cv gilang nugraha
TRANSCRIPT
GILANG NUGRAHA
Jl. Abesin no.23 Kel.Cibogor Kec.Bogor Tengah – Bogor 16124
Phone : 0856 – 1708382/ 0251- 8342916
E-mail : [email protected]
Daftar Riwayat Hidup
Data Pribadi
Nama : Gilang Nugraha
Jenis Kelamin : Pria
Tempat, tanggal lahir : Bogor, 16 Juli 1988
Kewarganegaraan : Indonesia
Status Pernikahan : Belum Menikah
Tinggi, berat badan : 165 cm, 47 kg
Kesehatan : Sangat Baik
Agama : Islam
Alamat Lengkap : Jl Abesin No.23, RT02/RW03, Kel. Cibogor, Kec.Bogor Tengah 16124
Telepon, HP : 0251-8342916, 08561708382
E-mail : [email protected]
Pendidikan Formal
1994 – 2000 SD Negeri Pengadilan 3, Bogor
2000 – 2003 SMP Negeri 2, Bogor
2003– 2006 SMU Negeri 2, Bogor
2006 – 2009 Program Diploma 3 (D3) Ekowisata Institut Pertanian Bogor
2010 – Sekarang Program Alih Jenis Strata 1 (S1) FEM Institut Pertanian Bogor
Kemampuan
1. Kemampuan Komputer (MS Word, MS Excel, MS Power Point, MS Access, MS Outlook).
2. Kemampuan Internet
3. Social Media Marketing & Analysist
4. Online Media Development
5. Bahasa Inggris (Pasif)
6. Content Writing
GILANG NUGRAHA
Jl. Abesin no.23 Kel.Cibogor Kec.Bogor Tengah – Bogor 16124
Phone : 0856 – 1708382/ 0251- 8342916
E-mail : [email protected]
Pengalaman Bekerja
1. Freelancer di beberapa kawasan wisata daerah Lido, Puncak, dan Jawa Timur, diantaranya;
Baung Camp ,LEAD, Pancawati Outdoor Training, Happy Trust, dan Bee Outbond.
Periode : Desember 2009 – Maret 2010
Posisi : Facilitator & Observer Outbound
Uraian Singkat Pekerjaan:
- Trainer permainan
- Mengevaluasi kegiatan outbound dengan skala nilai
- Membuat dan menentukan jenis permainan yang akan dilaksanakan
2. Bekerja di PT Bank Danamon Indonesia, Tbk
Periode : Febuari 2011 – April 2011
Posisi : Relationship Officer
Uraian Singkat Pekerjaan:
- Menganalisis kelayakan usaha perorangan yang akan mengajukan kredit
- Me-maintain nasabah existing dan melakukan cross selling
- Membuat Sales Plan dan pelaksanaanya untuk menujang kegiatan funding
- Membuat laporan harian dan bulanan sesuai dengan SOP
- Membina hubungan baik dengan calon nasabah dan nasabah existing
- Mengelola account/portfolio nasabah perusahaan
3. Freelancer di organisasi Persaudaraan Korban NAPZA Indonesia
Periode : Juni – Agustus 2011
Posisi : Social Media Manager
Uraian Singkat Pekerjaan:
- Updating social media account
- Social media scan & analysis
- Review kualitas traffic volume dan schedule update
4. Freelancer di hujanradio.com
Periode : Juni – Oktober 2011
Posisi : Content Writer
Uraian Singkat Pekerjaan:
- Menulis review yang berhubungan dengan musik, gaya hidup, dan anak muda
- Menulis artikel yang berhubungan dengan musik, gaya hidup, dan anak muda
- Menulis liputan event
5. Freelancer di organisasi Persaudaraan Korban NAPZA Indonesia
GILANG NUGRAHA
Jl. Abesin no.23 Kel.Cibogor Kec.Bogor Tengah – Bogor 16124
Phone : 0856 – 1708382/ 0251- 8342916
E-mail : [email protected]
Periode : Oktober 2011- Januari 2012
Posisi : Online Media Development
Uraian Singkat Pekerjaan:
- Men-develop pembuatan website
- Men-develop pembuatan forum online
- Memaintain forum dan website
6. Bekerja di Idealoka Mediatama
Periode : Februari 2012- Sekarang
Posisi : Online Media Development
Uraian Singkat Pekerjaan:
- Men-develop pembuatan website
- Men-develop pembuatan forum online
- Memaintain forum dan website
- SEO & SMO
7. Freelancer di beberapa media musik online
Periode : Oktober 2011- Januari 2012
Posisi : Content Writer
Uraian Singkat Pekerjaan:
- Menulis review yang berhubungan dengan musik dan anak muda
- Menulis artikel yang berhubungan dengan musik dan anak muda
- Menulis liputan event
Demikian Curriculum Vitae ini saya buat dengan sebenar-benarnya, untuk digunakan sebagaimana
mestinya.
Bogor, Desember 2012
Hormat saya,
Gilang Nugraha, A.Md
Gilang Nugraha | [email protected]
2
Chiptune Music: Memaksimalkan Medium yang Minimal Oleh: Gilang Nugraha
Apakah anda masih ingat dengan konsol video game seperti Nintendo dan Gameboy
yang sering anda mainkan ketika masih kecil? Jika Anda pernah merasakan masa
keemasan Nintendo dan Gameboy sebagai konsol gaming terbaik tentunya anda juga masih
mengingat tampilan grafis 8bit sederhana yang disuguhkan oleh game seperti Super Mario
Bros, Legend of Zelda, dan Donkey Kong, dengan musik latar bersuara khas yang biasa kita
dengarkan ketika bermain permainan ini. Melodi musik latar bernuansa ceria yang terdengar
menciut-ciut dan sedikit kasar tersebut seakan menambah keasyikan dan semangat dalam
bermain game hingga level terakhir.
Era keemasan konsol video game klasik memang sudah bertahun-tahun berlalu seiring
pesatnya perkembangan teknologi yang memunculkan beraneka jenis konsol video game
dengan tampilan grafis dan tata suara yang lebih canggih. Namun ibarat sebuah lagu yang
terekam dalam kaset, kenangan bermain konsol video game klasik akan tetap tersimpan
dalam pikiran. Kenangan akan masa kecil pulalah yang melatar belakangi sejumlah
penggemar konsol video game klasik untuk mengangkat dan melestarikan kembali musik
Chiptune atau musik latar yang biasa kita dengarkan ketika bermain suatu game, untuk
dipadu padankan dengan beraneka jenis alat musik konvensional lainnya.
Chiptune atau dikenal juga dengan nama chipmusic dan micromusic sebenarnya
bukan lah sebuah genre musik, melainkan sebuah jenis fidelasi suara yang dihasilkan pada
saat proses pembuatan musik menggunakan suatu media atau hardware tertentu. Chiptune
dibuat dari sound format yang yang telah disintetiskan atau dipersatukan secara realtime oleh
komputer atau chip suara video game. Kepopuleran musik Chiptune secara global diawali
pada periode pertengahan 1980-an oleh sejumlah komposer musik yang menciptakan musik
latar untuk keperluan soundtrack video game menggunakan komputer dengan chip suara
terbatas yang hanya menyediakan simple tone generator dan noise generator. Keterbatasan
tersebut tidak hanya mengakibatkan sulitnya menciptakan karakter musik yang lebih
kompleks, namun dilain sisi juga memberikan fleksibilitas bagi para komposer untuk
menciptakan sendiri suara instrumen yang diinginkan untuk kemudian disimpan ke dalam
chip suara.
Musik Chiptune periode awal hanya menyebar di beberapa negara yang memang
Gilang Nugraha | [email protected]
3
memiliki basis produksi konsol video game seperti Jepang dan Amerika Serikat. Musik ini
hanya ditujukan oleh para komposer yang bekerja sama dengan developer game sebagai
pelengkap untuk kebutuhan soundtrack sebuah game. Komposer Chiptune yang pada masa
tersebut karyanya banyak dipakai untuk keperluan soundtrack dan musik latar video game
diantaranya adalah Nobuo Uematsu (Final Fantasy) dan Koji Kondo (Super Mario Bros, The
Legend of Zelda).
Kemunculan Kembali
Menuju awal milenium pertama musik Chiptune kembali terangkat ke permukaan
dengan beragam jenis media yang digunakan dalam proses produksinya. Salah satu media
yang paling populer digunakan hingga saat ini oleh para musisi Chiptune adalah Gameboy,
sebuah konsol game handheld produksi perusahaan permainan video asal Jepang, Nintendo.
Tren penggunan Gameboy sebagai media pembuatan musik Chiptune diawali penemuan
tracker atau perangkat lunak untuk pembuatan musik bernama Nanoloop oleh seorang
mahasiswa seni asal Jerman bernama Oliver Wittchow yang khusus diperuntukan dan hanya
dapat dijalankan mengggunakan media Gameboy. Perangkat lunak tersebut terlebih dahulu
harus dimasukkan ke dalam sebuah cartridge (kaset) kosong agar dapat dijalankan di
Gameboy. User Interface dari Nanoloop sangat minim dengan tampilan batang menyerupai
game Tetris dan berbeda dengan User Interface perangkat lunak pembuatan musik lainnya.
Musisi Elektronik ternama asal Jerman yang juga frontman dari Atari Teenage Riot pernah
menggunakan Nanoloop dalam proyek album solonya yang diberi nama “Nintendo Teenage
Robots - We Punk Einheit!”, ia mengkolaborasikan Nanoloop dan Gameboy Camera untuk
keperluan live performance dan produksi musiknya.
Dua tahun kemudian programmer asal Swedia bernama Johan Kotlinski yang dikenal
dengan alias “Role Model” di kalangan musisi Chiptune, berhasil menemukan perangkat
lunak lainnya yang diperuntukkan bagi Gameboy, perangkat lunak tersebut ia beri nama
LSDJ atau LittlesoundDJ. Berbeda dengan Nanoloop yang berupa grafis batang, tampilan
LSDJ berbentuk kord numerik yang lebih user friendly dengan beberapa sound preset seperti
drum kit dan efek suara lainnya yang telah ter-install. LSDJ laku keras pada tahun 2001
ketika software tersebut dimasukkan ke dalam cartridge dan dijual bebas. LSDJ juga kerap
kali digunakan oleh musisi diluar komunitas Chiptune baik sebagai salah satu perangkat
pendukung untuk keperluan produksi albumnya maupun untuk keperluan live performance.
Musisi tersebut diantaranya Beck, Björk, Aphex Twin, Chemical Brothers, dan lain
Gilang Nugraha | [email protected]
4
sebagainya, bahkan ada desas-desus yang mengabarkan bahwa Paris Hilton pun
menggunakan LSDJ sebagai salah satu instrumen di albumnya!
Malcolm McLaren, Manajer dibalik kesuksesan band Punk Rock kontroversial asal
Inggris, Sex Pistols, dalam suatu artikel yang ditulisnya di Wired Magazine pernah menyebut
Gameboy Music atau musik Chiptune pada umumnya sebagai sebuah bentuk baru dari Punk
Rock. Pernyataannya tersebut diperjelas kembali oleh Anamanaguchi, band instrumental
yang mengkolaborasikan musik Chiptune dengan musik Power Pop ala Weezer dan Ozma,
yang pada sebuah sesi interviewnya menyebut Chiptune sebagai“Punk Rock of Electronic
Music”.
Komunitas Chiptune memang relatif kecil dibandingkan komunitas musik lainnya,
namun penyebarannya kini lebih luas dibandingkan musik Chiptune periode awal dan
mencakup negara-negara seperti Rusia, Swedia, Inggris, Jerman, Italia, Jepang, Amerika
Serikat, Malaysia, Singapura, Australia, dan tidak ketinggalan, Indonesia. Bergejolaknya
pergerakan komunitas Chiptune tersebut berhasil menciptakan beragam jenis atau genre
musik yang berbeda dengan eksplorasi yang juga lebih eksperimental dibandingkan musik
Chiptune periode awal. Banyak musisi Chiptune yang kemudian menggabungkan unsur
Chiptune dengan berbagai macam instrumen konvensional seperti Gitar, Bass, Banjo, Harpa,
Djembe, Conga, dan Drum, serta instrumen musik tradisional. Penggabungan Chiptune
dengan elemen musik dan instrumen tradisional dapat disimak pada sebuah kompilasi lintas
negara yang berjudul “Low Bit Gamelan”.
