creeping eruption 150315

16
CREEPING ERUPTION I. Definisi Creeping eruption sinonim dengan nama cutaneous larva migrans, dermatosis linearis migrans, sandworm eruption, creeping verminous dermatitis, plumber’s itch dan duck hunter’s itch. Serpiginous dan lesi linear adalah gejala yang sering disebabkan oleh Creeping eruption (A.Braziliense dan Ancylostoma merupakan penyebab paling sering pada “Hookworm-Related Creeping eruption”). Umumnya gejala yang sering yaitu eritematous, serpiginous, bula, vesikel dan pruritus yang intensif oleh karena migrasi larva pada intradermal. [1, 2] Berdasarkan istilah klinisnya, Creeping eruption dibedakan dengan cutaneous eruption karena cutaneous eruption memiliki banyak penyebab. Sesuai dengan istilah, gejala utama Creeping eruption yaitu lesi kulit yang terjadi oleh karena adanya pergerakan parasit di bawah kulit. [1] Creeping eruption adalah peradangan pada kulit yang berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif, disebabkan oleh invasi larva cacing tambang yang berasal dari anjing dan kucing. [4] II. Epidemiologi Infeksi ini paling sering di iklim hangat dan daerah tropis atau subtropis seperti Karibia (terutama Jamaika), Afrika, Amerika Tengah, Selatan dan Tenggara dan Asia Tenggara. Di Indonesia pun banyak dijumpai. [2, 3] 1 | Page

Upload: dhian-karina

Post on 01-Feb-2016

255 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

creeping eruption

TRANSCRIPT

Page 1: Creeping Eruption 150315

CREEPING ERUPTION

I. Definisi

Creeping eruption sinonim dengan nama cutaneous larva migrans,

dermatosis linearis migrans, sandworm eruption, creeping verminous dermatitis,

plumber’s itch dan duck hunter’s itch. Serpiginous dan lesi linear adalah gejala

yang sering disebabkan oleh Creeping eruption (A.Braziliense dan Ancylostoma

merupakan penyebab paling sering pada “Hookworm-Related Creeping

eruption”). Umumnya gejala yang sering yaitu eritematous, serpiginous, bula,

vesikel dan pruritus yang intensif oleh karena migrasi larva pada intradermal.[1, 2]

Berdasarkan istilah klinisnya, Creeping eruption dibedakan dengan

cutaneous eruption karena cutaneous eruption memiliki banyak penyebab. Sesuai

dengan istilah, gejala utama Creeping eruption yaitu lesi kulit yang terjadi oleh

karena adanya pergerakan parasit di bawah kulit.[1]

Creeping eruption adalah peradangan pada kulit yang berbentuk linear

atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif, disebabkan oleh invasi larva cacing

tambang yang berasal dari anjing dan kucing.[4]

II. Epidemiologi

Infeksi ini paling sering di iklim hangat dan daerah tropis atau subtropis

seperti Karibia (terutama Jamaika), Afrika, Amerika Tengah, Selatan dan

Tenggara dan Asia Tenggara. Di Indonesia pun banyak dijumpai.[2, 3]

Orang-orang yang tidak memakai alas kaki di pantai, anak-anak yang

sering bermain pasir, tukang kayu dan tukang pipa yang bekerja di bawah

rumah,dan tukang kebun berpotensi mengalami creeping eruption. Daerah yang

paling umum terlibat adalah kaki, bokong, genitalia dan tangan. [2, 3, 4]

III. Etiologi

Penyebab utama adalah larva cacing tambang yang ada pada binatang

anjing dan kucing, dimana Ancylostoma brazilienes, Ancylostoma caninum dan

Ancylostoma ceylanicum adalah spesies yang paling sering ditemukan pada

1 | P a g e

Page 2: Creeping Eruption 150315

manusia. Di Asia Timur umumnya disebabkan oleh gnatostoma babi dan kucing.

