csr theory translate (complete) (2013) - copy

34
TUGAS REVIEW CORPORATE SOSIAL RESPONSIBILITY THEORY Terkait dengan teori-teori yang ada pada Corporate Social Responsibility (CSR), kesulitan yang paling mendasar adalah bagaimana mengidentifikasi dan mengorganisasikan berbagai mancam pendekatan dan pandangan yang ada. Banyak tokoh-tokoh yang telah membahas pengertian atau konsep dasar dari CSR Theory. Salah satunya adalah Carol (1999) yang telah membahas lebih dari 25 definisi CSR dalam literatur akademik. Namun beberapa dari pandangan tersebut masih terlalu luas dan juga berapa masih belum jelas atau masih dangkal. Ada juga Klonoski (1991) membagi kedalam tiga kelompok teori yakni, kelompok pertama yakni fundamentalis, perusahaan melakukan sosial responsibility untuk meningkatkan profit atau keuntungan perusahaan dengan berpijak pada aturan atau hukum. Kelompok kedua merupakan paduan teori-teori yang mempertahankan moral perorangan dari korporasi dan mengarah pada moral agensinya, dan kelompok ketiga menganggap teori-teori dimensi sosial korporasi benar-benar relevan. Selanjutnya Windsor (2006) menjelaskan tiga pendekatan kunci dari CSR yaitu, (1) Teori tanggung jawab etis yang menekankan kekuatan perusahaan dan kewajiban sosial serta ekspansi kebijakan public untuk menguatkan hak- hak pengambilan keputusan yang tepat, (2) Teori tanggung jawab ekonomi yang membela kepentingan pasar untuk memutuskan kebijakan publik dan etika bisnis konsumen, (3) Corporate citizenship (kewarganegaraan perusahaan) yang lebih melibatkan politik tanpa menimbang kesadaran posisi dan teori yang ada. Kemudian Garriga & Mele (2004) memberikan penjelasan mengenai pembedaan dari empat grup teori CSR berdasarkan empat aspek sosial yakni ekonomi, politik, integrasi sosial dan etika. Pertama, ekonomi yang menitikberatkan perusahaan sebagai alat untuk pengumpul modal. Kedua, focus perusahaan pada kekuatan sosial dan tanggung jawab dalam arena politik. Ketiga, memfokuskan pandangan bahwa bisnis dapat mengintegrasikan permintaan sosial. Keempat, berfokus pada relasi antara bisnis dengan masyarakat harus melekat pada nilai etis. Garriga & Mele memberikan penjelasan bahwa konsep relasi antara bisnis dengan masyarakat harus mengandung keempat aspek tersebut.

Upload: ahmad-badaruddin

Post on 23-Oct-2015

41 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Csr Theory Translate (Complete) (2013) - Copy

TRANSCRIPT

Page 1: Csr Theory Translate (Complete) (2013) - Copy

TUGAS REVIEW CORPORATE SOSIAL RESPONSIBILITY THEORY

Terkait dengan teori-teori yang ada pada Corporate Social Responsibility (CSR), kesulitan yang paling mendasar adalah bagaimana mengidentifikasi dan mengorganisasikan berbagai mancam pendekatan dan pandangan yang ada. Banyak tokoh-tokoh yang telah membahas pengertian atau konsep dasar dari CSR Theory. Salah satunya adalah Carol (1999) yang telah membahas lebih dari 25 definisi CSR dalam literatur akademik. Namun beberapa dari pandangan tersebut masih terlalu luas dan juga berapa masih belum jelas atau masih dangkal. Ada juga Klonoski (1991) membagi kedalam tiga kelompok teori yakni, kelompok pertama yakni fundamentalis, perusahaan melakukan sosial responsibility untuk meningkatkan profit atau keuntungan perusahaan dengan berpijak pada aturan atau hukum. Kelompok kedua merupakan paduan teori-teori yang mempertahankan moral perorangan dari korporasi dan mengarah pada moral agensinya, dan kelompok ketiga menganggap teori-teori dimensi sosial korporasi benar-benar relevan. Selanjutnya Windsor (2006) menjelaskan tiga pendekatan kunci dari CSR yaitu, (1) Teori tanggung jawab etis yang menekankan kekuatan perusahaan dan kewajiban sosial serta ekspansi kebijakan public untuk menguatkan hak-hak pengambilan keputusan yang tepat, (2) Teori tanggung jawab ekonomi yang membela kepentingan pasar untuk memutuskan kebijakan publik dan etika bisnis konsumen, (3) Corporate citizenship (kewarganegaraan perusahaan) yang lebih melibatkan politik tanpa menimbang kesadaran posisi dan teori yang ada. Kemudian Garriga & Mele (2004) memberikan penjelasan mengenai pembedaan dari empat grup teori CSR berdasarkan empat aspek sosial yakni ekonomi, politik, integrasi sosial dan etika. Pertama, ekonomi yang menitikberatkan perusahaan sebagai alat untuk pengumpul modal. Kedua, focus perusahaan pada kekuatan sosial dan tanggung jawab dalam arena politik. Ketiga, memfokuskan pandangan bahwa bisnis dapat mengintegrasikan permintaan sosial. Keempat, berfokus pada relasi antara bisnis dengan masyarakat harus melekat pada nilai etis. Garriga & Mele memberikan penjelasan bahwa konsep relasi antara bisnis dengan masyarakat harus mengandung keempat aspek tersebut.

Kemudian bagian selanjutnya akan menjelaskan empat teori mengenai tanggung jawab antara bisnis dengan masyarakat yaitu, (1) Corporate Social Performance, (2) Shareholder Value Theory, (3) Stakeholder Theory, dan (4) Corporate Citizenship.

CORPORATE SOCIAL PERFORMANCE (AKSI SOSIAL PERUSAHAAN)

Dalam perkembangan Teori CSR di dasari pada beberapa pandangan dan pendekatan. CSR dipahami sebagai pengaturan dalam organisasi bisnis berdasarkan prinsip tanggung jawab sosial, proses dari respon atas prasyarat dan kebijakan sosial, serta relasi antara program perusahaan dengan masyarakat.

Teori CSR telah dikembangkan dari bebrapa pandangan dan pendekatan. CSR dipahami sebagai konfigurasi dalam organisasi bisnis dari prinsip tanggungjawab sosial, proses dari respon atas prasyarat sosial dan kebijakan , program serta bukti nyata yang merefleksikan relasi perusahaan dengan masyarakat. Teori ini menjaga bisnis agar bebas untuk mengakumulasi modal juga memiliki tanggungjawab untuk mengurangi problema sosial yang diakibakan oleh bisnis maupun perusahaan yang lebih dari sekedar tanggungjawab ekonomi saja. Hal tersebut merupakan prasyarat etis atau akasi sosial yang dilakukan oleh pembisnis maupun perusahaan kepada masyarakat.

Page 2: Csr Theory Translate (Complete) (2013) - Copy

Dengan kata lain improvisasi aksi sosial perusahaan yang mengubah perilaku perusahaan untuk menghasilkan keuntungan juga bagi masyarakat.Untuk mencari spesifikasi determinasi tanggungjawab, banyak penulis menekankan dengan tegas pentingnya pembiayaan sosial sehubung dengan adanya kebutuhan sosial dalam masyrakat. Argumen lain menyatakan bahwa peusahaan atau bisnis memiliki kekuatan dan kekuasaan yang mewajibkan tanggungjawab sosial. Ini juga menekankan bahawa masyarakat memberi lisensi pada perusahaan atau bisnis untuk beroperasi , konsekuensinya perusahaan atau bisnis juga harus melayani masyarakat tidak hanya menghasilkan profit atau modal namun juga berkontribusi pada kebutuhan sosial dan memuaskan atau memenuhi ekspektasi kebutuhan sosial menuju bisnis

Hal ini juga menekankan risiko yang perusahaan akan rentan jika kinerjanya bertentangan dengan harapan orang-orang yang merupakan lingkungan sosial perusahaan (Davis 1975). Dalam arti positif reputasi perusahaan juga berkaitan dengan penerimaan masyarakat di mana perusahaan beroperasi (Lewis 2003). Namun konsekuensi ekonomi jangka panjang bagi perusahaan, yang tidak selalu mudah untuk mengevaluasi, bukan pertimbangan utama bagi banyak penulis, yang menunjukkan bahwa asumsi responbilities sosial tidak dianggap primality pertanyaan ekonomi tetapi masalah sosial dan etika: menjadi bertanggung jawab adalah melakukan hal yang benar.

Historical Background (LEMBAR 3)

Howard R Bowen mengawali periode modern CSR dengan bukunya Social Responsibility, yang diterbitkan tahun 1953. Dia memulai dengan pertanyaan, “Tanggung jawab seperti apa yang diharapkan pengusaha kepada masyarakat supaya masyarakat supaya mereka dapat berasumsi?” Kemudian, dia menjelaskan bahwa tanggungjawab sosial dari pengusaha (men) (pada saat ini kehadiran wanita di manajemen masih langka) mengarah pada kewajiban pengusaha untuk melanjutkan kebijakan, membuat keputusan atau untuk mengikuti tindakan dan nilai-nilai masyarakat yang benar (1953: 6). Lebih detail dan prgamatisnya, komite pengembangan ekonomi (1971) (USA) mendefinisikan CSR berhubungan dengan ( i ) product, pekerjaan, dan perkembangan ekonomi, ( ii ) expektasi masyarakat, dan ( iii ) kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan lingkungan sosial perusahaan.

Pada tahun 1970, arah baru muncul dalam literatur bisnis dan masyarakat. Mereka muncul dalam konteks protes terhadap kapitalisme dan bisnis dan keprihatinan sosial, yang mengakibatkan peningkatan prosedur dan persyaratan formal peraturan pemerintah (memperketat bisnis). Pada saat ini, Ackerman (Ackerman, 1973; Ackerman and Bauer, 1976), Sethi (1975), dan yang lainnya memulai memberikan perhatiannya terhadap apa yang dinamakan dengan “corporate responsiveness”, atau adapatasi dari perilaku sosial terhadap kebutuhan dan juga tuntutan. Sethi (1975) mengatur kedalam 3 model yang merupakan pendahulu dari “corporate social performance” saat ini. Model ini termasuk (i) kewajiban sosial, sebagai respon terhadap hukum dan kendala-kendala pasar (ii) tanggungjawab sosial, sesuai dengan norma-norma masyarakat, dan (iii) respon sosial (adpatif, aqntisipatif dan pencegahan)

Konsep dari “sosial responsiveness” berkembang seiring dengan konsep “isu-isu management”. Yang terakhir mencakup hal-hal yang terdahulu namun hal yang menekankan isu-isu sosial dan politik yang mungkin mempunyai dampak signifikan seiring dengan proses respon perusahaan. Mengingat ‘isu-isu manajemen’ ditempatkan untuk mengurangi ‘kejutan’ yang menyertai perubahan politik dan sosial dengan menyediakan sebuah peringatan dini tentang potensi pengrusakan lingkungan dan peluang.

Page 3: Csr Theory Translate (Complete) (2013) - Copy

Preston dan Post (1975) mengenalkan pendapatnya tentang ‘public responsibility’. Dengan pendapatnya ini, mereka mencoba untuk mendefinisikan fungsi dari organisasi manajemen didalam konteks tertentu di lingkup umum. Istilah ‘publik’ daripada ‘ sosial’ dipilih untuk menekankan pentingnya proses umum, bukan pendapat individu. Dan hati nurani sebagai sumber tujuan dan kriteria penilaian.

