csr syariah
TRANSCRIPT
CSR Syariah
Setelah tenggelam sekian lama, kini ide untuk memasukan etika ke dalam dunia ekonomi
(bisnis) mencuat kembali. CSR tidak lagi ditempatkan dalam ranah sosial dan ekonomi sebagai
imbauan, tetapi masuk ranah hukum yang ‘memaksa’ perusahaan ikut aktif memperbaiki kondisi
dan taraf hidup masyarakat. Disahkannya Rancangan Undang-Undang Perseroan Terbatas (RUU
PT) telah menuai pro-kontra, terutama terhadap Pasal 74 tentang Aturan Tanggung Jawab Sosial
dan Lingkungan, yang rumusannya, “perseroan di bidang/berkaitan dengan SDA wajib
melaksanakan CSR… Perseroan yang tidak melaksanakan wajib CSR dikenai sanksi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan”. Yang dimaksud SDA adalah sumber daya alam,
sedangkan CSR adalah corporate social responsibility atau tanggung jawab sosial
korporat/perusahaan.Tanggung jawab sangat terkait dengan hak dan kewajiban, yang pada
akhirnya dapat menimbulkan kesadaran tanggung-jawab. Ada dua bentuk kesadaran: Pertama,
kesadaran yang muncul dari hati nurani seseorang yang sering disebut dengan etika dan moral.
Kedua, kesadaran hukum yang bersifat paksaan berupa tuntutan-tuntutan yang diiringi sanksi-
sanksi hukum.
Hukum Islam
Al-Qur’an adalah suatu ajaran yang berkepentingan terutama untuk menghasilkan sikap
moral yang benar bagi tindakan manusia. “Moral” menurut intelektual asal Pakistan Fazlur
Rahman (2000: 354), merupakan esensi etika al-Qur’an yang akhirnya menjadi esensi hukum
dalam bentuk perintah dan larangan. Nilai-nilai moral adalah poros penting dari keseluruhan
sistem yang menghasilkan hukum. Dalam aktivitas kehidupannya, umat Islam dianjurkan
mengutamakan kebutuhan terpenting (mashlahah) agar sesuai dengan tujuan syariat (maqashid
al-syari’ah). Mengikuti al-Syatibi, M. Fahim Khan, (1992: 195), mengatakan mashlahah adalah
pemilikan atau kekuatan barang/jasa yang mengandung elemen dasar dan tujuan kehidupan umat
manusia di dunia ini (dan peroleh pahala untuk kehidupan akhirat). Maslahah ini tidak bisa
dipisahkan dengan maqashid al-syari’ah. Al-‘Izz al-Din bin Abd al-Salam diikuti Sobhi
Mahmassani (1977: 159), mengutarakan maqashid al-syari’ah ialah perintah-perintah yang pada
1
hakikatnya kembali untuk kemaslahatan hamba Allah dunia dan akhirat. Abu Ishaq al-Syatibi (w.
790 H) dalam al-Muwafaqat, tujuan pokok syari’at Islam terdiri atas lima komponen:
pemeliharaan agama (hifdh al-din), jiwa (hifdh al-nafs), akal (hifdh al-aql), keturunan (hifdh
nasl) dan harta (hifdh al-maal). Lima komponen pokok syari’ah itu disesuaikan dengan tingkat
kebutuhan dan kepentingan manusia (mashlahah), yaitu kebutuhan primer (dharuriyyah),
skunder (hajiyyah) dan tertier (tahsiniyyah).
Dalam konteks ini, kebutuhan primer (dharuriyyah) adalah sesuatu yang harus ada untuk
mewujudkan kemaslahatan agama dan dunia. Jika kebutuhan itu hilang, maka kemaslahatan
manusia sulit terwujud. Bahkan, dapat menimbulkan keruksakan, kekacauan dan kehancuran.
Skunder (hajiyyah) adalah segala hal yang dibutuhkan untuk memberikan kelonggaran dan
mengurangi kesulitan yang biasanya menjadi kendala dalam mencapai tujuan. Sedangkan tertier
(tahsiniyyah) ialah melakukan tindakan yang layak menurut adat dan menjauhi perbuatan-
perbuatan ‘aib yang ditentang akal sehat. Tujuan syari’ah itu dapat menentukan tujuan perilaku
konsumen dalam Islam dan tercapainya kesejahteraan umat manusia (maslahah al-‘ibad). Semua
barang dan jasa yang dapat memiliki kekuatan untuk memenuhi lima komponen pokok (dharury)
telah dapat dikatakan memiliki maslahat bagi umat manusia.
Lebih lanjut, Khan (1992: 195), mengutarakan semua kebutuhan tidak sama penting.
