daftar isii daftar isi daftar isi i 1.1 latar belakang 1 1.2 diskripsi singkat 2 1.3 manfaat modul...

135

Upload: others

Post on 02-Feb-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • i

    DAFTAR ISI

    DAFTAR ISI i1.1 Latar Belakang 11.2 Diskripsi Singkat 21.3 Manfaat Modul Bagi Peserta 21.4 Tujuan Pembelajaran 31.5 Kompetensi Dasar 31.6 Indikator Keberhasilan 41.7 Materi Pokok dan Sub Materi Pokok 41.8 Rangkuman 51.9 Latihan 6

    KEGIATAN BELAJAR I 5PERMASALAHAN KERUSAKAN KONSTRUKSI JALAN PADA TANAH PROBLEMATIKDAN FAKTOR PENYEBABNYA 5

    2.1 Konstruksi Infrastruktur Jalan dan Jembatan 52.2 Kondisi Jalan Pada at-grade 92.3 Kondisi Jalan pada “at-fill 102.3.1 Kondisi jalan pada “at-fill” pada tanah Problematik, Tanah Lempung

    Dan Tanah Organik 102.3.2 Keruntuhan pada Kondisi “at-fill” pada timbunan jalan yang berada

    pada Lapisan Tanah Lunak dan Organik 14Gambar 2- 9. Kejadian penurunan dan keruntuhan timbunan badan jalan

    pada tanah problematic yang berupa tanah lunak 14Gambar 2- 10. Permasalhan penurunan dan displacement pergerakan yang

    berdampak pada mengangkatan tanah disekelilingnya (heaving) 14Gambar 2- 12. Displacemen horizontal akibat penurunan beban timbunan

  • ii

    berlebih yang mempengaruhi stabilitas bangunan disampingnya 14Gambar 2- 12. Keruntuhan Abutmen Jembatan oleh beban timbunan

    berlebih dibalakang abutment 172.3.3 Keruntuhan Tanah Dasar Pondasi Jalan pada kondisi ”at-fill” atau

    timbunan jalan yang berada pada tanah Gambut 19

    Gambar 2- 15. Konstruksi timbunan jalan diatas tanah Gambut di KalimantanTengah tahun 1999 21

    2.3.4 Keruntuhan Jalan pada Kondisi ” at-fill ” pada timbunan jalan yangberada pada lapisan tanah ekspansif 22

    Gambar 2- 18. Konstruksi timbunan badan jalan diatas lapisan tanahekspansif 23

    2.4 Kondisi Jalan pada “at-cut” 252.5 Rangkuman 292.6 Latihan 29

    KEGIATAN BELAJAR 2 30KRITERIA PADA PERENCANAAN DAN PENANGANAN JALAN PADA TANAHPROBLEMATIK 30

    3.1 Lapisan Tanah Dasar 313.1.1 Lapisan Tanah Dasar dalam Sistim Perkerasan Jalan 313.1.2 Lapisan Tanah Dasar dalam Tanah Problematik 31Gambar 3- 1.Permasalahan Perencanaan jalan pada tanah Problematik 333.2 Stabilitas Konstruksi Jalan diatas Tanah Problematik 343.2.1 Stabilitas Daya Dukung Lapisan Tanah Dasar 34Gambar 3- 2 Nilai kepadatan Tanah untuk Timbunan jalan 35Gambar 3- 3. Nilai kepadatan kering hubungannya dengan CBR Design 37Tabel 3 - 1. Koefisien r terhadap prosentase berbutir kasar tertahan # 4,75

    mm (Pc) 38Tabel 3 - 2. Perbaikan Tanah dibawah Permuakaan Tanah Asli 40Dalam melaksanakan uji DCP ini digunakan alat DCP dan diperlihatkan

    pada 40Gambar 3- 4. Alat Uji DCP (Dinamic Cone penetrometer) dan Korelasinya

    terhadap Nilai CBR (California Bearing Ratio) 41

  • iii

    Tabel 3 - 3. Nilai CBR terhadap ESA (Equivalent Standar Axle) 44Tabel 3 - 4. Perbaikan Tanah untuk subgrade dan digali sampai dengan

    dibawah Permukaan Tanah Aslinya 44Tabel 3- 5 Nilai korelasi beberapa Parameter Kepadatan terhadap N-SPT

    (Nilai Standard Penetration Test) 483.2.2 Stabilitas Timbunan 50Tabel 3- 6. Teknologi penanganan Tanah Problematik 52Gambar 3- 7. Klasifikasi Tanah Lunak/Gambut 53Gambar 3- 8. Keruntuhan amblasan atau pondasi 55Gambar 3- 15. Keruntuhan Timbunan akibat Pengangkatan Tanah yang

    berlebihan (sumber : eddie sunaryo, 2010 – 2014 dan 2015) 57Gambar 3- 17. Keruntuhan Lereng Dalam Timbunan Jalan pada lapisan tanah

    Lunak 593.3 Rangkuman 593.4 Latihan 60

    KEGIATAN BELAJAR 3 61TANAH PRINSIP PENANGGULANGAN PROBLEMATIK 61

    4.1 Kualitas dan Kontrol Kualitas Materal Timbunan Sebagai Tanah Dasaratau Subgrade 61

    Table 4 - 1. Kekuatan Tanah Dasar dan Toleransinya 62Gambar 4- 1. Pengujian Kepadatan Tanah dengan Sand Cone 624.2 Konstruksi Tanah Timbunan Sebagai Subgrade 644.2.1 Persyaratan Kekuatan Daya Dukung 64Gambar 4- 3. Hubungan antara Hasil Pemadatan pada beberapa Jenis

    Tanah 64Table 4 - 2. Kepadatan Relatif Tanah untuk Subgrade 654.2.2 Variasi jenis material material tanah untuk subgrade 66Gambar 4- 5. Pengelompokan Variasi Gradasi Tipe 1, 2 dan 3 dari hasil uji

    gradasi 67Gambar 4- 6. Pedoman analisa Pengelompokan Nilai Cu dan Cc 684.2.3 Jenis Material terhadap Kelompok Penggunaannya 68Table 4 - 3. Pengelompokan Jenis Material yang digunakan dalam konstruksi

    jalan yang disyaratkan secara internasional 69

  • iv

    Table 4 - 4. Ukuran Gradasi Agregat Klas A, B dan S 704.3 Teknologi Perkuatan Timbunan sebagai Lapisan tanah Dasar atau

    Subgrade 714.3.1 Sifat-sifat Bahan Material Geosintetik 71Table 4 - 6 Syarat Elektrokimia Timbunan yang Diperkuat (Elias dkk, 2001) 71Gambar 4- 7. Karakteristik Bahan Geosintetik tipe Woven 724.3.2 Interaksi tanah dan geosintetik 724.3.3 Prinsip Dasar Perkuatan Timbunan dengan Bahan Geosintetik 72Gambar 4- 8, Bidang Runtuh dan Assumsi Bekerjanya Perkuatan

    Geosintetik 774.3.4 Fungsi Perkuatan Geosintetik 77Gambar 4- 9 Penanganan dengan Perkuatan Geosintetik 78Gambar 4- 12, Perkuatan tebing dengan Geogride 80Gambar 4- 13, Perkuatan tebing dengan Reinforced soil structures 814.4 Aplikasi Perkuatan Bahan Geosintetik 824.4.1 Perkuatan Lereng Timbunan 82Gambar 4- 14. Perkuatan Geosintetik / Geotekstil pada Jalan Baru dengan

    ROW terbatas (Sumber: Elias dkk, 2001) 83Gambar 4- 15. Pelebaran Jalan dengan Perkuatan Geosintetik / geotekstil

    jenis woven yang mempunyai sifat kekuatan tarik (Sumber: Elias dkk,2001) 84

    Gambar 4- 16. Aplikasi Lereng Tanah yang Diperkuat untuk perbaikankeruntuhan lereng (Sumber: Elias dkk, 2001) 84

    Gambar 4- 17. Ilustrasi tanah timbunan yang diperkuat 85Table 4 - 7. Rekomendasi Persyaratan untuk Timbunan yang Diperkuat

    (Spesifikasi Umum Bina Marga, 2010) 86Table 4 - 8. Kisaran Nilai Sifat-sifat parameter Indeks dan Mekanis Tanah

    (CUR, 1996) 874.4.2 Pemilihan Prosedur perkuatan lereng tanah 87Gambar 4- 18. Moda Keruntuhan Lereng Tanah yang Diperkuat 88Gambar 4- 19. Tahapan Prosedur Perencanaan Stabilitas Lereng Timbunan

    Tanah (Sumber: Elias dkk, 2001) 904.4.3 Prosedur Perencanaan Perkuatan Timbunan 91

  • v

    Gambar 4.21. Analisis Stabilitas Geser Rotasional Tanpa PerkuatanGeosintetik 96

    Gambar 4.22. Kekuatan Geosintetik yang Dibutuhkan untuk StabilitasRotasional 97

    4.4.4 Aplikasi Perkuatan Lereng Timbunan 103Table 4 - 9. Rentang RFCR Geosintetik Jenis Polimer (Elias dkk, 2001) 108Gambar 4- 26. Zona Kritis yang Memenuhi Target Faktor Keamanan

    Berdasarkan Bidang Rotasi dan Gelincir(Sumber: Elias dkk, 2001) 108Gambar 4- 27. Pendekatan Geser Rotasional untuk Menentukan Kekuatan

    Geosintetik yang Dibutuhkan (Sumber: Elias dkk, 2001) 1114.4.5 Aplikasi untuk Perkuatan Dasar Timbunan 111Gambar 4- 27. Distribusi beban dan gaya reaksi pada geotekstil 111Gambar 4- 28. Teknologi Penggantian Material dengan Geotekstil 1124.4.6 Distribusi Beban pada Subgrade (Tanah Dasar) 113Gambar 4- 33. Desain Chart untuk Konstruksi Jalan dengan Perkuatan

    Geotextile (contoh: untuk beban gandar = 80 kN; tekanan angin roda =480kPa; maka kedalaman alur (ruth depth) = 0.3m)) 118

    Gambar 4- 34. Gaya yang bekerja diterima lapisan aggregate 119Gambar 4- 35. Contoh Desain Chart Perkuatan Geogrid HDPE (Carroll et al,

    1989) 1204.5 RANGKUMAN 1214.6 LATIHAN 121

    DAFTAR PUSTAKA 123

  • 1

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Sudah banyak dikaji bahwa Tanah Problematik meliputi Tanah Lunak

    baik organik maupun non-organik, Tanah Ekspansif dan tanah Gambut

    yang masing-masing mempunyai sifat karakteristik properties yang

    sangat berbeda walaupun sebagian ada yang mempunyai kemiripan.

    Tanah problematik ini sesuai keberadaannya yang didominasi oleh

    endapan sedimen umur kuarter maka keberadaannya mempunyai

    kedalaman yang bervariasi antara terlihat dipermukaan sampai

    beberapa puluh meter dibawah permukaan. Perbedaan sifat

    karakteristik properties tanah problematik sangat beraneka karena

    tergantung dari bentukan material batuan/tanah asal yang terendapkan

    melalui proses transportasi yang umumnya oleh air atau terendapkan

    dengan sendirinya karena proses mekanis dan kimia sehingga menjadi

    endapan sedimen.

    Oleh karena itu, perencanaan pembangunan infrastruktur jalan pada

    tanah problematik atau bermasalah (Problematic Soils) dijumpai

    permasalahan terhadap menurunnya atau terganggunya stabilitas

    konstruksi seperti jalan dan jembatan. Teknologi yang diperlukan untuk

    membangun konstruksi infrstruktur jalan dan jembatan perlu dilakukan

    Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta mampu memahami pengertian

    PERMASALAHAN STABILITAS TIMBUNAN JALAN PADA TANAH PROBLEMATIK

    terutama memahami PERMASALAHAN KERUSAKAN JALAN DAN

    PERENCANAAN – PENANGANANNYA

    SEBAGAI TANAH DASAR pada pembangunan infrastruktur jalan

  • 2

    perencanaan dengan seksama karena penanggulangan kerusakan

    jalan akan mengganggu kenyamanan berlalulintas dan dapat pula

    mengganggu kelancaran transportasi arus danbarang.

