cr pjr morbili
DESCRIPTION
PJRTRANSCRIPT
II. TINJAUAN PUSTAKA
DIARE INVASIF
A. Definisi
Episode diare akut yang pada tinjanya ditemukan darah terlihat secara kasat mata. Diare berdarah sering disebut juga sebagai sindrom disentri. Sindrom disentri terdiri dari kumpulan gejala, diare dengan darah dan lendir dalam feses dan adanya tenesmus. 1
B. Etiologi
Sekitar 10% episode diare akut pada anak kurang dari 5 tahun, disertai darah pada tinjanya. Hal ini menyebabkan 15-25% kematian akibat diare pada kelompok ini. Diare akut berdarah biasanya lebih lama sembuh dan berhubungan dengan komplikasi yang lebih banyak antara lain dapat mempengaruhi pertumbuhan anak dan memiliki resiko kematian lebih tinggi. Diare akut berdarah pada anak yang lebih kecil biasanya merupakan pertanda masuknya bakteri invasif yang serius pada usus besar.
Di Indonesia penyebab diare akut berdarah adalah Shigella, Salmonella, Campylobacter jejuni, Escherchia coli (E.Coli) dan Entamoeba hystolitica. Disentri berat umumnya disebabkan oleh Shigella dysentri, Shigella flexneri, Salmonella dan Enteroinvasive E. Coli.1
C. Patofisiologi
Bakteri menempel dan berkembang biak di dalam usus halus. Penempelan terjadinya melalui antigen yang menyerupai
rambut getar disebut vili atau fimbria, yang melekat pada reseptor dipermuakan usus halus. Hal ini terjadi seperti E. Coli enterotoksigenik dan V. Cholerae.
Toksin yang dikeluarkan oleh bakter akan menghambat fungsi sel epitel. Toksin ini mengurangi absorbsi natrium melalui vili dan mungkin meningkatkan sekresi klorida dan kripta, yang menyebabkan sekresi air dan elektrolit.
Bakteri invasif dapat menyebabkan diare berdarah melalui invasi dan perusakan sel epitel mukosa. Ini terjadi sebagian besar di kolon dan dibagian distal ileum. Invasi diikuti pembentukan mikroabses dan ulkus superfisial yang menyebabkan adanya sel darah merah dan sel darah putih atau tampak adanya darah dalam tinja. 1
D. Diagnosis
1.AnamnesisPada anamnesis perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut : lama diare, frekuensi, volume, konsistensi tinja, warna, bau, ada/tidak lendir dan darah. Bila disertai muntah volume dan frekuensinya. Kencing: biasa, berkurang, jarang atau tidak kencing dalam 6-8jam terakhir. Makanan dan minuman yang diberikan selama diare. Adakahh panas atau penyakit lain yang menyertai seperti: batuk, pilek, otitis media, campak. Tindakan yang telah dilakukan ibu selama anak diare: member oralit, memabwa berobat ke puskesmas atau ke rumah sakit dan obat-obatan yang diberikan serta riwayat imunisasinya.
2.Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa : berat badan, suhu tubuh, frekuensi denyut jantung dan pernapasan serta tekanan darah. Selanjutnya perlu dicari tanda-tanda tambahan lainya:ubun-ubun besar cekung atau tidak, mata: cowong atau tidak, ada atau tidak adanya air mata, bibir, mukosa mulut dan lidah kering atau basah.Pernpasan yang cepat dan dalam indikasi adanya asiodosis metabolic.Bising usus yang lemah atau tidak ada bila terdapat hipokalemia.Pemeriksaan ekstremitas perlu karena perfusi dan capillary refill dapat menentukan derjat dehidrasi yang terjadi. Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi dapat ditentukan dengan cara: objektif yaitu dengan membandingkan berat badan sebelum dan sesudah diare. Subjektif dengan menggunakan criteria WHO dan MMWR.
Tabel. Penentuan derajat dehidrasi menurut MMWR 2003 dan Skor Dehidrasi WHOSymptom Minimal
atau tanpa dehidrasi, kehilangan BB<3%
Dehidrasi ringan sedang, kehilangan BB 3%-9%
Dehidrasi berat, kehilangan BB>9%
Kesadaran
Baik Normal, lelah, gelisah, irritable
Apatis, letargi, idak sadar
Denyut jantung
Normal Normal meningkat
Takikardi, bradikardi, (kasus berat)
Kualitas nadi
Normal Normal melemah
Lemah, kecil tidak teraba
Pernapasan
Normal Normal-cepat Dalam
Mata Normal Sedikit cowong
Sangat cowong
Air mata Ada Berkurang Tidak ada
Mulut dan lidah
Basah Kering Sangat kering
Cubitan kulit
Segera kembali
Kembali<2 detik
Kembali>2detik
Cappilary refill
Normal Memanjang Memanjang, minimal
Ekstremitas
Hangat Dingin Dingin,mottled, sianotik
Kencing Normal Berkurang Minimal
1 2 3
Keadaan umum Baik Lesu / hausGelisah, lemas, ngantuk
MataTidak cekung
Agak cekung Sangat cekung
Mulut Biasa Kering Sangat kering
Pernapasan<30x / menit
30-40x / menit
>40x / menit
Turgor Baik Kurang Jelek
Nadi< 120x / menit
120-140x / menit
>140x / menit
Penilaian :<6 : Tidak dehidrasi
7-12 : Dehidrasi ringan sampai sedang>13 : Dehidrasi beratMenurut tonisistas darah, dehidrasi dapat dibagi menjadi: dehidrasu isotonic, bila kadar Na+ dalam plasma antara 131-
150 mEq/L dehidrasi hipotonik, bila kadar Na+<131 mEq/L dehidrasi hipertonik, bila kadar Na+>150 mEq/L
Tabel Gejala dehidrasi menurut tonisitasGejala Hipotonik Isotonik Hipertonik
Rasa haus - + +
Berat badan Menurun sekali
Menurun Menurun
Turgor kulit Menurun sekali
Menurun Tidak jelas
Kulit/ selaput lender
Basah Kering Kering sekali
