crs epistaksis

57
Case Report Session EPISTAKSIS Oleh : Hadi Oktafiano 1010313077 Aghnia Jolanda Putri 1010313088 Jasmine Nabilah 1110312045 Pembimbing : dr. Rossy Rosalinda, Sp.THT-KL BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS RSUP DR. M. DJAMIL PADANG PADANG 2015

Upload: verdira-asihka

Post on 08-Dec-2015

103 views

Category:

Documents


19 download

DESCRIPTION

epistaksis

TRANSCRIPT

Page 1: CRS Epistaksis

Case Report Session

EPISTAKSIS

Oleh :

Hadi Oktafiano 1010313077Aghnia Jolanda Putri 1010313088Jasmine Nabilah 1110312045

Pembimbing :

dr. Rossy Rosalinda, Sp.THT-KL

BAGIAN ILMU PENYAKITTELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALASRSUP DR. M. DJAMIL PADANG

PADANG2015

Page 2: CRS Epistaksis

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur Alhamdulillah kehadirat Allah swt yang telah

melimpahkan ilmu, akal, pikiran dan waktu sehingga penulis dapat menyelesaikan referat

yang berjudul “Epistaksis“. Laporan kasus ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat

dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung

Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Rossy Rosalinda, Sp.THT-KL selaku

pembimbing dan semua pihak yang telah membantu dalam penulisan laporan kasus ini.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena

itu, dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari

berbagai pihak demi kesempurnaan laporan ini. Akhir kata, semoga laporan ini bermanfaat

bagi kita semua.

Padang, 13 Sepetember 2015

Penulis

Page 3: CRS Epistaksis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

DAFTAR GAMBAR iii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 2

1.2. Batasan Masalah 2

1.3. Tujuan Penulisan 2

1.4. Metode Penulisan 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3

2.1. Anatomi dan Perdarahan Hidung 3

2.2. Epistaksis 13

2.2.1 Definisi 13

2.2.2 Epidemiologi 13

2.2.3 Klasifikasi 14

2.2.4 Etiologi 14

2.2.5 Gambaran Klinis dan Pemeriksaan 17

2.2.6 Penatalaksanaan 19

2.2.7 Komplikasi 24

2.2.8 Prognosis 25

BAB III Ilustrasi Kasus 26

DAFTAR PUSTAKA

Page 4: CRS Epistaksis

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi hidung luar 3

Gambar 2. Kerangka tulang dan kartilago hidung 4

Gambar 3. Dinding lateral kavum nasi 6

Gambar 4. Perdarahan pada septum 8

Gambar 5. Perdarahan pada dinding lateral kavum nasi 9

Gambar 6. Persarafan hidung 12

Gambar 7. Pemasangan tampon anterior 22

Gambar 8. Pemasangan tampon Bellocq 23

Page 5: CRS Epistaksis

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perdarahan pada septum dan dinding lateral kavum nasi 7

Page 6: CRS Epistaksis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Epistaksis adalah perdarahan yang keluar dari lubang hidung, rongga

hidung dan nasofaring, yang bukan merupakan suatu penyakit melainkan gejala suatu

kelainan atau penyakit lain. Epistaksis dapat terjadi akibat penyebab lokal, sistemik, atau

idiopatik. Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya. Penyebab

lokal dapat berupa: trauma, kelainan anatomi, infeksi hidung dan sinus paranasal, tumor,

lingkungan, benda asing atau rinolit, atau terdapatnya pelebaran pembuluh darah

(telangiektasis) pada hidung. Penyebab sistemik yaitu: penyakit kardiovaskular, kelainan

darah, infeksi sistemik, gangguan endokrin, dan kelainan kongenital, seperti penyakit Osler

(hereditary hemorrhagic telangiectasia).1

Epistaksis sering ditemukan sehari-hari baik pada anak maupun pada usia lanjut dan

90% epistaksis dapat berhenti sendiri (spontan) atau dengan tindakan sederhana yang

dilakukan oleh pasien sendiri dengan cara menekan hidungnya tanpa memerlukan bantuan

medis. 1,2

Umumnya pada epistaksis terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior

dan bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari

arteri ethmoidalis anterior. Sedangkan epistaksis poterior dapat berasal dari arteri

sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior.1

Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret yang berdarah dari hidung

yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien perdarahan

hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahannya.1

Page 7: CRS Epistaksis

Epistaksis atau perdarahan hidung dilaporkan timbul pada 60% populasi umum.

Puncak kejadian dari epistaksis didapatkan berupa dua puncak (bimodal) yaitu pada usia <10

tahun dan >50 tahun. Epistaksis biasanya terjadi tiba-tiba. Perdarahan mungkin banyak dan

bisa juga sedikit. Penderita selalu ketakutan sehingga merasa perlu untuk memanggil dokter.

Epistaksis yang berat , walaupun jarang dijumpai, dapat mengancam keselamatan jiwa

pasien. Bahkan dapat berakibat fatal bila tidak segera ditolong.1,2,3

1.2 Batasan Masalah

Dalam Case Report Session ini akan dibahas mengenai Epistaksis.

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan Case Report Session ini bertujuan untuk menambah ilmu pengetahuan

serta memahami pengetahuan tentang Epistaksis.

1.4 Metode Penulisan

Penulisan Case Report Session ini menggunakan berbagai literature sebagai sumber

kepustakaan.

