dilavetbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans...
TRANSCRIPT
i
DILAVET ISSN No. 1693-5330 Media Informasi Pengujian dan Diagnostik Laboratorium Veteriner Susunan Redaksi : Pengarah : drh. Azfirman, MP. Penanggung Jawab : drh. Retno Wulan Handayani. Redaktur Pelaksana : drh. Elfa Zuraida, M.Si drh. Ichwan Yuniarto, M,Si. Editor : drh. Elfa Zuraida, M.Si.
Widhiyah Astuti Staf redaksi : Sriyanto, A.Md
Abd. Wahid, SP. Alamat Redaksi : Balai Veteriner Banjarbaru
Jl. Ambulung No.24 Loktabat Selatan Banjarbaru 70712
Telephone : (0511) 4772249 Faximile : (0511) 4773249 Website : http://bvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id Email : [email protected]
ii | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9
Pengantar Redaksi
Pada edisi Kali ini redaksi menyajikan laporan pendahuluan distribusi brucellosis pada sapi di
Kalimantan Selatan tahun 2015 – 2017, dimana Kalimantan Selatan dinyatakan bebas
Brucellosis pada tahun 2009. Penelitian ini dilakukan secara cross-sectional menggunakan
semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif
sederhana untuk melihat gambaran Brucellosis di setiap distrik dan Proporsi kasus positif
masing-masing adalah 0%, 1,19%, dan 7,67%. Kasus Brucellosis di Kalimantan Selatan
meningkat di Kabupaten Kotabaru (1/536; 7/489; 31/120) dan Kabupaten Tanah Laut (0/162;
0/121; 20/78) berdasarkan data dari surveilans aktif dan pasif.
Tulisan kedua memaparkan tentang tingkat cemaran bakteri Staphylococcus aureus pada
daging ayam di rumah potong ayam swasta di Kalimantan selatan tahun 2018. Monitoring
dilakukan dengan melakukan pemeriksaan terhadap bakteri Staphylococcus aureus
terhadap sampel daging ayam beku yang dikirimkan oleh RPA tersebut secara rutin setiap
bulan. Metode pengujian mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 2897
Tahun 2008 yaitu dengan hitung cawan secara sebar pada permukaan media.
Tulisan ketiga merupakan hasil investigasi kasus kematian sapi potong di desa Batulicin
Irigasi Kecamatan Karang Bintang Kabupaten Tanah Bumbu. Investigasi kasus dilakukan
dengan observasi kondisi peternakan dan lingkungan, wawancara dengan peternak, petugas
dan pengambilan sampel. Pengujian dilakukan secara : hematologi, parasitologi, bakteriologi,
virologi, pengujian mineral, dan aflatoksin. Analisa data dilakukan secara deskriptif terhadap
mortalitas, morbiditas dan case fatality rate.
Banjarbaru, Juni 2019
Redaktur
iii | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9
Daftar Isi
PENGANTAR REDAKSI ............................................................................................................. II
DAFTAR ISI ............................................................................................................................ III
DISTRIBUSI BRUCELLOSIS PADA SAPI DI KALIMANTAN SELATAN 2015 – 2017 ........................... 1
TINGKAT CEMARAN BAKTERI STAPHYLOCOCCUS AUREUS PADA DAGING AYAM DI RUMAH POTONG AYAM SWASTA DI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2018 ............................................. 9
INVESTIGASI KASUS MALNUTRISI PADA SAPI POTONG DI DESA BATULICIN IRIGASI KECAMATAN KARANG BINTANG KABUPATEN TANAH BUMBU PADA BULAN MARET 2019........................... 18
1 | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9
Distribusi Brucellosis pada Sapi di Kalimantan Selatan 2015 – 2017
Indra Wijanarko1*, Azfirman2, Wijanarko3, Elfa Zuraida4, Widhiyah Astuti5 1Medik Veteriner Muda pada Laboratorium Bakteriologi Balai Veteriner Banjarbaru, 2Kepala Balai
Veteriner Banjarbaru, 3Medik Veteriner Madya pada Bagian Epidemiologi Balai Veteriner Banjarbaru, 4Penyaji Data pada Bagian Epidemiologi Balai Veteriner Banjarbaru, dan 5Paramedik Veteriner
Terampil pada Bagian Epidemiologi Balai Veteriner Banjarbaru
ABSTRAK
Pendahuluan: Kalimantan Selatan dinyatakan bebas Brucellosis pada tahun 2009, namun program surveilans masih mendeteksi kasus positif berdasarkan uji serologis. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengidentifikasi distribusi dan tren Brucellosis pada sapi di Kalimantan Selatan dari 2015 - 2017.
Metode: Penelitian ini dilakukan secara cross-sectional menggunakan semua data sekunder dari hasil uji surveilans aktif dan pasif tahun 2015 – 2017 yang terekam dalam program Infolab Balai Veteriner Banjarbaru. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran Brucellosis di setiap distrik.
Hasil: Total hasil uji Brucellosis tahun 2015-2017 sebanyak 5711 sampel yang terbagi menjadi 4342 sampel surveilans aktif dan 1369 sampel surveilans pasif. Data sampel aktif tersebut dirinci menjadi 1.810 data di tahun 2015, 1.699 data pada tahun 2016, dan 833 data pada tahun 2017. Proporsi kasus positif masing-masing adalah 0,17%, 0,18%, dan 2,76 %. Data dari surveilans pasif dirinci menjadi 416 data di tahun 2015, 588 data pada tahun 2016, dan 365 data pada tahun 2017. Proporsi kasus positif masing-masing adalah 0%, 1,19%, dan 7,67%. Kasus Brucellosis di Kalimantan Selatan meningkat di Kabupaten Kotabaru (1/536; 7/489; 31/120) dan Kabupaten Tanah Laut (0/162; 0/121; 20/78) berdasarkan data dari surveilans aktif dan pasif.
Kesimpulan: Terjadi peningkatan yang signifikan dari kasus Brucellosis pada sapi di Kalimantan Selatan dari 2015 hingga 2017, sebagian besar dari Kabupaten Kotabaru dan Tanah Laut. Hal ini mungkin disebabkan oleh lalu lintas hewan yang berasal dari daerah yang tidak bebas Brucellosis. Untuk itu direkomendasikan untuk melalukan pembelian sapi yang berusia di atas satu tahun dan berasal dari provinsi Nusa Tenggara Timur dan Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan mempersyaratkan uji Rose Bengal sebelum pengiriman.
Kata kunci: Brucellosis, Sapi, Kalimantan Selatan, Studi Cross-Sectional
Pendahuluan
Brucellosis adalah penyakit zoonosis
pada manusia dan hewan yang
disebabkan oleh bakteri genus Brucella
(OIE, 2018). Ada enam spesies yang
dapat menginfeksi manusia, Brucella
abortus, Brucella militensis, Brucella
suis, Brucella ovis, Brucella neotome
dan Brucella canis (OIE, 2018). Sejak
diidentifikasi di Bandung pada tahun
1925, Brucellosis masih terjadi di
Indonesia (Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan,
2015). Program Pengendalian
Brucellosis memulai program
pemberantasan dari 1996/1997 melalui
vaksinasi, pengujian dan pemotongan
(Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan, 2015).
Kalimantan Selatan dinyatakan dan
diakui bebas dari Brucellosis oleh
Kementerian Pertanian Indonesia pada
tahun 2009 (Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan,
2 | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9
2014b). Program surveilans aktif Balai
Veteriner Banjarbaru, menggunakan
desain Surveilans Berbasis Risiko,
dengan kriteria daerah yang pernah
terdeteksi sebelumnya, populasi tinggi
di daerah berisiko, daerah
perdagangan ternak dan daerah
pelabuhan tradisional. Daerah berisiko
tinggi di Kalimantan Selatan adalah
Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten
Kotabaru, Kabupaten Balangan,
Kabupaten Hulu Sungai Selatan,
Kabupaten Tanah Bumbu, dan Kota
Banjarbaru. Serum sapi dari program
surveilans lain juga diuji.
Surveilans pasif juga dilakukan oleh
Balai Veteriner Banjarbaru untuk
menguji serum sapi dari pelanggan,
seperti petani, importir dan Dinas yang
membidangi Peternakan dan
Kesehatan Hewan dari Kabupaten/kota
di Provinsi Kalimantan Selatan.
Serum sapi diuji menggunakan Rose
Bengal Ujit (RBT) dan Complement
Fixation Ujit (CFT) (Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan,
2014a). Hasilnya dimasukkan ke dalam
Infolab Balai Veteriner Banjarbaru.
