 3 (tiga)
bulan, realisasi penyerapan belanjanya sekitar 36,84% jika dibandingkan
dengan realisasi pada akhir Triwulan III. Dengan kata lain, pada kurun
waktu Oktober s.d. Desember 2013, Provinsi Banten mampu menyerap
belanja daerah sebesar Rp2,360 triliun.
Sementara itu, realisasi penyerapan belanja daerah untuk setiap jenis
belanja dapat dilihat pada Grafik 3.2.
34 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Tabel 3.2
Realisasi Belanja Tahun 2013 Provinsi Banten
(dalam miliar rupiah)
Jenis Belanja
Realisasi Triwulan I
Realisasi Triwulan II
Realisasi Triwulan III
Realisasi Triwulan IV
Rupiah % Rupiah % Rupiah % Rupiah %
Belanja 469,33 7,33 1.617,05 25,24 2.934,86 45,81 5.294,92 82,64
Belanja Pegawai Tidak Langsung
90,98 19,22 192,78 40,74 318,27 67,25 423,14 89,41
Belanja Pegawai Langsung
4,77 2,35 48,73 24,00 91,46 45,04 181,86 89,55
Belanja Barang dan Jasa
21,53 1,93 213,61 19,14 460,93 41,29 983,73 88,13
Belanja modal 0,91 0,06 131,25 8,63 348,66 22,93 813,26 53,49
Belanja Lainnya 351,14 11,35 1.030,67 33,31 1.715,55 55,45 2.892,93 93,50
Sumber : Pemda Provinsi Banten dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Realisasi belanja pegawai langsung mencapai 2,35% pada akhir Maret
2013, kemudian meningkat menjadi 24,00% pada akhir bulan Juni 2013, dan
pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai
45,04%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja pegawai langsung
mencapai 89,55%. Sedangkan realisasi belanja pegawai tidak langsung
mencapai 19,22% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi
40,74% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013
tingkat penyerapannya sudah mencapai 67,25%. Pada akhir tahun 2013,
penyerapan belanja pegawai tidak langsung mencapai 89,41%.
Realisasi belanja barang dan jasa mencapai 1,93% pada akhir Maret
2013, kemudian meningkat menjadi 19,14% pada akhir bulan Juni 2013,
dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah
35Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
mencapai 41,29%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja barang dan
jasa mencapai 88,13%. Realisasi belanja modal mencapai 0,06% pada akhir
Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 8,63% pada akhir bulan Juni
2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah
mencapai 22,93%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja modal
mencapai 53,49%. Realisasi belanja lainnya mencapai 11,35% pada akhir
Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 33,31% pada akhir bulan Juni
2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah
mencapai 55,45%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja lainnya
mencapai 93,50%.
Terdapat hal yang menarik, yaitu penyerapan belanja modal sampai
dengan akhir tahun 2013 hanya mencapai 55,45% padahal belanja modal
merupakan belanja pemerintah daerah yang mempunyai pengaruh
penting terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah dan akan memiliki
daya ungkit dalam menggerakkan roda perekomian daerah. Sementara
itu, untuk belanja lainnya yang realisasi penyerapannya mencapai
93,5%, diantaranya untuk belanja hibah (realisasinya sebesar 90,9% dari
pagu Rp1,465 triliun), belanja bantuan sosial (realisasinya 41,6% dari
pagu Rp86,94 miliar), belanja bagi hasil kepada pemerintah Kabupaten/
Kota (realisasinya sebesar 99,3 dari pagu Rp1,34 triliun) dan belanja
bantuan keuangan kepada pemerintah Kabupaten/Kota/Pemerintah Desa
(realisasinya sebesar 98,5% dari pagu Rp193,75 miliar).
Beberapa upaya telah dilakukan oleh Provinsi Banten untuk
mempercepat penyerapan belanjanya, diantaranya adalah dengan
menerbitkan Surat Keputusan Sekretaris Daerah No.903/2044.adm.
pem/2012 tentang Penetapan Pejabat Penghubung TEPPA Provinsi Banten.
Di samping itu, Pemerintah Provinsi Banten juga telah membentuk Tim
Koordinasi yang bertugas melakukan koordinasi secara intens dengan
Kabupaten/Kota terkait TEPPA, melakukan bimbingan teknis sengan SKPD
Provinsi, dan rapat koordinasi dengan Kabupaten/Kota. Dalam rangka
36 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
monitoring penyerapan anggaran secara berkala, SKPD menyampaikan
laporan kepada Tim TEPPA Provinsi pada tanggal 5 setiap bulannya.
3. kaBupaten Badung
APBD Kabupaten Badung tahun 2013 pada saat ditetapkan adalah
sebesar Rp2,859 triliun. Pada saat pengesahan APBD Perubahan,
jumlahnya meningkat menjadi Rp3,027 triliun. Hal ini dapat dilihat pada
Grafik 3.5 di bawah ini.
Grafik 3.3
Volume APBD dan APBD-Perubahan Kabupaten Badung Tahun 2013
(dalam miliar rupiah)
29 | P a g e
Beberapa upaya telah dilakukan oleh Provinsi Banten untuk mempercepat
penyerapan belanjanya, diantaranya adalah dengan menerbitkan Surat Keputusan
Sekretaris Daerah No.903/2044.adm.pem/2012 tentang Penetapan Pejabat Penghubung
TEPPA Provinsi Banten. Di samping itu, Pemerintah Provinsi Banten juga telah
membentuk Tim Koordinasi yang bertugas melakukan koordinasi secara intens dengan
Kabupaten/Kota terkait TEPPA, melakukan bimbingan teknis sengan SKPD Provinsi,
dan rapat koordinasi dengan Kabupaten/Kota. Dalam rangka monitoring penyerapan
anggaran secara berkala, SKPD menyampaikan laporan kepada Tim TEPPA Provinsi
pada tanggal 5 setiap bulannya.
3. Kabupaten Badung
APBD Kabupaten Badung tahun 2013 pada saat ditetapkan adalah sebesar
Rp2,859 triliun. Pada saat pengesahan APBD Perubahan, jumlahnya meningkat
menjadi Rp3,027 triliun. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 3.5 di bawah ini.
Grafik 3.3
Volume APBD dan APBD-Perubahan
Kabupaten Badung Tahun 2013
(dalam miliar rupiah)
Sumber : Pemda Kabupaten Badung dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Fenomena yang menarik adalah pada saat belanja pegawai langsung, belanja
pegawai tidak langsung, belanja barang dan jasa terjadi peningkatan anggaran pada
APBD Perubahan, namun untuk belanja modal justru terjadi pengurangan jumlah
anggarannya pada saat APBD Perubahan disahkan, yaitu sekitar Rp41,03 miliar jika
dibandingkan dengan pagu belanja modal pada APBD induk pada saat ditetapkan.
Sumber : Pemda Kabupaten Badung dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Fenomena yang menarik adalah pada saat belanja pegawai langsung,
belanja pegawai tidak langsung, belanja barang dan jasa terjadi
peningkatan anggaran pada APBD Perubahan, namun untuk belanja
modal justru terjadi pengurangan jumlah anggarannya pada saat APBD
Perubahan disahkan, yaitu sekitar Rp41,03 miliar jika dibandingkan dengan
pagu belanja modal pada APBD induk pada saat ditetapkan.
37Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD
Kabupaten Badung Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja tidak
langsung yaitu sebesar 51,22% sedangkan belanja langsung hanya sebesar
48,78%. Untuk belanja langsung, proporsi belanja pegawai pada APBD
sebesar 2,60%, belanja barang dan jasa sebesar 14,97, dan belanja modal
sebesar 31,21%.
Realisasi penyerapan belanja daerah Kabupaten Badung memiliki rata-
rata penyerapan di atas 90% baik untuk belanja langsung maupun belanja
tidak langsung. Belanja modal memiliki realisasi sebesar 90,03%, belanja
barang dan jasa sebesar 89,78%, belanja pegawai dalam komponen belanja
langsung sebesar 94,87%. Yang menarik adalah tingkat penyerapan belanja
barang dan jasa serta belanja modal yang meningkat sekitar 47,54% dan
48,25% dalam kurun waktu Oktober s.d. Desember 2013. Pola penyerapan
belanja barang dan jasa serta belanja modal yang seperti ini terjadi karena
beberapa faktor yaitu :
a. Penyerapan APBD terkendala adanya ketidaksiapan peserta lelang
untuk mengikuti lelang di awal tahun,
b. Peserta lelang juga ada yang tidak memenuhi kriteria
c. Rencana Penarikan Dana tidak dilaksanakan sesuai target yang
ditetapkan karena rekanan sering terlambat dalam mengajukan
tagihan. Biasanya rekanan menunggu sampai proyek selesai
dikerjakan.
Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.3 di bawah ini.
38 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Tabel 3.3
Realisasi Belanja Tahun 2013 Kabupaten Badung
(dalam miliar rupiah)
Jenis Belanja
Realisasi Triwulan I
Realisasi Triwulan II
Realisasi Triwulan III
Realisasi Triwulan IV
Rupiah % Rupiah % Rupiah % Rupiah %
Belanja 212,99 7,03 809,98 26,75 1.572,14 51,92 2.755,46 91,01
Belanja Tidak Langsung
189,84 11,70 589,20 36,30 977,32 60,21 1.488,22 91,69
Belanja Langsung
23,16 1,65 220,78 15,72 594,82 42,35 1.267,24 90,22
Belanja Pegawai
7,45 9,34 19,63 24,60 39,15 49,07 75,69 94,87
Belanja Barang dan Jasa
14,15 2,99 95,28 20,13 199,86 42,24 424,83 89,78
Belanja modal 1,56 0,18 105,88 12,43 355,81 41,78 766,71 90,03
Sumber : Pemda Kabupaten Badung dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Dalam rangka mempercepat penyerapan anggaran belanja daerah,
Pemerintah Kabupaten Badung telah menempuh langkah-langkah guna
mendorong peningkatan penyerapan belanja yaitu :
a. Untuk mempercepat proses penyerapan belanja APBD, Kabupaten
Badung senantiasa mempercepat proses lelang di awal tahun. Selain
itu, melalui SK Bupati, dibentuklah Tim Pengendalian Pelaksanaan
Pembangunan Daerah dan Evaluasi juga dilakukan oleh TEPPA.
b. Tim tersebut melakukan evaluasi setiap bulan dan melakukan laporan
bulanan kepada Bupati.
c. Untuk mempercepat penyerapan belanja, Kabupaten Badung juga
menerapkan prinsip reward dan punishment. Reward berupa usulan
39Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
kegiatan lebih diutamakan, dan punishment berupa pemberian skala
prioritas yang rendah.
4. kaBupaten tanah Laut
APBD Kabupaten Tanah Laut tahun 2013 pada saat ditetapkan adalah
sebesar Rp1,099 triliun. Pada saat pengesahan APBD Perubahan,
jumlahnya meningkat menjadi Rp1,136 triliun. Hal ini dapat dilihat pada
Grafik 3.4 di bawah ini.
