dayak iban

Upload: nabila-hasyyati

Post on 07-Jul-2015

1.104 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Hukum adat Ngangus Dayak Iban Jalai Lintang

T

udingan miring sebagai peladang liar, pembakar hutan, penyebab bencana kabut asap yang dialamatkan kepada masyarakat adat oleh pemerintah dan pihak lain,

mungkin akan sedikit berkurang jika para pihak ini mau belajar banyak mengenai kearifan lokal masyarakat adat mengelola alam. Bertolak belakang dengan tuduhan sebagai pembakar hutan yang kerap ditujukan kepada masyarakat adat, nun jauh di perhuluan sungai Kapuas tepatnya di Kecamatan Embaloh Hulu, kabupaten Kapuas Hulu. Masyarakat adat dayak Iban Jalai Lintang membuktikan kepada semua pihak bahwa, hingga saat ini komunitas ini masih tetap berpegang teguh kepada aturan adat dalam mengelola alamnya. Iban Jalai Lintang adalah sebutan yang lazim disematkan kepada 7 buah perkampungan Dayak Iban yang bermukim di jalur Lintas Utara yaitu; Lauk Rugun, Mungguk, Sungai Utik, Kulan, Apan, Ungak dan Sungai Tebelian. Ketika berbicara mengenai membakar lahan, orang Iban Jalai Lintang sejak nenek moyang mereka telah mengenal cara-cara yang arif menjaga hutan agar tidak terbakar saat membakar ladang atau lahan lainnya. Lebih lanjut kearifan itu di kawal dengan aturan-aturan adat mengenai segala hal berhubungan dengan pembakaran (Ngangus). Oleh sebab itu, dalam melakukan proses pembakaran lahan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan api, orang Iban selalu berhati-hati. Karena jika tidak, yang melanggar tentu akan mendapatkan sanksi adat sesuai dengan kesalahan dan perbuatan yang dilakukannya. Sebagai contoh, jika seseorang terbukti bersalah membakar lahan, kebun buah-buahan, tembawang atau Tapang (tempat sarang lebah madu) milik orang lain maka yang bersangkutan akan dijatuhi hukum adat Ngangus ke Pesaka Urang. yang bersangkutan akan membayar hukuman adat berupa uang Rp.100,000,- dan mengganti rugi semua kerugian yang ditimbulkan serta membayar Penti Pemaliatau pengeras semangat yang wajib disertakan dalam hampir setiap hukum adat berupa ; Jane siko, Manok siko Duko site, Pinggae sesingkap, Karong kerubong mungkol 10 (@Rp. 10.000). Jika seseorang yang membakar lahan atau dengan sengaja membakar Pendam (Kuburan), maka yang bersangkutan akan terkena hukum adat Ngangus ke Pendam. Hukuman bagi pembakar Pendam adalah membayar Rp.600.000,- ditambah Penti Pemali. Karena itu, jika hendak membakar lahan atau ladang, orang masyarakat adat Iban Jalai Lintang selalu membuat jalur penghambat api (Ngeladek) yakni jalur yang mengelilingi ladang seluas 1-3 Meter, sehingga api tidak dengan mudah menjalar dan membakar hutan. Hukuman adat Ngangus yang paling berat dijatuhkan menurut hukum adat Iban Jalai Lintang adalah, apa bila seseorang terbukti bersalah membakar rumah (Nunu Rumah) yang bersangkutan akan dikenakan sanksi adat sebesar Rp.25 Juta rupiah. Bercermin dari kearifan lokal serta adanya hukum adat yang selalu menjaga perilaku masyarakat adat Dayak Iban Jalai Lintang ini, setidaknya menjadi pelajaran bagi semua pihak yang selama ini terus menuding masyarakat adat selaku pembakar hutan dan liar. Hukum adat Ngangus yang masih dipraktekan hingga kini pada masyarakat Iban Jalai Lintang sesungguhnya juga dipraktekan pada masyarakat adat dayak lainnya. Sesuai dengan salah satu peribahasa Dayak Iban, Bejalai betungkat ka adat, tindok bepanggal ke pengingat, yang artinya; berjalan bertongkatkan adat, tidur beralaskan sejarah, sudah barang tentu ini merupakan cerminan tegas bahwa hukum adat sampai kapanpun akan terus menjadi norma yang terus mengawal perikehidupan masyarakat adat, khususnya masyarakat adat Dayak Iban Jalai Lintang.Semoga.....

Suku DayakDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sukubangsa Dayak

Jumlah populasi

kurang lebih 16 juta. Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan Suku Bukit, Kalsel:35.838(2000). Suku Bakumpai, Kalsel : 20.609(2000). Suku Bakumpai, Kalteng:?(2000).

Suku Ngaju, Kalteng:?(2000). Suku Iban, Kalbar:?(2000). Suku Kenyah, Kaltim: ?(2000). Suku Paser, Kaltim:?(2000). Suku Benuaq, Kaltim:?(2000). Malaysia: ?. Daerah Istimewa Yogyakarta: 4. Sumatera Utara: 2. Bahasa Dayak, Ngaju, Indonesia, Melayu, dan lain-lain. Agama Katolik (81%), Kristen (5%), Protestan (3%),Ortodoks (1%), Lutheran (0.5%), Kaharingan(7%), Islam (2%), Ateisme (0.5%). Kelompok etnis terdekat Madagaskar, Melayu, Banjar, Tidung

Dayak atau Daya adalah suku-suku asli yang mendiami Pulau Kalimantan, lebih tepat lagi adalah yang memiliki budaya terestrial (daratan, bukan budaya maritim). Sebutan ini adalah sebutan umum karena orang Daya terdiri dari beragam budaya dan bahasa. DiMalaysia Timur, dalam arti sempit, Dayak hanya mengacu kepada Dayak Darat sedangkan di Indonesia mengacu kepada suku Ngaju di Kalimantan Tengah, sedangkan arti yang luas suku Dayak terdiri atas 6 rumpun suku. Suku Bukit di Kalimantan Selatan dan Rumpun Iban diperkirakan merupakan suku Dayak yang menyeberang dari pulau Sumatera. Sedangkan suku Maloh di Kalimantan Baratperkirakan merupakan suku Dayak yang datang dari pulau Sulawesi. Penduduk Madagaskar menggunakan bahasa yang mirip denganbahasa Maanyan, salah satu bahasa Dayak (Bahasa Barito).Daftar isi[sembunyikan]

1 Asal mula 2 Pembagian sub-sub etnis 3 Dayak pada masa kini 4 Senjata Sukubangsa Dayak 5 Totok Bakakak (kode) yang umum dimengerti Sukubangsa Dayak 6 Tradisi Penguburan

o o7 Referensi

6.1 Penguburan sekunder 6.2 Prosesi penguburan sekunder

8 Macam Suku Dayak 9 Tokoh-tokoh Dayak 10 Lihat pula 11 Referensi

12 Pranala luar

[sunting]Asal

mula

Tentang asal mula suku bangsa Dayak, banyak teori yang diterima adalah teori imigrasi bangsa China dari Provinsi Yunnan di Cina Selatan. Penduduk Yunan berimigrasi besar-besaran (dalam kelompok kecil) di perkirakan pada tahun 3000-1500 SM (sebelum masehi). Sebagian dari mereka mengembara ke Tumasik dan semenanjung Melayu, sebelum ke wilayah Indonesia. Sebagian lainnya melewatiHainan, Taiwan dan Filipina.

Pada migrasi gelombang pertama yang oleh beberapa ahli disebut proto-melayu, datanglah kelompok negroid dan weddid. Sedangkan gelombang kedua, dalam jumlah yang lebih besar di sebut Melayu Deutero. Para migran Melayu Deutero kemudian menghuni wilayah pantai Kalimantan dan disebut suku Melayu. Proto-melayu dan Melayu Deutero sebenarnya berasal dari negeri yang sama.