Biasanya suatu komunitas Chiptune bergerak secara undeground dengan etos D.I.Y
atau Do it Yourself dan aktif membangun jaringan dengan komunitas Chiptune lainnya di
berbagai negara. Jaringan tersebut pula lah yang melahirkan berberapa event khusus berskala
internasional di berbagai negara yang akhirnya menjadi semacam „messiah‟ atau surga bagi
para penggiat dan penikmat musik Chiptune. Seperti Microba Party (Italia), Lo-Bit
Playground (Jepang), Blip Festival (New York), Colourama (Malaysia), dan Pesta Mikro
(Indonesia).
Geliat di Tanah Air
Eksistensi Chiptune di Indonesia berawal pada tahun 2006. Pelopornya adalah Zacka
Abi Burdah (JW86), Syafwin Ramadhan Bajumi (Curah Melodia Mandiri), dan Hafis Tamim
(Guttersnipe). Pada awalnya ketiga orang ini tergabung dalam sebuah Punk Rock bernama
Tatoine Twist. JW86 merupakan musisi Chiptunes pertama yang menggunakan cartridge
Gilang Nugraha | [email protected]
5
berisi LSDJ sebagai medianya dalam membuat musik. Bersama dengan Curah Melodia
Mandiri ia menginisiasi sebuah event Chiptune terbesar pertama di Indonesia yang berskala
internasional, Pesta Mikro, dengan menampilkan performance dari musisi Chiptune lokal dan
internasional yang bertujuan untuk mempererat jalinan komunikasi antar komunitas lintas
negara serta sebagai tempat untuk bertukar pikiran dan menunjukkan kemampuan para musisi
dalam membuat musik. Pesta Mikro hingga saat ini telah diadakan tiga kali yaitu pada tahun
2007, 2008, dan 2009 lalu yang bertempat di Rossi Musik Fatmawati, Jakarta, dan
menampilkan musisi-musisi Chiptune terbaik di Indonesia.
Komunitas Chiptune di Indonesia pada perkembangannya mulai menunjukan geliat
lebih aktif pada tahun 2009. Pada tahun tersebut banyak bermunculan musisi Chiptune yang
tidak hanya tersebar di Jakarta dan Bandung, tetapi juga di kota-kota lainnya seperti
Surabaya, Salatiga, Semarang, Bogor, Malang, Balikpapan, Yogyakarta, Solo, Medan, Bali,
dan Cirebon. Jaringan antar kota yang kuat menjadikan para musisi Chiptune saling terikat
satu sama lain dan menjadi satu kesatuan yang kokoh. Mereka kerap kali bersama-sama
mengadakan kegiatan yang berhubungan dengan musik Chiptune dan membuat event musik
berskala regional seperti Robopop (Bogor), Meet Bit And Eat (Bandung), Beeb Beeb Power
On (Semarang), Bit Nation (Yogyakarta), Micro Invasion (Jakarta), dan Microtunes Labs
(Surabaya). Selain event reguler yang diadakan di sebuah tempat atau kafe, biasanya para
musisi Chiptune juga mengadakan semacam showcase jalanan yang bertujuan untuk menarik
perhatian masyarakat awam guna membuka pandangan mereka terhadap musik Chiptune,
showcase jalanan yang disebut “Roadblock” ini diadaptasi dari gerakan serupa yang biasa
dilakukan oleh musisi Chiptune di Eropa dan Jepang. Tidak hanya mengembangkan jaringan
antara musisi Chiptune, komunitas Chiptune Indonesia atau yang biasa disebut “Indonesian
Chiptunes” juga membangun jaringan antar seniman multidisiplin yang memliki ketertarikan
terhadap kultur modern-retro dengan membuat event bertajuk “Pocket Operator” yang tidak
hanya menampilkan performance musik tapi juga pameran artwork, instalasi seni, paper art,
serta recycle art, guna mendukung tema yang diusung.
Indonesian Chiptunes merupakan basis komunitas Chiptune terbesar di Asia Tenggara
yang kiprah para musisinya sendiri telah terdengar luas dan diakui secara kualitas oleh
komunitas Chiptune di Eropa dan Amerika. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya musisi
Chiptune Indonesia yang karyanya berhasil dirilis oleh label dan netlabel dari luar negeri, dan
banyaknya musisi Chiptune Indonesia yang membuat sebuah album split bersama musisi
Chiptune dari negara lain. Beberapa waktu lalu band Chiptune asal Bandung, Local Drug
Gilang Nugraha | [email protected]
6
Store, berhasil melangsungkan gelaran turnya di beberapa kota di Malaysia dan Singapura.
Pada skala nasional, Indonesian Chiptunes juga kerap kali diundang untuk memberikan
penjelasan serta workshop terkait musik Chiptunes seperti di Urban Fest, Indonesia Creative
District, Compfest, bahkan tampil di acara TV nasional seperti Dahsyat dan Apa Kabar
Indonesia.
Dengan keterbatasan yang ada di dalam meramu musik ini, para musisi Chiptune di
Indonesia pun cenderung lebih inovatif dalam berkarya. Hingga memunculkan sub-genre
tersendiri pada musik Chiptune. Seperti pengaplikasian musik Trance, House, Pop, Drum &
Bass, Breakcore, Metal, sampai dengan Digital Hardcore yang dimainkan menggunakan
media konsol video game. Sambutan serta apresiasi masyarakat dan pencinta musik sendiri
dengan kehadiran musik Chiptune bisa dibilang sangat bagus, hal ini dapat dilihat pada
gelaran event Chiptune yang selalu padat dan ramai. Masyarakat awam cenderung penasaran
dengan jenis musik unik yang dihasilkan oleh para musisi melalui medium konsol game.
Bagi para musisi yang berada dibawah naungan Indonesian Chiptunes keterbatasan
teknologi bukan lah suatu hambatan dalam menghasilkan karya. Tidak salah jika beberapa
orang menyebut musik Chiptune sebagai “Low-Tech Music For Hi-Tech People”. Chiptune
merupakan sebuah bentuk kreativitas tidak dapat dibendung. Sisa-sisa kejayaan teknologi
masa lalu telah ditinggalkan oleh orang kebanyakan dan dianggap sebagai hal yang telah
ketinggalan zaman, ditangan mereka berhasil dibentuk menjadi suatu medium dalam
menciptakan karya seni baru yang tak lekang dimakan zaman untuk didengarkan dan
dinikmati.
*) Tulisan ini dimuat di kolom Beranda Komunitas id.berita.yahoo.com
Gilang Nugraha | [email protected]
7
Eyeliner: Sang Utusan Bermaskara Oleh: Gilang Nugraha
Eyeliner merupakan band asal Bogor yang terbilang sudah cukup lama malang
melintang di skena musik independen Bogor. Mereka menyebut musik yang dimainkannya
Spiritual Electronic, perpaduan antara musikDarkwave/Synth Rock dengan lirik yang
bertemakan hubungan antara manusia dan Tuhan dari sisi non-religius. Pada gelaran Fusion
Music Festival hari ke-2, saya berkesempatan mewawancarai band yang telah wara-wiri sejak
tahun 1998 ini di backstage selepas mereka perform. Masih mengenakan setelan hitam-
hitamnya sambil sesekali menghisap rokok, Do (Vokal) dan Levi (Sampler/Synth) mengobrol
santai tentang kehilangan, atheisme, acara musik di televisi, sampai soal Walikota Bogor
yang menikah lagi.
Kenapa hanya tampil berdua? Kemana Age dan Kocha?
Kejadiannya sangat cepat dan kalau gue ceritakan bikin gue sedih, Eyeliner sekarang
memang hanya berdua. Age dan kocha sekarang memprioritaskan hidupnya kepada
kesibukan mereka masing-masing. Semuanya punya keputusan masing-masing, dan kita
sangat menghargai keputusan mereka berdua untukmengundurkan diri dari Eyeliner.
Memang sulit untuk mencari pengganti, jadi kini kami memakaiadditionalsambil tetap
Eyeliner berjalan.
Dengan mundurnya Age dan Kocha, apakah akan merubah karakter musik dari
Eyeliner secara signifikan?
Do: Kami berdua berusaha untuk tetap konsisten dengan karakteristik musik Eyeliner yang
sekarang. Walaupun kami memang tidak bisa memungkiri bahwa pasti akan ada perubahan,
karena Eyeliner dibentuk oleh empat orang yang memiliki karakter musik yang berbeda-beda,
dengan mundurnya dua orang lalu digantikan pasti akan membawa perubahan yang cukup
signifikan, cepat maupun lambat, tapi untuk sekarang Eyeliner akan tetap seperti ini.
Gilang Nugraha | [email protected]
8
Kalian menyebut musik yang kalian mainkan Spiritual Electronic, apa yang mendasari
pelabelan tersebut?
Do: Hampir semua lagu yang kami buat berdasarkan pengalaman pribadi ke arah spiritual,
tapi kami masih belum bisa menyebutkan genre yang tepat untuk Eyeliner. Kami
membiarkan pendengar untuk menyebut musik kami seperti apa dan lebih concern untuk
membuat musik dibandingkan berdebat soal pelabelan genre yang kami mainkan.
Levi: Sebenarnya akar musik dari Eyeliner lebih condong ke electronic dan post industrial.
Walaupun gue sendiri juga bingung menyebut musik kami apa, hahahaha. Ya seperti yang Do
bilang tadi, kami lebihconcern untuk membuat musik dibandingkan harus meribetkan diri
dengan pelabelan genre.
Eyeliner dikenal gelap dari segi penulisan lirik dan kerap menuliskan gaya bahasa
sarkasme, insprasi apa yang melintas ketika kalian menulis lirik?
Do: Kalau gue lebih melihat dari pengalaman orang lain lalu diterjemahkan dari sudut
pandang pribadi. Gue melihat dari sudut pandang gue kenapa orang berpikir hubungan antar
manusia itu tidak terlalu penting, dan lebih mementingkan hubungan vertikal atau sebaliknya.
Permasalahan itu yang muncul dan gue terjemahkan dengan beberapa penggunaan gaya
bahasa sarkasme. Seperti di lagu “Sang Utusan”, itu merupakan ungkapan kebencian gue
terhadap orang yang bertopeng dan menganggap dirinya baik dimata Tuhan padahal
sebenarnya secara tidak langsung mereka mengikuti dan menjadikan diri mereka sendiri
sebagai budak dari paham-paham yang mereka lawan, menjadi bagian dari apa yang mereka
lawan.
Ada beberapa orang yang mencap Eyeliner sebagai band atheist karena membaca lirik
yang kalian tulis di lagu “Sang Utusan”, bagaiman tanggapan kalian?
Do: Bebas…hahahahaha..
Levi: Berarti mereka tidak membaca liriknya secara keseluruhan
Do: Kalau mereka baca semua lirik Eyeliner kayaknya mereka bakal jadi atheist beneran,
hahahaha. Gue tidak menyalahkan mereka, karena itu kembali lagi persepsi dari masing-
masing individu yang mendengarkan dan membaca lirik kami. Jika mereka masih
menganggap kami atheist berarti ada yang salah dengan mereka, dan masih tugas kami untuk
meluruskan apa yang telah kami sampaikan melalui lirik. Yang pasti bagi gue lirik
merupakan bentuk kesedihan kami terhadap kehidupan sosial yang ada sekarang.
Gilang Nugraha | [email protected]
9
Pengaruh Placebo sangat besar terhadap kalian, sejauh mana pengaruh tersebut di
Eyeliner?
Do: Placebo itu cukup menjadi momok bagi kami, tampilan Brian Molko yang dingin dan
cantik pada saat on stage menginspirasi gue untuk mencoba menampilkan kesan androgyny
ketika gue perform. Walaupun gue suka Apoptygma Berzerk dan Levi suka Rammstein, tapi
karena Placebo lah kami dipersatukan. Outfit dari Placebo yang niat ketika di panggung juga
menjadi inspirasi kami untuk menampilan uniqueness tersendiri dengan dress code hitam-
hitam. Gue lebih suka pada saat on stage itu niat, baik dari segi outfit maupun musik, fashion
itu penting.
Jika kalian disuruh memilih dan mengkurasikan lima band yang cocok untuk tampil di
Dahsyat, kalian akan memilih siapa saja?
Levi: Ricky pernah kan ya (Turbo Blip, Red.)
Do: Damn! Gue iri sama Turbo Blip, hahahahaa. Gue bakal milih Koil, terus…
Levi: The Kuda!
Do: Nah iya The Kuda, terus siapa lagi ya? Bibir Merah Berdarah aja deh, haha..haha..