Grafik 3.4
Volume APBD dan APBD-Perubahan Kabupaten Tanah Laut Tahun 2013
(dalam miliar rupiah)
32 | P a g e
Sumber : Pemda Kabupaten Tanah Laut dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Gambaran menarik dapat ditemui pada penetapan APBD Perubahan, telah
terjadi peningkatan belanja pegawai tidak langsung sebesar Rp15,23 miliar atau sekitar
3,32 persen, dan belanja barang dan jasa meningkat sebesar Rp19,17 miliar atau sekitar
8,41 persen, serta belanja lainnya meningkat sebesar Rp2,90 miliar atau sekitar 5,01
persen. Untuk belanja pegawai langsung dan belanja modal mengalami penurunan pada
saat APBD Perubahan ditetapkan namun jumlahnya sangat kecil, yaitu turun sebesar
0,66 persen untuk belanja modal, dan turun sebesar 0,02 persen untuk belanja lainnya.
Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD
Kabupaten Tanah Laut Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja pegawai tidak
langsung yaitu sebesar 41,72%, belanja modal sebesar 25,86%, belanja barang dan jasa
sebesar 21,74%, belanja pegawai langsung sebesar 5,35%, dan belanja lainnya sebesar
5,34%.
Untuk memastikan dan menjamin dapat terlaksananya program dan kegiatan
yang telah ditetapkan dalam APBD, daerah harus membuat anggaran kas. Anggaran
Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk yang bersumber dari penerimaan dan
perkiraan arus kas keluar untuk mengatur ketersediaan dana yang cukup guna
mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut,
Pemerintah Kabupaten Tanah Laut telah membuat Rencana Penarikan Dana (RPD)
dalam DPA pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah ditetapkan.
Dalam penyerapan belanja daerah, Kabupaten Tanah Laut termasuk lambat
dalam realisasinya. Pada Tahun 2013 Triwulan I, realisasi penyerapan anggaran masih
Sumber : Pemda Kabupaten Tanah Laut dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Gambaran menarik dapat ditemui pada penetapan APBD Perubahan,
telah terjadi peningkatan belanja pegawai tidak langsung sebesar Rp15,23
miliar atau sekitar 3,32 persen, dan belanja barang dan jasa meningkat
sebesar Rp19,17 miliar atau sekitar 8,41 persen, serta belanja lainnya
meningkat sebesar Rp2,90 miliar atau sekitar 5,01 persen. Untuk belanja
pegawai langsung dan belanja modal mengalami penurunan pada saat
APBD Perubahan ditetapkan namun jumlahnya sangat kecil, yaitu turun
40 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
sebesar 0,66 persen untuk belanja modal, dan turun sebesar 0,02 persen
untuk belanja lainnya.
Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD
Kabupaten Tanah Laut Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja
pegawai tidak langsung yaitu sebesar 41,72%, belanja modal sebesar
25,86%, belanja barang dan jasa sebesar 21,74%, belanja pegawai langsung
sebesar 5,35%, dan belanja lainnya sebesar 5,34%.
Untuk memastikan dan menjamin dapat terlaksananya program dan
kegiatan yang telah ditetapkan dalam APBD, daerah harus membuat
anggaran kas. Anggaran Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk
yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar untuk
mengatur ketersediaan dana yang cukup guna mendanai pelaksanaan
kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah
Kabupaten Tanah Laut telah membuat Rencana Penarikan Dana (RPD)
dalam DPA pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah
ditetapkan.
Dalam penyerapan belanja daerah, Kabupaten Tanah Laut termasuk
lambat dalam realisasinya. Pada Tahun 2013 Triwulan I, realisasi penyerapan
anggaran masih rendah yaitu sebesar 8,11%, masih jauh di bawah realisasi
belanja yang ideal yaitu 25%. Pada akhir Triwulan II, realisasi penyerapan
belanja hanya sebesar 22,17%, kemudian pada Triwulan III sebesar 46,39%.
Yang menarik adalah penyerapan belanja pada Triwulan IV yang mencapai
80,44%, dimana hanya dalam waktu 3 (tiga) bulan, realisasi penyerapan
belanjanya sekitar 34,05% jika dibandingkan dengan realisasi pada akhir
Triwulan III. Dengan kata lain, pada kurun waktu Oktober s.d. Desember
2013, Kabupaten Tanah Laut mampu menyerap belanja daerah sebesar
Rp386,86 miliar.
Sementara itu, realisasi penyerapan belanja daerah untuk setiap jenis
belanja dapat dilihat pada Grafik 3.4.
41Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
Tabel 3.4.
Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kabupaten Tanah Laut
(dalam miliar rupiah)
Jenis Belanja
Realisasi Triwulan I
Realisasi Triwulan II
Realisasi Triwulan III
Realisasi Triwulan IV
Rupiah % Rupiah % Rupiah % Rupiah %
Belanja 92,12 8,11 251,89 22,17 527,04 46,39 913,90 80,44
Belanja pegawai tidak langsung
73,33 15,47 181,22 38,23 315,59 66,59 455,86 96,18
Belanja pegawai langsung
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Belanja barang dan jasa
9,49 3,84 34,42 13,94 85,99 34,82 170,55 69,06
Belanja modal 0,13 0,05 17,61 6,00 95,91 32,65 241,69 82,27
Belanja lainnya 9,16 15,10 18,63 30,72 29,55 48,72 45,80 75,51
Sumber : Pemda Kabupaten Tanah Laut dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa realisasi penyerapan
belanja daerah sampai dengan Triwulan III masih relatif rendah, dan baru
pada Triwulan IV realisasi penyerapan anggaran meningkat sangat tajam
jika dibandingkan dengan Triwulan sebelumnya.
Realisasi belanja pegawai tidak langsung mencapai 15,47% pada akhir
Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 38,23% pada akhir bulan Juni
2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah
mencapai 66,59%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja pegawai
tidak langsung mencapai 96,18%. Sedangkan belanja pegawai langsung
tidak ada realisasinya meskipun dalam APBD Perubahan Kabupaten Tanah
Laut masih dianggarkan sebesar Rp60,78 miliar.
42 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Realisasi belanja barang dan jasa mencapai 3,84% pada akhir Maret
2013, kemudian meningkat menjadi 13,94% pada akhir bulan Juni 2013,
dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah
mencapai 34,82%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja barang dan
jasa mencapai 69,06%.
Realisasi belanja modal mencapai 0,05% pada akhir Maret 2013,
kemudian meningkat menjadi 6,00% pada akhir bulan Juni 2013, dan
pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai
32,65%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja modal mencapai
82,27%.
Adapun realisasi belanja lainnya mencapai 15,10% pada akhir Maret
2013, kemudian meningkat menjadi 30,72% pada akhir bulan Juni 2013,
dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah
mencapai 48,72%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja lainnya
mencapai 75,51%.
Beberapa upaya telah dilakukan oleh Kabupaten Tanah Laut untuk
mempercepat penyerapan belanjanya, diantaranya adalah dengan
menerbitkan Surat Edaran Sekretaris Daerah selaku koordinator
pengelolaan keuangan daerah.
5. kaBupaten jepara
APBD Kabupaten Jepara tahun 2013 pada saat ditetapkan adalah
sebesar Rp1,351 triliun. Pada saat pengesahan APBD Perubahan,
jumlahnya meningkat menjadi Rp1,472 triliun. Hal ini dapat dilihat pada
Grafik 3.5 di bawah ini.
43Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
Grafik 3.5
Volume APBD dan APBD-Perubahan Kabupaten Jepara Tahun 2013
(dalam miliar rupiah)
35 | P a g e
Sumber : Pemda Kabupaten Jepara dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Kajadian menarik dapat ditemui pada penetapan APBD Perubahan, dimana
telah terjadi peningkatan belanja pegawai tidak langsung sebesar Rp57,00 miliar atau
sekitar 8,1 persen, dan belanja barang dan jasa meningkat sebesar Rp57,89 miliar atau
sekitar 16,4 persen, serta belanja lainnya meningkat sebesar Rp8,28 miliar atau sekitar
9,8 persen. Untuk belanja pegawai langsung dan belanja modal mengalami penurunan
pada saat APBD Perubahan ditetapkan namun jumlahnya sangat kecil.
Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD Kabupaten
Jepara Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja pegawai tidak langsung yaitu
sebesar 51,48%, belanja barang dan jasa sebesar 27,99%, belanja modal sebesar
12,64%, belanja lainnya sebesar 6,31%, dan belanja pegawai langsung sebesar 1,58%.
Untuk memastikan dan menjamin dapat terlaksananya program dan kegiatan
yang telah ditetapkan dalam APBD, daerah harus membuat anggaran kas. Anggaran
Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk yang bersumber dari penerimaan dan
perkiraan arus kas keluar untuk mengatur ketersediaan dana yang cukup guna
mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut,
Pemerintah Kabupaten Jepara telah membuat Rencana Penarikan Dana (RPD) dalam
DPA pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah ditetapkan.
Dalam penyerapan belanja daerah, Kabupaten Jepara termasuk lambat dalam
realisasinya. Pada Tahun 2013 Triwulan I, realisasi penyerapan anggaran masih rendah
yaitu sebesar 10,39%, masih jauh di bawah realisasi belanja yang ideal yaitu 25%.
Pada akhir Triwulan II, realisasi penyerapan belanja hanya sebesar 29,00%, kemudian
pada Triwulan III sebesar 52,09%. Yang menarik adalah penyerapan belanja pada
Sumber : Pemda Kabupaten Jepara dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Kejadian menarik dapat ditemui pada penetapan APBD Perubahan,
dimana telah terjadi peningkatan belanja pegawai tidak langsung sebesar
Rp57,00 miliar atau sekitar 8,1 persen, dan belanja barang dan jasa
meningkat sebesar Rp57,89 miliar atau sekitar 16,4 persen, serta belanja
lainnya meningkat sebesar Rp8,28 miliar atau sekitar 9,8 persen. Untuk
belanja pegawai langsung dan belanja modal mengalami penurunan pada
saat APBD Perubahan ditetapkan namun jumlahnya sangat kecil.
Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD
Kabupaten Jepara Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja pegawai
tidak langsung yaitu sebesar 51,48%, belanja barang dan jasa sebesar
27,99%, belanja modal sebesar 12,64%, belanja lainnya sebesar 6,31%, dan
belanja pegawai langsung sebesar 1,58%.
Untuk memastikan dan menjamin dapat terlaksananya program dan
kegiatan yang telah ditetapkan dalam APBD, daerah harus membuat
anggaran kas. Anggaran Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk
44 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar untuk
mengatur ketersediaan dana yang cukup guna mendanai pelaksanaan
kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah
Kabupaten Jepara telah membuat Rencana Penarikan Dana (RPD) dalam
DPA pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah ditetapkan.