Pendekatan ini memancing kontroversi terhadap para pendukung ‘corporate responsiveness’ dimana lebih menekankan tentang proses dibandingkan dengan konten yang dihasilkan. Jones (1980) mengemukakan bahwa social resposibility tidak boleh hanya dilihat dari hasilnya tetapi dilihat sebagai suatu proses. Dari sudut pandang ini, dia kritis terhadap konsep abstrak tentang CSR dan terutama dengan konsep ‘public responsibility’ yang diusulkan oleh Preston dan Post. Kemudian mereka menjawab dengan Jones dengan mempebaharui tesis uitama mereka dan menyajikan aplikasi praktis. (Preston and Post, 1981)

Caroll (1979), adalah yang pertama memperkenalkan konsep dari ‘corporate social performance’, membuat sebuah sintesis dari prinsip dasar sosial responsibility , isu-isu nyata yang memiliki tanggung jawab sosial, dan makna spesifik berdasarkan respon dari isu-isu sosial. Carroll menyarankan bahwa seluruh rangkaian bisnis harus memiliki kewajiban untuk mewujudkan dibidang ekonomi , hukum, etika dan amal. Dia memasukkan itu semua di ‘Pyramid of Corporate Sosial Responsibility’ (Carroll 1991). Baru-baru ini, Schwartz dan Carroll (2003) telah mengusulkan sebuah pendekatan alternatif berdasarkan 3 inti (tanggungjawab ekonomi, hukum, dan etika) dan model kerangka Venn. Kerangka Venn ini menghasilkan 7 kategori CSR yang dihasilkan dari 3 inti diatas. Model ini lebih kompleks tetapi konsepnya lebih essensial. Didalam konteks global, Carrol telah menerapkan ‘Piramid’ nya, memahami bahwa ‘tanggungjawab ekonomi’ adalah hal yang perlu dilakukan oleh kapitalisme global, ‘tanggungjawab hukum’ adalah hal perlu dilakukan oleh stakeholder, ‘tanggungjawab etika’ adalah hal yang perlu dilakukan sesuai dengan yang diharapkan oleh stakeholder dan ‘tanggungjawab amal’ adalah hal yang perlu dilakukan sesuai dengan keinginan global stakeholder.

Wartick dan Cochran (1985) mengomentari dari pendekatan Caroll, menyarankan bahwa corporate social berkembang sesuai dengan prinsip-prinsip tanggungjawab sosial, proses social responsif, dan juga kebijakan dari isu-isu manajemen yang ada. Model terbaru datang bersama dengan Wood (1991), yang modelnya akan kita bahas berikutnya. Ini mungkin adalah pendekatan yang sempurna di Corporate Social Performance menyadari adanya expectasi sosial. Bagaimanapun, model milik Wood mempunyai beberapa batasan. Swanson (1995) telah merevisi model ini mengintegrasikan perspektif etika bisnis.

Akhir-akhir ini, expectasi sosial menyadari model ini menjadi lebih spesifik sebagai syarat dari aktor, proses dan konten. Aktor telah berlipat ganda. Seketika seperti stakeholders, NGO, aktivis (terkadang sekalipun aktivis shareholder), media, komunitas, pemerintah dan institusi lain memaksa untuk bertanya perusahaan apa dan siapa yang nantinya akan bertanggungjawab. Beberapa perusahaan membangun proses dialog dengan para pemangku kepentingan untuk menentukan apa yang tepat perlu dilakukan oleh corporate sosial. Selain itu, lebih dan lebih lagi perusahaan menjadi pro-aktif dalam penerbitan laporan pada kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan, mengikuti ide dari triple bottom line (Elkington, 1998). The Global Initiative Report (GIR) telah menjadi lebih dan lebih populer karena memilki sertifikat dari laporannya, seperti sertifikat dari UN Global Compact dan AA1000, SA8000, dan lainnya. Semua pengantar ini akan lebih terpusat dan fokus ke dalam model kinerja corporate social (CSP), tetapi esensinya, dasar-dasar konseptual dari teori-teori ini tetap tidak dapat diubah.

Conceptual Bases (LEMBAR 4)

Page 4: Csr Theory Translate (Complete) (2013) - Copy

Model CSP yang dikembangkan oleh Wood (1991b) merupakan salah satu yang paling mewakili dalam teori ini. Meliputi perpaduan: (i) prinsip-prinsip CSR yang dibagi dalam 3 tahap: kelembagaan, organisasi dan individu, (ii) proses sosial perusahaan yang lebih bertanggung jawab, dan (iii) hasil perilaku perusahaan.

‘Prinsip kelembagaan’ juga disebut ‘prinsip legitimasi’ Davis (1973). Davis memperkenalkan argumen menarik berdasar etika (nilai kemanusiaan dan tanggung jawab), legitimasi sosial, visi bisnis pragmatis bisnis melalui mempertimbangkan konsekuansi dari penggunaan bisnis yang tidak bertanggung jawab. Responsibilitas sangat tergantung dr power (Davis, 1960). Konsekuensinya bisnis harus memiliki responsibilitas. Sosial power tidak hanya dipenuhi faktor internal tapi jug aeksternal dan locus mereka tidak tetap dan berubah setiap waktu dr forum eko ke sosial smp ke forum politik dan sebaliknya. Bisnis memerlukan penerimaan sosial. Karena perubahan masyarakat memberikan petunjuk bahwa kekuatan bisnis tergantung pada penerimaan yang tulus yang terkait dengan responsibilitas sosial.

Davis menyebut teori tersebut sebagai tanggung jawab sosial bisnis. Yang didasarkan pada seberapa besar perusahaan berhasil membangun sosial power. Akhirnya, dia menerapkan ide bisnis dengan mengatakan masyarakat memberikan legitimasi dan power untuk bisnis. Dalam jangka panjang mereka yang tidak melakukan yang diharapkan masyarakat dia akan kehilangan.

Davis membedakan 2 jenis responsibilitas: pertama, sosial ekonomi tanggung jawab umum kesejahteraan ekonomi, dan kedua kemanusiaan tanggung jawab untuk melestarikan daan megembangkan nilai-nilai kemanusiaan. Namun, dia menolak 2 anggapan yang bertentangan, pertama siapa yang mempertahankan bisnis dan tanpa memiliki responsibilitas maka dia tidak akan memiliki power, kedua dia menolak total responsibility.

Wood memahami 'Prinsip Organisasi' atau 'Prinsip Tanggung Jawab Publik’, dgn mengikuti Preston dan Post (1975.1981), yang mengatakan prinsip tanggung jawab publik perusahaan yang segala tindakannya diarahkan dan dikontrol untuk kepentingan masyarakat yang lebih besar oleh karena itu harus mematuhi standar kinerja dalam hukum dan proses kebijakan publik yang ada.

Inti dari pendekatan 'Tanggung Jawab Publik’ terletak di gagasan bahwa bisnis dan masyarakat adalah dua sistem yang saling terkait. Mereka menekankan pada saling ketergantungan antara lembaga-lembaga sosial. ini berbeda dari teori fungsional dari hubungan bisnis masyarakat, di mana setiap lembaga sosial (familiy, sekolah, bisnis, dll) adalah hanya memiliki satu fungsi. Dgn mempertimbangkan relasi bisnis masyarakat adalah sebagai sesuatu yang saling terkait, perusahaan harus bertanggung jawab secara sosial, karena mereka ada dan beroperasi dalam lingkungan bersama.

Bagi Preston dan Post standar berasal dari kebijakan publik, tetapi pemahaman bahwa 'kebijakan publik tidak hanya didasarkan pd teks hukum dan peraturan, tetapi pada hubungan sosial yang lebih besar tercermin dalam opini publik, muncul isu, persyaratan hukum formal dan praktek penegakan hukum atau implementasi kebijakan' (Peston dan Post, 1981: 57). Mereka mengakui bahwa menemukan isi prinsip tanggung jawab publik merupakan tugas yang kompleks dan sulit, perubahan variabel dari waktu ke waktu, yang memerlukan perhatian manajemen cukup besar.

Pada saat yang sama, Preston dan Pos dalam memahami intervensi bisnis dalam proses kebijakan publik sebenarnya belum ditentukan. Oleh karena itu dia mengatakan bahwa sebetulnya intervensi itu perlu 'itu adalah sah-dan mungkin penting-perusahaan yang terkena dampak berpartisipasi secara terbuka dalam pembentukan kebijakan '(Preston sebuah Post, 1981: 61).

Page 5: Csr Theory Translate (Complete) (2013) - Copy

Wood (1991b), tanpa menerima penuh teori Peston dan Post, memahami hubungan bisnis dan masyarakat, sebagai suatu yang ‘terjalin yg saling melengkapi'. Karenanya, harapan sosial memiliki pengaruh langsung terhadap pembentukan CSR.

Preston dan Post (1975) menganalisis lingkup tanggung jawab manajerial dalam hal keterlibatan 'primer' dan 'sekunder' dari perusahaan dalam lingkungan sosialnya. Keterlibatan primer meliputi tugas-tugas ekonomi penting dari perusahaan, seperti lokasi dan membangun fasilitas, pengadaan pemasok, melibatkan karyawan, melaksanakan adalah fungsi produksi, dan pemasaran produk. itu juga mencakup persyaratan hukum. Keterlibatan sekunder mengikuti (misalnya karir dan peluang penghasilan bagi individu), yang timbul dari kegiatan utama seleksi dan kemajuan karyawan.

'prinsip individu’, bagi Wood,' Prinsip Kebijaksanaan Manajerial’. Manajer adalah aktor yang memiliki moral, berkewajiban untuk menerapkan kebijaksanaan tersebut, dalam CSR. Dengan kata lain, prinsip ini menunjukkan bahwa 'karena manajer memiliki kebijaksanaan, mereka secara pribadi bertanggung jawab untuk melaksanakan dan tidak bisa menghindari tanggung jawab ini melalui referensi aturan, kebijakan, atau prosedur' (Wood, 1991b : 699).

Dalam 'Proses responsibilitas Sosial Perusahaan', Wood (1991b) termasuk 'penilaian lingkungan', mengadaptasi organisasi dengan lingkungannya agar dapat bertahan hidup, ‘manajemen pemangku kepentingan/stakeholders', menganalisis hubungan stakeholder dan proses untuk mengelola saling ketergantungan, dan 'isu-isu manajemen’, yang mencakup masalah-masalah eksternal, seperti kemitraan publik-swasta, keterlibatan masyarakat, strategi sosial, dll dan masalah internal seperti program etika perusahaan, kode etik perusahaan, dll. Akhirnya, 'hasil perilaku korporasi' termasuk studi tentang dampak sosial, program sosial, dan kebijakan sosial.

Strengths and Weakness (LEMBAR 5)

Model CSP adalah perpaduan dari perkembangan yang relevan di bidang CSR sampai dengan tahun 1980-an. Sebenarnya, CSP menyediakan sebuah struktur yang koheren/masuk akal/logis untuk menilai relevansi topik penelitian untuk pertanyaan sentral dalam bidang bisnis dan masyarakat (Swanson, 1995: 43). Namun model ini mempunyai beberapa kelemahan. Yang pertama berasal dari ketidakjelasan konsep CSR. Namun, ini bukan hal yang paling penting, karena sebagian dapat diatasi dengan mengintegrasikan perspektif stakeholder dalam pendekatan-pendekatan tradisional (Carroll, 1991, 2004).

Kelemahan yang lebih penting adalah kurangnya integrasi antara aspek etika normatif dan aktivitas bisnis. Prinsip kelembagaan Wood, yang mencari legitimasi, tidak mendukung motivasi moral hormat (moral motivation of respect ) (Swanson, 1995:48). Namun, selain itu teori ini hanya menekankan kontrol sosial bisnis dengan memperhatikan tanggung jawab terhadap publik. Seperti yang ditunjukkan Freeman dan Liedtka (1991), CSR muncul secara eksklusif untuk memberikan wajah kemanusiaan bagi kapitalisme, tetapi dengan pemisahan antara ekonomi dan etika.

Sebenarnya, sejak semula, para pendukung model ini berjuang untuk suatu bisnis yang menghormati semua orang, membela hak asasi manusia dan kondisi manusia di tempat kerja. Terlepas dari isi etika tujuan ini, banyak pelopor dalam literatur CSR enggan untuk menghubungkan CSR dengan etika, mungkin karena relativitas etika dominan di masa itu atau untuk menghindari diskusi tentang apa yang secara moral benar atau salah. Melainkan, mereka lebih suka menggunakan istilah-istilah seperti 'nilai-nilai masyarakat', 'harapan sosial', 'ekspektasi kinerja', dan sebagainya, bukan 'kewajiban etis' atau istilah setara. Jadi, seperti yang telah kita lihat di atas, Bowen (1953)

Page 6: Csr Theory Translate (Complete) (2013) - Copy

berbicara tentang 'tujuan dan nilai-nilai masyarakat'. Demikian pula, Frederick menegaskan bahwa tanggungjawab sosial 'berarti bahwa pengusaha harus mengawasi operasi dari sistem ekonomi yang memenuhi harapan publik' (1960:60) dan Sethi menganggap bahwa CSR 'harus kongruen/selaras dengan norma-norma sosial yang berlaku, nilai-nilai , dan kinerja yg diharapan '(Sethi, 1975:62). Archie B Carroll (1979) juga menekankan peran dari perubahan harapan masyarakat terhadap isi CSR. Bahkan ketika ia berbicara tentang tanggung jawab etis yang dimaksud adalah macam-macam perilaku dan norma etis yang diharapkan masyarakat untuk ditindaklanjuti oleh bisnis (Carroll, 1999:283 dan 1979:500).

