dampak perubahan penggunaan lahan … · bappeda pada tahun 2000, sejak tahun 2001 hingga sekarang...
TRANSCRIPT
DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR
DI KOTA TANGERANG
OLEH : DADAN SUHENDAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2005
ABSTRAK
DADAN SUHENDAR. Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Ketersediaan Sumberdaya Air di Kota Tangerang. Dibimbing oleh SUNSUN SAEFULHAKIM dan AFFENDI ANWAR.
Perkembangan suatu wilayah tidak terlepas dari pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan kegiatan yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi, sehingga terjadi konflik terhadap lahan, disatu sisi permintaan terhadap lahan terus meningkat disisi lain luas lahan tetap. Hal ini akan berakibat terhadap perubahan penggunaan lahan terutama dari lahan pertanian menjadi non pertanian. Perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi non pertanian mendorong meningkatnya areal terbangun (built up area), yang berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya air. Untuk mengetahui seberapa besar dampak dari perubahan penggunaan lahan terhadap ketersediaan sumberdaya air perlu mengerahui barapa besar perubahan penggunaan lahan dari ruang terbuka hijau menjadi built up area setiap tahun atau dalam kurun waktu tertentu secara time series, curah hujan yang jatuh di wilayah penelitian, Evapotranspirasi yang terjadi, Air hujan ang meresap kedalam tanah (infiltrasi) serta berapa air limpasan permukaan (run off). Untuk mengtahui perubahan penggunaan lahan dapat dilkukan dengan pembuatan peta penggunaan lahan secara time series dengan metoda penginderaan jauh (remote sensing) baik melalui citra satelit atau foto udara. Data curah hujan didapat dari hasil pengukuran yang dilakukan Badan Meteorologi stasiun Tangerang, Penghitungan Evapotranspirasi dilakukan dengan menggunakan metoda Turc dan Langbein, infiltrasi dan run off dilakukan dengan pendekatan tipologi wilayah dengan mengacu pada U.S. Forest Service. Dengan meningkatnya areal terbangun mengakibatkan menurunnya air hujan yang meresap kedalam tanah (infiltrasi) yang menjadi cadangan air tanah dan meningkatkan aliran air permukaan (run off). Pada kondisi yang kritis hal tersebut akan meyebabkan kekeringan (kekurangan air) pada musim kemarau dan menimbulkan banjir pada waktu musim hujan. Utuk mengurangi resiko tersebut perlu dilakukan efisiensi dalam pemanfaatan lahan, serta pembuatan sumur resapan pada setiap bangunan, kolam resapan/danau buatan komunal pada kawasan perumahan.
DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR
DI KOTA TANGERANG
DADAN SUHENDAR
Tesis Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Magister Sains pada Program Studi Ilmu–ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2005
Judul Tesis : Dampak Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Ketersediaan Sumber Daya Air di Kota Tangerang
Nama : Dadan Suhendar NRP : P053020131 Program Studi : Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan
Perdesaan
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. H.R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr . Ketua
Prof. Dr. Ir. Affendi Anwar, MSc . Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Pe rdesaan
Prof. Dr. Ir. Isang Gonarsjah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M,Sc
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cimahi, Jawa Barat pada tanggal 18 Maret 1965 dari ayah Engkus Kusmana (alm) dan ibu Edjeh Mulyati (alm). Penulis merupakan putra ketiga dari enam bersaudara.
Tahun 1984 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bandung dan pada tahun yang sama penulis diterima di Jurusan Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan menamatkannya pada tahun 1992. Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister pada program studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan pada Sekolah Pasca Sarjana IPB diperoleh pada tahun 2002. Ijin belajar diperoleh dari Pemerintah Kota Tangerang.
Penulis bekerja pada Pemerintah Kota Tangerang sejak tahun 1994 sebagai pelaksana pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), kemudian promosi sebagai Kepala seksi Industri, Pertambangan dan Energi Bappeda pada tahun 1996, pada tahun 1999 menjabat sebagai Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Lahan pada Bappeda, Kemudian menjadi Kepala seksi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup pada Bappeda pada tahun 2000, Sejak tahun 2001 hingga sekarang penulis menjabat Kasi Pemetaan dan Survey pada Dinas Tata Kota
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2004 ini adalah Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Ketersediaan Sumberdaya Air di Kota Tangerang. Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. H.R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr dan Bapak Prof. Dr. H. Affendi Anwar, M.Sc selaku pembimbing. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Joewono H, MT Kepala Dinas Tata Kota Kota Tangerang periode tahun 2002 – 2005 dan Ibu Hj. Roostiwie, SKM, M.Si Kepala Dinas Tata Kota periode Tahun 2005 sampai sekarang, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi pasacasarjana S-2, rekan-rekan mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah dan Pedesaan angkatan 2002 serta seluruh jajaran Dinas Tata Kota yang telah membantu penulis dalam penyediaan dan pengolahan data serta dorongan moril. Tak lupa penulis ucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada rekan seperjuangan Ir. H. Masduki dan Drs. Otong Suhyanto atas bantuan yang sangat berharga sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Karya ilmiah ini penulis persembahkan kepada istri tercinta Neti Hendrawati serta anakanak tersayang Shabrina ghassani dan Hadyan Adam semoga karya yang telah penulis lakukan menjadi motivasi bagi anak-anakku Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2006
Dadan Suhendar
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL .............................................................................................. DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... PENDAHULUAN …………………………………………………………………… Latar Belakang ………………………………………………………………… Tujuan Penelitian ………………………………………………………………
xi
xii
xiv
1 1 8
TINJAUAN PUSTAKA ............................ ........................................................ Tata Guna Lahan ....................................................................................
Teori Lokasi ..................................................................................... Teori Land Rent ..............................................................................
Sumberdaya Air ……………………………………………………..........…. Daur Hidrologi ................................................................................ Presipitasi ....................................................................................... Evapotranspirasi ............................................................................. Infiltrasi .......................................................................................... Limpasan Permukaan ................................................................... Keterkaitan Penggunaan Lahan dengan Sumberdaya Air ......................
9 9 9
15 24 24 26 28 29 31 32
METODA PENELITIAN .................................................................................. Perubahan Penggunaan Lahan ................................................................ Analisis Hidrogeologi ................................................................................ Hidrologi .................................................................................................... Analisis Penentuan Harga Air ..................................................................
35 37 39 46 50
KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN ...................................................
Kondisi Fisik Kota Tangerang ................................................................. Kondisi Sosial ......................................................................................... Kondisi Ekonomi ..................................................................................... Kondisi Sarana dan Prasarana ...............................................................
52 52 59 65 69
PEMBAHASAN DAN HASIL .......................................................................... Perubahan Penggunaan Lahan .................................................................. Pola Perubahan Sumberdaya Air ................................................................. Neraca Air Wilayah Kota Tangerang........................................................ Kondisi Hidrogeologi ...............................................................................
Kondisi DAS Cisadane ............................................................................ Keterkaitan antara Penggunaan Lahan dengan Sumberdaya Air ............... Keterkaitan Perubahan Penggunaan Lahan dengan Land Rent ................ Kondisi Ekonomi Air …………………....…………………………………..
75 75 89 89 96 98
104 103 106
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... Kesimpulan .................................................................................................... Saran .............................................................................................................
123 123 125
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... LAMPIRAN ...................................................................................................
126
131
DAFTAR TABEL Tabel Halaman
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19 20
Nilai Koefisien Air Larian Hubungan Jenis Batuan dengan Besar Butir, Porositas dan Kelulusan .......................................................................................... Nilai Tahanan Jenis Batuan .................... ......................................... Jumlah dan Perkembangan Penduduk Kota Tangerang…………… Kepadatan Penduduk Kota Tangerang Tahun 2003 ………….…… Jumlah Penduduk Menurut Umur Tahun 2003 ................................. PDRB Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1998 – 2002 ................................................................................................. PDRB Kota Tangerang Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 1998 – 2002 .................................................. ............................................... Pertumbuhan PDRB Kota Tangerang Tahun 1999-2002 ................ Perbandingan Luas Lahan Terbangun dengan Ruang Terbuka ...... Penggunaan Lahan Tahun Kota Tangerang Tahun 2000 ............ Data Curah Hujan Stasiun Tangerang Tahun 1994-2003 ................ Data Temperatur Stasiun Tangerang Tahun 1994-2003 .................. Hasil Perhitungan Evapotranspirasi Perioda 1994-2003 .................. Perhitungan Neraca Air Tahun 1959, 1994 dan 2004 ...................... Fluktuasi Debit Sungai Cisadane yang Terukur di Stasiun Pengamatan Pasar Baru Tangerang .............................................. Analisa Neraca Air DAS Cisadane ................................................... Perbandingan Ketersediaan Sumberdaya Air dengan Penggunaan Lahan Tahun 1959, 1994 dan 2004 ................................................. Perkembangan Perubahan Muka Air Tanah Tahun 1959 dan 2004 Jumlah dan Panjang Sungai di Kota Tangerang ..........................
25 33
34 49 51 52
55
56 57 64 65 78 79 80 82
84 96
99
100 109
DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36 37.
Siklus Hidrologi …………………………………………………………… Efek Negatif Pengaturan Suberdaya Air Tanah yang Tidak Baik …… Model Tata Guna Lahan Menurut Von Thunen ................................ Model Tata Guna Lahan Menurut Burges ........................................ Model Tata Guna Lahan Menurut Hoyt ............................................ Pola Penggunaan Lahan Kota Konsep Teori Pusat Lipat Ganda .... Hubungan antara Land Rent Lokasi pada Berbagai Sektor Ekonomi Model Tata Guna Lahan Lingkaran Konsentris ................................ Pembentukan Kota Inti Secara Berganda ......................................... Kerangka Pemikiran Perubahan Pengunaan Lahan dan Ketersediaan Sumberdaya Air .............. ........................................... Diagram Alir Metode Penelitian ........................................................ Citra Satelit ........................................................................................ Foto Udara ........................................................................................ Material Bahan yang Dilalui oleh Arus Listrik .................................... Hubungan antara Tahanan Jenis dan Kadar Garam dalam Air yang Dikandung Batuan ............................................................................. Skema Alat Ukur Geolistrik ............................................................ Pengukuran Tahanan Jenis di Lapangan ........................................... Peta Wilayah Administrasi Kota Tangerang ...................................... Peta Lokasi Banjir .............................................................................. Peta Hidrogeologi Kota Tangerang ................................................ Peta Cekungan Air Tanah Kota Tangerang ......................................
5 6 9
10 11 11 13 14 16
27 28 29 29 31
34 35 35 43 44 46 47 48 49 50 51 53 53 62 63 66
66 69 72
75
76
76 79
38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56.
Peta Geologi Kota Tangerang ........................................................... Prosentase Jumlah Penduduk Tahun 2003 ...................................... Grafik Laju Pertumbuhan Penduduk Tahun 2001 – 2003 ................. Grafik Kepadatan Penduduk Tahun 2003 ......................................... Grafik Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur Tahun 2003 ........... Jumlah Penduduk Kota Tangerang Menurut Jenis Kelamin ........... Peta Tata Guna Lahan Kota Tangerang Tahun 1959 ...................... Peta Tata Guna Lahan Kota Tangerang Tahun 2000 ...................... Proporsi Tiap Jenis Penggunaan Lahan ........................................... Perbandingan Luas Pemanfaatan Lahan Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya ........................................................................... Peta Sebaran Kegiatan Perdagangan dan Jasa ............................... Peta Sebaran Industri ....................................................................... Perbandingan Sumbangan Sektor Pertanian Terhadap Total PDRB Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 ................ Perbandingan Sumbangan Sektor Industri Terhadap Total PDRB Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 ................ Perbandingan Sumbangan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran terhadap Total PDRB Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 ............................................................. Grafik Curah Hujan Bulanan Tahun Kota Tangerang 1994 – 2003 . Grafik Curah Hujan Bulanan Tahun Kota Tangerang 1994 – 2003 . Distribusi Air Hujan yang Jatuh di Daerah Penelitian ...................... Perbandingan Infiltrasi dan Run-Off …………………………………. Grafik Fluktuasi Debit Sungai Cisadane Tahun 1999 – 2004 …… Grafik Fluktuasi Debit Sungai Cisadane Tahun 1950 – 2000 …… Grafik Varian Debit Sungai Cisadane Tahun 1950 – 2000 .............. Grafik Covarian Debit Sungai Cisadane Tahun 1950 – 2000 ..........
80 82 83 84 85 86 87 87 89 90 97 97
101 101 102 107 108 108 114
Grafik Rata-rata Tahunan debit Sungai Cisadane ......................... Susunan Lapisan Hasil Penafsiran Geolistrik ................................ Perubahan Muka air Tanah Dangkal .............................................. Kondisi Air Tanah DAS Cisadane …………………………………….. Grafik Surplus dan Defisit Air DAS Cisadane ………………………. Grafik Curah Hujan Rata-rata Tahunan Tahun 1994-2000 ……… Grafik Suhu Udara Rata-rata Tahunan Tahun 1994-2000 ……… Grafik Debit Rata-rata Tahunan Sungai Cisadane Tahun 1994-2000 Peta Sebaran Instalasi Pengolahan Air PDAM ................................. Grafik Perkembangan Jumlah Penduduk .......................................... Grafik Perkembangan Kebutuhan Air ................................................ Perkembangan Sumbangan Air Bersih terhadap PDRB …………...
DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN Halaman
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Peta DAS Cisadane. ….………………………………….………… Peta Geologi DAS Cisadane. .….………………………………… Peta Jenis Tanah DAS Cisadane. .….………………………… Peta Penggunaan Lahan DAS Cisadane. .…...........................… Peta Daerah Tangkapan Air DAS Cisadane. .........................… Data Debit Bulanan Sungai Cisadane .............................................. Varian dan Covarian Debit Sungai Cisadane................................... Tabel Hasil Penafsiran Pengukuran Geolistrik .............................. Perbandingan Kebutuhan dan Ketersediaan Air Bersih Tahun 2004 Data Tahun 2003 dan Korelasi antar Variabel ............................... Data Pengambilan Air Bawah Tanah Tahun 2004 ………………… Data Pengambilan Air Permukaan Tahun 2004 ………………….. Data Permohonan Sumur Berdasarkan Ijin ...................................
131 132 133 134 135 136 143 144 149 150 152 153 154
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sejak berdirinya Kota Tangerang pada tahun 1993, telah terjadi
berbagai perkembangan baik eksternal maupun internal yang sangat
berpengaruh terhadap dinamika kota. Kota Tangerang sebagai salah satu
kota di wilayah Metropolitan Jabotabek yang menjadi wilayah penyangga
bagi DKI Jakarta, mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang cukup
pesat.
Lokasi Tangerang yang potensial terutama dinilai dari aksesibilitas
dengan pusat kota Jakarta, Bandara Soekarno-Hatta, Pelabuhan Tanjung
Priuk di Jakarta dan Bojonagara di Cilegon, dan kota-kota lainnya di
Jabotabek, Banten dan Jawa Barat, menyebabkan kota ini sangat menarik
bagi perkembangan kegiatan seperti perumahan, industri dan perdagangan.
Keterbatasan lahan di DKI Jakarta untuk kegiatan industri dan perumahan
mengakibatkan adanya pergeseran kegiatan ke wilayah penyangga
termasuk kota Tangerang. Sejalan dengan perkembangan kedua kegiatan
tersebut berkembang pula kegiatan perdagangan dan pergudangan di
sepanjang koridor jalan utama yang menghubungkan simpul-simpul utama
tranportasi nasional dan internasional dengan DKI Jakarta. Perkembangan
kegiatan-kegiatan tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan
penggunaan lahan yang kemudian menimbulkan beberapa masalah bagi
Kota Tangerang.
Proses perubahan penggunaan lahan terjadi seiring pertumbuhan
ekonomi yang memberi dampak terhadap pendapatan dalam masyarakat.
Perubahan diharapkan mampu memperluas kesempatan kerja sehingga
memungkinkan terjadinya proses tranformasi pekerja dari sektor pertanian ke
non pertanian. Terjadinya perubahan kegiatan akan memberi tekanan
kepada permintaan lahan diluar sektor pertanian. Dari tahun 1994 sampai
dengan tahun 2003 perubahan lahan dari ruang terbuka hijau menjadi areal
terbangun mencapai 23,6% atau arata-rata 2,36% pertahun. Hal yang
mendasari perubahan penggunaan lahan adalah perkembangan jumlah
penduduk dan perkembangan kegiatan ekonomi. Laju pertumbuhan
penduduk dari tahun 1991 - 2003 mencapai 5,75% dan pertumbuhan
ekonomi dilihat berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan tahun 1993
Pola Perubahan penggunaan lahan yang terjad i cenderung mengikuti
teori ekonomi, yaitu dari lahan yang mempunyai land rent rendah menuju
lahan yang mempunyai land rent tinggi yaitu dari lahan pertanian menjadi
perumahan, industri atau perdagangan atau dari lahan permukiman menjadi
perdagangan atau jasa
Perubahan lahan membawa dampak kepada perubahan sumberdaya
air terutama air tanah, air tanah merupakan penunjang utama disamping air
permukaan dalam rangka memenuhi kebutuhan air bersih bagi penduduk
Kota Tangerang sejak puluhan tahun lalu. Meningkatnya taraf kesejahteraan
penduduk seiring pula dengan meningkatnya penggunaan sumberdaya alam,
sebagaimana halnya dengan sumberdaya air. Pertambahan laju
pertumbuhan penduduk dan laju pembangunan yang sangat pesat
khususnya sektor industri dan perumahan/permukiman, maka masalah
penyediaan air bersih akan menjadi sangat besar peranannya.
Kebutuhan air bersih yang sangat tinggi bagi penduduk Kota
Tangerang yang saat ini berjumlah sekitar 1,52 juta jiwa yang tersebar pada
wilayah seluas 18.378 Ha membutuhkan air bersih sebesar 69.261.168 m3
(standar WHO kebutuhan air bersih 125 l/orang/hari).
Perubahan penggunaan lahan selain berpengaruh terhadap air tanah
juga juga berpengaruh pada air permukaan, aliran air permukaan menjadi
tidak terkendali perbedaan aliran air permukaan (surface run off) menjadi
sangat jauh antara musim hujan dan musim kemarau, dimana pada musim
hujan aliran air permukan yang tinggi melebihi kapasitas badan penampung
air sehingga air meluap dan menimbulkan banjir, sedangkan pada musim
kemarau air permukaan menunjukan ketinggian yang sangat rendah bahkan
pada daerah pertanian tidak bisa memberi kontribusi kepada lahan pertanian
yang memerlukan air.
Proses perubahan penggunaan lahan tersebut harus dilakukan, apabila
diinginkan pertumbuhan ekonomi yang memberi dampak terhadap
pendapatan dalam masyarakat. Perubahan diharapkan mampu memperluas
kesempatan kerja sehingga memungkinkan terjadinya proses tranformasi
pekerja dari sektor pertanian ke non pertanian.
Terjadinya perubahan kegiatan akan memberi tekanan kepada permintaan
lahan diluar sektor pertanian, khususnya lahan-lahan pertanian yang
berdekatan dengan kawasan perkotaan
Perubahan penggunaan lahan akan membawa dampak kepada
perubahan sumberdaya air terutama air tanah, air tanah merupakan
penunjang utama disamping air permukaan dalam rangka memenuhi
kebutuhan air bersih bagi penduduk Kota Tangerang sejak puluhan tahun
lalu. Meningkatnya taraf kesejahteraan penduduk seiring pula dengan
meningkatnya penggunaan sumberdaya alam, sebagaimana halnya dengan
sumberdaya air. Pertambahan laju pertumbuhan penduduk dan laju
pembangunan yang sangat pesat khususnya sektor industri dan
perumahan/permukiman, maka masalah penyediaan air bersih akan menjadi
sangat besar peranannya.
Perkembangan Kota Tangerang yang semakin maju, baik ditinjau dari
segi fisik, social, ekonomi maupun segi-segi lainnya dapat mengakibatkan
kebutuhan akan air bersih semakin meningkat pesat. Dilain pihak,
pertambahan produksi air bersih oleh PDAM masih sangat terbatas dan
belum dapat memenuhi keperluan akan air bersih, sehingga pengeboran air
tanah di seluruh kawasan Kota Tangerang menjadi semakin banyak dan tak
terkendalikan.
Pesatnya laju penyedotan/penggunaan air tanah yang tidak terkendali
tersebut, akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan daur
geohidrologi bagi Kota Tangerang. Penurunan muka air tanah, dan
penyusupan (intrusi) air laut, serta kemungkinan penurunan permukaan
tanah atau amblesan (land subsidence) dapat terjadi dibeberapa bagian
wilayah Kota Tangerang terutama di daerah dengan tingkat kerapatan jumlah
sumur bor yang sangat tinggi. Penurunan muka air tanah (water table)
diperkirakan akan terus berlangsung sebagai bukti bahwa debit/luah
pengambilan melebihi kecepatan pengisian kembali pada system akifernya
yang berasal dari peresapan air hujan.
Perubahan penggunaan lahan selain berpengaruh terhadap air tanah juga
juga berpengaruh pada air permukaan, aliran air permukaan menjadi tidak
terkendali perbedaan aliran air permukaan (surface run off) menjadi sangat
jauh antara musim hujan dan musim kemarau, dimana pada musim hujan
aliran air permukan yang tinggi melebihi kapasitas badan penampung air
sehingga air meluap dan menimbulkan banjir, sedangkan pada musim
kemarau air permukaan menunjukan ketinggian yang sangat rendah bahkan
pada daerah pertanian tidak bias memberi kontribusi kepada lahan pertanian
yang memerlukan air.
Sumberdaya air merupakan suatu siklus, dimana hujan (Precipitation = P)
turun kebumi mengalir dipermukaan (Run-off = RO) sebagian meresap
(Infiltration = F) serta ada yang menguap (Evapotranpirasi = ET) yang
selanjutnya menjadi uap air yang naik kembali keatas dan bila bertemu
dengan inti kondensat akan berubah lagi menjadi hujan dan begitu
seterusnya (Gambar 1). Seperti diketahui bahwa dalam Ilmu hidrologi
dikenal adanya hukum “water balance” yang menerangkan siklus diatas,
yang dapat ditulis dengan rumus dibawah ini (Rumus 1).
P = RO + ET + F …………………………………………. ( 1 )
dimana : P : Curah Hujan/Presipitasi (Presipitation) RO : Air Limpasan Permukaan (Run-Off) ET : Evapotranspirasi (Evapotranspiration) F : Infiltrasi (Infiltration)
Sumber air utama berasal dari air permukaan (non artesis : sungai, danau)
dan air bawah permukaan (artesis : air tanah dangkal dan dalam). Banyak
dampak telah terjadi akibat pemakaian air bawah permukaan yang tidak
sesuai dengan kemampuan akuifer seperti penurunan tanah ( land
subsidence), akuifer menjadi dalam, tekanan air tanah berkurang sehingga
(A)
(B) Sumber : Seyhan diterjemahkan olehSubagyo, 1990
Keterangan : (A) : Tampak Atas (B) : Tampak Samping
Gambar 1. Siklus Hidrologi
Presipitation
EVPT
RO INF
EVPT
PRECIPITATION
RO INF
intrusi air laut semakin jauh kedaratan. Hal ini terjadi karena pengelolaan air
tanah maupun air permukaan tidak dilakukan dengan baik. Pertumbuhan
penduduk yang pesat disertai perkembangan kegiatan perkotaan yang
menyebabkan meningkatnya kebutuhan air tanah, sehingga terjadi
eksploitasi air tanah secara besar-besaran. Pada kondisi pemompaan air
tanah yang berlebihan (over pumping) akan terjadi penurunan muka air
tanah yang besar, pada kondisi ini pula akan menyebabkan kekeringan
bahkan kematian pada tanaman (Gambar 2).
Sumber : PT. Tatanusa Teknoyasa, Propsal Penelitian Hidrogeologi, 2004
Atas : Kondisi Normal Bawah : Over pumping
Gambar 2. Efek Negatif Pengaturan SumberDaya Air Tanah Yang Tidak Baik
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi karakteristik Kota Tangerang terkait dengan perubahan
lahan dan ketersediaan sumberdaya air
2. Menganalisis perubahan penggunaan lahan khususnya terhadap pola
dan determinan perubahan tersebut.
3. Menganalisis perubahan ketersediaan sumberdaya air
4. Menganalisis kaitan antara perubahan penggunaan lahan dan
ketersediaan sumberdaya air.
5. Menganalisis dan merumuskan konsekwensi/implikasi strategis dari
perubahan penggunaan lahan dan ketersediaan sumberdaya air dan
kaitan antar keduanya.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengambil kebijakan
dalam hal ini Pemerintah Kota Tangerang didalam pengendalian
penggunaan lahan dan pengambilan air bawah tanah agar keseimbangan air
(water balance) dapat dipertahankan.
Atas dasar penelitian ini, maka akan dicoba untuk memberikan beberapa
rekomendasi penanganan pengelolaan sumberdaya air, khususnya air tanah,
agar tidak terjadi gangguan keseimbangan lingkungan yang lebih parah,
sebagai akibat ketidak seimbangan antara produksi (eksploitasi) air dan air
tanah yang masuk kedalam akifer (infiltrasi).
TINJAUAN PUSTAKA
Tata Guna Lahan
Lahan (land) adalah suatu daerah di permukaan bumi dengan sifat-sifat
tertentu, yaitu dalam hal sifat-sifat atmosfer, geologi, geomorfologi, tanah,
hidrologi, vegetasi, dan penggunaan lahan. Sumberdaya lahan (land
resources) adalah kondisi dari sumberdaya lahan yang dapat dieksploitasi
manusia. Sementara yang dimaksud dengan tanah (soil) adalah bahan
mineral cerai berai pada permukaan bumi yang berfungsi sebagai medium
tumbuh bagi tanaman atau tumbuhan (Soepardi, 1977). Lahan merupakan
komoditi ekonomi yang nilainya terus meningkat karena sifat
keterbatasannya, apalagi dilihat dari berbagai sudut pandang lahan
mempunyai banyak nilai tambah. la mempunyai nilai keindahan, nilai politik,
nilai fisik, nilai sosial, nilai spiritual dan sebagainya. Nilai -nilai ini, dimiliki oleh
sumberdaya lahan apabila ia mempunyai manfaat/potensi untuk
menghasilkan pendapatan dan kepuasan sementara jumlah yang ditawarkan
lebih sedikit daripada pemintaannya serta ia mudah untuk dialihkan
penguasaannya (Cahyono, 1982).
Teori Lokasi
Teori Lokasi Von Thunen, Burges dan Homer Hoyt
Teori Von Thunen dikenal sejak abad 19, Teori ini merupakan model guna lahan sederhana, didasarkan pada satu titik permintaan dalam lingkungan ekonomi pedesaan yang mempunyai struktur pasar sempurna baik pasar output maupun pasar input. Selain itu diasumsikan bahwa seluruh wilayah dapat dijangkau tertapi terisolasi, sehingga tidak ada ekspor impor. Berasumsi tersebut maka lahan akan mengikuti pola kawasan komoditi berbentuk lingkaran (Gambar 3) dengan kota sebagai pusatnya sekaligus sebagai tempat permukiman kemudian areal sawah, tegalan, hingga kebun. Bentuk lingkaran tidak mesti simetris, tetapi tergantung akses yang ada. Misalnya melonjong, mengikuti akse s jalan atau sungai.
Sumber: Adisasmita, 1983 (teori-teori lokasi dan pengembangan wilayah)
Gambar 3 : Model Tata Guna Lahan menurut Von Thunen
Analisis serupa Von Tunen yang digunakan di kawasan perkotaan,
dilakukan oleh Burges (Barlowe, 1978). Burges menganalogikan pusat
pasar dengan pusat kota (Central Business District atau CBD). CBD
merupakan tempat yang lebih banyak digunakan untuk gedung kantor, pusat
pertokoan, Bank dan perhotelan. Berbeda dengan Von Thunen yang
menggambarkan pola kawasan untuk berbagai komoditi, bagi Burges pola
O
A
A
L K
D
C
B
D’
M
A’ B’ C’
Xi
Xm
Xj
Xn
Land rent
Pusat Kota
Jarak dari Pusat Kota
Keterangan : Xi : Pusat Kota (Permukman) Xj : Areal sawah Xm : Tegalan Xn : Kebun K : Zona Permukman L : Zona Persawahan M : Zona Tegalan A,B,C,D : Nilai Land rent A’,B’,C’D’ jarak dari Pusat Kota
tersebut untuk berbagai kegiatan ekonomi. Asumsi yang dipakai sama,
semakin jauh dengan kawasan CBD, nilai land rent ekonomi kawasan
tersebut semakin kecil, tetapi Burges menekankan pada faktor karak
komutasi ke tempat kerja dan tempat belanja merupakan faktor utama
dalam tata guna lahan di perkotaan. Jadi Burges memusatkan pada tempat
orang bermikim relatip terhadap tempat bekerja dan belanja. Dalam area
konsentrasi Burges, pusat area merupakan CBD, dikelilingi kawasan
industri, kemudian kawasan transisi termasuk didalamnya kawasan kumuh,
tempat bisnis dan pertokoan yang mapan, kemudian kawasan perumahan
kelas rendah. Lingkaran selanjutnya, perumahan menengah dan kelas atas.
