dampak kenaikan muka laut pada pengelolaan delta

16
DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT PADA PENGELOLAAN DELTA: Studi Kasus Penggunaan Lahan Tambak di Pulau Muaraulu Delta Mahakam (The Impact Of Sea Level rise on Delta Management: A Case Study Of Shrimp pond Management In Muaraulu island - Mahakam Delta) Dewayany Sutrisno, John Pariwono, Jacub Rais, dan Tridoyo Kusumastanto ABSTRAK Berkurangnya lahan pantai merupakan permasalahan yang banyak dialami oleh negara pantai maupun negara kepulauan di dunia, yang salah satu pemicunya adalah naiknya muka laut. Pengembangan pemodelan prediksi pemunduran garis pantai berbasis SIG dapat digunakan untuk menganalisa dampak fisik, ekologis dan ekonomis dari fenomena kenaikan muka laut ini. Hasil simulasi dengan menerapan model yang dikembangkan memperlihatkan bahwa dengan menghitung skenario terbaik dan terburuk (best dan worst scenario) sampai tahun 2014 diperkirakan akan terjadi pemunduran garis pantai sebesar 1,83 - 41,57 m, hilangnya 1,90 - 45,63 ha tambak udang dengan penurunan nilai ekonomi sebesar dengan Rp 16.260.000,- - Rp 355.000.000,- per ha per tahun. Simulasi in/juga memperlihatkan bahwa naiknya muka laut dan sedimentasi mempunyai dampak significant terhadap usaha budidaya tambak udang tetapi berdampak insignificant terhadap produksi perikanan alam. Oleh karena itu, skenario kebijakan yang menjadikan 40 % wilayah pulau untuk usaha budidaya udang (sivo-fisheries method) merupakan opsi terbaik yang dapat dipilih untuk mendapatkan pemanfaatan lahan yang lestari. PENDAHULUAN Naiknya muka laut (Sea level rise) merupakan salah satu permasalahan penting yang harus dihadapi oleh negara-negara pantai atau negara kepulauan di dunia. Fenomena alam ini perlu diperhitungkan dalam semua kegiatan pengelolaan wilayah pesisir, karena dapat berdampak langsung pada pemunduran garis pantai serta dapat mengganggu aset-aset penduduk, mengganggu perkembangan ekonomi penduduk bahkan menyebabkan terjadinya perpindahan penduduk yang mendiami wilayah-wilayah rentan di sepanjang pesisir. Merujuk pada keadaan ini, perlu dikembangkan suatu pemodelan pemunduran garis pantai berbasis SIG (sistim Informasi Geografis) yang dapat digunakan untuk meneliti dampak fisik dan ekonomis dari naiknya muka laut ini. Pemodelan serupa pernah diteliti oleh Hennecke et al. (2004) di pantai Callaroy - Australia yang dapat memprediksi akan terjadinya 114 - 118 meter pemunduran garis pantai dengan prediksi kerugian ekonomi sebesar AUS $245 million pada lima puluh tahun yang akan datang. Akan tetapi mengingat keragaman proses-proses hidro-oseanografi yang tidak sama pada banyak wilayah pesisir, maka pemodelan pemunduran garis pantai ini perlu dikembangkan lebih lanjut menjadi pemodelan yang dinamis dan lebih mengapresiasikan fenomena kenaikan muka iaut lokal serta aspek hidro-oseanografi lainnya yang terjadi pada wilayah pesisir tertentu. Mengingat delta merupakan laboratorium alam yang sangat baik untuk menjelaskan interaksi yang kompleks antara variasi muka laut, suplai dan akumulasi sedimen, morfologi dari tahapan sedimentasi dan perubahan dasar laut serta dinamika oseanografi, maka pemodelan yang dikembangkan akan disesuaikan dengan wilayah Delta ini. Sebagai contoh kasus digunakan pulau Muaraulu, salah satu pulau di muara Delta Mahakam yang mengalami degradasi cukup serius sebagai akibat dari adanya konversi lahan mangrove ke usaha budidaya tambak udang secara besar- besaran.

