corporate social responsibility and sustainability reporting dalam etika profesi akuntan

34
Corporate Social Responsibility and Sustainability Reporting Oleh : Kelompok 1 Annissa Sharafina ( 833511 ) Esther Marietty ( 8335118323 ) Universitas Negeri Jakarta Fakultas Ekonomi Program Studi S1 Akuntansi 2014

Upload: sjifa-aulia

Post on 27-Dec-2015

91 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

download di ampundeh.wordpress.comCorporate Social Responsibility and Sustainability ReportingOleh : Kelompok 1Annissa Sharafina ( 833511 )Esther Marietty ( 8335118323 )Universitas Negeri JakartaFakultas EkonomiProgram Studi S1 Akuntansi2014 iKATA PENGANTARAssalamualaikum Wr. Wb.Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunia-Nya kami selaku penyusun makalah ini dapat menyelesaikan tugas yang diberikan. Makalah ini adalah tugas yang kami tujukan kepada Ibu Marsellisa Nindito,Se,Akt.,M.Sc. selaku dosen pembimbing mata kuliah Etika Profesi Akuntan. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan memenuhi kewajiban tugas Etika Profesi Akuntan. Kami juga menyadari bahwa makalah ini masih perlu ditingkatkan lagi mutunya dan informasinya. Oleh karena itu, saran dan kritik sangat kami harapkan.Wassalamualaikum Wr. Wb.Jakarta, 03 April 2014DAFTAR ISIKata PengantarDaftar IsiBAB 1 PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah1.3 Tujuan Penulisan1.4 Manfaat Penulisan1.5 Metode Penelitian1.6 Sistematika PenulisanBAB 2 PEMBAHASAN2.1 Tanggung Jawab Sosoal Perusahaan (Corporate Social Responsibility-CSR)2.2.1 2.2.2 2.2 Pelaporan Berkelanjutan (Sustainability Reporting)2.2.1 2.2.2 2.2.3 2.3 Analisa Kasus2.3.1 2.3.2 2.3.3BAB 3 PENUTUP3.1 Kesimpulan3.2 SaranDaftar PustakaBAB 1PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang MasalahPada era yang sekarang ini, sektor bisnis di Indonesia mulai berkembang. Tentu saja kebanyakan dari mereka masih memfokuskan tujuan utamanya pada pencarian keuntungan semata. Perusahaan atau organisasi lainnya menganggap bahwa sumbangsih kepada masyarakat cukup diberikan melalui nilai dalam penyediaan lapangan pekerjaan, pemenuhan kebutuhan dengan produknya dan pembayaran pajak kepada negara. Ketiga hal tersebut tidaklah cukup apabila perusahaan ingin bertahan sampai lima tahun ke depan karena masyarakat tidak hanya menuntut perusahaan menyediakan barang dan jasa saja tetapi juga pertanggungjawaban secara sosial terhadap kehidupannya.Hal inilah yang mendorong perubahan paradigma para pemegang saham dan pengguna laporan keuangan dimana fokusnya tidak hanya pada perolehan laba perusahaan tetapi juga memperhatikan tanggung jawab sosial dan lingkungan sekitar perusahaan. Selain itu para pemimpin perusahaan juga menghadapi tantangan dalam menerapkan standar-standar etis terhadap praktik bisnis yang bertanggung jawab. Tanggung jawab sosial perusahaan dituangkan dalam bentuk suatu kepedulian sosial yang dapat kita namakan sebagai Corporate Social Responsibility (CSR). Dimana dalam praktiknya organisasi-organisasi bisnis melihatnya sebagai tekanan karena dalam mengimplementasikannya CSR masuk kedalam sebuah tantangan bisnis yang baru berkembang di tahun 2000-an.Dalam praktiknya, seperti yang kita telah ketahui CSR belum mempunyai dasar pemikiran dan aturan yang cukup jelas dan kuat. Hal ini dapat dilihat dari, pengimplementasian CSR itu sendiri masih bersifat sukarela (volountary). Tim International Organization for Standarization (ISO) pada bulan September 2004 sebagai induk dari organisasi standar internasional mengundang berbagai pihak untuk melahirkan panduan (guedelines) dan standarisasi untuk tanggung jawab sosial yang diberi nama ISO 26000 : Guidance Standard on Social Responsibilty. ISO 26000 ini sifatnya hanya panduan saja dan bukan pemenuhan terhadap persyaratan (requirements) karena memang tidak dirancang sebagai standar sistem manajemen dan tidak digunakan sebagai sebagai standar sertifikasi (Yusuf Wibisono, 2007 : 38).Hal ini memang harus dapat kita pahami,karena seperti yang telah kita ketahui CSR merupakan dampak dari perkembangan perubahan di dunia bisnis. Walaupun demikian inti dari konsep ini adalah keseimbangan antara penitikberatan perhatian terhadap aspek ekonomis dan

TRANSCRIPT

Corporate Social Responsibility and

Sustainability Reporting

Oleh : Kelompok 1

Annissa Sharafina ( 833511 )

Esther Marietty ( 8335118323 )

Universitas Negeri Jakarta

Fakultas Ekonomi

Program Studi S1 Akuntansi

2014

i

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunia-Nya kami

selaku penyusun makalah ini dapat menyelesaikan tugas yang diberikan. Makalah ini adalah tugas

yang kami tujukan kepada Ibu Marsellisa Nindito,Se,Akt.,M.Sc. selaku dosen pembimbing mata

kuliah Etika Profesi Akuntan. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan memenuhi

kewajiban tugas Etika Profesi Akuntan. Kami juga menyadari bahwa makalah ini masih perlu

ditingkatkan lagi mutunya dan informasinya. Oleh karena itu, saran dan kritik sangat kami

harapkan.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jakarta, 03 April 2014

DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Penulisan

1.4 Manfaat Penulisan

1.5 Metode Penelitian

1.6 Sistematika Penulisan

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Tanggung Jawab Sosoal Perusahaan (Corporate Social

Responsibility-CSR)

2.2.1

2.2.2

2.2 Pelaporan Berkelanjutan (Sustainability Reporting)

2.2.1

2.2.2

2.2.3

2.3 Analisa Kasus

2.3.1

2.3.2

2.3.3

BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

Daftar Pustaka

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pada era yang sekarang ini, sektor bisnis di Indonesia mulai berkembang. Tentu saja

kebanyakan dari mereka masih memfokuskan tujuan utamanya pada pencarian keuntungan

semata. Perusahaan atau organisasi lainnya menganggap bahwa sumbangsih kepada masyarakat

cukup diberikan melalui nilai dalam penyediaan lapangan pekerjaan, pemenuhan kebutuhan

dengan produknya dan pembayaran pajak kepada negara. Ketiga hal tersebut tidaklah cukup

apabila perusahaan ingin bertahan sampai lima tahun ke depan karena masyarakat tidak hanya

menuntut perusahaan menyediakan barang dan jasa saja tetapi juga pertanggungjawaban secara

sosial terhadap kehidupannya.

Hal inilah yang mendorong perubahan paradigma para pemegang saham dan pengguna

laporan keuangan dimana fokusnya tidak hanya pada perolehan laba perusahaan tetapi juga

memperhatikan tanggung jawab sosial dan lingkungan sekitar perusahaan. Selain itu para

pemimpin perusahaan juga menghadapi tantangan dalam menerapkan standar-standar etis

terhadap praktik bisnis yang bertanggung jawab. Tanggung jawab sosial perusahaan dituangkan

dalam bentuk suatu kepedulian sosial yang dapat kita namakan sebagai Corporate Social

Responsibility (CSR). Dimana dalam praktiknya organisasi-organisasi bisnis melihatnya sebagai

tekanan karena dalam mengimplementasikannya CSR masuk kedalam sebuah tantangan bisnis

yang baru berkembang di tahun 2000-an.

Dalam praktiknya, seperti yang kita telah ketahui CSR belum mempunyai dasar pemikiran

dan aturan yang cukup jelas dan kuat. Hal ini dapat dilihat dari, pengimplementasian CSR itu

sendiri masih bersifat sukarela (volountary). Tim International Organization for Standarization (ISO)

pada bulan September 2004 sebagai induk dari organisasi standar internasional mengundang

berbagai pihak untuk melahirkan panduan (guedelines) dan standarisasi untuk tanggung jawab

sosial yang diberi nama ISO 26000 : Guidance Standard on Social Responsibilty. ISO 26000 ini

sifatnya hanya panduan saja dan bukan pemenuhan terhadap persyaratan (requirements) karena

memang tidak dirancang sebagai standar sistem manajemen dan tidak digunakan sebagai sebagai

standar sertifikasi (Yusuf Wibisono, 2007 : 38).

Hal ini memang harus dapat kita pahami,karena seperti yang telah kita ketahui CSR

merupakan dampak dari perkembangan perubahan di dunia bisnis.

Walaupun demikian inti dari konsep ini adalah keseimbangan antara penitikberatan

perhatian terhadap aspek ekonomis dan aspek sosial serta lingkungan. Selain itu pelaporan non

keuangan secara umum telah diakomodasi di Indonesia dalam Pernyataan Standar Akuntansi

Keuangan (PSAK). PSAK No. 1 menyatakan tentang penyajian laporan keuangan dinyatakan bahwa

perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan, khususnya bagi industri di mana lingkungan

hidup memegang peranan penting. Untuk itu sudah selayaknya perusahaan melaporkan semua

aspek yang mempengaruhi kelangsungan operasi perusahaan kepada masyarakat.

Dengan menganalisis perkembangan corporate social responsibility, didapatkan bahwa

terdapat keterbatasan alam dalam mendukung kehidupan manusia sehingga perlu adanya upaya

untuk menyadarkan dan membuat manusia peduli tidak hanya terhadap lingkungan hidup tapi

juga pada lingkungan sosialnya (sustainability communication). para akuntan di Indonesia telah

turut menyadari bahwa pentingnya penyusunan sustainability report karena di dalamnya terdapat

prinsip dan standar pengungkapan yang mampu mencerminkan tingkat aktivitas perusahaan

secara menyeluruh dan tentu saja berbeda dengan yang diungkapkan dalam laporan keuangan.

Dengan adanya hal tersebut kinerja perusahaan bisa langsung dinilai oleh pemerintah, masyarakat,

organisasi lingkungan, media massa khususnya pada investor dan kreditor (bank) karena investor

maupun kreditor (bank) tidak mau menanggung kerugian yang disebabkan oleh adanya kelalaian

perusahaan tersebut terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungannya.