Page 8: CRS Epistaksis

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Perdarahan Hidung

a. Hidung luar

Hidung luar berbentuk piramid dengan puncak di bagian atas dan dasar di

bawah. Bagian-bagiannya yaitu1:

Pangkal hidung (nasal bridge)

Batang hidung (dorsum nasi)

Puncak hidung (tip)

Ala nasi

Kolumela

Lubang hidung (nares anterior)

Gambar 1. Anatomi hidung luar2

8

Page 9: CRS Epistaksis

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan kartilago yang dilapisi kulit,

jaringan ikat, dan otot-otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau

menyempitkan lubang hidung. Bagian 1/3 atas hidung luar merupakan kerangka

tulang yang terdiri dari dua tulang hidung (os. nasal) yang bertemu di bagian tengah

dan bertumpu pada prosesus nasalis dari tulang frontalis yang juga bertumpu pada

prosesus frontalis dari tulang maksila.1,2

Bagian 2/3 bawah merupakan kerangka kartilago yang terdiri dari kartilago

lateralis atas dan bawah.(kartilago alar), kartilago lesser alar (sesamoid), dan kartilago

septum. Kartilago lateralis atas membentang dari batas bawah kerangka tulang hingga

kartilago alar di bagian bawah. Keduanya berfusi dengan batas atas kartilago septum

di bagian tengah. Masing-masing kartilago alar berbentuk U, dengan krus lateral yang

membentuk ala nasi, dan krus medial yang berjalan sepanjang kolumela. Terdapat 2-4

kartilago lesser alar yang masing-masing dihubungkan oleh perichondrium dan

periosteum, dan terletak di lateral dari kartilago alar. Kartilago septum terbentang dari

batas bawah kerangka tulang hingga ke puncak hidung (tip). Ia berfungsi sebagai

penyangga kerangka kartilago dari dorsum nasi.2

Gambar 2. Kerangka tulang dan kartilago hidung2

b. Hidung dalam

9

Page 10: CRS Epistaksis

Hidung dalam dibagi menjadi 2 kavum oleh septum nasal. Masing-masing

kavum berhubungan dengan lingkungan melalui nares di bagian anterior dan

berhubungan dengan nasofaring melalui koana di bagian posterior.2 Tepat di belakang

nares, terdapat area berlapiskan kulit yang dinamai vestibulum yang mengandung

banyak kelenjar sebaseus dan bulu hidung atau vibrise. Bersambung ke belakang,

area berlapiskan mukosa yaitu kavum nasi.1,2

Tiap kavum nasi memiliki 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,

inferior, dan superior. Pada dinding lateral terdapat 3 buah konkha atau turbinatum

yaitu proyeksi tulang berbentuk gulungan ke arah medial dilapisi oleh membran

mukosa. Ruang dibawah setiap konkha dinamakan meatus.

i. Konkha Inferior

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os.

Maksila dan labirin etmoid. Di bagian bawahnya terdapat meatus inferior

yang merupakan muara dari saluran nasolakrimalis yang dijaga pada ujungnya

oleh katup mukosa, katup Hasner.1,2

ii. Konkha Media

Konka media merupakan bagian dari tulang etmoid, dan menempel ke

dinding lateral hidung oleh lamella tulang dinamakan lamella basal.2 Di

bagian bawah terdapat meatus media, yang merupakan muara dari sinus

frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior.1

iii. Konkha Superior

10

Page 11: CRS Epistaksis

Konka superior juga masi merupakan bagian dari tulang etmoid, dan

terletak di posterosuperior dari konka media.2 Di bagian bawah terdapat

meatus superior yang merupakan muara dari sinus etmoid posterior dan sinus

sfenoid.1

Gambar 3. Dinding lateral kavum nasi2

c. Perdarahan hidung

Kedua sistem arteri karotis eksterna dan interna mendarahi hidung, baik

septum dan dinding lateral.2 Arteri karotis interna bercabang menjadi arteri oftalmika

yang kemudian bercabang lagi menjadi arteri etmoidalis anterior dan posterior. Cabang

etmoidalis anterior dan posterior menyuplai sinus palatina mayor menyuplai sinus

frontalis dan etmoidalis serta atap hidung. Sedangkan arteri sfenopalatina dan arteri

palatina mayor merupakan cabang terminal dari arteri karotis eksterna yang menyuplai

darah pada konka, meatus dan septum nasalis.1

11

Page 12: CRS Epistaksis

Pada bagian depan septum, terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.

sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor yang disebut

pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach terletak superfisial sehingga

mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis pada anak.1

Tabel 1. Perdarahan pada septum dan dinding lateral kavum nasi2

Sistem arteri karotis Septum Dinding lateral

Interna Cabang dari a.

ophtalmika:

- A. etmoid anterior

- A. etmoid posterior

Cabang dari a.

ophtalmika:

- A. etmoid anterior

- A. etmoid posterior

Eksterna - A. sfenopalatina,

cabang dari a. maksilaris

- Cabang septal dari a.

palatina mayor (cabang a.

maksilaris)

- Cabang septal dari a.

labial superior (cabang a.

fasial)

- cabang nasal

posterolateral dari a.

sfenopalatina

- A. palatina mayor dari

a. maksilaris

- Cabang nasal dari

dental anterosuperior dari

cabang infraorbital dari a.

