cover lap utama ver 1 - citarum
TRANSCRIPT
DAFTAR ISI
• LAPORAN UTAMA • LAMPIRAN 1 KEGIATAN DI SEGMEN 1
• LAMPIRAN 2 KEGIATAN DI SEGMEN 4
• LAMPIRAN 3 KEGIATAN DI SEGMEN 6
• LAMPIRAN 4 JALA APUNG & KONFLIK TATA GUNA AIR DI JATILUHUR
• LAMPIRAN 5 PENCEMARAN DI HULU CITARUM
• LAMPIRAN 6 MENYIMAK RICIK CITARUM DARI SOSOK PEREMPUAN
• LAMPIRAN 7 ANEKA TULISAN MENGENAI EKSPEDISI CITARUM WANADRI
PRODUKSI PETA1. PETA UTM PANJANG LINTASAN SUNGAI CITARUM ( A0 )
2. PETA PEMBAGIAN SEGMEN DAS CITARUM ( A1 )3. PETA LINTASAN SEGMEN 1 ( HULU ) ( A2 )
4. PETA LINTASAN SEGMEN 4 ( TENGAH ) (A2 )5. PETA LINTASAN SEGMEN 6 ( HILIR ) ( A2 )
1
EKSPEDISI CITARUM WANADRI (Segmen 1, 4, dan 6 )
PERSIAPAN Kegiatan Ekspedisi Citarum Wanadri dimulai dari pembahasan lewat email baik antar personil maupun di milis Wanadri, yang kemudian ditindaklanjuti dengan serangkaian pertemuan. Beberapa ide dasar dan bentuk kegiatan banyak dibicarakan. Ide yang bergulir di bulan Februari 2009 dan disepakati di Dies Wanadri bulan Mei 2009, lalu terbentuk panitia pelaksana “bayangan” . Sejak awal sudah disadari bahwa kegiatan Ekspedisi Citarum Wanadri bisa berjalan dengan baik dan dapat mengkombinasikan unsur tua maupun muda di Wanadri, serta bisa melibatkan pihak lainnya di luar Wanadri bila dilakukan dengan jadwal yang flexibel dan dihari libur. Uji coba dan evaluasi kegiatan turun ke lapangan yang dilakukan di bulan Juli 2009 di daerah Muara Bendera , bisa memberikan gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana Ekspedisi ini dapat dijalankan. Proposal kemudian dibuat, surat mandat dari DP Wanadri sudah diperoleh, dan ide dasar dari proposal kemudian diedarkan ke institusi potensial yang juga mempunyai program tentang Citarum. Wanadri sadar betul akan keterbatasan diri, sehingga dari rapat intern, yang bisa dilakukan dalam waktu dekat adalah melakukan pengamatan Visual, mendokumentasikan dan mengabarkan tentang kondisi Citarum ke para pihak yang lebih luas agar dapat dilakukan perbaikan mutu dan kuantitas yang stabil dari Citarum. Fokus yang akan didata lebih ke arah badan sungai atau Wilayah Sungai, bukan di Daerah Aliran Sungai ( DAS ) dan anak sungai. Sumber data selain pengamatan visual di lapangan, adalah data sekunder dari laporan laporan penelitian di Citarum yang sudah ada, klipping koran dan majalah, serta dari wawancara dengan para pihak yang kompeten. Road map yang akan dilalui oleh Wanadri dalam berkegiatan di Citarum ini adalah :
1. Pendataan di lapangan dan studi pustaka tentang Citarum 2. Public Campaign dan Awareness tentang kondisi lingkungan Citarum sebagai masalah
bersama 3. Action ( Reduksi pencemaran lingkungan, perbaikan kondisi lingkungan di badan air,
pendidikan dan peningkatan kesadaran lingkungan dan partisipasi parapihak , menjaga kuantitas air yang stabil, dll )
Masing masing tahap ini saling bersinggungan sehingga dalam tahapan pencarian data juga bisa dilakukan “kampanye” peningkatan kesadaran publik terhadap kondisi sungai Citarum yang masih memprihatinkan. Lama kegiatan ini dalam rentang waktu 2 – 3 tahun diharapkan akan terjadi perubahan yang semakin membaik bagi Citarum, dengan jangka waktu menuju kondisi ideal Citarum antara 6 sampai 10 tahun, dengan kualitas air yang cukup memadai untuk bisa digunakan oleh masyarakat dan mempunyai debit air / kuantitas yang stabil, sehingga fluktuasi yang terjadi diharapkan tidak akan menyebabkan bencana bagi masyarakat yang tinggal disekitar Citarum.
2
TUJUAN dan SASARAN TAHAP 1 Tujuan Kegiatan
1. Mendapatkan Data Informasi tentang DAS CITARUM, yang akan diolah untuk menghasilkan Laporan Data Dasar Lingkungan dan Sosial (Base Line Data) sungai Citarum terbaru
2. Memunculkan kesadaran dan meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap kondisi sungai Citarum
Output Kegiatan
1. Laporan Pendataan lapangan dari ekspedisi Sungai Citarum • Bidang lingkungan : dengan fokus kepada tingkat pencemaran • Bidang sosial ekonomi : tingkat pemahaman masyarakat sekitar Citarum
terhadap kondisi S. Citarum 2. Laporan foto (deskripsi dan situasi berbasis segmen)
RUANG LINGKUP KEGIATAN TAHAP-1
• Studi pustaka pendahuluan • Penyusuran dan pendataan sungai Citarum • Observasi terhadap pemahaman masyarakat sekitar Citarum terhadap kondisi
Citarum • Mempersiapkan materi kampanye kepedulian lingkungan DAS Citarum
Pemahaman terhadap kondisi DAS Citarum saat ini
Membangun kesadaran masyarakat terhadap “kekritisan” kondisi Citarum
AAwwaarreenneessss IInntteerreesstt && DDeessiirree
Tahap 2 6-8 bln
Tahap 3 12-24 bln
o Kampanye / pameran
o Kegiatan lomba dan wisata di DAS Citarum (contoh lomba arung sungai, pemecahan rekor MURI, pasar seni & budaya, dll)
o Community Development
AAccttiioonn
Community & Sustainable development
Sanitation Facility
Waste Management
Green Belt
Tahap 1 3-6 bln
3
TAHAPAN KEGIATAN
Modal dasar yang digunakan sebagai kekuatan pelaksanaan kegiatan adalah jejaring anggota Wanadri, resistensi yang rendah dari para pihak yang “berseberangan “ dan keterikatan batin yang kuat antara Wanadri dengan sungai Citarum . Selain itu, Wanadri sudah pernah melakukan penelitian di Citarum pada tahun 1979 ( dengan pokok bahasan masalah sedimentasi ); tahun 1984 – 1985 ( dengan pokok bahasan masalah kualitas air dan masalah degradasi lingkungan ). Karena posisi Wanadri relatif netral, maka output dari Ekspedisi Citarum Wanadri ini diharapkan tidak sebagai “penuntut umum “ yang biasanya digunakan jalur ini oleh LSM “garis keras” , tetapi lebih mengedepankan penyampaian hasil observasi dan analisis mengenai kondisi Citarum, dan mengharapkan para pihak yang memiliki kontribusi “negatif” pada sistem di Citarum dapat mengurangi kontribusi negatifnya dan lebih mengedepankan akan “kesadaran” para pihak, bahwa perbaikan Citarum dapat dilakukan secara bersama dengan masing masing pihak dapat menjalankan kewajibannya dengan lebih bertanggung jawab dan dilakukan dengan integritas yang tinggi. Dan mendorong pemerintah agar dengan tegas dapat menjalankan salah satu fungsinya sebagai regulator dengan menegakkan aturan main yang adil dan terintegrasi. Penegakan hukum merupakan salah satu pilar penting untuk menuju ke arah perbaikan mutu lingkungan Citarum serta pengaturan pola pemanfaatan ruang dan sumberdaya air sungai Citarum yang lebih adil. Upaya upaya solutif dan peningkatan kapasitas para pihak merupakan agenda utama dan lebih berguna daripada sibuk mempertahankan diri dengan pemikiran diri sendiri yang paling benar serta menyalahkan pihak lain. Tim pelaksana Ekspedisi Citarum Wanadri juga menyadari keterbatasan internal, sehingga perlu dilakukan dengan kerja keras, dengan menyisihkan waktu yang seharusnya buat keluarga, dan membutuhkan “endurance” dengan napas panjang yang agak lama , karena persoalan Citarum tidak hanya dapat diselesaikan dalam hitungan bulan, malahan mungkin dalam hitungan tahun. Sehingga secara internal organisasi Wanadri, juga perlu disiapkan darah segar, tenaga tenaga yang masih muda untuk ikut juga terlibat dalam proses kegiatan, agar disuatu saat dapat dilakukan perpindahan tongkat estafet pengelolaan Citarum ini yang tetap bisa mengikuti alur kegiatan dan tahapan yang sudah dibuat . Dari studi literatur dan pengamatan dilapangan sebelumnya terlihat bahwa perhatian pemerintah dan masyarakat akan Citarum dan upaya untuk melakukan perbaikan sudah dilakukan sejak puluhan tahun lalu, tak kurang beberapa dana besar dan berbagai program sudah dilakukan di Citarum, kegiatan lintas sektoral , partisipasi parapihak juga sudah dilakukan. Salah
• Menentukan maksud dan tujuan
• Pencarian Data Sekunder
• Proposal
• Audiensi dan Perijinan
• Kerjasama
• Penggalangan Dana
Pra Pelaksanaan
Operasional Kegiatan
•Penyusuran Sungai
•Observasi Lingkungan
•Observasi Sosial Ekonomi
•Bakti Sosial
•Seminar 1 ( stakeholder)
•Pengolahan data sekunder
•Penulisan jurnalistik serial
Pelaksanaan
• Pengolahan data operasional
• Penulisan Buku Ekspedisi
• Pembuatan film Dokumenter
• Seminar 2 ( hasil )
• Pameran
• Audiensi dan Presentasi
Pasca Pelaksanaan
TAHAP 1
4
satu kelemahan dari program program yang sudah ada adalah masalah ego sektoral, fokus, komitmen, upaya yang berdaya guna, penegakan hukum, serta program yang berkelanjutan. Permasalahan yang berikutnya adalah pemahaman dan penerapan pengertian “ Partisipasi Masyarakat “ yang salah kaprah. Peran pemerintah masih terlihat dominan, pelibatan masyarakat, dari kacamata Antropologi masih bersifat ” mobilisasi masyarakat ” , dan keberadaan masyarakat cukup di level ”kelengkapan administrasi”. Sehingga dalam usulan yang diusung Wanadri, dikenalkan konsep Citarum yang dibagi menjadi 6 ( enam ) segmen. Pembagian ini lebih dikategorisasikan atas permasalahan dominan, karakteristik daerah dari ciri ekologi, fungsi dan sosial ekonomi. Kemudian secara bersama , para pihak bisa mereview apa saja program yang sudah dilakukan , yang akan dilakukan dan mengevaluasi apakah program yang sudah dilakukan mempunyai nilai yang penting untuk dapat dilakukan perbaikan dan penjagaan mutu dan kuantitas air Citarum. Dengan dibahas lintas sektoral dan juga para pihak lainnya diharapkan bisa muncul prioritas dan mereduksi program yang tumpang tindih. Benang merah dari tahapan persiapan dan konseptual dari Wanadri secara sederhana adalah Wanadri berkegiatan dan bermain di Citarum serta berupaya memperbaiki mutu air dan menjaga kestabilan pasokan air agar tidak menyebabkan bencana bagi masyarakat dengan strategi mengajak sebanyak mungkin orang dan organisasi, instansi untuk terlibat dan peduli terhadap persoalan degradasi lingkungan di Citarum, serta belajar cara mengelola lingkungan dari semua pihak . PELAKSANAAN Kegiatan yang dimulai dari bulan Februari 2009 sampai Juli 2010 adalah berupa diskusi yang intens dan mulai dilakukan pencarian tim pelaksana. Akhirnya disepakati secara internal di Wanadri, pelaksana kegiatan adalah mereka yang sudah melakukan kegiatan di bidang lingkungan dan olah raga air. Setelah terkumpul “tim Bayangan “ , maka disusun rencana kerja dan dilakukan upaya kerjasama dengan berbagai pihak dalam pelaksanaan kegiatan. Kronologi kegiatan di lapangan yang dilakukan oleh Ekspedisi Citarum Wanadri dapat dilihat di tabel berikut. Kegiatan ini melibatkan berbagai pihak seperti dari anggota Wanadri, pemerintahan, penggemar fotografi, wartawan media cetak, wartawan media elektronik dan masyarakat umum. Dari segi misi untuk mengikutsertakan sebanyak mungkin orang agar tahu apa yang sedang terjadi di sungai Citarum, maka hal ini sudah bisa tercapai, karena dari segi peliputan, kegiatan Ekspedisi Citarum di siarkan oleh dua stasiun televisi nasional yakni TV ONE dalam acara Fakta dan Data ; serta Trans 7, dalam acara Redaksi kontroversi, yang disiarkan secara berseri setiap sabtu dan minggu. Menurut info dari produser acara Redaksi Kontroversi, acara peliputan Citarum mempunyai rating yang tinggi terutama saat menyiarkan kondisi pencemaran di sekitar daerah Hulu dan di Majalaya. Kemudian peliputan di daerah muara mengenai pencemaran dan sanitasi di masyarakat. Dari peliputan media cetak juga dimuat di koran Djakarta Post, Kompas, Pikiran Rakyat, Media Indonesia, Koran Tempo, dan beberapa koran lokal. Penyebaran informasi tidak hanya melalui koran dan televisi, juga melalui radio dan konferensi pers di acara Earth Live di Jakarta, dan juga di beberapa presentasi saat menghadiri undangan dari berbagai instansi dan komunitas. Saat ini yang akan digarap adalah segmen anak muda, dimana presentasi di sekolah sekolah dan Perguruan Tinggi ( ITB dan UNPAD ) , serta mengajakKelompok Ilmiah Remaja ( KIR ) di masing masing sekolah untuk ikut “terlibat” di Citarum seperti ikut mengarungi segmen tertentu, melakukan pengambilan sampel dan penelitian sederhana, dan bila memungkinkan melakukan bakti sosial, dan menuliskan hasil pengamatan mereka tentang kondisi lingkungan dan masyarakat yang tinggal di sekitar Citarum.
5
Tabel Kronologi Kegiatan Ekspedisi Citarum Wanadri SEGMEN TANGGAL LOKASI KETERANGAN
S6 26 JULI 09 Route Cilincing – Muara Bendera – M. Gembong Uji Coba RIB S6 05 AGT 09 Bekasi – Muara Gembong Survey darat ke Muara
Gembong S6 04 OKT 09 Bekasi – Muara Gembong Survey darat ke Muara
Gembong S6 24 OKT 09 Krwg kota, Rengasdengklok, Tanjungpura,
Batujaya Kondisi Citarum surut, perahu sering kandas
- 13 NOV 09 Sekretariat Wanadri - Bandung Surat Mandat dari DP Wanadri
S6 14 NOV 09 Bekasi – Muara Gembong – Kalimati – Muara Bendera pp
Bersama wartawan & rombongan Bappenas/ADB
S6 15 NOV 09 M. Gembong – R. Dengklok Walahar – Karawang Kota ; dan tim darat
Tim dibagi menjadi 3 kelompok
S6 05 DES 09 Cilincing – Muara Bendera – M. Gembong Bersama Dir. SDA & Irigasi Bappenas, wartawan cetak & elektronik
S6 dan S4 06 DES 09 Jalur Jatiluhur – Curug dan seputar Jatiluhur Menginap di dekat Jatiluhur S6 dan S4 26 DES 09 Jatiluhur – Walahar
Jatiluhur – Cirata Tim dibagi 2 kelompok
S6 dan S4 27 DES 09 Walahar – Tj. Pura Jatiluhur – Walahar Jatiluhur - Cirata
Tim dibagi 3 kelompok
S1 16 JAN 10 Seputar Cisanti ; Cisanti – Cibeureum ; FGD Tim dibagi 3 kelompok, bersama wartawan Suara Pembaruan
S1 17 JAN 10 Jalur ke Ciseke Jalur ke Jmbtn Cihawuk
2 kelompok penyusuran darat ; bersama wartawan Suara Pembaruan
S1 30 JAN 10 Strawberry – Wandir Cisanti
Rafting, wawancara
S1 dan S2 31 JAN 10 Balekambang – Majalaya – Sapan Perahu dayung S4 13 FEB 10 Batujajar/Manglid ; Saguling ; Bantar Caringin Observasi, wawancara,
rafting S4 14 FEB 10 Cirata Observasi - 04 MAR 10 Kantor Trans TV Jakarta Presentasi, nara sumber
S1 06 MAR 10 Cisanti - Cibeureum Bersama wartawan Media Indonesia
S4 07 MAR 10 Btr Caringin, Kp. Muhara ; Kp Citembong Bersama wartawan Media Indonesia
S1, S2 dan S3
20 MAR 10 Wandir – Balekambang – Majalaya – Bojong Soang - Kopo
Observasi, nara sumber, wawancara
Ket. Sampai Maret 2010 Pendataan dilakukan dengan menggunakan perahu karet bermotor, perahu karet tanpa motor, RIB, dan juga pendataan dengan jalan kaki menyusuri pinggiran sungai Citarum. Selain itu selama di daerah hulu ( segmen I ) mendapat bantuan dari masyarakat setempat, LSM lokal, dan kelompok Pecinta Alam bernama Garda Ca’ah di Majalaya. HASIL TEMUAN Temuan lapangan kemudian dikelompokkan berdasarkan segmen yang dilakukan pendataan yakni segmen 1 ( Cisanti – Majalaya ) , segmen 4 ( Saguling – Cirata – Jatiluhur ) , dan segmen 6 (
6
Outlet Jatiluhur – Curug - Walahar – Karawang – Tanjungpura – Rengasdengklok – Batujaya – Muara Gembong – Muara Bendera ). Segmen I ( Cisanti – Majalaya ) Temuan yang didapat oleh Tim Ekspedisi berupa potensi dan kondisi dalam pengertian positif dan negatif, yakni :
1. Program Konservasi yang ada di mata air – mata air, dan anak sungai yang merupakan sumber pertama air Citarum di hulu harus dilakukan secara terus menerus, terprogram, dan terintegrasi. Posisi program konservasi saat ini masih dalam kondisi jalan ditempat dan sangat sektoral. Biarpun tampak dari kejauhan sudah hijau, namun sebenarnya semu, karena ”hijau”nya bukan dari tanaman utama melainkan ditanami dengan rumput gajah yang mempunyai nilai konservasi yang rendah. Usaha penghijauan sangat tidak sebanding dengan proses perambahan dan perubahan bentang alam. Program ”penghijauan ” dan revegetasi yang dilakukan juga tidak dengan kerangka yang jelas dan konsisten. Programnya masih terbatas kepada penanaman pohon, sementara kegiatan ”pertanian ” sayuran masih berkembang dengan pesat dan tetap berpeluang untuk masuk ke wilayah hutan, selain juga perlakuan terhadap petani masyarakat dan pemodal besar berbeda. Sebagai contoh daerah daerah dibelakang Situ Cisanti, kalau kita naik dari punggungan di pinggir Ciseke, atau langsung dari Tarumajaya menyisir jalan perkebunan, diketinggian tertentu terlihat kebun kentang yang dikelola oleh pengusaha besar yang mendominasi daerah tersebut , yang keberadaannya memicu perasaan ketidakadilan terutama dari eks penggarap lahan petak 73 ( sekitar Cisanti/Gn Wayang ) yang di relokasi ke sekitar desa Tarumajaya dengan alih profesi. Sementara petak – petak 18 dan 19 yang juga di bawah kewenangan Perhutani, yang berdekatan dengan daerah hulu Citarum ini tetap dibiarkan digarap oleh masyarakat dengan tanaman sayuran umur pendek seperti kentang, wortel, bawang, dll.
2. Konsekuensi dari berkembangnya pertanian di daerah Cisanti dan sekitarnya. Pertanian dan peternakan sapi perah menyebabkan pasokan bahan kimia untuk pertanian dan makanan bagi sapi, meningkat pesat, yang tidak diiringi oleh pengelolaan limbah dari kegiatan tersebut. Maka bisa dibayangkan bahwa tempat pembuangan yang paling mudah dan paling dekat adalah sungai Citarum. Bayangkan jumlah 5200 sapi di desa Tarumajaya dan Cibeureum, dengan taksiran kotoran yang dibuang ke sungai, setiap sapi sekitar +/- 20 kg atau total 10 ton / hari . Bahaya lain yang muncul adalah penggunaan bahan kimia sebagai penyemprot hama, penyubur tanaman, dan sebagainya. Dengan label bahwa produk tersebut sudah aman dan ramah lingkungan , harus dilihat secara faktual dilapangan. Secara alami kalau suatu lahan menerima bahan kimia dalam jumlah yang cukup banyak dan terus menerus mengingat sirkulasi tanaman yang berumur pendek, pasti akan terjadi degradasi ”kesehatan ” tanah di daerah tersebut. Belum lagi pemahaman petani mengenai dosis yang masih belum benar. Masih ada yang beranggapan dengan menggunakan terus menerus dan jumlah lebih banyak akan mendapat hasil panen lebih banyak dan tidak dihinggapi oleh penyakit. Suatu penelitian tentang kesehatan masyarakat terutama usia yang rentan ( anak- anak ) dilakukan oleh peneliti dari Jepang. Sampel darah yang diambil dari anak anak dari beberapa desa di kecamatan Kertasari, menunjukan adanya kandungan bahan kimia yang berasal dari pupuk dan insektisida dengan kadar tertentu. Ini menunjukkan bahwa bahan bahan kimia ini masuk ke jaringan darah penduduk yang tinggal di daerah pertanian tersebut, misal saat penyemprotan dengan tidak memperhatikan arah angin, memegang bahan kimia tidak menggunakan sarung tangan, dan langsung makan; menyimpan bibit kentang yang sudah diberi bahan kimia di rumah dalam waktu yang cukup lama, dan sebagainya.
7
3. Kegagalan utama dalam program konservasi saat ini, adalah karena program tersebut belum melibatkan dan menempatkan masyarakat setempat sebagai pemangku kepentingan utama, namun lebih berorientasi pada proyek. Sebagai contoh: (i) Program penghijauan tidak mendapat dukungan masyarakat karena dianggap mengganggu usaha pertanian masyarakat sehingga setiap kali pohon tumbuh agak besar mereka potong kembali untuk menghilangkan kanopi agar tanaman sayurnya bisa tumbuh dengan baik; (ii) Program mereduksi limbah kotoran sapi yang dibuang langsung ke sungai dengan cara Biogas. Program ini juga gagal dikembangkan di masyarakat karena tidak adanya ketegasan dan sosialisasi yang cukup bagi masyarakat setempat, termasuk tidak adanya pendampingan, pelatihan mengenai pemeliharaan dan ketersediaan suku cadang. Yang lebih menyedihkan, sebagian besar unit yang diserahkan oleh kontraktor pelaksana tidak dapat dijalankan. (iii) Tidak ada keselarasan antara kebutuhan masyarakat dengan resources, dalam hal pupuk hewan. Disatu sisi kotoran sapi yang bisa dijadikan bahan pupuk melimpah (menjadi limbah), namun pupuk yang digunakan kebanyakan berasal dari kotoran ayam.
4. Cisanti dapat dikembangkan sebagai areal wisata alam dan budaya; Danau buatan ini yang dibuat oleh PSDA untuk mengumpulkan air dari 7 mata air di sekitar Gunung Wayang ini, juga menyimpan berbagai cerita yang menarik untuk diteliti dan dikenalkan ke masyarakat . Adanya dua makam dan mata air yang bagi sebagian masyarakat dianggap daerah keramat, panorama danau cukup indah bagi yang melakukan kegiatan di alam terbuka, dan bisa dikembangkan untuk olah raga air dan memancing.
5. Persoalan yang dirasa oleh masyarakat desa Cibeureum dan Tarumajaya adalah keberadaan air bersih dan konservasi sumber air bersih tersebut. Jumlah penduduk kedua desa ini yang cukup padat menyebabkan kebutuhan akan air bersih juga cukup besar. Selama ini dikarenakan sungai Citarum sudah dijadikan tempat pembuangan kotoran sapi, maka air bersih diambil dari mata air yang cukup jauh sekitar 5 – 7 km dengan menggunakan pipa dan selang yang diorganisir oleh Desa dengan pemeliharaan yang seadanya. Selanjutnya penyaluran sekunder dengan selang ke rumah penduduk masih bersifat pribadi dan kelompok keluarga.
6. Secara morfologi, kawasan hulu Citarum ini terletak didaerah yang memiliki kemiringan cukup tinggi, sehingga secara natural juga terjadi erosi dan terkadang longsoran yang dipicu oleh gerakan air. Hal ini di perparah oleh pilihan teknologi pertanian yang digunakan oleh masyarakat yang membuat alur air di kebun yang searah dengan aliran air, dengan maksud agar akar tanaman yang dipelihara tidak mengalami busuk.
7. Secara makro untuk level kecamatan dan juga di tiap desa, belum ada program pengelolaan limbah. Sampah dari aktivitas pasar Kertasari ( di desa Cibeureum ) dibuang ke Citarum di dekat jembatan Cangkuang. Di beberapa lokasi di pinggir sungai juga menumpuk sampah – sampah yang berasal dari rumah tangga masyarakat. Sudah ada usaha kelompok masyarakat dalam mengelola sampah ini tapi kapasitas pengelolaannya masih belum significan dan tidak dilakukan secara terus menerus.
8. Segmen Citarum Hulu di bawah kecamatan Kertasari sampai menjelang masuk Majalaya, relatif sama dengan di hulu, berupa aktivitas pertanian dan tingginya erosi. Beberapa bendungan seperti di bawah Kebun Strawberry, di atas wandir, dan di Wandir sendiri yang dibuat saluran irigasi ke daerah Ciparay. Adanya banjir tanggal 19 Maret 2010, sempat terjadi kerusakan di bendungan Wandir. Disegmen ini , bisa digunakan untuk kegiatan rafting. Kegiatan lainnya adalah pengambilan batu sungai dan pasir seperti di jembatan Cihawuk, dan daerah lainnya yang lebih hilir.
9. Menjelang masuk Majalaya, terutama di daerah Balekambang, masyarakat banyak melakukan kegiatan pengambilan pasir dan batu sungai. Lokasi pengumpulan pasir yang
8
diambil dari Citarum, terletak didekat sungai, beberapa truk akan mengambil pasir tersebut dan mengirimkan sampai ke kota Bandung.
10. Kawasan Balekambang sampai Majalaya, yang ditemui disepanjang pinggir sungai adalah kawasan tekstil yang berasal dari rumah rumah penduduk, dan pabrik pabrik besar penghasil tekstil dan produk tekstil. Persoalan sanitasi masyarakat dan ”kepatuhan ” pengusaha untuk mengelola limbah dari produksi pabrik dan usaha Rumah Tangga, merupakan persoalan yang utama dan mendesak untuk ”diselesaikan” , karena kalau tidak akan menjadi ”bom waktu ” lingkungan.
11. Hal lainnya yang terjadi adalah semakin sering datangnya banjir, terutama untuk daerah Majalaya, meski sudah ada response swadaya suatu kelompok masyarakat , misalnya yang dilakukan oleh Garda Ca’ah yang membuat sistem peringatan dini untuk mengatasi banjir.
Segmen IV ( Saguling – Cirata – Jatiluhur )
1. Mutu air di daerah Manglid yang buruk, berwarna hitam, dan berbau busuk yang menurut masyarakat setempat berasal dari hulu ( seperti Kopo, Bandung, dan anak anak sungai yang didekatnya daerah industri ) . Pusdikpassus yang berlokasi di Batujajar, juga harus memindahkan lokasi latihan yang menggunakan obyek air seperti manuver kapal dan gerakan personil di air ke Carita Banten. Outlet Saguling di Bantar Caringin juga di waktu tertentu akan mengeluarkan warna hitam, berbau busuk, dan mengeluarkan busa. Sementara mutu air di Jatiluhur juga menjadi masalah, dikarenakan di seputar Jatiluhur berdiri industri yang menghasilkan bahan dasar kimia yang digunakan untuk industri lainnya, serta juga dikembangkan industri tekstil dan keramik. Outlet di Cikawao Bandung sepanjang 2 – 3 km masih tercium bau busuk termasuk dengan masuknya anak sungai Cikawao yang dilewati berbagai industri.
2. Usaha Jala Apung di Saguling, meski tidak sebanyak di Cirata dan Jatiluhur, masih mendominasi kawasan Saguling, meski jumlahnya saat ini relatif menurun karena sering terjadinya ”Upwelling” dan gagal panen. Sementara usaha Jala Apung di Cirata dan Jatiluhur relatif masih berkembang. Persoalan keberadaan Jala Apung ini adalah jumlahnya yang jauh diatas ambang batas toleransi sehingga menyebabkan terjadinya gangguan kualitas air bendungan yang digunakan untuk pertanian ( Jatiluhur ), dan pasokan listrik ( Saguling, Cirata, Jatiluhur ) berupa sisa pakan dan sifat limbah yang kaya sulfur dan nitrat yang bisa menyebabkan terjadinya korosif pada benda benda yang mengandung logam di bendungan, seperti pada turbin dan pipa. Keberadaan sisa pakan di dalam air juga meningkatkan keberadaan ganggang air seperti Spyrogira spp. Yang dalam jumlah banyak juga bisa mengganggu operasional bendungan . Sangat perlu dilakukan upaya pengendalian dan pengaturan yang lebih tegas dalam pemanfaatan sumberdaya air di bendungan, berdasarkan atas daya dukung alam .
3. Sedimentasi di Saguling terjadi lebih cepat, juga di Cirata yang menyebabkan umur bendungan lebih cepat dari seharusnya. Sumber sedimen selain dari hulu yang mengalami kerusakan lingkungan , juga dari aktivitas di bendungan seperti jala apung dan juga kontribusi dari anak anak sungai yang berdekatan dengan bendungan . Tingginya sedimentasi ini harus diwaspadai dari kacamata Disaster Management, terutama dengan semakin sering terjadinya banjir baru baru ini .
4. Terganggunya pasokan air ke Bendungan karena degradasi lingkungan di Hulu , berupa fluktuasi air yang diterima oleh bendungan, dimana di musim kemarau, terutama Saguling akan cepat mengalami kekeringan , dan dimusim hujan akan terjadi limpahan air yang
9
cukup besar, sehingga perlu untuk dilakukan pembuangan yang dampaknya cukup terasa oleh masyarakat yang tinggal di bagian bawah bendungan.
5. Aktivitas masyarakat yang tinggal dipinggir sungai yang melakukan pengambilan pasir dan batu. Perlu perubahan paradigma di pemerintah dan pengelola Bendungan mengenai aktivitas pengambilan pasir dan batu yang dianggap negatif, karena usaha ini justru membantu bendungan tidak cepat mengalami sedimentasi. Pemerintah harus melihat bahwa usaha ini justru positif terhadap lingkungan sekitar, bagi pengembangan ekonomi masyarakat, dan juga kepentingan pemerintah dalam menjalankan fungsi yang ada di bendungan .
6. Keberadaan Eceng Gondok ( Eichornia crassipes ) di bendungan dan disungai diantara ke 3 bendungan itu, selain sebagai indikator bahwa perairan tersebut mengandung bahan pencemar logam berat juga dari jumlahnya yang cenderung tidak terkendali dapat dikatakan sebagai gulma air, yang juga memberikan kerepotan yang cukup bagi pengelola bendungan. Beberapa alat mekanik untuk menangkap dan ”memusnahkan ” tanaman ini tampak dipasang di setiap bendungan. Upaya secara ekologi juga pernah dilakukan dengan menebarkan ikan – ikan yang bisa memakan akar tanaman air ini sehingga tidak bisa tumbuh dengan baik. Persoalannya adalah ikan ikan yang secara alami berada di badan air Citarum, ditengarai sudah menghilang, dikarenakan badan air Citarum sudah mengalami pencemaran yang cukup parah. Ada upaya yang dilakukan oleh teman teman dari Enclave Conservation , yang melakukan identifikasi ikan ikan endemik di Citarum, melakukan penangkaran dan kemudian melepaskan kembali di perairan , seharusnya upaya ini didukung oleh semua pihak.
