dampak impor jeroan terhadap...
TRANSCRIPT
Dipublikasi pada seminar Nasional Prosiding ISBN: 979-704-485-8
Pemberdayaan Masyarakat Peternakan di Bidang Agribisnis untuk Mendukung
Ketahanan Pangan
Semarang 3 Agustus 2006
Fakultas Peternakan Universitas Dipenogoro Semarang
DAMPAK IMPOR JEROAN TERHADAP PENGEMBANGAN
PETERNAKAN SAPI POTONG RAKYAT
Rochadi Tawaf
Fakultas Peternakan Unpad
ABSTRAK
Bisnis daging sapi di Indonesia, hampir 90% dipasarkan secara tradisional.
Pangsa pasar terbesar konsumen daging sapi di Jawa Barat dan DKI adalah para
pedagang baso. Bahan baku utamanya berasal dari sekitar 2 juta ternak sapi lokal
yang dipotong. Dimana kontribusi sapi potong impor sekitar 400 ribuan ekor per
tahun dan substitusi daging impor sekitar 30.000 Ton per tahun. Kebijakan
pemerintah untuk memasukkan daging impor, sebenarnya ditujukan bagi pasar
institusi yaitu daging berkelas kepada supermarket, hotel, catering, dan industry
prosesing. Rancunya, yang dimaksud daging impor ternyata bukan saja daging
murni (boneless) tetapi termasuk edible offal (jeroan). Dalam beberapa tahun ini,
impor edible offal telah mampu mengintervensi pasar daging sapi local di dalam
negeri. Pada bulan maret tahun 2004 (kondisi larangan impor daging dari USA)
menurut USDA (2005) ternyata sebanyak 1.385 ton daging asal USA masuk secara
illegal ke Indonesia. Dari sejumlah itu tidak hanya satu kilogram pun daging murni,
artinya 100% adalah jeroan (jantung, hati, tongue root, ginjal, dsb). Komoditi ini
telah melumpuhkan bisnis perdagingan di Jawa Barat. Menurut para pengurus
APDASI, dengan maraknya impor jeroan terutama jantung dan hati ke pasaran
tradisional telah mengakibatkan menurunkan penyembelihan sapi local sampai (30-
40)%. Menurunnya angka pemotongan ini, berdampak terhadap menurunnya
kesempatan perolehan pendapatan dan kesempatan kerja para pelaku bisnis daging
dan peternak sapi local. Oleh karenanya, dampak impor jeroan yang tidak
terkendali, telah berakibat terhadap iklim usaha agribisnis peternakan sapi potong
rakyat yang tidak kondusif.
Kata kunci: Dampak impor, pengembangan peternakan
PENDAHULUAN
Pangsa konsumsi daging sapi menempati urutan kedua setelah unggas,
menurut Tjeppy Soedjana (2006), konsumsi daging sapi mencapai 23 persen dari
konsumsi daging ternak secara umum. Pertumbuhan konsumsi daging sapi ternyata
sangat berfluktuasi dengan kecenderungan yang semakin meningkat, hal tersebut
terutama disebabkan kondisi sadar dan mampu gizi masyarakat yang diimbangi
dengan semakin membaiknya kondisi perekonomian masyarakat. Semakin
meningkatnya permintaan akan daging sapi dengan kemampuan supply yang relatif
terbatas menyebabkan semakin meningkatkanya harga daging. Kebutuhan tersebut
selama ini di substitusi oleh daging unggas yang relatif lebih murah harganya.
Perilaku konsumen daging sapi pada umumnya mengikuti tingkat
pendapatannya, diperlihatkan oleh tingkat elastisitas pendapatan terhadap
permintaannya (Lihat Tabel 2). Berdasarkan Tabel 2, ternyata elastisitas daging
sapi bernilai positif lebih dari satu, artinya semakin tinggi pendapatan seseorang
maka akan semakin banyak mengkonsumsi daging sapi.
`Tabel 1. Pangsa Konsumsi Daging Sapi Nasional
Komoditas Pangsa (%)
Daging Unggas 56
Daging Sapi 23
Daging Babi 13
Daging Kambing/Domba 5
Lain-lain 3
Total 100
Sumber: Tjeppy D. Soedjana (2006)
Tabel 2. Elastisitas Pendapatan Komoditas Daging, Telur, dan Susu (2002)
Komoditas Perdesaan Perkotaan Rataan
Daging Sapi 1.19 1.28 1.29
Ayam Ras 1.28 1.22 1.28
Ayam Kampung 1.2 1.13 1.11
Telur Ayam Ras 1.15 0.92 1.06
Telur Ayam Kampung 0.87 0.7 0.69
Susu Sapi 1.34 1.04 1.27
Sumber: Tjeppy D. Soedjana (2006)
Tabel 3. Prediksi Neraca Kebutuhan Daging Sapi di Indonesia (2005-2010)
N
o
Uraian 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1 Penduduk (juta orang) 219,7 222,9 226,3 229,7 233,2 236,7
2 Pertumbuhan penduduk
(%)
1,49 1,49 1,49 1,49 1,49 1,49
3 konsumsi daging sapi
(kg/Kap/Th)
1,72 1,79 1,86 1,94 2,01 2,09
4 Kons. Daging (000 Ton) 378,93 399,66 421,52 444,58 468,90 494,55
5 Senjang produksi (000
ton)
107,09 111,22 107,22 11,597 45,17 10,92
6 senjang produksi (%) 28,26 27,83 25,44 26,09 9,63 2,21
7 setara sapi hidup (000
ek)
864,22 897,62 865,33 935,94 364,55 88,09
8 betina prod. (000 ek) 1.389,9 1.443,6 1.391,6 1.505,2 586,3 141,7
9 pop. Ideal (000 ek) 11.910,
1
13.468,
8
14.645,
2
14.938,
3
15.593,
9
16.709,
4
10 Senjang populasi (%) 12,58 11,48 10,10 10,75 3,85 0,85
Sumber: Tjeppy D. Soedjana (2006)
Kesenjangan Suplai Demand
Permintaan daging sapi di Indonesia menunjukkan angka yang semakin
meningkat. Menurut Tjeppy D. Soedjana (2006), setiap tahun akan terjadi
peningkatan permintaan produksi yang belum mampu diimbangi oleh
ketersediaanya didalam negeri (Tabel 3). Dari Tabel 3 tampak bahwa kekurangan
daging setiap tahun terjadi peningkatan, untuk tahun 2005 harus disuplai paling
tidak setara sekitar 500 ribuan ekor sapi siap potong. Jika saja, jumlah tersebut
tidak dapat dipenuhi oleh impor dalam bentuk sapid an daging sapi, dikhawatirkan
akan terjadi pengurasan populasi sapi local, seperti yang terjadi sekarang-sekarang
ini.