Ahli kuno lainnya, meskipun tanpa melupakan harapan dan tuntutan masyarakat, membawa persyaratan etika ke dalam pertimbangan juga. Dengan demikian, Eells dkk., menulis bahwa "ketika orang-orang, berbicara tentang tanggung jawab sosial perusahaan, mereka berpikir dari sisi masalah-masalah yang timbul ketika perusahaan korporat melemparkan bayangan (casts its shadow) pada adegan sosial, dan prinsip-prinsip etika yang seharusnya mengatur hubungan antara perusahaan dan masyarakat (1961: 457-8). Demikian juga Davis, yang merupakan juara besar dari CSR pada tahun 1960 dan 1970-an, menegaskan bahwa 'substansi tanggung jawab sosial muncul dari kepedulian atas konsekuensi etis tindakan seseorang karena mereka mungkin menimbulkan dampak terhadap kepentingan orang lain' (1967:46). Mengacu pada prinsip-prinsip etis dan nilai-nilai etika menjadi lebih sering terjadi setelah gerakan etika bisnis dimulai oleh akhir 1970-an, oleh beberapa ahli yang relevan, seperti Frederick (1986), pembela landasan etika normatif CSR.

Karena model CSP tidak mengintegrasikan perspektif ekonomi dan tugas-blok (duty-aligned), beberapa upaya telah dilakukan untuk memecahkan masalah ini (Swanson, 1995, 1999). Namun terlepas dari beberapa kemajuan, kita masih jauh dari 'teori terpadu' mengenai CSP.

SHAREHOLDER VALUE THEORY

Overview

Pemegang saham nilai teori (SVT) atau kapitalisme fidusia berpandangan bahwa hanya tanggung jawab sosial bisnis yang membuat keuntungan dan, sebagai tujuan tertinggi, meningkatkan nilai ekonomi perusahaan bagi pemegang saham. Kegiatan sosial lainnya bahwa perusahaan yang bisa terlibat hanya akan diterima jika mereka ditentukan oleh hukum atau jika mereka berkontribusi pada pemaksimalan nilai pemegang saham. Ini adalah teori yang mendasari teori ekonomi neoklasik, terutama berkaitan dengan memaksimalkan utilitas/kegunaan pemegang saham. Pemenang Nobel Milton Friedman adalah wakil penting dari pandangan ini. Ia menulis, dengan istrinya Rose Friedman: "Dalam perekonomian seperti itu, ada satu dan hanya satu tanggung jawab sosial bisnis --- untuk menggunakan sumber daya dan terlibat dalam kegiatan yang dirancang untuk meningkatkan laba perusahaan asalkan tetap dalam aturan permainan, yang berarti, terlibat dalam kompetisi terbuka dan bebas, tanpa penipuan atau kecurangan “(Friedman dan Friedman, 1962:133).

Dalam sebuah artikel terkenal yang diterbitkan dalam New York Times Magazine pada tahun 1970, Friedman mengulang dan menyelesaikan pendekatan ini dengan mengatakan: "satu-satunya tanggung jawab bisnis terhadap masyarakat adalah maksimalisasi keuntungan kepada pemegang saham, dalam kerangka hukum dan etika adat negara "(1970).Pendekatan ini, yang saat ini disajikan sebagai 'pemegang saham berorientasi nilai', biasanya membutuhkan pemegang saham yang memaksimalkan nilai sebagai acuan tertinggi untuk tata kelola perusahaan dan manajemen bisnis. Umumnya, 'pemegang saham berorientasi nilai ' sejalan dengan Teori Agensi, yang telah dominan di banyak

Page 7: Csr Theory Translate (Complete) (2013) - Copy

sekolah bisnis di beberapa dekade terakhir. Dalam teori ini, pemilik sebagai kepala dan manajer sebagai agen. Yang terakhir menanggung tugas fidusia terhadap bekas /mantan/eks (the former), dan umumnya dikenakan insentif yang kuat untuk menyelaraskan kepentingan ekonomi mereka dengan orang-orang pemiliknya, dan dengan memaksimalkan nilai pemegang saham.

Historical Background (LEMBAR 6)

SVT telah cukup terkenal di USA dan negara Anglo-Saxon lainnya, didukung oleh hukum, setidaknya sampai pertengahan abad keduapuluh.

Pada tahun 1960 dan 1970 perdebatan besar terjadi antara Friedma dan lainnya yang membela perusahaan bisnis agar bertanggungjawab hanya untuk membuat lebih banyak keuntungan sebanyak mungkin, selalu sesuai dengan hukum, dan kontrasnya, orang terpelajar termasuk Davis (1960, 1973), Walton (1967), dan Andrews (1971) yang berargumen kalau perusahaan punya kekuasaan lebih dan kemampuan memerlukan tanggungjawab sosial saat diadakan di tahun 1960, menegaskan tanggungjawab dari bisnis menghadapi problem sosial, termasuk polusi yang dibuat oleh perusahaan itu sendiri. Dia menulis: ‘Sedikit kecenderungan dapat benar-benar sangat merusak pendirian dari masyarakat kita sebagai penerimaan oleh perusahaan resmi dari tanggungjawab sosial daripada untuk membuat lebih banyak uang untuk pemegang saham punya mereka sebanyak mungkin’ (Friedman and Friedman, 1962:133). Demikian juga, Theodor Levitt, sebagai editor dari Harvard Business Review, menulis tentang bahaya dari tanggungjawab sosial perusahaan. Ia berkata: “Kesejahteraan perusahaan masuk akal jika ini membuat arah ekonomi yang baik—dan tidak jarang itu terjadi. Tetapi jika sesuatu tidak membuat arah ekonomi, sentiment atau idealisme tidak seharusnya membiarkannya masuk di pintu” (1958:42).

Sejak itu, dan sejalan dengan Friedman, beberapa ekonom berargumen kalau pasar, bukan manajemen, harus memiliki kontrol atas alokasi sumber daya dan pengembalian. Poin awal ialah keyakinan kalau pasar selalu unggul pada organisasi dalam alokasi yang efisien dari sumber daya, dan manajer boleh memimpin perusahaan dalam mendukung minat mereka dan bukan minat pemegang saham. Jika ukuran pengembalian dalam stok perusahaan diambil sebagai ukuran dari tampilan unggul dan pemberian upah manajer mencerminkan urutan ini, perilaku oportunistik dari manajer akan dihindari. Dalam hal ini pemegang saham terlihat sebagai pemimpin dan manajer sebagai agen dari pemimpin ini. Peran yang diharapkan dari manajer adalah khusus melayani minat pemimpin. Sehingga teori agen, dan pemaksimalan dari nilai pemegang saham, menjadi kepercayaan baru (Lazonick and O’Sullivan, 2000), memperkuat posisi Friedman. Di bawah filosofi ini, dari tahun 1970 terakhir, kegiatan penggabungan dan pengambilalihan banyak digunakan, terutama di perusahaan Amerika dan Inggris, untuk manajer disiplin yang gagal dalam tanggungjawab mereka untuk menambah nilai pemegang saham.

Penganut pandagan ini mempertimbangkan CSR sebagai naga yang mengancam untuk kreasi nilai pemegang saham. Namun, jawaban menarik datang dari Peter Drucker. Manajemen ‘guru’ terkenal ini, yang sudah disebut bisnis tanggungjawab sosial (1954), topik ini diperkenalkan kembali tiga dekade terakhir, menekankan ide kalau profitabilitas dan responsibilitas adalah cocok, dan tantangannya adalah untuk mengubah bisnis tanggungjawab sosial pada peluang bisnis. Dia menulis: ‘…yang tepat “tanggungjawab sosial” dari bisnis adalah uuntuk menjinakkan naga, dengan kata lain, untuk mengubah masalah sosial pada peluang ekonomi dan keuntungan ekonomi, pada kapasitas produktif, pada kompetensi manusia, pada pekerjaan bergaji, dan pada kekayaan’

Page 8: Csr Theory Translate (Complete) (2013) - Copy

(1984:62). Pandangan serupa dikemukakan oleh Paul Samuelson, pemenang Nobel lainnya, memperdebatkan bahwa ‘perusahaan yang besar hari ini mungkin tidak hanya bersatu dengan tanggungjawab sosial, itu betul lebih baik mencoba untuk melakukannya’ (1971:24, quoted by Davis. 1973) .

Kemudian, lainnya bersikeras kalau kontribusi sosial dapat menguntungkan, menyajikan CSR sebagai pertanyaan dari pencerahan kepentingan (Keim, 1978). Sebagai hasil, argument telah dibuat untuk penyebab terkait pemasaran (Murray and Montanari, 1986; Varadarajan and Menon, 1988; Smith and Higgins, 2000), kedermawanan perusahaan di konteks kompetitif (Porter and Kramer, 2002, 2006), dan strategi untuk piramida ekonomi bagian bawah, dengan kata lain, strategi yang mana dapat melayani bersama masyarakat miskin dan membuat keuntungan (Prahalad, 2003).

Hari ini, itu umumnya diterima kalau dibawah kondisi tertentu kepuasan dari minat sosial berkontribusi untuk memaksimalkan nilai pemegang saham dan sebagian perusahaan besar memberi perhatian pada CSR, khususnya dalam mengingat minat dari orang-orang dengan saham diperusahaan (pemegang saham). Dalam hal ini, Jensen (2000) telah mengusulkan apa yang ia sebut ‘memaksimalkan pencerahan nilai’. Konsep ini menentukan lama waktu pemaksimalan nilai atau pencarian nilai sebagai tujuan perusahaan, yang mengizinkan beberapa menjualkan dengan konstituen yang sejalan dari perusahaan.

Namun, sekarang sulit untuk menegaskan kalau semua praktik CSR adalah menguntungkan. Burke and Logsdon (1966) telah mengusulkan konsep dari ‘Strategic Corporate Social Responsibility’ (SCSR) untuk melihat kebijakan, program, dan proses yang menghasilkan ‘keuntungan substansial bisnis terkait pada perusahaan, khususnya dengan menyuport inti kegiatan bisnis dan demikian berkontribusi pada efektivitas perusahaan dalam mencapai misi tersebut’ (p. 496). Berdasar perspektif tersebut, ada level ‘ideal’ CSR ditentukan oleh analisis biaya-manfaat dan tergantung pada beberapa factor (McWilliams and Siegel, 2001), dengan cara ini, CSR menjadi cocok dengan penglihatan Friedman, jika hati-hati menghitung apa tingkat optimal dari output sosial untuk memaksimalkan nilai pemegang saham dalam setiap situasi (Husted and Salazar, 2006).

Conceptual Bases (LEMBAR 7)

Milton Friedman, Dalam artikelnya di New York Times Magazine. membuat beberapa referensi terhadap nilai-nilai seperti: ‘free society’, ‘free-enterprise’, ‘private-property system’, dan, menyatakan bahwa tanggung jawab sebuah bisnis adalah untuk meningkatkan keuntungan, dia menetapkan sebagai kondisi: Dalam masyarakat bebas.

Ia menjelaskan bahwa seorang eksekutif dari sebuah perusahaan adalah karyawan dari pemilik perusahaan tersebut. Dia mengandaikan ‘in a free-enterprise, private-property system…’ Dalam arti yang sama, kritik Friedman kepada rekan-rekannya yang mempertahankan tanggung jawab sosial perusahaan menarik fakta bahwa teori mereka merusak dasar dari sebuah masyarakat bebas; mereka adalah ‘fundamental subversive doctrine’. Dia menambahkan bahwa mereka yang menyebarkan ide bisnis tidak peduli ‘hanya’ dengan memberikan keuntungan sosialisme. Ini adalah doktrin - dia berkata - bahwa itu merusak pondasi masyarakat bebas. Bicara tentang kerja sama secara sukarela anda akan menemukan logika yang sama: 'dalam sebuah pasar bebas yang ideal bertumpu pada kepemilikan pribadi, individu tidak dapat memaksa yang lain, semua kerjasama bersifat sukarela…..

Teori nilai pemegang saham berisi beberapa asumsi-asumsi filosofis. Mereka cenderung berasal pada abad ketujuh belas, terutama dari filsuf Inggris John Locke, seorang yang berasal dari visi atomistik masyarakat, banyak menulis tentang hukum 'alami' kebebasan individu dan perlunya kontrak sosial untuk hidup bersama, sebagai pembeli dan penjual, dan memperjuangkan pemerintahan yang terbatas. Ide-ide ini tiba di Amerika pada abad kedelapan belas

Page 9: Csr Theory Translate (Complete) (2013) - Copy

dan memiliki pengaruh yang sangat besar pada Konstitusi AS dan, untuk menjadi besar, disajikan sebagai kerangka ekonomi dan bisnis bersama dengan ide-ide Adam Smith pada ekonomi pasar bebas.

