das garang flood risk assessment

27
MODUL 4: WATERSHED ANALYSIS SYSTEM STUDI KASUS FLASH FLOOD RISK ASSESMENT AND RISK MANAGEMENT (Dosen: Prof. Dr. HA Sudibyakto, MS) Oleh: Kelompok 1 1. Bayu 2. Esti Rahayu (12/338559/PGE/00976) 3. Lilik Nugrahaeni (12/338624/PGE/00985) 4. Wisudarahman MAGISTER PERENCANAAN PENGELOLAAN PESISIR DAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

Upload: bayu-argadyanto

Post on 30-Dec-2014

49 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

hazard, vulnerability, coping capacity, risk

TRANSCRIPT

Page 1: DAS Garang Flood Risk Assessment

MODUL 4: WATERSHED ANALYSIS SYSTEM

STUDI KASUS

FLASH FLOOD RISK ASSESMENT AND RISK MANAGEMENT

(Dosen: Prof. Dr. HA Sudibyakto, MS)

Oleh:

Kelompok 1

1. Bayu

2. Esti Rahayu (12/338559/PGE/00976)

3. Lilik Nugrahaeni (12/338624/PGE/00985)

4. Wisudarahman

MAGISTER PERENCANAAN PENGELOLAAN

PESISIR DAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2012

Page 2: DAS Garang Flood Risk Assessment

CHAPTER 1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bencana merupakan suatu kondisi sebagai akibat yang terjadi ketika

ancaman mengenai suatu wilayah beserta penduduk yang ada di dalamnya

yang rentan. Seringkali, bencana yang terjadi menimbulkan kerusakan bagi

lingkungan di sekitar pusat bencana tersebut. kerusakan yang terjadi akibat

bencana tersebut bisa terjadi secara mendadak maupun perlahan, tidak saja

memberikan dampak secara langsung, tetapi juga berdampak tidak langsung.

Dampak secara langsung misalnya korban jiwa, kerusakan rumah dan

infrastruktur, gangguan psikologis, dan lain-lain. Sedangkan dampak tidak

langsung antara lain hilang atau rusaknya fungsi-fungsi produksi seperti area

persawahan, pabrik dan pusat industri, jaringan transportasi, serta pasar.

Selanjutnya kondisi seperti ini dapat merusak sistem pasar, kemampuan daya

beli, dan pertumbuhan ekonomi (Blaikie, et.al., 1994).

Di sisi lain, suatu wilayah tidak bisa lepas dari suatu kondisi yang

berisiko dari ancaman terjadinya suatu bencana. Kondisi fisik suatu wilayah,

karakter masyarakatnya, serta kondisi eksternal seperti hubungan wilayah

tersebut dengan wilayah-wilayah bisa mempertajam risiko yang harus dihadapi

oleh suatu wilayah tertentu. Dalam pembahasan mengenai manajemen

bencana, risiko merupakan prediksi kondisiatau akibat yang akan terjadi akibat

hubungan antara ancaman dan kerentanan dari objek yang terkena dampak

tersebut.

Kedua hal tersebut yaitu bencana maupun ancaman bencana (hazards)

serta risiko yang harus dihadapi oleh suatu wilayah memerlukan perhatian serta

upaya-upaya yang merujuk pada tindakan pasca bencana agar dampak bencana

dapat dikurangi. Hal ini diupayakanuntuk mengurangi adanya korban jiwa,

meminimalisir kerusakan yang terjadi pada sarana dan prasarana umum,

maupun akses terhadap unit-unit produksi wilayah. Upaya-upaya dalam

mengelola bencana yang menekankan pada pendekatan dengan pendugaan

Page 3: DAS Garang Flood Risk Assessment

serta pencegahan biasa dikenal sebagai manajemen risiko (Kotze & Holloway,

1998).