Dalam proses pelaporannya sustainability report, banyak diatur dalam standar aturan-

aturan internasional baku yang diadopsi oleh Indonesia salah satunya adalah Global Reporting

Initiative (GRI) yang di dalamnya mengatur prinsip dasar yang harus terdapat pada sustainability

report yaitu: seimbang, dapat dibandingkan, teliti, tepat waktu, jelas dan dapat dipercaya.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan Tujuan Instruksi Khusus mata kuliah Etika Profesi Akuntan, masalah yang dibahas

adalah mengenai tanggung Jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) dan

pelaporan berkelanjutan (sustainability reporting) . Dengan pokok bahasan lebih spesifik yaitu:

a) Definisi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility)

b) Kaitan Akuntansi Lingkungan sebagai dasar lahirnya Corporate Social Responsibility

c) Analisis dan pengembangan

d) Pengungkapan CSR (CSR Disclosure)

e) Definisi Sustainability Reporting

f) Peranan dan Tujuan Sustainability Reporting

g) Prinsip-prinsip Sustainability Reporting

h) Teknik Pelaporan CSR

i) Standar Sustainability Reporting

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini di bagi menjadi 2 yaitu, tujuan umum dan khusus:

1.3.1. Tujuan Umum

a) Menjelaskan Tanggung Jawab Sosoal Perusahaan dan Laporan Berkelanjutan

b) Menjelaskan peranan dan tujuan, prinsip, teknik, dan standar Pelaporan Berkelanjutan

c) Diharapkan dapat menambah pengetahuan para pembaca makalah

1.3.2 Tujuan Khusus

Memenuhi tugas mata kuliah Etika Profesi Akuntan sesuai silabus BAB I : “Corporate Social

Responsibility and Sustainability Reporting”

1.4. Manfaat Penulisan

a) Sebagai bahan pelajaran bagi mahasiswa.

b) Sebagai wacana awal bagi penyusunan karya tulis selanjutnya.

c) Sebagai literatur untuk lebih memahami kegiatan akuntansi, khususnya dalam hal yang

berhubungan dengan kewirausahaan

1.5. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan Karya Tulis ini, sistematika penulisan yang digunakan adalah :

BAB I PENDAHULUAN

Berisi tentang : Latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan, dan metodologi penelitian.

BAB II PEMBAHASAN

Berisi tentang : Pembahasan mengenai Corporate Social Responsibility (CSR) and Sustainability Reporting

BAB III PENUTUP

Berisi tentang : kesimpulan dan saran.

1.6. Metodologi Penelitian

Dalam penulisan Karya Tulis ini, metodologi penelitian yang digunakan adalah :

a) Studi pustaka yaitu dengan mencari referensi dari buku-buku yang berkaitan dengan

penulisan karya tulis ini

b) Penjelajahan internet yaitu dengan mencari beberapa informasi di mesin pencari yang tidak

penulis tidak dapatkan dari buku-buku

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility-CSR)

2.1.1 Definisi CSR

CSR didefinisikan sebagai kontribusi bisnis untuk pembangunan berkelanjutan dan bahwa

perilaku perusahaan tidak hanya harus memastikan kembali ke pemegang saham, upah kepada

karyawan dan produk dan layanan kepada konsumen, tetapi mereka harus menanggapi masalah

sosial, lingkungan dan nilai yang ada di masyarakat (Solihin, 2009). Tanggung jawab sosial secara

sederhana dapat dikatakan sebagai timbal balik perusahaan kepada masyarakat dan lingkungan

sekitar atas keuntungan yang diambil oleh perusahaan yang berasal dari aktivitas bisnis yang

dilakukan perusahaan. Aktivitas bisnis perusahaan tersebut seringkali menimbulkan kerusakan

lingkungan dan dampak sosial bagi masyarakat sekitar.

Selain itu, terdapat penjelasan tentang definisi CSR yang dikutip dari beberapa Organisasi-

organisasi Internasional, yaitu WBCSD (World Business Council for Sustainable Development) dan

Organisasi Bank Dunia (World Bank). WBCSD mendefinisikan CSR sebagai suatu komitmen

bisnisyang berkelanjutan dalam berperilaku etis dan berkontribusi terhadap pembangunan

ekonomi dengan meningkatkan kualitas kehidupan kerja karyawan dan kerja mereka dan

komunitas lokal dan masyarakat yang luas. Sedangkan World Bank mendefinisikan CSR sebagai

suatu komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi dalam perkembangan ekonomi yang

berkelanjutan kepada karyawan dan perwakilannya, komunitas lokal, dan masyarakat yang luas

untuk meningkatkan kualitas hidup, melalui jalan bisnis dan perkembangan yang baik.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat dirangkum bahwa CSR merupakan aktivitas

perusahaan dalam mencapai keseimbangan atau integrasi antara aspek ekonomi, lingkungan, dan

sosial tanpa mengesampingkan ekspektasi para pemegang saham dalam menghasilkan profit. Hal

ini sesuai dengan konsep Triple Bottom Line yang merupakan konsep dasar terbentuknya konsep

CSR. TBL menjelaskan bahwa perusahaan akan dapat melakukan usaha bisnis dalam jangka

panjang apabila memperhatikan tiga aspek utama, yaitu Keuntungan, Sosial, dan Lingkungan

(Mulyadi dan Anwar, 2011).

Menurut ISO 26000 dalam Mulyadi dan Anwar (2008), Prinsip-prinsip Corporate Social

Responsibility terbagi atas tujuh aspek dasar yaitu meliputi:

1. Kepatuhan terhadap hukum

2. Menghormati instrumen/badan-badan Internasional

3. Menghormati stakeholders dan kepentingannya

4. Akuntabilitas

5. Transparansi

6. Perilaku yang beretika

7. Melakukan tindakan pencegahan

Kotler et al., (2005) menjelaskan bahwa terdapat banyak manfaat yang dapat diperoleh atas

aktivitas CSR. Adapun manfaat dari CSR tersebut adalah sebagai berikut :

1. peningkatan penjualan dan pangsa pasar (Increased sales and market share);

2. memperkuat posisi nama atau merek dagang (strengthened brand positioning);

3. meningkatkan citra perusahaan (Enhanced corporate image and clout);

4. meningkatkan kemampuan untuk menarik, memotivasi dan mempertahankan pegawai

(Increased ability to attract, motivate, and retain employees);

5. menurunkan biaya operasi (Decreasing operating cost); dan

6. meningkatkan daya tarik bagi investor dan analis keuangan (Increased appeal to investors

and financial analysts)..

CSR tidak harus selalu dipandang sebagai tuntutan masyarakat kepada perusahaan, melainkan

sebagai kebutuhan dunia usaha. Menurut Aprilia (2011) dalam Mulyadi dan Anwar (2011),

terdapat dua aspek yang mempengaruhi implementasi CSR oleh perusahaan, yaitu

1. Komitmen dari CEO

CSR merupakan suatu bentuk investasi yang berdampak pada pertumbuhan perusahaan

dan keberlanjutan bisnis. Oleh karena itu, CSR bukanlah kegiatan tambahan atau sesuatu yang bisa

dikorbankan untuk mencapai tingkat efisiensi karena CSR merupakan bagian penting dari

perusahaan yang dapat dijadikan strategi kompetitif perusahaan (Mulyadi dan Anwar, 2011).

2. Ukuran dan Kematangan Perusahaan

Perusahaan yang besar yang sudah mapan akan memberikan kontribusi lebih besar dari

perusahaan kecil yang masih berkembang. CSR menunjukkan kesadaran korporasi sebagai

perusahaan juga merupakan bagian dari masyarakat (Mulyadi dan Anwar, 2011)

Kotler dan Nancy (2005) juga menyebutkan bahwa setidaknya ada enam opsi untuk

“berbuat kebaikan” (Six options for Doing Good) sebagai inisiatif sosial perusahaan yang dapat

ditempuh dalam rangka implementasi CSR.

1. cause promotions, dimana suatu perusahaan dapat memberikan dana atau berbagai

macam kontribusi lainnya, ataupun sumber daya perusahaan lainnya untuk

meningkatkan kesadaran masyarakat atas suatu isu sosial tertentu, ataupun dengan

cara mendukung pengumpulan dana, partisipasi dan rekruitmen sukarelawan untuk

aksi sosial tertentu.

2. cause-related marketing, yang dalam hal ini suatu perusahaan berkomitmen untuk

berkontribusi atau menyumbang sekian persen dari pendapatannya dari penjualan

suatu produk tertentu miliknya untuk isu sosial tertentu.

3. n corporate social marketing, dimana suatu perusahaan dapat mendukung

perkembangan atau pengimplementasian kampanye untuk merubah cara pandang

maupaun tindakan, guna meningkatkan kesehatan publik, keamanan, lingkungan,

maupun kesejahteraan masyarakat.

4. corporate philanthropy, yang dalam hal ini, suatu perusahaan secara langsung dapat

memberikan sumbangan, biasanya dalam bentuk uang tunai. Pendekatan ini

merupakan bentuk implementasi tanggung jawab sosial yang paling tradisional.

5. community volunteering, perusahaan dalam hal ini dapat mendukung dan mendorong

pegawainya, mitra bisnis maupun para mitra waralabanya untuk menjadi sukarelawan

di organisasi-organisasi kemasyarakatan lokal. Contohnya suatu perusahaan dapat

mendorong atau bahkan mewajibkan para pegawainya untuk terlibat dalam bakti sosial

atau gotong-royong di daerah dimana perusahaan itu berkantor.

6. socially responsible business practices, misalnya perusahaan dapat mengadopsi dan

melakukan praktek-praktek bisnis dan investasi yang dapat mendukung isu-isu sosial

guna meningkatkan kelayakan masyarakat (community well-being) dan juga melindungi

lingkungan.

Dalam perkembangan etika bisnis yang lebih mutakhir, muncul gagasan yang lebih

konfrehensif mengenai lingkup tanggung jawab sosial perusahaan ini. Menurut Sonny A Keraf

(2002) paling tidak sampai sekarang ada empat bidang yang dianggap dan diterima sebagai bagian

yang tidak lagi terpisahkan dari CSR.

1. keterlibatan perusahaan dalam kegiatan-kegiatan sosial yang berguna bagi kepentingan

masyarakat luas. Sebagai salah satu bentuk dan wujud tanggung jawab sosial perusahaan,

perusahaan diharapkan untuk terlibat dalam berbagai kegiatan yang terutama

dimaksudkan untuk membantu memajukan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Jadi, tanggung jawab sosial dan moral perusahaan di sini terutama terwujud dalam bentuk

ikut melakukan kegiatan tertentu yang berguna bagi masyarakat.

2. perusahaan telah diuntungkan dengan mendapat hak untuk mengelola sumber daya alam

yang ada dalam masyarakat tersebut dengan mendapatkan keuntungan bagi perusahaan

tersebut. Demikian pula, sampai tingkat tertentu, masyarakat telah menyediakan tenaga-

tenaga profesional bagi perusahaan yang sangat berjasa mengembangkan perusahaan

tersebut. Karena itu, keterlibatan sosial merupakan balas jasa terhadap masyarakat.

3. dengan tanggung jawab sosial melalui berbagai kegiatan sosial, perusahaan

memperlihatkan komitmen moralnya untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan bisnis

tertentu yang dapat merugikan kepentingan masyarakat luas. Dengan ikut dalam berbagai

kegiatan sosial, perusahaan merasa punya kepedulian, punya tanggung jawab terhadap

masyarakat dan dengan demikian akan mencegahnya untuk tidak sampai merugikan

masyarakat melalui kegiatan bisnis tertentu.