Terakhir kawasan pinggiran tempat penglaju (komuter).Untuk lebih jelasnya
lihat Gambar 4.
Sumber: Adisasmita, 1983 (teori-teori lokasi dan pengembangan wilayah)
Gambar 4 : Model Tata guna Lahan menurut Burges
Hoyt (Barlow, 1978) mengemukakan gagasan pengganti konsentrasi
kawasan berdasarkan kedudukan relative tempat kerja dan belanja terhadap
CBD
Industri
Transisi
Perumahan kelas rendah
Perumahan menengah & atas
Komuter
tempat permukiman. Pendekatan sektor menggambarkan jaringan
transportasi yang dianggap homogen oleh Burges, diaplikasikan sesuai
dengan keadaan jalan seperti kondisi jalan di amerika serikat pada waktu
itu. Hasil analisis Hoyt adalah system jaringan transportasi seperti keadaan
sebenarnya, Hoyt menyimpulkan bahwa jaringan transportasi tersebut
mampu memberikan jangkauan yang lebih tinggi dan ongkos yang lebih
murah terhadap kawasan lahan tertentu. Kalau digambarkan dalam bentuk
lingkaran kawasan, hampir sama dengan bentuk Burges. Bedanya model
Hoyt lebih menekankan pada peran jaringan transportasi terhadap suatu
lahan. Faktor jaringan transportasi yang baik akan membuat kawasan
perumahan kelas atas bersambung dengan kawasan CBD. Sedang lahan
yang aksesnya kurang baik, akan dihuni oleh kelompok bawah yang
letaknya di luar lingkaran kawasan grosir dan industri (lihat Gambar 5).
Keterangan Gambar :
1. Daerah Pusat Kegiatan (CBD)
2. Zona Industri
3. Zona Permukiman Kelas Rendah
4. Zona Permukiman Kelas Menengah
5. Zona Permukiman Kelas Tinggi
Sumber: Adisasmita, 1983 (teori -teori lokasi dan pengembangan wilayah)
Gambar 5 : Model Teori Sektor menurut Hoyt
Teori lain yang dapat menjelaskan mengenai penggunaan lahan kota.
adalah teori pusat lipat ganda (Multi Nuclei Theori) yang dikemukakan oleh
Harris dan Ulman (Daldjoeni, 1992). Menurut teori ini suatu kota terdiri dari
beberapa pusat inti perkembangan dan bukan hanya satu seperti halnya
menurul teori Burgess maupun Hoyt. Seliap pusat inti cendrung diwarnai
oleh satu jenis kegiatan seperti pemerintahan, rekreasi, pendidikan,
perdagangan dan lain-lain. Beberapa pusat/inti mungkin sudah berkembang
sejak awal berdirinya kota dan yang lainnya akan muncul dan berkembang
kemudian, yang dapat dilihat pada gambar teori pusat lipat ganda berikut ini.
(Sumber: Daldjoeni, 1992)
Keterangan :
(1) Pusat kota
(2) Kawasan niaga
(3) Kawasan tempat tinggal berkualitas rendah
(4) Kawasan bertempat tinggal berkualitas menengah
(5) Kawasan tempat tinggal berkualitas tinggi
(6) Pusat industri berat
(7) Pusat niaga/perbelanjaan lain dipinggiran
(8) Kawasan madyawisma dan adiwisma (9) Kawasan industri
Gambar 6. Pola Penggunaan Lahan Kota Konsep Teori Pusat Lipat Ganda
Bila dilihat dari segi perkembangan kota, sebenamya ada tiga faktor utama yang
sangat menentukan perkembangan dan pertumbuhan kota yaitu manusia, kegiatan
manusia dan pola pergerakan antar pusat kegiatan manusia yang satu dengan pusat
kegiatan manusia lainya. Menurut Sujarto (1989) ketiga faktor tersebut akan
termanifestasikan pada perubahan akan tuntutan kebutuhan lahan. Faktor manusia
yang berpengaruh terhadap perubahan tersebut menyangkut perkembangan tenaga
kerja, status sosial serta perkembangan kemampuan dan teknologi. Faktor
kegiatan manusia meliputi kegiatan kerja, kegiatan fungsional, kegiatan
perekonomian kota dan kegiatan hubungan regional yang lebih luas, faktor pola
pergerakan adalah akibat dari perkembangan yang disebabkan oleh kedua faktor
perkembangan penduduk disertai dengan perkembangan fungsi kegiatannya akan
memacu pola hubungan antara pusat-pusat kegiatan tersebut.
Teori Alfred Weber
Teori Weber (Barlow, 1978; Glason, 1977) biasa disebut teori biaya terkecil.
Dalam teori tersebut Weber mengasumsikan : (1) Bahwa daerah yang
menjadi obyek penelitian adalah daerah yang terisolasi. Konsumennya
terpusat pada pusat-pusat kegiatan. Semua unit perusahaan dapat
memasuki pasar yang tidak terbatas dan persaingan sempurna. (2) Semua
sumberdaya alam tersedia secara tak terbatas. (3) Barang-barang lainnya
seperti minyak bumi dan mineral adalah sporadic tersedia secara terbatas
pada sejumlah tempat. (4) Tenaga kerja tidak tersedia secara luas, ada yang
menetap tetapi ada juga yang mobilitasnya tinggi.
Menurut Weber ada tiga faktor yang mempengaruhi lokasi industri
yang biaya transportasi, biaya tenaga kerja dan kekuatan aglomerasi. Biaya
transportasi diasumsikan berbanding lurus terhadap jarak yang ditempuh dan
berat barang sehingga titik lokasi yang membuat biaya terkecil adalah bobot
total pergerakan pengumpulan berbagai input dan pendistribusian yang
minimum. Dipandang dari segi tata guna lahan model Weber berguna untuk
merencanakan lokasi industri dalam rangka mensuplai pasar wilayah, pasar
nasional, atau pasar global. Dalam model ini fungsi tujuan biasanya
meminimkan ongkos transportasi sebagai fungsi dari jarak dan berat barang
yang harus diangkut (input dan output). Kritikan atas model ini terutama pada
asumsi biaya transportasi dan biaya produksi yang bersifat konstan, tidak
memperhatikan faktor kelembagaan dan terlalu menekankan pada sisi input.
Teori Land Rent
Land Rent Lokasi dan sektor Ekonomi
Barlow (1978) menggambarkan hubungan antara nilai land rent dan alokasi
sumberdaya lahan diantara berbagai kompetisi penggunaan kegiatan. Sektor -sektor
yang komersial dan strategis mempunyai land rent yang tinggi sehingga sektor sektor
tersebut berada di kawasan strategis. Sebaliknya sektor -sektor yang kurang
mempunyai nilai komersial nilai land rentnya semakin kecil. Land rent disini
diartikan sebagai locational rent. Kalau digambarkan secara grafis, sektor-sektor
yang strategis fungsinya lebih curam. Sebaliknya sektor yang kurang strategis
fungsinya lebih mendatar, seperti tampak dalam Gambar 7.
Sumber : Saefulhakim
Gambar 7. Hubungan antara land rent lokasi pada berbagai sektor ekonomi.
Gambar 5 menjelaskan hubungan antara land rent dengan lokasi
kegiatan ekonomi. Sebagai contoh sektor A paling komersial maka kurvanya
lebih curam, sehingga land rent lebih tinggi yaitu OE. Dalam gambar, lokasi
OP* paling cocok untuk sektor A, sedang daerah lokasi P*P1 bisa saling
bersubstitusi dengan sektor B yang relative kurang komersial dibandingkan
A
B
C
D
Jarak dari Lokasi Pusat(d)
Land Rent (R)
Lokasi Pusat
Land use
Land use B
Land use C Land use D Natural Land Cover
O
E
P*
P1
sektor A itu sendiri. Diluar OP1 tidak cocok untuk sektor A, sebagai contoh
sektor perbankan jelas tidak layak ditempatkan dikawasan yang sepi tetapi
lebih cocok di kawasan komersial dilain pihak didaerah OP* bagi sektor lain
selain sektor A jelas kurang optimal penggunaannya ditinjau dari segi lokasi.
Ilustrasi di atas bias digambarkan dalam betuk model tata guna lahan
lingkaran konsentris (Anwar, 1993) dimana persaingan antara berbagai
kegiatan akan menghasilkan suatu pola tata guna lahan yang berbentuk
lingkaran konsentris seperti tampak dalam Gambar 8 berikut :
Sumber : Yunus, Struktur Tata Ruang Kota, 2001
Gambar 8. Model Tata gunalahan Lingkaran Konsentris
Keterangan : 1. kawasan komersial 2. kawasan industri 3. kawasan perumahan 4. kawasan pertanian
Land Rent dan Pasar Lahan
Lahan dalam kegiatan produksi merupakan salah satu faktor produksi tetap.
Untuk melihat nilai Land Rent dalam teori sumber daya lahan disebut rente
(rent). Menurut Barlow (1978), nilai rente sumber daya lahan dibedakan
menjadi tiga jenis, yaitu sewa kontrak (contrac t rent ), sewa lahan (land rent)
dan nilai rente ekonomi dari lahan (economic rent). Economic rent atau rente
ekonomi didefinisikan sebagai surplus ekonomi merupakan kelebihan nilai
produksi total di atas biaya total (Barlow, 1978; Suparmoko, 1989) Economic
rent diartikan pula sebagai surplus pendapatan di atas harga suplai terkecil
yang terjadi akibat adanya faktor produksi (Robinson, 1933; Boulding, 1966).
Sedang menurut Nasution (1990), land rent merupakan pendapatan bersih
yang diperoleh suatu pelaku ekonomi melalui kegiatan yang dilakukan pada
suatu unti ruang dengan tingkat teknologi dan efisiensi manajemen tertentu
dan dalam suatu kurun waktu tertentu secara formal.
Saefulhakim (2003) mendefinisikan Land Rent sebagai nilai ekonomi bersih yang diberikan oleh suatu jenis penggunaan lahan (Land Use) tertentu, pada suatu bidang lahan dengan luasan tertentu, dalam periode waktu tertentu. Secara matematis, rumusan sederhana (dengan pendekatan constant return to scale baik dari sisi input maupun output), definisi land rent ini dapat ditulis sebagai berikut:
ijij
ijijijijij tA
XcQpr
∆−
= (2)
atau
∆=
∆=
−=
ijij
ijij
ijij
ijij
ijijijijij
tA
Xx
tA
xcqpr
dan
:mana di (3)
Notasi dalam rumus Persamaan (2) dan (3) di atas dapat dideskripsikan sebagai berikut:
rij : nilai land rent yang diberikan bila sebidang lahan berlokasi di i dikembangkan dengan jenis penggunaan lahan j; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.ha-1.tahun-1
pij : harga pasar (dengan patokan harga setempat: farm-gate price) per unit kuantitas output komoditas barang/jasa yang dihasilkan da ri jenis penggunaan lahan j pada sebidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.ton -1
Qij : total kuantitas output komoditas barang/jasa yang dihasilkan dari jenis penggunaan lahan j pada sebidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam ton
cij : harga pasar (dengan patokan harga setempat: farm-gate price) per unit kuantitas input yang diperlukan oleh jenis penggunaan lahan j yang dikembangkan pada sebidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.kg-1
Xij : total kuantitas input yang diperlukan oleh jenis penggunaan lahan j yang dikembangkan pada sebidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam kg
Aij : luas areal bidang lahan di lokasi i yang dikembangkan dengan jenis penggunaan lahan j; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam ha
∆tij : periode waktu yang dibutuhkan oleh jenis penggunaan lahan j di lokasi i untuk menghasilkan output komoditas barang/jasa seperti yang dimaksud di atas; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam tahun
qij : rataan produktifitas (yield) komoditas barang/jasa output dari jenis penggunaan lahan j pada bidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan ton.ha-1.tahun-1
xij : rataan penggunaan input oleh jenis penggunaan lahan j pada bidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan kg.ha-1.tahun-1
Dengan menggunakan asumsi: (1) patokan harga di lokasi pasar, (2)
pasar output maupun pasar input berada pada lokasi yang sama, (3) antara
lokasi pasar dan lokasi lahan i dengan penggunaan lahan j terpisah sejauh
jarak di j, maka dengan menggunakan pendekatan bahwa biaya satuan
transportasi komoditas output maupun input proporsional terhadap jarak,
rumusan land rent di atas dapat dimodifikasi menjadi sebagai berikut:
( ) ( ) ijijjjijijjjij xdcqdtpr ⋅⋅+−⋅⋅−= τ (4)
di mana:
pj : harga satuan kuantitas output komoditas barang/jasa yang dihasilkan dari jenis penggunaan lahan j di lokasi pasar; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.ton-1
cj : harga satuan kuantitas input untuk jenis penggunaan lahan j, di lokasi pasar; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.kg-1
dij : jarak antara lokasi pasar dan lokasi sebidang lahan i dengan jenis penggunaan lahan j; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam km
tj : biaya satuan transportasi komoditas output penggunaan lahan j; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.ton -1.km-1
τj : biaya satuan transportasi komoditas input penggunaan lahan j; satuan pengukurannya misa lnya dinyatakan dalam Rp.kg-1.km-1
( ) ( ) ijijjjijijjjij xdcqdtpr ⋅⋅+−⋅⋅−= τ
Karena 0≥jp , 0≥jt , 0≥jc , 0≥jτ , 0≥ijd , 0≥ijq , dan 0≥ijx , maka:
0≥=∂∂
ijj
ijq
p
r
Land Rent meningkat dengan adanya kenaikan harga pasar output (komoditas output menjadi langka di pasar).
0≤⋅−=∂
∂ijij
j
ij qdt
r
Land Rent menurun dengan adanya peningkatan tarif angkutan komoditas output (aksesibilitas transportasi output memburuk).
0≤−=∂
∂ij
j
ij xc
r
Land Rent menurun dengan adanya peningkatan biaya produksi.
0≤⋅−=∂∂
ijijj
ijxd
r
τ
Land rent menurun dengan adanya peningkatan biaya transport input.
( ) 0≤+−=∂
∂ijjijj
ij
ij xqtd
rτ
Land Rent menurun dengan semakin jauhnya jarak lokasi lahan dari pusat pasar.
0≥⋅−=∂
∂ijjj
ij
ij dtpq
r
Land Rent meningkat dengan semakin tingginya produktifitas komoditas output.
( ) 0≤⋅+−=∂
∂ijjj
ij
ij dcx
rτ
Land Rent menurun dengan semakin besarnya kebutuhan input produksi (inefisiensi meningkat).
Kota sebagai Pusat Pertumbuhan dan Konversi Lahan
Kota timbul dan berkembang melalui suatu proses yang oleh Hoteling
disebut proses aglomerasi. Mengumpulnya usaha-usaha sejenis
menimbulkan penghematan-penghematan intern dan ekstern yang
disebabkan terjadinya keuntungan akibat pertukaran, tersedianya berbagai
pasar termasuk pasar capital, tenaga kerja dan sebagainya. Pusat-pusat
kawasan tersebut merupakan sumber pertumbuhan bahkan merupakan
prasarat bagi suatu transisi perekonomian di kawasan pedesaan (rural) yang
umumnya didomonasi sektor pertanian kepada suatu perekonomian yang
maju, dimana terdapat produktifitas yang tinggi dan aktifitas-aktifitas yang
luas.
Aspek kosmopolitikan kota merupakan tempat strategis berbagai
inovasi, input-input vital bahkan merupakan tempat perubahan. Kota
merupakan media penghubung (transmitter) masuknya pemikiran-pemikiran
maupun tindakan yang berasal dari luar.
Sistem transportasi yang dibangun untuk menghubungkan kawasan
kota dengan hinterland merupakan faktor pendorong berkembangnya kedua
kawasan. Melalui proses waktu semakin berkembangnya kota induk akan
mengembangkan kawasan penyangga menjadi kota-kota kecil. Lewat suatu
proses aglo-merasi ganda maka antara kota kota induk dan kota-kota kecil
tersebut bisa saling menyatu. Hal ini menurut Anwar (1994) terjadi karena
faktor transportasi “ketidakmampuan” kota induk memenuhi tuntutan
kebutuhan warganya, terutama dalam menyediakan lahan untuk pemukiman
tempat tinggal dan tempat mereka bekerja. Sehingga kawasan penyangga
menjadi penting baik oleh kemungkinan ketersediaab lahan lingkungan lebih
segar dan lahan-lahan dikota induk menjadi langka, sulit dispst dan mahal
harganya.
Terjadinya aglomerasi ganda serta bergabungnya dua kota yang
didorong oleh perbaikan system transportasi mendodorng terjadinya tata
guna lahan terutama perubahan tersebut menyangkut pengalihan lahan-
lahan pertnian ke penggunaan non pertanian di pinggiran wilayah urban atau
didekat akses transportasi tersebut. Proses terbentuknya kota inti secara
berganda tersebut bisa terjadi untuk ukuran kota yang besar seperti
JABOTABEK, hingga kota-kota kecil dengan kawasan penyangga
disekitarnya. Proses tersebut sangat penting pengaruhnya terhadap pola
perubahan tata guna lahan termasuk perubahan lahan pertanian menjadi
non pertanian. Proses terbentuknya kota ini digambarkan dalam Gambar 9
berikut ;
Sumber: Adisasmita, 1983 (teori-teori lokasi dan pengembangan wilayah)
Gambar 9 : Pembentukan Kota Inti secara Berganda
Proses aglomerasi kota mendorong terjadinya suatu proses yang disebut
spread effect dan back wash effect. Spread effect menunjuk pada dampak
momentum pembangunan yang merugikan secara sentrifugal dari pusat
pengembangan ekonomi ke wilayah-wilayah lainnya. Dorongan tesebut
berbentuk pertambahan permintaan dari daerah yang kaya terhadap
produksi barang dan jasa seperti hasil pertanian , industri rumah tangga dan
sebagainya dari kawasan hinterland tersebut. Sebaliknya melalui proses
1 2
3
4
Jarak dari pusat Jarak dari pusat
Land Rent
Lokasi Pusat
Keterangan : 1. Kawasan Komersial/Finansial 2. Kawasan Industri 3. Kawasan Perumahan 4. Kawasan Pertanian
back wash effect justru terjadi proses penyedotan berbagai faktor input
seperti tenaga kerja potensial, faktor capital bahkan sumberdaya potensial
lain.
Myrdal berkeyakinan bahwa kawasan maju akan mengalami proses
external diseconomics, karena terjadi misorgianisasi, kemacetan lalulintas,
kerusakan lingkungan bahkan kriminalitas semakin meningkat karena
tekanan penduduk yang tinggi. Akibatnya pemukiman-pemukiman golongan
mapan keatas maupun perusahaan membutuhkan kawasan baru yang akan
menjadi kawasan pertumbuhan baru pula.
Seluruh rangkaian proses ini memungkinkan terjadinya relokasi lahan
termasuk lahan sawah khususnya disekitar kawasan pertumbuhan. Karena
lahan-lahan seperti lahan sawah yang land rent persatuan luasnya lebih
rendah, dialokasikan ke sektor lain yang nilai land rent per satuan luasnya
lebih tinggi. Tekanan yang semalin besar terhadap lahan khususnya lahan
pertanian di sekitar kawasan pertumbuhan walaupun merupakan proses
yang wajar tetapi tanpa ada aturan yang jelas tentang siapa memperoleh
siapa dan untuk apa jelas akan besar biaya sosialnya..
Sumberdaya Air
Persediaan air hampir seluruhnya didapatkan dalam bentuk hujan sebagai
hasil dari penguapan air laut. Proses-proses yang tercakup dalam peralihan
uap dari laut ke daratan dan kembali ke laut lagi membentuk apa yang
disebut daur hidrologi.
Daur Hidrologi
Tahap pertama dari daur hidrologi adalah penguapan air dari laut. Uap ini
dibawa di atas daratan oleh massa udara yang bergerak. Bila didinginkan
hingga titik embunnya, maka uap tersebut akan membentuk awan. Dalam
kondisi meteorologis yang sesuai, butiran-butiran air kecil itu akan
berkembang menjadi besar untuk dapat jatuh ke permukaan bumi sebagai
hujan.
Pendinginan massa udara yang besar terjadi karena pengangkatan (lifting).
Berkurangnya tekanan yang diakibatkan akan disertai dengan turunnya
suhu, sesuai dengan hukum tentang gas. Pengangkatan orografis akan
terjadi bila udara dipaksa naik di atas suatu hambatan yang berupa gunung.
Oleh sebab itu, maka lereng gunung yang berada pada arah angin biasanya
menjadi daerah yang berhujan lebat. Udara mungkin pula naik di atas udara
yang lebih dingin. Perbatasan antara massa-massa udara ini disebut
permukaan frontal. Dan proses pengangkatannya disebut pengangkatan
frontal. Akhirnya udara yang dipanaskan dari bawah mungkin naik keatas
dengan berputar menembus udara yang lebih dingin (pengangkatan
pusaran/konvektif) yang menjadi sebab adanya badai pusaran setempat
yang biasa terjadi pada musim panas.
Sekitar 2/3 (dua pertiga) dari presipitasi yang mencapai permukaan
tanah dikembalikan lagi ke udara melalui penguapan dari permukaan air,
tanah dan tumbuh-tumbuhan serta melalui transpirasi oleh tanaman. Sisa
presipitasikembali ke laut melalui saluran -saluran di atas atau di bawah
tanah. Prosentase yang besar dari presipitasi yang menguap sering
menimbulkan bahwa penambahanpenguapan dengan pembangunan waduk
atau penambahan pohon-pohon akan meningkatkan jumlah embun di udara
yang bisa diperoleh untuk presipitasi. Hanya sebagian kecil dari embun yang
melalui suatu titik tertentu dipermukaan bumi yang jatuh sebagai presipitasi.
Oleh karenanya air yang diuapkan dari permukaan tanah hanyalah
merupakan bagian kecil dari keseluruhan air di atmosfir. Daur hidrologi
dilukiskan dalam bentuk bagan pada Gambar 1.
Presipitasi
Definisi presipitasi adalah curahan atau jatuhnya air dari atmosfet ke
permukaan bumi dan laut dalam bentuk yang berbeda, yaitu curah hujan di
derah tropis dan curah hujan serta salju di daerah beriklim sedang (Asdak,
1995). Menurut Linsley dan Franzini, 1979 presipitasi meliputi semua air
yang jatuh dari atmosfir ke permukaan bumi. Presipitasi terjadi dalam
berbagai bentuk yaitu presipitasi cair (curah hujan) dan presipitasi beku
(salju, batu es). Curah hujan yang mengalir segera ke sungai setelah
mencapai tanah, dan menjadi sebab dari sebagian besar banjir. Selain
curah hujan ada tetesan kabut dan embun yang jatuh ke tanah namun
jumlahnya sangat kecil sehingga tidak diperhitungkan.
Tipe Presipitasi
Tipe presipitasi ditentukan atas dasar dua sudut pandang yang berlainan,
yaitu atas dasar genesa (asal mulanya) maupun atas dasar bentuk
presipitasi (Linsley dan Franzini, 1979 dan Seyhan, 1977).
Klasifikasi genetic
Klasifikasi ini didasarkan atas timbulnya presipitasi, faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya presipitasi yaitu : suhu udara yang lembab, inti
kondensasi (partikel debu, kristal garam, dan lain -lain) dan sarana untuk
menaikan udara yang lembab, sehingga kondensasi dapat berlangsung
sebagai akibat udara yang mendinginkan. Presipitasi berdasarkan klasifikasi
ini dibedakan dalam 3 jenis, yaitu pendinginan siklonik, orografik dan
konvektif.
Klasifikasi bentuk
Presipitasi jenis ini dapat dibedakan dalam dua jenis yait vertikal dan
horizontal.
Presipitasi vertikal terdiri dari :
1. Hujan : Air yang jatuh dalam bentuk tetesan yang dikondensasikan
dari uap air di atmosfir
2. Hujan gerimis : Hujan dengan tetesan yang sangat kecil
3. Salju : Kristal -kristal kecil air yang membeku yang secara langsung
dibentuk uap air di udara bila suhunya pada saat kondensasi kurang
dari 0ºC.
4. Hujan batu es : gumpalan es yang kecil, kebulat bulatan yang
dipresipitasikan selama huja badai
5. Sleet : Campuran hujan dan salju.Hujan ini disebut juga glaze (salju
basah).
Presipitasi Horizontal terdiri dari :
1. Es : Salju yang sanga dipadatkan
2. Kabut : Uap air yang dikondensasikan menjadi partikel-partikel air
halus di dekat permukaan tanah.
3. Embun beku : Bentuk kabut yang membeku diatas permukaan tanah
dan vegetasi.
4. Embun : Air yang diondensasikan sebagai air diatas permukaan tanah
dan vegetasi yang dingin, terutama pada malam hari. Embun ini
menguap pada pagi hari.
5. Kondensasi pada es dalam tanah : Kondensasi juga menghasilkan
presipitasi dari udara basah hangat yang mengalir diatas lembaran es
dan pada iklim sedang didalam beberapa sentimeter bagian atas
tanah.
Evapotranspirasi
Evapotranspirasi adalah proses kembalinya air hujan yang jatuh
kepermukaan bumi baik dari air hujan yang langsung menguap kembali ke
udara (evaporasi) maupun melalui tanaman yang menyerap ait dari dalam
tanah dan menguapkannya kembali ke udara (transpirasi). Evaporasi yang
terjadi di seluruh permukaan bumi mencapai lebih dari setengahnya dari
curah hujanyang jatuh ke permukaan bumi, bahkan pada daerah yang
gersang evapotranspirasi menghabiskan sebagian besar air yang terdapat
dalam situ/danau (Linsley dan Franzini, 1979).
Faktor yang mempengaruhi evapotranspirasi adalah radiasi matahari,
terbukanya stomata daun dan kelembaban tanah (Asdak, 1995).
Pengaruh radiasi matahari terhadap evapotranspirasi adalah melalui proses
fotosintesis, dimana dalam mengatur hidupnya tanaman memerlukan
sirkulasi air melalui sistem akar-batang-daun. Sirkulasi perjalanan air dari
bawah (akar) ke atas (daun) dipercepat dengan meningkatnya jumlah radiasi
matahari terhadap vegetasi. Pengaruh suhu terhadap evapotranspirasi dapat
dikatakan secara langsung berkaitan dengan intensitas dan lama waktu
radiasi matahari. Namun suhu yang besar pengaruhnya terhadap
evaporanspirasi adalah suhu permukaan daun bukan suhu udara
disekitarnya.
Terbukanya stomata daun juga mempengaruhi besarnya evapotranspirasi,
yaitu pada saat proses tebuka dan tertutupnya stomata, pada waktu stomata
terbuka evapotranspirasi akan berjalan lebih cepat proses lamanya stomata
terbuka dipengaruhi oleh suhu udara sekitarnya, oleh karena itu
evapotranspirasi lebih banyak terjadi pada siang hari.
Kelembaban tanah juga mempunyai peran untuk mempengaruhi terjadinya
evapotranspirasi, dimana evapotranspirasi berlangsung ketika vegetasi yang
bersangkutan sedang tidak kekurangan supali air (Penman, 1956 dalam
Asdak, 1995).
Infiltrasi
Infiltrasi adalah proses aliran air (umumnya berasal dari curah hujan) masuk
ke dalam tanah. Perkolasi merupakan kelanjutan aliran air tersebut ke tanah
yang lebih dalam (Asdak 1995). Dengan kata lain infiltrasi adalah aliran air
yang masuk ke dalam tanah sebagai akibat gaya kapiler (gerakan air ke arah
lateral) dan gravitasi (gerakan air ke arah vertikal). Setelah lapisan tanah
bagian atas jenuh, kelebihan air tersebut mengalir ke tanah yang lebih dalam
sebagai akibat gaya gravitasi bumi dan dikenal sebagai proses perkolasi.