    1.2 Diskripsi Singkat

    Modul 3 pada Diklat ini membahas mengenai PERMASALAHAN

    KERUSAKAN JALAN DAN PERENCANAAN – PENANGANANNYA

    SEBAGAI TANAH DASAR khususnya dalam hubungannya

    terhadap konstruksi timbunan jalan yang dibangun diatasnya karena

    dapat terganggunya stabilitasnya. Dengan terganggunya stabilitas

    timbunnan jalan tersebut maka akan mempengaruhi kinerja

    perkerasan jalan dan untuk itu perlu dilakukan teknologi

    penanganan melalui perencanaan dalam upaya perbaikan tanah

    problematik karena umumnya mempunyai daya dukung yang rendah

    dan penurunan yang besar serta berpotensi terhadap kejadian

    keruntuhan konstruksi timbunan jalan. Mengingat sifat karakteristiknya

    tanah problematik masing-masing berbeda maka dengan memahami

    Modul 3 yang membahas PERMASALAHAN KERUSAKAN JALAN

    DAN PERENCANAAN – PENANGANANNYA SEBAGAI TANAH

    DASAR dan merupakan kelanjutan Modul sebelumnya maka melalui

    pendekatan penguasaaan kognitif maupun psikomotorik yang berbasis

    pada proses pembekalan, pelatihan, kajian teori dan studi kasus, serta

    simulasi pembahsan terhadap kasus lapangan melaui studi lapangan

    dapat lebih mudah dipahami dan dimengerti.

    1.3 Manfaat Modul Bagi Peserta

    Diharapkan dengan memahami modul 3 mengenai PERMASALAHAN

    KERUSAKAN JALAN DAN PERENCANAAN – PENANGANANNYA

  • 3

    SEBAGAI TANAH DASAR dari modul PENANGANAN TANAH

    PROBLEMATIK UNTUK KONSTRUKSI JALAN yang terdiri dari 5

    modul akan memberikan manfaat bagi peningkatan sumber daya

    manusia dibidang Jalan dan jembatan di instansinya masing-masing.

    Pada modul 3 ini, peserta diklat diharapkan dapat mampu memahami

    permasalahan kerusakan jalan dan perencanaan – penanganannya

    terutama sebagai subgrade jalan dalam hubungannya sebagai

    pendukung konstruksi infrastruktur jalan. Diharapkan, dengan

    mempelajari modul lainnya yang berhubungan baik modul sebelumnya

    maupun modul sesudahnya yang merupakan bagian dari modul diklat

    PENANGANAN TANAH PROBLEMATIK UNTUK KONSTRUKSI JALAN

    maka peserta diklat mampu menangani permasalahan dan dampak

    yang ditimbulkan pada pada konstruksi jalan yang berada diatas tanah

    problematik.

    1.4 Tujuan PembelajaranSetelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu mengenal sifat

    karakteristik properties tanah problematik, sehingga dapat menangani

    permasalahan dan dampak yang ditimbulkan pada konstruksi jalan yang

    berada diatas tanah problematik.

    1.5 Kompetensi DasarSetelah mengikuti pembelajaran ini. Peserta mampu memahami,

    menerapkan, merancang, merencanakan dan menangani desain tanahdasar untuk konstruksi jalan yang berada diatas tanah problematik

    dengan:

    1) Memahami Pengertian Tanah Problematik

    2) Memahami dan melakukan Survei Investigasi dan melakukan diskripsi

    serta mengklasifikasi tanah problematik

  • 4

    3) Memahami dan merancang Perencanaan Jalan di Atas TanahProblematik

    4) Memahami dan merancang Persiapan dalam Pelaksanaan timbunanjalan pada tanah problematik

    1.6 Indikator Keberhasilan

    Diharapakan setelah memahami Modul 3 ini yang membahas

    PERMASALAHAN KERUSAKAN JALAN DAN PERENCANAAN –

    PENANGANANNYA SEBAGAI TANAH DASAR dan merupakan

    lanjutan Modul sebelumnya atau bagian dari Modul DIKLAT

    PENANGANAN TANAH PROBLEMATIK UNTUK KONSTRUKSI JALAN

    dapat dicapai indikator keberhasilan sebagai berikut:

    1) Menjelaskan tentang permasalahan kerusakan konstruksi jalan padatanah problematik dan faktor penyebabnya;

    2) Menjelaskan tentang kriteria pada perencanaan dan penangananjalan pada tanah problematik;

    3) Menjelaskan tentang prinsip penanggulangan tanah problematik

    1.7 Materi Pokok dan Sub Materi Pokok

    Materi pokok pada modul diklat yang membahas PENANGANAN TANAH

    PROBLEMATIK UNTUK KONSTRUKSI JALAN yang secara ringkas isi

    dari Modul 3 menjelaskan PERMASALAHAN KERUSAKAN JALAN

    DAN PERENCANAAN – PENANGANANNYA SEBAGAI TANAH

    DASAR pada pembangunan infrastruktur jalan, terutama dalam

    pengertian PERMASALAHAN STABILITAS TIMBUNAN JALAN PADA

    TANAH PROBLEMATIK.

    Submateri pokok yang dibahas dalam modul 3 ini membahas tujuan dan

  • 5

    hasil yang diharapkan dicapai untuk peserta selama mengikuti diklat

    antara lain:

    1) Setelah mengikuti pembelajaran BAB I peserta mampu memahami

    pengertian ruang Lingkup pentingnya Modul 3 ini yang mencakup

    Latar belakang, diskripsi singkat, manfaat modul, tujuan

    pembelajaran, kompetensi dasar. Indikator keberhasilan serta materi

    pokok dan sub materi pokok.

    2) Setelah mengikuti pembelajaran BAB II peserta mampu Menjelaskan

    tentang permasalahan kerusakan jalan yang dibangun pada tanah

    problematik dan faktor penyebabnya dengan gambaran riel pada

    konstruksi infrastruktur jalan dan jembatan berhubungan dengan

    kondisi keberadaannya..

    3) Setelah mengikuti pembelajaran BAB III peserta mampu

    Menjelaskan tentang prinsip perencanaan dan Penanganan Jalan

    yang dibangun pada tanah problematik mulai dari penggunaanya

    sebagai lapisan tanah dasar konstruksi jalan dan sebagai pendukung

    sistim konstruksi jalan secara keseluruhan.

    4) Setelah mengikuti pembelajaran BAB IV peserta mampu menjelaskan

    tentang Prinsip Penanggulangan Konstruksi Jalan pada tanah

    problematik yang difungsikan sebagai lapisan tanah dasar dan

    penerapan beberapa teknologi yang digunakan berupa perkuatan

    lereng dan perkuatan dasar timbunan.

    1.8 Rangkuman

    Pada bab pendahuluan ini menjelaskan secara ringkas tentang

    PERMASALAHAN STABILITAS TIMBUNAN JALAN PADA TANAH

    PROBLEMATIK terutama memahami PERMASALAHAN KERUSAKAN

    JALAN DAN PERENCANAAN – PENANGANANNYA SEBAGAI TANAH

  • 6

    DASAR pada pembangunan infrastruktur jalan yang secara detail

    dibahas pada Bab II, Bab III dan BAB IV dengan dilengkapi Penutup

    pada Bab V.

    1.9 Latihan

    Peserta diharapkan mampu dan mempunyai kemampuan untuk

    menjelaskan tentang modul 3 ini yang secara ringkas mencakup

    pengertian PERMASALAHAN STABILITAS TIMBUNAN JALAN PADA

    TANAH PROBLEMATIK terutama memahami PERMASALAHAN

    KERUSAKAN JALAN DAN PERENCANAAN PENANGANANNYA

    SEBAGAI TANAH DASAR pada pembangunan infrastruktur jalan

  • 5

    KEGIATAN BELAJAR I

    PERMASALAHAN KERUSAKAN KONSTRUKSIJALAN PADA TANAH PROBLEMATIKDAN FAKTOR PENYEBABNYA

    2.1 Konstruksi Infrastruktur Jalan dan JembatanBerdasarkan hasil pengamatan lapangan dan survai pendahuluan seperti

    yang telah dijelasakan pada Modul 1 dan 2, maka dapat diidentifikasi

    permasalhan yang terjadi sebagai dampak konstruksi jalan yang dibangun

    diatas tanah problematik.

    Berdasarkan persyaratan lalulintas yang mengacu pada 1 Undang-Undang

    Republik Indonesia, Nomor 38 Tahun 2004 dan pasal 1 Peraturan

    Pemerintah Republik Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia, dan

    pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006

    Nomor 34 Tahun 2006 dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen

    PU) No. 11/PRT/M/2010 yang intinya agar dicapai jalan yang aman,

    berkesealamatan dan mantap maka diwajibkan mengikuti kaidah dan

    persyaratan geometric jalan, seperti alinyemen dan kelandaian yang

    diijinkan dan disyaratkan.

    Untuk menghubungkan kondisi tersebut perlu dihubungkan dengan

    Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta mampu memahami tentang permasalahan

    kerusakan jalan yang dibangun pada tanah problematik dengan gambaran riel pada

    konstruksi infrastruktur jalan dan jembatan berhubungan dengan kondisi

    keberadaannya.

  • 6

    bangunan penghubung khususnya jembatan walaupun dapat terowongan

    diberlakukan. Khusus dalam modul pembangunan prasarana transportasi

    infrastruktur jalan bangunan konstruksi penghubung yang dibahas adalah

    konstruksi jembatan disamping konstruksi jalan itu sendiri.

    Pada modul ini tidak membahas standar acuan geometrik dan alinyemen

    jalan termasuk kelandaian dan jarak pandang serta permasalahan yang

    berhubungan dengan pergerakan kendaraan tetapi membatasi kajian

    terhadap keberadaan jalan dan jembatan sebagai akibat dari persyaratan

    tersebut. Dengan memperhatikan persyaratan ini maka keberadaan

    infrastruktu jalan dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu:

    1) Kondisi jalan yang disebut sebagai “at-grade”2) Kondisi jalan yang disebut sebagai berada pada daerah timbunan atau

    “at-fills”

    3) Kondisi jalana yang disebut berada pada bagian galian “at-cut”

    Ciri ciri kerusakan sangat dipengaruhi oleh kondisi perlapisan tanah yangdifungsikan sebagai tanah dasar (subgrade) diperlihatkan pada gambar

    berikut ini terhadap perkerasan yang berada diatasnya, misalnya akibat

    penurunan badan jalan.

    Perlu diketahui bahwa permasalahan penurunan ini terdiri dari penurunan

    seketika, penurunan konsolidasi yang terdiri dari penurunan primer

    sebesar 90 %, penurunan sekunder sebesar 10% dan penurunan tersier

    yang umumnya disebut creep (rangkak) yang merupakan penurunan

    lanjutan karena perubahan karakteristik propertis lapisan tanah lunak

    akibat baban timbunan.

  • 7

    Gambar 2- 1, Hubungan antara besar penurunan dan waktu lamanyapada penurunan konsolidasi tanah lunak

    Stuktur perkerasan tersebut sangat: tergantung dari daya dukung

    subgrade yang kondisnya dibentuk oleh lapisan tanah dasar dibawahnya

    (lapisan tanah/batuan setempat). Lapisan tanah dasar yang berupa Tanah

    Problematik (meliputi: Tanah LUNAK, EKSPANSIF dan GAMBUT) akan

  • 8

    d

    mempengaruhi Overall-stability terhadap kemantapan perkerasan jalan

    yang berada diatasnya dan diperlihatkan pada Gambar 2- 2.sd 2-4

    Kondisi Perkerasan Jalan yang kemantapannya tergantung dari daya

    dukung subgrade.

    Gambar 2- 2. Kondisi Perkerasan Jalan yang kemantapannyatergantung dari daya dukungsubgrade

    Gambar 2.3. Normal rutting

    Daya ukung cukup

    CBR > 6%Daya dukung cukupCBR < 6%

  • 9

    a) Excessive rutting b) Aggregate contamination or degeneration

    Gambar 2.4. Rutting dan Tanah dasar jelek

    2.2 Kondisi Jalan pada at-grade

    Kondisi jalan pada at-grade merupakan jalan struktur perkerasan jalan yang

    dibangun diatas tanah dasar setempat seperti diperlihatkan pada Gambar 2- 5.

    Gambar 2- 5. Kondisi jalan pada at-grade

    Pada kondisi at-grade jalan berada pada permukaan tanah yang berfungsisubgrade (tanah dasar) dan perkerasan jalan berada diatasnya secaralangsung.

    Perkerasan Jalan Tanah Dasar

  • 10

    Pada kondisi ini konstruksi jalan dapat berupa perkerasan kaku (rigid pavement)

    atau perkerasan lentur (fleksible pavement) dan tipe perkerasan melibuti jenis dan

    ketebalannya merupakan fungsi dari kekeuatan naha dasar tersebut yang

    umumnya diperoleh dengan investigasi DCP (Dutch Cone Penetrometer) yang

    hasilnya dikonversikan ke nilai CBR (California Bearing Ratio).

    Permasalahan yang terjadi pada struktur perkerasan pada at-grade ini adalah

    daya dukung subgrade baik daya dukungnya secara langsung maupun daya

    dukungnya yang dipengaruhi oleh perlapisan tanah dibawahnya. Hal lain yang

    memepengaruhi menurunnya daya dukung tanah dasar ini adalah muka air tanah

    dan sistim drainasenya sehingga perlu direncanakan secara terintegrasi dengan

    konstruksi perkerasannya.