Menurut H.TH. Fisher, migrasi dari asia terjadi pada fase pertama zaman Tretier. Benua Asia dan pulau Kalimantan merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras Mongoloid dari Asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan Muller-Schwaner. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orangorang Melayu dari Sumatera dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.

Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makassar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda.[1]

Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut Nansarunai Usak Jawa, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389.[2] Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).

Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerahdaerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Amas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Maanyan atau Ot Danum).

Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Kunjungan tersebut pada masa Sultan Hidayatullah I dan Sultan Mustain Billah.

Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.

Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci.[3] [sunting]Pembagian

sub-sub etnis

Dikarenakan arus migrasi yang kuat dari para pendatang, Suku Dayak semakin terdesak dan akhirnya memilih masuk ke pedalaman hutan. Akibatnya, Suku Dayak menjadi terpencar-pencar dan menjadi sub-sub etnis tersendiri.

Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya,

maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.

Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan.[4] [sunting]Dayak

pada masa kini

Tradisi suku Dayak Kanayatn

Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni:[Kenyah-Kayan-Bahau],[Ot Danum],[Iban],[Murut],[Klemantan] dan [Punan]. Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405 sub-rumpun. Meskipun terbagi dalam ratusan sub-rumpun, kelompok suku Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu apakah suatu subsuku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak. Ciriciri tersebut adalah rumah panjang,hasil budaya material seperti tembikar,[mandau],sumpit,beliong(kampak Dayak),pandangan terhadap alam,mata pencaharian(sistem perladangan),dan seni tari. Perkampungan Dayak biasanya disebut:[lewu]/[lebu],sedangkan perkampungan kelompok suku-suku Melayu disebut:[benua]/[banua]. Di kecamatan-kecamatan di Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak dipimpin seorang Kepala Adat yang memimpin satu atau dua suku Dayak yang berbeda,tetapi di daerah perkampungan suku-suku Melayu tidak ada sistem kepemimpinan adat kecuali raja-raja lokal.

Menurut Prof. Lambut dari Universitas Lambung Mangkurat, secara rasial, manusia Dayak dapat dikelompokkan menjadi :

Dayak [Mongoloid] Dayak [Melayu|Malayunoid] Dayak [Australoid|Autrolo-Melanosoid] Dayak [Heteronoid]

[sunting]Senjata

Sukubangsa Dayak

1.

Sipet / Sumpitan. Merupakan senjata utama suku dayak. Bentuknya bulat dan berdiameter 2-3 cm, panjang 1,5 - 2,5 meter, ditengah-tengahnya berlubang dengan diameter lubang - cm yang digunakan untuk memasukan anak sumpitan (Damek). Ujung atas ada tombak yang terbuat dari batu gunung yang diikat dengan rotan dan telah di anyam. Anak sumpit disebut damek, dan telep adalah tempat anak sumpitan.

2. 3. 4.

Lonjo / Tombak. Dibuat dari besi dan dipasang atau diikat dengan anyaman rotan dan bertangkai dari bambu atau kayu keras. Telawang / Perisai. Terbuat dari kayu ringan, tetapi liat. Ukuran panjang 1 2 meter dengan lebar 30 50 cm. Sebelah luar diberi ukiran atau lukisan dan mempunyai makna tertentu. Disebelah dalam dijumpai tempat pegangan. Mandau. Merupakan senjata utama dan merupakan senjata turun temurun yang dianggap keramat. Bentuknya panjang dan selalu ada tanda ukiran baik dalam bentuk tatahan maupun hanya ukiran biasa. Mandau dibuat dari batu gunung, ditatah, diukir dengan emas/perak/tembaga dan dihiasi dengan bulu burung atau rambut manusia. Mandau mempunyai nama asli yang disebut Mandau Ambang Birang Bitang Pono Ajun

Kajau, merupakan barang yang mempunyai nilai religius, karena dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Batu-batuan yang sering dipakai sebagai bahan dasar pembuatan Mandau dimasa yang telah lalu yaitu: Batu Sanaman Mantikei, Batu Mujat atau batu Tengger, Batu Montalat.

5.

Dohong. Senjata ini semacam keris tetapi lebih besar dan tajam sebelah menyebelah. Hulunya terbuat dari tanduk dan sarungnya dari kayu. Senjata ini hanya boleh dipakai oleh kepala-kepala suku, Demang, Basir.

[sunting]Totok

Bakakak (kode) yang umum dimengerti Sukubangsa Dayak

1. 2. 3. 4.

Mengirim tombak yang telah di ikat rotan merah (telah dijernang) berarti menyatakan perang, dalam bahasa Dayak Ngaju "Asang". Mengirim sirih dan pinang berarti si pengirim hendak melamar salah seorang gadis yang ada dalam rumah yang dikirimi sirih dan pinang. Mengirim seligi (salugi) berarti mohon bantuan, kampung dalam bahaya. Mengirim tombak bunu (tombak yang mata tombaknya diberi kapur) berarti mohon bantuan sebesar mungkin karena bila tidak, seluruh suku akan mendapat bahaya.

5. 6.

Mengirim Abu, berarti ada rumah terbakar. Mengirim air dalam seruas bambu berarti ada keluarga yang telah mati tenggelam, harap lekas datang. Bila ada sanak keluarga yang meninggal karena tenggelam, pada saat mengabarkan berita duka kepada sanak keluarga, nama korban tidak disebutkan.

7. 8.

Mengirim cawat yang dibakar ujungnya berarti salah seorang anggota keluarga yang telah tua meninggal dunia. Mengirim telor ayam, artinya ada orang datang dari jauh untuk menjual belanga, tempayan tajau. Daun sawang/jenjuang yang digaris (Cacak Burung) dan digantung di depan rumah, hal ini menunjukan bahwa dilarang naik/memasuki rumah tersebut karena adanya pantangan adat.

9.10.

Bila ditemukan pohon buah-buahan seperti misalnya langsat, rambutan, dsb, didekat batangnya ditemukan seligi dan digaris dengan kapur, berarti dilarang mengambil atau memetik buah yang ada dipohon itu.

[sunting]Tradisi

Penguburan

Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :

penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat. penguburan di dalam peti batu (dolmen) penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.

Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:

1. 2.

penguburan tahap pertama (primer) penguburan tahap kedua (sekunder).

[sunting]Penguburan

sekunder

Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan di goa. Di hulu sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan, Malinau, Kaltim, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan dengan menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.

Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni :

dikubur dalam tanah diletakkan di pohon besar dikremasi dalam upacara tiwah.

[sunting]Prosesi

penguburan sekunder

Prosesi penguburan sekunder

1.

Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.

2. 3. 4. 5. 6.

Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah. wara marabia mambatur (Dayak Maanyan) kwangkai (Dayak Benuaq)

[sunting]Referensi

Cfr. Tom Harrisson, "The Prehistory of Borneo", dalam Pieter van de Velde (ed.), Prehistoric Indonesia a Reader (Dordrecht-Holland: Foris Publications, 1984), hlm. 299-322

363

Peter Bellwood, The Prehistory of Borneo, dalam Borneo Research Bulletin, 24/9 (1992), hlm. 7-13 Kathy MacKinnon, The Ecology of Indonesian Series Volume III: The Ecology of Kalimantan, (Singapore: Periplus Editions Ltd., 1996), hlm. 255-

bdk. P.J. Veth, "The Origin of the Name Dayak", dalam Borneo Research Bulletin, 15/2 (September 1983), hlm. 118-121 Fridolin Ukur, "Kebudayaan Dayak", dalam Kalimantan Review, 22/I (Juli-Desember 1992), hlm. 3-10 Keragaman Suku Dayak di Kalimantan, Institut Dayakologi, Pontianak Edi Petebang, Dayak Sakti, Institut Dayakologi Edi Petebang, Eri Sutrisno, Konflik Etnis di Sambas, ISAI, Jakarta

[sunting]Macam

Suku Dayak

dari sekian ratus sub suku dayak diantaranya ialah

Suku Dayak Abal Suku Dayak Bakumpai Suku Dayak Bentian Suku Dayak Benuaq Suku Dayak Bidayuh Suku Dayak Bukit

Suku Dayak Darat:Dayak Mali Suku Dayak Dusun Suku Dayak Dusun Deyah Suku Dayak Dusun Malang Suku Dayak Dusun Witu Suku Dayak Kadazan Suku Dayak Kebahan Suku Dayak Kanayatn Suku Dayak Keninjal Suku Dayak Kenyah Suku Dayak Lawangan Suku Dayak Maanyan Suku Dayak Mali Suku Dayak Mayau Suku Dayak Meratus Suku Dayak Mualang Suku Dayak Ngaju Suku Dayak Ot Danum Suku Dayak Samihim Suku Dayak Sampit Suku Dayak Seberuang Suku Dayak Siang Murung Suku Dayak Tunjung Suku Dayak Wehea Suku Dayak Simpangk Suku Dayak Kualant Suku Dayak Ketungau Suku Dayak Sebaruk Suku Dayak Undau Suku Dayak Desa Suku Dayak Iban Suku Dayak Pesaguan Suku Dayak Lebang Suku Dayak Lundayeh Suku Dayak Kenyah Suku Dayak Berusu Suku Dayak Punan

Suku Dayak Membulu Suku Dayak Kantuk Suku Dayak Orung Daan Suku Dayak Suhaid Suku Dayak Suruk Suku Dayak Taman Suku Dayak Samanakng Suku Dayak Kualatn

[sunting]Tokoh-tokoh

Dayak

Tjilik Riwut, pahlawan nasional Indonesia Oevang Oeray, Politisi Pang Suma, Pahlawan Nasional Teras Narang, politisi Cornelis, SH, MH, Politisi AR. Mecer, pelopor credit union di Indonesia Palaun Suka,politisi GP Djaoeng, Politisi Christian Mara, seniman/musisi Korrie Layun Rampan, novelis R. Masri Sareb Putra, penulis Edi V Petebang, penulis S.Djuweng, aktivis LSM dll.....

Seni Tradisional DayakDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebasBelum Diperiksa

Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia

Merapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifikasi artikel. Setelah dirapikan, tolong hapus pesan ini.

Artikel ini tidak memiliki paragraf pembuka yang sesuai dengan standar Wikipedia. Artikel ini harus didahului dengan kalimat pembuka: Seni Tradisional Dayak adalah ........

Tolong bantu Wikipedia untuk mengembangkannya dengan menulis bagian atau paragraf pembuka yang informatif sehingga pembaca awam mengerti apa yang dimaksud dengan "Seni Tradisional Dayak".Daftar isi[sembunyikan]

1 Sejarah

o

1.1 Asal Usul 2 Pembagian Ciri Tari Dayak

o

2.1 Berdasarkan wilayah penyebaran di Kalimantan Barat 3 Latar belakang Tari Ajat Temuai Datai

o[sunting]Sejarah

3.1 Latar belakang

[sunting]Asal

Usul

Dayak merupakan sebutan bagi penduduk asli pulau Kalimantan. Pulau kalimantan terbagi berdasarkan wilayah Administratif yang mengatur wilayahnya masing-masing terdiri dari: Kalimantan Timur ibu kotanya Samarinda, Kalimantan Selatan dengan ibu kotanya Banjarmasin, Kalimantan Tengah ibu kotanya Palangka Raya, dan Kalimantan Barat ibu kotanya Pontianak.

Kelompok Suku Dayak, terbagi lagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.

Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan. Kuatnya arus urbanisasi yang membawa pengaruh dari luar,seperti melayu menyebabkan mereka menyingkir semakin jauh ke pedalaman dan perbukitan di seluruh daerah Kalimantan.

Mereka menyebut dirinya dengan kelompok yang berasal dari suatu daerah berdasarkan nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku Iban asal katanya dari ivan (dalam bahasa kayan, ivan = pengembara) demikian juga menurut sumber yang lainnya bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku Batang Lupar, karena berasal dari sungai Batang Lupar, daerah perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak, Malaysia. Suku Mualang, diambil dari nama seorang tokoh yang disegani (Manok Sabung/algojo) di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan menjadi sebuah nama anak sungai Ketungau di daerah Kabupaten Sintang (karena suatu peristiwa) dan kemudian dijadikan nama suku Dayak Mualang. Dayak Bukit (Kanayatn/Ahe) berasal dari Bukit/gunung Bawang. Demikian juga asal usul Dayak Kayan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju dan lain-lain, yang mempunyai latar belakang sejarah sendiri-sendiri.

Namun ada juga suku Dayak yang tidak mengetahui lagi asal usul nama sukunya. Nama "Dayak" atau "Daya" adalah nama eksonim (nama yang bukan diberikan oleh mayarakat itu sendiri) dan bukan nama endonim (nama yang diberikan oleh masyarakat itu sendiri). Kata Dayak berasal dari kata Daya yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat khususnya, (walaupun kini banyak masyarakat Dayak yang telah bermukim di kota kabupaten dan propinsi) yang mempunyai kemiripan adat istiadat dan budaya dan masih memegang teguh tradisinya.

Kalimantan Tengah mempunyai problem etnisitas yang sangat berbeda di banding Kalimantan Barat. Mayoritas ethnis yang mendiami Kalimantan Tengah adalah ethnis Dayak, yang terbesar suku Dayak Ngaju, Ot Danum, Maanyan, Dusun, dsb. Sedangkan agama yang mereka anut sangat variatif. Dayak yang beragama Islam di Kalimantan Tengah, tetap mempertahankan ethnisnya Dayak, demikian juga bagi Dayak yang masuk agama Kristen. Agama asli suku Dayak di Kalimantan Tengah adalah Kaharingan, yang merupakan agama asli yang lahir dari budaya setempat sebelum bangsa Indonesia mengenal agama pertama yakni Hindu. Karena Hindu telah meyebar luas di dunia terutama Indonesia dan lebih dikenal luas, jika dibandingkan dengan agama suku Dayak, maka Agama Kaharingan dikategorikan ke cabang agama Hindu.

Propinsi Kalimantan Barat mempunyai keunikan tersendiri terhadap proses alkurturasi cultural atau perpindahan suatu culture religius bagi masyarakat setempat. Dalam hal ini proses tersebut sangat berkaitan erat dengan dua suku terbesar di Kalimantan Barat yaitu Dayak,Melayu dan Tiongkok. Pada mulanya Bangsa Dayak mendiami pesisir Kalimantan Barat, hidup dengan tradisi dan budayanya masing-masing, kemudian datanglah pedagang dari gujarab beragama Islam (Arab Melayu) dengan tujuan jual-beli barang-barang dari dan kepada masyarakat Dayak, kemudian karena seringnya mereka berinteraksi, bolak-balik mengambil dan mengantar barang-barang dagangan dari dan ke Selat Malaka (merupakan sentral dagang di masa lalu), menyebabkan mereka berkeinginan menetap di daerah baru yang mempunyai potensi dagang yang besar bagi keuntungan mereka.

Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Dayak ketika bersentuhan dengan pendatang yang membawa pengetahuan baru yang asing ke daerahnya. Karena sering terjadinya proses transaksi jual beli barang kebutuhan, dan interaksi cultural, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, di kunjungi masyarakat lokal (Dayak) dan pedagang Arab Melayu dari Selat Malaka. Di masa itu system religi masyarakat Dayak mulai terpengaruh dan dipengaruhi oleh para pedagang Melayu yang telah mengenal pengetahuan, pendidikan dan agama Islam dari luar Kalimantan. Karena hubungan yang harmonis terjalin baik, maka masyarakat lokal atau Dayak, ada yang menaruh simpati kepada pedagang Gujarat tersebut yang lambat laun terpengaruh, maka agama Islam diterima dan dikenal pada tahun 1550 M di Kerajaan Tanjung Pura pada penerintahan Giri Kusuma yang merupakan kerajan melayu dan lambat laun mulai menyebar di Kalimantan Barat.

masyarakat Dayak masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya, mereka percaya setiap tempat-tempat tertentu ada penguasanya, yang mereka sebut: Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain, untuk sebutan Tuhan yang tertinggi, kemudian mereka masih mempunyai penguasa lain dibawah kekuasaan Tuhan tertingginya: misalnya: Puyang Gana ( Dayak mualang) adalah penguasa tanah , Raja Juata (penguasa Air), KamaBaba (penguasa Darat),Jobata,Apet Kuyan'gh(Dayak Mali) dan lain-lain. Bagi mereka yang masih memegang teguh kepercayaan dinamisme nya dan budaya aslinya nya, mereka memisahkan diri masuk semakin jauh kepedalaman.

adapun segelintir masyarakat Dayak yang telah masuk agama Islam oleh karena perkawinan lebih banyak meniru gaya hidup pendatang yang dianggap telah mempunyai peradaban maju karena banyak berhubungan dengan dunia luar. (Dan sesuai perkembangannya maka masuklah para misionaris dan misi kristiani/nasrani ke pedalaman). Pada umumnya masyarakat Dayak yang pindah agama Islam di Kalimantan Barat dianggap oleh suku dayak sama dengan suku melayu. Suku Dayak yang masih asli (memegang teguh kepercayaan nenek moyang) di masa lalu, hingga mereka berusaha menguatkan perbedaan, suku dayak yang masuk Islam(karena Perkawinan dengan suku Melayu) memperlihatkan diri sebagai suku melayu.banyak yang lupa akan identitas sebagai suku dayak mulai dari agama barunya dan aturan keterikatan dengan adat istiadatnya. Setelah penduduk pendatang di pesisir berasimilasi dengan suku Dayak yang pindah(lewat perkawinan dengan suku melayu) ke Agama Islam,agama islam lebih identik dengan suku melayu dan agama kristiani atau kepercayaan dinamisme lebih identik dengan suku Dayak.sejalan terjadinya urbanisasi ke kalimantan, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, karena semakin banyak di kunjungi pendatang baik local maupun nusantara lainnya.

Untuk mengatur daerah tersebut maka tokoh orang melayu yang di percayakan masyarakat setempat diangkat menjadi pemimpin atau diberi gelar Penembahan (istilah yang dibawa pendatang untuk menyebut raja kecil ) penembahan ini hidup mandiri dalam suatu wilayah kekuasaannya berdasarkan komposisi agama yang dianut sekitar pusat pemerintahannya, dan cenderung mempertahankan wilayah tersebut. Namun ada kalanya penembahan tersebut menyatakan tunduk terhadap kerajaan dari daerah asalnya, demi keamanan ataupun perluasan kekuasaan.

Masyarakat Dayak yang pindah ke agama Islam ataupun yang telah menikah dengan pendatang Melayu disebut dengan Senganan, atau masuk senganan/masuk Laut, dan kini mereka mengklaim dirinya dengan sebutan Melayu. Mereka mengangkat salah satu tokoh yang mereka segani baik dari ethnisnya maupun pendatang yang seagama dan mempunyai karismatik di kalangannya, sebagai pemimpin kampungnya atau pemimpin wilayah yang mereka segani. [sunting]Pembagian

Ciri Tari Dayakwilayah penyebaran di Kalimantan Barat

[sunting]Berdasarkan

Bangsa Dayak di Kalimantan Barat terbagi berdasarkan sub-sub ethnik yang tersebar diseluruh kabupaten di Kalimantan Barat. Berdasarkan Ethno Linguistik dan cirri cultural gerak tari Dayak di Kalimantan Barat menjadi 4 kelompok besar, 1 kelompok kecil yakni:

1.

Kendayan / Kanayatn Grop : Dayak Bukit (ahe), Banyuke, Lara, Darit, Belangin, Bakati dll. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Pontianak, Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang, dan sekitarnya.mempunyai gerak tari, enerjik, stakato, keras.

2.

Ribunic / Jangkang Grop/ Bidoih / Bidayuh : Dayak Ribun, Pandu, Pompakng, Lintang, Pangkodatn, Jangkang, Kembayan, Simpakng, dll. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sanggau Kapuas, mempunyai ciri gerak tangan membuka, tidak kasar dan halus.

3.

Iban / Ibanic : Dayak Iban dan sub-sub kecil lainnya, Mualang, Ketungau, Kantuk, Sebaruk, Banyur, Tabun, Bugau, Undup, Saribas, Desa, Seberuang, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sambas (perbatasan), Kabupaten Sanggau / malenggang dan sekitarnya (perbatasan) Kabupaten Sekadau (Belitang Hilir, Tengah, Hulu) Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Serawak, Sabah dan Brunai Darusalam. mempunyai ciri gerak pinggul yang dominan, tidak keras dan tidak terlalu halus.

4.

Banuaka" Grop : Taman, Tamambaloh dan sub nya, Kalis, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Kapuas Hulu.ciri gerak mirif kelompok ibanic, tetapi sedikit lebih halus.

5.

Kayaanik, punan, bukat dll.

Selain terbagi menurut ethno linguistik yang terdata menurut jumlah besar groupnya, masih banyak lagi yang belum teridentifikasikan gerak tarinya, karena menyebar dan berpencar dan terbagi menjadi suku yang kecil-kecil. Misalnya Dayak Mali / ayek-ayek, terdapat dialur jalan tayan kearah kab. ketapang. kemudian Dayak Kabupaten Ketapang,Daerah simpakng seperti Dayak Samanakng dan Dayak Kualan, daerah Persaguan, Kendawangan, daerah Kayong, Sandai, daerah Krio, Aur kuning. Daerah Manjau dsb.

Kemudian Dayak daerah Kabupaten Sambas, yaitu Dameo / Damea, Sungkung daerah Sambas dan Kabupaten Bengkayang dan sebagainya. Kemudian daerah Kabupaten Sekadau kearah Nanga Mahap dan Nanga Taman, Jawan, Jawai, Benawas, Kematu dan lain-lain. Kemudian Kabupaten Melawi, yaitu: dayak Keninjal(mayoritas tanah pinoh;antara lain desa ribang rabing, ribang semalan, madya raya, rompam, ulakmuid, maris dll)dayak Kebahan (antara lain desa:poring,nusa kenyikap, Kayu Bunga, dll yang memiliki tari alu dan tari belonok kelenang yang hampir punah), dayak Linoh (antara lain desa:Nanga taum,sebagian ulak muid, mahikam dll), dayak pangen (Jongkong, sebagian desa balaiagas dll), dayak kubing (antara lain desa sungai bakah/sungai mangat,nyanggai,nanga raya dll),dayak limai (antara lain desa tanjung beringin,tain, menukung, ela dll), dayak undau, dayak punan, dayak ranokh/anokh (antara lain sebagian di desa batu buil, sungai raya dll), dayak sebruang (antara lain didesa tanjung rimba, piawas dll),dayak Ot Danum ( masuk kelompok kal-teng), Leboyan. [sunting]Latar

belakang Tari Ajat Temuai Dataibelakang

[sunting]Latar

"Ajat Temuai Datai" diangkat dari bahasa Dayak Mualang (Ibanic Group), yang tidak dapat diartikan secara langsung, karna terdapat kejanggalan jika di diartikan kata per kata. Tetapi maksudnya adalah Tari menyambut tamu, bertujuan untuk penyambutan tamu yang datang atau tamu agung (diagungkan).

