dari ritual menjadi festival: proses ...repository.ub.ac.id/1038/1/nuryansah wahyu utomo.pdfkata...
TRANSCRIPT
DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL:
PROSES KOMODIFIKASI RITUAL KEBO-KEBOAN DESA
ALAS MALANG SEBAGAI BAGIAN DARI
PENGEMBANGAN PARIWISATA KABUPATEN
BANYUWANGI
SKRIPSI
OLEH
NURYANSAH WAHYU UTOMO
NIM 115110800111005
PROGRAM STUDI S1 ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2017
DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL:
PROSES KOMODIFIKASI RITUAL KEBO-KEBOAN DESA ALAS
MALANG SEBAGAI BAGIAN DARI PENGEMBANGAN PARIWISATA
KABUPATEN BANYUWANGI
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Brawijaya
untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Memperoleh Gelar Sarjana Sosial
OLEH
NURYANSAH WAHYU UTOMO
NIM 115110800111005
PROGRAM STUDI S1 ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2017
PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini saya :
Nama : Nuryansah Wahyu Utomo
NIM : 115110800111005
Program Studi : Antropologi
menyatakan bahwa :
1. skripsi adalah benar benar karya saya, bukan merupakan jiplakan dari
karya orang lain, dan belum pernah digunakan sebagai syarat
mendapatkan gelar kesarjanaan dari perguruan tinggi manapun.
2. jika di kemudian hari ditemukan bahwa skripsi ini merupakan jiplakan,
saya bersedia menanggung segala konsekuensi hukum yang akan
diberikan.
Malang, 18 Mei 2017
(Nuryansah Wahyu Utomo)
NIM 115110800111005
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi Sarjana atas nama Nuryansah Wahyu
Utomo telah disetujui oleh pembimbing untuk diujikan.
Malang, 18 Mei 2017
Pembimbing
(Siti Zurinani, M.A)
NIK. 2011 068611 072002
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi Sarjana atas nama Nuryansah Wahyu
Utomo telah disetujui oleh Dewan penguji sebagai syarat untuk mendapatkan
gelar sarjana.
(Ary Budianto, M.A) Ketua Dewan Penguji
NIK. 2013 097201 022001
(Siti Zurinani, M.A) Anggota Dewan Penguji
NIP. 2011 068611 072002
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi Antropologi Pembantu Dekan I
(Dr. Hipolitus K. Kewuel, M.Hum) (Syariful Muttaqin, M.A)
NIP. 19670803 2001 1 2 1 001 NIP. 19751101 200312 1001
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT yang selalu memberikan perlindungan
serta atas berkat rahmat dan karunia-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik. Judul dari skripsi tersebut adalah Dari Ritual Menjadi Festival:
Proses Komodifikasi Ritual Kebo-keboan Desa Alas Malang Sebagai Bagian Dari
Pengembangan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Penulisan skripsi ini diajukan
sebagai syarat memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Antropologi
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya Malang.
Skripsi yang saya susun berdasarkan penelitian lapangan tentang proses
komodifikasi ritual adat kebo-keboan Suku Osing Desa Alas Malang. Khsusus
saya persembahkan kepada Ibu saya tercinta Ana Suprihatin yang dengan sabar
menunggu kepulangan anaknya. Kepada ayah saya Nursalim yang tak pernah
lelah mendidik saya hingga sampai sekarang. Adik saya Nugrahaning Widi Asani
yang selalu dapat mengalah dan mengerti saat ambisi sang kakak sedang
menggebu.
Tak lupa ucapan terimakasih saya sampaikan kepada pihak-pihak yang
telah mendukung dalam penyeleseian skripsi ini :
1. Ibu Siti Zurinani, M.A sebagai donsen pembimbing skripsi ini. Berkat
masukan serta kritikan beliau penulisan skripsi ini berjalan dengan
lancar.
2. Bapak Ary Budianto, M.A yang merupakan dosen penguji skripsi ini.
Dengan peran dan pertanyaan-pertanyaan beliau penulisan skripsi ini
menjadi lebih detail.
3. Mbak Edlin sebagai pendamping akademik serta dosen pembimbing
pertama saya. Serta telah begitu bersabar dengan tikah polah saya
selama perkuliahan.
4. Semua dosen Antropologi yang memberikan ilmu dan pengalamanya,
Cak Roy, Mas sipin, Mas Hatib, Mas Dhani, Mas Iwan, Mas Irsyad,
Gus Ipul, dan Pak Hipo.
5. Seluruh kerabat Antropologi Universitas Brawijaya khususnya
angkatan 2011 yang telah berjuang bersama-sama.
6. Tom yang memberikan saran dan ide tema penulisan skripsi. Elsa,
Lina, dan Hanifati yang selalu saya repotkan.
7. Sington Muay Thai Camp, Vlavac Industry, dan Stalen Zuieger yang
merupakan keluarga baru di Malang.
8. Terima kasih sebesar-besarnya kepada para informan dan para warga
Desa Alas Malang serta para pihak yang terkait.
Penulisan skripsi ini masih saya sadari masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu saya harap adanya saran serta krtitikan yang tujuannya
membangun dan menyempurnakan tulisan ini.
Malang, 18 Mei 2017
Nuryansah Wahyu Utomo
ABSTRAK
Utomo, Nuryansah Wahyu. 2017. Dari Ritual Menjadi Festival: Proses
Komodifikasi Ritual Kebo-keboan Desa Alas Malang Sebagai Bagian Dari
Pengembangan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Program Studi Antropologi,
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya. Pembimbing: Siti Zurinani, M.A.
Kata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing
Pembahasan tentang kebudayaan dalam konteks pariwisata tentunya tidak bisa
lepas dari proses komodifikasi kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan merupakan
pola kebiasaan sebuah komunitas yang berada pada sebuah lingkungan tertentu.
Dalam kebudayaan tersebut terdapat nilai-nilai atau unsur yang mengarah pada
keberadaan komunitas tersebut. Terdapat keunikan tertentu yang menjadi ciri khas
dari setiap-setiap kebudayaan. Komodifikasi sering dikaitkan dengan hilangnya
makna dan nilai serta unsur-unsur utama pada saat proses tersebut berlangsung.
Hal tersebut bisa terjadi karena perubahan fungsi serta tujuan dari satu budaya
berbeda dengan tujuan dari komodifikasi.
Seperti halnya kebo-keboan yang menjadi ritual adat Suku Osing yang mendiami
Desa Alas Malang. Ritual adat yang pelaksanaanya dilakukan setaun sekali ini,
bertujuan sebagai tolak bala terhadap marabahaya, sekaligus bentuk rasa syukur
masyarakat kepada sang pencipta. Sarana spiritual Suku Osing yang bersifat
supranatural dan magis. Juga sebagai sarana pendidikan moral melalui makna dan
nilai-nilai yang tersimpan pada saat prosesi ritual berlangsung. Hasil penelitian
dengan teknik pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan (observation)
dan wawancara mendalam (indepth interview). Merupakan metode yang lazim
digunakan pada penelitian di bidang ilmu Antropologi. Menunjukkan bahwa
terdapat simbol-simbol yang dapat menjadi indikasi keberadaan Suku Osing.
Seperti pada instrumen-instrumen ritual yang berhubungan dengan perangkat
pertanian. Dimana pertanian adalah sumber mata pencaharian utama Suku Osing
yang memang dikenal sebagai masyarakat agraris. Ciri khas atau keunikan dari
kebudayaan tersebut dijadikan modal utama komodifikasi kebo-keboan untuk
ditawarkan sebagai destinasi pariwisata Banyuwangi. Pada intinya keebo-keboan
adalah ritual serta sarana religi bagi Suku Osing dan bukan komoditi yang bisa
dperjualkan. Kehadiranya ditengah masyarakat jauh dari estetik dan syarat akan
unsur magis. Oleh sebab itu melalui proses komofiikasi yang diterapakan pada
ritual kebo-keboan. Muncul penyesuaian-penyesuaian agar kebo-keboan layak
untuk dikonsumsi publik sekaligus sebagai jawaban kebijakan pemerintah tentang
pengembangan pariwisata Kabupaten Banyuwangi.
ABSTRACT
Utomo, Nuryansah Wahyu. 2017. Dari Ritual Menjadi Festival: Proses
Komodifikasi Ritual Kebo-keboan Desa Alas Malang Sebagai Bagian Dari
Pengembangan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Study Program of
Anthropology, Faculty of Cultural Studies, University of Brawijaya. Supervisor:
Siti Zurinani, M.A.
Keywords: Kebo-keboan, Co-modification, Tourism, Ritual, Osing tribe
Study of culture within tourism context surely cannot be separated from co-
modification processof the culture itself. Culture is a behaviour pattern of a
community itself that exists in a certain environment. Within the culture, there are
values or elements that lead to the existence of the community. There is a certain
uniqueness that becomes chaacteristic from every culture. Co-modification often
related with the lost of meaning and values, major elements during the process.
Those things can happen due to the change of function and purpose from a
different culture with co-modification purpose.
Like Kebo-keboan that became custom ritual from Osing tribe that dwells Alas
Malang village. Custom ritual in which the implementation is done once a year
has purpose to be a rejection against danger and also as a form of a vilagers’
gratitude to the Creator. Spiritual means of Osing tribe which has a supernatural
and magical meaning. Also as a moral education means through significance and
values during the ritual process. Result of the study with data gathering technique
is done by observation and in depth interview is a prevalent method used in
antropology studies. It shows that there are symbols that can become indication
for the existence of Osing tribe. As in the ritual instruments related with
agriculture tools where agriculture is a main source of livelihood of Osing tribe
which is known as agrarian society. Characteristics or uniqueness from the
culture is made as a main capitalof kebo-keboan co-modification to be offered as
Banyuwangi’s tourism destination. Basically, kebo-keboan is a ritual and
religious means for Osing tribe and not a commodity that can be sold nor bought.
Its existence among society is far from aesthetic and requirement for magical
element. Therefore, through co-modification process applied in kebo-keboan
ritual, exists adjustments in order for kebo-keboan ritual to be feasible for public
consumption as well as answer of government’spolicy regarding the development
of tourism in Banyuwangi Regency.
DAFTAR ISI
PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN .......................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................... iii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iv
ABSTRAK ......................................................................................................... vi
ABSTRACT ....................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 5
1.3 Tujuan ................................................................................................ 6
1.4 Kajian Pustaka ................................................................................... 7
1.5 Kerangka Teori ................................................................................ 12
1.6 Metode Penelitian ............................................................................ 17
1.6.1 Lokasi penelitian ............................................................... 17
1.6.2 Teknik Pengumpulan Data ............................................... 19
1.6.3 Informan ........................................................................... 20
1.6.4 Analisisis Data .................................................................. 22
BAB II LETAK GEOGRAFIS, EKONOMI, DAN SOSIAL BUDAYA
DESA ALAS MALANG KABUPATEN BANYUWANG............................. 24
2.1 Letak Geografis ................................................................................ 24
2.2 Ekonomi ........................................................................................... 28
2.3 Sosial Budaya: Organisasi Desa dan Lembaga Adat Kebo-
Keboan……….……………………………………………………….... 32
BAB III RITUAL KEBO-KEBOAN DESA ALAS MALANG ..................... 37
3.1 Legenda Ritual Kebo-Keboan Desa Alas Malng ............................. 37
3.2 Prosesi dan Makna Perangkat Ritual Kebo-keboan ......................... 41
3.2.1 Pra Prosesi Ritual Kebo-Keboan ....................................... 42
3.2.2 Prosesi Inti Kebo-Keboan ................................................. 47
3.2.3 Instrumen dan Pelaku Ritual Kebo-Keboan ...................... 54
3.3 Kebijakan Pemerintah dan Modernisasi Ritual Kebo-Keboan Sebagai
Bentuk Komoditas Pariwisata ................................................................ 63
BAB IV PROSES KOMODIFIKASI RITUAL KEBO-KEBOAN ............... 68
4.1 Proses Komodifikasi Ritual Adat Kebo-Keboan …......................... 68
4.2 Penyesuain dan Modernisasi Unsur Kebo-Keboan sebagai
Penerimaan Kembali Bentuk Ritual Masyarakat Suku Osing ............... 74
4.3 Komodifikasi Kebo-Keboan Desa Alas Malang ............................. 77
4.4 Dari Ritual Menjadi Festival: Refleksi Ritual Kebo-Keboan di Era
Global ……………………………………………………..…………... 84
BAB V PENUTUP ........................................................................................... 86
5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 86
5.2 Saran ................................................................................................ 87
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 88
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... 90
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Peta Wilayah Administratif Kabupaten Banyuwangi ...................... 25
Gambar 2.2 Peta Letak Wilayah Kecamatan Singojuruh .................................... 26
Gambar 2.3 Prosentase Mata Pencaharian Warga Desa Alas Malang ................ 28
Gambar 2.4 Prosentase Tingkat Pendidikan Usia 18-56 Tahun .......................... 31
Gambar 3.1 Sesaji Untuk Ritual ke Punden Desa Alas Malang .......................... 44
Gambar 3.2 Warga Melakukan Ritual Dengan Dipimpin Pawang Disalah Satu
punden (Watu Loso) ............................................................................................. 46
Gambar 3.3 Dewi Sri Mengusap Kepala Manusia Kerbau Sebagai Simbol
Pemberian Restu dan Berkah ............................................................................... 50
Gambar 3.4 Reog Ponorogo adalah Salah Satu Kesenian Tradisional yang
Ditampilkan Dalam Ritual Kebo-Keboan ............................................................ 53
Gambar 3.5 Bentuk Gawangan yang Ditempatkan Warga Pada Empat Penjuru
Desa yang Sekaligus Gerbang Menuju Lokasi .................................................... 55
Gambar 3.6 Pitung Tawar atau Tepung Tawar yang Dioleskan Pada Punggung
Tangan dan Bertujuan sebagai Penetral Hawa Nafsu .......................................... 58
Gambar 4.1 Rute arak-arakan Ider Bumi pada masa sekarang ……………...…. 75
Gambar 4.2 Baliho sebagai sarana atau media informasi dan promosi
kebo-keboan.......................................................................................................... 78 Gambar 4.3 Proyek pembangunan Rumah Budaya Kebo-Keboan dan Tugu
Kerbau................................................................................................................... 81
Daftar Tabel
Tabel 1.1 Daftar nama infroman penelitian ....................................................... 22
Tabel 2.1 Luas wilayah berdasarkan penggunaan lahan .................................... 27
Tabel 2.2 Rekapitulasi Usia Penduduk .............................................................. 29
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Biodata Penulis ............................................................................... 91
Lampiran 2 Pedoman Wawancara ..................................................................... 96
Lampiran 3 Surat Izin Penelitian dan Surat Pernyataan .................................... 98
Lampiran 4 Berita Acara Seminar Skripsi ....................................................... 100
Lampiran 5 Form Pengajuan Judul dan Perpanjangan Skripsi ........................ 102
Lampiran 6 Bimbingan Skripsi …………………………………………...… 104
Lampiran 6 Dokumentasi Kegiatan ................................................................. 107
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebo-keboan merupakan salah satu ritual masyarakat Suku Osing yang
mendiami Desa Alas Malang, Kecamatan Singojuruh, Kabupaten Banyuwangi. Ritual
berupa slametan bersih desa ini fungsinya adalah sebagai penolak bala agar tidak
terjadi bencana. Selain itu sebagai wujud rasa syukur masyarakat pada pencipta atas
hasil bumi yang mereka peroleh selama satu tahun. Masyarakat percaya jika ritual ini
tidak dilaksanakan maka akan muncul bencana yang dapat menyengsarakan
penduduk desa. Seperti wabah penyakit, bencana alam, dan yang paling utama pada
tahun-tahun berikutnya terjadi gagal panen. Mengingat masyarakat Desa Alas Malang
merupakan masayarakat agraris yang menggantungkan hidupnya pada hasil pertanian.
Menurut Clifford Gertz dalam bukunya yang berjudul The Religion of Java
(1960), mengatakan slametan merupakan bentuk pesta komunal yang paling umum
dilakukan oleh masyarakat, merupakan bagian dari upacara keagamaan yang sedang
dianut oleh masyarakat. Gertz (1960) menyebutnya sebagai pesta komunal karena
didalam pelaksanaan slametan terdapat perayaan, seperti makan bersama-sama, kita
juga dapat melihat interaksi sosial antar individu dan juga komunitas yang
melambangkan kesatuan mistik dan sosial dari mereka yang ikut serta. Gertz (1960)
Slametan sendiri terbagi menjadi beberapa klasifikasi untuk siklus slametan yang
2
diadakan di Jawa. Pertama adalah slametan yang berhubungan dengan siklus daur
hidup manusia. Kedua slametan dilaksanakan sebagai upacara atau peringatan hari
besar keagamaan. Ketiga slametan diadakan sebagai bentuk integrasi atau kesatuan
desa. Keempat atau terakhir slametan yang diadakan mengikuti kejadian-kejadian
yang dianggap tidak biasa dan waktunya tidak pasti.
Kebo-keboan sendiri sebagai bentuk dari slametan bersih desa masuk kedalam
klasifikasi nomor tiga, yaitu slametan yang diadakan sebagai bagian dari integrasi
desa, individu yang terlibat mewakili Suku Osing Desa Alas Malang. Terdapat pola
sosial-ekonomi yang dapat dijadikan sebagai gambaran kondisi masyarakat saat kebo-
keboan diadakan. Kondisi sosial ekonomi ini juga yang mempengaruhi perubahan
ritual adat kebo-keboan. Perubahan yang mencolok adalah bergesernya makna
spiritual pada adat kebo-keboan menjadi bentuk seremonial, ini dikarenakan tidak
adanya relevansi antara keyakinan yang dianut pada saat ini dengan prosesi ritual adat
kebo-keboan, serta kompleksitas yang terjadi pada masyarakat saat ini jauh lebih
rumit daripada masa lampau.
Upaya pelestarian baik dari pemerintah serta lembaga adat yang ada tetap
dilakukan. Tujuannya untuk mempertahankan nilai tradisi yang ada pada Suku Osing
agar tidak tergerus jaman, serta sebagai tujuan wisata budaya Kabupaten
Banyuwangi. Niatan dari pemerintah untuk melestarikan ritual adat kebo-keboan ini
pernah diutarakan oleh Bapak Budianto melalui media cetak lokal berbahasa Osing.
3
Beliau waktu itu masih menjabat sebagai Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten banyuwangi. Bapak Budianto (Seblang, ed. 4, Jan-Feb 2007) mengatakan:
Ritual kebo-keboan merupakan salah satu budaya adat Banyuwangi selain
ritual Seblang, Petik Laut, Rebo Bungkusan, Endhog-Endhogan, Barong Ider
Bumi yang sudah diagendakan secara rutin oleh pemerintah Banyuwangi.
Kebudayaan yang berdasarkan pada kebudayaan lokal yang tinggi dan
bernilai besar, yang tetap dilestarikan untuk menghadapi tatanan yang lebih
komperhensif dan suistanable sehingga bisa menggugah rasa apresiatif
terhadap nilai mulia adat tradisi.
Dari pernyataan tersebut dapat kita ketahui bahwa ritual adat Suku Osing yang ada di
Banyuwangi sudah masuk dalam program kerja pada bidang kebudayaan dan
pariwisata oleh pemerintah Banyuwangi.
Kemudian pada tahun 2013 Pemerintah Kabupaten Banyuwangi
mengikutsertakan kebo-keboan dalam acara Banyuwangi Festival yang lebih dikenal
dengan sebutan B-Fes. Festival ini diadakan untuk memperingati hari jadi Kabupaten
Banyuwangi. B-Fes atau Banyuwangi Festival merupakan rangkaian acara yang
diselenggarakan anatara bulan Oktober sampai dengan Desember pada setiap
tahunnya. Rangkaian acara festival tersebut menampilkan potensi alam, kebudayaan,
kesenian, olahraga, serta pendidikan yang ada di Banyuwangi ke ranah publik dan
dijadikan daya tarik pariwisata Banyuwangi. Banyuwangi Festival sendiri merupakan
salah satu program kerja pemerintah pada bidang kebudayaan dan pariwisata.
Program kerja pemerintah tersebut bertujuan untuk mengembangkan sektor
4
pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Target utama dari program kerja tersebut adalah
meningkatkan pendapatan daerah melalui pariwisata.
Salah satu rangkaian acara pada Banyuwangi Festival adalah BEC
(Banyuwangi Ethno Carnival). Pada acara ini budaya lokal diangkat untuk dijadikan
tema dan ditampilkan dalam pawai di pusat Kabupaten Banyuwangi. Pada tahun
2013 tersebut kebo-keboan dijadikan sebagai tema dalam penyelengraan Banyuwangi
Ethno Carnival dengan judul The Legend of Kebo-keboan. Melalui Banyuwangi
Ethno Carnival kebo-keboan diangkat ke permukaan dan dikenalkan secara luas oleh
pemerintah sebagai budaya asli Banyuwangi. Masuknya kebo-keboan kedalam
rangkaian acara Banyuwangi Festival membuat upacara ritual tersebut mendapat
peyesuaian yang titik fokusnya bersifat seremonial. Bertolak belakang dengan fungsi
serta tujuan sebenarnya dari sebuah ritual. Pranata acara yang sudah baku mendapat
penyesuaian agar ritual yang ditampilkan menjadi layak sebagai hiburan. Tujuanya
sudah sangat jelas yaitu untuk menarik turis lokal maupun mancanegara.
