crs mata fix
DESCRIPTION
kedokteranTRANSCRIPT
CASE REPORT SESSION
KERATITIS NEUROTROPIK
Disusun Oleh:
Resti Rusydi
Puti Risani
Hengky Fandri
Preseptor :
dr. Getry Sukmawati, Sp.M (K)
BAGIAN ILMU KESEHATAN MATARSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS2015
1
BAB I
ILUSTRASI KASUS
Identitas Pasien
- Nama : Tn. K
- Jenis Kelamin : Laki-Laki
- Usia : 74 tahun
- Pekerjaan : Petani
- Agama : Islam
- Alamat : Payakumbuh
Anamnesa
Seorang pasien laki-laki berusia 74 tahun dirawat di bangsal Mata RSUP Dr M
Djamil Padang pada tanggal 7 September 2015.
Keluhan Utama :
Bagian bening pada mata kiri tampak memutih sejak 5 bulan yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang :
- Bagian bening mata kiri tampak memutih sejak 5 bulan yang lalu disertai
penurunan tajam penglihatan
- Mata kiri merah sejak 6 bulan yang lalu, riwayat mata berair (+)
- Keluhan nyeri pada mata kiri sejak 6 bulan yang lalu
- Kelopak mata kiri tidak bisa menutup sempurna sejak 6 bulan yang lalu
- Keluhan mata gatal (-), silau (-)
2
- Riwayat trauma pada mata sebelumnya (-)
- Riwayat penggunaan kacamata (-)
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat herpes zoster 2 tahun yang lalu, pada dahi dan tubuh bagian kiri
- Riwayat tumor parotis kiri, telah dioperasi 2x pada bulan September 2013,
Maret 2015
- Riwayat hipertensi sejak 10 tahun yang lalu
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita penyakit seperti pasien.
Status Oftalmikus :
STATUS
OFTALMIKUS
OD OS
Visus tanpa koreksi 5/60 setelah pin hole : 5/15 1/∞ proyeksi sentral, temporal
dan nasal
Refleks fundus
Silia / supersilia Trikiasis (-)
Madarosis (-)
Trikiasis (+)
Madarosis (-)
Palpebra superior Lagoftalmus (-)
Edema (-)
Lagoftalmus ±10 mm
Edema (-)
Palpebra inferior Edema (-)
Hematom (-)
Edema (-)
Hematom (-)
Margo Palpebra Entropion (-) Entropion (-)
3
Ektropion (-)
Sikatrik (-)
Ektropion (+)
Sikatrik (-)
Aparat lakrimalis Dalam batas normal Dalam batas normal
Konjungtiva Tarsalis Hiperemis (-), Papil (-), folikel (-),
sikatrik (-)
Hiperemis (-), Papil (-), folikel
(-), sikatrik (-)
Konjungtiva Forniks Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Konjungtiva Bulbii Injeksi siliar (-)
Injeksi konjunktiva (-)
Injeksi siliar (+)
Injeksi konjunktiva (+)
Sklera Putih Putih
Kornea Bening ulkus terdapat di bagian
sentral-parasentral dengan
diameter ±4-5mm, kedalaman
½ stroma
Neovaskularisasi (+)
Kamera Okuli Anterior Cukup dalam Dangkal
Iris Coklat Coklat disuperior
Pupil Bulat, refleks cahaya (+/+),
diameter = 2-3 mm
Sulit dinilai
Lensa Keruh Sulit dinilai
Korpus vitreum Bening Sulit dinilai
Fundus :
- Media Bening Sulit dinilai
- Papil optikus Bulat, batas tegas, c/d 0,3-0,4
- Retina Perdarahan (-), eksudat (-)
- aa/vv retina aa:vv = 2:3
4
- Makula Rf fovea (+)
Tekanan bulbus okuli Normal palpasi Normal palpasi
Posisi bulbus okuli Ortho Sulit dinilai
Gerakan bulbus okuli Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah
Gambar :
Diagnosis Kerja :
- Keratitis Eksposure karena pada anamnesis dan pemeriksaan fisik
ditemukan lagoftalmus pada mata kiri sebesar ±10mm sejak 6 bulan yang
lalu, serta pada pemeriksaan slitlamp mata kiri didapatkan gambaran ulkus
kornea .