4. dengan keterlibatan sosial, perusahaan tersebut menjalin hubungan sosial yang lebih baik

dengan masyarakat dan dengan demikian perusahaan tersebut akan lebih diterima

kehadirannya dalam masyarakat tersebut. Ini pada gilirannya akan membuat masyarakat

merasa memiliki perusahaan tersebut, dan dapat menciptakan iklim sosial dan politik yang

lebih aman, kondusif, dan menguntungkan bagi kegiatan bisnis perusahaan tersebut. Ini

berarti keterlibatan perusahaan dalam berbagai kegiatan sosial juga akhirnya punya

dampak yang positif dan menguntungkan bagi kelangsungan bisnis perusahaan tersebut di

tengah masyarakat tersebut.

Di Indonesia CSR masih merupakan etika bisnis yang tidak tertulis sebelum diundangkannya

Undang-undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-undang No. 25 Tahun

2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 15 Undang-Undang Penanaman Modal menyebutkan

bahwa setiap penanam modal berkewajiban menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik,

melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan, membuat laporan tentang kegiatan penanaman

modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan mematuhi semua

ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada penjelasan atas Pasal 15 (b) lebih lanjut

menerangkan bahwa ”tanggung jawab sosial perusahaan” adalah tanggung jawab yang melekat

pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi,

seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat.

Sedangkan Pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas menentukan bahwa:

1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan

sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan;

2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan

dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan

memperhatikan kepatutan dan kewajaran;

3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan akan

dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

Dalam penjelasan Pasal 74 ayat (3) dijelaskan lebih lanjut bahwa yang dimaksud ”dikenai

sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah dikenai segala bentuk

sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait.

Dengan demikian CSR di Indonesia harus dimaknai bukan lagi hanya sekedar responsibility

karena bersifat voluntary, tetapi arus dilakukan sebagai mandatory dalam makna liability karena

disertai dengan sanksi. Penanam modal baik dalam negeri maupun asing tidak dibenarkan hanya

mencapai keuntungan dengan pengorbankan kepentingan-kepentingan pihak lain yang terkait dan

harus tunduk dan mentaati ketentuan CSR sebagai kewajiban hukum jika ingin menanamkan

modalnya di Indonesia. Komitmen bersama untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan

menciptakan iklim investasi bagi penanam modal untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat

dapat tercapai melalui pelaksanaan CSR. CSR dalam konteks penanaman modal harus dimaknai

sebagai instrumen untuk mengurangi praktek bisnis yang tidak etis (Sukarmi, 2008).

2.1.2 Kaitan Akuntansi Lingkungan sebagai dasar lahirnya Corporate Social Responsibility

Adanya Perubahan dari sudut pandang dunia bisnis bahwa tujuan akhir organisasi berubah

bukan hanya berorientasi pada keuntungan belaka menyadarkan sektor bisnis akan pentingnya

tanggung jawab sosial terhadap lingkungan sekitar. Dengan menerapkan program tanggung jawab

sosial terhadap lingkungan, hal ini dapat membawa perubahan dalam bentuk rencana strategis

bagi perusahaan guna mempertahankan kelangsungan bisnisnya sampai dimasa yang akan datang.

Dari data statistik yang didapat, menunjukkan bahwa pertumbuhan positif dari peningkatan

kehidupan dari banyak orang di seluruh dunia ternyata diimbangi dengan informasi yang

mengkhawatirkan mengenai kondisi lingkungan serta beban kemiskinan dan kelaparan yang

berlanjut dari jutaan orang lainnya (bahwa pertumbuhan positif dari peningkatan taraf kehidupan

banyak orang di seluruh dunia ternyata diimbangi dengan informasi mengenai kondisi lingkungan

yang semakin mengkhawatirkan serta meningkatnya kemiskinan dan kelaparan dari jutaan orang

lainnya). Kondisi kontras ini menciptakan dilema yang paling menantang bagi abad ke-21.

Banyak perusahaan yang menganggap bahwa bentuk kepedulian kepada masyarakat cukup

diberikan melalui penyediaan lapangan pekerjaan, pemenuhan kebutuhan dengan produknya dan

pembayaran pajak kepada negara. Tentu saja hal tersebut tidaklah cukup apabila perusahaan ingin

bertahan dan berkembang untuk masa depannya karena masyarakat tidak hanya menuntut

perusahaan menyediakan barang dan jasa saja tetapi juga pertanggungjawaban secara sosial.

Sehingga saat ini pandangan pemegang saham dan pengguna laporan keuangan pada telah

berubah dimana fokusnya tidak hanya pada perolehan laba perusahaan tetapi juga

memperhatikan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Selain itu para pemimpin

perusahaan juga menghadapi tantangan dalam menerapkan standar-standar etis terhadap praktik

bisnis yang bertanggung jawab. Tekanan untuk menerapkan Corporate Social Responsibility (CSR)

menempati ranking kedua dari tantangan-tantangan bisnis paling penting di tahun 2000.

Walaupun sedang banyak dibicarakan tetapi CSR itu sendiri merupakan hal yang belum pasti, hal

ini bisa dilihat dari definisi secara operasional.

Pada bulan September 2004 tim International Organization for Standarization (ISO) sebagai

induk dari organisasi standar internasional mengundang berbagai pihak untuk melahirkan panduan

(guedelines) dan standarisasi untuk tanggung jawab sosial yang diberi nama ISO 26000 : Guidance

Standard on Social Responsibilty. ISO 26000 ini sifatnya hanya panduan saja dan bukan

pemenuhan terhadap persyaratan (requirements) karena memang tidak dirancang sebagai standar

sistem manajemen dan tidak digunakan sebagai sebagai standar sertifikasi (Yusuf Wibisono, 2007 :

38). Hal ini memang harus kita pahami karena seperti yang kita ketahui CSR merupakan dampak

dari perkembangan dunia bisnis yang umurnya baru berkembang . Walaupun demikian inti dari

konsep ini adalah keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis dan aspek sosial serta

lingkungan. Selain itu pelaporan non keuangan secara umum telah diakomodasi dalam Pernyataan

Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). PSAK No. 1 menyatakan tentang penyajian laporan keuangan

dinyatakan bahwa perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan, khususnya bagi industri

di mana lingkungan hidup memegang peranan penting. Untuk itu sudah selayaknya perusahaan

melaporkan semua aspek yang mempengaruhi kelangsungan operasi perusahaan kepada

masyarakat.

Sesuai dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT)

yang mengungkap berbagai ketentuan tentang pendirian PT dan salah satunya pada pasal 74

membahas tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan yang bertujuan mewujudkan

pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang

bermanfaat bagi PT itu sendiri, komunitas setempat dan masyarakat pada umumnya. Untuk

melaksanakan kewajiban tersebut, kegiatan tanggung jawab sosial dan lingkungan harus

dianggarkan serta diperhitungkan sebagai biaya PT yang dilaksanakan dengan memperhatikan

kepatuhan dan kewajaran. Pada pasal 66 juga dijelaskan bahwa kegiatan tersebut dimuat dalam

laporan tahunan PT, salah satunya adalah laporan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan

lingkungan. Apabila PT tidak melaksanakannya maka PT yang bersangkutan dikenai sanksi sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan menganalisis perkembangan corporate social responsibility, didapatkan bahwa

terdapat keterbatasan alam dalam mendukung kehidupan manusia sehingga perlu adanya upaya

untuk menyadarkan dan membuat manusia peduli tidak hanya terhadap lingkungan hidup tapi

juga pada lingkungan sosialnya (sustainability communication). para akuntan menyadari bahwa

pentingnya penyusunan sustainability report karena di dalamnya terdapat prinsip dan standar

pengungkapan yang mampu mencerminkan tingkat aktivitas perusahaan secara menyeluruh dan

tentu saja berbeda dengan yang diungkapkan dalam laporan keuangan. Dengan adanya hal

tersebut kinerja perusahaan bisa langsung dinilai oleh pemerintah, masyarakat, organisasi

lingkungan, media massa khususnya pada investor dan kreditor (bank) karena investor maupun

kreditor (bank) tidak mau menanggung kerugian yang disebabkan oleh adanya kelalaian

perusahaan tersebut terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungannya. Dimana dalam proses

pelaporan, ada beberapa standar yang sudah dikenal untuk menunjukkan kinerja perusahaan

dalam mengimplementasikan tanggung jawab sosial dan lingkungannya. Salah satunya adalah

Global Reporting Initiative(GRI).

Pada dasarnya sustainability report perlu ada untuk melaporkan kegiatan Corporate Social

Responsibility (CSR) yang merupakan hal yang penting bagi sebuah perusahaan. Yang mana di

dalam perusahaan ada yang dinamakan proses internal dan proses eksternal, di mana proses

internal biasanya terkendali dan proses eksternal biasanya uncertain. Dengan diterapkannya

sustainibility report pada organisasi atau perusahaan berdasarkan standar GRI ini, diharapkan

dapat menciptakan perusahaan berbisnis secara beretika dan dapat berkembang secara

berkelanjutan.

2.1.3 Analisis dan pengembangan

Ini yang menjadi perhatian terbesar dari peran perusahaan dalam masyarakat telah

ditingkatkan yaitu dengan peningkatan kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan dan

masalah etika. Masalah seperti perusakan lingkungan, perlakuan tidak layak terhadap karyawan,

dan cacat produksi yang mengakibatkan ketidak nyamanan ataupun bahaya bagi konsumen adalah

menjadi berita utama surat kabar. Peraturan pemerintah pada beberapa negara mengenai

lingkungan hidup dan permasalahan sosial semakin tegas, juga standar dan hukum seringkali

dibuat hingga melampaui batas kewenangan negara pembuat peraturan (misalnya peraturan yang

dibuat oleh Uni Eropa. Beberapa investor dan perusahaam manajemen investasi telah mulai

memperhatikan kebijakan CSR dari Surat perusahaan dalam membuat keputusan investasi mereka,

sebuah praktek yang dikenal sebagai "Investasi bertanggung jawab sosial" (socially responsible

investing).

Banyak pendukung CSR yang memisahkan CSR dari sumbangan sosial dan "perbuatan baik"

(atau kedermawanan seperti misalnya yang dilakukan oleh Habitat for Humanity atau Ronald

McDonald House), namun sesungguhnya sumbangan sosial merupakan bagian kecil saja dari CSR.

Perusahaan di masa lampau seringkali mengeluarkan uang untuk proyek-proyek komunitas,

pemberian beasiswa dan pendirian yayasan sosial. Mereka juga seringkali menganjurkan dan

mendorong para pekerjanya untuk sukarelawan (volunteer) dalam mengambil bagian pada proyek

komunitas sehingga menciptakan suatu itikad baik di mata komunitas tersebut yang secara

langsung akan meningkatkan reputasi perusahaan serta memperkuat merek perusahaan. Dengan

diterimanya konsep CSR, terutama triple bottom line, perusahaan mendapatkan kerangka baru

dalam menempatkan berbagai kegiatan sosial di atas.