Proses terjadinya infiltrasi
Ketika hujan jatuh di atas permukaan tanah tergantung pada biofisik
permukaan tanah, sebagian atau seluruh air hujan tersebut akan mengalir
masuk ke dalam tanah melalui pori-pori permukaan tanah. Proses
mengalirnya air hujan ke dalam tanah disebabkan oleh tarikan gaya gravitasi
dan gaya kapiler tanah. Laju air infiltrasi yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi
dibatasi oleh besarnya diameter pori-pori tanah. Dibawah pengaruh gravitasi,
air hujan mengalir vertikal ke dalam tanah melalui profil tanah.
Mekanisme infiltrasi melibatkan tiga proses yang tidak saling mempengaruhi
(Asdak, 1995) :
1. Prosesnya masuknya air hujan melalui pori -pori permukaan tanah.
2. Tertampungnya air hujan tersebut di dalam tanah.
3. Proses mengalirnya air tersebut ke tempat lain (bawah, samping dan
atas). Meskipun tidak saling mempengaruhi secara langsung, ketiga
proses tersebut di atas saling terkait.
Faktor-faktor penentu infiltrasi
Proses infiltrasi dipengaruhi beberapa faktor antara lain, tekstur dan
struktur tanah, persediaan air awal (kelembaban awal), kegiatan biologi dan
unsur organik dan tumbuhan bawah atau tajuk penutup tanah lainnya. Tanah
yang remah memberikan kapasitas infiltrasi lebih besar daripada tanah liat.
Tanah dengan pori-pori jenuh air mempunyai kapasitas infiltrasi lebih kecil
dibandingkan dalam keadaan kering. Keadaan tajuk penutup tanah yang
rapat dapat mengurangi jumlah air hujan yang sampai ke permukaan tanah,
dengan demikian mengurangi besarnya air infiltrasi. Sementara sistem
perakaran vegetasi dan seresah yang dihasilkannya dapat membantu
menaikan permeabilitas tanah, dan dengan demikian, meningkatkan laju
infiltrasi. Laju infiltrasi ditentukan oleh :
1. Jumlah air yang tersedia dipermukaan tanah.
2. Sifat permukaan tanah
3. Kemampuan tanah untuk mengosongkan air di atas permukaan tanah.
Air yang diterima pada permukaan bumi akhirnya, jika permukaannya tidak
kedap air, dapat bergerak ke dalam tanah secara gravitasi dan kapiler dalam
suatu aliran yang disebut infiltrasi. Terjadinya infiltrasi karena tanah yang
merupakan permukaan bumi mempunyai rongga-rongga yang
memungkinkan dilalui air dan mempunyai kapasitas untuk menyimpan air
dari presipitasi. Kemampuan tanah untuk menyimpan air disebut lengas
tanah. Neraca sederhana air dalam tanah menurut Ward, 1967 (dalam
Asdak, 1995) adalah sebagai berikut :
ÄS = f + c – d – Ea + Äw …………………………………………………… (5)
Dimana :
ÄS = laju perubahan kandungan lengas tanah
f = laju infiltrasi kedalam mintakat air dalam tanah
c = laju kenaikan kapiler dari mintakat jenuh
d = laju drainase kedalam mintakat penjenuhan
Ea = laju evapotranspirasi aktual
Äw = laju perubahan uap air yang berpindah melalui penampang tanah
terutama karena gradien suhu
Limpasan Permukaan
Limpasan permukaan adalah bagian presipitasi (juga kontribusi-
kontribusi permukaan dan bawah permukaan) yang terdiri ats gerakan
gravitasi air da nampak pada saluran permukaan dari bentuk permanen
maupun terputus-putus yang melintas di atas permukaan tanah menuju
saluran sungai (Seyhan, 1977).
Faktor-faktor yang mempengaruhi limpasan
Faktor-faktor yang mempengaruhi volume total limpasan adalah:
- Faktor iklim yang terdiri dari banyaknya presipitasi dan evapotranspirasi
- Faktor DAS yang meliputi ukuran daerah aliran sungai dan tinggi tempat
rata-rata daerah aliran sungai (pengaruh orografis).
Faktor-faktor yang mempengaruhi agihan waktu limpasan adalah :
- Faktor meteorologis yang terdiri dari : Presipitasi (tipe, intensitas, lama
presipitasi, agihan kawasan, agihan waktu, arah gerakan air hujan,
frekwensi terjadinya, presipitasi yang mendahuluinya), radiasi matahari,
suhu, kelembaban, kecepatan angin, tekanan atmosfer, dll.
- Faktor daerah aliran sungai yang meliputi : Topografi (bentuk daerah
aliran sungai, kemiringan daerah aliran sungai) geologi (permeabilitas
dan kapasitas akifer), tipe tanah, vegetasi dan jaringan drainase (tatanan
sungai dan kerapatan drainase).
- Faktor manusiawi, yang terdiri dari : struktur hidrolik, teknik pertanian dan
urbanisasi.
Keterkaitan Pengunaan Lahan dengan Sumberdaya Air
Jenis penggunaan lahan yang berbeda dalam suatu wilayah mempunyai
perlakuan yang berbeda terhadap sumberdaya air, dimana air hujan yang
jatuh diatas permukaan bumi/tanah, sebagian kembali ke udara melalui
proses evapotranspirasi, sebagian meresap kedalam tanah menjadi aliran air
bawah tanah dn sebagian lagi mengalir dipermukaan untuk masuk kedalam
badan penampung air (sungai, situ dll). Perubahan penggunaan tanah yang
dilihat dari penutup tajuk (land cover) akan mengakibatkan perubahan
terhadap air hujan yang meresap kedalam tanah dan air permukaan, suatu
lahan terbuka yang diguakan untuk pertanian atau ruang terbuka hijau
denganland cover vegetasi akan mengalirkan air hujan yang jatuh ke tanah
sebanyak 20% dan 80% lagi meresap kedalam tanah, ketika lahan tersebut
berubah menjadi perumahan maka aliran air permukaan akan meningkat
menjadi 50% dan 50% lagi meresap kedalam tanah dan ketika lahan terbuka
tersebut berubah menjadi kawasan yang padat industri aliran air permukaan
berubah menjadi 80% dan aliran air permukaan berubah menjadi 20%.
Perlakuan lahan terhadap air hujan yang jatuh kepermukaan bumi di nilai
dengan bearnya koefisien air larian (C). Koefisien air larian adalah bilangan
yang menunjukan perbandingan antara besarnya air larian terhadap
besarnya curah hujan. Misalnya C untuk hutan adalah 0,10, artinya 10
persen dari total curah hujan akan menjadi air larian. Angka koefien air larian
makin besar menunjukanbahwa lebih banyak air hujan yang menjadi air
larian, hal ini kurang menguntungkan dari segi pencagaran sumberdaya air
karena besarnya air yang akan menjadi air tanah berkurang, kerugian lain
adalah dengan semakin besarnya air hujan yang menjadi air larian, maka
ancaman terjadinya erosi dan banjir menjadi lebih besar.
Nilai koefisian air larian di sajikan pada tabel dibawah ini.
Tabel 1 . Nilai koefisien Air Larian C, (hasil penelitian U.S. Forest Service 1980)
Tata Guna lahan Koefisien Run -Off (C)
Tata Guna Lahan Koefisien Run -Off (C)
Perkantoran Daerah Pusat Kota Daerah Sekitar Kota Perumahan Rumah Tunggal Rumah susun, terpisah Rumah susun, bersambung Pinggiran kota Daerah Industri Kurang padat industri Padat industri Tanah Kuburan Tempat Bemain Daerah Stasiun KA Daerah Tak Berkembang Jalan Raya Beraspal Berbeton Berbatu bata Trotoar Daerah Beratap
0,70 – 0,95 0,50 – 0,70 0,30 – 0,50 0,40 – 0,60 0,60 – 0,75 0,25 – 0,40 050 – 0,80 0,60 – 0,90 0,10 – 0,25 0,20 – 0,35 0,20 – 0,40 0,10 – 0,30 0,70 – 0,95 0,80 – 0,95 0,70 – 0,85 0,75 – 0,85 0,75 – 0,95
Tanah lapang Berpasir, datar, 2% Berpasir, agak rata, 2-7% Berpasir miring, 7% Tanah berat, datar, 2% Tnh berat,agak rata, 2-7% Tanah berat, miring, 7% Tanah Pertanian,0–30% Tanah Kosong Rata Kasar Ladang garapan Tnh berat, tanpa vegetasi Tnh berat, dngn vegetasi Berpas ir, tanpa vegetasi Berpasir, dngn vegetasi Padang Rumput Tanah Berat Berpasir Huta/bervegetasi Tanah Tidak Produktif, >30% Rata, kedap air Kasar
0,05 – 0,10 0,10 – 0,15 0,15 – 0,20 0,13 – 0,17 0,18 – 0,22 0,25 – 0,35 0,30 – 0,60 020 – 0,50 0,30 – 0,60 020 – 0,50 020 – 0,25 0,10 – 0,25 0,15 – 0,45 0,05 – 0,25 0,05 – 0,25 0,70 – 0,90 0,50 – 0,70
Sumber : Asdak, 2004
METODA PENELITIAN
Daerah penelitian adalah Kota Tangerang, Provinsi Banten dengan
luas wilayah sebesar 183.78 Km². Kota Tangerang secara geografis terletak
antara 6°6’ Lintang Utara sampai dengan 6°13’ Lintang Selatan dan 106°36’
Bujur Timur sampai dengan 106°42’ Bujur Timur dengan batas wilayah :
Sebelah utara dengan Kecamatan Teluk Naga dan kecamatan sepatan
Kabupaten Tangerang.
Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Curug, Kecamatan
Serpong dan Kecamatan pondok Aren Kabupaten Tangerang.
Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Cikupa Kabupaten
Tangerang.
Sebelah timur dengan DKI Jakarta.
Kota Tangerang terdiri dari 13 kecamatan yaitu : Kecamatan Tangerang,
Karawaci, Batuceper, Neglasari, Cipondoh, Pinang, Ciledug, Karang Tengah,
Larangan, Jatiuwung, Cibodas, Periuk dan Kecamatan Benda.
Kerangka pemikiran terjadinya perubahan penggunaan lahan yang
terjadi di daerah penelitian dan perubahan potensi sumberdaya air serta
yang menyebabkan terjadinya kedua perubahan tersebut dapat dilihat pada
Gambar 10 dibawah ini.
Metoda yang digunakan dalam penelitian terdiri dari 2 jenis, yaitu : metoda
untuk analisa perubahan tata guna lahan dan sumberdaya air.
Gambar 11. Diagram Alir Metoda Penelitian
Perubahan penggunaan Lahan
Pembuatan Peta Guna Lahan
Tahap persiapan meliputi tahap studi pustaka dan pengumpulan data yang
meliputi data yang berkaitan dengan penggunaan lahan, data penginderaan
jauh (remote sensing) maupun data penunjang dan peralatan penelitian.
Data penginderaan jauh adalah data hasil perekaman obyek dengan
menggunakan sensor buatan berupa citra foto udara skala 1 : 5.000 maupun
citra satelit skala 1 : 25.000.
Tahap Interpretasi dan uji lapang
Interpretasi dilakukan dengan menggunakan Softcopy Photogrametry yaitu
metoda pemetaan dengan melakukan ploting peta dengan dilatar belakangi
photo imagenya, sehingga foto latar belakang merupakan control terhadap
kelengkapan peta. Cara ini bisa digunakan terhadap citra foto udara maupun
citra satelit.
Uji lapang dilakukan setelah selesai menginterpretasi citra foto, ploting peta
dicocokan dengan kondisi dilapangan sehingga peta penggunaan lahan yang
dibuat sesuai dengan kondisi di lapangan.
Sumber : Ikonos, 2001 Gambar 12. Citra Satelit (Bagian Wilayah Kota Tangerang)
Sumber : Peta Foto, Dinas Pertanahan, 2003
Gambar 13. Foto udara (Bagian Wilayah Kota Tangerang)
Korelasi antar variabel
Analisis data dilakukan secara deskriptif dan tabulasi. Untuk mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan lahan pertanian/ruang terbuka
hijau secara wilayah dicoba menggunakan korelasi sederhana dengan
menggunakan program Microsoft Exel SPSS versi 12 maupun Statistica versi
6. Korelasi antar variabel dilakukan dengan membuat tabulasi data dengan
variabel-variabel yang diperkirakan mempengaruhi pola perubahan
penggunaan lahan. Hasil dari korelasi tersebut menunjukan apakah variabel-
variabel tersebut mempunyai korelasi yang kuat atau lemah dalam
mendorong terjadinya perubahan lahan pertanian atau uang terbuka hijau
menjadi daerah terbangun (built up area). Adanya hubungan yang kuat antar
variabel ditunjukan dengan nilai korelasi yang tinggi. Variabel yang diamati
dalam penelitian ini adalah : Jumlah penduduk, pertumbuhan penduduk,
Kepadatan penduduk, Luas wilayah, Luas ruang terbuka hijau (pertanian),
Luas areal terbangun,Jumlah penduduk yang bekerja pada sektor pertanian
dan Jarak lokasi terhadap lokasi pusat (pusat kota)
Analisis Hidrogeologi
Metodologi yang digunakan dalam penelitian air tanah secara umum dibagi
dalam 2 jenis, yaitu :
Penelitian Langsung dan tidak langsung
Penelitian Tidak Langsung (Prospecting)
Metoda penelitian tidak langsung dengan menggunakan metoda geofisika
yang umum digunakan dalam penyelidikan air tanah adalah metoda
geolistrik. Pengukuran geolistrik dilakukan dengan cara memberikan arus
listrik ke dalam bumi dan kemudian mengamati pengaruh yang
ditimbulkannya. Dalam pengukuran resistivity (tahanan jenis), arus listrik
(ampere) dihantarkan ke bumi melalui 2 elektroda, dan beda potensialnya
(volt) dapat diukur antara 2 elektroda yang lainnya (Gambar 14). Dengan
demikian maka pengukuran ini memberikan besaran tahanan bumi (ohm).
Tujuan pengukuran geolistrik adalah mencoba menduga susunan bawah
permukaan dengan mempelajari sifat-sifat batuan apabila diberikan arus
kepadanya. Ruang pori lapisan yang permeable terisi larutan ionic yang
menghantarkan listrik.
Tahanan jenis listrik suatu bahan dapat dapat didefinisikan sebagai berikut :
……………………………………………………… (6)
ñ = Tahanan jenis bahan (ohm meter) R = Tahanan jenis yang diukur (ohm) L = Panjang (meter) A = Luas penampang material (m²)
ñ = R A L
dimana :
…………………………………………………………. (7)
sehingga :
…………………………………………………… (8)
V = Beda Potensial (Volt) I = Kuat Arus yang melalui bahan (ampere)
Gambar 14 Material/bahan yang dilalui oleh arus listrik
Sedangkan untuk konduktivitas merupakan hantaran jenis yang dinyatakan dengan persamaan berikut :
……………………………………………………..(9)
……………………………………………………..(10)
J = Rapat Arus
ó = Hantaran Jenis E = Medan Listrik
ó = 1
ñ
R = V
I
ñ = A L
V
I
Ä V
L
I
ó = J
E
……………………………………………………..(11)
……………………………………………………..(12)
Berdasarkan hal yang mempengaruhi besarnya nilai tahanan jenis sebagai berikut :
1. Jenis batuan (sedimen, beku dan metamorf) jika batuan tersebut
mengandung air, maka tahanan jenisnya akan lebih rendah, dan
menjadi makin rendah jika air yang dikandung lapisan batuan
mempunyai kadar garam yang tinggi, hal ini meliputi pula salinitas
(kadar garam).
2. Faktor kondisi geologi setempat yang mengontrolnya, berbeda antara
satu tempat dengan tempat yang lain.
3. Perbedaan lapisan batuan, baik dari segi ketebalan, tekstur dan
komposisinya.
4. Temperatur.
5. Permeabilitas atau kemampuan suatu lapisan (batuan) meluluskan air
yang dicirikan dengan adanya pori-pori yang saling berhubungan.
Tabel 2. Hubungan jenis batuan terhadap besar butir, porositas dan kelulusan
Batuan
Butir (mm)
Porositas
(%)
Angka Kelulusan Air (Permeability)
(m³/hari) Lempung Lanau Pasir sangat halus Pasir halus Pasir sedang Pasir kasar Konglomerat
0,01
0,01 – 0,04 0,05 – 0,10 0,10 – 0,20 0,25 – 0,45 0,50 – 0,95 1,00 – 5,00
45 – 55 40 – 50
30 – 40
30 - 40
0,01
0,05 – 0,80 1,20 – 40,00 5,00 – 20,00
30,00 – 100,00 125,00 – 450,00
500,00 – 1.200,00
J = I
A
E = V
L
Sumber : Soewali dkk, 1981
Parameter tahanan jenis (ñ) batuan merupakan nilai yang didapat dari hasil
pengukuran. Fenomena ini tidak tergantung pada komposisi mineral yang
menyusun batuan saja, tetapi lebih tergantung kepada porositas dan
kandungan air di dalam pori-pori batuan. Untuk memperoleh gambaran
mengenai hal tersebut di atas, berikut disajikan gambar grafis yang
memperlihatkan hubungan nilai tahanan jenis dengan kadar garam (Gambar
15)
Sumber : Utomo, E.P dkk, 1981 Gambar 15. Hubungan Antara Tahanan Jenis dan kadar Garam dalam
Air yang dikandung Batuan)
Tabel 3. Nilai Tahanan Jenis batuan
Tahanan Jenis (Ù m) Jenis Tanah dan Batuan
Basah
Kering
Soil (Tanah) Lempung Pasir, Kerikil
10 5 50
50
100 1.000
Tahanan Jenis
500
100
10
1,0
0 10 1.00 10.00 Kadar Garam
Air Tawar dalam
Batas Air
Air Asin (Air
Batugamping, batupasir Konglomerat Batuan beku
20 – 100
1.000
500
1.000
Sumber : Utomo dkk, 1981
Gambar 16. Skema alat ukur Tahanan Jenis (Geolistrik)
Gambar 17. Pengukuran Tahanan Jenis (Geolistrik) dilapangan
Secara garis besar air tanah dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) bentuk,
yaitu air tanah bebas dan air tanah tertekan (artesis).
Air tanah bebas adalah air tanah yang terjadi dimana air hujan yang jatuh
dipermukaan tanah sebagian akan meresap melalui pori-pori atau rekahan
pada tanah dan batuan sampai pada suatu kedalaman tertentu dimana
batuan telah jenuh air. Bagian ini disebut zona penjenuhan (zone of
saturation) yang merupakan suatu batas dimana air tanah berkumpul. Batas
atasnya sebagai permukaan air tanah.
Masukan informasi yang dibutuhkan berupa kemiringan lahan, kerapatan
sungai, ketebalan tanah, jenis batuan dasar dan keadaan air tanahnya.
Ketebalan tanah memberikan informasi, bahwa makin tebal tanah makin
mempunyai kemungkinan besar untuk keterdapatn air tanah bebas, jika
Alat Permukaan Tanah
Arus (I)
Beda Potensial (V)
dibandingkan dengan batuan dasar. Jenis batuan akan mempengaruhi
adanya air tanah. Batuan sedimen berbutir kasar dan kadang-kadang
Batugamping mempunyai kemungkinan besar untuk dapat mengandung air
tanah bebas.
Air tanah tertekan dapat terjadi apabila lapisan pembawa air (akifer) terapit
oleh dua lapisan batuan yang kedap air ( impermeable).
Terdapatnya artesis tergantung pula padajenis batuan dan struktur geologi
yang mengontrolnya. Batuan yang yang makin bersifat lulus air, maka batuan
tersebut makin tinggi kemungkinan untuk terdapatnya air tanah secara
umum. Penyebaran batuan batuan baik tegak maupun mendatar, struktur
geologi, arah kemiringan lapisan, lipatan dan patahan (sesar) akan
mencerminkan keberadaan air tanah artesis.
Metoda penelitian terhadap akifer secara langsung dengan pemboran inti.
Pemboran inti (Core drilling) efektif digunakan untuk mengetahui susunan
lapisan dari atas ke bawah secara utuh. Dengan menggunakan mata bor
intan (diamond bit) lapisan yang berada dibawah permukaan tanah akan
diambil dengan batang bor kemudian lapisan berbentuk silinder yang berda
di batang bor disimpan dalam sebuah kotak dan disusun berdasarkan
kedalaman, berbeda dengan pengukuran geolistrik jenis lapisan ditentukan
berdasarkan interpretasi nilai tahanan jenis, dalam pemboran inti jenis
lapisan (batuan) bisa ditentukan secara langsung berdasarkan sifat-sifat fisik
batuan untuk batuan sedimen perbedaan lapisan diketahui berdasarkan
ukuran butir.
Hidrologi
Perubahan tata guna lahan akan berpengaruh pada neraca air,
dimana makin bertambahnya kawasan terbangun akan bepengaruh
terhadap berkurangnya air hujan yang meresap kedalam tanah,
dengan demiian aliran air permukaan akan meningkat, karena curah
hujan dan evapotranspirasi dianggap tetap tidak terpengaruh oleh
perubahan penggunaan lahan. Variabel yang dianalisis dalam
pnghitungan neraca air meliputi Curah Hujan (Presipitasi), Laju
Penguapa (Evapotranspirasi), Air yang meresp ke dalam tanah
(Infilrasi) dan Limpasan air permukaan (Run Off).
Presiptasi
Presipitasi biasaya dinyatakan sebagai kedalaman cairan yang
berakumulasi di atas permukaan bumi bila seandainya tidak terdapat
kehilangan . Pengukuran presipitasi dapat dilakukan dengan
menggunakan alat pengukur presipitasi yang didasarkan atas suatu
kombinasi dua pendekatan (seyhan), yatu :
1. Penakar hujan bukan pencatat
Penakar hujan bukan pencatat diletakan di tanah, terdiri dari :
penakar hujan baku (standard), penakar hujan penympan 9atau
penjumlah), penakar hujan searas tanah, Penakar hujan acuan
internasional (International Reference Precipitation Gauge), RADAR
(Radio Detecting and Ranging)
2. Penakar hujan Otomatik (pencatat)
Semua penakar hujan otomatik akan mencatat data (dalam hal ini
jumlah hujan) secara kontinu (interval 1 menit, 5 menit, 10 menit dll)
maupun secara berkala pada beberapa macam grafik, pita berlubang,
pita magnetic, film, sinyal-sinyal listrik dll.
Pemantauan presipitasi dapat dilakukan dengan 3 cara :
a. Pemantauan hujan di tanah, dapat dilakukan dengan
menggunakan alat penakar :
- Penakar hujan otomatik tipe pelampung
- Penakar hujan otomatik tipe penimbangan
- Penakar hujan otomatik tipe ember tupah
- Penginderaan jauh.
b. Pemantauan presipitasi dari udara (penginderaan jauh), terdiri dari
- Kamera
- Penyaring Gambar (Sanners)
- Radar
- Radiometer gelombang mikro
c. Pemantauan presipitasi dari ruang angkasa (penginderaan jauh)
Evapotranspirasi
Penaksiran evapotranspirasi dapat dilakukan dengan berbagai
metoda, metoda yang digunakan untuk menghitung evapotranspirasi
dalam penelitian ini adalah berdasarkan rumus Turc dan Langbein.
Pada tahun 1952 hidrolog Perancis Turc mengembangkan metoda
untuk menghitung evapotranspirasi aktual tahunan rata-rata dengan
menggnakan data yang didapatkan pada 254 daerah aliran sungai di
seluruh dunia. Rumus tersebut adalah :
........................................ ...... (13)
E = P
0,9 + P²
[L(T)]² [ ] ½
L(T) = 300 + 25(T) + 0,05 (T)³ .............................................. (14)
Dimana :
E : Evapotranspirasi actual rata-rata tahunan (mm/tahun)
P : Presipitasi rata-rata tahunan (mm/tahun)
L (T) : Fungsi Temperatur
T : Temperatur rata-rata tahunan (°C)
Pada tahun 1949 Langbein (AS) mengembangkan hal yang sama
dengan Turc untuk menaksir evapotransprasi berdasarkan besarnya
curah hujan dan temperatur udara suatu wilayah.
Limpasan Permukaan (Surface Run-Off)
Setelah mengetahui besar evapotranspirasi maka air limpasan
permukaan dan air yang meresap ke dalam tanah (infiltrasi) bisa dihitung
dengan cara curah hujan dikurangi oleh evapotranspirasi maka sisanya
adalah air yang mengalir ke permukaan bumi, air yang jatuh kepermukaan
tanah sebagian meresap kedalam tanah menjadi aliran air tanah dan
sebagian mengalir dipermukaan dan asuk ke dalam sungai. Untuk
menghitung besarnya surface run off didekati dengan menggunakan tabel
koefisien run off hasil penelitian yang dilakukan oleh U.S. Forest Service
dengan menggunakan rumus :
RO = (P – ET) x C x A .............................................. (15)
dimana :
RO = Surface Run Off (m3/tahun)
P = Curah hujan (m/tahun)
ET = Evapotranspirasi (m/tahun)
C = Koefisien run off
A = Luas lahan (m2)
Infiltrasi
Sama halnya dengan perhitungan run off, Untuk menghitung besarnya
infiltrasipun didekati dengan menggunakan tabel koefisien run off hasil
penelitian yang dilakukan oleh U.S. Forest Service dengan menggunakan
rumus :
F = (P – ET) x (1 – C) x A .......................................................... (16)
dimana :
F = Infiltrasi (m3/tahun)
P = Curah hujan (m/tahun)
ET = Evapotranspirasi (m/tahun)
C = Koefisien run off
A = Luas lahan (m2)
Analisis Penentuan Harga Air
Analisis penentuan harga air ditujukan untuk mendapatkan biaya
pengelolaan sumberdaya air meliputi biaya pemeliharaan, biaya konservasi
serta biaya jasa pengelolaan air. Selain itu pembiayaan dimaksudkan untuk
menciptakan insentif ekonomi penggunaan sumberdaya air yang lebih efisien
sebagai upaya menghindari kelangkaan sumberdaya air.
Diantara tata cara penghitungan nilai manfaat air (NIMA) telah
dilakukan oleh Kimpraswil. Tata cara penghitungan pada prinsipnya adalah
jumlah komponen biaya dalam satuan waktu dibagi dengan jumlah
pengambilan air dalam satuan waktu yang sama. Hasil bagi tersebut
menghasilkan tariff penggunaan air permeter kubik. Komponen biaya dalam
perhitungan itu adalah:
a. Biaya ekploitasi dan pemeliharaan (E& P)
b. Biaya Depresiasi
c. Biaya amortisasi; yakni konsep alokasi harga perolehan harta tetap tidak
berwujud dan harga perolehan harta sumberdaya alam
d. Biaya tidak langsung atau overhead.
Perhitungan tarif air yang dilakukan oleh NIMA dengan memasukan
konsep sisi penyediaan air dimana disamping biaya E&P juga dimasukan
biaya penyediaan sarana dan prasarana penyediaan air berupa historical
cost, kemudian juga biaya perlindungan sumberdaya air, sehingga semua
biaya penyediaan air baku dimasukan ke dalam perhitungan. Jadi total
biaya dibagi dengan volume potensi air dalam wilayah sungai akan
memberikan petunjuk besaran angka mampu pulih air, besaran inilah yang
disebut dengan NIMA oleh Kimpraswil
Perhitungan nilai manfaat air yang dikeluarkan oleh pihak
Kimpraswil adalah berikut:
Vs
LSMn
Vs
P
.
.1
. αα
++
= ………………………………. (17)
dimana:
P = Penyediaan air atau dalam hal ini adalah supply air baku
Vs = Jumlah ketersediaan air dalam satuan wilayah sungai (m3/ tahun)
n = Jumlah umur ekonomis prasarana bangunan irigasi (dalam
tahun)
M = Nilai investasi pembangunan sarana pengairan untuk
kemanfatan umum dari sumberdaya air (Rp/ tahun)
S = Jumlah pengeluaran operasional dan pemeliharaan bangunan
prasarana pengairan yang ditujukan untuk mendukung
keseimbangan antara ketersediaan dan permintaan air dalam
setiap tahun (Rp/tahun).
L = Jumlah pengeluaran aktifitas dan invenstasi yang ditujukan untuk
mendukung kelestarian air dan sumberdaya air. (Rp/ tahun)
á = Faktor Pengali.
Maka dapat dihitung nilai pemanfaatan air baku dari PJT II oleh para
penggunanya yakni, dimana harga air baku PJT II itu akan menjadi:
Vs
LSMn
Vs
P
.