7. Hal yang cukup kontras adalah ditemukan beberapa kampung disekitar Jatiluhur yang mengalami kesulitan air bersih dan belum teraliri listrik . Potret kemiskinan seperti ini juga dilihat secara makro untuk bisnis di jala apung , ketika yang mendapatkan keuntungan cukup besar adalah pemilik usaha ( pemodal ) serta pelaku pemasok kebutuhan usaha Jala Apung ( bibit, pakan, obat ) , serta pedagang besar ( yang membeli hasil panen, untuk kemudian dijual ke daerah lain seperti ke Jakarta, Bandung, dan kota kota besar lainnya ), sementara petugas dan penjaga jala apung yang merupakan jumlah pegawai terbesar yang berasal dari daerah Jawa Tengah dan sebagian dari masyarakat sekitar bendungan , tetap hidup di dalam rentang garis kemiskinan. Sementara pemerintah dalam hal ini badan pengelola bendungan diharuskan melakukan upaya perbaikan mutu lingkungan perairan . Artinya pengusaha Jala Apung tidak melakukan upaya perbaikan lingkungan yang seharusnya merupakan bagian dari Risk usaha Jala Apung. Pemerintah dalam hal ini hanya mendapatkan kontribusi berupa pembayaran pajak dan retribusi.
8. Fungsi utama bendungan Saguling dan Cirata dan juga salah satu fungsi dari bendungan Jatiluhur dan Curug adalah memasok sebagian kebutuhan listrik untuk koneksi Jawa Bali. Meskipun jumlah kontribusi dari bendungan ini relatif kecil dari segi pemenuhan kebutuhan listrik nasional, tetapi juga memiliki nilai strategis dan bisa mempengaruhi kestabilan ekonomi dan politik di Indonesia. Sehingga perhatian dan seharusnya dalam memperlakukan ke tiga bendungan besar ini sebagai instalasi pemerintah yang strategis.
9. Sudah saatnya untuk menempatkan ketiga bendungan ini dalam perencanaan dan perlakuan dari kacamata Disaster Management, mengingat jarak antar bendungan yang relatif dekat dan implikasinya bila terjadi bobolnya bendungan yang bisa melanda daerah yang cukup luas termasuk daerah Jakarta. Perhatian dan pengalaman pejabat teknis yang mengurus Bendungan , saat sekarang juga harus dibekali dengan pemahaman terhadap bencana. Bila satu bendungan yang jebol bisa disetarakan dengan 1000 kali kekuatan perusak seperti di Situ Gintung, maka bisa dibayangkan berapa besarnya energi bila ketiga
10
bendungan tersebut dengan effect multiplier bendungan atas ( Saguling ) yang jebol menyebabkan bendungan dibawahnya ( Cirata ) ikut jebol dan mengalir ke bendungan besar terakhir ( Jatiluhur ) , dengan membawa jutaan kubik lumpur dan energi gerak yang dahsyat, untuk menyapu kawasan utara jawa yang relatif landai.
Segmen VI (Jatiluhur – Karawang – Rengasdengklok – Muara Gembong – Muara Bendera )
1. Outlet Jatiluhur, di Cikawao , sebenarnya sudah tidak layak huni, selain sangat padat, letaknya juga terlalu dekat dengan pintu buangan bendungan Jatiluhur. Dari kontur letak kampung Cikawao berada di bagian bawah bendungan, sehingga rawan terhadap air buangan dari pintu outlet Jatiluhur dan juga jika terjadi bencana rusaknya bendungan Jatiluhur, maka daerah di bawah tersebut akan terkena langsung limpasan lumpur dan air dengan energi dan daya rusak yang sangat besar.
2. Kawasan pinggiran antara Jatiluhur sampai bendungan Curug dipenuhi dengan berbagai macam industri. Keberadaan tanaman indikator eceng gondok dan rumput Cyperus sebenarnya menunjukkan adanya buangan dari industri tersebut yang ada di perairan Citarum.
3. Bendungan kecil Curug dan Walahar, yang dibangun sejak jaman Belanda, memang diperuntukkan untuk keperluan pertanian, meski di Curug juga di letakkan pembangkit listrik tenaga MicroHydro untuk keperluan PLN. Problem utama adalah adanya tanaman Eceng Gondok yang sering menyumbat bendungan, meski sudah dilakukan upaya mekanik dengan mengangkatnya dari badan air lalu dikeringkan, tetap saja masih lebih banyak yang ada di air dari pada yang sudah diangkat. Kedua bendungan kecil ini juga mempunyai fungsi sampingan sebagai lokasi wisata bagi masyarakat disekitarnya. Di Walahar maalahan ada rumah makan sunda, H. Dirja yang terkenal akan pepes ikan air tawar.
4. Bendungan Curug merupakan lokasi pemisahan aliran Citarum menjadi 3 bagian yakni ke timur disebut Tarum Timur ( untuk keperluan pertanian ) dan ke Barat disebut Tarum Barat ( untuk keperluan air bersih Jakarta ) . Bendungan Walahar juga terjadi pencabangan aliran Citarum , sebagian akan mengalir ke Klari , Karawang dan seterusnya sampai ke Muara Citarum , sementara cabang lain berupa Tarum tengah yang kemudian bercabang lagi menjadi Tarum Utara yang sebelah barat dan sebelah timur.
5. Mutu air di kawasan industri Klari, sangat buruk, di musim kemarau, tinggi permukaan air Citarum turun drastis, air terkadang tergenang, dari beberapa saluran buangan industri akan masuk air yang berwarna , bau, di beberapa lokasi menunjukkan adanya warna tertentu di tumbuhan akibat dari air buangan tersebut. Ditemukan hewan hewan seperti keong mas yang mati dalam jumlah cukup banyak dimulut outlet dari industri. Ada suatu desa , Kertanegara, dijumpai adanya timbunan debu hasil limbah batubara, yang diletakkan di pinggir sungai Citarum dalam kondisi terbuka. Hal ini bisa terjadi dikarenakan setelah kalangan industri dihadapkan pada pilihan menggunakan listrik dari PLN dengan tarif baru atau menggunakan alternatif lain yakni batubara, tetapi dalam pelaskanaan penggunaan batubara ini kurang dilakukan pengelolaan yang baik terhadap limbahnya , sehingga sering kali dikeluhkan oleh masyarakat adanya kendaraan kendaraan yang sengaja membuang hasil limbah batu bara tersebut di bantaran Citarum.
6. Kawasan kota Karawang terlihat kontras di musim hujan maupun kemarau. Kalau saat kemarau air menjadi surut, kedalaman air sekitar 50 cm, bahkan di beberapa lokasi terlihat sangat dangkal, air tidak mengalir, di dekat jembatan Pindo Delli / Jembatan gantung kuning, air berwarna hitam pekat dengan bau busuk. Tak jauh dari lokasi ini juga ada Rumah Potong Hewan yang juga membuang sebagian hasil limbah RPH ini langsung
11
ke sungai. Sebelumnya ditemukan beberapa kantong pemukiman pemulung yang mengelola berbagai sisa limbah untuk dilakukan pemisahan dan penggunaan bahan yang masih mempunyai nilai ekonomi. Sisa sisa pemilahan dan penumpukan stock para pemulung ini bisa ditemukan di sepanjang sungai Citarum di dalam kota Karawang. Tetapi di musim hujan ketika tinggi air menjadi 2 – 3 meter, maka semua yang tidak indah itu sepertinya lenyap, tinggal air berwarna coklat , tidak ada sampah dipinggir sungai, bau busuk menghilang, dan perjalanan lancar sampai melewati bagian barat kota Karawang ( Tanjungpura )
7. Kawasan Tanjungpura menuju Rengasdengklok, disekitar Tanjungpura, merupakan kawasan padat dan industri, kualitas air cukup buruk, ditemukan banyak kotoran manusia dan hewan di pinggir sungai, di lapangan, dan juga di badan sungai. Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan WC relatif minim dan juga masih belum terbiasa masyarakat untuk buang air besar di WC. Sepanjang kurang lebih 15 km jalur sungai didominasi oleh ladang penduduk dan tanaman air di sepanjang tepi sungai. Sesekali ditemukan perahu penyeberang dengan menggunakan tali yang menyeberangkan orang, kendaraan, hasil pertanian dan perdagangan . Kegiatan yang terlihat cukup dominan adalah pertanian, ternak yang dilepas dipinggir sungai, dan para pemancing.
8. Rengasdengklok, merupakan kota kecamatan yang cukup ramai dan mempunyai catatan sejarah yang penting di awal kemerdekaan, ketika Bung Karno di culik oleh sebagian pemuda dan disembunyikan di Rengasdengklok ini. Kemungkinan besar arah pembangunan kota kecamatan Rengasdengklok ini ke arah barat yakni mendekati sungai Citarum. Visual di sepanjang sungai Citarum dari Rengasdengklok sampai Batujaya kemudian Cabangbungin, relatif monoton berupa ladang ladang masyarakat, penggembalaan hewan ternak. Aktivitas penduduk yang MCK di sepanjang sungai Citarum di subsegmen ini cukup dominan bila dibandingkan di kawasan Walahar sampai kota Karawang. Lalu lintas di sungai cukup sibuk untuk membawa kebutuhan masyarakat, kebutuhan air bersih, dan trasnportasi untuk keperluan sekolah atau dinas kantor. Didaerah Pabayuran ditemukan suatu usaha beberapa kelompok masyarakat yang ”menggali ” pasir dengan cara menyedot menggunakan pompa air dari dasar sungai untuk dialirkan di pinggir sungai. Jumlah usaha ini cukup banyak di daerah tersebut. Di Kecamatan Batujaya, ditemukan kompleks percandian yang menurut ahli Purbakala menunjukkan Candi Budha ( salah satunya yang sudah selesai di pugar bernama Candi Jiwa ) , yang menunjukkan sudah adanya peradaban di daerah tersebut sejak jaman prasejarah dari kerajaan Tarumanegara dengan raja purnawarman, dan memiliki keterkaitan dengan temuan situs di Cibuaya , yang candi nya beraliran Hindu.
9. Dari Cabangbungin ke Muara Gembong sudah mulai terasa bahwa daerah tersebut sudah dekat dengan laut, dikarenakan jumlah perahu yang hilir mudik sudah semakin banyak dengan berbagai macam keperluan. Fisik sungai juga sudah ada perbedaan di bandingkan daerah hulu, yakni semakin dalam dan arusnya relatif lebih tenang. Cabagbungin dan Muara Gembong merupakan kecamatan di kabupaten Bekasi yang letaknya cukup jauh dari ibu kota Kabupaten Bekasi yang terletak di Cikarang Pusat. Kesulitas akses transportasi ini yang menyebabkan daerah ini merasa lebih dekat dengan Jakarta ( Cilincing ) yang bisa ditempuh selama 30 – 40 menit dengan perahu, dibandingkan jalan darat menuju Cikarang Pusat yang bisa ditempuh selama 6 – 7 jam. Keterisolasian daerah bisa dirasakan oleh sebagian amsyarakat karena merasa ditinggalkan oleh Provinsi Jawa Barat. Bahkan kalau melihat Rencana Program Prioritas Bappeda Jawa Barat, maka kegiatan di hilir ( Kabupaten Karawang dan Bekasi ) Ciatrum selama tahun 2010 sampai 2015 , tidak akan ditemui program dari Provinsi Jawa Barat.
12
10. Banjir dan keterisolasian daerah merupakan resiko yang sudah lama dihadapi masyarakat Muara Gembong sampai Muara Bendera. Analisis masyarakat menunjukkan bahwa sekarang banjir lebih sering terjadi, selain bersumber dari hulu ( daerah Karawang, Cikarang ), sumber banjir juga dari laut berupa Rob, air laut yang masuk jauh ke dalam sungai. Pola perumahan yang ada pinggir C itarum di daerah muara ini , tidak tertata dengan baik terutama sirkulasi air kotor, sehingga di halaman rumah sering tergenang dengan limbah rumah tangga dan juga terkadang kotoran manusia. Kebanyakan bayi dan anak kecil di Muara ini mengalami gangguan kulit .
11. Didaerah Muara , seperti di desa Pantai Bahagia, merupakan tempat singgah sementara para nelayan asal Indramayu dan Cirebon. Di musim tertentu kalau cuaca di alut tidak memungkinkan melaut, maka perahu – perahu dengan beraneka bendera diparkir dengan rapi didekat pemukiman. Didekat lokasi pemukiman ini ditemukan hamparan tambak yang dari segi kondisi banyak yang terlantar dikarenakan sering sekali terjadi gagal panen karena daerah tersebut terkena banjir. Hasil wawancara dan penelusuran sumber data sekunder lainnya , kawasan muara Bendera ini diminati oleh suatu konglomerat untuk dijadikan suatu kawasan resort. Bahkan di KLH sudah pernah mengeluarkan rekomendasi untuk bisa dilakukan pemanfaatan kawasan tersebut yang sebenarnya statusnya masih merupakan hutan konservasi yang dikelola oleh Perhutani. Dan di muara Bendera ini masih bisa ditemukan dalam jumlah tertentu sekelompok kera ekor pendek ( Macaca fascicularis ) dan Lutung / Owa ( Hylobates moloch ) yang merupakan endemik jawa. Kondisi mangrove yang ada di muara Citarum ini sudah dalam taraf mengenaskan, dari jauh terlihat seperti kawasan hijau yang tebal, setelah dilihat lebih dekat berupa pohon mangrove yang tipis dan di bagian belakangnya sudah merupakan kawasan terbuka dalam bentuk tambak.
HAMBATAN Kendala yang ditemukan selama pelaksanaan dokumentasi di lapangan adalah, karena segmen cukup panjang sehingga perlu dilakukan pengamatan di lapangan dalam beberapa kesempatan yang tidak cukup dalam satu kali saja. Akibatnya biaya yang harus dikeluarkan menjadi membengkak. Secara internal tim , karena yang ikut pelaksanaan dengan beragam pendidikan dan pengalaman, sehingga titik fokus perhatian juga bisa beranekaragam. Meski sejak awal sudah disepakati, Tim Ekspedisi akan fokus kepada dokumentasi masalah pencemaran dan kondisi sosial ekonomi masyarakat dipinggir badan sungai Citarum, dan dalam form yang disertakan pada tim lebih ke arah pengamatan kondisi fisik sungai . Secara internal di Wanadri, kegiatan Ekspedisi Citarum Wanadri ini lebih menarik perhatian anggota Wanadri yang cukup senior, dan kurang dapat tanggapan yang antusias dari anggota yang masih muda. Tercatat yang ikut serta dari angkatan POR ( Adityawarman), LANG ( Popo , Remy ), Hujan Kabut ( Iwan Bungsu, Dudung ), Angin Lembah, Rawa Laut, Kabut Rimba-Kaliandra, Elang Rimba, dan sebagian besar dari angkatan Badai Rimba. Untuk yang lebih muda, yang ikut ke lapangan biasanya cuma dalam satu trip setelah itu tidak ikut kembali.
13
KESIMPULAN
1. Citarum sudah banyak dibahas, diteliti dan dipaparkan diberbagai seminar dan publikasi massa; tetapi setelah dilihat secara intens dan berinterkasi dengan masyarakat setempat, perlu juga dilakukan redefinisi mengenai Citarum mengingat selama ini penilaian terhadap Citarum lebih banyak karena ”menurut pendapat peneliti ” yang secara antropologi disebut dengan Ethic view; tetapi kurang menyertakan ”pendapat masyarakat setempat ” serta cara pandang masyarakat itu sendiri tentang Citarum ( Emic view ) . Salah satu kelemahan munculnya rekomendasi dan kebijakan kebijakan yang kurang tepat karena mereka tinggal di Citarum dalam hitungan hari yang terbatas, sehingga belum terbangun empati, akibatnya rekomendasi yang keluar kurang mengenai sasaran. Salah satu contoh, di hulu disebutkan masalah penggundulan hutan, Solusinya adalah Penanaman pohon, apakah dengan dilakukan penanaman pohon persoalan degradasi lingkungan akan selesai, apakah ada jaminan dengan pohon yang ditanam ini akan terus tumbuh, atau setelah itu akan ditebang karena menghalangi pertanian yang dikerjakan oleh masyarakat setempat. Kemudian muncul rekomendasi ”Relokasi penduduk ” , sebenarnya konsep ini banyak diterapkan oleh Departemen Kehutanan di tahun 1970 sampai 1980an , bahwa pengelolaan hutan yang mutlak di kuasai negara dan dianggap bahwa hutan itu kosong, baru dilakukan pengelolaan, hutan yang ekonomis di buatkan menajdi HPH, hutan konservasi menganggap masyarakat lokal yang tinggal didalamnya adalah illegal. Konsep ini sebenarnya sudah banyak ditinggalkan oleh Kementrian Kehutanan dan yang kemudian digantikan dengan Kemitraan dan Hutan Kemasyarakatan. Kalau rencana Relokasi Pemukiman ini dilakukan berarti suatu kemunduran secara konseptual. Bahwa upaya Penghijauan suatu hutan akan berhasil dan mudah dilakukan, apabila kawasan itu dikosongkan . Rencana Ressetlement ini dengan derajat yang berbeda juga diterapkan oleh Bappenas / ADB di daerah hilir terutama di Tarum Barat. Rencana ini juga harus dikritisi dan perlu diluruskan mengenai beberapa penilaian negatif yang dilakukan oleh konsultan pembangunan terhadap kelompok masyarakat ( etnis) tertentu yang tinggal di pinggir sungai Citarum, karena rekomendasi mereka itu merupakan sesuatu yang tidak tepat. Pendapat yang cukup positif dengan kondisi tertentu disampaikan oleh peneliti Jepang di kawasan industri Cikarang, mengenai aktivitas para pengumpul limbah dan barang bekas.
2. Pengelolaan Citarum untuk menuju yang lebih baik , masih kurang melibatkan dengan porsi yang cukup besar masalah gender dan anak anak. Dari berbagai studi pembangunan ketika keputusan dan kebijakan tentang suatu pembangunan ( dalam hal ini masalah Citarum ) maka kaum perempuan relatif kurang terperhatikan , terutama mereka yang tinggal di pinggir sungai. Jangan lupa , bahwa yang paling banyak mengalokasikan waktu untuk terdedah terhadap air Citarum adalah kaum perempuan dan anak anak. Sehingga mereka sebenarnya lebih sering di air, lebih mengerti tentang Citarum dan sekaligus mereka yang paling rentan terkena pengaruh buruk yang datang dari Citarum seperti limbah dan bencana.
3. Secara konseptual di perencanaan Bappenas dan juga studi studi lainnya , belum secara jelas menempatkan masyarakat disekitar sungai sebagai Pelaku ( yang negatif maupun positif ) yang penting dan sebagai korban (akibat dan resiko tinggal di pinggir sungai ) , tetapi masih lebih sering disebut sebagai pelaku, karena dari kesimpulan kesimpulan yang biasa beredar, disebutkan kontribusi terjadinya degradasi lingkungan di Citarum karena penduduk yang padat dan tinggal dipinggirnya. Seharusnya hal itu harus diteruskan menjadi suatu kondisi sementara ( disaat ini ) dan karena tidak dilakukan penataan yang baik ( termasuk law enforcement ) sehingga mereka membuang sampah, limbah rumah
14
tangga, dan bahkan limbah industri ke dalam badan sungai. Suatu kondisi lainnya yang mirip tapi dengan situasi yang berbeda, adalah pengelolaan sungai sungai di kota kota besar seperti Thames di London, Rhein di Jerman/ Perancis atau yang ada di New York dengan jumlah penduduk yang megapolitan tetapi tidak menyebabkan sungai di kota tersebut kotor, artinya ada peran pemerintah dan juga warga masyarakat yang menyebabkan tidak melakukan pencemaran sungai . Jumlah penduduk yang banyak bukan merupakan penyebab degradasi lingkungan yang terjadi di Citarum ini, yang ada adalah belum adanya Waste Management secara bertahap sampai tingkatan regional yang berjalan bersebelahan dengan water management.
4. Koridor yang ada di pengelolaan Citarum ini untuk Partisipasi Masyarakat masih terbatas pada Mobilisasi , dan cenderung sebagai legitimasi bahwa proses pengelolaan Citarum ini sudah ”partisipatif ” dengan melibatkan seluruh para pihak. Apa benar seluruh pihak? , karena kita tahu bahwa yang selama ini terlibat adalah yang merasa satu ide, dan yang berseberangan akan ditinggal, sehingga LSM yang dianggap radikal atau bukan merupakan mitra ”binaan ” kementrian tertentu tidak akan dikutsertakan. Terlepas apakah yang dikutsertakan itu mempunyai kekuatan real atau pengaruh yang kuat di Citarum , saat ini masih bukan menajdi masalah. Dominasi pemerintah sangat jelas dan mayoritas. Ke depannya perlu dibuatkan mekanisme semakin besarnya peran amsyarakat baik masyarakat umum/ lokal, peneliti/ akademisi, seniman, remaja, tentara, LSM dan kalangan media.
5. Mengingat masalah Citarum adalah masalah yang kompleks dan lintas sektoral dan perlu koordinasi antar pihak, maka sepatutnya bahwa manajemen pengelolaan Citarum secara integral, berkelanjutan dan partisipatif ini harus dikelola oleh sebuah badan permanen yang dikepalai oleh pejabat yang setingkat menteri. Urutan konsentrasi penyelesaian masalah Citarum juga tidak terlepas atas hubungan daerah penyangga dengan daerah inti, antara kawasan luar DAS dengan DAS dan juga wilayah sungai. Persoalan lingkungan yang terjadi di sungai Citarum juga terjadi di anak anak sungai nya , sehingga perhatian untuk penyelesaian masalah lingkungan dan sosial dan kesuksesannya juga harus mengkaitkan ”perbaikan” di badan sungai Citarum dan anak sungainya.
LAMPIRAN
TULISAN 1
KEGIATAN DI SEGMEN 1
( Cisanti, Ciseke, Cihawuk, Strawberry, Wandir, dan Bale Kambang )
I. PENAMPAKAN
Situ Cisanti
Dulunya berupa rawa, yang kemudian setelah dibersihkan dan diperluas menjadi sebuah situ seluas 7ha. Namanya Situ Cisanti, terletak di kaki gunung Wayang, menampung 7 mata air yang airnya jernih, mata air Pangsiraman, Cihaniwung, Cikoleberes, Cikahuripan, Cikawedukan, dan 2 buah mata air Citarum. Yang terbesar adalah mata air Pangsiraman.
Nama Cisanti sendiri tidak jelas berasal dari mana. Beberapa penduduk yang ditanyai asal muasal nama tersebut, sebagian menjawab tidak tahu, sebagian menjawab itu berasal dari bahasa India, mengingat jaman dulu daerah tersebut merupakan bagian kerajaan sunda yang beragama Hindu. Namun sebagian lagi menjawab, itu nama seorang wanita cantik di masa penjajahan Belanda dulu, yang sering mandi di sebuah mata air di sekitar daerah situ.
Pemandangan Situ Cisanti dari arah Timur
Dikelilingi hutan pohon pinus di sebelah utara, dan pohon‐pohon tinggi lainnya, membuat suasana Situ Cisanti sejuk disiang hari, dan dingin dimalam dan pagi hari. Kondisi sekelilingnya relatif bersih membuat pengunjung merasa nyaman.
Pemandangan Situ Cisanti dari arah Barat Laut
Dibagian barat, dekat dengan mata air Citarum, terdapat dua buah makam yang oleh penduduk setempat dipercaya merupakan makamnya Ibu Ratu Ranggawulung Mayang Cinde dan Sembah Dalem Dipatiukur, sehingga tempat tersebut sering dikunjungi orang untuk berziarah. Bahkan buat orang yang percaya, mata air nya dianggap memberi berkah awet muda. Sehingga sering pula terlihat peziarah yang mandi dan berendam di mata airnya yang jernih.
Pada siang hari, sering terlihat banyak orang memancing ikan. Tempat ini juga sering digunakan untuk berkemah.
Di bagian timur, terdapat tiga pintu air. Dua pintu air, di sebelah kanan dan kirinya berfungsi untuk mengatur aliran air yang menuju dan digunakan untuk mengairi ladang oleh penduduk kampung di sekitarnya. Sementara pintu air yang di tengah adalah aliran yang diyakini sebagai cikal bakal sungai Citarum.
Mata air Citarum
1
Untuk menuju Situ Cisanti, dari Bandung bisa melalui Ciparay kemudian desa Cibeureum sebelum mencapai desa Tarumajaya. Atau bisa juga melalui Pangalengan, kemudian masuk melalui perkebunan teh Malabar Kertasari. Sebagian besar kondisi jalan, dari kedua arah tersebut, cukup baik. Walaupun memang ada pada bagian‐bagian tertentu kondisinya cukup rusak, sehingga pengendara mobil harus berhati‐hati. Tetapi pada dasarnya mobil atau kendaraan bermotor lain bisa mencapai Situ Cisanti sampai dengan pintu masuknya.
Pada pintu masuk terdapat Arbaroteum Cisanti milik Perhutani, yang berupa bangunan rumah panggung, mirip aula. Bangunan ini bisa dipergunakan untuk ruang pertemuan atau juga untuk menginap. Bisa disewa oleh masyarakat umum. Bangunan utama ini memiliki kelengkapan penunjang untuk MCK yang cukup baik dengan air yang jernih, yang tentu saja bersumber dari mata air disitu.
Arboretum Cisanti setelah hujan, bangunan sebelah kanan
Sungai Citarum Bagian Hulu
Saat Tim Wanadri menyusuri sungai Citarum, 16 Januari 2010, adalah musim hujan. Memulai dari pintu air Situ Cisanti, besarnya seperti selokan. Menjauh dari pintu air, terkesan alirannya mengecil seolah sebagian air hilang masuk ke dalam tanah. Tidak jauh dari pintu air, terlihat beberapa kolam penampungan untuk menampung aliran air. Kolam‐kolam tersebut dijadikan sumber air bagi keperluan sehari‐hari penduduk setempat. Ada juga kolam yang dimanfaatkan untuk menanam ikan. Tidak untuk berternak skala besar, namun hanya sekedar di”lumayan”kan.
Kolam‐kolam penampung
2
Kurang lebih dua kilometer dari pintu air, saluran yang diyakini sebagai hulu sungai sungai Citarum memasuki Kampung Pajaten. Patut disayangkan saat melewati desa, di sepanjang saluran yang lebarnya 0,5 ‐ 1 meter ini, berdiri
Kandang‐kandang sapi sepanjang saluran bakal sungai Citarum. Selang berwarna hijau adalah selang penghantar air bersih dari sumber di hulu ke rumah‐rumah penduduk
puluhan bahkan ratusan kandang sapi perah dimana kotorannya dibuang ke saluran ini. Jumlah kotoran yang mencemari sungai bisa lebih banyak lagi, mengingat kandang‐kandang sapi yang tidak berdiri tepat di pinggir saluran pun membuangannya ke sungai Citarum melalui saluran‐saluran buatan atau anak‐anak sungai Citarum. Limbah kotoran hewan ternak pun diperparah dengan limbah kotoran rumah tangga. Hal ini terlihat dari adanya beberapa WC berdiri di atas sungai, juga bagian‐bagian buangan rumah‐rumah penduduk yang mengarah ke sungai. Tentu saja air yang semula jernih menjadi keruh coklat kehijauan. Oleh karena itu penduduk menggunakan pipa‐pipa selang untuk mengangkut air bagi keperluan sehari‐harinya dari sumber yang masih bersih di hulu. Hal ini dilakukan karena air sungai Citarum di sebelah rumahnya sudah tidak layak dipergunakan lagi untuk konsumsi rumah tangga. Usaha ternak sapi perah itu sendiri, di daerah tersebut sudah ada sejak jaman Belanda dahulu.
Selepas Kampung Pajaten, sungai Citarum sedikit lebih lebar. Berliku menyusuri pinggir perkampungan, sehingga kondisi pinggir atau bantaran sungai pun berselang‐seling antara perumahan penduduk dan ladang‐ladang petani. Jenis tanaman yang dibudi‐dayakan sebagian besar adalah jenis sayuran seperti wortel, bawang daun, kubis dan kentang. Dalam jumlah kecil, kadang ditemukan pohon‐pohon kopi. Selain itu, di bagian selatan Desa Cibeureum, ditemukan beberapa kolam besar yang merupakan kolam tangkapan air, yang berperan sebagai reservoir.
Kolam‐kolam reservoir
Dibagian ini sungai makin melebar sehingga sudah layak untuk disebut anak sungai dan bukan selokan lagi. Juga dibeberapa tempat ditemukan bagian sungai yang dijadikan tempat pembuangan sampah
Sungai Citarum sebagai tempat penimbunan sampah
3
Setelah Desa Cibeureum, profil di kiri‐kanan sungai makin curam, dan ladang‐ladang penduduk pun mendominasi kiri‐kanan sungai. Yang cukup menimbulkan perhatian sekaligus keprihatinan adalah tidak adanya “terasering” pada ladang‐ladang sayuran tersebut. Bahkan jalur‐jalur untuk saluran air searah dengan kemiringan lahan. Akibatnya bisa dibayangkan, air hujan dipermukaan akan langsung turun ke bawah tanpa ada yang menahannya, dan tentu saja berpotensi meng”erosi” tanah. Besarnya kemampuan erosi akan berbanding lurus dengan kemiringan lahan.
Ladang‐ladang sayuran
Kegiatan pembukaan lahan baru pun banyak dilakukan. Terlihat dari adanya kegiatan pengupasan tebing untuk lahan‐lahan baru.
Kondisi air berwarna coklat. Hal ini bisa dimengerti, karena saat itu musim hujan sehingga banyak lumpur dan butiran tanah yang tererosi ke sungai. Hal ini juga terjadi pada anak‐anak sungai Citarum, sebagian besar berwarna coklat.
Pada bagian‐bagian sungai yang relatif tenang terjadi pendangkalan dan penyempitan akibat endapan lumpur. Namun secara umum aliran sungai relatif deras karena gradient sungai relatif tinggi. Hal ini memungkin sebagian besar lumpurnya terbawa dan terendapkan dibagian hilir yang relatif tenang di derah Majalaya‐
Bandung. Tidak heran kalau pada musim penghujan, di daerah yang sering terkena banjir seperti Pacet‐Majalaya‐Bandung, yang dialami bukan hanya menerima luapan air sungai, tetapi juga kiriman lumpur.
4
Sepanjang lintasan ini, sampai dengan Jembatan Cihawuk ada sekitar 6‐7 anak sungai yang bermuara ke sungai Citarum. Diantaranya Sungai Ciseke yang cukup besar, yang letaknya masih dekat Desa Cibeureum, kemudian Cikeris, Ciendog. Dari sekian anak sungai itu, hanya Cikeris yang masih jernih. Menurut penduduk, mata airnya masih dekat‐dekat situ. Sehingga masih
dapat dimengerti, mengapa airnya masih jernih, karena tidak banyak tercemari lumpur atau butiran tanah akibat erosi dari ladang.
Profil sungai pun semakin ke hilir semakin curam. Walaupun begitu pada bagian‐bagian lereng sungai yang curam pun masih terlihat usaha‐usaha perladangan, dan sebagian besar adalah sayuran.
Mendekati Jembatan Cihawuk morfologi kiri‐kanan sungai agak melandai. Jembatan ini merupakan penghubung antara jalan raya Cibeureum‐Sukapura dengan Desa Cihawuk.
5
II. KENYATAAN
Ketidak‐adilan
Hal yang dirasakan penduduk Desa Tarumajaya adalah rasa ketidak‐adilan dalam pemilikan lahan. Mereka yang notabene adalah petani, merasa Perum Perhutani mengusai lahan terlalu luas dan hanya menyisakan sebagian kecil lahan yang bisa diolah oleh penduduk. Sebagai gambaran untuk Desa Tarumajaya, dimana Situ Cisanti, memiliki luas +/‐ 2.700 ha dengan penduduk +/‐ 13.000 jiwa, hanya menyisakan 100 ha atau hanya 4% untuk lahan adat yang kemudian diolah oleh penduduk dijadikan ladang‐ladang pertanian. Hal ini terungkap dalam sebuah diskusi dengan pemuka masyarakat dan LSM setempat.
Rasa diperlakukan tidak adil juga menguat manakala terjadi perlakuan yang berbeda bagi masyarakat atau individu tertentu. Seperti pada saat adanya pelepasan lahan perkebunan dan pemberian Hak Guna Usaha (HGU) kepada sebuah entitas bisnis, PD Hikmah misalnya, sementara penduduk setempat tetap tidak memiliki lahan yang cukup.
Hal ini berpotensi munculnya gejolak sosial dan mendodrong pendudukan lahan oleh penduduk. Selain tentunya mendorong petani melakukan perambahan ke tempat‐tempat yang seharusnya tidak diperuntukan bagi perladangan.
Pembukaan lahan
Di sepanjang lintasan pinggir sungai Citarum banyak terlihat usaha perluasan lahan, walaupun di tempat yang cukup membahayakan sekalipun, seperti tebing curam. Selain membahayakan peladang, juga menimbulkan potensi longsor yang pada akhirnya merusak kondisi sungai, selain melalui erosi tanah.