Kebutuhan itu meliputi: tingkat di mana lima elemen pokok di atas dilindungi secara baik;
tingkat di mana perlindungan lima elemen pokok di atas, dilengkapi untuk memperkuat
perlindungannya dan tingkat di mana lima element pokok di atas secara sederhana diperoleh
secara jelas. Berkaitan dengan corporate sosial responsibility (CSR), kelima komponen itu perlu
mendapat fokus perhatian. Dalam skala primer, perusahaan atau badan-badan komersial perlu
menghargai agama yang dianut masyarakat. Jangan sampai kepentingan masyarakat terhadap
agamanya diabaikan, seperti perusahaan yang mengabaikan atau mengganggu peribadatan warga
setempat. Bahkan, semestinya pihak perusahaan atau badan-badan komersial harus mampu
mengembangkan jiwa usahanya dengan spiritualitas Islam.
Dalam pemeliharaan jiwa seperti makan dan minum ditujukan agar hidup dapat lebih
bertahan dan mencegah ekses kepunahan jiwa manusia. Ironisnya, kini, banyak perusahaan air
mineral telah menyebabkan kekeringan air di daerah atau kondisi udara di Jakarta telah
2
mengandung zat pencemar udara yang sebagian besar sulfur dioksida, karbon monoksida,
nitrogen dioksida dan partikel debu. Sekitar 70 persen polusi udara di Jakarta akibat asap
transportasi. Menurut staff pengajar Fakultas Teknologi Kelautan Universitas Darma Persada
Jakarta Agung Sudrajad (Inovasi, Vol. 5, 2005), di Jakarta pertambahan kendaraan tercatat 8.74
persen per tahun sementara prasarana jalan meningkat 6.28 persen per tahun. Ini tentu
menambah semakin terpuruknya kondisi lingkungan udara kita. Begitu juga, pihak korporasi
harus mampu menjaga keutuhan dan kehormatan (rumah tangga) warga masyarakat terkait atau
internal perusahaan. Perusahaan dilarang memberikan ekses negatif dalam kegiatannya yang
akan mengganggu rusaknya akal pikiran manusia. Islam melarang umatnya mengkonsumsi atau
memproduksi makanan dan minuman yang dapat merusak akal karena akan mengancam
eksistensi akalnya.
Dalam pemeliharaan harta, transaksi jual beli harus dilakukan secara halal. Jika tidak,
maka eksistensi harta akan terancam, baik pengelolaan atau pemanfaatannya. Karena itu, pihak
perusahaan dilarang melakukan kegiatan yang secara jelas melangar aturan syara’.
Dalam konteks tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR),
maqashid as-yari’ah ditujukan agar pelaku usaha atau pihak perusahaan mampu menentukan
skala prioritas kebutuhannya yang terpenting. Kebutuhan-kebutuhan itu tidak hanya
diorientasikan untuk jangka pendek, tetapi juga jangka panjang dalam mencapai ridha Allah.
Kegiatan ekonomi tidak saja melibatkan aspek materi, tapi juga kualitas keimanan seorang
hamba kepada Allah Swt.
Oleh karena itu, konsep pembanguan yang melibatkan maqashid as-yari’ah dimaksudkan
agar terbentuk pribadi-pribadi muslim yang memiliki keimanan dan ketakwaan. Tentu saja sikap
ini tidak saja didapatkan dari lubuk hati yang dalam. Tetapi, dilandasi juga dari kesadaran
manusia untuk melaksanakan kewajiban sebagai seorang hamba-Nya. Kewajiban
mengaplikasikan tanggung jawab seorang hamba untuk melakukan kejujuran, kebenaran,
kebajikan dan kasih sayang terhadap seluruh data kehidupan aktual. Islam mengajarkan tanggung
jawab agar mampu mengendalikan diri dari tindakan melampaui batas kewajaran dan
kemanusiaan. Tanggung jawab ini mencakup tanggung jawab kepada Allah, kepada sesama dan
lingkungannya.
3
MENGGERAKKAN SEKTOR RIEL LEWAT PERAN SOSIAL PERUSAHAAN
CSR atau disebut dengan Corporate Social Responsibility merupakan suatu tanggung
jawab sosial perusahaan terhadap lingkungan sekitar perusahaan, fungsi CSR tidak hanya
sebagai suatu kewajiban menjalankannya saja, namun berproses kepada dampak yang lebih
dalam lagi yakni bagaimana CSR bisa menuntaskan kemiskinan dan berhasil menggerakan
sektor reil, namun perlu dikaji lagi apabila perusahaan telah menjalankan fungsi CSR ini ada
baiknya pemerintah untuk mengurangi pajak sama perlakukannya seperti zakat, dimana CSR
secara nyata telah membangun suatu daerah apalagi daerah tersebut merupakan daerah tempatan
tempat perusahaan tersebut beroperasi.