Daerah aliran sungai merupakan wilayah yang rentan terhadap

berbagai bencana. Banjir merupakan fenomena alam yang sering terjadi dan

dihadapi banyak daerah. Fenomena banjir terjadi akibat tidak tertampungnya

aliran air pada badan-badan air atau sungai, sehingga meluap dan menggenangi

daerah sekitarnya. Belakangan ini, kejadian banjir cenderung makin meningkat

dengan intensitas yang semakin tinggi dan magnitude banjir semakin besar. Di

kota Semarang, bukan saja banjir yang terjadi akibat meluapnya air dari saluran

drainase akibat curah hujan yang tinggi atau banjir ‘rob’ yang terjadi akibat

pasang air laut. Namun juga terkena banjir bandang (flash food). Banjir

bandang besar telah terjadi beberapa kali di Kota Semarang. Berdasarkan hasil

penelitian, banjir bandang telah melanda Daerah Aliran Sungai (DAS) Garang

terjadi sebanyak lima kali, yaitu pada tahun 1963, 1990, 2000, 2002 dan 2008.

Tidak menutup kemungkinan terjadi lagi banjir bandang besar pada masa yang

akan datang, seiring meningkatkan curah hujan di daerah hulu DAS Garang.

Faktor utama penyebab banjir bandang di DAS Garang adalah curah

hujan. Sementara perubahan penggunaan lahan tidak berpengaruh signifikan

terhadap banjir bandang. Banjir bandang besar dan sangat besar terjadi ketika

curah hujan di DAS Garang Hulu dan DAS Garang Tengah berupa hujan

sangat lebat melebihi 100 mm/hari, yang terjadi dalam waktu bersamaan.

Sekitar 90% banjir bandang di DAS Garang berupa bandang kecil dan bandang

sedang, sementara 10% lainnya berupa bandang besar dan sangat besar. Banjir

bandang di DAS Garang cenderung makin berbahaya karena debit puncak

cenderung meningkat dan waktu mencapai flash cenderung semakin pendek.

Bila dilihat dari ketinggian tempat  nampak bahwa Kota Semarang

berada pada pada posisi yang rendah 0-5 mdpl. Selain posisi yang rendah

banyak daerah resapan yang telah berubah fungsi untuk pemukiman dan

pabrik. Bahkan pada kawasan disepanjang pantai semarang banyak yang

ditimbun dengan mengorbankan tambak serta tanaman bakau untuk

memperluas bangunan pabrik atau dibuat perumahan. Daerah hulu DAS telah

Page 4: DAS Garang Flood Risk Assessment

mengalami perubahan penggunaan lahan yang sangat cepat, dimana banyak

lahan pertanian dan tegalan yang berubah fungsi menjadi pemukiman dan

pabrik, bahkan di Kota Semarang banyak dijumpai kantong air ditutup untuk

pemukiman  dengan mengambil tanah galian dari bukit yang mestinya

berfungsi sebagai daerah resapan air. Di bagian hilir DAS, terutama wilayah

pantai dari Kendal sampai Demak terdapat tanaman bakau yang telah rusak,

terdesak oleh bangunan dan infrastruktur lainnya.

Bencana, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tidak akan berarti

bencana jika tidak dikaitkan dengan komunitas atau masyarakat yan tinggal di

sekitar pusatbencana. Tidak terkecuali dengan banjir bandang yang memiliki

hubungan yang sangat erat dengan kapasitas komunitas yang tinggal di sekitar

pusat bencana. Kerugian akibat bencana cenderung terjadi pada komunitas

yang rentan, dan akan membuat komunitas semakin rentan. Kerentanan

komunitas diawali oleh kondisi-kondisi lingkungan fisik, sosial, dan ekonomi

yang tidak aman. Kondisi tidak aman tersebut terjadi oleh tekanan-tekanan

dinamis baik internal maupun eksternal.

B. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui tingkat kerentanan (vulnerability) banjir di DAS

Garang.

2. Untuk mengetahui kapasitas (coping capacities) masyarakat dan lembaga

dalam menghadapi banjir.

3. Untuk mengetahui risiko (risk) banjir di DAS Garang.

4. Untuk mengkaji manajemen risiko banjir di DAS Garang.

Page 5: DAS Garang Flood Risk Assessment

CHAPTER 2. KONDISI WILAYAH DAS GARANG

A. Gambaran Umum DAS Garang

1. Wilayah Administrasi

DAS Garang secara administratif berada pada 3 (tiga) wilayah

yaitu di Kabupaten Semarang, Kabupaten Kendal, dan Kota Semarang.

