cv gilang nugraha

38
GILANG NUGRAHA Jl. Abesin no.23 Kel.Cibogor Kec.Bogor Tengah Bogor 16124 Phone : 0856 1708382/ 0251- 8342916 E-mail : [email protected] Daftar Riwayat Hidup Data Pribadi Nama : Gilang Nugraha Jenis Kelamin : Pria Tempat, tanggal lahir : Bogor, 16 Juli 1988 Kewarganegaraan : Indonesia Status Pernikahan : Belum Menikah Tinggi, berat badan : 165 cm, 47 kg Kesehatan : Sangat Baik Agama : Islam Alamat Lengkap : Jl Abesin No.23, RT02/RW03, Kel. Cibogor, Kec.Bogor Tengah 16124 Telepon, HP : 0251-8342916, 08561708382 E-mail : [email protected] Pendidikan Formal 1994 2000 SD Negeri Pengadilan 3, Bogor 2000 2003 SMP Negeri 2, Bogor 20032006 SMU Negeri 2, Bogor 2006 2009 Program Diploma 3 (D3) Ekowisata Institut Pertanian Bogor 2010 Sekarang Program Alih Jenis Strata 1 (S1) FEM Institut Pertanian Bogor Kemampuan 1. Kemampuan Komputer (MS Word, MS Excel, MS Power Point, MS Access, MS Outlook). 2. Kemampuan Internet 3. Social Media Marketing & Analysist 4. Online Media Development 5. Bahasa Inggris (Pasif) 6. Content Writing

Upload: gilang-nugraha

Post on 08-Aug-2015

103 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: CV Gilang Nugraha

GILANG NUGRAHA

Jl. Abesin no.23 Kel.Cibogor Kec.Bogor Tengah – Bogor 16124

Phone : 0856 – 1708382/ 0251- 8342916

E-mail : [email protected]

Daftar Riwayat Hidup

Data Pribadi

Nama : Gilang Nugraha

Jenis Kelamin : Pria

Tempat, tanggal lahir : Bogor, 16 Juli 1988

Kewarganegaraan : Indonesia

Status Pernikahan : Belum Menikah

Tinggi, berat badan : 165 cm, 47 kg

Kesehatan : Sangat Baik

Agama : Islam

Alamat Lengkap : Jl Abesin No.23, RT02/RW03, Kel. Cibogor, Kec.Bogor Tengah 16124

Telepon, HP : 0251-8342916, 08561708382

E-mail : [email protected]

Pendidikan Formal

1994 – 2000 SD Negeri Pengadilan 3, Bogor

2000 – 2003 SMP Negeri 2, Bogor

2003– 2006 SMU Negeri 2, Bogor

2006 – 2009 Program Diploma 3 (D3) Ekowisata Institut Pertanian Bogor

2010 – Sekarang Program Alih Jenis Strata 1 (S1) FEM Institut Pertanian Bogor

Kemampuan

1. Kemampuan Komputer (MS Word, MS Excel, MS Power Point, MS Access, MS Outlook).

2. Kemampuan Internet

3. Social Media Marketing & Analysist

4. Online Media Development

5. Bahasa Inggris (Pasif)

6. Content Writing

Page 2: CV Gilang Nugraha

GILANG NUGRAHA

Jl. Abesin no.23 Kel.Cibogor Kec.Bogor Tengah – Bogor 16124

Phone : 0856 – 1708382/ 0251- 8342916

E-mail : [email protected]

Pengalaman Bekerja

1. Freelancer di beberapa kawasan wisata daerah Lido, Puncak, dan Jawa Timur, diantaranya;

Baung Camp ,LEAD, Pancawati Outdoor Training, Happy Trust, dan Bee Outbond.

Periode : Desember 2009 – Maret 2010

Posisi : Facilitator & Observer Outbound

Uraian Singkat Pekerjaan:

- Trainer permainan

- Mengevaluasi kegiatan outbound dengan skala nilai

- Membuat dan menentukan jenis permainan yang akan dilaksanakan

2. Bekerja di PT Bank Danamon Indonesia, Tbk

Periode : Febuari 2011 – April 2011

Posisi : Relationship Officer

Uraian Singkat Pekerjaan:

- Menganalisis kelayakan usaha perorangan yang akan mengajukan kredit

- Me-maintain nasabah existing dan melakukan cross selling

- Membuat Sales Plan dan pelaksanaanya untuk menujang kegiatan funding

- Membuat laporan harian dan bulanan sesuai dengan SOP

- Membina hubungan baik dengan calon nasabah dan nasabah existing

- Mengelola account/portfolio nasabah perusahaan

3. Freelancer di organisasi Persaudaraan Korban NAPZA Indonesia

Periode : Juni – Agustus 2011

Posisi : Social Media Manager

Uraian Singkat Pekerjaan:

- Updating social media account

- Social media scan & analysis

- Review kualitas traffic volume dan schedule update

4. Freelancer di hujanradio.com

Periode : Juni – Oktober 2011

Posisi : Content Writer

Uraian Singkat Pekerjaan:

- Menulis review yang berhubungan dengan musik, gaya hidup, dan anak muda

- Menulis artikel yang berhubungan dengan musik, gaya hidup, dan anak muda

- Menulis liputan event

5. Freelancer di organisasi Persaudaraan Korban NAPZA Indonesia

Page 3: CV Gilang Nugraha

GILANG NUGRAHA

Jl. Abesin no.23 Kel.Cibogor Kec.Bogor Tengah – Bogor 16124

Phone : 0856 – 1708382/ 0251- 8342916

E-mail : [email protected]

Periode : Oktober 2011- Januari 2012

Posisi : Online Media Development

Uraian Singkat Pekerjaan:

- Men-develop pembuatan website

- Men-develop pembuatan forum online

- Memaintain forum dan website

6. Bekerja di Idealoka Mediatama

Periode : Februari 2012- Sekarang

Posisi : Online Media Development

Uraian Singkat Pekerjaan:

- Men-develop pembuatan website

- Men-develop pembuatan forum online

- Memaintain forum dan website

- SEO & SMO

7. Freelancer di beberapa media musik online

Periode : Oktober 2011- Januari 2012

Posisi : Content Writer

Uraian Singkat Pekerjaan:

- Menulis review yang berhubungan dengan musik dan anak muda

- Menulis artikel yang berhubungan dengan musik dan anak muda

- Menulis liputan event

Demikian Curriculum Vitae ini saya buat dengan sebenar-benarnya, untuk digunakan sebagaimana

mestinya.

Bogor, Desember 2012

Hormat saya,

Gilang Nugraha, A.Md

Page 4: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

1

PORTFOLIO

Page 5: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

2

Chiptune Music: Memaksimalkan Medium yang Minimal Oleh: Gilang Nugraha

Apakah anda masih ingat dengan konsol video game seperti Nintendo dan Gameboy

yang sering anda mainkan ketika masih kecil? Jika Anda pernah merasakan masa

keemasan Nintendo dan Gameboy sebagai konsol gaming terbaik tentunya anda juga masih

mengingat tampilan grafis 8bit sederhana yang disuguhkan oleh game seperti Super Mario

Bros, Legend of Zelda, dan Donkey Kong, dengan musik latar bersuara khas yang biasa kita

dengarkan ketika bermain permainan ini. Melodi musik latar bernuansa ceria yang terdengar

menciut-ciut dan sedikit kasar tersebut seakan menambah keasyikan dan semangat dalam

bermain game hingga level terakhir.

Era keemasan konsol video game klasik memang sudah bertahun-tahun berlalu seiring

pesatnya perkembangan teknologi yang memunculkan beraneka jenis konsol video game

dengan tampilan grafis dan tata suara yang lebih canggih. Namun ibarat sebuah lagu yang

terekam dalam kaset, kenangan bermain konsol video game klasik akan tetap tersimpan

dalam pikiran. Kenangan akan masa kecil pulalah yang melatar belakangi sejumlah

penggemar konsol video game klasik untuk mengangkat dan melestarikan kembali musik

Chiptune atau musik latar yang biasa kita dengarkan ketika bermain suatu game, untuk

dipadu padankan dengan beraneka jenis alat musik konvensional lainnya.

Chiptune atau dikenal juga dengan nama chipmusic dan micromusic sebenarnya

bukan lah sebuah genre musik, melainkan sebuah jenis fidelasi suara yang dihasilkan pada

saat proses pembuatan musik menggunakan suatu media atau hardware tertentu. Chiptune

dibuat dari sound format yang yang telah disintetiskan atau dipersatukan secara realtime oleh

komputer atau chip suara video game. Kepopuleran musik Chiptune secara global diawali

pada periode pertengahan 1980-an oleh sejumlah komposer musik yang menciptakan musik

latar untuk keperluan soundtrack video game menggunakan komputer dengan chip suara

terbatas yang hanya menyediakan simple tone generator dan noise generator. Keterbatasan

tersebut tidak hanya mengakibatkan sulitnya menciptakan karakter musik yang lebih

kompleks, namun dilain sisi juga memberikan fleksibilitas bagi para komposer untuk

menciptakan sendiri suara instrumen yang diinginkan untuk kemudian disimpan ke dalam

chip suara.

Musik Chiptune periode awal hanya menyebar di beberapa negara yang memang

Page 6: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

3

memiliki basis produksi konsol video game seperti Jepang dan Amerika Serikat. Musik ini

hanya ditujukan oleh para komposer yang bekerja sama dengan developer game sebagai

pelengkap untuk kebutuhan soundtrack sebuah game. Komposer Chiptune yang pada masa

tersebut karyanya banyak dipakai untuk keperluan soundtrack dan musik latar video game

diantaranya adalah Nobuo Uematsu (Final Fantasy) dan Koji Kondo (Super Mario Bros, The

Legend of Zelda).

Kemunculan Kembali

Menuju awal milenium pertama musik Chiptune kembali terangkat ke permukaan

dengan beragam jenis media yang digunakan dalam proses produksinya. Salah satu media

yang paling populer digunakan hingga saat ini oleh para musisi Chiptune adalah Gameboy,

sebuah konsol game handheld produksi perusahaan permainan video asal Jepang, Nintendo.

Tren penggunan Gameboy sebagai media pembuatan musik Chiptune diawali penemuan

tracker atau perangkat lunak untuk pembuatan musik bernama Nanoloop oleh seorang

mahasiswa seni asal Jerman bernama Oliver Wittchow yang khusus diperuntukan dan hanya

dapat dijalankan mengggunakan media Gameboy. Perangkat lunak tersebut terlebih dahulu

harus dimasukkan ke dalam sebuah cartridge (kaset) kosong agar dapat dijalankan di

Gameboy. User Interface dari Nanoloop sangat minim dengan tampilan batang menyerupai

game Tetris dan berbeda dengan User Interface perangkat lunak pembuatan musik lainnya.

Musisi Elektronik ternama asal Jerman yang juga frontman dari Atari Teenage Riot pernah

menggunakan Nanoloop dalam proyek album solonya yang diberi nama “Nintendo Teenage

Robots - We Punk Einheit!”, ia mengkolaborasikan Nanoloop dan Gameboy Camera untuk

keperluan live performance dan produksi musiknya.

Dua tahun kemudian programmer asal Swedia bernama Johan Kotlinski yang dikenal

dengan alias “Role Model” di kalangan musisi Chiptune, berhasil menemukan perangkat

lunak lainnya yang diperuntukkan bagi Gameboy, perangkat lunak tersebut ia beri nama

LSDJ atau LittlesoundDJ. Berbeda dengan Nanoloop yang berupa grafis batang, tampilan

LSDJ berbentuk kord numerik yang lebih user friendly dengan beberapa sound preset seperti

drum kit dan efek suara lainnya yang telah ter-install. LSDJ laku keras pada tahun 2001

ketika software tersebut dimasukkan ke dalam cartridge dan dijual bebas. LSDJ juga kerap

kali digunakan oleh musisi diluar komunitas Chiptune baik sebagai salah satu perangkat

pendukung untuk keperluan produksi albumnya maupun untuk keperluan live performance.

Musisi tersebut diantaranya Beck, Björk, Aphex Twin, Chemical Brothers, dan lain

Page 7: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

4

sebagainya, bahkan ada desas-desus yang mengabarkan bahwa Paris Hilton pun

menggunakan LSDJ sebagai salah satu instrumen di albumnya!

Malcolm McLaren, Manajer dibalik kesuksesan band Punk Rock kontroversial asal

Inggris, Sex Pistols, dalam suatu artikel yang ditulisnya di Wired Magazine pernah menyebut

Gameboy Music atau musik Chiptune pada umumnya sebagai sebuah bentuk baru dari Punk

Rock. Pernyataannya tersebut diperjelas kembali oleh Anamanaguchi, band instrumental

yang mengkolaborasikan musik Chiptune dengan musik Power Pop ala Weezer dan Ozma,

yang pada sebuah sesi interviewnya menyebut Chiptune sebagai“Punk Rock of Electronic

Music”.