Upload: dinhkhanh

Post on 17-Jan-2017

241 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT PADA PENGELOLAAN DELTA

DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT PADA PENGELOLAAN DELTA: Studi Kasus Penggunaan Lahan Tambak di Pulau

Muaraulu Delta Mahakam

(The Impact Of Sea Level rise on Delta Management: A Case Study Of Shrimp pond Management In Muaraulu island - Mahakam Delta)

Dewayany Sutrisno, John Pariwono, Jacub Rais, dan Tridoyo Kusumastanto

ABSTRAK

Berkurangnya lahan pantai merupakan permasalahan yang banyak dialami oleh negara pantai maupun negara kepulauan di dunia, yang salah satu pemicunya adalah naiknya muka laut. Pengembangan pemodelan prediksi pemunduran garis pantai berbasis SIG dapat digunakan untuk menganalisa dampak fisik, ekologis dan ekonomis dari fenomena kenaikan muka laut ini. Hasil simulasi dengan menerapan model yang dikembangkan memperlihatkan bahwa dengan menghitung skenario terbaik dan terburuk (best dan worst scenario) sampai tahun 2014 diperkirakan akan terjadi pemunduran garis pantai sebesar 1,83 - 41,57 m, hilangnya 1,90 - 45,63 ha tambak udang dengan penurunan nilai ekonomi sebesar dengan Rp 16.260.000,- - Rp 355.000.000,- per ha per tahun. Simulasi in/juga memperlihatkan bahwa naiknya muka laut dan sedimentasi mempunyai dampak significant terhadap usaha budidaya tambak udang tetapi berdampak insignificant terhadap produksi perikanan alam. Oleh karena itu, skenario kebijakan yang menjadikan 40 % wilayah pulau untuk usaha budidaya udang (sivo-fisheries method) merupakan opsi terbaik yang dapat dipilih untuk mendapatkan pemanfaatan lahan yang lestari.

PENDAHULUAN

Naiknya muka laut (Sea level rise) merupakan salah satu permasalahan penting yang harus dihadapi oleh negara-negara pantai atau negara kepulauan di dunia. Fenomena alam ini perlu diperhitungkan dalam semua kegiatan pengelolaan wilayah pesisir, karena dapat berdampak langsung pada pemunduran garis pantai serta dapat mengganggu aset-aset penduduk, mengganggu perkembangan ekonomi penduduk bahkan menyebabkan terjadinya perpindahan penduduk yang mendiami wilayah-wilayah rentan di sepanjang pesisir.

Merujuk pada keadaan ini, perlu dikembangkan suatu pemodelan pemunduran garis pantai berbasis SIG (sistim Informasi Geografis) yang dapat digunakan untuk meneliti dampak fisik dan ekonomis dari naiknya muka laut ini. Pemodelan serupa pernah diteliti oleh Hennecke et al. (2004) di pantai Callaroy - Australia yang dapat memprediksi akan terjadinya 114 - 118 meter pemunduran garis pantai dengan prediksi kerugian ekonomi sebesar AUS $245 million pada lima puluh tahun yang akan datang. Akan tetapi mengingat keragaman proses-proses hidro-oseanografi yang tidak sama pada banyak wilayah pesisir, maka pemodelan pemunduran garis pantai ini perlu dikembangkan lebih lanjut menjadi pemodelan yang dinamis dan lebih mengapresiasikan fenomena kenaikan muka iaut lokal serta aspek hidro-oseanografi lainnya yang terjadi pada wilayah pesisir tertentu. Mengingat delta merupakan laboratorium alam yang sangat baik untuk menjelaskan interaksi yang kompleks antara variasi muka laut, suplai dan akumulasi sedimen, morfologi dari tahapan sedimentasi dan perubahan dasar laut serta dinamika oseanografi, maka pemodelan yang dikembangkan akan disesuaikan dengan wilayah Delta ini. Sebagai contoh kasus digunakan pulau Muaraulu, salah satu pulau di muara Delta Mahakam yang mengalami degradasi cukup serius sebagai akibat dari adanya konversi lahan mangrove ke usaha budidaya tambak udang secara besar-besaran.

Page 2: DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT PADA PENGELOLAAN DELTA

Adapun tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan model prediksi berbasis spasial, sebagai alat untuk memperkirakan dampak dari naiknya muka laut dan sedimentasi terhadap kawasan delta, serta opsi kebijakan apa yang dapat dipilih untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang terkena dampak fenomena ini. Sedangkan tujuan khususnya adalah: 1. untuk mengetahui kecenderungan naiknya muka laut yang terjadi di kawasan Delta yang

dikaji 2. untuk mengetahui apakah naiknya muka laut atau sedimentasi yang terjadi menye-babkan

penambahan atau pengurangan lahan pantai 3. untuk mengetahui skenario kebijakan apa yang hams diterapkan untuk meningkatkan nilai

ekonomi lingkungan yang diakibatkan oleh adanya naiknya muka laut dan sedimentasi