Surveilans masih mendeteksi kasus
positif Brucellosis berdasarkan
pengujian serologis dan telah
mendeteksi peningkatan kasus positif
pada tahun 2017 (Balai Veteriner
Banajrbaru, 2018).
Sampai saat ini belum ada penelitian
yang terkait dengan kasus Brucellosis
di Kalimantan Selatan, terutama yang
mengeksplorasi prevalensi penyakit
dan tren selama 2015 - 2017.
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk
mengidentifikasi distribusi dan tren
Brucellosis pada sapi di Kalimantan
Selatan dari 2015 - 2017. Temuan dari
penelitian ini diharapkan dapat
membantu semua Dinas Peternakan
dan Kesehatan Hewan di Kalimantan
Selatan untuk melakukan program
pengendalian Brucellosis yang
mencakup pengujian, pemotongan dan
pemasukan sapi dari daerah yang
bebas dari Brucellosis.
Metode
Penelitian dilakukan secara cross-
sectional menggunakan semua data
sekunder dari hasil uji pengawasan aktif
dan pasif tahun 2015 - 2017 di Provinsi
Kalimantan Selatan yang di rekam
dalam program Infolab di Balai
Veteriner Banjarbaru. Analisis
dilakukan dari bulan Maret hingga Mei
2018.
Kasus positif adalah data serum sapi
yang menunjukkan hasil positif RBT
dan CFT. Kasus negatif adalah data
3 | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9
serum sapi yang menunjukkan hasil
negatif RBT atau RBT positif tetapi CFT
negatif.
Data diekstrak dari basis data program
infolab dan data dibersihkan dengan
cara memfilter dan menyortir
menggunakan Excel. Data dianalisa
secara deskriptif sederhana. Analisis
musiman berfokus pada ternak selama
2015 - 2017. Hasil penelitian ini
mencakup proporsi Brucellosis di setiap
kabupaten.
Hasil
Total data sekunder hasil uji Brucellosis
tahun 2015-2017 sebanyak 5.711 ekor
sapi. Dari surveilans aktif, terdapat
1.810 sampel pada 2015, 1.699 sampel
pada 2016, dan 833 sampel pada 2017.
Sementara dari surveilans pasif
terdapat 416 sampel pada 2015, 588
sampel pada 2016, dan 365 sampel
pada 2017.
Tabel 1. Hasil Uji Surveilans Aktif Brucellosis pada sapi di Kalimantan Selatan 2015 – 2017.
No Kabupaten/Kota 2015 2016 2017
Positif Negatif Positif Negatif Positif Negatif 1 Balangan 1 122 0 131 0 56 2 Banjar 0 102 0 50 0 0 3 Banjarbaru 0 97 0 144 0 9 4 Banjarmasin 0 104 0 0 0 0 5 Barito Kuala 0 149 0 490 0 77 6 Hulu Sungai Selatan 0 161 1 91 0 46 7 Hulu Sungai Tengah 0 155 0 109 0 50 8 Hulu Sungai Utara 0 76 0 0 0 0 9 Kotabaru 1 309 2 61 17 89 10 Tabalong 0 22 0 184 0 179 11 Tanah Bumbu 1 220 0 187 0 196 12 Tanah Laut 0 162 0 121 6 28 13 Tapin 0 128 0 128 0 80 Jumlah 3 1.807 3 1.696 23 810
Hasil uji surveilans aktif pada tahun
2015 adalah 3 kasus positif, 1 dari
Kabupaten Balangan, 1 dari Kabupaten
Kotabaru dan 1 dari Kabupaten Tanah
Bumbu. Jumlah kasus positif pada
tahun 2016 adalah 3 kasus, 1 dari
Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan 2
dari Kabupaten Kotabaru. Jumlah
kasus positif pada tahun 2017 adalah
23, 17 dari Kabupaten Kotabaru, dan 6
dari Kabupaten Tanah Laut (Tabel 1).
4 | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9
Tabel 2. Hasil Uji Surveilans Pasif Brucellosis pada sapi di Kalimantan Selatan 2015 – 2017.
No Kabupaten/Kota 2015 2016 2017
Positif Negatif Positif Negatif Positif Negatif
1 Balangan 0 0 0 0 0 0 2 Banjar 0 20 0 0 0 0 3 Banjarbaru 0 16 2 0 0 0 4 Banjarmasin 0 21 0 0 0 125 5 Barito Kuala 0 0 0 0 0 0 6 Hulu Sungai Selatan 0 120 0 160 0 182 7 Hulu Sungai Tengah 0 0 0 0 0 0 8 Hulu Sungai Utara 0 0 0 0 0 0 9 Kotabaru 0 226 5 421 14 0 10 Tabalong 0 0 0 0 0 0 11 Tanah Bumbu 0 13 0 0 0 0 12 Tanah Laut 0 0 0 0 14 30 13 Tapin 0 0 0 0 0 0 Jumlah 0 416 7 581 28 337
Hasil uji surveilans pasif tidak
ditemukan kasus positif pada tahun
2015. Jumlah kasus positif pada tahun
2016 adalah 7, 2 dari Kota Banjarbaru
dan 5 dari Kabupaten Kotabaru. Jumlah
kasus positif pada tahun 2017 adalah
28, 14 dari Kabupaten Kotabaru dan 14
dari Kabupaten Tanah Laut (Tabel 2).
Kasus Brucellosis hasil uji surveilans
aktif dari 2015 - 2017 meningkat,
terutama dari Kabupaten Kotabaru
(0,32%; 3,17%; 16,04%) dan
Kabupaten Tanah Laut (0,00%; 0,00%;
17 ,65%). Namun, jumlah kasus
berkurang di Kabupaten Balangan
(0,81%; 0,00%; 0,00%), Hulu Sungai
Selatan (0,00%, 1,09%, 0,00%) dan
Tanah Bumbu Kabupaten (0,45%;
0,00%; 0,00%) (Gambar 1).
Gambar 1. Grafik Hasil Uji Surveilans Aktif Brucellosis pada Sapi di Kalimantan Selatan 2015 – 2017
1;0,81%
1;1,09%
1;0,32%
2;3,17%
17;16,04%
1;0,45%
6;17,65%
0%
5%
10%
15%
20%
2015 2016 2017
P
e
r
s
e
n
t
a
s
e
Grafik Hasil Uji Surveilans Aktif Brucellosis pada Sapi di Kalimantan Selatan 2015 – 2017
Balangan
Hulu Sungai Selatan
Kotabaru
Tanah Bumbu
Tanah Laut
5 | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9
Kasus brucellosis hasil uji surveilans
pasif dari 2015 - 2017 meningkat,
terutama dari Kabupaten Kotabaru
(0,00%; 0,17%; 100,00%) dan
Kabupaten Tanah Laut (0,00%; 0,00%;
31 , 82%). Namun, jumlah kasus
berkurang di Kota Banjarbaru (0,00%;
100,00%; 0,00%) (Gambar 2).
Gambar 2. Grafik Hasil Uji Surveilans Pasif Brucellosis pada Sapi di Kalimantan Selatan 2015 – 2017
Pembahasan
Terjadi peningkatan kasus positif
Brucellosis sejak tahun 2015 sampai
tahun 2017. Proporsi kasus positif
Brucellosis surveilans aktif dari 2015
hingga 2017 masing-masing adalah
0,17%, 0,18%, dan 2,76%. Dan
proporsi kasus Brucellosis positif
surveilans pasif dari 2015 hingga 2017
masing-masing adalah 0,00%, 1,19%,
dan 7,67%. Peningkatan kasus
Brucellosis di Kalimantan Selatan
terutama terjadi di dua kabupaten,
Kotabaru dan Tanah Laut.
Sebagai salah satu wilayah bebas
Brucellosis, seroprevalensi yang
dipersyaratkan oleh OIE untuk daerah
bebas harus lebih rendah dari 0,2%
(OIE, 2011). Seroprevalensi Brucellosis
di Indonesia, terutama dari Jawa Timur
dan Jawa Tengah pada sapi perah
adalah 4,77% (Samkhan et al., 2012),
dan Sulawesi Selatan 19,3% (Hanah et
al., 2013). Sebagai perbandingan,
Seroprevalence of Brucellosis di
Malaysia adalah 2,5% (Anka et al,
2013), di Yordania adalah 6,5%
(Ahmad et al., 2009), Aljazair Barat
2;100,00%
5;1,17%
14;100,00%
14;31,82%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
2015 2016 2017
P
e
r
s
e
n
t
a
s
e
Tahun
Grafik Hasil Uji Surveilans Pasif Brucellosis pada Sapi di Kalimantan Selatan 2015 – 2017
Banjarbaru
Kotabaru
Tanah Laut
6 | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9
adalah 8,2% (Aggad dan Boukraa,
2006 ), Ethiopia adalah 1,7% (Rea et
al., 2013), Kamerun 15,9%
(Scolammachia et al., 2010), dan
Zambia 42% (Muma et al., 2013).