Perladangan di lereng‐lereng Sungai Citarum
6
Dengan makin berkurangnya daerah‐daerah serapan (catchment area), akibat pembukaan lahan, selain mengurangi kemampuan penyerapan dan penyimpanan air tanah, juga membuat resiko longsor dan erosi tanah semakin besar. Apalagi ditambah dengan cara bercocok tanam yang jalur‐jalurnya searah dengan kemiringan lahan, yang akan memberikan potensi tingkat erosi yang lebih tinggi.
Ketika hal ini ditanyakan kepada peladang/petani yang bersangkutan, mereka memang sengaja melakukan pola perladangan seperti itu dengan alasan agar tidak terjadi genangan air yang dapat mengakibat tanaman sayuran, terutama jenis umbi‐umbian seperti wortel, kentang, mati dan umbinya membusuk. Perlu adanya penelitian lebih lanjut, yang diikuti oleh penerangan dan pelatihan agar peladang/petani bisa tetap mengolah lahan secara ekonomis tanpa harus mengorbankan lahan.
Hal ini cukup menarik, mengingat beberapa kilometer di hilir dari daerah tersebut, di daerah Pacet, terlihat pola “terasering” untuk pola perladangan di lahan miring. Apa yang menyebabkan kebiasaan yang demikian berbeda ?
Pola dan jenis tanaman juga dianggap memberikan kontribusi terhadap kerusakan lingkungan. Petani di daerah Kecamatan Kertasasari lebih menyukai menanam sayuran dibandingkan tanaman keras. Walaupun sudah diupayakan ada program alih komoditi, mengganti tanaman sayuran dengan tanaman kopi, tapi usaha tersebut belum menunjukkan perubahan yang signifikan. Sampai sekarang hanya kurang lebih 2% saja luas lahan yang ditanami kopi atau tanaman keras sejenisnya. Hal ini dikarenakan lamanya musim kering yang hanya 3 bulan saja dalam satu tahun, sehingga perolehan petani lebih kecil dibandingkan dengan apabila mereka menanam sayuran yang siklusnya lebih cepat.
Yang juga terkait, walaupun tidak langsung, dengan pembukaan lahan adalah “illegal logging”, pemotongan kayu secara sembunyi‐sembunyi untuk dijual atau kayu bakar. Hal ini kadang sulit ditangani secara tuntas, karena pada akhirnya yang mendorong terjadinya pelanggaran ini adalah bukan karena masyarakat tidak tahu larangan ini, tetapi karena keterpaksaan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Pemipaan
Di sepanjang aliran air bakal sungai Citarum, bukan hal yang aneh apabila terlihat bentangan pipa‐pipa atau selang‐selang air. Ini adalah untuk mengalirkan air bersih dari kolam‐kolam atau sumber air bersih di hulu langsung ke setiap rumah penduduk, atau ke kolam‐kolam penampung sementara sebelum kemudian dialirkan ke rumah‐rumah penduduk. Hal ini dilakukan karena tidak bisa mengambil langsung air dari sungai Citarum untuk kebutuhan sehari‐hari, karena sudah terkontaminasi oleh limbah kotoran sapi.
7
Pola pemanfaatan dan pengelolaan air seperti ini, menurut Dede – salah seorang pemuka LSM setempat, ternyata memberi dampak negatif secara tidak langsung terhadap kualitas sungai Citarum. Karena petani dan penduduk setempat sudah tidak menggunakan air secara langsung dari sungai atau parit‐parit buatan, perhatian mereka terhadap pemeliharaan parit dan sungai ini menjadi berkurang, bahkan cenderung diabaikan. Akibatnya parit‐parit tersebut menjadi tidak terpelihara dan rusak. Sehingga pada saat musim penghujan, maka aliran air menjadi tidak terkendali, meluap dan membawa lumpur ketika masuk ke dalam sungai. Yang pada akhirnya mengurangi kualitas air Sungai Citarum.
Pemipaan, telah mengubah kebiasaan dan tatanan masyarakat, yang sebelumnya memberi perhatian kepada pemeliharaan parit menjadi tidak peduli, karena seolah‐olah kebutuhannya tergantikan oleh adanya pipa‐selang air.
III. USAHA PERBAIKAN & HARAPAN
Banyak sudah usaha‐usaha perbaikan lingkungan, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat setempat. Ada yang berhasil, dan ada pula yang belum berhasil. Salah satu yang bisa dikatakan berhasil adalah penghijauan kembali Gunung Wayang oleh kelompok Petak 73.
Sejak tahun 1997, Gunung Wayang mengalami penggundulan sebagai akibat dijadikannya lahan tersebut sebagai area hutan industri, yang selanjutnya dijadikan lahan oleh para petani setempat. Kemudian pada tahun 2005, sebuah kelompok, Petak‐73, yang dikomandani oleh Agus dari LMDH memulai program penghijauan. Untuk mendukung program penghijauan di area tersebut, maka digulirkan program 3‐Alih ; (1) Alih profesi, (2) Alih komoditi, (3) Alih lokasi.
Tidak semua program berjalan lancar pada awalnya, tapi dengan ketekunan program penghijauan Gunung Wayang bisa dikatakan berhasil, sehingga dijadikan proyek percontohan bagi daerah lain. Hal ini bisa dilihat dari kondisi Gunung Wayang sat ini yang sudah menghijau.
Selain itu ada juga program pengelolaan limbah kotoran hewan, khususnya sapi. Pada awalnya masyarakat setempat mengajukan permohonan bantuan pengelolaan untuk dijadikan pupuk organik. Namun kemudian bantuan pemerintah yang datang adalah berupa pengelolaan untuk dijadikan biogas. Program ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan, karena dari 7 instalasi biogas yang dibangun, saat ini hanya satu saja yang aktif. Dengan sendirinya hanya sedikit kotoran sapi yang bia ditangani. Padahal dari perkiraan kasar, berdasarkan jumlah populasi sapi yang ada di daerah itu sekitar 4000 sapi, dengan asumsi setiap ekor sapinya membuang kotoran 2 kali setiap harinya dengan berat 2 ‐ 5 kg setiap kali buang kotoran, maka akan akan terkumpul sebanyak 20 ton kotoran sapi per hari. Tidak heran air sungai Citarum terlihat hijau keruh, karena setiap hari menampung kotoran sapi yang masih dibuang ke sungai karena belum adanya proses yang memadai untuk menangani limbah ini.
8
Hal yang perlu diperhatikan pemerintah dalam melakukan program selanjutnya, adalah agar betul‐betul memperhatikan aspirasi masyarakat. Belum diketahui pasti, alasan kegagalan program biogas ini, apakah karena tidak mendapat dukungan masyarakat yang notabene memerlukan dan menginginkan program yang berbeda, atau karena sosialisasi yang kurang, atau hanya karena implementasi program yang amburadul, sehingga sebagian besar instalasi biogas yang dibangun tidak layak teknis yang mengakibatkan tidak berjalannya program seperti yang diharapkan (?). Yang jelas, muncul suatu ungkapan di masyarakat, “Yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah program, dan bukannya proyek”. Ini untuk membedakan antara harapan masyarakat, program ‐ yaitu sesuatu yang berkelanjutan, artinya setelah serah‐terima dilanjutkan dengan penerangan dan pelatihan yang diperlukan agar masyarakat mampu menangani instalasi yang dibangun dengan sebaik‐baiknya. Namun yang diberikan adalah “proyek” karena yang terjadi adalah, setelah “sesuatu” dibangun lantas ditinggal, tanpa masyarakat dibekali dengan pengetahuan yang semestinya.
Saat ini sudah ada beberapa inisiatif untuk memulai kembali penanganan limbah kotoran sapi untuk menjadi pupuk organik. Namun belum mencapai skala besar. Perlu adanya dukungan pemerintah dan pihak‐pihak lembaga masyarakat, selain untuk koordinasi dengan pihak‐pihak terkait, juga untuk memfasilitasi terjadinya rantai produksi, konsumen‐produser yang kontinyu. Dengan demikian bisa diandalkan sebagai kegiatan ekonomi bagi masyarakat setempat.
Menyusuri Ciseke 17 Januari 2010 Ciseke merupakan anak sungai Citarum yang berada disamping Cisanti dan bertemu dengan Citarum di perbatasan antara desa Tarumajaya dan Cibeureum. Pelaksana kegiatan kunjungan lapangan adalah A.R Natanegara, Abrar Prasodjo ( Wanadri ) , Bunga Safari ( NGO Bandung), Kiki ( YPBB ), Eunjang Fendi (MPSA) , Faishal Muharram, Adrian Nadim Mustafa , Farhan Muhammad .
Mobil yang beriringan setelah keluar dari Cisanti dan masuk desa Tarumajaya, didekat jembatan ada lahan cukup luas, dan beberapa orang nampak sedang meletakkan karung karung plastik putih yang penuh berisi wortel. Karung karung tersebut dikumpulkan sambil menunggu datangnya truk pengangkut. Mobil yang membawa rombongan kemudian di parkir agak dipinggir jembatan disebuah tanah lapang dan dilakukan persiapan menyusuri sungai Ciseke yang berada dekat lokasi parkir. Rombongan diantar oleh pak Eunjang yang semalam juga ikut diskusi. Anak‐ anak yang ada di mobil
semua juga ikut ke atas bersama istri saya, Bunga. Perjalanan cukup terjal, disebelah kanan nampak sungai Ciseke dengan gemuruhnya suara air akibat arus yang deras membawa butiran tanah dan berwarna coklat. Sambil berjalan, kang Dudung juga menerangkan kondisi setempat, kebetulan sebelumnya kang Dudung juga mengunjungi daerah ini beberapa waktu lalu. Diseberang sungai terlihat beberapa petani sedang memanen kentang dan wortel yang sudah bersih dikumpulkan di dalam karung – karung plastik. Letak ladang pertanian saya lihat juga dilakukan di daerah yang sangat terjal dan ada juga yang persis di pinggir sungai. Petak yang ada disebelah kanan Ciseke, adalah petak 18 dan 19 , dan terlihat sampai di atas daerahnya agak terbuka , ada beberapa pohon , tetapi di bawahnya ada pertanian sayur mayur seperti kol, wortel, cabai, dan kentang .
9
Sementara di sebelah kiri Ciseke, ditemui ada beberapa kolam/ balong yang menurut keterangan pak Eunjang sudah berstatus sertifikat hak milik. Kehadiran beberapa selang dan pipa air yang terkadang menempel di dinding sungai yang terjal lalu dikomentari oleh pak Eunjang, bahwa sistem pengambilan air ini masih belum terpadu, lebih ke arah inisiatif beberapa orang atau kelompok masyarakat. Tetapi dari pihak desa tiap bulannya juga mengutip retribusi Rp. 10.000,‐ / bulan. Diskusi cara pengorganisasian serta pengelolaan sistem air desa dilakukan di pinggir sungai. Pengalaman istri saya bersama suatu LSM dalam mengelola air bersih disuatu pulau terpencil , termasuk proses pembuatan perda tentang air di beberapa desa , bagaimana menerapkan sangsi, siapa petugas air, dan bagaimana melakukan perawatan sistem air yang relatif sederhana. Pak Eunjang nampak tertarik dengan informasi tersebut karena selama ini menurut dia, yang belum pernah ada yakni masalah perawatan (maintenance ) , dan disebutkan juga :” kalau iurannya mah tetep aja ditarik, kalau giliran untuk merawat pipa dan selang agar tidak bocor tidak dilakukan, diserahkan ke masing‐ masing. . . “.
Perjalanan terkadang di interupsi sejenak dikarenakan berpapasan dengan penduduk yang sedang turun sambil memikul hasil pertanian, sementara lokasi jalan di pematang lahan yang cukup sempit dan mengharuskan kita harus turun sejenak dari pematang tersebut. Bila menemukan kubangan air di dekat pematang, malahan jadi serbuan anak‐ anak yang ikut sambil sengaja melewati dengan mencipratkan lumpur tersebut sambil tertawa gembira, akibatnya kaos dan celana ketiga anak tersebut pada kotor dengan lumpur. Mereka berlarian dan berusaha menangkap capung yang ada diudara dan terkadang hinggap diujung rumput. Kalau anak anak riang gembira, sementara yang dewasa pada sibuk atur nafas. Kegiatan berhenti dan ”pura pura ” menanyakan sesuatu ke pak Eunjang merupakan jurus jitu untuk ”ambil nafas” .
Pada suatu tempat , dilakukan diskusi dengan penduduk setempat mengenai pemanfaatan kolam yang ada didaerah tersebut. Menurut mereka, balong/ kolam masih belum dijadikan sumber pendapatan utama, pertanian sayur masih menjadi sumber penghasilan pertama baru jenis lainnya seperti dari tanaman keras , yang juga ditanam disela tanaman sayur mereka , dan juga dari kolam. Persoalan utama untuk pengembangan perikanan dengan menggunakan kolam adalah masalah modal dan pengadaan bibit ikan. Selama ini kolam tersebut di isi ikan Nila, Mujaer, Emas, dan Koi. Ada beberapa
10
kolam kecil yang difungsikan sebagai kolam bibit ikan, ada beberapa yang digunakan sebagai tempat pemeliharaan ikan. Dan info dari masyarakat juga menunjukkan ada program dari pemerintah ( Pemkab Bandung ) yang membagikan bibit ikan, tetapi menurut mereka tidak tepat sasaran, karena ada beberapa keluarga yang tadinya tidak masuk dalam pendataan yang akan menerima bantuan , ternyata mendapat bantuan tersebut, sementara yang sudah ada di daftar ada yang tidak dapat, yang akhirnya dilakukan musyawarah bibit tersebut dibagi merata, dengan tiap petani menerima jumlah lebih sedikit dari seharusnya karena jumlah yang menerima menjadi lebih banyak. Penduduk yang akan mengembangkan usaha di kolam saat ini juga mengharapkan adanya investor yang tertarik kerjasama dengan masyarakat setempat baik masalah pasokan bibit dan pakan ikan , juga nantinya apabila sudah di panen.
Disuatu ketinggian dipinggir sungai nampak terlihat jelas adanya longsoran di petak 18 dan 19, karena lokasinya memang sangat terjal. Pak Eunjang juga memberikan penjelasan : ” jaman saya kecil pak, sering suara sungai terdengar dengan jelas dari rumah, waktu itu kedalaman sungai Ciseke ini di beberapa tempat cukup dalam; dan kalau musim hujan menjadi berwarna coklat membawa butiran tanah. Sebelum kita berladang di hutan petak 73, 18 dan 19, daerah itu juga sudah ada erosi. . . ”. Sekarang dengan adanya pembukaan pertanian di daerah atas, terjadinya erosi semakin parah.
Sekitar 1 jam perjalanan akhirnya rombongan sampai disuatu reservoar yang cukup luas, yang menurut info dari pak
Eunjang, dimiliki oleh pak Dedi yang semalam juga ikut dalam pertemuan. Anak‐ anak kemudian diijinkan berenang, dan langsung mereka mencopot pakaian semua, untuk berenangnya. Sambil menunggu anak anak berenang, diskusi dilanjutkan sambil melihat pemandangan ke arah petak 73, yang di beberapa tempat terlihat ada daerah terbuka yang menurut info pak Eunjang , yang membuka daerah tersebut bukan dari kelompok eks penggarap petak 73 sebelumnya. Mungkin penduduk yang menggarap melihat bahwa daerah petak 18 dan 19 tetap dilakukan aktivitas peladangan
11
dan sepertinya dibiarkan oleh petugas Perhutani, ehingga mereka lalu menggarap lahan yang pernah ditinggalkan tahun 2006 – 2007 itu. Selain itu yang selalu dianggap pembenaran dan rasa ketidakadilan ole arga adalah diberikanny dalam bentuk ”sewa” suatu lahan eks perkebunan yang sudah habis Hak Guna Pakai dan dikembalikan ke Perhutani , kepada pengusaha besar, PD Hikmah seluas 25 Ha. Yang lokasinya berbatasan langsung dengan lahan milik penduduk. Lahan 25 Ha tersebut ditanami dengan kentang. Perjalanan diputuskan tidak dilanjutkan ke danau Aul karena waktu sudah semakin siang, sementara mobil harus menjemput tim susur sungai ke arah Cihawuk. Perjalanan kemudian dilanjutkan menuju desa Tarumajaya dengan menembus jalan setapak ke arah bekas jalan perkebunan. Sambil menunggu jemputan kendaraan, rombongan melihat aktivitas di Tarumajaya seperti pengangkutan hasil panen pertanian, jual beli barang pokok, aktivitas pembersihan kandang sapi. Setelah rombongan membersihkan kaki dari lumpur , kemudian perjalanan dilanjutkan kembali ke desa Cibeureum, menjelang masuk desa Cibeureum, rombongan berpisah dengan kang Dudung yang masih ada kegiatan dengan tamu yang akan datang dari IPB Bogor. Setelah mampir sebentar di daerah pasar , perjalanan dilanjutkan kembali menuju titik penjemputan tim susur sungai ( Asep dkk ) di jembatan Cihawuk. Sambil menunggu tim susur sungai yang belum datang, dilakukan pengamatan di sekitar jembatan, ada aktivitas pengambilan batu ( setelah sebelumnya dilakukan pemecahan dari batu besar menjadi ukuran yang lebih kecil ) kemudian diangkut menuju truk yang sudah ada di dekat jembatan, kemudian ada aktivitas pengangkutan hasil pertanian, ada truk besar yang menunggu di dekat jembatan
s
h wa
Aktivitas pengambilan batu kali di jembatan Cihawuk
12
emudian datang beberapa kendaraan pick up yang lebih kecil dengan muatan hasil pertanian yang lalu dipindah ke truk besar. Sekitar jam 14.00 , tim susur sungai sudah sampai di jembatan, setelah istirahat ebentar , dengan mengendarai 2 mobil, perjalanan dilanjutkan menuju tempat makan didaerah ebelum Maruyung. Sambil makan dilakukan diskusi mengenai hasil baik di tim yang ke Ciseke dengan tim susur sungai. Tim media yang ikut juga dengan semangat menceritakan selama mengikuti perjalanan an berharap mendapat tugas lagi dari kantor redaksi untuk meliput kegiatan pendataan yang dilakukan
oleh Ekspedisi Citarum Wanadri. Selama perjalanan pulang, anak anak tertidur pulas, mungkin kelelahan
erupakan perintis kegiatan penyusuran Citarum dari Wanadri . Berbekal perahu karet dan minimnya pengetahuan merka mulai melakukan penyusuran kegiatan tersebut selama kurang lebih sebulan, dan
ng masuk Jatiluhur ( dimana di tahun 1969 – 1970‐an ; waduk Cirata belum dibangun ) , dikarenakan perahu masuk jeram yang dahsyat dan menjungkirbalikkan isi perahu. Maka isi
dan tim darat dengan jumlah orang sekitar 35 orang , sekitar jam 11 an dilakukan persiapan akhir setelah bendungan kecil. Level air terlihat lebih tinggi dari biasanya, tetapi
k
ss
d
karena sejak pagi sudah berlarian dan melakukan perjalanan menuju reservoar di atas desa Tarumajaya.
Rafting di Hulu Citarum
Bagi Adityawarman dan Popo Kramadibrata ( keduanya berusia diatas 60 tahun ), kegiatan menyusuri Citarum di daerah hulu sepertinya mengingatkan mereka akan peristiwa 40 tahun yang lalu ketika mereka bersama Salmon, dr. Asmardin dan Yayak ’Kuya’ menyusuri pertama kali Citarum. Mereka m
sempat terhenti menjela
perahu berupa perbekalan, dokumentasi selama kegiatan penyusuran tertelan air Citarum, dan perahu mengalami kerusakan yang cukup parah. Setelah melakukan konsolidasi di kota Purwakarta, mereka kemudian melanjutkan perjalanan penyusuran Citarum menggunakan perahu penduduk sampai menuju muara Citarum ( Muara Bendera ). Cerita ini didapatkan langsung dari pelaku sejarah saat itu yang di tahun 2010 ini melakukan penyusuran kembali di hulu menggunakan perahu karet ( River Boat ) yang didesain khusus untuk arus deras.
Tanggal 30 Januari 2010, tim dari Jakarta dan dari Bandung , bersepakat untuk ketemu di Ciparay ( kota kecamatan di sebalah selatan timur dari kota Bandung ), sementara tim advance yang berangkat lebih awal dengan membawa 2 perahu serta menjemput teman teman dari Garda Caah Majalaya sudah sampai di lokasi start di bawah dari kawasan wisata kebun strawberry ( dibawah daerah Pacet ). Lokasi start berjarak kira kira 4 – 5 km dari jembatan Cihawuk ke arah hilir. Setelah perahu siap difungsikan, dan semua tim baik yang di perahu
masih masuk toleransi untuk bisa diarungi. Rombongan di air dibagi kedalam dua perahu, dengan kapten masing masing Terry dan Pipin. Saya mendampingi kedua orang perintis Citarum, Adityawarman dan Popo bersama tim media, sementara group lainnya juga diisi oleh sebagian dari tim media dan anggota Wanadri yang masih muda.
13
Perahu sudah meny coklat, jeram pertama erbentuk tikungan, dan di jeram pertama ini sudah ada beberapa orang yang terlempar dari perahu. aya lihat kedua perintis Citarum meski sudah berusia senja masih terlihat tegar dan tenang. Jeram jeram berikutnya dengan susah payah berhasil dilalui. Beberapa kejadian perahu tersangkut di bebatuan dikarenakan terlambat mengantisipasi jalur yang harus dilalui. Istirahat sejenak di daerah yang cukup landai, terjadi pergeseran personil yang pindah perahu. Dehidrasi mulai terasa dan dilawan dengan minum air mineral yang dalam beberap ke anggota tim. Sekitar 2 jam, perahu
Rafting di hulu Citarum
usuri Citarum dengan arus yang cukup deras berwarna bS
a botol dibagikan meratakemudian menepi di sebelah kanan sungai, karena sebentar lagi akan masuk turunan di desa Sukarame berupa bendungan dengan ketinggian 2 meter kurang. Berbagai persiapan dilakukan, para fotografer mengambil sudut yang strategis , beberapa anggota tim tidak ikut turun di bendungan tersebut, diputuskan hanya satu perahu yang menuruni bendungan tersebut. Setelah ditunggu cukup lama, perahu tersebut akhirnya muncul dan memasuki bendungan dan di hempasan pertama 3 personil memutuskan keluar dari perahu menuju tepian, sementara 2 orang masih ada di perahu, setelah bersiap, perahu kemudian melewati turunan berikutnya dan memasuki daerah penyempitan yang menyebabkan arus semakin deras. Perahu kemudian dievakuasi didaerah sebelum Wandir oleh tim darat. Sementara itu kedua perintis Citarum ( Adityawarman dan Popo ) bersama beberapa orang dievakuasi menuju ke Cisanti untuk dilakukan wawancara oleh tim media. Dari wawancara tersebut juga terungkap bahwa, Adityawarman juga bekerja di tahun 1980an di Bendungan Saguling bersama tim Konsultan dari Perancis, dan terlibat dalam pembangunan bendungan Cirata di tahun 1983 – 1985.
Jalur selanjutnya untuk rafting ini kemudian dilanjutkan di waktu lainnya oleh Tim Arung Jeram gabungan sampai ke Wandir ( berupa bendungan ) di desa Maruyung. Kondisi Wandir yang merupakan bangunan peninggalan jaman Belanda, diperkirakan dibangun di tahun 1907 an , dan baru mengalami kerusakan ketika terjadi banjir besar sehari sebelum dikunjungi oleh Tim dari Ekspedisi Citarum Wanadri, pada tanggal 20 Maret 2010. Terlihat beberapa batu kali di bendungan yang terkelupas dan
14
rusak akibat derasnya terpaan air Citarum. Dalam semalam, penduduk yang mengumpulkan pasir dari pintu air Wandir yang mengarah ke Ciparay sudah mendapatkan lebih dari 20 kubik pasir, belum dengan batu kali yang mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi.
Kiri : pintu air Wandir ke Ciparay, sudah diambil pasirnya ; Kanan : jembatan di Wandir yang mengalami kerusakan setelah banjir tanggal 19 Maret 2010
Atas : Banjir 19 Maret 2010 berhasil menerobos barikade yang dibuat masyarakat Balekambang Bawah : bekas sampah yang teringgal di bambu
15
Efek dari banjir besar pada tanggal 19 Maret 2010 ini ternyata juga sampai ke daerah Majalaya. Di Balekambang dan daerah sebelumnya yang dikenal sebagai penghasil pasir dan batu, ternyata banjir ini isa menerobos tumpukan karung pasir yang sudah disediakan oleh penduduk dan masuk ke beberapa
rumah p er, dan banjir tersebut datang mulai lam lalu surut sampai besok aginya . Didaerah sebelum Balekambang, banjir menyebabkan rusaknya beberapa sawah dan jalan
daerah
Tumpukan pasir disebelah jembatan Majalaya, hasil dari pengerukan Citarum
ontributor Penulisan Segmen 1
okumentasi : Adi M; Engkan M; Asep Syaefuddin; Bunga Safari; Aunurran W ; Maya ; Abrar Teks : Asep Syaefuddin dan Abrar Prasodjo
benduduk dengan ketinggian air bervariasi dari beberapa centimeter sampai yang 1 met
sore hari dan puncaknya pada jam 22 mapyang tergerus oleh derasnya air Citarum. Sampah sampah yang terbawa dari hulu terlihat tersangkut di cabang cabang pohon bambu. Dan bagi penduduk di Balekambang yang menggantungkan nasib dari penggalian pasir, banjir juga berarti tersapunya kumpulan pasir yang sudah diambil beberapa waktu sebelumnya yang disimpan oleh penduduk di suatu lapangan di pinggir jalan besar, menunggu giliran pembeli yang datang dan membawa pasir tersebut dengan truk.
K
D
16
LAMPIRAN
TULISAN 2
KEGIATAN DI SEGMEN 4
( Batujajar, Bantar Caringin, Muhara, Citembong, Cirata,dan Jatiluhur )
Bendungan Cirata ‐ Waduk Jatiluhur
Secara visual air buangan waduk Cirata berwarna coklat, tumbuhan di bukit-bukit sekitar berwarna hijau subur. Tak jauh dari bagian bawah bendungan, telah terlihat kegiatan masyarakat setempat mengambil kayu-kayu dari sekitar dan mengolah ladang mereka. Hampir setiap kilometer pada sungai tersebut ada nelayan yang memasang jala selebar sungai sepanjang hari dan secara berkala mememeriksa apakah ada ikan yang tersangkut pada jalanya.
Gambar :
Bagian bawah bendungan Cirata
Gambar :
Aktifitas perladangan
Secara umum lingkungan sepanjang sungai antara bendungan Cirata dan waduk Jatiluhur masih asri. Tidak ada buangan yang berbahaya maupun beracun yang masuk ke sungai. Namun tampak disana-sini sampah organik sebagai dampak dari aktifitas perladangan, bertebaran di badan sungai.
Hampir semua kegiatan disekitar sungai adalah kegiatan pertanian dan perikanan.
Gambar :
Sampah organik dari aktifitas peladangan
Menjelang masuk daerah waduk jatiluhur, warna air berubah dari coklat menjadi hijau dan tercium bau. Juga terdapat daerah yang dangkal, apakah sebagai akibat pendangkalan (?), perlu pengamatan lebih jauh, yang jelas kondisi ini menyebabkan beberapa kali RIB (perahu motor) harus berjalan secara perlahan. Teramati semakin banyaknya nelayan yang menangkap ikan dan juga semakin banyak ladang-ladang terutama di pinggiran sungai yang morfologinya relatif datar. Didaerah sekitar tersebut, teramati pula lokasi
1
yang telah dapat dimasuki oleh truk besar melalui jalan tanah untuk mengangkut hasil budi daya masyarakat setempat, yaitu ikan, termasuk juga yang berasal dari peternakan ikan dengan jala apung serta hasil ladang dari sepanjang aliran sungai.
Dari informasi masyarakat, ternyata di beberapa tempat, sebagai contoh di desa Parung Banteng,sering terjadi kekurangan pasokan air bersih dan listrik. Ini cukup ironis mengingat tempat tersebut dekat dengan sumber air dan sumber pembangkit tenaga listrik.
Gambar :
Aktifitas penampungan dan jual-beli hasil budi daya masyarakat sekitar sungai
Gambar :
Aktifitas penangkapan ikan dengan menggunakan perahu dan kecrik
2
Waduk Jatiluhur
Secara visual kondisi lingkungan waduk Jatiluhur masih terlihat baik. Bukit dan hutan disekelilingnya masih terlihat hijau. Walaupun di beberapa tempat sudah terlihat pembukaan lahan, seperti di bukit sebelah utara desa Madang, Cikahuripan. Seperti juga di daerah hilir Bendungan Cirata, hal ini pun harus segera mendapat perhatian dari aparat setempat dan melakukan kontrol, jika tidak ingin kondisi ini berlanjut dan berkembang secara berlebihan, yang dapat mengakibatkan timbulnya erosi dan akhirnya pendangkalan waduk Jatiluhur.
Kondisi air waduk Jatiluhur sendiri hijau tua dibagian tengah dan agak kecoklatan dibagian pinggir. Hal ini mungkin disebabkan oleh banyak aktifitas di wilayah pinggir, seperti untuk wisata air, olah raga, jala apung, dan pencarian ikan dengan menggunakan perahu kecil dan jala oleh nelayan setempat.
Untuk mendukung aktifitas masyarakat, terdapat beberapa dermaga, yang juga sekaligus merupakan tempat wisata. Di sekitar dermaga juga ada beberapa hotel untuk mendukung kegiatan wisata daerah Jatiluhur, juga tempat bersandarnya perahu, baik untuk kegiatan wisata maupun olahraga air.
Gambar : Waduk Jatiluhur, tampak dari salah satu dermaga
Yang juga menonjol di waduk Jatiluhur adalah aktifitas peternakan ikan denganmenggunakan jala apung. Kumpulan jala apung, seperti perkampungan tersendiri. Konon ada sekitar 13.600 petak jala apung disana. Jala apung-jala apung itu membentuk blok dan koridor, dimana setiap bloknya terdiri dari beberapa ratus petak, yang setiap ujungnya biasanya ada rumah, atau paling tidak ada pos penunggunya. Luas dan jumlahnya, malah melebihi besarnya kampung di daratan sekitar Jatiluhur. Sebagian besar jala apung ini menduduki wilayah barat waduk jatiluhur, melebar samapi ke tengah danau.
Gambar
Perkampungan jala apung
Berdasarkan obrolan dan diskusi dengan penduduk setempat, baik itu para motoris perahu di daerah wisata, maupun karyawan jala apung atau bahkan pemilik salah satu jala apung disana, diperoleh informsi bahwa mayoritas pengusaha jala apung adalah pendatang, bahkan ada yang dari Kalimantan. Seperti yang terjadi di
3
komunitas bisnis yang lain, etnis Cina menjadi mayoritas, dan penduduk lokal banyak yang hanya menjadi penonton. Hal ini terjadi karena pendatang relatif memiliki dukungan modal yang kuat. Yang menjadi karyawan pun, yang bertugas untuk menjaga dan member pakan ikan, banyak juga yang berasal dari pendatang.
Bisnis jala apung terbukti menarik, buktinya terus berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir ini. Sehingga tanpa kontrol yang ketat akan terjadi “over populated”, yang akan merugikan semua pihak karena akan melebihi kapasitas daya dukung waduk, jumlah kotoran ikan dan sisa pakan mengurangi kualitas air yang dapat menyebabkan kerusakan peralatan pembangkit tenaga listrik. Oleh karena itu diperlukan kerjasama antara pihak-pihak terkait seperti Pemda setempat, Dep pertanian & perikanan, PJT-2 sebagai badan pengelola Jatluur, PLN, dlsbnya.
Di antara dermaga-dermaga itu ada dermaga yang namakan sebagai dermaga “Service”, yang merupakan titik simpul kegiatan ekonomi perikanan. Dari tempat ini lah ikan-ikan hasil Jatiluhur dijual keluar dan di distribusikan ke daerah lain.
Di tempat lain juga ditemukan tempat-tempat wisata lokal, yang perlu penanganan yang baik sehingga bisa memberikan kontribusi maksimum bagi perekonomian penduduk setempat, seperti di desa Madang, Cikahuripan. Namun ironisnya di tempat yang berdekatan juga terlihat usaha pembukaan lahan, terlihat dari gundulnya bukit diseberang desa Madang.