METODE PENELITIAN Sebagai dasar pemodelan, penelitian ini memodifikasi model Hennecke et. al (2004)

didasarkan atas beberapa kriteria, yaitu: a. meskipun model ini sudah memperhitungkan komponen sedimentasi termasuk juga

dampak sedimentasi karena arus menyusur pantai, diterapkan pada pantai semi tertutup, dan sudah memperhitungkan dampak ekonomi yang dikajinya untuk daerah urban, model ini belum mempertimbangkan komponen ketidak pastian {uncertainty), menambahkan komponen sedimentasi secara terpisah (tidak dalam satu persamaan) sehingga tidak dapat memperlihatkan dampak positif atau negatif dari naiknya muka laut atau sedimentasi pada perubahan garis pantai

b. menggunakan kenaikan muka laut versi IPCC (2001) dan tidak mempertimbangkan kenaikan muka laut lokal maupun regional, dan

c. kajian fisik dan ekonomi masih bersifat statis.

Keadaan ini membuka peluang untuk memodifikasi model sesuai dengan kebutuhan lokal, seperti; 1. menggabungkan komponen sedimentasi ke dalam satu persamaan. 2. di dalam modifikasi model ini komponen sedimentasi merupakan faktor pengu-rangnya,

sehingga dampak positif maupun negatif dari kombinasi naiknya muka laut dan

Page 3: DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT PADA PENGELOLAAN DELTA

sedimentasi terhadap wilayah pesisirnya dapat terlihat lebih jelas. 3. model dikembangkan secara dinamis dan memperhitungkan komponen ketidak pastian

dari unsur-unsur muka laut {MSL) dan sedimentasi, selama > 10 tahun pengamatan. 4. naiknya muka laut dihitung dengan menggunakan data pasang surut stasiun lokal. 5. model yang merupakan dampak fisik ini dihubungkan dengan model ekonomi yang juga

bersifat dinamis dengan konsepsi yang berbeda, yaitu menggunakan nilai pasar {market value) produksi tambak udang dan perikanan tangkap pada kawasan mangrove sebagai komponen utama analisis ekonomi. Metode valuasi ekonomi total hutan mangrove (total economic valuation method/ TEV) juga diterapkan dalam analisis ekonomi sebagai input dalam penetapan kebijakan untuk menata penggunaan lahan yang lebih lestari. Dengan demikian berbeda dengan model ekonomi Hennecke, model ekonomi yang dikembangkan lebih mengarah pada pertanian dan lingkungan.

Apabila Hennecke et al (2004) menggunakan persamaan pemunduran garis pantai

sbb: R B+A = RB + RA (1) dimana : RB merupakan persamaan pemunduran garis pantai menurut Bruun (1988) R = ∆ZL (h + D) -1 (1-a) RA merupakan persamaan sedimentasi RA = ∆Vtotal (∆L) -1 (B) -1 (1-b) dan ∆Z = laju naiknya muka laut (m), L = jarak antara garis pantai sampai batas kedalaman tertutup (m), h = kedalaman pada jarak L (m) dan D = tinggi guguk pasir/ elevasi (m), ∆Vtotal total sedimen yang masuk ke dalam daerah studi (m3), ∆L adalah panjang pantai yang tererosi (erodible shoreline) (m), dan B merupakan kedalaman laut (m). maka modifikasi persamaan pemuduran garis pantai dapat dijelaskan sbb : R = [(∆Z - ∆S)L].(h + D + ∆Z) -1 (2) dimana: R = pemunduran garis pantai (m)

∆Z = kenaikan muka laut (m) ∆S = perubahan akumulasi sedimentasi, yang dihitung secara terpisah

berdasarkan pengamatan lapangan (m) L = panjang daerah pesisir yang masih dipengaruhi oleh proses sedimentasi sampai delta front (m) h = kedalaman pada L (m)

D = elevasi (m)

Page 4: DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT PADA PENGELOLAAN DELTA

Dengan mempertimbangkan dampak sosial-ekonomi dan opsi penataan penggunaan lahan untuk mencapai pemanfaatan lahan yang lestari, secara keseluruhan pemodelan dapat dijelaskan pada diagram alir di bawah ini;

Dari diagram alir ini terlihat bahwa pada dasarnya pemodelan terbagi atas tiga sub-pemodelan, yaitu pemodelan pemunduran garis pantai (shoreline retreat model) sebagai dasar analisis fisik dampak kenaikan muka laut terhadap wilayah pesisir pulau yang dikaji, sub-pemodelan penggunaan lahan (landuse model) sebagai dasar analisis dampak fisk dan social ekonomi dari kenaikan muka laut terhadap penggunaan lahan saat ini dan sub-pemodelan kebijakan sebagai dasar analisis opsi kebijakan pengelolaan penggunaan lahan sehingga didapatka penataan pemanfaatan lahan yang lestari.