Pada beberapa kasus ditemukan Echinococcus, Strongyloideus sterconalis,

Dermatobia maxiales, dan Lucilia caesar. Selain itu dapat pula disebabkan oleh

larva dari beberapa jenis lalat, misalnya Castrophilus (the horse bot fly) dan

Cattle fly. Larva yang hidup pada lalat merupakan stadium ketiga dari siklus hidup

Ancylostoma .[5, 6, 7]

Penyakit ini disebabkan oleh migrasi dari cacing melalui kulit, parasit ini

merupakan parasit yang tidak dapat menyelesaikan siklus hidupnya pada

manusia, sehingga hanya menyebabkan manifestasi kulit.[7]

Cacing tambang pada anjing adalah yang paling sering yang menyebabkan

creeping eruption pada manusia. Anatrichosoma cutaneum, parasit yang ada pada

monyet di daerah Timur dunia, jarang menyebabkan creeping eruption.

Strongyloides stercoralis menyebabkan bentuk khas creeping eruption.

Gnathostoma spp. menyebabkan pembengkakan di subkutan akibat migrasi

parasit yang biasanya hilang dalam waktu yang singkat.[1]

IV. Patogenesis

Cacing tambang dewasa hidup di usus anjing dan kucing, kemudian telur

cacing terbawa dan hidup pada feses anjing dan kucing. Pada kondisi kelembaban

dan suhu yang optimal, telur cacing tambang menetas menjadi larva yang infektif,

yang akan menembus kulit manusia. Setelah menembus ke dalam kulit, kemudian

akan migrasi ke stratum germinativum dan korneum.[2, 6]

Larva stadium tiga menembus kulit manusia dan bermigrasi beberapa

sentimeter per hari, biasanya antara stratum granulosum dan stratum korneum.

Larva ini tinggal di kulit dan bergerak sepanjang dermoepidermal. Hal ini

menginduksi reaksi inflamasi eosinofilik setempat. Setelah beberapa jam atau hari

akan timbul gejala pada kulit.[1, 2]

Larva bermigrasi pada epidermis tepat di atas membran basalis dan jarang

menembus ke dermis. Manusia merupakan hospes penderita dan larva tidak

mempunyai enzim kolagenase yang cukup untuk penetrasi membran basalis

sampai ke dermis. Sehingga penyakit ini menetap di kulit saja. Enzim proteolitik

2 | P a g e

Page 3: Creeping Eruption 150315

yang diekskresi larva menyebabkan inflamasi sehingga terjadi rasa gatal dan

progresi lesi. Meskipun larva tidak bisa mencapai intestinum untuk melengkapi

siklus hidup, larva sering kali migrasi ke paru-paru sehingga terjadi infiltrat paru.

Kebanyakan larva tidak mampu menembus lebih dalam dan mati setelah beberapa

hari sampai beberapa bulan.[1, 2]

Gambar 1 : siklus hidup Ancylostoma [14]

Penetrasi larva ke kulit biasanya asimtomatik. Selama larva migrasi,

respon inflamasi lokal dipicu oleh pelepasan sekresi larva yang sebagian besar

terdiri dari enzim proteolitik. Gejala yang timbul berupa gatal, kemerahan, adanya

reaksi peradangan eksemantosa[2, 7]

V. Gejala Klinis

Masuknya larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas. Mula-mula

akan timbul papul, kemudian diikuti bentuk yang khas, yaitu lesi berbentuk linear

atau berkelok-kelok (snakelike appearance), menimbul dengan diameter 2-3

milimiter, berwarna merah segar, atau merah muda, dan terasa gatal. Adanya lesi

papul yang eritematosa ini menunjukkan bahwa larva tersebut telah berada di kulit

selama beberapa jam atau hari. Lamanya waktu mulai dari terinfeksi sampai

timbulnya gejala yaitu 1-6 hari.[1, 6]

