crs post epistaksis dan tonsilitis kronis
TRANSCRIPT
Case Report Session
POST EPISTAKSIS EC TRAUMA MEKANIK DAN TONSILITIS KRONIS
Oleh:
Retriani Sutrisno 06923061
Riskawati Usman 07923076
Sara Viqqi Kusuma 07923090
Preseptor:
dr. Effy Huriyati, Sp.THT-KL
BAGIAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RS DR. M. DJAMIL
PADANG
2012
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. EPISTAKSIS
1.1. Definisi
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang merupakan gejala atau
manifestasi penyakit lain, penyebabnya bisa lokal atau sistemik. Perdarahan bisa ringan
sampai serius dan bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Sumber perdarahan
biasanya berasal dari bagian depan atau bagian belakang hidung.1,2
1.2. Epidemiologi
Epistaksis atau perdarahan hidung dilaporkan timbul pada 60% populasi umum.
Puncak kejadian dari epistaksis didapatkan berupa dua puncak (bimodal) yaitu pada usia <10
tahun dan >50 tahun.Kira-kira 10% dari penduduk dunia mempunyai riwayat hidung
berdarah beberapa kali dalam hidupnya. Sekitar 30% anak-anak umur 0-5 tahun, 56% umur
6-10 tahun, dan 64 % berumur 11-15 tahun mengalami sekurang-kurangnya satu kali
epistaksis. Sebagai tambahan, 56% orang dewasa dengan perdarahan hidung berulang pernah
mengalami kejadian serupa pada saat kecil.3
Epistaksis jarang terjadi pada bayi, namun terdapat kecenderungan peningkatan
insiden epistaksis seiring dengan pertambahan usia. Epistaksis anterior lebih sering terjadi
pada anak-anak dan dewasa muda, sedangkan epistaksis posterior lebih sering terjadi pada
usia yang lebih tua, terutama pada laki-laki berusia 50an dengan penyakit hipertensi dan
arteriosklerosis. Pasien yang menderita alergi, inflamasi hidung, dan penyakit sinus lebih
rentan terhadap resiko terjadinya epistaksis karena mukosanya lebih mudah kering dan
hiperemis yang disebabkan oleh reaksi inflamasi.3
1.3. Anatomi Hidung
1.3.1.Kerangka hidung
Kerangka hidung berbentuk seperti tenda dengan dua os nasale yang bersatu pada
garis tengah dan berartikulasio di superior dengan pars nasalis os frontalis dan processus “
ascending’’ maxilla di lateral. Tulang menyususn sepertiga superior hidung sedangkan dua
pertiga bagian bawah merupakan tulang rawan. Kartilago nasi lateralis superior dan bawah
septum membagi hidung kedalam dua ruangan yang disebut vestibulum. Seperti sisi lateral
hidung, septum terdiri dari kartilago di anterior dan tulang di posterior.4
1.3.2. Hidung Interna
Lubang luar yang menuju ke sisi dalam hidung dinamai nares anterior, sementara
lubang posterior dari hidung ke nasopharink dinamai choana. Tepat setelah nares anterior,
terdapat area kulit yang dinamai vestibulum dan berlapis yang mengandung bulu hidung atau
vibrise yang penting secara klinik karena folikel rambut ini dapat terinfeksi.4
Permukaan medial tiap ruang lingkup dibentuk oleh septum nasi. Sering septum
berdeviasi, yang menyebabkan terjadinya obstruksi saluran pernafasan nasal.5Sisi lateral tiap
cavitas nasalis terdiri dari sejumlah struktur yang penting secara klinik. Biasanya ada tiga
konvolusi mukosa yang tegas yang dinamai concha.Fungsinya untuk meningkatkan luas
permukaan hidung dan dinamai menurut lokasinya yaitu inferior, medialis, superior dan
suprema.Diantara concha terdapat lekukan pada dinding hidung (meatus).Pada meatus
inferior terdapat muara atau ostium duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara
konka media dan dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus media terdapat muara sinus
frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang
diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus
sphenoid.2
Gambar 1. Dinding Lateral Kavum Nasi 6
1.3.3 Anatomi Vaskuler
Vaskularisasi cavum nasi berasal dari system carotis interna dan eksterna.Arteri
carotis interna bercabang menjadi arteri oftalmika yang kemudian bercabang lagi menjadi
arteri etmoidalis anterior dan posterior, yang mendarahi septum dan dinding lateral superior.
Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak pada cavum nasi melalui :7
1. Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan melalui
foramen sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat posterior dan
dinding lateral hidung.
2. Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang berjalan
melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian inferoanterior septum
nasi.
Gambar 2. Perdarahan Hidung
Dua area pada kavum nasi merupakan tempat tersering perdarahan hidung yaitu pleksus
Kiesselbach dan pleksus Woodruff 6
1. Pleksus Kiesselbach adalah wilayah anastomosis yang berlokasi pada dinding
anterior-inferior septum yang memberikan lebih dari 90% episode perdarahan.
Dibentuk oleh pleksus dari arteri sphenopalatina, palatina mayor, labialis superior,
dan ethmoidalis anterior. Wilayah ini mudah terlihat dan terjangkau, menjadikan
perdarahan anterior lebih mudah untuk dikontrol.
2. Pleksus Woodruff adalah anastomosis posterior dari hidung posterior, arteri
sphenopalatina dan pharyngeal asenden melalui posterior konka medial. Wilayah ini
sukar dilihat sehingga sulit untuk ditangani. Tempat perdarahan tersering dari bagian
posterior adalah cabang posterior lateral dari arteri sphenopalatina.
Gambar 3. Pleksus Kiesselbach dan Pleksus Woodruff
1.4 Klasifikasi
Epistaksis dibedakan atas dasar sumber pendarahan atau tempat pendarahan. Sumber
perdarahan dapat berasal dari bagian anterior atau bagian posterior hidung4
Epistaksis Anterior
Epistaksis ini dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan sumber perdarahan
paling sering dijumpai pada anak-anak. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan)
dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana.