Impor Sapi
Dalam memenuhi permintaan terhadap daging sapi di Indonesia tidak
kurang dari 1,7 juta ekor ternak sapi dipotong setiap tahunnya, sedangkan populasi
sapi potong di Indonesia hanya berjumlah 11 juta ekor. Jika hal tersebut tidak
diimbangi oleh impor bakalan dan daging tidak diikuti peningkatan produktivitas
ternak lokal maka dalam waktu jangka beberapa tahun saja populasi sapi potong di
Indonesia akan punah.
Perkembangan impor sapi bakalan dari Australia selama ini, ternyata telah
mampu memberikan dampak positif terhadap pembangunan peternakan sapi
potong. Penurunan populasi ternak sapi lokal yang cukup tajam dapat dicegah
dengan masuknya impor sapi bakalan. Sampai dengan tahun 2006 impor sapi
potong dari Australia mencapai jumlah tertinggi 430.000 ekor per tahun dan pada
tahun 2002 dan impor daging sekitar 50.000 ton per tahun atau setara dengan
sekitar 500.000 ekor sapi (asumsi jika dari satu ekor sapi diperoleh 100 kg daging
murni).
Dari sejumlah sapi yang diimpor tersebut, dapat dikatakan bahwa
pemenuhan kebutuhan akan daging sapi di dalam negeri telah di substitusi oleh
impor sapi bakalan dan daging sapi yang cukup besar jumlahnya dalam kurun
waktu yang relative singkat. Walaupun pada periode krisis ekonomi Indonesia
hanya mampu melakukan impor sapi sekitar 30 ribuan ekor, tetapi pada beberapa
tahun terakhir (pada tahun 2002) jumlah ternak yang diimpor telah mampu
melampaui jumlah sapi yang diimpor sebelum kirisis, yaitu sekitar 430 ribuan ekor
(lihat Illustrasi 1). Jika saja substitusi ini tidak dilakukan, maka akan terjadi
pengurasan populasi sapi potong didalam negeri, sebagai akibat kuatnya daya tarik
permintaan akan daging.
KONDISI USAHA TERNAK SAPI POTONG
Kondisi Peternakan Sapi Potong Rakyat
Sampai saat ini setiap Rumah Tangga Peternak (RTP) sapi potong, baru
memiliki ternak dan belum melakukan usaha ternak, kecuali bagi perusahaan besar
yang jumlahnya tidak lebih dari 20 perusahaan. Ternak yang berada di masyarakat
(RTP) pada umumnya berkualitas rendah, dan hanya sebagian kecil yang memiliki
kemampuan produksi cukup baik kualitasnya, yakni ternak yang berasal dari hasil
bersilangan (cross breed). Sebagai gambaran, ternak sapi yang berada di Indonesia
dapat digolongkan; ternak sapi asli, impor, persilangan dan campuran
(unidentified). Sapi-sapi asli Indonesia, seperti sapi bali, sapi peranakan ongole,
sapi Madura, sapi aceh, dan lain-lain, banyak mengalami penurunan performans.
Kondisi ini banyak disebabkan oleh keterbatasan dana, sehingga pola
pengembangan yang direncanakan tidak dapat terlaksana dengan sempurna.
Disisi lain, para peternak selalu ada dalam posisi tawar menawar yang
lemah dalam percaturan bisnisnya, karena pasar lebih banyak dikuasai pedagang
perantara. Kondisi ini diperparah dengan pola usahapeternak yang masih
tradisional, hal ini dicirikan dengan banyak dijumpai para petani memasarkan
ternaknya pada masa yang tidak sesuai dengan permintaan pasar, atau penjualannya
tidak terencana dengan baik. Kondisi ini terutama disebabkan langkanya introduksi
permodalan yang menyentuh peternak sesuai dengan kebutuhannya.