3 | P a g e

Page 4: Creeping Eruption 150315

Perkembangan selanjutnya papul berwarna merah akan menjalar seperti

benang berkelok-kelok, polisiklik, serpiginosa, menimbul dan membentuk

terowongan (burrow), mencapai panjang beberapa milimeter sampai sentimeter

setiap harinya. Dapat terdapat satu lesi maupun beberapa lesi. Rasa gatal biasanya

lebih hebat pada malam hari. Terowongan yang sudah lama akan mengering dan

menjadi krusta dan bila pasien sering menggaruk akan menimbulkan iritasi yang

rentan terhadap infeksi sekunder.[1, 2]

Umumnya predileksi pada daerah ekstremitas inferior, plantar, trunkus,

anus, bokong dan paha, juga di bagian tubuh lainnya yang sering kontak dengan

larva.[7]

Gejala sistemik misalnya wheezing, batuk kering, urtikaria dapat terjadi

pada pasien dengan infeksi yang berat. Larva Ancylostoma caninum dapat

bermigrasi ke saluran pencernaan, yang menyebabkan human eosinophilic

enterocolitis, dengan gejala nyeri abdominal, anoreksia, mual, dan diare. Larva

caninum juga bermigrasi ke dermis dan memasuki sirkulasi, sehingga

menyebabkan sindrom Loeffler yang memberikan gambaran klinis sesak,

wheezing, eosinofilia, demam, dan urticaria.[2, 4]

Gambar 2: lesi kemerahan dan berkelok-kelok (Creeping eruption).[4]

4 | P a g e

Page 5: Creeping Eruption 150315

Gambar 3: Creeping eruption Ada beberapa

lesi berliku-liku, trek larva yang inflamasi, beberapa

di antaranya dapat dilihat blister sebagai tanda

permulaan lesi.[1]

Gambar 4: Creeping eruption di sekitar bokong.[2]

VI. Diagnosis Dan Penatalaksanaan

Diagnosis Creeping eruption ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis ditanyakan kondisi

tempat tinggal, kebiasaan berjalan tanpa menggunakan alas kaki, pekerjaan yang

berhubungan dengan tanah atau pasir, dan adanya binatang seperti anjing dan

kucing yang berada disekitar tempat tinggal.[1, 2]

Pemeriksaan fisis creeping eruption dilakukan inspeksi pada daerah

ekstremitas inferior, plantar, manus, anus, gluteus atau femur, juga dibagian

tubuh di mana saja yang sering kontak dengan tempat larva berada. Hasil inspeksi

akan tampak adanya lesi linear dan atau serpiginous dan terdapat papul dan

vesikel .[2, 8]

5 | P a g e

Page 6: Creeping Eruption 150315

Pemeriksaan penunjang yang membantu diagnosis yaitu pemeriksaan

laboratorium dan pemeriksaan histologi. Pada pemeriksaan darah rutin dapat

ditemukan tanda sistemik berupa eosinofilia perifer pada infeksi yang ekstensif

dan pada sindrom Loeffler terjadi peningkatan IgE.[2, 5]

Untuk menunjang diagnosis dapat juga dilakukan biopsi kulit atau

pemeriksaan histologi, namun tidak begitu bermakna karena larva biasanya tidak

ditemukan. Pada pemeriksaan histologi tampak larva nematoda terperangkap di

antara folikel, stratum korneum atau di dermis bersama dengan infiltrat eosinofilik

inflamasi.[2]

Gambar 5: A.Tampak infiltrat eosinofi dan tanda-tanda spongiosis pada lapisan epidermis

B. Cutaneous larva migras dengan kutikula yang berwarna merah muda epidermis, tepat

di bawah lapisan sel glanular

VII. Diagnosis Banding

a. Dermatofitosis

Bentuk polisiklik yang terjadi pada creeping eruption sering dikacaukan

dengan dermatofitosis. Infeksi dermatofita superfisial pada kulit ditandai oleh satu

atau lebih lesi melingkar, berbatas tegas, eritematosa, kering, bersisik, dan patch

hyperpigmented.[4]

6 | P a g e

Page 7: Creeping Eruption 150315

Gambar 6: Dikutip dari kepustakaan 1.

Biopsi kulit tidak sering digunakan dalam pemeriksaan dari dermatofitosis.