Epistaksis Posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina (area Woodruff, dibawah
bagian posterior konka nasalis inferior) atau arteri etmoid posterior3. Perdarahan
biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Pasien terus mengeluhkan
darah mengalir dibelakang tenggorokkannya.5 Epistaksis ini sering ditemukan pada
pasien hipertensi, arteriosclerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler.4
Gambar 4. Epistaksis anterior (atas) dan Epistaksis posterior (bawah) 4
1.5. Etiopatogenesis
Perdarahan hidung diawali dengan pecahnya pembuluh darah di selaput mukosa
hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah pleksus Kiesselbach.
Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang persambungan
mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis.1
Epistaksis dapat disebabkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik.1,2
1.5.1 Lokal
a. Trauma
- Epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan, misalnya waktu mengeluarkan
ingus dengan kuat, bersin, mengorek hidung atau sebagai akibat trauma yang
hebat, seperti terpukul, jatuh, kecelakaan lalu lintas.
- Trauma yang terus menerus dapat merusak perikondrium sehingga
menyebabkan tulang rawan terekspos dan terjadinya perforasi. Aliran udara
terganggu, terjadi turbulensi dan kekeringan lebih jauh, menyebabkan
terbentuknya keropeng dan perdarahan.
b. Infeksi
Infeksi hidung dan sinus paranasal, rhinitis, sinusitis, serta granuloma spesifik seperti
sifilis, lepra, dan lupus dapat menyebabkan epistaksis.
c. Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten,
kadang-kadang disertai mucus yang bernoda darah.Hemangioma, karsinoma, dan
angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat.
d. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah teleangiektasis
hemoragik herediter.Penyakit ini adalah penyakit autosomal dominan.Kelainannya
terletak pada minimnya elemen kontraktil (jaringan elastik dan muskular) pada
dinding pembuluh darah mulai dari kapiler hingga arteri, yang kemudian
menimbulkan formasi telengiektasia (dilatasi venula dan kapiler) dan malformasi
arteriovenous pada kulit atau lapisan mukosa saluran aerodigestivus. Keadaan ini
menyebabkan mudahnya terjadi perdarahan, bahkan oleh trauma kecil sekalipun
e. Sebab-sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum
Perforasi septum dan benda asing hidung dapat menjadi predisposisi perdarahan
hidung. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan
terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung mengerikan aliran sekresi hidung.
Pembentukan krusta yang keras dan usaha pelepasan krusta dengan jari dapat
menimbulkan trauma.Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrane
mukosa septum dan menyebabkan perdarahan.Epistaksis sering juga terjadi karena
adanya spina septum yang tajam. Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri
atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu sedang mengalami
pembengkakan.
f. Faktor lingkungan
Misalnya tinggal di daerah tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan udaranya
sangat kering.
1.5.2. Sistemik1,2
a.Kelainan darah
Kelainan darah penyebab epistaksis, misalnya trombositopenia, hemofilia dan
leukemia. Obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon dapat pula
mempredisposisi epistaksis berulang.
b. Penyakit kardiovaskular
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada arteriosklerosis, nefritis kronis,
sirosis hepatis, sifilis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis
akibat hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan prognosinya kurang baik.
c. Infeksi sistemik
yang paling sering menyebabkan epistaksis adalah demam berdarah dengue, selain itu
juga morbili, demam tifoid dan influensa dapat juga disertai adanya epistaksis.
d. Gangguan endokrin
Wanita hamil,menars dan menopause sering juga dapat menimbulkan epistaksis.
e. Perubahan tekanan atmosfir
Contoh dalam hal ini adalah Caisson Disease (pada penyelam)
f. Alkohol
Efek dari alkohol dapat berupa mengurangi agregasi trombosit dan memperpanjang
waktu perdarahan dan juga perubahan hemodinamik seperti vasodilatasi dan
perubahan tekanan darah.
1.6 Diagnosis
Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukan sebab-sebab
perdarahan.Keadaan umum, tensi dan nadi perlu diperiksa.Dan untuk pemeriksaan, alat-alat
yang diperlukan adalah lampu kepala, spekulum hidung dan alat penghisap. Kadang-kadang
diperlukan pemeriksaan penunjang laboratorium yaitu pemeriksaan darah lengkap dan fungsi
hemostatis.1
a. Anamnesis
Suatu anamnesis yang cermat akan sangat membantu penanganan epistaksis secara
tepat . Beberapa hal penting yang harus ditanyakan pada pasien epistaksis, antara lain: 7
Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorok (posterior) atau keluar dari
hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak
Lama perdarahan dan frekuensinya
Riwayat perdarahan sebelumnya
Kecendrungan perdarahan
Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
Riwayat trauma hidung yang belum lama
Riwayat hipertensi
Riwayat diabetes mellitus
Riwayat penyakit hati
Riwayat penggunaan alcohol dan obat-obatan, misalnya; aspirin dan fenilbutazon atau
penggunaan anti koagulan
Trauma hidung yang belum lama
Aspek anamnesis yang mungkin penting dalam melokalisasi tempat perdarahan bisa
didapat dengan menanyakan :6
1. Sewaktu anda membungkuk apakah ada darah yang keluar dari hidung?
(menggambarkan sumber perdarahan anterior)
2. Apakah darah menuruni tenggorokan anda ? (menggambarkan perdarahan dari sisi
posterior cavitas nasalis)
Pada pasien yang telah mengalami epistaksis berulang harus ditanyakan mengenai
riwayat keluarga dengan kelainan perdarahan, riwayat perdarahan berlebihan pasca
pencabutan gigi atau sirkumsisi, serta riwayat menstruasi berlebihan. 8
Riwayat trauma harus ditanyakan secara terperinci pada pasien epistaksis.Kebanyakan
kasus epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh mengorek hidung menahun
atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat pengeringan mukosa hidung berlebihan.6
Pada pasien epistaksis juga untuk penting mengetahui riwayat pengobatan atau
penyalahgunaan alkohol terperinci harus dicari.Banyak pasien minum aspirin secara teratur
untuk banyak alasan.Aspirin merupakan penghambat fungsi trombosit dan dapat
menyebabkan pemanjangan atau perdarahan.Penting mengenal bahwa efek ini berlangsung
beberapa waktu dan bahwa aspirin ditemukan sebagai komponen dalam sangat banyak
produk. Alkohol merupakan senyawa lain yang banyak digunakan, yang mengubah fungsi
pembekuan secara bermakna.6
b. Pemeriksaan Fisik 2
Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang
hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada
hidung yang terbanyak mengeluarkan darah.
Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan
ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja.Harus cukup sesuai untuk mengobservasi
atau mengeksplorasi sisi dalam hidung.Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat
pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang
sudah membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk
mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan.Setelah hidung dibersihkan,
dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2%
atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk
menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan
dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung
dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang bersifat
kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung
aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan.
Pemeriksaan yang diperlukan berupa:
a. Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.
Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha
inferior harus diperiksa dengan cermat.
b. Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan
epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.
c. Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena
hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.
d. Rontgen sinus
Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi.
e. Skrining terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial,
jumlah platelet dan waktu perdarahan.
f. Riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang
mendasari epistaksis
b. Pemeriksaan Penunjang
Tes laboratorium tertentu bermanfaat dalam mengevaluasi pasien epistaksis.Tes
diagnostik seharusnya mencakup sel darah lengkap untuk memantau derajat perdarahan dan
apakah pasien anemia.Jika ada kemungkinan koagulopati sistematik, maka harus dilakukan
pemeriksaan pembekuan darah.Jika pemeriksaan ini abnormal, maka harus dilakukan
kosultasi yang tepat. Terakhir jika massa terlihat pada pemeriksaan, maka harus dilakukan
politomografi dan/atau CT scan untuk menggambarkan luas lesi ini.6
1.7 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah memperbaiki keadaan umum, mencari
sumber perdarahan, menghentikan perdarahan, mencari faktor penyebab untuk mencegah
berulangnya perdarahan.
Bila pasien datang dengan epistaksis perhatikan keadaan umumnya, nadi, pernafasan
serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan atasi terlebih dahulu, misalnya dengan memasang
infus. Jalan nafas dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah, perlu dibersihkan atau
dihisap. 2
Prinsip dari penatalaksanaan epistaksis yang pertama adalah menjaga ABC, yakni :
- A (airway) : pastikan jalan napas tidak tersumbat/bebas, posisikan duduk menunduk
- B (breathing) : pastikan proses bernapas dapat berlangsung, batukkan atau keluarkan
darah yang mengalir ke belakang tenggorokan
- C (circulation) : pastikan proses perdarahan tidak mengganggu sirkulasi darah tubuh,
pastikan pasang jalur infus intravena (infus) apabila terdapat gangguan sirkulasi. 3
Menghentikan Perdarahan2
Menghentikan perdarahan secara aktif, seperti kaustik dan pemasangan tampon lebih
baik daripada pemberian obat hemostatik sambil menunggu epistaksis berhenti dengan
sendirinya.
Pasien sendiri dapat menghentikan perdarahan bagian depan hidungnya dengan
menjepit bagian itu dengan sebuah jari tangan dan ibu jari serta meletakkan sebuah cawan
untuk menampung tetesan darah dari hidungnya. Pasien dilarang menelan karena dapat
menggeser bekuan darah yang terbentuk. Menelan dapat dicegah dengan menempatkan
sebuah gabus diantara kedua barisan gigi depan (metode Trotter). 4
Jika seorang pasien datang dengan epistaksis maka pasien harus diperiksa dalam
keadaan duduk, sedangkan jika terlalu lemah dapat dibaringkan dengan meletakkan bantal di
belakang punggungnya kecuali bila sudah dalam keadaan syok.1,3
Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap dan untuk membersihkan
hidung dari bekuan darah. Kemudian tampon kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin
1/10.000 dan lidocain atau pantocain 2% dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk
menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri pada waktu tindakan selanjutnya .
Tampon ini dibiarkan selama 3-5 menit. Dengan cara ini dapatlah ditentukan apakah sumber
perdarahan letaknya di bagian anterior atau di bagian posterior. 1,3
Perdarahan anterior
Perdarahan anterior seringkali berasal dari septum bagian depan. Apabila tidak
berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior terutama pada anak dapat dicoba dihentikan
dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit dan seringkali berhasil. 2
Semprotan dekongestif dan aplikasi topikal gulungan kapas yang dibasahi kokain
biasanya akan cukup menimbulkan efek anestesi dan vasokonstriksi. Sekarang bekuan darah
dapat di aspirasi.8Bila sumbernya terlihat tempat asal perdarahan dikaustik dengan larutan
Nitras Argenti 20-30% atau dengan Asam Trikolasetat 10% atau dapat juga dengan
elektrokauter.6Jika pembuluh menonjol pada kedua sisi septum diusahakan agar tidak
mengkauter daerah yang sama pada kedua sisi. Sekalipun menggunakan zat kauterisasi
dengan penetrasi rendah, namun daerah yang dicakup kauterisasi harus dibatasi. Sebaliknya,
maka dengan rusaknya silia dan pembentukan epitel gepeng diatas jaringan parut sebagai
jaringan pengganti mukosa saluran nafas normal, akan terbentuk titik-titik akumulasi dalam
aliran lapisan mucus. Dengan melambatnya atau terhentinya aliran mukus pada daerah-
daerah yang sebelumnya mengalami kauterisasi, akan terbentuk krusta pada septum. Pasien
kemudian akan mengorek hidungnya dengan megelupaskan krusta, mencederai lapisan
permukaan dan menyebabkan perdarahan baru. Menentukan lokasi perdarahan mungkin
semakin sulit pada pasien dengan deviasi septum yang nyata dan perforasi septum.1
Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan
pemasangan tampon anterior, dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin atau salap
antibiotika.6 Tampon mudah dibuat dari lembaran kasa steriil bervaselin, berukuran 72 x 0,5
inchi disusun dari dasar hingga atap hidung meluas hingga keseluruh panjang rongga
hidung.1 Pemakaian vaselin atau salep pada tampon berguna agar tampon tidak melekat,
untuk menghindari berulangnya perdarahan ketika tampon dicabut.6 suatu tampon hidung
anterior harus memenuhi seluruh rongga hidung.1
Gambar 5. Tampon anterior6
Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dan harus dapat
menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2x24 jam, harus dikeluarkan untuk
mencegah infeksi hidung.2 Jika lokasi perdarahan telah ditemukan, vasokonstriktor harus
diberikan bersamaan dengan obat-obat topikal seperti larutan kokain 4% atau oxymetazolin
atau phenylephrine. Perdarahan yang lebih aktif perlu diberikan anestesi topikal yang
adekuat. Obat-obat intravena bisa diberikan pada kasus yang sulit atau pada penderita yang
cemas.5
Perdarahan Posterior
Tempat perdarahan tidak mudah dikenal pada epistaksis posterior. Penting
menempatkan pasien dengan tepat. Kecuali hipovolemia, ia harus duduk tegak, sehingga
darah tidak menuju kembali ke tenggorokkannya.5
Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior
yang disebut tampon bellocq. Tampon ini harus tepat menutup koana (nares posterior).