Manusia dilihat sebagai individu dengan keinginan dan preferensi. Beberapa hak-hak sipil seperti hak untuk hidup, hak milik pribadi, dan kebebasan dan khususnya ditekankan. Masyarakat tidak lebih dari sejumlah individu dan kebaikan masyarakat hanya perjanjian pada kepentingan individu. Individualisme ini kompatibel dengan rasa 'kesetaraan' dipahami sebagai 'kesempatan yang sama' dan dengan pembentukan 'pluralisme kelompok kepentingan' sebagai sarana utama mengarahkan masyarakat.

Milik pribadi dianggap praktis sebagai hak mutlak, hanya dibatasi oleh batasan hukum beberapa untuk menghindari pelanggaran. Hak milik pribadi sangat penting, karena dianggap jaminan terbaik dari hak-hak individu. Hak properti secara tradisional dilihat sebagai konsep yang menjamin kebebasan individu dari predator kekuatan berdaulat. Dengan demikian, Sternberg (2000) sangat membela hak milik, dan berpendapat bahwa pemilik secara hukum berhak atas (residual) buah dari investasi keuangan dan penggunaan lainnya tidak adil.

Mengenai konsep perusahaan, SVT umumnya menerima bahwa 'korporasi adalah individu buatan', yaitu, penciptaan hukum (Friedman, 1970), yang menetapkan tugas dan hak untuk korporasi, Sering, perusahaan adalah terlihat 'perhubungan kontrak', terutama dalam literatur ekonomi neoklasik (Williamson and Winter, 1991). dalam teori keagenan, kontrak mengadopsi hubungan principal-agent (Jensen and Meckling, 1976).

Visi korporasi ini berasal dari fiksi hukum dari hipotesis yang digunakan dalam teori ekonomi dan keuangan. Tapi, sampai batas tertentu juga merupakan bagian dari realitas yang dapat mengamati di mana-mana: mereka yang memiliki perusahaan bisnis menyewa orang untuk mengelola mereka dan pada gilirannya menyewa tenaga kerja untuk bekerja di dalamnya. manajer dan pekerja adalah karyawan dari pemilik bisnis. Atas nama manajer perusahaan menetapkan seperangkat kontrak dengan pemasok, kreditur, dan pembeli. Jadi sepertinya tidak diragukan lagi bahwa dalam perusahaan ada jaring kontrak dan sebagai Friedman menunjukkan, 'orang-orang di antaranya pengaturan kontrak sukarela ada yang jelas' (1970).

Bertepatan dengan teori lain , SVT menerima sebagai soal fakta demokrasi , ekonomi pasar , dan kebebasan termasuk dalam kegiatan ekonomi , seperti kebebasan berkontrak , kebebasan berserikat , kebebasan untuk memulai sebuah bisnis , untuk menyewa tenaga kerja, untuk memilih produk dan perdagangan. lebih kontroversial adalah asumsi lain tersirat dalam teori ini : pemisahan penuh fungsi bisnis spheres.so publik dan swasta dianggap sebagai kegiatan pribadi dan otonom hanya dibatasi oleh peraturan pemerintah , tanpa tanggung jawab lain selain untuk membuat keuntungan dan menciptakan kekayaan . Pandangan mono - fungsional mengarah pada penolakan tanggung jawab atas konsekuensi dari kegiatan usaha . Dengan demikian , Tanggung Jawab untuk polusi pabrik harus diperhitungkan hanya jika ada persyaratan hukum untuk menghindarinya . Friedman harfiah mengatakan bahwa itu tidak bisa diterima 'untuk membuat pengeluaran mengurangi polusi melebihi jumlah yang ada di kepentingan terbaik dari perusahaan atau yang diwajibkan oleh hukum dalam rangka memberikan kontribusi terhadap tujuan sosial memperbaiki lingkungan ( 1970 ) . dengan kata lain , kepentingan publik harus dikejar secara eksklusif oleh pegawai negeri dan politisi , tetapi tidak oleh perusahaan swasta . sehingga dalam pandangan Friedman , jika eksekutif perusahaan memberikan sumber daya perusahaan untuk ' tujuan sosial ' yang berarti bahwa ia adalah memaksakan ' pajak ' pada pemegang saham .

Sebagai konsekuensi dari hak milik, mereka yang memiliki sarana manajer menyewa produksi, yang harus membela kepentingan pemilik. Hal ini menimbulkan titik penting: manajemen perusahaan memiliki kewajiban fidusia terhadap pemilik. Ini kewajiban fidusia, sebagai Friedman (1970) menyatakan, berasal dari mengingat seorang eksekutif perusahaan adalah karyawan dari pemilik bisnis. Akibatnya, ia memiliki tanggung jawab langsung kepada majikan.

Page 10: Csr Theory Translate (Complete) (2013) - Copy

Tujuan bisnis dalam masyarakat, menurut Friedman (1970), adalah untuk menghasilkan keuntungan. Tujuan ini diungkapkan sebagai kritik ini terhadap mereka yang menyatakan bahwa bisnis yang bersangkutan 'hanya' dengan keuntungan. Itu adalah tanggung jawab eksklusif bisnis. Dalam kata-katanya sendiri: "ada satu dan hanya tanggung jawab sosial bisnis: . . . . .

. . . . . increase its profits’ (Friedman, 1970). Nowadays, it is expressed in a wider way by saying the corporation has to be oriented to ‘maximizing shareholder value’.

(LEMBAR 8) . . . . . Dalam Teori Pemegang Saham (Shareholder Value Theory) ada dua standar normatif dasar: tugas fidusia/tugas-tugas yang dipercayakan eksekutif perusahaan dan kepatuhan terhadap hukum (undang-undang), dengan kebijakan publik minimalis. Tugas fidusia/tugas-tugas yang dipercayakan eksekutif perusahaan terhadap pemegang saham atau pemilik perusahaan menjadi standar penting bagi tanggung jawab. Menurut Friedman (1970), 'seorang eksekutif perusahaan adalah karyawan dari pemilik bisnis’ dan karena itu 'ia memiliki tanggung jawab langsung kepada majikan'. Tanggung jawab nya adalah melakukan kegiatan usaha sesuai dengan keinginan pemilik, yang umumnya akan mencari uang sebanyak mungkin.

Struktur perusahaan dalam Teori Pemegang Saham (Shareholder Value Theory) umumnya menyertakan struktur pengambilan keputusan berdasarkan teori agensi pokok (principal-agency theory) dan memfasilitasi tugas fidusia/tugas-tugas yang dipercayakan eksekutif terhadap pemegang saham. Begitu juga, peran tata kelola perusahaan pada dasarnya dilihat untuk mempertahankan kepentingan pemegang saham. Sistem manajerial juga harus dirancang untuk memaksimalkan kekayaan pemegang saham.

Standar kedua mencakup ketaatan terhadap 'aturan main' yang terbuka dan bebas persaingan dan taat hukum/undang-undang. Beberapa mempertahankan teori mitigasi di mana beberapa tanggung jawab lain yang sifatnya sukarela juga dapat diterima, menurut etika adat atau etika yang lazim.

Strengths and Weakness

Mereka yang mendukung Teori Pemegang Saham (SVT) biasanya menekankan efisiensi dari model ini untuk menciptakan kekayaan. Mengelola dan mengatur sebuah perusahaan menuju kearah pemaksimalan nilai pemegang saham tidak hanya untuk memperkaya para pemegang saham, tetapi juga untuk mencapai kinerja ekonomi yang lebih baik dari seluruh sistem. Dikatakan bahwa melakukan bisnis untuk kepentingan pribadi, memberikan keuntungan sebagai tujuan utamanya, dan bekerja/beroperasi di bawah kondisi pasar bebas dan kompetitif dengan kebijakan publik minimalis merupakan kondisi terbaik untuk penciptaan kekayaan/kemakmuran. Bagi Jensen (2000), dua abad pengalaman sangat mendukung tesis ini. Kondisi di atas memberikan insentif untuk inovasi, pemotongan biaya dan harga, menghasilkan produk dengan nilai tambah ekonomi, dan memiliki modal untuk investasi masa depan. Pada saat yang sama, sistem pajak memungkinkan sebagian dari kekayaan yang dihasilkan untuk digunakan bersama oleh masyarakat melalui mediasi/perantara pemerintah. Dampak sosial negatif terhadap bisnis dapat dihindari melalui hukum dan tindakan pemerintah yang tepat bersamaan dengan sumbangan pribadi, yang dapat menangani ketidaksetaraan dan permasalahan sosial lainnya yang diciptakan oleh pasar.

Pendekatan ini secara luas didukung oleh hukum dan banyak perusahaan yang berjalan di bawah pedoman model ini, terutama di negara-negara Anglo-Saxon. Namun, ada juga banyak kritikus yang menunjukkan beberapa kelemahan teori ini. Untuk memulainya, kinerja ekonomi bukanlah merupakan barang publik seluruhnya.

Page 11: Csr Theory Translate (Complete) (2013) - Copy

Keuntungan dapat meningkat, sementara para pekerja dieksploitasi, sumber daya alam ireversibel habis dan lingkungan rusak parah.

Adam Smith berbicara tentang "invisible hand (tangan tak terlihat)" yang menyediakan barang publik, dan gagasan tersebut masih laten dalam berbagai pendekatan yang mendukung Teori Nilai Pemegang Saham. Kenneth Arrow (1973), yang mengkritik efisiensi dari pasar dan pemisahan faktual dari kekuatan politik dan ekonomi, berpendapat bahwa efek eksternalitas melalui informasi asimetris (dan untuk tujuan sosial) menghancurkan invisible hand (tangan tak terlihat) Adam Smith dan hubungan antara tingkat mikro dan makro, dan oleh karena itu juga efisiensi pasar.

Dalam prakteknya, nilai maksimalisasi pemegang saham sering kali mencerminkan keuntungan jangka pendek, seperti misalnya penurunan beban karyawan, daripada keuntungan jangka panjang. Ada semakin banyak bukti bahwa keberhasilan ekonomi dalam jangka panjang tidak dapat dicapai kecuali manajemen memperhitungkan tidak hanya kepentingan pemegang saham, tetapi para juga karyawan, pelanggan, pemasok, masyarakat lokal, dan kelompok-kelompok lainnya dengan kepemilikan saham dalam kegiatan perusahaan (stakeholders). Sebuah perusahaan bisnis yang sukses membutuhkan lebih banyak lagi dari kepentingan pribadi dan perhatian untuk keuntungan. Hal ini membutuhkan kepercayaan, rasa loyalitas, dan hubungan yang baik dengan semua pemangku kepentingan (stakeholder) dan, sebagai akibatnya, kerjasama yang abadi di antara mereka yang terlibat atau saling bergantung dengan perusahaan tersebut (Hosmer, 1995, Kay, 1993; Kotter dan Heskett, 1992).

Mengasingkan hubungan manajer dengan kepentingan pemegang saham, melalui remunerasi/upah tinggi yang sangat berhubungan dengan nilai saham (saham, opsi/pilihan saham), tidak selalu yang terbaik bagi perusahaan (Delves, 2003). Kegiatan Merger dan pengambilalihan, terlepas dari pengaruhnya terhadap mendisiplinkan manajer, dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi dan ketidakamanan (Potter, 1992).

Hak milik dianggap hampir sebagai hak mutlak, yang menjadi penting untuk Teori Nilai Pemegang Saham, juga telah dikritik karena tidak dapat diterima untuk teori-teori property/kekayaan modern (Donaldson dan Preston, 1995). Handy (1997) berpendapat bahwa bahasa/istilah lama property/kekayaan dan kepemilikan tidak lagi memberikan kita berada dalam dunia yang modern karena tidak lagi menggambarkan apa sebenarnya perusahaan itu. Modal bukanlah satu-satunya aset maupun aset utama dari perusahaan. Orang yang bekerja dalam korporasi semakin meningkatkan aset utamanya.