Gejala SSP Apatis Koma Irritable, apatis, hiperfleksi
Sirkulasi Jelek sekali Jelek Relatif masih baik
Nadi Sangat lemah Cepat dan lemah
Cepat, dan keras
Tekanan darah
Sangat rendah Rendah Rendah
Banyaknya kasus
20-30% 70% 10-20%
Menurut Depkes RI derajat dehidrasi dapat di klasifikasikan sesuai dengan tabel dibawah ini
3.Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut pada umumnya tidak diperkukan, hanya pada keadaan tertentu mungkin diperlukan misalnya penyebab dasarnya tidak diketahui atau ada sebab-sebab lain selain diare akut atau pada penderita dengan dehidrasi berat. Contoh: pemeriksaan darah lengkap, kultur urine dan tinja pada sepsis atau infeksi saluran kemih. Pemeriksaan laboratorium yang kadang-kadang diperlukan pada diare akut: darah : darah lengkap, serum elketrolit, analisa gas darah, glukosa darah, kultur dan tes kepekaan terhadap antibiotika tinja: makroskopis, mikriskopi, kultur tinja
a. Pemeriksaan makroskopik
Pemeriksaan makroskopik tinja perlu dilakukan pada semua penderita dengan diare meskipun pemeriksaan labotarium tidak dilakukan.Tinja yang watery dan tanpa mucus atau darah biasanya disebabkan oleh enteroksin virus, prontozoa, atau disebabkan oleh infeksi diluar saluran gastrointestinal. Tinja yanga mengandung darah atau mucus bias disebabkan infeksi bakteri yang menghasilkan sitotoksin bakteri enteronvasif yang menyebabkan peradangan mukosa atau parasit usus seperti :E. hystolitica, B.coli , T.trichiura. Apabila terdapat darah biasanya bercampur dalam tinja kecuali pada infeksi dengan E.hystolitica darah sering terdapat pada permukaan tinja dan pada infeksi dengan Salmonella, Giardia, Cryptosporidium dan Strongyloides.
Pemeriksaan makroskopik mencakup warna tinja, konsistesi tinja, bau tinja, adanya lendir, adanya darah, adanya busa.Warna tinja tidak terlalu banyak berkolerasi dengan penyebab diare.Warna hijau tua berhubungan dengan adnya warna empedu akibat garam empedu yang dikonjugasi oleh bakteri anaerob pada keadaan bacterial overgrowth. Warna merah akibat adanya darah dalam tinja atau obat yang dapat menyebabkan warna merah dalam tinja seperti rifampisin. Konsistensi tinja dapat cair, lembek, padat. Tinja yag berbusa menunjukan adanya gas dalam tinja kaibat fermentasi bakteri. Tinja yang berminyak, lengket, dan berkilat menunjukan adanya lemak dalam tinja. Lendir dalam tinja menggambarkan kelainan di kolon , khususnya akibat infeksi bakteri. Tinja yang sangatberbau menggambarkan adanya fermentasi oleh bakteri anaerob dikolon.Pemeriksaan pH tinja menggunakan
kertas lakmus dapat dilakukan untuk menentukan adanya asam dalam tinja.Asam dalam tinja tersebut adalah asam lemak rantai pendek yang dihasilkan karena fermentasi laktosa yang tidak diserap di usus halus sehingga masuk ke usus besar yang banyak mengandung bakteri komensial.Bila pH tinja<6 dapat dainggap sebagai malabsorbsi laktosa
D. Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan pada diare invasif dikelola sama dengan kasus diare lain sesuai acuan tatalaksana diare akut. Hal khusu mengenai tatalaksana diare invasif adalah pemberian antibiotika. Adapun Lima Lintas Diare sebagai berikut :
-Rehidrasi
-Dukungan Nutrisi
-Suplemen Zinc
-Antibiotik selektif
- Edukasi Orang Tua
1. Diare akut tanpa dehidrasi
2. Diare akut dengan dehidrasi ringan-sedang
3. Diare akut dengan dehidrasi Berat
Saat ini telah banyak strain shigella yang resisten terhadap kotrimoksazol,kloramfenikol, sulfonamid, ampisilin, amoksisilin,
metronidazol, tetrasiklin, sehingga WHO tidak merekomendasikan obat tersebut. Obat pilihan untuk pengobatan diare invasif berdasarkan WHO 2006 adalah diberikan ciprofloksasin 15mg/kgBB 2 x sehari selama 3 hari.2,3
Anak dengan gizi buruk dan disenteri dan bayi muda (umur < 2 bulan. yang menderita disenteri harus dirawat di rumah sakit. Selain itu, anak yang menderita keracunan, letargis, mengalami perut kembung dan nyeri tekan atau kejang, mempunyai risiko tinggi terhadap sepsis dan harus dirawat di rumah sakit. Yang lainnya dapat dirawat di rumah.4
Di tingkat pelayanan primer semua diare berdarah selama ini dianjurkan untuk diobati sebagai shigellosis dan diberi antibiotik kotrimoksazol. Jika dalam 2 hari tidak ada perbaikan, dianjurkan untuk kunjungan ulang untuk kemungkinan mengganti antibiotiknya.4
Penanganan dehidrasi dan pemberian makan sama dengan diare akut. Yang paling baik adalah pengobatan yang didasarkan pada hasil pemeriksaan tinja rutin, apakah terdapat amuba vegetatif. Jika positif maka berikan metronidazol dengan dosis 50 mg/kg/BB dibagi tiga dosis selama 5 hari Jika tidak ada amuba, maka dapat diberikan pengobatan untuk Shigella Beri pengobatan antibiotik oral (selama 5 hari), yang sensitif terhadap sebagian besar strain shigella. Contoh antibiotik yang sensitif terhadap strain shigella di Indonesia adalah siprofloxasin, sefiksim dan asam nalidiksat Beri tablet zinc sebagaimana pada anak dengan diare cair tanpa dehidrasi.