Kepedulian kepada masyarakat sekitar/relasi komunitas dapat diartikan sangat luas, namun

secara singkat dapat dimengerti sebagai peningkatan partisipasi dan posisi organisasi di dalam

sebuah komunitas melalui berbagai upaya kemaslahatan bersama bagi organisasi dan komunitas.

CSR bukanlah sekedar kegiatan amal, di mana CSR mengharuskan suatu perusahaan dalam

pengambilan keputusannya agar dengan sungguh-sungguh memperhitungkan akibat terhadap

seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) perusahaan, termasuk lingkungan hidup. Hal ini

mengharuskan perusahaan untuk membuat keseimbangan antara kepentingan beragam

pemangku kepentingan eksternal dengan kepentingan pemegang saham, yang merupakan salah

satu pemangku kepentingan internal.

"dunia bisnis, selama setengah abad terakhir, telah menjelma menjadi institusi paling

berkuasa di atas planet ini. Institusi yang dominan di masyarakat manapun harus

mengambil tanggung jawab untuk kepentingan bersama....setiap keputusan yang dibuat,

setiap tindakan yang diambil haruslah dilihat dalam kerangka tanggung jawab tersebut [1]

Sebuah definisi yang luas oleh World Business Council for Sustainable Development

(WBCSD) yaitu suatu asosiasi global yang terdiri dari sekitar 200 perusahaan yang secara khusus

bergerak di bidang "pembangunan berkelanjutan" (sustainable development) yang menyatakan

bahwa:

" CSR merupakan suatu komitmen berkelanjutan oleh dunia usaha untuk bertindak etis

dan memberikan kontribusi kepada pengembangan ekonomi dari komunitas setempat atau

pun masyarakat luas, bersamaan dengan peningkatan taraf hidup pekerjanya beserta seluruh

keluarganya".[2].

2.1.4 Pengungkapan CSR (CSR Disclosure)

Hendriksen (1991) dalam Sumedi (2010) menyatakan bahwa pengungkapan sebagai

penyajian sejumlah informasi yang dibutuhkan untuk pengoperasian secara optimal pasar modal

yang efisien. Perusahaan selain menerapkan CSR juga perlu melakukan pengungkapan (disclosure)

atas aktivitas CSR yang dilakukan kepada stakeholder.

Gray et al., (2001) dalam Rakhiemah dan Agustia (2009) mendefinisikan CSR Disclosure

sebagai suatu proses penyediaan informasi yang dirancang untuk mengemukakan masalah seputar

socialaccountability, yang mana secara khas tindakan ini dapat dipertanggungjawabkan dalam

media-media seperti laporan tahunan maupun dalam bentuk iklan-iklan yang berorientasi sosial.

Pengungkapan CSR merupakan suatu bentuk transparansi perusahaan dalam bentuk aktivitas

sosial dan lingkungan terhadap masyarakat yang kemudian dapat mempengaruhi pandangan

masyarakat terhadap perusahaan dan pada akhirnya berdampak pada kinerja finansial

perusahaan.

Terdapat dua jenis pengungkapan dalam pelaporan keuangan yang telah ditetapkan oleh

badan yang memiliki otoritas di pasar modal. Yang pertama adalah pengungkapan wajib

(mandatory disclosure), yaitu informasi yang harus diungkapkan oleh emiten yang diatur oleh

peraturan pasar modal di suatu Negara, Sedangkan yang kedua adalah pengungkapan sukarela

(voluntary disclosure), yaitu pengungkapan yang dilakukan secara sukarela oleh perusahaan tanpa

diharuskan oleh standar yang ada Fitriyani (2012). Di Indonesia, pengungkapan sosial bersifat

Voluntary, yaitu badan pengawas pasar modal tidak mengharuskan perusahaan untuk melakukan

pengungkapan sosial. Sehingga, pengungkapan sosial yang terjadi akan beraneka ragam antara

satu perusahaan dengan yang lainnya sesuai dengan gaya manajemen yang ada di dalam

perusahaan tersebut.

2.1.5 Metode Pengukuran Tanggung Jawab Sosial

Dalam akuntansi konvensional jelas bahwa setiap transaksi baru dapat dicatat jika sudah

mempengaruhi posisi keuangan perusahaan. Dalam Socio Economic Accounting (SEA) kita harus

mengukur dampak positif (Social Cost) dan dampak negatif (Social Negatif) yang ditimbulkan oleh

kegiatan perusahaan, di sinilah rumitnya menghitung dampak ekonomis pelaksanaan tanggung

jawab sosial oleh karena itu para ahli membuat beberapa metode pengukuran seperti yang

dirumuskan oleh Sofyan Syafri Harahap dalam buku Teori Akuntansi metode pengukuran tanggung

jawab sosial sebagai informasi yang akan dilaporkan dalam Socio Economic Reporting misalnya :

1) Menggunakan penelitian dengan menghitung Opportunity Cost Approach. Misalnya dalam

menghitung social cost dari pembuangan, maka dihitung berapa kerugian manusia dalam

hidupnya; berapa berkurang kekayaannya; berapa kerusakan wilayah rekreasi; dan lain

sebagainya akibat pembuangan limbah. Total kerugian itulah yang menjadi Social cost

perusahaan (Belkaoui, 1985 p.185).

2) Menggunakan daftar kuesioner, survey, lelang, di mana mereka yang merasa dirugikan

daitanyai berapa besar jumlah kerugian yang ditimbulkan atau berapa biaya yang harus

dibayar kepada mereka sebagai kompensasi kerugian yang dideritanya.

3) Menggunakan hubungan antara kerugian massal dengan permintaan untuk barang

pengurangan dalam menghitung jumlah kerugian masyarakat.

4) Menggunakan reaksi pasar dalam menentukan harga. Misalnya vonis hakim akibat

pengaduan masyarakat akan kerusakan lingkungan dapat juga dianggap sebagai dasar

perhitungan.”

Walaupun keempat metode diatas secara mendasar sangat berbeda, tetapi pada dasarnya

keempat metode tersebut untuk mengetahui kerugian serta reaksi masyarakat tehadap kegiatan

perusahaan yang menimbulkan dampak negatif.

2.2 Sustainability Reporting

2.2.1 Definisi Sustainability Reporting

Sustainability Report memiliki definisi yang beragam, menurut Elkington(1997) SR berarti

laporan yang memuat tidak saja informasi kinerja keuangan tetapi juga informasi non keuangan

yang terdiri dari informasi aktivitas sosial dan lingkungan yang memungkinkan perusahaan bisa

bertumbuh secara berkesinambungan (sustainable performance). Pelaporan sustainability akan

menjadi perhatian utama dalam pelaporan nonkeuangan, Pelaporan ini memuat empat kategori

utama yaitu : business landscape, strategi, kompetensi, serta sumber daya dan kinerja (Falk, 2007).

Saat ini implementasi pelaporan berkelanjutan di Indonesia didukung oleh sejumlah aturan

seperti UU No. 23/1997 tentang manajemen lingkungan dan aturan yang dikeluarkan Bursa Efek

Indonesia mengenai prosedur dan persyaratan listing dan juga standar laporan keuangan (PSAK).

Sustainability Reports perusahaan membutuhkan pedoman pelaporan berkelanjutan yang diterima

secara nasional. Untuk tujuan tersebut, dibutuhkan sebuah Badan Nasional yaitu NCSR (National

Center for Sustainability Reporting). Pengguna utama dari SR antara lain, masyarakat atau

komunitas, investor tanggung jawab sosial, bank, institusi pemerintah, dan manajemen dan

karyawan. Manfaat SR yang berdasarkan pada kerangka GRI, yaitu:

1) sebagai benchmark kinerja organisasional dengan memperhatikan hukum, norma,

undang-undang,

standar kinerja, dan prakarsa sukarela;

2) mendemostrasikan komitmen organisasional untuk sustainable development, dan

3) membandingan kinerja organisasional setiap waktu.

GRI mempromosikan dan mengembangkan pendekatan standarisasi pelaporan tersebut

untuk menstimulasikan permintaan terhadap informasi sustainability yang akan menguntungkan

pelaporan organisasi dan kepada yang menggunakan informasi laporan serupa. Pengungkapan

Sustainability Report yang sesuai dengan GRI (Global Reporting Index) harus memenuhi beberapa

prinsip.

Dewasa ini perusahaan dituntut oleh stakeholder kunci seperti karyawan, pemegang saham

dan konsumen untuk transparan atas visi/misi, prinsip, tujuan dan kinerjanya dalam segala dimensi

pembangunan berkelanjutan. Sustainability reporting adalah jawaban yang sesuai dengan prinsip-

prinsip KPB. Sustainability reporting adalah usaha dari suatu organisasi (perusahaan) dalam

memproduksi dan mempublikasikan sustainability report (SR). SR – menurut World Business

Council for Sustainable Development – bisa didefinisikan sebagai laporan publik dimana

perusahaan memberikan gambaran posisi dan aktivitas perusahaan pada aspek ekonomi,

lingkungan dan sosial kepada stakeholder internal dan eksternalnya (WBCSD 2002:7). Dengan

demikian, SR, idealnya, mengintegrasikan tiga bentuk laporan sebelumnya (keuangan, sosial dan

lingkungan). Bagaimanapun juga, memproduksi SR merupakan proses yang menantang. SR

hanyalah puncak dari gunung es. Perusahaan akan sulit membuat laporan yang akurat dan dapat

dipercaya tanpa sebelumnya memiliki dan menerapkan sistem informasi dan manajemen 9

internal yang handal. Memproduksi SR membutuhkan komitmen kuat dari pimpinan perusahaan,

alur tanggung jawab yang jelas dan sumber daya yang memadai. SR bukanlah hasil dari proses

instant, melainkan merupakan hasil dari pengalaman perusahaan selama bertahun-tahun dalam

melakukan aktivitas sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan.

2.2.2 Peranan dan Tujuan Sustainability Reporting

Laporan keberlanjutan adalah praktek pengukuran, pengungkapan dan upaya akuntabilitas

dari kinerja organisasi dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan kepada para

pemangku kepentingan baik internal maupun eksternal. ‘Laporan Keberlanjutan’ merupakan

sebuah istilah umum yang dianggap sinonim dengan istilah lainnya untuk menggambarkan laporan

mengenai dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial (misalnya triple bottom line, laporan

pertanggungjawaban perusahaan, dan lain sebagainya).

Sebuah laporan keberlanjutan harus menyediakan gambaran yang berimbang dan masuk

akal dari kinerja keberlanjutan sebuah organisasi –baik kontribusi yang positif maupun negatif.

