contoh cerber
TRANSCRIPT
Angke melemparkan boneka Barbie pemberian Wisnu ke selokan di depan kantor ibunya.
“Angke! Kamu jangan begitu!” teriak Farah kepada putrinya semata wayang.
Angke menatap ibunya dengan sikap menantang. Bibirnya membentuk garis lurus yang rapat. Tak
ada satu kata pun yang terlontar dari bibir yang biasanya mengumbar tawa itu.
“Oom Wisnu sengaja beli untukmu, Sayang, supaya kamu senang…,” kata Farah, lebih lunak. Ia melihat
ke arah gedung kantornya, sudah sepi. Hampir semua pegawai sudah pulang. Selain satpam, hanya
tinggal beberapa orang saja.
Farah sengaja melembutkan suaranya. Ia tak mau ada yang mendengar pertengkaran mereka, karena
tidak mau ada gosip baru yang menyebar di antara rekan-rekan kerjanya esok hari. Menjadi orang tua
tunggal memang lumayan riskan, setiap gerak-geriknya selalu diawasi masyarakat sekitar. Tak peduli di
kantor atau di rumah, di sekolah Angke pun, banyak mata ibu-ibu yang rajin memantaunya.
Dalam perjalanan, Farah sengaja tak mengajak anaknya bicara. Ia biarkan gadis kecil kesayangannya itu
meredakan perasaannya. Angke sering merajuk bahkan ngambek bila harus bersentuhan dengan hal-hal
yang ada kaitannya dengan Wisnu, kekasih Farah. Di balik kemudi, Farah tersenyum kecil. Sifat Angke
memang mirip dirinya, ekspresif dan cenderung lugas jika ingin mengatakan sesuatu.
“Angke lebih senang Oom Wisnu nggak bawa segala macam. Angke nggak mau Oom Wisnu jadi ayah
baru. Angke sayang sama ayah lama Angke…!” seru Angke. Akhirnya dia buka suara. Di lampu merah,
Farah mengganti CD musik. Alunan flute nan lembut dari Kenny G. pun mengalun.
“Tapi, Ayah kan sudah lama meninggalkan kita, Angke. Bunda butuh teman yang baik seperti ayah
Angke….”
“Pokoknya, Angke nggak suka sama Oom Wisnu!”
“Kenapa? Bunda pikir, di antara teman-teman Bunda yang lain, Oom Wisnu yang paling baik. Dia tidak
hanya berteman dengan Bunda, tapi juga ingin berteman dengan Angke!”
“Bunda sama Oom Wisnu bukan berteman, tapi pacaran!”
Farah kehilangan kata. Rasanya baru kemarin sore dia bersama Irfan membawa Angke ke kebun raya
dalam kereta bayi. Sekarang, anak kelas tiga SD ini sudah tahu bedanya berteman dan pacaran. Anak
perempuan biasanya lebih cepat matang daripada anak laki-laki seumurnya. Hhhh…. keluh Farah dalam
hati. “Dasar anak digital!”
^^^
Hujan belum lagi usai mencurahkan limpahan butiran beningnya, yang segera menjadikan malam makin
dingin. Farah menarik selimut, tapi agak tersendat. Oh, rupanya terjepit kaki Angke! Digeserkannya kaki
Angke dengan sangat hati-hati. Malaikat kecil itu sangat pulas tidurnya. Wajahnya yang polos menyimpan
lengkung senyum yang bagus. Ada wajah Irfan di sana. Bayang-bayang Irfan selalu ada di setiap sudut
senyumnya.
Senyum gadis cilik yang menjadikan mereka sebuah keluarga. Namun sayang, rasanya semua itu terjadi
dalam waktu sekejap saja. Selebihnya adalah mimpi buruk yang nyata! Farah dan Angke harus
merelakan Irfan berlalu dari kehidupan mereka. Membiarkan Irfan pergi ke dunia baru yang bebas dari
kendali ruang dan waktu. Dunia yang baru kita ketahui wujudnya, setelah kita menanggalkan semua
kefanaan ini.
Sepeninggal Irfan, tak ada waktu bagi Farah untuk menangis lebih dari sewajarnya. Air matanya sudah
lama habis selama mendampingi Irfan menjalani perawatan di rumah sakit. Tumor yang bersarang di
batang otak Irfan berubah menjadi ganas dan tumbuh tak terkendali. Irfan yang tabah dan tak pernah
menyerah, menularkan semacam kekuatan pada Farah agar ia pun mampu menjalani masa-masa sulit
itu.
Sampai kemudian Irfan benar-benar pergi meninggalkan mereka, Angkelah yang membuat Farah harus
tetap tegak dan berpijak. Jalan masih panjang dan kehidupan akan terus berpacu tak kenal kata
berhenti.
^^^
Hari itu, Angke tak seriang biasanya. Sepulang sekolah Angke hanya minta segera diantar ke rumah. Tak
mau ikut ke kantor dan menunggu ibunya sampai sore. Dalam hati Farah ingin segera bertanya pada
Angke, tapi pertanyaan itu segera ia simpan. Malam hari mungkin lebih leluasa untuk membicarakannya
dengan Angke. Sebelum tidur, mereka sudah terbiasa saling bertukar bercerita tentang kegiatan mereka
siang harinya.
Sambil menyelesaikan pekerjaannya, Farah mencoba mengira-ngira apa yang menyebabkan Angke
semurung itu. Mungkin gara-gara Farah menegur Angke yang membuang boneka Barbie tempo hari?
Atau Angke mulai merasa cemburu karena Farah juga membagi perhatiannya untuk Wisnu? Angke yang
terbiasa mendapat perhatian penuh, kini harus ‘bersaing’ dengan calon ayah tirinya.
Usai makan malam, Angke langsung mengerjakan PR-nya tanpa disuruh. Tumben. Biasanya Farah
harus berulang-ulang mengingatkan, karena Angke lebih suka membaca buku cerita atau ensiklopedia
anak-anak yang penuh gambar lucu.
Farah mengecek semua pintu di rumahnya, mulai dari pintu gerbang sampai ke pintu belakang dekat
dapur. Biasanya Irfan yang melakukannya, tapi sekarang Farah sudah terbiasa. Terbiasa juga melakukan
banyak hal tanpa Irfan.
“Angkee……..! Sudah gosok gigi belum, Nak?” panggil Farah, sambil mengetuk pintu kamar Angke.
Lampu temaram.
“Lho, kok, belum tidur…?”
Angke duduk bersandaran bantal sambil memegang sesuatu. Farah tidak terburu-buru ingin memastikan
benda itu apa. Dia duduk di ujung ranjang.
“Ada yang mau Angke ceritakan pada Bunda….?”
Angke menggeleng, benda itu ia simpan di balik selimut.
“Angke masih kesal karena Bunda tegur waktu Angke buang boneka Barbie itu?”
Angke menggeleng.
“Angke yang salah, kasihan boneka itu jadi basah dan bau….”
“Angke nggak kasihan sama Oom Wisnu yang bersusah payah membelikan boneka itu buat Angke?”
Angke menggeleng.
“Angke nggak takut kalau Oom Wisnu marah atau kecewa karena boneka itu diperlakukan seperti itu…?”
Angke menggeleng.
“Ayo, jawab pertanyaan Bunda!”
“Oom Wisnu ngasih, kok, maksa, sih, Bun… Angke kan nggak mau dikasih boneka kalau Oom Wisnu
yang ngasih….”
“Oke… oke… Bunda mengerti kalau Angge nggak mau, tapi bukan begitu caranya. Lebih baik Barbie itu
disimpan saja….”
“Disimpan di gudang, Bun?”
Farah tersenyum mengiyakan. Diusapnya pipi gadis kecil kesayangannya itu.
“Angke mau disimpan di gudang?” godanya.
Angke menggeleng, Farah menghela napas panjaaang sekali. Malam mulai meriapkan sunyi. Bunyi detak
jam dinding makin jelas.
“O ya, Bunda hampir lupa, kenapa, sih, Angke hari ini kelihatan murung…? Angke nggak enak badan?”
Angke menggeleng.
“Angke kangen sama Ayah…. rasanya Ayah cuma pergi sebentar dan pasti pulang lagi….”
Farah berusaha tersenyum. Bibirnya tersekat rasa haru yang begitu pekat. Farah salah duga, dikiranya
Angke merajuk soal Wisnu. Ternyata dia rindu ayahnya.
Farah mungkin bisa mengubur seluruh kenangannya bersama Irfan, tapi Angke belum bisa. Anak itu
masih terlalu kecil untuk menerima sebuah kenyataan yang menyebabkan separuh keceriaan hidupnya
terenggut. Dia masih terlalu naif dalam memaknai kematian sebagai suatu kehilangan yang kekal. Atau
mungkin dia mencoba mengingkari dengan berharap ayahnya kembali pada suatu saat.
Dikecupnya lagi Angke, tak lama kemudian dia tertidur. Farah meneruskan pekerjaannya. Niat begadang
malam ini agaknya menjadi sebuah solusi yang benar-benar tak dapat dihindari. Laporannya harus
selesai dan diserahkan besok pagi. Satu jam kemudian, Farah menengok anaknya lagi. Saat
membetulkan selimut yang tersingkap, Farah melihat foto mereka bersama Irfan. Foto yang tadi
disembunyikan Angke dari pandangan ibunya.
^^^
Farah membiarkan laptop menyala sedari tadi tanpa disentuhnya. Foto itu menjadi jendela tempat ia
melihat masa silam. Hampir tiga tahun, Irfan meninggalkan mereka dan Farah ternyata mampu melewati
masa-masa sulit itu. Saat dokter menyatakan Irfan tak dapat melampaui masa kritisnya, sedikit pun Farah
tidak pernah berpikir bahwa secepat itu ia akan menjalani hidup ini tanpa suaminya. Membesarkan Angke
sendirian. Tapi, lempengan besi yang buruk rupa, bila ditempa akan menjadi sebilah keris yang indah dan
penuh karisma. Waktu menempa Farah hingga ia menjadi kuat dan setangguh ini.
Farah mengenal Irfan dalam sebuah pelatihan yang digelar perusahaan tempat Farah bekerja. Irfan
seorang ahli hama dan penyakit tumbuhan. Irfan yang sederhana dan penuh perhatian membuat Farah
terpikat dalam sebuah jalinan cinta kilat yang menakjubkan. Hanya tiga bulan sesudah pertemuan
mereka yang pertama kali, Irfan melamarnya. Suatu proses percintaan yang sangat cepat dari dua orang
dewasa yang telat menikah. Farah dan Irfan sama-sama sepakat bahwa mereka merasa tidak perlu
lama-lama berpacaran, karena yang mereka butuhkan saat itu adalah pasangan hidup. Dua tahun
kemudian Angke lahir, melengkapi kebahagiaan mereka.