Bendungan Saguling – Bendungan Cirata
Pendataan di segmen 4 jalur Saguling – Cirata ini dilakukan dengan melihat kondisi di sekitar daerah latihan Kopassus di Pusdikpassus Batujajar, didaerah bernama Manglid. Lokasi Citarum ini sejak beberapa tahun lalu sudah tidak dilakukan latihan air oleh Kopassus dikarenakan kualitas airnya yang sangat buruk. “kita perhatian pada nasib anak didik kita, jangan sampai terminum air yang tidak baik itu “ : kata Kapten Ucun, yang merupakan perwira pelatih di Pusdikpassus. Kemudian dengan perkembangan seperti itu, maka latihan di air bagi personil Kopassus dilakukan di daerah Banten, di Cirata. Dari wawancara dengan penduduk yang berprofesi sebagai perahu penyeberang antar kampung di depan Manglid, disebutkan terutama di musim kemarau, ketika pasokan air dari atas berkurang maka didaerah tersebut akan tercium bau busuk dan warna air akan menajdi hitam. Sumber msalah itu diduga oleh tukang perahu tersebut selain yang berasal dari atas ( hulu/ Bandung ) juga dari kawasan industri di dekat Batujajar, dimana berdiri industri tekstil, farmasi, makanan dan sebagainya. Padahal kawasan industri ini juga berdekatan dengan suatu kompleks perumahan yang mewah, Bumi Parahyangan.
Selanjutnya tim memutar ke bagian bawah dari bendungan Saguling, karena untuk data penggunaan air di Saguling sudah didapatkan dari berbagai wawancara dan data sekunder. Dari wawancara tersebut didapat bahwa usaha beternak ikan dalam karamba , dimana pernah mengalami jaman ke emasan di awal tahun 1990‐an , sekarang sudah mengalami penurunan yang significant, hal ini disebabkan terjadinya beberapa kali gagal panen akibat fenomena Upwelling, kualitas air yang diterima Saguling, serta terjadinya pendangkalan dikarenakan banyaknya partikel tanah yang terbawa oleh arus air, menyebabkan kekeruhan semakin berat.
Untuk outlet dari Saguling sebenarnya merupakan transmisi yang di bawa oleh jaringan pipa pejal yang terisi air untuk menggerakkan turbin air , dan pipa ini ditaksir sepanjang 2,5 km menuju Power House yang berdekatan dengan outlet Saguling. Sementara jalur aslinya sungai Citarum ini di Citarum lama mengalami kekeringan dan
4
di beberapa tempat ditemukan berbetuk rongga gua. Padahal di jaman sebelum bendungan Saguling di bangun ( sekitar tahun 1983 – 1984 an ) , ada lokasi yang dikenal oleh penggiat Olah Raga Arus Deras (ORAD ) memiliki riam yang sulit ditaklukkan. Ada 3 nama yang sampai sekarang dikenal masyarakat setempat seperti Sanghyang Poek, Sanghyang Tikoro, dan Sanghyang Tikenit.
Gambar
Lokasi Manglid ‐Saguling( Kiri ) dan perjalanan menuju kampung Citembong ( Kanan )
Apabila dilihat dari hulu ( dari arah Bandung ) , urutan tempat rongga gua di Citarum lama di sekitar Saguling selatan yang sudah tidak dilairi air Citarum karena dibendung menuju bendungan Saguling sekarang adalah yang pertama Sanghyang Poek, merupakan gua bawah tanah, dengan kondisi sekarang sudah tidak dialiri air Citarum karena sungai yang lama di belokkan masuk ke bendungan Saguling. Sebelumnya , aliran air Citarum lama masuk ke mulut gua ini, sekarang aliran air berasal dari rembesan air dari atas, dan mengaliri bekas ”under cut ” . Tetes air diantara stalaktit dan stalagmit ini berwarna jernih, dan proses geologi yang terjadi didalam gua ini berlangsung ribuan tahun, sehingga perlu dijaga keasrian lokasi, karena kalau sempat dihancurkan oleh tangan jahil dalam waktu sesaat maka terhenti lah proses alami yang sudah berlangsung cukup lama itu.
Selanjutnya ke hilir berjarak sekitar 475 meter dari Sanghyang Poek, bekas aliran Citarum lama akan masuk ke suatu rongga gua juga dimana di dalamnya berasal dari percabangan dua jalur, bernama Sanghyang Tikoro. Di jaman ORAD dilakukan sebelum pembangunan Saguling, daerah ini termasuk angker, karena muncul suara derasnya aliran air yang masuk ke lorong ini. Saat ini masih ditemukan aliran air sungai yang kotor bercampur dengan aliran air yang berasal dari Sanghyang Poek. Dari catatan sejarah dan geologi, banyak ahli yang menduga bahwa di Sanghyang Tikoro ini dulunya merupakan salah satu tempat bobolnya danau Bandung Purba, di ketinggian 300 – 400 meter dpl. Tidak jauh dari lokasi ini terdapat pasir yang dikenal penduduk setempat dengan nama pasir Sanghyang Tikoro dengan ketinggian 392 meter dpl.
Semakin ke hilir , keluar dari Sanghyang Tikoro berjarak sekitar 545 meter dpl., akan ditemui , sungai bawah tanah bernama Sanghyang Kenit. Di dalamnya bisa ditemukan aliran air sungai yang cukup tenang, dan di mulut gua terdapat reruntuhan bongkahan batu kapur yang menyebabkan aliran air sungai membentuk leuwi yang cukup dalam. Ketiga Sanghyang ini letaknya tidak terlalu jauh dari bendungan Saguling, dan dapat dijadikan
5
geowisata untuk menjelaskan proses geologi dan salah satu tempat yang menajdi bagian tepi dari danau Bandung Purba. Wisata kebumian ini sekarang sudah dijalankan oleh teman teman dari KRCB dengan nama Geotrek, yang dipelopori oleh T. Bachtiar dan Budi Brahmantyo.
Tidak jauh dari outlet Saguling bisa ditemui lokasi yang akrab bagi penggiat ORAD, yakni Bantar Caringin, yang dari 5 kali kunjungan tim Ekspedisi Citarum Wanadri, ada kejadian banjir besar tanggal 19 Maret 2010 yang menyebabkan jembatan di kampung Bantar Caringin ini putus dan menyebabkan terisolasinya daerah diseberangnya yang merupakan wilayah administratif Cianjur. Disekitar daerah ini ditemukan beberapa riam dengan tingkat kesulitan yang rendah. Setelah sungai berkelok membentuk huruf S, akan dijumpai sungai Citarum yang relatif tenang, hal ini akan terus terjadi sampai ditemukan Bendungan Cirata. Daerah yang akan dilewati antara lain jembatan Citarum lama , jembatan Citarum baru, jembatan rel KA, dan di Muara Citembong akan ditemui hamparan luas eceng gondok yang menurut informasi penduduk, memang sengaja dipasang sebagai penyaring agar tidak masuk ke Cirata. Panjang lintasan Citarum yang dipenuhi oleh Eceng Gondok ini sekitar 4 km .
Sungai Citarum memiliki sejarah yang penting bagi perkembangan ORAD di Indonesia, dimana pertama kali diselenggarakan Citarum Rally I , bulan April tahun 1975 yang saat itu memakan korban adanya peserta yang tewas dan seluruh peserta mengalami perahu terbalik dikarenakan ganasnya riam yang dihadapi. Lomba ini dimulai dari pertemuan anak sungai Citarum dekat jembatan Lama dan direncanakan finish di Jatiluhur, dibagi dalam 3 ettape. Meskipun terjadinya kecelakaan dan setelah berdiskusi dengan panitia, penyelenggara dan peserta, akhirnya lomba dilanjutkan kembali secara simbolis dengan meniadakan etape 2, dan semua peserta ditarik menggunakan perahu motor untuk sampai ke lokasi Finish di Bendungan Jatiluhur. Wanadri merasakan bahwakejadian ini merupakan pelajaran pahit dan bertekad untuk memperbaiki di masa depan, sehingga dengan dukungan berbagai pihak maka diselenggarakan kembali Citarum Rally II tahun 1977 , dengan lebih menekankan terhadap aspek safety serta lebih menyiapkan calon peserta untuk memperdalam pengetahuan dan skill mengenai ORAD. Lomba berjalan dengan sukses dan aman, meskipun kembali terjadi korban dari penonton yang tenggelam setelah lomba usai. Sehingga dalam perjalanan kegiatan olah raga arus deras ini maka kedua kegiatan rintisan di Citarum ini dijadikan tonggak awal berkembangnya ORAD di Indonesia. Sampai sekarang melalui Federasi Arung Jeram Indonesia ( FAJI ) , sudah dilakukan berbagai lomba ORAD dengan beberapa kategori di Citarum , dengan pusatnya di Bantar Caringin yang terletak di sebelah hilir dari outlet power house Saguling.
Kendala yang selalu ditemui oleh penggiat ORAD adalah masalah kualitas air sungai yang di waktu tertentu menyebarkan bau busuk dan berwarna pekat serta disertai kulit yang terkena air akan mengalami gatal‐ gatal. Perlu dilakukan sinergi kerjasama yang lebih baik antara badan pengelola Bendungan Saguling dengan penggiat ORAD yang akan berlatih maupun berlomba di Bantar Caringin. Karena kegiatan ORAD ini baik sebagai wisata maupun sebagai olah raga, memiliki efek yang positif bagi perkembangan ekonomi masyarakat setempat. Para pelaku bisnis di Bantar Caringin, salah satunya adalah Yayasan Kapinis, juga mempekerjakan masyarakat setempat sebagai operator ORAD , dan pemasok kebutuhan logistik kegiatan seperti tempat menginap dan konsumsi selama mengikuti kegiatan.
Dekatnya lokasi Bantar Caringin dari Outlet Saguling , juga harus diwaspadai dari segi Pengelolaan Bencana . Hal ini dibuktikan, ketika tanggal 19 Maret 2010, kawasan Bendungan Saguling mengalami intensitas hujan yang
6
terus menerus selama beberapa hari dan Bendungan juga menerima luapan air dari daerah Bandung, maka dilakukan upaya membuka saluran air agar tinggi muka air di Saguling bisa dalam batas yang masih dapat ditolerir. Akibat dibukanya sebagian pintu air, menyebabkan roboh dan hanyutnya jembatan besi di Bantar Caringin. Rumah yang ada di kampung tersebut terendam setinggi 1 meter lebih dan penduduknya diungsikan ke tempat yang lebih aman. Kejadian ini menyebabkan terisolasi penduduk yang tinggal di seberang Bantar Caringin yang masuk ke dalam wilayah kabupaten Cianjur. Rusaknya jembatan dan terisolasi penduduk akibat luapan air Citarum ini sempat menjadi headline surat kabar dan media televisi, karena berlangsung dalam beberapa hari.
Gambar Aktivitas pengambilan pasir ( kiri ) dan Kegiatan pemecahan batu split di Kampung Muhara
Didaerah Jembatan lama Rajamandala, di pertigaan pertemuan anak sungai dengan Citarum, ketika dahulu dijadikan tempat start Lomba Citarum Rally, saat ini penduduknya hidup dari pertanian, dan sebagian menggantungkan pada pengambilan pasir dan batu kali. Di kampung Muhara misalnya, di depan rumah penduduk terdapat papan peringatan dari pengelola Bendungan Cirata yang melarang penduduk untuk mengambil pasir dan batu dari dalam sungai Citarum, tetapi kampung Muhara ini merupakan sentra penting kebutuhan pasir dan batu untuk pembangunan yang tidak hanya di sekitar daerah tersebut, karena truk yang datang mengambil kebutuhan ini bisa berasal dari Bandung maupun dari Karawang dan Bekasi. Pekerjaan membelah batu kali yang masih berukuran besar menjadi lebih kecil menggunakan martil besi, dilakukan oleh warga termasuk ibu ibu dan remaja putri di halaman rumah sambil dengan mengasuh anak mereka. Sementara pengambilan batu dan pasir dilakukan menggunakan perahu ke bagian tengah sungai, yang biasanya dilakukan oleh paling sedikit dua orang. Dalam sehari, satu KK bisa mendapatkan Rp. 100 ribu sampai Rp. 200 ribu dari pasir dan batu.
7
Gambar Jembatan Baru Rajamandala ( kiri ) dan Jembatan Rel KA ( kanan )
Perjalanan berikutnya ke arah hilir ( menuju Cirata dari Saguling ) , setelah melewati di bawah jembatan lama, di kiri kanan sungai terdapat tebing tebing tanah yang cukup asri. Tak berapa lama perahu Tim Ekspedisi Citarum Wanadri sudah melewati Jembatan baru Rajamandala. Sebelah kiri terdapat air terjun sementara di sebelah kanan , dekat dengan jembatan Baru, terdapat lokasi istirahat yang sengaja dibangun oleh Jasa Marga . dan dilokasi itu juga Wanadri membangun tugu peringatan peristiwa Citarum di atas tanah seluas 1,5 x 1,5 meter persegi. Selama perjalanan bisa dirasakan dikiri kanan sungai merupakan daerah yang relatif terisolasi dan lalu lalang penduduk menggunakan perahu dengan membawa berbagai keperluan hidup. Tumpukan kayu yang sudah dibelah dengan rapi, yang akan digunakan sebagai bahan bakar masak di rumah banyak ditemukan dipinggir sungai. Setalh jembatan rel KA, ditemukan cabang sungai dari kanan yang menyebabkan aliran air menajdi keruh kecoklatan .
Perjalanan akhirnya terhenti di kampung Citembong, dikarenakan sungai Citarum dipenuhi dengan hamparan Eceng Gondok sepanjang 3 – 4 km sampai ke Cirata. Karena perahu tidak bisa melewati, maka perahu akhirnya menepi di sebelah kanan dan melakukan wawancara dengan beberapa penduduk yang kebetulan sedang berkumpul di ladang dekat sungai. Ada sekitar 16 orang berasal dari kampung tersebut yang dipekerjakan untuk mengambil hamparan Eceng Gondok tersebut, dengan dibayar upah kerja mereka harian dan diambil di kantor Cirata, diakhir bulannya. Proses kerja ini berlangsung cukup lama sudah 3 – 4 tahun, di saat awal, hasil kerja merka berupa kumpulan Eceng Gondok yang diangkat dari badan sungai, sudah ada yang menampung untuk dijadikan bahan pembuatan tas dan asesoris lainnya yang berbahan dasar Eceng Gondok yang dikeringkan . Tetapi setelah bisnis daur ulang ini meredup, pengusaha yang biasanya mengambil hasil kumpulan Eceng Gondok ini jarang datang , bahkan setahun terakhir ini tidak ada lagi yang mengambil. Hasil kumpulan yang mereka angkat dari air sebenarnya cukup besar sekitar satu orang dalam 20 hari bisa mengangkat 200 – 400 kubik Eceng Gondok. Tetapi hal itu masih kalah cepat dengan kedatangan Eceng Gondok dari Saguling, terutama saat terjadi banjir atau hujan besar. Keberadaan hamparan Eceng Gondok ini di mulut Cirata secara tidak langsung membantu pengusaha Jala Apung di Cirata, karena tertahannya di ujung Cirata menyebabkan kualitas air di areal jala apung menjadi lebih baik. Eceng Gondok dipercaya sebagai penyaring limbah yang berasal dari daerah hulu, ( Saguling dan Bandung ) .
8
Bendungan Cirata
Merupakan bendungan termuda di aliran Citarum ini , yang dibangun dari tahun 1984, kemudian dilairi air di tahun 1989. Persoalan utama yang dihadapi oleh Cirata adalah tingginya sedimentasi yang menyebabkan usia bendungan menjadi lebih cepat dari yang direncanakan. Sama seperti Bendungan Saguling dan Jatiluhur, sebagian besar area perairan di Bendungan banyak dilakukan usaha ekonomi berupa jala apung. Jumlah yang ada di Cirata masih lebih banyak dari yang ada di Saguling. Dari hasil wawancara dengan pelaku bisnis jala apung di Cirata, mereka menyebutkan bahwa resiko di Saguling lebih tinggi karena mendapatkan pasokan air dari hulu yang penuh dengan limbah, sehingga sering terjadi keracunan masal karena mutu air yang buruk. Sementara di Cirata merasa cukup aman, bahwa air yanng kotor tersebut dapat tertahan di Saguling, meski menurut mereka yang ideal adalah di Jatiluhur.
Fenomena Upwelling, dimana lumpur yang ada di dasar bendungan tiba tiba terangkat ke atas yang menyebabkan kandungan oksigen terlarut di dalam air menyusut drastis, menyebabkan terjadinya kematian massal pada ikan yang ada di permukaan. Fenomena alam ini sebenarnya di picu oleh perbedaan strata suhu air antara yang di permukaan dengan di dasar. Proses kesetimbangan energi bila selisih air permukaan dengan dasar cukup jauh sehingga terjadi arus vertikal. Pemicu lainnya adalah ketebalan substrat di dasar yang menyebabkan suhu di dasar menjadi lebih stabil cepat dingin, sehingga di awal bisnis jala apung , kejadian Upwelling sekali dalam setahun di bulan Desember/ Januari, dalam 5 tahun terakhir bisa terjadi 2 – 3 kali setahun. Meskipun dengan berkembangnya IPTEK, para pengelola jala apung ini sudah bisa mengantisipasi dengan melihat faktor suhu air dan tingkat kecerahan di bagian tengah kedalaman. Bila ditemukan gejala akan terjadi Upwelling, maka dilakukan pemanenan ikan lebih awal dari jadwal. Hal ini ditempuh agar tidak mengalami kerugian yang lebih besar karena terlambat mengetahui kapan terjadinya Upwelling.
Menarik untuk dibahas adalah mengenai komposisi pemilik jala apung. Ketika kasus daya dukung Bendungan mengalami penurunan dikarenakan jumlah jala apung terlalu banyak, maka yang dimunculkan adalah usaha ini merupakan padat karya dan dilakukan oleh masyarakat sekitar Bendungan. Meskipun dari hasil kunjungan lapangan menunjukkan kepemilikan sebailknya, dimana lebih dari 80 % dikuasai oleh pemodal besar yang berasal dari Jakarta dan juga daerah di luar pulau Jawa ( umumnya dari Kalimantan dan Sulawesi ). Kepemilikan oleh pemodal besar ini terjadi juga di Saguling dan jatiluhur. Hal ini harus dikaji lebih arif dikarenakan ada beberapa pihak yang dirugikan dengan berkembangnya bisnis jala apung ini, dan sebagian lagi ada yang hidupnya tergantung pada sukses tidaknya usaha jala apung, meski kemakmuran dari jala apung ini tidak hinggap pada penduduk lokal yang ada disekitar bendungan, karena lebih banyak ke pemilik modal dan pemasok utama pakan ikan , obat dan bibit ikan. Sementara biaya pemulihan lingkungan akibat bisnis Jala Apung di kawasan tersebut seperti sifat toksin dari sisa pakan, laju endapan organik di dasar bendungan serta sifat sisa pakan yang menyebabkan korosifitas pada benda benda di pembangkit yang terbuat dari logam, akan ditanggung akibatnya oleh pengelola kawasan dalam hal ini Jasa Tirta II dan PLN .
9
Tabel 1. Perbandingan Bendungan Besar di Citarum
BENDUNGAN JATILUHUR CIRATA SAGULING
TAHUN 1957 ‐ 1967 1987 1985
USIA WADUK ( THN ) 100 80 ( 60 ) 80 (53)
KAPASITAS TAMPUNG ( M3) 3500 JUTA 2165 JUTA 609 JUTA
LUAS (KM2) 83 62 53
KEDALAMAM MAX (M) 107 106 92
DEAD STORAGE (M3) 900 JUTA 79 JUTA 167.7 JUTA
LAJU ENDAPAN 1 mm/thn 3.24 mm/thn 4.2 JUTA kubik/thn
VOLUME ENDAPAN (M3) 500JUTA (2000) 62.8 JUTA (2000) 84 JUTA ( 2008 )
Sumber : Kompilasi data dari berbagai sumber ( 2010 )
Gambar Hamparan Enceng Gondok menjelang masuk Cirata ( kiri) dan Perkampungan Jala Apung di Cirata ( kanan )
Kontributor Penulisan Segmen 4 : Asep Syaefuddin, Bunga Safari, dan Abrar Prasodjo
Editor dan Tata Letak : Abrar Prasodjo
10
LAMPIRAN
TULISAN 3
KEGIATAN DI SEGMEN 6
( Muara Bendera, Muara Gembong, Pabayuran, Rengasdengklok, Tanjungpura, Karawang, Walahar,
dan Curug )
Bendungan Jatiluhur – Bendungan Walahar
Air sungai Citarum selepas pintu air bendungan Jatiluhur berwarna hijau tua, alirannya tenang. Di kiri‐kanan sungai tumbuh lebat rimbunan pohon bambu. Setelah bertemu dengan anak sungai Cikao yang melewati kota Purwakarta, warnanya berubah kecoklatan. Kira‐kira 1.5 km dari bendungan, disebelah kanan mulai terlihat pabrik berdiri megah, bercat biru, pabrik tesktil Indobarat. Selanjutnya masih pabrik tesktil, Pacific. Sementara di sebelah kiri masih didominasi oleh hutan pohon bambu. Selepas pabrik‐pabrik tersebut, di kiri kanan sungai mulai terlihat persawahan yang berselang‐seling dengan kebun palawija dan rimbunan pohon bambu. Sementara pada aliran sungai, dipinggir‐pinggirnya mulai ditemukan tumbuhan air eceng gondok ( Eichornia crassipes )dan rumput Cyperus alternifolia. Tumbuh suburnya kedua tumbuhan air ini merupakan indikator bahwa air ditempat tersebut memiliki kandungan logam yang relatif
cukup tinggi. Selain itu juga terlihat beberapa pipa instalasi serta bangunan gardu tempat pompa yang menunjukkan air sungai ini juga digunakan sebagai sumber air untuk keperluan industri. Seperti pada +/‐ km 4, terdapat instalasi penyedot air untuk keperluan pabrik pupuk Kujang.
Gambar Pabrik dipinggir sungai Citarum (terlihat tumbuhan eceng gondok yang subur di pinggir sungai)
Gambar Aktifitas penyusuran sungai dengan menaiki perahu, dimana di beberapa tempat kadang terpaksa harus menaikkan perahu
Pada lintasan ini juga terdapat jembatan gantung yang sudah tidak begitu baik, dengan ponton rusak yang teronggok sebelah kanan sungai. Juga kadang terlihat burung belibis putih terbang bergerombol dan hinggap di rimbunan pohon bambu.
Kira‐kira 6 km setelah bendungan Jatiluhur terdapat pintu air Curug‐Klari, penduduk setempat menyebutnya sebagai bendungan atau pintu air TB‐1. Bendungan ini selain untuk mengontrol aliran sungai untuk keperluan irigasi, juga dipergunakan untuk pembangkit tenaga listrik 2X1.3 MW. Di bendungan Curug inilah air Citarum sudah mulai dibagi, ke sebelah timur dinamai saluran air Tarum Timur yang diperuntukkan untuk pertanian di daerah Karawang bagian timur serta daerah Subang dan Indramayu, sementara yang ke sebelah barat menjadi Tarum Barat, dan diperuntukkan sebagai bahan air bersih bagi daerah Jakarta dan sekitarnya.
1
Gambar Bendungan Curug
Selepas bendungan Curug, aliran sungai tetap tenang, berwarna coklat, dan banyak sampah organik seperti potongan tumbuhan dan eceng gondok. Topografi di sebelah kann‐kiri sungai secara umum landai yang didominasi oleh persawahan dan kebun palawija penduduk. Pada lintasan ini banyak terlihat aktifitas penduduk untuk MCK (Mandi‐Cuci‐Kakus)
Di kilometer 5 setelah bendungan Klari, di Cigoong, terdapat peternakan ikan dengan Karamba. Tempat itu berupa cerukan sungai, disebelah kanan, keluar dari aliran utama sungai sehingga kondisi airnya tenang karena tidak dipengaruhi oleh aliran sungai. Airnya berwarna hijau tua, menunjukkan bahwa air di tempat tersebut ditumbuhi ganggang. Tempat itu dulunya merupakan bekas tempat galian pasir sungai.
Menjelang bendungan Walahar, disebelah kiri juga ada fasilitas olah raga air, yang memanfaatkan aliran sungai Citarum , dimana aktivitas olah raga air yang dikelola pemerintah Kabupaten Karawang dilakukan. Sementara selepas Cigoong, terlihat bagian belakang dari beberapa bangunan industri, yang sebagian besar tertutup rapat oleh pagar dan semak semak yang menjulang tinggi. Di pinggir‐pinggir sungai, di antara bangunan tersebut dengan badan sungai banyak terlihat beberapa gubuk dengan tumpukan‐tumpukan material padat disekeliling gubuk tersebut, terlihat seperti bengkel. Diduga tempat tersebut merupakan tempat penimbunan sampah dari industri. Namun disuatu tempat terlihat jelas usaha penimbunan sampah yang melibatkan beberapa alat berat, seperti dump‐truck, back‐hoe dan bulldozer .
Gambar Aktifitas penimbunan sampah industri di bantaran sungai Citarum
2
Bendungan Walahar adalah tempat mengontrol jumlah dan aliran sungai Citarum. Di tempat ini aliran air sungai Citarum di bagi, selain ke sungai Citarum itu sendiri juga ke saluran buatan Tarum Tengah yang kemudian dipecah menajdi dua menjadi Tarum Utara .
Walahar – Tanjungpura
Jalur ini merupakan jalur cukup panjang sekitar 30 km an yang di awal penelusuran yang dimulai dari Walahar ini akan membelah kota Karawang, meskipun di akhir perjalanan akan dijumpai pemandangan yang relatif monoton sebelum akhirnya memasuki kawasan industri di sebelah barat kota Karawang yang bernama Tanjungpura. Selepas bendungan Walahar, akan ditemui kawasan industri Klari, yang dipenuhi dengan pabrik keramik dan pabrik pembuat bahan dasar kimia industri . Route ini sebenarnya pernah dijelajahi oleh tim Ekspedisi Citarum Wanadri sebanyak dua kali, yakni dimusim kemarau dan musim hujan. Ternayata ada perbedaan yang significant berupa hilangnya bau busuk dan warna air sungai yang hitam pekat ( di musim kemarau ). Pada musim kemarau, perahu banyak mengalami hambatan, karena menemui dasar sungai yang dangkal, kurang dari 50 cm , dan akhirnya route ini tidak bisa diselesaikan dengan sempurna karena perahu mengalami kerusakan pada propeler yang sudah patah 4 kali terkena benda asing di dasar sungai. Perahu ditarik menjelang jembatan kuning ( jembatan gantung di dalam kota Karawang ). Selama penelusuran tim mendapatkan saluran buangan pabrik yang di badan sungai Citarum ditemukan banyak keong / siput air yang mati dan agak dihilir ditemukan ikan dasar sungai yang dikenal tangguh dan bisa hidup diperairan yang tercemar, mengapung disekitar aliran air yang berwarna kabut susu kecoklatan. Sampah tentu saja ditemukan dibeberapa tempat dengan kondisi yang memprihatinkan.
Sementara di musim hujan , route ini dapat dilalui dengan sempurna sampai Tanjungpura, dengan waktu tempuh mulai jam 11 siang dan berakhir jam 14.00. selain sampah ditemukan aktivitas pemulung yang setelah melakukan pemilahan barang, yang masih ekonomis dijual sisanya ditumpuk di pinggir badan sungai. Rumah Pemotongan Hewan ( RPH Karawang ) , yang dimusim kemarau mengeluarkan bau busuk dan daerah disekitarnya air tidak mengalir, tergenang dengan warna hitam pekat, hal ini tidak ditemukan di musim hujan. Debit air yang cukup besar menyebabkan tinggi muka air di daerah sekitar RPH naik sekitar 1 – 1.5 meter dibanding musim kemarau. Dan hujan sudah mengguyur kawasan ini sehingga di bagian belakang RPH terlihat bersih, dan beberapa lokasi ditemukan binatang yang mati, di perjalanan kedua tidak ditemukan.
Setelah melewati daerah jembatan gantung dan pabrik pulp dan kertas, tim mendapatkan suatu kawasan yang relatif tidak dihuni manusia , lebih alami, banyak pepohonan , dan kualitas air terlihat sepertinya sedang melakukan proses pemulihan diri ( Self recovery ). Hal ini ditemukan sepanjang sisa perjalanan dan cukup monoton sampai menjelang Tanjunpura, dimana terlihat aktivitas industri dan adanya instalasi pasokan air baku bagi PDAM Karawang. Setelah itu dijumpai beberapa jembatan termasuk rel KA, dan tim sudah ditunggu oleh tim darat dan itu berarti penelusuran route dari Walahar menuju Tanjungpura sudah selesai dilakukan oleh Abrar Prasodjo, Katya Gaus, Indera Helmi dan satu motoris dari Boogie.
3
Perjalanan Rengasdengklok – Tanjung Pura Perjalalanan dilakukan dengan melawan arus sungai, dilakukan oleh satu perahu motor dengan penumpang dua, yakni saya ( Abrar ) dan Gatot FX, sementara sebagai juru mudi adalah Awan dari crew Boogie. Saat itu, tanggal 24 Oktober 2009, sungai Citarum dalam kondisi surut, terlihat jelas di pinggir sungai ada batas antara saat Citarum meluap, saat normal dan saat surut. Perahu yang berangkat melawan arus ini bertolak belakang dengan rombongan lain yang menyusuri arus menuju Batujaya. Selama perjalanan , pemandangan sekitar sungai, didominasi oleh pertanian masyarakat secara berladang, terlihat juga bahwa masyarakat menggunakan air Citarum untuk mengairi ladang pertanian mereka, yakni dengan cara menggunakan pompa penyedot air, bahkan ada beberapa yang menggunakan pompa ini secara serial . Citarum yang dalam kondisi surut, menyebabkan petani harus menambah panjang selang untuk menjangkau badan air. Sesekali terlihat hewan hewan yang dipelihara penduduk dan dilepaskan di pinggir sungai seperti ayam, kambing, dan sapi. Setiap lintasan sungai selalu didapati adanya perahu tambang yang menyeberangkan selain manusia, bahan perdagangan dan pertanian juga menyeberangkan kendaraan seperti motor dan mobil. Usaha ini cukup menjanjikan, dari wawancara dengan pelaku bisnis Penyeberangan menggunakan tambang dan perahu ini , bisa balik modal dalam waktu kurang dari satu tahun. Umumnya modal yang disediakan untuk membuat 1 – 2 perahu , tali dan asesori lain sekitar 40 – 60 Juta rupiah, serta biaya operasional termasuk bayar ijin dan honor petugas yang menyeberangkan perahu, dapat tertutupi dengan cepat dikarenakan usaha ini dilakukan non stop selama 24 jam yang dioperasikan oleh 2 shift tim . Tarif yang berlaku untuk manusia adalah Rp. 1000,‐ sementara sepeda motor Rp 2000,‐ sementara mobil Rp. 10.000,‐ . Alat penyeberangan ini bekerja berdasarkan prinsip mekanik dan menggunakan arus sungai. Simpul, roda as, terkadang dengan dorongan bambu pada dasar sungai dan juga sudut kemiringan menyebabkan tenaga yang dikerahkan petugas tidak sebesar beban yang ada di atas perahu.
Gambar Perahu Tambang ( kiri ) dan melawan arus yang cukup deras ( kanan )
4
Selama perjalanan menuju Tanjungpura didapati ada 3 jeram kecil yang cukup deras arusnya sehingga perahu motor harus di tarik dan seluruh penumpang harus keluar dari kapal. Arus yang deras ini terlihat menggerus bagian pinggir sungai, sehingga nampak menjadi lebih luas. Di beberapa lokasi nampak para pemancing, baik yang secara profesional ( dilihat dari jenis alat pancing dan peralatan pendukung termasuk payung yang melindungi dari terik matahari ) maupun pemancing amatir dengan peralatan yang sederhana. Para pemancing tidak hanya dari kaum laki‐ laki, di beberapa lokasi ditemukan pemancing perempuan. Selama di perjalanan , kualitas air cukup homogen berwarna coklat, karena didominasi oleh pertanian dan jarang ditemukan pemukiman yang langsung dipinggir sungai, sehingga secara visual , Citarum tampak cukup bersih layaknya sungai sungai lainnya di pulau Jawa. Tetapi 2 – 3 kilimeter menjelang masuk Tanjungpura, nampak tercium bau yang kurang sedap, dan aliran air terlihat adanya busa. Sampah yang ikut mengalir bersama aliran air juga mulai banyak ditemukan . di beberapa lokasi mulai ditemukan aliran air Citarum yang nampak diam, bau busuk semakin menyengat, di kejauhan sudah terlihat bangunan bangunan pabrik dengan cerobongnya yang mengeluarkan asap. Sore hari, perahu berhasil merapat di bawah jembatan jalan raya Tanjunpura, didekat sebuah pasar, dan lokasi pendaratan perahu juga dipenuhi dengan kotoran manusia,, dipinggir sungai dan juga di darat sampai menuju perkampungan yang terletak diatas jalan menanjak. Dengan susah payah, 3 orang tersebut membawa perahu motor dan semua asesories nya menuju jalan aspal dan menunggu datangnya mobil jemputan. Badan terasa gatal dan bau kotoran, sehingga tim harus membersihkan di kamar mandi umum yang ada di daerah pasar tersebut.