Awal lahirnya kesenian ini yakni dari masa pengayauan / masa lampau, diantara kelompok-kelompok suku Dayak. Mengayau, berasal dari kata me ngayau, yang berarti musuh (bahasa Dayak Iban). Tetapi jika mengayau mengandung pengertian khusus yakni suatu tindakan yang mencari kelompok lainnya (musuh) dengan cara menyerang dan memenggal kepala lawannya. Pada masyarakat Dayak Mualang dimasa lampau para pahlawan yang pulang dari pengayauan dan menang dan membawa bukti perang berupa kepala manusia, merupakan tamu yang agung serta dianggap sebagai seorang yang mampu menjadi pahlawan bagi kelompoknya. Oleh sebab itu diadakanlah upacara Ajat Temuai Datai. Masyarakat Dayak percaya bahwa pada kepala seseorang menyimpan suatu semangat ataupun kekuatan jiwa yang dapat melindungi si empunya dan sukunya. Menurut J, U. Lontaan (Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat 1974), ada empat tujuan dalam mengayau yakni: untuk melindungi pertanian, untuk mendapatkan tambahan daya jiwa, untuk balas dendam, dan sebagai daya tahan berdirinya suatu bangunan. Setelah mendapatkan hasil dari mengayau, para pahlawan tidak boleh memasuki wilayah kampungnya, tetapi dengan cara memberikan tanda dalam bahasa Dayak Mualang disebut Nyelaing (teriakan khas Dayak) yang berbunyi Heeih !, sebanyak tujuh kali yang berarti pahlawan pulang dan menang dalam pengayauan dan memperoleh kepala lawan yang masih segar. Jika teriakan tersebut hanya tiga kali berarti para pahlawan menang dalam berperang atau mengayau tetapi jatuh korban dipihaknya. Jika hanya sekali berarti para pahlawan tidak mendapatkan apa-apa dan tidak diadakan penyambutan khusus. Setelah memberikan tanda nyelaing, para pengayau mengirimkan utusan untuk menemui pimpinan ataupun kepala sukunya agar mempersiapkan acara penyambutan. Proses penyambutan ini, melalui tiga babak yakni: Ngiring Temuai (mengiringi tamu ataupun memandu tamu) sampai kedepan Rumah Panjai (rumah panggung yang panjang) proses ngiring temuai ini dilakukan dengan cara menari dan tarian ini dinamakan tari Ajat (penyambutan). Kemudian kepala suku mengunsai beras kuning (menghamburkan beras yang dicampur kunir / beras kuning) dan membacakan pesan atau mantera sebagai syarat mengundang Senggalang burong (burung keramat / burung petuah penyampai pesan kepada Petara atau Tuhannya). Babak yang kedua yakni mancung buloh (menebaskan mandau atau parang guna memutuskan bambu), berarti bambu sengaja dibentangkan menutupi jalan masuk ke rumah panjai dan para tamu harus menebaskan mandaunya untuk memutuskan bambu tersebut sebagai simbol bebas dari rintangan yang menghalangi perjalanan tamu itu. Babak yang ketiga adalah Nijak batu (menginjakkan tumitnya menyentuh sebuah batu yang direndam didalam air yang telah dipersiapkan), sebagai simbol kuatnya tekad dan tinginya martabat tamu itu sebagai seorang pahlawan yang disegani. Air pada rendaman batu tersebut diteteskan pada kepala tamu itu sebagai simbol keras dan kuatnya semangat dari batu itu diteladani oleh pahlawan atau tamu yang disambut. Babak keempat yakni Tama Bilik (memasuki rumah panjai), setelah melalui prosesi babak diatas, maka tamu diijinkan naik ke rumah panjang dengan maksud menyucikan diri dalam upacara yang disebut Mulai Burung (mengembalikan semangat perang / mengusir roh jahat).

TRADISI NGAYAU BAGI SUKU DAYAK DI KALIMANTAN Oleh: TumanggungArga Sandipa BatanggaAmas (Admin Grup FB: Komunitas Pemerhati Adat dan Budaya Suku Bangsa Indonesia)

Ngayau merupakan tradisi Suku Dayak yang mendiami pulau Kalimantan, baik Dayak yang tinggal di Kalimantan Barat maupun Kalimantan lainnya. Iban dan Kenyah adalah dua dari suku Dayak yang memiliki adat Ngayau. Pada tradisi Ngayau yang sesungguhnya, Ngayau tidak lepas dari korban kepala manusia dari pihak musuh. Citra yang paling populer tentang Kalimantan selama ini adalah yang berkaitan dengan berburu kepala (Ngayau). Karya Bock, The Head Hunters of Borneo yang diterbitkan di Inggris pada tahun 1881 banyak menyumbang terhadap terciptanya citra Dayak sebagai orang-orang pemburu kepala (Saunders, 1993:23). Dalam tradisi orang Dayak Lamandau dan Delang di Kalimantan Tengah, mengayau dari kata kayau atau kayo; yang artinya mencari. Mengayau artinya mencari kepala, Ngayau adalah orang yang mencari kepala.

Tradisi Ngayau pertama kali urang Libau Lendau Dibiau Takang Isang (kayangan) yang saat itu sebagai tuai rumah (kepala kampung) yang bernama Keling. Berkat keberaniannya dan kegagahannya dia diberi gelar Keling Gerasi Nading, Bujang Berani Kempang (keling merupakan orang yang gagah berani). Gelar tersebut diberikan oleh seseorang tetua Iban yang bernama Merdan Tuai Iban yang saat itu tinggal di Tatai Bandam (masuk dalam wilayah Lubuk Antu Sarawak Malaysia).

Praktik berburu kepala adalah salah satu bentuk kompleks perilaku sosial dan sudah memancing munculnya beragam penjelasan dari berbagai penulis, baik dari kalangan penjelajah maupun kalangan akademisi.

Bagi suku Dayak Ngaju di KalTeng, tradisi mengayau untuk kepentingan upacara Tiwah, yaitu upacara sakral terbesar suku Dayak Ngaju untuk mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju langit ke tujuh (Riwut, 2003 : 203).

Menurut Lebar (1972 : 171), dikalangan masyarakat Kenyah, perburuan kepala penting dalam hubungannya dengan Mamat, yaitu pesta pemotongan kepala, yang mengakhiri masa perkabungan dan menyertai upacara inisiasi untuk memasuki sistem status bertingkat, Suhan, untuk para prajurit perang. Pemburu-pemburu kepala yang berhasil berhak memakai gigi macan kumbang di telinganya, hiasan kepala dari bulu burung enggang, dan sebuah tato dengan desain khusus..Serangan-serangan para pemburu kepala dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari sepuluh hingga dua puluh orang laki-laki yang bergerak secara diam-diam dan tiba-tiba. Mereka sangat memperhatikan pertanda-pertanda, khususnya burung-burung. Setelah digunakan dalam upacara-upacara Mamad, kepala-kepala itu digantung di beranda rumah panjang, berhadapan dengan ruang-ruang tengah yang menjadi tempat tinggal ketua rumah panjang. Di masa lalu Suku Dayak Kenyah dilaporkan sebagai pemburu kepala yang paling terkenal di Kalimantan.

Seperti halnya suku Dayak Kenyah, suku Dayak Iban juga melakukan upacara perburuan kepala yang disebut Gawai. Upacara ini tidak hanya bersifat religius, tetapi juga melibatkan pesta besar-besaran dengan minum-minuman dan bersenang-senang (Lebar, 1972 : 184).