Hasil analisa ini merupakan gambaran
proporsi Brucellosis di Kalimantan
Selatan. Angka proporsi diperoleh dari
hasil uji positif sampel surveilans aktif
dan kiriman sampel dari stakeholder
(surveilans pasif) dibagi dengan total
jumlah sampel yang diuji, sehingga
belum menggambarkan seroprevalensi
sesungguhnya di wilayah Kalimantan
selatan. Namun angka proporsi yang
tinggi merupakan indikasi bahwa
beberapa kabupaten kota masih
terinfeksi Brucellosis dan angka
tersebut meningkat tiap tahunnya.
Menurut informasi yang dihimpun dari
Kantor Dinas Peternakan setempat,
penyembelihan telah dilakukan untuk
ternak yang didiagnosis menderita
Brucellosis di Kabupaten Kotabaru dan
Tanah Laut. Ini penting untuk
mengurangi insiden Brucellosis yang
tersebar luas di Kalimantan Selatan.
Tahun ini, pengambilan sampel
dilakukan oleh Balai Veteriner
Banjarbaru untuk terus mendapatkan
situasi saat ini dari Brucellosis di
Kalimantan Selatan.
Keterbatasan penelitian ini adalah
kurang informasi tentang data
responden tentang faktor-faktor risiko
yang mungkin seperti jenis, usia, jenis
kelamin, jumlah ternak, asal hewan.
Penelitian ini mungkin tidak
menggambarkan kondisi sebenarnya
dari status Brovellosis di Kalimantan
Selatan karena beberapa bias, seperti
bias seleksi dari seleksi hewan yang
telah diuji.
Dari penelitian ini, kami menyimpulkan
ada peningkatan yang signifikan dari
kasus Brucellosis di Kalimantan
Selatan. Peningkatan kasus Brucellosis
di Kalimantan Selatan mungkin
disebabkan oleh pemasukan hewan-
hewan yang berasal dari daerah yang
tidak bebas dari Brucellosis. Pasar
ternak local juga dapat menyebabkan
penyebaran Brucellosis ke daerah lain
di Kalimantan Selatan. Kami
merekomendasikan bahwa hanya sapi
berusia di atas satu tahun yang diimpor
dari Nusa Tenggara Timur dan Provinsi
Nusa Tenggara Barat. Uji untuk
Brucellosis wajib dilakukan untuk
semua sapi yang masuk. Harus
dilakukan analisis risiko masuk dan
menyebarnya Brucellosis di Kalimantan
Selatan dan studi analitik faktor-faktor
risiko.
7 | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9
Daftar Pustaka
Ahmad M. Al-Majali, Abdelsalam Q. Talafha, Mustafa M. Ababneh, Mohammed M. Ababneh. 2009. Seroprevalence and risk factors for bovine brucellosis in Jordan. Departments of Veterinary Clinical Sciences and Basic Veterinary Medical Science, Faculty of Veterinary Medicine, Jordan University of Science and Technology, Jordan
Anka, S.M., Hassan, L., Adzhar, A., Bejo, S.K., Mohamad, R., Zainal, M.A. 2013. Bovine brucellosis trends in Malaysia between 2000 and 2008. BioMed Central Veterinary Research. BioMed Central Ltd.
Anonim. 2004. Bovine Medicine Diseases and Husbandry of Cattle 2nd Edition. Andrews AH, Blowey RW, Boyd H, Eddy RG Ed. Blackwell Science Ltd. Blackwell Publishing Company Australia.
Anonim. 2011. The Merck Veterinary Manual 11th Edition, Merek & CO, Inc Rahway, New Jersey, USA.
Basri, C. dan Sumiarto, B. Estimauji of Economic Losses of Chronic Disease (Brucellosis) in Livestock Populations in Indonesia. Veterinery Journal. Indonesian Ministry of Research, Technology and Higher Education S.K. No. 36a/E/KPT/2016
Banjarbaru DIC. 2018. Brucellosis Yearly Report in 2017. Indonesian Ministry of Agriculture
Direktur Kesehatan Hewan 2012. Indeks Obat Hewan Indonesia Edisi VIII. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI, Jakarta Indonesia.
Directorate General Of Livestock and Animal Health. 2012. Indonesia Animal Drugs Indexes 8th Edition. Indonesian Ministry of Agriculture
Directorate General Of Livestock and Animal Health. 2014a. Mammals Disease Manuals. Indonesian Ministry of Agriculture
Directorate General Of Livestock and Animal Health. 2014b. Yearly Report. Indonesian Ministry of Agriculture
Directorate General Of Livestock and Animal Health. 2015. Brucellosis Control and Prevention Guidelines. Indonesian Ministry of Agriculture
Hanah Muflihanah, Mochammad Hatta, Ente Rood, Pauline Scheelbeek, Theresia H Abdoel and Henk L Smits. 2013. Brucellosis seroprevalence in Bali cattle with reproductive failure in South Sulawesi and Brucella abortus biovar 1 genotypes in the Eastern Indonesian archipelago. BMC Veterinary Research 2013, 9:233 http://www.biomedcentral.com/1746-6148/9/233
8 | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9
H. Aggad and L. Boukraa, 2006. Prevalence of bovine and human brucellosis in western Algeria: comparison of screening ujits. Eastern Mediterranean Health Journal, Vol. 12, Nos 1/2, 2006
Muma J, Syakalima M, Munyeme M, Zulu V, Simuunza M, Kurata M. 2013. Bovine tuberculosis and brucellosis in traditionally managed livestock in selected districts of Southern Province of Zambia. Veterinary medicine international.
Noor, S.M.I. 2006. Epidemiology and Control of Brucellosis in Dairy Cows on the Island of Java. Veterinary Center of Research. Bogor
Novita, R. Brucellosis: Neglected Zoonosis. Health Research and Development Agency. Indonesian Ministry of Health. 2016
OIE. 2011. Evaluation of veterinary services. OIE Terrestrial animal health code. Chapter 3.2 http://www.oie.int/index.php?id=169&L=0&htmfile=chapitre_1.3.2.htm
OIE 2018. Brucellosis (Brucella abortus, B. Melitensis and B. suis)(Infection with B. abortus, B. melitensis and B. suis). OIE Terrestrial Manual chapter 3.1.4
Rea Tschopp, Birhanu Abera, Sabi Yao Sourou, Emmanuelle Guerne-Bleich, Abraham Aseffa, Alehegne Wubete, Jakob Zinsstag and Douglas Young. 2013. Bovine tuberculosis and brucellosis prevalence in cattle from selected milk cooperatives in Arsi zone, Oromia region, Ethiopia. BMC Veterinary Research 2013, 9:163 http://www.biomedcentral.com/1746-6148/9/163
Scolamacchia F, Handel IG, Fèvre EM, Morgan KL, Tanya VN, Bronsvoort BMdC. Serological patterns of brucellosis, leptospirosis and Q fever in Bos indicus cattle in Cameroon. PLoS One. 2010; 5(1): e8623. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0008623 PMID: 20098670
9 | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9
Tingkat Cemaran Bakteri Staphylococcus aureus pada Daging Ayam
Di Rumah Potong Ayam Swasta di Kalimantan Selatan Tahun 2018
Farikhatus Sa’idah1, Adrin Ma’ruf2
1Medik Veteriner Madya pada Laboratorium Kesmavet Balai Veteriner Banjarbaru, 2Calon Medik
Veteriner pada Laboratorium Kesmavet Balai Veteriner Banjarbaru
ABSTRAK
Balai Veteriner Banjarbaru melakukan monitoring terhadap daging ayam beku milik Rumah Potong Ayam (RPA)Swasta di Kalimantan Selatan untuk mengetahui higienitas proses penanganan di tempat pemotongan ayam dan kualitas daging ayam yang diproduksi. Monitoring dilakukan dengan melakukan pemeriksaan terhadap bakteri Staphylococcus aureus terhadap sampel daging ayam beku yang dikirimkan oleh RPA tersebut secara rutin setiap bulan. Metode pengujian mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 2897 Tahun 2008 yaitu dengan hitung cawan secara sebar pada permukaan media.