Dalam pemodelan pemunduran garis pantai, perhitungan naiknya muka laut menggunakan data kedudukan muka air rata-rata (mean sea level) harian selama > 10 tahun pengamatan, dimana data yang digunakan adalah data pasut harian dari stasiun pasut Handil II. Untuk menghitung prediksinya digunakan persamaan Ding et al (2002) sbb;

Page 5: DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT PADA PENGELOLAAN DELTA

dimana Z0 adalah muka laut rata-rata selama t bulan pengamatan, a adalah kecenderungan kenaikan muka laut, t adalah waktu (bulan) sedangkan ck , pk dan qk adalah periode, amplitudes dan phase pasut pada k tahun pengamatan (data diperoleh dari Total E&P). Perhitungan laju akumulasi sedimen dihitung dengan menggunakan persamaan;

dimana, ∆S = perubahan akumulasi sedimentasi (m) ∆Vi = volume sedimentasi yang masuk ke dalam bagian (i), dihitung berdasarkan

pengamatan lapangan dengan menggunakan metode lane kalinske (m3) li = panjang tegak lurus pantai bagian (i) (m) bi = lebar pantai section (i) (m) Untuk pengamatan sedimentasi ini, wilayah perairan pesisir dibagi ke dalam sembilan bagian (i) yang masing-masing bagian mempunyai panjang dan lebar sebesar li dan wi Volume endapan per tahun (∆Vi) dihitung dengan menggunakan persamaan: ∆Vi = T.qs (4) dimana: T = Jumlah waktu per tahun qs = Volume suspensi yang berada di dalam grid pengamatan Nilai qs dihitung dengan menggunakan persamaan Lane-kalinske (1941), untuk mengetahui estimasi volume butiran tanah dasar yang umumnya terjadi pada transport aliran litoral, yaitu: qs = q.Co0.P (5)

dimana: qs = Volume suspensi yang berada di dalam grid pengamatan (m3) q = Volume arus persatuan lebar

h = Kedalaman (m)

= Kecepatan rata-rata arus (m/s) Co = Density/ berat jenis dari suspend load P = Koefien Karman a = Koefisien ( = 5.55) n = Koefisien ( = 1.0) ∆F(wo) = Prosentase suspensi terhadap material dasar laut (%) wo = Kecepatan sedimentasi (m/s) U* = Geseran kecepatan arus

Page 6: DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT PADA PENGELOLAAN DELTA

dan n’ = Koefisien kekasaran dari Manning ( =0.02) g = 9.8 m/sec2

Batas kedalaman air dimana telah ada material yang diendapkan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan-persamaan:

dimana; t = waktu yang diperlukan material suspensi melalui masing-masing bagian L = grid untuk masing-masing bagian V = kecepatan arus h = batas kedalaman air dimana telah ada material yang diendapkan wo = rata-rata sedimen rate Adapun asumsi dan batasan yang digunakan dalam pemodelan pemunduran garis pantai ini adalah: a. pemunduran garis pantai dapat terjadi pada semua sisi pulau yang mempunyai

kedalaman < 1 meter b. laju akumulasi sedimen diasumsikan linier dan tidak ada perubahan pada 10 tahun ke

depan c. akumulasi sedimen saat ini dianggap sebagai titik nol d. tidak memperhitungkan pengaruh storm surge (Allen and Chamber 1998)

Informasi spasial pemunduran garis pantai (/?) dimanfaatkan untuk analisis spasial selanjutnya yaitu untuk mengetahui dampaknya pada luasan penggunaan lahan tambak dan mangrove yang ada, dan dapat dinyatakan ke dalam persamaan;

dan AMi = (R + R′) ∩ LUi ∩ Ci (10) dimana (AT i) merupakan luas tambak yang terletak pada pesisir yang mundur dan (AMi) luasan mangrove yang terletak pada areal yang terinudasi. Luasan lahan tambak udang dan mangrove yang terkena dampak pemunduran garis pantai ini dikaji nilai ekonominya dengan menggunakan persamaan; π = [((Au.Pu.Qu) + (Am.Rm)) – ((Au.Cu) + (Am.Cl))]/(1 + r)t (11) dimana: π = Profit / keuntungan (Rupiah) Au ,Pu , Qu = luas tambak (ha), harga udang (rupiah/ton), produk udang (ton/ha) Am , Rm = luas mangrove (ha), nilai ekonomi mangrove (rupiah) dihitung