Dengan mempertimbangkan mengenai kendala yang diperkenalkan oleh hukum/undang-undang, kritikus/para pengkritik ingat bahwa hukum itu tidak sempurna dan efeknya terbatas. Hal ini tidak mungkin dan tidak mudah untuk mengatur segala sesuatu dalam kehidupan bisnis. Selain itu, undang-undang umumnya muncul/ada setelah beberapa dampak yang tidak diinginkan terjadi. Selain itu, kelemahan-kelemahan (undang-undang) dapat dengan mudah ditemukan dalam hukum dan banyak regulasi/peraturan menghambat kreativitas bisnis dan inisiatif kewirausahaan. Selain itu, intervensi yang kuat terhadap hukum, peraturan, dan tindakan pemerintah lainnya yang berlawanan/menentang peraturan minimalis pasar, juga diperlukan untuk persaingan bebas yang kuat.

Terakhir, namun tidak sedikit, beberapa kritik telah dibuat untuk teori ini, dan khususnya pendekatan Friedman, atas pandangan sempitnya tentang makhluk hidup (manusia), terbatas pada kebebasan pemilihan dan kepentingan diri, visi/pandangan atomistik masyarakat, dan konsepsi otonom kegiatan usaha dalam masyarakat (Davis, 1960; Preston dan Post, 1975; Sethi, 1975; Grant, 1991; antara lain).

Page 12: Csr Theory Translate (Complete) (2013) - Copy

STAKEHOLDER THEORY (LEMBAR 9)

Overview

Berbanding terbalik dengan ‘shareholder theory’, ‘stakeholder theory’ menempatkan akun individual atau grup dengan ‘pertaruhan’ kedalam hak perusahaan. Dalam pengertian yang sangat umum, stakeholders adalah grup dan individu yang mengambil keuntungan dari kerugian yang dialami oleh kegiatan perusahaan. Dari perspektif ini, maksud dari CSR berarti ‘bahwa perusahaan punya obligasi untuk menjadi pemilih grup2 dalam masyarakat, daripada stockholder dan melewati ketentuan dari hukum atau perpaduan kontrak.’ (jones 1980)

Tidak semua orang mendeskripsikan tanggung jawab bisnis menuju stakeholders perusahaan sebagai CSR. Freeman dan Liedtka (1991), yang memperthankan pendekatan stakeholder, mempunyai pemikiran bahwa CSR bukan lah ide yang berguna, dan sebaliknya hanya akan menjadi sesuatu yang akan ditinggalkan. Mereka pikir bahwa pertanyaan mengenai pertanggungjawaban sosial tidak akan muncul ke permukaan jika stakeholders menggambarkan secara luas termasuk supplier, komunitas, pekerjaan, pelanggan dan pemberi modal. Mereka menuliskan: “setalah kami datang untuk melihat masing2 kelompok, dan individu di dalamnya, sebagai mitra yang resmi/sah untuk membicarakan ‘apa yang akan korporasi kerjakan’, pertanggung jawaban sosial dari hasil akhir nyata dapat diperbincangkan atau didebatkan. Sebaliknya mereka menyarankan perusahaan memiliki tanggung jawab untuk semua kegiatan yg memberi dampak dari aktivitas bisnis, dan itulah, pertanggung jawaban menuju pada stakeholders dari perusahaan.

Akhir-akhir ini freeman dan koleganya telah bersikeras bahwa pertanggung jawaban yang sebenarnya adalah menciptakan nilai untuk stakeholders, termasuk komunitas lokal. Freeman and Velamuri (2006) memberikan pengertian bahwa tujuan utama CSR adalah menciptakan nilai bagi para pemegang kepentingan memenuhi tanggung jawab perusahaan mereka, tanpa memisahkan bisnis dari etika. Akibatnya, mereka mengusulkan untuk mengganti CSR dengan ‘company stakeholder responsibility’, tidak hanya perubahan dalam kata namun juga perbedaan interpretasi dalam pengertian CSR. Sebelumnya, Wheeler (2003) memberikan usulan untuk mengharmonisasikan pendekatan stakeholder, CSR, dan pihak terkait dengan kreasi dari nilai (ekonomi, sosial, dan ekologi) untuk menjadikan nilai utama dari perusahaan, tidak hanya dari nilai sektor ekonomi untuk stakeholders. Bagian dari klarifikasi ini, disini tidak ada keraguan bahwa ‘orientasi nilai stakeholder’ berbeda teori untuk memahami pertanggung jawaban bisnis, dan lebih relevan untuk saat ini.

Terdapat banyak jenis pendekatan ‘teori stakeholder’, salah satunya: “perusahaan adalah sebuah sistem dari eksploitasi stakeholder dengan sistem yang lebih besar dari masyarakat setempat yang menyediakan kebutuhan dan infrastruktur pasar untuk kegiatan perusahaan. Tujuan dari perusahaan adalah untuk menciptakan kesehatan atau nilai untuk stakeholders dari mengonversikan taruhan mereka menjadi barang dan jasa. (Clarkson, 1995)

Teori stakeholder awalnya diperkenalkan sebagai teori managerial, konsep stakeholder (Freeman,1984): “memberikan jalan pemikiran baru mengenai strategi manajemen-hanya itu, bagaimana korporasi dapat dan harus menata serta melaksanakan secara langsung. Dengan memperhatikan eksekutif manajemen strategis dapat dimulai untuk menaruh sebuah korporasi kembali ke kesuksesan”. Bagaimanapun, itu hanya lah sebuah teori normatif yang dibutuhkan perusahaan untuk melindungi perusahaan secara menyeluruh dan mengintegerasikan dengan tujuan perusahaan dan melegitimasi ketertarikan semua stakeholders.

Dalam teori stakeholder, korporasi sebaliknya harus bisa mengatur untuk mendapatkan keuntungan bagi stakeholders: yakni pelanggan, suplier, pemilik, pekerja dan komunitas lokal, dan untuk memelihara eksistensi perusahaan. (Evan and Freeman, 1988). Pengambilan keputusan struktur berdasarkan pada kebijkasanaan atasan

Page 13: Csr Theory Translate (Complete) (2013) - Copy

dan korporasi pemerintah, dan sering kali menyatakan bahwa pemerintah sunguh2 harus tidak bekerjasama dengan perwakilan stakeholder.

Jika kita melihat CSR dalam pengertian yang luas, kemudian teori stakeholder dapat dipertimbangkan dengan sebuah teori CSR, itu dikarenakan perusahaan menyediakan sebuah normatif kerja untuk mempertanggungjawabkan bisnis menuju masyarkat.

Historical Background

Kata stakeholder pertama kali muncul tahun 1963 di stanford research institute. Pada tahun 1983, Freeman dan Reed membedakan ‘stakeholders’ dan ‘stockholders’ dalam konteks korporasi pemerintah. Pada 1984, Freeman memperkenalkan buku strategic management: A stakeholder approach, sebagai konsep baru dalam managemen. 4 tahun kemudian, Evan dan Freeman memperkenalkan stakeholder berdasarkan norma dengan menggunakan pendekatan Kantian. Pada 1995, Donaldson dan Preston melakukan pengujian mendalam dasar dari teori stakeholder normatif. Sejak saat itu, model ini menyebar dengan mempertimbangkan freeman, sendiri atau dengan rekannya, dan memperdalam pekerjaan awalnya, memperbesar, mengklarifikasi aspek dan memperkenalkan beberapa perubahan.

Conceptual Bases (LEMBAR 10)

Istilah 'stakeholder', terkait erat dengan 'pemegang saham', yang dimaksud dengan Freeman 'untuk umum gagasan pemegang saham sebagai satu-satunya kelompok kepada siapa manajemen harus bertanggung jawab' (1984: 31). ‘Stakeholder’ dapat diambil dalam dua pengertian: dalam arti sempit, pemegang saham jangka termasuk kelompok-kelompok yang sangat penting untuk kelangsungan hidup dan keberhasilan korporasi, dalam arti luas ini meliputi setiap kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh perusahaan (Freeman dan Reed, 1983; Freeman, 1984). Dengan demikian, 'stakeholder diidentifikasi oleh kepentingan mereka dalam urusan korporasi' dan diasumsikan bahwa 'kepentingan semua stakeholder memiliki nilai intrinsik' (Donaldson dan Preston, 1995: 81).

Teori stakeholder yang pada dasarnya berbagi keyakinan yang sama seperti teori pemegang saham tentang demokrasi dan prinsip-prinsip ekonomi pasar. Namun, pada titik-titik lain mereka cukup berbeda. Perusahaan dipandang sebagai 'entitas abstrak' di mana berbagai kepentingan bertemu bukan sebagai 'set kontrak'. Tujuan perusahaan adalah terkait dengan kepentingan individu yang berbeda atau kelompok yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh aktivitas perusahaan. Dengan kata lain, tujuan perusahaan adalah untuk melayani sebagai kendaraan untuk koordinasi pemangku kepentingan kepentingan' (Evan dan Freeman, 1998: 151).

Evan dan Freeman basis legitimasi teori stakeholder pada dua prinsip etika, masing-masing disebut oleh para penulis: 'Prinsip Hak Perusahaan' dan ‘Prinsip Efek Perusahaan'. Kedua prinsip mempertimbangkan diktum Kant untuk menghormati orang. Mantan menetapkan bahwa 'perusahaan dan manajer yang tidak mungkin melanggar hak hukum orang lain untuk menentukan masa depan mereka. Yang terakhir ini berfokus pada tanggung jawab atas konsekuensi dengan menyatakan bahwa 'perusahaan dan manajer yang bertanggung jawab atas dampak dari tindakan mereka pada orang lain'.

Page 14: Csr Theory Translate (Complete) (2013) - Copy

Dua prinsip yang lebih datang untuk memandu pengambilan keputusan manajerial diketahui sebagai P1 dan P2 'Stakeholder Prinsip Manajemen (Evan dan Freeman, 1988).

P1: Korporasi harus dikelola untuk kepentingan stakeholder: pelanggan, pemasok, pemilik, karyawan, dan masyarakat setempat. Hak-hak kelompok-kelompok ini harus dipastikan, dan selanjutnya kelompok harus berpartisipasi, dalam arti tertentu, dalam keputusan yang secara substansial mempengaruhi kesejahteraan mereka.

P2: Manajemen dikenakan hubungan fidusia kepada para pemangku kepentingan dan perusahaan sebagai entitas yang abstrak. Ini harus bertindak dalam kepentingan stakeholders sebagai agen mereka, dan harus bertindak untuk kepentingan perusahaan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan, menjaga saham jangka panjang masing-masing kelompok.

Donaldson dan Preston (1995) berpendapat bahwa hak kekayaan harus didasarkan pada sebuah prinsip yang mendasari keadilan distributif . Mereka juga berpendapat bahwa semua karakteristik penting yang mendasari teori klasik keadilan distributif yang hadir dalam teori stakeholder. Mereka menyimpulkan bahwa prinsip-prinsip normatif yang mendukung teori pluralistik kontemporer hak milik memberikan landasan bagi teori stakeholder.

7 prinsip “Manajemen Stakeholder” (The Clarkson Center for Business Ethic” (1999):

1. Manajer ikut aktif dan memperhatikan legitimasi stakeholder dan dapat mengambil dengan tepat kepentingan dalam pembuatan keputusan.

2. Manajer mendengarkan secara komunikasi terbuka dengan stakeholder , tantang masing-masing perhatian, kontribusi, dan tentang resiko.

3. Manajer dapat meniru/mengambil proses dan membuat tingkah laku sensitive terhadap perhatian dan kemampuan stakeholder daerah pemilihan.

4. Manajer harus mengakui saling ketergantungan usaha dan menfaat antara para stakeholder. Mencapai distribusi adil dari manfaat dan beban aktivitas perusahaan diantara mereka dengan mempertimbangjan resiko dan kerentanan.

5. Manajer harus bekerjasama dengan entitas lain.

6. Manajer harus menghindari dan mencabut kegiatan yang mutlak mengganggu Hak Asasi Manusia (Human Rights).

7. Manajer harus mampu melihat (memperhatikan)

a. Potensi konflik antara peran perusahaan sendiri.

b. Harus mampu mengatasi konflik secara komunikasi yang terbuka, pelaporan yang tepat dan perlu pihak ketiga. . . . . .