Tampon Bellocq terbuat dari kassa pada berbentuk bulat atau kubus dengan ukuran 3x2x2
cm. Pada tampon ini terdapat 3 utas benang , yaitu 2 utas pada satu sisi dan seutas benang
pada sisi yang lain.6
Pendarahan jenis apapun yang gagal dihentikan meski penanganannya sudah ditingkatkan
maka memerlukan tindakan pembedahan. Pembedahan memerlukan anastesi umum
meskipun pada pasien usia lanjut. Tindakan bedah ini dapat dibagi menjadi pemanasan,
pembedahan septum dan ligasi arteri.10
Teknik pemasangan
Untuk memasang tampon Bellocq dimasukkan kateter karet melalui nares anterior sampai
tampak di orofaring dan kemudian ditarik ke luar melalui mulut. Ujung kateter kemudian
diikat pada dua buah benang yang terdapat pada satu sisi tampon Bellocq dan kemudian
kateter ditarik keluar hidung. Benang yang telah keluar melalui hidung kemudian ditarik,
sedang jari telunjuk tangan yang lain membantu mendorong tampon ini kearah nasofaring.
Jika masih terjadi perdarahan dapat dibantu dengan pemasangan tampon anterior, kemudian
diikat pada sebuah kain kasa yang diletakkan didepan lubang hidung, supaya tampon yang
terletak di nasofaring tidak bergerak. Benang yang terdapat pada rongga mulut terikat pada
sisi lain dari tampon Bellocq, diletakkan pada pipi pasien.Gunanya untuk menarik tampon
keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Hati-hati mencabut tampon karena dapat menyebabkan
laserasi mukosa. Selama pemasangan itu pasien akan terganggu kenyamananya dan perlu
diberi sedative dan analgetika.2
Sebagai pengganti tampon bellocq, dapat digunakan kateter folley dengan balon.
Akhir-akhir ini juga banyak tersedia tampon buatan pabrik dengan balon yang khusus untuk
hidung atau tampon dari bahan gel hemostatik.2
Pada epistaksis yang berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan pemasangan
tampon anterior maupun posterior, dilakukan ligasi arteri. Ligasi arteri etmoid anterior dan
posterior dapat dilakukan dengan membuat sayatan didekat kantus medius dan kemudian
mencari kedua pembuluh darah tersebut didinding medial orbita. Ligasi arteri maksila interna
yang tetap difossa pterigomaksila dapat dilakukan melalui operasi Caldwell-Luc dan
kemudian mengangkat dinding posterior sinus maksila.10
Dengan semakin meningkatnya pemakaian endoskop, akhir-akhir ini juga
dikembangkan teknik kauterisasi atau ligasi arteri sfenopalatina dengan panduan endoskop.2
Gambar 6. Tampon Posterior6
Penatalaksanaan Bedah4
Pembedahan dilakukan pada kasus epistaksis berulang, namun beberapa prosedur
bedah untuk tindakan darurat untuk mengontrol kasus epistaksis berat dilakukan untuk
mencegah waktu perawatan yang lama sekaligus untuk meningkatkan daya tahan pasien.
Wong dan Vogel (1981) menemukan bahwa angka kegagalan tindakan pembedahan lebih
rendah ( 14% dibandingkan 26%), menurunkan angka komplikasi (40% dibandingkan 68%)
dan waktu perawatan di RS menjadi 2,2% lebih rendah pada pasien dengan epistaksis
posterior.
Sebelum memutuskan arteri mana yang harus diligasi dalam penatalaksanaan
epistaksis, lokasi perdarahan harus ditentukan terlebih dahulu. Jika perdarahan terjadi pada
cavum nasi dapat berasal dari arteri etmoid anterior maupun posterior. Darah yang berasal
dari kavum nasi inferior atau posterior berasal dari arteri karotis eksterna atau arteri
maksillaris interna. Umumnya, lebih dipilih ligasi yang sedekat mungkin dengan lokasi
perdarahan disebabkan sulitnya mengontrol sirkulasi kontralateral seperti pada ligasi yang
lebih proksimal. Septoplasty dan reseksi mukosa/submukosa mungkin diperlukan untuk
memperbaiki deviasi septum dan dapat menggantikan tampon. Pengangkatan penutup
mukosa dengan reseksi submukosa dapat mengurangi frekuensi epistaksis pada beberapa
pasien melalui pengangkatan bekas luka.
Ligasi arteri maksillaris interna biasanya menyebakan penurunan gradien tekanan
pada pembuluh darah dan dapat menyebabkan terbentuknya bekuan darah. Rata-rata kejadian
berulangnya epistaksis berkisar 5%-13%. Kriteria untuk prosedur ligasi belum ditentukan
karena masih terdapatnya perbedaan antara pihak yang mendukung ligasi awal dan ligasi
lambat. Posisi Water digunakan untuk mengidentifikasi posisi sinus maxilla untuk melakukan
ligasi dengan pendekatan transantral. Dibawah anestesi umum, prosedur Caldwell-luc
digunakan untuk mendapatkan akses ke dinding posterior sinus maksila, yang dipindahkan
untuk mendapatkan akses ke bagian ketiga (pterygopalatine) yang berlokasi pada ruang
pterygopaltine. Mikroskop operasi kemudian digunakan untuk mengidentifikasi pulsasi dari
cabang distal, yang kemudian diklem. Penting untuk meletakkan klem bedah pada arteri
maksillaris pada bagian proksimal dari asal arteri palatina desenden, pada bagian distal arteri
desenden palatina, dan pada bagian distal arteri maksilaris interna. Keuntungan prosedur ini
adalah dengan ligasi pada bagian distal pembuluh darah yang mensuplai mukosa nasal dapat
meminimalisir perkembangan kolateral pembuluh darah. Kerugian prosedur ini adalah tidak
dapat diterapkan pada anak-anak, pasien dengan hipoplasia sinus maksila, atau pada orang-
orang dengan fraktur wajah, begitu juga dengan komplikasi sakit pada gigi bagian maksila,
gangguan pada ganglion sfenopalatina atau nervus Vidian, kerusakan pada nervus infrsorbita,
fistula oro-antral dan sinusitis.