Dalam penyerapan belanja daerah, Kabupaten Jepara termasuk lambat
dalam realisasinya. Pada Tahun 2013 Triwulan I, realisasi penyerapan
anggaran masih rendah yaitu sebesar 10,39%, masih jauh di bawah
realisasi belanja yang ideal yaitu 25%. Pada akhir Triwulan II, realisasi
penyerapan belanja hanya sebesar 29,00%, kemudian pada Triwulan III
sebesar 52,09%. Yang menarik adalah penyerapan belanja pada Triwulan IV
yang mencapai 91,81%, dimana hanya dalam waktu 3 (tiga) bulan, realisasi
penyerapan belanjanya sekitar 39,72% jika dibandingkan dengan realisasi
pada akhir Triwulan III. Dengan kata lain, pada kurun waktu Oktober s.d.
Desember 2013, Kabupaten Jepara mampu menyerap belanja daerah
sebesar Rp584,68 miliar.
Sementara itu, realisasi penyerapan belanja daerah untuk setiap jenis
belanja dapat dilihat pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5
Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kabupaten Jepara
(dalam miliar rupiah)
Jenis Belanja
Realisasi Triwulan I
Realisasi Triwulan II
Realisasi Triwulan III
Realisasi Triwulan IV
Rupiah % Rupiah % Rupiah % Rupiah %
Belanja 152,90 10,39 426,98 29,00 766,85 52,09 1.351,53 91,81
Belanja pegawai tidak langsung
122,44 16,16 296,11 39,07 503,44 66,43 710,55 93,76
45Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
Jenis Belanja
Realisasi Triwulan I
Realisasi Triwulan II
Realisasi Triwulan III
Realisasi Triwulan IV
Rupiah % Rupiah % Rupiah % Rupiah %
Belanja pegawai langsung
1,15 4,95 4,93 21,16 10,52 45,14 19,68 84,39
Belanja barang dan jasa
25,61 6,22 92,04 22,34 164,48 39,92 374,72 90,96
Belanja modal 0,68 0,37 6,74 3,62 34,03 18,29 158,80 85,35
Belanja lainnya 3,02 3,25 27,16 29,22 54,38 58,50 87,78 94,43
Sumber : Pemda Kabupaten Tanah Laut dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa realisasi penyerapan
belanja daerah sampai dengan Triwulan III masih relatif rendah, dan baru
pada Triwulan IV realisasi penyerapan anggaran meningkat sangat tajam
jika dibandingkan dengan Triwulan sebelumnya.
Realisasi belanja pegawai tidak langsung mencapai 16,16% pada akhir
Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 39,07% pada akhir bulan Juni
2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah
mencapai 66,43%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja pegawai
tidak langsung mencapai 93,76%. Sedangkan realisasi belanja pegawai
langsung mencapai 4,95% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat
menjadi 21,16% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan
September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 45,14%. Pada
akhir tahun 2013, penyerapan belanja pegawai tidak langsung mencapai
84,39%.
Realisasi belanja barang dan jasa mencapai 6,22% pada akhir Maret
2013, kemudian meningkat menjadi 22,34% pada akhir bulan Juni 2013,
dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah
46 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
mencapai 39,92%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja barang dan
jasa mencapai 90,96%.
Realisasi belanja modal mencapai 0,37% pada akhir Maret 2013,
kemudian meningkat menjadi 3,62% pada akhir bulan Juni 2013, dan
pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai
18,29%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja modal mencapai
85,35%.
Adapun realisasi belanja lainnya mencapai 3,25% pada akhir Maret
2013, kemudian meningkat menjadi 29,22% pada akhir bulan Juni 2013,
dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah
mencapai 58,50%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja lainnya
mencapai 94,43%. Beberapa upaya telah dilakukan oleh Kabupaten
Jepara untuk mempercepat penyerapan belanjanya, diantaranya adalah
dengan menerbitkan Surat Edaran Sekretaris Daerah selaku koordinator
pengelolaan keuangan daerah.
6. kaBupaten LaMongan
APBD Kabupaten Lamongan tahun 2013 pada saat ditetapkan adalah
sebesar Rp1,550 triliun. Pada saat pengesahan APBD Perubahan,
jumlahnya meningkat menjadi Rp1,710 triliun. Hal ini dapat dilihat pada
Grafik 3.6 di bawah ini.
47Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
Grafik 3.6
Volume APBD dan APBD-Perubahan Kabupaten Lamongan Tahun 2013
(dalam miliar rupiah)
38 | P a g e
Sumber : Pemda Kabupaten Lamongan dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Hal menarik adalah pada penetapan APBD Perubahan, telah terjadi peningkatan
untuk semua jenis belanja, namun kenaikan yang paling besar adalah pada jenis belanja
barang dan jasa yaitu sebesar 20% (Rp43,38 miliar), belanja lainnya meningkat sebesar
18,9% (Rp31,30 miliar), belanja modal naik sebesar 17% (Rp36,45 miliar), belanja
pegawai tidak langsung meningkat sebesar 4,9% (Rp44,57 miliar), dan belanja pegawai
langsung meningkat sebesar 9,4% (Rp4,68 miliar). Untuk belanja pegawai tidak
langsung dan belanja langsung meskipun mengalami kenaikan pada saat APBD
Perubahan ditetapkan namun jumlahnya sangat kecil.
Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD Kabupaten
Lamongan Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja pegawai tidak langsung yaitu
sebesar 55,39%, belanja barang dan jasa sebesar 15,24%, belanja modal sebesar
14,66%, belanja lainnya sebesar 11,52%, dan belanja pegawai langsung sebesar 3,19%.
Untuk memastikan dan menjamin dapat terlaksananya program dan kegiatan
yang telah ditetapkan dalam APBD, daerah harus membuat anggaran kas. Anggaran
Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk yang bersumber dari penerimaan dan
perkiraan arus kas keluar untuk mengatur ketersediaan dana yang cukup guna
mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut,
Pemerintah Kabupaten Lamongan telah membuat Rencana Penarikan Dana (RPD)
dalam DPA pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah ditetapkan.
Sumber : Pemda Kabupaten Lamongan dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Hal menarik adalah pada penetapan APBD Perubahan, telah terjadi
peningkatan untuk semua jenis belanja, namun kenaikan yang paling besar
adalah pada jenis belanja barang dan jasa yaitu sebesar 20% (Rp43,38
miliar), belanja lainnya meningkat sebesar 18,9% (Rp31,30 miliar), belanja
modal naik sebesar 17% (Rp36,45 miliar), belanja pegawai tidak langsung
meningkat sebesar 4,9% (Rp44,57 miliar), dan belanja pegawai langsung
meningkat sebesar 9,4% (Rp4,68 miliar). Untuk belanja pegawai tidak
langsung dan belanja langsung meskipun mengalami kenaikan pada saat
APBD Perubahan ditetapkan namun jumlahnya sangat kecil.
Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD
Kabupaten Lamongan Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja
pegawai tidak langsung yaitu sebesar 55,39%, belanja barang dan jasa
sebesar 15,24%, belanja modal sebesar 14,66%, belanja lainnya sebesar
11,52%, dan belanja pegawai langsung sebesar 3,19%.
48 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Untuk memastikan dan menjamin dapat terlaksananya program dan
kegiatan yang telah ditetapkan dalam APBD, daerah harus membuat
anggaran kas. Anggaran Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk
yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar untuk
mengatur ketersediaan dana yang cukup guna mendanai pelaksanaan
kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah
Kabupaten Lamongan telah membuat Rencana Penarikan Dana (RPD)
dalam DPA pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah
ditetapkan.
Dalam penyerapan belanja daerah, Kabupaten Lamongan termasuk
lambat dalam realisasinya. Pada Tahun 2013 Triwulan I, realisasi penyerapan
anggaran masih rendah yaitu sebesar 11,05%, masih jauh di bawah
realisasi belanja yang ideal yaitu 25%. Pada akhir Triwulan II, realisasi
penyerapan belanja hanya sebesar 28,33%, kemudian pada Triwulan III
sebesar 45,61%. Yang menarik adalah penyerapan belanja pada Triwulan IV
yang mencapai 93,94%, dimana hanya dalam waktu 3 (tiga) bulan, realisasi
penyerapan belanjanya sekitar 48,33% jika dibandingkan dengan realisasi
pada akhir Triwulan III. Dengan kata lain, pada kurun waktu Oktober s.d.
Desember 2013, Kabupaten Lamongan mampu menyerap belanja daerah
sebesar Rp826,62 miliar.
Sementara itu, realisasi penyerapan belanja daerah untuk setiap jenis
belanja dapat dilihat pada Tabel 3.6.
49Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
Tabel 3.6
Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kabupaten Lamongan
(dalam miliar rupiah)
Jenis Belanja
Realisasi Triwulan I
Realisasi Triwulan II
Realisasi Triwulan III
Realisasi Triwulan IV
Rupiah % Rupiah % Rupiah % Rupiah %
Belanja 189,00 11,05 484,58 28,33 780,17 45,61 1.606,78 93,94
Belanja pegawai tidak langsung
152,51 16,10 380,88 40,20 609,26 64,31 930,80 98,25
Belanja pegawai langsung
0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0
Belanja barang dan jasa
19,45 7,46 64,13 24,61 108,81 41,75 249,72 95,82
Belanja modal 1,63 0,65 10,44 4,16 19,26 7,68 240,07 95,73
Belanja lainnya 15,40 7,81 29,12 14,77 42,84 21,74 186,19 94,47
Sumber : Pemda Kabupaten Lamongan dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Berdasarkan grafik di atas, dapat diketahui bahwa realisasi penyerapan
belanja daerah sampai dengan Triwulan III masih relatif rendah, dan baru
pada Triwulan IV realisasi penyerapan anggaran meningkat sangat tajam
jika dibandingkan dengan Triwulan sebelumnya.
Realisasi belanja pegawai tidak langsung mencapai 16,10% pada akhir
Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 40,20% pada akhir bulan Juni
2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah
mencapai 64,31%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja pegawai
tidak langsung mencapai 98,25%. Sedangkan belanja pegawai langsung
tidak ada realisasinya meskipun dalam APBD Perubahan Kabupaten
Lamongan meningkat menjadi Rp54,60 miliar.
50 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Realisasi belanja barang dan jasa mencapai 7,46% pada akhir Maret
2013, kemudian meningkat menjadi 24,61% pada akhir bulan Juni 2013,
dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah
mencapai 41,75%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja barang dan
jasa mencapai 95,82%.
Realisasi belanja modal mencapai 0,65% pada akhir Maret 2013,
kemudian meningkat menjadi 4,16% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada
akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 7,68%.
Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja modal mencapai 95,73%.
Adapun realisasi belanja lainnya mencapai 7,81% pada akhir Maret 2013,
kemudian meningkat menjadi 14,77% pada akhir bulan Juni 2013, dan
pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai
21,74%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja lainnya mencapai
94,47%.
Untuk realisasi belanja modal dan belanja lainnya melonjak sangat
drastis pada Triwulan IV yaitu sebesar 88,05% untuk realisasi belanja modal
dan sebesar 72,73% untuk realisasi belanja lainnya.