Erupsi kulit lokal yang diduga merupakan dermatofitosis dilakukan pemeriksaan

KOH meskipun kurang jelas. Biopsi dapat membantu menegakkan diagnosis

ketika agen sistemik sedang dipertimbangkan untuk pengobatan erupsi atau lebih

luas . Biopsi kadang-kadang berguna dalam mengkonfirmasikan adanya hifa,

meskipun pada kultur membutuhkan spesies yang patogen. Hifa dapat ditemukan

di stratum korneum pada pewarnaan HE (Hematoksilin-Eosin).[2]

Gambar 7: Dikutip dari kepustakaan 1.

b. Herpes Zoster

Bila invasi larva yang multipel timbul serentak, papul-papul lesi ini dapat

menyerupai herpes zoster stadium awal. Pada herpes zoster, papul dan dan plak

eritema yang disertai nyeri. Lesi akan muncul pada lokasi sesuai dengan

dermatom dan biasanya unilateral.[4]

7 | P a g e

Page 8: Creeping Eruption 150315

Gambar 8: Dikutip dari pustakaan 3

Lesi pada varicella dan herpes zoster bisa dibedakan dengan pemeriksaan

histopatologi. Adanya giant cell berinti banyak dan sel epitel yang mengandung

badan inklusi intranuklear asidofilik membedakan lesi kulit yang dihasilakn oleh

VZV dari semua lesi vesikular lain (misalnya yang disebabkan oleh Variola, dan

poxvirus lain dan oleh coxsackie virus dan echovirus, kecuali yang diproduksi

oleh HZV). Sel-sel ini dapat ditunjukkan dalam Tzank smears specimen dikikis

sebagian dasar oleh vesikel awal, diletakkan pada slide kaca, difiksasi dengan

aseton atau metanol, dan diwarnai dengan HE, Giemsa, Papanicolaou, Paragon

multiple stain.[2]

Gambar 9: A. Dikutip dari kepustakaan 3 B. Dikutip dari kepustakaan 4

c. Skabies

Skabies dibedakan dengan creeping eruption dengan melihat adanya

terowongan, pada skabies terowongan yang terbentuk tidak akan sepanjang seperti

pada creeping eruption. Scabies ditandai dengan lesi papular pruritus, ekskoriasi,

dan terowongan. Predileksinya yaitu pada sela-sela jari, pergelangan tangan,

8 | P a g e

A B

Page 9: Creeping Eruption 150315

ketiak, areola, umbilikus, perut bagian bawah, genital, dan bokong. Skabies

ditularkan melalui kontak langsung dengan penderita, menyerang secara

berkelompok dan secara tidak langsung yaitu dengan menggunakan seprai atau

baju yang terkontaminasi dengan Sarcoptes Scabiei.[4]

Gambar 10: Dikutip dari kepustakaan 2.

VIII. Penatalaksanaan

1. Non-medikamentosa

Infeksi cacing tambang dapat dicegah dengan menghindari kontak kulit

langsung dengan tanah yang tercemar dengan kotoran binatang dengan memakai

alas kaki. Pemberian obat cacing untuk binatang peliharaan merupakan hal yang

direkomendasikan untuk mencegah creeping eruption.[5, 8, 9]

Pada kasus yang ringan biasanya tidak memerlukan pengobatan. Tanpa

pengobatan, larva akan mati dan diarbsorbsi. Meskipun penyakit ini dapat sembuh

sendiri, rasa gatal yang hebat dan resiko infeksi sekunder yang menyebabkan

pasien datang untuk berobat. Jika perlu dapat diberikan antihelmintes topikal

untuk lesi awal yang terlokalisir. Pada kasus yang lebih berat dan gagal dengan

terapi topikal dapat diberikan terapi oral. Antihistamin membantu mengurangi

rasa gatal. Jika terjadi infeksi sekunder oleh bakteri dapat diberikan antibiotik.[1, 5]