Pendekatan intraoral pada arteri maksillaris menyediakan akses ke bagian pertama
dan kedua arteri antara ramus mandibula dan otot temporal. Bagian posterior dari maksilla
dicapai melalui insisi gingivobuccal posterior yang bermula dari molar kedua. Blind diseksi
dilakukan dengan jari dan lemak buccal di diseksi atau retraksi. Setelah otot temporal diikat
dan didiseksi, arteri maksilaris internal terlihat pada dasar luka atau dibawa melalui ikatan
saraf kemudian diklem dan dibagi. Keuntungan prosedur ini adalah mudah dikerjakan pada
anak-anak, pasien dengan hipoplasia sinus maksillaris, dan fraktur komunikata pada maksilla.
Kerugiannya meliputi lokasi ligasi lebih proksimal dibandingkan pendekatan transantral
dengan kemungkinan kegagalan yang disebabkan sirkulasi kollateral, sering menyebabkan
trismus yang membutuhkan waktu 3 bulan masa penyembuhan disebabkan manipulasi
terhadap otot temporal dan dapat menimbulkan kerusakan pada nervus infraorbita.
Ligasi arteri etmoid dilakukan melalui insisi yang dipertimbangkan pada pasien yang
mengalami perdarahan ulang setelah ligasi arteri maksillaris interna, dimana terdapat juga
epistaksis kavum nasal superior atau pada sambungan ligasi arteri maksilaris interna ketika
lokasi perdarahan telah ditemukan. Akses bedah dari standar insisi Lynch turun ke garis
sutura fronto-etmoid pada bagian superior dari tulang lakrimal dan pada bagian posterior
terletak arteri etmoid anterior pada jarak sekitar 14-18 mm. Jika arteri etmoid posterior harus
diligasi, arteri ini terletak 10 mm posterior terhadap arteri etmoid anterior. Area ini harus
ditangani dengan hati-hati karena nervus optikus hanya berjarak 5 mm di belakang arteri
etmoid posterior. Sekali teridentifikasi, arteri di ligasi dan dipotong.
Ligasi arteri carotis eksterna dilakukan melalui insisi yang dibuat di sepanjang garis
anterior otot sternokleidomastoideus. Setelah dikenali 2 cabang arteri karotis eksterna untuk
mencegah terligasinya arteri karotis internal, arteri karotis eksternal diligasi. Arteri diligasi
dengan penuh kehati-hatian untuk mencegah perlukaan nervus vagus, nervus laringeal
superior, nervus hipoglossus, rantai nervus simpatis, atau cabang mandibular nervus facial.
Teknik ini sangat mudah dan anatomi daerah ini cukup familiar. Kerugian prosedur ini karena
kurang efektif dibandingkan ligasi lainnya yang disebabkan lebih banyaknya aliran darah
kollateral.
Angiografi selektif dapat digunakan sebagai alat diagnostik dan terapi untuk
mengontrol epistaksis. Embolisasi lebih efektif pada pasien dengan epistaksis yang berulang
setelah ligasi arteri, daerah perdarahn sulit untuk dicapai dengan bedah, atau epistaksis yang
disebabkan gangguan perdarahan sistemik. Setelah anatominya dikenali, lokasi perdarahan di
embolisasi dengan polyvinyl alcohol, partikel gel-foam, atau kawat gulung. Prosedur ini
dapat menyumbat pembuluh darah dekat dengan daerah perdarahan sehingga dapat
meminimalisasi kolateral. Prosedur in efektif hanya ketika rata-rata perdarahan >0,5
ml/menit. Angka keberhasilan sekitar 90% dengan angka komplikasi sekitar 0,1 %.
Kerugiannya adalah arteri karotis eksterna atau cabangnya dapat tersumbat dan menimbulkan
komplikasi yang berat seperti hemiplegi, paralisis nervus fasialis, dan nekrosis kulit.
Septodermoplasty sering digunakan pada pasien dengan HHT, setelah teleangiektasis
pada mukosa nasal anterior diangkat dari setengah antreior septum, dasar hidung, dan dinding
lateral, kemudian diletakkan skin graft. Flap kulit, myokutaneus atau mikrovaskuer dapat
digunakan sebagai pengganti skin graft. Telah didapatkan hasil eksperimen yang baik dari
penggunaan autograft yang berasal dari epitelial turunan mukosa buccal pasien. Pasien dapat
mengalami epistaksis berulang yang disebabkan pertumbuhan teleangiektasis ke dalam graft
atau flap, namun keparahan dan frekuensi perdarahan berkurang secara signifikan. Laser
Neodymium-yttrium-garnet (Nd-YAG) atau laser argon telah digunakan untuk fotokoagulasi
lesi epistaksis, terutama pada pasien dengan HHT. Penatalaksanaan kembali biasanya
dibutuhkannamun tingkat keparahan dan frekuensi perdarahan umumnya meningkat.
1.8 Komplikasi
Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangannya.
Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia.5,6,10 Tekanan darah yang
turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner dan infark miokard
dan akhirnya kematian. Harus segera dilakukan pemberian infus atau transfusi
darah.6,7Komplikasi lain terjadi aspirasi yaitu darah tersedak masuk ke dalam paru-paru.10
Pemasangan tampon dapat menimbulkan sinustis, otitis media, bahkan septikemia.
Oleh karena itu pada setiap pemasangan tampon harus selalu diberikan antibiotik dan setelah
2-3 hari harus dicabut meskipun akan dipasang tampon baru bila masih berdarah.Selain itu
dapat juga terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah retrograd melalui tuba
Eustachius dan air mata yang berdarah (bloody tears) sebagai akibat mengalirnya darah
secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis.Pada waktu pemasangan tampon Bellocq
dapat terjadi laserasi palatum mole dan sudut bibir karena benang terlalu kencang
dilekatkan.5,6
2.8 Prognosis
Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien hipertensi
dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan prognosisnya
buruk.3
B. TONSILITIS
1.1 Definisi
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldayer.