Hasil pemeriksaan terhadap bakteri Staphylococcus aureus selama tahun 2018 semuanya berada dibawah ambang batas maksimum cemaran mikroba yang ditetapkan SNI 7388: 2009 yang mengindikasikan bahwa higienitas proses penanganan pemotongan ayam di RPA cukup baik dan kualitas daging ayam yang diproduksi juga baik. Meskipun demikian diharapkan RPA tersebut secara konsisten tetap melakukan pengiriman sampel secara rutin dan berkala ke laboratorium untuk melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap daging ayam segar yang diproduksinya.
Kata Kunci : Staphylococcus aureus
Pendahuluan
Daging ayam adalah produk dari
peternakan unggas yang sangat
penting untuk pemenuhan
kebutuhan pangan. Tingginya
produksi daging ayam harus diikuti
dengan peningkatan kualitas daging
ayam. Keberadaan mikroorganisme
pada daging ayam biasanya berasal
dari rumah potong atau tempat
pemotongan, tempat pengolahan
(proses), penyimpanan dan pen-
distribusian. Secara umum faktor-
faktor yang dapat menyebabkan
kontaminasi adalah higiene
personal, peralatan yang digunakan,
cara penjualan serta lingkungan
sekitar. Kontaminasi mikro-
organisme pada daging ayam
biasanya disebabkan karena bakteri
Salmonella, Staphylococcus aureus
dan Campylobacter (Bhumia, 2008).
Staphylococcus aureus akan
menghasilkan enterotoksin yang
berperan sebagai mikroorganisme
penyebab intoksikasi makanan. S.
aureus menghasilkan toksin jika
popu-lasinya telah melebihi 105
cfu/gram (Gorman et al, 2002). Pada
kasus keracunan makanan yang
disebabkan oleh Staphylococcus
aureus tidak ditemukan infeksi
ditubuh konsumen secara
menyeluruh dan orang yang
10 | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9
mengkonsumsi bakteri Staphylo-
coccus aureus hidup tidak harus
menimbulkan gejala klinis atau sakit.
Dengan demikian pemanasan
makanan tidak mampu mencegah
intoksikasi makanan oleh
Staphylococcus aureus karena
toksinnya tahan terhadap panas
atau heat stable (Cook dan Cook,
2006).
Metode yang digunakan untuk
mendeteksi dan menghitung St.
aureus tergantung dari tujuan
pengujian. Makanan yang diduga
sebagai penyebab keracunan
Staphylococcus aureus biasanya
mengandung jumlah S. aureus yang
sangat tinggi, sehingga tidak di-
butuhkan pengujian dengan
sensitifitas tinggi. Uji dengan
sensitifitas tinggi diperlukan untuk
menguji proses yang tidak bersih
atau kontaminasi setelah proses
pengolahan, mengigat jumlah
Staphylococcus aureus dalam
keadaan tersebut sangat kecil.
Biasanya Staphylococcus aureus
secara umum menggunakan media
penghambat (Lancette dan Bennete,
2001).
Isolasi dengan pengayaan (enrich-
ment) dan pemupukan langsung
pada cawan petri (direct plating)
merupakan metode yang paling
umum digunakan untuk deteksi dan
penghitungan S. aureus pada
makanan. Prosedur pengayaan
dapat bersifat selektif atau non
selektif. Pengayaan non selektif
bermanfaat untuk memulihkan sel-
sel yang rusak (injured cells), yang
mana pertumbuhan sel-sel tersebut
dihambat oleh bahan-bahan toksik
dalam media pengaya selektif
(selective enrichment media).
Penghitungan dengan cara
enrichment isolation atau selective
en-richment isolation dapat
dilakukan melalui penentuan jumlah
atau Most Probable Number (MPN).
Prosedur MPN dapat menggunakan
tiga tabung atau lima tabung untuk
setiap pengenceran (Lancette dan
Bennet, 2001).
Dalam perhitungan menggunakan
prosedur direct plating, sampel
dipupuk pada suatu media selektif
dengan dua cara, yaitu cara sebar
permukaan (surface spreading) dan
penuangan (pour plates). Metode
cara sebar permukaan memiliki
keuntungan bahwa bentuk dan
tampak koloni pada permukaan
media lebih jelas dibandingkan
dengan koloni dalam media pada
pengujian cara tuang. Sedangkan
11 | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9
keuntungan cara tuang dapat
menggunakan volume sampel lebih
banyak (Lancette dan Bennet, 2001).
Staphylococcus aureus tidak
tahan panas, namun toksin yang
dihasilkannya tahan panas,
sehingga tidak dapat dihancurkan
dengan pemanasan yang biasa
digunakan pada pemasakan. Toksin
tersebut tidak menyebabkan
perubahan tekstur, warna, bau atau
rasa makanan sehingga tidak dapat
terlihat secara fisik. Kondisi seperti
inilah yang sering kali mengecohkan
konsumen dan menyebabkan
terjadinya staphylococal food
poisoning (SPF). Monitoring ini
bertujuan untuk menguji Staphylo-
coccus aureus pada daging ayam
beku untuk mengetahui higienitas
proses penanganan di tempat
pemotongan ayam dan kualitas
daging ayam yang diproduksi oleh
RPA swasta.
Materi Dan Metode
A. Materi
Daging ayam beku TPU yang
dikirimkan ke Balai Veteriner Banjar-
baru sebagai sampel pasif secara
rutin tiap bulan.
B. Metode
Pengujian identifikasi Staphylo-
coccus aureus dengan metode hitung
cawan secara sebar pada permukaan
media sesuai dengan Standar
Nasional Indonesia Nomor 2897
Tahun 2008 tentang Metode
Pengujian Cemaran Mikroba dalam
Daging, Telur, dan Susu serta Hasil
Olahannya (BSN 2008).
a. Media dan Reagensia
Pengujian :
BPA, Egg yolk tellurite
emultion, BHIB, TSA,
koagulase plasma kelinci
dengan EDTA 0,1 %, BPW 0,1
%.
b. Peralatan :
Plastik steril tahan panas,
cawan petri (diameter 10 cm),
tabung reaksi (volume 15 ml),
sumbat dan rak tabung reaksi,
labu Er-lenmeyer (volume 250
ml), gelas ukur (volume 250 ml
dan 1000 ml), pipet volumetrik
(1 ml, 2 ml, 5 ml dan 10 ml),
bulb karet, botol media
(volume 500 ml dan 1000
ml), gunting, pinset, jarum
inokulasi (ose), stomacher,
pembakar Bunsen, pH meter,
timbangan, magnetic stirer,
12 | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9
batang gelas bengkok, pe-
ngocok tabung (vortex), inku-
bator, penangas air
(waterbath), autoklaf, lemari
pendingin, dan freezer.
c. Penyiapan contoh :
- Timbang contoh daging ayam
sebanyak 25 g secara aseptik
kemudian masukkan dalam
wa-dah steril
- Tambahkan 225 ml larutan
BPW steril ke dalam kantong
steril yang berisi contoh, lalu
homo-genkan dengan
stomacher selama 1 menit
sampai dengan 2 menit. Ini
merupakan larutan dengan
pengenceran 10-1, 10-2, 10-3
dan seterusnya
d. Cara Pengujian
- Pengujian selalu disertai
dengan menggunakan kontol
positif
- Pindahkan 1 ml contoh dari 10-
0 ke dalam larutan 9 ml BPW
un-tuk mendapatkan
pengenceran 10-1. Dengan
cara yang sama dibuat
pengenceran 10-2, 10-3 dan
seterusnya
- Tuang 15 ml sampai dengan
20 ml media BPA yang sudah
ditambah dengan egg yolk
tellurite emulsion (5 ml ke
dalam 95 ml media BPA) pada
masing-masing cawan yang
akan digunakan dan biarkan
sampai memadat.
- Pipet 1 ml suspensi dari setiap
pengenceran dan
diinokulasikan masing-masing
0,4 ml, 0,3 ml dan 0,3 ml pada
tiga cawan petri yang berisi
media BPA
- Ratakan suspensi contoh di
atas permukaan media agar
dengan menggunakan batang
gelas dan biarkan sampai
suspensi terserap
- Inkubasikan pada temperatur
35o C selama 45 jam sampai
dengan 48 jam pada posisi
terbalik
- Pilih cawan petri yang
mengandung jumlah koloni 20
sampai dengan 200. Apabila
cawan petri pada
pengenceran terendah berisi
<20 koloni dan atau >200
koloni, maka lanjutkan
penghitungan koloni pada
cawan petri dengan
pengenceran yang lebih tinggi
- Koloni Staphylococcus aureus
mempunyai ciri khas bundar,
licin dan halus, cembung, dia-
13 | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9
meter 2 mm sampai dengan 3
mm, berwarna abu-abu
sampai hitam pekat, dikelilingi
zona opak, dengan atau tanpa
zona luar yang terang (clear
zone). Tepi koloni putih dan
dikelilingi daerah yang terang.