- Ektropion OS karena tampak penurunan dan terbaliknya palpebra inferior
ke arah luar.
5
Diagnosis Banding :
Keratitis Neurotropik : Karena pasien memiliki riwayat herpes zoster 2 tahun
yang lalu.
Terapi : Asam mefenamat 3 x 1
Ciprofloxacin 2 x 500
Kloramfenikol
Mata kiri ditutup
Rencana : eviscerasi OS
6
BAB II
DISKUSI
Telah datang seorang pasien laki-laki berusia 74 tahun datang dan dirawat
di bangsal Mata RSUP Dr. M. Djamil Padang tanggal 23 Februari 2015 dengan
keluhan bagian mata bening tampak memutih.
Dari anamnesis didapatkan pasien mengeluhkan mata kiri merah sejak 6
bulan sebelum masuk rumah sakit. Berdasarkan literatur, mata merah dapat
diklasifikasikan menjadi mata merah dengan penurunan visus dan tanpa
penurunan visus. Pada kasus ini, anamnesis lebih mengarah pada mata merah
dengan penurunan visus karena keluhan disertai dengan penurunan tajam
penglihatan, selain itu ditemukan juga bagian bening mata memutih. Salah satu
penyebab mata merah dengan penurunan visus adalah keratitis. Berdasarkan
literatur selain mata merah dengan penurun visus, gejala dari keratitis adalah mata
berair, nyeri pada mata yang sakit, adanya sekret, penglihatan silau. Pada pasien
ini ditemukan gejala mata berair dan nyeri pada mata yang sakit. Pada
pemeriksaan oftalmologi pada pasien juga ditemukan adanya tanda – tanda
keratitis ditemukan adanya ulkus pada bagian sentral-parasentral dengan ukuran
±4-5mm dengan kedalam ½ stroma.
Pada pemeriksaa oftalmologi juga ditemukan lagoftalmus dan ektropion
pada mata kiri. Lagoftalmus dan ektropion ini bisa menjadi salah satu faktor
predisposisi terjadinya keratitis karena meningkatnya paparan pada kornea karena
tidak tertutup oleh kelopak mata yang mengakibatkan kornea mudah mengalami
iritasi dan tidak mampunya air mata untuk membasahi kornea. Lagoftalmus pada
7
pasien bisa diakibatkan oleh kelumpuhan nervus fasialis. Kelumpuhan nervus
fasialis yang dialami pasien berhubungan dengan riwayat tumor parotis. Pasien
telah menjalani dua kali operasi yaitu pada tahun 2013 dan yang terakhir pada
tahun 2015. Tumor parotis menyebabkan kelumpuhan pada nervus fasialis terkait
dengan anatomi dari kelenjar parotis tersebut.
Pasien juga memiliki riwayat herpes zoster dua tahun yang lalu. Herpes
zoster bisa mengenai nervus trigeminus. Salah satu yang dipersarafi oleh nervus
trigeminus yaitu kornea. Gangguan pada saraf ini akan mengakibatkan terjadinya
anestesi pada kornea yang kemudian mengakibatkan hilangnya refleks berkedip
pada kornea. Hal ini akan menyebabkan terjadinya perubahan pada fungsi epitel
kornea yang kemudian mengakibatkan terjadinya peradangan pada kornea.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien didiagnosa dengan
keratitis eksposure karena lagoftalmus. Dengan diagnosa banding keratitis
neurotropik. Pemeriksaan mikrobiologi juga diperlukan untuk menyingkirkan
bakteri, fungi dan virus sebagai penyebab terbentuknya ulkus kornea.
Pengobatan yang telah diberikan kepada pasien yaitu Asam mefenamat,
antibiotik oral dan antibiotik topikal. Asam mefenamat diberikan untuk
mengurangi nyeri yang dirasakan oleh pasien. Pasien direncanakan menjalani
eviscerasi. Eviserasi adalah pengangkatan bola mata dengan menyisakan sklera
dan otot – otot bola mata. Indikasi dilakukannya eviserasi adalah kebutaan pada
mata dengan infeksi berat atau kondisi mata yang sangat nyeri.