Cincin Waldayer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut
yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal
lidah), tonsil tuba Eustachius (lateralband dinding faring/ Gerlach’s tonsil).11
Tonsilitis kronis umumnya terjadi akibat komplikasi tonsilitis akut, terutama yang tidak
mendapat terapi adekuat; mungkin serangan mereda tetapi kemudian dalam waktu pendek
kambuh kembali dan menjadi laten. Proses ini biasanya diikuti dengan pengobatan dan
serangan yang berulang setiap enam minggu hingga 3 – 4 bulan.12
1.2 Epidemiologi
Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi (Indonesia) pada tahun
1994-1996, prevalensi tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis akut (4,6%) yaitu
sebesar 3,8%.Insiden tonsilitis kronik di RS Dr. Kariadi Semarang 23,36% dan 47% di
antaranya pada usia 6-15 tahun.Sedangkan di RSUP Dr. Hasan Sadikin pada periode April
1997 sampai dengan Maret 1998 ditemukan 1024 pasien tonsilitis kronik atau 6,75% dari
seluruh jumlah kunjungan.12
1.3. Etiologi
Bakteri penyebab tonsilitis kronis sama halnya dengan tonsilitis akut yaitu kuman grup A
Streptokokus beta hemolitikus, Pneumokokus, Streptokokus viridian dan Streptokokus
piogenes,Staphilokokus,Hemophilus influenza, namun terkadang berubah menjadi bakteri
golongan Gram negatif.11
1.4 Faktor Predisposisi
Beberapa faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronis adalah rangsangan kronik karena
rokok maupun makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan
pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.11
1.5 Patologi
Proses radang berulang menyebabkan terkikisnya epitel mukosa serta jaringan
limfoid,sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang
akan mengalami pengerutan sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh
detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan
perlekatan dengan jaringan di sekitar fossa tonsilaris. Pada anak, proses ini diikuti oleh
pembesaran kelenjar limfa submandibula.11
1.6 Gejala Dan Tanda
Secara klinis pada tonsilitis kronik didapatkan gejala berupa nyeri tenggorok atau nyeri
telan ringan, mulut berbau, badan lesu, sering mengantuk, nafsu makan menurun, nyeri
kepala dan badan terasa meriang.11
Gejala tonsilits kronis menurut Mawson (1977): 1) gejala lokal, bervariasi dari rasa tidak
enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit menelan, 2) gejala sistemis, rasa tidak
enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam subfebris, nyeri otot dan persendian, 3) gejala
klinis tonsil dengan debris di kriptenya (tonsilitis folikularis kronis), udem atau hipertrofi
tonsil (tonsilitis parenkimatosa kronis), tonsil fibrotik dan kecil (tonsilitis fibrotik kronis),
plika tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional.12
Boies (1978) dan Paparella (1980), mengemukakan gejala tonsilitis kronis antara lain: 1)
gejala klinis, rasa nyeri di tenggorok disertai demam ringan, nyeri sendi, 2) gejala lokal,
hipertrofi tonsil, permukaan berbenjol–benjol, kripte melebar dan jika kripte ditekan keluar
massa seperti keju. Kadang–kadang tonsil atrofi atau degenerasi fibrotik dan terlihat dalam
fossa tonsilaris, jika ditekan terdapat discharge purulen, dan pembesaran kelenjar limfe
regional.12
Pada tonsilitis kronik hipertrofi dapat menyebabkan apnea obstruksi saat tidur; gejala
yang umum pada anak adalah mendengkur, sering mengantuk, gelisah, perhatian berkurang
dan prestasi belajar jelek.Kualitas hidup anak dengan apnea obstruksi saat tidur dapat dinilai
dari hasil/prestasi belajarnya.11
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus
melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus.11
1.7 Terapi
Terapi lokal ditujukan pada higiene mulut dengan berkumur atau obat hisap.
Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala sumbatan serta
kecurigaan neoplasma.11
Berdasarkan the American Academy of Otolaryngology- Head and Neck Surgery
( AAO-HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi :13
1. Indikasi absolut
a) Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas atas,disfagia
berat,gangguan tidur, atau terdapat komplikasi kardiopulmonal.
b) Abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan drainase,
kecuali jika dilakukan fase akut.
c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
d) Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi.
2. Indikasi relatif
a) Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak diberikan
pengobatan medik yang adekuat.
b) Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan
medik.
c) Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak membaik
dengan pemberian antibiotik kuman resisten terhadap β-laktamase.
Ada beberapa keadaan yang merupakan kontraindikasi melakukan pembedahan tonsil
karena bila dikerjakan dapat terjadi komplikasi pada penderita, bahkan mengancam
kematian. Keadaan tersebut adalah kelainan hematologik, kelainan alergi-imunologik dan
infeksi akut. Kontraindikasi pada kelainan hematologik adalah anemi, gangguan pada sistem
hemostasis dan lekemi. Pada kelainan alergi-imunologik seperti penyakit alergi pada saluran
pernapasan, sebaiknya tidak dilakukan tonsilektomi bila pengobatan kurang dari 6 bulan
kecuali bila terdapat gejala sumbatan karena pembesaran tonsil. Pembedahan tonsil sebagai
pencetus serangan asthma pernah dilaporkan. Tonsilektomi juga tidak dikerjakan apabila
terdapat infeksi akut lokal, kecuali bila disertai sumbatan jalan napas atas. Tonsilektomi
sebaiknya baru dilakukan setelah minimal 2-3 minggu bebas dari infeksi akut. Di samping itu
tonsilektomi juga tidak dilakukan pada penyakit-penyakit sistemik yang tidak terkontrol
seperti diabetes atau penyakit jantung pulmonal. 14
BAB II
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : F
Umur : 9 tahun 10 bulan 21 hari
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku Bangsa : Minangkabau
Alamat : Pasir Nan Panjang, Surantih, Pesisir Selatan
ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki berumur 9 tahun dirawat jalan di Poliklinik THT RS. DR. M
Djamil Padang pada tanggal 04 februari 2012 dengan :
Keluhan Utama :
Hidung sering berdarah sejak ± 1 tahun terakhir.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Hidung sering berdarah sejak ± 1 tahun terakhir, frekuensi ± 1 kali/minggu, jumlah ±
2 sendok makan. Perdarahan berhenti setelah diberi daun sirih, terakhir 9 hari yang
lalu pada lubang hidung kiri.