Seiring kehadiran Angke, karier Irfan meningkat pesat. Mereka menganggap Angke adalah anak
pembawa rezeki. Irfan dipromosikan jadi pejabat, ia menjadi calon kuat jabatan kepala di balai penelitian
tempatnya bekerja. Tidak semua teman kerja Irfan menyukai keberhasilannya. Ada yang mendukung,
ada pula yang iri hati. Dalam semua kisah hidup, baik kisah nyata maupun fiktif, selalu ada tokoh
protagonis dan antagonis.
Apalagi Irfan peneliti yang idealis, yang sering dianggap steril dan tak kenal kompromi. Ia pernah
menolak dan tidak mengizinkan ketika keong emas akan masuk ke Indonesia dan dibudidayakan.
Alasannya, bila pertumbuhan populasinya tak dapat dikendalikan, hewan berprotein tinggi itu akan
menjadi hama yang sangat merusak padi milik rakyat. Meski alasan Irfan masuk akal dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dia dikalahkan oleh sebuah konspirasi yang melibatkan banyak
pejabat.
Sepulang workshop di Belanda, Irfan sakit. Tumor otak, kata dokter. Tumornya berbentuk kista. Belum
sempat Irfan dioperasi, Sang Khalik sudah memanggilnya. Seorang dokter kenalan baik mereka sempat
menduga sakitnya Irfan akibat terkontaminasi hama penyakit tanaman berupa cacing kecil yang masuk
ke tubuh Irfan dan berkembang biak dalam sel-sel tubuh yang abnormal. Tapi, Farah dan keluarga Irfan
tidak mengizinkan dokter melakukan autopsi dan meneliti cairan di dalam kista itu. Mereka ingin jenazah
Irfan tetap utuh ketika bersatu dengan tanah.
Beberapa episode kehidupan Farah terkubur bersama Irfan. Episode berikutnya adalah bagaimana
Farah bersama putri kesayangan mereka menata hari-hari baru, tanpa orang yang mereka cintai.
Mulanya terasa sulit, tapi Tuhan selalu memberi kemudahan bagi orang-orang yang mau berusaha.
Upaya yang menumbuhkan ketangguhan, ketangguhan yang menjelmakan kekuatan. Sebuah episode
yang membuat Farah dan Angke makin dekat dan saling menguatkan.
Sepenggal episode baru perlahan-lahan mengubah kehidupan mereka. Wisnu, mantan kekasih Farah
semasa SMA, tiba-tiba hadir menguak takdir. Dari pertemuan tak sengaja di bandara, sampai kemudian
sisa-sisa cinta yang pernah membara menyalakan api asmara. Farah mendapati ruang hatinya yang
kosong, terisi kembali. Walau belum sepenuhnya, kehadiran Wisnu cukup berarti dan memberi warna-
warna baru.
Awalnya, Farah tak mau berpikir untuk menikah lagi. Tetapi, Wisnu begitu telaten dan mampu
menumbuhkan getaran-getaran cinta mereka yang sempat redam tersekam waktu. Wisnu juga berusaha
membagi perhatiannya pada Angke, ia cukup kentara ingin jadi calon ayah yang disukai putri kekasihnya.
Namun, agaknya Wisnu perlu berjuang keras mendekati Angke, karena ternyata mendapatkan cinta
gadis cilik itu tak semudah meraih cinta ibunya.
^^^
Di depan cermin, Farah merasa asing dengan dirinya sendiri. Seorang wanita berambut ikal mayang
yang terurai sedikit melewati bahu, berdiri kaku. Bukan karena badannya yang tidak luwes atau sikap
tubuhnya yang kurang bagus, tapi model bajunya yang membuat ia tidak nyaman. Bagian punggung
terbuka, dan tentu saja bukaan bagian depannya agak lebih rendah menuju belahan dada.
Wisnu suka dia berpenampilan seperti ini. Apalagi gaun malam ini sengaja Wisnu persiapkan untuk acara
makan malam mereka yang juga akan dihadiri beberapa sahabat dan rekan bisnisnya.
Tapi, tak seharusnya Farah mati gaya, toh, gaun ini yang seharusnya mengubah penampilannya menjadi
lebih anggun daripada kesahajaannya. Andai bukan Wisnu yang memintanya, sungguh, ia lebih suka
memakai T-shirt, jaket, dan celana lapangan plus sepatu ketsnya. Kalau perlu, sepatu boot antilintah dan
antibecek seperti yang ia pakai waktu eksplorasi ke hutan perawan di Papua!
^^^
Beberapa detik kemudian Farah baru sadar sepenuhnya. Dia berada dalam pelukan Wisnu. Wangi
tubuhnya yang khas laki-laki membuat Farah tak ingin segera beranjak dari situ. Farah belum lupa apa
yang mereka lakukan tadi, sebuah ciuman yang dahsyat. Farah masih merasakan tubuhnya separuh
bergetar. Irfan saja tidak sedahsyat itu! Apakah ciuman beberapa kilas tadi jadi terasa begitu istimewa,
karena sudah lama Farah tak pernah disentuh seorang pria?
Wisnu seorang pencinta yang tahu bagaimana menyenangkan kekasihnya. Seorang romantis yang
blakblakan dan tak pandai berbasa-basi.
Saat-saat yang penuh kesan itu berlangsung terlampau cepat. Sambil memegang dadanya yang
berdegup kencang, Farah bersandar di balik pintu. Lalu, dengan tangan yang masih bergetar, dia
memutar anak kunci.
“Bunda sudah pulang?” suara Angke membuatnya kaget. Agak jengah ia memandangi wajah anaknya.
Jangan-jangan Angke melihat adegan tadi. Wajahnya kian memerah disembunyikan temaram lampu.
“Angke belum tidur….?”
Dalam hati Farah geli sendiri, sudah jelas ibunya ada di rumah, Angke bertanya begitu. Sudah jelas pula
anaknya belum tidur, masih juga ia bertanya seperti itu.
Sambil mengelus rambut anaknya, Farah masih belum bisa melepaskan perasaan melambung yang
dialaminya barusan. “Wisnu. Pria inikah yang akan menggantikan tempat Irfan di hatiku?” ujar Farah
dalam hati.
^^^
Sebuah pesan singkat dari Teddy, rekan kerja satu proyeknya, membuat Farah harus menjadwal ulang
kegiatannya. Farah takkan mengabaikan peristiwa langka yang dikabarkan Teddy. Bayangkan saja,
setelah menunggu hampir dua abad – sejak Raffles dan Joseph Arnoldi menemukannya di belantara
Sumatra tahun 1818 – kini dunia ilmu pengetahuan diguncangkan oleh peristiwa ini! Rafflesia arnoldi
berhasil tumbuh di luar habitat aslinya. Tumbuh pun sudah luar biasa, apalagi sampai bunganya mekar.
Sungguh sebuah anugerah!
Teddy pernah bercerita, biasanya Rafflesia mekar di tengah malam, karena suhu udara seperti itulah
yang dibutuhkan Rafflesia. Teddy memperkirakan waktu mekarnya besok malam. Farah ingin sekali
menyaksikan keajaiban alam itu. Tapi, meninggalkan Angke di rumah sendirian, tak mungkin! Mbok Isah,
pembantunya, sudah dua hari ini pulang kampung. Menunggui anaknya yang mau melahirkan. “Wah…
bagaimana, ya?” desah Farah.
Dititipkan ke Mbak Arti, tetangga sebelah yang belum punya anak itu, Farah agak sungkan. Angke tak
begitu akrab dengan ibu separuh baya yang agak bawel itu. Mending kalau mekarnya besok malam,
Angke bisa dititipkan semalam saja. Tapi, kalau lebih dari semalam?
Sewaktu Farah mengabarkannya kepada Angke, anak itu melonjak-lonjak kegirangan.
“Wah, keren banget, Angke bisa membuat cerita bunga itu. Kebetulan Bu Guru kasih tugas mengarang
sama Angke!”
“Tapi, besok paginya kamu kan sekolah, Ke…!”
“Yaaah…..Bunda! Pulangnya pagi-pagi, dong, subuh-subuh… jadi Angke bisa ke sekolah…!”
“Anak kecil nggak boleh begadang!” Farah mencoba bertahan, meski dia sendiri masih bingung. Bila
Angke tidak ikut, siapa yang menemaninya di rumah?
“Yaaah….. biasanya Angke juga suka nonton bola dan Bunda nggak protes..!”
“Tapi ini di alam terbuka, Ke, kamu kan belum pernah tidur di alam terbuka…!”
“Sudah Bun, waktu itu Angke kan pernah camping sama Ayah di halaman belakang….”
Farah tersenyum, baru camping di situ saja sudah merasa heboh sendiri.
“Iya… itu kan di halaman rumah kita, pakai tenda lagi….”
“Kita bawa saja tenda Ayah….!” Angke tak mau menyerah.
Akhirnya, Farah yang menyerah pada kegigihan Angke. Pada sisi lain juga beban pikirannya berkurang,
karena Angke masih tetap berada dalam pantauannya.
^^^
Sore itu juga mereka berangkat ke Jakarta. Teddy menyambut Farah di pintu gerbang Kebun Raya Cikini.
Hari mulai temaram, Farah menyalakan lampu sorot besar. Di depan, mobil Teddy memandu mereka.
Serasa masuk hutan tapi di tengah kota. Farah sempat merinding. Teddy pernah bercerita, dulunya lahan
di sebelah Kebun Raya Cikini itu adalah kebun binatang milik Raden Saleh, maestro pelukis itu. Andai
sekarang kebun binatang itu masih ada dan penghuninya berkeliaran ke sini. Misalnya harimau atau ular
nyasar……. Hiiiiiyy…..!! Farah bergidik sendirian. Ia sempat melirik Angke, tapi anak itu tampak asyik
menikmati safari malamnya.
Farah berhenti di area parkir yang diteduhi tanaman merambat muccuna. Bunganya yang merah meronai
malam, sebagian jatuh berserakan melintasi pagar tembok yang mengelilingi lokasi Rafflesia. Teddy
membuka pintu besi berwarna hijau tua. Awalnya mereka melewati jalan yang dilapisi batu alam pipih
cukup mulus. Sisa air hujan masih kelihatan sedikit mengggenang pada lekukan dan sambungan batu
alam itu.
“Dari Bogor tadi pukul berapa?” Teddy mencoba mencari bahan percakapan.
“Pukul empat lebih dua puluh menit….”
“Cepat juga, ya… biasanya pada jam-jam seperti ini butuh waktu dua jam lebih untuk sampai ke sini…!”
“Sempat terjebak macet juga, sih, tapi selebihnya lumayan lancar….”
Kisah Sebelumnya:
Sepeninggal Irfan, suaminya, Farah harus menjadi ibu tunggal bagi Angke. Namun, ketika Farah dekat
dengan Wisnu, Angke tidak mau Wisnu menjadi pengganti ayahnya yang telah tiada. Di sisi lain, Farah
juga harus pintar membagi waktu antara urusan rumah dan pekerjaannya sebagai peneliti tanaman obat.