.1
. αα
++= …………………………………… (18)
KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN
Kondisi Fisik KotaTangerang
Wilayah Kota Tangerang dilintasi oleh oleh Sungai Cisadane yang
membagi Kota Tangerang menjadi 2 (dua) bagian, yaitu bagian timur dan
bagian barat sungai. Wilayah bagian timur meliputi Kecamatan Tangerang,
Kecamatan Neglasari, Kecamatan Batuceper, Kecamatan Benda,
Kecamatan Pinang, Kecamatan Cipondoh, Kecamatan Ciledug, Kecamatan
Karang Tengah dan Kecamatan Larangan, sedangkan di bagian barat
meliputi Kecamatan Karawaci, Kecamatan Jatiuwung, Kecamatan Cibodas
dan Kecamatan Periuk (Gambar 18 ).
Topografi
Kota Tangerang sebagian besar berada pada ketinggian 10 – 30 m dpl
(diatas permukaan laut), sedangkan bagian utaranya (meliputi sebagian
besar Kecamatan Benda) ketinggiannya berkisar antara 6 – 10 m dpl. Selain
itu di Kota tangerang pun terdapat daerah-daerah yang mempunyai
ketinggian lebih dari 30 m dpl yaitu pada bagian selatan Kecamatan Ciledug
dan Kecamatan larangan.
Dilihat dari kemiringan tanahnya, sebagian besar Kota Tangerang
mempunyai tingkat kemiringan tanah 0 – 3 % dan sebagian kecil (bagian
selatan kota) kemiringan tanahnya antara 3 – 8 %. Adanya daerah yang
cukup landai merupakan potensi yang cukup besar bagi pembangunan dan
pengembangan kota. Selain itu kondisi yang cukup landai dan dibeberapa
lokasi terdapat cekungan-cekiungan kecil yang potensial menimbulkan
masalah khususnya dalam masalah tata air, hal ini terbukti dengan adanya
daerah rawan genangan dimana tercatat 49 titik banjir (Gambar 19).
Hidrologi
Seperti telah diuraikan diatas bahwa Kota Tangerang dilintasi oleh Sungai
cisadane yang membelah kota menjadi 2 (dua) bagian. Selain Sungai
Cisadane di Kota Tangerang pun terdapat pula sungai-sungai lain seperti
Sungai Cirarab yang merupakan batas sebelah barat Kecamatan Jatiuwung
dan Kecamatan Periuk dengan Kecamatan Pasar Kemis di Kabupaten
Tangerang Kali Ledug yang merupakan anak Sungai cirarab, Kali Sabi dan
Kali Cimone, sungai -sungai tersebut berada di sebelah barat Sungai
Cisadane, sedangkan dibagian timur Sungai Cisadane terdapat pula kali
Angke, Kali Pembuangan Cipondoh, Kali Wetan (Anak Kali Angke), Kali
Cantiga (Anak Kali Angke) Kali pondok Bahar (Anak Kali Cantiga). Selai
Sungai/Kali di Kota Tangerang terdapat pula saluran saluran air yang
meliputi ; Saluran Mookervart, Saluran Induk Irigasi Tanah Tinggi, Saluran
Induk Cisadane Barat, Saluran Induk Cisadane Timur dan Saluran Induk
cisadane Utara.
Keberadaan Sungai Cisadane yang melintas di tengah kota ini
dirasakan sekali fungsi dan peranannya baik bagi Kota Tangerang maupun
bagi kota-kota sekitarnya. Fungsi dan peranan Sungai Cisadane
dimaksudkan diatas meliputi pemenuhan kebutuhan air bagi kegiatan
perkotaan, kegiatan pertanian dan industri.
Hidrogeologi
Berdasarkan penelitian hidrogeologi yang dilakukan oleh Departemen
PU yang bekerjasama dengan IWACO dan WASECO tahun 1990
hidrogeologi wilayah Kota Tangerang didominasi oleh akifer produktif dengan
penyebaran luas yang terdapat debagian barat Kota tangerang yang meliputi
Kecamatan Jatiuwung, Periuk, Cibodas dan Karawaci serta sebagian wilayah
timur di Kecamatan Ciledug, Larangan, Karang Tengah dan sebagian kecil
Kecamatan Cipondoh. Akifer produktif sedang dengan penyebaran luas
menempati bagian utara dari Kota Tangerang yang meliputi Kecamatan
Neglasari, Benda dan sebagian kecamatan Batuceper. Akifer produktifitas
kecil dengan penyebaran lokal (setempat) terdapat di Kecamatan Cipondoh,
Pinang dan sebagian Batuceper (Gambar 20).
Hasil penyelidikan hidrogeologi yang dilakukan oleh Sukrisna, A,
Murtianto, E dan Ruchijat, S dari Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan
Kawasan Pertambangan, Departemen Energi dan Sumberdaya Lingkunan
dalam sistem cekungan air tanah wilayah Kota Tangerang terdapat dua
sistem cekungan air tanah, pada wilayah bagian barat Kota Tangerang
(sebelah barat Sungai Cisadane) termasuk dalam Cekungan air Tanah
Tangerang-Serang, sedangkan di wilayah timur Kota tangerang (sebelah
timur Sungai Cis adane) termasuk dalam Cekungan air Tanah Jakarta.
Cekungan air tanah Tangerang – Serang mempunyai jumlah aliran air tanah
bebas sebesar 1.075 juta m 3 /tahun dan aliran air tanah tertekan sebesar 18
juta m3 /tahun. Cekungan air tanah Jakarta dengan jumlah aliran air tanah
bebas sebesar 803 juta m3 /tahun dan aliran air tanah tertekan sebesar 40
juta m3 /tahun (Gambar 21).
Sumber : Peta Hidrogeologi Kabupaten Tangerang, IWACO-WASECO, 1990
Gambar 20. Peta Hidrogeologi Kota Tangerang
Keterangan :
Q1 Aliran Air tanah
bebas
Q2 Aliran air tanah
tertekan
Keterangan :
Akifer Produktif Sed ang
Akifer Produktif
Akifer Produktif Kecil
Sumber : Peta cekungan Air Tanah Lembar Banten, 2003
Gambar 21. Peta Cekungan Air Tanah Kota Tangerang
Iklim
Suhu udara di Kota Tangerang berkisar antara 21 – 33,7 °C, curah hujan
untuk sebagian besar Kota tangerang berkisar antara 1.500 – 2.000 mm per
tahun dan sebagian kecil curah hujannya < 1.500 mm per tahun yaitu di
Kecamatan Benda di bagian utara. Jumlah hari hujan maksimal 150 hari
hujan dan jumlah hari hujan minimum 90 hari.
Geologi dan Jenis Tanah
Kondisi geologi Kota Tangerang terbentuk oleh Tuf Banten yang merupakan
batuan vulkanik dan Aluvial. Tuf Banten (QTvb) mendominasi geologi Kota
Tangerang yang didominas i oleh Tuf, Tuf Batuapung dan Batupasir Tufaan
sedang endapan Aluvial (Qa) yang terdiri dari Lempung, Lanau, Pasir,
Kerikil, Kerakal dan Bongkah berada di sepanjang Sungai Cisadane, Kali
Angke, Kali sabi, kali Cirarab, Situ Cipondoh dan di bagian utara Kota
Tangerang, Kipas Aluvial (Qav) yang terdiri dari Tuf halus berlapis,Tuf
Pasiran yang berselingan dengan Tuf konglomeratan mengisi wilayah bagian
utara Kota Tangerang sekitar Bandara Soekarno-Hatta (Kecamatan Benda).
Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada Gambar 22.
Dilihat dari jenis tanahnya sebagian besar Kota Tangerang
mempunyai jenis tanah Asosiasi Latosol merah/Latosol merah kecoklatan,
sedangkan di sekitar Sungai cisadane mempunyai jenis tanah Aluvial kelabu.
Selain kedua jenis tanah tersebut pada bagian sebelah timur bandara
mempunyai jenis tanah Asosiasi Glei Humus rendah dan Aluvial kelabu
Sumber : Peta geologi lembar Jakarta (Direktorat Geologi Tata Lingkungan)
Keterangan :
Qa
Qav
QTvb
QTpss
QTpg
Aluvium
Kipas Aluvium
Tuff Banten
Formasi Serpong
Formasi Genteng
Gambar 22 : Kondisi Geologi Kota Tangerang
Kondisi Soial
Kependudukan
Jumlah dan Sebaran Penduduk
Pada tahun 2001 jumlah penduduk Kota Tangerang berjumlah 1.336.213
jiwa dan pada tahun 2003 berjumlah 1.493.698 jiwa. Selama periode
tersebut jumlah penduduk Kota Tangerang bertambah 157.485 jiwa. Selam
periode tersebut Kota Tangerang memeiliki laju pertumbuhan sebesar 5,73
%. Untuk lebih jelasnya mengenai laju pertumbuhan penduduk Kota
Tangerang dapat dilihat pada Tabel 4, Gambar 23 dan Gambar 24.
Tabel 4 : Jumlah dan Perkembangan Penduduk Kota Tangerang
Penduduk (Jiwa) No Kecamatan 2001 2002 2003
LPP (%)
1 Ciledug 95.004 99.010 106.943 6,10 2 Larangan 119.515 126.039 136.137 6,73
3 Karang Tengah 84.642 88.208 95.275 6,10
4 Cipondoh 133.592 133.921 134.207 0,23 5 Pinang 105.682 111.451 120.380 6,73 6 Tangerang 93.841 96.542 101.194 3,84 7 Karawaci 147.886 155.959 168.454 6,73 8 Cibodas 119.789 126.328 136.449 6,73 9 Jatiuwung 119.703 126.237 136.351 6,73 10 Periuk 102.237 107.818 116.456 6,73 11 Neglasari 82.335 85.775 92.647 6,08
12 Batuceper 72.410 75.308 81.342 5,99 13 Benda 59.576 62.828 67.862 6,73
Jumlah 1.336.213 1.395.424 1.493.698 5,73 Sumber : Kota Tangerang Dalam Angka, 2003 (Bapeda, 2004)
Jatiuwung9%
Karawaci12%
Tangerang7%
Pinang8%
Cipondoh9%
Karang Tengah6%
Larangan9%
Cibodas9%
Periuk8%
Neglasari6%
Batuceper5%
Benda5%
Ciledug7%
Sumber : Kota Tangerang Dalam Angka, 2003 (Bapeda)
Gambar 23 : Prosentase Jumlah Penduduk Kota Tangerang Tahun 2003
0
1
23
4
5
6
78
Cile
dug
Lara
ngan
Kar
ang
Tenga
h
Cip
ondo
h
Pin
ang
Tange
rang
Kara
waci
Cib
odas
Jatiu
wun
g
Per
iuk
Negla
sari
Batu
ceper
Ben
da
Kecamatan
LP
P (
%)
Keterangan : LPP = Laju pertumbuhan Penduduk
Sumber : Kota Tangerang Dalam Angka Tahun 2003 (Bapeda)
Gambar 24 : Grafik Laju Pertumbuhan Penduduk Tahun 2001 – 2003
Dari tabel dan gambar di atas dapat dilihat bahwa jumlah penduduk
Kecamatan Tangerang pada tahun 2003 sebesar 7 % dari jumlah penduduk
keseluruhan Kota Tangerang. Laju perkembangan penduduk selama tiga
tahun tidak terlalu pesat, yaitu dengan LPP 3,38 %. Angka ini merupakan
angka LPP yang per tengahan dari LPP kecamatan yang ada.
Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk Kota Tangerang pada tahun 2003 adalah 91 jiwa/ha.
Kepadatan tertinggi terdapat di Kecamatan Larangan dengan kepadatan 145
jiwa/ha sedangkan kepadatan terendah terdapat di Kecamatan Pinang
dengan kepadatan 56 jiwa/ha. Untuk lebih jelasnya mengenai kepadatan
penduduk Kota Tangerang dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 25..
Tabel 5 : Kepadatan Penduduk Kota Tangerang Tahun 2003
No Kecamatan Penduduk (Jiwa)
Luas (Ha)
Kepadatan (Jiwa/ha)
1 Ciledug 106.943 877 122 2 Larangan 136.137 940 145 3 Karang Tengah 95.275 1.047 91 4 Cipondoh 134.207 1.791 75 5 Pinang 120.380 2.159 56 6 Tangerang 101.194 1.579 64
122145
9175
56 64
125142
95122
58 70
26
0
20
40
60
80
100
120
140
160
Kep
adat
an (J
iwa/
Ha)
Ciledu
g
Laran
gan
Karang
Ten
gah
Cipond
oh
Pinang
Tang
erang
Karaw
aci
Ciboda
s
Jatiu
wung
Periuk
Neglas
ari
Batuc
eper
Benda
Kecamatan
7 Karawaci 168.454 1.348 125 8 Cibodas 136.449 961 142 9 Jatiuwung 136.351 1.441 95 10 Periuk 116.456 954 122 11 Neglasari 92.647 1.608 58 12 Batuceper 81.342 1.158 70 13 Benda 67.862 2.561 26
Jumlah 1.493.698 18.378 81 Sumber : Kota Tangerang dalam Angka, 2003, Bapeda, 2004
Sumber : Kota Tangerang Dalam Angka Tahun 2003 (Bapeda, 2004)
Gambar 25 : Grafik Kepadatan Penduduk Kota Tangerang Tahun 2003
Dari tabel dan gambar di atas dapat dilihat bahwa kepadatan penduduk
Kecamatan Tangerang adalah 64 jiwa/ha. Kepadatan tersebut di bawah rata-
rata kepadatan Kota Tangerang.
Struktur Penduduk
Struktur penduduk Kota Tangerang terdiri dari stuktur penduduk menurut
penduduk menurut umur, jenis kelamin, dan agama.
Struktur Penduduk Menurut Umur
Berdasarkan data tahun 2003 Kota Tangerang, jumlah penduduk menurut
kelompok umur yang tertinggi jumlahnya adalah kelompok umur 25 - 29
tahun sebesar 189.880 jiwa atau 0,13 % dari total jumlah penduduk
sedangkan kelompok umur terendah jumlahnya adalah kelompok umur 70 -
74 sebesar 14.130 jiwa atau 0,01 % dari total jumlah penduduk. Untuk lebih
jelasnya penduduk menurut umur dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 24.
Jika dilihat penduduk menurut usia produktif dan non produktif Kota
Tangerang, Penduduk usia produktif (usia 15-64 tahun) di Kota Tangerang
berjumlah 1.056.456 jiwa terdiri dari perempuan 539.940 jiwa dan laki-laki
516.515 jiwa. Sedangkan penduduk usia non produktif Kota Tangerang
berjumlah 437.243 jiwa terdiri dari perempuan 205.495 jiwa dan laki-laki
231.748 jiwa.
Tabel 6 : Jumlah Penduduk Menurut Umur Kota Tangerang Tahun 2003
Umur (Jiwa) No
Kelompok Umur Laki-Laki Perempuan
Jumlah (Jiwa)
1 0 - 4 68.559 73.286 141.845
2 5 - 9 63.672 74.826 138.498 3 10 - 14 57.370 69.021 126.391
4 15 - 19 57.235 74.341 131.576 5 20 - 24 83.158 97.774 180.932 6 25 - 29 94.055 95.825 189.880
7 30 - 34 88.207 75.649 163.856
8 35 - 39 61.315 54.206 115.521 9 40 - 44 52.253 42.725 94.978
10 45 - 49 38.093 27.468 65.561
11 50 - 54 27.491 18.455 45.946
12 55 -59 16.158 11.894 28.052 13 60 - 64 13.433 10.506 23.939
14 65 - 69 8.545 7.675 16.220
15 70 - 74 7.455 6.675 14.130 16 75+ 8.440 7.941 16.381
Jumlah 745.435 748.263 1.493.698 Sumber : Kota Tangerang dalam Angka 2003 (Bapeda, 2004)
0 50.000 100.000 150.000 200.000
Jumlah Penduduk
0 - 4
5 - 9
10 - 14
15 - 19
20 - 24
25 - 29
30 - 34
35 - 39
40 - 44
45 - 49
50 - 54
55 -59
60 - 64
65 - 69
70 - 74
75+
Kel
om
po
k U
mu
r
Sumber : Kota Tangerang Dalam Angka, 2003 (Bapeda, 2004) Gambar 26 : Grafik Penduduk Kota Tangerang Berdasarkan Kelompok Umur Tahun
2003
Struktur Penduduk Menurut Jenis Kelamin
Pada tahun 2003, jumlah penduduk menurut jenis kelamin terdiri dari laki-laki
745.435 jiwa atau 49,50 % dari total penduduk sedangkan perempuan
748.263 jiwa atau 50,09 % dari total penduduk Kota Tangerang. Untuk lebih
jelasnya mengenai jumlah penduduk menurut jenis kelamin dapat dilihat
pada Gambar 27.
745.435
748.263
744.000
744.500
745.000
745.500
746.000
746.500
747.000
747.500
748.000
748.500
JU
ML
AH
PE
ND
UD
UK
LAKI-LAKI PEREMPUAN
JENIS KELAMIN
Sumber : Kota Tangerang dalam Angka, 2003 (Bapeda, 2004) Gambar 27 : Jumlah Penduduk Kota Tangerang Menurut Jenis Kelamin
Kondisi Ekonomi
Dalam melihat pertumbuhan ekonomi dan tingkat keberhasilan daerah maka
salah satu indikator adalah PDRB. PDRB merupakan salah satu indikator
makro untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi dan tingkat
keberhasilan pembangunan suatu daerah. Oleh karena itu untuk melihat
perkembangan ekonomi Kota Tangerangakan melihat perkembangan PDRB
Kota Tangerang.
PDRB atas dasar harga berlaku pada tahun 1999 sebesar 13.524.637 juta
rupiah dan pada tahun 2003 sebesar 21.078.365 juta rupiah atau meningkat
sekitar 0,56 %.
Sumber pendapatan terbesar terdapat pada sektor industri sebesar
12.576.533 juta rupiah dan sumber pendapatan terkecil terdapat pada sektor
perikanan. Dilihat dari PDRB bahwa yang mempunyai sumber pendapatan
terbesar adalah dari sektor industri, perdagangan, hotel dan restoran
sedangkan sumber pendapatan terkecil adalah sektor pertanian. Untuk lebih
jelasnya mengenai PDRB atas harga harga konstan dapat dilihat pada Tabel
7 dan Tabel 8.
Sumber pendapatan Kota Tangerang berasal dari :
1. Sektor Primer, yaitu sektor yang tidak mengolah bahan mentah atau
bahan baku melainkan mendayagunakan sumber-sumber.
2. Sektor sekunder, yaitu sektor yang mengolah bahan mentah atau bahan
baku baik yang berasal dari sektor primer maupun dari jasa-jasa.
Kelompok sektor ini adalah sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas,
dan air minum, dan sektor konstruksi.
3. Sektor tersier atau dikenal sebagai sektor jasa yang tidak memproduksi
dalam bentuk fisik melainkan dalam bentuk jasa. Kelompok sektor ini
adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran, pengangkutan dan
komunikasi, barik dan lembaga keuangan lainnya, dan lainnya.
Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang selama periode 1999-
2002 yang digambarkan oleh PDRB atas harga berlaku pada tahun 1999 –
2002 mengalami peningkatan. Pada tahun 2002 mengalami peningkatan
sebesar 9,53 %. Untuk PDRB atas dasar harga konstan pada tahun 1999 –
2002 mengalami penurunan pada tahun -0,31 %. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada Tabel 9.
Tabel 7 : Produk Domesti Regional Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 (Juta Rupiah) Tahun 1998-2002
Sumber : PDRB 2002 (Bapeda, 2003) No Lapangan Usaha 1998 1999 2000 2001 2002
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
21.183 21.087 20.428 20.172 20.820
a. Tanaman bahan makanan 18.182 17.982 17.814 17.635 18.140 b. Tanaman perkebunan 445 450 97 15 16 c. Peternakan dan hasil-hasilnya 2.182 2.267 2.407 2.497 2.638 d. Kehutanan - - - - - e. Perikanan 374 388 110 25 26
2 Pertambangan dan Penggalian - - - - -
a. Minyak dan gas bumi (migas) - - - - - b. Pertambangan tanpa migas - - - - - c. Penggalian - - - - -
3 Industri Pengolahan 3.057.471 3.124.788 3.289.052 3.378.424 3.542.509 a. Industri Migas - - - - - b. Industri Tanpa Migas 3.057.471 3.124.788 3.289.052 3.378.424 3.542.509
4 Listrik, Gas, dan Air Bersih 92.316 98.223 104.917 112.071 120.187 a. Listrik 84.167 89.394 95.741 102.058 109.212 b. Gas Kota - - - - - c. Air Bersih 8.149 8.829 9.176 10.013 10.975
5 Bangunan 104.190 102.939 103.618 104.354 109.874
6 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 1.401.153 1.465.377 1.540.618 1.625.467 1.730.071 a. Perdagangan besar dan eceran 1.313.280 1.373.561 1.443.887 1.523.463 1.619.654 b. Hotel 11.414 12.123 13.117 13.962 14.934 c. Restoran 76.459 79.693 83.614 88.042 95.483 7 Pengangkutan dan Komunikasi 692.605 697.156 732.082 775.195 807.276 a. Pengangkutan 652.009 652.874 684.966 726.055 752.028 1. Rel 1.889 1.945 2.020 1.724 1.838 2. Angkutan jalan raya 142.143 153.984 161.441 167.635 176.867 3. Angkuatan laut - - - - -
4. Angkutan sungai dan penyeberangan - - - - -
5. Angkutan udara 362.780 336.549 361.054 389.579 424.326 6. Jasa penunjang angkuatan 145.197 151.615 160.451 167.117 176.382 b. Komunikasi 40.596 44.282 47.116 49.140 55.248
8 Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan
148.807 150.627 93.889 55.601 72.969
a. Bank 27.219 24.257 41.337 89.826 82.187 b. Lembaga Keuangan Lainnya 6.193 6.676 7.143 7.681 8.054 c. Sewa Bangunan 79.799 81.634 87.431 94.114 101.378 d. Jasa Perusahaan 35.596 38.060 40.652 43.632 45.724
9 Jasa-Jasa 162.452 168.233 174.989 181.321 190.488 a. Pemerintahan Umum 55.564 56.322 57.060 57.865 61.732 b. Swasta 106.888 111.911 117.929 123.456 128.756 1. Sosial kemasyarakatan 43.907 46.322 48.925 50.584 53.739 2. Hiburan dan rekreasi 1.339 1.358 1.407 1.482 1.565 3. Perorangan dan rumah tangga 61.642 64.231 67.597 71.410 76.587
Jumlah 5.680.177 5.828.430 6.059.593 6.252.605 6.594.194
Tabel 8 : Produk Domestik Regional Bruto Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 (prosentase) Tahun 1998 -2002
No Lapangan Usaha 1998 1999 2000 2001 2002
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
-26,61 -0,45 -3,13 -1,25 3,21
a. Tanaman bahan makanan 21,51 -1,10 -0,93 -1,00 2,86 b. Tanaman perkebunan -79,45 1,12 -78,44 -84,54 6,67 c. Peternakan dan hasil-hasilnya -80,72 3,90 6,18 3,74 5,65 d. Kehutanan - - - - - e. Perikanan -10,98 3,74 -71,65 -77,27 4,00 2 Pertambangan dan Penggalian - - - - - a. Minyak dan gas bumi (migas) - - - - - b. Pertambangan tanpa migas - - - - - c. Penggalian - - - - -
3 Industri Pengolahan 3,37 3,37 5,26 2,72 4,86 a. Industri Migas - - - - - b. Industri Tanpa Migas 1,01 2,20 5,26 2,72 4,86
4 Listrik, Gas, dan Air Bersih -13,86 6,40 6,82 6,82 7,24 a. Listrik -13,96 6,21 7,10 6,60 7,01 b. Gas Kota - - - - - c. Air Bersih -12,84 8,34 3,93 9,12 9,61
5 Bangunan -48,70 -1,20 0,66 0,71 5,29
6 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 4,59 4,59 5,13 5,51 6,44 a. Perdagangan besar dan eceran 6,21 6,21 5,12 5,51 6,31 b. Hotel 4,23 4,23 8,20 6,44 6,96 c. Restoran 0,77 0,77 4,92 5,30 8,45
7 Pengangkutan dan Komunikasi 0,13 0,13 5,01 5,89 4,14 a. Pengangkutan 2,96 2,96 4,92 6,00 3,58 1. Rel 8,33 8,33 3,86 -14,65 6,61 2. Angkutan jalan raya 8,33 8,33 4,84 3,84 5,51 3. Angkuatan laut - - - - -
4. Angkutan sungai dan penyeberangan
- - - - -
5. Angkutan udara -32,42 -7,23 7,28 7,90 8,92 6. Jasa penunjang angkuatan 4,42 4,42 5,83 4,15 5,54 b. Komunikasi 11,00 11,00 6,40 4,30 12,43
8 Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan
1,22 1,22 -37,67 -40,78 31,24
a. Bank -68,39 -10,88 -
270,41 117,30 -8,50
b. Lembaga Keuangan Lainnya 7,80 7,80 7,00 7,53 4,86 c. Sewa Bangunan 2,30 2,30 7,10 7,64 7,72 d. Jasa Perusahaan -9,09 6,92 6,81 7,33 4,79
9 Jasa-Jasa 8,03 3,56 4,02 3,62 5,06 a. Pemerintahan Umum 14,19 1,36 1,31 1,41 6,68 b. Swasta 5,09 4,70 5,38 4,69 4,29 1. Sosial kemasyarakatan 0,26 5,50 5,62 3,39 6,24 2. Hiburan dan rekreasi -29,60 1,42 3,61 5,33 5,60 3. Perorangan dan rumah tangga 10,04 4,20 5,24 5,64 7,25
Jumlah -7,55 2,61 3,97 3,19 5,46 Sumber : PDRB Kota Tangerang, 2002
Tabel 9 : Pertumbuhan PDRB Kota Tangerang Tahun 1999-2002
Harga Berlaku Harga Konstan 1993 Tahun
PDRB Kenaikan (%) PDRB Kenaikan
(%) 1999 11.617.592 5,89 4.598.812 0,05
2000 12.354.524 6,34 4.619.487 0,45
2001 13.582.198 9,94 4.668.621 1,06
2002 14.877.236 9,53 4.654.221 -0,31
Sumber : PDRB 2002 (Bapeda, 2003)
Kondisi Sarana dan Prasarana
Gambaran mengenai prasarana perkotaan yang di Kota Tangerang secara
garis besar akan membahas mengenai pengelolaan dan penyediaan air
bersih, pengelolaan air limbah/sanitasi lingkungan, pengelolaan sampah, dan
jaringan drainase.
Pengelolaan dan Penyediaan Air Bersih
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan menunjukkan bahwa
dari keseluruhan penduduk di wilayah Kotamadya Tangerang pada tahun
2003 yang menggunakan sumur pompa 55 %, sumur pantek dan air hujan
23 %, dan sumur perpipaan PDAM sebesar 22 %. Sumber PDAM terdiri dari
• Kapasitas produksi 155 lt/detik PDAM Kota, 740 l/dt PDAM Kabupaten
dan 50 l/dt PDAM Swasta.
• Jumlah sambungan 8.516 unit (kota), 35.657 unit (kabupaten)
• Kebocoran 21,33 % (kota), 43,8 % (kabupaten)
A. Sistem Perpipaan
Wilayah pelayanan air bersih perpipaan di Kota Tangerang dilayani oleh
3 (tiga) Institusi, yaitu :
a) PDAM Kabupaten Tangerang
Dengan wilayah pelayanan Kecamatan Tangerang dan kecamatan
Jatiuwung. Sistem ini terbagi atas 3 cabang yaitu:
• Cabang Babakan, menggunakan Instalasi Pengolahan Air (IPA)
Babakan dengan kapasitas 80 liter/detik dan IPA Cikokol kapasitas
500 dan 100 l/detik. Dengan daerah pelayanan meliputi wilayah
pusat kota.
• Cabang perumnas I, menggunakan IPA Perumnas kapasitas 40
dan 20 liter/detik, serta IPA Cikokol dengan kapasitas 500 dan 100
liter/detik, dengan daerah pelayanan meliputi wilayah Perumnas I.
• Cabang Perumnas II, menggunakan IPA Cikokol kapasitas 500
dan 100 liter/detik, dengan daerah pelayanan meliputi Pusat Kota,
yaitu Tangerang, Bandara Soekano – Hatta, sebagian wilayah
Serpong dan wilayah Perumnas.
Total kapasitas terpasang sekitar 740 liter/detik. Sumber air baku
adalah Sungai Cisadane dengan kapasitas produksi sekitar 647
liter/detik yang didistribusikan dengan sistem pemompaan. Total
kapasitas terdistribusi 633 liter/detik dan yang terjual sekitar 356
liter/detik dengan penduduk terlayani sekitar 229.000 jiwa atau sekitar
16% penduduk Kota Tangerang.