8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Keratitis Neurotropik
Keratitis neurotropik adalah penyakit kornea degeneratif yang jarang dan
disebabkan oleh gangguan inervasi nervus trigeminus kornea yang mengakibatkan
terjadinya penurunan atau tidak adanya sensasi kornea.1 Keratitis neurotropik juga
diartikan sebagai keratitis yang terjadi akibat palsi nervus oftalmikus trigeminal.3
3.2 Epidemiologi
Secara epidemiologi, 15% kasus dengan anestesi kornea mengalami
komplikasi serius. Sebanyak 40.000-60.000 ribu kasus infeksi herpes zoster
terjadi tiap tahunnya, 50% melibatkan mata, 16% diantaranya mengalami keratitis
neurotropik. Insiden keratitis neurotropik meningkat sejalan dengan usia.2
3.3 Etiologi
Etiologi tersering yang mengakibatkan terjadinya anestesi pada kornea
adalah infeksi virus (herpes simpleks dan herpes zoster), trauma kimia, trauma
fisik, pembedahan kornea. Space occupying lesion seperti neuroma, meningioma,
dan aneurisma juga dapat menekan nervus trigeminal maupun ganglionnya yang
mengakibatkan gangguan sensasi kornea. Penyakit sistemik seperti diabetes
melitus, multipel sklerosis, dan lepra dapat menurunkan sensasi nervus atau
merusak serat sensorik neuron yang mengakibatkant terjadinya anestesi kornea.
Epitel kornea merupakan target utama yang berubah akibat anestesi kornea, yakni
terjadi distrofi dan menurunnya kemampuan sembuh jika terjadi lesi. Penyakit
dapat progresif hingga membentuk ulkus, kemudian terjadi perforasi.1
9
3.4 Patofisiologi
Kornea merupakan jaringan tubuh yang sangat kaya akan inervasi saraf.
Saraf sensoris kornea berperan dalam mengatur fungsi dan integritas kornea.
Hilangnya inervasi sensoris kornea mengakibatkan penurunan vitalitas,
metabolisme, dan mitosis sel epitel sehingga terjadi degenerasi epitel. Ketebalan
epitel kornea menurun dan terjadi edem intraseluler pada epitel, hilangnya
mikrovili, dan produksi abnormal dari sel lamina basalis. Perubahan pada
konjunctiva yang terjadi berupa perubahan kepadatan sel goblet dan hilangnya
mikroplika permukaan sel.1,3
Kerusakan sensorik neuron pada kornea mengakibatkan peningkatan
neuromediator akibat kerusakan sel epitel kornea yang menghasilkan defek yang
rekuren atau bersifat persisten. Beberapa penelitian telah berfokus pada peran
neuromediator sensorik dalam patofisiologi epitel kornea. Studi-studi telah
menunjukkan menipisnya substansi P (SP) dan asetilkolin (Ach) dalam kornea
tikus setelah kerusakan saraf sensorik. Secara invitro SP, cholecystokinin gen-
related peptide (CGRP), dan Ach menginduksi proliferasi epitel.1
Disfungsi saraf trigeminal karena trauma, pembedahan, tumor,
peradangan, atau penyebab lainnya, dapat mengakibatkan anestesi kornea dengan
hilangnya refleks berkedip, yaitu salah satu mekanisme pertahanan kornea, serta
kurangnya faktor trofik yang penting untuk fungsi epitel. Pada tahap awal keratitis
neurotropik, terdapat infiltrat difus pada epitel yang edema. Selanjutnya hilangnya
epitel (ulkus neurotropik), yang dapat memperluas kornea. Dengan hilangnya
sensasi kornea, pada keratitis yang berat dapat menghasilkan sedikit
10
ketidaknyamanan.6,7,8 Akibat hilangnya sensasi kornea terhadap rangsangan dari
luar, maka mata tidak lagi merasakan dry eye sehingga efek berkedip menurun.5
3.5 Diagnosis
Keratitis neurotropik merupakan keratitis akibat kelainan saraf trigeminus.