Gambar Pompa air ( Atas kiri ) dan Pemancing perempuan ( Atas kanan ) Citarum juga berfungsi untuk MCK penduduk ( bawah )
5
Perjalanan Muara Gembong ‐ Rengasdengklok Penambang Pasir Hari ini, minggu 15 November 2009, saya ( Jumiko ) dan 4 teman termasuk motoris akan mencoba jalur "Up Stream" Muara Gembong ‐ Eretan 1 Rengasdengklok, sepanjang kurang lebih 60 km. Diawali dengan briefing dan pembagian tugas, selesai do'a bersama...saya dan team segera memasuki perahu karet berkekuatan mesin 25 PK dan tepat jam 8.15 perjalanan dimulai. Di awal perjalanan hampir tidak ada yang istimewa, seperti informasi awal yang kami dapatkan bahwa sepanjang kedua sisi sungai akan didominasi peladangan, perjalanan cenderung monoton di atas arus yang sedikit kencang akibat hujan semalam. Sesekali berjumpa dengan perahu yang sedang menarik kumpulan bambu dalam jumlah banyak. Tapi selepas kampung Puteran, tempat istirahat pertama setelah 2 jam pengarungan,mulailah team mendapat pemandangan yang agak mencolok mata. Di sisi kiri, pinggiran sungai berupa tebing2 terjal setinggi kurang lebih 5 meteran, terhampar belasan mesin penyedot pasir di bawahnya. Sementara di sisi kanan hampir tidak jauh berbeda, belasan mesin penyedot pasir juga terlihat bekerja.Hanya di kanan ini tidak terlalu bertebing karena pinggiran sungai landai, yang tercipta justru teluk2 kecil yang masuk ke sempadan sungai, sehingga bentang sungai jadi melebar.
Kegiatan penambangan pasir menggunakan pompa air Sepanjang 20 km perjalanan ke depan, penambangan pasir ini menjadi pemandangan yang mendominasi. Sampai akhirnya kami tiba pada sebuah pemandangan luar biasa, selepas sebuah kelokan besar. Di sisi kanan terhampar sebuah medan bukaan tanah yang cukup luas. Tampak 3 buah Back Hoe (Beko kata penduduk) sedang bekerja meratakan tanah persis di sepanjang sempadan sungai. Awalnya saya terpikir bahwa itu adalah proyek penanggulan DAS Citarum di kampung Cecendet (di akhir perjalanan, ternyata pemikiran ini salah sama sekali). Nama Cecendet sendiri saya ketehui secara tidak sengaja, karena selepas 2 km dari area bukaan itu perahu mati mesin karena kehabisan bahan bakar. Setelah berhasil menepi, team segera mencari bahan bakar sambil bertanya nama daerah tersebut. Perjalanan dilanjutkan setelah bahan bakar berhasil didapatkan, saya berkesempatan menjadi motoris sampai akhir perjalanan. Kurang lebih 45 menit kemudian tibalah kami pada titik akhir pengarungan di daerah eretan 1 Rengasdengklok, jam 14.00 setelah perjalanan yang hampir 6 jam ini. Perjalanan Subsegmen 6 Ekspedisi Citarum
6
Wanadri ini berakhir, tetapi cerita sesungguhnya tentang seorang tokoh setempat bernama Haji Yasin barulah dimulai. Orang Kaya itu Bernama Haji Yasin Dalam ekspedisi Citarum di segmen 6 ini, tanpa sengaja saya mendapatkan nama seseorang, tokoh setempat, yang sangat sohor. Haji Yasin...adalah nama yang cukup menggetarkan seantero daerah sepanjang pengarungan kali ini. Nama ini muncul ketika saya dan team tiba di akhir perjalanan. Sambil menunggu team darat menjemput, kami beristirahat di warung persis di ujung penyebrangan di sisi kiri sungai. Sambil comot sana comot sini mengangkat bala‐bala dan kawan2nya ke dalam mulut,meluncur pula tanya sana tanya sini sebagai agenda pengumpulan data. Hadir dalam kesempatan ini adalah tokoh "emak" pemilik warung,tokoh "mamang" penarik perahu yang sedang off, serta tokoh "engkong" pengguna setia sarana penyeberangan.(tokoh2 ini asli adanya, bukan tokoh fiktif dan rekaan). Pembicaraan dimulai dengan pertanyaan saya tentang daerah terbuka yang kami temukan tadi, "mak,di atas lagi bikin tanggul ya...?" ternyata yang langsung menimpali adalah si mamang "bukan...itu mah haji Yasin lagi bikin sawah baru!". Saya tertarik,"haji Yasin siapa mang..?" Tanpa diduga kali ini engkong unjuk suara dengan logat khasnya,"...ngomongin haji Yasin, keder kita mah...tanahnya dimana‐mana....hartanya bejibun...!". Saya semakin tertarik,"..orang kaya kong?" "Bukan kaya lagi, ape nyang disodorin dibeli dah..."kata engkong si mamang menambahkan,"...itu tanah yang disebrang juga punya haji Yasin...!" "Tanahnya ribuan hektar kali...!!"tambah engkong lagi (nah yang ini harus dibuktikan lebih lanjut). "Mang, tadi saya lihat banyak yang nambang pasir!" lanjut saya, teringat penambangan pasir yang kami temui tadi. "Iyaa..., itu juga punya haji Yasin.!"jawab mamang. Semakin penasaran saya dengan tokoh kita ini,"...kong, haji Yasin ini udah lama? rumahnya dimana..?" Engkong menjawab,"..uuudaah,..dari taun 60an, waktu masih make sepedah, blasak blusuk nyari tomat buat dijual lagi,..rumahnya tuh di Pabayuran..!" cerita engkong berlanjut,"..kita lama juga bareng haji Yasin, orangnya emang ulet.." (maksud engkong tentunya tangguh, bukan ulet sebelum jadi kepompong). "DPR kong?", "Bukan,...anaknya nyang DPR.." "Tapi dia pernah kepentok ama Bupati Kerawang!"tambah engkong, "...bekonya disita...disuruh nebus seharga bekonya,...tapi diantepin aja kagak ditebus‐tebus...,kagak berasa dia mah ilang duit segitu..!" Si mamang menimpali,"...kemaren juga didemo ama orang2 Bojong...sambil dibawain golok..!" "Kenapa mang..?" "Orang2 Bojong nggak mau tanahnya di beli haji Yasin..." Pembicaraan menarik tentang tokoh kontroversi ini terhenti setelah kedatangan kapiten Subur, yang kali ini bertindak sebagai "Non Playing Captain" alias kapten tak bermain yang tidak turun ke air. Selesai segala urusan finansial dengan emak pemilik warung,(yang terlibat obrolan sebatas " sabaraha sadayana mak..?")serta beres melipat perahu, berangkatlah rombongan via darat ke Karawang karena mendapat informasi team "down stream" (Mas Iwan Bungsu cs) mengalami masalah diperahunya, sehingga harus ditarik ke darat di daerah Karawang.
7
Cerita dipercepat...,setelah tiba di Bandung, kembali terpikir tentang Haji Yasin dari Pabayuran. Haji Yasin adalah kontroversi!! Di satu sisi Haji Yasin menunjukkan kehebatan perjuangan seorang manusia, dari "blasak blusuk cari tomat pake sepedah" sampai "kagak berasa ilang bekonya". Di sisi lain, Haji Yasin juga dianggap sebagai Batara Kala (tokoh pewayangan yang suka makan apa saja tapi tidak kenyang2)serta perusak lingkungan karena aktivitasnya itu. Buat kita sekarang,jangan terlalu cepat menjadikan Haji Yasin sebagai "public enemy" (termasuk haji Yasin‐haji Yasin lain yang bertebaran sepanjang DAS Citarum). Bukankah lebih tepat kita merangkul Haji Yasin dan merubahnya "from zero to hero", dari perusak lingkungan menjadi pahlawan lingkungan, mengingat "kemampuan hartanya", "kedekatannya dengan aparat pemda", serta "kekuasaannya terhadap rakyatnya"(bagaimanapun juga Haji Yasin pastilah memiliki kuasa ini atas orang2 di seantero daerahnya). Harus dicari pendekatan yang tepat untuk merangkul Haji Yasin ke pihak yang peduli akan perbaikan Citarum, atau paling tidak efek Haji Yasin terhadap lingkungan menjadi positif.
Antara Muara Bendera , Muara Gembong, dan Batujaya
Muara Bendera secara administratif masuk ke wilayah Kabupaten Bekasi, merupakan ujung dari sungai Citarum. Muara Bendera merupakan wilayah yang terisolasi dari ibu kota kabupaten, dan masyarakat setempat menggunakan transportasi air untuk menembus keterisolasian daerah tersebut dengan aktivitas perekonomian terutama menjual hasil tangkapan nelayan yang dijual ke daerah Jakarta ( Cilincing – Marunda ) yang juga melakukan pembelian aneka kebutuhan mereka untuk dibawa ke Muara Bendera. Daerah Muara Bendera tadinya merupakan daerah kosong, yang kemudian digunakan tempat singgah sementara beberapa nelayan asal Indramayu, Cirebon dan Tegal. Lambat ,aun kemudian pemukiman di muara Citarum ini berkembang, dengan cara membuka hutan mangrove yang saat itu masih luas. Alih fungsi hutan mangrove ke lainnya juga diperkirakan marak terjadi di pertengahan dekade 1980‐an ketika usaha pertambakan sedang ” booming ” . Untuk selanjutnya daerah pemukiman sementara ini yang sudah teraliri listrik dari PLN ini berkembang menjadi paling tidak ada 2desa definitif yang masuk dalam kecamatan Muara Gembong, yakni Pantai Sederhana dan Pantai Bahagia.
Gambar Muara Bendera merupakan tempat singgah nelayan asal Indramayu dan Cirebon
8
Mata pencaharian pokok masyarakat di muara Citarum ini adalah nelayan, dengan jumlah perahu yang ada diperkirakan mencapai 600 – 800 perahu yang dimiliki oleh beberapa orang kaya ( juragan kapal ) yang pengoperasiannya masih berdasarkan hubungan kekerabatan dan asal daerah yang sama . Hasil dari tangkapan di laut berupa ikan, udang, kepiting, kerang dan rajungan, yang kemudian ditampung oleh pedagang ”pengepul” yang selanjutnya mereka setorkan ke pedagang besar. Maka tak heran di sepanjang pemukiman di Muara Bendera ini banyak ditemukan lokasi lokasi pengumpulan yang ditandai dengan kotak kotak penyimpan dan bongkahan es yang siap diletakkan di hasil tangkapan untuk kemudian dibawa keluar dari Muara Bendera menuju pasar besar, yakni Jakarta. Untuk aktivitas ekonomi perdagangan ikan skala menengah dan kecil , dilakukan dengan pangsa pasar untuk kebutuhan setempat serta daerah – daerah sepanjang sungai Citarum menuju Karawang ( Batujaya, Rengasdengklok ) . Para pedagang ikan dan hasil tangkapan lainnya ini menggunakan kendaraan sepeda motor yang dibagian belakangnya di beri keranjang untuk memuat barang dangangan. Kesibukan di pagi hari , di Muara Gembong, selain ada pasar mingguan yang ramai di hari Selasa dan Sabtu, di hari hari lainnya selalu ditemukan transaksi perdagangan hasil tangkapan dari laut di pinggir jalan disekitar pasar sampai ke depan jalan kantor kecamatan Muara Gembong.
Hal menarik lainnya di segmen VI Ekspedisi Citarum Wanadri ini adalah adanya situs purbakala berupa kompleks candi yang sampai sekarang baru dua yang sudah di ekskavasi. Temuan Candi di daerah di Batujaya Karawang yang nampaknya bakal merupakan situs paling besar di Jawa Barat mempunyai hubungan yang erat dengan Prasasti Tugu, yaitu prasasti yang terdapat di Desa Tugu, dekat Tanjung Priok sekarang. Dalam Prasasti Tugu tersebut dinyatakan bahwa Raja Purnawarman memerintahkan untuk menggali dua kanal, yaitu Candrabaga dan Gomati, di mana kedua kanal tersebut alirannya terlebih dahulu dibelokkan ke sekitar istananya dan kemudian dialirkan kembali ke muara.
Panjangnya kanal tersebut setelah digali sejauh 6.122 tumbak, oleh Prof. Dr. Poerbatjaraka diperkirakan panjangnya 11 km. Jika perkiraan Purbatjaraka ini digunakan sebagai patokan dalam menelusuri bekas reruntuhan keraton Tarumanegara, maka situs Batujaya tersebut merupakan lokasi yang paling tepat untuk diasumsikan sebagai lokasi bekas keraton Raja Purnawarman karena jarak antara lokasi situs dengan Muara Bendera (tempat terpecahnya aliran sungai Citarum menjadi dua, yaitu yang menuju Muara Pakis dan yang menuju Muara Gembong) berjarak sekitar ±11 kilometer. Perkampungan yang terletak antara dua pecahan aliran Sungai Citarum sampai bibir Pantai Pakis dan Muara Gembong merupakan sebuah delta yang terus mengalami pendangkalan akibat kegiatan sedimentasi fluviatil/erosi yang dibawa oleh aliran Sungai Citarum.
Dugaan bahwa pantai purba tempat bermuaranya kanal/sungai Candrabaga dan Gomati yang digali oleh Raja Purnawarman terletak di Muara Bendera, berdasarkan pada kegiatan sedimentasi fluviatil (sungai) yang terjadi pada aliran Sungai Citarum. Dari arah hulu, aliran sungai membawa sumber‐sumber endapan seperti sampah dan lumpur yang kemudian membentuk delta pada Muara Bendera tersebut. Akibat sedimentasi fluviatil (sungai) yang terus menerus tersebut, telah memperbesar areal delta dan memecah aliran Sungai Citarum menjadi dua, yaitu yang menuju Muara Pakis dan yang menuju Muara Gembong sekarang. Penelitian lebih dari 20 tahun ini tentu telah menghasilkan beberapa kesimpulan sementara, yaitu : (1) situs ini berumur di ambang pra‐sejarah dan sejarah Indonesia (abad ke‐4 dan ke‐5 Masehi, saat ini batas pra‐sejarah dan sejarah Indonesia adalah tahun 400 Masehi), (2) Candi Batujaya terbuat dari batamerah dan mempunyai ciri‐ciri candi Budha, (3) tembikar dan manik‐manik yang ditemukan adalah dari masa Neolitikum, (4) votive tablets (semacam meterai) dari tanah liat bakar bertuliskan tulisan pendek dalam aksara Palawa .
9
Implikasi penemuan situs Batujaya ini sangat penting bagi perkembangan kepurbakalaan Indonesia, Jawa khususnya. Situs di pinggir Citarum ini menunjukkan bahwa masyarakat purbakala Indonesia telah cukup terorganisasi dan siap untuk meningkatkan peradaban.
Jarak antara Muara Bendera ke Muara Pakis sekarang sekitar 12 km dan yang menuju Muara Gembong kira‐kira berjarak 15 km. Penelitian geologi di daerah sekitar Muara Bendera mungkin akan memberikan jawaban yang lebih akurat tentang dugaan letak muara purba seperti yang tertulis dalam Prasasti Tugu. Dugaan bahwa kawasan Muara Bendera , Muara Gembong sampai Batujaya merupakan kawasan peradaban masa lalu di awal sejarah Indonesia, semakin kuat, karena ditemukan juga beberapa benda benda peninggalan masa lalu di daerah Cibuaya yang merupakan prasasti jaman prasejarah. Selain itu dengan melihat catatan perjalanan pengelana asal Cina dan India di awal masehi, dimana disebutkan di bagian utara jawa barat ini mereka juga berinterkasi dengan masyarakat yang sudah ada saat itu. Bukti lainnya yang menguatkan bahwa kawasan muara Citarum sudah ada aktivitas manusia terutama pelayaran dan perdagangan adalah ditemukan bangkai kapal di depan pantai utara Karawang , baik yang berasal dari Cina maupun jaman Belanda di saat saat awal dalam mendirikan Batavia.
Kompleks Percandian Batujaya Berada di dua wilayah administratif, Desa Segaran, Kecamatan Batujaya dan Desa Talagajaya, Kecamatan Pakisjaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Luas situs Batujaya sendiri diperkirakan Sekitar Lima Km2 adalah sebuah suatu kompleks sisa‐sisa percandian Buddha kuna yang terletak di Kecamatan Batujaya dan Kecamatan Pakisjaya, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Situs ini disebut percandian karena terdiri dari sekumpulan candi yang tersebar di beberapa titik. Dalam Radius lima km2 diperkirakan terdiri dari 24 lokasi candi, 13 lokasi berada di Desa Segaran dan 11 lokasi di Desa Telagajaya. Dari 24 lokasi ini, baru 10 lokasi yang digali dan diteliti dan baru 2 candi yang dipugar, serta baru satu yakni candi Jiwa yang sudah rampung, satunya lagi candi Blandongan belum rampung. Diyakini kompleks pencandian ini adalah berlatarkan agama Buddha. Situs percandian Batujaya ini diketemukan pada 1984 namun dipugar untuk pertama kalinya baru pada tahun 1996.
Kontributor tulisan Segmen 6 : Jumiko Yusuf, Asep Syaefuddin, dan Abrar Prasodjo
Editor dan Tata Letak : Abrar Prasodjo
10
Jala Apung dan Konflik Tata Guna Air di Jatiluhur
Oleh Erwin Fahmi *)
Tampaknya, hidup Sulis (36 tahun), seorang pemilik 16 petak jala apung di bendungan Jatiluhur, masih harus berjalan setapak demi setapak. Sampai kini, ia belum mampu menebar benih ikan meski jala apung telah dimilikinya sejak 6 tahun silam. Mahalnya harga bibit dan pakan ikan, ditambah risiko investasi yang tidak kecil, membuatnya harus cermat menghitung untung‐rugi investasi. Namun, ia tetap optimis: suatu hari nanti, dana dan pengetahuannya akan cukup untuk mengelola jala apungnya dengan semestinya. Untuk saat ini cukuplah ia hidup mengandalkan warung terapung yang dikelola bersama istri dan ketiga anaknya yang belum remaja.
Bendungan dan Jala Apung
Sulis jelas tidak sendiri. Sejak Jatiluhur dikenal sebagai tempat menebar jala apung pada awal 1990‐an, secara bertahap semakin banyak warga yang juga menebar harapan sama: bahwa setahap demi setahap mereka dapat memperbaiki hidupnya melalui usaha perikanan intensif itu. Bendungan adalah tempat yang ideal untuk mengusahakan jala apung: air tenang, dalam, kaya nutrien ikan, tempat relatif leluasa, dan tidak diperlukan investasi awal yang terlalu besar untuk memulai usaha. Bagi Sulis dan lainnya, usaha jala apung dan usaha‐usaha pendukungnya juga menawarkan banyak kesempatan kerja.
Perikanan jala apung di Jatiluhur merupakan usaha padat karya sekaligus padat modal. Di sana terlibat banyak pihak: pengelola perahu – yang mengantarkan anak Sulis dan pengguna jasa lainnya ke sekolah, pasar, atau ke tempat lainnya; penjual keperluan pokok sehari‐hari, baik berupa warung terapung maupun pedagang keliling bersampan: dari kopi sampai sabun mandi, dari beras sampai rokok; pedagang bibit dan pakan ikan, serta penampung hasil panen; pegawai jala apung dan buruh pembantu panen; serta, tidak ketinggalan, petugas pemungut retribusi dan petugas keamanan. Mereka bukanlah pihak‐pihak yang terpisah; mereka terikat dalam suatu jaringan pembeli‐pedagang‐produsen barang dan jasa yang saling membutuhkan. Jaringan itu berkembang sejalan dengan perubahan bertahap dari kultur pertanian‐darat (agri‐culture) menjadi kultur pertanian‐air (aqua‐culture). Untuk bertahan hidup, warga mengadopsi strategi yang telah berkembang di tempat lain, antara lain jala apung itu. Kalaupun usaha itu kini berkembang pesat melalui keterlibatan pemodal besar dari kota, hal ini dimungkinkan karena adanya kesesuaian kepentingan: yang satu untuk bertahan hidup, yang lain untuk membiakkan modal.
Sebagai usaha padat modal, skala usaha tiap pemodal tidak lagi terbatas pada beberapa petak, namun bisa mencapai puluhan. Bahkan, seorang pengusaha, Iwan misalnya, diketahui
1
memiliki 160 petak jala dalam 2 rangkaian. Secara keseluruhan, putaran uang dalam usaha ini tidaklah kecil. Jika, untuk gampangnya, satu petak memerlukan bibit dan pakan seharga Rp6 juta dan menghasilkan panen seharga Rp18 juta dalam waktu, katakanlah, 4 bulan, maka dalam siklus 4 bulan itu telah beredar uang Rp84 M untuk bibit dan Rp252 M untuk hasil panen, dari hampir 14 ribu petak jala apung yang ada saat ini di Jatiluhur. Ini belum termasuk pengeluaran untuk keperluan lainnya. Karena itu, ibarat gelembung, jaringan ini bersifat sangat dinamis, melebar dan belum menunjukkan tanda‐tanda akan berhenti berkembang. Tidak heran jika dalam masa 20 tahun, jala apung di bendungan Jatiluhur telah berkembang dari beberapa puluh menjadi hampir 14.000 petak. Pertanyaan baku kepada pendatang yang mengunjungi mereka adalah: “mau beli atau bikin jala apung, Pak?”.
Usaha jala apung berkembang karena memang menguntungkan bagi para pelakunya. Secara kasar, kalkulasinya lebih kurang seperti ini. Dalam satu petak, Anda dapat memelihara ikan secara ‘tumpang sari’, misalnya ikan mas di atas dan ikan nila merah di bawah. Kedua lapisan dipisahkan oleh jala. Jika, secara kasar kita menghitung keuntungan satu lapis jala adalah Rp6 juta/4 bulan, maka 2 lapis akan memberi keuntungan Rp12 juta/petak/4 bulan. Masih dianggap kecil? Bayangkan jika Anda memiliki 150 petak, dan bukan sekedar 1‐2 petak. Tambahan lagi: keuntungan di atas adalah keuntungan bersih, setelah dikurangi biaya pembelian bibit, pakan, dan biaya operasional lainnya. Jika investasi awal untuk membangun komponen‐komponen jala apung, yaitu rakit, jaring, jangkar, pelampung dan gubug penjaga, adalah sekitar Rp6 juta/petak, modal operasional Rp6 juta/petak untuk bibit, pakan dan gaji penjaga, serta hasil panen Rp18 juta/petak, maka dapat dikatakan bahwa dalam waktu 4 bulan modal secara keseluruhan telah kembali, ditambah keuntungan sebesar setengah nilai investasi total.
Selain itu, usaha perikanan ini tentu juga menguntungkan bagi perekonomian daerah. Jika 1 rangkaian jala apung rata‐rata terdiri atas 50 petak jala apung, dan 1 rangkaian memiliki 4 pekerja yang bekerja secara bergiliran dalam 24 jam, maka secara keseluruhan di Jatiluhur terdapat 1120 pekerja yang menangani hampir 14000 petak. Ditambah pekerja pada usaha pendukung sebanyak kira‐kira 2 kali jumlah pekerja di bisnis inti, maka keseluruhan kegiatan jala apung ini melibatkan hampir 3.500 tenaga kerja! Tenaga kerja yang membelanjakan pendapatannya (upah terendah: Rp900.000/bln), selain belanja untuk keperluan usaha perikanannya, memberikan efek pengganda yang tidak kecil bagi perekonomian setempat.
Tentu ada risiko yang harus diperhitungkan oleh setiap pengusaha (dan pekerja) jala apung. Di antaranya, potensi ikan mati massal jika terjadi pembalikan lapisan air ( Upwelling ). Ini risiko yang tidak main‐main, karena seluruh bibit yang ditanam bisa hilang tak bersisa. Namun, risiko ini dapat diperhitungkan. Pembalikan lapisan air tidak terjadi setiap saat dan bukan tanpa‐sebab. Pembalikan lapisan air hanya terjadi pada waktu suhu permukaan air dan lapisan di dalamnya berbeda secara signifikan. Pada waktu suhu permukaan air turun, misalnya pada puncak musim hujan atau ketika suhu sangat dingin pada awal atau akhir musim kemarau, maka lapisan air dari dasar danau naik dengan membawa NH3, H2S dan
2
CO2. Gas dan zat beracun itu terakumulasi dari proses pembusukan anaerob di lapisan bawah, terutama akibat sisa pakan dan kotoran ikan. Karena itu, bagi pekerja jala apung, fenomena pembalikan lapisan air dikenal biasa terjadi pada 2 kesempatan: saat puncak musim hujan, yaitu di sekitar hari raya Imlek (Januari – Februari); atau pada akhir musim kemarau. Demikianlah, maka dengan mengetahui penyebab dan ancer‐ancer waktu risiko itu terjadi, dapat dilakukan antisipasi dan langkah‐langkah pencegahan. Di antaranya, pelepasan bibit diatur sedemikian sehingga dapat dipanen sebelum bulan Januari, atau paling lambat sebelum memasuki bulan Februari!
Risiko lain adalah jika ikan ditolak pasar karena isu kandungan logam berat (mercury, timbal). Namun, isu ini lebih jarang lagi terjadi. Juga, karena pemasaran ikan air tawar telah sangat luas, mulai dari Muara Angke di Barat Jatiluhur sampai Semarang di Timurnya, sehingga isu yang merebak di satu wilayah dapat saja ditanggapi adem ayem di wilayah lain. Ikan air tawar juga “tidak membawa KTP”. Artinya, ikan Jatiluhur dapat saja diaku sebagai ikan dari kolam (balong) pribadi, atau lainnya, yang lebih aman dikonsumsi. Lebih‐lebih, berapa banyak sih konsumen yang benar‐benar perduli dengan isu logam berat ini?
Demikianlah, maka keuntungan yang relatif besar di satu sisi dan risiko yang dapat diminimalkan di sisi lain, menjadikan usaha perikanan jala apung sangat menarik bagi investor, besar dan kecil. Sulis hanya salah satunya. Investor lain bahkan datang dari tempat‐tempat jauh, seperti Jakarta dan Kalimantan. Di kalangan pengusaha ikan air tawar, usaha jala apung dikenal luas dan telah menyebar di banyak bendungan dan danau utama, di Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Seorang investor yang dianggap besar di Jatiluhur, bisa memiliki ratusan petak jala apung, dengan modal awal dan modal operasional ratusan juta rupiah. Kejadian matinya ikan ratusan ton, atau kadang‐kadang merebaknya isu logam berat, tidak pernah mematikan hasrat berinvestasi.
Konteks inilah yang diduga melatarbelakangi suburnya pertumbuhan jala apung di bendungan Jatiluhur. Praktik yang bermula di bendungan Saguling pada tengah 1980‐an ini, dengan jumlah petak sekitar 200‐an buah pada 1986, pada 2006 jumlahnya telah mencapai 48 ribu petak. Karena itu, tidaklah mengherankan jika praktik ini juga menyebar ke 2 bendungan lain di sepanjang S. Citarum: Cirata dan Jatiluhur. Di Jatiluhur, setelah muncul pertama kali pada awal 1990‐an, sejak 2002‐3 usaha ini mulai menarik investor dari luar kawasan, sehingga dengan cepat terjadi ledakan populasi jala apung sebagaimana kita lihat kini. Tidak mengherankan jika kini jala apung telah mengubah lanskap ketiga bendungan tersebut. Dari kejauhan, jala apung terlihat seperti permukiman besar di tengah bendungan. Pada hari libur, aktivitas di sekitar jala apung Jatiluhur riuh karena datangnya pemancing, wisatawan dan atlit olah raga dayung yang sama‐sama memanfaatkan bendungan seluas 8.300 Ha itu.
Perkembangan terakhir di Saguling dan Cirata menunjukkan usaha jala apung menjadi kurang diminati karena mereka menyadari bahwa persoalan utama adalah kualitas air Citarum semakin memburuk dan terlalu seringnya terjadi upwelling dalam satu perioda,
3
sehingga pelaku jala apung sering mengalami kerugian gagal panen. Aliran air Citarum dari hulu ( Kabupaten Bandung ) akan mengalami tampungan pertama dari limbah yang dibawa nya dari kawasan industri mulai dari Majalaya, Dayeuhkolot, Kopo, Batujajar adalah di bendungan Saguling. Setelah terjadi pengendapan dan sedimentasi, air yang lolos dari bendungan Saguling menuju Cirata, dan dirasa oleh pelaku jala apung masih belum membawa perbaikan mutu secara berarti, sehingga banyak dari pelaku ini kemudian pindah ke Jatiluhur. Perubahan jumlah pelaku jala apung yang dramatis memang terjadi di Saguling, sementara di Cirata relatif berkurang sedikit dibanding dekade sebelumnya.
Konflik Tata Guna Air
Bendungan Jatiluhur tentu tidak dibangun untuk menjadi tempat pembiakan ikan dan jala apung semata. Pemeliharaan ikan memang disebutkan sebagai salah satu fungsi, namun gagasan awalnya bukanlah budi daya ikan secara intensif sebagaimana berkembang sekarang. Gagasan awalnya adalah pelepasan ikan, yang setelah beberapa lama dapat dipancing atau dijala oleh siapa saja. Usaha pemeliharaan ikan secara intensif dengan jala apung merupakan fenomena yang relatif baru, yang berkembang karena kreativitas bertahan hidup atau pembiakan modal.
Sebagaimana banyak bendungan lainnya, Jatiluhur memang dimaksudkan sebagai bendungan serba guna. Mulai dioperasikan pada 1967, saat ini bendungan itu memainkan peran sebagai: pembangkit 180 MW listrik, pemasok air irigasi bagi lebih dari 240.000 Ha sawah dan lahan pertanian lainnya, memenuhi 80% kebutuhan air baku Jakarta dan Bekasi, salah satu tempat wisata dan kegiatan olahraga air terpenting di Utara Jawa Barat, pengendali banjir, dan tentu fungsi perikanan. Sebagai PLTA, bendungan Jatiluhur memasok 1,1% kebutuhan beban puncak sistem kelistrikan Jawa – Bali (Mei 2009). Ini jumlah yang sekilas terdengar kecil, namun jika mengingat bahwa sistem kelistrikan itu saat‐saat ini masih kritis karena memakai hampir seluruh pasokan listrik yang tersedia, maka gangguan pada pembangkit yang meski kecil dapat saja mengganggu keseluruhan sistem. Menggunakan ungkapan seorang peneliti sosial, sistem kelistrikan Jawa – Bali ibarat orang berjalan di dalam air sebatas leher: bahkan gelombang (baca: gangguan) sekecil apapun sudah dapat menenggelamkan orang itu. Demikianlah, maka meskipun kecil, PLTA Jatiluhur tetaplah berperan penting.
Jika konteks diperluas, yakni menjangkau seluruh bendungan‐bendungan di Sungai Citarum, maka gambaran dapat menjadi dramatis: 3 PLTA itu memasok 1880 MW ke sistem kelistrikan Jawa – Bali itu. Ini jelas kontribusi yang tidak kecil, karena besarnya lebih dari 10% total kebutuhan pada beban puncak. Sementara, sistem kelistrikan Jawa – Bali sendiri dikenal sebagai pemakai sekitar 80% pasokan listrik nasional untuk keperluan industri, rumah tangga dan lainnya. Karena itu, sistem ini sangat sentral posisinya bagi perekonomian maupun perpolitikan Indonesia. Setiap gangguan sebagaimana dikatakan di atas akan membawa dampak penting.
4
Pengembangan suatu bendungan serba guna tentu berangkat dari anggapan bahwa fungsi‐fungsi yang beragam itu dapat saling mendukung, atau sekurang‐kurangnya tidak saling menafikan. Sayangnya, indikasi saling mengganggu itu sudah terlihat di Jatiluhur: jala apung yang meningkat pesat populasinya mengganggu fungsi wisata; jala apung, yang meningkatkan kadar plankton dalam air, mungkin telah mengganggu kerja peralatan pendingin turbin. Bahkan, ada indikasi bahwa meningkatnya keasaman air bendungan, dapat pula mempercepat korosi mesin turbin PLTA. Dengan kata lain, insentif pada satu fungsi ternyata dapat berarti dis‐insentif bagi fungsi lainnya.
Perihal gangguan terhadap pendingin turbin, tidak diperoleh informasi yang spesifik dari bendungan‐bendungan di S. Citarum. Namun, sebagai bandingan, Kepala PLTA Riam Kanan di Kalimantan Selatan pernah menyampaikan bahwa akibat peningkatan populasi plankton yang memenuhi peralatan pendingin turbin, PLTA tersebut harus mengeluarkan biaya dan tenaga ekstra untuk melakukan perawatan rutin (Radar Banjarmasin, 29 Sept 2009).