Illustrasi 1. Jumlah Sapi yang di Impor dari Australia (1998-2005) (Sumber: MLA,
2006)
Illustrasi 2. Populasi Sapi Potong di Indonesia (1989-2003)
Kondisi ini menandakan ketidak mampuan suplai lokal dalam memenuhi
kebutuhan daging dalam negeri. Seperti tampak pada Grafik diatas, ternyata tingkat
populasi ternak sapi di Indonesia hingga tahun 2003 adala 11.395.688 ekor, dan
dengan populasi ini Indonesia harus dapat memenuhi kebutuhan daging dalam
negeri yang mencapai 350.707 ton/tahun dengan kecenderungan terus meningkat
pada tahun-tahun berikutnya dan sekaligus mempertahankan jumlah populasi sapi
untuk menjaga ketersediaan suplai. Akan tetapi tampak pada Illustrasi 2 bahwa
pada Tahun 2001 terjadi penurunan populasi sapi potong lokal yang mencapai 1
juta, hal tersebut perlu dipertanyakan? Karena mengingat peningkatannya pada
tahun berikut sangat signifikan sekitar 1 juta ekor.
Introduksi Bibit Unggul
Untuk perbaikan sapi lokal, dalam rangka peningkatan produktivitasnya,
pemerintah telah mengimpor (bibit) beberapa bangsa sapi seperti Brahman,
Hereford, Angus, Simmental dan sapi persilangan lainnya (Soeharsono, 2000). Dari
Observasi penggemukan sapi potong rakyat, ternyata sapi Sumba Ongole
memperlihatkan performan yang tidak kalah jauh dari Brahman Cross. Demikian
pula observasi ke jagal, banyak yang menyatakan beberapa sapi lokal seperti sapi
yang berasal dari Gunung kidul ternyata sangat disukai konsumen. Akan tetapi
karena tidak diterapkannya pola breeding yang terprogram, maka hasil persilangan
sapi lokal dengan sapi impor belum bisa dinilai keberhasilannya, karena tidak
dilengkapi dengan “performance record”. Dari data populasi, kelahiran, kematian,
pertumbuhan alamiah, dan lain-lain, kualitas sapi lokal cenderung mengalami
penurunan, sementara itu jumlah pemotongan cenderung meningkat.
Lebih lanjut Soeharsono (2000), menyatakan bahwa kebijakan pemerintah
dalam rangka peningkatan populasi ternak sapi potong lokal, masih belum berhasil
memenuhi permintaan daging dalam negeri, kegagalan tersebut disebabkan antara
lain oleh:
1. Program IB dan ET kurang berhasil, karena memerlukan teknologi dan
sarana prasarana yang cukup.
2. Crash program penyebaran bibit: dalam hal ini terjadi penyimpangan tender
pengadaan sapi dari segi harga, kualitas sapid an sasaran produk penerima
program tersebut, peternak belum menguasai teknis dan budidaya serta pola
pengelolaan pakan dan program pemberian pakan.
3. Impor sapi bakalan (feedlotter), dimana tumbuhnya perusahaan feedlotter
baru sebagai pesaing; in-efisiensi pola PIR dan kurangnya kemampuan
teknis peternak plasma.
4. Impor daging, dimana impor daging berlebihan melebihi yang ditetapkan
pemerintah; kualitas impor daging “secondary cut” yang seharusnya “prime
cut” bahkan telah terjadi pula impor jeroan.
PERKEMBANGAN IMPOR (SAPI DAN DAGING)
Kondisi pasar internasional (dampak BSE dan PMK)
Pada tahun 2004 perdagangan sapid an daging dunia telah mengalami
goncangan yang cukup signifikan. Dengan ditemukannya penyakit BSE di USA
pada bulan Desember 2003 yang lalu, USA sebagai salah satu Negara pengekspor
daging terbesar dunia, tidak lagi mampu mensuplai pasarnya. Export dagingnya
menurun hingga 83% tahun ini (USDA, 2004). Pasar eksportnya ke Jepang, Korea,
dan Negara-negara Asia Pasifik lainnya diambil alih oleh Australia. Hal ini
disebabkan Australia sebagai Negara yang terbebas terhadap berbagai penyakit
terutama BSE dan PMK. Dampaknya bagi Indonesia dirasakan langsung. Harga
sapi melonjak di Australia, sehingga para pengusaha feedlot di Indonesia yang
biasanya per tahung tidak kurang mengimpor sekitar 400 ribuan ekor, kini dalam
rangka memenuhi kebutuhan hari raya, feedlotter hanya mampu mensuplai sekitar
50% saja. Harga yang cukup mahal sekitar 1,8 USD/kg berat hidup atau sekitar
Rp.17.000,00/Kg (landed cost) di pelabuhan Indonesia tidak akan mampu dijual
dengan harga yang bersaing dengan melemahnya daya beli masyarakat (lihat grafik
impor sapi).
Melihat perjalanan bisnis ini, peternak di Indonesia harus menyiapkan diri
untuk melakukan swasembada pengadaan bakalan sapi lokal secara sungguh-
sungguh, sesuai kebutuhan para feedlotter. Sebab, jika dihitung supplai demand
sapi di negeri ini dan pengadaan bahan baku sapi bakalan bagi industry feedlot di
Indonesia yang berasal dari berbagai Negara mungkin kita harus mulai “mawas
diri”. Indonesia sebagai salah satu Negara yang terbebas dari PMK dan BSE,
berada dalam jajaran Negara eksklusif yang dapat memilih Negara asal ternak yang
masuk ke dalam negeri. Negara yang boleh melakukan ekspor sapi ke Indonesia
antara lain Negara-negara Australia dan New zaeland, karena mereka juga terbebas
dari penyakit tersebut. Sedangkan New zaeland sangat kecil kemungkinannya untuk
melakukan ekspor sapi bakalannya ke Indonesia karena factor jarak yang cukup
jauh dan jenis sapi yang dimiliki adalah bangsa sapi sapi yang berasal dari Negara
bermusim empat, sehingga tidak cocok bagi Indonesia yang berada di daerah tropis.