Bagi Suku Dayak Iban di KalBar, Ngayau merupakan tradisi pada masa dahulu yang melambangkan keperkasaan seorang lelaki Iban. Bagi lelaki Iban yang berhasil memperoleh banyak kepala dalam suatu perburuan kepala akan menjadi rebutan atau kegilaan para wanita Iban. Tradisi ini juga berlaku sebagai suatu proses persetujuan melawar/meminang seorang perempuan Dayak. Sebelum pinangannya diterima oleh pihak keluarga perempuan, calon pria dengan batas waktu yang ditentukan oleh pihak keluarga perempuan diharuskan untuk berburu kepala. Bila dalam batas waktu tersebut si pria berhasil membawa kepala maka pinangannya diterima. Hal ini merupakan suatu jaminan dan kepercayaan bahwa si pria tersebut akan mampu menjaga keselamatan wanita yang dikawininya.

Sebenarnya kenyataan itu tidak 100% tepat, malah masih boleh dipersoalkan. Hal ini dikarenakan menurut cerita lisan masyarakat Iban di rumahrumah panjang, selain orang Bujang ada juga individu yang telah berkeluarga menyertai aktivitas memburu kepala. Oleh karena itu aktivitas ngayau bukan saja untuk kepentingan pribadi melainkan untuk kepentingan suatu kelompok, paling tepat kalau dikatakan bahwa, aktivitas Ngayau dijalankan adalah untuk mendapat penghormatan pada mata masyarakat. Dalam arti kata lain, ngayau juga berperanan untuk menaikan taraf sosial seseorang maupun kelompoknya. Orang yang pernah memperolehi kepala dalam aktivitis ngayau yang disertainya akan digelar sebagai Bujang Berani, serta dikaitkan dengan hal-hal sakti.

Miller yang seorang penjelajah, misalnya menulis dalam Black Borneo-nya (1946 : 121), menyatakan bahwa praktik memburu kepala bisa dijelaskan dalam kerangka kekuatan supernatural yang oleh orang-orang Dayak diyakini ada di kepala manusia. Bagi orang Dayak, tengkorak kepala manusia yang sudah dikeringkan adalah sihir yang paling kuat di dunia. Sebuah kepala yang baru dipenggal cukup kuat untuk menyelamatkan seantero kampung dari wabah penyakit. Sebuah kepala yang sudah dibubuhi ramu-ramuan bila dimanipulasi dengan tepat cukup kuat untuk menghasilkan hujan, meningkatkan hasil panen padi, dan mengusir roh-roh jahat. Kalau ternyata tak cukup kuat, itu karena kekuatannya sudah mulai pudar dan diperlukan sebuah tengkorak yang baru.

Sementara itu Mc Kinley menggambarkan ritual perburuan kepala itu sebagai sebuah proses transisi, dalam mana orang-orang yang dulunya adalah musuh menjadi sahabat dengan cara memadukan mereka ke dalam dunia keseharian.

Mungkin ada sebuah pertanyaan, dalam tradisi Ngayau tersebut mengapa harus kepala dan bukan bagian-bagian tubuh yang lain yang diambil. Mc Kinley berpendapat (1976 : 124), kepala dipilih sebagai simbol yang pas untuk ritual-ritual ini karena kepala mengandung unsur wajah, yang dengan cara serupa dengan nilai sosial tentang nama-nama personal, merupakan simbol yang paling konkret dari jati diri sosial (social personhood). Jati diri sendiri ini pada gilirannya adalah atribut paling manusiawi milik si musuh dan karenanya menjadi atribut yang harus diklaim oleh komunitas orang itu sendiri.

Dalam kajiannya tentang suku Dayak Iban, Freeman mengatakan bahwa berburu kepala semata simbolik berkaitan dengan kesuburan. Paralelparalel antara kepala manusia dan kesuburan merupakan sesuatu yang sentral dalam pembahasan tentang praktik berburu kepala.

Freeman mengatakan (1979 : 234), puncak dari alegori luar biasa yang menjadi hal yang sentral dalam upacara perburuan kepala yang dilakukan oleh orang-orang Iban yang ketika sudah disenandungkan oleh dukun-dukun pembaca mantra, dilakukan oleh calon-calon pemburu kepala, adalah sebuah ritual yang dikenal dengan nama Ngelampang yang secara harfiah berarti mencincang atau memotong menjadi bagian-bagian kecil. Di dalam bagian alegori ini dipaparkan sebuah deskripsi grafis mengenai ritual membelah kepala tiruan atau antu pala oleh seorang Lang Singalang Burong yaitu dewa perang suku Iban. Lang melakukan ritual ini (sesuatu yang melambangkan pemenggalan kepala musuh yang sesungguhnya) dengan satu tebasan pedang (mandau) yang dilakukannya dengan sangat cepat, dan dari kepala yang dibelahnya itu mengalir benih-benih yang bila ditaurkan akan timbul menjadi sesosok tubuh manusia.

Pada masa kolonial Belanda, seorang perwira Zei dari tentara Napoleon I bernama George Muller yang masuk dalam Pamongpraja Hindia Belanda mendapat tugas melakukan hubungan dengan pihak raja-raja di pesisir Borneo, selain itu ia juga bertugas menyebarkan agama Kristen di sana. Konon perwira ini tewas karena Ngayau oleh suku Dayak di sana tepatnya di Jeram Bakang-Sungai Bungan sekitar Nopember 1825, yang kemudian namanya di abadikan menjadi nama sebuah pegunungan yang membatasi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur, yaitu Pegunungan Muller.

Salah satu pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan komunitas Dayak adalah semasa pemerintahan kolonial Belanda berlangsung yaitu ketika pada tahun 1874 Damang Batu (Kepala Suku Dayak Kahayan) mengumpulkan sub-sub Suku Dayak untuk mengadakan Musyawarah Damai Tumbang Anoi. Musyawrah tsb dikenal dengan PERJANJIAN TUMBANG ANOI. Dalam musyawarah yang konon berlangsung berbulan-bulan lamanya itu, masyarakat Dayak di seluruh Kalimantan mencapai kesepakatan untuk menghindari dan menghilangkan tradisi mengayau. Karena dianggap telah menimbulkan perselisihan di antara suku Dayak. Akhirnya, dalam musyawarah tsb segala perselisihan dikubur dan pelakunya didenda sesuai dengan hukum adat Dayak.

Meskipun hingga kini tidak ada satupun analisa yang dapat menjelaskan secara pasti dan tepat makna yang tersembunyi dari tradisi Ngayau tersebut karena ritual ini sedemikian kompleks dan sedemikian misteriusnya, namun dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tradisi Ngayau sangat penting bagi penggambaran citra kelompok Dayak yang merupakan salah satu simbol suatu identitas kesukuan.

Sudewi2000s Weblog September 30, 2008

KOLAM IKAN TILAPIA DAYAK IBAN DI SUAI, SARAWAKFiled under: Community Empowerment Stories, Traveling Tags: Community Empowerment,Customary Community, Dayak, Dayak Iban, Malaysia, Masyarakat Adat, Miri, Pemberdayaan Masyarakat, Perjalanan, Regional Network for Indigenous Peoples, RNIP, Sarawak, Swary Utami Dewi, Tilapia, Tradisi, Tradition, Traveling, Wanamina sudewi2000 @ 1:31 pm

14 November 2006

Dayak Iban Sarawak: Mempertahankan Tradisi di Tengah Modernitas (Foto: Swary Utami Dewi)

Selama 5 hari, penulis berkempatan menjadi salah satu narasumber training Agroforestry di Miri, Sarawak, Malaysia. Training yang diorganisir oleh Regional Network for Indigenous Peoples in Southeast Asia (RNIP) diikuti peserta Indonesia dan Malaysia. Salah satu kunjungan dilakukan ke Suai, melihat kegiatan wanamina yang sedang dicobakan oleh seorang petani lokal, suku Dayak Iban. Perjalanan hampir 2 jam menuju Suai tidak terasa melelahkan karena mulus dan licinnya jalan. Ini membuktikan rapinya infrastruktur Miri. Kiri kanan jalan rapi. Tidak terlihat buangan kertas atau sampah lainnya. Pemandangan yang cukup menarik di sepanjang jalan membuat mata terasa teduh. Di sepanjang jalan tidak banyak ditemui rumah penduduk, apalagi kampung. Tidaklah mengherankan karena penduduk Sarawak saja jumlahnya tidak banyak: sekitar 200 ribu.Beberapa kali masih terlihat rumah-rumah panjang khas Dayak. Uniknya, beberapa rumah panjang telah disulap menjadi lebih modern. Dibuat permanen dan tidak lagi bertangga tinggi, tapi masih tetap panjang dan memiliki banyak pintu sesuai dengan jumlah keluarga yang menghuni.