maksilaris

- Cabang dari a. fascialis

ke vestibulum nasal

12

Page 13: CRS Epistaksis

Gambar 4. Perdarahan pada septum2

13

Page 14: CRS Epistaksis

Gambar 5. Perdarahan pada dinding lateral kavum nasi2

d. Persarafan hidung

i. Nervus Olfaktorius (CN I)

Saraf ini membawa sensasi bau dan menyuplai daerah olfaktorius dari

hidung. Ia merupakan filamen-filamen sentral dari sel-sel olfaktorius dan tersusun

sebanyak 12-20 buah yang turun melalui lamina kribriformis dan berakhir pada

14

Page 15: CRS Epistaksis

bulbus olfaktorius. Saraf ini dapat membawa lapisan duramater, arachnoid dan

piamater ke rongga hidung sehingga cedera pada saraf ini dapat menimbulkan

kebocoran pada ruang cairan serebrospinal sehinga menyebabkan rinorrea cairan

serebrospinal dan meningitis.2

ii. Persarafan sensoris

- N. Etmoidalis anterior

- Cabang-cabang dari ganglion sfenopalatina

- Cabang-cabang dari nervus infraorbita

Sebagian besar yaitu 2/3 bagian posterior hidung baik dinding lateral dan

septum dipersarafi oleh cabang-cabang dari ganglion sfenopalatina. Saraf ini

dapat diblok dengan meletakkan kapas yang direndam larutan anestesi di dekat

foramen sfenopalatina, di belakang konka media. Saraf etmoidalis anterior

mempersarafi bagian superior dan anterior rongga hidung baik dinding lateral dan

septum yang dapat diblok dengan meletakkan kasa tinggi ke dalam tulang hidung

tempat masuknya saraf tersebut.2

iii. Persarafan otonom

Serat-serat saraf parasimpatis mempersarafi kelenjar-kelenjar di hidung

dan mengontrol sekresi hidung. Mereka berasal dari n. petrosal superfisial mayor,

berjalan dalam saraf dari kanal pterygoid (n. vidian) dan mencapai ganglion

sfenopalatina hingga kavum nasi. Mereka juga menyuplai pembuluh darah dari

hidung dan menyebabkan vasodilatasi.2

Serat-serat saraf simpatis berasal dari korda spinalis dari 2 segmen

thoraks atas, berjalan melalui ganglion servikal superior, ke dalam n. petrosal dan

15

Page 16: CRS Epistaksis

bergabung dengan serat saraf parasimpatis dan kemudian membentuk saraf dari

kanal pterygoid (n. vidian). Meraka mencapai kavum nasi tanpa masuk ke dalam

ganglion sfenopalatina. Mereka mengkonstriksikan pembuluh darah. Rinorrea

eksesif pada kasus rhinitis vasomotor dan alergi dapat dikontrol oleh n. vidian.2

16

Page 17: CRS Epistaksis

Gambar 6. Persafaran hidung2

17

Page 18: CRS Epistaksis

2.2 Epistaksis

2.2.1 Definisi

Epistaksis adalah perdarahan yang keluar dari lubang hidung,

rongga hidung dan nasofaring, yang merupakan gejala dari kelainan atau

penyakit lain.3,4 Kondisi ini merupakan kegawatdaruratan yang paling sering

ditemukan di bidang telinga, hidung, dan tenggorok yang harus segera ditatalaksana

karena dapat berakibat fatal.5

2.2.2 Epidemiologi

Epistaksis diperkirakan terjadi pada 7 – 14% populasi umum tiap tahun.

Prevalensi sebenarnya tidak diketahui disebabkan kebanyakan kasus dapat sembuh

sendiri dan tidak dilaporkan. Angka kejadian epistaksis meningkat pada anak-anak

umur dibawah 10 tahun, dan dewasa di atas 50 tahun. Laki-laki lebih sering

mengalami epistaksis dibanding wanita.5 Epistaksis anterior lebih sering terjadi pada

anak-anak dan dewasa muda, sedangkan epistaksis posterior lebih sering terjadi pada

usia yang lebih tua, terutama pada laki-laki dekade 50 dengan penyakit hipertensi dan

arteriosklerosis. Epistaksis lebih sering terjadi pada musim dingin. Hal ini mungkin

disebabkan peningkatan kejadian infeksi pernafasan atas dan udara yang lebih kering

akibat pemakaian pemanas. Epistaksis juga sering terjadi pada iklim yang panas

dengan kelembaban yang rendah. Pasien yang menderita alergi, inflamasi hidung, dan

penyakit sinus lebih rentan terjadi epistaksis karena mukosanya lebih mudah kering

dan hiperemis disebabkan reaksi inflamasi.3

18

Page 19: CRS Epistaksis

2.2.3 Klasifikasi

Epistaksis dibedakan menjadi 2 atas dasar sumber pendarahan, yaitu1 :

Epistaksis Anterior

Kebanyakan berasal dari Pleksus Kiesselbach di septum bagian

anterior dan merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai pada

anak-anak. Bisa juga berasal dari a. etmoidalis anterior. Perdarahan ini

disebabkan karena keadaan mukosa yang hiperemis atau kebiasaan mengorek

hidung. Perdarahan ini biasanya ringan tapi sering berulang dan dapat

berhenti sendiri (spontan) atau dikendalikan dengan tindakan sederhana

seperti memencet hidung.1

Epistaksis Posterior

Dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior.