Kebo-keboan adalah wujud nyata sifat religius atau spiritual masyarakat
petani Desa Alas Malang. Ritual tersebut merupakan bagian dari kebudayaan lokal
yang mempunyai ciri khas tertentu dan sesuai dengan kearifan lokal yang ada pada
Desa Alas Malang. Ciri khas tersebut dianggap sebagai bentuk orisinil dari
masyarakat Suku Osing yang bermata pencaharian sebagai petani. Meskipun telah
terjadi beberapa perubahan dalam pelaksanaan ritual akibat perubahan jaman. Kebo-
keboan masih dianggap mampu mempresentasikan keadaan masyarakat Suku Osing.
5
Sehingga kebo-keboan dijadikan sebagai tema Banyuwangi Ethno Carnival yang
merupakan bagian dari Banyuwangi Festival dan masuk dalam agenda resmi
pemerintah Kabupaten Banyuwangi.
Ciri khas yang ada pada kebo-keboan merupakan celah yang dijadikan sebagai
daya tarik agar turis berminat untuk berkunjung. Kompleksitas dari proses
komodifikasi ini tidak hanya berhenti sampai disitu saja. Proses komodifikasi kebo-
keboan dikemas menjadi komoditi yang diperdagangkan sebagai hiburan masyarakat
luas. Sehingga tujuan dari penulisan ini adalah pada proses komodifikasi yang terjadi
pada ritual adat kebo-keboan tersebut. Makna yang ada sebelumnya tentunya akan
mengalami perubahan dan pergeseran akibat dari proses komodifikasi. Dalam hal ini
keboan-keboan tidak hanya dikaji dari segi spiritual saja tapi juga secara seremonial
dalam konteks masyarakat Desa Alas Malang.
1.2. Rumusan Masalah
Pada dasarnya permasalahan yang diangkat dalam peneletian ini adalah
tentang proses komodifikasi serta dampak lanjutan yang ditimbulkan dalam proses
tersebut. Munculnya perbedaan pemaknaan akibat proses komodifikasi tersebut
merupakan dampak-dampak yang turut dikaji penulis. Untuk itu Rumusan masalah
dari penelitian ini adalah :
1. Bagaimana proses komodifikasi yang terjadi pada ritual adat kebo-keboan di
Desa Alas Malang Kecamatan Singojujuruh Kabupaten Banyuwangi ?
6
1.3. Tujuan
Tujuan umum dari penelitin lapangan saya adalah berusaha menggambarkan
kompleksitas-kompleksitas pada proses komodifikasi ritual kebo-keboan. Saat ini
kebo-keboan sudah menjadi bagian dari pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Terdapat
pola-pola yang mungkin pada dulu kala tidak ada kini muncul dipermukaan sebagai
bagian dari ritual kebo-keboan. Fungsi ganda dari kebo-keboan yang bukan hanya
sebagai ritual Suku Osing adalah salah satu faktor yang harus dijelaskan. Meskipun
fungsi dari kebo-keboan itu tetap sama yaitu demi kepuasan batin. Namun tujuan dari
kepuasan itu berbeda ketika kebo-keboan sebagai sarana ritual berbanding dengan
kebo-keboan sebagai konsumsi wisatawan.
Sedangkan tujuan empiris dari penelitian lapangan ini adalah berusaha
mengkaji permasalahan yang ada secara lebih dalam. Mencoba mengkaji pola-pola
yang ada pada kebo-keboan guna mencari titik temu atau sebuah solusi dari setiap
permasalahan. Setidaknya dapat digunakan sebagai acuan atau tindak lanjut dari
kebijakan yang sudah ada. Hal tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi sebuah
ketimpangan antara kepentingan ritual dengan kepentingan wisata. Sekaligus sebagai
bahan rekomendasi bagi lembaga adat terkait dalam menentukan sikap ketika
menghadapi kebijakan-kebijakan dari pemerintah. Terkadang muncul ketimpangan
tujuan antara kebijakan pemerintah yang telah dibuat dengan tujuan utama dari ritual
sebenarnya. Meskipun kedua hal tersebut tidak memicu adanya sebuah konflik dan
sama-sama bertujuan positif.
7
1.4. Kajian Pustaka
Beberapa ahli telah berupaya menggambarkan pola komodifikasi tradisi yang
terjadi akibat perubahan sosio-ekonomi masyarakat. Salah satunya adalah Yamashita
Shinji ilmuan asal Jepang. Yamashita Shinji (1994) dalam salah satu artikelnya yang
berjudul Manipulating Ethnic Tradition: The Funeral Ceremony, Tourism, And
Television Among The Toraja Of Sulawesi. Shinji (1994) menulis tentang ritual
pemakaman atau pengebumian jenazah yang ada di Toraja. Manipulasi budaya yang
telah terjadi di Toraja dan mengakibatkan ritual pemakaman tersebut secara tidak
langsung juga mengalami komodifikasi. Hal tersebut merupakan konsekuensi yang
harus diterima karena adanya perubahan latar belakang masyarakat Toraja. Program
mrigasi khususnya urbanisasi yang ada di Sulawesi, mengakibatkan masyarakat
berpindah meniggalkan kebiasaan di desa dulu, kemudian berubah menyesuaikan diri
dengan kebiasaan yang ada di lingkungan baru yaitu lingkungan kota. Perubahan pola
perilaku tersebut dibarengi dengan perpindahan dari agama tradisional Toraja
menjadi Kristen. Menurut Shinji disinilah awal modernisasi terjadi pada masyarakat
Toraja.
Perubahan sosio-ekonomi yang terjadi membuat masyarakat tersebut
dijadikan tolak ukur oleh Shinji (1994) dalam melihat budaya dalam kacamata
ekonomi. Ritual pemakaman yang menjadi salah satu sarana pariwisata merupakan
bentuk dari praktek posmodernisasi yang terjadi pada era kapitalisme modern.
Perubahan terbentuk akibat siklus yang terjadi dari dalam masyarakat Toraja sendiri.
8
Modernisasi menjadikan pelaksanaan ritual tersebut sebagai bagian dari penegasan
status sosial, bukan lagi sebagai penghayatan dalam ritual keagamaan, serta
pelestarian budaya sebagai bagian dari pariwisata daerah.
Jika dikaji lebih dalam lagi, faktor kunci dari perubahan tersebut adalah dari
dalam masyarakat sendiri atau pihak intern, tidak dijelaskan bagaimana pihak ekstern
atau luar sebagai faktor pendorong. Kecuali dari sudut kebijakan pemerintah yang
menerapkan sistem migrasi di Indonesia serta perpindahan keyakinan yang terjadi
seperti dijelaskan oleh Shinji (1994). Kebijakan tersebut tidak langsung
mempengaruhi tradisi tersebut tapi dampak jangka panjang dari kebijakan tersebut
menjadi pemicu dari perubahan tersebut. Berbeda dengan ritual kebo-keboan yang
menjadi studi kasus dalam penulisan skripsi ini. Pihak pemerintah melalui Dinas
Pariwisata Kabupaten Banyuwangi sebagai ekstern yang melopori ritual ini agar
dijadikan sebagai bagian dari pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Kebijakan tersebut
diikuti dengan perubahan perilaku yang terjadi pada pihak intern yaitu masyarakat
serta lembaga adat Desa Alas Malang. Penghayatan ritual menjadi terbagi dua pola,
pertama sebagai sarana spiritual, kedua sebagai bentuk seremonial warga Desa Alas
Malang. Sehingga terjadi pola timbal balik antara masyarakat dan pemerintah secara
berkesinambungan.
Sedangkan di Indonesia sendiri dari beberapa jurnal yang terbit beberapa ahli
juga mengkaji tradisi yang telah dikomodifikasi dalam tulisannya, adalah Ivan Robert
Bernadus Kaunang dan Mareike Sumilat dalam jurnal yang berjudul Kemasan Tari
9
Maengket Dalam Menunjang Industri Kreatif Minahasa Sulawesi Utara Di Era
Globalisasi, terbit tahun 2015. Tari Maengket adalah kesenian tradisional Minahasa
yang memilik nilai sakral serta pementasannya di ritual-ritual adat Minahasa. Namun
seiring dengan era globalisasi tarian ini juga ikut mengalami perkembangan yang
mengarah pada komodifikasi, komersialisasi, dan turisifikasi (Kaunang-Sumilat,
2015). Menurut penulis proses komodifikasi ini terjadi seiring dengan proses kreatif
para pelaku Tari Maengket di era globalisasi agar tetap lestari. Proses kreasi ini
menjadikan Tari Mangkaet kehilangan nilai sakralnya, pola yang kaku perlahan
hilang menjadi bentuk pola baru yang kekinian, serta relevansi pementasan untuk
acara ritual atau religi sudah mulai hilang.
Kaunang-Sumilat (2015) mengatakan bahwa kemasan baru Tari Maengket
membuatnya menjadi produk yang dapat menunjang industri kreatif Minahasa. Ini
ditandai dengan adanya pola pemasaranya yang didalamya terdapat pelaku produksi,
agen distribusi, dan konsumen. Keadaan tersebut memicu munculnya sanggar-
sanggar baru yang dipelopori para pemilik modal serta muncul kolaborasi dengan-
dengan instansi pemerintah, partai politik, pengusaha, dsb. Menurut Penulis keadaan
tersebut menjadikan Tari Mangkaet memiliki ruang lingkup yang lebih luas daripada
sebelumnya. Pada instansi pemerintahan pementasan Tari Mangkaet ini sering
digunakan sebagai penyambutan terhadap tamu penting.
Sama halnya dengan proses komodifikasi yang telah diteliti oleh Shinji
(1994). Proses komodifikasi berawal dari pihak intern sebagai bentuk kesadaran akan
10
tumbuhnya era globalisasi pada masa sekarang. Pihak intern pada kasus ini adalah
para pelaku seni tari itu sendiri. Berawal dari kesadaran akan perkembangan era
globalisasi yang saat ini terus berlangsung. Kreatifitas dalam bentuk kreasi dalam
seni Tari Mangkaet merupakan proses imajinasi yang menurut penulis menjadi modal
utama produsen dalam pembentukan kemasan Tari Mangkaet sebagai produk
pariwisata. Setelah kemasan baru atau komoditi terbentuk, diteruskan pihak luar
seperti instansi pemerintah atau partai politik berperan sebagai agen distribusi,
disinilah pihak ekstern baru mengambil peranan dalam komodifikasi Tari mangkaet
dengan tujuan menunjang industri kreatif Minahasa.
Beberapa ahli juga sudah mengkaji ritual adat kebo-keboan kedalam
tulisannya. Salah satunya adalah Hervinda Fran’s Denti dan Martinus legowo dengan
judul tulisan Makna Upacara Adat Keboan (Studi Interaksionisme Simbolik Pada
Masyarakat Desa Aliyan Kecamatan Rogojampi Kabupaten Banyuwangi) yang terbit
pada tahun 2015. Menurut Denti-Legowo (2015) terdapat tiga klasifikasi makna yang
dihasilkan dari interaksi simbolik ritual adat kebo-keboan dengan kondisi masyarakat
Desa Aliyan, klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pelaksanaan ritual adat kebo-keboan merupakan upaya masyarakat
untuk melestarikan warisan budaya leluhur.
2. Ritual adat kebo-keboan adalah bentuk dari rasa syukur Masyarakat
Aliyan.
3. Pelaksanaan ritual kebo-keboan merupakan bagian dari slametan desa.
11
Denti-Legowo (2015) juga mengatakan bahwa perubahan yang terjadi akibat
modernisasi di berbagai aspek budaya lokal sama sekali tidak berpengaruh dengan
kehidupan masyarakat Banyuwangi. Penduduk Aliyan masih menjaga teguh adat
istiadat dengan keasliannya sebagai bentuk melestarikan warisan leluhur bernilai
budaya tinggai (Denti-Legowo 2015). Untuk itu muncul pemaknaan dari masyarakat
bahwa pelaksanaan ritual kebo-keboan merupakan wujud pelestarian budaya adat
yang ada di Banyuwangi. Berbeda dengan penulisan skripsi ini yang berfokus pada
perubahan sikap serta kondisi masyarakat akibat modernisasi yang berujung pada
proses komodifikasi pada kebo-keboan.
Ahli lain yang mengkaji kebo-keboan dalam penelitiannya dan telah
diterbitkan dalam bentuk jurnal pada tahun 2011 adalah Ahmad Kholil. Fokus dari
penulisan Kholil (2011) adalah pada pola relevansi serta korelasi antara ajaran agama
Islam dengan ritual adat kebo-keboan yang ada di Desa Alas Malang dan Aliyan.
Menurut Kholil (2011), kebo-keboan merupakan bentuk ekspresi keagamaan
masyarakat yang berada di ruang personal dan dibatasi pada ruang private. Budaya
lama yang masih terlihat sangat kental dalam ritual kebo-keboan adalah warisan
budaya yang bercita rasa islami, merupakan bagian dari nilai Islam yang
transendentalis dan humanis, serta wujud dari inklusivisme islam. Dalam tulisan
Kholil (2011) digambarkan adanya pembenaran dari kebo-keboan meskipun ritual
yang dilaksanakan tidak sesuai dengan ajaran yang ada di Islam. Namun dari segi
12
keumatan atau horizontal memiliki nilai yang luhur dan tujuan permintaan berkah
adalah sama kepada Allah SWT meskipun dengan cara yang berbeda (Kholil, 2011).
1.5. Kerangka Teori
Kebudayaan memiliki sifat yang elastis dan terus mengalami perkembangan
sesuai dengan berjalannya waktu. Ketika masa perkembangan tersebut suatu
kebudayaan akan mengalami perubahan berupa penambahan, pergantian, dan
pengurangan elemen dalam budaya tersebut. Hal serupa juga terjadi pada ritual kebo-
keboan yang berada di Desa Alas Malang. Perbedaan kebutuhan antara masa lalu dan
masa sekarang pada penyelenggaraan upacara adat kebo-keboan, dimana pada masa
lalu kebo-keboan hanya digunakan sebagai sarana ritual yang berbeda pada masa
sekarang, menjadikan beberapa elemen mengalami perubahan menyesuaikan
kebutuhan dan tujuan penyelenggaraan. Karena pada masa sekarang kebo-keboan
juga dijadikan komoditi pariwisata Kabupaten Banyuwangi.
Tradisi yang muncul ditengah masyarakat identik dengan keseharian karena
dasar dari kemuculan tradisi tersebut berasal dari pengalaman-pengalaman yang
dijalani. Tradisi yang saya bicarakan dan saya maksud disini adalah berupa ritual,
atau upacara adat yang dijalani oleh suku Osing, terutama pada ritual kebo-keboan.
Karena tradisi atau bisa dikatakan sebagai ritual, jika dikaitkan dengan studi kasus
yang saya angkat, dapat dijadikan sebagai cermin keseharian suatu masyarakat. Pola-
pola berkesinambungan dari serangkaian pengalaman dan peristiwa-peristiwa tertentu
13
akan membentuk sebuah kebudayaan pada komunitas tertentu. Namun juga perlu
digaris bawahi bahwa perkembangan zaman seiring dengan berjalannya waktu serta
sifat flexibelitas dari budaya akan berpengaruh pada tujuan dan fungsi budaya
tersebut.
Modernitas kerap membuat tradisi tertentu sulit untuk diterima ditengah
masyarakat. Hal ini dikarenakan kompleksitas yang terjadi lebih rumit daripada yang
terjadi pada masa lampau. Kemajuan jaman menuntut manusia harus lebih berpikir
dan bertindak lebih aktif serta kritis. Hukum baru bermunculan untuk mengakomodir
perkembangan jaman dan pertumbuhan jaman tersebut. Pada titik ini, kebudayaan
yang terdahulu atau yang telah tumbuh terlebih dahulu juga ikut mengalami
penyeseuaian, sesuai dengan tujuan serta kebutuhan dari masyarakat. Karena hukum
adat atau tradisi sering tidak sesuai dengan hukum baru yang ada pada era modern.
Meskipun hukum baru muncul tanpa mengesampingkan referensi dari masa lalu, tapi
tetap terasa sulit jika dihadapkan langsung pada tradisi lama yang ada, kecuali
komunitas tersebut menolak untuk mengikuti modernitas dan membentuk tatanan
sosialnya sendiri.
Esensi dari tradisi yang lama tetap dipertahankan namun ada perubahan bisa
dengan pengurangan, penambahan, atau penggantian dalam tradisi tersebut. Keadaan
tersebut disesuaikan dengan kebutuhan dari tradisi pada masa sekarang dan hal
tersebut akan terus berulang sampai dengan masa yang akan datang. Pada ritual
kebo-keboan komodifikasi dilakukan dalam rangka mendukung program pariwisata
14
dari pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Komodifikasi yang terjadi merupakan
wujud modernisasi, pada fase ini manusia mulai melihat tradisi dari fungsi praktisnya
saja, penjelasan secara teknis dan teoritis lebih masuk akal daripada pemenuhan
ideologi. Karena seperti apa yang dikatakan sebelumnya sifat budaya yang elastis
memudahkan budaya untuk dimodifikasi atau ditinggalkan sebagai akibat dari
perubahan fungsi akibat modernisasi. Meskipun konsekuensinya meninggalkan
konflik emosional yang pada setiap inovasi-inovasi yang tercipta pada budaya
tersebut.
Menurut Manuati (2004) komodifikasi merupakan merupakan tuntutan atau
trend industri pariwisata pada era modern. Sudah menjadi hal lumrah ketika terjadi
rekonstruksi tradisi lokal yang bersifat ‘primitif’ dan liar untuk tujuan komersil di
Indonesia. Seperti yang terjadi pada kebo-keboan, masyarakat dibalikan kembali pada
bentuk tradisi kebo-keboan dengan cara menguatkan unsur-unsur tardisional yang
bersifat lokal, bisa dikatakan sebagai nilai kedaerahan yang bersifat unik dan khas.
Manuati (2004) mengatakan ciri khas yang bersifat unik merupakan unsur utama pada
kebudayan yang dijual atau dipasarkan sebaga komoditi pariwisata.
Manuati (2004) mengatakan proses komodifikasi terbentuk ketika terjadi
kontras budaya antara kebudayaan modern dengan budaya tradisional pada era
globalisasi. Terjadi hubungan berkesinambungan yang bersifat komersil dalam
hubungan tersebut. Masyrakat lokal dalam konteks tradisional dan ‘primitif’ sebagai
produsen yang menyediakan produk berupa budaya atau tradisi. Sedangkan
15
masyarakat ‘modern’ yang memiliki latar belakang budaya berbeda dan dianggap
lebih maju peradabannya berperan sebagai konsumen. Pemerintah sebagai lembaga
yang menaungi berperan sebagai agen mendistribusikan serta memasarkan komoditi
tersebut.
Proses komodifikasi tersebut memang menghilangkan nilai serta tujuan yang
semestinya pada praktik kebudayaan tertentu, namun proses komodifikasi tersebut
dapat menguatkan identitas bagi pelaku budaya serta komunitasnya, sehingga
memunculkan rasa cinta yang memunculkan rekonstruksi budaya (Manuati, 2004).
Proses komodifikasi yang terjadi pada kebo-keboan juga terdapat keadaan yang
seperti demikian. Pada ritual adat kebo-keboan tahapan pertama dari proses
komodifikasi adalah menghidupkan kembali ritual tersebut setelah dihentikan
pelaksanaan. Langkah selanjutnya adalah mempertahankan bentuk asli atau
originalitas dari kebo-keboan sebagai modal komodifikasi. Keunikan yang terdapat
pada ritual tersebut adalah merupakan bentuk budaya tradisional dari Suku Osing.
Keberadaan dari Suku Osing yang identik sebagai masyarakat agraris juga ditunjukan
melalui simbol-simbol yang ada pada ritual.
Kebaradaan manusia yang menjadi lakon utama juga semakin diekspose dan
dikenalkan kepada publik. Lakon tersebut merupakan simbol pertanian dan sekaligus
mata pencaharian masayarakat. Seperti yang kita tahu bahwa kerbau adalah sahabat
bagi petani. Indetifikasi budaya langsung mengarah pada masyarakat suku Osing.
Indentitas kesukuan tersebut diangkat kembali pada ranah publik sehingga perasaan
16
bangga sebagai pemilik kebudayaan muncul. Ketika rasa bangga itu muncul maka
dengan sukarela dalam keadaan sadar ataupun tidak sadar, masyarakat akan
mendukung proses komodifikasi melalui keikutsertaan, penyebaran informasi dari
mulut ke mulut, dsb.
Keadaan demikian merupakan imbas dari dunia global dengan paket
modernisasi pada turunannya, yang menuntut adanya perubahan pada setiap elemen.
Mengingkari modernisasi pada sebuah kebudayaan membuat kebudayaan itu sendiri
akan jauh tertinggal pada keadaan global pada masa sekarang. Kebudayaan hanya
akan menjadi bentuk etnik yang hanya syarat akan sebuah tontonan dan tuntunannya
hanya sebagai cerita. Tuntunan yang ada sebuah dirasa kurang sesuai karena jaman
sudah berubah. Meskipun globalisasi pada dunia modern sendiri tidak serta merta
mebawa dampak positif, tapi setidaknya dengan adanya bentuk demikian kebudayaan
dapat diterima ditengah masyarakat. Adapaun labeling atau pemkanaan baru
merupakan paket yang dijanjikan oleh modernisasi dan sudah umum terjadi. Lewellen
(2002) sendiri mengatakan globalisasi sendiri adalah bentuk pemanfaatan dari
fasilitas mdern untuk menunjang berbagai faktor dalam meningkatkan kebudayaan itu
sendiri.