Pemantauan dilakukan setelah 2 hari pengobatan, dilihat apakah ada perbaikan tanda-tanda seperti tidak adanya demam, diare
berkurang, darah dalam feses berkurang dan ;peningkatan nafsu makan.
Jika tidak terjadi perbaikan setelah dua hari :-Ulangi periksa feses untuk melihat apakah ada amuba, giardia atau peningkatan jumlah lekosit lebih dari 10 per lapangan pandang untuk mendukung adanya diare bakteri invasif-Jika memungkinkan, lakukan kultur feses dan tes sensitivitas-Amati adanya penyulit, hentikan pemberian antibiotik sebelumnya dan berikan antibiotik yang sensitif terhadap shigella berdasarkan area.1,3,4
Pada pasien rawat jalan dianjurkan pemberian sefalosporin generasi ketiga seperti sefiksim 5 mg/kgBB/ hari per oral.
A. Pencegahan1. Mencegah penyebaran kuman pathogen penyebab diareKuman-kuman patoggen penyebab diare umumnya disebarkan secara fekal oral. Pemutusan penyebaran kuman penyebab diare perlu difokuskan pada cara penyebaran ini. Upaya pencegahan diare yang terbukti efektif meliputi:a. Pemberian ASI yang benarb. Memperbaiki penyiapan dan penyimpanan makanan pendamping ASIc. Menggunakan air bersih yang cukupd. Membudayakan kebiasaan mencuci tangan dengan
sabun sehabis buang air besar dan sebelum makane. Penggunaan jamban yang bersih dan higienis oleh seluruh anggota keluargaf. Membuang tinja bayi yang benar
2. Memperbaiki daya tahan tubuh pejamu
Cara-cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh anak dan dapat juga mengurangi resiko diare antara lain:
a. Memberi ASI paling tidak sampai usia 2 tahunb. Meningkatkan nilai gizi makanan pendamping ASI dan
member makan dalam jumlah yang cukup untuk memperbaiki status , gizi anak.
c. Imunisasi campak. Pada balita 1-7% kejadian diare behrunbungan dengan campak, dan diare yang etrjadi umunya lebih berat dan lebih lama (susah diobati, cenderung menjadi kronis) karena adanya kelainan pada epitel usus. Diperkirakan imunisasi campak yang mencakup 45-90% bayi berumur 9-11 bulan dapat mencegah 40-60% kasus campak, 0,6-3,8% kejadian diare dan 6-25% kematian karena diare pada balita.1,2,4
A. Definisi Campak
Campak adalah penyakit akut yang sangat menular, disebabkan oleh
infeksi virus yang umumnya menyerang anak.7
Gambar 1. Campak
B. Etiologi Campak
Virus campak berada di sekret nasofaring dan di dalam darah, minimal
selama masa tunas dan dalam waktu yang singat sesudah timbulnya ruam.
Virus tetap aktif dalam minimal dalam 4 minggu disimpan dalam
temperatur 35 derajat celcius dan beberapa hari pada suhu 0 derajat
celcius. Virus tidak aktif pada PH rendah 7,8
1. Bentuk Virus
Virus campak termasuk golongan paramyxovirus berbentuk bulat
dengan tepi yang kasar dan bergaris tengah 140 nm, dibungkus oleh
selubung selubung luar yang terdiri dari lemak dan protein. Di
dalamnya terdapat nukleokapsid yang berbentuk bulat lonjong terdiri
dari bagian protein yang mengelilingi asam nukleat (RNA) yang
merupakan struktur heliks nucleoprotein dari myxovirus. Pada
selubung luar seringkali terdapat tonjolan pendek. Salah satu protein
yang berada di selubung luar berfungsi sebagai hemaglutinin.
2. Ketahanan Virus
Virus campak adalah organisme yang tidak memiliki daya tahan tinggi.
Apabila berada di luar tubuh manusia, keberadaannya tidak kekal.
Pada temperature kamar ia akan kehilangan 60% sifat infektivitasnya
setelah 3-5 hari, pada suhu 37 derajat celcius waktu paruhnya usianya
2 jam, sedangkan pada suhu 56 derajat celcius hanya satu jam.
Sebaliknya virus ini mampu bertahan dalam keadaan dingin. Pada suhu
-70 derajat celcius dengan media protein dapat hidup selama 5,5 tahun,
sedangkan dalam lemari pendingin dengan suhu 4-6 derajat celcius,
dapat hidup selama 5 bulan. Tetapi bila tanpa media protein, virus ini
hanya mampu bertahan selama 2 minggu dan dapat dengan mudah
dihancurkan oleh sinar ultraviolet.
3. Struktur Antigenik
Virus campak menunjukkan antigenitas yang homogen, berdasarkan
penemuan laboratorik dan epidemiologic. Infeksi dengan virus campak
merangsang pembentukan neutralizing antibody, complement fixing
antibody dan hemaglutinine inhibition antibody. Imunoglobin kelas
IgM dan IgG distimulasi oleh infeksi campak, muncul bersama-sama
diperkirakan 12 hari setelah infeksi dan mencapai titer tertinggi setelah
21 hari. Kemudian Ig M menghilang dengan cepat sedangkan IgG
menunjukkan jumlahnya terukur. Keberadaan imunoglobin kelas IgM
menunjukkan pertanda baru terkena infeksi atau baru mendapatkan
vaksinasi, sedangkan IgG menunjukkan bahwa pernah terkena infeksi
walaupun sudah lama. Antibodi IgA sekretori dapat dideteksi dari
secret nasal dan terdapat di seluruh saluran nafas.