berdasarkan metode direct value, dari nilai-nilai udang, ikan dan

Page 7: DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT PADA PENGELOLAAN DELTA

kepiting Cu = biaya total yang dikeluarkan untuk usaha budidaya udang persatuan

luas (ha), yang terdiri dari biaya pengadaan lahan (Cln), biaya pengadaan bibit (Cb), biaya tenaga kerja (Ctk), biaya pengolahan, pemeliharaan (Cm), dan biaya panen (Cp).

Cu = Clh + Cb + Ctk + Cm + Cp Cl = biaya total yang dikeluarkan untuk usaha produksi perikanan alam,

yang terdiri dari biaya bahan baker (Coil), biaya tenaga kerja (Ctkl), dan biaya pemeliharaan (Cml).

Cl = Coil + Ctkl + Cml Biaya produksi harian ini kemudian dikonversi ke dalam satuan luas

persatuan waktu (ha/bln) r = discount rate (%) t = waktu

Untuk nilai ekonomi budidaya udang menggunakan persamaan yang sama dengan persamaan (11) di atas, terkecuali untuk nilai-nilai dari komponen mangrove yang dihitung 0. Untuk analisis optimalisasi penggunaan lahan menggunakan tiga skenario pemodelan, yaitu • Skenario 1: tanpa perlakuan (0), dimana selain mengambil hasil di tambak, petani juga

mengambil hasil di alam • Skenario 2: memanfaatkan usulan tata ruang dari peneliti sebelumnya (seperti Prihartini

2003), yang mengubah seluruh areal sebagai lahan konservasi • Skenario 3: Memanfaatkan pemanfaatan ruang dalam areal Konservasi (silvo fisheries) yang mana analisis ekonomi dari skenario 2 dan 3 menggunakan Net Present Value (NPV) sebagai dasar perhitungan. Skenario 2 dihitung dengan menggunakan persamaan: NPV sc2 = (((Am.B) + (ArlB)) – (Arl.(Cr + Co + Crl))) / (1 + r)t (12) dimana: NPV sc2 = Net present value skenario 2 (rupiah) Am = Luas existing mangrove (ha) B = Benefit hutan mangrove (rupiah/ha) Arl = Luas lahan yang direhabilitasi (ha) B = Benefit yang dapat diambil dari hutan mangrove (rupiah/ha) Cr , Co , Crl = Biaya rehabilitasi, imbangan dan relokasi (rupiah/ha) dan scenario 3 dihitung dengan menggunakan persamaan; NPV sc3 = (((Am.B) + (ArlB)) + (Au.Pu.Qu)) – (Arl.(Cr + Co + Crl))) / (1 + r)t (13) dimana: NPV sc3 = Net present value skenario 3 (rupiah) Am = Luas existing mangrove (ha) B = Benefit yang dapat diambil dari hutan mangrove (rupiah/ha) Arl = Luas lahan yang direhabilitasi (ha) Au = Luas tambak udang (ha) Pu , Cu = Harga udang (rupiah/ton), biaya produksi udang (rupiah/ha)

Page 8: DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT PADA PENGELOLAAN DELTA

Qu = Produksi udang (ton/ha) Cr , Co , Crl = Biaya rehabilitasi, imbangan dan relokasi (rupiah/ha) r = discount rate, berdasarkan suku bunga Bank Kaltim t = waktu (tahun)

Parameter-parameter tersebut di atas digambarkan dalam causal diagram pemodelan untuk dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak yang dibutuhkan sebagaimana dijelaskan pada Gambar di bawah ini;