Gambar 1. Peta Wilayah Administrasi DAS Garang

Secara astronomis, DAS Garang membentang dari 110°18'28" BT

sampai 110°25'59" BT dan antara 6°56'46'' LS sampai dengan 7°11'47'' LS

dengan luas keseluruhan DAS Garang adalah 21.277,36 hektar. Dari

gambar di atas nampak bahwa Kota Semarang memiliki luas wilayah paling

besar yaitu sebesar 53,82% dari luas DAS Garang, sedangkan Kabupaten

Semarang sebesar 33,38% dan Kabupaten Kendal sebesar 12,79%. Batas

DAS Garang adalah sebagai berikut:

Utara : Laut Jawa,

Timur : Kabupaten Demak,

Page 6: DAS Garang Flood Risk Assessment

Selatan : Kabupaten Semarang

Barat : Kabupaten Kendal

DAS Garang dibagi menjadi empat (4) sub DAS yaitu DAS

Garang Hulu, DAS Kreo, DAS Kripik dan DAS Garang Hilir atau Banjir

Kanal Barat. Aliran sungai berasal dari Sungai Kreo, Sungai Kripik dan

Sungai Garang Hulu yang menyatu menjadi Sungai Garang pada bagian

hilir DAS, sehingga bentuknya menyerupai botol dimana pada hulu DAS

menggelembung dan menyempit pada bagian hilirnya.

2. Kondisi Fisik DAS Garang

Kondisi Iklim

DAS Garang termasuk dalam wilayah dengan iklim tropis dan

bertemperatur sedang. Suhu udara rata-rata adalah 29˚ C dan curah hujan

rata-rata 1669,121mm/tahun. Curah hujan yang tinggi banyak terdapat di

Kabupaten Semarang dengan rata-rata 2.669 mm/tahun, sedangkan di Kota

Semarang curah hujan rata-ratanya 495,36 mm/tahun (BLH Prov. Jateng,

2009).

Kemiringan Lereng

DAS Garang memiliki kemiringan lereng yang bervariasi dari

datar, bergelombang, berbukit sampai bergunung. Wilayah datar berada

di bagian hilir DAS, daerah bergunung berada di bagian hulu DAS

sedangkan daerah bergelombang dan berbukit berada diantara hulu dan

hilir. Tempat tertinggi berada di Gunung Ungaran dengan ketinggian

±1.900 m di atas permukaan air laut, sedangkan tempat terendah berada

di muara Sungai Garang di Kecamatan Semarang Barat.

Kemiringan lereng lahan di DAS Garang tersajii pada tabel di

bawah ini.

Page 7: DAS Garang Flood Risk Assessment

Tabel 1. Kemiringan Lereng Lahan di DAS Garang

Kondisi Tanah

Kondisi tanah di wilayah DAS Garang didominasi oleh jenis

tanah latosol dan regosol sedangkan selebihnya berupa aluvial, grumusol

dan mediteran. Pada bagian sub DAS Garang Hulu didominasi oleh tanah

latosol dan regosol dengan sedikit grumusol dan mediteran. Demikian

pula dengan sub DAS Kreo dan Kripik. Untuk sub DAS Garang Hilir

didominasi oleh jenis tanah aluvial dan mediteran.

Kondisi tanah di DAS Garang tersaji pada gambar di bawah ini.

Page 8: DAS Garang Flood Risk Assessment

Gambar 2. Peta Jenis Tanah di DAS Garang

Penggunaan Lahan

Penutupan Lahan di DAS Garang berdasarkan Citra Satelit Tahun

2009 yang diolah oleh BP DAS Pemali Jratun tersaji pada gambar di bawah

ini.

Page 9: DAS Garang Flood Risk Assessment

Gambar 3. Peta Penutupan Lahan di DAS Garang

Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa pada segmen I

sebagian besar lahan merupakan pertanian lahan kering dan pertanian

lahan kering bersemak, diikuti hutan dan permukiman. Segmen II

didominasi oleh pertanian lahan kering bersemak dan permukiman,

begitu juga pada segmen III, sedangkan pada segmen IV terdapat

pertanian lahan kering, pertanian lahan kering bersemak, sawah, serta

sedikit bagian permukiman. Segmen V didominasi dengan pertanian

lahan kering sedangkan segmen VI dan VII seluruhnya merupakan

wilayah permukiman.