(Semua serentak tertawa)
Do: Yang pasti gue pengen kalau Dahsyat bisa menampilkan satu hari khusus dengan segmen
yang mengangkat musisi-musisi arus pinggir, jadi masyarakat luas dapat lebih aware dengan
keberadaan kami-kami ini. Dan hal itu dapat merubah pola pikir kita semua tidak
memandang sinis terhadap industri, jika kita diberikan ruang sebenarnya pola pikir tersebut
dapat direduksi.
Jika kalian memilki kesempatan untuk memasuki industri, apakah kalian akan
menerimanya?
Levi: Selama diberi kesempatan dan ruang berkreasi serta tidak dibatasi untuk berekspresi,
kenapa nggak? Toh band-band yang kita suka pun semuanya dari industri.
Do: Dulu gue suka bawain The Smiths, The Cure, Morrissey, waktu gue beli kasetnya itu
semua labelnya berasal dari industri besar. Kita mencintai itu, dan gue yakin semua musisi
punya mimpi ke arah sana, yang perlu dijadikan perhatian adalah ruang ekspresi untuk
musisinya itu sendiri, selama tidak dibatasi kami terima.
Gilang Nugraha | [email protected]
10
Pendapat kalian tentang skena musik Bogor saat ini?
Do: Masa stagnansinya sudah hilang dan kini banyak sekali musik-musk yang sangat
ekspresif. Gue sangat menghargai semua jenis musik yang disukai Bogor saat ini maupun
nanti.
Levi: Dan lakukan itu dari hati.
Pendapat kalian soal Walikota Bogor yang menikah lagi?
Levi: Hahahahaha..Hak dia itu mah ah..
Do: Gue pribadi tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut, karena itu hak dia dan tidak
bisa disangkutpautkan dengan profesionalitas dia menjadi Walikota. Kalau itu terlihat
mengganggu kinerjanya baru kita kritisi, dan semestinya yang kita kritisi adalah hasil
kinernya dia bukan hasil dia nikah berapa kali, gue pikir itu lebih objektif.
Dari beberapa pertanyaan diatas bisa disimpulkan kalian concern terhadap isu sosial,
apakah memang Eyeliner diproyeksikan ke arah itu?
Levi: Memang diproyeksikan ke arah sana, apa lagi mengingat latar belakang kami semua
yang sempat aktif di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Do: Walaupun keaktifan di LSM tidak lantas bisa dijadikan patokan untuk concern terhadap
isu sosial dan gue juga lihat banyak dari musisi di bogor yang memiliki kepedulian sosial dan
politik yang tinggi, mereka sangat peka dan itu yang membuat gue mencintai keberadaan
musisi-musisi Bogor.
Penampilan Do yang kerap kali terlihat asyik sendiri ketika di panggung apakah
karena pengaruh substansi?
Do: Nggak, gue gak menggunakan substansi apapun. Ketika gue di panggung, gue
mendapatkan diri sangat ekspresif dan tidak mempedulikan lingkungan sekitar.
Levi: Kesurupan lagu
Do: Hahahahahaha…
Harapan kalian setelah Eyeliner ditinggal oleh Age dan Kocha?
Harapan kami, mereka dapat mengekspersikan diri mereka lebih dari ini dan tetap
mendukung Eyeliner.
Ada pesan buat Kawan Kehujanans?
Gilang Nugraha | [email protected]
11
Do: Gue berpesan jika bermain musik, mainkanlah dari hati.
Levi: Rajin sembahyang, jadi anak yang soleh, berguna bagi nusa dan bangsa.
Do: Biar gak dianggap atheist ya?
Levi: Hahahahahaha…intinya kita mesti belajar menahan amarah dan lebih mengutamakan
akal sehat dalam hal apapun.
*) Wawancara ini dimuat di situs hujanradio.
Go On: Proses Pemecahan yang Terus Berjalan Oleh: Gilang Nugraha
Heuristik atau seni dan ilmu pengetahuan dari penemuan merupakan sebuah kata yang
berasal dari Bahasa Yunani. Memberikan petunjuk kepada perhatian sampai menemukan
sebuah pencapaian atau konklusi dari masalah adalah inti dari heuristik. Sebuah pendefinisian
problema sebagai proses pencarian ruang keadaan. Pengkaitan heuristik dan keadaan sangat
cocok dianalogikan dalam proses yang mendasari Cause untuk tetap melangkah dari fase
statis. Sebuah fase yang membuat mereka berpikir untuk mencari sebuah representasi
keadaan yang berkaitan dengan proses pemecahan problema. Heuristik memandu proses
pencarian di sepanjang jalur yang memiliki kemungkinan sukses paling besar, dan
mengesampingkan usaha yang bodoh dan memboroskan waktu.
Langkah yang juga diterapkan oleh Randy Asra Dahnial dan kawan-kawan untuk
melangkah ke fase berikutnya dalam perjalanan hidup Cause sebagai band. “Dalam fase statis
tersebut kesempatan untuk memikirkan semuanya tentang band ini sangat besar, pada
akhirnya kemantapan hati untuk tetap berjalan merupakan konklusi dari proses pencarian
tersebut”. Proses pencarian yang termakhtub jelas dalam single terbaru mereka yang diberi
tajuk “Go On”.
“Go On merupakan pesan pribadi saya sebagai song-writer akan sebuah kepercayaan
terhadap personil lainnya dalam bermusik,” jelas Randy. Awalnya single “Go On”
merupakan salah satu materi yang dipersiapkan untuk album kedua, namun rencana tersebut
berubah setelah mereka mengikutsertakan single tersebut dalam ajang PlanetRox Festival,
sebuah kompetisi musik dunia yang memiliki misi menemukan band-band baru terbaik dan
mengekspos mereka kepada khalayak internasional yang lebih luas. Wakil dari tiap negara
yang ikut serta memiliki kesempatan untuk tampil dalam Envolet Makadam Festival di Kota
Quebec, Kanada. “Go On” berhasil menghantarkan mereka ke dalam 10 besar semifinalis
Gilang Nugraha | [email protected]
12
yang sampai berita ini ditulis sedang berlangsung tahap voting.
“Go On” bercerita tentang sebuah keadaan dalam hidup yang memang tidak mudah,
ketidak mudahan yang pada akhirnya akan membuat kita semua menerima keadaan itu
dengan mudah. Permasalahan hidup harus selalu kita lihat dalam sudut pandang berbeda
selama kita masih memiliki orang-orang yang menjadi inspirasi kita untuk terus maju, pesan
yang menjadi benang merah keterikatan di single ini.
Single yang proses produksinya dikerjakan pada awal 2012 lalu ini, pada awalnya
dibuat minimlis tanpa tabuhan drum dan menitikberatkan pada usaha eksperimentasi yang
mendekati esensi folky. Namun konsep tersebut mengalami perombakan setelah menyadari
tema bersemangat yang mereka angkat juga harus menyiratkan semangat dari tiap personil
dalam memainkan alat musiknya masing-masing. “Sayang rasanya kalau semangat Delly
dalam memukul snare drum tidak disalurkan dalam lagu ini”, tegas Randy.
Jika proses pencarian ruang keadaan merupakan alat untuk memformalkan proses
pemecahan problema, maka seperti halnya heuristik, semangat tiap personil menyuntikkan
formalisme ke dalam “Go On” merupakan sebuah tahap untuk bekerjasama dengan
kecerdasan demi efisiensi proses pencarian tanpa mengorbankan kelengkapan. Hasilnya?
Sound megah nan optimistik dengan riff gitar sederhana berulang yang memberikan warna.
Suasana megah tersebut juga diperkuat oleh layer ethereal dari keyboard dan backing vocal
yang melengkapi dan menjadi aksen penguat bersama dengan tabuhan drum ritmis tak
berlebih. Aura positif yang ditonjolkan jelas sangat berbeda dengan lagu-lagu Cause
terdahulu yang lebih bernuansa muram.
Kespontanan eksperimentasi yang dilandasi oleh pertukaran energi dan semangat
untuk memecah keadaan pada akhirnya memegang peranan penting dalam proses perjalanan
musikal dari Cause. Pencerahan yang tidak hanya ingin mereka sampaikan kepada pendengar
musik, tetapi juga untuk disampaikan ke dalam tiap-tiap relung pikiran para personilnya.
Hasil yang mereka dapatkan setelah mengamati ruang keadaan untuk mencoba menemukan
suatu jalan keluar dari keadaan saat ini menuju keadaan yang dituju. Keadaan yang lebih baik
dalam fase pendewasaan musikal dan penyadaran diri. Seperti apa yang pernah ditulis oleh
Manna Sorgawi, kesadaran bahwa setiap keadaan merupakan ujian, akan membuat kita
waspada dan tetap menjadi pemenang.
*) Siaran Pers ini dimuat dibeberapa media musik online
Gilang Nugraha | [email protected]
13
Episode Baru dari Kuas Cielo Oleh: Gilang Nugraha
Tidak mudah merubah atau menghilangkan suatu ciri yang terlanjur melekat dan
dikenal pada sebuah band. Melepaskan diri dari zona aman tersebut merupakan suatu
tantangan untuk lebih berani bereksplorasi tanpa batasan dan pengkotakan yang cenderung
menyempitkan penafsiran musik dalam kukungan suatu genre tertentu. Eksplorasi musik
tanpa batas tidak hanya menjadi jalan keluar, tetapi juga menjadi suatu arena pertaruhan.
Terutama dalam hal pengapresiasian suatu karya musik.
Paragraf diatas mungkin merupakan suatu pembuka yang tepat untuk mendefinisikan
perubahan dan pertaruhan dari kembalinya Kuas Cielo, sebuah band Indie Rock/Emo selepas
vakum selama 7 bulan. Mulanya, band ini merupakan proyek ambisius dari dua inisiatornya:
Jaling (Gravitasi) dan Bonar (Hidden Message). Keduanya lalu menggandeng beberapa
musisi lainnya untuk turut bergabung melengkapi formasi dalam tubuh band ini: Volta
(Turbo Blip), Ancha (Losing Friends), dan Yugo (Eric & LCD).
Keluarnya Jaling pada September 2011 karena ketidaksaman visi merupakan sebuah
titik balik bagi perjalanan Kuas Cielo kini. Bukan perkara mudah untuk mencari vokalis baru
bagi sebuah band yang sudah cenderung identik dengan ciri dan karakter vokalis sebelumnya.
Sebuah tantangan yang diterima Kuas Cielo untuk lepas dari bayang-bayang. Tantangan
tersebut justru membawa angin segar yang semakin mengukuhkan niat untuk perubahan
karakter musik Kuas Cielo. Hal ini dapat didengar pada single baru mereka yang berjudul
“New Episode”. Sebuah single perkenalan bagi pendengar Kuas Cielo untuk memasuki fase
awal dari karakter musik mereka yang baru dan mengenal vokalis baru mereka, Dian.
Perbedaan dimensi vokal memang jelas terasa, Dian tampil dengan karakter vokal low yang
lebih kuat . Sebuah keunikan yang menjadikannya vokalis pengganti Jaling.
Gilang Nugraha | [email protected]
14
“New Episode” dikerjakan pada akhir akhir Desember lalu di Amplop Records
bersamaan dengan pengerjaan EP mereka yang mengalami perombakan total dan rencananya
akan dirilis tahun ini. Materi EP Kuas Cielo akan menunjukan suatu sisi progresifitas baik
dari segi aransemen, sound, maupun departemen lirik yang akan bermain dengan tema
kontemplatif dan akan sangat berbeda dengan lagu-lagu mereka terdahulu. “New Episode”
ditulis oleh Ricky Volta dan didedikasikan untuk mereka yang dapat melalui berbagai cobaan
dan rintangan dalam hidup tanpa berkeluh kesah seraya memusuhinya. Pertaruhan akan selalu
mengawal langkah kita setiap kali mengawali sebuah episode baru dalam hidup, yang
membedakan hanya usaha kita untuk merubahnya menjadi sebuah langkah yang tepat dan
lebih baik dari sebelumnya. In the end, what doesn‟t kill you makes you stronger.