Contemporary globalization is the increasing flow of trade, finance, culture,
ideas and people brought about by sophisticated technology of
communications and travel and by the worldwide spread of neoliberal
capitalism and it is the local and regional adaptations to and resistance
against these flows (Lewellen, 2002:7-8)
17
1.6. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian adalan metode penelitian kualitatif.
Teknik atau metode penelitian yang lazim digunakan untuk pencarian sekaligus
analisis data pada penelitian sosial. Karena sifatnya yang naratif metode ini masih
dianggap sesuai karena mampu menggambarkan pokok bahasan yang tidak bisa
digambarkan dalam sebuah diagram. Hal ini dikarenakan pembahasan pokok
permasalahan berupa tulisan deskriptif yang tentunya tidak melupakan aspek-aspek
penting dalam metode kualitatif. Aspek tersebut meliputi ruang lingkup penelitian
yang berupa lokasi penelitian, teknik pengumpulan data, pemilihan informan, dan
analisis data.
1.6.1. Lokasi penelitian
Fokus lokasi penelitian saya berada pada daerah Dusun Krajan Desa Alas
Malang Kecamatan Singojuruh Kabupaten Banyuwangi. Dusun ini merupakan pusat
diadakanya kegiatan ritual adat kebo-keboan. Meskipun pada dasarnya ritual adat ini
mewakili seluruh Desa Alas Malang. Menurut mitos masyarakat di dusun ini ritual
adat kebo-keboan pertama kali dilaksanakan. Masyarakat setempat juga beranggapan
bahwa dusun ini merupakan pusat atau awal berdirinya Desa Alas Malang. Dusun
Krajan merupakan salah satu dari lima dusun yang masuk dalam wilayah Desa Alas
Malang. Lima dusun tersebut bersama Dusun Krajan adalah Dusun Garit, Garit
Wetan, Wonorekso, Karangasem.
18
Secara geografis wilayah ini berada pada dataran rendah yang dialiri dengan
sungai-sungai kecil yang airnya terus mengalir sepanjang tahun. Hanya pada musim
kemarau debit air yang mengalir disungai-sungai itu akan berkurang. Biasanya hanya
sebatas mata kaki orang dewasa. Sungai-sungai inilah yang digunakan para warga
untuk mengairi sawah-sawah mereka. Sawah ini mengelilingi Dusun Krajan
sekaliagus sebagai pembatas antara dusun lainnya. Selain itu sawah ini juga
merupakan sumber mata pencaharian utama bagi mayoritas penduduk Desa Alas
Malang khusunya masyarakat Dusun Krajan. Menggarap sawah atau bekerja sebagai
petani merupakan profesi turun-temurun yang mereka kerjakan. Beserta tanah atau
sawah yang mereka garap merupakan warisan dari para pendahulu mereka.
Penduduk yang mendiami dusun ini merupakan suku asli Banyuwangi yaitu
Suku Osing. Budaya Osing dapat dilihat melalui bahasa percakapan yang mereka
gunakan sehari-hari. Bahasa Osing merupakan bahasa ibu yang sekaligus digunakan
dalam setiap kesempatan ketika dibutuhkan sarana komunikasi secara oral atau
verbal. Ciri lainnya bisa dilihat dari praktek dan kepercayaan spiritual warga yang
masih mempercayai adanya beberapa kekuatan magis yang mendiami benda tertentu.
Meskipun para warga disini sudah memeluk Agama Islam. Para penduduk ini
dipimpin oleh seorang kepala dusun yang bertanggung jawab langsung pada kepala
desa dan dibantu oleh para ketua rukun tetangga dan warga. Aturan hukum yang
digunakan para pemimpin ini berasal dari undang-undang atau kebiajakan pemerintah
serta norma yang berasal dari pranata sosial Suku Osing.
19
1.6.2. Teknik Pengumpulan data
Penelitian lapangan ini menggunakan beberapa teknik dalam pengumpulan
data. Teknik pertama yang digunakan dalam pengumpulan data adalah wawancara.
Terdapat dua sesi dalam teknik wawancara ini. Sesi yang pertama adalah wawancara
yang bersifat formal. Informan akan diberikan pertanyaan-pertanyaan yang sistematis
pada waktu tertentu diluar kebiasaan sehari-hari. Ketika sesi ini sedang berlangsung
suasana cair dan hangat tetap dipertahankan. Serta pemilihan waktu yang tepat tetap
diperhatikan agar informan tidak merasa terganggu dan ketika menjawab pertanyaan
tidak terpaksa atau dipaksakan. Sesi wawancara yang kedua adalah bersifat
persahabatan. Wawancara dilakukan layaknya mengobrol antar teman dengan tetap
memperhatikan pokok bahasan dan tema wawancara. Informan digiring dengan
pertanyaan-pertanyaan deskriptif yang menarik perhatiannya. Sehingga informan
akan bercerita dengan sendirinya tentang keadaan budayanya. Obrolan tetap bisa
dilaksanakan pada saat melakukan kegiatan sehari-hari.
Teknik yang kedua adalah observasi partisipasi atau yang biasa disebut
dengan observasi partisipant. Saya akan membaur dengan masyarakat Desa Alas
Malang dengan mengikuti kebudayaan yang ada dan berlaku pada masyarakat
tersebut. Tujuannya adalah membangun relasi dan rapor agar dapat diterima oleh
warga. Serta menghilangkan rasa curiga terhadap kehadiran pendatang sehingga pada
saat interaksi nantinya bisa berjalan dengan luwes dan tidak kaku. Setelah terjalin
kedekatan baik dengan informan atau warga sekitar. Wawancara yang dilakukan
20
dalam proses pencarian data diharapkan akan lebih lancar dan tidak terjadi
kecanggungan dalam prosesnya Juga sebagai bentuk adaptasi penulis terhadap
budaya yang tengah diteliti pada saat ini.
Teknik pengumpulan data yang terakhir dan ketiga adalah dokumentasi
lapangan. Pendokumentasian ini berupa foto-foto dan rekaman video kegiatan ritual
kebo-keboan. Dokumentasi dalam bentuk visual maupun audio visual ini
memudahkan dalam memberikan penjelasan tentang bentuk artefak atau simbol-
simbol tertentu. Sehingga publik atau pembaca tidak mengandai-ngandai terlalu jauh
tentang gambaran atau bentuk-bentuk artefak pendukung upacara ritual kebo-keboan.
Melalui bentuk audio visual ini juga kita dapat melihat suatu kondisi atau keadaan
sodial di lapangan yang tidak dapat dijelaskan melalui deskripsi naratif dalam bentuk
kalimat. Fungsi lainnya adalah sebagai kotak memori untuk menyimpan dan memutar
kembali ingatan pada saat pendokumentasian kegiatan terjadi. Hasil dari teknik ini
bisa dikatakan sebagai pendukung field note atau catatan lapangan. Selain itu terdapat
sumber data sekunder yang merupakan arsip-arsip desa.
1.6.3. Informan
Metode snowball digunakan dalam pemilihan informan sebagai sumber data
utama. Metode ini banyak digunakan dalam pemilihan informan pada saat penelitian
lapangan. Penggunaan metode ini merujuk pada saran-saran serta rekomendasi yang
dari informan awal yang kemudian dijadikan sebagai rujukan sumber pengumpulan
21
data awal. Pada data awal tersebut akan muncul rujukan-rujukan yang mengarah pada
sumber yang lain. Sehingga data yang didapat memiliki keragamaan yang tetap
mengarah pada persoalan penelitian dan nantinya juga mengalami eliminasi.
Endraswara (2003:206) mengatakan akan muncul sumber data-data tambahan berupa
sampel maupun subyek rekomendasi, dari data atau asumsi yang muncul tersebut,
peneliti akan berlanjut meneruskan pada subyek berikutnya.
Menurut Spradley (2007:68-76) ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi
dalam memilih dan menetapkan seseorang sebagai informan dalam penelitian, yaitu
adanya enkulturasi penuh, keterlibatan langsung pada obyek penelitian, berada pada
lingkungan budaya atau suasana budaya yang tidak dikenal, dan keterlibatan dalam
rentang waktu yang cukup serta informan yang bersikap non-analitis. Kemudian
dapat dipastikan bahwa informan yang dipilih pada nantinya bukan hanya
memunculkan data yang bersifat obyektif. Akan tetapi data yang muncul juga akan
bersifat subyektif dan pada tahapan ini peran peneliti sebagai pengolah data sangat
dibutuhkan.
Berdasarkan pada apa yang mejadi kriteria informan menurut James P.
Spradley tersebut. Muncul beberapa kriteria yang menjadi dasar dalam penetapan
informan kunci. Pertama adalah berdasarkan pada latar belakang yang meliputi
profesi, asal, dan status sosial dalam masyarakat Desa Alas Malang. Kedua adalah
kemampuan atau penguasaan konsep pola ritual kebo-keboan. Termasuk didalamnya
adalah kemampuan penafsiran serta pemaknaan terhadap budaya tersebut. Ketiga
22
adalah peran serta informan tersebut dalam pelaksanaan ritual kebo-keboan. Keempat
adalah informan yang berada diluar lingkup kebo-keboan. Melalui tiga kriteria
tersebut maka akan didapatkan informan kunci sebagai sumber data utama. Tanpa
mengesampingkan pendapat atau opini dari informan lain yang bisa dijadikan sebagai
sumber data tambahan dan sumber data pendukung. Pemilihan Berikut adalah nama-
nama informan yang sesuai dengan kriteria pada penelitian :
NO Nama Usia Jabatan
1. Indra Gunawan 49 Tahun Ketua Panitia
2. Pandio 37 Tahun Ketua Komunitas
3. Sutjipto 50 Tahun Sekertaris Desa
4. Ketang 68 Tahun Pawang
5. Slamet 36 Tahun Warga/Pemeran
Kebo-Keboan
6. Sudirman 35 Tahun Warga
7. Yudhi 33 Tahun Karyawan/Kuli Pak
Indra Gunawan
1.6.4. Analisis Data
Pada penelitian ini analisis data mengacu pada metode yang diungkapkan oleh
James P. Spradley (1979). Dalam metode yang ditulisnya pemaknaan sebuah budaya
bisa melalui simbol-simbol yang ada pada masyarakat. Karena simbol-simbol
tersebut merangkai kebudayaan itu sendiri. Melalui analisis simbol ini akan muncul
data-data yang akan digunakan sebagai dasar penulisan penelitian ini. Simbol-simbol
Tabel 1.1 Daftar nama informan penelitian.
23
yang dimaksudkan meliputi isitilah masyarakat lokal, warna, dan objek yang ada
ditengah masyarakat serta pada saat proses ritual kebo-keboan berlangsung. Simbol
berupa istilah dapat dilihat melalui hasil wawancara dengan informan atau
percakapan ringan dengan warga lain.
Melalui metode tersebut makna-makna yang tentunya berkaitan langsung
dengan proses ritual kebo-keboan dapat diartikan. Mengingat penulisan ini bertujuan
mengidentifikasi pergeseran makna dan nilai akibat proses identifikasi. Pada proses
identifkasi tersebut akan dilakukan juga komparasi atau pembandingan antara data
yang diperoleh dari informan kunci dengan data lain. Selain itu juga dilakukan pada
makna yang dulu tumbuh pada masyarakat dengan makna yang saat ini muncul
dimasyarakat. Karena pemahaman makna sangat penting dalam proses tersebut dan
dapat memberikan pengaruh pada kehidupan masyarakat.
24
BAB II
Letak Geografis, Ekonomi, dan Sosiaal Budaya Desa Alas Malang
Kabupaten Banyuwangi
Pada bab ini Desa Alas Malang sebagai latar wilayah penelitian akan
dijelaskan dalam beberapa aspek deskripsi. Pertama adalah tentang kewilayahan
berupa letak geografis Desa Alas Malang. Kedua perekonomian meliputi mata
pencaharian masyarakat serta komoditas. Ketiga adalah gambaran kondisi sosial-
budaya masyarakat yang meliputi tingkat kependudukan, pendidikan,
keorganisasian, dan agama. Deskripsi tentang lokasi penelitian berdasarkan pada
catatan profil desa tahun 2016.
2.1. Letak Geografis
Kabupaten Banyuwangi masuk kedalam wilayah administratif Provinsi
Jawa Timur dan berada pada ujung timur Pulau Jawa. Letak geografis dari
Kabupaten Banyuwangi adalah antara 7,43° - 8,46° LS dan 113,53° - 114,38° BT.
Wilayah Banyuwangi memiliki bentang topografi yang beragam, meliputi dataran
rendah, perbukitan, pegunungan, dan daerah pesisir serta pantai. Luas total
seluruh wilayah banyuwangi adalah 5.782,50 km2. Sebelah utara Banyuwangi
berbatasan dengan Kabupaten Situbondo, Selat bali di timur, Samudra Hindia di
selatan, dan Kabupaten Jember serta Kabupaten Bondowoso di Barat. Beberapa
tahun terakhir Banyuwangi dikenal dengan pariwisatanya. Baik pariwisata alam
25
atau pariwisata berbasis budaya. Mayoritas penduduk adalah Suku Osing sebagai
suku asli Banyuwangi. Terdapat pula Suku Jawa, Madura, Bugis, Bali, Melayu,
Arab, dan Tionghoa. Berikut adalah peta Kabupaten Banyuwangi :
Banyuwangi memiliki 25 kecamatan, diantaranya adalah Genteng, Rogojampi,
Jajag, Singojuruh, Blimbingsari, Cluring, Banyuwangi, Bangorejo, Gambiran,
Giri, Glagah, Glenmore, Kabat, Kalibaru, Kalipuro, Licin, Muncar, Pesanggaran,
Gambar 2.1 Peta Wilayah Administratif Kabupaten Banyuwangi
26
Purwoharjo, Sempu, Siliragung, Songgon, Srono, Tegaldlimo, Tegalsari, dan
Wongsorejo. Desa Alas Malang masuk dalam wilayah Kecamatan Singojuruh dan
memiliki enam wilayah dusun, yaitu Dusun Krajan, Garit, Garit Wetan,
Karangasem, Bangunrejo, dan Wanareksa. Pada bagian utara Desa Alas Malang
berbatasan dengan Lemahbang Kulon, sebelah selatan dengan Gambor, sebelah
timur dengan Benelan Kidul, dan sebelah barat dengan Singojuruh. Tipe topografi
Desa Alas Malang adalah dataran rendah yang mempunyai total luas 300.590
ha/m2. Luas persawahan memiliki luas wilayah yang paling besar dibandingkan
Gambar 2.2 Peta Letak Wilayah Kecamatan Singojuruh
27
dengan luas wilayah lainnya, cukup wajar mengingat mayoritas warga mata
pencahariannya dibidang agraris. Sawah yang ada merupakan sawah irigasi dan
mengandalkan aliran air sungai dengan tipe kecil. Berikut adalah luas wilayah
menurut penggunaannya :
Tabel 2.1 Luas wilayah berdasarkan penggunaan lahan
Tabel penggunaan lahan tersebut sekaligus dapat dijadikan indikator mata
pencaharian penduduk Desa Alas Malang. Penggunaan lahan terluas adalah
dibidang pertanian. dapat dilihat dari luas Total 300.590 ha/m2, seluas 236.685
ha/m2 dijadikan lahan persawahan oleh warga. dari hal tersebut dapat
diindikasikan bahwa masyarakat Suku Oseng Desa Alas Malang Kecamatan
Singojuruh Kabupaten Banyuwangi Merupakan masyarakat agraris. Bisa juga
dikatakan mata pencaharian dari warga tidak jauh dari bidang agraris. Serta
menggantungkan hidupnya pada luas lahan pertanian tersebut.
No URAIAN SATUAN
1. Luas pemukiman 26.090 ha/m2
2. Luas persawahan 236.685 ha/m2
3. Luas perkebunan 11.391 ha/m2
4. Luas kuburan 3.410 ha/m2
5. Luas perkarangan 12.155 ha/m2
6. Luas taman 5.190 ha/m2
7. Perkantoran 2.149 ha/m2
8. Luas prasarana umum lainya 3.520 ha/m2
TOTAL LUAS 300.590 ha/m2
( Sumber: Data Monografi Desa Alas Malang Tahun 2016 )
28
2.2. Ekonomi
Komoditas utama dari Desa Alas Malang adalah padi sawah. Dari 236 ha
luas persawahan yang ditanami padi dapat menghasilkan 1.180 ton/ha setiap
tahunnya. Kemudian diikuti dengan ubi jalar dan cabe. Dari 12 ha tanah yang
ditanami ubi jalar menghasilkan 60 ton/ha. Sedangkan 9 ha luas tanah yang
ditanami cabe menghasilkan 97 ton/ha. Serta 3 ha ditanami pisang yang
mengahasilkan 462 tanda/ha. Tumbuhan lain yang ditanam warga adalah kacang
tanah, kacang panjang, brocoli, mentimun, dan terong. Semua tanaman tersebut
rata-rata ditanam di lahan yang luasnya tak lebih dari 1 ha. Warga selama ini
menjual hasil pertanian kepada tengkulak atau langsung mereka jual ke pasar. Jika
dilihat dari hal tersebut, cukup wajar jika petani dan buruh tani menjadi mata
pencaharian utama masyarakat, diikuti dengan beberapa profesi lain. Warga juga
memelihara ternak untuk menambah penghasilan. Beberapa hewan ternak yang
dipelihara adalah bebek, sapi, kambing, ikan mujair, ayam kampung, dan angsa.
Berikut adalah diagram prosentase pembagian mata pencaharian warga
Desa Alas Malang berdasarkan data monografi desa tahun 2016 :
Petani32%
Buruh Tani31%
PNS4%
Pengusaha Mikro
5%
Pedagang keliling
2%
Peternak3%
Pensiunan 2%
Seniman2%
Karyawan8%
Sopir3%
Tukang Batu/Kayu
5%
Lainnya Tukang Becak, Tukang
Cukur, PRT, dsb…
Gambar 2.3 Prosentase Mata Pencaharian Warga Desa Alas Malang
( Sumber: Data Monografi Desa Alas Malang Tahun 2016 )
29
Diagram prosentase tersebut menujukkan bahwa profesi sebagai petani dan buruh
tani merupakan profesi yang paling banyak dikerjakan dipilih sebagai mata
pencaharian. Dari 1.225 orang tenaga kerja yang bekerja, baik perempuan maupun
laki-laki, 391 orang memilih menjadi petani dan 383 orang menjadi buruh tani.
Selebihya terbagi menjadi beberapa profesi seperti yang sudah disebutkan dalam
diagaram diatas. Dari penjelasan diagaram diatas dapat disimpulkan bahwa mata
pencaharian utama warga Desa Alas Malang adalah sebagai petani dan buruh tani.
Jumlah keseluruhan penduduk Desa Alas Malang menurut data monografi
desa tahun 2016 adalah 4.650 orang. Dari jumlah keseluruhan tersebut terbagi
menjadi 2.244 orang berjenis kelamin laki-laki dan 2.406 berjenis kelamin
perempuan. Jumlah kepala keluarga yang ada adalah 1557 KK. Penduduk tersebut
terbagi menjadi beberapa kelompok umur atau usia. Berikut tabel rekapitulasi usia
penduduk Alas Malang :
Tabel 2.2 Rekapitulasi Usia Penduduk
No Usia Jumlah Prosentase Dari
Jumalah penduduk
1. 0-12 bulan 61 orang 1 %
2. 1-5 tahun 360 orang 7 %
3. 0-7 tahun 560 orang 12 %
4. 7-18 tahun 701 orang 14 %
5. 18-56 tahun 2543 orang 51 %
6. >56 846 orang 15 %
( Sumber: Data Monografi Desa Alas Malang Tahun 2016 )
30
Berdasarkan data rekapitulasi tersebut dapat dilihat bahwa ketersediaan
tenaga kerja sangat memadai. Dari 100% terdapat 51% usia yang secara normal
dianggap mampu untuk bekerja, atau dari 4650 orang jumlah keseluruhan warga,
terdapat 2543 orang usia kerja. Mayoritas penduduk tersebut adalah Suku Osing.
Tercatat di Desa Alas Malang jumlah penduduk Osing adalah 4.638 orang dari
4.650 orang. Selebihnya terbagi dari Etnis Batak 3 orang, bali 5 orang, dan China
4 orang. Permasalahan yang muncul adalah bukan banyaknya tenaga kerja yang
tersedia. Tetapi tingkat pendidikan dari tenaga kerja tersebut yang kebanyakan
adalah tamatan sekolah dasar. Sehingga bagi yang tidak mempunyai sawah
mereka bekerja serabutan ataupun menjadi buruh tani yang pendapatannya tidak
menentu. Beberapa dari mereka terutama para generasi muda memilih keluar desa
untuk mencari kerja dengan modal ijazah SMA atau ijazah SMP. Bagi mereka
yang tamatan SD bekerja serabutan, bisa menjadi kuli atau menjadi sopir di Bali,
membuka tambal ban di Kalimantan, dsb.