    Kondisi daya dkung subgrade jenuh air Kondisi daya dukung subgradesangat rendah

    Gambar 2- 6. Kondisi Kerusakan Jalan akibat daya dukung tanahdasar (subgrade) menurun baik akibat drainase dan karenalapisan tanah problematic

    2.3 Kondisi Jalan pada “at-fill”

    2.3.1 Kondisi jalan pada “at-fill” pada tanah Problematik, TanahLempung dan Tanah Oragnik

    Kondisi jalan pada at-fill merupakan suatu konstruksi infrastruktur jalan

    yang berada diatas timbunan yang merupakan badan jalan yang

  • 11

    difungsikan bagian atasnya sebagai lapisan tanah dasar (subgrade).

    Umumnya kondisi jalan yang demikian adalah pada daerah dataran

    rendah yang merupakan endapan deposit alluvial dan secara umur

    geologi merupakan material hasil transportasi dari batuan dasarnya yang

    telah mengalami proses pelapukan dan terbawa ke pantai sehingga

    mempunyai karaktersitik propertis yang berbeda antara satu dan lainnya.

    Endapan alluvial ini umumnya merupakan tanah problematic yang

    terhampar pada daerah pesisir pantai atau meander sungai dan/atau

    cekungan baik di pegunungan maupun dataran sehingga terbentuk

    endapan danau purba karena proses pembentukannya menurut waktu

    geologi

    Gambar 2.7 : Tanah Galian dan Timbunan

  • 12

    Pada konstruksi jalan yang berupa at-fill ini menjadikan perkerasan jalan

    berada diatas timbunan dan kondisi ini dapat terjadi baik memenuhi

    peryaratan geometrik dan pada persimpangan tak sebidang sehingga

    memerlukan konstruksi overpass maupun underpass serta bangunan

    jembatan seperti diperlihatkan pada Gambar 2- 8.

    Gambar 2- 8. Kondisi Jalan pada at-fill

    Pada kondisi at-fill dijumpai beberapa permasalahan bilamana lapisan tanah

    dibawahnya berupa tanah problematik atau tanah lunak, tanah ekspansif dantanah gambut. Permasalahan yang timbul dikarenakan beberapa sebab:

    1) Daya dukung lapisan tanah Lapisan tanah berupa tanah problematik

    dapat berupa lempung, gambut dan tanah ekspansif tersebut sangat kecil

    2) Beban timbunan yang tidak mampu didukung oleh lapisan tanah

    problematik tersebut. Sehingga bedampak pada:

    a) Menurunnya stabilitas timbunan yang berpotensi terhadap keruntuhan

    pondasi dan keruntuhan lereng baik lereng dangkal maupun lereng

    Perkerasan Jalan

    Timbunan

    Abutment

    Jembatan

    Timbunan

    Tanah Dasar

    TanahLunak /

    problemati

  • 13

    dalam

    b) Penurunan timbunan yang berkepanjangan akibat dari proses

    konsolidasi yang mebutuhkan wakttu cukup lama, tergantung dari nilai

    kompresibilitas tanah lunak dan beban timbunan yang bekerja

    c) Akibat keseimbangan batas yang terganggu maka akan menimbulkan

    distibusi keseimbangan horisontal yang tidak seimbang dan

    berdampak pada keruntuhan timbunan dan berdampak pada

    struktur bangunan yang ada disekelilingnya.

    i) Akibat beban timbunan yang bertambah karena beban berlebih dan

    penjenuhan material timbunan akibat terndam saat banjir, sehingga

    tanah dasar tidak mampu mendukungnya sehingga menambah

    beban horizontal aktif yang tidak diimbangi oleh gaya horizontal

    pasifnya.

    ii) Akibat adanya pengaruh luar yang terjadi sehingga mengurangi

    gaya horizontal penahan stabilitas lereng timbunan seperti hilangnya

    atau berkurangnya penahan lateral pasif, seperti degradasi dasar

    sungai dan abrasi didepan abutment jembatan yang merubah

    penampang basah sungai.

    Pada kondisi at-fill ini tanah dasar terdiri dari lapisan tanah problematik yang

    berupa endapan sedimen kuarter dan dapat berupa tanah lunak baik

    organik maupun non-organik, tanah gambut dan tanah ekspansif. Jenis

    lapisan tanah problematik seperti telah diuraikan sebelumya sifat

    karakteristiknya dipengaruhi oleh geologi batuan dasarnya yang telah

    mengalami proses pelapukan dan tersedimentasi dalam waktu yang lama.

    Lapisan tanah problematik ini bilaman berupa lempung maka

    keberadaannya dapat berupa tak terkonsolidasi (normally consolidated)

    atau telah terkonsolidasi (over consolidated). Kedua keadaan kondisi ini

    akan mempengaruhi karakteristik propertisnya sehingga akan berpengaruh

    pada stabilitas konstruksi yang dibangun diatasnya seperti prasarana jalan

    dan jembatan. Berikut permasalahan yang timbul pada konstruksi

  • 14

    perkerasan jalan pada kondisi ”at-fill”.

    2.3.2 Keruntuhan pada Kondisi “at-fill” pada timbunan jalan yang beradapada Lapisan Tanah Lunak dan Organik

    Besar penurunan nya penurunan yang terjadi perlu dipertimbangkan danparameter penurunan yang perlu dipertimbangkan terhadap: jenis dan

    ketebalan lapisan tanah problematik, berat timbunan, derajat konsolidasi

    dan defrajad kemampatan atau kompresibilitas tanah problematik.

    1) Kecepatan penurunan

    Parameter yang mempengaruhi kecepatan dan perlu dipertimbangkan

    terhadap berlangsungnya adalah waktu atau lama nya penurunan dan

    kecepatan penurunan. Paramter yang mempengaruhi penurunan adalah

    sangat tergantung kepada tebal lapisan tanah problematik/lunak dan sifat

    karakteristik propertis tanah problematik itu sendiri, yaitu derajad

    konsolidasi dan derajad pemampatan tanah.

    Kejadian penurunan dan keruntuhan badan jalan yang dibangun diatasmasing-masing jenis tanah problematik menunjukkan karakteristik yang

    berbeda.

    2) Besar Penurunan dan Keruntuhan Timbunan Badan Jalan pada tanah

    dasar yang terdiri dari lapisan tanah lunakPermasalahan menurunya stabilitas timbunan jalan karena penurunan

    dan keruntuhan dapat terjadi karena daya dukungnya yang rendah serta

    nilai kompresibilitasnya besar. Pada Gambar 2- 9 diperlihatkan

    penurunan dan keruntuhan timbunan jalan pada tanah lunak yang tidak

    berpotensi terjadinya pengangkatan tanah disamping timbunan

    sedangkan pada

  • 15

    Gambar 2- 9. Kejadian penurunan dan keruntuhan timbunan badan jalan pada tanah problematic yang berupa tanah lunak

    Permasalahan lain yang terjadi pada kondisi “at-fill” adalah kejadianpenurunan yang Berdampak menyebabkan timbulnya displacementpergerakan kesamping sehingga mengakibatkan terjadinyapengangkatan tanah disekelilingnya (heaving) seperti diperlihatkan padaGambar 2- 10.

    Penurunan berlebih Penurunan dan dampak terjadidisplacement

    Squezing (pergeseran kesamping) Squeezing dan berdampak keruntuhanlereng

    Gambar 2- 10. Permasalhan penurunan dan displacement pergerakanyang berdampak pada mengangkatan tanahdisekelilingnya (heaving)

  • 16

    Landasan pendekatan perencanaan timbunan yang diperkuat adalah

    perencanaan untuk mencegah keruntuhan. Gambar 2-11a.,b,c menunjukkan

    mode keruntuhan yang dapat terjadi pada timbunan yang diperkuat. Ketiga

    kemungkinan keruntuhan tersebut memberikan indikasi jenis analisis stabilitas

    yang dibutuhkan. Selain itu, penurunan timbunan dan potensi rangkak pada

    perkuatan juga harus dipertimbangkan

    2-11.a. Keruntuhan daya dukung

    2-11.b. Keruntuhan rotasional

    2-11.c. Keruntuhan akibat pergerakan lateral(Sumber: Hotlz dkk, 1998)

    Permasalahan lain yang terjadi karena beban timbunan yang berdampak padaterganggunya stabilitas abutmen jembatan (Abutment of bridge) dan juga

  • 17

    bangunan disampingnya diperlihatkan pada Gambar 2- 12.

    Gambar 2- 12. Displacemen horizontal akibat penurunan bebantimbunan berlebih yang mempengaruhi stabilitasbangunan disampingnya

    Pada Gambar 2- 12 diperlihatkan kejadian terangkatnya bangunan rumahakibat terjadinya heaving (gambar atas) dan terdorongnya abutmentjembatan akibat displacement beban timbunan berlebih (gambar bawah).Kejadian dilapangan akibat displacement ini diperlihatkan pada Gambar 2- 13.Keruntuhan Abutmen Jembatan oleh beban timbunan berlebih dibelakangabutment.dan keruntuhan pada Badan Jalan 2-14

    Dampak lain yang diakibatkan pada timbunan dibelakang ABUTMENjembatan disamping displasemen yang dapat mendorong pondasi abutmenjuga timbulnya heaving atau pengangkatan tanah disamping timbunansehingga dapat merusak bangunan infrastruktur disekelilingnya sepertidiperlihatkan pada Gambar 2- 15.

  • 18

    Gambar 2- 12. Keruntuhan Abutmen Jembatan oleh beban timbunanberlebih dibalakang abutment.

    Gambar 2-13. Keruntuhan Badan Jalan

  • 19

    Gambar 2- 14. Terjadinya pengangkatan tanah (Heaving) disampingtimbunan berlebih

    Faktor lain yang menyebabkan kejadian terdorongnya abutment jembatan,

    dikarenakan terjadinya displacement yang tidak tertahan dikarenakan

    berkurangnya gaya lawan pasif yang disebabkan oleh beberapa sebab antara

    lain:

    1) Terjadinya degradasi dasar sungai didepan abutment

    2) Terjadinya abrasi tepi sungai didepan abutment

    3) Terjadinya erosi dinding tepi sungai sehingga kepala tiang penopangabutment jembatan tidak mempunyai gaya lawan pasif.

    Dengan memperhatikan Gambar 2- 8 maka tanah lunak yang kompresibilasnya

    tinngi dan daya dukungnya rendah berpotensi terhadap ketidak mantapan

    konstruksi jalan dan abutment jembatan sehingga dalam perencanaannya

    perlu dikaji lebih mendetail.

    2.3.3 Keruntuhan Tanah Dasar Pondasi Jalan pada kondisi ”at-fill” atautimbunan jalan yang berada pada tanah Gambut

    Disebabkan karena tanah kompresibilitas sangat besar problematik yang berupa

  • 20

    tanah gambut mempunyai nilai dan kadar air yang sangat tinggi maka

    penurunan yang terjadi umumnya penurunan seketika lebih besar dari pada

    penurunan konsolidasi yang terjadi. Dengan demikian maka kerunuhan jalan

    akan terjadi sesaat timbunan jalan selesai dikerjakan dan kondisi ini akan

    semakin parah bila timbunan berlebih diterapkan diatas lapisan tanah gambut.

    Pada Gambar 2- 11 diperlihatkan timbunan badan jalan yang dibangun pada

    lapisan tanah gambut yang dangkal (< 2,00 meter) selalu hilang tiap kali

    dilakukan penimbunan dan diduga hali ini dikarenakan penuruan sesaat setelah

    penimbunan sangat sehingga displacement kesamping juga besar. Sedangkan

    pada Gambar 2- 12 menunjukkan permasalahan timbunan badan jalan pada

    lapisan tanah gambut yang relatif tebal sehingga kecepatan displacement vertikal

    lebih besar dari displacement horizontalnya yang berdampak terangkatnya

    lapisan tanah gambut menutup badan jalannya.

  • 21

    Gambar 2- 15. Konstruksi timbunan jalan diatas tanah Gambut diKalimantan Tengah tahun 1999

    Gambar 2- 16 Penanganan Konstruksi jalan diatas tanah Gambut di KalimantanTengah

  • 22

    Gambar 2- 17. Penurunan yang terjadi pada penimbunnan badanjalan diatas lapisan tanah gambut yangrelative tebal

    2.3.4 Keruntuhan Jalan pada Kondisi ” at-fill ” pada timbunan jalan yangberada pada lapisan tanah ekspansif

    Seperti telah diuraikan bahwa akibat perbedaan kadar air maka akan

    menimbulkan retakan memanjang jalan dan seiring dengan kondisi yang

    berulang maka daya dukung tanah ekspansif berkurang secara signifikan

    dan berakibat terjadinya longsoran. Kejadian retakan dan longsoran

    badan jalan diatas tanah ekspansif diperlihatkan pada.