Farah terpaksa membawa Angke ke tempat kerjanya, ketika bunga Rafflesia arnoldi hendak mekar di
sebuah kebun raya.
Calon bunga raflesia yang akan mekar itu tenyata berada di sebuah hutan kecil. Hutan buatan. Pelataran
semen di depannya sengaja dikosongkan, sebuah tenda terpal besar dipasang. Teddy mempersilakan
Farah dan Angke memilih tempat sendiri. Di bawah tenda itu ada empat anggota tim peneliti yang
dipimpin Teddy duduk lesehan beralaskan tikar plastik yang dilapisi karpet biru tebal. Erik, Suta, Rafi, dan
Cahyo. Mereka membawa matras dan sleeping bag. Farah mencari tempat strategis. Tahu begini, Farah
tak perlu membawa tenda.
“Ke, tak usah pasang tenda, ya?”
“Kalau nanti Angke mau tidur, gimana?”
“Ya, tidur di matras saja! Kita juga masih pakai sleeping bag, jadi nggak bakal kedinginan….”
Angke keukeuh dengan keinginannya. Akhirnya, Farah pindah ke bagian paling pinggir dan memasang
tenda di sebelahnya. Kuncup bunga raflesia yang lebih mirip kubis besar itu belum juga mekar. Hanya
ada perubahan sedikit, kelopaknya bergeser sekitar dua milimeter. Suhu udara malam ini rupanya masih
belum cukup membuat sang kuncup bunga bergerak, merekahkan kelopaknya lebih lebar.
Malam kedua, Farah masih penasaran. Apalagi Angke, dia ingin sekali melihat bunga raksasa itu mekar.
Angke tak mau ditinggal, walaupun Mbok Isah sudah datang. Farah sengaja membawa foto-foto raflesia
hasil eksplorasi dari Bengkulu. Namun, semua itu tak cukup memuaskan Angke, karena dia sangat ingin
melihat bunga aslinya.
Ternyata, Teddy mengalami hal serupa. Putrinya, Chika, merengek terus kepingin ikut. Teddy sempat
melarangnya, karena Chika sedang batuk. Akhirnya, berbekal selimut tebal, baju hangat, dan obat batuk,
Chika diizinkan ikut juga.
Yang paling kegirangan tentu saja Angke, mendapat teman baru. Chika hanya dua tahun lebih tua dari
Angke, dan hal ini bukan masalah besar yang bisa menghambat keakraban mereka.
Farah menertawai Teddy yang membawa seabrek perlengkapan.
“Seperti nenekku yang pulang kampung saja,” komentar Farah. Sambil tersenyum, Teddy meletakkan
kasur lipat yang masih terikat di depan Farah.
“Ya, daripada Chika kedinginan dan batuknya makin parah, lebih baik jadi pengungsi lokal!”
Teddy bolak-balik menurunkan barang-barangnya dari mobil.
Teddy sibuk berbenah. Dengan perasaan geli, Farah mengamati pria berkulit agak gelap itu. Rupanya
Teddy lebih keibuan daripada diriku, ujarnya dalam hati.
Tak berapa lama kemudian, Erik, peneliti muda anggota tim, melaporkan sesuatu kepada Teddy. Pria
berkacamata itu langsung bangkit, mengamati bunga raflesia sejenak, dan memperhatikan langit. Dia
berbicara serius kepada Erik, lalu memanggil anggota timnya yang lain.
“Kita harus membuat tenda pendek yang agak lebar di atas bunga itu untuk mengantisipasi turunnya
hujan. Dalam posisi kelopak yang masih tertutup, kena hujan tak masalah. Tetapi, jika kebanyakan air
hujan masuk di saat kelopaknya sudah mulai terbuka, ia akan cepat busuk!”
“Apa perlu kita pasang lampu besar di sini, supaya suhunya menjadi lebih hangat, Pak?”
“Boleh saja bila diperlukan. Tapi, kita perlu menutupinya dengan kain hitam untuk meredam cahaya.
Tanaman itu peka terhadap cahaya, dia bisa tidak mau mekar karena disangkanya masih siang hari,” urai
Teddy, sambil melepaskan baterai dari kamera saku digitalnya. “Sebaiknya kita berhati-hati. Pasang
lampu secukupnya saja, sebatas kebutuhan cahaya untuk memotret atau kamera video. Kita perlu
mempertahankan suhu udara yang kondusif dan stabil supaya bunga ini mekar sempurna….”
****
Farah ikut menyimak uraian Teddy. Dia memang jadi anggota tim pria jangkung itu karena kerja sama
kantor mereka. Teddy peneliti madya dari instansi pemerintah, Farah kepala divisi budi daya tanaman
obat sebuah pabrik obat herbal berskala internasional. Perusahaan menugasi Farah menangani proyek
kerja sama pembudidayaan Rafflesia arnoldi.
Erik dan rekannya segera berlalu dari situ. Dua peneliti lainnya belum datang. Biasanya mereka tiba di
atas pukul delapan.
“Sudah berapa hari di sini, rasanya saya belum melihat wartawan meliput?” celetuk Farah. “Ini peristiwa
spektakuler dalam dunia ilmiah, Mas, tapi, kok, sepi begini?”
Teddy tersenyum, dibenahinya letak kacamatanya yang agak turun.
“Memang sebaiknya ada, hanya atasan kami belum memberi izin, karena bunga ini belum mekar….”
“Lho… mekar atau tidak, itu pun sudah merupakan berita. Proses pemindahan liana (tanaman merambat
yang menjadi tempat raflesia menggantungkan hidupnya) hingga muncul kuncup bunga raflesia saja
sudah berita besar. Bahkan nanti kalau bunga layu atau tinggal bangkainya saja, tetap punya nilai
berita…! Bayangkan, Mas, butuh waktu 190 tahun untuk menunggu bunga ini mekar di luar habitat
aslinya!” tukas Farah, berapi-api.
Teddy mengiyakan perkataan Farah. Sebelumnya, usaha konservasi dan budi daya raflesia secara ex
situ (di luar habitat aslinya) sudah sering dilakukan, tapi tak pernah berhasil.
Rafflesia roschussenii memang pernah tumbuh di Kebun Raya Bogor tahun 1929, tapi kemudian tak
terdengar lagi kabar beritanya. Baru 81 tahun kemudian, kerabat bunga sejenis, yaitu Rafflesia patma,
mekar tahun 2010.
“Sebelum bekerja sama dengan perusahaan Mbak Farah, kami sudah lama mengadakan kerja sama di
bidang kultur jaringan dan budi daya tanaman langka dengan kebun botani tertua di Asia itu. Mereka
berhasil memindahkan liana yang sudah diparasiti Rafflesia patma dari Pangandaran. Selama empat
tahun ini, tim kami banyak menimba ilmu dari lembaga itu. Dan inilah hasilnya!”
Mata Farah tak dapat menyembunyikan kekagumannya terhadap kegigihan Teddy meneliti tumbuhan
langka kebanggaan Indonesia itu. Di sisi lain, Farah pun angkat jempol atas ketelatenan Teddy yang
menjadi orang tua tunggal bagi Chika. Sekilas, Farah pernah mendengar kabar dari rekan kerjanya
bahwa Teddy sudah bercerai dari istrinya.
^^^
Tanpa membuang waktu, sebuah tenda pendek ukuran 4 x 4 meter segera dipasang menaungi
Rafflesia arnoldi. Tenda itu tak keruan bentuknya, karena disesuaikan dengan posisi liana. Beberapa
bagian tenda digunting sekaligus dibolongi agar liana tetap pada posisinya semula. Di bawah celah yang
terbuka, dipasang lapisan lain agar tidak terlalu dirembesi air. Tanaman inang itu tak mungkin dipotong,
sang bunga bisa mati karenanya.
Teddy tak mau kerja kerasnya berakhir percuma oleh hujan yang bisa datang kapan saja. Mengguyur
dalam tingkat curah hujan yang tinggi. Apalagi di musim pancaroba seperti ini, pergantian cuaca yang
tidak menentu bisa makin memperburuk keadaan.
Suara pipa besi beradu membekap nyanyian para binatang malam. Jam sudah menunjukkan pukul
sepuluh malam, tapi masih belum ada tanda-tanda yang menunjukkan perubahan pada kuncup bunga
raflesia itu. Farah membatin, menunggu bunganya mekar saja sudah menuntut kesabaran ekstra, apalagi
mencoba menumbuhkannya.
Raflesia hanya bisa tumbuh bila ada tumbuhan inang tertentu yaitu Tetrastigma sp. Bunga langka yang
berdiameter satu meter membutuhkan inang selebar 10 sentimeter yang umurnya minimal 10 tahun.
Untuk membudidayakan raflesia, dibutuhkan inang yang besar.
Dari balik tenda ungu, suara tawa Angke dan Chika mengusik Farah.
“Angke, Chika, ayo tidur, Nak, sudah pukul sebelas!”
“Nanti kita ketiduran. Kita kan ingin lihat bunga raflesia mekar, Bun!” Angke menarik bantal Chika,
Chika balas menarik bantal teman barunya itu. Lalu mereka cekikikan.
“Besok kan kalian sekolah pagi. Kalau bunga itu mekar, nanti Bunda kasih tahu, deh!”
“Bener, ya…!” ujar kedua anak itu, nyaris bersamaan.
“Bunda janji, ya!” kata Angke lagi, penuh harap. Farah mengiyakan.
Langit malam membentang tanpa bintang, hawa dingin makin menyergap. Teddy dan Erik membawa
enam cangkir kopi panas. Harumnya menebarkan kehangatan.
“Ayo, Mbak!” ucap Erik ramah. Farah jadi ingat, tadi sore dia sempat membeli keripik singkong dan
beberapa bungkus roti empat rasa.
“Sebentar, Mas, saya ada bawa sedikit camilan.” Farah bergegas menuju mobilnya.
Wangi kopi dan renyahnya obrolan para peneliti itu menguak kesunyian malam. Kuncup bunga raflesia
yang bentuknya mirip kubis itu masih berada di situ. Urat-uratnya yang hijau makin menonjol. Kamera
video yang dinyalakan otomatis selama dua puluh empat jam selalu memantau setiap perubahan apa
pun yang terjadi pada bunga itu setiap detiknya.
^^^
Malam ketiga, di lokasi bunga raflesia, ponsel Farah bordering. Dari Wisnu!
“Ya…. Aku sedang mengamati bunga Rafflesia arnoldi di Kebun Raya Cikini….”
“Aku masih di Kualalumpur, lusa baru pulang. Kamu ingin oleh-oleh apa, Sayang…?” tanya Wisnu.
“Apa saja, deh… yang penting tidak berwarna pink!” kata Farah, cepat. Lewat sudut matanya, Farah
memperhatikan Teddy yang sedang membetulkan letak tiang penyangga kamera video.
Wisnu meminta Farah memanggil Angke. Angke yang sedang asyik bermain, langsung cemberut.