Komunitas Chiptune memang relatif kecil dibandingkan komunitas musik lainnya,

namun penyebarannya kini lebih luas dibandingkan musik Chiptune periode awal dan

mencakup negara-negara seperti Rusia, Swedia, Inggris, Jerman, Italia, Jepang, Amerika

Serikat, Malaysia, Singapura, Australia, dan tidak ketinggalan, Indonesia. Bergejolaknya

pergerakan komunitas Chiptune tersebut berhasil menciptakan beragam jenis atau genre

musik yang berbeda dengan eksplorasi yang juga lebih eksperimental dibandingkan musik

Chiptune periode awal. Banyak musisi Chiptune yang kemudian menggabungkan unsur

Chiptune dengan berbagai macam instrumen konvensional seperti Gitar, Bass, Banjo, Harpa,

Djembe, Conga, dan Drum, serta instrumen musik tradisional. Penggabungan Chiptune

dengan elemen musik dan instrumen tradisional dapat disimak pada sebuah kompilasi lintas

negara yang berjudul “Low Bit Gamelan”.

Biasanya suatu komunitas Chiptune bergerak secara undeground dengan etos D.I.Y

atau Do it Yourself dan aktif membangun jaringan dengan komunitas Chiptune lainnya di

berbagai negara. Jaringan tersebut pula lah yang melahirkan berberapa event khusus berskala

internasional di berbagai negara yang akhirnya menjadi semacam „messiah‟ atau surga bagi

para penggiat dan penikmat musik Chiptune. Seperti Microba Party (Italia), Lo-Bit

Playground (Jepang), Blip Festival (New York), Colourama (Malaysia), dan Pesta Mikro

(Indonesia).

Geliat di Tanah Air

Eksistensi Chiptune di Indonesia berawal pada tahun 2006. Pelopornya adalah Zacka

Abi Burdah (JW86), Syafwin Ramadhan Bajumi (Curah Melodia Mandiri), dan Hafis Tamim

(Guttersnipe). Pada awalnya ketiga orang ini tergabung dalam sebuah Punk Rock bernama

Tatoine Twist. JW86 merupakan musisi Chiptunes pertama yang menggunakan cartridge

Page 8: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

5

berisi LSDJ sebagai medianya dalam membuat musik. Bersama dengan Curah Melodia

Mandiri ia menginisiasi sebuah event Chiptune terbesar pertama di Indonesia yang berskala

internasional, Pesta Mikro, dengan menampilkan performance dari musisi Chiptune lokal dan

internasional yang bertujuan untuk mempererat jalinan komunikasi antar komunitas lintas

negara serta sebagai tempat untuk bertukar pikiran dan menunjukkan kemampuan para musisi

dalam membuat musik. Pesta Mikro hingga saat ini telah diadakan tiga kali yaitu pada tahun

2007, 2008, dan 2009 lalu yang bertempat di Rossi Musik Fatmawati, Jakarta, dan

menampilkan musisi-musisi Chiptune terbaik di Indonesia.

Komunitas Chiptune di Indonesia pada perkembangannya mulai menunjukan geliat

lebih aktif pada tahun 2009. Pada tahun tersebut banyak bermunculan musisi Chiptune yang

tidak hanya tersebar di Jakarta dan Bandung, tetapi juga di kota-kota lainnya seperti

Surabaya, Salatiga, Semarang, Bogor, Malang, Balikpapan, Yogyakarta, Solo, Medan, Bali,

dan Cirebon. Jaringan antar kota yang kuat menjadikan para musisi Chiptune saling terikat

satu sama lain dan menjadi satu kesatuan yang kokoh. Mereka kerap kali bersama-sama

mengadakan kegiatan yang berhubungan dengan musik Chiptune dan membuat event musik

berskala regional seperti Robopop (Bogor), Meet Bit And Eat (Bandung), Beeb Beeb Power

On (Semarang), Bit Nation (Yogyakarta), Micro Invasion (Jakarta), dan Microtunes Labs

(Surabaya). Selain event reguler yang diadakan di sebuah tempat atau kafe, biasanya para

musisi Chiptune juga mengadakan semacam showcase jalanan yang bertujuan untuk menarik

perhatian masyarakat awam guna membuka pandangan mereka terhadap musik Chiptune,

showcase jalanan yang disebut “Roadblock” ini diadaptasi dari gerakan serupa yang biasa

dilakukan oleh musisi Chiptune di Eropa dan Jepang. Tidak hanya mengembangkan jaringan

antara musisi Chiptune, komunitas Chiptune Indonesia atau yang biasa disebut “Indonesian

Chiptunes” juga membangun jaringan antar seniman multidisiplin yang memliki ketertarikan

terhadap kultur modern-retro dengan membuat event bertajuk “Pocket Operator” yang tidak

hanya menampilkan performance musik tapi juga pameran artwork, instalasi seni, paper art,

serta recycle art, guna mendukung tema yang diusung.

Indonesian Chiptunes merupakan basis komunitas Chiptune terbesar di Asia Tenggara

yang kiprah para musisinya sendiri telah terdengar luas dan diakui secara kualitas oleh

komunitas Chiptune di Eropa dan Amerika. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya musisi

Chiptune Indonesia yang karyanya berhasil dirilis oleh label dan netlabel dari luar negeri, dan

banyaknya musisi Chiptune Indonesia yang membuat sebuah album split bersama musisi

Chiptune dari negara lain. Beberapa waktu lalu band Chiptune asal Bandung, Local Drug

Page 9: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

6

Store, berhasil melangsungkan gelaran turnya di beberapa kota di Malaysia dan Singapura.

Pada skala nasional, Indonesian Chiptunes juga kerap kali diundang untuk memberikan

penjelasan serta workshop terkait musik Chiptunes seperti di Urban Fest, Indonesia Creative

District, Compfest, bahkan tampil di acara TV nasional seperti Dahsyat dan Apa Kabar

Indonesia.

Dengan keterbatasan yang ada di dalam meramu musik ini, para musisi Chiptune di

Indonesia pun cenderung lebih inovatif dalam berkarya. Hingga memunculkan sub-genre

tersendiri pada musik Chiptune. Seperti pengaplikasian musik Trance, House, Pop, Drum &

Bass, Breakcore, Metal, sampai dengan Digital Hardcore yang dimainkan menggunakan

media konsol video game. Sambutan serta apresiasi masyarakat dan pencinta musik sendiri

dengan kehadiran musik Chiptune bisa dibilang sangat bagus, hal ini dapat dilihat pada

gelaran event Chiptune yang selalu padat dan ramai. Masyarakat awam cenderung penasaran

dengan jenis musik unik yang dihasilkan oleh para musisi melalui medium konsol game.

Bagi para musisi yang berada dibawah naungan Indonesian Chiptunes keterbatasan

teknologi bukan lah suatu hambatan dalam menghasilkan karya. Tidak salah jika beberapa

orang menyebut musik Chiptune sebagai “Low-Tech Music For Hi-Tech People”. Chiptune

merupakan sebuah bentuk kreativitas tidak dapat dibendung. Sisa-sisa kejayaan teknologi

masa lalu telah ditinggalkan oleh orang kebanyakan dan dianggap sebagai hal yang telah

ketinggalan zaman, ditangan mereka berhasil dibentuk menjadi suatu medium dalam

menciptakan karya seni baru yang tak lekang dimakan zaman untuk didengarkan dan

dinikmati.

*) Tulisan ini dimuat di kolom Beranda Komunitas id.berita.yahoo.com

Page 10: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

7

Eyeliner: Sang Utusan Bermaskara Oleh: Gilang Nugraha

Eyeliner merupakan band asal Bogor yang terbilang sudah cukup lama malang

melintang di skena musik independen Bogor. Mereka menyebut musik yang dimainkannya

Spiritual Electronic, perpaduan antara musikDarkwave/Synth Rock dengan lirik yang

bertemakan hubungan antara manusia dan Tuhan dari sisi non-religius. Pada gelaran Fusion

Music Festival hari ke-2, saya berkesempatan mewawancarai band yang telah wara-wiri sejak

tahun 1998 ini di backstage selepas mereka perform. Masih mengenakan setelan hitam-

hitamnya sambil sesekali menghisap rokok, Do (Vokal) dan Levi (Sampler/Synth) mengobrol

santai tentang kehilangan, atheisme, acara musik di televisi, sampai soal Walikota Bogor

yang menikah lagi.

Kenapa hanya tampil berdua? Kemana Age dan Kocha?

Kejadiannya sangat cepat dan kalau gue ceritakan bikin gue sedih, Eyeliner sekarang

memang hanya berdua. Age dan kocha sekarang memprioritaskan hidupnya kepada

kesibukan mereka masing-masing. Semuanya punya keputusan masing-masing, dan kita

sangat menghargai keputusan mereka berdua untukmengundurkan diri dari Eyeliner.

Memang sulit untuk mencari pengganti, jadi kini kami memakaiadditionalsambil tetap

Eyeliner berjalan.

Dengan mundurnya Age dan Kocha, apakah akan merubah karakter musik dari

Eyeliner secara signifikan?

Do: Kami berdua berusaha untuk tetap konsisten dengan karakteristik musik Eyeliner yang

sekarang. Walaupun kami memang tidak bisa memungkiri bahwa pasti akan ada perubahan,

karena Eyeliner dibentuk oleh empat orang yang memiliki karakter musik yang berbeda-beda,

dengan mundurnya dua orang lalu digantikan pasti akan membawa perubahan yang cukup

signifikan, cepat maupun lambat, tapi untuk sekarang Eyeliner akan tetap seperti ini.

Page 11: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

8

Kalian menyebut musik yang kalian mainkan Spiritual Electronic, apa yang mendasari

pelabelan tersebut?

Do: Hampir semua lagu yang kami buat berdasarkan pengalaman pribadi ke arah spiritual,

tapi kami masih belum bisa menyebutkan genre yang tepat untuk Eyeliner. Kami

membiarkan pendengar untuk menyebut musik kami seperti apa dan lebih concern untuk

membuat musik dibandingkan berdebat soal pelabelan genre yang kami mainkan.

Levi: Sebenarnya akar musik dari Eyeliner lebih condong ke electronic dan post industrial.

Walaupun gue sendiri juga bingung menyebut musik kami apa, hahahaha. Ya seperti yang Do

bilang tadi, kami lebihconcern untuk membuat musik dibandingkan harus meribetkan diri

dengan pelabelan genre.

Eyeliner dikenal gelap dari segi penulisan lirik dan kerap menuliskan gaya bahasa

sarkasme, insprasi apa yang melintas ketika kalian menulis lirik?

Do: Kalau gue lebih melihat dari pengalaman orang lain lalu diterjemahkan dari sudut

pandang pribadi. Gue melihat dari sudut pandang gue kenapa orang berpikir hubungan antar

manusia itu tidak terlalu penting, dan lebih mementingkan hubungan vertikal atau sebaliknya.

Permasalahan itu yang muncul dan gue terjemahkan dengan beberapa penggunaan gaya

bahasa sarkasme. Seperti di lagu “Sang Utusan”, itu merupakan ungkapan kebencian gue

terhadap orang yang bertopeng dan menganggap dirinya baik dimata Tuhan padahal

sebenarnya secara tidak langsung mereka mengikuti dan menjadikan diri mereka sendiri

sebagai budak dari paham-paham yang mereka lawan, menjadi bagian dari apa yang mereka

lawan.

Ada beberapa orang yang mencap Eyeliner sebagai band atheist karena membaca lirik

yang kalian tulis di lagu “Sang Utusan”, bagaiman tanggapan kalian?

Do: Bebas…hahahahaha..

Levi: Berarti mereka tidak membaca liriknya secara keseluruhan

Do: Kalau mereka baca semua lirik Eyeliner kayaknya mereka bakal jadi atheist beneran,

hahahaha. Gue tidak menyalahkan mereka, karena itu kembali lagi persepsi dari masing-

masing individu yang mendengarkan dan membaca lirik kami. Jika mereka masih

menganggap kami atheist berarti ada yang salah dengan mereka, dan masih tugas kami untuk

meluruskan apa yang telah kami sampaikan melalui lirik. Yang pasti bagi gue lirik

merupakan bentuk kesedihan kami terhadap kehidupan sosial yang ada sekarang.