C. Epidemiologi
Di Indonesia, menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) campak
menduduki tempat ke-5 dalam urutan 10 macam penyakit utama pada bayi
(0,7%) dan tempat ke-5 dalam urutan 10 macam penyakit utama pada anak
usia 1-4 tahun (0,77%).7
Campak merupakan penyakit endemis, terutama di Negara sedang
berkembang. Di Indonesia penyakit campak sudah lama dikenal. Di masa
lampau campak dianggap sebagai suatu hal yang harus dialami setiap
anak, sehingga anak yang terkena campak tidak perlu diobati, mereka
beranggapan bahwa penyakit campak dapat sembuh sendiri bila ruam
sudah keluar. Ada anggapan bahwa semakin banyak ruam yang keluar
semakin baik. Bahkan ada usaha dari masyarakat untuk mempercepat
keluarnya ruam. Ada kepercayaan bahwa penyakit campak akan berbahaya
bila ruam tidak keluar pada kulit sebab ruam akan muncul di dalam rongga
tubuh lain seperti dalam tenggorokan, paru, perut atau usus. Hal ini akan
menyebabkan anak sesak nafas atau diare yang dapat menyebabkan
kematian.
Hampir semua anak Indonesia yang mencapai usia 5 tahun pernah
terserang penyakit campak walaupun yang dilaporkan hanya sekitar
30.000 kasus per tahun. Hasil survey prospektif oleh badan Litbangkes di
Sukabumi tahun 1982 menunjukkan CFR campak pada anak balita sebesar
0,64%.
Kejadian luar biasa campak lebih sering terjadi di daerah pedesaan
terutama daerah yang sulit dijangkau oleh pelayanan kesehatan, khususnya
dalam program imunisasi. Di daerah transmigrasi sering terjadi wabah
dengan angka kematian yang tinggi. Di daerah perkotaan khusus, kasus
campak tidak terlihat kecuali dari laporan rumah sakit. Hal ini tidak berarti
bahwa daerah urban terlepas dari campak. Daerah urban yang padat dan
kumuh merupakan daerah rawan terhadap penyakit yang sangat menular
seperti campak. Daerah seperti ini dapat merupakan sumber kejadian luar
biasa penyakit campak.
D. Stadium Penyakit Campak
Penyakit campak terdiri dari 4 stadium, yaitu:
1. Stadium Masa Tunas
Masa inkubasi campak berlangsung kira-kira 10 hari (8 hingga 12
hari). Walaupun pada masa ini terjadi viremia dan reaksi imunologi
yang ekstensif, penderita tidak menampakkan gejala sakit.
2. Stadium Kataral (Prodormal)
Biasanya stadium ini berlangsung selama 4-5 hari dengan gejala
demam, malaise, batuk, fotofobia, konjungtivitis dan koriza.
Menjelang akhir stadium kataral dan 24 jam sebelum timbul
eksantema, timbul bercak Koplik. Bercak Koplik berwarna putih
kelabu, sebesar ujung jarum timbul pertama kali pada mukosa bukal
yang menghadap gigi molar dan menjelang kira-kira hari ke 3 atau 4
dari masa prodormal dapat meluas sampai seluruh mukosa mulut.
Secara klinis, gambaran penyakit menyerupai influenza dan sering
didiagnosis sebagai influenza.
3. Stadium Erupsi
Stadium ini berlangsung selama 4-7 hari. Gejala yang biasanya terjadi
adalah koriza dan batuk-batuk bertambah. Timbul eksantema di
palatum durum dan palatum mole. Kadang terlihat pula bercak Koplik.
Terjadinya ruam atau eritema yang berbentuk makula-papula disertai
naiknya suhu badan. Mula-mula eritema timbul di belakang telinga, di
bagian atas tengkuk, sepanjang rambut dan bagian belakang bawah.
Kadang-kadang terdapat perdarahan ringan pada kulit. Rasa gatal,
muka bengkak. Ruam kemudian akan menyebar ke dada dan abdomen
dan akhirnya mencapai anggota bagian bawah pada hari ketiga dan
akan menghilang dengan urutan seperti terjadinya yang berakhir dalam
2-3 hari. 7
E. Patogenesis
Penularan campak terjadi secara droplet memalui udara, sejak 1-2 hari
sebelum timbul gejala klinis sampai 4 hari setelah timbul ruam. Virus
masuk ke dalam limfatik lokal, bebas maupun berhubungan dengan sel
mononuklear, kemudian mencapai kelenjar getah bening regional. Di sini
virus memperbanyak diri dengan sangat perlahan dan dimulailah
penyebaran ke sel jaringan limforetikular seperti limpa. Sel mononuklear
yang terinfeksi menyebabkan terbentuknya sel raksasa berinti banyak (sel
warthin), sedangkan limfosit-T yang rentan terhadap infeksi turut aktif
membelah. 7,8
Gambaran kejadian awal di jaringan limfoid masi belum diketahui secara
lengkap, tetapi 5-6 hari setalah infeksi awal, terbentuklah fokus infeksi
yaitu ketika virus masuk ke dalam pembuluh darah dan menyebar ke
permukaan epitel orofaring, konjungtiva, saluran nafas, kulit, kandung
kemih dan usus.
Pada hari ke-9-10, fokus infeksi yang berada di epitel saluran nafas dan
konjungtiva, akan menybabkan timbulnya nekrosis pada satu sampai 2
lapis sel. Pada saat itu dalam jumlah banyak masuk kembali ke pembuluh
darah dan meimbulkan manifestasi klinis dari sistem saluran nafas diawali
dengan keluhan batuk pilek disertai selaput konjungtiva yang tampak
merah. Respon imun yang terjadi ialah proses peradangan epitel pada
sistem saluran pernafasan diikuti dengan manifestasi klinis berupa demam
tinggi, anak tampak sakit berat dan tampak suatu ulsera kecill pada
mukosa pipi yang disebut bercak koplik, yang dapat tanda pasti untuk
menegakkan diagnosis.
Selanjutnya daya tahan tubuh menurun. Sebagai akibat respons delayed
hypersensitivity terhadap antigen virus, muncul ruam makulopapular pada
hari ke-14 sesudah awal infeksi dan pada saat itu antibodi humoral dapat
dideteksi pada kulit. Kejadian ini tidak tampak pada kasus yang
mengalami defisit sel-T.