Beberapa upaya telah dilakukan oleh Kabupaten Lamongan untuk
mempercepat penyerapan belanjanya, diantaranya adalah dengan
membentuk Tim Koordinasi yang bertugas memantau dan membuat
laporan realisasi penyerapan belanja setiap SKPD dan mengevaluasi serta
mengkoordinasikan laporan tersebut untuk mempercepat penyerapan
belanja daerah.
7. kota pontianak
APBD Kota Pontianak tahun 2013 pada saat ditetapkan adalah sebesar
Rp1,408 triliun. Pada saat pengesahan APBD Perubahan, jumlahnya
51Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
meningkat menjadi Rp1,353 triliun. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 3.7 di
bawah ini.
Grafik 3.7
Volume APBD dan APBD-Perubahan Kota Pontianak Tahun 2013
(dalam miliar rupiah)
41 | P a g e
Grafik 3.7
Volume APBD dan APBD-Perubahan
Kota Pontianak Tahun 2013
(dalam miliar rupiah)
Sumber : Pemda Kota Pontianak dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Hal menarik terdapat adalah pada penetapan APBD Perubahan, dimana telah
terjadi pergeseran alokasi belanja dimana pagu untuk belanja pegawai tidak langsung
dan belanja pegawai langsung mengalami penurunan, bahkan untuk belanja pegawai
langsung turun sebesar Rp133,45 miliar, sedangkan untuk belanja modal meningkat
sebesar Rp80,38 miliar dan belanja barang dan jasa meningkat sebesar Rp8,78 miliar.
Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD Kota
Pontianak Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja pegawai tidak langsung yaitu
sebesar 40,67%, belanja modal sebesar 34,93%, belanja barang dan jasa sebesar
17,45% dan belanja pegawai langsung sebesar 6,95%.
Untuk memastikan dan menjamin dapat terlaksananya program dan kegiatan
yang telah ditetapkan dalam APBD, daerah harus membuat anggaran kas. Anggaran
Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk yang bersumber dari penerimaan dan
perkiraan arus kas keluar untuk mengatur ketersediaan dana yang cukup guna
mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut,
Pemerintah Kota Pontianak telah membuat Rencana Penarikan Dana (RPD) dalam
DPA pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah ditetapkan.
Dalam penyerapan belanja daerah, Kota Pontianak termasuk lambat dalam
realisasinya. Pada Tahun 2013 Triwulan I, realisasi penyerapan anggaran masih rendah
yaitu sebesar 10,53%, masih jauh di bawah realisasi belanja yang ideal yaitu 25%.
Sumber : Pemda Kota Pontianak dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Hal menarik terdapat adalah pada penetapan APBD Perubahan, dimana
telah terjadi pergeseran alokasi belanja dimana pagu untuk belanja pegawai
tidak langsung dan belanja pegawai langsung mengalami penurunan,
bahkan untuk belanja pegawai langsung turun sebesar Rp133,45 miliar,
sedangkan untuk belanja modal meningkat sebesar Rp80,38 miliar dan
belanja barang dan jasa meningkat sebesar Rp8,78 miliar.
Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD
Kota Pontianak Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja pegawai tidak
langsung yaitu sebesar 40,67%, belanja modal sebesar 34,93%, belanja
barang dan jasa sebesar 17,45% dan belanja pegawai langsung sebesar
6,95%.
52 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Untuk memastikan dan menjamin dapat terlaksananya program dan
kegiatan yang telah ditetapkan dalam APBD, daerah harus membuat
anggaran kas. Anggaran Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk
yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar untuk
mengatur ketersediaan dana yang cukup guna mendanai pelaksanaan
kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah
Kota Pontianak telah membuat Rencana Penarikan Dana (RPD) dalam DPA
pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah ditetapkan.
Dalam penyerapan belanja daerah, Kota Pontianak termasuk lambat
dalam realisasinya. Pada Tahun 2013 Triwulan I, realisasi penyerapan
anggaran masih rendah yaitu sebesar 10,53%, masih jauh di bawah
realisasi belanja yang ideal yaitu 25%. Pada akhir Triwulan II, realisasi
penyerapan belanja hanya sebesar 29,46%, kemudian pada Triwulan III
sebesar 54,56%. Yang menarik adalah penyerapan belanja pada Triwulan IV
yang mencapai 94,18%, dimana hanya dalam waktu 3 (tiga) bulan, realisasi
penyerapan belanjanya sekitar 39,63% jika dibandingkan dengan realisasi
pada akhir Triwulan III. Dengan kata lain, pada kurun waktu Oktober s.d.
Desember 2013, Kota Pontianak mampu menyerap belanja daerah sebesar
Rp536,45 miliar.
Kendala yang dihadapi diantaranya yaitu penetapan APBD Perubahan
yang mengalami keterlambatan karena adanya Pemilihan Kepala Daerah
Kota Pontianak pada bulan September 2013. Disamping itu, setelah
APBD ditetapkan, masih terdapat sebagian kegiatan yang tidak dapat
langsung dilakukan lelang yaitu terkait dengan pekerjaan fisik yang paket
perencanaan dan pengawasannya harus dilelang terlebih dahulu.
Sementara itu, realisasi penyerapan belanja daerah untuk setiap jenis
belanja dapat dilihat pada Tabel 3.7.
53Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
Tabel 3.7
Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kota Pontianak
(dalam miliar rupiah)
Jenis Belanja
Realisasi Triwulan I
Realisasi Triwulan II
Realisasi Triwulan III
Realisasi Triwulan IV
Rupiah % Rupiah % Rupiah % Rupiah %
Belanja 142,56 10,53 398,84 29,46 738,50 54,56 1.274,96 94,18
Belanja Pegawai Tidak Langsung
88,93 16,16 179,79 32,66 361,03 65,58 529,65 96,21
Belanja Pegawai Langsung
8,74 9,30 30,22 32,13 53,69 57,10 81,35 86,51
Belanja Barang dan Jasa
27,67 11,71 71,41 30,22 116,22 49,19 212,67 90,01
Belanja modal 17,21 3,64 117,43 24,83 207,56 43,89 451,30 95,43
Sumber : Pemda Kota Pontianak dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Berdasarkan grafik di atas, dapat diketahui bahwa realisasi penyerapan
belanja daerah sampai dengan Triwulan III masih relatif rendah, dan baru
pada Triwulan IV realisasi penyerapan anggaran meningkat sangat tajam
jika dibandingkan dengan Triwulan sebelumnya.
Realisasi belanja pegawai tidak langsung mencapai 16,16% pada akhir
Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 32,66% pada akhir bulan Juni
2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah
mencapai 65,58%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja pegawai
tidak langsung mencapai 96,21%. Sedangkan realisasi belanja pegawai
langsung mencapai 9,30% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat
menjadi 32,13% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan
September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 57,10%. Pada
akhir tahun 2013, penyerapan belanja pegawai tidak langsung mencapai
86,51%.
54 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Realisasi belanja barang dan jasa mencapai 11,71% pada akhir Maret
2013, kemudian meningkat menjadi 30,22% pada akhir bulan Juni 2013,
dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah
mencapai 49,19%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja barang dan
jasa mencapai 90,01%.
Realisasi belanja modal mencapai 3,64% pada akhir Maret 2013,
kemudian meningkat menjadi 24,83% pada akhir bulan Juni 2013, dan
pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai
43,89%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja modal mencapai
95,43%.
Beberapa upaya telah dilakukan oleh Kota Pontianak untuk mempercepat
penyerapan belanjanya, diantaranya adalah dengan menerbitkan Surat
Keputusan Walikota tentang TEPPA Kota Pontianak.
Di samping itu, Pemerintah Kota Pontianak juga telah membentuk Tim
Koordinasi yang bertugas melakukan koordinasi dengan SKPD terkait
percepatan pengadaan barang dan jasa dan penyerapan anggaran SKPD.
8. kota paLeMBang
APBD Kota Palembang tahun 2013 pada saat ditetapkan adalah sebesar
Rp2,607 triliun. Pada saat pengesahan APBD Perubahan, jumlahnya
meningkat menjadi Rp2,858 triliun. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 3.8 di
bawah ini.
55Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
Grafik 3.8.
Volume APBD dan APBD-Perubahan Kota Palembang Tahun 2013
(dalam miliar rupiah)
44 | P a g e
Sumber : Pemda Kota Palembang dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Pada saat APBD Perubahan Kota Palembang ditetapkan, terjadi peningkatan
seluruh jenis belanja daerah kecuali belanja lainnya yang mengalami penurunan
sebesar Rp12,31 miliar. Yang menarik adalah belanja modal meningkat sebesar
57,62% dari total kenaikan belanja daerah atau meningkat sebesar Rp145,01 miliar
dalam APBD Perubahan.
Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD Kota
Palembang Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja pegawai tidak langsung yaitu
sebesar 49,55%, kemudian belanja modal sebesar 25,06%, diikuti belanja barang dan
jasa sebesar 19,96%, belanja pegawai langsung sebesar 3,63% dan belanja lainnya
sebesar 1,81%.
Untuk memastikan dan menjamin dapat terlaksananya program dan kegiatan
yang telah ditetapkan dalam APBD, daerah harus membuat anggaran kas. Anggaran
Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk yang bersumber dari penerimaan dan
perkiraan arus kas keluar untuk mengatur ketersediaan dana yang cukup guna
mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut,
Pemerintah Kota Palembang telah membuat Rencana Penarikan Dana (RPD) dalam
DPA pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah ditetapkan.
Namun demikian, dalam penyerapan belanja daerah, Kota Palembang termasuk
lambat dalam realisasinya. Pada Tahun 2013 Triwulan I, realisasi penyerapan anggaran
masih rendah yaitu sebesar 11,19%, masih jauh di bawah realisasi belanja yang ideal
yaitu 25%. Bahkan untuk realisasi belanja modal hanya sebesar 3,16%. Pada akhir
Sumber : Pemda Kota Palembang dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Pada saat APBD Perubahan Kota Palembang ditetapkan, terjadi
peningkatan seluruh jenis belanja daerah kecuali belanja lainnya yang
mengalami penurunan sebesar Rp12,31 miliar. Yang menarik adalah
belanja modal meningkat sebesar 57,62% dari total kenaikan belanja
daerah atau meningkat sebesar Rp145,01 miliar dalam APBD Perubahan.
Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD
Kota Palembang Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja pegawai
tidak langsung yaitu sebesar 49,55%, kemudian belanja modal sebesar
25,06%, diikuti belanja barang dan jasa sebesar 19,96%, belanja pegawai
langsung sebesar 3,63% dan belanja lainnya sebesar 1,81%.
Untuk memastikan dan menjamin dapat terlaksananya program dan
kegiatan yang telah ditetapkan dalam APBD, daerah harus membuat
anggaran kas. Anggaran Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk
yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar untuk
56 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
mengatur ketersediaan dana yang cukup guna mendanai pelaksanaan
kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah
Kota Palembang telah membuat Rencana Penarikan Dana (RPD) dalam
DPA pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah ditetapkan.