Akibatnya, hanya satu Negara saja yang mungkin melakukan impor sapinya ke
Indonesia yaitu Australia. Kenyataan ini merupakan kondisi yang sulit bagi
Indonesia, bila tidak mampu mengatasi penyediaan daging bagi rakyatnya yang 200
juta lebih. Karena itu, Indonesia akan menjadi bulan-bulanan Australia dalam
memasarkan sapinya. Tentunya, hanya jika mereka mengalami kesulitan pemasaran
utamanya ke Timur tengah dan Negara-negara Asia Pasifik lainnya, baru
memperhatikan Indonesia.
Impor Jeroan
Selain impor sapi bakalan, alternative yang dapat dilakukan dalam
memenuhi kebutuhan daging dalam negeri adalah dengan melakukan impor daging
(prime cut) dengan target pasar hotel dan restoran. Hal ini sesuai dengan Jargon
Tiga Ung yang dicanangkan oleh pemerintah (Sapi lokal sebagai tulang
punggung, impor sapi sebagai pendukung, dan impor daging sebagai
penyambung). Kondisi pasar Indonesia yang membutuhkan suplai daging sapi
cukup besar telah membuat beberapa pengusaha importer daging melupakan
Jargon Tiga Ung dan melepas daging hasil impor ke pasar becek (Wet Market) dan
alhasil menyebabkan terdistorsinya pasar daging di Indonesia. Seperti kasus impor
dari Amerika yang tampak pada Ilustrasi dibawah ini, dari Tahun 1999 hingga
Tahun 2000 angka importasi daging dari USA mengalami peningkatan dan
mencapai puncaknya pada Tahun 2003 dengan total impor daging dan jeroan
sebanyak 13.836,9 Ton, dan pada tahun 2004 angka impor daging dari USA
mengalami penurunan hingga angka 1.385 Ton karena adanya larangan impor
daging sebagai akibat berjangkitnya kasus BSE di Bulan Desember 2003. Dari
sejumlah ini, 12.218 ton (88,7%) adalah jeroan (offal), yang terdiri dari jantung
sebanyak 8.043,3 ton (66%) dan hati sebanyak 2.295,4 ton (18,8%). Artinya jika
berat jantung sekitar 3 kg diperoleh dari seekor sapi, maka Indonesia secara tidak
langsung telah melakukan impor jantung yang berasal dari sapi yang dipotong
sebanyak 2,7 juta ekor per tahun. Apakah sapi-sapi tersebut dipotong secara halal?
Jika pemotongan tersebut halal, artinya sehari harus dipotong sebanyak 9000 ekor
sapi. Sebagai bahan perbandingan Indonesia hanya memotong sapi 1,7 juta ekor
sapi per tahun, untuk memenuhi konsumen dalam negeri.
Ket. : *)sampai bulan September 2004
Ilustrasi : Ekspor Daging dan Jeroan dari USA (USDA, 2004)
Terdistorsinya pasar daging sapi lokal di Indonesia lebih banyak disebabkan
karena daging produksi domestik yang tidak dapat bersaing dengan daging impor
yang mayoritas adalah jeroan. Seperti tampak pada Ilustrasi Importasi Daging dari
0
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
14,000
1999 2000 2001 2002 2003 2004*
746.5 600.81225.1 742.6 1567.9
1089.5
2,707
6,667 6,78 1
7,948
12,218
7,158
ton Daging
Jeroan
Amerika, bahwa impor daging sapi yang masuk Indonesia mayoritas adalah jeroan
yang tuna nilai, sehingga mempunyai harga jauh dibawah harga pasar. Jeroan
impor ini telah menjadi pengganti daging bagi sebagian Produsen Baso yang
notabene merupakan segmen konsumen terbesar daging sapi (tidak kurang 50%
dari total konsumen daging).
Daging Impor illegal dan dampaknya
Daging ilegal adalah daging yang masuk Indonesia tanpa melalui prosedur
impor yang benar, berasal dari negara yang dilarang karena terjangkit penyakit
PMK dan BSE, dan dagingnya tidak memenuhi kriteria ASUH. Dari hasil
pemantauan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal BPPHP Departemen Pertanian
pada bulan Juli 2004, dibeberapa daerah telah ditemukan adanya daging ilegal
antara lain : Dumai (1,8 Ton), Batam (5,3 Ton), Tj. Priok–Jakarta (3.670 Ton),
Bandung–Jawa Barat (9,5 Ton), Tj. Perak – Surabaya (3 kontainer), Jawa Tengah
(ditemukan daging asal Amerika di Super Market), Sumatera Utara, Kalimantan
Barat, Tarakan–Nunukan. Daging impor ilegal yang ditemukan di Indonesia berasal
dari negara-negara yang dilarang untuk ekspor daging/sapi ke Indonesia, antara lain
: Argentina, Brazil, China, Hongkong, India, USA, dan terdapat beberapa daging
tersebut masih belum dapat diidentifikasi asal muasalnya. Berikut catatan impor
daging yang masuk Indonesia secara Ilegal (lihat Tabel di bawah). Selama periode
pelarangan importasi daging dari USA periode bulan Januari sampai Mei 2004,
menurut data USDA (Lihat Ilustrasi), Indonesia masih melakukan impor 3.944.5
ton jeroan dan daging sebanyak 194 ton. Jeroan tersebut terdiri atas jantung, hati,
ginjal, dan lain-lain.