“Angke… ayo cepat!”
Separuh hati Angke menjawab pertanyaan Wisnu. Secepat mungkin, ia kembalikan ponsel kepada
ibunya, lalu masuk tenda lagi.
“Tadi telepon dari siapa?” tanya Chika, penuh rasa ingin tahu.
“Oom Wisnu… pacarnya Bunda….”
Mulut Chika membentuk huruf O bulat.
“Aku pernah lihat kartu namanya di meja Bunda,” ujar Angke, setengah berbisik. “Nama lengkapnya
Wisnu Patria Ijzerman….”
“Spiderman?” celetuk Chika sembarangan. Cepat-cepat ia membekap mulutnya sendiri, bahunya
berguncang menahan tawa. “Namanya aneh, ya… susah mengejanya!” ujarnya lagi.
“Ya, dia keturunan orang Belanda, matanya agak kehijauan. Nanti kamu perhatikan saja kalau ketemu
dia….”
Mata Chika membulat, penasaran. Baru saja ia hendak membuka mulutnya, suara ayahnya langsung
meredupkan rasa penasarannya yang baru saja tumbuh.
“Chika, sudah diminum obatnya?”
Chika menjawab cepat. Dia menempelkan telunjuknya di bibir sambil melihat Angke. Diraihnya sebotol
obat batuk, lalu meminumnya satu sendok dalam sekejap. Dua butir tablet pun secepatnya ia telan. Chika
diwanti-wanti oleh ayahnya agar ia lebih banyak berada di dalam tenda, karena udara di luar lebih dingin.
Di luar, Farah dan Teddy mempersiapkan pers release yang dikirimkan malam itu juga via e-mail dan
faksimili ke beberapa media cetak dan elektronik.
^^^
Malam keempat. Siang harinya Teddy menelepon Farah dan memintanya datang lebih awal.
“Jakarta hujan terus sejak pagi, suhu udaranya nyaris sedingin malam. Bunga itu akan mekar lebih cepat
dari yang diperkirakan. Raflesia kita bisa tertipu oleh cuaca yang dikiranya malam hari.”
“Baiklah, sepulangnya Angke les matematika, saya akan langsung ke sana….”
Farah segera merapikan berkas-berkas laporan yang sedang ia kerjakan. Ia masih harus mengawasi
penyeleksian bibit pohon yohimbe untuk dipindahkan dalam polybag. Kulit pohon yohimbe berkhasiat
sebagai obat penambah stamina bagi pria. Farah sempat tersenyum sendirian ketika memperhatikan
anak buahnya yang memisahkan ratusan polybag berisi bibit yohimbe unggulan ke dalam green house.
^^^
Kebun Raya Cikini tampak segar usai diguyur hujan barusan. Angke langsung menghampiri Chika
yang spontan mengajaknya bermain.
“Kita memunguti bunga kemboja di samping laboratorium, yuk!” ajak Chika. Chika menghampiri kursi di
depan ayahnya, ia mencari-cari sesuatu. Angke melihat ke arah ibunya yang sedang mengobrol bersama
Teddy. Farah mengerti maksud Angke, ia mengangguk. Kedua anak itu langsung beranjak dan jalan
berjingkat-jingkat, menghindari genangan air. Bunga-bunga kemboja berserakan di rerumputan. Hujan
mempercepat jatuhnya bunga-bunga putih yang wangi itu.
“Ayahnya Angke namanya siapa, sih?” tanya Chika, dipungutnya sekuntum bunga kemboja yang
berkelopak besar.
“Irfan Setiawan.”
“Kata Papi, dia sudah meninggal, ya?”
“Ya, waktu itu Angke masih kecil, masih TK…,” suara Angke terdengar datar.
“Sekarang juga kamu masih kecil, masih kelas tiga. Kalau aku ‘kan sudah besar, kelas lima, lho…!” kata
Chika.
Angke memunguti bunga kemboja. Chika menyimpannya dalam sebuah kantong plastik bekas roti yang
dibeli ayahnya.
Angke dan Chika saling bercerita tentang ayah mereka.
“Angke sering diajak ke laboratorium Ayah, terus Angke boleh melihat akar kentang pakai mikroskop. Di
situ ada telur cacingnya, lho. Angke dikasih tugas sama Ayah untuk menghitungnya,” kata Angke bangga.
Sekuntum bunga kemboja jatuh menerpa kepala Angke dan tersangkut di rambutnya.
“Kalau aku, Papi pernah memperlihatkan cara memasukkan tunas-tunas anggrek langka ke dalam
botol….”
“Apa nggak mati dimasukkan ke dalam botol?”
“Nggak, dong! Aku juga pernah tanya seperti itu sama Papi. ‘Kan tunas anggrek itu bikin oksigen
sendiri dan diisap sendiri…”
“Ooh, begitu, ya….” Angke mengunyah sebatang cokelat karamel besar kesukaannya. Sepotong lainnya
sudah ia berikan kepada Chika.
“Waktu Bunda eksplorasi ke hutan Sulawesi, Angke diajak menginap di wisma kantor Ayah di Cipanas.
Jauh, lho! Di sana, Angke ikut menghitung bunga kacang tanah. Jumlahnya di setiap pohon, Angke tulis
di lembaran kertas yang banyak gambar kotaknya….” Mata Angke berbinar-binar.
“Ayahmu bisa masak nggak? Kalau papiku jago masak…! Apalagi sesudah Mami pergi, Papi jadi lebih
rajin bikin sarapan…,” kata Chika, penuh semangat. “Pernah, papiku masih ngantuk, bikin susu cokelat
malah dikasih garam….”
Angke tergelak, bunga kemboja yang sedari tadi bertahan di rambutnya kini terjatuh.
Senja kian temaram, membenamkan dirinya di antara tajuk pepohonan. Tenda kecil sudah terpasang.
Di sebelah Angke, Chika tidur-tiduran sambil memeluk bantal lusuh bergambar beruang. Matras dan
kasur lipat yang mereka bawa, dirapatkan. Tanpa jarak. Ruang gerak mereka menjadi lebih luas, meski
kasur Chika lebih tebal. Angke justru menjadikan kasur Chika sebagai bantal, dan dia tidur melintang.
Akhirnya Chika mengubah posisinya, mereka pun berbaring bersisian.
Angke membiarkan matanya menjelajahi bagian atas tenda berwarna ungu tua itu. Kenangan bersama
ayahnya tergambar di situ, seperti rekaman video yang diputar ulang.
“Gimana, sih, rasanya punya ayah sudah meninggal?” tanya Chika, tiba-tiba, sambil membalikkan
badannya. Mata anak itu penuh rasa ingin tahu, seakan tak sabar ingin mendengar sebuah pengalaman
hebat yang hanya dimiliki segelintir anak-anak tertentu seusia mereka.
“Ya, sedih saja. Angke suka kangen. Angke tahu Ayah meninggal. Waktu Ayah dimakamkan, Angke
lihat. Tapi, kalau lagi kangen, rasanya Ayah masih ada dan Angke ingin ketemu.”
Chika terdiam beberapa saat. Mencoba memindahkan kepedihan itu dalam benaknya. Kalau Papi
meninggal, tentu saja aku tak bisa bikin sarapan bareng lagi, batin Chika. Tak ada yang mengantarnya
sekolah atau nonton film kartun bareng di rumah sambil menikmati popcorn buatan mereka berdua.
“Wah…. nggak enak juga, ya, kalau ayah kita meninggal!”
“Iya….”
“Apalagi Papi dan Mami sudah bercerai, dan Mami sudah menikah lagi….”
“Kok, bisa begitu, papimu kan masih hidup?!”
“Nggak tahulah. Papi hanya bilang, kalau aku sudah besar, baru akan mengerti. Orang dewasa
memang suka bikin bingung anak-anaknya.”
Angke tidak menjawab. Giliran ia memikirkan bagaimana rasanya ditinggal ibunya. Beberapa detik
kemudian dia bergidik sendirian, tak kuasa meneruskan apa yang dia rangkai dalam benaknya.
^^^
Pagi hari pukul 02.38. Tiba-tiba, klek! Bukaan kelopak raflesia bergerak lebih lebar. Farah membuka
ritsleting sleeping bag-nya. Teddy, Erik dan Suta sudah bergegas menghampiri bunga raksasa itu.
“Sudah waktunya….?” suara Farah lebih mirip gumaman orang mengigau.
“Sedikit lagi…… Lima belas menit yang lalu aku siram air kendi sedikit. Ternyata ada reaksi!”
“Air kendi?” tukas Farah. “Kesannya mistik, deh…!” Kali ini suaranya lebih jelas dan nyaring. Rupanya
dia seratus persen sudah bangun.
“Air kendi tak sedingin air kulkas. Namanya juga trial and error, coba-coba sedikit boleh, ‘kan?” ujar
Teddy, ringan. “Suhu yang dibutuhkan raflesia untuk menggerakkan kelopaknya sangatlah relatif dan tak
bisa diduga!”
“Menunggu mekarnya raflesia saja butuh kesabaran ekstra….”
“Seperti menunggu orang melahirkan saja.”
“Iya, dan air kendi itu, kok, jadi mirip cairan infus yang merangsang bunga itu membuka lebih lebar….”
“Mbak Farah bisa saja, ah….!” kata Teddy, sedikit tersipu. Sehelai daun jatuh menimpa pundaknya.
Erik dan Suta sedang menyetel tripod kamera otomatis yang merekam gerak raflesia.
“Mekarnya bunga hanya bagian kecil dari proses pembudidayaan raflesia. Kita akan melewati banyak
tahapan lagi sampai benar-benar bisa membudidayakan bunga ajaib ini!” kata Teddy, serius.
“Ya, selanjutnya kita harus berusaha agar ada dua bunga yang mekar dalam waktu berdekatan.”
“Betul, Mbak, kita hanya akan menciptakan populasi yang mati bila hanya satu bunga yang mekar. Bila
bunga betina mekar sendirian, dia tidak bisa melakukan reproduksi, putik sarinya tak berguna.
Sebaliknya, bila yang mekar bunga jantan saja, serbuk sarinya jadi mubazir.”
Rafflesia arnoldi termasuk jenis tumbuhan berumah dua, bunga jantan dan betinanya hidup terpisah.
Agar terjadi penyerbukan yang sempurna, mereka harus mekar bersamaan. Waktu yang dibutuhkan dari
mulai terbentuknya kuncup bunga hingga mekar sempurna adalah sekitar 21 bulan.
“Mudah-mudahan kita nggak keburu pensiun dan masih sempat memperbanyak bibit raflesia ini…,”
ucap Farah, perlahan. Suara serangga malam menembus kelam.
“Don’t worry be happy! Ada dua calon peneliti cilik yang siap meneruskan cita-cita orang tuanya….”