*) Siaran Pers ini dimuat dibeberapa media musik online
Gilang Nugraha | [email protected]
15
Menyelami Everything Is a Remix Oleh: Gilang Nugraha
Everything is a Remix merupakan empat seri film pendek yang dirilis via jaringan
internet oleh Kirby Ferguson, sang sutradara sekaligus produser film tersebut. Memakan
waktu hampir 2 tahun bagi Kirby untuk menyelesaikan empat seri filmnya ini, seri pertama
“The Song Remains The Same” diunggah olehnya sekitar 2 tahun lalu, dan seri terakhir dari
film ini “System Failure” diunggah bulan Februari 2012 lalu. Tetapi, rentang waktu rilis dari
seri pertama yang begitu jauh tampaknya tidak terlalu mengkaburkan esensi dari isu utama
yang diangkat oleh Kirby; “Remix”, rentang waktu tersebut justru seakan memang menjadi
sebuah rencana yang terorganisir rapih untuk dapat menangkap kondisi lebih jauh tentang isu
yang diangkatnya ditengah-tengah masyarakat, ketika masyarakat membahas tentang ACTA,
ketika Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama akhirnya setuju untuk menandatangani
ACTA.
“Everything is a Remix” merupakan empat seri film pendek yang membahas tentang
bagaimana sebuah aktifitas 'remix' lazim dilakukan di semua media yang kita baca,
dengarkan, atau tonton. Pada seri pertama “Everything is a Remix: The Song Remains The
Same” Kirby menjelaskan istilah Remix sebagai sebuah aktifitas menggabungkan atau
mengedit sebuah materi yang telah ada untuk menghasilkan sesuatu yang baru, lalu ia
menceritakan bagaimana budaya Remix berkembang pertama kali melalui musik Hip-Hop.
The Sugarhill Gang tercatat sebagai salah satu pelopor dari penggunaan term Remix didunia
musik saat mereka menggunakan bassline dari sebuah lagu milik grup soul/R&B klasik asal
Amerika, Chic, yang berjudul “Good Times”. The Sugrahill Gang menggunakan teknik
interpolasi atau penyisipan sampling pada lagu hits mereka yang berjudul “Rappers Delight”,
Gilang Nugraha | [email protected]
16
single Hip-Hop pertama yang masuk kedalam jajaran Top 40. Aktifitas ini menjadi penanda
dimulainya budaya Remix hingga terus berkembang dari masa ke masa, bahkan hingga diera
digital saat ini ketika kita sudah tidak asing lagi melihat atau mendengar sebuah karya remix
melalui kanal-kanal di youtube, radio, TV , lapak-lapak bajakan pinggir jalan, hingga
digedung bioskop.
Secara langsung namun terperinci Kirby menjelaskan mengapa suatu karya atau buah
pemikiran yang telah ada tidaklah benar-benar original. Ia menggambarkan bagaimana segala
sesuatunya mulai dari Led Zeppelin sampai film blockbuster Hollywood, dari lingkup seni
sampai kemajuan teknologi, serta berbagai penemuan dalam ilmu pengetahuan sebagai karya
dan buah pemikiran yang menggunakan atau berlandaskan pada ratusan bahkan ribuan kreasi
orang lain.
Secara kuat kita diajak menyelami pemikiran-pemikiran Kirby melalui film ini,
bagaimana ia melihat sebuah objek sebagai penyempurnaan atau bahkan sebagai sebuah rip-
off dari objek lainnya, menelisik tujuan dari regulasi hak cipta dan hak paten yang menurut
Kirby merupakan upaya perpanjangan tangan yang memungkinkan sebuah akses ekslusif
bagi mereka yang dapat membayar dengan alasan sebagai bentuk usaha mengembalikan
modal pengembangan karya atau ide tersebut melalui lobi-lobi tingkat atas yang ia contohkan
melalui kasus Disney yang menggunakan konten yang berasal dari public domain seperti
cerita rakyat tetapi memiliki kekuatan hak cipta dan paten!
Poin utama yang dapat kita tangkap dari film ini secara mudah adalah bahwa tidak
ada lagi yang hal yang original di dunia serba modern ini serta penjabaran sederhana
bagaimana hal tersebut dapat terjadi. Kirby menjelaskannya dengan narasi “To create
something as your own, you almost always have to take another person's or thing's idea, or an
exisisting material, even if it's something from nature like a plant or photosynthesis”, film ini
akan memperluas persepsi kita dalam memandang segala hal, untuk mempertimbangkan lalu
mengiyakan pernyataan Kirby tersebut. Tidak ada yang benar-benar baru dan inovatif,
bahkan ketika seseorang menciptakan sesuatu, karya tersebut kapan saja dapat dikaitkan
dengan penciptaan orang lain sebagai pengaruh, baik dalam bentuk ide maupun hal yang
berbentuk. Film ini membuka pemikiran penontonnya tentang gagasan ide yang sangat umum
dan cenderung tidak kita sadari, gagasan utama yang hanya terdiri dari 3 rangkai kata, Copy,
Transform, and Combine. Menonton film ini merupakan sebuah keharusan bagi kita yang
telah terjebak dengan derasnya arus informasi digital dan isu semu tentang globalisasi.
Gilang Nugraha | [email protected]
17
Netlabel Dan Usaha Pengarsipan Rilisan Musik Digital Oleh: Gilang Nugraha
Mau Dibawa Kemana (Industri) Musik Kita?
Tidak ada yang pernah tahu kapan tepatnya manusia mulai mengenal musik sebagai
bagian dari budaya dan kesenian. Musik ketika zaman pra sejarah merupakan salah satu
bentuk pemujaan, bagian dari upacara dan persembahan kepada dewa. Namun kini musik
tidak hanya sebagai suatu bentuk pemujaan, musik berkembang sangat luas, mulai dari
sebagai media hiburan yang paling murah, media untuk berkontemplasi, bahkan sebagai
media kampanye politik dan perdamaian. Ketika kita berbicara tentang musik maka tidak bisa
lepas dari budaya yang berkaitan atau budaya turunan yang dihasilkan oleh musik itu sendiri.
Seperti munculnya sub-kultur flower generation pada era 60‟an yang berhubungan erat
dengan woodstock festival, pagelaran musik yang masuk ke dalam list “Rolling Stone's 50
Moments That Changed the History of Rock and Roll” dan sub-kultur Punk pada tahun 1977
yang tetap berpengaruh sampai dengan sekarang. Dua hal tersebut hanya merupakan sedikit
contoh dari banyak pergerakan anak muda yang berbasiskan musik atau terinspirasi dari
musik. Dan ketika kita memasuki era jaringan internet seperti saat ini beserta derasnya arus
informasi yang setiap saat dapat kita akses, tidak hanya memungkinkan kita untuk sekedar
menjadi penikmat musik. Munculnya situs social media di era web 2.0 memungkinkan kita
untuk masuk menjadi bagian dari musik itu sendiri (diluar sebagai pendengar atau penikmat)
seperti menjadi penyanyi, kritikus musik, produser, dll. Siapa pengguna internet yang tak
mengenal situs video sharing Youtube? Dari hanya sebagai situs berbagi file video biasa
Youtube telah menjelma menjadi batu loncatan bagi bintang muda yang kini tengah naik
Gilang Nugraha | [email protected]
18
daun, siapa lagi kalau bukan Justin Bieber. Tanpa Youtube talenta yang dimiliki oleh Bieber
mungkin hanya akan menguap dan tidak tercium oleh Scooter Braun, seorang pencari bakat
yang kemudian memperkenalkannya kepada Usher dan menghantarkan Bieber menjadi
bintang muda yang dipuja oleh semua masyarakat dunia. Mungkin Bieber menaruh Youtube
di list pertama pada daftar ucapan terima kasih di album pertamanya sesudah Tuhan.
Fenomena Youtube tersebut hanya merupakan bagian kecil dari dampak internet pada dunia
musik. Internet telah menjadi suatu hegemoni yang menghantarkan musik memasuki era baru
dalam industri, sebuah era yang berdampak langsung terhadap keberlangsungan hidup
industri musik saat ini, era digital.
Masuknya industri musik ke era digital secara signifikan telah merubah wajah dari
musik itu sendiri. Kita dulu lebih mengenal musik dalam bentuk pringan hitam, kaset, CD,
hingga akhirnya tidak berwujud dalam format digital. Beberapa wacana dan pembahasan
yang selalu ditakuti dalam industri musik adalah kemampuan format digital dalam menggeser
ketertarikan masyarakat yang akhirnya membuat penjualan album fisik di Indonesia kembang
kempis, diperparah lagi oleh pembajakan yang sampai saat ini masih marak kita lihat dalam
bentuk lapak-lapak CD pinggir jalan. Bagi para pelaku industri ini jelas merupakan ancaman,
sebuah ancaman yang tidak dapat dihindari tapi bukan berarti tidak dapat disiasati, salah
satunya cara mensiasatinya yaitu dengan layanan nada sambung pribadi atau Ring Back Tone.
Nada sambung pribadi atau Ring Back Tone telah menjadi sebuah tren tersendiri di industri
musik saat ini, permintaan akan Ring Back Tone yang sangat tinggi menjadi jalan pintas bagi
label – label rekaman untuk menjual produknya dan mendapatkan keuntungan, walaupun
keuntungan dari penjualan Ring Back Tone tidak hanya dibagi kepada pihak label dan musisi
saja, tetapi juga kepada pihak operator selular yang memiliki jaringan serta penyedia jasa
content provider untuk Ring Back Tone itu sendiri.
Kita kembali lagi kepada pembahasan awal, yaitu musik dalam format digital. Kenapa
Format digital lebih disukai oleh masyarakat daripada album fisik yang jelas-jelas memiliki
keuntungan lebih banyak seperti dapat disimpan, dipegang, dan bahkan tidak akan bercecer
seperti file digital ketika kita lupa menyimpannya? Murah dan akses yang sangat mudah, itu
jawabannya. Kenapa murah? Saya beri contoh harga album fisik dari musisi lokal biasanya
dibandrol dengan harga Rp 25.000 – Rp 45.000, sebuah harga yang lumayan merogoh kocek.
Bandingkan dengan format digital, kita hanya tinggal mengeluarkan uang Rp 3.000 – Rp
6.000 per-jam untuk biaya menyewa komputer di warnet, dan selama sejam berdasarkan
pengalaman pribadi saya kita bisa mendapatkan paling sedikit dua buah album berformat
Gilang Nugraha | [email protected]
19
digital yang tinggal kita cari melalui situs pencarian seperti Google, sangat murah dan
pastinya mudah. Itulah kenapa masyarakat umum lebih menyukai untuk mengunduh lagu
atau album daripada membelinya, walaupun banyak juga yang lebih memilih mengunduh
dulu sebagai panduan sebelum membeli album fisiknya.
Hubungan antara internet dan musik saat ini bagai pisau bermata dua, di satu sisi
internet seringkali dikambing hitamkan sebagai sumber dari aktivitas pembajakan, di sisi
lainnya internet juga menguntungkan sebagai media promosi dan distribusi yang lebih luas.
Seharusnya para pelaku industri musik dapat lebih mawas diri menyikapi permasalahan ini,
bukan hanya terus-terusan mencari kambing hitam atas turunnya angka penjualan album
fisik. Kecenderungan pola konsumsi masyarakat yang terus berubah seiring perkembangan
jaman seharusnya menjadi sebuah kesempatan bagi industri musik konvensional yang sudah
mapan untuk menerapkan sebuah strategi dan mekanisme baru. Sebuah mekanisme yang
dapat menyambung kembali nafas hidup label rekaman konvensional. Pemanfaatan teknologi
yang telah berkembang sangat pesat merupakan salah satu jalan menuju perubahan tersebut.
Begitu pula bagi musisi dan pencipta lagu, seharusnya mereka dapat lebih kreatif dan
bereksplorasi dengan musiknya.