Page 12: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

9

Pengaruh Placebo sangat besar terhadap kalian, sejauh mana pengaruh tersebut di

Eyeliner?

Do: Placebo itu cukup menjadi momok bagi kami, tampilan Brian Molko yang dingin dan

cantik pada saat on stage menginspirasi gue untuk mencoba menampilkan kesan androgyny

ketika gue perform. Walaupun gue suka Apoptygma Berzerk dan Levi suka Rammstein, tapi

karena Placebo lah kami dipersatukan. Outfit dari Placebo yang niat ketika di panggung juga

menjadi inspirasi kami untuk menampilan uniqueness tersendiri dengan dress code hitam-

hitam. Gue lebih suka pada saat on stage itu niat, baik dari segi outfit maupun musik, fashion

itu penting.

Jika kalian disuruh memilih dan mengkurasikan lima band yang cocok untuk tampil di

Dahsyat, kalian akan memilih siapa saja?

Levi: Ricky pernah kan ya (Turbo Blip, Red.)

Do: Damn! Gue iri sama Turbo Blip, hahahahaa. Gue bakal milih Koil, terus…

Levi: The Kuda!

Do: Nah iya The Kuda, terus siapa lagi ya? Bibir Merah Berdarah aja deh, haha..haha..

(Semua serentak tertawa)

Do: Yang pasti gue pengen kalau Dahsyat bisa menampilkan satu hari khusus dengan segmen

yang mengangkat musisi-musisi arus pinggir, jadi masyarakat luas dapat lebih aware dengan

keberadaan kami-kami ini. Dan hal itu dapat merubah pola pikir kita semua tidak

memandang sinis terhadap industri, jika kita diberikan ruang sebenarnya pola pikir tersebut

dapat direduksi.

Jika kalian memilki kesempatan untuk memasuki industri, apakah kalian akan

menerimanya?

Levi: Selama diberi kesempatan dan ruang berkreasi serta tidak dibatasi untuk berekspresi,

kenapa nggak? Toh band-band yang kita suka pun semuanya dari industri.

Do: Dulu gue suka bawain The Smiths, The Cure, Morrissey, waktu gue beli kasetnya itu

semua labelnya berasal dari industri besar. Kita mencintai itu, dan gue yakin semua musisi

punya mimpi ke arah sana, yang perlu dijadikan perhatian adalah ruang ekspresi untuk

musisinya itu sendiri, selama tidak dibatasi kami terima.

Page 13: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

10

Pendapat kalian tentang skena musik Bogor saat ini?

Do: Masa stagnansinya sudah hilang dan kini banyak sekali musik-musk yang sangat

ekspresif. Gue sangat menghargai semua jenis musik yang disukai Bogor saat ini maupun

nanti.

Levi: Dan lakukan itu dari hati.

Pendapat kalian soal Walikota Bogor yang menikah lagi?

Levi: Hahahahaha..Hak dia itu mah ah..

Do: Gue pribadi tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut, karena itu hak dia dan tidak

bisa disangkutpautkan dengan profesionalitas dia menjadi Walikota. Kalau itu terlihat

mengganggu kinerjanya baru kita kritisi, dan semestinya yang kita kritisi adalah hasil

kinernya dia bukan hasil dia nikah berapa kali, gue pikir itu lebih objektif.

Dari beberapa pertanyaan diatas bisa disimpulkan kalian concern terhadap isu sosial,

apakah memang Eyeliner diproyeksikan ke arah itu?

Levi: Memang diproyeksikan ke arah sana, apa lagi mengingat latar belakang kami semua

yang sempat aktif di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Do: Walaupun keaktifan di LSM tidak lantas bisa dijadikan patokan untuk concern terhadap

isu sosial dan gue juga lihat banyak dari musisi di bogor yang memiliki kepedulian sosial dan

politik yang tinggi, mereka sangat peka dan itu yang membuat gue mencintai keberadaan

musisi-musisi Bogor.

Penampilan Do yang kerap kali terlihat asyik sendiri ketika di panggung apakah

karena pengaruh substansi?

Do: Nggak, gue gak menggunakan substansi apapun. Ketika gue di panggung, gue

mendapatkan diri sangat ekspresif dan tidak mempedulikan lingkungan sekitar.

Levi: Kesurupan lagu

Do: Hahahahahaha…

Harapan kalian setelah Eyeliner ditinggal oleh Age dan Kocha?

Harapan kami, mereka dapat mengekspersikan diri mereka lebih dari ini dan tetap

mendukung Eyeliner.

Ada pesan buat Kawan Kehujanans?

Page 14: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

11

Do: Gue berpesan jika bermain musik, mainkanlah dari hati.

Levi: Rajin sembahyang, jadi anak yang soleh, berguna bagi nusa dan bangsa.

Do: Biar gak dianggap atheist ya?

Levi: Hahahahahaha…intinya kita mesti belajar menahan amarah dan lebih mengutamakan

akal sehat dalam hal apapun.

*) Wawancara ini dimuat di situs hujanradio.

Go On: Proses Pemecahan yang Terus Berjalan Oleh: Gilang Nugraha

Heuristik atau seni dan ilmu pengetahuan dari penemuan merupakan sebuah kata yang

berasal dari Bahasa Yunani. Memberikan petunjuk kepada perhatian sampai menemukan

sebuah pencapaian atau konklusi dari masalah adalah inti dari heuristik. Sebuah pendefinisian

problema sebagai proses pencarian ruang keadaan. Pengkaitan heuristik dan keadaan sangat

cocok dianalogikan dalam proses yang mendasari Cause untuk tetap melangkah dari fase

statis. Sebuah fase yang membuat mereka berpikir untuk mencari sebuah representasi

keadaan yang berkaitan dengan proses pemecahan problema. Heuristik memandu proses

pencarian di sepanjang jalur yang memiliki kemungkinan sukses paling besar, dan

mengesampingkan usaha yang bodoh dan memboroskan waktu.

Langkah yang juga diterapkan oleh Randy Asra Dahnial dan kawan-kawan untuk

melangkah ke fase berikutnya dalam perjalanan hidup Cause sebagai band. “Dalam fase statis

tersebut kesempatan untuk memikirkan semuanya tentang band ini sangat besar, pada

akhirnya kemantapan hati untuk tetap berjalan merupakan konklusi dari proses pencarian

tersebut”. Proses pencarian yang termakhtub jelas dalam single terbaru mereka yang diberi

tajuk “Go On”.

“Go On merupakan pesan pribadi saya sebagai song-writer akan sebuah kepercayaan

terhadap personil lainnya dalam bermusik,” jelas Randy. Awalnya single “Go On”

merupakan salah satu materi yang dipersiapkan untuk album kedua, namun rencana tersebut

berubah setelah mereka mengikutsertakan single tersebut dalam ajang PlanetRox Festival,

sebuah kompetisi musik dunia yang memiliki misi menemukan band-band baru terbaik dan

mengekspos mereka kepada khalayak internasional yang lebih luas. Wakil dari tiap negara

yang ikut serta memiliki kesempatan untuk tampil dalam Envolet Makadam Festival di Kota

Quebec, Kanada. “Go On” berhasil menghantarkan mereka ke dalam 10 besar semifinalis

Page 15: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

12

yang sampai berita ini ditulis sedang berlangsung tahap voting.

“Go On” bercerita tentang sebuah keadaan dalam hidup yang memang tidak mudah,

ketidak mudahan yang pada akhirnya akan membuat kita semua menerima keadaan itu

dengan mudah. Permasalahan hidup harus selalu kita lihat dalam sudut pandang berbeda

selama kita masih memiliki orang-orang yang menjadi inspirasi kita untuk terus maju, pesan

yang menjadi benang merah keterikatan di single ini.

Single yang proses produksinya dikerjakan pada awal 2012 lalu ini, pada awalnya

dibuat minimlis tanpa tabuhan drum dan menitikberatkan pada usaha eksperimentasi yang

mendekati esensi folky. Namun konsep tersebut mengalami perombakan setelah menyadari

tema bersemangat yang mereka angkat juga harus menyiratkan semangat dari tiap personil

dalam memainkan alat musiknya masing-masing. “Sayang rasanya kalau semangat Delly

dalam memukul snare drum tidak disalurkan dalam lagu ini”, tegas Randy.

Jika proses pencarian ruang keadaan merupakan alat untuk memformalkan proses

pemecahan problema, maka seperti halnya heuristik, semangat tiap personil menyuntikkan

formalisme ke dalam “Go On” merupakan sebuah tahap untuk bekerjasama dengan

kecerdasan demi efisiensi proses pencarian tanpa mengorbankan kelengkapan. Hasilnya?

Sound megah nan optimistik dengan riff gitar sederhana berulang yang memberikan warna.

Suasana megah tersebut juga diperkuat oleh layer ethereal dari keyboard dan backing vocal

yang melengkapi dan menjadi aksen penguat bersama dengan tabuhan drum ritmis tak

berlebih. Aura positif yang ditonjolkan jelas sangat berbeda dengan lagu-lagu Cause

terdahulu yang lebih bernuansa muram.

Kespontanan eksperimentasi yang dilandasi oleh pertukaran energi dan semangat

untuk memecah keadaan pada akhirnya memegang peranan penting dalam proses perjalanan

musikal dari Cause. Pencerahan yang tidak hanya ingin mereka sampaikan kepada pendengar

musik, tetapi juga untuk disampaikan ke dalam tiap-tiap relung pikiran para personilnya.

Hasil yang mereka dapatkan setelah mengamati ruang keadaan untuk mencoba menemukan

suatu jalan keluar dari keadaan saat ini menuju keadaan yang dituju. Keadaan yang lebih baik

dalam fase pendewasaan musikal dan penyadaran diri. Seperti apa yang pernah ditulis oleh

Manna Sorgawi, kesadaran bahwa setiap keadaan merupakan ujian, akan membuat kita

waspada dan tetap menjadi pemenang.

*) Siaran Pers ini dimuat dibeberapa media musik online

Page 16: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

13

Episode Baru dari Kuas Cielo Oleh: Gilang Nugraha

Tidak mudah merubah atau menghilangkan suatu ciri yang terlanjur melekat dan

dikenal pada sebuah band. Melepaskan diri dari zona aman tersebut merupakan suatu

tantangan untuk lebih berani bereksplorasi tanpa batasan dan pengkotakan yang cenderung

menyempitkan penafsiran musik dalam kukungan suatu genre tertentu. Eksplorasi musik

tanpa batas tidak hanya menjadi jalan keluar, tetapi juga menjadi suatu arena pertaruhan.

Terutama dalam hal pengapresiasian suatu karya musik.

Paragraf diatas mungkin merupakan suatu pembuka yang tepat untuk mendefinisikan

perubahan dan pertaruhan dari kembalinya Kuas Cielo, sebuah band Indie Rock/Emo selepas

vakum selama 7 bulan. Mulanya, band ini merupakan proyek ambisius dari dua inisiatornya:

Jaling (Gravitasi) dan Bonar (Hidden Message). Keduanya lalu menggandeng beberapa

musisi lainnya untuk turut bergabung melengkapi formasi dalam tubuh band ini: Volta

(Turbo Blip), Ancha (Losing Friends), dan Yugo (Eric & LCD).

Keluarnya Jaling pada September 2011 karena ketidaksaman visi merupakan sebuah

titik balik bagi perjalanan Kuas Cielo kini. Bukan perkara mudah untuk mencari vokalis baru

bagi sebuah band yang sudah cenderung identik dengan ciri dan karakter vokalis sebelumnya.

Sebuah tantangan yang diterima Kuas Cielo untuk lepas dari bayang-bayang. Tantangan

tersebut justru membawa angin segar yang semakin mengukuhkan niat untuk perubahan

karakter musik Kuas Cielo. Hal ini dapat didengar pada single baru mereka yang berjudul

“New Episode”. Sebuah single perkenalan bagi pendengar Kuas Cielo untuk memasuki fase

awal dari karakter musik mereka yang baru dan mengenal vokalis baru mereka, Dian.

Perbedaan dimensi vokal memang jelas terasa, Dian tampil dengan karakter vokal low yang

lebih kuat . Sebuah keunikan yang menjadikannya vokalis pengganti Jaling.