Konsistensi koloni seperti
mentega atau lemak jika
disentuh oleh ose. Galur non-
lipolitik memiliki sifat koloni
sama tetapi tidak dikelilingi
zona opak dan zona luar yang
terang
- Catat jumlah masing-masing
koloni yang mempunyai ciri
seperti diatas, selanjutnya
ambil satu atau lebih koloni
dari masing-masing bentuk
yang tumbuh dan lakukan uji
identifikasi
e. Uji Identifikasi
Pengecatan Gram. Ambil
satu atau lebih koloni dari
masing-masing betuk koloni
yang tumbuh dan lakukan
pengecatan gram. Hasil
pengecatan gram akan terlihat
bakteri berbentuk coccus
berwarna ungu (gram positif),
bergerombol seperti anggur
atau terlihat hanya satu bakteri
Uji Koagulase. Ambil satu
koloni atau lebih koloni yang
diduga Staphylococcus aureus
dan masukkan ke dalam 0,2 ml
sampai 0,3 ml BHIB dan
homogenkan selanjutnya
ambil satu ose penuh
(diameter 3,0 mm) suspensi
dari BHIB dan goreskan pada
Agar miring TSA. Inkubasikan
BHIB dab Agar miring TSA
pada temperatur 35 oC selama
18 jam sampai dengan 24 jam.
Kemudian tambahkan 0,5 ml
koagulase plasma kelinci yang
mengandung EDTA ke dalam
suspensi BHIB yang telah
diinkubasi kemudian dihomo-
genkan. Inkubasikan tabung
pada temperatur 35 oC selama
6 jam dan amati setiap jam
terhadap pembentukan gum-
palan. Hasil uji koagulase
positif aureus ditandai dengan
adanya penggumpalan
f. Perhitungan
Hitung koloni-koloni dari cawan petri
yang menunjukkan koloni khas
Staphylococcus aureus dan
menunjukkan hasil koagulase positif,
kemudian dikalikan dengan faktor
pengencerannya. Hasil yang
dilaporkan sebagai jumlah
14 | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9
Staphylococcus aureus per mililiter
atau per gram.
Hasil Dan Pembahasan
Sebanyak 12 sampel daging ayam
beku telah dikirimkan RPA ke Balai
Veteriner Banjarbaru selama tahun
2018 dengan jumlah pengiriman satu
sampel setiap bulan. Data jumlah
Staphylococcus aureus yang
didapatkan dibandingkan dengan
persyaratan jumlah maksimum
Staphylococcus aureus yang
tercantum pada SNI 01-7388-2009
tentang Batas Maksimum Cemaran
Mikroba dalam pangan (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil uji S. aureus pada daging ayam dari RPA Tahun 2018
Batas Maksimum Cemaran
Mikroba dalam Pangan menyebutkan
jumlah maksimum Staphylococcus
aureus dalam daging ayam yaitu 1 x
102 cfu/g. Staphylococcus aureus
yang terkandung dalam daging ayam
beku dapat berasal dari ayam itu
sendiri selagi hidup dan dari pekerja
yang menangani proses pemotongan
ayam hingga menjadi karkas di RPU.
Tubuh hewan dan manusia
merupakan habitat yang umum bagi
Staphylococcus aureus. Kontaminasi
karkas ayam oleh Staphylococcus
aureus yang bersumber dari manusia
sering terjadi saat pemrosesan
(Sams, 2001).
Tahap-tahap yang berpotensi
terjadinya pencemaran silang
mikroba pada pemrosesan karkas
ayam di RPU dapat terjadi pada saat
penerimaan dan penggantungan
ayam, penyembelihan, scalding dan
pencabutan bulu, pengeluaran
jeroan, pendinginan, grading dan
pemotongan. Namun pada tahap
scalding peluang pencemaran silang
lebih kecil kejadiannya dibandingkan
tahap-tahap berikutnya. Hal ini terjadi
karena adanya aliran penggantian air
scalding dan suhu yang terjaga tetap
tinggi sesuai kebutuhan untuk
mencegah akumulasi bakteri pada air
dan peralatan scalding. Demikian
juga tahap pendinginan dapat
menekan pencemaran (Nugroho,
2005).
Bulan Jumlah Sampel
Hasil Uji (cfu/g)
Jan 1 < 1 x 101
Feb 1 < 1 x 101
Mar 1 < 1 x 101
Apr 1 < 1 x 101
Mei 1 < 1 x 101
Jun 1 < 1 x 101
Jul 1 < 1 x 101
Ags 1 < 1 x 101
Sep 1 < 1 x 101
Okt 1 < 1 x 101
Nov 1 < 1 x 101
Des 1 < 1 x 101
15 | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9
Tingginya jumlah S. aureus yang
melebihi batas cemaran
mengindikasikan buruknya sanitasi
RPU. Selain itu, tingginya cemaran
dapat diakibatkan kurangnya
kebersihan karyawan dalam
menangani daging ayam baik saat
pemrosesan maupun saat pendis-
tribusian. Jumlah Staphylococcus
aureus juga dapat menjadi indikator
untuk mempertimbangkan kualitas
daging ayam beku tersebut. Dari hasil
pemeriksaan terhadap dua belas
sampel tersebut semuanya masih
dibawah ambang batas maksimum
yang telah ditetapkan SNI 01-7388-
2009. Hal ini berarti kualitas daging
ayam beku yang diproduksi dan
diedarkan ke masyarakat tersebut
mempunyai kualitas yang baik.
Keberadaan Staphylococcus aureus
dapat ditekan sejak dari awal rantai
proses yaitu sejak dari peternakan
hingga siap saji. Tindakan yang dapat
dilakukan adalah dengan
menerapkan sanitasi dan higiene
dalam menghasilkan produk.
Sesampainya di RPU maka
pemeriksaan antemortem harus
dilakukan untuk mengetahui ayam
sehat atau sakit, dan dilakukan
tindakan yang perlu untuk menjamin
bahan baku aman dan sehat untuk
proses selanjutnya. Pada proses
penyembelihan, seluruh peralatan
sejak ayam digantung sampai
dikemas harus benar-benar bersih.
Hal ini harus dapat dievaluasi dan
dikoreksi sehingga peluang
pencemaran melalui peralatan dapat
dihindarkan ( Nugroho, 2005)
Apabila sanitasi diterapkan, makanan
atau bahan pangan serta peralatan
dapat terbebas dari kotoran dan
cemaran mikroorganisme atau bahan
kimia yang dapat menyebabkan
penyakit atau keracunan makanan.
Di samping itu, higiene personal
harus diterapkan oleh para individu
yang terkait dalam setiap proses
penyediaan daging ayam, sejak awal
pemotongan unggas hingga daging
ayam siap dikonsumsi oleh
konsumen sehingga kualitas daging
ayam tetap terjaga (Marriott 1997).
Oleh karena itu, selama proses
pengolahan ayam menjadi daging
hingga proses distribusi dan
penjualan ke konsumen tingkat
pencemaran harus dapat diken-
dalikan. Tingkat pencemaran dapat
dikendalikan dengan menerapkan hi-
giene, berdasarkan prinsip HACCP,
untuk menghindari pencemaran
silang, baik di antara produk maupun
16 | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9
antara peralatan dan produk (Bolder
1998).
Kesimpulan
Hasil pemeriksaan terhadap bakteri
Staphylococcus aureus di labo-
ratorium kesmavet Balai Veteriner
Banjarbaru terhadap sampel daging
ayam beku milik RPA swasta berada
dibawah ambang batas maksimum
cemaran mikroba yang ditetapkan
SNI 7388: 2009 yang
mengindikasikan bah-wa higienitas
proses penanganan pemotongan
ayam di PT Ciomas cukup baik dan
kualitas daging ayam yang diproduksi
juga baik.
Saran
Pengiriman sampel secara rutin dan
berkala ke laboratorium tetap
dilakukan secara konsisten untuk
untuk menjamin daging ayam segar
yang diproduksi higienis dan aman.
17 | D I L A V E T E d i s i 1 J u n i 2 0 1 9
Daftar Pustaka
Bhunia AK. 2008. Foodborne Microbial Pathogens: Mechanisms and Pathogenesis. New York: Springer.
Bolder NM. 1998. The Microbiology of the Slaughter and Processing of Poultry. Dalam Davies A, Board R, editor, The Microbiology of the Meat and Poultry. London: Blackie Academic.