Perdarahan cenderung lebih hebat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat

menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien

dengan kelainan kardiovaskuler seperti hipertensi, atau arteriosklerosis.1

2.2.4 Etiologi

Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat ditelusuri penyebabnya.

Namun kadang-kadang jelas disebabkan oleh trauma.1 Perdarahan hidung diawali

dengan pecahnya pembuluh darah di selaput mukosa hidung. Sebanyak 80% kasus

perdarahan berasal dari pembuluh darah pleksus Kiesselbach.1

19

Page 20: CRS Epistaksis

Secara umum epistaksis dapat disebabkan oleh sebab-sebab lokal seperti

trauma, infeksi, neoplasma, kelainan kongenital dan bisa juga disebabkan oleh

keadaan umum atau kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan

darah, infeksi, perubahan tekanan atmosfir dan gangguan endokrin .1,2,8

1. Lokal

a. Trauma

Biasanya karena usaha mengeluarkan sekret dengan menghembus kuat,

bersin terlalu sering, mengorek hidung, atau trauma seperti terpukul, operasi

intranasal, fraktur pada 1/3 wajah dan dasar tengkorak. Selain itu iritasi oleh

gas yang merangsang dan trauma pada pembedahan bisa juga menyebabkan

epistaksis.2

b. Infeksi

Infeksi hidung dan sinus paranasal, seperti rhinitis, sinusitis, serta

granuloma spesifik seperti tuberkulosis, sifilis, lepra, dan lupus dapat

menyebabkan epistaksis.1,2

c. Neoplasma

Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan

intermiten, kadang-kadang disertai mukus yang bernoda darah. Hemangioma,

karsinoma,dan angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat.1

d. Kelainan kongenital

Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah

teleangiektasis hemoragik herediter (hereditary hemorrhagic teleangiectasis

20

Page 21: CRS Epistaksis

Osler’s Disease). Pasien ini juga menderita teleangiektasis di tangan, wajah,

atau bahkan di traktus gastrointestinal atau di pembuluh darah paru.1

e. Benda asing dan perforasi septum

Perforasi septum dan benda asing hidung dapat menjadi predisposisi

perdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau

perforasi akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan

aliran sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha pelepasan

krusta dengan jari dapat menimbulkan trauma. Pengeluaran krusta berulang

menyebabkan erosi membran mukosa septum yang menyebabkan

perdarahan.1,2

f. Faktor lingkungan

Misalnya tinggal di daerah tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan

udaranya sangat kering.2

2. Sistemik

a. Kelainan darah

Kelainan darah penyebab epistaksis, misalnya trombositopenia, hemofilia

dan leukemia. Obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon

dapat pula mempredisposisi epistaksis berulang.1,2

b. Penyakit kardiovaskular

Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada arteriosklerosis,

nefritis kronis, sirosis hepatis, sifilis, diabetes melitus dapat menyebabkan

epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan

prognosinya kurang baik.1,2

21

Page 22: CRS Epistaksis

c. Infeksi sistemik

Paling sering menyebabkan epistaksis adalah demam berdarah dengue, selain

itu juga morbili, demam tifoid dan influensa dapat juga disertai adanya epistaksis.1

d. Gangguan endokrin

Wanita hamil, menarche dan menopause sering juga dapat menimbulkan

epistaksis.1

e. Perubahan udara dan tekanan atmosfir

Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada di tempat yang cuacanya

sangat dingi atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan adanya zat-zat

kimia di tempat industri yang menyebabkan keringnya mukosa, juga karena

perubahan tekanan atmosfir seperti pada Caisson Disease pada penyelam.1,2

2.2.5 Gambaran Klinis dan Pemeriksaan

Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukan sebab-sebab

perdarahan. Keadaan umum, tensi dan nadi perlu diperiksa. Dan untuk pemeriksaan alat-

alat yang diperlukan adalah lampu kepala, spekulum hidung dan alat penghisap. Kadang-

kadang diperlukan pemeriksaan penunjang laboratorium yaitu pemeriksaan darah

lengkap dan fungsi hemostatis.6

a. Anamnesis

Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh

mengorek hidung menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat

pengeringan mukosa hidung berlebihan. Penting mendapatkan riwayat trauma terperinci.6

22

Page 23: CRS Epistaksis

Riwayat pengobatan atau penyalahgunaan alkohol terperinci harus dicari. Banyak pasien

minum aspirin secara teratur untuk banyak alasan. Aspirin merupakan penghambat fungsi

trombosit dan dapat menyebabkan pemanjangan atau perdarahan. Penting mengenal

bahwa efek ini berlangsung beberapa waktu dan bahwa aspirin ditemukan sebagai

komponen dalam sangat banyak produk. Alkohol merupakan senyawa lain yang banyak

digunakan, yang mengubah fungsi pembekuan secara bermakna.6

Aspek anamnesis yang mungkin penting dalam melokalisasi tempat perdarahan

bisa didapat dengan menanyakan6 :

1. Sewaktu anda membungkuk apakah ada darah yang keluar dari hidung?

(menggambarkan sumber perdarahan anterior)

2. Apakah darah menuruni tenggorokan anda ? (menggambarkan perdarahan

dari sisi posterior cavitas nasalis)

b. Pemeriksaan Fisik

Pertama hidung harus dibersihkan dari bekuan darah atau debris secara

memuaskan dengan alat penghisap. Kedua harus dioleskan senyawa vasokonstriktif

seperti efedrin atau kokain 5% yang akan mengerutkan mukosa hidung sehingga

memberikan evaluasi yang lebih baik dan bahkan menghentikan perdarahan sementara

waktu.6

Pemeriksaan harus dilakukan dalam cara teratur dari anterior ke posterior.

Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan concha inferior

harus diperiksa cermat. Pemeriksaan hidung tidak lengkap jika tidak dilakukan

23

Page 24: CRS Epistaksis

nasofaringoskop tak langsung. Pemeriksaan cermin hidung posterior kadang-kadang akan

memperlihatkan sumber epistaksis posterior.6

Bila tempat perdarahan dikenali, ia harus didokumentasi dalam rekam medis

dengan gambar sederhana. Bila mungkin, kemudian dokter seharusnya mencoba

mengendalikan perdarahan dengan tindakan local: yaitu kauterisasi atau penempatan

senyawa hemostatik atau tampon hidung anterior.6

Tes laboratorium tertentu bermanfaat dalam mengevaluasi pasien epistaksis.

Tes diagnostik seharusnya mencakup sel darah lengkap untuk memantau derajat

perdarahan dan apakah pasien anemia. Jika ada kemungkinan koagulopati sistematik,

maka harus dilakukan pemeriksaan pembekuan darah. Jika pemeriksaan ini abnormal,

maka harus dilakukan kosultasi yang tepat. Terakhir jika massa terlihat pada

pemeriksaan, maka harus dilakukan politomografi dan/atau CT scan untuk

menggambarkan luas lesi ini.5

2.2.6 Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah memperbaiki keadaan umum, cari

sumber perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah

berulangnya perdarahan.1

Bila pasien datang dengan epistaksis perhatikan keadaan umumnya, nadi,

pernafasan serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan atasi terlebih dahulu, misalnya

dengan memasang infus. Jalan nafas dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah,

perlu dibersihkan atau dihisap.1

24

Page 25: CRS Epistaksis

Penanganan epistaksis yang tepat akan bergantung pada suatu anamnesis yang

cermat. Hal-hal yang penting adalah sebagai berikut:

1. Riwayat perdarahan sebelumnya

2. Lokasi perdarahan

3. Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorok (posterior) atau keluar

dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak

4. Lama perdarahan dan frekuensinya

5. Kecendrungan perdarahan

6. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga

7. Hipertensi

8. Diabetes mellitus

9. Penyakit Hati

10. Penggunaan anti koagulan

11. Trauma hidung yang belum lama

12. Obat-obatan misalnya aspirin dan fenilbutazon

a. Menghentikan Perdarahan

Menghentikan perdarahan secara aktif, seperti kaustik dan pemasangan

tampon lebih baik daripada pemberian obat hemostatik sambil menunggu epistaksis

berhenti dengan sendirinya.1

Pasien sendiri dapat menghentikan perdarahan bagian depan hidungnya dengan

menjepit bagian itu dengan sebuah jari tangan dan ibu jari serta meletakkan sebuah

cawan untuk menampung tetesan darah dari hidungnya. Pasien dilarang menelan karena

25

Page 26: CRS Epistaksis

dapat menggeser bekuan darah yang terbentuk. Menelan dapat dicegah dengan

menempatkan sebuah gabus diantara kedua barisan gigi depan (metode Trotter).4

Jika seorang pasien datang dengan epistaksis maka pasien harus diperiksa

dalam keadaan duduk, sedangkan jika terlalu lemah dapat dibaringkan dengan

meletakkan bantal di belakang punggungnya kecuali bila sudah dalam keadaan syok.1

Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap dan untuk

membersihkan hidung dari bekuan darah. Kemudian tampon kapas yang telah

dibasahi dengan adrenalin 1/10.000 dan lidocain atau pantocain 2% dimasukkan ke

dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri

pada waktu tindakan selanjutnya . Tampon ini dibiarkan selama 3-5 menit. Dengan

cara ini dapatlah ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior

atau di bagian posterior.1

i. Perdarahan anterior

Perdarahan anterior seringkali berasal dari septum bagian depan. Apabila tidak

berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior terutama pada anak dapat dicoba

dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit dan seringkali berhasil.1

Semprotan dekongestif dan aplikasi topikal gulungan kapas yang dibasahi kokain

biasanya akan cukup menimbulkan efek anestesi dan vasokonstriksi. Sekarang bekuan

darah dapat di aspirasi.7 Bila sumbernya terlihat tempat asal perdarahan dikaustik dengan

larutan Nitras Argenti 20-30% atau dengan Asam Trikolasetat 10% atau dapat juga

26

Page 27: CRS Epistaksis

dengan elektrokauter.8 Jika pembuluh menonjol pada kedua sisi septum diusahakan agar

tidak mengkauter daerah yang sama pada kedua sisi. Sekalipun menggunakan zat

kauterisasi dengan penetrasi rendah, namun daerah yang dicakup kauterisasi harus

dibatasi. Sebaliknya, maka dengan rusaknya silia dan pembentukkan epitel gepeng diatas

jaringan parut sebagai jaringan pengganti mukosa saluran nafas normal, akan terbentuk

titik-titik akumulasi dalam aliran lapisan mucus. Dengan melambatnya atau terhentinya

aliran mukus pada daerah-daerah yang sebelumnya mengalami kauterisasi, akan

terbentuk krusta pada septum. Pasien kemudian akan mengorek hidungnya dengan

megelupaskan krusta, mencederai lapisan permukaan dan menyebabkan perdarahan baru.