Daerah epitel yang nekrotik di nasofaring dan saluran pernafasan
memberikan kesempatan infeksi bakteri sekunder berupa
bronkopneuminia, otitis media dan lain-lain.
F. Cara Penularan
Penularan terjadi melalui percikan ludah dari hidung, mulut maupun
tenggorokan penderita campak (air borne disease). Masa inkubasi adalah
10-14 hari sebelum gejala muncul. Cara penularan melalui droplet dan
kontak, yakni karena menghirup percikan ludah (droplet) dari hidung,
mulut maupun tenggorokan penderita morbili/campak. Artinya, seseorang
dapat tertular Campak bila menghirup virus morbili, bisa di tempat umum,
di kendaraan atau di mana saja. Penderita bisa menularkan infeksi ini
dalam waktu 2-4 hari sebelum rimbulnya ruam kulit dan selama ruam kulit
ada. Masa inkubasi adalah 10-14 hari sebelum gejala muncul. Sebelum
vaksinasi campak digunakan secara meluas, wabah campak terjadi setiap
2-3 tahun, terutama pada anak-anak usia pra-sekolah dan anak-anak SD.
Jika seseorang pernah menderita campak, maka seumur hidupnya dia akan
kebal terhadap penyakit ini. Kekebalan terhadap campak diperoleh setelah
vaksinasi, infeksi aktif dan kekebalan pasif pada seorang bayi yang lahir
ibu yang telah kebal (berlangsung selama 1 tahun). 7,8
Orang-orang yang rentan terhadap campak adalah:
1. bayi berumur lebih dari 1 tahun
2. bayi yang tidak mendapatkan imunisasi
3. remaja dan dewasa muda yang belum mendapatkan imunisasi kedua
G. Penyulit
a. Laringitis akut
Laringitis timbul karena adanya edema hebat pada mukosa saluran
nafas, yang bertambah berat pada saat demam mencapai puncaknya.
Ditandai dengan distress pernafasan, sesak, sianosis dan stridor. Ketika
demam turun keadaan akan membaik dan gejala akan menghilang.
b. Bronkopneumonia
Dapat disebabkan oleh virus campak maupun akibat invasi bakteri.
Ditandai dengan batuk, menigkatnya frekuensi nafas, dan adanya ronki
basah halus. Pada saat suhu turun, apabila disebabkan oleh virus,
gejala pneumonia akan menghilang, kecuali batuk yang masih dapat
berlanjut sampai beberapa hari lagi. Apabila suhu tidak juga turun pda
saat yang diharapkan dan gejala saluran nafas masih terus berlangsung,
dapat diduga adanya pneumonia karena bakteri yang telah mengadakan
invasi pada sel epitel yang telah dirusak oleh virus . gambaran infiltrat
pada foto toraks dan adanya leukositosis dapat mempertegas diagnosis.
c. Kejang demam
Kejang dapat timbul pada periode demam, umumnya pada puncak
demam saat ruam keluar. Kejang dalam hal ini diklasifikasikan sebagai
kejang demam
d. Ensefalitis
Merupakan penyulit neurologic yang paling sering terjadi, biasanya
terjadi pada hari ke 4-7 setelah timbulnya ruam. Kejadian ensefalitis
sekitar 1 dalam 1.000 kasus campak dengan mortalitas antara 30-40%.
Gejala ensefalitis dapat berupa kejang, letargi, koma dan iritabel.
Keluhan nyeri kepala, frekuensi nafas meningkat, disorientasi juga
dapat ditemukan.
e. SSPE (Subacute Sclerosing Panencephalitis)
Subacute Sclerosing Panencephalitis merupakan kelainan degenerative
susunan saraf pusat yang jarang disebabkan oleh infeksi virus campak
yang persisten. Kemungkinan untuk menderita SSPE pada anak yang
sebelumnya pernah menderita campak adalah 0,6-2,2 per 100.000
infeksi campak.
f. Otitis media
Invasi virus ke dalam telinga tengah umumnya terjadi pada campak.
Gendang telinga biasanya hiperemis pada fase prodromal dan stadium
erupsi. Jika terjadi invasi bakteri pada lapisan sel mukosa yang rusak
karena invasi virus akan terjadi otitis media purulenta.
g. Enteritis
h. Konjungtivitis
Pada hampir semua kasus campak terjadi konjuntivitis yang ditandai
dengan adanya mata merah, pembengkakan kelopak mata, lakrimasi
dan fotofobia.
i. Adenitis servikal
j. Purpura trombositopenik dan non-trombositopenik
k. pada ibu hamil dapat terjadi abortus, partus prematurus dan kelainan
kongenital pada bayi
l. Aktivasi tuberkulosis
m. Pneumomediastinal
n. Emfisema subkutan
o. Apendisitis
p. gangguan gizi sampai kwasiorkor
q. Infeksi piogenik pada kulit
r. Kankrum oris (noma)7,8
H. Pengobatan
Pasien campak tanpa penyulit dapat berobat jalan. Anak harus diberikan
cukup cairan dan kalori, sedangkan pengobatan bersifat asimtomatik,
dengan pemberian antipiretik, antitusif, ekspektoran, dan antikonvulsan
bila diperlukan. Sedangkan campak denang penyulit perlu dirawat inap. Di
rumah sakit pasien campak dirawat diperlukan vitamin A 100.000 IU per
oral diberikan satu kali, apabila terdapat mal nutrisi dilanjutkan 1500 IU
per oral tiap hari.6,7
Apabila terdapat penyulit, maka dilakukan pengobatan untuk mengatasi
penyulit yang timbul, yaitu :
Bronkopenumonia
Diberikan antibiotik ampisilin 100 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis intravena
dikombinasikan dengan kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari intravena dalam
4 dosis, sampai gejala sesak berkurang dan pasien dapat minum obat per
oral. Antibiotik diberikan sampai 3 hari demam reda. Apabila diccurigai
infeksi spesifik maka uji tuberkulin dilakukan setelah anak sehat kembali
(3-4 minggu kemudian) oleh karena uji tuberkulin biasanya negatif
(anergi) pada saat anak menderita campak. Gangguan reaksi delayed
hypersensitivity disebabkan oleh sel limfosit-T yang terganggu fungsinya.