Pemodelan dikembangkan dengan menggunakan tiga skenario, yaitu skenario terburuk {the worst scenario) didasarkan pada pemunduran garis pantai maksimal yang terjadi pada kondisi naiknya muka laut tertinggi dan sedimentasi terendah, skenario terbaik {best scenario) didasarkan pada pemunduran garis pantai minimal yang terjadi terjadi pada saat naiknya muka laut terendah dan sedimentasi tertinggi serta skenario normal atau rata-rata yang didasarkan pada pemunduran garis pantai ketika terjadi kenaikan muka laut dan sedimentasi rata-rata.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pulau Muaraulu merupakan salah satu pulau yang keberadaannya terancam hilang karena adanya fenomena pemunduran garis pantai. Model pemunduran garis pantai {shoreline retreat model) yang dikembangkan dalam penelitian ini membenarkan kecenderungan terjadinya fenomena ini. Hasil simulasi dengan menggunakan model ini memperlihatkan bahwa dengan laju kenaikan muka laut (AZ) sebesar 0,15 - 0,75 cm/tahun (normal = 0,475 cm/ tahun) dan laju akumulasi sedimen (AS) sebesar 0,15 -1,22 cm/tahun (normal = 0,196 cm/ tahun) (diperoleh dari analisa MSL selama > 10 tahun dan perhitungan data lapangan), diperkirakan sampai tahun 2014 akan terjadi pemunduran garis pantai sebesar ± 1,83 - 41,57 m atau terjadi pengurangan garis pantai rata-rata 0,18 - 4,16 m per tahun (lihat Gambar 5, Gambar 6 dan Tabel 1). Pemunduran garis pantai ini dapat terjadi pada semua sisi pulau, terutama pada kawasan pesisir yang mempunyai ketinggian < 1 m dpi. Hasil simulasi memperlihatkan bahwa pemunduran garis pantai pada pesisir yang menghadap ke laut lebih besar dibandingkan dengan wilayah pesisir lain yang menghadap ke sungai. Keadaan ini disebabkan pesisir ini mempunyai wilayah landai dengan ketinggian 0 - 1 m dpi yang lebih luas jika dibandingkan dengan yang menghadap ke sungai.

Page 9: DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT PADA PENGELOLAAN DELTA

Tabel 1. Simulasi dampak pemunduran garis pantai pada tambak dan mangrove.

Shoreline retreat (R) worst normal Best

Tambak (At) ha

Mangrove (Am) ha Tahun

m m m Worst Normal Best Worst Normal Best 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

2005 4,05 2,36 0,36 4,22 2,39 - 5,22 2,92 0,06 2006 8,50 4,98 0,80 8,76 5,18 0,03 10,80 6,42 0,20 2007 12,91 7,56 1,20 13,72 7,82 0,24 16,54 9,06 0,48 2008 17,27 10,08 1,55 18,00 10,42 0,60 22,18 12,92 0,93 2009 21,56 12,55 1,84 22,18 13,35 1,80 27,37 16,04 1,36 2010 25,76 14,92 2,05 26,92 15,74 2,01 39,63 19,02 1,57 2011 29,88 17,21 2,16 31,44 17,95 2,11 50,38 22,12 1,56 2012 33,89 19,39 2,18 35,47 20,13 2,14 58,44 26,75 1,57 2013 37,79 21,46 2,08 40,80 22,67 2,14 67,61 36,16 1,56 2014 41,57 23,56 1,83 45,63 25,81 1,90 78,77 44,41 1,44

Page 10: DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT PADA PENGELOLAAN DELTA

Berkurangnya lahan pantai pada dengan sendirinya dapat mempengaruhi peng-gunaan lahan yang berada di atasnya. Dengan asumsi penggunaan lahan tidak menga-lami perubahan sejak tahun 2003 dan usaha budidaya tambak udang tetap tradisional dengan perlakuan yang tetap, simulasi pemodelan memperlihatkan sampai dengan tahun 2014 diperkirakan dapat terjadi kehilangan lahan budidaya udang seluas 1,90 - 45,63 ha (lihatTabel 1) yang dapat berdampak pada hilangnya 0,15 - 3,56 ton udang atau setara dengan Rp 16.260.000,- - Rp 355:000.000,-. (lihatTabel 2). Dampak kenaikan muka laut 10 tahun yang akan datang pada penggunaan lahan yang ada dengan menggunakan skenario terbaik dan terburuk dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8 di bawah ini. Sedangkan perkiraan produksi tambak udang di Pulau Muaraulu beserta keuntungan yang dapat diterima pada 10 tahun pengamatan dapat dilihat pada Gambar 9.

Page 11: DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT PADA PENGELOLAAN DELTA
Page 12: DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT PADA PENGELOLAAN DELTA

Tabel 2. Simulasi keuntungan total dan rata-rata tahunan usaha budidaya tambak udang dan skenario 1 karena adanya pemunduran garis pantai.