Namun demikian, dalam penyerapan belanja daerah, Kota Palembang
termasuk lambat dalam realisasinya. Pada Tahun 2013 Triwulan I, realisasi
penyerapan anggaran masih rendah yaitu sebesar 11,19%, masih jauh
di bawah realisasi belanja yang ideal yaitu 25%. Bahkan untuk realisasi
belanja modal hanya sebesar 3,16%. Pada akhir Triwulan II, realisasi
penyerapan belanja hanya sebesar 31,12%, kemudian pada Triwulan III
sebesar 52,13%. Yang menarik adalah penyerapan belanja pada Triwulan IV
yang mencapai 92,24%, dimana hanya dalam waktu 3 (tiga) bulan, realisasi
penyerapan belanjanya sekitar 40,11% jika dibandingkan dengan realisasi
pada akhir Triwulan III. Dengan kata lain, pada kurun waktu Oktober s.d.
Desember 2013, Kota Palembang mampu menyerap belanja daerah
sebesar Rp1,146 triliun.
Sementara itu, realisasi penyerapan belanja daerah untuk setiap jenis
belanja dapat dilihat pada Tabel 3.8.
Tabel 3.8.
Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kota Palembang
(dalam miliar rupiah)
Jenis Belanja
Realisasi Triwulan I
Realisasi Triwulan II
Realisasi Triwulan III
Realisasi Triwulan IV
Rupiah % Rupiah % Rupiah % Rupiah %
Belanja 319,88 11,19 889,58 31,12 1.490,19 52,13 2.636,74 92,24
Belanja pegawai tidak langsung
202,69 14,31 560,14 39,54 811,00 57,25 1.305,42 92,16
57Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
Jenis Belanja
Realisasi Triwulan I
Realisasi Triwulan II
Realisasi Triwulan III
Realisasi Triwulan IV
Rupiah % Rupiah % Rupiah % Rupiah %
Belanja pegawai langsung
8,96 8,64 38,03 36,70 50,22 48,46 91,07 87,88
Belanja barang dan jasa
58,39 10,24 177,17 31,06 303,18 53,15 518,81 90,95
Belanja modal 22,65 3,16 79,33 11,07 288,30 40,24 678,42 94,69
Belanja lainnya 27,20 52,71 33,23 64,39 37,50 72,67 43,03 83,37
Sumber : Pemda Kota Palembang dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Berdasarkan grafik di atas, dapat diketahui bahwa realisasi penyerapan
belanja daerah sampai dengan Triwulan III masih relatif rendah, dan baru
pada Triwulan IV realisasi penyerapan anggaran meningkat sangat tajam
jika dibandingkan dengan Triwulan sebelumnya.
Realisasi belanja pegawai langsung mencapai 8,64% pada akhir Maret
2013, kemudian meningkat menjadi 36,7% pada akhir bulan Juni 2013, dan
pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai
48,46%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja pegawai langsung
mencapai 87,88%. Sedangkan realisasi belanja pegawai tidak langsung
mencapai 14,31% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi
39,54% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013
tingkat penyerapannya sudah mencapai 57,25%. Pada akhir tahun 2013,
penyerapan belanja pegawai tidak langsung mencapai 92,16%.
Realisasi belanja barang dan jasa mencapai 10,24% pada akhir Maret
2013, kemudian meningkat menjadi 31,06% pada akhir bulan Juni 2013,
dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah
mencapai 53,15%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja barang dan
jasa mencapai 90,95%.
58 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Realisasi belanja modal mencapai 3,16% pada akhir Maret 2013,
kemudian meningkat menjadi 11,07% pada akhir bulan Juni 2013, dan
pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai
40,24%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja modal mencapai
94,69%.
Realisasi belanja lainnya mencapai 52,71% pada akhir Maret 2013,
kemudian meningkat menjadi 64,39% pada akhir bulan Juni 2013, dan
pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai
72,67%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja lainnya mencapai
83,37%.
Yang menarik adalah penyerapan belanja modal pada Triwulan I adalah
yang paling kecil yaitu hanya sebesar 3,16%, namun pada akhir Triwulan IV
penyerapan belanja modal adalah yang paling besar di antara jenis belanja
daerah, yaitu sebesar 94,69%. Bahkan hanya dalam kurun waktu Oktober
s.d. Desember 2013, Kota Palembang mampu menyerap belanja modal
sebesar 54,45% atau sebesar Rp390,12 miliar.
Beberapa upaya telah dilakukan oleh Kota Palembang untuk
mempercepat penyerapan belanja daerah yaitu dengan menerbitkan
surat edaran tentang percepatan pelaksanaan anggaran dan percepatan
pengesahan DPA SKPD. Disamping itu, Pemerintah Kota Palembang juga
telah membentuk Tim Koordinasi yang bertugas melakukan koordinasi
untuk mencari dan membahas kendala-kendala dalam pelaksanaan APBD
serta menerapkan rewards dan punishment kepada SKPD dengan cara
melakukan penambahan anggaran pada APBD berikutnya untuk SKPD
yang penyerapannya baik dan melakukan pemotongan anggaran untuk
SKPD yang tingkat penyerapannya rendah.
59Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
9. kota gorontaLo
APBD Kota Gorontalo tahun 2013 pada saat ditetapkan adalah sebesar
Rp719,90 miliar. Pada saat pengesahan APBD Perubahan, jumlahnya
meningkat menjadi Rp774,05 miliar. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 3.9 di
bawah ini.
Grafik 3.9
Volume APBD dan APBD-Perubahan Kota Gorontalo Tahun 2013
(dalam miliar rupiah)
47 | P a g e
Pemerintah Kota Palembang juga telah membentuk Tim Koordinasi yang bertugas
melakukan koordinasi untuk mencari dan membahas kendala-kendala dalam
pelaksanaan APBD serta menerapkan rewards dan punishment kepada SKPD dengan
cara melakukan penambahan anggaran pada APBD berikutnya untuk SKPD yang
penyerapannya baik dan melakukan pemotongan anggaran untuk SKPD yang tingkat
penyerapannya rendah.
9. Kota Gorontalo
APBD Kota Gorontalo tahun 2013 pada saat ditetapkan adalah sebesar
Rp719,90 miliar. Pada saat pengesahan APBD Perubahan, jumlahnya meningkat
menjadi Rp774,05 miliar. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 3.9 di bawah ini.
Grafik 3.9
Volume APBD dan APBD-Perubahan
Kota Gorontalo Tahun 2013
(dalam miliar rupiah)
Sumber : Pemda Kota Gorontalo dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Pada saat APBD Perubahan Kota Gorontalo ditetapkan, terjadi peningkatan
seluruh jenis belanja daerah. Yang menarik adalah belanja pegawai langsung
Sumber : Pemda Kota Gorontalo dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Pada saat APBD Perubahan Kota Gorontalo ditetapkan, terjadi
peningkatan seluruh jenis belanja daerah. Yang menarik adalah belanja
pegawai langsung meningkat sebesar Rp21,92 miliar atau sekitar 61,01%,
dan belanja barang dan jasa meningkat sebesar Rp24,38 milar atau sekitar
17 % dalam APBD Perubahan.
Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD
Kota Gorontalo Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja pegawai tidak
langsung yaitu sebesar 52,02%, kemudian belanja barang dan jasa sebesar
60 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
21,67%, diikuti belanja modal sebesar 16,09%, belanja pegawai langsung
sebesar 7,47% dan belanja lainnya sebesar 2,74%.
Untuk memastikan dan menjamin dapat terlaksananya program dan
kegiatan yang telah ditetapkan dalam APBD, daerah harus membuat
anggaran kas. Anggaran Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk
yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar untuk
mengatur ketersediaan dana yang cukup guna mendanai pelaksanaan
kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah
Kota Gorontalo belum dapat melaksanakan Rencana Penarikan Dana
(RPD) dalam DPA pada masing-masing SKPD sesuai target yang telah
ditetapkan.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan RPD dalam anggaran kasa
SKPD tidak terealisasi sesuai dengan target yang ditetapkan antara
lain adalah rekanan terlambat dalam mengajukan ke DPKAD/Bagian
Keuangan Pemda terkait proyek/kegiatan yang sudah memenuhi syarat
pembayaran, serta terlambatnya penetapan petunjuk teknis DAK sehingga
mempengaruhi pelaksanaan kegiatan. Bahkan dalam pelaksanaannya,
terdapat SKPD yang melaksanakan belanja dengan melebihi pagu yang
telah ditetapkan dalam SPD. Hal disebabkan kurang cermatnya SKPD
dalam merencanakan kebutuhan belanja untuk kegiatan yang dituangkan
dalam anggaran kas dan menjadi acuan dalam penerbitan SPD. Namun
demikian, Pemkor Gorontalo telah mengambil langkah-langkah dimana
SKPD tersebut harus menunggu hingga penerbitan SPD berikutnya untuk
melaksanakan program/kegiatan selanjutnya dan SKPD atersebut harus
mengajukan suart penambahan dana dalam SPD.
Proses pembahasan APBD induk Kota Gorontalo tidak mengikuti
time schedule sebagaimana diamanatkan dalam Permendagri No. 37
Tahun 2012 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 04/PMK.07/2011
karena terlambatnya informasi transfer ke daerah sehingga daerah baru
61Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
mengetahui alokasi transfer setelah pembahasan KUA/PPAS selesai, serta
adanya lobi dan negoisasi antara DPRD dan Pemda dalam pembahasan
APBD. Meskipun demikian, penetapan APBD Kota Gorontalo dapat
dilaksanakan dengan tepat waktu.
Penyerapan belanja daerah Kota Gorontalo termasuk lambat dalam
realisasinya, kecuali untuk jenis belanja lainnya yang memiliki realisasi
belanja sebesar 41,94 % pada akhir Maret 2013. Pada Tahun 2013 Triwulan I,
realisasi penyerapan anggaran masih rendah yaitu sebesar 15,84%, masih
jauh di bawah realisasi belanja yang ideal yaitu 25%. Pada akhir Triwulan
II, realisasi penyerapan belanja hanya sebesar 37,17%, kemudian pada
Triwulan III sebesar 57,08%. Penyerapan belanja pada Triwulan IV mencapai
84,63%. Yang menarik adalah realisasi penyerapan belanja modal sampai
dengan akhir tahun 2013 hanya sebesar 61,31 %, merupakan yang paling
rendah di antara jenis belanja dalam APBD.
Sementara itu, realisasi penyerapan belanja daerah untuk setiap jenis
belanja dapat dilihat pada Tabel 3.9.