Daging impor yang berasal dari Amerika Serikat yang datang ke Indonesia
baru disebut legal yaitu daging yang berangkat dari Negara asal setelah tanggal
31 Mei 2004. Hal ini didasarkan pada SE Dirjen Bina Produksi Peternakan No.
2882/PD.630/F.5/05/04 tanggal 31 Mei 2004 dan No. 66/PD.630/F.5/06.04 tanggal
18 Juni 2004 tentang Pencabutan Larangan Importasi Sebagian Komoditi dan
Produk Ruminansia dari USA. Meskipun SE tersebut bertentangan dengan SK
Menperindag No.757/MPP/Kep/12/2003 tanggal 31 Des 2003 tentang Larangan
Sementara Impor Hewan Ruminansia dan Produk Turunannya yang Berasal dari
Amerika Serikat, yang belum dicabut pada saat itu.
Dalam beberapa tahun ini, impor edibel offal telah mampu mengintervensi
pasar daging sapi lokal di dalam negeri. Sampai dengan bulan Maret tahun 2004
(kondisi dimana daging USA dilarang) menurut data dari USDA ternyata sebanyak
1.385 Ton daging asal negeri paman Sam ini masuk secara ilegal ke Indonesia. Dari
sejumlah itu tidak satu kilogram pun daging murni, artinya 100 % adalah Jeroan
(Jantung, hati, tongue root, ginjal, dsb). Menurut para pengurus APDASI, dengan
maraknya impor jeroan terutama jantung dan hati ke pasaran tradisional telah
mengakibatkan menurunkan penyembelihan sapi lokal sampai (30–40)%.
Menurunnya angka pemotongan ini, berdampak terhadap menurunnya kesempatan
perolehan pendapatan dan kesempatan kerja para pelaku bisnis daging dan peternak
sapi. Karena ini pula, pendapatan asli daerah yang berasal dari retribusi
pemotongan dan retribusi antar daerah (propinsi/Kabupaten/kota) pun mengalami
penurunan yang cukup signifikan. Yang paling signifikan adalah tidak diperolehnya
retribusi dari beredarnya daging ilegal ini ke kas negara. Oleh karenanya, dampak
kehadiran daging sapi ilegal ini cukup meluas yang juga akan mengganggu dunia
usaha peternakan sapi potong dan turunan produknya yang tengah dibenahi saat ini.
IImmppoorrtt DDaaggiinngg ddaann JJeerrooaann DDaarrii AAmmeerriikkaaJJaannuuaarrii ss..dd.. SSeepptteemmbbeerr 22000044
FFAASS ((FFoorreeiiggnn AAggrriiccuullttuurraall SSeerrvviiccee)) UUSSDDAA
0
200
400
600
800
1,000
1,200
1,400
Januari Maret mei juli september
0 22.3 0
52.9 118.848.4 117.6
217.6
459.8208
362
816
1,438
1,121
309
711
978
1,216
ton
Daging Jeroan
0
200
400
600
800
1000
1200
January February March April May
Ton
Hati
Jantung
Lidah
Ginjal
Lain-lain
Jika diperbandingkan, 1 ton daging impor setara dengan sekitar 7 ekor sapi
yang dipotong di RPH. Dimana 1 ton daging impor cukup mempekerjakan 2 orang,
sedangkan pemotongan ternak akan mempekerjakan tidak kurang dari 12 orang
yang terlibat (mulai dari pemeliharaan sampai pemasaran). Berdasar pada data
tersebut, jika impor ini diperkenankan masuk ke pasar tradisional, artinya setiap ton
daging impor, akan kehilangan 10 orang pekerja/buruh.
Selama periode pelarangan 25 Desember 2003 – 31 Mei 2004 kondisi
impor dari USA ternyata masih ada, artinya daging dan jeroan tersebut diimpor
secara ilegal dan yang paling banyak adalah jeroan dalam hal ini jantung sebanyak
2.784,1 ton. Bila dilihat di lapangan ternyata jeroan impor ini tidak dipasarkan ke
pasar tradisional melainkan masuk ke pasar industri prosesing daging (baso).
Dampak Penyakit dari Daging Ilegal
Dampak lain yang ditimbulkan akibat daging ilegal dari negara-negara yang
tidak terbebas dari PMK dan BSE sangat berbahaya dan memiliki potensi untuk
menghancurkan perekonomian bangsa ini dengan menyebarkan PMK dan BSE.
Sementara negeri kita terbebas dari kedua penyakit itu. Penyebab PMK adalah
entero virus yang tahan terhadap kondisi kelembaban tinggi diatas 70 %, bahkan
dengan terbawa angin yang terinfeksi akan mampu menyebarkan sampai radius 250
km. Seperti diketahui, seandainya daging impor ilegal yang mengandung virus
PMK tersebut, bebas dipasarkan di pasar tradisional tentunya akan memberikan
peluang besar dalam penyebaran penyakit ini.