Laporan Keberlanjutan yang disusun berdasarkan Kerangka Pelaporan GRI mengungkapkan

keluaran dan hasil yang terjadi dalam suatu periode laporan tertentu dalam konteks komitmen

organisasi, strategi, dan pendekatan manajemennya. Laporan dapat digunakan untuk tujuan

berikut, di antaranya:

Patok banding dan pengukuran kinerja keberlanjutan yang menghormati hukum, norma,

kode, standar kinerja, dan inisiatif sukarela;

Menunjukkan bagaimana organisasi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh harapannya

mengenai pembangunan berkelanjutan; dan

Membandingkan kinerja dalam sebuah organisasi dan di antara berbagai organisasi dalam

waktu tertentu.

2.2.3 Prinsip-prinsip Sustainability Reporting

Laporan Keberlanjutan digunakan untuk menggambarkan laporan mengenai dampak

ekonomi, lingkungan, dan sosial suatu perusahaan. Terdapat Prinsip-prinsip dalam penyusunan

sustainability reporting, sehingga membuat informasi yang tertuang di dalam sustainability

reporting menjadi informasi yang berkualitas dan memadai. Prinsip-prinsip ini sangat fundamental

bagi terwujudnya transparansi yang efektif. Kualitas informasi akan memungkinkan pemangku

kepentingan untuk membuat penilaian yang masuk akal serta tindakan yang memadai terkait

kinerja organisasi. Prinsip-prinsip tersebut yaitu :

Keseimbangan

Laporan harus menggambarkan aspek positif dan negatif dari kinerja perusahaan untuk

dapat memungkinkan penilaian yang masuk akal terhadap keseluruhan kinerja. Keseluruhan

penyajian isi laporan harus menyajikan gambaran yang tidak bias terhadap kinerja organisasi.

Laporan harus menghindari pemilihan, penghilangan, atau penyajian format yang memungkinkan

kesalahan penilaian oleh pembaca laporan.

Dapat diperbandingkan

Isu-isu dan informasi harus dipilih, dikumpulkan, dan dilaporkan secara konsisten. Informasi

yang dilaporkan harus disajikan dalam sebuah cara yang memungkinkan pemangku kepentingan

dapat menganalisis perubahan kinerja organisasi dari waktu ke waktu dan dapat mendukung

analisis relatif terhadap organisasi lainnya. Perbandingan sangat dibutuhkan dalam mengevaluasi

kinerja. Pemangku kepentingan yang menggunakan laporan harus dapat membandingkan

informasi kinerja ekonomi, lingkungan, dan sosial yang dilaporkan dengan kinerja organisasi

sebelumnya, sasarannya, dan apabila memungkinkan dengan kinerja organisasi lainnya.

Konsistensi dalam melaporkan memungkinkan pihak-pihak internal dan eksternal untuk melakukan

perbandingan.

Kecermatan

Informasi yang dilaporkan harus cukup cermat dan detail bagi pemangku kepentingan

dalam menilai kinerja organisasi.

Ketepatan waktu

Laporan dilakukan berdasarkan jadwal reguler serta informasi kepada pemangku

kepentingan tersedia tepat waktu ketika dibutuhkan dalam mengambil kebijakan. Kegunaan

informasi akan sangat terkait dengan apakah waktu pengungkapannya kepada pemangku

kepentingan dapat memungkinkan mereka untuk mengintegrasikannya secara efektif dalam

pembuatan kebijakan yang mereka lakukan.

Kejelasan

Informasi harus disediakan dalam cara yang dapat dimengerti dan diakses oleh pemangku

kepentingan yang menggunakan laporan. Laporan harus menyajikan informasi dalam cara yang

dapat dimengerti, dapat diakses, dan dapat digunakan oleh para pemangku kepentingan organisasi

(baik dalam bentuk cetak maupun saluran lainnya). Pemangku kepentingan harus dapat

menemukan informasi yang dibutuhkannya tanpa harus bekerja keras. Informasi harus disajikan

dalam cara yang komprehensif kepada pemangku kepentingan yang telah memiliki pemahaman

akan organisasi dan aktivitasnya. Grafik dan tabel data terkonsolidasi dapat membantu dalam

memahami dan mengakses informasi yang ada dalam laporan.

Keterandalan

Informasi dan proses yang digunakan dalam penyiapan laporan harus dikumpulkan,

direkam, dikompilasi, dianalisis, dan diungkapkan dalam sebuah cara yang dapat diuji dan dapat

membentuk kualitas dan materialitas dari laporan. Pemangku kepentingan harus yakin bahwa

sebuah laporan dapat dicek ketepatan dan ketelitian isinya serta tingkatan Prinsip Pelaporan yang

digunakan. Informasi dan data yang termasuk dalam laporan harus didukung oleh pengendalian

internal atau dokumentasi yang dapat di-review oleh individu di luar mereka yang terlibat dalam

pembuatan laporan.

2.2.4 Teknik Pelaporan CSR

CSR diartikan sebagai suatu tindakan etis atau tanggung jawab perusahaan terhadap

stakeholders. Tindakan etis atau tanggung jawab tersebut dimaksudkan agar mendapat

penerimaan dari masyarakat luas. Tanggung jawab sosial meliputi aspek sosial dan lingkungan,

dalam hal ini aspek ekonomi telah tercakup dalam aspek sosial. Stakeholders terdiri dari pihak

dalam dan luar perusahaan. Tujuan utama dari tanggung jawab sosial adalah untuk meningkatkan

standar hidup, tanpa mengesampingkan pencapaian keuntungan untuk semua pihak baik yang

berada di dalam ataupun di luar perusahaan.

Untuk itulah maka pertanggungjawaban sosial perusahaan (CSR) perlu diungkapkan dalam

perusahaan sebagai wujud pelaporan tanggung jawab sosial kepada masyarakat.

Pertanggungjawaban sosial perusahaan diungkapkan dalam dua bentuk yaitu :

1. Di dalam laporan yang disebut Sustainability Reporting. Sustainability Reporting adalah

pelaporan mengenai kebijakan ekonomi, lingkungan dan sosial, pengaruh dan kinerja

organisasi dan produknya di dalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable

development). Sustainabitity report harus menjadi dokumen strategik yang berlevel tinggi

yang menempatkan isu, tantangan dan peluang Sustainability Development yang

membawanya menuju kepada core business dan sektor industrinya.

2. Laporan tanggung jawab sosial perusahaan di ungkapkan dan disajikan dalam Annual

Report.

2.2.5 Standar Sustainability Reporting

Salah satu standar Sustainability Reporting adalah standar yang dibuat oleh GRI. GRI

membuat kerangka pelaporan, yang ditujukan sebagai sebuah kerangka yang dapat diterima

umum dalam melaporkan kinerja ekonomi, lingkungan, dan sosial dari organisasi. Kerangka ini

didesain untuk digunakan oleh berbagai organisasi yang berbeda ukuran, sektor, dan lokasinya.

Kerangka ini juga memperhatikan pertimbangan praktis yang dihadapi oleh berbagai macam

organisasi –dari perusahaan kecil sampai kepada perusahaan yang memiliki operasi ekstensif dan

tersebar di berbagai lokasi.

Kerangka Pelaporan GRI mengandung kandungan isi umum dan sektor secara spesifik yang

telah disetujui oleh berbagai pemangku kepentingan di seluruh dunia dan dapat diaplikasikan

secara umum dalam melaporkan kinerja keberlanjutan dari sebuah organisasi. Panduan

Pembuatan Laporan Berkelanjutan terdiri atas Prinsip-prinsip Pelaporan, Panduan Pelaporan dan

Standar Pengungkapan (termasuk di dalamnya Indikator Kinerja) Elemen-elemen ini

dipertimbangkan memiliki bobot dan kepentingan yang sama. Kerangka Pelaporan itu terdiri dari :

Bagian 1 – Panduan dan Prinsip Pelaporan

Untuk membantu dalam menentukan apa yang harus dilaporkan, bagian ini mencakup Prinsip

Pelaporan terkait materialitas, pelibatan pemangku kepentingan, konteks keberlanjutan dan

kelengkapan laporan, beserta seperangkat Alat Penguji singkat untuk setiap Prinsip.

1. Menetapkan Isi Laporan

Dalam rangka menjamin penyampaian kinerja organisasi yang seimbang dan masuk akal,

harus dibuat penetapan mengenai isi yang harus dicakup dalam laporan. Penetapan ini harus

dibuat dengan mempertimbangkan tujuan dan pengalaman organisasi, serta harapan dan

kepentingan yang masuk akal dari para pemangku kepentingan. Keduanya merupakan referensi

penting dalam menentukan hal apa yang harus dimasukkan dalam laporan.

2. Prinsip Pelaporan untuk Menetapkan Kualitas

Bagian ini mengandung Prinsip-prinsip yang mengarahkan pilihan dalam menjamin kualitas

dari informasi yang dilaporkan termasuk penyajiannya yang memadai. Kebijakan terkait proses

penyiapan informasi dalam pembuatan laporan harus konsisten dengan Prinsip ini. Semua prinsip

ini sangat fundamental bagi terwujudnya transparansi yang efektif. Kualitas informasi akan

memungkinkan pemangku kepentingan untuk membuat penilaian yang masuk akal serta tindakan

yang memadai terkait kinerja organisasi

3. Panduan Pelaporan untuk Menetapkan Batas

Batasan Laporan Keberlanjutan harus memasukkan entitas di mana organisasi memiliki

pengendalian yang memadai atau pengaruh yang signifikan baik entitas hulu (misalnya rantai

pasokan) maupun hilir (misalnya distribusi dan konsumen).

Bagian 2 – Standar Pengungkapan

Mengenai Standar Pengungkapan yang harus dimasukkan dalam laporan keberlanjutan. Terdiri

dari :

1. Strategi dan Profil

Strategi dan Analisis

Bagian ini ditujukan untuk menyediakan pandangan strat­egis tingkat tinggi mengenai

hubungan organisasi dengan keberlanjutan dalam upaya menyediakan konteks laporan yang

lebih detail seperti dalam sektor lainnya pada Pand­uan.

2. Profil Organisasi

2.1. Nama organisasi.

2.2. Merek, produk, dan atau jasa utama.

2.3. Struktur operasional organisasi, termasuk didalamnya divisi utama, perusahaan yang

menjalankan usaha (operating companies), perusahaan anak (anak peru­sahaan) dan

usaha patungan.

2.4. Lokasi kantor pusat organisasi.

2.5. Jumlah negara di mana perusahaan beroperasi, serta nama negara di mana operasi

utama dilaksanakan, atau yang relevan dengan isu keberlanjutan yang dicakup dalam

laporan.

2.6. Sifat kepemilikan dan bentuk legal.

2.7. Pasar yang dilayani (termasuk di dalamnya diperinci berdasarkan geografi, sektor yang

dilayani dan jenis konsumen/penerima manfaat).