Tabel 3.9
Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013
Kota Gorontalo
Jenis Belanja
Realisasi Triwulan I
Realisasi Triwulan II
Realisasi Triwulan III
Realisasi Triwulan IV
Rupiah % Rupiah % Rupiah % Rupiah %
Belanja 122,62 15,84% 287,72 37,17% 441,81 57,08% 655,06 84,63%
Belanja pegawai tidak langsung
67,83 16,85% 152,18 37,79% 260,07 64,59% 374,28 92,95%
Belanja pegawai langsung
5,90 10,21% 22,82 39,44% 30,22 52,23% 52,33 90,45%
62 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Jenis Belanja
Realisasi Triwulan I
Realisasi Triwulan II
Realisasi Triwulan III
Realisasi Triwulan IV
Rupiah % Rupiah % Rupiah % Rupiah %
Belanja barang dan jasa
24,94 14,87% 65,93 39,30% 88,51 52,76% 136,84 81,57%
Belanja modal 15,04 12,07% 35,84 28,77% 51,43 41,29% 76,37 61,31%
Belanja lainnya 8,90 41,94% 10,96 51,66% 11,58 54,57% 15,24 71,84%
Sumber : Pemda Kota Gorontalo dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Realisasi belanja pegawai tidak langsung mencapai 16,85% pada akhir
Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 37,79% pada akhir bulan Juni
2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah
mencapai 64,59%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja pegawai
tidak langsung mencapai 92,95%. Sedangkan realisasi belanja pegawai
langsung mencapai 10,21% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat
menjadi 39,44% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan
September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 52,23%. Pada
akhir tahun 2013, penyerapan belanja pegawai tidak langsung mencapai
90,45%.
Realisasi belanja barang dan jasa mencapai 14,87% pada akhir Maret
2013, kemudian meningkat menjadi 39,30% pada akhir bulan Juni 2013,
dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah
mencapai 52,76%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja barang dan
jasa mencapai 81,57%.
Realisasi belanja modal mencapai 12,07% pada akhir Maret 2013,
kemudian meningkat menjadi 28,77% pada akhir bulan Juni 2013, dan
pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai
41,29%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja modal mencapai
61,31%.
63Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
Realisasi belanja lainnya mencapai 41,94% pada akhir Maret 2013,
kemudian meningkat menjadi 51,66% pada akhir bulan Juni 2013, dan
pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai
54,57%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja lainnya mencapai
71,84%.
Terdapat hal menarik yaitu belanja modal hanya terserap sebesar
Rp76,37 miliar atau sekitar 61,31 %, sedangkan realisasi penyerapan
belanja pegawai tidak langsung mencapai 92,95 % atau sebesar Rp374,28
miliar.
Beberapa upaya telah dilakukan oleh Kota Gorontalo untuk mempercepat
penyerapan belanja daerah yaitu dengan membentuk Tim Koordinasi
yang bertugas melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penyerapan
anggaran belanja.
10. kota MakaSar
APBD Kota Makasar tahun 2013 pada saat ditetapkan adalah sebesar
Rp2,072 triliun. Pada saat pengesahan APBD Perubahan, jumlahnya
meningkat menjadi Rp2,497 triliun. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 3.10 di
bawah ini.
Pada saat APBD Perubahan Kota Makasar ditetapkan, terjadi
peningkatan seluruh jenis belanja daerah. Yang menarik adalah belanja
pegawai tidak langsung meningkat sebesar 60,46% dari total kenaikan
belanja daerah atau meningkat sebesar Rp257,12 miliar dalam APBD
Perubahan.
Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD
Kota Makasar Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja pegawai tidak
langsung yaitu sebesar 43,43%, kemudian belanja barang dan jasa sebesar
64 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
27,94%, diikuti belanja modal sebesar 15,70%, belanja pegawai langsung
sebesar 8,08% dan belanja lainnya sebesar 4,85%.
Grafik 3.10
Volume APBD dan APBD-Perubahan Kota Makasar Tahun 2013
(dalam miliar rupiah)
51 | P a g e
Kota Makasar Tahun 2013
(dalam miliar rupiah)
Sumber : Pemda Kota Makasar dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Pada saat APBD Perubahan Kota Makasar ditetapkan, terjadi peningkatan
seluruh jenis belanja daerah. Yang menarik adalah belanja pegawai tidak langsung
meningkat sebesar 60,46% dari total kenaikan belanja daerah atau meningkat sebesar
Rp257,12 miliar dalam APBD Perubahan.
Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD Kota
Makasar Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja pegawai tidak langsung yaitu
sebesar 43,43%, kemudian belanja barang dan jasa sebesar 27,94%, diikuti belanja
modal sebesar 15,70%, belanja pegawai langsung sebesar 8,08% dan belanja lainnya
sebesar 4,85%.
Untuk memastikan dan menjamin dapat terlaksananya program dan kegiatan
yang telah ditetapkan dalam APBD, daerah harus membuat anggaran kas. Anggaran
Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk yang bersumber dari penerimaan dan
perkiraan arus kas keluar untuk mengatur ketersediaan dana yang cukup guna
mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut,
Pemerintah Kota Makasar telah membuat Rencana Penarikan Dana (RPD) dalam DPA
pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah ditetapkan.
Namun demikian, dalam penyerapan belanja daerah Kota Makasar termasuk
lambat dalam realisasinya, kecuali untuk jenis belanja lainnya yang memiliki tingkat
Sumber : Pemda Kota Makasar dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Untuk memastikan dan menjamin dapat terlaksananya program dan
kegiatan yang telah ditetapkan dalam APBD, daerah harus membuat
anggaran kas. Anggaran Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk
yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar untuk
mengatur ketersediaan dana yang cukup guna mendanai pelaksanaan
kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah
Kota Makasar telah membuat Rencana Penarikan Dana (RPD) dalam DPA
pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah ditetapkan.
65Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
Namun demikian, dalam penyerapan belanja daerah Kota Makasar
termasuk lambat dalam realisasinya, kecuali untuk jenis belanja lainnya
yang memiliki tingkat realisasi mendekati normal. Pada Tahun 2013
Triwulan I, realisasi penyerapan anggaran masih rendah yaitu sebesar
12,62%, masih jauh di bawah realisasi belanja yang ideal yaitu 25%. Bahkan
untuk realisasi belanja modal hanya sebesar 6,19%. Pada akhir Triwulan
II, realisasi penyerapan belanja hanya sebesar 30,65%, kemudian pada
Triwulan III sebesar 55,51%. Yang menarik adalah penyerapan belanja pada
Triwulan IV yang mencapai 93,73%, dimana hanya dalam waktu 3 (tiga)
bulan, realisasi penyerapan belanjanya sekitar 38,22% jika dibandingkan
dengan realisasi pada akhir Triwulan III. Dengan kata lain, pada kurun
waktu Oktober s.d. Desember 2013, Kota Makasar mampu menyerap
belanja daerah sebesar Rp954,73 miliar.
Sementara itu, realisasi penyerapan belanja daerah untuk setiap jenis
belanja dapat dilihat pada Tabel 3.10.
Tabel 3.10
Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kota Makasar
(dalam miliar rupiah)
Uraian Belanja
Realisasi Triwulan I
Realisasi Triwulan II
Realisasi Triwulan III
Realisasi Triwulan IV
Rupiah % Rupiah % Rupiah % Rupiah %
Belanja 315,30 12,62 765,72 30,65 1.386,61 55,51 2.341,33 93,73
Belanja pegawai tidak langsung
168,31 15,51 414,84 38,24 713,40 65,76 1.022,77 94,27
Belanja pegawai langsung
14,70 7,28 44,84 22,23 95,27 47,22 190,43 94,39
Belanja barang dan jasa
78,12 11,20 204,55 29,31 344,13 49,31 640,49 91,78
Belanja modal 24,27 6,19 53,56 13,66 127,73 32,57 369,46 94,20
66 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Uraian Belanja
Realisasi Triwulan I
Realisasi Triwulan II
Realisasi Triwulan III
Realisasi Triwulan IV
Rupiah % Rupiah % Rupiah % Rupiah %
Belanja lainnya 29,90 24,67 47,93 39,54 106,08 87,50 118,19 97,49
Sumber : Pemda Kota Makasar dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa realisasi penyerapan
belanja daerah sampai dengan Triwulan III masih relatif rendah kecuali
untuk belanja lainnya, dan baru pada Triwulan IV realisasi penyerapan
anggaran meningkat sangat tajam jika dibandingkan dengan Triwulan
sebelumnya.
Realisasi belanja pegawai tidak langsung mencapai 15,51% pada akhir
Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 38,24% pada akhir bulan Juni
2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah
mencapai 65,76%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja pegawai
tidak langsung mencapai 94,27%. Sedangkan realisasi belanja pegawai
langsung mencapai 7,28% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat
menjadi 22,23% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan
September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 47,22%. Pada
akhir tahun 2013, penyerapan belanja pegawai tidak langsung mencapai
94,39%.
Realisasi belanja barang dan jasa mencapai 11,20% pada akhir Maret
2013, kemudian meningkat menjadi 29,31% pada akhir bulan Juni 2013,
dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah
mencapai 49,31%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja barang dan
jasa mencapai 91,78%.
Realisasi belanja modal mencapai 6,19% pada akhir Maret 2013,
kemudian meningkat menjadi 13,66% pada akhir bulan Juni 2013, dan
pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai
67Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
32,57%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja modal mencapai
94,20%.
Realisasi belanja lainnya mencapai 24,67% pada akhir Maret 2013,
kemudian meningkat menjadi 39,54% pada akhir bulan Juni 2013, dan
pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai
87,50%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja lainnya mencapai
97,49%.
Hal menarik yang terjadi adalah penyerapan belanja lainnya mempunyai
realisasi penyerapan terbesar, yaitu 97,49%. Belanja lainnya ini meliputi
belanja bunga, belanja hibah, belanja bantuan sosial dan belanja bantuan
keuangan kepada Provinsi/Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa dan partai
politik.
Beberapa upaya telah dilakukan oleh Kota Makasar untuk mempercepat
penyerapan belanja daerah yaitu dengan mendorong SKPD dalam
melakukan percepatan penyelesaian DPA SKPD dan mendorong SKPD
dalam mempercepat penyerapan anggaran. Disamping itu, Kota Makasar
juga membentuk Tim Koordinasi yang bertugas melakukan monitoring
dan evaluasi terhadap penyerapan anggaran belanja. Pemerintah Kota
Makasar juga telah menerapkan rewards kepada SKPD yang penyerapan
anggarannya baik dan punishment dengan memberikan teguran kepada
SKPD untuk mempercepat penyerapan anggaran.
B. anaLiSiS perMaSaLahan peLakSanaan Spending perforManceS daLaM Mendanai peLayanan puBLik
Pengelolaan keuangan daerah merupakan keseluruhan kegiatan
yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan,
pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Pengelolaaan
68 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
keuangan daerah dimulai dengan perencanaan/penyusunan anggaran
pendapatan belanja daerah (APBD). APBD disusun sesuai dengan
kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan
daerah. Penyusunan APBD sebagaimana berpedoman kepada Rencana
Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) dalam rangka mewujudkan pelayanan
kepada masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara.