2. Medikamentosa

A. Pengobatan oral

Tiabendazole Merupakan antihelmintik derivat benzimidazol yang sering

digunakan untuk mengobati creeping eruption. Obat ini merupakan obat

antihelmintes berspektrum luas dan efektif untuk mengobati berbagai nematoda

pada manusia, dan efektifitasnya tinggi terhadap strongiloides, askariasis,

9 | P a g e

Page 10: Creeping Eruption 150315

oksiuriasis dan larva migrans kulit. Cara kerjanya yaitu menghambat enzim

fumarat reduktase cacing. Tiabendazol dapat meghancurkan sebagian larva yang

terdapat dalam otot. Dosis standar yang dianjurkan 2 x 25 mg/kgBB. Untuk

cutaneous larva migran yang dianjurkan adalah 2 x 25 mg/kgBB selama 2-5 hari.

Bila masih ditemukan adanya lesi aktif, selang 2 hari kemudian dapat diberikan

lagi satu rangkai pengobatan. Pemberian obat setelah makan. Efek samping obat

ini ialah anoreksia, mual, muntah, dan pusing. [2, 5, 9, 13]

Ivermektin obat ini dihasilkan melalui proes fermentasi dari Streptomyces

avermitillis. Pemberian oral pda manusia diabsorpsi baik dan memiliki waktu

paruh 10-12 jam. Kadar puncak 4 jam. Obat ini tidak dapat melewati sawar darah

otak. Cara kerja obat ini yakni memperkuat peranan GABA pada proses transmisi

di saraf tepi, sehingga cacing mati pada keadaan paralisis. Obat ini merupakan

Antiparasit yang diberikan dengan dosis 12 mg atau 200ug/kgBB dosis tunggal.[4,

5]

Albendazol Merupakan generasi ketiga dari obat heterosiklik antihelmintik

dan merupakan obat cacing derivat benzimidazol berspektrum luas yang dapat

dibeikan per oral. Pernah digunakan pada infeksi parasit saluran pencernaan. Pada

pemberian per oral, obat ini diserap secara tidak teratur oleh usus. Obat ini cepat

dimetabolisme, terutama menjadi albendazol sulfoksida. Obat ini bekerja dengan

cara berikatan dengan ᵝ-tubulin parasit sehingga menghambat polimerase

mikrotubulus dan memblok pengambilan glukosa oleh larva maupun cacing

dewasa sehingga pembentukan ATP berkurang dan akibatnya cacing akan mati.

Antihelmintes alternatif sebagai pengganti tiabendazol. Dosis albendazol yaitu

400 mg perhari, diberikan selama 3 hari atau 2 x 200 mg perhari diberikan selama

5 hari.[2, 9]

B. Pengobatan Topikal

Tiabendazol : Tujuan utama terapi topikal yaitu untuk mencegah

terjadinya efek samping dari terapi sistemik. Aplikasi tiabendazol ointmen topikal

10%-15% pada daerah lesi menunjukan hasil yang baik. Pada kebanyakan

penderita, lesi dari migrasi larva membaik dalam waktu 48 jam setelah

pengobatan.[3, 9]

10 | P a g e

Page 11: Creeping Eruption 150315

Krim tiabendazol dibuat dari penghancuran 500 mg tablet tiabendazol

yang dilarutkan dalam air. Walaupun kurang efektif, tiabendazol krim 10%,

merupakan alternatif yang baik untuk anak-anak untuk mencegah efek samping

pengobatan sistemik .[9] Topikal berupa suspensi 10-15% (dikombinasikan dengan

krim kortikosteroid) secara oklusi, digunakan 2 kali sehari, selama minimal 1

minggu.[2]

Albendazol : Aplikasi topikal dari albendazol krim 10% 2 kali sehari

memberikan hasil yang baik dalam waktu 10 hari. Pengobatan dini terhadap

creeping eruption penting karena jika tidak diobati dengan baik, dapat menjadi

lebih parah karena infeksi sekunder dan sindrom Loeffler. Tiabendazol krim 15%

telah diketahui efektif. Tiabendazol oral juga diketahui keefektifannya, namun

memiliki efek samping yang tinggi.[2,10]