  • 23

    Gambar 2- 18. Konstruksi timbunan badan jalan diatas lapisan tanahekspansif

    Gambar 2.19 : timbunan oprit jembatan dimana abutment terdorong ke depan,kearah sungai

  • 24

    2.3.4.1 Fungsi dan Aplikasi Perkuatan TimbunanFungsi perkuatan pada konstruksi timbunan adalah sebagai berikut:

    A. Meningkatkan faktor keamanan rencana;

    B. Menambah tinggi timbunan;

    C. Mencegah pergeseran timbunan selama pelaksanaan;

    D. Memperbaiki kinerja timbunan karena penurunan pasca konstruksi yang

    seragam.

    Perkuatan timbunan yang dibangun di atas tanah lunak umumnya akan berada

    dalam dua kondisi, yaitu:

    A. Timbunan dibangun di atas deposit yang seragam;

    B. Timbunan dibangun di atas zona lemah lokal.

    Aplikasi perkuatan timbunan yang paling umum untuk kondisi pertama adalah

    timbunan jalan, tanggul, atau bendungan yang dibangun di atas lapisan lanau,

    lempung atau gambut jenuh air yang sangat lunak (lihat Gambar 2.15a). Pada

    kondisi ini, arah terkuat dari geosintetik biasanya ditempatkan tegak lurus

    terhadap garis tengah timbunan. Perkuatan tambahan dengan arah terkuat yang

    ditempatkan sejajar dengan garis tengah timbunan dapat juga dibutuhkan pada

    ujung timbunan.

    Aplikasi kedua adalah konstruksi timbunan yang berada di atas tanah yang

    mempunyai zona lemah lokal atau tanah berongga. Zona atau rongga ini dapat

    diakibatkan oleh lubang amblasan (sink hole), aliran sungai tua, atau kantung

    lanau, lempung atau gambut (lihat Gambar 2.14b). Untuk aplikasi ini, fungsi

    perkuatan adalah sebagai jembatan di atas zona lemah lokal atau rongga, dan

    perkuatan tarik yang dibutuhkan dapat lebih dari satu arah. Oleh karena itu, arah

    terkuat dari geosintetik harus ditempatkan dengan arah yang benar terhadap

    garis tengah timbunan Perkuatan geotekstil atau geogrid dapat dipasang satu

    lapis atau lebih tergantung besarnya gaya geser yang akan ditahan.

  • 25

    (a) Timbunan di Atas Tanah Lunak

    (b) Timbunan di Atas Zona Lemah Setempat dan Tanah Berongga(Sumber: Hotlz dkk, 1998)

    Gambar 2.-20 :Perkuatan Timbunan

    2.4 Kondisi Jalan pada “at-cut”

    Seperti halnya kondisi sebelumnya, dalam rangka memenuhi persyaratan

    geometric jalan untuk mewujudkan terlaksanakannya undang-undang jalan,

    maka konstruksi jalan dapat berada pada daerah galian atau disebut at-cut.

    Kondisi ini keberadaan jalan pada daerah galian dan umunya permasalahan

    yang dihadapi adalah kerusakan jalan akibat berubahnya karakterisitik propertis

    lapisan tanah dasar (subgrade) hasil setelah digali. Dikarenakan material galian

    terekspose udara maka akan berubah sifat karakteristik propertisnya secara

  • 26

    signifikan dan perubahan ini dipicu pula dengan terganggunya sistim tata salir

    alam sebelumnya.

    Permasalahan kerusakan jalan pada kondisi “at-cut” ini dapat berupa

    kerusakan perkerasan jalan karena dampak dari pengurangan beban (release

    load) pada lereng alamnya yang berdampak pada:

    1) Berkurangnya daya dukung tanah akibat mengalami penjenuhan yang

    meningkat karena tanah dasar (subgrade) menjadi jenuh akibat

    terakumulasinya air dari lereng yang berubah.

    2) Berkurangnya kemantapan stabilitas lereng galian yang berubah sudutlereng dan ketinggiannya sehingga kondis subgrade menjadi terpengaruh

    atau mengalami depersi akibat beban tambahan dari lereng hasil galian.

    Berikut diperlihatkan kondisi jalan ”at-cut” yang terjadi dilapangan dan tanah

    dasar digunakan sebagai lapisan subgrade. Dilapangan pada beberapa lokasi

    ada yang berpotensi ekspansif misalnya mengandung unsur lempung dengan

    kandungan illite dan kaolinite yang cukup besar, walaupun kandungan

    ekspansifnya jauh dibawah mineral lempung yang mengandung

    ”montmorillonite”.

    Konstruksi jalan pada kondisi ”at-cut” diperlihatkan pada Gambar 2- 14 yang

    menujukkan adanya kerusakan perkerasan jalan akibat menurunnya daya

    dukung subgrade karena mengalami kejenuhan dan keruntuhan lereng galianjalan sebagai berikut:

    1) Pengurangan beban (load released) menimbulkan perubahan karakteristik

    propertis material dan penurunan muka air tanah (MAT) menimbulkan

    keruntuhan lerenggalian

    2) Penjenuhan lapisan subgrade yang dengan volume yang meningkat dimanaberpotensi menurunkan daya dukungnya bedampak pada kerusakan

    perkerasan jalan.

  • 27

    Gambar 2- 21. Konstruksi perkerasan jalan pada kondisi “at-cut”

    Gambar 2- 22. Konstruksi perkerasan jalan pada kondisi “at-cut” Tol Cikapali

    hMuka AirTana

    PerkerasanJalan

    Release Beban akibat galian

    Tanah Dasar, berpotensimengandung unsur

    minareal lempung yang

    ekspansif

    Tanah Dasar, dayadukung

    berkurang akibat penjenuhan

  • 28

    Pada kondisi “at-cut” ini bilamana diperhatikan pada Gambar 2- 21

    berdampak padapenjenuhan kaki lereng galian yang diakibatkan oleh adanya

    pengurangan beban dan meyebabkan muka air tanah turun dan terkonsentrasi

    pada kaki lereng. Kejadian kasus keruntuhan lereng galian ini diperlihatkan pada

    Gambar 2- 23.

    Gambar 2- 23. Keruntuhan lereng dan kerusakan perkerasan jalan padakondisi “at-cut”.

    Kejadian penjenuhan kaki lereng pada konsisi “at-cut” ini akan lebih berdampak

    pada lereng yang mengandung material lempung ekspansif sehingga juga

    berdampak pada Potensi kerusakan perkerasan dan kondisi ini dicirikan oleh 2hal penting yaitu:

    1) Kerusakanperkerasan karena lapisan tanah dasar (subgrade) dan lapisan

    subgrade mengalami penjenuhan akibat air tanah yang tidak terkendali dan

    terkonsentrasi pada lapisan tanah dasar.

    2) Kejadian penjenuhan tanah ini umumnya disebut permasalahan “pumping”

    yaitu air tanah akan berusaha mencapai keseimbangan dengan perilaku

    perbedaan muai susut yang cukup besar

    3) Untuk mengatasi masalah ini, maka pengendalian air tanah yang berubah

    akibat galian menjadi sangat penting. Dalam spesifikasi pekerjaan tanah

  • 29

    untuk jalan seperti spesifikasi Bina Marga disyaratkan agar permukaan

    subgrade harus terletak minimum 1.00 meter diatas muka air tertinggi,

    dapat air tanah maupun air permukaan yangmenggenang.

    2.5 Rangkuman

    Permasalahan Permasalahan Kerusakan Konstruksi Jalan pada tanah

    Problematik dapat dibedakan menjadi 3 hal yaitu yang pertama jalan yang

    berada pada kondisi “at-grade” atau se level dengan tanah dasarnya sehingga

    tanah dasar aslio difungsikan sebagai lapisan subgrade. Yang kedua adalah

    jalan pada kondisi “at-fill” atau perkerasan jalan berada pada timbunan

    sehingga timbunan difungsikan sebagai lapisan subgrade. Ketiga adalah

    perkersan jalan berada pada kondisi “at-cut” atau berda pada daerah galian.

    Hal lain yang penting adalah karakteristik properties masing-masing tanah

    problematic mempengaruhi bentuk, ciri dan mekanisme kejadian kerusakan

    jalan sehingga perlu penanganan yang sesuai dan untuk itu perlu mengenali

    karakteristik propertisnya, dan cara investigasinya berdasarkan kajian terhadap

    mekanisme keruntuhan yang terjadi.

    2.6 Latihan

    Peserta diminta untuk menguraikan pengalaman dalam menghadapi

    permasalahan tanah problematic terhadap infrastruktur jalan dan jembatan

  • 30

    KEGIATAN BELAJAR 2

    KRITERIA PADA PERENCANAAN DANPENANGANAN JALAN PADA TANAHPROBLEMATIK

    Seperti telah diuraikan sebalumnya bahwa pengumpulan data sekunder berupa

    kajian literatur dan informasi parameter geoteknik yang berkaitan dengan lokasi

    yang disurvai akan sangat bermanfaat sebagai acuan dasar dalam melakukan

    investigasi geoteknik yang mencakup penyelidikan lapangan dan laboratorium

    yaitu dengan melakukan pengambilan sampel tanah dari lapangan. Dalam

    melakukan survai kondisi lapangan dapat dilakukan dengan melakukan

    inventori kondisi lapangan dengan mencocokkan kondisinya terhadap data

    sekunder yang dikumpulkan dan dikaji mencakup:

    1) Arti dari lapisan tanah dasar sebagai peletakan sistim konstruksi perkerasanjalan

    Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta mampu memahami tentang

    prinsip perencanaan dan Penanganan Jalan yang dibangun pada tanah

    problematic mulai dari penggunaanya sebagai lapisan tanah dasar konstruksi

    jalan dan sebagai pendukung sistim konstruksi jalan secara keseluruhan.

    Mamhami permasalahan stabilitas jalan terhadap struktur perkerasan dan

    stabilitas jalan terhadap sistim konstruksi jalan secara keseluruhan.

    Selanjutnya peserta juga dapat memahami tentang prinsip

    penanggulangannya terhadap keruntuhan lereng timbunan dan keruntuhan

    dalam yang mengakibatkan kondisi jalan mengalamikelongsoran.

  • 31

    2) Karakteristik propertis sifat tanah problematik3.1 Lapisan Tanah Dasar

    3.1.1 Lapisan Tanah Dasar dalam Sistim Perkerasan Jalan

    Lapisan tanah dasar ditinjau dari sistim perkerasan tanah dasar adalah subgrade

    sedangkan pada lingkup geoteknik tanah dasar adalah perlapisan tanah yang

    difungsikan untuk mendukung beban struktur konstruksi perkerasan jalan.

    Pada lapisan tanah dasar sebagai subgrade pada bab sebelumnya diterangkan

    ada 3 kondisi yaitu: pada kondisi “at-grade” yang artinya lapisan subgrade pada

    permuakaan tanah asli, pada kondisi “at-fill” artinya lapisan subgrade berada

    pada timbunan dan kondisi “at-cut” artinya lapisan subgrade berada pada elevasi

    setelah lereng dilakukan penggalian.

    Oleh karena itu, maka persyaratan Tanah Dasar yang digunakan sebagai

    lapisan subgrade perkerasan jalan harus mampu untuk mengantisipasi beban

    lalulintas dengan berbagai kondisi kelas jalan. Dengan demikian nilai kekuatan

    daya dukung nya tergantung dari jenis tanah / material yang difungsikan sebgai

    lapisan dasar/subgrade sehingga mampu mendukung berbagai karakteristik tipe

    kendaran yang lewat sesuai dengan Klas Jalan berdasarkan persyaratan muatan

    standar kendaraan atau dikenal dengan kelas jalan untuk MST 10 Ton atau

    kelas untuk MST 8 Ton. Oleh karenanya maka lapisan tanah dasar sebagai

    subgrade umumnya ditentukan dengan karakteristik modulus reaksi subgrade (k)

    = 20000 kN/m3 atau CBR > 6 % menurut Standar Spesifikasi Bina Marga.

    3.1.2 Lapisan Tanah Dasar dalam Tanah Problematik

    Lapisan tanah dasar dalam tanah problematik ini disamping daya dukungnyayang rendah juga masalah penurunan atau keruntuhan jalan menjadi persoalan

    tersendiri bila dihubungkan dengan sistim konstruksi jalan yang berada

    diatasnya.

  • 32

    Dengan demikian sistim konstruksi perkerasan jalan yang dibangun diatas

    lapisan tanah problematik perlu diperhatikan mulai dari fungsinya sebagai

    lapisan subgrade sampai dengan fungsinya sebagai lapisan tanah problematic

    yang mendukung beban sistim perkerasan jalan, baik sifat karakteristik

    properties dan ketebalannya serta kondisi ke-air-an seperti sistim drainase, air

    tanah dan air permukaan serta sistim pengalirannya yang dapat mempengaruhi

    kinerja daya dukungnya.

    Dalam Spesifikasi Umum Bina Marga disebutkan bahwa permasalahan dalam

    usaha membentuk badan jalan dikelompokkan dalam divisi 3; pekerjaan tanah

    dan mencakup seperti diperlihatkan pada Gambar 3- 1, yaitu mencakup kondisi

    tanah dibawah perkerasan jalan yang difungsikan sebagai lapisan subgrade.