Teddy melepaskan kacamatanya, lalu mengelapnya perlahan. Untuk pertama kalinya, Farah melihat
mata Teddy tanpa dibatasi kacamata. Mata itu sesejuk air kendi yang dibiarkan semalam, dinaungi alis
mata yang tebal selebat tajuk pepohonan di belantara Sumatra.
Kisah Sebelumnya:
Sepeninggal Irfan, suaminya, Farah harus menjadi ibu tunggal bagi Angke. Namun, ketika Farah dekat
dengan Wisnu, Angke tidak mau Wisnu menjadi pengganti ayahnya yang telah tiada. Suatu saat, Farah
berkenalan dengan Teddy –duda satu anak- saat mereka terlibat dalam penelitian bunga Rafflesia arnoldi
yang hendak mekar di sebuah kebun raya.
Di depan mereka, bunga raflesia itu belum juga membuka kelopaknya lebih lebar. Seakan jual mahal
karena setiap milimeter gerakannya menjadi begitu berarti dan ditunggu banyak orang. Hmm… ataukah
bunga raflesia itu sengaja memperlambat jadwal mekarnya? Membiarkan waktu bergulir agar Farah dan
Teddy mempunyai banyak kesempatan untuk mengenal satu sama lain.
^^^
Malam kelima. Wisnu sudah datang dari Malaysia. Dia ingin ketemu. Mau langsung ke Kebun Raya
Cikini, tapi dilarang Farah. Konsentrasinya bisa buyar, karena dia hafal betul, Wisnu pasti akan menyita
perhatiannya, dan ini bukan waktu yang tepat.
“Lebih baik istirahat dulu, ya, Sayang, kamu kan masih capek!”
“Nggak, kok, ketemu kamu juga pasti capek-nya hilang. Angke ada di sana juga, ‘kan? Ini ada oleh-oleh
buat gadis kecil kita yang cantik….”
“Tapi, aku sedang mengamati raflesia, aku sedang kerja!” Farah mencoba bertahan. “Lagian nanti
tidurnya bagaimana? Aku punya sleeping bag cuma dua….”
“Ya, begadang saja, yang penting ada kopi! Aku juga ingin lihat proses mekar bunga itu. Sekali-sekali aku
ingin lihat calon istriku dalam dunia kerjanya.”
“Wiiss... ayolah, hari ini pun belum tentu mekar!”
“Biar saja, yang penting aku ingin berada di dekatmu….”
Farah nyaris kehilangan akal. “Besok saja, ya, nanti aku telepon kamu! Kamu bisa ketemuan aku
sekaligus menyaksikan bunga itu mekar. OK?”
Wisnu mengurungkan niatnya. Usaha Farah berhasil, rasa lega segera memenuhi rongga hatinya.
Senja di jalan tol berebut pesona dengan lampu-lampu yang baru dinyalakan. Farah tak dapat
memastikan, pukul berapa sampai di Jakarta. Berulang kali Teddy meneleponnya. Jalan ke arah Cikini
lumayan padat, ada bus wisata yang nyelonong ke trotoar. Teddy berharap Farah tiba sebelum arus lalu
lintas di sana berubah jadi macet total.
^^^
Malam keenam. Kali ini dapat dipastikan bunga Rafflesia arnoldi akan merekahkan kelopaknya yang
besar. Teddy berani memastikan, karena tanda-tandanya makin kentara. Angke dan Chika ikut sibuk,
mereka berbagi tugas. Angke merekam dengan kamera videonya, Chika memotret dengan kamera
digitalnya.
Polah tingkah kedua peneliti cilik itu mengundang senyum orang-orang yang ingin menyaksikan proses
mekarnya bunga raflesia secara langsung. Enam orang wartawan, Putri Eunice dari Kerajaan Inggris
yang kebetulan ada di Indonesia, tak mau melewatkan kesempatan ini. Francesco Verdi, seorang
pemerhati raflesia asal Italia, juga sengaja datang ke sini.
Sebuah pembatas dari tali yang direntangkan pada beberapa bilah bambu, dipasang di depan lokasi
raflesia. Hanya peneliti dan orang-orang tertentu yang diizinkan mendekat, itu pun harus didampingi
peneliti atau petugas Kebun Raya Cikini. Diperkirakan akan lebih banyak orang yang datang, terutama
setelah bunga ini mekar sempurna.
Hujan yang mengguyur deras menjadi aba-aba dari Sang Pencipta, untuk mengawali sebuah pertunjukan
yang menakjubkan. Pukul 01.38, bunga Rafflesia arnoldi itu mulai merekah. Dalam gerakan yang sangat
lamban, keindahan itu menampakkan dirinya di balik seludang yang sudah lama terlepas. Warna
kelopaknya semerah bara, menyala di bawah kilau lampu yang tersekap malam. Bintik-bintik putih
bernuansa krem yang meriap nyaris tak berjarak, tampak merepih dan ikut menciptakan harmoni warna
yang utuh.
Semua yang ada di sana terpana, terbawa arus pesona yang mengisapnya masuk ke dalam sebuah
pusaran. Si cantik dari belantara Sumatra itu kian mengerahkan segenap daya pukaunya yang memikat.
Selama dua hari ia akan membuka kelima kelopaknya satu per satu, hingga bagian tengahnya yang
serupa cakram berduri terlihat utuh.
“Ini sebuah orkestrasi alam yang sempurna!” desis Teddy, dalam keterpanaan yang sangat. “Pada satu
titik waktu, suhu tertentu dan kondisi yang sangat spesifik dia mempersembahkan sebuah komposisi.
Keindahan fisik, warna, dan sedikit gerak berpadu dalam keselarasan.”
Farah terpukau, bukan hanya bunga yang membuatnya terkesima, tapi juga kalimat Teddy yang begitu
puitis. Sungguh itu bukan perkataan yang biasa meluncur dari seorang botanis.
Selanjutnya, hanya decak kagum yang terdengar. Teddy meraih pergelangan tangan Farah, mengajak
wanita itu lebih mendekat ke arah bunga. Tetesan air hujan yang menelusupi celah-celah tenda, jatuh
bergulir di atas kelopak bunga raflesia. Menciptakan butiran-butiran air laiknya embun di pagi hari.
Kilauan lampu blitz seakan berlomba menciptakan cahaya, yang membuat sang bunga kian memikat hati
siapa pun. Semua seakan sepakat untuk mengabaikan baunya yang tak sedap dan disukai lalat.
Hanya beberapa detik Farah membiarkan tangan yang hangat dan kokoh itu memegang pergelangan
tangannya. Dengan gerakan yang sangat halus, ia meloloskan tangannya dari genggaman pria itu. Wajah
Teddy sedikit merah padam. Keduanya sama-sama jengah. Lalu, tanpa sadar mereka mencoba
mengalihkan perhatian pada objek yang kebetulan sama: aktivitas anak mereka masing-masing.
^^^
Wisnu datang menjelang dini hari. Tanpa ragu ia mengecup kedua pipi Farah di depan semua yang hadir
di situ. Angke dan Chika sudah lelap di dalam sleeping bag-nya masing-masing. Sambil sekalian
berkenalan, Wisnu mengucapkan selamat kepada Teddy. Dia hanya tahu nama Teddy dari cerita
Farah.
Para wartawan yang sedari tadi terpukau oleh prosesi mekarnya raflesia, baru menyadari bahwa mereka
belum mewawancarai Teddy dan Farah, sebagai motor penggerak proyek budi daya raflesia. Jumpa pers
pun berlangsung spontan. Lampu blitz berulang kali berkedip. Farah tersenyum sambil merapatkan
jaketnya, ketika seorang wartawan mempertanyakan prospek budi daya raflesia.
“Kami ingin mewujudkan sebuah kawasan konservasi tempat pembudidayaan Rafflesia arnoldi, juga
tanaman obat langka lainnya. Di Taman Rafflesia ini, masyarakat akan disuguhi berbagai jenis raflesia
yang ada di bumi Nusantara. Mereka pun bisa melihat proses pembuatan obat herba dari dekat dan
memaknai betapa kayanya potensi alam di negeri kita!”
Farah dan Teddy nyaris kewalahan menghadapi pertanyaan yang bertubi-tubi dari awak media itu. Wisnu
sabar menunggu. Dari jarak yang tak begitu jauh ia memandangi Farah.
“Mengapa raflesia selalu membutuhkan tanaman inang?” Pertanyaan ini diajukan kepada Teddy oleh
wanita wartawan dari majalah Flora Indonesia.
“Raflesia tak punya akar, batang, dan daun. Ia tak bisa berfotosintesis karena tidak punya klorofil. Jadi,
raflesia tidak bisa cari makan sendiri. Itulah sebabnya, dia butuh tumbuhan inang. Ia hanya memiliki akar
pengisap makanan yang disebut haustorium. Berkat akar pengisap inilah ia menggerogoti inangnya, agar
bertahan hidup.”
Kemudian Teddy menceritakan proses awal tumbuhnya raflesia secara ex situ. Cara pertama membawa
biji dari habitatnya, kemudian disemaikan pada liana yang sudah ada di Kebun Raya Cikini. Cara kedua,
membawa liana yang sudah terinfeksi bibit raflesia dari Cagar Alam Batang Palupuh, Sumatra Barat.
“Proyek besar ini biayanya tak sedikit. Kami membawa liana dalam container besar dengan suhu tertentu
yang tidak membuatnya dehidrasi. Liana mengandung kadar air yang tinggi,” jelas Teddy. “Rafflesia
patma berhasil tumbuh di Kebun Raya Bogor. Artinya, Rafflesia arnoldi juga bisa. Sekarang kami sudah
membuktikannya!”
Pagi mulai menyingsingkan malam. Erik membagikan brosur raflesia kepada semua yang hadir di situ.
Wisnu menghampiri Farah, pamitan. Seorang wartawan senior menyapa Wisnu dan mereka terlibat
percakapan. Suta berbisik kepada wartawan di sebelahnya.
“Siapa, sih, dia...?”
“Wisnu Patria Ijzerman, masih kerabat dekat pendiri ITB,” jawab wartawan itu, sambil berbisik pula. “Dia
pengusaha tours and travel yang baru membuka kerja sama wisata sejarah dengan Malaysia dan
Thailand….”
^^^
“Betul kan ceritaku….” Angke meraih kelinci kecil berwarna putih, lalu mendekapnya penuh rasa sayang
dan sedikit gemas.
“Iya, mata Oom Wisnu bagus, kayak bintang film, ya?” kata Chika.
“Iya, sih…,” kata Angke.
“Sebetulnya Oom Wisnu baik, tapi Angke nggak begitu suka. Kalau Bunda sama dia menikah, nanti foto
pernikahan Ayah sama Bunda diganti, dong!”
Bibir Chika membentuk huruf O besar. Kelinci cokelat yang dipegangnya meloncat ke dalam semak.
Angke berusaha membantu Chika, tapi kelincinya juga terlepas. Maka sibuklah mereka.