Menentukan lokasi perdarahan mungkin semakin sulit pada pasien dengan deviasi

septum yang nyata dan perforasi septum.8

Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan

pemasangan tampon anterior, dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin atau salap

antibiotika. Tampon mudah dibuat dari lembaran kasa steril bervaselin, berukuran 72 x

0,5 inchi disusun dari dasar hingga atap hidung meluas hingga keseluruh panjang rongga

hidung.1 Pemakaian vaselin atau salep pada tampon berguna agar tampon tidak melekat,

untuk menghindari berulangnya perdarahan ketika tampon dicabut.8 Suatu tampon

hidung anterior harus memenuhi seluruh rongga hidung.1

27

Page 28: CRS Epistaksis

Gambar 7. Pemasangan tampon anterior

Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dan harus

dapat menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2x24 jam, harus

dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung.1 Jika lokasi perdarahan telah ditemukan,

vasokonstriktor harus diberkan bersamaan dengan obat-obat topikal seperti larutan

kokain 4% atau oxymetazolin atau phenylephrine. Perdarahan yang lebih aktif perlu

diberikan anestesi topikal yang adekuat. Obat-obat intravena bisa diberikan pada

kasus yang sulit atau pada penderita yang cemas.

ii. Perdarahan Posterior

Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau

tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan usuran 3x2x2 cm dengan mempunyai 3

buah benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon

harus menutup koana(nares posterior).1

28

Page 29: CRS Epistaksis

Gambar 8. Pemasangan tampon Bellocq

Untuk memasang tampon Bellocq dimasukkan kateter karet melalui nares anterior

sampai tampak di orofaring dan kemudian ditarik ke luar melalui mulut. Ujung

kateter kemudian diikat pada dua buah benang yang terdapat pada satu sisi tampon

Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar hidung. Benang yang telah keluar

melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk tangan yang lain membantu

mendorong tampon ini kearah nasofaring. Jika masih terjadi perdarahan dapat dibantu

dengan pemasangan tampon anterior, kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang

diletakkan didepan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak

bergerak. Benang yang terdapat pada rongga mulut terikat pada sisi lain dari tampon

29

Page 30: CRS Epistaksis

Bellocq, diletakkan pada pipi pasien.Gunanya untuk menarik tampon keluar melalui

mulut estela 2-3 hari.1

Pada epistaksis yang berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan

pemasangan tampon anterior maupun posterior, dilakukan ligasi arteri. Ligasi arteri

etmoid anterior dan posterior dapat dilakukan dengan membuat sayatan didekat

kantus medialis dan kemudian mencari kedua pembuluh darah tersebut didinding

medial orbita. Ligasi arteri maksila interna yang tetap difosa pterigomaksila dapat

dilakukan melalui operasi Caldwell-Luc dan kemudian mengangkat dinding posterior

sinus maksila.1

2.2.7 Komplikasi

Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha

penanggulangannya. Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan

anemia.1,8 Tekanan darah yang turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak,

insufisiensi koroner dan infark miokard dan akhirnya kematian. Harus segera

dilakukan pemberian infus atau transfusi darah. Komplikasi lain terjadi aspirasi yaitu

darah tersedak masuk ke dalam paru-paru.1

Pemasangan tampon dapat menimbulkan sinustis, otitis media, bahkan

septikemia. Oleh karena itu pada setiap pemasangan tampon harus selalu diberikan

antibiotik dan setelah 2-3 hari harus dicabut meskipun akan dipasang tampon baru bila

masih berdarah.1,8 Selain itu dapat juga terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya

darah retrograd melalui tuba Eustachius dan air mata yang berdarah (bloody tears)

sebagai akibat mengalirnya darah secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis. Pada

30

Page 31: CRS Epistaksis

waktu pemasangan tampon Bellocq dapat terjadi laserasi palatum mole dan sudut bibir

karena benang terlalu kencang dilekatkan.1,8

2.2.8 Prognosis

Sebanyak 90% kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien

hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan

prognosisnya buruk.2

31

Page 32: CRS Epistaksis

BAB III

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien

Nama : An. F

MR : 922636

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 7 tahun

Alamat : Padang

Tanggal masuk : 9 September 2015

II. Anamnesis

Keluhan Utama: Keluar darah dari lubang hidung kanan saat 2 jam sebelum masuk

rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang:

Keluar darah dari lubang hidung kanan saat 2 jam sebelum masuk rumah

sakit, kurang lebih sebanyak 2 sendok makan, dan berhenti setelah dipasang

tampon kassa oleh bagian Anak IGD RSUP Dr M Djamil Padang.

Pasien sebelumnya mengorek-ngorek hidungnya.

Tidak ada batuk, pilek, maupun bersin kuat.

Riwayat bersin-bersin lebih dari lima kali jika terkena debu atau perubahan

cuaca tidak ada.

Tidak ada demam.

Tidak ada memar di tempat lain.

Terdapat riwayat keluar darah dari hidung sebelumnya, satu bulan lalu dan

berhenti sendiri.

Pasien telah dikenal menderita Idiopathic Thrombocytopenic Purpura dan

teratur berobat ke salah satu RS swasta

32

Page 33: CRS Epistaksis

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien telah dikenal menderita Idiopathic Trombositopenic Purpura sejak 3

tahun lalu, berobat teratur ke dokter spesialis Anak di salah satu rumah sakit

swasta di kota Padang.