BSN (Badan Standardisasi Nasional). 2008. Metode pengujian cemaran mikroba dalam daging, telur, dan susu, serta hasil olahannya. SNI 2897:2008. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
BSN (Badan Standardisasi Nasional). 2009. Batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan. SNI 7388:2009. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
Cook LF, Cook KF. 2006. Deadly Disease and Epidemics Staphylococcus aureus Infection. Philadelphia: Chelsea House Pub.
Gorman R, Bloomfield S, Adley CC. 2002. A study of cross-contamination of foodborne pathogens in the domestic kitchen in the Republic of Ireland. Int J Food Microbiol
Lancette GA, Bennet RW. 2001. Staphylococcus aureus and Staphylococcal Enterotoxins. Dalam Downes FP, Ito K, editor, Compendium of Methods for the Microbiological Examination of Foods. Ed ke-4. Washington: American Public Health Association.
Marriott NG. 1997. Essentials of Food Sanitation. New York: Chapman and Hall. Nugroho WS. 2005. Aspek Kesehatan Masyarakat Veteriner Staphylococcus , Bakteri
Jahat yang Sering Disepelekan. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Sams AR (ed). 2001. Poultry Meat Processing. New York: CRC Pr
18 | D I L A V E T E d i s i 1 J u n i 2 0 1 9
Investigasi Kasus Malnutrisi Pada Sapi Potong Di Desa Batulicin Irigasi
Kecamatan Karang Bintang Kabupaten Tanah Bumbu Pada Bulan Maret 2019
Arif Supriyadi1, Widhiyah Astuti2, Hapsari3, Herlina3
1Medik Veteriner Madya pada Laboratorium Virologi Balai Veteriner Banjarbaru, 2Paramedik Veteriner Terampil pada Bagian Epidemiologi Balai Veteriner Banjarbaru, 3Medik Veteriner pada Dinas
Perkebunan dan Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan
ABSTRAK
Beternak sapi sapi potong merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Keberhasilan beternak sapi potong dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang sangat penting adalah pemberian pakan yang berkualitas dengan jumlah yang tepat. Berdasarkan laporan kasus dari Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan tentang adanya kematian pada 2 ekor sapi potong ditandai dengan gejala ambruk, dan 1 ekor sapi yang ambruk pada satu peternakan di Desa Batulicin Irigasi Kecamatan Karang Bintang Kabupaten Tanah Bumbu, Balai Veteriner melakukan investigasi kasus pada tanggal 19 – 20 Maret 2019 bersama dengan tim dari Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan.
Investigasi kasus dilakukan dengan observasi kondisi peternakan dan lingkungan, wawancara dengan peternak, petugas dan pengambilan sampel. Jenis dan jumlah sampel yang diambil adalah 10 serum, darah, feses, ulas darah, 1 swab dan 2 sampel pakan. Analisa data dilakukan secara deskriptif terhadap mortalitas, morbiditas dan case fatality rate. Berdasarkan pengamatan kondisi peternakan, kondisi sapi dan gejala klinis, sapi - sapi yang mati atau sakit dengan menunjukkan gejala ambruk dan kesulitan melahirkan kemungkinan menderita hipokalsemia dan kekurangan nutrisi. Sapi yang ambruk 3/70 (4,29%), mortalitas 2/70 (2,86%), case fatality rate 2/3 (66,67%). Faktor resiko yang berpengaruh terhadap munculnya kasus adalah kekurangan pakan hijauan dan mineral serta kekurangan tenaga pemelihara yang memberi pakan, merawat sapi dan membersihkan kandang maupun lingkungan.
Kata Kunci : Investigasi, Malnutrisi, Sapi Potong
Pendahuluan
Beternak sapi sapi potong merupakan
salah satu cara untuk meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan bagi
masyarakat. Melalui pembangunan
peternakan akan mewujudkan
ketersediaan daging sebagai sumber
bahan makanan bergizi. Beternak sapi
potong merupakan green industri yang
memanfaatkan rumput, notabenenya
merupakan gulma ataupun limbah
pertanian menjadi sesuatu yang bernilai
tinggi yaitu daging. Produk samping
ternak sapi potong berupa kotoran dan
urin merupakan pupuk organik terbaik.
Jika dikelola dengan baik maka
beternak sapi potong akan bersifat zero
waste.
Keberhasilan beternak sapi potong
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah
satu faktor yang sangat penting adalah
pemberian pakan yang berkualitas
dengan jumlah yang tepat. Dalam
sistem pemeliharaan yang dilakukan
secara intensif dengan mengkan-
dangkan sapi selama pemeliharaan,
asupan nutrisi sapi sangat bergantung
dari pakan yang diberikan. Sapi tidak
19 | D I L A V E T E d i s i 1 J u n i 2 0 1 9
dapat mencari atau mengkonsumsi
pakan lain. Pemberian pakan yang tidak
tepat dan berimbang akan menye-
babkan gangguan pertumbuhan dan
penyakit.
Berdasarkan laporan kasus dari Dinas
Perkebunan dan Peternakan Provinsi
Kalimantan Selatan tentang adanya
kematian pada 2 ekor sapi potong
ditandai dengan gejala ambruk, dan 1
ekor sapi yang ambruk pada satu
peternakan di Desa Batulicin Irigasi
Kecamatan Karang Bintang Kabupaten
Tanah Bumbu, Balai Veteriner
melakukan investigasi kasus pada
tanggal 19 – 20 Maret 2019 bersama
dengan tim dari Dinas Perkebunan dan
Peternakan Provinsi Kalimantan
Selatan. Tujuan investigasi adalah
untuk mengetahui penyebab, status,
faktor resiko dan memberikan saran
pengendalian penyakit.
Materi Dan Metode
Materi
Materi investigasi adalah Peternakan
sapi Bali Desa Batulicin Irigasi
Kecamatan Karang Bintang Kabupaten
Tanah Bumbu. Jenis dan jumlah
sampel yang diambil adalah 10 serum,
darah, feses, ulas darah, 1 swab dan 2
sampel pakan.
Metode
Investigasi kasus dilakukan dengan
observasi kondisi peternakan dan
lingkungan, wawancara dengan
peternak, petugas dan pengambilan
sampel. Pengujian dilakukan secara :
hematologi, parasitologi, bakteriologi,
virologi, pengujian mineral, dan
aflatoksin. Analisa data dilakukan
secara deskriptif terhadap mortalitas,
morbiditas dan case fatality rate
Metode
Investigasi kasus dilakukan dengan
observasi kondisi peternakan dan
lingkungan, wawancara dengan
peternak, petugas dan pengambilan
sampel. Pengujian yang akan dilakukan
adalah. Analisa data dilakukan secara
deskriptif untuk menghitung angka
mortalitas, morbiditas dan case fatality
rate.
Hasil Investigasi
1. Kondisi Peternakan
Peternakan sapi potong yang
mengalami kasus adalah milik Pak
Hanif berada di Desa Batulicin Irigasi
Kecamatan Karang Bintang Provinsi
Kalimantan Selatan. Lokasi Peternakan
berjarak sekitar 500 meter dari Jl.
Transmigrasi (menghubungkan antara
20 | D I L A V E T E d i s i 1 J u n i 2 0 1 9
Batu Licin dan Kandangan). Total
populasi sapi yang dipelihara sebanyak
70 ekor terdiri dari Sapi Limousin,
Simental, PO, Bali dan campuran.
Pemeliharaan sapi dilakukan dalam
satu kawasan dengan luas sekitar 1 hA.
Tipe peternakan adalah untuk
pembibitan dan penggemukan dengan
sistem pemeliharaan secara intensif
mengkandangkan sapi total. Fasilitas
peternakan terdiri dari 2 unit kandang
(kandang 1 deret dan kandang 2 deret
kandang dengan lorong di tengah utuk
pemberian pakan), 2 unit gudang
pakan, 2 unit gudang kotoran, tempat
penampungan limbah dan 1 unit kamar
mandi dan toilet. Kandang terbuat dari
semen (dinding, alas, tempat pakan
dan minum) dan atap dari seng.
Jenis pakan yang diberikan adalah
hijauan dan jagung giling. Pemberian
pakan dan minum dilakukan 2 kali
pada pagi dan sore hari. Jagung giling
diberikan pada pagi hari sebelum
pemberian hijauan, sore hari diberi
pakan hijauan. Sistem perkawinan
dilakukan dengan inseminasi buatan
oleh petugas dari Dinas. Pemberian
obat cacing dilakukan secara rutin tiap
6 bulan sekali.