Page 15: Csr Theory Translate (Complete) (2013) - Copy

Strengths and Weakness (LEMBAR 11)

Beberapa kekuatannya mengenai teori stakeholder. Pertama, teori tampaknya etnis unggul memaksimalkan nilai pemegang saham karena memperhitungkan hak pemangku kepentingan pertimbangan dan kepentingan sah mereka dan tidak hanya apa yang benar-benar diperlukan oleh hukum dalam hubungan pemangku kepentingan manajer. akibatnya tugas manajerial yang lebih luas daripada manajemen kewajiban fidusia kepada pemegang saham. Selain itu, pertimbangan hak milik lebih cocok dengan persyaratan keadilan daripada teori nilai pemegang saham. Akhirnya teori ini setidaknya dalam formulasi aslinya lebih menghormati martabat manusia dan hak-hak

Hal ini juga memberikan kontribusi untuk bahasa pedagogis lebih sesuai dengan pengakuan seperti martabat tham jenis lain dari bahasa bisnis yang cenderung menyarankan orang-orang adalah sumber daya manusia dan hanya perusahaan hanya masalah kepemilikan, yang dibeli dan dijual, kadang-kadang tanpa mempertimbangkan perusahaan yang pada dasarnya dibentuk oleh orang. Hal ini sejalan Handys argumen bahwa bahasa dan langkah-langkah bisnis perlu dilindungi. Sebuah bisnis yang baik adalah sebuah komunitas dengan tujuan dan komunitas bukanlah sesuatu yang harus dimiliki. Sebuah komunitas memiliki anggota dan para anggota memiliki hak termasuk hak untuk memilih atau mengekspresikan pandangan mereka tentang isu-isu utama. (handy, 2002:52)

Kekuatan kedua adalah bahwa teori stakeholder digantikan ketidakjelasan konseptual CSR dengan mengatasi kepentingan dan praktek beton dan memvisualisasikan tanggung jawab khusus untuk kelompok masyarakat tertentu dipengaruhi oleh aktivitas bisnis. Blair, 1995;Clarkson, 1995)

Sebagai kekuatan ketiga, dapat menunjukkan bahwa bukan teori etnical hanya terputus dari manajemen bisnis, tapi teori manajerial yang berkaitan dengan keberhasilan bisnis. pendekatan normatif datang kemudian dan berhubungan erat dengan pengambilan keputusan manajerial. Manajemen Stakeholder diterima dengan baik di banyak perusahaan dan memberikan pedoman yang dapat menyebabkan keberhasilan bisnis dalam jangka panjang. (e.g. see Royal society of arts, 1995; Collins and porras, 1994). Meskipun untuk membangun counclusion suara pada hubungan antara teori skteholder dan kinerja keuangan memerlukan penelitian lebih lanjut.(bermen et all.1999)

Seiring dengan kekuatan ini, teori ini juga memiliki kelemahan atau setidaknya beberapa kritikus. Kritik kadang-kadang mengambil bentuk distorsi kritis dan pada waktu lain salah tafsir friendly.(Philips et all., 2003). Di antara itu adalah mereka yang menganggap bahwa teori stakeholder adalah sosialisme dan merujuk pada seluruh perekonomian atau menafsirkannya sebagai korporasi moral yang komprehensif dan berpikir bahwa teori ini membutuhkan perubahan hukum.

Beberapa kritikus berpendapat bahwa teori stakeholder tidak dapat menyediakan fungsi tujuan cukup spesifik untuk korporasi sejak menyeimbangkan kepentingan pemangku kepentingan meninggalkan dasar yang obyektif untuk mengevaluasi tindakan bisnis. Ini tidak tampak keberatan kuat sejak fungsi tujuan, algoritma , dan matematika meskipun berguna dalam beberapa hal, tidak cukup sebagai pedoman bagi kehidupan manusia, termasuk bisnis. Dalam pengelolaan stakeholder Selain belum tentu terhadap pemegang saham. Seperti preman et al (2004 ) mencatat: ( i ) tujuan menciptakan nilai bagi stakeholder adalah jelas pro - pemegang saham ( ii ) menciptakan nilai bagi skateholders menciptakan insentif yang tepat bagi manajer untuk mengambil risiko kewirausahaan, ( iii ) memiliki satu fungsi tujuan akan membuat tata kelola dan manajemen sulit, jika tidak imposible ( iv ) lebih mudah untuk membuat pemangku kepentingan dari pemegang saham daripada sebaliknya dan ( v ) dalam hal pelanggaran kontrak atau kepercayaan, pemegang saham, dibandingkan dengan pemangku kepentingan memiliki perlindungan (atau dapat mencari solusi) melalui mekanisme seperti harga pasar per saham

Page 16: Csr Theory Translate (Complete) (2013) - Copy

Teori stakeholder juga telah dituduh sebagai alasan untuk oportunisme manajerial. Seorang manajer mampu membenarkan perilaku mementingkan diri sendiri dengan menarik kepentingan orang pemangku kepentingan yang menguntungkan. Oleh karena itu teori stakeholder, steanberg menyatakan, secara efektif menghancurkan akuntabilitas bisnis ... karena bisnis yang bertanggung jawab kepada semua, sebenarnya bertanggung jawab kepada none (2000:51. F) Philips et al (2003) menjawab bahwa oportunisme manajerial adalah masalah, tetapi tidak lebih masalah bagi teori stakeholder daripada alternativies. Selain itu, karena manajer dapat mencoba untuk membenarkan perilaku mementingkan diri sendiri dengan mengacu pada beberapa kelompok pemangku kepentingan tidak berarti bahwa pembenaran adalah salah satu yang persuasif atau layak. Mereka juga berpendapat bahwa kelompok stakeholder, dalam kondisi tertentu, akan mempertahankan akuntabilitas manajerial

Kritik lain adalah bahwa teori stakeholder tampaknya terutama berkaitan dengan distribusi output akhir (Marcoux, 2000). Namun, ini lebih dari dipertanyakan. Sebenarnya, 'teori stakeholder adalah berkaitan dengan yang memiliki masukan dalam pengambilan keputusan serta dengan siapa yang diuntungkan dari hasil keputusan tersebut. Prosedur adalah penting untuk teori stakeholder sebagai distribusi akhir (Philips dkk., 2003:487)

Beberapa kritik datang dari menerima bahwa manegers menanggung kewajiban fidusia kepada semua stakeholder dan bahwa mereka semua harus diperlakukan sama, menyeimbangkan kepentingan mereka (Marcoux, 2000,2003, Sternberg 2000) Marcoux (2003) berpendapat bahwa stakeholder-maager hubungan contemplatedby pemangku kepentingan teori yang tentu tugas non-fidusia moral diperlukan untuk hubungan tersebut. Dia menyimpulkan bahwa teori stakeholder secara moral kurang karena ( i ) gagal untuk menjelaskan pemegang saham yang . . . . .

(LEMBAR 12) Utang kewajiban gadai, dan ( ii ) memperlakukan semua stakeholder 'kepentingan yang sama meskipun pemegang saham seluruh stakeholder memiliki klaim yang sah untuk keberpihakan manajerial seperti yang dipersyaratkan oleh petugas gadai yang diberikan kepada mereka . Di sini mungkin ada beberapa kesalahpahaman mengenai legitimasi (Philips, 2003b). hanya kepentingan/legitimasi yang sah yang harus dipertimbangkan dalam teori stakeholder. Gioia (1999 ) menambahkan bahwa manajer tidak menemukan kredibelitas teori normatif berdasarkan suara dari pinggir lapangan yang organisasi pengambil keputusan harus dilakukan dengan benar. Ia percaya bahwa para pemangku kepentingan/stakeholder tidak cukup mewakili sosial, ekonomi, dan realitas organisasi yang dihadapi.

Ini juga telah menjadi keberatan bahwa teori stakeholder mengakui satu set pluralistik interpretasi (misalnya. Feminis, ekologis, kontrak yang adil, dll). Hummels (1998) berpendapat bahwa 'setiap penafsiran yang diberikan kepada kita dengan set yang berbeda dari stakeholder dan menekankan pentingnya nilai-nilai tertentu, hak-hak dan kepentingan. Oleh karena itu, interpretasi stakeholder yang berbeda menyebabkan distribusi yang berbeda dari manfaat dan beban, kesenangan dan rasa sakit, nilai-nilai, hak dan kepentingan' (p.1404). ini bisa menjadi masalah yang lebih serius jika teori stakeholder tidak mengadopsi teori etika yang sehat dan jika manajer tidak bertindak dengan benar.

Kelemahan lain dari teori ini menyangkut representasi stakeholder di perusahaan pengambil keputusan. Hal ini memiliki kesulitan dalam pembenaran dan implementasi. Etzioni, (1998) berpendapat bahwa meskipun teori dapat membenarkan stakeholder mengambil bagian dalam tata kelola perusahaan, tidak dapat dilaksanakan tanpa mempengaruhi kebaikan bersama: 'sementara semua pemangku kepentingan dan tidak hanya pemegang saham memiliki klaim yang sama untuk bersuara dalam tata kelola perusahaan, mengakui hal tersebut mungkin dapat merusak kesejahteraan ekonomi, dan karenanya merugikan kepentingan umum. Mungkin lebih lanjut menyatakan bahwa pertimbangan tersebut harus lebih besar dari pada claim yang adil' (Etzioni, 1998: 688). Berdasarkan teori

Page 17: Csr Theory Translate (Complete) (2013) - Copy

ini, apabila dilihat dalam lingkup CSR secara luas maka Stakeholders Theory ini dapat dipertimbangkan sebagai CSR Theory.

CORPORATE CITIZENSHIP

Overview

Selama beberapa dekade, para pemimpin bisnis telah melibatkan perusahaan dalam kegiatan amal, dan sumbangan kepada masyarakat di mana bisnis beroperasi . Ini telah dipahami sebagai ungkapan good corporate citizenship. Makna ini masih diterima oleh beberapa orang. Jadi, bagi Carrol, 'menjadi corporate citizen yang baik' termasuk 'aktif terlibat dalam tindakan atau program untuk mempromosikan kesejahteraan manusia atau keinginan yang baik' (1991 : 42) dan 'menjadi corporate citizenship global yang baik' yang berkaitan dengan tanggung jawab filantropis, yang ' mencerminkan harapan masyarakat global bahwa bisnis akan terlibat dalam kegiatan sosial yang tidak diamanatkan/ diharuskan oleh hukum maupun harapan umumnya dari bisnis secara etis'. (2004). Namun, sejak 1990-an dan bahkan sebelumnya konsep ini telah berkembang dari arti tradisional , dan gagasan corporate citizenship (CC) telah sering digunakan sebagai gagasan yang setara dengan CSR (Wood dan Logsdon, 2002, dan Matten dkk. , 2003, antara lain-lain). Tapi di luar kedua makna tersebut, dalam beberapa tahun terakhir, beberapa sarjana telah menyarankan bahwa gagasan corporate citizenship sebenarnya cara yang berbeda untuk memahami peran bisnis dalam masyarakat. Dengan demikian, Birch (2001) melihat Corporate Citizenship (CC) sebagai sebuah inovasi. Sementara CSR lebih peduli dengan tanggung jawab sosial sebagai urusan eksternal, CC menunjukkan bisnis yang merupakan bagian dari masyarakat. Logsdon dan Wood percaya bahwa ' perubahan linguistik (dari CSR ke CC) berisi perubahan mendasar dalam pemahaman normatif tentang bagaimana organisasi bisnis harus bertindak dalam hubunganya menghormati/respect terhadap stakeholder' (2005: 155). Demikian pula, Windsor berpikir tentang 'corporate citizenship sebagai gerakan pengelolaan yang efektif mengganti konsepsi yang berbeda, bahasa yang baik, untuk pegertian dari ‘tanggung jawab’' (2001b : 239). Untuk bagian mereka, Mulan et al. (2005) menunjukkan bahwa corporate citizenship adalah sebuah metafora untuk partisipasi bisnis di masyarakat.

Historical Background

Istilah 'corporate citizenship' diperkenalkan pada 1980-an ke dalam hubungan bisnis dan masyarakat terutama melalui praktisi (Altman dan Vidaver - Cohen, 2000; Windsor, 2001a) . Namun, gagasan dari perusahaan sebagai warga negara sudah dilayangkan oleh berapa pelopor dalam bidang CSR, termasuk McGuire (1963) dan Davis (1973). Yang terakhir, misalnya, menulis bahwa 'tanggung jawab sosial dimulai di mana hukum berakhir. Sebuah perusahaan tidak bertanggung jawab secara sosial jika hanya melulu menuruti hukum yang diwajibkan, karena ini adalah apa yang warga negara akan lakukan' (1973:313 ) . Eilbirt dan Parket, pada 1970-an, mencari pemahaman yang lebih baik dari arti tanggung jawab sosial yang sebenarnya, menggunakan ekspresi 'keramah- tamahan yang baik', yang tidak terlalu jauh dari 'warga negara yang baik'. Eilbert dan Parket menjelaskan bahwa 'keramah-tamahan yang baik' memerlukan dua makna. Pertama, 'tidak melakukan hal yang merusak lingkungan' dan, kedua,'

Page 18: Csr Theory Translate (Complete) (2013) - Copy

komitmen bisnis, atau bisnis, secara umum, berperan aktif dalam pemecahan masalah sosial, seperti diskriminasi rasial, polusi, transportasi, atau kerusakan kota' (1973:7).