Tambak udang*) Skenario 1*) Waktu Tahun W

Rp N

Rp B

Rp W Rp

N Rp

B Rp

1 2 3 4 5 6 7 2006 -38,99 -23,90 -0,22 -38,99 -23,90 -0,22 2007 -42,49 -22,59 -1,83 -42,49 -22,59 -1,83 2008 -36,71 -22,29 -3,10 -36,71 -22,29 -3,10 2009 -35,88 -25,17 -10,31 -35,88 -25,17 -10,31 2010 -40,59 -20,45 -1,78 -40,59 -20,45 -1,78 2011 -38,77 -18,93 -0,87 -38,77 -18,93 -0,87 2012 -34,47 -18,71 -0,22 -34,47 -18,71 -0,21 2013 -45,76 -21,73 -0,03 -45,76 -21,73 -0,03 2014 -41,33 -26,97 2,10 -41,33 -26,97 2,10

rata rata -39,44 -22,30 -1,81 -39,44 -22,30 -1,81 Total -355,00 -200,73 -16,26 -355,00 -200,73 -16,26

W = worst scenario (skenario terburuk), N = normal scenario (skenario normal), B = best scenario (skenario terbaik) *) nilai dalam juta rupiah, keuntungan dihitung dari tahun sebelumnya

Kerugian yang hampir sama juga terjadi pada skenario 1 yang merupakan gabungan perikanan tangkap tradisional dan budidaya tambak udang. Perikanan tangkap tradisional memperlihatkan penurunan profityang tidak berarti. Keadaan ini menunjukan bahwa perubahan permukaan laut ternyata mempunyai dampak positif terhadap budidaya tambak udang tetapi tidak mmepunyai dampak yang berarti pada perikanan tangkap tradisional (lihat

Page 13: DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT PADA PENGELOLAAN DELTA

Gambar 10).

Dengan demikian berkaitan dengan fenomena kenaikan muka laut, dapat diperkirakan dari pemodelan bahwa setiap 1 centimeters kenaikan muka laut rata-rata berdampak pada pengurangan garis pantai sebesar 1,23 - 4,84 meter, 0,71 - 5,07 ha tambak udang hilang, dan kerugian ekonomi dari tambak udang sebesar Rp 80.000,- -Rp 9.420.000,- per ha per tahun.

Pengembangan skenario pengelolaan yang mengacu pada hasil simulasi bahwa naiknya muka laut dan sedimentasi tidak berpengaruh pada produksi perikanan tangkap tradisional menyebabkan usaha penataan kembali kawasan delta dengan menggunakan mangrove sebagai kawasan penyangga merupakan alternatif perencanaan pengelolaan penggunaan lahan yang harus dipertimbangkan. Penerapan dua skenario, yaitu menjadikan seluruh areal kawasan sebagai areal konservasi (Skenario 2) dan penerapan metode wanamina (silvofisheries) atau skenario 3 yang ditetapkan berdasarkan iterasi luasan lahan yang masih diperbolehkan untuk usaha budidaya tambak udang (10%, 20%, 30% dan 40% wilayah untuk tambak udang) merupakan alternatif kemungkinan untuk mendapatkan penggunaan lahan yang lestari ini. Iterasi metode wanamina memperlihatkan bahwa penataan lahan dengan menggunakan 10 % wilayahnya untuk budidaya tambak udang mempunyai keuntungan maksimal, ditandai dengan Net Present Value (NPV) (lihat Gambar 11). Jika dibandingkan dengan skenario 2 (konservasi), skenario 3 (10/90) mempunyai Net Present Value (NPV)

Page 14: DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT PADA PENGELOLAAN DELTA

yang terbesar pada 5 tahun pertama pasca rehabilitasi (Gambar 12). Sesudah 5 tahun pasca rehabilitasi skenario 2 (konservasi) menunjukan peningkatan keuntungan yang lebih besar dari skenario 2. Keadaan ini menunjukan bahwa nilai konservasi mempunyai nilai tertinggi dibandingkan dengan nilai budidaya di masa yang akan datang. Akan tetapi mengingat kebutuhan masyarakat lokal dan tujuan pengelolaan yang menginginkan kesetaraan dari komponen ekologis, ekonomis dan sosial, maka skenario 3 ini merupakan opsi kebijakan terbaik yang dapat dipilih untuk menata lahan Pulau Muaraulu dengan catatan perlu dilaksana-kan perbaikan kualitas bibit. Simulasi pemanfaatan penggunaan lahan berdasarkan skenario 3 dapat dilihat pada Gambar 13.