Enteritis
Pada keadaan berat anak mudah jatuh dalam dehidrasi. Pemberian cairan
intravena dapat dipertimbangkan apabila terdapat enteritis + dehidrasi.
Otitis Media
Seringkali disebabkan oleh karena infeksi sekunder, sehingga perlu
diberikan antibiotic kotrimoksazol-sulfametoksazol (TMP 4 mg/kgBB/hari
dibagi dalam dua dosis)
Ensefalopati
Perlu reduksi jumlah pemberian cairan hingga ¾ kebutuhan untuk
mengurangi edema di otak, di samping pemberian kortikosteroid. Perlu
dilakukan koreksi elektrolit dan gangguan gas darah.
I. Pencegahan
Imunisasi adalah pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit
tertentu. Vaksin adalah suatu obat yang diberikan untuk membantu
mencegah suatu penyakit. Vaksin membantu tubuh untuk menghasilkan
antibodi. Antibodi ini berfungsi melindungi terhadap penyakit. Vaksin
tidak hanya menjaga agar anak tetap sehat, tetapi juga membantu
membasmi penyakit yang serius yang timbul pada masa kanak-kanak.
Vaksin secara umum cukup aman. Keuntungan perlindungan yang
diberikan vaksin jauh lebih besar daripada efek samping yang mungkin
timbul. Dengan adanya vaksin maka banyak penyakit masa kanak-kanak
yang serius, yang sekarang ini sudah jarang ditemukan.6, 10
Gambar 2. Jadwal Imunisasi IDAI 20149
Imunisasi campak efektif untuk memberi kekebalan terhadap penyakit
campak sampai seumur hidup. Penyakit campak yang disebabkan oleh
virus yang ganas ini dapat dicegah jika seseorang mendapatkan imunisasi
campak sebanyak 1 kali pada usia 9 bulan.
Upaya imunisasi campak tambahan yang dilakukan bersama dengan
imunisasi rutin terbukti dapat menurunkan kematian karena penyakit
campak sampai 48%. Tanpa imunisasi, penyakit ini dapat menyerang
setiap anak, dan mampu menyebabkan cacat dan kematian karena
komplikasinya seperti radang paru (pneumonia); diare, radang telinga
(otitis media) dan radang otak (ensefalitis) terutama pada anak dengan gizi
buruk. Hingga kini penyakit campak masih menjadi penyebab utama
kematian anak di bawah umur 1 tahun dan Balita umur 1 - 4 tahun di
Indonesia. Diperkirakan lebih dari 30.000 anak/tahun meninggal karena
komplikasi campak. Selain itu, campak berpotensi menimbulkan kejadian
luar biasa (KLB) atau wabah. Imunisasi adalah jalan utama untuk
mencegah dan menurunkan angka kematian anak-anak akibat campak.
Imunisasi ada dua macam, yaitu imunisasi aktif dan pasif. Imunisasi aktif
adalah pemberian kuman atau racun kuman yang sudah dilemahkan atau
dimatikan dengan tujuan untuk merangsang tubuh memproduksi antibodi
sendiri. Contohnya adalah imunisasi polio atau campak. Sedangkan
imunisasi pasif adalah penyuntikan sejumlah antibodi, sehingga kadar
antibodi dalam tubuh meningkat. Contohnya adalah penyuntikan ATS
(Anti Tetanus Serum) pada orang yang mengalami luka kecelakaan.
Contoh lain adalah yang terdapat pada bayi yang baru lahir dimana bayi
tersebut menerima berbagai jenis antibodi dari ibunya melalui darah
placenta selama masa kandungan, misalnya antibodi terhadap campak.
Vaksin dari virus yang dilemahkan akan memberi proteksi dalam
jangka waktu yang lama dan protektif meskipun antibodi yang
terbentuk hanya 20% dari antibodi yang terbentuk karena infeksi
alamiah. Pemberian secara sub kutan dengan dosis 0,5ml. Vaksin
tersebut sensitif terhadap cahaya dan panas, juga harus disimpan pada
suhu 4˚C, sehingga harus digunakan secepatnya bila telah dikeluarkan
dari lemari pendingin.
Indikasi kontra pemberian imunisasi campak berlaku bagi mereka yang
sedang menderita demam tinggi, sedang mendapat terapi imunosupresi,
hamil, memiliki riwayat alergi, sedang memperoleh pengobatan
imunoglobulin atau bahan-bahan berasal dari darah.
1. Jenis Imunisasi Campak
Vaksin Campak Kering
a. Deskripsi
Vaksin campak merupakan vaksin virus hidup yang dilemahkan.
Setiap dosis (0,5 ml) mengandung tidak kurang dari 1000 infective
unit virus strain CAM 70, dan tidak lebih dari 100 mcg residu
kanamycin dan 30 mcg residu erythromycin. Vaksin ini berbentuk
vaksin beku kering yang harus dilarutkan hanya dengan pelarut steril
yang tersedia secara terpisah untuk tujuan tersebut. Vaksin ini telah
memenuhi persyaratan WHO untuk vaksin campak. 10
Jumlah pemberian imunisasi campak diberikan sebanyak 1 kali di
usia 9 bulan. Dianjurkan, pemberian campak ke-1 sesuai jadwal.