Pada akhir 1980-an, seorang sarjana dihormati di bidang bisnis dan masyarakat menjelaskan bahwa 'good (corporate) citizenship . . .sebagaimana tercermin dalam bantuan perusahaan untuk kesejahteraan masyarakat melalui kontribusi keuangan dan non - moneter dianggap selama bertahun-tahun menjadi intisari dari perilaku bisnis yang bertanggung jawab secara sosial' (Epstein, 1989:586).

Pada 1990-an konsep 'corporate citizenship' menarik perhatian bisnis yang positif (misalnya Alperson, 1995;. McIntosh et al, 1998). Meningkatnya popularitas . . . . .

(LEMBAR 13) . . . . . Dari konsep corporate citizenship telah disebabkan, setidaknya sebagian, faktor-faktor tertentu yang berdampak pada hubungan bisnis dan masyarakat, seperti globalisasi, krisis negara kesejahteraan, dan kekuatan perusahaan multinasional besar.

Kepedulian terhadap masyarakat di mana kegiatan perusahaan telah memperpanjang progragressively untuk menjadi perhatian global karena protes intens terhadap globalisasi, terutama sejak akhir 1990-an. Menghadapi tantangan ini, 34 CEO dunia perusahaan multinasional terbesar menandatangani dokumen selama forum ekonomi dunia di new york pada tahun 2002: Corporate Citizenship Global: Tantangan Kepemimpinan Bagi CEO dan Dewan Direksi. Untuk forum ekonomi dunia, ‘Corporate citizenship adalah tentang kontribusi perusahaan kepada masyarakat melalui membuat kegiatan bisnis inti, program investasi dan filantropisosial, dan keterlibatan dalam kebijakan publik'. 1

Karya akademis pada Corporate Citizenship, baik empiris dan konseptual, dimulai pada akhir 1990-an (Tichy et al, 1997.); Mc Intosh et al, 1998: Andriof sebuah Mc Intosh, 2001; Wood dan Logsdon, 2001).

Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa sarjana telah melakukan tugas mengembangkan teori normative corporate citizen atau konsep serupa. Meskipun teori penuh "corporate citizenship" belum tersedia, beberapa pekerjaan akademik yang berharga telah dilakukan, antara lain dengan Wood, Logsdon, dan co-penulis (Wooddan Logsdon, 2001; Logsdon dan Wood, 2002, Wood dkk . 2006, antara lain artikel) yang telah mengembangkan konsep 'kewarganegaraan bisnis global (Global Business Citizenship)' dan oleh Matten, Crane, dan Moon; (Matten et al, 2003;. Matten dan Crane, 2005; Crane dan Matten 2005, dan Moon et al., 2005). Matten et al. (2003) telah menyajikan pandangan secara luas corporate citizenship berasal dari kenyataan bahwa, di beberapa tempat, perusahaan memasuki arena kewarganegaraan pada titik kegagalan pemerintah untuk melindungi warga negara. Kemudian, bisnis memenuhi peran yang sama dengan pemerintah dalam memecahkan masalah sosial.

Conceptual Bases

Istilah "kewarganegaraan", diambil dari ilmu politik, merupakan inti dari 'corporate citizenship' gagasan. Gagasan warga membangkitkan tugas individu dan hak dalam komunitas politik. Namun, juga berisi ide yang lebih umum menjadi bagian dari sebuah komunitas. Dalam tradisi Aristotelian, perusahaan bisnis dipandang sebagai bagian

Page 19: Csr Theory Translate (Complete) (2013) - Copy

yang melengkapi dari masyarakat dan untuk alas an ini mereka harus berkontribusi untuk kebaikan bersama masyarakat, pertama-tama kepada masyarakat di mana perusahaan beroperasi, sebagai warga negara yang baik. Dalam tradisi ini, konsep utama warga adalah "partisipasi" lebih karena hak-hak individu, seperti yang terjadi di negara liberal saatini.

Bagi Aristoteles, menjadi warga Negara pada dasarnya adalah memiliki 'hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan public negara, yang lebih di garis tugas dan tanggung jawab untuk menjaga kepentingan masyarakat (Eriksen dan Weigard, 2005; 15). Apakah atau tidak pandangan ini diterima, teori dan pendekatan untuk 'corporate citizenship' di fokuskan pada hak, tetapi bahkan lebih pada tugas, tanggung jawab, dan kemungkinan kemitraan bisnis dengan kelompok-kelompok masyarakat dan lembaga.

Meskipun, kewarganegaraan perusahaan kadang-kadang berhubungan dengan harapan sosial, sebagian besar di adopsi dari segi etika. Dengan demikian, Solomon menyatakan:

Prinsip pertama etika bisnis adalah bahwa corporation sendiri adalah warga negara, anggota masyarakat yang besar dan tak terbayangkan tanpa itu ....perusahaan like individuals adalah bagian dari masyarakat yang menciptakan mereka, dan tanggung jawab mereka menanggung bukan merupakan produk argument atau kontrak implisit, tap intrinsic untuk keberadaan mereka sebagai entitas sosial (1992; 184).

Salomon mengkontra perspektif ini dengan model CSR yang sering implisit setuju dengan Friedmanian asumsi bahwa korporasi otonom, entitas independen meskipun mereka menganggap kewajiban mereka kepada masyarakat sekitar (Solomon, 1992:184)

Untuk Waddock sebuah smith (2000), 'kewarganegaraan, pada dasarnya, adalah tentang hubungan perusahaan berkembang dengan stakeholder' (hal.48). Mereka memahami bahwa menjadi warga perusahaan global yang baik, pada dasarnya, adalah menghormati orang lain. Pada saat yang sama, ini, ‘melibatkan membangun hubungan baik dengan stakeholder dan hubungan dengan warga tersebut sangat sama dengan yang namanya bisnis baik' (hal.59).

Pendukung teori warga korporasi bersikeras bahwa penerapan konsep kewarganegaraan kepada bisnis harus dilakukan dengan hati-hati, karena kewarganegaraan terutama mengacu pada individu. Dengan demikian, Logsdon dan Wood, para pendukung utama 'Global Business Citizenship’ (GBC), memulai teori mereka dengan menganalisis konsep 'warga negara' dan kemudian mempertimbangkan kemungkinan arti 'corporate citizen' dan kemudian 'business citizenship’. Bagi mereka 'bisnis kewarganegaraan tidak dapat di anggap setara dengan individu kewarganegaraan-melainkan berasal dari dan sekunder untuk kewarganegaraan individu’ (2002: 86).

Wood dan Logsdon (2002) menemukan sangat berguna perbedaan di perkenalkan oleh Parry (1991) antara tiga pandangan 'kewarganegaraan': minimalis, komunitarian, dan hak-hak bersama. Dalam pandangan minimalis Citizenship, warga hanyalah penduduk dari suatu yurisdiksi umum yang mengakui tugas dan hak-hak tertentu. Pandangan komunitarian Citizenship menanamkan warga dalam konteks sosial tertentu, dimana aturan, tradisi, dan budaya masyarakat sendiri yang sangat signifikan, seiring dengan partisipasi dalam komunitas seperti itu. Pandangan hak asasi manusia bersama Citizenship di dasarkan pada asumsi moral hak yang diperlukan untuk pengakuan martabat manusia dan untuk pencapaian agensi manusia. Wood dan Logsdon (2002, dan dalam karya dikutip lainnya) berpikir bahwa, meskipun organisasi bisnis dapat dilihat dari salah satu perspektif ini, hanya yang terakhir tampaknya mereka cocok untuk operasi bisnis di arena global. Demikian, berdasarkan hak asasi manusia universal dan pada 'integrative social contract theory' (Donaldson danDunfee, 1994, 1999), . . . . .

Page 20: Csr Theory Translate (Complete) (2013) - Copy

Logson, Wood, and others have developed an innovative theory of business and society relationship, called Global Business Citizenship (GBC).

(LEMBAR 14) Dalam teori GBC, organisasi bisnis adalah sarana untuk mewujudkan kreativitas manusia. Mereka mengizinkan penciptaan nilai lebih, memungkinkan orang dan masyarakat untuk berbuat lebih banyak dengan sumber daya. para interasts dari perusahaan dan tindakan mereka span beberapa lokal dan tidak dapat sepenuhnya menangkap dalam kontrak. Setiap perusahaan dipandang sebagai peserta dalam jaringan hubungan pemangku kepentingan. Karena perusahaan dapat dianggap ac citizes. meskipun dengan status sekunder untuk individu, mereka memiliki hak dan tugas turunan atau lemah.

Singkatnya, kewarganegaraan bisnis global dapat digambarkan sebagai seperangkat kebijakan dan praktek yang memungkinkan organisasi bisnis untuk mematuhi sejumlah standar etika yang universal (disebut hypernorms), untuk menghormati variasi budaya setempat yang konsisten dengan hypernorms, untuk bereksperimen dengan cara untuk mendamaikan praktek lokal dengan hypernorms ketika mereka tidak cosistent, dan untuk menerapkan proses learing sistematis untuk kepentingan organisasi, spemangku kepentingan, dan lebih besar masyarakat dunia (Logsdon dan Wood, 2005b) berfikir secara khusus tentang perusahaan multinasional, Logsdon dan Wood menjelaskan bahwa warga bisnis global adalah perusahaan multinasional yang tanggung jawab menerapkan tugas kepada individu dan masyarakat di dalam dan di nasional batas budaya nd (Wood dan Logsdon, 2002: 8)

GBC proses yang diperlukan ( 1 ) seperangkat nilai-nilai fundalmental tertanam dalam kode perilaku perusahaan dan kebijakan perusahaan yang mencerminkan standars etis yang menyeluruh: ( 2 ) pelaksanaan seluruh organisasi dengan awereness bijaksana dimana kode dan kebijakan sesuai dengan baik dan di mana mereka mungkin tidak sesuai harapan pemangku kepentingan, ( 3 ) analisis dan percobaan untuk menangani casas masalah: dan ( 4 ) proses pembelajaran sistematis untuk menyampaikan hasil implementasi dan eksperimen internal dan eksternal ( Logsdon dan kayu 0,2005 a)

Matten dan Crane (2005) menyajikan perspektif yang berbeda, yang mereka sebut konseptualisasi teoritis diperpanjang corporate citizenship: mereka mulai memeriksa gagasan kewarganegaraan dari perspektif teori politik aslinya dan beberapa perkembangan yang signifikan terbaru dalam studi .mereka politik juga mempertimbangkan bahwa kekuatan globalisasi telah mengubah peran relatif pemerintah dan perusahaan di administrasi hak-hak kewarganegaraan, dengan perusahaan mengasumsikan ( 1 ) di mana pemerintah berhenti pemberian kewarganegaraan peran ini kanan ( 2 ) di mana pemerintah belum diberikan kewarganegaraan kanan dan ( 3 ) dimana adminisration dari hak-hak kewarganegaraan mungkin berada di luar jangkauan pemerintah negara-bangsa (2005 : 172).

Matten dan Crane state that corporation bahwa perusahaan aktif dalam kewarganegaraan dan perilaku kewarganegaraan pameran (2005; 175), tetapi korporasi bukanlah warga negara itu sendiri (sebagai individu) juga tidak memiliki kewarganegaraan sehingga Matten dan derek mengambarkan cc sebagai peran. perusahaan dalam mengelola hak bagi individu (2005 : 173) ini mengarah ke arah pengakuan bahwa korporasi mengelola aspek-aspek tertentu dari kewarganegaraan untuk constituencies.these lainnya termasuk tradisional. Kasus pemangku kepentingan, karyawan seperti, pelanggan, atau pemegang saham, tetapi juga termasuk konstituen lebih luas dengan tidak ada hubungan transaksional langsung ke perusahaan ( P.173 )

Dalam menjelaskan bagaimana korporasi mengelola hak-hak kewarganegaraan, terutama di negara di mana pemerintah gagal dalam tanggung jawab mereka, Matten dan derek membedakan tiga peran sosial dengan mempertimbangkan tiga jenis hak (sosial, sipil, dan politik) yang diakui dalam masyarakat demokratis. Pertama, perusahaan adalah penyedia hak sosial (dengan memasok atau tidak memasok individu dengan layanan sosial yang menyediakan individu dengan kebebasan untuk berpartisipasi dalam masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan

Page 21: Csr Theory Translate (Complete) (2013) - Copy

dan aspek lain dari kesejahteraan). Kedua, korporasi adalah pemberi kemudahan hak-hak sipil (mengaktifkan atau menghambat hak-hak sipil warga negara, yang memberikan kebebasan dari penyalahgunaan dan campur tangan oleh pihak ketiga). Ketiga, korporasi adalah saluran untuk hak-hak politik (mengaktifkan atau menghambat hak sipil warga negara, yang memberikan kebebasan dari penyalahgunaan dan campur tangan oleh pihak ketiga). Ketiga, korporasi adalah saluran untuk hak politik (menjadi saluran tambahan untuk pelaksanaan hak-hak politik individu, yang memungkinkan partisipasi aktif dalam masyarakat).