Pendistribusian 3 (tiga) cabang sistem penyediaan air bersih tersebut
dilakukan secara terpadu, yaitu pipa distribusi antar masing-masing
cabang pelayanan saling berhubungan, sehingga air yang dihasilkan
IPA Cikokol akan interkoneksi dengan air yang dihasilkan dari IPA
Babakan dan IPA Perumnas I.
b) PDAM Kota Tangerang
Wilayah pelayanan air bersih PDAM Kota Tangerang yaitu Kecamatan
Batuceper dan Benda, dengan kapasitas terpasang saat ini sekitar
150 l/detik yang telah selesai pembangunannya baru terpakai ± 25
liter/detik, sedangkan sisanya masih dalam tahap konstruksi.
c) Jaringan Yang Dikelola Oleh Swasta
Pihak swasta membangun IPA kapasitas 100 liter/detik, dengan
memakai Sungai Cisadane sebagai sumber air baku. Direncanakan
PDAM Kota Tangerang akan bekerja sama dengan pihak swasta
untuk melayani air bersih di Kelurahan Pabuaran Tumpeng dan
Kelurahan Bugel sekitar jalan Moh. Toha di Kecamatan Karawaci
dengan memanfaatkan pipa distribusi milik PDAM.
Dalam rangka meningkatkan pelayanan, PDAM Kota Tangerang
merencanakan akan mengadakan kerjasama dengan pihak swasta
yaitu memanfaatkan sisa kapasitas dari IPA yang dimiliki swasta
sebesar 30 liter/detik dari total kapasitas yang dimiliki sebesari 100
l/idetik. Pihak swasta belum memiliki jaringan pipa distribusi, sehingga
selama ini penjualan air dilakukan dengan menggunakan mobil tangki.
PDAM Kotamadya Tangerang direncanakan akan memasang jaringan
pipa distribusi untuk menyalurkan air bersih dari IPA swasta yang
melayani Kelurahan Pabuaran Tumpeng dan Kelurahan Bugel sekitar
jalan M. Toha Kecamatan Tangerang.
B. Air Bersih Non Perpipaan
Untuk daerah yang belum terlayani oleh air bersih sistem perpipaan maka
dalam memenuhi kebutuhan akan air bersih yaitu dengan memanfaatkan
air tanah melalui sumur gali atau sumur dangkal.
System pelayanan air bersih non perpipaan ini biasanya ada dalam
lingkungan permukiman perkampungan penduduk. Cara yang digunakan
adalah melalui pengeboran sumur dangkal, atau memanfaatkan
keberadaan sungai.
Pengelolaan Drainase
A. Kondisi Eksisting Saluran Drasinase
Kota Tangerang berada pada ketinggian 0 – 30 m diatas permukaan
laut, kemiringan lahan antara 0% - 3% dan curah hujan antara 1500 –
2000 mm/tahun. Kawasan drainase Kotamadya Tangerang mencakup ±
7.300 Ha atau ± 88% dari luas wilayah terbangun.
Sistem drainase makro Kota Tangerang meliputi 4 buah sungai yang
melintasi wilayah kota, berikut sebagai badan air penerima dari sistem
drainase kota yaitu :
1. Sungai Cisadane,
2. Sungai Angke,
3. Sungai Cirarab,
4. Sungai Sabi,
Keempat sungai diatas mempunyai daerah tangkapan air yang cukup
luas dengan muara ke sebelah utara dan berakhir di laut Jawa. Selain
sungai yang berfungsi sebagai badan air penerima tersebut diatas
adalah Situ Cipondoh yang berfungsi sebagai tandon air seluas 126 Ha.
Sistem jaringan drainase di Kota Tangerang dibagi menjadi 2, yaitu :
• Sistem drainase makro/drainse alam, yaitu sungai dan anak-anak
sungai yang berfungsi sebagai badan air penerima.
• Sistem drainase Mikro meliputi saluran primer, sekunder dan tersier
dengan total pajang saluran ± 192.763 m.
Melihat kondisi eksisting yang ada yaitu : topografi yang relatif datar
berakibat air hujan tidak bisa cepat mengalir, curah hujan pertahunnya
yang cukup tinggi serta kondisi saluran drainase (primer, sekunder dan
tersier) ada yang kondisinya buruk terutama saluran sekunder yang
mencapai 52% dari panjang saluran sekunder yang ada maka dapat
disimpulkan bahwa KotaTangerang mempunyai potensi genangan.
B. Daerah Rawan Genangan
Akibat dari kondisi eksisting saluran drainase yang ada, maka genangan
menjadi masalah utama di Kota Tangerang dengan luas genangan
sekitar 180,5 Ha tersebar di 49 lokasi pada kawasan permukiman dan
jalan. Hal tersebut dirasakan sebagai suatu maslah mengingat genangan
menimbulkan rusaknya alam danmengganggu kualitas lingkungan
permukiman.
Beberapa wilayah tergenang sampai 72 – 120 jam dengan tinggi
mencapai 1,5 m dan wilayah lainberkisar antara 3 – 48 jam dengan tinggi
genangan 0,3 – 1 m.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perubahan Penggunaan Lahan
Perubahan penggunaan lahan yang terjadi dari ruang terbuka hijau
menjadi areal terbangun. Pada umumnya terjadi dari areal perkebunan dan
pertanian menjadi areal perumahan/permukiman, industri dan perdagangan
serta jasa. Dari tahun 1959 sampai dengan tahun 2003 perubahan lahan dari
ruang terbuka hijau menjadi areal terbangun mencapai 245% atau arata-rata
5,57% pertahun (Gambar 28, Gambar 29 dan Tabel 10) Luas lahan
terbangun pada tahun 1959 baru mencapai 37,18 ha atau 20% dari luas
wilayah, sedangkan luas lahan belum terbangun (ruang terbuka hijau)
mencapai 148,7 ha atau 80% dari luas wilayah. Dimana pada tahun 1959
pengunaan lahan di Kota Tangerang didominasi oleh perkebunan karet,
kebun sayuran dan umbi-umbian dan pertanian lahan basah (sawah) Hal ini
dapat dilihat pada Gambar 28. Pada tahun 2003 luas lahan terbangun
mencapai 128,26 ha atau 69% dariluas wilayah dan lruang terbuka hijau
seluas 57,62 ha atau 31% dari luas wilayah.
Dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2003 perubahan lahan dari
ruang terbuka hijau menjadi areal terbangun mencapai 23,6% atau rata-rata
2,36% pertahun. Perubahan penggunaan yang tinggi terjadi antara akhir
tahun 70-an sampai dengan tahun 1997, sedang dari tahun 1997 saat terjadi
krisis moneter yang berdampak pada krisis ekonomi sampai 2004 berjalan
lambat. Pada tahun 1999 pola penggunaan lahan sudah berubah dimana
perumahan/permukiman, industri dan ruang terbuka hijau mempunyai
dominasi yang hampir sama yang mengisi fisik ruang wilayah Kota
Tangerang (Gambar 29). Luas lahan terbangun pada tahun 1994
mencapai 103,77 ha atau 55,83% dari luas wilayah dan Ruang terbuka hijau
seluas 82,11 ha atau 44,17% dari luas wilayah.
Tabel 10. Perbandingan luas Lahan Terbangun dengan Ruang Terbuka Hijau di Kota Tangerang
PENGGUNAAN LAHAN
TAHUN 1959
(A)
TAHUN 1994
(B)
TAHUN 2003
(C) Areal terbangun Ruang Terbuka hijau
37,18 ha (20%) 14,7 ha (80%)
103,77 ha (55,83%) 82,11 (44,17%)
128,26 (69%) 57,62 ha (31%)
Sumber : (A) Peta dasar AMS Tahun 1959 (B) RTRW Kota Tangerang Tahun 1994 (C) Tangerang Dalam Angka Tahun 2004
Perubahan lahan dari lahan pertanian menjadi lahan industri
sebagian besar terjadi di Kecamatan Jatiuwung, Periuk, Karawaci dan
Batuceper, sedang di Kecamatan Benda kecil (Gambar 30 dan Tabel 10).
Pada tahun 1959 tidak ada lahan industri, luas lahan terbangun untuk
industri pada tahun 1994 seluas 916,25 Ha, sedangkan tahun 2003
mencapai 2.172 Ha atau 11,9% dari luas wilayah.
Perubahan lahan dari pertanian dan permukiman menjadi lahan
perdagangan dan jasa terjadi di pusat kota dan koridor jalan arteri dan
kolektor primer. Luas lahan terbangun untuk perdagangan dan jasa sampai
saat ini mencapai 367 Ha atau 2,01% dari luas wilayah kota (Gambar 30
dan Tabel 11).
Perubahan lahan dari pertanian ke perumahan/permukiman terjadi di
seluruh wilayah kota terutama di wilayah timur (kecamatan Ciledug, Karang
Tengah, Larangan) yang berbatasan degan Jakarta. Luas lahan terbangun
untuk perumahan dan fasilitasnya mencapai 8.465 Ha atau 46,4% dari luas
wilayah (Tabel 11).
Tabel 11 : Penggunaan Lahan Kota Tangerang Tahun 1999
KECAMATAN CILEDUG1) CIPONDOH2) TANGERANG3)
NO JENIS GUNA LAHAN
Luas(Ha) % Luas(Ha) % Luas(Ha) % A Kawasan Lindung 1 Situ Cipondoh 0 0,00 126 3,28 0 0,00 B Kawasan Budidaya I Lahan Terbangun
1.1 Perumahan, Fasos dan Fasum
2.000 74,43 1.772 46,19 2.003 61,59 1.2 Industri 0 0,00 106 2,76 436 13,41 1.3 Bandara Soekarno - Hatta 0 0,00 0 0,00 0 0,00 1.4 Perdagangan dan Jas a 75 2,79 64 1,67 155 4,77 1.5 Militer 0 0,00 0 0,00 0 0,00 1.6 Jalan 12 0,45 17 0,44 49 1,51 II Lahan Non Terbangun
2.1 Pertanian dan Ruang Terbuka
600 22,33 1.841 47,99 462 14,21 2.2 Lapangan Golf 0 0,00 36 0,94 111 3,41 2.3 Kuburan 0 0,00 0 0,00 36 1,11
Jumlah 2.687 100,00 3.836 100,00 3.252 100,00
KECAMATAN JATIUWUNG4) BATUCEPER5) BENDA
KOTA
NO
JENIS GUNA LAHAN
Luas (Ha) % Luas % Luas % Jml % A Kawasan Lindung 1 Situ Cipondoh 0 0,00 0 0,00 0 0,00 126 0,69 B Kawasan Budidaya I Lahan Terbangun
1.1 Perumahan, Fasos dan 1.199 33,0 850 45,1 655 22,1 8.479 46,41.2 Industri 1.299 35,8 300 15,9 31 1,05 2.172 11,91.3 Bandara Soekarno - Hatta 0 0,00 0 0,00 1.969 66,4 1.969 10,71.4 Perdagangan dan Jasa 55 1,52 18 0,96 0 0,00 367 2,01 1.5 Militer 50 1,38 0 0,00 0 0,00 50 0,27 1.6 Jalan 10 0,28 12 0,64 0 0,00 100 0,55 II Lahan Non Terbangun
2.1 Pertanian dan Ruang 1.013 27,9 649 34,4 309 10,4 4.874 26,72.2 Lapangan Golf 0 0,00 0 0,00 0 0,00 147 0,81 2.3 Kuburan 0 0,00 55 2,92 0 0,00 91 0,50
Jumlah 3.626 100, 1.884 100, 2.964 100, 18.24 100,Sumber : RTRW Kota Tangerang,(Bapeda, 2000) Keterangan : 1)
Meliputi Kecamatan Karang Tengah dan Larangan 2)
Meliputi Kecamatan Pinang 3) Meliputi Kecamatan Karawaci 4) Meliputi Kecamatan Cibodas dan Periuk 5) Meliputi Kecamatan Neglasari
45%12%
11%
2%0%1%
27%
1%1%0%
Perumahan, Fasos dan Famum IndustriBandara Soekarno - Hatta Perdagangan dan JasaMiliter JalanPertanian dan Ruang Terbuka Situ CipondohLapangan Golf Kuburan
126
18.249
0
5000
10000
15000
20000
Lu
as P
eman
faat
an L
ahan
(H
a)
Kawasan Lindung Kawasan Budidaya
Sumber : Tabel 11 Gambar 30. Proporsi Jenis Penggunaan Lahan Kota Tangerang Tahun 1999
Sumber : Tabel 11 Gambar 31. Perbandingan Kawasan Lindung dengan Kawasan Budidaya
Tahun 1999
Perumahan
Guna lahan untuk kegiatan perumahan dan permukiman termasuk
penggunaan yang paling dominan dalam pemanfaatan lahan terbangun
kegiatannya dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu :
Ø Perumahan yang tumbuh dan berkembang tidak tertata dalam skala
ruang yang relatif kecil atau yang lazim disebut perkampungan.
Ø Perumahan yang tumbuh dan berkembang dibangun secara massal oleh
perusahaan atau lembaga pengembang dalam skala ruang yang relatif
besar dengan berbagai kelengkapan fasilitas sosial yang umumnya
disebut kompleks perumahan.
Masing-masing kegiatan perumahan mempunyai pola sebaran berbeda.
Untuk perkampungan yang berada di sekitar pusat kota pada umumnya
menunjukkan pola sebaran menerus merapat, sedangkan di lokasi-lokasi
lainnya yang relatif jauh dari pusat kota pada umumnya mempunyai pola
cluster, sedangkan kompleks perumahan pada umumnya pola
pengembangannya tidak menerus dan menyesuaikan terhadap luas dan
bentuk lahan yang berhasil dibebaskan.
Perdagangan dan Jasa
Kegitan perdagangan dan jasa dari segi pemanfaatan lahan tersebar di
berbagai bagian wilayah kecamatan, tetapi pemanfaatan yang dominan
untuk keg iatan ini berada di pusat kota dan sebagian tumbuh pada koridor
jalan utama. Dilihat dari segi pengelompokkannya pada suatu lokasi maka
dapat dikenali adanya pengelompokkan kegiatan sebagai berikut :
Kegiatan perdagangan dan jasa yang teraglomerasi dan relatif luas, berada
di pusat kota dan dominan memanfaatkan lahan di lokasi tersebut sehingga
membentuk kawasan fungsional perdagangan dan jasa. Kegiatan ini berada
pada lokasi :
Sepanjang koridor Jalan Ki Asnawi – Pasar Anyar dan sekitarnya – dan Ki
Samaun
Koridor Jalan Gatot Subroto – Jalan Merdeka dan Terminal Cimone
1. Kegiatan perdagangan dan jasa yang memanfaatkan lokasi strategis, meliputi :
• Kegiatan pasar baik tradisional maupun modern/shopping centre
• Kegiatan perdagangan dan jasa yang tumbuh pada simpul pergerakan yang
menghubungkan beberapa kawasan perumahan, seperti pasar Bengkok dan
sebagainya.
• Kegiatan yang mengelompok di sekitar Terminal Pasar Baru dan berbagai
kegiatan perdagangan dan jasa yang tumbuh pada penggal Jalan M. Toha –
Jalan Merdeka
2. Kegiatan perdagagan dan jasa yang tumbuh sepanjang koridor jalan, seperti :
• Koridor Jalan MH. Thamrin – Serpong Raya
• Koridor Jalan Raya Ciledug – Kebayoran Lama DKI Jakarta, yang
membentuk koridor komersial terpanjang di Tangerang, sejak dari awal Jalan
Hos Cokroaminoto hingga Cipulir/over pas Kebayoran Lama Jakarta.
Termasuk pada koridor ini banyak dipenuhi kegiatan perdagangan dan jasa
oleh pelaku sektor informal sebagai pedagang kaki lima.
3. Kegiatan perdagangan dan jasa pada skala kegiatan yang lebih kecil, tumbuh di
pusat-pusat blok perumahan seperti ruko pertokoan eceran dan warung-warung.
Kegiatan ini hampir tersebar merata di setiap kelurahan/perkampungan maupun
komplek perumahan.
Untuk lebih jelasnya , sebaran kegiatan perdagangan dan jasa yang ada di Kota
Tangerang dapat dilihat pada Gambar 32.
Fasilitas pelayanan umum berupa pasar tradisional masih tetap menjadi tumpuan
kegiatan yang relatif besar perkembangannya dan semakin menarik bagi para
investor lokal. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya bentuk pengelolaan yang
dikelola oleh Dinas Pasar dan yang dikelola swasta.
a. Pasar yang dikelola oleh Dinas Pasar di Kota Tangerang diantaranya :
1. Pasar Anyar
2. Pasar Cikokol
3. Pasar Ciledug
4. Pasar Malabar
5. Pasar Bandeng (Perumnas I)
6. Pasar Gerendeng
7. Pasar Jatiuwung (Cibodas)
8. Pasar Ramadhani (Pasar Baru)
b. Pasar – pasar lain disamping kedelapan pasar tersebut, yang pengelolaannya
bukan oleh Dinas Pasar namun milik perseorangan atau perumahan. Pasar-
pasar tersebut mengelola baik administrasi pasar maupun masalah kebersihan
dilaksanakan sendiri tanpa melalui koordinasi dengan Dinas Pasar.
Kegiatan Industri
Kegiatan industri sebagai motor utama perekonomian Kota Tangerang
sebagian besar sebarannya terdapat di Kecamatan Jatiuwung, Batuceper,
Kecamatan Tangerang dan sebagain kecil di Kecamatan Cipondoh. Kegiatan
industri ini mayoritas berlokasi di pada koridor Jalan Daan Mogot-Batuceper
sedangkan sebagian lagi pada koridor Sungai Cisadane-Jalan Imam Bonjol-
Jalan M.H Thamrin. Kegiatan Industri di Kota Tangerang dapat dikatagorikan
sebagai :
1. Zona Industri
Yaitu suatu kawasan yang diperuntukkan dominasinya untuk kegiatan
industri dan dikembangkan berdasarkan perizinan secara individual
sesuai dengan tingkat kebutuhan. Zona ini yang paling dominan, seperti
pada koridor Jalan Daan Mogot, sebagian di Kecamatan Tangerang dan
Kecamatan Jatiuwung.
2. Kegiatan Industri Rumah Tangga (Home Industri)
Kegiatan ini sesuai dengan kegiatan sebagai industri rumah tangga,
hanya memanfaatkan ruang di kawasan lainnya seperti perumahan,
perdagangan dan jasa, ruang terbuka bantaran sungai, lahan pertanian
dan sebagainya. Kegiatan ini pada umumnya dilakukan tanpa izin lokasi,
namun selama belum menimbulkan gangguan masih dibiarkan tumbuh
dan berkembang. Khususnya bagi kegiatan informal industri ini yang
berada di bantaran Sungai Cisadane perlu pengarahan dan pengawasan
ruang yang lebih ketat.
Sedangkan untuk kegiatan home industri yang cenderung teraglomerasi
seperti industri pakaian jadi seperti di Cipadu – Ciledug perlu diarahkan
dan ditata pengembangannya agar dapat menimbulkan daya tarik
investor dan tidak menimbulkan konflik terhadap kegiatan lainnya.
Untuk lebih jelasnya mengenai sebaran lokasi industri, dapat dilihat pada
Gambar 33.
Pesatnya perkem bangan Kota Tangerang tidak terlepas dari
perkembangan Jakarta sebagai Pusat Kegiatan Nasional, terjadinya
perubahan kebijakan dalam pengisian fisik ruang di Jakarta berpengaruh
langsung terhadap wilayah hinterlandnya, termasuk Kota Tangerang.
Ketidakmampuan Kota Jakarta untuk menampung segala aktifitas
perekonomian dan hunian bagi penduduk yang bekerja di Jakarta
menyebabkan Kota Tangerang sebagai salah satu wilayah penyangga yang
menjadi alternative untuk menampung limpahan kegiatan perekonomian
maupun hunian bagi penduduk yang bekerja di Jakarta.
Pertambahan dan jumlah penduduk bagi Kota Tangerang bersifat
dilematis khususnya terhadap kebutuhan dan ketersediaan lahan. Pertama
kebutuhan terhadap lahan merupakan hal yang tidak bisa ditawar sehingga
lahan merupakan komoditi politik. Semakin besar pertumbuhan maupun
jumlah penduduk semakin besar pula kebutuhan dan ketergantungan
terhadap lahan. Hal ini bisa dimaklumi kebutuhan terhadap lahan tidak bisa
digantikan oleh komoditi lain. Di lain pihak pertumbuhan dan jumlah
penduduk yang besar pertumbuhan dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi
yang tingi, berarti kebutuhan akan lahan termasuk lahan pertanian untuk
permukiman, industri, sarana prasarana serta perdagangan da jasa semakin
besar. Oleh karena persediaan lahan (supply) dalam suatu wilayah adalah
tetap konflik persaingan penggunaan lahan akan semaikn besar, sehingga
tekanan terhadap konversi lahan pertanian dan ruang terbuka hijau lainnya
sebagai lahan resapan air akan semakin besar pula.
Secara teoritis pertumbuhan ekonomi yang tinggi cenderung
menyebabkan beberapa sektor ekonomi tumbuh dengan pesat, hal ini
merupakan sumber pergeseran alokasi lahan . Kondisi ini wajar karena land
rent persatuan luas yang diperoleh dari aktivitas baru lebih tinggi dari yang
dihasilkan pada lahan pertanian.
Secara teoritis kalau nilai produksi sector pertanian relatif tinggi
terhadap PDRB keseluruhan konversi lahan pertanian masih akan lambat.
Suatu wilayah yang mempunyai akses kuat baik jaringan transportasi yang
memungkinkan mobilitas barang dan jasa tinggi maupun system pasar
penuh distorsi, cenderung akan lebih memihak kepada investor komersial
dan memilih swasembada pangan dinamis yang sifatnya relative. Artinya
wilayah tersebut lebih mementingkan kemampuan daya beli terhadap
komoditi pertanian dan tidak mesti harus memproduksi komoditi pertanian
sendiri. Dari perkembangan PDRB dari Tahun 1999 sampai dengan 2003
terlihat PDRB terus meningkat, namun meningkatnya PDRB tidak dibarengi
kenaikan pada sector pertanian, sumbangan sector pertanian terhadap
PDRB cenderung tetap bahkan ada yang mengalami penurunan, sehingga
secara keseluruhan sumbangan sector pertanian terhadap PDRB secara
proporsional dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan (Gambar 34).
Pada tahun 1999 Sektor Pertanian menyumbang 21.087.000.000 rupiah
terhadap PDRB Kota Tangerang, tahun 2000 menyumbang 20.428.000.000
rupiah, tahun 2001 sebesar 20.190.000.000 rupiah, kemudian pada tahun
2002 sebesar 20.820.000.000 rupiah dan tahun 2003 menyumbang
21.550.000.000 rupiah.
Sumber : PDRB Kota Tangerang, Bapeda, 2003
Gambar 34. Perbandingan Sumbangan Sektor Pertanian terhadap Total PDRB Kota Tangerang atas Dasar Harga Konstan tahun 1993
Sektor industri merupakan penyumbang terbesar pada PDRB Kota
Tangerang lebih dari 50% setiap tahunnya PDRB Kota Tangerang diperoleh
dari sektor industri, dari tahun 1999 – 2003 sumbangan sektor industri terus
mengalami kenaikan. Pada tahun 1999 sektor industri menyumbang
3.124.788.000.000 rupiah terhadap PDRB Kota Tangerang, kemudian tahun
2000 menyumbang 3.289.052.000.000 rupiah, tahun 2001 sebesar
3.378.424.000.000 rupiah, tahun 2002 sebesar 3.542.509.000.000 rupiah
dan tahun 2003 menyumbang 3.681.649.000.000 rupiah terhadap PDRB
Kota Tangerang. Hal ini menunjukan bahwa land rent untuk idustri lebih
tinggi dari pertanian, sehingga terjadi perubahan lahan pertanian menjadi
industri (Gambar 30).
Sektor perdagangan, hotel dan restoran menyumbang sekitar 25% setiap
tahunnya, ini meruakan sumbangan yang cukup besar bagi perkembangan
ekonomi di Kota Tangerang dan setiap yahunnya mengalami peningkatan.
Pada tahun 1999 sektor perdagangan, hotel dan restoran menyumbang
1.465.377.000.000 rupiah tahun 2000 menyumbang 1.540.613.000.000
0
1000000
2000000
3000000
4000000
5000000
6000000
7000000
8000000
1999 2000 2001 2002 2003
Total PDRB
Sektor Pertanian
Tahun
PDRB (Jutaan rupiah)
0,36% 0,34 0,32 0,31 0,30
rupiah, kemudian tahun 2001 sebesar 1.625.467.000.000 rupiah tahun 2002
menyumbang 1.730.071.000.000 rupiah dan pada tahun 2003 sebesar
1.823.775.000.000 rupiah (Gambar 35).
Sumber : PDRB Kota Tangerang, Bapeda, 2003
Gambar 35. Perbandingan Sumbangan Sektor Industri Terhadap PDRB Kota Tangerang atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993
Sumber : PDRB Kota Tangerang, Bapeda, 2003 Gambar 36. Perbandingan Sumbangan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran
Terhadap PDRB Kota Tangerang atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993
0
1000000
2000000
3000000
4000000
5000000
6000000
7000000
8000000
1999 2000 2001 2002 2003
Total PDRB
Sektor Industri 53,7%
54,3 54,0 53,5
52,1
Tahun
(Dalam Jutaan Rupiah)
0
1000000
2000000
3000000
4000000
5000000
6000000
7000000
8000000
1999 2001 2003
Total PDRB
Sektor
Perdagangan
Sumbangan sektor lainnya diluar sektor peranian, industri dan
perdagangan juga menunjukan peningkatan setiap tahunnya, sehngga
secara keseluruhan penerimaan PDRB terus meningkat. Hal ini menunjukan
bahwa penggunaan lahan untuk sector lain seperti industri, perdagangan,
jasa dan sector lainnya mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi dari sector
pertanian. Dengan demikian koversi lahan dari pertanian atau Ruang terbuka
hijau menjadi kegiatan lain yang mempunyai nilai ekonomis semakin cepat.
Wilayah-wilayah yang mempunyai akses lebih baik cenderung membuat
aglomerasi termasuk juga bidang demografis. Pertumbuhan dan jumlah
penduduk suatu wilayah belum tentu langsung diterjemahkan dengan
kepadatan penduduk . Dua factor pertama tersebut langsung mengakibatkan
kepadatan penduduk hanya pada kawasan tertentu yang puna akses baik.
Kondisi ini akan berpengaruh pada kemungkinan alih fungsi lahan pertanian
lewat permintaan efektif terhadap lahan yang bersangkutan. Sehingga
pertumbuhan dan jumlah penduduk pun bisa bersifat mendua. Disatu pihak
penduduk merupakan factor produksi untuk sector pertanian karena
kebutuhan akan pangan yang meningkat tetapi penduduk juga merupakan
factor yang meningkatkan permintaan efektif terhadap komoditas non
pertanian seperti perumahan sarana dan prasarana umum, lokasi industri
serta perdagangan dan jasa.
Proses konversi lahan pertanian ke non pertanian hakekatnya
merupakan antara Richardian rent dan locational rent sehingga factor lokasi
sangat menentukan. Sehinga lokasi relative suatu kawasan terhadap akses
kawasan sangat menentukan. Akses kawasan tersebut meliputi jarak
terhadap pusat -pusat pertumbuhan maupun jaringan transportasi. Jarak
suatu kawasan diterjemahkan oleh jarak suatu kawasan terhadap Kota
Jakarta sebagai pusat primer dan pusat Kota Tangerang sebagai pusat
sekunder. Sedang akses jaringan transportasi dicoba didekati dengan
frekuensi keramaian lalu lintas yang tercermin dari ada tidaknya transportasi
kendaraan umum. Sehingga semakin dekat dengan pus at pertumbuhan dan
semakin ramai transportasi kendaraan umum akan mendorong proses
konversi lahan pertanian.
Pola Perubahan Sumberdaya Air
Perubahan Neraca Air Wilayah Kota Tangerang
Kuantifikasi potensi sumberdaya air di daerah penelitian memberikan
gambaran mengenai jumlah limpasan permukaan, yang diperoleh dari
interaksi antara hujan yang jatuh di wilayah Kota Tangerang, serta jenis
liputan lahan dan besarnya penguapan. Penguapan potensial
(evapotranspirasi) di daerah penelitian ini dihitung dengan cara Turc (1952)
dan Langbein (1949). Data klimatologi diperoleh dari Badan Meteorologi dan
Geofisika stasion Tangerang yang wilayah kerjanya mencakup seluruh Kota
Tangerang (Tabel 12 dan 13, Gambar 37 dan 38).