    Berdasarkan ketentuan yang diperlihatkan maka lingkup tanah problematik

    untuk konstruksi jalan mencakup kondisi sebagai subgrade atau tanah dasar

    untuk konstruksi perkerasan jalan dan karakteristik propertisnya sebagai lapisan

    problematic dalam mendukung beban timbunan jalan.

    Dalam spsifikasi Bina Marga permasalahan tanah dasar ini dibahas dalam divisi

    3 yaitu pekerjaan tanah yang mancakup perihal :

    1) Persyaratan material timbunan atau material tanah sebagai subgrade

    2) Pekerjaan tanah termasuk galian dan timbunan

    3) Ketentuan yang harus dipenuhi bila badan jalan berada pada lapisan tanahproblematic

    Dengan memperhatikan hal tersebut diatas maka secara ringkas dapatdijelaskan masing-

    masing kondisi sehubungan dengan fungsinya tanah dasar sebagai subgrade

    untuk mendukung perkerasan jalan dan tanah dasar yang umumnya berupa

    perlapisan tanah yang fungsinya mendukung sistim konstruksi jalan, dimana bisa

    sebagai “at-grade”, “at-fill” dan “at- cut” yang tentunya mempunyai criteria dan

    persyaratn yang berbeda. Pada diperlihatkan konstruksi jalan pada kondisi “at-

  • 33

    fill” atau konstruksi timbunan jalan.

    Gambar 3- 1.Permasalahan Perencanaan jalan pada tanahProblematik

    Lapi

    san

    tana

    hPr

    oble

    mat

    ik

    1.Ta

    nah

    Luna

    k

    2.Ta

    nah

    Gam

    but

    3.Ta

    nah

    Eksp

    ansi

    f

  • 34

    3.2 Stabilitas Konstruksi Jalan diatas Tanah Problematik

    3.2.1 Stabilitas Daya Dukung Lapisan Tanah Dasar

    3.2.1.1 Persyaratan Material sebagai Lapisan Tanah Dasar

    Dalam Spesifikasi Umum diperlihatkan pada Gambar Bina Marga

    disyaratakan untuk material timbunan seperti 3-2 yang didasarkan pada nilai

    MDD ((dry-max) Maximum Dry Density) dan parameter Kepadatan yang

    disyaratkan menurut Spesifikasi Bina Marga 2010.

    Menurut ketentuan spesifikasi tersebut maka untuk material timbunan yang

    digunakan sebagai lapisan tanah dasar diberikan batasan sebagai berikut:

    1) Kepadatan lapisan yang lebih dalam dari 30cm di bawah elevasi dasar

    perkerasan: 95% berat isi kering maksimum ((dry-max), maximum dry

    density, MDD)2) Kepadatan tanah dasar timbunan sedalam 20cm: 95% MDD

    3) Kepadatan lapisan tanah MDD pada kedalaman ≤ 30cm dari elevasi dasar

    perkerasan: 100%

  • 35

    4) Permukaan lapisan subgrade jalan terletak sejauh 1,00 meter dari muka airtertinggi

    Gambar 3- 2 Nilai kepadatan Tanah untuk Timbunan jalan

    Dalam spesifikasi divisi 3 disampaikan bahwa lapisan tanah dasar yang berupaTanah Lunak didefinisikan sebagai setiap jenis tanah yang mempunyai CBR

    lapangan kurang dari 2%.

    1) Tanah Dasar dengan daya dukung sedang didefinisikan sebagai setiap

    jenis tanah yang mempunyai CBR hasil pemadatan > 2% tetapi kurang dari

    nilai rancangan yang dicantumkan dalam Gambar 3- 2, atau

    2) Tanah Dasar dengan daya dukung sedang didefinisikan sebagai setiap

    jenis tanah yang mempunyai CBR hasil pemadatan < 6% jika tidak ada nilai

    yang dicantumkan.

    3) Tanah dasar dengan mengandung mineral lempung ekspansif didefinisikansebagai tanah yang mempunyai Potensial Pengembangan > 2,5% atau nilai

    aktifitas >1,25

    3.2.1.2 Persyaratan uji kepadatan

    Persyaratan uji kepadatan adalah dimaksudkan untuk memperoleh nilai

    kepadatan kering maksimum (d-max) dengan hubungannya terhadap kadar air

    optimum (w-%) dan diperlihatkan pada Gambar 3- 3.

  • 36

    Pada Gambar 3- 3 diperlihatkan hubungannya dengan nilai CBR (California

    Bearing Ratio) Design untuk menentukan tebal konstruksi perkerasan jalan

    khususnya Perkerasan Lentur (Flexible Pavement).

    Dalam uji kepadatan laboratorium baik menggunakan pemadatan standar

    (Standard Compaction) maupun kepadatan berat (Modified Compaction)

    dilakukan terhadap material tanah yang lolos saringan no. 4 dan untuk

    implementasinya dilapangan, maka nilai kepadatan kering perlu dikoreksi

    karena dilapangan material tanah yang akan dipadatkan gradasi butirannya

    beragam dan tidak mungkin di ambil yang tidak lolos saringan no 4.

    Nilai derajad kepadatan relative lapangan diambil berdasarkan rasioperbandingan antara kepadatan kering laboratorium terkoreksi dengan

    kepadatan kering lapangannya, dalam hal ini diterapkan ketentuan sebagai

    berikut:

    1) Untuk tanah yang mengandung mineral lempung maka kepadatan kering

    maksimum lapangan harus mencapai (d-max lapangan) > terhadap

    kepadatan kering laboratoriumnya 95% (d-max laboratorium).

    2) Untuk tanah yang mengandung pasir (tanah pasiran dan agregat) maka

    kepadatan kering maksimum lapangan harus mencapai (d-max lapangan)

    > terhadap kepadatan kering laboratoriumnya 90% (d-max laboratorium).

  • 37

    Gambar 3- 3. Nilai kepadatan kering hubungannya dengan CBRDesign

    Dengan memperhatikan pada lubang uji “sand cone” di lapangan maka perlu

    koreksi terhadap persentase butiran kasar terhadap hasil uji laboratoriumuntukmemperoleh nilai kepadatan relatif-nya (D) dari persamaan dibawah ini:

    .

    ………………………………………………………… 1)

  • 38

    Dimana:

    Gs = Berat jenis bagian terbesar dari butiran tetahan saringan no 4 atau # 4,75mm

    Df = Maksimum kepadatan kering di Laboratorium dari bahan yang lolossaringanno 4

    Pc = persentase berat butir kasar tertahan saringan no 4 atau tertahan diameter# 4,75 mm

    Pf = Persentase material halus yang lolos saringan 4,75 mm,

    r = Suatu koeffisien yang harganya tergantung dari harga Pc seperti Tabel 3 -1.

    Tabel 3 - 1. Koefisien r terhadap prosentase berbutir kasar tertahan # 4,75mm (Pc)

    Bilamana tanah lunak, ekspansif atau tanah problematic lainnya yang berdaya

    dukung rendah contoh yang terekspos pada tanah dasar hasil galian, atau

    bilamana tanah lunak atau ekspansif berada di bawah timbunan maka

  • 39

    perbaikan tambahan berikut ini diperlukan yang juga dinyatakan dalam

    spesifikasi Bina Marga:

    a) Tanah lunak harus ditangani seperti yang ditetapkan dalam gambar rencana

    antara lain dengan cara sebagai berikut:

    i) dipadatkan sampai mempunyai kapasitas daya dukung dengan

    CBR lapangan lebih dari 2% atau

    ii) distabilisasi atau dibuang seluruhnya atau digali sampai di

    bawah elevasi tanah dasar dengan kedalaman yang ditunjukkan

    dalam gambar atau

    iii) jika tidak distabilisasi maka sampai dengan kedalaman tertentudilakukan penggantian material seperti yang diberikan dalam tabel

    3.2.

    Kedalaman galian untuk perbaikan dalam peningkatan daya dukung tanah

    dasar (subgrade) distujui dan diperiksa bilamana ada perubahan oleh DireksiPekerjaan, berdasarkan percobaan lapangan (fullscale test).

    Hasil uji DCP umumnya dilakukan dengan uji DCP (Dinamic Cone

    Penetrometer). Terhadap lapisan tanah dengan hasil yang menunjukkan nilai

    CBR berbada maka diperlukan implementasi ketebalan tambahan Dse2 yang

    diperlihatkan padaTabel 3 - 2.

  • 40

    Tabel 3 - 2. Perbaikan Tanah dibawah Permuakaan Tanah Asli

    Tabel 3 - 4. Perbaikan Tanah untuk subgrade dan digali sampai dengan

    dibawah Permukaan Tanah Aslinya

    Kedalaman sampai karakteristik

    minimum CBR 2% ( penetrasi uji

    DCP diperoleh 65 mm/tumbukan) di

    bawah permukaan tanah asli untuk

    tanah tak terganggu, tidak termasuk

    lapisan permukaan (cm)

    Tebal lapis penopang minimum

    (cm)

    Kedalaman total minimum galian

    di bawah tanah dasar (cm)

    < 45 cm 30 30 + Dse2

    45 cm – < 90 cm 60 60 +Dse2

    90 cm – 150 cm 100 100 +Dse2

    > 150 cm Penggalian keseluruhan atau perbaikan khusus lainnya

    sebagaimana yang diperintahkan atau disetujui Direksi Pekerjaan

    3.2.1.3 Daya Dukung Tanah Dasar untuk Konstruksi Jalan

    Dalam pekerjaan konstruksi jalan maka daya dukung tanah dasar yang

    diinterpretasikan dengan nilai CBR perlu diketahui secara cepat dilapangan dan

    metode yang umum digunakan adalah dengan uji kekatan tanah dilapangan

    menggunakan DCP (Dinamic ConePenetrometer).

    Dalam melaksanakan uji DCP ini digunakan alat DCP dan diperlihatkanpada

    Gambar 3- 4. Nilai yang diperoreh dari uji lapangan menggunakan alat uji DCP

    ini adalah suatu nilai penetrasi yang dapat dikorelasikan dengan nilai CBR.

    Implementasi uji DCP (Dynamic Cone Penetrometer) dilakukan dengan mengisi

    Form yang diperlihatkan Gambar 3- 4 dan hasil evaluasi yang diperoleh

    diperlihatkan pada Gambar 3- 5.

  • 41

    Pada Gambar 3- 5 tersebut diperlihatkan nilai penetrasi yang diperoleh untuk

    menentukan nilai CBR rancangan. Dari uji DCP ini diperoleh kedalaman

    penetrasi akibat penumbukan yang dapat memberikan informasi nilai DCP.

    Hasil uji DCP dilapangan terhadap kondisi lapangan sampai kedalam 1,2 meter

    diperoleh nilai CBR nya dengan menggunakan grafik diagram yang di

    interpolasikan, seperti diperlihatkan pada Gambar 3- 5 tersebut.

    Hasil nilai CBR yang diperoleh pada kedalamn sampai dengan 1,2 meter ini

    memberikan nilai CBR pada perbedaan jenis perlapisan tanah dan

    diperlihatkan pada Gambar 3- 6 yang memberikan ilustrasi diperolehnya nilai

    CBR terhadap nilai DCP dilapangan.

    Gambar 3- 4. Alat Uji DCP (Dinamic Cone penetrometer) dan Korelasinyaterhadap Nilai CBR (California Bearing Ratio)

    Alat DCP yang banyak

    digunakan di lapangan Form Pencatatan nilai DCP di lapangan, untuk korelasi nilai CBR

  • 42

    Gambar 3- 5. Alat Uji DCP dan pencatatan hasil dilapangan terhadap nilai CBR

    Gambar 3- 6. Contoh Uji Penetuan Nilai SBR terhadap nilai DCP

    Hasil Pencatatan nilai DCP di lapangan, untuk korelasinilai CBR

    Alat DCP yang banyak

    digunakan di lapangan

  • 43

    Dengan menggunakan informasi hasil uji DCP dapat diperoleh nilai korlasipenetrasi terhadap nilai CBR nya dan selanjutnya sebagai langkah awal

    perencanaan perkerasan jalan yang terdiri dari lapis pondasi (atas dan bawah)

    dan tebal lapis perkerasannya dapat didisain.

    1) Beberapa ketentuan dalam menerapkan Uji DCP untuk mengevaluasi

    kelayakannya dalam mendukung beban kendaraan berdasarkan standar

    ESA (Equivalent StandarAxle):

    2) Dengan diperolehnya nilai CBR maka untuk menentukan kekuatankonstruksi perkearasn jalan perlu diperoleh Nilai Dse2 yang merupakan suatufaktor yang menggambarkan ketebalan tatah dasar yang dibutuhkanterhadap standar ESA (Equivalent StandarAxle).

    3) Dalam hal korelasi antar nilai DCP dan CBR mendapatkan nilai CBR yang

    kecil perlu dilakukan perbaikan tanah dasar misalnya dengan menggunakan

    material pilihan dengan CBR >2%.