Agen Pembeku Topikal : Membekukan sesuai dengan alur dari larva yang

terdapat pada kulit dengan sprai ethylene cloride, solid carbon dioxide, atau

nitrogen cair terkadang berhasil. Cara terapi ialah dengan cryotherapy yakni

menggunakan CO2 snow (dry ice) dengan penekanan selama 45 detik sampai satu

menit, dua hari berturut-turut.[2,9,13]

IX. Komplikasi

Ekskoriasi dan infeksi sekunder oleh bakteri akibat garukan merupakan

komplikasi yang sering terjadi. Infeksi umumnya disebabkan oleh streptococcus

pyogenes. Bisa juga terjadi impetigo, reaksi alergi lokal atau general misalnya

edema dan reaksi vesicobullous.[2,4,9]

Salah satu komplikasinya yaitu sindrom Loeffler yang merupakan

kumpulan gejala hipersensitivitas seperti dispnea, wheezing, batuk dan demam

yang terjadi karena migrasi larva ke jaringan paru-paru.[2,4]

X. Prognosis

11 | P a g e

Page 12: Creeping Eruption 150315

Prognosisnya dubia ad bonam. Creeping eruption merupakan penyakit

yang dapat sembuh sendiri, dimana ketika larva mati, lesi akan membaik dalam

waktu 4-8 minggu, terkadang waktu 1 tahun.[8,11,13]

DAFTAR PUSTAKA

1. Lopez, F.V. and R.J. Hay. Parasitic Worms and Protozoa. In: T. Burns, Wiley-Blackwell, editor. Rook's Textbook of Dermatology: Oxford. 2010. p. 37.16-37.17.

2. Suh, K.N. and J.S. Keystone. Helminthic Infections. In: K. Wolff, et al., Editors, McGraw-Hill. . Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine. 2012. USA. p. 3619-3638.

3. Lupi, O. Protozoa and Worms. In: Dermatology, J.L. Bolognia, J.L. Jorizzo, and R.P. Rapini, Editors. 2008, Mosby: London.

4. W D James, T G Berger, D M Elston. Creeping Eruption. In Andrew's Disease of The Skin: Clinical Dermatology, Pack SC,et al , Editors. 2006, Mosby: London. p. 435-436.

5. W Sterry, R Paus, and W Burgdorf. Cutaneous Larva Migrans. In: Sterry, Editor. Thieme Clinical Companios Dermatology. 2006, Thieme: New York. p. 131-132.

6. Rosenthal, P.J. Protozoal and Helminthic Infections. In: M.A. Papadakis and S.J. McPHEE, Editors. Current Medical Diagnosis and Treatment. 2013. McGraw-Hill: New York. p. 1523-1524.

7. Estrada, R. Larva Migrans. In: R. Arenas and R. Estrada, Landes Bioscience, Editors. Tropical Dermatology. 2010: Texas. p. 213-218.

8. Vano-Gaivan, S., et al., Creeping eruption Cases Journal, 2009. 2: p. 112.9. Caumes, E. Treatment of Creeping eruption.Clinical Infectious Diseases.

2010. 30: p. 811-814.10. Dhanaraj M, Ramalingam M. Creeping eruption Masquerading as Tinea

Corporis. Journal of Clinical and Diagnostic Research. 2013 Oct, Vol-7(10): 2313.

12 | P a g e

Page 13: Creeping Eruption 150315

11. Suzanne J. Supplee et al. Creeping eruptions: Creeping eruption. Journal of Community Hospital Internal MedicinePerspectives. 2013,3:21833

12. Balfour E, Zalka A, Lazova R. Creeping eruption With Parts of the Larva in the Epidermis. Yale Dermatopathology Laboratory.201313. Alsah Siti. Creeping eruption. In Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed.

Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. p.125-12614. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Division of Parasitic

Diseases and Malaria. January 10, 2013 : USA15. Ganiswarna, Sulistia. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Tahun 2006. Jakarta :

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal : 532-535.

13 | P a g e