Page 10: DAS Garang Flood Risk Assessment

B. Sosial Ekonomi Kemasyarakatan

Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk DAS Garang adalah 1.657.798 jiwa dengan rincian

jumlah penduduk laki-laki sebanyak 814.444 jiwa. Sedangkan jumlah

penduduk Kota Semarang yang merupakan zona rawan banjir memiliki jumlah

penduduk 1.543.557 jiwa yang terdiri dari penduduk perempuan sebanyak

776.111 jiwa dan penduduk laki-laki sebanyak 767.446 jiwa.

Status kesehatan masyarakat dapat ditunjukkan dengan angka

morbiditas yaitu suatu angka yang menunjukkan tingkat kesakitan atau

banyaknya orang yang sakit/mempunyai keluhan sakit tentang kondisi

badannya. Status kesehatan Masyarakat tersebut memiliki hubungan yang erat

dengan tahapan kondisi pembangunan sosial ekonomi dan lingkungan, dimana

hubungan antara pombangunan sosial ekonomi dan lingkungan dengan status

kesehatan masyarakat dapat bersifat timbal balik (Sulistyani, 2010).

1. Pada wilayah Urban penyakit yang dominan yaitu ISPA, Diare, Disenfii,

Kulit dan mata untuk kelompok umur >60 tahun.

2. Pada wilayah Rural penyakit yang dominan ISPA, Diare, Kulit dan mata

untuk kelompok umur 0-4 tahun.

3. Pada wilayah pantai penyakit yang dominan yaitu ISPA (>60 tahun),

Diare (45-54tahun dan> 60 tahun), Disentri (0-4tahun, 5-14 tahun, 55 -60

tahun dan > 60 tahun), Kulit (5-l4 tahun, 55-60 tahun dan > 60 tahun) dan

mata (> 60 tahun).

4. Pada wilayah peralihan ISPA dan Diare untuk kelompok umur 55-60 tahun,

ISPA, mata dan disentri untuk kelompok umur 45-54 tahun.

5. Pada wilayah pegunungan ISPA (0-4 tahun,5-14 tahun, 15-44 tahun, 45-54

tahun), Diare (0-4 tahun, 5- 14 tahun, l5-44 tahun, 45-54 tahun, >60

tahun), Disentri (15-44 tahun, 45-54 tahun, 55-60 tahun), Kulit (0-4

tahun, 5-14 tahun, 45-54 tahun) dan mata semua kelompok umur.

Page 11: DAS Garang Flood Risk Assessment

CHAPTER 3. TINGKAT KERENTANAN (VULNERABILITY) BANJIR DI

DAS GARANG

Kerentanan (vulnerability) adalah kondisi-kondisi yang ditentukan oleh

faktor atau proses fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang meningkatkan

kecenderungan (susceptibility) sebuah komunitas terhadap dampak bahaya (ISDR

2004). Tingkat kerentanan merupakan suatu hal penting untuk diketahui sebagai

salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya bencana alam, karena

bencana baru akan terjadi bila bahaya alam terjadi pada kondisi yang rentan.

Pendapat lain menyatakan bahwa kerentanan lebih menekankan aspek manusia di

tingkat komunitas yang langsung berhadapan dengan ancaman (bahaya) sehingga

kerentanan menjadi faktor utama dalam suatu tatanan sosial yang memiliki risiko

bencana lebih tinggi apabila tidak didukung oleh kemampuan (capacity).

Kapasitas adalah suatu kombinasi antara semua kekuatan dan sumberdaya yang

tersedia di dalam sebuah komunitas, masyarakat atau lembaga yang dapat

mengurangi tingkat resiko atau dampak suatu bencana (ISDR, 2004).