Oleh sebab itu ada baiknya CSR harus dikelola secara baik dan benar, dimana
penempatan CSR tersebut harus berimbang, 20 % untuk pendidikan, 30 % untuk pembangunan
daerah setempat dan selebihnya untuk menggerakkan sektor riel, dimana keuntungan yang
diperoleh dari kredit bergulir tersebut harus digulirkan lagi tidak boleh dianggap sebagai laba
perusahaan namun diakumulasikan dengan dana CSR untuk tahun depan apabila konsep ini
dijalankan untuk seluruh perusahaan di Indonesia makaa dipastikan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi Indonesia hanya sebesar 7 % yang tentunya menciptakan pengurangan pengangguran
sebesar 300 – 400 ribu orang angkatan kerja baru.
Konsep Penggerakan Sektor Riel
Dengan adanya program CSR tentunya dapat menghidupkan sektor riel, dengan memberikan
dananya yang dapat dilakukan dengan dua cara :
1. Konsep pertama
Bekerjasama dengan pihak perbankan lewat penempatan dana CSR dengan penempatan
deposito sebagai jaminan untuk disalurkan kepada sektor riel, dimana pihak perbankan harus
menyalurkan kredit dengan bunga sebesar SBI yakni sebesar 10 % - 11 %. Pihak perbankan
menyalurkan dengan sangat selektif dengan memperhatikan aspek kelayakan (4 C) tanpa
Collateral si debitur yakni jaminan fixed asset si nasabah tersebut , nah keuntungan dari bunga
yang diperoleh harus diputar kembali untuk menyalurkan kredit yang baru, sedangkan apabila
tejadi default kepada debitur dikarenakan faktor-faktor binis dan ekonomi dan bencana alam
maka pihak bank dapat membreak deposito tersebut sebagai jaminan. Pihak bank harus
4
memberikan laporan setiap 6 bulan tentang perkembangan nasabah, sebagai bentuk tanggung
jawab pihak bank dalam memberikan kredit kepada nasabah, serta menghindari side streaming
pemberian kredit kepada debitur.
2. Konsep Kedua
Bekerjasama dengan pihak perbankan lewat penempatan dana CSR yakni 30 % sebagai
bentuk deposito dan 70 % lewat giro. 70 % ini diberikan dalam bentuk tunai lewat kredit dan 30
% dalam bentuk deposito sebagai dana jaga-jaga dimana bunga dari deposito tidak dianggap
sebagai pendapatan perusahaan namun diputar kembali dalam bentuk tunai ditambah dengan
fixed asset si debitur, untuk besar bunga sebesar SBI 10 % -11 %. Dalam hal ini pihak
perusahaan memberikan referensi kepada Bank, terhadap perusahaan lokal yang hanya
mengerjakan proyek-proyek di lingkungan perusahaan PT. X, dimana perusahaan lokal tersebut
sudah berhubungan lama dengan perusahaan dalam mengerjakan projek paling tidak sudah 2
tahun. Perusahaan lokal tersebut dapat kredit dalam bentuk tunai 100 %, dan dia hanya
memberikan assetnya hanya sebesar 70 %
contoh illustrasi :
PT. A dalah kontraktor PT. X bermaksud mengerjakan proyek di lingkungan PT. X sebesar Rp.
100 Juta maka PT. A dapat uang tunai dari Bank X sebesar Rp. 100 Juta dengan fixed asset
senilai Rp. 70 Juta.
3. Konsep Ketiga
Perusahaan secara langsung mengelola CSR lewat divisi CSR dengan menyalurkan kredit
lunak kepada sektor UKM, pihak divisi CSR dapat melakukan analis kredit dan verifikasi
terhadap sektor UKM dengan memperhatikan aspek-aspek kelayakan nasabah UKM tersebut,
yakni kepada UKM-UKM lokal yang harus diberdayakan. Untuk mengindari adanya side
streaming dalam penggunaan dana tersebut, pihak CSR harus melihat kondisi UKM tersebut
misalnya telah menjadi rekanan pengerjaan kontraktor PT. X atau UKM yang telah menjalankan
usahanya selama 2 tahun, sedangkan untuk menghindari adanya kredit macet dari CSR yang ada,
maka pihak divisi CSR PT. X meminta collateral sebesar 60 % – 70 % , meminta collateral ini
sebagai itikat baik dari si UKM dalam mengelola amanah yang diberikan. Keuntungan dari
penyaluran kredit tersebut dapat digulirkan kembali kepada sektor riel lainnya dalam bentuk
kredit.
5