Nyeri menelan disertai demam sebanyak 3 kali dalam1 tahun terakhir.
Demam tidak ada, batuk pilek tidak ada.
Hidung tersumbat tidak ada.
Riwayat bersin-bersin >5 kali/serangan tidak ada.
Riwayat hidung terasa gatal dan sering mengorek-ngorek hidung ada.
Riwayat trauma tidak ada.
Riwayat perdarahan lama tidak ada.
Riwayat rasa nyeri di daerah muka dan kepala tidak ada.
Riwayat alergi tidak ada.
Riwayat tidur mendengkur disangkal.
Penurunan berat badan disangkal.
Pasien telah berobat beberapa kali sebelumnya namun tidak ada perbaikan. Terakhir
pasien berobat ke RS Painan dan dirujuk ke Poliklinik RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Di RS Painan, pasien telah diberi obat sirup dan puyer tetapi pasien tidak tahu nama
obat tersebut.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit seperti ini
Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, dan Kebiasaan.
- Pasien anak ke 2 dari 5 bersaudara.
- Pasien seorang pelajar SD.
- Pasien sering meminum minuman dingin, minimal 1 kali/hari
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum: Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis cooperatif
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Frekuensi nadi : 82 x/menit
Frekuensi nafas : 19 x/menit
Suhu : 36,30C
Berat Badan : 30 kg
Tinggi Badan : 135 cm
Pemeriksaan Sistemik
Kepala : tidak ada kelainan
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Paru :
Inspeksi : simetris kiri dan kanan dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi : fremitus kiri = kanan
Perkusi : sonor kiri = kanan
Auskultasi: suara nafas vesikuler normal, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : ictus tidak terlihat
Palpasi : ictus teraba 1 jari medial LMCS RIC V, tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi: bunyi jantung murni, irama teratur, bising (–)
Abdomen
Inspeksi : tidak tampak membuncit
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Extremitas: edem -/-
Status Lokalis THT
Telinga
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Daun telingaKel. kongenital Tidak ada Tidak ada
Trauma Tidak ada Tidak ada
Radang Tidak ada Tidak ada
Kel. Metabolik Tidak ada Tidak ada
Nyeri tarik Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan tragus Tidak ada Tidak ada
Dinding liang telinga
Cukup lapang (N)Cukup lapang (N) Cukup lapang(N)
Sempit
Hiperemi Tidak Tidak
Edema Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada
Sekret/serumenBau Serumen(+),bau(-) Serumen(+),bau(-)
Warna Kecoklatan Kecoklatan
Jumlah Sedikit Sedikit
Jenis Kering Kering
Membran timpani
Utuh
Warna Putih mengkilat Putih mengkilat
Reflek cahaya (+), arah jam 5 (+), arah jam 7
Bulging Tidak ada Tidak ada
Retraksi Tidak ada Tidak ada
Atrofi Tidakada Tidak ada
PerforasiJumlah perforasi Tidak ada Tidak ada
Jenis Tidak ada Tidak ada
Kwadran Tidak ada Tidak ada
Pinggir Tidak ada Tidak ada
Gambar
Mastoid
Tanda radang Tidak ada Tidak ada
Fistel Tidak ada Tidak ada
Sikatrik Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Nyeri ketok Tidak ada Tidak ada
Tes garpu talaRinne (+) (+)
Schwabach Sama dengan pemeriksa
Sama dengan pemeriksa
Weber Tidak ada lateralisasi
Kesimpulan Telinga kanan Telinga kiri
normal normal
AudiometriTidak dilakukan
Hidung
PemeriksaanKelainan Dektra Sinistra
Hidung luar
Deformitas Tidak ada Tidak ada
Kelainan kongenital Tidak ada Tidak ada
Trauma Tidak ada Tidak ada
Radang Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada
Sinus paranasal
PemeriksaanDekstra Sinistra
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Nyeri ketok Tidak ada Tidak ada
Rinoskopi Anterior
PemeriksaanKelainan Dekstra Sinistra
Vestibulum Vibrise Ada Ada
Radang Tidak ada Tidak ada
Cavum nasiCukup lapang (N) Sempit Cukup lapang (N)
Sempit
Lapang
Sekret
Lokasi Ada Tidak ada
Jenis Serous -
Jumlah Sedikit -
Bau - -
Konka inferior Ukuran Hipertrofi Eutrofi
Warna Kemerahan Merah muda
Permukaan Licin Licin
Edema (+) Tidak ada
Konka media Ukuran Hipertrofi Eutrofi
Warna Kemerahan Merah muda
Permukaan Rata Rata
Edema (+) Tidak ada
Septum
Cukup lurus/deviasi
Cukup lurus Cukup lurus
Permukaan Licin Licin
Warna Hiperemis Hiperemis
Spina Tidak ada Tidak ada
Krista Tidak ada Tidak ada
Abses Tidak ada Tidak ada
Perforasi Tidak ada Tidak ada
Massa(Tidak ada)
Lokasi - -
Bentuk - -
Ukuran - -
Permukaan - -
Warna - -
Konsistensi - -
Mudah digoyang - -
Pengaruh vasokonstriktor
- -
Gambar
Rinoskopi Posterior
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
KoanaCukup lapang (N)SempitLapang
Cukup lapang (N)Cukup lapang (N)
MukosaWarna Merah muda Merah muda
Edem - -
Jaringan granulasi - -
Konka inferiorUkuran Hipertrofi Eutrofi
Warna Kemerahan Merahmuda
Permukaan Rata Rata
Edem + -
Adenoid Ada/tidak Ada Ada
Muara tuba eustachius
Tertutup sekret Terbuka terbuka
Edem mukosa Tidak ada Tidak ada
Massa Lokasi Tidak ada Tidak ada
Ukuran Tidak ada Tidak ada
Bentuk Tidak ada Tidak ada
Permukaan Tidak ada Tidak ada
Post Nasal Drip Ada/tidak Tidak ada Tidak ada
Jenis Tidak ada Tidak ada
Gambar
Orofaring dan mulut
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Palatum mole + Arkus Faring
Simetris/tidak Simetris Simetris
Warna Merah muda Merah muda
Edem Tidak Tidak
Bercak/eksudat Tidak ada Tidak ada
Dinding faring Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Rata Rata
Tonsil
Ukuran T3 T2
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Licin Licin
Muara kripti Melebar Melebar
Detritus Tidak ada Tidak ada
Eksudat Tidak ada Tidak ada
Perlengketan dengan pilar
Tidak ada Tidak ada
Warna Merah muda Merah muda
Peritonsil Edema Tidak ada Tidak ada
Abses Tidak ada Tidak ada
Tumor(Tidak ada)
Lokasi Tidak ada Tidak ada
Bentuk Tidak ada Tidak ada
Ukuran Tidak ada Tidak ada
Permukaan Tidak ada Tidak ada
Konsistensi Tidak ada Tidak ada
Gigi Karies/RadiksTidak ada Tidak ada
Kesan Higiene mulut cukup baik
Lidah
Warna Merah muda
Bentuk Normal
Deviasi Tidak ada
Massa Tidak ada
Gambar
Laringiskopi Indirek (sulit dilakukan)
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Epiglotis
Bentuk
Warna
Edema
Pinggir rata/tidak
Massa
AriteniodWarna
Edema
Massa
Gerakan
Ventrikular bandWarna
Edema
Massa
Plica vokalisWarna
Gerakan
Pinggir medial
Massa
Subglotis/trakea Massa
Sekret
Sinus piriformis Massa
Sekret
Valekula Massa
Sekret ( jenisnya )
Gambar
Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Leher
Inspeksi : tidak tampak adanya tanda-tanda pembesaran kelenjar getah bening
submental, submandibula, dan regio colli.