Selaku pengelola bendungan, PJT (Perum Jasa Tirta) II telah melakukan langkah‐langkah yang diperlukan. Mekanisme yang kini digunakan untuk mengendalikan populasi jala apung adalah Surat Perjanjian Pemanfaatan Areal Perairan Waduk Ir. H Juanda bagi Kegiatan Usaha Perikanan dengan Keramba Jaring Apung (SPPAP). SPPAP ini dibebani biaya Rp100.000/petak/tahun (Rp55.000/petak/tahun bagi warga lokal). Namun, seperti terlihat pada hari‐hari ini, mekanisme itu lebih bermakna retribusi dibandingkan pengendalian. Mengapa? karena: pertama, tidak ada batas yang tegas, yang disimpulkan dari studi yang dapat dipercaya, tentang daya tampung bendungan; dan kedua, belum pernah dilakukan razia yang tegas, secara terus menerus dan berefek menjerakan bagi pengusaha jala apung yang menyimpang dari kesepakatan. Penambahan jala apung pada rangkai yang sudah ada, atau penambatan rangkaian baru, di dalam zona yang telah dibatasi dinilai dapat diputihkan dengan “retribusi” tambahan. Peringatan yang disampaikan oleh PJT pada Juli 2009 berkenaan dengan jumlah jala apung yang telah melampaui target populasi pada zona 5, nyatanya belum diikuti tindakan tegas meski peringatan tersebut, secara materiil, masih absyah.
Catatan Penutup
Fenomena jala apung di bendungan Jatiluhur dan di bendungan‐bendungan lainnya, mengingatkan pada apa yang digambarkan oleh Garret Hardin (Jurnal Science No.162, tahun 1968), seorang ekologiwan, sebagai fenomena tragedy of the commons. Tragedy terjadi ketika semua pelaku perikanan jala apung terus membiakkan jumlah jala apung tanpa memikirkan ‘kesehatan’ bendungan secara keseluruhan. Akibatnya, bendungan dapat mengalami keracunan kronis, sehingga tidak dapat digunakan lagi untuk memelihara ikan. Demikian pula, tragedi dapat terjadi jika, sebagaimana digambarkan di atas, semua fungsi
5
yang memanfaatkan air bendungan dimaksimalkan sedemikian, sehingga fungsi‐fungsi tersebut saling mengganggu.
Tragedi itu harus dihindari. Para ahli, di antaranya pemenang hadiah Nobel Ekonomi 2009, Elinor Ostrom, telah menyampaikan resep yang dapat dicobakan untuk menghadapi kecenderungan populasi berlebih (over‐population) dan menerusnya konflik tata guna air di atas. Resep Ostrom berpusat di sekitar pengembangan institusi sosial sebagai mekanisme pengelolaan sumber daya bersama. Namun, inti resep para ahli itu adalah: penataan kembali berbagai fungsi, baik melalui penetapan aturan main maupun penataan ruang, sehingga seluruh fungsi dapat sinergis. Bottom linenya, arah kebijakan penataan‐kembali bukanlah meniadakan jala apung. Sulis dan warga lainnya, yang masih menggantungkan hidup di atas jala apung, tetap dapat memelihara mimpinya: suatu hari nanti dapat menebar bibit.
(Erwin Fahmi adalah anggota Wanadri, kini terlibat dalam Ekspedisi Citarum ‐ Wanadri)
6
Citarum, Tercemar Sejak dari Hulu
Oleh Maria Jeanindya *)
Udara di sekitar Situ Cisanti masih menusuk tulang, padahal suara adzan Dzuhur baru saja berkumandang. Air danau buatan itu pun tampak jernih hingga kaki Gunung Wayang terpantul sempurna di atasnya. Tak ada sampah menggunung, atau air berwarna susu coklat di sini. Malah beberapa orang tampak asyik memancing di atas sebuah ban yang disulap menjadi perahu siang itu. Air di danau ini adalah cikal bakal Sungai Citarum yang mengalir melalui kabupaten Bandung, Purwakarta, dan Karawang. Hampir tak percaya air sejernih ini menjadi mata air sungai yang masuk dalam daftar "10 sungai terjorok di dunia" yang sering muncul di internet, sejak tahun 2007. di suatu kapal yang ada di Cisanti, didapati ada 3 pemuda yang menggunakan jala mengambil suatu tanaman yang tumbuh di dasar dana. Rupanya yang diambil adalah sejenis ganggang hijau, yang menurut mereka banyak usaha perikanan air darat di daerah Bandung dan Cimahi yang memerlukan ganggang hijau ini untuk campuran makanan ikan. Puas menikmati keindahan Situ Cisanti, tim dari Media Indonesia dan tim Ekspedisi Citarum Wanadri meneruskan perjalanan untuk menengok bagian lain dari hulu Sungai Citarum. Selepas Situ Cisanti, aliran yang dipercaya menjadi hulu sungai Citarum itu tak lebih besar dari selokan. Lebar aliran itu hanya sekitar 1 hingga 1,5 meter saja. Kampung pertama yang dilalui oleh sungai Citarum bernama kampung Pejaten. Ia adalah bagian dari desa Tarumajaya. "Ada 4000 kepala keluarga di desa ini," ucap Ayi Iskandar, kepala desa Tarumajaya saat ditemui di rumahnya, Sabtu (13/3) sore. Dengan rumah‐rumah yang saling berimpitan, tak mengherankan bila Ayi mengatakan jumlah penduduk di desanya mencapai lebih dari 17 ribu orang. Sepanjang melewati jalan di desa ini, rumah yang kami lihat adalah rumah layak huni. Beberapa rumah malah memanfaatkan betul pekarangannya untuk ditanami tanaman seperti kentang ataupun bawang daun. Sapi ooh Sapi.. Sebelum tiba di rumah kepala desa Tarumajaya, Abrar Prasodjo, ketua tim Ekspedisi Citarum Wanadri menuturkan bahwa menjadi buruh tani dan beternak, adalah mata pencaharian utama di desa Tarumajaya. "Yang ditanam biasanya kentang. Walau itu merusak lingkungan, tapi dia panennya cepat dan harganya mahal," kata Abrar. Sementara dalam hal beternak, masyarakat Tarumajaya memilih sapi sebagai hewan ternaknya. "Ada tiga ribu ekor sapi di desa ini. Kalau desa sebelah ( desa Cibeureum ) mungkin hanya sekitar seribu ekor saja," Ayi menambahkan. Dengan demikian, bisa diasumsikan hampir setiap kepala keluarga memiliki satu ekor sapi. Ayi memaparkan, usaha beternak sapi sudah dilakukan warga desa Tarumajaya sejak tahun 1966. Karena bisa menghasilkan rupiah yang tidak sedikit, beternak sapi menjadi bisnis turun temurun dalam satu keluarga. "Yang sudah punya lebih dari lima ekor sapi bisa dibilang sejahtera," imbuhnya. Seekor sapi bisa menghasilkan 10 hingga 25 liter susu per hari. Harga yang ditawarkan oleh koperasi KPBS, satu‐satunya penadah di desa, adalah 3.200 rupiah untuk setiap liternya. "Nanti mereka jual lagi ke pabrik susu Ultra," kata Ayi. Lina (31), adalah seorang istri dari peternak sapi yang mengakui bahwa usaha ini mendatangkan untung yang lumayan. "Tiap bulan sekitar 1,5 sampai dua juta dari susu sapi," ucap ibu yang memiliki tiga ekor sapi perah itu. Sementara anak sapi perah, dijual seharga 500 ribu per ekor. Setiap harinya, satu ekor sapi diperah dua kali, pagi dan sore. Pemerahan di pagi hari dilakukan pada pukul enam, sementara pemerahan kedua dilakukan pada pukul empat sore. Sebelum diperah, pemilik membersihkan kandang sapi berukuran 2,5 x 1,5 meter tersebut. Sapi memiliki kebiasaan buang air besar dua kali sehari.
1
Setiap buang air besar, kotoran yang dihasilkan sekitar 3 ‐ 5 kilogram. Karena kandang dibangun di atas saluran sebesar selokan yang dipercaya sebagai hulu sungai Citarum tadi, otomatis, saat pemilik membersihan kandang tersebut, semua kotoran akan masuk ke dalam sungai Citarum. Kegiatan ini dilakukan secara rutin selama dua kali sehari, tujuh kali seminggu, dan 365 kali selama setahun. "Karena bukan kantoran," canda Ayi. Selain persoalan sapi, masalah limbah pertanian lainnya yang perlu disikapi dengan bijaksana adalah penggunaan pestisida dan berbagai bahan obat kimia lainnya. Masih bisa dijumpai pelaksanaan pemberian pupuk dan bahan kimiawi lainnya di lahan pertanian tidak dilakukan dengan dosis yang tepat. Selama beberapa tahun, didesa Tarumajaya dan Cibeureum ada peneliti berkebangsaan Jepang yang meneliti penggunaan bahan kimia dalam pertanian yang dikaitkan dengan kesehatan penduduk. Menurut info dari Kepala desa yang mendapatkan hasil sementara dari penelitian tersebut menunjukkan kadar tertentu dalam darah dari beberapa sampel darah yang diambil di kedua desa tersebut mengandung pestisida. Artinya pestisida sudah ditemukan di dalam darah terutama pada anak, salah satu penjelasan dari peneliti mengenai cara masuknya pestisida ke dalam tubuh manusia adalah kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan, baik di anak‐ anak maupun orang dewasa. Pembahasan dengan Kepala desa juga menyangkut masih belum digunakan kotoran sapi sebagai bagian dari pupuk kandang untuk pertanian, karena di Tarumajaya untuk memenuhi kebutuhan pertanian akan pupuk kandang masih dipasok dari daerah lain berupa kotoran ayam. Sudah ada kelompok masyarakat yang menggunakan bahan dasar kotoran sapi sebagai bahan pembuat pupuk kandang, tetapi jumlahnya masih belum significant, dan persoalan yang menghadang adalah belum adanya pembeli yang menyanggupi membeli dalam jumlah partai yang besar. Mengalir Sampai Jauh Zat yang terkandung dalam kotoran sapi antara lain nitrogen, magnesium, sulfur oksida, dan beberapa unsur mikro lainnya. Kandungan ini ada di dalam hulu sungai Citarum yang berupa saluran kecil itu. Kotoran sapi ternyata menjadi sumber penularan bakteri patogen seperti Escherichia coli . Keberadaan bakteri ini dalam tubuh manusia mampu membuat orang tersebut mengalami diare. Diare yang ditimbulkan pun beragam. Ada diare berair disertai muntah dan demam, hingga pengaruh pada usus besar yang bisa mengakibatkan diare berdarah. Akibat pembuangan limbah cair dan padat para peternak sapi di desa ini, air sungai sudah tidak bisa digunakan untuk kebutuhan sehari‐hari lagi. Kebutuhan air bersih untuk minum dan memasak, didapat dari selang air yang menjuntai dari mata air di Situ Cisanti. Sementara air sungai hanya digunakan untuk mengairi sawah dan ladang milik warga. "Karena air sungai sudah sangat kotor sekali. Jadi kita ambil langsung dari mata air," aku Lina. Pencemaran sungai Citarum sudah dimulai sejak di bagian hulu. Bukan berarti sepanjang aliran sungai ini tanpa pencemaran lain. Di desa Cibeureum, tetangga dari Tarumajaya, gunungan sampah dapat dengan mudah kita temui di pinggiran aliran sungai Citarum, di dekat jembatan Cangkuang . Sampah yang dibuang penduduk selain sampah dari rumah tangga juga dibuang adalah sampah dari aktivitas pasar yang kebetulan tidak jauh dari lokasi jembatan tersebut. Bila musim hujan tiba, sampah‐sampah yang menggunung di beberapa titik akan tergerus bersama arus. Sampah domestik ini sebenarnya merupakan potensi untuk dikelola dan bisa menghasilkan uang. Sayangnya dari wawancara dengan pengelola daerah yang berdekatan dengan lokasi penimbunan sampah, saat ini warga menyerahkan pengelolaan sampah kepada arus sungai Citarum yang akan membawa sampah ke daerah yang lebih rendah. Belum lagi di bagian tengah Cekungan Bandung dimana aliran sungai Citarum telah banyak didirikan pabrik‐pabrik. Limbah dari pabrik yang dibuang ke sungai, pastinya memperburuk kandungan air sungai Citarum. Apalagi daftar pabrik yang berada disepanjang Citarum dan anak
2
sungainya didominasi oleh pabrik tekstil, dan pabrik pembuat bahan dasar kimia. Yang perlu diingat, sungai ini menjadi pemasok air di beberapa bendungan seperti Waduk Saguling, Cirata dan Waduk Jatiluhur. Beberapa segmen di aliran Citarum juga menjadi tempat peternakan ikan dengan teknologi yang dikenal bernama Jala apung. Putaran uang dalam satu petak di jala apung bisa menghasilkan panen seharga 18 juta rupiah dalam kurun waktu sekitar 4 bulan. Saat ini, terdapat hampir 14 ribu petak jala apung di waduk tersebut. Bisa dibayangkan berapa milyar nilai rupiah yang berputar di jala apung itu. Selain itu aktivitas kegiatan jala apung ini juga memberikan tekanan lingkungan yang cukup berat seperti semakin meningkatnya sedimentasi di waduk dikarenakan sisa pakan dan kotoran dari jala apung, baik dalam jumlah maupun sifatnya yang bisa menyebabkan terjadinya percepatan korosif pada berbagai peralatan pembangkit listrik yang adad di waduk. Sementara ikan yang dihasilkan, dikonsumsi di daerah Purwakarta, hingga luar daerah, dengan tanpa dibarengi informasi yang memadai bagi calon konsumen mengenai kemungkinan ikan tersebut juga sebagai pembawa material berbahaya seperti logam berat yang didapat dari perairan yang ada di Citarum. ([email protected]) Maria Jeanindya merupakan reporter dari Media Indonesia Keterangan : tulisan ini sudah dilakukan peng‐editan dengan tidak menghilangkan ide dasar dari yang disampaikan oleh penulisnya.
3
LAMPIRAN
TULISAN 6
MENYIMAK RICIK CITARUM DARI SOSOK PEREMPUAN
Oleh
Nur Azizah
( Jurnalis JURNAL PEREMPUAN )
Menyimak Ricik Citarum dari Sosok Perempuan Oleh: Nur Azizah
Pada pertengahan Februari 2010, Jurnal Perempuan bersama tim Ekspedisi Citarum Wanadri menapaki wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu yang melingkupi mata air sungai Citarum hingga ke Cirata. Dengan mobil salah seorang anggota Wanadri (organisasi pegiat lingkungan), kami, rombongan dari Jakarta berangkat sekitar pukul 08.00 WIB dari sebuah pom bensin di seberang Metropolitan Mall Bekasi Barat di suatu Sabtu 13 Februari 2010. Laju mobil pacu perjalanan kami tiba di daerah Batujajar , kabupaten Bandung Barat , yang terletak disebelah barat kota Cimahi. Di sana kami bertemu dengan rombongan dari Bandung. Tak lama kemudian bulatan ban mobil bergerak lagi menuju waduk Saguling (tahun 1985) yang kami tempuh melintasi arena latihan Pusdik Passus. Beberapa bangunan tempat latihan Kopassus perlahan menuntun kami menuju waduk Saguling. Gelaran sawah di sepanjang kanan kiri landasan pacu bandara yang kami lalui menambah sedap perjalanan menuju lokasi. Setengah jam kemudian, kami tiba di sebuah ruang yang menghamparkan genangan air, seolah hendak gantikan hamparan sawah, teman perjalanan kami. Siang baru saja tinggalkan pagi saat kami bergerak dari bantaran hulu Saguling yang tak sempat kami akrabi dengan perahu. Perjalanan berkelok asik kami tempuh dengan armada sewaan. Kali ini alam menyuguhkan pemandangan beragam kepada kami. Mulai dari pepohonan, jurang, tebing, pipa besar, tuas pembangkit listrik, sampai sungai ber‐riak, saksikan perjalanan kami menuju suatu perkampungan.
Melihat banjir yang sedang terjadi (foto: Dhafi Paparu )
Sebagai sungai terpanjang dan terbesar di propinsi Jawa Barat, Citarum memiliki panjang aliran mencapai sekitar 308 km. Tutur Parahyangan mengisahkan, Hulu Citarum mengalir dari Cisanti, lereng Gunung Wayang di sebelah Tenggara Kota Bandung, di daerah Tarumajaya‐Cibeureum, Kertasari, Bandung. Anak sungai seperti Cikapundung dan Cibeet juga mengalir menuju Citarum. Aliran dari Citarum menyusur ke arah Barat, menempuh Majalaya dan Dayeuhkolot, berbelok ke arah barat laut dan utara membatasi Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bandung Barat, lalui Purwakarta, dan bermuara di Ujung Karawang.
1
Kini, kami berada di sana, belokan aliran sungai Citarum yang membelah kampung Bantar Caringin Desa Cihea, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur, diantara sebuah jembatan yang membatasi kampung itu dengan Kabupaten Bandung Barat. Sepanjang sore di kampung itu, mata kami lekat menatap aktivitas beberapa anak‐anak, penghuni kampung. Mandi di sungai, main egrang, bermain bola, diselingi beberapa anak perempuan yang baru saja pulang dari madrasah. Di sana, di pinggir sungai Citarum, mereka hidup dan beraktivitas. Seorang ibu lekat mengamati kedatangan kami. Pelan ia duduk di atas bangku bambu. “Saya kesini baru 13 tahun. Saya dari Plered. Ikut suami yang asli orang sini,” ucap perempuan bernama Siti Robiah (34 tahun). Rentang 13 tahun tempa kemampuan adaptasi Siti Robiah. Ia pun mulai akrab dengan air Sungai Citarum yang mendampingi Kampung Bantar Caringin. “Air sungai Citarum bagi kita itu besar sekali manfaatnya. Bukan hanya untuk kehidupan disini karena banyak yang dari Citarum itu menghidupi masyarakat. Apalagi sekarang di sini udah dipakai untuk sirkuit arung jeram. Jadi menarik orang untuk berpiknik. Makanya kalau ada masyarakat yang merusak lingkungan citarum, kita suka gimana gitu. Jangan sampai lingkungan citarum ini tercemar.” Robiah sadar benar jika tekad menjaga Citarum harus ia tularkan kepada yang lain, seperti ajakannya kepada anak‐anak untuk tidak membuang sampah ke sungai Citarum. “Kalian usahakan jangan membuang sampah ke citarum. Bikin tempat sampah trus dibakar aja. Karena itu kan Citarum kita,” ucapnya. Apalagi sejak beberapa organisasi pegiat alam bebas mulai melirik Citarum sebagai media aktivitas arung jeram, Robiah kian rajin mengajak sesamanya untuk menjaga kebersihan Sungai Citarum. “Kan anak‐anak suka mandi di Citarum, jadi biar nda apa‐apa. Sudah dari sananya kena limbah, di sini juga ditambah lagi.” Limpahan air sungai Citarum merangsang nafsu segelintir manusia untuk memanfaatkannya. Melalui pembangunan tiga waduk (danau buatan)/ DAM; PLTA Saguling (bagian hulu), PLTA Cirata, PLTA Jatiluhur, sebagai pembangkit listrik dan irigasi persawahan (wilayah Subang, Karawang, dan Bekasi), manusia bisa melakukan kontrol terhadap “karakter” air. Pun sepanjang aliran sungai Citarum telah sesak oleh riuh sekitar 500 lebih industri pabrik.
Pemandangan Citarum dari daerah Manglid Batujajar Adalah UBP (Unit Bisnis Pembangkitan) Saguling memanfaatkan tenaga air Citarum dan anak sungainya sebagai penggerak utama turbin penghasil listrik. UBP Saguling mengelola 29 mesin pembangkit yang tersebar di Jawa Barat dengan total kapasitas terpasang 797,36 MW menaungi 8 sub‐unit pembangkitan; PLTA Saguling, PLTA Plengan, PLTA Lamajan, PLTA Cikalong, PLTA Bengkok dan Dago, PLTA Ubrug, PLTA Kracak, dan PLTA Parakankondang. “Air ini kan pembuangan dari DAM Saguling. Jadi mungkin semua limbah dari wilayah Bandung masuk ke DAM trus dibuka. Nah ini kan air pembuangannya. Jadi air ini tidak bisa banjir karena di turbinnya bisa
2
dikecilin. Ini kan lagi kebanyakan airnya. Kalau pas lagi kecil mah kecil, bisa sampai kering. Itu setahu saya,” ucap Robiah. Robiah hidup dan berkeseharian di sepanjang aliran sungai Citarum, di hilir PLTA Saguling yang memasok listrik se Jawa‐Bali. Ia menuturkan, “(di sini) sering mati lampu apalagi sekarang musim hujan. Tapi kan listrik di sini bukan dari Saguling ini. Kalau dari Saguling ini, tenaga listriknya dikeluarkan ke Bali sama Madura dan sekitar Jawa.” Melansir Pikiran Rakyat, 2006, laju sedimentasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum kurun dasawarsa terakhir mengalami peningkatan hampir dua kali lipat. Laju ekspor sedimen tahun 1993 sebesar 1.18 juta ton meningkat menjadi 2.15 juta ton di tahun 2003. Hal itu diduga karena kerusakan ekosistem di sepanjang DAS, terutama berkurangnya luas hutan di bagian hulu. Terkait penyebaran informasi tentang pola merawat air, Robiah menjelaskan, walaupun pihak LSM dan pemerintah sering melakukan penyuluhan kepada masryarakat demi menjaga aliran DAS namun kesadaran masyarakat belum begitu besar. “Mungkin belum maksimal,” imbuh perempuan yang kini mengelola TK, TPA, bahkan SMP IT. Robiah hanya tamat Sekolah Dasar. Meski demikian keinginannya untuk terlibat demi “kesehatan” ruang hidupnya terbitkan inisiatif Robiah untuk menggali pengetahuan dari setiap hasil seminar dan penyuluhan yang diikuti suaminya. Robiah menuturkan, “saya suka nanya ke suami, apa hasil pertemuan tadi. Nanti tugas saya menyampaikan ke ibu‐ibu pengajian. Trus juga ada spanduk‐spanduk panjang 'mari kita lestarikan DAS untuk anak cucu kita.' Saya berusaha menyampaikan sedikit‐sedikit kepada masyarakat di majlis‐majlis taklim. Karena kebetulan saya punya majlis taklim. Jadi ibu‐ibu diajak supaya mengerti. Ya, ada yang nurut, ada yang 'gimana atuh nyak kan kita mandi di Citarum.' Saya bilang, ya karena kita mandi di Citarum , nyuci di citarum, segala macam di Citarum, maka kita harus jaga citarum tersebut. Itu yang sering saya sampaikan.” Robiah telah jatuh hati pada DAS Citarum. Kepeduliannya terhadap lingkungan yang bersanding pada tempat hidupnya ia tempakan dengan mengajak masyarakat lain untuk merawat hutan, penyangga sekaligus tempat aktivitas mereka. Kepada sesama ibu‐ibu di majlis taklim, Robiah mengisahkan tentang kondisi hutan saat ini. “Ibu‐ibu sekarang kondisi hutan sudah gundul. Jadi kita usahakan dalam menggarap hutan jangan sampai menebang pohon, malah kita menanam kembali. Karena disini kan matapencahariannya berladang. Jadi kalau kita lihat di daerah sana banjir. Nah kalau kita lihat di daerah kita juga gundul, banjir pun pasti datang pada kita. Trus kita di daerah sungai citarum, kita juga harus menjaga DAS itu. Saya suka menyampaikan itu di majlis taklim pengajian.”
Profil anak di kampung Bantar Caringin
3
DAS Citarum memiliki luas sekitar 1.771 km2 merupakan salah satu DAS terbesar di Jawa Barat. Guna keperluan pengelolaan (Perum Otorita Jatiluhur, 1990), DAS Citarum Hulu dibagi ke dalam lima sub‐DAS; yakni Cikapundung, Citarik, Cisarea, Cisangkuy dan Ciwidey. Kondisi topografi menunjukkan dominasi pegunungan sepanjang batas DAS. Sedangkan area berupa dataran yang luas berada di tengah DAS. Tata guna lahan masih didominasi pertanian dan hutan. Ini ditunjukkan pada rentang waktu 1994‐2001, luas lahan pertanian bertambah 40% sementara luas hutan berkurang hampir 60%. Menilik data di atas, tak pelak jika Robiah memiliki keberanian untuk bertanya kepada suaminya tentang hasil pertemuan dengan berbagai instansi pemerintah dan LSM. “Saya tahu posisi suami saya tidak mungkin bisa meraup semua pekerjaan, karena dia kan punya berbagai macam kegiatan. Makanya saya berusaha mendampinginya biar sedikit besarnya informasi dari seminar itu sampai ke masyarakat.” “Kita berusaha supaya pohon‐pohon yang di pinggir sungai Citarum mah jangan ditebang; untuk serapan, untuk menjaga longsor. Sebagian masyarakat ada yang nurut yang sebagian lagi, yah ini mah tanah‐tanah kita, pohon‐pohon kita,” pungkas Robiah. Kesadaran yang Belum Tergali Atau Ketiadaan Informasi Koordinator Ekspedisi Citarum Wanadri Abrar Prasodjo mengatakan, ada salah satu penelitian yang dirilis ‐kalau tidak salah‐ oleh WJEMP tahun 2004 terkait DAS Citarum mulai dari Hulu, Majalaya, Dayeuhkolot, sampai ke arah Saguling. “Mereka menemukan beberapa limbah dominan yang berasal dari limbah domestik; limbah MCK dan dapur, didominasi oleh limbah organik yang jumlahnya sangat signifikan. Sehingga dalam sehari mencapai ratusan ton,” kata Abrar yang juga anggota Wanadri. Persoalannya, lanjut Abrar, meski volume limbah rumah tangga itu banyak dan dapat terurai dalam kurun waktu tertentu, tetap bermasalah dalam hal jumlah, dan estetika. “Meskipun itu juga bermasalah dengan bau dan warna,” ungkapnya. Tak hanya limbah domestik yang mencemari Sungai Citarum. Limbah Industri pun turut menjadi salah satu polutan berbahaya bagi masyarakat yang tinggal di sepanjang sungai. Meski, Abrar menambahkan, terkadang masih ada pengertian yang masih kurang tepat dalam masyarakat tentang rupa dan dampak limbah industri. Seperti limbah logam berat yang masih diasumsikan oleh masyarakat luas selalu berwarna gelap dan dapat dilihat secara visual. “Padahal ada beberapa logam berat yang justru cair dan larut dalam air yang tidak terlihat. Nah itu resikonya yang tidak disadari oleh masyarakat,” imbuh Abrar. Abrar menduga, beberapa limbah logam berat yang terakumulasi di sungai Citarum dalam waktu lama akan beresiko pada penggunaan air. Terutama, lanjut Abrar, kalangan ibu‐ibu yang melakukan aktivitas di sungai; seperti mencuci pakaian, mencuci masakan, kebutuhan sehari‐hari, dan memandikan anak. “Ibu dan anak ini sifatnya rentan terhadap potensi bahaya dari limbah‐limbah tadi,” tukasnya. Terkait limbah organik Abrar menjelaskan, adanya persoalan E. coli (bakteri yang biasanya muncul dari kotoran manusia yang menyebabkan beberapa penyakit perut yang jika penanganannya terlambat bisa mengakibatkan kematian‐red) yang tak sesuai dengan syarat kesehatan untuk manusia, yaitu nilai keberadaan Ecoli didalam air harus bernilai nol. Abrar menyatakan, peluang siklus E. coli masuk ke dalam tubuh manusia melalui sungai Citarum sangat besar. Dari feses (kotoran) manusia yang dibuang ke sungai memunculkan Ecoli. Sementara aktivitas manusia di sungai seperti cuci beras, mandi, cuci makanan; menjadi peluang masuknya Ecoli ke dalam tubuh manusia. “Bahaya lain yang kurang disadari oleh masyarakat adalah tentang konsep perpindahan logam berat. Kadang daerahnya kelihatan bersih, karena banyak logam berat yang terserap oleh ikan dan hewan kecil, lalu hewan kecil dimakan oleh hewan besar dan hewan besar suatu saat dimakan oleh manusia. Resiko perpindahan seperti ini yang belum disadari oleh manusia.” Kesadaran masyarakat yang belum tergali atau ketiadaan informasi di ruang masyarakat? Abrar berpandangan, peran pemerintah sebagai regulator seharusnya mempunyai program sosialisasi kepada masyarakat terutama tentang bahaya‐bahaya dari kualitas air yang menurut beberapa penelitian cenderung menurun. “Termasuk kerja dari semua pihak; pers, peneliti, NGO, industri, masyarakat, bagaimana cara mereduksi logam berat yang jumlahnya sudah sangat signifikan.”
4
Air dan Perempuan; Satu Saudara Sebagai perempuan Robiah merasa berkewajiban, turut dan terlibat mengobati derita saudaranya, air sungai Citarum. Sungai Citarum yang tak lagi berdaya menghidupi mereka yang tinggal di setiap aliran, lekuk, dan belokan keberadaannya. Ia membutuhkan uluran tangan saudaranya, setidaknya keputusan bijak saudaranya demi “kesehatannya.” Seperti halnya Robiah yang terus membutuhkan informasi sebagai asupan pengetahuannya demi mengurangi rasa sakit Citarum, diri dan keluarganya, serta masyarakat sekitar. Perempuan dan anak‐anak seperti diakui oleh Abrar adalah kelompok rentan. Meski demikian perempuan juga sanggup menjadi sumber pengetahuan bahkan ‐karena kerentanannya‐ perempuan mampu bertugas sebagai penyambung lidah sekitarnya dalam penetapan kebijakan. “Misalnya pengaturan tentang pengelolaan air bersih. Pengguna dan pengelola dominan adalah perempuan. Jadi justru mereka (perempuan‐red) yang seharusnya ditanya lebih detail sebelum pengambilan kebijakan tentang air ditentukan,” jelas Abrar. Berkaca dari pengalaman Robiah mengingatkan kita betapa perempuan hendak terlibat dalam perubahan. Dahaga informasi yang terjadi pada diri Robiah menunjukkan, sudah saatnya pintu dan kesempatan pengambilan kebijakan terbuka bagi perempuan. Bukan sebaliknya. “Yang saya lihat dari segi perencanaan atau pembuat kebijakan; baik tentang penataan sungai ‐terutama sungai citarum‐ maupun penataan ruang di beberapa wilayah di Indonesia, ada sesuatu yang perlu kita pertanyakan secara kritis. Karena umumnya pengambil keputusan di pemerintah dan level birokrat didominasi oleh laki‐laki,” ungkap Abrar. Padahal, Abrar mengimbuhi, yang mereka atur, yang mereka buat peraturan dan tata kelolanya (Citarum‐red) itu justru lebih banyak perempuan yang terlibat dominan di dalamnya.” Nur Azizah, jurnalis dari Jurnal Perempuan , ikut berpartisipasi dalam kegiatan Ekspedisi Citarum Wanadri di bulan Februari 2010. Keterangan Tulisan ini sudah diedit dari tulisan asli dengan tidak menghilangkan pesan utama dari tulisan tersebut. Kontributor foto adalah Dhafi Papparu, Usep, dan Nur Azizah
5
Air Citarum Bercampur Limbah, Tersentuh Kulit Gatal Rabu, 01 September 2010 | 13:58 WIB
Hulu Sungai Citarum. TEMPO/Prima Mulia
TEMPO Interaktif, Bandung - Pantas saja bila Sungai Citarum di Jawa Barat disebut sebagai salah satu tempat terpolutif di dunia. Berdasarkan ekspedisi yang dilakukan Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Indonesia, Wanadri, air sungai itu tak lagi bisa disentuh, terkena uap airnya kulit terasa gatal.
Pada beberapa titik, suhu airnya yang bercampur limbah bahkan pernah terukur hingga 60-70 derajat celcius. “Airnya memang terlihat seperti mendidih,” kata Ketua Pelaksana Ekspedisi Citarum, Abrar Prasodjo, Rabu (1/9). Lokasi itu misalnya berada di daerah Banjaran hingga Kopo Sayati, Kabupaten Bandung. Ekspedisi yang dilakukan sejak akhir 2009 tersebut menyusuri Sungai Citarum dari muara ke hulu. Panjang sungai sesuai hasil pemetaan terbaru mereka, mencapai 308 kilometer lebih. Sejauh ini survey kondisi alam dan masyarakat sekitar sungai itu baru mencapai 60-70 persen atau sekitar 250 kilometer. Beberapa temuan lain yang didapat tim dalam survey tersebut adalah banyaknya saluran siluman pembuangan limbah pabrik, bau menyengat, dan pembuangan limbah langsung ke sungai. “Tahun 90-an kami masih bisa turun latihan di Citarum walau airnya sudah kotor, tapi sekarang tidak bisa,” ujarnya. Selain itu, tim menemukan beberapa kegagalan program pemerintah, diantaranya penghijauan di daerah muara karena pemerintah pilih kasih menentukan petak lahan untuk penghijauan dan tanaman sayur. Di daerah hulu, program pembuatan biogas di masyarakat gagal karena tidak didampingi. “Dari sembilan proyek biogas, tinggal satu yang bertahan,” katanya. Biogas itu sedianya untuk mengolah kotoran sapi yang melimpah. Karena tak berjalan, peternak langsung membuang limbah tersebut langsung ke sungai. “Program bantuan ternak seperti ikan dan ayam gagal karena disunat, dari seharusnya 10 ekor ayam masyarakat cuma dapat sepasang,” katanya.