APBD akan mempunyai peran riil dalam peningkatan kualitas layanan
publik dan sekaligus menjadi stimulus bagi perekonomian daerah
apabila terealisasi dengan baik. Keterlambatan penetapan Perda APBD
akan memperlambat bahkan dapat menunda realisasi penyerapan
belanja daerah. Hal ini dapat memberikan dampak kurang baik terhadap
pengelolaan keuangan daerah diantaranya pada penumpukan dana daerah
yang belum terpakai dalam bentuk Sisa Lebih Perhitungan Anggaran
(SiLPA). Dana SiLPA yang terlalu besar tentunya harus kita hindari, karena
pada dasarnya merupakan dana idle yang tidak memberikan multiplier
effect bagi perekonomian daerah. Untuk itu, Pemerintah terus mendorong
agar proses penetapan Perda APBD dapat dilakukan secara tepat waktu
guna mempercepat realisasi belanja daerah.
Namun demikian, masih terdapat beberapa daerah yang belum
menetapkan dan menyampaikan perda APBD 2013 kepada Kementerian
Keuangan sampai dengan batas waktu yang telah ditetapkan yaitu pada
pada akhir Januari 2013, sehingga daerah tersebut dikenakan sanksi
penundaan DAU sebesar 25% dari pagu per bulan mulai April 2013.
Terdapat 17 daerah yang dikenakan sanksi penundaan penyaluran DAU
untuk pemda yang terlambat menyampaikan APBD TA 2013. Hal ini dapat
dilihat pada Grafik 3.11 di bawah ini.
69Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
Grafik 3.11
Keterlambatan Penetapan dan Penyampaian APBD Tahun 2011 s.d. 2013
55 | P a g e
Keterlambatan Penetapan dan Penyampaian APBD
Tahun 2011 s.d. 2013
Sumber : Kementerian Keuangan (data diolah)
Agar seluruh dana yang ditransfer dari pemerintah pusat bisa segera terserap dalam
bentuk pelaksanaan kegiatan yang didanai oleh APBD, maka dalam perencanaannya,
pemerintah pusat senantiasa mendorong agar pemerintah daerah secepatnya untuk
menyampaikan Perda APBD. Perda APBD yang dapat diselesaikan dengan tepat waktu
menunjukkan bahwa tidak adanya kesulitan dalam me-manage dinamika eksekutif-
legislatif antara pemerintah daerah dengan DPRD.
Namun demikian, yang terjadi selama ini adalah besaran alokasi transfer ke daerah
setiap tahunnya belum ada kepastian, apakah daerah itu mendapatkan alokasi dana ataukah
alokasi dananya naik atau turun. Bahkan sebagian daerah belum mengerti bagaimana
alokasi per jenis dana perimbangan yang meliputi DAU, DAK, dan DBH direncanakan dan
diformulasikan, sehingga daerah cenderung hanya membandingkan dengan alokasi tahun
lalu untuk daerahnya atau membandingkan kondisi obyektif yang ada di daerah mereka
dibandingkan dengan kondisi daerah tetangga mereka apabila terdapat perbedaan alokasi
yang mencolok.
Penetapan angka pendapatan APBD sangat tergantung kepada informasi transfer
dari Pusat dimana hanya Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK)
saja yang informasinya benar-benar sesuai dengan jadwal tenggat waktu penetapan APBD
di mana besaran alokasi DAU dan DAK sudah terinfokan ke daerah pada minggu pertama
November sebelum tahun anggaran yang baru. Sedangkan transfer DBH baru dapat
terinformasikan setelah tahun anggaran telah berjalan yaitu sekitar Januari s/d Maret.
Sumber : Kementerian Keuangan (data diolah)
Namun demikian, yang terjadi selama ini adalah besaran alokasi
transfer ke daerah setiap tahunnya belum ada kepastian, apakah daerah
itu mendapatkan alokasi dana ataukah alokasi dananya naik atau turun.
Bahkan sebagian daerah belum mengerti bagaimana alokasi per jenis
dana perimbangan yang meliputi DAU, DAK, dan DBH direncanakan
dan diformulasikan, sehingga daerah cenderung hanya membandingkan
dengan alokasi tahun lalu untuk daerahnya atau membandingkan kondisi
obyektif yang ada di daerah mereka dibandingkan dengan kondisi daerah
tetangga mereka apabila terdapat perbedaan alokasi yang mencolok.
Penetapan angka pendapatan APBD sangat tergantung kepada
informasi transfer dari Pusat dimana hanya Dana Alokasi Umum (DAU) dan
Dana Alokasi Khusus (DAK) saja yang informasinya benar-benar sesuai
dengan jadwal tenggat waktu penetapan APBD di mana besaran alokasi
DAU dan DAK sudah terinfokan ke daerah pada minggu pertama November
sebelum tahun anggaran yang baru. Sedangkan transfer DBH baru dapat
terinformasikan setelah tahun anggaran telah berjalan yaitu sekitar Januari
s/d Maret. Sebagai akibatnya, daerah cenderung menganggarkan sangat
pesimis (under estimate) pendapatan yang belum terinfokan tersebut.
70 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Oleh karena itu, pemerintah diharapkan mampu mendorong
penyusunan peraturan perundang-undangan mengenai penerapan Midle Term Expenditure Framework (MTEF) sehingga daerah dapat mengetahui
informasi transfer ke daerah yang meliputi alokasi DAU, DAK, DBH dan
Dana Penyesuaian untuk kurun waktu 3 (tiga) tahun guna mempercepat
penetapan APBD dan percepatan penyerapan belanja daerah.
Dalam rangka mendorong percepatan ketersediaan sarana dan
prasarana pelayanan publik, pemerintah daerah didorong untuk lebih bijak
dalam mengalokasikan distribusi belanja daerahnya terutama adanya
effort guna meningkatkan alokasi belanja modal serta belanja barang
untuk pemeliharaan insfrastruktur dalam struktur APBD. Disamping itu,
daerah perlu mengurangi alokasi belanja tidak langsung terutama untuk
membiayai belanja pegawai dengan cara menghitung kembali kebutuhan
PNSD sesuai dengan formasi dan jabatan yang diperlukan.
Penyerapan belanja daerah dari tahun ke tahun memiliki kemiripan
dalam realisasinya, dimana pada awal Triwulan I sampai dengan Triwulan
III, penyerapan belanja daerah sangat rendah dan baru meningkat
realisasinya pada Triwulan IV sampai dengan akhir tahun. Hal ini tentu saja
tidak sesuai dengan rencana penarikan dana yang telah ditargetkan dan
tertuang dalam DPA SKPD serta menimbulkan potensi terjadinya kesulitan
likuiditas keuangan daerah pada saat meningkatnya penyerapan belanja
daerah.
Selain itu, daerah tidak cukup mampu mengejar peningkatan belanja
pada saat terjadi tambahan pendapatan yang cukup signifikan dari
transfer Pusat ataupun peningkatan penerimaan. Daerah masih belum
cukup mampu melakukan penyesuaian yang diperlukan untuk menyerap
pelampauan pendapatan tersebut. Dalam melakukan penyesuaian
terhadap belanja untuk menampung informasi transfer yang diterima
setelah APBD ditetapkan, daerah juga terkendala kecenderungan daerah
71Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
melakukan perubahan APBD pada saat menjelang akhir tahun anggaran
berjalan (Agustus/September). Hal ini mengakibatkan waktu yang tersisa
untuk menyesuaikan belanja dan merealisasikannya menjadi sangat
sempit. Apalagi setelah APBD-P ditetapkan, daerah masih memerlukan
proses tender yang sudah pasti akan berakibat pula terhadap keterlambatan
pelaksanaan kegiatan. Apabila kegiatan yang didanai oleh DAK yang
terlambat dan baru dilaksanakan mendekati akhir tahun anggaran, maka
sangat berpotensi mengakibatkan rendahnya penyerapan dan rendahnya
kualitas penyelesaian kegiatan.
Kondisi ini bahkan diperparah oleh fakta di beberapa daerah terutama
di wilayah timur Indonesia karena kurangnya personil yang mempunyai
sertifikat pengadaan barang dan jasa sehingga berakibat pada
keterlambatan dalam melaksanakan proses tender. Ditengarai pula adanya
keengganan untuk menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan staf
proyek karena adanya permasalahan hukum yang sering terjadi di daerah.
Permasalahan lain yang mengemuka adalah adanya petunjuk teknis
yang terlalu rigid sehingga daerah mengalami kesulitan ketika dihadapkan
pada kondisi daerah mereka yang spesifik. Adanya petunjuk teknis yang
terlalu ketat dinilai terlalu membatasi ruang gerak pemerintah daerah
untuk membuat banyak pilihan dalam memanfaatkan dana yang sudah
dialokasikan buat masing-masing bidang yang didanai oleh DAK di
daerah mereka. Petunjuk teknis yang terlalu kaku pada akhirnya dapat
mengakibatkan daerah tidak bisa menggunakan DAK secara maksimal
sesuai dengan kepentingannya, bahkan tidak jarang justru muncul kondisi
kontraproduktif, seperti misalnya pelaksanaan pekerjaan yang terhambat
dan penyerapan yang rendah.
Selain petunjuk teknis DAK yang sudah ditetapkan, masih terdapat pula
petunjuk pelaksanaan lain dari Kementerian teknis yang akan digunakan
sebagai pedoman dalam pelaksanaan kegiatan yang didanai oleh DAK.
72 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Dalam konteks ini terdapat dua hal yang perlu dicermati. Pertama,
Kementerian Teknis sangat kurang memberikan kepercayaan kepada
daerah untuk melaksanakan urusan yang sebenarnya telah menjadi
kewenangan daerah. Meskipun ada petunjuk pelaksanaan, seharusnya
tidak bersifat mengikat dan lebih merupakan guidance atau panduan
bagi pelaksanaan DAK. Kedua, masih banyak daerah yang takut dan tidak
percaya diri untuk melaksanakan urusannya sehingga mereka juga selalu
menuntut adanya petunjuk dari pusat karena tidak mau bertanggung
jawab.
Keterlambatan penetapan petunjuk teknis oleh Kementerian Teknis
terkait seringkali menyebabkan kegiatan DAK harus dilakukan melalui
perubahan Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat
Daerah (DPA-SKPD) dan/atau APBD karena perencanaan kegiatan
pembangunan yang bersumber dari DAK dan sudah tertuang dalam APBD
tidak sesuai dengan petunjuk teknis sehingga berpotensi menimbulkan
keterlambatan dan atau tidak selesainya kegiatan DAK. Apabila kegiatan
yang didanai oleh DAK terlambat dan baru dilaksanakan mendekati akhir
tahun anggaran maka sangat berpotensi mengakibatkan rendahnya
penyerapan dan rendahnya kualitas penyelesaian kegiatan. Keterlambatan
petunjuk teknis ini mengakibatkan keterlambatan berantai dari keseluruhan
proses pelaksanaan kegiatan yang didanai DAK.