Page 17: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

14

“New Episode” dikerjakan pada akhir akhir Desember lalu di Amplop Records

bersamaan dengan pengerjaan EP mereka yang mengalami perombakan total dan rencananya

akan dirilis tahun ini. Materi EP Kuas Cielo akan menunjukan suatu sisi progresifitas baik

dari segi aransemen, sound, maupun departemen lirik yang akan bermain dengan tema

kontemplatif dan akan sangat berbeda dengan lagu-lagu mereka terdahulu. “New Episode”

ditulis oleh Ricky Volta dan didedikasikan untuk mereka yang dapat melalui berbagai cobaan

dan rintangan dalam hidup tanpa berkeluh kesah seraya memusuhinya. Pertaruhan akan selalu

mengawal langkah kita setiap kali mengawali sebuah episode baru dalam hidup, yang

membedakan hanya usaha kita untuk merubahnya menjadi sebuah langkah yang tepat dan

lebih baik dari sebelumnya. In the end, what doesn‟t kill you makes you stronger.

*) Siaran Pers ini dimuat dibeberapa media musik online

Page 18: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

15

Menyelami Everything Is a Remix Oleh: Gilang Nugraha

Everything is a Remix merupakan empat seri film pendek yang dirilis via jaringan

internet oleh Kirby Ferguson, sang sutradara sekaligus produser film tersebut. Memakan

waktu hampir 2 tahun bagi Kirby untuk menyelesaikan empat seri filmnya ini, seri pertama

“The Song Remains The Same” diunggah olehnya sekitar 2 tahun lalu, dan seri terakhir dari

film ini “System Failure” diunggah bulan Februari 2012 lalu. Tetapi, rentang waktu rilis dari

seri pertama yang begitu jauh tampaknya tidak terlalu mengkaburkan esensi dari isu utama

yang diangkat oleh Kirby; “Remix”, rentang waktu tersebut justru seakan memang menjadi

sebuah rencana yang terorganisir rapih untuk dapat menangkap kondisi lebih jauh tentang isu

yang diangkatnya ditengah-tengah masyarakat, ketika masyarakat membahas tentang ACTA,

ketika Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama akhirnya setuju untuk menandatangani

ACTA.

“Everything is a Remix” merupakan empat seri film pendek yang membahas tentang

bagaimana sebuah aktifitas 'remix' lazim dilakukan di semua media yang kita baca,

dengarkan, atau tonton. Pada seri pertama “Everything is a Remix: The Song Remains The

Same” Kirby menjelaskan istilah Remix sebagai sebuah aktifitas menggabungkan atau

mengedit sebuah materi yang telah ada untuk menghasilkan sesuatu yang baru, lalu ia

menceritakan bagaimana budaya Remix berkembang pertama kali melalui musik Hip-Hop.

The Sugarhill Gang tercatat sebagai salah satu pelopor dari penggunaan term Remix didunia

musik saat mereka menggunakan bassline dari sebuah lagu milik grup soul/R&B klasik asal

Amerika, Chic, yang berjudul “Good Times”. The Sugrahill Gang menggunakan teknik

interpolasi atau penyisipan sampling pada lagu hits mereka yang berjudul “Rappers Delight”,

Page 19: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

16

single Hip-Hop pertama yang masuk kedalam jajaran Top 40. Aktifitas ini menjadi penanda

dimulainya budaya Remix hingga terus berkembang dari masa ke masa, bahkan hingga diera

digital saat ini ketika kita sudah tidak asing lagi melihat atau mendengar sebuah karya remix

melalui kanal-kanal di youtube, radio, TV , lapak-lapak bajakan pinggir jalan, hingga

digedung bioskop.

Secara langsung namun terperinci Kirby menjelaskan mengapa suatu karya atau buah

pemikiran yang telah ada tidaklah benar-benar original. Ia menggambarkan bagaimana segala

sesuatunya mulai dari Led Zeppelin sampai film blockbuster Hollywood, dari lingkup seni

sampai kemajuan teknologi, serta berbagai penemuan dalam ilmu pengetahuan sebagai karya

dan buah pemikiran yang menggunakan atau berlandaskan pada ratusan bahkan ribuan kreasi

orang lain.

Secara kuat kita diajak menyelami pemikiran-pemikiran Kirby melalui film ini,

bagaimana ia melihat sebuah objek sebagai penyempurnaan atau bahkan sebagai sebuah rip-

off dari objek lainnya, menelisik tujuan dari regulasi hak cipta dan hak paten yang menurut

Kirby merupakan upaya perpanjangan tangan yang memungkinkan sebuah akses ekslusif

bagi mereka yang dapat membayar dengan alasan sebagai bentuk usaha mengembalikan

modal pengembangan karya atau ide tersebut melalui lobi-lobi tingkat atas yang ia contohkan

melalui kasus Disney yang menggunakan konten yang berasal dari public domain seperti

cerita rakyat tetapi memiliki kekuatan hak cipta dan paten!

Poin utama yang dapat kita tangkap dari film ini secara mudah adalah bahwa tidak

ada lagi yang hal yang original di dunia serba modern ini serta penjabaran sederhana

bagaimana hal tersebut dapat terjadi. Kirby menjelaskannya dengan narasi “To create

something as your own, you almost always have to take another person's or thing's idea, or an

exisisting material, even if it's something from nature like a plant or photosynthesis”, film ini

akan memperluas persepsi kita dalam memandang segala hal, untuk mempertimbangkan lalu

mengiyakan pernyataan Kirby tersebut. Tidak ada yang benar-benar baru dan inovatif,

bahkan ketika seseorang menciptakan sesuatu, karya tersebut kapan saja dapat dikaitkan

dengan penciptaan orang lain sebagai pengaruh, baik dalam bentuk ide maupun hal yang

berbentuk. Film ini membuka pemikiran penontonnya tentang gagasan ide yang sangat umum

dan cenderung tidak kita sadari, gagasan utama yang hanya terdiri dari 3 rangkai kata, Copy,

Transform, and Combine. Menonton film ini merupakan sebuah keharusan bagi kita yang

telah terjebak dengan derasnya arus informasi digital dan isu semu tentang globalisasi.

Page 20: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

17

Netlabel Dan Usaha Pengarsipan Rilisan Musik Digital Oleh: Gilang Nugraha

Mau Dibawa Kemana (Industri) Musik Kita?

Tidak ada yang pernah tahu kapan tepatnya manusia mulai mengenal musik sebagai

bagian dari budaya dan kesenian. Musik ketika zaman pra sejarah merupakan salah satu

bentuk pemujaan, bagian dari upacara dan persembahan kepada dewa. Namun kini musik

tidak hanya sebagai suatu bentuk pemujaan, musik berkembang sangat luas, mulai dari

sebagai media hiburan yang paling murah, media untuk berkontemplasi, bahkan sebagai

media kampanye politik dan perdamaian. Ketika kita berbicara tentang musik maka tidak bisa

lepas dari budaya yang berkaitan atau budaya turunan yang dihasilkan oleh musik itu sendiri.

Seperti munculnya sub-kultur flower generation pada era 60‟an yang berhubungan erat

dengan woodstock festival, pagelaran musik yang masuk ke dalam list “Rolling Stone's 50

Moments That Changed the History of Rock and Roll” dan sub-kultur Punk pada tahun 1977

yang tetap berpengaruh sampai dengan sekarang. Dua hal tersebut hanya merupakan sedikit

contoh dari banyak pergerakan anak muda yang berbasiskan musik atau terinspirasi dari

musik. Dan ketika kita memasuki era jaringan internet seperti saat ini beserta derasnya arus

informasi yang setiap saat dapat kita akses, tidak hanya memungkinkan kita untuk sekedar

menjadi penikmat musik. Munculnya situs social media di era web 2.0 memungkinkan kita

untuk masuk menjadi bagian dari musik itu sendiri (diluar sebagai pendengar atau penikmat)

seperti menjadi penyanyi, kritikus musik, produser, dll. Siapa pengguna internet yang tak

mengenal situs video sharing Youtube? Dari hanya sebagai situs berbagi file video biasa

Youtube telah menjelma menjadi batu loncatan bagi bintang muda yang kini tengah naik

Page 21: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

18

daun, siapa lagi kalau bukan Justin Bieber. Tanpa Youtube talenta yang dimiliki oleh Bieber

mungkin hanya akan menguap dan tidak tercium oleh Scooter Braun, seorang pencari bakat

yang kemudian memperkenalkannya kepada Usher dan menghantarkan Bieber menjadi

bintang muda yang dipuja oleh semua masyarakat dunia. Mungkin Bieber menaruh Youtube

di list pertama pada daftar ucapan terima kasih di album pertamanya sesudah Tuhan.

Fenomena Youtube tersebut hanya merupakan bagian kecil dari dampak internet pada dunia

musik. Internet telah menjadi suatu hegemoni yang menghantarkan musik memasuki era baru

dalam industri, sebuah era yang berdampak langsung terhadap keberlangsungan hidup

industri musik saat ini, era digital.

Masuknya industri musik ke era digital secara signifikan telah merubah wajah dari

musik itu sendiri. Kita dulu lebih mengenal musik dalam bentuk pringan hitam, kaset, CD,

hingga akhirnya tidak berwujud dalam format digital. Beberapa wacana dan pembahasan

yang selalu ditakuti dalam industri musik adalah kemampuan format digital dalam menggeser

ketertarikan masyarakat yang akhirnya membuat penjualan album fisik di Indonesia kembang

kempis, diperparah lagi oleh pembajakan yang sampai saat ini masih marak kita lihat dalam

bentuk lapak-lapak CD pinggir jalan. Bagi para pelaku industri ini jelas merupakan ancaman,

sebuah ancaman yang tidak dapat dihindari tapi bukan berarti tidak dapat disiasati, salah

satunya cara mensiasatinya yaitu dengan layanan nada sambung pribadi atau Ring Back Tone.

Nada sambung pribadi atau Ring Back Tone telah menjadi sebuah tren tersendiri di industri

musik saat ini, permintaan akan Ring Back Tone yang sangat tinggi menjadi jalan pintas bagi

label – label rekaman untuk menjual produknya dan mendapatkan keuntungan, walaupun

keuntungan dari penjualan Ring Back Tone tidak hanya dibagi kepada pihak label dan musisi

saja, tetapi juga kepada pihak operator selular yang memiliki jaringan serta penyedia jasa

content provider untuk Ring Back Tone itu sendiri.

Kita kembali lagi kepada pembahasan awal, yaitu musik dalam format digital. Kenapa

Format digital lebih disukai oleh masyarakat daripada album fisik yang jelas-jelas memiliki

keuntungan lebih banyak seperti dapat disimpan, dipegang, dan bahkan tidak akan bercecer

seperti file digital ketika kita lupa menyimpannya? Murah dan akses yang sangat mudah, itu

jawabannya. Kenapa murah? Saya beri contoh harga album fisik dari musisi lokal biasanya

dibandrol dengan harga Rp 25.000 – Rp 45.000, sebuah harga yang lumayan merogoh kocek.

Bandingkan dengan format digital, kita hanya tinggal mengeluarkan uang Rp 3.000 – Rp

6.000 per-jam untuk biaya menyewa komputer di warnet, dan selama sejam berdasarkan

pengalaman pribadi saya kita bisa mendapatkan paling sedikit dua buah album berformat

Page 22: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

19

digital yang tinggal kita cari melalui situs pencarian seperti Google, sangat murah dan

pastinya mudah. Itulah kenapa masyarakat umum lebih menyukai untuk mengunduh lagu

atau album daripada membelinya, walaupun banyak juga yang lebih memilih mengunduh

dulu sebagai panduan sebelum membeli album fisiknya.

Hubungan antara internet dan musik saat ini bagai pisau bermata dua, di satu sisi

internet seringkali dikambing hitamkan sebagai sumber dari aktivitas pembajakan, di sisi

lainnya internet juga menguntungkan sebagai media promosi dan distribusi yang lebih luas.

Seharusnya para pelaku industri musik dapat lebih mawas diri menyikapi permasalahan ini,

bukan hanya terus-terusan mencari kambing hitam atas turunnya angka penjualan album

fisik. Kecenderungan pola konsumsi masyarakat yang terus berubah seiring perkembangan

jaman seharusnya menjadi sebuah kesempatan bagi industri musik konvensional yang sudah

mapan untuk menerapkan sebuah strategi dan mekanisme baru. Sebuah mekanisme yang

dapat menyambung kembali nafas hidup label rekaman konvensional. Pemanfaatan teknologi

yang telah berkembang sangat pesat merupakan salah satu jalan menuju perubahan tersebut.

Begitu pula bagi musisi dan pencipta lagu, seharusnya mereka dapat lebih kreatif dan

bereksplorasi dengan musiknya.