Tadi pagi, Teddy sengaja membeli dua ekor kelinci di dekat gerbang Kebun Raya Bogor. Tentu saja ini
semacam taktik agar kedua gadis cilik itu asyik bermain, sementara Teddy dan Farah mengikuti
workshop tanaman obat dengan tenang. Untungnya, acara yang digelar di kebun botani itu hari Minggu,
jadi Angke dan Chika bisa diajak.
Workshop diakhiri dengan kunjungan ke Kebun Raya Cikini. Bunga yang mekar empat hari yang lalu itu
masih menyisakan pesona, meski sudah beranjak layu dan mulai berubah warna.
^^^
Oleh-oleh yang dibawa Wisnu dari Malaysia itu diberikan Angke kepada Mbok Isah. Boneka Ipin dan Upin
asli, buatan negeri jiran yang sedang digemari anak-anak Indonesia.
“Buat cucunya…,” jelas Angke, waktu Farah bertanya.
“Cucu Mbok Isah kan masih bayi, belum tahu Ipin–Upin!”
“Biarin nanti juga cucunya pasti jadi anak kecil dan kalau sudah besar nanti dia pasti suka sama boneka
itu…,” ujar Angke, sambil menahan hati.
Sebetulnya dia suka kedua boneka itu. Kalau saja yang menghadiahkannya bukan Wisnu, tentu dengan
senang hati ia terima. Angke sudah berjanji dalam hati, tidak akan menerima apa pun dari Wisnu. Dia
takut, Wisnu sedang membujuknya, supaya pria itu bisa menjadi ayah barunya. Perasaan intuitif seorang
anak yang terkadang punya kewaspadaan yang sulit diduga.
Tak berapa lama kemudian, telepon berdering. Dari Chika. Angke kegirangan.
“Iya ini Angke, Chika lagi apa?”
“Lagi kasih makan si Pongki, dia kerjanya makan melulu. Hari ini sudah habis kangkung tiga ikat …!”
“Wah, nanti kegendutan dia! Si Bingki lagi belajar diet. Kata Bunda, kelinci jangan terlalu banyak dikasih
makan, nanti perutnya buncit, nggak bisa bergerak!”
Mereka asyik bertukar cerita sampai Farah melambaikan tangan agar Angke menyudahi obrolannya.
“Chika, ada salam dari Bunda….,” ujar Angke, salah tafsir.
Farah menggoyangkan telapak tangannya. Baru Angke mengerti. Diletakkannya gagang telepon, lalu
menghampiri ibunya yang sedang menuangkan agar-agar ke dalam cetakan.
“Chika besok mau ke sini, Bun. Mau nengok si Bingki…!”
“O, ya? Jam berapa…? Bunda besok mau belanja bulanan….”
“Dia nggak bilang jam berapa, sih, tapi Angke sudah bilang kita ada di rumah…!”
“Mmm… ya, sudah! Lagian, Bunda juga belum bilang sama Angke bahwa kita mau pergi!”
“Kalau begitu, agar-agar ini jangan kita makan semua. Kita simpan buat Chika, ya, Bun!” ucap Angke.
Mimik wajahnya serius. Farah menahan senyum sekaligus bangga. Putri tunggalnya ternyata memiliki
kepekaan untuk berbagi.
^^^
Chika datang bersama Pongki dan tentu saja ayahnya. Angke segera menarik sahabat barunya itu ke
taman belakang rumah. Suara canda mereka terdengar sampai ke dalam. Farah dan Teddy masih di
ruang tamu dan pembicaraan mereka tak beranjak dari proyek raflesia.
Matahari menggulirkan siang begitu cepat. Farah menawari Teddy makan siang, tapi pria itu menolaknya
dengan halus. Masih kenyang, katanya, mereka baru saja makan di rest area jalan tol.
Gelas Teddy sudah tandas, rupanya dia kehausan. Farah beranjak dari duduknya, lalu bergegas menuju
kulkas. Dibawanya sebotol air es dan sirop. Barusan ia melihat isi kulkas yang nyaris kosong, mau tak
mau Farah harus belanja hari ini. Nanti malam Wisnu datang dan sudah berjanji akan memasak menu
istimewa buat mereka.
Farah menatap Teddy, pria itu mengangkat alisnya sedikit.
“Saya tinggal sebentar nggak apa-apa kan, Mas? Titip anak-anak, ya…!”
“Memangnya mau ke mana?”
“Belanja. Kulkas perlu diisi ulang, Mas……!” ucap Farah, ringan. “Mas Wisnu nanti malam ke sini. Dia
mau bikin spaghetti dan sup kacang merah.”
Teddy meneguk habis isi gelasnya, lalu memandangi Farah yang sudah menenteng kunci mobil.
“Perlu saya antar?”
“Nggak usah, makasih. Mbok Isah tak masuk hari ini. Kalau Mas pergi, siapa yang jaga mereka?”
“Anak-anak sudah besar, kok… atau kita ajak saja mereka?”
Farah langsung menuju taman belakang. Angke dan Chika tampak sibuk bersama kelinci mereka. Dia
cuma bisa geleng-geleng kepala, ketika melihat kedua anak itu membiarkan bunga sedap malam yang
baru berbunga, dikunyah habis si kelinci.
“Si Bingki sama si Pongki sedang lomba makan kangkung, tapi mereka milih sedap malam, Bun,” ujar
Angke, riang. Farah dapat merasakan, keriangan ini lebih pekat dari hari-hari yang biasa Angke
tampilkan setiap hari, sendirian.
“Ikut Bunda ke supermarket, yuk! Ajak Chika juga!”
“Angke mau ajak Bingki dan Pongki juga.... Boleh, Bun?”
“Wah, sebaiknya Bingki dan Pongki ditinggal saja…!”
“Tapi....” Mata Angke memohon dengan sangat, lalu memandang Chika yang sedang menggendong
kelinci cokelatnya.
“Bagaimana kalau mereka bersama kelincinya menunggu di mobil,” ucap Teddy kepada Farah,
menengahi.
“Angke di rumah saja, deh…,” kata Angke.
“Chika juga!”
Farah dan Teddy saling berpandangan. Akhirnya, mereka mengizinkan kedua gadis cilik itu tinggal di
rumah bersama dua ekor kelinci yang gemar mengunyah berbagai jenis tumbuhan.
^^^
Farah terkesiap. Wisnu datang lebih awal. Mobilnya parkir di depan pagar, karena mobil Teddy sudah
lebih dulu parkir di carport, di sebelah mobil Farah. Farah memanggil-manggil Angke dan Chika. Pintu
ruang tamu tak dikunci. Ruang keluarga tampak berantakan. Tak ada orang di situ. Kangkung bertebaran
di karpet. Televisi dibiarkan menyala tanpa penonton. Sebuah gelas berisi sirop tergeletak tumpah
membasahi taplak meja.
Tiba-tiba, seekor kelinci menerjang masuk. Farah kaget. Di belakangnya menyusul Wisnu dan kedua
gadis cilik itu. Wajah mereka menyimpan keceriaan yang tulus. Terutama Wisnu, yang kali ini lebih mirip
wajah seorang anak nakal dan bandel yang kepergok mencuri mangga tetangga. Kaus polo cokelat tua
yang dipakainya, dihiasi serpihan rumput. Beberapa helai daun kangkung menempel di bagian dadanya.
Tak jauh berbeda dengan pemiliknya, si Bingki dan si Pongki sama-sama tak keruan bentuknya. Si
Bingki, bulunya belepotan sirop warna merah. Lebih mirip bendera luntur yang gagal dicelup. Sedangkan
si Pongki, kedua kupingnya dihiasi bunga sedap malam yang ditempel pakai selotip kuning. Sebuah rok
hula-hula yang terbuat dari daun suplir kesayangan Farah, melingkari perutnya.
Ternyata, Angke mulai bisa akrab dengan Wisnu. Tapi, hati Farah, kok, jadi tidak keruan rasanya. Teddy
hanya tersenyum-senyum melihat penampilan lima anggota pasukan Laskar Kelinci itu. Farah
membersihkan serpihan rumput yang menempel di pipi Wisnu. Lalu, Wisnu mencuci muka di wastafel
dekat meja makan. Tak lama kemudian, Teddy dan Chika segera pamit pulang.
^^^
Angke dan Chika makin karib. Kalau tidak Chika yang datang ke Bogor, Angke yang ke Jakarta.
Hampir setiap kali Farah ada dinas luar ke Kebun Raya Cikini, Angke ikut. Angke dan Chika janjian
bertemu di sana, disertai dua kelinci yang makin gendut itu.
Farah tahu Wisnu agak cemburu, meski tak terlalu kentara. Tapi, tak mungkin melarang Angke berteman
dengan Chika. Tak mungkin pula menghentikan proyek kerja sama yang dijalinnya bersama Teddy.
Sebuah pembenaran yang nantinya menciptakan perangkap yang sungguh menjerat.
Celoteh Angke dan Chika segera saja memenuhi ruang keluarga yang tak terlalu luas itu. Barusan Chika
diantar ayahnya. Teddy menitipkan Chika karena sedang mengurus perkara bawahannya yang menjadi
korban tabrak lari. Kebetulan si korban tinggal di Bogor dan Chika merengek ingin ketemu Angke.
Farah mengeluarkan laptop-nya dari dalam tas. Hari ini Farah ingin membuat artikel ilmiah untuk sebuah
majalah.
Menjelang pukul sembilan malam, Teddy baru datang.
“Mereka sudah tidur…,” bisik Farah, seraya membuka pintu kamar Angke. Kedua gadis cilik kesayangan
mereka itu tidur melingkar di tempat tidur Angke yang luas. Yang satu memeluk guling. Satunya lagi
nyaris tenggelam di balik selimut tebal, hanya kepalanya yang tampak.
“Mereka seperti kakak-adik…,” ucap Teddy, lirih.
Farah terdiam beberapa jenak. Sebuah kalimat yang tak hendak ia tafsirkan terlalu mendalam. Serangkai
kata yang menyimpan harapan dan tiba-tiba muncul ke permukaan alam sadar pria yang berdiri di
depannya. Seperti itukah yang sebenarnya?
“Chika tidur di sini saja, Mas! Kasihan. Besok kan hari Minggu…!” kata Farah, sambil membetulkan letak
selimut. Ia berusaha menikam gerak pikirannya sendiri.
Kisah Sebelumnya:
Sepeninggal Irfan, suaminya, Farah harus menjadi ibu tunggal bagi Angke. Ketika Farah dekat dengan
Wisnu, Angke tidak mau Wisnu menjadi pengganti ayahnya yang telah tiada. Suatu saat, Farah
berkenalan dengan Teddy –duda satu anak-- saat mereka terlibat dalam penelitian bunga Rafflesia
arnoldi yang hendak mekar di sebuah kebun raya. Hubungan keduanya makin dekat ketika Angke
ternyata cocok berteman dengan anak Teddy, Chika.