Netlabel: Sebuah Produk Free Culture Dan Alternatif Pendistribusian Musik
Musik dalam format digital berhasil memunculkan sebuah budaya baru yang tanpa
disadari kita dalam hal ini sebagai penikmat musik telah aktif menjadi bagian dari budaya
tersebut, budaya berbagi file atau biasa disebut Free File Sharing Culture. Aktivitas berbagi
file dapat dilakukan melalui banyak cara seperti mengkopi file CD untuk kemudian
dipindahkan ke dalam flash disk atau hard disk, sampai dengan salah satu contoh yang saya
sebutkan diatas yaitu melalui jaringan internet. Melalui internet para penikmat musik dapat
memilih beberapa opsi untuk mengunduh lagu, seperti menggunakan aplikasi BitTorrent
dengan teknologi peer-to-peernya, berbagi file melalui attachment email, tautan di blog,
atau dengan mengandalkan situs penyimpanan file digital seperti 4shared, Mediafire,
Rapidshare, Indowebster dan lain sebagainya. Semua aktivitas tersebut tidak lepas dari
perkembangan teknologi komunikasi saat ini yang sangat maju dan memudahkan terjadinya
proses berbagi file. Saya sendiri tidak mengetahui kapan tepatnya budaya berbagi file dimulai
serta siapa yang pertama kali memulainya. Satu hal yang pasti, aktivitas berbagi file saat ini
sangat digandrungi oleh masyarakat luas di seluruh belahan dunia. Ada beberapa hal yang
saya kira masih perlu diperjelas tentang pengertian dari Free File Sharing itu sendiri terutama
dalam konteks berbagi file musik. Istilah “Free File Sharing” bagi kebanyakan orang acap
Gilang Nugraha | [email protected]
20
kali diartikan hanya sebagai aktivitas berbagi suatu file secara gratis, padahal kata “Free”
dalam “Free File Sharing” itu sendiri diartikan sebagai “free” as in “free speech”, not as in
“free beer”. Suatu file bebas tidak selalu dapat diartikan sebagai file gratis, dan suatu file
gratis juga belum tentu dapat diartikan sebagai file bebas. Musik bebas adalah tentang
kebebasan, bukan mengenai harga maupun hanya sekedar produk industri biasa. Itulah
kenapa musik bebas menjadi bagian dari budaya bebas atau “Free Culture”. Gerakan budaya
bebas adalah suatu gerakan yang mengkampanyekan kebebasan untuk mendistribusikan serta
memodifikasi karya-karya kreatif dalam bentuk konten gratis dengan menggunakan media
internet dan bentuk media lainnya.
Free Culture pada awalnya muncul sebagai perlawanan terhadap kebijakan peraturan
industri software yang mengekang kebebasan konsumen untuk mengakses suatu konten atau
fitur tertentu yang terdapat pada produk yang telah dibelinya, hal ini dikarenakan lisensi yang
tercantum pada produk dibuat berbeda- beda sesuai dengan paket yang dibeli oleh konsumen,
dan jika konsumen ingin mengakses konten atau fitur tersebut maka konsumen diharuskan
untuk mengupgrade software yang telah dibeli, tentunya tidak gratis dan harus mengeluarkan
uang kembali. Sebuah perlawanan yang akhirnya memunculkan proyek sistem operasi
bernama GNU (GNU‟s Not Unix) dengan ketentuan pendistribusian menggunakan GPL
(General Public License) yang ditulis oleh Richard Stallman (http://www.gnu.org). GPL atau
Lisensi Publik Umum merupakan sebuah ketentuan pendistribusian untuk meng-copyleft-kan
sebuah program serta mengharuskan pembuat kode software untuk mengeluarkan source
code bersamaan dengan rilisnya software yang ditawarkan, dengan tujuan source code
tersebut dapat dipelajari oleh penulis kode lainnya maupun masyarakat luas.
(http://www.gnu.org/copyleft/gpl.html). Lalu apa hubungannya GNU dengan musik bebas
yang saya bahas? Keduanya merupakan suatu konsep “produk” yang ditawarkan dari sebuah
budaya tandingan bernama Free Culture. Gerakan Free Culture sendiri tidak bisa lepas dari
kontribusi Lawrence Lessig, seorang Profesor dari Stanford Law School yang menulis buku
berjudul sama dengan gerakan yang dikampanyekannya yaitu Free Culture (2004).
Sebagai alternatif, Free Culture merupakan sebuah jawaban dari rumitnya
permasalahan yang kerap terjadi pada pendistribusian musik. Perlahan tapi pasti gerakan ini
mulai mendapatkan bentuknya di industri musik, hal ini dapat dilihat dengan semakin
banyaknya musisi atau band yang menggratiskan karyanya, entah itu dalam rangka
mempromosikan albumya (yang berarti hanya single gratis) atau memang dengan tujuan
menggratiskan semua rilisannya. Keberadaan gerakan Free Culture membawa angin segar
Gilang Nugraha | [email protected]
21
bagi dunia musik, khususnya bagi komunitas musik arus pinggir (Sidestream/Cutting Edge).
Free Culture hanya merupakan garis besar dari aktivitas berbagi file musik secara bebas atau
lebih tepatnya esensi yang terkandung pada budaya tersebut. Diluar itu aktivitas berbagi file
musik gratis juga membutuhkan sebuah media baru yang memungkinkan terjadinya aktivitas
ini. Sebuah sistem alternatif yang tidak hanya dapat mengakomodir kebutuhan penikmat
musik tetapi juga dapat memberikan kompensasi dan rasa aman kepada musisi dan pemilik
hak cipta. Netlabel merupakan jawaban dari kebutuhan akan media tersebut. Sebagai sebuah
media atau startup musik Netlabel merupakan sebuah label rekaman yang mendistribusikan
musik melalui format digital audio (MP3, Ogg Vorbis, FLAC, WAV) melalui jaringan
internet. Hanya itukah definisi dari Netlabel? Tidak, bagi saya pribadi Netlabel memiliki
esensi lebih dari itu. Bagi saya Netlabel merupakan sebuah sistem alternatif yang dapat
menghindari kekakuan dan kerumitan yang biasa terjadi pada label rekaman konvensional.
Netlabel merupakan sebuah budaya tandingan yang berjalan beriring dengan industri musik
konvensional. Karena baik Netlabel maupun label rekaman konvensional memiliki perannya
masing – masing di dunia musik, jika label rekaman konvensional mencari laba atau profit,
maka Netlabel hanya mencari kepuasan, kepuasan merilis band maupun musisi yang tentunya
sesuai dengan selera, kepuasan memperkenalkan musisi atau band yang belum terlalu dikenal
kepada masyarakat luas, kepuasan menjadi bagian dari sebuah counter culture, dan masih
beragam jenis kepuasan lainnya yang sulit dicerna oleh pola pikir orang Indonesia
kebanyakan.
Bagi penikmat musik kehadiran Netlabel jelas memberikan keuntungan, para
penikmat musik dapat mengunduh gratis album yang diinginkannya tanpa harus memiliki
perasaan bersalah mendapatkan file secara ilegal, karena pastinya semua rilisan yang ada di
Netlabel bersifat legal. Lantas apa kompensasi yang diterima oleh musisi dan pencipta lagu
dari merilis karyanya melalui jalur Netlabel? Distribusi serta promosi yang lebih luas
merupakan kompensasi yang pasti diterima oleh musisi atau pencipta lagu. Selain itu
kebebasan dalam proses kreatif juga merupakan salah satu keuntungan yang secara tidak
langsung dapat dirasakan oleh musisi dan pencipta lagu. Netlabel sama sekali tidak
mengintervensi atau mengganggu gugat proses kreatif dari suatu produksi materi lagu.
Netlabel lebih berkonsentrasi kepada pendistribusian dan pempublikasian dari sebuah rilisan.
Mayoritas Netlabel yang aktif menggunakan situs Internet Archive (http://archive.org)
sebagai tempat untuk mengunggah dan menaruh rilisan, Internet Archive merupakan situs
penyimpanan file yang berkonsepkan sebuah perpustakaan digital dan populer digunakan
Gilang Nugraha | [email protected]
22
oleh Netlabel karena pengaturan file unggahan yang lebih terorganisir serta laman tersendiri
yang disediakan khusus untuk Netlabel, selain itu kapasitas penyimpanan yang tidak berbatas
juga merupakan daya tarik yang dimiliki oleh Internet Archive. Internet Archive juga
terintegrasi langsung dengan jenis lisensi bebas Creative Commons (CC), sebuah lisensi yang
banyak digunakan oleh Netlabel dikarenakan opsi lisensinya sesuai dengan konsep musik
bebas. Model lisensi Creative Commons pada awalnya memiliki tingkat adopsi sangat tinggi
di komunitas musisi elektronik, khususnya yang bergerak melalui jaringan internet. Björn
Hartmann seorang asisten Profesor dari UC Berkeley di Departemen ECS mengungkapkan
dalam essaynya tentang empat alasan mengapa musisi dapat jalan beriring dan menjadi
bagian dari Creative Commons itu sendiri. Keempat alasan itu antara lain, keunggulan
promosi, kebebasan dari tekanan ekonomi, komunitas yang luas, serta perkembangan dan
tantangan di masa depan. Empat alasan tersebut sedikit banyak juga menjadi dasar
ketertarikan Netlabel untuk menggunakan model lisensi Creative Commons dalam tiap
rilisannya.
Netlabel sebagai sebagai startup musik yang mengakomodir kebutuhan penikmat
musik serta musisi arus pinggir memberikan warna tersendiri di insutri musik saat ini.
Netlabel secara langsung berperan meminimalisir permasalahan pembajakan musik yang kian
hari semakin merajalela. Hanya saja pemerintah sendiri seperti menutup mata dengan
kehadiran Netlabel, atau mungkin mereka memang tidak mengetahui eksistensi Netlabel
lokal. Hubungan antara internet dan musik saat ini bagai pisau bermata dua, di satu sisi
internet seringkali dikambing hitamkan sebagai sumber dari aktivitas pembajakan, di sisi
lainnya internet juga menguntungkan sebagai media promosi dan distribusi yang lebih luas.
Seharusnya para pelaku industri musik dapat lebih mawas diri menyikapi permasalahan ini,
bukan hanya terus-terusan mencari kambing hitam atas turunnya angka penjualan album
fisik. Kecenderungan pola konsumsi masyarakat yang terus berubah seiring perkembangan
jaman seharusnya menjadi sebuah kesempatan bagi industri musik konvensional yang sudah
mapan untuk menerapkan sebuah strategi dan mekanisme baru. Sebuah mekanisme yang
dapat menyambung kembali nafas hidup label rekaman konvensional. Pemanfaatan teknologi
yang telah berkembang sangat pesat merupakan salah satu jalan menuju perubahan tersebut.
Begitu pula bagi musisi dan pencipta lagu, seharusnya mereka dapat lebih kreatif dan
bereksplorasi dengan musiknya. Musik gratis dan bebas tidak melulu memiliki stigma negatif
atau jelek secara kualitas. Selain itu, pemahaman musisi dan pencipta lagu atas konsep
Creative Commons serta copyleft juga masih sangat kurang. Setiap musisi yang merilis karya
Gilang Nugraha | [email protected]
23
di Netlabel sudah seharusnya memahami konsep tersebut untuk mengetahui hak – hak
mereka.
Industri musik memerlukan sebuah penyegaran, penyegaran yang tidak hanya
berbentuk produk yang ditawarkan, tetapi juga media yang menaungi musik itu sendiri pun
memerlukan sebuah penyegaran. Kehadiran startup musik seperti Netlabel merupakan salah
satu penyegaran yang menjadi bukti bahwa suatu kegiatan publikasi dan pendistribusian yang
masif dari rilisan musik tidak selalu memerlukan sokongan dana finansial dengan jumlah
angka yang fantatastis. Meminjam istilah Andaru Pramudito dalam skripsinya yang berjudul
“Free Culture Sebagai Alternatif Dalam Gerakan Musik Swadaya”, Netlabel merupakan
langkah awal dari sebuah era yang akan merevolusi pola pikir masyarakat tentang konsep
pendistribusian suatu karya musik. Netlabel dapat membawa perubahan yang tidak hanya
diartikan sebagai sebuah budaya tandingan, tetapi juga akan menjadi lawan potensial dan
sepadan dengan label rekaman konvensional yang sudah terlebih dahulu mapan. Industri
musik memang memerlukan sebuah penyegaran dan pembaharuan, tapi sudah sepatutnya
juga tidak mengorbankan kualitas dari musik itu sendiri, dan yang pasti memberikan ruang
kepada berbagai jenis musik lainnya yang selama ini masih dianaktirikan. Suatu ceruk
potensial yang selama ini masih luput dan belum (atau tidak) terangkat oleh label rekaman
konvensional.
Netlabel: Kegiatan Pengarsipan Dengan Peran Anak Muda Di Dalamnya
Masih hangat di ingatan saya ketika bersama kawan-kawan dari Kamar Hujan
membuat suatu gelaran diskusi tentang Free File Sharing di Bogor, kala itu saya
disandingkan menjadi pembicara bersama Fakhri Zakaria, seorang kawan lama yang kini
aktif menjadi penulis di sebuah situs yang membahas musik dan humaniora. Saya dibuat
terperangah ketika mendengarkan materi yang disampaikan olehnya. Ia membahas tentang
betapa pentingnya kegiatan pengarsipan musik, rekam jejak yang kini seakan terabaikan. Ia
mengambil contoh Lokananta sebagai sebuah label rekaman konvensional milik negara dan
pertama di Indonesia yang pada masa jayanya memiliki tugas memproduksi serta
menduplikasi karya musik dalam medium piringan hitam namun kini kondisinya semakin
mengenaskan. Puluhan ribu piringan hitam yang sensitif dibiarkan teronggok di sebuah
ruangan berventilasi minim, dan hanya menggunakan bubuk kopi serta kapur barus untuk
mengusir bau dan serangga iseng yang bukan tidak mungkin menggerogoti keping-keping
piringan hitam tersebut. Situasi yang sangat ironis, mengingat didalam artefak-artefak
tersebut terdapat sebuah nilai sejarah yang menjadi simbol perjalanan musik dan industri
Gilang Nugraha | [email protected]
24
rekaman tanah air.
Kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya kegiatan pengarsipan, khususnya di
bidang seni budaya memang bisa dibilang masih sangat minim, walaupun masih ada
beberapa gelintir orang yang setia merunut sejarah dan berusaha mengumpulkan artefak-
artefak musik lokal dalam bentuk piringan hitam dan kaset untuk koleksi pribadi. Namun
hingga saat ini masih belum ada sebuah lembaga resmi yang benar-benar menaungi,
mengurus, mendata, serta mencatat seluruh karya musik Indonesia yang hilang ditelan zaman.
Pada tahun 2005 lalu memang santer terdengar beberapa jurnalis dan kritikus musik senior
berusaha mengagas terbentuknya lembaga yang menangani kegiatan pengarsipan dan
pendataan, namun hingga kini masih belum terdengar kelanjutan dari gagasan tersebut.
Tantowi Yahya seorang politis yang juga musisi pada tahun 2007 sempat ingin mewujudkan
ide yang masih kuat kaitannya dengan kegiatan pengarsipan, yaitu ide pembangunan sebuah
museum musik Indonesia, sampai akhirnya ide tersebut tidak bergulir dikarenakan
permasalahan klasik di negeri ini, dana. Beberapa waktu lalu pun saya masih membaca
beberapa lontaran gagasan tentang kegiatan pengarsipan melalui akun twitter Denny Sakrie,
namun entah bagaimana kelanjutannya. Jika kita kaji lebih jauh, selain permasalahan dana,
suatu kegiatan pengarsipan rilisan musik juga tidak akan lancar berjalan tanpa adanya
dukungan dan izin dari pihak label rekaman yang menaungi dan dalam hal ini memiliki hak
atas segala kegiatan yang dilakukan dengan suatu rilisan musik, serta dukungan pemerintah
melalui peran serta lembaga terkait seperti ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia).
Walaupun kegiatan pengarsipan yang kita lakukan murni tidak bertujuan komersial, namun
regulasi yang ada kerap kali menjadi penentu langkah selanjutnya, apakah akan berjalan atau
berhenti.
Lalu sampai sejauh manakah peran anak muda Indonesia dalam kegiatan pengarsipan
musik? Mungkin saat ini hanya sedikit anak muda Indonesia yang memiliki kepedulian akan
hal ini, tapi jumlah tersebut akan terus berkembang seiring terbuka dan derasnya arus
informasi dan berkembangnya teknologi. Apa sebenarnya kaitan derasnya aliran informasi
serta perkembangan teknologi dengan kegiatan pengarsipan? Kedua hal tersebut telah
merubah kecenderungan pola konsumsi masyarakat dan kecenderungan pola pikir
masyarakat. Seperti saya singgung di halaman sebelumnya, industri musik kini telah
memasuki era digital yang secara signifikan telah merubah wajah dari musik itu sendiri.
Tentunya kegiatan pengarsipan musik kini tidak hanya terkukung oleh arsip rekaman
berbentuk rilisan fisik saja, tetapi juga memiliki opsi baru melalui kegiatan pengarsipan
Gilang Nugraha | [email protected]
25
dalam bentuk file digital. Sebuah alternatif yang jarang ditengok karena bentuknya yang
intangible, tidak berwujud. Sebenarnya pokok permasalahan dari kegiatan pengarsipan
bukanlah sebuah medium atau medianya, tetapi lebih kepada sulitnya mendapatkan suatu
karya “terlanjur langka” yang ingin kita arsipkan, dan tidak akan pernah ada habisnya jika
kita sebagai generasi muda terus berdebat tentang rilisan fisik versus rilisan digital.
Generasi muda saat ini bisa berkaca kepada apa yang terjadi dari kurangnya perhatian
di masa lalu tentang kegiatan pengarsipan sebuah karya musik. Kita bisa mulai melakukan
kegiatan pengarsipan dimulai dari sekarang. Tidak pernah ada kata terlambat dan kata selesai
dalam kegiatan pengarsipan rilisan musik, musik akan terus ada dan rilisan akan terus
bermunculan walaupun kita telah tiada, saya pribadi menyadari hal tersebut. Karena memang
salah satu tujuan saya aktif dan mengelola Netlabel Hujan! Rekords diluar memberikan
alternatif penyelesaian pendistribusan dan pempublikasian salah satunya adalah sebagai
kegiatan pendokumentasian atau pengarsipan dari suatu gerakan musik arus pinggir yang ada
disekitar saya. Dengan menggunakan Internet Archive yang berkonsepkan sebuah
perpustakaan digital sebagai media penyimpanan file, semua rilisan yang pernah dirilis oleh
Hujan! Rekords dapat lebih lebih terorganisir dengan laman tersendiri serta pemisahan
khusus yang mengkelompokkan file sesuai dengan formatnya, selain itu saya juga selalu
menggunakan pengkategorian untuk alamat URL rilisan, dengan tujuan agar mudah diingat.
Ini merupakan sebuah bukti tidak selamanya pengarsipan digital tidak dapat dilacak dan
menghilang. Walaupun kemungkinan buruk seperti hilangnya data akibat kesalahan pada
server sewaktu-waktu dapat terjadi, tapi hal tersebut masih dapat ditanggulangi, karena toh
data tersebut masih saya milik dan masih bisa diunggah ulang. Saya memiliki kebiasaan
seelalu mengkopi suatu rilisan sebelum dirlis ke beberapa media penyimpanan dengan tujuan
meminimalisir kemungkinan hilangnya file dari laptop saya.
Mengunggah suatu rilisan musik ke sebuah situs penyimpanan gratis juga memiliki
nilai tambah lainnya, karena seperti yang kita tahu kebanyakan rilisan digital yang ada
mengadopsi sebuah sistem berbagi pakai dengan meniadakan larangan dalam pendistribusian
salinan atau hasil modifikasi serta pemakaian karya tersebut dengan tetap mengharuskan
kebebasan yang sama diterapkan pada tiap-tiap versinya, atau biasa kita sebut copyleft.
Bahkan banyak juga yang menggunakan jenis lisensi bebas tertentu seperti Creative
Commons. Ini tentu saja menjadikan suatu keuntungan tersendiri bagi generasi setelah kita
yang kebingungan ingin mengakses suatu rilisan dan mempergunakannya untuk keperluan
tertentu (tentunya diluar keperluan komersial). Mungkin akan lain ceritanya jika rilisan
Gilang Nugraha | [email protected]
26
tersebut berbentuk fisik, karena tidak akan semudah itu mengakses suatu arsip musik untuk
dipergunakan bagi suatu keperluan. Saya ambil contoh ketika seorang teman ingin membuat
suatu film pendek yang hanya dibuat untuk tujuan screening di kampus, ia bermaksud untuk
menggunakan lagu dari seorang musisi yang bernaung di sebuah label rekaman mapan
sebagai musik latar di beberapa adegan. Ia berhasil mendapatkan izin dari sang pencipta lagu
tersebut, namun pada akhirnya kembali tersendat saat berhadapan dan meminta izin kepada
pihak label dari si musisi tersebut. Surat yang ia tulis tak pernah dibalas seperti menghilang
dan tak pernah tersampaikan, dan akhirnya ia tidak jadi menggunakan lagu tersebut sebagai
musik latar di filmnya. Hal yang tidak akan terjadi seandainya rilisan tersebut “dibebaskan”
atau di-copyleft-kan dengan jenis lisensi bebas. Permasalahan serupa juga terjadi ketika
Danger Mouse seorang DJ dan Produser asal Amerika Serikat yang lebih kita kenal melalui
grup Gnarls Barkley dan campur tangannya memproduseri album kedua Gorillaz bermasalah
dengan regulasi hak cipta karena menggunakan sample vokal Jay-Z di “The Black Album”
yang kemudian ia tabrakkan dengan sample dari “The White Album” milik The Beatles dan
meghasilkan sebuah album yang disebut “The Grey Album”. EMI Music sebagai pihak label
yang memiliki hak atas “The White Album” dari The Beatles kemudian berupaya untuk
menghentikan peredaran “The Grey Album”. Walaupun tujuan awal dari Danger Mouse
sendiri tidak lain hanya sebagai bentuk penghargaan atau tribute dan tidak memliki maksud
untuk melanggarh hukum hak cipta, karena memang album tersebut didistribusikan secara
gratis tanpa tujuan komersial. Regulasi hak cipta yang ada pada sebuah asrip musik memang
kerap kali merepotkan, walaupun tujuan kita hanya mengapresiasi suatu karya musisi yang
mempengaruhi kita.
Kembali lagi ke bahasan pengarsipan digital, saya memiliki keyakinan teman-teman
penggiat netlabel lainnya di Indonesia pun memiliki tujuan pengarsipan dalam setiap kegiatan
yang mereka lakukan dengan netlabel yang dikelolanya. Ini merupakan sebuah bukti bahwa
Generasi Muda saat ini tidak tinggal diam dan hanya bisa sekedar menikmati atau bermain
musik saja, tetapi juga memiliki kepedulian akan pentingnya suatu kegiatan pengarsipan
musik, tentunya dengan cara dan media yang berbeda-beda. Belakangan muncul beberapa
Netlabel baru yang ikut meramaikan skena musik lokal dan melakukan pendekatan
pengarsipan sesuai dengan cara dan ketertarikan mereka masing-masing akan suatu jenis
musik. Hal yang sangat menggembirakan, karena berarti kesadaran generasi muda akan
kegitan ini sudah mulai terbangun. Tapi bukan berarti setiap anak muda di Indonesia
diharuskan membuat Netlabel, kegiatan pengarsipan musik bisa dilakukan dengan berbagai
Gilang Nugraha | [email protected]
27
cara sesuai dengan minat dan kemampuan masing-masing.
Pergerakan Netlabel Di Indonesia
Keberadaan Netlabel di Indonesia bukanlah suatu fenomena yang baru terjadi.
Konsep Netlabel diawali oleh kemunculan oleh Tsefula/Tsefulha Records yang hampir tidak
terlacak sebagai self released label dari Shorthand Phonetics sebuah band Indie Rock/Wizard
Rock lokal pada tahun 2004, namun keberadaan Netlabel mulai dikenal secara luas pada
tahun 2007 dengan lahirnya Yes No Wave Music, sebuah Netlabel asal Yogyakarta dengan
katalog berkualitas berisi rilisan dari band dan musisi seperti The Upstairs, Whites Shoes &
The Couples Company, Frau, dll. Pada tahun 2008 – 2010 mulai banyak Netlabel yang
bermunculan, namun tidak sedikit pula Netlabel yang kini menghilang dan non-aktif.
Netlabel yang muncul pada kurun waktu tersebut dan kini non-aktif antara lain; Reload Your
Stereo (Malang), Oneloop (Bandung), Invasi Records (Jakarta), dan Stone Well Sound
Records (Jakarta). Sedangkan Netlabel yang masih aktif antara lain; In My Room Records
(Jakarta), Hujan! Rekords (Bogor), Stone Age Records (Jakarta), dan Mindblasting (Jember).
Masing-masing dari tiap Netlabel biasanya memiliki suatu ketertarikan tersendiri dalam
menentukan jenis musik atau musisi/band yang menjadi ciri khas dalam setiap rilisan yang
mereka keluarkan. Seperti In My Room Records yang mengkhususkan labelnya hanya untuk
Bedroom Musician dan Stone Age Records yang memiliki misi awal mendokumentasikan
rilisan skena musik punk/hardcore/metal lokal. Popularitas Netlabel di Indonesia tidak bisa
lepas dari dukungan media massa lokal yang lambat laun mulai memberikan perhatian
kepada Netlabel sebagai suatu alternatif yang berjalan beriring bersama industri musik yang
telah ada. Wendi Putranto, Executive Editor Rolling Stone Online sempat menulis tentang
keberadaan Netlabel di buku karyanya yang berjudul “Rolling Stone Music Biz”.