Netlabel: Sebuah Produk Free Culture Dan Alternatif Pendistribusian Musik

Musik dalam format digital berhasil memunculkan sebuah budaya baru yang tanpa

disadari kita dalam hal ini sebagai penikmat musik telah aktif menjadi bagian dari budaya

tersebut, budaya berbagi file atau biasa disebut Free File Sharing Culture. Aktivitas berbagi

file dapat dilakukan melalui banyak cara seperti mengkopi file CD untuk kemudian

dipindahkan ke dalam flash disk atau hard disk, sampai dengan salah satu contoh yang saya

sebutkan diatas yaitu melalui jaringan internet. Melalui internet para penikmat musik dapat

memilih beberapa opsi untuk mengunduh lagu, seperti menggunakan aplikasi BitTorrent

dengan teknologi peer-to-peernya, berbagi file melalui attachment email, tautan di blog,

atau dengan mengandalkan situs penyimpanan file digital seperti 4shared, Mediafire,

Rapidshare, Indowebster dan lain sebagainya. Semua aktivitas tersebut tidak lepas dari

perkembangan teknologi komunikasi saat ini yang sangat maju dan memudahkan terjadinya

proses berbagi file. Saya sendiri tidak mengetahui kapan tepatnya budaya berbagi file dimulai

serta siapa yang pertama kali memulainya. Satu hal yang pasti, aktivitas berbagi file saat ini

sangat digandrungi oleh masyarakat luas di seluruh belahan dunia. Ada beberapa hal yang

saya kira masih perlu diperjelas tentang pengertian dari Free File Sharing itu sendiri terutama

dalam konteks berbagi file musik. Istilah “Free File Sharing” bagi kebanyakan orang acap

Page 23: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

20

kali diartikan hanya sebagai aktivitas berbagi suatu file secara gratis, padahal kata “Free”

dalam “Free File Sharing” itu sendiri diartikan sebagai “free” as in “free speech”, not as in

“free beer”. Suatu file bebas tidak selalu dapat diartikan sebagai file gratis, dan suatu file

gratis juga belum tentu dapat diartikan sebagai file bebas. Musik bebas adalah tentang

kebebasan, bukan mengenai harga maupun hanya sekedar produk industri biasa. Itulah

kenapa musik bebas menjadi bagian dari budaya bebas atau “Free Culture”. Gerakan budaya

bebas adalah suatu gerakan yang mengkampanyekan kebebasan untuk mendistribusikan serta

memodifikasi karya-karya kreatif dalam bentuk konten gratis dengan menggunakan media

internet dan bentuk media lainnya.

Free Culture pada awalnya muncul sebagai perlawanan terhadap kebijakan peraturan

industri software yang mengekang kebebasan konsumen untuk mengakses suatu konten atau

fitur tertentu yang terdapat pada produk yang telah dibelinya, hal ini dikarenakan lisensi yang

tercantum pada produk dibuat berbeda- beda sesuai dengan paket yang dibeli oleh konsumen,

dan jika konsumen ingin mengakses konten atau fitur tersebut maka konsumen diharuskan

untuk mengupgrade software yang telah dibeli, tentunya tidak gratis dan harus mengeluarkan

uang kembali. Sebuah perlawanan yang akhirnya memunculkan proyek sistem operasi

bernama GNU (GNU‟s Not Unix) dengan ketentuan pendistribusian menggunakan GPL

(General Public License) yang ditulis oleh Richard Stallman (http://www.gnu.org). GPL atau

Lisensi Publik Umum merupakan sebuah ketentuan pendistribusian untuk meng-copyleft-kan

sebuah program serta mengharuskan pembuat kode software untuk mengeluarkan source

code bersamaan dengan rilisnya software yang ditawarkan, dengan tujuan source code

tersebut dapat dipelajari oleh penulis kode lainnya maupun masyarakat luas.

(http://www.gnu.org/copyleft/gpl.html). Lalu apa hubungannya GNU dengan musik bebas

yang saya bahas? Keduanya merupakan suatu konsep “produk” yang ditawarkan dari sebuah

budaya tandingan bernama Free Culture. Gerakan Free Culture sendiri tidak bisa lepas dari

kontribusi Lawrence Lessig, seorang Profesor dari Stanford Law School yang menulis buku

berjudul sama dengan gerakan yang dikampanyekannya yaitu Free Culture (2004).

Sebagai alternatif, Free Culture merupakan sebuah jawaban dari rumitnya

permasalahan yang kerap terjadi pada pendistribusian musik. Perlahan tapi pasti gerakan ini

mulai mendapatkan bentuknya di industri musik, hal ini dapat dilihat dengan semakin

banyaknya musisi atau band yang menggratiskan karyanya, entah itu dalam rangka

mempromosikan albumya (yang berarti hanya single gratis) atau memang dengan tujuan

menggratiskan semua rilisannya. Keberadaan gerakan Free Culture membawa angin segar

Page 24: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

21

bagi dunia musik, khususnya bagi komunitas musik arus pinggir (Sidestream/Cutting Edge).

Free Culture hanya merupakan garis besar dari aktivitas berbagi file musik secara bebas atau

lebih tepatnya esensi yang terkandung pada budaya tersebut. Diluar itu aktivitas berbagi file

musik gratis juga membutuhkan sebuah media baru yang memungkinkan terjadinya aktivitas

ini. Sebuah sistem alternatif yang tidak hanya dapat mengakomodir kebutuhan penikmat

musik tetapi juga dapat memberikan kompensasi dan rasa aman kepada musisi dan pemilik

hak cipta. Netlabel merupakan jawaban dari kebutuhan akan media tersebut. Sebagai sebuah

media atau startup musik Netlabel merupakan sebuah label rekaman yang mendistribusikan

musik melalui format digital audio (MP3, Ogg Vorbis, FLAC, WAV) melalui jaringan

internet. Hanya itukah definisi dari Netlabel? Tidak, bagi saya pribadi Netlabel memiliki

esensi lebih dari itu. Bagi saya Netlabel merupakan sebuah sistem alternatif yang dapat

menghindari kekakuan dan kerumitan yang biasa terjadi pada label rekaman konvensional.

Netlabel merupakan sebuah budaya tandingan yang berjalan beriring dengan industri musik

konvensional. Karena baik Netlabel maupun label rekaman konvensional memiliki perannya

masing – masing di dunia musik, jika label rekaman konvensional mencari laba atau profit,

maka Netlabel hanya mencari kepuasan, kepuasan merilis band maupun musisi yang tentunya

sesuai dengan selera, kepuasan memperkenalkan musisi atau band yang belum terlalu dikenal

kepada masyarakat luas, kepuasan menjadi bagian dari sebuah counter culture, dan masih

beragam jenis kepuasan lainnya yang sulit dicerna oleh pola pikir orang Indonesia

kebanyakan.

Bagi penikmat musik kehadiran Netlabel jelas memberikan keuntungan, para

penikmat musik dapat mengunduh gratis album yang diinginkannya tanpa harus memiliki

perasaan bersalah mendapatkan file secara ilegal, karena pastinya semua rilisan yang ada di

Netlabel bersifat legal. Lantas apa kompensasi yang diterima oleh musisi dan pencipta lagu

dari merilis karyanya melalui jalur Netlabel? Distribusi serta promosi yang lebih luas

merupakan kompensasi yang pasti diterima oleh musisi atau pencipta lagu. Selain itu

kebebasan dalam proses kreatif juga merupakan salah satu keuntungan yang secara tidak

langsung dapat dirasakan oleh musisi dan pencipta lagu. Netlabel sama sekali tidak

mengintervensi atau mengganggu gugat proses kreatif dari suatu produksi materi lagu.

Netlabel lebih berkonsentrasi kepada pendistribusian dan pempublikasian dari sebuah rilisan.

Mayoritas Netlabel yang aktif menggunakan situs Internet Archive (http://archive.org)

sebagai tempat untuk mengunggah dan menaruh rilisan, Internet Archive merupakan situs

penyimpanan file yang berkonsepkan sebuah perpustakaan digital dan populer digunakan

Page 25: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

22

oleh Netlabel karena pengaturan file unggahan yang lebih terorganisir serta laman tersendiri

yang disediakan khusus untuk Netlabel, selain itu kapasitas penyimpanan yang tidak berbatas

juga merupakan daya tarik yang dimiliki oleh Internet Archive. Internet Archive juga

terintegrasi langsung dengan jenis lisensi bebas Creative Commons (CC), sebuah lisensi yang

banyak digunakan oleh Netlabel dikarenakan opsi lisensinya sesuai dengan konsep musik

bebas. Model lisensi Creative Commons pada awalnya memiliki tingkat adopsi sangat tinggi

di komunitas musisi elektronik, khususnya yang bergerak melalui jaringan internet. Björn

Hartmann seorang asisten Profesor dari UC Berkeley di Departemen ECS mengungkapkan

dalam essaynya tentang empat alasan mengapa musisi dapat jalan beriring dan menjadi

bagian dari Creative Commons itu sendiri. Keempat alasan itu antara lain, keunggulan

promosi, kebebasan dari tekanan ekonomi, komunitas yang luas, serta perkembangan dan

tantangan di masa depan. Empat alasan tersebut sedikit banyak juga menjadi dasar

ketertarikan Netlabel untuk menggunakan model lisensi Creative Commons dalam tiap

rilisannya.

Netlabel sebagai sebagai startup musik yang mengakomodir kebutuhan penikmat

musik serta musisi arus pinggir memberikan warna tersendiri di insutri musik saat ini.

Netlabel secara langsung berperan meminimalisir permasalahan pembajakan musik yang kian

hari semakin merajalela. Hanya saja pemerintah sendiri seperti menutup mata dengan

kehadiran Netlabel, atau mungkin mereka memang tidak mengetahui eksistensi Netlabel

lokal. Hubungan antara internet dan musik saat ini bagai pisau bermata dua, di satu sisi

internet seringkali dikambing hitamkan sebagai sumber dari aktivitas pembajakan, di sisi

lainnya internet juga menguntungkan sebagai media promosi dan distribusi yang lebih luas.

Seharusnya para pelaku industri musik dapat lebih mawas diri menyikapi permasalahan ini,

bukan hanya terus-terusan mencari kambing hitam atas turunnya angka penjualan album

fisik. Kecenderungan pola konsumsi masyarakat yang terus berubah seiring perkembangan

jaman seharusnya menjadi sebuah kesempatan bagi industri musik konvensional yang sudah

mapan untuk menerapkan sebuah strategi dan mekanisme baru. Sebuah mekanisme yang

dapat menyambung kembali nafas hidup label rekaman konvensional. Pemanfaatan teknologi

yang telah berkembang sangat pesat merupakan salah satu jalan menuju perubahan tersebut.

Begitu pula bagi musisi dan pencipta lagu, seharusnya mereka dapat lebih kreatif dan

bereksplorasi dengan musiknya. Musik gratis dan bebas tidak melulu memiliki stigma negatif

atau jelek secara kualitas. Selain itu, pemahaman musisi dan pencipta lagu atas konsep

Creative Commons serta copyleft juga masih sangat kurang. Setiap musisi yang merilis karya

Page 26: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

23

di Netlabel sudah seharusnya memahami konsep tersebut untuk mengetahui hak – hak

mereka.

Industri musik memerlukan sebuah penyegaran, penyegaran yang tidak hanya

berbentuk produk yang ditawarkan, tetapi juga media yang menaungi musik itu sendiri pun

memerlukan sebuah penyegaran. Kehadiran startup musik seperti Netlabel merupakan salah

satu penyegaran yang menjadi bukti bahwa suatu kegiatan publikasi dan pendistribusian yang

masif dari rilisan musik tidak selalu memerlukan sokongan dana finansial dengan jumlah

angka yang fantatastis. Meminjam istilah Andaru Pramudito dalam skripsinya yang berjudul

“Free Culture Sebagai Alternatif Dalam Gerakan Musik Swadaya”, Netlabel merupakan

langkah awal dari sebuah era yang akan merevolusi pola pikir masyarakat tentang konsep

pendistribusian suatu karya musik. Netlabel dapat membawa perubahan yang tidak hanya

diartikan sebagai sebuah budaya tandingan, tetapi juga akan menjadi lawan potensial dan

sepadan dengan label rekaman konvensional yang sudah terlebih dahulu mapan. Industri

musik memang memerlukan sebuah penyegaran dan pembaharuan, tapi sudah sepatutnya

juga tidak mengorbankan kualitas dari musik itu sendiri, dan yang pasti memberikan ruang

kepada berbagai jenis musik lainnya yang selama ini masih dianaktirikan. Suatu ceruk

potensial yang selama ini masih luput dan belum (atau tidak) terangkat oleh label rekaman

konvensional.