Selain karena antibodi dari ibu sudah menurun di usia 9 bulan,
penyakit campak umumnya menyerang anak usia balita. Jika sampai
12 bulan belum mendapatkan imunisasi campak, maka pada usia 12
bulan harus diimunisasi MMR (Measles Mump Rubella).
b. Indikasi
Untuk Imunisasi aktif terhadap penyakit campak.
c. Komposisi
Tiap dosis vaksin yang sudah dilarutkan mengandung :
1. Virus Campak >= 1.000 CCID50
2. Kanamycin sulfat <= 100 mcg
3. Erithromycin <= 30 mcg
d. Dosis dan Cara Pemberian
Imunisasi campak terdiri dari dosis 0,5 ml yang disuntikkan secara
Subkutan, lebih baik pada lengan atas. Pada setiap penyuntikan
harus menggunakan jarum dan syringe yang steril. Vaksin yang
telah dilarutkan hanya dapat digunakan pada hari itu juga
(maksimum untuk 8 jam) dan itupun berlaku hanya jika vaksin
selama waktu tersebut disimpan pada suhu 2°-8°C serta terlindung
dari sinar matahari. Pelarut harus disimpan pada suhu sejuk sebelum
digunakan. Satu dosis vaksin campak cukup untuk membentuk
kekebalan terhadap infeksi.Di negara-negara dengan angka kejadian
dan kematian karena penyakit campak tinggi pada tahun pertama
setelah kelahiran, maka dianjurkan imunisasi terhadap campak
dilakukan sedini mungkin setelah usia 9 bulan (270 hari). Di negara-
negara yang kasus campaknya sedikit, maka imunisasi boleh
dilakukan lebih dari usia tersebut. Vaksin campak tetap aman dan
efektif jika diberikan bersamaan dengan vaksin-vaksin DT, TT,
BCG, Polio, (OPV dan IPV), Hepatitis B, dan Yellow Fever.
H. KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi)
a. Definisi KIPI
Menurut Komite Nasional Pengkajian dan Penaggulangan KIPI
(KN PP KIPI), KIPI adalah semua kejadian sakit dan kematian
yang terjadi dalam masa 1 bulan setelah imunisasi. Pada keadaan
tertentu lama pengamatan KIPI dapat mencapai masa 42 hari
(arthritis kronik pasca vaksinasi rubella), atau bahkan 42 hari
(infeksi virus campak vaccine-strain pada pasien imunodefisiensi
pasca vaksinasi campak, dan polio paralitik serta infeksi virus
polio vaccine-strain pada resipien non imunodefisiensi atau
resipien imunodefisiensi pasca vaksinasi polio). 10
Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan
reaksi simpang (adverse events), atau kejadian lain yang bukan
terjadi akibat efek langsung vaksin. Reaksi simpang vaksin antara
lain dapat berupa efek farmakologi, efek samping (side-effects),
interaksi obat, intoleransi, reaksi idoisinkrasi, dan reaksi alergi
yang umumnya secara klinis sulit dibedakan.efek farmakologi,
efek samping, serta reaksi idiosinkrasi umumnya terjadi karena
potensi vaksin sendiri, sedangkan reaksi alergi merupakan
kepekaan seseorang terhadap unsure vaksin dengan latar belakang
genetic. Reaksi alergi dapat terjadi terhadap protein telur (vaksin
campak, gondong, influenza, dan demam kuning), antibiotik,
bahan preservatif (neomisin, merkuri), atau unsure lain yang
terkandung dalam vaksin.10
Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat
terjadi karena kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan
distribusi serta penyimpanan vaksin, kesalahan prosedur dan
teknik pelaksanaan imunisasi, atau semata-mata kejadian yang
timbul secara kebetulan. Sesuai telaah laporan KIPI oleh Vaccine
Safety Committee, Institute of Medicine (IOM) USA menyatakan
bahwa sebagian besar KIPI terjadi karena kebetulan saja. Kejadian
yang memang akibat imunisasi tersering adalah akibat kesalahan
prosedur dan teknik pelaksanaan (pragmatic errors).
b. Etiologi
Tidak semua kejadian KIPI disebabkan oleh imunisasi karena sebagian
besar ternyata tidak ada hubungannya dengan imunisasi. Oleh karena
itu unutk menentukan KIPI diperlukan keterangan mengenai:
1. Besar frekuensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin tertentu
2. Sifat kelainan tersebut lokal atau sistemik
3. Derajat sakit resipien
4. Apakah penyebab dapat dipastikan, diduga, atau tidak terbukti
5. Apakah dapat disimpulkan bahwa KIPI berhubungan dengan vaksin,
kesalahan produksi, atau kesalahan prosedur
KN PP KIPI membagi penyebab KIPI menjadi 5 kelompok faktor
etiologi menurut klasifikasi lapangan WHO Western Pacific (1999),
yaitu:
1. Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmic errors)
Sebagian kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan
teknik pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program
penyimpanan, pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin.
Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur
imunisasi, misalnya:
a. Dosis antigen (terlalu banyak)
b. Lokasi dan cara menyuntik
c. Sterilisasi semprit dan jarum suntik
d. Jarum bekas pakai
e. Tindakan aseptik dan antiseptik
f. Kontaminasi vaksin dan perlatan suntik
g. Penyimpanan vaksin
h. Pemakaian sisa vaksin
i. Jenis dan jumlah pelarut vaksin
j. Tidak memperhatikan petunjuk produsen
Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila
terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.
2. Reaksi suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik
langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI.
Reaksi suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan
pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung
misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkope.
3. Induksi vaksin (reaksi vaksin)
Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat
diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin
dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja
terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaksis sistemik dengan
resiko kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik
dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen
sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus,
atauberbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk
kemungkinan interaksi obat atau vaksin lain. Petunjuk ini harus
diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi.
4. Faktor kebetulan (koinsiden)
Seperti telah disebutkan di atas maka kejadian yang timbul ini terjadi
secara kebetulan saja setelah diimunisasi. Indicator faktor kebetulan
ini ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama disaat
bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan karakterisitik
serupa tetapi tidak mendapatkan imunisasi.
5. Penyebab tidak diketahui
Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat
dikelompokkan kedalam salah satu penyebab maka untuk sementara
dimasukkan kedalam kelompok ini sambil menunggu informasi lebih
lanjut. Biasanya denagn kelengkapan informasi tersebut akan dapat
ditentukan kelompok penyebab KIPI.