Sejak ditemukannya PMK di Malang Jawa Timur pada tahun 1887 dan
Indonesia dinyatakan bebas penyakit PMK pada tahun 1990, artinya upaya yang
dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat peternakan telah lebih dari 100 tahun,
dengan biaya yang tidak sedikit. Sebagai gambaran, kita lihat kasus PMK di Inggris
pada tahun 2001 yang lalu hanya dalam waktu dua minggu saja, penyakit ini telah
menyebar ke seluruh Inggris Raya. Dinegri ini, menurut DEFRA UK, 2003
(Departemen for Invironment Food and Rural Affair UK) telah dimusnahkan
sebanyak 4,22 juta ekor ternak (582 ribu ekor sapi, 3,487 juta ekor domba, 146 ribu
ekor babi, 3 ribu kambing, 1.000 ekor kijang dan 1000 ekor ternak lainnya). Tidak
terbayangkan, seandainya penyakit ini berjangkit kembali di Indonesia, tentu akan
menyebabkan menurunnya produktivitas ternak sapi perah, sapi potong, kerbau,
kambing, domba dan ternak yang berkuku dua lainnya. Bagi ternak yang terserang
PMK, maka mulut dan kuku bahkan ambingnya akan melepuh, sehingga
mengakibatkan turun tingkat konsumsi dan produksinya. Disisi lain negeri ini kini
menghadapi persaingan bebas di pasar global, tentu akan semakin memperlemah
kedudukan peternakan yang sebagian besar (90 %) dikuasai tidak kurang dari 4 juta
keluarga peternak di pedesaan.
Dampak penyakit BSE yang terjadi di USA tahun 2003 telah mampu
menurunkan ekspor daging sapi USA mencapai sekitar 83% dan menurunkan
ekspor daging dunia sebesar 9%. Akibatnya pangsa pasar ekspor daging dari
Amerika Serikat diambil alih oleh Australia, hal ini yang mengakibatkan harga
daging/sapi di Australia meningkat tajam sehingga para feedlot di Indonesia tidak
mampu membeli bakalan sapi yang harganya mencapai Rp. 17.000,-/kg berat
hidup, yang semula Rp. 11.000,-/kg berat hidup. Di sisi lain daya beli masyarakat
cenderung menurun.
DAMPAK PASAR LOKAL MENJADI GLOBAL
Pada dasarnya suatu komoditas diimpor atau diekspor tergantung padaharga pasar domestik relatif terhadap harga pasar dunia. Dengan demikian, selamaharga daging sapi di dalam negeri secara relatif lebih mahal dibandingkan denganharga daging sapi di pasar dunia, maka jumlah impor daging sapi akan terusbertambah, artinya pasar daging sapi potong domestik sudah terintegrasi ke dalamstruktur pasar global. Bagaimana dampak lebih jauh dari kebijakan kebijakan ini,dapat diikuti dari kerangka penjelasan menggunakan model Hirshleifer (1985)seperti pada ilustrasi 2
D
H-0 Sdn Sdn’
Hd B Sw
C
Ddn
A
0 X1 X0 X2 X
Ilustrasi . Pengaruh Impor Sapi dan Daging terhadap Produsen Dan Konsumen diDalam Negeri (Sumber Hirslifer, 1985)
Masuknya impor daging disebabkan oleh tingginya harga daging di dalam
negeri. Dalam pasar bebas, karena tataniaganya tidak diatur oleh pemerintah,
maka harga daging di dalam negeri akan sama dengan harga daging di pasar dunia
(Hd). Pada tingkat harga tersebut produsen dalam negeri (peternak) hanya mampu
memenuhi kebutuhan daging sebanyak X1, sedangkan permintaan sebanyak X2.
Kekurangan daging sapi sebanyak ini akan diisi oleh daging impor sebanyak X2 –
X1. Karena suplai daging di pasar internasional lebih elastis (Sw) daripada suplai
dalam negeri (Sdn) maka dengan adanya impor, konsumen akan memperoleh
surplus sebesar (HdCBD). Ditinjau dari sisi upaya peningkatan gizi masyarakat hal
ini sangat menguntungkan, karena konsumen menikmati daging sapi dengan harga
murah.
Konsekuensi dari kebijakan penyatuan pasar lokal dengan pasar
internasional (pasar bebas) adalah besarnya kebutuhan devisa untuk membeli
daging. Disamping itu kebijakan ini secara teoritis tidak memberi rangsangan bagi
peternak di dalam negeri, karena hanya menikmati surplus ekonomi yang lebih
kecil (ACHd). Bila tidak ada perlindungan dari berbagai kebijakan pemerintah
dikhawatirkan sebagian besar peternak sapi potong rakyat akan menghentikan
usahanya.
Secara teoritis masalahnya adalah bagaimana menggeser kurva Sdn ke
sebelah kanan menjadi Sdn’. Berbagai upaya untuk menuju kearah ini dapat
dikemukanan sebagai berikut : Berbagai penelitian telah melaporkan adanya
pengaruh positif dari impul pasar terhadap perbaikan produktivitas peternakan sapi
potong rakyat. Jarmani dan Sianturi (1995) melaporkan bahwa potensi wilayah
menghasilkan pakan, keberhasilan program IB (inseminasi buatan), tersedianya
wilayah pemasaran, memberikan peluang yang baik bagi pengembangan
peternakan sapi potong. Melalui pembinaan kelompok secara teratur, introduksi
teknologi, serta perbaikan tatalaksana dapat mempersingkat pemeliharaan dan
mempercepat waktu jual, serta peningkatkan pendapatan peternak (Wahyono dan
Soepeno, 1995). Keberhasilan pengembangan sapi potong juga terjadi dalam
sistem kereman/penggemukan (Santoso, dkk., 1995; Sarwono, 1995; Sugandi, dkk.,
1995 dan Sumanto, dkk.,1995).