Netlabel: Kegiatan Pengarsipan Dengan Peran Anak Muda Di Dalamnya

Masih hangat di ingatan saya ketika bersama kawan-kawan dari Kamar Hujan

membuat suatu gelaran diskusi tentang Free File Sharing di Bogor, kala itu saya

disandingkan menjadi pembicara bersama Fakhri Zakaria, seorang kawan lama yang kini

aktif menjadi penulis di sebuah situs yang membahas musik dan humaniora. Saya dibuat

terperangah ketika mendengarkan materi yang disampaikan olehnya. Ia membahas tentang

betapa pentingnya kegiatan pengarsipan musik, rekam jejak yang kini seakan terabaikan. Ia

mengambil contoh Lokananta sebagai sebuah label rekaman konvensional milik negara dan

pertama di Indonesia yang pada masa jayanya memiliki tugas memproduksi serta

menduplikasi karya musik dalam medium piringan hitam namun kini kondisinya semakin

mengenaskan. Puluhan ribu piringan hitam yang sensitif dibiarkan teronggok di sebuah

ruangan berventilasi minim, dan hanya menggunakan bubuk kopi serta kapur barus untuk

mengusir bau dan serangga iseng yang bukan tidak mungkin menggerogoti keping-keping

piringan hitam tersebut. Situasi yang sangat ironis, mengingat didalam artefak-artefak

tersebut terdapat sebuah nilai sejarah yang menjadi simbol perjalanan musik dan industri

Page 27: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

24

rekaman tanah air.

Kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya kegiatan pengarsipan, khususnya di

bidang seni budaya memang bisa dibilang masih sangat minim, walaupun masih ada

beberapa gelintir orang yang setia merunut sejarah dan berusaha mengumpulkan artefak-

artefak musik lokal dalam bentuk piringan hitam dan kaset untuk koleksi pribadi. Namun

hingga saat ini masih belum ada sebuah lembaga resmi yang benar-benar menaungi,

mengurus, mendata, serta mencatat seluruh karya musik Indonesia yang hilang ditelan zaman.

Pada tahun 2005 lalu memang santer terdengar beberapa jurnalis dan kritikus musik senior

berusaha mengagas terbentuknya lembaga yang menangani kegiatan pengarsipan dan

pendataan, namun hingga kini masih belum terdengar kelanjutan dari gagasan tersebut.

Tantowi Yahya seorang politis yang juga musisi pada tahun 2007 sempat ingin mewujudkan

ide yang masih kuat kaitannya dengan kegiatan pengarsipan, yaitu ide pembangunan sebuah

museum musik Indonesia, sampai akhirnya ide tersebut tidak bergulir dikarenakan

permasalahan klasik di negeri ini, dana. Beberapa waktu lalu pun saya masih membaca

beberapa lontaran gagasan tentang kegiatan pengarsipan melalui akun twitter Denny Sakrie,

namun entah bagaimana kelanjutannya. Jika kita kaji lebih jauh, selain permasalahan dana,

suatu kegiatan pengarsipan rilisan musik juga tidak akan lancar berjalan tanpa adanya

dukungan dan izin dari pihak label rekaman yang menaungi dan dalam hal ini memiliki hak

atas segala kegiatan yang dilakukan dengan suatu rilisan musik, serta dukungan pemerintah

melalui peran serta lembaga terkait seperti ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia).

Walaupun kegiatan pengarsipan yang kita lakukan murni tidak bertujuan komersial, namun

regulasi yang ada kerap kali menjadi penentu langkah selanjutnya, apakah akan berjalan atau

berhenti.

Lalu sampai sejauh manakah peran anak muda Indonesia dalam kegiatan pengarsipan

musik? Mungkin saat ini hanya sedikit anak muda Indonesia yang memiliki kepedulian akan

hal ini, tapi jumlah tersebut akan terus berkembang seiring terbuka dan derasnya arus

informasi dan berkembangnya teknologi. Apa sebenarnya kaitan derasnya aliran informasi

serta perkembangan teknologi dengan kegiatan pengarsipan? Kedua hal tersebut telah

merubah kecenderungan pola konsumsi masyarakat dan kecenderungan pola pikir

masyarakat. Seperti saya singgung di halaman sebelumnya, industri musik kini telah

memasuki era digital yang secara signifikan telah merubah wajah dari musik itu sendiri.

Tentunya kegiatan pengarsipan musik kini tidak hanya terkukung oleh arsip rekaman

berbentuk rilisan fisik saja, tetapi juga memiliki opsi baru melalui kegiatan pengarsipan

Page 28: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

25

dalam bentuk file digital. Sebuah alternatif yang jarang ditengok karena bentuknya yang

intangible, tidak berwujud. Sebenarnya pokok permasalahan dari kegiatan pengarsipan

bukanlah sebuah medium atau medianya, tetapi lebih kepada sulitnya mendapatkan suatu

karya “terlanjur langka” yang ingin kita arsipkan, dan tidak akan pernah ada habisnya jika

kita sebagai generasi muda terus berdebat tentang rilisan fisik versus rilisan digital.

Generasi muda saat ini bisa berkaca kepada apa yang terjadi dari kurangnya perhatian

di masa lalu tentang kegiatan pengarsipan sebuah karya musik. Kita bisa mulai melakukan

kegiatan pengarsipan dimulai dari sekarang. Tidak pernah ada kata terlambat dan kata selesai

dalam kegiatan pengarsipan rilisan musik, musik akan terus ada dan rilisan akan terus

bermunculan walaupun kita telah tiada, saya pribadi menyadari hal tersebut. Karena memang

salah satu tujuan saya aktif dan mengelola Netlabel Hujan! Rekords diluar memberikan

alternatif penyelesaian pendistribusan dan pempublikasian salah satunya adalah sebagai

kegiatan pendokumentasian atau pengarsipan dari suatu gerakan musik arus pinggir yang ada

disekitar saya. Dengan menggunakan Internet Archive yang berkonsepkan sebuah

perpustakaan digital sebagai media penyimpanan file, semua rilisan yang pernah dirilis oleh

Hujan! Rekords dapat lebih lebih terorganisir dengan laman tersendiri serta pemisahan

khusus yang mengkelompokkan file sesuai dengan formatnya, selain itu saya juga selalu

menggunakan pengkategorian untuk alamat URL rilisan, dengan tujuan agar mudah diingat.

Ini merupakan sebuah bukti tidak selamanya pengarsipan digital tidak dapat dilacak dan

menghilang. Walaupun kemungkinan buruk seperti hilangnya data akibat kesalahan pada

server sewaktu-waktu dapat terjadi, tapi hal tersebut masih dapat ditanggulangi, karena toh

data tersebut masih saya milik dan masih bisa diunggah ulang. Saya memiliki kebiasaan

seelalu mengkopi suatu rilisan sebelum dirlis ke beberapa media penyimpanan dengan tujuan

meminimalisir kemungkinan hilangnya file dari laptop saya.

Mengunggah suatu rilisan musik ke sebuah situs penyimpanan gratis juga memiliki

nilai tambah lainnya, karena seperti yang kita tahu kebanyakan rilisan digital yang ada

mengadopsi sebuah sistem berbagi pakai dengan meniadakan larangan dalam pendistribusian

salinan atau hasil modifikasi serta pemakaian karya tersebut dengan tetap mengharuskan

kebebasan yang sama diterapkan pada tiap-tiap versinya, atau biasa kita sebut copyleft.

Bahkan banyak juga yang menggunakan jenis lisensi bebas tertentu seperti Creative

Commons. Ini tentu saja menjadikan suatu keuntungan tersendiri bagi generasi setelah kita

yang kebingungan ingin mengakses suatu rilisan dan mempergunakannya untuk keperluan

tertentu (tentunya diluar keperluan komersial). Mungkin akan lain ceritanya jika rilisan

Page 29: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

26

tersebut berbentuk fisik, karena tidak akan semudah itu mengakses suatu arsip musik untuk

dipergunakan bagi suatu keperluan. Saya ambil contoh ketika seorang teman ingin membuat

suatu film pendek yang hanya dibuat untuk tujuan screening di kampus, ia bermaksud untuk

menggunakan lagu dari seorang musisi yang bernaung di sebuah label rekaman mapan

sebagai musik latar di beberapa adegan. Ia berhasil mendapatkan izin dari sang pencipta lagu

tersebut, namun pada akhirnya kembali tersendat saat berhadapan dan meminta izin kepada

pihak label dari si musisi tersebut. Surat yang ia tulis tak pernah dibalas seperti menghilang

dan tak pernah tersampaikan, dan akhirnya ia tidak jadi menggunakan lagu tersebut sebagai

musik latar di filmnya. Hal yang tidak akan terjadi seandainya rilisan tersebut “dibebaskan”

atau di-copyleft-kan dengan jenis lisensi bebas. Permasalahan serupa juga terjadi ketika

Danger Mouse seorang DJ dan Produser asal Amerika Serikat yang lebih kita kenal melalui

grup Gnarls Barkley dan campur tangannya memproduseri album kedua Gorillaz bermasalah

dengan regulasi hak cipta karena menggunakan sample vokal Jay-Z di “The Black Album”

yang kemudian ia tabrakkan dengan sample dari “The White Album” milik The Beatles dan

meghasilkan sebuah album yang disebut “The Grey Album”. EMI Music sebagai pihak label

yang memiliki hak atas “The White Album” dari The Beatles kemudian berupaya untuk

menghentikan peredaran “The Grey Album”. Walaupun tujuan awal dari Danger Mouse

sendiri tidak lain hanya sebagai bentuk penghargaan atau tribute dan tidak memliki maksud

untuk melanggarh hukum hak cipta, karena memang album tersebut didistribusikan secara

gratis tanpa tujuan komersial. Regulasi hak cipta yang ada pada sebuah asrip musik memang

kerap kali merepotkan, walaupun tujuan kita hanya mengapresiasi suatu karya musisi yang

mempengaruhi kita.

Kembali lagi ke bahasan pengarsipan digital, saya memiliki keyakinan teman-teman

penggiat netlabel lainnya di Indonesia pun memiliki tujuan pengarsipan dalam setiap kegiatan

yang mereka lakukan dengan netlabel yang dikelolanya. Ini merupakan sebuah bukti bahwa

Generasi Muda saat ini tidak tinggal diam dan hanya bisa sekedar menikmati atau bermain

musik saja, tetapi juga memiliki kepedulian akan pentingnya suatu kegiatan pengarsipan

musik, tentunya dengan cara dan media yang berbeda-beda. Belakangan muncul beberapa

Netlabel baru yang ikut meramaikan skena musik lokal dan melakukan pendekatan

pengarsipan sesuai dengan cara dan ketertarikan mereka masing-masing akan suatu jenis

musik. Hal yang sangat menggembirakan, karena berarti kesadaran generasi muda akan

kegitan ini sudah mulai terbangun. Tapi bukan berarti setiap anak muda di Indonesia

diharuskan membuat Netlabel, kegiatan pengarsipan musik bisa dilakukan dengan berbagai

Page 30: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

27

cara sesuai dengan minat dan kemampuan masing-masing.

Pergerakan Netlabel Di Indonesia

Keberadaan Netlabel di Indonesia bukanlah suatu fenomena yang baru terjadi.

Konsep Netlabel diawali oleh kemunculan oleh Tsefula/Tsefulha Records yang hampir tidak

terlacak sebagai self released label dari Shorthand Phonetics sebuah band Indie Rock/Wizard

Rock lokal pada tahun 2004, namun keberadaan Netlabel mulai dikenal secara luas pada

tahun 2007 dengan lahirnya Yes No Wave Music, sebuah Netlabel asal Yogyakarta dengan

katalog berkualitas berisi rilisan dari band dan musisi seperti The Upstairs, Whites Shoes &

The Couples Company, Frau, dll. Pada tahun 2008 – 2010 mulai banyak Netlabel yang

bermunculan, namun tidak sedikit pula Netlabel yang kini menghilang dan non-aktif.

Netlabel yang muncul pada kurun waktu tersebut dan kini non-aktif antara lain; Reload Your

Stereo (Malang), Oneloop (Bandung), Invasi Records (Jakarta), dan Stone Well Sound

Records (Jakarta). Sedangkan Netlabel yang masih aktif antara lain; In My Room Records

(Jakarta), Hujan! Rekords (Bogor), Stone Age Records (Jakarta), dan Mindblasting (Jember).

Masing-masing dari tiap Netlabel biasanya memiliki suatu ketertarikan tersendiri dalam

menentukan jenis musik atau musisi/band yang menjadi ciri khas dalam setiap rilisan yang

mereka keluarkan. Seperti In My Room Records yang mengkhususkan labelnya hanya untuk

Bedroom Musician dan Stone Age Records yang memiliki misi awal mendokumentasikan

rilisan skena musik punk/hardcore/metal lokal. Popularitas Netlabel di Indonesia tidak bisa

lepas dari dukungan media massa lokal yang lambat laun mulai memberikan perhatian

kepada Netlabel sebagai suatu alternatif yang berjalan beriring bersama industri musik yang

telah ada. Wendi Putranto, Executive Editor Rolling Stone Online sempat menulis tentang

keberadaan Netlabel di buku karyanya yang berjudul “Rolling Stone Music Biz”.