1
Anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung T. Bachtiar mengatakan, kerusakan Sungai Citarum harus diperbaiki dari bagian hulu. Ia mengusulkan agar Gubernur Jawa Barat tak perlu membeli Gunung Wayang, melainkan cukup membebaskan tanah-tanah negara yang disewakan pengusaha besar untuk bertanam sayur mayur. Sebagai gantinya, masyarakat bisa menanaminya dengan pohon produksi yang tidak perlu ditebang, seperti buah-buahan. Tujuannya antara lain untuk mengurangi banjir dan pendangkalan sungai akibat sedimentasi. Namun dia kurang yakin pemerintah daerah akan bersungguh-sungguh melaksanakan program jangka panjang tersebut. “Agak tidak mau karena hasilnya tidak terlihat langsung, misalnya seperti pengerukan sungai,” katanya.
ANWAR SISWADI
- - - - - - - - - - -- - - - -
Pemerintah Tak Bisa Benahi CITARUM Koran Tempo 2 September 2010
Sungai Citarum, yang baru-baru ini ditetapkan sebagai salah satu tempat paling tercemar di dunia versi hufftingtonpost.com, kondisinya memang sangat memprihatinkan. Polusi, baik yang berasal dari limbah pabrik maupun limbah rumah tangga, tumplek di sungai tersebut. Pemerintah Kabupaten Bandung mengakui pabrikpabrik yang berada di daerah aliran Sungai Citarum belum memiliki instalasi pengolahan limbah (ipal). Mereka kebanyakan menggelontorkan limbah pabrik begitu saja ke sungai.
Kepala Subbagian Publikasi dan Pemberitaan Humas Kabupaten Bandung Asep Syahdiana mengakui tidak semua pabrik memiliki ipal. “Mereka langsung membuang limbah ke sungai,”katanya.
Untuk mengatasi pencemaran tersebut, pemerintah, kata Asep, sudah melakukan berbagai upaya, dari pengerukan Sungai Citarum, pembangunan kirmir, dan penawaran kepada pabrik-pabrik untuk membuat ipal bersama. “Untuk pembangunan ipal bersama, hingga sekarang juga masih belum ada kata sepakat dari perusahaanperusahaan,”ujarnya.
Bupati Bandung Obar Sobarna mengatakan, penyelesaian masalah Sungai Citarum tidak bisa dilakukan hanya oleh Kabupaten Bandung. Menurut dia, semua pihak yang berkepentingan harus terlibat.”Baik dari pemerintah provinsi, pusat, maupun daerah serta warga,” katanya saat dihubungi Tempo melalui telepon selulernya kemarin.
Berdasarkan pantauan Tempo, sepanjang aliran Sungai Citarum yang melewati Kabupaten Bandung kondisinya parah. Sungai yang menjadi sumber air bagi 5 juta penduduk di sepanjang
2
alirannya itu terlihat amat keruh. Sampah menutupi sungai. Limbah pabrik yang berwarna merah atau cokelat terlihat jelas bercampur dengan air sungai.
Darma, 60 tahun, warga Desa Cuterep, Kecamatan Dayeuh Kolot, Kabupaten Bandung, yang setiap hari mencari cacing di Sungai Citarum, mengatakan warna air sungai itu memang berubah-ubah. “Terkadang kemerahan, tapi seringnya terlihat sangat keruh. Selain itu, baunya tidak sedap,”katanya.
Sebelumnya, Ketua Pelaksana Ekspedisi Citarum dari Kelompok Wanadri Abrar Prasodjo mengatakan pencemaran di Citarum memang parah. Bahkan di beberapa titik air yang bercampur limbah pernah terukur suhunya mencapai 60-70 derajat Celsius. “Airnya memang terlihat seperti mendidih,” katanya. Lokasi itu misalnya berada di daerah Banjaran hingga Kopo Sayati, Kabupaten Bandung.
Secara terpisah, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan pun mengatakan pemerintahnya tak bisa membenahi Citarum karena tak ada anggaran. “Menganggarkan pengerukan tidak bisa, melakukan normalisasi di sana enggak bisa, karena seluruh leading sector-nya adalah pemerintah pusat cq Kementerian Pekerjaan Umum,” katanya di Bandung kemarin.
Menurut Heryawan, pemerintah Jawa Barat sudah mengusulkan kepada pemerintah pusat agar pembenahan Citarum tidak sepotong-sepotong. Konsep itu sudah diserahkannya. “Tapi yang gongnya kan pemerintah pusat,”katanya.
Pembenahan sungai itu tidak sebatas pada fisik sungai, tapi juga kawasan penyangganya. Dia mencontohkan, untuk menghijaukan seluruh daerah penyangga Citarum dan sembilan anak sungainya, dibutuhkan duit Rp 1,5 triliun. “Itu untuk nanam doang,” kata Heryawan. Duit untuk normalisasi sungai itu sendiri, menurut perhitungannya, butuh Rp 2 triliun.”Total Rp 3,5 triliun, siapa yang punya duit itu,”katanya.
ANGGA SUKMA WIJAYA | ANWAR SISWADI | AHMAD FIKRI
3
Key river suffers upstream, downstream pollution The Jakarta Post, Jakarta | Fri, 12/11/2009 11:16 AM | Jakarta
Up a creek without a paddle: A survey team motors through the Citarum River estuary in Muara Gembong district, Bekasi. Despite frequent tidal floods, the river bank is home to many people who come from around the country to earn a living as fishermen. The Citarum River has often been called the world’s dirtiest river. Courtesy of Cita-Citarum/Diella Dachlan
Despite the country’s ambitious plans to provide sustainable access to clean water for 80 percent of the urban population by 2015, its capital is still struggling to fix an enduring problem facing one of its key rivers.
The target, set in the Millennium Development Goals (MDGs), starkly contrasts with the fact that the Citarum River, one of the most vital sources of drinking water for Jakarta, is often referred to as the world’s dirtiest river.
Saiful, the new chairman of the Association of Indonesian Tap Water Companies (Perpamsi), said last Thursday in Batam only 40 percent of the urban population and less than 30 percent of the rural population had sustainable access to clean water.
The Asian Development Bank (ADB) stated the Citarum River Basin Territory supported a population of 28 million people, produced 20 percent of Indonesia’s gross domestic product and provided 80 percent of the surface water supply to the capital.
Director of the National Development Planning Agency’s directorate of water resources and irrigation, M. Donny Azdan, said the river, which flows 300 km from Mount Gunung Wayang in West Java to the Pantai Bahagia coast in Bekasi, faces a multitude of problems, which the country is trying to tackle.
4
“The problem upstream is erosion due to agriculture, which dumps a lot of soil into the river. [Further downstream] there’s also the contamination by farm, domestic and industrial waste that is dumped into the river,” he said.
The Majalaya area in West Java, for example, is home to many textile industries that pollute the river, he said during a river expedition Saturday.
The two-day expedition was set up by the Association of Jungle Explorers and Mountain Climbers (Wanadri).
The Citarum was once a familiar training and exploration area for the association, which conducted its first expedition there in 1985, Abrar Prasodjo, the head of the expedition, said.
“The river is necessary for our purposes. We wanted to conduct a training session in Saguling [West Java] but the water was foamy,” he recalled.
Abrar said the expedition was expected to provide new information that would be relayed to the authorities and the community who would take the necessary steps to improve the state of the river, thus allowing the association’s members and the residents to benefit from Citarum’s water.
One man’s garbage: A man wades in the Citarum River in the Majalaya area, West Java next to a garbage pile on the riverbank. The water is heavily contaminated by untreated waste from textile plants. Courtesy of Cita-Citarum/Steve Griffiths
The heavy pollution of the river is also evident in its estuary in Muara Gembong, Bekasi.
An area in Muara Gembong, ironically named Pantai Bahagia (Happy Beach), constantly suffers from tidal and other floods. The coastline, once thick with mangroves, is now the site of a fishing village where wooden boats have to navigate through a layer of rubbish.
5
“Its as if the ground sinks lower by 10 centimeters each year,” Erik, a resident, said of the increasingly serious floods.
Carsim, another resident who was in an elevated sitting space to avoid coming in contact with the dirty water, said around 20 years ago, the area had not been as crowded as it was now and the mangrove forest dominated the landscape.
Abrar said the constant destruction of the mangrove forest also endangered the area’s ecosystem.
“There used to be a lot of birds and monkeys here, but now the mangrove is very thin,” he said as the expedition team navigated the river.
Donny said the road to restore, or at least improve, the Citarum River was a long and rocky one.
“We calculate there are around 80 separate actions that need to be taken, which will take around 15 to 20 years to do. The cost would be around Rp 35 trillion, [US$3.7 billion]” he said.
Given this estimate and the fact that the country has over 5,000 rivers with eleven of them critically polluted, would fulfilling the MDG for clean water be realistic?
“No,” he said, laughing. “We’re having problems with just one river!” (dis)
============== Kompas CETAK Wanadri Gelar Ekspedisi Citarum Selasa, 10 November 2009 | 14:10 WIB
Bandung, Kompas - Wanadri, perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunung, menggelar kegiatan pendataan dan penyadaran masyarakat di sepanjang Sungai Citarum. Pencemaran limbah industri dan rumah tangga disinyalir merusak lingkungan ekologis dan kualitas air Citarum.
"Peranan Citarum vital memberikan pasokan air bagi tiga bendungan besar. Aktivitas bendungan memberikan listrik yang menerangi Jakarta, Banten, dan Jawa Barat," kata Ketua Pelaksana Ekspedisi Citarum sekaligus anggota Wanadri, Abrar Prasodjo di Bandung, Senin (9/11).
Abrar mengatakan, kegiatan ini terbagi dalam tiga tahapan, yaitu mendata dan memantau kondisi fisik Citarum, kampanye penyadaran masyarakat, dan pembangunan fisik bangunan sanitasi hingga penanaman pohon. Diperkirakan, tim yang seluruhnya berjumlah 30 orang, dibantu peneliti dan akademisi, perlu waktu 8-9 bulan guna menuntaskan ekspedisi ini.
"Survei awal oleh Wanadri dilakukan dua bulan lalu. Selanjutnya, akhir November ekspedisi inti berupa pendataan dan pemantauan akan dimulai," katanya.
6
Daerah yang akan disasar dibagi dalam tiga kelompok. Pertama, melihat kondisi di hulu Citarum: Gunung Wayang-Majalaya-Saguling. Kedua, memantau tiga waduk: Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Ketiga, memantau kondisi hilir Citarum, sekitar Kabupaten Bekasi. Saat ini banyak perumahan tumbuh di sekitarnya.
Ia mengatakan, kepedulian terhadap Citarum harus segera dilakukan semua pihak. Data lama Wanadri dan data baru berbagai pihak menunjukkan, kondisi Citarum semakin memprihatinkan. Foto dokumentasi Wanadri tahun 1985 menunjukkan, di sepanjang Citarum minim ditemukan sampah plastik atau limbah industri. Kegiatan pencinta alam dilakukan dengan leluasa.
Namun, hasil pemantauan terakhir pada 2009 memperlihatkan, sampah plastik terlihat merata di sepanjang Citarum. Bau limbah cair pun tercium sejak dari hulu.
Curug Jompong
Selain melihat kondisi pencemaran di sepanjang sungai, tim juga akan melihat kondisi Curug Jompong yang saat ini menjadi polemik. Pemerintah Provinsi Jabar menganggap Curug Jompong adalah biang banjir. Adapun aktivis lingkungan dan beberapa geolog mengatakan, Curug Jompong adalah penghambat membesarnya banjir Citarum. Abrar mengharapkan ekspedisi ini bisa menjadi bahan pertimbangan berbagai pihak pengelola Citarum. Ia ingin semua pihak membuka mata bahwa Citarum kini menjadi penampungan sampah raksasa, yang jika dibiarkan, akan merugikan banyak pihak.
Selain di Citarum, anggota Wanadri juga terjun di dua ekspedisi lain: Garis Depan Nusantara Wanadri-Rumah Nusantara dan Ndugu-ndugu, Papua. Ketua Pelaksana Ekspedisi Irwanto Iskandar mengatakan, tim berangkat pada 15 November, mengunjungi 28 pulau terdepan di kawasan timur Indonesia. Tim Wanadri berjumlah 13 orang dan menumpang kapal pinisi. Mereka menempuh jarak 8.800 kilometer selama empat bulan.
Menurut anggota tim Ndugu-ndugu, Iwan Bungsu, 15 anggota tim telah menggelar persiapan, seperti simulasi di Gunung Gede, Pangrango, Semeru, dan karst Citatah. Harapannya, tim berangkat sebelum akhir 2009. Hingga kini, meski izin informal sudah didapatkan dari Freeport, izin resmi belum turun karena terbentur masalah keamanan di Papua. (CHE)
7
Pangdam terima audiensi Wanadri 30-03-2010, 15:18:25
Pangdam III/Siliwangi Mayjen TNI Pramono Edhie Wibowo menerima audiensi Pengurus Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri bertempat di Ruang Bina Yudha Makodam III/Siliwangi Jl. Aceh 69 Bandung, hari Selasa (30/03).
Pengurus Wanadri yang beraudiensi dengan Pangdam III/Siliwangi dipimpin langsung oleh ketua Umum Wanandri Darmanto didampingi 9 pengurus lainnya. Sementara itu pada kesempatan tersebut Pangdam III/Siliwangi didampingi oleh Asintel Kasdam III/Siliwangi Kolonel Inf Arief Priyatno, S.Ip, M. Hum, Aster Kasdam III/Siliwangi Kolonel Inf Utoh Zaendy, Staf ahli Bidang Sosbud Kolonel Czi Nana Sudjana, Kajasdam III/Slw Letkol Inf Prasodjo BS. dan Kapendam III/Slw Letkol Inf Isa Haryanto.
Ketua Wanadri Darmanto mengungkapkan tujuan melakukan audiensi adalah untuk bersilaturahmi dengan Pangdam III/Siliwangi sekaligus meminta arahan Pangdam III/Siliwingi sehubungan dengan beberapa kegiatan yang sudah dan akan dilaksanakan Wanadri ke depan.
Kegiatan yang akan dilaksankan Wanadri tahun 2010 antara lain : Pendidikan Dasar Wanadri, Dies Natalis ke-46, Penanaman 30.000 pohon, Penjelajahan dan pendataan 92 Pulau terluar, ekspedisi pendakian 7 puncak gunung tinggi di dunia, serta ekspedisi sungai Citarum. Ketua Wanadri pada kesempatan secara khusus meminta kesediaan Pangdam III/Slw untuk memberikan pembekalan kepada calon anggota baru pada acara Pendidikan Dasar Wanadri (PDW) yang akan dilaksanakan pada awal bulan Juli 2010 mendatang.
Pangdam III/Siliwangi Mayjen TNI Pramono Edhie Wibowo menyambut baik berbagai kegiatan positif yang dilaksanakan Wanadri. Kegiatan tersebut menurut Pangdam memberikan arti dan kontribusi bagi masyarakat dan bangsa.
8
Lebih jauh Pangdam mengharapkan agar Wanadri bisa memadukan program kegiatannya dengan program-program yang dilaksanakan Kodam III/Siliwangi seperti penghijauan di sepanjang Daerah Aliran Sungai Citarum yang selama ini telah dilakukan Kodam III/Siliwangi.
Sementara itu, dalam pembinaan kader Wanadri perlu mengembangkan sikap-sikap yang tidak saja mampu menumbuhkan kecintaan terhadap alam dan kelestarian lingkungan, tetapi juga kecintaan dan kepeduliannya terhadap tanah air dan bangsa. (Pendam III/Slw)
--------------------------------------------
Tulisan Pendukung lainnya
--------------------------------------------
Nungky‐Irma Nurmala Pratikto ‐ Anggota Wanadri : W‐512‐Kaliandra
• Perwakilan Wanadri untuk kegiatan Dow Life Earth Run For Water bekerjasama dengan Life Earth yang berpusat di Amerika.
• Anggota Steering Committee Tim Ekspedisi Citarum‐Wanadri yang diketuai oleh Bpk. Rifai A.Natanegara
• Partisipan kegiatan ‘penyelamatan’ sungai, kususnya S.Citarum.
Bagi Wanadri, Sungai adalah bagian dari alam tempat 'bermain'. Salah satu sungai tempat kami bermain, ber arung jeram dan melakukan berbagai kegiatan adalah S.Citarum. (Citarum Rally diprakarsai oleh Wanadri, dan pertama kali diadakan pada thn 1975). Tapi, kala itu S.Citarum masih mengalir ria..jeram2nya dapat diarungi dgn ceria..debit air masih besar dan mencukupi untuk mensupply air baku dengan kualitas yang sangat baik. Konon 10 tahun terakhir ini Citarum mengalami kondisi yang semakin memprihatinkan. Citarum sakit, dan kondisinya semakin buruk, dengan debit air yang semakin tidak memadai untuk kebutuhan kehidupan disepanjang tepi sungai dari hulu sampai hilir, dan kualitas air terus menurun dibawah standar baku mutu air layak minum. Kondisi Sungai Citarum memang sangat mengkhawatirkan. Selain sangat kotor, Citarum pun terkenal sebagai sungai penyebab banjir di sejumlah kawasan. Hal ini disebabka karena rusaknya kawasan hulu Citarum dan kegiatan manusia di sepanjang Daerah Aliran Sungai. Ulah manusia memang menjadikan sungai Citarum ini sebagai tempat sampah dan toilet terpanjang di Jawa Barat. Saya merangkum beberapa tulisan dari beberapa penggiat di lingkungan alam terbuka , tentang masing2 kegiatan dimana saya terlibat dan berhubungan selama ini, yaitu Wanadri, Bappenas dan Live Earth yang sama‐sama perduli untuk menyuarakan tentang wacana maupun kegiatan yang berkaitan dengan air khususnya di sungai Citarum..
9
Ketua Umum Dewan Pengurus XXI‐Wanadri Bayangkanlah kehidupan tanpa air bersih…. Leher tercekik, Bumi kerontang, Tanah pun mengerang… Bayangkanlah… Kepada Manusia, terutama seperti kita yang hidup di daerah tropis, tanyakankah, dua pertanyaan saja :
1. Berapa lama kita kuat bertahan tanpa minum air? 2. Berapa lama kita nyaman bertahan tanpa mandi, karena tak ada air?
Cobalah jauhi air, hidup tanpa air. Sepekan, dua pekan, tiga pekan….. Barulah kita akan fahami betapa berharganya air. Ketua umum XXI Wanadri Darmanto W 735 KL
Rifai A.Natanegara – W‐161‐Hujan Kabut. Ketua Steering Committee Ekspedisi Citarum Wanadri
Senjakala Citarum
Ketika Siulan Bencana Alam Berdialog Dengan Gemuruh Perut Kosong
"To write history without putting any water in it is to leave out a large part of the story. Human experience has not been so dry as that."
Donald Worster Rivers of Empire, 1985
Peranan sungai sebagai penjaga keberlanjutan dari kehidupan dan kesuburan seluruh mahluk hidup yang berada di darat, selalu tercatat dalam sejarah perkembangan peradaban manusia. Sungai tak hanya berfungsi sebagai urat nadi, namun juga berlaku sebagai pemenuh kebutuhan manusia dan mahluk hidup lainnya, mulai dari penyuplai air bersih, penopang makanan, obat‐obatan, serta penyedia bahan dasar dari pembangunan manusia seperti pasir, bebatuan, kayu, dan banyak lagi.
Namun demikian, sungai juga dapat menjadi malapetaka. Terutama ketika manusia mulai menganggap segala kekayaan dan kemakmuran yang terdapat di daerah aliran sungai sebagai sesuatu yang dapat dieksploitasi dan diperlakukan semena‐mena.
Arti penting Citarum, Sebagai sungai terbesar di Jawa Barat mempunyai peran signifikan dalam menunjang lebih dari 8 juta jiwa manusia yang terhampar dari daerah hulu, di daerah Gunung Wayang, Kab. Bandung, sampai utara Karawang. Fakta lainnya adalah, Citarum menyediakan lebih dari 70% air minum yang dinikmati oleh masyarakat Jakarta, beroperasinya 3 PLTA Saguling, Cirata dan Jatiluhur dengan kapasitas terpasang lebih dari 2000 MW serta menghidupi sebagian besar lahan pertanian yang terhampar di Jawa Barat.
10
Melihat arti dan peranan yang sangat vital tersebut, layaklah kita bertanya, seperti apa kondisi Sungai Citarum sebenarnya, terutama di daerah hulu yang menjadi penentu kualitas daerah aliran sungai (DAS), sampai daerah hilir?
Banyak bukti nyata dari petaka sungai, bisa kita rasakan ketika berkunjung ke daerah hulu Sungai Citarum pada saat musim hujan. Sebagai gambaran jalan Kertasari yang merupakan jalan penghubung utama ke hulu Citarum sering tidak bisa dilewati karena adanya banjir lumpur sedalam 50‐60 cm ditengah jalan yang diantaranya disebabkan oleh erosi tanah pertanian akibat habisnya hutan yang berfungsi sebagai resapan air dan penyangga struktur tanah agar tidak mudah terjadi longsor, dan cara bertani yang kurang mematuhi kaidah pelestarian lahan. Sedimentasi yang tiap tahun makin bertambah juga menyebabkan pendangkalan diderah padat penduduk sepanjang aliran sungai yang menyebabkan banjir rutin yang intensitasnya makin menghawatirkan didaerah bantaran sungai dari Majalaya sampai Dayeuh kolot yang menimbulkan kenistaan buat masyarakat yang kebanjiran. Sedimentasi yang tinggi juga menyebabkan PLTA sepanjang Citarum akan bertambah pendek umurnya dan tidak bisa beropera si sesuai dengan kapasitas awal. Limbah domestik dan industri yang tidak dikelola dengan baik juga menambah rusaknya kualitas air Citarum yang tentunya suatu saat akan makin berpengaruh kepada siapapun yang memanfaatkan airnya. Skandal lingkungan seperti Minimata di Jepang, bukan tidak mustahil suatu saat akan menyergap penduduk cekungan Bandung.
Persoalan lingkungan di daerah hulu Citarum, memang bukan persoalan yang dapat dilihat secara parsial. Bukti nyata bahwa persoalan ekologis sangat erat kaitannya dengan persoalan sosial dan ekonomi, dapat kita saksikan langsung di sini. Adalah tidak mungkin bahwa lahan pertanian yang ada dapat menghidupi seluruh warga Kertasari dengan layak. “Faktanya, ada lebih dari 66.000 ribu jiwa dengan luas lahan sebanyak 700 hektar. Jika semua orang, jika semua kepala keluarga berprofesi sebagai petani, berapa jumlah lahan yang dapat mereka garap hanya sekadar untuk bertahan hidup?”
Suatu gerakan akar rumput sepertii Masyarakat Peduli Sumber Air (MPSA), yang berdiri semenjak tahun 2003, yang kini anggotanya berjumlah ribuan orang di berbagai pelosok Kab. Bandung Selatan telah secara swadaya membuat kolam 2 resapan yang berpungsi menyimpan air.Kalau ada pihak yang tertarik silahkan lakukan penelitian ,ikan apa dan cara 2 pemeliharaan bagaimana yang terbaik sehingga fungsi lingkungan jalan sekaligus membantu masyarakat meningkatkan kehidupan ekonominya.
Pun sebenarnya masyarakat di daerah hulu Citarum bukan tidak paham terhadap pentingnya menjaga kelestarian hutan di daerah mereka sendiri. Mereka sadar betul, bahwa sebagai sungai terpanjang di Jawa Barat, Citarum menjadi sandaran hidup bagi jutaan orang. Dari mulai untuk memenuhi kebutuhan air bersih, listrik, sampai produksi pangan. Mereka sadar betul, bahwa jika tak ada perubahan drastis dan terencana dalam pengelolaan Citarum maka berbagai bencana akan terjadi semakin sering, dan dalam skala yang semakin besar.
Menurut tokoh tokoh lingkungan setempat persoalan warga daerah hulu Citarum sebenarnya sangat klasik dan sederhana, yakni “Bencana lingkungan Vs Perut”.
“Kami menyadari bahwa menjaga lingkungan, menjaga keberadaan hutan, adalah penting. Namun mau bicara apa ketika perut kami kosong?”
Namun demikian, tokoh tokoh akar rumput menyadari betul pentingnya menjaga kelestarian hutan di daerah hulu Citarum, oleh sebab itu mereka giat melakukan penyadaran ke masyarakat, bahwa arti penting air bukanlah untuk siapa‐siapa, namun untuk mereka sendiri, untuk anak‐cucu mereka. Mereka sendiri juga sudah dan akan merasakan dampak dari segala perilaku yang mereka perbuat.
Diakui oleh mereka bahwa kesadaran masyarakat untuk menjaga sumber‐sumber air yang banyak tersebar di beberapa titik hulu Citarum, di antaranya: Kertasari, Pacet, Ibun, dan Cikancung, menjadi berkurang setelah adanya pipanisasi yang dilakukan oleh pemerintah semenjak tahun 1982. “Akibat pipanisasi tersebut, banyak selokan dan lahan penyangga yang hilang karena hubungan masyarakat
11
dengan sumber‐sumber air tersebut terputus. Kini sebagian besar masyarakat hanya tahu bahwa air yang mereka gunakan bersumber dari pipa air. Walaupun mereka tahu bahwa hutan sangat penting sebagai penjamin sumber air, mereka tak peduli lagi atas keberadaannya.”
“Padahal, dulu penduduk lokal yang secara turun temurun telah berprofesi sebagai petani, tak pernah mengganggu lahan penyangga, mereka telah memetak‐metak lahan pertanian sedemikian rupa, sehingga tak mengganggu hutan yang ada di atas, karena ada kesadaran.” Imbuh mereka lagi.
Pemerintah pun sebenarnya tak tinggal diam, semenjak beberapa dekade yang lalu, tak terhitung lagi program yang direncanakan oleh pemerintah terhadap perbaikan kualitas hulu Citarum yang fungsinya teramat penting bagi banyak orang. Dari mulai pengerukan dasar sungai Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, sampai program penanaman daerah hulu yang menghabiskan dana yang tak sedikit. Namun rupanya hal ini sama sekali tak mengundang simpati warga. Dimasa lampau “Kami tak pernah diajak berunding,apalagi diajak duduk bersama untuk menentukan program dan kebijakan apa yang kira‐kira dapat berjalan dengan baik. Akhirnya semua jalan masing‐masing.”
Padahal, masalah reboisasi pun sebenarnya tak sesederhana seperti yang dibayangkan. Masalahnya memang sederhana, namun karena selama ini pemecahan yang ditawarkan hanya bersifat parsial, seringkali kita melihatnya jadi rumit. Menurut para penggiat lingkungan tempatan, pengelolaan hutan yang paling baik adalah yang melibatkan masyarakat sekitar, lalu langkah selanjutnya adalah, pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang punya keahlian di bidang yang spesifik dapat mendampingi warga dalam menekuni profesi tertentu, hingga masyarakat dapat terus hidup tanpa merusak hutan.
Kec. Kertasari, sebagai hulu Citarum sebenarnya mempunyai beberapa potensi lokal yang dapat dikembangkan untuk dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat tanpa merusak lingkungan alam. Kec. Kertasari saat ini masih mendatangkan dari luar pupuk kotoran ayam sebanyak 40 truk perhari. Dan tentunya banyak sekali pemakaian pupuk anorganik,insektisida , fungisida dll yang merupakan bahan yang tidak ramah lingkungan sedangkan mereka memiliki 8000 ekor sapi, yang kotorannya berpotensi dijadikan pupuk organik namun sampai saat ini masih dianggap sebagai sampah. Sebagian besar masyarakat bahkan hanya memperlakukan kotoran sapi dengan cara membuangnya, atau menyemprotnya dengan air untukselanjutnya mengalir ria keanak anak sungai Citarum.
Sebenarnya beberapa waktu yang lalu pernah ada program sosialisasi pemerintah mengenai pemanfaatan kotoran sapi menjadi biogas. Namun program tersebut hanya berjalan sebentar dan tersendat sendat. Pemerintah hanya berinvestasi di pengadaan infrastrukturnya saja, tidak di masyarakatnya. Tidak ada seorangpun warga diplot menjadi teknisi. “Sekarang yang tersisa dari program tersebut hanya tinggal beberapai reaktor biogas bahkan ada beberapa yang sudah dibuat tanpa sekalipun pernah berfungsi.
Kegagalan program tersebut sebenarnya sudah dapat diprediksi dari awal. Penyebabnya,lagi lagi masyarakat selalu dijadikan objek. Selama ini pemerintah selalu merasa dirinya sebagai solusi terhadap segala permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Namun pemerintah selalu menganggap rendah kemampuan masyarakat dalam memetakan persoalan dan menelurkan ide‐ide yang dapat menjadi solusi yang mereka hadapi sehari‐hari, yang terjadi adalah sebaliknya, masyarakat kini menganggap pemerintahlah biang segala masalah yang dihadapi masyarakat.
Berdasarkan percakapan singkat, terlalu singkat untuk dapat memahami duduk permasalahan secara jernih, dapatlah kita simpulkan bahwa kegagalan dari berbagai program menyangkut perbaikan kondisi daerah hulu sungai Citarum, sebagian besar adalah karena tidak adanya dialog yang sehat antara masyarakat dengan pihak pemerintah. Kebijakan‐kebijakan pemerintah yang biasanya hanya solusi yang bersifat jangka pendek, pragmatis, parsial, tidak partisipatoris, dan oleh karenanya tidak transparan, dituding masyarakat sebagai penyebab utama dari terjadinya degradasi lingkungan yang semakin parah.
12
Masyarakat sebenarnya hanya ingin diajak duduk bersama dalam memetakan masalah, serta merumuskan solusinya bersama‐sama. Namun hal tersebut dapat berjalan dengan baik ketika semua pihak terkait melepaskan “topeng”nya masing‐masing dan mengenyampingkan berbagai motivasi, agenda tersembunyi dari kepentingan pribadi dan golongan tertentu, demi kepentingan dalam memperbaiki kualitas hidup bersama.
Sungai sehat adalah jaringan yang sangat kompleks dari sistem‐sistem alam. Air bukan hanya berarti sumber kehidupan, namun juga sumber dari ilmu pengetahuan yang luas. Leluhur kita dulu sebenarnya berusaha untuk mengingatkan kita akan arti pentingnya air bagi peradaban manusia, dari hal yang paling sederhana, melalui penamaan daerah yang mayoritas diawali dengan “Ci” atau air, sampai tahap pengembangan mitologi seperti daerah pembagian hutan larangan, hutan garapan, dan lain sebagainya, yang kini cenderung dianggap klenis atau primitif oleh masyarakat modern.
Segala pertanyaan muncul dengan jawaban. Permasalahan adalah ladang untuk terus membangun dan memperbaiki diri. Pertanyaan kemudian adalah, apakah dengan segala orientasi pembangunan yang cenderung mengintervensi, merekayasa dan mengeksploitasi sungai seperti yang kita lakukan selama ini, maka kualitas kehidupan di masa depan kita akan semakin baik, atau dengan segenap kesadaran kita berjalan menuju kehancuran? •
=================================
MENGAPA HARUS MENYELAMATKAN CITARUM?
UPAYA MENYELURUH DAN TERINTEGRASI UNTUK MENYELAMATKAN SEBUAH SUNGAI VITAL
by M. Donny Azdan, PhD Direktur Pengairan dan Irigasi
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
*Anggota Steering Committee Ekspedisi S.Citarum‐Wanadri* “When the well's dry, we know the worth of water.” ‐ Benjamin Franklin (1706‐1790), Poor Richard's Almanac, 1746‐ Mengamati keberadaannya barangkali di Indonesia banyak orang masih menyamakan air dengan udara atau matahari. Seakan‐akan semuanya tersedia tanpa batas. Sumber alam ini dinilai masih kalah prioritas ketimbang minyak atau barang tambang lainnya. Namun disadari bahwa kebutuhan air bersih sesungguhnya sangat krusial bagi manusia. Setiap orang membutuhkan setidaknya 50 liter air setiap harinya untuk minum, memasak, mencuci, sanitasi, dan untuk mengairi pertanian dan perkebunan mereka. Data World Health Organization (WHO) menyebutkan penyakit yang disebabkan oleh kekurangan air bersih seperti diare, membunuh dua juta orang setiap tahunnya. Majalah The Economist pada Juli 2003 menurunkan tulisan bahwa, 60 persen penyakit di dunia disebabkan oleh kondisi kekurangan air bersih. The World Water Council pada 2006 sampai pada kesimpulan bahwa, setiap harinya diperkirakan 3.900 anak usia dibawah 5 tahun meninggal dunia karena penyakit terkait kondisi air. Inilah mengapa air sangat penting untuk setiap mahkluk hidup, tanpa harus menyebutkan lebih dari 60% tubuh manusia terdiri dari air.