Palpasi : tidak teraba adanya pembesaran kelenjar getah bening.
Pemeriksaan laboratorium :Tidak dilakukan
Diagnosis : Post Epistaksis et causa Trauma Mekanik dan Tonsillitis Kronis
Diagnosis Tambahan: -
PemeriksaanPenunjang : -
Rencana tindakan :
- Rencana tonsilektomi
Terapi :-Rhinofed syrup cth 1
Prognosis :
Qou Ad Vitam : Bonam
Qou Ad Sanam :Bonam
Quo Ad Fungsional : Bonam
BAB III
DISKUSI
Pada kasus di atas, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Dari anamnesis didapatkan pasien datang dengan keluhan hidung sering berdarah sejak
± 1 tahun terakhir. Perdarahan berhenti setelah diberi daun sirih, 9 hari yang lalu pada lubang
hidung kiri. Hidung berdarah karena pasien mengorek-ngorek hidungnya yang terasa gatal.
Pasien telah berobat beberapa kali sebelumnya. Terakhir pasien berobat ke RS Painan dan
dirujuk ke Poliklinik RSUP Dr. M. Djamil Padang. Di RS Painan, pasien telah diberi obat
sirup dan puyer tetapi pasien tidak tahu nama obat tersebut dan tidak mengalami perbaikan.
Berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik, pasien didiagnosa menderita Post
Epitaksis et causa Trauma Mekanik dan Tonsillitis Kronis. Tindakan yang dilakukan pada
pasien ini adalah memberikan Rhinofed sirup yang bekerja sebagai dekongestan sehingga
dapat mengurangi udem pada konka hidung pasien. Pada pasien direncanakan tindakan
tonsilektomi karena pasien memiliki keluhan nyeri menelan yang disertai demam 3 kali
dalam setahun terakhir.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ikhsan M, 2001. Cermin Dunia Kedokteran. Diakses
dari:http://www.kalbe.co.id/files/15 Penatalaksanaan Epistaksis.pdf/15
Penatalaksanaan Epistaksis.html. Tanggal akses 04 Februari 2012
2. Mangunkusumo E, 2007. Perdarahan Hidung dan Gangguan Penghidu. In: Soepardi
EA, Iskandar N editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher. Ed 6. Jakarta : Balai Penerbit FK-UI.
3. Michelle,MC, Donald AL. Nasal Emergencies dalam David,WE, Shelly,JM.
Emergencies of the Head and Neck. 2000. Philadelphia:Mosby. P,239-245.
4. Stephanie,C. Epistaxis. Department of otolaryngology, UTMB; Grand Rounds diakses
dari www.emedicine.com. Diakses tanggal 04 februari 2012
5. Ballenger, John, Jacob. 1994. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Ed 13. Binarupa
Aksara. Jakarta. p, 113-116.
6. Thaller, Seth, R, et al., 1990. Diagram Diagnostik Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok, EGC. Jakarta. p, 89-93.
7. Kucik Corry, 2005. http://www.aafp.org/afp/20050115/305.html. Diakses tanggal 04
februari 2012.
8. Anto, 2007. Epistaxis. RCH CPG. Diakses dari : http://
www.rch.org.au/clinicalguide/cpg.cmf?doc_id=97. Tanggal akses : tanggal 04
februari 2012.
9. The Merck Manual, 2005. http://www.merck.com/mmpe/sec08/ch091/ch091c.html.
Diakses tanggal 04 februari 2012.
10. Pope L.E.R., Hobbs C.G.L., 2005. Epistaxis un update on current management.
Department of Otolaryngology and Head and Neck Surgery. http://www.epistaxis
management.com/ent/topic 701.html. Di akses tanggal 04 februari 2012.
11. Efiaty AS, Nurbaiti Iskandar, Jenny Bashiruddin. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. hal
221.
12. Farokah, Suprihati, Slamet Suyitno. Hubungan Tonsilitis Kronik dengan Prestasi
Belajar pada Siswa Kelas II Sekolah Dasar di Kota Semarang. Dalam Cermin Dunia
Kedokteran No. 155, 2007. Hal 87-92
13. Darrow DH, Siemens C. Indications for tonsillectomy and adenoidectomy.
Laryngoscope 2002. Hal 112:6-10
14. Hatmansjah. 1993. Cermin Dunia Kedokteran. Diakses dari:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/08Tonsilektomi89.pdf/08Tonsilektomi89.html.
Tonsilektomi. Tanggal akses 04 februari 2012