Kelainan saraf trigeminus dapat terjadi akibat herpes zoster, tumor fossa posterior
kranium, trauma, tindakan bedah, obat topikal kronis, pemakaian kontak lens yang
salah, peradangan atau keadaan lain sehingga kornea menjadi anestesi. Penyakit
sistemik seperti diabetes melitus atau terapi sistemik (neuroleptik, antipsikotik)
juga dapat menyebabkan gangguan saraf trigeminus.1,6,9
Pasien akan mengeluhkan kemerahan pada mata, tajam penglihatan menurun,
kotoran mata yang semakin banyak, silau, dan tidak nyeri. Mata akan memberikan
gejala jarang berkedip karena hilangnya refleks berkedip. Selain itu, palpebral
dapat edem dan disertai sensasi seperti ada benda asing di mata. Refleks berkedip
merupakan salah satu pertahanan terbaik kornea terhadap degenerasi, ulserasi, dan
infeksi. Refleks berkedip sangat nyata menurun jika keratitis neurotropik bilateral
terjadi.
Pada pemeriksaan oftalmologi didapatkan adanya kekeruhan kornea yang
tidak sensitif disertai kekeringan kornea, injeksi siliar, infiltrat dan vesikel pada
kornea. Selain itu, terlihat terbentuknya deskuamasi epitel seluruh permukaan
kornea yang dimulai pada bagian tengah dan meninggalkan sedikit lapisan epitel
kornea yang sehat di dekat limbus.9
Secara klinis, keratitis neurotropic dibagi menjadi 5 stadium sebagai berikut:
1. keratopati punctate interpalpebra dengan iregularitas epitel.
2. Opasitas dan edema kornea dengan defek kecil.
11
3. Persisten defek pada epitel disertai sedikit penebalan.
4. Perluasan defek epitel disertai infiltrate dan edem stroma, mencairnya
stroma kornea.
5. Perforasi kornea.
Pada keadaan anestesi dan tanpa persarafan, kornea kehilangan daya
pertahanannya terhadap iritasi dari luar, diduga terjadi kemunduran metabolisme
kornea yang memudahkan terjadinya peradangan kornea. Kornea mudah terjadi
infeksi yang akan mengakibatkan terbentuknya ulkus kornea.8 Pada tahap awal
ulkus neurotropik khas, larutan fluorosein akan menghasilkan bintik-bintik
berwarna pada epitel bagian superfisial. Dengan berlanjutnya proses ini, timbul
daerah-daerah berupa bercak terbuka. Kadang-kadang epitelnya hilang dari daerah
yang luas di kornea.6
Pemeriksaan oftalmologi yang akurat harus dilakukan. Uji sensitivitas
kornea dapat dilakukan dengan menyentuh pusat dan perifer kornea dengan ujung
kapas. Alternatif pemeriksaan dengan aesthesiometer Cochet-Bonnet dapat
digunakan untuk melokalisir dan menghitung hilangnya sensitivitas kornea, untuk
melihat respon pasien terhadap sentuhan benang nilon (antara 0 dan 6 cm).