Rumah Panjang Semi-Modern Dayak Iban Sarawak (Foto: Swary Utami Dewi)

Yang menarik, kami sempat melewati jalan menuju Taman Negara Niah. Taman Negara sama artinya dengan Taman Nasional. Dari jauh, bisa terlihat deretan bukit tinggi batu kapur membentang. Seorang teman Malaysia mengatakan Niah terkenal karena di dalamnya terlindungi peninggalan Dayak Iban berupa lukisan timbul di dinding gua. Lukisan ini menggambarkan manusia dengan segala aktivitasnya, misal seorang ibu yang sedang menyusui anak. Sayang karena waktu yang terbatas, kami tidak punya waktu menjenguk kebanggaan Miri tersebut.

Semakin jauh mendekati Suai, tepi hutan sepanjang jalan semakin banyak dilalui. Hutan-hutan masih terlihat lebat. Sesekali rombongan juga melewati kebun-kebun campuran buah dan sayur. Ada pula deretan kebun sawit yang tidak terlalu panjang, diselingi tanaman pisang. Sesudah menempuh perjalanan hampir 2 jam dari pusat kota Miri ke arah Bintulu, tibalah rombongan di Suai. Keluarga besar Timboo sudah menanti di rumah modern permanen mereka. Hal pertama yang dilakukan: makan. Rombongan berjumlah lebih dari 20 orang ini memang terlihat lapar mengingat waktu sampai sudah menjelang pukul 2. Makan siang cukup istimewa. Tuan rumah menyajikan tilapia (nila) yang terlebih dahulu dilulun (dikukus). Masakan tradisional ini dibuat dengan memasukkan potongan-potongan ikan ke dalam buluh (bambu). Air, garam dan bumbu lain ditambah untuk membuat rasa ikan lebih lezat. Para peserta sempat merubung melihat bambu berisi nila kukus matang. Ikan ini jika sudah matang dan airnya dibuang bisa bertahan sampai 2-3 hari, kata Timboo, sang kepala keluarga. Dari sini mengalirlah cerita usaha kolam tilapia Timboo yang telah dilakukan 4 tahun terakhir. Timboo, kepala rumah panjang Suai, memulai usaha kolam ikan nila menggunakan bibit yang diberikan secara gratis oleh kerajaan, istilah Malaysia untuk pemerintah. Air ke kolam, yang sekarang berjumlah enam buah, diambil dari Sungai Suai dan disalurkan melalui pipa. Jadilah kolam milik bapak asal Sri Aman ini selalu mendapat suplai air segar penyedia oksigen. Hasilnya, daging nilai Timboo terkenal lebih segar dan manis. Saat pertama panen, bertahun lalu, hampir tidak ada yang mau membeli nila hasil budidaya bapak berusia 61 tahun. Timboo sempat berjalan kaki menjual ikan. Supaya masyarakat sekitar tahu kelezatan tilapia-nya, tanpa ragu-ragu ia menawarkan orang-orang untuk mencicipi. Dengan cara inilah mereka bisa tahu kelebihan nila Timboo. Beritapun cepat tersebar dari mulut ke mulut: Timboo memiliki nila yang lezat. Jadilah budidaya nila menjadi pilihan utama penyangga hidup Timboo sekeluarga. Sekarang, Timboo tidak perlu lagi keluar rumah menjajakan nila. Pembelilah yang datang. Talipia merah dan hitam dijual 10 ringgit per kg. Paling tidak dalam sebulan, lelaki yang memiliki penghasilan lain dari berkebun ini bisa menjual 280 kg tilapia. Bagi Timboo, pendapatan ini sudah memadai. Paling tidak ia bisa mendirikan satu rumah permanen bertingkat dua bagi keluarganya. Meski nila Timboo sudah cukup terkenal, ia tetap menjalankan prinsip menyediakan untuk sekitar. Artinya, ia mengutamakan menjual nilai kepada para tetangga dan anggota rumah panjang yang sekarang tidak dihuninya lagi. Jika ada yang datang dari jauh dan sengaja mampir membeli, Timboo tidak akan menolak, asal jumlah yang dibeli dianggap wajar. Namun, pria yang secara rutin masih mendatangi rumah panjangnya ini, akan menolak jika ada pihak yang ingin memborong habis nilanya. Timboo menolak order khusus sebuah restoran terkenal di Miri yang ingin mendapatkan ratusan kg tilapia per bulan. Kasian yang lain tak dapat nanti, jelas Timboo. Demikianlah kisah Timboo, seorang Dayak Iban Sarawak yang berusaha sebagai penyedia protein bagi komunitas sekitar.

Iban peopleFrom Wikipedia, the free encyclopedia

Iban

Iban girls dressed in full Iban (women) attire during Gawai festivals in Debak, Betong region,Sarawak

Total population

600,000 (Sarawak only)

Regions with significant populations

Sarawak, Brunei & West Kalimantan

Language

Iban

Religion

Christianity

Related Ethnic Groups

Kantu, Mualang, Semberuang, Bugau & Sebaru'

The Ibans are a branch of the Dayak peoples of Borneo. In Malaysia, most Ibans are located in Sarawak, a small portion in Sabah and some in west Malaysia. They were formerly known during the colonial period by the British as Sea Dayaks. Ibans were renowned for practising headhunting and tribal/territorial expansion. In ancient times the Ibans were a strong and successful warring tribe in Borneo. They speak the Iban language.

Today, the days of headhunting and piracy are long gone and in has come the modern era of globalization and technology for the Ibans. The Iban population is concentrated in Sarawak, Brunei, and in the West Kalimantan region of Indonesia. They live in longhouses calledrumah panjai or rumah panjang [1]. Most of the Iban longhouses are equipped with modern facilities such as electricity and water supply and other facilities such as (tar sealed) roads, telephone lines and the internet. Younger Ibans are mostly found in urban areas and visit their hometowns during the holidays. The Ibans today are becoming increasingly urbanised while retaining most of their traditional heritage and culture.Contents[hide]

1 Iban History 2 Religion, Culture and Festivals 3 Musical & Dancing

Heritage 4 Branches of the Iban People 5 Cultural references 6 Bibliography

7 External links

[edit]Iban

History

Main article: Iban history The origin of the name Iban is a mystery, although many theories exist. During the British colonial era, the Ibans were called Sea Dayaks. Some believe that the word Iban was an ancient original Iban word for people or man. The modern-day Iban word for people orman is mensia, a totaly modified Malay loan word of the same meaning (manusia) of Sanskrit Root.

The Ibans were the original inhabitants of Borneo Island. Like the other Dayak tribes, they were originally farmers, hunters, and gatherers. Not much is known about Iban people before the arrival of the Western expeditions to Asia. Nothing was ever recorded by any voyagers about them.

The Ibans were unfortunately branded for being pioneers of headhunting. Headhunting among the Ibans is believed to have started when the lands occupied by the Ibans became over-populated. In those days, before the arrival of western civilization, intruding on lands belonging to other tribes resulted in death. Confrontation was the only way of survival.