Berbagai kajian tersebut pada prinsipnya melaporkan keberhasilan
peningkatan produktivitas usahaternak sapi potong rakyat melalui perbaikan
teknologi reproduksi, perbaikan penyediaan pakan, serta perbaikan kelembagaan.
Implementasinya dalam proses produksi adalah adanya pergeseran fungsi produksi
ke atas, serta menggeser kurva biaya marjinal ke kanan. Karena kurva penawaran
konsumen merupakan kurva biaya marjinal, maka bila perbaikan produktifitas terus
terjadi, kurva penawaran sapi potong akan menggeser ke kanan, yang artinya suplai
akan bertambah diikuti dengan harga yang lebih murah.
Potensi peluang
Dari hasil analisis APFINDO (lihat lampiran), pada 1.000 ekor sapi yang
diimpor, 924 ekor dipotong di RPH dan 76 ekor dijual dalam bentuk hidup. Dari
hasil 924 ekor sapi diperoleh daging sebanyak 189.348 kg, jeroan dan ikutan lain
senilai Rp. 91.900.000,- dan kulit sebanyak 924 lembar. Sejumlah daging
dimanfaatkan oleh industri bakso sebanyak 19.836,60 kg, industri sosis 7.195,22
kg, rumah makan 73.962,84 kg, dan rumah tangga sebanyak 73.962,84 kg. Dari
hasil kegiatan tersebut, sejak pemeliharaan sampai menjual dan mengolahnya
menjadi produk olahan baik di industri pengolahan maupun di rumah makan dan
rumah tangga telah menimbulkan nilai tambah. Nilai tambah tersebut sesuai dengan
perubahan bentuk maupun penanganan lain yang dilakukan. Total nilai tambah
dapat dilihat pada tabel di Lampiran
Nilai tambah yang dihasilkan oleh industri pengolahan daging/jeroan
sebesar Rp. 350.982.210,- (24 %) dari 1.000 ekor sapi impor. Berdasarkan hasil
analisis ternyata nilai 1 USD sapi yang diimpor, secara keseluruhan akan
memperoleh nilai tambah sebesar 0,393 USD. Artinya, peluang memperoleh
manfaat tersebut sebesar 39,3 % selama 3-4 bulan terjadi pada bisnis sapi potong
impor.
Selain faktor manfaat secara langsung pada kondisi bisnis tersebut, para
feedloter secara tidak langsung telah pula membantu UKM pada proses pemasaran
sapi siap potong. Yaitu dengan cara memberikan tenggang waktu pembayaran rata-
rata selama 7 tujuh hari. Jika dihitung pasar Jabotabek sekitar 500 ekor per hari,
maka perminggu sekitar 3500 ekor dengan nilai Rp. 17,5 milyar. Dapat
dibayangkan pada kondisi krisis ekonomi saat ini, dimana perbankan sulit
mengucurkan dana/kredit, para pengusaha feedlot telah mampu memberikan kredit
senilai Rp. 17,5 milyar per minggu.
Dampak yang dirasakan lebih lanjut terhadap kehadiran sapi impor, adalah
dapat dikendalikannya pemotongan sapi lokal. Sehingga, diharapkan dalam jangka
panjang, populasi sapi lokal dapat memenuhi kebutuhan konsumsi didalam negeri.
Free and fair trade
Sebagai negara yang sudah menanda tangani perjanjian GATT (General
Agreement on Trade and Tariffs), secara konsekwen Indonesia tidak dibenarkan
lagi melakukan proteksi berlebihan terhadap industrinya. Indonesia hanya akan
mengenal satu kebijaksanaan proteksi yakni sistem tarif dalam perdagangan
internasional. Subsidi ekspor dan subsidi dalam bentuk apapun tidak dibenarkan
lagi. Tujuan dari WTO di bidang pertanian khususnya peternakan adalah membuka
pasar bagi barang-barang ekspor dan impor. Munurut Direktorat Jenderal
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, (2004), ada tiga prinsip akses pasar
untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu :
1. Most Favoured Nation, ini merupakan prinsip utama negara-negara anggota
WTO tidak boleh mendiskriminasikan negara-negara mitra dagangnya secara
sepihak dan seenaknya. Keringanan tarif masuk yang dikenakan terhadap
produk impor dari suatu negara harus diberikan pula kepada produk impor dari
negara-negara anggota lainnya yang menjadi mitra dagangnya.
2. National Treatment, negara-negara anggota diwajibkan untuk memberikan
perlakuan sama terhadap barang-barang lokal, minimal setelah barang impor
memasuki pasar domestik.
3. Transparency, negara anggota diwajibkan untuk bersikap terbuka terhadap
berbagai kebijakan perdagannya sehingga memudahkan pelaku usaha
melakukan kegiatan perdagangan.
Untuk mengimbangi kenaikan impor ini, maka pembinaan terhadap peternak perlu
ditingkatkan, khususnya pada kemampuannya bertahan akibat perubahan
lingkungan. Arahnya diubah menuju kegiatan profesionalisme dalam pemeliharaan
agar dicapai tingkat efisiensi yang mampu bersaing di pasaran dunia. Impor sapi
bakalan harus berorientasi pada pasar dan pengembangan bisnis peternak, bukan
hanya pemenuhan kebutuhan daging di tingkat konsumen. Profesionalisme dapat
ditingkatkan melalui peningkatan pemanfaatan berbagai hasil penelitian baik di
Lembaga Penelitian maupun di Perguruan Tinggi. Oleh karena itu hasil penelitian
tersebut hendaknya disebarkan merata kepada para peternak, setelah diterjemahkan
ke dalam bahasa sederhana dan mudah diserap.