Umumnya, tingkat keparahan dari keratitis neurotropik berhubungan dengan
tingkat keparahan penurunan sensorik kornea. Tingkat berkedip secara nyata
menurun jika terjadi keratitis neurotropik bilateral.1
Tes Schirmer harus dilakukan pada keratitis neurotropik, karena produksi
air mata dapat dipengaruhi oleh tingkat sensitivitas kornea, penurunan sensitivitas
kornea menyebabkan penurunan produksi air mata. Pewarnaan vital dengan
fluorescein, menunjukkan perubahan epitel kornea dan konjungtiva. Pemeriksaan
12
akurat marginal kelopak mata, posisi, dan motilitas penting karena paparan
keratitis dan blepharitis dapat dikaitkan dengan keratitis neurotropik. Pemeriksaan
mikrobiologi juga dapat dilakukan untuk menyingkirkan bakteri, fungi, dan virus
sebagai penyebab terbentuknya ulkus kornea.1
Pemeriksaan funduskopi dapat memberikan informasi tentang etiologi
keratitis neurotropik. Jaringan parut pada stroma kornea dapat mengindikasikan
infeksi sebelumnya. Atrofi iris merupakan tanda infeksi herpes
sebelumnya. Pemeriksaan fundoskopi dilatasi dapat mengungkapkan adanya
retinopati diabetes. Saraf optik pucat atau bengkak karena adanya tumor
intrakranial.9
3.6 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah progresivitas kerusakan
kornea dan meningkatkan kesembuhan epitel kornea. Tatalaksana dilaksanakan
begitu diagnosis dan stadium klinis ditegakkan. Pada stadium 1 semua terapi
topikal harus dihentikan dan identifikasi efek samping terapi sistemik yang
diberikan sebelumnya seperti neuroleptik, antipsikotik, dan antihistamin.
Penggunaan air mata buatan membantu melindungi permukaan kornea.
Penggunaannya dilakukan 8x1 hari. Tujuan terapi pada stadium ini adalah
meningkatkan kualitas epitel dan tranparansinya serta mencegah kerusakan epitel.
Penyakit lain yang mendasari terjadinya keratitis neurotropik juga harus dilakukan
tatalaksana. Pemberian lubrikans topikal seperti insulin like growth factor-1,
substansi P, dan neurogenic growth factor untuk penyembuhan defek, masih
kontroversial, dan sedang dalam tahap penelitian. Selain itu dapat juga diberikan
tetrasiklin per oral dengan dosis 2x250 mg, atau doksisiklin 1x100 mg pada
13
malam hari, keduanya dapat mengurangi produksi mucus. Penutupan punctum
lakrimal dapat dipertimbangkan. Pada stadium 1 dilakukan follow up pada pasien
secara rawat jalan 3-7 hari sekali. 1,2,3,7
Pada stadium 2, tujuan terapi berupaya untuk mencegah terbentuknya
ulkus kornea, meningkatkan kesembuhan epitel, dan mencegah rekurensi
kerusakan epitel. Penghentian semua obat topikal dilakukan dan diberikan air
mata buatan. Progresivitas penyakit dapat terjadi tanpa menunjukkan gejala yang
signifikan. Kontak lens kornea atau sklera untuk terapeutik dapat digunakan,
tetapi memiliki efek samping infeksi sekunder dan dapat mengakibatkan hipopion
steril. Pada ulkus kornea yang tidak berespon terhadap air mata buatan maupun
kontak lens, tarsoraphy dapat dilakukan. Jika penyembuhan terjadi, tarsoraphy
dapat dibuka setelah beberapa minggu. Jika dibuka sebelum waktunya, maka
dapat mengakibatkan kerusakan epitel yang rekuren. Selain itu, dapat juga
digunakan membrane amnion tranplan untuk menutupi kerusakan pada epitel
kornea atau bahkan dengan injeksi toksin Botulinum A pada palpebra.
Penggunaan tetrasiklin topical dikatakan dapat meningkatkan proses
penyembuhan defek epitel. Jika terjadi peradangan pada bilik mata depan, maka
dapat diberikan siklopegik topical seperti atropine 1% atau skopolamin 0,25% 1x1
hari. Pada stadium 2 dilakukan follow up ketat tiap 1-2 hari sekali hingga tampak
kemajuan terapi, setelah itu follow up dilakukan tiap 3-5 hari sekali.1,2
Steroid topikal dapat digunakan juga sebab prostaglandin menghambat
pertumbuhan epitel, dan penggunaan steroid dapat mengurangi prostaglandin,
terutama pada pasien dengan trauma kimia. Akan tetapi, steroid juga menghambat
penyembuhan stroma, sehingga meningkatkan melting stroma dan perforasi
14
sehingga penggunaannya harus ekstra hati-hati. OAINS (obat antiinflamasi non
steroid) tidak meningkatkan proses penyembuhan, malah dapat mengurangi
sensitivitas kornea.1,2
Pada stadium 3, tujuan terapi untuk meningkatkan kesembuhan kornea dan
mencegah melting dan perforasi. Pasien pada stadium ini harus dirawat inap
sehingga dapat dilakukan follow up yang lebih signifikan. Pemberian air mata
buatan dan penghentian terapi topical lain harus dilakukan juga pada stadium ini.