2.8. Skala organisasi, termasuk di dalamnya:

• Jumlah pegawai;

• Penjualan Netto (untuk organisasi sektor privat) atau pendapatan netto (untuk

organisasi sector

3. Parameter Laporan

Profil laporan

3.1 Periode pelaporan (misalnya tahun fiskal/kalender)

3.2 Tanggal dari laporan sebelumnya yang paling baru (jika ada).

3.3 Siklus Pelaporan (tahunan, dua tahun sekali, dan sebagainya).

3.4 Alamat Kontak apabila ada pertanyaan terkait laporan

4. Tata Kelola, Komitmen, dan Keterlibatan

4.1 Tata kelola

Struktur tata kelola organisasi, termasuk komite di bawah badan pengelola tertinggi

yang bertanggung jawab untuk tugas khusus, seperti dalam menetapkan strategi atau

mekanisme pengawasan organisasi.

4.2 Komitmen terhadap inisiatif eksternal

Penjelasan mengenai bagaimana pendekatan atau prinsip pencegahan digunakan oleh

organisasi.

4.3 Keterlibatan pemangku kepentingan

Item pengungkapan berikut merujuk kepada pelibatan pemangku kepentingan

secara umum yang dilakukan oleh organisasi selama periode laporan. Pengungkapan ini

tidak terbatas hanya pada implementasi pelibatan pemangku kepentingan untuk tujuan

penyiapan sebuah laporan keberlanjutan.

5. Tanggung jawab pada Lingkungan

Dimensi Lingkungan dari keberlanjutan yang mempengaruhi dampak organisasi

terhadap sistem alami hidup dan tidak hidup, termasuk ekosistem, tanah, air dan udara.

Indikator Lingkungan meliputi kinerja yang berhubungan dengan input (misalnya material,

energi, dan air) dan output (misalnya emisi, air limbah, dan limbah). Sebagai tambahan,

indikator ini melingkupi kinerja yang berhubungan biodiversity (keanekaragaman hayati),

kepatuhan lingkungan, dan informasi relevan lainnya seperti pengeluaran lingkungan

(environmental expenditure) dan dampaknya terhadap produk dan jasa. Penjelasan

Pendekatan Manajemen

a. Berikan penjelasan singkat mengenai Pendekatan Manajemen terhadap Aspek Lingkungan

seperti tercantum di bawah ini:

o Material

o Energi

o Air

o Biodiversitas

o Emisi, Efluen dan Limbah

o Produk dan Jasa

o Kepatuhan

o Transportasi; dan

o Keseluruhan

b. Tujuan dan Kinerja

Tujuan keseluruhan organisasi terhadap kinerja yang berhubungan dengan Aspek

Lingkungan. Gunakanlah Indikator spesifik organisasi yang ditambah dengan Indikator Kinerja

GRI untuk menunjukkan hasil dari kinerja terhadap tujuan.

c. Kebijakan

Secara singkat, kebijakan organisasi secara keseluruhan yang menentukan komitmen

organisasi terhadap Aspek Lingkungan yang tercantum di atas atau yang dapat ditemukan di

ruang publik (misalnya weblink). Tanggung Jawab Organisasi: Posisi paling senior dalam

tanggung jawab operasional terhadap Aspek Lingkungan atau menjelaskan bagaimana

tanggung jawab operasional dibagi pada tingkatan senior.).

d. Pelatihan dan Kesadaran

Prosedur yang berhubungan dengan pelatihan dan peningkatan kesadaran yang

berhubungan dengan Aspek Lingkungan.

e. Pengawasan dan Tindak Lanjut

Prosedur yang berhubungan dengan pengawasan dan aksi pencegahan (preventive) dan

pembetulan (corrective), termasuk yang berhubungan dengan rantai penyaluran (supply

chain).

f. Informasi Tambahan Kontekstual

Informasi tambahan relevan yang dibutuhkan untuk memahami kinerja organisasi.

o Sukses penting dan kekurangan Risiko organisasi lingkungan dan

o kesempatan yang berhubungan dengan isu yang berkaitan.

o Perubahan utama di dalam periode pelaporan terhadap struktur atau sistem untuk

perbaikan kinerja; dan

o Strategi penting dan prosedur untuk implementasi kebijakan atau pencapaian tujuan.

6. Tanggung jawab pada pekerja dan masyarakat

Sama hal nyaseperti tanggung jawab pada lingkungan,tanggung jawab pada pekerja dan

masyarakat pun dimulai dari:

a. Berikan penjelasan singkat mengenai Pendekatan Manajemen

b. Tujuan dan Kinerja

c. Kebijakan

d. Pelatihan dan Kesadaran

e. Pengawasan dan tindak lanjut

f. Informasi Tambahan Kontekstual

2.3 Analisis Kasus

2.3.1 LATAR BELAKANG

Semburan lumpur mulai terjadi sejak tanggal 28 Mei 2006 di kawasan Porong, Sidoarjo.Insiden ini

terjadi akibat pengeboran gas yang diLakukan oleh PT Lapindo Brantas (saat ini bernama PT Minarak

Lapindo Jaya) sedalam 32 km yang menyemburkan gas bercampur lumpur yang ditengarai oleh beberapa

pihak sebagai lumpur gunung berapi. Hingga saat ini lumpur terus menyembur dan berbagai cara telah

ditempuh untuk menghentikannya, namun belum berhasil.

Perusahaan Lapindo Brantas merupakan anak perusahaan PT Energi Mega Persada Tbk, yang 60%

sahamnya dimiliki oleh Bakrie Group, pimpinan Aburizal Bakrie, mantan Menteri Koordinator Perdagangan

dan Industri yang sekarang menjadi Menteri Koordinator Kesejahteraan Sosial serta merupakan pengusaha

ternama di Asia

Banyak spekulasi yang berkembang di masyarakat, dari bencana alam hingga kesalahan manusia,

dalam hal ini PT Lapindo. Hasil penyelidikan pihak kepolisian juga menemukan adanya kesalahan standar

pengeboran dalam kasus ini. Menurut juru bicara Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Komisaris

Besar Polisi Bambang Kuncoko, kebocoran selama pengeboran yang dilakukan oleh PT Medicitra Nusantara

sebagai sub kontraktor dari PT Lapindo Brantas terjadi pada kedalaman 9.297 kaki di dalam sumur gas yang

sedang dibor. Menurut Bambang Kuncoko, baik sub kontraktor maupun kontraktor harus bertanggung

jawab. Selain tidak menggunakan casing dalam proses pengeborannya, prosedur pengeboran P.T Lapindo

Brantas juga diduga menggunakan teknik pengeboran bertekanan rendah (a low pressure drilling

technique) dan juga tidak ada pengawasan dari pihak perusahaan serta Kementerian Lingkungan Hidup.

Tanpa adanya lapisan pengaman (casing), benda cair dari berbagai tingkatan dapat masuk lubang yang

dibor dan menyembur ke permukaan.

Akibat yang ditimbulkan oleh Insiden lumpur sidoarjo ini adalah kerugian yang sangat fatal bagi

masyarakat yang tinggal di daerah sekitar kejadian.Penanganan kasus dan upaya untuk membantu

masyarakat korban terus dilakukan baik dari segi kebijakan dan tindakan hukum. Namun hingga saat ini

permasalah ganti rugi ini belum diselesaikan total oleh PT Minarak Lapindo Jaya.

2.3.4 Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility)

Kasus Lapindo Brantas ini mengingatkan kita betapa para pengambil keputusan di

perusahaan-perusahaan di negeri kita belum memahami benar arti penting tanggung jawab

perusahaannya terhadap lingkungan luar perusahaan.

Sebagai buntut dari ketidakpedulian Lapindo Brantas Inc. terhadap kewajibannya memelihara

keberdayaan alam dan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat sekitar, perusahaan itu kini

menghadapi klaim tuntutan dari pihak-pihak yang dirugikan, tokoh masyarakat, dewan perwakilan

rakyat (daerah maupun pusat), lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan pihak-pihak yang concern

masalah kelestarian lingkungan (dosen, budayawan, pemerhati lingkungan, dll) yang berujung pada

kerugian finansial yang sangat signifikan yang tidak mustahil dapat menyebabkan kolaps pada

perusahaan.Tuntutan itu belum termasuk ancaman sanksi pidana penjara dan denda kepada badan

usaha dan pihak-pihak yang memberikan perintah dalam tindakan pencemaran lingkungan

sebagaimana diatur dalam Bab IX Undang-Undang No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup. kasus semburan lumpur di Sidoarjo sekali lagi membuktikan bahwa

tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) adalah mutlak harus dipenuhi

dan bukan sebatas jargon belaka.

2.3.4 Analisis Dari Segi Etika Bisnis Mengenai Lumpur Lapindo

Dari uraian kasus diatas diketahui bahwa kelalaian yang dilakukan PT. Lapindo Brantas merupakan penyebab utama meluapnya lumpur panas di Sidoarjo, akan tetapi pihak Lapindo malah berdalih dan enggan untuk bertanggung jawab. Jika dilihat dari sisi etika bisnis, apa yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas jelas telah melanggar etika dalam berbisinis. Dimana PT. Lapindo Brantas telah melakukan eksploitasi yang berlebihan dan melakukan kelalaian hingga menyebabkan terjadinya bencana besar yang mengakibatkan kerusakan parah pada lingkungan dan social.

Eksploitasi besar-besaran yang dilakukan PT. Lapindo membuktikan bahwa PT. Lapindo rela menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan. Dan keengganan PT. Lapindo untuk bertanggung jawab membuktikan bahwa PT. Lapindo lebih memilih untuk melindungi asset-aset mereka daripada melakukan penyelamat dan perbaikan atas kerusakan lingkungan dan social yang mereka timbulkan.

Hal yang dilakukan oleh PT. Lapindo telah melanggar prinsip-prinsip etika yang ada. Prinsip mengenai hak dan deontology yang menekankan bahwa tiap manusia berhak atas lingkungan berkualitas, akan tetapi dengan adanya perisyiwa lumpur panas tersebut, warga justru mengalami dampak kualitas lingkungan yang buruk. Sedangkan perspektif utilitarisme menegaskan bahwa lingkungan hidup tidak lagi boleh diperlakukan sebagai suatu eksternalitas ekonomis. Jika dampak atas lingkungan tidak diperhitungkan dalam biaya manfaat, pendekatan ini menjadi tidak etis apalagi jika kerusakan lingkungan dibebankan pada orang lain. Akan tetapi, dalam kasus ini PT. Lapindo justru mengeruk sumber daya alam di Sidoarjo untuk kepentingan ekonomis semata, dan cenderung kurang melakukan pemeliharaan terhadap alam, yang dibuktikan dengan pengehematan biaya operasional pada pemasangan chasing, sehingga menimbulkan bencana yang besar.

Prinsip etika bisnis mengenai keadilan distributive juga dilanggar oleh PT. Lapindo, karena perusahaan tidak bertindak adil dalam hal persamaan, prinsip penghematan adil dan keadilan social. PT. Lapindo pun dinilai tidak memiliki kepedulian terhadap sesame manusia atau lingkungan, karena menganngap peristiwa tersebut merupakan bencana alam yang kemudian dijadikan alas an perusahaan untuk lepas tanggung jawab. Dengan segala tindakan yang dilakukan oleh PT. Lapindo secara otomatis juga berarti telah melanggar etika kebajikan.