13
Mengapa Citarum Dari sisi sejarah, Citarum amat penting. Pada abad ke‐5, di tepi sungai Citarum ini menjadi pusat kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Hindu tertua di Jawa Barat. Sungai ini juga memainkan peran penting hingga beberapa masa, ia menjadi batas wilayah Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda (pergantian nama dari Kejaraan Tarumanegara pada 670 Masehi) hingga menjadi batas administrasi Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten pada abad ke‐15. Citarum berasal dari dua kata, Ci dan Tarum. ‘Ci’ atau dalam bahasa Sunda ‘Cai’, artinya air. Sedangkan ‘Tarum’ merupakan sejenis tanaman yang menghasilkan warna ungu atau nila. Hulunya berada di daerah Gunung Wayang sebelah selatan kota Bandung, dan mengalir menuju ke utara bermuara di Barat Laut Bekasi. Mari kita tengok fakta bagaimana peranan sungai Citarum dewasa ini. Dengan panjang sekitar 225 kilometer, Citarum merupakan sungai terbesar dan terpanjang di Jawa Barat. Total area sepanjang Daerah Aliran Sungai Citarum mencapai 12 ribu kilometer persegi. Populasi penduduk di sepanjang sungai sebanyak 10 juta (50 persen diantaranya adalah kaum urban). Manfaat Citarum dirasakan 25 Juta penduduk (15 Juta Jawa Barat dan 10 Juta DKI Jakarta). Citarum menghasilkan tenaga listrik sebesar 1.400 megawatt. Ia mengairi areal irigasi seluas 420 ribu hektar. Citarum juga mensuplai air baku untuk 80 persen penduduk Jakarta dengan debit air 16 meter kubik perdetik. Sungai vital dengan peran penting. Ratusan ribu hektar sawah dan kebun, sumber air minum ibu kota Jakarta dan kota Bandung, sumber pembangkit tenaga listrik dari tiga bendungan, sungguh puluhan juta orang bergantung kepadanya. Namun kondisi terkini sungai Citarum ini sungguh menyedihkan. Sorotan media baik dalam maupun luar negeri sungguh menohok. Beberapa edisi surat kabar internasional, menyebutkan Citarum sebagai “Sungai Terkotor di Dunia”. Seperti yang dimuat di International Herald Tribune edisi 5 Desember 2008 dengan judul “Citarum, The World Dirtiest River” dan The Sun edisi 4 Desember 2009 dengan judul “The Dirtiest River”. Surat kabar dalam negeri terkemuka seperti Kompas menulis “Citarum Sungai Limbah” pada edisi 25 November 2009. Sedangkan The Jakarta Post edisi 12 November 2009 mengangkat Citarum sebagai, “Key River Suffers Upstream, Downstream Pollution”. Semuanya dengan foto kondisi terkini Citarum yang amat menyedihkan. Kondisi Sungai Citarum cukup mengkhawatirkan. Selain sangat kotor, Citarum pun terkenal sebagai sungai penyebab banjir di sejumlah kawasan. Hal itu disebabkan beberapa hal, diantaranya rusaknya kawasan hulu Citarum dan kegiatan manusia di sepanjang Daerah Aliran Sungai. Ulah manusia memang menjadikan sungai Citarum ini sebagai tempat sampah dan toilet terpanjang di Jawa Barat. Bukan hanya perilaku membuang sampah dan kotoran saja, itu baru satu problema besar. Kasus Citarum jauh lebih pelik. Beberapa contoh problem besar lainnya adalah: erosi dan lahan kritis di wilayah hulu seperti yang terlihat di Gunung Wayang, akibat berkurangnya areal hutan lindung, hulu yang gundul akibat penebangan dan pergantian fungsi lahan kerap menjadi penyebab banjir rutin di beberapa wilayah. Kemudian adanya pencemaran akibat kotoran ternak sapi seperti di daerah Majalaya, yang membuat sekitar 190 ton kotoran hewan berpotensi masuk ke sungai setiap hari. Pencemaran limbah Industri, dengan jumlah pabrik cukup banyak berada di sekitar daerah aliran sungai, yang langsung membuang limbahnya secara terang‐terangan langsung masuk ke sungai. Warna air langsung dapat terlihat berubah warna seketika setiap saluran pembuangan limbah pabrik mengucur ke sungai. Kasus Ikan mabuk terkontaminasi dan kasus warga sekitar mengalami sakit kulit sangat mudah dijumpai.
14
Persoalan sampah juga semakin memperparah kondisi, dengan tidak mengindahkan tata ruang, menjadikan wilayah pinggir sungai menjadi kawasan padat penduduk. Kemudian tidak adanya kontrol ketat atas industri perikanan, yang banyak terdapat di sungai Citarum, menyebabkan sisa pakan ikan mencemari sungai dan waduk antara lain di waduk Saguling. Di beberapa wilayah, seperti di Bekasi, sanitasi yang sangat buruk ikut memperparah, perilaku membuang sampah, mencuci pakaian, dan sarana buang air besar sekaligus langsung di sungai Citarum. Menjajak ke daerah hilir pun, kondisi diperparah dengan berkurangnya keanekaragaman hayati, rusaknya mangrove dan berkurangnya habitat burung, monyet dan ikan, serta persoalan abrasi pantai. Inilah semua sebagian contoh problem kenapa Citarum yang vital ini menjadi sungai dengan air tidak layak pakai karena penuh kotoran dan sampah, terkontaminasi limbah pabrik, dan menjadi penyebab banjir terus menerus, Sebuah Upaya Terintegrasi Dengan keberadaan Citarum yang melintasi dan di manfaatkan oleh sembilan Kabupaten (Bandung, Bandung Barat, Cianjur, Purwakarta, Kerawang, Bekasi, Subang, Indramayu dan Sumedang) dan tiga Kota (Bekasi, Bandung dan Cimahi), serta perannya yang sangat penting sebagai penyedia air baku ibukota menjadikannya sebagai wilayah sungai strategis nasional, sehingga kewenangan pengelolaannya juga berada di pemerintah pusat. Banyak daerah dan sektor yang terlibat dan mempunyai kepentingan dengan sungai ini. Untuk itu maka upaya penanganannya harus melibatkan semua pemangku kepentingan dari berbagai sector dan daerah yang terlibat secara terintegrasi. Semuanya harus terintegrasi dan terkoordinasi. Adalah mustahil dalam membersihkan sungai hanya di wilayah hilir saja tanpa membenahi wilayah hulu, atau komitmen satu kementerian/departemen tanpa kerjasama serupa dari kementerian/departemen lainnya, juga tidak mungkin suatu kabupaten mendukung visi ini tanpa ada dukungan kongkrit serupa dari kabupaten disebelahnya. Upaya ini juga tidak akan berhasil tanpa adanya partisipasi masyarakat, kalangan LSM dan kalangan bisnis/swasta. Sejak beberapa tahun lalu, sejumlah instansi pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat berpartisipasi dalam serangkaian dialog yang pada akhirnya dapat menghasilkan Citarum Roadmap, yaitu suatu rancangan strategis berisi hasil identifikasi program‐program utama untuk meningkatkan sistem pengelolaan sumber daya air dan memperbaiki kondisi di sepanjang aliran Citarum. Hingga kini telah teridentifikasi sebanyak 80 jenis program dengan perkiraan kebutuhan pembiayaan mencapai Rp. 35 triliun (pada tahun 2007) yang berasal dari berbagai sumber pembiayaan, baik itu anggaran pemerintah, kontribusi pihak swasta maupun masyarakat, juga bantuan dari lembaga keuangan internasional yang dilaksanakan secara bertahap dalam waktu 15 tahun ke depan. Citarum Roadmap menggunakan pendekatan komprehensif, multi‐sektor dan terpadu untuk memahami dan memecahkan masalah kompleks seputar air dan lahan di sepanjang aliran Citarum. Pelaksanaan program ini dilakukan melalui koordinasi dan konsultasi antar para pemangku kepentingan, serta mengutamakan partisipasi masyarakat dalam menentukan prioritas, rancangan hingga pelaksanaan. Koordinasi Program dilakukan oleh Bappenas, sedangkan lembaga pelaksana kegiatan dikordinasikan oleh Ditjen Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum melalui Balai Besar Wilayah Sungai Citarum, dengan melibatkan berbagai Departemen dan Kementerian terkait baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota melalui Dinas‐Dinas terkait.
15
Adapun tahap pertama Citarum Roadmap terdiri dari sembilan kegiatan antara lain: Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai Citarum, Peningkatan pengelolaan lahan dan air, Pengelolaan air dan sanitasi berbasis masyarakat, Rencana aksi peningkatan kualitas air, Perlindungan lingkungan dan keanekaragaman hayati di hulu sungai, Penataan ruang, Pengelolaan banjir di kawasan hulu, Desain untuk peningkatan sistem penyediaan air bersih Kota Bandung, dan Strategi adaptasi terhadap perubahan iklim. Inisiatif Komunitas, Ekspedisi WANADRI Inisiatif tidak datang dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah saja. Saat ini sudah banyak kegiatan dilakukan oleh Komunitas warga dan Lembaga Swadaya Masyarakat di beberapa daerah dari hulu hingga hilir Citarum. Aksi kepedulian perusahaan swasta yang beroperasi di sepanjang wilayah sungai Citarum juga ikut andil dengan beberapa program corporate social responsibility (CSR) mereka. Salah satu contoh nyata aksi kepedulian akan Citarum dapat disimak dari Ekspedisi Citarum yang digelar Wanadri. Wanadri adalah sebuah organisasi pecinta lingkungan nasional yang telah memiliki reputasi panjang di negeri ini. Sejumlah alumni senior Wanadri memiliki ikatan batin dengan sungai Citarum, karena pada tahun 1975, mereka pernah menggelar ekspedisi serupa di Citarum dengan kondisi sungai yang jauh lebih jernih. Melihat kondisi kritis Citarum dewasa ini, mereka tergerak untuk berbuat sesuatu. Dalam ekspedisi 2009‐2010 yang saat ini sedang berjalan, Wanadri mencoba mengarungi sungai Citarum untuk mendokumentasikan titik‐titik permasalahan, baik data visual dan data Geographic Information System (GIS), juga kajian permasalahan sekitar daerah aliran sungai secara sosiologis. Salah satu masukan berharga dari Wanadri kepada pemerintah, adalah pembagian sungai Citarum kedalam 6 segmen sesuai dengan letak wilayah, problem spesifik dan karakteristiknya. Pada daerah Citarum hulu, Segmen 1 meliputi Gunung Wayang hingga Jembatan Majalaya. Segmen 2 meiiputi Jembatan Majalaya hingga Jembatan Dayeuh Kolot. Segmen 3 meliputi Jembatan Dayeuh Kolot hingga Ujung Saguling. Pada daerah Citarum tengah, Segmen 4 meliputi tiga bendungan Saguling, Cirata, Jatiluhur. Segmen 5 meliputi saluran pengairan irigasi Jatiluhur‐Kerawang. Dan pada Citarum Hilir, segmen 6 meliputi daerah muara Citarum dan sekitarnya. Pembagian segmentasi sungai Citarum ini, kini menjadi salah satu acuan utama dalam implementasi program terintegrasi pemerintah. Mencapai impian Bersama, Citarum yang Bersih Dengan komitmen bersama, Sungai Han di Korea Selatan dapat dibersihkan dan menjadi salah satu icon kebanggaan negeri itu. Sungai Citarum dulunya kaya akan ikan. Selama berabad‐abad ratusan ribu penduduk minum air yang jernih. Anak‐anak bermain di sungai. Laki‐laki menangkap ikan. Kini sepatu, popok bayi dan botol plastik mengapung di air. Nelayan yang dulu mencari ikan, kini mengumpulkan sampah. Satu kilogram plastik menghasilkan hampir 10 sen euro. Kelok sungai citarum melewati desa‐desa kecil, Di sini sawah‐sawah diairi air tercemar, dan hampir semua air permukaan ibukota berasal dari sungai Citarum. Erosi membuat sungai lebih cepat mengering dan sampah tidak bisa mengalir. Terutama di musim kemarau sungai mengeluarkan bau menyengat. Kadang‐kadang bisa membuat penduduk di sekitarnya jatuh pingsan. Sungai Thames di Inggris juga pernah mengeluarkan bau semenyengat itu, sehingga parlemen mempertimbangkan memindahkan gedung pemerintah serta Big Ben dari pusat London. Namun, pada kondisi sekarang ikan‐ikan kembali berenang di sungai tersebut. Penduduk sekitar sungai Citarum juga harus bisa bermimpi suatu saat anak‐anak mereka bisa kembali berenang di dalam air secara aman.
16
Namun, ibarat sebuah pertunjukan orkestra, adanya seorang dirigen yang mumpuni atau beberapa pemain biola ulung saja tidaklah cukup. Diperlukan keterpaduan kerjasama dan keselarasan harmoni, tanpa itu hanya akan menghasilkan nada sumbang yang tidak sinkron. Demikian pula dalam upaya mewujudkan cita‐cita akan Citarum yang bersih. Kerjasama dan koordinasi berbagai sektor dalam semua lini adalah kunci segalanya.
================================= Rinny Noor – Event Director Live Earth Building on the success of the 2007 concerts which took place over the course of 24 hours, on seven continents, featuring 150 artists to raise awareness for the issues and solutions associated ” Live Earth announces a global initiative for 2010 addressing a significant environmental issues, the global water crisis. This year, Live Earth and Dow have partnered together on the Dow Live Earth Run for Water, a global event aimed at raising awareness and funds to help solve the global water crisis. In Indonesia, the Dow Live Earth Run for Water will be held on April 18, 2010 at Garuda Wisnu Kencana Cultural Park in Bali. The Dow Live Earth Run for Water, a series of 6 km runs/walks (the average distance many women and children walk everyday to secure water), is also featuring concerts and water education activities to raise money to help solve the water crisis. “Through the Dow Live Earth Run for Water event, people around the world are expected to be aware of the threat of local and global water crisis. For the first time, Indonesia will participate in the global event that is simultaneously performed in more than 40 countries around the world,” said Rinny Noor, Live Earth’s license holder for Indonesia. Live Earth also partnered with WANADRI to continuously arouse the awareness that every individual has a primary role in providing water crisis problem solution starts from the simplest effort of saving water in the household to the effort that requires multi‐stakeholders coalition to converse water resources. Tentang Krisis Air Sedunia Walaupun 70 persen bumi ini diselimuti oleh air, hanya 2,5 persennya sajalah yang layak diminum untuk lebih dari tujuh milyar individu. Langkanya air kini menjadi masalah di beberapa negara, komunitas, dan keluarga di seluruh dunia. Angka kematian di Afrika, Amerika Latin dan Asia mencapai 1,8 juta yang disebabkan oleh diare setiap tahunnya. Sementara, terhitung 5.000 anak‐anak wafat setiap harinya karena kurangnya sarana dan prasarana air. Di daerah‐daerah ini, para wanita dan anak‐anak harus berjalan sejauh 6 km setiap harinya untuk mendapatkan air – yang kurang layak untuk diminum. Di negara‐negara berkembang, air keruh menyebabkan 80 persen dari segala penyakit, dan membunuh masyarakat lebih banyak dibandingkan dengan kekerasan, termasuk peperangan. Anak‐anak adalah korban yang paling menderita dari masalah ini. Dari 42.000 kematian yang terjadi setiap minggunya yang disebabkan oleh air keruh, 90 persennya adalah anak balita. Para wanita dan anak‐anak menghabiskan sekitar 40 milyar jam setahunnya untuk mendapatkan air. Itu berarti, anak‐anak telah kehilang jutaan waktu untuk sekolah, yang berimbas pada kurangnya pendidikan, dan tentu saja, mengabadikan kemiskinan. Namun, krisis air bukan saja terjadi di negara berkembang. Di beberapa daerah di seluruh dunia, seperti bagian barat Amerika Serikat dan Australia, langkanya air membuat air dijatahkan, dan meningkatkan
17
biaya. Sementara, 60 persen kota‐kota Eropa dengan populasi lebih dari 100.000 individu, air di bawah tanah digunakan lebih cepat daripada pengisiannya. Perubahan iklim telah memberi dampak pada persediaan air, dan hal ini akan semakin memperburuk masalah di kemudian hari. Seiring dengan perubahan iklim dan memanasnya temperatur air laut, pola curah hujan akan menjadi semakin musiman dan berubah, baik secara lokasi maupun volume. Beberapa daerah yang biasanya mendapatkan musim hujan yang dapat diprediksi akan melihat bahwa pola hujan bergeser ke daerah lain yang mengubah aliran sungai dan waduk, bahkan mengubah pengisian kembali air tanah. Beberapa daerah di dunia akan mengalami curah hujan dalam bentuk salju, yang mengakibatkan air sungai meluap dan banjir ketika musim semi, dan pada akhirnya, menekan angka persediaan air dan menambah krisis air pada musim panas. Di Amerika Serikat, di bagian barat Mississippi, beberapa daerah besar telah mengalami krisis air yang sangat genting diakibatkan kekeringan yang berkepanjangan: daerah‐daerah ini diprediksi akan tetap kering. Di samping berubahnya persediaan air, perubahan iklim juga berdampak pada kualitas air yang menyebabkan ekosistem air menjadi musnah atau berubah, serta mempengaruhi polusi yang diperkuat oleh banjir dan siklus kekeringan. Krisis air dapat diatasi dengan meningkatkan kesadaran, membuat konservasi air, dan memberikan investasi yang memadai, berkala dan dapat direplikasikan kepada proyek‐proyek air. Statistik:
• Tujuh puluh persen dari Bumi diselimuti oleh air: 97,5 persennya adalah air asin. Hal ini hanya meninggalkan 2,5 persen – sebagian besar darinya telah terpolusi dan berbahaya – untuk digunakan oleh hampir tujuh milyar individu.
• Di tahun 2025, dua per tiga populasi bumi dapat menderita krisis air. • Saat ini, hampir satu milyar individu (satu dari delapan orang) tidak memiliki akses untuk air
bersih yang aman dikonsumsi. • 1,8 milyar individu mati setiap tahunnya dikarenakan diare yang sangat terkait dengan air.
Sembilan puluh persennya adalah anak balita. • 443 juta sekolah kehilangan jam pelajarannya karena adanya diare yang sangat terkait dengan
air. • Lima puluh persen masalah kekurangan gizi diakibatkan oleh diare yang sangat terkait dengan
air.
18
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
E
E
E
EE
EE
EE
E
E
EE
E
E
E
E
EE
EE E E
E E
E
E
EE
E
E EE
EE
EE
E
E
E
E
E
E E E
E
EE
E
EE
E
EE E E
E
E
EE E
E
EE
E
E
EE
E
E
E
E
E
E
E
E
EE
E
EEE
EE
EE
E
E
E
E
EE
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
EEEEEEE
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
EE
EE
EE
E EE E
E
E
EE
EE
E
E
E
EEE
E
E
E
E
E
E
E
EE
E
E
E
E
E
E
E
E
EEE
E
EE
E
E
E
E
E
E
EE
E
EE
E
EE
E
E
E
E E
E E
E
E
E
EE E
E
EE
E
EE
E
E E
EE
E
E
E
E
E
E
E
EE
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
EE
EE
E
EE
EE
E
E
EE
EE E
E E E
E E
E E
EE
EE
EE
E
E
EE
E
EE
E
EEE
E EEE
EE E
EE E
EE
EE
E
E
EE
E EE
EE
E E E E
E E
E
E
BANDUNG
CIANJUR
SUBANG
BEKASI
KARAWANG
BOGOR
GARUT
PURWAKARTA
SUMEDANG
SUKABUMI
INDRAMAYU
KOTA BEKASI
KOTA BANDUNG
KOTA CIMAHI
Sawo
Wadas
Cariu
GARUT
Leles
Tambun
Ciasem
Ciater
Cimahi
BEKASI
SUBANG
Nagrek
Cibuni
Babakan
Kedaung
Cibuaya
Ciredak
Jonggol
Cisalak
Cipanas
Lembang
Cililin
Cibeber
BANDUNG
CIANJUR
Ciparai
Santosa
Cianjur
Soreang
Ciwidey
Campaka
Ciragil
Cibarusa
Majangan
Batujaya
CikarangCilamaya
SukataniPabuaranCikampek
Kalijati
Wanayasa
Cimalaka
KARAWANG
SUMEDANG
Majalaya
Marujung
Banjaran
Cilincing
Sumurgede
Rawamerta
Srengseng
Sukamandi
Cileungsi
Pangkalan
Naggerang
Ciranjang
Batujajar
Pagelaran
Cicalengka
Bojongkole
Padalarang
PURWAKARTA
Celengsing
Gununghalu
Sukanegara
Kedupandak
Ujunggebang
Sungaibambu
Pasirkalong
Tanjungsari
Ujungberung
Pangalengan
Karangbungur
Pangandenbaru
Sangalaberang
Cikalongwetan
Cikalongkulon
Tonjongkarang
Rengasdengklok
Babakan Jampang
987
6
5
4
3
21
99
9897
9695
94
9392
9190
8988
87
86858483
8281
80
79
78
77
76
75 7473
72
71 70 69
68
6766
65
64
63
62
6160
5857
56
55
54
5352
51
504948
47
46454443
4241
4039
3837
36
35343332
31
30
2928
2726
25
2423
222120
1918
17
1615
1413121110
308307 306
305304
303
302
301
300
299
298
297
296
295
294
293
292
291290
289288
287
286285
284
282
281
280279
278277
276
275
274
273272
271270269268267266
265264263
262261260
259
258257
256255
254253252
251250249
248247246245
244243242
241240
239238
237
235
234
233232
231230
229228
227226
225224
223222221220219
218217
216
215
214
213212
211210209
208
187
186185
184183
182
181
180
179
178
177
176175 174
173
172
171
170 169168
167166
165164
163162161160
159158
157156
155154
153
152
151
150
149
148
147
146
145
144
143
142
141
140139 138 137 136 135 134
133132
131
130
129
128127
126
125
124123
122
121
120
119
118
117116
115
114113
112
111110109
108
107
105104103
102
101
100
207206
205
204
203
202
201
200
199198197
196195
194
192
191
190189
188
107°30'0"E
107°30'0"E
107°0'0"E
107°0'0"E
6°0'0"S
6°0'0"S
6°30'0"S
6°30'0"S
7°0'0"S
7°0'0"S
740000.000
740000.000
790000.000
790000.000
9220
000.
000
9220
000.
000
9270
000.
000
9270
000.
000
9320
000.
000
9320
000.
000
Legend
Citarum
Anak Citarum
DAS Citarum
Waduk Citarum
Kota Kabupaten
Sungai CitarumPer-KM
Ekspedisi Citarum Wanadri
Muara Bendera
Cisanti
0 2,500 5,000 7,500 10,000Meters
O
BANDUNG BARAT
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
WW
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
BANDUNG
CIANJUR
SUBANG
BEKASI
KARAWANG
BOGOR
GARUT
PURWAKARTA
SUMEDANG
SUKABUMI
INDRAMAYU
KOTA BEKASI
KOTA BANDUNG
Sawo
Wadas
Cariu
GARUT
Leles
Tambun
Ciasem
Brujul
Ciater
Cimahi
BEKASI
SUBANG
Nagrek
Cibuni
Babakan
Kedaung
Cibuaya
Ciredak
Jonggol
Cisalak
Cipanas
Lembang
Cililin
Cibeber
BANDUNG
CIANJUR
Ciparai
Santosa
Cianjur
Soreang
Ciwidey
Campaka
Ciragil
Cibarusa
Majangan
Batujaya
Cikarang Cilamaya
SukataniPabuaranCikampek
Kalijati
Wanayasa
Cimalaka
KARAWANG
SUMEDANG
Majalaya
Marujung
Banjaran
Cilincing
Sumurgede
Rawamerta
Srengseng
Sukamandi
Cileungsi
Pangkalan
Naggerang
Ciranjang
Batujajar
Cisurupan
Pagelaran
Cicalengka
Bojongkole
Padalarang
PURWAKARTA
Celengsing
Gununghalu
Sukanegara
Kedupandak
Ujunggebang
Sungaibambu
Kampungbaru
Pasirkalong
Tanjungsari
Ujungberung
Pangalengan
Karangbungur
Pangandenbaru
Sangalaberang
Cikalongwetan
Cikalongkulon
Tonjongkarang
Rengasdengklok
Babakan Jampang
Segmen VI
Segmen IV
Segmen I
Segmen IIISegmen II
107°30'0"E
107°30'0"E
107°0'0"E
107°0'0"E
6°0'0"S6°0'0"S
6°30'0"S6°30'0"S
7°0'0"S7°0'0"S
740000.000
740000.000
790000.000
790000.000
9220
000.
000
9220
000.
000
9270
000.
000
9270
000.
000
9320
000.
000
9320
000.
000
Legend
Segmen I ± 25.5 Km
Segmen II ± 26 Km
Segmen III ± 28 Km
Segmen IV ± 97 Km
Segmen VI ± 134 Km
Segmen V ± 243 m
Anak Citarum
DAS Citarum
Waduk Citarum
Kota Kabupaten
Sungai CitarumPer Segmen
Ekspedisi Citarum Wanadri
Muara Bendera
Cisanti
0 2,500 5,000 7,500 10,000Meters
O
Segmen V
BANDUNG BARAT
W
W
W
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
EE
E
PACET
IBUN
KERTASARI
CIPARAY
MAJALAYA
ARJASARI
PASIRWANGI
SAMARANG
PASEH
BALEENDAH
Ciparai
Majalaya
Marujung
308
307306
305
304
303
302
301
300
299
298
297
296
295
294
293
292
291
290
289288
287
286
285
284
282
281
280
279
107°45'0"E
107°45'0"E
107°40'0"E
107°40'0"E
7°5'0"S7°5'0"S
7°10'0"S7°10'0"S
795000.000
795000.000
800000.000
800000.000
805000.000
805000.000
9205
000.
000
9205
000.
000
9210
000.
000
9210
000.
000
9215
000.
000
9215
000.
000
9220
000.
000
9220
000.
000
Legend
Jalan Kabupaten
Citarum
Anak Citarum
Batas Kecamatan
DAS Citarum
Waduk Citarum
Kota Kabupaten
Sungai CitarumSegmen 1
Ekspedisi Citarum Wanadri0 625 1,250 1,875 2,500Meters
O
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
EEEEEE
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
EE
EE
E E
E E
E
E
EE
EE
E
E
E
E
EE
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
EE
E
EE
E
E
E
E
E
E
E
E
E
EE
EE
E
E
E
E
EE
EE E
EE E
E E
E E
EE
EE
E
E
E
E
E
E
E
EE
PANGKALAN
CIPATAT
CILILIN
CAMPAKA
JATILUHUR
MANIISCIKALONG KULON
GUNUNGHALU
MANDE
CIPEUNDEUY
CIPONGKOR
BOJONG
CIKALONG WETAN
BATUJAJAR
BOJONGPICUNG
CIBATU
SUKASARI
CARIU
SUKALUYU
CIAMPEL
DARANGDAN
TEGAL WARU
SUKATANI
CIRANJANG
PADALARANG
PLERED
BABAKANCIKAO
NGAMPRAH
CIBEBER
WANAYASA
KARANGTENGAH
PONDOKSALAM
CISARUA
PASAWAHAN
PURWAKARTA
SOREANG
CILAKU
SINDANGKERTA
PLERED
CIMAHI SELATAN
MARGAASIH
BOJONGMANGGU
KIARAPEDES
CIMAHI TENGAH
CAMPAKA
CIMAHI UTARA
Cimahi
Cililin
Pangkalan
Ciranjang
Batujajar
Bojongkole
Padalarang
PURWAKARTA
Cikalongwetan
240
238
237236
235
234
233232
231230
229228
227226
225224
223222221220
219218
217216
215
214
213212
211210209
208
207
206
205
204
203
202
201
200
199198
197
196195
194193
192
191
190
189
188
187
186
185
184183
182
181
180
179
178
177
176175 174
173
172
171
170 169168
167166
165
164
163162
161160159
158
157156
155154
153
152
151
150
149
148
147
146
145
144
143
142
141
140
139 138 137 136 135 134133
132
131
130
129
128
127
126
125
124
123
107°30'0"E
107°30'0"E
107°15'0"E
107°15'0"E
6°30'0"S6°30'0"S
6°45'0"S6°45'0"S
765000.000
765000.000
9245
000.
000
9245
000.
000
9270
000.
000
9270
000.
000
Legend
Citarum
Anak Citarum
Batas Kecamatan
DAS Citarum
Waduk Citarum
Kota Kabupaten
Sungai CitarumSegmen 4
Ekspedisi Citarum Wanadri0 1,000 2,000 3,000 4,000
Meters
O
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
W
E
E
E
E
E
E
EE
EE E E
E E
E
E
EE
E
E EE
E
E
EE
E
E
E
E
E
EE E
E
EE
E
EE
E
EE E E
E
E
E
E E
E
EE
E
E
EE
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
EE
E
E
E
EE
E
E
E
E
E
EE
EE
EE
E
EE
EE
E
E
E
E E
E E
E
E
E
EE E
E
EE
E
EE E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
EEEEEEE
E
E
PANGKALAN
KLARI
CIAMPEL
JONGGOL
PEDES
CIBUAYA
SETU
CARIU
TIRTAJAYA
BABELAN
PAKISJAYA
PEBAYURAN
MUARA GEMBONG
TELUKJAMBE
SUKAWANGI
BATUJAYA
KARAWANG
CIBITUNG
SERANG BARU
KUTAWALUYA
RAWAMERTA
SUKAKARYA
JAYAKERTA
BOJONGMANGGU
CABANGBUNGIN
SUKATANI
KLAPANUNGGAL
CIKARANG BARAT
BANTAR GEBANG
CIKARANG SELATAN
SUKASARI
CIKARANG TIMUR
CIKARANG PUSAT
CIBARUSAH
TEMBELANG
JATILUHUR
TAMBUN SELATAN
TARUMAJAYA
KARANGBAHAGIA
BABAKANCIKAO
TEMPURAN
TALAGASARI
CIKARANG UTARA
TAMBUN UTARA
CIKAMPEK
KEDUNGWARINGIN
BEKASI UTARA
RAWALUMBU
MAJALAYA
BEKASI TIMUR
SUKAMAKMUR
CILEUNGSI
MEDAN SATRIA
BEKASI SELATAN
RENGASDENGKLOK
CAMPAKA
CILINCING
CAKUNG
GUNUNG PUTRI
BEKASI BARAT
LEMAHABANG
JATIASIH
CILEUNGSI
MAJALAYA
SUKAMAKMUR
TIRTAMULYA
Cariu
Tambun
BEKASI
Babakan
Kedaung
Cibuaya
Jonggol
Cibarusa
Batujaya
Cikarang
KARAWANG
Rawamerta
Srengseng
Pangkalan
Sungaibambu
Rengasdengklok
9
7
6
5
4
3
21
99
9897
9695
94
9392
9190
8988
87
8685
8483
8281
80
79
78
77
76
75 74
7372
71 70 69
68
6766
65
64
63
62
6160
5857
56
55
54
5352
51
504948
47
46454443
42
4140
39
3837
36
35
343332
31
302827
2625
2423
222120
19
1817
16
15
141312
1110
141
140
139 138137136
134133
132
131
130
129
128127
126
125
123
122
121
120
119
118
117
116115
114113
112
111110109
108
107
105104103
102
101
100
107°15'0"E
107°15'0"E
107°0'0"E
107°0'0"E
6°0'0"S6°0'0"S
6°15'0"S6°15'0"S
6°30'0"S6°30'0"S
740000.000
740000.000
765000.000
765000.000
9295
000.
000
9295
000.
000
9320
000.
000
9320
000.
000
9345
000.
000
9345
000.
000
Legend
Citarum
Anak Citarum
Batas Kecamatan
DAS Citarum
Waduk Citarum
Kota Kabupaten
Sungai CitarumSegmen 6
Ekspedisi Citarum Wanadri
0 1,500 3,000 4,500 6,000Meters
O
Muara Bendera