Berdasarkan pengamatan kondisi
peternakan, terlihat bahwa hampir
semua sapi- sapi yang dipelihara
terlihat menderita kekurusan (90%).
Kasus yang paling berat terjadi pada
induk, sapi anak, dan sapi muda,
sedangkan jenis sapi Bali tidak begitu
terlihat kurus, dibandingkan dengan
sapi yang lain. Sapi terlihat kotor dan
kusam karena jarang dimandikan.
Kondisi kandang kurang bersih dan
terlihat lembab pada kandang lorong
karena terlindung oleh pohon di sekitar
kandang.
Malnutrisi merupakan kondisi dimana
hewan mengalami kekurangan nutrisi
yang parah. Kondisi malnutrisi akan
ditunjukkan oleh adanya kekurusan,
alopecia, rambut yang rontok dan kulit
yang kering. Malnutrisi dapat
disebabkan oleh kurangnya asupan
pakan, buruknya absorbs
(malabsorbsi), atau ketidakmampuan
untuk mencerna makanan (maldigesti).
Maldigesti merupakan gangguan
patologis pada proses pencernaan
(enzimatik), sedangkan malabsorbsi
ialah gangguan pada proses
penyerapan dan transportasi nutrisi.
Kondisi maldigesti dapat disebabkan
oleh adanya kerusakan pancreas
(exocrine pancreaticinsufiensy),
sedangkan malabsorbsi dapat
disebabkan oleh kerusakan mukosa,
penurunan luas permukaan usus,
infeksi parasit dalam usus (kecacingan)
21 | D I L A V E T E d i s i 1 J u n i 2 0 1 9
dan gangguan sirkulasi enterohepatik
(khan, 2011).
Pada kondisi malabsorbsi, nutrisi pada
pakan yang dicerna tidak akan terserap
sempurna. Kondisi ini dapat di
identifikasi dengan beberapa pengujian
antara lain dengan hitung darah
lengkap (CBC). Pada kondisi
malabsorbsi akan terjadi kondisi
anemia, hypoproteinemia, hypoalbu-
minemia, hypokalemia, hypokalemia,
hypocalcemia, hypomagnesemia, dan
metabolic acidosis. Selain itu pada
kondisi malabsorbsi juga akan terjadi
penurunan kadar triglicerides,
cholesterol, serta alpha dan beta
carotene. Dapat juga dilakukan uji
penyerapan lemak yaitu dengan
melihat kadar lemak dalam feses. Pada
kondisi malabsorbsi biasanya lemak
tidak terserap (Al-Kaade, 2013).
Akibat kurangnya nutrisi, hewan
mengalami penurunan berat badan
(kekurusan) yang parah, serta
kekurangan berbagai macam nutrisi
penting yang dibutuhkan oleh tubuh.
Pada hewan yang mengalami
malnutrisi biasa juga ditunjukkan
adanya diare kronis. Bila terjadi kasus
hypoproteinemia biasanya ditunjukkan
adanya gejala dehidrasi, anemia dan
ascites (edema). Selain itu, kondisi
malnutrisi juga ditandai dengan adanya
kondisi feses yang berlemak (khan,
2011).
Kondisi kekurusan atau kaheksia
merupakan suatu kondisi yang
menggambarkan keadaan penu-
runan bobot badan yang parah.
Umumnya pada kondisi kekurusan
bobot badan lebih rendah 15 sampai
40% dari bobot badan normal. Selain
itu, kondisi kekurusan juga dikaitkan
dengan persediaan cadangan lemak
dalam tubuh. Cadangan lemak pada
hewan yang kurus lebih sedikit dari
hewan normal. Umumnya hewan yang
menderita kekurusan yang berat tidak
hanya mengalami kekurangan energi
tapi biasanya diikut oleh stress, cedera
atau penyakit yang mempercepat
terjadinya penurunan bobot badan
seperti hypermetabolism. Pada
hewan yang mendertia kekurusan
yang berat kerusakan protein otot
terjadi lebih lambat dari perubahan
protein tubuh lainnya. Apabila gejala
klinis sudah menunjukkan hilangnya
otot dalam jumlah yang besar maka
dimungkinkan kondisi tersebut sudah
berada pada kondisi yang berat dan
kronis (Watson & Dunn 2000).
Kronologis
Berdasar informasi dari peternak dan
petugas telah terjadi kematian 2 ekor
sapi induk yang baru melahirkan dan
22 | D I L A V E T E d i s i 1 J u n i 2 0 1 9
1 ekor sapi yang ambruk setelah
melahirkan. Sebelum mati, 2 sapi ekor
sapi tersebut mengalami kesulitan
melahirkan disertai dengan ambruk
selama 1 minggu. Kasus kematian
induk pertama terjadi pada awal Bulan
Februari dan yang kedua pada
pertengahan Februari. Kasus yang
ketiga terjadi pada pertengahan bulan
Maret, induk sapi menunjukkan gejala
melahirkan tetapi tidak dapat
mengeluarkan pedet, kemudian
dibantu dengan penarikan dan pedet
dapat dikeluarkan dalam kondisi mati.
Setelah itu induk ambruk dan menderita
prolaps uterus dan rektum.
Penanganan yang dilakukan dengan
memasukkan uterus dan rektum,
pemberian infus kalsium boroglukonat
dan antibiotik. Pada saat investigasi
tanggal 19 Maret sapi masih ambruk
dan terjadi prolaps uterus dan rektum
dengan kondisi tubuh sapi masih lemah
prognosa infausta. Dilihat dari jumlah
kejadian kasus maka morbiditas sapi
ambruk 3/70 (4,29%), mortalitas 2/70
(2,86%), case fatality rate 2/3
(66,67%). Sedangkan pada pedet
yang dilahirkan morbiditas 3/3 (100%),
mortalitas 2/3 (66,67%) case fatality
rate 2/3 (66,67%). Time line dan kurva
epidemik kasus seperti tercantum
dalam tabel 1 dan 2 berikut.
Gambar 1. Timeline kasus malnutrisi pada sapi sakit pada di Desa Batulicin Irigasi
Gambar 2. Kurva epidemik kasus kematian sapi sakit pada di Desa Batulicin Irigasi
7PEB27PEB
15MAR
1 1
0
0
1 1
kematianinduk
kematiananak
23 | D I L A V E T E d i s i 1 J u n i 2 0 1 9
Usaha peternakan sapi sudah
dilakukan sejak tahun 2006, kasus
penyakit yang terjadi saat itu
merupakan yang paling parah.
Sebelumnya pernah terjadi sapi yang
ambruk tetapi kemudian sembuh.
Kasus penyakit yang sering terjadi
menurut laporan peternak adalah diare
pada pedet dan dilakukan pengobatan
dan sembuh. Tidak ada program
vaksinasi terhadap SE atau atapun JD.
Pengambilan sampel
Sampel yang diambil adalah adalah 10
serum, darah, feses, ulas darah, 1 swab
dan 2 sampel pakan. Sampel berasal
dari sapi yang terlihat paling sehat, sapi
yang terlihat sakit dan pedet. Pengujian
yang akan dilakukan adalah hematologi,
parasitologi, bakteriologi, virologi,
pengujian mineral, dan aflatoksin.
Sampel dan hasil pengujian terlampir
dalam tabel 2 berikut.
Tabel 1. Jenis sampel yang diambil pada kasus
malnutrisi dan jenis pengujian
No
Jenis
sampel
Jumlah
Jenis
Pengujian
Hasil
pengujian
1 Darah 10 hematologi Anemia
2 Serum 10 Antibodi
BVD
Antibodi
IBR
mineral
Negatif
Negatif
Hipokalsemia
3 Ulas
darah
10 parasit
darah
Negatif
4 Feses 10 parasit
cacing
Nematoda
5 Swab 1 PCR IBR Negatif
6 Pakan 2 aflatoksin Negatif
Peta partisipasif
Komplek peternakan sapi jauh berada di
dekat pemukiman penduduk dengan
dikelilingi pagar tembok. Hanya ada
satu rumah yang berbatasan langsung
dengan peternakan. Penggalian
informasi juga dilakukan terhadap
sekitar peternakan. Berdasarkan
informasi petugas kesehatan lapangan
dalam beberapa bulan terjadi kasus
Bovine Ephemeral Fever (BEF) di
daerah sekitar peternakan. Peta
parsitipatif sepert tercantum dalam
gambar berikut.