In those days, the way of war was the only way that any Dayak tribe could achieve prosperity and fortune. Dayak warfare was brutal and bloody, to the point of ethnic cleansing. Many extinct tribes, such as the Seru and Bliun, are believed to have been assimilated or wiped out by the Ibans. Tribes like the Bukitan, who were the original inhabitants of Saribas, are believed to have been assimilated or forced northwards as far as Bintulu by the Ibans. The Ukitswere also believed to have been nearly wiped out by the Ibans.

The Ibans started moving to areas in what is today's Sarawak around the 15th century. After an initial phase of colonising and settling the river valleys, displacing or absorbing the local tribes, a phase of internecine warfare began. Local leaders were forced to resist the tax collectors of the sultans of Brunei. At the same time, Malay influence was felt, and Iban leaders began to be known by Malay titles such as Datu (Datuk), Nakhoda and Orang Kaya.

In later years, the Iban encountered the Bajau and Illanun, coming in galleys from the Philippines. These were seafaring tribes who came plundering throughout Borneo. However, the Ibans feared no tribe, and fought the Bajaus and Illanuns. One famous Iban legendary figure known as Lebor Menoa from Entanak, near modern-day Betong, fought and successfully defeated the Bajaus and Illanuns. It is likely that the Ibans learned seafaring skills from the Bajau and the Illanun, using these skills to plunder other tribes living in coastal areas, such as the Melanaus and the Selakos. This is evident with the existence of the seldom-used Iban boat with sail, called the bandung. This may also be one of the reasons James Brooke, who arrived in Sarawak around 1838, called the Ibans Sea Dayaks. For more than a century, the Ibans were known as Sea Dayaks to Westerners. [edit]Religion,

Culture and Festivals

An Iban woman prepares cotton for spinning

The Ibans were traditionally animist, although the majority are now Christian, some of them Muslim and many continue to observe both Christian and traditional ceremonies, particularly during marriages or festivals.

Significant festivals include the rice harvesting festival Gawai Dayak, the main festival for the Ibans.Other festivals include the bird festivalGawai Burong and the spirit festival Gawai Antu. The Gawai Dayak festival is celebrated every year on the 1st of June, at the end of the harvest season, to worship the Lord Sempulang Gana. On this day, the Ibans get together to celebrate, often visiting each other. The Iban traditional dance, the ngajat, is performed accompanied by the taboh and gendang, the Ibans' traditional music. Pua Kumbu, the Iban traditional cloth, is used to decorate houses. Tuak, which is originally made of rice, is a wine used to serve guests. Nowadays, there are various kinds of tuak, made with rice alternatives such as sugar cane, ginger and corn.

The Gawai Burong (the bird festival) is held in honour of the War God, Singalang Burong. The name Singalang Burong literally means "Singalang the Bird". This festival is initiated by a notable individual from time to time and hosted by individual longhouses. The Gawai Burong originally honoured warriors, but during more peaceful times evolved into a healing ceremony. The recitation of pantun (traditional chants by poets) is a particularly important aspect of the festival.

For the majority of Ibans who are Christians, some Chrisitian festivals such as Christmas, Good Friday, Easter, and other Christian festivals are also celebrated. Most Ibans are devout Christians and follow the Christian faith strictly.

Despite the difference in faiths, Ibans of different faiths do help each other during Gawais and Christmas. Differences in faith is never a problem in the Iban community. The Ibans believe in helping and having fun together.

A Modern Iban Longhouse in Kapit Division

[edit]Musical

& Dancing Heritage

Main article: Agung Iban music is percussion-oriented. The Iban have a musical heritage consisting of various types of agung ensembles - percussion ensembles composed of large hanging, suspended or held, bossed/knobbed gongs which act as drones without any accompanying melodic instrument. The typical Iban agung

ensemble will include a set of engkerumungs (small agungs arranged together side by side and played like axylophone), a tawak (the so-called 'bass'), a bendai (which acts as a snare) and also a set of ketebung (a single sided drum/percussion).

The Iban as well as the Kayan also play an instrument resembling the flute called 'Sapek'. The Sapek is the official musical instrument for the Malaysian state of Sarawak. It is played similarly to the way rock guitarists play guitar solos, albeit a little slower, but not as slow asblues.[1][2] One example of Iban traditional music is the taboh.

The Ibans perform a unique dance called the ngajat. It serves many purposes depending on the occasion. During Gawais, it is used to entertain the people who in the olden days enjoy graceful ngajats as a form of entertainment. Iban men and women have different styles of ngajat. The ngajat involves a lot of precise body-turning movements. The ngajat for men is more aggressive and depicts a man going to war, or a bird flying (as a respect to the Iban god of war, Singalang Burong). The women's form of ngajat consists of soft, graceful movements with very precise body turns. Each ngajat is accompanied by the taboh or the body.

Iban people of Betong

[edit]Branches

of the Iban People

Although Ibans generally speak a dialect which is mutually intelligible, they can be divided into different branches which are named after the geographical areas where they reside.

Majority of Ibans who live around the Lundu and Samarahan region are called Sebuyaus.

Ibans who settled in areas in Serian district (places like Kampung Lebor, Kampung Tanah Mawang & others) are called Remuns. They may be the earliest Iban group to migrate to Sarawak.

Ibans who originated from Sri Aman area are called Balaus.

Ibans who come from Betong, Saratok & parts of Sarikei are called Saribas.

The Lubok Antu Ibans are classed by anthropologists as Ulu Ai Ibans.

Ibans from Undup are called Undup Ibans. Their dialect is somewhat a cross between the Ulu Ai dialect & the Balau dialect.

Ibans living in areas from Sarikei to Miri are called Rajang Ibans. They are the majority group of the Iban people. They can be found along the Rajang River, Sibu, Kapit, Belaga, Kanowit, Song, Sarikei, Bintangor, Bintulu and Miri. Their dialect is somewhat similar to the Ulu Ai dialect.

In West Kalimantan (Indonesia), Iban people are even more diverse. The Kantu, Air Tabun, Semberuang, Sebaru' , Bugau, Mualang & along with many other groups are classed as "Ibanic people" by anthropologists. They can be related to the Iban either by the dialect they speak or their customs, rituals & their way of life. [edit]Cultural

references

First Iban Online Radio Iban Online Radio

The episode, Into the Jungle from Anthony Bourdain: No Reservations included the appearance of Itam, a former Sarawak Ranger and one of the Iban people's last members with theEntegulun (Iban traditional tattoo design) (hand tattoos) signifying his taking of an enemys head.

The Iban were featured on an episode of Worlds Apart on the National Geographic Channel.

The movie The Sleeping Dictionary features Selima (Jessica Alba), an Anglo-Iban girl who falls in love with John Truscott (Hugh Dancy). The movie was filmed primarily in Sarawak, Malaysia.

Malaysia's Ethnic Pop Queen, Noraniza Idris recorded Ngajat Tampi in 2000 and followed by Tandang Bermadah in 2002 which is based on Ibanese tribe music composition. Both songs became a fame in Malaysia and neighborhood countries.

[edit]Bibliography

Sir Steven Runciman, The White Rajahs: a history of Sarawak from 1841 to 1946 (1960). James Ritchie, The Life Story of Temenggong Koh (1999) Benedict Sandin, Gawai Burong: The chants and celebrations of the Iban Bird Festival (1977) Greg Verso, Blackboard in Borneo, (1989) Renang Anak Ansali, New Generation of Iban, (2000)

1. 2.

^ Mercurio, Philip Dominguez (2006). "Traditional Music of the Southern Philippines". PnoyAndTheCity: A center for Kulintang - A home for Pasikings. Retrieved November 21, 2006. ^ Matusky, Patricia. "An Introduction to the Major Instruments and Forms of Traditional Malay Music." Asian Music Vol 16. No. 2. (Spring-Summer 1985), pp. 121-182.

[edit]External

links