Page 15: DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT PADA PENGELOLAAN DELTA

KESIMPULAN DAN SARAN Pulau muaraulu merupakan salah satu delta yang berada di kawasan Delta Mahakam

yang keberadaannya terancam hilang dengan adanya fenomena kenaikan muka laut. Pada pulau ini terjadi kenaikan muka laut (AZ) sebesar 0,475 cm/ tahun dan laju akumulasi sedimen (AS) sebesar 0,196 cm/ tahun. Dengan mempertimbangkan komponen ketidak pastian, kenaikan muka laut yang terjadi berkisar antara 0,15 - 0,75 cm/tahun dengan laju akumulasi sediment sebesar 0,15 - 0,22 cm/tahun. Kenaikan muka laut ini menimbulkan dampak fisik, ekologi dan ekonomi pada pulau ini, yaitu setiap 1 centimeter kenaikan muka

Page 16: DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT PADA PENGELOLAAN DELTA

laut rata-rata berdampak pada pengurangan garis pantai sebesar 1,23 - 4,84 meter, 0,71 - 5,07 ha tambak udang hilang, dan kerugian ekonomi dari tambak udang sebesar Rp 80.000,- - Rp 9.420.000,- per ha per tahun. Pada hutan mangrove, kenaikan muka laut ini ternyata berdampak tidak nyata. Oleh karena itu disusunlah skenario kebijakan penataan penggunaan lahan dengan menggunakan 100 % wilayah pulau untuk hutan mangrove (skenario 2) dan meng-gunakan sebagian pulau untuk budidaya tambak udang (skenario 3). Keuntungan maksimal didapatkan dari skenario 3 ini jika dibandingkan dengan skenario 2, yang menunjukan bahwa skenario 3 yang menata 10% wilayahnya untuk tambak udang dan membiarkan 90 % untuk vegetasi mangrove merupakan opsi kebijakan terbaik yang dapat dipilih untuk menata lahan Pulau Muaraulu sehingga dapat diperoleh pemanfaatan lahan yang lestari. Akan tetapi karena pemodelan dikembangkan berdasarkan asumsi-asumsi tertentu, maka penerapan pemodelan pada wilayah lainnya yang mempunyai karakteristik berbeda perlu disesuaikan dengan kondisi setempat. Contohnya pada wilayah pesisir yang didominasi oleh gelombang besar {storm surge), pengaruh faktor ini perlu diperhitungkan dalam pemodelan pemunduran garis pantainya. Demikian juga dengan dampak ekologis yang kemungkinan masih dapat dikaji dari sisi salinitas maupun parameter-parameter lainnya yang berkaitan dengan dampak fisik kenaikan muka laut. Input teknologi juga merupakan aspek yang perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan produksi tambak udang dengan luasan yang terbatas ini. Selain itu, penerapan skenario-skenario kebijakan ini juga tetap harus meiibatkan masyarakat lokal dalam setiap pelaksanaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Allen G.P and J.L.C. Chambers. 1998. Sedimentation in The Modern Delta And Miocene Mahakam Delta. Jakarta: Indonesian Petroleum Asscociation

Bruun, P. 1988. The Bruun rule of Erosion by Sea Level Rise: A Discusion On Large Scale Two and Three - Dimensional Usages. Di dalam Journal of Coastal Research 4:4. hal 627-648

Ding. X.L., D.W. Zheng, Y.Q. Chen and C. Huang. 2002. Sea Level Change In Hongkong From Tide Gauge Records. Di dalam Journal Of Geospatial Engineering 4:1, The Hongkong Institute of Engineering and Surveyors. Hal 41-49

Hennecke, W.G, C. a. Greeve and P.J. Colwell.2004. "GIS-Based Behaviour Coastal Modelling and Simulation of Potential Land Property loss: Implication of Sea Level Rise at Callqroy/ Narabeen Beach, Sydney - Australia". Coastal Management, 32:449-480. Taylor & Francis Inc. 2004

Lane, E.W. and A.A. Kalinske.1941. Engineering Calculation of Suspended Sediment. Di dalam Trans.AGV, Vol.22. IPCC, 2001. Climate Change 2001: The Scientific Basis.

Cambridge University Press, Cambridge, U.K. ________________________________________ Keterangan Penulis : 1. Dewayany Sutrisno adalah Peneliti pada Pusat Sumberdaya Alam Laut Bakosurtanal 2. John Pariwono adalah Dosen pada Institut Pertanian Bogor 3. Jacub Rais adalah Guru Besar Emeritus pada Institut Teknologi Bandung 4. Tridoyo Kusumastanto adalah Dosen pada Institut Pertanian Bogor ( Sumber tulisan : Jurnal Ilmiah Geomatika Vol.11 No.1, September 2005 )