Walaupun media kerap kali membahas tentang keberadaan Netlabel, namun hingga
saat ini pemahaman masyarakat tentang definisi dan manfaat dari Netlabel masih sangat
kurang. Entah sudah berapa kali saya dihadapkan pada pertanyaan yang sama oleh teman
maupun kerabat “Ngapain sih? Buang waktu doang”. Saya hanya bisa tersenyum setiap
mendengar pertanyaan tersebut dan menjawab sekenanya, karena toh percuma jika saya
jelaskan panjang lebar dari mulai tetek bengek lisensi atau tentang Netlabel sebagai bentuk
Free Culture, karena belum tentu mereka dapat memahami atau paling tidak memaklumi apa
yang saya kerjakan. Hal yang dapat saya maklumi, karena masyarakat kebanyakan memiliki
pemahaman yang menyamakan Netlabel dengan blog mp3 gratis biasa, dan ketika
kesalahkaparahan itu hendak diubah maka tidak akan semudah memasukan pemahaman lama
Gilang Nugraha | [email protected]
28
yang telah terbentuk. Saya dan teman-teman pengelola Netlabel lainnya bukan berarti hanya
berdiam diri saja dan menerima pemahaman tersebut. Pada tanggal 1 Januari 2011 lalu kami
merilis seri album kompilasi secara serentak. Aksi kolektif yang kami beri nama “Indonesia
Netlabel Union” tersebut merupakan langkah awal memperkenalkan eksistensi Netlabel
Indonesia kepada publik secara lebih luas dengan lima netlabel aktif yang turut serta dalam
kompilasi ini. Kelima Netlabel tersebut diantaranya Hujan! Rekords, Inmyroom Records,
Mindblasting, StoneAge Records dan Yes No Wave Music. Materi lagu dalam kompilasi
diambil dari single atau album yang dirilis secara gratis dan legal melalui dari katalog rilisan
Netlabel-netlabel lokal (baik yang sudah aktif maupun pasif) atau Webzine yang juga merilis
album gratis secara legal pada kurun waktu tahun 2000 hingga 2010, proyek ini pertama kali
digagas oleh Wok The Rock dari Yes No Wave Music. Sambutan masyarakat sendiri ketika
seri kompilasi ini dirilis sangat baik begitu pula dengan sambutan media yang banyak
membantu mempromosikan aksi kolektif ini.
Saya mendirikan Hujan! Rekords, sebuah Netlabel yang berbasis di Bogor pada awal
tahun 2009 dengan tujuan untuk mengakomodir talenta-talenta yang memiliki kendala
finansial untuk merilis karyanya dalam bentuk fisik dan memberikan alternatif penyelesaian
melalui jalur net-release secara gratis melalui format digital audio dibawah lisensi Creative
Commons. Konsep dari Hujan! Rekords sendiri ialah mencari dan mendistribusikan band-
band yang berpotensi dan memiliki karya yang berkualitas. Dalam menjalankan label ini saya
dan teman-teman lainnya tidak mengincar keuntungan dari segi materi karena label ini dibuat
pada dasarnya atas kecintaan kami terhadap musik dan misi untuk memperkenalkan hasil
karya band atau musisi yang berpotensi kepada masyarakat luas, hal tersebut jugalah yang
memotivasi kami untuk tetap bertahan walaupun sering kali kami harus mensiasati waktu
dikarenakan kesibukan diluar mengelola label ini. Kami tidak membatasi jenis musik atau
genre yang akan kami rilis, karena kami lebih mementingkan kualitas musik dari sebuah band
atau musisi diluar genre ataupun besar dari nama suatu musisi atau band tersebut.
Saya dan teman-teman lainnya yang bersama- sama mengelola Hujan! Rekords
percaya bahwasanya kecenderungan pola konsumsi musik dewasa ini sudah tak mendukung
pencapaian penjualan produk fisik. Musik yang diciptakan oleh musisi dan pencipta lagu
pada saatnya nanti hanya akan menjadi sebuah portfolio yang mendongkrak popularitas,
penjualan merchandise, dan jumlah orang yang datang untuk menonton pertunjukan dari
musisi tersebut secara live, hal seperti ini jamak ditemui pada skena musik arus pinggir
dimana musisinya sangat menggantungkan pemasukan finansial melalui penjualan
Gilang Nugraha | [email protected]
29
merchandise dan pertunjukan live. Bagi saya pribadi semua suara yang ada di dunia pada
dasarnya adalah gratis. Musik pun begitu. Musik bukan untuk dijual, tetapi untuk didengar
dan dinikmati, dan Netlabel akan tetap ada sebagai bentuk counter culture serta sebagai
bagian dari bentuk usaha pendokumentasian arsip digital pergerakan musik lokal.
*) Artikel ini dimuat di Indonesian Netaudio Zine Yogyakarta
Menlusur Jejak Venue Di Bogor Oleh: Gilang Nugraha
Beberapa waktu lalu seorang kawan dari Surabaya mengabari saya via pesan pendek
tentang rencana untuk menyambangi Bogor sebagai bagian dari daerah tujuan plesirnya kali
ini. Selang beberapa hari kemudian tibalah hari dimana kita janjian untuk kopi darat pertama
kalinya karena memang interaksi saya dengan dia selama ini hanya dilakukan melalui media
internet dan ada beberapa hal yang memang harus kami bicarakan secara langsung terkait
rencana pelaksanaan sebuah event berskala nasional xp. Saya bergegas dari kantor di
bilangan Depok menuju Bogor menumpang KRL Commuter Line. Meeting point kami adalah
Taman Kencana, sebuah Taman Kota yang terletak dipusat Kota Bogor dengan akses yang
gampang menuju berbagai tempat yang biasanya ramai dikunjungi oleh orang-orang yang
plesir ke kota Bogor, sebut saja Jalan Pajajaran, toko kue pie, toko makaroni panggang, dan
lain-lain. Setelah bertemu, kami mengitari Bogor dengan berjalan kaki sembari bertukar
Gilang Nugraha | [email protected]
30
cerita dan informasi. Beberapa kali saya bercerita tentang venue-venue musik di Bogor yang
kini sudah menghilang dan hanya tersisa sedikit. Sekitar pukul 8 malam kami berpisah karena
ia harus segera mengejar kereta menuju Jakarta untuk kembali melanjutkan perjalanan.
Kawan tersebut tak lain adalah Mbak Tinta (Anitha Silvia) yang dijuluki Gembi
(Wastedrockers) sebagai “Musafir Gigs” x)).
Selang satu minggu kemudian ia kembali menghubungi saya via pesan pendek dan
menawari saya untuk menulis di Zine yang ia buat, “Gilang..pengen ngajakin kamu nulis
tentang Bogor..untuk Halimun edisi Jabodetabek, bgmn menurutmu?”, ajakan yang langsung
saya iyakan walaupun sedikit bingung tentang bahasan apa yang akan saya tulis. Setelah
beberapa kali pecakapan via pesan pendek, akhirnya disepakati untuk menulis tentang skena
musik Bogor saat ini. Saya jujur masih sangat bingung karena bahasan tentang skena musik
Bogor saat ini akan sangat panjang jika diceritakan apalagi jika dirunut dari era awal
pergerakannya (walaupun bahasan yang saya tulis saat ini juga tidak kalah panjangnya xp).
Akhirnya saya memutuskan untuk mengambil bahasan seputar jejak venue di Bogor, karena
semenjak obrolan kami di kopdar pembahasan seputar venue musik di Bogor masih saja
menggelitik pikiran saya bahkan hingga saat ini.
Saya menyadari bahwa saya tidak terlalu kompeten untuk merunut kembali jejak
venue musik di Bogor mulai dari era awal pergerakannya, sedangkan untuk menghubungi dan
mencari narasumber akan memakan waktu proses yang lama, oleh karena itu bahasan saya
tentang venue musik di Bogor ini hanya akan mengambil latar mulai dari akhir tahun 2005,
masa dimana saya mulai aktif bermain musik dan menyambangi gigs di Kota Bogor.
Ketika itu saya masih mengenakan seragam Putih-Abu dan sedang rajin-rajinnya
mencari referensi musikal dengan menyambangi gigs di Bogor yang saat itu sedang ramai.
Atas nama pencarian jatidiri dan keresahan a la remaja tanggung (alah ) saya memutuskan
untuk membentuk band bersama dengan teman-teman satu sekolah yang kebetulan punya
kesukaan musik yang sama. Berkat band tersebut jugalah saya jadi mengetahui bagaimana
asyiknya mengeluarkan peluh sembari menyaksikan band kesukaan bermain secara langsung
dan merasakan bagaimana adrenalin kita terpompa ketika berdiri diatas panggung (atau level)
sebagai seorang performer. Pada tahun tersebut jugalah gelaran street gigs masih sering
dibuat. Tempat yang disulap sebagai venue saat itu adalah parkiran sebuah toko roti
legendaris bernama Bogor Permai atau biasa disebut dengan singkatan Boper. Pada masa-
masa awalnya saya lebih mengenal street gigs di Boper identik dengan teman-teman street
punk yang memainkan musik berbenang merah punk seperti punk rock/ska-punk/crust-
Gilang Nugraha | [email protected]
31
punk/hardcore punk. Namun pada perkembangannya musik-musik lain seperti grindcore,
metallic hardcore, pop -punk, post-hardcore, dan post-punk juga mulai mendapatkan tempat
di Boper. Pengorganisiran gigs ketika itupun terbilang masih sangat sederhana dengan etos
D.I.Y yang tetap dipegang teguh. Bayangkan, ketika itu untuk mendapatkan suplai listrik
keperluan sound system tim inisiator mengambilnya melalui tiang listrik terdekat yang diakali
sedemikian rupa oleh teman-teman yang kebetulan belajar teknik elektro, bahasa
sederhananya nyolong listrik! Terkadang juga kita mengambil listrik melalu rumah warga
terdekat dengan tentunya membayar „upeti‟ listrik sesuai dengan kesepakan yang dibuat
dengan pemilik rumah.
Uang tersebut juga diambil dari kolektifan para pengisi acara. Ya, ketika itu kata
„kolektifan‟ masih sesuai dengan arti sebenarnya dan tidak kabur dengan definsi sekarang
yang lebih tepat disebut „registrasi‟ dibanding „kolektifan‟. Untuk alat, para inisiator gigs
biasanya meminjam dari teman-teman yang berbeda, seperti gitar minjam dari si A, bass dari
si B, kabel dari si C, dan seterusnya. Sedangkan peralatan lainnya seperti drum dan sound
meminjam dari studio yang memang biasa dijadikan tempat latihan. Nominal uang kolektif
saat itupun masih sangat murah hanya Rp 30.000. Untuk media promosi para inisiator gigs
sangat pandai menciptakan word of mouth yang masif tentunya dengan jaringan komunitas
yang kuat, untuk media promosi cetak dibuat sebuah pamflet fotokopian yang masternya
dibuat dengan sederhana menggunakan metode cut and paste khas zine. Acara dimulai pukul
11 malam sampai yang biasanya sampai dengan Adzan Subuh berkumandang, pemandangan
orang-orang yang bersiap lari pagi dan teman-teman yang kelelahan tertidur di trotoar dan
alat-alat band yang masih teronggok diparkiran merupakan pemandangan ajaib yang mungkin
tidak akan terulang lagi saat ini, beruntung saya dan band saya pernah menjajal main divenue
tersebut beberapa kali bahkan ketika venue dipindah ke Parkiran Lautan (Toko Roti) yang
letaknya hanya dipisahkan oleh lampu merah dari Boper. Masa kejayaan venue Boper (dan
Lautan) usai ketika terjadi kesalah pahaman dengan warga sekitar yang akhirnya
menyebabkan insiden memakan korban dan sempat menjadi headline di TV nasional, sangat
disayangkan memang mengingat divenue inilah perbedaan hilang dan rasa persaudaraan
terbangun walaupun baru berkenalan 10 menit yang lalu.
Dari venue street gigs kita beralih ke venue yang berbentuk cafe, terletak di area
rooftop sebuah pusat perbelanjaan bernama Plaza Pangrango (kini bangkrut dan bangunannya
terbengkalai) One-Q Pool & Cafe merupakan sebuah tempat yang pada tahun 2006 sangat
ramai dijadikan venue gigs Bogor. Akses yang dekat dan berada dipusatperbelanjaan
Gilang Nugraha | [email protected]
32
merupakan nilai tambah tersendiri bagi venue ini. Tempat yang luas serta panggung
permanen berbentuk level pendek adalah ciri khas dari venue ini, gelaran tur band-band luar
kota maupun luar negeri seperti Momsday dari Jerman sempat mengambil tempat disini,
namun usia dari venue ini sangat pendek. Saya sendiri tidak tahu apa yang menyebabkan
One-Q tutup dan berganti nama menjadi LC Pool & Bar, apakah hanya sekedar pergantian
nama dan manajemen saja atau memang berbeda secara keseluruhan dan kepemilikan. Satu
hal yang pasti, setelah berganti nama pun LC Pool & Bar masih sering dijadikan venue gigs.