Hal ini membuktikan bahwa etika berbisnis yang dipegang oleh suatu perusahaan akan sangat mempengaruhi kelangsungan suatu perusahaan. Dan segala macam bentuk pengabdian etika dalam berbisnis akan mengancam kemanan dan kelangsungan perusahaan itu sendiri.

2..3.2 Kasus Lapindo sebagai suatu Bisnis Tak Beretika

Secara konsep kebijakan pembangunan sudah memasukkan faktor kelestarian lingkungan sebagai

hal yang mutlak untuk dipertimbangkan, namun dalam implementasinya terjadi kekeliruan orientasi

kebijakan yang tercermin melalui berbagai peraturan yang terkait dengan sumber daya alam. Peraturan

yang dibuat cenderung mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam tanpa perlindungan yang

memadai, sehingga membuka ruang yang sebesar-besarnya bagi pemilik modal.

Lemahnya implementasi di bidang hukum yang mengatur pelaksanaan dan pengawasan pelestarian

terjadi juga di bidang lingkungan hidup. Sebagai contoh Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)

dan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), dalam implementasinya hanya merupakan kebijakan yang bersifat

reaktif dan sesaat (temporary) atau suatu kebijakan yang secara konsep bagus tetapi dalam pelaksanaannya

tidak terpantau secara berkesinambungan, lemah dalam manajemen kontrol, cenderung tidak konsisten

dan persisten. Hal yang serupa disampaikan bahwa tingginya kerusakan sumber daya alam hayati di

Indonesia disebabkan salah satunya adalah banyaknya kebijakan sektoral dan bersifat eksploitatif yang

saling tumpang tindih dalam pengelolaan sumber daya alam.

Dampak dari eksploitasi alam secara besar-besaran sebagai akibat kekeliruan implementasi

kebijakan pembangunan tersebut mulai dirasakan rakyat Indonesia beberapa tahun belakangan ini.

Berbagai bencana terjadi silih berganti, mulai dari bencana yang diakibatkan oleh dampak fenomena alam

seperti Tsunami di Aceh, tanah longsor dan banjir di berbagai daerah sampai pada bencana yang

diakibatkan adanya faktor kelalaian manusia dalam usaha mengeksploitasi alam tersebut seperti kasus

Teluk Buyat di Sulawesi, Freeport di Papua sampai dengan yang sekarang menjadi bencana nasional yaitu

kasus semburan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo Jawa Timur.

Kasus luapan lumpur Lapindo adalah salah satu contoh kebijakan pembangunan yang dalam

implementasinya telah terjadi pergeseran orientasi, yaitu kebijakan pembangunan yang cenderung

mengabaikan faktor kelestarian lingkungan. Atau suatu kebijakan yang tidak memasukkan faktor lingkungan

sebagai hal yang mutlak untuk dipertimbangkan mulai dari tahap perencanaan sampai dengan tahap

pelaksanaannya. Salah satu contohnya adalah tidak ditepatinya kebijakan lingkungan yang seharusnya

menjadi bahan pertimbangan sebelum suatu perusahaan mendapatkan ijin untuk melakukan usahanya.

Pertimbangan kebijakan lingkungan tersebut antara lain : jarak rumah penduduk dengan lokasi eksplorasi,

mentaati standar operasional prosedur teknik eksplorasi, dan keberlanjutan lingkungan untuk masa yang

akan datang.

Secara garis besar pelaksanaan, pengawasan pelestarian dan perlindungan lingkungan hidup

dijalankan perangkat hukum antara lain AMDAL yang merupakan suatu prosedur preventif yang

memberikan analisa menyeluruh dan terinci tentang segala dampak langsung yang mungkin timbul dari

proyek yang direncanakan, cara-cara yang mungkin mengatasinya dan rencana kerja untuk mengelola,

mengawasi dan mengevaluasi dampakdampak yang ditimbulkan dan efektifitas pelaksanaan rencana kerja.

Lapindo Brantas Inc. melakukan pengeboran gas melalui perusahaan kontraktor pengeboran PT.

Medici Citra Nusantara yang merupakan perusahaan afiliasi Bakrie Group. Kontrak itu diperoleh Medici

dengan tender dari Lapindo Brantas Inc. senilai US$ 24 juta. Namun dalam hal perijinannya telah terjadi

kesimpangsiuran prosedur dimana ada beberapa tingkatan ijin yang dimiliki oleh lapindo. Hak konsesi

eksplorasi Lapindo diberikan oleh pemerintah pusat dalam hal ini adalah Badan Pengelola Minyak dan Gas

(BP MIGAS), sementara ijin konsensinya diberikan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Timur sedangkan ijin

kegiatan aktifitas dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Sidoarjo yang memberikan

keleluasaan kepada Lapindo untuk melakukan aktivitasnya tanpa sadar bahwa Rencana Tata Ruang (RUTR)

Kabupaten Sidoarjo tidak sesuai dengan rencana eksplorasi dan eksploitasi tersebut.

Dampak dari luapan lumpur yang bersumber dari sumur di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong,

Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa Timur sejak 29 Mei 2006 ini telah mengakibatkan timbunan lumpur

bercampur gas sebanyak 7 juta meter kubik atau setara dengan jarak 7.000 kilometer, dan jumlah ini akan

terus bertambah bila penanganan terhadap semburan lumpur tidak secara serius ditangani. Lumpur gas

panas Lapindo selain mengakibatkan kerusakan lingkungan, dengan suhu rata-rata mencapai 60 derajat

celcius juga bisa mengakibatkan rusaknya lingkungan fisik masyarakat yang tinggal disekitar semburan

lumpur. Tulisan lingkungan fisik diatas adalah untuk membedakan lingkungan hidup alami dan lingkungan

hidup buatannya, dimana dalam kasus ini Daud Silalahi menganggap hal ini sebagai awal krisis lingkungan

karena manusia sebagai pelaku sekaligus menjadi korbannya. Rusaknya lingkungan fisik tersebut sudah

dirasakan berbagai pihak selama ini antara lain :

Lumpuhnya sektor industri di Kabupaten Sidoarjo. Sebagai mana diketahui Sidoarjo merupakan

penyangga Propinsi Jawa Timur, khususnya Kota Surabaya dalam sektor industri. Hingga kini sudah

25 sektor usaha tidak dapat beroperasi yang berakibat hilangnya mata pencaharian ribuan

karyawan yang bekerja pada sektor industri tersebut.

Lumpuhnya sektor ekonomi sebagai akibat rusaknya infrastruktur darat seperti rusaknya jalan, jalan

tol dan jalur ekonomi darat lainnya seperti jalur transportasi kereta api dll.

Kerugian di sektor lain seperti pertanian, perikanan darat dll. Sejauh ini sudah diidentifikasi luas

lahan pertanian berupa lahan sawah yang mengalami kerusakan, menurut Direktur Jenderal

Tanaman Pangan Departemen Pertanian Soetarto Alimoeso mengatakan area pertanian di Sidoarjo,

Jawa Timur, yang terkena luapan lumpur Lapindo seluas 417 hektare. Lumpur telah menggenangi

duabelas desa di tiga kecamatan, tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur, menggenangi

sarana dan prasarana publik, Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas

produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena

dampak lumpur ini, serta memindah paksakan sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak 25.000 jiwa

mengungsi.

Dampak sosial kehidupan masyarakat disekitar seperti sarana tempat tinggal, pendidikan,

kesehatan, sarana air bersih dll. Bahwa efek langsung lumpur panas menyebabkan infeksi saluran

pernapasan dan iritasi kulit. Lebih lanjut dijelaskan bahwa lumpur tersebut juga mengandung bahan

karsinogenik yang bila berlebihan menumpuk dalam tubuh dapat menyebabkan kanker dan

akumulasi yang berlebihan pada anak-anak akan mengakibatkan berkurangnya kecerdasan.

Hasil uji laboratorium juga menemukan adanya kandungan Bahan Beracun dan Berbahaya yaitu

kandungan (B3) yang sudah melebihi ambang batas. Hasil uji kualitas air lumpur Lapindo pada

tanggal 5 Juni 2006 oleh Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Jawa Timur, menunjukkan bahwa uji

laboratorium dalam air tersebut terdapat kandungan fenol. Kontak langsung dengan kulit dapat

mengakibatkan kulit seperti terbakardan gatal-gatal. Fenol bisa berakibat menjadi efek sistemik

atau efek kronis jika fenol masuk ke dalam tubuh melalui makanan. Efek sistemik fenol bisa

mengakibatkan sel darah merah pecah (hemolisis), jantungberdebar (cardiac aritmia), dan

gangguan ginjal. Hal ini menunjukkan bahwa selain dampak kerusakan lingkungan fisik, lumpur

panas tersebut juga mengakibatkan ancaman lain yaitu efek kesehatan yang sangat merugikan

dimasa yang akan datang dan hal ini justru tidak diketahui olehmasyarakat korban pada umumnya.

Dalam arti gramatikal, kejahatan korporasi adalah merupakan pelanggaran atau tindak pidana yang

dilakukan oleh korporasi, yang tentunya berkaitan dengan hubungan keperdataan, artinya hubungan yang

menimbulkan tindak pidana tersebut adalah perbuatan perdata. Melakukan pengeboran yang bertujuan

sebagai kegiatan penambangan gas di Blok Brantas oleh Lapindo Brantas Inc., menurut pengertian

kejahatan korporasi adalah merupakan perbuatan perdata, sedangkan hal yang berlanjut mengenai adanya

kesalahan manusia atau human error dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain adalah merupakan

perbuatan tindak pidana.

Human error yang dilakukan oleh Lapindo Brantas adalah tidak dipasangnya pipa selubung dalam

aktivitas pengeborannya sehingga mengakibatkan bencana itu terjadi. Pemasangan chasing (pipa selubung)

yang tidak dilakukan lebih awal oleh Lapindo ini dapat dijadikan sebagai suatu kelalaian dari sebuah

korporasi dengan tidak dilaksanakannya standar keselamatan sebelum pelaksanan pengeboran. Kejahatan

korporasi yang dimaksud adalah kejahatan korporasi dibidang lingkungan hidup, yaitu tindakan

pencemaran dan perusakan lingkungan dilakukan oleh sebuah korporasi bernama Lapindo Brantas

Incorporated. Dampak yang diakibatkan adanya perbuatan oleh korporasi tersebut merugikan tidak hanya

secara material, namun juga telah merugikan lingkungan hidup masyarakat Sidorajo. Hal seperti ini dapat

dikatakan sebagai sebuah perbuatan tindak kejahatan.