Walaupun media kerap kali membahas tentang keberadaan Netlabel, namun hingga

saat ini pemahaman masyarakat tentang definisi dan manfaat dari Netlabel masih sangat

kurang. Entah sudah berapa kali saya dihadapkan pada pertanyaan yang sama oleh teman

maupun kerabat “Ngapain sih? Buang waktu doang”. Saya hanya bisa tersenyum setiap

mendengar pertanyaan tersebut dan menjawab sekenanya, karena toh percuma jika saya

jelaskan panjang lebar dari mulai tetek bengek lisensi atau tentang Netlabel sebagai bentuk

Free Culture, karena belum tentu mereka dapat memahami atau paling tidak memaklumi apa

yang saya kerjakan. Hal yang dapat saya maklumi, karena masyarakat kebanyakan memiliki

pemahaman yang menyamakan Netlabel dengan blog mp3 gratis biasa, dan ketika

kesalahkaparahan itu hendak diubah maka tidak akan semudah memasukan pemahaman lama

Page 31: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

28

yang telah terbentuk. Saya dan teman-teman pengelola Netlabel lainnya bukan berarti hanya

berdiam diri saja dan menerima pemahaman tersebut. Pada tanggal 1 Januari 2011 lalu kami

merilis seri album kompilasi secara serentak. Aksi kolektif yang kami beri nama “Indonesia

Netlabel Union” tersebut merupakan langkah awal memperkenalkan eksistensi Netlabel

Indonesia kepada publik secara lebih luas dengan lima netlabel aktif yang turut serta dalam

kompilasi ini. Kelima Netlabel tersebut diantaranya Hujan! Rekords, Inmyroom Records,

Mindblasting, StoneAge Records dan Yes No Wave Music. Materi lagu dalam kompilasi

diambil dari single atau album yang dirilis secara gratis dan legal melalui dari katalog rilisan

Netlabel-netlabel lokal (baik yang sudah aktif maupun pasif) atau Webzine yang juga merilis

album gratis secara legal pada kurun waktu tahun 2000 hingga 2010, proyek ini pertama kali

digagas oleh Wok The Rock dari Yes No Wave Music. Sambutan masyarakat sendiri ketika

seri kompilasi ini dirilis sangat baik begitu pula dengan sambutan media yang banyak

membantu mempromosikan aksi kolektif ini.

Saya mendirikan Hujan! Rekords, sebuah Netlabel yang berbasis di Bogor pada awal

tahun 2009 dengan tujuan untuk mengakomodir talenta-talenta yang memiliki kendala

finansial untuk merilis karyanya dalam bentuk fisik dan memberikan alternatif penyelesaian

melalui jalur net-release secara gratis melalui format digital audio dibawah lisensi Creative

Commons. Konsep dari Hujan! Rekords sendiri ialah mencari dan mendistribusikan band-

band yang berpotensi dan memiliki karya yang berkualitas. Dalam menjalankan label ini saya

dan teman-teman lainnya tidak mengincar keuntungan dari segi materi karena label ini dibuat

pada dasarnya atas kecintaan kami terhadap musik dan misi untuk memperkenalkan hasil

karya band atau musisi yang berpotensi kepada masyarakat luas, hal tersebut jugalah yang

memotivasi kami untuk tetap bertahan walaupun sering kali kami harus mensiasati waktu

dikarenakan kesibukan diluar mengelola label ini. Kami tidak membatasi jenis musik atau

genre yang akan kami rilis, karena kami lebih mementingkan kualitas musik dari sebuah band

atau musisi diluar genre ataupun besar dari nama suatu musisi atau band tersebut.

Saya dan teman-teman lainnya yang bersama- sama mengelola Hujan! Rekords

percaya bahwasanya kecenderungan pola konsumsi musik dewasa ini sudah tak mendukung

pencapaian penjualan produk fisik. Musik yang diciptakan oleh musisi dan pencipta lagu

pada saatnya nanti hanya akan menjadi sebuah portfolio yang mendongkrak popularitas,

penjualan merchandise, dan jumlah orang yang datang untuk menonton pertunjukan dari

musisi tersebut secara live, hal seperti ini jamak ditemui pada skena musik arus pinggir

dimana musisinya sangat menggantungkan pemasukan finansial melalui penjualan

Page 32: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

29

merchandise dan pertunjukan live. Bagi saya pribadi semua suara yang ada di dunia pada

dasarnya adalah gratis. Musik pun begitu. Musik bukan untuk dijual, tetapi untuk didengar

dan dinikmati, dan Netlabel akan tetap ada sebagai bentuk counter culture serta sebagai

bagian dari bentuk usaha pendokumentasian arsip digital pergerakan musik lokal.

*) Artikel ini dimuat di Indonesian Netaudio Zine Yogyakarta

Menlusur Jejak Venue Di Bogor Oleh: Gilang Nugraha

Beberapa waktu lalu seorang kawan dari Surabaya mengabari saya via pesan pendek

tentang rencana untuk menyambangi Bogor sebagai bagian dari daerah tujuan plesirnya kali

ini. Selang beberapa hari kemudian tibalah hari dimana kita janjian untuk kopi darat pertama

kalinya karena memang interaksi saya dengan dia selama ini hanya dilakukan melalui media

internet dan ada beberapa hal yang memang harus kami bicarakan secara langsung terkait

rencana pelaksanaan sebuah event berskala nasional xp. Saya bergegas dari kantor di

bilangan Depok menuju Bogor menumpang KRL Commuter Line. Meeting point kami adalah

Taman Kencana, sebuah Taman Kota yang terletak dipusat Kota Bogor dengan akses yang

gampang menuju berbagai tempat yang biasanya ramai dikunjungi oleh orang-orang yang

plesir ke kota Bogor, sebut saja Jalan Pajajaran, toko kue pie, toko makaroni panggang, dan

lain-lain. Setelah bertemu, kami mengitari Bogor dengan berjalan kaki sembari bertukar

Page 33: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

30

cerita dan informasi. Beberapa kali saya bercerita tentang venue-venue musik di Bogor yang

kini sudah menghilang dan hanya tersisa sedikit. Sekitar pukul 8 malam kami berpisah karena

ia harus segera mengejar kereta menuju Jakarta untuk kembali melanjutkan perjalanan.

Kawan tersebut tak lain adalah Mbak Tinta (Anitha Silvia) yang dijuluki Gembi

(Wastedrockers) sebagai “Musafir Gigs” x)).

Selang satu minggu kemudian ia kembali menghubungi saya via pesan pendek dan

menawari saya untuk menulis di Zine yang ia buat, “Gilang..pengen ngajakin kamu nulis

tentang Bogor..untuk Halimun edisi Jabodetabek, bgmn menurutmu?”, ajakan yang langsung

saya iyakan walaupun sedikit bingung tentang bahasan apa yang akan saya tulis. Setelah

beberapa kali pecakapan via pesan pendek, akhirnya disepakati untuk menulis tentang skena

musik Bogor saat ini. Saya jujur masih sangat bingung karena bahasan tentang skena musik

Bogor saat ini akan sangat panjang jika diceritakan apalagi jika dirunut dari era awal

pergerakannya (walaupun bahasan yang saya tulis saat ini juga tidak kalah panjangnya xp).

Akhirnya saya memutuskan untuk mengambil bahasan seputar jejak venue di Bogor, karena

semenjak obrolan kami di kopdar pembahasan seputar venue musik di Bogor masih saja

menggelitik pikiran saya bahkan hingga saat ini.

Saya menyadari bahwa saya tidak terlalu kompeten untuk merunut kembali jejak

venue musik di Bogor mulai dari era awal pergerakannya, sedangkan untuk menghubungi dan

mencari narasumber akan memakan waktu proses yang lama, oleh karena itu bahasan saya

tentang venue musik di Bogor ini hanya akan mengambil latar mulai dari akhir tahun 2005,

masa dimana saya mulai aktif bermain musik dan menyambangi gigs di Kota Bogor.

Ketika itu saya masih mengenakan seragam Putih-Abu dan sedang rajin-rajinnya

mencari referensi musikal dengan menyambangi gigs di Bogor yang saat itu sedang ramai.

Atas nama pencarian jatidiri dan keresahan a la remaja tanggung (alah ) saya memutuskan

untuk membentuk band bersama dengan teman-teman satu sekolah yang kebetulan punya

kesukaan musik yang sama. Berkat band tersebut jugalah saya jadi mengetahui bagaimana

asyiknya mengeluarkan peluh sembari menyaksikan band kesukaan bermain secara langsung

dan merasakan bagaimana adrenalin kita terpompa ketika berdiri diatas panggung (atau level)

sebagai seorang performer. Pada tahun tersebut jugalah gelaran street gigs masih sering

dibuat. Tempat yang disulap sebagai venue saat itu adalah parkiran sebuah toko roti

legendaris bernama Bogor Permai atau biasa disebut dengan singkatan Boper. Pada masa-

masa awalnya saya lebih mengenal street gigs di Boper identik dengan teman-teman street

punk yang memainkan musik berbenang merah punk seperti punk rock/ska-punk/crust-

Page 34: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

31

punk/hardcore punk. Namun pada perkembangannya musik-musik lain seperti grindcore,

metallic hardcore, pop -punk, post-hardcore, dan post-punk juga mulai mendapatkan tempat

di Boper. Pengorganisiran gigs ketika itupun terbilang masih sangat sederhana dengan etos

D.I.Y yang tetap dipegang teguh. Bayangkan, ketika itu untuk mendapatkan suplai listrik

keperluan sound system tim inisiator mengambilnya melalui tiang listrik terdekat yang diakali

sedemikian rupa oleh teman-teman yang kebetulan belajar teknik elektro, bahasa

sederhananya nyolong listrik! Terkadang juga kita mengambil listrik melalu rumah warga

terdekat dengan tentunya membayar „upeti‟ listrik sesuai dengan kesepakan yang dibuat

dengan pemilik rumah.

Uang tersebut juga diambil dari kolektifan para pengisi acara. Ya, ketika itu kata

„kolektifan‟ masih sesuai dengan arti sebenarnya dan tidak kabur dengan definsi sekarang

yang lebih tepat disebut „registrasi‟ dibanding „kolektifan‟. Untuk alat, para inisiator gigs

biasanya meminjam dari teman-teman yang berbeda, seperti gitar minjam dari si A, bass dari

si B, kabel dari si C, dan seterusnya. Sedangkan peralatan lainnya seperti drum dan sound

meminjam dari studio yang memang biasa dijadikan tempat latihan. Nominal uang kolektif

saat itupun masih sangat murah hanya Rp 30.000. Untuk media promosi para inisiator gigs

sangat pandai menciptakan word of mouth yang masif tentunya dengan jaringan komunitas

yang kuat, untuk media promosi cetak dibuat sebuah pamflet fotokopian yang masternya

dibuat dengan sederhana menggunakan metode cut and paste khas zine. Acara dimulai pukul

11 malam sampai yang biasanya sampai dengan Adzan Subuh berkumandang, pemandangan

orang-orang yang bersiap lari pagi dan teman-teman yang kelelahan tertidur di trotoar dan

alat-alat band yang masih teronggok diparkiran merupakan pemandangan ajaib yang mungkin

tidak akan terulang lagi saat ini, beruntung saya dan band saya pernah menjajal main divenue

tersebut beberapa kali bahkan ketika venue dipindah ke Parkiran Lautan (Toko Roti) yang

letaknya hanya dipisahkan oleh lampu merah dari Boper. Masa kejayaan venue Boper (dan

Lautan) usai ketika terjadi kesalah pahaman dengan warga sekitar yang akhirnya

menyebabkan insiden memakan korban dan sempat menjadi headline di TV nasional, sangat

disayangkan memang mengingat divenue inilah perbedaan hilang dan rasa persaudaraan

terbangun walaupun baru berkenalan 10 menit yang lalu.