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan yang sama.

III. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : sakit ringan

Kesadaran : komposmentis kooperatif

Tekanan darah : 110/70 mmHg

Nadi : 102x/menit

Nafas : 30x/menit

Suhu : 36,90C

Kepala : tidak ditemukan kelainan

Kelenjar getah bening : tidak ditemukan pembesaran

Kepala : bulat, simetris

Rambut : hitam, tidak mudah rontok

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Paru : gerak dinding dada simetris kiri dan kanan, stridor -/-,

wheezing -/-, retraksi intercosta tidak ada

Status lokalis THT:

1. Telinga

Pemeriksaan Penilaian Dekstra Sinistra

Daun Telinga

Kel. Kongenital Tidak ada Tidak ada Trauma Tidak ada Tidak adaRadang Tidak ada Tidak adaKel. Metabolik Tidak ada Tidak adaNyeri tarik Tidak ada Tidak adaNyeri tekan Tidak ada Tidak ada

33

Page 34: CRS Epistaksis

Dinding liang telinga

Cukup lapang (N) Cukup lapang Cukup lapangSempitHiperemi Tidak ada Tidak adaEdema Tidak ada Tidak adaMassa Tidak ada Tidak ada

Sekret / Serumen

Bau Tidak ada Tidak adaWarna Tidak ada Tidak adaJumlah Tidak ada Tidak adaJenis Tidak ada Tidak ada

Membran Timpani

Utuh

Warna bening beningRefleks cahaya + +Bulging - -Retraksi - -Atrofi - -

Perforasi

Jumlah perforasi Tidak ada Tidak adaJenis Tidak ada Tidak adaKuadran Tidak ada Tidak adaPinggir Tidak ada Tidak ada

Mastoid

Tanda radang Tidak ada Tidak adaFistel Tidak ada Tidak adaSikatrik Tidak ada Tidak adaNyeri tekan Tidak ada Tidak adaNyeri ketok Tidak ada Tidak ada

Tes Garpu tala512 Hz

RinneSchwabachWeberKesimpulan Tes garpu tala tidak dilakukan

Audiometri Pemeriksaan tidak dilakukan

2. Hidung

Pemeriksaan Penilaian Dextra Sinistra

Hidung luar

Deformitas Tidak ada Tidak adaKelainan kongenital Tidak ada Tidak adaTrauma Tidak Ada Tidak adaRadang Tidak ada Tidak adaMassa Tidak ada Tidak ada

3. Sinus paranasal

Pemeriksaan Dextra SinistraNyeri tekan Tidak ada Tidak ada

34

Page 35: CRS Epistaksis

Nyeri ketok Tidak ada Tidak ada

4. Rinoskopi Anterior

Vestibulum Vibrise Ada AdaRadang Tidak ada Tidak ada

Kavum nasi Cukup lapang (N) Sempit Cukup lapangSempitLapang

SekretLokasi Tidak Ada Tidak AdaJenis Tidak Ada Tidak AdaJumlah Tidak Ada Tidak AdaBau Tidak Ada Tidak Ada

Konka inferior Ukuran Eutrofi Eutrofi Warna Merah muda Merah mudaPermukaan Licin Licin Edema Ada Tidak ada

Konka media Ukuran Sulit dinilai Eutrofi Warna Sulit dinilai Merah mudaPermukaan Sulit dinilai LicinEdema Sulit dinilai Tidak ada

Septum

Cukup lurus/deviasi Tidak ada deviasi

Permukaan Terdapat ekskoriasi pada Pleksus Kiesselbach

Licin

Warna Merah muda Merah mudaSpina Tidak ada Tidak adaKrista Tidak ada Tidak adaAbses Tidak ada Tidak adaPerforasi Tidak ada Tidak ada

Massa Lokasi Tidak ada Tidak adaBentuk Tidak ada Tidak adaUkuran Tidak ada Tidak adaPermukaan Tidak ada Tidak adaWarna Tidak ada Tidak adaKonsistensi Tidak ada Tidak adaMudah digoyang Tidak ada Tidak adaPengaruh vasokonstriktor

Tidak ada Tidak ada

5. Rinoskopi Posterior :

35

Page 36: CRS Epistaksis

Pemeriksaan Penilaian Dekstra Sinistra

KoanaCukup lapang (N)SempitLapang

Cukup lapang Cukup lapang

MukosaWarna Merah muda Merah mudaEdem Tidak ada Tidak adaJaringan granulasi Tidak ada Tidak ada

Konka inferiorUkuran Eutrofi EutrofiWarna Merah muda Merah mudaPermukaan Licin LicinEdem Tidak ada Tidak ada

Adenoid Ada/tidak TidakMuara tuba eustachius

Tertutup sekret Tidak ada Tidak adaEdem mukosa Tidak ada Tidak ada

Massa

Lokasi

Tidak ada Tidak adaUkuranBentukPermukaan

Post Nasal Drip Ada/tidak Tidak adaJenis

6. Orofaring dan Mulut

Pemeriksaan Penilaian Dekstra SinistraPalatum mole + Arkus faring

Simetris/tidak Simetris SimetrisWarna Merah muda Merah mudaEdema Tidak ada Tidak adaBercak/eksudat Tidak ada Tidak ada