Dalam kasus Lapindo ditemukan beberapa pelanggaran hukum yang bisa dijerat dengan pasalpasal

dalam undang-undang antara lain hukum lingkungan hidup (UULH), hukum Pidana (KUHP) dan hukum

Perdata (KUHPer). Sampai dengan saat ini bahwa upaya dalam penanggulangan dampak tersebut

dirasakan berbagai pihak kurang optimal dibandingkan dengan kerusakan yang terjadi. Hingga saat

ini tindakan nyata dari Lapindo Brantas (Lapindo) sebagai pemegang izin eksplorasi dan eksplotasi

pada Blok Brantas baru sebatas pemberian ganti rugi terhadap kerusakan fisik yang diderita warga

sekitar daerah bencana. Sementara upaya menghentikan semburan lumpur dan upaya

penanggulangan dampak kerusakan dan pencemaran lingkungan sebagai akibat lain dari bencana

tersebut belum ditangani secara benar dan sistematis. Peristiwa ini tentu saja mengundang

masyarakat untuk berkomentar terhadap pertanyaan dimana dan sampai sejauh mana letak

pertanggungjawaban Lapindo Brantas Inc.

2.3.3 Dampak Lumpur Lapindo Sidoardjo sebagai Bukti Pencemaran Terhadap Lingkungan

Hidup

Telah terjadi peristiwa luapan Lumpur Lapindo Sidoarjo Surabaya, Jawa Timur pada Tanggal 28 Mei

2006, sekitar pukul 22.00, karena terjadinya kebocoran gas hidrogen sulfida (H2S) di areal ladang

eksplorasi gas Rig TMMJ # 01, di lokasi Banjar Panji perusahaan PT. Lapindo Brantas (Lapindo) di

Desa Ronokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Dimana kebocoran gas tersebut

berupa semburan asap putih dari rekahan tanah, membumbung tinggi sekitar 10 meter. Semburan

gas tersebut disertai keluarnya cairan lumpur dan meluber kelahan warga. Semburan lumpur

panas di kabupaten Sidoarjo sampai saat ini belum juga bisa teratasi. Semburan yang akhirnya

membentuk kubangan lumpur panas ini telah memporak-porandakan sumber-sumber

penghidupan warga setempat dan sekitarnya. Kompas edisi Senin (19/6/06), melaporkan, tak

kurang 10 pabrik harus tutup, dimana 90 hektar sawah dan pemukiman penduduk tak bisa

digunakan dan ditempati lagi, begitu pula dengan tambak-tambak bandeng, belum lagi jalan tol

Surabaya-Gempol yang harus ditutup karena semua tergenang lumpur panas. Berdasarkan data

yang didapat WALHI Jawa Timur, yang mencatat jumlah pengungsi di lokasi Pasar Porong Baru

sejumlah 1110 Kepala Keluarga dengan Rincian 4345 jiwa dan 433 Balita, Lokasi Kedung Bendo

jumlah pengungsi sebanyak 241 Kepala Keluarga yang terdiri dari 1111 Jiwa dan 103 Balita, Lokasi

Balai Desa Ronokenongo sejumlah 177 Kepala keluarga dengan rincian 660 jiwa.

Didalam kasus luapan Lumpur lapindo, telah terjadi juga aspek pelanggaran Hak Asasi Manusia

(HAM), dimana PT Lapindo Brantas Inc. telah merugikan masyarakat dalam pelbagai segi,

misalnya, ekonomi, sosial, dan budaya, tidak dapat dibayangkan, terdapatnya ribuan pekerja

kehilangan mata pencaharian, produktivitas kerja masyarakat menurun, ribuan (bahkan jutaan

dimasa yang akan datang) anak terancam putus sekolah, dan perekonomian Jawa Timur tersendat.

Sampai pada era Reformasi di Tahun 2009 terhadap penegakan hukum atas kasus lumpur Lapindo

tak kunjung dapat terselesaikan dengan secara damai. Kebijakan politik minus etika lebih

dikedepankan ketimbang aspek keadilan masyarakat. Dari berbagai aspek yang seharusnya

merupakan tanggung jawab sepenuhnya PT Lapindo Brantas Inc./PT Energi Mega Persada yang

mencakup aspek pelanggaran hak asasi manusia (HAM), hukum, politik, perdata dan pidana.

Lambannya penyelesaian kasus lumpur Lapindo, WALHI mengupayakan adanya cara yang

ditempuh oleh masyarakat melalui DPR (Public Inquiry), guna meminta pertanggung jawaban PT

Lapindo Brantas Inc dari kasus tersebut.

Dalam Bab IX, Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan

telah diatur sanksi pidana (penjara dan denda) terhadap badan hukum yang melakukan

pencemaran. Selanjutnya, pada pasal 46 UU No.23/1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti

melakukan tindak pidana, maka sanksinya dijatuhkan selain terhadap badan hukum, juga terhadap

mereka yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam perbuatan tersebut. Dan

Inpres No. 1/1976 tentang sinkronisasi pelaksanaan tugas bidang keagrariaan dengan bidang

kehutanan, pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan umum, Undang Undang No. 11/1967.

Lokasi pemboran Sumur BJP-1, dan Perda Kabupaten Sidoarjo No.16 tahun 2003.

Akibat Dampak luapan Lumpur Panas, mengakibatkan banyaknya lingkungan fisik yang rusak,

kesehatan warga setempat juga terganggu, yang menyebabkan infeksi saluran pernapasan dan

iritasi kulit, karena lumpur tersebut juga mengandung bahan karsinogenik jika menumpuk di tubuh

dapat menyebabkan penyakit serius seperti kanker, mengurangi kecerdasan, yang berdasarkan uji

laboratorium terdapat kandungan bahan beracun dan berbahaya (B3) yang melebihi ambang

batas. Dalam sampel lumpur dan dianalisis oleh laboratorium uji kualitas air terdapatnya fenol

berbahaya untuk kesehatan dan kontak langsung di kulit dapat membuat kulit seperti terbakar dan

gatal-gatal dimana efek sistemik atau efek kronis bisa disebabkan fenol masuk ke tubuh melalui

makanan.

Berdasarkan pengamatan WALHI, dari pelbagai aspek yang mesti menjadi tanggung jawab PT

Lapindo Brantas Inc./PT Energi Mega Persada mencakup aspek pelanggaran hak asasi manusia

(HAM), hukum, politik, perdata dan pidana., sangat lambannya penyelesaian kasus lumpur

Lapindo, dimana WALHI akan mengupayakan suatu tindakan public inquiry, yang merupakan

upaya yang akan ditempuh oleh masyarakat melalui Dewan Perwakilan Rakyat, untuk meminta

pertanggung jawaban PT Lapindo Brantas In dengan menugaskan Jaksa Agung dapat ditunjuk

sebagai pengacara negara untuk menuntut PT Lapindo Brantas Inc. terkait dengan kejahatan

lingkungan dan pelanggaran multi-dimensi akibat lumpur panas, yang disebabkan kebocoran Gas

yang beracun. Ada beberapa pendapat mengenai penyebab bocornya gas yang disertai meluapnya

lumpur Lapindo yang telah dijelaskan tersebut diatas.

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) adalah suatu konsep

bahwa organisasi, khususnya (namun bukan hanya) perusahaan adalah memiliki berbagai bentuk tanggung

jawab terhadap seluruh pemangku kepentingannya, yang di antaranya adalah konsumen, karyawan,

pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan yang mencakup

aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Oleh karena itu, CSR berhubungan erat dengan "pembangunan

berkelanjutan", di mana suatu organisasi, terutama perusahaan, dalam melaksanakan aktivitasnya harus

mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan dampaknya dalam aspek ekonomi, misalnya tingkat

keuntungan atau deviden, melainkan juga harus menimbang dampak sosial dan lingkungan yang timbul dari

keputusannya itu, baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka yang lebih panjang. Dengan pengertian

tersebut, CSR dapat dikatakan sebagai kontribusi perusahaan terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan

dengan cara manajemen dampak (minimisasi dampak negatif dan maksimisasi dampak positif) terhadap

seluruh pemangku kepentingannya.

CSR merupakan suatu konsep terintegrasi yang menggabungkan aspek bisnis dan sosial dengan

selaras agar perusahaan dapat membantu tercapainya kesejahteran stakeholders, serta dapat

mencapai profit maksimum sehingga dapat meningkatkan harga saham. CSR merupakan kepedulian

perusahaan yang didasari tiga prinsip dasar yang dikenal dengan istilah Triple Bottom Lines, yaitu:

Profit (keuntungan), People (masyarakat) dan Planet (lingkungan)

CSR merupakan salah satu hal yang memiliki peranan yang cukup penting dalam hal

keberlangsungan hidup suatu perusahaan. Apabila perusahaan mengabaikan tanggung jawab

sosialnya, maka hal tersebut dapat mengganggu going concern perusahaan yang berupa tuntutan

dari lingkungan internal dan eksternal perusahaan khususnya masyarakat. Oleh sebab itu untuk

mengantisipasi terganggungnya going concern perusahaan perlu sikap yang tegas dan komitmen

yang tinggi dari pihak perusahaan untuk menjaga hubungan yang baik dan berkesinambungan

terhadap stakeholders nya. Perubahan-perubahan yang terjadi setelah perusahaan memperhatikan

tanggung jawab sosialnya biasanya akan tampak pada kinerja perusahaan dan penampilan

finansialnya dimana kondisi dan posisi keuangan perusahaan mengalami perubahan dan hal ini

tercermin dalam laporan keuangan perusahaan yang sadar akan pentingnya memperhatikan

tanggung jawab sosial bagi pertumbuhan dan keberlangsungan usahanya.

Dengan adanya pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang dikelola dengan baik

maka secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi profitabilitas perusahaan. Selain

itu perusahaan dapat pula melindungi lingkungan sekitar agar terjadi keharmonisasian antara

perusahaan dengan lingkungan sekitar dan masyarakat.

3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

Brooks, L.J. (2004). Business and Professional Ethics for Accountants. South-Western College

Publishing.

Agoes, Sukrisno.(2009).Etika Bisnis dan Profes:Tantangan Membangun Manusia

Seutuhnya.Jakarta:Salemba Empat

Cahyandito, M. Fani. Pembangunan Berkelanjutan, Ekonomi Dan Ekologi, Sustainability Communication Dan

Sustainability Reporting. Http://Pustaka.Unpad.Ac.Id/Wp-

Content/Uploads/2009/06/Jurnal_Lmfe_Pemb_Berkelanjutan-Ekonomiekologi-Sust_Comm-

Sust_Rep_Fani.Pdf. [28 Mei 2011]

Hendriyeni, Nora Sri. 2011. People, Planet, Profit Dan Akuntan Http://Www.Ppm-

Manajemen.Ac.Id/Index.Php?Wb=09&Mib=Ppm_Articles.Detail&Id=5. [28 Mei 2011]

Tanggung jawab sosial perusahaan. http://id.wikipedia.org/wiki/Tanggung_jawab_sosial_perusahaan. [29

Mei 2011]