Tabel 12 : Data Curah Hujan Stasiun Tangerang Tahun 1994 – 2003 (Dalam mm)
TAHUN
JAN
FEB
MAR
APR
MEI
JUN
JUL
AUG
SEP
OKT
NOP
DES
TOTAL
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
416 549 267 521 210 326 359 233 594 121
288 292 599 122 294 259 324 175 504 478
253 233 129
80 247
91 109 259 171 148
246 123 198 127 113 42
170 209 147 33
7
70 80
3 216 166 201 93 27
101
39
135 71 70
138 56 47
146 46 21
0
116 40 15 87
126 15
114 104
0
0
29 110
0 110
18 59 15 16 23
1
207 46
0 90 22 18
133 0
62
3
90 182
0 217 224
70 195
0 88
152 259 171 100
82 141 195 213 145
68
27
474 150 119
54 226
53 231 105 399
1.432 2.577 2.043 1.157 1.858 1.697 1.620 2.016 1.859 1.542
Rata2
359,6
333,5
172
140,8
96,4
76,9
61,7
38
57,9
106,9
152,6
183,8
1.780,1
Sumber : Badan Meteorologi dn Geofisika Tangerang
0
100
200
300
400
500
600
700
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan
Cu
rah
Hu
jan
(m
m/B
ln)
Th. 1994
Th. 1995
Th. 1996
Th. 1997
Th. 1998
Th. 1999
Th. 2000
Th. 2001
Th. 2002
Th. 2003
Sumber : Tabel 12
Gambar 37. Grafik Curah Hujan Kota Tangerang Tahun 1994 – 2003
Tabel 13 : Data Temperatur Stasiun Tangerang Tahun 1994 – 2003 (Dalam °C)
TAHUN
JAN
FEB
MAR
APR
MEI
JUN
JUL
AUG
SEP
OKT
NOP
DES
Temp Rata2 Tahunan
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
26,0 26,6 26,2 26,0 27,8 26,1 26,4 26,7 26,7 27,8
26,7 26,6 26,3 26,2 27,4 26,2 26,3 26,4 26,4 26,7
26,1 26,3 26,7 27,1 27,4 27,2 27,2 26,9 27,4 27,0
27,0 27,0 27,2 26,9 27,7 27,7 27,5 27,4 27,5 27,9
26,9 27,6 27,4 27,3 28,3 27,1 27,6 27,7 27,9 28,0
26,9 27,2 27,1 27,3 27,1 25,9 26,7 26,7 27,6 27,5
26,3 26,7 27,2 26,5 27,0 26,3 27,0 26,6 27,1 27,2
26,4 26,7 26,9 26,6 27,0 26,4 27,0 27,2 27,0 27,5
26,8 27,0 27,4 27,1 27,7 27,4 27,9 27,4 27,9 278
27,8 27,6 26,9 28,0 27,2 27,2 28,0 27,1 28,8 27,9
28,1 26,8 26,9 27,2 27,4 28,8 27,2 27,2 28,4 27,8
27,4 26,8 26,0 27,7 27,4 26,7 27,6 27,3 27,8 27,9
26,9 26,9 26,9 27,0 27,5 26,9 27,2 27,1 27,5 27,6
Temp Rata2 Bulanan
26,6
26,5
26,9
27,4
27,6
27,0
26,8
26,9
27,4
27,7
27,7
27,6
27,1
Sumber : Badan Meteorologi dn Geofisika Tangerang
Dari data klimatologi stasiun Tangerang diperoleh data Presipitasi rata-rata
tahunan dan Suhu udara rata-rata, maka berdasarkan rumus diatas
diperoleh besarnya Evapotranspirasi (Table 14).
24,0
24,5
25,0
25,5
26,0
26,5
27,0
27,5
28,0
28,5
29,0
29,5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan
Suh
u U
dara
Th. 1994
Th. 1995
Th. 1996
Th. 1997
Th. 1998
Th. 1999
Th. 2000
Th. 2001
Th.2002
Th. 2003
Sumber : Tabel 13
Gambar 38. Grafik Suhu Udara Kota Tangerang Tahun 1994 – 2003
Tabel 14. Hasil Perhitungan Evapotranspirasi Periode 1994 – 2004
Rata-rata Tahunan Temp. Udara (°C)
Presipitasi (mm/thn)
Evapotranspirasi (mm/thn)
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1959
26,9 26,9 26,9 27,0 27,5 26,9 27,2 27,1 27,5 27,6 27,5 27,1
1.432 2.577 2.043 1.157 1.858 1.697 1.620 2.016 1.859 1.542 1.409 1.773
1.164 1.525 1.399 985
1.408 1.326 1.296 1450 1.169 1.274 1.194 1.353
Sumber : Dihitung dengan Menggunakan Rumus 13
Dengan demikian maka bisa diketahui besarnya jumlah air yang secara
potensial menguap kembali sebesar (1.369/1780) x 100% = 76,9%.
Selanjutnya dengan mengetahui curah hujan dan perhitungan
evapotranspirasi, aliran air limpasan permukaan dapat dihitung dengan
menggunakan table koefisien run-off (C) dari U.S Forest Service. Dimana
berdasarkan karakteristik wilayah ditetapkan bahwa koefisien run off untuk
kawasan terbangun sebesar 0,7 artinya dari air hujan yang jatuh ketanah
70% berpotensi menjadi run off, sedangkan untuk Ruang terbuka hijau 0,2.
Perhitungan run off didasarkan pada dua criteria yaitu kawasan terbangun
dan ruang terbuka hijau, dimana run-off (RO) = (P – ET) x C x luas wilayah.
Dengan luas wilayah terbangun 128,26 km2 atau 69% Run off pada tahun
2004 adalah 21.780.489 m3 (54,5%) dari air yang jatuh ketanah, pada tahun
1994 dengan luas lahan terbangun seluas 103,77 Km2 run off sebesar
23.868.348 m3 (48%) dari total air hujan yang jatuh ke tanah, sedang pada
tahun 1959 dengan luas lahan terbangun 18,59 Km2 yang didominasi
perumahan/permukiman dengan Koefien Dasar Bangunan (KDB) rendah
ditetapkan nilai C = 0,4 dan C untuk Ruang terbuka hijau 0,2 run off sebesar
18.736.704 m3 (24%) dari total curah hujan yang jatuh ke tanah.
Infiltrasi dihitung dengan menggunakan rumus F = (P – ET) x (1 – C) x luas
wilayah, infiltrasi dihitung untk kawasan terbangun dan ruang terbuka hijau
keduanya dijumlahkan menjadi total infiltrasi. Dengan luas wilayah terbangun
128,26 km2 atau 69% infiltrasi pada tahun 2004 adalah 18.183.711 m3
(45,5%) dari air yang jatuh ketanah, pada tahun 1994 dengan luas lahan
terbangun seluas 103,77 Km2 infiltrasi sebesar 25.947.492 m3 (52%) dari
total air hujan yang jatuh ke tanah, sedang pada tahun 1959 dengan luas
lahan terbangun 37,18 Km2 yang didominasi perumahan/permukiman
dengan Koefien Dasar Bangunan (KDB) rendah ditetapkan nilai C = 0,4 dan
C untuk Ruang terbuka hijau 0,2 infiltrasi sebesar 59.332.896 m3 (76%) dari
total curah hujan yang jatuh ke tanah.
Dari hasil perhitungan neraca air (Table 15 dan Gambar 41) yang dilakukan
pada tahun 1959, 1994 dan 2003 terlihat adanya kenaikan dalam run-off dari
tahun ketahun, sedangkan infiltrasi terus menurun hal ini disebabkan terus
meningkatnya kawasan terbangun. Pada tahun 1959 sampai tahun 1994
infiltrasi lebih bear dari run off, sedangkan pada tahun 2003 infiltrasi lebih
kecil dari run-off.
Gambar 39. Distribusi Air Hujan yang Jatuh di Daerah Penelitian (Saefulhakim,2005)
Tabel 15. Hasil Perhitungan Neraca Air Tahun 1959, 1994 dan 2004
Guna Lahan Luas Lahan
(Km2) P
(mm) ET
(mm) F
(m3) RO (m3)
Perbandingan F vs RO
( % ) Tahun 2004 Terbangun Ruang Terbuka Total Tahun 1994 Terbangun Ruang Terbuka Total Tahun 1959 Terbangun Ruang Terbuka Total
128,26 57,62
185,88
103,77 82,11
185,88
37,18 148,70 185,88
1.409
1.432
1.773
1.194
1.164
1.354
8.272.589 9.911.122
18.183.711
8.343.108 17.604.384 25.947.492
9.368.352 49.964.544 59.332.896
19.302.709 2.477.780
21.780.489
19.467.252 4.401.096
23.868.348
6.245.568 12.491.136 18.736.704
45,5 : 54,5
52 : 48
76 : 24
Sumber : Tabel 14 dan Gambar 41 Simbol : Keterangan simbol sama dengan Gambar 41
Kawasan Terbangun
C = 0,7
Ruang Terbuka Hijau C =
0,2
P
ET
ET
F
F
F
P P
RO
RO
RO
P = Presipitasi ET = Evapotranspirasi F = Infiltrasi RO = Run-Off C = Koefisien Run Off
Pr P
r
Sumber : Tabel 15
Gambar 40. Perbandingan Infiltrasi dan Run Off
Debit Sungai Cisadane
Fluktuasi debit rata-rata bulanan Sungai Cisadane di Stasiun
pengamat Pasar Baru Tangerang menunjukan bahwa debit bulanan
berfluktuasi mulai dari 41,6 m3/det pada bulan Agustus hingga 103,1 m3/det
pada bulan Februari, Pada stasiun pengamatan Serpong fluktuasi debit rata-
rata bulanan Sungai Cisadane dari tahun 1960 – 2000 menunjukan bahwa
debit bulanan berfluktuasi mulai dari 10,15 m3/det pada bulan Agustus
hingga 366,1 m3/det pada bulan Februari. Pada musim penghujan fluktuasi
debit relatif tinggi seiring dengan tingginya curah hujan, namun pada
musimkemarau fluktuasi debit tidak sejalan dengan fluktuasi curah hujan.
Pada musim kemarau, meskipun curah hujan rendah (< 100 mm/bln), namun
fluktuasi debit pada bulan-bulan tertentu masih relatif tingi (42 – 75 m3/det).
Hal ini disebabkan bahwa debit Sungai Cisadane tidak hanya tergantung
0
10000000
20000000
30000000
40000000
50000000
60000000
Th. 1959 Th. 1994 Th. 2003
InfiltrasiRun Off
(m3/Th)
pada curah hujan di Kota Tangerang dan sekitarnya, namun juga juga
tergantung pada kondisi curah hujan di bagian hulu, di wilayah Bogor dan
sebagian Kabupaten Tangerang di bagian hulu. Fluktuasi debit dapat dilihat
pada Tabel 16, Gambar 43 dan Lampiran 6.
Tabel 16. Fluktuasi debit Sungai Cisadane yang Terukur di Stasiun Pengamatan Pasar BaruTahun 1999 – 2004
Parameter Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
Q-max 386,2 348,0 208,7 371,5 298,5 308,3 318,1 208,7 239,9 378,1 385,5 232,2
Q-rata2 81,1 87,5 56,8 70,1 80,2 65,1 52,8 41,6 51,2 75,3 81,0 59,0
Q-min 17,1 14,9 6,6 14,3 21,0 16,2 12,6 6,0 4,9 6,2 20,1 9,5 Sumber : Dokumen Amdal PDAM Kabupaten, 2005
Berdasarkan Tabel 16 memperlihatkan fluktuasi bulanan debit
maksimum, debit minimum dan debit rata-rata bulanan Sungai Cisadane
yang terukur di stasiun pengamatan Pasar Baru Tangerang, sedangkan
Gambar 43 memperlihatkan secara visual fluktuasi debit rata-rata dan debit
minimum bulanan dari tahun 1999 – 2004
0,0
50,0
100,0
150,0
200,0
250,0
300,0
350,0
400,0
450,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan
Deb
it (m
3/d
et)
Q-max
Q-rata2
Q-min
Sumber : Tabel 16
Gambar 41. Grafik Flukuasi Debit Sungai Cisadane Tahun 1999 - 2004
Data debit rata-rata bulanan yang terukur di stasiun pengamatan Pasar Baru
Tangerang memperlihatkan pada periode Oktober – Februari dan Periode
Maret – Mei, debit rata-rata bulanan Sungai Cisadane berkisar antara 75,3 –
87,5 m3/det berada di atas rata-rata tahunan sebesar 66,8 m3/det.
Sedangkan selama periode Mei – September, Desember dan Maret, debit
rata-rata bulanan berada di bawah rata-rata tahunan, yaitu berkisar antara
41,6 - 65,1 m3/det.
Debit Sungai Cisadane yang diamati antara tahun 1950 – 2000 terlihat
perbedaan debit maksimum dan minimum dari tahun 1950 – 1990 tidak
terlalu besar dan cenderung stabil. Tahun 1990 – 2000 perbedaan debit
maksimum dan minimum menunjukan angka yang lebih besar dari tahun-
tahun sebelumnya dan perbedaan keragaman debit sungai ini cenderung
semakin besar (Gambar 44).
Grafik Debit Bulanan Tahun 1950 - 2000
0
50
100
150
200
250
300
350
4000 1
00
20
0
30
0
40
0
50
0
60
0
Bulan
Deb
it (
m3/
det
)
Sumber : Lampiran 6 Gambar 42. Fluktuasi Debit Bulanan Sungai Cisadane Tahun 1959 - 2000
Keragaman debit Sungai Cisadane terlihat kecil dan cenderung stabil
dari tahun 1950 – 1995, namun dari tahun 1995 – 2000 terjadi lonjakan nilai
keragaman dimana keragaman pada perioda tersebut jauh lebih besar dari
tahun-tahun sebelumnya (Gambar 45 dan Lampiran 7).
Grafik Varian Debit Sungai Tahun 1950 - 2000
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000 2010
Tahun
Var
ian
Series1
Sumber : Lampiran 6 Gambar 43. Grafik Varian Debit Sungai Cisadane Tahun 1950 - 2000
Koefisein Keragaman debit Sungai Cisadane terlihat kecil dan
cenderung stabil dari tahun 1950 sampai pertengahan dekade 90, namun
pertengahan dekade 90 terjadi lonjakan nilai koefisien keragaman dimana
keragaman pada perioda tersebut jauh lebih besar dari tahun-tahun sebelum
dan sesudahnya, pada akhir dekade 90 koefisien keragaman kembali normal
sama seperti sebelum pertengahan dekade 90 (Gambar 46 dan Lampiran
7).
Koefisien Keragaman Debit sungai Cisadane Tahun 1950 - 2000
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000 2010
Tahun
Co
vari
an
Sumber : Lampiran 6 Gambar 44. Grafik Covarian Debit Sungai Cisadane Tahun 1950 – 2000
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
140.00
160.00
180.00
TAHUN
TAHUN
DE
BIT
RA
TA
-RA
TA
TA
HU
NA
N (
m3
/de
t)
Sumber : Lampiran 6
Gambar 45. Grafik Rata-rata Tahunan Debit Sungai Cisadane Tahun 1950 - 2000
Debit Sungai Cisadane rata-rata tahunan dari tahun 1950 – 2000
menunjukan debit rata-rata tahunan yang fluktuatif, secara umum fluktuasi
debit tahunan menunjukan keseragaman, namun terdapat debit rata-rata
yang sangat tinggi di atas 100 m3/det pada 5 titik tahun, yaitu pada tahun
1958, 1972, 1981, 1996 dan tahun 2000.
Perbedaan fluktuasi debit Sungai Cisadane, Keragaman dan koefisien
keragaman yang menunjukan kenaikan yang signi fikan pada dekade 90 an
diduga akibat perubahan pengunaan lahan yang menunjukan perkembangan
yang sangat besar yang terjadi pada dekade 90, dimana booming
perumahan dan industri mencapai klimaks pada dekade ini. Perubahan
penggunaan lahan tersebut berakibat pada meningkatnya debit sungai pada
musim hujan dan menurunnya debit sungai pada musim kemarau akibat dari
semakin kecilnya pasokan air tanah terhadap sungai pada musim kemarau
dan besarnya pasokan run off pada musim hujan.
Kondisi Hidrogeologi
Data hasil penafsiran geolistrik yang dilakukan Tahun 2004 (Gambar 48 dan
Lampiran 8) menunjukan bahwa muka air tanah dangkal di Kota Tangerang
bervariasi antara 8 – 20 m dibawah permukaan tanah atau rata rata tinggi
muka air tanah dangkal 14 meter dengan ketebalan akifer rata-rata 16 m.
Sumber : Identifikasi dan Pemetaan Konservasi Air Tanah Kota Tangerang, Dinas
Lingkungan Hidup Kota Tangerang, 2004
Gambar 46. Susunan Lapisan Hasil Penafsiran Data Geolistrik
Sedangkan berdasarkan data sumur bor (Dinas Lingjungan Hidup)
kedalaman muka air tanah dangkal antara 2 – 12 m atau atau rata-rata 7 m.
Pada tahun enam puluhan kedalaman muka air tanah dangkal daerah
Jakarta rata-rata 5 m dibawah permukaan tanah (Muif, 1991), dengan
melihat adanya kesamaan pada beberapa parameter antara lain litologi,
dimana Jakarta dan Tangerang didominasi oleh endapan alluvial, dilihat dari
hidrogeologi dimana Cekungan Air Tanah sebagian wilayah Tangerang
termasuk dalam Cekungan air tanah Jakarta, kemudian dari hidrologi
Wilayah Tangerang dan sebagian wilayah Jakarta termasuk dalam DAS
Cisadane, kemudian dalam hal morfologi/topografi Jakarta dan Tangerang
mempunyai kesamaan yaitu merupakan dataran dengan elevasi yang hampir
sama dan dari data klimatologi hampir ada kesamaan antara Jakarta dan
Tangerang, maka dapat di simpulkan bahwa muka air tanah di wilayah
Tangerang pada tahun enam puluhan berada pada kedalaman rata-rata 5 m
di bawah permukaan tanah. Sehingga bisa diketahui bila mengacu pada
hasil penafsiran geolistrik telah terjadi penurunan muka air tanah dangkal
setinggi 9 m dalam kurun waktu empat puluh tahunan. Sedangkan bila
mengacu pada data sumur bor penurunan muka air tanah dangkal hanya 2
meter selama 45 tahun. Dengan demikian penurunan muka air tanah
dangkal yang terjadi rata-rata 4,4 cm/tahun. Bila dikonversikan dengan
perubahan penggunaan lahan terjadi penurunan muka air tanah dangkal
sebesar 0,816 cm setiap 1% perubahan guna lahan dari ruang terbuka hijau
menjadi areal terbangun. Perubahan penurunan air tanah dangkal dapat
dilihat pada Gambar 49.
Sumber : Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang
Gambar 47. Perubahan Tinggi Muka Air Tanah Dangkal
Tinggi muka air pada akifer dalam berada pada kedalaman 40 sampai 100 m
atau rata-rata 70 m dibawah permukaan tanah (Lampiran 8). Jenis air tanah
dalam dari hasil interpretasi geolistrik merupakan air asin, hal ini menunjukan
bahwa kondisi air tanah dalam telah terintrusi oleh air laut, hal ini terjadi
0
1
2
3
4
5
6
7
Tahun1959
Tahun2004
Data Sumur
dimana pengambilan air tanah dalam yang sebagian besar digunakan untuk
keperluan industri lebih besar dari infiltrasi yang masuk kedalam cekungan
air tanah Tangerang, sehingga kekosongan akibar terjadinya eksploitasi air
tanah secara besar-besaran terisi oleh air laut yang mendesak ke daratan.
Perbedaan kedalaman muka air tanah dalam yang signifikan terdapat pada
kawasan industri, dimana pada kawasan industri mempunyai kedalaman
yang lebih besar dari wilayah sekitarnya, Hal ini terjadi akibat dari
pengambilan air tanah dalam yang intensif yang dilakukan oleh perusahaan
untuk kegiatan industri.
Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane
Letak dan Luas
Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane terletak pada 1060 28’50” - 1060 56’20”
BT dan 60 0’59” - 60 47’02” LS, yang meliputi 202 desa dalam 18 kecamatan
di wilayah Kabupaten Bogor, 33 kelurahan dalam 3 kecamatan di wilayah
Kota Bogor, 80 desa dalam 9 kecamatan di wilayah Kabupaten Tangerang
dan 43 kelurahan dalam 10 kecamatan di wilayah Kota Tangerang.
Berdasarkan penafsiran Citra Landsat tahun 2001 dan peta topografi skala 1
: 50.000 las DAS Cisadane seluas 156.043 Ha. Untuk lebih jelasnya bisa
dilihat pada peta wilayah pada Lampiran 1.
Topografi
Topografi di wilayah DAS Cisadane bervariasi dari bergelombang berbukit
dan bergunung dengan ketinggian berkisar antara 0 meter sampai dengan
1200 meter di atas permukaan laut. Klas kelerengan di DAS Cisadane
beragam dari yang datar sampai yang sangat curam. Kelas kelerengan datar
menempati wilayah seluas 114.153 ha (73,15%), Kelas kelerengan curam
seluas 16.320,5 ha (10,46%) dan Kelas kelerengan sangat curam seluas
25.569,5 ha (16,44%). Morfologi DAS Cisadane bisa dilihat pada peta
geomorfologi pada Lampiran 2.
Tanah dan Geologi
Tanah-tanah di wilayah DAS Cisadane terdiri dari berbagai jenis seperti
Aluvial, Regosol, Andosol, Rensina, Grumosol Mediteran dan Latosol yang
mempunyai erodibilitas dan kedalaman yang berbeda. Erodibilitas tanah
ditentukan oleh tekstur, struktur, permeabilitas dan bahan-bahan organik
tanah
Penyebaran tanah di DAS Cisadane dalah sebagai berikut :
Tanah aluvial, mempunyai tekstur seperti liat (clay), berdebu (silty clay),
lempung berliat (clay loam), lempung liat berdebu (silty clay loam), tanah ini
penyebarannya seluas 23.290,5 ha.
Tanah Regosol , brtekstur gumpal dengan permeabilitas sedang,
erodibilitasnya tergolong agak tinggi dan mempunyai kedalaman tanah yang
dangkal. Penyebaran tanah ini di DAS Cisadane seluas 9.404 Ha.
Tanah Andosol, berteksturlempung (loam) dan mempunyai struktur antara
sedang, kasar sampai gumpal serta permeabilitas yang dominan sedang
dengan kandungan bahan organik antara 2,63 – 6%. Penyebaran tanah ini di
DAS Cisadane seluas 25.329 Ha.
Tanah Latosol, bertekstur liat (clay) dengan kandungan bahan organik
antara 1,24 – 6,93% struktur gumpal, permeabilitas sedang sampai lambat
dan kedalaman solum 90 cm. Penyebaran tanah latosol ini meliputi areal
seluas 91.462,8 ha.
Tanah Podsolik, merupakan tanah merah yang mempunyai spektrum yang
sangat luas. Dalam keadaan alam kesuburan tanah hanya terbatas pada
lapisan berbahan organik di atas, dan bila digunakan kurang maksimal,
kesuburannya cepat menurun. Pembakaran akan mempercepat merosotnya
kesuburan kimia dengan merusak struktur tanah, untuk merehabilitasi
kembali sangat sukar. Tanah ini dikenal kemiskinannya akan Ca, N, P dan K
serta unsur makro, MO dan S karena jeleknya sifat kimia dan fisik tanah.
Tanah podsolik ini merupakan tanah marginal untuk pertanian berumur
panjang. Umumnya tanah podsolik lebih sesuai untuk tanaman tahunan
misalnya tanaman perkebunan dan kehutanan. Daerah penyebarannya
meliputi areal seluas 6.556,7 ha.
Untuk lebih jelasnya penyebaran jenis tanah di DAS Cisadane bisa dilihat
pada Lampiran 3.
Ikilm
Wilayah DAS Cisadane mempunyai iklim tropis yang dipengaruhi oleh angin
muson dan mempunyai dua musim yaitu musim penghujan dan musim
kemarau. Musim penghujan berlangsung antara bulan Nopember hngga
bulan april sedangkan musim kemarau antara bulan Juni hingga Oktober.
Curah hujan adalah salah satu faktor iklim yang sangat berpengaruh besar
terhadap proses erosi. Semakin tinggi intensitas hujan dan semaki lama
jatuh maka erosi yang terjadi akan semakin besar apabila faktor-faktor lain
yang mempengaruhi proses terjadinya erosi tidak berbeda. Curah hujan rata-
rata pertahun selama lima tahun di DAS Cisadane brkisar antara 1.731 mm
sampai dengan 5.098 mm.
Vegetasi Penutup Lahan
Keadaan vegetasi di DAS Cisadane dapat dibedakan menjadi vegetasi yang
terdapat didalam kawasan hutan dan yang berada di luar kawasan hutan.
Vegetasi penutup lahan disini diartikan sebagai prosentase penutupan lahan
oleh tanaman, baik tanaman tahunan maupun tanaman semusim. Penutupan
lahan di DAS Cisadane didominasi oleh jenis tanaman perkebunan berupa
tanaman perkebunan, jenis tanaman palawija, sayuran dan tanaman
semusim lainnya meliputi sawah seluas 54.960,5 ha dengan tipe
penggunaan sebagai tegalan/ladang, kebun campuran dan tanah pertanian
terpadu seluas 9.193,2 ha, penggunaan lahan untuk perkebunan seluas
24.898,4 ha, semak belukar seluas 11.261,5 ha, vegetasi berupa hutan
menurut fungsinya seluas 15. 736,1 ha dan tambak seluas 3.016 ha serta
pengguaan lahan untuk permukiman seluas 36.977,3 ha. Peta penggunaan
lahan DAS Cisadane disajikan dalam Lampiran 4.
Hidrologi
Debit maksimum di wilayah DAS Cisadane sebesar 415,66 m³/detik pada
tinggi muka air 3,19 m dan debit minimum sebesar 78,19 m³/detik pada tinggi
muka air 0,96 m. Keadaan aliran tersebut menunjukan nilai koefisien regin
sungai (KRS) sebesar 5,13 yang memberikan indikasi bahwa kontinuitas
aliran di DAS Cisadane tidak normal. Peta Daerah Tangkapan air disajikan
dalam Lampiran 5 .
Neraca Air DAS Cisadane
Dalam perhitungan neraca air DAS digunakan asumsi bahwa rata-rata
kedalaman efektif tanah adalah 100 cm. Dalam perhitungan neraca air DAS,
dimana DAS Cisadane mencakup wilayah Bogor, Serpong dan Tangerang,
digunakan data curah hujan bulanan dari tiga stasiun pencatat hujan yang
masing-masing mewakili wilayah Bogor, Serpong dan Tangerang. Bobot
dugaan cakupan luas stasiun pencatat hujan Bogor sekitar 0,51, bobot
dugaan cakupan luas stasiun pencatat hujan Serpong sekitar 0,31, dan
bobot dugaan cakupan luas stasiun pencatat hujan Tangerang sekitar 0,18
dari seluruh wilayah DAS. Melalui pembobotan yang didasarkan pada luas
cakupan representasi masing-masing stasiun hujan, maka kemudian
ditentukan nilai curah hujan wilayah terboboti yang mewakili DAS Cisadane.
Nilai-nilai curah hujan pada Tabel 17 memperlihatkan bahwa curah hujan
wilayah DAS Cisadane (Chwil berkisar antara 75 mm/bln pada bulan Agustus
hingga 299 mm/bln pada bulan Maret. Sedangkan evaporasi potensial (ETP)
diduga berkisar antara 110 mm/bln pada bulan februari hingga153 mm/bln
pada bulan September.
Kondisi CHwil dan ETP yang berfluktuasi tidak seirama
mengakibatkan adanya periode-periode dimana CHwil lebih tinggi dari ETP
serta periode-periode dimana CHwil lebih rendah dari ETP. Periode dimana
CHwil lebih tinggi dari ETP terjadi selama 9 bulan, yaitu antara Oktober
hingga Juni. Selama Periode tersebut terjadi siklus yang besarnya berkisar
antara 7 – 180 mm/bulan, dan diperkirakan debit sungan Cisadane akan
lebih tinggi dibandingkan priode lainnya. Sedangkan periode dimana CHwil
lebih rendah dari ETP terjadi selama 3 bulan, yaitu antara Juli hingga
September. Selama Periode tersebut akan terjadi defisit Yang besarnya
antara 1-33 mm/bulan (Gambar 47), dan diperkirakan debit sungai Cisadane
akan menurun, namun tidak habis, karena air yang mengalir di sungai adalah
cadangan air sungai yang tersimpan didalam tanah berasal dari kelebihan
selama periode surplus.