Dari venue street gigs kita beralih ke venue yang berbentuk cafe, terletak di area

rooftop sebuah pusat perbelanjaan bernama Plaza Pangrango (kini bangkrut dan bangunannya

terbengkalai) One-Q Pool & Cafe merupakan sebuah tempat yang pada tahun 2006 sangat

ramai dijadikan venue gigs Bogor. Akses yang dekat dan berada dipusatperbelanjaan

Page 35: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

32

merupakan nilai tambah tersendiri bagi venue ini. Tempat yang luas serta panggung

permanen berbentuk level pendek adalah ciri khas dari venue ini, gelaran tur band-band luar

kota maupun luar negeri seperti Momsday dari Jerman sempat mengambil tempat disini,

namun usia dari venue ini sangat pendek. Saya sendiri tidak tahu apa yang menyebabkan

One-Q tutup dan berganti nama menjadi LC Pool & Bar, apakah hanya sekedar pergantian

nama dan manajemen saja atau memang berbeda secara keseluruhan dan kepemilikan. Satu

hal yang pasti, setelah berganti nama pun LC Pool & Bar masih sering dijadikan venue gigs.

Sampai masuk dimasa perizinan untuk penyelenggaraan acara musik susah dibuat dan LC

Pool & Bar mulai dittinggalkan. Menurut informasi, harga sewa venue yang mahal juga

merupakan alasan mulai ditinggalkannya LC Pool & Bar sebagai venue musik. Kini LC Pool

& Bar sudah menghilang, seiring bangkrutnya Pangrango Plaza pada pada tahun 2010 lalu.

Pada tahun yang sama pulalah Spektrum Cafe sebuah Cafe yang dikelola oleh Hotel

Santika menjadi pilihan tempat penyelenggaraan gigs. Letak Spektrum Cafe yang hanya

dipisahkan oleh dua bangunan dengan Pangrango Plaza (tempat dimana LC Pool & Bar)

berada menjadikannya sebagai alternatif selain LC Pool & Bar bahkan beberapa gigs sempat

bentrok tanggal, dimana pada hari yang sama ada dua gig berbeda di Spektrum Cafe dan LC

Pool & Bar. Jika sudah terjadi hal ini biasanya Jalan Pajajaran akan dipenuhi oleh gig-goers

yang mayoritas berpakaian hitam. Sebuah pemandangan yang terkadang saya rindukan jika

kebetulan melewati jalan tersebut pada hari minggu. Spektrum Cafe luasnya memang tidak

seperti LC Pool & Bar dan lebih terasa pengap, panggungnyapun lebih kecil dan lebih tinggi

dari LC Pool & Bar namun entah kenapa saya lebih menyukai venue Spektrum Cafe.

Tempatnya yang kecil justru lebih memungkinkan terjadinya interaksi antara performer

dengan penonton. Spektrum Cafe tidak lagi bisa dijadikan venue setelah insiden pecahnya

kaca jendela oleh ulah penonton yang berseteru. Pihak manajemen tidak lagi mengizinkan

pemakaian Spektrum Cafe sebagai venue musik. Kini Spektrum Cafe telah menghilang

seiring proyek peluasan area Hotel Santika. Sedikit menjauh ke Timur Bogor, masih di area

Jalan Pajajaran terdapat sebuah tempat Billiard yang juga terdapat Cafe didalamnya. Billiard

Explorer atau biasa disebut dengan B‟Ex juga merupakan venue favorit untuk

menyenggarakan gigs. Beberapa gigs monumental di Bogor seperti launching kompilasi

Putih Dalam Abu Vol.1, Raincity Fest Vol.2, dan lain-lain sempat diselenggarakan di tempat

ini. Entah apa yang menyebabkan venue ini tidak lagi bisa digunakan sebagai tempat

penyelenggaraan gigs, namun sepertinya masalah klasik seperti harga sewa yang naik dan

perizinan acara yang semakin sulit merupakan penyebab utamanya.

Page 36: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

33

Seingat saya selepas hilangnya LC Pool & Bar dan Spektrum Cafe sempat

beberapakali ada beberapa inisiator gigs yang menyelenggarakan acaranya disebuah Pujasera

(Pusat Jajanan Serba Ada) yang bernama Cafefet, letaknya persis disebelah Pangrango Plaza,

didepan pintu sampingnya. Cafefet menurut orang-orang kebanyakan merupakan plesetan

dari kata Bahasa Sunda „kapepet‟ yang jika diterjemahkan artinya adalah „kepepet‟

merupakan venue outdoor dengan bentuk U, dipinggir kiri-kanannya terdapat warung-warung

makanan dengan bagian tengah yang diisi tanaman dan area untuk panggung. Biasanya yang

membuat acara disini adalah teman-teman dari Ingram Exo Unity sebuah EO yang memang

aktif membuat event musik arus pinggir di Bogor. Cafefet sempat menghilang beberapa saat

imbas dari tutupnya Pangrango Plaza. Warung-warung makanan didalamnya juga

menghilang dengan bangunan semi permanen yang dirobohkan. Kini Cafefet kembali

digunakan sebagai venue acara musik setelah cukup lama „tertidur‟.

Bogor seperti halnya kota-kota lain di Indonesia yang pergerakan musik lokalnya

sedang berkembang juga memiliki venue legendaris yang menjadi saksi sejarah betapa riuh

dan ramainya sebuah era tertentu. Jika Jakarta sempat memiliki Parc dan BB‟s sebagai klub

yang menjadi „messiah‟ bagi musisi serta band arus pinggir dan saksi sejarah pergerakan

musik disana, Bogor punya ROOM dan Idegila Music Room. Venue yang akan saya bahas

pertama adalah ROOM. Terletak di Jalan Bangbarung Raya bagi masyarakat awam mungkin

ROOM hanyalah terlihat sebagai perpustaakan kecil semi terbuka yang berjajar dengan

warung-warung makanan. Tapi bagi musisi ataupun penggiat skena musik Bogor ROOM

memiliki daya tariknya tersendiri. ROOM bisa dibilang sebagai venue yang telah

menghasilkan skena musiknya sendiri di Bogor. Hanya di ROOM lah penggemar musik

Bogor saat itu bisa melihat aksi-aksi Indie Rock, Post-Rock, Industrial, Post-Punk, Indie Pop,

Shoegaze, sampai dengan Elektronik/8bit Music. Bahkan ada selentingan bahwa jika belum

main di ROOm maka band dari luar Bogor belum sah bermain di Bogor. ROOM dengan

atmosfernya yang berbeda telah menggear acara-acara musik yang bisa dibilang berada di

tingkatan advance dengan penonton yang serius mengamati dan menikmati. Tidak hanya

menyuguhkan sebuah gelaran musik alternatif yang berbeda, di ROOM pulalah lahir sebuah

Record label bernama Berputar yang menggelontorkan kompilasi bernama “Shall We Go

Now” dan sempat rilis dua edisi berisikan band-band yang mayoritas bernuansakan Indie Pop

dan Indie Rock. ROOM bagi musisi-musisi elektronik Bogor juga merupakan sebuah „rumah‟

karena memang ditempat inilah pertamakalinya gigs musik elektronik digelar. Organisasi

kepemudaan yang berada didaerah tersebut serta masyarakat didalamnya sangat kooperatif

Page 37: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

34

dalam membantu dna bertoleransi ketika di ROOM sedang diadakan perhelatan musik. Zeke

& The Popo, Under The Big Bright Yellow Sun, Ok Karaoke, Wiwiek & Friends,

Belladonna, Something About Lola, JW86, merupakan sebagian nama-nama dari luar Bogor

yang sempat mencicipi venue ROOM. Tidak hanya membuat gigs di ROOM, orang-orang

didalamnya juga sempat menginisiasi sebuah pergelaran akbar bagi skena musik Indie

Pop/Indie Rock Bogor bertajuk Episode Pop yang sempat memasang Goodnight Electric dan

United by Haircuts sebagai headliners pada edisi 3. Gelaran Episode Pop kembali ke tempat

peraduannya di ROOM pada tahun 2010 lalu di edisi ke-5. ROOM kini tidak aktif lagi

menyenggarakan gigs, menurut beberapa teman pergantian kepengurusan didalam tubuh

organisasi kepemudaaan didalamnya merupakan salah satu faktor selain kesibukan para

inisiatornya. Kini kita bisa melihat semangat ROOM pada tubuh The Kuda, band Punk Rock

Bogor yang didalamnya memang terdapat orang-orang yang pada masanya merupakan

inisiator yang aktif di ROOM.

Venue legendaris terakhir adalah Ide Gila Music Room . Bayangkan sebuah bangunan

rumah tua dengan arsitektur peninggalan Belanda yang didalamnya terdapat sebuah distro

dan ruangan kosong yang biasa dijadikan venue musik. Sebuah tempat yang secara nuansa

sangat cocok untuk dijadikan venue musik. Bahkan pada masanya hampir setiap minggu ada

gigs yang diselenggarakan di Ide Gila. Tur band lokal dan luar negeri juga beberapa kali

diadakan disini. Semangat dan etos D.I.Y sangat terasa begitu kita memasuki ruangan Ide

Gila Music Room. Tidak terlalu luas tetapi juga tidak terlalu sempit, pas. Ide Gila merupakan

harapan terakhir dari penggiat musik di Bogor setelah menghilangnya venue di sekitaran

Pajajaran dan penawaran harga sewa yang tidak masuk akal dibeberapa venue. Namun apa

lacur, Ide Gila Music Room terpaksa tutup dan disegel oleh pihak berwajib terkait masalah

perizinan pada medio 2008 lalu. Penyegelan Ide Gila juga memunculkan efek domino terkait

venue-venue lainnya. Pihak berwenang seperti Pemkot dan Kepolisian semakin mempersulit

perizinan acara musik yang akhirnya berujung kepada matinya venue-venue musik lainnya,

isu yang menjadi alasan sulitnya perizinan adalah kekerasan dan perkelahian yang memang

kerap terjadi di beberapa gigs, namun isu tersebut kemudian semakin dipolitisir seakan semua

gigs yang diselenggarakan selalu memunculkan perkelahian. Penggiat skena musik Bogor

dibungkam oleh peraturan yang tentu saja sangat merugikan, para musisi dan band

independen di Bogor semakin kesulitan menyalurkan semangat dan hasil kreasinya untuk

ditampilkan. Kejadian ini kemudian memnuclkan sebuah kampanyepenempelan pamflet di

jalan-jalan Kota Bogor oleh penggiat skena musik Bogor sebagai aksi protes terhadap pemkot

Page 38: CV Gilang Nugraha

Gilang Nugraha | [email protected]

35

dan kepolisian serta para penonton yang tidak dewasa dan datang ke gigs bukan untuk

menikmati musik. Hal ini juga menyebabkan bergeraknya para inisiator gigs yang pada

awalnya hanya membuat gig di daerah Kota menuju Kabupaten.

Saat ini keberadaan venue di Bogor masih belum memadai, walaupun masih ada

venue-venue seperti GOR Pajajaran, Taman Topi, dan Gedung Kemuning Gading yang

berada di Kota Bogor serta Gedung KNPI di Kabupaten Bogor yang menjadi tempat favorit

penyelenggaraan gigs. Keberadaan sebuah venue ideal dengan harga sewa yang masuk akal

masih dirasa belum ada, hal yang juga membuat saya beberapa kali harus menolak atau

mengalihkan tujuan dari band–band luar yang ingin memasukan nama Bogor dalam

rangkaian turnya di Indonesia. Urgensi keberadaan ruang publik yang ideal dan memang

khusus ditujukan untuk mengakomodir kegiatan berkesenian di Bogor memang sudah

memasuki tingkat yang tinggi. Entah kapan Pemkot Bogor mulai memasukkan isu tersebut ke

dalam agendanya, tidak perlu ditunggu dan jangan berharap lebih banyak. Geliat musik

Bogor juga bisa dibilang saat ini sudah sangat maju secara kualitas musikalitas. Diversitas

yang dihasilkan oleh regenerasi didalamnya menjadikan skena musik Bogor saat ini sangat

menarik untuk diikuti walaupun bisa dibilang masa keemasannya memang telah lewat tapi

bukan berarti tidak bisa terulang lagi, saya sendiri optimis akan semakin banyak musik-musik

berkualitas dari Bogor yang akan dikenal dan bertahan ditengah kesulitan mencari venue

yang ideal. Walaupun kota ini terapit oleh dua „raksasa‟ (Bandung & Jakarta) tapi bukan

berarti Bogor hanya menjadi tempat persinggahan atau perlewatan dari dampak atau

„buangan‟ yang dihasilkan oleh dua „raksasa‟ tersebut, hal ini bisa dibuktikan dengan

semakin seringnya gelaran musik berskala besar yang memasang band atau musisi dari Bogor

sebagai bagian line up-nya. Sedangkan pencarian venue yang ideal masih akan terus berlanjut

tanpa mengenal usai seiring laju pembangunan di Bogor yang akan terus tumbuh dan

berkembang.

*) Artikel ini dimuat di Halimun Zine Surabaya