Dinding Faring Warna Merah muda Merah mudaPermukaan Licin Licin

Tonsil Ukuran T1 T1Warna Merah muda Merah mudaPermukaan Licin LicinKripti Baik BaikDetritus Tidak ada Tidak adaEksudat Tidak ada Tidak adaPerlengketan dengan pilar

Tidak ada Tidak ada

Peritonsil Warna Merah muda Merah mudaEdema Tidak ada Tidak ada

36

Page 37: CRS Epistaksis

Abses Tidak ada Tidak adaTumor Lokasi

Tidak adaBentukUkuran PermukaanKonsistensi

GigiKaries/radiks Tidak ada Tidak adaKesan Higiene mulut baik

Lidah

Warna Merah mudaBentuk NormalDeviasi Tidak adaMassa Tidak ada

7. Laringoskopi Indirek : Pemeriksaan tidak dilakukan

Pemeriksaan Penilaian Dekstra Sinistra

Epiglotis

BentukWarnaEdemaPinggir rata/tidakMassa

AriteniodWarnaEdemaMassaGerakan

Ventrikular bandWarnaEdemaMassa

Plica vokalisWarnaGerakanPingir medialMassa

Subglotis/trakea MassaSekret

Sinus piriformis MassaSekret

Valekula MassaSekret ( jenisnya )

37

Page 38: CRS Epistaksis

Pemeriksaan Kelenjar getah bening leher :

Inspeksi : tidak tampak adanya tanda-tanda pembesaran kelenjar getah bening leher

Palpasi : tidak teraba adanya pembesaran kelenjar getah bening leher

IV. Diagnosis

Post epistaksis anterior et causa trauma

Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP)

V. Diagnosis Banding

Post epistaksis anterior et causa trombositopenia

VI. Tatalaksana

Pemasangan tampon anterior

Aplikasi salep kemicetin pada lesi

Observasi tanda-tanda perdarahan

VII. Prognosis

Quo ad vitam : bonam

Quo ad functionam : bonam

Quo ad sanam : dubia ad malam

38

Page 39: CRS Epistaksis

DISKUSI

Seorang pasien laki-laki berumur 7 tahun datang dibawa oleh orang tua ke

IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 9 September 2015 dengan keluhan

keluar darah dari lubang hidung kanan saat 2 jam sebelum masuk rumah sakit.

Dari alloanamnesis didapatkan keluar darah dari hidung kanan saat 2 jam

sebelum masuk rumah sakit, kurang lebih sebanyak 2 sendok makan, dan berhenti

setelah dipasang tampon kassa oleh bagian Anak IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang.

Pasien sebelumnya mengorek-ngorek hidungnya. pasien punya riwayat keluar darah

dari hidung sebelumnya, sekitar 1 bulan lalu dan berhenti sendiri. Pasien telah dikenal

menderita Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sejak 3 tahun lalu dan berobat

teratur ke spesialis anak.

Berdasarkan anamnesis, keluhan pasien merupakan gejala epistaksis. Pada

pasien terdapat darah yang mengalir keluar dari hidung. Didukung oleh riwayat

pasien yang mengorek-ngorek hidung yang bisa menjadi penyebab trauma dari

pembuluh darah di hidung yang menjadi penyebab keluarnya darah. Kondisi pasien

yang menderita kelainan pembekuan darah berupa Idiopathic Thrombocytopenic

Purpura (ITP) juga dapat menjadi predisposisi terjadinya epistaksis pada pasien ini.

Hal ini juga didukung hasil pemeriksaan fisik dimana terdapat ekskoriasi pada

pleksus Kiesselbach.

Pasien didiagnosa dengan epistaksis anterior et causa trauma dan Idiopathic

Thrombocytopenic Purpura (ITP). Dilakukan pemasangan tampon anterior dan

pemberian salep kemicetin pada lesi dan melanjutkan observasi terhadap tanda-tanda

perdarahan.

39

Page 40: CRS Epistaksis

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo E, 2007. Perdarahan Hidung dan Gangguan Penghidu. In:

Soepardi EA, Iskandar N editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Kepala Leher. 6 th ed. Jakarta : Balai Penerbit FK-UI

2. Dhingra P.L., dan Dhingra S. Diseases of Ear, Nose, and Throat, Head and

Neck Surgery. Edisi 6. New Delhi: Elsevier, 2014

3. Munir D., Haryono Y., Rambe A. Epistaksis. Majalah Kedokteran

Nusantara, 2006; 39: 274

4. Pope L.E.R., Hobbs C.G.L., 2005. Epistaxis un update on current

management. Department of Otolaryngology and Head and Neck Surgery.

www.epistaxis management.com/ent/topic 701.html

5. Budiman B.J., dan Yolazenia. Epistaksis Berulang dengan Rinosinusitis

Kronik, Spina pada Septum dan Telangiektasis. Bagian Telinga Hidung

Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Fakultas Kedokteran Universitas

Andalas Padang

6. Thaller, Seth, R, et al., 1990. Diagram Diagnostik Penyakit Telinga Hidung

Tenggorok, EGC. Jakarta. p, 89-93.

7. Anto, 2007. Epistaxis. RCH CPG. Diakses dari : http://

www.rch.org.au/clinicalguide/cpg.cmf?doc_id=97 49. Tanggal akses : 13

September 2015.

40

Page 41: CRS Epistaksis

8. Kucik Corry, 2005. http://www.aafp.org/afp/20050115/305.html. Diakses

tanggal 24 Desember 2008.

41