    4) Selanjutnya untuk menentukan lapisan tanah dasar yang memenuhi syarat,

    selain dipenuhinya CBR >2 % adalah syarat kemampuannya untuk

    mendukung beban terhadap ESA (Standar Equvalent Axle) juga salah

    satunya dengan menambah ketebalannya untuk persyaratan pemadatan

    sesuai spesifikasi yang disyaratkan, misal Spesifikasi Bina Marga 2010

    (Tabel 3 - 3).

    5) Bilamana hasil DCP menghasilkan nilai CBR yang rendah, maka dapatdirekayasa dengan mengganti material yang memenuhi persyaratan

    sebagai lapisan subgrade seperti diperlihatkan pada Tabel 3 - 4.

  • 44

    Tabel 3 - 3. Nilai CBR terhadap ESA (Equivalent Standar Axle)

    Tabel 3 - 4. Perbaikan Tanah untuk subgrade dan digali sampai dengan dibawahPermukaan Tanah Aslinya

    Kedalaman sampai karakteristik minimum

    CBR 2% ( penetrasi uji DCP diperoleh 65

    mm/tumbukan) di bawah permukaan tanah

    asli untuk tanah tak terganggu, tidak

    termasuk lapisan permukaan (cm)

    Tebal lapis penopang

    minimum (cm)

    Kedalaman total minimum

    galian di bawah tanah dasar

    (cm)

    < 45 cm 30 30 + Dse245 cm – < 90 cm 60 60 +Dse290 cm – 150 cm 100 100 +Dse2

    > 150 cm Penggalian keseluruhan atau perbaikan khusus lainnya

    sebagaimana yang diperintahkan atau disetujui Direksi

    Pekerjaan

    Dilapangan bilamana dijumpai kondisi sebagai berikut harus dilakukan

    pekerjaan awal seperti dibawah ini sebelum uji DCP dilakukan:

    a) Bila dijumpai tanah ekspansif maka harus dibuang sampai kedalaman 1

    meter di bawah elevasi permukaan tanah dasar rencana.

    b) Tanah Dasar mempunyai Daya Dukung sedang maka harus digali

    sampai kedalaman tebal lapisan penopang sesuai spesifikasi yang

    berlaku dan harus ditunjukkan dalam gambar rencana.

    CBR Tanah dasar yang Ada

    Umur Rencana dalam

    ESA (eqkivalent

    standar axle)

    (kriteria keruntuhan

    tanah dasar)

    CBR Rancangan untuk Tanah Dasar

    4 5 6

    Timbunan Pilihan

    Tebal untuk peningkatan tanah dasar Dse(cm)

    2 – 3 (termasuk lapis penopang

    paling atas) Dse2

    10 5 - < 106 20 25 30

    106 - < 107 25 30 35

    107 - 108 30 35 404

    Semua0 15 15

    5 0 0 15

  • 45

    c) Untuk rencana konstruksi perkerasan jalan pada kondisi galian atau “at-

    cut” harus tetap dijaga agar bebas dari air pada setiap saat, terutama

    untuk tanah lunak dan ekspansif sehingga memperkecil dampak akibat

    perubahan penyusutan dan pengembangan oleh karena itu itu harus

    dilakukan pembenahan sistim drainase untuk menjaga perubahan

    kembang susut yang terjadi.

    d) Bilamana dalam uji DCP dijumpai kondisi untuk setiap lapisan tanah

    hasil galian diperkirakan perlu penanganan atau perbaikan dan tidak

    disyaratkan secara khusus dalam Gambar, maka implementasinya

    harus disetujui terlebih dahulu oleh Direksi Pekerjaan.

    e) Bilamana dijumpai adanya lapisan tanah problematic atau tanah lunak

    yang cukup tebal (dari uji DCP memperoleh nilai penetrasi besar atau

    nilai CBR kecil) yang dampaknya dikhawatirkan dapat mengganggu

    dicapainya stabilitas timbunan (timbul masalah penurunan dan

    keruntuhan) maka perlu dilakukan invesigasi untuk mengetahui

    kedalamannya dengan :

    i) Penggujian lapangan dengan Sondir atau DCP (Dutch Cone

    Penetrometer)

    ii) Pemboran untuk mengetahui kondisi perlapisan tanah lunak tersebut

    iii) Dilakukan uji laborium untuk megetahui untuk keperluan analisa

    stabilitas

    (1) karakteristik propertisnya melalui klasifikasi dan indek test

    (2) kekuatan dan sensitivitasnya

    (3) faktor terhadap nilai kekompakan, permeabilitas, kompresibilitas

    Petunjuk dalam melaksanakan uji DCP dan uji lapangan lainya serta uji

    laboraroium yang mendukung dan terintegrasi dengan uji DCP dapat dilakukan

    dengan berdasar pada standar yang telah dibakukan atau SNI yang terkait

    serta Spesifikasi Umum Bina Marga 2010 tentang Pekerjaan Jalan dan

  • 46

    Jembatan.

    3.2.1.4 Kualitas Bahan Timbunan

    Kualitas material tanah yang digunakan untuk timbunan dalam rangka

    membentuk lapisan tanah dasar atau subgrade sebagai tumpuan konstruksi

    perkerasan jalan perlu diperhatikan karena beberapa hal berikut perlu

    diperhatikan:

    1) Material tanah untuk timbunan yang terdiri dari tiga jenis, yaitu Timbunan

    Biasa, Timbunan Pilihan, dan Timbunan Pilihan Berbutir di atas tanah rawa

    yang masing-masing mempunyai karakteristik properties yang spesifik dan

    kekuatan dayadukungnya.

    2) Timbunan pilihan digunakan untuk meningkatkan kapasitas daya dukung

    tanah dasar pada lapisan penopang (capping layer) dan jika diperlukan di

    daerah galian. Timbunan pilihan dapat juga digunakan untuk stabilisasi

    lereng atau pekerjaan pelebaran timbunan jika diperlukan lereng yang lebih

    curam karena keterbatasan ruangan, dan untuk pekerjaan timbunan lainnya

    dimana kekuatan timbunan adalah faktor yangkritis.

    3) Timbunan Pilihan Berbutir digunakan sebagai lapisan penopang (capping

    layer) pada tanah lunak yang mempunyai CBR lapangan kurang 2% yang

    tidak dapat ditingkatkan dengan pemadatan atau stabilisasi, dan diatas

    tanah rawa, daerah berair dan lokasi-lokasi serupa dimana bahan

    Timbunan Pilihan dan Biasa tidak dapat dipadatkan denganmemuaskan.

    4) Baik Timbunan Pilihan maupun Timbunan Pilihan Berbutir umumnya

    digunakan untuk penimbunan kembali pada abutmen dan dinding penahan

    tanah serta daerah kritis lainnya yang memiliki jangkauan terbatas untuk

    pemadatan dengan alat yang disetujui oleh Direksi Pekerjaan.

    5) Bila drainase diperlukan maka dipasang bahan material sebagai

    landasan untuk pipa atau saluran beton, maupun bahan drainase

    porous yang dipakai untuk drainase bawah permukaan atau untuk

    mencegah hanyutnya partikel halus tanah akibat proses penyaringan.

  • 47

  • 48

    6) Dalam hal agar tidak terjadi penurunan kualitas bahan timbunan sehingga

    menyebabkan menurunya daya dukung dan stabilitasnya maka permukaan

    lapisan tanah dasar final harus berada cukup jauh dari muka air tertinggi,

    baik air tanah maupun air permukaan. Untuk itu tinggi timbunan sebagai

    tanah dasar harus mempunyai ketinggian yang cukup dan dapat

    mewujudkan daya dukung yang memadai dan dapat berdiri stabil terhindar

    dari keruntuhan dangkal (keruntuhan lereng) maupun keruntuhan dalam

    (keruntuhan pondasi).

    7) Nilai Daya Dukung material tanah dasar dilapangan sebagai subgrademempunyai nilai kepadatan (compactness) setara dengan nilai derajad

    kepadatannya (relative density) dan Ratio) serta sudut geser dalamnyaseperti diperlihatkan pada CBR (California Bearing rangkuman Tabel 3- 5.

  • 49

    Tabel 3- 5 Nilai korelasi beberapa Parameter Kepadatan terhadap N-SPT(Nilai Standard Penetration Test)

    3.2.1.5 Rekayasa Teknik Terhadap Timbunan yang TidakMemenuhi Ketentuanpersyaratan Kualitas dan Ketentuan Stabilitas

    Rekayasa terhadap bahan timbunan yang tidak memenuhi syarat kualitas serta

    ketentuan stabilitas perlu dilakukan.

    1) Timbunan akhir yang tidak memenuhi penampang melintang yang

    disyaratkan harus diperbaiki dengan menggemburkan permukaannya dan

    membuang atau menambah dan dilanjutkan dengan pembentukan kembali

    dan pemadatankembali.

    2) Timbunan yang terlalu kering untuk pemadatan, terhadap batas-batas

    kadar air optimumnya harus diperbaiki dengan menggaruk bahan tersebut,

    dilanjutkan dengan penyemprotan air secukupnya dan dicampur agar

    homogin dengan menggunakan "motor grader" atau peralatan lain yang

    disetujui direksi pekerjaan.

    3) Timbunan yang terlalu basah untuk pemadatan, harus diperbaiki dengan

    menggaruk bahan material tanah tersebut dengan penggunaan motor

    grader atau alat lainnya secara berulang-ulang dengan ketentuan:

  • 50

    a) selang waktu istirahat selama penanganan,

    b) dalam cuaca cerah.

    4) Alternatif lain bilamana pengeringan yang memadai tidak dapat dicapai

    dengan menggaruk dan membiarkan bahan gembur tersebut, mka diganti

    dengan bahan material tanah kering yang lebih cocok.

    5) Timbunan yang telah dipadatkan dan memenuhi ketentuan persyaratan

    menjadi jenuh akibat hujan atau banjir atau karena hal lain, biasanya tidak

    memerlukan pekerjaan perbaikan asalkan sifat-sifat bahan dan kerataan

    permukaan masih memenuhi ketentuan persyartan tersebut.

    6) Timbunan yang telah dipadatkan dan tidak memenuhi persyaratan stabilitas

    karena berbagai sebab:

    a) Berada diatas lapisan tanah problematik maka perlu perkuatan terhadap

    keruntuhan dalam atau longsoran dalam. Untuk perkuatan dasar

    timbunan dapat diterapkan dengan mengahmparkan lapisan geosintetik

    berupa geogrid yang juga dapat di kombinasikan dengan geotekstil.

    Geogrid berfungsi untuk perkuatan sedangkan geotekstil dapat

    berfungsi sebagai separator, filter dan penambah perkuatan didasar

    timbunan.

    b) Keterbatasan dalam mencapai stabilitas sehingga dikhawatirkan akan

    mengalami keruntuhan lereng atau longsor maka perbaikan timbunan

    dengan perkuatan geosintetik dapat dilakukan.

    c) Perbaikan timbunan yang rusak akibat gerusan banjir atau menjadi

    lembek setelah pekerjaan tersebut selesai maka perlu disiapkan sistim

    penataan pengaliran air yang seignifikan terhadap penjenuhan material

    timbunan.

    7) Untuk menjamin terpenuhinya ketentuan stabilitas timbunan yang

    difungsikan sebagai subgrade bilamana berada pada lapisan tanah

    problematic yang mempunyai ketebalan

    cukup signifikan maka perlu dilakukan perbaikan tanah problematic tersebut

    sebelum dilakukan penimbunan.

  • 51

    8) Prinsip perbaikan tanah problematic dilakukan dengan ketentuan sebagaiberikut:

    a) Mengevaluasi jenis dan ketebalannya serta perlapisannya

    b) Memilih metode yang dapat diterapkan dengan mempertimbangkan

    teknologi yang dapat diterapkan serta ketersediaan bahan untuk

    mendukung penerapan teknologi tersebut.

    9) Jenis teknologi yang dipilih perlu mempertimbangkan criteria sebagaiberikut:

    a) Teknologi dengan mengganti material yang lebih baik sehingga

    memenuhi ketentuan daya dukung dan stabilitas.

    b) Teknologi dengan meningkatkan daya dukung tanah problematic

    misalnya dengan menerapkan sistim pondasi yang dapat mendukung

    dan meningkatkan daya daya dukung dan stabilitas

    c) Teknologi dengan meningkatkan stabilitas terhadap terjadinya

    keruntuhan baik keruntuhan lereng maupun keruntuhan pondasi.

    d) Teknologi dengan mengurangi beban yang bekerja yaitu membatasi

    tinggi timbunan atau melakukan sistim konstruksi timbunan yang

    menjadi ringan.

    3.2.2 Stabilitas Timbunan

    Suatu hal yang sangat pentingadalah menganalisa dan mengevaluasi

    kondisi lapisan tanah sebagai tumpuan daya dukung timbunan jalan.