Gambar 3. Peta partisipasif lokasi kejadian
kasus malnutisi
24 | D I L A V E T E d i s i 1 J u n i 2 0 1 9
2. Hasil Pengujian Laboratorium
2.1. Hasil pengujian Infectious bovine
rhinotracheitis (IBR) dan Bovine Viral
Diarrhea Virus (BVDV)
Kode Sampel
Hewan Jantan/ Betina
IBR PCR
BVD Elisa antibodi
IBR Elisa antibodi
515 Sapi PO Betina Negatif - -
519 Sapi
Limousin Betina Serodubius Seronegatif
217 Sapi
Limousin Betina Seronegatif Seronegatif
anak 1 Sapi
Limousin Jantan Seronegatif Seronegatif
508 Sapi
Limousin Betina Seronegatif Seronegatif
anak 3 (501)
Sapi Limousin
Jantan Seronegatif Seronegatif
515 Sapi PO Betina Seronegatif Seronegatif
510 Sapi PO Betina Seronegatif Seronegatif
517 Sapi
Cross Betina Seronegatif Seronegatif
anak 2 (506)
Sapi Cross
Betina Seronegatif Seronegatif
549 Sapi
Cross Jantan Seronegatif Seronegatif
2.2. Hasil pengujian Brucella abortus
(Metode RBT) dan Pewarnaan Bakteri Tahan
Asam
Kode Sampel Hewan Jantan/Betina
Brucella abortus
RBT
Pewarnaan
Bakteri Tahan Asam
515 Sapi PO Betina
519 Sapi
Limousin Betina Seronegatif Negatif
217 Sapi
Limousin Betina Seronegatif Negatif
anak 1 Sapi
Limousin Jantan Seronegatif Negatif
508 Sapi
Limousin Betina Seronegatif Negatif
anak 3 (501) Sapi
Limousin Jantan Seronegatif Negatif
515 Sapi PO Betina Seronegatif Negatif
510 Sapi PO Betina Seronegatif Negatif
517 Sapi
Cross Betina Seronegatif Negatif
anak 2 (506) Sapi
Cross Betina Seronegatif Negatif
549 Sapi
Cross Jantan Seronegatif Negatif
2.3. Hasil Pengujian Parasit Darah
Kode Sampel
Hewan Jantan/ Betina
Hasil Uji Parasit Darah
519 Sapi
Limousin Betina Negatif
217 Sapi
Limousin Betina Negatif
anak 1 Sapi
Limousin Jantan Negatif
508 Sapi
Limousin Betina Negatif
anak 3 (501)
Sapi Limousin
Jantan Negatif
515 Sapi PO Betina Negatif
510 Sapi PO Betina Negatif
517 Sapi Cross Betina Negatif
anak 2 (506)
Sapi Cross Betina Negatif
549 Sapi Cross Jantan Negatif
2.4. Hasil Pengujian Identifikasi Cacing
Sapi - sapi yang mati atau sakit
dengan menunjukkan gejala ambruk
dan kesulitan melahirkan salah satu
faktor penyebabnya adalah hipokal-
semia dan anemia sesuai dengan hasil
pengujian hematologi. Dugaan sumber
penyebab terjadinya kasus karena
kekurangan pakan. Jika dilihat dari
jenis pakan diberikan berupa kacangan
yang diberikan hampir tiap hari dalam
jangka waktu yang lama menyebabkan
nutrisi yang dikonsumsi sapi juga
minim. Tanaman kacangan kurang
disukai sapi dan mempunyai serat
kasar yang tinggi karena didominasi
oleh batang daripada daun. Jumlah
25 | D I L A V E T E d i s i 1 J u n i 2 0 1 9
kacangan yang diberikan juga masih
kurang. Pemberian mineral tidak
diberikan hanya diberikan jagung giling
atau garam dapur. Pemberian jagung
baru diberikan sejak bulan Februari.
Gejala kekurangan pakan juga sangat
terlihat pada mayoritas kondisi sapi
yang sangat kurus, pada pedet terlihat
perut yang buncit yang menunjukkan
terjadinya ascites karena hipopro-
teinemia.
Hasil pemeriksaan parasitologi
diperoleh positif nematoda, menun-
jukkan bahwa sapi terinfeksi parasit
yang menyebabkan penurunan kondisii
tubuh dan kekurusan . Faktor lain yang
menyebabkan memperparah kondisi
sapi adalah kondisi kandang yang
kurang sinar matahari dan sirkulasi
udara karena terlindungi oleh naungan
pohon di sekitar kandang, seperti yang
terjadi pada kandang 2 baris. Selain itu
perawatan sapi yang kurang karena
tenaga pemelihara sapi hanya
dilakukan oleh satu orang untuk 70 ekor
sapi. Akibatnya sapi kurang diberi
pakan, minum, kandang dan sapi
kurang dibersihkan karena keterba-
tasan tenaga pemelihara.
Adanya kekurangan pakan akan
menyebabkan kondisi tubuh sapi kurus,
kurang sehat dan mudah sakit. Pada
sapi yang bunting tua terjadi ambruk,
distokia, retensi plasenta anak yang
dilakirkan dalam kondisi lemah dan
kematian. Ada kemungkinan juga sapi
menjadi rentan terinfeksi BEF. Karena
menurut laporan petugas ada kasus
BEF di sekitar lokasi peternakan.
Penyakit BEF pada umumnya akan
sembuh sendiri dalam waktu tiga hari,
meskipun demikian pada kondisi tubuh
sapi yang lemah (kekurangan pakan,
bunting dan melahirkan) dapat
berakibat fatal.
Kesimpulan Dan Saran
Berdasarkan pengamatan kondisi
peternakan, kondisi sapi dan gejala
klinis, sapi - sapi yang mati atau sakit
dengan menunjukkan gejala ambruk
dan kesulitan melahirkan kemungkinan
menderita hipokalsemia dan keku-
rangan nutrisi. Sapi yang ambruk 3/70
(4,29%), mortalitas 2/70 (2,86%), case
fatality rate 2/3 (66,67%). Faktor resiko
yang berpengaruh terhadap munculnya
kasus adalah kekurangan pakan
hijauan dan mineral serta kekurangan
tenaga pemelihara yang memberi
pakan, merawat sapi dan
membersihkan kandang maupun
lingkungan.
Untuk mengatasi kasus malnutrisi perlu
dilakukan perbaikan manajemen
26 | D I L A V E T E d i s i 1 J u n i 2 0 1 9
pemberian pakan. Jenis pakan
kacangan sebaiknya jangan diberikan
terus menerus perlu ditambah atau
diselingi dengan rumput lain. Pakan
yang diberikan dalam jumlah yang
cukup dan perlu di tambahkan dengan
mineral dan konsentrat. Tenaga kerja
perlu ditambah untuk pemeliharaan sapi
kebersihan kandang dan lingkungan.
Pemberian anthelmetika perlu berla-
kukan secara periodik, menyeluruh dan
meningkatkan kebersihan kandang dan
lingkungan.
Pemberian vitamin juga penting
pada pengobatan malnutrisi. Salah satu
vitamin yang penting ialah vitamin B-
Kompleks. Penggunaan Vitamin B
Kompleks bertujuan meningkatkan
sistem pertahanan tubuh, nafsu makan,
dan sistem metabolisme. Vitamin B-
Kompleks mengandung 8 jenis vitamin
B. Vitamin B kompleks berfunsgi penting
sebagai koenzim yang berperan dalam
berbagai metabolisme energi di dalam
tubuh, kofaktor dalam berbagai reaksi
metabolisme asam amino dan berfungsi
manjaga otak dan sistem saraf, serta
dalam pembentukan darah. Pada kasus
ini kondisi malnutrisi menyebabkan
kadar vitamin dalam tubuh menurun
sehingga diperlukan adanya vitamin
tambahan dari luar. Dengan adanya
tambahan vitamin B kompleks
diharapkan nantinya fungsi
metabolisme energi dapat kembali
normal (Plumb 2005).
27 | D I L A V E T E d i s i 1 J u n i 2 0 1 9
DAFTAR PUSTAKA
Al-Kaade S. 2013. Exocrine Pancreatic Insufficiency. (Diunduh pada 13 Februari 2013). Tersedia pada http://emedicine.medscape.com/article/2121028-overvuew#showall.
Kahn CM.2011.The Merck Veterinary Manual, Ninth Edition. USA:Merck & Co.Inc
Plumb DC. 2005. Veterinary Drug Handbook 5th Edition.USA: Blackwell Publishing
Watson PJ, Dunn JK. 2000. Weight Loss and Weight Gain. Editor: Dunn JK. Texbook of small animal medicine. London: WB Saunders.
28 | D I L A V E T E d i s i 1 J u n i 2 0 1 9