Sampai masuk dimasa perizinan untuk penyelenggaraan acara musik susah dibuat dan LC
Pool & Bar mulai dittinggalkan. Menurut informasi, harga sewa venue yang mahal juga
merupakan alasan mulai ditinggalkannya LC Pool & Bar sebagai venue musik. Kini LC Pool
& Bar sudah menghilang, seiring bangkrutnya Pangrango Plaza pada pada tahun 2010 lalu.
Pada tahun yang sama pulalah Spektrum Cafe sebuah Cafe yang dikelola oleh Hotel
Santika menjadi pilihan tempat penyelenggaraan gigs. Letak Spektrum Cafe yang hanya
dipisahkan oleh dua bangunan dengan Pangrango Plaza (tempat dimana LC Pool & Bar)
berada menjadikannya sebagai alternatif selain LC Pool & Bar bahkan beberapa gigs sempat
bentrok tanggal, dimana pada hari yang sama ada dua gig berbeda di Spektrum Cafe dan LC
Pool & Bar. Jika sudah terjadi hal ini biasanya Jalan Pajajaran akan dipenuhi oleh gig-goers
yang mayoritas berpakaian hitam. Sebuah pemandangan yang terkadang saya rindukan jika
kebetulan melewati jalan tersebut pada hari minggu. Spektrum Cafe luasnya memang tidak
seperti LC Pool & Bar dan lebih terasa pengap, panggungnyapun lebih kecil dan lebih tinggi
dari LC Pool & Bar namun entah kenapa saya lebih menyukai venue Spektrum Cafe.
Tempatnya yang kecil justru lebih memungkinkan terjadinya interaksi antara performer
dengan penonton. Spektrum Cafe tidak lagi bisa dijadikan venue setelah insiden pecahnya
kaca jendela oleh ulah penonton yang berseteru. Pihak manajemen tidak lagi mengizinkan
pemakaian Spektrum Cafe sebagai venue musik. Kini Spektrum Cafe telah menghilang
seiring proyek peluasan area Hotel Santika. Sedikit menjauh ke Timur Bogor, masih di area
Jalan Pajajaran terdapat sebuah tempat Billiard yang juga terdapat Cafe didalamnya. Billiard
Explorer atau biasa disebut dengan B‟Ex juga merupakan venue favorit untuk
menyenggarakan gigs. Beberapa gigs monumental di Bogor seperti launching kompilasi
Putih Dalam Abu Vol.1, Raincity Fest Vol.2, dan lain-lain sempat diselenggarakan di tempat
ini. Entah apa yang menyebabkan venue ini tidak lagi bisa digunakan sebagai tempat
penyelenggaraan gigs, namun sepertinya masalah klasik seperti harga sewa yang naik dan
perizinan acara yang semakin sulit merupakan penyebab utamanya.
Gilang Nugraha | [email protected]
33
Seingat saya selepas hilangnya LC Pool & Bar dan Spektrum Cafe sempat
beberapakali ada beberapa inisiator gigs yang menyelenggarakan acaranya disebuah Pujasera
(Pusat Jajanan Serba Ada) yang bernama Cafefet, letaknya persis disebelah Pangrango Plaza,
didepan pintu sampingnya. Cafefet menurut orang-orang kebanyakan merupakan plesetan
dari kata Bahasa Sunda „kapepet‟ yang jika diterjemahkan artinya adalah „kepepet‟
merupakan venue outdoor dengan bentuk U, dipinggir kiri-kanannya terdapat warung-warung
makanan dengan bagian tengah yang diisi tanaman dan area untuk panggung. Biasanya yang
membuat acara disini adalah teman-teman dari Ingram Exo Unity sebuah EO yang memang
aktif membuat event musik arus pinggir di Bogor. Cafefet sempat menghilang beberapa saat
imbas dari tutupnya Pangrango Plaza. Warung-warung makanan didalamnya juga
menghilang dengan bangunan semi permanen yang dirobohkan. Kini Cafefet kembali
digunakan sebagai venue acara musik setelah cukup lama „tertidur‟.
Bogor seperti halnya kota-kota lain di Indonesia yang pergerakan musik lokalnya
sedang berkembang juga memiliki venue legendaris yang menjadi saksi sejarah betapa riuh
dan ramainya sebuah era tertentu. Jika Jakarta sempat memiliki Parc dan BB‟s sebagai klub
yang menjadi „messiah‟ bagi musisi serta band arus pinggir dan saksi sejarah pergerakan
musik disana, Bogor punya ROOM dan Idegila Music Room. Venue yang akan saya bahas
pertama adalah ROOM. Terletak di Jalan Bangbarung Raya bagi masyarakat awam mungkin
ROOM hanyalah terlihat sebagai perpustaakan kecil semi terbuka yang berjajar dengan
warung-warung makanan. Tapi bagi musisi ataupun penggiat skena musik Bogor ROOM
memiliki daya tariknya tersendiri. ROOM bisa dibilang sebagai venue yang telah
menghasilkan skena musiknya sendiri di Bogor. Hanya di ROOM lah penggemar musik
Bogor saat itu bisa melihat aksi-aksi Indie Rock, Post-Rock, Industrial, Post-Punk, Indie Pop,
Shoegaze, sampai dengan Elektronik/8bit Music. Bahkan ada selentingan bahwa jika belum
main di ROOm maka band dari luar Bogor belum sah bermain di Bogor. ROOM dengan
atmosfernya yang berbeda telah menggear acara-acara musik yang bisa dibilang berada di
tingkatan advance dengan penonton yang serius mengamati dan menikmati. Tidak hanya
menyuguhkan sebuah gelaran musik alternatif yang berbeda, di ROOM pulalah lahir sebuah
Record label bernama Berputar yang menggelontorkan kompilasi bernama “Shall We Go
Now” dan sempat rilis dua edisi berisikan band-band yang mayoritas bernuansakan Indie Pop
dan Indie Rock. ROOM bagi musisi-musisi elektronik Bogor juga merupakan sebuah „rumah‟
karena memang ditempat inilah pertamakalinya gigs musik elektronik digelar. Organisasi
kepemudaan yang berada didaerah tersebut serta masyarakat didalamnya sangat kooperatif
Gilang Nugraha | [email protected]
34
dalam membantu dna bertoleransi ketika di ROOM sedang diadakan perhelatan musik. Zeke
& The Popo, Under The Big Bright Yellow Sun, Ok Karaoke, Wiwiek & Friends,
Belladonna, Something About Lola, JW86, merupakan sebagian nama-nama dari luar Bogor
yang sempat mencicipi venue ROOM. Tidak hanya membuat gigs di ROOM, orang-orang
didalamnya juga sempat menginisiasi sebuah pergelaran akbar bagi skena musik Indie
Pop/Indie Rock Bogor bertajuk Episode Pop yang sempat memasang Goodnight Electric dan
United by Haircuts sebagai headliners pada edisi 3. Gelaran Episode Pop kembali ke tempat
peraduannya di ROOM pada tahun 2010 lalu di edisi ke-5. ROOM kini tidak aktif lagi
menyenggarakan gigs, menurut beberapa teman pergantian kepengurusan didalam tubuh
organisasi kepemudaaan didalamnya merupakan salah satu faktor selain kesibukan para
inisiatornya. Kini kita bisa melihat semangat ROOM pada tubuh The Kuda, band Punk Rock
Bogor yang didalamnya memang terdapat orang-orang yang pada masanya merupakan
inisiator yang aktif di ROOM.
Venue legendaris terakhir adalah Ide Gila Music Room . Bayangkan sebuah bangunan
rumah tua dengan arsitektur peninggalan Belanda yang didalamnya terdapat sebuah distro
dan ruangan kosong yang biasa dijadikan venue musik. Sebuah tempat yang secara nuansa
sangat cocok untuk dijadikan venue musik. Bahkan pada masanya hampir setiap minggu ada
gigs yang diselenggarakan di Ide Gila. Tur band lokal dan luar negeri juga beberapa kali
diadakan disini. Semangat dan etos D.I.Y sangat terasa begitu kita memasuki ruangan Ide
Gila Music Room. Tidak terlalu luas tetapi juga tidak terlalu sempit, pas. Ide Gila merupakan
harapan terakhir dari penggiat musik di Bogor setelah menghilangnya venue di sekitaran
Pajajaran dan penawaran harga sewa yang tidak masuk akal dibeberapa venue. Namun apa
lacur, Ide Gila Music Room terpaksa tutup dan disegel oleh pihak berwajib terkait masalah
perizinan pada medio 2008 lalu. Penyegelan Ide Gila juga memunculkan efek domino terkait
venue-venue lainnya. Pihak berwenang seperti Pemkot dan Kepolisian semakin mempersulit
perizinan acara musik yang akhirnya berujung kepada matinya venue-venue musik lainnya,
isu yang menjadi alasan sulitnya perizinan adalah kekerasan dan perkelahian yang memang
kerap terjadi di beberapa gigs, namun isu tersebut kemudian semakin dipolitisir seakan semua
gigs yang diselenggarakan selalu memunculkan perkelahian. Penggiat skena musik Bogor
dibungkam oleh peraturan yang tentu saja sangat merugikan, para musisi dan band
independen di Bogor semakin kesulitan menyalurkan semangat dan hasil kreasinya untuk
ditampilkan. Kejadian ini kemudian memnuclkan sebuah kampanyepenempelan pamflet di
jalan-jalan Kota Bogor oleh penggiat skena musik Bogor sebagai aksi protes terhadap pemkot
Gilang Nugraha | [email protected]
35
dan kepolisian serta para penonton yang tidak dewasa dan datang ke gigs bukan untuk
menikmati musik. Hal ini juga menyebabkan bergeraknya para inisiator gigs yang pada
awalnya hanya membuat gig di daerah Kota menuju Kabupaten.
Saat ini keberadaan venue di Bogor masih belum memadai, walaupun masih ada
venue-venue seperti GOR Pajajaran, Taman Topi, dan Gedung Kemuning Gading yang
berada di Kota Bogor serta Gedung KNPI di Kabupaten Bogor yang menjadi tempat favorit
penyelenggaraan gigs. Keberadaan sebuah venue ideal dengan harga sewa yang masuk akal
masih dirasa belum ada, hal yang juga membuat saya beberapa kali harus menolak atau
mengalihkan tujuan dari band–band luar yang ingin memasukan nama Bogor dalam
rangkaian turnya di Indonesia. Urgensi keberadaan ruang publik yang ideal dan memang
khusus ditujukan untuk mengakomodir kegiatan berkesenian di Bogor memang sudah
memasuki tingkat yang tinggi. Entah kapan Pemkot Bogor mulai memasukkan isu tersebut ke
dalam agendanya, tidak perlu ditunggu dan jangan berharap lebih banyak. Geliat musik
Bogor juga bisa dibilang saat ini sudah sangat maju secara kualitas musikalitas. Diversitas
yang dihasilkan oleh regenerasi didalamnya menjadikan skena musik Bogor saat ini sangat
menarik untuk diikuti walaupun bisa dibilang masa keemasannya memang telah lewat tapi
bukan berarti tidak bisa terulang lagi, saya sendiri optimis akan semakin banyak musik-musik
berkualitas dari Bogor yang akan dikenal dan bertahan ditengah kesulitan mencari venue
yang ideal. Walaupun kota ini terapit oleh dua „raksasa‟ (Bandung & Jakarta) tapi bukan
berarti Bogor hanya menjadi tempat persinggahan atau perlewatan dari dampak atau
„buangan‟ yang dihasilkan oleh dua „raksasa‟ tersebut, hal ini bisa dibuktikan dengan
semakin seringnya gelaran musik berskala besar yang memasang band atau musisi dari Bogor
sebagai bagian line up-nya. Sedangkan pencarian venue yang ideal masih akan terus berlanjut
tanpa mengenal usai seiring laju pembangunan di Bogor yang akan terus tumbuh dan
berkembang.
*) Artikel ini dimuat di Halimun Zine Surabaya