C. Gejala Klinis KIPI
Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat dibagi
menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi
lainnya. Pada umumnya makin cepat KIPI terjadi makin cepat gejalanya.
Reaksi KIPI Gejala KIPI
Lokal Abses pada tempat suntikan
Limfadenitis
Reaksi lokal lain yang berat, misalnya
selulitis, BCG-it is
SSP Kelumpuhan akut
Ensefalopati
Ensefalitis
Meningitis
Kejang
Lain-lain Reaksi alergi: urtikaria, dermatitis,
edema
Reaksi anafilaksis
Syok anafilaksis
Artralgia
Demam tinggi >38,5°C
Episode hipotensif-hiporesponsif
Osteomielitis
Menangis menjerit yang terus menerus
(3jam)
Sindrom syok septik
Mengingat tidak ada satupun jenis vaksin yang aman tanpa efek samping,
maka apabila seorang anak telah mendapatkan imunisasi perlu diobsevasi
beberapa saat, sehingga dipastikan tidak terjadi KIPI (reaksi cepat). Berapa
lama observasi sebenarnya sulit ditentukan, tetapi pada umumnya setelah
pemberian setiap jenis imunisasi harus dilakukan observasi selama 15
menit.untuk menghindarkan kerancuan maka gejala klinis yang dianggap
sebagai KIPI dibatasi dalam jangka waktu tertentu timbulnya gejala klinis.
Jenis Vaksin Gejala Klinis KIPI Saat timbul KIPI
Toksoid Tetanus (DPT,
DT, TT)
Syok anafilaksis
Neuritis brakhial
Komplikasi akut termasuk kecacatan
dan kematian
4 jam
2-18 hari
tidak tercatat
Pertusis whole cell
(DPwT)
Syok anafilaksis
Ensefalopati
Komplikasi akut termasuk kecacatan
dan kematian
4 jam
72 jam
tidak tercatat
Campak Syok anafilaksis
Ensefalopati
Komplikasi akut termasuk kecacatan
dan kematian
4 jam
5-15 hari
tidak tercatat
Trombositopenia
Klinis campak pada resipien
imunokompromais
Komplikasi akut termasuk kecacatan
dan kematian
7-30 hari
6 bulan
tidak tercatat
Polio hidup (OPV) Polio paralisis
Polio paralisis pada resipien
imunokompromais
Komplikasi akut termasuk kecacatan
dan kematian
30 hari
6 bulan
Hepatitis B Syok anafilaksis
Komplikasi akut termasuk kecacatan
dan kematian
4 jam
tidak tercatat
BCG BCG-it is 4-6 minggu
a. Angka Kejadian KIPI
KIPI yang paling serius terjadi pada anak adalah reaksi anafilaksis. Angka
kejadian reaksi anafilaktoid diperkirakan 2 dalam 100.000 dosis DPT, tetapi
yang benar-benar reaksi anafilaksis hanya 1-3 kasus diantara 1 juta dosis.
Anak yang lebih besar dan orang dewasa lebih banyak mengalami sinkope,
segera atau lambat. Episode hipotonik/hiporesponsif juga tidak jarang terjadi,
secara umum dapat terjadi 4-24 jam setelah imunisasi.
b. Imunisasi Pada Kelompok Resiko
Untuk mengurangi resiko timbulnya KIPI maka harus diperhatikan apakah
resipien termasuk dalam kelompok resiko. Yang dimaksud dengan kelompok
resiko adalah:
1. Anak yang mendapat reaksi simpang pada imunisasi terdahulu
Hal ini harus segera dilaporkan kepada Pokja KIPI setempat dan KN PP
KIPI dengan mempergunakan formulir pelaporan yang telah tersedia untuk
penanganan segera
2. Bayi berat lahir rendah
Pada dasarnya jadwal imunisasi bayi kurang bulan sama dengan bayi
cukup bulan. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada bayi kurang bulan
adalah:
a) Titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah dar
pada bayi cukup bulab
b) Apabila berat badan bayi sangat kecil (<1000 gram) imunisasi
ditunda dan diberikan setelah bayi mencapai berat 2000 gram atau
berumur 2 bulan; imunisasi hepatitis B diberikan pada umur 2
bulan atau lebih kecuali bila ibu mengandung HbsAg
c) Apabila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, maka vaksin polio
yang diberikan adalah suntikan IPV bila vaksin tersedia, sehingga
tidak menyebabkan penyebaaran virus polio melaui tinja
3. Pasien imunokompromais
Keadaan imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat penyakit dasar
atau sebagai akibat pengobatan imunosupresan (kemoterapi, kortikosteroid
jangka panjang). Jenis vaksin hidup merupakan indikasi kontra untuk
pasien imunokompromais dapat diberikan IVP bila vaksin tersedia.
Imunisasi tetap diberikan pada pengobatan kortikosteroid dosis kecil dan
pemberian dalam waktu pendek. Tetapi imunisasi harus ditunda pada anak
dengan pengobatan kortikosteroid sistemik dosis 2 mg/kg berat badan/hari
atau prednison 20 mg/ kg berat badan/hari selama 14 hari. Imunisasi dapat
diberikan setelah 1 bulan pengobatan kortikosteroid dihentikan atau 3
bulan setelah pemberian kemoterapi selesai.
4. Pada resipien yang mendapatkan human immunoglobulin
Imunisasi virus hidup diberikan setelah 3 bulan pengobatan utnuk
menghindarkan hambatan pembentukan respons imun.
c. Indikasi Kontra dan Perhatian Khusus Untuk Imunisasi
Pada umumnya tidak terdapat indikasi kontra imunisasi untuk individu sehat
kecuali untuk kelompok resiko. Pada setiap sediaan vaksin selalu terdapat
petunjuk dari produsen yang mencantumkan indikasi kontra serta perhatian
khusus terhadap vaksin. Petunjuk ini harus dibaca oleh setiap pelaksana
vaksinasi. 10