Kerentanan fisik (infrastruktur) menggambarkan perkiraan tingkat

kerusakan terhadap fisik bila ada faktor berbahaya (hazard) tertentu. Tingkat

kerentanan fisik dapat dilihat dari berbagai indikator sebagai berikut: persentase

kawasan terbangun, kepadatan bangunan, persentase bangunan konstruksi darurat,

jaringan listrik, rasio panjang jalan, jaringan telekomunikasi, jaringan PDAM, dan

jalan kereta api. Apabila persentase dari berbagai indikator rendah, maka

dikatakan wilayah tersebut rentan terhadap bencana yang ada.

Kerentanan sosial menunjukkan perkiraan tingkat kerentanan terhadap

keselamatan jiwa/kesehatan penduduk apabila ada bahaya. Kerentanan sosial

dapat dilihat menggunakan indikator antara lain kepadatan penduduk, laju

pertumbuhan penduduk, persentase penduduk usia tua-balita dan penduduk

wanita. Jika melihat kondisi sosial saat ini, terdapat bencana non-alam seperti

rentannya kondisi sosial masyarakat terhadap kerusuhan, tingginya angka

pengangguran, instabilitas politik dan tekanan ekonomi.

Page 12: DAS Garang Flood Risk Assessment

Kerentanan ekonomi menggambarkan besarnya kerugian atau rusaknya

kegiatan ekonomi yang terjadi bila terjadi ancaman bahaya. Indikator yang dapat

kita lihat menunjukkan tingginya tingkat kerentanan ini misalnya adalah

persentase rumahtangga yang bekerja di sektor rentan dan persentase rumah

tangga miskin. Wilayah yang mempunyai tingkat kerentanan tinggi akan

berpengaruh terhadap tingginya risiko bencana yang terjadi di wilayah tersebut

(BAKORNAS PBP, 2002).

A. Kerentanan Fisik

B. Kerentanan Sosial

C. Kerentanan Ekonomi

Page 13: DAS Garang Flood Risk Assessment

CHAPTER 4. KAPASITAS (COPING CAPACITIES) MASYARAKAT DAN

LEMBAGA MENGHADAPI BANJIR

Kapasitas (coping capacities) mengacu pada suatu cara dimana dengan

cara tersebut orang atau organisasi menggunakan sumber daya dan kapasitas

untuk menghadapi dampak yang ditimbulkan bencana (De Leon dan Jul, 2006).

Salah satu komponen analisis resiko bencana adalah kemampuan pihak-pihak

terkait baik masyarakat maupun pemerintah dalam menangani bencana. Cara

pandang masyarakat dan pihak-pihak terkait di dalamnya akan mempengaruhi

bagaimana mereka merespons dan mengantisipasi datangnya bencana.

A. Mitigasi Struktural

Mitigasi struktural menggunakan beberapa variabel yang dapat

dijadikan indikator dalam menentukan kesiapsiagaan warga masyarakat desa

dan pemerintah desa dalam menghadapi banjir bandang. Keberadaan bangunan

pelindung, mekanisme perbaikan infrastruktur desa, serta bagaimana proses

perbaikan dan kesiapan setiap rumah tangga dalam mengantisipasi bencana

menjadi acuan dalam menentukan tingkat coping capacity fisik. Mitigasi

struktural yang telah dilakukan dalam menghadapi banjir DAS Garang adalah

adanya bangunan bendung Simongan untuk mengendalikan banjir di kawasan

Banjir Kanal Barat. Bendungan ini terus dilakukan perbaikan dan peninggian

untuk mengantisipasi banjir.selain itu Pemerintah Semarang juga melakukan

normalisasi Sungai Garang, pembangunan DAM Jatibarang pada sub DAS

Kreo, pembangunan embung di sub DAS Beringin, dan drainase perkotaan

(Uliyah, 2012).

Page 14: DAS Garang Flood Risk Assessment

Gambar 4. Bendung Simongan

B. Coping Capacity Sosial

Coping capacity masyarakat pada aspek sosial ini dikaji dengan

menganalisis sistem sosial masyarakat dalam menghadapi banjir bandang

terutama bagaimana masyarakat melakukan perbaikan rumah dan infrastrukstur

yang rusak, tingkat pengetahuan masyarakat mengenai banjir bandang serta

jenis bantuan pemerintah dalam membantu warga menghadapi banjir bandang.