Usulan Matten dan Crane adalah deskriptif, bukan normatif. Bahkan, mereka mempertanyakan apakah tiga peran ini dapat diterima perusahaan, karena administrasi hak-hak merupakan aspek tak wajib kebijaksanaan manajerial. Jika perusahaan bertindak sebagai CC dalam cara yang dijelaskan, ada muncul pertanyaan tentang akuntabilitas perusahaan terhadap masyarakat. Namun, ini juga bermasalah. 'Pemerintah kembali bertanggung jawab kepada warga negara mereka dan, pada prinsipnya, dapat disetujui atau melepaskan tanggung jawabnya melalui proses pemilu. Mekanisme yang sama, bagaimanapun, tidak ada yang berkaitan dengan korporasi (Matten dan crena).

Strengths and Weakness

Kekuatan pertama dari perusahaan kewarganegaraan dan konsep kewarganegaraan bisnis global mungkin adalah nama itu sendiri. Sementara beberapa praktisi dapat melihat konsep seperti 'tanggung jawab sosial' sebagai lawan usahanya, perusahaan kewarganegaraan 'dapat dikatakan untuk menyoroti fakta bahwa perusahaan melihat-atau-yang menduduki kembali tempat yang sah di masyarakat, di samping lain' warga negara 'dengan siapa perusahaan membentuk komunitas'

Titik kedua adalah dalam mengatasi visi fungsionalis bisnis sempit yang mengurangi ke sebuah tujuan ekonomi. Tanpa melupakan tanggung jawab ekonomi dari dasar bisnis, gagasan perusahaan kewarganegaraan menekankan dimensi sosial dan etika bisnis dan perannya dalam menghormati dan membela hak asasi manusia dan berkontribusi untuk kesejahteraan sosial dan pembangunan manusia dalam masyarakat.

Sebuah kualitas yang baik adalah ketiga lingkup global, yang tampaknya sangat tepat dalam globalisasi bisnis saat ini. Dari perspektif ekonomi, ditekankan bahwa kegiatan kewarganegaraan menghindari risiko, meningkatkan reputasi perusahaan, dan karenanya kinerja keuangan (vidal, 1999). Gardberg dan Fombrun (2006) berpendapat bahwa program kewarganegaraan investasinya strategis sebanding dengan R & D dan iklam. Dalam kondisi tertentu, mereka dapat membantu perusahaan mengglobal menetralisir berjangka asing mereka dengan memperkuat ikatan komunitas dan meningkatkan reputasi mereka di antara calon karyawan lokal, pelanggan, dan pembuat kebijakan.

(LEMBAR 15) Pada kondisi tertentu, mereka dapat membantu perusahaan secara mengglobal dengan menetralisir masa depan mereka, dengan cara memperkuat hubungan masyarakat dan meningkatkan reputasi mereka diantara calon karyawan perusahaan, konsumen, dan para pembuat kebijakan (regulator).

Kritik umum gagasan corporate citizenship adalah bahwa hal tersebut merupakan konsep yang menyebar, yang mencakup banyak topik berbeda: publik-swasta-kemitraan, kontribusi perusahaan, praktek etika perusahaan, pengembangan ekonomi masyarakat perusahaan, kesukarelaan perusahaan, keterlibatan masyarakat perusahaan dan merek perusahaan, citra merupakan sebuah reputasi manajemen (Windaor, 2001a: 39 dan 41). Mungkin

Page 22: Csr Theory Translate (Complete) (2013) - Copy

pengembangan teori lebih lanjut akan memberikan kesatuan dan koherensi terhadap beberapa praktek yang saat ini disajikan di bawah naungan 'corporate citizenship'.

Kedua pendapat diatas, GBC dan teori corporate citizenship, telah menerima kritik. Moon et al. (2005) mengakui bahwa karya Logsdon dan Wood menandai titik perubahan utama dalam literatur corporate citizenship, mereka menyatakan bahwa pendekatan mereka sangat membatasi potensi penting yang baru saat ini. Pertama, mereka menyatakan bahwa Logsdon dan Wood gagal meneliti penggambaran sifat yang mendasari penerapan corporate citizenship. Kedua, mereka hanya bergantung pada gagasan yang cukup sederhana dan tidak memungkinkan mengeksplorasi potensi konseptual secara normatif. Ketiga, pendekatan Logsdon dan Wood tidak menambahkan apa pun terhadap pemahaman kita mengenai hubungan bisnis dan masyarakat. Keempat, mereka tidak menawarkan basis normatif yang baru bagi peran sosial perusahaan, yang pada dasarnya bersifat voluntaristik. Kelima, karena pandangan mereka yang sempit, ruang lingkup kegiatan perusahaan secara substansial telah dibatasi. Khususnya, model Logsdon dan Wood tidak mampu menguji berbagai tindakan seperti donasi politik perusahaan, melakukan lobi, dan keterlibatan mereka dalam pembuatan peraturan. Pada akhirnya, Moon dan rekan peneliti berpendapat bahwa penerapan gagasan warga untuk perusahaan membutuhkan penjelasan yang lebih jelas dari kondisi tertentu di mana status kewarganegaraan bisa cukup diperluas hingga ke badan hukum.

Teori panjang Corporate citizenship juga telah disertifikasi (Van Oosterhout, 2005) karena konseptualisasi Matten dan Crane tentang CC dianggap sangat spekulatif dengan sedikit dukungan empiris, dan karena pendekatan mereka gagal untuk membahas hak perusahaan seiring dengan tanggung jawab.

Kekhawatiran lainnya tentang CC adalah pendekatan ini bergantung pada kebijaksanaan managerial dan ideologi philantropic (Windsor, 2001a, 2001b). Windsor percaya bahwa mereka yang menggunakan konsep philantropic ini sedang mengambil keuntungan dari meningkatnya harapan sosial dari keuntungan perusahaan yang dalam masa pemerintahan yang krisis dan dalam sebuah managemen strategis yang bertujuan dalam menciptakan nilai tambah di setiap fungsi serta aktivitas dari suatu perusahaan. Tudingan CC sebagai ideologi filantropis adalah dengan mempertimbangkan visi bisnis yang lebih luas, bisnis dalam masyarakat seperti yang disebutkan di atas terkait dengan global business citizenship. Lebih jauh lagi, ketika beberapa program corporate citizenship tertentu dilakukan dengan philatropy ini akan memiliki efek menguntungkan dan bahkan dapat mengarah kepada menciptakan nilai tambah dalam jangka panjang. Selain itu GBC bukanlah di tempat pertama, melainkan filantropi tentang hak asasi manusia universal. Tentang ideologi, berpusat pada managerial corporate citizenship juga berpusat pada managerial tetapi hal ini bukan karakter yang negatif dan untuk menghindari pelanggaran beberapa akuntabilitas yang efektif, kontrol sosial dapat dibentuk, walaupun hal ini bukan pekerjaan yang mudah, khususnya dalam konteks global. Poin ini berhubungan dengan keprihatinan yang diungkapkan oleh Matt dan Crene (2005) tentang bagaimana membuat akuntabilitas perusahaan yang afektif. Hal lain yang bisa dianggap sebagai kelemahan atau paling tidak sebuah pertanyaan yg tidak terjawab, dalam hal ini tidak diketahui siapa yang bertanggung jawab untuk menciptaan standar dari global citizenzhip (Munshy,2004). Bagaimanapun hal ini bisa dianggap sesuatu yang telah menyusun suatu standar yang telah ada seperti, UN Univversal declartion of human rights, Un global compact,the rountable principles, dan lainnya. Lebih jauh lagi ada juga ketertarikan yang lebih didalam penemuan dasar-dasar umum dalam agama dan adat dan beberapa diantaranya telah ditemukan sebelumnya. (Lewis 1987, Apendiks; Moses,2001; lihat juga Meley, 2006)

Jadi, kelemahannya adalah walaupun hak asasi manusia secara universal merupakan langkah awal menuju sebuah corporate citizenship yang berdasarkan pada hubungan kerja para stakeholder. Pendekatan yang diperoleh sangat terbatas. Sebuah hubungan dengan para stakeholders seharusnya memerlukan solidaritas dengan mereka, yaitu dapat lebih menghormati hak orang lain. Namun untuk membangun sebuah sosialits yang baik tidak cukup hanaya menghormati hak orang lain. Dalam hal ini pengembangan yang lebih jauh akan diperlukan. Singkatnya, corporate

Page 23: Csr Theory Translate (Complete) (2013) - Copy

citizenship dan hubungannya dengan global busniees citizenship adalah sesuatu yang sangat power full untuk bisnis dan hubungan sosial, tapi diperlukan pengembangan yang lebih jauh untuk menjadi robust dan memperoleh beberapa masukan dan perhatian.

Conclusion

Setelah meninjau dari empat teori ini, pertanyaan yang muncul adalah sebenarnya teori manakah yang terbaik. Jawaban utamanya adalah; bergantung dari apa yang anda cari. Namun, dari sebagian empat teori tersebut, dapat dipahami sebagai teori yang normatif yang menjelaskan bahwa sebuah perusaahan harus memiliki pola perilaku yang sesuai dengan masyarakat setempat. Dari perspektif yang terakhir, dapat dilihat bahwa teori tersebut memberi kita alasan mengapa perusahaan harus berasumsi dan berprinsip untuk bertanggung jawab kepada masyarakat.

Tidak dipungkiri, tidak semua teori tersebut dapat diterima. Namun, teori deskriptif diakui dan berlaku setelah melalui tes yang signifikan, Teori normatif dapat diterima sebagai konsekuensi dari rasionalitas dan konsistensi internal. Dalam prakteknya banyak perusahaan, terutama di Amerika Serikat, dapat digambarkan sebagai model shareholder, sedangkan di negara lain (Jepang, Eroupe) banyak sejumlah perusahaan yang berperilaku lebih mendekati dengan model stakeholder. Bagaimanapun, kita juga dapat menemukan perusahaan yang merespon dengan model kinerja sosial perusahaan. Selanjutnya, yang jumlahnya semakin meningkat mungkin mengambil pola corporate citizenship, khususnya di kalangan perusahaan-perusahaan transnasional.

Jika mempertimbangkan teori ini bersifat normatif, jawabannya memang tidak mudah. Kita telah membahas beberapa kekuatan dan kelemahan pada masing-masing teori, dan telah menemukan alasan yang menentang maupun mendukung dari teori-teori tersebut. Masalah yang pertama adalah bahwa setiap teori berasal dari bidang pengetahuan yang berbeda, sesuai dengan bidang pengetahuannya. Corporate Social Performance berkaitan dengan sosiologi, teori shareholder berkaitan dengan ekonomi, teori stakeholder berakar pada beberapa teori etika, dan corporate citizenship berasal dari konsep politik.

Teori normatif yang baik membutuhkan dasar filosofis, yang meliputi pandangan tentang kodrat manusia, bisnis, masyarakat, dan hubungan antara bisnis dan masyarakat. Di masa mendatang, diharapkan perkembangan filsafat lebih lanjut untuk menjangkau teori normatif yang lebih meyakinkan lagi mengenai teori bisnis, dan hubungan sosial.

Dari semua teori-teori yang ada pada Corporate Social Responsibility telah dibahas berbagai macam pengertian maupun kekuatan dan kelemahan masing-masing teori dengan menemukan alasan-alasan baik yang menentang maupun yang mendukung teori-teori tersebut. Namun permasalahan yang utama adalah teori-teori yang telah dibahas tersebut berasal dari bidang pengetahuan yang berbeda sehingga teori CSR dapat dipahami melalui berbagai macam pemahaman yang mendasari keempat teori yang telah dibahas tadi.