Ketika Teddy hendak memungut bantal yang terjatuh, tanpa sengaja posisi tubuhnya menjadi lebih dekat.
Tangannya bergerak hendak meraih bahu Farah, tapi kemudian tangan itu tertahan di udara. Ada selang
waktu yang bergulir tanpa terasa. Seperti ruang hampa udara yang menyekap dan tak mengizinkan siapa
pun untuk bernapas. Cepat-cepat Teddy mengalihkan perhatiannya sendiri. Ditaruhnya bantal.
Dilepaskannya guling dari belitan tangan dan kaki Chika. Perlahan. Dalam sekejap anak itu sudah berada
dalam dekapan ayahnya. Farah membuka pintu kamar Angke lebih lebar.
Teddy dan Chika pulang. Farah merasa ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang sebetulnya ada, tapi tak
ingin diterjemahkan menjadi sesuatu yang menyita perasaan dan pemikiran. Farah menutup pintu
rumahnya. Tapi, embusan angin masih terasa menyergap. Ia mencoba melacak dari mana arah angin ini
berasal. Oh, ternyata pintu belakang rumah masih terbuka.
Farah berjalan ke arah taman. Membiarkan dirinya duduk di bale-bale kayu jati yang sudah lama tak dia
sambangi. Tempat favorit almarhum Irfan. Almarhum? Ya. Ada segores rindu meriap sesaat. Belum
sempat Farah menggali kenangan, suara dering telepon mengusiknya. Wisnu. Dia hanya ingin
mengucapkan selamat malam dan memberi kecupan jarak jauh.
^^^
Dunia Angke dan dunia Chika kian bersentuhan, membentuk irisan yang mengekalkan persamaan. Dunia
Farah dan dunia Teddy pun kian merapatkan jarak. Tak perlu bertanya soal titik temu, ada garis batas
yang meretas di antara mereka. Begitu jelas.
“Siapa Bilqis?” ucap Farah. Pada suatu kesempatan yang memungkinkan, dua kata itu terlontar, dipacu
oleh sebuah naluri yang membiaskan perasaan-perasaan tidak ingin kehilangan. Suatu hal yang wajar.
“Gurunya Chika,” jawab Teddy, pendek dan sederhana.
Farah mendapatkan nama itu dari Angke. Chika acap kali bercerita tentang salah seorang guru Chika
yang sering menanyakan ayahnya. Ibu guru yang cantik itu selalu menemani Chika, bila sang ayah
terlambat menjemputnya.
Udara di seputar mereka berubah menjadi dingin. Angin tak pernah berpihak pada siapa pun. Ia membagi
rasa dingin dengan adil, hanya saja perasaan itu dapat ditafsirkan berbeda oleh setiap orang. Teddy
memilih beberapa foto raflesia untuk sampul depan buku raflesia yang sedang mereka garap.
Agaknya Teddy tak ingin membicarakan guru cantik itu lebih lanjut. Farah menahan rasa ingin tahunya
yang kali ini agak membuncah. Teddy pun berusaha melontarkan topik pembicaraan baru yang membuat
mereka lebih leluasa. Tanpa jerat kecanggungan.
^^^
Arus perasaan yang melanda dua insan ini bukannya tak luput dari perhatian Wisnu. Wisnu merasa perlu
melakukan tindakan yang membuat Farah tetap berada dalam lingkaran kasih sayangnya. Wisnu tak mau
kehilangan Farah untuk kedua kalinya.
Ada sebuah periode yang mengondisikan Wisnu dan Farah pernah mengenal satu sama lain. Meski
mereka masih terlalu muda untuk sebuah komitmen yang bersifat mengikat, sedikitnya Wisnu mempunyai
gambaran yang cukup jelas tentang Farah. Masa awal perkuliahan yang membiaskan kebersamaan
mereka. Membuat mereka larut dalam episode kehidupan masing-masing.
Masa petualangan Wisnu yang cukup panjang, tak juga membuat Wisnu menemukan seorang wanita
yang benar-benar menggelorakan jiwanya. Sebaliknya, Farah, dalam masa kesendirian yang mendera,
menemukan pria lain yang kemudian dengan sigap menikahinya. Agaknya, soal cinta menjadi hal kedua
bagi Farah. Irfan yang gigih dan taktis membuat ia berani menghadapi sebuah dunia baru yang belum
pernah dirambahnya.
Wisnu sama sekali tak pernah menduga, arus kehidupan itu pula yang mengantarkan Farah kembali ke
dalam kotak impiannya. Sebuah kotak yang selama ini terkunci rapat. Jika Wisnu membukanya kembali,
apakah kotak itu berubah jadi kotak Pandora yang menyeret Epimetheus ke dalam arus kerengsaan yang
sempurna?
Kesigapan Irfan adalah guru yang baik bagi Wisnu. Wisnu akan segera mengajak Farah menikah!
Serangkaian tur keliling Eropa sudah dia rancang untuk bertiga. Sebentuk cincin bertatahkan berlian
sudah ia siapkan. Ia pun mencari informasi paling akurat tentang sebuah perjalanan bulan madu yang
diidamkan oleh hampir semua wanita romantis di dunia. Venesia. Italia!
Wanita mana yang takkan luluh oleh sebuah romantisisme yang begitu memikat? Cinta saja terkadang
lebih dari cukup. Tapi, romantisisme? Ini sebuah benda abstrak yang memang mahal secara harga, tapi
tak ternilai bila diukur. Ia mampu menyentuh kebutuhan-kebutuhan manusiawi yang mendasar. Wisnu
sangat yakin itu.
^^^
Seperti dalam film-film romantis, Wisnu separuh berlutut meminta Farah menjadi istrinya. Adegan itu
terjadi di perahu nelayan yang sempit dengan beberapa keranjang ikan segar. Perahu yang sedang
mengantarkan hasil tangkapannya untuk sebuah hotel di tepi pantai. Farah terkesima. Sungguh peristiwa
ini di luar perkiraannya. Mulanya Farah bertanya-tanya, mengapa Wisnu bersikeras meminta waktu agar
mereka bisa pergi ke Pelabuhan Ratu berdua saja. Angke dititipkan kepada Teddy.
Tanpa memedulikan pengemudi perahu, Wisnu memeluk Farah dan memberinya sebuah kecupan curian
yang manis. Ada yang bergejolak di hati Farah. Mata Wisnu begitu lekap menatap, seteduh hutan bakau
yang tak pernah lekang oleh gerusan ombak.
^^^
Tanpa sengaja Farah mengabarkan bahwa Wisnu sudah melamarnya dan orang pertama yang
dikabari adalah Teddy! Dalam tuturan bahasa yang naif dan hanya terdiri dari beberapa kata, Farah
mencoba meminta pendapat Teddy. Farah baru menyadari, apa yang dilakukannya adalah suatu
kebodohan. Kebodohan yang menyisakan rasa sesal dan segumpal kekecewaan. Farah tak mungkin
menarik kata-katanya kembali.
“Kapan kalian menikah?” Wajah Teddy tampak terlalu dingin untuk mengucapkan kalimat ‘panas’
seperti itu.
Tak ada ekspresi penolakan atau ketidaksetujuan di wajah bersegi itu. Kacamata yang bertengger di
batang hidungnya yang lurus, mungkin menyembunyikan sorot mata yang sesungguhnya. Atau, Teddy
belum mengelap kacamatanya, hingga mata itu terlihat begitu buram. Alangkah sulitnya menebak isi hati
pria di hadapannya ini.
Farah gemas. Andai saja Teddy bisa membaca isi pikirannya, sebetulnya bukan pertanyaan seperti
tadi yang dia inginkan. Jauh sebelumnya, Farah sempat mengira bahwa kebersamaan mereka selama ini
bukan sekadar rekan kerja, tapi sudah meretas batas ke arah yang lebih istimewa. Namun, dugaan
Farah keliru. Apakah dapat dikatakan suatu kemuskilan, bila suatu saat Teddy mengungkapkan
pertanyaan yang sama seperti diucapkan Wisnu saat melamarnya?
Memang dibutuhkan suatu keberanian ekstra untuk mengucapkannya. Apalagi status Farah adalah
seorang kekasih bagi Wisnu. Teddy bukan tipe pria penyelingkuh yang begitu mudahnya mengumbar
kalimat yang didambakan banyak wanita. Teddy seorang pria santun dan sangat pandai menjaga diri dari
hubungan-hubungan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya. Sebagai pria tipe setia, dia pun
berharap mendapatkan kesetiaan yang kadarnya tidak jauh berbeda. Terlepas dari semua itu, Farah
belum dapat menafsirkan perasaan Teddy yang sesungguhnya kepada dirinya. Hanya dugaan dan
perkiraan yang saling menguatkan.
“Kau belum menjawab pertanyaanku,” ucap Teddy lagi. Farah tersipu, sampai saat ini dia pun belum tahu
jawabannya. Belum ada pembicaraan yang menentukan kapan dia meresmikan hubungannya dengan
Wisnu.
^^^
Sepertinya Farah harus mampu menembus proses birokrasi yang paling gampang-gampang susah.
Angke! Farah tak dapat memungkiri, hatinya sempat berbunga-bunga saat menyaksikan cairnya
hubungan Angke dengan calon ayah barunya yang bermata hijau itu.
“Iya, Bunda boleh menikah sama Oom Wisnu dan tinggal di rumah baru. Angke tinggal di sini saja,
berdua sama Mbok Isah….”
Perkiraan Farah agak meleset, jawaban Angke ternyata tak serumit dugaannya. Tapi, nanti dulu, itu
berarti Angke memilih tidak ikut bersama mereka. Ada pertimbangan-pertimbangan naif seorang anak
yang tak terjangkau pikiran. Tampak sederhana, tapi menyimpan kerumitan yang tak selamanya mudah
diatasi.
“Mbok Isah nggak seterusnya tinggal di sini, jadi Angke sebaiknya ikut Bunda tinggal di rumah Oom
Wisnu…..”
Bibirnya yang tipis membentuk garis. Angke berpikir keras. Matanya menerawang.
“Kalau begitu, Angke dititipkan di rumah Chika saja.…”
“Ya, kalau sehari, sih, tidak apa-apa. Seperti Chika kemarin itu. Orang tua Angke, kan Bunda, jadi
tinggalnya bersama Bunda, dong….!”
Farah tersenyum lebar, dipandangnya Angke penuh rasa sayang. Dia mengizinkan Farah menikah
dengan Wisnu, tapi dia memilih tinggal bersama Chika yang notabene anak Teddy. Bagaimana mungkin?
Ah, logika kanak-kanak kadang-kadang terlampau naïf, tapi juga filosofis. Atau memang Angke secara
halus mengatakan bahwa dia lebih setuju bila ibunya menikah dengan Teddy?
“Kalau begitu, Bunda ikut Angke saja, tinggal bersama Chika…?” uji Farah.
“Yes!” sambut Angke, senyumnya mengembang. Matanya menyalakan sinar yang suar.