Upaya adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat sekitar Sungai

Garang adalah renovasi dan peninggian pondasi rumah atau pembuatan lantai

dua untuk mencegah rumah tergenang total dan tak bisa ditinggali saat terjadi

banjir. Tingkat pengetahuan masyarakat terhadap banjir di DAS Garang dirasa

masih minim, dimana masih kurangnya partisipasi masyarakat dalam

penanganan masalah banjir. Hilangnya rasa handarbeni masyarakat terhadap

Sungai Garang mengakibatkan kurangnya rasa kepedulian untuk menjaga

kondisi alami DAS Garang, sebagai contoh masih ada warga bantaran yang

membuang sampah dan buang air besar di Sungai Garang dan menganggap itu

wajar (Susena,1997). Hal ini tentu saja menambah kerentanan sosial

masyarakat terhadap bahaya banjir. Sosialisasi dan ajakan untuk memelihara

Sungai Garang mulai banyak dilakukan,baik oleh LSM atau oleh pemerintah.

Hubungan sosial antar masyarakat di bantaran Sungai Garang masih baik,

dengan adanya ronda dan bersih sungai dan selokan (Dewi,2007)

Page 15: DAS Garang Flood Risk Assessment

C. Coping Capacity Ekonomi

Tingkat coping capacity ekonomi dianalisis berdasarkan variabel

dampak banjir bandang terhadap aktivitas masyarakat, bentuk bantuan modal

usaha dan padat karya dalam usaha perbaikan kerusakan akibat banjir bandang

serta ketersediaan anggaran untuk biaya perbaikan terhadap kerusakan banjir

bandang.

Upaya secara ekonomi yang dilakukan masyarakat dalam menghadapi

banjir adlah dengan menyimpan uang mereka di bank, agar mereka memiliki

simpanan saat harus melakukan recovery pasca banjir. Selain itu masyarakat

akan memindahkan barang-barang berharga mereka ke tempat yang lebih

aman, baik itu pada lantai dua rumah mereka atau ke tempat saudara. Mereka

juga kebanyakan memiliki lebih dari satu mata pencaharian (Dewi, 2007).

Page 16: DAS Garang Flood Risk Assessment

CHAPTER 5. RISIKO (RISK) BANJIR DI DAS GARANG

Risiko (risk) adalah probabilitas timbulnya konsekuensi yang merusak

atau kerugian yang sudah diperkirakan (hilangnya nyawa, cederanya orang-orang,

terganggunya harta benda, penghidupan dan aktivitas ekonomi, atau rusaknya

lingkungan) yang diakibatkan oleh adanya interaksi yang ditimbulkan alam atau

diakibatkan manusia serta kondisi yang rentan (ISDR, 2004). Menurut Cardona

(2003) risiko bencana didefinisikan sebagai potensi kerugian baik berupa

kematian, keterancaman jiwa, kerugian materi dan gangguan kegiatan sosial

ekonomi masyarakat yang ditimbulkan akibat bencana. Sedangkan Smith Dan

Petley (2009) mendefinisikan penilaian risiko sebagai suatu proses evaluasi

tentang pentingnya risiko baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Penilaian

risiko kuantitatif adalah proses yang dipahami oleh minoritas masyarakat dan

penilaian ini belum diterapkan pada semua bahaya lingkungan. Jadi, terkadang

penilaian kuantitatif hanya mengukur satu bahaya lingkungan saja. Kondisi yang

demikian membuat tingkat ketidakpastian yang berhubungan dengan estimasi

biaya tinggi, bahkan ketika risiko telah diukur. Semua perkiraan risiko perlu

dinyatakan dalam cara yang lebih mudah diakses orang awam untuk menjelaskan

apa yang dimaksud oleh ketidakpastian yang terkait dengan perkiraan yang telah

dilakukan.

Penilaian atau analisis risiko bencana bertujuan untuk mengidentifikasi

wilayah berdasarkan tingkat risikonya terhadap bencana. Hasil analisis menjadi

acuan dalam perumusan penanggulangan dampak negatif terjadinya bencana.