    Terpenuhinya daya dukung timbunan sebagai lapisan tanah dasar

    (subgrade) konstruksi jalan tidaklah mencukupi kalo tidak mengevaluasi dan

    menganalisa kondisi lapisan tanah nya karena akan berdampak pada

    keruntuhan timbunan.

    3.2.2.1 Langkah-langkah Memilih Solusi Penanganan Badan Jalan diatasTanah Problematik

    Langkah-langkah memilih solusi penanganan badan jalan diatas tanah

  • 52

    problematik :

    1) Identifikasi masalah

    2) Identifikasi faktor-faktor yang akan mempengaruhi proses pengambilankeputusan

    3) Memilih menganalisa pilihan

    4) Menghitung biaya masing-masing5) Menentukan pilihan yang terbaik

    Memahami prinsip penanganan permasalahan konstruksi jalan pada tanah

    problematic baik untuk jalan baru maupun jalan eksisting.

    1) Memahami beberapa prinsip metode penanganannya yang diawali dengan

    mengevaluasi dan menganalisa terhadap permasalahan yang akan terjadi

    sebelum menentukan tipe penanganannya.

    2) Penanganan tanah problematik yang biasa dilaksanakan di Indonesia

    adalah dengan metode :

    a) Penanganan pada Pekerjaan Tanah

    b) Penanganan pada Perbaikan Tanah

    3.2.2.2 Teknologi Penanganan Tanah Problematik

    Beberapa teknologi dapat diterapkan seperti diperlihatkan pada . Dengan

    pemilihan teknologi yang tepat perlu dilakukan evaluasi dan analisa terhadappermasalahan yang terjadi.

  • 53

    Tabel 3- 6. Teknologi penanganan Tanah Problematik

    Seperti telah diuraikan sebelumnya, maka langkah pertama dalam

    melakukan pemilihan teknologi yang akan di implementasikan adalah dengan

    mengetahui macam dan jenis tanah problematic melalui serangkaian pengujian

    sehingga secara jelas dapat diklasifikasikan seperti diperlihatkan pada Gambar

    3- 7.

    Khusus pada tanah ekspansif dengan memperhatikan Gambar 3- 7 tersebut,

    bilamana dijumpai kandungan lempung tinggi, maka perlu di analisa

    kandungan unsure mineralnya dan bila dijumpai adanya unsur mineral

    monmorillonite maka selanjutnya dilakukan uji potensial kembang-susutnya.

  • 54

    Gambar 3- 7. Klasifikasi Tanah Lunak/Gambut

    3.2.2.3 Mode Keruntuhan Timbunan pada tanah problematic

    Beberapa kejadian dikarenakan rendahnya daya dukung serta nilai

    kompresibilitasnya yang besar pada tanah problematik maka timbul beberapa

    permasalahan sehubungan dengan penurunan dan keruntuhan timbunan.

  • 54

    1) Permasalahan Penurunan

    Terjadinya masalah penurunan yang umumnya didominasi oleh penurunan

    primer pada tanah lunak dengan kurun waktu yang cukup lama maka

    dapat digolongkan sebagai keruntuhan amblasan atau keruntuhan pondasi

    seperti diperlihatkan pada Gambar 3- 8. Bilamana sifat kompresibilitasnya

    tinggi seperti pada tanah organic atau gambut maka akan terjadi penurunan

    timbunan yang sangat cepat dan berdampak menimbulkan pengangkatan tanah

    disekelilingnya (heaving) serta bertambahnya gaya horizontal.

  • 55

    Gambar 3- 8. Keruntuhan amblasan atau pondasi

  • 56

    Dampak yang ditimbulkan oleh beban yang berlebihan adalah

    pengangkatan tanah yang berdampak pada pengangkatan tanah juga

    berdampak pada meningkatnya beban horizontal dan menimbulkan

    kerusakan bangunan infrastruktur disekelilingnya seperti abutmen jembatan

    dan kejadian ini diperlihatkan pada Gambar 3- 9 a. yang menggambarkan

    penurunan berlebih pada tanah lunak dan Gambar 3- 9 b. penurunan

    berlebih pada lapisan tanah gambut. Penurunan berlebih yang

    mengakibatkan terdeformasinya abutment jembatan diperlihatkan pada

  • 57

    Gambar 3- 10.

    Gambar 3- 15. Keruntuhan Timbunan akibat Pengangkatan Tanah yangberlebihan (sumber : eddie sunaryo, 2010 – 2014 dan 2015)

    b) Pada Lapisan tanah Lunak

    a) Pada Lapisan tanah Lunak

  • 58

    Gambar 3- 16. Keruntuhan abutmen jembatan pada TanahProblematik berupa tanah lempung organic kompresibel (sumber :eddie sunaryo, 2010 – 2015 dan 2015)

    Kejadian lain adalah keruntuhan lereng timbunan yang bukan merupakan

    keruntuhan lereng timbunan yang sifatnya dangkal, tetapi timbul keruntuhan

    lereng dalam seperti diperlihatkanpada Gambar 3- 11 timbunan jalan pada tanah

    lunak organic dan Gambar 3- 12 keruntuhan timbunan jalan pada Tanah

    Ekspansif (sumber eddie sunaryo 2010 dan 2011).

    Pada tanah Organik tinggi dan Gambut:

    Berdampak pada longsoran lere g timbunan

    dalam setelah di identifikasi retakan

    memanjang jalan di bagian tengah.

  • 59

    n

    Gambar 3- 17. Keruntuhan Lereng Dalam Timbunan Jalan pada lapisantanah Lunak

    Gambar 3- 18. Keruntuhan Lereng Timbunan Jalan pada Tanah Ekspansif

    3.3 Rangkuman

    Pada Modul 3 yang berjudul PERMASALAHAN KERUSAKAN JALAN DAN

    PERENCANAAN – PENANGANANNYA SEBAGAI TANAH DASAR

    merangkum yang berhubungan dnegan perancanaan dan penanganan jalan

    yang berada pada tanah problematic. Permasalahan dapat terjadi pada

    fungsinya sebagai lapisan tanah dasar yang mendukung perkerasan atau

    permasalahan stabilitas keberadaannya dalam mempertahankan stabilitas sitim

    konstruksi jalan

    Pada tanah ekspansif:

    Perbedaan Kadar Air Tanah antaradibawah badan jalan dan diluar

    badan jalan mengakibtakan retak

    memanjang pada Bagian Tepi

    Jalan dan berakhir pada longsoran

    retakan

  • 60

    3.4 Latihan

    Peserta diharapak dapat mengembangkan ide dalam perencanaan dan

    penanganan konstruksi jalan pada tanah problematic baik ditinjau dari fungsi

    penrapannya serta jenis dan macam tanah problematiknya.

  • 61

    KEGIATAN BELAJAR 3TANAH PRINSIP PENANGGULANGANPROBLEMATIK

    4.1 Kualitas dan Kontrol Kualitas Materal Timbunan SebagaiTanah Dasar atau Subgrade

    Seperti telah dibahas di Bab III bahwa permasalahan tanah problematic

    ini mencakup dari lapisan tanah dasar atau subgrade sampai dengan

    lapisan tanah dibawahnya yang berupa tanah problematic. Dengan

    demikian maka untuk persyaratan subgrade, parameter kekuatan dapat

    ditentukan dengan berdasarkan parameter kepadatan tanah sebagai

    berikut:

    1) CBR (California Bearing Ratio)

    2) MR (modulus resilient)

    3) K (modulus reaksi tanah)

    4) DCP (Dynamic Cone Penetrometer)

    Sebagai contoh maka penentuan bahan material yang tepat berdasarkan nilaikekuatan tanah dasar terhadap modulus reaksi tanah dasar (k) diperlihatkan

    pada Table 4 - 1.

    Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta mampu memahami pengertian

    tentang PRINSIP PENANGGULANGAN KONSTRUKSI JALAN pada tanah

    problematic yang difungsikan sebagai lapisan tanah dasar dan penerapan

    beberapa teknologi yang digunakan berupa perkuatan lereng dan perkuatan dasar

    timbunan.

  • 62

    Table 4 - 1. Kekuatan Tanah Dasar danToleransinya

    Nilai parameter tersebut diatas didasarkan pada nilai kadar air optimum (wopt)

    yang diperoleh dari pengujian kepadatan laboratorium yang mencarai

    hubungan antara nilai kadar air optimum (wopt) dengan kepadatan kering

    maksum sebagai MDD (Maximum Dry Density) atau (dry-max). Untuk

    mengetahui nilai kepadatan lapapangan penentuan nilainya menggunkan alatuji sand cone seperti diperlihatkan pada Gambar 4-1 dan hasilnyadipresentasikan pada Gambar 4-2.

  • 63

    Gambar 4- 1. Pengujian Kepadatan Tanah dengan Sand Cone

    Gambar 4- 2. Contoh hasil Uji Sand Cone dan hasilnya serta uji CBRlapangan setelah pekerjaan pemadatan selesai dengan berat volume

    pasir (gp) 1,323 gr/cm3

    Pada Gambar 4- 2 diperlihatkan pula pengujian terhadap nilai CBR Lapangan

    yang dapat dilakukan bersamaan dengan pengujian kepadatan lapangan

    dengan alat uji Sandcone.

    Dengan melakukan pengujian untuk mengetahui kepadatan lapangan hasilpemadatan yang telah dilakukan maka akan diketahui nilai kepadatannya yaituberdasarkan uji Sand Cone untuk mengetahui nilai MDD (Maximum Dry

    Density) pada kondisi kadar air optimum (wopt) dan hubungannya terhadap nilaiCBR lapangannya.

  • 64

    4.2 Konstruksi Tanah Timbunan Sebagai Subgrade

    4.2.1 Persyaratan Kekuatan Daya Dukung

    Seperti telah diuraikan bahwa kinerja perilaku tanah dasar sebagai subgrade

    sangat tergantung dengan karakteristik propertisnya yang menggambarkan

    daya dukung dan stabilitasnya dalam mendukung perkerasan jalan diatasnya.

    Oleh karena itu penetuan persyaratan bahan material tanah yang digunakan

    perlu dikaji dengan teliti untuk daya dukungnya terutama nilai CBR dan

    kepadatan lapangan maksimumnya pada kondisi kadar air optimumnya.

    Hasil uji pemadatan terhadap beberapa jenis tanah diperlihatkan pada Gambar

    4- 3 dan hubungannya antara pemadatan rendah (pemadatan ringan) dan

    pemadatan tinggi (pemadatan berat) untuk jenis tanah yang sama sifat

    karakteristik propertisnya diperlihatkan pada Gambar 4- 4 (eddie sunaryo,

    2010, 2015.

    Gambar 4- 3. Hubungan antara Hasil Pemadatan pada beberapa JenisTanah

  • 65

    Gambar 4- 4. Hasil Proses Pemadatan Tanah dengan metode pemadatanrendah (pemadatan standar) dan Pemadatan tinggi (pemadatan berat)

    untuk jenis tanah yang sifat karakteristik propertisnya sama

    Untuk mengetahui tingkat kepadatanya, umumnya dievaluasi tingkatkepadatan relatif atau DR (relatif density) yang menyatakan derajat kepadatantanah antara berbutir kasar seperti mengandung pasir dan kerikil denganformula kepadatan relatif (DR) dan diperlihatkan pada Table 4 - 2:

    Table 4 - 2. Kepadatan Relatif Tanah untukSubgrade

  • 66

    Dimana:

    e = angka pori contoh tanah

    emax = angka pori terbesar yang dapat dicapai di laboratorium (yaituangka pori tanah dalamkeadaan paling tidak padat)

    emin = angka pori terkecil yang dapat dicapai di laboratorium (yaitu angkapori tanah dalam keadaan paling padat)

    4.2.2 Variasi jenis material material tanah untuk subgrade

    Permasalahan yang dihadapi dilapangan tidak sesederhana seperti yang

    disampaikan sebelumnya yaitu hanya berdasarkan terhadap kekuatan daya

    dukung yang dipresentasikan dengan kepadatan yang dicapai dengan

    dipenuhinya nilai CBR, tetapi ada beberapa pertimbangan yang perlu

    diperhatikan. Perhatian khusus perlu dilakukan karena kebutuhan dalam

    disain yang diperlukan misalnya untuk kondisi “at-fill” diperlukan timbunan

    yang cukup tinggi sehingga stabilitasnya perlu dicermati dengan seksama.

    Hal lain yang perlu diperhatikan sebagai dasar konstruksi timbunan adalah:

    1) Sifat karakteristik properties tanah timbunan itu sendiri dan telah

    disampaikan sebelumnya bahwa tanah timbunan dapat berupa

    granular atau bukan granular, timbunan biasa atau timbunan pilihan

    dan keterbatasan material timbunan yang digunakan.

    2) Sifat karakteristik lapisan tanah dasar yang mendukung timbunanyang biasanya pada daerah dataran didominasi oleh sedimen

    endapan yang berumur quarter yang didominasi tanah problematic.