Pola-pola demikian dipengaruhi oleh kebiasaan dan budaya masyarakat
Desa Alas Malang. Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa dirinya sudah
merasa cukup untuk tidak melanjutkan ke jenjang sekolah berikutnya saat dirinya
sudah siap untuk bekerja. Meskipun harus bekerja sebagai pekerja kasar atau kuli
serabutan, yang terpenting adalah bisa mendapatkan uang, serta mau bekerja
keras. Kebiasaan tersebut terus berlanjut hingga sekarang. Beberapa memang
sudah mempunyai kesadaran untuk melanjutkan jenjang sekolah yang lebih tinggi
untuk memperoleh ijazah sebagai modal usaha. Tetapi yang melanjutkan pola
tersebut lebih banyak daripada pada yang berkeinginan untuk merubahnya. Pola
31
demikian terjadi karena tidak adanya panutan baik dari dalam keluarga atau luar
keluarga. Orang tua juga beranggapan bahwa anak itu sudah mandiri ketika dia
sudah mau untuk bekerja. Lingkungan tempat mereka bergaul juga mempunyai
latar belakang yang sama. Sedikit keluarga yang mendorong anaknya untuk lebih
maju. Bagi kebanyakan masyarakat, ketika ingin pekerjaan lebih maju atau
mendapat penghasilan yang lebih banyak, jalan satu-satunya adalah merantau.
Berikut adalah prosentase tingkat pendidikan warga Desa Alas Malang :
507; 14%
626; 18%
682; 19%
24; 1%
165; 5%
881; 24%
557; 16%
42; 1%6; 0%
72; 2%
Tidak Tamat SD
Tamat SD
Tidak Tamat
SLTPTamat SLTP
Tidak Tamat
SLTATamat SLTA
D-3
S-1
S-2
Tidak Pernah
Sekolah
Gambar 2.4 Prosentase Tingkat Pendidikan Usia 18-56 tahun
( Sumber: Data Monografi Desa Alas Malang Tahun 2016 )
Jiak dilihat dari prosentase diatas dapat dikatakan tingkat pendidikan
warga tergolong masih rendah. Mayoritas penduduk dari usia 18-56 tahun adalah
tamatan sekolah dasar. Padahal fasilitas pendidikan di desa cukup memadai.
32
Untuk fasilitas pendidikan di Desa Alas Malang terdapat 1 TK ( Taman Kanak-
Kanak ) milik swasta dengan 6 tenaga pengajar dan 87 siswa. Terdapat pula 2
Sekolah Dasar ( SD ) milik pemerintah dengan 27 tenaga pengajar dan 448 siswa.
Bagi warga yang ingin melanjutkan ke jenjang SMP atau SMA harus keluar desa.
SMP dan SMA terdekat hanya sekitar 2 km dan tak lebih dari 20 menit jarak
tempuh. Untuk pengembangan soft skill terdapat tempat kursus atau pelatihan
komputer yang dikoordinir oleh KIM Alas Malang.
2.3. Sosial Budaya: Organisasi Desa dan Lembaga Adat Kebo-Keboan
Terdapat beberapa yayasan atau organisasi yang bergerak diberbagai
bidang di Desa Alas Malang. Yayasan yang bergerak pada bidang pendidikan
selain Dharma Wanita adalalah Anahdiyah. Warga juga aktif dalam kegiatan
kelompok masyaraka lainya. Kegiatan-kegiatan tersebut lebih banyak bergerak
dalam bidang keagamaan. Seperti tahlilan rutin setiap Kamis malam, pengajian
PKK, dan pengajian ibu-ibu muslimat. Ada juga kegiatan yang bergerak dalam
bidang pertanian yaitu GAPOKTAN (Gabungan Kelompok Tani). Kegiatan
tersebut berupa pendampingan dalam bidang pertanian yang dikoordinir oleh
dinas terkait. Organisasi yang berkembang di masyarakat pada saat ini adalah
organisai yang juga bergerak pada bidang keagamaan yaitu NU (Nahdhlatul
Ulama), Muslimat, Ansor, Fatayat NU, serta REMAS ( Remaja Masjid ). Seperti
yang kita tahu organisi atau kelompok masyarakat tersebut memiliki dasar agama
yaitu Islam sebagai dasar pembentukannya. Keberadaan organisasi-organisasi
33
tersebut juga mengindikasikan bahwa masyarakat Desa Alas Malang merupakan
masyarakat yang religius.
Menurut pencatatan atau data monografi Desa Alas Malang tahun 2016.
Pada saat ini mayoritas penduduk Desa Alas Malang memeluk Islam. Sejumlah
4.622 orang penduduk memeluk Islam, 14 orang memeluk Kristen, 13 orang
memeluk Katolik, dan 1 orang Budha. Sebenarnya selain praktek ritual
keagamaan yang dibawa oleh agama-agama tersebut. Masyarakat sudah mengenal
adanya ritual-ritual yang diturunkan dari nenek moyang mereka. Seperti
contohnya keberadaan ritual kebo-keboan yang saat ini memiliki fungsi baru
sebagai bentuk wisata budaya Banyuwangi. Kebo-keboan adalah ritual
masyarakat Suku Osing yang tujuannya adalah untuk menolak bala dan sebagai
bentuk ucapan rasa syukur terhadap sang pencipta atau bentuk-bentuk kekuatan
spiritual yang mereka yakini.
Suku Osing merupakan suku asli Banyuwangi yang tersebar dan mendiami
seluruh wilayah Banyuwangi. Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi
adalah bahasa ibu mereka yaitu Bahasa Osing. Ritual-ritual yang serupa fungsinya
atau hampir mirip yang pada dasarnya adalah warisan nenek moyang menyebar
pada wilayah Kabupaten Banyuwangi. Dapat dikatakan bahwa hal tersebut
merupakan bentuk religi asli dari Suku Osing. Perbedaan cara atau tuntunan pada
pelaksanaan ritual yang berbanding terbalik dengan keberadaan agama-agama
tadi, yang sekaligus dijadikan sebagai legimitasi keberadaan pemerintahan orba
pada kala itu. Memunculkan anggapan bahwa Suku Osing masih memeluk
animisme dan dinamisme, tak terkecuali bagi para penduduk Alas Malang.
34
Membuat segala kegiatan budaya Suku Osing yang dibarengi dengan adanya
ritual tertentu dilarag keberadaannya. Rezim Orde Baru tidak mentolerir segala
tindakan atau kegiatan yang bertentangan program-program pemerintah.
Masyarakat diwajibkan memeluk agama-agama yang sudah disyahkan oleh
pemerintah, selebihnya adalah pelanggaran aturan dan harus dihentikan. Hal
tersebut juga yang sempat membuat ritual kebo-keboan dihentikan. Karena
keberadaanya yang diidentikan sebagai bentuk parktek animisme dan dinamisme
suku Osing.
Seiring perkembangan jaman dan dinamika yang terjadi pada masyarakat
serta pemerintahan khususnya pemerintah Banyuwangi. Keberadaan-keberadaan
budaya asli Suku Osing baik itu berupa ritual ataupun kesenian digalakan kembali
tujuannya adalah sebagai bentuk penghayatan dan pelestarian budaya leluhur.
Tujuan paling utama adalah sebagai modal pariwisata Kabupaten Banyuwangi.
Dimana pemerintah menawarkan pariwisata yang bersifat humanis dan edukatif
sebagai produk wisata unggulan selain potensi alam yang ada di Banyuwangi.
Oleh sebab itu Lembaga Adat Kebo-Keboan Alas Malang yang merupakan induk
dari segala kegiatan yang bertema Osing di Alas Malang dengan agenda tahunan
berupa ritual kebo-keboan dibentuk. Keberadaan lembaga ini berdiri sendiri
terlepas dari keberadaan pemerintah desa meskipun pada dasarnyan segala
kebijakan tidak boleh melangkahi intitusi desa. Layaknya institusi lembaga ini
memiliki ADRT (Anggaran Dasar Rumah Tangga) dan program kerja sendiri.
Tugas yang paling utama adalah mengakomodir segala bentuk permasalahan yang
muncul pada pelaksanaan ritual kebo-keboan.
35
Seperti yang kita tahu kebo-keboan degan alasan pelestarian direvitalisasi
kembali. Perancangan revitalisasi yang paling utama adalah memperhatikan
unsur-unsur keagam aan yang ada pada kebo-keboan. Dapat dilihat dari doa-doa
atau mantra yang dibawakan pada saat ritual sudah mengalami perubahan. Mantra
yang dibawakan oleh pawang selain menggunakan Bahasa Osing juga
dikombinasikan dengan doa-doa dalam Islam. Bentuk-bentuk yamg dianggap
sensitif oleh 5 agama yang saat ini berkembang di masyarakat sudah tidak lagi
dinampakan didepan publik. Seperti contoh membawa sesaji dipunden sebagai
bentuk selamatan sudah tidak diwajibkan bagi masyarakat. Bentuk seremonial
dari kebo-keboan yang saat ini lebih ditonjolkan. Pada prakteknya kebo-keboan
diakomodir langsung oleh Lembaga Adat Kebo-Keboan yang telah disebutkan
diparagraf atas.
Lembaga adat ini daridulu kala sudah ada namun masih berupa kelompok
masyarakat saja. Baru ketika era dimana kebo-keboan ditarik sebagai bagian dari
pariwisata maka lembaga tersebut disahkan dan diperjelas dasar hukumnya. Pada
awal kemunculannya pemerintah mempunyai harapan Lembaga Adat Kebo-
Keboan beserta intitusi desa dan didukung oleh organisasi yang ada dapat saling
menyokong dan bersinergi. Pada Kenyataannya semuanya berjalan sendiri sesuai
dengan kepentingan masing-masing. Institusi desa menganggap orang-orang
lembaga adat berjalan semaunya sendiri dan tidak bisa diatur, sedangkan lembaga
adat menganggap institusi desa kurang mendukung program-program dan
terkesan berbelit dalam mengambil keputusan. Hal tersebut membuat alur kerja
36
sedikit rancu dan aneh. Selama ini ketua lembaga lebih sering berdialog dan
berkoordinasi langsung ke kantor kecamatan ketimbang ke kantor desa yang ada.
Kondisi serupa juga dialami ketika berhadapan dengan organisasi
keagamaan Islam yang ada di masyarakat. Seperti ada perang dingin antara
lembaga tersebut taklim masjid Desa Alas Malang. Meskipun secara nyata tidak
tampak dan terlihat didepan umum. Hal itu dapat dilihat ketika adanya rapat yang
diadakan oleh lembaga adat, taklim masjid tidak pernah mengirimkan perwakilan
untuk ikut hadir. Jika taklim masjid mengadakan rapat juga tidak pernah
mengundang lembaga adat. Meskipun demikian masyarakat lebih simpati kepada
para tetua atau tokoh yang berada pada lembaga adat. Keadaan demikian
dikarenakan status sosial yang ada pada diri tetua ini berbeda dengan status sosial
para anggota taklim masjid serta orang-orang pemerintahan desa.
Status sosial para tetua atau tokoh adat sudah mereka dapat ketika mereka
lahir. Orang-orang tersebut masih keturunan dari Mbah Buyut Karti yang
merupakan leluhur atau nenek moyang Desa Alas Malang. Beliau adalah orang
yang paling mereka hormati sekaligus beliau pula yang memunculkan upacara dan
ritual kebo-keboan. Kebanyakan para tetua ini juga merupakan tuan tanah atau
memiliki aset persawahan yang lebih luas daripada masyarakat. Banyak dari
warga yang bekerja pada keluarga mereka. Baik sebagai buruh tani atau sekedar
menyewa tanah garapan barang sepetak atau dua petak. Faktor lain adalah
kegiatan kebo-keboan mampu menarik masa dan membuat desa jadi ramai. Hal itu
membuat masyarakat bangga akan desa dan identitasnya, sehingga masyarakat
masih dan terus berperan aktif mendukung kebedaraan ritual keboa-keboan.
37
BAB III
Ritual Kebo-Keboan Desa Alas Malang
Perkembangan serta keberadaan ritual kebo-keboan di Desa Alas Malang
akan dijelaskan pada subbab-subbab yang ada di bab ini. Penjelasan dimulai dari
asal usul ritual muncul atau bisa juga dikatakan sebagai legenda ritual adat kebo-
keboan. Selanjutnya disusul dengan penjelaan tentang tata cara prosesi kebo-
keboan, instrumen,dan peran para pelaku pada ritual adat kebo-keboan. Penjelasan
yang ada pada setiap subbab pada bab ini didasarkan pada kondisi kebo-keboan
pada masa sekarang dan menggunakan kondisi masa lampau sebagai
perbandingan.
3.1. Legenda Ritual Kebo-Keboan Desa Alas Malang
Nama Desa Alas Malang pada saat ini mulai dikenal publik Banyuwangi
dan sekitarnya. Fenomena tersebut tentunya tidak lepas dari keberadaan ritual
kebo-keboan yang juga mulai naik daun. Ritual kebo-keboan yang sejatinya
merupakan upacara adat Suku Osing telah bertransformasi sebagai bagian dari
pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Ritual adat yang diselenggarakan setahun
sekali tersebut, wajib dikunjungi para wisatawan yang ingin mengenal lebih jauh
budaya Suku Osing, selain destinasi wisata bertema budaya lainnya yang ada di
Kabupaten Banyuwangi. Pemerintah Banyuwangi melalui dinas pariwisata dan
masyarakat Osing Desa Alas Malang sendiri mengklaim bahwa ritual kebo-
keboan merupakan upacara adat Suku Osing yang masih terjaga keasliannya.
38
Seperti yang diungkapkan Bapak pada saat menjadi kepala Dinas Pariwisata
Kabupaten Banyuwangi. Berikut beliau mengungkapkan:
“Ritual kebo-keboan merupakan salah satu budaya adat Banyuwangi selain ritual
Seblang, Petik Laut, Rebo Bungkusan, Endhog-Endhogan, Barong Ider Bumi yang
sudah diagendakan secara rutin oleh pemerintah Banyuwangi.” (Seblang, ed. 4,
Jan-Feb 2007)
Pengakuan beliau cukup menegaskan bagaimana posisi kebo-keboan pada masa
sekarang. Pada subbab berikutnya akan dijelaskan tentang sejarah kebo-keboan,
praktek ritual, instrumen ritual, dan pelaku ritual kebo-keboan.
Keberadaan ritual kebo-keboan di Desa Alas Malang sudah ada sejak dulu
kala. Menurut legenda yang berkembang di masyarakat, jauh di masa lampau,
sekitar abad 18, masyarakat Suku Osing di Desa Alas Malang hanya
menggantungkan hidupnya pada hasil dari sawah yang mereka miliki. Pada waktu
itu petani merupakan profesi utama yang mereka geluti. Selain itu menjadi petani
merupakan profesi turun temurun dari nenek moyang. Berikut juga dengan tanah
atau sawah yang mereka garap merupakan warisan dari para pendahulu mereka.
Ketahanan pangan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat sangat bergantung pada
setiap hasil panen pada setiap musimnya. Kondisi alam Desa Alas Malang
tergolong memadai jika digunakan sebagai lahan pertanian. Desa Alas Malang
berada pada dataran rendah serta luas dengan tanah yang subur. Sungai-sungai
yang menjadi irigasi utama pertanian terus mengalir sepanjang tahun. Sehingga
hasil yang didapat pada setiap musim panennya sangat menjajinkan dan dapat
mencukupi kebutuhan masyarakat pada waktu itu. Kehidupan masyarakat pada
masa itu dapat dikatakan berada pada taraf sejahtera. Segala kebutuhan dan
39
ketahanan pangan dapat tercukupi dari hasil panen. Cukup wajar jika petani
dijadikan sebagai sumber mata pencaharian masyarakat Osing pada waktu itu.
Pak Indra Gunawan, atau yang biasa dipanggil Mas Gun, mengatakan
bahwa pada dasarnya masyarakat Osing memang merupakan masyarakat agraris.
Mereka tidak dapat hidup tanpa menggantungkan hidup dari hasil pertanian.
Meskipun pada masa sekarang anak cucu dari masyarakat Osing Desa Alas
Malang sudah mulai mencoba merubah nasib dengan cara merantau atau sekolah
setinggi mungkin agar dapat memperoleh pekerjaan lain. Pada akhirnya mereka
akan kembali di desa mereka kembali.
“Kami disini adalah para petani, mau bagaimanapun keadaan sekarang, meskipun
banyak anak-anak kami yang sekarang mencoba merubah nasin dengan tidak
menjadi petani, tapi ujung-ujungnya tetap kembali kesini menjadi petani. Buktinya
banyak wes sukses diluar akhirnya yang balik beli sawah disini lagi. Orang
dasarnya wong tani (orang tani).” (Mas Gun, 12 Oktober 2015)
Mas Gun sendiri adalah cerminan dari orang-orang yang pada akhirnya memilih
menjadi petani kembali. Selain sukses bekerja sebagai kontraktor beliau kembali
ke Desa Alas Malang untung menggarap sawah warisan dan menghidupi budaya
asli Suku Osing.
Kembali pada legenda atau asal usul ritual kebo-keboan, tanah yang subur
di Alas Malang tiba dilanda kekeringan yang sangat panjang, hujan tak juga turun.
Tumbuhan tidak lagi dapat tumbuh subur serta tanaman pokok menjadi mati.
Wabah penyakit dan hama juga mulai menyerang tanaman yang masih hidup.
Begitu pula wabah penyakit juga menyerang warga desa. Keadaan tersebut
semakin mempersulit kehidupan pada masa itu. Sebuah langkah harus diambil
untuk mengakhiri masa-masa sulit dan mengembalikan kesejahteraan warga.
40
“Dulu Mbah Buyut Karti sebagai orang sakti dan seorang tetua di desa ini, semedi
mencari solusi istilahnya, itu dulu sekali paling masih masa-masa penjajah
mungkin jauh lebih lama lagi. Kemudian Buyut Karti mendapat wangsit disuruh
mengadakan upacara untuk mengusir pagebluk. Ya akhirnya ada kebo-keboan
itu.” (Mas Gun, 10 Oktober 2016)
Mbah Buyut Karti yang mempunyai nama asli Kasian, Karti atau Sukarti adalah
nama pertama putri beliau yang namanya kemudian melekat menjadi nama
panggilan beliau, mendapat wangsit untuk membuat sebuah upacara ritual untuk
mengakhiri masa pagebluk. Maka terciptalah kebo-keboan sebagai bentuk upacara
ritual tersebut.
Ada tiga poin penting sebagai tujuan dilaksanakannya ritual kebo-keboan.
Poin-poin penting tersebut adalah sebagai berikut :
1. Ritual kebo-keboan adalah sebagai sarana pemujaan terhadap Sang
Pencipta atau kekuatan yang lebih tinggi agar terlindungi dari segala
bencana serta mengakhiri pagebluk. Melalui sesaji yang diberikan pada
tempat-tempat yang dianggap suci.
2. Ritual kebo-keboan adalah sarana atau cara masyarakat berdoa memohon
hujan untuk mengakhiri paceklik yang berkepanjangan.
3. Ritual kebo-keboan adalah sarana untuk meminta berkah pada Dewi Sri,
sosok yang dipercaya oleh sebagian besar penduduk Pulau Jawa sebagai
dewi kesuburan, dengan cara memberikan sesembahan sebagai bentuk rasa
syukur serta pertunjukan agar sang dewi merasa senang dan pada akhirnya
datang memberikan berkah.
Pada pola dan proses pelaksaan ritual tujuannya bukan hanya mencondongkan
keselarasan hidup antara pencipta dengan manusia sebagai ciptaanNya saja.
41
Tetapi keselarasan dengan alam tempat tinggal serta hubungan antara sesama
manusia juga sangat diperhatikan. Hal tersebut dapat kita lihat dari pra upacara,
pasca upacara, atau pada saat pelaksanaan upacara.
Seperti halnya dengan ritual adat yang dilaksanakan turun temurun hingga
sekarang bersamaan dengan pasang surutnya. Cerita tentang asal mula munculnya
ritual kebo-keboan juga turut ikut berkembang. Masyarakat Desa Alas Malang
dari segala lapisan umur dan profesi tahu akan cerita tersebut. Cerita disampaikan
secara lisan dari mulut kemulut tanpa adanya dokumentasi berupa tulisan atau
prasasti. Persis seperti ciri khas folklore yang ada pada umumnya.
“Dulu awalnya kata orang tua ya karena adanya pagebluk itu mas, terus Buyut
Karti sebagai orang sakti pada waktu itu dapat petunjuk agar ada kebo-keboan,
orang tua dulu sih gitu ceritanya.” (Sudir, 13 Oktober 2016)
Kebanyakan orang hanya mengerti legenda sebatas tersebut. Kurangnya detail
yang ada pada setiap cerita membuat waktu kejadian menjadi tersamarkan.
Mereka menggunakan patokan seperti jaman penjajahan, orba, masa gestapo, dan
tahun 1990-an untuk memberikan penjelasan tentang detail waktu pada cerita
yang mereka sampaikan.
3.2. Prosesi dan Makna Perangkat Ritual Kebo-Keboan
Prosesi ritual kebo-keboan berdasarkan pada pelaksanaan ritual pada masa
sekarang. Pelaksanaan ritual adat kebo-keboan terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu
pra prosesi ritual, prosesi inti, dan pasca prosesi inti. Pada tahap pertama atau pra
ritual, terdapat ritual pembuka yang dilakukan sebelum memasuki upacara inti
atau prosesi inti, pada tahapan ini terdapat upacara-upacara atau adab yang
42
mengantarkan kita pada prosesi inti. Setelah ritual pembuka terpenuhi barulah
menginjak pada prosesi inti ritual dimana sosok manusia yang memerankan
binatang kerbau dihadirkan. Lalu kemudian penambahan item hiburan oleh warga,
sehingga sisi seremonial lebih dominan. Karena inti dari acara pasca seremonial
adalah pada pesta rakyat Desa Alas Malang.
3.2.1. Pra Prosesi Ritual Kebo-Keboan
Suku Osing yang mendiami Desa Alas Malang percaya bahwa manusia
hidup dalam sebuah kesatuan universal di muka bumi ini. Mereka tidak hidup
sendirian dan tidak bisa hidup sendiri. Ada relasi antara manusia dengan Tuhan,
manusia dengan alam termasuk segala yang ada didalamnya, manusia dengan
manusia, dan juga manusia dengan roh-roh yang mendiami bumi ini. Relasi
tersebut terkadang diwujudakn dalam bentuk nyata dan terkadang tidak. Melalui
beragam bentuk cara dan sarana manusia menjaga hubungan tersebut tetap
harmonis dan dinamis.
Di bumi ini manusia itu membutuhkan alam, di alam itu ada hewan ada
tumbuhan, terus ada bangsa lelembut juga, kadang jaga rumah jaga desa. Itu
tadi kita hidup bareng disitu, harus sama-sama menjaga, ritual seperti itu
dimaksudkan untuk hal tersebut. Tapi tetep harus ingat Gusti Allah yang
memberi kita hidup. dalangnya kehidupan, itu yang paling penting. (Bapak
Ketang, 15 Oktober 2015)
Hubungan tersebut bersifat mutlak dan secara berkesinambungan harus dijaga
agar timbal balik tetap terjadi. Tujuan dari hal tersebut sudah cukup jelas yaitu
demi menjaga kelangsungan hidup manusia itu sendiri.
43
Pada tahapan pra prosesi ritual terdapat upacara yang ditujukan kepada
alam dan roh-roh yang menjaga Desa Alas Malang. Ritual ini dilaksanakan tujuh
hari sebelum prosesi inti dari kebo-keboan. Waktu yang dipilih adalah senja
kerika matahari akan terbenam. Senja dipercaya sebagai waktu yang tepat karena
peralihan hari pada Kalender Jawa dimulai pada saat matahari terbenam. Tempat
dari upacara tersebut adalah pada punden-punden yang berada pada empat penjuru
desa sekaligus tapal batas dari desa. Punden-punden tersebut dipercaya sebagai
tempat berdiamnya para roh penunggu Desa Alas Malang. Sampai pada saat ini
masyarakat masih mensucikan tempat-tempat tersebut. Roh-roh yang mendiami
punden menjaga desa dari gangguan dari luar dan melindungi masyarakat yang
ada didalam wilayah Desa Alas Malang. Pengertian dari punden sendiri adalah
bangunan atau tempat yang disucikan, biasanya terdapat makam leluhur, prasasti,
ataupun artefak yang dianggap suci oleh masyarakat sekitar.
Terdapat empat punden yang didatangi untuk diberi sesaji dan dipanjatkan
doa-doa meminta izin diadakan ritual kebo-keboan serta memohon berkah pada
Tuhan. Empat punden tersebut adalah, watu loso disebelah timur, watu gajah
disebelah barat, watu naga disebelah selatan, watu karang disebelah utara. Untuk
watu loso dan watu naga, keduanya berada diantara pohon-pohon yang besar
dipekarangan belakang rumah-rumah warga, di watu loso terdapat makam Buyut
Karti beserta anak turunnya. Sedangkan untuk watu kebo dan watu karang berada
ditengah persawahan warga. Layaknya nama dari keempat punden tersebut, watu
yang dalam Bahasa Indonesia berarti batu, keempat punden tersebut berupa batu
yang dipercaya memiliki koneksi antara satu dengan yang lainnya.
44
Segala bentuk sesajian disiapkan sebelum berangkat ke punden-punden
tersebut. Sesaji tersebut adalah bunga setaman, kapur sirih, kemenyan, darah
ayam, rokok, sejumlah uang, hasil bumi, bubur merah, jajanan pasar, dan ayam
ingkung. Untuk sesaji jenis makanan, dalam proses pembuatan serta penyajiannya
kita tidak boleh mencicipi, menghirup aroma makanan atau bunga dengan sengaja
pun tidak boleh. Sesajian tersebut harus disuguhkan dulu terhadap roh penunggu
desa baru kemudian kita bisa menikmatinya. Karena ketika kita dengan sengaja
menghirup aroma atau mencicipi makanan dalam sesajian maka sesaji tersebut
sudah hilang maknanya. Saat syarat sebagai sesaji sudah hilang maka harus dibuat
baru kembali. Sesaji tersebut memang dikhususkan untuk roh penunggu desa
sebagai bentuk rasa syukur atau ucapan terimakasih. Setelah dibacakan mantera
dan disuguhkan kepada roh yang dipercaya sebagai penunggu desa. Makanan
tersebut baru boleh disantap bersama-sama.
Gambar 3.1 Sesaji untuk ritual ke punden Desa Alas Malang
45
Segala persiapan untuk ritual dan awal dari pelaksanaan ritual tersebut berada
disalah satu rumah pemangku adat Suku Osing. Bagi para pemangku ritual ini
merupakan tanggung jawab dan wajib dilaksanakan demi keselamatan dan yang
palin utama kelancaran ketika pelaksanaan kebo-keboan sebagai acara inti. Bagi
warga desa biasa ritual pembuka ini tidak wajib dan sifatnya sukarela untuk
dilaksanakan. Berbeda ketika pada masa dahulu sebelum kebo-keboan vakum dan
dihidupkan kembali pada tahun 2000-an. Ritual yang identik dengan praktek
animisme dan dinamisme ini wajib dilakukan oleh seluruh warga. Praktek tersebut
hanya dikerjakan oleh beberapa warga saja. Hanya para tetua yang masih
diwajibkan untuk menggelar upacara tersebut. Keberadaannya pun tidak disoroti
didepan umum bahkan cenderung tidak dipublikasikan. Oleh karena dalam ritual
ini terdapat unsur-unsur yang bersinggungan dengan keyakinan beragama pada
masa sekarang. Faktor tersebut pula yang menjadikan kebo-keboan pernah
dihentikan pelaksanaan untuk waktu yang cukup lama.
Berawal dari rumah Pak Indra Gunawan, sebagai salah satu tokoh masyarakat
Osing Desa Alas Malang serta ketua pelaksana kebo-keboan. Runutan prosesi
ritual pembuka adalah sebagai berikut :
1. Segala persiapan sesaji dikerjakan oleh masyarakat secara sukarela.
2. Setelah sesaji siap masyarakat terutama tokoh masyarakat berkumpul
menggunakan pakaian khas Suku Osing yang dominan dengan warna
gelap. Beberapa warga yang memang berprofesi sebagai petani memakai
pakaian yang biasa digunakan untuk pergi ke sawah.
46
3. Sesaji yang sudah siap diarak dengan berjalan kaki menuju watu loso
dengan dipimpin seorang pawang atau dukun desa.
4. Sesampainya dilokasi sesaji diletakkan diatas batu besar dengan
permukaan datar, batu tersebut yang disebut dengan watu loso.
5. Pawang memulai ritual dengan membakar kemenyan dilanjutkan dengan
membaca mantra dengan Bahasa Osing kemudian ditutup dengan doa-doa
yang ada pada Agama Islam.
6. Selanjutnya sesaji dalam bentuk makanan disantap bersama.
Pada saat yang hadir dalam ritual menyantap makanan. Beberapa orang secara
bersamaan pergi menuju tiga punden untuk mengulagi prosesi yang sama. Untuk
ketiga punden prosesi ritual dilaksanakan secara bersamaan. Punden watu loso
diistimewakan karena masyarakat percaya bahwa pusat dari roh pelindung adalah
di watu loso.
Gambar 3.2 Warga melakukan ritual dengan dipimpin pawang disalah satu
punden (watu loso)
47
Masyarakat pada masa ini juga mempraktekan budaya ater-ater sampai
pada malam sebelum kebo-keboan digelar. Ater-ater adalah budaya saling
mengirim makanan atau sembako yang tujuan mempererat tali silaturahmi.
Makanan dikirim kepada sanak saudara yang berada di satu desa atau yang berada
diluar desa. Nantinya orang yang mendapat kiriman akan memberikan imbal balik
yang terkadang berupa makanan, sembako, atau sejumlah uang saku untuk yang
mengantar. Memang bukan sebuah kewajiban namun ada kesadaran dan tanggung
jawab yang mendarah daging untuk mempertahankan budaya tersebut.
3.2.2. Prosesi Inti Kebo-keboan.
Sehari sebelum tanggal 10 suro atau satu hari sebelum ritual kebo-keboan
digelar di punjer Desa Alas Malang. Para warga menanami jalan didepan rumah
mereka dengan berbagai tumbuhan yang menjadi tanaman di sawah atau kebun
warga. Jenis dari tanaman tersebut merupakan tanaman pangan baik untuk dijual
maupun dikonsumsi sendiri. Tujuan warga menanami jalan dengan tumbuhan
adalah agar tanaman mereka mendapatkan berkah dari Dewi Sri ketika sang dewi
turun ke bumi. Pada saat malam menjelang kebo-keboan hingga besok senja,
sebagai batas hari dalam kalender jawa, dipercaya warga sebagai waktu turunnya
Dewi Sri ke bumi. Selain itu warga juga membuat gapura-gapura dari bambu yang
dihiasi dengan tanaman palawija, palapendem, dan palagumantung. Pada tempat
yang dipercaya sebagai punjer desa hiasan berupa janur-janur sudah terpasang.
Warga percaya punjer yang dalam Bahasa Indonesia berarti pusat, berada pada
48
perempatan Dusun Krajan, perempatan tersebut merupakan titik temu dari empat
penjuru pintu masuk desa.
Masih pada hari yang sama ketika matahari akan tenggelam, para warga
menggelar alas tepat dijalan didepan rumah masing-masing, ayam ingkung
lengkap dengan makanan pendampingnya disajikan diatas alas tersebut. Pada
punjer desa juga disediakan hal serupa seperti yang warga persiapkan di jalan-
jalan depan rumah mereka. Perbedaan apa yang disajikan berupa tambahan
kelengkapan sesaji yang sama persis digunakan pada saat ritual di punden tujuh
hari sebelumnya. Ketika semua warga sudah berkumpul dan para tokoh serta
pawang sudah berada di punjer desa. Sebuah ritual yang mereka sebut sebagai
selametan segera digelar. Berbeda dengan ritual yaang dilaksanakan pada tujuh
hari sebelumnya. Selametan bersifat wajib bagi setiap KK (Kepala Keluarga) atau
keluarga yang tinggal di Desa Alas Malang. Tujuan dari selametan tersebut adalah
untuk berbagi kepada sesama dan sebagai wujud rasa syukur kepada Sang
Pencipta.
Pawang memulai upacara dengan membakar kemenyan dan dilanjutkan
dengan membaca mantra-mantra menggunakan Bahasa Osing. Saat asap yang
keluar dari pembakaran kemenyan semakin mengepul mantra-mantra sudah
berganti dengan bacaan-bacaan ayat Al-Qur’an. Ketika doa-doa tersebut telah
selesei dilantukan para hadirin menyantap makanan yang dengan sukarela
disiapakan dan disajikan oleh para warga. Makanan tersebut memang disediakan
bukan hanya disediakan untuk warga. Tapi bagi seluruh hadirin baik warga
setempat ataupun bukan. Karena pada dasarnya tujuan dari selametan tersebut
49
adalah berbagi dengan sesama. Tidak ada pengecualian semua yang harus ikut
menyantap makanan yang telah disediakan. Seperti apa yang dikatakan oleh Pak
Gun.
“Ini merupakan wujud dari kebersamaan dari masyarakat Desa Alas Malang.
Warga saling berbagi sebagai bentuk guyub rukun serta mempertahankan tali
silaturahmi. Bukan hanya warga tapi kita dapat melihat bahwa orang dari luar
juga ikut hadir.” (Mas Gun, 7 Maret 2017)
Selain para tokoh masyarakat dan adat, turut hadir pula kepala desa beserta
jajarannya, serta camat dari Kecamatan Singojuruh juga turut hadir. Sanak
saudara yang tidak tinggal dan bukan warga Desa Alas Malang ikut datang dan
menyatu dengan warga setempat. Seluruh hadirin yang datang tersebut mengikuti
selametan dengan khidmat dari awal sampai dengan akhir acara.
Pada prosesi ini terdapat runutan atau dalam Bahasa Jawa disebut dengan
pranata cara yang tetap dan terus digunakan secara berulang berulang dari masa
ke masa. Pranata cara tersebut adalah sebagai berikut :
1. Petaunan. Pada tahapan ini para tetua adat memberikan sambutan yang inti
isinya adalah ucapan terimakasih kepada pencipta, segenap masyarakat,
serta pengucapan doa-doa sebagai tanda upacara sudah dimulai. Kemudian
dilanjutkan oleh pawang dan diakhiri dengan makan tumpeng secara
bersama-sama. Seperti yang sudah dijelaskan pada paragraf diatas.
2. Arak-arakan kebo-keboan. Prosesi ini sering disebut juga dengan ider
bumi oleh masyarakat setempat dan sekitarnya. Ider bumi dalam Bahasa
Indonesia berartti mengelilingi bumi, dinamakan demikian karena pada
prosesi ini manusia yang berperan sebagai kerbau diarak menuju empat
pejuru desa. Iring-iringan terdiri dari manusia kerbau, kereta tandu yang
50
diatasnya terdapat sosok wanita yang berperan sebagai Dewi Sri, sebagai
pengiring Dewi Sri adalah para petani serta beberapa sosok dewi lainnya.
Selanjutnya barisan patrol yang tugasnya membunyikan peralatan musik
tradisional berupan kentongan sebagai musik pengiring. Visualisasi kebo-
keboan dapat terlihat dari para pemeran yang tubuhnya di cat hitam,
memakai rambut dengan tandut palsu, dan menggunakan celana pendek
hitam. Dewi Sri sendiri terlihat berbeda dengan memakai kostum lebih
mencolok dibanding para pengiring lain. Visualisasi dari Dewi Sri ini
merupakan simbol dari kehadiran sosok sebenarnya Dewi Sri yang turun
ke bumi untuk memberi restu dan berkah. Sedangkan para petani dapat
terlihat jelas dari pakaian yang sederhana dengan celana pendek, topi
caping, dan beberapa peralatan pertanian yang digunakan. Selama iring-
Gambar 3.3 Dewi Sri mengusap kepala manusia kerbau sebagai simbol
pemberian restu dan berkah
51
iringan ini berlangsung jalanan yang dilewati arak-arakan sengaja
digenangi air sebagai tempak berkubang serta polah atau gerak para
manusia kerbau. Ketika berada di punjer desa iring-iringan berhenti dan
para manusia kerbau berbaris dan bersimpuh menundukan kepala.
Selajutnya Dewi Sri turun dari tandu untuk mengelus kepala para kerbau
satu persatu. Ini merupakan penyimbolan bahwa Dewi Sri memberikan
restu dan berkahnya kepada pertanian para warga. Pada era sekarang
terdapat tambahan barisan iring-iringan yang merupakan seni tradisional.
Seperti barong, jaranan atau jatilan, janger, reog ponorogo, balaganjur, dan
angklung paglak.
3. Goyang. Pada tahapan ini prosesi arak-arakan sudah bisa dikatakan mulai
berakhir, prosesi ini merupakan runutan terakhir dari arak-arakan kebo-
keboan. Akhir dari rute arak-arakan berada di areal persawahan milik
warga. Hal tersebut ditandai dengan Dewi Sri yang turun dari kereta tandu
dan memberikan berkah pada petani yang disimbolkan dengan benih padi
yang dibagi-bagikan untuk ditanam pada areal persawahan tersebut.
Sebelum benih ditanam pada areal tersebut, manusia kerbau akan berlaku
seperti kerbau betulan dengan membajak atau berkubang di sawah
tersebut. Tingkah polah kerbau yang bergerak secara acak inilah yang
disebut oleh masyarakat sebagai goyang. Pada prosesi ini pula, masyarakat
yang hadir juga turut berebut benih padi yang dibagikan oleh Dewi Sri.
Karena mereka percaya bahwa benih tersebut dapat menolak bala dan
membawa berkah bagi pertanian mereka. Namun saat para peserta
52
mengambil benih, manusia kebo akan berusaha mengusir pengambil
benih. Sehingga tidak jarang akan terjadi pergumulan antara peserta
pengambil benih bergumul dalam lumpur dengan manusia kerbau. Tak
jarang pula para kaum muda hanya menggoda para manusia kerbau agar
dikejar tanpa niatan untuk mengambil benih tersebut.
4. Kembali ke Petaunan. Pada dasarnya inti dari acara pentauanan adalah
selamatan bagi seluruh warga desa kepada sang pencipta. Pada tahapan ini
petaunan diadakan selain sebagai selamatan juga sebagai upacara penutup.
Petaunan untuk kali ini diadakan malam hari selepas shalat isya. Para
warga menyaksikan wayang kulit yang mengisahkan Dewi Sri. Pergelaran
wayang kulit juga merupakan bagian upacara yang tidak boleh dilupakan.
Merupakan salah satu bentuk ruwatan desa dan sebagai tanda bahwa
berakhirnya upacara kebo-keboan di Desa Alas Malang.
Runutan dari prosesi tersebut yang selama ini dinikmat oleh para pengunjung
atau wisatawan sebagai suguhan wisata budaya. Sehingga beberapa item baru
sering muncul pada prosesi arak-arakan tersebut. Meskipun pada dasarnya item
tersebut hanya sebagai tempelan tanpa mengurangi esensi dari kegiatan tersebut.
Sebelum tahun 1965 arak-arakan ider bumi berjalan sampai dengan keempat
punden yang berada pada penjuru desa. Namun pada era sekarang arak-arakan
hanya berjalan menuju empat titik batas Dusun Krajan saja. Begitupun pula
dengan pengiring pada arak-arakan. Dahulu yang dipilih menjadi Dewi Sri adalah
para gadis Desa Alas Malang. Pada masa sekarang sering digantikan dengan para
mahasiswi yang sedang menjalan kuliah kerja nyata di desa tersebut. Panjang
53
arak-arakan juga mengalami perubahan, terdapat sejumlah seni tradisional pada
barisan belakang, sehingga arak-arakan mirip seperti karnaval. Pak Gunawan
sebagai ketua pelaksana berpendapat sebagai berikut :
“Tambahan seperti barong itu tujuannya adalah memanjangkang durasi agar lebih
lama, selain itu masyarakat yang datang ke Alas Malang untuk melihat tidak bosan,
sehingga kemasannya sedikit diubah tidak hanya kebo-keboan yang lama,”. (Mas
Gun, 9 Maret 2017)
Dari pernyataan tersebut panitia sudah memikirkan apa yang harus dikerjakan
agar kebo-keboan mempunyai nilai estetika yang lebih agar bisa dinikmati
masyarakat luas. Acara atau item tambahan juga tidak hanya pada jalannya arak-
arakan. Tapi juga pada waktu-waktu kosong ketika menuju acara petaunan
terakhir sebagai acara penutup. Terdapat hiburan-hiburan yang sejatinya dulu
tidak pernah dihadirkan tapi sekarang dihadirkan sebagai sajian untuk menyambut
tamu. Hiburan-hiburan tersebut biasanya merupakan sumbangan-sumbangan dari
Gambar 3.4 Reog Ponorogo adalah salah satu kesenian tradisional yang
ditampilkan dalam ritual kebo-keboan.
54
warga yang sudah sukses. Para pemuda yang merantau terkadang juga patungan
untuk menyewa janger yang merupakan hiburan populer para anak muda
setempat, untuk dipentaskan di desa mereka.
Meskipun diluar dari acara ritual, penyeseuain konten dan konteks acara
tersebut mampu menghadirkan kemasan wisata budaya yang menarik. Sehingga
ketika kita berada di Desa Alas Malang pada waktu itu seperti berada pada festival
budaya yang acaranya berkesinambungan. Pada punjer desa terdapat acara
kendang kempul, yaitu musik dangdut dengan tambahan instrumen musik daerah
mirip dengan campursari. Sebelah timur pintu masuk desa terdapat jatilan dan
reog Ponorogo. Kemudian disebela selatan dihadirkan pergelaran janger yang
sangat digemari warga. Penjuru barat desa sudah berdiri panggung besar tempat
pergelaran wayang akan ditampilkan.
3.2.3. Instrumen dan Pelaku Ritual Kebo-Keboan
Pada ritual kebo-keboan terdapat instrumen-instrumen pendukung ritual.
Keberadaan instrumen tersebut selain sebagai syarat keberlangsungan ritual, juga
memiliki makna sebagai bahan pendidikan dan penyampaian budaya kepada
generasi muda. Keberadaan artefak tersebut merupakan simbol yang mewakili
unsur-unsur kebudayaan masyarakat Osing Desa Alas Malang. Instrumen atau
artefak pendukung upacara adat kebo-keboan adalah sebagai berikut :
1. Gawangan
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bentuk dari gawangan adalah
seperti gapura dan ditempatkan pada empat penjuru desa. Penempatan
55
gawangan ini berada pada pintu masuk menuju punjer desa. Gawangan
pun dihias dengan hasil bumi masyarakat Desa Alas Malang. Berupa pala
gumantung atau pala gantung yang diantaranya adalah pepaya, mangga,
kelapa, labu, terong, dsb. Tidak lupa pula tanaman pala pendem juga ikut
digantung pada gawangan. Pala pendem tersebut terdiri dari ubi kayu, ubi
jalar, talas, kacang tanah, dsb. Jumlah dari gawangan adalah 11 buah dan
jumlah tersebut menyesuaikan jumlah RT setempat. Sudah dijelaskan
sebelumnya bahwa tujuan dari pemasangan gawangan yang dihiasi dengan
hasil pertanian tersebut adalah agar mendapat berkah dari Dewi Sri ketika
sang dewi memasuki lokasi ritual. Selain itu juga sebagai simbol pertanian
Desa Alas Malang yang subur kepada peserta yang datang dan sudah
barang tentu masuk ke lokasi melewati gawangan tersebut.
Gambar 3.5 Bentuk gawangan yang ditempatkan warga pada empat penjuru
desa yang sekaligus sebagai gerbang menuju lokasi.
56
2. Peralatan pertanian
Peralatan pertanian berupa bajak tradisional, teter, sabit, pecut, cangkul,
dan cingkek, dibawa oleh para pemeran petani pada saat arak-arakan ider
bumi berlangsung. Peralatan-peralatan pertanian yang dihadirkan tersebut
merupakan simbol dunia agraris yang digeluti oleh masyarakat Desa Alas
Malang sebagai mata pencaharian.
3. Kereta atau Tandu Tempat Dewi Sri
Keberadaan kereta atau tandu tersebut dikhususkan untuk pemeran Dewi
Sri pada saat ider bumi berlangsung. Hal tersebut merupakan simbol
bentuk penghormatan kepada junjungan yang lebih tinggi, dengan
menempatkan jujungan tersebut pada posisi yang lebih tinggi, serta lebih
nyaman. Dapat dikatakan sebagai bentuk pemisahan antara hamba dengan
hal-hal yang sosoknya dianggap lebih suci.
4. Songsong
Artefak ini berbentuk payung besar yang digunakan para pengiring untuk
memayungi Dewi Sri agar tidak kepanasan atau kehujanan. Ini juga
merupakan salah satu bentuk penghormatan masyarakat kepada dewi Sri.
5. Ancak
Merupakan tempat ada wadah yang atasnya adalah tumpeng dan dengan
sukarela disediakan oleh warga. Keberadaaan tumpeng ini terlepas dari
keberadaan sesaji untuk upacara. tumpeng-tumpeng tersebut memang
dikhususkan untuk makan bersama sebagai wujud gotong royong dan
guyub rukun. Terdapat dua tipe ancak pada upacara kebo-keboan, yang
57
pertama adalah ancak yang berisi tumpeng agung dan ditempatkan di
punjer desa tempat pusat ritual. Jumlah dari ancak tersebut selalu ganjil
sebagai syarat ritual. Ancak yang kedua adalah yang berada didepan
rumah masing-masing warga. Jumlahnya mengikuti jumlah kepala
keluarga yang ada. Setiap kepala keluarga mengeluarkan satu ancak.
Nantinya tumpeng yang berada diancak tersebut akan dimakan bersama-
sama setelah pawang selesei membacakan doa-doa.
6. Beras kuning
Merupakan penangkal dari roh-roh jahat, kekuatan magis berupa teluh atau
santet, serta niat buruk tertentu yang bertujuan menggangu keselamatan
warga. Beras kuning tersebut dibuat oleh pawang dengan menjalankan
persyaratan-persyaratan seperti berpuasa, menekan hawa nafsu, dan
menghindarkan diri dari perilaku buruk. Bahan dari pembuatan beras
kuning ini adalah bulir beras biasa direndam dengan air perasaan kunir.
Beras kuning ini oleh para pawang akan ditabur pada tempat tertentu saat
upacara tengah berlangsung.
7. Pitung Tawar
Bahan pembuatan pitung tawar atau yang biasa dikenal orang dengan
sebutan tepung tawar, adalah tepung beras yang direndam dengan air kunir
dan bunga setaman serta daun sirih agar harum. Pitung tawar biasanya
dioleskan dikening atau punggung tangan sebagai penetral nafsu yang
menggebu manusia agar menjadi damai dan tenteram.
58
8. Pari Jawa
Pari atau padi jika dalam Bahasa Indonesia, merupakan tanaman pokok
masyarakat Alas Malang, baik untuk dijual atau untuk memenuhi
kebutuhan keluarga sendiri. Keberadaan pari jawa pada ritual kebo-
keboan adalah sebagai simbol benih yang akan ditanam oleh para petani.
Benih padi yang akan disemai menjadi bibit padi tersebut nantinya akan
mendapat berkah dari Dewi Sri.
9. Papan dan Menyan
Asap menyan yang dibakar diatas papan oleh pawang, berbau harum dan
terus membubung tinggi serta menyebar kesegala arah, adalah media
penyampaian doa-doa yang dibaca pawang tersebut. Oleh sebab itu
keberadaan menyan dan pawang adalah kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan serta tidak boleh ditinggalkan. Selama upacara pawang akan
Gambar 3.6 Pitung tawar atau tepung tawar yang dioleskan pada punggung
tangan dan bertujuan sebagai penetral hawa nafsu
59
ikut iring-iringan dengan membawa papan atau tempat berisi menyan yang
dibakar.
10. Sesaji
Merupakan aspek dan syarat mutlak penyelenggaraan upacara adat kebo-
keboan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, sesaji hadir pada
setiap prosesi sebagai syarat sah pelaksanaan ritual. Pada dasarnya sesaji
merupakan bentuk penghormatan, pengucapan rasa syukur, dan wujud
berbagi kepada kekuatan yang lebih tinggi. Terdapat beberapa item atau
kelengkapan sesaji yang tentunya tidak boleh dilupakan. Kelengkapan
tersebut memiliki makna dan arti masing-masing. Makna yang
disimbolkan pada bentuk sesaji berhubungan dengan kehidupan sosial
masyarakat. Item dalam perangkat sesaji diantaranya adalah bunga
setaman yang digunakan sebagai aroma wewangian untuk media makan
para roh suci atau penunggu. Darah ayam menyimbolkan kepasrahan atau
berserahnya diri pada sang pencipta. Kemenyan sebagai media untuk
penghantar doa. Kapur sirih dan rokok digunakan sebagai umborambe
agar roh-roh tersebut mau datang. Sejumlah uang dan hasil bumi
menyimbolkan persembahan sekaligus bentuk rasa syukur atas apa yang
telah diraih. Ayam ingkung adalah persimbolan sifat buruk yang harus
dihindari atau tidak boleh ditiru oleh manusia, karena itu sosok ayam jago
dijadikan sebagai pengorbanan dalam sesaji. Jajanan pasar merupakan
simbol dari keramaian yang menjadi satu seperti guyub rukun para warga.
60
Bubur merah atau jenang sengkolo berfungsi sebagai tolak bala agar tidak
terjaadi malapetaka bagi warga desa.
Selain intrumen-intrumen ritual yang telah disebutkan diatas, terdapat pula
peran-peran yang dijalankan oleh pelaku ritual layaknya lakon dalam pergelaran
drama. Peran tersebut selalu ada pada setiap pelaksanaan ritual kebo-keboan.
Kehadiran para lakon merupakan hal yang penting dalam perhelatan tahunan
tersebut. Para pelaku tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pranata cara
Para tetua adat berperan sebagai pemandu acara juga sebagai pengarah
jalannya ider bumi. Peran tersebut diambil alih langsung oleh ketua
lembaga adat Suku Osing Alas Malang atau ketua pelaksana upacara adat
kebo-keboan. Mereka adalah para tetua atau tokoh adat yang mendapat
posisi penting di masyarakat. Tata acara pada ritual kebo-keboan pada
masa sekarang juga tersisipi protokoler pemerintah menyangkut kehadiran
pejabat pemerintah tingkat kabupaten. Seperti kehadiran bupati atau
MUSPIDA (Musyawarah Pimpinan Daerah).
2. Pawang
Pawang adalah orang yang dipercaya sebagai pemimpin ritual-ritual yang
dilaksanakan warga. Seorang pawang merupakan keturunan atau pewaris
ilmu dari Mbah Buyut Karti serta dipercaya memiliki kemampuan khsusus
dalam hal supranatural. Seiring perkembangan zaman, pemimpin upacara
ritual bukan hanya seorang pawang, namun juga tokoh keagamaan juga
didapuk untuk membacakan doa-doa sesuai kepercayaan umat Islam pada
61
saat ritual berlangsung. Pawang juga berperan untuk menyembuhkan para
manusia kerbau ketika mengalami kesurupan.
3. Penjelmaan Dewi Sri
Pemeran penjelmaan Dewi Sri adalah gadis yang belum pernah menikah
atau gadis perawan warga asli. Gadis yang nantinya memerankan Dewi Sri
dalam kesehariannya juga harus memiliki perilaku yang baik. Sosok Dewi
Sri adalah sosok yang disucikan sehingga pemerannya juga harus lulus
dalam persyaratan tersebut. Calon gadis juga dipilih dari garis keturunan
Mbah Buyut Karti. Saat ini syarat tersebut sedikit dilonggarkan karena
mulai kaburnya garis keturunan Mbah Buyut Karti. Syarat mutlak yang
masih berlaku sampai sekarang adalah gadis yang terpilih belum pernah
menikah sama sekali.
4. Dayang Pengiring Dewi Sri
Kriteria dan persyaratan yang sama seperti memilih penjelmaan Dewi Sri
juga diterapkan dalam pemilihan dayang-dayang ini. Dayang terdiri empat
sampai dengan enam orang tidak lebih. Tugas utama para dayang adalah
mengiringi kereta atau tandu Dewi Sri. Selain itu para dayang juga
membawa sesajian untuk keperluan ritual ider bumi.
5. Barisan para petani
Untuk barisan para petani diperankan oleh warga asli Desa Alas Malang
yang kesehariannya memang berprofesi sebagai petani. Menggunakan
pakaian sederhana berwarna gelap, celana pendek, baju tidak dikancing
dan beberapa bertelanjang dada, serta tak lupa topi caping sebagai penutup
62
kepala. Para petani ini juga membawa perlatan pertanian mereka pada saat
berlangsungnya ider bumi.
6. Buldrah
Tokoh buldrah adalah sosok yang memimpin barisan pada kirab ider bumi.
Buldrah merupakan sosok yang dpercaya memiliki keahlian lebih dibidang
pertanian. Dalam kesehariannya buldrah adalah pemimpin kelompok tani
desa. Bisa juga penggerak pertanian di desa setempat.
7. Modin Banyu
Tugas utama dari modin banyu adalah mengatur sistem irigasi pertanian
warga. Modin banyu mempunyai tanggung jawab mengalirkan air ke
persawawahan warga secara adil dan merata.
8. Manusia Kerbau
Manusia kerbau atau kebo-keboan adalah peran penting sekaligus maskot
dalam perhelatan tahunan ini. Kerbau sebagai sahabat petani diwujudkan
pada sosok manusia yang bertumbuh gempal pada kirab ider bumi.
Seluruh tubuh pemeran kerbau dilumuri warna hitam dan bagian sekitar
mata kerbau diberi warna merah. hal tersebut melambangkan sosok kerbau
yang berang dan kuat. Rambut palsu serta tanduk palsu diikatkan pada
kepala mereka sebagai penegas sosok kerbau yang mereka perankan.
Jumlah dari kebo-keboan ini adalah lima sampai dengan sepuluh pasang.
Kerbau-kerbau ini diikat dan dijalankan oleh seorang pengendali. Ketika
manusia kerbau ini mulai keserupan, pengendali inilah yang nantinya
63
bertanggung mengendalikan kerbau. Kini pemeran kebo-keboan hanya
bertingkah seolah sedang kesurupan.
Pada awal kemunculan ritual kebo-keboan di Desa Alas Malang, yang
bertanggung jawab sebagi pelaku ritual adalah anak keturunan Mbah Buyut Karti,
beserta para murid yang mengabdi pada Buyut Karti. Seiring berkembangnya
jaman dan melajunya pertumbuhan penduduk. Pelaku kebo-keboan sudah mulai
beragam tidak hanya keturunan atau murid dari Buyut Karti. Penonton yang hadir
juga berasal dari berbagai desa diluar Desa Alas Malang. Para mahasiswa yang
sedang menjalankan pengabdian masyarakat juga sering terlibat didalam ritual
kebo-keboan ini. Sehingga pada masa sekarang segenap lapisan masyarakat dapat
berperan sebagai kerbau ataupun Dewi Sri dan juga peran-peran lainnya.
3.3. Kebijakan Pemerintah dan Modernisasi Ritual Kebo-Keboan Sebagai
Bentuk Komoditas Pariwisata
Pada awalnya kebo-keboan tidak dipandang sebagai sesuatu yang tidak
berharga untuk dipasarkan. Pelaksanaanya yang sebagai wujud dari sebuah ritual
membuat unsur serta bentuk estetika kurang diperhatikan. Keberadaannya pun
sempat dihentikan oleh pemerintah karena tidak sesuai dengan unsur-unsur
kenegaraan Bangsa Indonesia. Khususnya ketika menyangkut tentang keagamaan
yang pada rezim Orde Baru merupakan bentuk legitimasi mutlak pemerintah
selain keberadaan militer. Terlebih sebelum masa orde baru kebo-keboan juga
terlibat dengan Partai Komunis Indonesai. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
Indonesia pernah mengalami masa kelam yang pemicunya adalah pemberontakan
64
oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Keberadaan PKI (Partai Komunis
Indonesia) dapat dilihat dari segala aspek kehidupan masyarakat. Terutama pada
basis-basis masyarakat agraris seperti warga Desa Alas Malang, PKI (Partai
Komunis Indonesia) sangat digandrungi keberadaanya. Hal ini disebabkan
ideologi dari partai tersebut yang memihak kepada rakyat bawah yang sebagaian
besar adalah buruh tani dan bersifat equality.
Salah satu informan menuturkan pengalamannya dengan PKI (Partai
Komunis Indonesia), Sudirman atau Sudir (35 Tahun) :
“Ini kuburan bapak saya, yang sebelahnya adalah makam Mbah saya (menunjuk
sebuah makam), kata orang bapak itu PKI, Mbah juga PKI, sering mengajak
orang-orang untuk naik truk pergi ke alon-alon untuk lihat Aidit, jadi
kuburannya disini bareng orang-orang PKI lain, dulu depan pager situ isinya
kepala orang ditusuk mas” (Wawancara: 5 Maret 2017)
Sekilas seperti itu cerita Sudir ketika saya ikut dia mencari umpan untuk
memancing. Sudir tidak tahu persis tentang keberadaan PKI (Partai Komunis
Indonesia) di desanya. Pengetahuan tentang partai tersebut didapatnya dari cerita-
cerita neneknya dulu ketika masih hidup. Setiap kali Sudir jarang pulang karena
nongkrong atau mancing, neneknya akan bercerita tentang masa muda bapaknya
yang juga jarang pulang dan terlibat dengan PKI (Partai Komunis Indonesia).
Makam dari bapaknya memang berada diseberang makam desa. Disitu pula
dimakamkan para mantan anggota PKI (Partai Komunis Indonesia). Berbicara
tentang partai tersebut di Alas Malang seperti membuka luka lama warga.
Sektor-sektor yang berdekatan langsung dengan rakyat serta dapat
menyimbolkan identitas dari kerakyatan tersebut. Beberapa organisasi dibawah
65
PKI (Partai Komunis Indonesia) dibentuk, seperti LEKRA (Lembaga Kesenian
Rakyat), BTI (Barisan Tani Indonesi), dsb. Pada masa itu kebo-keboan dalam
pelaksanaannya diambil alih oleh LEKRA (Lembaga Kesenian Rakyat). Kebo-
Keboan dianggap sebagai salah satu bentuk tontonan yang mampu menyedot
masa yang banyak. Kita melihat adanya usaha penyatuan anatara PKI (Partai
Komunis Indonesia) dengan kebo-keboan sebagai unsur lokal. Tujuannya sudah
jelas agar keberadaannya dapat diterima oleh masyarakat. Dari sini juga dapat kita
simpulkan bahwa pada masa dahulu kebo-keboan tidak hanya dilihat dalam
sebuah bentuk ritual saja, tapi ada nilai lain dari barang sekedar ritual.
Pasca pemberontakan yang dilancarkan PKI (Partai Komunis Indonesia)
pada 30 September 1965. Segala unsur yang berbau partai tersebut yang ada di
Banyuwangi dibekukan bahkan dihilangkan oleh pemerintah. Menurut Makmur
dan Taufik (2016), pemerintah Orde Baru melakukan kontrol kebudayaan Suku
Osing dengan cara menekan Pemerintah Banyuwangi pada masa Bupati Djoko
Supaat Slamet untuk menerbitkan sebuah peraturan perundanga. Maka terbitlah
Surat Keputusan SK No. um/1698/50 tertanggal 19 Mei 1970 yang isinya
mewajibkan masyarakat mendaftarkan segala unsur kebudayaan dan kesenian
pada dinas terkait. Cukup wajar karena banyak sekali unsur kebudayaan yang
melekat dengan citra PKI (Partai Komunis Indonesia). Seperti contoh lagu daerah
Genjer-Genjer dan tak terkecuali dengan keberadaan ritual kebo-keboan. Oleh
sebab salah satu faktor sempat dihentikannya praktek ritual ini adalah adanya
afiliasi dengan partai tersebut dan tidak sesuainya dengan tuntunan ajaran agama
yang diakui oleh pemerintah.
66
Pada masa sekarang muncul PP No. 38 Tahun 2007 yang didalamnya
menyatakan bahwa penyerahan wewenang kebudayaan dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah, sehingga pemerintah daerah mempunyai kewenangan
penuh untuk mengolah potensi yang ada didaerahnya. Maka munculah dinamika
tentang kebijakan-kebijakan yang dituntut mampu menghadirkan kemandirian
ekonomi dan kekuatan fiskal suatu daerah. Pemerintah Banyuwangi mulai melirik
potensi-potensi etnik yang sebagai sumber peningkatan anggaran daerah.
Beberapa bentuk etnik yang sebenarnya bukan merupakan komoditi dilirik untuk
dikemas dan mulai dipasarkan keranah publik sebagai bentuk wisata humanis dan
edukatif. Hal yang sama juga terjadi pada ritual kebo-keboan alas malang. Kebo-
keboan direvitalisasi menjadi bentuk yang lebih memiliki nilai estetika ketimbang
pada bentuk ritual. Makna dan nilai spiritual sebenarnya masih tetap ada dan tidak
hilang sesuai dengan wujud aslinya. Bahkan ini menjadi modal utama ketika kita
ingin melakukan sebuah revitalisasi pada sebuah kebudayaan dan tidak menutup
kemungkinan untuk dilakukan komodifikasi pada langkah berikutnya. Seperti
yang terjadi pada kebo-keboan, ada tindakan dimana warga memaknai kembali
keberadaan ritual tersebut dimasyarakat.
Bentuk modern dari kebo-keboan pada masa sekarang dimaknai
masyarakat sekitar sebagai pesta rakyat Suku Osing Desa Alas Malang. Kebo-
keboan adalah bentuk seremonial atas panen yang melimpah dari warga. Lalu
kemudian kebo-keboan dimaknai sebagai ritual tolak bala. Atas dasar tersebut
pelaksanaan dari kebo-keboan haruslah dilaksanakan dengan sangat meriah dan
penuh suka cita. Tidak boleh ada duka dan semua warga harus ceria. Bagi warga
67
yang merantau juga berlaku demikian sesuai dengan makna yang saat ini
berkembang. Mereka menyempatkan untuk pulang kampung untuk merayakan
hari raya Desa Alas malang. Pada akhirnya muncul anggapan seperti ini :
“Alas Malang itu hari rayanya ada 3, Idul Fitri, Idul Adha, kebo-keboan, tapi
yang paling meriah pas kebo-keboan lhoh kalo gak percoyo sampean kesini aja
pas hari raya hahaha” (Pandio, wawancara: 4 Maret 2017)
Apa yang terjadi pada masa sekarang sudah berbanding dengan apa yang terjadi
masa lampau. Kemunculam awal dari kebo-keboan adalah sebagai laku prihatin
para warga karena wabah yang menyerang desa. bentuk seremonial merupakan
persembahan kepada sang pencipta agar merasa senang dan wabah dihilangkan.
Munculnya fungsi baru pada kebo-keboan juga mendukung pemaknaan
tersebut. Saat ini ritual tersebut juga dikemas menjadi bentuk komoditas yang
layak untuk dipasarkan. Penyesuaian bukan hanya terjadi pada doa-doa yang telah
sering disebutkan. Penyesuaian juga terjadi pada bentuk dan tampilan kebo-
keboan agar pantas untuk dinikmati. Pelaksanaan kebo-keboan modern
mengusung konsep festival dalam pelaksanaannya. Dimana menghadirkan banyak
unsur-unsur kesenian lokal dan menempatkan kebo-keboan sebagai sajian utama
pertunjukan tersebut. Seperti muncul adanya pawai barong dan estetika dari musik
pengiring sudah mulai diperhatikan. Masuk-masuknya kesenian-kesenian lain
dalam pelaksanaan kebo-keboan merupakan elemen pendukung agar suasana
menjadi meriah dan durasi menjadi lebih panjang. Para peserta atau penonton
yang hadir tidak akan merasa bosan dengan segala pertunjukan yang ada. Oleh
sebab itu muncul anggapan kalo tidak meriah ya bukan kebo-keboan.
68
BAB IV
PROSES KOMODIFIKASI RITUAL KEBO-KEBOAN
Ritual adat kebo-keboan dapat dijadikan simbol keberadaan Suku Osing
yang merupakan suku warga asli Kabupaten Banyuwangi khususnya Desa Alas
Malang. Kebo-keboan mengalami pasang surut dimulai dari awal kemunculnya
hingga pada masa sekarang. Seiring perkembangan jaman dan perubahan budaya
yang ada di masyarakat, kompleksitas kebo-keboan juga semakin meningkat. Pada
saat ini kebo-keboan bukan hanya sebagai bentuk ritual dari masyarakat. Fungsi
lain merupakan bagian dari komoditi pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Proses
dari ritual menjadi komoditi pariwisata atau yang disebut dengan proses
komodifikasi akan dijelaskan pada bab ini.
4.1. Proses Komodifikasi Ritual Adat Kebo-Keboan
Proses komodifikasi kebudayaan menjadi tujuan wisata pada suatu daerah
diidentikan dengan hilangnya makna dan nilai dari budaya tersebut. Hal ini
disebabkan adanya penyesuaian unsur-unsur etnik agar bisa diterima pada
kebudayaan modern. Alih-alih sebagai gerakan reviltalisasi budaya, beberapa
kebudayaan yang bersifat ritual dan identik dengan unsur spiritual, disajikan
dalam bentuk seremonial dengan alasan agar bisa ditermia kembali ditengah
masyarkat. Revitalisasi sendiri menurut Anthony Wallace (dalam Eller, 2007:172-
175) adalah gerakan atau upaya yang dengan sengaja dan dikoordinir untuk
membangun kembali kebudayaan kearah yang lebih memuaskan.
69
Berbeda dengan beberapa kasus pada kebudayaan lain yang telah
terkomodifikasi. Kebo-keboan justru dikembalikan pada bentuk original sebagai
kemasan yang khas dan unik. Gerakan atau pola demikian dikenal dengan gerakan
postmoderism. Rossenau (dalam Piliang, 2005:256) mengatakan bahwa
posmoderism adalah tindakan yang cenderung mengembangkan unsur-unsur
keagaamaan non institusi melalui spirit dalam spiritualitas alternatif. Dalam hal
ini kebo-keboan tidak masuk dalam unsur-unsur keagamaan yang disahkan oleh
Pemerintah Indonesia.
Pada proses komodifikasi kebo-keboan sendiri memang terdapat proses-
proses yang telah disebutkan diatas. Proses-proses tersebut terdapat pada tahapan
proses komodifikasi dan penyesuain serta penambahan unsur baru pada kebo-
keboan. Proses komodifikasi dan penyesuain unsur kebo-keboan akan dijelaskan
pada sub-bab berikutnya. Poin penting dari proses tersebut adalah agar kebo-
keboan tidak hanya diterima masyarakat dari segi spiritualnya saja, tapi juga
bagian dari bentuk seremonial agar bisa dinikmati oleh masyarakat luas. Hal
tersebut sekaligus sebagai tindak lanjut dari program pariwisata yang telah
ditetapkan oleh Pemerintah Banyuwangi.
Menurut legenda awal kemunculan ritual adat kebo-keboan adalah pada
abad 18 masehi. Pada rentang waktu antara abad 18 masehi hingga masa sekarang
pada abad 21 masehi, kebo-keboan telah mengalami pasang surut yang
diakibatkan oleh berbagai hal. Sifat kebudayaan yang elastis sangat berpengaruh
pada posisi ritual kebo-keboan di masyarakat. Esensi dari keberadaan kebo-
70
keboan ditengah masyarakat sebagai ritual tetap dipertahankan, namun terdapat
unsur dan fungsi lain yang berjalan bersama dengan tujuan utama ritual.
Pada awal kemunculannya, kebo-keboan adalah bentuk ritual masyarakat
yang bersifat sakral dan mistis. Dalam pelaksanaannya unsur-unsur supranatural
sangat jelas terlihat. Seperti contoh manusia kerbau yang mengalami kesurupan
dan para peserta ritual yang ikut kesurupan jika menyentuh perangkat ritual.
Bergeser pada tahun 1960-an, pada era pergantian rezim orde lama ke orde baru,
kebo-keboan mulai dijadikan alat oleh Partai Komunis Indonesia untuk menarik
masa. Hal tersebut adalah imbas dari masuknya paham-paham komunis melalui
kader-kader Partai Komunis Indonesia yang ada di Desa Alas Malang. Simbol-
simbol Partai Komunis Indonesia mulai dimunculkan pada saat ritual kebo-keboan
berlangsung.
Pemberontakan Partai Komunis Indonesia yang terjadi pada sekitaran
tahun 1965 menuntut militer Indonesia mengambil tindakan tegas. Berbagai unsur
yang berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia di berbagai sektor kehidupan
dinetralkan kembal. Termasuk kebo-keboan yang sebelumnya juga ditunggangi
oleh Partai Komunis Indonesia. Setelah berakhirnya tahun 1965 dan memasuki
era orde baru, kebo-keboan juga ikut berbenah membersihkan diri dari segala
unsur yang berbau dan berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia. Kebo-
keboan dikembalikan pada jalurnya yaitu sebagai salah satu ritual tahunan Suku
Osing yang mendiami Desa Alas Malang. Kembalinya kebo-keboan sebagai
bentuk murni dari ritual tidak berlangsung lama. Seiring berjalannya
pemerintahan orde baru, kebo-keboan dianggap menyalahi praktek atau tata cara
71
peribadatan lima agama yang diakui pemerintah, yaitu Islam, Budha, Hindu,
Kristen Protestan dan Katolik. Sehingga kemudian praktek kebo-keboan
dihentikan dan dilarang keberadaannya untuk dilaksanakan.
Awal tahun 2000-an atas inisiatif para pemuda yang dikoordinir Pak
Gunawan, salah satu keturunan Mbah Buyut Karti, kebo-keboan kembali
dilaksanakan kembali. Langkah pertama yang dilakukan para panitia agar kebo-
keboan kembali bisa diterima kembali adalah memasukkan unsur-unsur Islam
dalam doa-doa ritual. Sisi estetika pada kirab ider bumi semakin ditonjolkan.
Caranya adalah menambahkan unsur-unsur kesenian tradisional pada saat kirab
berlangsung. Rute ritual sudah tidak lagi menuju punden-punden desa. Pada saat
ritual berlangsung, pawang ditemani oleh kiai pada saat pembacaan doa. Hal-hal
tersebut dilakukan tanpa mengubah pakem ritual yang sebelumnya sudah ada.
Dalam artian persyaratan, tata aturan, dana urutan ritual tetap dikerjakan sesuai
pakem. Penyesuaian hanya terjadi pada perubahan doa dan tujuan penyampaian
doa. Sudah tidak lagi kepada roh penunggu tapi langsung kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
Tahun 2006 ritual adat kebo-keboan menjadi pemenang dalam acara
Anugrah Wisata Jawa Timur yang diadakan oleh Dinas Pariwisata Provinsi Jawa
Timur. Kebo-keboan dinilai memiliki keunikan dan ciri khas yang mampu
mencerminkan kehidupan Suku Osing yang mendiami wilayah Banyuwangi.
Selanjutnya Dinas Pariwisata mulai berkomitmen untuk menggandeng kebo-
keboan sebagai salah satu ikon budaya dan tujuan wisata Banyuwangi. Komitmen
tersebut diwujudkan dalam bentuk promosi melalui radio-radio atau majalah lokal
72
yang ada di Kapubaten Banyuwangi. Selanjutnya lembaga adat sebagai induk dari
kegiatan kebo-keboan mulai dibentuk. Tugas dari lembaga adat tersebut adalah
mengakomodir segala kegiatan yang berhubungan dengan ritual kebo-keboan.
Masa-masa berikutnya pemerintah Kabupanten Banyuwangi dibawah
kepemimpinan Bupati Anas, menyusun program pariwisata yang berpegang pada
potensi alam, budaya, dan pendidikan. Tersusunlah agenda pariwisata yang
disebut dengan B-Fes atau kepanjangannya adalah Banyuwangi Festival. Program
tersebubut memiliki program turunan yang diberi nama BEC (Banyuwangi Ethno
Carnival). Merupakan rangkaian festival yang menghadirkan ikon-ikon budaya
dan wisata kabupaten Banyuwangi. Pada tahun 2013 kebo-keboan
diselenggarakan sebanyak dua kali. Penyelenggaran pertama tetap sebagai
pemenuhan kebutuhan ritual. Kedua ditampilkan tanpa pakem yang selama ini
dijalankan sebagai bagian dari Banyuwangi Ethno Carnival. Ritual Kebo-keboan
ditampilkan pada pawai yang bertempat di alon-alon Kabupaten Banyuwangi.
Hanya manusia kerbau dan kirab ider bumi yang ditampilkan pada acara tersebut.
Sifatnya pun adalah seremonial bukan sebagai ritual. Kala itu juga kebo-keboan
didapuk sebagai maskot dan tema Banyuwangi Ethno Carnival. Sehingga judul
dari Banyuwangi Ethno Carnival pada waktu itu adalah The Legend of Kebo-
Keboan.
Selepas dari acara tersebut, keberadaan dari ritual kebo-keboan semakin
dikenal luas oleh publik. Penguatan identitas kebo-keboan di Desa Alas Malang
semakin gencar dilakukan. Salah satunya adalah pendirian patung atau monumen
kebo-keboan yang berada pada jalan besar menuju Desa Alas Malang. Proyek
73
selanjutnya adalah pembangunan rumah adat kebo-keboan yang pembangunanya
dimulai pada Maret Tahun 2017. Keberadaan rumah adat ini nantinya adalah
sebagai galeri sekaligus museum dan tempat pembelajaran adat suku Osing.
Khususnya segala hal yang berhubungan dengan ritual kebo-keboan. Proyek
pembangunan tersebut diprakarsai oleh Pak Gunawan. Sebagai wujud tindak
lanjut dari MUSPIDA yang menginginkan tempat edukasi bagi masyarakat luar
Suku Osing. Tujuan jangka panjang dari pemerintah lainnya adalah menjadikan
Desa Alas Malang sebagai desa wisata yang berbasis kebudayaan.
Kemasan dari kebo-keboan pada masa sekarang masih dipertahankan
originalitasnya. Penguatan nilai-nilai dan simbo-simbol kedaerahan Suku Osing
sangat diperhatikan. Terutama pada saat prosesi kirab ider bumi berlangsung.
Karena pada saat kirab ider bumi, ratusan orang datang untuk melihat ritual kebo-
keboan berlangsung. Mulai dari pakaian adat yang dikenakan para tetua adat,
panitia, dan tamu undangan. Pakem ritual yang masih dijaga meskipun beberapa
doa telah diganti dengan doa-doa berbahasa Arab menurut Islam. Disamping sisi
spiritual yang ditonjolkan juga terdapat sisi seremonial yang identik dengan pesta
rakyat Desa Alas Malang.
Promosi juga gencar dilakukan melalui siaran keliling wilayah Kabupaten
Banyuwangi dengan menggunakan pengeras suara. Melalui radio kebo-keboan
juga membuat iklan dan jigle yang tujuan sebagai pengingat kapan ritual akan
dilaksanakan. Panitia juga menyiapkan baliho-baliho dan memasang baliho pada
titik atau pusat keramaian. Pelaksaan kebo-keboan pada saat ini bukan hanya
74
sebagai pemenuhan ritual adat, tapi juga sebagai bentuk pelestarian budaya yang
menjadi warisan dari nenek moyang Suku Osing.
4.2. Penyesuain dan Modernisasi Unsur Kebo-Keboan sebagai Penerimaan
Kembali Bentuk Ritual Masyarakat Suku Osing
Proses ini adalah sebagai langkah awal para pemuda Desa Alas malang
untuk menghidupkan kembali kebo-keboan yang sebelumnya dilarang oleh
pemerintah. Bisa dikatan tahapan ini adalah proses dari revitalisasi ritual kebo-
keboan. Langkah tersebut adalah sebagai berikut :
a. Menghilangnya ritual dipunden dari muka umum. Sebelum era 1965 ritual
pada punden desa yang dilaksanakan sepuluh hari atau tujuh hari menuju
kirab ider bumi, wajib dilaksanakan oleh warga yang mendiami Desa Alas
Malang. Pada saat ritual kembali dimunculkan setelah dilarang oleh
pemerintah. Ritual ini tetap dikerjakan namun pelaksanaan hanya
dilakukan oleh tetua adat. Tujuan dari doa-doa yang diucapkan bukan lagi
kepada roh penunggu yang mendiami batu atau pohon-pohon disekitar
punden. Doa ditujukan kepada Allah SWT sebagai pencipta alam semesta.
b. Adanya doa-doa islami dalam ritual. Mantra yang dulu diucapkan pawang
pada saat memimpin upacara bukannlah doa pamungkas. Pawang
membaca mantra tesebut hanyalah sebagai pengantar menuju doa-doa
Islam. Seperti pembacaan surat-surat pendek yang ada pada kitab suci Al-
Qur’an.
75
c. Terdapat dua pemimpin ritual dalam kirab ider bumi. Pawang tidak hadir
sendiri dalam memimpin selamatan yang dilaksanakan. Pada saat upacara
ritual berlangsung pawang didampingi oleh kiai atau tokoh agama sebagai
juru doa.
d. Manusia kerbau sudah tidak lagi kesurupan. Dahulu kesurupan pada saat
berlangsungnya kirab ider bumi sudah menjadi hal yang lumrah.
Kesurupan atau trance dianggap sebagai salah bentuk jembatan antara
alam dunia dengan alam roh. Sekaligus sebagai titik puncak spiritual pada
saat terjadi ritual. Karena hal-hal tersebut dianggap haram oleh Agama
Islam maka pemeran kerbau hanya berakting seolah mengalami
kesurupan.
e. Rute arak-arakan sudah tidak sampai pada keempat punden. Pada saat
kirab ider bumi berlangsung rute dipersingkat. Hal ini ditujukan agar acara
tersebut tidak identik dengan keberadaan punden desa dan lebih kepada
pesta rakyat. Berikut adalah rute arak-arakan yang saat ini digunakan :
Gambar 4.1 Rute arak-arakan Ider Bumi pada masa sekarang
76
f. Penampilan seni-seni tradisional atau lokal pada kirab ider bumi dan pasca
kirab. Kehadiran kesenian tersebut pada pakem sebenarnya tidak ada.
Ritual kebo-keboan adalah bentuk sarana spiritual tanpa mempedulikan
kesan estetika. Sedangkan tambahan tersebut merupakan bingkai baru
sehingga kebo-keboan memiliki nilai estetika dan patut untuk dipentaskan.
g. Pelaksanaan upacara megikuti hari libur. Hari yang tepat untuk
melaksanakan ritual kebo-keboan adalah pada tangal 10 bulan Suro.
mengikuti penanggalan pada kalender Jawa. Pada tanggal-tanggal itu
Dewi Sri diyakini turun ke bumi untuk memberikan berkahnya. Sistem
penanggalan kalender jawa tersebut mengikuti perputaran bulan dalam
metode penghitungannya. Berbanding terbalik dengan kalender masehi
yang umum digunakan pada masa sekarang. Hal tersebut menyebabkan
pelaksanaan kebo-keboan tidak selalu bertepatan dengan hari libur
nasional. Sehingga untuk menarik antusias masyarakat agar hadir, maka
penyelenggaraan disesuaikan dengan hari libur tapi tetap masih pada
sekitaran bulan Suro pada kalender Jawa.
Meskipun terdapat unsur-unsur baru pada ritual kebo-keboan. Ketika
pelaksanaan urutan pada prosesi tetap mengacu pada pakem yang telah ada,
unsur-unsur yang tidak berbau keagamaan dihilangkan dan diganti dengan unsur
baru agar dapat diterima kembali. Sifat-sifat lama yang dianggap masih berbau
etnik masih dipertahankan untuk menjaga ciri khas dari ritual kebo-keboan.
Nantinya keunikan tersebutlah menjadi modal komodifikasi kebo-keboan. Selain
77
itu identitas Suku Osing sendiri akan terus terjaga dengan adanya keunikan yang
terus dipertahankan dan tidak hilang pada masa sekarang.
4.3. Komodifikasi Kebo-Keboan Desa Alas Malang
Menurut Manuati (2004) komodifikasi pada pada sebuah kebudayaan
terjadi karena adanya kontras budaya antara kebudayaan modern dengan budaya
tradisional pada era globalisasi. Masyarakat modern menganggap pola-pola yang
terjadi pada kebudayaan tardisional memiliki keunikan yang khas. Hal tersebut
sangat sulit ditemui pada kebudayaan masyarakat yang hidup di era global pada
masa sekarang. Kebudayaan yang ada saat ini cenderung terlihat sama dan
seragam. Keadaan tersebut disebabkan karena adanya perkembangan teknologi
yang terkesan mereduksi batas-batas kewilayahan dari sebuah kebudayaan.
Namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa kemajuan dunia global pada masa
sekarang, memudahkan pengenalan budaya lokal yang bersifat tradisional pada
ranah yang luas. Appadurai (1990:35) melalui konsep mediascapes mengatakan
bahwa hadirnya teknologi elektronik yang mempunyai kemampuan untuk
menghasilkan dan menyebarkan informasi sangat berpengaruh pada terbentuknya
pola pikir masyarakat pada saat ini.
Pada perkembangnya kebo-keboan juga memanfaatkan teknologi dalam
penyebaran informasi. Melalui media cetak dan elektronik promosi gencar
dilaksanakan ketika kebo-keboan akan diselenggarakan. Baliho atau spanduk-
spanduk besar sebagai pemberitahuan jadwal pelaksaan juga dipasang pada pusat-
pusat keramaian. Kebo-keboan ditawarkan pada masyarakat sebagai paket wisata
78
kebudayaan yang edukatif dan humanis. Untuk mencapai hal tersebut sisi
seremonial yang ada pada ritual kirab ider bumi semakin ditonjolkan sebagai
tontonan yang pantas. Simbol-simbol masyarakat petani dipertahankan
keberadaannya dan bentuk ritual lama seperti adanya trance tetap dipertahankan.
Akan tetapi pelaku hanya berakting seolah-olah memang terjadi trance.
Penambahan parade kesenian lokal dan pementasan seni tradisi lokal pasca kirab
ider bumi merupakan bagian dari bentuk hiburan yang dulunya tidak pernah ada.
Tujuannya adalah untuk memanjangkan durasi sekaligus memberikan hiburan
pada masyarakat tidak jenuh dan betah berada pada lokasi upacara kebo-keboan.
Kemasan seperti ini umum terjadi pada perhelatan sebuah festival bukan pada
pelaksanaan ritual. Sehingga banyak kalangan menyebut upacara adat kebo-
keboan adalah ‘pesta rakyatnya’ Alas Malang.
Gambar 4.2 Baliho sebagai sarana atau media informasi dan promosi kebo-
keboan
79
Pada dasarnya setiap ritual keagamaan memiliki ciri dan kekhasan masing-
masing yang bersifat baku serta kaku. Namun tak jarang beberapa ritual yang ada
dimasyarakat Indonesia khususnya di Jawa Timur, pola-pola ritual keagamaan
saling beradaptasi dan membentuk kekhasan baru. Seperti yang terjadi pada ritual
adat kebo-keboan Desa Alas Malang. Manuati (2004) mengatakan ciri khas yang
bersifat unik merupakan unsur utama pada kebudayan yang dijual atau dipasarkan
sebaga komoditi pariwisata. Ritual adat kebo-keboan mempertahankan keaslian
sebagai modal utama dengan cara memperkuat simbol-simbol Suku Osing yang
identik dengan wujud ‘primitif’ dan liar. Kirab ider bumi yang menjadi magnet
utama dari ritual kebo-keboan digarap secara serius dengan mempertahankan
originalitas unsur-unsur tadi. Manusia kerbau yang menjadi ikon sekaligus
primadona dituntut harus maksimal dalam memerankan perannya. Karena
manusia kerbau inilah nantinya yang menjadi pusat perhatian utama pada saat ider
bumi berlangsung. Menurut Manuati (2004) menguatkan unsur ‘primitif’ yang
cenderung liar dalam konsep rekontruksi budaya menuju sisi komersil merupakan
hal lumrah terjadi.
Proses komodifikasi tersebut memang menghilangkan nilai serta tujuan
yang semestinya pada praktik kebudayaan tertentu, namun proses komodifikasi
tersebut dapat menguatkan identitas bagi pelaku budaya serta komunitasnya,
sehingga memunculkan rasa cinta yang memunculkan rekonstruksi budaya
(Manuati, 2004). Hal tersebut seperti membangkitkan kembali memori dan
membuat seseorang untuk bernostalgia yang tujuan adalah meningkatkan nilai
spiritual masyarakat. Kebo-keboan yang kini hadir bukan hanya mengusung sisi
80
spiritual. Sisi seremonial yang dihadirkan melalui estetikan keunikan ritual juga
ditonjolkan. Rasa nostalgia sebagai bagian bentuk dari penghayatan kebudayaan
dan pelestarian kebudayaan terus ditumbuhkan pada proses ini. Pemaknaan akan
nilai tradisi juga akan ikut terbawa dan tersampaikan pada proses tersebut. Oleh
sebab itu dilakukan penyesuain agar kebo-keboan dapat diterima kembali oleh
masyarakat sebagaimana fungsinya pada masa sekarang.
Simbol keberadaan kebo-keboan dan identitas keberadaan masyarakat
Suku Osing di Desa Alas Malang sudah dapat kita lihat dari keberadaan patung
kerbau di pintu masuk desa. Saat ini sedang berlangsung proyek pembangunan
yang diberi nama Rumah Budaya Kebo-Keboan. Nantinya ketika proyek tersebut
selesei, tempat tersebut akan dijadikan sebagai sanggar dan dibuka untuk umum.
Pengetahuan tentang budaya Suku Osing dan khususnya tentang kebo-keboan
akan diberikan ditempat tersebut. Pembangunan ini berdasarkan sponsor dari
Indra Gunawan atau Mas Gun. Salah satu tetua adat atau tokoh masyarakat yang
menjabat sebagai ketua panitia pada setiap tahunnya. Proyek Rumah Budaya
Kebo-Keboan sekaligus jawaban atas permintaan pemerintahan untuk
menyediakan galeri atau sanggar yang dapat dijadikan sebagai wadah kegiatan.
Keberadaan tugu dan rumah budaya tersebut merupakan bentuk artefak
yang dihasilkan oleh budaya warga Alas Malang pada saat ini. Sekaligus sebagai
bentuk atau wujud pengakuan bahwa kebo-keboan adalah milik mereka. Dapat
dikatakan bahwa hal tersebut seperti prasasti pada masa kerajaan dahulu. Hal
tersebut adalah pola komodifikasi yang diterapkan pemerintah selain dengan
promosi dan pemaknaan kembali terhadap ritual kebo-keboan. Adanya sarana
81
berupa ruang berkumpul sebagai tempat edukasi merupakan strategi lanjutan agar
proses pemasaran terus berlanjut. Paket wisata kebo-keboan tidak hanya
berlangsung dan terhenti pada saat pelaksaannya yang hanya sekali pada satu
tahun saja. Terbangunnya sebuah galeri budaya seperti Rumah Budaya Kebo-
Keboan mengisyaratkan munculnya pola baru dalam komodifikasi tersebut.
Seperti halnya sebuah museum rumah adat tersebut akan menghadirkan
diorama-diorama kebo-keboan Alas Malang. Kehadiran pola ekonomi yang terus
berlanjut pada kebudayaan ini bisa jadi akan benar-benar menghancurkan nilai
yang sudah terbentuk. Lambat laun masyarakat benar-benar akan memaknai kebo-
keboan sebagai komoditi yang mendatangkan uang. Lindsay (1995), menyatakan
bahwa kebijakan saat ini telah mengubah dan merusak budaya, tradisi seni-seni,
akibat dari campur tangan yang berlebihan menyangkut kebijakan komodifikasi,
Gambar 4.3 Proyek pembangunan Rumah Budaya Kebo-Keboan dan
Tugu Kerbau
82
dan tidak perhatian yang diberikan oleh pemerintah dalam konteks substansi
budaya tersebut.
Pada dasarnya kebijakan-kebijakan Pemerintah Banyuwangi tentang
pariwisata diatur dalam Peraturan Daerah No.13 Tahun 2002 yang isinya tentang
pemanfaatan potensi alam dan budaya sebagai sumber daya pariwisata. Kebijakan
tersebut dapat berjalan dengan lancar terutama pada kasus komodifikasi kebo-
keboan, dikarenakan pemerintah mempunyai tangan panjang di desa sebagai
pelaksana lapangan atau teknis. Orang-orang atau organisasi yang ada pada
masyarakat sebagai tangan panjang pemerintah ini memiliki citra yang baik.
Selain ini juga memiliki power atau kekuasaan sehingga dapat menggerakan
segenap lapisan masyarakat. Citra dan power tersebut dapat dilihat dari status
sosial yang disandang oleh pihak atau agen tersebut. Sehingga negoisasi yang
antara pemerintah dan masyarakat dapat berjalan baik.
Kebijakan pemerintah Benyuwangi dikemas melalui simbol-simbol
tertentu seperti keberadaan kekuatan bahasa, lambang-lambang fisik,
pembentukan kelembagaan tertentu, dan wacana kebudayaan. Hal ini dapat kita
lihat dari bentuk patung yang berwujud orang menari gandrung yang tersebar di
wilayah Banyuwangi serta jargon-jargon yang muncul seperti The Sunrisse of
Java. Kebijakan berjalan atau bekerja dibarengi atau akibat adanya proses
manipulasi citra sosial, simbol, dan bahasa, begitulah yang dikatakan oleh
Gaventa (1980). Lembaga Adat Kebo-Keboan sendiri merupakan tangan panjang
pemerintah dimana didalamnya terdapat orang-orang yang dipandang oleh
masyarakat. Dapat dikatakan Mas Gun adalah salah satu agen pemerintah
83
tersebut. Beliau dikenal sebagai penggerak anak muda setempat, beliau juga dekat
pemerintah karena proyek-proyek pembangunan yang dijalankannya. Sehingga
dengan arahan beliau komodifikasi ini dapat berjalan dengan lancar. Meskipun
ada pihak yang kontra, masyarakat tetap memihak lembaga adat dan pro dengan
segala keputusan lembaga adat.
Jika dilihat dari pernyataan tersebut ada kepentingan-kepentingan ekonomi
yang sebenarnya sudah terjadi dan tanpa disadari. Shinji (1994), menulis tentang
ritual pemakaman atau pengebumian jenazah yang ada di Toraja. Manipulasi
budaya yang telah terjadi di Toraja dan mengakibatkan ritual pemakaman tersebut
secara tidak langsung juga mengalami komodifikasi. Hal tersebut merupakan
konsekuensi yang harus diterima karena adanya perubahan latar belakang
masyarakat Toraja. Kebijakan Pemerintah seringkali tidak sesuai dengan apa yang
menjadi tujuan masyarakat untuk merevitalisasi budaya. Peningkatan ekonomi
daerah dan kesejahteraan masyarakat sering menjadi kambing hitam dari
permasalahan-permasalahan tersebut. Pada masyarakat Toraja kebudayaan
langsung disajikan dalam bentuk komoditi. Kemasan tersebut langsung membuat
masyarakat langsung sadar untuk memaknai kebudayaan tersebut berdasarkan
motif ekonomi.
Berbeda dengan pola-pola komodifikasi yang terjadi pada ritual kebo-
keboan Desa Alas Malang. Kesadaran masyarakat dalam memaknai ritual tersebut
menjadi sebuah komoditi berjalan cukup lambat. Kebijakan-kebijakan yang
ditawarkan oleh pemerintah dan dibawa oleh agen kepada masyarakat pada
awalnya memang bukan untuk komodifikasi. Pemerintah melalui agen-agen yang
84
ada memberi bentuk penawaran berupa revitalisasi yang tujuannya adalah
pelestarian serta penghayatan warisan nenek moyang. Kesadaran masyarakat itu
muncul ketika lambat laun ritual kebo-keboan sudah mulai mengalami perubahan,
dan pemaknaan ulang yang merupakan bentuk revitalisasi lebih menonjol
ketimbang makna asli.
4.4 Dari Ritual Menjadi Festival: Refleksi Ritual Kebo-Keboan di Era Global
Konsep globalisasi pada dunia modern sekarang menuntut adanya adaptasi
oleh segenap masyarakat beserta kebudayaanya. Adaptasi tersebut secara umum
bertujuan positif, namun tak jarang berbagai dampak negatif juga mengikuti dari
proses adaptasi tersebut. Lewellen (2002) memberikan pengertian tentang
globalisasi yang saat ini sedang berlangsung.
Contemporary globalization is the increasing flow of trade, finance,
culture, ideas and people brought about by sophisticated technology of
communications and travel and by the worldwide spread of neoliberal
capitalism and it is the local and regional adaptations to and resistance
against these flows (Lewellen, 2002:7-8)
Kurang lebih jika dalam Bahasa Indonesia Lewellen (2002), mengatakan bahwa
globalisasi ditandai dengan adanya peningkatan pada arus ide, budaya, keuangan,
perdagangan dan orang-orang yang dibawa oleh teknologi komunikasi canggih
melalui penyebaran kapitalisme neoliberal diseluruh dunia dan adanya adaptasi
lokal-regional dan resistensi menentang terhadap arus ini. Jika dicermati lebih
dalam, pemahaman yang disampaikan oleh Lewellen (2002) tersebut juga
mengisyaratkan faktor penarik, objek-sebjek, dan penghambat modernisasi
kebudayaan.
85
Modernisasi sebagai bentuk adaptasi kebudayaan di era global merupakan
jalan keluar yang lazim dilakukan. Hal tersebut dapat dilakukan ketika kondisi
budaya masih bertahanan dilingkungan masyarakat. Lalu bagi kebudayaan yang
sudah mulai pudar atau mati suri yang disebabkan oleh faktor tertentu.
Masyarakat sudah mulai jenuh karena tidak ada relevansinya dengan budaya dan
pola perilaku modern. Bisa juga karena adanya etika agama baru yang tidak
sesuai, serta banyak lagi faktor-faktor lain yang mempengaruhi. Revitalisasi
adalah jalan keluar paling efisien untuk mengatasi masalah tersebut. Tujuan awal
dilkukannya revitalisasi adalah wujud dari pelestarian dan cara untuk
mempertahankan warisan budaya leluhur. Lazimnya yang terjadi pada saat ini
perilaku lanjutan dari revitalisasi adalah muncul komodifikasi.
Apa yang terjadi pada ritual adat kebo-keboan adalah refleksi atau
cerminan dari kondisi tersebut. Kebo-keboan adalah budaya traditional suku
Osing yang kini mempunyai fungsi ganda selain sebagai ritual juga sebagai
komoditi pariwisata Banyuwangi. Produk komodifikasi yang saat ini lazim terjadi
diberbagai kebudayaan di Indonesia. Benturan budaya modern dan tradisional
membuat unsur etnik yang adad pada kebo-keboan terlihat menarik serta unik.
Rekonstruksi makna yang terjadi pada proses revitalisasi sengaja digiring kearah
komodifikasi. Penempatan dan pemilihan agen ditengah masyarakat menjadi titik
paling vital pada proses ini. Agen ini bertimdak sebagai negosiator pemerintah
serta roda penggerak kebijakan yang menggiring kebo-keboan pada ranah
komodifikasi budaya. Antara masyarakat dengan agen yang terpilih memiliki
keterikatan, terutama dalam bidang ekonomi.
86
Dalam strukur pemerintahan desa para agen tidak menempati jabatan
apapun, namun secara status sosial masyarakat keluarga serta sanak mereka
memiliki tempat yang terhormat. Menjadi tuan tanah dikalangan Suku Osing
selain sebagai anugrah juga mengemban tugas layaknya priyayi Jawa pada
umumnya. Secara tidak langsung mereka mempunyai tanggung jawab
mensejahterakan lingkungan dengan cara memberi mata pencaharian kepada
masyarakat. Hal tersebut juga mempunyai sisi lain untuk mempertahankan posisi
mereka ditengah masyarakat. Keluarga-keluarga ini secara garis keturunan
merupakan penerus para tetua adat pada masa lampau yang memang dijadikan
rujukan oleh masyarakat. Sudah dapat ditebak, pada akhirnya masyarakat akan
lebih menurut pada para agen daripada dengan institusi-institusi lain, seperti
contohnya pemerintah desa.
Pada dasarnya keberadaan kebo-keboan merupakan wujud dari perilaku
religius masyarakat. Juga sebagai gambaran bahwa masyarakat Suku Osing sudah
mengenal adanya kepercayaan. Beberapa kalangan menganggap bahwa suku
Osing khususnya yang mendiami Desa Alas Malang memiliki praktek
kepercayaan lebih condong pada Hindu. Jika dikaji lebih dalam dan diamati
secara detail pada setiap proses atau rangkaian upacara, dapat dilihat praktek
animisme dan dinamisme masih kental dilakukan. Pelaku ritual tidak pernah
menjelaskan secara pasti nama Dewa dalam Hindu atau Tuhan dalam agama
lainya. Mereka hanya mengagungkan sosok Dewi Sri, cukup wajar karena mereka
adalah masyarakat agraris, ini juga hanya dilakukan pada proses ider bumi.
87
Prosesi-prosesi lain sosok Tuhan sifatnya universal tidak condong pada satu
agama, meskipun sudah digunakannya doa-doa dalam Agama Islam.
Persoalan tentang agama ini pula yang mempenaruhi keadaan kebo-keboan
pada masa sekarang. Perlu diingat pula faktor-faktor lain seperti kondisi sosial-
politik juga sangat berpengaruh pada kebo-keboan. Pada bab-bab sebelumnya
sudah sering disinggung serta dijelaskan tentang kondisi demikian. Pasang surut
yang terjadi ini membuat kebo-keboan selalu memiliki wajah baru ditengah
masyarakat luas. Saat ini kebo-keban hadir sebagai bagian dari wisata edukasi
atau wisata budaya yang ada di Banyuwangi. Kebo-keboan adalah warisan budaya
leluhur yang syarat akan makna luluhur dan patut untuk dipertahankan
keberadaannya, merupakan tujuan mulia dan dasar yang baik untuk digunakan
sebagai tujuan revitalisasi.
Kenyataan sekarang masyarakat memaknai kebo-keboan adalah bagian
dari pesta masyarakat yang menghadirkan kesenangan. Sisi lain masyarakat
setempat juga memaknai kebo-keboan adalah pesta rakyat yang mampu
mendatangkan pundi-pundi uang. Dalam sebuah ritual atau upacara adat terdapat
dua sisi yang saling terikat. Selalu ada sisi tuntunan dan tontonan. Tuntunan
disampaikan lewat sebuah tontonan dan pemaknaan penonton digiring melalui
tuntunan yang luhur. Pada kebo-keboan sisi tontonan digarap terlalu serius
sehingga mengkaburkan sisi tuntunanya. Cukup wajar ketika pemaknaan terhadap
kebo-keboan adalah sebagai pesta rakyat bukan sebagai upacara ritual, meskipun
kata ritual terebut digaungka berulang-ulang kali.
86
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Upacara adat kebo-keboan merupakan salah satu ritual yang dilaksanakan
oleh masyarakat Suku Osing Desa Alas Malang Kabupaten Banyuwangi. Tujuan
dari pelaksanaan ritual tersebut adalah sebagai selametan desa agar warga selalu
mendapat kesejahteraan, berkah, dan keselamatan. Selain itu sebagai bentuk atau
wujud nyata dari rasa syukur masyarakat kepada sang pencipta atas segala apa
yang mereka peroleh selama satu tahun. Upacara yang dilaksanakan pada setiap
satu tahun sekali ini sering juga disebut sebagai ruwatan Desa Alas Malang. Juga
sering disebut oleh masyarakat sekitar sebagai pesta rakyat Desa Alas Malang.
Keberadaan kebo-keboan sebagai bentuk upacara adat atau ritual Suku
Osing mengalami pasang surut. Keadaan tersebut dipengaruhi oleh oknum-oknum
yang ingin menjadikan kebo-keboan sebagai alat atau sarana untuk pencapaian
tertentu. Saat ini kebo-keboan menjelma menjadi salah satu ikon dan destinasi
wisata Kabupaten Banyuwangi. Proses komodifikasi dari sebuah ritual menjadi
komoditi pariwisata yang terjadi pada kebo-keboan tidak serta merta mereduksi
seluruh nilai dan makna ritual. Beberapa aspek cenderung semakin menguatkan
sisi spiritual dari masyarakat melalui bentuk-bentuk tradisi yang dipertahankan.
Tidak dapat dipungkiri pula masyarakat hanya mendapat kesan seremonial saja
karena keberadaan dari kebo-keboan menjadi multitafsir. Seperti halnya sebuah
seni setiap orang yang menikmati bebas menilai apa yang mereka rasakan.
87
Proses komodifikasi yang terjadi semakin menguatkan identitas dan
keberadaan Suku Osing yang mendiami Desa Alas Malang. Komodifikasi
kebudayaan yang cenderung dan identik dengan hilanngnya makna atau nilai pada
budaya itu sendiri, pada prosesnya menghadirkan sisi dan segi positif tersendiri.
Kebo-keboan sudah tidak lagi murni sebagai ritual saja tapi juga sebagai bentuk
seremonial. Karena kemasan dari kebo-keboan yang dibentuk agar bisa go-publik.
Pola-pola tersebut yang tanpa meninggalkan unsur tradisi dari masyarakat Osing,
mampu menghadirkan rasa cinta dan bangga ketika kebudayaan mereka dianggap
patut untuk disejajarkan dengan budaya lain. Sehingga rasa bangga dan cinta
tersebut membuat masyarakat semakin menegaskan keberadaanya.
5.2. Saran
Untuk penelitian selanjutnya tentang keberadaan upacara adat keboan-
keboan sebagai bagian dari pariwisata Kabupaten Banyuwangi. lebih ditekankan
atau dititik beratkan pada makna dan nilai yang terkandung pada ritual tersebut.
Penelitian tetap mengkaji aspen kesejarahan sebagai bahan komparasi atau
pembanding nilai dan makna original, dengan nilai dan makna yang muncul pada
masa sekarang. Proses komodifikasi itu sendiri mash berlangsung hingga sekarang
dan perubahan model penjualan akan terus mengalami perkembangan. Bentuk-
bentuk baru untuk sebagai pola komodifikasi akan terus ditemukan. Oleh sebab
itu perlu ada kajian lanjut tentang kebudayaan Suku Osing, khususnya adalah
upacara adat kebo-keboan
88
DAFTAR PUSTAKA
Appadurai, Arjun. (1990). Modernity at Large. Cultural Dimentions of
Globalization. Minneapolis: University Minnesota Press.
Denti, Hervinda Fran’s dan Martinus Legowo. (2015). Makna Upacara Adat
Keboan (Studi Interaksionisme Simbolik Pada Masyarakat Desa Aliyan
Kecamatan Rogojampi Kabupaten Banyuwangi). Jurnal Paradigma. Volume
03 Nomor 02. Universitas Negeri Surabaya.
Eller, Jack David. (2007). Introducing Anthropology of Religion Culture to the
Ultimate. New York: Routledge.
Endraswara, Suwardi. (2003). Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Gaventa, John. (1980). Power And Powerlessness; Quiescene And Rebellion In
Appalachian Valley. Oxford: Clarendon Press
Geertz, Clifford. (1960). The Religion of Java. Illinois: Massachusetts Institute of
Technology.
Kaunang, Ivan Robert Bernadus dan Mareike Sumilat. (2015). Kemasan Tari
Maengket Dalam Menunjang Industri Kreatif Minahasa Sulawesi Utara Di
Era Globalisasi. Jurnal LPPM Bidang EkoSosBudKum. Volume 2 Nomor
1. Universtas Samratulangi Manado.
Kholil, Ahmad. (2011). Kebo-Keboan Dan Ider Bumi Suku Using: Potret
Inklusivisme Islam di Masyarakat Using Banyuwangi. Jurnal El-Harakah.
Volume 13 Nomor 2. UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Lewellen, Ted. C. (2002). The Anthropology Of Globalization. Cultural
Anthropology Enter 21st Century. London: Bergin & Garvey.
89
Lindsay, Jennifer. (1995). “Cultural Policy And The Performing Arts In South
East Asia”. Pada http://www.kitlv-journals.nl/index.php/btlv/article/
viewFile/ 1735/2496. Diakses pada 10 Maret 2017.
Makmur, Muhammad Hadi dan Akhmad Taufiq. (2016). Kebudayaan Using:
Konstruksi, Identitas, Dan Pengembanganya. Jember: Pusat Penelitian
Budaya Etnik dan Komunitas, Lembaga Penelitian Universitas Jember
Kerjasama Penerbit Ombak.
Manuati, Yekti. (2004). Identitas Dayak : Komodifikasi dan Politik Kebudayaan.
Yogyakarta: LKiS.
Piliang, Yasraf Amir. (2004). Dunia Yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-
Batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra.
Shinji, Yamashita. (1994). Manipulating Ethnic Tradition: The Funeral
Ceremony, Tourism, And Television Among The Toraja Of Sulawesi.
Journal Southest Asia Program Publications 58, 69-82. Cornell University.
Spradley, James P. (1979). The Ethnographic Interview. California: Wadsworth
Publishing Company, Belmont.
Majalah Bahas Osing Seblang. (2007). Edisi 4, Januari-Februari. Ritual Adat
Kebo-keboan. Banyuwangi: Dinas Kesenian Blambangan.