Tindakan Yang Diperlukan :
1. Menegakkan aturan yang berlaku, yaitu dengan langkah-langkah yang perlu
diambil dalam kasus daging ilegal sebagai berikut :
a. Memusnahkan seluruh daging illegal yang telah disita Polisi, sesuai
peraturan.
b. Mengusut tuntas para pelaku bisnis daging ilegal melalui jalur hukum.
c. Pemberlakuan efektif terhadap surat edaran Dirjen Binprod Peternakan,
selama 45 hari (per tanggal 15 Juli) setelah dikeluarkannya SE, karena
perjalanan laut dari USA Ke Indonesia.
2. Penertiban tataniaga daging impor sesuai dengan Kebijakan Pemerintah bahwa
daging impor hanya ditujukan bagi Pasar Institusi (supermarket/Restaurant
dsb), sedangkan saat ini telah beredar di pasar tradisional, dampak negatifnya
dirasakan oleh peternak dan para pedagang. Solusinya segera dikeluarkan surat
Keputusan Gubernur di daerah mengenai tata niaga daging (Impor), melalui
penerapan NKV yang efektif. Membatasi masuknya daging impor terutama
Jeroan (Jantung, lidah, Pangkal Tenggorokan, Kikil dsb) karena komoditi
tersebut akan mendistorsi pasar di dalam negeri, sehingga akan mematikan
usaha peternak dan pedagang daging lokal. Kebijakan ini dapat berupa SK
Gubernur atau SK Menteri Pertanian dengan mengacu kepada rasio antara
jumlah daging yang diimpor (misal, untuk seekor diasumsikan 200 kg karkas
dengan sebuah jantung).
Teknologi
Dari segi zoo-teknis, ada beberapa kegiatan yang hendaknya harus segera
dilaksanakan dalam upaya meningkatkan produktivitas ternak, antara lain :
1. Aspek Manajemen produksi yang antara lain manajemen kandang dan
pakan. Untuk pakan pemanfaatan limbah pertanian yang bersifat non-
tradable dengan menggunakan bio-teknologi antara lain dengan introduksi
probiotik pada pakan ternak. Yang dimaksud hijauan pakan yang non-
tradable adalah, hijauan pakan yang memiliki keunggulan komparatif dan
produknya belum dimanfaatkan secara optimal, antara lain jerami padi,
kacang tanah dsb.
2. Aspek "breeding" meliputi sistem Perkawinan Buatan ("Artificial
Insemination" ) dan Transfer Embrio (T.E), diarahkan untuk menghasilkan
pejantan ("bull producers") dari pejantan yang superior secara genotif,
maupun tindakan cross breeding yang dilakukan di dalam negeri terhadap
beberapa jenis ternak. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat peternak di
negara bagian California USA dengan melakukan crossing breed antara sapi
dengan kerbau yang disebut “Beefaloes” (National Geographic, Volume
150. No. 3 September 1976), atau introduksi kajian terhadap peluang
kelahiran kembar.
3. Aspek Kesamaan manajemen dalam penggunaan teknologi, antara peternak
diluar negeri (eksportir) dengan peternak di dalam negeri. Misalnya, hormon
pemacu pertumbuhan, sebagaimana telah digunakan oleh para peternak di
negara-negara eksportir ternak ke negeri ini.
PENUTUP
Indonesia sebagai suatu negara besar dengan populasi penduduk lebih dari
200 juta orang, merupakan negara yang memiliki potensi pasar yang cukup
potensial bagi pengembangan peternakan sapi potong. Lebih-lebih bila dilihat dari
rendahnya tingkat konsumsi daging masyarakat, yang masih di bawah standar
norma gizi.
Dampak yang terjadi akibat masuknya impor daging (ilegal) dan jeroan
telah mampu mendisorsi pasar sapi lokal sehingga perlunya turun tangan kebijakan
pemerintah dalam upaya melindungi kerugian yang terjadi dalam industri ini.
Upaya yang dapat dilakukan terutama memberikan kesempatan dan kesetaraan
perlakuan pengembangan peternakan sapi potong antara peternak rakyat dengan
peternak di negera pengexpor.
DAFTAR PUSTAKA
Dirjen Binprod Peternakan, (2004). Pokok-pokok Pemikiran tentang PembangunanPeternakan 2005-2009. Disiapkan oleh Direktorat Jenderal Bina ProduksiPeternakan, sebagai bahan diskusi perumusan Renstra, Renop, PenyusunanPeternakan Jangka Menengah Jakarta Juli 2004
Department of Commerce, U.S. Census Bureau (2004), Foreign Trade Statistics
Dinas peternakan Pemprov. Jawa Barat (2003). Laporan Tahunan.
Hirshleifer, Jack (1985) Teori Harga dan Penerapannya, Terjemahan oleh Kusnedi.Penerbit Erlangga Jakarta.
PPSKI (2004), Bahan Rapat Dengar Pendapat Umum dengan DPR RI.
Soehaji, (1994), membangun Peternakan Tangguh. Universitas Padjadjaran.
Soeharsono, (2002) Perencanaan Pembangunan Agribisnis Pertanian, Van KuliahUmum di Universitas Kadiri.