Tolerable risk merupakan tingkat kerugian yang dirasakan oleh masyarakat atau

pihak berwenang yang relevan untuk ditoleransi ketika mengelola risiko. Risiko

yang ditoleransi berupa konsep yang sangat kompleks dan dinamis karena tingkat

risiko yang dapat ditoleransi sebenarnya bervariasi menurut berbagai faktor. Ini

termasuk tingkat keparahan risiko itu sendiri, ssifat dampak potensial, tingkat

pemahaman tentang risiko, kebiasaan orang-orang yang terpengaruh dengan

risiko, manfaat yang terkait dengan risio dan bahaya serta manfaat terkait dengan

alternatif skenario (Smith dan Petley, 2009). Risiko merupakan variabel yang

Page 17: DAS Garang Flood Risk Assessment

terdiri atas faktor hazard, vulnerability, dan coping capacity. Penilaian risiko

menggunakan formula:

Risk = (hazard x vulnerability)/coping capacity

Sumber: White et al, 2005

Page 18: DAS Garang Flood Risk Assessment

CHAPTER 6. MANAJEMEN RISIKO BANJIR DI DAS GARANG

Berbagai potensi bahaya alam, termasuk banjir bandang tidak secara

langsung menyebabkan bencana yang dihadapi masyarakat. Kejadian bencana

merupakan akibat dari kombinasi keterbukaan, kerentanan, dan kurangnya

persiapan masyarakat terhadap potensi bencana (ISDR, 2010). Upaya dalam

pengurangan risiko bencana haruslah memadukan upaya mitigasi dan adaptasi

yang terkait langsung dengan pembangunan berkelanjutan sebagai upaya untuk

mengurangi risiko terhadap kerugian dan penghidupan masyarakat serta

peningkatan daya tahan (resilience) masyarakat terhadap berbagai potensi

bencana.

Manajemen risiko adalah proses dimana risiko dievaluasi sebelum

strategi diperkenalkan untuk mengelola dan memitigasi ancaman. Manajemen

risiko, pada awalnya secara keseluruhan dikelola oleh pemerintah secara nasional

melalui penetapan undang-undang dan kebijakan. Namun pada perkembangannya

pemerintah secara aktif perlu mendorong keterlibatan aktif masyarakat dalam

mitigasi bencana (Smith dan Petley, 2009)

Page 19: DAS Garang Flood Risk Assessment

DAFTAR PUSTAKA

Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi

(BAKORNAS PBP). 2002. Arahan Mitigasi Bencana. Jakarta

Blaikie, P., Wisner B., Cannon T., Davis I. 1994. At Risk: natural Hazards,

People’s Vulnerability and Disaster Second Edition. Routlede: London

and New York

Cardona. 2003. The Need for Rethinking The Concepts of Vulnerability and Risk

from A Holistic Perspective: Necessary Review and Critism for Effective

Risk Management.

De Leon, Juj. C.V. 2006. Vulnerability A Conceptual and Methodological Review.

Bornheim, Germany

Dewi, Anggraini. 2007. Community Based Analysis of Coping With Urban

Flooding- a Case Study in Semarang, Indonesia. International Institute

for Geo-Information and Earth Observation: Enschede, The Netherland

ISDR. 2004. Living with Risk: A Global review of Disaster Reduction Initiatives

Kotze and Holloway. 1998. Reducing Risk: Participatory Learning Activities for

Disaster Mitigation in Southern Africa. Durban, South Africa

Smith, K., dan Petley D.N. 2009. Environmental hazards: Assessing Risk And

Reducing Disaster. Fifth Edition, Routledge: New York USA

Sulistyani. 2010. Status Kesehatan Masyarakat dan Kualitas Lingkungan pada

DAS Garang Kabupaten dan Kota Semarang. Semarang: FKM UNDIP

Susena.1997. Pengaruh Tingkat Sosial Ekonomi Penduduk di Sekitar Kali Garang

terhadap Pencemaran Perairan Kali Garang Semarang. Laporan

Penelitian. Politeknik UNDIP: Semarang

Uliyah, Lulu.2012. Indepth Report-Belajar Upaya Adaptasi Perubahan Iklim dari

Semarang. Yayasan Satu Dunia

White, P., Pelling, M., Sen, K., Seddon, D., Russel, S., dan Few, R. 2005.

Disaster Risk Reduction. A Development Concern. DFID