Meskipun bukan merupakan keharusan bagi pemerintah daerah untuk
membentuk Tim Koordinasi Pengelolaan Keuangan Daerah, namun
keberadaan Tim Koordinasi yang dibentuk oleh Kepala Daerah sangat
membantu dalam menyelesaikan permasalahan yang ada di daerah terkait
pengelolaan APBD, mempermudah koordinasi antara SKPD sehingga pada
akhirnya realisasi penyerapan belanja daerah dapat dipercepat, terutama
belanja barang untuk pemeliharaan infrastruktur serta belanja modal yang
terkait dengan penyediaan sarana dan prasarana pelayanan dasar kepada
masyarakat.
73Bab IV | Penutup
bAb IV PENUTUP
a. keSiMpuLan
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan, dapat disimpulkan beberapa
hal terkait pelaksanaan spending performances dalam mendanai pelayanan
publik daerah sebagai berikut:
1. Penyerapan belanja daerah dari tahun ke tahun memiliki kemiripan
dalam realisasinya, di mana pada awal Triwulan I sampai dengan
Triwulan III penyerapan belanja daerah sangat rendah dan baru
meningkat realisasinya pada Triwulan IV sampai dengan akhir tahun.
Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan rencana penarikan dana yang
telah ditargetkan dan tertuang dalam DPA SKPD serta menimbulkan
potensi terjadinya kesulitan likuiditas keuangan daerah pada saat
meningkatnya penyerapan belanja daerah.
2. Pengelolaan keuangan daerah yang berorientasi pada kepentingan
publik (public oriented) tidak saja terlihat pada besarnya porsi
pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik tetapi juga dapat
dilihat dari berapa besar tingkat penyerapan realisasi belanja daerah
(spending performances) terutama belanja barang dan belanja modal
dalam mendanai penyediaan sarana dan prasarana pelayanan dasar
di daerah.
3. Besar kecilnya tingkat penyerapan belanja daerah dalam mendanai
pelayanan publik sangat dipengaruhi oleh proses perencanaan
anggaran dan penetapan APBD di daerah. Keterlambatan daerah
dalam menetapkan Perda APBD dapat menunda realisasi penyerapan
74 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
belanja daerah. Disamping itu, proporsi alokasi belanja barang dan
belanja modal untuk penyediaan sarana dan prasarana layanan publik
masih rendah dalam struktur APBD jika dibandingkan dengan alokasi
untuk belanja pegawai sehingga kinerja spending performances dalam
mendanai pelayanan publik masih belum optimal dan efektif.
4. Realisasi penyerapan belanja daerah sampai dengan akhir tahun
anggaran seringkali masih di bawah target atau lebih rendah
dibandingkan dengan anggaran APBD karena daerah tidak cukup
mampu mengejar peningkatan belanja atau belum cukup mampu
melakukan penyesuaian yang diperlukan untuk menyerap pelampauan
pendapatan tersebut saat terjadi tambahan pendapatan yang cukup
signifikan dari transfer Pusat ataupun peningkatan penerimaan
lainnya, serta adanya kecenderungan daerah untuk melakukan
perubahan APBD sekitar bulan Agustus – Oktober tahun anggaran
berjalan, sehingga daerah tidak cukup waktu untuk melaksanakan
penyerapan belanja daerah.
5. Kualitas belanja daerah dan APBD selama ini dianggap masih lemah
dengan salah satu indikasinya adalah alokasi belanja tidak langsung
selalu lebih besar dari belanja langsung dan penyerapan belanja
daerah yang relatif rendah. Hal ini juga bisa dilihat dari tingkat
penyerapan belanja daerah yang relatif rendah terutama untuk belanja
modal dan belanja barang yang terkait dengan public service delivery.
6. Rendahnya realisasi belanja daerah yang didanai dari DAK tidak
hanya disebabkan oleh kurang berjalannya fungsi perencanaan dan
pelaksanaan kegiatan di daerah dengan baik, namun juga dipengaruhi
oleh adanya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat terutama
yang terkait dengan mekanisme perencanaan dan penganggaran,
mekanisme transfer ke daerah, dan penetapan petunjuk teknis DAK
yang terlambat sehingga mempengaruhi penyelesaian pekerjaan di
daerah.
75Bab IV | Penutup
B. Saran dan rekoMendaSi
Berdasarkan hasil kajian pelaksanaan spending performances dalam
mendanai pelayanan publik daerah, kami merekomendasikan hal-hal
sebagai berikut :
1. Pemerintah pusat perlu mendorong daerah untuk dapat meningkatkan
proporsi alokasi belanja barang dan belanja modal dalam APBD
sehingga dapat mempercepat tersedianya sarana dan prasarana
layanan publik yang memenuhi Standar Pelayanan Minimum (SPM)
dengan cara membuat aturan dalam perencanaan anggaran di daerah
terutama terkait dengan batas minimal proporsi alokasi belanja barang
dan belanja modal dan sifatnya mengikat daerah dengan menerapkan
sanksi kepada daerah yang melanggar batasan tersebut.
2. Untuk mendorong percepatan penyerapan belanja daerah, pemerintah
pusat perlu melanjutkan kebijakan pengenaan sanksi kepada pemda
yang terlambat dalam menetapkan dan menyampaikan perda APBD
2013, serta memberikan reward kepada pemda yang tepat waktu
dalam menetapkan dan menyampaikan perda APBD 2013. Penetapan
Perda APBD di daerah secara tepat waktu serta pelaksanaan tender
pada awal tahun anggaran diharapkan dapat mempercepat realisasi
belanja daerah, terutama belanja modal dan belanja barang untuk
layanan publik dan peningkatan perekonomian daerah.
3. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan spending performances yang
mampu mendorong percepatan realisasi belanja daerah:
a. Pemerintah daerah perlu memprioritaskan alokasi belanja untuk
program/kegiatan dalam rangka penyediaan sarana dan prasarana
layanan publik di daerah, dengan cara meningkatkan alokasi
belanja barang dan belanja modal dalam APBD, dan mengurangi
proporsi untuk belanja pegawai daerah dan belanja tidak langsung
lainnya. Penganggaran belanja langsung dalam APBD digunakan
untuk pelaksanaan urusan pemerintahan daerah, yang terdiri dari
76 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
urusan wajib dan urusan pilihan yang dituangkan dalam bentuk
program dan kegiatan, yang manfaat capaian kinerjanya dapat
dirasakan langsung oleh masyarakat dalam rangka peningkatan
kualitas pelayanan publik dan keberpihakan pemerintah daerah
kepada kepentingan publik.
b. Perlu mengusulkan secara resmi kepada Kementerian Dalam
Negeri untuk menyusun ketentuan (Permendagri) tentang Pedoman
Penyusunan APBD yang mengatur proporsi alokasi belanja barang
untuk pemeliharaan infrastruktur dan belanja modal minimal
ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar 20 (dua puluh) persen dari
total APBD guna mempercepat penyediaan sarana dan prasarana
layanan publik dan peningkatan perekonomian daerah.
4. Pemerintah pusat perlu mendorong penyusunan peraturan perundang-
undangan mengenai penerapan Midle Term Expenditure Framework (MTEF) sehingga daerah dapat mengetahui informasi transfer ke
daerah yang meliputi alokasi DAU, DAK, DBH dan Dana Penyesuaian
untuk kurun waktu 3 (tiga) tahun guna mempercepat penetapan APBD
dan percepatan penyerapan belanja daerah.
5. Terkait dengan rendahnya penyerapan program/kegiatan yang didanai
dari DAK, Kementerian Keuangan perlu mendorong Kementerian
teknis untuk dapat menetapkan petunjuk teknis pelaksanaan DAK
berupa pedoman umum penggunaan DAK guna mencapai standar
pelayanan minimum dan prioritas nasional, serta dibuat tidak terlalu
rigid, tetapi dibuat lebih umum dan lebih fleksibel serta peruntukannya
untuk jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun, sehingga daerah lebih
mudah dalam melaksanakan kegiatan DAK dan adanya kepastian
kegiatan tersebut sesuai dengan petunjuk teknis DAK.
6. Pemerintah daerah perlu membentuk Tim Koordinasi di daerah
sehingga memudahkan koordinasi antara SKPD dalam pengelolaan
keuangan daerah baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan
maupun pertanggungjawaban APBD serta memudahkan daerah untuk
77Bab IV | Penutup
menyelesaikan permasalahan di daerah terutama yang terkait dengan
pelaksanaan spending performances dalam mendanai pelayanan
publik di daerah.
78 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
DAFTAR PUSTAKA
Halim, Abdul dan Ibnu Mujid. 2009. Problem Desentralisasi dan
Perimbangan Keuangan Pemerintahan Pusat-Daerah, Peluang dan
Tantangan dalam Pengelolaan Sumber Daya Daerah. Sekolah Pasca
Sarjana UGM. Yogyakarta.
Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Robinson, Marc and D. Last. 2009. A Basic Model of Performance-Based Budgeting. Technical Notes and Manuals. International Monetary Fund.
Washington
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
www.djpk.depkeu.go.id.
79Ucapan Terima Kasih
UCAPAN TERIMA KASIH
Penyusunan buku kajian “Laporan Pelaksanaan Spending Performances
Dalam Mendanai Pelayanan Publik” dilaksanakan dengan team work yang
solid dan tidak akan mungkin terselesaikan tanpa kontribusi dan kerja
sama dari seluruh pihak yang berperan. Oleh karena itu, ungkapan rasa
terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya disampaikan kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tulisan ini, yaitu:
- Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan – DR. Boediarso Teguh
Widodo, dan Direktur Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan
Daerah – Ir. Adijanto, MPA, yang telah memberikan arahan dan
bimbingan hingga diselesaikannya penyusunan buku ini.
- Para pejabat di daerah sampel yang dikunjungi yang telah bersedia
menyediakan waktunya dalam Focus Group Discussion (FGD)
serta dalam menyediakan data-data yang diperlukan dalam kajian
pelaksanaan spending performances dalam mendanai pelayanan
publik.
- Selanjutnya terima kasih kepada tim dari Subdirektorat Evaluasi Dana
Desentralisasi dan Perekonomian Daerah (Ubaidi Socheh Hamidi, SE,
MM; Ahmad Iskandar, SE, M.Fin.Mgt; Prasetyo Indro Soejono, SE, ME;
Armansyah Sinaga, SE; Faisal, SE, Ak; Edi Soeprijono, S.Sos; Maryadi,
SE, MM; Chrisliana Tri Ferayanti, SE, ME; Virgin Marthalia, A.Md;
Rika Hijriyanti, S.Si; Ganjar Prihatmoko, SE; Desain Kristian Gulo, SE;
Nanag Garendra Timur, S.Si.; dan Bondan Widyatmoko, SE; yang telah
melakukan pengolahan data dan sekaligus mendukung penulisan
buku, serta Lukman Adi Santoso, SE, ME, yang telah membantu
melakukan editing hingga melakukan setting layout pencetakan buku
ini. Terima kasih atas kerja kerasnya.
80 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan PublikK E M E N T E R I A N K E U A N G A N R E P U B L I K I N D O N E S I ADIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN
K E M E N T E R I A N K E U A N G A N R E P U B L I K I N D O N E S I ADIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN