dampak spillover shock eksternal pada perekonomian indonesia
DESCRIPTION
BAHANTRANSCRIPT
0
WORKING PAPER
DAMPAK SPILLOVER SHOCK EKSTERNAL PADA PEREKONOMIAN INDONESIA: PENDEKATAN
GLOBAL VAR
Berry A. Harahap Pakasa Bary
Linda Nurliana Redianto Satyanugroho
Juni, 2015
WP/2/2015
Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam
paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank
Indonesia.
1
DAMPAK SPILLOVER SHOCK EKSTERNAL PADA
PEREKONOMIAN INDONESIA: PENDEKATAN GLOBAL VAR
Berry A. Harahap, Pakasa Bary, Linda Nurliana, Redianto Satyanugroho1
Abstrak
Tulisan ini mengkaji bagaimana dampak beberapa jenis eksternal shocks yang dinilai memberikan risiko pada variabel makroekonomi
Indonesia. Setelah melakukan modifikasi model global VAR yang mencakup 33 negara menjadi dua variasi model dan dengan mempertimbangkan hubungan finansial dan perdagangan, analisis spillover dilakukan melalui impulse response dengan 1.000 replikasi bootstrap. Hasil impulse response secara
umum menunjukkan respons variabel makroekonomi Indonesia sesuai dengan ekspektasi. Respons PDB yang terbesar muncul atas shock pertumbuhan ekonomi Tiongkok, sedangkan suku bunga AS terindikasi sebagai faktor yang memberikan risiko terbesar bagi depresiasi rupiah pada jangka pendek dengan efek yang lebih besar jika dibandingkan dengan tapering off. Selain itu,
terdapat indikasi bahwa variasi inflasi jangka pendek dapat dijelaskan dari jalur nilai tukar, sedangkan pada jangka menengah bergantung pada PDB.
Key word : Spillover, Global VAR, Impulse Response
JEL Classification : C32, E17, F47
1 Peneliti Ekonomi Senior dan Peneliti Ekonomi di Grup Riset Ekonomi (GRE), Departemen
Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM), Bank Indonesia. Pandangan dalam paper ini
merupakan pandangan penulis dan tidak semata-mata merefleksikan pandangan DKEM
atau Bank Indonesia. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Juda Agung, Dr.
Solikin M. Juhro, Dr. Yoga Affandi, Dr. Telisa Aulia Falianty, Dr. Arindra A. Zainal, dan para peserta dalam pembahasan hasil penelitian ini di DKEM bulan Juni 2015.
2
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak krisis finansial global pada tahun 2008, ekonom dan perumus
kebijakan semakin menyadari risiko dan dampak potensial destabilisasi dari
kebijakan dan shock dari negara maju terhadap negara lain. Integrasi ekonomi
melalui hubungan keuangan dan perdagangan memungkinkan transmisi shock di
negara maju merambat ke negara lainnya, termasuk Indonesia sebagai sebuah small
open economy. IMF Spillover Report (2014) menyebutkan bahwa sumber utama
spillover ekonomi global saat ini adalah pola pertumbuhan yang berbeda. Terdapat
dua tren yang diperkirakan relevan terhadap ekonomi global.
Yang pertama adalah pulihnya perekenomian negara maju yang
mengindikasikan berhentinya pelonggaran kebijakan moneter atau normalisasi
yang mengarah pada mengetatnya likuiditas global. Namun, pemulihan di negara
maju tidak seragam yang mengindikasikan proses normalisasi di berbagai negara
dapat terjadi pada waktu yang berbeda. Yang kedua adalah perlambatan
pertumbuhan di negara berkembang yang berpotensi menyebabkan spillover pada
tingkat global.
Normalisasi kebijakan moneter di negara maju akan berdampak pada
peningkatan suku bunga global. Dampak dari peningkatan suku bunga ini akan
berbeda tergantung dari faktor penyebabnya (underlying), apakah karena
pertumbuhan yang lebih kuat atau pengetatan kebijakan moneter yang tidak
diantisipasi (unexpected monetary tigthtening). Di sisi lain, tren perlambatan di
negara berkembang seperti Tiongkok, juga akan memiliki dampak spillover ke
Indonesia, baik melalui jalur perdagangan maupun keuangan/investasi. Kedua tren
global tersebut merupakan risiko yang mungkin terjadi pada waktu yang bersamaan
dan dapat berinteraksi satu sama lain. Untuk itu, studi ini akan mengkaji dampak
spillover dari kedua tren tersebut ke Indonesia.
Penelitian mengenai dampak spillover di Bank Indonesia telah dilakukan
sebelumnya dengan sumber shock, periode, dan metodologi yang berbeda.
Metodologi yang digunakan adalah input output, estimasi ekononometrik, FAVAR,
dan GVAR yang dilakukan secara manual. Penelitian ini akan menggunakan GVAR
toolbox yang dikembangkan oleh Pesaran, Shuermann, dan Weiner (2004).
3
Penggunaan GVAR toolbox memungkinkan estimasi dilakukan dengan teknik yang
lebih robust, dilakukannya replikasi bootstrap yang menghasilkan confidence
interval, yang belum dapat dilakukan pada penelitian sebelumnya. Selain itu,
berbeda dengan penelitian sebelumnya yang umumnya hanya menggunakan salah
satu nilai untuk mewakili hubungan antarnegara, perdagangan atau finansial,
penelitian ini akan menggunakan kedua hubungan tersebut. Penggunaan kedua
hubungan tersebut diharapkan dapat lebih mewakili kondisi riel. Selain itu,
penelitian ini akan menghitung dampak spillover jika beberapa shock terjadi secara
bersamaan.
1.2 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Menganalisis dampak dari dua tren global, yaitu normalisasi kebijakan moneter
di negara maju dan perlambatan di negara berkembang terhadap perekonomian
Indonesia.
2. Merumuskan respons kebijakan terhadap spillover dari shock tersebut pada
angka 1.
1.3 Batasan Penulisan
1. Skenario yang diteliti hanya mencakup:
a. tapering off di Amerika Serikat,
b. peningkatan suku bunga fed fund rate (FFR),
c. pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat,
d. perlambatan ekonomi Tiongkok, dan
e. pelemahan mata uang Tiongkok.
2. Simulasi shock dilakukan secara individual dengan asumsi shock tersebut tidak
saling berinteraksi dengan kemungkinan adanya spillback.
3. Pendalaman respons kebijakan mengacu pada penelitian lain yang relevan dan
telah dilakukan sebelumnya.
4
1.4 Organisasi Penulisan
Penulisan kajian ini akan dibagi ke dalam lima bab yang dimulai dengan Bab
1 mengenai pendahuluan dan tujuan, diikuti dengan Bab 2 yang berisi studi
literatur, serta Bab 3 yang menguraikan mengenai metode dan data yang digunakan
dalam penulisan kajian. Pada Bab 4 akan disajikan mengenai hasil empiris dan
analisis, ditutup dengan Bab 5 berupa kesimpulan dan saran.
5
II. STUDI LITERATUR
2.1 Transmisi International Spillover
Kebijakan moneter di negara maju dapat memiliki dampak spillover ke negara
lainnya melalui beberapa jalur (channel). Seperti tampak pada Gambar 1, jalur
pertama adalah jalur portfolio rebalancing pada ekonomi global. Pada saat
normalisasi kebijakan moneter di negara maju, misalnya di Amerika Serikat, Chua
et al. (2013) menjelaskan bahwa terjadi peningkatan yield dari US-long term bond.
Hal itu menyebabkan investor mengalihkan asetnya dari negara berkembang ke aset
negara maju yang memiliki risiko lebih rendah (return risk adjusted). Dampaknya
terhadap negara berkembang adalah penurunan harga aset dan peningkatan suku
bunga jangka panjang yang mengindikasikan mengetatnya kondisi keuangan di
negara berkembang.
Jalur yang kedua adalah jalur melalui pasar keuangan internasional yang
merupakan kombinasi dari jalur likuiditas, harga aset, dan risk-taking channel.
Dalam pasar global yang terintegrasi, tapering off dan kebijakan moneter yang
mengetat (normalisasi) akan mengurangi likuiditas global dan meningkatkan suku
bunga kebijakan di negara maju. Menurut Lavigne, Sarker, dan Vasishtha (2014)
serta Dahlhaus dan Vasishtha (2014) hal tersebut akan mengurangi perbedaan suku
bunga antara negara maju dan negara berkembang serta mengurangi insentif untuk
melakukan carry trades. Seiring dengan hal tersebut, aliran modal yang semula
masuk ke negara berkembang, berpindah ke negara maju setelah memperhitungkan
return dan risk (return risk adjusted). Selanjutnya akan berdampak penurunan harga
aset dan harga konsumen di negara berkembang.
Jalur ketiga adalah melalui jalur nilai tukar. Menurut Mohanty (2014)
normalisasi kebijakan moneter di negara maju dapat mendorong menguatnya nilai
tukar negara maju dan terdepresiasinya nilai tukar negara berkembang. Hal itu
dapat mendorong spekulasi yang akan memengaruhi jumlah dan volaitilias aliran
modal. Selain itu, intervensi yang dilakukan bank sentral untuk menjaga nilai
tukarnya dapat berdampak pada penurunan cadangan devisa dan menurunkan
likuditas dan kredit domestik.
6
Gambar 1. Transmisi Spillover Normalisasi di Amerika Serikat
Dampak riel normalisasi kebijakan moneter di negara maju dapat merambat
langsung melalui jalur perdagangan internasional. Jika normalisasi di negara maju
dipicu oleh pertumbuhan ekonomi yang kuat, sesuai dengan kondisi Marshall-
Lerner, normalisasi tersebut dapat mendorong demand di negara maju atas barang
dan jasa dari negara berkembang, terlebih dengan melemahnya nilai tukar negara
berkembang. Namun, dampak tersebut tergantung dari tingkat elastisitas impor di
negara maju.
Gambar 2. Transmisi Spillover melalui Jalur Perdagangan
Transmisi perlambatan di negara berkembang ke ekonomi global dapat terjadi
melalui hubungan perdagangan, pasar komoditas, dan hubungan keuangan, seperti
yang dijelaskan oleh Sun et al (2013). Terhadap Indonesia, perlambatan di negara
7
berkembang utama (major emerging market), seperti Tiongkok dapat berdampak
signifikan melalui hubungan perdagangan karena Tiongkok merupakan tujuan
utama ekspor Indonesia. Perlambatan Tiongkok juga dapat menurunkan harga
komoditas karena pengaruh Tiongkok yang tinggi terhadap harga komoditas.
Penurunan harga komoditas akan berpengaruh ke Indonesia sebagai negara
eksportir komoditas. Perlambatan Tiongkok juga dapat berpengaruh melalui jalur
investasi ataupun pariwisata.
Gambar 3. Transmisi Spillover dari Major Emerging Markets
2.2 Penelitian Sebelumnya
Studi yang meneliti dampak perekonomian global terhadap perekonomian
domestik sudah beberapa kali dilakukan sebelumnya. Studi tersebut meneliti
sumber shock sesuai dengan periodenya dan menggunakan metodologi yang
berbeda.
Iskandar dan Permata (2011) menggunakan pendekatan GVAR (manual)
dalam meneliti dampak perlambatan ekonomi dan shock di pasar saham Amerika
terhadap perekonomian Indonesia. Studi tersebut menemukan bahwa shock
perlambatan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat sebesar 1% akan
menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,29% pada
tahun pertama. Penurunan 10% harga saham di bursa Amerika Serikat juga akan
berdampak negatif sebesar 22% terhadap pergerakan harga saham di Indonesia.
8
Pelemahan bursa saham di emerging markets yang melebihi gejolak di Amerika
disebabkan oleh karakter pasar saham kawasan ini yang cenderung sensitif
terhadap sentimen negatif di bursa Amerika Serikat.
Harahap et al. (2013a) juga menggunakan pendekatan GVAR (manual) dalam
meneliti shock yang berbeda sesuai dengan perkembangan perekonomian global
pada tahun 2013--2014. Dampak yang diteliti adalah membaiknya perekonomian
negara maju dan kemungkinan peningkatan suku bunga di negara maju. Studi
tersebut menemukan bahwa peningkatan PDB Amerika Serikat sebesar 1% akan
memberikan dampak yang positif terhadap perekonomian Indonesia, PDB akan
meningkat maksimal sebesar 0,53% (yoy). Sentimen positif tersebut akan
mengapresiasi nilai tukar rupiah maksimal sebesar 7,66% (yoy) dan menurunkan
tekanan inflasi maksimal sebesar 0,76% (yoy). Seiring dengan menurunnya tekanan
inflasi, suku bunga jangka pendek akan mengalami penurunan maksimal sebesar
0,57% (yoy). Peningkatan suku bunga jangka pendek Amerika Serikat sebesar 1%
akan berdampak negatif terhadap PDB Indonesia maksimal sebesar 0,13% (yoy)
pada triwulan ke-12. Sentimen negatif pasar keuangan diperkirakan menyebabkan
capital outflow sehingga nilai tukar terdepresiasi maksimal mencapai 1,48% (yoy).
Lesunya kegiatan perekonomian akan memberikan dampak berupa penurunan
tekanan inflasi yg mencapai 0,15% (yoy). Guna meredam capital outflow yang lebih
besar, suku bunga jangka pendek akan mengalami peningkatan maksimal sebesar
0,26% (yoy). Di sisi lain, peningkatan pertumbuhan perekonomian Tiongkok sebesar
1% akan mendorong pertumbuhan perekonomian Indonesia maksimal sebesar
0,26% (yoy). Peningkatan ini direspons positif oleh nilai tukar sehingga rupiah
terapresiasi maksimal sebesar 4,10% (yoy) yang berdampak pada menurunnya
tekanan inflasi dari sisi impor sehingga inflasi mengalami penurunan maksimal
sebesar 0,39% (yoy).
Dengan menggunakan pendekatan yang berbeda, yaitu FAVAR, Harahap et
al. (2013b) juga meneliti dampak peningkatan fed fund rate (FFR), suku bunga
jangka panjang Amerika Serikat, dan perbaikan ekonomi Amerika Serikat terhadap
Indonesia. Peningkatan suku bunga di AS akan berdampak pada peningkatan suku
bunga dometik di Indonesia serta penurunan aktivitas perekonomian di Indonesia.
Sementara itu, peningkatan PDB Amerika Serikat akan mendorong pertumbuhan
perekonomian Indonesia dalam skala moderat sehingga tidak disertai dengan
peningkatan harga. Studi tersebut juga meneliti dampak harga komoditas terhadap
perekonomian Indonesia. Peningkatan harga minyak bumi akan memberikan
9
dampak negatif terhadap kegiatan perekonomian. Meskipun demikian, dampak
terhadap inflasi tidak terlalu nyata karena kebijakan subsidi harga bahan bakar
minyak yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Sementara itu, peningkatan
harga batu bara dan harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) relatif tidak
berpengaruh terhadap PDB Indonesia. Hal itu disebabkan peningkatan harga
komoditas tersebut akan menurunkan permintaan dunia sehingga dampak positif
dari kenaikan harga komoditas dinegasikan oleh menurunnya permintaan dunia.
Jika dibandingkan besarannya, shock peningkatan harga komoditas memiliki
implikasi yang lebih besar terhadap perekonomian Indonesia jika dibandingkan
dengan shock peningkatan suku bunga dan peningkatan PDB Amerika Serikat.
Ibrahim et al. (2012) dengan menggunakan pendekatan Asian-IO menemukan
bahwa penurunan 1% PDB Tiongkok berdampak lebih besar terhadap PDB
Indonesia (0,14%) jika dibandingkan dengan penurunan yang sama dari PDB
Amerika Serikat (0,05%) dan PDB Eropa (0,07%). Anglingkusumo et al. (2014)
dengan menggunakan pendekatan Dynamic Ordinary Least Square (DOLS)
menemukan bahwa penurunan investasi sebesar 1% di Tiongkok akan berdampak
pada pertumbuhan ekonomi 10 negara di kawasan Asia tersebut dalam jangka
panjang (termasuk Indonesia), yaitu berupa penurunan sebesar 0,03%. Sementara
itu, apabila indeks produksi di Tiongkok turun sebesar 1%, dampaknya lebih besar,
yaitu turunnya pertumbuhan GDP sebesar 0,30%. Tingginya dampak indeks
produksi menunjukkan bahwa barang-barang yg dieskpor ke Tiongkok lebih banyak
berupa bahan baku untuk produksi. Selain itu, penurunan investasi sebesar 1% di
Amerika Serikat berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi 10 negara di kawasan
Asia tersebut dalam jangka panjang (termasuk Indonesia) yaitu berupa penurunan
sebesar 0,07%. Sementara itu, apabila konsumsi di Amerika Serikat turun sebesar
1%, dampaknya lebih besar, yaitu turunnya pertumbuhan PDB sebesar 0,46%. Hal
itu menunjukkan bahwa ekspor ke Amerika Serikat lebih banyak berupa final goods
dibandingkan barang antara atau raw material.
Jika dibandingkan dengan riset spillover yang menggunakan pendekatan
input output, research gap yang dijawab dalam penelitian ini adalah penggunaan
metodologi GVAR yang merupakan sistem country-specific VAR--model dari berbagai
negara yang saling berhubungan--untuk menangkap transmisi shock. Penggunaan
variabel keuangan dan perdagangan dalam sistem ini memungkinkan untuk
dilakukan asesmen shock dari variabel keuangan dan variabel perdagangan yang
tidak dimungkinkan dengan pendekatan input output.
10
Sementara research gap terhadap riset spillover yang telah menggunakan
pendekatan VAR adalah penggunaan GVAR toolbox yang memungkinkan dilakukan
replikasi bootstrap sehingga dapat terbentuk confidence interval. Selain itu, untuk
menggambarkan hubungan antarnegara akan digunakan hubungan perdagangan
dan keuangan yang belum dilakukan pada penelitian sebelumnya. Penelitian
sebelumnya hanya menggunakan data perdagangan untuk mewakili hubungan
antarnegara. Dengan demikian, diharapkan lebih mewakili kondisi yang sebenarnya
dan mendapatkan hasil yang lebih robust.
Tabel 1. Perbandingan Studi Literatur
Penelitian Tahun Judul Deskripsi Research Gap
Iskandar dan Permata
2011 Krisis AS dan Eropa, serta Dampak Rambatannya terhadap Perekonomian Indonesia
Penggunaan pendekatan GVAR (manual) untuk mengetahui dampak krisis AS.
Penggunaan metodologi GVAR dengan replikasi bootstrap.
Penggunaan hubungan perdagangan dan keuangan.
Harahap, et al. 2013a Spillover Effects dari Perbaikan Ekonomi AS dan Eropa terhadap Indonesia
Penggunaan pendekatan GVAR (manual) untuk mengetahui dampak perbaikan AS dan Eropa.
Penggunaan metodologi GVAR dengan replikasi bootstrap.
Penggunaan hubungan perdagangan dan keuangan.
Harahap, et al. 2013b Measuring Global Spillover to Indonesia: Pendekatan
FAVAR
Penggunaan pendekatan FAVAR untuk melihat dampak tapering off di US, perbaikan ekonomi di US dan Eropa serta harga komoditas.
Penggunaan metodologi GVAR dengan replikasi bootstrap
Penggunaan hubungan perdagangan dan keuangan.
Ibrahim, et al. 2012 Transmisi Perlambatan Negara Tujuan Ekspor melalui International Trade: Pendekatan ASIAN-IO
Penggunaan pendekatan IO untuk melihat dampak penurunan PDB AS dan Tiongkok.
Penggunaan pendekatan GVAR yang memungkinkan asesmen shock dengan menggunakan variabel keuangan.
Anglingkusumo, et al.
2014 Dampak Spillover
Penggunaan pendekatan
Penggunaan pendekatan GVAR
11
Penelitian Tahun Judul Deskripsi Research Gap
Pelambatan Ekonomi Tiongkok dan US
DOLS untuk melihat dampak penurunan PDB AS dan Tiongkok
yang memungkinkan asesmen shock dengan menggunakan variabel keuangan.
12
III. METODOLOGI DAN DATA
3.1 Global Vector Autoregression
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metodologi model
global vector auto regression (GVAR) yang dikembangkan oleh Pesaran, Schuermann,
dan Weiner (2004) dan kemudian oleh Dées et al. (2007). GVAR adalah teknik
modelling yang mengombinasikan time series, panel data, serta teknik analisis faktor
untuk menjelaskan isu-isu makroekonomi dan finansial.
Menurut Smith dan Galesi (2014), GVAR mempunyai beberapa keunggulan,
yaitu (1) memungkinkan hubungan timbal balik pada level nasional atau
internasional secara transparan dan dapat diuji secara empiris; (2) memungkinkan
hubungan jangka panjang yang sesuai dengan teori serta hubungan jangka pendek
yang sesuai dengan data; dan (3) memungkinkan terciptanya solusi koheren sesuai
teori terkait dengan seriusnya isu dimensi pada permodelan ekonomi global.
Secara teknis GVAR merupakan model global yang menggabungkan model
vector auto regression (VAR) dari setiap negara yang variabel domestiknya terkait
dengan variabel foreign yang spesifik untuk tiap negara. Variabel foreign terhubung
dengan variabel domestik negara tersebut melalui hubungan perdagangan,
finansial, atau pola lainnya yang dinilai sesuai untuk negara yang diamati.
Untuk setiap negara model VAR konvensional diperluas dengan tambahan set
variabel foreign. Variabel foreign ini dibangun sebagai rata-rata tertimbang variabel
yang sama dari mitra dagang negara tersebut. Misalnya, ada 𝑁 + 1 negara di ekonomi
global dengan indeks i = 0, 1, 2,… , N tempat negara 0 digunakan sebagai
numeraire/reference country, 𝑉𝐴𝑅𝑋∗ (𝑝𝑖 , 𝑞𝑖) individual untuk setiap negara adalah
sebagai berikut.
𝑥𝑖𝑡 = 𝑎𝑖0 + 𝑎𝑖1𝑡 + ∑ 𝛷𝑖𝑝𝑖𝑠=1 𝑥𝑖,𝑡−𝑠 + ∑ ˄𝑖
𝑞𝑖𝑠=0 𝑥𝑖,𝑡−𝑠
∗ + 𝜀𝑖𝑡 , 𝜀𝑖𝑡~𝑖. 𝑖. 𝑑 (0, ∑ 𝑖) (1)
𝑥𝑖𝑡 merupakan vektor variabel domestik 𝑘𝑖𝑥1, dan 𝑥𝑖𝑡∗ merupakan vektor
variabel foreign 𝑙𝑖𝑥1 dengan
𝑥𝑖𝑡∗ = ∑ 𝜔𝑖𝑗𝑥𝑗𝑡
𝑁𝑗=0 (2)
𝜔𝑖𝑗 adalah bobot dengan ∑ 𝜔𝑖𝑗𝑁𝑗=0 = 0. Bobot 𝜔𝑖𝑗 untuk negara 𝑖 dibangun
berdasarkan porsi flow dari negara 𝑗 terhadap total flow yang diterima negara 𝑖 yang
13
mewakili hubungan antara negara 𝑖 dan negara 𝑗. Country-specific foreign variables
𝑥𝑖𝑡∗ dianggap sebagai weakly exogenous yaitu “long run forcing” di dalam model, yaitu
koefisien dari error correction term diset nol di dalam persamaan foreign variables,
yang berarti bahwa dinamika foreign variables tidak dipengaruhi oleh long-
equlibrium path yang berbeda dengan variabel domestik. Selanjutnya, setiap model
negara diestimasi melalui reduced rank regression dan OLS untuk memperoleh
parameter negara individual.
Adapun bobot 𝜔𝑖𝑗 yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada
kombinasi hubungan perdagangan dan hubungan finansial antarnegara. Sejalan
dengan Chen et al. (2015) bobot tersebut diperoleh melalui formula sebagai berikut:
𝜔𝑖𝑗,𝑡𝑎𝑔𝑔
= 𝑤𝑖,𝑡𝑇 𝜔𝑖𝑗,𝑡
𝑇 +𝑤𝑖,𝑡𝐹 𝜔𝑖𝑗,𝑡
𝐹 (3)
𝜔𝑖𝑗,𝑡𝑇 dan 𝜔𝑖𝑗,𝑡
𝐹 masing-masing merupakan bobot dari perdagangan dan
hubungan finansial secara bilateral. 𝑤𝑖,𝑡𝑇 dan 𝑤𝑖,𝑡
𝐹 masing-masing merupakan derajat
kepentingan relatif antara arus perdagangan dan arus finansial pada ekonomi. Dua
variabel tersebut dibentuk dari nilai arus perdagangan (ekspor dan impor) dan arus
finansial (inbound dan outbound) yang secara relatif dibandingkan nilai total kedua
komponen. Bobot hubungan i dengan j yang bersifat fixed diperoleh melalui:
𝜔𝑖𝑗 =1
𝑇∑𝜔𝑖𝑗,𝑡
𝑎𝑔𝑔
𝑇
𝑡=1
(4)
Penelitian ini menggunakan dua versi model GVAR. Model 1 mengacu pada
Dées et al. (2007). Variabel yang digunakan meliputi PDB (𝑦𝑖𝑡), inflasi (∆𝑝𝑖𝑡), suku
bunga jangka pendek (𝑟𝑖𝑡), suku bunga jangka panjang (𝑙𝑟𝑖𝑡), nilai tukar riel (𝑒𝑟𝑖𝑡),
serta indeks harga saham (𝑒𝑝𝑖𝑡). Sementara itu, pada model 2 variabel yang
digunakan adalah PDB, inflasi, broad money atau M2 (𝑏𝑚𝑖𝑡), serta indeks harga
saham. Selain itu, variabel eksogen yang digunakan pada kedua model tersebut
adalah harga minyak, harga metal, serta harga bahan mentah. Penggunaan dua
model itu disebabkan penelitian ini bertujuan, antara lain untuk mengevaluasi
dampak kenaikan suku bunga nominal AS dan kebijakan tapering-off yang diwakili
dengan broad money (M2). Secara formal, model 1 dapat dirumuskan sebagai
berikut.
14
𝑥𝑖𝑡 =
(
𝑦𝑖𝑡∆𝑝𝑖𝑡𝑟𝑖𝑡𝑙𝑟𝑖𝑡𝑒𝑟𝑖𝑡𝑒𝑝𝑖𝑡)
, 𝑥𝑖𝑡
∗ =
(
𝑦𝑖𝑡∆𝑝𝑖𝑡𝑟𝑖𝑡𝑙𝑟𝑖𝑡𝑒𝑝𝑖𝑡)
(5)
Sementara itu, untuk model 2 dirumuskan sebagai berikut.
𝑥𝑖𝑡 =
(
𝑦𝑖𝑡∆𝑝𝑖𝑡𝑏𝑚𝑖𝑡𝑒𝑟𝑖𝑡𝑒𝑝𝑖𝑡 )
, 𝑥𝑖𝑡
∗ = (
𝑦𝑖𝑡∆𝑝𝑖𝑡𝑏𝑚𝑖𝑡𝑒𝑝𝑖𝑡
) (6)
Penggunaan variabel domestik dan foreign untuk tiap negara ditampilkan
pada lampiran.
Setelah model VAR untuk setiap negara diperoleh, dilakukan estimasi model
GVAR. Meskipun estimasi dilakukan terpisah untuk tiap negara, model GVAR
dipecahkan untuk seluruhnya (𝑘𝑖 × 1 vektor variabel global, 𝑘 = ∑ 𝑘𝑖𝑁𝑖=0 ) karena
ketergantungan pada periode yang sama antara variabel domestik 𝑥𝑖𝑡 terhadap
variabel dan variabel foreign 𝑥𝑖𝑡∗ . Solusi dari estimasi GVAR dapat digunakan untuk
memperoleh impulse response.
Jika 𝑧𝑖𝑡 = (𝑥𝑖𝑡, 𝑥𝑖𝑡∗ ), persamaan (1) dapat ditulis sebagai berikut:
𝐴𝑖𝑧𝑖𝑡 = 𝑎𝑖0 + 𝑎𝑖1𝑡 +∑𝐵𝑖𝑠
𝑝𝑖
𝑠=1
𝑧𝑖,𝑡−𝑠 + 𝜀𝑖𝑡 (7)
𝐴𝑖= (𝐼𝑘𝑖 − ˄𝑖0), 𝐵𝑖𝑠 = (𝛷𝑖𝑠 ˄𝑖𝑠). Dari persamaan (2) dapat diperoleh 𝑧𝑖𝑡 = 𝑊𝑖𝑥𝑡 , 𝑊𝑖
merupakan matriks bobot berukuran (𝑘𝑖+𝑙𝑖) × 𝑘 yang didefinisikan dari bobot
spesifik negara 𝜔𝑖𝑗 sehingga, persamaan (7) dapat diubah bentuk menjadi:
𝐴𝑖𝑊𝑖𝑥𝑡 = 𝑎𝑖0 + 𝑎𝑖1𝑡 +∑𝐵𝑖𝑠
𝑝𝑖
𝑠=1
𝑊𝑖𝑥𝑡−𝑠 + 𝜀𝑖𝑡 (8)
dan model individu negara dikumpulkan bersama untuk menjadi model global 𝑥𝑡,
yaitu:
𝐺𝑜𝑥𝑡 = 𝑎0 + 𝑎1. 𝑡 + ∑ 𝐺𝑠𝑝𝑖𝑠=1 𝑥𝑡−𝑠 + 𝜀𝑡, (9)
𝑎0 = (
𝑎00𝑎10…𝑎𝑁0
), 𝑎𝑎 = (
𝑎01𝑎11…𝑎𝑁1
), 𝐺0 = (
𝐴00𝑊0𝐴10𝑊1…𝐴𝑁0𝑊𝑁
), 𝐺𝑆 = (
𝐴0𝑠𝑊0𝐴1𝑠𝑊1…𝐴𝑁𝑠𝑊𝑁
), 𝜀𝑡 = (
𝜀0𝑡𝜀1𝑡…𝜀𝑁𝑡
),
Dengan mengalikan (9) dengan 𝐺0−1, dapat diperoleh bentuk sebagai berikut:
15
𝑥𝑡 = 𝐺0−1𝑎0 + 𝐺0
−1𝑎1. 𝑡 + ∑ 𝐺0−1𝐺𝑠
𝑝𝑠=1 𝑥𝑡−𝑠 + 𝐺0
−1𝜀𝑡, (10)
Spesifikasi (10) dapat dipecahkan secara rekursif untuk memperoleh nilai ke
depan dan untuk memperoleh impulse response.
3.2 Aplikasi Global VAR dan Impulse Response
Estimasi Global VAR dilakukan dengan menggunakan GVAR Toolbox 2.0
(Smith dan Galesi, 2014). Aplikasi ini menggunakan serangkaian prosedur Matlab
dan terhubung langsung dengan Excel dengan fitur yang memungkinkan modifikasi
model secara luas. Aplikasi ini juga telah menyediakan beberapa metode untuk
pengujian asumsi dan fasilitas untuk replikasi bootstrap.
Terdapat beberapa penyesuaian lanjutan pada estimasi GVAR, beberapa di
antaranya mengikuti Dées et al. (2007), yaitu (1) terkait dengan peran AS sebagai
benchmark dari pasar finansial global, spesifikasi VARX AS tidak menyertakan
foreign variables harga ekuitas, suku bunga, serta broad money dan (2) terkait
perbedaan degree of integration, restriksi tidak adanya tren diberikan pada variabel
suku bunga, inflasi, serta broad money. Selain itu, penelitian ini juga mengubah
matriks bobot yang digunakan pada GVAR toolbox menjadi kombinasi bobot
finansial dan perdagangan, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Fokus analisis dalam penelitian ini adalah analisis impulse response variabel
makroekonomi Indonesia atas adanya shock di negara lainnya. Pemilihan jenis shock
ini didasarkan atas kondisi dan prospek ekonomi global pada tahun 2015. Terdapat
lima jenis shock yang dilakukan, yaitu (1) penurunan broad money AS sebagai proxy
dari tapering off di negara tersebut; (2) kenaikan PDB AS; (3) kenaikan suku bunga
AS; (4) penurunan PDB Tiongkok; dan (5) depresiasi mata uang Tiongkok. Sebagai
tambahan, selain komparasi respons dari tiap shock akan juga dilakukan analisis
terhadap shock gabungan atas dua jenis shock yang memberikan dampak negatif
terhadap perekonomian Indonesia, yaitu kenaikan suku bunga AS yang dibarengi
dengan penurunan PDB Tiongkok.
Jenis impulse response yang dihasilkan adalah generalized impulse response
function (GIRF) sebagaimana diusulkan oleh Pesaran dan Shin (1998). Metode
tersebut merupakan alternatif dari orthogonalized impulse response function (OIRF).
Pendekatan GIRF mempunyai keunggulan tidak membutuhkan prior belief yang
16
kuat atas urutan shock atau negara. Namun, GIRF tetap dapat memberikan
informasi dinamika transmisi model atas adanya shock individual. Metode OIRF juga
telah dilakukan dengan urutan variabel sesuai pendapat Déeset al. (2007), yaitu
harga minyak, suku bunga jangka pendek, harga ekuitas, inflasi, dan PDB. Hasil
OIRF yang muncul relatif sama dengan GIRF sehingga tidak dilaporkan dalam
tulisan ini.
Angka impulse response diperoleh melalui median dari metode bootstrap
dengan 1.000 replikasi. Selain itu, metode bootstrap juga memberikan confidence
interval dari tiap-tiap impulse response. Selanjutnya, angka GIRF hasil keluaran
GVAR toolbox yang masih terasosiasi dengan shock 1 standar deviasi dikonversi
menjadi shock 1% dengan menggunakan angka residual VECMX dari tiap-tiap
shock.
Berdasarkan studi yang menggunakan GVAR sebelumnya yang dilakukan
oleh Pesaran and Smith (2006), Dées et al. (2007), Chudik and Fratzscher (2011),
serta Chen et al. (2015), confidence interval dari IRF yang diperoleh cenderung lebar
dan mengapit 0. Hal tersebut lebih disebabkan oleh terbatasnya degree of freedom
dalam mengestimasi banyak variabel. Dengan mengacu pada mekanisme transmisi
yang dijelaskan pada bab sebelumnya, berikut adalah alur pikir kemungkinan
respons spillover dari skenario yang diteliti dalam penelitian ini.
Gambar 4. Hipotesa Jalur Transmisi Shock Eksternal terhadap Perekonomian Indonesia
17
3.3 Data
Data yang digunakan berfrekuensi kuartalan dari triwulan II 1979 sampai
dengan triwulan IV 2014. Seperti juga dijelaskan pada Tabel 3.1. Sumber data
antara lain adalah IFS, CEIC, Bloomberg, dan OECD. Sebagian data kemudian
dikonversi dalam bentuk log natural, kecuali untuk variabel-variabel yang telah
dalam bentuk persentase.
Data yang digunakan pada penelitian ini mencakup 33 negara yang terdiri
atas Argentina, Australia, Austria, Belgia, Brazil, Kanada, Tiongkok, Chile,
Finlandia, Perancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Korea, Malaysia,
Meksiko, Belanda, Norwegia, Selandia Baru, Peru, Filipina, Afrika Selatan, Saudi
Arabia, Singapura, Spanyol, Swedia, Swiss, Thailand, Turki, Inggris, dan USA.
Pemiilihan atas 33 negara tersebut telah mencakup 90% dari PDB dunia.
Tabel 2. Sumber Data
Variabel Sumber Data
PDB riel IFS, NBS, PSS, Bloomberg, OECD
Inflasi (CPI) IFS, NBS
Indeks harga saham CEIC, Bloomberg
Nilai Tukar Riel CEIC, Bloomberg
Suku bunga jangka pendek IFS, Bloomberg
Suku bunga jangka panjang IFS, Bloomberg
Broad Money OECD
Harga minyak Bloomberg
Harga Metal IFS
Harga Bahan Mentah IFS
International Bank Lending BIS
Ekspor & Impor IFS
Hubungan antarnegara diwakili dengan hubungan perdagangan dan finansial
yang menggunakan rata-rata dari periode tahun 2011--2014. Hubungan
perdagangan didasarkan atas arus ekspor dan impor. Arus finansial diwakili oleh
data international bank lending dari BIS. Selain itu, karena tidak lengkapnya data
international bank lending pada negara tertentu pada waktu tertentu, data bobot
finansial pada ekonomi tanpa data diasumsikan nol.
18
3.4 Perkembangan Tren Global
Quantitative easing (QE) dilakukan bank sentral negara maju sebagai respons
terhadap krisis keuangan global, di saat suku bunga kebijakannya telah mendekati
dasar (batas nol) sehingga tidak efektif sebagai sinyal kebijakan. QE dilakukan
dengan pembelian aset yang berdampak pada meningkatnya aset bank sentral dan
menurunnya suku bunga jangka panjang. The Fed meluncurkan kebijakan QE
sebanyak tiga kali, yaitu November 2008, November 2010, dan Agustus 2012.
Pembelian aset tersebut berdampak pada peningkatan aset bank sentral
sebagaimana tampak pada Gambar 5. Likuiditas meningkat sebagaimana dapat
dilihat pada Gambar 6, terdapat peningkatan broad money (M2) di Amerika di sekitar
pengumuman QE. QE dipandang berhasil untuk menurunkan yield dari long term
bond negara maju sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 11.
Sumber: The Fed St. Louis & Bloomberg,
diolah
Sumber: The Fed St. Louis, diolah
Gambar 5. Total Aset Bank Sentral Gambar 6. Pertumbuhan M2
Amerika Serikat
Di sisi lain, terdapat dampak spillover dari kebijakan ini terhadap emerging
market, yaitu melalui likuiditas global dan capital flow. QE dipandang sebagai push
factor dari capital inflow ke emerging market, termasuk Indonesia. Peningkatan
aliran portfolio ke Indonesia terlihat pada periode-periode QE sebagaimana dapat
dilihat pada Gambar 8. Jika dilihat sumbernya, aliran yang masuk ke surat berharga
dan saham, didominasi oleh Eropa dan Amerika Serikat (Gambar 9 dan Gambar 10).
Kondisi tersebut juga mendorong penurunan yield dari long term bond di negara
berkembang (Gambar 11).
19
Sumber: Bloomberg, diolah Sumber: EPFR Global, diolah
Gambar 7. Long term Bond Yield AEs
Gambar 8. Total Portfolio Inflow ke Indonesia
Sumber: EPFR Global, diolah
Gambar 9. Sumber Portfolio Inflow ke Indonesia – Bond
Sumber: EPFR Global, diolah
Gambar 10. Sumber Portfolio Inflow ke Indonesia – Equity
20
Sumber: Bloomberg, diolah Sumber: IMF WEO, diolah
Gambar 11. Long-term Bond Yield
EMs
Gambar 12. Pertumbuhan Ekonomi
Negara Maju
QE juga dipandang berkontribusi terhadap pemulihan di negara maju seiring
dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi di Amerika, Euro, dan Jepang
sebagaimana terlihat pada Gambar 12. Pemulihan itu berimplikasi pada normalisasi
kebijakan moneter yang ditandai dengan meningkatnya suku bunga kebijakan dan
mengetatnya likuiditas global.
Di sisi lain, sebagaimana disampaikan IMF (2014) dalam Global Spillover
Report, terdapat tren global lain yang akan memengaruhi perekonomian dunia,
selain normalisasi kebijakan moneter di negara maju, yaitu melambatnya
perekonomian negara berkembang. Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 13,
tren perlambatan pertumbuhan ekonomi terjadi pascakrisis yang dapat berdampak
spillover, baik pada perekonomian global maupun emerging market lainnya.
Sumber: IMF WEO, diolah
Gambar 13. Pertumbuhan Ekonomi Negara Berkembang
21
IV. HASIL DAN ANALISIS
4.1 Analisis Impulse Response
Pada Bab ini akan dijabarkan mengenai analisis hasil empiris, yaitu impulse
response yang dihasilkan dari properti dinamis atas dua model GVAR seperti yang
dijelaskan pada Bab 3. Jenis impulse response yang dihasilkan adalah generalized
impulse response function (GIRF) sebagaimana diusulkan oleh Pesaran dan Shin
(1998). Impulse response juga dilengkapi dengan confidence interval yang dihasilkan
melalui replikasi bootstrap. Impulse response tersedia untuk 40 periode setelah
shock, tetapi analisis akan lebih difokuskan pada inovasi pada jangka waktu yang
lebih pendek (4 triwulan, 8 triwulan, dan angka maksimum pada 12 triwulan).
Pembahasan pada jangka waktu yang lebih pendek tersebut mengikuti beberapa
penelitian sebelumnya (antara lain Sun et al., 2013; Chudik dan Smith, 2013; dan
IMF, 2014), serta untuk lebih fokus pada jangka waktu untuk hasil yang kredibel
(Sun et al., 2013).
Beberapa ukuran menunjukkan bahwa model GVAR stabil dan model
tersebut dapat digunakan untuk analisis, seperti tertera pada Lampiran 1,
Lampiran 2, dan Lampiran 9. Uji weak exogeneity menunjukkan bahwa variabel
eksternal bersifat weakly exogenous sekurangnya pada 93% kasus (hanya 16 dari
234 kasus yang ditemukan signifikan) untuk model 1 dan 97% kasus (hanya 5 dari
174 kasus yang ditemukan signifikan) untuk model 2. Contemporaneous effects pada
variabel domestik secara umum searah dengan adanya shocks pada variabel
eksternal yang sama, kecuali pada dua negara, yaitu India dan Peru. Selain itu,
persistence profile atas system-wide shocks pada seluruh persamaan kointegrasi
Indonesia turun menuju nol secara eksponensial.
Indikasi cukup baiknya model GVAR dapat diperoleh melalui besarnya
korelasi residual (Dées et al., 2007). Korelasi residual pada tiap-tiap persamaan
VECMX terlihat cukup kecil dengan kisaran 0–0,3 (Lampiran 3). Hal itu
menunjukkan bahwa model GVAR yang diestimasi terindikasi cukup baik dalam
memfasilitasi faktor-faktor yang memengaruhi variabel endogen. Selain itu,
rendahnya korelasi residual juga mengindikasikan bahwa model GVAR cukup efektif
dalam menjelaskan hubungan timbal balik antarnegara (Sun et al., 2013).
22
4.1.1 Dampak Shock Broad Money AS
Kebijakan tapering off yang diwakili oleh penurunan pertumbuhan broad
money di AS akan berdampak pada pengetatan likuiditas global yang memberikan
tekanan depresiasi nilai tukar riel Indonesia dalam jangka pendek melalui capital
outflow dari Indonesia. Mengingat tapering-off ekuivalen dengan penurunan QE, hal
itu berarti sesuai dengan temuan Dahlhaus, Hess, dan Reza (2014), yaitu transmisi
QE dari AS ke Kanada lebih dominan melalui jalur finansial daripada menggunakan
jalur perdagangan.
Capital outflow akan menyebabkan terkontraksinya PDB Indonesia (sebesar
0,18% pada tahun pertama dan 0,22% pada tahun kedua). Hal itu sejalan dengan
Harahap et al. (2013b) dan Soares (2011) yang juga menemukan indikasi dominasi
jalur finansial relatif terhadap jalur perdagangan. Selain itu, Druck, Magud, dan
Mariscal (2015) menjelaskan PDB negara berkembang dapat turun karena apresiasi
nilai tukar AS (terasosiasi dengan kontraksi moneter AS) akan menurunkan harga
komoditas. Sebagai catatan, PDB sempat naik secara temporer yang menunjukkan
bahwa transmisi jalur perdagangan lebih cepat daripada jalur finansial. Di sisi
harga, inflasi Indonesia meningkat dalam jangka pendek karena adanya imported
inflation dan karena mengikuti depresiasi nilai tukar yang terjadi. Selain itu, inflasi
dan broad money akan turun seiring dengan penurunan PDB karena adanya
penurunan output gap serta permintaan uang.
PDB
Inflasi
23
Nilai Tukar Riel
Broad Money
Gambar 14. Impulse Response terhadap Shock Broad Money AS
Kontraksi PDB Indonesia yang terjadi lebih rendah dari negara-negara ASEAN
lainnya (Malaysia, Filipina, Singapore, dan Thailand). Dampak secara umum relatif
setara dengan hasil analisis GVAR yang dilakukan Chudik dan Smith (2013) dengan
dampak 0,25% penurunan PDB UK atas shock tapering off. Depresiasi nilai tukar
riel di Indonesia sebesar 0,31% pada tahun pertama, lebih rendah dari Brazil sebagai
anggota fragile five, tetapi lebih tinggi dibandingkan Malaysia.
Tabel 3. Perbandingan IRF PDB terhadap Shock Broad Money AS
Triwulan 4 Triwulan 8 Maksimum dalam 12 triwulan
Brazil -0.12 -0.19 -0.20
Indonesia -0.18 -0.22 -0.22
Japan -0.07 -0.10 -0.10
Korea -0.36 -0.33 -0.36
Malaysia -0.32 -0.37 -0.37
Philippines -0.25 -0.30 -0.30
Singapore -0.49 -0.60 -0.62
Thailand -0.32 -0.38 -0.38
24
Tabel 4. Perbandingan IRF Nilai Tukar Riel terhadap
Shock Broad Money AS
Triwulan 4 Triwulan 8 Maksimum dalam 12 triwulan
Brazil 1.37 1.29 1.37
Indonesia 0.31 -0.17 0.51
Japan -0.13 -0.07 -0.06
Korea 0.90 0.83 0.90
Malaysia 0.22 0.22 0.23
Philippines 0.75 0.73 0.82
Singapore 0.49 0.73 0.78
Thailand 0.61 0.78 0.80
4.1.2 Dampak Shock Kenaikan PDB Amerika Serikat
Hasil impulse response GVAR menunjukkan bahwa kenaikan PDB AS
berpotensi mendorong permintaan ekspor ke Indonesia. Hal itu akan berpengaruh
pada dua hal, yaitu(1) apresiasi nilai tukar riel, khususnya dalam satu tahun
pertama serta (2) adanya peningkatan PDB Indonesia. Besarnya suatu negara akan
memengaruhi sensitivitas partner dagang dalam merespons kenaikan PDB negara
tersebut (Sun et al., 2013). Dalam hal ini, AS merupakan ekonomi terbesar dunia
dan juga merupakan salah satu partner dagang utama Indonesia.
Impulse response juga menunjukkan bahwa inflasi Indonesia akan turun
sejalan dengan apresiasi nilai tukar riel yang terjadi melalui penurunan imported
inflation. Dampak tersebut terjadi secara instan dan segera menjadi normal.
Selanjutnya, pada tahun kedua inflasi Indonesia akan naik didorong oleh kenaikan
PDB melalui kenaikan output gap. Secara keseluruhan, variasi dampak yang terjadi
pada inflasi Indonesia tersebut menunjukkan bahwa transmisi yang terjadi melalui
jalur nilai tukar cenderung lebih cepat dibandingkan melalui jalur sektor riel. Suku
bunga nominal akan turun dalam satu tahun pertama karena terbukanya ruang
penurunan suku bunga nominal tanpa mengubah suku bunga riel seiring dengan
adanya apresiasi nilai tukar. Namun, suku bunga nominal selanjutnya akan naik
karena adanya kenaikan inflasi.
25
PDB
Inflasi
Nilai Tukar Riel
Suku bunga jangka pendek
Gambar 4. Impulse Response terhadap Shock PDB AS
Kenaikan PDB Indonesia yang terjadi adalah sebesar 0,32% pada tahun
pertama dan 0,34% pada tahun kedua. Dampak tersebut relatif berada di tengah
negara lainnya. Hasil impulse response ini juga cukup sejalan dengan temuan IMF
(2014), yaitu 1% shock PDB negara maju akan direspons oleh PDB negara
berkembang sebesar sekitar 0,4%--0,5% setelah empat triwulan. Di sisi lain, nilai
tukar riel Indonesia diperkirakan terapresiasi sebesar 0,56% pada tahun pertama
karena kenaikan PDB AS sebesar 1%. Dampak tersebut lebih rendah dari banyak
negara, termasuk Brazil, Jepang, Korea, Filipina, Singapora, serta Thailand.
26
Tabel 5. Perbandingan IRF PDB terhadap Shock PDB AS
Triwulan 4 Triwulan 8 Maksimum dalam 12 triwulan
Brazil 0.17 0.03 0.18
Indonesia 0.32 0.34 0.36
Japan 0.19 0.17 0.19
Korea 0.54 0.57 0.69
Malaysia 0.54 0.43 0.54
Philippines 0.13 0.03 0.15
Singapore 0.88 0.79 0.88
Thailand 0.56 0.46 0.56
Tabel 6. Perbandingan IRF Nilai Tukar Riel terhadap Shock PDB AS
Triwulan 4 Triwulan 8 Maksimum dalam 12 triwulan
Brazil -4.40 -4.96 -5.47
Indonesia -0.56 -0.37 -0.66
Japan 1.05 1.00 0.05
Korea -1.93 -1.86 -1.96
Malaysia -0.26 -0.16 -0.26
Philippines -1.34 -1.26 -1.34
Singapore -0.77 -0.95 -0.97
Thailand -1.09 -1.40 -1.55
4.1.3 Dampak Shock Kebijakan Suku Bunga Jangka Pendek Amerika Serikat
Berdasarkan hasil impulse response GVAR, kenaikan suku bunga di AS akan
mendorong adanya capital outflow sehingga akan memberikan tekanan terhadap
depresiasi nilai tukar riel Indonesia dalam jangka pendek. Hal itu disebabkan
berubahnya posisi suku bunga riel relatif antara Indonesia dan AS.
Tingkat suku bunga nominal di Indonesia akan terdorong naik seiring dengan
adanya tekanan capital outflow. Dampak terhadap suku bunga sejalan dengan hasil
GVAR yang dilakukan oleh Chudik dan Smith (2013), yaitu kenaikan 20 bps suku
bunga AS akan diikuti oleh 15 bps kenaikan suku bunga UK pada tahun pertama.
Selain itu, Edwards (2010) juga menemukan bahwa kenaikan suku bunga AS
27
sebesar 50 bps akan meningkatkan suku bunga Asia sebesar 15 bps dalam waktu
yang sama.
Median dari impulse response menunjukkan bahwa kenaikan suku bunga AS
berdampak negatif terhadap PDB Indonesia. Walaupun suku bunga AS
menyebabkan depresiasi sehingga dapat meningkatkan PDB melalui jalur
perdagangan, tetapi PDB turun karena kenaikan suku bunga Indonesia sebagai
respons pada jalur finansial. Hasil itu sejalan dengan temuan Harahap et al. (2013b)
dan Soares (2011), yaitu transmisi kenaikan suku bunga AS lebih dominan melalui
jalur finansial daripada jalur perdagangan. Namun, hasil replikasi bootstrap
menunjukkan bahwa dampak terhadap PDB mempunyai deviasi (confidence interval)
yang semakin besar seiring dengan waktu. Selain itu, Druck, Magud, dan Mariscal
(2015) juga menjelaskan jalur yang tidak secara eksplisit muncul pada Global VAR
ini, yaitu kenaikan suku bunga AS akan mendorong apresiasi nilai tukar AS dan
akan menurunkan harga komoditas sehingga PDB negara berkembang turun. Inflasi
akan meningkat dalam jangka pendek karena imported inflation mengikuti
depresiasi yang terjadi. Seiring dengan inflasi, penyesuaian kembali yang berupa
apresiasi nilai tukar riel secara gradual terjadi dalam jangka menengah.
PDB
Inflasi
Nilai Tukar Riel
Suku bunga jangka pendek
Gambar 5. Impulse Response terhadap Shock Suku Bunga Jangka Pendek AS
28
Penurunan PDB Indonesia yang terjadi adalah sebesar 0,04% pada tahun
pertama, lebih besar dari negara lainnya secara umum. Depresiasi nilai tukar riel di
Indonesia sebesar 0,06% pada tahun pertama. Dampak maksimum untuk dua belas
triwulan pertama terlihat lebih tinggi jika dibandingkan dengan Malaysia, Thailand,
Filipina, dan Singapura. Namun, perlu dicatat pada komparasi antarnegara ini
bahwa kenaikan suku bunga AS dapat menimbulkan dampak yang bersifat
asimetris antarnegara.
Dengan kondisi price rigidity pada jangka pendek, respons nilai tukar riel
yang instan dan besar secara implisit memberikan indikasi kuat bahwa suku bunga
AS dapat menyebabkan overshooting pada nilai tukar nominal Indonesia. Dampak
instan terjadi jika kondisi sesuai dengan model, yaitu kenaikan suku bunga AS
bersifat unanticipated. Walaupun tidak dielaborasi secara khusus pada penelitian
ini dan sesuai dengan model dornbusch overshooting pada kondisi anticipated
dampak terhadap nilai tukar nominal tersebut, diperkirakan terjadi secara lebih
gradual dan akan terealisasi secara penuh sesaat setelah shock terjadi.
Tabel 7. Perbandingan IRF PDB terhadap Shock Suku Bunga Jangka
Pendek AS
Triwulan 4 Triwulan 8 Maksimum dalam 12 triwulan
Brazil 0.26 0.08 -0.05
Indonesia -0.04 -0.06 -0.14
Japan -0.03 -0.03 -0.07
Korea 0.26 0.37 -0.13
Malaysia 0.07 0.04 -0.07
Philippines 0.19 0.12 -0.02
Singapore 0.41 0.29 -0.06
Thailand 0.07 -0.09 -0.14
29
Tabel 8. Perbandingan IRF Nilai Tukar Riel terhadap Shock Suku Bunga Jangka Pendek AS
Triwulan 4 Triwulan 8 Maksimum dalam 12 triwulan
Brazil -3.64 -4.97 -0.32
Indonesia 0.06 -0.09 0.70
Japan 2.07 2.01 2.10
Korea -1.64 -1.53 0.01
Malaysia 0.23 0.27 0.33
Philippines -0.81 -0.80 0.06
Singapore -0.20 -0.26 0.02
Thailand -0.59 -1.10 0.08
4.1.4 Dampak Shock Penurunan PDB Tiongkok
Sesuai dengan transmisi melalui jalur perdagangan sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya, hasil impulse response GVAR mengindikasikan bahwa
penurunan PDB Tiongkok akan menurunkan permintaan ekspor ke Indonesia
sehingga akan menurunkan PDB Indonesia. Temuan itu sesuai dengan pendapat
Anglingkusumo et al. (2014) atas signifikansi penurunan PDB Tiongkok terhadap
sepuluh negara Asia. Selain itu, penurunan ekspor Indonesia juga akan memberikan
tekanan depresiasi pada nilai tukar riel.
Dari sisi harga, inflasi akan naik dalam jangka pendek karena didorong oleh
depresiasi nilai tukar. Namun, mulai satu tahun setelah shock, inflasi Indonesia
akan turun yang disebabkan oleh adanya penurunan PDB dan output gap.
Depresiasi nilai tukar juga direspons dengan kenaikan suku bunga nominal dalam
jangka pendek untuk mempertahankan tingkat suku bunga riel serta real interest
rate parity. Namun, suku bunga nominal kemudian akan turun karena adanya
penurunan PDB dan inflasi.
30
PDB Inflasi
Nilai Tukar Riel
Suku bunga jangka pendek
Gambar 6. Impulse Response terhadap Shock Penurunan PDB Tiongkok
Penurunan PDB Indonesia yang terjadi adalah sebesar 0,52% pada tahun
pertama dan 0,77% pada tahun kedua. Dampak tersebut lebih tinggi dari Brazil
(0,15%), Korea (0,15%), dan Jepang (0,39%), tetapi lebih rendah daripada Malaysia
(0,62%) dan Singapora (0,81%). Dampak di negara maju relatif sejalan dengan
laporan IMF (2014) yang menyebutkan bahwa 1% penurunan PDB di negara
berkembang akan menurunkan PDB di negara maju sebesar 0,2%. Di sisi lain, nilai
tukar riel Indonesia diperkirakan terdepresiasi sebesar 1,03% pada tahun pertama.
Hal itu berarti lebih tinggi jika dibandingkan dengan Filipina dan Malaysia, tetapi
lebih rendah dari Brazil.
Tabel 9. Perbandingan IRF PDB terhadap Shock Penurunan PDB Tiongkok
Triwulan 4 Triwulan 8 Maksimum dalam 12 triwulan
Brazil -0.15 -0.22 -0.24
Indonesia -0.52 -0.77 -0.89
Japan -0.39 -0.49 -0.53
Korea -0.15 -0.13 -0.17
Malaysia -0.62 -0.76 -0.79
Philippines -0.09 -0.12 -0.12
Singapore -0.81 -1.02 -1.07
Thailand -0.58 -0.81 -0.90
31
Tabel 10. Perbandingan IRF Nilai Tukar Riel terhadap Shock Penurunan PDB Tiongkok
Triwulan 4 Triwulan 8 Maksimum dalam 12 triwulan
Brazil 1.48 2.10 2.49
Indonesia 1.03 0.91 1.29
Japan 1.02 1.09 1.14
Korea 0.73 1.06 1.13
Malaysia 0.25 0.27 0.27
Philippines 0.45 0.68 0.89
Singapore 0.70 1.15 1.37
Thailand 0.46 0.65 0.75
4.1.5 Dampak Shock Depresiasi Nilai Tukar Riel Tiongkok
Pada perekonomian Tiongkok depresiasi nilai tukar riel Tiongkok
diperkirakan akan mendorong ekspor dan PDB Tiongkok. Selain itu, dengan kondisi
nilai tukar riel Indonesia yang konstan, depresiasi terhadap nilai tukar riel Tiongkok
secara jangka pendek akan meningkatkan daya saing ekspor Tiongkok. Adanya
kompetisi barang ekspor antara Indonesia dan Tiongkok akan mengurangi daya
saing ekspor Indonesia relatif terhadap Tiongkok.
Karena berkurangnya competitiveness barang ekspor Indonesia relatif
terhadap Tiongkok, PDB Indonesia diperkirakan akan sedikit turun pada jangka
pendek (sampai dengan satu tahun setelah shock). Namun, naiknya competitiveness
Tiongkok akan meningkatkan PDB Tiongkok yang selanjutnya akan mendorong
permintaan ekspor Indonesia dan menaikkan PDB Indonesia mulai tahun pertama.
Pada nilai tukar riel, karena adanya pengaruh lanjutan depresiasi nilai tukar
Tiongkok terhadap peningkatan ekspor Indonesia, depresiasi nilai tukar riel
Tiongkok akan diikuti oleh apresiasi nilai tukar riel Indonesia. Apresiasi nilai tukar
riel kemudian akan mendorong penurunan suku bunga nominal dan mengurangi
inflasi melalui penurunan imported inflation. Namun, pada jangka panjang inflasi
akan kembali naik seiring dengan peningkatan PDB dan output gap.
32
PDB
Inflasi
Nilai Tukar Riel
Suku bunga jangka pendek
Gambar 7. Impulse Response terhadap Shock Depresiasi Nilai Tukar Riel Tiongkok
Respons PDB Indonesia terhadap nilai tukar riel Tiongkok diperkirakan relatif
kecil. Dampak tersebut relatif sama dengan beberapa negara lainnya. Nilai tukar riel
Indonesia diperkirakan terapresiasi sebesar 0,06% pada tahun pertama, dampak
tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan beberapa negara berkembang
lainnya.
Tabel 11. Perbandingan IRF PDB terhadap Shock Depresiasi Nilai Tukar Riel
Tiongkok
Triwulan 4 Triwulan 8 Maksimum dalam 12 triwulan
Brazil 0.01 0.02 0.03
Indonesia 0.01 0.03 0.05
Japan 0.03 0.05 0.05
Korea 0.02 0.03 0.03
Malaysia 0.00 0.03 0.03
Philippines 0.00 0.00 0.00
Singapore 0.02 0.06 0.07
Thailand 0.02 0.05 0.06
33
Tabel 12. Perbandingan IRF Nilai Tukar Riel terhadap Shock Depresiasi Nilai Tukar Riel Tiongkok
Triwulan 4 Triwulan 8 Maksimum dalam 12 triwulan
Brazil -0.04 -0.14 -0.18
Indonesia -0.06 -0.05 -0.07
Japan -0.11 -0.14 -0.14
Korea -0.07 -0.12 -0.12
Malaysia 0.06 0.05 0.04
Philippines -0.02 -0.05 -0.06
Singapore -0.02 -0.07 -0.09
Thailand 0.04 0.03 0.02
4.1.6 Komparasi Respons Antar-sumber Shock
Terhadap nilai tukar riel Indonesia, kenaikan suku bunga jangka pendek AS
terindikasi berpengaruh besar dan lebih berpengaruh dibandingkan penurunan
broad money pada triwulan yang sama dengan shock. Selain itu, kenaikan suku
bunga jangka pendek AS juga lebih berpengaruh jika dibandingkan dengan
kenaikan PDB AS. Hal itu menunjukkan bahwa, untuk risiko dari AS, kenaikan
suku bunga AS merupakan faktor utama yang hendaknya dipertimbangkan dalam
mencermati volatilitas RER Indonesia dalam jangka pendek. Lebih lanjut, karena
efek maksimum terjadi pada jangka waktu yang lebih pendek dan dengan asumsi
rigiditas harga pada jangka pendek, suku bunga jangka pendek AS merupakan
faktor utama yang memberikan risiko volatilitas nilai tukar nominal bagi Indonesia.
Risiko volatilitas RER Indonesia juga muncul atas adanya shock dari
Tiongkok, khususnya PDB Tiongkok. Elastisitas RER Indonesia atas adanya shock
PDB Tiongkok terindikasi cukup tinggi. Penurunan PDB Tiongkok memberikan
risiko depresiasi RER Indonesia yang lebih besar jika dibandingkan dengan
kenaikan broad money AS.
Shock penurunan PDB Tiongkok memberikan risiko yang paling besar pada
penurunan PDB Indonesia jika dibandingkan dengan empat sumber shock lainnya,
termasuk PDB AS. Hasil itu sedikit berbeda dengan temuan Anglingkusumo et al.
(2014), tetapi penelitian tersebut melakukan komparasi hasil shocks dengan
parameter yang sama untuk sepuluh negara Asia, tidak secara khusus untuk
Indonesia. Oleh karena itu, secara implisit perbedaan tersebut mengindikasikan
34
bahwa dampak relatif antarnegara terhadap shock ekonomi dominan bersifat
heterogen.
Untuk shock yang berasal dari AS, shock pada PDB AS terindikasi lebih
berpengaruh terhadap PDB Indonesia daripada suku bunga jangka pendek AS
ataupun terhadap pertumbuhan broad money. Hal itu mengindikasikan bahwa
transmisi shock variabel global yang secara langsung melalui jalur perdagangan
lebih dominan jika dibandingkan dengan variabel finansial global dalam
memengaruhi PDB Indonesia. Terhadap suku bunga, shock yang paling dominan
memberikan respons adalah kenaikan suku bunga AS. Dengan persentase yang
sama shock broad money hanya memberikan respons seperempat dari shock suku
bunga AS pada triwulan ke-8 serta untuk angka maksimum respons selama dua
belas triwulan.
Tabel 13. Perbandingan Impulse Response Variabel Makro terhadap Lima
Jenis Shock
Jenis shock (1%) Triwulan 4 Triwulan 8 Maksimum dalam 12 triwulan
Terhadap PDB Indonesia
Penurunan Broad Money AS
-0.18 -0.22 -0.22
Kenaikan PDB AS 0.32 0.34 0.36
Kenaikan Suku Bunga AS -0.16 -0.24 -0.56
Penurunan PDB Tiongkok -0.52 -0.77 -0.89
Depresiasi RER Tiongkok 0.01 0.03 0.05
Terhadap Inflasi Indonesia
Penurunan Broad Money AS -0.01 -0.13 -0.14
Kenaikan PDB AS 0.00 0.05 0.05
Kenaikan Suku Bunga AS 0.24 -0.04 -0.16
Penurunan PDB Tiongkok 0.01 -0.07 -0.11
Depresiasi RER Tiongkok -0.01 0.00 -0.01
Tabel 13. (lanjutan)
Jenis shock (1%) Triwulan 4 Triwulan 8 Maksimum dalam 12 triwulan
Terhadap RER Indonesia
35
Jenis shock (1%) Triwulan 4 Triwulan 8 Maksimum dalam 12 triwulan
Penurunan Broad Money AS
0.31 -0.17 0.51
Kenaikan PDB AS -0.56 -0.37 -0.66
Kenaikan Suku Bunga AS 0.24 -0.36 2.80
Penurunan PDB Tiongkok 1.03 0.91 1.29
Depresiasi RER Tiongkok -0.06 -0.05 -0.07
Terhadap suku bunga Indonesia
Penurunan Broad Money AS* -0.01 -0.12 -0.15
Kenaikan PDB AS -0.01 0.11 0.13
Kenaikan Suku Bunga AS 0.28 0.48 0.60
Penurunan PDB Tiongkok 0.09 0.01 0.11
Depresiasi RER Tiongkok 0.00 -0.01 -0.01
*Khusus untuk shock ini, respons yang dimaksud adalah terhadap broad money
Indonesia.
4.1.7 Dampak Shock Gabungan
Sebagai dampak dari kombinasi shock tersebut, PDB Indonesia akan sedikit
mengalami penurunan, yaitu sekitar 0,3%–0,4% setelah empat triwulan dan
selanjutnya PDB masih berisiko semakin turun. Namun, hasil dari replikasi
bootstrap menunjukkan bahwa efek tersebut cenderung tidak meyakinkan pada
jangka panjang. Dari sisi competitiveness nilai tukar riel Indonesia akan
terdepresiasi sekitar 1,5% dengan dampak yang cenderung instan. Depresiasi
tersebut diperkirakan berlangsung setidaknya terjadi dalam tahun pertama setelah
shock terjadi. Hal tersebut disebabkan oleh adanya capital outflows karena
berubahnya posisi suku bunga relatif dengan AS. Lebih lanjut, batas atas dari hasil
replikasi menunjukkan bahwa depresiasi RER maksimum yang bersifat
fundamental atas dua shock ini adalah sekitar 3%.
Inflasi akan mengalami kenaikan pada jangka pendek (sekitar 0,2%), yang
dapat terjadi karena adanya imported inflation seiring dengan depresiasi nilai tukar
yang terjadi. Kemudian, inflasi akan turun pada tahun kedua setelah shock terjadi
karena adanya penurunan PDB yang menyebabkan penurunan tekanan inflasi dari
sisi permintaan. Dari sisi finansial replikasi bootstrap menunjukkan bahwa suku
36
bunga jangka pendek maksimum akan naik sekitar 27 bps dan 31 bps masing-
masing pada tahun pertama dan tahun kedua setelah shock terjadi.
PDB
Inflasi
Nilai Tukar Riel
Suku bunga jangka pendek
Gambar 8. Impulse Response terhadap Shock Gabungan
Boks Asesmen Dampak Kebijakan Negara Maju terhadap Indonesia oleh
Kantor Perwakilan Bank Indonesia di Luar Negeri
Kebijakan yang dilakukan oleh negara maju, seperti Amerika Serikat,
Jepang, dan Uni Eropa diperkirakan akan memberikan dampak pada
perekonomian Indonesia. Dari kegiatan survei dan in-depth interview yang
dilakukan oleh kantor perwakilan Bank Indonesia di London, New York, Tokyo,
dan Singapura terhadap investor dan investment banks di wilayah kerjanya, dapat
disimpulkan bahwa (i) shock moneter (antara lain dari normalisasi) yang
dilakukan The Fed akan sedikit menurunkan kegiatan investasi portofolio dan
menyebabkan depresiasi rupiah meskipun capital reversal dalam jumlah masif
diperkirakan tidak terjadi; (ii) kebijakan quantitative easing (QE) European Central
Bank (ECB) diperkirakan tidak signifikan dan dampaknya jauh lebih kecil jika
37
dibandingkan dengan kebijakan QE yang dilakukan oleh The Fed; (iii) dampak
perubahan ekonomi Jepang melalui abenomics, yang potensial meningkatkan
PDB Jepang, diperkirakan terjadi melalui jalur perdagangan; dan (iv) besarnya
interaksi finansial dan perdagangan antardua negara serta profil risiko investasi
Indonesia akan berpengaruh terhadap besarnya dampak spillover.
Hasil survei dan in-depth interview Kantor Perwakilan Bank Indonesia
London (2015) mengungkapkan bahwa QE yang dilakukan oleh The Fed mengalir
sangat banyak ke negara-negara emerging Asia. Sebaliknya, aliran dana yang
bersumber dari QE ECB diprakirakan akan jauh lebih sedikit mengalir ke negara-
negara emerging Asia. Hal itu disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu (i) secara
kuantitas, nilai QE yang dilakukan oleh ECB yang jauh lebih rendah jika
dibandingkan dengan QE yang dilakukan oleh The Fed; (ii) peran Dolar Amerika
Serikat (USD) sebagai mata uang internasional lebih kuat jika dibandingkan
dengan Euro. Selain itu, kebutuhan mata uang USD dan aset dalam USD juga
cukup besar; dan (iii) adanya isu home bias dari investor dan regulator di Eropa
yang menyebabkan spillover QE ECB akan lebih banyak mengalir ke negara-
negara emerging di Eropa. Selain itu, hasil survei dan in-depth interview juga
mengungkapkan bahwa para klien dari bank dan fund manager di Eropa masih
kurang familiar dengan Indonesia. Meskipun demikian, lembaga keuangan di
Eropa masih memandang bahwa investasi ke emerging Asia, termasuk Indonesia,
merupakan ceruk investasi yang menarik sebab emerging Asia menawarkan yield
yang lebih tinggi.
Gambar 9. Tanggapan Responden mengenai Dampak QE oleh ECB terhadap Indonesia
Hasil survei dan in-depth interview Kantor Perwakilan Bank Indonesia,New
York (2015) menjelaskan bahwa sebagian responden survei memperkirakan
bahwa kebijakan normalisasi The Fed tidak akan banyak berpengaruh terhadap
ekonomi Indonesia. Pengaruh kebijakan tersebut akan terlihat pada besaran suku
38
bunga, baik suku bunga jangka panjang maupun suku bunga jangka pendek
yang akan mengalami peningkatan. Sebagian responden meyakini bahwa
kegiatan investasi portofolio akan sedikit menurun. Namun, sebagian responden
mengindikasikan bahwa kemungkinan terjadinya capital reversal di Indonesia
relatif kecil. Selanjutnya, sebagian besar responden memandang optimis terhadap
kinerja direct investment meskipun The Fed menerapkan kebijakan normalisasi.
Mayoritas responden meyakini bahwa nilai foreign direct investment di Indonesia
pada tahun 2015 akan sama dengan tahun sebelumnya. Bahkan, sebagian
responden menilai bahwa nilai foreign direct investment tahun 2015 ini akan lebih
tinggi jika dibandingkan dengan tahun lalu. Namun, dari sisi lain, hampir seluruh
responden meyakini bahwa kebijakan normalisasi oleh The Fed akan
menyebabkan nilai tukar rupiah mengalami depresiasi.
Dalam menentukan tujuan investasi portofolio ke suatu negara, sebagian
besar responden meyakini bahwa kedalaman pasar keuangan (depth of financial
market) merupakan faktor utama. Yang selanjutnya, diikuti oleh faktor stabilitas
pasar keuangan, imbal hasil (yield), stabilitas politik, dan pertumbuhan ekonomi.
Upaya-upaya pendalaman pasar keuangan domestik yang saat ini telah dan
sedang dilakukan oleh Bank Indonesia menjadi faktor penting dalam upaya
menarik aliran modal masuk ke Indonesia. Terlebih lagi dengan adanya
pandangan sejumlah investment bank di New York bahwa kebijakan normalisasi
oleh The Fed akan menyebabkan nilai tukar rupiah terdepresiasi. Upaya ini
diharapkan dapat mendukung momentum yang kondusif bagi pasar keuangan
Indonesia, terutama setelah diumumkannya kebijakan QE oleh ECB. Hal itu
diharapkan dapat meminimalkan potensi aliran modal keluar sebagai dampak
dari kebijakan normalisasi The Fed.
Hasil survei dan in-depth interview kantor perwakilan Bank Indonesia–
Tokyo (2015) menjelaskan bahwa hubungan Jepang dengan Indonesia lebih
didominasi oleh jalur perdagangan (ekspor dan impor) dan jalur investasi (foreign
direct investment), sedangkan untuk investasi portofolio masih relatif terbatas.
Dengan pola khas hubungan Jepang dengan Indonesia tersebut, beberapa
investment bank dan investor lainnya memperkirakan bahwa perubahan ekonomi
di Jepang akan memengaruhi perekonomian Indonesia, terutama pada indikator
makro seperti PDB, melalui jalur perdagangan dan investasi. Sementara itu,
untuk dampak likuiditas, suku bunga, dan nilai tukar kurang begitu besar
pengaruhnya. Namun, saat ini mulai terjadi diversifikasi investasi ke dalam risky
39
asset (non-Japanese Government Bond) dan juga terdapat peningkatan kredit
valuta asing oleh perbankan Jepang ke negara-negara Asia, termasuk Indonesia.
Di sisi lain, pergeseran investasi ke arah risky asset serta peningkatan exposure
kredit valuta asing ke negara-negara Asia akan berpotensi menimbulkan risiko
interconnectedness bagi perbankan besar di Jepang. Terdapat empat faktor utama
yang menjadi prioritas pertimbangan bagi investor di Jepang dalam memutuskan
penempatan portofolio di Indonesia, yaitu PDB, return of investment (yield),
stabilitas politik, dan credit rating.
Gambar 10. Tanggapan Responden mengenai Dampak Abenomics terhadap
Indonesia Dalam tataran rekomendasi kebijakan, Kantor Perwakilan Bank Indonesia
– Tokyo (2015) memberikan rekomendasi untuk meningkatkan pendalaman pasar
uang untuk mendukung transaksi pembiayaan perdagangan dan investasi IDR-
JPY. Pendalaman pasar uang tersebut dapat dikembangkan dan dilakukan oleh
perbankan di Indonesia dengan perbankan di Jepang serta didukung berbagai
ketentuan yang dapat diusulkan oleh Bank Indonesia. Hal itu untuk mendorong
pemanfaatan local currency settlement guna mendukung transaksi perdagangan
dan investasi Jepang dengan Indonesia yang semakin meningkat pada lima tahun
terakhir.
Dalam kajiannya, kantor perwakilan Bank Indonesia–Singapura (2015)
menyatakan bahwa jalur utama yang mentransmisikan unconventional policy dari
advanced economies ke Indonesia adalah jalur external account atau arus inflow
portofolio. Kebijakan QE yang dilakukan oleh Bank of Japan dan ECB pada saat
The Fed belum melakukan kebijakan normalisasi diyakini akan mendorong
portfolio inflow yang lebih besar ke pasar domestik dan dapat menurukan profil
interest rate pasar obligasi Indonesia. Dari sisi nilai tukar pelemahan nilai tukar
tidak dapat dihindari seiring dengan terjadinya sentimen negatif defisit transaksi
berjalan. Meskipun demikian, dalam jangka panjang diperkirakan dampaknya
akan positif sejalan dengan meningkatnya daya saing ekspor.
40
Ekspektasi pelemahan nilai tukar dalam emerging markets akan
mendorong pelaku pasar untuk lebih berhati-hati dalam menentukan strategi
penempatan portofolio dengan memperhatikan beberapa faktor seperti (i) valuasi
(relative value); (ii) winner/loser dari pelemahan harga minyak; dan (iii) komitmen
suatu negara untuk melakukan reformasi. Risiko implementasi kebijakan
normalisasi suku bunga oleh The Fed akan menyebabkan investasi pada aset
Indonesia menjadi lebih rentan akibat tingginya bobot kepemilikan asing terhadap
aset domestik yang saat ini telah mencapai hamper 40%.
Berdasarkan hasil in-depth interview terhadap beberapa investment bank di
Singapura, dapat disimpulkan bahwa strategi investasi oleh investor di pasar
keuangan Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu seperti (i) faktor
makroekonomi global; (ii) kondisi dan outlook perekonomian domestik Indonesia;
(iii) valuasi aset Indonesia terhadap aset negara lain yang memiliki credit rating
yang sama dengan Indonesia; dan (iv) likuiditas pasar yang tingkat likuiditas
pasar Indonesia berada di peringkat ketiga setelah Malaysia dan Thailand.
Sehubungan dengan itu, perlu adanya strategi komunikasi yang
mengedepankan transparasi dalam penyampaian kebijakan maupun outlook
perekonomian. Selain itu, diperlukan juga regulasi finansial dan pasar yang
memadai, seperti market conduct. Dalam konteks pendalaman pasar keuangan,
diperlukan penyempurnaan regulasi yang memungkinkan lembaga dana pensiun
untuk menambah alokasi investasi pada obligasi pemerintah Republik Indonesia
dan obligasi korporasi serta menambah keragaman instrumen investasi di pasar
domestik.
4.2 Rekomendasi Kebijakan
Dampak spillover normalisasi kebijakan moneter di AS dan perlambatan
Tiongkok dapat terjadi secara bersamaan dan saling berinteraksi. Pasar dapat
mereassess prospek negara berkembang di tengah kondisi finansial yang mengetat,
pasar yang “terguncang”, depresiasi nilai tukar, dan capital flow reversals. Dampak
final spillover yang akan terjadi merupakan kombinasi antara underlying shock dari
negara asal dan kondisi lokal di negara yang terimbas dampaknya.
IMF (2014) menyebutkan bahwa framework kebijakan yang tepat dan kondisi
fundamental yang baik dapat bermanfaat sebagai buffer untuk memberikan ruang
kebijakan dalam merespons spillover tersebut. Hasil simulasi yang dilakukan
41
menunjukkan bahwa normalisasi kebijakan moneter dan perlambatan
pertumbuhan ekonomi di Tiongkok berpotensi memberikan tekanan depresiasi pada
rupiah akibat capital outflow dan perlambatan ekspor yang pada akhirnya
memengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Dalam merespons risiko tersebut, laporan IMF (2014) menyebutkan bahwa
respons yang sesuai untuk negara berkembang adalah melalui perumusan bauran
kebijakan makroekonomi dengan membiarkan nilai tukar terdepresiasi,
meningkatkan suku bunga kebijakan, dan melonggarkan stance fiskal. Secara
khusus, dalam menghadapi tekanan nilai tukar, bank sentral perlu menjaga
kecukupan cadangan devisa, membiarkan nilai tukar merespons sebagai buffer dan
jika cadangan devisa mencukupi, serta melakukan intervensi untuk mengurangi
volatilitas nilai tukar yang eksesif.
Meskipun demikian, depresiasi yang terus menerus akan membawa dampak
negatif terhadap sektor riel dan sektor keuangan. Berdasarkan stress test yang
dilakukan oleh Divisi Asesmen Makroekonomi (2015) terhadap 121 emiten dalam
bursa efek Indonesia, depresiasi nilai tukar akan berdampak negatif terhadap
penjualan sektor yang berorientasi domestik, sedangkan dampak depresiasi nilai
tukar rupiah terhadap sektor yang berorientasi ekspor relatif kecil. Dengan skenario
terburuk, mayoritas korporasi akan mencatat net-profit negatif.
Di sisi lain, stress test terhadap perbankan yang dilakukan oleh Departemen
Kebijakan Makroprudensial (2015) dengan menggunakan skenario terburuk
menyimpulkan bahwa jumlah bank yang akan memiliki CAR di bawah risk profile
mencapai 29 bank yang mayoritas didominasi oleh bank yang berasal dari BUKU 1
dan BUKU 2. Oleh karena itu, depresiasi nilai tukar rupiah dapat dilakukan untuk
menjaga daya saing ekspor Indonesia, tetapi dengan ruang depresiasi yang terbatas.
Dalam merespons tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia akibat
normalisasi kebijakan moneter dan perlambatan di major emerging market, respons
kebijakan yang perlu dilakukan Indonesia adalah melalui reformasi struktural
untuk menarik foreign direct investment (FDI) dan meningkatkan peran Indonesia
dalam global value chain. Reformasi struktural dapat dilakukan antara lain melalui
pembangunan infrastruktur (listrik dan transportasi), meningkatkan pendidikan
serta skill, dan meningkatkan kompetisi dan iklim bisnis. Koordinasi dengan
pemangku kebijakan fiskal perlu diperkuat untuk memperkuat posisi fiskal agar
mengurangi current account deficit. Jaring pengaman sosial juga perlu dipersiapkan
apabila terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi lebih lanjut.
42
V. PENUTUP
5.1 Simpulan
Penelitian ini telah menggunakan model GVAR pada 33 negara sebagaimana
dilakukan Dées et al. (2007) melalui GVAR Toolbox 2.0 (Smith dan Galesi, 2014)
dengan dua variasi model dan modifikasi berupa matriks kombinasi bobot finansial
dan perdagangan. Aplikasi model melalui impulse response dengan 1.000 replikasi
bootstrap dilakukan untuk analisis spillover atas lima jenis shock eksternal yang
berbeda dengan fokus analisis pada respons variabel makroekonomi Indonesia.
Sesuai dengan pembahasan pada bab sebelumnya, penelitian ini memberikan
beberapa temuan sebagai berikut.
1. Kebijakan kenaikan suku bunga AS maupun penurunan broad money AS dapat
memengaruhi nilai tukar riel Indonesia dan suku bunga Indonesia. Efek melalui
jalur finansial terindikasi sedikit lebih besar sehingga memberikan dampak
negatif pada PDB. Hal ini sesuai dengan pendapat Dahlhaus, Hess, dan Reza
(2014) dan Soares (2011) bahwa jalur transmisi yang lebih dominan atas shock
suku bunga AS ke negara lain adalah melalui jalur finansial. Selain itu, temuan
tersebut juga sejalan dengan Harahap et al. (2013b) untuk kasus Indonesia.
Namun, untuk shock suku bunga AS efek tersebut tidak signifikan pada
replikasi bootstrap, sedangkan untuk shock broad money AS sempat
memberikan efek temporer pada kenaikan PDB.
2. Eksternal shock utama yang memberikan risiko pada pertumbuhan ekonomi
Indonesia adalah pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Efek tersebut lebih besar
jika dibandingkan dengan tapering off, kenaikan suku bunga AS, ataupun
kondisi alternatif jika perekonomian AS melambat. Lebih lanjut, dengan
membandingkan hasil itu Anglingkusumoet al. (2014) menjelaskan bahwa
terdapat indikasi respons relatif antarnegara, khususnya di kawasan Asia
terhadap shock dari perekonomian dominan, yaitu respons yang bersifat
heterogen.
3. Eksternal shock utama yang memberikan risiko pada nilai tukar Indonesia
adalah suku bunga jangka pendek AS. Dengan besaran 1% pada suku bunga
jangka pendek AS dan broad money AS, shock suku bunga jangka pendek
memberikan dampak instan yang lebih tinggi daripada tapering off. Selain itu,
43
dengan kondisi price rigidity pada jangka pendek, respons nilai tukar riel yang
instan dan besar secara implisit memberikan indikasi kuat bahwa suku bunga
AS dapat menyebabkan overshooting pada nilai tukar nominal Indonesia.
4. Batas atas dari hasil replikasi menunjukkan bahwa depresiasi RER maksimum
yang bersifat fundamental atas skenario kombinasi dua shock negatif (kenaikan
suku bunga AS 25 bps dan perlambatan ekonomi Tiongkok 0,6%) adalah sekitar
3%.
5. Berdasarkan hasil impulse response secara umum, variasi inflasi yang berasal
dari sektor eksternal bersumber dari dua hal, yaitu depresiasi nilai tukar untuk
variasi jangka pendek serta perubahan pada PDB untuk variasi jangka
menengah.
6. Hasil shock gabungan kenaikan suku bunga AS 25 bps dan penurunan PDB
Tiongkok 0,6% akan direspons Indonesia pada tahun pertama dengan kenaikan
suku bunga jangka pendek, depresiasi nilai tukar riel, penurunan PDB, serta
kenaikan inflasi.
Penelitian ini memberikan beberapa kontribusi sebagai berikut.
1. Dalam konteks internal Bank Indonesia, penelitian ini memberikan tambahan
analisis spillover dengan metode yang relatif baru, yaitu aplikasi global VAR yang
lebih mutakhir karena dilengkapi dengan (1) penyertaan 33 negara dalam model
yang mencakup 90% PDB dunia; (2) penggunaan matriks bobot kombinasi
hubungan finansial dan perdagangan, sedangkan GVAR Toolbox 2.0 (Smith dan
Galesi, 2014) dan penelitian Déeset al. (2007) hanya menggunakan matriks
perdagangan; dan (3) analisis telah dilengkapi dengan 1.000 replikasi bootstrap
untuk meningkatkan akurasi respons dan mengindikasikan tingkat keyakinan
atas hasil.
2. Dalam konteks yang lebih luas, penelitian ini juga dilengkapi dengan
pembahasan pada literatur-literatur sebelumnya terkait ruang lingkup analisis
spillover, yaitu (1) impulse response atas adanya shock dari negara Tiongkok,
yaitu perlambatan PDB Tiongkok dan nilai tukar riel Tiongkok; dan (2)
pembahasan dampak makroekonomi yang dikhususkan pada ekonomi Indonesia
dari lima jenis shocks eksternal sebagaimana telah dilakukan selama ini.
3. Bagi pengambil kebijakan, penelitian ini telah memberikan indikasi jenis shock
utama yang patut diperhatikan dalam menjaga kestabilan sektor finansial dan
44
sektor riel, khususnya dalam menjaga kestabilan nilai tukar ataupun untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
5.2 Saran
Berdasarkan temuan penelitian serta keterbatasan pada penelitian ini, dapat
direkomendasikan beberapa hal untuk penelitian selanjutnya, yaitu sebagai berikut.
1. Analisis spillover yang membedakan antara anticipated dan unanticipated
external shocks. Analisis spillover pada penelitian ini hanya terbatas pada
unanticipated external shocks, sedangkan kenaikan suku bunga AS yang
potensial terjadi telah diantisipasi oleh pasar melalui berbagai pernyataan The
Federal Reserve. Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian yang dapat
membedakan pengaruh ekspektasi dalam mendahului keseluruhan realisasi
respons, khususnya pada variabel makroekonomi Indonesia.
2. Analisis spillover dengan shock yang bersifat sekuensial dan repetitif. Penelitian
ini membatasi analisis gabungan beberapa jenis shock yang terjadi secara
bersamaan. Selain itu, saat ini nilai tukar AS telah memasuki fase siklus
apresiasi (Druck, Magud, dan Mariscal, 2015) sehingga sangat mungkin
terasosiasi dengan fase pengetatan moneter AS. Oleh karena itu, diperlukan
analisis spillover dengan shock sekuensial dan repetitif sehingga dapat
diperkirakan dampak jangka menengah atas prospek ekonomi global ini.
3. Analisis spillover dengan shock yang terjadi secara bersamaan dan mungkin
saling berinteraksi (menguatkan atau melemahkan). Dalam meneliti dampak
gabungan, penelitian ini membatasi dengan berasumsi bahwa tidak ada interaksi
antar-shock yang terjadi secara bersamaan. Adanya model atau analisis yang
memungkinkan interaksi antar-shock akan lebih mewakili kondisi riel.
45
DAFTAR PUSTAKA
Anglingkusumo, R., Anugrah, D. F., Fridayanti, Y. dan Hendharto, H. S. (2014). Perubahan Struktural dalam Perekonomian Global dan Dampaknya pada Perekonomian Indonesia melalui Jalur Perdagangan. Working Paper No. LHP/4/DKEM/2014, Bank Indonesia.
Chen, Q., Filardo, A., He, D. dan Zhu, F. (2015). Financial Crisis, Unconventional Monetary Policy, and International Spillovers. Working Paper No. WP/15/85, International Monetary Fund.
Chua, W. S., Endut, N., Khadri, N., and Sim, W. H. (2013). Global Monetary Easing: Spillovers and Lines of Defense. Bank Negara Malaysia Working Paper, (03).
Chudik, A. dan Smith, V. (2013). The GVAR Approach and the Dominance of the US Economy. Working Paper No. 136, Federal Reserve Bank of Dallas.
Dahlhaus, T., Hess, K. dan Reza, A. (2014). International Transmission Channels of U.S. Quantitative Easing: Evidence from Canada. Working Paper 2014-43, Bank of Canada.
Dahlhaus, T. and Vasishtha, G. (2014). The Impact of U.S. Monetary Policy Normalization on Capital Flows to Emerging-Market Economies. Bank of Canada Working Paper, (53).
Dées S., di Mauro F., Pesaran M. H., dan Smith L. V. (2007). Exploring the international linkages of the Euro area: a global VAR analysis, Journal of Applied Econometrics 22: 1–38.
Druck, P., Magud, N. E. dan Mariscal, R. (2015). Collateral Damage: Dollar Strength and Emerging Markets’ Growth. Working Paper No. WP/15/179, International Monetary Fund.
Edwards, S. (2010). The international transmission of interest rate shocks: The Federal Reserve and emerging markets in Latin America and Asia. Journal of International Money and Finance 29( 4): 685-703.
Harahap, B. A., Maryaningsih, N., Panjaitan, L. N. dan Satyanugroho, R. (2013a). Spillover Effect dari Perbaikan Ekonomi AS dan Eropa terhadap Indonesia.
Bank Indonesia Research Note, (5).
Harahap, B. A., Panjaitan, L. N., Ariyanti, D., dan Khasananda, R. (2013b). Measuring Global Spillover to Indonesia: Pendekatan FAVAR. Bank Indonesia Working Paper, (7).
IMF (2014). IMF Multilateral Policy Issues Report: 2014 Spillover Report. Washington D. C.: International Monetary Fund.
IMF (2015). World Economic Outlook: April 2015. Washington D. C.: International Monetary Fund.
Ibrahim, Tri Winarno, Melva Viva, dan Yanfitri (2012). Transmisi Perlambatan Negara Tujuan Ekspor melalui International Trade: Pendekatan ASIAN-IO. Bank Indonesia Working Paper, (6).
Iskandar, C. L. dan Permata, M. I. (2011). Krisis AS dan Eropa, serta Dampak Rambatannya terhadap Perekonomian Indonesia. Bank Indonesia Working Paper, (17).
46
Kantor Perwakilan Bank Indonesia – London (2015). Dampak Perubahan Kebijakan Moneter/Makroprudensial Negara Maju terhadap Indonesia. Analytical Note.
Kantor Perwakilan Bank Indonesia – New York (2015). Perubahan Kebijakan Moneter the Fed dan Dampaknya terhadap Indonesia. Kajian, (1).
Kantor Perwakilan Bank Indonesia – Tokyo (2015). Dampak Perubahan Kebijakan Abenomic terhadap Perekonomian Indonesia. Analytical Note.
Kantor Perwakilan Bank Indonesia – Singapura (2015). Dampak Perubahan Kebijakan Moneter Negara Maju terhadap Perekonomian Indonesia. Analytical Note, (3).
Kurniati, Y. dan Permatasari, M. I. (2009). Transmisi Gejolak Eksternal ke dalam Perekonomian Indonesia. Bank Indonesia Working Paper, (7).
Lavigne, R., Sarker, S., and Vasishtha, G. (2014). Spillover Effects of Quatitative Easing on Emerging-Market Economies. Bank of Canada Review.
Mohanty, M. S. (2014). The Transmission of Unconventional Monetary Policy to the Emerging Markets. Bank for International Settlements Papers, (78).
Pesaran, M.H., Schuermann, T., dan Weiner S. M. (2004). Modeling regional interdependencies using a global error-correcting macroeconometric model. Journal of Business and Economic Statistics 22: 129–162.
Pesaran M. H. dan Shin Y. (1998). Generalized impulse response analysis in linear multivariate models. Economics Letters 58: 17–29.
Silalahi, T., Wibowo, W. A., dan Panjaitan, L. N. (2012). Dampak Global Financial Shock terhadap International Bank Lending di Indonesia. Bank Indonesia Working Paper, (7).
Smith, L. V. dan Galesi, A. (2014), GVAR Toolbox 2.0, https://sites.google.com/site/ gvarmodelling/gvar-toolbox.
Soares, R. (2011), “Assessing Monetary Policy in the Euro Area: a Factor-Augmented VAR Approach”, Banco de Portugal Working Papers No. 11.
Sun, Y., Heinz, F. F., dan G. Ho (2013). Cross-Country Linkages in Europe: A Global VAR Analysis. Working Paper No. WP/13/194, International Monetary Fund.
47
LAMPIRAN
Lampiran 1. Weak Exogeneity Tests Terhadap Foreign Variables:
Model 1
Country F test ys Dps eqs eps rs lrs poil pmat pmetal
Argentina F(2,118) 0.8 1.6 0.0 4.2 0.3 1.7 2.4 1.4
Australia F(5,120) 1.0 2.7 0.6 0.9 2.0 0.3 0.9 0.4
Brazil F(2,125) 2.7 0.5 0.8 0.3 6.9 1.5 0.1 0.6
Canada F(3,122) 5.6 2.1 1.2 0.7 1.0 1.3 0.4 2.0 Tiongkok F(2,125) 0.2 0.5 0.3 2.1 0.7 1.7 0.3 0.9
Chile F(2,114) 0.2 0.1 0.4 0.1 1.3 0.8 0.7 2.2
Euro F(2,123) 3.5 0.3 1.5 0.2 2.4 0.1 0.0 0.3
India F(2,124) 5.1 2.2 1.6 3.7 0.8 1.4 0.4 2.8
Indonesia F(3,124) 0.5 1.0 1.9 0.9 0.1 1.3 0.8 1.1
Japan F(2,123) 2.7 1.1 0.4 0.2 0.6 0.4 0.7 1.9 Korea F(4,121) 0.7 0.4 3.4 0.8 1.7 1.0 0.8 0.3
Malaysia F(2,124) 3.0 2.8 0.5 3.6 0.1 0.7 1.7 0.0
Mexico F(3,124) 0.4 2.6 1.4 0.8 1.4 1.5 1.5 4.0
Norway F(3,122) 4.0 1.3 1.0 1.0 1.2 0.3 0.7 1.1
New Zealand F(2,123) 1.1 0.4 0.9 0.4 0.2 1.0 0.1 1.1 Peru F(4,123) 0.5 0.9 0.3 1.5 0.9 0.4 1.6 2.0
Philippines F(2,124) 0.1 1.7 0.8 1.5 1.0 1.6 0.5 1.5
South Africa F(3,122) 0.1 0.5 1.3 2.2 2.1 0.8 0.0 0.3
Saudi Arabia F(2,126) 0.6 1.6 2.2 1.1 1.6 0.2 2.7 1.6
Singapore F(2,124) 0.5 1.5 3.0 1.4 1.7 2.6 0.1 4.0
Sweden F(2,123) 1.0 0.6 0.0 0.1 1.3 0.4 0.5 1.9 Switzerland F(3,122) 5.1 1.5 0.8 0.9 0.4 0.7 1.1 0.4
Thailand F(3,123) 0.5 0.3 0.6 1.0 1.4 0.3 0.1 0.3
Turkey F(1,126) 0.1 0.5 0.1 0.1 2.5 0.7 0.0 0.0
United
Kingdom
F(3,122) 3.5 0.7 0.7 0.3 2.6 0.7 1.0 1.4
USA F(2,127) 0.2 4.1 0.2 0.6 3.8 1.8
Bold: Signifikan
48
Lampiran 2. Weak Exogeneity Tests Terhadap Foreign Variables:
Model 2
Country F test ys Dps eqs eps lrs poil pmat pmetal
Argentina F(1,126) 0.6 3.4 4.7 0.3 7.7 0.5 0.0 Australia F(3,124) 1.5 2.2 0.1 0.1 1.3 0.8 0.0 Brazil F(1,114) 0.1 1.8 0.9 0.0 2.5 0.0 2.0 Canada F(2,126) 3.0 0.9 0.8 1.7 0.1 0.3 0.7 Tiongkok F(2,126) 0.0 0.8 0.1 0.5 0.1 0.1 0.6 Chile F(1,127) 0.0 0.0 0.1 1.0 0.2 0.1 0.0 Euro F(1,126) 0.0 0.1 0.8 0.0 0.5 0.0 3.2
India F(1,126) 0.0 0.2 2.7 1.0 1.4 0.2 0.1 Indonesia F(3,125) 0.4 0.7 3.6 1.7 1.8 0.8 1.1 Japan F(1,126) 0.9 0.0 0.1 0.1 0.7 0.3 1.1 Korea F(1,126) 2.3 0.3 0.6 0.0 1.0 0.3 0.0 Malaysia F(1,126) 2.5 0.0 1.4 0.0 1.4 0.1 1.2 Mexico F(3,125) 0.2 1.4 1.9 1.9 2.0 2.3 2.1 Norway F(2,126) 1.0 1.0 0.6 0.1 1.9 0.3 0.2 Peru F(3,125) 0.6 1.3 0.7 0.7 0.4 1.4 1.2 Philippines F(2,126) 0.0 2.4 0.7 1.1 0.9 1.4 0.7 South Africa F(1,127) 0.1 0.9 0.3 0.8 0.6 0.0 0.8 Saudi Arabia F(2,127) 1.4 0.1 1.8 1.1 0.5 3.3 0.5 Singapore F(2,125) 0.2 2.8 1.9 0.5 1.5 0.6 2.2 Sweden F(1,126) 0.0 2.3 0.0 4.3 0.9 0.2 0.1 Switzerland F(2,125) 1.8 2.9 1.0 0.8 0.1 1.7 0.0 Thailand F(3,124) 2.0 0.2 1.4 0.3 0.2 0.7 0.6 Turkey F(1,127) 0.1 0.0 0.7 1.8 0.1 0.2 0.0 United Kingdom F(1,126) 0.0 0.4 0.0 3.6 0.1 1.4 0.0 USA F(2,128) 1.0 4.4 0.8 2.4 1.5 2.0
Bold: Signifikan
49
Lampiran 3. Contemporaneous Effects Terhadap Foreign Variables:
Model 1
Negara y Dp eq ep r lr
Argentina 0.10 -3.06 1.54 3.64 Australia 0.25 0.50 0.81 0.43 0.87 Brazil 0.19 2.27 1.22 Canada 0.52 0.42 0.91 0.35 0.97 Tiongkok 0.59 0.12 0.01 Chile 0.58 0.11 0.58 0.10 Euro 0.50 0.16 1.06 0.05 0.63 India -0.36 0.51 0.72 -0.13 Indonesia 0.34 0.73 0.09 Japan 0.69 -0.05 0.75 -0.03 0.49 Korea 0.39 0.45 0.85 -0.16 0.38 Malaysia 1.23 0.74 1.19 0.01 Mexico 0.42 -0.04 -0.02 Norway 0.38 0.86 1.01 0.04 0.78 New Zealand 0.45 0.55 0.72 0.55 0.56 Peru -0.62 4.07 -0.16 Philippines 0.11 -0.25 1.03 0.57 South Africa 0.29 0.37 0.85 0.07 0.21 Saudi Arabia 0.66 0.35 Singapore 1.30 0.06 1.19 0.19 Sweden 1.31 0.84 1.10 0.25 0.95 Switzerland 0.43 0.35 0.91 0.13 0.47 Thailand 0.63 0.58 1.14 0.22 Turkey 1.56 0.68 1.61 United Kingdom
0.59 0.64 0.82 0.08 0.81
USA 0.60 0.14
50
Lampiran 4. Contemporaneous Effects Terhadap Foreign Variables:
Model 2
Negara y Dp eq ep bm
Argentina 0.17 0.80 1.77 0.01 Australia 0.32 0.25 0.79 -0.01 Brazil 0.43 1.04 1.27 Canada 0.73 0.52 0.94 Tiongkok 0.25 0.17 -0.09 Chile 0.82 0.04 0.60 Euro 0.55 0.15 1.06 0.06 India -0.43 0.15 0.85 -0.20 Indonesia 0.34 0.64 -0.61 Japan 0.77 0.06 0.75 0.05 Korea 0.21 0.15 1.01 -0.22 Malaysia 1.40 0.65 1.23 -2.94 Mexico 0.45 -0.26 0.56 Norway 0.61 0.44 1.14 New Zealand 0.39 0.56 0.74 Peru -0.05 0.04 -0.21 Philippines 0.02 -0.04 0.90 South Africa 0.31 0.23 0.84 Saudi Arabia 0.71 0.09 Singapore 1.14 0.21 1.21 -0.24 Sweden 1.30 0.97 1.10 0.30 Switzerland 0.55 0.32 0.95 0.94 Thailand 0.70 0.17 1.05 -0.11 Turkey 1.39 0.50 0.91 United Kingdom 0.57 0.24 0.85 0.35 USA 0.54 0.16
51
Lampiran 5. Korelasi dari Residual VECMX: Model 1
Negara Dp ep eq lr r y
Argentina 0.03 0.04 -0.02 0.00 0.00 Australia 0.02 0.19 0.02 0.00 0.03 0.01 Brazil -0.04 0.10 -0.03 0.03 Canada 0.05 0.15 0.04 -0.03 0.10 -0.01 Chile 0.01 0.15 0.04 -0.03 0.01 Tiongkok -0.02 0.04 0.01 -0.08 Euro 0.06 0.26 -0.12 -0.06 0.07 -0.02 India 0.01 0.15 -0.04 0.05 -0.01 Indonesia 0.03 0.08 0.04 -0.02 Japan 0.03 0.11 -0.11 -0.05 0.00 -0.03 Korea 0.03 0.13 -0.04 -0.05 0.04 0.00 Malaysia 0.02 0.18 0.02 0.04 -0.01 Mexico -0.01 0.02 0.01 0.03 New Zealand 0.02 0.24 -0.01 0.01 0.01 0.04 Norway 0.02 0.27 0.05 0.00 0.01 -0.02 Peru -0.05 0.05 0.04 0.02 Philippines 0.00 0.12 -0.01 0.02 0.01 Saudi Arabia 0.02 0.01 -0.01 Singapore 0.03 0.22 0.01 0.03 -0.02 South Africa 0.02 0.18 0.06 -0.01 0.03 0.04 Sweden 0.05 0.23 -0.02 0.02 0.00 0.03 Switzerland 0.05 0.26 0.01 0.03 0.01 0.02 Thailand 0.02 0.19 0.01 0.05 0.00 Turkey 0.00 0.12 0.03 0.00 United Kingdom 0.00 0.19 -0.01 -0.03 0.05 -0.02 USA 0.06 -0.01 -0.01 0.04 -0.04
52
Lampiran 6. Korelasi dari Residual VECMX: Model 2
Negara Dp ep eq lr bm
Argentina -0.02 0.04 0.05 -0.02 -0.01 Australia -0.04 0.03 0.25 0.01 0.02 Brazil 0.01 -0.05 0.13 0.03 Canada 0.03 0.20 0.02 0.00 Chile 0.02 0.16 0.04 0.01 Tiongkok 0.04 -0.02 0.05 -0.09 Euro -0.01 0.05 0.30 -0.11 -0.02 India -0.02 0.02 0.17 -0.03 -0.01 Indonesia 0.01 0.03 0.15 -0.02 Japan 0.01 0.03 0.17 -0.10 -0.04 Korea 0.00 0.01 0.19 -0.05 -0.01 Malaysia 0.02 0.04 0.22 0.02 -0.01 Mexico 0.02 -0.01 0.00 0.03 New Zealand 0.05 0.26 0.00 0.05 Norway 0.06 0.30 0.04 -0.01 Peru -0.03 -0.02 0.03 0.02 Philippines -0.01 0.13 0.02 0.00 Saudi Arabia 0.03 0.03 -0.01 Singapore 0.04 0.02 0.29 0.01 -0.02 South Africa 0.00 0.24 0.05 0.04 Sweden 0.02 0.03 0.26 -0.01 0.03 Switzerland 0.02 0.04 0.30 -0.01 0.01 Thailand 0.01 0.03 0.22 0.02 -0.01 Turkey 0.01 -0.03 0.15 -0.01 United Kingdom -0.01 0.05 0.25 -0.02 -0.02 USA 0.03 0.08 0.00 -0.03
53
Lampiran 7. Variabel Domestik dalam Model VARX Masing-masing Negara
Negara y Dp eq ep r lr bm
Argentina 1 1 1 1 1 0 1 Australia 1 1 1 1 1 1 1 Brazil 1 1 0 1 1 0 1 Canada 1 1 1 1 1 1 0 Tiongkok 1 1 0 1 1 0 1 Chile 1 1 1 1 1 0 0 Euro 1 1 1 1 1 1 1 India 1 1 1 1 1 0 1 Indonesia 1 1 0 1 1 0 1 Japan 1 1 1 1 1 1 1 Korea 1 1 1 1 1 1 1 Malaysia 1 1 1 1 1 0 1 Mexico 1 1 0 1 1 0 1 Norway 1 1 1 1 1 1 0 New Zealand 1 1 1 1 1 1 0 Peru 1 1 0 1 1 0 1 Philippines 1 1 1 1 1 0 0 South Africa 1 1 1 1 1 1 0 Saudi Arabia 1 1 0 1 0 0 0 Singapore 1 1 1 1 1 0 1 Sweden 1 1 1 1 1 1 1 Switzerland 1 1 1 1 1 1 1 Thailand 1 1 1 1 1 0 1 Turkey 1 1 0 1 1 0 1 United Kingdom 1 1 1 1 1 1 1 USA 1 1 1 0 1 1 1
54
Lampiran 8. Variabel Foreign dalam model VARX masing-masing Negara
Negara y Dp eq ep r lr bm
Argentina 1 1 1 0 1 1 1 Australia 1 1 1 0 1 1 1 Brazil 1 1 1 0 1 1 1 Canada 1 1 1 0 1 1 1 Tiongkok 1 1 1 0 1 1 1 Chile 1 1 1 0 1 1 1 Euro 1 1 1 0 1 1 1 India 1 1 1 0 1 1 1 Indonesia 1 1 1 0 1 1 1 Japan 1 1 1 0 1 1 1 Korea 1 1 1 0 1 1 1 Malaysia 1 1 1 0 1 1 1 Mexico 1 1 1 0 1 1 1 Norway 1 1 1 0 1 1 1 New Zealand 1 1 1 0 1 1 1 Peru 1 1 1 0 1 1 1 Philippines 1 1 1 0 1 1 1 South Africa 1 1 1 0 1 1 1 Saudi Arabia 1 1 1 0 1 1 1 Singapore 1 1 1 0 1 1 1 Sweden 1 1 1 0 1 1 1 Switzerland 1 1 1 0 1 1 1 Thailand 1 1 1 0 1 1 1 Turkey 1 1 1 0 1 1 1 United Kingdom 1 1 1 0 1 1 1 USA 1 1 0 1 0 0 0
Lampiran 9. Persistence Profile dari System-Wide Shocks pada Hubungan Kointegrasi – Indonesia, Median Bootstrap
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41
CV1
CV2
CV3