Farah menemukan jawaban yang ia cari. Namun, wajah Angke segera berubah. Diselimuti tanda
tanya.
“Terus, Oom Wisnu tinggal sama siapa?”
Farah tak dapat menahan tawa. Diacak-acaknya rambut Angke.
“Tanya saja sama Oom Wisnu…,” godanya.
“Aah… Bunda! Oom Wisnu tinggal sama siapa…?”
“Tinggal sama si Bingki….”
Mereka tertawa. Farah membuka kulkas, mengambil sebuah apel, lalu menggigitnya. Angke meniru
ibunya. Ketika gigi Angke sudah siap menggigit apel, tiba-tiba Angke mengurungkan niatnya. Dia
menatap ibunya dengan sungguh-sungguh.
“Kalau Oom Wisnu tinggal sama Bingki, artinya dia tinggal di rumah kita juga. Rumah Bingki terlalu kecil
untuk ditempati Oom Wisnu. Nanti Bingki kejepit, dong, Bun?”
Tawa Farah nyaris meledak kalau saja dia tak bersusah payah menahannya. Apalagi wajah Angke begitu
serius.
“OK, nanti kita bicarakan lagi, ya! Bunda juga harus menanyakan dulu sama Oom Wisnu, dia mau tinggal
bersama si Bingki atau tidak?”
Angke mengiyakan. Dikunyahnya buah apel itu sampai habis.
^^^
Wisnu yang sedang berada di Thailand mengabarkan bahwa dia sudah mengatakan kepada orang
tuanya tentang lamarannya kepada Farah. Orang tua Wisnu akan meminang Farah secara resmi kepada
orang tuanya. Mereka senang dan menyetujui pilihan Wisnu. Bahkan, keluarga mereka yang ada di
Belanda pun akan ikut hadir. Sekalian liburan.
Farah tercekat, rasanya semua ini berlangsung terlampau cepat. Wisnu mengatakan akhir bulan Agustus
ini keluarganya akan ke Indonesia. Dia mengusulkan tanggal 31 Agustus. Bila keluarga Farah sepakat
dengan tanggal tersebut, Wisnu langsung memesan tiket pesawat dan hotel.
“Kalau saja aku bisa mempercepat jalannya waktu, rasanya ingin menikah besok, dan lusa kita sudah
berangkat ke Venesia…!” Suara Wisnu terdengar lembut. Berbaur harapan dan ketidaksabaran.
Farah tertawa pelan. Selama mereka menjadi sepasang kekasih, bahkan sewaktu SMA dulu, Wisnu
selalu memperlakukannya dengan penuh rasa sayang dan penghargaan. Pada situasi ini, Farah merasa
tersanjung. Sebagai seorang wanita, ia merasa dihargai sebagaimana layaknya. Lantas, berbekal
perasaan-perasaan indah seperti itu mereka akan melangkah jauh, masuk ke dalam sebuah dunia yang
mungkin belum pernah dibayangkan sebelumnya. Ada rasa bahagia, terharu, juga kelegaan yang penuh.
Merasa utuh. Sekaligus gamang.
Saat Wisnu hendak bicara, Angke sudah terlelap di sofa. Buku PR, sekotak popcorn yang tinggal
wadahnya dan benda-benda lainnya berserakan di meja. Farah mengangkat tubuh gadis cilik itu ke
kamarnya. Malam seperti segelas sirop hitam pekat dibubuhi kelapa muda. Kekelamannya
menyempitkan pandangan, putihnya seperti rembulan membiaskan cahaya yang menakjubkan.
^^^
Farah belum memberi tahu Teddy tentang rencana pinangan keluarga Wisnu akhir bulan ini. Rasanya dia
lebih baik tak perlu tahu. Adakalanya kita perlu terbuka, adakalanya pula perlu menyimpan rahasia. Untuk
sementara waktu. Namun, niat Farah itu menguap bersama datangnya SMS Teddy yang mengabarkan
bahwa mereka diundang menghadiri sebuah seminar besar tentang raflesia di Singapura, 27 Agustus
sampai 2 September. Farah terkesiap. Mau tidak mau ia harus menceritakan rencana pinangan itu.
Farah menelepon. Suara Teddy kedengaran antusias.
“Kita didaulat jadi pembicara tamu! Jadwalmu tampil di hari kedua.”
“OK. Tapi, aku takkan mengikuti seminar itu secara utuh, tanggal 29 aku pulang duluan.…”
“Lho, memangnya kenapa?”
“Tanggal 31 orang tua Wisnu akan datang meminangku…,” ucap Farah, nyaris tak kedengaran. Ia sangat
berhati-hati mencari kata, merangkumnya menjadi sebuah kalimat yang diucapkannya barusan.
Lebih dari dua puluh detik Teddy tak bersuara. Wanita itu berusaha menerjemahkan sepi yang
menyeruak begitu saja di antara mereka. Farah bukan anak gadis seusia Angke, ia cukup paham bahasa
kaum lelaki yang terkadang menyimpan misteri, terkadang pula seperti buku yang mudah dibaca.
“Ya, selamat… semoga kau bahagia bersamanya!” ucap Teddy, tawar.
Mungkin kata-kata itu sering diucapkan ketika seorang kekasih melepaskan kekasihnya yang
memutuskan berpisah dan memilih orang lain. Tapi, Teddy bukan kekasih Farah. Belum ada ikatan yang
menahbiskan hubungan mereka. Teddy tak pernah mengungkapkannya secara eksplisit. Wanita selalu
butuh pernyataan, sedangkan bagi pria itu sebuah kesulitan.
Hari-hari berikutnya Angke dan Chika masih tetap riang, kontras dengan Teddy yang lesu dan muram.
Farah makin diyakinkan. Teddy menyimpan selaksa harapan yang belum terucapkan. Sore itu, Teddy
minta waktu bertemu. Berdua saja tanpa Chika dan Angke.
^^^
Di sebuah kafe yang menghadap taman dengan hamparan rumputnya yang menyejukkan pandang,
mereka duduk bersebelahan. Farah kehilangan kata.
“Sebetulnya aku berharap kau ikut. Ini pengalaman pertama Chika libur ke luar negeri,” Teddy meneguk
jus tomat kesukaannya. “Selagi kita mengikuti seminar, Chika dan Angke bisa kita tinggalkan di hotel.”
“Hanya untuk alasan itu kau mengajakku ke sana?”
Teddy agak gelagapan, diteguknya jus tomat itu sekali lagi.
“Mmm… aku hanya berpikir… bahwa kita bisa menjadi sebuah keluarga.”
Farah tahu, secara halus Teddy menyodorkan dua pilihan, dia atau Wisnu. Sebetulnya, tak ada
kekurangan yang terlalu besar dalam diri Wisnu, juga Teddy. Hanya, Farah tidak bisa menikahi keduanya
sekaligus. Kecuali bila Farah tinggal di Tibet yang memperbolehkan poliandri!
Farah tak dapat mengingkari bahwa Angke lebih menyukai Teddy karena dia menemukan sosok ayahnya
dalam diri pria itu. Bila ia menikah dengan Wisnu, tentu Angke harus belajar lebih keras untuk menerima
pria itu sebagai ayah tirinya. Farah pun takut Wisnu berubah. Sekarang Wisnu kelihatan baik pada Angke
karena dia sedang berusaha merebut perhatian Angke untuk mendapatkan dirinya. Tapi, kalau mereka
sudah menikah, belum tentu!
Sama halnya dengan Teddy, sekarang dia baik kepada Angke dan kelihatan bisa membagi perhatian
juga kepada Chika. Bila mereka sudah menikah, apakah Teddy akan sebaik dan seadil itu? Mungkin dia
akan lebih membela Chika nantinya.
Kecemasan-kecemasan Farah memang terlampau naif. Suatu kewajaran yang mengisyaratkan hakikat,
yaitu dua kemungkinan yang abadi: baik atau buruk.
Bila Farah menikahi Wisnu, Angke akan kehilangan Chika dan Teddy sekaligus, dan kehilangan dunia
kecilnya yang penuh warna. Kalau Farah menikahi Teddy, dia hanya kehilangan Wisnu dan Wisnu pun
terluka. Hanya?
Teddy berangkat ke Singapura sendirian, Chika dititipkan pada Farah. Angke menyambutnya dengan
perasaan senang, tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi antara ibunya dengan ayah Chika.
^^^
Gelegak waktu tercipta di saat-saat menunggu. Serasa detak jarum jam itu serpihan-serpihan bara yang
memercikkan nyala. Farah meniup lampu sumbu dalam gelas bening berisi minyak dan air yang diberi
warna. Wisnu tersenyum, membiarkan kekasihnya berulang kali meniup api kecil itu. Tak juga berhasil.
Farah bangkit, lalu bergerak menghampiri Wisnu. Ia melepaskan cincin berlian itu dari jari manisnya.
Lalu, Farah menyisipkannya ke saku kemeja Wisnu.
Lelaki itu terperangah. “Far….. ada apa ini? Mengapa kau kembalikan cincin ini padaku?”
“Kita sudahi saja hubungan kita….”
“Lho….?!” Wisnu tak mampu berkata-kata lagi. Kepalanya dipenuhi ribuan tanda tanya.
“Ya… kita tak jadi menikah….”
“Mengapa?”
“Karena lusa aku mau berangkat ke Singapura, ada seminar raflesia di sana!”
Wisnu tertegun dan nyaris lupa bahwa kata diciptakan untuk bicara. Lidahnya kelu. Ia merasa tak perlu
meminta Farah menjelaskan panjang lebar tentang mengapa kekasihnya mengambil sikap demikian.
Raflesia, satu kata itu saja sudah sebuah jawaban sekaligus suatu pilihan.
Mengapa dia tak berusaha merebut cinta Farah? Mengapa dia membiarkan peluang yang dimimpikan
lebih dari separuh hidupnya terlepas begitu saja? Mengapa?
Wisnu meraih tangan Farah, melalui gerak mata ia masih berusaha memohon. Tapi, peluang itu benar-
benar membias. Lepas. Lalu, dikecupnya punggung tangan wanita yang selama ini begitu
didambakannya. Hampir saja hati Farah luluh. Wisnu memang sang pencinta yang memuja. Tapi, cinta
tidak hanya dapat dimiliki oleh mereka berdua. Ada manusia kecil yang tidak dapat dilepaskan dalam
lingkaran cinta yang pernah terputus. Angke.
Gumpalan di dada Farah luruh sudah. Dalam hitungan jam, dia harus mencari tiket pesawat ke
Singapura. Masih ada sisa waktu untuk menghadiri seminar itu dan duduk di sebelah Teddy.
Angke dan Chika bersorak-sorai begitu melihat tiga lembar tiket dilambaikan Farah. Kedua gadis cilik itu
berebutan menghambur ke dalam pelukan. Farah tersenyum bahagia, mereka memang sudah menjadi
sebuah keluarga. Sebuah dunia baru! (Tamat)