Jika terjadi melting pada stroma, maka dapat diberikan inhibitor kolagenase
seperti N-asetilsistein, tetrasiklin, atau medroksiprogesteron. Terapi sistemik
doksisiklin dan minoksiklin juga dapat mencegah melting. Suplementasi omega 3
sebanyak 3 tablet per hari membantu stabilisasi tear film. Tarsoraphy dan flap
konjungtiva merupakan prosedur terapi bedah yang meningkatkan kesembuhan
epitel tetapi dapat memberikan efek samping kosmetik yang jelek. Pada defek
yang kecil diberikan salep antibiotik seperti eritromisin atau bacitrasin 4-8x per
hari selama 3-5 hari atau sampai defek sembuh. Pada yang telah menjadi ulkus
dan belum perforasi diberikan salep antibiotik, tetes mata sikloplegik, dan bebat
tekan selama 24 jam. Prosedur ini diulang tiap hari hingga sembuh. Perforasi kecil
diterapi dengan lem sianoakrilat diikuti dengan kontak lens lembut. Defek yang
lebih besar memerlukan keratoplasti lamellar atau penetrasi. Transplantasi
membrane amnion multilapis digunakan untuk mengurangi defek stroma
sebanyak 90%. Lem sianoakrilat dengan kontak lens soft digunakan pada defek
yang kurang dari 2 mm. Kedua metode di atas dilaksanakan pada keratoplasti
lamellar. Keberhasilan transplan kornea rendah sebab kesembuhan luka jelek dan
risiko defek yang persisten akibat anestesi kornea.1,2,7,8
15
Komplikasi yang mungkin terjadi pada keratitis neurotropik adalah perforasi
kornea, keratitis bakteri sekunder, dan penurunan ketajaman penglihatan yang
bersifat permanen akibat jaringan parut pada kornea dan astigmatisme iregular.2
3.7 Prognosis
Prognosis bergantung pada beberapa faktor seperti penyebab gangguan
sensitivitas kornea, derajat hipo atau anestesi kornea, hubungan penyakit mata
superfisial seperti dry eye, keratitis exposure, dan defisiensi limbus. Semakin
parah kerusakan neuron sensorik maka progresivitas penyakit semakin tinggi.
Semakin lama penyakit tersebut diderita serta semakin banyak ocular surface
disease yang terjadi maka prognosis akan semakin buruk. Sehingga perlu
dilakukan monitoring rutin sebab gejala klinis dapat tidak ada tetapi perjalanan
penyakit terus berlanjut. Penggunaan air mata buatan dapat mencegah kerusakan
epitel lebih lanjut.1,2
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Bonini S, Rama P, Olzi D, Lambiase A. Neuthropic keratitis. Eye. 2003;
17: 989-95.
2. Medscape [homepage on the Internet]. Washington: Graham RH; c1994-
2012 [updated 2014 Sep 02]. Medscape; [about 2 screens]. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/1194889-overview#a0199
3. Kanski JJ, Bowling B. Clinical ophthalmology: a systematic approach. 7th
ed. Edinburg: Elsevier; 2011;203-4.
4. Groos, E. Cornea. Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins.
2004;94:1189–1196.
5. Lang GK. Opthalmology : a short textbook. New York: Thieme; 2000;35.
6. Eva PR, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s general ophtalmology. 17th
ed. Columbus: Mc Graw Hill; 2007;165.
7. Langston DP. Manual of ocular diagnosis and therapy. 6th ed. Philadelpia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2008;205-6.
8. Tasman W, Jaeger EA. The Will eye hospital atlas of opthalmology. 2nd ed.
Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001;198.
9. Jill R, Wells MD, Marc A, Michelson MD. Diagnosing and treating
neurotrophic keratopathy. America: American Academy of
Ophtalmology; 2008;98-9.
17