    Dengan memeperhatikan kedua hal diatas maka diperlukan rekayasa teknikagar disamping daya dukungnya terpenuhi juga stabilitasnya terpenuhi.

    Berdasarkan hasil pengujian laboratorium dan jenis material yang dapat

  • 67

    digunakan untuk timbunan jalan maka terdapat 3 golongan tanah ditinjau

    dari gradasinya seperti diperlihatkan pada , yaitu:

    1) Tipe 1 WELL GRADED dengan gradasi ukuran butir terbagi merata

    2) Tipe 2 POORLY/UNIFORM GRADED dengan gradasi ukuran butir

    sebagian besar sama

    3) Tipe 3 GAP GRADED dengan gradasi ukuran butir merupakan

    kombinasi dua atau lebih diameter yang sama

    Gambar 4- 5. Pengelompokan Variasi Gradasi Tipe 1, 2 dan 3 dari hasil ujigradasi

    Untuk mengetahui tanah termasuk diantara ke tiga golongan tersebutterhadap grafik pembagian butir perlu diketahui nilai koefisien

    keseragamannya (Cu) dan nilai koefisien kelengkungannya (Cc) pada

    Gambar 4- 6 yang mengacu pada Gambar 4- 5 diatas.

  • 68

    Gambar 4- 6. Pedoman analisaPengelompokan Nilai Cu dan Cc

    4.2.3 Jenis Material terhadap Kelompok Penggunaannya

    Pengelompokan jenis material terhadap penggunaannya untuk konstruksi jalandalam spesifikasi Bina Marga terbagi menjadi 4 kelompok seperti diperlihatkan

    pada Table 4 - 3 yaitu:

    1. Tanah A: dalam spesifikasi konstruksi jalan sering disebut Agregat kelas A

    yang umumnya digunakan sebagai lapis pondasi Jalan (Base Course)

    2. Tanah B: dalam spesifikasi pekerjaan konstruksi jalan sering di asumsikan

    sebagai material Agregat kelas B atau lapis pondasi dasar (Subbase

    Course)

    3. Tanah C: dalam spesifikasi pekerjaan konstruksi jalan sering dikategorikan

    sebagai lapisan tanah dasar (subgrade) atau agregat kelas C dan di

    lokasi kuari (Quarry) di istilahkan sebagai Galian C yang umumnya

    dikelompokkan sebagai tanah timbunan jalan.

    4. Tanah D: dalam spesifikasi pekerjaan jalan jenis material lempung dan

    jarang digunakan sebagai bahan konstruksi timbunan. Penggunaan

    tanah D ini di timbunan digunakan sebagai material timbunan inti karena

    Dimana:

  • 69

    permebilitasnya yang rendah sehingga diasumsikan sebagai lapisan kedap

    air.

    Table 4 - 3. Pengelompokan Jenis Material yang digunakan dalamkonstruksi jalan yang disyaratkan secara internasional

    Disamping jenis tanah seperti dijelaskan pada Table 4 - 3 juga ada satu

    kelompok tenis tanah yang dikelompokkan sebagai Agregat Kelas S yang

    penerapannya sebagai lapis Pondasi untuk Bahu Jalan dan diperlihatkan pada

    Table 4 - 4 dalam hubungannya dengan Agregat Klas A dan B. Pada Table 4 -

    4 tersebut yang di dasarkan pada Spesifikasi Bina Marga 2010 diperlihatkan

    jumlah komposisi gradasi yang disyaratkan dan sifat-sifat teknis lainnya.

    Salah satu faktor yang mempengaruhi daya dukung jenis tnah sebagai lapis

    pondasi jalan adalah nilai PI (Plasticity Index), sehingga nilai PI (Plasticity

    Index) sehingga pada Lapis Pondasi Agregat Kelas‒S dinyatakan minimal 4%

    dan maksimal 15% dan nilai CBR harus mencapai minimal 50%. Hubungan

    antara Agregat Klas S dan Klas A dan/atau Klas B terhadap sifat phisik dan

    karakteristik propertiesnya diperlihatkan pada Table 4 -5.

  • 70

    Bila sulit diperoleh maka material Lapis Pondasi Agregat Kelas‒S ini dapat

    diperoleh dengan campuran material yang bersifat plastis berupa tanah yang

    mengandung lempung (clay) dengan agregat kelas A atau B sedemikian rupa

    sehingga persyaratan PI dan CBR tersebut terpenuhi.

    Table 4 - 4. Ukuran Gradasi Agregat Klas A, B dan S

    Table 4 - 5. Sifat Phisik dan Karakteristik Agregat Klas A, B dan S

  • 71

    4.3 Teknologi Perkuatan Timbunan sebagai Lapisan tanah Dasaratau Subgrade

    Teknologi perkuatan timbunan terhadap keruntuhan lereng dangkal maupun

    lereng dalam umumnya digunakan bahan geosintetik yang berupa Geotekstil

    baiuk “woven” maupun “un- woven” dan geogrid bila diperlukan bahan

    perkuatan yang dapat menambah kekuatan geser tanah problematik dalam

    mendukung beban timbunan jalan.

    4.3.1 Sifat-sifat Bahan Material Geosintetik

    4.3.1.1 Sifat-sifat Elektrokimia

    Syarat kriteria elektrokimia untuk tanah timbunan yang diperkuat dengangeosintetik bergantung pada jenis polimer seperti diperlihatkan pada Table 4 -

    6.

    Table 4 - 6. Syarat Elektrokimia Timbunan yang Diperkuat (Elias dkk, 2001)

    Jenis PolimerSyarat Nilai pH

    Tanah Metode UjiPoliester (PET) 3 < pH < 9 AASHTO T289-91Poliolefin (PP dan HDPE) pH > 3 AASHTO T289-91

    4.3.1.2 Sifat Karakteristik terhadap Geometrik pemasangan untukPerkuatan Timbunan Bahan Geosintetik

    Sifat-sifat struktur rencana dari geosintetik merupakan suatu fungsi dari

    karakteristik geometric yang mliputi kekuatan dan kekakuan, durabilitas dan

    jenis material. Suatu lapis pita-pita geotekstil dan geogrid dicirikan oleh lebar

    dan jarak horizontal dari as ke as dari pita-pita tersebut. Luas potongan

    melintang tidak diperlukan karena kekuatan pita geosentetik digambarkan

  • 72

    dengan gaya tarik per satuan lebar, bukan oleh tegangan. Kesulitan-kesulitan

    dalam mengukur tebal dari bahan yang tipis dan relatif kompresibel

    mengakibatkan perkiraan tegangan menjadi tidak realistis.

    Rasio lipatan Rc digunakan untuk menghubungkan gaya per satuan lebar dari

    perkuatan yang terpisah terhadap gaya per satuan lebar yang dibutuhkan padaseluruh struktur, diperlihatkan pada Gambar 4- 7.

    Gambar 4- 7. Karakteristik Bahan Geosintetik tipe Woven

    Dimana:c

    R b/Sh

    b = lebar kotor dari pita, lembaran atau grid (m)Sh = spasi horizontal dari as ke as antara pita-pita, lembaran-lembaran ataugrid-grid(m)Rc = 1 untuk perkuatan lembaran menerus

    4.3.1.3 Sifat-sifat terhadap Kekuatan Bahan Geosintetik

    Sifat-sifat kekuatan geosintetik ditentukan oleh faktor lingkungan seperti

    rangkak, kerusakan saat instalasi, penuaan, suhu dan tegangan pengekang

  • 73

    (confining stress). Kuat geser ijin jangka panjang geosintetik harus

    ditentukan melalui pertimbangan menyeluruh terhadap elongasi ijin, potensi

    rangkak dan seluruh potensi mekanisme degradasi kekuatan.

    Secara umum, produk-produk poliester (PET) peka terhadap penurunan

    kekuatan akibat penuaan karena hidrolisis (ketersediaan air) dan temperatur

    tinggi. Produk-produk poliolefin (PP dan HDPE) peka terhadap kehilangan

    kekuatan akibat penuaan karena oksidasi (kontak dengan oksigen) dan

    atau temperatur tinggi. Oksidasi geosintetik dalam tanah dapat terjadi dengan

    laju yang hampir sama dibandingkan dengan geosintetik yang berada di atas

    tanah.

    Walaupun sebagian besar perkuatan geosintetik dikubur dalam tanah,

    stabilitas geosintetik terhadap ultraviolet selama masa konstruksi harus

    tetap diperhatikan. Jika geosintetik digunakan pada lokasi yang terpapar

    ultraviolet (misalnya untuk membungkus dinding atau bagian muka lereng),

    maka geosintetik sebaiknya dilindungi dengan bahan pelindung atau unit- unit

    penutup untuk mencegah kerusakan.

    1) Penutupan dengan tanaman dapat dilakukan jika menggunakan geotekstil

    anyaman terbuka atau geogrid.

    2) Kerusakan saat penanganan dan konstruksi, seperti akibat abrasi dan aus,

    coblos dan robek atau gores, serta retak dapat terjadi pada grid polimer

    yang getas. Jenis-jenis kerusakan ini dapat dihindari dengan perlakuan

    yang hati-hati selama penanganan dan konstruksi.

    3) Alat berat dengan roda rantai baja (track) tidak diperbolehkan melintas

    langsung di atas geosintetik.

    4) Kerusakan saat penimbunan merupakan fungsi dari beban yang ditimpakan

    pada geosintetik selama masa konstruksi serta ukuran dan kebundaran

    (angularity) bahan timbunan.

    5) Untuk lereng tanah yang diperkuat, penggunaan geotekstil ber-massa

    rendah dan kekuatan rendah sebaiknya dihindari untuk meminimalkan

  • 74

    kerusakan yang menyebabkan berkurangnya kekuatan geotekstil.

    6) Kuat tarik jangka panjang geosintetik harus ditentukan berdasarkan

    pendekatan faktor keamanan parsial. Faktor reduksi digunakan untuk

    menghitung kekuatan geosintetik meliputi faktor kerusakan pada saat

    instalasi, faktor rangkak serta kondisi biologi dankimia.

    4.3.2 Interaksi tanah dan geosintetik

    Kombinasi antara material tanah (baik dalam memikul gaya tekan walaupun

    lemah dalam gaya tarik) dengan material geotekstil (yang baik dalam memikul

    gaya tarik tapi lemah dalam memikul gaya tekan) sangat memberikan hasil

    yang positif (Gouw Tjie-Liong, 2006). Koefisien interaksi tanah dengan

    geosintetik atau disebut Kemampuan Cabut yang harus dipertimbangkan

    dalam perencanaan meliputi koefisien cabut dan koefisien gesekan antar

    bidang permukaan.

    1) Kinerja tahanan cabut

    Perencanaan perkuatan lereng membutuhkan evaluasi kinerja cabut jangka

    panjang yang mempertimbangkan tiga kriteria dasar berikut ini:

    a) Kapasitas cabut: tahanan cabut pada perkuatan harus cukup kuat

    menahan gaya tarik rencana yang bekerja di dalam perkuatan dengan

    faktor keamanan cabut minimum adalah 1,5.

    b) Perpindahan (displacement) izin: perpindahan relatif tanah terhadap

    perkuatan yang dibutuhkan untuk memobilisasi gaya tarik rencana

    harus lebih kecil daripada perpindahan yang diizinkan.

    c) Perpindahan jangka panjang: beban cabut harus lebih kecil daripada

    beban rangkak kritis.

    Tahanan cabut puncak (Pr) per satuan lebar perkuatan ditentukan melaluipersamaan berikut:*Pr = F . . ’v . Le . C

  • 75

    Dimana:

    F* = faktor tahanan cabut;

    = faktor koreksi skala;

    ’v = tegangan vertikal efektif antarmuka (batas) antara tanah dan

    geosintetik (kN/m2). Le = panjang tertanam pada zona yang ditahan di

    belakang bidangkeruntuhan (m); C = keliling efektif perkuatan, untuk

    geogrid dan geotekstil nilai C = 2;

    Faktor tahanan cabut F* dan faktor koreksi skala yang paling akurat

    melalui pengujian tarik cabut terhadap contoh material timbunan yang akan

    digunakan. Jika data hasil pengujian tidak tersedia, maka nilai untuk

    geogrid adalah 0,8 dan untuk geotekstil 0,6 dan nilai F*=2/3 tan .

    Sudut di atas merupakan sudut geser tanah yang minimal dihasilkan dari

    pengujian di laboratorium. Untuk perkuatan lereng, besarnya untuk

    timbunan yang diperkuat umumnya didapat melalui pengujian, akibatbervariasinya material timbunan yang digunakan. Nilai terendah yang biasa

    digunakan adalah 280.

    2) Gesekan antar permukaan

    Gesekan antar permukaan geosintetik dan tanah timbunan seringkali lebih

    rendah daripada sudut geser tanah, sehingga dapat membentuk bidang

    gelincir. Sudut gesek antar permukaan ditentuka