Tabel 17. Analisa Neraca Air DAS Cisadane
Parameter Satuan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
Tahunan
CH Bogor mm 282 329 370 331 259 204 134 88 230 289 358 396 3270
CH Serpong mm 254 254 220 210 185 86 60 91 97 137 211 207 2012
CH Tangerang mm 293 243 233 100 79 31 19 13 22 79 109 111 1332
CH-Wilayah mm 275 290 299 252 203 136 90 75 151 204 268 286 2529
ETO mm/ hari 4,1 3,9 4,1 4,3 4,3 4,3 4,7 4,8 5,1 4,7 4,2 3,9 4,4
Jumlah Hari hari 31 28,3 31 30 31 30 31 31 30 31 30 31
ETP mm 127 110 127 129 133 129 146 149 153 146 126 121 1596
CH- ETP mm 148 180 172 123 70 7 -55 -73 -2 58 142 165 935
APWL mm 0 0 0 0 0 0 -55 -129 -131 0 0 0
KAT mm 150 150 150 150 150 150 103 63 62 120 150 150
DKAT mm 0 0 0 0 0 0 -47 -40 -1 58 30 0
ETA mm 127 110 127 129 133 129 137 116 152 146 126 121 1553
Defisit mm 0 0 0 0 0 0 9 33 1 0 0 0 43
Surplus mm 148 180 172 123 70 7 0 0 0 0 112 165 977
Sumber : Dokumen ANDAL PDAM Kabupaten Tangerang, 2005
Kondisi CHwil dan ETP yang berfluktuasi tidak seirama
mengakibatkan adanya periode-periode dimana CHwil lebih tinggi dari ETP
serta periode-periode dimana CHwil lebih rendah dari ETP. Periode dimana
CHwil lebih tinggi dari ETP terjadi selama 9 bulan, yaitu antara Oktober
hingga Juni. Selama Periode tersebut terjadi siklus yang besarnya berkisar
antara 7 – 180 mm/bulan, dan diperkirakan debit sungan Cisadane akan
lebih tinggi dibandingkan priode lainnya. Sedangkan periode dimana CHwil
lebih rendah dari ETP terjadi selama 3 bulan, yaitu antara Juli hingga
September. Selama Periode tersebut akan terjadi defisit Yang besarnya
antara 1-33 mm/bulan (Gambar 50), dan diperkirakan debit sungai Cisadane
akan menurun, namun tidak habis, karena air yang mengalir di sungai adalah
cadangan air sungai yang tersimpan didalam tanah berasal dari kelebihan
selama periode surplus
0
20
40
60
80
100
120
140
160
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan
Tin
gg
i Ko
lom
Air
Tan
ah (
mm
/Bln
)
Sumber : Tabel 17
Gambar 48. Kondisi Air Tanah DAS Cisadane
-50
0
50
100
150
200
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan
Tin
gg
i K
olo
m A
ir (
mm
/Bln
)
Sumber : Tabel 17
Gambar 49. Grafik Surplus dan Defisit Air DAS Cisadane
Keterkaitan antara Penggunaan Lahan dengan Sumberdaya Air
Seperti dibahas dalam perhitungan neraca air Kota Tangerang yang dihitung
pada tiga titik tahun yang berbeda, dimana pada tahun 1959 dengan luas
wilayah terbangun baru 20%, volume infiltrasi jauh lebih besar dari run off
dimana infiltrasi sebesar 76% dari curah hujan yang jatuh ke permukaan
tanah, sedangkan run off hanya 24%, kemudian pada tahun 1994 dimana
luas lahan terbangun sebesar 55,83% infiltrasi sebesar 52% sedangkan run
off sebesar 48%, pada tahun 2003 dimana luas lahan terbangun mencapai
69%, infiltrasi yang terjadi sebesar 45,5% dan run off sebesar 54,5%. Hal ini
menunjukan bahwa ketersediaan sumberdaya air terutama air tanah
tergantung dari jenis penggunaan lahan yang ada, makin banyak lahan
terbangun yang merupakan perubahan dari pertanian/ruang terbuka hijau
menjadi penggunaan lahan lain seperti perumahan, industri maupun
perdagangan dan jasa, makin kecil air hujan yang meresap kedalam tanah
dan menjadi cadangan air tanah. Disisi lain kebutuhan terhadap air tanah
dari waktu ke waktu semakin meningkat. Pengguna air tanah terbesar adalah
untuk rumah tangga yang memanfaatkan air tanah dangkal dan industri yang
memanfaatkan air tanah dalam. Total volume pengambilan air tanah dalam
pada tahun 2004 adalah 13.977.201 m3. Untuk lebih jelasnya kebutuhan
terhadap air tanah dalam oleh berbagai kelompok pengguna air tanah dapat
dilihat pada Lampiran 9 dan untuk menghitung penggunaan air tanah
dangkal oleh masyarakat/rumah tangga dengan menghitung jumlah
penduduk dikalikan standar kebutuan air bersih dikurangi distribusi air PDAM
untuk rumah tangga. Hasil perhitungan pengambilan air tanah oleh kelompok
rumah tangga dibahas dalam sub bab ekonomi air dan tabel perhitungan
total kebutuhan terhadap air bersih berdasarkan jumlah penduduk dan total
suply air PDAM untuk rumah tangga dapat dilihat pada Lampiran 10.
Dengan menurunnya cadangan air tanah maka air permukaan semakin
meningkat, sebagaimana telah diuraikan dalam bab pendahuluan tentang
neraca air bahwa jumlah air secara keseluruhan adalah tetapp, jadi bila
terjadi pengurangan pada salah satu variabel maka akan terjadi peningkatan
pada variabel yang lain. Peningkatan jumlah/debit air permukaan yang tidak
terkendali dapat menimbulkan bahaya banjir. Perubahan ketersediaan
sumberdaya air yang terkait dengan perubahan penggunaan lahan
ditampilkan dala Tabel 18 di bawah ini.
Tabel 18. Perbandingan Ketersediaan Sumberdaya Air dengan Penggunaan Lahan Tahun 1959, 1994 dan 2004
Kondisi Lahan
Luas Lahan (Km2)
(%)
Infiltrasi
(F) (m3)
(%)
Run-Off
(RO) (m3)
( % )
Tahun 2004 Terbangun Ruang Terbuka Total Tahun 1994 Terbangun Ruang Terbuka Total Tahun 1959 Terbangun Ruang Terbuka Total
128,26 57,62
185,88
103,77 82,11
185,88
37,18 148,70 185,88
69 31
100
55,83 44,17
100
20 80
100
8.272.589 9.911.122
18.183.711
8.343.108 17.604.384 25.947.492
9.368.352 49.964.544 59.332.896
45,5
52
76
19.302.709 2.477.780
21.780.489
19.467.252 4.401.096
23.868.348
6.245.568 12.491.136 18.736.704
54,5
48
24
Sumber : Tabel 15
Seperti pada pembahasan sebelumnya perubahan penggunaan lahan
dari ruang terbuka hijau menjadi areal terbangun memerikan dampak
terhadap menurunya infiltrasi sebagai pasokan terhadap keberadaan air
tanah, dengan demikian muka air tanah pun akan menurun. Penurunan
muka air tanah bisa dilihat dengan membandingkan pada waktu yang
berbeda, dalam penelitian ini dibandingkan penurunan muka air tanah dan
kondisi lahan pada tahun 1959 dengan tahun 2004 seperti pada Tabel 19
dibawah ini.
Tabel 19. Perkembangan Perubahan Muka Air Tanah Tahun 1959 dan 2004
Sumber : Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang
Berdasarkan data yang curah hujan dan suhu udara rata-rata tahunan Kota
Tangerang yang diperileh dari Badan Meteorologi dan Geofisika Kota
Tangerang diperoleh grafik curah hujan dari tahun 1994 sampai dengan
tahun 2000 secara umum cenderung konstan (Gambar 52), sedangkan suhu
udara rata-rata tahunan dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2000 secara
umum terlihat menunjukan kenaikan (Gambar 53 ), Kenaikan suhu udara
diduga disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan dari ruang terbuka
hijau menjadi kegiatan industri dan prasarana jalan yang semakin besar
untuk mengimbangi kenaikan jumlah kendaraan bermotor, kedua kegiatan
tersebut bisa mengakibatkan polusi udara yang mengikis lapisan ozon yang
merupakan filter bagi bumi dari panasnya sinar matahari, dengan demikian
sinar matahari lebih besar ang menembus lapisan ozon yang mengakibatkan
suhu udara mengalami peningkatan.
TAHUN RTH MUKA AIR TANAH (m)
(%) GEOLISTRIK SUMUR
1959 80 5 2004 31 14 7
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
1 2 3 4 5 6 7 8
TAHUN KE (1994 - 2000)
CU
RA
H H
UJ
AN
RA
TA
-RA
TA
TA
HU
NA
N (
mm
)
Series1
Sumber : Tabel 12
Gambar 50. Grafik Curah Hujan Rata-rata Tahunan Kota Tangerang 1994 - 2000
26.5
26.6
26.7
26.8
26.9
27.0
27.1
27.2
27.3
27.4
27.5
1 2 3 4 5 6 7
TAHUN KE (1994 - 2000)
SU
HU
UD
AR
A R
AT
A-R
AT
A T
AH
UN
AN
(C
)
Series1
Sumber : Tabel 13 Gambar 51. Grafik Suhu Udara Rata-rata Tahunan Kota Tangerang Tahun 1994 – 2000
Debit Sungai Cisadane dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2000 secara
umum cenderung meningkat (Gambar 54), meskipun curah hujan yang turun
dalam kurun waktu tersebut cenderung tetap. Peningkatan debit Sungai
Cisadane diduga sebagai akibat dari perubahan penggunaan lahan dari
ruang terbuka menjadi areal terbangun. Dengan terus terjadinya perubahan
penggunaan lahan dari ruang terbuka hijau menjadi areal terbangun
menyebabkan curah hujan yang jatuh ke permukaan tanah dan diteruskan
kedalam tanah menjadi aliran air tanah semakin berkurang, sebaliknya aliran
permukaan terus meningkat yang merupakan pasokan bagi Sungai Cisadane
sehingga debit sungai mengalami peningkatan.
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
140.00
160.00
180.00
1 2 3 4 5 6 7
Tahun
Deb
it (
m3/
det
)
Series1
Sumber : Lampiran 6 Gambar 52. Grafik Debit Sungai Cisadane Rata-rata Tahunan Tahun 1994 - 2000
Keterkaitan Perubahan Penggunaan Lahan dengan Land Rent
Perubahan land rent selain dipengaruhi oleh lokasi yang strategis antara lain
jarak dari pusat kota atau pusat pelayanan dan aksesibilitas yang tinggi, juga
land rent dapat dipengaruhi oleh perubahan penggunaan lahan. Land rent
bisa berubah dengan berubahnya fungsi lahan atau aktifitas perekonomian.
Dalam survey yang dilakukan terhadap beberapa lokasi serta penggunaan
lahan yang berbeda menunjukan perbedaan land rent pada penggunaan
lahan yang sama dengan jarak yang berbeda dengan pusat kegatan (pusat
kota) juga terdapat perbedaan nilai land rent pada lokasi yang sama namun
penggunaan lahan berbeda. Berikut akan disampaikan beberapa nilai land
rent berdasakan lokasi dan penggunaan lahan.
Pada lokasi yang paling jauh dari pusat kota di dekat pantai Kramat
Kecamatan Sepatan banyak terdapat kegiatan tambak sebagian petani
tambak mempunyai lahan sendiri sebagian lagi mengusahakan dengan cara
sewa. Harga sewa lahan untuk tambak di daerah tersebut pada umumnya
sebesar Rp. 2.500.000,- /hektar/tahun, sedangkan untuk harga sewa rumah
tinggal permanen antara Rp. 1.000.000,- sampai dengan 1.500.000,- untuk
bangunan permanen dengan luas bangunan 45 m2 diatas tanah 90 m2.
Untuk lokasi yang tidak jauh dari pusat kota yang terletak di Kecamatan
Cibodas terdapat beberapa tanah kosong yang disewakan sebagai
penampung bahan material seperti pasir, batu dll. Harga sewa lahan kosong
yang berlaku di lokasi tersebut sebesarRp. 5.000.000,- pertahun untuk setiap
luas tanah 1.000.000 m2. Sedangkan harga sewa rumah tinggal pada
perumahan yang berdekatan dengan lokasi tersebut berkisar antara Rp.
8.000.000,- sampai dengai Rp. 10.000.000,- untuk rumah tinggal dengan
luas bangunan 54 m2 diatas tanah 120 m2. Sedangkan harga sewa untuk
ruko yang terletak dipinggir jalan pada lokasi yang sama harga sewa ruko
rata-rata Rp. 15.000.000,- untuk ruko dua lantai ukuran 4 x 15 m2 dengan
luas tanah 60 m2. Pada daerah industri yang terdapat banyak sewaan
rumah/kamar yang diperuntukan bagi pekerja industri harga sewa perkamar
rata-rata Rp. 200.000,- perbulan atau Rp. 2.400.000,- pertahun untuk kamar
ukuran 3 x 4 m2 dengan halaman/eras berukuran 1 x 3 m2.
Pada lokasi yang terletak di pusat kota tidak terdapat lahan kosong yang
disewakan sebagai tempat usaha. Tempat usaha yang disewakan masih
terdapat dalam bangunan pasar modern (mall) pada umumnya toko yang
berada di lingkungan mall sudah dibeli oleh pemilik toko, namun masih
terdapat toko dalam mall di pusat kota yang disewakan oleh pembeli ruko
tersebut harga sewa toko di dalam mall rata-rata sebesar Rp. 1.000.000,-
perbulan atau Rp. 12.000.000,- pertahun untuk toko berukuran 3x4 m2.
Disini terlihat bahwa perubahan penggunaan lahan sangat berpengaruh
terhadap perubahan nilai land rent, Land rent berubah seiring dengan
berubahnya fungsi lahan.
Dari uraian diatas berdasarkan survey dilapangan semakin jelas bahwa nilai
land rent dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor lokasi (jarak dari pusat
kota/pusat kegiatan, aksesibilitas dan fasilitas penunjang) serta faktor fungsi
kegiatan (penggunaan lahan).
Kondisi Ekonomi Air
Perilaku Supply - Demand Air
Kota Tangerang, dengan pertumbuhan penduduknya yang pesat,
dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 3,51 %. Jumlah penduduk Kota
Tangerang pada akhir tahun 2003 adalah berjumlah 1.466.577 juta jiwa
denga jumlah rumah tangga sebanyak 368.858 yang tersebar pada 4.292
Rukun Tetangga (RT), 901 Rukun Warga (RW), 103 kelurahan dan 13
kecamatan.
Besarnya pertambahan jumlah penduduk telah meningkatkan
permintaan terhadap air bersih terutama untuk keperluan air minum dan
sanitasi di wilayah Kota Tangerang. Menurut WHO kebutuhan air standar
perorangan untuk kota Metropolitan itu adalah 125 liter/ orang/ hari, jika
mengikuti standar kesehatan WHO ini untuk memenuhi kebutuhan air
penduduk Kota Tangerang, dengan jumlah penduduk tahun 2004
diperkirakan sebesar 1,518.053 jiwa, maka kebutuhan air penduduk Kota
Tangerang pada tahun sekarang adalah 189.757 m3/ hari atau setara
dengan 69.261.305. m3 /tahun.
Sementara itu, kapasitas produksi PDAM Kota Tangerang pada tahun
2004 adalah sebesar 1.560 liter/detik yang setara dengan 134.784 m3/ hari
atau setara dengan 49.196.160 m3/ tahun, dari lima instalasi penjernihan air
yang dimiliki oleh PDAM Kota Tangerang dua instalasi dengan kapasitas
produksi sebesar 350 l/det, PDAM Kabupaten Tangerang tiga instalasi
dengan kapasitas produksi sebesar 1.200 l/det dengan wilayah pelayanan
mencakup Kota dan Kabupaten Tangerang dan perusahaan swasta satu
instalasi dengan kapasitas produksi sebesar 10 l/det. Air dari PDAM yang
terdistribusi kepada konsumen pada tahun 2004 sebesar 20.974.992 m3
untuk berbagai golongan konsumen, untuk konsumsi rumah tangga sebesar
16.232.586 m3. Sehingga dari data ini hanya sebagian kecil kebutuhan air
penduduk yang terlayani oleh PDAM Kota Tangerang. Yakni hanya sekitar
23,44 % dari kebutuhan standart penduduk Kota Tangerang. Besarnya
kebutuhan air penduduk Kota Tangerang ini telah menyebabkan penduduk di
wilayah ini menggunakan sumber air alternatif untuk memenuhi kebutuhan
air mereka melalui pemompaan air tanah, sumur, dan lain sebagainya.
Penduduk yang menggunakan air alternatif yang tidak menggunakan air
PDAM sebesar 76,56% dari kebutuhan penduduk atau sebanyak 53.028.582
m3. Diasumsikan sumber air alternatif lain adalah air tanah dangkal
berdasarkan perhitungan neraca air air yang meresap kedalam tanah
menjadi cadangan air tanah pada tahun 2004 sebesar 18.183.711 m3. Disini
terlihat bahwa suply air tanah (infiltrasi) lebih kecil dari demand, pada kondisi
inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan muka air tanah.
Seiring dengan trend perkembangan jumlah penduduk di wilayah Kota
Tangerang, maka kebutuhan terhadap air minum dan sanitasi akan terus
meningkat hal ini terlihat dari grafik kebutuhan air yang cenderung meningkat
(Gambar 57). Hal ini disebabkan karena Kota Tangerang tetap menjadi
pusat pertumbuhan ekonomi dan memiliki kesempatan kerja serta ekspektasi
yang besar bagi imigran dari daerah lain untuk mencari kerja dan menetap di
Kota Tangerang atau yang mencari kerja di jakarta dan tinggal di Tangerang
sebagai komuter.
Disamping itu, meningkatnya permintaan air bersih PDAM oleh
penduduk Kota Tangerang juga lebih banyak disebabkan oleh tidak bisa
dimanfaatkannya air sungai yang ada karena tercemar oleh sampah, plastik,
limbah rumah tangga dan industri, tingginya sedimentasi air sungai karena
erosi yang menyebabkan tingkat kekeruhan air sungai lebih tinggi. Sehingga
air sungai tidak bisa lagi dimanfaatkan lagi sebagai air untuk keperluan
mencuci, memasak, apalagi untuk keperluan air minum.
Sumber : PDAM Kabupaten Tangerang, 2005
Gambar 53. Peta Sebaran Instalasi Pengolahan Air PDAM
IPA MEKARSARI 350 l/det
IPA BABAKAN 80 l/det
IPA PERUMNAS 120 l/det
IPA CIKOKOL 1.100 l/det
Sumber Kota Tangerang dalam Angka, 2005 (Bapeda) Gambar 54. Grafik Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Tangerang
Sumber Perhitungan dari Gambar 53 dengan standar WHO
Gambar 55. Grafik Jumah Perkembangan Kebutuhan Air (Asumsi Kebutuhan Air Standar WHO 125 liter/hari/orang)
1100000115000012000001250000130000013500001400000145000015000001550000
1999 2000 2001 2002 2003 2004
JumlahPenduduk1.267.54
7
1.518.053
1.311.746
1.354.226
1.416.842
1.466.577
52000000540000005600000058000000600000006200000064000000660000006800000070000000
1999 2001 2003
57.831.832
Tahun
Kebutuhan Air Bersih (m3)
59.831.832
61.786.561
64.643.416
66912576
69.261.365
Jika dilihat dari potensi sumberdaya air yang dimiliki oleh wilayah Kota
Tangerang wilayah ini memiliki lebih kurang 4 buah aliran sungai. Oleh
karena itu, secara fisik geografis dan hidrologis, wilayah Kota Tangerang
memiliki potensi sumberdaya air yang sangat berlimpah, tetapi karena tidak
dipelihara dan diatur dengan baik, justru banyaknya sungai menimbulkan
bahaya banjir, dikala musim hujan. Dari jumlah sungai yang ada di Kota
Tangerang, hanya Kali Cisadane dan sebagian kecil Kali Angke digunakan
untuk air minum, sedangkan yang lainnya tidak dipergunakan untuk
keperluan rumah tangga bagi penduduk. Itulah sebabnya, sumber air baku
untuk air minum Kota Tangerang sebagian besar berasal dari Kali Cisadane
yang pemakaian air baku untuk keperluan air bersih mencapai 48.89 juta m3
/ tahun, hal ini kira-kira 99,36% dari penggunaan air baku PDAM yang ada di
Kota Tangerang.
Tabel. 20 Jumlah dan Panjang Sungai di Kota Tangerang
NO SUNGAI PANJANG
(Km)
LUAS
(Ha)
PERUNTUKAN
1. Cisadane 46.200 1.155.000 Air Baku Minum
2. Cirarab 28.750 172.500 Usaha Perkotaan
3. Mookevart 7.300 233.600 Usaha Perkotaan
4. Kali Angke 12.810 538.020 Air Baku Minum
5. Kali Sabi 27.300 351.900 Usaha Perkotaan
Sumber : Dinas PU Kota Tangerang, 2005
Hal ini belum termasuk potensi air tanah; dimana wilayah Kota
Tangerang juga merupakan daerah Cekungan air tanah (CAT) dengan luas
sebarannya lebih kurang 183,78 Km 2 dengan volume air dalam akifernya
lebih kurang 327,13 juta m3/ tahun, dengan curah hujan rata-rata yang jatuh
pada cekungan ini sebesar 1.780 mm/ tahun. Wilayah penelitian terbagi
dalam 2 CAT, dimana sebelah Timur Sungai Cisadane yang meliputi Kec.
Ciledug, Kec. Larangan, Kec. Karang Tengah, Kec. Pinang, Kec. Cipondoh,
Kec. Tangerang, Kec. Batuceper, Kec. Neglasari dan Kec. Benda termasuk
dalam CAT Jakarta dengan jumlah aliran air tanah pada akifer dangkal atau
laju precipitasi pada cekungan ini sebesar ± 803 juta m3/ tahun, dan jumlah
aliran air tanah pada akifer dalam adalah ± 40 juta m3/ tahun, sedangkan
wilayah sebelah Barat Sungai Cisadane yang terdiri dari Kec. Karawaci, Kec.
Jatiuwung, Kec. Cibodas dan Kec. Periuk termasuk dalam CAT Serang-
Tangerang dengan jumlah aliran air tanah pada akifer dangkal atau laju
precipitasi pada cekungan ini sebesar ± 1.075 juta m3/ tahun, dan jumlah
aliran air tanah pada akifer dalam adalah ± 18 juta m3/ tahun (DGTL, ESDM,
2001). Dalam Cekungan air tanah Tangerang – Serang wilayah Kota
Tangerang menempati luas wilayah sekitar 6,7% dari total luas Cekungan air
tanah Tangerang – Serang, dengan demikian diperkirakan jumlah aliran air
tanah yang mengalir diwilayah Kota Tangerang sekitar 6,7 % dari jumlah
aliran air tanah pada Cekungan air tanah Tangerang - Serang, yaitu aliran air
tanah bebas (air tanah dangkal) sebesar 72,025 juta m³ per tahun,
sedangkan aliran air tanah tertekan (air tanah dalam) sebesar 1,206 juta m³.
Dalam Cekungan air tanah Jakarta wilayah Kota Tangerang menempati luas
wilayah sekitar 15% dari total luas Cekungan air tanah Jakarta, dengan
demikian diperkirakan jumlah aliran air tanah yang mengalir diwilayah Kota
Tangerang sekitar 15 % dari jumlah al iran air tanah pada Cekungan air tanah
Jakarta, yaitu aliran air tanah bebas (air tanah dangkal) sebesar 120,45 m³
per tahun, sedangkan aliran air tanah tertekan (air tanah dalam) sebesar 6
juta m³/tahun. Dengan demikian total jumlah aliran air tanah dangkal di
wilayah Kota Tangerang sebesar 192.475.000 m³/tahun dan aliran air tanah
dalam sebesar 7.206.000 m³/tahun. Dalam pada itu, pengambilan air tanah
dalam yang tercatat pada Dinas Pendapatan Propinsi Banten di wilayah Kota
Tangerang pada tahun 2004 sebesar 13.977.201 m3, bila dibandingkan
angka pengambilan air tanah dalam yang tercatat oleh Dinas Pendapatan
Propinsi Banten dengan jumlah aliran air tanah dalam hasil penelitian DGTL,
maka jumlah pengambilan air tanah lebih besar daripada jumlah aliran air
tanah dalam, pada kondisi demikian bisa terjadi intrusi air laut pada akifer
dalam, hal ini dapat dibuktikan dari hasil interpretasi geolistrik diperkirakan
air tanah dalam telah mengalami intrusi air laut yang menandakan bahwa
telah terjadi penurunan muka air tanah dalam yang diakibatkan pengambilan
air tanah dalam lebih besar dari jumlah aliran air tanah.
Sistem Supply Air Bersih di Wilayah Kota Tangerang.
Penyediaan air bersih di wilayah Kota Tangerang, masih dilayani oleh
PDAM Kota Tangerang dan PDAM Kabupaten Tangerang, sedangkan
wilayah yang belum dilewati oleh jaringan pipa PDAM menggunakan air
tanah untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Secara umum sistem
pendistribuasian air bersih, di bagi dalam 2 wilayah distribusi air yakni:
1. Wilayah Kecamatan Tangerang, Karawaci, Cibodas, Jatiuwung dan
Periuk dilayani oleh PDAM Kabupaten Tangerang. Instalasi produksi
PDAM Kabupaten Tangerang mempunyai kapasitas produksi 1.200
l/det. Sumber air bakunya berasal dari Sungai Cisadane.
2. Wilayah Kecamatan Neglasari, Batuceper dan Benda dilayani oleh
PDAM Kota Tangerang, dengan kapasitas produksi 350 l/ detik sumber
air bakunya berasal dari Sungai Cisadane.
3. Wilayah Ciledug, dilayani oleh Perusahaan Swasta yang bekerjasama
dengan PDAM Kota Tangerang, namun baru sebagian kecil dari
wilayah tersebut yang terlayani, dengan kapasitas produksi 10 l/ detik
sumber air bakunya berasal dari Kali Angke
Berikutnya, sumber-sumber penyediaan air minum dan air baku di
wilayah Kota Tangerang sebenarnya sudah sangat memadai karena dengan
adanya Sungai Cisadane yang mempunyai debit yang sangat besar untuk
memenuhi kebutuhan air wilayah Kota Tangerang. Persoalannya sekarang
adalah bagaimana mengelola sumberdaya air yang banyak ini menjadi satu
system pengelolaan terpadu baik antar sektoral, maupun antar wilayah dan
atas dasar apa pengelolaan terpadu itu bisa dilaksanakan. Oleh karena itu,
penentuan harga air itu sendiri merupakan langkah awal dalam menuju
pengelolaan sumberdaya air yang terpadu.
Menurut Anwar dkk (dalam Final Report “ Model Pengelolaan Sumber
Daya Air dan Lahan pada Kerjasama Ekonomi Inter Regional untuk
Meningkatkan Pembangunan Ekonomi Wilayah” Tahap I tentang Perilaku
Suply – Demand Air di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan, Lembaga
Penelitian IPB) selama ini yang dilakukan baru menentukan nilai manfaat
dan nilai perolehan air, sedangkan sebagai sumberdaya yang mulai
mendekati kelangkaannya terutama untuk air bersih, sumberdaya air telah
menjadi sumberdaya ekonomi, maka nilai air itu tidak lagi hanya nilai
kegunaanya tetapi nilai dalam pertukarannya (exchange), maka harga air
disini menjadi patokan di dalam pemanfatan dan pertukaran air tersebut.
Pertukaran yang dimaksud adalah pertukaran (trade off) antara pengguna air
yang memberikan nilai guna (utility ) air yang tinggi dengan pengguna yang
memiliki utility yang lebih rendah. Si pemilik air (sumberdaya air) yang
menggunakan air dengan utility yang lebih rendah dapat mempertukarkan
penggunaan airnya dengan pengguna yang utilitynya terhadap air tinggi
seperti antara petani yang menggunakan air untuk irigasi dengan industri dan
rumah tangga yang menggunakan untuk input dan kebutuhan minum dan
sanitasi. Artinya mekanisme pengaturan supply air harus mengacu kepada
mekanisme ekonomi sumberdaya air yang ada; dimana jika sumberdaya air
menjadi langka, maka akan berlaku prinsip-prinsip ekonomi pertukaran
didalamnya.
Sementara itu, dalam konteks otonomi daerah, pentingnya pemanfaatan
sumberdaya air sebagai pendorong aktifitas perekonomian wilayah
semakin terasa, karena jika dilihat pada trend PDRB di wilayah Kota
Tangerang, sumbangan sektor air terhadap peningkatan PDRB semakin
nyata, dan nilai sektor air semakin besar (Gambar 56).
Sumber : Kota Tangerang Dalam Angka (Bapeda, 2004)
Penentuan Harga Air
Menurut Anwar dkk (dalam Final Report “ Model Pengelolaan Sumber
Daya Air dan Lahan pada Kerjasama Ekonomi Inter Regional untuk
Meningkatkan Pembangunan Ekonomi Wilayah” Tahap I tentang Perilaku
Suply – Demand Air di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan, Lembaga
Penelitian IPB) usaha untuk memberikan nilai kepada penggunaan
sumberdaya air oleh para penggunanya (value in use) telah lama dilakukan
di Indonesia, tetapi usaha untuk memberikan nilai air dalam pertukarannya
(value in exchange); yakni harga air, merupakan suatu hal yang baru,
karena air selama ini dianggap sebagai public good, sehingga konsumsi
terhadap air tidak dikenakan biaya, dan pemerintah berkewajiban di dalam
penyediaan air ini bagi penduduk.
Pada awalnya ekonom menganggap bahwa air adalah barang
konsumsi yang tidak ada nilainya di dalam pertukaran karena
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
1999 2000 2001 2002 2003
Gambar 56. Perkembangan Sumbangan Air Bersih terhadap PDRB
Juta Rupiah
ketersediaannya yang berlimpah, dan pengadaan terhadap air ini tidak
membutuhkan tenaga kerja (labor) yang banyak, sehingga nilainya di dalam
pertukaran rendah karena relative rendahnya biayanya (extraction cost).
Ketersediaan sumberdaya air sudah mulai memperlihatkan gejala
kelangkaan, terutama karena pengaruh musim, sehingga air telah menjadi
barang ekonomi, dan perlu diatur sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi.
Prinsip ekonomi utama yang perlu diterapkan adalah system harga dan
pertukaran dari sumberdaya air itu sendiri, karena dipercaya bahwa harga
merupakan suatu metoda untuk mengalokasikan sumberdaya air, agar
penggunaan sumberdaya air menjadi lebih efisien, yang pada gilirannya
dapat mengkonservasi sumberdaya air itu sendiri. Jika pasar gagal dalam
mengalokasikan sumberdaya air itu (market failure) maka akan terjadi
eksternalitas, sumberdaya air akan mengalami degradasi, oleh karena itu,
diperlukan campur tangan pemerintah agar tetap menjaga pasar berjalan
dengan baik melalui pengaturan dan penyediaan kesempatan yang sama
bagi setiap pihak yang berkepentingan dengan memperoleh kesempatan dan
akses yang sama terhadap sumberdaya air.
Pada dasarnya, telah banyak dilakukan upaya untuk menghitung nilai
manfaat dan pajak air, tetapi sedikit sekali yang mencoba untuk menghitung
harga air, karena sebelumnya air dianggap sebagai public goods, maka
sejak arus globalisasi perekonomian melanda perekonomian Indonesia
pemikiran kearah penentuan harga air yang tepat semakin berkembang,
dengan dasar pemikiran bahwa air sekarang telah menjadi economic goods .
Diantara tata cara penghitungan nilai manfaat air (NIMA) telah
dilakukan oleh Kimpraswil (Anwar dkk, 200) . Tata cara penghitungan pada
prinsipnya adalah jumlah komponen biaya dalam satuan waktu dibagi
dengan jumlah pengambilan air dalam satuan waktu yang sama. Hasil bagi
tersebut menghasilkan tariff penggunaan air permeter kubik. Komponen
biaya dalam perhitungan itu adalah:
e. Biaya ekploitasi dan pemeliharaan (E& P)
f. Biaya Depresiasi
g. Biaya amortisasi; yakni konsep alokasi harga perolehan harta tetap tidak
berwujud dan harga perolehan harta sumberdaya alam
h. Biaya tidak langsung atau overhead.
Perhitungan tarif air yang dilakukan oleh NIMA dengan memasukan
konsep sisi penyediaan air dimana disamping biaya E&P juga dimasukan
biaya penyediaan sarana dan prasarana penyediaan air berupa historical
cost, kemudian juga biaya perlindungan sumberdaya air, sehingga semua
biaya penyediaan air baku dimasukan ke dalam perhitungan. Jadi total
biaya dibagi dengan volume potensi air dalam wilayah sungai akan
memberikan petunjuk besaran angka mampu pulih air, besaran inilah yang
disebut dengan NIMA oleh Kimpraswil (Kimpraswil, 1998:37)
Perhitungan nilai manfaat air yang dikeluarkan oleh pihak Kimpraswil
adalah didasarkan kepada bagian yakni:
1. Sisi penyediaan
Maka nilai dasar manfaat air mengambil bentuk formula sebagai
berikut (Anwar dkk):
Vs
LSMn
Vs
P
.
.1
. αα
++
=
dimana:
P = Penyediaan air atau dalam hal ini adalah supply air baku
Vs = Jumlah ketersediaan air dalam satuan wilayah sungai (m3/
tahun)
n = Jumlah umur ekonomis prasarana bangunan irigasi (dalam tahun)
M = Nilai investasi pembangunan sarana pengairan untuk kemanfatan
umum dari sumberdaya air (Rp/ tahun)
S = Jumlah pengeluaran operasional dan pemeliharaan bangunan
prasarana pengairan yang ditujukan untuk mendukung
keseimbangan antara ketersediaan dan permintaan air dalam setiap
tahun (Rp/tahun).
L = Jumlah pengeluaran aktifitas dan invenstasi yang ditujukan untuk
mendukung kelestarian air dan sumberdaya air. (Rp/ tahun)
á = Faktor Pengali.
Model perhitungan nilai manfaat air ini dipakai dalam menetapkan harga
air oleh Perum Jasa Tirta II (PJT II) untuk Sungai Citarum, maka
komponen biaya yang digunakan adalah biaya investasi (M), biaya
operasional (S), dan biaya pelestarian lingkungan (L). maka dengan
rincian biaya yang diperlukan oleh pihak PJT II dapat dihitung nilai
manfaat airnya tahun 2003/2004 sesuai dengan konsep NIMA, adalah
sebagai berikut:
1. Umur bangunan Pengairan, n, adalah dihipotesiskan 50 tahun
2. Biaya investasi (M) adalah Rp. 31 milyar
3. Biaya Pemeliharaan (L) adalah Rp. 8 milyar
4. Biaya Oprasional adalah (S) Rp. 5 milyar
5. jumlah persediaan air baku untuk PDAM dan Industri dari Divisi I PJT
II adalah sebesar 700 juta m 3 / tahun
6. Dengan factor pengali á sebesar 10 % yang berarti discount rate dari
kehilangan air, maka jumlah persediaan air baku menjadi 70 juta m3 /
tahun
Maka dapat dihitung nilai pemanfaatan air baku dari PJT II oleh para
penggunanya yakni PAM Jaya, Industri dan PDAM Daerah, dimana harga
air baku PJT II itu akan menjadi:
Vs
LSMn
Vs
P
.
.1
. αα
++=
70010.0
5000800031000501
×
++×=
P = Rp 186, 57 / m3
Nilai penyediaan air baku untuk PDAM dan industri oleh PJT II (tahun
2003/2004) itu diperoleh sebesar Rp. 186,57 / m3 air baku. Nilai penyediaan
air baku ini sangat tergantung kepada ketersediaan aliran mantap dari air
sungai Citarum, jika aliran mantap atau dalam hal ini debit sungai citarum
meningkat, maka nilai air baku dengan sendirinya akan mengalami
penurunan pula, demikian pula jika penggunaan air untuk pertanian
dimasukan yakni sebesar 6,5 juta m3/ tahun , maka nilai air baku yang
ditetapkan itu akan menjadi semakin berkurang yakni Rp. 184,85 / m3 .
Perhitungan tariff air seperti itu seharusnya bias diterapkan untuk pem akai
air di Sungai Cisadane, mangingat kewenangan pengelolaan sungai Citarum
dan Cisadane sama.
Namun dalam penetapan tarif air baku untuk keperluan air minum
kepada PDAM Kota Tangerang dan PDAM Daerah, serta air baku kepada
industri, selama ini hanya berdasarkan kepada penetapan tarif oleh
Keputusan Menteri Kimpraswil sebagai berikut:
1. Penetapan Tarif air baku PJT II untuk PDAM Daerah Kabupaten/ Kota
- SK Menteri PU No: 485/ KPTS/ 1996 tanggal 1 Juni 1996 adalah
sebesar RP. 23 / m 3
- SK Menteri Kimpraswil No: 283/ KPTS/ 2003 tanggal 28 Agustus
2003 adalah sebesar RP. 45 / m 3
- SK Menteri Kimpraswil/ PU No: 201/ KPTS/M/ 2004 tanggal 19
Maret 2004 adalah sebesar RP. 45 / m 3
2. Penetapan tariff air baku PJT II untuk Industri
- SK Menteri Kimpraswil/ PU No: 485/ KPTS/ 1996 tanggal 1 Juni
1996 adalah sebesar RP. 23 / m 3
- SK Menteri Kimpraswil No: 284/ KPTS/ 2003 tanggal 28 Agustus
2003 adalah sebesar RP. 50 / m3
- SK Menteri Kimpraswil/ PU No: 202/ KPTS/M/ 2004 tanggal 19
Maret 2004 adalah sebesar RP. 50 / m3
Berdasarkan penetapan tarif air baku yang ada oleh keputusan
Menteri Kimpraswil diatas, dimana tariff untuk industri itu hanya sebesar Rp.
50 / m3 , maka terlihat bahwa penetapan tariff air baku ini jauh lebih rendah
dari perhitungan nilai manfaat air yang dikeluarkan oleh Kimpraswil sendiri,
dimana berdasarkan perhitungan NIMA, maka tariff air baku untuk industri itu
adalah Rp. 186, 57 / m3. Jadi tariff air baku untuk industri baru hanya seperti
tiganya dari biaya penyediaan air sesungguhnya, sedangkan tariff air baku
PDAM Kota Tangerang yang ditetapkan oleh pihak PJT II sebesar Rp. 45 /m3
tahun 2004 ini sedangkan berdasarkan perhitungan nilai manfaat air oleh
PDAM itu adalah sebesar Rp. 186, 57 /m3, baru mencapai seperempatnya
dari nilai air baku yang seharusnya dibayar. Keadaan ini mencerminkan
bahwa nilai air itu sangat rendah, sedangkan volume pemakainnya sangat
tinggi. Keduanya; pemakaian air oleh PDAM Kota Tangerang dan Industri
sifatnya high volume, tetapi low value.
Jika ditelaah lebih jauh, penetapan tariff air baku antara PDAM Kota
Tangerang dengan Industri, terlihat bahwa tariff air baku untuk PDAM Kota
Tangerang lebih rendah dari pada tariff air untuk industri. Hal ini sesuai
dengan kerangka teoritis yang ada, dimana nilai air untuk Industri lebih tinggi
jika dibandingkan dengan nilai manfaat air oleh PDAM Kota Tangerang yang
pada dasarnya air baku PDAM Kota Tangerang ini sebagian besarnya
adalah untuk keperluan air minum penduduk. Fakta ini membuktikan bahwa
pembangunan sumberdaya air selama ini lebih berpihak kepada ebutuhan
masyarakat dari pada pembangunan perkotaan dalam hal ini adalah
pembangunan industri meskipun tidak terlalu signifikan.
Konsep NIMA ini belum bisa mencerminkan tingkat kelangkaan
sumberdaya air dan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk berinvestasi
dalam penyediaan air baku ini, karena NIMA baru memperlihatkan
bagaimana pengaruh fluktuasi debit dan aliran mantap dari sungai sebagai
sumber air baku terhadap nilai penyediaan air itu sendiri. Dalam konsep
NIMA, jika volume pemakaian semakin besar, dengan asumsi nilai investasi
dan nilai perlindungan tetap, nilai manfaat air akan menjadi turun atau harga
persatuan meter kubiknya semakin kecil, sehingga jika ini terus dipakai akan
menyebabkan terjadinya penurunan dan pengikisan sumberdaya air. Air
akan menjadi langka dan debitnya akan menurun, tetapi investasi
terhadapnya akan menjadi lebih besar, karena untuk mempertahankan harga
persatuan meter kubik air sesuai dengan konsep NIMA, akan diperlukan
biaya Investasi dan biaya pemeliharaan yang tinggi. Ini adalah pemborosan
keuangan Negara, maka konsep NIMA ini harus di tinggalkan, karena tidak
sesuai dengan prinsip konservasi sumberdaya air itu sendiri. Konsep NIMA
masih berpijak pada paradigma bahwa air adalah public goods , ini harus
dirubah, bahwa air adalah economic goods, dimana semakin besar volume
air dikonsumsi, maka semakin tinggi pula biaya yang harus dikeluarkan untuk
itu.
Peningkatan Nilai Ekonomi Air
Seperti telah dibahas pada bab sebelumnya bahwa permintaan akan
kebutuhan air terhadap PDAM semakin meningkat, disisi lain harga air ang
disuplay dari PDAM terus meningkat, hal ini menunjukan bahwa air
mempunyai nilai ekonomi yang terus meningkat dari waktu ke waktu.
Sebelum tahun 50-an semua orang bisa memanfaatkan air secara bebas
(gratis) tanpa harus mengeluarkan uang. Namun kini hal itu tidak bisa
dilakukan lagi semakin banyak kalangan masyarakat yang memenuhi
kebutuhan air harus dengan membayar. Air tanah yang dipergunakan oleh
kalangan usaha dipatok dengan harga sesuai dengan aturan yang berlaku
untuk pengambilan setiap meter kubiknya, demikian pula untuk pengambilan
air permukaan oleh kalangan usahawan harus membayar dengan tarif yang
bervariasi tergantung dari klasifikasinya.
Kebutuhan air bersih untuk rumah tanggapun demikian pula, semakin
banyak orang memenuhi kebutuhan air untuk sehari hari (minum, mandi,
cuci) dengan harus membayar, produksi air PDAM terus meningkat dari
tahun ke tahun menunjukan bahwa nilai ekonomi air semakin meningkat.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
1. Karakteristik Kota Tangerang yang mendorong terjadinya perubahan
penggunaan lahan yang berdampak pada perubahan ketersediaan
sumberdaya air adalah pertambahan penduduk yang menyebabkan
permintaan terhadap lahan untuk pemukiman meningkat, disamping itu
perkembangan kegiatan ekonomi yang tumbuh dengan pesat juga
berimplikasi pada tekanan terhadap permintaan lahan semakin tinggi
antara lain untuk kegiatan industri, perdagangan dan jasa, fasilitas sosial
yang meliputi fasilitas pendidikan, kesehatan, peribadatan dan lain-lain
serta fasilitas pemerintahan, Pertumbuhan penduduk dan kegiatan
ekonomi tersebut berdampak kepada meningkatnya permintaan terhadap
sumberdaya air baik air tanah maupun air permukaan.
2. Pola perubahan penggunaan lahan secara umum terjadi dari lahan
pertanian menjadi non pertanian (industri, Perumahan/permukiman,
perdagangan dan jasa serta fasilitas sosial). Perubahan penggunaan
lahan dari ruang terbuka hijau (pertanian, tegalan) menjadi kawasan
terbangun (built up area) dari tahun 1959 – 2004 sebesar 245% atau rata-
rata 5,57% per tahun.
3. Ketersediaan sumberdaya air terutama air tanah dari tahun ketahun terus
mengalami perubahan pada tahun 1959 air hujan yang jatuh ke
permukaan tanah dan meresap kedalam tanah (infiltrasi) jauh lebih besar
dari air limpasan permukaan (run off), yaitu 76% meresap ke dalam tanah
dan 24% mengalir di permukaan, pada tahun 1994 air yang meresap ke
dalam tanah 52% dan 48% mengalir di permukaan, sedangkan pada
tahun 2004 air yang meresap ke dalam tanah 45,5% dan 54,5% mengalir
di permukaan. Sementara jumlah pemakaian air tanah lebih besar
daripada cadangan air tanah. Pada kondisi seperti ini telah terjadi
penurunan muka air tanah dangkal, demikian pula dengan kondisi air
tanah dalam pengambila lebih besar dari pada aliran air tanah dalam
(demand air tanah dalam lebih besar daripada supply) sehingga terjadi
penurunan muka air tanah dalam.
4. Perubahan penggunaan lahan dari ruang terbuka hijau menjadi kawasan
terbangun mengakibatkan terjadinya perubahan nilai koefisien run off,
dimana pada ruang terbuka hijau nilai koefisien run off sebesar 0,2
sedangkan setelah menjadi kawasan terbangun nilai koefisien run off
menjadi 0,7 artinya pada ruang terbuka hijau air hujan hujan jatuh ke
permukaan tanah 20% menjadi run off dan 80% meresap ke dalam tanah,
sedangkan pada kawasan terbangun 70% air hujan hujan jatuh ke
permukaan tanah menjadi run off dan 30% meresap ke dalam tanah.
Dengan demikian semakin luas lahan terbangun, air hujan yang meresap
ke dalam tanah yang menjadi cadangan air tanah semakin menurun,
sedangkan air limpasan permukaan R(run off) semakin besar, pada
kondisi curah hujan yang tinggi bisa menimbulkan banjir.
Saran
Untuk menjaga keseimbangan supply dan demand sumberdaya air
khususnya air tanah perlu dilakukan tindakan sebagai berikut :
1. Membuat dan melaksanakan aturan tentang Koefisien Dasar Bangunan
yang ketat untuk memperbesar air yang meresap kedalam tanah.
2. Pembuatan sumur resapan pada setiap bangunan, dan kolam resapan
komunal pada kawasan perumahan dan perdagangan. Untuk
melaksanakan hal tersebut perlu di payungi dengan adanya peraturan
daerah.
3. Merubah pola pembangunan dengan orientasi bangunan vertikal dengan
membangun rumah susun, apartemen, kondominium dll, untuk
menghemat penggunaan lahan.
4. Mengembangkan PDAM untuk dapat memenuhi kebutuhan air bersih
warga Kota Tangerang untuk meminimalkan pengambilan air tanah.
DAFTAR PUSTAKA Adisasmita R. 1983. Teori-Toeri Lokasi dan Pengembangan Wilayah. Universitas
Muslim Indonesia. Ujung Pandang.
Anwar A. 1990. Pengantar Metodologi Penelitian Ekonomi. Bahan Kuliah Metodologi Penelitian Ekonomi dan Sosial, Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, Program Pasca Sarjana, IPB.
Anwar A. 1993. Dampak Alih Fungsi Lahan sawah Menjadi Lahan Non-Pertanian Di Sekitar Wilayah Perkotaan. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Nomor 10, Triwulan IV. Bandung.
Anwar A. 1994. Tinjauan Beberapa Aspek Ekonomi Dari Konservasi
Tanah/Lahan. Bahan Kuliah Ekonomi Sumberdaya Alam, Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, Program Pasca Sarjana, IPB.
Anwar A. 1994. Beberapa Aspek Ekonomi Sumberdaya Lahan. Bahan
Kuliah Ekonomi Sumberdaya Alam, Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, Program Pasca Sarjana, IPB.
Anwar A, Fauzi A, Ansofino, Suciati LP ; Final Report “ Model pengelolaan Sumber
Daya Air dan Lahan pada Kerjasama Ekonomi Inter Regional untuk Meningkatkan Pembangunan Ekonomi Wilayah” Tahap I tentang Perilaku Suply – Demand Air di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan, Lembaga Penelitian IPB.
Alonso W. 1970. Locations and Land Use: Toward a General Theory of Land Rent. Harvard University Press, Cambridge.
Arsyad S. 1989. Konservasi Tanah dan Air [skripsi]. Bogor: Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Asdak, C, 2004 ; Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gajah Mada
University Press, Cetakan ketiga. Badan Meteorologi dan Geofisika, 1994-2003. Data Curah Hujan dan Temperatur
udara Rata-rata Bulanan. Badan Meteorologi dan Geofisika, Tangerang
Bappeda Kota Tangerang, 2000 ; Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tangerang Bapeda Kota Tangerang, 2003: Kota Tangerang Dalam Angka Tahun 2003 Bapeda Kota Tangerang, 2003 : Produk Domestik Regional Bruto Tahun 2003 Barret, E.C. and Curtis, L.F., 1983 ; Introduction to Envirromental Remote Sensing,
Chapmn and Hall, London Barlowe R. 1978. Land Resources Economic. The Economics of Real Es tate. 3nd ed.
Prentice -Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. Michigan State University.
Bowen, R, 1986; Ground Water, Elsevier Applied Science Publishers Burges EW. 1925. The Growth of The City : In The City. R.E.Park. University of
Chicago Press.
Cahyono TB. 1982. Ekonomi Pertanahan. Penerbit Liberty. Yogyakarta.
Direktorat Sumberdaya Air, IWACO, WASECO, 1990 ; Peta Hidrogeologi
Kabupaten Tangerang, West Java Provincial Water resources. Daldjoeni, N, 1992 ; Geografi Baru, Organisasi Keruangan dalam Teori dan Praktek,
Alumni Departemen Kehutanan, 2003 ; Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan
Konservasi Tanah DAS Cisadane Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang, 2004 ; Identifikasi dan Pemetaan Wlayah
Konservasi Air Tanah Kota Tangerang Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang, 2005 ; Dokuen ANDAL PDAM
Kabupaten Tangerang Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Banten ; Peta Hasil Sweeping Inventarisasi
SIPA ABT Dinas Pertanahan Kota Tangerang, , 2003; Foto Udara Kota Tangerang Tahun 2002. Fauzi, A, 2004; Ekonomi Sumber daya Alam dan Lingkungan, Gramedia. Jayadinata, J.T, ; Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan , Perkotaan &
Wilayah, Edisi Ketiga, Penerbit ITB Bandung. Lillessand, T.M and Kiefer, R.W, 1979 ; Remote Sensing and Image Interpretation,
John Wiley & Sons, New York. Linsley, R.K and Franzizi, J.B, 1979 ; Water Resources Engineering Third Edition,
Mc Graw Hill Book Company.
Linsley,R.K, Kohler,M.A, Paulhus, J.H, 1988; Hydrology for Engineers, Mc Graw Hill Book Company.
Linsley, R.K and Franzizi, J.B diterjemahkan Sasongko, D, 1991 : Teknik Sumber
Daya Air Edisi Ketiga Jilid 1, Penerbit Erlangga Muif, M, 1991 : Pengaruh Eksploitasi Air Tanah Terhadap Sistem Keseimbangan
Tata Air di Wilayah Jakarta (Tesis), Program Pasca Sarjana, IPB Pratondo, BJ, 2001 : Evaluasi Subedaya Lahan Dengan Memanfaatkan Teknologi
Inderaja dan SIG di Kabupaten Blitar (tesis), Program Pasca Sarjana, IPB
Rustiadi E. 2001. Alih Fungsi Lahan dalam Perspektif Lingkungan Pedesaan. Makalah Lokakarya Penyusunan Kebijaksanaan dan Strategi Pengelolaan Lingkungan Kawasan Pedesaan di Cibogo, Bogor, Tanggal 10-11 Mei 2001. Bogor.
Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2002. Analisis Kecendrungan dan dampak Proses Suburbanisasi di Wilayah Jabotabek; Suatu Upaya Pengembangan Model Pembangunan Wilayah Metropolitan. Fakultas Pertanian IPB
Saefulhakim S, Kitamura T dan Kobayashi S.1992. Factors Affecting Rural
Occupations and I.and Use: A Multivariate Approach Using Correspondence Analysis. Indonesian Journal of Tropical Agriculture, Vol. 4, No. 1, pp. 1-10.
Saefulhakim S. 1994. A Land Availability Mapping Model for Sustainable Land Use Management. Ph.D. Dissertation of Regional Planning Laboratory, Graduate School of Agriculture, Kyoto University, Kyoto.
Saefulhakim S dan Nasoetion LI. 1994. Rural Land Use Management for Economic Development. Paper presented at the Seminar on Agricultural Land Use Management, Organized by Asian Productivity Organisation (APO), Tokyo 8th-18th November 1994.
Saefulhakim S. 1996. A Study on Effectiveness of Land Use Conversion Control Policy Institutions, Case Study of Bali, Java, and South Sumatra. Monograph of Land Resources Development Planning Laboratory, Department of Soil Sciences, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University (IPB), Bogor. (In Indonesian).
Saefulhakim S dan Nasoetion LI. 1996. Irrigated Paddy Land Conversion Control Policy. Proceedings of National Forum on Soil and Agroclimatic Research Communication. Center tor Soil and Agroclimatic Researches, Bogor. (in Indonesian).
Saefulhakim S. 1997a. Conceptual Framework for Spatial Planning and Rural Area Development. Journal of Regional and Urban Planning, Vol.8, No.l, January 1997. Center for Regional and Urban Development, Bandung Institute of Technology (ITB), Bandung.
Saefulhakim S. l997b. Socio -economic Aspects of an Optimal Land Use Model for the Upper Cimanuk Basin. Inception Report, Cooperative Research Work of Research Institute of Bogor Agric. Univ. (IPB) and the World Bank (In Indonesian).
Saefulhakim S, Dyah RP dan Nasoetion LI. 1997. Land Ownership/Holding, Land Consolidation, and Land Use Arrangement Policy Model for Sustainable Agribusiness Development. Monograph of Land Resources Development Planning Laboratory, Department of Soil Sciences, Faculty of Agriculture, Bogor Agric. Univ. (IPB), Bogor. (In Indonesian)
Saefulhakim S.1998. Spatial Arrangement for Rural Areas, Agriculture Development, and Irrigation Infrastructure. Paper presented in the National Expert Forum for Designing the Government Regulation on Rural Spatial Arrangement. Jakarta, January 21-22, 1998. The National Coordinating Agency for Spatial Arrangement (BKTRN). (In Indonesian)
Saefulkaim S dan Otsubo. 1999. Land Use Global Environmental Concervation (LU/GEC) – Final Report Of The LU/GEC Firs t Phase (1995 –1997). Center for Global Environmental Research. National Institute for Environmental Studies.
Sahidin D. 1995. Kajian Alih Fungsi Lahan Akibat Perkembangan Industri di Kabupaten Daerah Tingkat II Purwakarta, Jawa Barat. Tesis. Program Pascasarjana. Jurusan Teknik Planologi. ITB. Bandung.
Sarief, E.S, 1986 : Konservasi Tanah dan Air, Pustaka Buana, Soepardi G. 1977. Sifat dan Ciri Tanah. IPB Press. Bogor. Soewali a.s. dan Soenarto, B, 1988 ; Pendugaan geolistrik untuk Penyelidikan Air
Tanah, Direktorat Penyelidikan Masalah Air, Bandung Somaji PR. 1994. Perubahan Tata Guna Lahan dan Dampaknya Terhadap
Masyarakat Petani di Jawa Timur. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana PWD, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Subagyo, S. 1990 ; Dasar-dasar Hidrologi, Gajah Mada University Press. Sukrisna, A, Murtianto, E dan Ruhciat, S ; Peta Cekungan Air Tanah Provinsi
Banten, Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan 2003.
Telford, ; Applied Geophisycs, Mc Graw Hill Book Company. Thomas, R.L, 1997 ; Modern Econometrics an introduction, Addison-Wesley. Turkandi, T, Sidarto, Agustiyanto, D.A dan Purbohadiwidjoyo, M.M, 1992 ; Peta
Geologi Lembar Jakarta, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Thunen, Johann HV (1826), Der Isolierte Staat in Bezieburg Ouf Lendwirtsc Haft
und Nationalokonomie, Hunburg friedrich (English Traslation by Peter Hill ed. Van Thunne’s Isolated State, Oxford Pegamon Press 1966.
Utomo. E.P., Arsadi. E.M dan Harjono. H.1981 : Dasar-dasar penafsiran Tahanan
Jenis, Lembaga Geologi dan Pertambangan Nasinal – LIPI, Bandung.
Welber A. 1909. Theory of Location of Industries. Chicago. University of chicago
Press.
Yunus, H.S, 2001 ; Struktur Tata Ruang Kota, Pustaka Pelajar Zahnd, M, 1999; diterjemahkan oleh Frick, H, Perancangan Kota Secara Terpadu,
Kanisius.